Dapur
Dinanti-nanti matinya, Wak Haji Mail malah mulai mengigau. Semula tak
seorang pun menangkap apa yang dikatakannya. Kupikir bukan tak bisa. Tak mau,
lebih tepatnya. Aku sendiri, begitu diizinkan mendengar langsung segera
mencerna, bukan kata, melainkan sepotong nama. Gumam ini berulang di antara
tarikan nafasnya yang payah. Saodah.
Lepas maghrib tadi Haji Mail membuka mata dan mulutnya kembali
bersuara. Satu jam kemudian semua orang terus berebutan masuk sehingga Wak
Misnah naik pitam. Empat belas anak, beserta cucu-cucu, tentulah membuat
keadaan bisa cepat berubah menjadi pasar malam. Itulah saatnya Wak Misnah,
istri pertama Haji Mail, mengusir semua orang dan memanggilku masuk.
”Mak nggak mau. Sebaiknya kamu pulang,” kata Aminah pelan, sungguh-
sungguh.
Kubulatkan tekadku. Kali ini, aku tak akan pulang dengan tangan kosong.
Sekurang-kurangnya, aku harus mendapatkan alasan. Aminah tersenyum, agak
aneh. Sepertinya ia merendahkanku. Ya, ia merendahkanku. Apakah dulu juga ia
merendahkanku?
Ini pikiran yang aneh, sebenarnya. Semua orang tahu betapa keras Mak
Saodah. Keras menghadapi pelanggannya, keras menjaga rahasia dapurnya.
Bertahun-tahun membuka warung makan di kampung itu, tak membuatnya pandai
beramah tamah. Para pelanggan memanggilnya Mak Galak, tetap kembali ke
warungnya semata-mata karena kelezatan masakannya sulit disaingi. Aku
mengenalnya hampir seumur hidupku dan tak pernah sekali pun kulihat ia
tersenyum. Tidak juga kepada Haji Mail atau orang-orang terpandang di kampung
ini. Bocah-bocah kampung kami menjulukinya Nenek Sihir Hutan Larangan
karena bila malam datang ia selalu menggerai rambutnya yang panjang dan
membuat sosoknya semakin mengerikan.
Pikiranku belum terurai baik ketika Aminah keluar. Matanya merah dan
sembab. Aku yakin ia turut menangis. Ia duduk di hadapanku, tapi sempat
menoleh ketika mendengar teriakan dari arah dapur. Teriakan ini disusul bunyi
piring pecah terbanting. Atau dibanting.
Ketika aku dipanggil masuk, Wak Misnah sedang duduk di sisi kiri kepala
Haji Mail. Itu sisi kuping Haji Mail yang masih mau bekerja. Aku duduk, tapi
gagal mengatasi cemas.
Pagi buta, sehabis subuh, aku kembali ke rumah Mak Saodah dengan
perasaan tercampur-campur. Menghadapi Mak Saodah membuatku takut, tapi
pulang tanpa usaha dan menghadapi Wak Misnah juga sama mengerikannya.
Terbata-bata kupaksakan diriku menyampaikan permintaan terakhir Haji Mail.
Suasana hati Aminah, entah bagaimana terasa sedikit cerah. Terpikir untuk
bertanya apa benar ia bekerja sebagai juru masak di luar negeri dan benarkah,
sebagaimana yang dikatakan orang-orang, bahwa ia tak ingin kembali tinggal di
kampung ini.
”Kenapa?”
Senyum Aminah hilang, tapi matanya masih bulat bening. Ia tampak
berpikir sebentar sebelum kemudian berkata, ”Mak bilang, berdagang itu
alasannya hidup.”
”Berdagang?”
Aku tak ingat apakah Aminah sempat menjawab, sebab dari dalam dapur
maknya membuatku terperangah.
Desing dan gemericik itu belum selesai ketika mata Mak Saodah menusuk
tajam, menatapku.
Sungguhpun hapal luar kepala, kudapati bahwa tak pernah dua ajaran ini
kupahami seperti sekarang. Pertama, bahwa ada 42 jenis gila manusia. ”Jika
hendak kau pahami semuanya, ingat-ingat saja tindak-tanduk uwakmu, Haji
Ismail almarhum.” Kedua, bahwa tempat gila manusia sudah lama terpisah-pisah.
Laki-laki sinting di jalan, perempuan di dapur. ”Itulah kenapa kalian tak pernah
paham. Jangan pula kau kira kau lebih pandai dari bibimu ini. Mati kuracun kau
nanti.”
Seorang sersan muda sedang mencegah tersangka merebut tas kecil dari
meja ketika Letnan Sardi masuk. Wibawa yang bergelantungan di pundak Sang
Letnan menghentikan keriuhan kecil di ruang interogasi tanpa sedikit pun tenaga
tersia-sia. Si Sersan melepaskan genggamannya, membiarkan tersangka merebut
dan memeluk tas itu erat-erat. Keadaan terkendali.
Letnan Sardi duduk dengan tenang dan menatap tajam ke depan. Sepotong
masa lalunya kini menggumpal di seberang meja, duduk di kursi sebagai tubuh
rikuh si tersangka. Sardi ingat.
Ditatap seperti itu, Si Sersan merasa jengah. Ia beranikan diri minta pamit.
Sardi hanya bertanya, “ke mana?” untuk menyatakan sikapnya. Intonasi
pertanyaan itu terang artinya bagi Si Sersan. Permohonannya ditolak.
13 tahun yang lalu, sebelum kenal tentara, Raman Jereng cuma bandar
kelas kampung. Ia masih mengotori tangannya untuk menggosok-gosok pemilu
kades atau pertandingan sepak bola.
“Sepatu ini bikin Jerman juara 74,” kata Raman. “Lu mau?” Sardi muda
mengangguk. Nantinya, keputusan ini ia sesali seumur hidup.
Raman Jereng selalu punya cerita untuk apa saja. Termasuk untuk sepatu-
sepatunya. Sepatu kedua, yang dihadiahkannya pada Asan, punya cerita lebih
seru.
“Itu sepatunya.”
Asan memandangi sepatu itu tak percaya. Sepatu yang biasa dipakainya
adalah sepatu sobek pinjaman Sardi. Salah satu sepatu terburuk dari koleksi anak
sulung juragan kopi itu. Kini ia punya sepatunya sendiri. Tak tanggung-tanggung,
sepatu Tuhan.
Dari tengah, Asan lepas sendirian. Dua rekan termasuk Sardi mengikuti
dari sayap. Asan terus menggempur. Satu pemain terlewati, lalu satunya lagi.
Pemain ketiga mengira cukup dengan bermain posisi, tapi malah kalah lari.
Pemain keempat memapasi, mengincar kaki, tapi Asan meliukkan tubuhnya
dengan ajaib. Pemain keempat ini bermaksud meniru meliuk tapi malah
kehilangan keseimbangan, terpelanting. Pemain kelima menghadang dengan
emosi tinggi, sudah terkalahkan jauh sebelum berhadapan dengan Asan. Di depan
kiper, Asan, dengan macan di sepatunya yang entah menerkam atau terbang,
menyontekkan bola ke sudut kiri. Diego Asando Maradona, 2-0, legenda
kampung kami.
Setahun setelah gol itu, Sardi mengutuk diri. 7 gol dan 5 umpan matang,
tak seorang pun akan ingat. Bagaimana mungkin? Orang-orang cuma ingat bahwa
di partai semifinal, Gunung Terang dihajar Tunas Harapan 3-0. Kalau saja Asan
main di partai semifinal, ceritanya pasti lain. Kalau saja di malam sebelumnya tak
ada pengendara motor krosboi melintas, kalau saja bukan Asan yang tersuruk di
kolam Haji Sanusi.
Sardi tak mungkin bisa memaafkan kekalahan ini. Pencari bakat dari dua
tim galatama, memasang wajah bosan di partai semifinal, mencoret sepasang
nama tombak kembar Gunung Terang dari catatan mereka. Suatu keputusan buruk
yang mengakibatkan Indonesia gagal juara dunia.
Mengubur cita-cita, Sardi mendaftar akademi polisi. Begitu pun, ini gagal
mengubur sepotong curiga. Curiga ini terlalu meyakinkan.
Di sore sehabis gol istimewa Asan diciptakan, Raman datang, khusus
mencari Asan. Keduanya bercakap di pojokan, sembunyi-sembunyi. Dalam
percakapan itu, wajah Asan cepat berubah dari senang menjadi tegang, lalu cemas
dan ketakutan.
Malam harinya, jendela kamar Sardi diketuk dari luar. Itu ketukan Asan.
Sebentar kemudian mereka mengendap melintasi malam menuju rumah Raman
Jereng. Di akhir perjalanan pulang, alasan Asan mengembalikan sepatu Tuhan tak
juga terang. Sepanjang jalan Asan tak bersuara. Sekali-kalinya ia bicara, hanyalah
ketika mereka berpisah. Itu pun semakin tak menerangkan apa-apa.
Sardi mengangguk.
Sepatu itu tak jadi dipinjamkan, sebab besok malamnya Asan ditabrak lari.
Penanganan rumah sakit yang buruk menghentikan karier sepak bolanya.
Persahabatan kedua ujung tombak itu juga turut surut. Asan selalu menghindar.
Tak lama sesudah sembuh dan menerima takdir kakinya pincang, Asan
bekerja untuk Raman. Lebih tepat, Raman datang menawarkan pekerjaan. Setelah
itu, 13 tahun jalan bergegas, tentara mengubah Raman menjadi bandar kaya, tapi
tentu tidak jongos-jongosnya.
Bandar judi itu cukup licik untuk merawat Asan, terutama karena ia tahu
pada gilirannya kejahatannya akan terungkap. Raman bersiasat, jika akhirnya
Asan mendapati bahwa kecelakaan di kolam Haji Sanusi terjadi atas perintahnya,
pengawasan ketat akan mencegah Asan membalas dendam. Berada dalam kendali
berarti mempersempit kesempatan Asan merancang apa pun bagi diri sendiri.
Sempit kesempatan sempit pula keberanian. Itulah resepnya.
Resep yang baik, pikir Letnan Sardi, tapi belum tentu manjur. Bagaimana
jika ada orang lain, peristiwa lain, yang memungkinkan suatu kesempatan tercipta.
Raman Jereng bisa saja terus mengawasi Asan, tapi ia tidak bisa mengawasi
semua hal. Ia tidak bisa memasukkan semua orang ke dalam kantongnya. Ia bisa
berusaha, tapi luas kantong ada batasnya.
Asan duduk dengan kepala terus menunduk. Apakah sahabat kecilnya itu
sempat ragu? Apa kini ia menyesal? Ia tampak resah. Ya, seharusnya ia menyesal.
Penyesalanlah yang membedakan antara dirinya dan kriminal semacam Raman.
Yang membedakan kita dengan dia, kata Sardi diam-diam. Menjalankan
kesempatan bisa berarti berkhianat pada hati kecil.
Hati kecil, ia tahu banyak tentang hal ini. Usaha kopi bapaknya tidak
begitu baik ketika ia didaftarkan ke akademi polisi. Padahal, harga sogok
menyogok begitu tinggi. Semenjak itu, hidupnya tergadai. Mungkin bahkan sejak
sebelumnya. Sejak sepatu Kaisar diterimanya. Raman Jereng tak merasa cukup
dengan bekingan tentara, ia ciptakan pula kesempatan antara dirinya dan seorang
calon polisi muda dari Gunung Terang.
Sardi tersenyum, menyimpulkan. Tak ada akhir yang paling tepat bagi
seorang penjahat selain mati di tangan senjatanya sendiri. Dua buah senjata yang
memakan tuannya sendiri. Adapun jika orang lain menyangka satu, itu tak lain
karena kebanyakan orang cenderung lebih mengingat siapa yang bikin gol. Sardi
telah berdamai dengan dirinya sendiri. Tak ada buruknya memberi umpan matang.
Lagipula Kaisar memang dikalahkan Tuhan di Meksiko 86.
Letnan Sardi bersiap mengenyahkan kasus ini dari hadapannya. Ia
menoleh ke arah sersan, bertanya “Sudah paham?”
“Itulah yang membuat kau sersan dan aku letnan. Motif, buruh yang
tertindas, majikan yang kejam, buruh balas dendam. Sederhana. Bukan
pembunuhan berencana. Laki-laki ini terlalu pengecut untuk itu.”
“Bensinnya, Pak?”
“Sepatunya?”
Letnan Sardi, menenteng tas kecil, berjalan santai ke arah tempat parkir
mobilnya. Di dalam mobil, dua orang bocah tersenyum riang menyambutnya.
Bocah laki-laki yang duduk di depan, ini putranya. 7-8 tahun lagi ia akan
merajalela dengan sepatu Kaisar. Bocah yang duduk di belakang, anggota baru
keluarganya, masih sering terselip lidah memanggilnya dengan sebutan Oom,
bukannya Ayah.
“Ini dari bapakmu.” Putra angkatnya menerima tas itu dengan canggung,
tak berani membukanya.
Keduanya menggeleng.
Sepanjang jalan, Letnan Sardi bercerita tentang Piala Dunia 86. Satu gol
terkenal Maradona adalah gabungan dari sedikit kerja kepalanya dan sedikit kerja
tangan Tuhan, tapi itu belum seberapa. Di perempat final, Asan, sahabatnya,
melewati lima pemain sebelum menundukkan Peter Shilton. Di semifinal mereka
dikalahkan PS. Tunas Harapan 3-0. Tak apa. Setiap cita-cita berhak mendapatkan
kesempatan kedua, sebagaimana Indonesia berhak juara dunia.
Kebon Sawah dipaksa mengingat, pernah di salon itu, duduk di depan meja rias
dan menemukan bayanganmu sendiri artinya kamu akan segera ditangani. Nancy
akan menghampirimu, berdiri di belakangmu, embus napasnya lembut mencapai
tengkukmu. Setelah Nancy mati, Zulfikar masih duduk di sana, menunggu embus
napas mencapai tengkuknya sebab yakin gilirannya pasti.
Sesungguhnya tak butuh penyelidik tangguh untuk membongkar kejahatan ini tapi
di Kebon Sawah beberapa kejahatan memang terjadi bukan untuk dipecahkan.
Lupa selalu bisa diandalkan, tak pernah mengecewakan. Untunglah, bisik-bisik
hantu Nancy terembus.
Ada tidaknya hantu Nancy akan tetap menjadi misteri sampai akhir cerita ini,
terutama karena semua orang yang pernah bertemu dengannya tak lagi bisa
ditanyai. Satu hal yang bisa dipastikan, beberapa orang telah dibunuh menyusul
Nancy. Untuk mengikis sebagian penasaran, ada baiknya kita mulai dari suatu
Rabu sore, tepat sebelum kemunculan pertama hantu Nancy.
***
Zulfikar bukan anggota komplotan Leman Badik. Ia kelas teri, nyalinya tipis,
kejahatannya paling cuma maling. Hanya karena Zulfikar pelanggan setia salon
Nancy, ia diajak serta. Kuda troya, kata Leman, apa pun itu artinya. Anak buah
Leman sejak awal bersiaga, siap menutup mulut Zulfikar kalau-kalau mentalnya
kecut.
”Senin, lu punya duit? Gua mau cukur,” satu tangannya memainkan ujung rambut
panjangnya, sebelum mendadak menadah seperti pengemis. Senin, mungkin iba,
merogoh kantongnya lalu menyorongkan selembar lima ribuan.
Zulfikar melipat uang itu dengan riang. Setengah bergurau, Senin bertanya di
mana Zulfikar bercukur, mengingat Nancy sudah mati.
Wajah Zulfikar begitu serius namun malah begitu tolol. Pertahanan Senin jebol, ia
tertawa sampai tersedak.
Besok paginya, setelah semalaman menertawai kegilaan Zulfikar bersama
komplotannya, Senin ditemukan di kamar yang terkunci dari dalam. Mati
tersumpal rambut, ia melotot.
***
Hampir genap empat minggu setelah kematian Nancy, Rabu selepas maghrib,
Leman Badik duduk di pinggir kolam ikan di belakang rumah Sudirja, Lurah
Kebon Sawah. Sudah tiga anak buah Leman mati berturut-turut, tiga Rabu malam
terakhir. Sudirja di telepon tadi siang gagal menyembunyikan gelisah suaranya.
Leman telah menjadi tukang pukul Sudirja sejak sepuluh tahun terakhir,
menyaksikan berbagai kebusukan tuan tanah itu. Sejak tiga tahun yang lalu, gara-
gara Nancy, untuk pertama kalinya Sudirja terjebak selangkangannya sendiri.
Nancy seperti tahu sudut-sudut Sudirja yang paling lemah, mengolahnya,
meracuninya, membuatnya ketagihan, kesetanan.
”Saya gak percaya ini kerjaan setan,” cetus Leman, menyergah pikirannya sendiri.
Persis ketika Leman mengucap ”setan”, pancing di tangan Sudirja lepas. Leman
mencium kerusakan yang parah, jenis yang tak mungkin terobati. Tercetus dalam
pikirannya, waktunya tak lama lagi untuk mencari majikan pengganti.
Tak diketahui apakah sempat Leman melawan dengan gagah. Esok paginya, ia
ditemukan mati melotot melihat ngeri.
***
Dua malam Rabu setelah Leman, hantu Nancy mengambil dua lagi. Warga
kampung mulai terbuka matanya, setelah Supriningsih, istri lurah, mati, dan lalu
berani mengambil kesimpulan, setelah seminggu berikutnya giliran Sudirja. Bisik-
bisik bahwa Lurah Kebon Sawah berhubungan gelap dengan Nancy, sekalipun
sempat susah masuk akal, kini sulit dibantah lagi. Sudirja mati melotot dengan
mulut tersumpal rambut, seperti istrinya, seperti seluruh komplotan Leman.
Semuanya pastilah berhubungan.
Sekalipun kesimpulan sudah diambil, tak satu pun warga memperkirakan bahwa
dibutuhkan satu kematian lagi sebelum keadaan kembali tenang dan lupa mulai
bisa diamalkan.
***
Rabu malam ketujuh setelah kematian Nancy, pintu salon miliknya dibuka paksa.
Keadaan remang dan angker tak mencegah Zulfikar menemukan kursi di depan
cermin di mana Nancy melihat dirinya sendiri terakhir kali.
Zulfikar duduk di kursi, dan berkat lampu jalan yang menerobos masuk ke salon
itu, ia bisa menemukan bayangannya sendiri. Zulfikar menunggu.
Sebentar kemudian, penantiannya berakhir. Di cermin itu kini bisa ia lihat, Nancy
berdiri di belakangnya.
Sejak mati Nancy semakin cantik, bukan setan gundul melotot dengan mulut
tersumpal rambut seperti perkiraan orang. Rambutnya utuh, hitam tergerai
panjang dan lebat, sangat terawat, persis sebagaimana yang Zulfikar ingat.
Matanya tenang, menatap Zulfikar penuh sayang. Pakaiannya tipis menerawang.
Zulfikar melihat ke dada Nancy dan terharu, sekali lagi. Kematian telah
memberikan pada Nancy apa yang hanya bisa ia impikan semasa hidup. Sepasang
dada yang mengkal, bukan tambalan potongan gombal. Wajah Nancy demikian
halus dan cantik. Seperti janjinya pada Zulfikar dulu, jika operasi penanaman
payudaranya berhasil, Nancy akan membiarkan kumis dan cambangnya tumbuh
dengan anggun. Sungguh Zulfikar tak pernah mengira sedikit pun bahwa kumis
dan cambang bisa membuat seseorang demikian cantik.
Zulfikar ingin bersuara tapi lidahnya kelu. Ia selalu ingin menjelaskan semuanya,
kenapa ia mau jadi kaki tangan Leman, kenapa ia terlibat pembunuhan orang yang
paling dicintainya. Zulfikar selalu urung karena ia yakin Nancy tak akan mengerti.
Nancy tak akan bisa menakar cinta Zulfikar, betapa dalam sehingga jika ia tak
bisa mendapatkan Nancy, tak seorang pun boleh bisa. Nancy demikian cantik.
Jika Sudirja tak mewujudkan keinginannya, masih banyak orang kaya yang bisa.
Di cermin, Nancy tersenyum padanya. Zulfikar tahu saatnya sudah dekat. Ia telah
mematuhi seluruh perintah Nancy tapi masih ada satu lagi. Dengan tenang,
Zulfikar mulai memotong rambutnya sendiri, meletakkan potongan-potongan
rambut itu di pangkuannya. Senyum Nancy semakin mengembang,
menyemangatinya. Tak berapa lama rambut di kepalanya mulai tercukur habis.
***
Butuh waktu lama agar Kebon Sawah lupa. Dua tahun setelah kematian Nancy,
tak satu pun salon baru berdiri. Warga harus pergi ke kampung sebelah atau ke
pusat kota untuk bercukur dan didandani. Kerepotan kecil ini memaksa mereka
mengingat delapan kematian beruntun di Kebon Sawah.
Dua bulan yang lalu seseorang bernama Siska datang, mendirikan salon persis di
bekas salon Nancy. Mula-mula tak seorang pun mengunjunginya. Keadaan mulai
berubah sejak Siska berjanji untuk membakar semua rambut yang dipotongnya.
Tetua kampung, sekalipun sempat khawatir dengan kedatangan Siska, urung
cemas begitu melihat pemilik salon itu. Berbeda dengan Nancy yang cantik, Siska
berwajah buruk, lipstik merah di bibirnya dikelilingi kumis dan janggut.
Keburukan itu, anehnya, tak sempat mengingatkan mereka pada wajah seseorang
yang demikian akrab. Di balik celemong make-up dan semrawut cambangnya,
mudah didapati betapa wajah Siska begitu mirip dengan Zulfikar.
Sampai kisah ini dituliskan, tak seorang pun warga pernah menghubungkan
kemiripan keduanya, bahkan tidak juga pada sekadar obrolan ringan. Lupa rupa-
rupanya bukan suatu cara bertahan yang bisa diwujudkan sekenanya, gotong
royong dibutuhkan agar semuanya berjalan sesuai rencana.
Begitupun, ingatan masih penasaran: mampirlah, di kampung itu kamu selalu bisa
menghirup bau rambut terbakar.