Anda di halaman 1dari 2

Suasana kantorku pagi hari ini sama seperti suasana hari-hari sebelumnya.

Semua pegawai sibuk


dengan urusannya masing-masing. Ku lihat ada beberapa yang berlari masuk dan ada juga yang
terlihat santai berjalan mengarah keluar dari pintu kantor. Tak lama alarm handphoneku berbunyi.
Mengingatkanku untuk segera masuk ke ruanganku. Udara dingin dari air conditioner yang menyala
menyambut ku ketika kubuka pintu ruangan. Ruangan itu begitu minimalis tidak terlalu besar tetapi
tidak terlalu kecil. Dinding ruangan itu berwarna biru tua, dengan lukisan-lukisan berukuran kecil
yang menghiasi. Meskipun begitu, ruanganku ini cukup menampung 2 loker yang sengaja ku beli
untuk keperluan kerjaku. Untuk menambah suasana nyaman, aku sengaja membeli 3 pot bunga kecil
untuk ku jadikan hiasan meja. Ketika aku masuk, pandanganku langsung jatuh ke papan nama yang
ada di atas meja kerjaku. Papan nama itu bertuliskan Janera Maharani dengan font bold lalu di
bawahnya tertulis customer service.

Ya, aku adalah Janera Maharani seorang customer service dari perusahaan yang cukup terkenal.
Perusahaan ini mengelola berbagai aplikasi, contoh besarnya ialah Facebook, Instagram, YouTube
dan lainnya. Aku diterima perusahaan ini ketika aku baru saja tamat kuliah 3 bulan yang lalu. Ibuku
hanya ibu rumah tangga biasa, sedangkan ayahku sudah meninggal ketika aku berusia 13 tahun.
Pekerjaanku ini memakan cukup banyak waktu. Normalnya aku bekerja dari jam 08:00 hingga jam
19:00, tetapi belakangan ini shift kerjaku sering berubah-ubah. Sekarang aku bekerja dari jam 20:00
hingga jam 04:00. Pergantian shift itu membuatku kurang sehat, sampai-sampai dalam seminggu ini
aku sering keluar masuk rumah sakit.

Aku tiba-tiba terbangun dari tidurku. Aku mengamati ruangan di mana aku berada, sampai
mataku melihat jam yang terletak tepat di atas pintu ruangan. Jam itu menunjukkan pukul 7. Lalu
aku mengingat-ingat kejadian apa yang menimpaku semalam sampai aku ada di ruangan ini. Ini sama
sekali bukan ruang kerjaku, tetapi aku tidak panik. Aku tahu persis di mana aku sekarang, ruangan
dengan cat dinding berwarna putih, bau desinfektan yang sangat kuat, dua brankar yang saling
berhadapan, hingga peralatan medis yang ada di meja sebelahku. Aku berada di rumah sakit, aku
hanya bisa menghela nafas pasrah. Kejadian ini sudah terjadi berulang-ulang. Awalnya aku berniat
untuk resign dari pekerjaan ini, tetapi ekonomi keluargaku adalah alasan mengapa aku tidak resign
hingga sekarang. Tidak mau berlama-lama di rumah sakit lagi, aku langsung menekan tombol nurse
call yang ada di tepi bangkar. Tak lama seorang suster datang membuka pintu ruangan. Dia
menghampiriku lalu bertanya beberapa pertanyaan kepadaku.

“Halo, selamat siang kak. Apakah ada keluhan kak? Atau sakit di bagian tertentu?” ucapnya
dengan senyum manis di bibirnya. Aku hanya mengedipkan mata.

“Maaf mbak, saya sakit apa ya mbak?” tanyaku pada suster itu.

“Kakaknya kekurangan darah, pasti sering bergadang ya kak? Ga baik kak sering-sering
bergadang” Candanya kepadaku. Aku hanya terkekeh kaku.

“Kira-kira kapan ya kak saya bisa keluar?” Tanyaku to the point. Suster itu tampak menaikkan
alisnya sesaat lalu tersenyum hangat.
“Sebenernya kakak uda bisa keluar, tetapi saran dari dokter lebih baik kakak rehabilitasi atau
istirahat dulu sehari atau dua hari di rumah sakit.” Aku terdiam, lalu mengangguk ringan. Tak lupa
aku mengucapkan terima kasih kepada suster itu.

Besoknya aku berjalan-jalan kecil di taman luar rumah sakit, taman itu sangat luas, berbagai
macam bunga ada di situ. Banyaknya bunga membuat area itu menjadi harum, siapa pun yang
menghirup udara di taman itu pasti akan merasa tenang dan nyaman. Langkahku terhenti ketika
melihat 3 orang berpakaian compang-camping yang sedang duduk di lantai. 2 sepasang orang
dewasa dan 1 anak kecil. Aku tidak berniat mendekati mereka, tetapi tangisan anak kecil itu
membuatku menghampiri mereka.

“Maaf mas, mbak. Kalau boleh tau anaknya kenapa ya..?” Tanyaku pada mereka, tapi mereka
diam seribu bahasa. Aku langsung mengerti situasi lalu dengan cepat pergi dari situ, tetapi aku
mendengar kata demi kata yang diucapkan oleh mereka berdua. Aku tertegun mendengarnya.
Mereka bilang anak itu mengidap kanker kulit.

“Anakku mengidap kanker kulit jane, KANKER!!!” Teriaknya padaku. Aku benar-benar kaget saat
itu, Nafasku tertahan, badanku tidak bergerak sedikit pun, aku tidak bisa berpikiran lurus.

“Ka-kamu kenal aku?” Tanyaku gugup. Dia langsung melemparkan sebuah kartu kepadaku saat itu
juga dan ternyata itu adalah Kartu Tanda Penduduk. Aku membaca nama pemilik KTP tersebut
dengan tanganku yang gemetaran dan nama Dian Wardiya sangat tertera jelas. Mataku langsung
berair seketika, aku tidak bisa menahan tangisku, aku ingin berhenti menangis tapi tidak bisa.

“Kamu ke mana aja selama ini?! Semenjak kamu pindah sekolah sejak SMA kamu ga pernah
menghubungiku sama sekali.” Air mataku tidak henti-hentinya jatuh, sama halnya dengan Dian,
sahabatku sejak kami sekolah dasar hingga sekolah menengah atas pada tahun kedua dia pindah
sekolah.

“A-Aku hancur jane, kehidupanku hancur. Orang tuaku sudah membuangku. Hidupku sengsara
karena cowok gila ini! Aku ga punya sepeser pun untuk membayar biaya pengobatan anakku!”
Ucapnya sambil menunjuk-nunjuk kepada cowok disebelah-Ku. Aku mengerti sekarang. Pantas saja
selama Dian pindah, aku sering mengunjungi rumah orang tua Dian dan menanyakan kabar Dian.
Saat itu Orang tua Dian hanya menjawab bahwa dia keluar kota dan bilang bahwa Dian sudah
bekerja, tetapi ketika kutanya di mana Dian bekerja, mereka hanya tersenyum kaku lalu selalu
mengalihkan pembicaraan. Dian hamil diluar nikah dengan pacarnya.

“Dian... Kamu tenang dulu ya... Soal biaya itu biar aku aja yang tanggung. Kamu ga perlu mikirin
biaya lagi. Kamu harus tenang dulu.” Kataku kepada dian dengan nafasnya terbata-bata. Dian tidak
menanggapi sama sekali. Aku langsung berinisiatif menuntun Dian dan anaknya menuju kamar
rumah sakitku. Aku tidak peduli dengan pacar Dian di belakang, pikiranku hanya fokus pada Dian dan
anaknya. Aku tahu Dian dan cowok itu belum menikah melalui KTP Dian. Ketika melihat itu hatiku
sangat lega, Dian tidak perlu terjerat status hukum dengan cowok itu.

Anda mungkin juga menyukai