Anda di halaman 1dari 8

Oei Tiong Ham Orang Terkaya di Asia Tenggara

Oei Tiong Ham lahir di Semarang, 19 November 1866. Sebelum Oei Tiong Ham mulai berusaha mencari nafkah sendiri, ia membantu ayahnya. Salah satu tugasnya adalah mengambil uang sewa rumah. Suatu hari, setelah berhasil mengantungi 10.000 gulden, ia lewat ke tempat perjudian dan tidak bisa mengekang nafsunya untuk berjudi. Dan semua uang bawaannya hilang karena kalah judi. Keluar dari rumah perjudian baru dia insaf apa akibat kekalahannya di meja judi itu. Ia tidak punya muka untuk berhadapan dengan ayahnya karena telah berani mempergunakan uang yang bukan miliknya. Ayah Oei Tiong Ham bukan hanya tidak suka [ada perjudian, tetapi juga keras terhadap anak. Oei Tiong Ham merasa dirinya hina dina dan bermaksud menceburkan diri dari dari jembatan. Namun ia ingin mengucapkan selamat berpisah dulu dari kekasihnya, seorang janda. Tetapi janda itu mendesak dia untuk menerima uangnya sebanyak 10.000 gulden, akhirnya ia mau menerimanya. Kebaikan janda itu tidak pernah dilupakannya, ia tidak Cuma mengembalikan uang itu, tetapi juga menjamin hidup janda yang menyelamatkan nyawanya itu. Ayah Oei Tiong Ham bernama Oei Tjie-sien berasal dari Amoy di daratan Cina. Karena ikut pemberontakan Taiping, ia menjadi buronan pemerintah Mancu. Terpaksa ia kabur ke sebuah jung yang akan berangkat. Setelah berlayar berbulan-bulan, tibalah ia di Semarang, Jawa. Ia turun tanpa membawa uang sepersen pun dan pakaiannya yang hanya melekat di badan.

Di tempat asing yang bahasanya sama sekali tidak dikenalnya itu, ia hanya bisa menawarkan tenaga mudanya. Mula-mula ia bekerja di pelabuhan, menghela jung-jung yang kandas di lumpur. Ia menyewa penginapan murah tempat para pendatang Cina tidur tergeletak di lantai papan. Suatu malam, pemilik gubuk bambu itu melihat pemuda yang sedang tidur kelelahan itu. Wajah pemuda itu dianggapnya membawa rezeki. Pemilik gubuk kebetulan mempunyai banyak anak perempuan. Pemuda itu dibangunkannya untuk dilamar menjadi menantunya. Oei Tjie-sien mau saja. Calon istrinya baru berumur 15 tahun, tubuhnya kuat dan sifatnya penurut. Mereka menikah tanpa pesta apapun. Perempuan muda itu bekerja keras membantu suaminya. Ia melahirkan tiga orang putra 9yang seorang meninggal saat masih bayi) dan empat putri. Sementara itu Oei Tjie-sien keluar masuk kampung memikul barang kelontong. Kadang-kadang iia membawa beras umtuk dijual di kota. Lama-kelamaan ia menjadi makmur berkat beras. Dikirimkannya uang ke Cina untuk membeli pengampunan sehingga ia bisa berkunjung ke Cina sekalian memperkenalkan putra sulungnya Oei Tiong Ham yang baru berumur tujuh tahun kepada orang tuanya. Oei Tjie-sien selalu hidup hemat, berbeda dengan Oei Tiong Ham yang senang hidup bermewah-mewah, dan kerena kesenangannya itu ia sering dimarahi ayahnya. Suatu hari, karena kesal dimarahi, ia berkata kepada ibunya, Suatu hari kelak, saya akan lima puluh kali lebih kaya daripada ayah. Hal itu memang terlaksana. Berawal dari sebuah rumah yang ditempati seorang Jerman yang sudah lanjut usia. Mantan konsul itu ingin sekali membeli rumah dengan tanah luas yang mengelilinginya itu, tetapi ayahnya tidak mau menjualnya.

Menurut orang Cina, menjual salah satu miliknya berarti kehilangan gengsi. Jadi mantan konsul itu mendekati Oei Tiong Ham yang diketahuinya akan mewarisi rumah dan tanah itu. Saya akan memberi anda sejumlah uang yang bisa anda tanamkan sekehendak hati. Kalau uang itu amblas, saya tidak akan mengeluh. Kalau berkembang sampai sepuluh kali lipat atau lebih, berikanlah rumah dan tanah itu untuk saya pergunakan seumur hidup. Usul orang Jerman itu. Tawaran dari mantan konsul itu sama saja dengan berjudi. Jadi ia bertanya, berapa jumlah uang yang akan diberikan oleh bekas konsul. Jawabannya mencengangkan dia: AS $ 300.000. Oei Tiong Ham segera setuju, tetapi tidak teburu nafsu menanamkan uangnya. Ia berpikir ayah menjadi kaya berkat beras. Jawa memang cocok ditanami padi, sementara itu tenaga kerja dan lahan murah. Tebu juga terbukti cocok ditanam di tanah jawa. Jadi, Oei Tiong Ham membeli lahan luas untuk ditanami tebu. Masa itu Revolusi Industri belum sampai ke Jawa, tetapi ia sudah mendengarnya. Ia mendatangkan ahli-ahli dari Jerman untuk memberi nasihat perihal mesinmesin yang diperlukan untuk bercocok tanam dan mengolah tebu menjadi gula. Ia mendatangkan mesin-mesin dan lewat mantan konsul ia juga mengirimkan pemuda-pemuda ke Eropa untuk belajar menjalankan mesinmesin itu dan membetulkannya. Suksesnya berkesinambungan sebab ia tidak pernah puas. Ia peka terhadap pembaharuan dan gagasan, sehingga tidak henti-hentinya

menyekolahkan karyawannya ke luar negeri supaya bisa mempelajari hal-hal baru. Mesin-mesinnya terus diperbaharui dan pabriknya mendapat aliran listrik lebih dulu daripada kediamannya. Kemudian ia melebarkan sayapnya keluar negeri dan kebidang-bidang lain seperti kopra.

Ketika Oei Tiong Ham dan keluarganya berkunjung ke Eropa, ia membuka kantor penjualan di London dan Amsterdam. Untuk mewakilinya di Amsterdam, ia mempekerjakan seorang Belanda bernama Peters. Oei Tiong Ham mempunyai kapal-kapal sendiri untuk mengangkut gula, kopra dan tepung kanji. Ia yang tidak berbahasa Belanda, Inggris, maupun Prancis itu kemudian membuka perwakilan di Wallstreet, New York. Asal muasal ia mengusahakan tapioka ketika seorang pemilik pabrik tapioka di Semarang ingin menjual pabriknya yang merugi terus. Ia menukarkannya dengan sebuah rumah kecil. Pabrik itu diperbaikinya dengan dilengkapi mesin-mesin. Tidak lama kemudian ia sudah menjual 1,5 juta pon tapioka ke Asia Timur Laut. Ketika ayahnya meninggal, Oei Tiong Ham menerima warisan rumah mantan konsul Jerman itu. Sebetulnya ia bisa membayar kembali uang pinjamannya itu beberapa kali lipat, namun ia menepati janjinya. Oei Tiong Ham menjadi kaya raya dan mendapat gelar kehormatan Majoor der Chinezen (1901), ia tidak percaya dengan kegunaan pengawal pribadi. Ia lebih yakin pada caranya sendiri. Setiap tahun ia memberi sejumlah uang kepada sekelompok bandit yang paling berpengaruh, untuk menangkal gangguan maling dan pembunuh. Usahanya berhasil. Kejantanan dihargai tinggi dikalangan orang Cina. Seorang pria Cina boleh memiliki gundik sebanyak yang ia mampu. Kadang-kadang istri pertama mencarikan gundik bagi suaminya tetapi istri Oei Tiong Ham tidak sudi melakukan hal semacam itu. Istrinya bernama Biong-nio. Ia berasal dari keluarga Goei. Nenek moyangnya berasal dari Shantung, tetapi sudah

bergenerasi-generasi mereka tinggal di Jawa.

Ketika Biong-nio berumur 15 tahun, ibu dari Oei Ting Ham mengirimkan tandu keemasan untuk menjemputnya. Tandu itu berarti orang tua pihak laki-laki menginginkan ia menjadi menantunya. Pengantin perempuan tiba di rumah mertuanya dengan ditandu oleh empat orang. Ia melakukan kowtow, yaitu berlutut dan menundukan kepala sampai dahi menyentuh lantai di hadapan mertuanya. Sampai saat itu pengantin wanita belum pernah melihat calon suaminya. Tetapi sejak itu hanya maut yang bisa melapaskannya dari ikatan pernikahan. Pada masa itu perceraian tidak pernah terjadi, kecuali kalau pihak perempuan melakukan salah satu dari tujuh dosa tidak berampun. Oei Tiong Ham menerima saja tradisi ini. Tidak pernah terpikir olehnya untuk menceraikan istrinya yang tidak memberinya anak laki-laki. Mereka hanya dikaruniai dua orang putri yang bernama Oei Hui-lan dan kakaknya yang berusia sepuluh tahun lebih tua Tjong-lan. Tetapi oei Tiong Ham terusmenerus menambah gundik dan banyak diantara gundiknya itu memberinya anak laki-laki. Ia juga tidak pernah tinggal dengan salah seorang gundiknya itu, sampai muncul seorang gundik bernama Lucy Ho. Karena tidak mempunya anak laki-laki, Bing-nio terus-menerus merasa dirinya memiliki kekurangan dan frustasi. Suaminya tidak pernah menolak permintaannya akan kebendaan, bahkan juga setelah Bing-nio meninggalkan suaminya untuk tinggal bersama Hui-lan putrinya di London. Biong-nio sering mengirim kawat untuk meminta uang. Kirim empat, artinya ia meminta 4.000 yang masa itu setara dengan AS $ 25.000. Tanpa banyak cingcong, suaminya akan mengirimkan uang sebanyak yang diminta. Setelah Biong-nio meninggalkan suaminya untuk tinggal bersama putrinya di London, Oei Tiong Ham dan Lucy Ho pindah ke Singapura. Ia keluar dari Jawa untuk menghindari pajak dan tekanan dari pemerintah

Hindia Belanda untuk menjua perkebunan-perkebunan tebunya dengan harga AS $ 70 juta. Oei Tiong Ham mempercayakan perusahaannya di Jawa kepada putra-putranya yang terpilih, Tjong-swan dan Tjong-hauw. Mereka bertugas melaksanakan saran-saran bisnis dan melaporkan kepadanya. Tjong-hauw adalah putra Oei Tiong Ham yang diperoleh dari seorang perempuan yang ditipunya. Perempuan itu berasal dari udik. Ia tidak mau dijadikan gundik dan ingin dijadikan istri. Oei Tiong Ham setuju. Perempuan itu dijemput dengan tandu, namun di rumah tempa ia dibawa dilihatnya tidak ada pesta dan mertua. Walaupun demikian ia tidak bisa kembali ke orang tuanya sebab akan memberi aib. Hampir saja ia gila. Walaupun ia memberi Oei Tiong Ham empat putra namun diperlakukannya dengan kejam namun ia tidak menelantarkannya dan memberinya pending bertahtakan intan. Sebelum ia disingkirkan, Oei Tiong Ham menyuruhnya menjahitkan kelambu untuk gundik berikutnya. Sebelumnnya, Oei Tiong Ham sudah menjadikan seorang janda sebagai gundiknya. Ny. Kiam membawa serta adik perempuannya dan seorang anak perempuannya. Ketika adiknya berumur 15 atau 16 tahun dijadikan gundiknya. Perempuan itu melahirkan lima anak laki-laki dan empat anak perempuan. Karyawan Oei Tiong Ham menyebutnya Istri Nomor Dua. Di Rumah tidak ada yang berani mepergunakan sebutan itu, karena Bing-nio tidak menyukainya. Kenyataannya ia memberi Oei Tiong Ham banyak anak laki-laki. Ia tidak menyukai putranya yang pertama karena sangat dimanjakan oleh ibunya. Ia memilih putranya yang kedua, Tjong-swan untuk menjadi andalannya di samping Tjong-hauw. Oei Tiong Ham meninggal tiba-tiba akibat serangan jantung pada 6 Juni 1924. Ia meninggalkan warisan untuk Bing-nio beberapa juta dolar dan Tjong-lan satu juta dolar. Oei Hui-lan mendapatkan warisan yang dijanjikan

ayahnya. Perusahaannya dibagi antara Tjong-hauw, Tjong-swan, dan Lucy Ho. Setelah upacara berkabung selesai, Swan segera menjual bagiannya kepada Hauw dan Lucy Ho. Lucy Ho dan anak-anaknya pindah ke Istana Oei Tiong Ham yang di Semarang, kemudian Awan pindah ke Belanda. Hauw memang sudah dekat dengan Lucy Ho dan lebih dekat lagi sejak Lucy Ho pindah ke Jawa. Lucy Ho meninggal di Swiss akibat kanker. Swan meninggal akibat infeksi gigi yang ditelantarkan dan pada tahun 1951 Hauw pun meninggal di Jakarta karena serangan jantung. Bisnis Oei Tiong Ham di Indonesia diambil oleh Jepang dan sisanya kemudian diambil oleh pemerintah Soekarno.

RESUME Oei Tiong Ham Orang Terkaya di Asia Tenggara


Disusun Guna Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Sejarah Sosial Ekonomi Indonesia Dosen pengampu: Asti Kurniawati, S.S, M.Hum.

Disusun oleh;

Agung Andri Saputro Febry Eko Saputra


Hasan Abdul Rohman

(C0507004) (C0507023)
(C0507027)

JURUSAN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2011

Anda mungkin juga menyukai