Miftahul Fikri
miftahulfikri.tumblr.com
Penulis: Miftahul Fikri
Penyunting: Adiar Ersti Mardisiwi
Penata Letak: Kenniko Okta Putra
Perancang Sampul: Adiar Ersti Mardisiwi, Kenniko Okta Putra
All photos from unsplash.com
ISBN: xxx-xxx-xxxxx-x-x
vi Semusim Cinta
Terima Kasih
vii
menjadi setitik oase yang membahagiakan meski hampir
setiap waktu sebenarnya banyak menyusahkan. Untuk
Kak Evi dan Bang Rio, terima kasih juga selama ini telah
menjadi kakak yang baik.
ix
Salut untuk Fikri, jiwa muda yang berani meraih mimpi
dengan segenap kesabaran hati. Berani menjatuhkan hati
dengan cara yang tepat, menjaga fitrah perasaan cinta yang
suci, sebelum nanti dipertemukan dengan separuh hatinya
oleh Ilahi.
Semusim Cinta
persembahan sederhana dari kami dan Miftahul Fikri
dengan secangkir kesabaran dan semangkuk senyuman.
Salam,
Kindi Press
Adiar Ersti Mardisiwi & Kenniko Okta Putra
xi
Daftar Isi
Pancaroba 37
Tapi Pada Akhirnya Dipertemukan… 38
Lelaki di persimpangan 42
Teka-Teki 46
Padanya yang Setia 50
Rahasia 50
Padamu, Bulan 54
Anestesi 55
Mencintaimu Empat Musim 60
Hanya Seberani Itu 64
Sampai Kapan? 68
Karena… 70
Kita Saling Meracuni 72
Di Pundakmu 76
xiii
Penghujan 79
Puisi Langit 80
Bila Aku Seorang Pemarah 81
Bila Cinta (Tak) Harus Selalu Ditunjukkan 84
Seperti Cara-Cara Dulu 86
Merindulah yang Wajar 88
Lelaki Terkadang (Hanya) Tak Mengerti 89
Kita Harus Terpisah Sementara 92
Bila Saatnya Harus Pergi 93
Siapa yang Berbohong? 94
Mohon, Jangan Pergi Dulu… 95
Kausalitas 96
Untuk Hati yang Pernah Hancur 97
Kalap 100
Kita Harus Terima 101
Gerimis 101
Siklus 105
Sulit Rasanya 106
Diam-Diam 107
Lelaki dan Perempuan 110
Lepaslah 111
Gonggongan Sunyi 112
xv
1
Kemarau
Semusim Cinta
Perasaan Ini
Perasaan ini bukanlah sebuah saklar otomatis, yang bisa
kita “on-off”-kan sekehendak dan sesuai waktu yang kita
inginkan. Tidak. Kita akan tetap saja merasa menyukai atau
malah mencintai seseorang, meski di raut wajah seakan tak
peduli sama sekali.
Kemarau
Percayalah, ini hanya sementara. Hingga saatnya nanti,
perasaan ini akan menemui saat yang tepat untuk berkata-
kata, tanpa ada keinginan lagi untuk menunda.
Semusim Cinta
“Begitu sulitkah mencintai
orang lain? Barangkali, kau saja
lupa untuk mencintai dirimu.
Bukankah kau akan begitu dicintai
selama kau mensyukuri dirimu
sendiri?”
Kemarau
Syukuri Mereka
Cepat atau lambat, kau harus mengerti hal ini. Bahwa di
dalam kesunyian, kau akan menyadari betul apa arti orang-
orang terdekat dan tercinta di dalam hidup ini. Keramaian
hanya ilusi, karena ia tidak membutuhkanmu. Berbanding
terbalik dengan kesunyian, yang betul-betul menjelaskan
apa yang sebenarnya kau butuhkan.
Semusim Cinta
Demi Allah yang menguasai setiap jiwa, bersyukurlah atas
penyembuh dan penghibur yang diberikan oleh-Nya lewat
orang-orang terdekatmu.
Pejuang Sunyi
Ada orang-orang yang menggigil dalam kesunyiannya, di
mana ia benar-benar sendiri menjalani hari. Tak pelak,
kadang hal itu membingungkannya, membuatnya jengah,
sedikit merasa tertekan, hingga berpemikiran skeptis kalau
kalau memang dirinya boleh jadi diciptakan untuk ‘sendiri’.
Hembusan nafasnya melemah sekali-kali, menciptakan
suasana elegi. Kesendirian baginya mungkin seperti
kedamaian yang menyesakkan.
Kemarau
yang ia tangisi pasti begitu berharga. Sekiranya orang-
orang di luar sana tahu, garis-garis bekas linangan air
matanya selama ini telah mengerak menjadi bongkahan
ketegaran. Ya, semakin sering seseorang menangis maka
akan semakin tegarlah ia, begitu yang ia percayai. Akhirnya,
pada suatu waktu, linangan air mata itu mengalir bukan
karena ia lemah, melainkan itulah caranya untuk bertahan
menghadapi semuanya.
Semusim Cinta
“Oh Tuhan, pada seseorang yang
nanti akan datang, semoga aku
terlebih dahulu Engkau berikan
kesiapan. Karena pada seseorang
yang telah berlalu sebelumnya,
ketidaksiapanku pada akhirnya
hanya akan menorehkan luka.”
Kemarau
Jalan Saja
Kemarau berkepanjangan telah tiba. Angin-angin yang dulu
semilir kini tampak begitu perkasa, yang dulu hanya bisa
menggoda kini bisa membuat porak poranda. Debu-debu
beterbangan di sepanjang jalan, membuat mata perih dan
mengaburkan pandangan.
10 Semusim Cinta
saja. Kita jangan menjadi sok tahu hingga terlalu berharap,
padahal tugas kita yang sejati yaitu berusaha dan berserah.
Apa yang terjadi di depan, maka terimalah. Hadapilah walau
sulit. Hadapilah walau berat.
Jalan Lagi
Kita berjalan untuk terus mencari. Kita selama ini hanya
mencari arah pergi, tapi sebenarnya tak pernah tahu yang
mana yang menjadi tujuan pasti. Kita hanya berjalan untuk
memastikan bahwa diri kita tidak hanya berdiam diri.
Selebihnya, kita tak pernah tahu pasti.
Kemarau 11
dikatakan pemberani.
Kau takut? Aku juga. Tapi semesta tidak peduli itu. Mau kau
takut atau tidak, mau kau siap atau tidak, takdirmu akan
kau hadapi, begitu pun takdirku sendiri. Lalu, bagaimana?
12 Semusim Cinta
“Bahkan, janganlah terlalu sering
merasa bahagia. Karena ketika
suatu kali hidup kembali berjalan
seperti biasa, kau akan merasakan
sakit yang lebih daripada
sebelumnya.”
Kemarau 13
Wanita Sepertimu
Wanita sepertimu, memang tak banyak.
14 Semusim Cinta
kudapatkan, bahkan lebih rendah dari penyamun! Tapi tak
apa, memang begitulah risikoku sebagai pendaki. Meski
begitu, aku tetap memiliki prinsip dan sadar bahwa aku tak
berniat merusak apapun kecuali hanya tapak-tapak kaki
di dinding yang akan hilang pula seiring waktu. Terlepas
sehina apapun aku bagi pemilik benteng itu, sudahlah..
Kemarau 15
Aku tertegun ketika kita bertatap lewat celah kecil di depan
gerbang bentengmu dan kau berbicara lirih;
“.. kau tak perlu mendaki. Aku akan membukakan pintu ini
bagi siapapun yang menemukan kuncinya. Tahukah kau,
kunci itu tertinggal di luar gerbang ini. Silakan cari dan
temukanlah. Bila memang ada dan kunci itu cocok dengan
gerbangku, maka pasti kusambut kau dengan terhormat,
wahai Pangeran..”
Lalu aku sadar, bahwa kau sama seperti tuan putri pemilik
benteng yang lainnya, ingin diperjuangkan. Namun
caramu lain dan mengajarkan kesopanan dan kebesaran
perilaku; bila memang bisa masuk lewat gerbang utama,
kenapa harus memanjat dindingnya?
16 Semusim Cinta
“Bukannya tak bisa mencinta,
tapi memang ada fase dimana
sebenarnya kita sedang tak berniat
mencari siapa-siapa.”
Kemarau 17
Rahasia
Bagiku, engkau tetap rahasia.
Simpan saja dulu rahasia itu. Kau tahu, cinta kitalah nanti
yang akan menjadi kunci pembuka hati kita. Kuharap,
engkau dan akupun begitu, tak serta merta mengumbar
cinta itu sebelum nanti benar-benar dipertemukan oleh-
Nya. Aku percaya, bahwa satu gembok hanyalah untuk
satu kunci. Begitupun satu cinta untuk satu hati. Tak akan
tertukar.
18 Semusim Cinta
yang sendiri tak jarang disiriki, diguyoni, kata mereka bahwa
kau bisa jadi jomblo abadi.
Kemarau 19
Kaupun harus beranjak, pengamatanmu semakin kaya
tentang ini.
20 Semusim Cinta
“Hidup adalah kumpulan
anekdot yang serius, begitupula
sebuah senda gurau yang letih
diperjuangkan”
Kemarau 21
Tak Sebatas Paras
Lalu… seiring mendewasanya kita, ternyata patokannya tak
hanya sebatas paras. Kita akan perlahan memahami bahwa
semua itu relatif. Kecocokanlah yang kita cari. Entah dari
sudut pandangnya, kesamaan “frekuensi” bicara, visi misi
hidupnya, dan bagaimana karakternya. Lalu, semua itu
akan terbangun bila dibalut dengan komunikasi yang baik,
tak berlebihan namun juga tak setengah-setengah. Tetap
berhati-hati namun tidak setengah hati.
Bersabarlah. Bersiaplah.
22 Semusim Cinta
Yang Tak Mudah Jatuh Cinta
Ada seseorang yang tak mudah jatuh cinta. Ada.
Seberapapun menariknya seseorang, pun seberapa tertariknya ia
padanya.
Ada ruang-ruang bersekat berpilin seperti labirin,
Dibentuk oleh sejuntai cerita cinta yang telah lama terjalin,
Yang pernah membahagiakan sekaligus pernah menyakitinya,
Sosok-sosok yang pernah terpatri, begitupun jiwa, cita, serta cerita
yang telah ditinggalkannya,
Menjadikan ia begitu rumit dan misterius, tak lagi mudah tuk
menaklukkannya.
Kemarau 23
Sebuah Puisi, (Entah) Siapa pun
Dirimu
Biarkanlah ini menjadi puisi,
yang tetap akan jadi puisi..
karena lidahku kelu
karena lisanku tak mampu
tuk mengungkapkan sesuatu padamu
24 Semusim Cinta
Cinta dan Premisnya
Kata orang, cinta yang tepat akan datang pada waktunya.
Bisa jadi benar, bisa jadi tidak.
Karena kalimat di atas adalah kesimpulan, sedangkan belum ada
premis yang dapat memastikan.
Kesimpulan sudah ada, namun premisnya lah yang kita cari.
Ajukanlah pertanyaanmu sendiri,
Apakah umur dua lima atau tiga puluh? Apakah saat kita telah
selesai menamatkan pendidikan? Apakah karena disengaja
bertemu atau mengharapkan kedatangan yang tak disangka-
sangka? Apakah langsung jatuh cinta ketika pertama bertemu
atau kembali mencintai seseorang yang telah jadi masa lalu?
Kemarau 25
Kita tidak tahu, dan itulah yang menjadi menarik. Di mana ketika
kita mulai menggali premis-premis yang membuktikan setiap
kesimpulan.
26 Semusim Cinta
“Kamu itu cuma satu, diantara
enam milyar manusia. Jadi,
jangan takut untuk jadi dirimu
sendiri. Kamu itu pasti menarik
untuk seseorang nantinya,
meskipun mungkin ia juga cuma
satu diantara enam milyar orang
lainnya”
Kemarau 27
Sejauh Jarak
Aku merasa aku tak bisa melindungimu. Tanganku tak
sampai, sejauh jarak yang tercipta antara kita berdua.
Malam dan siang, kukhayalkan diriku menjadi lelaki
terbaik, nanti, untukmu. Ada di sampingmu, selangkah
di depan untuk melindungimu ketika berjalan bersama.
Menjadi laki-laki sejati yang membanggakan, menjadi lelaki
yang utuh.
Aku percaya dan aku pasrah. Tuhan tidak pernah pergi dan
selalu ada di sisimu, selalu.
Cinta Apa
Cinta yang seperti apa yang kau katakan, bila memang
dimulainya pada usia muda. Di kala hormon-hormon tubuh
28 Semusim Cinta
masih begitu menggelora. Di kala kulit dan tubuhmu masih
kencang dan merona. Di kala disapa olehnya saja terasa
gemetar seluruh dunia. Tatapan mata yang beradu bisa
meluluhlantakkan emosi dua tubuh yang berbeda.
Kemarau 29
lainnya bersama teman-temanmu. Tumbuhlah menjadi
perempuan ceria yang menuju dewasa. Kita masih terlalu
muda untuk melewatkan masa-masa ini, bukan ?
30 Semusim Cinta
teman-teman yang telah memiliki pasangannya masing-
masing.
Mantan Kekasihmu
Setiap kita pasti menjalani karakter protagonis, setidaknya
bagi kita sendiri. Ya, kita selalu merasa diri ini pasti baik,
sejalan dan sesuai. Kita baik-baik saja, sebagaimana ingin
dianggap oleh orang lain baik-baik saja.
Kemarau 31
Menikmati Ketiadaan
Terkadang, menyadari ketiadaan itu justru berkah yang
teramat besar, di mana kita dapat menikmati hidup yang
berlalu tanpa merasa harus dicari-cari.
32 Semusim Cinta
Pergi Bersamaku
Aku mungkin sudah lelah berada di sini. Meskipun, kata
orang mungkin ini tempat tinggal idaman. Suasana
dinginnya membuat terpikat, ramah-tamah orangnya serta
keindahan kota ini membuat seakan tak ingin beranjak.
Siapapun yang lahir di sini mungkin akan begitu bangga
dan tak ingin meninggalkannya. Kau, salah satunya,
mungkin terlahir di sini, di bumi yang indah ini.
Kemarau 33
lapang, tentang bagaimana kau menghargai pengalaman
baru dalam hidupmu nanti.
34 Semusim Cinta
“Coba lihat, kebanyakan
hubungan yang kandas ternyata
belumlah sampai pada pengenalan
diri secara utuh, melainkan
baru saja sampai pada titik ego
terluar, ya semacam kebosanan.
Ternyata sulit luar biasa kan
mempertahankan itu, ketika kau
sudah tahu dirinya seperti apa.
Apakah kau tidak lelah terus
melakukan kesalahan yang sama
seperti yang kau lakukan dengan
seseorang di masa lalumu ? Kau
akan mengerti, teman, ketika kau
sudah berniat untuk berhenti
bermain-main”
2
Pancaroba
Percayakah kau?
Sebuah kegilaan bila kau kembali bertanya pada dirimu,
Dari ujung dunia mana orang ini?
Yang kelak akan mencuri hatimu, mengambil perhatianmu
Sekelebat datangnya, mengambil momentum dan terekam oleh
memori
Menjadi… seseorang yang rasanya sudah lama kau kenali?
38 Semusim Cinta
Tuhan mungkin tersenyum,
Pada pemaknaanmu tentang sebuah pertemuan yang tak
diperkirakan,
Namun mampu dengan kuat menciptakan kesan…
Tentang siapa dirimu, pun tentang siapapun dirinya
Padamu segalanya terasa diluar kekuasaan,
Tapi pada akhirnya dipertemukan.
Pancaroba 39
40 Semusim Cinta
“Ada seseorang yang berharap
kau untuk kembali, meski tahu ia
merapal dalam sepi. Ia betul-betul
percaya bahwa Tuhan tak tuli.”
Pancaroba 41
Lelaki di persimpangan
Inilah aku, lelaki yang sedang berdiri di persimpangan.
Berusia dua puluh tahunan, yang menghadapi banyak
jalan bertujuan. Ada persimpangan jalan yang menjanjikan
lelaki seumuranku untuk terus menerus menjadi maju,
melompati setiap tantangan demi cemerlangnya masa
depan.
Aku sadar bahwa ucap, kiasan, dan janji tak cukup untuk
membuatmu tenang. Hanya dengan menjemputmulah,
maka aku dapat melukis cinta yang nyata. Kabar burung
mengantarkan keluhmu bahwa mungkin sudah lama
kau menunggu lelakimu, entah kapan akan menjemput,
ujarmu. Aku hanya bisa terdiam, tak ingin banyak bicara,
membiarkan desauan napas terbawa angin dan terus
berjalan.
42 Semusim Cinta
yang kutebarkan, yang alih-alih dapat menenangkan malah
aku menghancurkan setiap hati yang nyatanya ditakdirkan
bukan untuk menungguku. Setiap kali aku terjatuh dan
bangun kembali, aku terus menyusuri persimpangan yang
temaram itu, yang kurasai bahwa kaulah yang nanti akan
kujemput dari situ.
Pancaroba 43
44 Semusim Cinta
“Pada sepintas tatap, aku pernah
menyimpan harap. Hanya sayang,
keberanianku seketika terpecah-
belah meski hanya untuk berucap.”
Pancaroba 45
Teka-Teki
Mulanya aku tak mengerti seperti apa dirimu. Ya, kau
dengan segala yang kaupunyai begitu sulit untuk kutebak.
Kadangkala aku berpikir, kau tak seperti yang kubayangkan
tapi entah kenapa hingga saat ini persepsiku justru
berkata berkebalikan, dan sepertinya aku masih akan terus
bertahan.
46 Semusim Cinta
perbuatanmu. Tirus, seperti itulah dirimu. Aku terkadang
bingung harus berbuat apa, tetapi inilah yang membuatku
tertarik. Memang, menjadi dirimu memang sulit. Aku
paham. Wanita memang begitu.
Pancaroba 47
teka-tekimu, menyudahi itu semua dengan putusan
yang gamblang demi masa depan. Akan ada klimaks dari
kisah yang kompleks ini bahwa apakah kita akan cocok
beriringan, atau ternyata tidak.
48 Semusim Cinta
“Kalau tak bertemu, kita sama-
sama memelihara fantasi. Hingga
pada saatnya bertemu, akhirnya
kita takluk dengan realitas dari
persepsi.”
Pancaroba 49
Padanya yang Setia
Berterimakasihlah untuk seseorang yang setia
mendengarkanmu, menyimak segala keluh-kesahmu, tidak
terburu-buru untuk menasehatimu, dan tetap bersamamu
sekacau apapun keadaan itu.
Rahasia
Aku tertawa.
Kaupun tertawa.
50 Semusim Cinta
Begitu pun aku.
Tapi tak ada yang hancur. Ini bukan penyerangan. Ini juga bukan
soal penaklukan. Tak ada yang menunggu, begitu pun tak ada
perasaan ditunggu.
Pancaroba 51
52 Semusim Cinta
“Begitu indahnya kau, puisi.
Kau mampu mengubah bahasa
hati menjadi mudah dimengerti,
mengubah bahasa kerinduan
menjadi seni bernilai tinggi,
menjamah lisan-lisan yang tak
mampu lagi menjabarkan maksud
hati.”
Pancaroba 53
Padamu, Bulan
Bagaimana kalau rinduku ini kuceritakan saja padamu?
54 Semusim Cinta
Jujur, aku merindukannya. karena aku hanya memiliki
sebuah belahan hati, dan ada belahan yang lain, yang entah
ada di mana. Mungkin itu yang kurindukan, dalam sepi dan
diamku kini. Aku tak tahu lagi kemana harus aku curahkan
ini semua. Ke depan Tuhan, aku merasa tak pantas.
Mengatakannya langsung padanya pun tak bisa.
Anestesi
Sejenak kala dua detik saja mata ini berpandangan, aku jadi
teringat bahwa aku sudah berpindah pada relung waktu
yang berpilin-pilin, mengorek-ngorek seluruh persepsiku
terhadap responmu akan hadirku. Hitam putih berputar
putar bagai pintalan gulali yang me-ninabobo-kan.
Pancaroba 55
Turun barang setengah jengkal dari kedua bola mata itu
hadir lekuk senyum yang memendarkan pesona yang
menggetarkan hormon-hormonku, yang kadangkala malu-
malu untuk bahkan sejenak realistis menikmati hadirnya
dalam tubuhku ini.
Maka kali ini saja, napasmu yang serupa zat eter itu
terhisap menuju paru-paru, pun suaramu yang serupa
nada pentatonik memasuki frekuensi pendengaranku,
yang mendengung bukan hanya sampai di gendang telinga
tapi juga sampai ke lubuk hati terdalam. Efekmu kini
meresonansi kalbuku yang telah lama sepi.
56 Semusim Cinta
akhirnya meruntuhkan keangkuhanku pada semesta, hanya
bila pada akhirnya lelaki tangguh sepertiku di hadapanmu
saja akan luluh.
Pancaroba 57
58 Semusim Cinta
“Pilihanku untuk menujumu bak
sebidak pion, yang dimulai dari
langkah kecil … namun takkan
berbelok, begitupun takkan bisa
mundur.”
Pancaroba 59
Mencintaimu Empat Musim
Aku hanya ingin belajar mencintaimu seperti empat musim
di tengah iklim subtropika kehidupan, di kala perputaran
angin begitu mengaduk-aduk perjalanan kita, dari Barat ke
Selatan, dari Timur ke Utara. Sesederhana itu.
Ah, ya.
60 Semusim Cinta
Aku hanya ingin belajar mencintaimu dalam empat musim,
yang terus bersiklus dalam pilinan takdir menahun yang
Tuhan pilihkan untuk kita lewati.
Pancaroba 61
62 Semusim Cinta
“Bila hendak berkunjung,
berkunjunglah dengan sopan.
Kau hanya tamu di halaman
rumahnya. Duduklah, mainlah,
tapi jangan rusak rumputnya,
jangan petik bunganya. Bila telah
waktunya pulang, maka tutuplah
kembali pagarnya. Ucapkan salam
dan terima kasih, bila pemiliknya
berkenan tentu kau akan mudah
kembali lagi.”
Pancaroba 63
Hanya Seberani Itu
Aku mengenalmu, tapi tak sebegitu tahu. Tidak ada yang
aneh padamu, selain satu sudut pandangku tentang
hidupmu. Begitu apik, sampai-sampai aku terbuai akan
larik-larik puisimu, juga termenung mencari definisi yang
kau simpan dalam sebaris sajakmu. Di sanalah satu ruang
kosong hatimu, ternyata kau buka lebar-lebar meski ia
tertabir. Aku mengenalmu di situ, mengeja dalam bayang-
bayang seperti apakah dirimu sebenarnya. Hanya itu yang
kutahu dan hanya seberani itu aku mencari tahu.
64 Semusim Cinta
sebercanda itu, yang bahkan kau pun tak tahu rupaku
yang anonim ini. Kagum? Ya, mungkin itu kata yang
mewakili, bisa jadi.
Karena hanya itu yang kutahu dan hanya seberani itu aku
mencari tahu.
Pancaroba 65
66 Semusim Cinta
“Lelaki pemalu biasanya banyak
menimbang-nimbang. Tapi bila ia
sudah bergerak hingga melampaui
rasa enggannya, berarti ia benar-
benar serius.”
Pancaroba 67
Sampai Kapan?
“Sampai kapan kamu akan jadi pengagum rahasiaku?”
Katamu.
Kujawab,
Sampai aku tahu, bahwa sejauh mana dan selama apa aku
dapat bertahan dalam kesendirian.
68 Semusim Cinta
“Hai. Bertemu denganmu serupa
kejutan elektrik lima volt saja.
Membuat urat leherku hanya
tertarik sebagian mengikuti arah
tubuhmu berjalan. Sisanya, aku
lupa. Tahu kan, pertemuan sejati
tak hanya mengandalkan rupa?
Tentu, mengarungi hatimu akan
butuh waktu lama.”
Pancaroba 69
Karena…
Ketika kau begitu khawatir dengan seluruh dunianya,
Wanitamu justru hanya butuh perhatianmu untuk meredakan
kekhawatirannya.
Tidak mengerti?
Ya.
Karena untuk mengerti wanita tak bisa hanya dengan isi kepala.
70 Semusim Cinta
“Gerimis kala pagi, membuat
yang seharusnya terkembang
menguncup lagi. Memang
tak membuat menggigil, tapi
desirannya pada tubuh cukup
terasa tengil. Sendu-sendu terurai,
ingin disudahi tapi tak sampai.
Kiranya memang bulir suci ini
turun untuk memberikan waktu
yang sempurna pada kenangan
lama yang sudah tak berkelana.
Sejenak, teringat kamu lagi, di
gerimis kala pagi.”
Pancaroba 71
Kita Saling Meracuni
Suatu saat nanti, kuharap kita bisa berhenti untuk saling
meracuni. Tentang hal-hal yang aku dan kau saling pelihara
dalam sembunyi, tentang sesuatu yang susah payah kita
simpan selama ini.
72 Semusim Cinta
begitu pun denganmu kan?
Pancaroba 73
74 Semusim Cinta
“Entah kenapa pula lelaki adalah
makhluk yang mudah sekali
membuat wanitanya menangis,
tetapi juga tak tahan bila
mendengar wanitanya menangis”
Pancaroba 75
Di Pundakmu
Deru bus kota, asap mengepul, remang-remang suara bus
meraung
Kantuk menerpa, puluhan pasang mata sayup-sayup kembang
kuncup
Sedang kau tegang sendiri, lelaki biasa itu
Karena di sampingmu, seorang bidadari merebahkan wajahnya
dengan lugu
Di pundakmu, seorang lelaki biasa itu
76 Semusim Cinta
Selamat, kau wahai lelaki biasa itu, malam ini sejatilah jiwamu
Tersenyumlah, dan jangan lakukan apapun yang mengganggu
Jagalah ia, bidadari yang sedang tertidur di pundakmu itu.
Pancaroba 77
3
Penghujan
Ada cerita yang kita miliki ketika hujan. Ketika kuyup itu
menghangatkan pandang. Ketika rintik itu mencairkan
kebekuan. Lalu kita tak mesti bertatap lama untuk saling
bicara, juga kita tak perlu bicara untuk saling merasa.
Dalam diam ini, aku selalu percaya bahwa hujan selalu
istimewa. Kemudian cerita itu selalu bermula dalam riak-riak
kenangan, ketika rintik-rintik itu datang..
Puisi Langit
Bintang gemintang, menaburi langit semesta
Di sana tempatku mengadu segala daya dan upaya
Kita bertatap saling setia pada suatu kala
Di kala aku tak bisa beruntai kata, maka kupilih engkau tuk
bercerita
80 Semusim Cinta
Bila Aku Seorang Pemarah
Bila nanti kau ingin mengenal betul siapa aku, kuberitahu
satu hal terburuk yang harus kau tahu. Salah satunya,
aku sebenarnya adalah seorang pemarah. Pemarah yang
buruk ketika sedang tidak mood, yang seketika bisa saja
mengucapkan kata-kata kasar yang tak berguna meskipun
itu memang sebagai ekspresi kemarahanku, bukan
ditujukan untuk siapa pun itu, apalagi dirimu.
Penghujan 81
degup emosi yang meletup ini dengan keikhlasanmu
untuk berdamai dengan kondisiku. Ingatkanlah aku dalam
dekapanmu, bahwa sejatinya kau mencintaiku-sebagaimana
juga aku mencintaimu-dan atas nama cinta itulah segala
emosi yang membara ini harus segera disudahi.
82 Semusim Cinta
“Soal jatuh cinta, aku hanya
menduga-duga. Tapi soal hasrat
melindungimu, aku rasanya ingin
bersegera.”
Penghujan 83
Bila Cinta (Tak) Harus Selalu
Ditunjukkan
Bila cinta itu harus selalu ditunjukkan, maka mungkin aku
termasuk orang terkikuk di dunia; bertemu seratus kali
pun, belum tentu aku berhasil menunjukkannya. Mungkin
aku lebih memilih lari darimu, membuang mukaku yang
merah karena malu, atau berusaha menghilang agar degup
jantungku ini tak terdengar olehmu.
84 Semusim Cinta
padaku, yang telah jelas-jelas membiarkanmu pergi dengan
segelas hati yang kosong.
Penghujan 85
kupersembahkan yang terbaik.
86 Semusim Cinta
“Yang kau sebut sebagai orang
ketiga itu, sebenarnya tak pernah
mendaftarkan dirinya atas nama
orang ketiga yang seakan-akan
bisa merusak segalanya.”
Penghujan 87
Merindulah yang Wajar
Merindulah, seperti engkau yang manusiawi, yang sesekali
mempunyai getaran yang bercampur pada rasa sayang
dan khawatirmu. Namun, wajarlah saja, seperti biasa kita
mampu berdiam untuk beberapa waktu tanpa perlu merasa
gusar satu sama lain.
Kita merindu, itu wajar. Kita punya hati, kita punya cinta,
tapi kita tidak semenggebu itu. Kita, yang terus menerus
belajar menemukan hakikat dari kepercayaan tentu tak
ingin semudah itu menjadi luntur, yaitu percaya betul janji
88 Semusim Cinta
Tuhan itulah yang terbaik.
Penghujan 89
tak bisa menduga-duga.
90 Semusim Cinta
“Bicara cinta padamu mungkin
rasanya kepagian. Tapi kalau
urusan keduluan orang lain, aku
takut kesiangan.”
Penghujan 91
Kita Harus Terpisah Sementara
Mengapa kita harus terpisah untuk sementara waktu?
92 Semusim Cinta
Agar kita bisa melakukan apa yang semestinya kita lakukan.
Kita masih terlalu muda saat inidan masih banyak yang
harus kita lakukan. Tentang mimpi-mimpi kita untuk masa
depan, membangun kapabilitas diri, mendewasakan pola
pikir, menambah pengalaman, lalu menjadi individu yang
berkarakter di masa dewasanya, hingga nantinya… kita
akan menjadi orang yang berguna dan bermanfaat.
Bilamana sudah tak ada kedekatan, maka rasa itu bisa saja
segera angkat kaki tanpa secuilpun harapan yang diukir
pasti.
Begitulah.
Penghujan 93
Siapa yang Berbohong?
Padanya, yang pergi, tak henti kau melolong
Kau bilang ia seorang pembohong,
Dan segala sumpah serapah seperti petir di siang bolong
Ketika dia meninggalkanmu dengan tatapan kosong
Tapi toh,
Kau tetap ingat juga,
Kau tetap meratap juga,
Meski tak kurang segala ucap hina dina untuknya
Meski disisimu telah ada seseorang sebagai gantinya
94 Semusim Cinta
Sekonyong-konyong,
Siapakah sebenarnya yang justru berbohong?
Penghujan 95
Aku mohon, barang beberapa saat lagi, hati yang kosong ini
masih sudi kau temani.
Kausalitas
Kalau kau ingin adil melihat itu cinta, cobalah mengenali
cinta tanpa harus mencintai.
96 Semusim Cinta
cinta.
Penghujan 97
cara yang paling baik untuk menyembunyikan duka. Betapa
dunia telah terbalik bagi kedua insan yang telah terlanjur
berpisah, kisah cinta yang dulu pernah terajut hanya
menjadi sebuah sejarah.
98 Semusim Cinta
“Pada orang yang saling
mencintai, bahkan kekurangannya
pun akan dikatakan sebagai
kelebihan.”
Penghujan 99
Kalap
Kalau kau bertanya-tanya, mengapa aku kini dapat
membahasakan keresahanku dengan sejuta pilihan kata,
jawabannya adalah kau sebabnya.
Gerimis
Gerimis kala pagi, membuat yang seharusnya terkembang
menguncup lagi. Memang tak membuat menggigil, tapi
desirannya pada tubuh cukup terasa tengil. Sendu-sendu
terurai, ingin disudahi tapi tak sampai. Kiranya memang
bulir suci ini turun untuk memberikan waktu yang
sempurna pada kenangan lama yang sudah tak berkelana.
Penghujan 101
Sejenak, teringat kamu lagi, di gerimis kala pagi.
Penghujan 103
104 Semusim Cinta
4
Siklus
Siklus 107
Namun, diam-diam, tetap kusimpan rasa ini rapat-rapat
untuk kuhirup lagi cinta itu lambat-lambat
biarkanlah rasanya seperti sembilu menyayat
tak apa, bagiku ini adalah pertaruhan janji yang kuat
Siklus 109
Lelaki dan Perempuan
Pada takdirnya, seorang lelaki ‘terlihat’ lebih kuat daripada
perempuannya. Hanya terlihat, belum tentu di dalamnya
seperti apa.
Lepaslah
Aku tak dapat menjaga ini. Maka biarkanlah Tuhan yang
menjaga.
Kita tak usah mengatur-atur apa yang tidak bisa kita atur.
Aturan universal itu sudah teguh, yang dipegang oleh
penguasa alam.
Siklus 111
Tuhan selalu punya rencana baik. Selalu.
Gonggongan Sunyi
Malam semakin larut, sedang dalam dinginnya aku diam
mematut
Sunyi ini terkadang menyalak, hening ini semakin mengoyak
Diam sendiri mendengarkan nurani, degup jantung berteman sepi
Siklus 113
Namun nyatanya, Tuhan tak pernah mencabut perasaanmu,
rasa cintamu, dan kemanusiaanmu. Tuhan masih menaruh
perasaanmu, di situ, berlapiskan kesabaranmu yang mulai
mengakar dan menahun itu.
Siklus 115
Puisi Kesakitanmu, Pun Aku
Semenjak,
Saat itu datang, dan
Napasku terhela bagaikan
Gemerisik daun yang terserak
Bilamana,
Kau datang lagi, dan
Menusukku dengan tatapan
Sedalam palung kesakitan
Yang kosong tanpa cahaya
Aku takut,
Bila harus kembali seperti
Dulu, yang kuingat lagi
Entah apa yang kurasa, tapi
Aku enggan tersakiti, meski
Ingin memelukmu sehangat selimut
Seperti dulu,
Sebelum kau pergi, dan kini
Kembali datang lagi, demi
Menyesali perbuatanmu itu.
Kau pikir kau saja?
Aku juga.
Siklus 117
lirih pada mereka yang kini kesulitan mencari, bahwa
merekalah ternyata orang yang “asli”, mencintaimu,
menghargaimu, dan merasa kehilangan dirimu. Diantara
ribuan temanmu, mungkin mereka tak banyak, bisa
dihitung jari. Tapi itulah mereka, yang kau butuhkan.
Dan..
Siklus 119
120 Semusim Cinta
“Laiknya setitik noktah hitam
diatas kertas, begitulah yang
kadang teringat (dan dihakimi)
hanyalah setitik kesalahan
dibandingkan seluas apapun
kebaikannya.”
Siklus 121
Pelajaran Kehilangan
Kebanyakan dari kita mengatakan bahwa kehilangan itu
menyakitkan. Tapi kita justru menghilangkan opsi ketika
hal itu sedari dulu memang tak ada. Bagaimana kita tahu
dan punya perasaan akan hal itu, padahal ia dahulunya tak
ada? Secara logika memang begitu.
Kau sebut dia kurang ajar? Hakmu. Kau sebut dia tak
Siklus 123
berperasaan? Mulutmu bebas mengatakan apa saja. Tetapi,
dia tetap saja orang baik di matamu, tak kurang dan tak
lebih. Sikapnya biasa saja dan tak pernah macam-macam
padamu. Rasanya, tak ada jejak dosa yang menapak di
tubuhmu karena perlakuannya. Tak ada beban moral yang
ditinggalkannya semenjak hari kepergian itu datang.
Sakit hatimu padanya hanya manifestasi rasa sayang yang
mungkin sudah terlanjur dalam, namun seketika saja
tercabut paksa. Siapa yang tak tahu rasanya?
Sebut saja pada dirimu, kurang baik apa aku? Ya, boleh saja.
Kurang perhatian apa aku? Oh, tentu saja. Kurang sayang
apa aku? Seperti katamu, ya. Mungkin masih ada sejuta
pertanyaan pembelaan diri lain yang tentu saja menjadi hak
setiap individu. Seperti yang biasa terjadi, kalau kita semua
jatuh miskin, siapa yang kira-kira pertama disalahkan?
Presiden, kan? Ya, itu hak prerogatif siapa saja.
Sudahlah.
Bisa jadi kau baik, bisa jadi ia pun baik. Tak ada yang
berniat buruk, begitupun tak ada sesuatu yang benar-
benar buruk terjadi. Masih melodrama yang biasa terjadi
di kalangan remaja, tentu juga tak membuat bumi menjadi
kiamat serta-merta. Harimu masih berjalan, esok pun akan
menanti. Mentari dan senja pun masih datang berganti-
ganti. Koreksilah dirimu, barangkali. Terlalu banyak
pembelaan diri, takkan pernah mendewasakan pribadi.
Oleng.
Siklus 125
belum menemukan jalan tengah terbaik yang diinginkan.
Siapapun akan berkorban, tentu saja, entah kau ataupun
dia untuk saling menemukan jawaban itu. Bersikap mau
mengalah itu memang penting, tapi terlalu sering mengalah
itu tentu saja menyakitkan.
Ia baik, kau pun baik. Hanya saja, kala itu mungkin tak
berimbang. Juga, yang dipaksakan tentu tak bagus, maka
sejak ini kau harus mempersiapkan yang terbaik untuk
kedatangan orang yang terbaik. Tersenyumlah, lalu mulai
perbaiki diri. Suatu saat, kau harus mampu mengimbangi
yang datang nanti.
Siklus 127
Terbaik untuk Masa Laluku
Sekian tahun telah berlalu, sekian purnama telah terlewati
Padamu, yang sudah kubingkai dalam bilik memori
Yang telah lama jauh pergi, namun pernah menetap di hati
Kiranya begitu keterlaluan rasanya bila masih saja membenci
Siklus 129
Karena satu yang kuyakini,
bahwa takkan ada sebuah kenangan
bila tak pernah ada yang ditinggalkan
Arti
Terima kasih atas segala cerita yang telah lalu dan
begitupun yang telah kita lalui. Bahwa aku dan kamu, yang
pernah jadi kita pada suatu waktu.
Perpisahan Kita
Meski dahulu terasa berat, berpisah denganmu adalah hal
yang terbukti tepat. Waktu yang akhirnya berlalu akhirnya
mengajarkan kita untuk tetap tegar dan kuat. Pun, intuisi
yang kita sama-sama sepakati membuahkan hasil, bahwa
kita dapat terus bertahan dengan pilihan pahit meski
awalnya terasa labil.
Siklus 131
aku dan kau telah menjadi sosok yang hendaknya lebih baik
lagi. Terkadang, memang pahit getir harus ditelan bulat-
bulat, yang pada akhirnya dari sana dapat diambil manfaat.
Maka, dari perpisahan yang telah lama berlalu, aku dan kau
hendaknya masih bisa tersenyum tanpa lagi ada dendam
yang seakan membeku. Kiranya tak usah repot-repot
berbohong untuk menghapus kenangan yang telah dilewati,
toh aku pun sempat rindu dan teringat kau berkali-kali.
Mungkin kau juga, barangkali?
Siklus 133
Semoga Kau Paham Maksudku
Kau.
Sekarang.
Siklus 135
Dan hari ini aku menyapamu, memecah kebekuan ini
dengan sikap lelakiku.
Hanya menyapamu.
Pengandaianku
Seandainya pengandaianku tentang masa depan yang lebih
cerah tak kugubris, mungkin perpisahan denganmu adalah
hal yang paling miris. Kalau aku tak perduli lagi entah siapa
yang akan datang di masa depan, maka dirimulah yang
selalu akan hadir dalam kenangan.
Meski kau telah lama pergi, kau tetaplah yang terbaik dan
lama membekas di hati ini. Meski air mataku tak sampai
menguntai, melupakanmu dalam benakku saja ibarat
Siklus 137
berlari namun gontai. Setiap kali aku melintasi tempat kita
dulu pernah duduk dan tertawa bersama, rasanya seperti
ujung sembilu yang dapat mencakar-cakar isi dada.
Siklus 139
Bersendiri
Kita boleh bersendiri satu sama lain, untuk sekarang.
Membiarkan omongan yang menyakitkan, tak mengambil
hati pada banyak tudingan bahwa kenapa kita sama-sama
memilih untuk sendiri dulu sekarang.
Meridian
Kita adalah takdir yang pernah bertemu, kemudian berpisah
seiring waktu. Sesaat setelah semuanya berlalu, pernahkah
kita sama-sama berpikir bahwa apakah yang dimaui oleh
Tuhan untuk mempertemukan kita?
Bila kau tanya aku, aku tak tahu persis. Tentang kenapa
Siklus 141
pada suatu hari, bahwa aku dan kau layaknya sebuah titik,
dapat terhubung satu sama lain hingga menjadi satu garis
penuh. Kau tahu, mungkin ada ribuan titik yang memiliki
kemungkinan yang sama untuk saling terhubung menjadi
satu garis pula; lalu, kenapa itu kita?
Siklus 143
sebagaimana mestinya, bukan? Lalu setelah itu, kita sama-
sama beranjak untuk menggapai apa yang kita inginkan,
meski kini arahnya saling berlawanan.
Siklus 145
Teruntuk, Kau dan Aku
Teruntuk
kau dan aku,
yang kadang lelah meniti hidup ini sendiri,
membisu di tengah keramaian hampa
Terdiam dalam kebisuan yang mendera
hilang dalam alam maya, menatap bayang-bayang
Teruntuk
kau dan aku,
yang menjerit dalam hati,
yang menempuh jalan berliku nan sepi
sendiri… merasa gelap
sakit tak tertahan, menikam kerinduan
menyusur tabir ketidakjelasan
menerawang dalam tipisnya pukat pengetahuan
Teruntuk
kau dan aku,
yang memilih pergi menjauh
daripada mengatakan isi hati
yang menahan demi kebaikan,
yang menghilang dalam sejuta keinginan,
yang berlinang harap akan suatu keajaiban,,
yang tersenyum lirih ditempa keikhlasan,,
Teruntuk
kau dan aku,
yang diam, yang menjauh, yang menyepi,
yang tak perduli, yang membuang pandang,
yang seakan tak mengenal, lalu kemudian pergi.
Meski jantung berdetak kencang,
Meski hati tak salah berarah,
Meski pikiran satu bertuju,
Meski... ingin sekali bertemu.
Teruntuk
kau dan aku,
Tuhan tahu yang terbaik.
Mari, serahkan hati kita.
Siklus 147
Akan Ada Penggantinya
Sekian lama…
Soal aku dan kau, yang dulu disebut kita, kembali terpisah
lagi menjadi kaki-kaki yang berjalan sendiri, menuju ke
arah yang berbeda. Berpisah sudah jadi jalan, tak bersama
lagi telah jadi pilihan.
Kiranya tak ada yang salah, semoga tak ada yang menjadi
masalah. Meski kita tahu betul, bahwa hati kita berdua
benar-benar patah.
Siklus 149
Tapi tidak dengan kehadiranmu yang nyata. Memang, kini
yang tersisa hanya aku yang termangu dalam hampa.
Siklus 151
Padamu yang Akan Datang Nanti
Padamu, yang akan datang nanti.
Siklus 153
154 Semusim Cinta
“Ah, kau. Caramu kini membenci
seakan mencerminkan betapa kau
masih mengingat luka masa lalu
yang menyayat. Sedangkan aku
merasa tak perlu membenci karena
masa lalu sudah kumaafkan dan
tak perlu kuingat-ingat”
Siklus 155
156 Semusim Cinta
Semusim Cinta
Siklus 157
pelupuk mata. Setelahnya, langkah kita tak lagi sejalan dan
menjauh pada mata angin yang berbeda.
159
Semenjak 2009, ia menulis serabutan di blog pribadinya
(setitikinspirasidarisaya.blogspot.com) dan sejak 2014 fokus
menulis di Tumblr (miftahulfikri.tumblr.com) hingga kini. Ia
berharap nantinya dapat belajar pada penulis-penulis besar
agar konsisten menelurkan karya.
Miftahul Fikri