Tadi pagi masih segar bugar, kini sudah terbujur kaku jadi mayat…."
"Salah apa yang telah diperbuat suami saya? Tidak adil! Sungguh tidak
adil! Ini perbuatan biadab…."
"Jadi pejabat ndak usah terlalu jujur, yah!" begitu kelakar Lusi kepada
almarhum dua tahun lalu. Sesaat sebelum ia berangkat ke Mellbourne,
menyelesaikan program doktor, bidang ilmu politik.
"Maksudmu?"
"Tapi, tidak segampang itu, Lusi! masih banyak daerah lain yang jauh
lebih parah kondisinya"
"Wah, jika ayah tidak ’pandai-pandai’. Masih saja ’lurus tabung’ seperti
ini, Lusi khawatir ayah bakal diumpat warga nagari Sungai Emas. Tapi,
semuanya terserah ayah…," ketus Lusi, agak sinis.
"Tentu saja boleh Nduang, tapi anakmu harus mengikuti testing sesuai
prosedur yang telah ditetapkan," jawab bupati, sedikit berdiplomasi.
"Jika ia lulus seleksi, pasti akan diterima. Kalau saya bantu, itu artinya
kita berkolusi, mentang-mentang kita sekampung. Tidak bisa begitu
Nduang!" tegas bupati, seperti hendak mengelak.
Apa boleh buat! Kini, bupati sudah tiada, hanya tinggal nama. Nagari
Sungai Emas tetap saja udik dan makin terbelakang. Jalur transportasi
dari dan ke Sungai Emas sulit. Jalan-jalan kampung dibiarkan saja rusak
parah, tak layak tempuh. Guru-guru tetap saja menjadi tenaga honorer,
entah sampai kapan. Anak-anak muda menganggur, tak jelas
juntrungan. Judi sabung ayam menjadi permainan undi nasib yang amat
menggiurkan. Ironis! Namanya Sungai Emas, seolah-olah ada sungai
yang berlimpah-ruah kandungan emasnya. Seolah-olah negeri yang
kaya sumber daya alam, padahal setiap hari orang-orang berkeluh
kesah karena hidup susah. Banyak anak-anak cerdas terlahir di sana,
tapi tak mampu melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Tak ada
biaya. Maka, jalan satu-satunya adalah; pergi merantau, mengadu
peruntungan ke Jakarta. Ada yang menjadi pedagang kaki lima, tukang
jahit, petugas parkir, satpam, kuli bangunan, sebagian ada pula yang
mencopet (jika itu dapat disebut pekerjaan).
Genap tujuh hari kematian bupati. Namun, penyelidikan aparat
kepolisian belum kunjung berhasil menemukan titik terang tentang
sebab-musabab kematian tragis yang meresahkan itu. Tidak ditemukan
bekas-bekas penyiksaan di tubuh almarhum, tidak pula penyakit kronis.
Kematian yang misterius. Sementara itu, kedai-kedai kopi di seluruh
penjuru perkampungan Sungai Emas tak pernah reda dari perbincangan
tentang sosok bupati yang sok suci, sok jujur, lurus tabung, tapi kini
sudah mati.
"Penyakit apa pula yang sutan maksud?" tanya kak Pi’ah, janda tua
pemilik kedai kopi, pura-pura tidak paham.
"Ah, kasar benar kelakar sutan," balas kak Pi’ah, agak kesal.
"Siapa lagi yang bakal kita calonkan untuk pemilihan tahun depan,
Tuk?" tanya Marajo Kapunduang pada Datuk Rangkayo, sesepuh adat
paling disegani di nagari Sungai Emas. Sejenak si Datuk menerawang,
seperti mengingat-ingat seseorang sembari mengepul-ngepulkan asap
rokok yang hampir memuntung.
"O, Iya. Lupa saya. Tapi, orangnya tidak ’lurus tabung’ seperti
almarhum bukan?"
"Hmn … kalau yang ini agak lain Nduang. Bila kelak ia memenangi
pemilihan, hutan-hutan milik nagari Sungai Emas ini pun bisa
dilelangnya. Bagaimana menurutmu?"
"Nah, itu dia yang kita cari selama ini," jawab Marajo Kapunduang,
mulai bersemangat.
Catatan:
*Dubur