Anda di halaman 1dari 4

Sinopsis Novel Takbir-Takbir Cinta

Awalnya saya mengira novel ini tak jauh beda dengan novel-novel lain yang judulnya diakhiri
dengan kata “Cinta”. Ya, pasti mengisahkan lagi liku-liku hidup dua insan yang berlainan jenis. Tapi
ternyata, saya salah.

Pada bab 1, kita langsung disuguhi bagaimana gambaran kehidupan keluarga kecil sang tokoh utama dalam
novel ini, yang tak lain adalah Kak Riyanto sendiri.
Tak pernah ia bosan membuatkan air hangat untukku mandi dan menyuguhkan teh panas dengan takaran gula
yang pas (TTC, halaman 17). Salah satu kalimat yang menggambarkan bagaimana indahnya sebuah rumah
tangga yang sakinah. Hidup bersama istri yang solehah yang setia menemani dan melayani suami serta
menjaga anak-anaknya. Rumah tangga yang tentu sangat diidamkan oleh setiap orang, terutama bagi pemuda
seperti saya.

Kemudian pada bab-bab selanjutnya kita bakal meneteskan air mata kala membaca lembar demi lembar
pengalaman hidup sang tokoh semasa kecil. Harits dan keenam saudaranya dibesarkan oleh seorang ibu yang
luar biasa. Ibu yang rela banting tulang demi menghidupi dan menyekolahkan anak-anaknya.

Sang Ibu yang disapa Bi Am oleh masyarakat dan Mimi oleh putra-putrinya ini, tetap berkeras hati
menyekolahkan anak-anaknya, karena ia merasakan betul betapa gelapnya hidup tanpa ilmu.
“Jangan pikirkan biaya. Tugas kalian cuma sekolah. Biarlah Mimi dan kakak-kakakmu yang berjuang
memenuhi semua kebutuhan sekolahmu” (TTC, halaman 33).
Alangkah indahnya jika setiap ibu di negeri ini punya semangat untuk tetap menyekolahkan anak-anaknya
walau berbagai kendala menghadang. Kendala fisik atau pun materi.

Jika sebuah novel telah menarik perhatian kita, maka kita tak akan puas jika belum habis membacanya.
Seperti itu pula yang saya rasakan ketika membaca novel Takbir-takbir Cinta. Lembar demi lembar saya buka
untuk mengobati rasa penasaran saya terhadap isi novel ini. Dalam bab 5 hingga bab 18 kita akan merasakan
bagaimana gambaran kehidupan praja di STPN. Kak Riyanto menuliskan secara singkat dari awal masuk
hingga menyelesaikan studi di kampus para calon abdi negara tersebut. Kampus yang pernah menjadi pusat
perhatian akibat proses perpeloncoan yang memakan korban jiwa.

Dari buku ini pula saya mendapatkan informasi tentang tingkatan praja di kampus itu. Dimulai dari Muda
Praja sebagai tingkatan pertama, kemudian Madya Praja sebagai tingkatan kedua dan Nindya Praja adalah
tingkatan yang ketiga. Pun seperti halnya di kampus lain pada umumnya, Kampus Jatinangor ini ternyata
juga memiliki UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) yang bernama Manggala Korps Praja (MKP). MKP ini
memiliki beragam unit kerja yang melahirkan beragam Lembaga Swadaya Praja (LSP) yang meliputi
Sanggar Seni Praja, Sanggar Teater Praja, Gerakan Cinta Lingkungan, English Conversation Club, dan Drum
Band Gita Abdi Praja.

Setelah menamatkan studi di STPN, kesungguhan dan keikhlasan Harits sebagai abdi negara betul-betul di
uji. Ia di tempatkan mengabdi di Kecamatan Subur yang berada di sisi Kawasan Taman Nasional Ujung
Kulon. Ada banyak peristiwa yang cukup mempengaruhi emosi kita sebagai pembaca. Mulai dari
penyimpangan yang terjadi di kecamatan dan pedesaan, perburuan liar badak bercula dua yang makin punah,
peristiwa gempa bumi, dan peristiwa kekerasan yang disebabkan oleh fanatisme dan radikalisme yang
berlebihan. Namun sang tokoh utama dalam novel ini tidak tinggal diam. Sebagai abdi negara yang memiliki
loyalitas tinggi, Harits telah melakukan segala daya upaya yang dimilikinya demi kemaslahatan warga yang
berdomisili di Kecamatan Subur, wilayah terujung pulau jawa. Sayangnya ia hanya manusia biasa yang
mempunyai keterbatasan.

Ada pula kisah misteri yang Kak Riyanto sisipkan dalam novel ini, kisah yang terinspirasi dari cerita rakyat.
Hal lain yang cukup membuat saya salut sekaligus bangga sebagai keturunan Bugis-Makassar, di dalam
novel ini Kak Riyanto menuliskan tentang pengaruh ketokohan seorang perantau keturunan Makassar,
namanya H. Andi Jumalo.
Memang, di kompleks perkampungan nelayan ini, namanya sudah tak asing lagi. Selain taat pada setiap
kebijakan pemerintah, Pak Haji juga terkenal jujur dan gemar menolong siapa pun. Tak heran, masyarakat
sekitar menokohkan beliau layaknya panutan yang dihormati. (TTC halaman 305)
Kak Riyanto mengakhiri kisah Takbir-takbir Cinta dengan menuliskan bagaimana proses menunaikan
janjinya yang telah lama terpendam. Yaitu menghajikan Al-Marhumah Ibunda tercinta.
Air mataku tertumpah merasakan keharuan yang paling dalam dari serpihan nurani ini, demi menantikan
terpenuhinya sebuah janji.
“Izinkan aku berihram untuk ibuku, ya Allah…” (TTC halaman 427)
Informasi Novel
Judul : Takbir Takbir Cinta

Penulis : Riyanto El-Harist

Penerbit : DIVA Press

Kota : Jogjakarta

Tahun : 2008

Cetakan : Pertama
Novel ini bercerita tentang kehidupan ku yang terlahir di dalam sebuah keluarga
miskin tetapi keluarga mempunyai ibu yang sangat sayang kepada anak-anaknya walaupun
di tinggal suaminya bekerja di luar negeri. Aku ingin membahagiakan ibuku dengan cara
menjadi orang yang sukses agar ibuku bisa melaksankan ibadah haji. Tetapi aku
mempunyai masalah dengan biaya untuk besekolah. Aku berusaha tiap hari dengan bekerja
semampuku walaupun sudah dilarang oleh ibuku untuk bekerja. Tetapi keberuntungan
menghampiri diriku, aku diterima di STPN. Aku berusaha sekuat tenaga dan akhirnya bisa
lulus dari sekolah itu. Aku ditugaskan di luar daerah tetapi aku menjalaninya dengan
semangat yang membara. Akhirnya aku bisa sukses dan ingin ibuku melaksanakan ibadah
haji. Akan tetapi ibuku sudah terlebih dahulu meninggalkan diriku.

Pada saat itu kota Cirebon masih di balut oleh cuaca yang dingin tetapi ibu masih
saja terus bekerja utnuk kami, Iya kami yaitu mba Atin, mba Puji dan aku. Ibu ingin agar
kami dapat bersekolah dengan tenang tanpa memikirkan biaya sama sekali. Tetapi

Anda mungkin juga menyukai