5. KRITIK
Di kehidupan sekarang, sebagian besar masyarakat masih
menggunakan adat istiadat untuk menentukan strata sosial. Banyak yang
masih menentang pernikahan antar dua suku yang berbeda. Sama hal nya
dengan kisah Zainuddin pada novel "Tenggelamnya Kapal Van der Wijck", ia
dipandang sebelah mata akibat darah yang tidak murni Minangkabau.
Ibunya yang merupakan orang Mengkasar membuat dirinya dianggap
memiliki darah campuran dan dianggap orang asing. Padahal adat istiadat
yang sebenarnya tidak pernah memiliki tujuan untuk merendahkan suku
dan martabat orang lain.
Tidak hanya adat istiadat, harta dan jabatan juga menjadi
penghalang cinta antara Zainuddin dan Hayati. Selain memiliki darah
campuran, Zainuddin tetap ditolak alih - alih tak memiliki harta kekayaan
dan status bangsawan. Di zaman kini belum sampai pikiran orang kepada
menyelidiki haluan cinta dan derajat, mencari pasangan angan dan cita. Di
zaman kini yang lebih dipentingkan orang ialah perkawinan uang, bangsa,
perkawinan adat dan turunan. (Hamka, 2018, 195). Orang tua Hayati lebih
memilih Aziz yang berasal dari keluarga terpandang dan kaya raya sehingga
dengan berat hati Hayati menyetujui pernikahan itu
Di dalam kehidupan, masih banyak masyarakat yang mementingkan
harta dan jabatan daripada cinta yang ada. Banyak yang mengukur
kebahagiaan dengan harta serta jabatan yang diduduki seseorang.
Masyarakat lupa bahwa semua yang bersifat duniawi hanyalah topeng dan
bersifat sementara. Topeng itu sewaktu - waktu akan menunjukkan wajah
aslinya dan kita tidak siap untuk menghadapinya. Sama halnya dengan
rumah tangga Aziz dan Hayati, kebahagiaan yang semata - mata karena
kekayaan mulai pudar karena sifat asli Aziz yang mulai terkuak yaitu
berfoya - foya. Dari kisah mereka, dapat disimpulkan bahwa kekayaan dan
jabatan bersifat sementara dan hanyalah topeng belaka. Pernikahan yang
sebenarnya dilandaskan cinta, bukan status sosial atau paksaan dari orang
lain.
Hubungan romansa antara Zainuddin dan Hayati kandas karena orang
tua Hayati yang tidak merestuinya. Keduanya berpisah akibat ketidak
setujuan dan keinginan orang tuanya yang mereka kira akan memberikan
kehidupan terbaik untuk putrinya. Untuk menjaga martabat dan harga diri
keluarga, orang tua Hayati melarang hubungan mereka. Dalam novel
Engku berkata pada Hayati pada percakapan berikut. "Hai Hayati! Jangan
engkau ukur keadaan kampungmu dengan kitab - kitab yang engkau baca.
Percintaan hanyalah khayal dongeng dalam kitab saja. Kalau bertemu
dalam pergaulan hidup, cela besar namanya, merusakkan nama,
merusakkan ninik mamak, korong kampung, rumah halaman. Orang yang
begitu tak dapat untuk menguntungkan hidupmu, pemenung, pehiba hati,
dan kadang - kadang panjang angan - angan. Di zaman sekarang haruslah
suami penumpangkan hidup itu seorang yang tentu pencaharian, tentu
asal usul. Jika perkawinan dengan orang yang demikian langsung, dan
engkau beroleh anak, ke manakah anak itu akan berbako? Tidakkah
engkau tahu bahwa Gunung Merapi masih tegak dengan teguhnya? Adat
masih berdiri dengan kuat, tak boleh lapuk oleh hujan, tak boleh lekang
oleh panas?" (Hamka, 2018, 62 - 63).
6. REKOMENDASI
Kisah ini juga masih relevan dengan kehidupan masyarakat sekarang.
Terkadang orang tua ingin yang terbaik untuk anak - anak mereka sehingga
membatasi pilihan yang ada dan lebih memaksa kehendak mereka demi
egonya. Walau orang tua tahu yang terbaik untuk anaknya, hendaknya
diberikan kebebasan untuk memilih jalan hidup mereka masing - masing.
Kehidupan seorang anak bukanlah milik orang tua namun milik mereka
sendiri sehingga mereka berhak memutuskan pilihan mereka masing -
masing terlepas dari adat istiadat dan strata sosial.
Dan tidak asing lagi dengan buku yang berjudul “Tenggelamnya Kapal
Van der Wijck”, buku fiksi yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1938
ini mengisahkan dua sejoli yang memiliki nasib malang, menarik perhatian
pembaca sehingga dibuatlah film dengan judul yang sama dengan buku
tersebut. Di balik kesuksesan karangan tersebut terdapat seorang penulis
yang legendaris yaitu Abdul Malik Karim Amrullah yang orang - orang kenal
dengan panggilan Hamka. Hamka yang merupakan Ulama, jurnalis, dan
sekaligus aktivis Islam memiliki ciri khas pada setiap karya yang
dituliskannya. Ia kerap meninggalkan unsur keagamaannya yaitu Islam ke
dalam buku yang dituliskannya. Tidak hanya itu, ia juga menyisipkan rasa
cinta kebangsaan, nasionalis, dan nilai kehidupan lainnya yang menambah
keindahan ceritanya.
Kisah ini dimulai dengan kilas balik latar belakang ayahnya Zainuddin
yang memiliki gelar Pendekar Sutan. Ia dibuang 15 tahun ke Mengkasar
akibat perbuatannya yang menewaskan Mamaknya. Ia pun jatuh hati pada
kota Mengkasar dan menikah. Beberapa tahun kemudian lahir seorang
anak laki - laki berbudi baik yaitu Zainuddin.
Sejak kecil ibunya Zainuddin meninggal dan ayahnya pun menyusul.
Ketika sudah tumbuh menjadi dewasa, Zainuddin ingin pergi ke kampung
halaman ayahnya yang sering didengar dari Mak Base. Tepatnya di Padang
Panjang, dimana disana juga dikenal memiliki ilmu agama yang bagus.
Akhirnya Mak Base mengizinkan ia pergi.
Awal kedatangannya, Zainuddin diterima dengan baik namun seiring
berjalannya waktu, ia juga merasa diasingkan karena memiliki darah
campuran. Ia pun berniat untuk pulang ke Mengkasar tetapi
mengurungkan niatnya semenjak pertemuan pertamanya dengan Hayati
dan berlanjut dengan surat menyurat.
Sayang sekali hubungan mereka tidak direstui oleh keluarga Hayati
karena asal usul Zainuddin yang memiliki darah tak murni Padang dan
miskin harta. Oleh karena itu Zainuddin dipaksa untuk pergi dari Dusun
Batipuh dan ia pun pergi ke kota Padang Panjang. Tak lama kemudian
Hayati dinikahkan dengan Aziz, kakak sahabatnya. Karena keluarga Aziz
kaya raya dan terpandang, pinangan Zainuddin langsung ditolak.
Penolakan dan kabar duka berpulangnya Mak Base membuat Zainuddin
terpuruk dan jatuh sakit. Setelah sembuh, ia pun bangkit dan pergi ke
Jawa lagi bersama sahabatnya Muluk untuk membuka memulai hidup
baru. Pada akhirnya Zainuddin menjadi penulis yang terkenal dengan
menggunakan nama samaran “ Z ” pada karyanya.
Di tengah kejayaannya, datang kembali sosok dari masa lalu yaitu
Hayati yang pindah ke Surabaya bersama Aziz karena ekonomi yang
terpuruk. Mereka pun menumpang di rumah Zainuddin. Karena merasa
malu akan kebaikan Zainuddin, Aziz merasa tidak layak dan bunuh diri
meninggalkan Hayati. Hayati dan Zainuddin diambang pilihan terberat
dalam hidup mereka dan Zainuddin memutuskan untuk menolak cinta
Hayati.
Hayati dipulangkan keesokan harinya dengan Kapal Van der Wijck. Di
saat Hayati meninggalkan pulau dengan kapal, Zainuddin pun menyesal
dan kembali namun sayang kapal tersebut dikabarkan tenggelam. Hayati
yang tidak terselamatkan membuat hati Zainuddin hancur sampai
membuatnya sakit - sakitan dan segera menyusul Hayati.
Buku yang berjudul “ Tenggelamnya Kapal Van der Wijck “ ini memiliki
banyak keunggulan. Walau memiliki tema romansa, buku ini ternyata juga
menyisipkan adat istiadat yang ada di salah satu daerah di Indonesia. Tidak
hanya itu, penulis juga menambahkan ilmu keagamaan yang ia anut.
Menurut saya hal tersebut adalah gaya menulis yang unik sehingga menjadi
keunggulan karena memberi ilmu juga kepada pembacanya. Pesan moral
yang diberikan secara tersirat maupun tersurat juga dapat disampaikan
kepada pembaca dengan baik.
Buku yang terdiri dari 28 bab ini memiliki sampul buku yang menarik
karena komposisi warnanya yang bagus dan kualitas kertas sampul
bukunya juga tergolong baik. Kertas pada buku ini juga tebal dan berwarna
putih keruh yang cocok dengan tema buku serta menambah keestetikaan.
Keunggulannya yang terakhir, cerita ini dikisahkan secara maju atau alur
maju sehingga pembaca mudah memahami alur ceritanya.
Walau memiliki banyak keunggulan, tidak berarti buku ini tidak
memiliki kekurangan. Buku ini memang memiliki cerita yang membuat
para pembaca penasaran, namun jarak cerita untuk mencapai klimaks
terlalu lama sehingga pembaca cenderung lebih dulu merasa bosan.
Adapun kekurangan pada gambar di setiap bab berwarna hitam putih. Hal
itu merupakan kekurangannya karena gambar tidak jelas sehingga
pembaca harus berasumsi sendiri.
Dari buku ini terdapat banyak pesan moral yang didapatkan yaitu
perilaku, usaha, dan tekad tidak akan mengecewakan diri kita namun
diantara semua itu, kita juga harus ingat kepada Tuhan untuk
mewujudkan semua itu. Amanat lain yang didapatkan yaitu jangan sampai
sesuatu dapat memisahkan cinta walaupun itu adat maupun dari orang
lain karena cinta yang bahagia hanya berdasarkan ketulusan.
Buku ini direkomendasikan untuk masyarakat heterogen karena
membahas topik yang luas. Walau buku ini ditulis tahun 1938, kisah ini
masih relevan dengan kehidupan kita sehari - hari tentang suku, agama,
dan adat istiadat. Lebih tepatnya, buku ini disarankan untuk remaja SMA
karena pembahasan dan kebahasaan yang dipakai cukup luas dan sulit
sehingga lebih cocok untuk remaja SMA hingga dewasa.