Anda di halaman 1dari 5

Kini Ia Tenang

oleh Aletha Dearuhur Purba / X IPS 1 / 1

Catatan: Semua dalam cerpen ini bersifat fiktif dengan tema fantasi.

“Hentikan.”

Bisik lirihku tertelan oleh ombak seruan manusia, tersapu oleh amarah yang menggelora,
terhenti oleh bambu runcing yang terancung. Dapat aku lihat bendera merah putih berkibar.
Namun saat aku berkedip, lautan manusia itu hancur menjadi kepingan, dan kembali
mewujud menjadi pemandangan yang familier: kamar tidurku. Aku mengerjap bingung,
sudah tiga hari aku ‘dihantui’ oleh penglihatan ini. Terkadang saat benakku kosong, suatu
memori menyerbu ke dalam otakku, lantas terputar bagai rol film. Aku sadar aku tengah
menyaksikan memori orang lain, seseorang di masa lampau. Helaan nafas lega aku hembus
sembari menatap ke arah game yang tengah aku buka di komputerku. Namun ketenangan itu
terganti oleh jengit kaget, lantaran seorang wanita bersurai pendek nan legam muncul di
sudut kamar.

“Namaku Anais,” ujarnya, bahkan sebelum aku bertanya. “Sekarang kau duduk tenang, dan
akan ku jelaskan apa yang terjadi padamu. Ini akan terdengar bodoh, tapi kalau kau ingin
menghentikan penglihatan-penglihatan itu, aku anjurkan untuk percaya padaku.” Aku
menurut. Anais menarik kursi kosong di sebelah kursi gaming milikku, lalu menatapku,
mulai menjelaskan. “Saat seseorang meninggalkan dunia, jiwanya akan melakukan
reinkarnasi. Kau ini adalah reinkarnasi ke sekian dari jutaan jiwa yang telah meninggal. Saat
sebuah jiwa melakukan reinkarnasi, artinya dia sudah ‘melepaskan’ kehidupan lamanya.
Bagaimanapun, ada beberapa jiwa masih tidak tenang saat melakukan reinkarnasi. Dan saat
hal itu terjadi, jiwa tersebut akan menghantui tubuh hasil reinkarnasi, dan memasukkan
memori-memori miliknya di kehidupan sebelumnya. Inilah yang tengah terjadi padamu. Dan
tugasku di sini adalah untuk menghentikan itu.” Ia menatapku tajam. “Ada pertanyaan?”

Banyak. Kata itu tertahan dalam hatiku. “Kenapa kau bisa menghentikannya dan aku tidak?
Lalu bagaimana persisnya kau bisa menghentikan itu?” tanyaku takzim. Ia menyunggingkan
senyum. “Dunia roh itu konsep yang sukar dimengerti, dan kebetulan saja aku salah satu dari
segelintir orang yang mafhum dan bisa melintasi dunia itu. Aku bukan kau. Aku bukan
manusia. Aku tak terlahir, tapi dicipta oleh Sang Penguasa, untuk memastikan roh-roh
reinkarnasi berakhir tenang sebagaimana semestinya.”
Sungguh, aku tidak mengerti. Anais terkekeh kecil, seakan-akan dapat membaca raut
wajahku.

“Untuk pertanyaan kedua, akan lebih baik kalau kau mengalaminya sendiri,” sambungnya.
Segera ia meraih tanganku, mengaitkan jari-jari di antara milikku. Sebuah celah yang
memancarkan cahaya merekah di lantai kamarku, dan kami pun jatuh ke dalamnya. Aku pun
kembali menatap penglihatan itu. Lautan manusia yang mengacungkan bambu-bambu
runcing, ucapan cerca dan kutuk terhadap para penjajah memenuhi indra pendengaranku.
Mereka tengah marah, mereka tengah dipenuhi semangat, dan amat kentara, mereka tengah
berjuang. Namun kali ini aku dapat mengambil kendali atas diriku sendiri, bukan seperti
biasanya: menyaksikan memori milik orang lain lewat sudut pandang orang itu.

Anais menunjuk sebuah rumah berdinding anyaman bambu, lantas kami berdua masuk ke
dalam. Kedatangan kami disambut oleh seorang pemuda, agaknya sebaya, dapat aku lihat
matanya melempar tatap berapi-api ke jendela. Entah amarah atau semangat yang terpatri di
dalamnya, aku pun tidak tahu. Mungkin keduanya. Mungkin bahkan bukan dua-duanya.

“Perkenalkan, ini Tikta, jiwa reinkarnasimu di kehidupan sebelumnya. Selamat datang di


tahun tiga puluhan, kala Belanda masih menjajah Indonesia,” Anais menjelaskan singkat.
Gadis itu menjentik jarinya, dan Tikta mengganti arah pandangannya ke kami. Gairah dalam
matanya surut dalam sekejap, berganti dengan tatapan prihatin nan menyedihkan. Anais
melanjutkan. “Beliau meninggal dengan jiwa yang tidak tenang, lantas kerap menyisipkan
kenangan dari otaknya ke dalam otakmu, karena kau adalah wujud reinkarnasinya. Untuk
menghentikan itu, kau harus mengabulkan permintaan terakhirnya. Akan aku beri kalian
berdua privasi.”

Wujud Anais perlahan menjadi transparan, kemudian menghilang total dari ruangan.
Canggung, aku dan Tikta saling bertukar tatap. “Kekhawatiranku terbukti, Nak. Kau lihat
rakyat yang tengah berseru-seru di luar rumah ini? Mereka tengah berjuang melawan
penjajah yang mencengkeramkan cakar tajamnya ke ibu pertiwi. Mereka tak akan berhenti,
tapi perjuangan kami pun,” tuturnya dengan suara yang sayup-sayup dan sedih. “Pemuda
zaman kami tak akan segan memberi nyawanya demi kemerdekaan negara, tapi dimana
semangat itu sekarang? Dimana semangatmu, sebagai generasi milenial? Sehari-hari
berpangku tangan dan berat kaki, mata terkunci pada teknologi, perjuangan kami sirna
terhapus dari histori.”
Aku menelan ludah gugup. Tikta meletakkan sebelah tangannya di bahuku, meremasnya.
“Aku tak bisa tenang melihat jejak perjuangan kami terhapus begitu saja. Sungguh, Nak,
tujuanku membayang-bayangimu selama ini demi perubahan yang lebih baik. Buktikan
padaku kau bisa berubah, bawa kembali semangat perjuangan itu ke zamanmu—aku tenang
dan kau pun. Situasi saling menguntungkan untuk kita berdua, bukan?” Ia mengakhiri dengan
senyum getir.

Aku berusaha memaksa kata-kata keluar dari mulutku, tapi percuma. Rentetan kejadian-
kejadian yang menimpa terlalu sulit untuk diproses oleh akal sehatku. Pada akhirnya aku
hanya membalas dengan anggukan. Tikta pun melepas genggamannya dari bahuku.

“Cukup,” suara Anais menggema di dalam ruangan, namun gadis itu bahkan tak terlihat
batang hidungnya. Sebuah sentuhan tak kasat mata menggenggam jemariku, dan aku ditarik
menembus pintu rumah Tikta, kembali melintasi celah bercahaya, dan dalam satu kedipan
mata, sudah terduduk aku kembali di depan komputer. Anais kembali duduk di sebelahku.

“Kau sudah dengar syaratnya, bukan?” Ia bertanya. Aku mengangguk singkat.

“Tapi aku tak mengerti apa yang harus aku lakukan setelah ini,” jawabku jujur.

Anais menatapku sayu, prihatin. “Aku akan menemanimu,” balasnya.

Aku tersenyum lebar. “Sungguh?” Anais tertawa, lantas menjawab, “Sudah jadi
kewajibanku.”

Wanita itu berdiri dari kursi. “Kita mulai dari hal-hal yang sederhana dulu, ya? Matikan
game-mu. Sehari-hari hanya ini saja kerjaanmu, padahal banyak tugas kuliahmu menumpuk.”

Aku mendengus sebagai bentuk protes, Anais terlihat geli. “Hei, belajar itu juga bentuk
perjuangan di masa ini, tahu. Kau berjuang melawan kemalasan. Dan terlebih lagi, kau
menimba ilmu dan mengasah kemampuan untuk dipakai di masa depan. Negara ini butuh
banyak orang pintar,” celotehnya. Aku menurut, mengambil buku-buku dan kertas yang
menumpuk, lantas menyikat berlapis-lapis tugas yang entah sejak kapan aku tidak hiraukan.
Malam itu, aku tertidur di meja kamar dengan kepala terkulai, berbantal buku-buku tebal.

Anais raib dari kamarku pagi itu kala aku membuka mata. Aku mencari-cari sekeliling
rumah, namun hasilnya nihil. Pun akhirnya aku pasrah saja, berbaring di kasur, menunggu
wanita itu menghampiriku. Itu berbuah hasil, meskipun Anais akhirnya datang dengan cara
kasar, lantas menjitak pelipisku. “Kau kira weekend begini artinya bisa malas-malasan?”
Aku mengaduh pelan. “Memangnya apa lagi yang bisa aku lakukan?” Anais mendengus.
“Anak muda dengan banyak waktu luang sepertimu, kau bisa ikut banyak organisasi dan
pelayanan sosial. Aku lihat banyak sekali buku-bukumu yang berdebu, bagai tak pernah kau
sentuh. Itu bisa disumbangkan. Oh iya, manfaatkan juga teknologimu. Exposure dari sosial
media itu berpengaruh cukup besar. Bisa digunakan untuk berbagi informasi dan membantu
yang membutuhkan. Sekarang waktunya mengemasi buku-bukumu, pemalas.”

Hari itu, Anais dan aku berkeliling ke beberapa pos-pos organisasi sosial untuk memberikan
sumbangan. Keheningan menggelayuti atmosfer di antara kita berdua. Aku fokus menyetir
mobil, dan Anais kebanyakan terdiam. “Apa lagi selanjutnya?” tanyaku, memecah
keheningan.

“Kau sudah melaksanakan amanah Tikta, selesai sudah,” ujarnya singkat. Aku menaikkan
sebelah alis, bingung. “Jadi aku tidak akan menyaksikan penglihatan-penglihatan itu lagi?”
Anais menjawab dengan anggukan. “Kini ia tenang, jiwanya berpulang, aku dapat
merasakan.”

“Tapi bukan berarti kau bisa lanjut bermalas-malasan habis ini,” lanjutnya, sembari meninju
bahuku perlahan. “Aku tak bisa menjamin itu,” candaku. Anais melotot, aku pun tertawa.

Sesampainya di rumah, kami lekas duduk berdua di sofa ruang tamu. Anais membuka
pembicaraan. “Tugasku di sini sudah selesai. Tapi ingat, tetap bawa amanah itu di tiap
langkahmu. Perjuanganmu di zaman milenial belum usai. Tapi aku percaya padamu, kau
sudah bisa mengalahkan kemalasanmu. Selanjutnya, kau pasti bisa melakukan hal-hal yang
lebih besar. Buat para pejuang masa lalu bangga. Berjanjilah.” Dia mengulurkan tangan.

“Apakah kau benar-benar harus meninggalkanku?” tanyaku sembari menjabat tangan Anais.

“Ya,” jawabnya singkat. “Tapi tenang saja. Kau tidak akan merindukanku.”

Secercah cahaya muncul dari sela-sela jari kami berdua, lantas menyelubungi kami berdua.

Kala aku membuka mata, aku kembali ada di depan komputerku, dengan game yang biasa
aku mainkan menyala. Ada sesuatu yang berubah dariku, tapi aku tidak tahu apa. Seakan-
akan dua hari ini ada memori yang terkuras keluar dari otakku. Apa yang terjadi kemarin?
Apa yang terjadi dua hari yang lalu? Jawaban tak kunjung lewat di otakku. Aku mencoba
mengingat, tapi tak berbuah hasil. Hanya seorang wanita, dan sesuatu tentang reinkarnasi ….
Perhatianku lantas teralih oleh notifikasi di ponselku, sebuah headline terpampang jelas:
“Dicari relawan untuk membantu saudara kita yang tertimpa bencana banjir!”

Aku tersenyum, segera mematikan game di komputerku. Tak ada waktu bagiku untuk
bermalas-malasan. Sekarang, besok, dan hari-hari berikutnya di era ini. Waktunya berjuang.

Catatan tambahan: Interpretasi dalam nama, gender, dan visualisasi tokoh utama ‘aku’
diserahkan seluruhnya kepada imajinasi pembaca.

Anda mungkin juga menyukai