Saya amati tamu ini hati-hati. Berkumis tebal. Kancing baju bagian
atasnya ternganga. Dadanya bertato gunting menganga dan tengkorak
kepala di tengahnya. Garis bibirnya yang tebal melengkung ke bawah.
Sangar sekali kesannya.
”Baru pindah, ya!” terdengar suaranya berat, sedikit parau, tanpa ada
senyum. Dari mulutnya tercium bau alkohol.
”Kamu ingin pisau dapurmu bermanfaat bagi orang lain?” dengan kasar
ia mengajukan pertanyaan yang aneh dan bernada kasar. Rautnya
bengis, garis bibir seperti menikam ke hulu hati saya. Kami masih
berdiri di teras, saling berhadapan. Di kepala saya mengira-ngira seperti
apa yang dimaksud ”pisau bermanfaat bagi orang lain” itu.
”Bagaimana?”
Setelah itu, saya merasakan betapa sore ini hidup mulai tidak nyaman.
Bagaimana seandainya laki-laki sangar ini datang setiap sore untuk
pertanyaan yang sama.
”Mulai besok pagi, sekali setiap bulan pada tanggal yang sama, pisaumu
letakkan di dekat pintu pagar. Jangan lupa, masukkan dalam amplop
uang Rp 10.000. Kalau tidak, berarti kamu tidak ingin menjadikan
pisaumu bermanfaat bagi orang lain…. Itu artinya cari masalah!”
katanya dengan raut muka yang tegang.
Saya menarik napas. Jantung saya bagai mengecil oleh remasan tatapan
mata dan suaranya yang berat. Saya tidak ingin banyak tanya soal
meletakkan pisau dan uang dalam amplop besok pagi, setiap bulan pada
tanggal yang sama di dekat pintu pagar. Saya takut, pertanyaan yang
salah berakibat bencana bagi saya dan keluarga.
”Kita pindah saja. Salah-salah, orang itu bisa bunuh kita! Aku takut!
Orang seperti dia itu tidak takut polisi, tidak takut mati. Nekat!”
Memelas suara istri saya. Saya mencoba menenangkannya.
Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu dengan kasar di luar. Saya dan istri
terkejut. Si sangar itu pasti.
”Tapi, Bang?”
*
Matahari dari arah timur kembali mendatangi rumah saya. Saya
meletakkan dua pisau dapur dan sebuah amplop berisi uang Rp 10.000
di tempat yang ditunjukkan si sangar. Setelah itu, pintu saya tutup.
Diam-diam saya mengintip di balik gorden kamar depan yang sengaja
tidak dibuka lebar-lebar. Saya menunggu, kira-kira apa yang
dilakukannya pada benda itu.
Saya amati, ternyata karung yang dibawanya itu terlihat berat sekali.
Jangan-jangan itu semua pisau beberapa warga kompleks?
”Kalau setajam ini, rasa sakit disembelihnya tidak begitu menyiksa, ha-
ha-ha….”
Saya gelagapan.
Si sangar menyadari pintu terbuka, ia menoleh! Mata kami bersirobok
pandang.
Saya menggeleng.
”Aku ingin anak dan istriku hidup tenang. Karena itulah, setiap rumah
di kompleks ini, yang jumlahnya lebih seratus rumah, harus mengasah
pisaunya sekali sebulan denganku. Bayarannya Rp 10.000. Kalau tidak
mau, orang itu sama artinya menyuruhku ke penjara lagi….”
”Pisau tajam itu penting kita miliki. Istrimu, sebagai ibu rumah tangga,
misalnya. Memotong sayur, kalau pisaunya tajam, tentu sayur tidak
merasa sakit ketika dipotong atau disayat-sayat. Kacang panjang,
buncis, kangkung, wortel, ketimun, ketika dipotong menggunakan pisau
tajam, ia mungkin akan tersenyum. Karena tidak menyakitkan baginya.
Begitu juga kentang, bawang, dan sebagainya. Dalam hal ini, kasih
sayang perlu dimiliki oleh pisau. Bentuknya dengan menyiapkan mata
pisau yang tajam. Iya, toh?”