Anda di halaman 1dari 20

25 J AM

TITIK TEMU DARI DUA ARAH YANG MARAH ADALAH


BERSERAH

Sebuah novel
Miranda
25 Jam
Penulis:
Miranda Kirana
Penyunting
Desain Sampul dan Tata Letak:
Miranda

Tahun:
2018, Desember 1

30 hlm.

Eca pertama menyapa Anna malu-malu.


Katanya, telah tiba satu kisah yang akan kembali berkelana.
Membeberkan rasa yang terlalu banyak dipendam.
Mengisahkan cerita tentang pergi di antara kepulangan.
Namun kali ini, Sang Kuasa yang akan pegang kendali.
Karena tentang darah yang mengalir,
Tak bisa berhenti hanya karena beda yang diagungkan.

KEPADA YANG TERKASIH


Untuk semua doa baik yang dilangitkan.
Semoga yang terbaik akan tetap kembali menjadi baik.
Bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.

Terima kasi sudah bersedia percaya,


Terima kasih sudah bersedia berbagi,
Terima kasih atas semua hadir,
Terima kasih atas semua kesempatan,
Terima kasih atas semua temu dan waktu.

Dan juga.....
Terima kasih untuk diri sendiri,
Yang sekali lagi izinkan satu cerita tiba untuk memeluk.

PROLOG

Ada dua titik berbeda yang tak pernah menyangka akan


mmenjadi satu temu sebagai sebua cerita. Tentang kisah-kisah
yang sebenarnya tak sanggup diungkap. Namun, kemudian
terbuka dengan sendirinya, bahkan tanpa disadari.
Mereka menjelma tanya, bagi diri sendiri juga bagi sekitar yang
berbatas abu-abu, antara nyata atau hanya sekedar angan.
Keduanya sama-sama tidak tahu, bagaimana ujung dari semua
rasa salah pada akhirnya akan membenarkan setiap prasangka.

Di satu titik kehidupan, seorang wanita tengah menatap langit


gelap tanpa satu pun bintang yang mengisi. Seolah langit juga
sedang ikut berduka atas apa yang dialami. Sesaknya
membumbung, teriakannya bahkan terdengar pilu meski
hanya lewat sebatas tangis terisak.

Sementara itu dititik lainnya, seorang pria tengah berada di


atas motor yang membanyanya pergi. Menjauh dari segala
yang ada, meninggalkan apa yang membuat malu
mengganggu, serta menghentikan semua rasa yang
berkecamuk untuk dicari jawabannya.

Mereka tidak akan tahu. Bahkan mungkin belum saatnya


untuk mengerti. Tentang titik temu yang berbeda, namun
membawa kesembuhan. Tentang luka-luka yang kemudian
dimaafkan hanya lewat atau satu rangkai peristiwa.

CHAPTER 1
Selalu ada satu,
Yangf menjadi kunci,
Pembuka mimpi-mimpi,
Yang tak pernah berani diterbangkan,
Yang sayap-sayapnya tak dapat dikepakkan
Kecuali oleh kehadirannya.

Selalu ada satu


yang menjadi jendela,
tempat melihat kemungkinan,
dari tempat paling tidak nyaman sekalipun.

“KAMU pingin ngapain kalau udah lulus nanti?” suara perempuan


di depanku sedikit bergetar, gemelutak giginya terdenganr merdu
saat berusaha menahan udara subuh.
“Kenangan, “ alih-alih menjawab, aku memanggil nama-nya.
“Ya, Abimana?”
“Seberapa besar kamu butuh ruang?” aku melemparkan
pertanyaan tanpa menjawab pertanyaan darinya.
“Maksud kamu gimana?” Tanya Kenanga.
“Kita selalu pindah dari satu ruang ke ruang lain. Tujuannya
adalah untuk merasa lebih baik.”
“Lalu?”
“Kamu lihat langit di depan sama pemandangannya.
Menurut kamu, apakan semua di depan kita sekarang adalah
sebuah ruang?”
Kenanga menetap langit yang masih sedikit gelap.
Matahari belum menetapkan akan muncul. Bulan masih bersinar
berbentuk utuh. “Aku pikir, ruang enggak selalu tentang sekat dan
atap. Tapi tentang...” Kenanga terlihat memikirkan kata yang
tepat. “Tempat,” lanjutnya.
“Tempat?”
“Iya, kalo kamu bilang semua orang selalu berpindah dari satu
ruang ke ruang lain, berarti bukan hanya perihal tentang sekat
dan atap, tetapi tentang tempat. Jika dilihat lebih dalam, berarti
masing-masing tempat tidak memiliki semua yang kita butuhkan.
Makanya setiap orang pasti selalu berpindah untuk mencari hal
lainnya, untuk sebuah penyembuhan,” Kenanga bercerita.
“Penyembuhan?” aku bertanya tertarik.
“Iya, semua orang sepertinya menderita sesuatu. Kesepian,
kebosanan, sakit fisik atau psikis, butuh inspirasi atau sekedar
cari udara segar. Semua orang menderita kekurangan akan suatu
hal yang berhubungan dengan dirinya,” Kenanga melanjutkan
teorinya. Setelah itu menyesap pelan teh panas milikinya. Aku
melemparkan sebatang kayu ke atas api unggun yang sudah lelah
menyala sejak semalam, agar lebih hangat.

“Aku takjub sama alam. Semua orang yang ada di sini bisa merasa
tenang, bahkan bisa merasa sembuh sama apa pun yang
dideritanya.” Aku menyesap teh panas milikku pelan.
“Iya, aku setuju. Di sini, aku merasa punya ruang yang luas banget
untuk aku, untuk kita.”
mata kenanga menyapu pemandangan perbukitan di dedapnnya,
dengan hiasan lampu kota yang gemerlap dari atas bukit.

“Menurut kamu, apa yang sebenarnya manusia butuhin? Ruang


yang luas? Atau alam itu sendiri?” aku bertanya lagi.
“Hmm... Aku engga tahu, Alam dan ruang yang luas, menurutku
sudah jadi satu kesatuan. Jadi, kalau aku harus milih yang mana
yang lebih dibutuhin, aku jadi kayak harus ngasih sekat dan
misahin kesatuan itu. Tapi kalau boleh jawab, yang manusia
butuhin adalah ruang khusus untuk dirinya merasa lebih baik
saat menderita sesuatu.”
Aku sejenak terdiam sebagai tanda setuju atas perkataan
Kenanga. “Kalau udah lulus nanti, aku pengen banget bisa bantu
orang-orang untuk bikinin ‘ruang’ yang bisa menyenbuhin
mereka.”

“Maksud kamu?” Kenanga bertanya apa yang ku maksud.


“Kamu pernah enggak sih, males pulang kerumahkarena enggak
betah di rumah?”
“Kayaknya hampir setiap orang pasti pernah kayak gitu deh.”
“Kenapa aku ngambil jurusan Design interior? Cita-cita aku tuh
pingin bisa nge-design ruang yang mampu memenuhi kebutuhan
klienku nanti. Aku pingin nge-design ruangan yang
menyembukan seperti yang kamu bilang, yang bikin mereka
pulang itu jadi gak ditunggu-tunggu karena saking nyaman sama
ruangannya. Atau juga, bikinin ruang kerja buat orang kantoran
biar enggak terjerumus sama tekanan pekerjaannya. Enggak
semua orang bisa punya waktu untuk mrlikmati alam. Aku pingin
sesuana alam ke dalam ruang mereka.”
“Livia. Kok sama, sih? Ya meskipun beda. Kalau aku pingin
bangat punya kebun atau tanaman yang luas banget. Isinya
bunga-bunga atau tumbuhan-tumbuhan yang berkhasiat untuk
kesehatan, mau kesehatan fisik atau psikis, karena mnurutku
kehadiran tumbuhan itu bisa sangat menyembuhkan dan juga
bisa menemani,” Kenanga bersemangat.
“Aku punya ide berlian!” ucapku setelah berteriak.
“Briliaaaaaaan!”.
“Iya iya, brilian.”
“Apa apa apa?”
“Kita nanti kerja sama aja. Setiap design yang aku bikin nanti
bakal aku masukin pendekatan dari sisi alam juga. Kayak masukin
tumbuh-tumbuhan atau bunga-bunga yang nanti disesuaikan
sama kebutuhan klien. Nanti, kamu yang atur itu semua. Gimana?
Kamu juga bisa mulai bikin toko bunga kecil-kecilan aja buat toko
fisiknya. Jadi, nantikan sekalian masarin toko bunga kamu juga.
Sebelum kamu punya kebun yang luas banget.”
“Aaaah! Setuju! Bener ya. Harus jadi pokoknya!”

Jari kelingking kami berpelukan sambil menyematkan doa ke


dalamnya. Sementara di depan kami, semburat matahari sudah
mulai menyapa. Kepala Kenanga bersandar di bahuku. Hatiku
bersandar di mimpi tentang kami.

May be surrounded by,


A milion people i
Still feel all alone
I just wanna go home
Oh, I miss you, you know

“Kita tidak bisa mencari kebahagiaan di tempat yang sama kita


kehilangannya.”

Pernah ada satu


pintu yang percaya,
bahwa langkah terkecil,
adalah membuka keyakinan.

Dan pernah ada satu,


kaki yang kembali pulang,
dan mengunci pintu dari dalam.
Tak ada langkah, lain selain patah.
~~~_____~~~

“HEI, kau sudah bangun?” Raisa bertanya dari dapur saat aku
baru saja menuruni tangga.
“Tentu saja aku sudah bangun. I’m a morning person.”
baru pukul 7 pagi Raisa sudah ada di dapur dengan beberapa
bahan masakan.
“Kau sedang apa?”
“Aku sedang mebuatkanmu telur acak dan sandwich kacang
merah.”
“sandwich kacang merah?”
“Ya, badanmu yang tegap itu terlihat tidak sehat.
Ototmu terlihat melembek. Hanya bagian tangan yang terlihat
kencang karena kau banyak mengerjakan pekerjaan di pastry
menggunakan tangan saat membuat adonan. Kau butuh asupan
makanan sehat. Bersyukurlah kau tinggal dengan ki.”

Aku tertawa mendengarkan dedukasi yang dibuat Raisa

“ Tak perlu membantuku. Duduk saja dan tunggu makanan


pagimu siap. Okay?”

Raisa terbiasa untuk memasak setiap pagi karena budaya


ditempat tinggalnya dulu di Sydney. Raisa dididik oleh ibunya
memasak sarapan untuk kakak dan ayahnya. Kebiasaanya sengaja
tidak dihilangkan oleh Raisa meski pindah ke Bali. Terlebih Raisa
adalah seorang penganut pola hidup sehat. Tidak heran Raisa
membuka Chemistree dengan segala macam menu sehat.

“Jadi, bagaimana jika kau menceritakan tentang konsep yang


akan kau buat dii tempatmu itu. Chemistree?”.
“Hahaha. Tolong jangan menertawakan nama itu. Aku tahu
mungkin itu terdengar agak konyol, tapi aku menyukainya.”
“Aku mempertanyakannya sama sekali. Bahkan itu terdengar
sangat bagus dan.... filosofis.”
“Yah, aku percaya bahwa semua orang yang mendatangi suatu
tempat itu sedang melakukan proses penyembuhan. Entah dari
apa pun yang sedang dideritanya. Bali, aku rasa semua orang
setuju tempat ini adalah sebuah pelarian dari hiruk pikuk tempat
asal mereka bekerja. Aku ingin semua merka yang datang ke
tempatku, benar-benar disembuhkan oleh apa pun yang kita
miliki di sini, tidak hanya makan minuman yang enak dan
memang menyehatkan.

Aku tertegun mendengar penjelasan Raisa. Membuatku


menggali sebuah mimpi yang sepertinya sudah lama aku kubur.
“Itu sangat menarik, Raisa.”

“Ya. Aku sangat menyukai kaum hippes dengan kebebasannya


dan kedekatannya dengan nilai-nilai spiritual. Aku menyukai
kata-kata Dalai lama dan sufi. Mereka begitu indah dengan nilai-
nilai yang hidup dalam kalimatnya. Bagi beberapa orang munkin
itu terlihat sangat melow dan lembit, tapi kupikir manusia sengaja
membenci hal-hal sepertiitu karena hal-hal seperti itu terlalu
dekat dengan kelemahan dan sensitifitas manusia. Jadi, kenapa
aku menggunakan nama Chemistree karena manusia tanpa sadar
memang membutuhkan itu. Setiap orang membutuhkan
keterkaitan pada apa yang akan dipercaya untuk bisa
menyembuhkannya.”

“Gosh, Raisa. Darimana kau dapat pemikiran sedalam itu?” Kini


aku begitu bersemangat sama persis saat aku dan Kenanga dulu
membicarakan mimpi kami.
“ Entahlah, tapi aku yakin pemikiran seperti itu datang dari
sebuah keresahan,” seraya Raisa membawakan dua piring french
toast ke meja di depanku. Kemudian kacang merah dan beberapa
buah untuk penutupnya.
“Seperti aku masih punya waktu banyak untuk membantumu
mengurusi interior, urusan pastry bisa menyusul belakangan.
Aku akan mengurusi menu pastry, semua hal hingga tempat
pembelian ingredients selesai. Lalu membantumu membuat
design tata letak. Tes panel pastry bisa menyusul setelah urusan
design hingga pengadaan furniture selesai. Bagamana
menurutmu?”.
Rosie memberikan satu tambahan french toast ke piringku.
“roti ini sebagai persetujuan dan terima kasih atas bantuan!”
senyum Rasie merekah. Entah ada bahan apa yang selipkan dalam
senyumnya, namun aku luluh padanya. Seperti bersedia untuk
apa pun agar bisa menjaga senyum itu dapat aku nikmati setiap
hari.
Di saat yang sama aku bertanya-tanya bagaimana bisa dirinya
membawa semua tentang Kenanga. Kesamaan yang ada pada
dirinya, seperti membuatku berhasil berdamai dengan ingatan
tentang kehilangan Kenanga. Bagiku, Kenanga kini hidup kembali.
Satu persatu lukamu tercerai berai.
Ia kewalahan kedatangan tamu baru,
Kemungkinan itu bernama kesempatan.

Ialah yang ada di akhir pelarian.


Ialah yang membuatmu ingat.
Tentang apa yang membuatmu pergi,

Apa yang membuatmu lari dan sembunyi,


Apa yang membuatmu bilang,
Dalam perjalananmu sendiri.

Ia akan membuatmu kebingungan,


Mana luka, mana suka.
Keduanya, meledakan paru-parumu.
Membius kedia kakimu,
Jadi bocah lugu.

Langkah itu tak bisa ditarik,


Namun sangsi diam karena terlanjur tertarik.

Ranti adalah adik sepupuku yang tinggal di sebelah rumahku,


tempat ayahku tinggal. Ranti sedang bersama suaminya, baru
menikah beberpa hari yang lalu, dan sedang berbulan madu di
Bali.
Daripada berbindang di depan toko orang, aku mengajak
mencari tempat makan yang tidak jauh dari toko pak Asep untuk
berbincang.
“Kang Abimana, teh kapan mau pulang? Ranti tidak banyak
berbasa-basi, seperti sedang genting. Pertanyaan penting langsng
membuat telingaku berdenting.
“Belum tahu, Ranti. Saya teh lagi ada kerjaan dulu di sini,” aku
mencari alasan.
“Kang, Uwa teh kayaknya meni solno!. Setiap kerumahnya teh
meni murung aja.” Dadaku seperti ditusuk rindu. Seketika sendu.
Ranti bercerita, suatu hari ayahku pernah mengeluh padanya
karena tidak tahu bagamana mencariku dan menghubungiku.
Nomor yang dulu aku pakai tidak pernah lagi aku gunakan
semenjak kepergianku ke Australia.
“Kang, maafin atuh Uwa2. Punten2 ini mah bukan mau ikut
campur, tapi da namanya juga sodara, pasti pengen ngebantu.”
Sebetulnya aku tidak pernah menceritakan masalah dengan
ayahku dengan siapa pun. Namun, karena ayahku tinggal
berdampingan dengan adiknya, yaitu ibun dari Ranti, kurasa pasti
ayah sudah menceritakannya pada adiknya, hinga Ranti pun
menetahuinya.
Perbincanganku dengan ranti hanya tentang ayahku dan ke
mana aku pergi saat itu. Tidak lama kami berpisah. Kami bertukar
nomor ponsel dan berjanji untuk menghubunginya jika nanti aku
pulang. Aku sengaja tidak meminta nomor ayahku. Aku belum
siap untuk menghubunginya.
Kami berpisah. Ranti melanjutkan liburan bulan madunya. Aku
kembali ke Chemistree. Dalam perjalanan menuju Chemistree,
pikiranku tak keruan. Rasa bersalah dan kerinduan di saat yang
bersamaan tetap ayahku, bukan perassan yang mengenakan.
Tidak pada kekasih. Baru saja aku memikirkan ayahku, semesta
langsung mengirim utusannya untuk membawa kabar. Apakah
Tuhan memang selalu selucu ini memberi kejutan?
Seandainya aku tidak mendatangi pak Asep hari ini, aku tidak
perlu untuk merasa tak keruan seperti ini. Seandainya aku tidak
menunjukan diri untuk membantu membuat interior Chemistree,
aku tidak perlu mendatangi pak Asep. Seandainya saja, aku
menolak tawaran pak Asep hari ini di bandara, aku tidak akan
meminta tolong padanya jika pun aku membantu Raisa membuat
Design interior. Kalau saja aku tidak pulang ditanggal aku datang
ke Bali, aku tidak akan bertemu pak Asep. Aku tidak akan merasa
tak keruan seperti sekarang.
Sial!.

Selalu ada pelarian dalam pelarian.


Ia bagaikan candu karena kita terbiasa melarikan diri,
Tapi tak apa,
Mungkin kita memang perlu membiasakan diri,
Menghadapi semua kebaruan.

Tapi lagi-lagi,
Laut dan langitnya,
Akan tetap di sana,
Untuk memberi wahyu-wahyu,
Lewat desir-desir ayat,
Atau ayat-ayat duka.
SETIAP HARI, pergi dan pulang dari Chemistree, aku seudah
tidak pernah bersama Raisa dan Freddie. Membuat kami semakin
asing satu sama lain. Raisa pun tidak berbuat banyak atau bahkan
berani untuk bertanya padaku lebih lanjut perihal kami yang
akhirnya menjadi seperti ini.
Terkadang aku pun seperti kehilangan dirinya, tapi setelah aku
pahami, aku hanya kehilangan sebuah momen yang dulu, bukan
kehilangan Raisa, hanya merindukan keadaan yang baik-baik saja
dengannya. Hal ini yang selalu aku tancapkan dalam kepalaku.

“Hei, kamu mau ke mana?”


“Aku ad urusan di Ubud sebentar, sambil mencari sarapan.”
“Aku sedang membuatmu sarapan, Abi.”
“Ya, kami sedang menyiapkan sarapan untukmu, Abi.”
Fred memperlihatkan piring dengan beberapa bahan mentah
yang diletakan di atasnya. Aku paham sekali maksud Freddie.

“Tak perlu, Freddie lebih membutuhkannya daripada aku,”


aku tersenyum, lalu pamit. Aku tahu Raisa hanya memandangi
punggungku seraya aku menuju pintu keluar.

Saat aku hendak mengendarai motorku, pesan muncul di


ponselku. Ayahku lagi. Sudah beberapa kali ayahku mengirim
pesan, namun tak pernah aku balas. Sekalinya saat ayahku
menelpon, membuatku benar-benar tak atahu harus bagaimana.
Ditambah perihal Raisa. Lagi-lagi aku hanya memangdangi isi
pesannya, tak lama aku pergi.

Kini Freddie benar-benar menghilang di balik pintu. Kini aku


hanya ingin menghilang dari Raisa karena malu apa yang sudah
aku lakukan padanya.
Pergi dan berteriaklah.
Atau sembunyi dan menangislah.
Atau bilang dan lama kembalilah.
Bisa juga tersesat dan singgah.

Kau boleh pergi dengan alasan apa pun,


Semesta ada untuk menyembuhkan.
Takkan tertawa oleh alasan-alasan
Yang kekanak-kanakan sekalipun.

Pergilah hingga habis berkecukupan.


Hingga, engkau mempertanyakan,
Kau lari dari apa.

CHAPTER II

Awal Cerita
Kita telah sampai pada permulaan,
Yang kata beberapa orang,
Adalah tempat semua diawali.

Kita baru saja tiba dari masa lalu,


Yang seharusnya nikmati masa kini,
Tapi justru khawatirkan masa depan.

Angka-angka pada kalender adalah titik.


Di mana ketika semuanya dihubungkan,
Ia akan membentuk memori pelajaran.

Yang seharusnya diterima,


Bukan lagi disangkal.
Yang semestinya dipeluk erat,
Bukan justru pura-pura dilupakan.

Kita adalah kepingan.


Yang nampaknya takkan pernah bisa utuh,
Bila terus disalahkan keadaan.
Yang mungkin takkan pernah bisa penuh,
Bila tak mau coba pahami kehidupan.

LANGIT sore di bulan Juli sedang memamerkan matahari yang telah


bersembunyi di balik awan nimbostratus.
Mengisyaratkan gerimis akan segera menyambangi kota Jakarta hari
ini. Aku sedang menerka-nerka kapan hujan akan segera mampir,
sambil berharap ia tidak akan datang sebelum aku tiba di rumah.

Aku masih dan akan selalu percaya, orang-orang yang tengah


berkeluh tak selamanya butuh saran pada saat mereka tengah rumit
dan tertekan dengan perasaannya. Karena seringkali, saran yang
diberikan hanya akan terdengar rumit dan tertekan dengan
perasaannya. Karena seringkali, saran yang diberikan hanya akan
terdengar seperti perintah yang menggurui dan membuat hati justru
semakin jengah bukan menjadi tenang.

Kata-kata Alanta adalah kalimat yang sudah teramat sering aku


dengar dari orang-orang di sekelilingku. Hidup yang bahagia dan
sempurna katanya. Padahal definisi bahagia dan sempurnya
sebenarnya lahir dari diri sendiri. Bukan dari perkataan orang, bukan
dari menilai kehidupan orang lain.

Aku tertawa sambil menggelengkan kepala, “Sayang-nya enggak


bisa. Besok tuh, Kak Lia mau dateng. Ayah sama Bunda ngajak Kak Lia
sama suaminya makan siang di rumah. Gue juga harus ada, kalu gue
pergi yang ada Bunda malah marah.”

“Suaminya Kak Lia mau dateng?” mata Alanta yang sudah tak lagi
menangis sekarang justru berbinar-binar mendengar nama mas
Adrian-Suami kak Lia. “Wah gile mau dong ikutan, liat yang bening-
bening gitu kan lumayan buat cuci mata.”
Cling. Suara notifikasi dari salah satua aplikasi pesan di
handphoneku berbunyi.
Bunda

Anda mungkin juga menyukai