Wara’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tertulis sebagai “warak”, kata serapan dari bahasa Arab tersebut berarti sifat menjauhi suatu perkara yang belum jelas antara haram dan halalnya sebab takut terhadap keharaman perkara tersebut. Sifat tersebut adalah salah satu sifat mulia yang sering kalo diajarkan dalam mata pelajaran akhlak tasawuf. Wara’ juga dapat diartikan sebagai kehati-hatian seseorang terhadap perkara yang masih belum jelas hukumnya. Hal itu semata-mata agar dapat memperkecil volume dosa dan mendekatkan diri pada Allah SWT. Dikutip dari islam.nu.or.id, ada 4 tingkatan wara’ menurut Imam Abu Hamid Al-Ghazali, yaitu: 1. Wara’ minimal Wara’ ini adalah sifat minimal bagi orang-orang muslim untuk menjadikannya di terima sebagai saksi, hakim dan pemerintah. Jika seorang muslim tidak memiliki kewara’an ini, maka kesaksian seorang muslim tersebut ditolak. Kewara’an ini suatu keadaan dimana seseorang meninggalkan keharaman lahiriyah. 2. Wara’ orang-orang Soleh Kewara’an ini adalah sifat seseorang menjauhi perkara yang belum jelas haram dan halalnya. 3. Wara’ orang-orang bertakwa Wara’ ini adalah keadaan dimana seseorang menjauhi perkara yang murni kehalalannya sebab takut perkara tersebut akan menyebabkan keharaman. 4. Wara’ golongan Shiddiqin Wara’ tersebut adalah keadaan dimana seseorang meninggalkan perkara selain Allah sebab takut sepenggal waktunya akan hilang sia-sia dan tidak digunakan untuk mengingat Allah SWT.1 Dari tingkatan-tingkatan wara’ diatas, tingkatan ke-empat adalah tingkatan wara’ tertinggi pada diri manusia, serta tingkatan wara’ tersebut adalah tingkatan yang paling jarang atau bahkan tidak ada pada suatu daerah di masa sekarang. Seseorang dengan sifat wara’ pada tingkat pertama sudah patut diapresiasi untuk masa sekarang sebab jarangnya sifat wara’ melekat pada diri manusia milenial. Hal tersebut terjadi sebab tantangan yang semakin kompleks seirama dengan zaman yang semakin maju. Dengan tanpa adanya sifat wara’, akan banyak kasus-kasus korupsi yang dapat merugikan negara dan bangsa. Sebagai contoh kasus di Papua Barat, penyidik Tipikor Polda tangkap anggota fraksi Otsus DPR terkait korupsi (6/12/22).2 Tak hanya itu, kasus-kasus seperti kasus suap juga akan banyak terlaksana sebab tiadanya sifat wara’ pada oknum-oknum pemerintah. Semisal kasus suap Mahkamah Agung (MA), yakni kasus suap staf Diklat mahkamah agung Djodi Supratman pada tahun 2013, kasus suap eks sekretaris mahkamah agung Nurhadi tahun 2020 dan kasus suap Hakim Agung Sudrajad Dimyati tahun 2022 (23/09/22).3 Semua contoh kasus tersebut tentu saja salah satu penyebabnya adalah tidak ada sifat wara’ dalam diri mereka. Jika orang-orang dengan kasus suap dan korupsi tersebut memiliki sifat wara’, 1 https://islam.nu.or.id/tasawuf-akhlak/4-tingkatan-wara-menurut-imam-al-ghazali-66Xo7 (diakses pada 13/12/22) 2 https://amp.kompas.com/nasional/read/2022/09/23/15032961/deretan-kasus-suap-jual-beli-perkara-di- mahkamah-agung-yang-dibongkar-kpk (diakses pada 13/12/22) 3 https://islam.nu.or.id/tasawuf-akhlak/4-tingkatan-wara-menurut-imam-al-ghazali-66Xo7 (diakses pada 13/12/22) niscaya mereka tidak akan berani untuk berlaku curang terhadap negara sebab sifat wara’ akan menjaga mereka dari keharaman suatu perkara. Dari contoh-contoh kasus diatas, maka sifat wara’ tidak hanya penting diketahui tetapi juga perlu diimplementasikan sebagai budaya untuk kebaikan bersama. Sayangnya, banyak tantangan yang harus dilalui sang pemilik sifat wara’ untuk bertahan di zaman sekarang. Dari tantangan tersebut, maka pengimplementasian sifat wara’ akan terasa lebih sulit dari masa sebelumnya. Adapun beberapa tantangan dalam pengimplementasian sifat wara’ di masa sekarang adalah sebagai berikut: 1. Banyaknya oknum yang curang di kepemerintahan sehingga akan sulit untuk mengimplementasikan sifat wara’ pada mereka. 2. Tekanan keadaan seperti saat membuat KTP atau sejenisnya ada istilahnya uang pelicin, sehingga mau tidak mau seseorang harus menurutinya demi kebutuhan orang tersebut. 3. Tekanan lingkungan seperti pendidikan dan doktrinasi saat kecil atau di masa pendidikan bukan doktrinasi agama khususnya bidang akhlak, maka akan sulit untuk mengubah kebiasaan yang telah melekat pada dirinya. 4. Tekanan teman, seperti saat semua teman kantor melakukan kebohongan kepada atasan tentang suatu perkara, maka akan sulit bagi seseorang yang menjadi bagian dari pekerjaan tersebut untuk berlaku jujur dan mengimplementasikan sifat wara’. 5. Kebutuhan kehidupan zaman milenial yang begitu kompleks juga akan membuat sulit untuk mengimplementasikan sifat wara’. 6. Zaman yang semakin nyaman, membuat banyak orang lebih terbuai terhadap kenikmatan dunia, sehingga akan sulit berlaku wara’. 7. Mayoritas kalangan orang-orang zaman sekarang tidak mengimplementasikan sifat wara’, sehingga sulit bagi kaum minoritas untuk terus menerus mengimplementasikan sifat wara’. 8. Kurangnya doktrin keagamaan khususnya tentang akhlak di kepemerintahan, sehingga banyak oknum yang memilih berbohong dari pada berlaku jujur untuk menjaga sifat wara’nya. Dari uraian diatas tentang wara’, dapat disimpulkan bahwa sifat wara’ adalah sifat mulia yang patut diapresiasi bagi pemilik sifat tersebut di zaman milenial ini. Sebab begitu sedikit orang- orang khususnya di kepemerintahan yang memiliki sifat tersebut. Pengimplementasian sifat wara’ adalah sangat mungkin dilakukan di zaman sekarang tetapi hal tersebut akan terasa sulit sebab semakin kompleksnya tantangan yang dihadapkan oleh zaman.