Anda di halaman 1dari 8

LAMPIRAN

Cerita Rakyat Sarip Tambak Oso


Pak Abdul Wahid,
Laki-Laki, 53 tahun, Juru
Pemerhati Teater Cak Durasim,
Bahasa Indonesia, Bahasa Jawa,
Tambak Oso, Waru, Sidoarjo.
SARIP TAMBAK OSO
1. Dusun Tambak Oso dibagi menjadi 2 wilayah yang dibatasi oleh sebuah
sungai, wilayah tersebut biasa disebut Wetan kali dan Kulon Kali. Masing-masing wilayah mempunyai
Jagoan (orang yang disegani karena kesaktiannya). Wilayah Kulon kali di kuasai oleh seorang jagoan
bernama Paidi, dan Wetan kali dikuasai oleh Sarip. Paidi adalah seorang pendekar yang berprofesi
sebagai Kusir Dokar yang mempunyai senjata andalan berupa Jagang yang terkenal dengan sebutan
Jagang Baceman. Sarip adalah pemuda jagoan dari desa Tambak Oso yang berhati keras, mudah marah,
namun sangat menyayangi kaum miskin, terutama kepada ibunya yang seorang janda.
2. Ketidakseimbangan dan keseimbangan di tengah kemiskinan dan kebodohan, Sarip bertindak
sebagai maling budiman yang mencuri di rumah-rumah orang Belanda, saudagar kikir, dan para lintah
darat, untuk dibagi-bagikan kepada warga miskin. Sarip selalu menjadi Target Operasi Government
Belanda, karena perbuatannya yang dianggap membuat keonaran dan memprovokasi masyarakat untuk
menentang kebijakan Belanda. Sarip Memiliki Paman bernama Ridwan seorang Juragan Tambak yang
dipasrahi untuk mengelola tambak milik peninggalan ayah Sarip. Karena keserakahan dan kelicikan
Paman Sarip sehingga membuat perjajian rahasia dengan Pejabat Belanda yaitu Kapten Hansen.
3. Perjanjian antara Kapten Hansen dan Paman Sarip menjadi sebuah kerugian Sendiri pada Ibu
Sarip. Dengan alasan bahwa Tambak itu merupakan Milik Ibu Sarip seharusnya semua pajak ditanggung
ibu sarip, padahal Ibu Sarip dalam beberapa bulan terakhir tidak mendapatkan setoran hasil dari Ridwan
sebagai Pengelola. Paman Sarip berani melakukan hal ini karena tahu bahwa Sarip sedang tidak berada di
Desa tersebut. Dengan perilaku paman Ridwan, Sarip menjadi berang dan berusaha menagih uang yang
seharusnya menjadi Hak Ibunya.
4. Paman Sarip berani melakukan hal ini karena selain ada dukungan pejabat Belanda juga ada
dukungan dari Jagoan Kulon Kali yaitu Paidi yang bekerja pada Paman Sarip sebagai Kusir dan juga
pengawal pribadi. Paidi sendiri bersedia menjadi anak buah Ridwan karena berharap dapat menjadi
Suami Saropah anak Juragan Ridwan. Paidi dan Sarip sebenarnya tidak ingin saling mengusik dan
bersedia menjadi Jagoan di tiap wilayahnya tetapi karena urusan ini menjadi pertarungan yang menantang
bagi mereka. Pertarungan Dua jagoan ini terjadi di Sungai tambak Oso pada malam hari dimana tidak ada
penduduk yang mengetahui, tetapi ternyata Senjata jagang Baceman lebih tangguh dari Senjata Sarip
yang berupa belati.
5. Sarip pun tewas ditangan Paidi dan dibuang di Sungai Tambak Oso. Pikiran Paidi pun lebih
tenang karena merasa Bahwa persaingan yang selama ini terjadi tuntas sudah. Jagoan Wetan dan Kulon
Kali sekarang sudah berganti menjadi Jagoan Tambak Oso. Orang yang mengetahui kematiannya selain
Paidi adalah mak e Sarip sendiri.
6. Dibagian hilir sungai Sedati, Ibunda Sarip "Mbok e Sarip" tengah mencuci pakaian, entah kenapa
pikirannya gundah gulana memikirkan anak keduanya itu. Dia berhenti mencuci karena ada warna merah
darah yang mengalir disungai itu, dia berjalan mencari sumber darah tersebut, alangkah terkejutnya dia
ketika didapatinya sumber warna merah tersebut adalah mayat anaknya. Spontanitas dia menjerit seraya
berteriak " Sariiip durung wayahe Nak.....". Anehnya Sarip bangkit dari kematiannya dan segera berlari
menemui ibunya, kemudian menanyakan kepada ibunya tentang hal apa yang terjadi pada dirinya dan
kenapa dia tidur disungai. Ibunya pun bercerita,,: rip kowe mau bengi iku wes mati, perkorone opo
biyung yo ora weruh
7. Lah kowe bengi wingi lapo,, sarip njawab: aku mari tukaran biyung karo paidi,lah trus aku iki
lapo’o yo biyung kok urip maneh,, ibu biyung njawab: owalah le-leh mbok yo ra usah tukaran,kowe iku
dadi wong sing bener ae,mlaku nang dalan sing lurus (ibu sarip tidak menceritakan apa yang sedang
dialami oleh sarip,). Bahwasannya, ketika Sarip masih dalam kandungan, Ayahnya bertapa di Goa Tapa
(daerah Sumber Manjing)selama beberapa waktu, dan ayahnya kembali pada saat anak keduanya telah
lahir dengan membawa sebongkah kecil tanah merah "Lemah Abang". Selanjutnya tanah tersebut dibelah
dan diberikan pada Sarip dan Ibunya untuk dimakan.
8. Dikatakan oleh ayah Sarip, bahwa Sarip akan dapat bangkit dari kematian apa bila ibunya masih
hidup, meskipun ia terbunuh 1000x dalam sehari. Hanya Lurah Tambak Oso yang tidak pernah
mempermasalahkan Sarip, karena Sarip menjadi solusi rakyat mengatasi kemiskinan. Sarip sebenarnya
mempunyai tambak, namun karena tidak punya modal tambaknya dibiarkan begitu saja, Ridwan
pamannya memanfaatkan tambak tersebut tetapi tidak mau membayar pajak. Hampir tiga tahun hasil
diambil tapi pajak dibebankan ke Sarip, bahkan meminjam uang untuk membayar pajakpun tidak
diberi,Suatu ketika Asisten Wedana memerintahkan Lurah Gedangan menagih pajak tambak milik Sarip.
9. Awalnya Lurah Gedangan menolak tugas dengan alasan Tambak Oso bukan daearah
kekuasannya, namun perintah tetap memerintah. Hasilnya, karena Lurah Gedangan termasuk gila hormat
tugas dilaksanakan meskipun harus tewas ditangan Sarip. Suatu hari, sarip mendapati Ibunya sedang
dihajar oleh Lurah Gedangan karena ibunya tidak dapat membayar pajak tanah garapan berupa tambak.
Melihat hal tersebut Sarip marah dan langsung menghabisi nyawa Lurah Gedangan dengan sebilah pisau
dapur yang menjadi senjata andalannya. Pembunuhan terhadap Lurah Gedangan menjadikan Sarip
sebagai buronan, Mualim Kakaknya tidak mengijinkan Sarip tinggal dirumahnya takut di dakwa
melindungi buronan.
10. Lantas Paidi pun kaget dan ternyata sarip masih hidup setelah mendengar kabar bahwa telah
membunuh lurah gedangan, Paidi, pembantu pamannya, merasa iri dan selalu menyebarkan berita sisi
buruk Sarip dan merasa dirinya paling pendekar di kampong ikut memburu mencari keberadaan
sarip,tiba-tiba bertemu dan terjadi perkelahian yang kedua kalinya… Tak ayal lagi Paidi akhirnya mati
juga ditangan Sarip dan keinginannya meraih predikat pendekar wetan dan kulon kali pupus… Merasa
wilayahnya tercemar oleh perbuatan Sarip yang melakukan pembunuhan dua kali, Manteri Polisi
memerintahkan agar Sarip ditangkap atau mati
11. Tiba-tiba paman sarip yang serakah dan ingin menguasai harta keluarga ibu sarip,tega berbicara
dengan kapten Hansen dan memberitahu kelemahan sarip,dengan menjadikan ibunya sebagai umpan.
Maka sarip pun datang lantas ibu sarip disandera oleh belanda, lalu ditembak oleh tentara belanda. Sarip
pun tewas ditembak oleh tentara belanda.
Nabilla Habibah Al Cholis, perempuan, 19 tahun
Mahasiswa, SMA, Jawa, Indonesia, Inggris
Dusun Tulangan, Rt 01 Rw 02, Tulangan,
Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur
Si Pitung
Koran terbitan Malaya 1892
Memasuki abad ke-20 tanah Betawi kokoh dalam cengkraman penjajah Belanda. Hampir 3 abad penjajah
menikmati kehidupan diatas keringat dan darah serta air mata penduduk pribumi Betawi.
Penjajah dengan segala daya dan upaya memeras keringat penduduk melalui tuan tanah, para mandor,
para centeng, dan bukan saja keringat bahkan tulang sumsum penduduk Betawi akan diperas jika
memberikan keuntungan kepada mereka.
Pak Piun memandang langit mendung, sementara isterinya bu Pinah duduk di bale-bale depan rumah
sambil memegang perut yang kian membesar. Beberapa hari lagi isterinya akan melahirkan anak yang ke
empat. Tiga anaknya duduk di dekat ibunya, sambi! bertanya, "Mengapa padi yang baru dipanen
dirampas centeng Babah" bu Pinah mengusap kepala anaknya sambil berkata lirih, " Biarin tong, lagian
padi kite masih ada."Pak Piun tetap memandang langit yang mendung, berharap kepada yang maha kuasa
agar isterinya melahirkan dengan selamat.
Pak Piun menitikkan airmata bahagia, anak yang ke empat lahir dengan selamat. Digenggamnya tangan
isterinya seraya menyatakan puji syukur kehadirat Allah,"Siapa nama anak kita?" isterinya tersenyum
bahagia, terlupakan beban berat penindasan kompeni penjajah beserta cecunguk-cecunguknya.
Pak Piun memberi nama anaknya dengan nama Pitung, isterinya menganggukan kepala tanda setuju.
Pitung lahir ditanah Betawi. Ia anak ke empat dari pasangan suami-isteri pak Piun dan bu Pinah. Ke-3
saudaranya masing-masing bernama Miin, Kecil,Anise. Pitung lahir di kampung Rawabelong, kampung
tersebut menjadi bagian dari partikelir Kebayoran. Tuan tanah yang berkuasa di Kebayoran adalah Liem
Tjeng Soen. Tanah partikelir diperoleh dari pemerintahan Belanda melalui pembelian dokumen tanah,
serta kewajiban membayar pajak kepada Belanda. Tanah partikelir tersebut, Liem Tjeng Soen
mengangkat centeng dari kalangan priburni yang bertugas menagih pajak kepada penduduk. Pitung masih
kecil, tidak mengerti tentang tanah partikelir, mengapa padi, ayam dan kambing bapaknya diambil
sewenang-sewenang oleh para centeng. Pitung menyaksikan sambil bertanya kepada bapaknya, ''mengapa
ayam kita diambilin?"
Pitung menanjak dewasa. Perawakannya tidak terlalu tinggi dan tdak terlalu rendah, sekitar 165-an em,
kulitnya kuning, rambutnya keriting. Pitung dibesarkan didalam keluarga pak Piun, sebagaimana anak
Betawi pada umunnya Pitung memperoleh Pendidikan tata krama dari bapak dan ibunya, belajar mengaji,
membantu bapaknya menanam padi, memetik kelapa, meneari rumput untuk kambing mereka, adakala
Pitung membantu tetangganya. Pitung anak yang rajin mengerjakan perintah Allah, tidak pernah
meninggalkan shalat, berpuasa, bertutur kata yang sopan, selalu memenuhi panggilan ibu-bapaknya.
Untuk menambah pengetahuan agama, Pitung belajar mengaji dengan Haji Naipin, seorang kiyai
terkemuka di kampung Rawabelong. Selain mengaji, Pitung juga belajar ilmu silat dan ilmu bela diri
lainnya pada Haji Naipin. Dalam menuntut ilmu tersebut, Pitung tergolong cerdas, patuh dan taat terhadap
Petunjuk sang guru Haji Naipin. Karena ketekunan, keikhlasannya untuk menuntut ilmu, Haji Naipin
menjadi sayang kepadanya, dan menaruh harapan kepadanya untuk menjadi penggantinya di kemudian
hari. Haji Naipin meneurahkan semua ilmu yang dimilikinya kepada Pitung. Ilmu Paneasona, sebuah ilmu
bela ciri tingkat tinggi yang membuat pemilik ilmu kebal dari benda tajam nusuh diberikan haji Naipin
kepada Pitung. "Ilmu ini buat membela orang lemah dari kezaliman, bukan untuk menzalimi orang lain"
demikian Jesan haji Naipin.
Sebagai seorang pemuda yang memiliki ilmu agama dan ilmu bela diri, Pitung selalu rendah hati.
Kerendahan hatinya membuat ia banyak teman. Diantara teman-temannya seguru seilmu yang dekat
sekali adalah Dji'i dan Rais. Pitung juga tak luput dari gejolak perasaan orang muda, ia menjalin tali kasih
dengan Aisyah gadis kampung Rawabelong, keduanya bersepakat untuk membina rumah tangga di
kemudian hari bila sudah pantas untuk membina rumah tangga.
Berbekal ilmu yang dimiliki, baik ilmu agama dan ilmu bela diri, Pitung membaktikan dirinya untuk ibu
bapaknya serta masyarakatnya di Rawabelong. Pitung turut membantu bapaknya menanam padi,
menggembalakan kambing, membantu para tetangganya dan setiap yang membutuhkan uluran tangannya.
Adakalanya Pitung datang membantu meskipun tidak diminta, hal ini merupakan penerapan dari ilmu
agama yang dimilikinya, bahwa membantu orang lain adalah pekerjaan yang baik sebagai amal soleh.
Karenanya Pitung dikenal luas sebagai pemuda yang murah hati di masyarakatnya.
Sebagai pemuda Rawabelong, Pitung menyaksikan dengan mata kepalanya segala tindak tanduk
kezaliman para centeng tuan tanah Kebayoran Liem Tjang Soen kezaliman Pemerintah Penjajah serta
para serdadu Hindia Belanda yang dibantu oleh Demang Kebayoran, yang menagih pajak secara paksa
atas para penduduk kampung Rawabelong. Pitung tidak dapat membiarkan kezaliman tersebut
berlangsung di depan matanya. Sebagai pemuda, darahnya mendidih menyaksikan kesewenang-wenangan
penjajah beserta kaki tangannya, ingin rasanya memberikan pelajaran kepada mereka, namun ibu
bapaknnya menentramkan kemarahan hatinya, "jangan Tung ... dia orang punya kuase, nanti juga ada
balasan buat mereka", terus ibunya membujuk agar Pitung mengurungkan niatnya. Pitung memenuhi
permintam ibunya, tetapi hatinya bergejolak, kezaliman harus dilawan, bukankah
ia selama ini belajar ilmu agama, yang menyuruh untuk Amar ma'ruf Nahi Munkar, tegakkan kebaikan
cegah kemungkaran.
Karena seringnya menyaksikan kezaliman yang dilakukan oleh para centeng terhadap penduduk
Rawabelong, Pitung akhirnya turun tangan. Centeng yang petentengan merampas hak milik penduduk
dipermalukan Pitung. Dengan bekal ilmu bela diri yang dikuasainya, Pitung mencegah centeng tersebut
dalam merampas hak milik penduduk. Si centeng menjadi murka dan menghajar Pitung yang dikiranya
tak memiliki kepandaian bersilat. Pitung menyambut serangan si centeng dan dengan mudah
membekuknya, si centeng jadi malu dan bangkit pergi tanpa dapat membawa barang apapun. "Awas lu,
gua laporin sama Demang", centeng pergi ngeloyor tanpa muka dibawah tatapan dan ejekan penduduk.
Pitung dipanggil bapaknya, ia diminta menjualkan kambing ke pasar Tanah Abang. Bapaknya sangat
memerlukan uang untuk keperluan biaya hidup keluarga mereka, "Tung gua butuh duit, lu jual gih
kambing kite dua ekor", ujar bapaknya. "Aye, pak!" sahut Pitung. Segera Pitung mengeluarkan dua ekor
kambing dari kandangnya, kemudian menuntun kambing tersebut ke pasar Tanah Abang dengan berjalan
kaki menelusuri jalan setapak kemudian melewati pinggiran jalan kereta api sampai ke pasar Tanah
Abang.
Di pasar Tanah Abang Pitung menjual kambingnya kepada pedagang kambing. Setelah terjadi penawaran
dan kecocokan harganya, Pitung menerima uang penjualan kambingnya. Uang tersebut ditaruh di saku
baju bagian bawah, dan Pitung segera kembali ke rumahnya.
Ketika Pitung melangkah pulang, beberapa maling mengikutinya. Pitung tidak mengetahui kalau orang
yang mengikuti perjalanannya adalah para maling yang ingin mencuri uang di kantongnya. Para maling
tersebut terus mengikuti. Pitung tidak menaruh curiga terhadap mereka. Di tengah perjalanan terdengar
adzan dari sebuah langgar, Pitung segera menghampirinya untuk menunaikan kewajibannya
melaksanakan shalat dzuhur. Pitung membuka bajunya, menyangkutkan ke dinding musolla, kemudian
turun ke kali mengambil air wudhu, tak ada rasa curiga sedikit pun terhadap orang yang mengikuti
perjalanannya, kesempatan demikian dimanfaatkan para maling untuk mengambil uangnya.
Pitung mengenakan bajunya dan masuk kedalam musolla untuk shalat, sementara orang yang
mengikutinya ke kali mengambil wudhu. Ketika selesai shalat dzuhur, Pitung tidak menemukan orang
yang mengikutinya sejak dari pasar Tanah Abang.
Pitung segera kembali kerumahnya, pak Piun sangat gembira, menyangka Pitung pulang dengan
membawa hasil penjualan kambing; "Tung, mane Tung duwitnya ?" tanya pak Piun gembira "Duwitnya
ilang, pak, dicopet orang," jawab Pitung polos. "Ape, duwitnye ilang? lu pake kali," bapaknya tidak
percaya. "Benar ilang Pak, aye kagak pakek," Pitung mencoba menyakinkan Bapaknya. Bapaknya
menjadi berang dan berkata padanya, "Lu musti nemuin itu duwit, kalo kagak ketemu,lu jangan pulang."
Pitung segera kembali ke pasar Tanah Abang mencari orang yang mencuri uangnya. Pitung menemukan
mereka. Melihat Pitung mendekati, mereka menghampiri Pitung, salah seorang berkata, "Tung gua tahu
keberanian lu, baiknya lu jadi pemimpin gua aja Tung, pokoknya beres deh lu bakal banyak duwit."
"Pemimpin apa ?" ujar Pitung. "Jadi pemimpin gua Tung, buat ngerampokin duit orang." ujar orang itu
melecehkan, Pitung diam saja, orang itu melanjutkan, "Lu yang ngawasin dan mimpin, kita yang
ngerampok."
"Ape ngerampok ? Ah gue kagak mau, sebaiknya duit gue yang lu ambil, pulangin!" kelihatan Pitung
menahan amarah. "Pokoknya duwit lu kagak gue kembaliin kalo lu nggak mau jadi pemimpin gue," orang
itu mengejek.
Ejekan tersebut membuat Pitung marah. Pitung segera mencekal leher orang tersebut. Ternan-ternan
orang tersebut segera menghampiri untuk mengeroyok Pitung. Dengan sigap Pitung melayani
perkelahian. Dalam waktu singkat para kawanan pencopet itu dapat dibekuknya. Pitung mengambil
uangnya, dan segera kembali kerumahnya. Dengan rasa bangga Pitung menyerahkan uang tersebut
kepada pak Piun.
Sejak peristiwa tersebut, Pitung terpanggil untuk membela penduduk yang tertindas oleh perlakuan
sewenang-wenang para penguasa pribumi, para centeng, para tuan tanah dan Belanda yang merampas hak
milik penduduk. Setiap centeng yang terlihat merampas hak milik penduduk, Pitung memberikan
pelajaran kepada centeng tersebut.
Para centeng yang diberi pelajaran oleh Pitung sebagian insyaf dan tidak mau Iagi bekerja pada tuan
tanah maupun Belanda, dan sebagian lagi melaporkan kejadian tersebut kepada tuan tanah. Tuan tanah
melaporkan kepada penguasa penjajah Belanda tentang tindaktanduk Pitung. Pitung dinilai telah
menghambat tegaknya kekuasaan penjajah di Rawabelong. Akibatnya Pitung mulai dimata-matai oleh
aparat penguasa penjajah Belanda.
Pitung menyaksikan penderitaan penduduk yang dirampas hak miliknya oleh para centeng, tuan tanah dan
Belanda, dia bertekad untuk mengembalikan hak-hak penduduk tersebut. Untuk itu Pitung dan temannya
Dji'in dan Rais menjalankan aksi mengambil harta yang ada ditangan para tuan tanah, penguasa pribumi,
dan orang-orang kaya yang berpihak dengan Belanda.
Bagi Pitung, pengambilan secara paksa adalah halal karena harta tersebut pada dasarnya milik penduduk
yang diambil juga secara sewenang-wenang. Tidaklah berdosa merampas harta para perampas. Harta
yang dirampas si Pitung dan teman-temannya tersebut dikembalikan lagi kepada penduduk. Pitung
melaksanakan operasi perampasan sampai ke Jembatan Lima dan Marunda.
Dalam suasana demikian pihak ketiga menumpang lewat, ikut melaksanakan perampokan
mengatasnamakan si Pitung. Sehingga si Pitung terkenal di pelosok Betawi sebagai perampok. Para tuan
tanah, orang kaya pro-Belanda menjadi tidak tentram, mengadukan kepada penguasa penjajah.
Penguasa penjajah di Batavia memerintahkan aparat-aparatnya untuk menangkap Pitung. Schout Heyne
Kontrolir Kebayoran memerintahkan mantri polisi serta demang dan bek untuk mencari tahu dimana
Pitung berada. Schout Heyne menjanjikan uang yang banyak bagi siapa saja yang bisa menangkap Si
Pitung hidup atau mati. Tidak itu saja, barang siapa yang bisa memberikan keterangan dimana Si Pitung
berada akan diberi hadiah.
Pitung mengetahui dirinya diburon oleh penguasa penjajah beserta para cecunguknya. Karena Pitung
berpindah-pindah tempat, sampai ke Marunda. Meskipun diburon, Pitung tetap melaksanakan operasi
perampasan harta orang kaya, penguasa pribumi para demang dan Tuan Tanah. Hasil perampasannya
dibagi-bagikan kepada penduduk yang miskin akibat pemerasan yang dilakukan para tuan tanah, centeng
dan Belanda.
Karena suka membantu penduduk dalam menghalangi para centeng memeras serta suka membagi uang
hasil rampasan, Pitung menjadi idola penduduk yang tertindas oleh kekejaman para centeng, tuan tanah
dan Belanda. Meskipun Pitung diburon tetapi selalu tidak dapat ditelusuri jejaknya. Para penduduk selalu
menyembunyikan Pitung di rumah mereka, bahkan seorang pedagang Cina pernah menyembunyikan
Pitung ketika dicari oleh kaki tangan penjajah.
Ada masa tidak beruntung. Suatu ketika Pitung melakukan aksi perampasan bersama beberapa kawannya,
kedatangan mereka telah diketahui oleh kaki tangan tuan tanah. Serdadu Belanda yang dipimpin mantri
polisi Kabayoran telah bersiaga dengan senjata. Ketika rombongan Pitung akan memasuki sebuah rumah
milik tuan tanah,terdengar tembakan yang mengarah kepada mereka. Bersamaan dengan itu terdengar
bunyi kentongan bertalu-talu tuan tanah eina dan demang telah menggerakkan para pemuda yang banyak
sekali. Si Pitung dan kawan-kawannya telah terkepung. Pitung dan kawan-kawannya berusaha untuk
melarikan diri karena tidak mungkin, menghadapi ratusan serta puluhan serdadu bersenjata.
Teman-temannya meloloskan diri, sementara Pitung sengaja membiarkan diri untuk ditangkap agar
teman-temannya dapat lolos. Pitung akhirnya ditangkap serdadu, dibawa ke kantor Kontrolir Scout
Heyne. Schout Heyne terheran-heran ketika mengetahui siapa sebenarnya Pitung yang selama ini menjadi
momok. Schout Heyne menyangka Pitung orang tinggi kekar dan bertampang seram, ternyata Pitung
orangnya sederhana, air muka yang jernih, tak terlihat perasaan bersalah. "kamu orang nama
Pitung ? Kamu perampok ? Kamu orang jahat" Schout Heyne menghardik Pitung. Pitung kelihatan tenang
tanpa rasa takut, menantang tatapan mata Schout Heyne dan berkata, "Tuan dan orang-orang tuan yang
jahat, ngerampok harta penduduk, membuat bangsa kami susah."
"Kamu orang berani sama Belanda ?"
"Mengapa takut." Scout Heyne memerintahkan serdadu Belanda memasukan Si Pitung ke dalam penjara.
Pitung dipenjarakan di penjara Grogol.
Didalam penjara Grogol Pitung tidak kerasan. Pitung memikirkan nasib penduduk yang dirampas hak
miliknya oleh Belanda beserta tuan tanah, demang dan para centeng. Di dalam penjara tentulah Pitung
tidak dapat membantu - penduduk. Pitung memutar otak bagaimana caranya ia bisa lolos dari penjara.
Kepada para ternan yang sarna-sarna berada dalam penjara CrogoI, Pitung mengancam mereka "Kalu lu
semua bilang gua lolos dari genteng, lu semua gue bunuh." Karena ancaman Pitung tersebut, mereka
semua tutup mulut. Pada malam hari, penjaga terkantuk-kantuk dan sempat lelap sejenak, segera Pitung
memanjat dinding ruang tahanan, menjebol plapon, membuka genteng, keluar melalui bubungan atap
penjara, melompat keluar. Pitung lolos dari penjara Grogol. Teman-temannya dalam penjara saling tutup
mulut. Ketika penjaga penjara memeriksa tahanan, Pitung tak terlihat mereka ditanyai penjaga, tak
satupun memberi tahu. Penjaga penjara menjadi heran dan saling bertanya sesamanya. "Kemana Si Pitung
?" "Gua kagak tahu."
"Apa Si Pitung bisa ngilang ?
"Mungkin saja, buktinya kapan ada di kamarnya"
Si Kecill abang Pitung mencari Pitung kesana kemari dan ternyata tidak juga bertemu. Karena tidak ada
hasil, pak Piun disiksa oleh penjajah Belanda. Si Kecill juga disiksa oleh penjajah Belanda. Karena tidak
tahan memperoleh siksaan, pak Piun menantang "Bunuh saja aye".
Belanda juga menangkap Haji Naipin, menyiksanya. Karena siksaan Belanda, Haji Naipin bersedia
mencari Si Pitung. Haji Naipin dengan kawalan serdadu Belanda yang bersenjata lengkap mencari Si
Pitung keluar-masuk kampung. Penduduk yang ditanyai tidak satupun yang memberitahu dimana Pitung
disembunyikan, para penduduk menyaksikan Haji Naipin diseret, disiksa karena tidak dapat menemukan
Pitung. Beberapa orang penduduk memberitahukan kepada Pitung tentang keadaan Haji Naipin, pak Piun,
Si Kecil yang disiksa oleh Belanda.
Pitung sangat berang mendengar ceritera penduduk. Pitung biasanya bersembunyi pada siang hari,
akhirnya keluar untuk mencari gurunya, bapaknya serta abangnya yang berada ditangan penjajah. Di Kota
Bambu Pitung menampakkan diri ketika gurunya lewat dibawah todongan senjata serdadu Belanda.
"Lepasin guru gue, yang kalian cari gue, bukan die lepasin" ujar Pitung sambil berdiri menghadang Scout
Heyne yang ikut rombongan mencari Si Pitung sangat gembira, buruannya selama ini kini ada di depan
mata. Scout Heyne tertawa kemudian memerintahkan serdadu untuk mengepung Si Pitung. Sementara
beberapa serdadu menodongkan senjata kepunggung Haji Naipin. "Kalau kamu orang melawan, dia orang
kami tembak, mengerti kamu?" Scout Heyne mengancam Si Pitung.
Mendengar ancaman tersebut, Pitung menjadi gusar dan luluh. Tak tega ia melihat gurunya hams mati
tertembak karena perbuatannya. Tetapi untuk menyerah, ia merasa enggan, namun terbayang nasib pak
Piun yang didalam penjara Belanda. Pitung pasrah untuk ditangkap tetapi tidak akan menyerah begitu
saja.
Pitung berdiri terpaku, sementara para serdadu Belanda dalam posisi siaga tembak. Scout Heyne
mengacungkan pistolnya, memutar-mutar gagang pistol sambil menyembunyikan senyum ejekan kepada
Si Pitung. " Lepasin die, kalian busuk semua, menghalalkan segala cara." ujar Pitung berang. " Kita orang
tidak bodoh Pitung ! " Scout Heyne berujar Iantang. Kemudian Scout Heyne memerintahkan serdadunya
yang menodong senjata kepada Haji Naipin untuk melepaskan Haji Naipin dari todongan, namun tetap
diwaspadai.
Haji Naipin yang agak bebas berdiri, tidak tega melihat Pitung terkepung oleh para serdadu Belanda yang
siaga tembak. Haji Naipin merogoh sakunya yang berisi telur busuk, menimang-nimang telur busuk
tersebut. Haji Naipin berharap, bila telur tersebut dilemparkan ke badan Pitung, bila Pitung melawan dan
tertembak, maka ia dapat menyembuhkan Si Pitung.
Scout Heyne yang perasaannya takut bila Pitung melawan maka dengan segera mengambil keputusan
untuk memerintahkan serdadunya menembak. Saat yang hampir bersamaan Haji Naipin terlebih dahulu
melemparkan telur busuk ke badan Si Pitung Scout Heyne berteriak lantang " Tembak !" bersamaan
dengan itu terdengar letusan bedil serdadu Belanda. Beberapa peluru menghujam kebadan Pitung, Pitung
berdiri terpaku menatap Scout Heyne. Pitung tak menyangka Scout Heyne berlaku curang padahal
beberapa saat sebelum Haji Naipin melemparkan telur busuk, Pitung telah memberi tanda mengangkat
kedua belah tangannya sebagai pertanda bersedia menyerah. Pitung marah sekali dan melontarkan kata, "
Heyne mulai hari ini Iu menjadi musuh gue dan akan gue hisap darah lu." Scout Heyne kembali memberi
komando "Tembak !" Beberapa peluru kembali menerjang tubuh Pitung. Karena ajal Pitung sudah tiba
sesuai ketentuan Allah tentang mati hidupnya seorang hamba, malaikat Izrail mencabut nyawanya.
Pitung rubuh bersimbah darah, jatuh ke bumi. Pitung gugur,sebagai pejuang bangsanya dalam melawan
penindasan Belanda beserta kaki tangannya.
Jenazah Pitung diangkut oleh Belanda, dibawa ke kantor Asisten Residen. Scout Heyne dengan bangga
melaporkan hasil kegiatannya dalam melumpuhkan aksi perlawanan Pitung. Asisten Residen cuma diam
saja, kemudian memerintahkan agar Si Pitung dikuburkan di Pejagalan. Kuburan Si Pitung selama 6
bulan dijaga karena beberapa demang melaporkan bila tidak dijaga, mayatnya akan di bongkar, dibawa ke
perkampungan dan dapat dihidupkan kembali oleh gurunya Haji Naipin. Haji Naipin, pak Piun
dibebaskan oleh Belanda. Beberapa hari kemudian Scout Heyne dipanggil Asisten Residen, pangkatnya
dicopot atau di berhentikan sebagai kontrolir karena bertindak yang tidak pantas sebagai tentara dan
sangat memalukan karena menembak orang yang tidak melawan.

Anda mungkin juga menyukai