Anda di halaman 1dari 4

Pak Lurah Cumplung sebenarnya cuma tinggal selangkah saja memenangi pilkades di Desa

Wit Klapa Mentiyung. Sialnya, pada saat dia dan tim suksesnya gencar-gencarnya
berkampanye, tiba-tiba ia ditangkap polisi dan mesti meringkuk di sel hanya karena terjerat
kasus dana desa.

Uang negara yang diambil Lurah Cumplung sebenarnya kecil saja: cuma Rp 200 juta dari Rp
1 miliar dana yang masuk ke kampungnya. Namun, meskipun kecil, pak polisi rupanya tidak
pandang bulu. Pak Lurah Cumplung tetap ditangkap.

Itulah awal tragedi sekaligus tragedi pertama kali Lurah Cumplung selama hidupnya. Selama
52 tahun kakinya menjejakkan ke bumi, Cumplung belum pernah menemui tragedi. Kakek-
neneknya, juga ayah-ibunya, masih lengkap. Sejak kecil Cumplung tidak pernah susah.
Ayahnya, Parto Krambil, termasuk orang terpandang. Maklum, Pak Parto Krambil adalah
kepala desa yang juga punya usaha penggilingan padi, ternah ayam, dan ternah sapi. Ia lurah
terkaya sekecamatan.

Sejak SD hingga bangku kuliah, Cumplung tak pernah susah. Saat mendapatkan istri pun
sangat mudah. Siti Makanti, istri Cumplung, jatuh cinta kepada Cumplung sejak sama-sama
SMA. Kala itu Cumplung jadi ketua OSIS, sedangkan Siti Makanti sekretaris OSIS.

Mereka kuliah di universitas berbeda, di lain kota. Jalinan cinta tetap utuh sampai keduanya
jadi sarjana, lalu menikah.

Saat resepsi pernikahah Cumplung Bin Parto Krambil Vs Siti Markanti Binti Karto Ongol-
Ongol, Pak Parto Krambil nanggap wayang kulit sehari semalam suntuk. Siang harinya Ki
Sutarko dari Kutoarjo yang mendalang. Malam harinya Ki Timbul Hadi Prayitno dari
Yogyakarta yang memukau penonton dengan sabetan wayangnya.

Hingga punya anak empat, Pak Cumplung dan Bu Siti tidak pernah susah. Ia kemudian ikut
pemilihan lurah ketika Pak Parto Krambil lengser. Hasilnya: Cumplung menang pilkades!

Pesta kemenangan pun digelar dengan menggelar wayang kulit. Dalangnya Ki Entus
Susmono dari Slawi, Kabupaten Tegal. Rakyat kampung berpesta pora.

***

Selama Cumplung menjadi kepala desa, Desa Wit Klapa Mentiyung sebenarnya maju pesat.
Maklum, Desa Klapa Mentiyung wilayahnya pertaniannya luas, terutama padi dan palawija.
Selain bertani, hampir seperlima warga desa juga beniaga. Minimal para ibu rumah tanganya
berjualan di pasar. Sebagiannya lagi membuka kios dan warung kopi.

Selain itu, menggerojoknya uang dari pemerintah pusat lewat alokasi dana desa (ADD) juga
makin membuat infrastruktur jalan dan saluan irigasi di Desa Klapa Mentiyung makin bagus
Sayangnya, tak banyak warga desa yang tahu bagaimana cara Lurah Cumplung mengelola
dana desa. Salah satu yang tahu hanyalah Pak Carik Prayit. Pak Prayit yang menjadi
sekretaris desa sejak sebelum Pak Cumplung menjadi lurah, tahu persis cara Pak Cumplung
maling uang negara.

Pada Pilkades kali ini, Pak Prayit juga mencalonkan diri. Ia disebut-sebut menjadi saingan
terberat Pak Cumplung. Tapi Pak Cumplung tidak khawatir, karena semua kelompok
pengajian, semua pengurus perkumpulan pemuda, preman kampung, hingga kelompok arisan
sudah dimanjakannya selama bertahun-tahun lewat uang amplop dan proyek kecil-kecilan.

Semua anggota tim suksesnya juga sudah dibelikan sepeda motor dan hape pintar plus honor
Rp 10 juta/bulan. Semua sudah aman.

Pak Cumplung lupa bahwa pesaingnya bukan orang sembarangan.

***

Pilkades tinggal dua bulan lagi. Tapi Pak Cumplung masih di tahanan polisi. Sebagian TS-
nya sudah kabur dan loncat mendukung Pak Prayit. Sebagian kecil TS Pak Cumplung masih
meramaikan media sosial. Mereka adalah para TS yang bayarannua memang lebih besar. Dua
di antaranya adalah ketua kelompok pemuda dan ketua pengajian yang memiliki jumlah
pendukung sangat banyak.

Penduduk kampung tidak tahu apakah saat pencoblosan nanti Pak Cumplung bisa tampil atau
tidak di lapangan desa. Sebagian besar di antara warga desa sudah apatis Pak Cumplung bisa
ikut pilkades. Kalau pada saat pencoblosan Pak Cumplung tetap tidak bisa keluar, itulah
benar-benar tragedi bagi Lurah Cumplung. Dus juga berarti tragedi bagi keluarga besar Parto
Krambil.

“Oleh sebab itu, marilah kita doakan agar Pak Cumplung selamat dan tidak khilaf. Cobaan ini
memang berat, tapi kita harus yakin bahwa skenario Tuhan akan lebih sip markosip. Semoga
Pak Cumplung jadi kades lagi…” kata Amat Mesir, pada suatu sore yang hujan di RT 5 RW
III Dusun Bluluk, Desa Wit Klapa Mentiyung.

“Aamiiiiiiiiiiin!!!” jawab puluhan warga RT 5 TW III Dusun Bluluk.

*Catatan: Meskipun statusnya desa (bukan kelurahan), banyak kepala desa di Jawa Tengah
disebut Pak Lurah, bukan Pak Kades.

Setelah melewati beberapa kelokan jalan dan bertanya kepada lebih dari 33 orang, sampailah
saya di rumah Cumplung.
Cumplung, tokoh kita kali ini, baru saja selesai makan malam ketika saya sampai di depan
pintu rumahnya. Para ‘dayang-dayang’—terdiri atas pria berjenggot dan perpeci kupluk—
langsung menyingkir begitu saya duduk di kursi ruang tamu.

Pertemuan malam itu sebenarnya bukan pertama kali bagi saya dan Cumplung. Dulu saya
pernah bertemu secara tak sengaja dengan Cumplung di sebuah bandara, Sebelum kami
berpisah, Cumplung ketika itu memberikan kartu nama. Pada sisi kartu nama itu tertulis jelas
namanya: Drs. Cumplung, M.A. Lalu di bawah garis merah ukiran namanya ada keterangan
‘Konsultan Politik’–Melayani Order Segala Rupa.

Maka, meskipun lama tak bertemu dan Cumplung kini sudah jadi orang terkenal yang sering
nongol di layar kaca, saya pun sok akrab. Cumplung pun tampaknya hangat menyambut
kedatangan saya.

Setelah basa-basi agak lumayan lama, akhirnya saya mempertegas kembali maksud
kedatangan saya. Berikut hasil wawancara saya dengan Cumplung…

Saya/Oyos (O): Apakah besok pagi mas Cumplung akan memenuhi panggilan polisi
kerajaan?

Cumplung (C): Wah…ini pertanyaan sangat berbahaya…hahahahahaha…. Hmmmmm….


Mau dijawab apa enggak ya…..? (Cumplung memasang wajah seperti anak abege yang
sedang bercanda dengan kawannya). Ini pertanyaan serius?

O: Ya jelas serius dong Mas. Sebagai tokoh di Negeri Rai Munyuk, jawaban apa pun dari
Mas Cumplung pasti selalu menarik. Dan pastinya akan dianggap serius oleh publik…Jadi
bagaimana Mas, Jumat keramat besok Mas Cumplung akan memenuhi panggilan polisi
kerajaan?

C: Begini ya…saya tegaskan bahwa saya tidak akan memenuhi panggilan. Sebab subjek surat
pemanggilan itu salah. Surat ditujukan kepada Cumplung. Padahal, nama saya Drs.
Cumplung, M.A. Lalu, dalam maksud surat disebutkan bahwa saya dipanggil polisi kerajaan
karena saya diduga menerima upeti dari primpro Proyek Wel Geduwel Beh. Padahal, saya
kan dapat aliran dana bukan dari Proyek Wel Geduwel Beh.

O: Intinya Mas Cumplung tidak mau memenuhi panggilan polisi kerajaan?

C: Ya ngapain saya harus datang? Sok siiiiiiiiiiiip dan sok bersih saja itu polisi kerajaan.
Seolah-olah mereka sudah lebih malaikat dibanding malaikat…hehehehe…

O: Kabarnya keputusan Anda tidak mau datang karena dapat bisikan ghoib ya?

C: Huahahahahaha…. sampeyan ini ada-ada saja!


O: Tapi ini serius Mas… Mas Cumplung ini banyak dipuji publik sebagai orang sakti
mandraguna lho. Belum ada dalam sejarah di Negeri Rai Munyuk ini ada orang yang berani
menolak panggilan polisi kerajaan…

C: Ah, sampeyan itu bisa saja…

O: Oh ya, katanya di belakang Mas Cumplung itu banyak orang kuat sehingga Mas
Cumplung tetap tampak siiip. Kabarnya pengacara kondang dan orang-orang sakti ya yang
membisiki Anda?

C: Lha wong rumor kok dipercaya. Itu kan katanya kawan-kawan media. Sungguh. Saya ini
orang biasa saja. Saya menolak dipanggil karena subjek panggilan dan maksudnya tidak jelas.

O: Kalaupun surat itu salah, itu kan hanya masalah formalitas surat-menyurat saja….

C: Lho….Itu sangat prinsip Bung! Kalau subjeknya salah, ya semuanya akan jadi salah. Anda
misalnya namanya Oyos, lalu saya panggil Cengkir, Anda mau enggak?

O: Hahahahhaa…. Mas Cumplung ini yang mboten-mboten saja… Ya enggak


dong…hehehe… Jangankan dipanggil Cengkir, dipanggil Kelapa Bersantan pun saya tidak
mau…

C: Nah, itu Anda tahu. Makanya, saya tetap tak akan datang sampai ada kejelasan…

O: Kalau surat pemanggilan itu diganti dan isinya benar, apakah Mas Cumplung mau
memenuhi panggilan polisi?

C: Itu juga tergantung…

O: Tergantung apa Mas?

C: Tergantung waktunya. Apakah saya dipanggil datang pada Jumat keramat atau Jumat
biasa. Kalau pas Jumat keramat ya saya ogah. Apalagi kalau Jumat Pon. Itu weton saya….

(Wawancara akhirnya terhenti oleh suara guntur yang sangat keras. Tak lama kemudian hujan
deras pun turun. Saya tidak bersemangat lagi menggali informasi untuk memastikan apakah
pada Jumat keramat Cumplung mau datang ke kantor polisi. Setelah menutup obrolan
dengan basa-basi ngalor-ngidul, akhirnya saya pamit. Dalam perjalanan pulang, saya
kesulitan mereka-reka judul tulisan. Dan yang pasti, saya masih belum bisa menemukan
jawaban kenapa polisi kerajaan yang biasanga garang bisa dipermainkan oleh Cumplung).

Anda mungkin juga menyukai