Anda di halaman 1dari 28

Si Pitung

Monday, 05 October 2009 14:09

Jakarta.go.id - Memasuki abad ke-20 tanah Betawi kokoh dalam


cengkraman penjajah Belanda. Hampir 3 abad penjajah
menikmati kehidupan diatas keringat dan darah serta air mata
penduduk pribumi Betawi.

Penjajah dengan segala daya dan upaya memeras keringat


penduduk melalui tuan tanah, para mandor, para centeng, dan
bukan saja keringat bahkan tulang sumsum penduduk Betawi
akan diperas jika memberikan keuntungan kepada mereka.

Pak Piun memandang langit mendung, sementara isterinya bu


Pinah duduk di bale-bale depan rumah sambil memegang perut
yang kian membesar. Beberapa hari lagi isterinya akan
melahirkan anak yang ke empat. Tiga anaknya duduk di dekat
ibunya, sambi! bertanya, "Mengapa padi yang baru dipanen
dirampas centeng Babah" bu Pinah mengusap kepala anaknya sambil berkata lirih, " Biarin tong,
lagian padi kite masih ada."Pak Piun tetap memandang langit yang mendung, berharap kepada
yang maha kuasa agar isterinya melahirkan dengan selamat.

Pak Piun menitikkan airmata bahagia, anak yang ke empat lahir dengan selamat. Digenggamnya
tangan isterinya seraya menyatakan puji syukur kehadirat Allah,"Siapa nama anak kita?"
isterinya tersenyum bahagia, terlupakan beban berat penindasan kompeni penjajah beserta
cecunguk-cecunguknya.

Pak Piun memberi nama anaknya dengan nama Pitung, isterinya menganggukan kepala tanda
setuju.

Pitung lahir ditanah Betawi. Ia anak ke empat dari pasangan suami-isteri pak Piun dan bu Pinah.
Ke-3 saudaranya masing-masing bernama Miin, Kecil,Anise. Pitung lahir di kampung
Rawabelong, kampung tersebut menjadi bagian dari partikelir Kebayoran. Tuan tanah yang
berkuasa di Kebayoran adalah Liem Tjeng Soen. Tanah partikelir diperoleh dari pemerintahan
Belanda melalui pembelian dokumen tanah, serta kewajiban membayar pajak kepada Belanda.
Tanah partikelir tersebut, Liem Tjeng Soen mengangkat centeng dari kalangan priburni yang
bertugas menagih pajak kepada penduduk. Pitung masih ked!, tidak mengerti tentang tanah
partikelir, mengapa padi, ayam dan kambing bapaknya diambil sewenang-sewenang oleh para
centeng. Pitung menyaksikan sambil bertanya kepada bapaknya, ''mengapa ayam kita
diambilin?"

Pitung menanjak dewasa. Perawakannya tidak terlalu tinggi dan tdak terlalu rendah, sekitar 165-
an em, kulitnya kuning, rambutnya keriting. Pitung dibesarkan didalam keluarga pak Piun,
sebagaimana anak Betawi pada umunnya Pitung memperoleh Pendidikan tata krama dari bapak
dan ibunya, belajar mengaji, membantu bapaknya menanam padi, memetik kelapa, meneari
rumput untuk kambing mereka, adakala Pitung membantu tetangganya. Pitung anak yang rajin
mengerjakan perintah Allah, tidak pernah meninggalkan shalat, berpuasa, bertutur kata yang
sopan, selalu memenuhi panggilan ibu-bapaknya.

Untuk menambah pengetahuan agama, Pitung belajar mengaji dengan Haji Naipin, seorang kiyai
terkemuka di kampung Rawabelong. Selain mengaji, Pitung juga belajar ilmu silat dan ilmu bela
diri lainnya pada Haji Naipin. Dalam menuntut ilmu tersebut, Pitung tergolong cerdas, patuh dan
taat terhadap Petunjuk sang guru Haji Naipin. Karena ketekunan, keikhlasannya untuk menuntut
ilmu, Haji Naipin menjadi sayang kepadanya, dan menaruh harapan kepadanya untuk menjadi
penggantinya di kemudian hari. Haji Naipin meneurahkan semua ilmu yang dimilikinya kepada
Pitung. Ilmu Paneasona, sebuah ilmu bela ciri tingkat tinggi yang membuat pemilik ilmu kebal
dari benda tajam nusuh diberikan haji Naipin kepada Pitung. "Ilmu ini buat membela orang
lemah dari kezaliman, bukan untuk menzalimi orang lain" demikian Jesan haji Naipin.

Sebagai seorang pemuda yang memiliki ilmu agama dan ilmu bela diri, Pitung selalu rendah hati.
Kerendahan hatinya membuat ia banyak teman. Diantara teman-temannya seguru seilmu yang
dekat sekali adalah Dji'i dan Rais. Pitung juga tak luput dari gejolak perasaan orang muda, ia
menjalin tali kasih dengan Aisyah gadis kampung Rawabelong, keduanya bersepakat untuk
membina rumah tangga di kemudian hari bila sudah pantas untuk membina rumah tangga.

Berbekal ilmu yang dimiliki, baik ilmu agama dan ilmu bela diri, Pitung membaktikan dirinya
untuk ibu bapaknya serta masyarakatnya di Rawabelong. Pitung turut membantu bapaknya
menanam padi, menggembalakan kambing, membantu para tetangganya dan setiap yang
membutuhkan uluran tangannya. Adakalanya Pitung datang membantu meskipun tidak diminta,
hal ini merupakan penerapan dari ilmu agama yang dimilikinya, bahwa membantu orang lain
adalah pekerjaan yang baik sebagai amal soleh. Karenanya Pitung dikenal luas sebagai pemuda
yang murah hati di masyarakatnya.

Sebagai pemuda Rawabelong, Pitung menyaksikan dengan mata kepalanya segala tindak tanduk
kezaliman para centeng tuan tanah Kebayoran Liem Tjang Soen kezaliman Pemerintah Penjajah
serta para serdadu Hindia Belanda yang dibantu oleh Demang Kebayoran, yang menagih pajak
secara paksa atas para penduduk kampung Rawabelong. Pitung tidak dapat membiarkan
kezaliman tersebut berlangsung di depan matanya. Sebagai pemuda, darahnya mendidih
menyaksikan kesewenang-wenangan penjajah beserta kaki tangannya, ingin rasanya memberikan
pelajaran kepada mereka, namun ibu bapaknnya menentramkan kemarahan hatinya, "jangan
Tung ... dia orang punya kuase, nanti juga ada balasan buat mereka", terus ibunya membujuk
agar Pitung mengurungkan niatnya. Pitung memenuhi permintam ibunya, tetapi hatinya
bergejolak, kezaliman harus dilawan, bukankah
ia selama ini belajar ilmu agama, yang menyuruh untuk Amar ma'ruf Nahi Munkar, tegakkan
kebaikan cegah kemungkaran.

Karena seringnya menyaksikan kezaliman yang dilakukan oleh para centeng terhadap penduduk
Rawabelong, Pitung akhirnya turun tangan. Centeng yang petentengan merampas hak milik
penduduk dipermalukan Pitung. Dengan bekal ilmu bela diri yang dikuasainya, Pitung mencegah
centeng tersebut dalam merampas hak milik penduduk. Si centeng menjadi murka dan menghajar
Pitung yang dikiranya tak memiliki kepandaian bersilat. Pitung menyambut serangan si centeng
dan dengan mudah membekuknya, si centeng jadi malu dan bangkit pergi tanpa dapat membawa
barang apapun. "Awas lu, gua laporin sama Demang", centeng pergi ngeloyor tanpa muka
dibawah tatapan dan ejekan penduduk.

Pitung dipanggil bapaknya, ia diminta menjualkan kambing ke pasar Tanah Abang. Bapaknya
sangat memerlukan uang untuk keperluan biaya hidup keluarga mereka, "Tung gua butuh duit, lu
jual gih kambing kite dua ekor", ujar bapaknya. "Aye, pak!" sahut Pitung. Segera Pitung
mengeluarkan dua ekor kambing dari kandangnya, kemudian menuntun kambing tersebut ke
pasar Tanah Abang dengan berjalan kaki menelusuri jalan setapak kemudian melewati pinggiran
jalan kereta api sampai ke pasar Tanah Abang.

Di pasar Tanah Abang Pitung menjual kambingnya kepada pedagang kambing. Setelah terjadi
penawaran dan kecocokan harganya, Pitung menerima uang penjualan kambingnya. Uang
tersebut ditaruh di saku baju bagian bawah, dan Pitung segera kembali ke rumahnya.

Ketika Pitung melangkah pulang, beberapa maling mengikutinya. Pitung tidak mengetahui kalau
orang yang mengikuti perjalanannya adalah para maling yang ingin mencuri uang di kantongnya.
Para maling tersebut terus mengikuti. Pitung tidak menaruh curiga terhadap mereka. Di tengah
perjalanan terdengar adzan dari sebuah langgar, Pitung segera menghampirinya untuk
menunaikan kewajibannya melaksanakan shalat dzuhur. Pitung membuka bajunya,
menyangkutkan ke dinding musolla, kemudian turun ke kali mengambil air wudhu, tak ada rasa
curiga sedikit pun terhadap orang yang mengikuti perjalanannya, kesempatan demikian
dimanfaatkan para maling untuk mengambil uangnya.

Pitung mengenakan bajunya dan masuk kedalam musolla untuk shalat, sementara orang yang
mengikutinya ke kali mengambil wudhu. Ketika selesai shalat dzuhur, Pitung tidak menemukan
orang yang mengikutinya sejak dari pasar Tanah Abang.

Pitung segera kembali kerumahnya, pak Piun sangat gembira, menyangka Pitung pulang dengan
membawa hasil penjualan kambing; "Tung, mane Tung duwitnya ?" tanya pak Piun gembira
"Duwitnya ilang, pak, dicopet orang," jawab Pitung polos. "Ape, duwitnye ilang? lu pake kali,"
bapaknya tidak percaya. "Benar ilang Pak, aye kagak pakek," Pitung mencoba menyakinkan
Bapaknya. Bapaknya menjadi berang dan berkata padanya, "Lu musti nemuin itu duwit, kalo
kagak ketemu,lu jangan pulang."

Pitung segera kembali ke pasar Tanah Abang mencari orang yang mencuri uangnya. Pitung
menemukan mereka. Melihat Pitung mendekati, mereka menghampiri Pitung, salah seorang
berkata, "Tung gua tahu keberanian lu, baiknya lu jadi pemimpin gua aja Tung, pokoknya beres
deh lu bakal banyak duwit." "Pemimpin apa ?" ujar Pitung. "Jadi pemimpin gua Tung, buat
ngerampokin duit orang." ujar orang itu melecehkan, Pitung diam saja, orang itu melanjutkan,
"Lu yang ngawasin dan mimpin, kita yang ngerampok."

"Ape ngerampok ? Ah gue kagak mau, sebaiknya duit gue yang lu ambil, pulangin!" kelihatan
Pitung menahan amarah. "Pokoknya duwit lu kagak gue kembaliin kalo lu nggak mau jadi
pemimpin gue," orang itu mengejek.
Ejekan tersebut membuat Pitung marah. Pitung segera mencekal leher orang tersebut. Ternan-
ternan orang tersebut segera menghampiri untuk mengeroyok Pitung. Dengan sigap Pitung
melayani perkelahian. Dalam waktu singkat para kawanan pencopet itu dapat dibekuknya. Pitung
mengambil uangnya, dan segera kembali kerumahnya. Dengan rasa bangga Pitung menyerahkan
uang tersebut kepada pak Piun.

Sejak peristiwa tersebut, Pitung terpanggil untuk membela penduduk yang tertindas oleh
perlakuan sewenang-wenang para penguasa pribumi, para centeng, para tuan tanah dan Belanda
yang merampas hak milik penduduk. Setiap centeng yang terlihat merampas hak milik
penduduk, Pitung memberikan pelajaran kepada centeng tersebut.

Para centeng yang diberi pelajaran oleh Pitung sebagian insyaf dan tidak mau Iagi bekerja pada
tuan tanah maupun Belanda, dan sebagian lagi melaporkan kejadian tersebut kepada tuan tanah.
Tuan tanah melaporkan kepada penguasa penjajah Belanda tentang tindaktanduk Pitung. Pitung
dinilai telah menghambat tegaknya kekuasaan penjajah di Rawabelong. Akibatnya Pitung mulai
dimata-matai oleh aparat penguasa penjajah Belanda.

Pitung menyaksikan penderitaan penduduk yang dirampas hak miliknya oleh para centeng, tuan
tanah dan Belanda, dia bertekad untuk mengembalikan hak-hak penduduk tersebut. Untuk itu
Pitung dan temannya Dji'in dan Rais menjalankan aksi mengambil harta yang ada ditangan para
tuan tanah, penguasa pribumi, dan orang-orang kaya yang berpihak dengan Belanda.

Bagi Pitung, pengambilan secara paksa adalah halal karena harta tersebut pada dasarnya milik
penduduk yang diambil juga secara sewenang-wenang. Tidaklah berdosa merampas harta para
perampas. Harta yang dirampas si Pitung dan teman-temannya tersebut dikembalikan lagi kepada
penduduk. Pitung melaksanakan operasi perampasan sampai ke Jembatan Lima dan Marunda.

Dalam suasana demikian pihak ketiga menumpang lewat, ikut melaksanakan perampokan
mengatasnamakan si Pitung. Sehingga si Pitung terkenal di pelosok Betawi sebagai perampok.
Para tuan tanah, orang kaya pro-Belanda menjadi tidak tentram, mengadukan kepada penguasa
penjajah.

Penguasa penjajah di Batavia memerintahkan aparat-aparatnya untuk menangkap Pitung. Schout


Heyne Kontrolir Kebayoran memerintahkan mantri polisi serta demang dan bek untuk mencari
tahu dimana Pitung berada. Schout Heyne menjanjikan uang yang banyak bagi siapa saja yang
bisa menangkap Si Pitung hidup atau mati. Tidak itu saja, barang siapa yang bisa memberikan
keterangan dimana Si Pitung berada akan diberi hadiah.

Pitung mengetahui dirinya diburon oleh penguasa penjajah beserta para cecunguknya. Karena
Pitung berpindah-pindah tempat, sampai ke Marunda. Meskipun diburon, Pitung tetap
melaksanakan operasi perampasan harta orang kaya, penguasa pribumi para demang dan Tuan
Tanah. Hasil perampasannya dibagi-bagikan kepada penduduk yang miskin akibat pemerasan
yang dilakukan para tuan tanah, centeng dan Belanda.

Karena suka membantu penduduk dalam menghalangi para centeng memeras serta suka
membagi uang hasil rampasan, Pitung menjadi idola penduduk yang tertindas oleh kekejaman
para centeng, tuan tanah dan Belanda. Meskipun Pitung diburon tetapi selalu tidak dapat
ditelusuri jejaknya. Para penduduk selalu menyembunyikan Pitung di rumah mereka, bahkan
seorang pedagang Cina pernah menyembunyikan Pitung ketika dicari oleh kaki tangan penjajah.

Ada masa tidak beruntung. Suatu ketika Pitung melakukan aksi perampasan bersama beberapa
kawannya, kedatangan mereka telah diketahui oleh kaki tangan tuan tanah. Serdadu Belanda
yang dipimpin mantri polisi Kabayoran telah bersiaga dengan senjata. Ketika rombongan Pitung
akan memasuki sebuah rumah milik tuan tanah,terdengar tembakan yang mengarah kepada
mereka. Bersamaan dengan itu terdengar bunyi kentongan bertalu-talu tuan tanah eina dan
demang telah menggerakkan para pemuda yang banyak sekali. Si Pitung dan kawan-kawannya
telah terkepung. Pitung dan kawan-kawannya berusaha untuk melarikan diri karena tidak
mungkin, menghadapi ratusan serta puluhan serdadu bersenjata.

Teman-temannya meloloskan diri, sementara Pitung sengaja membiarkan diri untuk ditangkap
agar teman-temannya dapat lolos. Pitung akhirnya ditangkap serdadu, dibawa ke kantor
Kontrolir Scout Heyne. Schout Heyne terheran-heran ketika mengetahui siapa sebenarnya Pitung
yang selama ini menjadi momok. Schout Heyne menyangka Pitung orang tinggi kekar dan
bertampang seram, ternyata Pitung orangnya sederhana, air muka yang jernih, tak terlihat
perasaan bersalah. "kamu orang nama

Pitung ? Kamu perampok ? Kamu orang jahat" Schout Heyne menghardik Pitung. Pitung
kelihatan tenang tanpa rasa takut, menantang tatapan mata Schout Heyne dan berkata, "Tuan dan
orang-orang tuan yang jahat, ngerampok harta penduduk, membuat bangsa kami susah."

"Kamu orang berani sama Belanda ?"

"Mengapa takut."

Scout Heyne memerintahkan serdadu Belanda memasukan Si Pitung ke dalam penjara. Pitung
dipenjarakan di penjara Grogol.

Didalam penjara Grogol Pitung tidak kerasan. Pitung memikirkan nasib penduduk yang dirampas
hak miliknya oleh Belanda beserta tuan tanah, demang dan para centeng. Di dalam penjara
tentulah Pitung tidak dapat membantu - penduduk. Pitung memutar otak bagaimana caranya ia
bisa lolos dari penjara. Kepada para ternan yang sarna-sarna berada dalam penjara CrogoI,
Pitung mengancam mereka "Kalu lu semua bilang gua lolos dari genteng, lu semua gue bunuh."
Karena ancaman Pitung tersebut, mereka semua tutup mulut. Pada malam hari, penjaga
terkantuk-kantuk dan sempat lelap sejenak, segera Pitung memanjat dinding ruang tahanan,
menjebol plapon, membuka genteng, keluar melalui bubungan atap penjara, melompat keluar.
Pitung lolos dari penjara Grogol. Teman-temannya dalam penjara saling tutup mulut. Ketika penj
aga penjara memeriksa tahanan, Pitung tak terlihat mereka ditanyai penjaga, tak satupun
memberi tahu. Penjaga penjara menjadi heran dan saling bertanya sesamanya. "Kemana Si
Pitung ?"

"Gua kagak tahu."


"Apa Si Pitung bisa ngilang ?

"Mungkin saja, buktinya kapan ada di kamarnya"

Si Kecill abang Pitung mencari Pitung kesana kemari dan ternyata tidak juga bertemu. Karena
tidak ada hasil, pak Piun disiksa oleh penjajah Belanda. Si Kecill juga disiksa oleh penjajah
Belanda. Karena tidak tahan memperoleh siksaan, pak Piun menantang "Bunuh saja aye".

Belanda juga menangkap Haji Naipin, menyiksanya. Karena siksaan Belanda, Haji Naipin
bersedia mencari Si Pitung. Haji Naipin dengan kawalan serdadu Belanda yang bersenjata
lengkap mencari Si Pitung keluar-masuk kampung. Penduduk yang ditanyai tidak satupun yang
memberitahu dimana Pitung disembunyikan, para penduduk menyaksikan Haji Naipin diseret,
disiksa karena tidak dapat menemukan Pitung. Beberapa orang penduduk memberitahukan
kepada Pitung tentang keadaan Haji Naipin, pak Piun, Si Kecil yang disiksa oleh Belanda.

Pitung sangat berang mendengar ceritera penduduk. Pitung biasanya bersembunyi pada siang
hari, akhirnya keluar untuk mencari gurunya, bapaknya serta abangnya yang berada ditangan
penjajah. Di Kota Bambu Pitung menampakkan diri ketika gurunya lewat dibawah todongan
senjata serdadu Belanda. "Lepasin guru gue, yang kalian cari gue, bukan die lepasin" ujar Pitung
sambil berdiri menghadang Scout Heyne yang ikut rombongan mencari Si Pitung sangat
gembira, buruannya selama ini kini ada di depan mata. Scout Heyne tertawa kemudian
memerintahkan serdadu untuk mengepung Si Pitung. Sementara beberapa serdadu menodongkan
senjata kepunggung Haji Naipin. "Kalau kamu orang melawan, dia orang kami tembak, mengerti
kamu?" Scout Heyne mengancam Si Pitung.

Mendengar ancaman tersebut, Pitung menjadi gusar dan luluh. Tak tega ia melihat gurunya hams
mati tertembak karena perbuatannya. Tetapi untuk menyerah, ia merasa enggan, namun
terbayang nasib pak Piun yang didalam penjara Belanda. Pitung pasrah untuk ditangkap tetapi
tidak akan menyerah begitu saja.

Pitung berdiri terpaku, sementara para serdadu Belanda dalam posisi siaga tembak. Scout Heyne
mengacungkan pistolnya, memutar-mutar gagang pistol sambil menyembunyikan senyum ejekan
kepada Si Pitung. " Lepasin die, kalian busuk semua, menghalalkan segala cara." ujar Pitung
berang. " Kita orang tidak bodoh Pitung ! " Scout Heyne berujar Iantang. Kemudian Scout
Heyne memerintahkan serdadunya yang menodong senjata kepada Haji Naipin untuk
melepaskan Haji Naipin dari todongan, namun tetap diwaspadai.

Haji Naipin yang agak bebas berdiri, tidak tega melihat Pitung terkepung oleh para serdadu
Belanda yang siaga tembak. Haji Naipin merogoh sakunya yang berisi telur busuk, menimang-
nimang telur busuk tersebut. Haji Naipin berharap, bila telur tersebut dilemparkan ke badan
Pitung, bila Pitung melawan dan tertembak, maka ia dapat menyembuhkan Si Pitung.

Scout Heyne yang perasaannya takut bila Pitung melawan maka dengan segera mengambil
keputusan untuk memerintahkan serdadunya menembak. Saat yang hampir bersamaan Haji
Naipin terlebih dahulu melemparkan telur busuk ke badan Si Pitung Scout Heyne berteriak
lantang " Tembak !" bersamaan dengan itu terdengar letusan bedil serdadu Belanda. Beberapa
peluru menghujam kebadan Pitung, Pitung berdiri terpaku menatap Scout Heyne. Pitung tak
menyangka Scout Heyne berlaku curang padahal beberapa saat sebelum Haji Naipin
melemparkan telur busuk, Pitung telah memberi tanda mengangkat kedua belah tangannya
sebagai pertanda bersedia menyerah. Pitung marah sekali dan melontarkan kata, " Heyne mulai
hari ini Iu menjadi musuh gue dan akan gue hisap darah lu." Scout Heyne kembali memberi
komando "Tembak !" Beberapa peluru kembali menerjang tubuh Pitung. Karena ajal Pitung
sudah tiba sesuai ketentuan Allah tentang mati hidupnya seorang hamba, malaikat Izrail
mencabut nyawanya. Pitung
rubuh bersimbah darah, jatuh ke bumi. Pitung gugur,sebagai pejuang bangsanya dalam melawan
penindasan Belanda beserta kaki tangannya.

Jenazah Pitung diangkut oleh Belanda, dibawa ke kantor Asisten Residen. Scout Heyne dengan
bangga melaporkan hasil kegiatannya dalam melumpuhkan aksi perlawanan Pitung. Asisten
Residen cuma diam saja, kemudian memerintahkan agar Si Pitung dikuburkan di Pejagalan.
Kuburan Si Pitung selama 6 bulan dijaga karena beberapa demang melaporkan bila tidak dijaga,
mayatnya akan di bongkar, dibawa ke perkampungan dan dapat dihidupkan kembali oleh
gurunya Haji Naipin. Haji Naipin, pak Piun dibebaskan oleh Belanda. Beberapa hari kemudian
Scout Heyne dipanggil Asisten Residen, pangkatnya dicopot atau di berhentikan sebagai
kontrolir karena bertindak yang tidak pantas sebagai tentara dan sangat memalukan karena
menembak orang yang tidak melawan.

Referensi : Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, Cerita Rakyat Betawi, 2004

Sumber : Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta

Si Jampang
Monday, 05 October 2009 14:56

Jakarta.go.id - Anak laki-laki itu dinamakan Jampang. la lahir di desa


Jampang Sukabumi Selatan. Bapaknya berasal dari Banten dan ibunya
berasal dari desa ]ampang. Anak laki-laki itu tinggal di rumah pamannya
di Grogol Depok. Pamannya sangat sayang kepadanya, selain keponakan,
anak laki-laki itu juga yatim piatu yang memerlukan perlindungan.

Sang paman membawa Jampang dari desa Jampang ke Grogol Depok.


Dirumah pamannya, Jampang dibesarkan. Jampang diperlakukan sebagai
anak sendiri. Agar ]ampang memiliki ilmu, bekal hidupnya, oleh
pamannya ia disuruh mengaji pada seorang guru ngaji di Grogol Depok.
Jampang juga disuruh belajar ilmu bela diri oleh pamannya. Pamannya berkata, "Pang, Lu mesti
punya kepandaian silat, karena menegakkan kebenaran tanpa kekuatan adalah sia-sia."

" Aye mang ! " jawab Jampang penuh rasa hormat.

" Lu ikut mamang ke Cianjur, lu belajar silat disana ama kenalan mamang."

" Aye sih pegimane mamang."

Oleh pamannya, Jampang diantarkan ke Cianjur untuk belajar sekaligus menetap dirumah guru
silat.

Selain belajar silat, ]ampang membantu guru silatnya, Jampang membantu menanem padi,
merapikan rumah. Ditempat guru silatnya, Jampang memperlakukan diri sebagai anak, tidak
berpangku tangan. Guru silatnya menjadi sayang, dan dengan rela hati mengajarkan semua
kepandaian yang dimiliki termasuk ilmu kebatinan.

Setelah Jampang menyelesaikan menuntut ilmu silat, ia kembali ke Grogol Depok. Guru silatnya
berpesan kepadanya agar ilmu yang didapatnya jangan digunakan untuk berbuat kejahatan.
Jampang mengangguk setuju, kemudian mencium tangan guru silatnya mohon izin
meninggalkan Cianjur kembali ke Grogol Depok "Pang! Salam aye buat mamang lu," ujar Guru
silatnya. " Aye, Guru !"

Jampang kembali ke rumah Mamang di Grogol Depok. Dari Cianjur Jampang berjalan kaki
melewati jalan setapak naik turun perbukitan menuju Bogor. Dari Bogor Jarnpang menumpang
kereta api Buitenzorg-Batavia turun di Depok. Pamannya sangat gembira menyambut
kedatangan Jampang yang telah berbulan lamanya meninggalkan rumah untuk menuntut ilmu
silat. Oleh pamannya, Jampang diminta meneruskan menuntut ilmu mengaji. Jampang dengan
patuh memenuhi permintaan mamangnya. Berkat ketekunan dan kepatuhan untuk menuntut ilmu
mengaji, Jampang dengan mudah menyerap ilmu mengaji yang diajarkan gurunya. Gurunya
menjadi sayang kepadanya, selama menuntut ilmu mengaji, Jampang juga membantu
mamangnya dan guru ngajinya mengerjakan sawah.

Setelah merasa cukup memiliki bekal ilmu dan usianya telah menanjak dewasa menjadi seorang
pemuda, Jampang merasa sudah saatnya tidak bergantung lagi dengan mamangnya. Jampang
menyampaikan keinginannya untuk merantau ke Betawi.

" Kalo emang lu pengen merantau, lu mesti bawa diri, biar orang laen seneng ame lu."
mamangnya menasehati " Aye mang." jawab Jampang.

Jampang berangkat ke Betawi, memulai kehidupan mandiri. Di Betawi Jarnpang menuju salah
seorang ternan mamangnya di Kebayoran Lama. la diterima menetap dirumah tersebut. Sebagai
penumpang, Jampang membantu si empunya rumah berkebun serta berdagang buah di pasar
Tanah Abang.
Suasana Kebayoran Lama tempat Jampang menetap di bawah kekuasaan tuan tanah dengan
centeng centengnya yang setiap bulan datang menagih pajak kepada penduduk. Bila penduduk
tidak punya uang untuk membayar pajak, para centeng tak segan-segan mengambil harta milik
yang ada di rumah penduduk. Ada kambing yang terlihat di kandang akan diambil. Keadaan bisa
lebih buruk lagi, para centeng akan memukuli orang yang tidak bisa membayar pajak.

Jampang menyaksikan perilaku para centeng yang tidak punya perikemanusiaan kepada
penduduk. Timbul keinginan untuk menantang para centeng, tapi Jarnpang masih berpikir akan
nasib orang yang ditumpanginya. Jampang mengamati dengan cermat wajah para centeng dan
bertekad akan membalas perbuatan mereka dikemudian hari.

Selama menumpang dirumah itu, Jampang berkenalan dengan gadis kampung tersebut. Jampang
menjalin tali kasih dengan wanita di kampung itu, kemudian berniat membina rumah tangga.
Jampang menyampaikan isi hatinya wanita tersebut setuju, kemudian si empunya rumah diminta
untuk melamar orangtua wanita tersebut.

Jampang menikah dengan gadis Kebayoran Lama dan pindah menetap dirumah mertuanya. Oleh
mertuanya, Jampang diberi sebidang tanah untuk digarap. Bersama isterinya, Jampang
menggarap tanah, menanami lahan dengan bibit padi, kacang dan kelapa. Selain menggarap
tanah, Jampang juga menjual hasil kebun mertuanya ke pasar Tanah Abang. Isterinya hamil
kemudian melahirkan seorang anak laki-laki diberi nama Jampang muda. Wajah anaknya sangat
mirip dengan dirinya, ibarat pinang dibelah dua. Jampang sangat gembira, kegembiraan yang
tidak terkatakan. Setiap selesai bekerja di kebun atau menjual hasil kebun di pasar, Jampang
selalu bercanda dengan anaknya.

Sekalipun Jampang memiliki ilmu silat yang tinggi, tetapi ia pun terkena tagihan dari centeng
tuan tanah Kebayoran. Sebenarnya Jampang ingin melawan, tetapi memikirkan anaknya yang
masih disusui isterinya
Jampang mengalah, membiarkan para centeng beraksi didepan matanya.

" Mane pajak lu, cepat ! " hardik centeng padanya.

" Ini bang! Jampang menyerahkan uang beberapa sen pada centeng tersebut.

"Lu memang penduduk yang taat.

" Aye bang" Jampang berpura-pura seperti orang bodoh

Ketika anaknya berusia 4 tahun, isterinya meninggal dunia. Jampang sangat sedih dengan
kepergian isterinya. Ditatapnya mata anaknya yang kini tidak beribu lagi. mertuanya datang
menggendong anaknya sarnbil berkata.

" Biarlah dia ame kami disini Pang."

"Aye nyak."
" Lu mau kemane Pang ?"

" Mau ke Tanah Abang nyak."

Jampang menitipkan anaknya kepada mertuanya, ia pergi ke Tanah Abang. Jampang


memutuskan untuk mengambil kembali hak miliknya dan hak milik mertuanya serta penduduk
yang diambil oleh para tuan tanah dan centeng secara sewenang-wenang. Jampang pergi ke
Tanah Abang sambil melewati rumah para tuan tanah dan orang-orang kaya serta rumah para
centeng. Sungguh sangat berbeda, rumah mereka penuh dengan perabotan mahal. Dari mana lagi
kalau bukan dari hasil memeras penduduk.

Jampang di pasar Tanah Abang sampai menjelang Ashar. Kemudian pergi ke rumah seorang
tuan tanah, mengamati dengan cermat keadaan rumah, berapa centeng yang menjaga, bagaimana
jalan masuk yang tepat. Setelah itu Jampang pergi ke langgar, menunggu sambil sholat Maghrib
dan Isya.

"Anak siape ? " tanya imam sekaligus ustadz langgar menyapanya

"Aye Jampang pak imam" jawab Jampang

" Anak dari mane? "

" Aye dari Kebayoran Lama"

" Ada keperluan apa singgah di kampung ini ?"

" Aye pengen ngambil milik aye yang dirampok tuan tanah", "Hati-hati nak, banyak
jagoannya." .

" Pan aye punya penolong " " Siape ?"

" Nyang diatas, Allah "

Imam langgar geleng kepala. Jampang segera mengambil wudhu dan azan Maghrib. Kemudian
shalat Maghrib berjamaah.

Selesai sholat, imam langgar mengajak Jampang makan di rumahnya. Jampang tidak menolak,
mengikuti imam langgar menuju rumah imam langgar. Sambil jalan imam langgar berkata,
"Malam ini ada pertunjukan di kampung sebelah, biasanye lewat Isya para centeng dan tuan
tanah pergi".

"Terima kasih pak ustadz."

Setelah sholat Isya, Jampang bergerak perlahan mendekati rumah tuan tanah. Dari kejauhan
terlihat kerumunan orang. Para centeng dengan golok di pinggang sambil menyulut rokok
sebagian duduk, sebagian berdiri. Kemudian keluar seorang yang barangkali tuan tanah.
Kemudian kerumunan itu pergi dari rumah itu menuju ke kampung sebelah menonton
pertunjukan Gambang Kromong.

Jampang dengan cermat mengawasi kepergian tuan tanah dan para centengnya. Setelah mereka
berlalu beberapa saat, Jampang masih tetap di tempatnya untuk mengawasi keadaan rumah.
kemudian keluar seorang lelaki, menutup pintu pagar lalu masuk kembali ke dalam rumah.
Jampang bergerak perlahan-lahan sambil mengawasi keadaan sekitarnya. Suasana sepi,
gemerisik angin dan suara jangkrik memecah kesunyian malam. Jampang melompati pagar
rumah tuan tanah, kemudian merangsek maju mendekati jendela, menempelkan telinga pada
kayu dan jendela. Terdengar suara perempuan sedang berbincangbincang didalam rumah.

" Nyak, kalung aye belon juge dibeliin kapan nyak ? "terdengar suara perempuan muda, mungkin
anak tuan tanah.

" Entar kalo si Rochim ame babe lu, pasti lu punya kalung juga" ujar perempuan tua, mungkin
isteri tuan tanah.

" Babe sih seneng ingkar janji, bukannya beliin untuk aye, tapi buat gendak-gendaknya. "

" Kagak bener lu omongin babe lu, durhaka nak."

" Biarin, abisnye aye kagak dibeliin gelang " " Sono tidur, pan udah malem "

Jampang bergeser ke jendela lainnya, memasangkan telinga untuk mendengar, tak ada suara apa-
apa, mungkin sudah tidur. Dengan perlahan-lahan menggunakan tenaga dalam, Jarnpang
membuka jendela lalu melompat masuk. Seorang lelaki yang sedang tidur ayarn tersentak
bangun, Jampang dengan sigap membekuk laki-laki itu untuk tidur kembali, sebuah pukulannya
membuat lelaki itu terkulai layu tak
berdaya. Jampang kemudian bergerak kekamar tidur tuan tanah. Tangannya mengetuk pintu
perlahan-lahan, terdengar suara panggilan dari dalarn karnar.

" Siape, elu Min ?" tanya isteri tuan tanah.

"Aye nyah" ujar Jarnpang memalsukan suara" Ada ape sih? Lu mau nonton ?" " lye nyah "

Terdengar langkah menuju pintu, pintu terbuka, dalam waktu tak lebih dari dua detik, Jampang
berhasil membekuk isteri tuan tanah. Goloknya ditodong ke Ieher isteri tuan tanah.

"Tunjukan mane lemari lu "Jampang mengarah isteri tuan tanah ke lemari di dalam kamar.

"Jangan !" ujar isteri tuan tanah.

" Lu teriak gue sabet leher lu."

Jampang membuka pintu lemari, ternyata terkunci. Jampang menekan ujung goloknya ke leher
isteri tuan tanah.
" Ampun, " ujar isteri tuan tanah minta belas kasihan " Ambilin kuncinya, cepat!"

" Lepasin aye"

" Tidak, mana kuncinya ?"

lsteri tuan tanah menunjuk kearah kasur. Jarnpang mengarah isteri tuan tanah ke sisi kasur,
kemudian mengangkat kasurnya, mengambil kunci. Kemudian Jampang mengikat isteri tuan
tanah dan menyumpal mulutnya dengan kain.

Jampang membuka lemari, mengarnbil uang dan emas yang ada dalam lemari, kemudian uang
emas dan beberapa potong kain sarung dikumpulkan dalam sebuah kain sarung. Lalu Jampang
mendekati isteri tuan tanah, melucuti kalung, gelang serta cincin yang dipakai isteri tuan tanah.

"Hei perempuan, lu pikir semua bande ini milik lu?" ujar Jampang seraya menengadahkan kepala
isteri tuan tanah dengan tangannya.

"Bande ini laki lu rarnpas dari rakyat, ini semua keringat penduduk, yang kerjanya setengah
mati, lu enak-enak main rampas," ujar Jampang menatap tajam ke muka isteri tuan tanah.

Jarnpang kemudian keluar dari kamar tersebut, menutup pintunya perlahan-lahan, berjingkat ke
arah kamar yang tempat ia masuk, melompat lewat jendeia kemudian mendekati pagar, lalu
melompat keluar. Jampang melangkah waspada, tidak melalui jalan yang biasa dilalui orang. Ia
mengambil jalan lewat tegalan sawah menuju ke Kebayoran. Jampang tiba di rumahnya saat
hampir subuh. Selama perjalanan, Jampang membagi-bagikan sebagian rampasannya ke rumah-
rumah penduduk miskin. Sampai di rumah, Jampang segera menyimpan sisa rampasan, lalu
mengambil air wudhu, melaksanakan sholat subuh. Memohon ampun kepada Allah tindakan
yang terpaksa dilakukan, kemudian tidur lelap. Setelah peristiwa tersebut, Jampang mencari tahu
tentang tuan tanah tersebut semakin bengis dalam menagih pajak, tidak perduli keluhan
penduduk mengapa tagihan pajak begitu
cepat dari waktunya.
"Pan pajeknye udah aye bed kemarin" ujar penduduk pada centeng.

"Diam lu, ngebacot gua golok " hardik centeng.

Jampang yang menyaksikan keadaan tersebut, tidak bisa menahan diri. Jampang menghadang
beberapa orang centeng yang baru saja merampas dari sebuah rumah penduduk.

"Minggir lu bangsat ! " hardik centeng pada Jampang.

" Serahin semua bawaan lu " pinta Jampang.

" Lu mau ngerampok ?"

" Emang kenape, lu juga ngerampok," ujar Jampang tenang.


Centeng-centeng segera mengayunkan goloknya ke arah Jampang. Dengan sigap Jampang
melayani perkelahian dengan para centeng. Seorang centeng yang mencoba melarikan barang,
segera dijegal Jampang. Perkelahian menjadi seru. Satu persatu centeng berhasil dilumpuhkan,
kemudian Jampang melemparkan golok mereka ke rumput ilalang, lalu menghardik mereka.

" Bangun ! pergi atau gue cabut nyawa elu-elu"

Para centeng dengan susah payah bangun, kemudian terbirit-birit menjauh dari Jampang,
kemudian hilang dari pandangan.

Penduduk segera berdatangan, Jampang melemparkan barang-barang rampasan dari centeng


kepada penduduk. " Ambil yang kalian punya" ujar Jampang.

Para penduduk memilih barang mereka kemudian mendekati Jampang, sebagian berlutut ingin
mencium kakinya.

" Jangan ! gue bukan Belande, bangun ! pulang kerumah masing-masing " seru Jampang.

" Terima kasih, Bang " penduduk memberi hormat. Kemudian Jampang berlalu dari tempat itu.

Jampang terus melakukan aksinya setiap malam ke rumah tuan tanah, rumah para centeng dan
rumah orang kaya. Jampang terus berpindah tempat diantaranya Grogol, Pasar Ikan, Tanjung
Priok dan Tambun Bekasi. Selain melakukan aksi perampasan malam hari, Jampang juga selalu
menghadang para centeng yang menagih pajak atas penduduk. Karena aksinya, namanya
dikenalluas oleh penduduk si Jampang dihormati dan dielu-elukan kehadirannya, sedangkan bagi
para centeng, tuan tanah, demang dan Belanda, si Jampang sangat dibenci dan diburu.

Penguasa penjajah mengerahkan polisi untuk mengintai si Jampang, tetapi karena ia selalu
berpindah-pindah tempat operasinya, sulit bagi polisi Belanda menangkapnya, sementara jagoan
centeng para tuan tanah tidak mampu membunuh Jampang dalam setiap perkelahian. Akibat
keberhasilan yang selalu memihaknya Jampang digelari penduduk sebagai Si Jampang Jago
Betawi.

Sehari harinya Jampang sangat memperhatikan anaknya. Anaknya dititipkan di rumah


mertuanya. Setiap ada kesempatan Jampang mendatangi rumah mertuanya menemui anaknya.
Baru setelah anaknya berusia diatas sepuluh tahun. Jampang mengajak tidur dirumah mereka,
jika kebetulan menginap di rumah, jika Jampang beroperasi, anaknya dititipkan dirumah mertua.
Jampang tak ingin mertuanya dan anaknya susah, karenanya Jampang tidak beroperasi
dikampungnya.

Jampang juga mengajarkan anaknya ilmu serta ilmu agama seadanya jika kebetulan di rumah.
Anaknya tumbuh menjadi dewasa dan kekar. Mencapai usia 15 tahun, Jampang berkata pada
anaknya.

"Eh lu tong, gua mau nanya ame lu. lu mau sekolah apa lu mau ngaji?" Tanya Jampang.
"Ngaji aye nggak mau, sekolah juga aye ogah. Aye kepengen belajar main pukul kaye babe".

"Lu jangan main pukul kaya bapak lu, kalau lu ogah semua, baekan lu kawin aje dah".

"Aye kagak mau kawin be, kalau gitu aye mendingan sekolah aje, kalau babe mau kawin, babe
aja dah yang kawin". Jampang tertawa mendengarkan jawaban dan usulan anaknya.

"Kalo lu punya nyak lagi, gua punya kawan yang bernama Sarba di tanah perkembangan
Tambun" kata Jampang. Jampang kemudian menyerahkan anaknya pada seorang guru ngaji.
Setelah itu Jampang pergi ke tanah perkembangan menemui Sarba temannya.

Di tanah perkembangan Jampang di sambut oleh Si Ciput pembantu rumah tangga Sarba.
Jampang gembira sekali karena akan bertemu temannya yang sudah lama berpisah.

"Eh Put kemana Sarba?" tanya Jampang antusias.

"Sarba pan udah meninggaI" ujar Ciput tenang menjawab pertanyaan Jampang. Jampang kaget
bukan kepalang, Jampang bagaikan tak percaya pada pertanyaan Ciput.

"Hah! Masa iye Put, Sarba udah meninggal ??? kalo gitu istri Sarba si Mayangsari menjande ye
Put?" Jampang berkelakar.

"Betul" jawab Ciput tersenyum.

"Wah, kebetulan sekali Put, gua sedang kagak punya bini, bini gua udah meninggal Put. Coba lu
omongin ame Si Mayangsari. Put, ape mau die kawin arne gua?" Jampang minta Ciput untuk
memberitahukan keinginannya pada Mayangsari.

Ciput masuk ke dalam rumah, sementara Jampang duduk di serambi rumah. Beberapa waktu
kemudian Ciput dan Mayangsari menemui Jampang, Jampang tersentak bangun dan menyalami
Mayangsari.

"Mayangsari ... Abang Sarba pergi kemane?" Jampang berpura-pura tidak tahu.

"Abang lu jangan ditanya, Sarba telah lama meninggal dunia" Mayangsari menjawab dalam nada
sedih.

"Sakit apa abang Sarba kok aye nggak dikabarin" Mayangsari kemudian menjelaskan.

"Begini Jampang, ketika gua ama abang lu belum punya anak, dulunye kite bedua pegi ke
gunung Kepuk Batu. Maksudnya kita mau ziarah di makam keramat sembari mohon supaya
dikasih anak. Disana kita diterima juru kunci yang bernama Pak Samat. Kemudian pak Samat
membakar kemenyan sambil membuka mantera-mantera, dan tak lama keluarlah setan dari
tempat keramat itu. Abang lu Sarba bertanye kepada to setan, "Apakah gua bakal punya anak?"
Tuh setan manggut-manggut. Anak perempuan atau anak laki-laki? Setannye diem aja. Anakku
perempuan? Setannye geleng kepala. Anak laki-laki. Setannye manggut-manggut. Abang lu
bilang kalau saye dapat anak laki-laki, saya berjanji akan membawa sepasang Bekakak Kebo
yang ditusuk dari pantat sampai kepala katanye. Setelah itu gue ame abang lu pulang lagi
kerumah dan beberapa bulan kemudian gue ngandung sesudah genap usia kandungan gue,
lahirlah seorang bayi laki-laki, anak itu gue kasih nama Abdih. Lima belas taon udehnye
tentunya si Abdih udeh gede, gue arne abang lu tuh jadi bingung abis gimane, keadaan sulit
mane si Abdih pengen disekolahin, maka untuk menentramkan hati gue, Bang Sarba lu tuh
ngajakin gue jalan-jalan dan plesiran sambil ngajakin si Abdih ke Betawi. Tapi malang nasib
Abang lu si Sarba dadakan aja tuh jatuh sakit dan lantas kontan meninggal di tempat plesiran itu
juga. Hal ini menurut dukun, Bang Sarba tidak menepati janjinya waktu memuja-muja di gunung
Kepuk Batu. Kalo dapet anak laki-laki akan
bawain sepasang Bekakak Kebo." Demikian Mayangsari menjelaskan panjang lebar tentang
kematian Sarba. Jampang dengan serius mendengar penjelasan Mayangsari.

"Kemane anak Mpok si Abdih itu?" tanya Jampang.

"Die sedang sekolah di Bandung" jawab Mayangsari. Jampang memanfaatkan kesempatan,


dialog tersebut untuk menyampaikan maksudnya. Dalam kesempatan yang tepat Jampang
melontarkan niatnya.

"Mpok jande, aye dude, nah baeknya kita kawin aje kan klop" ujar Jampang serius dan
mengharapkan jawaban.

"He Jampang, kalo lu pengen kawin, lu urusin sendiri diri lu, ape lu mau cari jande kek, perawan
kek itu urusan lu asal jangan lu mau kawin ame gue, itukan nggak pantes" Mayangsari sangat
berang, kemudian bangkit meninggalkan Jampang duduk sendiri.

Jampang belum menyerah. Ia meminta Ciput memberitahu kepada Mayangsari bahwa niatnya
bukanlah main-main. Jampang juga menjanjikan hadiah bila Ciput bisa meluluhkan hati
Mayangsari. Ciput masuk ke rumah untuk melunakan hati Mayangsari. Ternyata Mayangsari
marah besar, Ciput mendapat sumpah serapah. Mayangsari kemudian keluar menemui Jampang
sambil berujar.

"Lu jangan ngerecokin gue Jampang, gue lagi bingung nih" seraya meludahi muka Jampang
kemudian masuk ke rumah.

Jampang merasa malu dengan perlakuan Mayangsari. Jampang beranjak meninggalkan rumah
temannya almarhum Sarba. Jampang bertekad untuk menutupi malunya dengan menikahi
Mayangsaridengan jalan apapun. Jampang pergi kerumah keponakannya. Sarpin keponakan
Jampang juga seorang jagoan. Sarpin kaget melihat kedatangan Jampang, pamannya yang sudah
lama tak bertemu. Kepada Sarpin Jampang menceritakan pengalamannya dengan Mayangsari,
dan meminta Sarpin membantu. Sarpin dengan senang hati bersedia
membantu pamannya. Mereka menemui seorang dukun manjur untuk mendapatkan ilmu pelet
agar Mayangsari tergila-gila padanya. Pak Dul dukun manjur dari kampung Gabus memberikan
ilmu pelet kepada Jampang.
Berbekal ilmu pelet tersebut, Jampang menemui Mayangsari kontan saja Mayangsari menjadi
gila. Jampang menjadi kuatir dan pergi. Beberapa hari kemudian Abdih anak Mayangsari pulang
dari Bandung, menemukan ibunya gila, lalu Abdih berupaya menyembuhkan. Abdih mengetahui
sebab ibunya menjadi gila. Setelah ibunya. sembuh. Abdih menemui Jampang dan menceritakan
bahwa ibunya bisa menikah dengan Jampang asalkan dipenuhi syarat.

"Apa syaratnye?" tanya Jampang.

"Syaratnya Bapak Jampang harus memberi mas kawinnya kebo sepasang."

Mengetahui syarat yang diajukan, Jampang kemudian mengajak Sarpin untuk merampas kerbau
milik Haji Saud di Tambun. Dalam aksi perampasan mereka dengan mudah membawa kerbau
tersebut. Dalam perjalanan pulang, Jampang dan Sarpin temyata telah dikepung berpuluh
serdadu Belanda bersenjata lengkap. Jampang dan Sarpin tertangkap dan dipenjarakan.

Jampang kemudian diadili, segala aksinya sejak dulu diungkapkan di persidangan dan
menjatuhkan hukuman mati kepadanya. Jampang dengan tabah menuju tiang gantungan sambil
berdoa memohon ampunan kepada Allah bahwa apa yang dilakukan olehnya tak lebih dari reaksi
orang-orang tertindas oleh kejaliman penjajah beserta kaki tangannya. Regu tembak menarik
pelatuk dan ajalnya memang tiba, tamatlah riwayat Si Jampang. Jago betawi yang dibenci
penjajah beserta kaki tangannya tetapi dicintai oleh penduduk.

Referensi : Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, Cerita Rakyat Betawi, 2004

Sumber : Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta

Nenek Jenab dengan Buaya Buntung


Monday, 05 October 2009 11:45

Jakarta.go.id - Alkisah menurut cerita pada masa dahulu,


hiduplah seorang gadis yang bernama Jenab. Ia berumur 20
tahun. Parasnya amat cantik. Ia tinggal bersama ibunya yang
sudah tua di sebuah rumah yang besar dan indah. Rumah itu
warisan ayahnya. Di masa hidupnya, ayah Jenab kaya raya dan
terpandang di kampungnya. Kedua orang tuanya amat
menyayangi Jenab sebagai anak semata wayang.

Setelah ayahnya meninggal karena sakit, Jenab diurus ibunya


dengan baik, sehingga tumbuh dewasa sebagai gadis cantik.
Kecantikannya itu terkenal di seluruh kampung di Betawi. Boleh
dikatakan tak ada kekurangannya kecantikan Jenab itu, sehingga seluruh pemuda tergila-gila
padanya. Sayang di balik kecantikannya itu Jenab mempunyai sifat tercela. Ia angkuh. Karena itu
banyak pemuda yang akhirnya kecewa terhadap Jenab.

Meskipun demikian, ada juga pemuda yang tertarik kepada Jenab. Hal itu menyebabkan
keangkuhan Jenab menjadi-jadi. Sifatnya dari hari ke hari menjadi makin kasar. Melihat tingkah
laku Jenab yang kasar, ibunya bersedih hati.

Pada suatu hari berkatalah ibunya kepada Jenab :

"Jenab, ibu sudah tua, ingin sekali bermenantu. Tapi kulihat, engkau terlalu angkuh dan
sombong, sehingga banyak pemuda yang menghindar darimu. Jenab, apakah engkau ingin
menjadi tua tanpa suami yang mendampingimu ? Rubahlah perangaimu, nak "

Jenab termenung, lalu berkata :

"Coba ibu katakan, siapa gerangan pemuda yang ingin melamarku, nanti Jenab jelaskan mengapa
Jenab tidak mau dengan dia".

Ibunya berpikir sejenak, lalu berkata lagi :

"Lamaran si Ayub dulu mengapa kau tolak ? Padahal ia berasal dari keluarga terpandang".

"Oh, si Ayub yang pendek itu ? Maaf, bu, aku tak tertarik padanya."

Ibunya sangat terpukul dengan jawaban Jenab, kemudian ibunya berkata:

"Baiklah, nak, itu alasanmu menolak si Ayub. Tapi bagaimana dengan Mat Bongkar yang
tubuhnya tinggi dan tegap, Jenab tolak juga kan ?".

"Mat Bongkar, bu, hidungnya pesek, lagi pula ia miskin".

Ibunya bangkit amarahnya, dan berkata :

"Jenab, kalau begitu, terserah kepadamulah, ibu tak ingin turut campur lagi" .

Ibunya kemudian berlalu dengan hati yang kecewa meninggalkan Jenab.

Percakapan dengan ibunya ini tidak mengubah perangai Jenab, ia tetap sombong.

Pada suatu hari, adalah seorang pemuda bernama Roing berjalan di depan rumah Jenab. Jenab
asyik menyapu beranda rumahnya, sehingga tak terpandang olehnya si Roing itu. Tiba-tiba
beberapa lembar kertas yang disapunya melayang dan jatuh di kaki si Roing. Pemuda itu
menoleh ke arah dari mana datangnya sampah, dan ia terkejut bukan kepalang melihat gadis
cantik sedang menyapu. Roing tersenyum, Jenab malah membuang muka. Roing berusaha
tersenyum lagi, dan berkata :
"Mohon maaf, bolehkah aku menolongmu ?".

Jenab menjawab dengan tegas :

"Kau sungguh kurang ajar dan tak tahu kesopanan, beraninya kau menyapa gadis yang belum
kau kenal".

Dengan kecewa Roing berlalu dari rumahJenab. Ia berusaha melupakan peristiwa itu, tetapi
hatinya yang sakit susah diobati. Dari hari ke hari Roing
merasakan sakit hatinya dihina Jenab. Akhimya ia berdoa kepada Tuhan agar memperoleh jalan
untuk mengatasi perasaannya itu. Setelah berdoa
dan sembahyang, Roing tertidur. Dalam tidur ia bermimpi kedatangan seorang lelaki tua
bersorban dan berjanggut putih seraya berkata padanya:

"Janganlah kau bersedih anakku. Jenab itu bukan jodohmu. Suatu hari kelak ia akan mendapat
balasan Tuhan atas kesombongannya itu"

Syahdan, menurut cerita di kampung itu hidup seorang perampok. Perampok itu ingin menuntut
ilmu hitam, yaitu ilmu kejahatan di sebuah gunung yang angker. Caranya dengan bertapa di
dalam gua di pegunungan tersebut. Bila sampai waktunya, maka jin Afrit penguasa gunung akan
muncul dan menurunkan ilmu hitamnya kepada si pertapa. Tapi sebagai imbalannya, si pertapa
mesti menjalankan syarat yang ditentukan jin Afrit dan menuruti kemauannya.

Perampok tadi melakukan tapa, dan setelah jin Afrit muncul perampok dapat menerima syarat
yang diminta jin Afrit. Maka iapun menerima ilmu hitam dari jin Afrit. Syarat yang harus
dipenuhinya ialah si perampok tak boleh menikah seumur hidupnya. Jika perampok itu
melanggar, maka ia akan menjadi seekor buaya.

Perampok itu turun gunung, dan kembali ke kampung. Maka ia pun mengumpulkan pengikut,
lalu menjalankan aksi kejahatan. Karena ilmu hitam yang dimilikinya itu, perbuatan jahat ini tak
diketahui orang siapa sesungguhnya pelakunya. Maka ia pun kaya raya sebagai hasil
perbuatannya menjarah harta orang lain.

Karena kekayaannya, maka ia pun menjadi orang terpandang di kampung itu. Banyak orang
yang memandang harta menginginkan perampok itu menjadi menantunya. tetapi tidak seorang
wanita pun dapat menarik hati si perampok. Sebenarnya si perampok hatinya galau, karena ia
teringat perjanjiannya dengan jin Afrit.

Pada suatu hari ketika berjalan di depan rumah Jenab, perampok itu bertatap pandang dengan
Jenab. Hatinya tertarik, namun Jenab segera masuk ke dalam rumahnya. Perampok itu lalu
singgah di sebuah warung kopi, dan bertanya kepada seorang wanita penjaja kopi:

"Mpok siapa gadis cantik yang berdiam di rumah besar dan indah itu ?"

"Oh, itu si Jenab. Dia cantik memang, tapi sombong. Tidak mungkin deh ada lelaki yang dapat
mengawininya".
Mendengar keterangan penjaja warung, perampok itu merasa ditantang. Ia bergegas
meninggalkan warung. Perjanjiannya dengan Jin Afrit dilupakannya demi hawa,nafsu ingin
menikah dengan Jenab.

Pada suatu hari ia nekad bertandang ke rumah Jenab. Ia diterima ibu si Jenab dengan baik.
Maklum perampok itu di kampung dikenal sebagai orang kaya, tak ada yang tahu bahwa ia
sesungguhnya perampok belaka. Ternyata Jenab amat tertarik mendengar dari balik pintu
percakapan perampok dengan ibunya itu. Perampok mengajukan lamaran, ibu si Jenab tidak
menjawab melainkan masuk ke dalam rumah memberitahu Jenab. Tak disangka Jenab menerima
lamaran perampok itu.

Tidak perlu diceritakan betapa gembiranya perampok itu mendengar lamarannya diterima Jenab.
Dialah satu-satunya laki-laki yang mampu meminang Jenab. Perampok itu makin melupakan
perjanjiannya dengan jin Afrit.

Maka persiapan pesta perkawinan pun diadakan, tenda besar dipasang di depan rumah Jenab.
Undangan disebar ke seluruh sanak saudara dan handai taulan. Dan pesta pun berlangsung
dengan meriahnya selama tiga hari tiga malam.

Perampok itu hidup dengan Jenab sebagai suami isteri. Tak lama kemudian Jenab pun hamil.
Sembilan bulan kemudian Jenab melahirkan seorang anak lelaki yang gagah dan diberi nama
Mi'ing. Kedua orang tuanya merawat Mi'ing dengan kasih sayang. Mi'ingpun tumbuh sebagai
anak laki-laki yang tampan.

Sehari-hari Mi'ing bemain dengan sesama anak orang kaya juga. Tapi Mi'ing bertabiat buruk. Ia
serakah dan suka mengambil barang milik orang lain. Pada suatu malam Mi'ing bermupakat
dengan temantemannya untuk mengambil buah-buahan dari kebun seorang haji. Namun haji itu
sudah mendengar sejak lama perbuatan Mi'ing yang tidak senonoh. Setiap malam haji itu tidur
larut malam menjaga tanaman buah-buahannya. Ia selalu menyelipkan sebilah golok di
pinggangnya bila berjalan mengelilingi kebun buahnya.

Tengah malam Mi'ing masuk ke kebun milik haji bersama temantemannya dengan merusak
pagar kebun. Haji bersiap menanti aksi Mi'ing. Ketika Mi'ing mendekat, langsung haji menebas
Mi'ing dengan goloknya. Mi'ing yang tidak menyangka dirinya akan kena batunya tak dapat
menghindar dari sabetan golok haji. Tulang pinggul Mi'ing patah terkena golok haji. Ia jatuh
tersungkur. Teman-temannya segera melarikan Mi'ing. Haji melihat dari kegelapan anak-anak
kurang ajar itu bertolak dari rumahnya sambil memapah Mi'ing.

Jenab amat terkejut melihat anak kandung sibiran tulang digotong temannya dalam keadaan
mandi darah. Jenab bertanya kejadian apa yang telah menimpa Mi'ing. Dengan terbata-bata
Mi'ing mendustai ibunya tentang na'as yang menimpa dirinya. Ia mengatakan terkena
kecelakaan. Ibunya sibuk memanggil orang yang pandai untuk mengobati Mi'ing. Ketika itu si
perampok tidak berada di rumah. Sehingga Jenablah yang mengurus segalanya.
Mi'ing dapat disembuhkan, tapi ia cacat.
Pada suatu malam ketika si perampok sedang tidur bersama isterinya Jenab, terdengar suara
gemuruh yang amat dahsyatnya yang didengar perampok dan Jenab :

"Hei perampok celaka, aku jin Afrit datang bersama setan-setan pegunungan. Engkau ingkar
janji. Kau telah berjanji untuk tidak kawin, tapi kau bohong. Sekarang engkau kami hukum.
Engkau dan anakmu menjadi buaya, dan harta bendamu akan kembali ke tempat asalnya, ha-ha-
ha" .

Jin Afrit dan setan-setan pegunungan meninggalkan perampok dan Jenab yang dalam
kebingungan. Selang beberapa saat Jenab memekik sekuat-kuatnya melihat suaminya berubah
jadi buaya. Jenab berlari ke kamar Mi'ing, ia hampir pingsan melihat Mi'ing berubah menjadi
buaya buntung. Kedua binatang itu merayap meninggalkan kamarnya masing-masing. dan
sebelum meninggalkan rumah kedua buaya itu menatap wajah Jenab dengan sedih.

Jenab menangis sejadi-jadinya. Tak ada seseorang tempat mengadu, karena ibunya telah lama
meninggal dunia beberapa bulan setelah Jenab menikah. Tapi tak ada lagi yang dapat dibuatnya
melainkan mengantarkan dua ekor buaya itu ke tepi sungai.

Jenab menjadi pemurung, tampak sekali ia cepat tua. Wajahnya menyerupai nenek-nenek. Yang
menghibur Jenab adalah saat-saat ia berdiri di tepi sungai.

Pada suatu hari, seperti biasanya, Jenab berdiri di tepi sungai memanggil-manggil nama suami
dan anaknya. Tetapi yang muncul hanya seekor buaya buntung. Itulah Mi'ing anaknya. Jenab
memanggil nama suaminya lagi. Buaya buntung malah bergerak ke arah Utara sungai. Jenab
menatap dengan cemas gerakan buaya buntung. Sekitar 20 meter dari arah tempat Jenab biasa
berdiri terlihat bangkai seekor buaya mengambang. Buaya buntung kembali lagi ke tempat
semula, Jenab memandang dengan sedih. Tak lama kemudian buaya buntung menyelam.
Tahulah Jenab bahwa suaminya telah mati. Kini hanya tinggal buaya buntung saja yang ia
jumpai setiap berdiri di tepi sungai.

Referensi : Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, Cerita Rakyat Betawi, 2004

Sumber : Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta

Murtado Macan Kemayoran
1 Juli 2009 · Disimpan dalam Cerita Rakyat DKI Jakarta · Tagged Murtado Macan Kemayoran

Pada zaman penjajahan Belanda, di daerah Kemayoran tinggal seorang pemuda bernama
Murtado. Ayahnya adalah anak mantan lurah di daerah tersebut. Murtado adalah anak yang baik.
Ia suka menolong orang yang membutuhkannya. Maka Murtado disenangi oleh penduduk di
kampung tersebut. Selain itu, ia tekun menuntut ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu
pengetahuan lainnya. Tak ketinggalan, ilmu bela diri juga dipelajarinya hingga ia menjadi
seorang jagoan yang rendah hati.

Pada waktu itu, keadaan masyarakat di daerah Kemayoran tidak tenteram. Penduduk selalu
diliputi rasa ketakutan akibat gangguan dari jagoan-jagoan Kemayoran yang berwatak jahat.
Belum lagi pajak yang ditarik oleh Belanda dan Cina sangat memberatkan. Padahal, sebagian
besar penduduk adalah petani miskin dan pedagang kecil-kecilan.

Sebenarnya daerah itu dipimpin oleh orang pribumi yang bernama Bek Lihun dan Mandor
Bacan. Namun keduanya telah menjadi kaki tangan Belanda sehingga mereka sangat kejam dan
hanya memikirkan keuntungan pribadinya saja.

Pada suatu hari, di kampung Kemayoran diadakan derapan padi. Acara itu boleh dilaksanakan
dengan syarat setiap lima ikat padi yang dipotong, satu ikat adalah untuk yang memotong,
sedangkan yang empat ikat untuk kompeni. Mandor Bacan ditunjuk mengawasi jalannya upacara
itu.

Dalam upacara itu, ada seorang gadis cantik ikut memotong padi. Murtado pun tak ketinggalan
ikut di samping gadis tersebut. Mereka rupanya sudah lama menjalin kasih. Tiba-tiba Mandor
Bacan melihat ke arah gadis itu dan berniat kurang ajar. Niat itu berhasil digagalkan Murtado.
Rupanya Mandor Bacan tidak terima. Lalu terjadilah perkelahian. Dalam perkelahian itu Mur-
tado memperlihatkan ketinggian ilmu beladirinya, sehingga Mandor Bacan dapat dikalahkan dan
lari terbirit-birit meninggalkan tempat itu kemudian melapor kepada Bek Lihun.

Mendengar laporan mandornya, Bek Lihun menjadi marah. Berbagai upaya dilakukan untuk
membunuh Murtado. Namun semua upaya itu dapat digagalkan Murtado. Sampai suatu hari, Bek
Lihun mencoba mencelakai kekasih Murtado. Maka hilanglah kesabaran Murtado. Ditendang
dan dihajarnya Bek Lihun hingga babak belur. Akhirnya Bek Lihun minta ampun dan berjanji
tidak akan melakukannya lagi. Setelah kejadian-kejadian itu, maka mulai insyaflah Bek Lihun.
Dia mulai menghargai Murtado.

Ketika itu beberapa gerombolan perampok di bawah pimpinan Warsa mulai mengganas di
Kemayoran. Setiap malam mereka merampas harta benda penduduk. Kadang-kadang juga
melakukan pembunuhan. Menghadapi hal ini Bek Lihun merasa kewalahan. Bahkan ia berkali-
kali mendapat teguran dari kompeni karena tidak dapat menjaga keamanan di kampungnya se-
hingga pajak-pajak untuk kompeni tidak berjalan lancar.

Bek Lihun akhirnya meminta bantuan kepada Murtado. Murtado yang menyadari bahwa ia juga
bertanggung jawab atas keamanan kampung tersebut menyetujui permohonan Bek Lihun.
Bersama dua orang temannya yang bernama Saomin dan Sarpin, Murtado mencari markas
perampok itu di daerah Tambun dan Bekasi, tetapi tidak ditemukan. Kemudian mereka pergi ke
daerah Kerawang. Di sana gerombolan Warsa dapat dikalahkan. Warsa sendiri mati dalam
perkelahian itu. Oleh Murtado dan teman-temannya semua hasil rampokan gerombolan itu
diambil dan dibawa kembali ke Kemayoran. Kemudian dikembalikan lagi kepada pemiliknya
masing-masing. Semua rakyat di daerah Kemayoran berterima kasih dan merasa berhutang budi
kepada Murtado.
Penguasa Belanda pun sangat menghargai jasa-jasa Murtado. Mereka ingin mengangkatnya
menjadi bek di daerah Kemayoran menggantikan Bek Lihun. Tetapi tawaran Belanda ini ditolak
Murtado, karena dia tidak ingin menjadi alat pemerintah jajahan. “Lebih baik hidup sebagai
rakyat biasa tetapi ikut menjaga keamanan rakyat,” gumamnya. Murtado pun aktif berjuang
untuk membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajahan, penindasan, dan pemerasan.

Seekor Anak Singa

Singa dan Kambing

Alkisah, di sebuah hutan belantara ada seekor induk singa yang mati setelah melahirkan
anaknya. Bayi singa yang lemah itu hidup tanpa perlindungan induknya. Beberapa waktu
kemudian serombongan kambing datang melintasi tempat itu. Bayi singa itu
menggerakgerakkan tubuhnya yang lemah. Seekor induk kambing tergerak hatinya. Ia
merasa iba melihat anak singa yang lemah dan hidup sebatang kara. Dan terbitlah
nalurinya untuk merawat dan melindungi bayi singa itu.Sang induk kambing lalu
menghampiri bayi singa itu dan membelai dengan penuh kehangatan dan kasih sayang.
Merasakan hangatnya kasih sayang seperti itu, sibayi singa tidak mau berpisah dengan
sang induk kambing. Ia terus mengikuti ke mana saja induk kambing pergi. Jadilah ia
bagian dari keluarga besar rombongan kambing itu. Hari berganti hari, dan anak singa
tumbuh dan besar dalam asuhan induk kambing dan hidup dalam komunitas kambing. Ia
menyusu, makan, minum, bermain bersama anak-anak kambing lainnya.

Tingkah lakunya juga layaknya kambing. Bahkan anak singa yang mulai berani dan besar
itu pun mengeluarkan suara layaknya kambing yaitu mengembik bukan mengaum! la
merasa dirinya adalah kambing, tidak berbeda dengan kambing-kambing lainnya. Ia sama
sekali tidak pernah merasa bahwa dirinya adalah seekor singa.
Suatu hari, terjadi kegaduhan luar biasa. Seekor serigala buas masuk memburu kambing
untuk dimangsa. Kambing-kambing berlarian panik. Semua ketakutan. Induk kambing
yang juga ketakutan meminta anak singa itu untuk menghadapi serigala.

“Kamu singa, cepat hadapi serigala itu! Cukup keluarkan aumanmu yang keras dan
serigala itu pasti lari ketakutan!” Kata induk kambing pada anak singa yang sudah
tampak besar dan kekar. tapi anak singa yang sejak kecil hidup di tengah-tengah
komunitas kambing itu justru ikut ketakutan dan malah berlindung di balik tubuh induk
kambing. Ia berteriak sekeras-kerasnya dan yang keluar dari mulutnya adalah suara
embikan. Sama seperti kambing yang lain bukan auman. Anak singa itu tidak bisa
berbuat apa-apa ketika salah satu anak kambing yang tak lain adalah saudara sesusuannya
diterkam dan dibawa lari serigala.

Induk kambing sedih karena salah satu anaknya tewas dimakan serigala. Ia menatap anak
singa dengan perasaan nanar dan marah, “Seharusnya kamu bisa membela kami!
Seharusnya kamu bisa menyelamatkan saudaramu! Seharusnya bisa mengusir serigala
yang  jahat itu!”

Anak singa itu hanya bisa menunduk. Ia tidak paham dengan maksud perkataan induk
kambing. Ia sendiri merasa takut pada serigala sebagaimana kambing-kambing lain. Anak
singa itu merasa sangat sedih karena ia tidak bisa berbuat apa-apa.

Hari berikutnya serigala ganas itu datang lagi. Kembali memburu kambing-kambing
untuk disantap. Kali ini induk kambing tertangkap dan telah dicengkeram oleh serigala.
Semua kambing tidak ada yang berani menolong. Anak singa itu tidak kuasa melihat
induk kambing yang telah ia anggap sebagai ibunya dicengkeram serigala. Dengan nekat
ia lari dan menyeruduk serigala itu. Serigala kaget bukan kepalang melihat ada seekor
singa di hadapannya. Ia melepaskan cengkeramannya. Serigala itu gemetar ketakutan!
Nyalinya habis! Ia pasrah, ia merasa hari itu adalah akhir hidupnya!

Dengan kemarahan yang luar biasa anak singa itu berteriak keras, “Emmbiiik!”

Lalu ia mundur ke belakang. Mengambil ancang ancang untuk menyeruduk lagi.

Melihat tingkah anak singa itu, serigala yang ganas dan licik itu langsung tahu bahwa
yang ada di hadapannya adalah singa yang bermental kambing. Tak ada bedanya dengan
kambing. Seketika itu juga ketakutannya hilang. Ia menggeram marah dan siap
memangsa kambing bertubuh singa itu! Atau singa bermental kambing itu!

Saat anak singa itu menerjang dengan menyerudukkan kepalanya layaknya kambing,
sang serigala telah siap dengan kuda-kudanya yang kuat. Dengan sedikit berkelit, serigala
itu merobek wajah anak singa itu dengan cakarnya. Anak singa itu terjerembab dan
mengaduh, seperti kambing mengaduh. Sementara induk kambing menyaksikan peristiwa
itu dengan rasa cemas yang luar biasa. Induk kambing itu heran, kenapa singa yang kekar
itu kalah dengan serigala. Bukankah singa adalah raja hutan?
Tanpa memberi ampun sedikitpun serigala itu menyerang anak singa yang masih
mengaduh itu. Serigala itu siap menghabisi nyawa anak singa itu. Di saat yang kritis itu,
induk kambing yang tidak tega, dengan sekuat tenaga menerjang sang serigala. Sang
serigala terpelanting. Anak singa bangun.

Dan pada saat itu, seekor singa dewasa muncul dengan auman yang dahsyat.

Semua kambing ketakutan dan merapat! Anak singa itu juga ikut takut dan ikut merapat.
Sementara sang serigala langsung lari terbirit-birit. Saat singa dewasa hendak menerkam
kawanan kambing itu, ia terkejut di tengah-tengah kawanan kambing itu ada seekor anak
singa.

Beberapa ekor kambing lari, yang lain langsung lari. Anak singa itu langsung ikut lari.
Singa itu masih tertegun. Ia heran kenapa anak singa itu ikut lari mengikuti kambing? Ia
mengejar anak singa itu dan berkata, “Hai kamu jangan lari! Kamu anak singa, bukan
kambing! Aku takkan memangsa anak singa!

Namun anak singa itu terus lari dan lari. Singa dewasa itu terus mengejar. Ia tidak jadi
mengejar kawanan kambing, tapi malah mengejar anak singa. Akhirnya anak singa itu
tertangkap. Anak singa itu ketakutan,

“Jangan bunuh aku, ammpuun!”

“Kau anak singa, bukan anak kambing. Aku tidak membunuh anak singa!”

Dengan meronta-ronta anak singa itu berkata, “Tidak aku anak kambing! Tolong
lepaskan aku!”

Anak singa itu meronta dan berteriak keras. Suaranya bukan auman tapi suara embikan,
persis seperti suara kambing.

Sang singa dewasa heran bukan main. Bagaimana mungkin ada anak singa bersuara
kambing dan bermental kambing. Dengan geram ia menyeret anak singa itu ke danau. Ia
harus menunjukkan siapa sebenarnya anak singa itu. Begitu sampai di danau yang jernih
airnya, ia meminta anak singa itu melihat bayangan dirinya sendiri.

Lalu membandingkan dengan singa dewasa.

Begitu melihat bayangan dirinya, anak singa itu terkejut, “Oh, rupa dan bentukku sama
dengan kamu. Sama dengan singa, si raja hutan!”

“Ya, karena kamu sebenarnya anak singa. Bukan anak kambing!” Tegas singa dewasa.

“Jadi aku bukan kambing? Aku adalah seekor singa!”


“Ya kamu adalah seekor singa, raja hutan yang berwibawa dan ditakuti oleh seluruh isi
hutan! Ayo aku ajari bagaimana menjadi seekor raja hutan!” Kata sang singa dewasa.

Singa dewasa lalu mengangkat kepalanya dengan penuh wibawa dan mengaum dengan
keras. Anak singa itu lalu menirukan, dan mengaum dengan keras. Ya mengaum,
menggetarkan seantero hutan. Tak jauh dari situ serigala ganas itu lari semakin kencang,
ia ketakutan mendengar auman anak singa itu.

Anak singa itu kembali berteriak penuh kemenangan, “Aku adalah seekor singa! Raja
hutan yang gagah perkasa!”

Singa dewasa tersenyum bahagia mendengarnya.

Kera dan Ayam

kera

Pada jaman dahulu, tersebutlah seekor ayam yang bersahabat dengan seekor kera. Namun
persahabatan itu tidak berlangsung lama, karena kelakuan si kera. Pada suatu petang Si Kera
mengajak si ayam untuk berjalan-jalan. Ketika hari sudah petang si Kera mulai merasa lapar.
Kemudian ia menangkap si Ayam dan mulai mencabuti bulunya. Si Ayam meronta-ronta dengan
sekuat tenaga. Akhirnya, ia dapat meloloskan diri.

Ia lari sekuat tenaga. Untunglah tidak jauh dari tempat itu adalah tempat kediaman si
Kepiting. Si Kepiting adalah teman sejati darinya. Dengan tergopoh-gopoh ia masuk ke
dalam lubang kediaman si Kepiting. Disana ia disambut dengan gembira. Lalu Si Ayam
menceritakan semua kejadian yang dialaminya, termasuk penghianatan si Kera.

Mendengar hal itu akhirnya si Kepiting tidak bisa menerima perlakuan si Kera. Ia
berkata, “marilah kita beri pelajaran kera yang tahu arti persahabatan itu.” Lalu ia
menyusun siasat untuk memperdayai si Kera. Mereka akhirnya bersepakat akan
mengundang si Kera untuk pergi berlayar ke pulau seberang yang penuh dengan buah-
buahan. Tetapi perahu yang akan mereka pakai adalah perahu buatan sendiri dari tanah
liat.
Kemudian si Ayam mengundang si Kera untuk berlayar ke pulau seberang. Dengan
rakusnya si Kera segera menyetujui ajakan itu. Beberapa hari berselang, mulailah
perjalanan mereka. Ketika perahu sampai ditengah laut, mereka lalu berpantun. Si Ayam
berkokok “Aku lubangi ho!!!” Si Kepiting menjawab “Tunggu sampai dalam sekali!!”

Setiap kali berkata begitu maka si ayam mencotok-cotok perahu itu. Akhirnya perahu
mereka itu pun bocor dan tenggelam. Si Kepiting dengan tangkasnya menyelam ke dasar
laut. Si Ayam dengan mudahnya terbang ke darat. Tinggallah Si Kera yang meronta-ronta
minta tolong. Karena tidak bisa berenang akhirnya ia pun mati tenggelam.

Sumber: seasite.niu.edu (Disarikan dari Abdurrauf Tarimana, dkk, “Landoke-ndoke te


Manu: Kera dan Ayam,” Cerita Rakyat Daerah Sulawesi Tenggara, Jakarta: Dept. P dan
K, 1978, hal. 61-62)

Ular Dandaung
 Print This Post

 Rating: 8.1/10 (209 votes cast)

Konon, dahulu kala ada sebuah kerajaan. Tidak disebutkan oleh pencerita apa nama
kerajaan itu. Menurut cerita, kerajaan itu cukup besar. Negerinya kaya raya sehingga
penghasilan rakyat melimpah ruah. Rajanya adil dan bijaksana. Kekayaan kerajaan bukan
hanya dinikmati raja dan keluarganya, tetapi rakyat pun turut menikmati. Pantaslah jika
kerajaan itu selalu dalam suasana tenteram dan damai. Dengan kerajaan-kerajaan lain
pun, tidak pernah terjadi silang sengketa sehingga mereka dapat hidup berdampingan
secara damai.

Sayang, ketenteraman itu tidak bertahan lama. Tidak disangka-sangka musibah datang
menimpa mereka. Mereka bukan diserang musuh yang iri pada kemakmuran dan
kerukunan kerajaan, tetapi oleh burung raksasa yang tiba-tiba muncul. Langit menjadi
gelap gulita karena tubuh burung itu amat besar. Kepak sayapnya memekakkan telinga.

Karena serbuan burung raksasa itu demikian mendadak, rakyat kerajaan panik luar biasa.
Mereka bingung dan tidak tahu akan berbuat apa menghadapi suasana itu. Mereka
menyangka kiamat sudah datang.

Dalam sekejap mata, kerajaan itu musnah binasa dengan segala isinya. Bangunan rata
dengan tanah. Pohon-pohon bertumbangan. Rakyat dijemput maut tertimpa pohon atau
terbenam dalam reruntuhan rumah dan gedung mereka.
Ibarat sebuah negeri kalah perang, kerajaan yang sebelumnya subur makmur itu menjadi
sebuah lapangan terbuka. Tiada tumbuhan, hewan, dan manusia di sana, kecuali raja
bersama permaisuri dan ketujuh putrinya. Mereka bingung dan takut, barangkali datang
serangan kedua. Jika hal itu terjadi, tamatlah riwayat mereka. Dengan mudah burung
raksasa itu melihat mereka sebab tidak selembar daun lalang pun dapat dijadikan tempat
untuk berlindung.

Akan tetapi, mereka tetap bersyukur kepada Tuhan karena terhindar dari malapetaka.
Tuhan yang Mahabesar masih menginginkan kehadiran mereka di dunia.
Dalam keadaan tidak menentu itu mereka dikagetkan lagi dengan kejadian yang membuat
mereka semakin putus asa. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba seekor ular raksasa hadir
di depan mereka. Ular itu mengangakan mulutnya sehingga lidahnya yang besar dan
berbisa bergerak-gerak keluar masuk mulutnya. Raja bersama permaisuri dan ketujuh
putri berkumpul menjadi satu kelompok. Mereka sating merangkul. Raja berpikir, jika
harus mati, biarlah mereka mati bersama menjadi mangsa ular raksasa itu.

“Paduka tak usah takut,” tiba-tiba ular itu berkata.


“Hamba tidak akan mengganggu Paduka, permaisuri, dan putri-putri Paduka, asalkan
Paduka mengabulkan permohonan hamba.”

Rasa takut raja sekeluarga berkurang mendengar ular itu dapat berbicara seperti manusia.

“Siapakah engkau? Apakah keinginanmu?” tanya sang raja.


“Nama hamba Dandaung. Ular Dandaung,” ujar ular raksasa itu. “Hamba ingin
memperistri salah seorang putri Paduka.”

Tertegun sejenak sang raja mendengar permintaan Ular Dandaung. Seekor ular raksasa
ingin memperistri anaknya? Tidak masuk akal ular menikah dengan manusia. la tidak
berani menolak karena takut akibatnya.
“Aku tidak menolak, tetapi juga tidak menerima lamaranmu,” sahut sang raja. “Aku
harus menanyakan hal ini kepada putriku satu per satu!”

Seorang demi seorang putrinya ditanya. Putri sulung sampai dengan putri keenam
menolak diperistri Ular Dandaung. Sang raja sudah membayangkan akibat buruk yang
akan mereka terima andaikata putrinya menolak.

“Hamba bersedia menjadi istrinya,” kata putri bungsu ketika ditanya ayahandanya.

Tentu saja kakak-kakaknya mengejek putri bungsu. Berbagai cemooh mereka lontarkan,
tetapi putri bungsu menerimanya dengan tabah. Pendiriannya tidak tergoyahkan.

Pada suatu matam, putri bungsu terbangun dari tidur. Ia amat kaget karena bukan Ular
Dandaung yang berbaring di sisinya melainkan seorang permuda tampan. Belum habis
rasa herannya, pemuda itu berkata, “Aku bukan orang lain, aku suamimu si Ular
Dandaung. Aku seorang raja yang Baru terbebas dari kutukan.”

Raja dan permaisuri terkejut melihat kejadian itu. Akan tetapi, mereka bangga mendapat
menantu yang sangat tampan, apatagi is seorang raja. Hanya keenam putrinya tidak
habis-habisnya menyesaii diri mereka.

Di kemudian hari terbukti bahwa di samping seorang raja yang tampan, Ular Dandaung
juga seorang yang mempunyai kehebatan. Dengan kesaktiannya, burung raksasa yang
menghancurkan kerajaan mertuanya dapat ditaklukkan dan dibunuh. Ia juga menciptakan
sebuah kerajaan Baru, lengkap dengan segala peralatan dan rakyatnya.

Ketika mertuanya tidak mampu memerintah lagi, Ular Dandaung menggantikannya dan
putri bungsu menjadi permaisurinya.

Anda mungkin juga menyukai