Anda di halaman 1dari 6

Tuba

Post: 04/24/2006 Disimak: 100 kali


Cerpen: Damhuri Muhammad
Sumber: Kompas, Edisi 04/23/2006

Tersiar kabar perihal bupati yang mati mendadak berselang beberapa


saat setelah meresmikan peletakan batu pertama proyek pembangunan
masjid di kecamatan Bulukasap. Saat ditemukan, mayatnya terkapar di
lantai kamar dalam keadaan mulut berbusa, seperti korban overdosis,
lidah terjulur hingga dagu dan mata terbelalak serupa orang mati
setelah gantung diri. Amat menakutkan. Para sesepuh adat, alim ulama,
dan karib kerabat yang berdatangan dari nagari Sungai Emas (kampung
kelahiran almarhum bupati) baru saja menginjakkan kaki di rumah
duka. Kehadiran mereka langsung disambut ratap haru dan isak sedu
istri almarhum yang tampak sangat terpukul karena kematian suaminya
yang begitu tiba-tiba. Tanpa firasat, juga tanpa wasiat.

Tadi pagi masih segar bugar, kini sudah terbujur kaku jadi mayat…."

"Istighfar kak, istighfar! Ikhlaskan saja kepergian beliau!" begitu bujuk


seorang tokoh masyarakat membendung kesedihan.

"Salah apa yang telah diperbuat suami saya? Tidak adil! Sungguh tidak
adil! Ini perbuatan biadab…."

"Sudahlah kak! Mungkin ini sudah jalannya."

Lusianna datang agak terlambat. Jenazah ayahnya sudah rampung


dikafani, tak lama lagi akan segera disembahyangkan, sebelum diusung
ke pemakaman. Raut muka perempuan itu tampak murung dan kecewa.
Sebab, sudah tak mungkin lagi ia melepaskan tali pengebat kain kafan
sekadar memberi kecupan di kening ayahnya, sebagai ciuman yang
terakhir sebelum jenazah itu dikuburkan.

"Jadi pejabat ndak usah terlalu jujur, yah!" begitu kelakar Lusi kepada
almarhum dua tahun lalu. Sesaat sebelum ia berangkat ke Mellbourne,
menyelesaikan program doktor, bidang ilmu politik.

"Maksudmu?"

"Lihatlah jalan umum kampung kita! Persis seperti kubangan kerbau.


Rusak parah dan sudah tak layak tempuh. Nah, mumpung ayah sedang
memegang jabatan bupati, ndak ada salahnya ayah membuat proyek
pelebaran jalan. Bila perlu diaspal beton sekalian!" jelas Lusi, "Hitung-
hitung proyek itu dapat menunjukkan rasa terima kasih ayah pada
kampung kelahiran sendiri."

"Tapi, tidak segampang itu, Lusi! masih banyak daerah lain yang jauh
lebih parah kondisinya"

"Utamakan dulu pembangunan di nagari Sungai Emas, kampung kita.


Jangan lupa! ayah bisa memenangi pemilihan bupati berkat dukungan
masyarakat di sana bukan?"

"Wah, jika ayah tidak ’pandai-pandai’. Masih saja ’lurus tabung’ seperti
ini, Lusi khawatir ayah bakal diumpat warga nagari Sungai Emas. Tapi,
semuanya terserah ayah…," ketus Lusi, agak sinis.

Sejak dilantik menjadi orang nomor satu di Kabupaten Puding


Bertuah, tak satu pun permintaan orang-orang nagari Sungai Emas
dikabulkan almarhum. Marajo Kapunduang pernah datang menghadap
ke rumah dinasnya. Bermohon kepada pak bupati, agar si Bujang Paik,
anak laki-lakinya yang tamatan es te em (STM) itu dapat diterima
bekerja sebagai satpam honorer. Permintaan yang sebenarnya tidaklah
terlalu berlebihan.
"Daripada menganggur saja, boleh ndak anak saya bekerja di sini pak?
Jadi satpam saja cukup lah!" mohon Marajo waktu itu.

"Tentu saja boleh Nduang, tapi anakmu harus mengikuti testing sesuai
prosedur yang telah ditetapkan," jawab bupati, sedikit berdiplomasi.

"Iya pak, tapi saya berharap bapak dapat membantu."

"Jika ia lulus seleksi, pasti akan diterima. Kalau saya bantu, itu artinya
kita berkolusi, mentang-mentang kita sekampung. Tidak bisa begitu
Nduang!" tegas bupati, seperti hendak mengelak.

Marajo Kapunduang amat kecewa setelah mendengar jawaban pak


bupati yang kurang mengenakkan. "Rasanya mau saya tinju saja ulu
hatinya, biar mampus!" umpatnya. Betapa tidak? Sikap pak bupati
keterlaluan. Seolah-olah Marajo Kapunduang sama sekali tidak punya
andil memenangkannya dalam pemilihan. Seakan-akan ia berhasil
menduduki kursi empuk bupati semata-mata karena reputasi sendiri.
Padahal, tanpa dukungan Marajo Kapunduang dan orang- orang nagari
Sungai Emas, ceritanya akan lain. Marajolah orang yang paling sibuk
sebelum pemilihan berlangsung, ia pontang-panting mencari bantuan
dana kampanye pada orang- orang nagari Sungai Emas yang sukses di
perantauan. Sedikit demi sedikit ia kumpulkan, lalu disumbangkan
untuk pelbagai keperluan dalam rangka mengangkat seorang putra
kelahiran nagari Sungai Emas, sebagai kepala daerah kabupaten Puding
Bertuah. Tapi, apa balasan yang telah diberikan bupati pada Marajo?
Marajo tidak menuntut yang macam-macam. Hanya meminta agar anak
laki-lakinya dipekerjakan sebagai satpam honorer di rumah dinas. Itu
saja tidak dikabulkan bupati. Ah, memalukan sekali…!

Almarhum memang sangat berbeda dengan pejabat bupati terdahulu.


Warga nagari Taeh (desa kelahirannya) amat membanggakan beliau.
Selama menjabat, nagari Taeh yang dulunya udik itu (lebih udik dari
Sungai Emas), tiba-tiba saja berubah menjadi kota. Di sana dibangun
masjid agung dengan biaya ratusan juta. Tak ada jalan umum yang tidak
diaspal beton, jaringan telepon dipasang, jalur transportasi dari dan ke
Taeh lancar. Anak-anak muda yang menganggur direkrut menjadi
anggota polisi pamong praja, guru-guru yang sudah puluhan tahun
menjadi tenaga honorer diluluskan dalam seleksi calon pegawai negeri
sipil. Hingga kini, meski tidak menjabat bupati lagi, masyarakat tetap
saja mengingat jasa-jasa dan pengabdian beliau, menghormati beliau.
Meski sudah pensiun, beliau tetap bupati di hati warga Nagari Taeh.

Sayang sekali, almarhum tidak mau bercermin pada bupati


sebelumnya. Semestinya beliau memperjuangkan guru-guru honorer di
kampung Sungai Emas agar lulus menjadi pegawai negeri sipil. Warga
nagari Sungai Emas tentu saja tidak akan melihat bantuan tersebut
sebagai praktik nepotisme yang memalukan. Lagi pula, mana ada bupati
yang diturunkan dari jabatan hanya gara-gara meluluskan guru-guru
honorer dalam seleksi calon pegawai negeri? Tapi, dasar orang jujur,
putra daerah Sungai Emas itu tidak mau memperjuangkan orang-orang
kampungnya sendiri. Sejak itulah, bupati mulai dimusuhi. Tak dihormati
lagi. Bupati dibenci karena ia terlalu jujur. Terlalu lurus, seperti tabung.

Apa boleh buat! Kini, bupati sudah tiada, hanya tinggal nama. Nagari
Sungai Emas tetap saja udik dan makin terbelakang. Jalur transportasi
dari dan ke Sungai Emas sulit. Jalan-jalan kampung dibiarkan saja rusak
parah, tak layak tempuh. Guru-guru tetap saja menjadi tenaga honorer,
entah sampai kapan. Anak-anak muda menganggur, tak jelas
juntrungan. Judi sabung ayam menjadi permainan undi nasib yang amat
menggiurkan. Ironis! Namanya Sungai Emas, seolah-olah ada sungai
yang berlimpah-ruah kandungan emasnya. Seolah-olah negeri yang
kaya sumber daya alam, padahal setiap hari orang-orang berkeluh
kesah karena hidup susah. Banyak anak-anak cerdas terlahir di sana,
tapi tak mampu melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Tak ada
biaya. Maka, jalan satu-satunya adalah; pergi merantau, mengadu
peruntungan ke Jakarta. Ada yang menjadi pedagang kaki lima, tukang
jahit, petugas parkir, satpam, kuli bangunan, sebagian ada pula yang
mencopet (jika itu dapat disebut pekerjaan).
Genap tujuh hari kematian bupati. Namun, penyelidikan aparat
kepolisian belum kunjung berhasil menemukan titik terang tentang
sebab-musabab kematian tragis yang meresahkan itu. Tidak ditemukan
bekas-bekas penyiksaan di tubuh almarhum, tidak pula penyakit kronis.
Kematian yang misterius. Sementara itu, kedai-kedai kopi di seluruh
penjuru perkampungan Sungai Emas tak pernah reda dari perbincangan
tentang sosok bupati yang sok suci, sok jujur, lurus tabung, tapi kini
sudah mati.

"Mestinya ndak usah dibunuh! Diberi penyakit saja sudah cukup


lah…," kata Sutan Pagarah sembari mengaduk-aduk kopi pekat yang
baru saja tersuguh untuknya.

"Penyakit apa pula yang sutan maksud?" tanya kak Pi’ah, janda tua
pemilik kedai kopi, pura-pura tidak paham.

"Ditambah saja lubang lancirit*-nya. Ua-ha-ha-ha…."

"Ah, kasar benar kelakar sutan," balas kak Pi’ah, agak kesal.

Sebenarnya, orang-orang nagari Sungai Emas tidak perlu menunggu


penjelasan polisi menyangkut sebab-sebab kematian almarhum bupati.
Percuma saja aparat hukum mampu mengusut dan menuntaskan kasus
itu. Tak bakal berhasil. Sebab, tabi’at pembunuhan keji itu tidak kasat
mata. Lagi pula, di nagari Sungai Emas, musibah kematian macam itu
sudah lumrah dan kerap terjadi. Meski diam-diam, hampir semua warga
sepakat berkesimpulan bahwa bupati mati karena di-tuba. Dibunuh
secara halus melalui kekuatan gaib. Namun, tidak mungkin disebutkan
siapa pelakunya. Bila ada yang berani menyebutkan nama pembunuh
bupati, itu sama saja artinya dengan bunuh diri. Kenekatan macam itu,
hanya akan mengundang musibah baru, kematian selanjutnya, bisa saja
jauh lebih mengerikan.

"Siapa lagi yang bakal kita calonkan untuk pemilihan tahun depan,
Tuk?" tanya Marajo Kapunduang pada Datuk Rangkayo, sesepuh adat
paling disegani di nagari Sungai Emas. Sejenak si Datuk menerawang,
seperti mengingat-ingat seseorang sembari mengepul-ngepulkan asap
rokok yang hampir memuntung.

"Oh, ada Nduang! Namanya Drs Mustajir Adimin. Putra tertua


mendiang haji Adimin Ar-Raji. Kabarnya, kini ia pejabat eselon di
Jakarta. Bagaimana menurutmu?" balas Datuk Rangkayo, ganti bertanya.

"O, Iya. Lupa saya. Tapi, orangnya tidak ’lurus tabung’ seperti
almarhum bukan?"

"Hmn … kalau yang ini agak lain Nduang. Bila kelak ia memenangi
pemilihan, hutan-hutan milik nagari Sungai Emas ini pun bisa
dilelangnya. Bagaimana menurutmu?"

"Nah, itu dia yang kita cari selama ini," jawab Marajo Kapunduang,
mulai bersemangat.

"Tapi, bila nanti ia hanya menumpuk kekayaan untuk kepentingan diri


sendiri, apa yang akan kita lakukan?" lagi-lagi Datuk bertanya, kali ini
sambil bergurau.

"Putuskan saja tali jantungnya …."

Kelapa Dua, 2006.

Catatan:
*Dubur

Anda mungkin juga menyukai