Anda di halaman 1dari 90

Tawaran Kehangatan dari Istri Kakak Ipar

I. Awal Petualangan
Langit membiru, matahari bersinar cerah. Pagi yang indah. Sesuai dengan jadwal rutinitasku, kubawa ember di
tangan kanan dan ember kecil berisi perangkat mandi di tangan satunya dengan handuk menggantung di leher.
Kutuju kamar mandi yang berada di halaman belakang rumah.
Kehidupan tahun tujuh puluhan memang belum senyaman masa kini. Karena keterbatasan anggaran, keluargaku dan
keluarga kakak ipar membangun kamar mandi bersama di halaman belakang, berdempetan dengan bagian belakang
rumah kakak ipar.
Bangunan kamar mandinya terbilang sederhana. Hanya terbuat dari bata merah tanpa plester dimana ruang wc
terpisah dari kamar mandi sedang untuk sarana air bersih harus diambil dari kolam, bahasa lokal menyebutnya
kambang, yang berada jauh di sisi lain halaman belakang rumah kakak ipar.
Jadi, bila mau mandi atau berak, kami harus mengambil air dulu dari kolam dan baru membawanya ke kamar mandi.
Ketidaknyamanan tingkat tinggi bagi anak zaman now.
Langkahku menuju kolam untuk mengambil air terhenti di teras belakang rumah kakak iparku karena kutemui istri
kakak iparku sedang duduk didepan seember besar rendaman pakaian kotor. Cantik sekali dia pagi ini. Wajahnya
yang basah dengan keringat terlihat begitu natural, sangat seksi di mataku.
Mataku bergeser ke bawah karena, untuk menghindari daster yang dikenakannya basah akibat air cucian, istri kakak
iparku mengikatnya ke pinggangnya sehingga pahanya yang putih susu dapat kunikmati, menimbulkan gejolak di
dada.
Jakunku naik turun membayangkan jemariku yang mengelus paha itu, mengecupinya penuh birahi. Belum lagi
membayangkan lidah ini menjilati selangkangan, saat mencumbui kemaluannya yang pasti harum dan legit.
Istri kakak ipar menghentikan kegiatannya, menyeka keringat yang jatuh di pipinya. Saat merapikan rambut
panjangnya yang jatuh di wajahnya, barulah ia sadar kalau ada aku yang berdiri didekatnya sedang
memperhatikannya. Istri kakak iparku balik menatap aku dan hanya tersenyum, tapi, tentu saja, membuat aku
gelagapan karena tertangkap basah menonton kecantikannya.
"Amir kenapa?"Istri kakak iparku menghadapkan duduknya ke arahku.
Oh ya, perempuan mungil itu memang memanggil nama kepadaku karena posisi aku yang adik iparnya meskipun
usiaku jauh lebih tua.
Dan, Hei! Teriakku dalam hati kala dia, seperti mengabaikan kehadiran aku didepannya, menggeser dasternya tinggi-
tinggi lalu menguakkan kedua pahanya, sehingga dengan jelas dapat kulihat pangkal selangkangannya yang
menghitam. Meskipun hanya melihat sebentar, karena istri kakak iparku langsung mengatupkan kembali
selangkangannya, jantungku berdetak tak karuan, adik kecil di selangkangan berontak dan mulai menggeliat.
"Aamiir...."Suara itu membangunkan aku dari keterpesonaanku terhadap area sensitif milik istri kakak iparku itu.
"A-a-a..,"tergagap aku. Tak mampu menjawab karena pandanganku tak mampu melepaskan momen keindahan
selangkangan tadi.
Alamak! Nafasku mendenguskan birahi dan imanku makin goyah manakala, entah disengaja atau tidak oleh istri
kakak iparku itu, tangannya menyelinap masuk ke dalam daster dan menggaruk areal selangkangan miliknya itu.
"Gatel,"ucapnya santai, tapi menimbulkan efek yang maha dahsyat bagiku yang masih terpesona dengan semua
kelakuannya. Jantungku menggemuruh kencang.
"Bulunya belum sempat di cukur, sudah panjang, jadi gatel,"lanjutnya lagi.
Fantasiku menjadi liar mendengar ucapannya. Gemetar tubuh ini membayangkan bulu-bulu ikal itu menumpuk
menutupi lembah basah yang memanjang indah di selangkangan itu, membayangkan, dengan mempergunakan
mulut, aku memainkan bulu-bulu ikal itu.
"Lupa pakai celana dalam, Amir."Tanpa diminta ia berucap lagi,"Semalam suamiku minta jatah."
Sialan sekali perempuan ini, pikirku. Apa maksud dia menceritakan semua itu kepadaku? Tapi, yang pasti birahi ini
menggejolak tak mampu kutata lagi. Ingin aku mendekatinya, ikut menggaruk selangkangannya, dengan kemaluanku
pastinya, tapi, untung saja aku masih sadar kalau kami masih di luar rumah, masih bisa jadi tontonan para tetangga.
Pandanganku teralihkan dari keindahan sang selangkangan saat anak istri kakak iparku, yang masih balita, yang
sambil menangis, muncul di ambang pintu, saat istri kakak iparku berdiri dan mengambil anaknya.
Sambil duduk di ambang pintu, istri kakak iparku memangku anaknya dan menurunkan tali dasternya. Saat itu aku
hanya mampu menelan ludah, berkali-kali. Buah dada yang terpampang jelas itu terlihat sangat-sangat indah. Meski
anaknya lima orang, tetapi buah dadanya masih ranum, bulat sempurna, dan begitu putih. Areal kecoklatannya yang
mengitari puncaknya tidak begitu luas, tetapi puting susu itu sangat menggoda. Dapat kurasakan kelaminku
memanas.
Istri kakak iparku menjejalkan puting susu ke mulut anaknya. Dengan lahap anak itu mengemut puting susu itu,
sementara tangannya menyelusup masuk ke daster ibunya untuk membawanya keluar. Sambil, dengan lahap
menyedot susu ibunya, anak balita itu, tanpa bersalah terhadap aku yang tersiksa, memainkan butiran coklat yang
ada di gunung lainnya, membuat jemari ini pun gatal ingin ikut memainkannya, membuat bibir ini berkejap-kejap
siap menanti kesempatan untuk ikut menyusu.
Istri kakak iparku hanya tersenyum melihat aku yang mematung dengan mata melotot mengarah ke kedua gundukan
daging miliknya, membiarkannya menjadi santapan mataku, membuat jakunku naik turun dan adik kecil di
selangkangan menggeliat-geliat.
Lama aku menikmati keindahan buah dada yang menggayut indah sampai sang anak melepaskan puting susu ibunya,
turun dari pangkuan ibunya, dan menarik tangan sang ibu. Masih tetap melempar senyum mengajak ke arahku, istri
kakak iparku merapikan pakaiannya sehingga dua gundukan daging kenyal nan putih lenyap dari pandangan. Ia
berdiri dan menggendong balita beruntung itu.
Sambil menatap aku, ia berucap, "Nanti malam aku tunggu."
"A-apa?"tanyaku kurang faham.
"Kutunggu nanti malam. Pintunya tidak kukunci."
Aku diam coba mencerna ucapannya.
"Jangan lupa nanti malam."Istri kakak iparku menghilang bersama anaknya.
Aku tetap diam. Lama. Masih tidak percaya aku mendengarnya. Nyatakah ajakan itu? Akhirnya kuputuskan untuk
meninggalkan tempat itu dan berjalan menuju kolam untuk mengambil air untuk mandi. Biarlah waktu yang akan
membuktikan kebenaran undangan istri kakak iparku. Apakah ia akan menolak saat aku mendatangi rumahnya, saat
aku menjelajahi tubuh telanjangnya?
"Jangan lupa nanti malam."Istri kakak iparku menghilang bersama anaknya.
Aku tetap diam. Lama. Masih tidak percaya aku mendengarnya. Nyatakah ajakan itu? Akhirnya kuputuskan untuk
meninggalkan tempat itu dan berjalan menuju kolam untuk mengambil air untuk mandi. Biarlah waktu yang akan
membuktikan kebenaran undangan istri kakak iparku. Apakah ia akan menolak saat aku mendatangi rumahnya, saat
aku menjelajahi tubuh telanjangnya?
Dan malam itu, sesuai yang dijanjikannya, aku sudah berdiri di belakang rumahnya, bersembunyi di bayangan pohon.
Mataku berkali-kali menatap ke pintu rumah itu. Menunggu.
Sebenarnya aku tidak perlu takut menyelinap masuk ke rumahnya karena suaminya tidak tidur di rumah. Sama
sepertiku, suaminya mempunyai toko kelontong di depan lorong. Lorong adalah sebutan bagi orang Palembang
untuk menyebut gang, jalan perumahan.
Toko punyaku dan toko milik suaminya berdekatan. Agar tidak dimasuki maling, toko itu harus dijaga. Jadi, aku,
begitu pula suaminya, harus tidur di toko.
Lagipula, di masa itu, hiburan sangatlah kurang. Hanya TVRI yang dapat memenuhi kebutuhan hiburan. Itu pun
hanya sampai jam sebelas malam, kalau tidak salah. Jadi, begitu TVRI berhenti siaran, maka kehidupan pun berhenti.
Tapi, aku harus hati-hati. Aku belum tahu kondisi malam ini. Siapa tahu ada orang yang memergoki aksiku. Jadi, aku
harus sabar. Orang sabar 'kan di sayang Tuhan.
Ketika arloji mengarah ke angka dua belas, sambil berdoa semoga malam ini tak terjadi sesuatu yang memalukan,
aku berjalan mendekati pintu itu. Hati-hati aku melangkah agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Setiba di depan pintu rumah itu setelah tengok kiri kanan, kudorong pelan pintu itu. Ternyata pintu itu memang
tidak terkunci. Hanya diganjal dari dalam. Dengan segera aku menyelinap masuk dan menutup kembali pintu itu.
Dapurnya temaram, tapi, di ujung sana, ada sinar keluar dari pintu yang membuka. Dengan jantung yang berdetak
tak karuan, aku mendekati pintu itu.
Dengan mengucap bismillah, aku mengintip ke dalam kamar yang benderang itu. Dan di dalam kamar itu, kutemui
satu pemandangan teramat indah yang membuat nafasku tercekat, mataku nyaris mencelat, sebab perempuan itu,
istri kakak iparku, berbaring di tempat tidurnya dengan posisi yang aduhai. Menantang sekali gaya tidurnya. Daster
yang dikenakannya tersingkap meninggi, sehingga paha putih susunya dan celana dalam yang senada dengan warna
daster itu sangat mengundang untuk disentuh.
Sontak birahi yang sedari pagi telah bangun, kini bangkit kembali, memenuhi pikiranku, tapi sebelum aku melangkah
masuk kamar, untuk mendatanginya, dari atas tempat tidur, istri kakak iparku menggeliat pelan. Mata sang pemilik
kamar membuka, menatap aku yang masih berdiri di ambang pintu. Ia lalu duduk di sisi tempat tidur, senyumnya
merekah.
“Ayo, masuk. Jangan berdiri saja."Suara itu terdengar menggoda.
Seperti terhipnotis, aku melangkah masuk. Ternyata kamar tidurnya mempunyai dua pintu keluar. Pintu yang
kumasuki tadi mengarah ke dapur sedang pintu satunya lagi sepertinya menyambung ke ruang tengah rumahnya.
"Kirain Amir tidak datang.” Istri kakak iparku menggeser duduknya, mengajak aku duduk.
Ah, sepertinya istri kakak iparku memang telah menunggu kehadiranku. Sepertinya ia tidak mau pertemuan kami
malam ini terganggu, sehingga dua anaknya terbaring di kasur kecil di lantai.
Disampingnya, aku duduk. Kami bertatapan, saling lempar senyum. Mataku bergerilya menjelajah tubuhnya. Daster
biru muda yang dipakainya malam ini sangat serasi dengan kulit putih mulusnya sementara buah dada ranum
membulat lengkap dengan butiran menerawang seksi di daster itu. Kemudian mataku turun menikmati paha putih
susu yang tadi siang menggodaku yang kini begitu dekat, telah siap aku jamah.
Kembali mataku ke wajah manis didepanku. Kembali berpandangan. Kembali saling senyum.
"Eceu cantik,"pujiku.
Istri kakak iparku hanya tersenyum. Saat itulah, dibawah kendali birahi, aku menarik turun daster itu sehingga buah
dada itu telak berada di depan mataku. Mungil bak buah dada seorang abg tapi itu yang membuat birahiku
melonjak-lonjak.
Jemarinya menahan tanganku yang jatuh di buah dadanya, yang meremas gundukan daging kenyalnya. Mata itu
terpejam seperti menikmati aksi jemariku.
Bibirnya kuambil. Dia menyambutnya. Bibir kami berpagutan, ganas seganas remasan jemariku di buah dadanya.
Kulepaskan bibirnya. Kutatap ia, ia pun balik menatapku. Bodoh sekali suami perempuan mungil ini, pikirku. Ya.
Hanya lelaki bodoh yang mau membuang kesempatan untuk menikmati tubuh perempuan ini. Apalagi perempuan
ini dengan rela bersedia berbagi kehangatan.
Wajah kami saling mendekat, tapi..., sialan! Istri kakak iparku yang malah mencumbu aku. Disedotnya bibirku.
Lidahnya menyusup ke dalam mulutku, bermain di dalamnya untuk kembali mencumbu bibirku. Berulang-ulang dia
melakukannya.
Tapi, tak mau kalah, selama dia tenggelam bermain dengan bibirku, jemari ini menyelinap ke dalam dasternya,
menyentuh selangkangannya, memainkan kelaminnya yang masih tersembunyi di balik celana dalam yang
dikenakannya.
Karena area selangkangan yang semakin sempit, aku meninggalkan tubuh istri kakak iparku. Dihadapannya aku
berdiri. Cepat-cepat celana aku turunkan dan mengeluarkan penyebab rasa sempit di celana yang kupakai.
Gila! Istri kakak iparku meraih senjata yang mengacung perkasa dihadapannya dan meremasnya. Seperti telah
terbiasa, jari-jemarinya maju mundur mengocok kontolku. Bergidik tubuhku begitu ujung kontolku disentuhnya.
Tanpa diminta, istri kakak iparku menempelkan senjataku di mulutnya. Aku menggeliat geli karena, dengan lincah,
lidahnya mengeksplorasi senjataku. Dijilatinya, dicelupkannya ke mulutnya untuk diemutnya dan itu dilakukannya
berulang-ulang, sementara aku hanya mampu meremasi rambut panjangnya dan aku benar-benar menikmati.
Sangat-sangat ahli betina ini, gumamku.
Akibat birahi yang melambung tinggi, kutarik lepas senjataku dari genggamannya. Tenang sekali ia memandang aku,
lalu memandang senjataku, untuk kemudian memandang aku kembali. Liar dan tanpa rasa bersalah, membuat aku
tidak sabar ingin merasakan lubang kenikmatan perempuan mungil ini. Akan kuperlihatkan bagaimana caraku
membuat dia kewalahan menghadapi seranganku.
Kubuka kemeja yang kupakai sekaligus kaos dalam dan melemparkannya ke kursi kecil didepan meja hias. Setelah
itu, aku memerosotkan celana katunku, juga kolor yang menutupi kejantananku.
Terdengar gerit pelan ketika aku menaiki tempat tidur yang terbuat dari besi itu. Dia hanya diam menatap aku yang
merayap mendekatinya dan tetap diam saat tubuhnya aku dorong rebah.
Kini aku berada di antara dua pahanya. Dengan leluasa aku menaikkan dasternya yang membuat celana dalam biru
mudanya yang menutupi selangkangan putih mulusnya menampak. Tubuhnya terlonjak saat jemariku menggapai
bagian tengah celana dalam yang sudah basah itu. Hanya sebentar jemariku bermain di area sensitif miliknya. Kini
jemariku mengelus pelan sisi luar dua pahanya, menggapai pinggangnya dan mulai menurunkan celana dalam itu.
Dia mengangkat pantatnya untuk mempermudah celana dalamnya meninggalkan selangkangannya.
Akhirnya celana dalam itu terlepas. Area intim perempuan mungil ini nyata jelas dihadapanku. Kembali tubuhnya
bergidik manakala area intimnya aku sentuh. Bulu-bulunya pendek-pendek tetapi kasar dan, kini, dua jemariku
memainkan daging yang berada didalam belahan kelaminnya. Istri kakak iparku ini menggeliat nikmat dan napasnya
mulai memburu.
Dua pahanya kubuka lebih lebar dan aku beringsut masuk. Tubuh istri kakak iparku bergetar saat senjata milikku
menyentuh area sensitif miliknya. Seperti dugaanku, dia sudah terbakar birahi pula. Dia pasti teramat ingin
secepatnya terpuaskan. Dia meraih daging mengeras kebanggaanku dan mengarahkannya ke lubang intim miliknya.
Dan biarlah malam ini aku mengalah. Aku hanya ingin melayani perempuan mungil ini dan memberinya kepuasan
sehingga dia akan selalu mengharapkan kehadiranku untuk menggaulinya.
"Aah...."Terdengar lenguhan panjang manakala senjata miliku dengan perlahan kudorong masuk ke lubang
kenikmatannya. Sungguh lancar karena lubang bersemak itu telah terlumuri cairan.
Setelah senjata tertanam dalam-dalam, kutopang dua tanganku di kasur pada sisi tubuh itu, dan aku mulai
menggerakkan senjataku. Seiring tusukan senjataku, matanya terpejam dan mulutnya membuka, desahan pun
terdengar.
Tanpa menghentikan sodokan senjataku, mulutku melumat kedua gunung yang ada dihadapanku, bergantian,
mengulumnya, menyedotnya, dan mengemut butiran kecoklatan yang ada di atasnya.
"Amir, Jangan di buat merah,"ucapnya lemah disela desahannya.
Tersenyum jadinya aku mendengar ucapannya. Rupanya, diantara lautan birahi, perempuan mungil ini masih mampu
berfikir sehat. Aku pun tahu aku tidak boleh meninggalkan jejak pada tubuh mulus ini. Bisa berbahaya kalau
suaminya mendapati jejak-jejak mencurigakan di tubuh istrinya. Aku faham itu.
Tanpa menghentikan tusukan senjataku di lubang kenikmatan itu, aku timpakan tubuh ini ke tubuhnya, mengulum
bibirnya. Perempuan mungil itu membalas ciumanku dengan lebih hangat.
Gerakan tubuhnya menjadi lebih liar ketika bibirku bermain di lehernya, menjilati, dan menggigiti pelan telinganya.
Istri kakak iparku semakin rajin mendesah dan aku pun mempercepat seranganku.
"Aaah...."lenguhan panjang terdengar saat, dengan cepat, aku mencabut senjataku dari kemaluannya.
Kutinggalkan dia yang terbaring terengah-engah. Tanpa membuang waktu, kubalik tubuhnya dan kuposisikan dia
memunggungiku. Kudekatkan rudalku ke belahan pantatnya.
Pok! Kutempeleng pantatnya yang mulus itu. Saat kudesakkan senjata ke dalam lubang kenikmatannya, sang pemilik
hanya bisa melenguh,"Ahh..."
Bunyi plok-plok terdengar kala kuserang belahan pantatnya, sementara desahannya keras terdengar. Semakin keras
racauannya, semakin semangat pula aku mempercepat seranganku.
Nafasku menyesak. Senjataku kurasakan bertambah besar dan panas. Aku tahu spermaku hendak meledak, maka
kucabut senjata dari lubang kenikmatannya. Dengan cepat kuterlentangkan dia dan kubuka lebar dua pahanya. Aku
masuk dan menancapkan kembali senjataku ke kedalaman lubang di selangkangannya, yang membuat dia terpekik.
Kutindih dia. Kunaikkan paha kiri ke paha kanannya dan kulanjutkan sodokan senjataku ke lubang kenikmatannya.
Desahannya kembali terdengar."Ah.... ah.... ah!"
"Aku mau keluar,"ucapku di telinganya saat senjataku kembali berdenyut-denyut.
Maka kupercepat gerak senjataku menusuki lubang kemaluannya dan kamar pun penuh dengan desahan
perempuan mungil yang berada dibawah tindihan tubuhku.
Aliran panas mengalir cepat di dalam senjataku. Tubuhku menegang, nafasku terhenti. Senjata kutekan dalam-dalam
di dalam kemaluannya hingga, akhirnya, cairan hangat menyemprot, beberapa kali, memenuhi lubang kenikmatan
itu.
Setelah semprotan air berhenti, tubuh pun melemah. Tenagaku hilang. Dengan napas yang ngos-ngosan, aku
terjatuh lemas di atas tubuhnya. Begitu pun istri kakak iparku yang ada dibawahku saat ini. Dapat kurasakan
napasnya yang memburu dan detak jantungnya yang tak beraturan beradu dengan detak jantungku.
Setelah tenaga pulih, kucabut senjataku yang masih tertancap di lubang kemaluannya. Aku turun dari tubuhnya.
Bersama kami berbaring berdampingan di atas tempat tidurnya. Kucium pipinya yang basah dengan keringat.
Dengan erat kupeluk dia.
Setelah napas kembali normal dan tenaga terpulihkan, dengan posisi miring, dengan tangan menahan kepala, tanpa
rasa puas, mata ini menjalari tubuh telanjang di sampingku. Matanya yang terpejam dan dua bibir yang membuka
terlihat seksi. Belum lagi payudara mungilnya yang bergerak naik turun teratur. Beruntung sekali aku malam ini yang
dapat menikmati tubuh indahnya.
Ah, membayangkan liarnya perempuan ini dalam pertempuran perdana kami malam ini, menimbulkan kembali
hasrat untuk menyetubuhinya. Si otong pun perlahan menggeliat, mengajak sang birahi untuk menggauli tubuh
telanjang ini.
"Hai, cewek,"panggilku pelan.
Dia yang berbaring telanjang disampingku membuka matanya dan menoleh. Menatap aku.
"Boleh kenalan?"
Istri kakak iparku ikut memiringkan tubuhnya, menghadap ke arahku. Sama, tangannya pun menahan
kepalanya."Abang ke mana saja, Abang?"
"Rupanya selama ini mata abang buta."
"Buta kenapa, Abang?"
"Buta karena tidak menyadari ada cewek cantik di sebelah rumah,"sambil berucap, jemariku mengelus pipinya.
"Boleh kenalan nggak?"
Bibir itu tersenyum dan kepalanya mengangguk. Lalu,"Nama saya Ningsih, Abang."
"Ningsih. Nama yang cantik, secantik orangnya."
Jemariku menyentil hidungnya. Lalu,"Seindah hidung ini."
Kusentuh bibirnya."Seseksi bibir ini."
Pelan kuremas payudaranya."Seranum dada ini."
Terakhir, kugapai memeknya,"Selezat memek ini."
"Memang dulu adik nggak cantik, ya, Abang?"
"Adik cantik."
"Kalau adik cantik, kenapa abang baru sekarang main ke rumah adik ini?"
"Kan abang sudah kasih tahu tadi, mata abang buta."
Jemari tangan perempuan mungil itu mengelus dadaku, memainkan butiran yang ada di sana, yang membuat aku
bergidik.
"Abang,"lembut suara perempuan mungil itu.
"Ya, Adik?"Aku menatapnya.
"Burungnya, kok, bergerak-gerak?"Perempuan mungil itu menatap selangkanganku.
Aku tersenyum. Pelan aku meremas payudaranya. Lalu,"Burungnya mengajak masuk ke sarang barunya, Adik."
"Sarang apa, Abang?"Perempuan mungil ini bertanya lugu.
"Sarang itu, tuh?"Kuarahkan mata ke bagian bawah tubuh telanjangnya.
"Itu tuh apa, Abang?"Senyumnya merekah genit.
Sialan! Baru sadar aku kalau dipermainkannya aku.
"Yang ini, nih."Dengan gemas jari-jariku meremas lembut memeknya.
Tubuh bugil itu menggelinjang, dan tawa genitnya terdengar manakala area intimnya aku permainkan. Kukunya
mencengkeram di dadaku.
"Memeknya enak,"ucapku pelan sementara jari tengah aku tusuk ke lubang kenikmatan itu dan mengobok-ngobok
lubang itu.
"Memang memek adik kue, ya, Abang?"Masih sempat juga dia bergurau.
"Boleh, ya, Adik?"
"Nggak boleh, Abang."
"Kok, nggak boleh?"
"Nggak boleh sebentar maksudnya, Abang."
Senyumku melebar. Kudorong tubuhnya terlentang. Sambil menciumi pipinya, aku menaiki tubuh bugilnya.
Menciumi bibir itu. Mencumbui leher dan telinganya.
Tubuhnya mengejang dan napasnya tertahan saat ujung senjata menempel di lubang kemaluannya. Dengan
perlahan kutekan senjata masuk dan mulai menggerakkan senjataku maju mundur. Kueratkan pelukanku ke tubuh
telanjangnya dan kontolku bergerak memutari lubang kemaluannya untuk kemudian memajumundurkannya
kembali, berulang-ulang dan aku suka. Napas terengah-engah dan desahannya, membuat aku terpacu mempercepat
tusukan ke kelaminnya.
Dan kembali aku membuang spermaku di dalam lubang kemaluannya.
"Maaf, Ceu. Kecepatan keluarnya,"ucapku."Memeknya enak. Tak tahan aku."
Di antara desah napasnya yang tak teratur, dia tersenyum.
Saat aku hendak turun dari tubuh mungilnya, dia menahan aku, memandang mataku, dan,"Nama abang siapa?"
Nakal juga perempuan ini, pikirku.
Maka kubatalkan niatku untuk turun dari tubuh telanjangnya. Kusibak rambut yang menutupi telinganya dan aku
dekatkan bibirku. "Amir, namaku."
"Amir? Mengingatkan aku pada seseorang,"pelan suaranya.
"Siapa?"Kupandang ia.
"Mantan pelaut yang berani menggagahiku malam ini."
"Eceu pun hebat. Aku jadi lemah didepan Eceu."
Sekilas aku mengambil bibirnya. Lalu,"Suami jarang tidur di rumah, ya?"
"Iya. Sesuka dia kapan mau datang."
"Kasihan ya, Eceu."Kini buah dadanya berada dalam genggaman jemariku, meremasnya."Payudara cantik ini dia sia-
siakan."
Perempuan mungil itu menatap aku, tersenyum pahit.
"Kalau aku tiap malam datang, boleh?"
Istri kakak iparku kembali tersenyum."Boleh..."
"Kalau pagi?"
"Asal suamiku tidak ada di rumah. Boleh"
"Kalau siang?"
"Asal suamiku tidak ada di rumah. Silakan."
"Kalau sore?"
"Iya, asal suamiku tidak ada di rumah, Amir."
"Janji, ya."
"Janji,"ucap Istri kakak iparku sebelum mengecup bibirku sekilas.
Dan itulah awal perjalanan hubungan terlarang ini. Aku berusaha agar "persahabatan" ini awet tanpa tercium banyak
fihak karena lelaki mana yang akan menolak tawaran kehangatan yang diberikan perempuan ini. Keganasannya
dalam melayani aku malam ini sungguh membuatku gila. Kukira istri kakak iparku pun menyukai kehadiranku karena
dia selalu ada setiap aku membutuhkannya. Bahkan terkadang dia yang mengundang aku untuk menyetubuhinya.

II. Malam Kedua


Sumpah! Aku ketagihan. Sangat-sangat ketagihan akan permainan nakal dia kemarin malam. Pertempuran awal
kami, meskipun mengecewakan bagiku karena aku tak bisa bertahan lama, semoga juga tidak menimbulkan
kekecewaan pada istri kakak iparku itu. Aku takut dia tidak mau menerima kehadiranku lagi karena permainan super
cepat aku malam kemarin.
Karena itu, malam ini aku telah berada di depan pintu rumahnya, setelah sore tadi, aku mengisyaratkan untuk
mengunjunginya dan ia pun menyetujuinya. Dengan segera pintu rumahnya membuka saat aku dorong. Itu berarti
dia menunggu kedatanganku. Aku melangkah masuk dan mengunci pintu. Belum sempat aku mendekati pintu
kamar, lampu menyala. Ruang belakang menjadi terang benderang.
ketegangan mendera. Jantungku berdetak tak karuan. Siapakah yang menghidupkan lampu? Apakah suaminya ada
di rumah malam ini? Adakah orang yang mengetahui kedatanganku? Aku tak tahu, tapi yang kutahu, tidak ada waktu
bagiku untuk menghilang dari ruangan ini, dari dalam rumahnya. Aku hanya bisa berdiri dalam diam sambil
menunggu apa yang akan terjadi.
Terdengar gerit pintu membuka dari arah kamar, tubuhku gemetar. Mataku nanar menatap ke arah kamar itu
manakala ada bayangan muncul dari dalam kamar. Siapa pun dia, aku harus hadapi dengan segala resikonya,
gumamku.
Dan ketegangan pun memuncak. Kulihat istri kakak iparku keluar dari dalam kamar dengan wajah tegang, membuat
nafasku serasa terhenti. Selang beberapa saat kemudian, bibir di wajah tegang itu terlihat seperti menahan sesuatu.
Dan akhirnya dia tersenyum!
Sialan! Umpatku dalam hati. Dua kali sudah aku dikerjainnya. Senyum di wajah istri kakak iparku kian melebar dan
berubah menjadi tawa. Tangannya menangkup mulutnya agar tawanya tidak bertambah besar, tapi aku senang
melihatnya. Pun ketegangan langsung berlari meninggalkanku.
Akhirnya, agar dia tidak mengetahui ketegangan yang baru saja aku rasakan, aku melangkah mendekatinya. Kini aku
berada di depannya, mendesaknya mundur. Tangan kiri kutaruh di dinding dibelakang dia bersender sementara dia
masih berusaha menghentikan tawanya.
Tinggiku yang seratus tujuh puluh terlihat meraksasa dihadapannya yang kuperkirakan sekitar seratus lima puluhan.
Sambil menyeringai menahan tawa, Istri kakak iparku mendongak untuk menatapku sementara pandanganku dapat
melihat dengan jelas buah dada yang mengintip didalam dasternya.
"Amir pasti tegang, ya?"tanyanya setelah mampu merem tawanya.
"Super tegang."Bibirnya aku sentuh."Aku kira suamimu ada di rumah."
Tawanya kembali pecah mendengar jawabanku. Lalu,"Besok.... aku... ulangi ... lagi... untuk bikin Amir lebih tegang."
"Mau dengar saranku biar aku tegang?"
Ia mendongak untuk menemukan wajahku."Apa?"
"Besok, waktu aku datang, Eceu sambut aku dengan tanpa pakaian, tanpa dalaman, bugil total. Nah, pasti aku
langsung tegang. Saking tegangnya, aku langsung menggagahi Eceu di tempat. Mau kan?"
"Maunya."Istri kakak iparku memukul perlahan dadaku.
"Memang aku mau, kok. Hanya lelaki gobl*k yang tidak tergiur dengan tubuh seksi Eceu."
"Gombal..."Dia mencibir ke arahku."Rayuan Amir tuh tidak akan mempan."
"Kalau Eceu tidak mau dirayu, ya, langsung aku sergap saja."
"Hei!"teriaknya terkejut manakala dua buah dadanya kusergap. Meski dari luar pakaiannya, tapi buah dadanya tetap
kenyal kurasa saat kuremas.
"Eceu tidak pernah pakai beha kalau tidur, ya?"
"Dada kecil seperti ini mah, tak perlu beha."Dia berusaha melepaskan buah dadanya dari cengkeramanku, tapi tetap
tak kulepaskan."Orang tidak akan memerhatikannya."
"Kata siapa?"Tanganku turun menyentuh pahanya untuk menyelusup masuk ke dalam daster. Daster itu terangkat
kala tanganku naik menuju buah dadanya. Hangat sekali daging kenyal itu saat kusentuh."Biar pun kecil, tapi kalau
bisa bikin tegang si otong, berarti masih seksi, Eceu."
Dia memelukku. Aku pun membalasnya. Kubiarkan ia berlama-lama memelukku. Buah dadanya yang kenyal
menempel erat. Detak jantungnya kurasakan mulai tidak beraturan geraknya, pertanda ia menginginkan aku.
Akhirnya kulepaskan pelukannya. Menjauh dari tubuhnya. Kutaruh tanganku di pundaknya, menggeser tali dasternya
dan merosotlah daster itu meninggalkan tubuh mungilnya. Hanya meninggalkan celana dalam yang menutupi
selangkangannya.
Tak puas-puasnya aku menikmati putih mulus tubuh itu, melihat dada mungil abgnya yang membulat penuh.
Kembali aku menggapai buah dadanya, mengenyal-ngeyalnya penuh nafsu.
"Pelan-pelan, Amir. Sakit."Ia menahan tanganku.
"Maaf, Ceu."Aku melepaskan buah dadanya dari rengkuhanku."Dada Eceu bikin nafsu."
Sebagai gantinya, aku merunduk, mengambil bibirnya. Kami berciuman. Panjang dan hangat. Jemariku bermain di
belahan yang ada di selangkangannya yang masih tertutup celana dalam.
Aku melepaskan bibirnya karena celana dalam yang kukenakan semakin menyempit.
Istri kakak iparku menatap aku yang menurunkan celana training dan, terakhir, mengeluarkan si otong dari
persembunyiannya. Dengan polos ia bertanya,"Kenapa?"
"Sakit. Kepanjangan, soalnya."Dengan penuh kebanggaan, aku memamerkan senjata kebanggaanku.
Istri kakak iparku hanya tertawa, tapi tetap saja matanya tak lepas menatap senjata milikku itu.
"Kenapa tertawa? Kemarin 'kan sudah lihat? Memegangnya malah."Dengan nakal kucekal senjataku dan
kumajumundurkan dalam genggamanku.
Istri kakak iparku tidak menanggapi pertanyaanku. Tawanya malah tambah panjang, sehingga dia harus membekap
mulutnya dengan tangannya agar tawanya tak sampai terdengar.
Senjataku aku tempelkan ke tubuh telanjangnya. Aku tekan dan menggesek-gesekkannya pelan. Dengan mata yang
membulat, ia mendongak untuk menatap aku dan ia tetap menutup mulutnya. Entah apa yang lucu dari aku hingga
dia terus saja tertawa.
Mengabaikan dia yang masih tertawa, aku tarik dia masuk ke kamar tidurnya. Tempat tidurnya kosong karena kedua
anaknya telah dipindahkannya ke kasur yang diletakkan di lantai. Dari belakang, kupeluk dia. Kuambil bibirnya dan
dia pun menyambutnya. Buah dada kembali berada dalam rengkuhan jemariku, sementara tangan kananku
menyelusup masuk ke dalam celana dalamnya, menggapai area sensitif miliknya, memainkan bulu-bulu kasar itu.
Dalam pelukanku, tubuh telanjang itu menggeliat-geliat manakala dengan rajin aku mengelusi daging yang ada
didalam belahan kelaminnya. Segera bibirku menjamah pundaknya, menjilatinya pelan sementara tanganku satunya
tetap meremas buah dada ranumnya.
Setelah melepaskan pelukan, aku dorong dia duduk di tempat tidur. Didepannya aku berdiri. Celana dalam aku
turunkan, memamerkan senjataku yang tegang mengacung. Seperti yang sudah aku sangka, diambilnya daging
panjang milikku dan, dengan dua tangannya, ia meremas-remasnya.
"Bagian ini yang enak disentuh, Ceu,"ujarku sembari menunjuk ke ujung senjata, pada bagian bawahnya."Apalagi
kalau dijilat."
Istri kakak iparku menatap aku sekilas, lalu lidahnya menjulur dan, sesuai dengan saranku, bagian bawah ujung
kontolku mulai dijilatinya. Aku bergidik karena sentuhan lidahnya.
Selagi istri kakak iparku tenggelam dengan 'mainannya", aku menarik lepas kaos yang kukenakan. Dua tanganku
mengambil kepalanya dan dengan pelan memajumundurkan kepalanya, sehingga senjataku pun maju mundur dalam
dekapan mulutnya.
Ditariknya daging bulat keras dari mulutnya. Ujung kontol, pada bagian bawahnya, disentuhnya sekejap. Senyumnya
merekah melihat aku kelonjotan akibat sentuhan itu. Berulang-ulang ia menyentuhnya, berulang-ulang pula aku
kelonjotan, dan berulang-ulang ia tersenyum.
Birahi menutupi akalku. Segera aku melepaskan kepunyaanku dari genggamannya. Dia menatapku. Senyum seksinya
mengembang, seperti memberi isyarat aku untuk secepatnya menyetubuhinya.
Dua tanganku jatuh di pundaknya, mendorongnya rebah ke tempat tidur. Pemandangan indah pun tersaji
dihadapanku. Dua gunung mengerucut indah sementara celana dalamnya melengkung penuh dan, yang terpenting,
perempuan mungil itu seperti pasrah menunggu kedatanganku.
Aku turun dari tempat tidur. Begitu aku menarik lepas celana dalamnya, terpampang indah belahan memanjang di
selangkangan itu, yang tersamarkan bulu-bulu halus.
Bersimpuh aku di antara dua kakinya yang menjuntai ke bawah. Pantatnya terangkat karena jari telunjukku menusuk
belahan kelaminnya. Sambil menciumi paha putih susunya, dua jariku, jari telunjuk dan jari tengah, kutekan hingga
tertelan dalam lubang bersemak itu. Jemari bergerak mengitari kedalaman lubang kelaminnya dan tubuh telanjang
itu menggeliat.
Kutarik jemari dari dalam lubang kenikmatan itu. Dua kakinya lalu aku angkat ke tempat tidur sehingga area intim itu
makin terbuka lebar. Aroma khas tercium kala kujilati area sensitif miliknya. Bulu-bulu yang terpotong rapi di area
intimnya terasa kasar di lidah, tapi aku meneruskan saja menjilatinya. Klitorisnya kugigit pelan, kujilat untuk
kemudian kugigit kembali. Dapat kurasakan tubuh mungil itu menggeliat sementara pantatnya bergerak tak
beraturan mengikuti irama jilatan lidahku. Desahannya mulai terdengar.
Ketika napasnya mulai tersengal-sengal, kutinggalkan selangkangannya. Aku berdiri dihadapan tubuh telanjang yang
terbaring terengah-engah di tempat tidur. Dengan pasrah mata sayunya memandang aku, seperti mengharapkan aku
secepatnya memasukkan senjataku.
Kudorong ia ke tengah tempat tidur, lalu kutimpakan diri ini ke atas tubuh telanjangnya untuk berbagi kehangatan,
menyatukan birahi. Disambutnya bibirku dan hanya kecipak dua bibir beradu yang terdengar di dalam kamar di
tengah sepinya malam.
Bibirku beralih merambah leher, mencumbui telinganya. Tubuhnya menggigil setiap kali lidah ini menusuk ke dalam
lubang telinganya, menjilatinya perlahan.
"Amiir.."samar aku mendengar namaku disebut.
Kutinggalkan telinganya dan menatap heran dia yang berada dalam tindihanku."Eceu memanggilku?"
Dengan mata sayunya yang dipenuhi birahi, dia menatapku. Dia tersenyum. Lalu, "Saya sayang Amir."
Aku hanya tersenyum mendengar ucapannya. Lalu, dengan bertopang pada kedua tangan di sisi tubuhnya, aku
menempelkan kontolku di area sensitifnya. Matanya memejam, menikmati sentuhan senjataku di lubang
kemaluannya.
Aku sengaja belum memasukkannya, karena senang sekali aku melihat ekspresi wajahnya saat menantikan
kenikmatan yang berada di muka lubang kelaminnya.
"Amiiir..."rengeknya manja.
Karena permintaan telah terdengar, dengan perlahan, aku menekan masuk senjataku ke lubang berair itu untuk
kemudian kutarik kembali dan lalu kumasukkan lagi dan menariknya kembali, berulang-ulang, dengan diiringi napas
megap-megap istri kakak iparku.
Setelah akhirnya kontolku menghilang sempurna dalam lubang kenikmatan itu, segera pantatku bergerak berputar,
memutari alat kelaminnya yang hangat dan basah. Istri kakak iparku yang berada dibawahku mendesah sementara
jemari tangannya menangkap tanganku, merengkuhnya kuat-kuat.
"Ah..."Desahan terdengar kala kontolku aku tekan kuat ke kelaminnya.
Tapi, kini, desahannya terdengar seirama dengan gerak senjataku menusuki kemaluannya. Begitu pula kedua kakinya
yang berada disamping tubuhku yang bergerak ramai, mengikuti gerak maju mundur pantatku.
Aku menindih dia, mencari telinganya. Mula-mula bibirku mengemuti daun telingaku, lalu kujilati telinganya, dan
kemudian lidahku bermain di lubang telinganya. Selama itu pula tubuhnya menggelinjang genit dan desahannya
mengganas.
Telinganya aku tinggalkan, begitu pula tubuh telanjangnya yang telah basah itu. Kusuruh dia memunggungiku.
Pantatnya yang membulat penuh dihadapanku membuat aku tertantang untuk mendatanginya. Dengan segera
lenguhannya terdengar begitu kontolku menyeruak masuk ke lubang kelaminnya.
Suaranya memenuhi kamar tidur akibat seranganku yang bertubi-tubi terhadap kemaluannya. Beberapa kali pantat
mulus itu aku cekal kuat-kuat dan terkadang kupukul pelan.
Senjataku mulai berdenyut. Maka kupercepat gerakan menyetubuhinya. Saat sperma mengalir cepat di alat
kelaminku, kucabut kontolku dari lubang kemaluannya dan muncrat di punggungnya.
Tubuh istri kakak iparku tertelungkup di tempat tidur karena aku menimpanya. Dalam diam kami bertindihan. Hanya
napas kami saja yang terdengar, saling berkejaran.
Aku berpindah ke sampingnya, menatap wajahnya. Cantik sekali dia dengan butiran keringat di pucuk hidungnya.
Dengan jariku, kubuang titik-titik air di keningnya, membuatnya membuka mata.
"Sejak kapan Eceu sayang aku?"tanyaku.
Dia mengangkat kepalanya. Senyumnya merekah."Sejak kemarin, sejak Amir berani mendatangi kamar saya."
Tersenyum aku mendengar jawabannya. Dengan bibirku kuambil matanya, sekilas untuk kemudian aku turun dari
tempat tidur.
"Mau kemana?"tanyanya heran.
Sst... Telunjuk aku pasang di bibir meminta dia diam. Lalu, dengan masih bertelanjang ria, aku keluar kamar, menuju
ruang belakang. Training milikku yang teronggok di lantai, aku ambil dan lalu aku bawa masuk ke kamar.
Kutemui istri kakak iparku sudah duduk dipinggir tempat tidur. Dia menutupi tubuh telanjangnya dengan bantal. Aku
naik kembali ke tempat tidur. Kutarik dia menyender ke dinding kamar. Berdampingan kami duduk. Aku ambil bantal
dari pelukannya, sehingga dapat aku nikmati kembali ketelanjangannya.
Dari saku training, aku mengeluarkan asoy hitam, sebutan untuk kantung kresek oleh orang Palembang. Kuberikan
asoy tadi kepada istri kakak iparku. Dengan heran dia mengintip ke dalam asoy. Tak lama kemudian, senyumnya
merekah. Dia menatap aku dan dibukanya lebar-lebar asoy tadi. Sengaja memang aku membawa permen dan roti
dari warungku sebagai kudapan kami setelah tenaga terkuras akibat pertarungan malam kami. Permen-permen tadi
aku tebar di pahanya yang menyelonjor panjang disampingku.
Istri kakak iparku mengambil roti, membuka bungkusnya, dan memakannya. Kini, gantian, aku yang mengambil
permen yang berserak di antara dua pahanya. Tawanya tertahan karena saat mengambil permen itu, tanganku
menggerayangi terlebih dulu selangkangannya.
"Geli, tau,"ujarnya.
"Tapi, suka 'kan?"
Bibirnya mencibir ke arahku. Aku hanya tertawa. Lalu kuambil dia dalam rangkulanku. Bibir kami bergumul mesra.
Kupaksa bibirnya membuka, lalu permen yang ada di mulutku kupindahkan ke mulutnya.
"Amir nakal."Dadaku dicubitnya mesra.
"Tapi, suka 'kan?"
Kembali dia mencibir ke arahku. Aku hanya tertawa.
"Besok siang aku belanja untuk warung, Ceu,"ceritaku,"Mau ikut?"
"Ikut kemana?"tanyaku.
"Ke Kota. Persediaan di warung sudah menipis."
Di Palembang masa tujuh puluhan, Kota itu sebutan untuk kota Palembang sebagai pusat perdagangan. Ini
dikarenakan tempat tinggal kami berada di pinggiran kota Palembang.
"Kalau saya ikut, nanti mengganggu acara belanjanya Amir."Dia membaringkan kepalanya di dadaku, tangannya
merangkul tubuhku.
"Kalau nanti-nanti aku ajak pergi, mau 'kan?"Aku balik merangkulnya.
Dia melepaskan tanganku yang merangkulnya dan mengalihkan posisi duduknya untuk menghadap ke arahku."Iya.
Aku mau."
"Nanti kita atur waktunya, ya, Ceu?"
"Terserah Amir. Saya ikut saja."
Bahagia sekali aku mendengarnya karena akan bakal banyak waktu bagi kami untuk bertemu dan melampiaskan
perasaan cinta kami. Dengan suasana dan kondisi yang pasti sangat mendukung. Tanpa takut diketahui orang.
"Besok minta dibelikan apa?"tanyaku lagi.
"Apa, ya?"Dia seperti berfikir. Lalu,"Kalau minta buah-buahan, nanti suami bertanya siapa yang memberinya? Kalau
aku minta kalung emas, boleh tidak?"
Dengan gemas aku mencubit pelan pipinya, lalu kudorong ia kembali rebah di kasur. Sebelum ia bergerak berdiri, aku
bergerak naik. Kedua pahanya melebar karena tertimpa badanku dan dua tangannya aku pegang.
Kepalang tanggung, senjata aku tempelkan di area intimnya. Wajahnya meringis kala senjataku dengan perlahan
kutekan masuk ke lubang kemaluannya. Karena masih seret, maka aku tarik kontolku sedikit untuk kudorong masuk
kembali dan kutarik lagi, lalu kutekan masuk lagi. Lubang itu mulai basah ketika untuk yang kesekian kali aku dorong
senjata masuk ke lubang kemaluannya.
Desahannya terdengar begitu kontolku mulai lancar menusuki kemaluannya. Terus saja aku menyerang
kemaluannya, membuat mata itu merem melek.
Saat kontolku kembali berdenyut-denyut, aku mempercepat tusukanku hingga akhirnya kontolku kembali
memuncratkan cairan.
Dengan rasa lega aku menjatuhkan diri di atas tubuhnya. Detak jantungnya terasa di kulitku sementara nafas kami
sama-sama terengah-engah.
Untuk kali kedua aku mengalami kekalahan.

III. Kado Ulang Tahun


Kembali aku menindihnya, mengulum bibirnya. Saat lidah menerobos masuk ke mulut lawan mainku, lidahnya
menyambut. Di dalam mulut mungilnya, lidah kami saling memilin. Hangat dan panjang.
Ditolaknya bibirku hingga ciuman panas kami terhenti. Napasnya tersengal-sengal, begitupula dengan nafasku. Istri
kakak iparku, dengan tangannya, mengelap bibirnya yang basah dengan ludah kami. Aku bergerak masuk di antara
kedua pahanya, menempelkan kontol ke lubang kenikmatan yang sudah siap menyambut.
"A-a-a-ahh..."Lenguhannya terdengar saat kontolku aku dorong masuk ke dalam lubang kelaminnya.
Lalu, aku mulai memajumundurkan kontol. Dengus birahi dari mulut istri kakak iparku kembali terdengar. Dua
kakinya aku ambil dan kutaruh didepan dada. Sambil terus mendesak-desakkan kontol di kemaluannya, aku menjilati
kakinya yang penuh dengan bulu-bulu halus itu.
Kemudian, kukangkangkan melebar dua kakinya dan aku masuk di antara dua paha itu. Dengan memeluk salah satu
kakinya, kontolku memutari lubang bersemak itu, dan perempuan mungil itu kian bersemangat melenguh.
Tiba-tiba terdengar tangisan dari arah bawah tempat tidur. Spontan istri kakak iparku mendorong aku. Terjengkang
aku dibuatnya. Dia bangkit. Dengan hanya menutupi tubuh bagian depannya dengan ala kadarnya, dia turun dari
tempat tidur. Ditujunya tempat dua anaknya yang terbaring. Rupanya salah satu anaknya ada yang mengigau.
Dari atas tempat tidur, dimana aku berbaring, dapat kulihat istri kakak iparku berbaring disamping dua anaknya. Istri
kakak iparku yang hanya menutupi bagian depan tubuh telanjangnya, sehingga lekuk pantatnya yang putih
membulat puas aku nikmati, bersenandung kecil seraya menepuk-nepuk pantat anaknya itu. Tak tahan melihat
pemandangan indah di bawahku, aku menyusul turun dan ikut berbaring dibelakangnya. Tangan aku rangkulkan ke
tubuhnya, tubuhnya pun merapat.
Saat senjata milikku yang mengacung perkasa, aku selipkan di antara dua pahanya, dia menoleh ke arahku.
Lalu,"Anakku belum tidur."
"Makanya Eceu jangan bersuara, biar aku saja yang kerja,"ucapku pelan di telinganya.
"Mana enak kalau tidak bersuara,"jawabnya menggoda.
"Eceu boleh bersuara, tapi jangan keras-keras."Buah dadanya berada dalam rengkuhan jemariku.
"Saya tidak suka pelan-pelan."Istri kakak iparku menahan tanganku."Maunya yang keras dan kencang."
"Eceu mau yang keras dan kencang?"Bisikku di telinganya sembari aku maju mundurkan kontolku yang berada dalam
jepitan dua pahanya.
Jari telunjuknya menangkup di bibirnya, menyuruhku untuk diam, tapi dengan nakal aku menjilati areal telinganya.
"Anakku, anakku belum tidur."Dia menjauhkan telinganya dari kejaran mulutku.
Kutatap dia. Dia menatap kedua anaknya. Tangannya masih mengelus punggung anaknya sementara tanganku
menggapai areal kelaminnya, memainkan bulu-bulu kasar di sana.
Saat dia menoleh ke arahku. Kesempatan itu aku ambil untuk mengulum bibirnya dan dia membalasnya. Jemariku
meremas buah dadanya. Saat lidah kudesakkan masuk ke mulutnya, istri kakak iparku menyambutnya. Kupasrahkan
saat lidah milikku disedotnya.
Kutinggalkan bibirnya. Aku merangkak di atas tubuhnya. Kutarik dua paha itu melebar dan dua tanganku melingkari
pahanya, menggapai lubang berselimut bulu-bulu kasar yang tertata rapi itu, lalu kucecapi area sensitif miliknya.
Pantatnya terangkat kala jari-jari menguliki lubang kemaluannya. Kusorongkan daging bulat panjang itu ke mulutnya
dan mulut mungil itu menyambutnya. Dalam dekapan mulut itu, ada kehangatan melingkupi senjataku. Pelan aku
majukan kontolku, dan dia menyambutnya. Saat kemudian kutarik keluar, mulut itu ikhlas melepaskannya. Kembali
aku sosorkan senjataku ke mulutnya, kembali dia mengulumnya. Sambil aku nikmati kulumannya, sedotannya,
emutannya, aku pun memberi kepuasan untuknya dengan menjilati klitorisnya, menusukkan lidah ke lubang itu
sementara jari jemari mengobok-obok kemaluan itu.
Sementara aku mencumbui kemaluannya dan dia pun mencumbui kemaluanku, istri kakak iparku sibuk mengatur
desahannya agar tidak terdengar keras agar dua anak itu tidak terbangun karena saat ini kami berdua sedang
berposisi enam sembilan, 69 Style, disamping mereka.
Saat dua tangan istri kakak iparku memeluk aku, dapat aku perkirakan lawan mainku itu sudah merasa nyaman
dengan keadaan dua anaknya. Pasti dia yakin kedua anaknya telah kembali tertidur, maka aku hentikan cumbuan di
kemaluannya. Aku tinggalkan tubuhnya. Aku ajak dia ber-Doggy Style. Begitu kontolku, dengan perlahan, menusuk
ke dalam lubang kenikmatan itu, perempuan mungil itu sudah berani melepaskan lenguhan khasnya dari mulutnya.
Lenguhan pun berganti desahan manakala kontolku maju mundur di belahan pantat itu. Senjata kebanggaanku
memutari kemaluannya. Kontol bergerak ke kanan, naik ke atas, lalu kubawa ke kiri untuk turun ke bawah. Berulang
aku melakukannya dan berulang pula desahannya terdengar berirama.
Begitu sperma hendak keluar, aku mempercepat sodokan di kemaluannya. Dan akhirnya, dalam lubang yang hangat
dan basah itu, kutekan dalam-dalam senjataku. Kubiarkan sperma milikku memenuhi lubang kemaluannya.
Di lantai kamar tidur itu, berdampingan dengan dua anaknya, kami berbaring. Lengan kiriku masuk ke bawah
kepalanya, menjadi bantal untuknya. Istri kakak iparku merapatkan tubuhnya dan kaki kanannya menumpang di atas
perutku sementara tanganku jatuh menutupi buah dadanya. Kamar hening. Hanya deru nafas yang terdengar.
"Amir tidak bawa permen?"tanyanya kemudian.
"Bawa,"jawabku."Aku kira Eceu masih kenyang setelah tadi makan daging punyaku."
Dia berbalik, menimpakan tubuh telanjangmya padaku. Di atas dadaku, ia bertopang dagu. Senyum nakalnya
timbulnya, lalu,"Tadi mah tidak dimakan, tapi diemut-emut saja. Takut jadi kecil burungnya."
Senyumku terbit mendengar guyonannya. Kusibak rambutnya."Terus, kalau jadi kecil, Eceu mau cari yang lain?"
"Iyalah. Mau cari yang besar, biar tidak habis-habis kalau dihisapnya."
"Memang sudah ketemu?"
"Apanya?"
"Ya, burungnya lah."
"Sudah, tapi masih disimpan."Jemari lentiknya bermain di daguku."Takut ada yang minder kalau melihatnya. Takut
kalah bersaing. Hehehe..."
"Memang perempuan suka barang yang besar, ya, Ceu?"tanyaku kemudian.
Bibir itu tersenyum."Pastilah, Amiiir."
"Apa alasannya?"Penasaran aku jadinya.
"Kalau barang yang besar itu.... enak dilihatnya, dipegangnya."Dielusnya dadaku.
"Kalau kecil?"
"Mudah hilang. Suka lupa menyimpannya karena terlalu kecil barangnya."
Dasar betina ini, rutukku. Tidak pernah bisa serius kalau diajak ngomong. Aku menggeser dia turun. Aku duduk
bersila. Istri kakak iparku ikut bangkit, ikut bersila. Berhadapan kami duduk. Saling bertemu dengkul. Aku menikmati
keindahan tubuh telanjangnya. Entah, apakah dia menikmati apa yang aku nikmati atas keterlanjangan kami malam
ini.
"Mana permennya?"Istri kakak iparku menadahkan tangannya ke arahku.
Aku berjalan keluar kamar. Kutuju dapur, tempat dimana aku tadi menyimpan barang bawaanku. Sengaja tadi, saat
kedatanganku, aku tidak langsung membawanya ke kamar karena ada kejutan untuk dia.
Setelah mendapati barang bawaanku tadi, aku kembali ke dalam kamar. Istri kakak iparku telah berada di atas
tempat tidur meski masih dalam posisi yang sama, masih bersila, masih telanjang. Cuma dua tangannya bersilang
menutupi selangkangan.
Kutuju dia, ikut naik ke tempat tidur, kembali bersila didepannya, kembali menyatukan dengkul.
"Ini permennya."Kuserahkan asoy, sebutan untuk kantung kresek di Palembang, yang kubawa kepadanya.
Istri kakak iparku menyambutnya."Besar sekali asoynya? Apa permennya juga besar-besar?"
"Dibuka saja,"ucapku penuh rahasia.
Dengan penuh curiga dia menatapku. Tapi, akhirnya, dia membuka asoy itu dan mengeluarkan isi yang ada di
dalamnya. Bungkusannya pipih."Apa ini? Permen kok pakai dibungkus segala?"
Bungkusan itu diangkatnya dan, sambil didekatkan ke telinganya, diguncang-guncangnya pelan.
"Di buka saja, Ceu."
"Pasti ini bukan permen,"tebaknya seraya merobek kertas pembungkusnya.
Aku hanya diam saat dia mengeluarkan isi bungkusan. Istri kakak iparku menatap aku sementara tangannya
menggenggam pemberian dariku.
"Itu kado dariku. Kado ulang tahun dariku."
"Kado apa?"
"Kado untuk memperingati hari jadi dua minggu hubungan kita."
"Ha???"Bibirnya membulat mendengar ucapanku.
"Iya. Malam ini, tepat dua minggu kita menjalin hubungan. Eceu lupa?"
"Saya tidak lupa."Seraya menciumi beha hitam dan kolor yang sama hitam, dengan nada bercanda, ia bertanya.
"Cuma kenapa harus beha hitam? Kenapa harus kolor hitam? Kenapa tidak anting atau gelang emas?"
"Karena suami Eceu tidak sanggup membelikan beha dan kolor untuk Eceu, jadi biar aku saja yang
membelikannya,"aku balik bergurau."Gelang dan kalung emasnya nanti aku beri kalau aku sudah menghadap orang
tua Eceu."
"Buat apa?"
"Untuk melamar Eceu."
Istri kakak iparku hanya tersenyum. Lalu,"Dipakai sekarang?"
Aku mengangguk.
"Bisa tolong bantu saya memakainya?"
Aku menggeleng."Aku ingin lihat Eceu pakai behanya."
"Tapi, ingat, ya."Jari telunjuknya bergoyang ke kanan dan kiri."Tidak boleh terangsang melihat saya."
"Iya. Aku tidak janji."
Bibirnya mencibir ke arahku. Kulihat istri kakak iparku mulai menyiapkan beha di dua tangannya. Mula-mula dia
memasangkan beha hitam itu di bawah buah dadanya dengan posisi cungkup beha berada di punggungnya. Setelah
pengait beha terpasang, beha hitam itu diputarnya. Kini posisi cungkup beha berada di bawah buah dadanya. Istri
kakak iparku menaikkan cungkup beha hitamnya dan, jreng, beha hitam pun terpasang sempurna menutupi buah
dada itu.
"Ma kasih, Amir. Kadonya bagus. Pas lagi."Dia membusungkan dadanya, melenggak-lenggokkan badannya, untuk
memamerkan beha hitam itu. Ada keindahan yang muncul dari balik belahan dada beha hitam itu, beha hitam yang
sangat kontras dengan kulit putihnya.
"Celana dalamnya juga dipakai?"Pertanyaannya mengalihkan mataku dari buah dada yang mengintip seksi itu.
"Tidak usah, tapi sesuaikan ukurannya?"
"Amir tahu ukuran beha saya?"
"Sewaktu di toko pakaian, sewaktu mau beli beha itu, aku ditanya ukuran beha yang hendak kubeli oleh penjaga
tokonya,"ceritaku,"Bingung aku jadinya karena aku 'kan tidak tahu ukuran beha Eceu. Untung saja saat itu ada
perempuan yang mirip Eceu. Jadi aku tunjuk saja perempuan itu. 'Ukurannya seperti punya perempuan itu, kataku
kepada penjaga toko.'"
"Pasti bohong."Sambil tertawa, istri kakak iparku berucap."Amir pasti bohong. Tidak percaya saya."
"Syukurlah kalau Eceu tidak percaya,"ucapku seraya menahan tawa."Pasti aku akan digampar habis oleh perempuan
itu gara-gara nunjuk-nunjuk buah dadanya."
Dia manyun dan aku mendekatinya. Kuajak dia, istri kakak iparku, berdiri di atas lututnya. Buah dada mungilnya
tepat berada didepanku."Boleh aku pegang?"
"Tidak boleh. Mahal bayarannya."Meskipun menolak permintaanku, Istri kakak iparku kembali membusungkan
dadanya. Kedua tangannya ditaruhnya di pinggangnya. Bertolak pinggang. Pasti dia memberi kesempatan aku
menjamah buah dadanya.
"Hei,"teriaknya kala jemari tanganku merenggut selangkangannya, menyentuh bulu-bulu yang ada di sana.
Tubuhnya menjauh dariku.
"Laki-laki kurang ajar,"katanya,"Dikasih dada, minta memek."
Dengan sekuat tenaga aku menahan tawa. Tidak lucu kalau penghuni rumah ini terbangun gegara tawaku. Maka,
kupeluk dia. Berbarengan kami rebah. Lalu, dibuatnya aku terlentang. Istri kakak iparku menaiki aku, menduduki
senjataku. Tangannya diletakkannya di dadaku dan mata kami bersitatap, senyum pun mengembang.
Istri kakak iparku menindih aku. Diambilnya bibirku dan kami berciuman. Selagi bibir kami berpagutan, tanganku
memeras pantatnya, mencari lubang kenikmatan miliknya. Dari sela bibir kami yang menyatu hangat, terdengar
desahnya saat jemariku bermain di kemaluannya. Dengan rajin aku mengelus-ngelus lubang itu, memainkan daging
kecil yang ada di belahan kelaminnya, dan sesekali aku tusukkan jemari masuk ke lubang bersemak itu. Gelagapan
dia karena aku tidak melepaskan bibirnya dari dekapan bibirku.
Kudorong dia kembali menduduki aku. Pantatnya terangkat kala kontol aku arahkan ke lubang kemaluannya. Lalu,
pantat itu diturunkannya hingga senjata milikku tertelan. Dari posisiku yang terbaring didudukinya, aku melihat istri
kakak iparku, dengan mata yang terpejam, melonjak-lonjakkan diri. Lenguhannya terdengar. Buah dadanya yang
masih tersimpan dalam beha hitam itu ikut terlonjak-lonjak seirama dengan desahannya.
Mata itu membuka. Kembali kami bersitatap. Lalu, istri kakak iparku merebahkan diri di atas tubuhku. Napasnya
terengah-engah. Saat istri kakak iparku berhenti menggauliku, ganti pantat aku yang naik turun menusuki
kemaluannya. Di atas tubuhku, dipeluknya aku erat-erat untuk menjaga keseimbangan tubuhnya. Jeritannya
terdengar walau dia berusaha menahannya.
Aku duduk. Dia berada dipangkuanku. Tangannya diletakkannya di bahuku dan kami menyatukan bibir. Jemariku
merambat di punggungnya, mencari pengait beha. Begitu beha hitam itu terlepas, langsung saja bibirku menyerbu
gundukan daging kenyal itu dan Istri kakak iparku yang berada di pangkuanku hanya mampu menggeliat nikmat.
Lalu, sambil tetap mengulum butiran coklat di puncak gunung kenyal itu, pantatnya aku rengkuh, kupaksa pantatnya
maju mundur menelan senjataku. Gerenyit tempat tidur terdengar ribut, seribut desahannya yang memenuhi kamar.
Aku rebahkan dia ke tempat tidur. Kini kami kembali ke posisi misionaris. Aku berada di antara dua pahanya.
Membiarkan dua pahanya menjepit pinggangku. Terus aku tusuki lubang kemaluannya, membiarkan dia terus
mendesah.
Kuhentikan seranganku dan dua paha itu melepaskan jepitannya. Kutimpakan tubuhku. Kaki kananku naik ke atas
paha kirinya. Pantatku bergerak memutar, bergerak mengitari kemaluannya, dengan sesekali menghujamkan dalam-
dalam kontolku ke lubang kemaluannya. Dia hanya bisa mendesah pasrah.
"Aku mau keluar,"ucapku diantara gemuruh nafas kami.
Dengan ditingkahi desahannya, tanganku bertumpu di kasur dan gerakan kontolku kian deras maju mundur di lubang
kenikmatan milik perempuan itu. Tubuhku bergidik manakala aliran sperma mengalir cepat di kemaluanku. Cepat-
cepat kutekan kontolku dalam-dalam dan percikan air itu memenuhi lubang itu.
Setelah kontolku berhenti memuncratkan sperma, aku berbaring di atas tubuhnya. Dapat kurasakan tubuhnya yang
basah, napasnya yang memburu, dan detak jantungnya yang tidak beraturan.
"Sekarang Amir tahu 'kan alasan aku tidak pernah memakai beha setiap kali Amir datang?"Disela nafasnya yang
masih memburu, ia berucap.
Sambil menyibakkan beberapa helai rambut dari wajahnya, aku berucap,"Tapi, kenapa Eceu tetap memakai celana
dalam? Toh, bakal aku lepas juga."
"Kenapa aku pakai celana dalam?"Dia menatap aku. Ada senyum di wajahnya."Karena Amir harus berjuang dulu
untuk mendapatkan memekku. Faham?"

IV. Rumah Sakit, Ruang Kelas II


"Maaf, ibu-ibu, jam kunjungan sudah selesai."Seorang perempuan muda berbaju putih berdiri di ambang
pintu."Demi kenyamanan pasien, para pengunjung diharap segera meninggalkan ruangan."
Ruangan yang sedari awal sudah ramai semakin riuh. Isteriku menaruh makanan di meja kecil yang ada di samping
tempat tidur, sementara ada yang merapikan kamar, sedang anak-anak berlarian keluar ruangan.
"Ada apa?"tanyaku pada isteriku yang tampak kebingungan.
"Saya mau pulang ke rumah, Bang. Sudah dua hari saya di sini, rumah pasti berantakan,"jawab istriku,"tapi, kalau
saya pulang, siapa yang menunggu Abang di sini?"
Isteriku menoleh kepada perempuan yang berdiri disampingnya. Lalu,"Eceu mau tidak menjaga Abang?"
"Kan jam besukan habis, Ju? Memang boleh ada yang tinggal di kamar pasien?"Perempuan yang berdiri disamping
istriku bertanya.
"Boleh. Asal tidak ramai, diperbolehkan, Ceu."
Perempuan yang berdiri disamping istriku tampak bimbang."Bagaimana dengan anak-anak? Mereka tinggal di sini
juga?"
"Biar mereka saya bawa pulang. Sebentar, kok."Istriku menatap ke arah perempuan itu, menunggu isyarat
persetujuan."Habis Maghrib, saya datang lagi, Ceu."
Ketika akhirnya perempuan itu mengangguk, istriku terlihat sumringah. Langsung dia menyiapkan tas besar berisi
pakaian kotor yang akan dibawa pulang.
"Saya pulang dulu, Bang."Istriku mencium pipiku dan aku mencium keningnya.
Perempuan di samping istriku itu menatap ke arah kami. Tersenyum simpul sambil mendekapkan tangan ke
dadanya.
"Mau dibawakan apa untuk makan malam nanti?""tanya istriku.
"Tidak usah repot-repot,"jawabku."Pulanglah dulu, Ju. Nanti perawat datang lagi. Marah lagi."
Istriku mengangguk dan, bersama perempuan itu, menuju pintu keluar. Dapat kudengar suara ribut-ribut dari luar
kamar, yang kemudian perlahan menjauh dan menghilang. Sepi.
Pintu kamar terdengar menutup. Perempuan itu lalu muncul dari balik tirai dan hadir mendekat. Cantik sekali
perempuan itu. Pakaiannya mengikuti mode saat ini, gaya yang sedang trend di akhir tahun 70-an. Gaun panjang di
atas lutut tanpa lengan dan melekat erat di tubuh mungilnya.
Perempuan itu membiarkan aku mengambil jemarinya."Kukira Eceu tidak mau menemaniku di sini."
Eceu, perempuan itu, istri kakak iparku, hanya tersenyum. Mata kami bersitumbuk. Kutemukan rindu di matanya,
seperti aku yang juga merindukannya. Dari jemari lembutnya yang aku genggam, dapat kurasakan getaran
kehendaknya. Dua minggu sudah kami tidak menyatukan hasrat. Bertumpuk-tumpuk birahi yang siap meledak,
menunggu saat yang tepat."Aku kangen Eceu."
Dengan bertumpu pada siku tangan, aku mengangkat kepalaku, dia pun mendekatkan wajahnya. Dalam ruang
berwarna dominan putih yang sepi, bibir kami bertemu. Seperti pasangan muda yang baru jatuh cinta, bibir kami
bertemu, lepas, bertemu kembali dan lepas kembali. Pendek-pendek ciuman kami, terburu-buru, penuh birahi.
Karena capek, aku membaringkan kepalaku di bantal, tapi perempuan itu mengejar bibirku. Ditimpakannya bibirnya
dan aku membalasnya. Tangan kiriku bergerak menggapai buah dadanya, meremasnya. Sayang sekali tangan
kananku tertancap infus sehingga tak bisa ikut menjamah.
Istri kakak iparku meninggalkan bibirku, tapi jemariku tak melepaskan buah dadanya. Kutatap matanya yang penuh
birahi itu. Lalu, kembali dia mengambil bibirku, mengulumnya dalam-dalam. Panjang dan hangat.
Sambil tetap berciuman, tanganku bergerilya ke bawah, mencari pahanya. Dia mendekat kala tanganku berusaha
masuk ke dalam gaunnya. Kutemukan selangkangannya. Bagian tengah celana dalam itu basah saat kusentuh. Istri
kakak iparku menegang saat jari tengahku menekan lubang kemaluannya yang masih terselimut celana dalam.
Mungkin karena capek menunduk, istri kakak iparku berdiri. Dalam diam, kami bertatapan, tapi tetap dibiarkannya
jemari ini bermain di area sensitif miliknya. Maka kugunakan kesempatan itu untuk menyelinap masuk ke celana
dalamnya. Hangat sekali kemaluannya. Lubang itu pun sudah basah. Dicekalnya lenganku kuat-kuat manakala daging
kecil yang berada dalam belahan memanjang di kemaluannya aku tekan dan aku elus-elus. Matanya tertutup,
kepalanya mendongak, dan mulutnya membuka. Nafasnya mulai mendengus.
Tapi, dari balik tirai, terdengar pintu didorong dari luar. Secepatnya aku menarik jemari dari area sensitif miliknya.
Secepat itu pula istri kakak iparku memasang kembali celana dalamnya yang turun akibat aksiku menggerayangi
kemaluannya. Bersamaan dengan itu, tirai ditarik membuka dan dua orang perawat dengan kereta dorong
mendekat.
"Bapak Amir?"Ada senyum di wajah perawat yang terdepan saat dia melihat selangkanganku. Pasti dia melihat ada
yang aneh di sana.
Setelah menanyakan kondisiku, perawat itu mengambil mangkuk dari kereta dorong, lalu,"Ini obat untuk malam ini,
ya, Pak. Di minum setelah makan nasi."
Perawat meletakkan mangkuk obat di meja dan disusul perawat satunya yang menaruh piring nasi beserta dua piring
lainnya yang berisi lauk di meja.
"Mau makan sekarang?"tawar istri kakak iparku setelah kedua perawat berlalu.
"Belum lapar,"sahutku,"tapi aku kepingin buah."
"Buah apa?"Dengan sigap ia menghampiri meja."Mau apel? Jeruk?"
"Buah dada, ada?"
Istri kakak iparku menoleh ke arahku. Melihat bibirnya yang manyun itu, tawaku pecah.
"Aku kepingin buah dada, Ceu,"ucapku lagi setelah tawaku reda.
"Sekarang tidak usah mikir ke situ. Amir tuh lagi sakit, pasti tidak ada tenaga,"ucapnya mengejek.
"Neh! Jangan membangunkan harimau yang sedang tidur, ya."Aku berusaha bangun dari tidurku, tapi gagal.
Akhirnya dia membantuku saat aku kesulitan untuk duduk di tempat tidur."Apa kata saya. Amir masih lemah 'kan?"
"Tapi, aku mau buah dada,"rengekku dengan gaya anak kecil.
"Jangan nakal, ya. Masih sakit mau macam-macam."Dengan pelan, istri kakak iparku menjewer telingaku."Nanti saja
kalau sudah di rumah."
"Maunya sekarang."Masih dengan gaya merajuk, aku memonyong-monyongkan bibir pura-pura menyusu sementara
tanganku menyentuh buah dadanya.
Istri kakak iparku berjalan mendekati tirai. Berdiri sebentar di sana. Kepalanya melongok ke arah pintu, lalu dia
menarik tirai.
Dan, kini, kami berada dalam kurungan tirai. Kuulurkan tanganku. Istri kakak iparku yang tersenyum menggairahkan,
mendekat dan menyambut tanganku. Birahiku melonjak. Selangkanganku menghangat. Senjata kembali menegang.
Setelah menggeser tiang infus mendekat, aku bergeser duduk. Dengan dua kaki menggayut ke bawah, aku ajak dia
berdiri masuk di antara dua pahaku.
"Nenen-nenen, nenen-nenen..."Masih tetap bergaya anak kecil, tanganku menjamah buah dadanya. Istri kakak
iparku membiarkan aku yang mulai melepas kancing pakaiannya.
"Susah, Ceu."Aku menyerah karena ternyata susah membuka kancing pakaian dengan satu tangan, apalagi dengan
birahi memenuhi kepala.
"Makanya, Amir itu sadar kondisi,"ucapnya dengan nada bergurau.
"Aku tuh sadar, Ceu, tapi si otong tidak mau sadar."Kutunjuk selangkanganku.
Tawanya yang tertahan terdengar karena di area selangkanganku terlihat tonjolan di balik pakaian.
"Katanya sakit, tapi, kok, bisa bangun, ya?"tanyanya dengan heran."Atau itu sebabnya perawat tadi senyum-senyum
terus. Rupanya perawat tadi melihat burung Amir berdiri, ya?"
"Hahaha!"Tawaku pecah karena istri kakak iparku akhir dapat memecahkan misteri senyuman perawat tadi.
"Itulah hebatnya Eceu. Berkat kehadiran Eceu, semuanya bangun, semuanya semangat,"jawabku setelah tawa reda.
Kembali aku meraih kancing pakaiannya, tapi, kini, istri kakak iparku ikut membantu. Satu, dua, dan tiga, kancing
pakaiannya terlepas. Kukuakkan melebar pakaian itu. Putih mulus lehernya. Begitu pula lereng gunungnya yang
membukit itu. Putih susu.
Keindahan bukit-bukit yang mengintip dibalik beha hitam yang aku berikan saat ulang tahun kedua minggu
hubungan kami, membuat si otong di selangkangan mengacung hebat.
Aku turunkan pakaiannya dan cungkup behanya aku angkat naik. Dua gunung itu tergantung indah didepanku.
Mungil, ranum, putih mulus, dengan butiran coklat di atasnya. Ada lingkaran bewarna coklat pudar mengelilingi
butiran coklat tadi.
Dengan lidahku, aku mainkan butiran itu, membuat dia menggelinjang nikmat. Segera butiran coklat itu berada
dalam mulutku. Selama aku menyedot, menjilat, dan mengulum butiran kecoklatan di atas buah dada mungil itu,
istri kakak iparku mendekap kepalaku, mengelus pipiku, memainkan rambutku, dan kembali pipiku dielusnya.
Tanganku kembali masuk ke selangkangannya. Dengan perlahan celana dalamnya aku turunkan. Dua pahanya
merapat untuk mempermudah aku menurunkan jauh-jauh dari selangkangannya. Kusentuh area sensitifnya yang
hangat dan lembut.
Desahannya terdengar. Kulumanku di butiran coklat kian bergairah. Begitu pula jamahanku di wilayah kemaluannya.
Lubang kemaluan itu kian basah.
Jari telunjukku masuk ke dalam belahan memanjang di selangkangan itu dan memainkan tonjolan daging yang ada
didalamnya. Desahan terdengar, menggoda telinga. Cengkeraman kedua tangan istri kakak iparku di kedua pahaku
menguat.
Kuluman dan sedotanku di puting susunya meliar, seliar dua jariku yang keluar masuk lubang kemaluannya, seliar
dengus nafasnya yang memenuhi kamar kelas dua rumah sakit ini.
Kutinggalkan buah dada itu dan berpindah mengulum bibirnya. Dua tangannya mendekap leherku erat, sementara
jari-jari tanganku masih mengobok-obok kemaluannya. Desahannya bersembunyi akibat mulutnya tertutup mulutku.
Pintu kamar terdengar terkuak dan langkah kaki terdengar masuk. Dengan gelagapan, istri kakak iparku menjauh dari
aku. Buru-buru dia memasangkan kembali celana dalam ke selangkangannya, lalu tangannya merapikan bagian atas
pakaiannya. Karena dibalik tirai terdengar banyak kaki yang melangkah, istri kakak iparku melongok ke luar tirai.
Lantas, dibukanya tirai dan seorang perempuan setengah baya yang membawa sapu dan pengki masuk.
"Maaf, Pak, Bu. Maaf mengganggu,"ucapnya pelan tanpa menatap ke arah kami. Serba salah tingkahnya."Saatnya
bersih-bersih kamar."
Oleh si ibu, tirai dibuka lebih lebar. Ternyata ada dua orang lagi yang membersihkan kamar ini. Kamar ini memang
besar. Kamar ini mempunyai tiga tempat tidur, tapi saat ini dua tempat tidur lain tidak ada penghuninya. Pasien yang
menempati tempat tidur yang diujung sana, siang tadi pulang.
"Bapak bisa turun dari tempat tidur?"tanya ibu cleaning service sopan"Mau ganti seprai."
Dengan bantuan istri kakak iparku, aku turun dari tempat tidur. Aku duduk di kursi. Sambil bersidekap untuk
menutupi dadanya karena behanya tak terpasang sempurna, istri kakak iparku berdiri di sampingku. Saat si ibu
cleaning service mengganti seprei kasur, kulingkarkan tanganku ke tubuh istri kakak iparku. Dia pun menjatuhkan
satu tangannya di pundakku, merapatkan tubuhnya sementara tangan satunya tetap menutupi buah dadanya.
"Sudah selesai, Pak, Ibu."Ibu cleaning service itu tetap tidak berani menatap ke arah kami."Silakan istirahat kembali.
Maaf mengganggu."
"Makasih, ibu,"ucap istri kakak iparku pada ibu cleaning service yang saat itu sedang merapikan peralatan kerjanya.
"Sama-sama, Ibu."Sambil kembali pamit, ibu cleaning service bersama kedua temannya berlalu dari kamar.
"Aduh!"teriakku tertahan saat dengan gemas dia mencubit lenganku.
"Hati-hati, Amir. Hati-hati dengan infusnya,"istri kakak iparku mengingatkan aku yang menggerakkan tangan
kananku yang dipasangi infus.
"Sakit,"ucapku sambil mengusap-usap bekas cubitan di lenganku.
"Maaf... maaf...."Dia ikut mengelus lenganku."Habis, Amir keterlaluan. Apa gunanya meluk-meluk didepan orang?
kalau si ibu tadi curiga, bagaimana?"
"Dia 'kan pasti mengira kita ini suami istri,"ucapku,"Jadi, bolehkan suami memeluk istrinya?"
"Tidak lucu."Dengan nada kesal dia menjawab.
"Ya, sudah. Aku minta maaf kalau Eceu tidak suka aku perlakukan sebagai istri."Aku duduk di tempat tidur."Kalau
sebagai kekasih, mau? Kekasih gelapku."
Kembali dia mencibiri aku. Lalu,"Kayaknya ibu tadi tahu apa yang kita lakukan, ya, Mir."
"Memangnya apa yang kita lakukan?"tanyaku pura-pura tidak faham.
Hi-ih! Dengan gemas dia mencubit aku lagi. Kembali aku teriak.
"Mau pipis."Istri kakak iparku menuju kamar mandi yang berada di dekat pintu keluar.
Sambil menunggu istri kakak iparku kembali, aku membaringkan diri. Kupejamkan mata. Masih kurasakan kepalaku
yang berat. Mungkin karena kecapekan, tensi darahku meninggi. Istriku memaksa aku berobat dan dokter
mengadvise aku beristirahat di rumah sembari menunggu perkembangan berikutnya.
Kubuka mataku karena lenganku disentuh. Ternyata dia, istri kakak iparku, berada disampingku.
"Sudah lapar belum?"Diurut-urutnya lembut lenganku."Biar cepat makan obat."
"Lapar memek."
"Tunggu sembuh. Tunggu sudah sampai rumah. Nanti minta sama Juju."Dengan nada bercanda, istri kakak iparku
berucap.
"Mau sekarang, Ceu. Mau memek Eceu."
"Juju 'kan gemuk, pasti memeknya lebih tembem."
"Sekarang pengen memek Eceu."
"Memang beda rasanya?"
Sambil menatapnya, aku pura-pura berfikir. Istri kakak iparku menghentikan urutannya di lenganku, menunggu
jawabanku. Lalu,"Coba Eceu lihat ke kakiku."
Begitu dia menoleh ke arah yang aku suruh, aku sibak pakaian rumah sakit yang kukenakan. Istri kakak iparku
spontan menjerit, tapi dengan cepat ditutupnya mulutnya dengan tangannya, karena daging panjang yang berada di
selangkangan terpampang jelas. Mengacung gagah perkasa.
"Nakal!"Dicubitnya tanganku dan aku hanya tertawa.
"Dia kangen sama Eceu,"ucapku."Sudah lama tidak dielus-elus."
Bibirnya mencibir ke arahku dan aku kembali tertawa.
"Tutup lagi, ah. Nanti ada perawat yang mendadak masuk."
"Kan tirainya tertutup. Orang tidak bisa melihat apa yang Eceu lakukan kepadaku."
"Memang apa yang saya lakukan?"Istri kakak iparku itu bertanya dengan nada lucu.
"Eceu akan memegang burungku, meremasnya, kemudian mengulumnya,"ucapku seraya menatapnya."Lalu, Eceu
akan naik ke tempat tidur dan main kuda-kudaan."
"Ih! Maunya."Istri kakak iparku mencubitku.
"Aku memang mau, kok."Aku mengacungkan tanganku, seperti seorang murid pada gurunya."Eceu juga mau, kan?"
"Si otong juga pasti mau, Ceu."Dengan bantuan tangan kiriku, aku menggoyang-goyangkan senjataku."Eh, Eceu tidak
kangen?"
"Saya tuh kangennya sama Amir."Tangan istri kakak iparku jatuh di dadaku, mengelusnya.
"Sama si otong tidak kangen?"
Istri kakak iparku menatap aku. Senyumnya terlihat malu-malu. Lalu,"Iya juga, sih."
"Kalau kangen, kenapa tidak mau memegangnya?"Dengan mulutku, aku menunjuk ke arah selangkangan.
Diarahkan pandangannya ke selangkanganku dimana si otong berdiri gagah, meski rada bengkok ke kiri sedikit dan
tanpa bulu. Lalu tawanya pecah.
"Siapa yang menggunduli si otong, Amir?"Tanpa diperintah, istri kakak iparku meraih kontolku. Dirabanya areal
pangkal kontol yang klimis."Lucu melihatnya."
"Perawat tadi,"jawabku.
"Haa?"Istri kakak iparku menatap terkejut kepadaku."Apa kerja si Juju?"
"Si perawat itu yang mengajukan diri menjadi relawan, Ceu."
"Tidak percaya. Tidak percaya."Istri kakak iparku menggelengkan kepala, tapi tangannya tetap menggenggam
kontolku.
"Ya, sudah kalau tidak percaya,"ucapku."Nanti, kalau sudah gondrong lagi, Eceu saja, ya, yang potong?"
"Bangun tidak burung punya Amir?"tanyanya lagi penuh penasaran."Waktu dipegang sama perawat itu?"
"Tidaklah."Aku ikut memegang alat kelaminku. Bersama-sama kami mengocoknya."Aku 'kan lagi sakit. Tidak terpikir
ke sana."
"Sekarang, kok, bangun?"
"Karena ada Eceu di sini. Karena ada Eceu yang pegang."
Bibirnya mencibir. Lalu, sambil memandang kontolku yang berada dalam genggamannya, ia bertanya,"Burung Amir
kok bengkok ke kiri, ya?"
"Sudah bawaan dari sana, Ceu,"terangku."Memang kemarin-kemarin tidak memperhatikan?"
"Tidak. Baru kali ini bisa lihat jelas,"jawabnya,"Apa semua burung punya lelaki itu sama panjangnya?"
Aku tidak menanggapi pertanyaannya. Aku sedang menikmati aksi istri kakak iparku yang meremas-remas lembut
kepala kontolku. Geli-geli nikmat kurasakan saat jari-jari lentiknya menyentuh bagian bawah kepala kontolku.
"Kenapa lelaki suka kalau burungnya dikulum, ya?"tanyanya lagi sementara jarinya masih mengocok kontolku.
Aku mendengar pertanyaannya, tapi aku tidak mampu menjawabnya. Kepalaku dipenuhi birahi yang melonjak-
lonjak.
"Apa semua burung punya lelaki banyak urat-urat kayak gini?"Jarinya mengikuti ulir-ulir urat yang banyak melingkar
di kontolku.
Mata aku pejamkan, nafas pun tertahan-tahan mendengus, menikmati sentuhan-sentuhan lembut perempuan itu di
area sensitif kemaluanku.
"Ah.."Desahku saat kepala kontolku terasa hangat. Kepala kontolku dijilatinya. Pantatku terangkat begitu kepala
kontolku dikulumnya, menggelinjang begitu bagian bawah kepala kontol disentuh oleh lidahnya yang kasar itu.
Pintar sekali perempuan ini. Tubuhku bergidik akibat sedotan mulutnya, emutannya di kepala kontolku. Apalagi saat
mulutnya maju mundur menelan kemaluanku. Ah! Geli-geli nyaman.
"Eceu,"panggilku.
Tanpa melepaskan kontolku dari mulutnya, Istri kakak iparku menoleh ke arahku.
"Lepas dulu."
Mulut istri kakak iparku meninggalkan kontolku. Dia berdiri. Menatapku, menunggu instruksi dariku.
"Naik, Ceu."
Kuisyaratkan pada istri kakak iparku untuk naik ke tempat tidur. Istri kakak iparku itu terlihat gamang. Matanya
menatap aku, lalu ke arah tempat tidur yang memang kecil, beralih ke tiang infus yang berada di sisi tempat tidur
dan lalu beralih ke tangan kananku yang tertusuk jarum infus.
"Aman,"jaminku."Asal Eceunya tidak liar, semua akan terkendali."
Tersenyum dia mendengar ucapanku. Tak mau membuang waktu, tangannya aku pegang, menuntunnya untuk naik
ke tempat tidur. Istri kakak iparku duduk di disampingku untuk kemudian berbaring di atas tubuhku, kembali
mengejar bibir. Bibir kami pun bertaut. Seperti berlomba untuk mengulum bibir lawan mainnya. Dan di kamar
dominan putih itu, hanya kecipak bibir kami yang terdengar.
Dua bibir kami berpisah. Kami saling bertatapan. Lalu, dua pahanya mengangkangi tubuhku. Duduk di atasku, dia
membelakangi aku. Kini kontolku berada dalam genggamannya, dia mengocoknya.
Mendadak istri kakak iparku menungging. Bola mataku seraya hendak meloncat keluar. Celana dalam itu tersaji jelas
didepanku. Mataku tambah melotot karena kepala kontolku kembali dijilatinya. Kunikmati sedotannya di kepala
kontolku. Dalam kuluman mulutnya, kurasakan alat kelaminku makin mengeras, membuatku jakunku naik turun
cepat.
Tak mau kalah, kubawa wajahku mendekati selangkangannya. Istri kakak iparku melebarkan dua pahanya, memberi
ruang bagiku untuk menjamah kemaluannya. Biarpun masih tertutup celana dalam, areal sensitifnya aku jilati.
Berkali-kali aku menggigiti bagian tengah celana dalam itu, berkali-kali pula desahannya terlepas. Terkadang, agar
perempuan ini menjerit, mulutku aku usel-usel di kemaluannya.
Melalui sisi pinggir celana dalamnya, dua jariku menyelinap masuk dan bermain di areal kelaminnya, bersaing
dengan lidahku yang menjilati paha putih susu itu.
Kutinggalkan celana dalam yang basah dengan lendir yang keluar dari lubang kemaluannya bercampur dengan
ludahku. Dengan susah payah tangan kiriku menarik turun celana dalam yang dikenakannya. Tahu kalau aku
kesulitan melepaskan celana dalamnya, istri kakak iparku memindahkan kaki ke sampingku, menarik lepas celana
dalamnya.
Setelah celana dalam terlepas, kembali istri kakak iparku mengangkang di atas tubuhku, kembali menungging,
kembali menjilati alat kelaminku, dan kembali pemandangan indah yang mendebarkan jantung terhampar didepan
mataku. Belahan yang memanjang ke atas yang ada di selangkangan itu sungguh menantang. Belahan memanjang
itu tampak jelas tanpa ada bulu-bulu.
Istri kakak iparku yang berada di atas tubuhku terlonjak begitu jari-jemari menempel di lubang kemaluannya dan
mengelus-elusnya. Kini, dua jariku aku maju mundurkan dalam kedalaman lubang kemaluan itu. Desahannya
terdengar tertahan-tahan karena mulutnya yang masih mengulum kontolku.
Kepala kembali aku angkat naik dan masuk di antara dua pahanya. Gemetar tubuh istri kakak iparku dan terdengar
desahan kala mulutku mulai mencecapi area kemaluannya dengan diselingi dengan tusukan-tusukan lidahku ke
dalam belahan memanjang itu. Bergantian bibirku menggigiti tonjolan daging kecil yang berada di dalam lubang
kemaluannya.
Seperti sepasang petarung, kami menyerang kemaluan lawan tandingnya dengan semangat dan sepenuh hati. Kamar
dominan putih itu kini dipenuhi dengus birahi kami.
Istri kakak iparku melepaskan kontolku dari mulutnya. Aku pun dengan terpaksa melepaskan kemaluannya karena
kini dia duduk di atas selangkanganku. Dia mengangkat pantatnya dan dia mengambil kontolku. Diarahkan daging
mengeras itu ke lubang kemaluannya, lalu ditekannya pantatnya turun. Ada sensasi yang tak terpermanai kurasa
saat kontolku tertelan memek perempuan ini.
Belum hilang sensasi itu, istri kakak iparku mulai menggerakkan pantatnya turun-naik menelan kontolku dan mulai
pulalah dia mendesah-desah. Derenyit tempat tidur terdengar lirih dan seirama dengan gerakan pantat istri kakak
iparku. Seperti menyadari ada bunyi yang mencurigakan, istri kakak iparku mengubah gayanya menggagahi aku. Kini
pantatnya bergerak memutari alat kelaminku, tapi tetap saja desahan itu terdengar ramai.
Aku membiarkan istri kakak iparku menghentikan genjotannya. Aku membiarkan dia melepaskan kontolku dari
lubang kemaluannya. Dan aku membiarkan dia berpindah menghadap ke arahku.
Aku membiarkan dia mengambil kembali senjataku, membiarkan dia menduduki senjataku, membiarkan dia
bergoyang di atas selangkanganku, membiarkan dia berdesah-desah nikmat.
"Amir, cepatlah pulang,"ucapnya pelan disela genjotannya.
Aku menatapnya. Jemariku mengambil buah dadanya yang berayun-berayun di depan mataku dan meremasnya.
"Amir cepat pulang,"ucapnya lagi.
"Kalau aku sudah pulang, Eceu mau kasih apa?"
Ditaruhnya dua tangannya di dadaku, lalu istri kakak iparku merunduk dan,"Terserah Amir mau apa?"
Kembali kami berciuman. Pantat istri kakak iparku tetap bergoyang, tetap menelan kemaluanku, tetap mendesah-
desah dan aku menikmatinya.
"Ada apa?"tanyaku karena desahannya menghilang, pun genjotannya.
"Azan Maghrib,"ucapnya pelan sembari turun ke sampingku.
Dia mengambil pakaiannya dan ditutupinya tubuh telanjangnya. Berdua kami berdiam diri. Panggilan salat yang
dikumandangkan sang bilal dari masjid yang berada di areal kompleks rumah sakit masih terdengar.
Suara azan menghilang. Dengan bertumpu pada tangan, aku bangun. Istri kakak iparku hanya diam melihat aku turun
dari tempat tidur. Sembari menyeret tiang infus, aku melongok ke luar tirai. Sepi.
"Mau kemana?"Istri kakak iparku memegangi penutup tubuh telanjangnya agar tidak melorot kala kutarik dia turun
dari tempat tidur.
"Nanti dilihat orang, Amir,"ucapnya lagi begitu keluar dari balik tirai, tapi tetap dia mengikutiku langkahku.
Segera kami sampai di depan kamar mandi. Kudorong pintu membuka dan kuajak istri kakak iparku masuk.
"Jangan sekarang, Amir. Jangan di sini."Istri kakak iparku berniat keluar kamar mandi. Maka, dengan cepat pintu aku
tutup. Berdiri aku didepan pintu itu, memandangnya.
"Amir 'kan masih sakit,"ucap istri kakak iparku melemah.
Kutebarkan senyum agar dia percaya aku. Penutup tubuh telanjangnya aku tarik dan aku sampirkan di hanger yang
ada di balik pintu.
"Hati-hati."Istri kakak iparku memegang tiang infus karena aku kesulitan bergerak di kamar mandi yang kecil
ini."Hati-hati infusnya."
Tapi, tak kuhiraukan rasa khawatirnya. Birahi yang memenuhi batok kepala telah membutakan. Dengan tangan
kiriku, aku tarik dia mendekat dan kurangkul tubuh telanjangnya. Tinggiku yang nyaris seratus tujuh puluh memaksa
aku untuk menundukkan kepala agar dapat menjangkau bibirnya. Kulumat bibirnya dan kueratkan pelukan.
Tangan kananku meraih tiang infus, lalu kudorong istri kakak iparku menepi ke dinding kamar mandi. Kuraih
selangkangannya dan dia pun melebarkan dua pahanya, memberi kesempatan jemariku bermain di area sensitif
miliknya.
"Ah..."Desahan itu membuat jari tengahku kian bersemangat memainkan klentitnya.
"Cepat, Amir."Dapat kudengar ucapannya yang tertahan disela desahannya.
Saat kaki kirinya aku angkat tinggi, agar tidak terjatuh, dua tangannya merangkulku. Kudatangi selangkangannya,
menggesek-gesekkan kontolku dengan kemaluannya dan kembali dia berdesah.
Kubiarkan istri kakak iparku mengambil senjataku, menyorongkannya ke lubang kelamin miliknya sendiri dan
sekarang aku yang mengambil alih. Pantatku aku majukan untuk menenggelamkan kontolku di lubang kenikmatan
itu.
Matanya terpejam, menikmati serangan rudalku yang keluar masuk dalam lubang kelaminnya. Desahannya
memenuhi kamar mandi dan pelukannya makin erat. Tubuh mungil istri kakak iparku beberapa kali hendak terjatuh
akibat seranganku dan beberapa kali pula membentur dinding.
Dengan mendadak aku mencabut kontolku dari lubang kemaluannya, membuat istri kakak iparku melenguh panjang.
Kulepaskan tangannya yang memeluk aku. Terengah-engah dia dengan tubuh menempel di dinding. Kuambil
tangannya dan kubalikkan tubuh telanjangnya membelakangi aku. Kupaksa di merunduk. Tangannya berpegangan
pada wastafel. Segera dua pahanya aku lebarkan. Saat kontolku mendatangi belahan pantat itu, tangan istri kakak
iparku menyambut dan mengantarkannya ke lubang kenikmatan miliknya.
Kembali aku memompa lubang kemaluan itu, kembali istri kakak iparku mendesah. Sambil menggerayangi buah
dadanya, mengelus punggungnya, menampar pantat yang membulat itu, terus saja kontolku menusuki
kemaluannya, bergerak maju mundur.
Tok! Tok! Tok! Pintu kamar mandi diketuk dari luar. Gelagapan istri kakak iparku berdiri, yang menyebabkan
kontolku terlepas dari lubang kemaluannya. Dia bergeser mendekati pintu, sembari menutupi tubuh bugilnya
dengan kedua tangannya, berusaha bersembunyi.
Kembali pintu diketuk. Setelah merapikan pakaian, kubuka pintu dan menengok keluar. Ternyata ada perawat berdiri
di depan pintu kamar mandi. Dia tersenyum. Sambil menahan pintu agar tidak membuka lebar, aku melangkah
keluar.
"Ada apa?"tanyaku seraya menutup pintu kamar mandi.
"Cuma ingin memastikan saja, Pak. Tadi, waktu saya masuk, kok, kamar tidak ada orang,"ucapnya,"Saya kira bapak
sudah pulang."
Aku hanya tersenyum."Terima kasih atas perhatiannya, Mbak..."
"Saya tinggal lagi, ya, Pak."ucapnya,"Hati-hati dengan infusnya."
"Oh ya, itu celana dalam dan beha punya ibu sudah saya rapikan. Saya simpan di dalam lemari."Ada senyum di wajah
manis perawat itu."Sekedar mengingatkan, jam kunjungan sebentar lagi buka."
Aku hanya bisa tersenyum kikuk mendengar ucapannya. Lalu,"Makasih."
Sambil tetap tersenyum, perawat itu keluar kamar dan menutup pintu dari luar.
Aku mengetuk pintu kamar mandi dan,"Sudah aman."
Karena pintu kamar mandi tidak juga membuka, kudorong pintunya dan aku melongok ke dalam. Kulihat istri kakak
iparku masih berdiri di belakang pintu sembari menutupi tubuh telanjangnya.
"Keluarlah,"ucapku lagi."Dingin di kamar mandi tu."
"Mana kolornya? Beban ya?"Belum berani juga dia keluar dari kamar mandi.
"Di meja."
"Bawa kemari."
"Ambil sendiri."
"Bawa kemari, Amiiiir,"rajuknya.
Aku berjalan menuju tempat tidur. Kuambil celana dalam beha yang disimpan dalam meja oleh perawat tadi."Ini
barangnya. Kemarilah. Cepat. Nanti pengunjung keburu datang."
"Orang sakit tidak boleh banyak gerak, kata perawat tadi,"ujarku lagi.
Karena aku tak kunjung menyerahkan perangkat dalamannya, tak lama kemudian, pintu kamar mandi membuka.
Kepala istri kakak iparku menjulur keluar. Memantau keadaan kamar, sepertinya. Setelah merasa aman, dia keluar
dari kamar mandi. Sambil menutupi selangkangan dan dua gunungnya dengan kedua tangannya, dia berjalan cepat
ke arahku.
Aku yang duduk di tempat tidur hanya diam menonton tubuh telanjang istri kakak iparku. Mengabaikan aku, dengan
terburu-buru, dia memasang celana dalam ke selangkangan dan setelah itu mengenakan beha untuk menutupi dua
gunung ranumnya.
"Nakal!"ucapnya setelah rapi berpakaian.
Aku hanya tersenyum mendengar ucapannya.
"Awas, ya."Dia mengambil sisir dari tasnya dan merapikan rambut panjangnya. "Nanti saya balas."
"Aduh! Takut..."Aku memasang wajah ketakutan.
"Pintu rumah nanti saya kunci, biar Amir tidak bisa datang lagi. Baru nyaho."
"Aduh, jangan, dong, Ceu."Aku mengambil tangannya, menciumi jemarinya."Aku minta maaf. Sungguh, minta maaf."
"Tidak mau!"tegasnya, tapi membiarkan tangannya terus ada dalam genggaman aku.
"Bagaimana cara biar Eceu mau memaafkan aku?"Dengan wajah yang kupasang memelas, aku memandang dia.
"Habiskan nasinya. Cepat makan obat."
"Tapi, yang tadi belum selesai, Ceu. Aku belum keluar,"selaku.
"Tidak dengar apa kata perawat? Sebentar lagi jam kunjungan."
"Perawatnya bohong, tuh."
"Sudah. Makan dulu."
"Tapi, disuap, ya?"
"Dasar manja!"Istri kakak iparku menuju meja dan mengambil piring nasi. Setelah memindahkan lauk ke piring nasi,
dia kembali ke tempat tidur dimana aku duduk menunggu.
"Sun, Ceu,"pintaku."Baru nanti mau makan."
Mata indah itu mendelik, tapi tetap disodorkan pipinya. Setelah mengecupnya sekilas, kubuka mulut dan dia
menyodorkan sendok berisi nasi.
"Eceu makan juga,"ucapku setelah menghabiskan nasi yang ada di dalam mulut. "Eceu kan pasti lapar."
V. Jendela Rumah Tetangga
Jarum jam hampir menunjuk ke angka setengah sembilan. Rumah sepi karena anak-anak sudah berangkat sekolah
dan Juju, istriku, menggantikan aku menjaga warung selama aku sarapan dan mandi pagi.
Meskipun belum mandi, aku sudah duduk di kursi meja makan ini, menghadapi sepiring nasi goreng yang sudah tidak
hangat lagi dan secangkir susu kental manis yang juga tidak hangat lagi.
Sambil menyantap nasi goreng, melalui jendela, aku memandang keluar, memandang rumah tetangga, rumah istri
kakak iparku. Rumah kami berada di daerah aliran sungai Musi. Karena termasuk daerah pasang surut sungai Musi,
rumah-rumah di sini berstruktur panggung. Masa itu, rumah-rumahnya masih terbuat dari kayu. Posisi antar rumah
pun berderet rapat dengan hanya terpisah oleh tanah sejengkal.
Rumah sebelah terlihat sepi. Pasti dia hanya bertiga saja dengan dua anaknya yang belum sekolah di rumah itu,
fikirku. Sedang apa, ya dia?
Semalam aku sudah mendatanginya. Sekitar jam dua belas tengah malam, seperti biasa, istri kakak iparku
menyambut kedatanganku dan kami berbagi kehangatan. Masih terbayang bagaimana tubuh telanjang kami
menyatu dan bergerak seirama di atas tempat tidur itu, bagaimana kami bertukar posisi dan melakukan banyak gaya
agar dapat meraih kepuasan bersama. Aroma memeknya saat kucecapi masih kuingat.
Jendela rumah tetangga membuka. Di era 70-an, jendela rumah di lingkungan sini berukuran besar dengan dua daun
jendela. Mataku membinar karena ada sang kekasih di ambang jendela itu. Istri kakak iparku melempar senyumnya
yang memabukkan. Mata kami bertatapan.
Cantik sekali dia. Rambut panjangnya digelung ke atas, memamerkan leher putihnya. Leher putih yang semalam dan
malam-malam sebelumnya aku kecup dan aku jilati dan daster yang dikenakannya pagi ini adalah daster yang dia
kenakan saat aku menelanjanginya semalam. Bagian dadanya basah, sehingga ada keindahan di sana. Dua butiran
hitam membayang seksi. Butiran yang semalam dan malam-malam sebelumnya aku kulum dan aku sedot.
"Lagi apa?"Dapat aku baca gerak bibirnya yang kira-kira berkata demikian.
"Sarapan,"balasku seraya mengangkat piring ke atas, menunjukkannya ke arahnya.
"Susu?"Barangkali itu yang diucapkannya karena istri kakak iparku memegang buah dada.
"Mau.. Mau..."Penuh semangat aku mengangguk. Bangkit aku dari dudukku dan mendekati ambang jendela. Sepuluh
jemariku terulur ke depan dan bergaya layaknya sedang meremas gundukan daging kenyal itu.
Istri kakak iparku yang juga berada di ambang jendela rumah sebelah tertawa, membuat aku penasaran. Melalui
isyarat, aku perintahkan dia untuk menurunkan tali dasternya. Tanpa disuruh untuk kedua kalinya, dia menurun tali
dasternya. Hanya satu tali yang diturunkannya, tetapi cukup membuat jantungku bergolak. Jakunku naik turun
melihat lereng bukit itu mengintip seksi. Gundukan daging kenyal yang sama yang semalam sudah aku jilati.
Bak anjing menunggu tulang, lidah aku julurkan. Dan dia tertawa. Senang sekali dia bisa membuat aku menderita.
Kembali aku mengisyaratkan kepadanya untuk menurunkan tali daster yang satunya lagi, tapi dia menggelengkan
kepalanya. Tidak mau.
Dua tanganku mengepal di depan dada, memohon dia untuk berbaik hati memenuhi keinginanku. Mataku membulat
lebar kala dia mulai menurunkan tali dasternya, tapi dia membatalkannya. Sialan!
Aku manyun. Kubuang pandanganku dan kembali duduk. Ngambek aku karena permintaanku tidak dipenuhinya.
Mata aku pejamkan dan kepala bersender ke belakang di kursi makan.
Ada sesuatu yang mengenai badanku, tapi tak kuhiraukan. Kembali badanku terkena lemparan. Sepertinya istri kakak
iparku yang melempariku. Setelah untuk yang ketiga kalinya terkena lemparan, akhirnya aku membuka mata dan
menatap ke jendela rumah tetangga. Istri kakak iparku masih berdiri di sana, masih tersenyum untukku.
Aku menegakkan punggungku. Dengan acuh aku memandang dia. Perlahan dia menurunkan tali dasternya. Dua
gundukan daging ranum dan membulat terpampang jelas. Nafasku terasa terhenti, jakunku naik turun dengan cepat,
dan si otong menggeliat.
Sambil melemparkan satu senyuman, istri kakak iparku menggerakkan badannya ke kiri dan ke kanan dan dua buah
dada itu pun bergerak mengikuti sementara mataku tak mau lepas dari dua gunung. Mulutku berdecap-decap dan
lidah melelet seakan hendak menjilatinya. Istri kakak iparku tertawa. Bahagia karena dapat membuat aku menderita.
Layaknya artis yang sedang ditonton oleh jutaan pengagumnya, istriku kakak iparku makin berani tampil seksi. Jari
jemarinya meremas dua gundukan daging ranum itu. Matanya terpejam. Dan mulutnya, mulut itu membuka. Sayang
aku tidak dapat mendengar desahannya.
Istriku membuka matanya, tersenyum genit, lalu daster itu merosot turun, turun meninggalkan tubuhnya. Spontan
aku bangkit dari kursi. Mataku menatap ke selangkangannya, berharap ada keindahan di sana. Ah, ternyata masih
ada celana dalam yang menutup selangkangannya. Penonton kecewa, gumamku.
Ada ekspresi puas di wajah perempuan itu. Ada tawa di wajah manisnya. Dan tubuh mungil dengan celana dalam
yang menutupi selangkangannya itu kembali bergoyang, terus meremas-remas buah dadanya, dan terus tersenyum
menggoda ke arahku, menantang aku.
Masih terus tersenyum, jemari tangan istri kakak iparku menyelusup masuk ke dalam celana dalamnya sementara
tangan satunya meremasi buah dadanya. Selangkangan itu bergerak maju mundur. Nakal sekali perempuan ini,
ucapku dalam hati. Dari mana dia mendapat ide mempermainkan kelelakianku.
Di ambang jendela, aku berdiri. Aku pelorotkan kain sarung yang kukenakan. Lalu, aku keluarkan si otong dari celana
dalam. Pantatku aku sorong ke depan agar aku dapat menunjukkan alat kelaminku yang panjang hitam yang sudah
mengacung gagah itu.
Istri kakak iparku menutupkan tangan ke mulutnya agar tawanya tidak lepas, tapi matanya tetap menatap senjataku.
Kontolku aku goyang-goyang, ke kiri dan ke kanan, ke atas dan ke bawah, lalu kuacungkan ke arahnya, kukocok-
kocok senjataku. Istri kakak iparku kulihat semakin kesulitan menahan tawanya.
Tidak mau kalah dariku, sambil tetap satu tangannya meremasi kemaluannya, istri kakak iparku menjulur satu
tangannya ke depan, seperti hendak meraih senjataku. Maka pantat lebih aku majukan sehingga kontolku yang
mengacung perkasa itu lebih terlihat memanjang.
Dari kejauhan, tangannya bergaya sedang meremas-remas kontolku sementara mulutnya monyong selayaknya yang
sering dia lakukan saat mengulum kontolku. Menggelinjang aku jadinya.
Karena tak tahan dengan perlakuannya, dengan bahasa isyarat, dengan menggunakan tanganku, aku meminta
diperbolehkan untuk mendatangi rumahnya."Aku ke sana."
Tersenyum manja dia. Mengangguk genit dia. Manis sekali ajakannya itu.
Dengan susah payah aku menyimpankan kontol ke dalam celana dalam. Kuambil sarung yang jatuh di lantai dan,
sambil merapikan sarung, aku melangkah ke belakang, ke pintu belakang.
Untung kondisi di belakang rumah sepi, jadi aku bisa cepat-cepat tiba di rumahnya. Aku berhenti di teras belakang
rumah istri kakak iparku yang sama sepinya. Setelah tengok kiri kanan dan merasa aman, aku melangkah menuju
pintu rumah itu dan secepatnya masuk.
Dapurnya sepi. Kakiku terus berjalan menuju kamar dimana istri kakak iparku berada. Langkahku terhenti di ambang
pintu. Kutemui dua anaknya sedang bermain. Entah main apa mereka, aku tak hiraukan. Yang aku hiraukan saat ini
adalah lubang tempat kedua anak itu dulu keluar. Lubang yang menantiku di kamar itu.
Dari pintu kamar yang membuka sedikit, aku mengintip dan kudapati istri kakak iparku duduk di kursi dengan hanya
menutupkan daster di buah dada dan selangkangannya sementara kaki kanannya ditumpangkannya di paha kirinya,
sehingga paha putih mulus itu terlihat menggemaskan. Tersenyum dia menatap aku.
Aku melangkah masuk, mendekati dia Didepannya, aku bersimpuh, duduk di atas lututku. Dua pahanya aku tarik
lebar, tetapi tangannya dia tangkupkan di selangkangan guna menutupi area kemaluannya dari gangguanku.
Istri kakak iparku mempertahankan mahkota kewanitaannya manakala tanganku coba menyerbu untuk menggapai
kemaluannya. Tawanya terbit, tertahan-tahan, agar tidak membuat perhatian dua anaknya yang bermain di luar
kamar melihat aku yang terus mengganggunya. Senang saja mendengar tawa centilnya.
Di atas lututku, aku berdiri. Kukejar bibirnya. Dia menyambutnya. Hangat sekali dia mengulum bibirku. Saat aku tarik
daster yang dipegangnya untuk menutupi buah dadanya, istri kakak iparku membiarkannya. Kami tetap menyatukan
bibir, berlomba untuk saling mengulum bibir lawannya, dan jemariku meremas buah dadanya, memainkan puting
susunya.
Dengan terus saling berciuman, aku alihkan jemari ke selangkangannya, merayap mencari area kelaminnya.
Dipegangnya tanganku, tapi membiarkan saat jemariku tiba di belahan memanjang itu, bermain di antara bulu-bulu
halus tapi kasar itu. Kumasukkan dua jari ke dalam lubang kemaluannya. Saat menemukan benjolan di dalamnya,
segera aku menekan-nekannya. Istri kakak iparku menggeliat dan melebarkan dua pahanya. Dua tangannya
menekan bahuku.
Istri kakak iparku menatap aku yang berdiri meninggalkan tubuh telanjangnya. Kulepaskan sarungku. Kulepaskan
kaosku. Setelah menelanjangi diri, aku tarik dia berdiri dari kursi dan aku dudukkan di kasur. Karena kasurnya berada
di lantai, tanpa ranjang, maka aku bersimpuh didepannya. Tubuhnya aku dorong rebah. Aku kuakkan dua pahanya
lebar-lebar dan wajahku mendekati area sensitifnya. Bau keringat kemaluannya.
"Memeknya bau, Ceu."Aku mengangkat kepalaku, melihat ke arahnya.
Dia menutupkan dua pahanya. Bangkit dari rebahnya."Kan lagi beberes rumah, Amir. Pasti berkeringatlah."
"Mau kemana?"tanyaku ketika isteri kakak iparku menepis tanganku yang berpegang di pahanya.
"Katanya bau."
"Aku 'kan cuma ngomong memeknya bau, Eceu."Kembali aku dorong ia rebah. Dengan sedikit paksaan, karena istri
kakak iparku merapatkan kedua pahanya kuat-kuat, akhirnya mulutku berhasil mencapai area intimnya. Memeknya
masih bau, tapi aku tak mau berkomentar lagi. Takut dia tersinggung lagi, sehingga gagal aku menikmati
kemaluannya pagi ini.
Lidahku menjilati area kemaluannya. Ada rasa pahit di lidah. Keringat itu pasti penyebab rasa pahit itu, tapi
kuabaikan. Terus saja aku mencecapi kelaminnya, menusukkan lidah ke lubang itu, dan memainkan klentitnya.
Berulang-ulang pula kugigiti pelan kelaminnya.
Tak lama kemudian, lubang kemaluan itu aku tinggalkan. Secepatnya aku berada di antara dua pahanya. Saat aku
tempelkan rudalku ke lubang kemaluannya, tubuh istri kakak iparku mengejang, lalu diam, pasrah.
Dua tanganku memegang pinggangnya dan mulai menekan-masukkan kontolku ke lubang bersemak itu. Karena
lubang kemaluan itu terasa sempit, maka dengan perlahan aku dorong kontolku masuk, lalu aku tarik lagi dan lalu
kudorong lagi. Berulang aku melakukannya hingga akhirnya gerak menusuk kontolku di kemaluannya mulai lancar.
Paha kiriku aku angkat menimpa paha kanannya. Kuambil kaki kirinya, aku angkat tinggi, dan kaki itu aku dekap.
Kutekan kontolku dalam-dalam ke lubang kemaluannya, lalu pantatku mulai bergerak memutar, memutari
kemaluannya. Gerakan kontolku memutari kemaluannya, aku barengi dengan tusukan ke kemaluannya.
Aku mengubah posisiku menggagahinya. Istri kakak iparku aku tindih. Kupegang kepalanya agar dia menatap aku,
lalu kuucapkan,"Aku sayang Eceu."
Istri kakak iparku hanya diam. Dia menatap aku lama-lama. Dan, akhirnya, dua tangannya mengambil tubuhku dalam
pelukannya. Gairahku melonjak liar. Aku balik memeluknya dan menciumi sekitaran lehernya, sementara kontolku
terus maju mundur dalam lubang kemaluannya.
Istri kakak iparku mempererat pelukannya dan desahannya makin rajin terdengar seiring desakan kontolku di lubang
kemaluannya. Aku kulum bibirnya, dia pun balik mengulum bibirku. Kepala kami bergerak ke kiri dan ke kanan, tapi
tetap menyatukan kedua bibir kami.
Kontolku terus berputar dalam kedalaman lubang itu. Terus aku menyetubuhinya, menggauli tubuh telanjangnya
yang mulai merespon seranganku, melupakan ucapanku yang pasti membuatnya kecewa.
"Amir...!"jeritnya tertahan kala kucabut kontolku secara tiba-tiba.
Aku menjauhi tubuhnya. Seperti mengerti keinginanku, istri kakak iparku bangkit dari tidurnya. Dia memunggungiku.
Dia mengambil bantal dan digunakan sebagai ganjalan dua tangannya untuk kemudian istri kakak iparku
menunggingkan pantatnya. Dengan segera aku mendekati pantat yang membulat itu. Kuremas pantatnya dan
kudekatkan kontolku ke belahan pantatnya. Jemari tangan istri kakak iparku menyambut kontolku dan
mengarahkannya ke lubang kenikmatannya.
Aku dorong masuk senjataku dan terdengar desahannya. Lalu, kontolku pun maju mundur menusuki lubang itu,
makin lama semakin cepat. Beberapa kali istri kakak iparku terjatuh untuk kemudian bangkit kembali akibat
seranganku. Desahannya memenuhi kamar tidur itu.
Sambil tetap memajumundurkan kontolku, aku timpakan tubuh ke tubuh telanjang itu. Istri kakak iparku
tertelungkup dan aku remas buah dadanya, aku ciumi pundaknya, sementara dia hanya mampu mendesah dan
mendesah, menikmati tusukan kontolku di lubang kenikmatannya.
"Aku mau keluar, Ceu,"ucapku di telinganya karena dapat aku rasakan kontolku yang memanas dan berdenyut-
denyut.
Berbarengan dengan itu, kontolku aku cabut dari lubang kemaluannya. Aku balikkan tubuh telanjangnya. Dua
pahanya aku buka lebar-lebar dan kucari lubang kemaluannya.
Desahannya terdengar panjang begitu, dengan terburu-buru, aku terjang kemaluannya dengan kontolku yang
hampir menyemprotkan cairan itu. Secepatnya aku memajumundurkan kontolku. Aku abaikan desahannya yang
mengeras itu. Terus saja aku menggagahi kemaluannya. Akhirnya ada aliran yang berjalan cepat di batang
kemaluanku dan aku benamkan kontolku di kemaluannya.
"Ah!"Mataku terpejam, mulutku mendesah, dan berbarengan dengan itu cairan sperma menyembur di dalam lubang
kemaluan istri kakak iparku.
Setelah semburan sperma berhenti, aku menjatuhkan diri di atas tubuh pasangan mainku itu. Dapat aku nikmati
detak jantungnya yang berpacu, dapat aku dengar irama nafasnya yang menggemuruh, dan dapat aku rasakan
keringatnya yang membasahi tubuhnya.
Lalu,"Assalamualaikum!"
Dari arah depan, salam itu kembali terdengar. Lebih keras. Suara seorang perempuan. Istri kakak iparku dengan
segera mendorong aku turun dari atas tubuhnya. Dia bangkit. Buru-buru ditujunya kursi dimana dasternya
tertumpuk. Dia menatap aku."Sarungnya dipakai, Amir."
Kuikuti perintahnya. Sarung yang berserak di dekat kasur, kuambil. Aku berdiri dan menyarungkan selangkanganku.
Juga kupakai kausku.
"Ayo, cepat."Istri kakak iparku merapikan dasternya. Ditariknya aku keluar kamar. Dua anaknya masih bermain di
lantai depan kamar. Lalu,"Cepat keluar, Amir."
"Eceu cantik,"ucapku mengabaikan kegusarannya.
"Cepat keluar!"ujarnya sebelum menghilang ke ruang tengah dan aku pun segera berjalan menuju pintu luar. Setelah
kurasa aman, aku melangkah keluar.

VI. Bulan Puasa


Bulan puasa adalah bulan yang suci. Bulan dimana banyak kemudahan bagi manusia untuk beribadah. Bagi anak-
anak, bulan puasa, terutama pada malam hari, mempunyai keasyikan tersendiri. Kesibukan di masjid, melakukan
salat tarawih, dan, terutama, tadarus Al-Quran karena ada hidangan makanan bagi mereka yang ikut, atau, bagi
bujang-bujang, tidur di masjid untuk membangunkan sahur meninggalkan beragam kenangan.
Sedang, bagiku, bulan puasa kali adalah pengalaman baru. Waktu terasa lamban berjalan. Puasa yang telah
memasuki hari ke sepuluh membuat aku kelimpungan. Sejak tadi siang kepalaku pusing. Badanku seperti malas
untuk bergerak. Mataku nanar. Kemaluanku seperti mati rasa.
Untung saja, sore tadi, saat mengambil air di kambang, sebutan orang Palembang untuk kolam penampung air, guna
keperluan mandi sore, aku berkesempatan berbicara dengan istri kakak iparku, kekasih gelapku. Walaupun hanya
sekejap, tapi mampu membangkitkan semangat hidupku.
Membangkitkan semangat hidup karena istri kakak iparku memberi kesempatan bagiku untuk menemuinya malam
ini. Alhamdulillah!
Karena aku tahu waktu salat Isya di Palembang dimulai jam tujuh lewat serta bila di lanjut dengan salat Tarawih dan
kegiatan tadarus Al-Quran, maka rumah istri kakak iparku akan kosong sampai jam sepuluh malam lewat karena
kaum adam di rumahnya akan berada di Langgar Budi Bakti, tempat dilaksanakannya salat Isya, salat Tarawih dan di
lanjut tadarus Al-Quran. Itulah waktu berkunjung yang aku usulkan dan istri kakak iparku menyetujuinya.
Dengan alasan sakit perut, aku minta Juju, istriku, menggantikan aku menjaga warung sedang aku pulang untuk
buang air besar. Karena kebetulan Juju sedang kedatangan tamu dan tidak salat Tarawih, maka dia bisa menjaga
warung untuk memberi kesempatan aku, suaminya, mendatangi iparnya itu. Istri yang berbakti.
Melalui kaca jendela rumah, dapat aku lihat satu persatu penghuni rumah sebelah keluar menuju Langgar, sebutan
untuk tempat ibadah saat itu karena pada era 70-an belum familiar menggunakan istilah mushalla. Setelah yakin,
rumah sebelah kosong, aku keluar dari rumahku. Berjalan aku menuju teras belakang rumah kakak ipar yang gelap
karena lampu belakang sepertinya sengaja dimatikan. Sesampai didepan pintu, pintu kudorong karena aku tahu
kalau pintu itu tidak terkunci, hanya dihalangi oleh kayu, seperti yang selalu dilakukan istri kakak iparku untuk
mempermudah kami saling berbagi kehangatan.
Aku menyelinap masuk. Dapurnya terang karena lampu menyala, tapi tidak ada dia yang menunggu aku di sana. Aku
mendekati pintu kamar tidurnya dan melongok ke dalam. Hanya ada gadis mungilnya yang tertidur di tempat tidur.
Segera aku masuk ke kamar tidur itu dan menuju pintu satunya lagi. Kutempelkan telinga di pintu dan kutajamkan
pendengaran untuk mengetahui kondisi di luar kamar tidur. Hanya terdengar suara orang yang mengaji. Selain itu,
sepi.
Penasaran, pintu aku buka sedikit dan mengintip keluar. Memang sepi, hanya ada seseorang yang duduk di kursi di
depan televisi di ruang tengah.
"E-hem,"aku berdehem.
Seseorang yang sedang menonton tadi berpaling ke arahku. Tersenyum dia. Tangannya melambai, memanggil aku
mendekatinya. Secepatnya aku datang.
"Selamat malam, Sayang,"ucapku setelah berada disampingnya.
"Malam juga."Istri kakak iparku mendongak, menatap aku. Tangannya menggapai tanganku. Sepertinya dia pun
kangen dengan kehadiranku.
Aku mengambil kursi dan meletakkannya di samping dia. Berdampingan kami duduk. Kukalungkan tangan ke
lehernya dan dia, dengan manja, menyandarkan diri di dadaku. Pandangan kami tertuju ke arah televisi yang
menayangkan acara pengajian.
"Suaranya bagus,"sambil tetap memandang ke televisi, dia berucap,"Utusan dari Jawa Barat."
Aku tarik tanganku dari lehernya. Kutatap dia. Dia yang masih mengenakan mukena, alat salat bagi kaum wanita.
Cantik sekali dia. Wanita soleha.
"Eceu cantik dengan mukenanya,"balasku tidak menyambung dengan tema pembicaraannya."Habis sembahyang?"
"Habis sembahyang Isya."
"Di bulan puasa ini, Eceu tambah cantik. Puasa itu membuat cantik seseorang, ya?"pujiku.
"Ada yang bolong puasanya?"
Aku tersenyum."Bolong terus, Ceu."
"Sudah saya duga,"ujar istri kakak iparku."Ada kolak untuk Amir. Mau?"
"Bibir Eceu sudah manis, kok untuk aku cium,"rayuan mautku keluar.
"Gombal."
"Tidak percaya?"
Istri kakak iparku mencibirkan bibirnya ke arahku.
"Eceu tuh harusnya percaya ucapan pacarnya,"ucapku sambil mencubit mesra hidung peseknya.
Tersenyum dia mendengar ucapanku.
"Eceu percaya 'kan kalau bibir Eceu tuh manis?"Sambil menatapnya, kuulang lagi ucapanku.
"Iya,"balasnya.
"Kalau begitu, mana bibirnya?"Kutatap dia.
"Untuk apa?"tanyanya dengan nada heran.
"Untuk aku cium."
"I-ih...Amiir..."Istri kakak iparku mencubit perutku, kesal karena berhasil aku permainkan.
Akhirnya, di ruang tengah rumahnya, didepan televisi 14 inci yang sedang menyiarkan acara pengajian, aku pegang
wajahnya dan bibir-bibir kami bertaut. Saling kulum dan saling sedot. Bergantian lidah-lidah kami masuk dan keluar
dari mulut kawan mainnya.
Bibirnya aku lepas karena dapat kurasakan kulitnya yang hangat di balik mukena itu. Kutatap dia. Istri kakak iparku
pun menatap aku dengan mata bertanya-tanya.
"Eceu tidak pakai apa-apa?"Kuangkat mukenanya dan kutemukan dua buah dadanya yang ranum membulat
menggantung seksi.
Istri kakak iparku menarik kembali mukenanya, menutupkannya. Lalu,"Sudah kebiasaan saya tidak pakai apa-apa
kalau solat. Kan sudah pakai mukena, tertutup mukena. Sah solatnya."
"Jangan-jangan Eceu juga tidak pakai kolor?"tanyaku penuh nafsu.
Sambil menutupkan tangannya di selangkangannya, istri kakak iparku tersenyum genit. Pahanya dirapatkannya.
Karena tidak bisa menyentuh selangkangannya yang tertutup tangannya, aku meraba pantatnya. Dapat aku rasakan
istri kakak iparku tidak mengenakan apa-apa lagi dibalik sarungnya.
"Boleh lihat tidak?"
"Lihat apa?"Istri kakak iparku menepis tanganku yang bergerilya di selangkangannya.
"Memek Eceu."
"Mahal,"ucapnya dengan nada bercanda."Berani bayar berapa?"
Aku pura-pura berfikir, lalu,"Kalau diganti permen?"
"Boleh."Istri kakak iparku tersenyum dan menadahkan tangannya, menunggu permen dari aku. Memang sudah
kebiasaan dariku untuk membawa permen setiap kali mengunjunginya.
"Hutang dulu, boleh?"tawarku karena saat ini, karena terburu-buru, aku lupa untuk membawa permen."Nanti
diganti. Sepuluh kali lipat."
"Ya ... kalau kayak gitu, dihutang dulu jugalah,"rajuknya.
"Hahaha..."Tertawa aku menanggapi ucapannya karena aku tahu istri kakak iparku pasti bergurau.
Akhirnya, didepannya, aku berdiri. Tersenyum dia melihat aku yang berlenggak-lenggok. Sambil bergoyang dangdut,
sarung yang aku pakai, aku pelorotkan. Kemudian kaos pun aku lepas.
Dengan hanya bercelana dalam, kutarik dia dari kursinya. Kuajak dia menari. Tanpa irama musik, di ruang tengah
rumahnya yang luas, kami bergerak seirama. Sambil menari, kuangkat mukenanya tinggi-tinggi, melewati kepalanya.
Tersenyum malu dia karena kini dia bertelanjang dada. Segera kupeluk dia. Menikmati hangatnya buah dadanya
yang menempel erat di badanku. Istri kakak iparku melingkarkan dua tangannya ke tubuhku. Mukanya mendongak,
menatap aku. Senyumnya begitu menggoda.
Agar tidak menghabiskan waktu, sarung yang menutupi bagian bawah tubuhnya, aku injak dan kuangkat dia tinggi-
tinggi. Melotot dia, tapi aku tersenyum karena sarungnya tertinggal di kakiku.
Kudorong istri kakak iparku menjauh. Dia menutupkan pahanya. Barangkali malu dengan tatapan liarku yang
menghujam ke selangkangannya. Demikian pula, buah dadanya ditutupinya oleh kedua tangannya.
"Aku lepas kolorku dulu, Ceu,"ucapku.
Begitu aku mulai menurunkan celana dalam, istri kakak iparku mengalihkan pandangan ke layar televisi.
"Tidak mau lihat burungku?"godaku."Sudah lama 'kan, Eceu, tidak memegangnya."
Mencibir bibirnya ke arahku dan aku tergelak-gelak.
Mematung istri kakak iparku saat jari-jemariku memegang dua ketiaknya dan aku angkat dia. Berdiri dia di atas kursi.
Terpana aku melihat belahan merah kehitam-hitaman yang berselimut bulu-bulu tipis tetapi kasar di selangkangan
itu. Sayangnya keindahan itu hilang, tertutupi satu tangannya. Kucoba menariknya, tetapi tangan itu kuat-kuat
menjaga wilayah kehormatannya.
Maka, kupandang wajahnya yang meninggi di atas. Lama kutatap dia. Akhirnya, ada senyum yang timbul di wajah
manis itu. Senyum kepasrahan atau tanda menyerah, aku tidak tahu pasti. Tapi, yang aku tahu, kembali aku arahkan
pandangan ke selangkangannya yang masih istri kakak iparku tutupi. Kupegang tangan itu. Tanpa perlawanan,
tangannya meninggalkan selangkangannya kala aku tarik. Kembali belahan memanjang di selangkangan itu terlihat.
Kupandang kembali wajah dia, untuk kuberikan satu senyum terima kasih. Setelah itu, aku fokus menatap
selangkangannya untuk kemudian bibir aku dekatkan.
Ada aroma khas yang hidungku tangkap saat bibirku menempelkan di areal berbulu itu. Kuciumi bulu-bulu itu.
Tangan istri kakak iparku menjambak rambutku, lalu pahanya melebar, memberi ruang bibirku untuk leluasa
menjamah kemaluannya.
"Hah!"terdengar pekikan kecil saat aku gigit lembut belahan memanjang itu untuk kemudian aku jilat-jilat. Jambakan
di rambutku berganti elusan.
Dua tanganku berpegangan di pantatnya dan lidahku menyibak masuk belahan memanjang itu. Kakinya melonjak
meninggi saat lidahku menemukan kelentitnya. Desahan mulai terdengar.
Kutinggalkan selangkangannya. Saat kami bertatapan, jari tengahku yang bermain di belahan memanjang itu.
Terpejam mata itu, menikmati elusan jari-jemariku di area kemaluannya dan kecupan-kecupan bibirku di kedua
pahanya.
Bibir seksi itu mengeluarkan desahan, begitu jari tengahku menyeruak dalam ke lubang kemaluannya. Dengan cepat
tapi lembut, jari tengahku mengobok-obok kedalaman lubang kemaluannya, memainkan g-spotnya. Dan habis
rambutku dijambaki olehnya.
Dengan jari tengah masih berada dalam lubang kemaluannya, aku menciumi perutnya, menjilati pusarnya. Dapat
kurasakan badannya yang gemetar dan nafasnya yang memburu.
Kepalaku terus meninggi. Kini buah dadanya yang aku ciumi, mengulum bola kecoklatannya sementara jari tengahku
tetap bermain dalam lubang kemaluannya. Beberapa kali istri kakak iparku limbung, tapi dengan cepat dia
menjambak rambutku agar tidak terjatuh.
Akhirnya, jari tengahku aku tarik dari lubang yang telah basah itu. Kupeluk dia dan aku angkat meninggalkan kursi. Di
lantai kayu, di depan televisi 14 inci yang masih menyiarkan acara pengajian, kami berbaring, saling menindih. Aku
sudah berada di antara dua pahanya yang mengangkang lebar, siap menyarangkan kontolku di lubang kemaluannya.
"Ah..."terdengar desahnya saat kontolku menyeruak masuk ke lubang kemaluannya.
Dipeluknya aku, aku pun memeluk tubuh telanjangnya. Wajahnya yang tepat berada disamping telingaku, membuat
desahannya terdengar begitu dekat dan seksi. Seperti magnet, desahan istri kakak iparku yang berirama
menimbulkan hasrat untuk memberi istri kakak iparku kepuasan. Lalu, kontolku pun makin cepat maju mundur
dalam lubang kenikmatan itu.
Aku naikkan paha kiriku ke atas paha kanannya, dan kembali aku memajumundurkan kontolku menggagahi
kemaluannya. Tangan kirinya aku angkat tinggi. Aku jilati ketiaknya yang putih tanpa bulu itu. Istri kakak iparku
menggelinjang liar.
Tanpa melepaskan kontolku dari lubang kenikmatan itu, duduk aku di atas paha istri kakak iparku. Sambil tetap
memajumundurkan senjataku, aku remas buah dada imutnya. Merem melek perempuan yang terbaring pasrah itu
menikmati seranganku. Aku ambil kaki kirinya dan kupeluk di dada. Berirama kontolku menari didalam kemaluannya.
Aku taruh kembali kakinya di lantai. Kini aku duduk tepat di atas selangkangannya dengan kontol yang tetap
menancap dalam kemaluannya. Aku mulai menggerakkan pantatku maju mundur dan istri kakak iparku hanya bisa
mendesah-desah nikmat.
Sekarang aku tindih dia. Tubuh kami sama-sama lurus memanjang. Di atas tubuhnya, aku bergerak maju mundur
sementara dua tangan istri kakak iparku mencengkeram pinggang, menikmati kekuatan senjata pacar gelapnya ini.
Tersengal-sengal nafas perempuan itu saat aku tinggalkan tubuh telanjangnya. Aku kuakkan dua pahanya dan
bersimpuh didepannya. Menjengit dia saat jariku menyentuh kemaluannya, saat mengelusnya. Matanya memejam
tatkala kontolku aku tempelkan di ambang lubang bersemak itu. Mulutnya membuka, mengeluarkan desahan pelan,
begitu, dengan lembut, aku tekan kontolku masuk.
Saat kontolku telah tertelan sempurna di kedalaman lubang kemaluannya, tubuh telanjang itu aku tarik naik. Istri
kakak iparku duduk di atas selangkanganku. Sambil menatapku, sambil memamerkan senyum genit, dua tangannya
menggayut di pundak, dan mulai menggerakkan pantatnya maju mundur. Kuambil buah dadanya dan meremasnya,
memainkan butir kecoklatan di atasnya.
Tangan aku taruh dibawah pantatnya, lalu aku mulai berdiri. Istri kakak iparku mendekap aku erat-erat sementara
dua kakinya melilit pinggangku. Dapat aku rasakan bulu-bulu kasar di selangkangannya yang menempel di perutku
dan kenyalnya dua buah dada itu.
Melangkah aku membawa istri kakak iparku yang berada dalam gendongan menuju ruang depan yang gelap. Lampu
ruang depan yang berfungsi sebagai ruang tamu tidak dinyalakan. Penerangan hanya berasal dari lampu teras yang
menyelinap masuk melalui ventilasi dan sela-sela gorden. Dalam keremangan malam, dapat kulihat ada dua set kursi
di sana, yaitu satu set kursi kayu rotan dan satu set kursi sofa, sementara diujung sana terdapat tempat tidur.
Ruang tamu ini luas karena rumah-rumah di daerah sini, biarpun panggung, besar-besar karena tanah di sini masih
murah dan kayu sebagai bahan utama pembuatan rumah juga murah dan tersedia banyak. Ada anekdot, anak-anak
bisa bermain sepakbola di dalam rumah, saking besarnya rumah.
Istri kakak iparku, aku baringkan di sofa panjang. Menatap dia padaku, lalu,"Nanti ada yang mengintip, Amir."
Tersenyum aku menanggapi ucapannya. Kucium bibirnya sekilas, lalu beralih ke sisi ujung sofa itu. Bersimpuh aku
dan kuambil dua kakinya, mendekatkan ke ujung sofa dimana aku bersimpuh.
Pahanya bergantian aku cumbu sementara tanganku mengelus-elusnya. Cumbuanku di pahanya kian ke atas, kian
naik mendekati kemaluannya.
"Ah...."Istri kakak iparku mendesah panjang dan pantatnya terangkat meninggi ketika lidahku bermain di belahan
memanjang yang tersaput bulu-bulu halus miliknya.
Aku terus mencecapi kemaluannya sementara satu jariku masuk ke dalam lubang kemaluannya.
"Suara apa itu, Amir?"Istri kakak iparku menahan kepalaku yang berada di antara dua pahanya.
"Suara apa?"Melalui dua pahanya aku mendongak ke arah wajahnya yang terangkat.
"Amir tidak mendengarnya?"
Aku menegakkan kepala. Dapat aku menangkap derap langkah di depan rumah. Ada pula suara beberapa orang.
Berpandangan kami. Istri kakak iparku duduk mengangkang di depanku. Dia hendak turun dari sofa, tapi aku tahan.
Jari telunjuk aku letakkan di bibir, meminta dia untuk diam.
Kepanikan tersirat di wajah istri kakak iparku manakala orang-orang yang berada di depan rumah mulai memanggil-
manggil namanya. Kalang kabut kami jadinya. Dengan tergopoh-gopoh, istri kakak iparku turun dari sofa.
Karena tidak ada jawaban dari dalam rumah, langkah-langkah kaki itu kini bergegas menapaki teras rumah. Istri
kakak iparku berlari menuju ruang tengah dan aku menyusul. Mukena yang berserak di lantai, diambilnya. Aku pun
mengambil pakaianku dan langsung berjalan cepat menuju kamar tidur, tempat tadi aku mendatanginya. Dari pintu
belakang kamar tidur, aku menengok ruang belakang, sepi. Tidak terdengar suara orang. Pintu luar pun masih
tertutup. Jadi, aku bisa sedikit bernafas lega karena, bila ruang belakang kosong, aku dapat melarikan diri bila
terancam. Segera aku mengenakan celana dalam, menutupi selangkangan dengan kain sarung, dan berkaos kembali.
Keramaian masih terdengar. Aku yang berada di kamar tidur itu, coba mengintip dari balik pintu kamar. Untung saja
anak gadis kecilnya tetap tidur di tengah kehebohan. Tapi, siapakah orang-orang yang menggeruduk kami malam ini?
Apakah ada yang mengetahui kehadiranku di rumah ini? Akankah hubungan terlarang ini telah diketahui orang dan
malam ini adalah kesempatan mereka melakukan penggerebekan? Aku tidak tahu. Yang pasti aku harus bersiap
menyelamatkan diri agar tidak tertangkap basah.
Semoga saja keadaan malam ini akan bisa terkendali. Aku tidak mau hubungan aku dan Ningsih, sang Eceu terkasih,
istri kakak iparku, berantakan karena aku belum puas menikmati hangatnya badannya, liarnya birahinya. Semoga.
Ketukan di pintu semakin kuat dan tambah ramai. Istri kakak iparku terlihat bingung. Di ruang tengah rumahnya yang
lapang, serba salah dia berdiri. Untung saja dia masih sadar untuk menutupi tubuh telanjangnya. Dipakainya kembali
mukenanya.
"Wak! Wak Ningsih,"terdengar suara dari luar dan pintu pun tetap diketuk-ketuk.
Istri kakak iparku yang telah rapi memakai mukena, berjalan menuju pintu. Matanya menatap ke pintu kamar tidur,
barangkali untuk memastikan kalau aku sudah tidak ada lagi, lalu, dengan muka tegang, dia menghela nafas panjang
dan mulai menggeser kunci pintu.
Saat pintu terbuka, dari tempatku mengintip, dapat aku lihat raut muka istri kakak iparku yang berubah cerah. Ada
rasa lega di wajah manis itu. Senyumnya pun terbit. Alhamdulilah!
Istri kakak iparku mundur dua langkah, menjauhi pintu, dan seorang anak lelaki kecil berkopiah melangkah masuk,
dan disusul seorang perempuan muda yang mengenakan mukena ikut masuk, sedang di ambang pintu ada beberapa
kepala yang juga tertutup mukena. Mereka terlibat percakapan. Ada tawa di antara mereka. Tak lama kemudian,
perempuan bermukena itu mencium tangan istri kakak iparku, begitu pula mereka yang berdiri di ambang pintu, lalu
mereka melangkah keluar rumah. Sambil mengelus kepala anak lelaki tadi, isteri kakak iparku melepas kepergian
gerombolan yang menggeruduk rumahnya. Istri kakak iparku melambaikan tangan dan segera menutup kembali
pintu.
Aku mundur ke pintu belakang saat istri kakak iparku mendekati pintu kamar tidur. Aku tidak mau anak lelaki itu
melihat keberadaanku di rumahnya. Aku takut anak lelaki itu akan menceritakannya ke banyak orang. Siapa tahu.
Ruang belakang rumah istri kakak iparku lebih luas daripada ruang tengahnya. Ruang belakang ini terdiri dari tiga
ruang. Satu kamar tidur merangkap gudang, satu dapur di ujung sana tempat aku keluar, dan ruang belakang utama
yang paling besar dimana meja makan berada beserta lemari makan dan pernak-pernik makan lainnya. Sambil
menunggu istri kakak iparku yang sedang menidurkan anaknya, aku duduk di kursi meja makan itu.
Aku buka tudung saji. Ada sepiring kolak pisang. Kolak pisang yang disediakan khusus untukku oleh sang kekasih,
seperti yang tadi dia tawarkan, barangkali. Kulahap kolak pisang itu.
Ada bayangan keluar dari kamar tidur. Aku menoleh. Ternyata istri kakak iparku yang muncul. Berjalan dia
mendekat. Mukenanya telah berganti daster. Dasternya biru muda yukensi.
"Saya kira Amir pulang,"ucapnya setelah berada disampingku.
Kulingkarkan tangan ke pinggangnya dan aku tarik melekat denganku. Aroma harum tubuhnya menyergap hidungku.
Aku dudukkan dia di pangkuanku.
Tangan Istri kakak iparku melingkar di leherku, menyandarkan dirinya ke tubuhku. Buah dadanya yang kenyal
menempel erat, membangkitkan kembali birahi.
"Dadan minta pulang dari langgar,"tanpa diminta istri kakak iparku bercerita tentang kehebohan tadi."Langsung
tidur dia."
"Tapi, kan tidak perlu sampai seramai tadi,"jawabku sambil menggelitiki pahanya.
"Anak Amirlah yang punya gawe,"ujar istri kakak iparku seraya menahan jari-jariku."Dadan tadi minta pulang. Karena
bapaknya tidak bisa meninggalkan langgar, dia menyuruh Eti, anak Amir, untuk mengantarkan Dadan pulang. Tapi,
karena Eti takut, dia mengajak kawan-kawannya untuk mengantar Dadan. Rupanya, meskipun sudah beramai-ramai,
mereka pun masih ketakutan. Mereka saling dorong, saling jalan cepat, takut ditinggal."
"Tapi, 'kan kita yang tegang, Ceu,"ujarku.
"Apalagi burung Amir. Sudah tegang dari tadi. Sudah naik turun lagi."Senyum istri kakak iparku mengembang.
Pantatnya, lalu, ditekan-tekannya ke selangkanganku.
"Nakal, ya."Jemariku menggelitiki pinggangnya. Tawa istri kakak iparku terdengar manja, diselingi jerit genitnya.
Dan, akhirnya, di ruang belakang rumahnya itu, aku ambil bibirnya. Berpagutan kami, melanjutkan permainan yang
tak tertuntaskan. Liar bibir kami bergerak, seliar jemariku yang mengobok-obok kemaluannya.
Istri kakak iparku menghentikan pagutan bibir kami. Didorongmya wajahku menjauh. Lalu,"Jam berapa sekarang?"
Istri kakak iparku mengambil tanganku, melihat arloji yang melingkar di lenganku."Hampir jam sembilan, Amir."
"Suami Eceu pulang jam berapa dari langgar?"tukasku.
"Jam sepuluhan,"jawabnya."Warung Amir belum tutup?"
"Juju yang jaga warung."Aku turunkan istri kakak dari pangkuan."Tadi aku minta Juju yang ganti aku karena aku izin
pulang. Alasannya, sakit perut."
Senyumnya terbit."Awas, nanti kualat."
"Demi bertemu sang pujaan hati, apa pun akan aku lakukan, Ceu."Sambil meremas buah dadanya yang kenyal, yang
masih terhalang dasternya, aku berdiri dari dudukku. Kaos aku tarik lepaskan dan menurunkan kain sarung. Bugil aku
kini.
Daster yang istri kakak iparku pakai, aku angkat. Dia meninggikan kedua tangannya untuk memudahkan daster
melewati kepalanya. Setelah sama-sama telanjang, aku dorong dia ke meja makan. Berpegangan dia ke meja makan
saat pantatnya aku tunggingkan meninggi.
Dari arah bawah pantatnya, aku sentuh kemaluannya. Sudah basah lubang kenikmatan itu. Terdengar lenguhan saat
dua jariku menusuk ke dalam lubang basah itu sementara satu tangan lagi menggapai buah dadanya, memainkan
bola yang ada di atas gunung itu.
Tanpa mau membuang waktu lagi, aku tarik dua kakinya melebar. Lalu, aku selipkan kontolku di antara dua pahanya.
Istri kakak iparku menyambut batang daging mengeras itu dan mengarahkannya ke lubang kenikmatan miliknya. Ada
rasa hangat aku rasakan saat kepala kontolku menyentuh lubang kemaluannya.
Kupegang pinggangnya dan lenguhan panjang terdengar karena aku benamkan kontolku ke lubang kemaluannya.
Pantatku aku tarik lagi untuk kemudian kudorong maju sehingga lenguhan kembali terdengar. Begitu kontolku total
menghilang dalam kedalaman lubang itu, aku mulai tarik kembali untuk kutenggelamkan lagi. Semakin lama semakin
cepat kontolku aku tarik dan tekan dalam lubang kemaluannya. Desahannya terdengar deras.
Meja makan tempat kami ber-doggy style dimana istri kakak iparku tertelungkup berderit berisik. Piring-piring kotor
yang tergeletak di atas meja beradu berdenting ramai. Sendok-sendok bergoyang, menimbulkan bunyi, dalam gelas-
gelas kosong yang belum sempat di cuci. Istri kakak iparku sepertinya menikmati keriuhan yang kami buat dan aku
meneruskan aksiku menggagahinya.
Tubuh telanjang kami meninggalkan meja makan, keriuhan di ruang belakang pun berhenti.
"Pindah ke kamar, ya, Ceu?"ajakku.
Mengangguk dia. Pasrah dia saat kubopong dia dan membawanya masuk ke kamar. Tapi, tertegun kami saat melihat
ke tempat tidur.
"Kasur penuh, nih,"ujarku kepada istri kakak iparku.
Bertatapan kami dan senyum merebak karena kedua anak istri kakak iparku tidak memberi ruang bagi kami untuk
berbaring di kasur.
Istri kakak iparku meminta aku menurunkannya. Saat dia hendak memindahkan anaknya, kutahan dia."Kelamaan,
Ceu. Nanti orang keburu datang."
Istri kakak iparku membatalkan niatnya. Dia berdiri menatap aku yang mengambil dua bantal yang tak terpakai dari
tempat tidur. Bantal-bantal tadi kulempar ke lantai. Istri kakak iparku menatap heran ke arahku. Kupersembahkan
satu senyumannya untuknya.
"Silakan berbaring, Ceu,"ujarku."Satu untuk kepala, satunya lagi untuk mengganjal pantat Eceu."
Istri kakak iparku mengikuti instruksiku. Dia berbaring dengan meletakkan kepalanya di bantal. Aku menyusul duduk
di sampingnya. Kuambil dua pahanya dan kuangkat tinggi, lalu aku sorongkan bantal tepat dibawah pantatnya.
Sedap sekali melihat alat kelaminnya yang mengembung meninggi itu. Dua pahanya aku tarik melebar dan dengan
segera aku datangi area kenikmatan itu. Saat aku cium memeknya, pantatnya meninggi, seperti menyambut
kedatanganku.
Aku naik di atas tubuh istri kakak iparku. Dengan posisi 69, bertubi-tubi pahanya kuciumi dan istri kakak iparku
menggeliat-geliat geli. Tawanya terdengar genit kala lidahku menjilat belahan memanjang yang berselimutkan bulu-
bulu halus.
Kutempelkan kontolku di mulutnya dan dia menyambutnya. Hangat kurasa saat kontolku berada dalam mulutnya.
Dikulumnya kontolku, disedotnya, dan mulutnya, dengan perlahan, maju mundur menelan kontolku. Nikmat sekali.
Sayang konsentrasi kami buyar karena terdengar panggilan dari arah depan. Istri kakak iparku melepaskan kontolku.
Segera aku meninggalkan tubuhnya. Dengan terburu-buru pula istri kakak iparku bangkit. Karena dasternya
tertinggal di ruang belakang, maka ditujunya lemari yang ada di pojok kamar, membuka pintunya dan mengambil
pakaian.
Dari arah depan terdengar lagi panggilan di pintu. Aku mengenakan pakaian, begitu pula istri kakak iparku.
"Cepat pulang, Amir,"ucapnya was-was.
Aku mengangguk dan cepat-cepat menghilang keluar kamar. Dengan hati-hati aku mengintip keluar rumah. Setelah
yakin tidak ada orang, aku pun melangkah keluar. Kutuju rumahku. Masih sepi rumahku saat aku masuk. Anak-anak
belum pulang dari langgar. Istriku pun belum datang dari warung.
Berbaring aku di tempat tidur. Pikiranku kacau. Senjataku masih keras dibalik sarung. Tidak tuntasnya permainan
tadi, membuat aku pusing kepala. Seandainya tadi tidak ada gangguan-gangguan, senjataku pasti sudah
memuntahkan sperma sehingga libidoku tak menumpuk seperti sekarang.
Kusingkapkan kain sarung meninggi meninggalkan selangkanganku. Kontolku yang masih tegang, aku ambil dalam
rangkulan jemariku. Sambil meremas daging panjang itu, memainkan kepala kontolku, aku membayangkan tubuh
telanjang istri kakak iparku, membayangkan ekspresi wajahnya saat aku setubuhi, mengingat desahannya saat dia
orgasme.
Kutinggalkan kontolku, kututupkan kembali selangkangan dengan kain sarung, saat pintu luar terdengar terbuka dan
terdengar suara-suara perempuan. Aku pejamkan mata agar istriku mengira aku telah tertidur.
Aku masih memejamkan mata saat pintu kamar berderit membuka. Tak lama kemudian, terdengar langkah kaki
mendekat dan jemari tangan menempel di dahiku. Kubuka mataku, pura-pura terbangun dari tidur.
Kutatap dia dan dengan nada lemah aku bertanya."Juju sudah pulang? Warung sudah tutup?"
"Masih sakit perutnya?"Istriku balik bertanya.
"Tidak lagi."
Juju, istriku, tersenyum."Kalau masih sakit, minum obat."
"Iya."Aku bangkit dari tidurku. Bersila di tempat tidur.
"Ini dompet hasil jualan hari ini, Bang."Aku sambut dompet yang diserahkan oleh istriku itu.
"Juju mau mandi. Gerah."Didepanku, istriku melepaskan pakaiannya. Tubuhnya montok berisi, proporsional dengan
postur tubuhnya yang tinggi besar. Putih bersih badannya dan buah dadanya menggelembung penuh dibalik beha.
"Anak-anak sudah balik semua dari langgar?"tanyaku sambil menikmati keindahan tubuh setengah telanjang itu.
"Sudah."Istriku melepaskan behanya. Buah dada itu menggantung bak pepaya. Puting susunya coklat memanjang.
Menggiurkan sangat tubuh istriku malam ini. Mataku seperti tak mau lepas menikmati buah dada itu.
"Selesai tarawih, mereka langsung ke warung, bantu-bantu menutup warung,"suara istriku membuyarkan
pandanganku dari dua pepaya itu."Sekarang mereka sedang menonton televisi."
Tak ada rotan, akar pun jadi, tak dapat kepuasan dari istri kakak iparku, kini aku harus dapat memuaskan diri
bersama istriku. Jantungku mulai berdetak cepat. Si otong pun menegang kuat. Aku ubah duduk menghadap ke arah
istriku. Dengan kaki menjuntai ke bawah, aku raih tubuh telanjang itu mendekat.
Wajah kami begitu dekat, saling bertatapan. Ada sirat keterkejutan di wajah istriku saat aku ambil dua buah
dadanya. Ditahannya tanganku, berusaha menghentikan aksi tanganku, tapi aku tetap melanjutkan meremas buah
dadanya.
Tangan kananku aku pindahkan dari buah dadanya untuk menyentuh celana dalamnya. Ada kain yang menutupi
kemaluannya. Maklum saja, di era 70-an akhir ini, pembalut wanita masih barang mewah, kalau tidak disebut langka.
"Jangan."Lemah suara istriku terdengar saat dia menahan tanganku yang hendak masuk ke dalam celana dalamnya.
"Juju masih kotor. Belum mandi."
Sambil menatapnya, aku berkata."Tapi, sudah tidak keluar darah lagi, kan?"
"Sudah seminggu haidnya, tinggal mandi saja."Istriku mundur, menjauhi aku. Dengan membelakangiku, istriku
menurunkan celana dalamnya. Pantatnya yang putih montok menampang jelas. Kulihat dia menarik kain dari dalam
celana dalamnya. Diamatinya kain itu,"Tidak keluar lagi darahnya."
Senyumku timbul. Birahi pun melonjak-lonjak mendengar ucapan istriku. Lalu,"Sudah, cepat mandi. Nanti keburu
malam, keburu dingin."
Tanpa menunggu perintahku sekali lagi, Juju mengambil handuk dari hangger yang berada di belakang pintu.
Dililitkannya handuk ke tubuh telanjangnya yang aduhai itu. Dia menghadap ke cermin kaca, mengambil sisir dan
menyisir rambut ikalnya yang panjang sebahu. Cantik.
"Eh, malah berhias,"ucapku kesal."Cepat mandi."
Istriku menatap aku, melempar satu senyum genit yang mengundang. Lalu, ini yang menyakitkan, istriku membuka
lilitan handuk yang menutupi tubuhnya, sehingga dapat aku melihat dua pepayanya dan selangkangannya yang
menghitam. Seperti tanpa bersalah, handuk dia lilitkan kembali dan dia pun berjalan menuju pintu.
Mataku melotot, menatap dia yang menjauh."Jangan lama-lama mandinya!"
Istriku membuka pintu dan sebelum menghilang dibalik pintu, kembali dia menebarkan senyum genitnya. Kamar
kembali sepi. Kembali aku berbaring. Menatap langit-langit, membayangkan eloknya tubuh telanjang istriku, seelok
tubuh mungil istri kakak iparku yang secara rutin aku setubuhi. Lalu, kemudian semua gelap.
Tersadar aku kala pintu kamar berderit. Masih dengan berlilitkan handuk, aku lihat istriku masuk. Segar sekali
melihat istriku setelah mandi. Rambutnya basah menjuntai di pundak. Titik-titik air masih menempel di kulit putih
mulusnya. Sensual.
Istriku membuka lemari pakaian. Sibuk dia memilih pakaian yang ada di lemari itu. Dengan beberapa helai pakaian di
tangan, dia menutup kembali pintu lemarinya. Lalu, diletakkannya pakaian yang dipegangnya ke atas kasur,
disamping aku yang duduk menonton dia.
"Garuk, Bang."Di atas kasur, istriku duduk membelakangiku."Gatal punggungnya."
Dibelakangnya aku manut saja mengikuti perintahnya. Aku duduk dan istriku membiarkan handuk yang melilit
tubuhnya terlepas saat handuk itu aku tarik turun agar aku bisa menggaruk punggungnya. Sambil menggaruk
punggungnya, kutatap istriku dari cermin yang terpasang di lemari didepan kami. Cantik istriku. Biarpun gemuk, tapi
proporsional dengan tinggi tubuhnya. Apalagi buah dadanya yang menggantung indah itu.
"Ke bawah dikit,"perintah istriku."Dekat pinggang."
Mengikuti ucapannya, jemari tanganku bergeser ke bawah, menyelusup ke dalam handuk untuk menggaruk areal
sekitar pinggangnya. Dari cermin, kutatap dia yang memejamkan mata menikmati garukan tanganku.
"Ada apa?"tanya istriku saat mendapati aku, suaminya, melalui cermin kaca dari lemari yang ada didepan kami,
menatap ke arahnya.
Tak ada jawaban dariku. Aku malah memberikan dia satu senyuman, lalu tangan kananku menyelusup masuk ke
dalam handuk, menggapai selangkangannya, sementara tangan satuku meraih buah dadanya, meremasnya dengan
nafsu.
"Anak-anak belum tidur,"ingatnya kepadaku sambil menahan aksiku di selangkangannya.
"Hei, geli, Abang."Mengabaikan kekhawatirannya, aku gelitiki pinggangnya. Teriakan istriku terdengar tertahan
sementara aku terus menggelitikinya.
"Sudah, Abang, sudah."Istriku memegang tanganku, menjauhkannya dari pinggangnya."Nanti anak-anak dengar."
Kubiarkan tanganku tetap dalam genggamannya, tapi, kali ini, bibirku yang bermain. Kucium pundaknya, istriku
menggeliat. Bibirku berpindah untuk naik mencecapi lehernya. Tubuh istriku menegang, tapi dia melupakan
tanganku. Dengan pelan-pelan aku tarik tanganku.
Pasrah istriku saat aku rebahkan dia di tempat tidur. Aku menelungkup disampingnya. Lereng gunung kenyal itu aku
ciumi. Mulutku berpindah ke gunung satunya dan mengulum kelereng yang ada di atasnya. Tanganku menyibakkan
handuk yang menutupi selangkangannya, menelusuri perutnya untuk menemukan bulu-bulu keriting kasar di
selangkangan itu. Tubuh telanjang itu menggelinjang saat dua jariku menari di belahan memanjang yang ada,
memainkan klentitnya.
Aku bangkit dari rebahku. Setelah melepaskan kain sarung yang aku pakai, aku datangi selangkangannya. Sambil
menjilati dua pahanya, bergantian, aku naik di atas tubuh telanjangnya. Dengan 69 Style, kontolku yang bergantung
di atas muka istriku, aku tampar-tamparkan ke pipinya sementara kepalaku masuk di antara dua pahanya,
menjelajahi area kemaluannya. Tidak seperti memek istri kakak iparku yang bulu-bulu kemaluannya sering dipotong
pendek, istriku lebih suka membiarkan bulu-bulu kemaluannya memanjang. Sering aku tersedak bila sedang
mencumbui kemaluannya, karena ada satu atau dua bulunya yang panjang ikal dan kasar itu menyangkut di
tenggorokan. Bila aku komplain, barulah istriku akan memotongnya.
Istriku melenguh saat jari tengahku, aku tusukan ke dalam lubang kemaluannya, sedangkan bibirku mencecapi
bagian atas belahan memanjang itu dengan sesekali lidahku menjilati klentitnya. Sementara areal kenikmatannya
aku serbu, istriku menggenggam kontolku yang bergelantungan di atas mukanya. Istriku kurang suka mengoral
kontolku. Jijik, katanya. Masak burung dijilat-jilat, itu alasannya kalau aku minta dia memasukkan kontolku ke
mulutnya. Tapi, setelah aku paksa, barulah dia akan melakukannya. Itu pun lebih banyak muntah-muntahnya.
Berbeda jauh dengan sang kekasih gelapku, sang tetangga, istri kakak iparku, Ningsih, yang sigap mengoral
kemaluanku tanpa aku minta setiap kali kami memadu birahi.
Kami berganti posisi. Kubawa tubuhnya menimpaku, tapi tetap kepalaku berada di antara dua pahanya yang
menganga lebar menjilat-jilat kemaluannya, sementara kontolku hanya diremas-remas. Desahannya tetap terdengar
berirama.
Kemaluannya aku tinggalkan. Istriku mengangkat badannya, meninggalkan aku yang terbaring dibawahnya. Segera
aku keluar dari bawah tubuh istriku. Kutahan tubuhnya saat hendak rebah ke kasur agar tetap menungging.
Aku elus punggungnya. Aku remas buah dadanya yang bergantung itu. Aku kemudian mendatangi pantatnya. Pantat
semok montok itu aku elus, aku cubit dengan gemas, dan kembali aku elus. Pun belahan pantatnya aku elus. Dari
belahan pantatnya, jemariku merayap turun mencari selangkangannya, menelusuri belahan memanjang yang
dipenuhi bulu-bulu. Tubuh istriku bergidik selama jari-jemariku menelusuri lekuk-lekuk di area sensitif miliknya itu.
Tidak tahan dengan daya tarik pantat montok semok yang membulat seksi didepanku, aku dorong masuk kontolku
ke selangkangannya. Berbeda dengan kelakuan istri kakak iparku yang selalu menyambut kedatangan kontolku dan
mengarahkannya ke lubang kemaluannya, istriku membiarkan aku mencari lubang itu, menempelkannya, dan lalu
menusukkannya dalam-dalam. Hanya erangan yang terdengar.
Pinggangnya aku pegang dan aku mulai memajumundurkan kontolku di kedalaman lubang kemaluannya yang basah.
Erangan nikmat istriku memenuhi kamar, membuat semangatku menggebu untuk mencapai kenikmatan bersama.
Sambil tetap kontolku maju mundur, jemariku menggerayangi buah dadanya, mengelus punggungnya, dan
memainkan lubang telinganya.
Tubuh istriku jatuh ke kasur, tertelungkup pasrah dengan aku tetap menggaulinya dari belakang pantatnya.
Ditinggikannya pantatnya karena sepertinya istriku takut kontolku terlepas dari kemaluannya. Aksiku makin
menggila. Kegagalanku mendapatkan kepuasan dari tetangga sebelah, akhirnya aku lampiaskan pada istriku.
Kutarik kontolku dari kemaluannya. Kemudian, aku terlentangkan dia. Di bawah benderangnya lampu kamar, dapat
aku lihat wajah istriku memerah, nafasnya terputus-putus.
Aku berpindah duduk masuk di antara dua pahanya. Kuelus pelan belahan memanjang di selangkangannya, dan jari
tengahku masuk ke lubang itu, membuat istriku mendesah.
"Apak..."teriak istriku memanggil aku saat kontol aku tekan masuk ke lubang kenikmatan miliknya.
Aku satukan dua pahanya didadaku, lalu aku mulai memompa kemaluannya. Istriku mendesah-desah nikmat
sementara kedua pepaya yang menggeletak pasrah di depanku aku remas-remas, aku puntir-puntir bola
kecoklatannya.
Sambil tetap memompa lubang kemaluan itu, dua pahanya aku taruh ke samping, rebah di kasur, membuat tubuh
istriku berbaring menyamping. Sambil pantatnya aku remas, kontolku kian bersemangat maju mundur memompa
kemaluannya, membuat istriku kelonjotan.
"Mih, Mimih!"suara anakku terdengar memanggil istriku dari balik pintu.
"Mimih tidur,"Aku yang menjawab."Ada apa?"
Istriku yang berbaring di kasur melotot. Dicubitnya dadaku. Dia tidak bisa bergerak karena aku tidak melepaskan
tubuhnya. Kontolku tetap aku gerakan maju mundur dalam kemaluannya, meski pelan-pelan.
"Kami mau tidur!"teriak anakku lagi.
Kubungkam mulut istriku saat dia hendak menjawab. Aku yang menyahut,"Iya, tidurlah. Lampunya dimatikan, ya."
"Iya!"jawab anakku lagi."Cecep bagaimana? Dia sudah tidur didepan TV."
Cecep adalah anak kami yang paling kecil. Dia selalu tidur dengan Mimihnya."Angkat ke kamar Eti. Biar dia tidur
bareng Eti malam ini."
Terdengar langkah menjauh. Aku menatap istriku, tersenyum padanya. Juju, istriku, kembali mencubit gemas
dadaku.
"Abang nakal,"ucapnya.
"Kalau tidak nakal, ya, tidak dapat memek Juju-lah."Kusenyumi dia. Lantas, kubuka dua kakinya melebar dan
kutimpakan tubuhku, mengulum bibirnya. Juju menyambut, balas mengulum dengan lebih ganas.
Sambil kontolku tetap menyerang kemaluannya, bibirku mencecapi lehernya. Setelah meninggalkan beberapa tanda
merah di lehernya, aku beralih mengejar buah dadanya. Tidak seperti buah dada Eceu yang mungil dan ranum
membulat, buah dada istriku berukuran jumbo. Buah dadanya meluber saat aku rengkuh, tapi aku abaikan. Aku
cumbui bola kecoklatan itu, aku cecapi lereng gunungnya, dan kembali aku tinggalkan jejak merah di sana.
Bertebaran di kedua lereng gunung itu.
Saat area selangkanganku memanas dan kontolku mulai berdenyut-denyut, maka aku tinggikan badanku, kupegang
dua pahanya melebar, dan aku percepat tusukan kontolku di lubang kemaluannya. Istriku menjerit-menjeit bahagia
dan jemarinya mencengkeram seprai tempat tidur.
Berawal dari bagian bawah perutku, aliran deras berjalan menelusuri urat-urat di areal kelaminku yang terus
meluncur cepat menimbulkan satu sensasi kenikmatan yang kurasa saat gelombang air tiba di kepala kontol. Saat
kepala kontolku berdenyut siap melontarkan isinya, kutekan dalam-dalam kontolku ke lubang kemaluan istriku.
Akhirnya, berkali-kali percikan sperma muncrat memenuhi lubang kemaluannya.
Setelah percikan sperma berhenti dan setelah kontolku mulai mengecil, aku jatuhkan diri ke atas tubuhnya. Istriku
memeluk mesra aku yang terkapar lemah. Dengus nafas kami terdengar berbagi. Detak jantung pun menyatu.
VII. Di Hotel itu
Dengan kunci yang ada di tanganku, pintu kamar aku buka. Bak seorang gentlemen, dengan lutut aku tekuk dan
sedikit membungkukkan badan, aku mempersilakan sang kekasih, istri kakak iparku, untuk melangkah masuk. Dapat
kurasakan keengganannya, tapi akhirnya dia melangkah masuk karena semakin cepat berada dalam ruangan
tertutup pasti akan lebih aman dari pandangan orang-orang yang barangkali mengenali kehadiran kami di sini.
Kamar segera aku tutup dan kukunci. Istri kakak iparku hanya berdiri. Tegang wajahnya. Sebenarnya aku pun tegang,
tapi aku harus menjaga wibawaku di hadapannya. Aku lelaki, lelaki yang dapat diandalkan.
Sambil melempar seulas senyum, aku mendekat. Tinggiku yang hampir seratus tujuh puluh terlihat meraksasa
dihadapannya yang aku perkirakan seratus lima puluhan.
"Aman tidak, Amir?"tanya istri kakak iparku dengan nada was-was.
"Aman, Ceu. Kan tidak ada yang kenal kita di sini,"jawabku coba meyakinkannya.
Kuambil dua tangannya dan mendekatkannya ke mulutku, mengecupnya lembut. Dia hanya menonton, membiarkan
saat seluruh sisi tangannya aku kecupi.
"Kita sebentar saja, ya,"kembali istri kakak iparku berucap."Nanti orang curiga kalau saya lama pulang ke rumah.
Nanti anak-anak ribut mencari Ibunya."
"Aku janji cuma sebentar, Ceu,"balasku.
Dua tanganku, aku lingkarkan ke tubuh mungilnya. Di dalam kamar yang ada hanya aku dan dia, dalam rangkulanku,
kuajak dia berputar-putar, berdansa diiringi irama putaran kipas angin yang berada di pojok kamar. Mata kami
bersitubruk, berusaha tersenyum, untuk mengurai ketegangan.
Aku hentikan tarian kami tepat didepan cermin kaca ukuran besar yang menempel di dinding kamar. Aku balik
badannya membelakangi aku. Berdua kami berdiri menghadap ke cermin besar itu. Kembali aku rangkul dia. Dapat
aku rasakan jantungnya berdetak kencang. Aku eratkan pelukan. Kucium wangi rambutnya yang panjang mengurai.
Kulepaskan dia dan aku mundur satu langkah. Resleiting pakaiannya aku turunkan. Melalui cermin, mata kami
bersitatap, saling membagi senyuman, dan kupelorotkan pakaiannya.
Kini, di cermin itu, istri kakak iparku hanya mengenakan beha dan celana dalam. Malu-malu dia tersenyum melihat
tangan kananku yang masuk ke dalam beha untuk meremas buah dadanya. Kepalanya pasrah bersandar di dadaku,
menikmati butiran yang ada di atas buah dadanya aku elus-elus lembut. Dapat pula aku rasakan bulu-bulu halus di
tubuhnya meremang manakala tanganku yang menyelinap ke balik celana dalam, mengelus rambut-rambut kasar
yang ada di sana.
Tubuhnya menggeliat bak cacing kepanasan, matanya terpejam seksi, nafasnya mulai terengah-engah dengan bibir
setengah membuka karena belahan memanjang di selangkangannya aku masuki, ketika daging kecil yang
bersembunyi di sana aku gesek dan aku tekan-tekan.
Gairahku membuhul. Pengait beha yang menyembunyikan dua buah dada itu aku lepas. Melewati dua tangannya,
beha itu melorot jatuh ke lantai. Sungguh! Tidak ada rasa bosan saat menatap kedua buah dada ranum yang
membulat penuh itu menggantung seksi. Apalagi saat aku gapai buah dada-buah dada itu. Dengan penuh birahi, aku
remas gundukan daging kenyal itu, yang membuat tubuhnya kian menempel erat di tubuhku dan dua tangannya
meremas pahaku. Saat dua butiran coklat yang berada di pucuk gunung itu aku pilin-pilin, matanya terpejam dan
terdengar desahnya. Semakin semangat pula aku menjamah gunung itu.
Sambil menggerayangi buah dada-buah dada itu, satu tanganku kembali masuk ke celana dalamnya untuk
mengobok-ngobok kemaluannya sementara selangkanganku yang menonjol tegang aku tempelkan ke tubuhnya.
Menggesekkan dan menekan-nekannya. Istri kakak iparku mulai mendesah nikmat.
Aku tinggalkan istri kakak iparku mematung di depan cermin. Melalui cermin, matanya bingung menatap aku yang
berdiri di belakangnya. Dia pun berbalik, menghadap ke arahku dan mendongak menatap aku.
Aku bersimpuh didepannya. Celana dalam putih itu ada dihadapanku. Aku elus dua pahanya. Tubuh istri kakak iparku
bergidik manakala jemariku menyentuh belahan memanjang yang tersimpan dibalik celana dalam. Diremasnya
rambutku. Kudekatkan wajahku ke celana dalamnya, mencium aroma khas yang menerpa hidungku. Melebar dua
paha itu, maka aku jilati celana dalamnya. Lalu, dimajukannya gundukan di selangkangan itu untuk memberi peluang
aku menggigit-gigit lembut kemaluannya.
Dua tanganku memegang pinggang istri kakak iparku dan mulai menurunkan celana dalamnya putih itu, tapi istri
kakak iparku menahannya. Kutatap dia yang berdiri tinggi didepanku. Dia menggeleng. Tapi aku tetap menarik celana
dalam itu. Dadaku berdegup kencang. Ada keindahan melihat bulu-bulu kasar yang terpotong pendek itu muncul
dari balik celana dalamnya. Celana dalamnya terus aku turunkan dan belahan memanjang di selangkangan itu
terlihat basah, ada daging kecil mengintip. Belum sempat aku menyentuh kelamin itu, tangan istri kakak iparku
menutupnya.
"Mau ke kamar mandi,"ucapnya saat kutatap dia.
Kembali mataku menatap areal kemaluannya yang masih tertutup tangannya. Aku tarik paksa tangan itu tapi dua
paha itu merapat untuk menyembunyikan kelamin itu. Pekerjaan yang sia-sia karena kelamin itu tetap menarik
untuk aku nikmati.
"Amir, mau ke kamar mandi dulu,"terdengar suara dari atasku.
Dengan segan kulepaskan dia, membiarkan istri kakak iparku menghilang ke kamar mandi yang berada di sudut
kamar.
Sambil menunggu istri kakak iparku menyelesaikan urusannya di kamar mandi, aku duduk di kursi di depan meja
kecil yang berada di sudut lain kamar hotel. Kamar hotelnya bersih. Harum merebak memenuhi kamar. Kipas angin
yang berdiri tegak di sudut kamar membuat kamar tidak begitu panas.
Senyumku membersit. Sebenarnya keinginanku untuk mengajak sang kekasih, istri kakak iparku, ke hotel ini spontan,
dadakan.
Siang itu, dari warungku, aku melihat istri kakak iparku, dengan pakaian rapi, naik taksi, sebutan angkutan umum di
Palembang. Dari dalam taksi itu, istri kakak iparku melambaikan tangannya dan taksi pun menghilang dari
pandanganku.
Tiba-tiba saja, timbul keinginanku untuk menyusulnya. Maka, aku cepat-cepat pulang ke rumah. Pada Juju, istriku,
yang saat itu berada di rumah, kukatakan kalau aku harus pergi ke pasar untuk membeli barang-barang kebutuhan
warung dan meminta dia untuk menggantikan aku menjaga warung. Istriku setuju dan segera menuju warung.
Setelah mengganti pakaian, aku kembali ke warungku. Setelah mengantongi uang belanja, aku menyetop taksi dan
naik.
Dengan berdebar-debar aku berdoa agar taksi yang kutumpangi melaju cepat sehingga dapat menyusul taksi yang
ditumpangi istri kakak iparku.
Sekitar tiga puluh menit kemudian, taksi yang kutumpangi tiba di Terminal Lemabang. Setelah turun dari taksi,
kutuju trotoar agar aku bisa mencari istri kakak iparku di antara para pejalan yang berlalu lalang. Dimana dia?
Astagfirullah! Aku terlonjak saking kagetnya karena ada seseorang menepuk punggungku. Aku berbalik, ingin
mengetahui siapa orang iseng itu. Dan ternyata, dia adalah orang yang sangat ingin kutemui saat ini. Dia, istri kakak
iparku.
"Amir mau kemana?"tanyanya.
"Mau belanja,"bohongku.
"Bukannya mencari saya?"tanyanya sembari memamerkan senyumannya yang memabukkan.
"Belanja apa?"Aku mengalihkan pertanyaannya.
"Ada yang order kue untuk acara syukuran."jawabnya.
"Sudah belanjanya?"
"Ini."Dia menunjuk beberapa asoy, sebutan keresek bagi orang Palembang, yang dia taruh di trotoar.
"Banyak sekali bawaannya? Memang banyak buat kuenya?"
"Lumayan. Pokoknya kerja keras nanti malam."
"Nanti malam, mau dibantu?"
"Terima kasih, Amir. Tidak usah,"jawabnya jenaka."Nanti malah tidak jadi kuenya."
Aku tertawa mendengar ucapannya. Kutatap dia. Dia melempar senyum.
"Sekarang mau kemana?"tanyaku.
"Pulang."
"Kita minum dulu?"tawarku.
Istri kakak iparku mengangguk.
"Tapi ikut aku dulu."
"Kemana?"
"Belanja."
"Lama, dong?"
"Aku tinggal menitipkan catatan belanja ke toko langgananku,"ujarku."Sambil menunggu barang-barang kumpul, kita
bisa minum."
"Boleh kalau begitu."
Sambil menjinjing barang belanjaan istri kakak iparku, aku berjalan menuju toko langgananku yang berada di
lingkungan Pasar Lemabang sementara dia mengekoriku. Oh ya, Pasar Lemabang itu letaknya berdampingan dengan
Terminal Lemabang. Saat itu, kami menyebut Pasar Lemabang dengan Pasar Kecik untuk membedakan dengan Pasar
16 Ilir yang menjadi pasar sentral kota Palembang. Kami menyebut Pasar 16 Ilir dengan sebutan Pasar Besak.
Setelah memberikan daftar belanjaan ke Koh Akeng, pemilik toko, dan berjanji akan datang beberapa saat kemudian
untuk mengambil barang-barang belanjaanku, aku membawa istri kakak iparku ke toko pempek langgananku.
Sebelum masuk ke toko pempek, mataku tertumbuk pada papan iklan yang terpasang di sisi toko. Ada hotel di dalam
gang itu rupanya. Heran, kenapa baru kali ini aku memperhatikannya.
Aku suruh istri kakak iparku memesan pempek. Sambil menunggu datangnya pempek pesanan, aku minta izin keluar
dengan alasan ada yang perlu dibeli. Sekeluar dari toko pempek, mengikuti arah panah yang ada di papan iklan, aku
memasuki gang disamping toko pempek itu.
Ternyata tidak jauh lokasi hotel itu. Hotel itu berupa satu buah rumah dua tingkat yang memanjang ke belakang.
Tidak menyolok dan semoga saja tidak menarik perhatian orang. Aku melangkah masuk. Lobby hotel sepi. Tidak ada
seorang pegawai pun. Apa karena ini siang hari, ya?
Aku mendekati meja resepsionis. Jam dinding yang bergantung di belakang meja resepsionis menunjuk ke angka
setengah dua.
Kutekan bel."Ting-tong!"
Dan seorang pria muncul dari pintu, berjalan mendekatiku dan tersenyum.
"Mau pesan kamar, Om?"tanyanya.
Kuanggukkan kepala.
"Short time?"
Kembali aku mengangguk.
"Satu jamnya lima ribu,"ucapnya."Bisa diperpanjang kalau Oom mau. Bayar di depan."
Aku mengangguk. Kukeluarkan dompet dari saku belakang, membukanya dan menarik uang senilai lima ribu rupiah.
Mahal sekali untuk ukuran di tahun 70-an.
Setelah aku menyerahkan uang tadi, pegawai hotel menyerahkan kunci kamar. Kamar nomor 10. Langsung kuambil
kunci itu. Kukantungi kuncinya dan aku keluar hotel. Aku kembali ke toko pempek.
Istri kakak iparku sudah duduk menghadapi sepiring beragam pempek dengan satu botol besar berisi cuka dan
setumpuk piring kecil sebagai tempat cuka. Rupanya dia menunggu aku. Jadi, dia belum menyentuh sama sekali
pempek-pempek itu.
Kupanggil pegawai toko pempek ini dan kusuruh dia membungkus pempek beserta cuka.
"Pempeknya belum dimakan, Amir,"protes istri kakak iparku.
"Kita pindah, Ceu,"terangku.
"Kemana?"
"Eceu ikut saja."
Aku membayar pempek di meja kasir. Dengan bungkusan pempek di tangan, kuajak istri kakak iparku menelusuri
gang itu. Masih protes dia, tapi tak aku hiraukan. Aku hanya diam hingga akhirnya tiba di hotel.
"Ini apa?"tanyanya.
"Hotel. Kita istirahat dulu di sini."
"Tidak mau."
"Jangan bikin malu, Ceu," ucapku. "Aku sudah bayar kamarnya."
"Malu, Amir. Nanti orang pada lihat kita."
"Makanya Eceu ikut saja apa kataku."Kutatap dia tajam-tajam."Nanti orang malah curiga."
Dia menghentakkan kakinya, kesal. Dicubitnya pinggangku, tapi dia tetap mengikuti aku yang melangkah mencari
kamar 10. Sengaja aku tidak meminta bantuan pegawai hotel karena aku perkirakan akan mudah mencarinya.
Berdua kami menelusuri selasar hotel yang memanjang sepi. Hingga akhirnya kami temui pintu yang bertera 10.
Nomor kamar kami. Kunci aku keluarkan dan sekarang kami berada di kamar ini. Bersiap untuk memadu birahi.
Suara pintu kamar mandi yang membuka membangunkan aku dari lamunanku. Istri kakak iparku berjalan keluar dari
kamar mandi. Tubuh mungilnya berlilitkan selembar handuk.
Saat dia berjalan mendekat, aku berdiri. Kulepaskan kemeja dan aku turunkan celana katun yang kupakai. Terakhir,
celana dalam pun aku lepas. Tersenyum istri kakak iparku melihat aku yang telanjang, berdiri sambil berkacak
pinggang.
"Airnya segarnya,"ucap istri kakak iparku. Tapi, berhenti dia didepan cermin, mematut-matut diri.
Sialan, umpatku dalam hati. Aku yang sudah berdiri telanjang, siap menyambut hangat tubuhnya benar-benar kecele
dibuatnya. Dengan penuh kesal aku dekati dia. Tanpa rasa bersalah, istri kakak iparku terus saja mengaca.
"Amir tidak mau mandi?"Melalui cermin, dia bertanya padaku yang berdiri disampingnya.
Aku tidak menanggapi pertanyaannya. Harum tubuhnya dan rambut hitam panjangnya yang basah jatuh melekat di
pundak putihnya melumerkan rasa kesalku. Kutarik dia menghadap ke arahku. Istri kakak iparku mendongak,
menatap aku. Dibiarkannya handuk yang melilit tubuhnya aku tarik, membiarkan tubuhnya sama telanjang.
Tidak puas-puasnya mataku menelusuri tubuh telanjang itu. Tersenyum dia, malu-malu. Kemudian, rambutnya yang
basah melekat di pundaknya dia ambil dan digerainya menutupi kedua buah dadanya, bak putri duyung. Dua
tanganku kutaruh di dua pundaknya, kutekan dia ke bawah. Bersimpuh dia di depan aku. Matanya memandang ke
kontolku yang berada dihadapannya, lalu memandang aku, dan kembali memandang kontolku.
"Tegang sekali burungnya,"komentarnya seraya dengan ujung jarinya menyentuh kepala kontolku.
Aku tidak merespon komentarnya karena aku menikmati sentuhan-sentuhan lembut jemarinya itu. Aku hanya
memainkan rambut panjangnya yang melekat basah itu.
Istri kakak iparku mulai mencumbui kontolku, tapi, sebentar kemudian, dia melepaskan kontolku. Memandang dia ke
atas, memandang aku, lalu,"Burungnya bau gosong."
Hanya tersenyum aku mendengar ucapannya. Kubiarkan saja dia yang meremas dan memijit pelan kepala kontolku.
Hihihi! Tawa genitnya terdengar. Sepertinya dia merasa lucu melihat kontolku yang tersentak setiap kali dia
menyentuh bagian bawah kepala kontolku yang sensitif. Berulang-ulang bagian bawah kepala kontolku disentuhnya
dan berulang kali pula kontolku menyentak ke atas.
Tak tahan dengan perlakuan istri kakak iparku terhadap kontolku, maka kupegang kedua pipinya dan kudekatkan
mulutnya ke kontolku yang sudah maksimal menegang itu. Seperti hendak bermain-main, istri kakak iparku
membungkamkan mulutnya, menolak untuk menelan kontolku. Dengan gemas, akhirnya aku menekan pipinya agar
mulutnya membuka. Begitu membuka, kupaksakan kontolku masuk ke dalam mulutnya.
Hangat aku rasa manakala bibirnya menjepit kontolku, saat kontolku bersentuhan dengan lidahnya. Nikmat sekali.
Mataku terpejam dan nafas beberapa kali tersendat.
Tanganku menjambak rambutnya, memajumundurkan kepalanya yang membuat batang kontolku pun maju mundur
di kedalaman mulutnya.
Istri kakak iparku mendorong selangkanganku menjauh sehingga kontolku terlepas dari mulutnya. Matanya berair
dan hendak muntah dia. Sepertinya aku terlalu dalam memajukan kontolku hingga tersedak dia. Kulihat istri kakak
iparku menyeka air matanya. Aku hanya diam sembari tetap mengelus rambut panjangnya. Setelah menormalkan
alur nafasnya, istri kakak iparku menggenggam batang kontolku dan menjilati ujung kepala kontolku.
"Asin,"ucapnya seraya mengelap bibirnya.
Aku mundur dan duduk dipinggir tempat tidur. Sambil tetap bersimpuh, istri kakak iparku mengejar aku. Kubuka dua
pahaku lebar-lebar dan istri kakak iparku masuk. Oleh tangan kirinya, direngkuhnya kembali batang kontolku
sementara dua jari tangan kanannya mengusap-usap ujung kepala kontol yang basah oleh lendir yang keluar dari
lubang pler, membuat aku menggelinjang geli.
Kontolku ditinggalkannya. Istri kakak iparku berdiri. Naik dia ke atas tempat tidur, dan dia duduk di atas
selangkanganku. Kontolku dia pegang, dan kemudian menaruhnya di lubang kemaluannya. Lenguhannya terdengar
saat pantatnya menenggelamkan kontolku. Setelah meletakkan tangannya di pundakku, pantatnya pun
dimajumundurkannya menelan kontolku. Mata itu menatap aku dan bibirnya yang membuka seksi mendesah.
Aku nikmati ekspresi wajah yang penuh birahi itu, menikmati kedua matanya yang merem melek menatapku sendu.
Kupeluk dia. Buah dadanya yang kenyal hangat menempel di tubuhku. Kuciumi lehernya. Desahan istri kakak iparku
semakin keras dan pantatnya semakin kencang maju mundur. Tempat tidur yang kami duduki berbunyi ribut, tapi tak
kami hiraukan. Kami tenggelam dalam asyik masyuk dunia birahi.
Gerakan istri kakak iparku terhenti. Kepalanya terkulai di dadaku. Napasnya terputus-putus. Detak jantungnya keras
memukuli dadaku. Punggungnya yang membasah dengan keringat.
Sambil tetap merangkulnya, kubawa dia rebah di tempat tidur. Dengan posisi istri kakak iparku berada di atas, kali ini
aku yang mengambil inisiatif untuk ganti menyerang kemaluannya. Aku pegang pantatnya dan aku maju mundurkan
kontolku menerjang kemaluannya. Istri kakak iparku tak mampu menahan desahannya. Kamar hotel dipenuhi
suaranya.
Di atas tempat tidur itu, bergulingan kami. Kini aku berada di atas dia yang termehek-mehek menikmati kontolku
yang menancap buas di lubang kemaluannya. Lehernya aku jilat-jilat. Asin karena keringat. Desahannya memenuhi
kamar.
"Aku mau keluar, Ceu," bisikku.
Dan karena kontolku mulai berdenyut-denyut, maka aku timpakan paha kiriku naik ke paha kanannya dan
mempercepat gerak kontolku menusuki lubang kemaluannya. Istri kakak iparku mempererat pelukannya dan
desahannya menjadi tidak beraturan.
Cairan itu dengan deras merambat dari perutku menuju ujung kemaluanku. Berbarengan dengan teriakannya, aku
tekan dalam-dalam kontolku. Nafasku tercekat, aku melenguh pelan, dan ada kenikmatan yang tak terkira saat
lubang di ujung kepala kontolku memercikkan sperma.
Setelah sperma berhenti tertuang dalam kemaluannya, aku tetap berbaring di atas tubuh itu. Nafas kami seperti
bersaing cepat, detak jantung pun menyatu melalui kulit-kulit kami. Bersama-sama kami menikmati kekalahan kami.
Istri kakak iparku mendorong aku yang masih menindihnya. Terlentang aku di tempat tidur, membiarkan tubuh
telanjangku menikmati kipas angin yang berputar dari pojok kamar. Aku biarkan istri kakak iparku yang turun dari
tempat tidur dan memunguti pakaian kami yang berserak di lantai.
Dilemparkannya pakaian milikku untuk menutupi selangkanganku yang tak tertutup. Lalu, aku duduk di pinggir
tempat tidur. Menatap dia yang cepat-cepat melilitkan handuk ke tubuh telanjangnya.
"Buru-buru sekali,"ucapku."Pempeknya saja belum dimakan, Ceu."
Dengan tubuh telanjang, aku turun dari tempat tidur dan melangkah menuju meja. Plastik bungkus pempek aku
sobek. Setelah menuangkan cuka ke piring, kuambil pempek dan menyocolkannya ke cuka. Kulahap pempek itu.
"Lapar, Ceu."Aku duduk di kursi dan kembali kuambil pempek dari bungkusnya."Ayo di makan pempeknya. Tidak
lapar?"
Melihat aku yang lahap menyantap pempek, istri kakak iparku ikut mengambil pempek dan memakannya.
"Enak, kan, pempeknya?"
Istri kakak iparku hanya mengangguk. Dari satu piring yang sama, kami berlomba menghabiskan pempek-pempek
itu. Sesekali kami saling menyuapkan pempek. Wajah kami berpeluh. Bibir pun memerah karena pedasnya cuka.
"Awas, Amir, jangan sembarangan pegang."istri kakak iparku mengingatkan aku ketika aku melap tangan yang penuh
minyak ke pahaku."Nanti panas burungnya."
"Kalau panas, aku suruh Eceu mengipas-ngipasinya."Aku menunjuk ke arah burungku.
Istri kakak iparku tertawa centil. Lalu,"Nanti malah habis burungnya saya gigit."
"Aku mau, aku mau."Aku meninggalkan kursi dan berjalan mendekati dia.
"Awas! Jangan pegang-pegang."Istri kakak iparku mundur, menjauhiku.
"Mau numpang ngelap tangan, Ceu,"ujarku.
"Jangan, jangan, Amir."Istri kakak iparku terus mundur menghindariku. Ke dalam kamar mandi, akhirnya dia
menghilang, tapi tetap aku mengejarnya. Untung dia belum sempat mengunci pintu kamar mandi. Meski terjadi aksi
dorong mendorong, akhirnya aku berhasil bergabung di dalam kamar mandi itu. Kamar mandinya tidak begitu luas,
tapi bersih. Keramiknya putih. Air yang ada didalam bak pun jernih.
"Keluar, keluar!"usirnya.
"Aku mau cuci tangan, Ceu,"alasanku sembari menutup pintu kamar mandi.
Istri kakak iparku menjauh dari aku. Berdiri dia di sudut kamar mandi. Tangannya menutupi buah dadanya yang
masih dililit handuk. Kuabaikan dia. Aku mengambil sabun dan mencuci tanganku. Gayung air yang berada di bak
mandi, aku ambil dan membilas tanganku yang penuh busa sabun.
"Eceu tidak cuci tangan?"tanyaku.
"Nanti. Gantian,"ucapnya."Kalau sudah selesai, Amir keluarlah."
Aku menatap dia yang masih berdiri di sudut kamar mandi. Dengan gayung, kuambil air dari bak, lalu dengan cepat
kusiram dia.
"Hei!"Spontan istri kakak iparku teriak. Tubuhnya basah, handuknya pun basah.
"I-ih. Amir jahat,"rajuknya setengah teriak.
Cepat-cepat kuisi gayung dan menyiramkannya kembali. Tawaku pecah melihat dia yang gelagapan.
"Amir jelek, Amir jelek,"ucapnya.
Tak buang kesempatan, aku dekati dia dan ikatan handuk yang melilit tubuh itu aku tarik. Istri kakak iparku
menahannya. Dan di dalam kamar mandi yang sempit itu, kami tarik menarik handuk. Istri kakak iparku menahan
handuknya agar tubuhnya tidak telanjang, sementara aku berharap dapat merebut handuk itu agar tubuhnya
menjadi telanjang.
Ditengah perang tarik menarik handuk tadi, aku sentak ujung handuk yang aku pegang, sehingga tubuh istri kakak
iparku tertarik mendatangi aku. Segera aku tangkap dia dalam dekapanku. Kuangkat dia. Dalam gendonganku, istri
kakak iparku masih berontak, tapi aku ajak dia berputar. Setelah beberapa putaran, akhirnya istri kakak iparku
menyerah. Dirangkulkannya kedua tangannya ke leherku, ditatapnya aku, dan diciumnya ujung hidungku sekilas.
Setelah itu, pasrah dia mengikuti gerakan aku yang berputar-putar di dalam kamar mandi. Sambil menari, bibir kami
berulang-ulang bertemu.
Tarian pun berhenti. Aku turunkan dia. Handuk yang menutupi tubuhnya jatuh. Dihadapanku, dia kembali telanjang.
Selangkah aku maju untuk merundukkan kepala dan kudatangi wajahnya. Bibirnya aku kulum. Dengan tangan kiri,
aku rangkul pundaknya dan tangan kananku meremas buah dadanya. Kontolku yang mengacung panjang aku tempel
dan aku gesek-gesekan ke tubuh telanjangnya. Bibir kami tetap bertemu.
Istri kakak iparku mendorong aku dan menjauh dari aku. Bibir kami pun terlepas."Dingin, Amir. Nanti sakit."
"Amir mau apa?"tanyanya saat aku mengambil tangannya, lalu mengambil sabun.
Istri kakak iparku diam, membiarkan aku yang menyabuni tangannya. Dia malah menyerahkan satu tangannya lagi
untuk aku sabuni. Buah dada-buah dadanya yang ranum membulat pun aku sabuni. Istri kakak iparku terkikik karena
saat menyabuni buah dadanya, aku pasang wajah konak. Berlama-lama aku menyabun gundukan daging kenyal itu
dengan diselingi pilinan di puting susunya.
Kini bagian perutnya yang aku sabuni. Sesekali aku menggelitikinya. Dia pun tertawa-tawa. Tawa yang mengundang
birahi.
"Yang disitu, jangan lama-lama."Dia menahan tanganku yang menempel di areal kelaminnya.
Wajah manisnya menjengit dan mulutnya melenguh pelan kala jari telunjukku masuk ke belahan memanjang itu,
memainkan klitorisnya.
Sebelum jari-jariku beraksi lebih lanjut, istri kakak iparku menahan tanganku. Ditariknya jariku menjauh dari
kemaluannya.
Mendongak dia, menatap aku yang menjulang tinggi didepannya. Kemudian dipeluknya aku. Tubuhnya menari,
membagi busa sabun. Tangannya mengelus punggungku.
Dilepaskannya aku. Diambilnya sabun dan disabuninya dadaku. Jemarinya menyelusup di ketiakku, menggelitikinya,
membuatku bergelinjang. Begitupula saat puting susu milikku dielus dan ditekan-tekannya.
Dua tangan istri kakak iparku aku ambil. Kuabaikan rasa herannya, aku bawa tangannya menuju selangkanganku
untuk menggenggam batang kontolku. Dalam genggaman, bersama-sama kami meremas-remasnya pelan.
"Sudah, ah. Dingin."Istri kakak iparku melepaskan kontolku dan bergerak menjauhiku.
"Sini."Dilambaikannya tangannya, memanggil aku mendekat.
Aku manut. Aku mendekat. Lalu, "Jongkok."
Didepannya, aku berjongkok. Belahan memanjang di selangkangan itu tepat berada di depan mataku, tapi istri kakak
iparku menyiramkan air ke kepalaku. Gelagapan aku jadinya dan kukibas-kibas kepalaku tetapi istri kakak iparku
terus saja menyiram aku.
"Sudah hilang sabunnya,"Istri kakak iparku berucap."Cepat dikeringkan badannya. Nanti masuk angin."
Sambil mengibas-ibaskan rambut, aku berdiri.
"Di badan Eceu masih ada sabun tuh."Tunjukku ke badannya."Aku bantu membersihkannya, ya?"
"Tidak perlu,"ucapnya sambil menjauh dariku."Ada handuknya di belakang pintu."
Dan memang ada handuk yang tergantung di hangger. Kuambil handuk itu. Sambil mengeringkan badan, pintu
kamar mandi aku buka dan aku keluar.
"Hei, handuknya jangan dibawa?"teriak istri kakak iparku dari dalam kamar mandi.

Aku berdiri didepan cermin, mengeringkan tubuhku, dan mengabaikan panggilannya. Kutatap tubuh telanjangku
yang terpampang di cermin itu.
"Amir!" istri kakak iparku memanggil aku. "Amir."
Kutolehkan kepala ke asal suara. Istri kakak iparku bersembunyi dibalik pintu kamar mandi. Hanya kepalanya saja
yang terlihat.
"Handuknya," ucapnya padaku. "Kemarikan handuknya."
Tersenyum aku padanya.
"Ke sini, Amir,"ambeknya karena aku tetap diam di tempat."Saya sudah kedinginan, nih."
Melangkah aku mendekat. Pintu kamar mandi aku dorong membuka. Kutarik istri kakak iparku keluar. Tubuh
telanjangnya masih dipenuhi bulir-bulir air yang mengalir turun. Dua tangannya menutupi buah dadanya. Gemetar
dia. Bibirnya pun bergetar.
"Makanya, kalau mandi itu jangan lama-lama."Bak seorang ibu yang memarahi anaknya yang nakal, aku
mengomelinya."Nanti kalau sakit orang lain juga yang susah."
Manyun dia saat aku mengeringkan tubuhnya. Diam dia saat kedua buah dadanya aku handuki bergantian atau saat
areal selangkangannya aku keringkan. Pasrah saat, dengan handuk, aku selimuti dia.
"Mau kemana?" tanyanya karena aku bopong dia.
"Katanya Eceu kedinginan, jadi sekarang aku kasih kehangatan." Sambil membopongnya, aku berjalan menuju
tempat tidur.
Setelah merebahkan istri kakak iparku di tempat tidur, aku buka handuk yang menyelimutinya. Sebelum dia sempat
bergerak, aku tindih dia, melingkar dua tangan ke tubuh telanjangnya.
"Aduh, Amir. Apa-apaan ini."Dibawah tindihan aku, istri kakak iparku berusaha menurunkan aku. Maka, aku
tinggikan tubuhku, tapi dua tangannya kupegang erat agar dia tidak bisa bergerak.
"Eceu diam. Biar aku hangati tubuh Eceu,"ucapku karena istri kakak iparku masih berusaha untuk bangkit dari
rebahnya.
"Ini sudah jam berapa, Amir?"rengeknya.
"Makanya, Eceu turuti saja biar kita cepat pulang,"pintaku dengan masih tetap tidak melepaskan pegangan di kedua
tangannya.
Akhirnya istri kakak iparku mengikuti permintaanku. Diam dia berbaring. Pahanya melebar karena aku sudah masuk
di antara dua pahanya. Tubuh telanjangnya yang masih basah itu aku timpa dan kucari bibirnya. Hangat bibirnya
menyambut bibirku. Dua tangan istri kakak iparku melingkari tubuhku dan aku pun melingkarkan tangan ke
tubuhnya. Bibir kami semakin bertaut erat.
Bibirnya aku lepaskan. Kutatap d etia. Tersenyum dia. Kutegakkan dua tangan di sisi tubuhnya lalu kontol aku
gerakkan untuk mencari lubang kenikmatan miliknya. Wajah imut istri kakak iparku menjengit, menikmati kontolku
yang masuk ke dalam lubang kemaluannya. Mulutnya membuka, membiarkan lenguhannya terdengar. Dalam-dalam,
aku menekan kontolku. Kontolku memutari kemaluannya, beberapa kali sebelum kembali aku memajumundurkan
kontolku.
Sambil tetap memajumundurkan kontolku dalam kemaluannya, kupeluk dia. Kucumbui lehernya, menjilati lubang
telinganya. Mendesah-desah istri kakak iparku dibuatnya. Tubuhnya menggeliat bak cacing kepanasan.
"Aaah..."panjang teriakan istri kakak iparku manakala dengan tiba-tiba kucabut kontolku dari lubang kemaluannya.
Cepat-cepat aku turun dari tubuh telanjang istri kakak iparku dan beralih duduk di antara dua pahanya. Istri kakak
iparku melebarkan kedua pahanya saat aku mendekatkan kontolku ke lubang bersemak itu. Diambilnya kontolku dan
ditekankannya ke lubang kenikmatan miliknya. Desahannya keluar.
Pinggangnya aku pegang dan aku percepat gerak kontolku menyetubuhinya. Dengan mata terpejam, istri kakak
iparku yang terbaring didepanku menggeliat dan mendesah seirama dengan tusukan kontolku di lubang kenikmatan
miliknya.
Dapat kurasakan cairan di pangkal kontolku memberontak. Maka, dengan posisi setengah menungging, dengan dua
pahanya tertimpa dua tanganku, gerakanku menyetubuhinya aku percepat. Tubuhku mengejang manakala sperma
mengalir cepat mengalir dalam batang kontol untuk akhirnya menyemprot di dalam kedalaman lubang nikmat itu.
Terjatuh aku menimpa istri kakak iparku. Kehilangan keseimbangan. Istri kakak iparku mengelus punggungku yang
basah keringat, sementara kepalaku terbaring lemah di sisi kepalanya. Detak jantung kami yang tak beraturan,
dengus nafas kami yang sama-sama berlari, menyatu melalui kulit kami yang basah.
Begitu aku dari atas tubuh telanjangnya. Istri kakak iparku bangkit dan duduk bersila. Dengan tanganku, aku
memangku kepalaku dan tubuh menyamping menghadap ke cermin. Dari cermin, dapat terlihat buah dada-buah
dadanya yang ranum membulat. Punggung putihnya aku elus, pundaknya aku sentuh.
"Kita pulang, yuk, Amir."Suara lembut istri kakak iparku terdengar.
Bangkit aku dari baringku dan duduk dibelakangnya. Kucium pundaknya, kuambil buah dadanya dan meremasnya
sebentar.
"Eceu siap-siaplah,"bisikku di telinganya.
Istri kakak iparku turun dari tempat tidur. Dikenakannya beha dan celana dalamnya. Kemudian ia mengenakan
pakaiannya. Setelah itu,"Sisir mana?"
Kucari sisir dari saku belakang celana dan kuserahkan kepadanya. Sambil menunggu istri kakak iparku merapikan
rambutnya, aku berpakaian.
"Amir,"panggil istri kakak iparku pelan dengan muka meringis.
"Ada apa?"
"Mau pipis."
"Ya, pipislah."
"Tapi, jangan menyusul masuk, ya."
Hahaha! Tawaku pecah.
"Iya. Aku janji,"ucapku setelah berhenti tertawa."Tapi, aku boleh datang lagi nanti malam 'kan, ke kamar Eceu?"
Istri kakak iparku menatap aku heran.
"Jangan marah dulu. Bukannya tidak tidak puas, Ceu,"jelasku,"tapi ketagihan. Habis memek Eceu syeedaap..."
"Gombal."Istri kakak iparku menghilang ke dalam kamar mandi.
Dalam kesendirian, aku hanya bisa berucap terima kasih kepada Tuhan yang sudah menyatukan aku dengan Eceu,
istri kakak iparku, perempuan sempurna dan super buas itu.

VII. Saksi Mata


Malam ini, hujan rintik-rintik hadir di Palembang sejak sore, menghadirkan rasa dingin. Untungnya aku punya selimut
untuk berbagi kehangatan dan kini aku sudah berada di kamar tidurnya, sudah menyatu dengan tubuh telanjangnya
di tempat tidur empuknya.
Wajahnya yang memerah, matanya yang merem melek, dan napasnya yang tersengal-sengal, membuat aku semakin
bernafsu menggagahinya. Dengan dua tanganku, aku dorong paha-pahanya maju, lalu berjongkok aku di atas
selangkangannya. Dalam posisi berjongkok, aku tusukkan kontolku ke dalam lubang kemaluannya, yang membuat
istri kakak iparku berteriak tertahan. Sambil menekan dalam-dalam, aku putar kontolku mengelilingi kemaluannya.
Kemudian, kontol aku maju mundurkan menyerang kemaluannya. Jari-jemari istri kakak iparku erat berpegangan
pada seprai tempat tidur yang memang sudah awut-awutan sementara desahannya tak mampu dikendalikannya.
Kucabut kontolku dari kemaluannya. Terkapar dia di atas tempat tidur, melepaskan cengkeraman jarinya pada
seprai. Dapat aku lihat buah dada-buah dadanya ranum membulat itu naik turun sementara pahanya masih
mengangkang terbuka memperlihatkan areal kelaminnya yang dipenuhi bulu-bulu menghitam tipis.
Satu bantal aku ambil dan kuangkat pantatnya meninggi. Kutaruh bantal dibawah pantatnya. Kini kemaluan istri
kakak iparku melengkung ke atas. Dengan segera kudatangi selangkangannya, mencecapi lubang kemaluannya yang
sudah basah itu. Istri kakak iparku menjerit kecil kala klentitnya aku gigit lembut, kala lidahku menusuk-nusuk lubang
kemaluannya.
Ditengah desahannya yang menderas, dengan lidah yang terus mencumbui kemaluannya, jemari tangan meraih
buah dadanya untuk meremasnya. Kenyal dan hangat. Selagi butiran di puncak gunung itu aku sentuh dan aku pilin-
pilin lembut, lidahku menerobos lubang kemaluannya, menjilati gumpalan daging yang ada di bagian atas belahan
memanjang itu dan desahan keras terdengar. Lidahku pun bermain di lubang kemaluannya, menusukinya berkali--
kali.
Kutinggalkan kemaluannya. Bersimpuh aku di antara dua pahanya yang masih mengangkang. Tubuh istri kakak
iparku menjengit saat kontol aku tempelkan di kemaluannya. Dengan bantuan tanganku, kugenggam kontolku dan
kugesek-gesekkan ke belahan memanjang di selangkangan itu.
Istri kakak iparku mengambil kontolku dan meletakkannya di lubang kemaluannya. Ketika telah berada di ambang
lubang kemaluan itu, aku dorong kontolku masuk, perlahan-perlahan. Hangat dan basah lubang itu. Lenguhan istri
kakak iparku pun terdengar.
Setelah kontolku tenggelam sempurna dalam lubang kenikmatan itu, aku letakkan tangan di sisi pinggangnya dan
mulai memajumundurkan senjataku. Suara desahan istri kakak iparku memenuhi kamar.
Paha kiriku aku naikkan ke atas paha kanannya sedang kaki kirinya aku angkat tinggi dan aku peluk, menempel di
dadaku. Tubuh istri kakak iparku yang kini menyamping menggeliat saat kontolku yang memang masih menancap
dalam lubang kemaluannya kembali aku tusukkan maju mundur. Jemarinya mencengkeram kuat lenganku.
Buah dadanya aku remas, lalu aku putar kontolku mengelilingi lubang kemaluannya. Kakinya yang aku peluk, aku
jilat-jilat dengan sesekali aku gigit pelan. Di atas tempat tidur itu, istri kakak iparku mendesah dan menggeliat.
Kuhentikan serangan rudalku. Desahan istri kakak iparku ikut terhenti. Ditatapnya aku, seperti menunggu apa
keinginan berikutnya dariku.
"Menungging, Ceu,"ucapku sembari menjauhkan diri dari dia.
Mengikuti ucapanku, istri kakak iparku bangkit dari tidurnya. Menungging dia membelakangiku. Diambilnya bantal
dan ditariknya ke bawah tubuhnya untuk dijadikan penahan. Pantat mulus itu aku elus. Jari tengahku masuk ke
belahan pantatnya dan terus turun ke selangkangannya, menusuk masuk ke lubang kemaluannya, memainkan
benjolan kecil yang kutemukan di dalam lubang kemaluan itu.
Desahan itu kembali terdengar. Klentit yang berada di bagian atas belahan memanjang itu pun tak aku tinggalkan,
mengelus-ngelusnya lembut.
Menjengit tubuh istri kakak iparku saat kutempelkan kontolku ke lubang kemaluannya. Perlahan kusorongkan masuk
kontolku dan istri kakak iparku melenguh panjang. Lenguhan berganti desahan begitu kontolku maju mundur di
lubang kemaluan itu.
Dan di malam berhujan rintik-rintik nan dingin itu, di kamar tidur istri kakak iparku, terdengar plok! Plok! Plok! akibat
selangkanganku yang beradu dengan pantat mungilnya. Desahan istri kakak iparku begitu menggairahkan.
Masih dalam keadaan ber-Doggy Style, aku remas buah dadanya, aku sentuh klitorisnya, dan terus saja aku
menyerang kemaluannya. Beberapa kali istri kakak iparku terjatuh untuk kembali menegakkan tangannya agar tetap
siap menerima tusukanku.
"Ahh...!"teriakannya tertahan manakala kucabut kontolku dari lubang kemaluannya. Tubuhnya terjatuh ke atas
bantal yang memang sejak tadi berada dibawah tubuhnya, napasnya memburu. Sayangnya aku tidak membiarkan
dia beristirahat. Kedua kakinya aku tarik lurus. Aku ambil bantal dan meletakkannya dibawah pantatnya.
Kemaluannya yang berselimut bulu-bulu halus itu terlihat melengkung indah. Aku sentuh area kenikmatan itu,
membuat pantat istri kakak iparku lebih tinggi terangkat, kemudian aku menindihnya. Empuk dan hangat.
Istri kakak iparku membuka lebar-lebar kedua pahanya, membuat aku terjepit di antaranya. Bibirnya menyambut
hangat bibirku. Liar dan penuh birahi. Kualihkan bibirku mencumbui lehernya, menjilati telinganya sementara aku
paksa kontolku masuk ke lubang kenikmatan itu. Desahan terdengar kala kontolku menari didalam lubang
kemaluannya. Erat-erat aku dekap dia. Istri kakak iparku balas memelukku, mengelus punggungku.
"Dok-dok-dok! Dok-dok-dok! Dok-dok-dok!"Ada yang mendorong-dorong pintu kamar tidur dari luar kamar. Aku
yang sedang menindih istri kakak iparku menatap cemas ke arah pintu. Begitu pula istri kakak iparku yang terbaring
di tempat tidur mendongakkan kepalanya, menoleh ke arah pintu. Belum sempat tersadar dari keterkejutan kami,
pintu kamar telah membuka.
Ditengah kegugupan kami, seseorang berjalan masuk ke dalam kamar. Berhenti dia di sisi tempat tidur, menonton
tubuh telanjang kami yang bertindihan.
Hatiku mencelos turun. Ketegangan dan rasa takut yang memuncak menurun cepat. Nafas pun terlepas panjang.
Kualihkan pandangan, kutatap istri kakak iparku yang masih aku tindih. Wajah pucatnya kembali merona.
Cengkeraman jari-jarinya di lenganku lepas.
Ribuan kata syukur deras terpanjatkan saat kembali kutatap sang penyusup. Dadan, anak keempat istri kakak iparku,
yang masuk ke kamar. Dadan yang malam ini tertidur bersama kakak-kakaknya rupanya terbangun dan ingin tidur
dengan mimihnya, istri kakak iparku, sang kekasih gelapku ini. Sayang momennya tidak tepat.
Wajah anak itu terlihat bingung. Diam dia melihat Mimihnya yang aku tindih. Lalu ganti dia menatap aku. Mungkin
bingung menemukan ada lelaki lain di kamar Mimihnya. Mata Dadan turun menelusuri tubuh telanjang kami,
melihat paha Mimihnya yang mengangkang karena aku tindih.
Setelah tersadar dari keterkejutannya, istri kakak iparku berusaha menurunkan aku dari atas tubuhnya, tapi aku
bertahan. Kontolku yang masih menancap di kemaluannya, membuat dia kesulitan menurunkan aku.
"Aduh!"teriakku tertahan karena pinggangku dicubitnya.
"Amir, tu-run!"ucapnya sembari menggoyang-goyangkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan agar aku terjatuh, tapi aku
memeluknya erat.
Menyadari aku yang tidak mau turun, Eceu, istri kakak iparku, menarik seprai kasur dan menutupkannya ke tubuh
kami. Hanya kaki-kaki kami yang menjulur keluar.
Dibawah seprai, dengan pelan-pelan, karena tidak ingin menimbulkan rasa penasaran anak kecil itu, kembali aku
genjot kemaluan istri kakak iparku. Melotot matanya tidak setuju, tapi membiarkan serangan kontolku. Tersenyum
aku. Lalu, dengan tetap menggenjot kemaluannya, kuciumi pipinya. Lehernya pun aku jarah.
"Sebentar, Amir,"ucap istri kakak iparku disela nafasnya yang memburu.
Aku hentikan aksiku. Kepalanya kemudian menjulur keluar dari dalam seprai.
"Dadan belum tidur?"terdengar istri kakak iparku bertanya.
Ikut aku menjulurkan kepala keluar. Timbul rasa iba melihat Dadan yang ternyata tetap berdiri bingung didepan
tempat tidur. Lantas, aku cium pipi istri kakak iparku sekilas untuk kemudian aku cabut kontolku dari kemaluannya
dan bergeser turun ke sampingnya.
Dengan tetap menutupi tubuh telanjangnya dengan seprai, istri kakak iparku duduk. Aku pun ikut duduk. Anak kecil
itu menatap aku, mengarahkan matanya ke selangkangan yang tidak aku tutup. Mendapati aku yang masih polos,
istri kakak iparku mengambil bantal dan melemparkannya ke selangkanganku. Matanya melotot memarahi aku.
Aku turun dari tempat tidur. Mata Dadan tak lepas menatap aku yang tanpa sehelai benang menutupi tubuhku saat
mengambil asoy dari atas meja hias yang berada disamping tempat tidur. Berdiri aku didepannya dan mengeluarkan
banyak jajanan warung dari dalamnya. Kemudian aku ambil tangannya dan menggenggamkan beragam jajanan.
Anggap saja sebagai sogokan agar Dadan tidak membuka mulut karena telah mengetahui rahasia kami.
Istri kakak iparku melototi aku yang bugil, tapi, tanpa merasa bersalah, kembali aku merangkak naik ke tempat tidur.
Setelah menaruh asoy di sudut tempat tidur, aku bisiki dia,"Kita berbaring, Ceu. Biar Dadan mengira kita tidur."
Masih dengan mata melotot dan mulut yang manyun, kakak iparku mengikuti saranku. Berbaring dia dengan seprei
tetap menyelimutinya. Aku pun membaringkan diri disampingnya.
Dan memang benar nyatanya, tak lama kemudian, sambil memegangi permen-permen yang aku berikan, Dadan
duduk di sebelah adiknya yang terlelap. Dari atas tempat tidur, istri kakak iparku tidur menyamping untuk mengintip
anaknya yang berbaring di lantai, dibawah kami. Dari belakang, tanganku ikut masuk ke dalam seprei, aku
memeluknya.
"Dia belum tidur, Amir,"sambil berucap, istri kakak iparku menahan jemariku yang mengambil buah dadanya.
"Dari bawah, Dadan tidak bisa melihat kita, Ceu,"ucapku coba menyakinkan dia.
"Tapi, kalau nanti dia dengar suara kita, bangun lagi dia."
"Makanya, Eceu jangan bersuara."
"Ya, tidak enak kalau tidak bersuara, Amir,"gurau dia dan aku yang terbakar.
Dengan gemas kupererat pelukanku. Bergidik tubuhnya kala lehernya aku ciumi. Dapat aku rasakan bulu-bulu halus
disekujur tubuhnya berdiri ketika jari-jariku menelusuri tubuhnya, menyentuh bagian-bagian sensitif miliknya.
Dielusnya wajahku yang berada dibelakangnya, memainkan rambutku, manakala jemari tangan ini bermain di lubang
kemaluannya yang tetap basah. Lalu, paha kirinya aku angkat tinggi dan kontolku yang mengaceng, aku selipkan di
antara dua pahanya yang membuka lebar.
Istri kakak iparku menyambut kontolku dan menempelkannya ke lubang kenikmatannya. Dengan segera aku dorong
kontolku masuk dan lenguhannya terdengar.
Masih dengan posisi menyamping, dengan tangan masih mengangkat paha kirinya, aku mulai menusuk-nusukkan
kontolku ke dalam lubang kemaluannya. Agar desahan suaranya terhalang keluar, istri kakak iparku membekap
mulutnya dengan telapak tangannya.
"Dilepas saja suaranya, Ceu. Jangan ditahan-tahan,"ucapku pelan di telinganya.
"Nanti Dadan dengar,"ucapnya disela desahannya.
"Dadan tuh belum mengerti dengan apa yang dilihatnya malam ini, Ceu,"ucapku.
Istri kakak iparku menarik tangannya lepas dari mulutku dan desahannya terdengar kembali seirama dengan masuk
keluarnya kontolku menggagahi kemaluannya.
"Nah, kan, tambah semangat kalau dengar desahan Eceu, tuh,"bisikku kembali untuk kemudian menciumi pipinya.
Lalu, aku tengkurapkan dia, aku lebarkan dua pahanya dan masuk diantaranya untuk mengangkat tinggi pantat
membulat itu. Dengan mengabaikan Dadan yang menatap padaku yang berada di belakang pantat menungging
Mimihnya, kucari lubang kemaluannya.
"Ah..."lenguhan terdengar manakala kontolku menusuk masuk ke dalam lubang kemaluan itu.
Sebentar kunikmati hangat dan basahnya lubang itu, untuk kemudian aku tarik kontolku mundur dan lalu kumajukan
kembali. Berulang-ulang aku melakukannya dengan terkadang aku putari lubang kemaluannya yang membuat Istri
kakak iparku mendesah-desah nikmat.
Sambil tetap menyetubuhinya, jariku mengambil buah dadanya, meremas keduanya. Menggelinjang tubuh istri
kakak iparku manakala jariku berpindah mengganggu lubang kemaluannya. Bersama dengan kontolku yang
menancap masuk-keluar di kemaluannya, dua jariku ikut masuk ke belahan memanjang itu, mengelus-ngelus
klentitnya.
"Aku mau keluar, Ceu,"ucapku ketika kontolku mulai berdenyut-denyut.
Dengan buru-buru aku cabut kontolku dari lubang kemaluannya dan dengan buru-buru pula aku tarik tubuh istri
kakak iparku meninggi. Dengan posisinya yang menungging membelakangiku, istri kakak iparku menjerit enak ketika
kembali aku tusukkan kontolku.
Denyutan di kontolku kian terasa yang membuat aku mempercepat tusukan kontolku ke kemaluannya. Tubuh istri
kakak iparku terjatuh ke kasur, lalu bangkit dan kembali terjatuh akibat dua tangannya kehilangan kekuatan untuk
menyanggah tubuhnya. Desahannya pun makin cepat dan menguat.
Manakala kurasakan ada yang mengalir cepat dalam batang kontolku, pinggangnya kuat-kuat aku pegang. Aku tekan
dalam-dalam kontolku di lubang kemaluan itu dan percikan-percikan air menyemprot. Nikmat sekali. Nafasku
terlepas lega.
Setelah tidak lagi menembakkan sperma, kontolku aku cabut dari kemaluannya. Dengan nafas terengah-entah, istri
kakak iparku tertelungkup di kasur. Aku pun menjatuhkan diri disampingnya, juga dengan nafas yang sama terengah-
entah.
"Amir jahat,"
"Jahat kenapa?"
"Saya tahu, tadi ketika Amir memperkosa saya, Dadan belum tidur, kan?"
Aku hanya tersenyum, lalu,"Memang Eceu merasa diperkosa?"
"Iyalah. Tanpa minta izin dulu dan saya pun belum siap, Amir langsung nyosor."Tersenyum dia."Tapi, saya suka, itu
masalahnya."
"Ya, sudah kalau begitu. Mulai besok, aku tidak perlu minta izin Eceu, aku langsung perkosa saja Eceu. Toh, Eceu
suka, kan?"
Dicubitnya aku."Ih, Amir jahat."
Pintu kamar berderit dan aku menoleh."Gila, Ceu."
"Kenapa?"Eceu ikut melihat ke pintu.
"Pintunya tidak terkunci."
"Apa?"Spontan istri kakak iparku menarik seprei untuk menutupi tubuh telanjangnya."Cepat dikunci, Amir."
Masih dengan tubuh telanjang, aku bergerak meninggalkan tempat tidur untuk mengunci pintu.
"Untung anak Eceu tidak ada yang menyusul masuk,"ucapku setelah aku duduk di tempat tidur dan bersender di
dinding kamar tidur.
Kuajak dia duduk. Kulingkarkan tangan kiriku ke pundaknya dan istri kakak iparku menyenderkan diri ke dadaku.
Tangannya masih memegangi seprei yang menutupi tubuhnya.
"Aku lapar, Ceu,"ucapku.
Asoy hitam yang berada di sudut tempat tidur diambil oleh istri kakak iparku dan meletakkannya di pahanya.
Dikuakkannya tas plastik itu. Dia mengambil roti dan membukanya, lalu disuapkan ke mulutku. Setelah itu, istri kakak
iparku melahapnya.
Dari sekian banyak permen yang aku bawa, aku memilih permen kojek. Setelah membuka bungkusnya, permen kojek
kuarahkan ke mulut istri kakak iparku, tapi dia menolaknya. Masih penuh roti mulutnya. Jadi, aku yang
menghisapnya.
"Ini untuk yang ketiga kali kita nyaris ketahuan, Amir,"ucap istri kakak iparku setelah mengosongkan mulutnya dari
roti.
"Semoga tetap aman, Ceu."Rambutnya aku cium, kupererat pelukanku, lalu,"karena aku masih ingin lama bersama
Eceu."

VIII. Sang Pengintip


Aku terbangun dari tidurku. Sialan! Umpatku senang karena ada yang mengganjal di selangkangan. Segera aku tarik
keluar senjataku dari celana training yang kupakai. Dengan perasaan bangga, aku mengelus daging panjang yang
berdiri tegang itu. Sepertinya ia membutuhkan sparring partner malam ini, pikirku.
Jam yang menempel di dinding menunjuk ke angka dua belas lewat. Setelah menyimpan benda pusaka ke
tempatnya, aku meninggalkan tempat tidur. Kusemprot parfum ke badan, lalu mengenakan kaos. Didepan cermin,
aku merapikan rambut. Kemudian aku berjalan ke deretan toples permen di atas lemari kaca. Beberapa toples
permen aku buka, lalu mengambil isinya untuk kumasukan ke saku celana training.
Pintu warung kubuka. Angin malam menerpa. Dingin pun menyergap. Dingin yang membuat aku ingin cepat-cepat
tiba di kamar tidur istri kakak iparku dan merapat dalam kehangatan tubuhnya. Membayangkan itu, adik kecilku
semakin membesar. Cepat kututup pintu warung, menguncinya, dan segera berlalu.
Saat melewati warung milik suami sang kekasih, hati ini bergumam,"Giliran aku malam ini, Kang."
Warungku dan warung milik kakak iparku memang berdekatan. Hanya dipisahkan oleh jalan masuk ke perumahan
kami. Purnama indah dan kerlip gemintang menemani aku yang menapak pasti. Sepi, tanpa terlihat manusia, tapi itu
yang kuharap.
Akhirnya aku tiba di belakang rumah istri kakak iparku. Karena tidak ada janji untuk datang, pintu belakang rumah itu
terkunci kala kudorong. Tetapi, aku tidak khawatir. Sudah sering aku mengunjunginya tanpa pemberitahuan terlebih
dulu. Aku hanya perlu menuju kamar tidurnya untuk memberitahu akan kedatangan pacarnya ini dan kami
mempunyai kode untuk itu.
Seperti yang sering aku tulis, tempat tinggal kami berada di daerah pasang surut Sungai Musi. Karena itu, rumah-
rumahnya berada di atas tiang, berupa rumah panggung, dan terbangun dari kayu sebagai antisipasi air sungai Musi.
Belum sempat aku mengetuk dinding kamarnya, terdengar suara mencurigakan dari dalam kamar tidur itu. Suara
khas seorang perempuan yang sedang disetubuhi. Spontan dadaku berdegup keras akibat rasa cemburu yang
menyergap. Siapakah yang berani mendahului aku menyetubuhi perempuan itu?
Untuk melampiaskan rasa penasaran, aku masuk ke kolong rumahnya karena aku tahu ada lubang kecil di lantai
kamar istri kakak iparku yang berfungsi sebagai tempat pembuangan sampah. Tanpa menimbulkan bunyi, dari
lubang tadi, aku mengintip. Di dalam kamar itu, aku mendapati dua pasang kaki yang sedang berdiri berdekatan
didepan tempat tidur.
Mataku beranjak ke atas dan aku lihat pantat yang dibelakang, maju mundur dibelakang pantat yang aku yakini
adalah milik kekasihku, istri kakak iparku. Istri kakak iparku yang tanpa sehelai benang menungging dengan tangan
berpegangan pada pinggiran tempat tidur. Plok! Lelaki dibelakang itu menepuk pantat istri kakak iparku dan terus
menyetubuhinya. Pantas saja desahan perempuan mungil itu keras terdengar karena berdasarkan pengalaman aku
saat menyetubuhinya, Doggy Style adalah gaya yang disukainya. Setiap kali ber-Doggy Style, istri kakak iparku kurasa
lebih bersemangat. Lenguhannya pun lebih keras. Seperti malam ini, dari lenguhannya, aku tahu dia menikmati
sodokan daging mengeras dari lawannya.
"Ahh..."Keras terdengar lenguhan istri kakak iparku saat lelaki itu, dengan tiba-tiba dan keras, mencabut senjatanya
dari lubang kenikmatan milik perempuan mungil itu.
Dengan napas yang terengah-engah, istri kakak iparku menjatuhkan diri di tempat tidur. Masih dengan posisi
menungging, dengan kaki menjuntai di lantai, perempuan mungil itu terbaring tertelungkup di pinggir tempat tidur.
Sementara, sang lelaki, dengan senyum penuh kemenangan, duduk di pinggir tempat tidur, menepuk-nepuk pantat
mulus milik lawannya sambil mengatur irama nafasnya.
Setelah lama menduga-duga, baru aku dapat mengetahui lelaki yang menyetubuhi kekasihku. Lawan main kekasihku
malam ini adalah si Akang, suami dari istri kakak iparku sendiri. Meski ada rasa cemburu, tapi tidak terlalu sakit
karena aku tahu suaminya sendirilah yang menggaulinya. Dada lelaki itu menghitam akibat dipenuhi bulu-bulu.
Perutnya membuncit. Spontan, sebagai seorang lelaki, pandanganku menuju selangkangan pesaingku itu untuk
membandingkan siapa yang unggul di antara kami. Meskipun lebih gemuk kontol sainganku itu, tapi punyaku lebih
panjang, aku membela diri. Tidak mau kalah.
Karena ajakan pasangan mainnya, perempuan mungil itu berdiri dan duduk dipangkuan suaminya. Dari kegelapan
kolong rumah itu, aku berusaha tidak bersuara, meski nyamuk mengeroyok, menghisap darahku, agar mereka
berdua tidak menyadari kehadiranku mengintip permainan mereka. Padahal panas hati ini melihat perempuan
mungil itu terpejam dengan nafasnya yang memburu, melihat dua buah dada ranum membulat itu diremas-remas,
melihat perempuan mungil itu membuka lebar dua kakinya, agar jemari lelaki itu leluasa mengobok-ngobok area
intimnya. Aku marah karena seharusnya aku yang melakukannya malam ini.
Mereka berdiri. Berhadapan. Perempuan mungil itu membuka lebar dua pahanya tatkala jemari suaminya
menggapai selangkangannya sementara tangan satunya mencekal buah dada itu. Tapi, tak lama karena istri kakak
iparku naik ke atas tempat tidur. Di atas tempat tidur, kekasihku duduk, menanti suaminya yang merangkak
mendekatinya. Berciuman mereka. Lama dan hangat. Setelah bibir mereka terlepas, saling pandang mereka, saling
tersenyum.
Kini mereka duduk berhadapan. Kaki Eceu naik ke paha suaminya. Hampir merapat tubuh keduanya. Tidak mau kalah
dengan suaminya yang meremas buah dada ranum membulat miliknya, jemari istri kakak iparku menggerayangi
dada suaminya.
Sambil tetap saling menggerayangi dada lawannya, mereka bertatapan mesra, saling melempar senyum. Api
cemburu membakar dadaku. Suami Eceu mendorong rebah Eceu ke tempat tidur. Tubuh istri kakak iparku
menghilang. Dari posisi aku yang mengintip dari lubang kecil di lantai kamar tidur ini, pandanganku memang
terhalang tempat tidur.
Aku memang tidak dapat melihat perempuan mungil itu yang pastinya tertindih tubuh gendut suaminya, tapi
membayangkan Eceu disetubuhi membuat imajinasiku menjadi liar.
Bersender aku di tiang rumah. Setelah menjejakkan kedua kaki kuat-kuat di tanah yang becek, si otong yang sejak
tadi membuat sesak celana dalam, aku keluarkan. Sambil membayangkan liarnya perempuan mungil itu saat digauli,
jemari menggenggam daging keras di selangkangan. Mata aku pejamkan untuk menikmati saat aku sentuh ujung
kepala kontolku. Kini, di dalam kamar itu, suara desahan istri kakak iparku terdengar seirama dengan gerit tempat
tidur, membuat birahi kian memenuhi otak.
Sambil tetap memajumundurkan genggaman jemari di kontolku, aku mengintip ke dalam kamar. Hanya kaki putih
milik Eceu yang terlihat memanjang lurus ke atas dengan si Akang, suaminya, bersimpuh sambil menggerakkan
pantatnya maju mundur. Wajah si Akang mendongak dengan mulut menganga dan mata terpejam dengan desahan
bercampur jeritan-jeritan tertahan betina itu menimpalinya.
Kontolku yang berada dalam genggaman mulai berdenyut-denyut. Segera aku bersandar di tiang rumah. Desahan
yang berasal dari dalam kamar menambah semangat jemariku untuk mengocok kontolku. Akhirnya, selangkanganku
menjadi panas. Kontolku berdenyut-denyut lebih hebat. Aliran air bergerak melaju. Aku tekan batang kontolku.
Kontolku menyentak keras karena air terhalang keluar. Setelah beberapa kali sentakan, kulepas pegangan di
kontolku dan air itu pun muncrat dari lubang yang ada di ujung kontol. Dalam genggaman jemari tangan, kontolku
mulai menyusut, lelehan sperma menempel.
Dalam kegelapan malam, aku masih bersandar di tiang rumah untuk menormalkan nafas dan mengembalikan
kekuatan. Setelah merasa sanggup berdiri, aku simpan kontolku dalam celana training dan kembali mengintip ke
dalam kamar. Kosong tempat tidur itu. Hanya terdengar deru nafas yang bersahutan. Sepertinya mereka telah
menyelesaikan pertarungan mereka dan kini, aku membayangkan, tubuh telanjang mereka berbaring di tempat
tidur, berpelukan.
Perlahan, tanpa mengeluarkan suara, aku beranjak keluar dari kolong rumah. Ah, lega rasanya karena aku bisa
meluruskan kembali tubuhku setelah lama menunduk akibat kolong rumah yang rendah. Kuketuk pelan dinding
kamar itu tiga kali, sesuai kode yang aku dan istri kakak iparku sepakati, lalu aku menyelinap kembali ke kolong
rumah, bersembunyi dibalik tiang, tetapi tidak ada jawaban dari istri kakak iparku.
Setelah lama menunggu, kembali aku mengetuk dinding kamar tidur itu, kali ini di lantai kamar tidurnya. Hatiku
berteriak senang manakala terdengar langkah di lantai, lantas disambung dengan ketukan di lantai, juga tiga kali.
Cepat kutuju lubang di lantai kamar itu, mengintip ke dalam. Berdiri didepan suaminya yang duduk dipinggir tempat
tidur, kekasihku masih tanpa sehelai benang menutupi tubuhnya. Sepertinya mereka sedang bercakap-cakap.
Si Akang berdiri dan menyarungi selangkangannya yang telanjang. Eceu pun mengenakan dasternya. Kulihat
pasangan suami istri itu berciuman. Tangan lelaki itu meremas pantat istrinya, kekasihku. Selesai berciuman,
berurutan mereka keluar kamar dan kemudian, pintu depan terdengar dibuka. Dari tempat persembunyianku di
kolong rumah, dapat kulihat sepasang kaki, yang kuyakini milik si Akang, berjalan meninggalkan rumah. Dia pasti
kembali ke warung.
Aku keluar dari bawah kolong rumah. Berjalan aku ke belakang rumah, menuju pintu belakang, berharap istri kakak
iparku menyambutku di ambang pintu. Belum sempat aku mendorong pintu, pintu telah membuka. Eceu, istri kakak
iparku, pujaan hatiku, berdiri. Ditariknya aku masuk dan dipeluknya aku.
"Lama, ya, menunggunya?"tanyanya mesra.
"Yang kedua harus mengalah, Ceu,"balasku.
Tertawa dia. Diciumnya aku. Lalu,"Kok tahu ada Akang malam ini?"
"Desahan Eceu jelas terdengar,"jawabku,"Sampai penasaran aku mengintip."
"Mengintip lewat mana?"
"Ada, deh,"jawabku lagi sambil memeluknya.
"Jangan di sini, Amir,"ucapnya sambil menahan dasternya yang aku tarik meninggi.
Tanganku memaksa masuk ke dalam daster untuk meraba selangkangannya yang tanpa celana dalam itu."Sudah
tidak tahan lagi, Ceu."
Hihihi... kembali tertawa si Eceu. Lalu, pinggangku dirangkulnya. Dibawanya aku melangkah menuju kamar tidurnya.
"Busyet! Berantakan sekali kasurnya, Ceu,"komentarku melihat seprai yang semrawut, bantal-bantal yang bergeletak
tidak beraturan, serta beha dan celana dalam yang terlantar begitu saja di lantai kayu.
Kembali istri kakak iparku ber-haha-hihi.
"Kayaknya Eceu menikmati sekali permainan Akang, ya?"tanyaku dengan nada cemburu.
"Kok tahu? Mengintip, ya?"tanyanya dengan nada bercanda.
Aku hanya diam. Mematung didepannya.
"Cemburu ni yee..."Sambil berucap, istri kakak iparku menarik kaosku tinggi.
Kedua tangan aku angkat tinggi agar Eceu mudah melepaskan kaosku. Sambil mendongak, menatap aku yang
menjulang tinggi dihadapannya, jemari istri kakak iparku mengelus perutku dan memainkan puting susuku.
Menggeliat aku jadinya.
Rambut panjangnya yang hitam lurus aku elus-elus ketika lidahnya menjilati dadaku, ketika bibirnya mencumbui
puting susuku. Kubiarkan jemarinya yang menyelinap ke dalam training, membiarkan dia menggenggam kontolku.
Diremas-remasnya kontolku, disentuhnya ujung kepala kontolku.
Jam dari ruang tengah yang berdentang dua kali, menyadarkan kami.. Dia mendongak, menatap aku. Aku tersenyum,
lalu kuturunkan tali daster yang dikenakannya. Daster pun melorot. Telanjang dia didepanku.
Pandanganku mengarah ke kedua buah dada ranum membulat milik istri kakak iparku yang malam ini penuh dengan
tanda merah, hasil karya Akang, suaminya. Kusentuh buah dadanya, menyentuh cupangan suaminya.
"Berarti malam ini aku boleh mencupang Eceu, dong?"guyonku karena memang selama ini Eceu selalu mewanti-
wanti aku untuk tidak meninggalkan jejak di tubuhnya dan aku setuju karena ini demi tetap terjaganya kerahasiaan
hubungan kami.
Malu-malu istri kakak iparku tersenyum. Genit ditutupinya kedua buah dadanya dengan telapak tangannya,
membuat aku ingin segera menggagahinya.
"Kalau aku menambah lima cupangan, suami Eceu pasti tidak tahu,"kejarku, senang melihat istri kakak iparku tersipu
malu.
"Coba lihat lehernya, Ceu."Kepalanya aku palingkan."Tuh, kan ada banyak juga cupangan di leher Eceu."
Spontan istri kakak iparku menarik kepalanya dari tanganku.
"Jangan-jangan di memek Eceu ada juga cupang?"ucapku dengan wajah kupasang curiga.
"Hei,"teriak istri kakak iparku sembari menutupi selangkangannya ketika aku pura-pura hendak merunduk.
Hahaha! Tawaku pecah. Istri kakak iparku mencubit pinggangku sehingga tawaku berganti menjadi jeritan kecil.
"Jangan keras-keras. Nanti ada yang dengar,"ucapnya sambil menatap aku yang mengusap-usap pinggang yang tadi
dicubitnya.
"Sakit, ya?"Dia ikut mengusap-usap pinggangku.
"Kalau Eceu yang mencubit, tidak sakit, kok."
Tertawa dia. Dipeluknya aku. Hangat buah dadanya menempel, menyebabkan hasrat kembali membludak.
Kulepaskan pelukannya, lalu, "Eceu naik ke atas."
"Mau apa?"Heran dia bertanya.
"Naik saja."
Kubantu istri kakak iparku menaiki tempat tidur. Berdiri dia meninggi di hadapanku.
"Malu, Amir."Telapak tangannya menutupi selangkangannya.
"Lepas tangannya."
Menggeleng dia. Selangkangannya masih ditutupinya. "Malu.."
"Tidak ada orang lain ini, Ceu."Dengan mata memohon, aku menatap matanya.
Istri kakak iparku mengarahkan pandangannya ke anaknya yang terbaring lelap di kasur kecil di lantai. Kemudian,
dengan segan, dia menarik telapak tangannya dari kemaluannya.
"Angkat tinggi-tinggi tangannya,"perintahku.
Malu-malu istri kakak iparku mengangkat tangannya. Pemandangan indah pun tersaji dihadapanku. Kemaluannya
yang tersaput bulu-bulu halus membuat jantungku berdetak keras.
Aku dekati kemaluannya. Ada aroma sperma bercampur dengan bau khas kemaluannya yang membuat birahiku
melonjak-lonjak. Selangkangannya aku tiup dan paha itu membuka lebar. Lidah aku leletkan untuk menjilati
kemaluannya. Basah. Lengket. Sepertinya sperma suaminya masih tertinggal.
Mengejang istri kakak iparku dan dijambaknya rambutku manakala, dengan penuh nafsu, aku sedot-sedot
kemaluannya. Lidahku menusuk-nusuki lubang kemaluannya, memainkan klitorisnya.
Beberapa kali istri kakak iparku limbung, tetapi segera tangannya berpegangan di kepalaku.
Bibirku meninggalkan areal kemaluannya. Kutatap dia yang tegak berdiri di atas tempat tdur. Tangannya
berpegangan di pundakku dan tanganku memegang pinggangnya.
Bergetar tubuh istri kakak iparku tatkala kemaluannya aku elus. Jemari tangannya merengkuh pundakku manakala
jari telunjuk mengutili kelentitnya.
"Ahh...,"Istri kakak iparku melenguh karena jari tengah tanganku aku tusukkan masuk ke dalam lubang kemaluannya.
Sudah licin, penuh cairan lubang kemaluannya.
Dua tangan istri kakak iparku memeluk kepalaku dan melenguh dia karena dengan perlahan dan lembut jari-jemariku
maju mundur di dalam lubang kemaluannya."Amir.."
Menggelinjang tubuh istri kakak iparku. Habis rambut kepalaku dijambakinya. Dua kakinya memendek sehingga
selangkangannya makin lebar membuka dan jari-jariku makin kencang menusuki kemaluannya.
Cepat aku tarik dua jariku dari lubang kemaluannya. Bersamaan dengan itu, kepalaku yang berada dalam
genggamannya, ditariknya menempel di tubuh telanjangnya. Diam aku menikmati lembut dan hangat kulit
kemaluannya.
"Haus,"istri kakak iparku berkata kepadaku.
"Haus, Amir,"ulangnya ketika aku menatap dia yang masih berdiri di atas tempat tidur.
"Aku ambilkan."Kutahan dia yang hendak turun dari tempat tidur,"Eceu duduk saja."
"Dibawah kolong tempat tidur, ada botol minum,"ucap isteri kakak iparku.
Berjongkok aku untuk memastikan ucapan istri kakak iparku tadi dan memang ada botol bekas sirup di sana. Botol
bekas sirup yang telah berubah fungsi menjadi botol minum itu aku ambil dan aku serahkan kepada istri kakak iparku
yang duduk bersila di tempat tidur. Pahanya tertutup bantal guling, sementara buah dadanya dibiarkannya terlihat.
Sehabis dia minum, kusambut kembali botol bekas sirup yang istri kakak iparku sodorkan. Aku pun meneguk air dari
botol bekas sirup itu. Setelah itu, aku letakkan botol bekas sirup di kolong tempat tidur.
Tertegun aku dibuatnya manakala aku berdiri dan melihat pemandangan indah di atas tempat tidur. Di sana, di atas
tempat tidur itu, istri kakak iparku berbaring sambil memeluk bantal guling. Paha kanannya menjepit bantal guling
itu sementara kepalanya bertelekan di tangan kirinya, menghadap ke arahku. Tersenyum dia melihat aku yang
berdiri mematung.
"Sini, Amir."Jemari tangannya melambai, mengajak aku untuk segera bergabung dengannya.
Tanpa harus diulang untuk kedua kalinya, aku naik ke tempat tidur. Merangkak aku mendekatinya. Mengabaikan
tangannya yang telah membuka siap menerima kedatanganku, aku melangkahi tubuh telanjangnya. Kemudian
berbaring aku dibelakangnya, melingkarkan tangan ke tubuhnya, dan, di telinganya, aku ucapkan,"Aku sayang Eceu."
Jemari tangan perempuan mungil itu lembut mengelus pipiku saat aku cium pipinya lama-lama. Istri kakak iparku
merapatkan tubuhnya tatkala buah dadanya yang mungil dan ranum itu aku remas, aku pilin-pilin puting susunya.
"Putar berlawanan dengan arah jarum jam, Amir,"ucapnya pelan.
"Apanya?"
"Puting susunya."
"Oh..."Setelah memahami ucapannya, dua jariku memilin-milin puting susunya dengan melawan arah jarum jam,
dari kanan ke kiri.
"Enak,"komentarnya kemudian.
"Aku lepas celana dulu, ya, Ceu,"bisikku.
"Perlu bantuan?"Tangan istri kakak iparku menyentuh selangkanganku.
Kubiarkan dia meremas kontolku yang masih bersembunyi di balik celana. Karena aku pun sedang meremas buah
dadanya, menjilati lehernya.
"Apa ini?"Jemari tangannya berhenti di saku celanaku.
"Permen. Lupa aku kalau aku bawa permen."Segera aku keluarkan permen-permen dari saku celana dan
menaburkannya di tubuh telanjangnya. Tawa genitnya terdengar.
Sambil menelentangkan diri, istri kakak iparku memilih permen kojak dari beragamnya permen yang menumpuk di
atas buah dadanya. Dibukanya permen itu dan dikulumnya. Senang sekali aku melihat cara dia mengemut-emut
permen kojak itu, membuat kontolku senut-senut.
"Hei,"teriak istri kakak iparku karena aku rebut permen kojak dari tangannya.
Istri kakak iparku coba merebutnya kembali, tapi dia membatalkannya karena aku memasukkan permen kojak ke
dalam mulutku. Kembali dia berbaring membelakangiku. Dalam diam, dia mengambil permen lain yang
berhamburan di atas tempat tidur dan membuka bungkusnya. Dengan mengacuhkan aku, dia mengemut
permennya.
Masih tetap mengulum permen kojak, aku menimpakan kaki kananku ke pahanya. Kurapatkan tubuhku. Aku tempel
kontolku dan kutekan ke belahan pantatnya, tapi istri kakak iparku tetap diam menikmati permennya. Aku peluk dia,
dia tetap diam. Aku cium lehernya, dia tetap diam. Maka, aku cabut permen kojak dari mulutku, lalu kuarahkan
permen kojak ke puting susunya. Tetap diam dia ketika permen kojak itu aku tempelkan di puting susunya.
"Puting susu rasa permen,"bisikku di telinganya.
Tetap diam dia. Masih tetap membelakangiku. Masih tetap mengulum permennya.
"Harus diemut dulu untuk membuktikan rasanya, Ceu,"bisikku lagi."Buah dada rasa permen."
Kini permen kojak itu aku oles-oleskan ke lereng gunungnya, tapi kini, meskipun dia masih membelakangi aku, tapi
dari tubuhnya yang bergetar, aku tahu dia sedang menahan tawa. Aku kulum sebentar permen kojak untuk
kemudian kembali aku oles-oleskan ke pusing susunya. Karena getaran tubuh istri kakak iparku makin menguat,
maka aku masukkan permen kojak ke mulut, lalu aku tarik tubuhnya terlentang di tempat tidur.
Buah dadanya meninggi ketika aku mulai menelan puting susunya, mengemutnya. Kemudian mulutku bergerilya,
menjilati lereng gunungnya yang terasa manis.
"Nenennya manis. Rasa permen."Aku pandang dia."Mau tidak kalau memek Eceu diolesi permen juga? Pakai rasa
permen hek."
Dicubitnya aku karena permen hek adalah permen yang rasanya pedas yang dicari orang apabila tenggorokan gatal
akibat batuk.
Aku ambil permen kojak dari mulutku, tapi bibirnya membungkam ketika aku coba memasukkannya ke mulutnya.
Jadi, aku tempelkan saja permen kojak tadi di bibirnya. Selesai mengoles-oleskan permen kojak di bibirnya, aku ambil
bibirnya,.
"Bibirnya rasa permen juga,"ucapku sambil menatap dia."Eceu pakai lipstik apa? Kok ada rasa?"
Terdengar dentang jam tiga kali. Hanya tersenyum dia. Pipiku dielusnya. Maka, kembali aku tempelkan bibirku di
bibirnya. Saling kulum bibir kami, saling emut hangat. Penuh birahi lidah kami bertaut, saling memilin, keluar masuk
mulut kami bergantian.
Aku lepaskan permen kojak dari tanganku. Sambil tetap mencunbui bibir hangat, lembut, dan manis itu, jari-jemariku
menempel di selangkangan, memainkan bulu-bulu kemaluannya dan lubang yang sudah basah itu.
"Ah... uh... ah..."Dari sela-sela bibirnya yang masih aku kulum, terdengar desahannya karena dua jariku, jari telunjuk
dan jari tengah, menusuk maju mundur di dalam lubang kemaluannya.
Desahan itu terhenti karena jari-jariku meninggalkan area kemaluannya. Terlepas bibir kami dan dibiarkannya saat
aku menaiki tubuhnya. Dua pahanya melebar, menyebabkan aku terjatuh di antaranya. Sambil menghalau rambut
panjangnya yang menutupi wajah manisnya, aku cium mata indahnya, mengecup hidung peseknya, dan, terakhir,
kembali mengulum bibir itu.
Sambil mengulum bibirnya, perutku yang menempel di selangkangannya, aku maju mundurkan atau terkadang
memutarinya. Istri kakak iparku menarik aku dan memelukku lebih erat. Dapat aku rasakan kenyal dan hangatnya
buah dada itu saat menempel di tubuhku.
"Eceu,"panggilku setelah melepaskan bibirnya.
Dengan heran, istri kakak iparku menatap aku.
"Aku masukkan, ya?"
"Apanya?"Masih dengan nada heran, dia bertanya kembali.
"Burungnya."
"Memang dari tadi belum masuk?"
"Masih di luar,"ucapku gemas,"Memang Eceu tidak bisa membedakan rasanya?"
Sambil tersenyum menggoda, dia menjawab,"Dari tadi rasanya enak, Amir."
Gemas sekali aku dibuatnya, tapi itulah yang membuat aku tergila-gila dari perempuan mungil ini, selain memeknya
tentu saja. Perempuan ini menyenangkan karena kelakuannya yang tak terduga. Sikap menggodanya itu sungguh
dapat merusak iman. Belum lagi kelakuan jalangnya dalam melayani aku.
Segera aku angkat pantatku. Kontolku aku arahkan mencari lubang kemaluannya.
"Pelan-pelan, Amir,"ingat istri kakak iparku saat kepala kontolku telah menempel di ambang lubang kemaluannya,
"Awalnya memang pelan-pelan, Ceu, tapi, nanti, makin lama makin cepat, ya, "gurauku.
Dicubitnya lenganku manja. Senyumnya membersit, malu-malu. Dan, Aah..., lenguhan keluar dari mulutnya
manakala, dengan perlahan, aku dorong kontolku masuk ke lubang kenikmatan miliknya. Kepalanya mendongak
tinggi dengan mulut menganga kecil, mengeluarkan suara khasnya saat kontolku tenggelam dengan sempurna.
Matanya terpejam menikmati sensasi yang aku tawarkan.
Sambil tetap kontolku menggagahi kemaluannya, aku angkat tinggi dua tangannya dan ketiaknya aku jilati.
Menggeliat istri kakak iparku aku buat. Lalu, aku hisap bola kecoklatan di puncak buah dadanya, aku kulum habis-
habisan. Masih tersisa rasa permen.

IX. Lapangan Terbang


Karena jarum jam hampir menunjuk ke angka setengah empat, maka dengan terburu-buru aku melangkah
menelusuri jerambah, titian jalan dari kayu yang menghubungkan antar rumah sebagai sarana jalan di daerah kami
yang berada di daerah aliran sungai, menuju bagian belakang rumah sang kekasih. Aku ingat, tadi sore, aku sudah
berjanji datang untuk menyatukan diri di atas tempat tidurnya, tapi keinginan tak sesuai dengan kenyataan.
Setiba di belakang rumahnya, seperti biasa, aku mendorong pintu itu dan terbuka. Dengan cepat aku menyelinap
masuk dan menutup kembali pintu.
Belum sempat aku melangkah keluar dari dapur, lampu ruang belakang menyala terang. Kulihat istri kakak iparku
berdiri di depan pintu kamarnya. Bibirnya manyun, tapi tetap cantik. Maka, aku dekati dia dan coba memeluknya,
tapi dia bergerak menghindar. Tatkala aku raih tangannya, ditampiknya tanganku. Wajahnya cemberut, tapi tetap
cantik.
"Eceu marah?”Aku coba membuka pembicaraan.
Tidak ada jawaban. Perempuan mungil itu masih berdiri bersidekap, menjaga jarak denganku. Wajahnya tanpa
senyum, tapi tetap cantik.
“Maaf, Ceu. Aku ketiduran. Capek sekali.”
“Capek melayani Juju?”Ada nada cemburu di suaranya.
Juju adalah istriku, adik kedua dari suami Eceu, kekasihku, istri kakak iparku. Atas kebaikan hati suami Eceu, kami
dipersilakan untuk membangun rumah di tanah milik mereka, sehingga akhirnya aku bertetangga dengan istri kakak
iparku itu dan akhirnya menjadi sepasang kekasih.
“Si Cecep sakit. Dia minta ditemani tidur. Kalau tidak percaya, Eceu tanya langsung sama Juju,"yakinku.
Ada perubahan di wajah itu. Maka segera kulancarkan rayuan khas lelaki bila menginginkan sesuatu.“Yakinlah. Eceu
tetap yang pertama untukku. Bagiku Eceu tuh perempuan terbaik di dunia ini. Lihat saja aku datang, kan?”
Ada kebimbangan di wajahnya. Maka secepatnya rayuan aku hamburkan, “Aku sayang Eceu.”
Dapat kurasakan kalimat sakti itu membawa perubahan. Kuulurkan tangan untuk meraih tangannya. Istri kakak
iparku hanya diam menatap aku yang mencium lembut tangannya.
Lalu, kutarik ia dalam pelukan. Memeluknya erat-erat dan dengan pelan kubisikan,"Maafkan aku sudah membuat
Eceu menunggu."
Maafkan pula aku membohongi Eceu, batinku. Bukan karena Cecep yang sakit. Bukan. Tapi, apa yang diduga istri
kakak iparku itu memang benar adanya. Aku memang ketiduran. Aku ketiduran karena kecapekan setelah melayani
Juju, istriku. Begini ceritanya: tadi, menjelang tutup warung, Cecep dan mimihnya alias istriku, datang ke warung.
Kata istriku, Cecep mau tidur di warung. Meskipun keberatan, aku tidak bisa menolak. Apa kata istriku bila tahu aku
melarang mereka tidur di warung gegara aku hendak mengunjungi kakak iparnya. Lagi pula Cecep sudah biasa tidur
di sini.
Maka, aku segera menutup warung dengan harapan Cecep segera tidur. Biasanya, setelah Cecep tidur, aku akan
membawanya kembali ke rumah. Tempat tidur di warung ini kecil, hanya cukup untuk aku sendiri. Bila Cecep tidur di
sini, aku tidak mendapat ruang untuk berbaring, apalagi ditambah Mimihnya.
Segera aku menyuruh isteriku mengajak Cecep berbaring, biar dia cepat tidur, biar aku bisa menepati janjiku datang
ke rumah istri kakak iparku untuk menikmati hangat tubuhnya. Membayangkan itu, si otong menggeliat. Maka, aku
alihkan pikiranku tentang istri kakak iparku yang pasti sudah bersiap-siap menyambut kedatanganku dengan duduk
di kursi di depan tempat uang untuk menghitung pemasukan uang hari ini. Isteriku bernyanyi kecil sembari
mengipas-ipaskan koran untuk mengatasi panasnya warung. Dan aku terus menghitung uang. Lumayan pemasukan
hari ini.
Selesai aku menyelesaikan menghitung uang, baru aku sadari kalau tidak terdengar lagi suara nyanyian istriku. Saat
aku menoleh, kudapati istriku berbaring membelakangiku, memeluk anaknya yang sepertinya sama tertidur. Daster
istriku naik meninggi, gagal menutupi pahanya, sehingga celana dalamnya mengintip seksi.
Keindahan yang membuat birahi yang sudah bangkit semakin melonjak. Jantung pun berdegub. Kontolku
menggeliat. Jemari ini gatal untuk meremas pantat semok itu. Maka aku bangkit. Aku datangi istriku. Terbangun dia
saat aku sentuh pipinya yang penuh. Seraya mengucek-ucek mata, istriku bertanya,"Ada apa, Bang?"
"Geser ke dalam dikit. Nanti jatuh,"alasanku.
Istriku mendorong pelan Cecep lebih ke dalam. Dia bergeser kala aku duduk dipinggir tempat tidur. Menelentang dia
dan, dengan koran, dikipas-kipasnya wajahnya.
"Panas malam ini, ya?"Aku hapus keringat yang bertabur di pucuk hidungnya.
Tetap berkipas istriku walaupun tanganku mulai menjamah buah dadanya yang masih berada dibalik dasternya,
masih bersembunyi didalam beha.
"Ada Cecep, Bang,"ucapnya tatkala tanganku berusaha masuk ke dalam daster untuk mencapai selangkangannya.
Aku batalkan niatku. Berdiri aku. Kuambil kain sarung yang tergantung di kepala tempat tidur. Dengan kain sarung di
tangan, aku tuju bagian depan warung. Dibalik lemari kaca yang penuh berisi barang jualan, aku tebar sarung di
lantai. Setelah kuanggap rapi, aku panggil istriku untuk mendekat.
Juju, setelah memasang bantal di sisi-sisi tempat tidur untuk mengantisipasi agar anak kami tidak terguling jatuh,
segera mendatangi aku. Melotot matanya mendapati aku yang sudah berbaring polos tanpa pakaian. Kubuka dua
tanganku untuk menyambut kedatangannya dalam pelukanku, tetapi, dengan senyum mengembang, istriku berlutut
di disampingku, tepat didepan selangkanganku.
"Nakal."Ditepuknya pelan batang kontolku yang berdiri gagah itu.
"Buka dasternya, Ju,"perintahku pada Juju.
Daster pun terlepas. Mataku tertuju ke arah buah dadanya yang sesak memenuhi beha. Sambil tersenyum-senyum,
Juju meneruskan membuka behanya dan dua pepaya itu menjatuh di depanku. Puting susunya besar dan panjang
dengan lingkaran coklat tua hampir memenuhi buah dadanya. Dia membusungkan dadanya karena dia faham kalau
aku, suaminya, menyukai buah dada-buah dada miliknya. Dia goyang-goyangkan buah dada-buah dadanya untuk
mengundang tanganku menjamahnya. Tapi, aku mengabaikannya. Aku sentuh celana dalamnya, isyarat aku
menginginkan dia cepat telanjang.
Di atas dengkulnya, istriku berdiri dan lalu menurunkan celana dalamnya. Membesar mataku melihat selangkangan
yang hitam dipenuhi bulu-bulu jembut itu. Berbeda dengan istri kakak iparku yang rajin merapikan bulu-bulu di
kemaluannya, istriku membiarkan bulu-bulu jembutnya memanjang sehingga sering aku tersedak bulu jembutnya
saat aku mengoral kemaluannya.
Juju mendekati aku. Digenggamnya kontolku. Istriku mulai mengocoknya. Dielusnya kepala kontolku. Ingat aku
dengan janjiku kepada istri kakak iparku untuk mendatanginya, tapi biarlah istri kakak iparku menunggu sebentar.
Biar lubang yang ada dihadapanku ini dulu aku manfaatkan. Hihihi...
Ada kehangatan yang aku rasa ketika kontolku dimasukkannya ke dalam mulutnya. Sekujur tubuh aku merinding
jadinya begitu mulutnya maju mundur menelan kontolku atau ketika mulai disedot-sedotnya.
Kontolku yang berada dalam mulut itu mulai berdenyut-denyut. Maka, kutahan laju mulutnya dan aku dorong
kepalanya menjauh, sehingga kontolku lepas dari mulutnya. Istriku tegak bersimpuh. Dengan telapak tangannya, dia
mengelap bibirnya yang basah akibat mengoral kontolku.
Bangun aku dan duduk. Aku beri isyarat pada istriku untuk menaiki aku. Memberat tubuhku saat tubuh semok istriku
duduk dipangkuanku. Aku ambil dua pepaya itu dan meremasnya, memainkan puting susunya yang besar dan
panjang. Istriku meletakkan dua tangannya ke pundakku, lalu dia mendekatkan wajahnya ke wajahku. Kusambut
bibirnya yang mendekat. Seiring kian hangatnya ciuman kami, kepala kami yang menyatu bergerak seirama, begitu
pula tangan-tangan kami yang saling meraba areal sensitif di tubuh kami.
Sambil tetap mengulum bibirnya, aku lingkarkan dua tanganku ke tubuh semok itu. Istriku pun melingkarkan
tangannya di leherku dan tubuh kami merapat. Buah dadanya yang penuh membusung melekat hangat. Aku alihkan
bibirku untuk menciumi lehernya. Terdengar lenguhan istriku.
Kuraih pantat montok istriku yang mendudukiku, menduduki kontolku, lalu aku gerakkan pantat itu maju mundur
dan terkadang memutar. Aku lepaskan ciumanku di lehernya. Kudorong tubuhnya lepas dari pelukanku dan
kupandang dia, kuremas buah dadanya. Istriku balas memandang aku, mulutnya membuka memperdengarkan
lenguhannya, pantatnya tetap maju mundur, dan aku menikmatinya.
Istriku menghentikan gerakan maju mundur pantatnya. Dia ambil kontolku, lalu ditempelkannya di lubang
kemaluannya. Terpejam matanya tatkala pantatnya maju untuk menelan kontolku. Tangan istriku berpegangan di
pundakku ketika dia memajumundurkan pantatnya untuk terus menenggelamkan kontolku.
Selama istriku menggagahi aku, jari-jemariku terus bergerilya mengelus sisi-sisi sensitif tubuhnya, meremas buah
dada-buah dadanya, membelai bibirnya yang mendesah, menggelitiki dua telinganya, atau meremas pantatnya yang
seksi itu.
Kini aku berbaring. Istriku masih menunggangiku. Pantatnya tetap maju mundur menelan kontolku sementara dua
tangannya bertumpu di dadaku. Menarik sekali dua buah pepaya miliknya yang bergoyang-goyang indah didepanku
itu. Aku raih dan kumainkan puting-puting susunya.
Kontolku kembali berdenyut-denyut. Maka, aku hentikan gerakkan istriku. Berbaring dia dan memeluk aku erat.
Detak jantungnya bermain di dadaku. Menempel keringatnya di tubuhku. Aku elus rambut ikalnya, aku elus pula
punggungnya yang sama basah untuk terus turun menuju pantat semoknya dan mengelusnya, meremasnya.
Kemudian, kedua belahan pantat itu aku cengkeram. Lenguhan terdengar ketika pantat yang berada dalam
genggamanku itu aku putar searah jarum jam dengan kontolku sebagai pusat perputaran. Ketika aku menusuk-
nusukkan kontolku di lubang kemaluannya, tubuh istriku mengejang, pantatnya keras melawan tusukan kontolku.
Lenguhan pun berganti desahan.
Dengan istriku masih menindihku, aku bangkit dan duduk. Kurebahkan dia di lantai warung yang berselimut sehelai
kain sarung. Kubuka dua pahanya yang gemuk melebar. Mataku menatap kelaminnya yang menggunung, area
kelamin yang penuh dengan bulu-bulu hitam ikal. Tersentak istriku ketika aku sentuh area sensitif itu. Aku kuakkan
labia mayoranya sehingga lubang kemaluannya terlihat dan aku tempelkan kepala kontolku. Terangkat pantat itu,
membuat kepala kontolku terperosok masuk. Melenguh istriku.
Pinggangnya aku pegang, lalu dengan pelan-pelan aku tusukkan lebih dalam kontolku. Sambil memajumundurkan
kontolku, aku remas buah dada montoknya. Megap-megap istriku dan aku terus saja menyetubuhinya. Terbakar
birahi ini melihat wajah memelas istriku karena sodokan kontolku di lubang kemaluannya. Wajah itu penuh dengan
keringat.
Saat kontolku kembali berdenyut, aku tindih dua pahanya. Aku percepat seranganku pada lubang kemaluannya yang
membuat istri bergerak liar. Karena denyutan di kontolku semakin cepat, gerakanku pun menjadi sama liar. Napasku
bersaing dengan desahannya.
Tubuhku menegang. Kunikmati irama aliran sperma didalam batang kontolku. Akhirnya, beberapa kali spermaku
menyemprot untuk mengisi lubang kemaluan istriku. Warung menjadi hening. Hanya terdengar deru nafas kami
yang berlomba.
Setelah sperma berhenti memancar, kontolku aku cabut dan aku duduk bersimpuh di antara dua kakinya yang masih
membuka lebar. Ada cairan putih keluar dari lubang kemaluannya. Istriku mengambil dasternya untuk mengelap
tubuhnya yang basah. Aku pun membantunya untuk mengelap buah dadanya. Terkikik dia karena aku menggelitiki
puting susunya.
Duduk istriku. Sekarang dia yang mengelapi tubuhku. Kumajukan kontolku agar dia juga mengeringkannya. Istriku
hanya tertawa, tapi tidak menyentuhnya. Lalu, bibir kami kembali bertemu. Terputus-putus ciuman kami, tapi
menggairahkan. Dileletkannya lidahnya dan aku sambut. Lidahnya aku sedot masuk ke dalam mulutku, bermain-
main dengan lidahku dan kembali lidah kami saling mengulum. Berulang-ulang.
Istriku menarik lepas bibirku."Panas."
Aku ambil kardus kosong dari dalam lemari kaca dan aku kipas-kipas ke tubuh istriku. Istriku tertawa manakala aku
kipas kemaluannya yang belum tertutup. Lalu, dengan jemarinya, dia menutupi kemaluannya, tapi aku tetap
mengipasinya.
"Jangan dikipasi terus, Bang. Itu kan bukan sate,"candanya.
Istriku meminta air minum. Maka aku kembali berdiri. Dengan tubuh telanjang, aku berjalan mendekati tempat tidur
karena tempat air minum berada di sana. Cecep masih tertidur. Untung ada kipas angin kecil yang membuatnya tidak
kepanasan. Dia kini mengipasi tubuh telanjangnya. Masih ada keringat di beberapa lekuk tubuhnya. Istriku meneguk
air dari gelas yang aku berikan. Setelah istriku selesai minum, gantian aku yang menghabiskannya.
"Juju mau tidur di sini atau pulang ke rumah?"tawarku.
"Jam berapa kini?"
Aku menengok jam tanganku."Jam dua belas lewat."
"Pulang saja, ya,"jawab Juju.
Tanpa memperlihatkan rasa gembira, aku berdiri. Tapi, terdengar istriku tawanya.
"Kenapa tertawa?"tanyaku heran."Ada yang lucu?"
"Itu. Burung Abang."Istriku menunjuk ke arah selangkanganku."Loyo."
Kontolku aku pegang dan kuacungkan ke arahnya. Lalu,"Kalau bangun terus, Juju nanti yang kewalahan."
Istriku kembali tertawa. Ditutupnya mulutnya agar tidak terdengar keras. Lalu, setelah tawanya reda, ia berkata,"Iya
juga, sih. Kalau bangun terus, pasti Abang minta jatah terus."
Teringat kepada istri kakak iparku yang pasti sudah menunggu kedatanganku, maka kuambil pakaian yang berserak
didekat kami. Kami berbagi pakaian dan mengenakannya.
"Behanya tidak usah dipakai, Ju,"cegahku saat istriku mulai menutupi buah dada-buah dada montoknya yang penuh
bercak-bercak merah di sekelilingnya.
"Tidak enak, Bang. Risih,"jawabnya, tapi dia membatalkan memasang behanya.
"Kolor juga tidak usah,"kataku lagi manakala kaki kirinya mulai masuk ke celana dalamnya.
"Terus?"Dengan kesal dia menatap aku."Juju tidak boleh pakai baju juga?"
"Kalau baju, diperbolehkan, Sayang,"ucapku dengan nada merayu."Nanti kalau dilihat orang, beruntung sekali orang
itu."
Tanpa beha dan celana dalam, Juju mengenakan dasternya. Buah dadanya yang jumbo melorot ke bawah,
membentuk dibalik dasternya.
"Tuh, kan, seksi 'kan,"ujarku lagi."Ada pepaya di balik daster Juju."
Tertawa dia. Dadanya dibusungkannya, bangga dengan pujian dariku.
"Mau pulang tidak?"tanyaku.
"Iya."
"Aku bawa Cecep, Juju yang kunci warung,"perintahku sambil mendekati tempat tidur.
Setelah membopong Cecep, kami pun keluar dari warung. Istriku mengunci pintu warung. Lalu, kami berjalan
menelusuri jerambah, jalan gantung yang terbuat dari kayu, untuk sampai di rumah.
"Aku didepan, Bang. Takut."Istriku mendahului aku.
"Ada aku, suamimu, kok, masih takut,"ujarku sambil menendang pelan pantat montoknya dengan dengkulku.
"Abang, i-ih..."Istriku mencubit mesra lenganku.
Sambil tertawa aku herucap,"Ayo jalan. Kapan sampai kalau main-main terus."
"Abang tuh yang nakal."Istriku kembali berjalan dan aku mengiringi langkahnya. Pantat montoknya bergoyang ke kiri
dan ke kanan.
Akhirnya kami tiba didepan rumah. Rumah sudah gelap ketika istriku membuka pintu. Anak-anak pasti sudah tidur.
Pelan kami berjalan menuju kamar tidur yang berada di belakang. Setelah menaruh Cecep di tempat tidur, aku
berbaring disampingnya.
"Antar pipis, Bang."Istriku menarik kakiku.
Duduk aku dipinggir tempat tidur."Biasanya juga pipis sendiri."
"Mumpung ada suami di rumah, boleh dong bermanja-manja."Istriku memeluk lenganku. Kenyal buah dadanya
menempel, membuat jantung bergetar keras. Si otong pun bangkit kembali, tapi aku mengabaikannya karena ada
istri kakak iparku yang menunggu giliran di rumah sebelah. Kalau aku forsir untuk kedua kalinya dengan istriku, aku
takut tidak sanggup lagi membangunkan kontolku dihadapan sang kekasih.
"Juju pipis sendirilah. Aku jaga Cecep di sini. Takut bangun dia,"itu alasanku sambil merebahkan diri di tempat tidur,
disamping Cecep.
Istriku menghilang dan semua menjadi gelap.
Dimana aku? Bingung aku tatkala pandanganku menggelap. Sambil mengerjap-mengerjapkan mata untuk
beradaptasi dengan remangnya suasana, aku coba mengingat-ingat. Ada seseorang berbaring disampingku. Siapa
dia?
Akhirnya pikiranku kembali. Ternyata aku masih bersama istriku. Rupanya aku tertidur.
Hei! Bukankah aku harus mengunjungi sang kekasih, istri kakak iparku? Maka, kupaksakan diri ini bangkit. Pelan-
pelan aku turun dan menghidupkan lampu.
"Aku harus ke warung, Ju,"ucapku pada istriku yang terbangun.
Juju mengangguk untuk kembali memejamkan mata.
Dan sekarang aku sudah berada di sini, dalam kehangatan pelukan sang kekasih. Aku cium pipinya. Belum sempat
aku mengejar bibirnya, perempuan mungil itu mendorong aku menjauh.
“Hampir subuh,"ucap istri kakak iparku.
Kutatap wajahnya tidak mengerti.
“Sebentar lagi subuh,” ucapnya lagi.
Aku tahu kalau waktu subuh sebentar lagi masuk, tapi, masih ada waktu untuk sekedar membuang sperma ke lubang
miliknya. Karena itu kutarik dia menuju kamar tidur, tapi istri kakak iparku menahan langkah kakinya.
"Hampir Subuh, Amir,"Dia menolak ajakanku.
Terdiam aku menatap dia yang berdiri di ruang belakang rumahnya. Tapi, tiba-tiba perempuan mungil itu
menggelosor di lantai. Duduk dia di lantai kayu. Ditariknya tanganku. Meskipun bingung, akhirnya aku ikut lesehan di
lantai.
“Cepat, Amir,”sambil berucap, perempuan mungil itu rebah di lantai dengan tanpa alas. Dasternya ditariknya ke atas
sehingga celana dalamnya terlihat. Dua pahanya yang putih susu terlipat, mengangkang.
Mata ini meliar. Spontan mulut ini menuju ke selangkangan itu, hendak mencecapi lubang bersemak itu, seperti yang
biasa kulakukan, tapi, tangan istri kakak iparku menahannya, membuat aku menegakkan kembali kepalaku menjauhi
selangkangannya.
“Sebentar lagi subuh.”Dengan bergegas dia menarik turun celana dalam yang dia kenakan.
Aku bersimpuh bengong, tidak memahami apa maunya perempuan mungil itu.
"Amir! Hampir Subuh,"suara itu menyadarkan aku.
Begitu istri kakak iparku membuka lebar dua pahanya, sehingga memperlihatkan belahan memanjang yang tertutupi
bulu-bulu halus itu, baru faham aku kalau dia ingin secepatnya aku setubuhi. Tidak mau mengecewakannya, maka
aku keluarkan kontolku dari dalam celana dalam, lalu aku bergerak masuk di antara dua paha itu. Perempuan mungil
itu menyambut kedatanganku. Jemari lentik itu meraih kontolku, mengarahkannya ke lubang miliknya.
Begitu senjataku menempel di lubang kemaluannya, aku pegang dua pahanya, melebarkannya. Pelan-pelan aku
majukan pantatku sehingga senjataku masuk ke lubang itu.
"Cepat, Amir,"ujar istri kakak iparku setelah senjataku tertanam dalam.
Kulihat dia menggigit bibirnya, wajahnya meringis karena senjataku yang menusuki kemaluannya. Perlahan aku
rasakan gerak kontolku melancar seiring basahnya lubang kemaluan itu. Dua mata itu tertutup. Bibirnya setengah
membuka, memperdengarkan irama dengus birahinya, membuat aku tambah semangat menggerakkan kontolku
maju mundur, hingga akhirnya sperma muncrat dari kontolku.
Gerakan pantatku melambat hingga akhirnya berhenti dan aku membaringkan diri di atas tubuhnya di antara dua
paha yang masih mengangkang. Napas istri kakak iparku yang terengah-engah terasa indah di telingaku.
"Turun, Amir."Tubuhku terdorong turun dari atas tubuhnya.
Terbaring aku di lantai kayu, menatap heran istri kakak iparku yang duduk merapikan dasternya. Dimana
kebersamaan kami yang maha singkat tadi?
“Cepat masukkan burungnya,”ujarnya sambil berdiri.“Nanti suamiku datang.”
”Belum puas, Ceu.”Kucengkeram tangannya.
Perempuan mungil itu menarik lepas tangannya.“Salah sendiri kenapa datang terlambat.”
Terburu-buru aku merapikan celanaku karena istri kakak iparku sudah menunggu di pintu keluar. Setiba
disampingnya, karena suasana luar rumah masih gelap dan sepi, kubawa dia keluar dari dapurnya dan kubawa dalam
dekapan.
Dengan menghindari bibirku yang berusaha mencari bibirnya, istri kakak iparku melepaskan diri dari pelukanku.
Lalu,“Pulanglah. Nanti ada yang lihat.”
Aku pun mengalah. Kulepaskan dia, tapi, aku pegang tangannya dan kutatap dia.”Nanti siang jam sepuluh, kutunggu
di tempat biasa."
“Cepat! Sudah pengajian,” ujarnya sebab dari kejauhan terdengar lantunan ayat Al Quran.
“Aku tunggu!”Tanpa menunggu persetujuannya, aku menembus gelapnya subuh.
Dan siangnya, sesuai janji subuh itu, kami bertemu di Terminal Ampera. Ini memang modus yang telah kami sepakati
untuk mengantisipasi kecurigaan para tetangga. Kami akan pergi sendiri-sendiri dari rumah dan akan bertemu di
tempat yang telah ditetapkan, yaitu di sini, di Terminal Ampera. Ingat! Ini Palembang di tahun tujuh puluhan dimana
terminal induk terpusat di Terminal Ampera yang becek, berlubang, dan bercampur dengan aneka pedagang. Kini,
Terminal Ampera yang berada di kolong Jembatan Ampera telah berubah menjadi tempat wisata.
Dari Terminal Ampera, dengan angkutan umum, kami melaju ke arah Talang Betutu. Transportasi Palembang di
tahun tujuh puluhan akhir masih lengang sehingga laju mobil begitu lancar. Sekitar dua puluh menit kemudian kami
turun. Setelah menapak jalan yang belum beraspal dan sepi dari bangunan rumah, dengan menggendong Dadan,
anaknya, kami melewati jalan setapak di antara pohon-pohon karet.
Akhirnya kami tiba di tempat tujuan. Lengang. Hanya jerit unggas yang terdengar. Tumben tempat ini sepi. Oh ya,
sebelumnya kami sudah pernah kemari dan biasanya tempat ini ramai dengan pasangan yang sedang di mabuk
asmara. Di sini tiap pasangan bebas mengekspresikan cinta mereka dengan gaya masing-masing. Sedang kami, tahu
diri dengan umur kami, hanya duduk-duduk mengobrol atau menonton perilaku pasangan-pasangan muda yang ada
disekitar kami.
Setelah menurunkan Dadan yang sedari tadi kudukung, aku menuju barisan pohon besar dan rimbun yang berada di
sudut terhalang semak-semak. Teduh tempatnya dan rumputnya tumbuh merata. Kuedarkan pandangan ke setiap
sudut untuk memastikan tidak adanya kehadiran orang lain disekitar kami. Setelah yakin tempatnya aman, maka
kupanggil perempuan mungil itu mendekat.
Dengan menuntun anaknya, istri kakak iparku mendekat. Setelah berdiri disampingku, matanya menatap berkeliling.
“Kok sepi, ya?”Terdengar nada khawatir di suaranya.
“Kebetulan saja, Ceu,”jawabku, coba memenangkannya."Sekarang 'kan bukan hari libur, jadi tidak ada yang datang
kemari."
Mengabaikan kekhawatirannya, aku ambil tas yang sedari tadi dibawa oleh istri kakak iparku. Dari tas itu, aku
keluarkan selembar plastik. Setelah mengembalikan kembali tas ke pemiliknya, aku lebarkan lipatan plastik itu dan
menebarnya di rerumputan.
"Silakan duduk, Tuan Putri."Bak seorang pangeran, aku persilakan dia duduk.
Dadan, anak lelakinya yang berusia enam tahun, duduk. Istri kakak iparku pun ikut duduk dan aku memilih duduk
disampingnya. Di atas hamparan plastik itu hanya ada aku, perempuan mungil yang duduk disampingku, dan anak
kecil lugu serta suasana sepi yang mengundang.
Dari dalam tas, istri kakak iparku mengeluarkan dua asoy hitam, sebutan untuk tas kresek di Palembang, dan
menaruhnya didepan kami. Saat istri kakak iparku membuka asoy hitam yang paling besar, aku pun membantu
membuka asoy hitam satunya dan aku keluarkan isinya. Bersemangat sekali anak kecil itu memunguti beragam
permen yang aku sebar di depannya di atas hamparan plastik. Kemudian menyusul istri kakak iparku
membukalebarkan asoy hitamnya. Isinya roti-roti dan kudapan dalam bungkus plastik yang kami beli saat masih
berada di Terminal Ampera.
"Dadan mau kue yang mana?"tawarnya pada anaknya yang sedari tadi mengintai.
Istri kakak iparku mengambil satu bungkus roti coklat yang ditunjuk oleh anaknya. Setelah merobek plastik
pembungkusnya, dia memberikan roti coklat itu kepada anaknya. Dadan segera melahap roti coklat itu. Kelaparan
dia karena jam tanganku sudah menunjuk ke angka sebelas. Aku pun mengambil satu dan merobek plastik
pembungkusnya. Dibawah tatapan anak kecil itu, kubawa roti yang aku pegang mendekat ke mulut istri kakak iparku.
Disambutnya roti yang aku sodorkan. Digigitnya roti itu. Gantian istri kakak iparku yang menyuapkan roti ke mulutku,
lalu dia pun menyuapkan roti ke mulut anaknya.
Dari dalam asoy yang sama, aku ambil satu kaleng minuman, membukanya, dan meminumnya, lalu aku berikan
kepada Dadan. Kemudian, kuambil satu lagi kaleng minuman, kubuka, dan kuserahkan ke sang kekasih. Dari satu
kaleng minuman yang sama, bergantian kami menyeruput isinya. Romantis.
Matahari yang terik, tanpa awan di langit, pasti membuat orang malas untuk beraktivitas di luar rumah. Untungnya,
hamparan plastik yang kami duduki terhalang oleh bayangan rimbunnya pepohonan yang berdiri dibelakang kami.
Tersembunyi dibalik semak-semak rimbun, sambil menikmati kudapan dan minuman, duduk kami kian merapat.
Tanganku melingkar melewati pinggangnya, berlabuh di pahanya, sedangkan tangannya pun jatuh di pahaku.
Bersembunyi dari pandangan anak kecil itu, aku ambil kesempatan untuk menempelkan bibirku ke bibirnya.
Meskipun awalnya malu bercampur takut, akhirnya istri kakak iparku membalasnya. Sekilas-sekilas, tapi sering dan
kian panas ciuman kami. Dadan hanya tertawa saat tanpa sengaja mendapati bibir kami saling merapat. Birahi yang
tak tuntas semalam kembali membara.
Hari ini dia mengenakan pakaian yang di era tujuh puluhan sedang trend, rok di atas lutut, sehingga kakinya yang dia
selonjorkan memanjang terlihat begitu menarik untuk aku elus. Untuk menutupi tangan nakalku yang mengelus
paha putih mulusnya dari pandangan anaknya, perempuan mungil itu menaruh tas di atas paha. Maka, dengan
mudah jemariku masuk untuk menyentuh kemaluannya.
"Geli,"ucapnya pelan kala jemari tanganku mengutili bagian tengah celana dalamnya.
“Sudah becek,”godaku di telinganya.
"Mimih,"panggil Dadan.
“Ada apa?”Dengan wajah tak bersalah, istri kakak iparku yang rebah dalam pelukanku menanggapi anaknya.
“Haus.”Dadan duduk di dekat kami, mengambil botol air minum dan meminumnya.
Setelah minum, Dadan kembali tenggelam dalam kudapannya dan kembali pula aku menggerayangi selangkangan
itu. Jari-jemariku menyelinap masuk ke celana dalamnya, untuk memainkan belahan memanjang yang ada di sana.
Bulu-bulu jembutnya yang pendek-pendek, tajam mengenai jemariku.
Terdengar lenguhannya akibat klitorisnya aku sentuh dan aku tekan-tekan lembut. Tubuhnya melentik. Kepalanya
jatuh di pundakku. Maka, segera kuambil bibirnya. Dengan penuh nafsu, perempuan mungil itu membalas
kulumanku di bibirnya. Kusambut lidahnya yang menjulur itu. Kusedot lidahnya masuk ke mulutku dan lidah kami
pun saling pilin.
Buah dadanya masih aman berada dalam tempatnya. Adalah kebiasaan istri kakak iparku untuk menyumpalkan
handuk kecil di balik behanya. Barangkali agar buah dadanya yang ranum dan mengkal itu terlihat lebih menonjol.
Aku memang tidak menyentuh buah dadanya karena aku tidak mau menyakiti perasannya. Aku berpura-pura saja
tidak mengetahui kebiasaannya itu. Bibirnya aku lepaskan.
“Mau apa?”Dia protes saat kupaksa dia bersimpuh.
Kelabakan dia jadinya saat aku dorong dia menungging. Ditaruhnya dua tangannya di tanah untuk menyanggah
tubuhnya. Kini aku bersimpuh dibelakangnya, mendekati pantatnya yang masih tersimpan dibalik rok mininya.

“Nanti ada yang lihat!”ujarnya lagi begitu tanganku masuk ke dalam rok dan menarik turun celana dalam itu.
"Amiir..."rengeknya.
"Diam, Ceu. Nanti Dadan dengar,"ucapku sambil menempelkan senjataku di belahan pantatnya.
Tanpa perlawanan, dia buka lebar pahanya untuk mempermudahkan aku menusukkan senjata ke lubang
kemaluannya yang sudah basah itu dan,"Ah! Amir."
Pinggangnya aku pegang. Pelan-pelan kugenjot kemaluannya, maju dan mundur. Desahannya terdengar pelan.
Sepertinya dia sengaja meredam desahannya agar tidak menyebar jauh.
"Mimih!"teriakan Dadan membuyarkan konsentrasi kami.
Dengan segera kucabut senjataku dari alat kelaminnya. Cepat-cepat aku masukkan kontol ke dalam celana dalam.
Sambil merapikan celana, kuarahkan pandangan. Begitu pula istri kakak iparku yang merapikan roknya, matanya pun
beredar menatap sekitar kami yang tetap sepi. Tapi, tidak terlihat satu pun batang hidung orang.
Dadan berlari menjauhi kami, menuju pagar kawat."Pesawat terbang!"
Lemas istri kakak iparku duduk. Demikian juga aku yang ikut terduduk di hamparan plastik itu. Detak jantungku yang
tak karuan, seperti hendak lepas dari tempatnya. Kami bertatap, menghela napas lega, lantas tersenyum. Istri kakak
iparku memegang dadanya, seperti hendak menenangkan jantungnya yang pasti sama berdetak tidak karuan.
Maka, kuambilnya botol air minum yang menggeletak di dekat asoy makanan dan kuanjurkan istri kakak iparku
untuk minum. Aku biarkan dia meneguk air minum itu untuk menenangkan diri. Setelah itu, giliran aku yang
meminumnya. Tapi, belum sempat aku menaruh kembali botol air minum, di buat heran aku dengan kelakuan istri
kakak iparku yang celingak-celinguk seperti ketakutan dan lalu senyumku terbit melihat dia mengambil celana dalam
yang masih menyangkut di kakinya. Secepatnya dia menyimpannya di dalam tasnya.
Sialan budak kecik tu, gumamku kesal sembari menatap Dadan yang hilir mudik didekat pagar kawat. Kukira ada
orang yang mengetahui keberadaan kami dan datang untuk menggerebek. Rupanya hanya pesawat terbang yang
akan berangkat. Oh ya, tempat kencan kami ini memang berada di luar areal bandar udara Talang Betutu. Sekarang
Bandar Udara Talang Betutu menjadi menjadi milik Angkatan Udara Republik Indonesia. Pemisah antara kami
dengan lokasi bandara adalah pagar kawat setinggi enam meteran.
Kupanjangkan kaki-kakiku ke depan sementara istri kakak iparku melipat kedua kakinya dibawah rok. Aku bergeser,
merapat kembali kepadanya. Aku ambil jemari tangannya dan aku remas pelan. Sayangnya istri kakak iparku tidak
membalas meremas jemariku. Dalam diam, bersama-sama kami menikmati birunya langit hari ini, arakan-arakan
awan yang melewati kami, dan menonton Dadan yang masih menunggu pesawat terbang sambil bergelantungan di
pagar kawat pembatas.
Lalu,“Burungku bangun, Ceu?"
"Kok bisa?"
"Ya, bisalah. Kan dekat dengan Eceu."
"Gombal..."
"Ini kalau tidak percaya."Aku keluarkan senjataku dari dalam celana dalam.
"Nanti ada orang, Amir,"tukas istri kakak iparku sambil kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan.
"Kan ada Dadan yang menjadi penjaga."Dengan bibirku, aku menunjuk Dadan yang masih berdiri berpegangan pada
kawat pembatas.
"Dadan itu masih kecil, Amiir,"kesal istri kakak iparku mencubit pahaku dan aku hanya tertawa.
"Cepat disimpan burungnya. Nanti dilihat Dadan,"ucapnya lagi saat mendapati kontolku yang memang tidak aku
kembalikan ke dalam celana dalam.
"Burungnya ingin masuk ke sarangnya lagi, Ceu,"bisikku di telinganya,"Tadi terganggu gara-gara kapal terbang."
Melengos istri kakak iparku.
"Aman, kan?"gurauku saat mata istri kakak iparku selesai bergerilya memantau keamanan sekitar kami.
"Nanti ada orang, Amir,"ucapnya saat kutarik wajahnya mendongak, tapi dibiarkannya aku mengambil bibirnya. Buas
dia membalas kulumanku. Desahan keluar tertahan-tahan akibat bibirnya masih masih menyatu dengan bibirku,
sementara jari-jari masuk ke dalam rok, meraba pahanya yang segera melebar kala jemariku meraih lubang
bersemak yang hangat dan lembut itu.
Akhirnya, dengan bibir tetap menyatu hangat, kudorong tubuhnya rebah di atas hamparan plastik. Kutimpakan
tubuhku untuk menindih dia. Sebelum istri kakak iparku memprotesnya, aku pegang kepalanya dan kuhujani pipinya
dengan ciumanku.
Ciumanku terhenti karena Dadan duduk disamping kami. Sambil memegang kaleng minuman, dia memandang kami.
Aku tatap istri kakak iparku yang terbaring aku tindih dan dia pun menatap aku, tapi dia tidak hendak membuatku
turun dari menindihnya. Maka, dua tanganku aku taruh di samping tubuhnya. Aku angkat tubuhku tinggi
meninggalkan tubuhnya, tapi tidak selangkangannya. Kontolku merangsek masuk di antara dua pahanya. Kusibak
roknya. Kurasakan kulit kemaluannya yang hangat dan lembut, sekaligus juga bulu-bulu jembutnya yang kasar, saat
kontolku menempel. Sambil menatap dia yang aku tindih, aku gesek-gesekan kontolku di belahan memanjang di
selangkangannya, maju mundur. Melotot mata istri kakak iparku jadinya, tapi dia tidak memprotesnya. Karena
kontolku telah berada di dalam belahan memanjang itu, aku angkat sedikit pantatku dan istri kakak iparku menjengit
ketika kepala kontolku tiba di ambang lubang di selangkangan itu.
Saat aku benamkan kontolku, jari-jari istri kakak iparku mencengkeram tanganku dan dia melenguh panjang."Ahh...."
Sambil tetap memajumundurkan kontolku di dalam lubang kemaluannya, aku menatap dia dan istri kakak iparku
balik menatap aku. Mulutnya membuka, tapi tak terdengar desahannya. Mata itu melotot.
Seperti tidak mau mengganggu kami, Dadan akhirnya ikut berbaring disamping kami. Sambil tetap melihat ke arah
kami, matanya mulai terpejam. Kaleng minuman yang dia pegang, agar tidak tumpah, aku ambil.
Dan, akhirnya, dibawah bayangan langit biru cerah, diiringi hembusan angin, tubuh kami menyatu. Tersembunyi di
balik semak-semak, aku hujamkan kontolku maju mundur. Dengusnya terdengar berirama di telingaku. Birahi yang
tertinggal semalam kami hamburkan saat ini.
“Mau kemana?”istri kakak iparku bertanya bingung kala aku tarik dia berdiri.
Sambil menurunkan roknya yang tersingkap, mata istri kakak iparku menyebar ke setiap sudut untuk memastikan
tidak ada mata yang melihatnya.
"Kita lihat kapal terbang, Ceu,"sambil tersenyum, sambil merengkuh tubuhnya, aku berucap.
“Jangan gila, Amir,”ucapnya panik.
Aku, yang sudah terbenam dalam birahi, karena istri kakak iparku terus melawan, mengangkat tubuh mungilnya,
membopongnya. Terhalang celana yang menyangkut di lututku, dengan hati-hati aku melangkah karena istri kakak
iparku ribut didalam gendonganku. Sesampai didepan pagar kawat pembatas bandara, aku turunkan dia.
“Nanti ada yang lihat, Amir,” ujarnya ketakutan.
Sebenarnya aku pun takut. Tapi, birahi ini membutakan aku. Semoga saja tidak ada yang lihat, batinku saat ada
pesawat yang melaju didepan kami.
Berjongkok aku di depannya. Kaki kirinya aku angkat meninggi, lalu kepalaku bermain di selangkangannya. Ada
desahan terdengar kala kemaluannya aku jilati. Jemari tangannya menjambak rambutku. Dengan lidahku, aku tusuk-
tusuki lubang kemaluannya. Desahannya lebih kuat terdengar."Ah...ah...ah..."
Selangkangan itu aku tinggalkan. Aku berdiri sementara istri kakak iparku menurunkan kaki kirinya, ikut berdiri
sembari menutupi selangkangannya dengan roknya. Kupegang kontolku yang panjang menegang. Roknya kutarik
meninggi dan kudatangi selangkangannya. Kembali aku angkat paha kirinya dan tangannya mencengkeram erat pada
kawat pembatas. Kupendekkan dua kakiku agar tinggiku seimbang dengan lubang kemaluannya. Menyeringai dia
kala aku tusukkan kontolku ke lubang kenikmatan miliknya. Terdengar lenguhan panjang ketika kontolku memutari
lubang yang membasah itu. Berjinjit kakinya agar kontolku tidak terlepas saat aku meninggi. Masih dalam posisi
berdiri berhadap-hadapan, kudesak-desakkan kontolku ke kemaluannnya. Istriku kian kuat berpegangan pada kawat
pembatas. Desahannya pun kian keras terdengar.
"Ahh!"Terdengar keras desahan ketika aku tarik lepas kontolku dari lubang kemaluan milik istri kakak iparku. Hampir
terjatuh dia. Lemah tubuhnya bergayut di kawat pembatas. Cepat aku membalikkan dia membelakangi aku.
Kudorong istri kakak iparku merunduk. Dua kakinya dilebarkannya dan dua tangannya berpegangan pada pagar
kawat. Sambil menepuk pantat itu, aku selipkan kontolku ke belahan pantatnya.
“Ah...,”desahan panjang keluar dari mulutnya kala senjata itu menyelinap masuk ke lubang kemaluannya.
Kontolku maju mundur di dalam lubang kemaluannya dan desahannya terdengar keras. A-ha! Sudah lupa kekasihku
ini kalau kami sedang berada di luar ruangan, sudah lupa dia kalau peluang kami untuk digerebek masyarakat sangat
besar. Birahi ini memang membutakan.
Kontolku berdenyut. Spermaku hendak meluncur. Maka, aku perkuat dudukkan kakiku, aku pegang kuat-kuat
pinggangnya, dan desahan istri kakak iparku terdengar kuat saat aku mempercepat tusukanku di lubang
kemaluannya.
"Ah!"Mengejang tubuhku. Di dalam lubang kemaluan itu, kontolku menghujam dalam-dalam. Aku biarkan spermaku
menyiram kemaluannya.
Begitu sperma berhenti menyemprot, aku cabut kontolku dari lubang kemaluannya. Celana dalam aku tarik naik,
juga celana katunku, untuk kembali menutupi selangkanganku. Begitu pula istri kakak iparku yang secepatnya
merapikan roknya.
Sambil melihat-lihat ke sekitar, dia limbung berjalan meninggalkan aku. Sementara itu, aku tetap berada di pagar
kawat pembatas itu, memandang ke dalam, ke kejauhan dimana pesawat terbang-pesawat terbang berada.
Lantas pagar kawat pembatas itu aku tinggalkan. Aku datangi istri kakak iparku yang duduk di samping anaknya yang
masih tertidur. Duduk aku di sampingnya. Kaleng minuman aku ambil. Kutawari dia, tapi dia menolaknya, maka aku
meminum isinya. Kemudian kuambil roti dari dalam asoy hitam dan kembali menawarinya, tapi kembali menolak dia.
Istri kakak iparku mengelus kepala Dadan yang masih tertidur."Kasihan Dadan, ya, Amir?"
"Kasihan kenapa?"
"Terlalu cepat dewasa dia."
"Kenapa pula?"
"Gara-gara sering lihat tontonan dewasa, pasti dia cepat dewasa daripada umurnya."
Hahaha! Tertawa aku.
"Sudah sering dia melihat kita telanjang, melihat kita saling tindih,"lanjutnya,"Mengerti tidak, ya, dia dengan apa
yang kita lakukan?"
"Pernah tidak dia menonton Eceu sedang dikerjai oleh Akang?"tanyaku.
"Kok kesitu pertanyaan?"Sepertinya istri kakak iparku heran karena aku membawa-bawa suaminya, si Akang.
"Bukannya kenapa-napa, Ceu. Kalau Dadan sering nonton Eceu dan Akang yang telanjang sedang main pompa-
pompaan, berarti bukan salah aku saja, tapi Akang juga punya saham membuat Dadan cepat dewasa."
"Ada-ada saja Amir ini."
Pantatku aku geser mendekati duduknya. Kucium pipinya. Lalu,"Sekali lagi, yuk, Ceu."
"Hus!"
"Mumpung Dadan masih tidur."
"Ogah."
"Satu kali, ya. Sebentar saja."
"Sudah siang. Sebentar lagi kita pulang."
"Dadan 'kan masih tidur, Ceu."
"Tidak, Amir."
"Nanti malam aku datang, ya."
Sambil geleng-geleng kepala, istri kakak iparku melihat ke arahku."Sepertinya Amir ini haus seks. Harus dibawa ke
dokter."
"Bagaimana tidak haus seks, Ceu, kalau memek Eceu itu enak?"
"Gombal..."

X. Handuk Kecil Berwarna Biru


“Eceu Sayang,"panggilku pelan."Aku masukkan, ya.”
“Jangan.”
“Tidak enak, Ceu,”ucapku yang berbaring di atas tubuh telanjang Eceu.
“Obat ka-be habis, Amir. Sudah dua hari saya tidak makan obat,"jelas istri kakak iparku untuk kesekian kali.
“Aku keluarkan di luar,”janjiku, juga untuk kesekian kalinya.
“Tidak. Nanti Amir lupa.”
“Eceu juga pasti tidak puas, kan?”Kini jari jemariku bermain di dua bibirnya.
Tapi, istri kakak iparku tidak menanggapinya. Dia ambil wajahku dan ditariknya mendekat. Bibirku dia ambil dan
dikulumnya.
”Ayolah, Ceu. Aku janji tidak akan buang di dalam,”rayuku lagi setelah bibirku terlepas dari kulumannya.
Terlihat salah tingkah istri kakak iparku yang berada dalam tindihanku itu. Lalu, dengan wajah mengarah kepadaku,
dia berkata,“Saya kulum saja, ya.”
“Tadi, kan sudah.”
Dan memang, sejak tadi sore, istri kakak iparku sudah tidak setuju saat aku memberi isyarat untuk mengunjunginya,
tapi, pada tengah malamnya, aku tetap datang, tetap mengetuk dinding kamar tidurnya, sampai istri kakak iparku
membukakan pintu rumahnya untukku yang membawa setumpuk birahi.
Setelah berada di dalam rumahnya, saat itulah istri kakak iparku itu memberitahu kalau dia tidak minum obat KB dan
dia tidak mau hamil karena melayaniku. Pusing kepalaku jadinya. Tapi, agar kedatanganku tidak sia-sia, maka aku
harus bersiasat untuk dapat menikmati hangat lubang kemaluannya dan harus bisa membuang sperma di sana.
Lelaki, gitu lo.
"Kenapa sampai habis, Ceu?"tanyaku sambil menyerahkan asoy, sebutan untuk kantong plastik bagi orang
Palembang, yang berisi beragam kudapan dari toko."Obat ka-be-nya."
"Obatnya kosong. Di toko obat langganan, tempat biasa saya beli, kosong. Di toko lain juga kosong."
"Eceu mencarinya di mana?"tanyaku."Kalau mencarinya di toko bangunan, ya memang tidak ada."
Tersenyum dia.
"Kita ke kamar, yuk,"ajakku.
Tapi, dari pandangan matanya, aku tahu kalau istri kakak iparku keberatan. Senyumku aku lempar ke arahnya.
Lalu,"Kita ngobrol di kamar saja. Di sini banyak nyamuk."
Aku masuk ke dalam kamar tidurnya dan istri kakak iparku menyusul masuk. Di dalam kamar, di atas ranjang besi itu,
kedua anaknya lelap tertidur. Tanpa disuruh lagi, aku mengangkat Dadan untuk aku baringkan dia di lantai seperti
biasa aku lakukan bila aku datang. Kemudian, aku lanjutkan dengan memindahkan Si Eneng ke samping kakaknya.
Dan selesai sudah urusan anak-anaknya, kini aku bisa fokus mengurus mimihnya, itu panggilan anak-anaknya ke
pada kekasihku ini.
Karena aku lihat istri kakak iparku masih mengurusi tidurnya kedua anaknya, maka naik aku ke atas ranjang. Sambil
mengambil kantong asoy yang tadi diletakkan istri kakak iparku di atas kasur, aku duduk, menyandarkan diri ke
dinding kamar.
"Mencari apa?"tanyaku saat melihat sang kekasih mengaduk-aduk tumpukan pakaian di dalam keranjang.
Tidak menjawab dia. Tetap dia berkutat dengan tumpukan pakaian tadi. Sambil menunggu istri kakak iparku selesai
dengan kesibukannya, aku buka asoy. Setelah memilah dan memilih, roti cokelat yang aku ambil dari dalam asoy.
Kusobek plastik pembungkus dan kumakan rotinya sementara istri kakak iparku masih sibuk dengan pakaian-
pakaiannya.
"Ini dia."Akhirnya terdengar ucapan istri kakak iparku.
Aku menoleh untuk mengetahui apa yang dicari oleh dia. Sumringah istri kakak iparku tersenyum. Ada kain berwarna
biru di tangannya. Lalu istri kakak iparku menaiki tempat tidur. Merangkak dia mendekati aku. Disambutnya
tanganku yang terulur dan kuajak dia duduk di pangkuanku.
"Hihihi!"Tawanya pecah karena menyadari kontolku telah menegang dibawah tindihan pantatnya."Ada belut."
"Belutnya lagi mencari lubang bau, Ceu."Dengan jari telunjuk, aku sentuh selangkangannya.
"Bau juga tapi banyak yang ketagihan,"ucapnya dengan bibir mencibir.
"Benar sekali."Jari telunjukku masih mengelus-elus area kelaminnya yang masih berada dibalik daster.
Tersenyum dia. Lalu, tangannya masuk ke dalam asoy. Tak lama kemudian dia mengeluarkan satu buah permen.
Setelah membuka plastik pembungkusnya, istri kakak iparku memasukkan permen ke mulutnya.
"Permennya pedas, Amir."Istri kakak iparku mengecap-ecap bibirnya.
"Sini aku hilangkan rasa pedasnya, Ceu."Dengan dua tanganku, aku ambil wajah Istri kakak iparku.
Diam dia menatapku. Tetapi, setelah bibirku mendekat, dia menolaknya. Istri kakak iparku berusaha menjauhi
bibirku, tetapi rengkuhan tanganku pada pipinya aku perkuat. Aku tarik wajahnya mendekat, kutempelkan bibirku di
bibirnya dan mulai mengulumnya. Meskipun awalnya menolak, perlahan bibir itu membalas.
Ketika biibir kami terlepas, istri kakak iparku menatap aku. Dia kemudian mundur, duduk di dengkulku. Pengait
kancing celana dia lepaskannya, risleiting pun dia turunkan. Karena istri kakak iparku mulai menarik celanaku turun,
maka aku angkat pantatku untuk mempermudah dia menelanjangiku. Sayangnya celanaku tertahan di pahaku, tidak
bisa turun lebih jauh. Maka, turun dia dari pangkuanku dan duduk dia disampingku. Aku biarkan jari-jari tangannya
masuk ke dalam celana dalamku dan menjengit aku karena kepala kontolku dia sentuh. Kini senjataku berada dalam
genggaman telapak tangannya.
"Tunggu!"tukasku saat istri kakak iparku hendak menarik keluar kontolku dari dalam celana dalamku."Sakit."
Secepatnya istri kakak iparku melepaskan genggamannya di kontolku. Setelah dia menarik tangannya keluar dari
celana dalamku, berbaring aku di tempat tidur. Celana dalam pun aku turunkan meninggalkan pantatku, sehingga
kontolku mencelat keluar dari celana dalamku, kemudian,"Silakan, Ceu."
Kontolku yang berdiri perkasa kembali berada dalam genggamannya. Kupejamkan mata ini, menikmati belaian
jemarinya di kepala kontolku.
"Enak, Ceu,"ucapku saat lubang yang ada di ujungnya dia usap-usap.
Kuelus pipinya, kumainkan bibirnya dan, dengan mulutnya, ditangkapnya ibu jari milikku dan mengulumnya.
Begitu ibu jariku aku tarik dari kuluman mulutnya, bersimpuh dia untuk kemudian merunduk.
"Ah..."Dari mulutku keluar lenguhan karena kepala kontolku dia jilat. Ada kehangatan yang aku rasa ketika kontolku
dimasukkannya ke dalam mulutnya dan mulai disedot-sedotnya. Sekujur tubuh aku merinding jadinya begitu
mulutnya maju mundur menelan kepala kontolku. Bak es krim, sesekali lidahnya menjilat-jilat semua sisi kepala
kontolku untuk kemudian dibenamkannya kembali kontolku dan terengah-engah aku menikmatinya. Diremas-
remasnya lembut batang kontolku yang memanjang tegang, mengocoknya lambat-lambat.
Ketika kontolku yang berada dalam mulut itu mulai kurasa berdenyut-denyut, aku jambak rambut panjang istri kakak
iparku yang naik turun di atas selangkanganku. Kutahan laju mulutnya, lalu aku tarik lepas dari kontolku. Sambil
mengelap bibirnya yang basah dengan telapak tangannya, dia tegak bersimpuh.
"Tapi, punya Amir 'kan belum keluar,"protes istri kakak iparku.
"Hayo! Eceu sengaja mau buat aku keluar di luar, ya?"tebakku.
Memerah wajah istri kakak iparku karena modusnya ketahuan. Untuk menutupi rasa malunya, dia merunduk untuk
menggapai kontolku, tetapi aku menghindar. Gerenyit ranjang besi terdengar tatkala aku bangkit. Aku angkat
dasternya, sehingga paha putih susunya terlihat. Terus aku menarik dasternya lebih tinggi. Kini, selangkangan yang
masih tertutup celana dalam itu terlihat, tapi aku teruskan menarik dasternya. Pusarnya terlihat seksi.
Istri kakak iparku mengangkat dua tangannya ke atas agar mempermudah aku meloloskan daster dari tubuh putih
mulusnya. Kedua buah dada ranum dengan lingkaran kecoklatan mengepung puting susunya menggantung indah.
Setelah melempar jauh-jauh daster yang berada dalam peganganku, aku datangi buah dadanya, aku cumbui lereng
gunung itu untuk kemudian aku telan butir kecoklatan yang ada di atasnya. Dengan lidahku, aku elus-elus puting
susunya sementara jari-jariku memainkan puting susu di gunung satunya yang membuat istri kakak iparku
menggelinjang.
Dengan masih mengulum puting susunya, aku dorong rebah istri kakak iparku di tempat tidur. Aku naiki tubuhnya,
menindihnya, dan mengambil bibirnya. Buas sekali dia menyambut bibirku. Rupanya birahi pun sudah
menguasainya.
Istri kakak iparku menjulurkan lidahnya dan aku sambut. Bak bermain pedang, lidah kami bertaut, memilin, dan
saling tarik. Begitu pula bibir-bibir kami. Saling gigit dan saling kulum. Panas dan penuh birahi. Bibirku berpindah dan
mulai mencumbu telinganya. Kian tersendat-sendat nafasnya dan karena kepalanya bergerak liar, maka aku pegang
kepalanya dan tetap aku jilati telinganya, mengemutinya.
Ketika dia mendorong bibirku menjauh dari telinganya, aku tuju lehernya. Mendongak kepalanya, memberi
kesempatan bibirku mencumbu lehernya. Terangkat tubuh istri kakak iparku dan lun nafasnya semakin cepat, tidak
teratur bergerak tubuhnya sementara tanganku meremas buah dada. Dua tangannya mengelus wajahku,
memainkan rambutku, dan kembali menjamah wajahku.
Turun bibirku menjilati perutnya, memainkan pusarnya dan kembali turun menjumpai pahanya. Sambil menciumi
kedua pahanya bergantian, jemariku mengelusi area kemaluannya yang masih tersimpan di dalam celana dalamnya.
Dua pahanya aku buka lebar dan kepalaku masuk mendekati selangkangannya. Kutiup-tiup bagian tengah celana
dalam itu untuk menimbulkan sensasi lain bagi dia.
"Ah!"Menjerit pelan istri kakak iparku dan pantatnya terangkat karena, dengan bibirku, aku tekan pelan areal
kemaluannya yang masih tertutup celana dalam. Kemudian aku jilati celana dalam itu, aku gigit-gigit, dan kucumbu
kemaluannya. Mendesah-desah istri kakak iparku aku buat ketika aku tambah dengan jari-jariku yang juga mengilik-
ilik kemaluannya.
Aku tinggalkan kemaluannya dan bersimpuh di antara dua pahanya. Celana dalamnya aku tarik tapi dia menahannya.
Kami bertatapan. Istri kakak iparku menggelengkan kepala, meminta aku tidak menarik celana dalamnya. Ah, untuk
saat ini aku tak perlu memaksakan kehendak. Aku harus berpura-pura mengalah karena aku yakin, akhirnya, dapat
menelanjanginya dan akan dapat menggagahinya. Maka, aku menjauhkan tanganku dari celana dalamnya. Aku tarik
lepas kaosku. Begitu pula dengan celana yang aku pakai dan kini kami sama-sama hanya memakai celana dalam.
Kembali aku datangi selangkangannya, kembali aku sentuh celana dalamnya. Aku elus bagian tengah celana
dalamnya yang basah, aku tekan belahan memanjang yang ada dibalik celana dalam itu, dan desahan itu terdengar.
Terus aku meraba, mengelus, dan menekan-nekan kemaluannya, dan hanya desahan yang terdengar."Ah.."
Dengan pelan jari-jariku menurunkan celana dalamnya. Kali ini tanpa perlawanan. Terangkat pantatnya saat celana
dalam melewati pantatnya, terangkat dua kakinya ketika celana dalam melewati kaki-kakinya, dan perempuan yang
berbaring di depanku itu benar-benar tanpa penutup.
Aku juga melepaskan celana dalamku dan mulai mendekati kemaluannya untuk menusukkan kontolku ke lubang
kemaluannya, tapi,"Sebentar, Amir."
Terhenti gerakku karena tangannya menahan perutku, sementara tangan satunya mengambil handuk kecil berwarna
biru. Mengabaikan aku, dia menutupi kemaluannya dengan handuk kecil berwarna biru tadi. Sialan! Rutukku dalam
hati. Rupanya ini penyebab dia tadi sibuk mengubek-ubek tumpukan pakaian. Rupanya dia sengaja mencari handuk
kecil berwarna biru itu untuk dijadikan alas penutup bagi kemaluannya agar aku tidak dapat mempenetrasi kontolku
masuk.
Setelah yakin lubang kemaluannya tertutup sempurna, tersenyum dia kepadaku dan dibukanya dua tangannya lebar,
meminta aku mendatanginya. Kudekati dia. Istri kakak iparku menyambutku, membiarkan dirinya aku timpa. Dua
tangannya melingkar di leherku dan dibiarkannya bibirku menjilati lehernya, mencumbui telinganya sementara
kontolku menggesek dan menekan kemaluannya yang tertutup handuk kecil berwarna biru itu.
Tidak enak memang, tapi aku harus sabar. Orang sabar 'kan di sayang Tuhan sebab aku percaya, malam ini aku pasti
dapat menaklukkan istri kakak iparku ini sehingga dia rela menerima kontolku masuk ke lubang kemaluannya. Maka,
dengan kedua tangan bertumpu di kasur, aku angkat tubuhku meninggi yang memaksa dia melepaskan pelukannya
dan aku teruskan kontolku menggesek dan menekan kemaluannya yang masih tertutup handuk kecil berwarna biru
itu.
Itulah cerita awal kenapa aku merengek, meminta istri kakak iparku melepaskan handuk kecil berwarna biru dari
selangkangannya.
“Eceu Sayang,"panggilku pelan."Aku masukkan, ya.”
“Jangan.”

“Tidak enak, Ceu,"ucapku yang berbaring menindih tubuh telanjangnya.


“Obat ka-be habis, Amir. Sudah dua hari saya tidak makan obat,"jelas istri kakak iparku untuk kesekian kali.
“Aku keluarkan di luar,”janjiku juga untuk kesekian kalinya.
“Tidak, Amir. Nanti lupa.”
“Eceu juga pasti tidak puas, kan?”Kini jari jemariku bermain di dua bibirnya.
Tapi, istri kakak iparku tidak menanggapinya. Dia ambil wajahku dan ditariknya mendekat. Dia mengambil bibirku
dan aku mengulum bibirnya dengan kontolku aku gesek-gesekkan ke handuk kecil berwarna biru yang menutupi
selangkangannya.
”Ayolah, Ceu. Aku janji tidak akan buang di dalam,”rayuku lagi setelah melepaskan bibirnya.
Terlihat salah tingkah istri kakak iparku yang berada dalam tindihanku itu. Lalu, dengan wajah mengarah kepadaku
berkata,“Saya kulum saja, ya.”
"Tadi, kan sudah,"ucapku.
Dalam tindihanku, istri kakak iparku menatap aku bingung. Maka, tanpa menunggu jawabannya, aku bersimpuh di
tempat tidur, di antara paha-pahanya yang aku kuakkan lebar-lebar. Bergetar tubuhnya ketika aku elus bagian
tengah selangkangan yang tertutup handuk kecil berwarna biru itu dan kedua mata itu terpejam.
"Hei,"teriaknya karena aku tarik handuk kecil berwarna biru dari selangkangnnya. Tangannya menggapai handuk
kecil berwarna biru yang berada di tanganku. Karena gagal meraih handuk kecil berwarna biru itu, dia hendak
bangkit, tapi kesulitan karena ada aku di antara dua pahanya.
Setelah handuk kecil berwarna biru itu aku buang jauh dari gapaiannya, mataku aku arahkan ke selangkangannya.
Spontan istri kakak iparku menangkupkan dua telapak tangannya di kemaluannya yang telanjang. Mengembang
senyumku melihat dia yang berusaha menghalangi pandanganku dari kemaluannya. Aku pegang kedua pahanya
untuk aku buka lebar, tapi, sebelum aku mendekati lubang kemaluannya, dengan penuh harap ia berkata,“Jangan
dimasukkan, Amir,"
Mendengar rengekannya, kembali aku harus meredam birahiku. Kuanggukkan kepala untuk mengiyakan
permintaannya, tapi kembali aku menindih tubuh bugilnya. Meskipun kontolku terganjal oleh telapak tangan yang
menjaga lubang kemaluannya, aku kulum bibirnya, aku ciumi lehernya, dan aku beri cumbuan lembut di telinganya,
tapi kemaluannya tetap belum tersentuh.
Ketika nafasnya semakin menderu dan memburu serta tubuhnya yang menggelinjang hebat akibat cumbuan bibirku,
belaian jemariku, dan jilatan lidahku di tempat-tempat sensitif miliknya, perlahan, aku tarik tangan kanannya untuk
meninggalkan kemaluannya. Kuangkat meninggi tangannya itu dan aku jilati ketiaknya yang membuat dia menggeliat
lebih hebat. Kemudian aku tarik lagi tangan satunya meninggi dan kembali ketiaknya yang polos tanpa ada bulu itu
aku jilat-jilat.
"Jangan, Amir,"ucap istri kakak iparku saat kontolku menempel di area kemaluannya yang tak tertutup lagi itu.
Dia coba menarik dua tangannya yang berada dalam genggamanku, tapi aku perkuat peganganku. Ketika merasa
tidak mampu melepaskan tangannya dari genggamanku, dia goyang-goyangkan pantatnya agar kontolku tidak dapat
aku selipkan di belahan memanjang kemaluannya, tapi aku lelaki dan kontolku telah berada diambang garba
kemaluannya. Maka, dengan penuh konsentrasi aku tekan kontolku.
"Ahh..."lenguhnya akibat kontolku mulai menerobos lubang kemaluannya, tapi mata itu mendelik memprotes dan
aku mengabaikannya. Aku tetap mendorong kontolku ke kedalaman lubang kemaluannya dan kemudian mulai
memajumundurkannya. Lenguhannya berganti desahan.
Setelah yakin tidak akan ada penolakan lagi dari betina yang sedang aku gagahi ini, aku lepaskan tangannya dari
peganganku. Aku timpakan diri ini ke tubuh telanjangnya. Pasrah dia saat aku lingkarkan dua tanganku untuk
memeluknya dan tusukan kontolku ke lubang kemaluannya terus aku lakukan. Di antara desahannya yang semakin
menguat, bibirku mencumbui buah dadanya.

Ketika selangkanganku memanas dan kontolku mulai berdenyut-denyut, aku melepaskan tubuh lawan mainku dari
pelukanku. Dan, "Ah!"terdengar teriak tertahan dari istri kakak iparku karena aku, dengan tiba-tiba, menarik lepas
kontolku dari lubang kemaluannya. Kemudian, bersimpuh aku di antara dua pahanya. Aku letakkan tanganku di
antara dua pahanya, sehingga posisi paha-pahanya menguak yang membuat aku mudah menyodokkan kembali
kontolku sehingga istri kakak iparku kembali mendesah-desah nikmat.
Denyutan di kontolku yang semakin menguat, tanpa sadar, mempercepat serangan kontolku dalam menusuki lubang
yang sudah banjir itu. Serangan bertubi-tubi dariku, membuat tubuh telanjang istri kakak iparku menggeliat-geliat
liar. Kemudian dapat aku rasakan ujung kepala kontolku membesar, penuh dengan cairan yang siap menyemprot
keluar.
"Ah!"teriakan terdengar tertahan di dalam kamar tidur ini begitu batang kontol itu tercabut dari lubang kemaluan.
Aku genggam batang kontol yang basah terkena cairan vagina istri kakak iparku. Aku arahkan kepala kontolku ke
badan istri kakak iparku dan percikan-percikan air yang keluar dari lubang di ujung kepala kontolku menyemprot di
perutnya.
Setelah sperma berhenti menyemprot, aku berbaring disamping lawan mainku itu. Tubuh telanjang kami kembali
menyatu saat istri kakak iparku merapatkan diri. Dijadikannya tanganku sebagai bantal. Kupeluk dia. Keringat yang
melaburi tubuh telanjang kami bercampur. Kuciumi pipinya sekilas. Nafas birahi pun saling bersahutan.
“Amir jahat,”ucapnya manja.
“Jahat kenapa?"Keringat yang berada di keningnya aku hapus.“Aku tidak bohong, kan?”
Istri kakak iparku mengambil tanganku dan dirapatkannya ke buah dadanya.
“Besok-besok, kalau Eceu tidak mau maniku aku buang di dalam, nanti aku buang di mulut Eceu, ya?”bisikku di
telinganya
Dia mencubit tanganku lembut."Asin, tahu."
"Eceu,"panggilku pelan.
Kepala istri kakak iparku terangkat meninggalkan lenganku. Menoleh dia menatap aku.
“Eceu, kok, takut sekali aku buang maniku di dalam memek Eceu?"tanyaku pelan," Kalau Eceu hamil, aku 'kan siap
bertanggung jawab.”
“Aduh!”teriakku karena perutku terasa panas akibat cubitan istri kakak iparku.

XI. Berkencan di Ruang Belakang


Dalam kegelapan teras belakang rumah istri kakak iparku, aku berdiri di depan pintunya. Ada rasa ragu untuk
mendorongnya seperti yang selalu aku lakukan bila mengunjunginya karena dapur rumah ini terang benderang.
Meskipun sudah terlalu sering aku mengunjungi rumah ini, aku harus waspada karena sangat jarang lampunya
menyala.
Astaga! Darahku berdesir karena ada suara dari balik pintu di depanku. Belum sempat aku menghindar karena takut
terpergok, pintu telah membuka lebar. Cahaya lampu yang menyeruak keluar menimpa wajahku, menyilaukan mata.
Detak jantung menabrak dadaku. Gemetar badanku. Bakal terbongkarkah jalinan asmara ini? Itu yang terlintas di
kepalaku.
"Amir?"Suara itu terasa akrab di telingaku.
Maka, aku fokuskan pandanganku. Kulawan silaunya cahaya lampu dan kulihat sang kekasih berdiri di ambang pintu.
Cantik sekali dia. Dasternya yang tanpa lengan dengan belahan dada yang rendah menyenangkan aku
memandangnya.
"Amir!"Akhirnya panggilan itu menyadarkan aku.
Kupandang dia sekilas dan lalu beralih memandang ke dalam rumahnya. Karena tidak terlihat sesuatu yang
mencurigakan di sana, kembali aku pandangi dia. Dari kepala hingga kakinya, kemudian naik kembali menatap
wajahnya, aku susuri tubuhnya.
"Ada apa?"tanyanya."Ada yang aneh dengan saya?"
Kuberi dia satu senyuman. Lalu,"Bidadarikah yang berdiri didepanku ini?"
"Gombal!"Menyengir dia dan dicubitnya pelan lenganku.
Kutarik dia dalam pelukan. Wangi rambutnya semerbak menyerbu hidungku. Istri kakak iparku balik melingkarkan
dua tangannya ke tubuhku, menempelkan tubuhnya. Dia biarkan jemari tanganku yang mengelus pipinya.
Kepala aku rundukkan untuk mendekati bibir ranum itu. Pun dengan tenang istri kakak iparku menyambutnya.
Akhirnya, di teras belakang rumahnya, dalam heningnya malam, hanya kecipak bibir-bibir kami yang terdengar
terputus-putus dalam ciuman yang penuh nafsu.
Asoy, sebutan tas plastik bagi orang Palembang, yang sedari tadi aku pegang, aku jatuhkan agar tanganku dapat
menjelajahi setiap lekuk tubuhnya sementara tangan lawan mainku itu mencengkeram pinggangku. Kepala kami
bergerak berlawanan, ke kiri dan ke kanan, seiring birahi yang melingkupi kami berdua.
Gedubrak! Ada yang jatuh di luar teras. Ciuman kami terhenti. Serempak wajah kami berpaling menuju tempat asal
suara, tapi tidak ada yang mencurigakan. Lalu aku putar pandangan menuju pohon belimbing yang berdiri rimbun di
luar teras dan semua terlihat aman.
"Kita ke dalam saja, Ceu."Aku cekal kedua pundaknya dan pelan aku dorong istri kakak iparku melangkah mundur,
membawanya menyeberangi pintu belakang rumahnya.
Setiba di dalam rumah, daun pintu aku dorong menutup dan bersandar aku. Kubawa istri kakak iparku mendekat dan
berhadapan kami. Menengadah dia untuk menatap wajahku dan,"Eceu cantik."
"Memang kemarin-kemarin saya tidak cantik?"Ada seulas senyum di wajahnya.
"Maksudku, Eceu tambah cantik malam ini,"ralatku sembari mengusap pipi mulusnya,"Pasti gara-gara dasternya."
Malam ini istri kakak iparku mengenakan daster tanpa lengan yang memperlihatkan kedua paha mulusnya, sehingga
membuatnya enak untuk dipandang. Apalagi warna kuningnya yang serasi dengan kulit putihnya. Syantik.
"Ini daster dari Amir,"terangnya,"Baru dipakai malam ini."
Tersenyum aku. Dari mula aku sudah tahu kalau daster seksi itu penberian dariku. Aku memang sering memberinya
hadiah. Senang saja melihat ekspresi wajahnya saat dia menerima pemberianku. Senang saat dia mengucapkan
terima kasih dan kemudian mengecup pipiku.
"Nyaman 'kan dasternya?"
Kembali mendongak dia. Menganggukkan kepalanya."Hebat Amir bisa tahu ukuran baju saya."
“Aku ‘kan sering lihat Eceu telanjang, jadi tahulah ukuran daster Eceu,"guyonku,”Aku juga tahu ukuran be-ha Eceu,
tapi karena Eceu tidak suka pakai be-ha, aku tidak beli.”
“Kata siapa saya tidak suka pakai beha?”Merengut wajah manisnya.
Ah! Senangnya melihat istri kakak iparku yang mayun, meski tetap cantik dia. Kuangkat tanganku jatuh di
pundaknya, mengelusnya. Juga mengelus lehernya, mengelus daun telinganya, mengelus pipinya untuk kemudian
turun kembali ke pundaknya, sementara istri kakak iparku hanya mampu memejamkan matanya menikmati
elusanku.
“Ini apa?"Berpura-pura lugu aku saat aku sentuh dasternya, tepat dibagian dadanya. Butiran kecil di atas gundukan
daging yang masih terselimut daster itu, dengan jempol dan jemari telunjuk, aku mainkan.
"Geli, tau ah,"ucapnya manja meskipun dibiarkannya puting susunya tetap aku pilin-pilin.
Tangan aku bawa masuk ke dalam dasternya, menjangkau selangkangannya. Bagian tengah celana dalamnya yang
sudah basah itu aku sentuh yang menyebabkan dia menjengit. Jemari aku teruskan untuk mengelus kemaluannya,
mengorek-orek belahan memanjang yang masih tersimpan di dalam celana dalamnya. Lalu, aku ambil bibirnya dan
kembali bibir-bibir kami saling mengulum, lebih hangat dengan diselingi desahan napasnya yang menikmati
kemaluannya yang aku eksplorasi.
Istri kakak iparku mengempiskan perutnya ketika tanganku menyelinap ke dalam celana dalamnya. Segera jari-jari
tanganku menjelajahi bulu jembut yang tercukur pendek itu. Kembali menjengit istri kakak iparku manakala jari-
jariku mencapai belahan kemaluannya. Bibirnya menekan kuat di bibirku dan pegangan tangannya di lenganku
menguat begitu dua jariku merabai klitorisnya.
Aku hentikan jamahan tanganku di areal kemaluannya, menarik tangan keluar dari dalam celana dalamnya, dari balik
dasternya, dan meninggalkan bibirnya. Dalam dekapan sepi dapur rumahnya, bertatapan kami, saling melemparkan
senyum.
"Kita ke kamar, Ceu."Tangannya aku pegang.
"Jangan."Istri kakak iparku balik memegang tanganku, menahan aku yang hendak melangkah."Anakku lagi tidak enak
badan. Renyeng dia."
“Sakit apa?”Aku tatap dia.
“Batuk pilek biasa,”jawab dia,”tapi, sudah diberi obat. Minum obat warung."
Obat warung adalah sebutan beragam obat yang bebas beredar di pasaran tanpa perlu resep dokter untuk
membelinya.
"Terus, malam ini, kita main di dapur, nih, ceritanya?"gurauku.
Tersenyum dia, mencubit dadaku. Dapur, lebih tepatnya ruang belakang rumah istri kakak iparku, karena dapur ini
masih merupakan bagian dari ruang belakang rumahnya, sangat luas untuk ukuran rumah milineal saat ini. Karena
terbentuk dari kayu, ruang belakang rumah istri kakak iparku menjadi sejuk. Angin semilir yang melewati jendela
yang terbuka lebar sedikit meredam panasnya Palembang. Karena itulah, ruang belakang ini menjadi pusat
berkumpul keluarga, tempat bersantap bersama, tempat bermain anak-anak, dan tempat berbaring di lantai
kayunya yang dingin karena angin yang menerobos dari sela-selanya.
Tanpa membuang waktu, bersimpuh aku di hadapannya. Dua tanganku masuk ke dalam dasternya, meraih celana
dalamnya. Berpegangan istri kakak iparku di pundakku saat aku mulai menurunkan celana dalamnya. Dirapatkannya
dua kakinya agar celana dalam itu tidak kesulitan melewati dengkulnya dan aku teruskan menarik celana dalamnya
hingga jatuh di kakinya.
“Angkat dasternya, Ceu,”perintahku.
Istri kakak iparku mengangkat dasternya meninggi. Spontan jakunku naik-turun, kontolku yang sedari tadi sudah
mengacung kini bertambah keras, melihat belahan memanjang di selangkangannya yang menghitam itu. Bulu-bulu
jembutnya tipis karena sepertinya baru dipotong.
Kedua paha didepanku itu aku pegang. Wajah aku dekatkan ke selangkangannya dan aroma khas menerpa hidungku.
Kaki-kaki istri kakak iparku melebar, memberi kesempatan aku untuk mendekati kemaluannya. Dengan segera
lidahku menjilati area kemaluannya dan lenguhannya terdengar.
Sambil tetap menjilati daging kecil di belahan memanjang di selangkangannya, jari tengah dan jari telunjuk aku
tusukkan ke lubang kemaluannya yang sudah licin. Didalam lubang kemaluannya, dua jariku menggosok-gosok
benjolan kecil yang ada di sana yang membuat tangan istri kakak iparku menjambak kuat rambutku dan desah
nafasnya yang menderu membuat aku tambah semangat mencumbui area sensitif miliknya itu.
Kini aku berdiri dan saling berhadapan kami. Istri kakak iparku yang bersandar di pintu hanya diam melihat aku yang
meloloskan tali pinggang, melepaskan kancing celana dan resleiting, untuk kemudian menurunkan celana panjang
yang aku kenakan.

"Gajah-gajah, gajah-gajah, gajah-gajah."Senyum istri kakak iparku terbit melihat aku yang menggoyang-goyangkan
kontolku.
Sambil tetap menggoyang-goyangkan kontolku, aku mendekatinya. Masih tetap tersenyum, istri kakak iparku
menarik lebih tinggi dasternya dan mengikatkan ujung daster di pinggangnya. Dia tegakkan tubuhnya, siap
menyambut aku.
Aku memendekkan kedua kakiku agar dapat menempelkan kontolku di selangkangannya dan istri kakak iparku
berjinjit untuk mengimbangi tinggi badanku. Dengan kedua tangan menahan di dinding, pelan-pelan aku gesek-gesek
kontolku di kemaluannya sementara istri kakak iparku yang berpegangan di pinggangku berusaha menjaga
keseimbangan tubuhnya.
Aku angkat paha kanannya meninggi dan aku lihat wajah istri kakak iparku menggerenyit nikmat karena kontolku
sudah tiba di ambang lubang kemaluannya, siap untuk aku tusukkan. Tapi, ....
"Mimih!"Satu teriakan terdengar dari arah kamar tidur yang disusul dengan suara tangisan.
Bersamaan dengan itu, istri kakak iparku mendorong aku menjauh. Cepat dia turunkannya dasternya, diambilnya
celana dalam miliknya yang terkapar di lantai, dan lalu meninggalkan aku yang berdiri setengah telanjang. Kontolku
yang telah siap menyerang, terantuk-antuk sia-sia.
Setelah istri kakak iparku menghilang masuk ke dalam kamar tidurnya, aku ambil celana panjang yang juga tergeletak
di lantai. Dengan menutupi bagian depan selangkangan dengan celana, aku buka pintu belakang. Setelah menengok
kiri kanan dan merasa aman, cepat aku melangkah keluar dan mengambil asoy yang tadi tertinggal di teras belakang.
Kembali aku masuk dan menutup pintu luar, menguncinya.
Dengan asoy di tangan kiri dan celana di tangan kanan, aku mendekati pintu kamar tidur istri kakak iparku. Saat
melongok ke dalam kamar tidur itu, istri kakak iparku melarang aku masuk, maka aku memilih duduk di kursi meja
makan. Setelah menaruh asoy dan celana di atas meja makan, aku ambil kendi, wadah air yang terbuat dari tanah
liat, yang ada di meja makan dan meneguknya berkali-kali. Kubuka tudung saji, tapi tidak ada yang bisa aku makan,
maka, aku keluarkan roti dari dalam asoy dan menyantapnya.
Setelah roti yang ada di tanganku habis, baru istri kakak iparku keluar dari kamar tidurnya. Berjalan dia ke arahku.
Setiba didekatku, dia elus pipiku seperti meminta maaf karena telah mengabaikan aku. Maka aku ambil dua
tangannya dan aku ciumi bergantian.
Selesai menciumi tangan itu, aku dudukkan dia di pangkuanku. Dengan manja istri kakak iparku mengalungkan
tangan kanannya ke leherku dan bersandar dia di dadaku, sehingga dapat aku rasakan kenyalnya buah dadanya. Aku
juga lingkarkan tangan kiriku ke pinggangnya, menaruh telapak tangan di pahanya.
"Amir, dongkraknya naik-turun,"bisiknya di telingaku.
"Iya. Dongkraknya sudah tidak sabar lagi mau mendongkrak Eceu,"jawabku juga dengan berbisik.
Hihihi... genit tawa istri kakak iparku terdengar di telinga, membuat dongkrakku makin mengeras. Apalagi ditambah
cubitannya di lenganku.
"Bawa apa malam ini?"Istri kakak iparku menyingkap asoy yang ada di meja makan. Dia keluarkan satu buah roti, dia
sobek plastik pembungkusnya, dan dia arahkan roti tadi ke mulutku, tapi,"Tahan!"
Sontak istri kakak iparku menghentikan gerak tangannya sehingga roti pun mengambang di depan mulutku. Lalu dia
bertanya,"Amir sudah kenyang?"
Seraya membagi senyum, aku menatapnya dan,"Cium dulu."
Dengan menggunakan roti yang dipegangnya, gemas dia memukulku."Saya kira ada apa?"
"Cium dulu, baru aku mau makan rotinya,"ujarku lagi.
"Tidak mau makan juga tidak apa-apa, kok,"balasnya ringan."Tidak ada yang rugi ini."
Tapi tetap aku cium pipinya. Karena istri kakak iparku membiarkannya, kembali aku daratkan ciuman di pipinya,
berkali-kali, panjang, dan dalam. Puas menciumi pipinya, aku ambil celana panjang yang ada di atas meja makan dan
meletakkannya di pangkuan istri kakak iparku. Diam dia melihat tanganku yang masuk ke dalam saku celana. Setelah
lama merogohnya, aku tarik tanganku keluar.
"Banyak sekali, Amir,"ucapnya dengan nada terkejut,"Buat apa malam-malam bawa banyak uang?"
"Aku ini orang kaya, Ceu. Sekarang aku mau bagi-bagi rezeki,"gurauku."Coba Eceu julurkan lidahnya?"
"Buat apa?"
"Untuk menghitung uangku ini."Aku kibas-kibaskan helaian uang di depan wajahnya.
"Sombong,"ucapnya kesal.
Hahaha! Berderai tawaku. Senang sekali aku bisa membuatnya kesal.
Sementara istri kakak iparku menyantap roti, aku menghitung uang yang ada di tanganku.
"Nah! Ini untuk Eceu."Aku taruh beberapa helai uang di telapak tangannya."Jatah bulanan Eceu."
Jatah bulanan memang selalu aku beri untuk istri kakak iparku sejak awal hubungan asmara ini terjalin. Awalnya dia
menolak dengan alasan dia bukan lonte yang meminta bayaran setelah melayani aku, tapi setelah aku jelaskan
niatku memberinya uang adalah sebagai bukti keseriusan aku dalam menjalin hubungan dengannya, istri kakak
iparku pun mau menerimanya dengan catatan dia tidak pernah meminta atau memaksa meminta uang kepadaku
dan aku mengiyakan.
Memang tidak menentu uang yang aku beri ke istri kakak iparku tiap bulannya dan dia pun tidak pernah menagih bila
aku terlambat memberi. Apabila mempergunakan uang jatah bulanan, istri kakak iparku selalu memberitahu aku. Dia
selalu memamerkan barang-barang yang dibelinya dari uang jatah bulanan itu. Pakaian untuknya dan anak-anaknya
adalah barang yang paling sering dia beli. Pernah dia hendak membelikan aku pakaian tapi aku tidak mau karena
istriku, Juju, pasti akan curiga kalau aku memakai pakaian yang bukan dia belikan.
Nah, apabila jatah bulanan, karena tidak terpakai, sudah banyak terkumpul, istri kakak iparku akan membeli
perhiasan emas, bisa kalung, cincin, atau giwang. Perhiasan-perhiasan tadi akan dipakainya saat kami berkencan,
seperti malam ini, misalnya.
"Dan ini untuk berobat si Neng."
"Jangan, Amir. Itu tanggung jawab Bapaknya si Neng."Istri kakak iparku menolak uang yang aku berikan."Eneng 'kan
anaknya."
"Kan aku sudah sering ngomong, anak Eceu juga anakku."Kutatap dia dan dia tersenyum canggung.
"Enaknya disimpan dimana uangnya, Ceu?"tanyaku.
Terlihat bingung dia. Entah pura-pura atau tidak. Yang pasti aku sentuh buah dadanya, meremasnya dan,"Ups, maaf,
Eceu tidak pakai beha rupanya."
Manyun bibirnya mendengar guyonanku, tapi tetap dibiarkannya aku terus memegang buah dadanya.
"Atau aku simpan di sini saja?"Aku tinggalkan buah dadanya. Celana panjangku yang ada dipangkuannya, aku
turunkan dan lalu menarik dasternya naik, sehingga pahanya terlihat.
"Amir mau apa?"
"Aku simpan uangnya di sini, ya."Uang yang aku pegang aku selipkan di antara dua pahanya yang merapat, tepat di
selangkangannya.
Setengah terkejut, istri kakak iparku membuka pahanya sehingga uang yang aku selipkan terlepas dari jepitan dua
pahanya, tapi jatuh di pangkuanku.
Kemudian dia lebarkan pahanya. Tangannya masuk di antara dua pahanya untuk mengambil uang yang berada di
bawah pantatnya, tapi tepat berada di atas kontolku yang menegang.
"Aduh, enak, Ceu,"desahku dengan nada seperti terangsang akibat, tanpa sengaja, istri kakak iparku menyentuh
kontolku."Terus, Ceu. Ya, seperti itu..."

"Gelo,"celetuk istri kakak iparku.


"Jangan buru-buru di lepas, Ceu,"desahku lagi tetap dengan nada terangsang "Ah... ah... ah..."
"Amir gelo,"lanjutnya lagi. "Dipegang juga tidak burungnya."
"Ya sudah kalau begitu. Eceu pegang saja burungku sekalian biar desahanku jadi benar,"ucapku."Biar Eceu juga ikut
konak."
"Sudah, ah."Dia angkat tangannya dengan uang berada di genggamannya dan lalu turun dari pangkuanku."Amir mau
minum apa? Teh? Kopi? Atau susu?"
"Kopi saja. Kopi pahit,"jawabku."Susunya biar aku sedot langsung dari tempatnya bergantung."
Hihihi.. lirih tawanya.
"Saya masak airnya dulu, ya."Istri kakak iparku beranjak menjauh.
"Tunggu, Ceu."
"Ada apa lagi?"
"Ada yang lupa."Dengan tersenyum simpul, aku berucap,"Bikin kopinya jangan pakai baju, ya."
"Ya, iyalah,"tukasnya,"Masak bikin kopinya dicampur baju."
"Maksudku, dasternya dibuka."
"Ha?"
"Iya. Eceunya telanjang."Kutatap dia untuk meyakinkan bila aku tidak main-main.
"Saya mau buat kopi,"ucapnya segan,"bukan hendak mandi."
"Iya. Aku mau lihat Eceu buat kopinya sambil telanjang,"tukasku."Pasti enak sekali kopinya."
"Ada-ada saja Amir ini,"gumamnya meski masih dapat aku dengar.
"Kalau Eceu keberatan, ya tidak apa-apa, sih."Posisi dudukku aku ubah, menghadap ke arahnya yang masih berdiri
didepanku.
Meski dengan wajah merengut, istri kakak iparku mulai meninggikan dasternya.
"Tunggu!"kataku cepat.
"Apalagi?"Kembali diturunkan dasternya. Menatapku dia.
"Eceu mundur tiga langkah,"perintahku.
Mundur dia. Beberapa langkah.
"Setop."
Langkahnya terhenti. Kini istri kakak iparku berdiri di tengah ruang belakang rumahnya, tepat dibawah lampu neon
panjang yang menempel di langit-langit.
Diam dia. Menatap aku yang masih duduk di kursi.
"Ayo, dibuka dasternya."
Perlahan daster itu terangkat.
"Ayolah, Ceu,"ucapku,"Senyumnya mana?"
Meski sedikit terpaksa, akhirnya ada senyum di wajahnya. Terlihat malu dia melihat mataku yang nanar menatap
kemaluannya yang telah terlewati dasternya.
"Matanya, Amir,"ucapnya sembari menutupi kemaluannya.
Tersenyum aku. Lidah aku ulaskan ke bibirku dan mulutku berkicap-kicap layaknya orang yang kelaparan hendak
melahap sesuatu. Memerah pipinya karena malu.
"Lanjut, Ceu,"perintahku karena daster itu kembali turun.
Tertelan ludahku melihat dua gundukan daging yang menggantung muncul dari balik daster yang tertarik ke atas itu.
Daster pun terus melewati kepala istri kakak iparku. Telanjang sempurna istri kakak iparku, tapi dia tutupi buah dada
dan kemaluannya dengan daster yang masih dipegangnya.
Bersandar aku di kursi, kuselonjorkan kedua kaki memanjang, dan kudekap kedua tangan ke dada, menatap tubuh
bugil istri kakak iparku yang putih bersih itu.
"Dasternya dilepas, Ceu."
Daster dia buang ke lantai. Kini tubuh telanjang itu benar-benar polos. Indah sekali buah dadanya yang imut
menggunung putih itu. Areal kelaminnya yang menghitam itu membuat detak jantungku tidak karuan. Sengaja aku
angkat kaosku meninggi untuk memperlihatkan kontolku yang mengacung panjang ke arahnya.
"Kapan saya bikin kopinya?"
"Maaf, Ceu,"ucapku,"Aku lupa gara-gara lihat memek cantik Eceu."
Dan berlalu istri kakak iparku menuju dapur di sudut ruang belakang. Pantatnya yang putih bergoyang-goyang saat
dia berjalan. Segera kompor dia hidupkan. Setelah itu dia mengambil panci kecil yang bergantung di dinding dan
mengisinya dengan air. Diletakkannya panci di atas kompor. Sambil menunggu air mendidih, dia ambil satu buah
gelas dari rak piring. Dengan gelas di tangan, dia menuju lemari makan dan mengisi gelas dengan kopi dan gula.
"Airnya belum masak,"ucapnya memberitahu aku.
Sambil menunggu air masak, masih bertelanjang-ria, berdiri dia didepan kompor. Sepertinya dia mencari kehangatan
dari pijaran api kompor.
Maka, beranjak aku dari dudukku dan melangkah ke arahnya. Setiba disampingnya, aku berucap."Dingin, ya, Ceu?"
Menoleh dia dan tersenyum. Segera tangan aku lingkarkan ke pundaknya dan istri kakak iparku merapatkan dirinya.
Dingin tubuhnya. Ada rasa bersalah menyergap aku, karena membiarkan dia telanjang di tengah malam ini.
"Kompornya dimatikan saja, Ceu,"ucapku kemudian.
"Kenapa?"tanyanya dengan nada heran."Airnya sebentar lagi masak."
"Dimatikan saja dulu."
Tanpa banyak protes, istri kakak iparku mematikan api kompor."Jadi, batal bikin kopinya?"
Mengangguk aku. Lalu, aku pegang tangannya dan, "Ah!"menjerit dia karena aku angkat tubuhnya, membopongnya.
Tangannya memegang erat aku ketika kubawa dia meninggalkan dapur.
"Jangan di kamar, Amir,"pintanya saat kami tiba di ambang pintu kamar tidurnya.
Maka, langkah aku hentikan di depan pintu kamar tidur itu. Tubuhnya aku turunkan. Berhadapan kami dan lalu
melangkah mundur aku beberapa langkah, meninggalkan dia.
Indah sekali selangkangan yang diselimuti bulu jembut tipis itu, sama indahnya dengan buah dada-buah dada yang
menggantung ranum miliknya. Saat terpandang wajah manis itu, ada seulas senyum di wajah cantik istri kakak
iparku.
Dan pinggang langsing istri kakak iparku mulai berlenggak-lenggok ke kiri dan ke kanan. Melotot mataku karena buah
dada-buah dadanya ikut bergerak. Di tengah tariannya, dua tangannya dia angkat ke atas, memperlihatkan ketiaknya
yang tanpa bulu. Bak penari ular, menggeliat dia. Tak lama kemudian, istri kakak iparku membelakangi aku. Seksi
pantatnya bergoyang.
Tak tahan melihat tarian telanjangnya, aku langkahkan kaki mendekati sang kekasih. Pantatnya aku elus dan
menoleh kepalanya, mendongak untuk memandang ke arahku. Di bibirnya terulas satu senyuman.
Aku rengkuh tangannya, menariknya berhadapan dengan aku. Sebelum aku sempat memeluknya, istri kakak iparku
menarik ke atas kaos yang aku pakai. Maka, kaos aku lepaskan. Kini kami sama-sama telanjang.
Bergidik tubuhku jadinya ketika jari-jari tangan istri kakak iparku mengelus dadaku, memainkan puting susunya.
Mata aku pejamkan, tubuh pun menggeliat menikmati rasa geli yang istri kakak iparku berikan.
Teng! Jam dinding di ruang tengah berdentang. Serentak dengan itu, elusan jemari istri kakak iparku terhenti
dan,"Sudah jam satu."
Kutatap dia. Dia pun menatapku, lalu kuajak dia lesehan di lantai, lalu aku ajak dia berbaring, lalu di telinganya aku
berbisik,"Rupanya Eceu sudah tidak tahan lagi, ya?"
Tanpa menjawab pertanyaanku, dia ambil bibirku dan dikulumnya. Aku pun balas mengulum bibirnya. Ketika lidahku
menjilat bibirnya, dia sambut lidahku. Akhirnya lidah-lidah kami menyatu, berpilin, dan bergumul.
Ketika aku hendak menaiki tubuhnya, dia melepaskan bibirku dan berucap,"Kita pindah, Amir."
Terdiam aku. Menatapnya heran. Apa maunya makhluk ini? Pikirku. Saat sedang berkonsentrasi untuk memberinya
kepuasaan, dia malah menghancurkannya. Bahaya kalau mood sudah hilang.
"Pindah kemana?"tanyaku sambil duduk,"Kan di kamar ada yang sakit?"
"Di sini terlalu terbuka,"ucapnya untuk bangkit dia dari rebahnya dan bersila dia."Kita pindah ke pojok saja."
Mengalah aku. Daripada tak mendapat lubang kenikmatannya, daripada tak dapat berbagi kehangatan dengannya
malam ini, aku harus mengalah.
"Mau jalan atau digendong?"tawarku kepadanya.
Tersenyum mesum dia dan mendadak istri kakak iparku memunggungiku. Birahiku melonjak-lonjak, memandang
belahan pantatnya yang bergoyang-goyang siap aku tusuk ketika dia merangkak meninggalkan aku, menuju pojokan
yang tadi disebutnya.
Aku ikut merangkak untuk menyusul dia. Sayangnya dia sudah tiba di pojokan dan sudah kembali duduk. Dengan
kedua tangan ditaruhnya ke belakang untuk menopang tubuhnya, santai dia memandang aku. Kakinya yang
menyelonjor panjang ke depan membuka lebar dan digoyang-goyangkan telapak kakinya. Dari posisiku yang masih
merangkak mendekatinya, dapat aku lihat pangkal pahanya yang menghitam.
"Hei, hei, hei!"teriak istri kakak iparku karena aku terus merangkak hingga masuk di antara kedua pahanya, hingga
tubuhnya terdorong rebah.
"Amir, pelan-pelan,"ucapnya ketika aku angkat kedua kakinya meninggi dan menguakkannya lebar-lebar.
Melenguh dia saat aku tempelkan kepala kontolku di ambang lubang kemaluannya. Karena lubang kemaluan itu
sudah basah, tanpa kesulitan lagi kontolku berhasil terhujam masuk ke lubang kemaluannya yang membuat matanya
memejam, mulutnya setengah membuka, dan lenguhannya terdengar panjang.
Secepatnya aku gerakkan pantatku maju mundur dan tubuh istri kakak iparku menggelepar-gelepar menikmati
kontolku yang mengobrak-abrik lubang kemaluannya. Nafas-nafas birahi kami menyelimuti tubuh telanjang kami.
Aku tarik kontolku dari kemaluannya, aku tinggalkan tubuh telanjangnya. Bersimpuh aku di antara dua pahanya yang
melebar. Setelah kedua kakinya aku satukan dan aku peluk didadaku, aku tekan kontolku masuk ke lubang
kemaluannya dan melenguh dia.
"Ah.. uh... ah!"desahannya kembali terdengar berirama seiring dengan irama tusukan kontolku di lubang
kemaluannya. Berulang kali aku lakukan dan semakin cepat. Semakin cepat dan keras pula desahan istri kakak iparku
terdengar.
"Ah...."terdengar jeritannya ketika, dengan tiba-tiba, aku cabut kontolku dari lubamg kemaluannya.
Belum sempat dia bernafas normal, aku miringkan tubuhnya ke samping. Aku angkat kaki kanannya tinggi dan aku
selipkan kontolku masuk ke belahan pantatnya. Aku cari lubang kemaluannya dan kembali aku tusukkan masuk dan
kembali istri kakak iparku menjerit kecil untuk kemudian mendesah-desah hangat.
Kembali aku tinggalkan lubang kemaluannya. Kuangkat pantatnya meninggi. Dalam posisi dia yang menungging,
kembali aku tusukkan kontolku ke lubang kemaluannya. Sambil tetap memajumundurkan kontolku di lubangnya
kemaluannya, aku rapatkan tubuh ke punggungnya dan kuraih buah dadanya, meremasnya.
Plak! Sambil menampar pantatnya, aku terus menusukkan kontolku dan terus saja istri kakak iparku mendesah
nikmat. Beberapa kali dia terjatuh ke lantai tapi kembali ditegakkan tangannya.
Ketika kontolku berdenyut pertanda sperma hendak keluar, aku tarik keluar kontolku dari lubang kemaluannya.
Dengan terburu-buru aku terlentangkan istri kakak iparku ke lantai. Melebar kedua kakinya karena aku jatuh
menimpa tubuh bugilnya. Sambil mencumbui lehernya, aku tusukkan kontolku ke lubang kenikmatannya. Sembari
terengah-engah menikmati tusukkanku, istri kakak iparku memeluk tubuh telanjangku yang membasah erat.
Aku naikkan paha kiriku menimpa paha kanannya dan aku percepat tusukan kontolku di lubang kemaluannya
sementara tangan istri kakak iapku lebih erat memeluk aku. Akhirnya dapat aku rasakan sperma dengan cepat
mengalir dari pangkal kontolku melaju menuju lubang yang ada di ujung kepala kontol.
"Ah!"teriakku tertahan ketika sperma tersemprot di dalam ke kedalaman lubang kemaluan itu.
Setelah semprotan sperma terhenti, terbaring lemas aku di atas tubuh telanjang istri kakak iparku yang basah
dengan keringat. Dengan kepala yang terkulai di pundaknya, aku nikmati debaran jantungnya yang menempel di
kulitku, dapat aku dengar nafas kami yang bersahut-sahutan. Diam aku memasrahkan diri ketika istri kakak iparku
mengelus tubuhku yang sama basah.

XII. Kehujanan di Taman Kota


Langit Palembang, siang itu, diwarnai awan menghitam, bergelombang, saling bertumpuk, dan merapat sementara
angin bertiup kencang, menghamburkan dedaunan, tapi aku dan sang kekasih, istri kakak iparku, sudah berada di
Kambang Iwak, ikon taman kota satu-satunya di Palembang di era 70-an.
Karena langit Palembang semakin gelap dan angin makin keras bertiup, kuajak dia meninggalkan Kambang Iwak.
Ketika air mulai turun rintik-rintik, aku gendong Neng dan kugandeng istri kakak iparku menyeberangi jalan.
Untunglah kami sempat mencapai hotel yang ada di seberang jalan kala hujan menderas yang disertai dengan
gemuruh membelah langit.
Angin yang bertiup kencang menyebabkan air hujan tempias mengenai kami yang berdiri di teras bersama beberapa
orang lain. Maka aku ajak dia masuk ke dalam lobi hotel. Lobi hotelnya luas dan terang. Di dinding-dindingnya
terpajang pigura-pigura bergambarkan Palembang tempo dulu, sedang di sudut-sudutnya terdapat sofa-sofa yang
disusun memanjang.
Melangkah aku menuju jajaran sofa dengan istri kakak iparku mengikuti dari belakang. Setelah aku duduk di sofa,
istri kakak iparku pun ikut duduk disampingku. Dia angkat Neng dan mendudukkannya di tengah di antara kami.
"Ini dimana?"tanya istri kakak iparku dengan nada khawatir."Yang punya gedung marah tidak kita menumpang
berteduh?"
Kutatap dia dan kuberi satu senyuman agar dia tenang.
"Baju Eceu basah, ya?"Aku pegang lengan bajunya yang lembab terkena percikan air hujan.
"Pakaian Neng yang basah."Istri kakak iparku membiarkan anaknya turun dari sofa.
"Tidak boleh ke sana,"larang istri kakak iparku karena anaknya mengajak mendekati akuarium yang penuh ikan-ikan
warna-warni di sudut lobi."Tidak boleh ke sana, Neng."
"Biarkan saja, Ceu,'ucapku."Biarkan dia bermain."
"Nanti dimarahi Oom sana tuh."Istri kakak iparku menunjuk ke Satpam yang berdiri di pintu masuk.
"Biarkan saja, Ceu,"ucapku lagi.
Maka istri kakak iparku melepaskan tangan si Neng. Langsung saja si Neng melangkah mendekati akuarium yang
sangat menarik perhatiannya itu. Dan aku biarkan istri kakak iparku mengikuti anaknya yang melangkah menjauhi
aku.
Ketika istri kakak iparku dan anak perempuannya berada di depan akuarium, aku mendekati meja resepsionis.
Untung sepi suasana hotel ini. Jadi, sang resepsionis cepat melayani aku.
Setelah mendapatkan kamar, aku datangi istri kakak iparku yang masih berada disekitar akuarium.
"Kata pegawai sini, pemandangan di atas lebih bagus, Ceu,'kataku,"Kita ke atas saja, yuk."
"Sudah izin sama yang punya gedung?"tanyanya dengan nada khawatir.
Mengangguk aku."Ayo, mumpung masih hujan di luar."
Istri kakak iparku terlihat bimbang. Maka, kugendong Si Neng dan berjalan menuju tangga untuk naik ke lantai atas.
Di belakangku, istri kakak iparku mengikutiku.
Seorang bell boy yang sedari tadi berdiri di dekat tangga menghalangi langkah kami. Dengan sopan dia menawarkan
bantuan untuk mengantarkan kami menuju kamar yang di pesan. Kuserahkan kunci kamar kepadanya dan bell boy
tadi mempersilahkan kami mengikutinya.
Sebelum menaiki tangga, si Neng yang aku gendong berontak meminta turun. Maka aku turunkan dia. Dengan
berpegangan pada tanganku dan tangan Mimihnya, si Neng menaiki tangga. Berbarengan kami melangkah untuk
menyusul bell boy yang telah berada lima anak tangga di atas kami menuju lantai dua.
Lantai atas hotel sepi dan temaram. Hanya kamar-kamarnya saja yang berjejer memanjang.
"Ini hotel, ya, Amir?"Rupanya istri kakak iparku baru menyadari dimana kami berada.
Kutatap dia dan mengangguk. Si Neng melepaskan tangan-tangan kami dan berlari menelusuri selasar hotel. Kutahan
istri kakak iparku yang hendak mengejar anaknya. Aku rangkul pundaknya dan berbarengan kami meneruskan
langkah mendekati bell boy yang sudah berdiri didepan pintu kamar.
Begitu tiba didekat bell boy, istri kakak iparku mengambil si Neng yang sudah dipegangi oleh bell boy. Kemudian bell
boy, dengan sopan, membuka pintu kamar. Dia masuk ke dalam kamar dan menyalakan lampu. Aku masuk ke dalam
kamar dan kemudian istri kakak iparku menyusul masuk bersama anaknya.
Diam aku, menonton bell boy yang menghidupkan kipas angin yang ada di dalam kamar. Setelah itu, bell boy pun
membuka pintu kamar mandi dan masuk dia ke dalamnya. Terdengar air mengucur. Sepertinya dia sedang mengisi
bak mandi.
Si Neng, dengan berisik, meminta untuk naik ke tempat tidur. Mimihnya pun mengangkatnya naik dan si Neng
dengan gembira berguling-gulingan di kasur yang besar dan bersih. Karena bell boy tidak juga keluar dari kamar
mandi, aku mendekati istri kakak iparku yang duduk di sisi pinggir tempat tidur, memperhatikan anaknya yang
bermain di atas tempat tidur. Aku elus rambutnya, mendongak dia melihat aku. Sekilas kami saling pandang untuk
kemudian mataku beralih ke pintu kamar mandi.
Karena tidak ada tanda-tanda bell boy akan keluar dari kamar mandi, maka aku merunduk, mendekatkan wajahku ke
wajahnya. Dia buang wajahnya saat menyadari aku hendak mengambil bibirnya, tapi aku jambak rambutnya dan
menariknya agar wajahnya menghadap ke arahku. Kuhampiri bibirnya, tapi,"Ada orang, Amir."
Telapak tangan istri kakak iparku menempel di wajahku dan didorongnya wajahku menjauh. Kucoba kembali meraih
bibirnya, tapi terhalang telapak tangannya."Amir! Malu dilihat orang."
Aku undurkan wajahku ke belakang. Karena mulutnya masih tertutupi telapak tangannya, maka aku tarik telapak
tangannya dan dengan cepat aku ambil bibirnya. Hangat bibirnya meskipun bibir itu tidak membalasnya. Istri kakak
iparku coba melepaskan ciumanku di bibirnya, tapi kepalanya aku pegang erat-erat dan bibirku mulai melumat
bibirnya. Saat tangannya berusaha mendorong kepalaku, aku pegang tangannya dan menjauhkannya dari wajahku
dan tetap bibirku melumat bibirnya.
Dan, akhirnya, bibir itu mulai merespon lumatan bibirku meskipun pelan dan ragu-ragu. Kusambut kulumannya di
bibirku dengan meletakkan tangan di pahanya. Istri kakak iparku membiarkan tanganku yang mengelus pahanya,
membiarkan jemari tanganku masuk ke dalam rok untuk menyentuh celana dalamnya, dan bibirnya kian hangat
membalas kulumanku.
"E-hem!"Terdengar suara dari dalam kamar mandi.
Serentak bibir-bibir kami terlepas. Cepat aku berdiri dari dudukku, sementara istri kakak iparku menegakkan
badannya dan merapikan roknya yang terbuka. Tak lama kemudian kucuran air dari dalam kamar mandi tidak
terdengar lagi dan bell boy keluar dari kamar mandi. Dia mendekati kami.
"Kuncinya saya letakkan di sini, ya, Om."Tanpa melihat ke arah kami, bell boy menaruh kunci kamar di meja kecil
yang ada disamping tempat tidur. Lalu, dia berjalan menuju pintu keluar dan terdengar pintu di tutup.
"Dia lihat tidak, ya?"tanya istri kakak iparku.
Aku hanya mengangkat bahu. Tidak peduli dengan pertanyaannya. Kemudian, sembari mengelus rambutnya,
dibelakangnya aku duduk dan aku peluk dia. Aku cium rambutnya.
"Baju Neng basah,"ucap istri kakak iparku,"Nanti sakit kalau tidak cepat di ganti."
Kulepaskan pelukanku. Segera istri kakak iparku menangkap tangan anaknya. Meskipun si Neng meronta-ronta,
dengan paksa istri kakak iparku mulai menelanjanginya.
"Baju Eceu juga basah,"ucapku sambil merabai pakaiannya yang lembab dibeberapa tempat.
"Iya."Istri kakak iparku bangkit dari duduknya. Berjalan dia menuju meja dan menjemur pakaian anaknya di sana.
"Eceu tidak ganti pakaian? Atau perlu aku yang membukanya?"
"Tidak usah,"ucapnya cepat."Terima kasih."
"Ajak mandi saja si Neng, Ceu. Sekalian saja Eceu juga mandi,"usulku."Dingin sedikit tidak apa-apa."
"Ini baru mau mandi."Istri kakak iparku kembali mendekati tempat tidur untuk menjemput anaknya. Berdua mereka
menghilang, masuk ke kamar mandi.
"Pintunya dibuka, Ceu!"teriakku ketika terdengar air mengucur dari dalam kamar mandi."Aku mau lihat Eceu mandi."
Pintu yang tadi ditutup oleh istri kakak iparku, kini membuka. Dapat aku lihat kedua perempuan itu telanjang. Dapat
aku lihat istri kakak iparku yang membasahi dirinya.
Lalu aku berjalan mendekati kamar mandi. Berdiri diambang pintu, menatap tubuh putih mulus istri kakak iparku
yang mengkilap oleh air. Alangkah indahnya buah dadanya yang ranum menggantung itu, menariknya lekukan
pantatnya yang bahenol itu. Beruntung sekali aku dapat menikmati semua keindahan itu.
Spontan istri kakak iparku menutupi buah dadanya, juga selangkangannya dia tutup, ketika melihat tatapan liarku.
Tersipu dia tersenyum, membuang mukanya.
"Mandinya jangan lama, Ceu. Dingin,"ucapku kemudian.
Istri kakak iparku membelakangiku. Dengan handuk di tangan, dia berjongkok untuk kemudian menghanduki
anaknya. Setelah menghanduki anaknya, dengan tetap membelakangi aku, istri kakak iparku berdiri untuk
mengeringkan tubuhnya.
Dengan berlilitkan handuk di tubuh telanjangnya dan sambil menggendong anaknya, istri kakak iparku mendorong
aku yang menghalangi langkahnya keluar kamar mandi. Aku memiringkan tubuh, mempersilakan dia lewat.
Gantian aku yang masuk ke dalam kamar mandi. Hanya ada bak air kecil, closet duduk, dan gantungan baju.
Sederhana tapi cukup luas untuk kami berdua jika nanti mandi bareng dan ber-ehm-ehm, pikirku mesum.
Hihihi... tertawa kecil aku melihat beha dan celana dalam istri kakak iparku yang bergantung di gantungan pakaian.
Kuambil celana dalam itu. Ada alur bekas air di tengah celana dalam itu. Rupanya sejak tadi dia sudah konak. Aku
cium celana dalam itu. Baunya membangkitkan birahiku.
Maka cepat-cepat aku telanjangi diri. Kontolku yang sudah menegang aku pegang. Mengocoknya sebentar, lalu
cepat aku menyiramkan air ke tubuh kepala dan kepalaku. Merinding diri ini ketika angin berhembus melalui
ventilasi kamar mandi. Tanpa bersabun lagi, aku ambil handuk dan mengeringkan diri agar dapat cepat menikmati
lubang kenikmatan sang kekasih.
Setelah menutup pinggang dengan handuk, aku keluar dari kamar mandi. Di atas tempat tidur, aku lihat istri kakak
iparku dengan masih berlilitkan handuk sedang berbaring menidurkan anaknya dan aku mendekat. Tahu aku
mendekatinya, dia menatap aku."Dalaman saya tertinggal di kamar mandi, Amir."
"Iya,"jawabku,"sengaja tidak aku bawa, biar Eceu tidak pakai kolor."
Manyun bibirnya mendengar jawabanku. Terus bangun dia dari baringnya, duduk, dan merapikan lilitan handuknya.
Sayangnya aku tidak dapat melihat isi dibalik handuk itu seperti dulu dia pernah lakukan di teras belakang rumahnya.
Ketika dia turun dari tempat tidur, aku bertanya padanya,"Mau kemana?"
"Ke kamar mandi. Ambil kolor."
"Tunggu!"tahanku.
Berdiri dia didepanku. Memandangku heran.
"Eceu duduk lagi,"perintahku.
Tetap memandang heran dia, tapi dia ikuti perintahku. Duduk istri kakak iparku dipinggir tempat tidur.
"Eceu lihat ke arahku,"perintahku lagi."Matanya tetap fokus ke aku."
Mengangguk dia. Menatap aku.
Handuk yang melilit pinggangku pun aku lepaskan. Seketika pecah tawa istri kakak iparku melihat aku yang telanjang.
Dengan telapak tangannya, dia tutup mulutnya agar tawanya tidak terdengar sampai keluar kamar hotel.
Ditengah tawanya, selangkanganku yang tanpa penutup itu, aku maju mundurkan membuat makin keras usaha istri
kakak iparku untuk menahan tawanya. Satu tangannya mendekap mulutnya, sementara tangan satunya lagi
memegangi perutnya.
Dengan tetap memajumundurkan kontolku yang mengacung perkasa, bak koboi diatas kudanya, sambil memutar-
mutar tinggi handuk yang aku pegang, aku berkeliling kamar.
"Sini, Amir, sini."Sambil menahan tawanya, istri kakak iparku memanggilku.
Cepat aku mendekati dia. Setiba didepannya, dengan bertolak pinggang, aku berdiri. Sengaja kontolku yang panjang
mengacung aku arahkan kepadanya. Sambil tetap menutupkan telapak tangan di mulutnya, istri kakak iparku
menyentuh kepala kontolku yang membuat batang kontol spontan terlonjak dan tawanya kembali berderai.
Kembali istri kakak iparku mengulangi menyentuh kepala kontolku dan kembali pula batang kontolku terlonjak naik.
Tapi, sungguh aku menikmati sentuhannya. Sentuhannya di kepala kontolku membuat birahi ini menggejolak,
membuat kontolku berdenyut-denyut.
"Kapan Amir menyukur bulunya?"Sambil menggenggam dan meremas batang kontolku, dia bertanya.
"Tadi pagi, sebelum berangkat kemari,"jawabku."Aku mau buat kejutan untuk Eceu."
"Kejutan apa?"Jari-jari mungil itu mengelus pangkal kontolku yang bersih dari bulu-bulu hitam keriting.
"Selama ini 'kan cuma Eceu saja yang mencukur bulu jembutnya."Aku elus pipinya,"Nah, sekarang aku juga coba
mencukur bulu jembutnya. Terkejutkan melihatnya?"
"Tidak terkejut, Amir,"jawabnya sambil mengocok batang kontolku,"Geli..."
"Geli kenapa?"Dagunya aku angkat meninggi agar dapat bertatapan.
"Saya biasa melihat burung Amir penuh bulu, tapi kini kok kelimis."Jemarinya memainkan buah zakarku,"jadi geli saja
melihatnya."
Manakala jari-jarinya menarik garis lurus dari pangkal kontol menuju kepala kontol, mata ini aku pejamkan untuk
merasakan sensasi sentuhannya. Merinding tubuh ini ketika jari-jari itu mengitari kepala kontolku. Kembali jari-jari
itu turun ke bawah, kembali menelusuri batang kontolku hingga menyentuh dua bola milikku yang menggantung itu
dan kembali dia mengulanginya dan kembali aku menggelinjang geli manakala ujung bawah kepala kontolku di
sentuhnya. Diulang-ulangnya karena ia pasti faham kalau aku suka diperlakukan begitu.
"Dikulum, Ceu."
Dia sambut tantanganku. Digenggamnya kontolku erat-erat. Kepalanya mendekat dan dikecupnya ujung kontolku
dan,"Asin."
Aku sosorkan kontolku hingga menempel di bibirnya. Dia buka mulutnya dan aku benamkan kontolku masuk. Hangat
sekali mulutnya. Ingin berlama-lama aku taruh kontolku di sana, tapi itu tidak mungkin karena istri kakak iparku
mulai memajumundurkan kepalanya. Maka kucekal rambutnya dan kuimbangi gerakannya. Kontolku maju mundur
di dalam mulut hangatnya.
Istri kakak iparku mengeluarkan kontolku dari mulutnya. Lidahnya menjilati kepala kontolku. Enak tapi geli, membuat
nafasku tertahan. Kembali kontolku dia kulum. Kali ini lebih cepat dan liar dengan jari-jarinya mengocok batang
kontolku.
Aku tarik lepas handuknya dan jemari tanganku meraih buah dadanya, mengelus puting susunya yang menyebabkan
tubuhnya bergetar dan semakin semangat dia mengoral kontolku.
"Ah..."lenguhan panjang keluar karena kepala kontolku dia keluarkan dari mulutnya.
Bak es krim, lidahnya menjilat-jilat semua sisi kepala kontolku sehingga bulu-bulu di sekujur tubuh berdiri.
Kehangatan kembali aku rasa ketika kontolku dimasukkannya kembali ke dalam mulutnya dan mulai disedot-
sedotnya. Sekujur tubuh aku merinding jadinya begitu mulutnya maju mundur menelan kontolku.
Ketika kontolku yang berada dalam mulut itu mulai berdenyut-denyut, maka kutahan laju mulutnya dan aku tarik
kontolku lepas dari kulumannya. Selangkah aku mundur. Kugenggam kontolku dan aku mulai meremas-remasnya.
Ketika kurasa sperma sebentar lagi akan muncrat, cepat-cepat aku sodorkan kembali kontolku ke mulutnya. Secepat
itu pula istri kakak iparku menelan kontolku. Aku jambak rambutnya dan kembali, di dalam mulutnya, aku maju
mundurkan kontolku. Karena beberapa kali dia tersedak karena tusukan kontolku, jari-jari istri kakak iparku
berpegangan di pantatku. Bergetar tubuhku dan mendesah aku ketika denyutan kontolku menguat dan cairan itu
mengalir di batang kontolku, hingga akhirnya sperma pun muncrat di dalam mulut istri kakak iparku.
Refleks istri kakak iparku memundurkan wajahnya, sehingga kontolku terlepas dari mulutnya. Sambil mengelap
mulutnya dari luberan sperma, terbatuk-batuk dia karena tersedak oleh semprotan sperma sementara aku memerah
kontolku agar sperma habis keluar.
Setelah sperma tidak lagi keluar, aku duduk di tepi tempat tidur, duduk disampingnya.
"Amir jahat,"ucapnya kemudian.
Tidak kutanggapi ucapannya. Aku malah mengusap bibirnya untuk menghilangkan sisa-sisa sperma. Kuberi dia satu
senyuman dan aku elus pipinya. Lalu, kupuji dia."Hebat. Eceu sudah pintar sekarang."
"Tapi, mani Amir tertelan,"rajuknya.
"Tidak apa-apa, Ceu. Itu sehat. Banyak vitaminnya."Aku usap ceceran sperma di lehernya.
"Kalau mani anak muda sih oke-oke saja, banyak vitaminnya, tapi ini mani orang tua, Amir."
"Biar tua, tapi masih tokcer rudalnya, Ceu,"ucapku,"kalau tidak percaya, kita main lagi, yuk."
Mengabaikan aku, istri kakak iparku berdiri dan berjalan menuju meja kecil yang ada didekat tempat tidur. Ketika dia
mengambil gelas dan menuangkan air dari teko, aku merebahkan diri di ranjang. Aku butuh istirahat untuk
memulihkan tenaga agar dapat kembali bergulat dengan istri kakak iparku. Maka kupejamkan mata sambil
menunggu kontolku dapat kembali berdiri.
Kasur yang aku baringi bergoyang. Kubuka mataku dan istri kakak iparku sudah tertelungkup di tempat tidur.
Tangannya dia jadikan bantal dengan wajah membelakangiku. Maka, aku miringkan badanku. Dengan tangan
kananku aku jadikan penyanggah kepala, aku menghadapkan tubuh kepadanya. Indah sekali tubuh telanjang itu.
Buah dadanya menempel erat di tempat tidur dibawah tindihannya dan pantatnya menyembul penuh.
Rambut panjangnya yang jatuh menutupi pundaknya aku raih, aku belai. Jari-jemariku lalu turun mendapati
punggungnya untuk mengusapnya lembut. Tetap diam istri kakak iparku saat pantat montoknya aku tepuk-tepuk.
"Eceu,"sambil meremas pantat montok itu, aku panggil dia.
Dan perlahan kepala itu terangkat dan berpaling wajahnya menghadap ke arahku untuk kemudian kembali rebah di
atas tangannya, tapi ditatapnya aku. Bergeser aku mendekatinya. Ketika aku pepetkan tubuh telanjangku ke
tubuhnya, ketika aku rangkulkan tangan kiri ke tubuh telanjangnya, matanya kembali terpejam sementara dagunya
sedikit terangkat untuk memberi kesempatan aku mengambil bibirnya.
"Tidak dingin?"Tepat di depan telinganya, pelan aku bertanya.
"Kan ada Amir,"dengan suara lirih mendayu, istri kakak iparku menjawab.
Gereget sekali aku mendengarnya. Maka, paha kiriku aku timpakan ke atas pantatnya dan dengan gemas aku peluk
dia, aku ciumi pipinya bertubi-tubi sementara hanya jeritan genit yang keluar dari bibir indahnya.
Aku naiki tubuh istri kakak iparku. Aku selipkan kedua tanganku ke bawah tubuhnya, menyentuh buah dadanya dan
aku gigit pundaknya. Kembali istri kakak iparku menjerit-jerit genit. Kontolku aku tekan-tekan ke pahanya, sayangnya
kontolku tidak bereaksi. Aneh. Padahal sudah hampir sepuluh menit yang lalu aku buang sperma ketika di oral sang
kekasih.
Dengan mendadak aku tarik istri kakak iparku terlentang dengan aku tertindih dibawah tubuhnya. Aku remas buah
dadanya, aku selipkan jari tengahku di lubang kemaluannya untuk memainkan klitorisnya, dan aku jilat telinganya.
Istri kakak iparku menggeliat nikmat karena kejahilan kedua tanganku. Sayangnya kontolku masih belum juga mau
berdiri. Heran aku dibuatnya karena baru kali ini kontolku butuh waktu lama untuk bangun. Ada apa, ya?
Karena kontolku belum juga berdiri, aku turunkan dia dari atas tubuhku. Kuolengkan kepalaku ke kanan dan
kuhampiri wajahnya, lalu kuambil bibirnya, menyedotnya pelan. Ketika istri kakak iparku membalas kulumanku di
bibirnya, aku tempelkan kontolku di paha kirinya dan aku gesek-gesekkan dengan harapan kontolku cepat kembali
perkasa.
Bibir-bibir kami yang bergumul panas terlepas karena ada kilatan panjang di kaca jendela kamar hotel dan dar! bunyi
geledek yang maha besar menyusul membuat kaca jendela kamar bergetar. Berbarengan dengan itu, tangisan Neng,
anak istri kakak iparku terdengar. Bunyi geledek itu pasti mengejutkan dia yang sedang pulas tertidur.
Istri kakak iparku mendorong aku menjauh. Berbalik dia mendekati anaknya, mengambilnya dalam dekapannya
untuk menenangkan kembali anaknya. Kutatap tubuh bugil yang membelakangiku itu. Pelan kuhela nafas lega.
Untung saja anak itu bangun, batinku. Jadi aku tidak perlu berjuang keras untuk membangunkan kontolku. Mau
ditaruh dimana wajah ini kalau istri kakak iparku menyadari kekasihnya ini tidak jantan lagi. Malu, cui.
"Amir, tolong ambilkan minum,"pinta istri kakak iparku.
Dengan sigap aku bangun dari tidurku dan segera turun dari tempat tidur. Berjalan aku menuju meja tempat istri
kakak iparku menyimpan barang-barang bawaan kami. Setelah mengambil botol air minum sekaligus asoy berisi
jajanan, kembali aku mendekati istri kakak iparku yang sudah duduk di atas tempat tidur, memangku anaknya.
Kuserahkan botol air minumnya. Ketika istri kakak iparku memberi minum anaknya, aku duduk di sisi pinggir tempat
tidur. Kutatap dia. Rambut panjangnya jatuh menjulur menutupi buah dada-buah dadanya.
Asoy aku buka dan mengambil roti dari dalamnya untuk kemudian aku berikan kepada Neng, anaknya. Istri kakak
iparku yang menyambutnya. Setelah membuka plastik pembungkusnya, dia serahkan roti itu ke anaknya. Neng pun
menghentikan tangisnya dan langsung memakan rotinya. Kemudian istri kakak iparku ikut mengambil roti dari dalam
asoy. Aku pun mengambil satu buah, roti rasa stroberi.
"Tumben burung Amir belum bangun?"Dengan roti yang dipegangnya, istri kakak iparku menunjuk selangkanganku.
Alamak, terbongkar sudah rahasiaku siang ini. Rupanya dia menyadari kalau kontolku belum bangun. Sialan...
Untuk memghilangkan rasa malu, naik aku di atas tempat tidur dan melangkah mendekatinya."Eceu mau, kan bantu
membangunkannya?"
Mendongak istri kakak iparku, menatap aku yang berdiri sambil memegang roti di tanganku."Amir mau apa?"
"Mau bikin rudal rasa stroberi."Kusobek plastik pembungkus roti. Kupatahkan roti menjadi dua bagian. Stroberi yang
ada di dalam roti aku oles-oleskan pada batang kontolku.
"Nanti di rubung semut lo burungnya,"ucap istri kakak iparku dengan penuh keheranan.
"Tidak akan, Ceu. Kan stroberinya sudah duluan dijilat Eceu?"
"Maksudnya?"
Kontolku yang kini berwarna merah tua aku dekatkan ke mulutnya. Istri kakak iparku menghindar dengan
memundurkan kepalanya ke belakang, tetapi dengan cepat aku jambak rambutnya. Aku tarik wajahnya mendekat ke
kontolku yang masih "tertidur" itu."Dijilat, Ceu."
Istri kakak iparku membungkamkan mulutnya. Maka aku pegang kontolku dan aku tempelkan di bibirnya. Dengan
sedikit paksaan akhirnya mulutnya membuka dan aku sorongkan kontolku masuk.
Tak lama kemudian, istri kakak iparku mendorong pahaku menjauh, sehingga kontolku terlepas dari mulutnya.
Dengan telapak tangannya, dia lap mulutnya. Lalu,"Manis."
Maka, aku majukan kembali kontolku. Tangan istri kakak iparku menyambutnya, memegangnya hati-hati.
Dan,"Burungnya mulai membesar, Amir."
"Disedot lagi, Ceu,"sambutku bersemangat,"biar tambah besar."
Bukannya disedot, istri kakak iparku malah menjilati kepala kontolku, menjilati batang kontolnya, sehingga warna
merahnya menghilang.
"Dijilat-jilat saja, ya, Ceu, jangan dimakan,"gurauku.
"Salah sendiri kenapa enak rasanya,"jawab istri kakak iparku setelah berhenti menjilati kontolku.
"Eceu mau rasa lain?"
Menggeleng kepalanya.
Kontolku kini mengembang dalam pegangan istri kakak iparku.
"Dijilat lagi, Ceu,"pintaku kemudian.
"Sebentar,"jawabnya,"Haus sangat."
Neng yang sedari tadi anteng duduk dipangkuannya, dia dudukkan di sampingnya. Dia pegangkan botol air minum di
tangan anaknya. Dia ambil roti dari dalam asoy dan dia berikan pada anaknya itu. Setelah anaknya tenang dengan
makanannya, istri kakak iparku mengambil minuman kaleng berkarbonasi dari dalam asoy. Penutup kalengnya dia
buka dan meneguk isinya. Rupanya benar-benar kehausan dia.
Ketika kembali dia menempelkan kaleng minuman ke bibirnya, kuangkat meninggi pantat kaleng minuman itu
sehingga isi minuman kaleng itu tumpah mengenai tubuh telanjangnya.
"Amir jahat,"teriak istri kakak iparku sambil mengibas-ibaskan tubuh basahnya."Jadi basah, kan."
"Eceu diam,"ujarku."Biar aku keringkan."
"Mengeringkannya pakai apa?"
"Biar aku jilat."
"Tidak mau, Amir. Jangan."Istri kakak iparku menahan wajahku yang sudah mendekat, tetapi kupaksakan mencapai
buah dadanya.
"Jangan, Amir. Geli,"ucapnya karena bibirku sudah menjilati puting susunya.
Kulingkarkan tangan aku ke tubuh telanjangnya dan kujilati tubuhnya yang basah. Lalu,"Rasa Fanta, Ceu."
Kutinggalkan tubuh telanjang itu. Selagi istri kakak iparku mengusap tubuhnya yang basah dengan minuman Fanta
yang bercampur dengan ludahku, dari dalam asoy aku keluarkan satu kaleng minuman lagi. Kubuka kaleng minuman
itu dan menyiramkan isinya ke areal kemaluannya.
"Hei, Amir!"Dengan kelabakan istri kakak iparku mengibas-ibaskan butiran-butiran air minum berkarbonasi yang
menempel di bulu-bulu jembutnya yang rapi.
"Awas kena si Neng,"tukasnya karena kembali aku siramkan air berkarbonasi itu ke tubuhnya.
Untung saja Neng tidak ribut. Sambil menikmati roti di tangannya, dia tetap duduk diam di tempat tidur, menonton
Mimihnya yang berbasah-ria.
"Hei Amir, kasurnya basah."Istri kakak iparku menunjuk seprai kasur kami yang telah berubah warna menjadi warna-
warni akibat tumpahan minuman kami.
"Pindahkan Nengnya, Amir,"perintahnya kemudian.
Sambil mengangkat Neng, turun aku dari tempat tidur. Aku dudukkan dia di lantai. Kuambil asoy dan kubuang isinya
disamping Neng agar dia tidak mengganggu keasyikan kami.
Melihat Neng menikmati permen-permennya, naik lagi aku ke atas tempat tidur. Kemudian aku tabrak dia sehingga
istri kakak iparku terdorong rebah.
"Basah,"ucapnya karena tempat dia berbaring memang basah.
Kulayangkan pandangan untuk mencari bagian kasur yang belum terkena tumpahan air minum, lalu,"Pindah ke
bagian sini, Ceu."
Maka, aku ambil kakinya dan menariknya agar bergeser dia menuju pinggir tempat tidur yang masih kering. Dengan
posisi kakinya yang menjuntai ke bawah, kemaluannya yang tertutupi jembut-jembut halus itu terlihat melengkung.
Turun aku dari tempat tidur dan mendekati dia yang diam terlentang. Bersimpuh aku didepannya. Kemudian, dua
kakinya aku buka lebar dan kepalaku menyelinap masuk di antara paha-pahanya. Kudatangi selangkangannya. Ada
semerbak coca cola di sana.
Terangkat pantatnya ketika lidahku menyentuh areal kemaluannya, menjilat kemaluannya.
"Memek rasa coca cola,"teriakku untuk kemudian kembali membenamkan mulutku ke kemaluannya.
Dapat aku dengar istri kakak iparku tertawa geli ketika bibirku menyedot-nyedot kemaluannya. Aku pun selingi
dengan menjilat pelan klitoris yang berada didalam belahan memanjang kemaluannya. Kini yang terdengar hanya
desahan istri kakak iparku dengan diiringi geliat tubuhnya yang membuat aku makin bersemangat mencumbui area
kemaluannya sementara tanganku meremas buah dadanya.
Sambil tetap mencumbui memek rasa coca cola itu, aku bergeser naik ke tempat tidur dan menaiki tubuh istri kakak
iparku. Dengan gaya Enam Sembilan, kontolku langsung dia pegang dan dimasukkannya ke mulutnya. Disedot-
sedotnya kontolku, lalu dia keluarkan lagi. Dia pun menjilati batang kontolku. Dari ujung kontol hingga ke
pangkalnya, dia jilat. Selagi dia menikmati rasa stroberi di kontolku, aku pun kembali menjilat-jilat kemaluannya. Jari
telunjukku aku tusukkan ke lubang kemaluannya. Kusentuh G-Spot-nya dan istri kakak iparku menggeliat manja.
Desahannya terdengar.
Kontolku aku tarik dari genggaman istri kakak iparku. Aku tinggalkan tubuhnya dan turun dari tempat tidur. Berdiri
aku dihadapannya istri kakak iparku yang masih terbaring. Kedua kakinya mengangkang lebar. Kemaluannya masih
penuh meninggi.
"Kita mandi dulu, yuk,"ajakku.
"Kenapa harus mandi, Amir,"tolaknya,"Mau pulang sekarang?"
"Tidak."Aku duduk disampingnya, menyentuh pahanya."Kita harus mandi sebelum main."
"Memangnya kenapa?"heran dia bertanya.
"Kalau nanti malam suami Eceu minta jatah, dia pasti heran kalau tahu memek Eceu berasa coca cola,"jawabku
sedikit bergurau,"Apalagi waktu dia melihat ada sisa stroberi di dalam memek Eceu."
"Amir ini ada-ada saja.'Dinaikkannya kedua kakinya ke pinggir tempat tidur, sehingga kemaluannya jelas terlihat.
Lalu,"Itu mah urusan saya."
Kembali aku berdiri dari dudukku. Kuambil bantal. Kuangkat pahanya tinggi dan kuletakkan bantal dibawah
pantatnya. Kini kemaluan berselimut bulu-bulu tipis itu mengembung penuh.
Menjengit dia karena aku sentuh kemaluannya. Dia biarkan areal kemaluannya aku usap-usap sehingga membasah
tanganku oleh cairan yang keluar dari lubang kemaluannya.
Beranjak aku naik ke tempat tidur. Kukuakkan kedua pahanya dan menempelkan kontolku di lubang kemaluannya.
Sengaja aku tidak segera memasukkan kontolku. Aku ingin bermain-main dulu. Kontolku hanya aku oles-oleskan di
belahan memanjang yang berselimut jembut tipis itu. Kutusuk lalu kutarik kembali. Kulihat istri kakak iparku
geregetan, tapi aku tetap belum menghujamkan kontolku.
Akhirnya istri kakak iparku memegang kontolku. Dia tahan kontolku agar tidak berlari lagi. Dia letakkan kontolku di
ambang lubang kenikmatan miliknya dan dia angkat pantatnya meninggi sehingga kontolku lenyap sebagian dalam
lubang kemaluannya. Melenguh dia."Ah..."
Karena lubang kemaluan itu memang sudah penuh cairan, maka lancar saja kontolku tenggelam. Setelah
meninggikan kakinya menempel di dadaku, kupegang pinggangnya dan aku pun mulai melancarkan seranganku.
Cepat kontolku maju mundur dan desahan istri kakak iparku pun terdengar berirama."Ah.. uh.. ah... uh..."
Kakinya yang bergantung di dadaku aku alihkan ke samping sehingga posisi istri kakak iparku menyamping dan
kembali kusodok-sodokkan kontolku dengan sesekali aku putar kontolku mengitari lubang kemaluannya. Sambil
memajumundurkan kontolku, tanganku meremas buah dadanya sementara istri kakak iparku tetap mendesah-desah
nikmat."Ah..ah..ah..."
"Mimih,"Dari belakang kami terdengar ada suara memanggil.
Aku menoleh dan kulihat Neng berdiri disamping tempat tidur, berusaha untuk menaiki tempat tidur. Maka kucabut
kontolku dari lubang kenikmatan itu. Kuangkat Neng dan kutaruh dia disamping Mimihnya.
"Mau apa?"tanya istri kakak iparku pada anaknya yang merengek sambil menarik-narik kaos yang dikenakannya.
"Dingin, Neng,"ucap istri kakak iparku lagi, tetapi Neng tetap merengek.
Akhirnya istri kakak iparku bangkit dari tidurnya dan duduk. Rupanya Neng minta kaosnya dibuka. Rupanya dia juga
ingin telanjang seperti Mimihnya. Setelah kaosnya dilepas, Neng pun segera memeluk Mimihnya, menciumi pipinya,
dan istri kakak iparku pun merangkulnya.
"Amir lihat apa?"Istri kakak iparku bertanya saat melihat aku yang diam menonton dua orang perempuan yang
telanjang didepanku.
"Aku lagi membayangkan Eceu sewaktu kecil,"ucapku dengan nada bercanda,"Pasti seperti Neng saat ini."
Istri kakak iparku mencibirkan bibirnya. Ditutupinya Neng dari pandanganku.
"Jadi pengen lihat memek Neng, Ceu,"ucapku lagi,"Pasti sama dengan memek Eceu waktu kecil."
"Awas, jangan macam-macam, Amir."Eceu mengepalkan tangannya ke arahku.
Hahaha! Tertawa aku.
"Ya, sudah. Aku ngerjain Mimihnya saja kalau begitu."Kudorong kembali dia menyamping. Aku angkat paha
kanannya meninggi. Kuludahi tanganku dan kuusapkan ke lubang kemaluannya. Kemudian kontolku aku selipkan ke
bagian bawah belahan pantatnya menuju lubang kemaluannya dan aku tinggal dorong kontolku dan istri kakak
iparku tinggal melenguh nikmat. "Aahh...."
Neng diam melihat aku yang bergerak maju mundur dibelakang pantat Mimihnya. Kuelus rambutnya dan kubagi dia
satu senyuman agar dia tidak mengganggu aku dalam memberi kepuasan bagi Mimihnya. Pandangan Neng
kemudian beralih ke Mimihnya yang sedang mendesah-desah dengan mata yang merem melek. Neng menyentuh
pipi Mimihnya dan istri kakak iparku membuka matanya. Tersenyum dia untuk anaknya. Dielusnya pipi anaknya
untuk meyakinkan anaknya kalau dia menikmati perlakuan Oom si Neng itu.
Kuangkat kaki kanan istri kakak iparku tinggi melewati aku. Kini istri kakak iparku terlentang. Tetap aku tusuk-
tusukkan kontolku ke lubang kemaluannya. Tetap melenguh istri kakak iparku dan aku teruskan mengagahinya,
membuat dia mendesah-desah, membuat tubuhnya menggeliat-geliat. Neng menjatuhkan diri ke tubuh Mimihnya.
Istri kakak iparku mengelus rambut anaknya, tapi tetap mendesah."Ah... ah...ah..."
Hampir tertawa aku karena Neng yang telanjang menaiki Mimihnya. Dengan menghadap ke arahku, dia bebas
menatap aku yang sama telanjang yang maju mundur memasukkan kontolku di lubang kenikmatan milik Mimihnya.
Pandanganku tertuju pada belahan memanjang yang ada di selangkangan Neng. Melihat kemaluan Neng yang tanpa
bulu itu, membangkitkan birahiku, membuat aku mempercepat tusukanku ke kemaluan istri kakak iparku. Kuelus
pipi imutnya dan Neng tersenyum. Kupegang dadanya. Sayang tidak terasa kekenyalannya.
Neng turun meninggalkan tubuh Mimihnya. Berdiri dia disamping Mimihnya yang masih mendesah-desah nikmat
akibat aku tusuki kemaluannya. Sambil tertawa-tawa, Neng meloncat-loncat. Istri kakak iparku ikut tertawa melihat
anaknya itu, tapi kemudian kembali terpejam matanya untuk menikmati kemaluannya dipenuhi oleh batang
kontolku. Aku remas buah dadanya.
Sambil tetap menyetubuhinya, aku timpa istri kakak iparku dan mengambil bibirnya dan Neng masih tetap berloncat-
loncatan. Tawanya kembali pecah melihat kami yang saling tindih, saling rangkul, saling berpagutan dengan pantatku
yang naik turun diantara dua paha Mimihnya yang mengangkang lebar. Tawanya lebih keras terdengar karena
Mimihnya yang ribut mendesah-desah.
Kontolku mulai berdenyut-denyut. Maka, aku lepaskan pelukan di tubuhnya. Dengan kedua tangan berada di kedua
sisi tubuh telanjangnya, aku tinggikan tubuhku. Aku naikkan paha kiriku menimpa paha kanannya dan aku percepat
tusukan di lubang kemaluan itu. Desahan istri kakak iparku yang keras bersaing dengan tusukan kontolku hingga
akhirnya aliran air deras melewati batang kontolku.
Kutarik lepas kontolku dari lubang kemaluan itu. Batang kontolku aku genggam kuat-kuat dan cepat-cepat aku
meninggalkan tubuh istri kakak iparku. Kutuju wajahnya. Setiba kontolku didepan wajahnya, istri kakak iparku
membuka mulutnya, siap menerima muntahan sperma. Tersenyum aku, tapi aku alihkan kontolku dan kulepaskan
peganganku di batang kontolku sehingga sperma pun muncrat memenuhi wajah cantiknya. Gelagapan dia karena
matanya tertutup sperma, begitu pula lubang hidungnya. Sementara disamping kami, Nemg tertawa geli melihat
wajah Mimihnya yang dipenuhi cairan kekuning-kuningan.
"Amir jahat,"rajuk istri kakak iparku.
Aku hanya diam. Aku memilih untuk membaringkan diri di sampingnya untuk menikmati kepuasan yang sudah aku
reguk untuk kedua kalinya, untuk menormalkan nafasku, sekaligus mengembalikan stamina sebab siapa tahu akan
ada babak-babak berikutnya. Disampingku, istri kakak iparku membersihkan wajahnya dari ceceran sperma
sementara Neng masih tetap meloncat-loncat.

Anda mungkin juga menyukai