Anda di halaman 1dari 1

Balada Budak Modern di Sekitar Kita

RADAR SURABAYA MINGGU, 23 FEBRUARI 2014 HALAMAN 7


Pelajaran Menulis Cerpen
dari Maggie Tiojakin
Ludruk Membuku
Oleh:
DJOKO PITONO
Oleh:
ARIS SETIAWAN*)
Halaman HORIZON
menampung segala pemikiran
dengan tema
apa saja. Yang berminat
menyampaikan gagasannya
secara mendalam, silakan
kirim naskah ke
horizon@radarsby.com.
Panjang naskah maksimal
5.000 karakter. Cantumkan
alamat lengkap dan nomor
rekening Anda.
layouter: triongko imam
BAGI penikmat cerpen, Maggie Tiojakin sudah
tidak asing. Kumpulan cerpennya Balada Ching-
ching dan Selama Kita Tersesat di Luar Angkasa
banyak menerima pujian. Balada Ching-ching
menjadi sepuluh besar Kathulistiwa Literary Award
2010. Maggie juga menerjemahkan cerpen luar
negeri dalam buku Fiksi Lotus vol.1 dan Kisah-
kisah Tengah Malam cerpen Edgar Allan Poe.
Beliau juga menjadi admin situs www.fiksi lotus .
com yang berisi cerpen terjemahannya.
Bagaimana kalau Maggie menjadi guru menulis
cerpen? Tidak serta merta kebagusan guru me
nular pada muridnya. Buku Little Stories ini me
nyajikan tulisan lima anak didik Maggie dari
kursus menulis cerpen Lotus Creative Project
pada 2011. Lima anak
didik Maggie (Rinrin
Indrianie, Vera Mensana,
Adeste Adipriyanti, Faye
Yolody, dan Rieke
Saraswati) merupakan
nama baru dalam dunia
cerpen.
Dua puluh cerpen
dibagi empat tema: (1)
makanan, (2) kalimat
pertama atau prompter
sudah ditentukan, (3) demonstrasi, dan (4)
bebas. Empat tema itu merupakan metode
kursus yang ditentukan Maggie. Dengan harapan
setiap cerita menyuguhkan kenikmatan pada
pembaca dengan caranya sendiri, seperti yang
ditulis pada sampul belakang buku.
Bagian pertama adalah menulis cerpen dengan
tema makanan. Lima cerpen pada bagian
tersebut harus berbasis makanan. Seperti
disinggung Maggie dalam pengantar, makanan di
sini sebagai fokus utama, latar, karakter, atau
hanya pemanis. Sayang dari lima cerpen hanya
Brongkos Mertua karya Adeste Adipriyanti yang
menjadikan makanan sebagai fokus cerita.
Lainnya hanya sebagai angin lalu, yang
seandainya makanan itu diubah menjadi
makanan lain tetap tak masalah. Misal dalam
cerpen Gohu Buat Ina karya Vera Mensana
dengan tema makanan berupa gohu (sejenis
rujak asal Manado) yang kalau gohu itu diubah
menjadi rujak uleg pun tidak akan merusak
keseluruhan cerita.
Tetapi yang patut diacungi jempol adalah
bagaimana usaha untuk membuat cerita benar-
benar hidup, yang dalam bahasa AS Laksana
showing not telling. Deskripsi gohu dalam Gohu
Buat Ina membuat liur menetes. Meski sampai
akhir jakun hanya naik turun karena pingin makan
gohu, bukan karena indahnya cerita. Itu pun
terjadi pada cerpen Semangkuk Bakso Tahu
milik Rinrin Indrianie. Betapa kecewanya saat
cerpen itu diakhiri adegan kematian. Akhir cerpen
tidak mesti akhir hidup si tokoh cerpen. Akhir
cerpen berupa kematian itu sama halnya
melakukan pengereman secara mendadak bagi
imajinasi pembaca.
Bagian kedua yang mengharuskan membuat
cerpen dari pilihan kalimat pembuka: aku
lemparkan buku itu ke sungai yang mengalir
deras atau Ezra menghunus pisau dapur ke
arahku. Ketika ditelisik lebih dalam dua kalimat itu
menyiratkan kesuraman. Kalimat pertama
dengan predikat lemparkan secara tak langsung
menandakan amarah di tokoh aku. Sedang
kalimat kedua diksi pisau dan menghunus
dekat dengan adegan pembunuhan. Dan itu
diamini oleh kelimanya. Dalam lima cerpen pada
bagian kedua tersebut bertema muram, sadis,
dan tidak jauh dari kekecewaan dan
pembunuhan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa
pada bagian kedua tersebut imaginasi lima
cerpen kurang bervariasi.
Kurangnya imajinasi juga dapat dirasakan pada
bagian ketiga, yang bertema demonstrasi. Secara
eksplisit tema itu memang terkesan berat. Terlebih
bagi mereka yang tidak pernah terlibat demon-
strasi jalanan. Jadilah cerpen yang ditulis hanya
sekadar mencantumkan suasana demonstrasi
yang tidak hidup atau bahkan demonstrasi hanya
berubah menjadi elemen kecil, yang kalau itu
diganti dengan penggusuran PKL pun masih bisa.
Apalagi Rinrin Indrianie dalam Menunggu Ayah
mengakhiri dengan kematian.
Bagian yang menjanjikan adalah tugas menulis
cerpen bertema bebas. Lima cerpen mengangkat
tema yang berbeda, yaitu pasien rumah sakit
jiwa, dunia anak-anak, perselingkuhan,
percintaan, dan kesepian di masa tua. Dalam
bagian tersebut lima penulis benar-benar merasa
lepas dari koridor yang diberikan Maggie. Hal itu
terlihat dari kualitas yang meningkat dari tiga
bagian sebelumnya. Meski teknik yang disajikan
masih cenderung sama. Satu hal lain yang perlu
digarisbawahi kebanyakan penulis baru selalu
memakai twist ending dalam cerpen. Berusaha
memberikan kejutan di akhir cerita. Dan
kebernasan cerpen pada bagian itu menjadi milik
12 Juli karya Adeste Adipriyanti.
Meskipun cerpen-cerpen dalam buku itu tidak
menawarkan kebaruan dalam teknik bercerita,
tetapi cara Maggie memberi pelatihan patut ditiru.
Bagi para penulis pemula yang ingin menasbih-
kan diri untuk menulis cerpen dapat memakai
bagian-bagian dalam buku tersebut untuk menan-
tang kecakapan menulis. Sebelum menulis
dengan tema bebas, dapat menulis dengan tema
makanan, demonstrasi atau dengan kalimat
pembuka pasti. Atau kalau sulit dapat diganti
dengan minuman, profesi, atau dengan tajuk
sudah ditentukan. Tidak ada kata malas untuk
belajar menulis. (*/c3/no)
Negeri kita sangat kaya raya, tetapi
banyak rakyat hidup bagai para
kacung.
Prabowo Subianto
SEORANG wanita (M), istri purna-
wirawan Brigjen Polisi MS di Bogor,
dilaporkan kepada polisi setempat de-
ngan tuduhan menyekap dan menga-
niaya 17 pekerja rumah tangganya.
Kasus ini sekarang sedang diselidiki
secara intensif oleh Polres Bogor.
Masyarakat sekitar dan banyak
orang lain yang mendengar kabar ter-
sebut terheran-heran. Mereka berta-
nya-tanya, antara lain, bagaimana se-
orang purnawirawan jenderal bisa
memiliki PRT sebanyak itu. Saya
tidak tahu mereka kerjanya apa saja.
Karena rumahnya juga hanya sebe-
sar itu kenapa harus pakai pembantu
lebih dari 10 orang, kata Sumi, salah
satu warga di perumahan tersebut,
Jumat (21/2).
Menurut Sumi yang dikutip Merde-
ka.com, meskipun rumah tersebut ter-
bilang besar, seperti juga yang dimili-
kinya di kompleks tersebut, tetap tidak
wajar jika harus sampai 15 pembantu
rumah tangga. Kisah-kisah seperti itu
sebenarnya amat banyak di sekitar
kita. Begitu banyak saudara-saudara
kita yang bernasib malang. Orang-
orang miskin di negeri ini memang
masih amat banyak. Data yang ber-
edar belum lama ini menyebut angka
lebih dari 40 juta jiwa. Dari jumlah
tersebut, tak terhitung yang bernasib
lebih malang karena menjadi budak
dalam arti sebenarnya. Mungkin di-
sebut budak modern. Tetapi apa beda-
nya dengan budak-budak di masa lalu?
Mereka sama-sama tidak dihargai har-
katnya sebagai manusia. Mereka
mungkin diberi makan, tapi dibentak-
bentak, dibodoh-bodohkan, dan diren-
dahkan. Gajinya pun sering amat kecil.
Awal mulanya pun sering akibat bujuk
rayu gombal para makelar. Sebagian
mereka pun sering dikorbankan ke
luar negeri, selain ada yang tergiur
makelar di luar negeri pula. Seperti
yang dialami Shandra Woworuntu di
Amerika Serikat belum lama ini.
Seperti dilaporkan Eva Mazrieva
dari VOA di Washington, dengan suara
bergetar, Shandra Woworuntu berbi-
cara pada VOA tentang kisah kelam
yang dialaminya ketika menjadi kor-
ban sindikat perdagangan manusia di
New York pada 2001.
Tidak ada satu orang pun yang
ingin terjebak. Tidak ada seorang
manusia pun ingin mengalami hal ini,
tetapi itu di luar daya upaya kita,
ujarnya dalam wawancara melalui
telepon, Minggu (2/2).
Shandra mengatakan ia tertarik
mengadu nasib ke Amerika setelah
melihat iklan pekerjaan di beberapa
media Indonesia. Ketika itu ia sedang
menganggur setelah diberhentikan
dari pekerjaannya sebagai analis ke-
uangan di sebuah bank akibat krisis
moneter yang melilit Indonesia pada
pertengahan 1998. Berbekal iklan
yang sama dari surat kabar Kompas
dan Pos Kota, Shandra menghubungi
sebuah agen di daerah Tebet, Jakarta
Selatan, yang menurutnya memiliki
hubungan dengan agen perjalanan
Vayatour, dan kemudian mengurus
keberangkatannya. Ia membayar Rp
30 juta rupiah untuk seluruh biaya
administratif dan tiket perjalanan, di
luar visa yang harus diurusnya sendiri
di Kedutaan Besar AS di Jakarta.
Dengan membawa dokumen-doku-
men resmi tentang calon tempat ker-
janya, sebuah hotel di Chicago, Shan-
dra memperoleh visa dan kemudian
berangkat ke Amerika Serikat.
Tetapi keadaan ternyata tidak se-
mulus yang dibayangkan, ujarnya.
Agensi yang menjemputnya di ban-
dar udara John F. Kennedy di New
York buru-buru mengatakan mereka
tidak bisa langsung berangkat ke Chi-
cago karena sudah malam sehingga
harus menginap.
Di situlah saya dipindah tangan-
kan, dari satu tempat ke tempat lain.
Saya tidak bekerja di hotel, tetapi jus-
tru disekap. Dari satu orang ke orang
lain. Ganti-ganti tangan. Saya harus
melakukan pekerjaan yang tidak di-
inginkan. Tidak seperti yang dibayang-
kan dalam perjanjian. Saya dipindah-
pindah beberapa kali, ujarnya.
Shandra mencatatnya dengan leng-
kap dalam sebuah buku harian, yang
kelak sangat membantu aparat ber-
wenang di Amerika untuk menggu-
lung komplotan itu. Saya ke polisi
tetapi polisi tidak mau bantu. Saya
juga ke konsulat (KJRI New York) te-
tapi juga mereka tidak bantu. Saya
betul-betul tidak punya tempat tinggal
dan uang untuk hidup. Saya terpaksa
tinggal di dalam subway (stasiun ke-
reta api bawah tanah) dan di taman-
taman hingga suatu saat ada yang
tolong. FBI akhirnya turun tangan.
Mereka kontak polisi dan kasus saya
ditangani.
Biro Investigasi Federal pun berge-
rak cepat. Berbekal keterangan Shan-
dra dan data dari buku hariannya,
FBI menggulung sindikat perdagang-
an manusia di New York. Tiga kepala
sindikat - termasuk seorang warga
Indonesia yang disebut-sebut Shan-
dra- ditangkap. Puluhan perempuan
berhasil dibebaskan, termasuk dua
perempuan Indonesia yang bersama-
sama Shandra menjadi korban per-
dagangan manusia.
Pada 27 Januari 2014, Shandra ber-
sama beberapa korban sindikat
perdagangan manusia yang berhasil
menyelamatkan diri dan para aktivis
dari lembaga-lembaga swadaya ma-
syarakat penggiat isu ini, berbicara di
sidang dengar pendapat Senat Ame-
rika. Kisah Shandra Woworuntu ter-
sebut jelas hanya satu dari para kor-
ban jaringan mafia perbudakaan mo-
dern. Negeri besar AS pun tampak
kuwalahan menghadapi para kriminal
tersebut. Belum termasuk para pelaku
perbudakan modern yang bertameng
diplomatik. Seperti pernah dilaporkan
di Washington DC pada Juni 2010.
Dalam laporan media 14 Juni 2010,
Menlu AS waktu itu, Hillary Clinton,
mengungkapkan laporan tahunan ke-
10 tentang perbudakan modern di 174
negara. Pengungkapan tersebut, iro-
nisnya, disampaikan setelah ada la-
poran tentang seorang diplomat
Tanzania di Washington yang terung-
kap menyekap seorang PRT asal
negaranya. Rumah sang diplomat ber-
nama Alan Mzengi tersebut tak jauh
dari Gedung Kongres, tempat Hillary
berbicara.
Sang diplomat yang terhormat
tersebut, seperti disebut dalam
keputusan pengadilan pada Januari
2008, merampas paspor sang PRT dari
Tanzania tersebut dan juga menyita
kontrak kerjanya. Selama empat ta-
hun, sang PRT tidak digaji meskipun
setiap minggu bekerja 112 jam.
Amerika pun geger begitu kasus
tersebut terungkap. Kongres membi-
carakan kasus tersebut berhari-hari.
Seorang anggota Kongres, Tom Lan-
tos, yang pernah diperbudak di masa
mudanya, menyerukan agar diplomat
Tanzania tersebut diusir dari AS. Te-
tapi angka PRT di Washington yang
diperbudak warga asing ternyata cu-
kup tinggi. Hampir 50 orang antara
tahun 2000 hingga tahun 2008.
Tetapi rasanya tak perlu harus
melihat kasus-kasus perbudakan di
luar negeri. Di sekitar kita ternyata
tidak kurang jumlahnya.
(dph-djoko@yahoo.com)
ILUSTRASI: FAJAR/RADAR SURABAYA
LUDRUK, kesenian khas Jawa
Timur itu banyak terbekukan lewat
teks berupa buku. Kisah-kisah lakon
ludruk selama ini terlihat tak paripur-
na dalam kisaran dongeng dan mitos.
Namun, telisik tentang ludruk justru
belum mampu menjadi daya tarik
tersendiri sebagai fondasi pembentuk
identitas wajah kebudayaan, kesenian
tradisi, di Jawa Timur masa kini. Kita
patut berbangga kala Eko Edi Susan-
to, pemilik Ludruk Karya Budaya
Mojokerto, mempelopori dengan
melukiskan kisah ludruknya lewat
buku pada 2013 lalu. Buku yang
berjudul Ludruk karya Budaya
Mbeber Urip itu berisi telisik perjalan-
an Ludruk Karya Budaya dari
generasi ke generasi. Menuliskan
sejarah ludruk dari kacamata orang
dalam memang sangat jarang terjadi.
Hasilnya pun dapat ditebak, kajian
yang dilakukan Edi lebih komprehen-
sif, realistis, gamblang dan dapat
dipertanggungjawabkan. Ludruk
karya Budaya menjadi cendela dan
tolok ukur objektif dalam melihat
tantangan dan problematika dunia
ludruk di Jawa Timur mutakhir.
Sebelum Edi, nukilan tentang
ludruk berpendar dan berserakan
dalam banyak kajian. Henri Suprianto
(1992) menuliskan tentang lakon-lakon
ludruk yang cukup terkenal, seperti
Sakerah dan Sarip Tambak Yoso.
Sunaryo (1997) mendudukkan pertun-
jukan ludruk dalam analisis wacana.
Maryeni (2002) dalam disertasinya di
Universitas Gajah Mada Jogjakarta
mengambil bahasa ludruk sebagai
subjek penelitian. Disebutkan bahwa
gaya bahasa ludruk mencerminkan
kelas sosial masyarakat akar rumput
yang sederhana namun tegas dan
blak-blakan. Kasiyanto Kasemin
(1999) memandang ludruk sebagai
teater sosial di mana adegan dan
tragedi hidup sehari-hari dapat direka
ulang secara bebas di atas panggung
pertunjukan ludruk. Dengan demiki-
an, Kasemin memandang bahwa pang
gung ludruk adalah representasi kehi
dupan sosial masyarakat Jawa Timur.
Tak hanya berhenti dalam takaran
kontekstual, persoalan musik dalam
pertunjukan ludruk pun menjadi hal
yang seolah tiada tuntas diperdebat-
kan. Sutowo (1994), Luckman Siswo
Bintoro (1999), Edi Susetyo (2002),
dan Joko Santoso (2007) mengkaji
garap kidungan jula-juli ludrukan
versi Kartolo untuk melengkapi gelar
kesarjanaan mereka dari berbagai
sudut pandang. Kartolo dianggap
sebagai maestro yang mampu
memberi pengaruh dan warna baru
ludruk di Jawa Timur. Kidungannya
(vokal)
eksotis,
kisaran
nadanya
unik dan
tipikal, tema
dan topik-
nya merak-
yat. Kartolo
menyulap
dirinya
menjadi
subjek
kajian di
banyak skripsi dan tesis. Kartolo
mendekonstruksi gaya ludruk di
Jawa Timur, dagelan tak semata
hanya berisi humor dan canda,
namun juga berbalut cerita yang
penuh dengan muatan pesan kehidu-
pan. Kartolo kemudian juga menyam-
paikannya lewat lantunan vokal
kidungan. Ia berjaya di era 80-an kala
kaset (analog) rekamannya laris
manis di pasaran.
Awal mula menuliskan ludruk
justru diawali oleh kaum non-
pribumi. Mereka tertarik melihat
ludruk, baik sebagai misionaris,
penjajah maupun murni peneliti.
James L. Peacock (1967) mendeskrip-
sikan pertunjukan dan respons
masyarakat Surabaya terhadap
pertunjukan ludruk. Kita bisa melihat
potret kehidupan masyarakat Sura-
baya dari tulisan Peacock yang seolah
tak terpisahkan dari ludruk. Menjadi
sajian pertunjukan unggulan, ditung-
gu-tunggu, penuh sesak oleh penon-
ton, di samping panggung bertaburan
hiburan laksana pasar malam.
Matthew Isaac Cohen lewat bukunya
Komedie Steamboel 1891-1903 (2006),
ludruk pada dasarnya adalah komedi
yang berpentas keliling atau tobong.
Tak ada pernak-pernik pakaian
glamor yang dikenakan oleh para
pemainnya. Semua berpenampilan
sederhana, berbeda dengan wayang
wong di Jawa Tengah. Pertunjukan
ludruk kemudian menghapus sekat
antara penonton dan pemain, tak ada
jarak. Karena persoalan itulah Carl
Hefner (1994) memandang ludruk
sebagai teater rakyat yang tak dapat
tergantikan. Lakon-lakon ludruk
tidak menjadi beku, setiap saat dapat
berubah menuruti apa yang sedang
ramai diperbincangkan. Jangan
heran kemudian jika melihat judul
lakon
ludruk tak
jauh beda
dengan
sinetron
yang ada di
televisi,
cinta
segitiga,
ratapan
anak tiri
dan tukang
bubur naik
haji adalah
salah satunya.
Ludruk menjadi kesenian komunal,
milik semua lapisan. Ia tak terikat
oleh hukum-hukum tradisi, pakem,
sebagaimana kesenian kratonis.
Begitu cair hingga pada masa terten-
tu kesenian ini dimanfaatkan sebagai
corong propaganda politik. Era Partai
Komunis Indonesia (PKI) dan Partai
Nasional Indonesia (PNI) di tahun 50-
60an adalah puncaknya. Soedarsono
(2002) menjelaskan terdapat 30 grup
ludruk dihidupi oleh PKI dengan
nama Lembaga Ludruk yang
bermarkas di Surabaya. Sementara di
Jawa Tengah terdapat Badan Ketho-
prak Indonesia (BAKOKSI) yang juga
difasilitasi oleh PKI. Di Jawa Timur
sendiri terdapat dua ludruk yang
cukup terkenal kala itu, yakni
Ludruk Marhaen dibawah PKI dan
Ludruk Tresno Enggal di bawah PNI.
Ludruk menjadi katalisator yang
menyampaikan visi-misi politik partai
pada publik. Bahkan, saat era
penjajahan Jepang, ludruk juga
menjadi ajang perjuangan dalam
menyampaikan kritik pada penjajah.
Cak Gondo Durasim, seniman ludruk,
melantunkan kidungan bakupan
omahe dara, melok nipon awak
tambah sara meng akibatkan dirinya
harus ditangkap penjajah Jepang dan
dipenjarakan.
Pemain ludruk terbilang unik,
karena semua diperankan oleh laki-
laki. Dengan demikian, si pemain
laki-laki juga harus berias layaknya
wanita untuk memerankan sosok
wanita. Suyanto lewat tulisannya
Ludruk dan Tranvesty (1995) menje-
laskan peran laki-laki feminin
menambah daya kelucuan tersendiri
saat pentas ludruk digelar. Selain itu,
menghindari perilaku anarkistis
penonton yang kurang sopan pada
pemain (jika diperankan oleh wanita
sesungguhnya). Barbara Hetley
menulis Gender Ideology in Java
(1983), beberapa peran wanita yang
dibawakan oleh laki-laki berpengaruh
dalam realitas kehidupan nyata.
Akibatnya, banyak laki-laki yang
begitu feminin, baik di atas panggung
ludruk maupun tidak. Hal yang
kemudian kita sebut sebagai waria
atau bencong. Kini banyak ludruk di
Jawa Timur yang memasukkan
wanita sebagai pemain, menggusur
peran laki-laki feminin. Sementara
salah satu ludruk yang hingga kini
masih mempertahankan laki-laki
sebagai keseluruhan pemain adalah
Ludruk karya Budaya di Mojokerto.
Ludruk telah mewarnai kebudaya-
an di Jawa Timur. Sayang, kesenian
itu kini telah surut pamor, tak lagi
digemari. Kalah oleh sajian hiburan
yang setiap saat berlalu-lalang di
layar televisi kita. Buku-buku yang
bertebaran tentang ludruk tersebut
kemudian menjadi penting sebagai
bank-data. Diceritakan dan dibaca-
kan kembali pada anak cucu kala
ludruk telah benar-benar mati. Atau,
justru tak sekedar dibaca, namun
juga menjadi satir, betapa ludruk
telah memberi arti penting dalam
jejak peradaban kita. (*/c3/no)
*) Etnomusikolog, Pengajar di
Institut Seni Indonesia Surakarta
JUDUL BUKU:
Little Stories, Lotus
Creatice Project
PENULIS:
Adeste Adipriyanti, dkk
PENERBIT:
Gramedia, 2014
ISBN:
9786020301907
Oleh: TEGUH AFFANDI,
*) Penikmat Cerpen dan Penulis Cerpen.

Anda mungkin juga menyukai