Anda di halaman 1dari 8

TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJK

Mak base adalah orang terdekat dari Pendekar Sutan dan Daeng Habibah. Beliaulah yang
merawat dan mendidik Zainuddin sampai dewasa dan  menjadi seorang  yang berakhlak
mulia.Setelah Zainuddin dewasa, ia meminta izin kepada Mak Base untuk pergi ke kampung
halaman ayahnya di  daerah Padang Panjang. Dengan berat hati, Mak Base melepas
Zainuddin pergi. Sampai di Padang Panjang Zainuddin langsung
menuju kampung Batipuh. Disanalah ayahnya dilahirkan. Sesampainya di
sana ia sangat gembira, namun lama-kelamaan kegembiraan nya itu hilang karena ternyata
tidak seperti yang ia harapkan.

Ia dianggap sebagai orang asing atau orang Bugis oleh masyarakat setempat, hanya karena


ia di lahirkan dari seorang wanita yang bukan keturunan ninik mamaknya. Tetapi Zainuddin
tetap tabah menghadapi omongan orang-orang di kampung tersebut.

Betapa malangnya Zainuddin, karena di negeri ibunya, ia dianggap sebagai orang asing juga


atau sebagai orang Padang.

Akhirnya ia memutuskan untuk kembali pulang ke Mengkasar menemui Mak Base. Namun,


saat akan pergi, ia pun bertemu dengan Hayati, seorang gadis cantik berdarah Minang.
Pertemuan dengan Hayati membuat hatinya gelisah dan sebagai alasan untuk tetap tinggal di
sana.

Berawal dari pertemuan yang tidak disengaja, berlanjut dengan surat menyurat maka
penderitaan  sepasang kekasih  ini pun dimulai. 

Dalam suratnya Zainuddin menuliskan “Sebagai kukatakan dahulu, lebih bebas saya menulis
surat daripada berkata-kata dengan engkau. Saya lebih pandai meratap,menyesal dan
mengumpat dalam sebuah surat. Karena, bilamana saya bertemu dengan engkau, maka
matamu yang sebagai Bintang Timur itu senantiasa menghilangkan susun kataku.”
Hayati adalah perempuan yang tak hanya cantik,namun juga memiliki budi pekerti yang
baik. Mereka sering bertemu dengan bantuan adik laki-laki Hayati.

Namun apa daya, Hubungan ini tidak disetujui oleh ninik dan mamaknya
Hayati. Dikarenakan Zainuddin berasal dari suku yang berbeda, asal-usulnya sebagai orang
buangan di Mengkasar, dan tak memiliki harta. Sedangkan Hayati terlahir dari keluarga
terpandang.

Untuk menghindari pergunjingan tentang hubungan mereka, maka mamak Hayati menyuruh
Zainuddin pergi meninggalkan Batipuh.

Dengan berat hati, Zainuddin pun pindah ke Padang Panjang. Disana, Zainuddin


memperdalam ilmu agama dan pengetahuannya. Di kota tersebut banyak sekolah-sekolah
agama yang bagus.

Akhirnya, Hayati memilih untuk diperistri oleh Aziz, kakak dari sahabatnya, Khadijah. Luluh
lantaklah hati si Yatim-Piatu yang terbuang itu, terlebih lagi disaat yang sama Zainuddin
mendapat kabar kalau Mak Base, pengasuhnya telah berpulang. 

Mak Base meninggal dan mewariskan banyak harta kepada


Zainuddin. Zainuddin memberanikan diri mengirim surat lamaran kepada Hayati di Batipuh.
Tetapi sayangnya, bersamaan dengan datangnya rombongan dari pihak Aziz yang hendak
melamar Hayati. Zainuddin tanpa menyebutkan harta kekayaan yang kini ia miliki, sehingga
ia ditolak oleh ninik mamak Hayati.

Ninik mamak hayati menerima pinangan Aziz yang di mata mereka lebih beradab dan kaya
raya. Hayati akhirnya menikah dengan Azis. Azis adalah anak orang terpandang, satu suku
dan terikat kerabat dengan mamaknya hayati, walaupun jauh. Awal pernikahan Hayati dan
Azis sangat bahagia karena Azis pandai mengambil dan menyenangkan hati Hayati. Namun
tanpa sepengetahuan Hayati, Azis adalah tipe pemuda yang suka menghamburkan uang,
berjudi, mabuk-mabukkan dan senang main perempuan.

Disisi lain, Zainuddin tidak mampu menerima penolakan tersebut, apalagi menurut Muluk,


sahabatnya bahwa sebenarnya Aziz memiliki perilaku yang buruk.

Zainuddin pun jatuh sakit, akibat terlalu memikirkan orang yang ia cintai pergi bersama pria
lain. Setiap hari, ia selalu memanggil nama Hayati. Atas permintaan dokter dan izin dari
Azis, suami hayati, akhirnya hayati pun menjenguk Zainuddin. Dalam sekejap, Zainuddin
pun sembuh. Setelah sembuh dari sakit, Zainuddin pun mulai bangkit untuk melupakan
Hayati. 
Zainuddin dtemani Muluk, sahabatnya pindah ke Pulau Jawa. Di Pulau Jawa,
Zainuddin menjadi penulis terkenal. Ia menggunakan nama Samaran “Z” di setiap karyanya.

Muluk lah yang menyemangati Zainuddin sampai ia bisa mencapai titik tersebut, sukses dan
melupakan hayati.

Hayati dan Aziz hijrah ke Surabaya. Perekonomian mereka makin memprihatinkan dan
terlilit banyak hutang akibat ulah Aziz. Mereka diusir dari kontrakan dan secara kebetulan
mereka bertemu dengan Zainuddin, mereka singgah di rumah Zainuddin. Karena tak kuasa
menanggung malu atas kebaikan Zainuddin, Aziz meninggalkan istrinya untuk mencari
pekerjaan ke Banyuwangi.

Beberapa hari kemudian, datang dua surat dari Aziz yang pertama berisi surat perceraian
untuk Hayati sedangkan yang kedua berisi surat permintaan maaf dan permintaan agar
Zainuddin mau menerima Hayati kembali. Setelah itu datang berita bahwa Aziz ditemukan
bunuh diri di kamarnya.

Hayati juga meminta maaf kepada Zainuddin. Ia berharap bisa kembali bersama Zainuddin.
Namun, masih terasa sakit di hati Zainuddin. Sehingga ia menyuruh Hayati pulang ke
kampung halamannya, Batipuh. Esok harinya, Hayati  pulang ke Batipuh menumpang kapal
Van Der Wijck meskipun dengan terpaksa dan

Setelah Hayati pergi, barulah Zainuddin menyadari bahwa ia tidak bisa hidup tanpa Hayati.
Apalagi setelah membaca surat Hayati yang bertuliskan “aku cinta engkau dan kalau kumati,
kematianku dalam mengenang engkau.” Maka segeralah ia menyusul Hayati ke Jakarta. Saat
Zainuddin sedang bersiap-siap, tersiar kabar bahwa kapal Van Der Wijck yang ditumpangi
Hayati tenggelam. Zainuddin langsung syok dan langsung pergi bersama Muluk untuk
mencari Hayati. Muluk menyesal karena ia tidak memberi tahu Zainuddin bahwa Hayati
sebenarnya masih mencintainya.

Hayati menghembuskan nafas terakhir setelah Zainuddin membimbing


mengucapkan kalimah syahadat. Tak lama setelah Hayati meninggal, Zainuddin pun
menyusulnya. Karena tidak bisa berhenti memikirkan hayati menyebabkan ia sakit-sakitan
sampai akhirnya meninggal. Sedangkan jasadnya dimakamkan  dekat pusara Hayati oleh
muluk. Cinta sejatinya kekal abadi.
DIALOG ZAINUDDIN DAN HAYATI

Zainuddin : Maaf? Kau regas segenap pucuk pengharapanku. Kau patahkan. Kau minta maaf.

Hayati: Sudah hilangkah tentang kita dari hatimu? Janganlah kau jatuhkan hukuman,
kasihanilah perempuan yang ditimpa musibah berganti-ganti ini.

Zainuddin: Demikianlah perempuan, ia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya walau
pun kecil dan ia lupa kekejamannya sendiri pada orang lain padahal begitu besarnya.

Zainuddin: Bukankah kau yang telah berjanji ketika saya diusir oleh Ninik Mamakmu karena
saya asalnya tidak tentu, orang hina, tidak tulen Minangkabau, ketika itu kau antarkan saya di
simpang jalan, kau berjanji akan menunggu kedatanganku berapapun lamanya, tapi kemudian
kau berpaling ke yang lebih gagah kaya raya, berbangsa, beradat , berlembaga, berketurunan,
kau kawin dengan dia. Kau sendiri yang bilang padaku bahwa pernikahan itu bukan terpaksa
oleh paksaan orang lain tetapi pilihan hati kau sendiri. Hampir saya mati menanggung cinta
Hayati.. 2 bulan lamanya saya tergeletak di tempat tidur, kau jenguk saya dalam sakitku,
menunjukkan bahwa tangan kau telah berinang, bahwa kau telah jadi kepunyaan orang lain.
Siapakah di antara kita yang kejam Hayati?

Zainuddin : Kau pilih kehidupan yang lebih senang, mentereng, cukup uang, berenang di
dalam emas, bersayap uang kertas. Siapakah di antara kita yang kejam Hayati? Siapa yang
telah menghalangi seorang anak muda yang bercita-cita tinggi menambah pengetahuan tetapi
akhirnya terbuang jauh ke Tanah Jawa ini, hilang kampung dan halamannya sehingga dia
menjadi anak yang tertawa di muka ini tetapi menangis di belakang layar. Tidak Hayati, saya
tidak kejam. Saya hanya menuruti katamu. Bukankah kau yang meminta dalam suratmu
supaya cinta kita itu dihilangkan dan dilupakan saja, diganti dengan persahabatan yang kekal.
Permintaan itulah yang saya pegang teguh sekarang. Kau bukan kecintaanku, bukan
tunanganku, bukan istriku. Tetapi janda dari orang lain. Maka itu secara seorang sahabat,
bahkan secara seorang saudara saya akan kembali teguh memegang janjiku dalam
persahabatan itu sebagaimana teguhku dahulu memegang cintaku. Itulah sebabnya dengan
segenap ridho hati ini kau ku bawa tinggal di rumahku untuk menunggu suamimu, tetapi
kemudian bukan dirinya yang kembali pulang, tapi surat cerai dan kabar yang mengerikan.
Maka itu sebagai seorang sahabat pula kau akan ku lepas pulang ke kampungmu, ke tanah
asalmu, tanah Minangkabau yang kaya raya, yang beradat, berlembaga, yang tak lapuk
dihujan, tak lekang dipanas. Ongkos pulangmu akan saya beri. Demikian pula uang yang kau
perlukan. Dan kalau saya masih hidup, sebelum kau mendapat suami lagi Insya Allah
kehidupanmu selama di kampung akan saya bantu.

Hayati: Saya tidak akan pulang. Saya akan tetap di sini bersamamu. Biar saya kau hinakan.
Biar saya kau pandang sebagai babu yang hina. Saya tak butuh uang berapa pun banyaknya.
Saya butuh dekat dengan kau, Zainuddin. Saya butuh dekat dengan kau..

Zainuddin: Tidak. Pantang pisah berbuah dua kali. Pantang pemuda makan sisa. Kau mesti
pulang kembali ke kampungmu. Biarkan saya dalam keadaan begini. Jangan mau ditumpang
hidup saya.
FAKTA TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJK

Pada 20 Oktober 1936, Kapal Van Der Wijck tenggelam saat berlayar dari Bali menuju
Semarang dan akan singgah di Surabaya. Setiba di Surabaya, kapal tercatat membawa muatan
150 ton besi dan 5 buah konsedor dengan masing-masing seberat 3 ton. Pelayaran kapal
mewah tersebut berakhir di Perairan Lamongan, Jawa Timur tepatnya di 12 mil dari Pantati
Brondong, Lamongan. Diduga, kapal-kapal tersebut membawa barang-barang berharga.
Tercatat 153 penumpang selamat, 58 penumpang tewas, dan 42 lainnya hilang seperti di tulis
oleh de Telegraaf pada 22 Oktober 1936.

Namun, sebenarnya tidak ada angka pasti karena pencatatan tidak sesuai. Diperkirakan ada
250 orang yang ada di dalam kapal tersebut. Catatan lain menyebutkan jika jumlah
penumpang pada saat itu adalah 187 warga pribumi dan 39 warga Eropa. Jumlah awak
kapalnya terdiri dari seorang kapten, 11 perwira, seorang telegrafis, seorang steward, 5
pembantu kapal dan 80 ABK dari pribumi.

Surat kabar Australia, The Queenslander yang terbit Kamis 22 Oktober 1936 turut
memberitakan tenggelamnya Van der Wijck. Koran tersebut menyebut jika kapal sekonyong-
konyong miring saat berada 64 kilometer barat daya Surabaya. Setelah itu hanya butuh enam
menit hingga seluruh badan kapal tenggelam.

Anda mungkin juga menyukai