Anda di halaman 1dari 6

DERITA PAHLAWAN DEVISA DI PULAU FORMOSA

DALAM NOVEL GELISAH CAMAR TERBANG KARYA GOL A GONG

(PENDEKATAN SOSIOLOGIS SASTRA)

Oleh Elza Puji Rahayu

182121072

Pendidikan Bahasa Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Siliwangi

Tak dapat dipungkiri bahwa segala sesuatu yang ada di dalam sebuah
karya sastra pasti bertolak dari kenyataan bahwa karya sastra selalu membahas
peristiwa kehidupan. Seluruh tingkah laku individu dalam interaksinya antara
individu yang satu dengan yang lainnya tak jarang membuat seorang pengarang
menjadi kaya akan ide sehingga menuangkannya dalam bentuk karya sastra.
Berbicara karya sastra berarti tidak lagi membicarakan individu, tetapi
membicarakan bagaimana interaksi yang terjadi pada antar individu yang
kemudian kita sebut dengan sosial.

Gejala – gejala sosial yang terjadi secara terus – menerus mengasah


kepekaan seorang pengarang sehingga mampu melihat realitas sosial di
masyarakat secara nyata. Realitas sosial yang tersaji dalam suatu karya sastra
mampu mengubah paradigma seorang individu bahkan suatu bangsa. Banyak
sekali pelajaran yang dapat diambil dari kisah – kisah yang tertuang di dalamnya.
Pelajaran tersebut dapat berupa renungan, penghayatan, mengubah sudut pandang
akan sesuatu dan masih banyak lagi.

Sebagai bagian dari masyarakat, pengarang sama dengan indvidu yang


lainnya. Ia hidup di dalam masyarakat dan sama – sama menjalani kehidupan
bermasyarakat. Karenanya, seorang pengarang harus mampu menilai segala aspek
yang terdapat dalam kehidupan sosial sehingga dapat membangun karya sastra
yang dipahami dan diterima masyarakat. Maka dapat dikatakan, sebelum
menganalisis suatu karya sastra tentunya harus mengenal terlebih dahulu

1
pengarangnya. Karena karya sastra kerap kali mencerminkan bagaimana
pengarang tersebut, apa pandangan hidupnya, idiologi politiknya, pendidikan dll.

Salah satu pengarang yang mengangkat realitas sosial dalam karyanya


adalah Gol A Gong. Gol A Gong merupakan salah satu penulis terkenal Indonesia
yang memiliki nama asli Heri Hendrayana Harris. Nama penanya memiliki
filosofi “Gol” yang bermakna “goal” dan “Gong” yang bermakna “harapan”, ia
ingin karyanya masuk dan bermakna ke hati pembaca. Sedangkan “A” memiliki
makna “Allah”, berarti kesuksesan hanya milik Allah.

Gol A Gong mengawali karier menulisnya dengan menjadi wartawan di


tabloid “Warta Pramuka” pada tahun 1989. Ia juga pernah bekerja sebagai penulis
skenario TV. Misalnya pada tahun 1995 ia bekerja di salah satu stasiun TV swasta
yaitu Indosiar. Kemudian pada tahun 1996 – 2008 bekerja di stasiun TV yang
lain yaitu RCTI.

Kini Gol A Gong fokus menjadi seorang penulis. Ia juga mendirikan


Rumah Dunia di Serang, Banten. Selain itu, Gol A Gong juga menjabat sebagai
ketua umum Forum Taman Bacaan Masyarakat (FTBM) Indonesia. Sebagai
travel writer, Gol A Gong sering melakukan perjalanan yang kemudian
pengalaman dari perjalanan itu ia tulis dan terbitkan ke koran, website, ataupun
blog pribadi. Gaya bahasa dari karyanya santai dan mudah dimengeti kawula
muda maupun orang tua.

Dari sekian banyak karya Gol A Gong yang terkenal, penulis akan
mencoba mengupas nilai – nilai sosial dan masalah sosial yang tersirat dalam
novel “Gelisah Camar Terbang”. Novel ini diterbitkan pertama kali pada tahun
2016 oleh PT Gramedia Pustaka Utama dengan tebal 232 halaman. Novel ini
terinspirasi dari perjalanan Gol A Gong ke Taiwan untuk memberikan pelatihan
menulis kepada para TKI.

Novel “Gelisah Camar Terbang” mengisahkan tentang Chairul, seorang


mahasiswa pascasarjana yang akan melanjutkan studinya di Taiwan. Di sana ia
bertemu dengan wanita TKW asal Indonesia yang masih tergolong belia untuk
menjalani profesi tersebut. Wanita itu bernama Halimah, ia memiliki keinginan

2
untuk membantu perekonomian keluarga terutama ibu dan kedua adik tirinya di
Cirebon, kota asalnya. Ia ingin membantu ibunya membuka warung untuk
kehidupan mereka. Alasan lainnya yaitu ia pergi melarikan diri dari ma, kota
asalnya. Ia ingin membantu ibunya membuka warung untuk kehidupan mereka.
Alasan lainnya yaitu ia pergi melarikan diri dari masalah asmara yang
menghancurkan harapannya.

Sebelum bekerja di Taiwan, Halimah sempat bekerja di Saudi Arabia. Ia


bekerja di keluarga terpandang, namun setelah setahun bekerja ia menjadi korban
perkosaan majikannya. Agen TKW nya tak membantu sama sekali karena
kebanyakan dari mereka berpihak pada majikannya. Kisah demi kisah pilu dan
sedih yang dialami Halimah menarik perhatian Chairul. Diam – diam Chairul
menaruh hati padanya karena ia cantik dan memiliki karakter yang berbeda
dengan kekasihnya, Inez.

Derita Halimah tidak sampai pada saat ia berada di Saudi Arabia saja.
Ketika ia pulang ke Indonesia, ia menjadi bahan pergunjingan tetangganya. Tak
kuat dengan keadaan tersebut, Halimah memutuskan untuk kembali menjadi
TKW dan merajut asa di Pulau Formosa, Taiwan. Namun ia telah keliru, di
Taiwan pun ia dan teman – teman sesama TKInya sering mendapat perlakuan tak
manusiawi dari majikannya. Sampai akhirnya ia memutuskan kabur dan menjadi
tenaga migran ilegal.

Ditengah kepedihan yang dialami Halimah, Chairul hadir sebagai pemberi


harapan bagi dirinya. Perlakuan Chairul yang berbeda dengan kebanyakan lelaki
yang dikenalnya membuat Halimah jatuh cinta. Lika – liku kisah cinta Chairul
dan Halimah dibumbui dengan kisah para TKW yang bekerja di Taiwan, hal ini
menjadikan novel “Gelisah Burung Camar” memberikan kesan tersendiri.

Keinginan untuk membantu keluarganya menjadi salah satu alasan klasik


seseorang untuk menjadi pekerja migran. Demikian dengan Halimah,
keberangkatannya ke negeri orang yaitu untuk meringankan beban orang tuanya.
Lahir di keluarga yang pas – pasan memaksa Halimah menghabiskan sisa masa
sekolahnya untuk berangkat ke luar negeri menjadi TKW. Namun, kendati

3
mewujudkan mimpi yang indah kenyataan malah tidak seindah harapan. Ia dan
beberapa teman TKW nya mengalami nasib tak beruntung, yakni sering mendapat
perlakuan buruk dari majikannya.

“Pengalaman buruk yang dialami Halimah di Saudi Arabia tidak menyurutkan


keinginannya untuk tetap bekerja sebagai TKW. Berusaha lari dari kenyataan,
kepedihan hati ditinggal kawin oleh kekasih, tekad untuk membantu ibu dan
menyekolahkan adik – adiknya membuat Halimah tidak berpikir panjang ketika
ada tawaran bekerja di Taiwan.” (Halaman 123)

Ada media daring yang menceritakan perlakuan buruk yang diterima oleh
TKW. Di antaranya penyiksaan, sering dimarahi, dikurung di dalam rumah, tidak
diberi waktu libur, bahkan pemerkosaan. Perlakuan buruk para majikan dapat
dilihat pada kutipan berikut:

“... Chairul tahu bahwa kisah tragis TKI yang bekerja di Timur Tengah ini
sangat banyak. Ketia ia dan ayah ibunya berlibur ke Uni Arab Emirat, setiap hari
ia melihat TKI kaburan datang mengadu ke KBRI di Abu Dhabi...”(Halaman 120)

TKI yang tidak tahan menghadapi majikan yang seperti itu banyak yang
memilih kabur. Majikan yang ditinggal kabur oleh pekerjanya banyakyang
melapor pada pihak keoplisian sehingga ketika TKI itu bekerja mereka sering
dibayang – bayangi rasa takut. Seperti dalam novel yang dapat dilihat
padakutipan:

“... Akhirnya pada bulan Mei dia mengemasi barang – barangnya dan pergi
tanpa pamit. Sudah hampir tujuh bulan ia menjadi TKI kaburan. Ah, siapa sih
yang mau jadi TKI ilegal...”(Halaman 125)

Perlakuan yang tidak manusiawi membuat para TKI tidak tahan dan lebih
memilih menjadi pekerja migran ilegal daripada harus menanggung rasa sakit.
Kehidupan yang tidak tenang, was –was, menjadi buruan polisi Taiwan menjadi
makanan sehari – hari para pekerja kaburan. Bahkan ada yang menjalani hidup
sebagai wanita simpanan, menuruti kemauan bejat majikan asal tetap bisa bekerja.

4
“.. karena TKI kaburan, selalu mendapat perlakuan tidak senonoh dari majikan.
Sudah rahasia umum jika tidak ingin majikan melapor, TKI kaburan harus
memenhi nafsu birahinya...” (Halaman 61)

Dari kutipan tersebut dapat diketahui bahwa pekerjaan seperti itu kerap
kali rentan menjadi korban pelecehan seksual dari majikan. Dalam novel ini
diceritakan bahwa Halimah pernah menjadi korban kebejatan majikannya.
Halimah merasa sedih dan tak berdaya ketika hal mengerikan itu menimpa
dirinya. Selain menahan malu karena menjadi objek gunjingan tetangga, ia juga
harus menahan sakit karena menggugurkan janin yang di kandungnya. Seperti
dalam kutipan:

“... kemudia masalah baru muncul perutnya sering mual, ibunya menyarankan
memakan buah nanas, meminum jamu ini itu, dan membawanya ke tukang pijat.
Janin dari lelaki Arab itu berhasil dikeluarkan. Halimah mengalami pendarahan
hebat...” (Halaman 171)

Selain masalah tentang perlakuan bejat, masalah gaji pun sering kali
dirasakan oleh para pahlawan devisa kita. Yaitu gaji yang tak dibayarkan oleh
para majikan. Hal ini juga pernah dirasakan Halimah dan teman – temannya
selama bekerja.

“Semua mau pulang Imah. Aku sendiri tidak tahan sama bosku yang brentidak
tahan sama bosku yang brengsek ini, masa gajiku bulan ini nggak dikasih kalau
aku gak ngelayani nafsu dia!...”(Halaman 123)

Kondisi seperti ini tentu menjadi beban yang berat bagi para TKW karena
mereka harus membantu keluarga di tanah air. Sebagaimana Halimah yang
menjadi tulang punggung keluarga.

Berbagai penyebab terjadinya permasalahan sosial di novel “Gelisah


Burung Camar” ini sangat beragam. Diantaranya adalah pendidikan pekerja yang
rendah dan keterampilan yang tak mumpuni, lalu adanya agen yang tidak
bertanggung jawab juga menjadi pemicu tejadinya masalah sosial. Masalah

5
pendidikan yang rendah menjadikan TKW dari Indonesia hanya bisa bekerja pada
sektor domestik, yaknik menjadi pembantu atau pelayan.

Agen TKI yang lebih memihak ke majikan dan ada juga yang
menempatkan secara ilegal juga menjadi masalah yang cukup rumit. Karena
berdampak pada keamanan pekerjanya. Lalu sikap tidak peduli dari agen ketika
pekerjanya mendapat perlakuan tidak senonoh juga menjadi sesuatu yang tidak
benar. Perlunya pendisiplinan agen TKW dalam hal ini agar para pahlawan devisa
terjamin keamanannya.

“... Entah kepada siapa mereka mengadu, ketika bekerja mereka harus membayar
fee bulanan. Ketika tidak cocok dan mengadu kepada agen penyalur ternayat
agen lebih berpihak kepada majikan pertama. Padahal begitu banyak warga
Taiwan yang membutuhkan jasa mereka...” (Halaman 129)

Berdasarkan permasalahan – permasalahan sosial yang dibahas dapat


ditarik beberapa kesimpulan bahwa TKW mengalami beberapa penderitaan, yaitu
mendapat perlakuan buruk dari majikan, menjadi pekerja ilegal, menjadi
pelampiasan seksual, gaji yang tak dibayar serta agen yang nakal dan tak
melindungi TKW.

Begitulah kiranya penulis paparkan mengenai kehidupan dan masalah


sosial yang dialami oleh pekerja migran di Taiwan. Kiranya dapat membuka mata
kita dan menghargai mereka sebagai pahlawan devisa karena mereka banyak
berjasa dan mampu menahan getirnya hidup di negeri orang.

Anda mungkin juga menyukai