Si Pitung bertekad, ia harus melawan para centeng Babah Liem. Untuk itu ia
berguru pada Haji Naipin, seorang ulama terhormat dan terkenal berilmu
tinggi. Haji Naipin berkenan untuk mendidik si Pitung karena beliau tahu
wataknya. Ya, si Pitung memang terkenal rajin dan taat beragama. Tutur
katanya sopan dan ia selalu patuh pada kedua orangtuanya, Pak Piun dan Bu
Pinah.
”Si Pitung mencium tangan Haji Naipin lalu pamit. Ia akan berjuang melawan
Babah Liem dan centeng-centengnya.
“Hai Anak Muda, siapa kau berani menghentikan kami?” tanya salah satu
centeng itu.
“Kalian tak perlu tahu siapa aku, tapi aku tahu siapa kalian. Kalian adalah
para pengecut yang bisanya hanya menindas orang yang lemah!” jawab si
Pitung.
Apalagi banyak perampok lain yang bertindak atas nama si Pitung, padahal
mereka bukanlah anggota si Pitung. Pemerintah Belanda kemudian
mengeluarkan perintah untuk menangkap si Pitung. Meskipun menjadi
buronan, si Pitung tak gentar. Ia tetap merampok orang-orang kaya, dengan
cara berpindah tempat agar tak mudah tertangkap.
“Lepaskan Haji Naipin, dan kau bebas menangkapku,” kata si Pitung. Schout
Heyne menuruti permintaan tersebut. Haji Naipin pun dilepaskan.
“Pitung, kau telah meresahkan banyak orang dengan kelakuanmu itu. Untuk
itu, kau harus dihukum mati,” kata Schout Heyne.
“Kau tidak keliru?Bukannya kau dan para tuan tanah itu yang meresahkan
orang banyak?Aku tidak takut dengan ancamanmu,” jawab si Pitung.
“Huh, sudah mau mati masih sombong juga. Pasukan, tembak dia!” perintah
Schout Heyne pada pasukannya.
Pak Piun dan Haji Naipin berteriak memprotes keputusan Schout Heyne.
“Bukankah anakku sudah menyerahkan diri? Mengapa harus dihukum mati?”
ratap Pak Piun. Namun Schout Heyne tak perduli, baginya si Pitung telah
mengancam jabatannya.
Pesan moral dari Cerita Rakyat Si Pitung dari Betawi adalah Jadilah orang
yang rendah hati, berani membela kebenaran
Rajin Belajar, Sopan dan santun kepada orang tua
tapi keburukan Si Pitung adalah Bekerja sama dengan perampok dan Ikut
mencuri dan merampok