Anda di halaman 1dari 28

Suara gemericik hujan terdengar sangat riuh diiringi dengan gemuruh petir yang

menggelegar seakan menambah mencekamnya suasana sore hari ini. Sementara itu aku tengah
terduduk diam memaku sembari menanti sang hujan berhenti membasahi bumi ini.

kriiing, kriiing...”, ponselku berbunyi

“Assalamualaikum Mey”, ucapku

“Waalaikumsalam, Fan kamu dimana sekarang? Kok belum pulang?”

“Aku lagi berteduh , disini hujan deras banget tau, aku juga lupa engga bawa jas hujan” ,
ucapku

“Ya ampun, kasian banget kamu”’

“Oiya , Kahfi lagi apa sekarang?”,

“Kahfi lagi tidur, daritadi dia nanyain kamu terus tau”,

“Oh yaudah, nanti setelah hujan agak reda aku langsung pulang ya”

“Iya, kamu hati-hati ya dijalan nya, inget ada aku dan Kahfi yang lagi nungguin kamu”, ucap
Meysa

“Iya sayang pasti aku hati-hati kok , yaudah aku tutup ya telpon nya”, Panggilan diakhiri

*****

THE GATES HAS FALLEN


BOOK 1
MUHAMMAD MAULANA J.F

*****
CHAPTER I
DIA YANG TERPILIH

Singkat cerita,

Aku telah tiba di halaman depan rumahku dengan keadaan sedikit basah.

“Assalamualaikum”, Ucapku seraya mengetuk pintu

1
“Waalaikumsalam, astaga kamu terobos hujan?”, tanya Meysa begitu melihat keadaanku

“Iya, soalnya hujan engga berenti total, jadi ya aku terobos aja daripada nanti keburu
malem kan”, jawabku

Aku segera melangkah masuk guna membersihkan tubuhku dari kotoran jalanan yang menempel.

“Kamu belum makan lagi kan?”, tanya Meysa setelah melihatku selesai berpakaian dan
menghampirinya

“Iya belum, aku sengaja engga makan diluar”,

“Lho kenapa emang”,

“Kan di rumah udah ada perempuan cantik yang selalu masak buat aku", ucapku disertai
dengan pelukan mesra kepada Meysa

Oh ya, aku dan Meysa telah menikah , pernikahan kami telah memasuki tahun kelima , dan kini telah
hadir malaikat kecil yang hadir melengkapi keluarga kecilku.

Aku dan Meysa tinggal di rumah sederhana hasil keringatku menabung, memang tidak mewah
namun kesederhanaan ini rasanya nikmat sekali jika dijalani bersama dengan penuh rasa syukur.

“Kahfi kemana Mey? Kok aku daritadi engga liat dia?”, tanyaku keheranan

“Kahfi tadi diajak Caca main kerumah ibu, katanya ibu kangen”,

“Oh gitu, yaudah setelah makan kita ke rumah ibu ya, sekalian kita main atau perlu
menginap disana”, tuturku

Aku kemudian menikmati makan malam ditemani oleh Meysa, namun tiba-tiba muncul perasaan
tidak enak dalam benakku seperti akan ada sesuatu hal buruk yang akan segera terjadi. Aku
berusaha untuk tetap tenang dan mencoba menutupi tentang perasaan yang tengah aku rasakan.
Namun batin seorang istri begitu kuat dan tak mudah untuk di kelabui.

“Fan, kamu kok bengong”, tanya Meysa sejenak menghentikan suapan nya

“Oh gapapa kok,” , aku tersenyum

“Kamu jangan bohong, aku tau ada sesuatu yang sedang berusaha kamu tutupi, apa itu
Fan?”, desak Meysa

“Kok tiba-tiba perasaan aku engga enak ya, seperti akan ada hal buruk”,

“Apa yang kamu rasain Fan?”,

2
“Entahlah, mungkin hanya firasat aja Mey” , aku kembali melanjutkan suapanku yang
sempat terhenti

“Kamu jangan sering ngelamun ya Fan”,

“Iya Insha Allah , o iya malam ini kita tidur di rumah ibu aja ya”,

“Yaudah kalo itu mau kamu aku nurut aja”, Meysa tersenyum manis.

Selama pernikahan kami, baru kali ini aku merasakan firasat buruk sekuit ini. Dan biasanya firasatku
selalu saja menjadi kenyataan, itulah yang aku takutkan saat ini.

“Ya Allah lindungilah hamba dan keluarga kecilku dari segala macam hal buruk yang
mungkin akan menimpa hamba dan keluarga hamba”, doaku dalam hati.

*****

Singkat cerita aku telah tiba di kediaman ibu.

“Bu, malam ini Irfan tidur disini ya”, ucapku kepada ibu yang tengah bermain dengan Kahfi

“Iya Fan, kan ini rumah kamu juga, ngapain harus izin segala”, jawab ibu

“O iya bu, Irfan mau bicara sesuatu sama ibu”,

“Ada masalah apa Fan? Tentang rumah tangga kalian ya?”, tanya ibu

“Bukan bu, Irfan ngerasain firasat buruk yang kuat banget, Irfan takut bu. Ibu kan tau kalo
apa yang menjadi firasat Irfan kebanyakan selalu menjadi kenyataan”, tuturku

“Astaghfirullah, kamu jangan banyak melamun Fan, perbanyak istighfar dan jangan
tinggalkan shalat juga”,

Ku lihat Meysa menatapku dengan penuh kekhawatiran di raut wajah nya.

“Yaudah, kalian istirahat aja dulu kasian Kahfi takut udah ngantuk kan”, tutur ibu

Aku dan Meysa kemudian berlalu menuju kamar untuk mencoba memejamkan mata dan sesegera
mungkin tertidur.

Selam pernikahan kami tak pernah sekali pun ada pertengkaran yang terjadi, perbedaan pendapat
wajar terjadi, namun kami selalu menyikapinya dengan dewasa.

**

Dalam tidurku, tiba-tiba saja aku telah berada di sebuah persimpangan jalan. Sejauh mata
memandang hanya terlihat hamparan ilalang dan rumput-rumput kering, tak ada kendaraan
melintas ataupun seseorang yang melewati jalan ini.

3
Dalam keadaan bingung aku terus berjalan menyusuri hamparan ilalang dan membuatku perlahan
semakin dekat dengan persimpangan jalan itu. Tak lama kemudian aku kembali di hampiri oleh sosok
kakek tua yang sudah lama sekali tidak pernah datang lagi ke dalam mimpiku ini.

“Kakek, kenapa lama sekali tidak pernah menemuiku?, tanyaku dengan penuh antusias

“Tidakkah kamu lupa? bahwa aku hanya datang ketika kamu memang sudah sangat
membutuhkanku”, jawab kakek itu dengan senyuman

“Maksud kakek?, tanyaku lagi

“Kamu sedang merasakan ketakutan dan kekhawatiran bukan?”,

“Betul kek, lalu apakah kakek tau apa yg selanjutnya akan terjadi?”,

“Nak, aku bukan tuhan dan juga bukan malaikat, mana mungkin aku dapat
memberitahukanmu apa yang akan terjadi setelah ini”, ucap kakek itu yang langsung membuatku
terdiam sembari menundukkan kepala.

“Lalu, apa arti dari mimpi ini kek? Apa arti dari tempat ini? Kenapa saya ada disini? Apakah
persimpangan ini adalah sebuah pilihan yang kembali harus saya pilih kek?”, kembali aku bertanya

“Ya,bisa jadi itu adalah pertanda bahwa di kemudian hari engkau akan kembali di hadapkan
dengan suatu pilihan yang teramat berat bagimu, tapi tentang apa dan tentang siapa, aku tak
dapat memberikan petunjuk apapun padamu untuk saat ini”,

Aku hanya kembali tertunduk mendengarkan penuturan nya, dalam benakku penuh dengan tanda
tanya tentang pilihan apa lagi yang akan datang menerpa diriku, aku sangat lelah dengan semua ini,
kenapa hidupku selalu saja dipenuhi dengan pilihan-pilihan yang membuatku seakan berfikir bahwa
aku tak akan pernah bisa memiliki sesuatu seutuhnya.

“Tapi mungkin aku bisa memberikanmu sedikit petunjuk”, ucap kakek itu yang membuatku
merasa seperti mendapatkan secercah harapan atas kebingunganku ini

“Dengarkan baik-baik, aku hanya bisa memberitahumu bahwa kamu bisa memilih untuk
melangkah lurus, berbelok ke kanan atau pun ke kiri, dan kamu juga masih bisa memilih untuk
kembali melangkah ke tempat mu sebelumnya berdiri, semuanya bisa kamu pilih tergantung
kemana hatimu menuntun. Karena aku pun tak tau apa yang ada di balik persimpangan jalan itu.”

“Hanya itu saja kek?”,

“Ya, hanya itu yang bisa aku beritahu padamu. Dan tentang mimpi-mimpimu sebelumnya,
kamu sudah hampir berhasil untuk membuat sungai keruh mu perlahan menjadi jernih kembali.”

Setelah mengatakan itu, dia pun kembali melangkah perlahan menjauhiku yang masih berdiri
tertegun memikirkan tentang segala penuturan nya.

4
“Oh ya, sekali lagi aku ingatkan padamu bahwa kamu bisa memilih untuk melangkah
kembali ke belakang, ingatlah nak bahwa hidup adalah tentang sebuah pilihan”, Ucapnya sebelum
benar-benar menghilang dari pandangan.

Mataku terbuka secara perlahan, dan aku sadari bahwa aku telah tersadar dari mimpi ku tadi, segera
aku tatap Meysa dan Kahfi yang ternyata tertidur dengan sangat pulas nya. Ku kecup kening mereka
berdua yang menunjukkan betapa sayangnya aku pada Meysa dan Kahfi.

“Fan, kamu engga tidur?”, ucap Meysa dengan nada lirih

“Aku baru aja bangun Mey”, jawabku dengan senyuman

“Emang sekarang jam berapa Fan?”,

“Sekarang baru jam setengah empat kok”, jawabku seraya melihat ponselku

“Yaudah, kita shalat tahajjud yuk”, ucap Meysa seraya memelukku

**

Pagi menjelang, selepas , menunaikan ibadah shalat tahajjud dilanjutkan dengan shalat subuh, baik
aku dan Meysa tak dapat kembali tertidur. Meysa sibuk dengan kegiatan nya membantu ibu dalam
mengurus rumah, sedangkan aku asyik bermain dengan buah hati ku. Hari ini memang hari liburku,
hari dimana aku selalu menghabiskan waktu luang bersama dengan keluarga kecilku.

“tok...tok...tok, assalamualaikum”, terdengar suara seseorang yang akan bertamu, dan aku
segera bergegas untuk membukakan pintu dengan Kahfi yang masih aku gendong.

“Waalaikumsalam, eh kamu An”, ternyata Andi yang datang ke rumahku

“Eh elu Fan !”, balas Andi

“Eh kamu An !”, balasku lagi

Persahabatanku dengan Andi tetap selalu hangat dan penuh dengan kekonyolan serta tingkah kami
yang masih saja tidak berubah satu sama lain jika sedang bersama, meskipun kami sama-sama telah
berkeluarga dan usia yang bisa dibilang sudah tak lagi muda, itu tidak dapat menghalangi
keharmonisan persahabatan kami.

“Wah Kahfi sudah besar ya, sini tante yang gendong, biarin papa nya sama om Andi”, Sindi
menyela candaanku dengan Andi seraya mengambil Kahfi yang sedari tadi aku gendong.

Sindi melangkah masuk ke dalam rumah seraya menggendong Kahfi, sedangkan aku dan Andi duduk
di gardu depan rumahku, gardu yang menjadi saksi persahabatan kami sedari kecil hingga saat ini,
meskipun rumah sederhana ku telah mengalami beberapa kali renovasi, namun gardu tua ini tetap
aku pertahankan keberadaan nya.

5
“Lu apa kabar Fan”?, tanya Andi sembari menyalakan sebatang rokok

“Saya alhamdulillah baik An, o iya kalian kesini berdua terus siapa yang jagain toko kamu?”

Andi dan Sindi memang memiliki sebuah usaha berupa toko kelontong, sedangkan aku masih
berkutat dengan profesiku sebagai seorang guru dan juga membuka les pripat di luar jadwalku
mengajar. Dalam benakku terkadang merindukkan kebersamaanku dengan Andi dan yang lain nya
disaat kami masih berprofesi sebagai fotografer alam, kemana pun kami pergi sealalu bersama dan
tak ada kekosongan di hatiku karena canda tawa mereka.

“Oh itu,tenang aja Fan ada adik ipar gue kok”, jawab Andi

“Lah, terus anak kamu kenapa engga di ajak?”, tanyaku lagi

“Dia gak mau ikut Fan, semenjak di kasih hp ya kayak gitu jadi game terus mainan nya”,

“Kamu pantau nilai sekolahnya?”,

“Untuk nilai sekolah sih gak buruk-buruk banget, untuk anak kelas satu segitu ya udah
lumayan”,

“Oh syukurlah dia nurunin IQ emak nya ya”, ucapku meledek

“Lah, emang gue sebodoh itu di mata lu?”, Andi mengerutkan dahi

“Yaaaaa, begitulah hahahaha, becanda An”, aku tertawa

Tapi tiba-tiba aku kembali memikirkan tentang firasat burukku ditambah dengan mimpi yang aku
alami semalam, itu seketika kembali membuatku murung dan tidak bergairah, aku terdiam sesaat
dalam percakapan kami.

“Lu mikirin apaan Fan?”, tanya Andi seolah bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang
mengganggu fikiranku.

“Ada sesuatu yang saat ini mengganjal dan mengganggu fikiran saya An”,

“Mengganjal gimana maksud lu?”,

“Saya merasakan firasat buruk tentang suatu hal yang akan terjadi”,

“Terus, lu udah punya gambaran tentang hal buruk apa itu?”,

“Itu masalah nya An, dan justru itu yang jadi fikiran saya. Dan kamu tau sendiri kan dari dulu
jika saya merasakan firasat buruk, kemungkinan besar pasti terjadi”.

“Iya juga sih, berarti lu harus lebih waspada dan bersiap dengan kemungkinan terburuk
yang bisa aja terjadi kan”,

6
“Hmm, itu yang sedang saya lakukan An, saya cuma takut hal buruk itu menyangkut rumah
tangga saya, kamu tau kan engga mudah saya mewujudkan semua nya hingga sampai titik ini”,

“Yaudah, satu pesan gue Fan, lu harus tetap jaga keimanan lu, manusia berpendidikan itu
banyak Fan, tapi manusia beriman belum tentu sebanyak itu Fan”,

Aku dan Andi melanjutkan obrolan kami kesana-kemari, hingga tak terasa waktu beranjak siang.

*****

CHAPTER II
MELANGKAH KE BELAKANG ?

Di suatu siang,

Aku tengah duduk termenung sembari menunggu bel tanda akhir pelajaran dibunyikan. Entah
mengapa sudah bertahun-tahun lamanya aku mengajar, baru kali ini fikiranku kembali di datangi
oleh sosok Nadia, ku tatap meja kosong di seberang meja kerja ku, tempat biasa Nadia duduk dan
sesekali berbincang denganku. Dan itu sejenak membuat tubuh dan fikiranku kembali berada di
masalalu.

“kriiiiiingggg.....” terdengar suara bel berbunyi

“Fan, kamu hari ini ada kesibukan engga?”, tanya Nadia menghampiri meja ku

“Hmm, engga ada sih, kenapa Nad?”,

Saat itu aku dan Nadia memang sudah kembali dekat, meskipun aku menjaga hatiku untuk Nisrin,
namun aku dan Nadia tetap dekat seperti dulu.

“Ke pantai yuk”, ajak nya

“Pantai? Kapan?”,

“Ya hari ini seetelah selesai ngajar”,

“Oh yaudah, tapi jangan yang terlalu jauh ya, soalnya cuaca lagi engga menentu”,

“Iya engga kok, yaudah aku ke kelas dulu, o iya kamu udah engga ada kelas lagi kan?”

“Iya kelas saya udah selesai Nad, kamu semangat ya ngajarnya”,

“Iya pasti, aku tinggal dulu ya dadah”,

Nadia berlalu melangkah menuju kelasnya untuk mengajar, tapi sedari tadi mataku tak dapat
lepas dari wajah cantiknya, terlebih lagi ketika ia sedang tersenyum.

***

7
Singkat cerita kami berdua telah berada di pantai yang tak terlalu jauh dari rumah kami berdua. Kami
duduk di sebuah kursi yang berada di bawah naungan sebuah pohon yang rindang, sembari menatap
deburan demi deburan ombak yang menyapu pantai.

Baik aku maupun Nadia hanya sama-sama diam tanpa adanya percakapan. Sejenak aku menatap ke
arah wajahnya, namun aku tak menemukan sedikit pun keceriaan yang terpancar dari raut wajahnya
kali ini.

“Nad, kamu kenapa murung? Tadi kamu ceria banget waktu ngajak saya kesini?”, aku
mencoba memulai percakapan

“Gapapa Fan, aku cuma mau fokus aja menikmati suasana pantai yang udah lama engga
aku rasakan”, tuturnya

Aku tau, aku tau jika ada sesuatu yang tengah Nadia tahan dalam hatinya, entah apapun itu yang
jelas itu sangat mengganggu dan juga membebani fikiran nya saat ini. Kami pun sama-sama kembali
terdiam sekitar setengah jam lamanya.

“Fan, pulang yuk”, ajak Nadia

“Pulang? Kita kan baru sampai Nad”,

“Entah kenapa aku tiba-tiba ngerasa capek banget Fan”, tuturnya

“Nad, sebenarnya apa sih yang kamu sembunyikan sekarang?”,

“Engga ada yang aku sembunyiin Fan”,

“Sampai kapan kamu harus berbohong seperti ini? Berpura-pura baik-baik saja padahal dari
raut wajah kamu menunjukkan dengan jelas ada sesuatu”,

“Udahlah Fan, apa yang tengah aku fikirkan sekarang ini biar aku yang menanggungnya”,

Aku tak lagi memaksa Nadia untuk menceritakan apa yang sedang ada dalam fikiran nya. Aku
berusaha memahami dan memberikan pengertian akan kondisinya saat ini yang sedang tidak baik-
baik saja.
Ku nyalakan sepeda motor dan mengendarainya menyusuri pinggiran pantai yang terlihat sangat
indah untuk di nikmati. Lagi dan lagi Nadia tak banyak bicara, sikapnya kali ini membuatku sangat
bingung dan tak tau harus berbuat apa hanya untuk sekedar mencairkan suasana. Dan akhirnya aku
pun berinisiatif untuk mengajaknya makan siang bersama di sebuah tempat lesehan tak jauh dari
bibir pantai, tak banyak yang bisa aku lakukan kepadanya selain memberikan perhatian-perhatian
kecil dalam keseharian nya.

*****

8
Jika saja waktu itu aku bisa lebih memahami dan lebih mengerti tentang sikap yang Nadia tunjukkan
padaku, mungkin saat ini yang menjadi istriku adalah Nadia, namun apalah dayaku yang saat itu
masih menjalin hubungan dengan Nisrin. Dan aku pun tak dapat berbuat apa-apa ketika Allah telah
menyiratkan Meysa sebagai pendamping hidupku.

Di sepanjang perjalanan pulang pun aku terus saja melamun, aku tak mengerti mengapa hari ini
bayang-bayang Nadia selalu menyelimutiku.

**

Singkat cerita aku telah tiba di halaman depan rumahku. Dengan langkah yang sangat berat aku pun
bergegas melangkah menuju pintu rumahku.

“Tok... tok... tok... assalamualaikum”,

“Waalaikumsalam”, terdengar suara Meysa menyahut

“Lho Fan,kamu kenapa? keliatan nya capek banget?,

“Ah gapapa kok”, aku tersenyum

Aku harus berusaha untuk berpura-pura seolah tidak ada yang terjadi hari ini, bagaimanapun ini
semua aku lakukan semata untuk menjaga perasaan Meysa sebagai istri yang teramat
menyayangiku.

“Fan, kamu jangan bohong, aku udah kenal kamu dari dulu lho”, lanjut Meysa

“Aku gapapa kok Mey, cuma c apek aja hari ini murid susah sekali di atur”, jawabku
berbohong

“Oh gitu, yaudah kamu istirahat dulu aja, bersihin badan nya terus kamu makan ya”, ucap
Meysa dan aku pun hanya mengangguk tanda mengiyakan

“Ya Allah, maafkan hamba yang telah membohongi istri hamba sendiri. Hamba hanya tak
ingin melukai hatinya jika dia tau hamba masih teringat dengan Nadia”, ucapku dalam hati.

***

Malam menjelang,
Tawa canda anak ku tak dapat mengalihkanku dari fikiran tentang Nadia, hingga aku pun tersadar
jika aku membutuhkan seseorang untuk menjadi pendengar setia guna membagi keluh kesahku ini.
Dan tentu saja orang yang aku butuhkan saat ini adalah Andi, sahabatku.

“Mey, saya mau ke rumah Andi, kamu mau ikut?”,

“Ada apa Fan? Kok malam-malam begini mau ke rumah Andi”,

“Mau ngobrol aja, udah jarang banget ngobrol sama Andi soalnya”, tuturku

9
“Lho, bukan nya baru kemaren ngobrol di rumah ibu?”,

“Iya, tapi ngerasa kurang puas aja gitu, boleh kan?”,

“Yaudah deh, aku sama Kahfi di rumah aja, Caca juga katanya mau tidur disini”,

“Oh gitu,Caca mau jam berapa kesini nya?”,

“Katanya sih udah di jalan, lagi beli titipan aku dulu sama Kahfi”,

“Yaudah deh aku tunggu Caca datang dulu, baru berangkat ke rumah Andi”,

Kemudian Meysa duduk di sampingku, dia menatap jauh ke dalam mataku seraya berkata,

“Fan, raga kamu dan hati kamu masih milik aku kan?”,

Aku sedikit terkejut mendengar pertanyaan Meysa, seolah ikatan batin diantara kami berdua telah
mengisyaratkan kepadanya bahwa hatiku sedang tidak baik-baik saja dan tengah memikirkan orang
lain.

“Kok kamu tanya seperti itu Mey, kamu udah ragu ya sama aku?”, tanyaku balik

“Engga apa-apa kok Fan, aku sama sekali engga ragu sama kamu,aku cuma takut
kehilangan orang yang aku sayangi ini”,

Meysa memelukku dengan begitu eratnya, ku rasakan dia begitu takut akan kehilangan diriku lagi.
Aku hanya bisa membalas pelukannya dengan belaian mesra pada rambutnya, dan tak lupa aku
layangkan kecupan hangat pada kening nya.

“Astagfirullahaladzim”, ucap Caca yang langsung mengagetkanku dan Meysa

“Eh Caca”, saut Meysa spontan

“Gapapa kok kak Mey, aku engga liat, aku baru aja datang kok, beneran deh”,

Aku dan Meysa merasa sedikit malu kepada Caca, kemudian aku melangkah menuju kamar untuk
mengambil kunci motor dan tak lupa pula aku mengenakan jaket.

“Ca, kamu mau tidur disini kan?”, tanyaku

“Iya kak, terus kakak mau kemana?”,

“Kakak mau ke rumah Andi dulu”,

“Oh gitu, o iya pulang jam berapa kak?”,

“Kurang tau deh, tapi engga terlalu lama kok, kakak Cuma mau ngobrol aja”,

10
“Kamu hati-hati ya Fan”, Meysa menimpal

“Iya Mey pasti, kamu juga jangan lupa kunci pintu ya”, jawabku

Tanpa berlama-lama lagi aku segera memacu sepeda motorku menuju rumah Andi, dan singkat
cerita aku telah tiba di halaman depan rumah nya. Andi terlihat sudah menunggu kedatanganku
karena memang aku telah memberitahu jika aku akan pergi ke rumah nya.

“Hey An.”, ucapku seraya turun dari sepeda motor

“Lama banget sih lu”,

“Ya maaf, tadi nunggu Caca dulu di rumah, soalnya dia mau tidur di rumah saya An”,

Aku duduk di kursi depan rumah Andi,lalu Andi kembali melangkah masuk ke dalam rumah, dan lagi-
lagi aku hanya duduk termenung seolah itu sudah menjadi kebiasaanku akhir-akhir ini.

“Woy Fan ngelamunin apaan lu?”, ucap Andi yg kembali menghampiriku

“Ah kamu ini ngagetin aja”,

“Ya lagian terakhir gue ketemu di rumah lu, lu ngelamun. Sekarang lu datang kesini Cuma
buat numpang ngelamun lagi gitu?”, tutur nya

“Hmm, An saya mau cerita sesuatu, kamu mau jadi pendengar engga?”, tanyaku

“Cerita apaan, kan bisa lewat chat atau telpon kalo Cuma buat cerita doang mah”,

“Cerita ini rumit An, terlalu rumit untuk di terjemahkan dengan ketikan atau pun dengan
obrolan di telpon”,

“Yaudah, gue dengerin deh”,

“Begini An, entah kenapa hari ini saya kembali mengingat tentang Nadia”,

“Seriusan lu? Wah bahaya itu”.

“Iya serius An, saya juga bingung kenapa tiba-tiba Nadia hadir lagi dalam ingatan saya”,

Tak lama kemudian Sindi datang sembari menyuguhkan kopi untuk kami berdua.

“Sin, kamu duduk sebentar deh”, ucap Andi seraya menggenggam tangan Sindi

“Lho, ada apa An?”, tanya Sindi keheranan

“Iya Sin, kamu duduk dulu sebentar, saya mau cerita tentang yang berhubungan dengan
perempuan dan status istri, saya butuh banget pendapat kamu dari sudut pandang perempuan dan
seorang istri”,

11
Sindi duduk di sebelah Andi dengan ekspresi wajah penasaran.

“Nah Fan, sekarang lanjutin cerita lu.”, pinta Andi

“Sin, hari ini untuk pertama kali nya selama pernikahan saya dan Meysa, saya kembali
mengingat sosok Nadia dan kenangan nya sewaktu dia masih disini”, tuturku lagi

“Terus Meysa tau Fan?”, tanya Sindi

“Engga Sin, dia engga tau”, jawabku

“Mungkin ada sesuatu di sekitaran kamu yang membawa kamu kembali mengingat Nadia
Fan”, lanjutnya

“Hmm, mungkin aja Sin, soalnya tadi siang saya melamun sembari memandangi meja yang
dulu Nadia pakai ketika menjadi guru. Dan tiba-tiba fikiran saya langsung kembali ke masalalu”,

“Nah itu masalahnya Fan, makanya lu jangan kebanyakan melamun”, Andi menimpal

“Bener itu Fan, kamu jangan terlalu sering melamun, kamu bayangin aja perasaan Meysa
kalo dia tau hal ini. Sebagai seorang perempuan dan seorang istri aku juga pasti sakit hati kalo tau
suami aku masih terbayang bayangan mantan nya.”, tutur Sindi

Setelah mendengar penuturan Sindi, aku terdiam dan membayangkan bagaimana hancurnya
perasaan Meysa jika dia tau apa yang saat ini tengah terjadi.

“Kamu harus terus terang Fan sama si Meysa, bagaimana pun ini menyangkut kejujuran dan
kepercayaan, kalo kamu engga jujur takutnya si Meysa tau dengan sendiri nya, itu bisa bikin dia
lebih kecewa lho”, lanjut Sindi

Aku terus termenung memikirkan betapa kurang ajarnya diriku ini terhadap Meysa yang begitu
sangat-sangat menyayangiku. Aku mencoba menghibur diri dengan cara mengganti topik
pembicaraan setelah akhirnya aku dibuat sadar oleh nasihat Andi dan Sindi. Akhirnya yang aku
harapkan terwujud, dimana aku bisa berbagi tentang beban fikiranku ini dengan Andi.

**

Ku lirik jam di ponselku telah menunjukkan pukul 21:20, waktu yang terbilang sudah cukup malam.
Aku berpamitan kepada mereka berdua untuk bergegas pulang.

Di sepanjang perjalanan hatiku terus di terpa dilema. Jika aku menceritakan semuanya kepada
Meysa, aku tak bisa membayangkan respon nya ketika mendengar kejujuranku. Namun seperti kata
Sindi, jika aku tak jujur itu sama saja aku menimbun sebuah bangkai yang cepat atau lambat pasti
akan tercium juga aroma busuknya.

Tak berapa lama aku telah tiba di rumahku, namun suasana rmah telah sepi. Yang ku jumpai
hanyalah Caca yang masih asyik dengan ponselnya.

12
“Ca, kak Mey dimana?”, tanyaku

“Kak Meysa si kamar kak, lagi ngelonin Kahfi deh kayaknya”,

“Oh gitu, yaudah kamu jangan lupa kunci pintu depan nya ya kalo mau tidur”, ucapku lagi
seraya melangkah untuk membersihkan debu jalanan yang menempel.

“Kahfi udah tidur Mey?”, tanyaku begitu memasuki kamar

“Udah, barusan aja tidur”,

“Oh yaudah, kamu mau tidur juga?”, tanyaku lagi

“Iya Fan, kamu juga tidur ya, kan besok kamu harus kerja”,

Malam ini aku mengurungkan niatku untuk menceritakan semuanya pada Meysa, karena keadaan
tidak memungkinkan.

“Ya Allah apakah hamba harus benar-benar menceritakan semua ini?”, batinku

“Fan kok kamu ngelamun lagi? Kamu mikirin apa?”, tanya Meysa yang ternyata sedari tadi
menatap wajahku

“Astaghfirullahaladzim, engga kok Mey. Aku cuma lagi kefikiran masa depan aja”, jawabku
berbohong

“Apa sih yang kamu khawatirkan Fan? Jalani aja seperti semestinya, jangan terlalu masuk ke
dalam fikiran kamu Fan”,

“Aku cuma takut engga bisa menjadi suami dan ayah yang baik bagi kamu dan Kahfi, aku
takut engga bisa bahagiakan kalian”,

“Kamu ngomong apa sih, aku dan Kahfi bahagia kok bisa memiliki suami dan Ayah yang
bertanggung jawab dan sayang sama keluarganya seperti kamu”, Meysa memelukku

“Tapi Mey...”,

“Fan, aku engga mau lagi kamu melamun gara-gara memikirkan hal itu, udah ya ayo tidur”,

**

Dalam tidurku,
Aku kembali berada di persimpangan jalan seperti mimpiku sebelumnya, aku langsung teringat jika
dalam mimpiku kakek tua itu datang menemuiku, namun aneh sekali karena kakek itu kali ini tak
menampakkan dirinya dalam mimpiku kali ini.

Dalam kebingungan aku dikejutkan dengan kehadiran sosok diriku sendiri yang tengah berduaan
dengan Meysa.

13
Aku melihat Meysa yang tengah menggenggam dua tangkai bunga, namun dia hanya memberikanku
salah satu diantara bunga yang di genggam nya itu. Sedangkan bunga yang lain berubah layu
kemudian kering dan menjadi debu yang tertiup oleh angin.

Meysa tersenyum dengan meneteskan air mata seraya memandangi sosok diriku. Dan yang
membuatku merasa bersedih adalah ketika aku dan Meysa melangkah berjauhan ke arah yang saling
berlawanan.

Aku pun terbangun seketika dari mimpiku, segera ku peluk Kahfi dan Meysa yang tengah tertidur
pulas, ku peluk mereka sembari sedikit meneteskan air mata.

“Ya Allah, apa arti dari mimpiku tadi, berilah hambamu ini jawaban atas segala ketakutan
dan kekhawatiran ini”, batinku.

CHAPTER III
SEBUAH GUNCANGAN

Pagi menjelang,
Pagi ini aku merasa sangat berdosa sekali karena aku masih belum bisa mengatakan sebuah
kejujuran pada Meysa.

Aku menyempatkan diri untuk bermain bersama buah hatiku, sedangkan Meysa dan Caca memasak
untuk sarapan kami. Namun sedari tadi aku perhatikan sikap Meysa yang murung tidak seperti
biasanya.

Kemudian kami menikmati sarapan pagi bersama, dan Meysa terlihat sangat tidak bernafsu untuk
menyantap makanan yang di hidangkan. Ingin sekali aku bertanya tentang apa yang terjadi
kepadanya, namun aku malu karena ada Caca dihadapan kami.

Sesekali aku pandangi wajah Meysa yang sangat murung sekali, hingga akhirnya aku telah
menyelesaikan santap sarapan pagi ku. Aku melangkah menuju kamar, dan tak lama kemudian
Meysa juga ikut masuk seraya menutup pintu dan langsung memelukku begitu erat disertai dengan
tangisan.

“Lho Mey kamu kenapa?”, tanyaku terkejut

Aku mengajak Meysa untuk duduk di pinggiran ranjang, aku berusaha untuk menenangkan dan
meyakinkan nya bahwa semua akan baik-baik saja tanpa aku ketahui penyebab tangisan Meysa.

“Mey, kamu tatap wajah aku Mey, ada apa dan kenapa tiba-tiba kamu menangis?”,

“Fan aku takut”,

“Apa yang kamu takutkan Mey?”,

14
Meysa tak menjawab pertanyaanku dan itu membuatku berada dalam posisi kebingungan disertai
kekhawatiran. Aku biarkan Meysa menangis dipelukanku agar hatinya bisa sedikit tenang dan
berharap dia mau menceritakan tentang hal apa yang ia takutkan.

“Fan, aku takut”, ucap Meysa dengan nada manja

“Iya aku tau itu Mey, tapi apa yang sedang kamu takutkan?”,

“Kamu engga akan ninggalin aku kan?”,

“Astaga, aku engga akan ninggalin kamu Mey”,

“Janji?”,

“Iya aku janji, memangnya ada apa sih?”, akun semakin penasaran

“Fan, semalam aku mimpi”,

Aku sedikit terkejut, yang aku takutkan adalah jika Meysa telah mengetahui rahasiaku melalui mimpi
itu, aku takut dia akan kecewa karena tidak mendengar rahasia itu langsung dari mulutku sendiri.

“Kamu mimpi apa Mey?, aku mencoba untuk memastikan nya

“Aku mimpi didatangi seorang kakek-kakek Fan”,

“Deg !!!”, perasaanku semakin tidak karuan mendengarnya, pantas saja dalam mimpiku
semalam tidak ada sosok kakek yang biasanya selalu muncul dalam setiap mimpiku.

“Fan, Irfan kamu dengerin aku kan?”,

“Eh iya Mey, terus apa yang dikatakan kakek itu?”,

“Janji dulu kalo kamu engga akan pergi ninggalin aku”,

“Iya Mey, kan tadi aku udah janji sama kamu”,

“Kakek itu engga banyak bicara Fan, dia cuma ngasih dua tangkai bunga sama aku”, tutur
Meysa

Aku langsung menyimpulkan bahwa mimpi Meysa lebih dulu terjadi daripada mimpiku, itu dapat
terlihat dari bunga yang Meysa berikan padaku yang ternyata ia dapatkan dari kakek itu.

“Lalu apa yang beliau sampaikan sama kamu Mey?”,

“Kakek itu nyuruh aku ngasih salah satu bunga nya kek kamu, dia juga bilang kalo salah satu
bunga itu adalah penyebab perpisahan kita”,

Fikiranku dibuat bekerja sangat keras tatkala mendengar bahwa penyebab perpisahan kami adalah
salah satu dari bunga yang di genggam Meysa.

15
Apa sebenarnya makna dari kedua tangkai bunga itu?, kenapa bisa sampai menyebabkan perpisahan
diantara kami berdua.

“Udah itu aja Mey?”,

“Setelah ngasih aku bunga, kakek itu langsung pergi tanpa ngasih tau aku bunga mana yang
menyebabkan perpisahan, aku bingung dan sedih Fan”,

“Oh gitu, terus masih ada lanjutan nya?”,

Aku masih bertanya meskipun pada dasarnya aku telah mengetahui bunga mana yang akan Meysa
berikan padaku.

“Ya gitu Fan, engga lama kemudian kamu datang tapi engga ngomong apa-apa, kamu cuma
senyum aja”, tuturnya

“Kamu ngasih bunga yang mana Mey sama aku?”,

“Fan, setelah aku kasih bunga ke kamu tiba-tiba bunga yang aku pegang layu dan jadi debu.
Aku takut ada hal buruk yang akan terjadi dalam pernikahan kita”, Meysa kembali menangis
tersedu-sedu dan langsung memelukku.

“Mey, udah ya jangan terlalu memikirkan mimpi, itu cuma bunga tidur kok. Aku juga kan
udah janji engga akan ninggalin kamu”, aku berusaha menenangkan nya.

“Tapi di mimpi itu kita berpisah Fan, kita memilih jalan yang berbeda, bahkan berlawanan
arah”,

Aku tak dapat lagi berkata-kata karena tak dapat pula aku pungkiri bahwa selama ini apa yang
berhubungan dengan kakek tua itu dalam mimpiku pasti akan berkaitan dengan kisah percintaanku
di dunia nyata. Tapi mengapa? Mengapa ketika aku telah berjuang untuk membuat air sungai jernih
kembali, takdir seolah mengisyaratkan kepadaku bahwa aku akan kehilangan nya lagi.

Dan aku pun kembali mengingat saat pertama kali aku bertemu dengan kakek tua itu dalam
mimpiku. Dimana pada akhirnya aku rela untuk memilih sungai yang sangat keruh dan aku rela untuk
melepaskan sungai yang air nya begitu sangat jernih sekali. Namun aku tak mengira bahwa aku pun
ternyata pada akhirnya harus melepaskan sungai keruh yang telah susah payah aku jernih kan.

**

Setelah meyakinkan Meysa bahwa semuanya akan baik-baik saja, aku bergegas untuk pergi ke
sekolah sembari mengantarkan Caca pulang untuk membantu pekerjaan rumah Ibu.

Aku terus melamuni apa yang sedang terjadi saat ini, tasanya akhir-akhir ini rumah tangga ku penuh
sekali dengan tekanan-tekanan batin. Apa yang salah dengan diriku ini, mengapa setiap kali aku
merangkai angan selalu saja harus runtuh kembali.

16
Kenapa seolah kebahagiaanku ini tak pernah berlangsung lama?, aku ingin mengeluh, aku ingin
mengatakan bahwa aku lelah, aku lelah terus menerus harus kehilangan kebahagiaan yang aku
dapatkan dengan bersusah-payah.

“Kak, aku tau kakak lagi ada masalah sama kak Meysa”, celetuk Caca

“Masalah? Masalah gimana Ca?”,

“Ya masalah kak, tadi juga aku denger kak Meysa nangis pas di kamar sama kakak”,

“Oh itu, tadi kak Meysa nangis bukan karena berantem kok”, jawabku

“Terus kenapa kak?”,

“Meysa nangis tadi itu karena semalam dia mimpi buruk”,

“Emang seburuk apa sih kak mimpinya?, sampai-sampai nangis nya sesegukan gitu”,

“Ya mungkin dia takut mimpi itu jadi kenyataan Ca, soalnya dia mimpi kita pisah”,

“Lho kok bisa kak? Pisah gara-gara apa?”,

“Engga tau, soalnya dalam mimpi itu engga di jelasin penyebab nya”,

Aku hanya bisa menjelaskan tentang mimpi Meysa sesederhana mungkin, karena Caca tak akan bisa
memahami isi mimpi itu jika aku menceritakan nya secara detail. Tak lama kemudian aku dan Caca
kembali smaa-sama terdiam.

“Kak, kakak setia kan?”, ucapan Caca membuatku sedikit terkejut

“Kok kamu ngomong gitu Ca?”, tanyaku balik

“Jawab kak, kakak setia kan?”,

“Caca, kakak mu ini pasti setia lah, emang kamu pernah denger kakak selingkuh selama ini?
Yang ada justru kakak kan yang selalu ditinggalin bahkan di tinggal nikah”, tuturku

“Iya Caca tau kok, Caca cuma takut aja”,

“Apa yang kamu takutkan?”,

“Kak, meskipun kakak itu kakak kandung aku dan kak Meysa juga pernah nyakitin kakak,
tapi aku tau kok kalo kak Meysa itu sayang banget sama kakak. Aku juga engga mau kalo kakak
yang aku sayang ini tega nyakitin hati perempuan, itu sama aja kakak nyakitin aku sama ibu, karena
kami sama-sama perempuan”,

Aku disadarkan oleh ucapan Caca, bahwa sebagai adik ipar dia begitu menyayangi Meysa layaknya
dia meyayangi diriku.

17
Di sekolah,
Saat jam istirahat pelajaran aku berada di kantin bersama dengan guru yang lain nya. Fikiranku
terasa sangat tenang saat ini setelah ku isi dengan kesibukan ku mengajar.

“Pak Irfan mau ke Bandung engga?”, tanya salah satu guru

“Ke Bandung ngapain pak?”, tanyaku balik

“Lho, kita kan diundang ke acara pernikahan”,

“Acara pernikahan siapa pak? Perasaan saya engga dapat undangan pernikahan deh”,

“Bapak ingat dengan guru yang dulu pernah mengajar disini?”,

“Guru yang mana pak? Banyak guru disini”,

Percakapan kami berlangsung sengit sekali karena kami saling melontarkan pertanyaan.

“Itu pak, Bu Nadia”,

Aku tertegun mendengarnya, lama sudah aku tak mendapatkan kabar dari Nadia, dan sekalinya aku
mendapat kabar, kabar itu adalah kabar tentang pernikahan nya, terlebih lagi aku mendengarnya
melalui orang lain. Sebenci itu kah Nadia kepadaku? Sekecewa itukah dia terhadapku? Hingga di
pernikahan nya pun dia tak mau untuk mengundangku.

CHAPTER IV
SEBUAH ARSIP

Aku terdiam untuk waktu yang cukup lama hingga aku dikejutkan oleh suara bel tanda pelajaran
akan dimulai kembali.

“Oiya pak , mungkin bu Nadia belum sempat undang bapak, karena tanggal pernikahan nya
juga masih satu bulan lagi katanya”, ucap rekan guru ku itu

“Oh gitu, saya sih kalo diundang sudah pasti datang pak, tapi kalo engga diundang kan
engga enak kalo tiba-tiba datang”,

“Haha, iya juga ya pak,yasudah saya masuk kelas duluan pak”,

Kini aku mengerti kenapa tiba-tiba sekali aku teringat kepada sosok Nadia, gternyata itu adalah
pertanda bahwa aku akan kembali mendengar kabar tentaang nya.

Sebenarnya waktu itu aku ingin sekali mengundang Nadia dan Nisrin, namun aku menghargai
perasaan Meysa sebagai calon istriku. Aku pun tak mau melukai perasaan Nadia maupun Nisrin,
hingga akhirnya tak ada satu pun dari masalalu ku yang mendapatkan undangan pernikahan dariku.

18
Namun mungkin memiliki arti lain tentang maksudku tak mengundangnya, atau mungkin sampai
detik ini Nadia tidak mengetahui bahwa aku telah menikah?, ah lagi-lagi fikiranku harus berkecamuk
dengan masalalu.

***

Singkat cerita aku telah menyelesaikan tugasku mengajar hari ini, kini aku tengah berada di rumah
ibu bersama Meysa.

“Fan, gimana murid kamu hari ini, masih bandel-bandel engga?, tanya ibu

“Oh engga kok bu”, jawabku singkat

“Ibu denger kemarin kata Meysa kamu sampai keliatan lesu banget gara-gara murid kamu
yang bandel-bandel itu”, ucap ibu dan aku meilirik kearah Meysa dengan sedikit senyuman

“Kamu cerita sama ibu?”, tanyaku berbisik

“Hehe iya Fan, habisnya aku kasian ngeliat kamu kemarin lesu banget”, jawab Meysa

Disini aku baru mengetahui jika selama ini ternyata Meysa selalu bercerita kepada ibu, tapi apakah
Meysa selalu menceritakan semua masalah kami?, bukan kah tidak baik jika orang lain mengetahui
setiap maslah rumah tangga kita? Bahkan orang tua kita sendiri pun.

Di satu sisi kini aku mulai kehilangan niatku untuk menceritakan tentang Nadia yang kembali hadir
dalam ingatanku. Mungkin ini adalah keputusan yang kurang baik, namun aku akan menjaga agar
Meysa tak bisa mengetahuinya.

**

Tak banyak aktivitas yang aku lakukan di rumah ibu, seperti biasa aku hanya menikmati hari yang
mulai beranjak sore dengan duduk bersandar dibawah pohon belakang rumahku yang kini mulai
usang dan lapuk dimakan usia. Tak ku sadari aku tertidur dalam balutan angin yang bertiup sepoi-
sepoi.

“Hey nak, maafkan aku yang membuatmu berada di posisi membingungkan seperti ini”, aku
terbangun dengan sosok kakek itu yang kini ikut duduk di sampingku.

“Kek, terus terang saja saya lelah dengan semua ini, saya tidak sanggup jika saya harus
kembali kehilangan sesuatu yang berharga dalam hidup saya”, tuturku

“Jangan pernah melawan takdir, semua yang telah terjadi dan yang akan terjadi itu adalah
takdir yang telah di tentukan oleh sang pencipta, semua itu harus kamu lalui dengan ketabahan dan
penuh rasa ikhlas”,

“Tapi kek saya hanya manusia biasa yang senantiasa merasa rapuh dan kadang sesekali
mengeluh”,

19
“Perbanyak shalat sunnah mu, karena selama ini kamu sangat jarang sekali menunaikan
nya”,

Aku termenung sejenak, karena memang benar aku sangat jarang sekali mengadu kepada Allah
dalam shalatku ketika aku memiliki masalah. Aku justru lebih sering membagi kisahku dengan Andi
yang notabene nya adalah seorang manusia juga sama sepertiku. Memang itu bisa melega kan untuk
sesaat, namun aku tetap tak bisa mengobati segala kegelisahanku ini.

“Nak, aku takut kamu tak bisa menerima kenyataan bahwa kamu akan kehilangan
perempuan yang kamu cintai untuk kesekian kalinya, terlebih dia adalah istrimu yang teramat
menyayangimu”,

“Apakah benar kek?, apakah semua tanda ini benar-benar tanda yang mengisyaratkan
bahwa saya dan Meysa harus kembali berpisah?, tanyaku bersedih seraya kakek itu memegang
pundakku dan berkata;

“Ingatlah nak, tidak ada satu orang pun manusia yang bisa mengklaim hak kepemilikan
terhadap manusia yang lain, bahkan dia pun tidak bisa memiliki hak untuk mengklaim kepemilikan
atas dirinya sendiri. Hanya Allah sang pencipta dunia dan seisinya lah yang memiliki kuasa penuh
atas segala sesuatu ciptaan-Nya. Jika Allah telah mentakdirkan sesuatu, maka tak ada satu pun
kekuatan di dunia ini yang mampu mengubahnya.”,

Kakek itu menghilang seiring tersadarnya aku dari tidurku, ku sempatkan diri untuk menenangkan
sejenak fikiranku, sebelum akhirnya aku berjalan menuju kamar mandi untuk membasuh wajahku.

“Fan, kamu darimana? Aku tadi cariin kamu lho”, ucap Meysa yang melihatku baru keluar
dari kamar mandi.

Ku tatap dalam-dalam wajah Meysa dengan penuh rasa sayang karena aku teringat dengan mimpiku
yang mengatakan aku akan segera berpisah dengan nya.

“Hey Fan, aku bicara sama kamu lho”,

“Oh itu, tadi aku ketiduran di bawah pohon belakang rumah”,

“Ih dasar ya kamu, masih aja betah sama kebiasaan lama”, ucap Meysa sembari mengusap
sisa air yang masih tersisa di wajahku, tanpa sadar aku ternyata sedikit meneteskan airmata tatkala
merasakan belaian lembut Meysa.

“Fan kamu kenapa?”,

“Mey maafin aku ya, aku belum bisa menjadi suami yang baik untuk kamu”,

“Hey, engga boleh ngomong kayak gitu, bagi aku kamu itu sosok suami idaman yang
sempurna dan bertanggung jawab”,

20
“Makasih ya sudah mau mendampingi dan menemani aku sejauh ini”, lanjutku

“Iya Fan sama-sama, aku juga berterimakasih sama kamu karena udah bantu aku untuk
menjadi perempuan seutuhnya, karena aku udah pernah mengandung dan melahirkan Kahfi”,

Aku kemudian melangkah menuju kamar untuk berganti pakaian guna menunaikan ibadah shalat
ashar.

“Mey seandainya kamu tau bahwa cepat atau lambat kita pasti akan segera berpisah
kembali, pasti kamu tidak akan sekuat ini Mey, karena kamu pasti merasakan kesedihan sama
seperti yang aku rasakan saat ini”, batinku

**

Setelah selesai menunaikan ibadah shalat ashar, aku dan Meysa bersiap untuk kembali pulang ke
rumah kami. Namun baru saja aku hendak melajukan sepeda motorku, tiba-tiba ibu memanggilku.

“Fan, tunggu dulu ibu lupa ngasih tau kamu sesuatu”, teriak ibu

Segera ku matikan sepeda motor yang sedari tadi menyala dan bergegas menghampiri ibu yang
berdiri di depan pintu.

“Ada apa bu?”,

“Ini ibu lupa, tadi ada orang dari kantor pos yang nganter surat buat kamu”,

“Dari siapa ya bu?”

“Ibu juga engga tau tuh”,

“Yaudah deh Irfan pulang dulu ya bu, assalamualaikum”.

**

Singkat cerita, sang dewi malam telah mengepakkan sayapnya, dilanjutkan dengan irama dari para
binatang penghuni dunia malam.

“Fan, tadi surat dari siapa?”, Tanya Meysa yang menghampiriku sembari menyuguhkan
segelas kopi.

“Engga tau Mey, belum sempat aku buka”, jawabku

“Tapi tumben kamu dapat kiriman surat, biasanya kan engga pernah ada yang kirim kamu
surat, apalagi sekarang udah zaman nya pakai email kan”,

“Iya juga ya, kira-kira dari siapa ya?”, ucapku sembari merasa sedikit kebingungan

“Yaudah kamu baca aja dulu, siapa tau penting”,

21
Meysa kemudian mengambilkanku surat tersebut, satu hal yang sangat aku sukai tentang Meysa,
dimana dia sangat menghormatiku sebagai suami nya. Itu dapat terlihat dari dia yang tidak pernah
ikut campur tentang maslaah pribadiku.

Dan ketika aku hendak membaca isi dari surat ini pun dia segera berpamitan menuju kamar. Meysa
seolah telah percaya sepenuhnya kepadaku, dan dia tidak berfikir bahwa aku akan mengkhianati
nya. Itu wajar terjadi karena selama pernikahan kami, aku selalu berterus terang kepadanya tentang
apapun itu kecuali tentang sosok Nadia yang kembali hadir dalam ingatanku ini.

Ku buka perlahan surat itu dan aku segera dibuat terkejut tatkala mengetahui isi dari surat tersebut.

“Assalamualaikum, hey Fan apa kabar? Semoga kamu ingat ya sama aku, seperti aku yang
selalu mengingat kamu. Maaf ya kalo aku lancang kirim surat sama kamu, bukan nya aku engga
mau hubungi kamu dari whatsapp atau yang lain nya, aku cuma engga mau kalo jadi pengganggu
hubungan kalian. O iya mungkin kamu udah tau tentang rencana pernikahan aku, dan untuk itu ada
hal lain yang mau aku bicarakan sama kamu, tapi engga mungkin aku cerita nya lewat surat kan
hehe. Kalo kamu mau tau, kamu pasti cari cara untuk hubungi aku balik. O iya Fan selamat ya atas
pernikahan nya, semoga kalian bisa bahagia selalu dan menua bersama ya.”

“Aku sadar kok, kalo aku cuma arsip dalam perjalanan hidup kamu, atau bahkan kamu telah
menghapus seluruhnya tentang aku ini, sangat mustahil rasanya untuk kamu ingat meskipun
sebenarnya semua tentang kamu masih rapi tersimpan dalam ingatanku. Sekali lagi selamat ya atas
pernikahan nya, sebenarnya aku bisa aja datang waktu itu, tapi sayang aku engga kamu undang,
Terimakasih Fan”

Hanya itulah yang tertulis dalam surat itu, meskipun tanpa nama, tanpa alamat dan tanpa identitas
lain dari surat itu, namun aku tau persis bahwa itu adalah surat kiriman dari Nadia, karena aku
snagat mengali sekali tulisan tangan nya.

“Nad, sebenarnya apa yang masih ingin kamu bicarakan? Padahal kamu sendiri tak lama
lagi akan segera di persunting orang”,

Tiba-tiba perasaan bersalahku kembali menyeruak, aku kembali merasa bersalah kepada Nadia
karena tak mengundang nya, dan itu membuat seolah aku tak menghargainya.

Aku pun segera memasukan kembali surat itu dan mengambil laptopku yang berada di dalam kamar.

“Fan, tadi surat dari siapa? Udah kamu baca kan?”, tanya Meysa

“Udah kok Mey, itu surat pemberitahuan dari perusahaan yang dulu pernah aku lamar”,
ucapku berbohong

“Terus kamu ambil laptop mau ngapain?”

“Aku mau lamar-lamar pekerjaan lagi, soalnya surat tadi isinya penolakan Mey”,

22
Aku berpura-pura akan melamar pekerjaan kembali agar Meysa semakin percaya bahwa itu adalah
surat dari perusahaan yang menolak lamaran kerjaku. Ya meskipun aku tak sepenuhnya berbohong,
karena aku memang mengambil laptop untuk membuka situs lowongan pekerjaan. Tak lupa pula
surat dari Nadia itu segera aku musnahkan.

“Mey, aku minta maaf karena belakangan ini aku sudah menjadi pengecut dan telah
membohongi kamu beberapa kali”, batinku dalam lamunan.

***

Malam berganti siang, sejuknya cahaya rembulan kini tergantikan oleh hangatnya pancaran sinar
sang surya. Tidurku malam tadi tak begitu nyenyak, meskipun seingatku tak ada satu pun mimpi
yang menggangguku.

“Fan hari ini aku mau ke rumah mama, boleh engga?”, tanya Meysa di sela-sela santap
sarapan pagi kami

“Iya boleh kok, kapan kamu mau ke rumah mama? Setelah aku pulang atau sekarang ini?”,

“Bareng sama kamu aja, sekalian kamu berangkat ke sekolah”,

“Oh yaudah kalo gitu, kita mau menginap disana?”, tanyaku

“Engga usah deh kayaknya, lagipula aku cuma kangen aja sama mama”,

“Yaudah deh aku siap-siap dulu ya”

Kemudian aku menyiapkan perlengkapanku mengajar seperti biasanya, entah mengapa hari ini
rasanya aku sangat tidak bergairah sekali untuk pergi mengajar, tidak seperti biasanya aku yang
selalu bersemangat menjalani hari.

**

Di sekolah,

Aku masih tak dapat terlepas dari fikiranku tentang isi dari surat yang dikirim Nadia, hingga akhirnya
aku pun mulai tak tahan dan segera mencari keberadaan rekan guru ku kemarin.

“Tok, tok, tok”, aku mengetuk pintu kelas dimana pak Arif rekan kerjaku mengajar

“Permisi pak, bisa saya minta waktunya sebentar?” tanyaku

“Ada apa pak? Kayaknya penting banget”,

“Saya cuma mau tanya, bapak dapat undangan dari bu Nadia darimana ya pak?”,

“Oh itu, saya dapat dari facebook pak, bu Nadia chat saya melalui inbox”,

23
“Bisa saya tau nama akun nya pak?”,

“Lho, ada apa pak?”

“Ah tidak, cuma ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan dengan beliau”,

“Oh gitu, sebentar ya pak”,

Setelah mengetahui akun facebook Nadia, aku segera kembali menuju kelas ku mengajar. Ku
perhatikan satu-persatu foto yang ada di galeri akun nya, namun aku tak dapat menemukan foto
Nadia sedang bersama laki-laki, aneh memang mengingat dia akan segera menikah tapi jejak-jejak
hubungan nya tidak dapat aku temukan.

Karena tak bisa menemukan apapun, aku berinisiatif untuk mencoba menyimpan sebuah nomor
telpon yang tertera disana, berharap nomor itu masih dapat aku hubungi.

Aku kumpulkan seluruh keberanianku untuk mencoba menghubungi nomor itu, namun sayang
panggilan telpon ku tak kunjung juga di jawab. Aku sempat berfikir pesimis tentang usahaku ini,
sampai akhirnya tak lama kemudian masuklah panggilan telpon dari nomor itu.

“Halo assalamualaikum, dengan siapa ini?”,

Aku terdiam sesaat mendengar suara yang begitu aku kenali ini, meskipun pada kenyataan nya
sudah bertahun-tahun lamanya aku tak mendengar suara ini.

“Halo, dengan siapa ini?”, terdengar kembali suara diujung telpon

“Iya halo waalaikumsalam”, jawabku dengan perasaan tak karuan

“Ah ini Irfan ya?”, ucap Nadia dengan nada terdengar ceria

“Kamu apa kabar Nad?”, tanyaku basa-basi

“Alhamdulillah aku baik Fan, ya ampun ternyata kamu udah baca surat dari aku ya”,

“Iya saya sudah baca kok, saya juga sudah tau tentang rencana pernikahan kamu”,

“Syukurlah ternyata kamu yang baca surat dari aku, soalnya aku takut istri kamu yang baca
haha”, ucapnya sedikit menyindir

“Oh ya Nad, kamu dimana sekarang? Pasti di Bandung ya?”,

“Ih sok tau kamu, aku ada di rumah nenek kok. Oiya kamu ada waktu engga?”,

“Waktu untuk apa Nad?”,

“Kalo kamu engga keberatan sih aku mau ketemu sama kamu, ada beberapa hal yang mau
aku ceritain ke kamu. Tapi aku engga maksa kok, lagipula kan sekarang udah ada anak sama istri
kamu yang nungguin kamu pulang”,

24
Kata-kata Nadia sedari tadi terasa semakin membuatku terpojok dan semakin membuatku merasa
bersalah dibuatnya.

“Yaudah, nanti setelah selesai jam pelajaran sekolah, saya sempatkan dulu mampir kesana”,

“Oke deh, aku tunggu ya”,

“Iya, assalamualaikum”, aku mengakhiri panggilan

**

“Kriiiiiiing”,

Suara bel tanda akhir pelajaran telah dibunyikan, aku dengan cepat membereskan semua
peralatanku agar bisa secepat mungkin untuk pergi menemui Nadia, entah mengapa rasanya
fikiranku saat ini dipenuhi oleh Nadia.

Aku segera memacu sepeda motorku dengan kecepatan penuh agar bisa segera sampai ke rumah
Nadia yang telah menunggu kedatanganku. Di sepanjang perjalanan fikiranku dipenuhi dengan tanda
tanya tentang hal apa yang ingin Nadia ceritakan.

Tak lama, akhirnya aku tiba di depan pintu gerbang yang sama sekali tidak berubah, baru saja aku
akan menghubungi Nadia, ternyata Nadia sudah ada di balik gerbang.

“Engga perlu telpon, aku udah nunggu kamu kok dari tadi disini”, ucapnya seraya tersenyum

Aku terpaku begitu melihat Nadia yang kini semakin cantik dan anggun dengan tampilan yang
semakin lebih dewasa.

“Hey kok ngelamun? Ayo masuk aja”, lanjutnya menyadarkanku dari lamunan.

Segera aku kembali tersadar dan mendorong sepeda motorku perlahan memasuki garasi rumahnya,
lalu Nadia mengajakku untuk duduk dihalaman belakang, tempat dulu terakhir kali nya kami
bertemu. Disana Nadia telah menyiapkan beberapa makanan dan segelas minuman untukku, aku
terduduk dengan penuh rasa gugup dan bingung tak tau harus memulai pembicaraan darimana.

“Kamu minum aja dulu Fan, kasian kamu pasti capek”, Nadia membuka percakapan

Ku teguk sedikit minuman yang telah Nadia suguhkan, meskipun sebenarnya rasa gugupku lebih
besar daripada rasa dahaga yang aku rasakan.

“O iya kamu sedikit berubah ya sekarang”,

“Berubah? Berubah bagaimana Nad maksudnya?”,

“Ya kamu berkacamata, kamu juga tambah ganteng dengan balutan kumis tipis dan janggut
itu”, Nadia tersenyum

25
“Oh itu, mungkin karena usia aja, makanya sekarang saya berkacamata dan berjanggut”,
aku tersipu malu dengan wajah memerah

“Kalo untuk sikap dan perasaan sih aku engga perlu bahas lagi, sudah pasti itu semua
berubah kan? Secara sekarang kamu kan udah jadi suami orang”,

Ucapan Nadia seakan menamparku, mengapa aku kini mudah sekali tersindir jika Nadia membahas
tentang statusku saat ini. Wajahku pucat pasi dibuatnya, lidahku kelu dan tubuhku rasanya kaku tak
dapat merespon apa-apa tentang ucapan Nadia barusan.

“Santai aja Fan, kamu engga usah ngerasa bersalah kayak gitu, lagipula ini kan udah
suratan takdir dari sang pencipta. Ya meskipun berat sekali menerima semua ini, tapi aku selalu
berjuang sendiri untuk berusaha mengikhlaskan kamu”,

“Ya Allah apa maksud dari semua ini? Apa yang harus hamba lakukan?”, batinku

“Nad, mohon maaf sebelumnya, saya kan sudah berkeluarga, dan kamu juga akan segera
menikah, bisakah kamu untuk tidak lagi membahas masalalu?”, tanyaku menguatkan diri

“Ah iya maaf ya Fan kalo kamu engga suka dengan semua yang aku ucapkan tadi”,

“Bukan begitu Nad, saya tidak sanggup untuk menanggung dosa jika saya kembali harus
merasakan perasaan yang mulai tumbuh kembali terhadap kamu”, lanjutku

“Fan, kamu sayang kan sama Meysa?”,

“Iya saya sayang sama dia”,

“Fan, kamu masih sayang sama aku?”,

Pertanyaan itu membuatku terhenyak dan tak menduga jika Nadia akan menanyakan hal seperti itu.

“Fan, kamu masih ada perasaan sama aku?”, tanya nya lagi dan aku hanya terdiam tak
mampu menjawabnya.

“Jujur Fan, sampai detik ini pun perasaan aku ke kamu masih utuh dan engga pernah
berkurang ataupun hilang sedikit pun, itu kenapa aku akhirnya memilih untuk menikah dengan laki-
laki lain. Bukan karena aku mencintai dia, tapi aku menikah hanya untuk mengalihkan fikiran dan
perasaan aku dari kamu, karena aku berharap kalo ada laki-laki lain yang setiap waktu sama aku,
aku bisa memindahkan dan mengalihkan semua perasaan aku ini dari kamu ke dia”, tuturnya

Layaknya patung, aku tak bergeming sedikit pun.

“Entah aku terlalu bodoh atau memang terlalu naif sebagai seorang perempuan, sampai-
sampai aku engga bisa lupain kamu Fan”,

“Nad, saya minta maaf”, ucapku singkat

26
“Fan, kamu mau engga turutin permintaan terakhir aku?”, ucapnya yg aku balas dengan
anggukan kecil

“Aku cuma minta sebelum aku menikah, kamu jadi pacar aku lagi Fan, meskipun terpaksa
kamu lakukan, tapi itu sudah cukup untuk mengobati rasa rindu, rasa ingin memiliki dan rasa sakit
ini. Aku engga akan menuntut banyak waktu kok, kita jalani hanya sampai hari pernikahan aku aja,
dan setelah itu kita bisa saling melupakan”,

Batinku tergoncang hebat, hatiku hancur, ketabahanku lebur. Jika bisa, maka aku akan memilih
untuk tidak pernah mengenal apa itu cinta.

To Be Continued. . .

Muhammad Maulana J.F

The Gates Has Fallen I (TBHF)


Dikarang dan ditulis oleh Muhammad Maulana J.F
23 Juni – 09 Agustus
2022

Thanks To :
Muhammad Maulana J.F as Irfan Maulana
Andres Andrian as Andi Andrian
Hardi Prasetya as Guru Arif
Septia Nandika as Caca Safitri
Meysa Febrianti
Sindi Indriyani
Nadia Ayu Syatifa

09 Agustus 2022

Muhammad Maulana J.F

Anda mungkin juga menyukai