Anda di halaman 1dari 7

Cerpen

“SERANGKAI
HARAPAN UNTUKMU”
O

KELOMPOK I

Yuneth Latumahina

Aurel Tehupuring

Jasmine de Queljoe

Everalda Buarlely

Billiam Mauwa

Galda Lesnussa

Marco Harmusial
SERANGKAI HARAPAN UNTUKMU

“Iraaa…………….!!”

Terdengar suara samar-samar memanggil namaku. Namun, aku tidak bisa


melihat orang tersebut. Mataku semakin berat, bayangan di depanku terlihat kabur,
kian kabur, dan akhirnya gelap.

***

“Iraa .. iraaa…”,

Suara yang tidak asing lagi bagiku, aku pun membuka mata berlahan, sepintas
terlihat mamaku menatapku dengan cemas. Ku lihat sekeliling, semuanya putih, cat
tembok, gorden, selimut dan bau obat menyengat di hidungku, dan aku tersadar
tenyata aku kembali ke tempat yang tidak aku suka, rumah sakit. Rumah sakit yang
sama, yang sering ku kunjungi, ruangan yang sama, dokter yang sama, dan tentu baju
pasien yang sama, sampai bosan ku melihatnya.

Aku berusaha untuk bangkit, namun kepalaku terasa berat, darah kembali
keluar dari hidungku. Mamaku terlihat panik dan mengusap sambil menggerutu tidak
jelas. Dengan terbata-bata aku bertanya, “Ma.. Ira pingsan lagi ya,? Kenapa Ira
pingsan terus Ma? Kenapa Ira mimisan terus? Papa mana Ma..?”

Mamaku hanya diam dan melihatku dengan lesu. Aku pun tahu, mamaku
tidak akan pernah menjawab dan menceritakan tentang penyakitku dan aku pun tahu
Papaku tidak akan berada di ruangan yang sama dengan Mamaku.

Sejak 5 tahun yang lalu, disaat umurku 9 tahun aku kehilangan kehangatan
kasih sayang dari keluargaku. Papa meninggalkan rumah dan tiap malam Mamaku
sering melihat foto Papa sambil menangis. Sejak itu aku pun sering sakit-sakit. Entah
kenapa aku selalu merasa tidak adil dengan apa yang terjadi dihidupku.

Lamunanku seketika buyar mendengar suara dokter yang sudah berada di


sampingku. Entah sejak kapan ada disampingku.

“Ira.. gimana keadaanya, masih pusing?”, tanya Dokter Andreng.

Aku pun melirik mama yang awalnya tampak lesu dan langsung seketika
ekspresinya berubah tegang melihat dokter berbicara padaku. Aku pun menjawab
dengan enggan dan malas.

“Yah.. seperti dulu-dulu jah dokter, sebenarnya penyakit Ira ni apa sih Dok?
Kenapa Ira sering pingsan dan mimisan,, dan kenapa pandangan Ira tiba-tiba kabur?
Jawab pertanyaan Ira Dok!”, kataku ketus.

Sepintas aku lihat mama melirik dokter Andreng. Dokter Andreng terlihat
ragu dan gelisah. Segera dokter Andreng menjawab pertanyaanku.

“Ira ga pa-pa kok.. Ira jangan khawatir gitu yah.. Ira pasti bisa sembuh..”, kata
Dokter Andreng dengan lembut sambil menatapku lesu dibalik kacanya yang tebal.

***

3 hari pun berlalu sangat lambat. 3 hari juga aku membolos dari sekolahku.
Aku sangat bosan berada di ruangan ini. Ruangan yang sepi ditambah lagi bau obat
yang menyengat, sungguh membosankan. Hingga ku putuskan untuk keluar kamar
dan berjalan-jalan. Namun, ketika kakiku menyentuh lantai, tiba-tiba sesosok laki-
laki yang ku kenal masuk dan tersenyum hangat padaku. Air mataku menetes ketika
melihat laki-laki yang tiada lain papaku sendiri, Wahyu Pradipto 40 tahun. Papa
langsung memeluku, tangisan ku pun semakin keras. Papa membelaiku dengan
lembut, belaian yang sudah lama tidak ku rasakan. Ingin ku marah, tapi aku tidak
kuasa mengucapkan satukata pun di balik pelukan papa.

“Ira.. Maafkan Papa ya.. Papa baru dapet tiket nya sekarang, maafin Papa
yah.. Papa tidak bisa menjagamu dengan baik sehingga kamu masuk rumah sakit
gini.. Maafin Papa Ira”, kata papa dengan lembut.

Tangisanku semakin keras saat mendengar ucapan papa, tiada berkata apapun,
aku hanya membalas dengan pelukan erat dan tangisan. Mendengar tangisanku,
Mama tiba-tiba masuk kamar dan kaget melihat aku berada dipelukan seorang lelaki
yang tiada lain mantan suaminya sendiri. Mama hanya tertegun dengan mata berkaca-
kaca melihatku dan papa. Sedikit demi sedikit mama melangkah, dengan ragu-ragu
mama menyapa.

“Ira.. Papa mu capek baru balik dari Amerika dan langsung kesini, biarkan
Papa beristirahat sebentar ya,, Papa dan Mama juga akan menemui dokter untuk
mengurus kepulanganmu”, kata mama dengan lemah.

“Gaaak mau.. II..iiira ingin Papa disini terus!” kataku sambil terisak-isak.

Papa kemudian memberi pengertian padaku, aku melepas pelukanku. Sangat


miris membiarkan papa pergi menjauh meninggalkan ruanganku. Mama ikut
menyusul kepergian papa.

***

Detik demi detik pun berlalu, sejam pun sudah terlewati. Hatiku mulai
gelisah, kenapa papa dan mama belum muncul juga. Pikiran buruk lalu lalang di
dalam otakku. Aku segera turun dari tempat tidur, sambil membawa kantung infuse,
kuseret tubuhku keluar dari ruangan menuju ruangan dokter Andreng yang tidak jauh
dari ruangan tempat ku berada. Akhirnya aku sampai di depan pintu ruangan dokter
Andreng. Ketika aku ingin masuk, tidak sengaja aku mendengar percakapan papa,
mama dan dokter Andreng. Aku tertegun mendengar percakapan mereka.

“Tidaak.. aku tidak mau kehilangan putriku!! Dokter harus sembuhkan


putriku dari kanker itu!! Bagaimanapun caranya!! Berapapun biayanya..!! katakan
saja dokter, aku sanggup!! Pokoknya buat putriku sembuh!!”, teriak mama sambil
menangis.

“Rin,, tenangkan dirimu.. dokter, berapa lama putriku bisa bertahan? Apa
tidak ada jalan lain untuk menyembuhkannya?”, tanya papaku dengan suara bergetar.

“Pak.. kanker Ira sudah kronis, tidak bisa dioperasi. Kita cuma bisa
memperlambat proses penyebaran kanker dengan obat-obatan. Kondisi Ira akan terus
menurun karena kanker otaknya. Waktu yang paling lama bertahan cuma 3 tahun
Pak..”, kata dokter Andreng.

Mendengar semua fakta tersebut, aku berbalik dan dengan tertatih-tatih aku
kembali ke ruanganku.

Di dalam ruanganku aku tertegun dan menangis meratapi nasibku dan umurku
yang hanya tinggal 3 tahun lagi. “Jadi ini alasannya mama, papa dan dokter
menyembunyikan fakta tentang penyakitku, Ya Tuhan.. kenapa begitu pahit fakta
yang ku terima..” kataku dalam hati.

Sejam telah terlewati, menangis sendiri, tertegun sendiri. Meratapi nasib yang
malang ini. Aku pun tersadar dengan satu hal. Aku harus berjuang memanfaatkan
waktuku yang sedikit ini untuk mempersatukan kedua orang tuaku. Aku harus
berjuang dengan cara apapun untuk melawan penyakitku demi orang tuaku karena ku
sadar Tuhan memberikan nafas panjang padaku untuk bertahan selama tiga tahun dari
penyakit ini. Aku pun menulis serangkai kata-kata penuh dengan harapan pada
Tuhan, semoga tidak ada lagi orang yang mengalami hal yang sama denganku.
Andai aku bisa kembali
Aku ingin tidak ada tangisan
Andai aku bisa kembali
Aku tidak ingin ada lagi hal yang sama terjadi padaku
Terjadi pada siapapun

Tuhan
Andai aku bisa memohon
Jangan ada tangis dan duka di dunia lagi
Tuhan
Andai aku bisa merangkai kata untukmu
Jangan pisahkan aku dari sahabat dan orang yang aku sayangi.

Aku ingin menjadi dewasa seperti burung yang bisa terbang ketika ia dewasa
Aku ingin orang tuaku melihat aku ketika aku memiliki lagi keindahan
geraian
rambut..

Tuhan

Anda mungkin juga menyukai