I. Awal Petualangan
Langit membiru, matahari bersinar cerah. Pagi yang indah. Sesuai dengan jadwal rutinitasku, kubawa ember di
tangan kanan dan ember kecil berisi perangkat mandi di tangan satunya dengan handuk menggantung di leher.
Kutuju kamar mandi yang berada di halaman belakang rumah.
Kehidupan tahun tujuh puluhan memang belum senyaman masa kini. Karena keterbatasan anggaran, keluargaku dan
keluarga kakak ipar membangun kamar mandi bersama di halaman belakang, berdempetan dengan bagian belakang
rumah kakak ipar.
Bangunan kamar mandinya terbilang sederhana. Hanya terbuat dari bata merah tanpa plester dimana ruang wc
terpisah dari kamar mandi sedang untuk sarana air bersih harus diambil dari kolam, bahasa lokal menyebutnya
kambang, yang berada jauh di sisi lain halaman belakang rumah kakak ipar.
Jadi, bila mau mandi atau berak, kami harus mengambil air dulu dari kolam dan baru membawanya ke kamar mandi.
Ketidaknyamanan tingkat tinggi bagi anak zaman now.
Langkahku menuju kolam untuk mengambil air terhenti di teras belakang rumah kakak iparku karena kutemui istri
kakak iparku sedang duduk didepan seember besar rendaman pakaian kotor. Cantik sekali dia pagi ini. Wajahnya
yang basah dengan keringat terlihat begitu natural, sangat seksi di mataku.
Mataku bergeser ke bawah karena, untuk menghindari daster yang dikenakannya basah akibat air cucian, istri kakak
iparku mengikatnya ke pinggangnya sehingga pahanya yang putih susu dapat kunikmati, menimbulkan gejolak di
dada.
Jakunku naik turun membayangkan jemariku yang mengelus paha itu, mengecupinya penuh birahi. Belum lagi
membayangkan lidah ini menjilati selangkangan, saat mencumbui kemaluannya yang pasti harum dan legit.
Istri kakak ipar menghentikan kegiatannya, menyeka keringat yang jatuh di pipinya. Saat merapikan rambut
panjangnya yang jatuh di wajahnya, barulah ia sadar kalau ada aku yang berdiri didekatnya sedang
memperhatikannya. Istri kakak iparku balik menatap aku dan hanya tersenyum, tapi, tentu saja, membuat aku
gelagapan karena tertangkap basah menonton kecantikannya.
"Amir kenapa?"Istri kakak iparku menghadapkan duduknya ke arahku.
Oh ya, perempuan mungil itu memang memanggil nama kepadaku karena posisi aku yang adik iparnya meskipun
usiaku jauh lebih tua.
Dan, Hei! Teriakku dalam hati kala dia, seperti mengabaikan kehadiran aku didepannya, menggeser dasternya tinggi-
tinggi lalu menguakkan kedua pahanya, sehingga dengan jelas dapat kulihat pangkal selangkangannya yang
menghitam. Meskipun hanya melihat sebentar, karena istri kakak iparku langsung mengatupkan kembali
selangkangannya, jantungku berdetak tak karuan, adik kecil di selangkangan berontak dan mulai menggeliat.
"Aamiir...."Suara itu membangunkan aku dari keterpesonaanku terhadap area sensitif milik istri kakak iparku itu.
"A-a-a..,"tergagap aku. Tak mampu menjawab karena pandanganku tak mampu melepaskan momen keindahan
selangkangan tadi.
Alamak! Nafasku mendenguskan birahi dan imanku makin goyah manakala, entah disengaja atau tidak oleh istri
kakak iparku itu, tangannya menyelinap masuk ke dalam daster dan menggaruk areal selangkangan miliknya itu.
"Gatel,"ucapnya santai, tapi menimbulkan efek yang maha dahsyat bagiku yang masih terpesona dengan semua
kelakuannya. Jantungku menggemuruh kencang.
"Bulunya belum sempat di cukur, sudah panjang, jadi gatel,"lanjutnya lagi.
Fantasiku menjadi liar mendengar ucapannya. Gemetar tubuh ini membayangkan bulu-bulu ikal itu menumpuk
menutupi lembah basah yang memanjang indah di selangkangan itu, membayangkan, dengan mempergunakan
mulut, aku memainkan bulu-bulu ikal itu.
"Lupa pakai celana dalam, Amir."Tanpa diminta ia berucap lagi,"Semalam suamiku minta jatah."
Sialan sekali perempuan ini, pikirku. Apa maksud dia menceritakan semua itu kepadaku? Tapi, yang pasti birahi ini
menggejolak tak mampu kutata lagi. Ingin aku mendekatinya, ikut menggaruk selangkangannya, dengan kemaluanku
pastinya, tapi, untung saja aku masih sadar kalau kami masih di luar rumah, masih bisa jadi tontonan para tetangga.
Pandanganku teralihkan dari keindahan sang selangkangan saat anak istri kakak iparku, yang masih balita, yang
sambil menangis, muncul di ambang pintu, saat istri kakak iparku berdiri dan mengambil anaknya.
Sambil duduk di ambang pintu, istri kakak iparku memangku anaknya dan menurunkan tali dasternya. Saat itu aku
hanya mampu menelan ludah, berkali-kali. Buah dada yang terpampang jelas itu terlihat sangat-sangat indah. Meski
anaknya lima orang, tetapi buah dadanya masih ranum, bulat sempurna, dan begitu putih. Areal kecoklatannya yang
mengitari puncaknya tidak begitu luas, tetapi puting susu itu sangat menggoda. Dapat kurasakan kelaminku
memanas.
Istri kakak iparku menjejalkan puting susu ke mulut anaknya. Dengan lahap anak itu mengemut puting susu itu,
sementara tangannya menyelusup masuk ke daster ibunya untuk membawanya keluar. Sambil, dengan lahap
menyedot susu ibunya, anak balita itu, tanpa bersalah terhadap aku yang tersiksa, memainkan butiran coklat yang
ada di gunung lainnya, membuat jemari ini pun gatal ingin ikut memainkannya, membuat bibir ini berkejap-kejap
siap menanti kesempatan untuk ikut menyusu.
Istri kakak iparku hanya tersenyum melihat aku yang mematung dengan mata melotot mengarah ke kedua gundukan
daging miliknya, membiarkannya menjadi santapan mataku, membuat jakunku naik turun dan adik kecil di
selangkangan menggeliat-geliat.
Lama aku menikmati keindahan buah dada yang menggayut indah sampai sang anak melepaskan puting susu ibunya,
turun dari pangkuan ibunya, dan menarik tangan sang ibu. Masih tetap melempar senyum mengajak ke arahku, istri
kakak iparku merapikan pakaiannya sehingga dua gundukan daging kenyal nan putih lenyap dari pandangan. Ia
berdiri dan menggendong balita beruntung itu.
Sambil menatap aku, ia berucap, "Nanti malam aku tunggu."
"A-apa?"tanyaku kurang faham.
"Kutunggu nanti malam. Pintunya tidak kukunci."
Aku diam coba mencerna ucapannya.
"Jangan lupa nanti malam."Istri kakak iparku menghilang bersama anaknya.
Aku tetap diam. Lama. Masih tidak percaya aku mendengarnya. Nyatakah ajakan itu? Akhirnya kuputuskan untuk
meninggalkan tempat itu dan berjalan menuju kolam untuk mengambil air untuk mandi. Biarlah waktu yang akan
membuktikan kebenaran undangan istri kakak iparku. Apakah ia akan menolak saat aku mendatangi rumahnya, saat
aku menjelajahi tubuh telanjangnya?
"Jangan lupa nanti malam."Istri kakak iparku menghilang bersama anaknya.
Aku tetap diam. Lama. Masih tidak percaya aku mendengarnya. Nyatakah ajakan itu? Akhirnya kuputuskan untuk
meninggalkan tempat itu dan berjalan menuju kolam untuk mengambil air untuk mandi. Biarlah waktu yang akan
membuktikan kebenaran undangan istri kakak iparku. Apakah ia akan menolak saat aku mendatangi rumahnya, saat
aku menjelajahi tubuh telanjangnya?
Dan malam itu, sesuai yang dijanjikannya, aku sudah berdiri di belakang rumahnya, bersembunyi di bayangan pohon.
Mataku berkali-kali menatap ke pintu rumah itu. Menunggu.
Sebenarnya aku tidak perlu takut menyelinap masuk ke rumahnya karena suaminya tidak tidur di rumah. Sama
sepertiku, suaminya mempunyai toko kelontong di depan lorong. Lorong adalah sebutan bagi orang Palembang
untuk menyebut gang, jalan perumahan.
Toko punyaku dan toko milik suaminya berdekatan. Agar tidak dimasuki maling, toko itu harus dijaga. Jadi, aku,
begitu pula suaminya, harus tidur di toko.
Lagipula, di masa itu, hiburan sangatlah kurang. Hanya TVRI yang dapat memenuhi kebutuhan hiburan. Itu pun
hanya sampai jam sebelas malam, kalau tidak salah. Jadi, begitu TVRI berhenti siaran, maka kehidupan pun berhenti.
Tapi, aku harus hati-hati. Aku belum tahu kondisi malam ini. Siapa tahu ada orang yang memergoki aksiku. Jadi, aku
harus sabar. Orang sabar 'kan di sayang Tuhan.
Ketika arloji mengarah ke angka dua belas, sambil berdoa semoga malam ini tak terjadi sesuatu yang memalukan,
aku berjalan mendekati pintu itu. Hati-hati aku melangkah agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Setiba di depan pintu rumah itu setelah tengok kiri kanan, kudorong pelan pintu itu. Ternyata pintu itu memang
tidak terkunci. Hanya diganjal dari dalam. Dengan segera aku menyelinap masuk dan menutup kembali pintu itu.
Dapurnya temaram, tapi, di ujung sana, ada sinar keluar dari pintu yang membuka. Dengan jantung yang berdetak
tak karuan, aku mendekati pintu itu.
Dengan mengucap bismillah, aku mengintip ke dalam kamar yang benderang itu. Dan di dalam kamar itu, kutemui
satu pemandangan teramat indah yang membuat nafasku tercekat, mataku nyaris mencelat, sebab perempuan itu,
istri kakak iparku, berbaring di tempat tidurnya dengan posisi yang aduhai. Menantang sekali gaya tidurnya. Daster
yang dikenakannya tersingkap meninggi, sehingga paha putih susunya dan celana dalam yang senada dengan warna
daster itu sangat mengundang untuk disentuh.
Sontak birahi yang sedari pagi telah bangun, kini bangkit kembali, memenuhi pikiranku, tapi sebelum aku melangkah
masuk kamar, untuk mendatanginya, dari atas tempat tidur, istri kakak iparku menggeliat pelan. Mata sang pemilik
kamar membuka, menatap aku yang masih berdiri di ambang pintu. Ia lalu duduk di sisi tempat tidur, senyumnya
merekah.
“Ayo, masuk. Jangan berdiri saja."Suara itu terdengar menggoda.
Seperti terhipnotis, aku melangkah masuk. Ternyata kamar tidurnya mempunyai dua pintu keluar. Pintu yang
kumasuki tadi mengarah ke dapur sedang pintu satunya lagi sepertinya menyambung ke ruang tengah rumahnya.
"Kirain Amir tidak datang.” Istri kakak iparku menggeser duduknya, mengajak aku duduk.
Ah, sepertinya istri kakak iparku memang telah menunggu kehadiranku. Sepertinya ia tidak mau pertemuan kami
malam ini terganggu, sehingga dua anaknya terbaring di kasur kecil di lantai.
Disampingnya, aku duduk. Kami bertatapan, saling lempar senyum. Mataku bergerilya menjelajah tubuhnya. Daster
biru muda yang dipakainya malam ini sangat serasi dengan kulit putih mulusnya sementara buah dada ranum
membulat lengkap dengan butiran menerawang seksi di daster itu. Kemudian mataku turun menikmati paha putih
susu yang tadi siang menggodaku yang kini begitu dekat, telah siap aku jamah.
Kembali mataku ke wajah manis didepanku. Kembali berpandangan. Kembali saling senyum.
"Eceu cantik,"pujiku.
Istri kakak iparku hanya tersenyum. Saat itulah, dibawah kendali birahi, aku menarik turun daster itu sehingga buah
dada itu telak berada di depan mataku. Mungil bak buah dada seorang abg tapi itu yang membuat birahiku
melonjak-lonjak.
Jemarinya menahan tanganku yang jatuh di buah dadanya, yang meremas gundukan daging kenyalnya. Mata itu
terpejam seperti menikmati aksi jemariku.
Bibirnya kuambil. Dia menyambutnya. Bibir kami berpagutan, ganas seganas remasan jemariku di buah dadanya.
Kulepaskan bibirnya. Kutatap ia, ia pun balik menatapku. Bodoh sekali suami perempuan mungil ini, pikirku. Ya.
Hanya lelaki bodoh yang mau membuang kesempatan untuk menikmati tubuh perempuan ini. Apalagi perempuan
ini dengan rela bersedia berbagi kehangatan.
Wajah kami saling mendekat, tapi..., sialan! Istri kakak iparku yang malah mencumbu aku. Disedotnya bibirku.
Lidahnya menyusup ke dalam mulutku, bermain di dalamnya untuk kembali mencumbu bibirku. Berulang-ulang dia
melakukannya.
Tapi, tak mau kalah, selama dia tenggelam bermain dengan bibirku, jemari ini menyelinap ke dalam dasternya,
menyentuh selangkangannya, memainkan kelaminnya yang masih tersembunyi di balik celana dalam yang
dikenakannya.
Karena area selangkangan yang semakin sempit, aku meninggalkan tubuh istri kakak iparku. Dihadapannya aku
berdiri. Cepat-cepat celana aku turunkan dan mengeluarkan penyebab rasa sempit di celana yang kupakai.
Gila! Istri kakak iparku meraih senjata yang mengacung perkasa dihadapannya dan meremasnya. Seperti telah
terbiasa, jari-jemarinya maju mundur mengocok kontolku. Bergidik tubuhku begitu ujung kontolku disentuhnya.
Tanpa diminta, istri kakak iparku menempelkan senjataku di mulutnya. Aku menggeliat geli karena, dengan lincah,
lidahnya mengeksplorasi senjataku. Dijilatinya, dicelupkannya ke mulutnya untuk diemutnya dan itu dilakukannya
berulang-ulang, sementara aku hanya mampu meremasi rambut panjangnya dan aku benar-benar menikmati.
Sangat-sangat ahli betina ini, gumamku.
Akibat birahi yang melambung tinggi, kutarik lepas senjataku dari genggamannya. Tenang sekali ia memandang aku,
lalu memandang senjataku, untuk kemudian memandang aku kembali. Liar dan tanpa rasa bersalah, membuat aku
tidak sabar ingin merasakan lubang kenikmatan perempuan mungil ini. Akan kuperlihatkan bagaimana caraku
membuat dia kewalahan menghadapi seranganku.
Kubuka kemeja yang kupakai sekaligus kaos dalam dan melemparkannya ke kursi kecil didepan meja hias. Setelah
itu, aku memerosotkan celana katunku, juga kolor yang menutupi kejantananku.
Terdengar gerit pelan ketika aku menaiki tempat tidur yang terbuat dari besi itu. Dia hanya diam menatap aku yang
merayap mendekatinya dan tetap diam saat tubuhnya aku dorong rebah.
Kini aku berada di antara dua pahanya. Dengan leluasa aku menaikkan dasternya yang membuat celana dalam biru
mudanya yang menutupi selangkangan putih mulusnya menampak. Tubuhnya terlonjak saat jemariku menggapai
bagian tengah celana dalam yang sudah basah itu. Hanya sebentar jemariku bermain di area sensitif miliknya. Kini
jemariku mengelus pelan sisi luar dua pahanya, menggapai pinggangnya dan mulai menurunkan celana dalam itu.
Dia mengangkat pantatnya untuk mempermudah celana dalamnya meninggalkan selangkangannya.
Akhirnya celana dalam itu terlepas. Area intim perempuan mungil ini nyata jelas dihadapanku. Kembali tubuhnya
bergidik manakala area intimnya aku sentuh. Bulu-bulunya pendek-pendek tetapi kasar dan, kini, dua jemariku
memainkan daging yang berada didalam belahan kelaminnya. Istri kakak iparku ini menggeliat nikmat dan napasnya
mulai memburu.
Dua pahanya kubuka lebih lebar dan aku beringsut masuk. Tubuh istri kakak iparku bergetar saat senjata milikku
menyentuh area sensitif miliknya. Seperti dugaanku, dia sudah terbakar birahi pula. Dia pasti teramat ingin
secepatnya terpuaskan. Dia meraih daging mengeras kebanggaanku dan mengarahkannya ke lubang intim miliknya.
Dan biarlah malam ini aku mengalah. Aku hanya ingin melayani perempuan mungil ini dan memberinya kepuasan
sehingga dia akan selalu mengharapkan kehadiranku untuk menggaulinya.
"Aah...."Terdengar lenguhan panjang manakala senjata miliku dengan perlahan kudorong masuk ke lubang
kenikmatannya. Sungguh lancar karena lubang bersemak itu telah terlumuri cairan.
Setelah senjata tertanam dalam-dalam, kutopang dua tanganku di kasur pada sisi tubuh itu, dan aku mulai
menggerakkan senjataku. Seiring tusukan senjataku, matanya terpejam dan mulutnya membuka, desahan pun
terdengar.
Tanpa menghentikan sodokan senjataku, mulutku melumat kedua gunung yang ada dihadapanku, bergantian,
mengulumnya, menyedotnya, dan mengemut butiran kecoklatan yang ada di atasnya.
"Amir, Jangan di buat merah,"ucapnya lemah disela desahannya.
Tersenyum jadinya aku mendengar ucapannya. Rupanya, diantara lautan birahi, perempuan mungil ini masih mampu
berfikir sehat. Aku pun tahu aku tidak boleh meninggalkan jejak pada tubuh mulus ini. Bisa berbahaya kalau
suaminya mendapati jejak-jejak mencurigakan di tubuh istrinya. Aku faham itu.
Tanpa menghentikan tusukan senjataku di lubang kenikmatan itu, aku timpakan tubuh ini ke tubuhnya, mengulum
bibirnya. Perempuan mungil itu membalas ciumanku dengan lebih hangat.
Gerakan tubuhnya menjadi lebih liar ketika bibirku bermain di lehernya, menjilati, dan menggigiti pelan telinganya.
Istri kakak iparku semakin rajin mendesah dan aku pun mempercepat seranganku.
"Aaah...."lenguhan panjang terdengar saat, dengan cepat, aku mencabut senjataku dari kemaluannya.
Kutinggalkan dia yang terbaring terengah-engah. Tanpa membuang waktu, kubalik tubuhnya dan kuposisikan dia
memunggungiku. Kudekatkan rudalku ke belahan pantatnya.
Pok! Kutempeleng pantatnya yang mulus itu. Saat kudesakkan senjata ke dalam lubang kenikmatannya, sang pemilik
hanya bisa melenguh,"Ahh..."
Bunyi plok-plok terdengar kala kuserang belahan pantatnya, sementara desahannya keras terdengar. Semakin keras
racauannya, semakin semangat pula aku mempercepat seranganku.
Nafasku menyesak. Senjataku kurasakan bertambah besar dan panas. Aku tahu spermaku hendak meledak, maka
kucabut senjata dari lubang kenikmatannya. Dengan cepat kuterlentangkan dia dan kubuka lebar dua pahanya. Aku
masuk dan menancapkan kembali senjataku ke kedalaman lubang di selangkangannya, yang membuat dia terpekik.
Kutindih dia. Kunaikkan paha kiri ke paha kanannya dan kulanjutkan sodokan senjataku ke lubang kenikmatannya.
Desahannya kembali terdengar."Ah.... ah.... ah!"
"Aku mau keluar,"ucapku di telinganya saat senjataku kembali berdenyut-denyut.
Maka kupercepat gerak senjataku menusuki lubang kemaluannya dan kamar pun penuh dengan desahan
perempuan mungil yang berada dibawah tindihan tubuhku.
Aliran panas mengalir cepat di dalam senjataku. Tubuhku menegang, nafasku terhenti. Senjata kutekan dalam-dalam
di dalam kemaluannya hingga, akhirnya, cairan hangat menyemprot, beberapa kali, memenuhi lubang kenikmatan
itu.
Setelah semprotan air berhenti, tubuh pun melemah. Tenagaku hilang. Dengan napas yang ngos-ngosan, aku
terjatuh lemas di atas tubuhnya. Begitu pun istri kakak iparku yang ada dibawahku saat ini. Dapat kurasakan
napasnya yang memburu dan detak jantungnya yang tak beraturan beradu dengan detak jantungku.
Setelah tenaga pulih, kucabut senjataku yang masih tertancap di lubang kemaluannya. Aku turun dari tubuhnya.
Bersama kami berbaring berdampingan di atas tempat tidurnya. Kucium pipinya yang basah dengan keringat.
Dengan erat kupeluk dia.
Setelah napas kembali normal dan tenaga terpulihkan, dengan posisi miring, dengan tangan menahan kepala, tanpa
rasa puas, mata ini menjalari tubuh telanjang di sampingku. Matanya yang terpejam dan dua bibir yang membuka
terlihat seksi. Belum lagi payudara mungilnya yang bergerak naik turun teratur. Beruntung sekali aku malam ini yang
dapat menikmati tubuh indahnya.
Ah, membayangkan liarnya perempuan ini dalam pertempuran perdana kami malam ini, menimbulkan kembali
hasrat untuk menyetubuhinya. Si otong pun perlahan menggeliat, mengajak sang birahi untuk menggauli tubuh
telanjang ini.
"Hai, cewek,"panggilku pelan.
Dia yang berbaring telanjang disampingku membuka matanya dan menoleh. Menatap aku.
"Boleh kenalan?"
Istri kakak iparku ikut memiringkan tubuhnya, menghadap ke arahku. Sama, tangannya pun menahan
kepalanya."Abang ke mana saja, Abang?"
"Rupanya selama ini mata abang buta."
"Buta kenapa, Abang?"
"Buta karena tidak menyadari ada cewek cantik di sebelah rumah,"sambil berucap, jemariku mengelus pipinya.
"Boleh kenalan nggak?"
Bibir itu tersenyum dan kepalanya mengangguk. Lalu,"Nama saya Ningsih, Abang."
"Ningsih. Nama yang cantik, secantik orangnya."
Jemariku menyentil hidungnya. Lalu,"Seindah hidung ini."
Kusentuh bibirnya."Seseksi bibir ini."
Pelan kuremas payudaranya."Seranum dada ini."
Terakhir, kugapai memeknya,"Selezat memek ini."
"Memang dulu adik nggak cantik, ya, Abang?"
"Adik cantik."
"Kalau adik cantik, kenapa abang baru sekarang main ke rumah adik ini?"
"Kan abang sudah kasih tahu tadi, mata abang buta."
Jemari tangan perempuan mungil itu mengelus dadaku, memainkan butiran yang ada di sana, yang membuat aku
bergidik.
"Abang,"lembut suara perempuan mungil itu.
"Ya, Adik?"Aku menatapnya.
"Burungnya, kok, bergerak-gerak?"Perempuan mungil itu menatap selangkanganku.
Aku tersenyum. Pelan aku meremas payudaranya. Lalu,"Burungnya mengajak masuk ke sarang barunya, Adik."
"Sarang apa, Abang?"Perempuan mungil ini bertanya lugu.
"Sarang itu, tuh?"Kuarahkan mata ke bagian bawah tubuh telanjangnya.
"Itu tuh apa, Abang?"Senyumnya merekah genit.
Sialan! Baru sadar aku kalau dipermainkannya aku.
"Yang ini, nih."Dengan gemas jari-jariku meremas lembut memeknya.
Tubuh bugil itu menggelinjang, dan tawa genitnya terdengar manakala area intimnya aku permainkan. Kukunya
mencengkeram di dadaku.
"Memeknya enak,"ucapku pelan sementara jari tengah aku tusuk ke lubang kenikmatan itu dan mengobok-ngobok
lubang itu.
"Memang memek adik kue, ya, Abang?"Masih sempat juga dia bergurau.
"Boleh, ya, Adik?"
"Nggak boleh, Abang."
"Kok, nggak boleh?"
"Nggak boleh sebentar maksudnya, Abang."
Senyumku melebar. Kudorong tubuhnya terlentang. Sambil menciumi pipinya, aku menaiki tubuh bugilnya.
Menciumi bibir itu. Mencumbui leher dan telinganya.
Tubuhnya mengejang dan napasnya tertahan saat ujung senjata menempel di lubang kemaluannya. Dengan
perlahan kutekan senjata masuk dan mulai menggerakkan senjataku maju mundur. Kueratkan pelukanku ke tubuh
telanjangnya dan kontolku bergerak memutari lubang kemaluannya untuk kemudian memajumundurkannya
kembali, berulang-ulang dan aku suka. Napas terengah-engah dan desahannya, membuat aku terpacu mempercepat
tusukan ke kelaminnya.
Dan kembali aku membuang spermaku di dalam lubang kemaluannya.
"Maaf, Ceu. Kecepatan keluarnya,"ucapku."Memeknya enak. Tak tahan aku."
Di antara desah napasnya yang tak teratur, dia tersenyum.
Saat aku hendak turun dari tubuh mungilnya, dia menahan aku, memandang mataku, dan,"Nama abang siapa?"
Nakal juga perempuan ini, pikirku.
Maka kubatalkan niatku untuk turun dari tubuh telanjangnya. Kusibak rambut yang menutupi telinganya dan aku
dekatkan bibirku. "Amir, namaku."
"Amir? Mengingatkan aku pada seseorang,"pelan suaranya.
"Siapa?"Kupandang ia.
"Mantan pelaut yang berani menggagahiku malam ini."
"Eceu pun hebat. Aku jadi lemah didepan Eceu."
Sekilas aku mengambil bibirnya. Lalu,"Suami jarang tidur di rumah, ya?"
"Iya. Sesuka dia kapan mau datang."
"Kasihan ya, Eceu."Kini buah dadanya berada dalam genggaman jemariku, meremasnya."Payudara cantik ini dia sia-
siakan."
Perempuan mungil itu menatap aku, tersenyum pahit.
"Kalau aku tiap malam datang, boleh?"
Istri kakak iparku kembali tersenyum."Boleh..."
"Kalau pagi?"
"Asal suamiku tidak ada di rumah. Boleh"
"Kalau siang?"
"Asal suamiku tidak ada di rumah. Silakan."
"Kalau sore?"
"Iya, asal suamiku tidak ada di rumah, Amir."
"Janji, ya."
"Janji,"ucap Istri kakak iparku sebelum mengecup bibirku sekilas.
Dan itulah awal perjalanan hubungan terlarang ini. Aku berusaha agar "persahabatan" ini awet tanpa tercium banyak
fihak karena lelaki mana yang akan menolak tawaran kehangatan yang diberikan perempuan ini. Keganasannya
dalam melayani aku malam ini sungguh membuatku gila. Kukira istri kakak iparku pun menyukai kehadiranku karena
dia selalu ada setiap aku membutuhkannya. Bahkan terkadang dia yang mengundang aku untuk menyetubuhinya.
Aku berdiri didepan cermin, mengeringkan tubuhku, dan mengabaikan panggilannya. Kutatap tubuh telanjangku
yang terpampang di cermin itu.
"Amir!" istri kakak iparku memanggil aku. "Amir."
Kutolehkan kepala ke asal suara. Istri kakak iparku bersembunyi dibalik pintu kamar mandi. Hanya kepalanya saja
yang terlihat.
"Handuknya," ucapnya padaku. "Kemarikan handuknya."
Tersenyum aku padanya.
"Ke sini, Amir,"ambeknya karena aku tetap diam di tempat."Saya sudah kedinginan, nih."
Melangkah aku mendekat. Pintu kamar mandi aku dorong membuka. Kutarik istri kakak iparku keluar. Tubuh
telanjangnya masih dipenuhi bulir-bulir air yang mengalir turun. Dua tangannya menutupi buah dadanya. Gemetar
dia. Bibirnya pun bergetar.
"Makanya, kalau mandi itu jangan lama-lama."Bak seorang ibu yang memarahi anaknya yang nakal, aku
mengomelinya."Nanti kalau sakit orang lain juga yang susah."
Manyun dia saat aku mengeringkan tubuhnya. Diam dia saat kedua buah dadanya aku handuki bergantian atau saat
areal selangkangannya aku keringkan. Pasrah saat, dengan handuk, aku selimuti dia.
"Mau kemana?" tanyanya karena aku bopong dia.
"Katanya Eceu kedinginan, jadi sekarang aku kasih kehangatan." Sambil membopongnya, aku berjalan menuju
tempat tidur.
Setelah merebahkan istri kakak iparku di tempat tidur, aku buka handuk yang menyelimutinya. Sebelum dia sempat
bergerak, aku tindih dia, melingkar dua tangan ke tubuh telanjangnya.
"Aduh, Amir. Apa-apaan ini."Dibawah tindihan aku, istri kakak iparku berusaha menurunkan aku. Maka, aku
tinggikan tubuhku, tapi dua tangannya kupegang erat agar dia tidak bisa bergerak.
"Eceu diam. Biar aku hangati tubuh Eceu,"ucapku karena istri kakak iparku masih berusaha untuk bangkit dari
rebahnya.
"Ini sudah jam berapa, Amir?"rengeknya.
"Makanya, Eceu turuti saja biar kita cepat pulang,"pintaku dengan masih tetap tidak melepaskan pegangan di kedua
tangannya.
Akhirnya istri kakak iparku mengikuti permintaanku. Diam dia berbaring. Pahanya melebar karena aku sudah masuk
di antara dua pahanya. Tubuh telanjangnya yang masih basah itu aku timpa dan kucari bibirnya. Hangat bibirnya
menyambut bibirku. Dua tangan istri kakak iparku melingkari tubuhku dan aku pun melingkarkan tangan ke
tubuhnya. Bibir kami semakin bertaut erat.
Bibirnya aku lepaskan. Kutatap d etia. Tersenyum dia. Kutegakkan dua tangan di sisi tubuhnya lalu kontol aku
gerakkan untuk mencari lubang kenikmatan miliknya. Wajah imut istri kakak iparku menjengit, menikmati kontolku
yang masuk ke dalam lubang kemaluannya. Mulutnya membuka, membiarkan lenguhannya terdengar. Dalam-dalam,
aku menekan kontolku. Kontolku memutari kemaluannya, beberapa kali sebelum kembali aku memajumundurkan
kontolku.
Sambil tetap memajumundurkan kontolku dalam kemaluannya, kupeluk dia. Kucumbui lehernya, menjilati lubang
telinganya. Mendesah-desah istri kakak iparku dibuatnya. Tubuhnya menggeliat bak cacing kepanasan.
"Aaah..."panjang teriakan istri kakak iparku manakala dengan tiba-tiba kucabut kontolku dari lubang kemaluannya.
Cepat-cepat aku turun dari tubuh telanjang istri kakak iparku dan beralih duduk di antara dua pahanya. Istri kakak
iparku melebarkan kedua pahanya saat aku mendekatkan kontolku ke lubang bersemak itu. Diambilnya kontolku dan
ditekankannya ke lubang kenikmatan miliknya. Desahannya keluar.
Pinggangnya aku pegang dan aku percepat gerak kontolku menyetubuhinya. Dengan mata terpejam, istri kakak
iparku yang terbaring didepanku menggeliat dan mendesah seirama dengan tusukan kontolku di lubang kenikmatan
miliknya.
Dapat kurasakan cairan di pangkal kontolku memberontak. Maka, dengan posisi setengah menungging, dengan dua
pahanya tertimpa dua tanganku, gerakanku menyetubuhinya aku percepat. Tubuhku mengejang manakala sperma
mengalir cepat mengalir dalam batang kontol untuk akhirnya menyemprot di dalam kedalaman lubang nikmat itu.
Terjatuh aku menimpa istri kakak iparku. Kehilangan keseimbangan. Istri kakak iparku mengelus punggungku yang
basah keringat, sementara kepalaku terbaring lemah di sisi kepalanya. Detak jantung kami yang tak beraturan,
dengus nafas kami yang sama-sama berlari, menyatu melalui kulit kami yang basah.
Begitu aku dari atas tubuh telanjangnya. Istri kakak iparku bangkit dan duduk bersila. Dengan tanganku, aku
memangku kepalaku dan tubuh menyamping menghadap ke cermin. Dari cermin, dapat terlihat buah dada-buah
dadanya yang ranum membulat. Punggung putihnya aku elus, pundaknya aku sentuh.
"Kita pulang, yuk, Amir."Suara lembut istri kakak iparku terdengar.
Bangkit aku dari baringku dan duduk dibelakangnya. Kucium pundaknya, kuambil buah dadanya dan meremasnya
sebentar.
"Eceu siap-siaplah,"bisikku di telinganya.
Istri kakak iparku turun dari tempat tidur. Dikenakannya beha dan celana dalamnya. Kemudian ia mengenakan
pakaiannya. Setelah itu,"Sisir mana?"
Kucari sisir dari saku belakang celana dan kuserahkan kepadanya. Sambil menunggu istri kakak iparku merapikan
rambutnya, aku berpakaian.
"Amir,"panggil istri kakak iparku pelan dengan muka meringis.
"Ada apa?"
"Mau pipis."
"Ya, pipislah."
"Tapi, jangan menyusul masuk, ya."
Hahaha! Tawaku pecah.
"Iya. Aku janji,"ucapku setelah berhenti tertawa."Tapi, aku boleh datang lagi nanti malam 'kan, ke kamar Eceu?"
Istri kakak iparku menatap aku heran.
"Jangan marah dulu. Bukannya tidak tidak puas, Ceu,"jelasku,"tapi ketagihan. Habis memek Eceu syeedaap..."
"Gombal."Istri kakak iparku menghilang ke dalam kamar mandi.
Dalam kesendirian, aku hanya bisa berucap terima kasih kepada Tuhan yang sudah menyatukan aku dengan Eceu,
istri kakak iparku, perempuan sempurna dan super buas itu.
“Nanti ada yang lihat!”ujarnya lagi begitu tanganku masuk ke dalam rok dan menarik turun celana dalam itu.
"Amiir..."rengeknya.
"Diam, Ceu. Nanti Dadan dengar,"ucapku sambil menempelkan senjataku di belahan pantatnya.
Tanpa perlawanan, dia buka lebar pahanya untuk mempermudahkan aku menusukkan senjata ke lubang
kemaluannya yang sudah basah itu dan,"Ah! Amir."
Pinggangnya aku pegang. Pelan-pelan kugenjot kemaluannya, maju dan mundur. Desahannya terdengar pelan.
Sepertinya dia sengaja meredam desahannya agar tidak menyebar jauh.
"Mimih!"teriakan Dadan membuyarkan konsentrasi kami.
Dengan segera kucabut senjataku dari alat kelaminnya. Cepat-cepat aku masukkan kontol ke dalam celana dalam.
Sambil merapikan celana, kuarahkan pandangan. Begitu pula istri kakak iparku yang merapikan roknya, matanya pun
beredar menatap sekitar kami yang tetap sepi. Tapi, tidak terlihat satu pun batang hidung orang.
Dadan berlari menjauhi kami, menuju pagar kawat."Pesawat terbang!"
Lemas istri kakak iparku duduk. Demikian juga aku yang ikut terduduk di hamparan plastik itu. Detak jantungku yang
tak karuan, seperti hendak lepas dari tempatnya. Kami bertatap, menghela napas lega, lantas tersenyum. Istri kakak
iparku memegang dadanya, seperti hendak menenangkan jantungnya yang pasti sama berdetak tidak karuan.
Maka, kuambilnya botol air minum yang menggeletak di dekat asoy makanan dan kuanjurkan istri kakak iparku
untuk minum. Aku biarkan dia meneguk air minum itu untuk menenangkan diri. Setelah itu, giliran aku yang
meminumnya. Tapi, belum sempat aku menaruh kembali botol air minum, di buat heran aku dengan kelakuan istri
kakak iparku yang celingak-celinguk seperti ketakutan dan lalu senyumku terbit melihat dia mengambil celana dalam
yang masih menyangkut di kakinya. Secepatnya dia menyimpannya di dalam tasnya.
Sialan budak kecik tu, gumamku kesal sembari menatap Dadan yang hilir mudik didekat pagar kawat. Kukira ada
orang yang mengetahui keberadaan kami dan datang untuk menggerebek. Rupanya hanya pesawat terbang yang
akan berangkat. Oh ya, tempat kencan kami ini memang berada di luar areal bandar udara Talang Betutu. Sekarang
Bandar Udara Talang Betutu menjadi menjadi milik Angkatan Udara Republik Indonesia. Pemisah antara kami
dengan lokasi bandara adalah pagar kawat setinggi enam meteran.
Kupanjangkan kaki-kakiku ke depan sementara istri kakak iparku melipat kedua kakinya dibawah rok. Aku bergeser,
merapat kembali kepadanya. Aku ambil jemari tangannya dan aku remas pelan. Sayangnya istri kakak iparku tidak
membalas meremas jemariku. Dalam diam, bersama-sama kami menikmati birunya langit hari ini, arakan-arakan
awan yang melewati kami, dan menonton Dadan yang masih menunggu pesawat terbang sambil bergelantungan di
pagar kawat pembatas.
Lalu,“Burungku bangun, Ceu?"
"Kok bisa?"
"Ya, bisalah. Kan dekat dengan Eceu."
"Gombal..."
"Ini kalau tidak percaya."Aku keluarkan senjataku dari dalam celana dalam.
"Nanti ada orang, Amir,"tukas istri kakak iparku sambil kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan.
"Kan ada Dadan yang menjadi penjaga."Dengan bibirku, aku menunjuk Dadan yang masih berdiri berpegangan pada
kawat pembatas.
"Dadan itu masih kecil, Amiir,"kesal istri kakak iparku mencubit pahaku dan aku hanya tertawa.
"Cepat disimpan burungnya. Nanti dilihat Dadan,"ucapnya lagi saat mendapati kontolku yang memang tidak aku
kembalikan ke dalam celana dalam.
"Burungnya ingin masuk ke sarangnya lagi, Ceu,"bisikku di telinganya,"Tadi terganggu gara-gara kapal terbang."
Melengos istri kakak iparku.
"Aman, kan?"gurauku saat mata istri kakak iparku selesai bergerilya memantau keamanan sekitar kami.
"Nanti ada orang, Amir,"ucapnya saat kutarik wajahnya mendongak, tapi dibiarkannya aku mengambil bibirnya. Buas
dia membalas kulumanku. Desahan keluar tertahan-tahan akibat bibirnya masih masih menyatu dengan bibirku,
sementara jari-jari masuk ke dalam rok, meraba pahanya yang segera melebar kala jemariku meraih lubang
bersemak yang hangat dan lembut itu.
Akhirnya, dengan bibir tetap menyatu hangat, kudorong tubuhnya rebah di atas hamparan plastik. Kutimpakan
tubuhku untuk menindih dia. Sebelum istri kakak iparku memprotesnya, aku pegang kepalanya dan kuhujani pipinya
dengan ciumanku.
Ciumanku terhenti karena Dadan duduk disamping kami. Sambil memegang kaleng minuman, dia memandang kami.
Aku tatap istri kakak iparku yang terbaring aku tindih dan dia pun menatap aku, tapi dia tidak hendak membuatku
turun dari menindihnya. Maka, dua tanganku aku taruh di samping tubuhnya. Aku angkat tubuhku tinggi
meninggalkan tubuhnya, tapi tidak selangkangannya. Kontolku merangsek masuk di antara dua pahanya. Kusibak
roknya. Kurasakan kulit kemaluannya yang hangat dan lembut, sekaligus juga bulu-bulu jembutnya yang kasar, saat
kontolku menempel. Sambil menatap dia yang aku tindih, aku gesek-gesekan kontolku di belahan memanjang di
selangkangannya, maju mundur. Melotot mata istri kakak iparku jadinya, tapi dia tidak memprotesnya. Karena
kontolku telah berada di dalam belahan memanjang itu, aku angkat sedikit pantatku dan istri kakak iparku menjengit
ketika kepala kontolku tiba di ambang lubang di selangkangan itu.
Saat aku benamkan kontolku, jari-jari istri kakak iparku mencengkeram tanganku dan dia melenguh panjang."Ahh...."
Sambil tetap memajumundurkan kontolku di dalam lubang kemaluannya, aku menatap dia dan istri kakak iparku
balik menatap aku. Mulutnya membuka, tapi tak terdengar desahannya. Mata itu melotot.
Seperti tidak mau mengganggu kami, Dadan akhirnya ikut berbaring disamping kami. Sambil tetap melihat ke arah
kami, matanya mulai terpejam. Kaleng minuman yang dia pegang, agar tidak tumpah, aku ambil.
Dan, akhirnya, dibawah bayangan langit biru cerah, diiringi hembusan angin, tubuh kami menyatu. Tersembunyi di
balik semak-semak, aku hujamkan kontolku maju mundur. Dengusnya terdengar berirama di telingaku. Birahi yang
tertinggal semalam kami hamburkan saat ini.
“Mau kemana?”istri kakak iparku bertanya bingung kala aku tarik dia berdiri.
Sambil menurunkan roknya yang tersingkap, mata istri kakak iparku menyebar ke setiap sudut untuk memastikan
tidak ada mata yang melihatnya.
"Kita lihat kapal terbang, Ceu,"sambil tersenyum, sambil merengkuh tubuhnya, aku berucap.
“Jangan gila, Amir,”ucapnya panik.
Aku, yang sudah terbenam dalam birahi, karena istri kakak iparku terus melawan, mengangkat tubuh mungilnya,
membopongnya. Terhalang celana yang menyangkut di lututku, dengan hati-hati aku melangkah karena istri kakak
iparku ribut didalam gendonganku. Sesampai didepan pagar kawat pembatas bandara, aku turunkan dia.
“Nanti ada yang lihat, Amir,” ujarnya ketakutan.
Sebenarnya aku pun takut. Tapi, birahi ini membutakan aku. Semoga saja tidak ada yang lihat, batinku saat ada
pesawat yang melaju didepan kami.
Berjongkok aku di depannya. Kaki kirinya aku angkat meninggi, lalu kepalaku bermain di selangkangannya. Ada
desahan terdengar kala kemaluannya aku jilati. Jemari tangannya menjambak rambutku. Dengan lidahku, aku tusuk-
tusuki lubang kemaluannya. Desahannya lebih kuat terdengar."Ah...ah...ah..."
Selangkangan itu aku tinggalkan. Aku berdiri sementara istri kakak iparku menurunkan kaki kirinya, ikut berdiri
sembari menutupi selangkangannya dengan roknya. Kupegang kontolku yang panjang menegang. Roknya kutarik
meninggi dan kudatangi selangkangannya. Kembali aku angkat paha kirinya dan tangannya mencengkeram erat pada
kawat pembatas. Kupendekkan dua kakiku agar tinggiku seimbang dengan lubang kemaluannya. Menyeringai dia
kala aku tusukkan kontolku ke lubang kenikmatan miliknya. Terdengar lenguhan panjang ketika kontolku memutari
lubang yang membasah itu. Berjinjit kakinya agar kontolku tidak terlepas saat aku meninggi. Masih dalam posisi
berdiri berhadap-hadapan, kudesak-desakkan kontolku ke kemaluannnya. Istriku kian kuat berpegangan pada kawat
pembatas. Desahannya pun kian keras terdengar.
"Ahh!"Terdengar keras desahan ketika aku tarik lepas kontolku dari lubang kemaluan milik istri kakak iparku. Hampir
terjatuh dia. Lemah tubuhnya bergayut di kawat pembatas. Cepat aku membalikkan dia membelakangi aku.
Kudorong istri kakak iparku merunduk. Dua kakinya dilebarkannya dan dua tangannya berpegangan pada pagar
kawat. Sambil menepuk pantat itu, aku selipkan kontolku ke belahan pantatnya.
“Ah...,”desahan panjang keluar dari mulutnya kala senjata itu menyelinap masuk ke lubang kemaluannya.
Kontolku maju mundur di dalam lubang kemaluannya dan desahannya terdengar keras. A-ha! Sudah lupa kekasihku
ini kalau kami sedang berada di luar ruangan, sudah lupa dia kalau peluang kami untuk digerebek masyarakat sangat
besar. Birahi ini memang membutakan.
Kontolku berdenyut. Spermaku hendak meluncur. Maka, aku perkuat dudukkan kakiku, aku pegang kuat-kuat
pinggangnya, dan desahan istri kakak iparku terdengar kuat saat aku mempercepat tusukanku di lubang
kemaluannya.
"Ah!"Mengejang tubuhku. Di dalam lubang kemaluan itu, kontolku menghujam dalam-dalam. Aku biarkan spermaku
menyiram kemaluannya.
Begitu sperma berhenti menyemprot, aku cabut kontolku dari lubang kemaluannya. Celana dalam aku tarik naik,
juga celana katunku, untuk kembali menutupi selangkanganku. Begitu pula istri kakak iparku yang secepatnya
merapikan roknya.
Sambil melihat-lihat ke sekitar, dia limbung berjalan meninggalkan aku. Sementara itu, aku tetap berada di pagar
kawat pembatas itu, memandang ke dalam, ke kejauhan dimana pesawat terbang-pesawat terbang berada.
Lantas pagar kawat pembatas itu aku tinggalkan. Aku datangi istri kakak iparku yang duduk di samping anaknya yang
masih tertidur. Duduk aku di sampingnya. Kaleng minuman aku ambil. Kutawari dia, tapi dia menolaknya, maka aku
meminum isinya. Kemudian kuambil roti dari dalam asoy hitam dan kembali menawarinya, tapi kembali menolak dia.
Istri kakak iparku mengelus kepala Dadan yang masih tertidur."Kasihan Dadan, ya, Amir?"
"Kasihan kenapa?"
"Terlalu cepat dewasa dia."
"Kenapa pula?"
"Gara-gara sering lihat tontonan dewasa, pasti dia cepat dewasa daripada umurnya."
Hahaha! Tertawa aku.
"Sudah sering dia melihat kita telanjang, melihat kita saling tindih,"lanjutnya,"Mengerti tidak, ya, dia dengan apa
yang kita lakukan?"
"Pernah tidak dia menonton Eceu sedang dikerjai oleh Akang?"tanyaku.
"Kok kesitu pertanyaan?"Sepertinya istri kakak iparku heran karena aku membawa-bawa suaminya, si Akang.
"Bukannya kenapa-napa, Ceu. Kalau Dadan sering nonton Eceu dan Akang yang telanjang sedang main pompa-
pompaan, berarti bukan salah aku saja, tapi Akang juga punya saham membuat Dadan cepat dewasa."
"Ada-ada saja Amir ini."
Pantatku aku geser mendekati duduknya. Kucium pipinya. Lalu,"Sekali lagi, yuk, Ceu."
"Hus!"
"Mumpung Dadan masih tidur."
"Ogah."
"Satu kali, ya. Sebentar saja."
"Sudah siang. Sebentar lagi kita pulang."
"Dadan 'kan masih tidur, Ceu."
"Tidak, Amir."
"Nanti malam aku datang, ya."
Sambil geleng-geleng kepala, istri kakak iparku melihat ke arahku."Sepertinya Amir ini haus seks. Harus dibawa ke
dokter."
"Bagaimana tidak haus seks, Ceu, kalau memek Eceu itu enak?"
"Gombal..."
Ketika selangkanganku memanas dan kontolku mulai berdenyut-denyut, aku melepaskan tubuh lawan mainku dari
pelukanku. Dan, "Ah!"terdengar teriak tertahan dari istri kakak iparku karena aku, dengan tiba-tiba, menarik lepas
kontolku dari lubang kemaluannya. Kemudian, bersimpuh aku di antara dua pahanya. Aku letakkan tanganku di
antara dua pahanya, sehingga posisi paha-pahanya menguak yang membuat aku mudah menyodokkan kembali
kontolku sehingga istri kakak iparku kembali mendesah-desah nikmat.
Denyutan di kontolku yang semakin menguat, tanpa sadar, mempercepat serangan kontolku dalam menusuki lubang
yang sudah banjir itu. Serangan bertubi-tubi dariku, membuat tubuh telanjang istri kakak iparku menggeliat-geliat
liar. Kemudian dapat aku rasakan ujung kepala kontolku membesar, penuh dengan cairan yang siap menyemprot
keluar.
"Ah!"teriakan terdengar tertahan di dalam kamar tidur ini begitu batang kontol itu tercabut dari lubang kemaluan.
Aku genggam batang kontol yang basah terkena cairan vagina istri kakak iparku. Aku arahkan kepala kontolku ke
badan istri kakak iparku dan percikan-percikan air yang keluar dari lubang di ujung kepala kontolku menyemprot di
perutnya.
Setelah sperma berhenti menyemprot, aku berbaring disamping lawan mainku itu. Tubuh telanjang kami kembali
menyatu saat istri kakak iparku merapatkan diri. Dijadikannya tanganku sebagai bantal. Kupeluk dia. Keringat yang
melaburi tubuh telanjang kami bercampur. Kuciumi pipinya sekilas. Nafas birahi pun saling bersahutan.
“Amir jahat,”ucapnya manja.
“Jahat kenapa?"Keringat yang berada di keningnya aku hapus.“Aku tidak bohong, kan?”
Istri kakak iparku mengambil tanganku dan dirapatkannya ke buah dadanya.
“Besok-besok, kalau Eceu tidak mau maniku aku buang di dalam, nanti aku buang di mulut Eceu, ya?”bisikku di
telinganya
Dia mencubit tanganku lembut."Asin, tahu."
"Eceu,"panggilku pelan.
Kepala istri kakak iparku terangkat meninggalkan lenganku. Menoleh dia menatap aku.
“Eceu, kok, takut sekali aku buang maniku di dalam memek Eceu?"tanyaku pelan," Kalau Eceu hamil, aku 'kan siap
bertanggung jawab.”
“Aduh!”teriakku karena perutku terasa panas akibat cubitan istri kakak iparku.
"Gajah-gajah, gajah-gajah, gajah-gajah."Senyum istri kakak iparku terbit melihat aku yang menggoyang-goyangkan
kontolku.
Sambil tetap menggoyang-goyangkan kontolku, aku mendekatinya. Masih tetap tersenyum, istri kakak iparku
menarik lebih tinggi dasternya dan mengikatkan ujung daster di pinggangnya. Dia tegakkan tubuhnya, siap
menyambut aku.
Aku memendekkan kedua kakiku agar dapat menempelkan kontolku di selangkangannya dan istri kakak iparku
berjinjit untuk mengimbangi tinggi badanku. Dengan kedua tangan menahan di dinding, pelan-pelan aku gesek-gesek
kontolku di kemaluannya sementara istri kakak iparku yang berpegangan di pinggangku berusaha menjaga
keseimbangan tubuhnya.
Aku angkat paha kanannya meninggi dan aku lihat wajah istri kakak iparku menggerenyit nikmat karena kontolku
sudah tiba di ambang lubang kemaluannya, siap untuk aku tusukkan. Tapi, ....
"Mimih!"Satu teriakan terdengar dari arah kamar tidur yang disusul dengan suara tangisan.
Bersamaan dengan itu, istri kakak iparku mendorong aku menjauh. Cepat dia turunkannya dasternya, diambilnya
celana dalam miliknya yang terkapar di lantai, dan lalu meninggalkan aku yang berdiri setengah telanjang. Kontolku
yang telah siap menyerang, terantuk-antuk sia-sia.
Setelah istri kakak iparku menghilang masuk ke dalam kamar tidurnya, aku ambil celana panjang yang juga tergeletak
di lantai. Dengan menutupi bagian depan selangkangan dengan celana, aku buka pintu belakang. Setelah menengok
kiri kanan dan merasa aman, cepat aku melangkah keluar dan mengambil asoy yang tadi tertinggal di teras belakang.
Kembali aku masuk dan menutup pintu luar, menguncinya.
Dengan asoy di tangan kiri dan celana di tangan kanan, aku mendekati pintu kamar tidur istri kakak iparku. Saat
melongok ke dalam kamar tidur itu, istri kakak iparku melarang aku masuk, maka aku memilih duduk di kursi meja
makan. Setelah menaruh asoy dan celana di atas meja makan, aku ambil kendi, wadah air yang terbuat dari tanah
liat, yang ada di meja makan dan meneguknya berkali-kali. Kubuka tudung saji, tapi tidak ada yang bisa aku makan,
maka, aku keluarkan roti dari dalam asoy dan menyantapnya.
Setelah roti yang ada di tanganku habis, baru istri kakak iparku keluar dari kamar tidurnya. Berjalan dia ke arahku.
Setiba didekatku, dia elus pipiku seperti meminta maaf karena telah mengabaikan aku. Maka aku ambil dua
tangannya dan aku ciumi bergantian.
Selesai menciumi tangan itu, aku dudukkan dia di pangkuanku. Dengan manja istri kakak iparku mengalungkan
tangan kanannya ke leherku dan bersandar dia di dadaku, sehingga dapat aku rasakan kenyalnya buah dadanya. Aku
juga lingkarkan tangan kiriku ke pinggangnya, menaruh telapak tangan di pahanya.
"Amir, dongkraknya naik-turun,"bisiknya di telingaku.
"Iya. Dongkraknya sudah tidak sabar lagi mau mendongkrak Eceu,"jawabku juga dengan berbisik.
Hihihi... genit tawa istri kakak iparku terdengar di telinga, membuat dongkrakku makin mengeras. Apalagi ditambah
cubitannya di lenganku.
"Bawa apa malam ini?"Istri kakak iparku menyingkap asoy yang ada di meja makan. Dia keluarkan satu buah roti, dia
sobek plastik pembungkusnya, dan dia arahkan roti tadi ke mulutku, tapi,"Tahan!"
Sontak istri kakak iparku menghentikan gerak tangannya sehingga roti pun mengambang di depan mulutku. Lalu dia
bertanya,"Amir sudah kenyang?"
Seraya membagi senyum, aku menatapnya dan,"Cium dulu."
Dengan menggunakan roti yang dipegangnya, gemas dia memukulku."Saya kira ada apa?"
"Cium dulu, baru aku mau makan rotinya,"ujarku lagi.
"Tidak mau makan juga tidak apa-apa, kok,"balasnya ringan."Tidak ada yang rugi ini."
Tapi tetap aku cium pipinya. Karena istri kakak iparku membiarkannya, kembali aku daratkan ciuman di pipinya,
berkali-kali, panjang, dan dalam. Puas menciumi pipinya, aku ambil celana panjang yang ada di atas meja makan dan
meletakkannya di pangkuan istri kakak iparku. Diam dia melihat tanganku yang masuk ke dalam saku celana. Setelah
lama merogohnya, aku tarik tanganku keluar.
"Banyak sekali, Amir,"ucapnya dengan nada terkejut,"Buat apa malam-malam bawa banyak uang?"
"Aku ini orang kaya, Ceu. Sekarang aku mau bagi-bagi rezeki,"gurauku."Coba Eceu julurkan lidahnya?"
"Buat apa?"
"Untuk menghitung uangku ini."Aku kibas-kibaskan helaian uang di depan wajahnya.
"Sombong,"ucapnya kesal.
Hahaha! Berderai tawaku. Senang sekali aku bisa membuatnya kesal.
Sementara istri kakak iparku menyantap roti, aku menghitung uang yang ada di tanganku.
"Nah! Ini untuk Eceu."Aku taruh beberapa helai uang di telapak tangannya."Jatah bulanan Eceu."
Jatah bulanan memang selalu aku beri untuk istri kakak iparku sejak awal hubungan asmara ini terjalin. Awalnya dia
menolak dengan alasan dia bukan lonte yang meminta bayaran setelah melayani aku, tapi setelah aku jelaskan
niatku memberinya uang adalah sebagai bukti keseriusan aku dalam menjalin hubungan dengannya, istri kakak
iparku pun mau menerimanya dengan catatan dia tidak pernah meminta atau memaksa meminta uang kepadaku
dan aku mengiyakan.
Memang tidak menentu uang yang aku beri ke istri kakak iparku tiap bulannya dan dia pun tidak pernah menagih bila
aku terlambat memberi. Apabila mempergunakan uang jatah bulanan, istri kakak iparku selalu memberitahu aku. Dia
selalu memamerkan barang-barang yang dibelinya dari uang jatah bulanan itu. Pakaian untuknya dan anak-anaknya
adalah barang yang paling sering dia beli. Pernah dia hendak membelikan aku pakaian tapi aku tidak mau karena
istriku, Juju, pasti akan curiga kalau aku memakai pakaian yang bukan dia belikan.
Nah, apabila jatah bulanan, karena tidak terpakai, sudah banyak terkumpul, istri kakak iparku akan membeli
perhiasan emas, bisa kalung, cincin, atau giwang. Perhiasan-perhiasan tadi akan dipakainya saat kami berkencan,
seperti malam ini, misalnya.
"Dan ini untuk berobat si Neng."
"Jangan, Amir. Itu tanggung jawab Bapaknya si Neng."Istri kakak iparku menolak uang yang aku berikan."Eneng 'kan
anaknya."
"Kan aku sudah sering ngomong, anak Eceu juga anakku."Kutatap dia dan dia tersenyum canggung.
"Enaknya disimpan dimana uangnya, Ceu?"tanyaku.
Terlihat bingung dia. Entah pura-pura atau tidak. Yang pasti aku sentuh buah dadanya, meremasnya dan,"Ups, maaf,
Eceu tidak pakai beha rupanya."
Manyun bibirnya mendengar guyonanku, tapi tetap dibiarkannya aku terus memegang buah dadanya.
"Atau aku simpan di sini saja?"Aku tinggalkan buah dadanya. Celana panjangku yang ada dipangkuannya, aku
turunkan dan lalu menarik dasternya naik, sehingga pahanya terlihat.
"Amir mau apa?"
"Aku simpan uangnya di sini, ya."Uang yang aku pegang aku selipkan di antara dua pahanya yang merapat, tepat di
selangkangannya.
Setengah terkejut, istri kakak iparku membuka pahanya sehingga uang yang aku selipkan terlepas dari jepitan dua
pahanya, tapi jatuh di pangkuanku.
Kemudian dia lebarkan pahanya. Tangannya masuk di antara dua pahanya untuk mengambil uang yang berada di
bawah pantatnya, tapi tepat berada di atas kontolku yang menegang.
"Aduh, enak, Ceu,"desahku dengan nada seperti terangsang akibat, tanpa sengaja, istri kakak iparku menyentuh
kontolku."Terus, Ceu. Ya, seperti itu..."