Anda di halaman 1dari 3

Rindu Sahabat Yang Hilang

Oleh Ni Komang Suwerni


(SMA Pariwisata Saraswati Klungkung)
Rasanya baru saja kemarin aku masih bermain dengan sosoknya yang ceria.
Perawakannya yang tinggi semampai dengan rambut hitam panjangnya membuatku rindu
akan kehadirannya. Dia adalah sahabatku, namanya Cahaya. Dulu hampir setiap hari kami
bersama. Sampai sekarang aku masih tetap mengharapkan kehadirannya kembali.
Aku terduduk di halaman belakang rumahku. Membuatku teringat akan kebersamaan
kami. Aku masih mengingatnya dengan jelas bagaimana dia selalu datang ke halaman
belakang rumahku ini, suaranya yang sedikit cempreng membuatku sangat hapal siapa yang
datang. Dia memang terbiasa datang kesini bahkan keluargaku terbiasa akan kehadirannya.
Setiap hari kami mengerjakan tugas sekolah bersama. Kebetulan, selain menjadi
tetangganya kami juga sekelas dalam sekolah yang sama. Seperti kehidupan sekolah biasa,
kami terbiasa bergelut dengan tumpukan tugas dan biasa mengerjakannya bersama. Namun
tidak seperti biasanya, dia tidak datang ke rumahku untuk belajar bersama hari ini. Karena
heran, aku pun datang ke rumahnya yang kebetulan bersebelahan dengan rumahku. Aneh,
itulah hal pertama yang terlintas di pikiranku. Rumahnya begitu sepi, karena biasanya di jam-
jam segini pasti ada Tante Intan, Ibunya Cahaya yang sedang menjaga warung tepat di depan
rumahnya. Kenapa dia tiba-tiba menghilang tanpa kabar, pikirku dengan heran.
Teriakan-teriakan panggilan dariku terus kulontarkan. Namun, tetap saja tidak ada
jawaban sama sekali. Karena lelah menunggu, kuputuskan untuk kembali saja ke rumahku.
Aku mencoba positif thinking tapi tetap saja tidak bisa. Entah kenapa perasaanku tidak enak.
Benar juga, saat ini pasti Cahaya sedang bekerja di toko bunga. Aku merutuki kebodohanku
yang tidak terpikirkan kesana dari tadi. Kemudian, aku segera bergegas siap-siap untuk ke
toko bunga tempat dimana Cahaya bekerja.
Sesampainya di sana, langsung saja aku masuk ke dalam toko. Kutolehkan ke sana kesini
tetap saja tidak menemukannya sama sekali. Saat sedang kucari lagi, aku terkejut dengan
seseorang yang tiba-tiba menyentuh pundakku. Saat kutolehkan ternyata dia adalah Kak
Ratih. Kak Ratih adalah pemilik dari toko bunga tempat Cahaya bekerja.
“Eh Ratna, ada keperluan apa kamu kesini?” tanya Kak Ratih tersenyum.
“Begini Kak, aku kesini mau mencari Cahaya. Kenapa dia nggak kelihatan sama sekali
ya?”
“Sebenarnya Cahaya juga belum datang sampai saat ini. Tumben banget dia nggak masuk
kerja tanpa ijin dulu,” balas Kak Ratih sama bingungnya denganku.
Kekhawatiranku semakin menjadi, entah apa yang sedang dilakukannya sampai tidak ada
kabar sama sekali. Aku telepon pun handphonenya tidak tersambung. Sebenarnya bukan
sekali dua kali dia seperti ini. Semenjak beberapa bulan yang lalu, dia selalu saja tidak ada
kabar sama sekali terutama di sore hari. Ketika kutanya dia sedang apa karena sampai tidak
mengangkat teleponnya dariku, jawabannya selalu sama yaitu sibuk bekerja di toko bunga.
Nyatanya dia berbohong kepadaku, dia tidak bekerja sama sekali di sore hari karena kata
Kak Ratna biasanya Cahaya pergi bekerja setiap hari minggu pagi saja. Sepanjang perjalanan
pulang, pikiranku penuh akan kenapa Cahaya sampai berbohong kepadaku. Tepat saat aku
tiba di depan rumahku, kulihat Tante Intan sedang terburu-buru masuk ke dalam rumah. Aku
tetap memerhatikan dari sana, sampai kulihat Tante Intan akhirnya keluar membawa kertas
dan amplop yang aku tidak tahu apa isinya. Langsung saja tanpa berpikir apa-apa lagi, aku
langsung menuju ke rumahnya, kulihat Tante Intan sedang mengunci pintu rumahnya.
“Selamat sore Tante,” salamku kepada Tante Intan. Beliau nampak terkejut dengan
sapaanku. Namun, akhirnya dia tersenyum melihatku.
“Eh iya Ratna, sore. Ada apa ya, Ratna? tanya Tante Intan begitu melihatku. “Boleh nanti
saja nggak? Tante sedang buru-buru soalnya sekarang,” sambung Tante Intan sembari
melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangannya.
“Bukannya aku terlalu kepo ya Tante. Kalau boleh tahu Tante mau kemana?” tanyaku
dengan sopan kepada Tante Intan. “Ngomong-ngomong, Cahaya dimana ya Tante? Aku dari
tadi sudah nyoba ngehubungin Cahaya, tapi tidak tersambung handphonenya,” kataku kepada
Tante Ratna sambil kulirikkan mataku ke sekitar rumahnya.
“Sebenarnya Tante tidak mau memberi tahu kamu tentang ini. Tapi apa boleh buat, kamu
sahabatnya. Kamu juga berhak tahu apa yang terjadi kepada Cahaya,” kata beliau sedih. Aku
mengerutkan alisku bingung. Maksud Tante Intan ini apa sebenarnya. “Sebenarnya Tente
buru-buru seperti ini karena bersiap mau ke rumah sakit. ”
“Ke rumah sakit? Siapa yang sakit Tante?” tanyaku lagi.
Tante Ratna terdiam cukup lama, tapi akhirnya dia menghela napas berat. “Cahaya yang
sedang berada di rumah sakit,Ratna. Baru-baru ini kami diberitahu pihak rumah sakit kalau
Cahaya sedang mengidap Kanker Otak,” kata beliau sedih. Perkataan Tante Ratna cukup
membuatku terkejut, pikiranku benar-benar kosong.
Aku memutuskan untuk ikut ke rumah sakit bersama. Di perjalanan aku benar-benar
khawatir dengannya. Kulangkahkan kakiku menuju kamar rawat inapnya. Perlahan kubuka
pintu kamarnya. Tatapanku terpaku begitu kulihat dirinya terbujur kaku tidak berdaya. Aku
tidak bisa membendung air mataku agar tidak terjatuh. Banyaknya alat rumah sakit yang
terpasang di seluruh tubuhnya membuatku sakit melihatnya. Di perjalanan tadi, aku sudah
diceritakan kalau siang tadi Cahaya tiba-tiba saja pingsan. Lalu dibawanya ke rumah sakit
segera. Tante Intan juga memberitahuku kalau penyakit yang diidap Cahaya sudah dari 3
bulan lalu diketahui. Namun, katanya Cahaya tidak mau memberitahu aku apa yang
dialaminya. Dia takut aku akan khawatir dengannya. Berhari-hari kutunggu dia akan sadar.
Tetap saja dia setia memejamkan matanya.
“Hei...apa kamu nggak mau melihatku? Kamu tahu apa yang aku alami beberapa hari ini?
Aku kesepian. Aku tidak terbiasa tanpa kehadiranmu,” kataku padanya yang tetap setia
berbaring di tempat tidurnya. “Ah lihat ini, air mataku jatuh lagi. Kamu harus bertanggung
jawab! ” seruku disertai tangisan.”
“Kamu benar-benar ya, buka matamu. Aku benar-benar takut saat ini. Aku takut kamu
akan per—hiks.” Aku tidak bisa membendung tangisanku yang semakin menjadi-jadi.
“Cahaya, aku rindu denganmu,” gumamku selesai mengingat kejadian waktu itu. Tepat
sekarang adalah 1 tahun kepergiannya. Dulu aku khawatir dia menghilang entah kemana.
Tidak ada yang menduga, dia benar-benar hilang untuk selamanya. Aku bahagia bisa bersama
kamu di saat-saat terakhirnya, meskipun tidak ada kata perpisahan di antara kita. Aku
senantiasa mendoakanmu agar tenang di atas sana. Aku merindukanmu sahabatku.

Anda mungkin juga menyukai