Anda di halaman 1dari 177

Semusim Cinta

Miftahul Fikri
miftahulfikri.tumblr.com
Penulis: Miftahul Fikri
Penyunting: Adiar Ersti Mardisiwi
Penata Letak: Kenniko Okta Putra
Perancang Sampul: Adiar Ersti Mardisiwi, Kenniko Okta Putra
All photos from unsplash.com

Penerbit: Kindi Press


kindipress.com
+6282230252229
presskindi@gmail.com

Cetakan I, September 2017

ISBN: xxx-xxx-xxxxx-x-x

vi Semusim Cinta
Terima Kasih

Teriring bahagia yang meliputi hati, semoga beberapa


kalimat ini dapat mewakili.

Kepada Allah SWT, hamba panjatkan syukur ke hadirat-


Mu atas segala petunjuk, limpahan karunia, serta keluasan
pemberian. Telah engkau kabulkan doa hamba yang
seringkali dipanjatkan secara diam-diam, tak terhitung
sudah jalan kemudahan yang engkau lapangkan sehingga
dengan izin-Mu mimpi masa kecil ini akhirnya dapat
terwujud.

Kepada Ibunda Leti Kasyani dan Ayahanda Zulkarnain, tak


terhitung lagi ucapan terima kasih dari putra bungsumu
ini, atas segala keluasan doa dan kemudahan pinta sampai
hari ini. Tiada balasan yang sepatutnya dapat membalas
itu semua. Semoga karya putramu ini setidaknya dapat

 vii
menjadi setitik oase yang membahagiakan meski hampir
setiap waktu sebenarnya banyak menyusahkan. Untuk
Kak Evi dan Bang Rio, terima kasih juga selama ini telah
menjadi kakak yang baik.

Teruntuk seluruh sahabat, teman seperjuangan, dan


handai taulan yang selama ini membersamai sejak masa
sekolah hingga kuliah: Melly, Vega, Lukman, Yamin, Luthfi,
Haris, Iqbal, M. Alif, Dimas, dan banyak lagi tentunya
tak dapat saya sebutkan satu persatu, terima kasih atas
dukungan serta eratnya simpul persaudaraan yang selama
ini menghangatkan. Kepada Mas Ken dan Mbak Ersti,
terima kasih sebesar-besarnya untuk menjadi wasilah saya
mewujudkan mimpi, semoga kita dapat bekerja sama lagi di
karya-karya selanjutnya.

Begitupula khususnya untuk perempuan hebat yang pernah


sejak dulu singgah mengisi hati dan sempat bersama
menjalani hari, terima kasih untuk menjadi segala muara
inspirasi sehingga prosa dan puisi ini dapat dibuat dengan
sepenuh hati. Ada cerita bahagia, ada pula cerita luka.
Semoga cerita itu dapat terkenang dalam palung hati yang
sudah memaafkan sekaligus menerima. Semoga kita semua
terus beranjak lebih baik dan dapat menjemput cinta sejati
dengan berbahagia.

Dengan segala kerendahan hati, saya persembahkan


Semusim Cinta.

viii Semusim Cinta


Dari Penerbit

Fikri, begitulah penulis muda berbakat satu ini disapa,


pandai sekali dalam bermain dengan kata-kata. Melalui
kepiawaiannya, kita -baik yang masih menanti, pun yang
telah mengikat janji- akan terhipnotis dengan tulisannya,
mengiyakan setiap tuturnya. Dengan serangkaian diksi
indahnya, kita akan ditunjukkan oleh Fikri bahwa lelaki
memang benar terlihat tegar dari luarnya dengan kuatnya
benteng logikanya, tapi tak dapat dipungkiri, ia pun tetap
manusia biasa yang juga menyimpan perasaan.

Selama kurang lebih 5 bulan kami mengerjakan karya ini


bersama-sama, mencoba menghadirkan sentuhan yang
istimewa namun sederhana pada industri perbukuan
Indonesia. Kami yakin bahwa dengan kata-kata, kita bisa
mengubah dunia, bersama-sama.

 ix
Salut untuk Fikri, jiwa muda yang berani meraih mimpi
dengan segenap kesabaran hati. Berani menjatuhkan hati
dengan cara yang tepat, menjaga fitrah perasaan cinta yang
suci, sebelum nanti dipertemukan dengan separuh hatinya
oleh Ilahi.

Fikri mampu menggali makna, menuangkan perasaannya,


membungkusnya dengan logika, hingga pada akhirnya
mengalirkan rasa dalam buku perdananya: Semusim Cinta.

Kami sebagai sepasang suami-istri yang membidani


lahirnya ‘jabang bayi’ Fikri ini, turut bahagia akhirnya
buku ini bisa lahir ke dunia. Dengan pertolongan Allah
subhanahu wa ta’ala, teman-teman (baik yang sudah
sering maupun belum pernah membaca tulisan Fikri), bisa
mencerna kumpulan tulisannya dengan lebih mudah lewat
buku kecil ini.

Kiranya buku ini masih jauh dari kata sempurna, kami


sebagai penerbit mengucapkan mohon maaf sebesar-
besarnya. Saran serta kritik dari teman-teman semua akan
kami tampung untuk kebaikan bersama. Silakan alirkan
itu semua melalui e-mail presskindi[at]gmail[dot]com atau
sapa kami di kindipress.com.

Semoga ada hikmah dari semua yang akan teman-teman


cerna di setiap membalik halamannya. Jangan lupa nikmati

 Semusim Cinta
persembahan sederhana dari kami dan Miftahul Fikri
dengan secangkir kesabaran dan semangkuk senyuman.

Akhir kata, izinkan kami meminjam istilah Fikri: selamat


berolahrasa!

Salam,

Kindi Press
Adiar Ersti Mardisiwi & Kenniko Okta Putra

 xi
Daftar Isi

Terima Kasih  vii


Dari Penerbit  ix
Kemarau  1
Penasaran  2
Perasaan Ini  3
Syukuri Mereka  6
Pejuang Sunyi  7
Jalan Saja  10
Jalan Lagi  11
Wanita Sepertimu  14
Rahasia  18
Sendiri Saja dalam Diam  18
Tak Sebatas Paras  22
Yang Tak Mudah Jatuh Cinta   23

xii Semusim Cinta


Sebuah Puisi, (Entah) Siapa pun Dirimu  24
Cinta dan Premisnya  25
Sejauh Jarak  28
Cinta Apa  28
Tetaplah Bersama Temanmu  29
Mantan Kekasihmu  31
Menikmati Ketiadaan  32
Pergi Bersamaku  33

Pancaroba  37
Tapi Pada Akhirnya Dipertemukan…  38
Lelaki di persimpangan  42
Teka-Teki  46
Padanya yang Setia  50
Rahasia  50
Padamu, Bulan  54
Anestesi  55
Mencintaimu Empat Musim  60
Hanya Seberani Itu  64
Sampai Kapan?   68
Karena…  70
Kita Saling Meracuni  72
Di Pundakmu  76

 xiii
Penghujan  79
Puisi Langit   80
Bila Aku Seorang Pemarah  81
Bila Cinta (Tak) Harus Selalu Ditunjukkan  84
Seperti Cara-Cara Dulu  86
Merindulah yang Wajar   88
Lelaki Terkadang (Hanya) Tak Mengerti  89
Kita Harus Terpisah Sementara  92
Bila Saatnya Harus Pergi  93
Siapa yang Berbohong?  94
Mohon, Jangan Pergi Dulu…  95
Kausalitas  96
Untuk Hati yang Pernah Hancur  97
Kalap   100
Kita Harus Terima  101
Gerimis  101

Siklus  105
Sulit Rasanya  106
Diam-Diam  107
Lelaki dan Perempuan  110
Lepaslah  111
Gonggongan Sunyi  112

xiv Semusim Cinta


Bertahanlah, Bersabarlah, Kembali..  113
Puisi Kesakitanmu, Pun Aku  116
Menghilang Sebentar  117
Terbiasa Seperti Ini  118
Pelajaran Kehilangan  122
Hanya Tak Mengimbangi  123
Terbaik untuk Masa Laluku  128
Pada Kenangan yang Terulang  129
Arti  130
Perpisahan Kita  131
Semoga Kau Paham Maksudku  134
Perpisahan bagi Orang Biasa  136
Pengandaianku  137
Bersendiri  140
Meridian  141
Teruntuk, Kau dan Aku  146
Akan Ada Penggantinya  148
Kenangan Ini Akan Kubuka Lagi, Nanti  149
Padamu yang Akan Datang Nanti  152

Semusim Cinta  157


Tentang Penulis  159

 xv
1
Kemarau

Pernahkah kau merasakan kekeringan yang terasa begitu


lama? Sinar mentari begitu terik, membuat sekujur badanmu
memerah. Bahkan, air mata saja sudah kering. Seperti
itu pula kesendirian dalam waktu yang lama, ketika kau
merasakan hati yang begitu kosong, belum ada pula yang
kunjung datang. Namun, kau harus tetap berjalan, meski tak
ada bayang menjanjikan yang menunggu di depan...
Penasaran
Aku hanya penasaran, bagaimana kedua orang yang tampak
berbahagia di depanku ini bertemu pada awalnya. Seyakin
itukah tatapan mata pada saat pertama yang akan memberi
sinyal kuat pada kalbu mereka? Apakah benar bahwa
hanya cukup sekali saja menunggu isyarat semesta untuk
bersama-sama mengatakan ‘ya’? Apakah getaran hati saat
pertama berjumpa adalah hal kodrati, hingga tak butuh
waktu lama untuk saling mencintai? 

Atau justru mereka sendiri tak mengira bahwa pada


akhirnya mereka kini bersama-sama? Yang mereka rasa
mungkin pertemuan yang terjadi dulu hanya bersifat biasa
saja. Namun, seiring waktu kedekatan yang terjalin malah
menjadi kenyamanan yang tampak menjamin, hingga
mereka menyadari bahwa mencintai tak bisa didoktrin.
Apakah mereka sebetulnya tidak menyangka bahwa
takdir yang dijalani kini, tak pernah mereka perhitungkan
sebelumnya?

Aku penasaran. Aku harus menemukan sendiri jawaban dari


pelbagai pertanyaan.

 Semusim Cinta
Perasaan Ini
Perasaan ini bukanlah sebuah saklar otomatis, yang bisa
kita “on-off”-kan sekehendak dan sesuai waktu yang kita
inginkan. Tidak. Kita akan tetap saja merasa menyukai atau
malah mencintai seseorang, meski di raut wajah seakan tak
peduli sama sekali.

Bukan. Bukan karena kita takluk pada perasaan sendiri.


Jawabannya, karena hal itu memang manusiawi, titik.
Perasaan itulah yang mengingatkan, bahwa kita tetaplah
manusia biasa, yang tidak bisa “sok kuat” tanpa hadirnya
perasaan suka atau cinta.

Tetapi, perasaan ini tidaklah pula meraja karena kita


bisa mengendalikannya. Ya, kita bisa. Meski diibaratkan
perasaan kita hendak tumpah ruah karena merindukan
seseorang, kita tetap bisa memegang kendali dengan logika,
demi menjunjung arti sebuah prinsip atau nilai yang kita
percaya.

Mengendalikan perasaan itu penting, tapi tetaplah ingat


bahwa menyalurkan perasaan itu jauh lebih penting. Berjuta
puisi indah serta catatan kerinduan mungkin lebih baik
saat ini, bagi kita yang belum juga siap untuk benar-benar
mengungkapkannya secara gamblang.

Kemarau 
Percayalah, ini hanya sementara. Hingga saatnya nanti,
perasaan ini akan menemui saat yang tepat untuk berkata-
kata, tanpa ada keinginan lagi untuk menunda.

 Semusim Cinta
“Begitu sulitkah mencintai
orang lain? Barangkali, kau saja
lupa untuk mencintai dirimu.
Bukankah kau akan begitu dicintai
selama kau mensyukuri dirimu
sendiri?”

Kemarau 
Syukuri Mereka
Cepat atau lambat, kau harus mengerti hal ini. Bahwa di
dalam kesunyian, kau akan menyadari betul apa arti orang-
orang terdekat dan tercinta di dalam hidup ini. Keramaian
hanya ilusi, karena ia tidak membutuhkanmu. Berbanding
terbalik dengan kesunyian, yang betul-betul menjelaskan
apa yang sebenarnya kau butuhkan. 

Betapa berharganya orang-orang di lingkaran


hidupmu sekarang, bukan? Yang tak jemu menyapamu,
menungguimu, bercanda denganmu, mau mendengar
ceritamu, dan sudah barang tentu memenuhi ruang kosong
dalam rasa sepimu. Mereka mungkin tidaklah banyak, tapi
mereka memberi arti bagimu. 

Pepatah mengatakan, kenalilah dirimu sendiri maka kau


akan mengenal Tuhanmu. Dengan kepala yang jernih,
tentu kau akan paham maksudnya. Kau membutuhkan
segala ini karena kuasa Tuhanmu juga, yang menguasai
jiwa-jiwa yang mencintaimu. Mana mungkin kiranya tanpa
suratan takdir kasihNya, mereka akan dekat dan selalu
bersamamu? Karena kau jadi tahu, bukan kau yang menjadi
penarik simpulan, bukan kau yang menjadi sebab musabab,
melainkan kebesaran Tuhanmu yang menjadikan semua ini
jadi jelas terjawab.

 Semusim Cinta
Demi Allah yang menguasai setiap jiwa, bersyukurlah atas
penyembuh dan penghibur yang diberikan oleh-Nya lewat
orang-orang terdekatmu.

Pejuang Sunyi
Ada orang-orang yang menggigil dalam kesunyiannya, di
mana ia benar-benar sendiri menjalani hari. Tak pelak,
kadang hal itu membingungkannya, membuatnya jengah,
sedikit merasa tertekan, hingga berpemikiran skeptis kalau
kalau memang dirinya boleh jadi diciptakan untuk ‘sendiri’.
Hembusan nafasnya melemah sekali-kali, menciptakan
suasana elegi. Kesendirian baginya mungkin seperti
kedamaian yang menyesakkan.

Ada pula orang orang yang sebenarnya mencari-cari dirinya


sendiri dalam keramaian, memilih menyudut untuk tahu di
mana dan seperti apa posisinya di keramaian. Ia mengetuk
pintu ruang kosong yang gelap di tengah ramainya lalu-
lalang orang lain di rumah eksistensi dirinya. Ia mencari,
lalu terkadang bersembunyi di balik pintu sejenak,
menghirup napas kesejatian di balik kemunafikan yang ia
jalani. Dengan sendiri, ia sebut itu sebagai aktualisasi diri.

Ada juga orang-orang yang menangis dalam sunyi. Tak


setiap hari, lagipula tangisnya bukan untuk diumbar sana-
sini. Tapi sekali melinangkan air mata, berarti sesuatu

Kemarau 
yang ia tangisi pasti begitu berharga. Sekiranya orang-
orang di luar sana tahu, garis-garis bekas linangan air
matanya selama ini telah mengerak menjadi bongkahan
ketegaran. Ya, semakin sering seseorang menangis maka
akan semakin tegarlah ia, begitu yang ia percayai. Akhirnya,
pada suatu waktu, linangan air mata itu mengalir bukan
karena ia lemah, melainkan itulah caranya untuk bertahan
menghadapi semuanya. 

Tapi, ada pula orang-orang yang menyadari betapa


pentingnya menyendiri. Ia menjadi begitu menghargai
ketenangan, mencoba untuk memahami dirinya perlahan-
lahan. Dengan kesendirian, ia jadi kenal siapa dirinya
yang selama ini berada di belakang cermin kepalsuan,
yang selama ini terus berlari dan sembunyi dari pencarian
yang sejati. Ia jadi menghangat dalam pilihannya sendiri,
menghargai dan menyentuh relung terdalam untuk
mencari sebuah arti. Ia tersenyum dan tenang karena ia
berhasil berteman dengan dirinya sendiri, yang selama ini
terlelap dalam imaji.

Orang-orang itu di antaranya mungkin kita, yang mungkin


bergantian mengalaminya. Kita pernah mengigil, mencari-
cari, menangis, hingga menghangat dalam kesunyian yang
kita hadapi. Mungkin itu kita, para pejuang sunyi, yang
mencoba memahami makna kesendiriannya yang sejati.

 Semusim Cinta
“Oh Tuhan, pada seseorang yang
nanti akan datang, semoga aku
terlebih dahulu Engkau berikan
kesiapan. Karena pada seseorang
yang telah berlalu sebelumnya,
ketidaksiapanku pada akhirnya
hanya akan menorehkan luka.”

Kemarau 
Jalan Saja
Kemarau berkepanjangan telah tiba. Angin-angin yang dulu
semilir kini tampak begitu perkasa, yang dulu hanya bisa
menggoda kini bisa membuat porak poranda. Debu-debu
beterbangan di sepanjang jalan, membuat mata perih dan
mengaburkan pandangan. 

Tapi bagi orang-orang yang sendiri, seperti kita, berjalanlah


saja. Meski kadang kita ingin sekali berhenti, duduk sejenak
di bawah pohon untuk membelakangi arah angin, atau
sejenak membiarkan topan debu berlalu. Kalau perlu, ada
seseorang pula yang tiba-tiba datang menemani ketika kita
berdiam disana, merasa terkejut lalu menyimpan kagum,
saling berbagi cerita dan berpongah ria dengan warna
merah merona di sekujur muka. 

Nyatanya, hidup kadang tak seindah itu. Mungkin kita


belum menemukan jalan cerita semacam telenovela,
atau yang semacamnya. Kita mungkin harus termenung
sendiri menanti angin dan debu berlalu, lalu mulai
berjalan kembali. Sekali lagi, hidup memang begini. Susah
senangnya, jatuh bangunnya, sudah seperti atom positif
dan atom negatif yang mau-tak-mau mesti bersatu agar
tercipta keseimbangan. 

Bagi kita, orang-orang yang masih sendiri, berjalanlah

10 Semusim Cinta
saja. Kita jangan menjadi sok tahu hingga terlalu berharap,
padahal tugas kita yang sejati yaitu berusaha dan berserah.
Apa yang terjadi di depan, maka terimalah. Hadapilah walau
sulit. Hadapilah walau berat. 

Kini angin mulai mereda, debu pun sudah tak terlalu


kentara. Bagi kita yang terlalu lama meringkuk dalam
penantian, maka tak begitu berguna lagi bila hanya
menyumpah serapah keadaan. Beranjaklah dari pohon
itu dan teruslah berjalan. Masih sendiri? Tak apa. Kau tahu
jawaban apa yang mampu membuat kau beranjak, kan? 

Ya. Kau kuat. Karena kau dikuatkan oleh-Nya. 

Jalan Lagi
Kita berjalan untuk terus mencari. Kita selama ini hanya
mencari arah pergi, tapi sebenarnya tak pernah tahu yang
mana yang menjadi tujuan pasti. Kita hanya berjalan untuk
memastikan bahwa diri kita tidak hanya berdiam diri.
Selebihnya, kita tak pernah tahu pasti. 

Kita tergerak untuk menaklukkan puncak-puncak, untuk


menerabas setiap ketakutan. Nyatanya, takut itu tak pernah
pergi. Namun, dengan adanya ketakutan, di sisi lain kita
jadi mengenal apa itu keberanian. Kita mungkin takut, tapi
ketika kita berani menghadapi ketakutan itu, di situlah kita

Kemarau 11
dikatakan pemberani. 

Jadi, apa, yang terjadi? Jalan ke depan begitu panjang. Ada


semacam kabut tipis yang mengalihkan pandangan. Ada
semacam fatamorgana, pun sekaligus kegersangan. Kita
mungkin takut melihat ke depan, apalagi sendirian. Karena
mungkin kita terlalu lama hidup dalam bayang-bayang. 

Ah, mana kita tahu. Segalanya yang jauh di depan mungkin


akan menghampiri kita secepat kilat menyambar, atau
malah bergerak perlahan seperti tetes air hujan yang
menemui genangan. Tapi segalanya akan kita hadapi, pasti,
entah siap atau tidak siap. 

Kau takut? Aku juga. Tapi semesta tidak peduli itu. Mau kau
takut atau tidak, mau kau siap atau tidak, takdirmu akan
kau hadapi, begitu pun takdirku sendiri. Lalu, bagaimana? 

Ah, jalan saja. Hadapi ketakutanmu. Maka kau akan belajar


untuk menjadi pemberani sejati.

12 Semusim Cinta
“Bahkan, janganlah terlalu sering
merasa bahagia. Karena ketika
suatu kali hidup kembali berjalan
seperti biasa, kau akan merasakan
sakit yang lebih daripada
sebelumnya.”

Kemarau 13
Wanita Sepertimu
Wanita sepertimu, memang tak banyak.

Semua wanita memiliki bentengnya masing-masing. Ada


yang dapat terlewat dalam sekali melompat, ada pula yang
tinggi menjulang sejauh mata memandang. Di antara
sedikit yang ada, yang sepertimu memang sedikit. Maka
bagi lelaki bernaluri pendaki, wanita sepertimu begitu
menarik.

Kau memiliki benteng yang begitu besar, tersusun rapi, dan


tinggi. Jujur saja aku tertarik, naluriku memang seperti itu.
Kukatakan dalam diri, mungkin nanti aku akan mendaki
bentengmu.

Aku pernah mendaki benteng tinggi yang lain


sebelumnya. Penuh usaha kunaiki karena pemiliknya tak
pula memarahi. Entah mungkin pemilik benteng itu hendak
pula melihat apakah aku dapat menaklukkan tingginya?
Ternyata aku bisa. Aku masuk ke dalamnya. Lalu sejenak
berkeliling. Namun, kujanjikan pada pemilik benteng
bahwa tak ada sesuatupun yang akan kurusak atau kucuri
dari dalamnya.

Beberapa waktu, kini aku keluar dari benteng tersebut.


Pemilik benteng itu pasti kecewa, karena aku memanjat
lagi untuk keluar dari bentengnya. Sumpah serapah pun

14 Semusim Cinta
kudapatkan, bahkan lebih rendah dari penyamun! Tapi tak
apa, memang begitulah risikoku sebagai pendaki. Meski
begitu, aku tetap memiliki prinsip dan sadar bahwa aku tak
berniat merusak apapun kecuali hanya tapak-tapak kaki
di dinding yang akan hilang pula seiring waktu. Terlepas
sehina apapun aku bagi pemilik benteng itu, sudahlah..

Kini pandangku beralih pada bentengmu, yang sudah


kusiapkan berbagai perbekalanku untuk mendakinya.
Seketika aku sudah sampai di depan tembok tinggi itu..

Kau, pemilik benteng itu, dengan tegas menyuruhku


turun dari jalur pendakian. Memang kau tak berteriak,
namun aku tak bisa lagi bergerak. Ah, engkau ini.. berbeda
dengan pemilik benteng sebelumnya! Hei, tak inginkah
engkau ditaklukkan olehku, melihat seberapa mampuku
untuk mendaki bentengmu? Tak inginkah kau melihat aku
berjuang keras untuk sekedar melihatmu? Bukankah kau
senang dan mau untuk diperjuangkan?

Tapi tidak bagimu. Sorot matamu jelas tajam pada


perilakuku, membuatku takluk dan turun dengan
kesadaran. Apa yang hendak kau katakan padaku? Oh,
barangkali hendak mengusirku dari benteng indahmu? Oh,
apakah sudah ada pangeran yang ada di dalam bentengmu?
Apa aku bukan pangeran idamanmu? Atau… apa?

Kemarau 15
Aku tertegun ketika kita bertatap lewat celah kecil di depan
gerbang bentengmu dan kau berbicara lirih;

“.. kau tak perlu mendaki. Aku akan membukakan pintu ini
bagi siapapun yang menemukan kuncinya. Tahukah kau,
kunci itu tertinggal di luar gerbang ini. Silakan cari dan
temukanlah. Bila memang ada dan kunci itu cocok dengan
gerbangku, maka pasti kusambut kau dengan terhormat,
wahai Pangeran..”

Aku menunduk lirih, malu menatap lagi. Kata-katamu halus


namun menamparku hingga ke lubuk hati. Tatapanmu tak
ragu membuatku menjadi urung untuk berbuat ingkar.

Lalu aku sadar, bahwa kau sama seperti tuan putri pemilik
benteng yang lainnya, ingin diperjuangkan. Namun
caramu lain dan mengajarkan kesopanan dan kebesaran
perilaku; bila memang bisa masuk lewat gerbang utama,
kenapa harus memanjat dindingnya?

Aku pun berbalik badan. Berpikir keras untuk


mencari kunci milikmu. Entah siapa yang nanti akan
mendapatkannya, kupikir ia akan benar-benar beruntung.

Wanita sepertimu, memang tak banyak.

16 Semusim Cinta
“Bukannya tak bisa mencinta,
tapi memang ada fase dimana
sebenarnya kita sedang tak berniat
mencari siapa-siapa.”

Kemarau 17
Rahasia
Bagiku, engkau tetap rahasia.

Entahlah. Ketika aku berjalan dan terus berjalan, siapakah


dirimu nanti yang akan mengikutiku dari belakang. Yang
nanti mau ikut arahku. Yang nanti mau bersamaku. Yang
nanti mau menjadi temanku, teman hidupkuBagiku,
engkau tetap rahasia.

Simpan saja dulu rahasia itu. Kau tahu, cinta kitalah nanti
yang akan menjadi kunci pembuka hati kita. Kuharap,
engkau dan akupun begitu, tak serta merta mengumbar
cinta itu sebelum nanti benar-benar dipertemukan oleh-
Nya. Aku percaya, bahwa satu gembok hanyalah untuk
satu kunci. Begitupun satu cinta untuk satu hati. Tak akan
tertukar.

Bagiku, engkau tetap rahasia. Maka biarlah ia menjadi


rahasia. Hingga lembaran cerita kita akhirnya akan bertemu
jua pada halaman yang sama, nanti.

Sendiri Saja dalam Diam


Mungkin kau masih sendiri sejak dulu, lama sekali. Jarang
sekali rasanya berada di samping gadis-gadis pun bila hanya
sekedar berfoto, apalagi perbuatan yang lebih dari itu. Kau

18 Semusim Cinta
yang sendiri tak jarang disiriki, diguyoni, kata mereka bahwa
kau bisa jadi jomblo abadi.

Kau hanya penonton, tak lebih, dari hubungan cinta


sahabatmu yang diumbar-umbar. Hatimu sakit? tidak.
Hanya pengamat, tak kurang. Dari mulutmu, kau pernah
ikhlas mengucap bahwa semoga mereka akan langgeng
sampai menikah nanti, sampai tua nanti. Meski kau tahu,
masih terlalu dini untuk itu, masih terlalu muda untuk
sejauh itu. 

Hingga bertahun-tahun kemudian, kau masih saja sendiri,


seperti biasanya. 

Lalu kau tak sengaja kembali melihat sahabatmu ketika


itu. Eh, kok gandengannya lain lagi. Senyum ceria dari
seseorang yang mengiringi langkahnya sudah berbeda
dari yang dulu, hanya gayanya yang masih sama saja,
diumbar-umbar seperti tak ada ubahnya. Hatimu sakit?
Tidak. Hanya kiranya mengingat, bahwa apakah doamu
untuk kelanggengan hubungan sahabatmu ketika bersama
pasangannya yang dulu tak diterima oleh Tuhan? Entah,
yang pasti segalanya berubah, kecuali perilakunya yang tak
ubah.

Kemarau 19
Kaupun harus beranjak, pengamatanmu semakin kaya
tentang ini.

Bahwa mendoakan kelanggengan hubungan orang yang


kiranya belum sah mengikatkan cintanya pada pasangan,
entah di hadapan agama, orang tua hingga sanak keluarga
mungkin sifatnya keliru. Kiranya yang belum pasti begitu,
tentu peluang berubahnya bisa jadi sangat cepat di masa
depan. Bagaimana mau langgeng, bila diikat secara baik
dan benar saja belum? Siapa tahu putus kan? Entah tujuan
putus itu untuk berpisah atau memang karena menikah. Eh
tahu-tahunya, jodohnya orang lain~

Cukupkan pengamatanmu. Doakan saja kelanggengan


hubungan pada sahabatmu yang lain, yang sudah benar-
benar menggenapkan separuh agamanya secara baik dan
benar, pada mereka yang sejatinya tak pernah mengumbar-
umbar namun pada akhirnya jelas mengikat untuk
selama-lamanya. Kiranya belum ada yang menandingi
kesakralan ijab kabul, janji sehidup semati yang disaksikan
tak hanya oleh orang banyak, tetapi juga oleh Tuhan di
atas sana. Doa yang benar untuk proses mencintai cinta
yang bertanggungjawab secara benar pula, bukankah itu
setimpal?

Sudahlah, kiranya cukup diam dan ambil hikmahnya saja.

20 Semusim Cinta
“Hidup adalah kumpulan
anekdot yang serius, begitupula
sebuah senda gurau yang letih
diperjuangkan”

Kemarau 21
Tak Sebatas Paras
Lalu… seiring mendewasanya kita, ternyata patokannya tak
hanya sebatas paras. Kita akan perlahan memahami bahwa
semua itu relatif. Kecocokanlah yang kita cari. Entah dari
sudut pandangnya, kesamaan “frekuensi” bicara, visi misi
hidupnya, dan bagaimana karakternya. Lalu, semua itu
akan terbangun bila dibalut dengan komunikasi yang baik,
tak berlebihan namun juga tak setengah-setengah. Tetap
berhati-hati namun tidak setengah hati.

Meski kita harus tahu, bahwa kemenangan tetap di


tangan Tuhan. Sekeras apapun kita berusaha untuk
mendapatkannya, tetaplah jua Tuhan yang menentukan,
bukan ? Hanya saja, bila kita tetap ingat dan konsisten
di jalan yang Tuhan inginkan, maka sebenarnya
“kemenangan” Tuhan itu sebenarnya untuk kita juga
nantinya. Apa maksudnya ?

Ya. Maksud kemenangan itu adalah ketika Tuhan


memberikan yang terbaik untuk kita :)) Kita boleh
berencana untuk memilih, tapi sebenarnya Tuhanlah yang
memastikannya.

Bersabarlah. Bersiaplah.

22 Semusim Cinta
Yang Tak Mudah Jatuh Cinta
Ada seseorang yang tak mudah jatuh cinta. Ada. 
Seberapapun menariknya seseorang, pun seberapa tertariknya ia
padanya.
Ada ruang-ruang bersekat berpilin seperti labirin,
Dibentuk oleh sejuntai cerita cinta yang telah lama terjalin,
Yang pernah membahagiakan sekaligus pernah menyakitinya,
Sosok-sosok yang pernah terpatri, begitupun jiwa, cita, serta cerita
yang telah ditinggalkannya,
Menjadikan ia begitu rumit dan misterius, tak lagi mudah tuk
menaklukkannya.

Seperti yang datang cuma-cuma, akan terseleksi pada akhirnya,


Entah ada kesan yang tinggal atau tidak, di dalam isi keningnya
Mungkin ada pula yang tinggal dengan susah payah, mencoba
betah
Tapi tetap saja membuatnya tak menjadi mudah.
Karena memang tak mudah membuatnya kembali jatuh cinta.
Yang seperti itu, ada.

Kemarau 23
Sebuah Puisi, (Entah) Siapa pun
Dirimu
Biarkanlah ini menjadi puisi,
yang tetap akan jadi puisi..
karena lidahku kelu
karena lisanku tak mampu
tuk mengungkapkan sesuatu padamu

Lebih baik, perasaanku ini menjadi sebuah syair


karena aku ingin rasa cintaku terus mengalir
meski kau bilang aku puitis,
ketahuilah, mungkin aku sama sekali tidak romantis
aku berbicara padamu lewat kalimat baku
karena aku sama sekali tak mampu untuk berkata didepanmu
Bukan, bukan karena aku tak mampu
Mungkin saatnya saja belum tepat, untukku dan untukmu

Bila aku adalah orang yang terpecundangi waktu


Biarlah puisi ini menjadi saksi geliat jiwaku
Entah, entah, siapapun engkau yang kurindu
Aku kirimkan puisi ini padamu

24 Semusim Cinta
Cinta dan Premisnya
Kata orang, cinta yang tepat akan datang pada waktunya.
Bisa jadi benar, bisa jadi tidak.
Karena kalimat di atas adalah kesimpulan, sedangkan belum ada
premis yang dapat memastikan.
Kesimpulan sudah ada, namun premisnya lah yang kita cari.
Ajukanlah pertanyaanmu sendiri,

Bagaimana cara kita menemukan cinta yang tepat itu?

Entah bisa jadi dengan menunggu saja, atau berusaha keras?


Entah langsung menemukan pada pandangan pertama atau
harus berkali-kali terluka?  Apakah dia orang baru, atau ternyata
ia adalah orang yang telah lama mengenalmu?

Kapankah waktu yang tepat itu?

Apakah umur dua lima atau tiga puluh? Apakah saat kita telah
selesai menamatkan pendidikan? Apakah karena disengaja
bertemu atau mengharapkan kedatangan yang tak disangka-
sangka? Apakah langsung jatuh cinta ketika pertama bertemu
atau kembali mencintai seseorang yang telah jadi masa lalu?

Kemarau 25
Kita tidak tahu, dan itulah yang menjadi menarik. Di mana ketika
kita mulai menggali premis-premis yang membuktikan setiap
kesimpulan.

Mari berangkat dan mencari. Buktikan premis milik kita sendiri.


Karena kisah cinta setiap orang tak hanya lurus-lurus saja, dan
tentu tak hanya satu kisah saja.

Kau berhak mencari, sembari membuka tabir takdir yang telah


diatur oleh sutradara semesta.

26 Semusim Cinta
“Kamu itu cuma satu, diantara
enam milyar manusia. Jadi,
jangan takut untuk jadi dirimu
sendiri. Kamu itu pasti menarik
untuk seseorang nantinya,
meskipun mungkin ia juga cuma
satu diantara enam milyar orang
lainnya”

Kemarau 27
Sejauh Jarak
Aku merasa aku tak bisa melindungimu. Tanganku tak
sampai, sejauh jarak yang tercipta antara kita berdua.
Malam dan siang, kukhayalkan diriku menjadi lelaki
terbaik, nanti, untukmu. Ada di sampingmu, selangkah
di depan untuk melindungimu ketika berjalan bersama.
Menjadi laki-laki sejati yang membanggakan, menjadi lelaki
yang utuh. 

Namun, itu belum terjadi. Tuhan masih menyimpan kisah


indah itu sampai aku mengerti, bahwa ada kesabaran
yang harus dibayar untuk mendapatkan yang sejati. Aku
sabar, meski terkadang sedikit gusar. Kapan aku akan jadi
lelaki sempurna, yang melindungi sepenuh hati untuk
perempuannya?

Tapi aku sadar, sadar betul. Bahwa Tuhan melindungimu, lebih


baik dariku, lebih baik dari siapapun itu. 

Aku percaya dan aku pasrah. Tuhan tidak pernah pergi dan
selalu ada di sisimu, selalu. 

Cinta Apa
Cinta yang seperti apa yang kau katakan, bila memang
dimulainya pada usia muda. Di kala hormon-hormon tubuh

28 Semusim Cinta
masih begitu menggelora. Di kala kulit dan tubuhmu masih
kencang dan merona. Di kala disapa olehnya saja terasa
gemetar seluruh dunia. Tatapan mata yang beradu bisa
meluluhlantakkan emosi dua tubuh yang berbeda. 

Maka, mencintai sepertinya wajar-wajar saja.

Lalu cinta seperti apa yang masih bertahan sekian belas


hingga puluhan tahun lamanya? Meski tak ada lagi degup
yang sama seperti sediakala. Di kala kulit menjadi keriput,
perut membesar, pinggul melebar, tengkuk membungkuk
hingga tubuh menua? Cinta yang apinya hanya seperti bara,
namun tetap terpelihara. Yang diam-diam saja, tahu-tahu
sudah tua dan akhirnya mati berdua.

Cinta seperti apa yang mampu membahasakannya?

Tetaplah Bersama Temanmu


Tersenyumlah, dan hampiri mereka. Kembalilah pada
rangkulan hangat teman-temanmu, yang kali ini benar-
benar ingin bersamamu. Biarkanlah aku disini, yang cukup
senang melihatmu bersama mereka, orang-orang baik dan
menyenangkan.

Pulanglah bersama mereka, nikmati setiap perjalanan yang


kalian tempuh. Sesekali bercerita dan tertawalah layaknya
seorang perempuan muda, dan lakukan hal menyenangkan

Kemarau 29
lainnya bersama teman-temanmu. Tumbuhlah menjadi
perempuan ceria yang menuju dewasa. Kita masih terlalu
muda untuk melewatkan masa-masa ini, bukan ?

Tak usah jengah dengan sekian banyak temanmu yang kini


makin lama makin berkurang, karena anggapan bahwa
kini sudah saatnya untuk berpasangan. Tetaplah bersama
mereka yang memilih untuk tetap sendirian, namun lekat
dalam ikatan pertemanan.

Bukan, bukan karena kau tak punya perasaan, bukan juga


karena kalian terlalu takut untuk menjalin hubungan. Aku,
kau, dan mereka semua sadar betul bahwa mendewasa
adalah sebuah pilihan. Pilihanmu untuk saat ini adalah
berteman, mendewasa bersama mereka, orang-orang baik
dan menyenangkan.

Jalanilah apa yang kau pilih sekarang. Nikmati setiap


harimu bersama mereka, yang telah menjadi saudara
seperhatian, yang telah kuat dalam emosionalnya jalinan
pertemanan.

Biar saja aku disini, aku tak apa.

Karena aku tersadar, bahwa nanti menjelang kau dewasa,


akan ada lelaki yang menjemputmu dan kau akan
menghabiskan separuh umurmu dengannya, membangun
keluarga masing-masing, berpisah haluan pula dengan

30 Semusim Cinta
teman-teman yang telah memiliki pasangannya masing-
masing.

Karena itu, nikmatilah waktu bersama mereka sekarang,


bersama teman-temanmu yang baik dan menyenangkan.

Mantan Kekasihmu
Setiap kita pasti menjalani karakter protagonis, setidaknya
bagi kita sendiri. Ya, kita selalu merasa diri ini pasti baik,
sejalan dan sesuai. Kita baik-baik saja, sebagaimana ingin
dianggap oleh orang lain baik-baik saja. 

Bayangkan suatu waktu, ternyata ada seseorang di luar


dirimu yang menganggapmu sebagai karakter antagonis,
berkebalikan, seperti seputaran setengah lingkaran. Kala
kau punya pengagum rahasia, ternyata bagimu dialah
pembenci rahasia. Kala terlihat olehnya kau tersenyum,
ia meringis pahit. Kala kau mengajaknya bicara, ia hanya
diam seribu bahasa. Melihatmu, ia hanya bisa meluapkan
sesaknya kenangan. Meski maaf telah ia gumamkan,
sakitnya hati mungkin hanya bisa ia tahankan.

Bagimu, kau protagonis. Baginya, kau tetaplah antagonis. 

Karena dia mungkin.. mantan kekasihmu. 

Kemarau 31
Menikmati Ketiadaan
Terkadang, menyadari ketiadaan itu justru berkah yang
teramat besar, di mana kita dapat menikmati hidup yang
berlalu tanpa merasa harus dicari-cari.

Juga menikmati ke-bukan-siapa-siapa-an untuk bebas


melakukan apapun, tanpa perlu merasa diperhatikan
banyak orang. 

Kata Tulus, kita butuh ruang sendiri, bukan? 

Ada saatnya kita melawat sejenak ke ruang hampa,


menghabiskan setidaknya sekian waktu untuk menghirup
kenikmatan tanpa perlu menjadi siapa-siapa, selain diri
sendiri saja.

Tak menjadi tokoh utama? Tak apa. 

Nikmatilah suatu kali ketika kita memang hanya jadi cameo


di setiap kisah, menjadi sudut pandang orang kedua, orang
ketiga, atau justru orang biasa yang hanya sekadar lewat
saja. 

Ketiadaan sejenak dalam eksistensi dapat membuat kita


lebih mengenal diri, tentang siapa sebenarnya pribadi ini
ketika berkawan karib dengan sepi.

32 Semusim Cinta
Pergi Bersamaku
Aku mungkin sudah lelah berada di sini. Meskipun, kata
orang mungkin ini tempat tinggal idaman. Suasana
dinginnya membuat terpikat, ramah-tamah orangnya serta
keindahan kota ini membuat seakan tak ingin beranjak.
Siapapun yang lahir di sini mungkin akan begitu bangga
dan tak ingin meninggalkannya. Kau, salah satunya,
mungkin terlahir di sini, di bumi yang indah ini. 

Hanya saja, ingin kutunjukkan padamu sisi lain dunia


ini padamu. Dunia ini masih begitu luas dibanding
sepetak kenyamanan dan kebanggaanmu disini. Semakin
bertambahnya waktu, kotamu justru semakin sesak oleh
orang banyak, yang katanya ingin mencari kenyamanan
yang ditawarkan kotamu. Rasakan sendiri, justru terkadang
hal tersebut semakin membuatnya tidak nyaman, kan ? 

Mungkin nanti kuajak kau pergi meninggalkan


kenyamanan ini. Mungkin kau mesti bersabar
dan bersedih ketika meninggalkan orang tuamu,
keluargamu, rumahmu dan sejuta kenanganmu. Hmm,
tak apa kan ? Toh sudah ada aku, yang telah mengikat
dan mempertanggungjawabkanmu. Tujuanku hanya
ingin memperlihatkan lagi apa yang belum kau alami di
sudut bumi lain. Melihat lagi arti sebuah perjalanan yang
membuat pandangan kita tentang hidup menjadi lebih

Kemarau 33
lapang, tentang bagaimana kau menghargai pengalaman
baru dalam hidupmu nanti.

Bila memang ku bisa, akan kuajak kau ke pulau-pulau kecil


di sudut negeri yang tak banyak dikunjungi. Hiruplah lagi
apa arti kenyamanan, dengan segala sentuhan alamnya
yang masih asri. Di balik ketidak-adaannya, justru akan kau
rasakan hidup yang sejati dan seperti apa rasanya bertahan
hidup secara alami. Kita akan membuat kenyamanan baru
di tempat yang baru, mau kan ?

Tenang saja, bila kau rindu kotamu, rumahmu, dan


keluargamu… akan kuantarkan kau pulang. Bukankah
kota ini akan lebih indah bila ditinggalkan kemudian
dipertemukan lagi dengan kenangan? Tentu saja, kita akan
menyusuri lagi keindahan di jalanan kota ini, nanti, berdua.
Karena terkadang untuk memahami lagi arti cinta dan
rindu, kita mesti terpisah sejauh jarak… seperti rumah dan
kotamu ini. 

Maukah pergi bersamaku ?

34 Semusim Cinta
“Coba lihat, kebanyakan
hubungan yang kandas ternyata
belumlah sampai pada pengenalan
diri secara utuh, melainkan
baru saja sampai pada titik ego
terluar, ya semacam kebosanan.
Ternyata sulit luar biasa kan
mempertahankan itu, ketika kau
sudah tahu dirinya seperti apa.
Apakah kau tidak lelah terus
melakukan kesalahan yang sama
seperti yang kau lakukan dengan
seseorang di masa lalumu ? Kau
akan mengerti, teman, ketika kau
sudah berniat untuk berhenti
bermain-main”
2
Pancaroba

Kau tahu? Pada akhirnya, hati juga bisa mengalami


pergantian musim. Mendung mulai datang, angin mulai
terasa kencang. Tak lama lagi, dinginnya bulir air akan
membasahi tanah yang gersang. Andaikan hati itu sekeras
batu, maka akan luluh juga pada titik air yang senantiasa
terantuk. Lalu, bagaimana bila hati ini mulai tak bisa
memahami bagaimana harus berlaku? Duhai diri, siap tak
siap, masa pancaroba akan tiba.
Tapi Pada Akhirnya Dipertemukan…
Yang satu kadang tak berniat mencari, yang satu pun kadang tak
berminat untuk dicari,
Tapi pada akhirnya dipertemukan. 
Di tangan sesuatu bernama takdir ini, berlututlah semua asas
logika, menyungkur semua perhitungan statistika, pun tak dapat
dijelaskan oleh berbagai deret algoritma,
Tak dihitung seberapa peluangnya, tak diperkirakan dari mana
datangnya,
Tapi pada akhirnya dipertemukan. 

Percayakah kau?
Sebuah kegilaan bila kau kembali bertanya pada dirimu,
Dari ujung dunia mana orang ini?
Yang kelak akan mencuri hatimu, mengambil perhatianmu
Sekelebat datangnya, mengambil momentum dan terekam oleh
memori
Menjadi… seseorang yang rasanya sudah lama kau kenali?

38 Semusim Cinta
Tuhan mungkin tersenyum,
Pada pemaknaanmu tentang sebuah pertemuan yang tak
diperkirakan,
Namun mampu dengan kuat menciptakan kesan…
Tentang siapa dirimu, pun tentang siapapun dirinya
Padamu segalanya terasa diluar kekuasaan,
Tapi pada akhirnya dipertemukan. 

Pancaroba 39
40 Semusim Cinta
“Ada seseorang yang berharap
kau untuk kembali, meski tahu ia
merapal dalam sepi. Ia betul-betul
percaya bahwa Tuhan tak tuli.”

Pancaroba 41
Lelaki di persimpangan
Inilah aku, lelaki yang sedang berdiri di persimpangan.
Berusia dua puluh tahunan, yang menghadapi banyak
jalan bertujuan. Ada persimpangan jalan yang menjanjikan
lelaki seumuranku untuk terus menerus menjadi maju,
melompati setiap tantangan demi cemerlangnya masa
depan.

Tapi di persimpangan yang lain, ada sekelebat bayang yang


seakan menunggu. Mungkin itu kamu, yang kusebut saja
perempuanku. Bayangmu temaram, tapi aku mengenalmu
dengan baik. Meski tak bisa kugapai, aku tahu kau ada di
sana, duduk dengan manis untuk menunggu.

Aku sadar bahwa ucap, kiasan, dan janji tak cukup untuk
membuatmu tenang. Hanya dengan menjemputmulah,
maka aku dapat melukis cinta yang nyata. Kabar burung
mengantarkan keluhmu bahwa mungkin sudah lama
kau menunggu lelakimu, entah kapan akan menjemput,
ujarmu. Aku hanya bisa terdiam, tak ingin banyak bicara,
membiarkan desauan napas terbawa angin dan terus
berjalan.

Tahukah, aku telah banyak menghampiri bayangan


perempuan di setiap persimpangan, tapi selama ini aku
keliru. Maka akupun menyesali setiap ucap dan janjiku

42 Semusim Cinta
yang kutebarkan, yang alih-alih dapat menenangkan malah
aku menghancurkan setiap hati yang nyatanya ditakdirkan
bukan untuk menungguku. Setiap kali aku terjatuh dan
bangun kembali, aku terus menyusuri persimpangan yang
temaram itu, yang kurasai bahwa kaulah yang nanti akan
kujemput dari situ.

Maka sebenarnya, bukannya aku tak ingin membuktikan


cintaku, tapi aku hanya butuh waktu. Ada jalan yang
harus kuselesaikan, karena diri dan pikiranku terbangun
atas logika yang meraja. Aku tak ingin menjemputmu
asal-asalan, karena aku bertaruh dengan ayah dan
ibumu atas masa depan kita bersama. Maafkan aku yang
mengorbankan perasaanmu, yang mungkin bosan dan lelah
menunggu, yang telah menarik napas panjang lebih lama
untuk bersabar menunggu. Maafkan pula atas air mata yang
pelan-pelan mengalir dalam isakmu yang diam karena terus
menunggu yang tak kunjung datang.

Bila memang kaulah perempuan yang harus kutuju, maka


tunggulah. Aku sedang berada di persimpangan dan
menyelesaikan setiap potongan mozaik perjalanan. Bila
memang kau adalah bayang yang ditakdirkan untukku jadi
nyata dalam genggaman, maka tunggulah. Semoga takdir
bahagia itu segera tiba.

Pancaroba 43
44 Semusim Cinta
“Pada sepintas tatap, aku pernah
menyimpan harap. Hanya sayang,
keberanianku seketika terpecah-
belah meski hanya untuk berucap.”

Pancaroba 45
Teka-Teki
Mulanya aku tak mengerti seperti apa dirimu. Ya, kau
dengan segala yang kaupunyai begitu sulit untuk kutebak.
Kadangkala aku berpikir, kau tak seperti yang kubayangkan
tapi entah kenapa hingga saat ini persepsiku justru
berkata berkebalikan, dan sepertinya aku masih akan terus
bertahan.

Sulit menebakmu, serius. Sudah jemu kudengar pepatah


bahwa ‘lelaki harus peka’, ‘lelaki harus inisiatif’, ‘lelaki harus
berkorban’ dan semua itu coba kulakukan dengan sebaik
mungkin. Bahwa memang kodratku seperti itu, ya memang
kusadari harus kulakukan.

Tapi inilah kau, dengan sejuta keistimewaaan sekaligus


misteri tak terpecahkan. Aku masih buta peka akan bahasa
tubuhmu, bahasa imajimu, bahkan permainan rasa di raut
wajahmu saja masih kucoba untuk pahami. Ya, memang
kau wanita, tidak seeksplisit laki-laki ketika berbicara tapi
bertindak. Tapi kan kau juga pasti tahu, laki-laki adalah
penganut logika sejati, apa yang ia tidak tahu, ya karena
ia memang tidak tahu. Ya, intinya laki-laki sepertiku pada
umumnya harus diberitahu agar memahamimu.

Bagiku, kau adalah teka-teki. Perasaanmu begitu pandai kau


sembunyikan, bahkan seperti tak tampak dari wajah dan

46 Semusim Cinta
perbuatanmu. Tirus, seperti itulah dirimu. Aku terkadang
bingung harus berbuat apa, tetapi inilah yang membuatku
tertarik. Memang, menjadi dirimu memang sulit. Aku
paham. Wanita memang begitu.

Teka-teki ini seakan tak habis-habis. Kau pun begitu pandai


menarik-ulur keadaan, membuatku mabuk kepayang antara
optimisme dan rasa bimbang. Logikaku bilang kau begitu
“jual mahal”, tapi perasaanku mengatakan tidak. Itulah
caramu, untuk menjaga dirimu, untuk menjaga rasamu.

Teka-teki darimu bagai analogi kulit terluar telur, yang


bila dipecahkan akan bertemu lagi inang-inang sengkarut
yang tebal, yang menaungi putih dan kuning telurnya. Tak
bisa kubaca seperti apa perasaanmu, seperti apa inginmu,
dan seperti apa yang bisa kulihat selain ekspresimu yang
datar. Senyummu tak menerjemahkan suka secara lugas,
anggukanmu pun tak menerjemahkan setuju secara tegas.

Tapi, aku paham, itulah caramu. Kau hebat, kuakui.


Kaulah pemeran utama di kisah ini. Teka-tekimu tak akan
kupecahkan, agar tak kutinggalkan nantinya. Aku putuskan
tetaplah seperti itu, tanpa perlu kuminta penjelasan. Aku
mengalah untuk logikaku, aku berjuang untuk secuil
perasaanku. Biarkanlah, tak akan kuganggu.

Tapi aku tak akan tinggal diam. Dalam tempo waktu,


tentu ada masa dimana kau harus “menyerah” dengan

Pancaroba 47
teka-tekimu, menyudahi itu semua dengan putusan
yang gamblang demi masa depan. Akan ada klimaks dari
kisah yang kompleks ini bahwa apakah kita akan cocok
beriringan, atau ternyata tidak.

Aku tahu bahwa wanita pasti mau untuk diperjuangkan.


Namun pada waktunya nanti, kuputuskan, bahwa aku akan
memilih wanita yang mau berjuang denganku bersama-
sama.

Apa itu kau?

Jawabannya sesulit teka-tekimu.

48 Semusim Cinta
“Kalau tak bertemu, kita sama-
sama memelihara fantasi. Hingga
pada saatnya bertemu, akhirnya
kita takluk dengan realitas dari
persepsi.”

Pancaroba 49
Padanya yang Setia
Berterimakasihlah untuk seseorang yang setia
mendengarkanmu, menyimak segala keluh-kesahmu, tidak
terburu-buru untuk menasehatimu, dan tetap bersamamu
sekacau apapun keadaan itu.

Di antaranya, kau bisa sebut itu sebagai bentuk rasa


simpati. Namun bila lebih dari itu, bisa jadi itulah cinta
yang sejati. Dirimulah yang tahu persis siapa diantara
orang-orang itu yang nanti patut kau pilih dan perjuangkan
sampai mati. Yang bila ia tak ada di sisimu, maka hidupmu
serasa tak ada artinya lagi.

Rahasia
Aku tertawa.

Kaupun tertawa. 

Pada yang semuanya terasa, kita benar-benar memiliki benteng


yang sama tinggi. Tapi, rasanya tak ada yang berniat untuk
mengetuk pertama kali, apalagi penasaran untuk saling mendaki. 

Kau sulit ditaklukkan, 

50 Semusim Cinta
Begitu pun aku. 

Teruslah seperti ini. Kita dapat saling memandang dalam puncak


mercusuar dari benteng tinggi yang kita bangun. Tahukah, tak
perlu ada yang ditaklukkan. 

Aku kagum padamu, 

kurasa kau pun sama adanya. 

Tapi tak ada yang hancur. Ini bukan penyerangan. Ini juga bukan
soal penaklukan. Tak ada yang menunggu, begitu pun tak ada
perasaan ditunggu. 

Apalagi segelas kopi dari pertemuan berkali-kali pun takkan


mudah untuk membongkar seluruh pertahanan diri. 

Kau punya rahasia.

Akupun punya rahasia.

Lalu, kita berdua hanya bisa tertawa. Menikmati hal-hal yang


berjalan sebagaimana mestinya. Tak usah ada yang dipaksa. 

Pancaroba 51
52 Semusim Cinta
“Begitu indahnya kau, puisi.
Kau mampu mengubah bahasa
hati menjadi mudah dimengerti,
mengubah bahasa kerinduan
menjadi seni bernilai tinggi,
menjamah lisan-lisan yang tak
mampu lagi menjabarkan maksud
hati.”

Pancaroba 53
Padamu, Bulan
Bagaimana kalau rinduku ini kuceritakan saja padamu?

Aku memang tak pandai berkata-kata, hanya gumamku


dalam doa yang bisa kupanjatkan, selepat tahiyat, di akhir
salat.

Aku bahkan malu menyebutnya dalam doaku pada Tuhan,


bahwa aku merindukannya. Begitu malu. Merasa tidak
pantas.

Aku tahu, bahwa Tuhan Maha Tahu apa yang membuat


hatiku berdegup saat ini. Di tengah rasa-rasa yang
membuatku menjadi tak menentu. Lagi-lagi aku merindu.

Aku tahu, Tuhanlah yang menitipkan rasa ini. Namun


entahlah, apakah ini memang sebuah ujian untukku? Yang
kutahu, Allah Maha Pencemburu. Bisa saja nanti ketika aku
terus memikirkan dia, maka Allah mencabut rasa itu hingga
rasa sakitnya tak alang kepalang. Bisa jadi, kan?

Tapi bagaimanakah pula, logikaku pun tak sepakat. Bila


begitu, ayah dan ibuku tak akan pernah bertemu, dan aku
tak akan lahir dan ada saat ini. Karena keduanya saling
mencintai, lahirlah aku, atas izin-Nya. Maka, bagaimana
pula Tuhan “tega” mencabut perasaan cinta para manusia?
Ah, hanya Tuhan yang tahu, bukan?

54 Semusim Cinta
Jujur, aku merindukannya. karena aku hanya memiliki
sebuah belahan hati, dan ada belahan yang lain, yang entah
ada di mana. Mungkin itu yang kurindukan, dalam sepi dan
diamku kini. Aku tak tahu lagi kemana harus aku curahkan
ini semua. Ke depan Tuhan, aku merasa tak pantas.
Mengatakannya langsung padanya pun tak bisa.

Maka, kuceritakan ini padamu, Bulan. Sejauh mataku dapat


memandangmu, sejauh angin membawa suara hatiku
padamu. Kuceritakan padamu, setelah semua ini telah
kuceritakan lebih dulu pada Allah, tuhan kita, dalam gumam
dan pengharapan.

Kulihat, engkau hanya bersinar di atas sana. Semoga


engkau paham atas suasana hatiku kini. Tak apa, cukup
hanya sinar terangmu yang menemaniku. Itu sudah lebih
dari cukup.

Terima kasih, Bulan.

Anestesi
Sejenak kala dua detik saja mata ini berpandangan, aku jadi
teringat bahwa aku sudah berpindah pada relung waktu
yang berpilin-pilin, mengorek-ngorek seluruh persepsiku
terhadap responmu akan hadirku. Hitam putih berputar
putar bagai pintalan gulali yang me-ninabobo-kan.

Pancaroba 55
Turun barang setengah jengkal dari kedua bola mata itu
hadir lekuk senyum yang memendarkan pesona yang
menggetarkan hormon-hormonku, yang kadangkala malu-
malu untuk bahkan sejenak realistis menikmati hadirnya
dalam tubuhku ini. 

Tapi aku hilang kesadaran dalam lintasan supercepat


degupan jantung, berkelap-kelip pantikan harapan, nada-
nada mayor dan minor terdengar bersahut-sahutan; hingga
tak lama kemudian tubuhku berperang satu dengan yang
lainnya, pada satu pihaknya membela kemungkinan, satu
pihaknya lagi membela ketidakmungkinan. 

Dalam skala mikron cakupan makrokosmos semesta,


kau serupa membuainya seperti ekstasi. Kecil, berbulir,
terinjeksi masuk lewat dalam pembuluh darah, asing
namun cepat terikat, lalu perlahan menembus sistem
imunku yang bahkan kupersilakan dengan cuma-cuma. 

Maka kali ini saja, napasmu yang serupa zat eter itu
terhisap menuju paru-paru, pun suaramu yang serupa
nada pentatonik memasuki frekuensi pendengaranku,
yang mendengung bukan hanya sampai di gendang telinga
tapi juga sampai ke lubuk hati terdalam. Efekmu kini
meresonansi kalbuku yang telah lama sepi. 

Kubiarkan racunmu memasuki diri, memakan seluruh


antibakteri yang sudah kupendam lama bak jelaga, hingga

56 Semusim Cinta
akhirnya meruntuhkan keangkuhanku pada semesta, hanya
bila pada akhirnya lelaki tangguh sepertiku di hadapanmu
saja akan luluh. 

Kujuluki kau: anestesi.

Pancaroba 57
58 Semusim Cinta
“Pilihanku untuk menujumu bak
sebidak pion, yang dimulai dari
langkah kecil … namun takkan
berbelok, begitupun takkan bisa
mundur.”

Pancaroba 59
Mencintaimu Empat Musim
Aku hanya ingin belajar mencintaimu seperti empat musim
di tengah iklim subtropika kehidupan, di kala perputaran
angin begitu mengaduk-aduk perjalanan kita, dari Barat ke
Selatan, dari Timur ke Utara. Sesederhana itu. 

Seperti saat musim semi. Ketika kita baru bertemu, saling


kenal dengan rona merah pada wajah, saat tersipu mengeja
nama, saat tergagap menanyakan kabar, hingga tergugu
saat merindu…

Seperti saat musim panas. Ketika cinta saling terbalas,


ketika dua hati yang selama ini beku telah melekat, ketika
perhatian manis meningkat, ketika semua terasa indah dan
hangat…

Hingga, seperti saat musim gugur. Ketika kita mulai


tak terlalu sering menyapa, di kala ucapan manis telah
dirundung kebosanan, ketika semua ikrar terasa hambar,
ketika perhatian mulai tak lagi sama..

Seperti saat musim dingin. Ketika kita kadang tak


berbicara, ketika hati tak jujur lagi berkata, ketika ingatan
kembali lagi pada masa lalu, ketika hati ini ingkar dan
hampir ingin pergi..

Ah, ya.

60 Semusim Cinta
Aku hanya ingin belajar mencintaimu dalam empat musim,
yang terus bersiklus dalam pilinan takdir menahun yang
Tuhan pilihkan untuk kita lewati. 

Aku hanya ingin bertahan mencintaimu dalam empat


musim, berikrar tak akan pergi meski kulit kita akan basah
atau kering sekalipun menghadapi terjangan angin-angin
musim yang selalu berganti.

Aku hanya ingin menjalankan takdir dalam empat musim,


bersamamu, yang telah kujemput dengan niat bulat atas
restu dari kedua orangtuamu, bertanggungjawab untuk
menjagamu sepanjang waktu. 

Aku hanya ingin terus bersamamu dalam empat


musim, yang berputar selamanya, untukmu yang
kusebut... kekasihku.

Pancaroba 61
62 Semusim Cinta
“Bila hendak berkunjung,
berkunjunglah dengan sopan.
Kau hanya tamu di halaman
rumahnya. Duduklah, mainlah,
tapi jangan rusak rumputnya,
jangan petik bunganya. Bila telah
waktunya pulang, maka tutuplah
kembali pagarnya. Ucapkan salam
dan terima kasih, bila pemiliknya
berkenan tentu kau akan mudah
kembali lagi.”

Pancaroba 63
Hanya Seberani Itu
Aku mengenalmu, tapi tak sebegitu tahu. Tidak ada yang
aneh padamu, selain satu sudut pandangku tentang
hidupmu. Begitu apik, sampai-sampai aku terbuai akan
larik-larik puisimu, juga termenung mencari definisi yang
kau simpan dalam sebaris sajakmu. Di sanalah satu ruang
kosong hatimu, ternyata kau buka lebar-lebar meski ia
tertabir. Aku mengenalmu di situ, mengeja dalam bayang-
bayang seperti apakah dirimu sebenarnya. Hanya itu yang
kutahu dan hanya seberani itu aku mencari tahu. 

Dalam persepsiku, kau mungkin karakter protagonis yang


terlanjur menjadi kiasan, lalu isi pikiranmu tercurah begitu
saja membasahi benakku yang haus akan pilihan-pilihan
kata yang tak biasa. Ah, hasil ketikan jemarimu itu kadang
mampu membuatku terhanyut namun tersadar sekaligus,
ada keindahan yang kau ejakan dalam sentuhan larik-larik
maknawi. Memabukkan, iya. Mencerahkan, iya. Meski
terkadang tak sesempurna itu maka cukuplah ia menghibur,
iya.

Aku mengenalmu, tapi tak sebegitu tahu. Maka, teruslah


saja menjadi dirimu. Aku takkan mengganggu, tapi
mungkin aku adalah salah satu dari penggemar (tulisan)mu.
Aku tak melihat rupamu, tapi aku melihat isi kepalamu
dalam tulisan-tulisanmu yang utuh. Suka? Mungkin tidak

64 Semusim Cinta
sebercanda itu, yang bahkan kau pun tak tahu rupaku
yang anonim ini. Kagum? Ya, mungkin itu kata yang
mewakili, bisa jadi. 

Karena hanya itu yang kutahu dan hanya seberani itu aku
mencari tahu. 

Pancaroba 65
66 Semusim Cinta
“Lelaki pemalu biasanya banyak
menimbang-nimbang. Tapi bila ia
sudah bergerak hingga melampaui
rasa enggannya, berarti ia benar-
benar serius.”

Pancaroba 67
Sampai Kapan?
“Sampai kapan kamu akan jadi pengagum rahasiaku?” 

Katamu.

Begitu lama waktu berlalu, 

Kujawab,

“Sampai aku selesai dengan diriku sendiri. 

Sampai aku benar-benar menerima keadaanku sendiri,


seperti nanti aku akan mencintai apapun keadaanmu. 

Sampai aku sadar dan mengambil momentum yang kurasa


terbaik. 

Sampai aku tahu, bahwa sejauh mana dan selama apa aku
dapat bertahan dalam kesendirian. 

Sampai aku mau untuk mengambil risiko terbesar atas


kekurangan maupun ketidaksiapanku untuk segera
menjemputmu. 

Pun, sampai Tuhan mengilhamkan, bahwa inilah saatnya


aku menujumu.”

68 Semusim Cinta
“Hai. Bertemu denganmu serupa
kejutan elektrik lima volt saja.
Membuat urat leherku hanya
tertarik sebagian mengikuti arah
tubuhmu berjalan. Sisanya, aku
lupa. Tahu kan, pertemuan sejati
tak hanya mengandalkan rupa?
Tentu, mengarungi hatimu akan
butuh waktu lama.”

Pancaroba 69
Karena…
Ketika kau begitu khawatir dengan seluruh dunianya, 
Wanitamu justru hanya butuh perhatianmu untuk meredakan
kekhawatirannya.

Tidak mengerti?
Ya.
Karena untuk mengerti wanita tak bisa hanya dengan isi kepala.

70 Semusim Cinta
“Gerimis kala pagi, membuat
yang seharusnya terkembang
menguncup lagi. Memang
tak membuat menggigil, tapi
desirannya pada tubuh cukup
terasa tengil. Sendu-sendu terurai,
ingin disudahi tapi tak sampai.
Kiranya memang bulir suci ini
turun untuk memberikan waktu
yang sempurna pada kenangan
lama yang sudah tak berkelana.
Sejenak, teringat kamu lagi, di
gerimis kala pagi.”

Pancaroba 71
Kita Saling Meracuni
Suatu saat nanti, kuharap kita bisa berhenti untuk saling
meracuni. Tentang hal-hal yang aku dan kau saling pelihara
dalam sembunyi, tentang sesuatu yang susah payah kita
simpan selama ini. 

Kita tak akan pernah saling menaklukkan. Kita tak


akan tega melakukannya, bukan? Tapi laiknya kita tahu,
kita selama ini terlalu lama bercanda dengan segala
kemungkinan, berharap bahwa kedekatan ini hanyalah
lelucon yang pada akhir kisahnya dapat ditertawakan. 

Tidak, kubilang. Bila terus begini, bisa jadi salah satu di


antara kita akan jadi korban. Akan datang ombak yang
meluluh-lantakkan seluruh batu karang, yang selama ini
kita selalu banggakan sebagai pertahanan terbaik sepanjang
jaman. Terjebaklah sudah nantinya kita pada ruang hampa,
begitu sulit mendefinisikan rasa yang datang ini apa dan
bagaimana seharusnya. Bahkan, kita akan repot untuk
memikirkan segala langkah di depan nantinya.

Kita yang sama-sama lalai. Kedekatan akan semakin


melonggarkan jarak yang teruntai. Bahwa, nanti di depan
akan datang badai yang akan menghapuskan seluruh
kesombongan dan keengganan kita untuk saling mengakui
perasaan. Tapi aku sendiri belum siap untuk jatuh cinta lagi,

72 Semusim Cinta
begitu pun denganmu kan? 

Lalu sampai berapa lama lagi kita akan menyembunyikan


perasaan ini? Aku merasa jujur bahwa kedekatan ini
meracuniku, tapi aku harus bagaimana lagi? Bisa jadi sebab
kedatanganku bisa membuat kau terluka pada akhirnya,
tapi apa dayaku untuk membendungnya?

Teruslah begini, sampai kita sadar bahwa kita sudah terlalu


lama untuk saling meracuni.

Pancaroba 73
74 Semusim Cinta
“Entah kenapa pula lelaki adalah
makhluk yang mudah sekali
membuat wanitanya menangis,
tetapi juga tak tahan bila
mendengar wanitanya menangis”

Pancaroba 75
Di Pundakmu
Deru bus kota, asap mengepul, remang-remang suara bus
meraung
Kantuk menerpa, puluhan pasang mata sayup-sayup kembang
kuncup
Sedang kau tegang sendiri, lelaki biasa itu
Karena di sampingmu, seorang bidadari merebahkan wajahnya
dengan lugu
Di pundakmu, seorang lelaki biasa itu

Ah, sepanjang jalan menuju Jatinangor


Dadamu berdegup, sadarmu memuncaki mimpimu yang
mengawang
Karena tanpa kau minta, perempuan itu dengan sukacitanya
tertidur di pundakmu
Anugerah Tuhan yang tak disangka-sangka
Membuatmu belajar, menjadi seorang lelaki sejati itu seperti apa
Pundakmu yang ringkih itu akhirnya menjadi sandaran baginya

Bus kota itu memang busuk, tapi tidak untukmu


Memang tak perlu kau jamah ia, tak perlu kauperbaiki
jatuh jilbabnya
Cukup diam dan tahan, lalu dengarkan aliran degup kasih
sayang itu
Sampai pada hatimu, kebijaksanaanmu, dan keperkasaanmu

76 Semusim Cinta
Selamat, kau wahai lelaki biasa itu, malam ini sejatilah jiwamu
Tersenyumlah, dan jangan lakukan apapun yang mengganggu
Jagalah ia, bidadari yang sedang tertidur di pundakmu itu.

Pancaroba 77
3
Penghujan

Ada cerita yang kita miliki ketika hujan. Ketika kuyup itu
menghangatkan pandang. Ketika rintik itu mencairkan
kebekuan. Lalu kita tak mesti bertatap lama untuk saling
bicara, juga kita tak perlu bicara untuk saling merasa.
Dalam diam ini, aku selalu percaya bahwa hujan selalu
istimewa. Kemudian cerita itu selalu bermula dalam riak-riak
kenangan, ketika rintik-rintik itu datang..
Puisi Langit
Bintang gemintang, menaburi langit semesta
Di sana tempatku mengadu segala daya dan upaya
Kita bertatap saling setia pada suatu kala
Di kala aku tak bisa beruntai kata, maka kupilih engkau tuk
bercerita

Dalam keheningan malam raya


bila aku sudah tak tahan lagi akan realita
kuingat lagi engkau, sinyalmu memanggilku segera
ceritakanlah padaku, dalam senyap engkau berujar mesra
yang kutahu, aku berbicara lewat mata
yang memandangmu pada kerlap-kerlip cahaya

Meski kita jauh berjuta-juta hasta


engkaulah temanku untuk berkeluh dan bercerita
dalam berjuta jarak membentang di antara kita,
terdapat memori-memori hidupku yang kuselipkan pada suatu
masa
di antara kerlap-kerlip indah, di antara magisnya bentangan
cahaya

80 Semusim Cinta
Bila Aku Seorang Pemarah
Bila nanti kau ingin mengenal betul siapa aku, kuberitahu
satu hal terburuk yang harus kau tahu. Salah satunya,
aku sebenarnya adalah seorang pemarah. Pemarah yang
buruk ketika sedang tidak mood, yang seketika bisa saja
mengucapkan kata-kata kasar yang tak berguna meskipun
itu memang sebagai ekspresi kemarahanku, bukan
ditujukan untuk siapa pun itu, apalagi dirimu.

Tahukah, begitu sulit untukku mengendalikan diri bila


sedang terbentur buruknya kondisi. Karenanya, janganlah
terkejut kalau suatu saat kau melihatku dapat menjadi
individu yang berbeda ketika emosi sedang membara.
Seketika, kau harus pandai menempatkan dirimu sendiri
kala hal itu benar-benar tiba. 

Bila kau tahu aku seorang yang pemarah, maka tolong


bantu aku untuk meredakannya. Bila kau nantinya adalah
seseorang yang dipilihkan Tuhan untukku, maka dari
sekarang kuajak kau mulai terbiasa dengan tabiat burukku
yang temporer ini. Jadilah air sedingin es ketika aku seperti
api yang membara. Diamlah dengan anggun, sebagaimana
nanti pada akhirnya aku sendiri akan malu akan kata-
kataku yang terlanjur tersembur.

Dan… peluk saja aku dengan seluruh kecintaanmu. Matikan

Penghujan 81
degup emosi yang meletup ini dengan keikhlasanmu
untuk berdamai dengan kondisiku. Ingatkanlah aku dalam
dekapanmu, bahwa sejatinya kau mencintaiku-sebagaimana
juga aku mencintaimu-dan atas nama cinta itulah segala
emosi yang membara ini harus segera disudahi. 

Pandang mataku, lalu buatlah aku malu. Bila dengan


keadaanmu yang terbaik menujuku, semoga dengan
melihatmu saja aku rasanya dapat kembali mengingat
Tuhan dan melafalkan lafadz-lafadz pujian untuk-Nya.
Buatlah hegemoni emosiku runtuh seketika dengan
keanggunanmu memperlakukanku. Aku percaya, atas
segala karunia yang ada, kaulah orang yang paling tepat
untuk membuat segalanya menjadi mereda.

Aku harap kau tak terbebani atas sifatku ini. Bagaimanapun,


aku hanya berusaha jujur dan tidak menutup-nutupi. Satu
hal aku berjanji, bahwa aku akan berusaha betul untuk
menjaga dirimu di setiap inci. Marahku yang terasa olehmu
sejatinya bukan untuk melukai. Tapi semua takkan terjadi,
bila kita sama-sama bisa mengendalikan diri. 

Apakah kau orang yang tepat nantinya? Kuharap itu benar


adanya. Semogaku untukmu kini telah lama mengangkasa,
seiring emosiku yang nantinya meluruh oleh lengkungan
senyummu yang menggetarkan jiwa. 

82 Semusim Cinta
“Soal jatuh cinta, aku hanya
menduga-duga. Tapi soal hasrat
melindungimu, aku rasanya ingin
bersegera.”

Penghujan 83
Bila Cinta (Tak) Harus Selalu
Ditunjukkan
Bila cinta itu harus selalu ditunjukkan, maka mungkin aku
termasuk orang terkikuk di dunia; bertemu seratus kali
pun, belum tentu aku berhasil menunjukkannya. Mungkin
aku lebih memilih lari darimu, membuang mukaku yang
merah karena malu, atau berusaha menghilang agar degup
jantungku ini tak terdengar olehmu.

Bila cinta itu harus selalu ditunjukkan, maka mungkin aku


termasuk orang yang terbodoh di dunia; jelas-jelas sudah
berada di depanmu, aku malah ngeloyor begitu saja. Jelas-
jelas sudah tinggal kita berdua, aku malah sok sibuk dengan
berbincang-bincang dengan siapapun. Jelas-jelas akulah
yang mesti bergerak berani, aku yang malah mundur dan
beranjak pergi.

Bila cinta itu harus selalu ditunjukkan, maka mungkin


aku termasuk orang yang paling menyesal; tahukah kau,
terkadang aku menyesal dengan apa yang kulakukan. aku
terdiam sendiri, ketika kau memilih untuk pergi, entah
itu karena memang menungguku sejak tadi. tahukah
kau, ketika lamat-lamat bayangmu pergi, aku mulai
merindukanmu, tak fokus lagi pada pembicaraan sok sibuk
tak penting itu. tahukah kau, aku berharap kau untuk
sedikit menoleh padaku, memberikan senyum maafmu

84 Semusim Cinta
padaku, yang telah jelas-jelas membiarkanmu pergi dengan
segelas hati yang kosong.

Hanya kau harus tahu, bahwa aku mempercayai, cinta


itu tak harus selalu ditunjukkan; bila di depan mata-mata
mereka, secara kasat mata. 

Terkadang aku bertanya, apakah dengan menunjukkan


cintaku, justru aku menjamin aku mencintaimu? Tidak
juga. Bahkan aku tidak tahu jawabannya. Aku tak ingin
hanya berpuas diri dengan hanya bersombong-sombong di
hadapan mereka, memperlihatkan rasaku padamu, yang
mungkin akan terasa semu;

Tak usah terlalu jauh, aku sendiri bahkan belum terlalu


mengerti kenapa aku menaruh rasa padamu. Terlalu abstrak
untuk dijelaskan. Biarlah Tuhan nanti yang menjelaskan
pada kita berdua, dalam doa-doa di akhir salat kita.

Sekali lagi, aku meminta maaf padamu. Bagaimanapun,


aku pun sebenarnya percaya, bahwa suatu saat nanti,
cintaku harus kutunjukkan pada seseorang, entahlah,
seseorang yang spesial mungkin itu kamu. Semoga Tuhan
membimbingku agar tak salah jalan dan tak salah cara
untuk melakukan itu.

Percayalah, bila masih ada kesempatan, bahkan yang ke


seratus-satu kalinya; aku berjanji, akan kuambil itu dan

Penghujan 85
kupersembahkan yang terbaik.

Seperti Cara-Cara Dulu


Melihatmu, seakan cukup saja dari jauh. Seperti cara-cara
dulu, di mana aku selalu bergetar-getar ketika menahannya.

Menyapamu, seakan cukup saja dengan anggukan. Seperti


cara-cara dulu, dengan wajahku yang tersipu malu dan
memilih pergi.

Memikirkanmu, seakan cukup saja dalam beberapa waktu.


Seperti cara-cara dulu, ketika aku merindukanmu dan
diam-diam namamu berada di hatiku.

86 Semusim Cinta
“Yang kau sebut sebagai orang
ketiga itu, sebenarnya tak pernah
mendaftarkan dirinya atas nama
orang ketiga yang seakan-akan
bisa merusak segalanya.”

Penghujan 87
Merindulah yang Wajar
Merindulah, seperti engkau yang manusiawi, yang sesekali
mempunyai getaran yang bercampur pada rasa sayang
dan khawatirmu. Namun, wajarlah saja, seperti biasa kita
mampu berdiam untuk beberapa waktu tanpa perlu merasa
gusar satu sama lain. 

Kita yang sama-sama paham, bahwa merindulah yang


sewajarnya saja. Merindu, karena kita tahu bahwa jarak
yang tercipta merupakan satu langkah baik untuk tetap
membuat kita belajar apa itu batasan, apa itu larangan, apa
itu norma. Merindu karena sabar, merindu karena diam,
merindu karena harap kita pada Tuhan.

Kita yang sama-sama ingin menjadi makhluk Tuhan yang


dicintai-Nya, yang memilih untuk bersabar demi satu restu-
Nya yang melangit dan rida-Nya yang membumi, bahwa
orang baik akan dipersatukandengan orang yang baik.
Marilah kita berkirim salam dalam sepucuk doa di akhir
salat kita, sesekali, karena kita ingin rindu yang sewajarnya
saja. 

Kita merindu, itu wajar. Kita punya hati, kita punya cinta,
tapi kita tidak semenggebu itu. Kita, yang terus menerus
belajar menemukan hakikat dari kepercayaan tentu tak
ingin semudah itu menjadi luntur, yaitu percaya betul janji

88 Semusim Cinta
Tuhan itulah yang terbaik. 

Semoga. Kita masih belajar kan? Semoga Tuhan


membimbing. 

Tapi aku jujur kali ini, aku rindu padamu, tapi yang


sewajarnya saja. 

Lelaki Terkadang (Hanya) Tak


Mengerti
Lelaki terkadang hanya tak mengerti, apa yang diinginkan
perempuannya. Bukan, bukan karena tak peduli atau
tak punya kepekaan, melainkan karena bingung
menerjemahkan apa yang perempuannya maksudkan. 

Lelaki terkadang hanya tak mengerti, karena apa yang ia


lakukan tak berarti bila perempuannya tak mau membuka
diri. Entah harus apalagi yang dilakukan oleh lelaki,
bila segala bentuk perhatiannya tak bisa menggugah
perempuannya untuk jujur dan lugas mengatakan apa yang
terjadi. 

Lelaki terkadang hanya tak mengerti, apa yang sebenarnya


diinginkan perempuannya? Lelaki hanya bisa bertanya,
bertanya, dan bertanya karena semua di dalam pikirannya
penuh dengan logika. Lelaki sulit menerka-nerka, pun lelaki

Penghujan 89
tak bisa menduga-duga. 

Lelaki terkadang hanya tak mengerti, kenapa


perempuannya tidak mau mengatakan apa yang terjadi
padanya? Karena egokah ? Karena malukah ? Entah.
Bukankah sedikit egois membiarkan lelaki hanya bisa
menerka perasaan perempuannya, padahal itulah
kelemahan lelaki yang sejatinya ada? 

Lelaki terkadang hanya tak mengerti, maka tolonglah para


perempuan, beritahu kami apa yang mestinya dilakukan.
Janganlah diam, janganlah pasif. Karena lelaki yang
sudah terlanjur tak ingin mengerti akan geram dan bisa
saja berbalik badan untuk tak peduli lagi. Hanya satu
hal yang akan muncul pada lelaki yang terabaikan, yaitu
mempertahankan harga diri. 

Maafkan kami, bila memang sulit membaca perasaan


perempuan. 

Maka beritahulah kami, karena lelaki terkadang “hanya”


tidak mengerti. 

90 Semusim Cinta
“Bicara cinta padamu mungkin
rasanya kepagian. Tapi kalau
urusan keduluan orang lain, aku
takut kesiangan.”

Penghujan 91
Kita Harus Terpisah Sementara
Mengapa kita harus terpisah untuk sementara waktu?

Agar kita belajar memahami satu sama lain. Tentang


perbedaan kita, tentang persamaan kita, tentang rentang
umur kita, tentang siapa kita, di mana kita, apa posisi kita,
dan bagaimana cara kita menyikapinya.

Agar kita paham arti membulatkan emosi jiwa. Tentang


bagaimana cara kita percaya satu sama lain, belajar tentang
hal saling mengalah demi kebaikan, belajar kedewasaan
dari tiap masalah yang dihadapi, lalu menikmati setiap bait
rindu yang datang, ikhlas dalam mendoakan, menikam
setiap perasaan curiga, lalu mulai perlahan merawat bibit
kesabaran dalam diri.

Agar kita bisa menjaga apa yang semestinya dijaga. Menjaga


diri kita sendiri sajalah dulu, agar kita senantiasa baik-
baik saja. Menjaga kesehatan, menjaga perilaku, menjaga
perbuatan, hingga menjaga hubungan dan harapan baik
kita pada Tuhan.

Agar kita bisa menahan apa yang semestinya ditahan.


Tentang hal yang tidak boleh kita lakukan sekarang, tentang
norma agama-logika-susila yang tidak boleh kita langgar,
begitupun tentang pesan orangtua yang tidak boleh kita
abaikan

92 Semusim Cinta
Agar kita bisa melakukan apa yang semestinya kita lakukan.
Kita masih terlalu muda saat inidan masih banyak yang
harus kita lakukan. Tentang mimpi-mimpi kita untuk masa
depan, membangun kapabilitas diri, mendewasakan pola
pikir, menambah pengalaman, lalu menjadi individu yang
berkarakter di masa dewasanya, hingga nantinya… kita
akan menjadi orang yang berguna dan bermanfaat.

Percayalah, Tuhan lebih mencintai kita dari apa pun dan


siapa pun. Bila memang kita harus begini dulu, maka
jalanilah. Semoga harapan baik ini bertemu dengan
karunia-Nya yang baik pula.

Bila Saatnya Harus Pergi


Sebagaimana nanti akan kuberitahu padamu, bahwa
ada rasa yang tiba untuk sekedar mampir karena pada
kedekatanlah alasan ia akan hadir. 

Bilamana sudah tak ada kedekatan, maka rasa itu bisa saja
segera angkat kaki tanpa secuilpun harapan yang diukir
pasti.

Begitulah. 

Tak perlu kiranya kau terkejut alang kepalang. Semua bisa


pergi, seperti ia yang dulunya datang.

Penghujan 93
Siapa yang Berbohong?
Padanya, yang pergi, tak henti kau melolong
Kau bilang ia seorang pembohong, 
Dan segala sumpah serapah seperti petir di siang bolong
Ketika dia meninggalkanmu dengan tatapan kosong

Tak baik memang untuk jadi dipaksa, bila harus maka


berpisahlah jua
Kau bersumpah, bahwa tanpanya akan jadi lebih bahagia
Kalau perlu, jeritanmu terdengar sampai seluruh dunia
Seakan-akan kali ini kau yang menang sepihak rupanya

Tapi toh, 
Kau tetap ingat juga, 
Kau tetap meratap juga,
Meski tak kurang segala ucap hina dina untuknya
Meski disisimu telah ada seseorang sebagai gantinya

Lalu katamu, kau akan bahagia?


Mana buktinya?
Toh, rasamu padanya masih sama saja
Membencinya, justru cara terburuk untuk mengingat segala
tentangnya

94 Semusim Cinta
Sekonyong-konyong, 
Siapakah sebenarnya yang justru berbohong?

Mohon, Jangan Pergi Dulu…


Aku sadar bahwa memilikimu tak mungkin, setidaknya
dalam persepsiku. Mau Tuhan toh bukan urusanku, kan?
Berandai terlalu tinggi bisa menyakitkan perasaan siapa
pun, entah kau begitu pun aku. 

Tapi aku benar-benar ikhlas bila suatu hari memang hal


itu terjadi. Ada seseorang yang lebih baik untukmu, yang
berkesempatan lebih besar dariku, dan datang di waktu
yang tepat untuk menjemputmu…. Bila bukan aku, toh tak
apa. Aku bisa mundur perlahan tanpa mencela.

Kini, hanya kuminta padamu satu hal, tolong temani aku


barang beberapa waktu lagi. Hatiku yang kosong sudah
terlanjur kau isi, bayanganmu telah masuk dalam benakku
sehari-hari. Kau tidak salah, akulah yang sebenarnya terlalu
cepat membuka diri. Hingga akhirnya, ada persimpangan
yang akan segera meminta jawaban bahwa siapakah aku di
matamu kini. 

Tolong, jangan terlebih dahulu pergi…… Setidaknya sampai


ada orang baru yang menggantikan posisimu kini. Jangan
biarkan aku terkulai melepasmu tanpa sesosok pengganti.

Penghujan 95
Aku mohon, barang beberapa saat lagi, hati yang kosong ini
masih sudi kau temani. 

Hingga takdir mengatakan bahwa kita cuma teman, tak


apa untukku. Rasa cinta yang terlalu cepat mekar memang
metafora, setidaknya untuk kasus hidupku. Kita tentu
tak dapat mengira-ngira semua ini begitu cepat berlalu…
risiko bahwa kedekatan itu akan menciptakan pertanyaan-
pertanyaan baru. 

Maka kutegaskan saja dalam jawabku, bahwa nantinya aku


ikhlas melepasmu, dengan siapapun sosok seseorang itu.
Tapi untuk kini… mohon jangan pergi dulu…

Kausalitas
Kalau kau ingin adil melihat itu cinta, cobalah mengenali
cinta tanpa harus mencintai.

Kenalilah ia dari luar, sebagai manusia normal yang tak


kebanjiran oksitosin karena pilihanmu mencinta. Kau
takkan paham secara gamblang apa itu cinta, kalau karena
mencintai saja kau bisa tenggelam.

Kenalilah mencintai itu dari sisi yang seimbang, yang tak


hanya menyenangkan tapi juga berpotensi menyakitkan.

Lihatlah orang-orang yang sumringah karena sedang jatuh

96 Semusim Cinta
cinta.

Lihatlah juga orang-orang yang tampak hancur karena


putus cinta.

Akan ada kausalitas, kan?

Untuk Hati yang Pernah Hancur


Suatu waktu, ada hubungan antara dua hati yang terjalin
diantara sepasang manusia, entah itu di masa lalu atau
masa kini yang telah menjadi cerita. Cerita yang pilu,
diwarnai isak tangis dan sejuta rinai sendu yang masing-
masing menohok dua perasaan, baik pria dan wanita.

Suatu waktu, ada hati yang pernah luluh lantak karena


tajamnya lidah yang tak disengaja, atau karena harap yang
tak bersua. Lain takdir, lain pula jalannya, yang memang
harus terbentur untuk tidak bersama. Tuhan tidak pernah
mempermainkan, tapi manusialah yang melampaui
batasan. Maka, rasa sayang yang dulu pernah tumbuh subur
seketika berguguran dan hilang tak berbekas.

Suatu waktu, perasaan yang telah hancur itu seakan


membuat kejernihan hati terkubur. Rasa suka yang
telah menjadi luka, bahkan kini menjadi dendam yang
terpendam. Dua hati yang dulu beriringan, kini saling
berseberangan. Jangankan bersua, mungkin diam adalah

Penghujan 97
cara yang paling baik untuk menyembunyikan duka. Betapa
dunia telah terbalik bagi kedua insan yang telah terlanjur
berpisah, kisah cinta yang dulu pernah terajut hanya
menjadi sebuah sejarah.

Namun, waktu telah lama berlalu. Fajar dan senja sudah


berulang kali beradu. Semestinya, akan tumbuh lagi hati
yang baru, kembali merekah untuk cerita hidup yang baru .

Semoga selalu ada maaf atas nama perasaan yang


menginginkan kedamaian di antara keduanya. Cerita
memang sudah lain, tapi setidaknya masa depan bisa
diluruskan. Mati satu, tumbuh seribu. Hati yang mati
maka biarlah, dan semoga yang tumbuh itu adalah seribu
hati untuk kembali membuka diri. Jalan memang masih
panjang, maka urungkanlah niat untuk mendendam.

Bagi kita yang pernah menghancurkan hati seseorang,


atau bahkan hati kita yang pernah dihancurkan oleh
seseorang, maka berprasangka baiklah. Semoga hati yang
ikhlas memohon maaf atau memaafkan akan mendapatkan
ganti yang terbaik dari Tuhan Yang Maha Pemaaf. Semoga
dengan itu pula, masa depan yang ditatap tak menjadi
kabur oleh dosa masa lalu, terangnya jalan yang akan
datang jangan sampai terhalang oleh gelapnya jalan yang
telah berlalu. Semoga.

98 Semusim Cinta
“Pada orang yang saling
mencintai, bahkan kekurangannya
pun akan dikatakan sebagai
kelebihan.”

Penghujan 99
Kalap
Kalau kau bertanya-tanya, mengapa aku kini dapat
membahasakan keresahanku dengan sejuta pilihan kata,
jawabannya adalah kau sebabnya.

Akulah yang dulu kau kubur dalam-dalam. Meski benakku


meninggalkan sekelebat ilusi kelam, kenapa kau pergi tanpa
sejenakpun mengucap salam?

Aku kalap, karena semuanya gelap. Sedihku makin


beruntun karena telah sia-sia rasanya memupuk rasa
percayaku padamu bertahun-tahun.

Aku terbenam. Hujan air mata perlahan turun di antara


wajahku yang sendu, menggelayut pasrah diantara isak
tangis yang diam. Dihempaskanmu secara tiba-tiba,
ketangguhan cintaku rasanya melebam. 

Inilah aku yang dulu kau kubur dalam-dalam, ingatanku


menumbuhkan segunduk kembang melati yang merona
masam. Yang rampainya tumbuh dari kepalaku,
mengejawantahkan seluruh kesedihanku dalam bait-bait
pilu. 

Ah, tapi apa pedulimu?

Melatiku adalah puisiku. Tak ada yang sebenarnya tahu,

100 Semusim Cinta


bahwa keindahannya mengandung rasa sakit yang lama
membisu. Akarnya pun telah menjalar pada benakku karena
kenangan menyedihkan tentangmu takkan pernah terlupa
olehku.

Kita Harus Terima


Bila takdirnya harus berpisah, ya berpisahlah sudah. 

Tak ada penangguhan dalam mau-Nya. 

Entah bila caranya menyakitkan, kala salah seorang harus


berani untuk memutuskan.

Atau justru cara yang mengharukan, kala tiada yang


menghendaki perpisahan tapi akhirnya terpisah jua.

Kita harus terima.

Gerimis
Gerimis kala pagi, membuat yang seharusnya terkembang
menguncup lagi. Memang tak membuat menggigil, tapi
desirannya pada tubuh cukup terasa tengil. Sendu-sendu
terurai, ingin disudahi tapi tak sampai. Kiranya memang
bulir suci ini turun untuk memberikan waktu yang
sempurna pada kenangan lama yang sudah tak berkelana.

Penghujan 101
Sejenak, teringat kamu lagi, di gerimis kala pagi.

Lalu, gerimis pun datang pula ketika malam, ketika hiruk


pikuk hari telah tenggelam. Rinai bersambung rintik yang
hanya bersenandung dalam temaram. Sedang aku hanya
terpaku diam, lagi-lagi pikiranku teringat pada kenangan
manis di masa silam. Ada kau dan aku, pada sepotong cerita
indah yang kini sudah buram. Sejenak, teringat kamu lagi,
di gerimis kala malam.

102 Semusim Cinta


“Kebanyakan orang tidak suka
menunggu. Tapi diantara yang
kebanyakan itu, ada beberapa
yang bersabar dan bersungguh-
sungguh untuk menunggu.
Tahukah, kenapa mereka mau
melakukan apa yang tidak
disukai oleh kebanyakan itu ?
Jawabannya, mereka tahu apa
yang harus ditunggu, dan memilih
untuk memperjuangkan hal itu.”

Penghujan 103
104 Semusim Cinta
4
Siklus

Kemarin, hujan begitu lebat melanda kegersangan kita,


kadung membuat kita tak kuasa menahan perubahan cuaca.
Buktinya, hujan itu membuat banjir tak biasa, sebut saja
banjir air mata. Apakah kita harus kecewa? Bagaimana bila
ketidaksiapan itu ternyata menerbitkan luka? Kenangan itu
rasanya baru kemarin bermula, bukankah ia sulit terlupa?

Hingga, tak terasa mentari di hari baru telah menyapa.


Semoga segalanya terobati seperti awal mula.
Sulit Rasanya
Seperti dipaksa memutar jarum jam ke arah berlawanan
Kau singgah dalam mimpiku hari ini, dan 
semua kenangan pun muncul ke permukaan…

Aku ini pelupa


Tapi entah bagaimana otakku bekerja, 
setiap hal tentangmu tetap utuh di kepala…

Kenapa begitu sulit rasanya menghapus kenangan?


Meski kita pada akhirnya sama-sama terluka, dan
melumatnya dalam caci maki dan teriakan…

Aku toh tak bisa lupa 


Tentangmu, ada cerita yang tak mudah enyah di kepala
Mengingatmu dalam waktu yang seakan mundur teratur, aku
merasa hampa…

106 Semusim Cinta


Diam-Diam
Diam-diam, kau datang lagi malam ini
dengan sejuta warnamu yang kukenang, meski rasanya lama kita
tak bersua
Bersua? Mungkin tidak
Karena, hanya aku yang menatapmu diam-diam, mencuri-curi
pandang lalu melenguhkan hingga bayangmu hilang

Benar, aku terpukau akanmu


Entahlah, apa yang terjadi
Diam-diam, aku tak bisa lupa momen itu
Tak pernah kau membalas senyumku, hanya bertatap sekejap,
telah kau putarkan rautmu lalu meninggalkanku
Tapi itu sudah cukup menggetarkanku, cukup di sini

Diam-diam, setelah beberapa waktu lalu itu..


Kau datang lagi, meski tak nyata di mataku
hanya saja nampak harapku padamu
begitu indah bila kupadu dalam mimpiku ..

Diam-diam, aku telah mengela napas panjang


kutikam lagi perasaan ini, mencoba menjaga hati dan perilaku
kubiarkan lagi kau pergi tanpa kudekap lamat-lamat
kupertahankan lagi janjiku, untuk tidak menyentuhmu

Siklus 107
Namun, diam-diam, tetap kusimpan rasa ini rapat-rapat
untuk kuhirup lagi cinta itu lambat-lambat
biarkanlah rasanya seperti sembilu menyayat
tak apa, bagiku ini adalah pertaruhan janji yang kuat

Diam-diam, kutulis lagi perasaanku pada secarik waktu


berharap kau membaca apa yang dirasa olehku
tak apa, aku tak akan memintamu sesuatu
tetaplah menjadi dirimu,
biarkan nanti kukembalikan bayang indahmu yang sekian lama
kupinjam... diam-diam.

108 Semusim Cinta


“Ada sesuatu yang harus kita pilih
bukan karena kita telah mengerti,
melainkan hanya benar-benar kita
percayai.”

Siklus 109
Lelaki dan Perempuan
Pada takdirnya, seorang lelaki ‘terlihat’ lebih kuat daripada
perempuannya. Hanya terlihat, belum tentu di dalamnya
seperti apa.

Namun, tahukah, ketika seorang perempuan menitikkan


air mata di hadapan lelakinya, ketegaran itu seakan runtuh.
Semakin deras air mata yang mengalir, semakin remuk jiwa
seorang lelaki. Sembilan logika lelaki memang bertahan,
tapi satu perasaannya runtuh bersama deru tangismu,
wahai perempuan.

Dalam pikirnya, yang ia mau lakukan hanya meredakan


tangismu, wahai perempuan. Apa saja akan dilakukan, demi
senyum perempuannya kembali terkembang. Naluri lelaki
mengatakan bahwa ia ingin mendekap erat perempuannya,
membiarkan tangisan itu reda di dadanya. Namun bila
keadaan tidak mengizinkan, maka lelaki akan memilih diam
tanpa kata. 

Diamnya lelaki ketika itu bukan karena tak peduli atau


tak mengerti, melainkan mempertahankan reruntuhan
perasaan yang dimilikinya. Sekali waktu karena tak tahan,
maka lelaki memilih hengkang sejenak untuk menenangkan
dirinya. Bukan, sekali lagi bukan karena tak paham, karena
lelaki seakan hanya memiliki satu perasaan diantara

110 Semusim Cinta


sembilan logika yang dimilikinya. Semua itu bisa runtuh
karena tangismu, wahai perempuan. 

Lepaslah
Aku tak dapat menjaga ini. Maka biarkanlah Tuhan yang
menjaga.

Karena bagaimanapun aku menjaganya, bila Tuhan


menakdirkan lepas, maka lepaslah ia.

Bagaimanapun aku “tak peduli” padanya, bila Tuhan


menakdirkan untuk menjaga, maka teguhlah.

Kita tak usah mengatur-atur apa yang tidak bisa kita atur.
Aturan universal itu sudah teguh, yang dipegang oleh
penguasa alam.

Bila ia terjaga atau ia terlepas, maka itu bukan urusan kita.


Begitu pun sudut pandang kita mengenai hal itu, baik atau
buruknya, tidak akan pula menggoyahkan takdir-Nya.

Namun, aku percaya, Tuhan selalu baik. Ia tak pernah “tega”


pada kita, kan ?

Bila ia terjaga, semoga itu baik. Bila ia terlepas, berharaplah


itu yang baik.

Siklus 111
Tuhan selalu punya rencana baik. Selalu.

Gonggongan Sunyi
Malam semakin larut, sedang dalam dinginnya aku diam
mematut
Sunyi ini terkadang menyalak, hening ini semakin mengoyak
Diam sendiri mendengarkan nurani, degup jantung berteman sepi

Lalu aku menuliskanmu dalam pikiran, agar hati sedikit


menghangat
Pada sekian baris kenangan, senyummulah yang paling kuingat
Bagaimanakah aku kini melawan galauku sendiri 
Yang menyalak, menggonggong, memenuhi rongga otak kiri, 
Terus berlogika ditengah keringnya hati
Ah, tanpamu memang terasa sunyi
Menjulur segala tanya, akankah aku dan kau kembali seperti dulu
lagi

Terkadang aku melihat pada bulan, yang menjadi saksi


Lalu aku menghembuskan nafas panjang, tanda jerihnya hati
Setidaknya begitulah malamku kini
Berteman raungan sepi, berkawan gonggongan sunyi

112 Semusim Cinta


Bertahanlah, Bersabarlah, Kembali..
Bagimu, yang memilih untuk bersabar dalam mencintai.
Bagimu, sabar bukanlah lagi sebuah kata yang diungkapkan
sesumbar. Sabar, telah menahun memasuki relungmu
hingga perlahan mengakar. Kau tak perlu lagi membisikkan
kata sabar, karena jiwa ragamu telah paham dan
menjalankannya dengan sadar. 

Bagimu, yang memilih untuk bersabar dalam mencintai.


Bagimu, kau sudah berdamai dengan apapun masalah
hidupmu, tentang bagaimana engkau bisa bertahan dalam
kesendirianmu, tentang bagaimana engkau tetap bisa
mengukir senyum dalam kosongnya hatimu. Dirimu yang
lebih tahu, seiring waktu ternyata dirimu mampu. 

Bagimu, yang memilih untuk bersabar dalam mencintai.


Pelan-pelan kau mulai tahu seperti apa membawa diri, tidak
lagi mudah terperangkap dalam ruang depresi. Yang kau
tahu, ujianmu tak akan lebih dari ukuran pundakmu, kan?
Meski akhirnya kau tersungkur, meski akhirnya kaupun
menangis, kau tahu jalan pulang, kan? Ya, kepada Allahmu. 

Bagimu, yang memilih untuk bersabar dalam mencintai.


Kadang, sekelumit ujar hatimu mengatakan bahwa
kau tidak mampu lagi membawa perasaan ini,
ingin ‘dikembalikan’ saja pada Tuhan yang mengilhami.

Siklus 113
Namun nyatanya, Tuhan tak pernah mencabut perasaanmu,
rasa cintamu, dan kemanusiaanmu. Tuhan masih menaruh
perasaanmu, di situ, berlapiskan kesabaranmu yang mulai
mengakar dan menahun itu. 

Bagimu, yang memilih untuk bersabar dalam mencintai.


Nuranimu bilang, ada rencana Allah yang lebih besar dibalik
ini. Bertahanlah, bersabarlah, kembali. 

114 Semusim Cinta


“Bila lembaran hidup ini seperti
novel, maka biarkanlah ia
menemui halamannya. Bila
terlalu cepat menemui bab
tertentu dengan mengabaikan
bab sebelumnya, mungkin kita
akan menemui kebingungan.
Jangan gegabah membaca lembar
kehidupan, biarlah ia berjalan
sebagaimana mestinya.”

Siklus 115
Puisi Kesakitanmu, Pun Aku
Semenjak, 
Saat itu datang, dan
Napasku terhela bagaikan
Gemerisik daun yang terserak

Bilamana,
Kau datang lagi, dan
Menusukku dengan tatapan 
Sedalam palung kesakitan
Yang kosong tanpa cahaya

Aku takut,
Bila harus kembali seperti
Dulu, yang kuingat lagi
Entah apa yang kurasa, tapi
Aku enggan tersakiti, meski
Ingin memelukmu sehangat selimut

Seperti dulu, 
Sebelum kau pergi, dan kini
Kembali datang lagi, demi
Menyesali perbuatanmu itu.
Kau pikir kau saja? 
Aku juga.

116 Semusim Cinta


Menghilang Sebentar
Marilah kita coba untuk menghilang sebentar. Menjadi
orang-orang yang melebur dalam ketidaktahuan orang-
orang lain, dimana kita benar-benar melihat siapa diri
kita sebenarnya. Bila kita lelah akan penilaian orang
lain, lelah karena terlalu gundah mematut-matut diri,
membandingkan diri, memperbagus rupa (demi penilaian
orang lain) namun yang kenyataannya tak diperdulikan
juga, cobalah untuk menghilang sejenak.

Sejenak tak usah kabari siapapun. Hingga kau akan tahu


siapa dirimu, entah itu bagi “dirimu”, temanmu, atau
siapapun orang yang mencintaimu. Pergilah ke sudut-sudut
kota dengan sendirimu, biarkan angin menuntunmu untuk
berkelana mencari arti dirimu. Sebentar saja, dan pastikan
dirimu aman dan baik-baik dalam kesadaran menjaga diri.

Nikmati waktumu sendiri, lalu lakukan apa yang belum


pernah kau lakukan. Biarkan kini kau menemukan dirimu
sendiri, nyaman akan sikap dan pilihanmu sendiri, lalu
mensyukuri apapun keadaanmu kini.

Hingga nanti, kau akan menyadari siapa yang


sebenarnya sayang padamu. Mereka akan mencarimu,
mengkhawatirkanmu, mencari jejak kemana engkau pergi.
Dalam sembunyimu, kau akan tersenyum dan menangis

Siklus 117
lirih pada mereka yang kini kesulitan mencari, bahwa
merekalah ternyata orang yang “asli”, mencintaimu,
menghargaimu, dan merasa kehilangan dirimu. Diantara
ribuan temanmu, mungkin mereka tak banyak, bisa
dihitung jari. Tapi itulah mereka, yang kau butuhkan.

Dan..

Diantara mereka yang mencintaimu itu, ada yang benar-


benar tak pernah luput bersamamu, tak pernah lepas
melihatmu, tak pernah bosan menjagamu, tak pernah tega
membiarkanmu sendiri.

Dialah Allah, Tuhanmu.

Maka carilah ia dalam sendirimu, dan sadarilah


bahwa Ia, Yang Maha Kuasa, yang benar-benar mencintaimu
lebih dari apa pun, lebih dari siapa pun.

Terbiasa Seperti Ini


Lalu... kita akan terbiasa seperti ini, sedikit demi sedikit
mampu bertahan dari sukarnya memahami hati, yang
kadang tertarik-ulur akan buai-buai cinta dan harapan.

Kita lalu dengan sabar mulai dapat menghapus kekecewaan


karena perasaan yang tak tersampaikan, kondisi diri
yang terabaikan, begitu pun benturan waktu yang tak

118 Semusim Cinta


memungkinkan.

Kita lalu perlahan sanggup untuk tidak bergantung pada


satu keadaan dimana awalnya kita mengharap sebuah
kesempurnaan dalam menggapai harapan. 

Ternyata, takdir mengajarkan kita untuk menyimpan


perasaan dalam-dalam, membuang kekesalan seiring
berlalunya angin, namun tetap berpikir positif meski
tertatih untuk bertahan.

Kita tahu, Tuhan punya rencana. Lalu, kita telah sampai


pada bab ‘ujian’ dimana kita akan melihat dan merasakan
sejauh mana kita bertahan dan sekeras apa kita berjuang.

Ini ujian, sakit memang. Tapi entah kenapa, kita tetap


begitu yakin akan konklusi Tuhan, yang pasti tak terduga-
duga akhirnya. Percaya saja, toh hati ini milik Tuhan. Tuhan
yang memiliki segala obat hati. Kita sudah terbiasa seperti
ini, bukan?

Siklus 119
120 Semusim Cinta
“Laiknya setitik noktah hitam
diatas kertas, begitulah yang
kadang teringat (dan dihakimi)
hanyalah setitik kesalahan
dibandingkan seluas apapun
kebaikannya.”

Siklus 121
Pelajaran Kehilangan
Kebanyakan dari kita mengatakan bahwa kehilangan itu
menyakitkan. Tapi kita justru menghilangkan opsi ketika
hal itu sedari dulu memang tak ada. Bagaimana kita tahu
dan punya perasaan akan hal itu, padahal ia dahulunya tak
ada? Secara logika memang begitu. 

Karena kehilangan diawali dengan keadaan ‘ada’


menjadi ‘tidak ada’. Padahal segala yang ada bermula dari
ketiadaan. Secara logika memang begitu. 

Kenapa merasa kehilangan begitu menyakitkan? Mungkin,


karena kita terlampau pongah merasakan bahwa segala
sesuatu yang ‘ada’ itu akan tetap ada. Padahal, semua bisa
datang dan pulang menurut hukum alamnya, bukankah
begitu ? 

Tentang kenapa itu begitu menyakitkan, mungkin belum


bisa terjawab. Oh, logika terkadang tidak memiliki bahasa
yang tepat untuk menerjemahkan apa yang dikatakan
perasaan. Mungkin hanya perasaan yang tahu. Ya, karena
mungkin kita memiliki perasaan terhadap hal yang hilang
itu. Bisa jadi disadari, bisa jadi terlambat untuk disadari. 

Ah, kadang terlambat menyadari kehilangan inilah yang


paling menyakitkan, kurasa. Karena ternyata kitalah
yang membiarkan sesuatu yang ‘ada’ itu menjadi hilang.

122 Semusim Cinta


Sadarkah kita bahwa segala sesuatu yang hilang itu ternyata
sebab musababnya dari apa yang kita perbuat sendiri ? 

Membiarkan, misalnya. Tidak acuh, misalnya. 

Hingga sesuatu itu benar-benar hilang, barulah kita


menyesal.

Sakit? Ya. Maka sadarlah. Kehilangan memberi kita


pelajaran, bahwa segala sesuatu yang ada mesti kita sadari
keberadaannya hingga dijaga sebaik-baiknya. 

Hanya Tak Mengimbangi


Kepadanya, yang telah jauh meninggalkanmu, yang
telah menjadi patah hati terbaikmu, yang telah menjadi
penyesalan terhebatmu, juga telah bertitel sebagai mantan
terindahmu.

Mungkin kau hanya tak habis pikir, kenapa waktu itu ia


memutuskanmu. Kecewa, jelas. Marah, apalagi. Penasaran,
tentu saja. Apalagi ketika dia meninggalkanmu tanpa
banyak kata-kata. Ternyata, rengekanmu tak berarti
banyak untuk menunda kepergiannya. Hanya saja beda
dari yang lain, ia pergi dengan begitu senyap dan sopan,
meninggalkan kesan yang berbeda di kepala.

Kau sebut dia kurang ajar? Hakmu. Kau sebut dia tak

Siklus 123
berperasaan? Mulutmu bebas mengatakan apa saja. Tetapi,
dia tetap saja orang baik di matamu, tak kurang dan tak
lebih. Sikapnya biasa saja dan tak pernah macam-macam
padamu. Rasanya, tak ada jejak dosa yang menapak di
tubuhmu karena perlakuannya. Tak ada beban moral yang
ditinggalkannya semenjak hari kepergian itu datang.
Sakit hatimu padanya hanya manifestasi rasa sayang yang
mungkin sudah terlanjur dalam, namun seketika saja
tercabut paksa. Siapa yang tak tahu rasanya?

Bila memang ia tak baik, kenapa tidak kau maafkan saja


lalu cari yang terbaik menurut versimu? Oh tidak, ternyata
bayangnya masih saja menaungi kekosongan hatimu.
Antara cinta dan benci, hanya ada selaput tipis yang
membatasi, kita sepakati saja itu rindu. Semenjak ia berlalu,
belum ada lagi tempat baru untuk hatimu mengadu.

Sebut saja pada dirimu, kurang baik apa aku? Ya, boleh saja.
Kurang perhatian apa aku? Oh, tentu saja. Kurang sayang
apa aku? Seperti katamu, ya. Mungkin masih ada sejuta
pertanyaan pembelaan diri lain yang tentu saja menjadi hak
setiap individu. Seperti yang biasa terjadi, kalau kita semua
jatuh miskin, siapa yang kira-kira pertama disalahkan?
Presiden, kan? Ya, itu hak prerogatif siapa saja. 

Bila memang segala penilaian untuknya jadi negatif


buatmu, silakan saja. Itu hakmu. Maki-maki saja dalam
hatimu, sepuasmu, mungkin sebagian dunia juga harus

124 Semusim Cinta


tahu. Tapi ingat, itu takkan merubahmu untuk jadi lebih
baik, sedikitpun. Juga, bagaimana bila dunia ternyata tak
peduli dan tak berpihak padamu? Tinggalah dirimu yang
menyesali, hingga akhirnya diam, lalu meratapi apa yang
terjadi. 

Sudahlah.

Bisa jadi kau baik, bisa jadi ia pun baik. Tak ada yang
berniat buruk, begitupun tak ada sesuatu yang benar-
benar buruk terjadi. Masih melodrama yang biasa terjadi
di kalangan remaja, tentu juga tak membuat bumi menjadi
kiamat serta-merta. Harimu masih berjalan, esok pun akan
menanti. Mentari dan senja pun masih datang berganti-
ganti. Koreksilah dirimu, barangkali. Terlalu banyak
pembelaan diri, takkan pernah mendewasakan pribadi. 

Mungkin semua ini karena memang tidak berimbang saja.


Kau tak mampu mengimbanginya, begitupula ia padamu.
Kau mungkin mampu membayangkan, bagaimana suatu
hubungan yang melaju menuju ke jenjang yang lebih tinggi
namun tak menemukan keseimbangan?

Oleng. 

Ya, mungkin begitu. Salah satu dari kalian akan


memberatkan yang lain. Frekuensi yang berbeda, yang
selama ini terlalu lelah untuk dipaksakan, pun mungkin saja

Siklus 125
belum menemukan jalan tengah terbaik yang diinginkan.
Siapapun akan berkorban, tentu saja, entah kau ataupun
dia untuk saling menemukan jawaban itu. Bersikap mau
mengalah itu memang penting, tapi terlalu sering mengalah
itu tentu saja menyakitkan.

Mungkin saja ini jalan terbaik. Pengalaman terhebat untuk


memperingatkan bahwa menjadi sosok yang apa adanya itu
penting, tapi senantiasa menjadi yang terbaik juga utama.
Menjadi apa adanya, tetapi tak belajar apa-apa tentu saja
sebuah kebodohan. Tentu, secara harfiah, tak ada orang
yang benar-benar menerima ‘apa adanya’, bukan? Cetak
birunya, kau mungkin telah menjadi apa adanya karena
anugerah Tuhan yang telah diberikan, tetapi tetap saja kau
harus menjadi yang terbaik dalam versimu sendiri, belajar
dan berusaha untuk menambah level kemampuanmu,
meraih mimpi dan tergetmu, pun meningkatkan
kedewasaan bersikapmu. 

Ia baik, kau pun baik. Hanya saja, kala itu mungkin tak
berimbang. Juga, yang dipaksakan tentu tak bagus, maka
sejak ini kau harus mempersiapkan yang terbaik untuk
kedatangan orang yang terbaik. Tersenyumlah, lalu mulai
perbaiki diri. Suatu saat, kau harus mampu mengimbangi
yang datang nanti. 

126 Semusim Cinta


“Ketika kau masih mendamba
yang telah pergi lama, bisa jadi
kau masih jatuh cinta. Bukan
pada sosok orangnya, melainkan
pada kenangan ketika dulu pernah
bersamanya”

Siklus 127
Terbaik untuk Masa Laluku
Sekian tahun telah berlalu, sekian purnama telah terlewati 
Padamu, yang sudah kubingkai dalam bilik memori
Yang telah lama jauh pergi, namun pernah menetap di hati
Kiranya begitu keterlaluan rasanya bila masih saja membenci

Pada suatu kali, aku teringat padamu lagi


Bagaimana tidak, ingatanku tentangmu seperti rol film sekali jadi
Meski antik, semakin cantik untuk diperhatikan kembali 
Oh.. Kenangan tentangmu masih tersimpan rapi
Diam-diam kumuseumkan dalam relung hati paling tersembunyi

Tentu, namamu sudah usang untuk kurapal kembali


Bukan lagi nama yang sama untuk kuperjuangkan setiap hari,
Sosok yang telah lama pergi, telah bergandengan dengan orang
yang lain lagi
Tapi masa laluku yang berlalu, adalah dirimu yang menghiasi

Terlalu pandir untukku melupakan kenangan ini


Karena pada akhirnya aku mampu melihatmu kembali dari kedua
sisi
Padamu, yang telah datang menyempurnakan masa silam yang
kumiliki
Terbaik pada takdirmu dan takdirku untuk pernah saling
melengkapi

128 Semusim Cinta


Sudahlah. Aku takkan berdusta lagi
Karena pada masa laluku, tak mungkin pula aku membenci diriku
sendiri
Kehadiranmu, adalah yang terbaik, pada masa yang telah pergi
Tak perlu kiranya untuk kuganggu-gugat lagi.

Pada Kenangan yang Terulang


Pada kenangan yang terulang dan rindu yang terkembang
Di setiap jiwa yang merindukan yang lampau, kala sempatnya
bergalau
Yang terceritakan apik lewat jutaan memori
dan yang teriring pada segenggam emosi

Padamu, yang dulu sempat terlukis


Kini menjadi pigura yang kutatap manis
Di balik sudut-sudut hati yang telah lama kututup
Menyimpan semua cerita masa lalu yang pernah hidup

Kusenyumi saja luka itu


Kusyukuri saja patah hati kala itu
Kuhargai pula setiap cerita manis masa itu
Ketahuilah bahwa detak cerita itu akan tetap berdegup
Mengiringi kedewasaanku tuk menjalani hidup

Siklus 129
Karena satu yang kuyakini, 
bahwa takkan ada sebuah kenangan 
bila tak pernah ada yang ditinggalkan

Arti
Terima kasih atas segala cerita yang telah lalu dan
begitupun yang telah kita lalui. Bahwa aku dan kamu, yang
pernah jadi kita pada suatu waktu. 

Tak usah bicara lagi luka. Tak usah lagi hingar-bingarkan


murka. Dunia memang begitu, tak cuma urusan suka, cita,
atau cinta. Bisa pula sedih, getir, dan mengiris. Bisa terang
benderang, bisa pula kelabu nan kelam. 

Tapi coba saja melihatnya sebagai arti. Atas apa yang telah


terjadi, selalu ada uraian hikmah yang akan mengiringi
kebijaksanaan kita sebagai manusia. Bahwa kitalah yang
akan menentukan langkah setelah salah, lalu berani untuk
merubah. 

Cerita masa depan memang masih teka-teki. Tapi


setidaknya kita telah punya bekal pengalaman sejati.
Mungkin kali kedua ini kita tak ingin lagi menggadaikan
hati. Memilih lalu mempertahankan apa yang kita yakinkan,
agar yang lalu tak berulang.

Ambillah arti dari perjalanan ini. Kini kata ‘kita’ akan

130 Semusim Cinta


menjadi dikotomi, terpisah lagi menjadi aku dan kamu.
Seperti satu garis yang telah terbagi dua, kiranya di sinilah
tanda bahwa hidup harus dilanjutkan meski tak lagi
bersama. 

Terima kasih untuk yang telah berlalu. Semoga secercah


sinar terang hinggap dalam dada yang penuh dengan
kebijaksanaan.

Perpisahan Kita
Meski dahulu terasa berat, berpisah denganmu adalah hal
yang terbukti tepat. Waktu yang akhirnya berlalu akhirnya
mengajarkan kita untuk tetap tegar dan kuat. Pun, intuisi
yang kita sama-sama sepakati membuahkan hasil, bahwa
kita dapat terus bertahan dengan pilihan pahit meski
awalnya terasa labil.

Sadarkah, arti perpisahan kadang hanya diperlakukan tak


adil. Di sebagian benak orang-orang yang tak realistis, yang
dipandang baik dan mulia hanyalah pertemuan, namun
tidak dengan perpisahan. Padahal, keduanya pasti memiliki
makna dari sudut pandang masing-masing, bukan?

Bahwa perpisahanku denganmu di masa lalu sempat


kukutuk dalam sendu, kuakui itu. Tetapi hari ini, sejak
ratusan fajar dan senja yang datang berganti, pada akhirnya

Siklus 131
aku dan kau telah menjadi sosok yang hendaknya lebih baik
lagi. Terkadang, memang pahit getir harus ditelan bulat-
bulat, yang pada akhirnya dari sana dapat diambil manfaat. 

Maka, dari perpisahan yang telah lama berlalu, aku dan kau
hendaknya masih bisa tersenyum tanpa lagi ada dendam
yang seakan membeku. Kiranya tak usah repot-repot
berbohong untuk menghapus kenangan yang telah dilewati,
toh aku pun sempat rindu dan teringat kau berkali-kali.
Mungkin kau juga, barangkali?

Tak usah khawatir. Hidup akan terus berjalan dan mengalir.


Temuilah yang nantinya pantas kita cintai dengan segenap
jiwa. Masa lalu, janganlah lagi disesali apalagi dicela. Biarlah
itu jadi lembaran yang selalu mengingatkan kita pada
suatu kala, di mana ada pelajaran yang begitu berharga dari
perpisahan kita.

132 Semusim Cinta


“Jika ada sesuatu yang harus
diakhiri, maka akhirilah
dengan seringkas kesimpulan,
bukan dengan sepanjang kata
pengantar.”

Siklus 133
Semoga Kau Paham Maksudku
Kau.

Tahun sudah berganti, saat lembaran hidup baru sudah


terbuka berulangkali. Aku terus berjalan dengan diriku,
begitu pun kau yang kulihat semakin jauh dengan
bayangmu di seberang jalan itu. 

Bertahun-tahun sudah kita lewati. Kita, yang pernah


menjadi kita, sekarang hanya sunyi untuk menyimpan
memori. Jarak dan waktu benar-benar mampu mendikte
pikiran untuk melupakan, meski sejatinya jejak perjalanan
bersama itu tak pelak menjadi kenangan. 

Sudah tidak mau bicara lagi, ya sudahlah. Barangkali


potensi ingatan yang membuat semua peristiwa menjadi
luka menganga itu bukan pilihan. Namun tahukah, diantara
beberapa kesempatan, bayang kisah itu tak mau enyah dari
ingatan.

Aku lelaki dan kau perempuan. Semua terjadi dengan cepat


dalam dokumentasi kenangan, fragmen-fragmen yang
kembali menggugah perasaan. Pikiran ini tak bisa diam,
terus menceritakan tokohmu dengan perspektif lain, tanpa
luka dan tanpa dendam. 

Kita masih belajar, untuk peristiwa yang lalu. Kita

134 Semusim Cinta


sama-sama terluka pada panah rasa yang dicabut paksa.
Menyakitkan. Aku lelaki dan kau perempuan, punya cara
sendiri untuk mengekspresikan luka, terserah padamu
menyebutku apa, tak urung itu sudah terjadi karena pilihan
kita berdua pula.

Sekarang. 

Aku meyakinkanmu bahwa tak ada lagi luka yang akan


kubuka lebar-lebar di hadapanmu, takkan ada lagi sumpah
serapah yang membuat matamu kembali menggenang
seperti waktu itu. Semua sudah berlalu, kumaafkan kamu
dan kumaafkan pula diriku sendiri. 

Bagaimana pun kita pernah berjalinan. Tak elok rasanya


karena keangkuhan masa lampau akan membuat kita
menjadi manusia yang tertimbun dendam kenangan.
Selayaknya jiwa yang telah dewasa, mari kita simpan saja
cerita ini dalam kotak kebijaksanaan dalam sudut perasaan
kita. Jadikan itu pelajaran, tak perlu lagi berlebihan.

Aku sudah punya pilihan, kaupun telah terpilihkan.


Bukan acuhku lagi untuk mengusik kehidupan yang telah
menahun dijalankan. Hanya saja niatku, untuk kembali
membuat mulut kita tak lagi bungkam. Meski berat, mari
kita uraikan saja senyum mengembang tanda tak ada lagi
luka masa lalu yang patut diulang. 

Siklus 135
Dan hari ini aku menyapamu, memecah kebekuan ini
dengan sikap lelakiku. 

Hanya menyapamu.

Semoga kau paham maksudku. 

Perpisahan bagi Orang Biasa


Perpisahan, terkadang bagi orang-orang biasa semacam
kita ini bukanlah seperti yang tampak pada skrip
drama. Kadang tak ada tangisan, malah gurauan yang
kita lontarkan pada orang-orang yang justru akan kita
tinggalkan atau malah meninggalkan kita. 

Kadang memang tidak se-mellow nada-nada sendu yang


tiba-tiba hadir mengiringi ucapan perpisahan di dalam
drama, dalam kehidupan kita yang nyata ini ternyata biasa
saja seperti apa adanya, ucapan perpisahan yang terucap
hanya berkalang angin yang lewat tanpa seuntai nada
indah. 

Tidak pula seperti harunya lambaian tangan ketika


berpisah, saling melihat dalam jarak yang semakin jauh
hingga hilang di satu titik, lalu drama pun selesai. Nyatanya
tidak begitu, meskipun air mata kita jatuh berderai
membasahi pipi dan sekelumit resah gelisah membayangi
hati, kita tetap harus melanjutkan hidup.. tersenyum lagi

136 Semusim Cinta


untuk saat ke depan, meski kita baru saja meninggalkan
atau ditinggalkan. 

Haru deru hati dalam perpisahan bagi orang-orang


semacam kita hanya berteman kesenyapan. Orang-orang
semacam kita pun tak pandai memilih kosakata yang indah
untuk sebuah salam perpisahan, kadang tak sekelumit
katapun keluar ketika kita tak mampu membayangkan apa
jadinya berpisah dengan orang yang kita sayangi. 

Namun tahukah, bahwa orang semacam kita tetaplah punya


hati yang saling terikat tanpa perlu dibahasakan dalam
definisi. Berpisah dalam senyap mungkin pilihan, namun
mendoakan dalam diam adalah sebuah kepastian. 

Selamat jalan untukmu. Semoga berjumpa kembali..

Pengandaianku
Seandainya pengandaianku tentang masa depan yang lebih
cerah tak kugubris, mungkin perpisahan denganmu adalah
hal yang paling miris. Kalau aku tak perduli lagi entah siapa
yang akan datang di masa depan, maka dirimulah yang
selalu akan hadir dalam kenangan. 

Meski kau telah lama pergi, kau tetaplah yang terbaik dan
lama membekas di hati ini. Meski air mataku tak sampai
menguntai, melupakanmu dalam benakku saja ibarat

Siklus 137
berlari namun gontai. Setiap kali aku melintasi tempat kita
dulu pernah duduk dan tertawa bersama, rasanya seperti
ujung sembilu yang dapat mencakar-cakar isi dada. 

Kuakui aku rindu, padamu yang masih kupercayai sebagai


yang terbaik itu. Masih terbaik untukku karena calon
penggantimu yang akan datang mungkin masih berada
dalam ruang tunggu. Kesendirian yang terkutuk ini
membuatku seakan kembali memikirkan kemungkinan
untuk kembali lagi padamu. Ah, meski terlambat, apapun
kidungnya kini telah lama tersurat bahwa kau dan aku
sudah tak dapat lagi lekat. 

Tapi aku tidak dungu. Aku mengikhlaskan kepergianmu.


Aku hanya rindu. Itu.

138 Semusim Cinta


“Kukira, pada hal yang tak
berpadanan mungkin tak
perlu dipaksakan. Alih-alih
dipersatukan, keduanya mungkin
dapat saling menghancurkan.”

Siklus 139
Bersendiri
Kita boleh bersendiri satu sama lain, untuk sekarang.
Membiarkan omongan yang menyakitkan, tak mengambil
hati pada banyak tudingan bahwa kenapa kita sama-sama
memilih untuk sendiri dulu sekarang.

Pada suatu kala, kita sudah berhenti untuk bermain-main


lagi. Menimbang bahwa terlukanya perasaan dikarenakan
ketidaksiapan kita akan risiko dalam hubungan. Bila
sudah, maka sudahlah, cukuplah ia menjadi pelajaran.
Semakin dewasa, rasanya kita tak perlu mengulang banyak
kesalahan.

Meskipun, ya, seperti orang-orang kebanyakan.. kita pun


kadang ingin untuk memiliki pasangan, meskipun hanya
untuk sekedar dibanggakan. Tapi kita sadar betul, bahwa
nantinya memiliki pasangan sudah bukan untuk semata-
mata gaya hidup, melainkan nantinya akan mencapai
puncaknya sebagai pegangan hidup.

Hingga pada akhirnya waktu akan mempertemukan juga


sesuai janji-Nya. Lalu kita percaya, kita tak perlu membalas
mereka. Dengan cincin di jari manis kita nanti, kiranya
sudah cukup jadi bukti bahwa kita mau dan mampu
untuk berbahagia pada waktunya. Luapan amarah yang
sekarang mungkin tak mampu kita bendung, nantinya akan

140 Semusim Cinta


digantikan oleh air mata bahagia yang Tuhan berikan pada
dada kita yang lapang.

Kini, kita seharusnya percaya bahwa kita juga berhak untuk


berbahagia pada saatnya. Bersabarlah, untuk nantinya
kita dapat menikmati senja di tepi pantai dengan hanya
berdua, yang bahkan Malaikat tak perlu curiga karenanya.
Yang pada akhirnya, kebahagiaan yang kita rasakan
terlalu besar untuk tidak disyukuri dan terlalu kecil bila
hanya dibanggakan-dibagikan-diceritakan pada semua
orang. Maka nanti kita akan buktikan, seperti apa arti
cinta yang sesungguhnya pada puluhan tahun setelah
pernikahan.

Maka bersabarlah. Bila tak kuat, maka mengadulah pada-


Nya. Setelah itu, kita hanya perlu percaya, bahwa namamu
dan namaku sudah dipasangkan oleh takdir-Nya. Tak perlu
tergesa-gesa, tapi semoga akan menjadi segera.

Meridian
Kita adalah takdir yang pernah bertemu, kemudian berpisah
seiring waktu. Sesaat setelah semuanya berlalu, pernahkah
kita sama-sama berpikir bahwa apakah yang dimaui oleh
Tuhan untuk mempertemukan kita?

Bila kau tanya aku, aku tak tahu persis. Tentang kenapa

Siklus 141
pada suatu hari, bahwa aku dan kau layaknya sebuah titik,
dapat terhubung satu sama lain hingga menjadi satu garis
penuh. Kau tahu, mungkin ada ribuan titik yang memiliki
kemungkinan yang sama untuk saling terhubung menjadi
satu garis pula; lalu, kenapa itu kita?

Pada akhirnya, matematika tidak dapat membantu


menjelaskan pola acak dari setiap kemungkinan. Ada
sesuatu yang tak terlihat dan tak bisa dibuktikan secara
empiris, namun hal itu terjadi. Persis, dulu, pada pertemuan
kita. 

Bisa jadi, ada kekuatan semesta yang digerakkan oleh


Tuhan untuk mempertemukan kita karena aku dan kau
ada dalam satu frekuensi. Aku dan kau pernah sevisi,
pernah berbagi mimpi, pernah menghabiskan hari dengan
bercerita dan saling berbagi solusi. Tahukah, pada akhirnya
bagaimanapun perasaanlah yang akan mengambil kendali,
bukankah begitu?

Titik perasaanku dan titik perasaanmu akhirnya bertemu,


membentuk garis yang kita sebut jalinan hati. Begitu
sederhananya pola ini menjadi terbukti bahwa titik-titik
yang mulanya terpisah akan dapat terhubung dalam satu
frekuensi emosi. Suatu kali, kita akhirnya membentuk
sebuah titik meridian, yang analoginya sangat tepat untuk
menggambarkan secara khayali bagaimana pertemuanku
denganmu menjadi sangat begitu berarti.

142 Semusim Cinta


Namun, aku dan kau adalah titik-titik yang bergerak. Kita
tak baku dalam satu posisi, begitupun waktu. Kau dan
aku berevolusi sepanjang waktu, berputar-putar dalam
pencarian diri, hingga akhirnya kita akan mudah terantuk
dengan kemungkinan titik-titik yang lain dalam ruang
semesta diri. Pada akhirnya, kita tak pernah betul-betul
tetap pada titik yang sama. Kau dan aku akhirnya terpisah
juga, seperti yang kita dulu juga pernah duga bahwa akan
ada hal yang datang dengan bersegera, begitupun akan ada
hal yang pergi tiba-tiba.

Kini, aku dan kau sudah ada di koordinat yang berbeda.


Sebagaimana pilihan kita juga pada awalnya untuk
memutuskan berpisah, semua yang pernah terjadi hanya
jadi kisah dalam sejarah. Tak ada sesuatu yang bisa
dipaksakan dari setiap kemungkinan yang hadir, dimana
kita akan tetap menemui berbagai macam pilihan dan
persimpangan. Tertulislah kini dalam kidung semesta
bahwa aku dan kau-dulunya yang disebut kita-adalah satu
buah garis yang putus dan patah.

Tak apa. Semua akan baik-baik saja. Waktu akan mudah


mengubur perih dan luka. Pada akhirnya, yang kusyukuri
dari takdir bertemu denganmu adalah kenangan yang
mungkin begitu berharga. Kita pernah dalam satu asa,
berbagi rasa, pun mengahabiskan waktu terbenamnya
senja di suatu sore bersama-sama. Semuanya berjalan

Siklus 143
sebagaimana mestinya, bukan? Lalu setelah itu, kita sama-
sama beranjak untuk menggapai apa yang kita inginkan,
meski kini arahnya saling berlawanan. 

Pada alinea terakhirku, kusyukuri hadirmu sebagai titik


meridian terbaikku, di mana kisah kita takkan pernah
kukubur bersama waktu. Terima kasih, padamu, juga
pada Tuhan, pada suatu waktu yang lalu kita dapat saling
bertemu.

144 Semusim Cinta


“Ada seseorang yang masih
menjaga jarak. Mungkin karena
luka di hatinya masih terserak”

Siklus 145
Teruntuk, Kau dan Aku
Teruntuk
kau dan aku,
yang kadang lelah meniti hidup ini sendiri,
membisu di tengah keramaian hampa
Terdiam dalam kebisuan yang mendera
hilang dalam alam maya, menatap bayang-bayang

Teruntuk
kau dan aku,
yang menjerit dalam hati,
yang menempuh jalan berliku nan sepi
sendiri… merasa gelap
sakit tak tertahan, menikam kerinduan
menyusur tabir ketidakjelasan
menerawang dalam tipisnya pukat pengetahuan

Teruntuk
kau dan aku,
yang memilih pergi menjauh
daripada mengatakan isi hati
yang menahan demi kebaikan,
yang menghilang dalam sejuta keinginan,
yang berlinang harap akan suatu keajaiban,,
yang tersenyum lirih ditempa keikhlasan,,

146 Semusim Cinta


yang terjatuh terhuyung dalam sebuah sujud panjang,,
yang meratap dalam tengadah tangan,,
yang menahan tangis meski tak tahan,,

Teruntuk
kau dan aku,
yang diam, yang menjauh, yang menyepi,
yang tak perduli, yang membuang pandang,
yang seakan tak mengenal, lalu kemudian pergi.
Meski jantung berdetak kencang,
Meski hati tak salah berarah,
Meski pikiran satu bertuju,
Meski... ingin sekali bertemu.

Teruntuk
kau dan aku,
Tuhan tahu yang terbaik.
Mari, serahkan hati kita.

Siklus 147
Akan Ada Penggantinya
Sekian lama…

Pada akhirnya, kita benar-benar telah berseberangan,


meski rasanya tak kuat untuk berpaling, demi sekedar
melambaikan tangan. 

Sesekali teringat, tak apa. Tidak semudah itu melupakan


banyak kenangan. Yang dulu beriringan, kini ceritanya akan
lain lagi di masa depan. 

Soal aku dan kau, yang dulu disebut kita, kembali terpisah
lagi menjadi kaki-kaki yang berjalan sendiri, menuju ke
arah yang berbeda. Berpisah sudah jadi jalan, tak bersama
lagi telah jadi pilihan. 

Kiranya tak ada yang salah, semoga tak ada yang menjadi
masalah. Meski kita tahu betul, bahwa hati kita berdua
benar-benar patah. 

Namun, kau mesti percaya… 

Pada saatnya, akan datang penggantinya. Akan datang


seseorang yang ditakdirkan lebih baik untuk kita. Siapa
yang tahu, mungkin tak ada yang bisa mengira. Aku dan
kau, yang dulu disebut kita, hanya menjadi pelajaran hidup
semata. 

148 Semusim Cinta


Tenanglah, tak usah resah. Aku percaya, kesendirian hanya
bertahan sebentar saja. Ibarat musim gugur yang diselingi
musim dingin memang membuat siapapun menjadi mati
sudut perasanya. 

Lalu setelah itu, bukankah akan timbul lagi musim semi


yang ceria? 

Janganlah tutup hatimu terlalu lama. Percayalah, semua


akan ada penggantinya. 

Kenangan Ini Akan Kubuka Lagi,


Nanti
Baiklah. Kukira memahamimu memang tak cukup dengan
pertemuan yang berpeluang hanya sepelemparan dadu. Bisa
jadi dalam setahun, nilainya satu dibanding seribu. Maka,
dari sini pula aku tak sanggup terlalu jauh menelusuri
kepribadianmu, apalagi menakar perasaanmu. 

Pertemuan yang lalu memang terjadi sudah lama sekali,


namun ingatannya begitu membekas padaku, entah untuk
dirimu. Aku ingat betul ketika kita menghabiskan waktu,
pengunjung kedai itu datang dan pergi bagai cameo dalam
satu sudut ingatan terpenting dalam hidupku. Manisnya
minuman dingin itu rasanya masih bisa kuterka, begitupun
kuah lezat mi asal Jepang itu rasanya masih dapat diraba.

Siklus 149
Tapi tidak dengan kehadiranmu yang nyata. Memang, kini
yang tersisa hanya aku yang termangu dalam hampa.

Matamu memang tak berdusta. Begitu juga getaran hatiku


yang kurasa. Meski tangan tak saling menggenggam,
cukup kiranya penilaian rasa dari hati terdalam. Tawamu
yang sederhana, kuingat betul nadanya, juga didepanmu
aku tetap saja salah tingkah rasanya. Sekian jam berbagi
cerita, rupa-rupanya membuatku memendam getaran
ini bertahun-tahun lamanya. Meski kau pergi seperti
angin dalam kelam, tak tega rasanya untukku mencoba
mendendam. Namun kadangkala, keheningan memang
terasa menyiksa, apalagi tiada kata-kata perpisahan yang
bisa meredakan rajuk dari jiwa. 

Aku tidak sedang bermimpi, meski merapal ingatan


lama itu juga ilusi. Aku juga sadar, bahwa aku yang
terlalu lama bermain-main pada kotak kenangan yang
kusimpan sendiri. Kau tak alpa, justru aku sendirilah yang
menorehkan luka. Barangkali tak ada alasanmu untuk
mengingatku, bukan? Aku saja yang mungkin tampak
dungu untuk mengurai lagi setiap rol-rol kenangan yang
lama tersimpan. Darimu, tak ada benda nyata yang bisa
kupegang, tak ada cenderamata yang dapat membuatku
senang, hanya ada bentuk-bentuk serpihan cerita usang
yang selalu kukenang. Entah, kau bersama siapa sekarang?
Aku tak mempunyai hak untuk melarang. 

150 Semusim Cinta


Maka, baiknya kututup saja ceritaku tentangmu disini.
Menutupnya, bukan berarti begitu saja melupakan
sebagaimana cerobohnya aku meyakinkan diriku untuk
mampu melakukannya, nyatanya memang tidak terjadi.
Aku menutupnya, untuk nantinya dapat kembali dibuka,
seperti perpisahan sunyi kita saat itu akan berujung pada
pertemuan baru jua. Meski aku tak tahu pasti bahwa nanti
itu kapan, pada tahun depan, atau justru tak terdefinisikan. 

Tenang saja, potret tentangmu akan kusimpan apik. Suatu


waktu bila kembali, membahas masa lalu akan selalu
menarik. Kuharap, aku akan tetap tertawa dan bahagia
mengenangnya, juga tak perlu sinis ketika kulihat ada
cincin emas di jarimu yang manis, entah oleh siapapun
nantinya. Aku berjanji bila nanti kau datang, kenangan ini
akan tetap kuperlihatkan dan kuceritakan ulang. Kau boleh
memandangku sebagai masa kini, tapi ingatanku akan tetap
terbang ke masa lalu yaitu masa dimana aku mengenalmu
pertama kali dulu. 

Silakan pergi, lalu datanglah kembali. Aku berjanji untuk


kedua kali, di masa depan nanti, akan kubuka kotak
kenangan ini lagi. Selamat tinggal, juga selamat datang
kembali seperti permulaan di awal.

Siklus 151
Padamu yang Akan Datang Nanti
Padamu, yang akan datang nanti. 

Karena kusebut itu nanti, maka sebenarnya aku tak tahu


siapa dirimu. Hanya saja kini, aku telah belajar dari berbagai
kesalahanku dalam menjalani cinta. Sudah berbagai cerita
yang jadi saksiku tuk mengerti apa itu bahagia, apa itu cita,
hingga apa itu derita dan apa itu luka. 

Maka sudahlah. Kiranya cukup dengan tak menaruh


berbagai ekspektasi pada dirimu, sudah membuatku
terbiasa dengan pengenalan rasa yang sederhana. Bertemu
saja denganmu, itu sudah merupakan takdir yang kurasa
pasti terbaik. Entah apalagi cerita yang akan tersaji, aku
sudah siap untuk membuka hati. Setidaknya aku sudah
akrab dengan cerita yang tak terduga pada akhirnya. 

Andaikan kau baca tulisanku ini sebelum nanti bertemu,


ada satu hal yang patut kaupahami tentang diriku. Aku
hanya merasa bahwa sebenarnya sosok yang datang dan
pergi menghiasi hati ini hendaknya telah memberi pelajaran
berarti. Intermeso yang kulakukan berulang-ulang,
mengatakan bahwa sebenarnya yang patut kuperbaiki
adalah diriku sendiri. Kugarisbawahi, bahwa cerita cinta
gagalku tempo hari ada pada diriku yang belum siap untuk
berusaha sekaligus menerima apa adanya pada siapapun

152 Semusim Cinta


sosok yang kupilih untuk dicinta. 

Hingga, pada sosok-sosok yang berlalu itu pula telah kupatri


memori dan cerita. Ada yang pergi dengan sukarela, ada
yang pergi dengan dukacita. Maka, bila nanti engkau
datang, maka tak usah risau kiranya untuk bersama
mengurai kisah. Semakin kita pahami makna cinta sejati itu
seperti apa seiring dengan perjalanannya, entah bila nanti
takdirnya beriringan atau justru bersilangan. Sosokmukah
yang nanti kucintai? Terlalu dini. Tapi jangan ragu tuk
dijalani. 

Jadi, yang kunanti untuk datang nanti ada pada diriku


dengan kedewasaan yang baru, begitupun engkau yang
akan menawarkan cerita baru. Bila telah sampai waktunya
maka datanglah, karena sudah sekian lama aku menunggu.
Tak usah sungkan, tak usah ragu. Hatiku yang baru telah
siap kembali mengharu biru….

Siklus 153
154 Semusim Cinta
“Ah, kau. Caramu kini membenci
seakan mencerminkan betapa kau
masih mengingat luka masa lalu
yang menyayat. Sedangkan aku
merasa tak perlu membenci karena
masa lalu sudah kumaafkan dan
tak perlu kuingat-ingat”

Siklus 155
156 Semusim Cinta
Semusim Cinta

Tuhan sempat mempertemukan kita dalam rumitnya iklim


tropika kehidupan, ketika aku telah lama berteman dengan
kerontangnya kesendirian. Kehadiranmu, persis bak masa
pancaroba yang seketika mengubah arah hidupku secara
luar biasa. Angin bertiup membawa rindu yang lama tak
bersua, mengumpulkan uap-uap harap yang cepat naik
ke langit seakan membawa kabar gembira. Seketika, rasa
gundah itu berpadu bak awan mendung yang tak sabar
untuk segera tercurah.

Begitu lama rasa itu kusimpan hingga akhirnya ia jatuh


juga dalam bulir hujan pengharapan yang menderas
seketika, berharap tanah batinmu menerimanya dengan
sukacita. Namun, ternyata bukan padamu padang tempat
hujanku berpulang. Bukannya terserap di dalam jiwa, air
yang tumpah ruah itu nyatanya berubah menjadi banjir di

Siklus 157
pelupuk mata. Setelahnya, langkah kita tak lagi sejalan dan
menjauh pada mata angin yang berbeda.

Hingga tuntas kutulis cerita ini dalam ribuan goresan pena,


akan kukenang bayang dirimu dalam Semusim Cinta.

158 Semusim Cinta


Tentang Penulis

Miftahul Fikri. Lelaki kelahiran 25 Februari 1995 ini


merupakan anak bungsu dari ketiga bersaudara, yang
sampai sekarang tidak terlalu yakin apakah dirinya adalah
seorang introvert atau ekstrovert. Sempat bersekolah
diploma teknik di Politeknik Negeri Bandung, dan
setelahnya lanjut mengenyam pendidikan S-1 Teknik
Industri di Universitas Pasundan Bandung. Mengaku
sebagai anak teknik di CV-nya, tetapi di hati tetaplah tak
bisa dibohongi kalau ia amat mencintai dunia sastra.

Menulis dan bermimpi menerbitkan buku adalah


kesehariannya sejak masa kecil. Semakin lama ia semakin
yakin kalau menulis adalah pengibaratan kalimat ‘mencintai
tak harus memiliki’. Ya, mencintai sastra bukan berarti
harus menjadi sarjana sastra, bukan?

 159
Semenjak 2009, ia menulis serabutan di blog pribadinya
(setitikinspirasidarisaya.blogspot.com) dan sejak 2014 fokus
menulis di Tumblr (miftahulfikri.tumblr.com) hingga kini. Ia
berharap nantinya dapat belajar pada penulis-penulis besar
agar konsisten menelurkan karya.

Temui juga karya lain di Instagram-nya di @berolahrasa,


atau di email miftahufikri.idn@gmail.com

Miftahul Fikri

160 Semusim Cinta

Anda mungkin juga menyukai