Anda di halaman 1dari 6

Sebenarnya sungguh saya bingung untuk menentukan kalimat awal pada esai ini, tapi

sudahlah toh sepertinya saya telah memulai esai ini dengan kalimat yang baik. Seno
Gumira Ajidarma selalu memulai tulisannya dengan baik. Seperti dalam salah satu
cerpennya yang berjudul Saksi Mata. Pada awal cerpen tersebut tertulis satu kalimat
menarik, “Saksi mata itu datang tanpa mata”. Siapa yang dapat menahan rasa
penasarannya jika pada awal cerpen sudah tertulis kalimat demikian. Seno memaparkan
fakta dalam kumpulan cerpennya tersebut. Dalam cerpen Saksi Mata Seno
menggambarkan seorang saksi mata yang ingin mengungkapkan kebenaran yang
kemudian dicongkel kedua bola matanya dan pada akhir cerita lidah si saksi mata
dipotong karena ternyata saksi mata tersebut masih ingin memaparkan kebenaran yang ia
ketahui. Tergambar jelas dalam pikiran saya jika keadaan yang dimaksud Seno adalah
masa Orde Baru. Pada saat itu kebebasan untuk mengutarakan ekspresi sangat terbatas.
Seno mengutarakan maksudnya sangat jelas dalam setiap cerpennya.

Tidak hanya dalam cerpen Saksi Mata, semua cerpennya menggambarkan keadaan yang
sama. Cerpen berjudul Telinga juga demikian, walaupun Telinga terlihat lebih surealis.
Dewi, dalam cerpen Telinga diceritakan mempunyai pacar yang ada di medan perang,
pacar Dewi sangat kejam, ia sering memotong telinga musuhnya dan telinga siapapun
yang dianggap mata-mata. Telinga-telinga tersebut dikirimkan kepada Dewi dan
dijadikan pajangan oleh Dewi, sungguh tidak masuk akal, tetapi menarik, seperti pada
akhir cerpen tersebut,

“Alangkah kejamnya pacar Dewi itu,”ujar Alina kepada juru cerita itu
Maka, juru cerita itu pun menjawab.
“Tapi, banyak orang menganggapnya pahlawan.”

Sampai pada akhir cerita saya tersenyum. Bukan karena lucu, melainkan karena miris,
karena sejujurnya saya pernah pula menganggap “pacar Dewi” sebagai pahlawan.
Dalam cerpen yang lain, berjudul Maria, Seno benar benar telah mengajak saya untuk
turut serta dalam cerita tersebut. Menurut saya cerpen Maria yang paling realis dan
sangat menggugah. Maria adalah nama dari seorang ibu yang kehilangan suami, anak
sulung kemudian anak bungsunya yang sangat disayanginya yaitu Antonio. Antonio
hilang begitu saja tanpa Maria tahu penyebabnya. Kemudian setelah sekian lama Maria
menunggu anak bungsunya tersebut, datang seorang pemuda tak bertelinga berwajah
mengerikan yang mengaku bahwa dirinya adalah Antonio, anak bungsu Maria. Akan
tetapi Maria yang sudah tidak mengenali wajah anaknya jelas saja mengusir pemuda itu.
Hal tersebut sangat memilukan, namun yang paling menyedihkan menurut saya pada
cerpen ini;

Lelaki yang mengaku bernama Antonio itu terdiam sejenak, matanya yang
sebelah terpicing-picing itu tampak muram. Mimpi-mimpinya selama 365 malam
terhapus dalam satu detik saja.

Cerpen lain yang berjudul Misteri Kota Ningi (atawa The Invisible Christmas) paling
menarik menurut saya. Ide yang dalam cerpen tersebut sangat unik. Tokoh utamanya
adalah seorang petugas sensus yang bingung dengan keadaan kota Ningi, di kota tersebut
jumlah penduduknya semakin lama semakin berkurang. Belakangan diketahui bahwa
banyak penduduk yang diculik secara misterius dan tidak pernah pernah kembali. Namun
yang menarik, penduduk yang hilang tersebut masih bisa berjalan, makan, minum,
berkendara dan melakukan aktivitas apapun akan tetapi tidak berwujud. Hal tersebut
menggambarkan bahwa penduduk yang hilang masih tetap ada, semangat dan jiwanya
masih terus ada dan bergentayangan di sekitar kota Ningi. Pernahkah terpikir untuk
memunculkan ide aneh seperti yang dilakukan Seno? Kalau saya tidak.

Kata Ningi sendiri ternyata bukan kata sembarangan. Kata ningi jika dibaca dengan
“bahasa gali” di Yogya, akan dibaca dili. Jadi tentu saja yang dimaksud oleh Seno dalam
cerpen Misteri Kota Ningi (The Invisible Christmas) adalah kota Dili. Walaupun lagi-
lagi cerpen ini surealis, angka-angka pengurangan populasi penduduk yang terjadi dalam
cerpen tersebut adalah angka yang sesungguhnya terjadi di kota Dili.
Keduabelas cerita lainnya juga tidak jauh beda dari empat cerpen diatas. Seluruh cerpen
dalam kumpulan cerpen Saksi Mata mengusung tema yang sama, yaitu mengenai insiden
yang terjadi di kota Dili, khususnya insiden Dili atau Dili Massacare, insiden tersebut
terjadi di sebuah pekuburan umum bernama Santa Cruz. Insiden tersebut merupakan
sebuah peristiwa besar bagi masyarakat Dili, masyarakat Indonesia, maupun dunia
internasional. Sampai saat ini peristiwa tersebut masih terus ditutup-tututpi oleh
pemerintah. Sikap pemerintah yang seolah tak tahu memang wajar karena hal tersebut
akan membuat Indonesia jatuh dimata Internasional. Insiden tersebutlah yang membuat
rakyat Dili atau Timor Leste semakin ingin memisahkan diri dari Indonesia.

Peristiwa tersebut terjadi saat mahasiswa melakukan unjuk rasa yang bertepatan dengan
dua pekan kematian seorang aktivis yang dibunuh, Sebstiao Gomez. Saat itu pasukan TNI
yang berjaga dibagi menjadi dua barisan. Kemudian mereka mulai menembaki para
demonstran yang salah satu diantaranya terdapat warga Selandia Baru bernama Kamal
Bamadhaj, seorang pelajar ilmu politik dan aktivis HAM. Begitu hati-hatinya militer
Indonesia sampai semua orang yang ada di tempat kejadian dibantai habis. Sampai-
sampai orang gila yang berada di sekitar tempat kejadian ikut ditangkap oleh pihak
militer. Saya tidak habis pikir, apa mungkin mereka takut pembantaian tersebut
disebarluaskan di kalangan orang-oang kurang waras alias orang gila?

Peristiwa inilah yang melatarbelakangi Seno dalam menulis cerpen-cerpennya dalam


kumpulan cerpen Saksi Mata. Seno yang juga seorang jurnalis mendapat tekanan yang
cukup keras ketika membeberkan insiden ini melalui tulisan jurnalisnya. Tetapi anehnya
Seno tidak mendapat tekanan dari pihak manapun ketika merampungkan kumpulan
cerpen Saksi Mata yang tentu saja membeberkan fakta yang sama. Kemudian terbit esai
karya Seno yang berjudul “Ketika Jurnalisme dibungkam, Sastra Harus Bicara”

Kekerasan yang disajikan Seno dalam setiap cerpennya sangat terlihat dan terkesan sadis.
Ada salah satu cerpennya yang bejudul Kepala di Pagar Da Silva yang betul-betul
menggambarkan kepala manusia yang ditancapkan di pagar. Saya sendiri sampai
merinding ketika membacanya. Pemikiran-pemikiran Seno yang bebas membuat cerpen-
cerpennya sangat bebas pula memilih kata-katanya sendiri. Seno membeberkan kekerasan
yang dilakukan oleh pemerintah pada masa itu terhadap rakyatnya sendiri melalui cerpen-
cerpennya. Kekerasan telah menjadi suatu hal yang eksrim di mana korban telah
kehilangan eksistensi dirinya, dan membuat hidupnya selalu diliputi oleh hantu kekerasan
masa lalu; semakin berusaha ia melupakan, semakin ingatan atas peristiwa itu hadir.
Seperti dalam cerpennya yang lain yang berjudul Rosario, dalam Rosario diceritakan
seorang pemuda yang bernama Fernando yang ditanyakan perihal rosario yang ada dalam
perutnya, akan tetapi setiap pemuda tersebut ingin menjawab, ia selalu merasa takut dan
langsung tak sadarkan diri.

Kumpulan cerpen Saksi Mata ini merupakan dokumentasi dari kekerasan yang dilakukan
oleh pemerintah terhadap rakyat Timor Timur. Seno mengungkapnya melalui sastra,
seperti yang beliau katakan dalam esainya bahwa bila jurnalisme bicara dengan fakta,
sastra bicara dengan kebenaran.

Jika dalam cerpennya Seno mengungkapkan kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah
terhadap rakyat. Linda Christanty membungkus kekerasan tersebut dengan cara yang
berbeda. Linda Christanty dalam kumpulan cerpennya Rahasia Selma, mempertontonkan
kekerasan terhadap perempuan dan anak. Permpuan menjadi korban dari budaya patriarki
yang membuat perempuan menjadi lemah dan rapuh. Kekerasan terhadap juga
dipaparkan Linda dalam beberapa cerpennya. Salah satunya, yang juga merupkan cerpen
menarik menurut saya adalah cerita Menunggu Ibu, cerpen tersebut menceritakan tentang
seorang anak yang tersiksa oleh perilaku ibu kandungnya sendiri karena ternyata ibunya
terganggu jiwanya.

Kadang-kadang aku berdo’a agar Ibu cepat mati. Tapi aku tak punya siapa-siapa
lagi kalau ia mati.

Cerpen yang lain, berjudul Pohon Kersen, menceritakan mengenai seorang anak yang
gemar memanjat pohon kersen di depan rumahnya. Cerpen ini sangat santai pada bagian
awal. Linda berkisah mengenai impian gadis kecil tersebut untuk membuat rumah mungil
di dahan pohon kersen, akan tetapi menjelang akhir cerita diceritakan gadis kecil itu
diberikan pinjaman komik oleh cucu angkat kakeknya dengan syarat yang membuat ia
susah buang air kecil besok.

Kekerasan pada perempuan juga sangat terlihat pada cerpen yang berjudul Kupu-kupu
Merah Jambu, awalnya sangat sulit bagi saya untuk mengerti apa yang hendak
disampaikan oleh Linda. Saya sampai membacanya tiga kali untuk benar benar mengerti
cerpen ini. Perempuan yang diceritakan Linda sebagai pelacur mendapatkan perlakuan
yang sangat tidak menyenangkan semenjak ia kecil. Saat masih kecil kakaknya sering
meledek naluri kewanitaannya dan guru ngajinya menghukum muridnya sehingga murid-
muridnya susah buang air besar selama berhari-hari, entah apa yang dilakukannya.

Cerpen Rahasia Selma menceritakan tentang kehidupan seorang anak yang memang
hanya anak biasa. Anak yang merekam peristiwa yang dilihatnya secara unik dan
menarik. Tujuh cerpen lainnya juga sangat menarik dan susah untuk ditelisik. Sebagian
besar mengusung tema yang sama yaitu kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan
sangat erat kaitannya dengan kekuasaan. Jika pada awal Seno memaparkan kekerasan
yang dilakukan karena adanya kekuasaan pemerintah yang berlebih. Linda membuka
pandangan bahwa kekerasan dilakukan oleh kaum laki-laki yang merasa memiliki
kekuasaan lebih besar, sehingga dapat berbuat sesukanya terhadap kaum yang berada di
bawahnya, yaitu kaum perempuan. Dominasi kaum laki-laki terhadap perempuan inilah
yang ingin disamapikan oleh Linda Christanty.

Berbeda dengan Seno yang mengungkapkan kekerasan secara gamblang dan sangat
mudah dimengerti. Linda menyajikannya dengan cara yang sungguh berbeda dan
sejujurnya rumit bagi saya. Linda mengungkapkan kekerasan dengan gaya bahasa yang
lembut. Cerita-cerita Linda berkelok-kelok dan sulit dimengerti. Bagi pembaca awam
mungkin kalimat dalam cerpen Linda tidak memiliki maksud yang jelas. Tetapi
sebenarnya dalam setiap kalimat yang dituliskan dalam cerpen-cerpennya memiliki
makna yang dalam jika kita dapat mengerti apa yang ingin diutarakan oleh Linda. Semua
kalimatnya mengandung rahasia yang harus dipecahkan oleh setiap pembacanya. Maka
bukan pujian yang berlebihan jika anda salah satu pembaca kumpulan cerpen ini yang
dapat langsung mengerti apa yang ingin disampaikan oleh Linda.

Kekerasan oleh pemerintah terhadap rakyat yang diungkap dalam kumpulan cerpen Saksi
Mata karya Seno Gumira Ajidarma dan kekerasan oleh laki-laki terhadap perempuan
dalam kumpulan cerpen Linda Christanty berjudul Rahasia Selma terjadi karena adanya
kekuasaan yang berlebihan. Kekuasaan pemerintah yang berlebihan pada saat itu
menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap rakyat Dili. Kekuasaan yang berlebihan
yang dimiliki oleh laki-laki juga mendorong terjadinya kekerasan terhadap perempuan.

Disini saya belajar bahwa kekuasaan yang berlebihan itu tidak baik dan hanya akan
memicu terjadinya kekerasan. Setiap orang pasti pernah merasa berkuasa atas suatu hal,
apapun bentuknya. Maka seberapa besar kekuasaan yang telah kita miliki? Apakah
kekuasan tersebut dapat menimbukan kekerasan-kekerasan lain?

Anda mungkin juga menyukai