Anda di halaman 1dari 14

TUGAS BAHASA INDONESIA

BIOGRAFI

MUMAHMMAD RIZKY HAIYDAR AKBAR

(XI MIPA 4/24)


IDENTITAS BUKU

JUDUL : Kisah Hidup Queeny Chang,Putri Orang


Terkaya Di Indonesia Asal Medan

PENGARANG :Agnes Davonar

PENERBIT :INTIBOOK PUBLISHER

TAHUN TERBIT :2013

JUMLAH HALAMAN :258 HALAMAN


BAB 1 :TENTANG AYAH

Nama saya Queeny Chang, tetapi orang orang lebih mengenal saya
dengan nama Tjong Foek Yin. Saya adalah putri pertama dari pernikahan ketiga
ayah saya, Tjong A fie dan Ibu saya, Lim Koei Yap. Saya lahir di Medan,
Sumatra Utara pada 1896. Ayah dikenal sebagai seorang perantau asal China
Daratan yang sukses menjadi bankir, kontraktor, dan pemilik beberapa
perkebunan pertama di Sumatra. Ayah berasal dari keluarga sederhana, beliau
adalah keturunan suku hakka dari desa kecil Meixian, di daerah Kwan Tung
bagian selatan negeri China. Di sana beliau dikenal dengan nama Tjong Fung
Nam;pemuda desa yang menjaga toko ayahnya, sebelum berganti menjadi Tjong
A Fie ketika pindah ke Medan. Saat usia Ayah menginjak tujuh belas tahun,
beliau menikah dengan gadis yang dipilihkan Nenek, yang kelak saya panggil Ibu
Lee. Genap berusia delapan belas tahun, Ayah menyusul kakaknya, Tjon Yong
Hian, ke Sumatra. Istri Ayah kemudian bertugas merawat Kakek dan Nenek
selama Ayah pergi merantau. Bekal ayah hanya sepuluh perak uang Manchu.
Kemudian ayah bekerja di toko kelontong milik Tjong Sui Fo. Sifat Ayah yang
pekerja keras dan jujur membuat usaha majikannya bisa berjalan lancar.
Kemudian Ayah diangkat menjadi kepala distrik bagi orang-orang China karena
Ayah dianggap pantas menjadi penengah masalah antara pemerintah Belanda dan
masyarakat China. Kemudian Ayah juga membuka usaha kecil-kecilan,usaha
tersebut berjalan sangat lancar. Saat Ayah ditugaskan oleh Sultan Deli untuk
mengusus tanahnya di Penang. Ayah tak sengaja berkenalan dengan seorang putri
dari keluarga Chew, akhirnya Tuan Chew pun menjodohkan Ayah dengan
putrinya, kemudian mereka menikah. Saat itu, masyarakat China sangat
bergantung pada rokok sehingga Ayah mengembangkan usaha di bidang
perkebunan tembakau. Ayah juga mengembangkan usaha di bidang perkebunan
karet. Kedua usaha tersebut berjalan sangat lancar dan memberikan keuntungan
yang sangat besar bagi Ayah. Ibu Chew meninggal akibat wabah demam
berdarah. Ayah berduka cukup lama. Sehingga Ayah pun penasaran, tanpa ia
sadari, kelak putri galak itu menjadi pendamping sampai akhir hayat hidupnya
sebagai istri.
BAB 2: TENTANG IBU

Ibu saya lahir tahun 1880 di Binjai, Sumatra. Saat menikah dengan Ayah,
usianya baru enam belas tahun, sedangkan Ayah lahir tahun 1860. Saat itu, Ayah
adalah seorang duda berusia 35 tahun. Ayah memiliki tiga anak, satu anak laki-
laki dan dua perempuan. Ibu adalah putri dari seorang tandil besar perkebunan si
Sungai Mencirim, salah satu perkebunan milik belanda di Deli. Ibu adalah gadis
yang berjiwa pemberontak dan keras. Terkadang Ibu dan saudara laki lakinya
saling adu jotos sehingga Ibu dianggap tomboi dan kasar. Hal itulah yang
membuat khawatir Kakek apabila tidak ada pria yang akan menikahi Ibu. Ayah
yang saat itu sedang mendapatkan tugas dari pemerintah Hindia Belanda unruk
memantau perkebunan, mendengar cerita tentang Ibu, Ayah jadi penasaran karena
banyak yang bilang Ibu adalah kembang desa yang menakutkan. Ayah pun
mampir ke rumah Ibu untuk berkenalan. Tidak mendapati Ibu di rumah, Ayah
malah tak sengaja bertemu dengan Ibu saat hendak pulang. Ayah langsung cinta
pada pandangan pertama. Lalu Ayah meminta tolong kepada seorang comblang
untuk menyampaikan niatnya melamar Ibu. Awalnya Ibu menolak lamaran itu
karena Ayah seorang duda yamng memiliki anak. Tapi akhirnya Ibu menerima
lamaran Ayah dengan syarat : Ibu adalah Istri terakhir, Ibu diizinkan kapanpun
untuk ke rumah orang tua Ibu. Ayah pun langsung menyanggupi syarat tersebut.
Ternyata setelah menikah Ibu tidak pernah melupakan saudara-saudaranya.
Setahun setelah pernikahan itu, saya pun lahir, Ayah memberi saya nama Tjong
Foek Yin. Di pusat kota Deli Tua, Medan, Ayah senag membangun rumah baru
kami yang dikerjakan sejak tahun 1895. Rumah kami diresmikan setelah kelahiran
adik laki-laki pertama saya, Tjong Fa Liong. Rumah itu terdiri dari empat puluh
ruangan yang dibagi menjadi beberapa ruangan terpisah untuk keluarga dan tamu.
Dalam upacara pindah rumah seperti biasa dilakukan salam tradisi orang China
maupun pribumi, Ibu menggendong Fa Liong, sedangkan saya dengan seorang
perempuan jangkung berpakaian China yang harus saya panggil Memeh. Pada
suatu saat tiba-tiba Ibu dan Memeh bertengkar hebat, saya melihat Ibu dan
Memeh saling berhadapan tegang.
BAB 3: MASA KECIL SAYA

Ibu terlihat tak terkendali, dengan jelas Ibu memaki Memeh sambil
mengacungkan pisau. Ibu melihat sekelilingnya, semua orang ketakutan, lalu
meletakan pisau di meja. Ibu lalu membawa saya dan adik saya keluar rumah.
Saya menangis dan meminta pulang, tetapi Ibu justru menampar saya. Ternyata
Ibu membawa saya dan adik saya ke rumah Kakek dari pihak Ibu. Berbulan-bulan
saya disana. Saya juga tidak pernah mengerti mengapa ayah membiarkan Ibu,
saya dan Fa liong pergi begitu saja. Saya dengar dari Kakek, Ayah sering datang
ke kantornya meminta bantuan membujuk ibu, tetapi ibu tidak pernah mau
pulang. Ibu meminta Kakek untuk memberitahu Ayah syarat yang harus Ayah
lakukan agar Ia mau kembali. Ayah pun menyanggupi. Tiba di rumah, saya tidak
menemukan Memeh maupun ketiga kakak saya. Ternyata syarat yang diajukan
Ibu adalah menuntut Ayah untuk memulangkan mereka semua ke Sungkow. Sejak
saat itu pula, akhirnya saya tahu kalau Memeh adalah Ibu Lee dan ketiga kakak itu
adalah anak-anak dari almarhumah Ibu Chew. Saya sudah tujuh tahun waktu itu.
Saya mendapatkan izin khusus dari residen untuk belajar di sekolah anak-anak
Belanda. Anak-anak Belanda selalu memuji barang-barang yang saya kenakan.
Agar mereka selalu betah bermain ke rumah saya, Ibu sering memberikan hadiah
kepada mereka. Tidak pernah saya bayangkan, betapa indahnya masa-masa kecil
saya bersama anak-anak Belanda dan mempelajari budaya yang mereka bawa dari
negerinya. Ketika saya berumur sepuluh tahun, kami mendapat kabar bahwa
Memeh meninggal. Saat itu China sedang dilanda wabah TBC. Tiba-tiba
seminggu kemudian kakak laki-laki saya juga meninggal karena wabah penyakit
yang sama. Ayah begitu terpukul dengan kematian mereka. Istri Kakak terlihat tak
berdaya melihat jasad suaminya. Ayah menjamin masa depan keluarga yang
ditinggalkan, apalagi anak Kakak adalah cucu pertama Ayah. Setahun lamanya
saya hanya mengenakan pakaian putih dan biru seperti tradisi kebudayaan China.
Lama setelah kematian Kakak, Ibu melahirkan bayi laki-laki lagi. Ayah
memberikan nama Tjong kian Liong. Pesta kelahiran adik kedua saya seperti
menjadi titik balik semangat dan kebangkitan Ayah.
BAB 4:AYAH DAN PAMAN

Usaha Ayah mengalami banyak kemajuan berkat perkebunan tembakau


yang sedang naik daun. Ayah berniat untuk menghibahkan beberapa bagian
keuntungan yang ia miliki dengan memberikan saham kepada semua karyawan
yang bekerja padanya. Bersama Paman saya, Ayah juga mendirikan sekolah-
sekolah dan rumah sakit umum untuk tempat orang-orang kurang mampu agar
bisa mendapatkan perawatan gratis. Ayah juga membangun tempat-tempat ibadah
seperti klenteng, Masjid, serta memberikan bantuan-bantuan ke daerah yang
sedang mengalami bencana. Bersama paman saya dan seorang rekan bernama Tio
Siauw Siat, seorang konsul Tiongkok di Singapura, Ayah mendirikan sebuah
perusahaan kereta api The Chao-Chow & Swatow Railway Co.Ltd. di Tiongkok
Selatan. Usaha mereka tak sia-sia, pada akhirnya daerah yang terhubung dengan
kereta menjadi daerah ekonomis. Sebagai bentuk penghargaan tertinggi atas jasa-
jasa Ayah dan Paman, kedua wajah mereka disematkan dalam mata uang dua
puluh sen di China. Di Medan, tahun 1907 Ayah juga berkongsi dengan Tio
Siauw Siat untuk mendirikan Bank Deli yang ternyata berkembang dengan cepat
dan mampu bersaing dengan bank-bank pemerintah Belanda. Paman saya
dianugerahi gelar kehormatan sebagai Menteri Perkeretaapian oleh Kaisar
Manchu. Nenek bangga atas pencapaian Ayah dan Paman. Sukses membangun
jaringan kereta api, Ayah berkenalan dengan Lim Nee Kar asal China, pengusaha
kaya yang tinggal di Pulau Kulangso. Karena terlalu dekat, sampai-sampai Paman
Lim Nee Kar berjanji untuk menjodohkan saya dengan putra pertamanya, Lim
King Jin. Ayah tidak bisa menolak kehendak Tuan Lim, apalagi semua berasal
dari ide Kakak yang ia hormati. Belum sempat melihat pernikahan saya di tahun
1911, Paman lebih dulu meninggal dunia. Pada saat itu Ayah sangat menentang
peraturan Ponale Sanctieyakni sebuah peraturan yang melindungi pemilik
perkebunan yang buruhnya kabur sebelum berakhirnya masa kontrak kerja dengan
hukuman tiga tahun pertama, ayah menilai hal itu lebih dari perbudakan kejam.
Atas tindakannya, Ayah dituduh sebagai pengkhianat, tapi ia tak peduli. Ia
memperjuangkan nasib para buruh hingga undang-undang perbudakan dihapus.
BAB 5: TENTANG PERJODOHAN

Sejak saya kecil, Ayah dan Ibu memiliki impian untuk menyekolahkan
saya setinggi mungkin, dengan mengirimkan saya ke Belanda. Sebelumnya
mereka mendengar cerita dari seorang Belanda Meneer Kamerlingh Onnes,
tentang mutu pendidikan di Belanda. Onnes adalah seorang pria Belanda yang
dipercaya untuk memimpin semua usaha perkebunan milik Ayah. Ayah
menemukan Onnes ketika tak sengaja melihatnya sedang melamun menghadapi
gelas kosong di meja sebuah hotel di Medan dengan pakaian yang compamg-
camping dan bersepatu butut. Ayah ingin tahu dia siapa. Duduklah Ayah di
sampingnya. Kemudian mereka pun berbincang bincang. Ayah memang meiliki
naluri tajam. Bila Onnes adalah pengemis, ia tidak akan dibiarkan berada di hotel
itu. Hanya kalangan bangsawan dan orang pribumi tertentu yang bisa berada di
hotel itu. Atas keramahan Ayah, akhirnya Onnes bercerita tentang siapa dirirnya.
Onnes adalah seorang putra Belanda yang berasal dari keluarga bangsawan
terhormat. Ia dikirim ayahnya ke Sumatra untuk mengurus beberapa usaha milik
keluarganya. Ia malah membuat keluarganya malu dengan selalu membuat onar.
Setelah membuat rugi usaha keluarga, ia pun dipecat. Berkali-kali diterima kerja
oleh perusahaan lain, namun akhirnya juga dipecat. Ayah terkesan oleh kejujuran
dan semangatnya untuk berubah. Ayah lalu menawarkan pekerjaan awal kepada
Onnes sebagai administrator perkebunan. Setelah hari itu ayah benar-benar
melihat Onnes berubah dan membawa kemajuan di setiap perkebunan yang ia
kerjakan. Ayah pun menjadikan dia sebagai tangan kanan sekaligus pengawas di
semua perkebunan milik Ayah. Entah bagaimana, akhirnya perkataan orang tua
saya untuk menyekolahkan saya tidak pernah disebut-sebut kembali. Ibu malah
menyuruh saya belajar memasak dan menjahit. Kedua hal itu adalah masalah
terbesar yang saya hadapi sejak lulus sekolah tidak pernah mampu melakukannya
dengan baik sehingga Ibu terus marah dan memukul saya. Tetapi karena Ibu saya
selalu memaksa saya belajar memasak, akhirnya saya pun bisa. Suatu malam
kakak perempuan saya, Song Yin memberi tahu bahwa saya sudah ditunangkan
dengan pria dari China Daratan. Saya kira itu hanya bercanda, tetapi ternyata
benar.
BAB 6; TENTANG PERNIKAHAN SAYA

Saya terkejut mendengar informasi dari kakak. Saya merenung dan


memikirkan alasan Ibu begitu giat mengajari saya memasak dan pekerjaan lain.
Kakak lalu mengajak saya ke kamar Ayah dengan cara sembunyi-sembunyi. Ia
mengambil sehelai foto yang memperlihatkan seorang pemuda China dengan
pakaian tradisional dan topinya. Wajahnya tampan, tetapi pakaiannya membuat
dia terlihat tidak menarik bagi saya. Pernikahan itu terasa tiba-tiba, saya belum
pernah memikirkannya. Sebulan setelah mendengar berita perjodohan saya, tiba-
tiba keluarga Lim mengirimkan utusan yang mengatakan bahwa mereka tidak
ingin pernikahan itu ditunda lagi. Saya sempat protes dan menolak mentah mentah
pernikahan itu, tapi Ayah mencoba membujuk dengan bijaksana. Sejak kecil, saya
selalu yakin pada setiap janji Ayah, karena ia selalu menepatinya. Saya pun
menerima keputusan pernikahan tersebut. Teman saya Minnie Rahder, seorang
putri residen Belanda, terpesona melihat kamar pengantin yang dipersiapkan oleh
Ayah untuk saya. Saya lebih merasa senang ketika mendapat kiriman boneka
daripada mendapat sebuah kamar mewah untuk malam pegantin saya seperti saat
itu. Pernikahan akan dilakukan di Medan dan setelah itu saya ikut dengan suami.
Selang beberapa hari, keluarga besar Lim tiba di Medan. Calon pengantin pria
datang dengan 12 pengantar, mereka ditempatkan di rumah peristirahatan Ayah di
Pulo Branyan yang akan menjadi kediaman sementara. Fa liong, yang saat itu ikut
menjemput dan mengantarkan ke tempat peristirahan, berkata bahwa calon suami
saya lebih pendek dari saya. Saya pun merasa agak aneh. Perjodohan adalah hal
yang lumrah bagi orang China, tapi bagi saya itu terasa sangat ganjil. Ibu yang
awalnya ingin membawakan saya dua pelayan perempuan bagi saya, langsung
membatalkan hal itu karena baru tahu bahwa pelayan-pelayan yang dibawa
pengantin perempuan akan langsung dianggap selir oleh pengantin pria. Pesta
pernikahan saya akhirnya dilaksanakan, pesta berlangsung sangat meriah. Saat
pertama kali melihat suami saya datang menjemput, saya yakin apa kata Fa Liong.
Dia memang terlihat pendek dari saya. Setelah pesta sehari suntuk usai, tibalah
saatnya saya dibiarkan berduaan saja dengan suami. Meskipun dengan
keterbatasan bahasa, malam pertama kami lalui dengan baik.
BAB 7: TENTANG SUAMI SAYA

Berkat governnes(pengajar) suami saya Mrs. Grey. Bahasa inggris maju


pesat selama kami berada di Pulo Branyan. Selain bahasa inggris, saya juga
belajar bahasa Hokkian dari sekertaris China suami saya secara rutin. Setelah
sebulan berakhir saat itu pula kami harus kembali ke China. Setelah melakukan
kunjungan perpisahan, keluarga saya mengantarkan saya ke pelabuhan. Sebelum
naik ke kapal laut, banyak sekali pesan dari Ibu untuk saya terutama tentang sikap
dan perilaku manja saya yang harus benar-benar diubah. Setelah menaiki kapal,
saya melambaikan tangan sambil menatap keluarga besar saya dari atas kapal laut.
Saat itulah air mata saya terjatuh. Setelah beberapa minggu melakukan perjalanan
panjang, akhirnya saya tiba di Amoy, Xianmen, Kota kelahiran suami saya.
Ketika turun dari kapal, banyak sekali orang yang menyambut kami. Kereta
membawa saya berjalan cukup jauh dan sepanjang perjalanan banyak penduduk
amoy berdiri disamping jalan melihat saya sebagai tontonan. Saya dibawa ke
rumah suami saya yang cukup besar. Mertua Ibu perempuan saya terlihat cantik,
ia dengan gembira menyambut saya. Kami melakukan hormat sujud di kaki Ibu
dan Ayah mertua sambil menciumnya. Setelah acara penghormatan selesai,
terdengar suara bisik-bisik terkejut dari kaum perempuan yang meyaksikan itu,
saya tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, ternyata tindakan saya dianggap
menyalahi tata cara dalam upacara penghormatan dengan menuntun mertua,
seharusnya sebaliknya. Karena itulah mereka menyebut saya dengan kata
“barbar”. Untungnya keluarga suami saya tidak mempermasalahkan kejadian itu.
Tinggal berjauhan dengan keluarga di Medan membuat saya merasa menjadi
orang asing dalam lingkungan saya. Ibu mertua saya yang bijak menanggapi
dengan enteng petanyaan kakanya yang menanggap saya jauh dari kata cantik.
Jawaban yang bijak itulah yang membuat saya menganggap Ibu mertua sebagai
orang bijak yang paling agung saya temui selain keluarga saya. Pada hari raya
tahun baru saya menjadi satu-satunya orang yang mengenakan pakaian gaya
Eropa. Saya merasa canggung tapi beruntung ada Mrs Grey yang memuji saya
dengan menyebut saya seperti ratu Inggris yang berada di China Daratan. Ia
memanggil saya Queen dan dari situlah saya mulai dipanggil denagan nama
Queeny oleh orang-orang.
BAB 8: TENTANG KELUARGA BARU

Tak terasa saya sudah melewati satu tahun di kota Amoy dan mulai terbiasa
berbahasa Hokkian. Pada tahun baru kedua di Amoy seperti biasa keluarga kami
akan kedatangan beberapa tamu. Di antara tamu yang hadir, saya melihat seorang
perempuan muda cantik yang berjalan sesuka hati. Saya melihat perempuan itu
berdiri dibelakang kursi suami saya dengan tangan diletakan di pundak suami
saya. Ternyata dia tadinya pelayan nyonya besar dan dulu pernah punya hubungan
asmara dengan suami saya. Saya tidak menyukai sikap perempuan itu dan
membuat saya merasa tidak tenang. Seminggu lamanya perempuan itu tinggal di
rumah sebelum ia pamit untuk kembali ke desa. Dibalik kegelisahan itu ternyata
saya sedang mengandung empat minggu. Ketika saya hamil besar, perempuan itu
kembali datang untuk berkunjung, lama-kelamaan saya jadi tidak tahan melihat
wanita itu. Akhirnya saya melahirkan bayi laki-laki bernama Tong pada tahun
1914, keluarga dari suami maupun keluarga saya sangat bahagia. Kemudian ibu
mengirimkan undangan resmi kepada besannya. Ibu meminta izin kepada
besannya untuk mengundang saya, suami dan anak saya ke Medan. Ibu mertua
saya mengizinkan tetapi dengan syarat Tong harus ditingglkan pada mereka, saya
pun menyetujui karena merasa sudah lama tak berjumpa orang tua. Keluarga saya
menyambut saya dengan penuh kebahagiaan. Ibu agak kecewa saya tidak bisa
membawa Tong. Satu setengah bulan saya harus kembali ke Amoy. Sampainya di
Amoy, tanpa banyak beristirahat saya melanjutkan tugas saya sebagai Ibu.
Menjelang musim gugur tiba-tiba kesehatan suami saya mundur, dan disarankan
untuk beristirahat di Medan karena cuaca Tropis baik baginya. Di kapal kami
bertemu dengan pemuda yang belum memiliki tujuan bernama Lee kong Chian,
suami saya menawarkan untuk ikut berkunjung ke tempat Ayah. Ayah pun
mencarikan pekerjaan di Singapura melalui teman bisnisnya, akhirnya Lee
bekerja di perusahaan sepatu karet yang besar milik Tan Kak kee, dia sangat
berterimakasih pada suami dan Ayah saya. Ketika kami kembali dalam perjalanan
menuju Amoy, suami saya menepati janji untuk berkunjung melihatnya. Setelah
itu kemi kembali ke Amoy, siapa sangka kelak kehidupan anak muda yang miskin
dan penuh kerja keras berubah menjadi raja karet termansyhur asal Singapura di
tahun tahun mendatang.
BAB 9: KENANGAN TERAKHRIR AYAH

Pada tahun 1916, Ayah genap berdinas selama 30 tahun pada


pemerintahan Hindia Belanda. Peristiwa itu dirayakan secara besar-besaran. Saya,
suami dan anak saya kemudian pergi ke Medan untuk merayakan hari besar itu,
ketika itu ibu saya baru saja melahirkan adik laki-laki bernama Tjong lee Liong.
Artinya adik saya lebih muda daripada putra saya. Kedatangan suami saya juga
bertujuan untuk mencari peluang usaha di Medan. Akhirnya suami saya bekerja di
bank milik Ayah bank Deli. Ketika kami kembali ke Amoy untuk merayakan
tahun baru, kini suami saya sudah berpenghasilan. Orang-orang yang dulu
menganggap saya barbar, kini berpendapat kalau saya istri pembawa rejeki. Bulan
November tahun 1919, Ibu saya kembali melahirkan anak ke tujuh, seorang laki-
laki bernama Tjomg Tseong Liong. Suami saya akhirnya keluar dari bank Deli
dan memutuskan untuk mendirikan bank Kong Siong. Tetapi bank tersebut
bangkrut dan membawa dampak buruk bagi bank Deli. Perang dunia pertama
yang semakin buruk terjadi di Eropa juga turut menambah masalah bagi usaha
perkebunan Ayah. Walau sangat berat dan penuh perjuangan akhirnya masa masa
sulit selama perang dunia berhasil Ayah lewati hingga tahun 1920, bank Deli tetap
bertahan walau tak sekuat dulu kala. Dari waktu ke waktu, Ayah merasa sudah
tua, sebelum tiba saatnya itu ia sudah menyiapkan 12 rumah atas nama Ibu, tetapi
Ibu meminta hadiah itu dibagi kepada adik-adiknya secara adil. Kemudian ayah
memesan kapal yang beratnya sekitar 6000 ton untuk berlibur dengan keluarga
besar, kami semua sangat senang mendengar kabar itu. Namun belum sempat
liburan bersama, Ayah telah meninggal dunia. Ayah meninggal 8 Februari 1921
karena pendarahan otak setelah akhirnya Dokter memeriksa secara lanjut. Proses
pemakaman Ayah berlangsung penuh keharuan, pemakaman dipenuhi oleh orang-
orang yang hendak memberikan penghormatan terakhir. Bagi mereka Ayah telah
menjadi bagian daripada sejarah kehidupan mereka. Saya beruntung dan
bersyukur setidaknya Ayah pergi dengan banyak hal yang ia tinggalkan kepada
mereka-mereka yang penah merasakan kebaikan Ayah.
BAB 10: SAAT TERAKHIR SAYA

Empat bulan sebelum Ayah meninggal, ternyata Ayah telah membuat surat
warisan kepada setiap orang yang berhubungan dengannya. Karena adik-adik saya
belum menikah dan kebanyakan masih kecil, Ibu mewakili semua warisan
mereka. Sedangkan saya dan kakak-kakak tertua saya mendapatkan bagian yang
diwariskan oleh Ayah secara mutlak. Sepeninggal Ayah, keadaan bank kami
mengalami banyak masalah. Onnes pun menyarakan semua anak-anak dikirim ke
Swiss untuk menempuh pendidikan. Ibu dan Adik-adik pun setuju. Selama
keluarga kami pindah, usaha perkebunan, pertambangan Ayah mengalami
kemunduran, satu persatu perkebunan kami dijual untuk menutupi kerugian tanpa
sepengetahuan Ibu, dipikir-pikir kami yang bodoh karena mengikuti semua
rencana Onnes. Pada akhirnya bank Deli bangkrut karena tak mampu bersaing.
Pada tahun 1931 saya kembali ke China dan ditunjuk menjadi karyawan
penerjemah kantor menteri luar negeri di Nangking. 10 tahun setelah berada di
Swiss, Ibu dan adik-adik saya kembali ke Medan untuk mengurus usaha milik
Ayah, Ibu mendapati beberapa perkebunan Ayah mulai dijual. Karena terjadi
perang di China, saya pun kembali ke Medan, sedangkan suami saya pergi ke
Manchuria. Hubungan saya dengan suami agak renggang karena kesibukan
masing-masing. Jepang kemudian masuk ke Indonesia. Demi keselamatan kami
terpaksa menuruti semua yang Jepang inginkan. Akhirnya usaha keluarga dari
hari ke hari mengalami kebangkrutan. Keluarga suami saya melarikan diri ke
Taiwan saat terjadi perang saudara antara komunis dan republik. Suatu ketika,
saya melihat seorang anak perempuan di rumah mertua saya, ternyata ia adalah
anak dari selir yang dinikahi oleh suami saya dari seorang perempuan Jepang.
Suami saya meninggal beberapa tahun kemudian karena kanker paru-paru, saya
tidak pernah melihatnya setelah perpisahan di Nangking, bahkan tidak sempat
menghadiri upacara pemakamannya. Ayah mertua saya meninggal pada usia 72
tahun. Putra saya Tong memutuskan menjadi warga negara Singapura dan
meninggal mendahului saya karena kanker pada tahun 1970, ia melahirkan 5
orang anak. Ibu meninggal pada usia 93 tahun pada tahun 1972. Tahun 1974 saya
memutuskan untuk tinggal di eropa. Catatatan Penulis : Queeny Chang
meninggal pada tahun 1986 karena faktor usia.
RANGKUMAN

Queeny Chang, sapaan akrab Tjong Foek Yin, putri pertama dari pernikahan
Tjong A Fie dengan Lim Koei Yap. Tjong A Fie yang bernama asli Tjong Fung
Nam yang merantau dari Dataran China ke Tanah Sumatera untuk mencari
kehidupan yang lebih mapan. Kemampuannya yang luar biasa dalam berdagang
membuat Tjong A Fie mampu menjadi orang yang kaya raya dengan pengaruh
politis yang kuat. Sosok Lim Koei Yap adalah orang yang sederhana dan
menghormati berbagai budaya. Ia melestarikan budaya Jawa, Melayu, dan
Tionghoa dari pakaian yang ia kenakan. Seperti pada hari raya Imlek 1902, ibu
Queeny mengenakan kabaya dan songket. Ibu Queeny juga kerap memakai baju
ala Barat dan baju tradisonal China. Kehidupan Queeny Chang banyak berubah
ketika ia menikah dan tinggal di rumah suaminya di Amoy, Xianmen. Queeny
Chang yang belum pernah tinggal di Dataran China sebelumnya harus beradaptasi
dengan budaya baru yang ia temui disana. Perbedaan budaya membuat ia
dianggap sebagai orang Barbar, sebutan untuk bangsa Mongol yang kejam dan
beringas. Pertama kalinya Queeny Chang menginjakkan kaki di Amoy adalah
ketika ia menjadi pengantin di acara pernikahannya. Setiap kecantikan memiliki
tolok ukur di masing-masing tempat. Standar kecantikan di Amoy adalah tubuh
kurus dan kaki kecil. Inilah yang membuat gadis-gadis di sana berjalan terlalu
lambat. Alasan yang sama juga membuat Queeny Chang menuntun mertuanya
ketika ia turun dari tangga rumahnya yang banyak. Hal ini mengagetkan banyak
perempuan di sana. Ternyata tindakannya menyalahi tata cara upacara
penghormatan. Seharusnya mertualah yang menuntun menantu, bukannya
sebaliknya. Perjodohan yang mendadak juga menyulitkannya dalam
berkomunikasi. Suami Queeny Chang berbicara bahasa Hokkien dan bahasa
Inggris. Sedangkan Queeny Chang bahasa Hakka dan Melayu. Mau tidak mau,
Queeny Chang harus belajar bahasa Hokkien dari sekretaris suaminya dan bahasa
Inggris dari Mrs. Grey.Selama di Amoy, Queeny tidak pernah memakai pakaian
tradisional China. Ia selalu berpakaian gaya Eropa. Penampilannya yang seperti
inilah yang membuat ia mendapat julukan Queen dari guru bahasa Inggrisnya,
Mrs. Grey. Karena orang-orang China tidak terbiasa mengucapkan kata Queen,
akhirnya mereka menambahkan ni (artinya: kamu) di belakangnya. Beruntung
Queeny memiliki ibu mertua yang bijak dan pengertian. Ia memandang bahwa
yang mengataka kecantikan itu hanya sebatas kaki kecil adalah orang yang tidak
ada orang yang bisa menerima apapun alasan Tuhan menciptakan keindahan.
Perlahan kerajaan bisnis Tjong A Fie meredup setelah kematiannya. Nasabah
berbondong-bondong menarik dananya sehingga Bank Deli mengalami
kemunduran. Mereka takut manajemen tanpa Tjong A Fie akan kacau. Meneer
Kamerlight Onnes, orang Belanda kaki tangan Tjong A Fie, ditunjuk oleh ibu
Queeny, Lim Koei Yap untuk mengurus semua unit bisnisnya. Onnes
menyarankan adik-adik Queeny untuk menuntut ilmu ke Swiss. Mereka semua
sekeluarga menetap di sana hingga 10 tahun. Setelah sepuluh tahun berlalu,
mereka harus menerima kenyataan bahwa beberapa perkebunan keluarga dijual
oleh Onnes. Walaupun Onnes adalah orang kepercayaan Tjong A Fie, sepertinya
ia sudah tidak layak mendapat kepercayaan. Sejak meninggalnya Tjong A Fie,
banyak perkebunan yang dijual Onnes untuk menutupi kerugian. Queeny menjadi
manajer pelaksana perusahaan kereta api di Swatow atas perintah ibunya. Sayang,
perang antara China dan Jepang memaksa perusahaan itu untuk berhenti
beroperasi. Hal itu ditambah berat dengan resesi ekonomi setelah Perang Dunia II
karena hasil perkebunan kehilangan pasarnya di Eropa. Setelah keadaan membaik,
Queeny kembali ke China untuk mendirikan usaha armada bus karena jalur kereta
api telah dibuat menjadi jalan umum. Nasib baik sepertinya akan berpihak pada
keluarga Tjong. Ternyata harapan itu melesat. Perang antara China dan Jepang
sudah usai, namun setelah itu disusul perang saudara yang lebih keras yaitu
perang antara nasionalis dan republik. Generasinya tidak merasakan langsung
kesulitan membangun bisnis itu. Inilah alasan mengapa kerajaan bisnis Tjong A
Fie mundur drastis. Hubungan Queeny dengan suaminya pun merenggang karena
kesibukan. Queeny menetap di Medan sementara suaminya menetap di Taiwan
dan meninggal karena kanker paru-paru. Sejak perpisahan mereka di Nanking,
China ketika perang antara China dan Jepang pecah, Queeny tidak pernah
melihatnya lagi, bahkan menghadiri upacara pernikahannya pun tidak. Setelah
beberapa waktu, ia mengetahui ternyata suaminya menikah lagi dengan wanita
Jepang dan memiliki satu anak perempuan yang tinggal di rumah ayah mertuanya.
Perjodohan itu sepertinya tidak menumbuhkan cinta di antara mereka.

Anda mungkin juga menyukai