Pelajaran Menulis Cerpen dari Maggie Tiojakin Ludruk Membuku Oleh: DJOKO PITONO Oleh: ARIS SETIAWAN*) Halaman HORIZON menampung segala pemikiran dengan tema apa saja. Yang berminat menyampaikan gagasannya secara mendalam, silakan kirim naskah ke horizon@radarsby.com. Panjang naskah maksimal 5.000 karakter. Cantumkan alamat lengkap dan nomor rekening Anda. layouter: triongko imam BAGI penikmat cerpen, Maggie Tiojakin sudah tidak asing. Kumpulan cerpennya Balada Ching- ching dan Selama Kita Tersesat di Luar Angkasa banyak menerima pujian. Balada Ching-ching menjadi sepuluh besar Kathulistiwa Literary Award 2010. Maggie juga menerjemahkan cerpen luar negeri dalam buku Fiksi Lotus vol.1 dan Kisah- kisah Tengah Malam cerpen Edgar Allan Poe. Beliau juga menjadi admin situs www.fiksi lotus . com yang berisi cerpen terjemahannya. Bagaimana kalau Maggie menjadi guru menulis cerpen? Tidak serta merta kebagusan guru me nular pada muridnya. Buku Little Stories ini me nyajikan tulisan lima anak didik Maggie dari kursus menulis cerpen Lotus Creative Project pada 2011. Lima anak didik Maggie (Rinrin Indrianie, Vera Mensana, Adeste Adipriyanti, Faye Yolody, dan Rieke Saraswati) merupakan nama baru dalam dunia cerpen. Dua puluh cerpen dibagi empat tema: (1) makanan, (2) kalimat pertama atau prompter sudah ditentukan, (3) demonstrasi, dan (4) bebas. Empat tema itu merupakan metode kursus yang ditentukan Maggie. Dengan harapan setiap cerita menyuguhkan kenikmatan pada pembaca dengan caranya sendiri, seperti yang ditulis pada sampul belakang buku. Bagian pertama adalah menulis cerpen dengan tema makanan. Lima cerpen pada bagian tersebut harus berbasis makanan. Seperti disinggung Maggie dalam pengantar, makanan di sini sebagai fokus utama, latar, karakter, atau hanya pemanis. Sayang dari lima cerpen hanya Brongkos Mertua karya Adeste Adipriyanti yang menjadikan makanan sebagai fokus cerita. Lainnya hanya sebagai angin lalu, yang seandainya makanan itu diubah menjadi makanan lain tetap tak masalah. Misal dalam cerpen Gohu Buat Ina karya Vera Mensana dengan tema makanan berupa gohu (sejenis rujak asal Manado) yang kalau gohu itu diubah menjadi rujak uleg pun tidak akan merusak keseluruhan cerita. Tetapi yang patut diacungi jempol adalah bagaimana usaha untuk membuat cerita benar- benar hidup, yang dalam bahasa AS Laksana showing not telling. Deskripsi gohu dalam Gohu Buat Ina membuat liur menetes. Meski sampai akhir jakun hanya naik turun karena pingin makan gohu, bukan karena indahnya cerita. Itu pun terjadi pada cerpen Semangkuk Bakso Tahu milik Rinrin Indrianie. Betapa kecewanya saat cerpen itu diakhiri adegan kematian. Akhir cerpen tidak mesti akhir hidup si tokoh cerpen. Akhir cerpen berupa kematian itu sama halnya melakukan pengereman secara mendadak bagi imajinasi pembaca. Bagian kedua yang mengharuskan membuat cerpen dari pilihan kalimat pembuka: aku lemparkan buku itu ke sungai yang mengalir deras atau Ezra menghunus pisau dapur ke arahku. Ketika ditelisik lebih dalam dua kalimat itu menyiratkan kesuraman. Kalimat pertama dengan predikat lemparkan secara tak langsung menandakan amarah di tokoh aku. Sedang kalimat kedua diksi pisau dan menghunus dekat dengan adegan pembunuhan. Dan itu diamini oleh kelimanya. Dalam lima cerpen pada bagian kedua tersebut bertema muram, sadis, dan tidak jauh dari kekecewaan dan pembunuhan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pada bagian kedua tersebut imaginasi lima cerpen kurang bervariasi. Kurangnya imajinasi juga dapat dirasakan pada bagian ketiga, yang bertema demonstrasi. Secara eksplisit tema itu memang terkesan berat. Terlebih bagi mereka yang tidak pernah terlibat demon- strasi jalanan. Jadilah cerpen yang ditulis hanya sekadar mencantumkan suasana demonstrasi yang tidak hidup atau bahkan demonstrasi hanya berubah menjadi elemen kecil, yang kalau itu diganti dengan penggusuran PKL pun masih bisa. Apalagi Rinrin Indrianie dalam Menunggu Ayah mengakhiri dengan kematian. Bagian yang menjanjikan adalah tugas menulis cerpen bertema bebas. Lima cerpen mengangkat tema yang berbeda, yaitu pasien rumah sakit jiwa, dunia anak-anak, perselingkuhan, percintaan, dan kesepian di masa tua. Dalam bagian tersebut lima penulis benar-benar merasa lepas dari koridor yang diberikan Maggie. Hal itu terlihat dari kualitas yang meningkat dari tiga bagian sebelumnya. Meski teknik yang disajikan masih cenderung sama. Satu hal lain yang perlu digarisbawahi kebanyakan penulis baru selalu memakai twist ending dalam cerpen. Berusaha memberikan kejutan di akhir cerita. Dan kebernasan cerpen pada bagian itu menjadi milik 12 Juli karya Adeste Adipriyanti. Meskipun cerpen-cerpen dalam buku itu tidak menawarkan kebaruan dalam teknik bercerita, tetapi cara Maggie memberi pelatihan patut ditiru. Bagi para penulis pemula yang ingin menasbih- kan diri untuk menulis cerpen dapat memakai bagian-bagian dalam buku tersebut untuk menan- tang kecakapan menulis. Sebelum menulis dengan tema bebas, dapat menulis dengan tema makanan, demonstrasi atau dengan kalimat pembuka pasti. Atau kalau sulit dapat diganti dengan minuman, profesi, atau dengan tajuk sudah ditentukan. Tidak ada kata malas untuk belajar menulis. (*/c3/no) Negeri kita sangat kaya raya, tetapi banyak rakyat hidup bagai para kacung. Prabowo Subianto SEORANG wanita (M), istri purna- wirawan Brigjen Polisi MS di Bogor, dilaporkan kepada polisi setempat de- ngan tuduhan menyekap dan menga- niaya 17 pekerja rumah tangganya. Kasus ini sekarang sedang diselidiki secara intensif oleh Polres Bogor. Masyarakat sekitar dan banyak orang lain yang mendengar kabar ter- sebut terheran-heran. Mereka berta- nya-tanya, antara lain, bagaimana se- orang purnawirawan jenderal bisa memiliki PRT sebanyak itu. Saya tidak tahu mereka kerjanya apa saja. Karena rumahnya juga hanya sebe- sar itu kenapa harus pakai pembantu lebih dari 10 orang, kata Sumi, salah satu warga di perumahan tersebut, Jumat (21/2). Menurut Sumi yang dikutip Merde- ka.com, meskipun rumah tersebut ter- bilang besar, seperti juga yang dimili- kinya di kompleks tersebut, tetap tidak wajar jika harus sampai 15 pembantu rumah tangga. Kisah-kisah seperti itu sebenarnya amat banyak di sekitar kita. Begitu banyak saudara-saudara kita yang bernasib malang. Orang- orang miskin di negeri ini memang masih amat banyak. Data yang ber- edar belum lama ini menyebut angka lebih dari 40 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, tak terhitung yang bernasib lebih malang karena menjadi budak dalam arti sebenarnya. Mungkin di- sebut budak modern. Tetapi apa beda- nya dengan budak-budak di masa lalu? Mereka sama-sama tidak dihargai har- katnya sebagai manusia. Mereka mungkin diberi makan, tapi dibentak- bentak, dibodoh-bodohkan, dan diren- dahkan. Gajinya pun sering amat kecil. Awal mulanya pun sering akibat bujuk rayu gombal para makelar. Sebagian mereka pun sering dikorbankan ke luar negeri, selain ada yang tergiur makelar di luar negeri pula. Seperti yang dialami Shandra Woworuntu di Amerika Serikat belum lama ini. Seperti dilaporkan Eva Mazrieva dari VOA di Washington, dengan suara bergetar, Shandra Woworuntu berbi- cara pada VOA tentang kisah kelam yang dialaminya ketika menjadi kor- ban sindikat perdagangan manusia di New York pada 2001. Tidak ada satu orang pun yang ingin terjebak. Tidak ada seorang manusia pun ingin mengalami hal ini, tetapi itu di luar daya upaya kita, ujarnya dalam wawancara melalui telepon, Minggu (2/2). Shandra mengatakan ia tertarik mengadu nasib ke Amerika setelah melihat iklan pekerjaan di beberapa media Indonesia. Ketika itu ia sedang menganggur setelah diberhentikan dari pekerjaannya sebagai analis ke- uangan di sebuah bank akibat krisis moneter yang melilit Indonesia pada pertengahan 1998. Berbekal iklan yang sama dari surat kabar Kompas dan Pos Kota, Shandra menghubungi sebuah agen di daerah Tebet, Jakarta Selatan, yang menurutnya memiliki hubungan dengan agen perjalanan Vayatour, dan kemudian mengurus keberangkatannya. Ia membayar Rp 30 juta rupiah untuk seluruh biaya administratif dan tiket perjalanan, di luar visa yang harus diurusnya sendiri di Kedutaan Besar AS di Jakarta. Dengan membawa dokumen-doku- men resmi tentang calon tempat ker- janya, sebuah hotel di Chicago, Shan- dra memperoleh visa dan kemudian berangkat ke Amerika Serikat. Tetapi keadaan ternyata tidak se- mulus yang dibayangkan, ujarnya. Agensi yang menjemputnya di ban- dar udara John F. Kennedy di New York buru-buru mengatakan mereka tidak bisa langsung berangkat ke Chi- cago karena sudah malam sehingga harus menginap. Di situlah saya dipindah tangan- kan, dari satu tempat ke tempat lain. Saya tidak bekerja di hotel, tetapi jus- tru disekap. Dari satu orang ke orang lain. Ganti-ganti tangan. Saya harus melakukan pekerjaan yang tidak di- inginkan. Tidak seperti yang dibayang- kan dalam perjanjian. Saya dipindah- pindah beberapa kali, ujarnya. Shandra mencatatnya dengan leng- kap dalam sebuah buku harian, yang kelak sangat membantu aparat ber- wenang di Amerika untuk menggu- lung komplotan itu. Saya ke polisi tetapi polisi tidak mau bantu. Saya juga ke konsulat (KJRI New York) te- tapi juga mereka tidak bantu. Saya betul-betul tidak punya tempat tinggal dan uang untuk hidup. Saya terpaksa tinggal di dalam subway (stasiun ke- reta api bawah tanah) dan di taman- taman hingga suatu saat ada yang tolong. FBI akhirnya turun tangan. Mereka kontak polisi dan kasus saya ditangani. Biro Investigasi Federal pun berge- rak cepat. Berbekal keterangan Shan- dra dan data dari buku hariannya, FBI menggulung sindikat perdagang- an manusia di New York. Tiga kepala sindikat - termasuk seorang warga Indonesia yang disebut-sebut Shan- dra- ditangkap. Puluhan perempuan berhasil dibebaskan, termasuk dua perempuan Indonesia yang bersama- sama Shandra menjadi korban per- dagangan manusia. Pada 27 Januari 2014, Shandra ber- sama beberapa korban sindikat perdagangan manusia yang berhasil menyelamatkan diri dan para aktivis dari lembaga-lembaga swadaya ma- syarakat penggiat isu ini, berbicara di sidang dengar pendapat Senat Ame- rika. Kisah Shandra Woworuntu ter- sebut jelas hanya satu dari para kor- ban jaringan mafia perbudakaan mo- dern. Negeri besar AS pun tampak kuwalahan menghadapi para kriminal tersebut. Belum termasuk para pelaku perbudakan modern yang bertameng diplomatik. Seperti pernah dilaporkan di Washington DC pada Juni 2010. Dalam laporan media 14 Juni 2010, Menlu AS waktu itu, Hillary Clinton, mengungkapkan laporan tahunan ke- 10 tentang perbudakan modern di 174 negara. Pengungkapan tersebut, iro- nisnya, disampaikan setelah ada la- poran tentang seorang diplomat Tanzania di Washington yang terung- kap menyekap seorang PRT asal negaranya. Rumah sang diplomat ber- nama Alan Mzengi tersebut tak jauh dari Gedung Kongres, tempat Hillary berbicara. Sang diplomat yang terhormat tersebut, seperti disebut dalam keputusan pengadilan pada Januari 2008, merampas paspor sang PRT dari Tanzania tersebut dan juga menyita kontrak kerjanya. Selama empat ta- hun, sang PRT tidak digaji meskipun setiap minggu bekerja 112 jam. Amerika pun geger begitu kasus tersebut terungkap. Kongres membi- carakan kasus tersebut berhari-hari. Seorang anggota Kongres, Tom Lan- tos, yang pernah diperbudak di masa mudanya, menyerukan agar diplomat Tanzania tersebut diusir dari AS. Te- tapi angka PRT di Washington yang diperbudak warga asing ternyata cu- kup tinggi. Hampir 50 orang antara tahun 2000 hingga tahun 2008. Tetapi rasanya tak perlu harus melihat kasus-kasus perbudakan di luar negeri. Di sekitar kita ternyata tidak kurang jumlahnya. (dph-djoko@yahoo.com) ILUSTRASI: FAJAR/RADAR SURABAYA LUDRUK, kesenian khas Jawa Timur itu banyak terbekukan lewat teks berupa buku. Kisah-kisah lakon ludruk selama ini terlihat tak paripur- na dalam kisaran dongeng dan mitos. Namun, telisik tentang ludruk justru belum mampu menjadi daya tarik tersendiri sebagai fondasi pembentuk identitas wajah kebudayaan, kesenian tradisi, di Jawa Timur masa kini. Kita patut berbangga kala Eko Edi Susan- to, pemilik Ludruk Karya Budaya Mojokerto, mempelopori dengan melukiskan kisah ludruknya lewat buku pada 2013 lalu. Buku yang berjudul Ludruk karya Budaya Mbeber Urip itu berisi telisik perjalan- an Ludruk Karya Budaya dari generasi ke generasi. Menuliskan sejarah ludruk dari kacamata orang dalam memang sangat jarang terjadi. Hasilnya pun dapat ditebak, kajian yang dilakukan Edi lebih komprehen- sif, realistis, gamblang dan dapat dipertanggungjawabkan. Ludruk karya Budaya menjadi cendela dan tolok ukur objektif dalam melihat tantangan dan problematika dunia ludruk di Jawa Timur mutakhir. Sebelum Edi, nukilan tentang ludruk berpendar dan berserakan dalam banyak kajian. Henri Suprianto (1992) menuliskan tentang lakon-lakon ludruk yang cukup terkenal, seperti Sakerah dan Sarip Tambak Yoso. Sunaryo (1997) mendudukkan pertun- jukan ludruk dalam analisis wacana. Maryeni (2002) dalam disertasinya di Universitas Gajah Mada Jogjakarta mengambil bahasa ludruk sebagai subjek penelitian. Disebutkan bahwa gaya bahasa ludruk mencerminkan kelas sosial masyarakat akar rumput yang sederhana namun tegas dan blak-blakan. Kasiyanto Kasemin (1999) memandang ludruk sebagai teater sosial di mana adegan dan tragedi hidup sehari-hari dapat direka ulang secara bebas di atas panggung pertunjukan ludruk. Dengan demiki- an, Kasemin memandang bahwa pang gung ludruk adalah representasi kehi dupan sosial masyarakat Jawa Timur. Tak hanya berhenti dalam takaran kontekstual, persoalan musik dalam pertunjukan ludruk pun menjadi hal yang seolah tiada tuntas diperdebat- kan. Sutowo (1994), Luckman Siswo Bintoro (1999), Edi Susetyo (2002), dan Joko Santoso (2007) mengkaji garap kidungan jula-juli ludrukan versi Kartolo untuk melengkapi gelar kesarjanaan mereka dari berbagai sudut pandang. Kartolo dianggap sebagai maestro yang mampu memberi pengaruh dan warna baru ludruk di Jawa Timur. Kidungannya (vokal) eksotis, kisaran nadanya unik dan tipikal, tema dan topik- nya merak- yat. Kartolo menyulap dirinya menjadi subjek kajian di banyak skripsi dan tesis. Kartolo mendekonstruksi gaya ludruk di Jawa Timur, dagelan tak semata hanya berisi humor dan canda, namun juga berbalut cerita yang penuh dengan muatan pesan kehidu- pan. Kartolo kemudian juga menyam- paikannya lewat lantunan vokal kidungan. Ia berjaya di era 80-an kala kaset (analog) rekamannya laris manis di pasaran. Awal mula menuliskan ludruk justru diawali oleh kaum non- pribumi. Mereka tertarik melihat ludruk, baik sebagai misionaris, penjajah maupun murni peneliti. James L. Peacock (1967) mendeskrip- sikan pertunjukan dan respons masyarakat Surabaya terhadap pertunjukan ludruk. Kita bisa melihat potret kehidupan masyarakat Sura- baya dari tulisan Peacock yang seolah tak terpisahkan dari ludruk. Menjadi sajian pertunjukan unggulan, ditung- gu-tunggu, penuh sesak oleh penon- ton, di samping panggung bertaburan hiburan laksana pasar malam. Matthew Isaac Cohen lewat bukunya Komedie Steamboel 1891-1903 (2006), ludruk pada dasarnya adalah komedi yang berpentas keliling atau tobong. Tak ada pernak-pernik pakaian glamor yang dikenakan oleh para pemainnya. Semua berpenampilan sederhana, berbeda dengan wayang wong di Jawa Tengah. Pertunjukan ludruk kemudian menghapus sekat antara penonton dan pemain, tak ada jarak. Karena persoalan itulah Carl Hefner (1994) memandang ludruk sebagai teater rakyat yang tak dapat tergantikan. Lakon-lakon ludruk tidak menjadi beku, setiap saat dapat berubah menuruti apa yang sedang ramai diperbincangkan. Jangan heran kemudian jika melihat judul lakon ludruk tak jauh beda dengan sinetron yang ada di televisi, cinta segitiga, ratapan anak tiri dan tukang bubur naik haji adalah salah satunya. Ludruk menjadi kesenian komunal, milik semua lapisan. Ia tak terikat oleh hukum-hukum tradisi, pakem, sebagaimana kesenian kratonis. Begitu cair hingga pada masa terten- tu kesenian ini dimanfaatkan sebagai corong propaganda politik. Era Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI) di tahun 50- 60an adalah puncaknya. Soedarsono (2002) menjelaskan terdapat 30 grup ludruk dihidupi oleh PKI dengan nama Lembaga Ludruk yang bermarkas di Surabaya. Sementara di Jawa Tengah terdapat Badan Ketho- prak Indonesia (BAKOKSI) yang juga difasilitasi oleh PKI. Di Jawa Timur sendiri terdapat dua ludruk yang cukup terkenal kala itu, yakni Ludruk Marhaen dibawah PKI dan Ludruk Tresno Enggal di bawah PNI. Ludruk menjadi katalisator yang menyampaikan visi-misi politik partai pada publik. Bahkan, saat era penjajahan Jepang, ludruk juga menjadi ajang perjuangan dalam menyampaikan kritik pada penjajah. Cak Gondo Durasim, seniman ludruk, melantunkan kidungan bakupan omahe dara, melok nipon awak tambah sara meng akibatkan dirinya harus ditangkap penjajah Jepang dan dipenjarakan. Pemain ludruk terbilang unik, karena semua diperankan oleh laki- laki. Dengan demikian, si pemain laki-laki juga harus berias layaknya wanita untuk memerankan sosok wanita. Suyanto lewat tulisannya Ludruk dan Tranvesty (1995) menje- laskan peran laki-laki feminin menambah daya kelucuan tersendiri saat pentas ludruk digelar. Selain itu, menghindari perilaku anarkistis penonton yang kurang sopan pada pemain (jika diperankan oleh wanita sesungguhnya). Barbara Hetley menulis Gender Ideology in Java (1983), beberapa peran wanita yang dibawakan oleh laki-laki berpengaruh dalam realitas kehidupan nyata. Akibatnya, banyak laki-laki yang begitu feminin, baik di atas panggung ludruk maupun tidak. Hal yang kemudian kita sebut sebagai waria atau bencong. Kini banyak ludruk di Jawa Timur yang memasukkan wanita sebagai pemain, menggusur peran laki-laki feminin. Sementara salah satu ludruk yang hingga kini masih mempertahankan laki-laki sebagai keseluruhan pemain adalah Ludruk karya Budaya di Mojokerto. Ludruk telah mewarnai kebudaya- an di Jawa Timur. Sayang, kesenian itu kini telah surut pamor, tak lagi digemari. Kalah oleh sajian hiburan yang setiap saat berlalu-lalang di layar televisi kita. Buku-buku yang bertebaran tentang ludruk tersebut kemudian menjadi penting sebagai bank-data. Diceritakan dan dibaca- kan kembali pada anak cucu kala ludruk telah benar-benar mati. Atau, justru tak sekedar dibaca, namun juga menjadi satir, betapa ludruk telah memberi arti penting dalam jejak peradaban kita. (*/c3/no) *) Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta JUDUL BUKU: Little Stories, Lotus Creatice Project PENULIS: Adeste Adipriyanti, dkk PENERBIT: Gramedia, 2014 ISBN: 9786020301907 Oleh: TEGUH AFFANDI, *) Penikmat Cerpen dan Penulis Cerpen.