Anda di halaman 1dari 5

Petang menjelang. kegelapan akan menyelimuti dunia. Setidaknya setengah sisinya saja.

Tubuhku masih
tergeletak di atas ranjang empuk dari kapuk yang ku pungut dari bak sampah perkampungan. Yah,
empuk. Setidaknya cukup bagi tubuhku merebahkan semangat yang memang harus ku simpan. Pikirku
agar awet, tak usang meski nyatanya, waktu memberi tenggak ekspayet yang tak tertera barcodenya.

Tubuhku menggeliat di setengah kesadaran yang saling bertarikan. Agaknya, syarafku masih beradu
lomba tarik tambang. Tubuhku masih ditarik gravitasi lelah semalam. Pekerjaan yang menguras seluruh
tenaga dan pikiran. Menuai rejeki dari kasih sayang yang aku bagi kepada orang-orang yang
membutuhkan. Petang bagiku adalah pagi kala mentari menunjukkan moncong cahaya. aku adalah salah
satu simbol manusia diurnal sebagai lorong cakrawala yang begitu luas untuk aku susuri sendirian. Ah,
tubuhku masih kepayahan. Tapi aku harus bangun. Masih ada pesanan yang harus aku antar.

Mataku samar-samar melihat bayangan. Perasaanku benar, ternyata ini sudah petang. Mataku terbuka
bak jendela ruang, disana terlihat seorang wanita memegang secangkir kopi di kedua telapak tangannya.
Seolah masih bermimpi. Agakanya aku hanya berkhayal. Aku pun beranjak dari ranjang kapuk
kesayangan. Mendekat ke jendela yang sudah usang. Tralis besi yang mulai berkarat dengan cat yang
pudar mengelupas. Seolah mencemo’oh tubuhku yang tak jauh beda dengannya. Bukan kopi yang aku
pegang, tapi sebotol arak yang kupikir air putih yang menyegarkan. Masih tak sadar rupanya, setengah
dari jiwaku masih ada di alam dongeng. Senyumku menyeringai, ngece pada keadaan yang tak pernah
aku bayangkan. Namun inilah keseharian petang ku kala binar mata memaksakan untuk melek.

“Petang ini cerah, tapi kok aspalnya basah. Sepertinya hujan” hatiku keheranan.

“Eh bu Joni, tadi hujan!?” ujarku pada tetangga bawah.

“enggak kok”

Lah, itu kok basah?

“ itu tadi abis guyur kucing garong, laki saya! Biar tau rasa. Jajan kok seumur ama anaknya. Anjing gak
punya otak” dia ngegerutu. duduk di teras. Menapah dagu, ngucek-ngucek daster leceknya.

“udah buk, hantam saja.

“Jambak itu jengkot bawahnya. Biar kapok”.

Kasih balsem sekalian biar blonyot”.

“Nyahok sia laki. Lupa daratan seberokokok sia”.

Para tetangga meneriakinya.

Aku diam saja. Menatap bu joni. Kayaknya laki bu joni ketauan jajan. Kepergok paling, pas di jalan.
Tubuhku memaksa tak nongol lagi di jendela. Krek, suara jendela yang ku tutup. Srekkkk…. Selambupun
ku kerek menutup. “Gak enak, cuman pake beha ama celana baby doll tanpa sempak”, sambil nutupin
dada pake tangan kiri. “Adem… bulu ketekku berayun kena angin malam. Lupa belum di cukur. Pori
selangkangan pun menggidik, keri… kenak angin pula. Mana lebat”, gumamku. Diliatin juga risih.
“Tubuhku yang indah ini, kayaknya sayang kalo di liatin gratisan. Kalo bayar masih pikir-pikir, liatnya
seberapa lama, long atau soft”, eh aku ikut ngedumel. Muji diri sendiri kan gak papa. Itung-itung
bersyukur di warisi kayak beginian sama yang empunya. Aku pun menyandarkan punggung ke jendela
itu. Merosot perlahan. Bokongku menempel, menggidik dingin. Yang penting jendelanya udah ketutup.
Masih lebih hangat, dari pada tadi, bikin campur aduk.

Ah sudahlah… gini nih kalo hidup bertetangga. Rusun murah, kumuh di tengah kota besar, cukup besar
buat tubuh mungilku yang sendiri ini. Harga sewa yang hanya 750 ribu aja untuk sebulan. Ukuran 5x6
meter, kamar mandi dan dapur. Manusia perantauan yang jauh dari rumah. Entah seperti apa sekarang
rumahku. Kampung sederhana di tengah belantara dikelilingi sungai berbatu di seberang pulau sana.
Perlahan, agaknya mulai lupa sama kampung sendiri. Udah keenakan tinggal di kota. Pikiranku tertutup,
tertimbun, dijejali dengan kehidupan kota besar yang pada awalnya tak pernah ku bayangkan. Kampung
yang segumpal itu, mendelep, ketelisut entah kemana. Dulu, saat masih dikampung, pikirku hidup di
kota itu enak. “Nyatanya dienakin aja”, aku coba menghibur diri. Yah, hiburan apa lagi yang bisa aku
dapatkan di kota sebesar ini. Acara TV menghibur, ngasih tontonan kesenangan dan kemewahan. Iklan
melambaikan tangan, menawari kemudahan. Musik mendengung di telinga mempermainkan arus darah
di jantungku. Sampai-sampai aku bosan juga sama mereka.

Hidup. Yah hidup dengan menenggak arak pun hidup. Kehidupan? masih menenggak arak ini pun aku
sedang menjalani kehidupan. Bernapas dengan sebotol arak di tangan, untuk saat ini. Aku yang baru
terjaga dari dongeng mimpi tadi. Selanjutnya, aku rasa lebih brutal dari barusan. Meski bukan ini yang
aku sebut kebenaran atau benar itu sendiri. Seonggok filosofi dari perjalanan yang tak pernah aku
rencanakan akan jadi seperti apa. Hanya keinginan untuk berubah menjadi lebih baik untuk diri dan
keluargaku, pada awalnya. Lalu sekarang? Sekarang jangan di tanya. Lihat saja. Au pun tak mau
memperlihatkannya, meski mereka melihatnya sepanjang malam. Tak terkecuali Dia yang Agung, Sang
Empunya petang dan malam.

“Udah abis”, ku cucup mulut botol araknya. “Ternyata usah abis. Tadi yang terakhir”. Agaknya, aku
masih pengen berdua dengannya. Merasakan kenikmatan yang kata orang bisa bikin senang, sampe-
sampe lupa daratan. Nyatanya, aku pun masih memijak ubin dingin rusun ini. Entah, apakah ini yang
dibilang lupa daratan, entah aku sedang melayang, dengan memijak ubin lantai dua, masih memijak
daratan yang mereka pun berdiri atasnya. Yang pasti aku masih di dalam rusunku sendiri. Di bawah atap
semen cor batu koral yang menjulang setinggi 10 lantai. Aku pun coba mengapai langit. Melompat-
lompat, siap tau nyampek. Ah capek, agaknya memang gak bisa. “Rupanya, aku belom mabok. Hmmm”.

Mandi enak yah. Aku pun terjaga dari tongkrongan naungan jendela yang melindungiku dari terpaan
angin, cibiran mereka yang melototin. Hasrat, napsu seolah ingin memakanku. Agaknya di otak mereka
yang ada cuman isi kutang sama selangkangan aja. Mungkin dengan melihatku, bikin muda lagi. Atau
malah seperti pak joni, malah bikin jajan, mumpahin kesenangan. Merayap di atas relif Tuhan. Sketsa
kehidupan yang katanya bikin hidup ini jadi bermakna. Yang kata mereka nagihin, ngenakin. Yang
katanya jadi lengketnya rumah tangga. Katanya gitu.
Aku pun meraba etalase gantungan handuk di balik pintu. Merayap, menatih kaki di atas ubin kamar
mandi. Ceklek! Pintu kamar mandi ku tutup. Gak enak kalo ada yang liat. Hmm…. Tapi siapa pula yang
bakal liat, toh aku sendirian di sini. Sang Empunya Petang? Itu pengecualian. Tak mungkin dia bernapsu.
Aku pun, untuk-Nya, aku tak akan bermalu, menutup diri atau bahkan sampai lari menjauh. Bagaimana
aku bisa lari dari Nya, jika petangpun datang setiap aku akan terjaga. Jika pada-Nya, aku tak pernah malu
atau menutupi sesuatu apapun. Dia toh tau. Kugantungkan handukku di balik pintu. Agaknya pakunya
sudah menghitam. Masih tetap kokoh, meski untuk menggantung badanku sendiri. Dia masih terlihat
seperti besi.

Sejenak alam terasa sunyi. Suara kemudian hening, meredam. Hanya suara desis angin yang memaksa
masuk dari sela-sela ventilasi kamar mandi. Kiranya, dia dikirimkan Sang Empunya Petang. Aku yakinkan
itu. Seketika hening kembali.

Aku turunkan tali kutangku, ku baliknya dan ku buka kancing pengaitnya. Aku gantung dia di balik pintu.
Agaknya bukan saja kutang yang menggantung. Agaknya dadaku pun mengantung. Terang saja, karena
aku agak membungkuk saat melepas celana baby dollku. Aku gantungkan pula celana itu. Perlahan ku
usap bulu selangkangan. Hmm… benar tebal. Aku ambil gunting, ku gunting saja sedikit, biar lebih
pendekkan. Berhelai-helai potongan bulunya jatuh, menyentuh ubin. Sudah. Ku letakkan kembali
gunting cukurnya. Hmmm… lupa berapa kali dia merasakan bulu selangkanganku. Biarlah, diakan tak
bernyawa, tak bernapsu pula. Dia bergerak karena keinginanku, karena jemariku.

Bak mandinya ke isi separoh. Jrurrrrr….jrurrrr……pres press….Ku buka keran air. Airpun gak betah
berlama-lama di dalam pipa. Dia seolah terdobrak, “muncrat dah, keluar dah kamu”, ujarku dalam hati.
Suaranya memecah keheningan. Suarnya menggema, seolah menari di ruang kamar mandi atau malah
dia mempimpong dirinya sendiri ke dinding.

Aku angkat lenganku. Hmm… benar, bulunya lebat. “Cepet banget tumbuhnya”, aku meliriknya,
mengelusnya. Kecabut beberapa helai. Ku pun mengendusnya. Bau wanginya masih terasa. Bau bunga,
bau rempah. Agaknya aroma lulurnya masih melekat, menempel di tubuhku. Betah rupanya dia. Aku
pun ngambil cukuran ketek. Kucukur habis bulunya. Agak keri, maklum sudah sekali pake. Tapi tak apa,
masih cukup tajam membabat bulunya. Semuanya, kanan dan kiri. Jatuh pula semuanya, setelah sesaat
sempat melayang di keheningan. Ku usap-usap ketekku. Ku usap-usap alat cukur itu, bulunya nyangkut.
“Sudah bersih, putih pula. Gak percuma luluran”, ujarku sambil kembali meletakkan cukuran di pojokan
bak mandi.

Byurrr…. Byurrr…byurrr…. Suara air yang ku ciduk semakin meramaikan suasana mandi petangku. Irama
saling bersautan dengan bunyi air yang keluar dari dalam pipa keran. Melodi tak beraturan yang hampir
setiap hari aku dengar tanpa sadar. Tubuhku basah seluruhnya. Benar-benar basah. Rambut panjangku
basah. Tangan kananku kemudian merogoh spon, kuarahkan kemoncong botol sabun cair sembari
tangan kiriku menekan tuas kepalanya. Crot…crot… crott… sabun cairnya keluar. Aku angkat botolnya,
sudah hampir habis. “Nanti saja aku beli di mini market depan”, pikirku sambil meletakkannya kembali.
Spon di tanganpun ku remas, ku bubuhi sedikit air biar berbusa. Ku gosokan perlahan di sekujur
tubuhku. Bahu, ketiak, punggung, dada, sela buah dadaku yang bawah pun ku gosok. Ketek pun tak lupa
ku gosok. Selangkanganku gosok, tak lupa sela bokong dan lubang silit hingga telapak kaki. Seluruh
tubuhku penuh dengan busa sabun. Ku letakkan kembali spon itu di atas bibir bak mandi. Byurr… byurr..
byyuurrr …. Kembali aku ciduk air dalam bak. Busapun perlahan hilang, terbawa air. Mataku melongo ke
lubang pembuangan air. Bulu ketek dan selangkangan tadi pun tersapu, mengikuti aliran busa dan air.
Terbawa ke drainase rusun, hingga nanti tertambat di selokan. Pikirku, mereka akan bertemu dengan
yang lain. “Maaf, aku tak bermaksud menganggapmu sampah. Bagiku kau adalah rejeki untukku, yang
berlebih. Karenanya ku potong sebagian darimu, yang melekat di tubuhku”.

Sekejap ku pun merogoh sampoo sasetan. Ku gunting ujungnya. Ku pencetnya dia biar isinya keluar
semua. Rambutku harus sehat dan kuat. Ku boboki saja sampoo sampai berbusa. Ku pijat perlahan
rambut dan kulit kepala. Mulutku bernyanyi. Memang, aku suka bernyanyi di kamar mandi. Apa lagi saat
sampooan. Bagiku, itu bagian yang paling menyenangkan. Saat-saat dimana aku merasa bebas, tenang,
dan nyaman. Saat dimana semua kepenatan sejenak hilang, memudar perlahan. Sampai-sampai aku
lupa waktu. Bisa sejaman kalo sudah begini.

Byurr… byurr.. byyuurrr …. Suara air cidukan. Aku terus menggayung air. Kali ini lebih keras lagi.
Semangatku memuncak. Seolah besok sudah tak bisa merasakan air lagi, tak bisa mandi lagi. Mulutku
mingkem, tak lagi bernyanyi. Itu karena busa sampoonya mengenai mata ku. Perih. Ah…. Aku menghela
napas, lega. Byur… byur… perlahan aku kembali menggayung air. Aku sudahi mandinya. Tubuhku sudah
bersih, sudah wangi. Sudah tak ada lagi sabun yang melekat. Tak ada lagi busa di tubuh atau di rambut.
Ku peras perlahan rambutku. Setengah tubuhku memiring. Air mengucur dari rambutku, basah. ku
gulung ke atas rambut itu, bah seorang pertapa. Rambut menimbun di atas kepalaku bak mahkota ratu.
Aku renggut handuk dari balik pintu kamar mandi. Ku usapkan ke seluruh tubuh hingga benar-benar
kering. Tubuhku kembali memiring. Rambutku yang tadi menggulung terpercik, gulungannya buyar.
Rambutku kembali menjuntai, begitu pula dadaku. Mereka turut miring. Tak apalah. Aku usap-usap
perlahan rambutku, biar agak keringan. Hingga aku gulung kembali seperti tadi. Ku beber handukku , ku
lingkarkan dia ke tubuhku. Sebagian tubuhku tertutup olehnya. Dia memelukku erat. Seperti pelukan
seorang lelaki yang enggan melepas pelukannya dari ku dulu. Dulu sekali. Seketika saja teringat
tentangnya, tapi sudahlah.

Ku rogoh kutang dan celana baby doll ku. Cklek! Tanganku membuka pintu kamar mandi. Kedua kakiku,
mengibas ke belakang, beberapa kali mengusap keset depan pintu. Tubuhku beranjak ke depan kasur.
Ku lempar perlahan kutang dan celana ke atas kasur. Kiekkk… perlahan ku buka lemari baju. Ku pilih baju
warna krem dan celana jeans, tak lupa kutang dan cawat dengan renda bergaris merah muda. Ku taruh
mereka di atas kasur. Ku buka balutan handuk di tubuhku. Tergantunglah dia sejenak di pintu lemari itu.
Aku telanjang. Benar-benar telanjang. Ku rogoh tumpukan sesetel penutup tubuhku tadi. Ku rogok
cawat lalu ku pakai. Terasa pas di sela-sela paha hingga pangkal pinggang. Ples! Menempel sempurna.
Ku pakai pula kutang setelannya. Ku kaitkan pengaitnya. Mataku melongo ke pengait diantara buah
dadaku. Agak ku tarik-tarik, memastikan saja dia betul-betul mengait. Lalu ku putar sembari ngepasin
posisi cup di dadaku. Yang ini tanpa tali, jadi menempel saja dia di dada, tak pula dia mencekik. Aku
masih leluasa bernapas. Ku ambil celana jeans ku, lalu ku pakainya dia. Tak enak jika hanya bercawat
saja meski ini di rusunku sendiri.
“Uhhh….. malam ini harus keluar. Mengitari sela sudut kota”, ujarku pada foto dinding. Hiasan yang tak
mahal ku beli waktu aku masih di bangku kuliah dulu. Ki Hadjar Dewantara adalah sosok di dalam
bingkai 20R itu. Sebelahnya pun begitu, Marilyn Monroe. Sosok yang menginsprirasi kala kalut
membimbingku dalam pada badai kehidupan.

Duduk di atas kasur, menatap dalam pada kedua sosok itu. Rasanya aku dan mereka begitu dekat, tepat
di depanku. Lama aku terpaku, mereka memudar dari pandangan. Perlahan menjadi putih, lalu
menghilang. Hitam. Lama pun berselang kembali datang. Terlihat hanya bingkai tanpa foto tanpa
lukisan. Sisi kayu polos yang saling bersampingan. Mengantung di tembok itu. Mereka lenyap, hanya
bingkai. Mereka pindah dalam angan, dalam Pikiranku yang saat itu sedang melayang. Terbayang
keduanya memegangi kedua tanganku. Di tengah-tengah mereka, aku hanya sela jarak antar bingkai
saja. Tak pula aku adalah tembok yang menopang paku gantungannya. Iya, hanya sela jarak saja, hanya
sisi pemisah. Ruang udara tanpa hampa, nan kosong. Hidup ku memandang.

Hela napasku panjang. Kembali. Aku hanya berkhayal. Di balik pintu itulah kenyataan. Hidup malam yang
aku bilang, aku manusia diurnal. Kiranya aku adalah seorang diantara mereka yang nokturnal. Dibalik
pintu itu adalah luar. Ruang lebar yang memberikan kenyataan dari pecahan kehidupan. Di situ adalah
jalan panjang, penuh kenangan dan kebrutalan akal. Tanpa pikir panjang, ku ambil jaket hitam.
Pelindungku kala angin mulai membuai tubuhku, pelan. Picisan, iya. Paling tidak, jaket ini akan
menjagaku dari para mata dan mata yang terlalu jalang mencuri waktu dari istri yang penyabar.

Kupakai sepatu kets yang ku lempar di pojokan tadi malam. Aku siap menghadapi kenyataan, aku siap
menerjang malam. Ku buka pintu yang membagi dunia, antara kesendirian dan ramai kehidupan.

“eh kaka udah mau pergi…”. Seorang anak tetanggaku menyapa dengan senyum kekanakan.

“ishhh… anak ini, sini masuk rumah”, Ibunya menyeretnya ke dalam.

Terdengar selentingan dia menggerutu, jangan dan jangan. Dia mengatakan sumir jika aku ini wanita
jalang. Katanya,” jangan seperti kaka itu, aku, pulangnya malam. Gak bener”. Biarlah, setidaknya itu
pelajaran bagi si kecil yang masih senang dengan tawa dan tangis jika dilarang dan melarang. Polos.

Aku beranikan, aku harus tetap berjalan. Tetap melangkah meski samar dan sumir menjadi bancaan, itu
gunjingan. Dia atau mereka tak tau. Sudah biarkan. Untukku, mereka masih awam. Tak mengenalku
yang hanya seorang wanita, biduk malam. Aku terus berjalan, melangkahkan kaki, membuat jejak bagi
sejarah hidup, hidupku. Menuruni tangga, selangkah demi selangkah. Satu per satu hingga ke bawah.
Angin menyapa, menggoyang sedikit kerah baju ku, rambutku terurai. Menari bersama angin yang
sedang menggenggam ujung rambutku sayang.

Anda mungkin juga menyukai