Anda di halaman 1dari 4

BAB 6

Cinta Ummi

Perlahan, kubuka mataku, terlihat dunia ini masih buram. Samar-samar, aku melihat dua
siluet manusia di sampingku tengah berdiskusi. Semakin lama, semakin jelas, semakin nyata. Suara
diskusi mereka samar-samar semakin kudengar.

“Kak Rain! Kak Rain sadar!” sedikit kudengar, salah satu dari dua siluet itu berseru
menghadapku.

Tiba-tiba, kurasakan kelembutan sentuhan diatas kepalaku, sentuhan yang menyejukkan


batin, sentuhan yang penuh cinta dan kasih sayang.

“Rain ... bangun nak, ini Ummi,”

Seketika, seluruh indraku bangkit, pendengaranku yang semula tidak dapat kugunakan
dengan baik, kini berfungsi optimal. Penglihatanku yang semula buram, kini jelas melihat dunia.

Kusuruh bibirku terbuka untuk menyalurkan suara dari pita suaraku. Walaupun sulit, tapi
tetap kuusahakan sebaik mungkin, kuharap suara yang keluar dari bibirku itu akan jernih. Tapi
sayang, semua itu di atas kuasaku.

Beberapa detik kemudian, syukurlah ada suara yang sukses keluar melalui bibirku. Walau
kudengar suara itu lemah dan serak, tapi itu lebih baik dari pada tidak sama sekali. Kurasa, pita
suaraku telah lama tak kugunakan, sehingga harus kulatih terlebih dahulu untuk menjernihkannya.

“Um-Ummi ... Di-Dina ... “ suaraku serak, lemah dan terbata-bata.

Segurat senyum kuperlihatkan kepada mereka. Bahagia kurasakan saat dengan jelas aku
melihat wajah mereka, rinduku telah terobati.

“Sudahlah nak, kamu diam dulu, simpanlah tenagamu untuk kesehatanmu,” Ummi
tersenyum sambil melihatku.

Kulihatu, kristal air memenuhi semua lini di mata Ummi. ‘Oh, betapa lembutnya hati Ummi’
batinku tersentuh oleh adegan ini. Itu semua membuat senyumku kian tulus dari hatiku yang
terdalam.

“Dimana ... Kak ... Dila?” ucapku dengan lemah.

“Kak Dila masih ada di luar Kak, tunggu kukabari Kak Dila” Dina merogoh smarth phone dari
dalam sakunya. Lalu, dia menghubungi Kak Dila yang katanya tengah ada di luar.

“Nak, masih ada yang terasa sakit?” tanya Ummi padaku dengan nada sedih.

Aku meresponnya dengan mengangkat tanganku menuju kepalaku. Kusentuh kepalaku yang
saat itu masih tersisa rasa perih bersarang. Mengisyaratkan kepada Ummi bahwa kepalaku sakit.

“Itu cuma sementara, sebentar lagi akan sembuh.” Ummi menjawab seakan mengerti
isyaratku.

“Kak Rain sadar! ... ia ... masuk aja, dia tanyain Kak Dila ... “ sesaat setelah terhubung ke Kak
Dila, Dina terlihat berkata demikian.
Dina menoleh ke arah Ummi, lalu bertanya seakan itu adalah pertanyaan dari Kak Dila.
“Ummi juga mau beli nasi bungkus?”

“Gak usah, Ummi masih belum lapar.” Jawab Ummi.

“Lah, tapi Ummi belum makan dari tadi. Ummi jangan nakal, Dina gak mau Ummi sakit juga.”
Dina merajuk dengan menunjukkan wajah yang begitu imut terlihat.

Tak sempat Ummi merespon perkataan Dina, Dina langsung kembali ke telephone
melanjutkan pembicaraannya dengan Kak Dila.

“Kak Dila! Ummi mau beli nasi yang enak katanya Kak, belikan dengan porsi yang banyak ya,
kak. Ummi udah dari tadi belum makan.”

Kuperhatikan, Ummi samar-samar tersenyum sambil melihat Dina. Aku pun juga tersenyum
bangga sebab memilikk adik yang begitu baik seperti Dina.

“Ia ... ia kak, empat porsi, siapa tau Kak Rain juga mau ... Ya, ok ... Wa’alaikumussalam.”

Dina kembali bertutur pada Ummi “kata Kak Dila, Ummi mau dibelikan nasi goreng lauknya
lalapan ayam. Terus Kak Dila juga mau beli macam-macam buah.”

“Duh, apa itu gak terlalu berlebihan Din?” tanya Ummi.

“Kurasa enggak Mi, anggap aja ini merayakan kesembuhan Kak Rain.” Kata Dina dengan
mantap.

Beberapa saat kemudian, aku melihat seorang wanita berpakaian putih, berkerudung putih,
memakai masker, masuk ke dalam ruangan ini. Sepatu hitamnya yang menyentuh lantai
mengeluarkan bunyi bersautan antara kaki kanan dan kirinya. Stetoskop yang bertengger di lehernya
membuatku yakin, kalau dia adalah dokter di rumah sakit ini.

Dia lantas mendatangi samping ranjangku. Dia mendiskusikan beberapa hal tentangku
kepada Ummi. Aku tidak terlalu menghiraukan diskusi mereka, sebab kurasa itu bukanlah hal
penting.

Si Dokter kemudian bertanya padaku, “apanya yang masih sakit?”

“Kepala ... “ dengan suara lemah dan serak, aku menjawab pertanyaan dokter tersebut.

Dia menyentuh kulit leherku dengan tangannya. Dia lalu melanjutkan pertanyaannya “gak
pusing tapi, ya?”

Aku meresponnya dengan gelengan samar. Kuyakin dokter itu akan mengerti dengan
isyaratku. ‘Aku sulit untuk mau mengeluarkan kata, dok! Jangan semakin membebani aku dengan
pertanyaan, sekarang aku lagi sakit bukan lagi jadi maling yang diintrogasi.’ Kata batinku menggerutu
dengan keadaan si dokter.

Dokter itu kemudian beralih berbincang-bincang dengan Ummi. Kemudian, dokter itu
mengeluarkan jarum suntik, dan mengisinya dengan sesuatu yang kurasa itu adalah obat.

Aku menelan ludah dengan berat. Dari dulu, aku memang selalu khawatir jika akan disuntik.
Bukan takut, tapi lebih tepatnya aku ngeri melihat jarum suntik. Sebelum disuntik, aku selalu
membayangkan sakitnya, tapi setelah disuntik, aku berpikir ‘lah, ini tidak sakit sama sekali’ dan itulah
yang kurasakan saat ini.
Kukira dokter akan memasukkan jarum suntiknya ke badanku, tapi ternyata, dokter itu
memasukkan jarum suntiknya ke ujung selang infusku. Saat dokter itu menekan ekor alat suntik
tersebut, seketika kurasakan obat masuk ke dalam lenganku. Pangkal lengan—khususnya di tempat
bertenggernya colokan infus ke tanganku—yang dari tadi tidak merasakan apa-apa, kini sebagiannya
terasa seperti kesemutan.

Selesai memberikan suntikan terbaiknya, dokter itu berlalu pergi meninggalkan ruangan.
Kini, aku, Dina, dan Ummi tengah menanti Kak Dila yang cukup lama membeli makanan untuk kami.

“Jam berapa sekarang Din? Ummi masih belum salat zuhur,” tanya Ummi kepada Dina.

“Udah jam setengah dua siang Mi. Silakan kalau Ummi mau salat, biar Dina yang jaga Kak
Rain. Dina lagi gak bisa salat soalnya.”

“Ia, nak. Ummi mau ke musalla dulu, jaga Kak Rainnya.”

Usai berpesan kepada Dina, Ummi lalu berdiri dan melangkah menuju luar ruangan.
Membuka tirai yang sudah lama bertengger untuk penutup di pintu, kemudian menghilang dari
pandanganku.

Tinggal kami berdua, keheningan menyelimuti. Dina yang kulihat wajahnya mulai
memunculkan aura kebosanan, mulai mengeluarkan smarth phonenya. Dia menundukkan kepalanya
tanda sedang asik dengan dunianya, dunia maya.

Sedangkan aku yang juga semakin bosan, kini mencoba untuk memejamkan mataku, siapa
tahu aku akan tertidur. Aku berkonsentrasi memunculkan kedamian serta ketentraman dalam
pejamku. Aku mengingat kejadian semalam yang membuatkan perih untukku. Rasa perih semalam,
kini semakin kusadari adanya. Tak apalah, dia memang sudah menjadi teman baik bagiku.

Seketika, hal aneh terjadi padaku ... .

.....

Perlahan, kubuka kembali mataku yang terasa berat. Kurasakan perih dikepalaku semakin
menjalar, menekan masuk ke rongga-rongga otakku.

Aku melihat kembali dua siluet manusia tengah berada di sampingku sedang berdiskusi. ‘Oh
Tuhanku ... Ini adalah adegan yang Engkau perlihatkan kepadaku.’ Batinku merasa aneh.

Aku melanjutkan detik per detik seperti awal aku baru membuka mataku. Adegan demi
adegan yang kulihat terasa sama seperti semula. Siluet yang tadinya buram kini semakin jelas
terlihat, pendengaranku semakin tajam terasa.

“Kak Rain! Kak Rain sadar!” kuyakini itu suara Dina yang sama seperti saat aku pertama kali
mendengarnya.

Pikiranku yang tidak sepenuhnya pulih mencoba mengingat kembali kejadian yang baru
kurasakan. ‘Ini bagai dunia yang lebih nyata dari sebelumnya’ pikirku kemudian. Entah apa yang
telah terjadi, aku pun tak tahu dan merasa bingung.

“Rain ... bangun nak ini Ummi,”

Wajahku tak lagi menunjukkan senyum tanda terlepasnya rindu. Aku memasang wajah
keheranan, adegan ini sama persis dengan apa yang kurasakan sebelumnya.
Karena mulai bingung, aku lantas berniat menanyakannya kepada Ummi. Tapi sayang,
bibirku kembali ke setelan awal saat pertama kali aku berkata.

“Um-Ummi ... Di-Dina ... “ dari berbagai kata tanya yang kususun untuk kutanyakan, hanya
kata itu yang dapat keluar melewati mulutku.

“Sudahlah nak, kamu diam dulu, simpanlah tenagamu untuk kesehatanmu,” kembali kulihat
air mata Ummi menggenang dipelupuk matanya.

Detik itu juga aku mulai bingung. Adegan-adegan ini sudah selesai kurasakan sebelumnya,
tapi anehnya, adegan kali ini terasa sangatlah nyata.

Tiba-tiba teringat olehku tentang Kak Dila yang ada diluar. Karena penasaran apakah adegan
ini benar-benar sama seperti yang kurasakan sebelumnya, aku lalu bertanya.

Dengan segenap kekuatanku, aku mengeluarkan suara lirih dan serak untuk bertanya “Kak ...
Dila ... ada di ... luar?”

“Ia Kak, Kak Dila masih ada di luar. Tunggu, kukabari dia.” Jawab Dina.

Dina mengambil smarth phonenya, sama persis dengan keadaan yang sebelumnya
kurasakan.

‘Apakah yang kurasakan sebelumnya itu mimpi? Ataukah itu adalah dunia lain selain dunia
yang kurasakan saat ini?’ pertanyaan-pertanyaan semacam itu terus berkecamuk di dalam pikiranku.

Seketika itu juga, aku merasakan sakit dikepalaku datang. Semakin aku memikirkan tentang
kejadian ini, semakin aku merasakan sakit. Semakin aku mengingat tentang kejadian sebelumnya,
sakit itu semakin merasuk menyelimuti kepalaku. Aku tak sanggup. Aku mengerutkan keningku
berharap sakitku akan lebih baik.

Di saat itulah Ummi bertanya “Nak, masih ada yang terasa sakit?”

Tak sanggup lagi aku berkata-kata, aku hanya bisa menyentuh kepalaku dengan tanganku.
Sebelumnya, aku melakukan ini dan Ummi akan mengerti isyaratku. Kuyakini Ummi akan menjawab
hal yang sama seperti yang sebelumnya, walaupun tidak sama persis.

Namun, diluar dugaanku, Ummi menjawab sesuatu yang jauh berbeda. Ummi berkata
padaku “jangan kau lawan nak, itu akan menyakitkan bagimu. Biarkan saja mengalir seperti aliran
sungai yang jernih. Kau tak akan bisa menahan lautan agar tidak berombak. Kau tak akan bisa
menahan badai agar tidak mengeluarkan topan. Kau juga tak dapat menahan awan agar tidak
menurunkan hujan. Nikmati saja apa yang kau rasakan.” Ummi lantas tersenyum.

Seakan tahu apa yang kurasakan, Ummi menyentuh keningku dan mengusapnya sepenuh
hati. Rasa cintanya, dapat mengalahkan apapun yang dapat menggangguku.

Atas apa yang Ummi lakukan dan katakan padaku, aku lalu dapat menangkan pikiranku yang
sedang berkecamuk. Aku membiarkan apapun terjadi padaku, aku menikmati kesakitanku. Sampai
untuk kedua kalinya, rasa sakit kujadikan teman baikku dikala itu.

Setelah itu semua, adegan per adegan berjalan sebagaimana yang kurasakan sebelumnya.
Tapi, atas kasih sayang serta cinta dari Ummi, aku sudah tidak mempedulikannya lagi. Aku tenang,
tentram dan damai berada dalam sentuhan Ummi. Aku bahagia berada didalam cinta Ummi.

----

Anda mungkin juga menyukai