Anda di halaman 1dari 4

Di Atas Kain Putih

Di ufuk barat terlihat matahari mulai meredup. Rembulan mulai menyapa


dunia dengan sentuhan yang hangat, suasana hening pertanda dimulainya sholat
maghrib. Pohon-pohon menari dengan gemulai, angin berbisik di antara
dedaunan. Burung-burung telah pulang ke sarangnya, malam ini datang dengan
penuh rahmat. Shakila usai melaksanakan sholat maghrib, ia melanjutkan
rutinitasnya menjadi guru mengaji setiap malam kamis dan jum’at. Shakila adalah
anak kedua dari suami istri yang sudah lama berpisah. Ia masih bersekolah dan
menduduki bangku SMA kelas 10. Ia memiliki kakak perempuan yang sangat
bertolak belakang sifatnya. Kakak perempuan Shakila tengah menjalani masa
kuliah, ia mendapat beasiswa karena otaknya yang cerdas namun kecerdasannya
tak digunakan dengan baik. Kerap setiap hari sang adik mengingatkan untuk
kembali ke jalan yang benar, namun nasehat Shakila tak pernah dihiraukan. Setiap
malam, Asyifa, kakak Shakilla jarang berada di rumah. Ia sering menghabiskan
waktunya seusai kuliah di kelab malam bersama teman-temannya atau nongkrong
di kafe.

Seusai mengajar, gadis berparas cantik itu pulang ke rumahnya. Ia tinggal


bersama neneknya saat orang tua kedua anak itu berpisah. Ayah dan ibu Shakilla
sama-sama tak mau merawat anak mereka. Untung saja saat itu kedua saudari
sudah menginjak umur dewasa yang pastinya tak terlalu memberatkan nenek.

“Sha! Nenekmu pingsan!” teriak salah satu tetangga dekat rumah.

Sontak gadis itu berlari menuju rumahnya dan mendapati sang nenek
sedang dibopong ke dalam kamar. Ia menangis menghampiri neneknya yang pucat
dan tak sadarkan diri. Tetangga Shakilla sudah menghubungi ambulans, tak lama
kemudian sirine berbunyi mendekat ke rumah Shakilla. Berpuluhan kali, gadis itu
menghubungi kakaknya, namun tak ada satu panggilan yang terjawab. Ia juga
mencoba untuk menghubungi teman kakaknya tetapi hasilnya sia-sia.

Sesampainya di rumah sakit, sang nenek segera diperiksa oleh dokter yang
bertugas. Perasaan Shakilla campur-aduk, gadis itu mondar-mandir tak bisa
berhenti khawatir. Sekitar 30 menit berlalu, akhirnya dokter yang memeriksa
nenek keluar memberi tahu keadaan nenek.

Nenek mempunyai penyakit jantung koroner yang selama ini


disembunyikan agar cucu-cucunya tak tahu dan tak khawatir. Seketika dunia
Shakilla runtuh dan menyalahkan dirinya sendiri karena merasa tak terlalu tahu
tentang keadaan neneknya. Selama ini nenek hidup seperti tak terjadi apa-apa, ia
tetap merawat cucunya dengan baik, ia periang dan sering melontarkan
gurauannya yang jayus tetapi ia tertawa terbahak-bahak hingga menampakkan
giginya yang ompong. Shakilla duduk di lantai dengan air mata yang sudah
berjatuhan di pipinya.Saat itu, ia ditenangkan oleh tetangganya yang dekat dengan
Shakilla.

“Aku tahu ini berat bagimu, apalagi nenek harus di operasi, tetapi ingatlah
jika kamu hanya menangis disini tanpa mencari tahu cara membayar biaya
operasi, tidak ada gunanya.” Ucap tetangganya, kak Sahda.

“Aku tidak tahu harus bagaimana, Kak. Aku tidak punya tabungan, apalagi
nenek. Kakakku tidak tahu kemana, aku sudah menghubungi tetapi tak dijawab.”

“Kakak bantu cari, ya. Sekarang kamu pulang dulu ke rumah, istirahat,
besok kembali lagi kesini. Malam ini, kakak yang jaga nenek kamu.”

Shakilla menggelengkan kepalanya. “Kakak saya aja tidak peduli dengan


nenek, kenapa kak Sahda mau membantu padahal nenek bukan siapa-siapa untuk
kakak.”

“Nenek kamu sudah kakak anggap seperti nenek kakak sendiri. Beliau
sering membantu kakak, ia juga baik dan lucu. Kakak menjadi terinspirasi dengan
semangat nenek kamu saat lelah menjalani masa kuliah.”

“Nenekku memang orang yang baik. Terima kasih ya, kak.” Ucap Shakilla
sembari memeluk kak Sahda.
Tiba-tiba telepon genggam Shakilla berdering dengan menunjukkan nama
kontak Asyifa. Dengan cepat, ia mengangkat panggilan dari Asyifa.

“Halo, kak. Kamu dimana?” tanya Shakilla.

“Apa, sih, Sha? Aku lagi tidur di rumah temen.”

“Nenek sakit, kak. Tolong segera ke rumah sakit adi husada. Nenek harus
operasi, ia punya penyakit jantung koroner, kak. Selama ini nenek sembunyiin
penyakitnya dari kita.”

“Besok aja aku kesana. Udah malem, Sha, tidak ada angkutan umum yang
lewat. Aku habis ngerjakan tugas, capek sekali. Aku matiin telfonnya, ya.”

Sebelum suara Shakilla bergema, sambungan telepon putus. Saat itu ia


ingin sekali berteriak namun ia mengucap istighfar hingga kemarahannya mereda.
Itu adalah alasan dari kakaknya yang tidak masuk akal, ia membawa motor,
mengapa menunggu angkutan umum? Shakilla yakin bahwa kakaknya itu tak
sadarkan diri alias terbawa pengaruh alkohol. Tentu saja, Shakilla tak pulang ke
rumah, ia tetap di rumah sakit bersama Sahda, rasanya Shakilla ingin membuang
kakak kandungnya dan membuat Sahda menjadi kakaknya.

Keesokan harinya, Shakilla pulang ke rumah dan menemukan kakakknya


yang sedang tertidur pulas dengan botol alkohol yang digenggam. Sungguh, saat
itu Shakilla ingin meluapkan amarahnya namun berulang-kali ia mengucap
istighfar dan ingat bahwa bersabar adalah orang yang digemari oleh Allah. Ia
mencoba untuk membangunkan kakaknya dan memintanya untuk segera mandi
dan menjenguk nenek di rumah sakit, tetapi usahanya untuk membuat sang kakak
sadar sangat sulit. Shakilla sangat lelah, ia mulai meneteskan air matanya.

“Apa maumu, sih, kak? Aku sudah lelah menghadapimu, tolong sadar,
Allah tidak menyukai hambanya yang melenceng dari ajaran agama. Aku tahu,
kehidupanmu di perkuliahan sangat modern, kamu boleh mengikuti
perkembangan zaman, tapi tidak dengan pergaulan bebas.”
Selang beberapa menit kemudian disaat Shakilla menangis, Asyifa
terbangun. Ia menyipitkan matanya dan melihat sekitar lalu mendapati Shakilla
yang menangis. Asyifa termenung menyadari kesalahannya dan sadar bahwa
neneknya sedang sakit. Sebenarnya, saat Shakilla menghubungi kemarin malam,
ia sedang mabuk. Asyifa menghampiri sang adik dan memeluknya, tanpa disadari
Asyifa meneteskan air matanya.

“Maafkan aku yang terlalu sibuk dengan urusan kesenangan duniawi


hingga melupakan kewajibanku. Aku berjanji akan memperbaiki semuanya.”

“Aku rindu dengan sosok kakak yang ingat bahwa dunia hanya sementara,
kakak yang mengingatkanku untuk selalu berbuat baik dan taat kepada Allah.”
Ucap Shakilla sesenggukan.

Asyifa dan Shakilla berangkat menuju rumah sakit. Kakak perempuan itu
menggenggam tangan adiknya. Sungguh, Shakilla rindu dengan momen ini.
Sesampainya di rumah sakit, mereka berdua mendapati nenek yang terbalut kain
putih. Deg! Jantung mereka berdegup kencang tak percaya apa yang dilihat.
Kedua bersaudari itu lari menuju nenek dan membuka kain tersebut.

“Nenek! Bangun! Aku dan kakak masih butuh kehadiran nenek.”

“Nek, aku mau memperbaiki semuanya, tolong kasih Syifa kesempatan


lagi untuk menjaga nenek seperti nenek menjaga aku dan Shakilla.

Nenek Wati meninggal dunia saat Shakilla dan Asyifa menuju rumah
sakit. Ia seperti sudah tahu bahwa Asyifa menyadari kesalahannya dan bertaubat
kepada Allah. Saat itulah, ia berada di atas kain putih saat kedua cucunya akur
kembali. Nenek Wati pergi melepaskan semua rasa sakitnya di dunia. Kesadaran
diri adalah langkah awal menuju perubahan. Ketika seseorang menyadari bahwa
tindakannya melenceng, itu adalah hal yang terpenting. Selalu ada kesempatan
untuk memperbaiki diri dan kembali ke jalur yang benar. Meski anak muda yang
mengikuti perkembangan zaman, keyakinan agama dan nilai-nilainya tetap
menjadi yang utama.

Anda mungkin juga menyukai