Anda di halaman 1dari 11

Sejarah[sunting]

Pada dasarnya ada tiga versi yang tersebar di masyarakat mengenai si Pitung yaitu versi Indonesia, Belanda, dan Cina. Masing-masing penutur versi cerita tersebut memiliki versi yang berbeda dari cerita si Pitung itu sendiri. Apakah Si Pitung sebagai seorang pahlawan berdasarkan versi cerita Indonesia, dan sebagai seorang penjahat jika dilihat dari versi Belanda. Cerita Si Pitung ini dituturkan oleh masyarakat Indonesia hingga saat ini dan menjadi bagian lengenda serta warisan budaya Betawi khususnya dan Indonesia umumnya. Kisah Legenda Si Pitung ini kadang-kadang dituturkan menjadi rancak (sejenis balada), sair, atau cerita Lenong. Menurut versi Koesasi (1992), Si Pitung diidentikan dengan tokoh Betawi yang membumi, muslim yang shaleh, dan menjadi contoh suatu keadilan sosial.

Tempat Lahir[sunting]
Si Pitung lahir di daerah Pengumben sebuah kampung di Rawabelong yang pada saat ini berada di sekitar lokasi Stasiun Kereta Api Palmerah. Ayahnya bernama Bang Piung dan ibunya bernama Mpok Pinah. Pitung menerima pendidikan di pesantren yang dipimpin oleh Haji Naipin (seorang pedagang kambing). Seperti yang dikisahkan dalam film Si Pitung (1970).

Nama Asli Si Pitung[sunting]


Si Pitung merupakan nama panggilan asal kata dari Bahasa Jawa Pituan Pitulung (Kelompok Tujuh), kemudian nama panggilan ini menjadi Pitung. Nama asli Si Pitung sendiri adalah Salihun (Salihoen).

Awal Legenda[sunting]
Menurut versi van Till (1996) Si Pitung merupakan seorang kriminal, yang diawali ketika Si Pitung menjual kambing di pasar Tanah Abang, kemudian dicuri oleh para centeng (Si Gomar menurut versi Film Si Pitung (1970) tuan tanah.Si pitung kembali pulang dengan tangan hampa, namun Si Pitung hanya tersenyum dan menjawab bahwa dia telah di rampok.Ayah Pitung yang marah kemudian menyuruh Pitung pergi mencari uang tersebut dan akhirnya dapat menemukannya kembali.Namun, para pencuri alias "centeng" tersebut mengajak Si pitung untuk bergabung sebagai perampok dan menjadi ketua mereka.Pada awalnya Si pitung menolak , tetapi akhirnya Si pitung bergabung dengan mereka.Legenda yang dikisahkan dalam film Si Pitung, Si Pitung dan Kawanannya menggunakan cara yang pintar dengan menyamar sebagai pegawai Pemerintah Belanda (Di Versi Film Si Pitung, Pitung sebagai "Demang Mester Cornelis (Wilayah Mester Cornelis saat ini disebut sebagai Jatinegara merupakan bagian dari Kota Jakarta Timur") dan Dji-ih sebagai Opas). Kemudian melakukan penipuan dengan memberikan surat kepada Haji Saipudin agar Haji Saipudin menyimpan uang di tempat Demang Mester Cornelis. Pitung menyatakan bahwa uang tersebut dalam pengawasan pencurian. Haji Saipudin setuju kemudian Pitung dan Kelompoknya membawa lari uang tersebut. Akibat dari hal ini kemudian Si Pitung dan Kawanannya menjadi buronan kompenie. Hal ini menari k perhatian komisaris polisi yang bernama Van Heyne (Schout Van Heyne, atau Van Heijna, Scothena, atau Tuan Sekotena). Secara resmi menurut Van Till (1996) nama petugas polisi pada saat ini bernama A.W. Van Hinne yang pernah bertugas di Batavia dari tahun 1888 - 1912. (Menurut catatan kepolisis Belanda. Van Hinne memulai karier sebagai pegawai klerikal Pemerintah Belanda, kemudian menjadi Deputi Kehutanan, dan Polisi di beragam tempat di Indonesia. Van Hinne menderita sakit yang serius, sesudah dikembalikan ke Eropa untuk penyembuhan. Pada akhir tahun 1880 Van Hinne menjadi seorang Perwira Polisi di Batavia (Stambock van Burgerlijke Ambtenaren in Nederlandsch-Indie en Gouvernements Marine, ARA (Aigemeen Rijksarchief), Den Haag, register T.f. 274). Van Hinne segera memburu Si Pitung dengan membabi buta. Akhirnya dia dapat menangkap

Pitung, tetapi kemudian Si Pitung berhasil melarikan diri dari tahanan ka-Demangan Meester Cornelis. Van Till (1996) menyatakan bahwa Si Pitung mampu bebas dengan kekuatan magis tetapi menurut versi Film Si Pitung (1970), Si Pitung lepas dengan menggunakan kekuatan tenaga dalam. Kemudian Hinne menekan Haji Naipin (Guru Si Pitung) untuk membuka rahasia kesaktian si Pitung berupa jimat sehingga Hinne dapat menangkap Si Pitung secara lebih cepat. Versi lainya menyatakan bahwa Pitung dikhianati oleh temannya sendiri (kecuali Dji-ih) walaupun versi ini diragukan kebenarannya. Tetapi menurut Versi Film Si Pitung Banteng Betawi (1971) dikhianati oleh Somad yang memberi tahukan kelemahan Pitung untuk mengambil jimatnya. Kisah lainnya menyatakan bahwa Pitung telah diambil Jimat Keris-nya sehingga kesaktiannya menjadi lemah. Versi lainnya mengatakan bahwa kesaktian Pitung hilang setelah dipotong rambut, dan juga versi lain mengatakan bahwa kesaktiannya hilang karena sesorang melemparkan telur. Akhirnya Pitung meninggal karena luka tembak Hinne (Berdasarkan versi Film Si Pitung, Pitung mati tertembak karena peluru emas). Sesudah Si Pitung meninggal, makamnya dijaga oleh tentara karena percaya bahwa Si Pitung akan bangkit dari kubur hal ini tersirat dari Rancak Si Pitung dalam Van Till (1996): Si Pitung sudah mati dibilangin sama sanak sudaranya Digotong di Kerekot Penjaringan kuburannya Saya tau orang rumah sakit nyang bilangin Aer keras ucusnya dikeringin Waktu dikubur pulisi pade iringin Jago nama Pitung kuburannya digadangin Yang gadangin kuburannya Pitung dari sore ampe pagi Kalo belon aplusan kaga ada nyang boleh pegi Sebab yang gadangin waktu itu sampe pagi Kabarnya jago Pitung dalam kuburan idup lagi Yang gali orang rante mengaku paye Belencong pacul itu waktu suda sedie Lantaran digali Tuan Besar kurang percaye Dilongok dikeker bangkenye masi die Memang waktu itu bangke Pitung diliat uda nyata Dicitak di kantor, koran kantor berita Ancur rumuk tulang iganya, bekas kena senjata Nama Pitung suda mati Tuan Hena ke Tomang bikin pesta Pesta itu waktu keiewat ramenye Segala permaenan kaga larangannya Tuju ari tuju malem pesta permisiannya Sengaja bikin pesta mau tangkep kawan-kawannya Nama Pitung mau ditangkep kawan-kawannya

Pitung Robin Hood ala Betawi[sunting]

Menurut Damardini (1993:148) dalam Van Till (1996): Pitung memang perampok. Mungkin saja Haji Samsudin dipukuli ketika itu. Kalau menurut istilah sekarang, Pitung itu pengacau, dan dicari oleh Pemerintah. Pitung memang jahat. Pekerjaannya merampok dan memeras orang-orang kaya. Menurut kabar, hasil rampokannya dibagikan pada rakyat miskin. Namun sebenarnya tidak. Tidak ada perampok yang rela membagi hasil rampokannya dengan cuma-cuma, bukan? Menurut kabar, Pitung menyumbangkan uangnya pada mesjid-mesjid. Saat itu mesjid hanya ada di Pekojan, Luar Batang, dan Kampung Sawah. Tidak ada bukti bahwa Pitung mendermakan uangnya di sana.' Pitung menjadi karakter sebagai Robin Hood versi Betawi dikembangkan oleh Lukman Karmani (Till, 1996).Karmani menulis novel Si Pitung, novel ini dikisahkan bahwa Si Pitung sebagai pahlawan sosial. Menurut Rahmat Ali (1993). 'Pitung sebagai tokoh kisah Betawi masa lampau memang dikenal sebagai perampok, tetapi hasil rampokan itu digunakan untuk menolong orang-orang yang menderita. Dia adalah Robin Hood Indonesia. Walaupun demikian pihak yang berwenang tidak memberikan toleransi, orang yang bersalah harus tetap diberi hukuman yang setimpal' (Rahmat Ali 1993:7) Beragam pro dan kontra banyak menyelubungi di balik kisah legenda Si Pitung ini, tetapi pada dasarnya bahwa tokoh Si Pitung adalah cerminan pemberontakan sosial yang dilakukan oleh "Orang Betawi" terhadap penguasa pada saat itu yaitu Belanda. Apakah hal ini dipertanyakan valid atau tidaknya, kisah Si Pitung begitu harum didengar dari generasi ke generasi oleh masyarakat Betawi sebagai tanda pembebasan sosial dari belenggu penjajah. Hal ini ditunjukkan dari Rancak Pitung di atas bagaimana Si Pitung begitu ditakuti oleh pemerintah Belanda pada saat itu.

Kisah Nyata Si Pitung[sunting]


Berdasarkan penelusuran van Till (1996) berdasarkan Hindia Olanda 22-11-1892 (Koran Terbitan Malaya (Malaysia pada saat ini)). Pada tahun 1892 Si Pitung dikenal pada sebagai One Bitoeng, Pitang", kemudian menjadi Si Pitoeng (Hindia Olanda 28-6-1892:3; 26-8-1892:2). Laporan pertama dari surat kabar ini menunjukkan bahwa schout Tanah Abang mencari rumah One Bitoeng di Sukabumi. Dari hasil penemuannya ditemukan Jas Hitam, Seragam Polisi dan Topi, serta beberapa perlengkapan lainnya yang digunakan untuk mencuri kampung (Hindia Olanda, 28-6-1892:2). Sebulan kemudian polisi menggeledah rumahnya kembali dan ditemukan uang sebesar 125 gulden. Hal ini diduga uang curian dari Nyonya De C dan Haji Saipudin seorang Bugis dari Marunda (Hindia Olanda 10-8-1892:2;2; 26-8-1892:2). Kemudian Si Pitung menggunakan senjata untuk mencuri pada tanggal 30 Juli 1892, ketika itu Si Pitung dan lima kawanannya (Abdoelrachman, Moedjeran, Merais, Dji-ih, dan Gering) menerobos rumah Haji Saipudin dengan mengancam bahwa Haji Saipudin akan ditembak. Pada tahun 1892 Pitung dan kawanannya ditangkap oleh polisi sesudah adanya nasihat dari Kepala Kampung Kebayoran yang menerima 50 ringgit (Hindia Olanda 26-8-1892:2) untuk menangkap Si Pitung. Setelah ditangkap, kurang dari setahun kemudian pada musim semi 1893, Pitung dan Dji-ih merencanakan kabur dengan cara yang misterius dari tahanan Meester Cornelis. Sebuah investigasi kemudian dilakukan oleh Asisten Residen sendiri, tetapi tidak berhasil. Karena kejadian tersebut Kepala Penjara dicurigai melepaskan si Pitung dan Dji-ih. Akhirnya seseorang Petugas Penjara mengakui bahwa dia meminjamkan sebuah "belincong (sejenis linggis pencungkil) kepada Si Pitung, yang kemudian digunakan untuk membongkar atap dan mendaki dinding (Hindia Olanda, 25-4-1893:3; Lokomotief 25-4 1893:2).

Akibatnya, Si Pitung lepas lagi. Berdasarkan rumor, Pitung pernah menampakkan diri ke seorang wanita di sebuah perahu dengan nama Prasman. Detektif mencoba mencari di kapal tersebut (Hindia Olanda, 12-5-1893:3), tetapi hasilnya Pitung tidak dapat ditemukan. Semakin sulitnya menemukan Si Pitung, menyebabkan harga untuk penangkapan Si Pitung menjadi meningkat sebesar 400 Gulden. Pemerintah Belanda pada saat itu ingin "menembak mati" di tempat , tetapi sebagian pejabat mengatakan jika Pitung ditembak justru akan menumbuhkan semangat patriotik, sehingga niat ini diurungkan oleh kepolisian Batavia untuk menembak ditempat walaupun pada akhirnya hal ini dilakukan juga. Sebagai tindakan balas dendam, Pitung melakukan pencurian secara kekerasan termasuk dengan menggunakan sejata api. Akhirnya Pitung dan Dji-ih membunuh seorang polisi intel yang bernama Djeram Latip (Hindia Olanda 23-9-1893:2). Dia juga mencuri wanita pribumi, Mie dan termasuk pakaian laki-laki serta pistol revolver dengan pelurunya. Pernyataan ini didukung oleh Nyonya De C seorang pedagang wanita di Kali Besar menyatakan bahwa Pitung mencuri sarung yang bernilai ratusan Gulden dari perahu-nya (Hindia Olanda 22-11-1892:2). Dji-ih ditangkap kembali di kampung halamannya, ketika sedang menderita sakit. Pada saat itu Dji-ih pulang ke kampung halamannya untuk memperoleh pengobatan. Kemudian dia pindah ke rumah orang tua yang dikenal. Kepala kampung pada saat itu (Djoeragan) melaporkannya ke Demang kemudian memerintahkan tentara untuk menangkap Dji-ih dirumahnya. Karena dia terlalu sakit, dia tidak berdaya untuk melawan, walaupun pada saat itu pistol dalam jangkauannya (Hindia Olanda 198-1893:2). Dia menyerah tanpa perlawanan. Untuk menutupi hal ini kemudian Pemerintah Belanda melansir di Java-Bode (15-8-1893:2) bahwa Dji-ih kabur ke Singapura. Informan yang bertanggungjawab melaporkan Dji-ih kemudian ditembak mati oleh Pitung di suatu tempat yang tak jauh dari Batavia beberapa minggu kemudian. 'Itoe djoeragan koetika ketemoe Si Pitoeng betoelan di tempat sepi troes, Si dj oeragan menjikip pada Si Pitoeng dan dari tjipetnja Si Pitoeng troes ambil pestolnja dari pinjang, lantas tembak si djoeragan itoe menjadi mati itoe tempat djoega.' (Hindia Olanda 1-9-1893:2.) Beberapa bulan kemudian, di Bulan Oktober, Kepala Polisi Hinne mempelajari dari informan bahwa Pitung terlihat di Kampung Bambu, kampung di antara Tanjung Priok dan Meester Cornelis. Kemudian dalam perajalanannya Hinne diberikan laporan bahwa Pitung telah pindah ke arah pekuburan di Tanah Abang (Hindia Olanda 18-10-1893), kemudian Hinne menembaknya dalan penyergapan itu. Pitung ditembak di tangan, kemudian Pitung membalasnya. Kemudian Hinne menembak kedua kalinya, tetapi, meleset, dan peluru ketiga mengenai dada dan membuatnya terjerembap di tanah. Sehari sesudah kematiannya yaitu hari Senin, jenazah dibawa ke pemakaman Kampung Baru pada jam 5 sore. Setelah Hinne menangkap Pitung setahun kemudian dia dipromosikan menjadi Kepala Polisi Distrik Tanah Abang untuk mengawasi seluruh Metropolitan Batavia-Weltevreden. Setelah kejadian tersebut Pemerintah Hindia Belanda melakukan pencegahan agar "Pitung"-"Pitung" yang lain tidak terjadi lagi di Batavia. Bahkan karena ketakutannya makam Si Pitung setelah kematiannya, dijaga oleh Pemerintah Belanda agar tidak diziarahi oleh masyarakat pada waktu itu.

Kesaktian dan Kematian Si Pitung[sunting]


Berdasarkan cerita legenda, Si Pitung dapat dibunuh oleh Belanda dengan beragam argumen tersebut di atas. Menurut Hindia Olanda (18-10-1893:2) sebelum ditangkap Pitung dalam keadaan rambut terpotong, beberapa jam sebelum kematiannya pada hari Sabtu. Seperti yang diceritrakan oleh legenda bahwa kesaktian Si Pitung hilang akibat jimat-nya diambil orang (Versi Film Si Pitung Banteng Betawi), tetapi yang menarik, versi lain menyatakan, bahwa Si Pitung dapat di-"lemahkan"

jika dipotong rambut-nya. Berdasarkan koran Hidia Olanda dikatakan bahwa sebelum kematiannya Si Pitung telah dipotong rambutnya.

Pemakaman Si Pitung[sunting]
Sesudah kematian Si Pitung, makamnya dikawal oleh tentara, karena beberapa masyarakat percaya dia akan bangkit dari kematian. Menurut Rancak Si Pitung dijelaskan bagaimana kondisi sesudah kematian Si Pitung. "Si Pitung sudah mati dibilangin sama sanak sudaranya Digotong di Kerekot Penjaringan kuburannya Saya tau orang rumah sakit nyang bilangin Aer keras ucusnya dikeringin Waktu dikubur pulisi pade iringin Jago nama Pitung kuburannya digadangin Yang gadangin kuburannya Pitung dari sore ampe pagi Kalo belon aplusan kaga ada nyang boleh pegi Sebab yang gadangin waktu itu sampe pagi Kabarnya jago Pitung dalam kuburan idup lagi Yang gali orang rante mengaku paye Belencong pacul itu waktu suda sedie Lantaran digali Tuan Besar kurang percaye Dilongok dikeker bangkenye masi die Memang waktu itu bangke Pitung diliat uda nyata Dicitak di kantor, koran kantor berita Ancur rumuk tulang iganya, bekas kena senjata Nama Pitung suda mati Tuan Hena ke Tomang bikin pesta Pesta itu waktu keiewat ramenye Segala permaenan kaga larangannya Tuju ari tuju malem pesta permisiannya Sengaja bikin pesta mau tangkep kawan-kawannya Nama Pitung mau ditangkep kawan-kawannya."

Film

Seorang jagoan (jawara) dari Condet. Terkenal amat teguh memegang prinsip, pernah ada tawaran dari Belanda untuk menjadi raja muda di Condet tetapi ditalaknya, sehingga meletuslah perang di Condet. Ia gugur ditembak peluru Kompeni, ketika melakukan penyerbuan ke rumah tuan tanah di Kampung Gedong. Untuk mengenang jasanya, namanya pernah diabadikan untuk nama sebuah jalan. Namun dalam perkembangan diganti menjadi Jl. Ayaman, nama seorang tuan tanah yang pernah tinggal di tempat tersebut. Semasa hidupnya ia telah mengerjakan ibadah haji, maka nama lengkapnya Haji Entong Gendut. Menurut berbagai sumber, pada masa penjajahan Belanda rakyat Condet hidup dalam tekanan pihak Kompeni dan para tuan-tuan tanah yang bermarkas di Kampung Gedang. Seluruh tanah Condet (bahkan sampai di Tanjung Timur dan Tanjung Barat) dikuasai oleh tuan tanah. Rakyat diharuskan membayar pajak, yang ditagih oleh para mandor dan centeng tuan tanah. Pajak ( blasting) sebesar 25 sen yang harus dibayarkan setiap minggu dinilai sangat berat oleh rakyat, karena harga beras masa itu hanya sekitar 4 sen per kilogram. Apabila terdapat penduduk yang belum membayar blasting, maka mereka diharuskan melakukan kerja paksa mencangkul sawah dan kebun Kompeni selama sepekan. Bahkan jika ada pemilik sawah atau kebun yang belum membayar pajak Kompeni hukumannya lebih berat, yakni hasil sawah dan kebunnya tidak boleh dipanen. Menyaksikan semua penderitaan rakyat itulah, timbul kemarahan dalam diri Tong Gendut. Ia kumpulkan seluruh rakyat Condet dan mengibarkan panji perang melawan Kompeni. Pada tanggal 5 April 1916 berkabarlah perang di Landhuis (dikenal sebagai villa Nova) yang ditempati Lady Lollison dan para centengnya. Entong Gendut bersama sekitar 30 pemuda Condet menyerbu, namun setelah datang bala bantuan dari Batavia pemberontakan tersebut dapat dipadamkan. Entong Gendut meninggal tertembus peluru Kompeni. Mengenai kematian Entong Gendut terdapat berbagai versi: 1) Entong Gendut meninggal bukan di Kampung Gedong namun di Batuampar, saat melewati sungai karena dikejar-kejar Kompeni; 2) Jenazah Entong Gendut diangkut oleh Kompeni, kemudian diceburkan ke laut. Bahkan makamnya pun tak diketahui rimbanya, ada yang mengatakan di Kemang, Jakarta Selatan, namun ada juga yang mengatakan di Kampung Wadas, Bogor. Saat meninggal Entong Gendut meninggalkan tiga anak, yaitu Abdul Fikor, Aiyoso, dan Aisyah.

Entong Gendut

Entong Gendut. (Ilustrasi)


Jakarta - Entong Gendut adalah pemimpin pemberontakan petani di kawasan Condet, Jakarta Timur, karena kesewenangan tuan tanah pemilik tanah partikelir yang memeras petani. Mencari jejak Entong Gendut di Condet bagai mencari jarum dalam tumpukan jerami. detikcom mencoba menelusuri jejak-jejak keberadaan Entong Gendut di kawasan Condet dan sekitarnya. Penelusuran berawal dari Kampung Gedong, Kelurahan Gedong, Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta Timur. Di kampung itu, detikcom bertemu dengan seorang tetua dari Kampung Gedong yang bernama Muhammad Samin (70). Samin kemudian menjelaskan bahwa Entong Gendut memang berasal dari Condet dan dikenal sebagai pembela rakyat yang diperlakukan tidak adil oleh Belanda. "Iya, dia termasuk jagoan di masanya. Berani melawan penjajah dan tuan tanah yang sewenangwenang," jelasnya. Kendati demikian, Samin tak memiliki catatan apapun terkait kiprah Entong Gendut. Cerita Entong Gendut, dia dapatkan dari cerita lisan dari generasi orang tuanya. Samin kemudian merujuk detikcom ke beberapa orang, seperti pengurus koran kampung Gedong Tinggi, ketua RW Batu Ampar, hingga bertemulah dengan sesepuh Batu Ampar, Bang Geni (73).

Menurut Bang Geni, salah satu sesepuh di kelurahan Batu Ampar, di mana dulu rumah Entong Gendut berada, masa keemasan Entong Gendut adalah pada tahun 1916. Pada saat itu Entong Gendut diceritakan mulai melakukan perlawanan besar-besaran terhadap seorang tuan tanah. Tuan tanah tersebut tinggal di daerah bernama Tanjung Oost alias Tanjung Timur yang menjadi Kelurahan Gedong, Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta Timur. Warga mengenal tempat tinggal tuan tanah tersebut dengan nama Gedong Tinggi. Tak banyak keterangan yang dapat digali terkait hubungan antara Entong Gendut dan rumah yang saat ini menjadi asrama polisi itu. Bang Geni menceritakan, sejak kecil Entong Gendut memang memiliki keistimewaan dibanding anak seumurannya. Entong selalu menantang teman-temannya untuk memukulnya sekadar membuktikan keistimewaan yang dia miliki. "Pernah saya diceritakan Entong Gendut nyuruh beberapa temannya buat mukulin perut dia, ada lebih dari 10 orang yang mukul ternyata nggak ngaruh apa-apa, dia masih bediri tegak kayak nggak ada apa-apa," jelasnya. Sama dengan Samin, Bang Geni hanya mendapatkan cerita lisan dari orang tuanya mengenai kiprah Entong Gendut itu. Bang Geni kemudian menunjukkan ada beberapa keturunannya di sekitar kampung itu. Disebutlah nama Tornadi. Beberapa penduduk ternyata juga mengiyakan bahwa ada kerabat Entong Gendut di kampung Batu Ampar itu. "Saya bukan cucunya, bukan cucu kandungnya. Ada yang cucu kandungnya namanya Baba Taceh.

Kebetulan dia lagi di sini. Jadinya saya sama dia itu beda bapak," kata Tornadi yang rumahnya tak jauh dari Bang Geni. Menurut Tornadi, cucu yang disebutnya keturunan langsung Entong Gendut itu bekerja sebagai kuli bangunan, meski sudah berusia lanjut, 70 tahun. Nah, bagaimana penuturan Baba Taceh mengenai kakeknya itu?

Sejumlah pedagang minyak goreng mencampur solar dan lemak sapi, saksikan di Reportase investigasi pukul 15.00 WIB Hanya diTrans TV (nwk/nrl)

Seorang jawara dari condet yang berjuang melawan penjajah dan dikenal memiliki prinsip yang tegas, sikap non kooperatif Entong terhadap kaum penjajah ini mencapai klimaks ketika kerajaan Belanda memintanya untuk menjadi raja muda di Condet namun ia menolaknya, sehingga terjadilah pertempuran di Condet , ia gugur ditembak kompeni ketika melakukan penyerbuan kerumah tuan tanah di Kampung Gedong, untuk mengenang jasanya namanya pernah diabadikan untuk nama jalan, namun dalam perkembangannya nama jalan tersebut diubah menjadi JL.Ayaman, nama tuan tanah yang pernah tinggal di daerah tersebut, semasa hidupnya Entong telah menunaikan Haji maka lengkapnya ia bernama Haji Entong gendut. Pada masa itu tuan tanah bersama kompeni menguasai tanah-tanah rakyat dan rakyat diwajibkan membayar pajak, jika tidak mau membayar pajak maka dikenakan kerja paksa yaitu menggarap tanah sawah, menyaksikan kondisi tersebut maka entong gendut dengan para pemuda yang dipimpinnya melakukan perlawanan. Pada 5 april 1916 terjadilah

perang di Landhius (vila Nova) yang dietmapati Lady Lollison dan para centengnya . Menganai kematian Entong ada beberapa versi; 1) Entong gendut meninggal bukan di Kampung Gedong melainkan di Batu Ampar, saat melwati sungai ketika dikejar-kejar kompeni; 2). Jenazah entong gendut diangkut oleh kompeni kemudiandi ceburkan ke laut, bahkan makamnya tidak diketahui rimbanya. Ada yang mengatakan di Kemang Jakarta selatan, namun ada juga yang mengatakan di Kampung Wadas Bogor. Entong meninggalkan tiga orang anak yaitu; Abdul Fikor, Aiyoso dan Aisyah.
Diposkan oleh Betawi Indonesia di 04.52 Tidak ada komentar: Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook

KH.NOER ALIE BEKASI (1914-1992)


Anak Betawi keturunan Kelender ini lebih dikenal sebagai KH.Noer Alie Bekasi, karena masa perjuangan dan basis pesantren yang dibangunnya di Ujungmalang yang kemudian berganti nama Ujung Harapan Bekasi Pesantren AtTaqwa, Noer Alie lahir pada tahun 1914 tanggal dan harinya tidak begitu diketahui, ia adalah anak dari pasangan Anwar bin Layu dan Maemunah binti Tarbin, ia lahir dengan bantuan seorang dukun beranak, Maklimah namanya. Kakenya - Layu adalah orang pondok ungu, sedangkan nenenknya Nurhani-orang kampung sumur Kelender Jakarta Timur. Bersama Jenderal Urip Sumoharjo mendirikan Markas Pusat Hizbullah Sabililiah (MPHS), bersama sejumlah ulama mendirikan Badan Kerja sama Pondok Pesantren (BKSPP) Jawa Barat yang sekarang menjadi BKSPP Indonesia. 1935 belajar di Mekah. Noer Ali belajar mengaji pada guru Maksum dan guru Mughni Ujung malang ( 1925 ). Oleh guru Mughni Noer Ali di juluki santri kalong, karna jarak rumah dan tempat mengajinya cukup jauh. Pada tahun 1913 terjadi gerakan protes petani Bekasi dan tahun 1916 terjadi pemberontakan oleh petani condet yang di pimpin oleh Entong Tolo Gendut. Beranjak dewasa Noer Ali merupakan murid kesayangan guru Mughni karena ketekunan dan kecerdasannya dalam menghafal Alfiah (pengetahuan tentang kaidah tata bahasa Arab ). Karena kecerdasannya Noer Ali mampu menghafal lebih awal seribu kaidah bahasa Arab. Selain belajar ilmu Agama pada guru Maksum dan guru Mughni, Noer Ali juga memperdalam pengetahuan agamanya pada guru Marzuki di Kampung Muara, Klender, di sini Noer Ali mondok ( tinggal di tempat guru Marzuki mengajar ). Pada waktu senggang guru Marzuki

dan Noer Ali melakukan pelajaran tambahan sambil berburu bajing. Tahun 1933 Noer Ali di angkat sebagai badal oleh guru Marzuki. Selain cerdas Noer Ali juga pandai bergaul dan teman temannya, inilah yang menjadi cikal bakal ulama ulama terkenal di daerah JABOTABEK, ulama ulama itu ialah : Abdullah Safiie, Abdurahman Shadri, Abu bakar, Mukhtar Thabrani, Usman, Abdul Bakir Marzuki, Hasbullah, Zayadi, Mahmud, Junaidi, Rohiman, Abdil Madjid dan Abdullah. Pondok guru Marzuki sebelumnya di pimpin oleh guru Mirsodh ( 1910 ) yang tak lain adalah ayahnya. Tahun 1934 pondok guru Marzuki memiliki murid lakilaki sekitar 150 orang dan murid perempuan sekitar 50 orang. Setelah selesai belajar dari guru marzuki Noer Ali melanjutkan belajarnya pada guru Abdul Madjid di Pekojan. Setelah belajar dari guru Abdul Madjid Noer Ali, berfikir jika dia terus berada di Batavia pengetahuanya tidak akan berkembang,dengan berbekal uang pinjaman dari tuan tanah, Wat Siong, akhirnya Noe Ali melanjutkan pendidikanya ke Makkah. Sebelum ke Makkah guru Marzuki berpesan : meskipun di Makkah belajar dengan banyak Syeikh. Tapi bagaimanapun kamu tidak boleh lupa untuk tetap belajar pada Syeikh Ali Al-Maliki . Akhirnya Noer Ali berangkat dengan menaiiki kapal laut Telisce dengan membawa perbekalan seperti kopor, pakaian, beberapa buku, karung berisi beras dan ikan asin. Sesampainya di Jeddah jemaah yang berasal dari Indonesia di sambut oleh Syeikh Ali Betawi. Di Makkah Noer Ali mendapat kabar dari para jamaah Haji Indonesia bahwa guru Marzuki meninggal dunia tepatnya dua hari setelah Noer Ali dan kawanya Hasbullah meninggalkan Tanjung Priok. 1940 Nur Ali pulang dari Makkah, kepulangan Noer Ali dari Makkah di anggap duri dalam daging oleh tuan tanah dan aparatnya karena mereka menganggap bahwa Noer Ali kaum yang terpelajar, intelektual, ulama dan aktifis pergerakan yang di anggap membahayakan kepentingankepentingan curang mereka. Tahun 1940 Noer Ali mulai menjadi pengajar di masjid dekat rumahnya dan Yakub Gani sebagai badal dan tangan kanannya . Pada tahun ini pula tepatnya pada bulan April 1940 ( usia Noer Ali saat itu 26 thn ) Noer Ali menikah dengan Siti Rahmah yang tak lain adalah anak dari guru Mughni. Pernikahan ini juga mempererat hubungan kedua kampung, yaitu kampung Ujungmalang dan kampung Kaliabang. Hubungan baik ini di tandai dengan di bangunya dua masjid di masingmasing kampung. Kehadiran Rahmah benar-benar membawa berkah, selain menjadi istri Noer Ali Rahmah juga membantu Noer Ali dalam hal mengajar murid-murid perempuannya. Seiring waktu pesantren Noer Ali semakin berkembang selain di ujungmalang murid-murid Noer Ali juga banyak yang berasal dari Babelan, Kebalen, Marunda dan Gabus. Tahun 1941 Noer Ali mulai mengembangkan pengajian menjadi pesantren. Saat itu murid Noer Ali berjumlah sekitar 300 orang. Kemudian murid-murid senior guru Zahruddin di angkat menjadi badal oleh Noer Ali, guru badal itu yaitu : Muhammad Arsyad, Muhammad Maruf, Muhammad Anwar, Ahmad Dumyati, Ahmad Murthado dan Abu Bakar.
Diposkan oleh Betawi Indonesia di 04.46 Tidak ada komentar:

Anda mungkin juga menyukai