Anda di halaman 1dari 9

Cerita Rakyat Si Pitung : Jagoan Dari Betawi

Cerita Rakyat Si Pitung


dari Betawi

Hati si Pitung geram sekali. Sore ini ia kembali melihat kesewenang-wenangan para
centeng Babah Liem. Babah Liem atau Liem Tjeng adalah tuan tanah di daerah
tempat tinggal si Pitung. Babah Liem menjadi tuan tanah dengan memberikan
sejumlah uang pada pemerintah Belanda, Selain itu, ia juga bersedia membayar
pajak yang tinggi pada pemerintah Belanda. Itulah sebabnya, Babah Liem
mempekerjakan centeng-centengnya untuk merampas harta rakyat dan menarik
pajak yang jumlahnya mencekik Ieher.

Si Pitung bertekad, ia harus melawan para centeng Babah Liem. Untuk itu ia berguru
pada Haji Naipin, seorang ulama terhormat dan terkenal berilmu tinggi. Haji Naipin
berkenan untuk mendidik si Pitung karena beliau tahu wataknya. Ya, si Pitung
memang terkenal rajin dan taat beragama. Tutur katanya sopan dan ia selalu patuh
pada kedua orangtuanya, Pak Piun dan Bu Pinah.

Beberapa bulan kemudian, si Pitung telah menguasai segala ilmu yang diajarkan
oleh Haji Naipin. Haji Naipin berpesan, “Pitung, aku yakin kau bukan orang yang
sombong. Gunakan ilmumu untuk membela orang-orang yang tertindas. Jangan
sekali-kali kau menggunakannya untuk menindas orang lain.” Si Pitung mencium
tangan Haji Naipin lalu pamit. Ia akan berjuang melawan Babah Liem dan centeng-
centengnya.

“Lepaskan mereka!” teriak si Pitung ketika melihat centeng Babah Liem sedang
memukuli seorang pria yang melawan mereka.

Cerita Rakyat Si Pitung

“Hai Anak Muda, siapa kau berani menghentikan kami?” tanya salah satu centeng
itu.

“Kalian tak perlu tahu siapa aku, tapi aku tahu siapa kalian. Kalian adalah para
pengecut yang bisanya hanya menindas orang yang lemah!” jawab si Pitung.
Pemimpin centeng itu tersinggung mendengar perkataan si Pitung. Dia lalu
memerintahkan anak buahnya untuk menyerang si Pitung. Namun semua centeng
itu roboh terkena jurus-jurus si Pitung. Mereka bukanlah lawan yang seimbang
baginya. Mereka Ian terbirit-birit, termasuk pemimpinnya.

Sejak saat itu, si Pitung menjadi terkenal. Meskipun demikian ia tetaplah si Pitung
yang rendah hati dan tidak sombong.

Sejak kejadian dengan para centeng Babah Liem, si Pitung memutuskan untuk
mengabdikan hidupnya bagi rakyat jelata. Ia tak tahan menyaksikan kemiskinan
mereka, dan ia muak melihat kekayaan para tuan tanah yang berpihak pada
Belanda.

Suatu saat ia mengajak beberapa orang untuk bergabung dengannya. Mereka


merampok rumah orang-orang kaya dan membagikan hasil rampokan tersebut pada
rakyat jelata. Sedikit pun ia tak pernah menikmati hasil rampokan itu secara pribadi.

Rakyat jelata memuji-muji kebaikan hati si Pitung. Sebaliknya, pemerintah Belanda


dan para tuan tanah mulai geram.
Legenda
Cerita Rakyat Si Pitung dari Betawi

Apalagi banyak perampok lain yang bertindak atas nama si Pitung, padahal mereka
bukanlah anggota si Pitung. Pemerintah Belanda kemudian mengeluarkan perintah
untuk menangkap si Pitung. Meskipun menjadi buronan, si Pitung tak gentar. Ia
tetap merampok orang-orang kaya, dengan cara berpindah tempat agar tak mudah
tertangkap.

Kesal karena tak bisa menangkap si Pitung, pemerintah Belanda menggunakan cara
yang licik. Mereka menangkap Pak Piun dan Haji Naipin. Salah satu pejabat
pemerintah Belanda yang bernama Schout Heyne mengumumkan bahwa kedua
orang tersebut akan dihukum mati jika si Pitung tak menyerah. Berita itu sampai juga
ke telinga si Pitung. Ia tak ingin ayah dan gurunya mati sia-sia. Ia lalu mengirim
pesan pada Schout Heyne. Si Pitung bersedia menyerahkan diri jika ayah dan
gurunya dibebaskan. Schout Heyne menyetujui permintaan si Pitung. Pak Piun
dibebaskan, tapi Haji Naipin tetap disandera sampai si Pitung menyerahkan diri.
Akhirnya si Pitung muncul. “Lepaskan Haji Naipin, dan kau bebas menangkapku,”
kata si Pitung. Schout Heyne menuruti permintaan tersebut. Haji Naipin pun
dilepaskan.

“Pitung, kau telah meresahkan banyak orang dengan kelakuanmu itu. Untuk itu, kau
harus dihukum mati,” kata Schout Heyne.

“Kau tidak keliru? Bukannya kau dan para tuan tanah itu yang meresahkan orang
banyak? Aku tidak takut dengan ancamanmu,” jawab si Pitung.

“Huh, sudah mau mati masih sombong juga. Pasukan, tembak dia!” perintah Schout
Heyne pada pasukannya.

Pak Piun dan Haji Naipin berteriak memprotes keputusan Schout Heyne. “Bukankah
anakku sudah menyerahkan diri? Mengapa harus dihukum mati?” ratap Pak Piun.
Namun Schout Heyne tak perduli, baginya si Pitung telah mengancam jabatannya.

Suara rentetan peluru pun memecahkan kesunyian, tubuh si Pitung roboh


bersimbah darah terkena peluru para prajurit Belanda. Pak Piun dan Haji Naipin
sangat berduka. Mereka membawa pulang jenazah si Pitung kemudian
menguburkannya. Berkat jasa-jasanga, bangak sekali orang yang mengiringi
pemakamannga dan mendoakannga. Meskipun ia telah tiada, si Pitung tetap
dikenang sebagai pahlawan bagi rakyat jelata.

Pesan moral dari Cerita Rakyat Si Pitung Dari Betawi untukmu adalah Jadilah orang
yang rendah hati dan berani membela kebenaran

Cerita Rakyat Banten : Mushola Penunjuk Kebenaran


Kisah tentang Masjid Terate Udik : Cerita Rakyat Banten

Ustadz Wahid baru saja menyelesaikan sholat lohor ketika warga berbondong-
bondong datang ke mushola.
Cerita Rakyat Banten Mushola Penunjuk Kebenaran

“Ustadz, Pak Sidik dan Pak Tio sedang bertengkar di balai desa. Mereka
memperebutkan tanah warisan Ki Ahmad,” kata salah seorang warga. “Mohon
bantuan Pak Ustadz untuk mengelesaikan masalah ini,” kata warga yang lain.
Ustadz Wahid segera menuju balai desa. Baik Pak Sidik maupun Pak Tio tak mau
mengalah. Masing-masing bersikeras bahwa merekalah yang berhak atas tanah
warisan Ki Ahmad. Akhirnya Ustadz Wahid berkata, “Siapkan bukti atau saksi kalian
masing-masing. Besok kita selesaikan masalah ini di mushola. Saksi-saksi kalian
akan disumpah untuk mengatakan kebenaran.”
Saksi dari pihak Pak Sidik bernama Rahmad, dan saksi dari pihak Pak Tio bernama
Randik. Keduanya disumpah demi Allah di hadapan Alquran sebelum bersaksi.
“Tanah ini benar-benar milik Pak Sidik, saya mendengar sendiri ketika Ki Ahmad
berkata pada Pak Sidik sebelum beliau meninggal,” kata Rahmad.

“Omong kosong, saya juga mengaksikan Ki Ahmad mewariskannya pada Pak Tio.
Bahkan beliau menuliskannya di surat wasiatnya, ini buktinya,” sanggah Randik
sambil mengerahkan selembar surat. Ustadz Wahid mempelajari surat wasiat itu,
lalu memutuskan bahwa Pak Tio yang berhak atas tanah itu.

Seminggu kemudian tersiar kabar bahwa Randik sakit keras lalu meninggal. Pak Tio
ketakutan, ia merasa bersalah. Sebenarnya ia telah berbohong pada semua orang
dan menyuruh Randik untuk bersumpah palsu. Tanah warisan Ki Ahmad
sebenarnya adalah hak Pak Sidik. Meski ketakutan, Pak Tio tidak mau mengaku dan
tetap menguasai tanah itu.

Suatu malam, rumah Pak Tio kebakaran. Apinya besar sekali sehingga seluruh harta
bendanya ludes. Pak Tio sendiri tewas dalam musibah kebakaran itu. Dengan
kematian Randik dan Pak Tio, warga mulai menyadari bahwa kedua orang itu telah
termakan sumpah yang mereka ucapkan di mushola. Sejak saat itu, tak ada lagi
warga yang berselisih soal tanah. Mereka hidup tenteram.
Kisah
tentang Masjid Terate Udik Cerita Rakyat Banten

Berbulan-bulan kemudian, ketenteraman warga terganggu. Tiba-tiba, kegaduhan


terjadi di rumah Fatimah.

“Maling… maling…” teriak Fatimah. Kejadian itu terjadi pada malam hari, suasana
gelap sehingga Fatimah tak bisa melihat siapa maling itu. Warga yang mendengar
teriakan Fatimah berusaha membantu, namun terlambat. Maling itu telah melarikan
diri. Fatimah menangis. Ustadz Wahid yang datang ke rumahnya hanya bisa
menghibur, “Sudahlah Fatimah, harta bisa dicari, yang penting kau selamat.”

Peristiwa kemalingan itu nyaris dilupakan warga, hingga suatu saat, seorang warga
baru, Fikar, mengadakan acara syukuran atas kepindahannya. Ia mengundang
seluruh warga desa.
Semua warga bersenang-senang dalam acara itu. Hanya satu warga yang tak bisa
tenang, ia adalah Pak Umar suami Fatimah. Seusai acara, Ustadz Wahid
menangainya, “Ada apa Umar? Dari tadi kulihat kau gelisah.”

“Bukannya saya mau menuduh, tapi cincin batu yang dikenakan Fikar tadi adalah
milik saya. Saya tahu pasti karena cincin itu warisan kakek saya. Beliau
membuatnya sendiri, jadi tak mungkin Fikar bisa memiliki cincin yang sama. Pasti
Fikar mencurinya dari rumah saya,” jelas Pak Umar.

“Jangan berburuk sangka dulu, sebaiknya kita cari tahu kebenarannya,” kata Ustadz
Wahid. Beliau lalu mengajak Pak Umar kembali ke rumah Fikar untuk menanyakan
cincin tersebut.

“Cincin ini adalah warisan dari kakakku. Ia meninggal bulan lalu,” jawab Fikar. Tiba-
tiba mata Pak Umar terpaku pada kalung yang dikenakan istri Fikar. “Bagaimana
dengan kalung itu?” tanyanya.

“Kalung itu juga warisan dari kakakku,” jawab Fikar lagi.

Ustadz Wahid kemudian menjelaskan semuanya kepada Fikar, tentang pencurian di


rumah Fatimah dan tentang kecurigaan Pak Umar.

“Maaf, kami bukan menuduh, tapi untuk mencaritahu kebenarannya, maukah kau
bersumpah di mushola atas nama Allah?” tanya Ustadz Wahid. Dengan sombong,
Fikar menjawab “Tentu saja, aku tak takut bersumpah karena perhiasan ini memang
milikku.”

“Jika begitu, kami tunggu kau besok di mushola,” jawab Ustadz Wahid.

Keesokan paginya, setelah disumpah di bawah kitab suci Alquran, Fikar berkata
“Demi Allah, cincin dan kalung ini adalah warisan dari kakakku. Aku tak pernah
mencurinya dari rumah Umar.”

Semua yang mendengar sumpah Fikar berharap, semoga apa yang diucapkan Fikar
benar adanya. Namun harapan warga tidak terkabul. Seminggu kemudian Fikar
terserang penyakit aneh. Tubuhnya mengeluarkan bau anyir dan bisul-bisul yang
akan meletus. Karena tak tahan merawatnya, istrinya kabur dad rumah. Karena tidak
terurus, Fikar pun meninggal dengan mengenaskan.

Anda mungkin juga menyukai