Kosong. Tidak ada pakaian. Hanya ada dua kotak karton besar di lantai lemari.
Kosong. Semua kosong. Untuk apa Lucy membawa pergi semua pakaiannya" Berulang kali pertanyaan
itu muncul di benakku.
Sebelum aku bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, terlihat olehku pisau berlumuran darah di atas
meja.
Bagian Dua Si Pembunuh BAB 7 MATA pisau itu memantulkan cahaya lampu.
Noda merah tua mengalir dari mata pisau ke permukaan meja. Bekas aliran darah yang sekarang sudah
mengering.
Aku bukan sedang menatap pisau berlumuran darah di atas meja Lucy. Tidak. Tidak.
Kukedip-kedipkan mataku untuk mengusir bayangan itu. Tapi pisau itu tetap ada di sana.
Pisau itu nyata. Benar-benar pisau. Sebilah pisau dapur. Sebilah pisau bergagang hitam.
Aku menarik napas panjang sekali, lalu sekali lagi. Kemudian melangkah mendekati meja.
Sambil menekan keras-keras kedua sisi wajahku, aku mendekat selangkah lagi.
Pisau itu tertancap menembus sehelai kertas. Sehelai kertas tulis bergaris-garis.
Sebuah sidik jempol tertera di bagian bawah kertas. Sidik jempol itu berwarna merah tua. Cap jempol
dari darah.
Setelah kupaksakan memfokuskan pandanganku, kulihat tulisan di kertas itu. Tulisan tangan dengan
tinta biru. Tiga baris tulisan di sebelah atas bagian kertas yang tertembus mata pisau.
Sambil memicingkan mata agar bisa melihat lebih jelas di bawah cahaya lemah, aku agak membungkuk,
dan membaca tulisan tangan itu:
Aku mundur sampai ke tempat tidur. Lalu kujatuhkan tubuhku ke atas seprai tempat tidur dan kututup
wajahku dengan kedua tangan.
Kupejamkan mataku rapat-rapat, tapi tulisan itu masih terbayang dalam benakku.
Lalu... Lalu... Ia membawa seluruh pakaiannya" Kabur sambil membawa semua pakaiannya"
Tidak. Tidak masuk akal. Kubuka mataku. Kuangkat pandanganku. Kulihat sepintas bayanganku di cermin
meja rias.
Sepintas pandangan itu membuatku sadar dampak sepenuhnya dari kejadian mengerikan ini. Sepintas
pandangan yang hanya sedetik itu membuat segalanya terang benderang.
Lucy telah membunuh kedua orangtuanya. Lalu menuliskan pengakuannya. Dan meninggalkan pisau
yang dipakainya untuk melakukan pembunuhan di kamarnya agar ditemukan orang.
Lucy membebaskan diri dengan menjadi diriku. Dan aku yang menjadi si pembunuh.
Kau sekarang jadi Nicole. Dan takkan ada orang percaya bahwa aku bukan Lucy.
Kalau kuceritakan apa yang terjadi, tak seorang pun akan mempercayaiku. Karena akulah Lucy si
pembunuh.
Pantas Lucy begitu bersemangat untuk bertukar tubuh denganku, mau mengambil alih hidupku yang
kacau. Dia tahu persis apa yang dilakukannya. Dia sengaja membuat agar aku yang akan menanggung
perbuatannya. Perbuatan melakukan dua pembunuhan mengerikan.
Aku terdorong ingin merenggut kertas itu, merobek-robek surat pengakuan itu. Mencabut pisau itu dan
menyembunyikannya.
Lalu pikiran lain muncul: Kuambil pisau itu, kubawa mencari Lucy. Akan kuancam dia dengan pisau itu.
Kupaksa bertukar tubuh.
Tidak. Tidak. Tidak. Aku tahu aku takkan mampu membunuh siapa pun.
Dan aku takkan tega membunuh Lucy, walaupun dia telah melakukan ini padaku.
Harus kucari dulu dia, pikirku. Aku harus bicara dengannya. Aku harus...
Kupadamkan lampu tidur sehingga ruangan menjadi gelap. Lalu aku berjalan melewati meja, melewati
pisau, melewati surat pengakuan.
Aku merayap ke ruang keluarga dan membuka tirainya sedikit. Aku mengintai ke teras.
Dan kulihat dua lelaki berwajah angker berjas kelabu.
Tak mungkin aku berdiam diri saja dan membiarkan mereka menangkapku. Mereka tidak memakai
seragam, tapi aku tahu mereka polisi. Aku tahu mereka mencariku.
Melihat kedua detektif itu membuatku melupakan rasa takutku. Gelombang rasa marah membanjiriku,
menyapu rasa takutku.
Pelan-pelan aku kembali menutup tirai dan menjauhi jendela. "Tak bisa," bisikku lagi.
Aku akan mencari Lucy. Aku tak mau menyerah begitu saja padanya.
Aku takkan berdiri diam di sini di samping pisau penuh darah dan surat pengakuan dosa serta berkata,
"Aku di sini, Pak Polisi. Silakan tangkap aku."
Aku berbalik dan cepat-cepat berjalan di sepanjang koridor, kali ini tanpa menabrak keranjang cucian.
Dadaku berdegup-degup tapi otakku jernih, waspada terhadap setiap suara, setiap gerakan, setiap
bayangan.
Aku masuk ke dapur. Lampunya masih menyala, tidak kupadamkan tadi. Aku membungkuk rendah agar
tak terlihat dari jendela. Sambil merunduk rendah-rendah, aku membuka pintu.
Aku menyelinap ke luar dengan hati-hati, tanpa menimbulkan suara, lalu kututup pintu kasa itu.
Sekilas kulihat jalur masuk, tapi tak ada siapa pun terlihat. Kupasang telingaku untuk mendengarkan
langkah atau suara orang.
Sunyi. Aku pergi dari sini! kataku dalam hati. Setelah menarik napas panjang, aku mulai berlari-lari kecil
menyeberangi halaman belakang.
Bulan separo muncul di atas pucuk pepohonan. Udara terasa panas dan gerah.
Sepatu ketsku berdenyit-denyit menginjak rumput yang basah oleh embun. Aku sudah berada di tengah
halaman belakang, sudah melewati kebun sayur, hampir sampai ke ayunan tua yang sudah berkarat,
ketika kudengar suara seorang lelaki berteriak di belakangku.
"Hei"berhenti!"
Aku menjerit kecil dan menengok ke belakang.
Kedua polisi itu ada di samping rumah. Yang satu menunjuk ke arahku. Yang lain melambaikan tangan di
atas kepalanya seperti memberi tanda.
"Berhenti! Hei"berhenti!"
Aku menoleh ke belakang, kulihat mereka mengejarku, berlari cepat, lengan mereka terayun-ayun di
samping tubuh mereka.
Pagar kayu tinggi yang dipasang keluarga Kramer di halaman belakang rumah mereka. Pagar yang Lucy
dan aku dulu membantu mengecatnya dengan warna putih. Pagar yang dulu kami pakai berjam-jam
main lempar-lemparan bola tenis.
BAB 9 KUULURKAN kedua lenganku ke atas, kupegang pinggiran pagar sebelah atas. Loncat.
Tapi tinggi pagar itu hampir dua setengah meter, bagian atasnya di luar jangkauan tanganku.
Aku bisa mendengar kedua polisi itu berseru-seru di belakangku. Aku bisa mendengar bunyi sepatu
mereka.
Sambil mengerang keras aku mencoba sekali lagi meloncat setinggi mungkin. Tanganku meraih ke atas
sejauh-jauhnya.
Tapi kalian takkan mengerti! pikirku. Aku bukan Lucy. Aku cuma kelihatan seperti Lucy.
Pagar memantulkan cahaya redup bulan separo. Aku menarik napas dalam, bersiap-siap memutar tubuh
menghadapi mereka dan mengatakan siapa aku sebenarnya.
Tapi lalu aku ingat papan-papan rahasia. Pintu kecil yang dibuat ayah Lucy untuk kami. Menurut kami itu
gagasan hebat. Papan-papannya bisa didorong, dan kami bisa menyelinap melalui lubangnya yang
sempit seperti anak anjing.
Lucy dan aku sudah lama tidak menggunakannya, sejak kami berumur enam atau tujuh tahun.
Aku menghambur ke pagar. Papan yang mana" Sudah terlalu lama. Aku sudah tak ingat.
Kucoba lagi. Kudorong sekuat tenaga dengan seluruh berat tubuhku ke papan-papan di kananku.
Kudengar suara berderik. Lalu dua papan sedikit demi sedikit terdorong.
Aku menyelinap melewati lubangnya yang sempit. Hampir jatuh. Dan terus berlari.
Kudengar seruan kaget kedua polisi tadi. Lalu bunyi sepatu mereka berlari di gang sempit. Mereka bisa
melewati lubang pagar yang sempit itu.
Kusadari aku tidak bisa lari lebih cepat daripada mereka. Aku tidak mampu berlari lebih jauh lagi.
Napasku terengah-engah. Kutebarkan pandanganku ke sekeliling halaman belakang rumah itu. Tempat
sembunyi, pikirku. Pasti ada tempat sembunyi.
Bukan, bukan gudang. Rumah kecil dengan atap miring. Rumah anjing" Rumah-rumahan anak kecil"
Sepatu ketsku tergelincir di rumput basah ketika aku meluncur ke rumah kecil itu. Kudengar kedua
pengejarku sudah dekat di belakang halaman.
Aku terjun ke rumah kecil itu. Merangkak masuk. Di dalam aku meringkuk seperti bola. Kupejamkan
mata erat-erat. Kubenamkan kepala ke lenganku.
Seperti anak kecil berpura-pura dirinya tidak terlihat.
Kubenamkan kepalaku, kutahan napasku. Dan berdoa mudah-mudahan mereka tidak melihatku masuk
ke tempat sembunyi ini.
Di sela-sela debar jantungku, kucoba mendengarkan. Mendengarkan langkah kaki mereka, seruan-
seruan mereka. Mendengarkan mereka lari melewatiku ke halaman rumah sebelah dan sebelahnya lagi.
Jantungku hampir berhenti ketika kudengar salah seorang dari mereka berseru, "Di sana!"
Aku masih meringkuk seperti bola, kepalaku terbenam dalam-dalam di kedua lenganku, mataku
terpejam rapat-rapat.
Tidak, kalian tidak melihatku, pikirku, berdoa. Kalian tak bisa melihatku. Aku tak kelihatan.
"Di mana" Di mana dia?" suara orang itu terengah-engah. Kudengar ia mulai batuk-batuk.
"Halaman sebelah," sahut temannya. "Rasanya kulihat dia lari memutari garasi itu."
Lalu sepi. Ya. Ya. Aku ingin bersorak, melompat keluar dari rumah kecil itu dan meloncat-loncat
kegirangan.
Aku tidak tahu berapa lama aku meringkuk seperti itu. Mungkin beberapa detik, mungkin sejam.
Aku tetap meringkuk sampai tubuhku berhenti gemetar. Sampai kepalaku tidak berdenyut-denyut lagi.
Sampai kilatan-kilatan warna merah di depan mataku berubah hitam.
Dan waktu aku merangkak keluar dari rumah kecil itu, meregangkan otot-ototku yang kaku, mengangkat
tanganku tinggi-tinggi di atas kepala, aku sudah punya rencana.
Mobilku menunggu di tempat parkir murid di belakang sekolah. Mobil Civic kecilku yang merah. Satu-
satunya mobil di tempat parkir sempit beraspal itu.
Aku melupakan mobil itu waktu pulang sekolah tadi. Karena begitu semangatnya mau ikut Lucy ke hutan
untuk bertukar tubuh, aku betul-betul lupa membawa mobil ke sekolah tadi pagi.
Ini hari paling panjang dalam hidupku, pikirku. Dan paling sedih.
Mataku meneliti seluruh tempat parkir itu. Entah mengapa aku merasa seperti penjahat. Mencuri
mobilku sendiri.
Biasanya kusimpan kunci mobilku di saku jins. Tapi aku sekarang memakai pakaian Lucy.
Untung aku menyimpan kunci serep di dalam kotak magnetis kecil yang ku taruh di bawah spatbor.
Kulirik kaca spion. Aku mengira akan melihat kedua polisi tadi meloncat keluar dari balik gedung
sekolah.
Tanganku gemetaran ketika memasukkan kunci kontak dan menghidupkan mesin. Derum mesin terasa
menenteramkan hati. Aku duduk sejenak, mendengarkan mesin mobil, mengusap-usap setir.
"Lucy, akan kucari kau," kataku sendiri. "Akan kutemukan kau, Lucy. Kau takkan bisa lari dariku."
Aku merasa sedikit lebih enak, sedikit lebih tenang, sedikit lebih percaya diri. Kunyalakan lampu mobil,
lalu mundur keluar dari tempat parkir.
Beberapa detik kemudian aku sudah lewat samping gedung sekolah dan keluar ke jalan. Lampu sorot di
depan gedung sekolah menyinari tiang bendera yang berdiri kesepian. Sepintas kulihat spanduk merah-
putih, bertuliskan GO, TIGERS! di atas pintu masuk.
Aku akan keliling kota sampai kutemukan Lucy, janjiku pada diri sendiri. Akan kudatangi semua tempat
anak-anak berkumpul. Aku akan pergi ke semua tempat yang pernah didatanginya.
Aku takkan menyerah. Akan kucari dia. Akan kuminta kembali tubuhku.
Dan akan kupaksa dia menceritakan mengapa dia begitu licik menipuku.
"Lucy, kukira kau temanku," aku bergumam sendiri. "Kenapa kau begitu membenciku" Bagaimana kau
bisa membenciku begitu rupa sampai ingin membuatku bertanggung jawab atas pembunuhan kedua
orangtuamu?"
Kami selalu dekat. Selalu jujur satu sama lain. Kalau salah satu sedang marah pada yang lain, selalu kami
katakan. Tak pernah kami simpan dalam hati.
Rumah-rumah dan halaman-halaman berlalu bagaikan bayangan kelabu. Kupegang setir erat-erat
dengan dua tangan. Terasa kuat dan nyata. Kugenggam erat-erat seperti aku sedang berpegangan ke
dunia nyata. Aku merasa kalau kulepas setir ini, aku akan tergelincir keluar dari mobil ke dunia maya
yang gelap gulita dan akan hilang selama-lamanya.
Kupadamkan lampu mobil ketika aku sampai di depan rumahku. Kalau Lucy ada di rumah, aku tak ingin
ia tahu kedatanganku. Aku ingin mengejutkannya.
Tapi tak kulihat ada mobil di rumah. Lampu teras menyala, begitu juga lampu sorot yang menyinari
halaman depan. Orangtuaku selalu menghidupkan lampu itu kalau mereka pergi.
"Di mana kau?" gumamku keras-keras sambil memandang jendela-jendela gelap. "Di mana kau malam-
malam begini" Lucy, aku mau minta tubuhku kembali."
Aku berpikir jangan-jangan Lucy sudah berhasil mengelabui orangtuaku. Apakah mereka mengira dia
Nicole" Mengira bahwa Nicole yang berada bersama mereka" Bahwa tidak ada yang berubah"
Aku takkan duduk menunggu di sini, menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang aku tak tahu
jawabannya, pikirku. Aku akan mencari terus sampai kutemukan Lucy.
Kujalankan mobilku melewati jalan-jalan di kota, setirnya kugenggam erat-erat. Ke mana pun aku pergi,
wajah Lucy membayang di kaca depan.
Akan kucari kau. Akan kucari kau. Akan kucari kau. Kata-kata itu terngiang-ngiang bagai mantra di
benakku.
Aku kembali lagi ke rumahku. Sampai tiga kali. Masih tetap gelap.
Kucoba ke Alma's Coffee Shop, kedai kecil yang sering didatanginya. Tak ada tanda-tanda dia di sana.
Setiap kali gagal menemukannya, aku agak semakin tenang, agak semakin marah, agak semakin besar
tekadku untuk menemukannya.
Ia sedang duduk di kursi di bagian belakang Pete's Pizza, di mall di Division Street, tempat favorit anak-
anak Shadyside High.
Aku berhenti dan memandangnya. Memandang tubuhku yang sedang duduk di sana bersama dua anak
perempuan lain. Lucy dengan tubuhku, ngobrol dan tertawa-tawa, seakan-akan tidak pernah terjadi
peristiwa mengerikan.
Kukenali Margie Bendell dan Hannah Franks duduk di depan Lucy. Mereka sedang bercanda, tarik-
tarikan sepotong piza, potongan terakhir di baki. Lucy membeset lapisan keju yang paling atas dan
melemparkannya ke Margie.
Benar-benar mengesalkan! pikirku sambil bersandar ke pintu kaca dan mengawasi mereka bertiga,
memandang Lucy yang menyandang tubuhku.
Kurasakan kemarahan membanjiri tubuhku, sampai aku merasa seperti akan meledak berkeping-keping.
Kupegang pintu restoran, kudorong terbuka, dan aku menghambur masuk.
Seorang pramusaji perempuan menengok terkejut ketika tertabrak dari belakang olehku. Aku tak peduli.
Aku terus berjalan. "Maaf ya," serunya menyindir.
Tak kudengarkan. Mataku hanya ke Lucy. Lucy di tubuhku. Lucy tertawa-tawa dengan Margie dan
Hannah, Lucy merobek sepotong piza dan memasukkannya ke mulut.
Aku berjalan cepat melewati meja yang ditempati beberapa anak dari sekolahku. Salah seorang
memanggil, "Hai!" tapi tak kutanggapi.
Margie dan Hannah duduk berhadapan. Margie menoleh ketika aku sampai di meja mereka. "Nicole!
Hai!" serunya kaget.
Dengan cepat aku tahu jawaban atas pertanyaanku sendiri. Lucy yang memberitahu. Lucy memberitaku
mereka bahwa kami saling bertukar tubuh.
Margie dan Hannah tahu. Lucy melanggar janji lagi. Mencurangiku lagi.
Lucy yang melakukan pembunuhan. Kenapa dia justru cerita pada mereka bahwa dia sebetulnya bukan
Nicole" Kenapa dia justru cerita bahwa dia sembunyi di dalam tubuhku"
"Nicole"ada apa?" tanya Hannah, mengibaskan rambut kepangnya ke belakang pundak. Ia tersenyum
padaku. Tapi senyum itu memudar ketika ia melihat rupaku.
"Tidak. Tidak. Aku sedang kacau," kataku. "Aku"aku perlu bicara dengan Lucy."
Dia sudah tidak ada. BAB 11 "KE MANA"ke mana dia pergi?" tanyaku tergagap-gagap.
Hannah memelintir-melintir kertas bungkus sedotan dengan jari-jarinya. Ia memandang Margie, lalu
memicingkan matanya ke arahku. "Lucy" Dia tak ada di sini, Nicole."
Margie menepuk tempat duduk di sampingnya. "Duduk sini, Nicole. Kau baik-baik saja?"
"Lucy ada di sini tadi," aku ngotot, tak kuhiraukan ajakan Margie. "Aku lihat dia waktu aku masuk. Kalian
bertiga... kalian berebut potongan piza terakhir."
Aku sadar Margie dan Hannah memang berkomplot. Lucy sudah menceritakan pada mereka bahwa kami
saling bertukar tubuh. Sekarang mereka melindunginya. Mereka mengalihkan perhatianku agar Lucy
bisa menyelinap pergi.
Tapi mengapa mereka membantunya" pikirku keheranan. Mereka kan teman-temanku juga.
Kusilangkan kedua lenganku keras-keras di dadaku, untuk meneguhkan diriku, untuk mencegah agar aku
tidak meledak berkeping-keping. "Aku tahu kalian bicara dengan Lucy!" teriakku marah. "Kalau kalian
tidak bicara dengan Lucy, dari mana kalian tahu aku Nicole?"
"Nicole...," kata Margie. Ia melangkah keluar dari tempat duduknya dan mencoba memegangku.
Tapi aku lebih cepat. Aku berbalik dan lari ke pintu. "Aku tahu dia ada di sini. Akan kucari dia!" teriakku.
Kudengar Margie memanggilku. Tapi aku membungkuk menyelinap melewati beberapa anak bertubuh
kekar dengan kaus ketat dan jins yang baru masuk ke restoran"dan kabur keluar melalui pintu.
Mall sudah hampir sepi. Beberapa orang berjalan keluar ke tempat parkir.
Aku menengok ke sana kemari, mencoba menerka ke arah mana Lucy pergi.
Pasti dia naik mobil ke sini. Kecuali kalau dia datang dengan Margie dan Hannah. Waktu melihatku
masuk ke restoran piza, pasti dia menyelinap keluar ke tempat parkir.
Aku berjalan cepat menuju pintu keluar. Sambil berjalan mataku melihat ke kiri-kanan ke toko-toko yang
masih buka, kalau-kalau dia ada di salah satu toko itu.
"Hoa!" Jantungku berhenti satu detak ketika aku melihat ke Clothes Closet, salah satu toko favorit Lucy.
Rasanya kulihat dia di bagian belakang toko, memegang baju berwarna pink, berbicara dengan penjaga
toko.
Aku masuk ke toko itu dan berlari sepanjang gang, melambai dan memanggil-manggilnya. Setengah
jalan ke belakang kulihat jelas wajah gadis itu.
Ternyata bukan Lucy. Mereka menoleh ke arahku, kaget. "Ada yang bisa dibantu?" tanya si penjaga
toko.
"Tidak, tidak, terima kasih," sahutku terengah-engah. "Aku"aku sedang mencari seseorang." Aku
berbalik dan cepat-cepat keluar toko.
Musik mall dimatikan ketika aku kembali ke koridor utama. Kesunyian terasa aneh. Kudengar bayi
menangis. Dan seruan-seruan. Dan roda kereta belanjaan.
Tanpa musik latar belakang, suara-suara itu terdengar agak menyeramkan. Terlalu keras. Tidak normal.
Aku keluar dari pintu keluar pertama yang kutemui. Tempat parkir yang luas sudah hampir kosong.
Seorang wanita berbaju dan bercelana pendek biru sedang memasukkan kantong-kantong belanjaan ke
bagasi mobil yang sudah penyok. Dua anak kecil berjingkrak-jingkrak di kursi belakang mobil.
Beberapa mobil antre keluar dari tempat parkir masuk ke Division Street. Lampu-lampu mobil yang
terang benderang bergantian menyapu diriku membuatku harus melindungi mataku dengan telapak
tangan sambil berjalan cepat mencari-cari Lucy.
Dengan kesal kudorong kereta belanjaan yang menghalangi jalanku. Kereta itu menggelinding berisik
dan baru berhenti setelah menabrak patok.
Mungkin sekarang semuanya bisa kami bereskan, pikirku. Mungkin Lucy akan menceritakan apa yang
sebenarnya terjadi.
Bahkan dari jauh sudah terlihat betapa dia tegang. Kedua lengannya tergantung kaku di samping badan,
tangannya terkepal. "Nicole!" panggilnya.
Wajah Margie. Margie memegangku, menggenggam bahuku dengan kedua belah tangannya. Ia
menengok dan memanggil ke arah mobil yang beberapa baris dari tempat kami. "Dia di sini, Hannah.
Hannah"Nicole sudah kupegang!"
Kukedipkan mataku beberapa kali, mengusir bayangan Margie. Agar digantikan bayangan Lucy.
Tapi itu memang Margie. Bukan Lucy. Mataku pun ikut menipuku.
"Dia di sini!" Margie berseru pada Hannah. Kulihat Hannah turun dari mobil itu dan berjalan ke arah
kami.
"Tidak!" jeritku.
"Aku"aku harus mencari Lucy," kataku terbata-bata. "Aku tahu dia sudah cerita pada kalian. Aku tahu dia
cerita pada kalian bahwa kami berdua bertukar tubuh."
Margie menaruh sebelah tangan ke pundakku. "Tenang, Nicole," katanya lembut, seperti bicara pada
anak kecil. "Kami cuma ingin bicara denganmu. Kami cuma..."
Tapi aku tidak menunggu. Kubuka pintu mobilku dan aku masuk. Margie sudah berdiri lagi. Ia
memegangi pintu mobil yang sudah kubanting menutup.
Kutemukan kunci mobil masih tertancap di kontak starter. Kebiasaan burukku. Tapi kali ini aku senang
kunci ada di situ.
Kuhidupkan mesin mobil. Margie masih menggebuk-gebuk jendela. Lalu ia memegang handel pintu.
Hannah melambai-lambaikan kedua tangannya agar aku tidak mundur menabraknya. Kulihat dia dari
kaca spion. Rambutnya berkibar-kibar di sekeliling wajahnya. Matanya membelalak ketakutan.
Kenapa Hannah dan Margie begitu ketakutan" Mengapa mereka mati-matian berusaha menahanku di
sini"
Apakah Lucy mengancam akan membunuh mereka juga kalau mereka tidak membantunya melarikan
diri"
Civic kecil itu menggerung keras menghantam tanggul pembatas. Kepalaku tersentak ke belakang
sementara mobilku melompat naik ke pembatas baris tempat parkir.
Masih kudengar kedua gadis itu memanggil-manggilku sementara aku meluncur cepat meninggalkan
mereka.
Aku menjalankan mobilku tanpa arah, mencoba menenangkan diri, mencoba berpikir jernih. Tapi
pikiranku berputar-putar tanpa arah, seperti mobil kecilku.
Begitu banyak pertanyaan memenuhi kepalaku. Begitu banyak pertanyaan yang tak kuketahui
jawabannya.
Kent bisa membantuku. Pikiran itu menyapu jauh-jauh semua pertanyaan. Kuputar arah mobilku,
kuinjak gas lebih dalam, menuju ke rumah Kent.
Aku ingat Lucy telah membawa semua pakaiannya. Itu berarti dia punya rencana pergi ke suatu tempat.
Mungkin tempat yang jauh dari Shadyside.
Aku tahu dia takkan meninggalkan Shadyside tanpa memberitahu Kent. Lucy dan Kent sangat dekat. Aku
tahu dia tidak pernah menyembunyikan apa pun dari Kent.
Kent tidak bilang apa-apa padaku waktu aku ke rumahnya tadi. Tapi kali ini, aku bertekad akan
membuatnya bicara. Aku akan membuatnya menceritakan seluruhnya. Aku akan memaksanya
memberitahu ke mana Lucy pergi.
Kuingat-ingat waktu aku ke rumahnya beberapa jam lalu. Dia melihatku tampak seperti Lucy. Tapi dia
langsung percaya waktu kukatakan aku sebenarnya Nicole. Dan sekarang, kalau kupikir-pikir, Kent sama
sekali tidak tampak terkejut. Artinya dia tahu Lucy dan aku telah bertukar tubuh.
Artinya dia telah bicara dengan Lucy sore atau senja tadi.
Kuhentikan mobil di pinggir jalan di depan rumah Kent. Kupandangi halaman depan yang rapi, melandai
ke rumah bata merah yang kukenal baik itu.
Aku keluar mobil dan kututup pintunya pelan-pelan agar tidak berbunyi.
Aku ingin mengagetkan Kent, membuatnya gugup. Mengejutkannya sedikit, cukup untuk membuatnya
mengatakan yang sebenarnya.
Aku berjalan ke arah rumah, menyelinap di bawah kegelapan bayang-bayang, menghindari tempat yang
diterangi cahaya lampu dari teras. Ketika aku berjalan di samping rumah, tiba-tiba jangkrik-jangkrik
mulai bersahut-sahutan seakan ingin memberitahukan kedatanganku pada Kent.
Suara jangkrik semakin keras, seakan memekakkan telingaku. Aku bisa mendengar semua suara, jauh
lebih jelas daripada biasanya. Gesekan sepatuku. Embusan angin di antara dedaunan.
Ketika aku merayap ke pintu belakang, jangkrik-jangkrik berhenti mengerik, sama tiba-tibanya seperti
waktu mulai tadi. Kuintai ke dalam melalui jendela dapur. Satu-satunya sumber cahaya datang dari
lampu redup di atas kompor.
Kuputar kenopnya dan kudorong pintu dapur. Pintu itu terbuka dengan mudah.
Kudorong lebar-lebar, lalu aku menyelinap masuk. Lantai berlapis linoleum berdecit di bawah injakan
kakiku.
Terdengar suara musik dari bagian depan rumah. Suara keras musik rock.
Bagus, pikirku. Mungkin itu berarti Kent hanya sendirian di rumah. Dia takkan menyetel musik sekeras
itu di lantai bawah kalau orangtuanya di rumah.
Mataku menyapu ruang dapur. Berhenti di tempat pisau di atas meja formika.
Kuseberangi dapur, kuperhatikan pisau-pisau yang ada di tempat pisau itu, lalu kucabut sebilah pisau
dapur bermata panjang.
Akan kupaksa dia bicara. Akan kubuat dia percaya bahwa aku akan menggunakan pisau ini kalau dia
tidak mau bicara tentang Lucy. Kalau dia tidak mau menceritakan semua yang diketahuinya.
Pisau itu terasa berat. Kurang enak rasanya memegangnya. Kugeser pegangan tanganku. Aku sering
mengejek Lucy tentang tangannya yang kecil. Aku selalu bilang dia akan punya tangan bayi sepanjang
hidupnya.
Sekarang aku berharap aku punya tanganku sendiri. Tanganku yang besar berjari-jari panjang lebih kuat
daripada tangannya. Tangan asliku akan lebih mantap memegang pisau dapur ini.
Aku menarik napas dalam, lalu bergerak perlahan ke bagian depan rumah. Sambil berpikir keras
bagaimana aku akan memainkan peran yang kurencanakan tadi.
Kuputuskan aku akan bertingkah gila-gilaan. Aku akan pura-pura tidak waras. Aku akan mengacungkan
pisau ini tinggi-tinggi. Aku akan menjerit keras-keras. Akan akan membuatnya memberitahuku ke mana
Lucy pergi.
Setelah Kent menceritakan apa yang perlu kuketahui, aku akan minta maaf. Aku akan minta bantuannya.
Akan kukatakan padanya bahwa aku tidak sabar ingin mendapatkan tubuhku kembali.
Musik terdengar semakin keras sementara aku berjalan sepanjang gang di dalam rumah.
Kuacungkan pisau tinggi-tinggi sambil melangkah ke ruang depan. "Kent" Ini aku. Nicole. Aku perlu
bicara..."
Tubuh Kent terbaring tertelentang di lantai, kaki dan tangannya terbentang lebar.
Mulutnya sudah kaku, terbuka lebar membentuk huruf O. Mata birunya menatapku tanpa sinar
kehidupan.
Ketika kubuka lagi mataku beberapa saat kemudian, mata biru Kent masih menatapku. Sementara aku
memandang ketakutan, salah satu kelopak matanya melorot, sampai tertutup, sehingga seperti sedang
mengedipkan sebelah mata.
Kupejamkan mataku. Kukedipkan berkali-kali. Berharap, berdoa, agar waktu kubuka lagi, kepala itu akan
lenyap dari pandangan. Akan kembali ke tubuh Kent.
Tubuhnya terbaring tenang di lantai seakan sedang tidur sebentar. Kepalanya menatap dingin ke arah
tubuhnya sendiri.
Aku berbalik dari tubuh Kent yang tanpa kepala. Aku melihat ke jendela.
"Oh!" jeritku ketika kulihat dua wajah di kaca jendela. Dua wajah serius polisi berpakaian kelabu.
Mereka menatapku. Menatap mayat tanpa kepala di lantai yang berlumuran darah. Menatap pisau
dapur yang masih kupegang erat- erat.
BAB 14 DUA wajah itu lenyap dari jendela.
Kubiarkan pisau terlepas jatuh dari tanganku. Berdenting di lantai, mendarat di samping tangan Kent
yang terulur.
Sementara aku berjalan mundur dari ruang depan dengan tubuh gemetaran, kudengar pintu depan
dibuka orang.
"Tapi Lucy yang membunuh mereka semua!" aku ingin berteriak. "Bukan aku yang kalian cari! Tapi
Lucy!"
Tapi aku terlalu ketakutan sehingga tak sepotong suara pun keluar dari mulutku.
Aku sampai di dapur persis saat polisi yang satu lagi masuk lewat pintu dapur. "Nicole"jangan lari,"
katanya lembut. Kedua tangannya tergantung di samping tubuh. Apakah dia bawa pistol" Apakah dia
sedang akan mencabut pistolnya"
"Tidak!" jeritku, berputar keluar dari dapur. Ke gang belakang yang sempit. Menuruni tangga ke ruang
bawah tanah, melompati anak tangga dua-dua sekaligus.
Aku mengenal rumah ini. Aku sering diundang ke pesta-pesta Kent. Aku tahu aku bisa lari. Kalau aku
cukup cepat.
Tapi aku sudah menyeberangi ruang bawah tanah. Melewati gang sempit menuju ke ruang perapian.
Sambil terengah-engah, aku masuk ke ruang penyimpanan batu bara. Lantainya masih dipenuhi debu
hitam dari zaman batu bara disimpan di sini untuk bahan bakar perapian.
Naik lewat peluncur batu bara, sepatuku terpeleset-peleset. Aku tahu pintu kayu di atas tidak pernah
dikunci. Dengan entakan keras, kudorong pintu dengan dua tangan.
Aku merayap ke luar. Lututku tergores kusen pintu. Tanpa menghiraukan rasa sakit yang naik-turun
merayapi kakiku, aku menghirup napas dalam dan memandang ke sekeliling halaman belakang yang
gelap.
Mungkin tidak. Mereka akan menangkapku sebelum aku bisa masuk mobil dan menghidupkannya.
Lari. Lari melewati halaman-halaman belakang rumah yang gelap. Sambil membungkuk rendah-rendah.
Menyembunyikan tubuhku sedapat mungkin.
Tak seorang pun mengejarku. Aku yakin akan hal itu. Pasti akan kudengar suaranya di hutan yang sunyi
ini.
Aku tadi berlari terus ke Fear Street. Lari tanpa menengok ke kiri-kanan. Dunia bagaikan bayangan samar
bergerak ke belakang. Melewati halaman-halaman belakang dan gang-gang kecil dan gelap,
menyeberangi jalan-jalan yang sudah sepi, melewati rumah-rumah yang kukenal baik tapi sekarang
terlihat asing dan memusuhiku.
Seluruh dunia seakan memusuhiku sekarang. Bahkan lebih buruk daripada itu. Mengancamku.
Jadi aku tidak ragu-ragu ketika sampai di hutan Fear Street. Kulupakan semua cerita dan legenda seram
tentang jalan dan hutan ini yang kudengar sejak aku masih kecil. Kisah-kisah itu tidak membuatku takut
lagi sekarang.
Aku menerobos jalinan pepohonan dan semak-semak. Mendengarkan. Mendengarkan baik-baik sambil
berlari, kalau-kalau ada orang mengejarku. Kedua orang berwajah kecut yang ingin menangkap dan
membawaku kembali"menangkapku atas pembunuhan yang dilakukan hanya oleh tubuhku.
Ketika dinding itu sudah menjulang tinggi di depanku, seluruh kekuatanku terasa habis. Aku tahu tidak
bisa lari lebih jauh.
Aku duduk, tersengal-sengal, di depan dinding itu. Bersandar ke situ. Memejamkan mata. Menunggu
sampai napasku teratur kembali. Sampai denyut nadiku berhenti mengentak-entak.
Membayangkan dia di kamarnya malam-malam, merencanakan semua ini. Menyusun rencana untuk
membunuh ibu dan ayahnya. Serta Kent. Mencari cara membebaskan diri dari tanggung jawab
pembunuhan keji itu.
Mengapa, Lucy" Aku tahu dia memang punya masalah dengan kedua orangtuanya. Aku tahu dia
menganggap kedua orangtuanya terlalu keras. Aku tahu Mr. dan Mrs. Kramer tidak ingin Lucy terlalu
serius dengan Kent. Mereka sebetulnya menyukai Kent. Tapi mereka berpikir Lucy dan Kent menjadi
terlalu serius dalam waktu yang terlampau cepat.
Karena itu Lucy sering melawan dan bertengkar dengan kedua orangtuanya.
Tapi anak mana yang tidak pernah melawan atau bertengkar dengan orangtuanya"
Itu sudah pekerjaan sehari-hari orangtua dan anak SMU. Sudah merupakan bagian hidup normal. Bukan
bagian yang menyenangkan, tapi sudah umum.
Dan mengapa dia juga membunuh Kent" Kent, yang sangat menyayanginya, lebih dari siapa pun di
dunia. Kent, yang selalu baik dan penuh pengertian. Dan menyenangkan.
Kent. Kent. Kusebut namanya dalam hati berulang kali. Kubayangkan dia masih hidup.
Aku tidak ingin membayangkannya dalam keadaan seperti yang kulihat malam ini di ruang depan
rumahnya. Aku tidak ingin membayangkan tubuhnya yang terkapar, dan di seberang ruangan, kepalanya
dengan mulut terbuka lebar dan mata berkedip sebelah.
Aku ingin melihatnya berjalan di ruangan itu dengan tubuhnya yang atletis, langkahnya yang atletis,
senyumnya yang penuh percaya diri, mata birunya yang bersinar-sinar. Aku ingin melihat rambut
pirangnya melambai-lambai tertiup angin seperti waktu kami bertiga bermain lempar-lemparan Frisbee
ketika piknik di Shadyside Park.
Aku ingin mendengar suaranya. Mendengar tawanya yang riang.
Takkan pernah lagi, kataku dalam hati, menahan sedu-sedan. Kusandarkan kepalaku ke dinding batu
yang dingin, membayangkan Kent hidup dan gembira.
Membayangkan Lucy. Di tubuhnya sendiri. Bukan di tubuhku. Bukan di tubuh yang dicurinya dariku
untuk melakukan kejahatan sadis.
Kenapa, Lucy" Aku selalu baik padanya. Bahkan waktu dia sedang jahat padaku. Bahkan waktu dia
merasa lebih hebat dariku karena punya pacar sedang aku tidak. Tidak pernah kuhiraukan sifatnya yang
seperti itu. Tidak pernah kuhiraukan sifatnya yang kadang-kadang angkuh dan dingin.
Karena aku sahabatnya. Karena aku ingin selalu dekat dengannya bila ia membutuhkanku.
Dan waktu Lucy mengalami kecelakaan mobil, aku di rumah sakit setiap hari. Aku satu-satunya
temannya yang datang setiap hari, tanpa melewatkan sehari pun. Satu-satunya temannya yang tidak
pernah kehilangan harapan.
Bahkan ketika para dokter sudah tidak punya harapan, aku tetap teguh. Aku tahu Lucy akan melewati
masa kritisnya. Aku tidak pernah kehilangan harapan, tidak pernah kehilangan keyakinanku.
Lucy sembuh, dan aku di sana waktu kami semua tahu dia akan sembuh.
Di tengah kerancuan pikiranku, aku berusaha memecahkan misteri peristiwa yang menimpaku di hari
terpanjang selama hidupku ini. Kupejamkan mataku. Aku lelah, kehabisan tenaga.
Aku belum makan apa-apa sejak makan siang tadi. Perutku keroncongan, tapi aku tidak lapar.
Kuperhatikan pakaianku. Pakaian Lucy. Celana ketatnya robek dan kotor. Rok pendeknya kusut.
Sambil menggeleng, aku mengambil dompet itu. Ini dompetku atau dompet Lucy"
Kuangkat dompet itu, kuperhatikan di bawah seberkas cahaya bulan yang menembus di celah-celah
pepohonan.
Dompetku. Kubuka. Aku tidak tahu mengapa. Apa yang ingin kutemukan"
Kutepuk nyamuk yang menggigit lenganku. Dompet itu jatuh ke tanah. Ketika aku membungkuk
mengambilnya, muncul sebuah ide.
Tapi kalau berhasil... Kurogoh dompet itu. Sulit melihat dengan jelas. Dan tanganku gemetaran gugup.
Kumasukkan lagi barang-barang yang lain ke dompet, kututup ritsletingnya, dan kumasukkan lagi
dompet itu ke tas pinggang. Lalu kuangkat foto itu ke depan wajahku untuk menelitinya di bawah
cahaya redup.
Rambut pirangnya ditarik kencang dan diikat erat ke belakang. Tapi segumpal rambut lepas dari ikatan
dan mencuat di samping jidatnya.
Lampu kamera memantul dari mata Lucy, membuatnya terlihat seperti berkilau-kilau. Tapi senyumnya
miring. Dan ada noda kecil di dagunya.
Lucy sangat membenci foto itu, tak ada teman yang diberi foto itu. Tapi dia memberiku satu"dengan
syarat harus kusimpan dan tidak boleh kuperlihatkan pada siapa pun.
Sekarang, sambil meneliti foto itu, aku bangkit berdiri. Kulupakan otot-ototku yang nyeri dan kuhela
tubuhku naik ke atas dinding.
"Uh!" aku berusaha menjaga keseimbanganku. Bagian atas dinding sangat sempit dan tidak rata.
Mungkin"siapa tahu"keajaiban itu bisa terjadi dengan menggunakan selembar foto. Dan tubuh kami
akan saling tertukar kembali. Dan aku akan jadi Nicole lagi.
Kupegang foto Lucy erat-erat dengan tangan kanan. Kuulurkan tangan itu ke samping seakan-akan aku
berpegangan tangan lagi dengan Lucy.
Lalu aku melompat turun. BAB 15 AKU mendarat dengan kedua belah kakiku di tanah lembek.
Foto Lucy masih terpegang erat di tanganku. Tangan Lucy. Tangan Lucy yang bulat kecil.
Itu sudah cukup untuk mengetahui bahwa rencanaku gagal. Tapi kuteliti juga diriku, berharap aku telah
berubah menjadi diriku sendiri lagi.
Tapi tidak. Aku masih memakai sepatu Lucy, celana ketatnya, yang sekarang sudah kotor dan robek, juga
rok pendeknya. Kucengkeram rambutku. Masih rambut Lucy, lebih pendek dan lebih halus daripada
rambutku.
Lucy. Lucy. Lucy. Harus ada Lucy betulan di sini agar aku bisa mendapatkan kembali tubuhku.
Aku menguap. Lelah. Tiba-tiba terasa betapa lelah diriku. Setiap otot di tubuhku terasa sakit. Kepalaku
berdenyut-denyut. Bahkan untuk membuka mata saja perlu usaha keras.
Sambil menguap lagi, aku menurunkan tubuhku ke tanah lembap. Aku bersandar ke dinding dan
memejamkan mata. Dinding batu yang dingin terasa menekan punggung dan belakang kepalaku.
Sambil menghela napas aku merebahkan diri. Dan aku tertidur lelap tanpa mimpi.
Kuangkat kepalaku, kupicingkan mata, silau terkena cahaya matahari pagi. Seekor kelinci cokelat
memandangku penuh curiga. Hidungnya kembang-kempis, telinganya tegak ke langit.
Sambil mengerang aku duduk. Kelinci itu secepat kilat berbalik dan lenyap tanpa suara ke tengah
rumput tebal.
Kuusap lenganku untuk menyingkirkan tanah dan sehelai daun basah. Punggungku kaku karena tidur di
tanah. Tenggorokanku terasa kering. Aku ingin menggosok gigi, menghilangkan rasa masam di mulutku.
Waktu aku bangkit berdiri, belasan pikiran muncul sekaligus di kepalaku. Tidur telah menjernihkan
otakku. Tapi kini pertanyaan- pertanyaan menakutkan kembali menghantui.
Mom dan Dad pasti kebingungan, pikirku. Mereka pasti bingung dan panik memikirkan di mana aku
berada.
Apakah Lucy pulang ke rumahku" Kalau ya, mungkin orangtuaku tidak mencemaskanku. Mereka akan
berangkat kerja pagi ini, mengira Nicole anak mereka aman-aman saja.
Kusapu rambut yang jatuh ke wajahku. Seekor kumbang besar hitam bermalam di rambutku tadi malam.
Kumbang itu jatuh ke tanganku. Kulemparkan ke tanah.
Rupaku berantakan, pasti. Aku harus mandi. Aku harus ganti pakaian bersih.
Kedua orangtuaku berangkat kerja pukul setengah delapan tepat. Setelah itu akan mudah menyelinap
masuk ke rumah dan berganti pakaian bersih.
Pakaianku akan agak kebesaran di tubuh Lucy yang kecil. Tapi aku dan dia pernah saling tukar beberapa
barang, termasuk pakaian, sebelum ini.
Kuregangkan tubuhku, mencoba menghilangkan rasa pegal-pegal. Lalu aku berjalan menembus hutan
menuju ke jalan.
Pagi itu cuaca panas agak berkabut. Udara terasa berat tanpa angin. Embun pagi membasahi sepatuku
sementara aku berjalan di rerumputan.
Aku tidak berjalan di jalan, tapi menyelinap merunduk-runduk melalui halaman-halaman depan rumah
orang dan gang-gang kecil. Segulung koran pagi di depan sebuah rumah membuatku berhenti.
Kutengok ke rumah itu. Tak tanda-tanda gerakan orang di dalam. Kuambil koran itu.
Kubuka halaman dalam koran itu. Dua lembar iklan berwarna-warni jatuh ke tanah. Kucari-cari di
halaman berikutnya. Lalu halaman berikutnya lagi.
Aku heran. Kulipat koran itu dan kuletakkan lagi di tempatnya. Aku menengok lagi ke arah rumah. Tak
ada orang memperhatikanku dari jendela.
Apakah polisi sengaja menyembunyikan berita itu sampai mereka berhasil menangkapku"
Mungkinkah belum ada orang lain yang menemukan mayat Mr. dan Mrs. Kramer"
Mungkin juga, pikirku. Tapi kedua polisi itu telah melihat mayat Kent. Dan mereka melihatku berdiri di
dekat mayat Kent dengan pisau dapur di tanganku.
Masuk akal. Sama masuk akalnya dengan semua yang terjadi padaku sejak kemarin.
Kulihat mobil orangtuaku mundur keluar dari jalur masuk ketika aku berbelok di tikungan. Aku
merunduk sembunyi di balik batang pohon maple besar dan melihat mereka pergi.
Ayahku tidak memakai jas birunya yang biasa. Ia terlihat tidak rapi. Wajah Mom tampak cemas. Aku
tidak tahu apa yang harus kulakukan. Urusan itu nanti saja.
Ingin sekali aku memanggil mereka, lari mendekati mereka. Berteriak, "Ini aku, Mom dan Dad! Ini aku!
Aku tahu aku tak kelihatan seperti aku. Tapi ini aku!"
Aku ingin memeluk mereka erat-erat. Dan bercerita pada mereka mengenai apa yang terjadi. Bercerita
pada mereka tentang kesadisan yang kulihat. Bercerita pada mereka tentang pembunuhan yang
dilakukan Lucy dengan menggunakan tubuhku.
Kedua orangtuaku orang-orang yang praktis dan memakai akal sehat. Mereka cerdas, tapi tidak punya
imajinasi.
Melihat mereka berlalu membuatku semakin putus asa dan takut. Aku menyelinap masuk rumah melalui
pintu dapur. Aku heran mereka membiarkan pintu dapur tak terkunci. Lalu aku pergi ke lantai atas.
Aku mandi lama-lama. Kucuci rambutku dengan sampo tiga kali. Rasanya ingin aku berada di bawah
pancuran air hangat itu selama-lamanya. Begitu hangat dan menyegarkan.
Tangisku hampir meledak ketika aku masuk ke kamarku. Kamarku terlihat cantik dan rapi. Tempat
tidurnya rapi. Barang-barang di atas mejaku sudah diatur rapi.
Kupakai jins belel dan kaus putih. Kusikat rambutku"rambut Lucy"ke belakang dan kuikat jadi buntut
kuda.
Kenapa aku mau saja diajak bertukar tubuh dengan Lucy" Apakah aku begitu tidak bahagianya" Amat
sangat tidak bahagia"
Ketika menatap cermin itu, dua wajah lain terbayang di benakku. Margie dan Hannah.
Margie dan Hannah tahu ke mana Lucy pergi.
Mereka pasti tahu. Mereka begitu bersemangat menghalangiku mengejar Lucy, begitu bersemangat
mencegahku menemukan Lucy.
"Aku mau ke sekolah," kataku keras-keras. "Akan kucari Margie atau Hannah. "Akan kupaksa mereka
bercerita."
Kutengok jam di meja kecil di samping tempat tidurku. Pukul delapan lewat sedikit. Sekolah mulai pukul
08.20. Masih ada cukup waktu untuk ke sekolah dan mencari mereka.
Aku tidak ingin pergi dari rumahku. Aku tidak ingin pergi dari kamarku.
Kubawa semua uang yang kusimpan di laci atas"lima dolaran dan satu dolaran, jumlahnya kira-kira
empat puluh dolar"lalu kumasukkan ke saku jinsku. Di dapur kuambil sepotong Pop Tart rasa ceri dari
kulkas dan kumakan dingin-dingin. Lalu kuteguk jus jeruk langsung dari kartonnya. Kuambil satu Pop Tart
lagi untuk di jalan.
Lalu aku keluar rumah, tak lupa kututup pintu dapur rapat-rapat.
Wajah-wajah mereka melayang-layang di depanku sementara aku bergegas ke sekolah. Margie ada di
kelasku. Hannah" Aku tidak tahu. Kalau tidak salah kelasnya di lantai dua di dekat ruang musik.
Berjalan cepat, dengan jantung berdetak keras, aku membelok di tikungan Park Drive. Tembok depan
gedung sekolah sudah terlihat.
Sebagian besar anak sudah di dalam. Tapi beberapa anak yang datang agak terlambat tampak bergegas
masuk melalui pintu depan.
Aku berlari-lari kecil ke pintu masuk. Belum sampai di sana kuhentikan langkahku ketika kulihat dua
sosok tubuh berpakaian kelabu di kiri-kanan pintu.
BAB 16 AKU cepat-cepat berputar. Melangkah kembali ke jalan. Bukan lari. Tapi melangkah lebar-lebar.
Bus North Shadyside berhenti di depan sekolah. Aku cepat-cepat menghampiri bus itu, bermaksud
meloncat masuk.
Tapi bus itu penuh anak-anak sekolah yang baru sampai. Mereka antre keluar satu per satu,
menghalangiku.
Apakah kedua polisi itu mengejarku" Aku tidak berani menengok ke belakang.
Cepat, cepat! kataku dalam hati menyuruh anak-anak itu cepat-cepat melompat turun dari bus.
Untunglah tak seorang pun teman yang mengenalku ada di bus itu.