Pintung adalah nama seorang pemuda betawi yang hidup pada jaman
penjajahan Belanda. Ia berasal dari Rawa Belong, kecamatan Kebayoran Lama,
bapaknya bernama Piun sedangkan ibunya bernama pinah.
Ibu si Pitung mempunyai adik bernama Jiih. Si Pitung dari kecil
senang belajar mengaji, menolong yang lemah dan sangat senang belajar bela
diri silat. Ibadah tidak pernah dilupakan dan bersifat dermawan. Untuk itulah
dia disenangi teman-temannya dan orang lain.
Si Pitung menjadi murid Hj Napin dari Rawa Belong. Ia termasuk
murid Hj Napin yang paling pandai baik ilmu agama maupun bela diri.
Ilmu si Pitung boleh dikatakan paling tinggi dari teman-temannya,
namun Pitung tidak sombong bahkan lebih sopan dan selalu menolong yang
lemah karena itulah ia disegani orang-orang disekitar Rawa Belong. Tetapi
sebaliknya Pitung dianggap musuh bagi tuan-tuan tanah dan penjajah
Belanda.
Pitung mempunyai dua teman sepeguruan yang selalu mengikuti
jalan pikirannya yaitu : Jiih dan Rais. Kedua temannya tersebut selalu
membantu Pitung jika ia mendapat kesulitan.
Orang tua Pitung bekerja sebagai petani dan juga beternak kambing.
Pada suatu hari bapak Pitung menyuruh untuk menjual kambing ke Tanah
Abang.
Berangkat Si Pitung dengan menuntun kedua kambingnya. Sampai
dipasar Tanah Abang kambingnya cepat terjual. Ketika Pitung menerima uang
ada dua pencopet yang melihatnya dan diikutilah perjalanan Pitung. Sebelum
sampai dirumah Pitung mampir si sebuah langgar untuk menjalankan shalat
lohor. Diletakkan bajunya karena ia akan mengambil air wudhu. Melihat baju
Pitung diletakan maka dua orang pencopet mendekatinya dan mengambil
uang tanpa sisa dan kaburlah mereka.
Setelah shalat Pitung meraba-raba saku bajunya, ia terkejut dan
gemetar karena uang disakunya telah lenyap. Pitung berpikir sebentar dan ia
yakin bahwa dua orang yang mengikutinnya selama perjalanan dari pasar
sampai langgar adalah pencopet.
Dengan hati sedih Pitung meneruskan perjalanan pulang, sampai
dirumah Pitung menceritakan kejadiaannya kepada orang tua. Pitung dimarahi
oleh kedua orang tuanya dan Pitung harus mencari sampai uang kembali.
Si Pitung dengan perasaan gundah dan geram pergi lagi kepasar
untuk mencari pencopet dan meminta uangnya kembali. Sampai di pasar
Pitung melihat orang yang mengikutinnya sedang berkumpul ditepi jalan
dengan teman-temannya yang lain. Pitung mendekatinya dan mereka meminta
Pitung untuk bersedia dijadikan pemimpin mereka. Pitung langsung
menolaknya dan memaksa kepada mereka untuk mengembalikan uangnya.
Tetapi pencopet menolak dan terjadilah pertengkaran dan perkelahian.
Dalam waktu tidak lama semua pencopet dapat dikalahkan dengan
mudah, dan uang si Pitung dikembalikan. Dengan perasaan lega dan senang
Pitung pulang kerumah dan menyerahkan uang tersebut kepada orang tuanya.
Bapaknya sangat bangga mempunyai anak Si Pitung.
Perlu diketahui bahwa penduduk Rawa Belong dan sekitarnya di saat
itu banyak yang menjadi korban pemerasan dan kekerasan dari tuan tanah
beserta kaum penjajah yaitu : Kompeni Belanda. Mereka mengharapkan ada
yang melindunginya.
Melihat keadaan seperti itu Pitung tidak tega terhadap penduduk yang
menderita. Maka ia melakukan gara-gara bersama Jiih dan Rais. Pitung dan
teman-temannya melakukan perampokan terhadap tuan-tuan tanah dan orang-
orang kaya di wilayah Rawa Belong dan sekitarnya. Hasil perampokannya
dibagi-bagikan kepada rakyat kecil dan miskin.
Para orang kaya dan tuan tanah Belanda. Gerakan Pitung dan kawan-
kawannya diawasi. Pada suatu malam aksi Pitung dilaporkan kepada
sekelompok polisi Belanda dan informasi ini disebar luaskan kepada jajaran
polisi. Teman-teman Pitung tertangkap dan disiksa. Melihat teman-temannya
disiksa maka pitung bersedia menyerahkan diri dengan syarat teman-
temannya tidak lagi disiksa.
Permintaan Pitung dipenuhi oleh Polisi dan akhirnya ditangkap dan
dipenjarakan di penjara Grogol.
Mendengar kabar pitung tertangkap, tuan-tuan tanah dan orang kaya
merasa lega, senang dan melakukan pesta pora. Sebaliknya masyarakat kecil
dan miskin sedih dan merasa ketakutan lagi.
Pitung berhasil meloloskan diri keluar dari penjara. Polisi Belanda
kebingungan, tuan-tuan tanah dan orang kaya juga merasa ketakutan.
Dicarinya Pitung kemana-mana tetapi tidak terlihat batang hidungnya.
Karena kehabisan akal, polisi menangkap orang tua Pitung dan
gurunya. Polisi melakukan penyiksaan terhadapnya dan memaksa gurunya
untuk mencari sampai ketemu. Guru Pitung mencari Pitung kemana-mana
diikuti oleh polisi dan akhirnya ditemukan di Pondok Bambu.
Mendengar penyiksaan terhadap orang tua dan gurunya Pitung tudak
tega dan memutuskan untuk menyerahkan diri kepada polisi dan akhirnya
polisi dengan mudah menangkap Pitung. Pitung meninggal dunia dan
dimakamkan di daerah Pejagalan. Rakyat sangat kehilangan Si Pitung yang
telah melindungi mereka.
Schout Heyne sebagai pemimpin kompeni Belanda bangga dapat
menembak Pitung sehingga baginya tidak ada musuh membahayakan.
Sejarah Si Pitung Jagoan Betawi : Cerita
Rakyat Jakarta
Pada jaman dahulu. Di daerah Jakarta Barat, tepatnya di Rawabelong,
tinggalah sepasang suami istri dengan seorang anak laki-laki. Anak laki-
laki tersebut bernama si Pitung.
Pada suatu hari, babehnya menyuruh Pitung menjual dua ekor Kambing
ke pasar Tanah Abang.
Ah, bodoh banget sih gue. Sampe gak sadar preman-preman tadi
ngajak ngobrol. Ujar Pitung menyesal.
rumah si pitung
Pitung lalu melarikan diri dan menjadi buronan polisi. Polisinya mencari
kemana-mana. Keluarganya pun menjadi sasaran pencarian Pitung.
Begitu juga dengan gurunya, Haji Naipin. Ia bahkan di paksa
meberitahukan kelemahan Pitung. Haji Naipin akhirnya memberitahukan
kelemahan Pitung yaitu di lempar dengan Telur Busuk. Para Polisi
mencari Pitung ke berbagai Wilayah Jakarta. Berdasarkan penyeledikan
mereka, Pitung bersembunyi di rumah kekasihnya di Kota Bambu.
M. FARAZ AL AKBAR
KELAS VI B