Anda di halaman 1dari 6

Tuan Rapuh di Ruang 21

Aku Gayatri, Sasmita Gayatri. Aku seorang perawat yang belum lama ini mengabdi di
salah satu rumah sakit sederhana di Kota Bandung. Sebelumnya aku bertugas di salah satu
rumah sakit di kawasan Jakarta Selatan, tentunya rumah sakit tempatku bekerja dulu lebih
bagus dari rumah sakit ini. Genap empat bulan lalu, Bapak pergi meninggalkan aku dan Ibu
dengan ribuan kenangan yang apabila diingat akan menyayat hati. Ibu terpukul, sangat. Maka
dari itu aku putuskan untuk bekerja di sini, supaya aku bisa selalu menjaga dan menemani
Ibu. Kepergian Bapak membuat suasana rumah tidak seperti biasanya. Meskipun
kepergiannya sudah terbilang cukup lama, baik aku dan Ibu masih merasakan pilu. Aku
masih merasakan bagaimana duka merundung aku dan ibu hingga sekarang. Namun apa
boleh buat, aku dan Ibu harus ikhlas, dengan itu Bapak bisa pergi dengan tenang.
Aku suka membuat puisi, dan membaca buku. Ketika aku sedang jenuh bekerja, pasti
akan aku manfaatkan waktuku pergi ke sudut kota, hanya untuk sekedar membaca atau
menulis beberapa bait puisi. “... Gaun putih indah dikenakan, semburat sunyi mulai
menghilang, pun raga dan jiwanya..” Bait terakhir yang aku tulis beberapa hari lalu. Aku
tulis kalimat itu dengan hati yang sedang dipenuhi oleh rasa gelisah.
Hari ini aku berniat pulang cepat, ingin makan opor ayam buatan Ibu. Berani aku
jamin kalau rasanya setara dengan makanan hotel bintang lima. Baru saja aku kemasi barang-
barang di mejaku, aku dengar seseorang yang memanggil namaku. Katanya, aku disuruh
bantu tangani pasien laki laki di ruang 21. Dengan segera aku tinggalkan barang-barang di
meja dan berlari ke arah lorong yang mana ruang 21 itu berada. Aku sedikit panik melihat
pasien itu berontak melepaskan infus yang ada di tangannya. Segera aku mendekat dan
mencoba membuat dia tenang namun hasilnya nihil, aku malah terdorong dan hampir jatuh
karena pasien itu mendorong aku cukup kuat. Tak lama Dokter Nina datang dan menyuntikan
obat penenang pada pasien tadi.
Kejadian sore tadi cukup membekas di pikiranku, pasalnya belum pernah aku rasakan
kejadian seperti ini sebelumya. Pasien laki-laki tadi, baru pertama kali aku menanganinya,
karena memang tugasku adalah merawat pasien di ruang 28 sampai 35. Pasien tadi seperti
meluapkan emosi yang sudah lama ia pendam. Terlihat dari matanya yang penuh dengan
amarah. Ya Tuhan, kenapa aku memikirkan pasien itu terlalu jauh? Lebih baik aku segera
pulang dan makan opor ayam buatan Ibu tercinta.
Aku rasa malam ini lebih sejuk dari biasanya, aku seperti bisa menikmati detik demi
detik yang terlewat. Aku beranjak dari kasur untuk menemui ibu di ruang tamu. Aku lihat Ibu
termenung. Tangannya genggam sebuah foto dengan hati-hati. Aku juga melihat Ibu peluk
foto itu seperti takut kehilangan. Perlahan aku arahkan kaki mendekati Ibu, aku duduk di
sampingnya sambil bertanya foto apa yang sedang Ibu genggam. “Ibu kangen Bapak, Mit.”
Satu kalimat yang keluar dari mulut Ibu mampu membuat aku seperti ditusuk belati tepat di
dada sebelah kiri. Tanpa berpikir panjang, aku peluk Ibu dengan penuh sayang dan kehati-
hatian. Sayangi, akan aku sayangi ibu dengan sepenuh hati.
Kejadian semalam sukses membuat aku banyak diam hari ini. Ditambah lagi kabar
bahwa aku dipindah tugaskan ke ruang 21 sampai 24. Aku sungguh kebingungan mengapa
aku dipindahkan. Namun aku tidak mau berpikir aneh- aneh, mungkin memang sistem
bekerja di sini seperti itu sejak dulu. Aku buang pikiran-pikiran burukku dan memutuskan
akan pergi ke toko bunga setelah pekerjaan hari ini selesai.
“Maaf soal kemarin, saya ngga bermaksud buat dorong kamu. Emosi saya lagi ngga
terkontrol hari itu.” Di situlah percakapan antara aku dan Jatma di mulai. Iya, nama pasien
ruangan 21 itu Jatma, Jatma Sagara. Laki-laki yang divonis oleh dokter mengidap kanker
stadium 3. Aku cukup kaget dengan fakta tersebut, karena aku tidak melihat sedikitpun aura
seseorang yang sedang mengidap penyakit serius di dalam dirinya, Jatma lebih terlihat seperti
orang yang sedang sakit demam, namun memang tubuhnya kurus dan wajahnya pucat.
Menurutku, sejauh ini aku dan Jatma bisa berteman. Melihat dari kesukaan kita berdua yang
sama persis yaitu membaca dan menulis puisi. Namun istimewanya Jatma adalah, dia suka
melukis. Aku harap aku bisa merawat dia dengan baik.
Terbilang sudah satu minggu aku bertugas di ruang 21, menemani Jatma yang
semakin hari semakin kukenal karakteristiknya. DIa adalah lelaki yang dipenuhi oleh sendu
dan pilu. Entah bagaimana ceritanya aku dan dia bisa saling mengenal cukup jauh, ah
maksudku, lebih dari seorang perawat dan pasien. Besok pagi dia pulang, “Saya mau rawat
jalan saja, selagi masih kuat berjalan, kenapa saya sia-sia kan sisa waktu hidup saya
berbaring di rumah sakit.” Katanya padaku siang tadi setelah aku memberinya obat dan
makan siang.
Aku pulang tepat pukul delapan malam, aku cium aroma pisang goreng buatan Ibu
yang langsung membuat perutku keroncongan. Dengan tergesa aku pergi ke kamar lalu
membersihkan diri. Setelah selesai semuanya, aku hampiri ibu yang sedang menonton tv,
meja di hadapannya sudah diisi dengan pisang goreng satu piring juga teh manis hangat dua
cangkir. “Bu, Mita coba ya pisang gorengnya. Sudah lama ibu ngga buat pisang goreng”
Kataku diselingi tawa, “Ibu sedang mengenang masa-masa bareng Bapak, Mit. Dulu
bapakmu suka sekali kalau ibu buatkan pisang goreng coklat.” Ibu menjawab pertanyaanku
dengan wajah yang sulit kuprediksi. Aku sedikit tertegun mendengar jawabannya. Aku sangat
amat paham bahwa Ibu akan selalu mencintai Bapak sampai akhir hayatnya.
Sebelum pergi tidur aku duduk di meja yang letaknya ada di samping tempat tidurku,
yang juga langsung berhadapan dengan jendela di kamarku. Semilir angin langsung menyapa
kulit pipi dan wajahku. Dingin, sepi, sunyi, untung saja aku pakai jaket kecoklatan pemberian
bapak satu tahun silam. Ucapan ibu tadi membuatku tersadar bahwa ditinggal pergi seseorang
yang kita sayangi bukan hanya perihal kesedihan, tapi perihal ikhlas dan menerima
kenyataan. Sangat terlihat di mata Ibu, dia belum ikhlas menerima semua ini. Ibu dan Bapak
adalah dua insan yang saling melengkapi satu sama lain. Ibu selalu bantu bapak berdiri ketika
dunia sedang memaksanya untuk jatuh. Begitupun dengan Bapak, ketika semesta mencoba
membuat Ibu sakit, Bapak sudah lebih dahulu peluk dan lindungi ibu dengan jutaan kasih
sayang. Aku menggeleng, mencoba menyadarkan diriku yang sudah semakin jauh
mengenang Bapak. Aku tutup jendela perlahan, mataku seperkian sekon tertuju pada langit
gelap yang dipercantik oleh bintang-bintang. Kubaringkan tubuhku di kasur yang nyaman,
berdoa supaya besok menjadi hari yang baik dan pergi tidur.
Suasana pagi rumah sakit hari ini membuatku termenung, aku duduk tertunduk di
salah satu kursi ruang tunggu. Ada seorang wanita yang melahirkan anak, namun tak lama
dari itu ia meninggalkan anaknya untuk selamanya. Seorang laki-laki yang kutebak adalah
suami dari wanita itu berteriak histeris. Menggema di ruang persalinan nomor 8. “Amara,
Amara sayangku, aku mohon jangan tinggalkan aku!” Laki-laki itu mengucap kalimat yang
sama berulang kali, yang jika semakin aku dengar, semakin aku rasakan kepedihan yang dia
rasa. Aku beranjak dari tempat duduk, membawa tubuhku berjalan ke arah ruangan di mana
bayi tadi sedang dibersihkan. Bayi perempuan yang cantik, aku rapalkan ribuan doa supaya
anak itu hidup dalam dekapan orang-orang baik.
Sekarang aku terduduk di ruanganku, cukup berantakan tapi tidak membuat aku
tergerak untuk membereskannya. Aku buka kotak bekal yang Ibu siapkan tadi pagi, kotak
bekal berwarna ungu, yang sejak dulu menjadi kotak bekal kesukaanku. Mataku langsung
berbinar melihat isinya, ayam goreng dan orek tempe. Dua makanan yang bisa aku habiskan
dalam satu kejapan mata. Saat aku sedang menikmati makanan, mataku tertuju pada amplop
putih yang terletak di atas buku catatan milikku. Tanganku bergerak mengambilnya, amplop
itu bertuliskan “Untuk = Sasmita Gayatri” di pojok kanan bawah. Aku buka amplop itu hati-
hati. “Sasmita, mungkin kamu buka surat ini ketika saya sudah di rumah. Mau sekali saya
temui kamu sebelum pergi tadi, tapi sepertinya kamu sedang sibuk tangani wanita yang
melahirkan. 0851650378324. Tolong hubungi saya sepulang kamu bekerja. Ada hal yang
mau saya bicarakan.” Aku mendengus kesal, kenapa harus aku yang menghubungi dia
terlebih dahulu. Dasar cowok tidak gentle. Tapi di balik itu semua, bibirku sedikit tersenyum
entah apa penyebabnya.
Matahari terbenam, membawa sinar-sinarnya yang menjadikan semesta redup
perlahan. Aku pulang dengan perasaan berbeda dari biasanya, aku ingin cepat-cepat sampai
rumah. Aku ingin segera menelfon Jatma. Bukan, bukan karena aku merindukannya, aku
hanya penasaran apa hal yang ingin ia sampaikan.
Aku pakai gaun putih gading yang beberapa pekan lalu Ibu jahit. Ada pita hitam
berukuran cukup besar di bahu kanan, kata Ibu “Sebagai pemanis, supaya kamu terlihat
lebih cantik.” Aku memutuskan untuk duduk di kursi depan rumah. Berniat mau
menghubungi Jatma. Jantungku berdetak tak karuan, aku bingung dengan semua ini. Aku
memutuskan untuk mengakhiri panggilan sebelum Jatma mengangkatnya. Tepat ketika aku
hendak berdiri, telefonku berdering cukup nyaring. Terdapat tulisan “Jatma” di layar
telefonku. Aku duduk kembali, mengarahkan telefon ke telinga dan mendengar suara laki-
laki itu yang samar-samar sedang mendengarkan musik kuno tahun 90-an. Tidak terasa aku
habiskan sekitar satu jam untuk berbincang dengannya melalui telefon. “Besok saya jemput
kamu, pakai motor gapapa, ya? kalau hujan kita cari tempat teduh sambil minum teh
hangat.” Katanya tadi sebelum mengakhiri panggilan denganku. Mau jalan kaki pun aku
sanggupi kalau berdua denganmu. Aku berucap tidak sadar, membuat aku sendiri terkaget
atas apa yang tadi aku ucapkan.
Hari ini rumah sakit tidak terlalu ramai. Aku hanya mengecek beberapa pasien di
ruang 23 dan 24 karena memang pasien ruang 21 dan 22 sudah pulang ke rumah. Hari ini
menjadi hari yang cukup istimewa untukku, petang nanti katanya Jatma mau temui aku. Kami
akan pergi ke danau yang terletak di sudut kota, tempat yang sering aku kunjungi ketika aku
sedang jenuh dengan pekerjaan. Untungnya hari ini aku tidak lembur, jadi aku bisa
menghabiskan cukup banyak waktu dengannya.
Pukul empat lebih tiga puluh menit, aku mempersiapkan diri untuk pulang, lebih
tepatnya untuk bertemu dengan Jatma. Aku pakai sedikit parfum sweet pea yang kumiliki di
sekitaran pergelangan tangan. Aku suka harum parfum ini, harumnya seperti membuat aku
terlihat lebih cantik. Aku mengerjapkan mata ketika notifikasi teleponku berbunyi, Jatma
sudah menungguku di depan, dengan segera aku hampiri dia. Sekian meter jarak antara aku
dengannya, jantungku berdetak persis seperti semalam, tak karuan. Aku usap dadaku
berulang kali, berharap jantungku tidak berdetak tak karuan.
Dia duduk di bangku taman, pakai setelan baju simple warna kecoklatan. Ya Tuhan,
tampan sekali dia hari ini. Aku tatap dia dari kejauhan, yang tak kusadari bahwa dia
menatapku juga dari sana. Terlihat lambaian tangan yang mengisyaratkan aku untuk
mendekat. Dengan langkah gugup aku temui dia di taman depan rumah sakit. Dia tatap aku
seperti baru pertama kali bertemu. Entah kenapa tatapan itu membuat aku tersipu malu.
Aku duduk di jok motor miliknya, masih dengan keadaan yang gugup. Dia kendarai
motor ini dengan hati-hati. Suasana kota yang tidak terlalu ramai menambah kesan romansa
di antara kami berdua. Aku arahkan tanganku ke pinggangnya, sedikit kuremat baju yang dia
kenakan karena suasana cukup dingin sekarang. Maaf Jatma, bajumu jadi kusut hari itu.
Jantungku seperti berhenti berdetak sejenak. Dia arahkan tanganku untuk memeluk
pinggangnya, “Dingin, kamu ngga pakai jaket, kan? Jadi lebih baik kamu peluk saya,
Sasmita.” Dia berucap demikian dengan ekspresi yang datar, sementara aku menerima
perlakuan itu dengan perasaan. Dan, entah mengapa setiap dia sebut namaku, aku rasakan
euphoria yang sebelumnya belum pernah aku rasakan.
Kami berdua duduk di rumput kering depan danau. Rupanya dia bawa buku, “Geger
pecinan 1740.’’ Tertulis cukup besar di cover buku itu. Aku sempat pernah dengar tentang
buku ini, tapi akan kupastikan apa itu isi buku yang dia bawa. Aku tidak membawa buku,
karena memang aku tidak tahu apa yang akan kami lakukan sekarang. Jatma hanya minta aku
untuk bertemu dengannya hari ini. Dia bergeser mendekat ke arahku, bahu kami saling
bersentuhan. Dapat kurasakan darahku berdesir, hanya karena bahu kami saling bersentuhan,
dan itupun tidak sengaja. Kami akhirnya membaca buku bersama, ternyata buku ini berisi
tentang pembantaian VOC terhadap orang Tionghoa. Peristiwa ini jadi momentum persatuan
antara pribumi dan etnis Tionghoa. Buku yang sukses membuat kami berdua bergidik ngeri
membaca tiap paraghraf yang tertulis.
Tak terhitung berapa kali mata kami saling bertemu. Laki-laki ini punya sesuatu yang
lain dalam dirinya, kulit kuning langsat dan mata yang indah. Pasti Tuhan menciptakan dia
ketika suasana hati-Nya sedang berbahagia. Bisa kuucap ratusan kali kata pujaan untuknya.
Bibirnya pucat, menurutku lebih pucat dari beberapa minggu lalu ketika ia di rumah sakit.
Berkali-kali aku tanya keadaannya, dia selalu menjawabku dengan kata-kata yang sama
persis seperti sebelumnya “Saya ngga apa apa Sasmita, ngga ada yang perlu kamu
khawatirkan.” Mudahnya ia berucap seperti itu sedangkan pikiranku berkecamuk
memikirkan keadaannya. Dia keluarkan secarik kertas yang ada di tengah-tengah halaman
buku yang ia bawa. Dia menyuruhku untuk menggenggam bunga kering liar yang tumbuh
disekitaran kami. Dia goreskan pena yang ia bawa pada kertas tadi. Tak lama dari itu terlihat
gambaran tangan yang sedang menggenggam bunga, persis seperti tanganku. Aku tersenyum,
kuambil kertas tadi dan hendak kumasukkan ke dalam tas selempang yang kukenakan. Tapi
sebelum itu, Jatma ambil kertas tadi, lalu menuliskan “Wanita yang genggam bunga ini tak
kalah cantik.” Dia beri corak hati di ujung tulisan, membuat aku tak lagi mampu menahan
senyum. Laki-laki ini bahaya, bahaya untuk aku, lebih tepatnya untuk hatiku.
Jatma antar aku sampai depan pintu rumah, katanya dia takut aku tersandung batu.
Memang dasar tuan hiperbola. Sebelum pulang dia berpamitan sama Ibu. Aku khawatir sekali
karena ini sudah malam, cuaca cukup dingin sedangkan Jatma tidak pakai jaket. Tadi sudah
kutawarkan untuk memakai jaket almarhum Bapa, tapi ia menolak. “Saya pakai baju cukup
tebal kok, ngga perlu pakai jaket. Terima kasih tawarannya Sasmita.” Dia berucap demikian
sambil melangkah pergi dari rumahku. Ibu melirikku dengan bibir tersenyum mengejek.
Membuat aku malu setengah mati karena ini pertama kalinya aku diantar pulang laki-laki.
“Tampan, Mit. Tapi wajahnya sendu.” Senyumku perlahan luntur saat ibu berucap seperti
itu. Aku mengangguk, duduk disamping ibu dan menyandarkan badanku ke kursi kayu di
depan rumah. “Sakit bu, stadium 3.” Ibu usap bahuku perlahan, katanya ia mau berdoa untuk
kesembuhan Jatma. Supaya Jatma bisa jadi temanku ketika nanti Ibu menyusul Bapak.
Terhitung sudah sekitar satu bulan aku dan Jatma mengenal dekat satu sama lain.
Tidak jarang kami bertemu hanya untuk sekedar membaca buku bersama. Waktu itu, hari
kamis sore, kami bertemu di taman kota. Suasana cukup sepi, padahal langit senja sore itu
cantik sekali. Aku duduk di sampingnya, kami duduk di bangku besi yang warnanya mulai
pudar karena berkarat. Dia menyandarkan kepalanya pada bahuku. Tangannya sibuk
menggambar hamparan bunga liar yang tumbuh bebas di hadapan kami. “Kamu cantik,
ratusan bunga itu kalah cantik sama kamu.” Dia taruh secarik kertas dan pena tadi.
Tangannya beralih menggenggam lembut tanganku. “Kamu patut dicintai, patut dicintai
sama laki-laki yang utuh. Saya juga mau utuh, Sasmita. Supaya bisa cintai kamu penuh
dengan tulus.” Mataku memanas mendengar kalimat yang dia ucapkan tadi. “Kamu utuh
Jatma, kamu bisa cintai aku dengan tulus. Makannya sembuh, ya?” Dia tertawa pelan,
menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan. “Kalau ngga sembuh, Hatimu jangan ikut
sakit.”
Hari ini perasaanku mendadak gelisah. Jatma minta aku untuk temui dia, lagi. Tapi
kali ini bukan di taman kota, atau danau sudut kota tempat kita biasa bertemu. Dia
menyuruhku untuk menemuinya di rumah. Ia mau aku pakai gaun hitam untuk nanti sore.
Untung aku tidak lembur, jadi aku bisa datang lebih cepat ke rumahnya.
Aku pakai gaun hitam panjang. Bagian lengannya hanya panjang sampai siku. Gaun
ini terakhir kupakai waktu pemakaman Bapak. Aku biarkan rambutku tergerai, karena Jatma
lebih suka ketika aku tidak mengikat rambut. Lebih manis katanya. Aku berangkat ke sana
dijemput oleh Pak Danu, supir pribadi Jatma. Aku sedikit bingung, kenapa bukan Jatma
sendiri yang menjemputku seperti biasanya?
Hanya butuh waktu sekitar 30 menit untuk sampai ke rumah Jatma. Aku ketuk pintu
besar di hadapanku sebelum akhirnya berjalan masuk. Rumah ini minimalis, luas tapi tidak
diisi dengan banyak barang. Rumah yang didominasi oleh warna putih ini, menjadikanku bak
bintang tamu istimewa karena memakai pakaian serba hitam. Aku naiki tangga dengan
sedikit terburu-buru. Aku langkahkan kakiku ke kamar milik Jatma. Ia sudah menatapku dari
kejauhan, tubuhnya terbaring di kasur berukuran cukup besar. Aku tersenyum, duduk
disamping kasur. Jatma menatapku lekat, tangannya terulur menggenggam tanganku. Ia beri
isyarat untuk membuka kotak hitam yang ada di atas nakas. Kubuka perlahan, sedikit sulit
karena sebelah tanganku masih Jatma genggam dengan erat. Ada kalung perak dengan liontin
berwarna biru muda di dalam kotak hitam itu. “Pasti cantik kalau kamu pakai, itu hadiah
untuk ulang tahunmu dua hari lagi. Saya kasih hari ini karena takut ngga kesampaian.” Aku
pakai kalung tadi, tersenyum ke arah Jatma yang sedari tadi tidak mengalihkan pandangannya
dariku. “Kamu cantik Sasmita Gayatri. Saya jatuh cinta berulang kali.”
Hari ini aku beli bunga lily putih. Sengaja kupilih bunga yang paling indah. Istimewa
untuk dia. Aku sekarang kehilangan arah, kebingungan, tersesat mencari arti bahagia di
dunia. Langit mendung, aku tersenyum getir. Untung tidak ada petir, aku sudah tidak punya
pelindung saat ini. Aku tetap melangkah ke tempat di mana dia beristirahat, tempat terakhir
aku melihatnya terbaring, bedanya kala itu dia di dalam peti mati. Aku duduk berjongkok di
samping nisan jingga yang tanahnya masih basah, pertanda ini makam baru. Aku tak bisa
memaksakan agar hatiku cepat pulih. Aku tatap nisan jingga bertuliskan “Jatma Sagara”
rasanya duniaku seperti mau runtuh bila kembali kusadari bahwa dia sudah pergi. Aku taruh
bunga lily putih tadi dengan rapi, berharap dia akan suka. Aku habiskan beberapa jam di sini
hanya untuk mengingat kisah kami. Kalau aku tau hari itu hari terakhir kami bertemu, akan
kupeluk dia sambil kuucapkan ribuan kalimat cinta untuknya. Jatma, harusnya sebelum
kamu pergi, kamu ajari aku dulu bagaimana caranya ikhlas.
Aku sampai rumah dengan keadaan basah kuyup, sengaja tak bawa payung berharap
sedihku ikut mengalir bersama hujan. Ibu tidak marah, ia mengerti bahwa aku sedang
berkabung. Ibu hampiri aku yang sedang terduduk di depan cermin. Tangannya terulur
mengusap lembut rambutku yang masih basah. “Pelan-pelan ikhlasnya, Mit. Kalau terburu-
buru yang ada kamu semakin kalut. Ibu paham dengan apa yang kamu rasa, sampai saat ini
Ibu pun belum rela. Kita belajar ikhlas dan terima keadaan bersama-sama, ya?” Aku
pahami dengan teliti kata demi kata yang ibu ucapkan tadi. Aku putar lagu Sampai Jadi Debu
yang dinyanyikan oleh Banda Neira sebagai teman untuk malam ini. “... Tuan rapuh, kini
sendumu berpindah menjadi milikku. Tak apa, tetap kunikmati sendunya selagi mampu.”
Aku tutup buku catatan sajak milikku, dengan sajak terakhir bertuliskan “Tuan Rapuh di
Ruang 21”

Tamat

Anda mungkin juga menyukai