Anda di halaman 1dari 3

Si Pitung, Jagoan dari Betawi

Hati si Pitung geram sekali. Sore ini ia kembali melihat kesewenang-


wenangan para centeng Babah Liem. Babah Liem atau Liem Tjeng adalah
Tuan tanah di daerah tempat tinggal si Pitung. Babah Liem menjadi Tuan
tanah dengan memberikan sejumlah uang pada pemerintah Belanda, Selain
itu, ia juga bersedia membayar pajak yang tinggi pada pemerintah Belanda.
Itulah sebabnya, Babah Liem mempekerjakan centeng-centengnya untuk
merampas harta rakyat dan menarik pajak yang jumlahnya mencekik Ieher.

Si Pitung bertekad, ia harus melawan para centeng Babah Liem. Untuk itu ia
berguru pada Haji Naipin, seorang ulama terhormat dan terkenal berilmu
tinggi. Haji Naipin berkenan untuk mendidik si Pitung karena beliau tahu
wataknya. Ya, si Pitung memang terkenal rajin dan taat beragama. Tutur
katanya sopan dan ia selalu patuh pada kedua orangtuanya, Pak Piun dan Bu
Pinah.

Beberapa bulan kemudian, si Pitung telah menguasai segala ilmu yang


diajarkan oleh Haji Naipin. Haji Naipin berpesan, “Pitung, aku yakin kau bukan
orang yang sombong. Gunakan ilmumu untuk membela orang-orang yang
tertindas. Jangan sekali-kali kau menggunakannya untuk menindas orang
lain.

”Si Pitung mencium tangan Haji Naipin lalu pamit. Ia akan berjuang melawan
Babah Liem dan centeng-centengnya.

“Lepaskan mereka!” teriak si Pitung ketika melihat centeng Babah Liem


sedang memukuli seorang pria yang melawan mereka.

“Hai Anak Muda, siapa kau berani menghentikan kami?” tanya salah satu
centeng itu.

“Kalian tak perlu tahu siapa aku, tapi aku tahu siapa kalian. Kalian adalah
para pengecut yang bisanya hanya menindas orang yang lemah!” jawab si
Pitung.

Pemimpin centeng itu tersinggung mendengar perkataan si Pitung. Dia lalu


memerintahkan anak buahnya untuk menyerang si Pitung. Namun, semua
centeng itu roboh terkena jurus-jurus si Pitung. Mereka bukanlah lawan yang
seimbang baginya. Mereka langsung terbirit-birit, termasuk pemimpinnya.

Sejak saat itu, si Pitung menjadi terkenal. Meskipun demikian ia tetaplah si


Pitung yang rendah hati dan tidak sombong.

Sejak kejadian dengan para centeng Babah Liem, si Pitung memutuskan


untuk mengabdikan hidupnya bagi rakyat jelata. Ia tak tahan menyaksikan
kemiskinan mereka, dan ia muak melihat kekayaan para tuan tanah yang
berpihak pada Belanda.

Suatu saat ia mengajak beberapa orang untuk bergabung dengannya. Mereka


merampok rumah orang-orang kaya dan membagikan hasil rampokan
tersebut pada rakyat jelata. Sedikit pun, ia tak pernah menikmati hasil
rampokan itu secara pribadi.

Rakyat jelata memuji-muji kebaikan hati si Pitung. Sebaliknya, Pemerintah


Belanda dan para Tuan tanah mulai geram.

Apalagi banyak perampok lain yang bertindak atas nama si Pitung, padahal
mereka bukanlah anggota si Pitung. Pemerintah Belanda kemudian
mengeluarkan perintah untuk menangkap si Pitung. Meskipun menjadi
buronan, si Pitung tak gentar. Ia tetap merampok orang-orang kaya, dengan
cara berpindah tempat agar tak mudah tertangkap.

Kesal karena tak bisa menangkap si Pitung, Pemerintah Belanda


menggunakan cara yang licik. Mereka menangkap Pak Piun dan Haji Naipin.
Salah satu pejabat pemerintah Belanda yang bernama Schout Heyne
mengumumkan bahwa kedua orang tersebut akan dihukum mati jika si Pitung
tak menyerah. Berita itu sampai juga ke telinga si Pitung. Ia tak ingin ayah dan
gurunya mati sia-sia. Ia lalu mengirim pesan pada Schout Heyne. Si Pitung
bersedia menyerahkan diri jika ayah dan gurunya dibebaskan. Schout Heyne
menyetujui permintaan si Pitung. Pak Piun dibebaskan, tapi Haji Naipin tetap
disandera sampai si Pitung menyerahkan diri. Akhirnya si Pitung muncul.

“Lepaskan Haji Naipin, dan kau bebas menangkapku,” kata si Pitung. Schout
Heyne menuruti permintaan tersebut. Haji Naipin pun dilepaskan.

“Pitung, kau telah meresahkan banyak orang dengan kelakuanmu itu. Untuk
itu, kau harus dihukum mati,” kata Schout Heyne.
“Kau tidak keliru?Bukannya kau dan para tuan tanah itu yang meresahkan
orang banyak?Aku tidak takut dengan ancamanmu,” jawab si Pitung.

“Huh, sudah mau mati masih sombong juga. Pasukan, tembak dia!” perintah
Schout Heyne pada pasukannya.

Pak Piun dan Haji Naipin berteriak memprotes keputusan Schout Heyne.
“Bukankah anakku sudah menyerahkan diri? Mengapa harus dihukum mati?”
ratap Pak Piun. Namun Schout Heyne tak perduli, baginya si Pitung telah
mengancam jabatannya.

Suara rentetan peluru pun memecahkan kesunyian, tubuh si Pitung roboh


bersimbah darah terkena peluru para prajurit Belanda. Pak Piun dan Haji
Naipin sangat berduka. Mereka membawa pulang jenazah si Pitung kemudian
menguburkannya. Berkat jasa-jasanya, banyak sekali orang yang mengiringi
pemakamannga dan mendoakannya. Meskipun ia telah tiada, si Pitung tetap
dikenang sebagai pahlawan bagi rakyat jelata.

Pesan moral dari Cerita Rakyat Si Pitung dari Betawi adalah Jadilah orang
yang rendah hati, berani membela kebenaran
Rajin Belajar, Sopan dan santun kepada orang tua
tapi keburukan Si Pitung adalah Bekerja sama dengan perampok dan Ikut
mencuri dan merampok

Anda mungkin juga menyukai