Anda di halaman 1dari 18

Perempuan Sinting di 

Dapur

Dinanti-nanti matinya, Wak Haji Mail malah mulai mengigau. Semula tak
seorang pun menangkap apa yang dikatakannya. Kupikir bukan tak bisa. Tak mau,
lebih tepatnya. Aku sendiri, begitu diizinkan mendengar langsung segera
mencerna, bukan kata, melainkan sepotong nama. Gumam ini berulang di antara
tarikan nafasnya yang payah. Saodah.

Dua minggu setelah rumah sakit menyerah dan mengembalikannya ke


rumah, Wak Haji Mail belum juga dijemput Izrail. Keempat belas anak dari tiga
pernikahannya semakin sulit meredam cemas, silih berganti berjaga di luar kamar,
siap untuk memberontak dari pembagian harta waris yang tak adil. Tak mungkin
adil.

Lepas maghrib tadi Haji Mail membuka mata dan mulutnya kembali
bersuara. Satu jam kemudian semua orang terus berebutan masuk sehingga Wak
Misnah naik pitam. Empat belas anak, beserta cucu-cucu, tentulah membuat
keadaan bisa cepat berubah menjadi pasar malam. Itulah saatnya Wak Misnah,
istri pertama Haji Mail, mengusir semua orang dan memanggilku masuk.

”Kau dengar?” tanya bibiku setengah membentak. Aku diam sebentar. Di


depanku, Wak Haji terbaring seperti sepotong kayu. Lamat-lamat, di antara
nafasnya yang berat, bisa kudengar suaranya, rendah dan kesakitan. Ke arah Wak
Misnah, aku mengangguk.

”Panggilkan dia.” Suara bibiku agak goyah, mengejutkanku. Apa yang


dicemaskannya?

Di jalan, kukarang-karang sendiri ihwal sepotong cinta tak sampai Wak


Haji Mail pada Mak Saodah. Persis seperti cintaku pada Aminah.

Beberapa menit usai kuajukan permintaan keluarga kami, Mak Saodah


tetap bergeming. Sebelumnya, kubayangkan ia akan bergegas, merapikan dirinya
dan sebentar kemudian duduk di boncengan motorku. Sekalipun Wak Haji Mail
mengamalkan ilmu golok dalam perkara sedekah, semua orang kampung tahu
kalau Mak Saodah seperti selalu menyimpan obat kikir di sayur dan lauk
masakannya. Tak cukup mendirikan kakus dengan tangki septik, Wak Haji Mail
mengirim orang untuk membangun lapak setengah permanen, menyemen lantai
bagian depan rumah Mak Saodah, memasangkan listrik, dan menyekolahkan
kelima anak Mak Saodah sampai SMA. Terakhir ia menghibahkan kulkas bekas
istri keduanya supaya Mak Saodah bisa bikin sendiri es batu dan es lilin.

Di depanku Mak Saodah masih tak bergerak. Matanya mulai berkaca-kaca


dan sempat kukira ia terharu. Aminah, putri sulungnya, mendekat. Sejak tadi ia
membisu di pojokan, mendengarkan. Kini ia meraba-raba punggung maknya,
menenangkan. Kulihat sesaat, sepertinya rahang Mak Saodah bergemeretak. Aku
tak yakin.

Aminah menatapku tajam-tajam. Aku mulai gelisah. Tatapannya selalu


membuatku merasa telah melakukan kesalahan. Sejak dulu. Mungkin karena
pikiran kotor mudah terbaca. Semenjak tiba dari luar negeri, minggu lalu, baru
kali ini kulihat dia. Aminah semakin cantik.

”Mak nggak mau. Sebaiknya kamu pulang,” kata Aminah pelan, sungguh-
sungguh.

Kalimat ini menusuk ulu hatiku. Perutku mulas. Ia pernah mengatakan


kalimat serupa ini padaku. Kata-katanya, susunannya, lagunya, hampir sama.
Satu-satunya perbedaan, dulu ia ajukan kalimat ini bukan atas nama maknya,
melainkan dirinya sendiri.

Kupaksakan menatap matanya, berusaha keras tak menyerah pada


kecantikannya. Dulu, aku gagal, lalu menundukkan kepala, melangkah pulang
dengan gontai, menikahi sepupu yang sudah lama dijodohkan untukku supaya
lupa, tapi malah mendapati, sepanjang akad nikah, wajahnya menghantuiku. Kini
aku bersumpah, dalam hati, tak lagi.

Kubulatkan tekadku. Kali ini, aku tak akan pulang dengan tangan kosong.
Sekurang-kurangnya, aku harus mendapatkan alasan. Aminah tersenyum, agak
aneh. Sepertinya ia merendahkanku. Ya, ia merendahkanku. Apakah dulu juga ia
merendahkanku?

”Alasan, Minah. Sekurang-kurangnya ada alasannya.” Kalimat ini, aku tak


yakin sedang kuajukan untuk perkara yang mana.

Entah kenapa, ia menunduk. Ia sepertinya berpikir sebentar sebelum


kemudian memutuskan untuk memapah maknya bangkit, lalu menuntunnya ke
belakang, ke dapur. Sesaat kemudian, dari dapur itu, kudengar suara meraung.
Suara Mak Saodah.

Kukarang-karang penjelasan di dalam kepalaku. Mak Saodah tak mau


datang karena tak bisa menerima orang yang begitu berjasa dalam hidupnya
sedang menjelang ajal. Ia tak mau terlihat begitu sedih. Tak mau menambah parah
kesedihan yang ditanggung keluarga Haji Mail.

Ini pikiran yang aneh, sebenarnya. Semua orang tahu betapa keras Mak
Saodah. Keras menghadapi pelanggannya, keras menjaga rahasia dapurnya.
Bertahun-tahun membuka warung makan di kampung itu, tak membuatnya pandai
beramah tamah. Para pelanggan memanggilnya Mak Galak, tetap kembali ke
warungnya semata-mata karena kelezatan masakannya sulit disaingi. Aku
mengenalnya hampir seumur hidupku dan tak pernah sekali pun kulihat ia
tersenyum. Tidak juga kepada Haji Mail atau orang-orang terpandang di kampung
ini. Bocah-bocah kampung kami menjulukinya Nenek Sihir Hutan Larangan
karena bila malam datang ia selalu menggerai rambutnya yang panjang dan
membuat sosoknya semakin mengerikan.

Pikiranku belum terurai baik ketika Aminah keluar. Matanya merah dan
sembab. Aku yakin ia turut menangis. Ia duduk di hadapanku, tapi sempat
menoleh ketika mendengar teriakan dari arah dapur. Teriakan ini disusul bunyi
piring pecah terbanting. Atau dibanting.

Aminah kembali memandangku, tapi kali ini tenang, setenang suaranya


memenuhi permintaanku. Sepotong alasan, sepenggal cerita. Aku masih akan tak
paham bahkan jauh sesudah ia menyelesaikan cerita ini. Entah karena ceritanya
begitu sulit dan mengerikan atau karena sepanjang bercerita, ditingkahi bebunyi
piring pecah terbanting, suaranya tetap setenang kolam.

Ketika aku dipanggil masuk, Wak Misnah sedang duduk di sisi kiri kepala
Haji Mail. Itu sisi kuping Haji Mail yang masih mau bekerja. Aku duduk, tapi
gagal mengatasi cemas.

Haji Mail bergumam panjang, kepayahan. Wak Misnah mendekatkan


telinganya ke mulut Haji Mail. Tak yakin, Wak Misnah bertanya di telinga si
kikir. Ia kembali bergumam tak terang, tapi Wak Misnah sepertinya paham.
Bibiku itu berdehem dan mengangguk-angguk.

”Apa kata si Saodah?” tanyanya, setengah membentak. Pertanyaan ini tak


sedikit pun terasa janggal di mulutnya, padahal setengah jam yang lalu
jawabannya sudah ia terima.

Sekalipun sudah kuceritakan sebelumnya, aku tahu ceritaku akan kembali


terbata-bata. Bahkan lebih buruk. Begitu panik, kalimatku jadi berantakan dan tak
urut, seperti bocah belajar bicara. Untung, Wak Misnah rajin memperbaiki
kekacauanku. Ia menyampaikan ulang ceritaku di telinga si kikir dengan lantang,
sebagaimana yang selalu dilakukannya 10 tahun terakhir.

”Ada lagi?” sentak bibiku.

Aku tercekat sebentar sebelum menggeleng. Di antara perasaan cekat dan


gelengan kepalaku sempat terpikir untuk mengutarakan rahasia yang diceritakan
Aminah padaku. Rahasia yang sesungguhnya tak terang karena hanya berupa
garis-garis besar. Haji Mail berdosa pada Mak Saodah. Suaminya, ayah Aminah,
difitnah murtad, syirik, musyrik, kafir, diasingkan orang sekampung seperti
penderita kusta, dibiarkan mati tanpa harga diri.
Kuurungkan pikiran ini ketika kudengar Haji Mail mengerang. Erangnya
panjang, kesakitan dan menyakitkan. Aku yakin pilihanku tepat. Tak perlu
kuceritakan, Haji Mail ingat.

Lima belas menit kemudian, sesudah menitipkan sepotong pesan yang


hanya bisa didengar istrinya, Haji Mail dan sepenggal ingatannya pergi. Aku
melihatnya meregang nafas yang terakhir, satu hembusan nafas pelan seperti
menghempas hidup yang melelahkan. Bulu kudukku naik. Aku baru saja sekamar
dengan Izrail. Wak Misnah masih berusaha memastikan perintah terakhir
suaminya, bertanya dengan lantang di telinga yang baru saja ditinggalkan
pemiliknya.

Pagi buta, sehabis subuh, aku kembali ke rumah Mak Saodah dengan
perasaan tercampur-campur. Menghadapi Mak Saodah membuatku takut, tapi
pulang tanpa usaha dan menghadapi Wak Misnah juga sama mengerikannya.
Terbata-bata kupaksakan diriku menyampaikan permintaan terakhir Haji Mail.

Mak Saodah mendengarkan permintaan ini dengan tenang. Tak bisa


kuceritakan perasaan legaku ketika kulihat ia mengangguk. Ia bangkit dari
duduknya dan tak kutemukan perempuan tua yang perlu dipapah untuk berjalan
ke dapur, tadi malam. Mak Saodah penuh kekuatan. Sampai di dapur, sempat ia
sibakkan tirai, menutupi pintu. Bayangannya tampak besar di tirai itu.

Aminah masih tinggal bersamaku. Tampaknya Mak Saodah belum


mengizinkan Aminah menginjakkan kaki di dapurnya. Bekerja seorang diri untuk
memenuhi permintaan almarhum Wak Haji, Mak Saodah harus bergegas
menyiapkan masakan untuk ratusan orang yang akan bertahlil malam nanti.

Gelas teh di depanku masih setengah penuh sehingga kuputuskan duduk


lebih lama. Lagi pula aku tak tahu mau ke mana. Pemakaman baru akan dilakukan
sesudah matahari terbit, kembali ke rumah bibiku cuma akan mengotori pikiran
ketimbang membersihkannya. Keempat belas sepupuku sudah lepas kendali,
pertengkaran tak mungkin ditunda lagi.

Suasana hati Aminah, entah bagaimana terasa sedikit cerah. Terpikir untuk
bertanya apa benar ia bekerja sebagai juru masak di luar negeri dan benarkah,
sebagaimana yang dikatakan orang-orang, bahwa ia tak ingin kembali tinggal di
kampung ini.

Berdehem-dehem tak pantas, kuputuskan untuk membuka percakapan.


”Kudengar kau suruh Makmu berhenti dagang, Minah?”

Aminah menatapku, tampak senang dengan pertanyaanku, lalu


mengangguk. ”Ya, tapi Mak nggak mau.”

”Kenapa?”
Senyum Aminah hilang, tapi matanya masih bulat bening. Ia tampak
berpikir sebentar sebelum kemudian berkata, ”Mak bilang, berdagang itu
alasannya hidup.”

”Berdagang?”

Aminah tampak memikirkan jawabannya lagi. Sebentar kemudian ia


menemukan kata yang lebih tepat. Beberapa kata. ”Bukan, bukan berdagangnya.
Memasak untuk orang kampung. Ya, itu yang menyelamatkannya,” kalimat
Aminah terputus sebentar. Sorot matanya sempat nyalang ketika dia bergumam,
”itu menyelamatkanku.”

Pernyataan ini, membingungkan. Seluruh kampung ini, jika benar cerita


Aminah kemarin, bukankah neraka bagi Mak Saodah?

Aku duduk diam dan berusaha memecahkan kebingunganku. Lama.


Sepuluh menit kemudian, Aminah sepertinya mulai kasihan pada wajahku yang
merot-perot karena tak paham. Ia memanggilku mendekat. Aku datang dengan
sigap, tapi ia cepat menempelkan jari telunjuk di mulutnya, matanya membeliak
nakal mengancam. Aku memperhalus langkahku, mendekatinya tanpa suara. Ia
membungkuk di dekat tirai dapur, aku mengikutinya. Sesaat kuingat, kami berdua
sebagai bocah berumur delapan tahun, 20 tahun yang lalu, berjingkat mengintip
Mak Saodah. Dulu, jauh sebelum mencapai tirai dapur Mak Saodah sudah
membentak kami. Kini suara bentakan itu tak kunjung datang. Aku menunduk di
belakang Aminah. Kami sangat dekat, aku bisa melihat tengkuk di bawah gelung
rambutnya, mencium wangi tubuhnya, rambutnya. Lehernya, siap
menenggelamkanku. Aku agak mabuk, tak percaya. Sesaat bahkan kegirangan
meluap-luap dan jantungku berdebar. Jari-jari Aminah yang cantik menyibak tirai
dapur.

Dengan sebelah mata bisa kulihat, Mak Saodah sedang bekerja,


memotong-motong bahan masakan, menyiapkan tungku, memasukkan bumbu-
bumbu ke dalam panci. Butuh beberapa detik untukku menemukan apa yang
ganjil dari semua ini. Mak Saodah terus-menerus meludahi bahan-bahan masakan
yang sedang dikerjakannya. Aku sempat tak awas karena Aminah menoleh ke
arahku, ia sepertinya merasakan nafasku terlalu dekat, hangat di pipinya. Aku
terkejut. Pada saat itulah aku berbisik, kelepasan bertanya. Pertanyaan yang lama
kupendam dan kukira sudah tak akan kuajukan lagi.

”Minah, kenapa dulu kau menolak lamaranku?”

Aku tak ingat apakah Aminah sempat menjawab, sebab dari dalam dapur
maknya membuatku terperangah.

Mak Saodah sedang mengangkat kainnya tinggi-tinggi, melewati lutut,


lalu berdiri setengah jongkok mengangkangi salah satu panci yang isinya mulai
mendidih. Raut wajahnya, gabungan yang ganjil antara mengejan dan kebencian,
mengerikan. Sedetik kemudian, dari tempatnya berdiri, kudengar suara desing
yang akrab dan gemericik air jatuh ke panci. Mak Saodah meludah lagi ke panci,
sekali.

Desing dan gemericik itu belum selesai ketika mata Mak Saodah menusuk
tajam, menatapku.

Sesudah tahlilan bubar, aku duduk di samping Wak Misnah. Sambil


membantunya membagikan besek makanan, aku dipaksanya mendengar petuah
lama. Petuah ini tak masuk akal dikatakannya saat ini, tapi tampaknya bibiku
sedang ingin mengoceh tak karuan agar pikirannya tak dipusingkan persoalan.
Dua anaknya baru saja mau saling bunuh, sore tadi.

Sungguhpun hapal luar kepala, kudapati bahwa tak pernah dua ajaran ini
kupahami seperti sekarang. Pertama, bahwa ada 42 jenis gila manusia. ”Jika
hendak kau pahami semuanya, ingat-ingat saja tindak-tanduk uwakmu, Haji
Ismail almarhum.” Kedua, bahwa tempat gila manusia sudah lama terpisah-pisah.
Laki-laki sinting di jalan, perempuan di dapur. ”Itulah kenapa kalian tak pernah
paham. Jangan pula kau kira kau lebih pandai dari bibimu ini. Mati kuracun kau
nanti.”

Hidup diracun, menurutku, lebih ngeri.


Sepatu Tuhan

 
  Seorang sersan muda sedang mencegah tersangka merebut tas kecil dari
meja ketika Letnan Sardi masuk. Wibawa yang bergelantungan di pundak Sang
Letnan menghentikan keriuhan kecil di ruang interogasi tanpa sedikit pun tenaga
tersia-sia. Si Sersan melepaskan genggamannya, membiarkan tersangka merebut
dan memeluk tas itu erat-erat. Keadaan terkendali.

Letnan Sardi duduk dengan tenang dan menatap tajam ke depan. Sepotong
masa lalunya kini menggumpal di seberang meja, duduk di kursi sebagai tubuh
rikuh si tersangka. Sardi ingat.

Tersangka itu sahabatnya. Dulu. Sahabat sekaligus, diam-diam, seteru.

Dalam setiap permainan, mereka biasa saling bahu-membahu. Orang-


orang mengenal keduanya sebagai ujung tombak kembar PS. Gunung Terang.
Ujung tombak kembar yang tajam.

Sersan itu melaporkan keadaan. Mengeluhkan, lebih tepatnya. Tersangka


tak mau bicara. Segala cara sepertinya percuma. Sardi menatap penuh selidik
pernyataan anak buahnya, mencari maksud di balik pernyataan “segala cara”.

Ditatap seperti itu, Si Sersan merasa jengah. Ia beranikan diri minta pamit.
Sardi hanya bertanya, “ke mana?” untuk menyatakan sikapnya. Intonasi
pertanyaan itu terang artinya bagi Si Sersan. Permohonannya ditolak.

“Pelajari caraku menyelesaikan kasus ini.”

Sersan mematung tak jauh dari pinggir meja, menyembunyikan sikap


meremehkan yang memenuhi lambungnya. Sersan itu percaya, perbedaan
keduanya sebagai polisi hanya soal di mana pangkat tersemat. Lengan dan pundak
bagaimanapun hanya dipisahkan ketiak, tak perlulah bersikap congkak.

Letnan Sardi bukan tak dapat merasakan sikap meremehkan ini,


sebagaimana seluruh bawahannya menyimpan sikap serupa. Pagi itu, ia tak peduli,
memilih tenggelam di berkas catatan di depannya.

Asan. Laki-laki. Menikah. Wiraswasta. 29 tahun. 32, ralat Sardi diam-


diam. 3 tahun itu diambil untuk sebuah pertandingan tarkam sekota, 13 tahun
yang lalu. Waktu itu, setiap peserta harus berumur kurang dari 18. Ia tahu, sebab 3
tahun itu juga diambil darinya.

Sardi melihat ke arah cermin di sisi ruangan, ke arah bayangannya sendiri,


sebelum kembali ke Asan. Mungkin usia bekerja dua kali lebih kejam pada Asan,
ia tampak ringkih dan kering.
Kebanyakan orang tentu heran bagaimana orang seringkih ini bisa
mempunyai kekuatan untuk melakukan kekejian. Asan diduga keras adalah pelaku
pembunuhan Raman Jereng, bandar judi besar kota ini. Tangan kecilnya telah
menghantamkan batu ke tengkuk Raman, menyiramkan bensin, lalu membakar
korbannya. Visum percaya bahwa korban belum tewas ketika api menyala.

Sardi menoleh ke arah Sersan, bertanya apa isi tas tersangka.

“Sepatu bola, Pak.”

Sardi menatap Sersan lekat-lekat. Sersan sempat mengira atasannya


terheran-heran, sebagaimana dirinya tadi. Tapi mengapa Letnan Sardi tersenyum?
Apakah akademi mengajarkan untuk menutupi perasaan heran dengan tersenyum?

Sardi ingat sepatu itu.

13 tahun yang lalu, sebelum kenal tentara, Raman Jereng cuma bandar
kelas kampung. Ia masih mengotori tangannya untuk menggosok-gosok pemilu
kades atau pertandingan sepak bola.

Sore itu, seusai pertandingan pertama kompetisi tarkam sekota, Raman


datang membawa dua pasang sepatu. Sepatu pertama, yang kemudian dipakai
Sardi, sebenarnya cukup baik. Kulitnya nomor satu, jahitannya kuat, tiga garis
putih membuatnya tampak gagah. Sepatu Kaisar Bekenbewer, kata Raman.

“Sepatu ini bikin Jerman juara 74,” kata Raman. “Lu mau?” Sardi muda
mengangguk. Nantinya, keputusan ini ia sesali seumur hidup.

Raman Jereng selalu punya cerita untuk apa saja. Termasuk untuk sepatu-
sepatunya. Sepatu kedua, yang dihadiahkannya pada Asan, punya cerita lebih
seru.

“Pernah dengar tangan Tuhan?”

Raman menyodorkan sepatu kedua ke tangan Asan. Kulitnya sama nomor


satu, jahitannya sama kuat. Bedanya, sepatu itu bergambar macan kumbang
sedang menerkam. “Sedang terbang,” ralat Raman. Ceritanya belum selesai,
masih akan lebih seru.

Raman mengulangi pertanyaan yang sebenarnya tak perlu. “Pernah dengar


tangan Tuhan?” Asan berbinar-binar, tak sadar mulutnya menganga. Sardi
mengangguk berkali-kali.

“Itu sepatunya.”
Asan memandangi sepatu itu tak percaya. Sepatu yang biasa dipakainya
adalah sepatu sobek pinjaman Sardi. Salah satu sepatu terburuk dari koleksi anak
sulung juragan kopi itu. Kini ia punya sepatunya sendiri. Tak tanggung-tanggung,
sepatu Tuhan.

Sardi mengulangi kalimat yang ia dengar dari bapaknya. Komentar


mengenai betapa musyriknya julukan Tangan Tuhan. “Hensbol itu tangan Setan.”
Sardi bicara sendiri. Asan sibuk menatapi sepatu, Raman sibuk menatapi Asan.

Sepanjang kompetisi tarkam sekota, sepasang ujung tombak kembar


Gunung Terang mengamuk, demi membentang cita-cita tinggi-tinggi. 7 gol untuk
sepatu Kaisar, 13 untuk sepatu Tuhan. Begitu pun, Asan sebenarnya cukup
membuat satu gol saja. Satu yang mengatasi gabungan seluruh gol di kompetisi
ini.

Di perempat final, Gunung Terang tidak mengendurkan serangan


sekalipun sudah memimpin 1-0. Dalam satu skema serangan, posisi para pemain
tiba-tiba meniru skema gol kedua Argentina di gawang Inggris, sebulan
sebelumnya.

Dari tengah, Asan lepas sendirian. Dua rekan termasuk Sardi mengikuti
dari sayap. Asan terus menggempur. Satu pemain terlewati, lalu satunya lagi.
Pemain ketiga mengira cukup dengan bermain posisi, tapi malah kalah lari.
Pemain keempat memapasi, mengincar kaki, tapi Asan meliukkan tubuhnya
dengan ajaib. Pemain keempat ini bermaksud meniru meliuk tapi malah
kehilangan keseimbangan, terpelanting. Pemain kelima menghadang dengan
emosi tinggi, sudah terkalahkan jauh sebelum berhadapan dengan Asan. Di depan
kiper, Asan, dengan macan di sepatunya yang entah menerkam atau terbang,
menyontekkan bola ke sudut kiri. Diego Asando Maradona, 2-0, legenda
kampung kami.

Setahun setelah gol itu, Sardi mengutuk diri. 7 gol dan 5 umpan matang,
tak seorang pun akan ingat. Bagaimana mungkin? Orang-orang cuma ingat bahwa
di partai semifinal, Gunung Terang dihajar Tunas Harapan 3-0. Kalau saja Asan
main di partai semifinal, ceritanya pasti lain. Kalau saja di malam sebelumnya tak
ada pengendara motor krosboi melintas, kalau saja bukan Asan yang tersuruk di
kolam Haji Sanusi.

Sardi tak mungkin bisa memaafkan kekalahan ini. Pencari bakat dari dua
tim galatama, memasang wajah bosan di partai semifinal, mencoret sepasang
nama tombak kembar Gunung Terang dari catatan mereka. Suatu keputusan buruk
yang mengakibatkan Indonesia gagal juara dunia.

Mengubur cita-cita, Sardi mendaftar akademi polisi. Begitu pun, ini gagal
mengubur sepotong curiga. Curiga ini terlalu meyakinkan.
Di sore sehabis gol istimewa Asan diciptakan, Raman datang, khusus
mencari Asan. Keduanya bercakap di pojokan, sembunyi-sembunyi. Dalam
percakapan itu, wajah Asan cepat berubah dari senang menjadi tegang, lalu cemas
dan ketakutan.

Malam harinya, jendela kamar Sardi diketuk dari luar. Itu ketukan Asan.
Sebentar kemudian mereka mengendap melintasi malam menuju rumah Raman
Jereng. Di akhir perjalanan pulang, alasan Asan mengembalikan sepatu Tuhan tak
juga terang. Sepanjang jalan Asan tak bersuara. Sekali-kalinya ia bicara, hanyalah
ketika mereka berpisah. Itu pun semakin tak menerangkan apa-apa.

“Aku tak punya sepatu lagi.”

Sardi berjanji meminjamkan salah satu sepatunya.

“Yang biasanya saja.”

Sardi mengangguk.

Sepatu itu tak jadi dipinjamkan, sebab besok malamnya Asan ditabrak lari.
Penanganan rumah sakit yang buruk menghentikan karier sepak bolanya.
Persahabatan kedua ujung tombak itu juga turut surut. Asan selalu menghindar.

Tak lama sesudah sembuh dan menerima takdir kakinya pincang, Asan
bekerja untuk Raman. Lebih tepat, Raman datang menawarkan pekerjaan. Setelah
itu, 13 tahun jalan bergegas, tentara mengubah Raman menjadi bandar kaya, tapi
tentu tidak jongos-jongosnya.

Asan menikah, sebentar. Istrinya kabur dengan seorang penyanyi dangdut,


bukan dari Asan yang sudah mengecewakan sejak minggu pertama, tapi dari
seorang anak laki-laki hiperaktif hasil pernikahan mereka. Anak laki-laki itu kini
seusia putra Sardi. Keduanya kini sudah tergila-gila bermain bola.

13 tahun, pikir Letnan Sardi. Kenapa terlalu lama?

Seperti 13 tahun terakhir, kini pun Asan menghindarinya. Ia menunduk.


Mereka berdua duduk berhadapan, namun tak akan ada seorang pun yang mampu
mengendus gelagat lembut bahwa keduanya saling mengenal. Apalagi mengendus
bahwa keduanya sempat berpapasan dalam kesempatan yang lain, sebelum ini.
Seminggu lalu, di pinggir suatu lapangan sepak bola, menonton pertandingan dua
kelompok bocah, keduanya duduk berdekatan. Tidak, tidak seorang pun bisa
menduga. Tak seorang pun akan mengetahui, sebab bahkan Sardi dan Asan telah
berjanji untuk melupakan perjumpaan ini.

Kesempatan, cetus Sardi dalam hati, menjawab pertanyaannya sendiri.


Itulah alasannya. Setiap dendam butuh waktu. Tentu, tak salah lagi. Sardi telah
bergumul dengan para kriminal, ia paham watak dasar mereka. Keliru jika
memandang mereka sekadar mengandalkan urat nekat. Kriminal tertangguh
adalah mereka yang paling bisa menciptakan kesempatan. Bukan, bukan sekadar
kesempatan untuk melakukan kejahatan. Paling penting adalah kesempatan untuk
merancangnya. Raman Jereng sadar benar tentang ini.

Bandar judi itu cukup licik untuk merawat Asan, terutama karena ia tahu
pada gilirannya kejahatannya akan terungkap. Raman bersiasat, jika akhirnya
Asan mendapati bahwa kecelakaan di kolam Haji Sanusi terjadi atas perintahnya,
pengawasan ketat akan mencegah Asan membalas dendam. Berada dalam kendali
berarti mempersempit kesempatan Asan merancang apa pun bagi diri sendiri.
Sempit kesempatan sempit pula keberanian. Itulah resepnya.

Resep yang baik, pikir Letnan Sardi, tapi belum tentu manjur. Bagaimana
jika ada orang lain, peristiwa lain, yang memungkinkan suatu kesempatan tercipta.
Raman Jereng bisa saja terus mengawasi Asan, tapi ia tidak bisa mengawasi
semua hal. Ia tidak bisa memasukkan semua orang ke dalam kantongnya. Ia bisa
berusaha, tapi luas kantong ada batasnya.

Sardi membayangkan wajah Raman ketika terkejut mendapati api menjalar


di atas kulitnya. Apakah ia mempunyai kesempatan berteriak?

Asan duduk dengan kepala terus menunduk. Apakah sahabat kecilnya itu
sempat ragu? Apa kini ia menyesal? Ia tampak resah. Ya, seharusnya ia menyesal.
Penyesalanlah yang membedakan antara dirinya dan kriminal semacam Raman.
Yang membedakan kita dengan dia, kata Sardi diam-diam. Menjalankan
kesempatan bisa berarti berkhianat pada hati kecil.

Hati kecil, ia tahu banyak tentang hal ini. Usaha kopi bapaknya tidak
begitu baik ketika ia didaftarkan ke akademi polisi. Padahal, harga sogok
menyogok begitu tinggi. Semenjak itu, hidupnya tergadai. Mungkin bahkan sejak
sebelumnya. Sejak sepatu Kaisar diterimanya. Raman Jereng tak merasa cukup
dengan bekingan tentara, ia ciptakan pula kesempatan antara dirinya dan seorang
calon polisi muda dari Gunung Terang.

Raman Jereng dan seluruh kesempatan-kesempatan yang diciptakannya,


semua pantas mati. Sardi tak bisa membayangkan berapa banyak orang
terselamatkan, berapa banyak kesempatan kejahatan terbungkam.

Sardi tersenyum, menyimpulkan. Tak ada akhir yang paling tepat bagi
seorang penjahat selain mati di tangan senjatanya sendiri. Dua buah senjata yang
memakan tuannya sendiri. Adapun jika orang lain menyangka satu, itu tak lain
karena kebanyakan orang cenderung lebih mengingat siapa yang bikin gol. Sardi
telah berdamai dengan dirinya sendiri. Tak ada buruknya memberi umpan matang.
Lagipula Kaisar memang dikalahkan Tuhan di Meksiko 86.
Letnan Sardi bersiap mengenyahkan kasus ini dari hadapannya. Ia
menoleh ke arah sersan, bertanya “Sudah paham?”

Sersan menggeleng, terheran-heran. Apa yang bisa dipahaminya,


dipelajarinya? Sejak tadi Letnan Sardi hanya membaca.

“Itulah yang membuat kau sersan dan aku letnan. Motif, buruh yang
tertindas, majikan yang kejam, buruh balas dendam. Sederhana. Bukan
pembunuhan berencana. Laki-laki ini terlalu pengecut untuk itu.”

“Bensinnya, Pak?”

“Baca lagi arsipnya.”

“Sepatunya?”

“Ini bukan cerita detektif. Kecuali kalau kau menganggapnya begitu.”

Sersan menggeleng, lemah.

Letnan Sardi, menenteng tas kecil, berjalan santai ke arah tempat parkir
mobilnya. Di dalam mobil, dua orang bocah tersenyum riang menyambutnya.
Bocah laki-laki yang duduk di depan, ini putranya. 7-8 tahun lagi ia akan
merajalela dengan sepatu Kaisar. Bocah yang duduk di belakang, anggota baru
keluarganya, masih sering terselip lidah memanggilnya dengan sebutan Oom,
bukannya Ayah.

“Ini dari bapakmu.” Putra angkatnya menerima tas itu dengan canggung,
tak berani membukanya.

“Apa isinya?” Sergah putranya sendiri, penasaran.

“Pernah dengar tangan Tuhan?”

Keduanya menggeleng.

Sepanjang jalan, Letnan Sardi bercerita tentang Piala Dunia 86. Satu gol
terkenal Maradona adalah gabungan dari sedikit kerja kepalanya dan sedikit kerja
tangan Tuhan, tapi itu belum seberapa. Di perempat final, Asan, sahabatnya,
melewati lima pemain sebelum menundukkan Peter Shilton. Di semifinal mereka
dikalahkan PS. Tunas Harapan 3-0. Tak apa. Setiap cita-cita berhak mendapatkan
kesempatan kedua, sebagaimana Indonesia berhak juara dunia.

“Gol kedua itu, ini sepatunya.”

ugoran prasad (18 November 2007)


Hantu Nancy

Kebon Sawah dipaksa mengingat, pernah di salon itu, duduk di depan meja rias
dan menemukan bayanganmu sendiri artinya kamu akan segera ditangani. Nancy
akan menghampirimu, berdiri di belakangmu, embus napasnya lembut mencapai
tengkukmu. Setelah Nancy mati, Zulfikar masih duduk di sana, menunggu embus
napas mencapai tengkuknya sebab yakin gilirannya pasti.

Pasti sebab pembantaian Nancy terlalu mengerikan, kematiannya terlalu keji.


Lima orang memberangusnya, mengikatnya di kursi tempat pelanggan salon
biasanya duduk. Dari kursi itu Nancy bisa menemukan bayangannya sendiri.
Sehari-hari cermin di hadapannya biasa memantulkan berangsur wajah para
pelanggan menuju kecantikan, malam itu berangsur wajahnya menuju kematian.
Dua di antara lima pemberangus mencukur rambutnya serampangan. Satu yang
lain menyumpalkan potongan-potongan rambut ke mulut Nancy dan satu terakhir
sekadar menutup hidungnya. Nancy sempat kelojotan, sebentar. Ketika rambut di
kepalanya habis, Nancy mampus. Bedah otopsi kemudian membuktikan bahwa
Nancy kehabisan napas, versi yang lebih simpatik akan lebih menggarisbawahi
kemungkinan Nancy mati karena tak sanggup melihat wajahnya sedemikan buruk.
Tersumpal rambut, mulutnya terbuka lebar, seperti terbahak. Rautnya merot-perot,
matanya melotot, nyalang dan ngeri. Zulfikar, pemberangus kelima, di pojokan,
gemetaran. Melihat bangkai Nancy, penyesalan Zulfikar tak tertanggungkan.
Seribu kali kematiannya tak mungkin impas mengganti sekali kematian Nancy.

Sesungguhnya tak butuh penyelidik tangguh untuk membongkar kejahatan ini tapi
di Kebon Sawah beberapa kejahatan memang terjadi bukan untuk dipecahkan.
Lupa selalu bisa diandalkan, tak pernah mengecewakan. Untunglah, bisik-bisik
hantu Nancy terembus.

Ada tidaknya hantu Nancy akan tetap menjadi misteri sampai akhir cerita ini,
terutama karena semua orang yang pernah bertemu dengannya tak lagi bisa
ditanyai. Satu hal yang bisa dipastikan, beberapa orang telah dibunuh menyusul
Nancy. Untuk mengikis sebagian penasaran, ada baiknya kita mulai dari suatu
Rabu sore, tepat sebelum kemunculan pertama hantu Nancy.

***

Hampir seminggu setelah Nancy dibunuh, hampir seminggu pula Zulfikar


menghilang. Sulaiman Badik menyuruh Ahmad Senin mencarinya, santun
memerintahkan agar Senin mencari tahu apakah Zulfikar sedang sakit atau
membutuhkan sesuatu. Senin berjalan ke rumah Zulfikar bersiap menemukan
keadaan terburuk dan bertindak.

Zulfikar bukan anggota komplotan Leman Badik. Ia kelas teri, nyalinya tipis,
kejahatannya paling cuma maling. Hanya karena Zulfikar pelanggan setia salon
Nancy, ia diajak serta. Kuda troya, kata Leman, apa pun itu artinya. Anak buah
Leman sejak awal bersiaga, siap menutup mulut Zulfikar kalau-kalau mentalnya
kecut.

Ditemukan di rumah ibunya, Zulfikar jongkok di dekat sumur, memandangi


cacing tanah. Ketika Senin ikut jongkok dan mengajak bicara, ia menyahut
dengan kalimat yang tampaknya disusun tanpa akal sehat.

”Ini tadi cacing ini tadi mati tadi, Nin.”

Kalimat berikutnya, setelah jeda cukup lama, melompat.

”Senin, lu punya duit? Gua mau cukur,” satu tangannya memainkan ujung rambut
panjangnya, sebelum mendadak menadah seperti pengemis. Senin, mungkin iba,
merogoh kantongnya lalu menyorongkan selembar lima ribuan.

Zulfikar melipat uang itu dengan riang. Setengah bergurau, Senin bertanya di
mana Zulfikar bercukur, mengingat Nancy sudah mati.

Wajah girang Zulfikar tiba-tiba lenyap.

”Nancy mati, Nin?” Zulfikar terlihat sungguh-sungguh, tawa Senin hampir


meledak. Senin memutuskan mengangguk. Senin tahu jenis orang yang mudah
patah, dan Zulfikar pastilah salah satunya. Setengah iba, ia menyimpulkan bahwa
Zulfikar tak berbahaya, seperti potongan cacing di depan mereka.

Setelah menepuk-nepuk punggung Zulfikar, Senin beranjak. Sempat membatin


laporan untuk bosnya, langkah Senin terhenti begitu mendengar kalimat Zulfikar
kemudian.

”Kasihan pembunuh-pembunuh Nancy itu, Nin.”

Membalik badan, Senin bertanya kenapa.

”Aku mimpi ketemu Nancy. Dia bilang mau balas dendam.”

Wajah Zulfikar begitu serius namun malah begitu tolol. Pertahanan Senin jebol, ia
tertawa sampai tersedak.
Besok paginya, setelah semalaman menertawai kegilaan Zulfikar bersama
komplotannya, Senin ditemukan di kamar yang terkunci dari dalam. Mati
tersumpal rambut, ia melotot.

***

Hampir genap empat minggu setelah kematian Nancy, Rabu selepas maghrib,
Leman Badik duduk di pinggir kolam ikan di belakang rumah Sudirja, Lurah
Kebon Sawah. Sudah tiga anak buah Leman mati berturut-turut, tiga Rabu malam
terakhir. Sudirja di telepon tadi siang gagal menyembunyikan gelisah suaranya.

Leman Badik selalu mengira ketakutan ampuh menggerogoti sembarang orang,


selain Sudirja. Duduk di sisinya, menghadapi pancing tanpa umpan, Sudirja
tampak kosong, lemah. Lima minggu yang lalu, persis di tempat yang sama,
Sudirja memerintahkan padanya untuk menghabisi Nancy. Saat itu suara
majikannya pelan namun penuh percaya diri. Menyingkirkan perasaan cinta yang
mendalam pada Nancy, raut Sudirja tak terlihat sedikit pun gundah.

Leman telah menjadi tukang pukul Sudirja sejak sepuluh tahun terakhir,
menyaksikan berbagai kebusukan tuan tanah itu. Sejak tiga tahun yang lalu, gara-
gara Nancy, untuk pertama kalinya Sudirja terjebak selangkangannya sendiri.
Nancy seperti tahu sudut-sudut Sudirja yang paling lemah, mengolahnya,
meracuninya, membuatnya ketagihan, kesetanan.

”Saya gak percaya ini kerjaan setan,” cetus Leman, menyergah pikirannya sendiri.

Persis ketika Leman mengucap ”setan”, pancing di tangan Sudirja lepas. Leman
mencium kerusakan yang parah, jenis yang tak mungkin terobati. Tercetus dalam
pikirannya, waktunya tak lama lagi untuk mencari majikan pengganti.

Sejurus kemudian keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Menekuni


pembunuhan beruntun lima minggu belakangan, arah pikiran keduanya tak
beririsan. Leman percaya ini perbuatan manusia, kemungkinan besar musuh-
musuh di pemilihan lurah tahun lalu, sekurangnya-kurangnya karena dua alasan:
pertama, karena ini dipastikan oleh dukun langganannya dan, kedua, dukun itu tak
pernah mengecewakannya. Sementara itu, pikiran Sudirja dipenuhi Nancy
berkepala gundul dengan mata melotot dan mulut dipenuhi rambut yang datang
setiap Rabu malam. Nancy akan mencapai dirinya, tak lama lagi.

Pertengkaran terakhir keduanya terngiang. Saat itu, Sudirja tegas menolak


permintaan Nancy. Kekasihnya itu mengancam membeberkan hubungan gelap
mereka, biar orang kampung tahu siapa Lurah Sudirja sesungguhnya. Sudirja
mengancam akan menghabisi Nancy, menegaskan bahwa cara semacam itu bukan
pula yang pertama untuknya. Nancy balas menantang, mengancam akan bangkit
dari kubur dan membalas dendam jika ia benar-benar dibunuh.
Mencintai Nancy justru karena apa adanya, tak kurang tak lebih, Sudirja tak
mungkin mengubah keputusannya. Mengabulkan permintaan itu sama dengan
kehilangan Nancy selamanya, sama dengan membunuhnya. Sudirja ingat, saat itu
ia sekadar melakukan yang biasanya ia lakukan jika merasa terdesak. Kini Rabu
malam menjelang dan Sudirja menyesal sekadar menganggap angin ancaman
Nancy. Semua sudah terlambat, ia yakin kematiannya sudah dekat.

Dari tempat duduknya, Leman bisa mencium ketakutan majikannya tapi


bergeming. Malam nanti hantu Nancy bahkan boleh saja datang untuknya.
Silakan. Anak buahnya tolol, kalah sebelum perang, itulah alasan kematian
mereka. Hantu Nancy hanyalah akal-akalan manusia.

Tak diketahui apakah sempat Leman melawan dengan gagah. Esok paginya, ia
ditemukan mati melotot melihat ngeri.

***

Dua malam Rabu setelah Leman, hantu Nancy mengambil dua lagi. Warga
kampung mulai terbuka matanya, setelah Supriningsih, istri lurah, mati, dan lalu
berani mengambil kesimpulan, setelah seminggu berikutnya giliran Sudirja. Bisik-
bisik bahwa Lurah Kebon Sawah berhubungan gelap dengan Nancy, sekalipun
sempat susah masuk akal, kini sulit dibantah lagi. Sudirja mati melotot dengan
mulut tersumpal rambut, seperti istrinya, seperti seluruh komplotan Leman.
Semuanya pastilah berhubungan.

Orang-orang berpikiran paling jernih di Kebon Sawah saling menggenapkan


dugaan masing-masing, menyimpulkan bahwa latar pembunuhan Nancy adalah
kecemburuan istri Sudirja dan atau ancaman buka mulut Nancy. Kedua latar ini
mendorong Sudirja bertindak sedemikian keji. Menurut musuh-musuhnya,
kekejian semacam ini bukan yang pertama bagi Sudirja. Mengenai betul tidaknya
bisik-bisik bahwa pelaku balas dendam Nancy adalah arwah penasaran, tetua
kampung menganjurkan warga mendekatkan diri pada Tuhan. Anjuran ini tak
terlalu menenteramkan, terutama karena sudah setiap malam dalam enam minggu
terakhir ini warga bertahlil dan dalam mengaji Yasin sebagian telah kehilangan
kekhusyukan.

Sekalipun kesimpulan sudah diambil, tak satu pun warga memperkirakan bahwa
dibutuhkan satu kematian lagi sebelum keadaan kembali tenang dan lupa mulai
bisa diamalkan.

***

Rabu malam ketujuh setelah kematian Nancy, pintu salon miliknya dibuka paksa.
Keadaan remang dan angker tak mencegah Zulfikar menemukan kursi di depan
cermin di mana Nancy melihat dirinya sendiri terakhir kali.
Zulfikar duduk di kursi, dan berkat lampu jalan yang menerobos masuk ke salon
itu, ia bisa menemukan bayangannya sendiri. Zulfikar menunggu.

Sebentar kemudian, penantiannya berakhir. Di cermin itu kini bisa ia lihat, Nancy
berdiri di belakangnya.

Sejak mati Nancy semakin cantik, bukan setan gundul melotot dengan mulut
tersumpal rambut seperti perkiraan orang. Rambutnya utuh, hitam tergerai
panjang dan lebat, sangat terawat, persis sebagaimana yang Zulfikar ingat.
Matanya tenang, menatap Zulfikar penuh sayang. Pakaiannya tipis menerawang.
Zulfikar melihat ke dada Nancy dan terharu, sekali lagi. Kematian telah
memberikan pada Nancy apa yang hanya bisa ia impikan semasa hidup. Sepasang
dada yang mengkal, bukan tambalan potongan gombal. Wajah Nancy demikian
halus dan cantik. Seperti janjinya pada Zulfikar dulu, jika operasi penanaman
payudaranya berhasil, Nancy akan membiarkan kumis dan cambangnya tumbuh
dengan anggun. Sungguh Zulfikar tak pernah mengira sedikit pun bahwa kumis
dan cambang bisa membuat seseorang demikian cantik.

Zulfikar berandai-andai, jika saja Sudirja bisa menghargai kecantikan yang


diangankan Nancy, tak sulit mengabulkan permintaannya. Sayang, lurah itu kuno.
Zulfikar terus berandai-andai, jika saja ia kaya, bukan maling sekadarnya, tentu
lain cerita. Terus ia menatapi Nancy di cermin, terus tak berhenti jatuh cinta lebih
dari sebelumnya.

Zulfikar ingin bersuara tapi lidahnya kelu. Ia selalu ingin menjelaskan semuanya,
kenapa ia mau jadi kaki tangan Leman, kenapa ia terlibat pembunuhan orang yang
paling dicintainya. Zulfikar selalu urung karena ia yakin Nancy tak akan mengerti.
Nancy tak akan bisa menakar cinta Zulfikar, betapa dalam sehingga jika ia tak
bisa mendapatkan Nancy, tak seorang pun boleh bisa. Nancy demikian cantik.
Jika Sudirja tak mewujudkan keinginannya, masih banyak orang kaya yang bisa.

Di cermin, Nancy tersenyum padanya. Zulfikar tahu saatnya sudah dekat. Ia telah
mematuhi seluruh perintah Nancy tapi masih ada satu lagi. Dengan tenang,
Zulfikar mulai memotong rambutnya sendiri, meletakkan potongan-potongan
rambut itu di pangkuannya. Senyum Nancy semakin mengembang,
menyemangatinya. Tak berapa lama rambut di kepalanya mulai tercukur habis.

Ia melihat ke pangkuannya sendiri, puas dengan hasil kerjanya. Menatap ke arah


bayangan Nancy penuh pembuktian diri, satu tangan Zulfikar mulai memasukkan
rambut-rambut itu ke dalam mulutnya, satu tangan yang lain ia gunakan menutup
hidungnya. Nancy tersenyum, semakin cantik.

***

Butuh waktu lama agar Kebon Sawah lupa. Dua tahun setelah kematian Nancy,
tak satu pun salon baru berdiri. Warga harus pergi ke kampung sebelah atau ke
pusat kota untuk bercukur dan didandani. Kerepotan kecil ini memaksa mereka
mengingat delapan kematian beruntun di Kebon Sawah.

Warga masih terbelah sikap, sekalipun polisi sudah berusaha menenangkan,


mengatakan bahwa Zulfikarlah pelaku di balik kematian enam orang,
sebagaimana ditunjukkan jejak sidik jarinya, sebelum akhirnya bunuh diri. Sulit
memaksa warga mendapatkan tenang, bukan semata-mata karena pembunuhan
Nancy tak pernah terungkap terang. Mayat Zulfikar, setelah lenyap saat
disemayamkan di masjid, sampai sekarang tak pernah ditemukan.

Dua bulan yang lalu seseorang bernama Siska datang, mendirikan salon persis di
bekas salon Nancy. Mula-mula tak seorang pun mengunjunginya. Keadaan mulai
berubah sejak Siska berjanji untuk membakar semua rambut yang dipotongnya.
Tetua kampung, sekalipun sempat khawatir dengan kedatangan Siska, urung
cemas begitu melihat pemilik salon itu. Berbeda dengan Nancy yang cantik, Siska
berwajah buruk, lipstik merah di bibirnya dikelilingi kumis dan janggut.
Keburukan itu, anehnya, tak sempat mengingatkan mereka pada wajah seseorang
yang demikian akrab. Di balik celemong make-up dan semrawut cambangnya,
mudah didapati betapa wajah Siska begitu mirip dengan Zulfikar.

Sampai kisah ini dituliskan, tak seorang pun warga pernah menghubungkan
kemiripan keduanya, bahkan tidak juga pada sekadar obrolan ringan. Lupa rupa-
rupanya bukan suatu cara bertahan yang bisa diwujudkan sekenanya, gotong
royong dibutuhkan agar semuanya berjalan sesuai rencana.

Begitupun, ingatan masih penasaran: mampirlah, di kampung itu kamu selalu bisa
menghirup bau rambut terbakar.

Anda mungkin juga menyukai