Anda di halaman 1dari 25

SUARA‐SUARA 

PEREMPUAN YANG TERBUNGKAM 
DALAM SIHIR PEREMPUAN  
Bramantio 
 
Prolog 
Sihir  Perempuan  adalah  buku  kumpulan  cerpen  karya  Intan  Paramaditha  yang  secara 
keseluruhan bercerita tentang perempuan. Tema keperempuanan yang diangkat oleh 
kesebelas cerpen di dalam kumpulan ini tidak serta‐merta menjadikannya terjebak di 
dalam  lingkaran  yang  dibangun  oleh  karya‐karya  pengarang  perempuan  Indonesia 
mutakhir  yang  begitu  gegap‐gempita  merayakan  tubuh  dan  seksualitas  perempuan. 
Cerpen‐cerpen Intan bercerita tentang perempuan dari sisi yang lain, yaitu sisi kelam 
dunia perempuan. 
 
Pada  dasarnya,  setiap  karya  sastra  bukan  hanya  berlaku  sebagai  artefak,  tetapi 
sekaligus  sebagai  objek  estetis.  Artefak  merupakan  dasar  material  objek  estetis, 
sedangkan  objek  estetis  merupakan  representasi  artefak  di  dalam  pikiran  pembaca.1 
Pembentukan  objek  estetis  yang  berdasarkan  pada  artefak  terjadi  dengan  sarana 
peran  aktif  pembaca—pembacalah  yang  menciptakan  objek  estetis.  Pembentukan 
objek estetis yang mendasarkan diri pada artefak disebut konkretisasi.2 Sebuah artefak 
tunggal  bisa  saja  menimbulkan  beberapa  objek  estetis  dan  hal  tersebut  bergantung 
sepenuhnya pada pembacanya dan cara pembacaannya.    
 
Sebagai  sebuah  karya  sastra,  sebuah  objek  estetis,  Sihir  Perempuan  memuat  tanda‐
tanda yang perlu dimaknai melalui proses konkretisasi untuk mengungkap makna teks 
secara  keseluruhan.  Pemaknaan  terhadap  tanda‐tanda  tersebut  bersifat  relatif,  tidak 
ada  sebuah  kebenaran  mutlak.  Maksudnya,  makna  yang  dihasilkan  sepenuhnya 
bergantung  pada  horison  harapan  pembaca,  yang  di  dalamnya  termasuk  kompetensi 
kesastraan,3  yang  terbentuk  oleh  pengalaman  pembacaan  masing‐masing  pembaca. 
Dengan kata lain, sebuah karya sastra dibaca dan dimaknai pembacanya dengan cara 
yang  berbeda‐beda.  Meskipun  demikian,  bukan  berarti  bahwa  makna  yang  pada 
akhirnya diperoleh tidak objektif.4 
 

1
Berkaitan  dengan  uraian  tersebut,  saya  menganggap  cerpen‐cerpen  di  dalam  Sihir 
Perempuan  menarik  untuk  dibaca  melalui  perspektif  feminisme.  Perspektif  feminis 
dibutuhkan  untuk  mengentalkan  pengalaman‐pengalaman  spesifik  yang  dialami 
manusia dan mengemukakan persoalan‐persoalan kelompok marjinal, pembongkaran 
relasi  kuasa  dalam  struktur  pengetahuan  maupun  masyarakat,  dan  dekonstruksi  teks 
yang  falogosentris.5  Dalam  makalah  ini  saya  hanya  menyajikan  analisis  atas  empat 
cerpen  di  dalam  Sihir  Perempuan,  yaitu  “Pemintal  Kegelapan,”  “Perempuan  Buta 
Tanpa Ibu Jari,” “Misteri Polaroid,” dan “Sang Ratu” karena saya menganggap keempat 
cerpen  tersebut  selain  bercerita  tentang  perempuan  juga  memiliki  sesuatu  yang 
tersembunyi berkaitan dengan realitas keperempuanan. 
 
Perempuan  yang  Mencipta  Cerita  sebagai  Katarsis  dalam  Cerpen  “Pemintal 
Kegelapan” 
Cerpen  “Pemintal  Kegelapan”  mengisahkan  seorang  ibu  yang  bercerita  kepada 
anaknya tentang hantu perempuan penghuni loteng rumah mereka. Cerpen ini dibuka 
dengan  kalimat,  “Semasa  kecilku  Ibu  selalu  berkisah  tentang  hantu  perempuan  yang 
menghuni loteng kami” (hlm. 9). Melalui kalimat tersebut dapat diketahui bahwa sosok 
narator  (“Aku”)  kini  telah  dewasa.  Ia  bercerita  tidak  hanya  semata‐mata  untuk 
bercerita,  tapi  sekaligus  mengungkap  sesuatu  yang  sebenarnya  telah  diketahuinya 
sejak  ia  mengawali  ceritanya  kepada  pembaca.  Ia  menceritakan  cerita  tentang  hantu 
perempuan  yang  diceritakan  ibunya  ketika  ia  masih  kecil.  Cerita  kemudian  beralih  ke 
dunia nyata, tentang kehidupan keluarganya, orangtuanya yang bercerai, ibunya yang 
digosipkan  sebagai  janda  penggoda  yang  materialis,  hingga  kenyataan  pahit  seputar 
rahasia terkelam ibunya yang pada akhirnya terungkap. 
 
Kata “selalu” pada kalimat pembuka “Semasa kecilku Ibu selalu berkisah tentang hantu 
perempuan  yang  menghuni  loteng  kami”  secara  tidak  langsung  telah  memberikan 
semacam  penanda  tentang  latar  belakang  keseluruhan  cerita.  Mengapa  Ibu  selalu 
bercerita  tentang  hal  yang  sama?  Mengapa  pula  Ibu  memilih  cerita  yang  suram  dan 
seram sebagai cerita pengantar tidur anaknya, dan bukan cerita yang lebih “cerah” dan 
sesuai  untuk  anak‐anak?  Padahal  “Aku”  juga  menyatakan,  “Dulu  aku  ketakutan 
setengah mati sehingga kusembunyikan kepalaku di balik bantal bila malam tiba” (hlm. 

2
9).  Mengapa  Ibu  tetap  selalu  bercerita  tentang  hantu  perempuan?  Tidakkah  Ibu 
mengetahui  anaknya  begitu  ketakutan  setelah  mendengar  ceritanya?  Ataukah  Ibu 
mengetahui hal tersebut, tapi memilih tidak peduli karena ia memiliki kepentingan di 
balik itu semua? Berikut ini adalah kutipan ringkas cerita hantu perempuan tersebut, 
Ia, rahasia terbesar loteng rumahku, adalah hantu perempuan berambut 
panjang  terurai  yang  selalu  duduk  di  depan  alat  pemintal.  Wajahnya 
penuh  guratan  merah  kecokelatan,  seperti  luka  yang  mengering  setelah 
dicakar habis‐habisan oleh macan. Bola matanya berwarna merah seperti 
kobaran  api.  Bila  ia  membuka  mulutnya,  kau  akan  melihat  taring‐taring 
yang  panjang.  Ia  begitu  khusyuk  di  depan  pemintal  itu  karena  ia  tengah 
membuat  selimut  untuk  kekasihnya.  Ia  telah  jatuh  cinta  pada  seorang 
laki‐laki, manusia biasa yang suka berburu di tengah hutan. 
... 
Suatu  hari,  lelaki  itu  pamit  untuk  pergi  beberapa  lama.  Ia  ingin 
menjelajahi hutan di seluruh pelosok negeri demi mencari singa berbulu 
emas.  Singa  itu,  konon,  merupakan  harta  tak  ternilai  yang  menjadikan 
pemiliknya kaya raya. 
... 
Laki‐laki  itu  sekonyong‐konyong  berteriak.  Perempuan  cantik  yang 
dikenalnya  telah  berubah  menjadi  makhluk  buruk  rupa  yang  begitu 
mengerikan.  Tidak  ada  kata‐kata  yang  bisa  menggambarkan  rasa  takut 
laki‐laki  itu.  Ia  lari  terbirit‐birit  meninggalkan  hantu  perempuan  itu 
sendirian. 
... 
Kata  ibuku,  hantu  perempuan  itu  terpukul  sekali.  Sebelum  ia  sempat 
mengungkapkan  siapa  dirinya,  kekasihnya  sudah  lari  menjauh.  Sungguh‐
sungguh  ia  murka.  Ia  terbang  dari  rumah  ke  rumah,  membuat  gaduh, 
mengganggu  ketenangan  manusia.  Bayi  menangis  kala  merasakan 
kehadirannya  dan  para  pemuka  agama  sibuk  berkomat‐kamit 
mengusirnya. Tetapi suatu hari hantu itu sadar bahwa dengan merusak ia 
tetap  tidak  mampu  mematikan  rasa  cintanya.  Ia  ingat,  kekasihnya  tidak 
punya pakaian yang cukup selama perjalanan panjang itu. Tak ada selimut 
tebal  yang  akan  melindunginya  jika  ia  kedinginan  di  hutan.  Hantu 
perempuan  itu  pun  memilih  sebuah  tempat  persembunyian  yang  gelap 
untuk membuat selimut bagi kekasihnya. Ya, di loteng rumah kamilah ia 
bekerja dengan alat pemintal selama beribu‐ribu malam. 
... 
Pekerjaan itu, kata ibuku, tak pernah selesai. Karena si hantu perempuan 
tidak  menggunakan  benang  untuk  selimutnya.  Ia  memintal  kegelapan 
(hlm 11—13). 
 
Cerpen  ini  tidak  secara  eksplisit  memberi  uraian  masa  lalu  Ibu,  tapi  berdasarkan 
pembacaan  atas  cerita  hantu  perempuan  tersebut  dan  merangkainya  dengan 
keseluruhan  isi  cerpen,  dapat  diketahui  bahwa  kehidupan  masa  lalu  Ibu  tidak  jauh 

3
berbeda dengan kehidupan hantu perempuan tersebut. Ibu pernah jatuh cinta kepada 
seorang  laki‐laki.  Laki‐laki  itu  menjanjikan  begitu  banyak  keindahan  ketika  kelak 
mereka  menikah.  Hanya  saja,  pada  akhirnya  lelaki  itu  meninggalkan  Ibu  setelah 
mengetahui  jatidiri  Ibu  yang  sebenarnya.  Karena  begitu  mencintai  laki‐laki  itu,  Ibu 
benar‐benar  merana  sepeninggalnya.  Kisah  cinta  Ibu  bersama  laki‐laki  itu  terus 
menghantuinya, bahkan sampai Ibu telah menikah dan berkeluarga. Hal yang demikian 
tentu saja membuat Ibu tertekan. Ibu merasa perlu untuk berbagi dengan orang lain, 
tapi ia tidak mungkin—atau merasa tidak mungkin—menceritakan hal tersebut kepada 
suaminya. Oleh karena itu, Ibu menceritakan hal tersebut kepada “Aku” yang waktu itu 
masih  kecil.  “Aku”  kecil  akan  sulit  menerima  cerita  masa  lalu  Ibu  dalam  bentuknya 
yang nyata sehingga Ibu mengubahnya menjadi cerita tentang hantu perempuan. 
 
Ibu  yang  bercerita  kepada  “Aku”  memiliki  analogi  dengan  seorang  pasien  yang 
bercerita kepada ahli psikoanalisanya. Ibu tidak membatasi “gerak” ceritanya pada hal‐
hal yang nyata, tapi membebaskannya dengan melakukan displacement di sana‐sana, 
menyisipkan  simbol  di  sana‐sini,  dan  membiarkan  cerita  berakhir  terbuka  dengan 
“Pekerjaan  itu,  kata  ibuku,  tak  pernah  selesai.  Karena  si  hantu  perempuan  tidak 
menggunakan  benang  untuk  selimutnya.  Ia  memintal  kegelapan”  (hlm.13).  Ibu 
mengganti  sosoknya  menjadi  hantu  perempuan,  dan  tetap  membuatnya  samar 
sehingga  “Aku”  tidak  bisa  mengidentifikasikan  hantu  perempuan  itu  sebagai  ibunya. 
Ibu  juga  tidak  memberi  nama  untuk  laki‐laki  itu  sehingga  “Aku”  tidak  bisa  melacak 
kebenaran atau keberadaannya ketika kelak ia dewasa. Adanya singa berbulu emas di 
dalam  cerita  Ibu  juga  mengundang  tanda  tanya.  Mengapa  singa?  Mengapa  bukan 
binatang lain yang secara umum lebih banyak diburu? Secara eksplisit, di dalam cerpen 
dinyatakan bahwa singa emas dapat membuat pemiliknya kaya raya. Tapi, sebenarnya 
bukan  hanya  itu.  Singa  adalah  simbol  kekuatan  keilahian  dan  matahari,  kewenangan, 
keberanian,  kebijaksanaan,  dan  perlindungan.6  Hal‐hal  tersebut  merupakan  sebagian 
hasrat  terbesar  manusia.  Di  sisi  lain,  singa  juga  simbol  kekejaman,  kebuasaan  dan 
kematian.7 Dua hal yang bertolak belakang tersebut memiliki kaitan yang erat dengan 
Ibu. Ibu menginginkan kebahagiaan hidup bersama laki‐laki itu. Tapi, sepeninggal laki‐
laki  itu,  Ibu  juga  menyimpan  kekecewaan  yang  pada  akhirnya  menjelma  kemarahan 
dan kebencian. Emas adalah simbol kesempurnaan, daya tahan, kemurnian, perbaikan, 

4
pencerahan  spiritual,  kebenaran,  keharmonisan,  kebijaksanaan,  dan  kemakmuran.8 
Dua  sisi  simbolis  singa  oleh  Ibu  “dibungkus”  dengan  “emas.”  Hal  tersebut  tampak 
melalui  perlakuan  Ibu  kepada  “Aku”—  menjadi  Ibu  yang  baik  bagi  “Aku.”  Pemakaian 
“selimut”  dan  “kegelapan”  juga  dapat  dimaknai  sebagai  usaha  Ibu  untuk  menutupi 
kebenaran.  Dikisahkan  hantu  perempuan  memintal  selimut,  bukan  yang  lain,  baju 
hangat  misalnya.  Hal  ini  tentu  saja  berkaitan  dengan  fungsi  utama  selimut  yang 
memberikan kehangatan dan kenyamanan pada seluruh tubuh; baju hangat hanya bisa 
memberi kehangatan sebagian tubuh. Dengan “selimut” inilah Ibu berusaha menutupi 
keseluruhan  kisah  masa  lalunya  sekaligus  masa  kini  yang  baru  terungkap  di  akhir 
cerpen.  “Kegelapan”  di  sini  tidak  hanya  dapat  ditafsirkan  sebagai  masa  lalu  Ibu  yang 
kelam. Kegelapan bukan hanya menyimbolkan misteri, menyembunyikan sesuatu, atau 
yang tidak diketahu, tapi juga menyimbolkan cahaya potensial; kegelapan mengawali 
cahaya, kematian mengawali kelahiran kembali.9 Berkaitan dengan hal tersebut, cerita 
hantu  perempuan  pemintal  kegelapan  adalah  semacam  objek  potensial  yang  akan 
membawa  Ibu  mengungkap  kebenaran.  Lebih  lanjut,  singa  juga  simbol  pemandu  ke 
underworld.10  Jika  underworld  di  sini  dapat  ditafsirkan  sebagai  taksadar  atau  segala 
bentuk  ingatan  atau  kenyataan  yang  direpresi,  dengan  memasukkan  singa  ke  dalam 
ceritanya,  Ibu  secara  tak  sadar  telah  “menyediakan”  kunci  untuk  mengungkap 
kebenaran,  Ibu  secara  tak  sadar  mencoba  menyatakan  bahwa  ceritanya  adalah 
usahanya untuk menerima dan berdamai dengan masa lalunya yang pahit. Hanya saja, 
selama bertahun‐tahun bercerita, Ibu tidak pernah mengungkap kebenarannya. Hal ini 
dikarenakan  Ibu  mengalami  resistensi—Ibu  melakukan  penolakan  atas  kebenaran 
bahwa ia bercerita untuk melepaskan diri dari perasaan tertekan dan jerat masa lalu, 
Ibu menyangkal bahwa dirinya adalah hantu perempuan di dalam cerita yang selama 
ini ia ceritakan kepada “Aku.”11 
 
Resistensi Ibu lambat‐laun memudar ketika ia mengalami pengalaman kedua berkaitan 
dengan ditinggalkan laki‐laki, 
Aku  berhenti  memikirkan  Si  Pemintal  Kegelapan  ketika  Ibu  bercerai 
dengan Ayah. Sejak usiaku 13 tahun, aku tinggal berdua saja dengan Ibu. 
Ia  masih  bercerita,  namun  entah  mengapa,  ceritanya  mulai  terasa 
hambar. Perkiraanku, ibuku mulai bosan mendongeng. Matanya kosong. 
Ceritanya tidak berenergi (hlm. 13). 

5
 
Perceraian  tersebut  adalah  semacam  abreaksi,  yaitu  pengalaman  kembali  peristiwa 
traumatis dengan rinci.12 Melalui abreaksi ini, emosi yang selama ini ditekan oleh Ibu 
sedikit  demi  sedikit  menemukan  jalan  keluar.  Ibu  tidak  lagi  berusaha  sekuat  tenaga 
menyimpan masalah‐masalahnya untuk dirinya sendiri. Meskipun tidak—atau belum—
menceritakannya  secara  langsung  kepada  “Aku”  dan  berusaha  meredam  rasa  ingin 
tahu  “Aku”  dengan  pengalihan‐pengalihan,  Ibu  menjadi  lebih  “terbuka”  dengan 
perasaan‐perasaanya, 
Di  hari  Minggu,  aku  pernah  mendengar  Ibu  memecahkan  piring 
sambil berteriak di dapur. Menurut Ibu, kala mencuci, tangannya terlalu 
licin  sehingga  piring  itu  terlepas  dari  genggamannya.  Menurutku  tidak. 
Aku  yakin  ia  sengaja  memecahkannya.  Tapi  setelah  itu  Ibu  langsung 
menutup kasus dengan mengajakku nonton bioskop. 
Sesekali  aku  juga  mendengar  suara  ganjil  dari  kamarnya.  Suatu 
ketika,  malam  yang  lengang  dikejutkan  oleh  teriakan  bercampur  tangis 
penuh  amarah.  Aku  keluar  dari  kamarku  dan  bergegas  menghampiri 
kamar Ibu. Kuketuk kamarnya. Setelah sekian lama menunggu, barulah ia 
membuka  pintu.  Katanya  aku  telah  mengganggu  tidur  lelapnya.  Ia 
menuduhku berkhayal mendengar teriakan seseorang (hlm. 15—16). 
 
Keadaan keluarga yang berangsur membaik seiring berjalannya waktu dan terbebasnya 
Ibu  dari  rutinitas  yang  berkaitan  dengan  pekerjaannya  juga  mendukung  proses 
katarsisnya.  Ibu  mengungkapkan  masalahnya  dan  kebenaran  satu  per  satu  kepada 
“Aku,” 
Ibuku  akhirnya  pensiun  dan  giliranku  membiayai  hidup  kami  karena  aku 
sudah bekerja. Kami sering pergi bersama di akhir pekan, tetapi aku tahu 
ada  misteri  dalam  dirinya  yang  tidak  pernah  dapat  kubongkar.  Ia  selalu 
menyimpan sesuatu, termasuk tentang penyakitnya yang ternyata sudah 
lama menggerogoti tubuhnya. 
Ia mengidap kanker leher rahim (hlm. 16). 
 
“Aku”  tidak  bersikap  ekstrem  atas  kenyataan  yang  selama  ini  disembunyikan  Ibu 
darinya. “Aku” hanya berusaha menemani Ibu hingga pada akhirnya Ibu mengungkap 
rahasia besar—sebuah kebenaran—yang selama ini disembunyikannya, 
Aku  tidak  tahu  harus  marah  atau  sedih.  Kucoba  menghabiskan  waktu 
lebih banyak dengannya. Aku ingin membuatnya bahagia. 
... 
Suatu  hari  ia  berkata  waktunya  tak  akan  lama  lagi.  Tanpa 
mendengar  protesku,  ia  menggandeng  tanganku,  “Aku  ingin 
menunjukkanmu sesuatu.” 

6
Ia  mengajakku  ke  loteng.  Ya,  loteng  yang  dulu  luar  biasa  menarik. 
Aku  sudah  melupakannya,  seperti  aku  telah  lupa  wajah  Ibu  semasa  ia 
menjadi tukang cerita nomor satu. 
... 
Tanpa  menghiraukan  wajahku  yang  penuh  keengganan,  Ibu 
menuntunku menuju sebuah cermin. Ia berdiri tepat di depan cermin itu, 
lalu menunjuk bayangan di dalamnya. Ia berujar pasti, 
“Lihatlah. Itulah Pemintal Kegelapan.” 
... 
Kutajamkan  penglihatanku.  Kubawa  ingatanku  pada  masa‐masa 
ketika  kami  masih  menikmati  misteri  loteng  itu,  mengucapkan  selamat 
datang  pada  imajinasi  liar  tanpa  batas  dan  malam‐malam  meringkuk  di 
balik  selimut.  Tiba‐tiba  kusadari  aku  tengah  merinding.  Aku  memang 
melihat  Ibu.  Ya,  perempuan  itu.  Rambutnya  terurai,  wajahnya  penuh 
guratan  pedih,  matanya  nyalang  seperti  bola  api  yang  menari‐nari 
melumatkan  siapa  pun  yang  menatap.  Hantu  perempuan  yang 
memendam  cinta,  rindu,  sakit,  nafsu,  amarah—memintal  gairah  pekat 
tanpa henti, tanpa selesai. 
Ibu telah jujur pada akhirnya. Tak ada misteri, tak ada teka‐teki. 
Ibuku. 
Pemintal Kegelapan (hlm. 16—18). 
 
Dalam “posisinya” sebagai “ahli psikoanalisa,” “Aku” tidak pernah bertanya kepada Ibu 
tentang  masalah  yang  dihadapinya,  apalagi  mendesaknya  untuk  berterus  terang; 
“Aku” pernah menyatakan, “Semuanya berseliweran di kepalaku, namun tak satu hal 
pun  yang  berani  kutanyakan  pada  Ibu.”  Terlepas  dari  perasaan  takutnya  untuk 
bertanya  kepada  Ibu,  “Aku”  telah  “menggunakan”  metode  asosiasi  bebas;13  “Aku” 
hanya  menempatkan  dirinya  sebagai  pendengar  yang  baik.  Pada  akhirnya,  Ibu  pun 
mengungkap kebenaran dengan kemauannya sendiri. 
 
Apabila  dilihat  dari  awal  penciptaannya,  ada  kemungkinan  pengarang  cerpen  ini—
secara sadar atau tidak—mendapat pengaruh dari esei “The Mad Woman in the Attic” 
karya  Sandra  M.  Gilbert  dan  Susan  Gubar.  Kemungkinan  tersebut  bukannya  tanpa 
alasan.  Sebelum  menerbitkan  buku  kumpulan  cerpen  Sihir  Perempuan,  Intan 
Paramaditha  lebih  dulu  dikenal  melalui  tulisan‐tulisan  ilmiahnya  yang  mengangkat 
tema feminisme, gender, dan pascakolonialisme. Esei “The Mad Woman in the Attic” 
menguraikan  realitas  dan  sejarah  sastra  (Barat)  yang  berada  di  dalam  wilayah 
“kekuasaan”  laki‐laki  (patriarkal),  dan  mempertanyakan  kedudukan  pengarang 
perempuan di dalamnya, 

7
Lalu  apakah  artinya  menjadi  pengarang  perempuan  dalam  suatu 
kebudayaan  yang  definisi  otoritas  sastranya  yang  paling  mendasar, 
seperti kita lihat, adalah patriarkal, baik secara tersirat maupun tersurat? 
Jika  menjadi  polaritas  yang  dipertentangkan  dan  mempertentangkan 
antara malaikat dan monster, Putri Salju yang manis dan bodoh dan Ratu 
galak  dan  gila,  adalah  citra  utama  sastra  tradisional  yang  ditawarkan 
kepada  kaum  perempuan,  bagaimana  penggambaran  semacam  itu 
mempengaruhi  cara  perempuan  menggunakan  pena?  Jika  cermin  sihir 
Ratu bercakap‐cakap dengan suara sang Raja, bagaimana petuah‐petuah 
Raja  yang  abadi  berdampak  pada  suara  Ratu?  Karena  suara  Raja  adalah 
suara  utama  yang  ia  dengar,  apakah  kemudian  Ratu  mencoba  untuk 
bersuara  seperti  Raja,  meniru  nadanya,  lagu  dan  irama  suaranya, 
pemakaian  kata‐kata  dan  sudut  pandangnya?  Atau  apakah  ia  ‘melawan’ 
dengan kosa katanya sendiri, getaran suaranya sendiri, mempertahankan 
sudut pandangnya sendiri?14 
 
Lebih lanjut juga dinyatakan, 
Namun,  dibandingkan  dengan  pertempuran  perkasa  antara  ayah  dan 
anak  dalam  tradisi  laki‐laki,  kekhawatiran  kepengarangan  ini  bagi 
perempuan  bisa  benar‐benar  melumpuhkan.  Diwariskan  bukan  hanya 
dari  satu  perempuan  ke  perempuan  yang  lain,  tetapi  juga  dari  bapak‐
bapak  sastra  patriarkal  yang  keras  kepada  pewaris  perempuannya  yang 
telah diinferiorisasi, dan hal itu menjadi benih suatu penyakit, atau, suatu 
kekurangan, suatu gangguan, suatu kecurigaan, yang meluas bagai noda 
melalui  gaya  dan  struktur  karya  sejumlah  perempuan,  terutama  yang 
menulis  sebelum  abad  ke‐20.  Karena  jika  perempuan  masa  kini 
menggoreskan pena dengan sepenuh daya otoritas, mereka hanya dapat 
melakukan  itu  karena  nenek  moyang  perempuannya  di  abad  ke‐18  dan 
ke‐19 telah berjuang dalam ketersendirian yang terasa sebagai kegilaan, 
dalam  keadaan  gelap‐tidak‐dikenal  yang  terasa  sebagai  kelumpuhan 
dalam  mengatasi  kekhawatiran‐kepengarangan  yang  endemis  bagi 
subkultur sastra.15 
 
Sosok  Ibu  di  dalam  cerpen  “Pemintal  Kegelapan”  layaknya  sosok  Ratu  di  dalam  esei 
“The Madwoman in the Attic.” Ratu (perempuan) meskipun memiliki kuasa, tetap tidak 
dapat  membebaskan  diri—sebagian  bahkan  sepenuhnya—dari  kuasa  Raja  (laki‐laki). 
Begitu pula dengan Ibu yang tidak dapat membebaskan dirinya dari “kuasa” laki‐laki—
mantan kekasihnya dan mantan suaminya—dalam bentuk ingatan yang terus‐menerus 
menghantui  hidupnya  dan  membuatnya  menderita  hingga  menjelang  ajalnya. 
“Warisan” patriarkal berupa stigma negatif atas janda—penggoda dan berbahaya bagi 
laki‐laki—juga menjadi salah satu hal yang menghantui kehidupan Ibu. Cermin sihir di 
dalam esei tersebut juga kembali muncul dalam bentuknya yang lain di dalam cerpen. 

8
Ia menjadi alat untuk mengenali diri sendiri bagi sang Ratu. Seperti telah diketahui, di 
dalam  kisah  Snow  White,  Ratu  sering  bertanya  kepada  cermin  sihirnya  tentang 
perempuan  tercantik  di  dunia.  Hal  senada  juga  dilakukan  Ibu  di  akhir  cerpen  untuk 
menegaskan kepada dirinya sendiri dan “Aku” bahwa ia adalah Pemintal Kegelapan—
hantu perempuan penghuni loteng gelap yang selama ini diceritakannya kepada “Aku.” 
Dalam  skala  luas,  dengan  melihat  unsur‐unsur  intrinsiknya  sekaligus  dalam  kaitannya 
dengan  tulisan‐tulisan  lain  yang  senada,  cerpen  “Pemintal  Kegelapan”  adalah  suara 
perempuan  (pengarangnya?)  yang  ingin  menyuarakan  realitas  dan  problematika 
perempuan  yang  selama  ini  berada  di  bawah  bayang‐bayang  kuasa  patriarkal. 
Perempuan  memiliki  kehidupannya  sendiri,  perempuan  bisa  saja  mengambil  pilihan‐
pilihan  yang  mungkin  dapat  mengantarnya  mencapai  kebahagiaan,  tapi  bagaimana 
pun ia tetap tidak dapat—atau sulit—memisahkan dirinya teror berkepanjangan yang 
dibisikkan oleh budaya patriarkhi. 
 
Perempuan yang Membongkar Dongeng Cinderella dalam Cerpen “Perempuan Buta 
Tanpa Ibu Jari” 
Cerpen  “Perempuan  Buta  Tanpa  Ibu  Jari”  mengisahkan  perjalanan  pahit  hidup 
perempuan  buta  yang  dinarasikan  oleh  perempuan  buta  itu  sendiri.  Cerpen  ini  pada 
dasarnya  adalah  sebuah  re‐creating  atas  dongeng  Cinderella.  Di  sini  berlaku  prinsip 
intertekstualitas.16  Interpretasi  secara  menyeluruh  terhadap  karya  sastra  hanya 
mungkin  dilakukan  pembaca  melalui  interteks.  Karya  sastra  mengandung  arti  hanya 
dengan mengacu kepada teks‐teks lain,17 baik teks secara harafiah maupun teks dalam 
pengertian  universal.  Pemaknaan  karya  sastra  bersandar  sepenuhnya  pada 
intertekstualitas  dan  untuk  mengenalinya  bergantung  sepenuhnya  pada  kemampuan 
pembaca.18 Di dalam dongeng aslinya, secara garis besar diceritakan bahwa Cinderella 
adalah  gadis  cantik  baik  hati  yang  hidupnya  begitu  menderita  sepeninggal  ayahnya 
karena ia harus tinggal serumah dengan ibu tiri dan dua saudara tiri perempuan yang 
jahat.  Dengan  bantuan  ibu  peri,  Cinderella  berhasil  menghadiri  pesta  di  istana.  Ia 
berjumpa  pangeran  impiannya,  tapi  terpisah  oleh  batas  waktu  yang  telah  ditetapkan 
sebelumnya oleh ibu peri. Ketika tergesa‐gesa meninggalkan istana, sebelah sepatunya 
tertinggal.  Dengan  sepatu  inilah  sang  pangeran  berusaha  mencari  dan  pada  akhirnya 
menemukan  kembali  pemiliknya.  Di  akhir  cerita,  Cinderalla  hidup  bahagia  selama‐

9
lamanya  bersama  pangeran.  Di  dalam  cerpen  ini,  nama  Cinderella  diubah  menjadi 
Sindelarat. Si perempuan buta adalah saudara‐perempuan tiri Sindelarat. Menurutnya, 
Sindelarat  tidak  sebaik  yang  diceritakan  orang‐orang  selama  ini,  “Adik  tiriku  Larat 
memang  piawai  memasang  muka  manis  ...  Perhatikan  betapa  ia  ingin  menampilkan 
citra  gadis  baik‐baik  yang  tidak  materialistis.  Puh!  Sangat  tidak  realistis.  Kalau  tak 
peduli kekayaan, mengapa ia bersikeras pergi ke pesta untuk bertemu Gusti Pangeran 
mahakaya?”  (hlm.  31).  Cerpen  ini  juga  menampilkan  sisi  kelam  dari  dongeng 
Cinderella, yaitu pada saat kedua saudara‐perempuan tiri Sindelarat mencoba sepatu 
yang dibawa pangeran. Karena kaki mereka terlalu besar, ibu mereka memerintahkan 
mereka melakukan sesuatu yang mengerikan, 
Ibuku menyodori pisau, “Potong jari kakimu. Kelak jika kau jadi ratu, kau 
tak  akan  terlalu  banyak  berjalan.  Jadi  kau  tak  membutuhkannya.”  Maka 
kuambil pisau itu dan kugigit bibirku saat aku berusaha memutuskan ibu 
jari  kakiku.  Kubuang  bagian  kecil  tubuhku  itu  ke  tempat  sampah  untuk 
menjadi  santapan  anjing.  Kini  kusadari,  Nak,  dunia  ini  memang  penuh 
dengan  sepatu  kekecilan  yang  hanya  menerima  orang‐orang  termutilasi 
(hlm. 33). 
 
Pada  kutipan  tersebut  terlihat  bahwa  penyebab  perempuan  menderita  bukan  hanya 
laki‐laki,  tapi  juga  sesama  perempuan.  Meskipun  didasari  oleh  kasih  sayang  kepada 
anaknya,  bagaimana  pun  si  ibu  telah  membuat  anaknya  menderita  dengan 
memaksakan  pemikirannya.  Kalimat  terakhir  di  situ  juga  menarik  dalam  kaitannya 
dengan realitas (norma) yang seolah‐olah begitu mengekang kebebasan perempuan—
dan manusia pada umumnya—untuk menjadi dirinya sendiri dan menentukan pilihan 
dan  menyebabkannya  mau  tidak  mau  harus  “memutilasi”  dirinya  supaya  dianggap 
“sesuai”  dengan  norma  yang  berlaku.  Lebih  lanjut  diceritakan  pula  oleh  perempuan 
buta bahwa Sindelarat tidak “berbahagia selama‐lamanya,” 
Oh, ya, Larat tidak hidup berbahagia selama‐lamanya seperti yang dikira 
banyak  orang.  Ia  meninggal  saat  melahirkan  putrinya  yang  keenam. 
Hampir  setiap  tahun  ia  hamil  karena  kerajaan  membutuhkan  putra 
mahkota.  Ia  tak  lagi  cantik—pahanya  ditimbuni  lemak  dan  perutnya 
lembek seperti tahu. Ia mati karena pendarahan berkepanjangan, sebagai 
penutup cantik kisah yang banjir darah ini (hlm. 36). 
 
Melalui kutipan tersebut tampak adanya perubahan atas konvensi dongeng Cinderella 
yang  ditutup  dengan  “And  they  live  happily  ever  after.”  Tidak  ada  lagi  “hidup 
berbahagia  selama‐lamanya”  bagi  Sindelarat.  Berdasarkan  hal  tersebut  dan  cerita 

10
secara keseluruhan, cerpen ini dapat dianggap sebagai teks dekonstruksi atas dongeng 
Cinderella.  Dongeng  Cinderella  dengan  berbagai  konvensi  yang  selama  ini  telah 
dikenal  baik  sama  halnya  dengan  falogosentrisme  yang  mengutamakan  kestabilan 
makna dalam pola pikiran dan sistem patriarkhi. Kestabilan makna—atau dengan kata 
lain  “kebenaran  tunggal”—tersebut  dibongkar  oleh  cerpen  ini  dengan  menghadirkan 
“kebenaran‐kebenaran”  tandingan.  Sosok  Cinderella/Sindelarat  yang  pada  dongeng 
diceritakan  sebagai  gadis  baik  hati  sebenarnya  materialistis  dan  tidak  sebaik  yang 
diceritakan selama ini. Kehidupan Cinderella/Sindelarat pascaperistiwa pencarian oleh 
pangeran  dengan  berbekal  sepatu  sebelah  ternyata  begitu  menderita  dan  seolah 
menjadi tumbal kelangsungan sebuah dinasti kerajaan. And they live happily ever after 
pun  dibongkar  menjadi  penderitaan  perempuan  pascapernikahan;  perempuan  tidak 
bisa menikmati kebahagiaan di dalam sebuah pernikahan dan tidak bisa benar‐benar 
menjadi  dirinya  sendiri  karena  ia  memiliki  kewajiban  yang  dibebankan  kepadanya 
untuk melayani suaminya, menghasilkan keturunan, dan sebagainya.19 
 
Tidak  hanya  sebatas  pembongkaran  atas  dongeng  Cinderella,  cerpen  ini  juga 
menyajikan hal‐hal yang berkaitan dengan realitas keperempuanan, 
Tahun demi tahun berlalu dan kami menjadi bunga yang siap dipetik. Tapi 
sial,  siapa  yang  dilirik  para  pemuda  di  pasar  ataupun  alun‐alun?  Larat. 
Kendati ia tak lagi bergaun indah, wajahnya masih tetap cantik. Kulitnya 
kuning  bercahaya.  Rambutnya  hitam  bak  mayang.  Tubuhnya  semampai, 
pinggangnya  kecil,  kakinya  apalagi.  Tutur  katanya  lembut  merayu. 
Sedangkan  kami—yang  lebih  mewarisi  rupa  Ayah  daripada  kecantikan 
Ibu—bertubuh  besar  dan  berkulit  gelap.  Kami  saudara  Larat  hanya  bisa 
gigit  jari  saat  tetangga  mengomentari  kesempurnaannya  setiap  waktu. 
Dan  betapa  was‐wasnya  kami  kala  mengetahui  para  laki‐laki  mengantre 
di depan pintu hanya untuk melamar Larat! (hlm. 31—32) 
 
Perempuan  dinilai  yang  pertama  dan  utama  adalah  fisiknya—perempuan  sebagai 
keindahan  fisikal.  Yang  memberi  nilai  tentu  saja  laki‐laki,  dan  pada  akhirnya 
perempuan pun (adakalanya) terbawa pada konstruksi tersebut dan ikut menganggap 
bahwa  yang  dianggap  sebagai  perempuan  cantik  adalah  perempuan  yang  cantik  di 
mata  laki‐laki.  Sosok  perempuan  buta  di  dalam  cerpen  ini  dapat  dianggap  sebagai 
sosok yang terpinggirkan, Liyan (the other),20 karena ia “tidak seindah” Sindelarat yang 
memegang “pusat kuasa,” “konvensi patriarkhi.” Sebagai Liyan, perempuan buta pun 

11
ingin  suaranya  didengar;  berdasarkan  cerita  di  dalam  cerpen  secara  keseluruhan,  ia 
pun mendapatkan pendengar. Hanya saja, ia tidak yakin apakah pendengar itu benar‐
benar mendengar dan memercayai ceritanya; ia menutup ceritanya dengan “Tapi ah, 
siapa yang akan mendengarkan seorang perempuan buta yang dimutilasi?”21 (hlm. 36) 
Demikiankah realitas para Liyan? Meskipun ada kebenaran di dalam suaranya, akankah 
seorang Liyan tetap menjadi Liyan dan tidak pernah mendapat pengakuan? 
 
Perempuan  Fragmentatif,  Komoditas,  dan  “Tak  Terlihat”  dalam  Cerpen  “Misteri 
Polaroid” 
Cerpen “Misteri Polaroid” mengisahkan seserpih kehidupan laki‐laki fotografer mode, 
Jose,  yang  dinarasikan  oleh  asistennya,  Andri,  yang  juga  laki‐laki.  Cerpen  ini  menarik 
karena  mengangkat  realitas  keperempuanan  yang  dilihat  melalui  sudut  pandang  laki‐
laki.  Sebagai  fotografer  mode,  Jose  memiliki  kuasa  untuk  memberikan  penilaian  atas 
perempuan‐perempuan model yang dipotretnya, 
Matanya  yang  tajam  tanpa  ampun  bisa  membedakan  calon  supermodel 
dengan calon pecundang, atau menarik garis batas antara wajah eksklusif 
dan  wajah  murahan.  Ia  bisa  mengukur  dengan  pasti  hidung  yang  terlalu 
panjang,  terlalu  pesek,  dagu  yang  terlalu  condong  ke  depan,  pipi  yang 
terlalu  lebar,  garis‐garis  muka  yang  terlalu  maskulin,  wajah  yang  tidak 
simetris (hlm. 77). 
 
Obyeknya  adalah  model  Indo  favorit  Jose,  Sofia,  yang  sedang  naik  daun 
sebagai  presenter  acara  televisi.  Jose  mengagumi  mata  cokelatnya  yang 
mirip  kacang  almon,  batang  hidungnya  yang  tinggi,  tulang  pipi  Audrey 
Hepburn‐nya yang aristokrat, dan bibirnya yang penuh. Wajah Eropa yang 
sudut‐sudutnya  tak  bercacat,  sempurna  untuk  difoto  dari  jarak  dekat. 
Dan  foto  ini  memang  hanya  tentang  wajah.  Tak  ada  tubuh,  tangan, 
ataupun kaki. 
... 
“Lihat, wajahnya mahal,” komentar Jose. “Tapi kalau salah angle dia bisa 
mirip kuda” (hlm. 87—88). 
 
Penilaian  Jose  bertolak  pada  hal‐hal  yang  fisikal  sekaligus  fragmentatif.  Perempuan 
tidak  dilihat  sebagai  keutuhan  dan  diterima  apa  adanya,  tapi  sebagai  semacam 
bangunan  yang  keindahannya  ditentukan  oleh  bentuk  atapnya  saja,  pintunya  saja, 
jendelanya  saja,  pagarnya  saja.  Lebih  jauh,  penilaian  Jose  ternyata  memiliki  dampak 
berskala  besar,  “Pendapat  Jose  tidak  hanya  berpengaruh  di  media,  tetapi  juga  dalam 
acara‐acara  seperti  pemilihan  model”  (hlm.  77).  Ini  semacam  “penindasan”  terhadap 

12
citra  perempuan.  Sayangnya,  perempuan  (model  dan  calon  model)  sendiri 
menganggap  hal  ini  semacam  kartu  mati  yang  mau  tidak  mau  harus  mereka  terima. 
Dengan kata lain, keindahan fisik perempuan di mata laki‐laki seolah‐olah sama artinya 
dengan hidup‐mati perempuan (model di dunia hiburan). 
 
Penilaian atas perempuan sebagai sesuatu yang fisikal dan fragmentatif ternyata tidak 
hanya dilakukan oleh laki‐laki (Jose) saja, tapi juga oleh sesama perempuan, 
“Vin,  Vin...”  Jose  mengeluh  setelah  membalas  ciuman  persahabatan  itu. 
“Kenapa pakai si Susi?” 
“Susan?” 
“Susan, whatever. Wajahnya flat.” 
“Ya,  aku  tahu.  Tapi  tidak  ada  pengambilan  gambar  close  up.  Fokus  kita 
kaki dan sepatu” (hlm. 78). 
 
Kini  Vina  datang  dengan  wajah  yang  berbeda:  Aileen,  model  berwajah 
oriental. 
... 
“Ia tidak terlalu tinggi,” Jose meneliti. 
“Ya,  ya,  kakinya  memang  agak  pendek.  Torsonya  yang  panjang,”  timpal 
Vina. 
“Dadanya tidak rata, itu yang penting untuk konsep ini” (hlm. 83—84). 
 
Dengan mengatakan “Tapi tidak ada pengambilan gambar close up” (untuk Susan) dan 
“Torsonya  yang  panjang”  (untuk  Aileen),  Vina  seolah‐olah  memberikan  pembelaan 
kepada  keduanya.  Hanya  saja,  tidak  demikian  kenyataannya.  Bukannya  mengatakan 
“Ah,  wajahnya  tidak  flat,  bahkan  dia  sebenarnya  manis”  (untuk  Susan)  dan  “Ia  tinggi 
untuk ukuran standar model” (untuk Aileen), Vina justru membenarkan pendapat Jose 
dan  menonjolkan  kelebihan  lain  yang  dimiliki  fisik  Susan  dan  Aileen.  Dengan  begitu, 
perempuan  (Vina)  juga  telah  memberikan  penilaian  yang  fragmentatif  kepada 
perempuan (Susan dan Vina). Suara yang lebih “bersahabat” kepada perempuan justru 
datang dari laki‐laki (Andri), “Kasihan Susan. Di balik penampilan glamornya, aku tahu 
pasti  ia  berusaha  keluar  dari  predikat  “biasa‐biasa  saja”  atau  “terlalu  memaksakan 
diri.”  Padahal  kupikir  ia  manis  dan  senyumnya  hangat”  (hlm.  79).  Hanya  saja, 
mengingat posisi Andri yang hanya sebagai “asisten,” suaranya pun tidak mendapatkan 
tempat;  ia  kalah  suara  dari  Vina  dan  Jose.  Di  sini  sosok  Andri  dapat  dibaca  sebagai 
sosok  laki‐laki  yang  tidak  memiliki  kuasa  sehingga  meskipun  ada  kebenaran  di  dalam 

13
suaranya,  suaranya  tidak  diperhitungkan;  yang  berhak  memberikan  penilaian  kepada 
perempuan adalah laki‐laki (dan perempuan) pemegang kuasa. 
 
Di  dalam  cerpen  ini,  perempuan  juga  digambarkan  sebagai  komoditas.  Perempuan 
sebagai komoditas diperkuat dengan kisah tentang masa lalu hantu perempuan yang 
“mengganggu” sesi pemotretan di studio Jose, 
Konon  di  rumah  ini,  tak  lama  sesudah  kemerdekaan,  memang  ada  gadis 
yang  bunuh  diri.  Ayahnya  terbelit  hutang.  Karena  di  keluarga  itu  ia  yang 
tercantik, keluarganya memaksanya menjadi istri muda seorang pedagang 
kaya.  Si  gadis,  yang  sebetulnya  tidak  dekat  dengan  lelaki  mana  pun, 
menolak  keputusan  sepihak  itu.  Tapi  di  rumah  itu  ia  tak  memiliki  suara 
(hlm. 86).  
 
Semakin  lengkaplah  “keterpurukan”  perempuan‐perempuan  di  dalam  cerpen  ini. 
Selain sebagai keindahan fragmentatif dan komoditas, perempuan ternyata juga “tidak 
memiliki  suara.”  Sekali  lagi,  seperti  halnya  Jose  yang  memiliki  peran  “menyuarakan” 
suara  perempuan  untuk  menjadi  model  papan  atas  atau  pecundang,  di  sini  sosok 
bapaklah  yang  memiliki  peran  “menyuarakan”  suara  anak  perempuannya,  tentu  saja 
bukan  dalam  artian  positif  bagi  anak  perempuannya.  Sosok  bapak  yang  begitu 
dominan  memiliki  kuasa  untuk  menentukan  jalan  hidup  anak  perempuannya  dan 
memaksanya  menjadi  istri  muda  (bukan  istri  pertama)  pedagang  kaya,  yang  semata‐
mata  untuk  membebaskan  dirinya  dari  hutang;  ketika  perempuan  memiliki  kuasa 
untuk memilih, justru pilihan itu adalah kematian. Saya membaca hantu perempuan di 
dalam  cerpen  ini  bukan  hanya  sebagai  hantu  perempuan,  tapi  sebagai  sesuatu  yang 
ingin  didengar,  sesuatu  yang  ingin  bersuara.  Hal  tersebut  terlihat  melalui 
kemunculannya  pada  beberapa  sesi  pemotretan.  Ia  tidak  berniat  membuat  keonaran 
atau  mendatangkan  bencana  bagi  orang‐orang,  ia  hanya  ingin  eksistensinya  diakui. 
Saya pikir ini adalah sebuah ironi karena (hantu) perempuan ternyata baru mendapat 
perhatian sekaligus pengakuan ketika ia telah mati. 
 
Lebih  lanjut,  sosok  hantu  perempuan  tersebut  ternyata  adalah  seorang  lesbian.  Hal 
tersebut  tampak  secara  implisit  pada  bagian  “Si  gadis,  yang  sebetulnya  tidak  dekat 
dengan  lelaki  mana  pun...”  (hlm.  86)  dan  diperkuat  pada  bagian  yang  mengisahkan 
ketika sosok hantu perempuan tersebut hadir di dalam foto‐foto hasil jepretan Jose, 

14
Kulihat  Susan  berbaring  miring  di  sofa,  berpose  seperti  Cleopatra  di 
singgasananya.  Ia  mengenakan  jaket  bulu  berwarna  ungu  tua  dan  rok 
mini korduroy berwarna ungu muda. Rok itu adalah alasan mengapa ia 
dipilih: pahanya kecil dan kaki‐kakinya langsing. Tapi ada sesuatu yang 
menutupi kaki itu. Seberkas cahaya kemerahan memanjang. 
... 
Itu adalah siluet kaki (hlm. 81). 
 
Kuperhatikan  lagi  foto  Aileen.  Seandainya  ia  arwah  penasaran, 
mengapa Aileen hendak dicekiknya? 
Tunggu. 
Itu  bukan  gerakan  mencekik.  Tangan‐tangan  yang  seolah  tak  bermula 
itu  begitu  lemas,  tidak  memaksakan  apa‐apa.  Jari‐jarinya  tidak  hanya 
menempel di leher, tapi juga tulang selangka. 
Ia tidak mencekik, tetapi ingin memeluk. 
... 
Sang  Arwah  ingin  mendekap  dan  memagut,  mungkin  bermain‐main, 
seperti ketika ditindihnya kaki Susan dengan kakinya (hlm. 87). 
 
Konsep  Liyan  (the  other)  berlaku  di  sini.  Sebagai  perempuan,  hantu  perempuan  itu 
telah  menjadi  Liyan  dalam  ruang  patriarkhi,  ia  tidak  memiliki  kuasa  untuk  bersuara, 
lebih‐lebih memilih; satu‐satunya pilihan yang bisa diambilnya adalah bunuh diri, “Dua 
minggu  sebelum  perkawinannya,  ketika  tak  ada  orang  di  rumah  kecuali  dirinya,  ia 
mengurung  diri  di  kamar.  Tetangga  berdatangan  karena  mencium  bau  asap  dari 
rumah itu. Sang putri mengamini kebisuan. Ia membakar diri.” (hlm. 86) Ke‐Liyan‐an 
hantu  perempuan  tersebut  semakin  “parah”  karena  selain  perempuan,  ia  juga 
perempuan lesbian, dan pada akhirnya ia adalah hantu. 
 
Kalimat  pembuka  cerpen  ini,  “Sebuah  foto  mampu  menangkap  realitas  bahkan  lebih 
banyak  dari  yang  kau  yakini,”  dapat  dibaca  sebagai  semacam  afirmasi  atas  realitas 
yang lebih menitikberatkan penilaian pada penampakan luar, hal‐hal fisikal, dan tentu 
saja  tidak  dari  semua  sisi;  layaknya  foto  yang  meskipun  bisa  saja  memperlihatkan 
sesuatu  yang  lebih  indah  daripada  aslinya,  tetap  saja  hanya  mampu  menangkap 
bentuk  luar  dari  sesuatu  dan  hanya  dari  satu  sisi.  Judul  “Misteri  Polaroid”  yang  sejak 
awal  telah  menjadi  penanda  atas  hadirnya  sesuatu  yang  misterius,  tersembunyi,  dan 
hal‐hal  yang  mungkin  dekat  dengan  “dunia  lain”  juga  dapat  dibaca  sebagai 
representasi atas realitas keperempuanan (di dunia foto model) itu sendiri, khususnya 

15
dari  sudut  pandang  laki‐laki.  Hal  tersebut  terlihat  dalam  percakapan  antara  Jose  dan 
Andri, 
“Seniman  memanfaatkan  resolusi  polaroid  yang  berbeda  dengan  film,” 
tutur Jose dalam salah satu ceramahnya. “Warna polaroid terlalu intens, 
terlalu  dramatis.  Terkesan  tak  nyata.  Lucas  Samara  mempercayai 
fotografi polaroid untuk mendapatkan imaji‐imaji fantastis.” 
“Maksudmu?” 
“Intinya,  Andri,”  Jose  menepuk  bahuku.  “Polaroid  kerap  menipu. 
Berlebihan. Artifisial.” 
“Lalu Warhol dengan kelamin‐kelaminnya?” 
“Murahan” (hlm. 84—85). 
  
Kehidupan  perempuan‐perempuan  model  bisa  saja  tidak  seindah  penampilannya  di 
iklan‐iklan  atau  sampul  majalah.  Mereka  menjadi  sesuatu  yang  artifisial.  Adakalanya, 
seperti  Aileen,  mereka  harus  membangun  imej  baru  untuk  menutupi  masa  lalunya 
yang  mungkin  “kelam”  untuk  ukuran  dunia  hiburan  meskipun  di  dalam  “kekelaman” 
itu mungkin ada keindahan yang sesungguhnya, 
Di  dunia  hiburan  semua  orang  diharapkan  lahir  dengan  jubah  perak, 
seperti  kertas  alumunium  berkilap‐kilap;  tak  akan  terlepas  meski 
ditanggalkan. Jubah orang‐orang rupawan ini menjadikan mereka bagian 
dari hidup yang selalu dibicarakan sekaligus mengisolasi mereka di langit. 
Mereka  harus  disalib  di  tengah  taburan  bintang  agar  tidak  kehilangan 
kemilau (hlm. 83). 
 
Dalam  skala  yang  lebih  luas,  cerpen  ini  tidak  sakadar  menyajikan  realitas 
keperempuanan,  khususnya  di  dunia  hiburan,  tapi  sekaligus  kritik.  Di  satu  sisi  ia 
memperlihatkan ketertindasan perempuan; perempuan sebagai objek dan komoditas. 
Di sisi lain ia juga menyajikan keberterimaan perempuan yang tanpa perlawanan atas 
ketertindasan tersebut; segala kepalsuan di dalam dunia hiburan seolah‐olah diterima 
begitu  saja  oleh  perempuan  karena  hanya  dengan  begitulah  perempuan  dapat 
bertahan hidup. 
 
Perempuan “Terselubung,” Diabaikan, dan Bertindak dalam Cerpen “Sang Ratu” 
Cerpen  “Sang  Ratu”  mengisahkan  kehiduapan  seorang  laki‐laki  bernama  Herjuno. 
Seperti  halnya  cerpen  “Misteri  Polaroid,”  cerpen  ini  dinarasikan  oleh  tokoh  lain—
“Aku,”  bernama  Gus—yang  menjadi  sahabat  Herjuno.  Herjuno  adalah  tipikal  laki‐laki 

16
yang menilai kelaki‐lakiannya berdasarkan hal‐hal yang berkaitan dengan harta, tahta, 
dan wanita, 
Sebelum  terpenjara  dalam  jeruji  perkawinannya,  Herjuno  adalah 
petualang cinta. Sebagai laki‐laki masa lalu, ia masih mengagungkan nilai‐
nilai lelaki feodal sejati. Menurutnya atribut ksatria modern adalah uang 
orang  tua  (sebagai  ganti  tanah  warisan)  yang  bisa  digunakan  untuk 
memulai perusahaan kecil, mobil terbaru (sebagai ganti kuda gagah), dan 
perempuan‐perempuan  langsing  berkorset  (sebagai  ganti  dara‐dara 
berstagen) (hlm. 132). 
 
Bagi  Herjuno  yang  womanizer,  perkawinan  adalah  semacam  belenggu  atas 
kebebasannya “berpetualang.” Perkawinannya terasa sebagai penjara karena Herjuno 
terpaksa  menikahi  perempuan  yang  dihamilinya  di  luar  nikah,  dan  perempuan  yang 
demikian sebenarnya tidak sesuai dengan perempuan ideal menurut Herjuno, 
Seumur  hidupnya  Herjuno  mengenal  dua  jenis  perempuan  yang 
senantiasa  dipacarinya  pada  saat  yang  bersamaan:  yang  perawan  dan 
yang  tidak.  Baginya  sudah  jelas,  perempuan  non‐perawan  adalah  untuk 
bermain‐main. Sementara itu ia menghabiskan waktunya untuk menguji 
para perawan. Jika dalam masa pacaran mereka “menyerahkan kesucian 
untuknnya”  (ini  istilah  favorit  Herjuno—kuno  sekali  untuk  abad  21, 
bukan?),  itu  berarti  mereka  tidak  lulus  ujian,  tidak  tahan  godaan,  dan 
tidak layak dijadikan istri. (hlm. 132). 
 
“Jangan  main‐main  dengan  (ke)perawan(an),”  mungkin  hal  itulah  yang  tersirat  dari 
bagian  ini.  Herjuno  telah  bermain‐main  dengan  perempuan  (tidak  perawan  maupun 
perawan), ia pun harus menikahi perempuan yang dihamilinya. Di satu sisi hal tersebut 
mendatangkan malapetaka bagi Herjuno, tapi di sisi lain mendatangkan berkah karena 
perempuan  yang  dihamilinya  lalu  dinikahinya—bernama  Dewi—adalah  putri  seorang 
pengusaha  besar  yang  bergerak  di  bidang  pertambangan.  Dalam  kaitannya  dengan 
feminisme,  bagian  ini  dapat  dibaca  dari  dua  sisi.  Pertama,  perempuan  adalah  objek 
permainan  bagi  laki‐laki.  Konsep  perawan  dan  tidak  perawan  yang  sejak  lama 
menguasai  pola  pikir  dan  budaya  menjadi  tolok  ukur  pertama  dan  utama  dalam 
menilai  perempuan.  Laki‐laki  (Herjuno)  pun  menganggap  bahwa  hanya  perempuan 
perawan yang layak dijadikan istri; di sini keperawanan seolah harga mati, tanpa peduli 
sisi‐sisi lain dari perempuan. Kedua, perempuan adalah rekan atau pendukung laki‐laki 
dalam meraih keberhasilan; tanpa perempuan, laki‐laki bisa saja hanya biasa‐biasa saja 
dalam  karier  dan  hidupnya.  Kedudukan  Dewi  yang  berayahkan  pengusaha  besar 

17
menjadikan  Herjuno  dapat  mengenyam  kehidupan  yang  lebih  baik.  Di  dalam  cerpen 
ini,  perempuan  sebagai  rekan  atau  pendukung  laki‐laki  dalam  meraih  keberhasilan 
diperkuat  pada  subplot  yang  mengisahkan  hubungan  antara  Ratu  Kidul  dengan 
Panembahan  Senopati.  Subplot  ini  muncul  berkaitan  dengan  usaha  Herjuno  untuk 
menafsirkan  mimpinya.  Ia  pergi  ke  paranormal—bernama  Ki  Joko  Kuncoro—dan 
mendapat penjelasan bahwa “mimpi Herjuno bukanlah sembarang mimpi. Perempuan 
cantik  dalam  mimpinya  bukanlah  perempuan  biasa,  melainkan  Ratu  Pantai  Selatan. 
Bertemu dengannya bisa punya makna ganda: keberuntungan atau kehancuran.” (hlm. 
136).  Lebih  lanjut,  Ki  Joko  Kuncoro  menyarankan  Herjuno  untuk  mencari  titisan  Ratu 
Kidul dan “Jika kau bisa memegangi pelananya, ia akan membawamu ke tempat yang 
tak  pernah  kaubayangkan”  (hlm.  139);  menaklukkan  Ratu  Kidul  berarti  mendapatkan 
kekuasaan  yang  tidak  terbayangkan  sebelumnya.  Herjuno  pun  mulai  memerhatikan 
setiap  perempuan  yang  ditemuinya  sambil  menerka‐nerka  apakah  perempuan  itu 
titisan Ratu Kidul. Pencarian Herjuno pun berakhir pada seorang perempuan, 
Perempuan  itu  bercelana  panjang  hitam  dan  berjaket  kulit  hitam  ketat. 
Tubuhnya  langsing  namun  kokoh.  Ia  mirip  seekor  kalajengking.  Mewah, 
berkilat‐kilat,  menakutkan.  Pelupuk  matanya  disapu  warna  kelabu 
kehitaman, membuat sepasang mata indahnya seperti mata kucing yang 
menyala‐nyala  di  kegelapan.  Ketika  ia  bicara,  suaranya  sekental  Bloody 
Mary (hlm. 14). 
 
Herjuno  terbuai  oleh  keindahan  fisik  perempuan  itu.  Hal  ini  membawanya  ke  jalan 
pengkhianatan  atas  istrinya.  Ia  tidak  menyadari  bahwa  ia  sedang  bermain‐main 
dengan  api  yang  sesungguhnya  karena  ia  hanya  melihat  penampakan  luar.  Herjuno 
tidak menyadari bahwa titisan Ratu Kidul yang dicarinya selama ini sebenarnya tidak 
jauh  darinya—Dewi.  Dewi  adalah  ibu  rumah  tangga  yang  baik  dan  bukan  tipe 
perempuan yang bertingkah macam‐macam: “Anak mereka lahir tujuh bulan sesudah 
perkawinan meriah itu. Sejak saat itu, Dewi Wulandari, S.E. menjadi ibu rumah tangga 
seutuhnya. Mengurus bayi, menyusuinya sampai dua tahun” (hlm. 133). Lebih lanjut, 
Istri  Herjuno  tidak  akan  curiga.  Dia  tipe  perempuan  yang  benar‐benar 
lurus,  kalau  tidak  bisa  dibilang  membosankan.  Hanya  anak  yang 
dipikirkannya.  Sebagai  ibu  rumah  tangga  yang  kaya  raya,  tak  pernah 
sekali  pun  ia  ingin  ikut  arisan  bersama  para  istri  konglomerat  dengan 
menenteng tas tangan seharga sepuluh juta. Ia hanya ke luar rumah saat 
mengantar  anaknya  ke  preschool  atau  berbelanja  ke  supermarket.  Ia 
menonton  orkes  simfoni,  sendratari,  atau  teater  sebulan  sekali.  Ia  tak 

18
suka  ke  kafe  atau  klub.  Ponselnya  pun  jarang  berbunyi  karena  ia  tak 
punya banyak teman (hlm. 144—145). 
 
Pada bagian ini lagi‐lagi berlaku falogosentrisme. Seorang ibu rumah tangga yang baik 
yang begitu mementingkan anaknya dan tidak suka neko‐neko dianggap membosankan 
oleh  laki‐laki.  Sebagai  perempuan,  Dewi  tidak  terlalu  menggembar‐gemborkan 
eksistensinya dengan melibatkan diri dalam kegiatan publik. Ia lebih memilih menjadi 
ibu rumah tangga yang baik. Pilihan yang seperti ini pun medapatkan penilaian negatif 
dari laki‐laki; pilihan perempuan meskipun tidak mendatangkan kerugian dan bahkan 
menguntungkan laki‐laki ternyata tidak sepenuhnya bebas nilai (patriarkhi). Di sini pun 
lagi‐lagi  penampakan  luar  mendapat  porsi  pertama  dan  utama  dan  menetapkan 
penilaian. Herjuno dan Gus tidak melihat sesuatu di balik sosok Dewi. Hal ini terungkap 
pada bagian akhir cerpen, 
Ia  menutupi  tangan  kanannya  dengan  tangan  kiri.  Kulihat  darah 
menyembul  dari  genggaman  tangannya  dan  mengalir  cair  ke  bawah, 
membasahi karpet. 
Herjuno  pingsan.  Ketika  tangannya  terkulai,  aku  melihat  jari  tengahnya 
hilang. 
Saat  itu  juga,  aku  menyadari  kehadiran  orang  lain  di  kamar  itu. 
Perempuan itu. Ia memotong jari Herjuno. 
... 
Dia perempuan biasa yang pernah kujumpai saat makan malam di meja. 
Dia Dewi, istri Herjuno. 
Perempuan  itu  sempat  mematung  menatapku.  Tiba‐tiba  kusadari  ia 
tengah  membawa  rantai  yang  diikatkan  pada  seekor  makhluk  besar 
menakutkan. Kalajengking raksasa. Perempuan itu, ya. 
Mereka  dedemit  yang  bahu‐membahu.  Persaudaraan  perempuan‐
perempuan halus yang tak terpecahkan. 
Sang  Ratu  dan  kalajengkingnya  lantas  terbang  melalui  jendela, 
menghilang (hlm. 148—149). 
 
Sebagai  cerpen  terakhir  di  dalam  Sihir  Perempuan,  cerpen  ini  menutup  rangkaian 
cerpen  tentang  perempuan  dengan  sesuatu  yang  mengejutkan:  perempuan  yang 
tampak  biasa‐biasa  saja  ternyata  menyimpan  kekuatan  yang  tidak  terkiran  dan 
mampu  melakukan  tindakan  ekstrem.  Pemotongan  jari  tengah  Herjuno  merupakan 
simbol  kastrasi.22  Pengkastrasian  tentu  menimbulkan  dampak  yang  tidak  kecil  pada 
laki‐laki yang mengalaminya; dengan sendirinya ia menjadi Liyan di antara sesama laki‐
laki,  bahkan  ia  menjadi  Liyan  karena  ia  bukan  laki‐laki  dan  lebih  menyerupai 
perempuan. Sebuah ironi kembali hadir di sini: nama Herjuno memiliki kaitan dengan 

19
Arjuna dalam dunia pewayangan. Arjuna adalah sosok yang dikenal sebagai lanangane 
jagad,  lelakinya  dunia,  karena  ia  memiliki  begitu  banyak  istri  dan  dicintai  banyak 
perempuan. Hanya saja, Arjuna di dalam cerpen ini kehilangan kelaki‐lakiannya karena 
dikastrasi  oleh  perempuan.  Oleh  karena  itu,  predikat  lanangane  jagad  pun  secara 
otomatis  runtuh  dan  menjadikan  dirinya  tidak  berarti  bagi  perempuan.  Hal  ini 
diperkuat oleh pernyataan Gus, “Aku sempat bertanya‐tanya mengapa Herjuno masih 
dibiarkan hidup sampai sekarang. Mengapa hanya jari tengah dan bukannya nyawa ... 
Tapi  kemudian  kusadari  bahwa  Herjuno  tidak  cukup  berarti  bagi  Ratu  Kidul  untuk 
mendapatkan  anugerah  itu:  hidup  sebagai  bayang‐bayang  tanpa  akhir”  (hlm.  150). 
Pada  bagian  tersebut  semakin  terasa  kuat  adanya  “perempuan  yang  bertindak.” 
Tindakan  ini  berupa  usaha  untuk  meruntuhkan  dominasi  patriarkhi  dengan  “cara 
perempuan.”  Maksudnya,  perempuan  (Dewi/Ratu  Kidul)  tidak  menggunakan  “cara 
laki‐laki” dan membunuh Herjuno, tapi hanya mengambil simbol kelaki‐lakian Herjuno. 
Ada  semacam  penegasan  bahwa  perempuan  tampak  lemah  bukan  berarti  dia 
memang lemah—dihadirkan melalui sosok Ratu Kidul yang terselubung oleh Dewi. Hal 
ini  senada  dengan  pernyataan  Ki  Joko  Kuncoro:  perempuan  mampu  mendatangkan 
keberuntungan  atau  kehancuran.23  Perempuan  mampu  mengambil  tindakan  yang 
tidak terduga pada saat‐saat yang paling krusial, perempuan pun sebenarnya memberi 
penilaian  kepada  laki‐laki  berkaitan  dengan  pantas‐tidaknya  laki‐laki  mendapat 
penghormatan—Herjuno  tidak  pantas  dihormati  karena  ia  telah  mengkhianati 
perempuan. 
 
Epilog 
Sihir Perempuan karya Intan Paramaditha menghadirkan realitas keperempuanan dari 
sisi yang kelam. Hadirnya sosok‐sosok hantu perempuan menjadi semacam simbol atas 
kedudukan  dan  kehidupan  perempuan  di  dalam  ruang  budaya  patriarkhi.  Bagaikan 
hantu yang memang berbeda dari manusia, yang berada di “dunia lain” yang berbeda 
dari  dunia  manusia,  yang  memiliki  kedudukan  sebagai  Liyan  (the  other),  perempuan‐
perempuan  di  dalam  cerpen‐cerpen  Intan  seolah  kehilangan  suaranya  sebagai 
perempuan.  Mereka  “terikat”  pada  sistem  yang  berlaku  di  masyarakat  yang  memiliki 
kecenderungan  patriarkhi  sehingga  mereka  pun  mau  tidak  mau  “bersuara”  dalam 
tatanan  yang  diterima  oleh  sistem,  mereka  tidak  memiliki  ruang  untuk  diri  mereka 

20
sendiri  dan  hidup  dalam  ruang  milik  laki‐laki.  Sosok  Ibu  dalam  “Pemintal  Kegelapan” 
hadir  sebagai  perempuan  yang  terus‐menerus  dihantui  masa  lalunya  yang  pahit 
sepanjang  hidupnya.  Ia  mampu  menjalani  hidup,  berkarier,  dan  menghidupi 
keluarganya, tapi ada penderitaan yang dipendamnya sendiri sampai menjelang ajal. Ia 
berusaha  menemukan  “penyembuhan”  dengan  cara  menceritakan  kembali  masa 
lalunya kepada anaknya dan menegaskan kepada dirinya sendiri dan anaknya di akhir 
cerita  bahwa  ia  adalah  Pemintal  Kegelapan.  Sosok  perempuan  yang  terpinggirkan 
terlihat jelas pada cerpen “Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari.” Tokoh perempuan buta di 
sini berusaha membongkar sistem pakem yang selama ini telah mengisi relung pikiran 
masyarakat.  Ia  menceritakan  kembali  peristiwa‐peristiwa  “sebenarnya”  di  balik 
dongeng  Cinderella.  Ia  meyakinkan  pendengar  bahwa  tidak  ada  akhir  yang  bahagia 
bagi  perempuan,  bahkan  ketika  ia  telah  menikah  dengan  seorang  pangeran  pujaan 
jutaan  perempuan.  Perempuan  akan  selalu  tidak  dapat  menjadi  dirinya  sendiri,  tidak 
dapat  menjalani  hidup  sesuai  dengan  keinginannya  sepenuhnya,  karena  ada 
kewajiban‐kewajiban  yang  dibebankan  kepadanya  oleh  budaya  patriarkhi. 
“Penindasan”  atas  perempuan  juga  tampak  pada  cerpen  “Misteri  Polaroid.”  Di  sini 
perempuan  tidak  lebih  daripada  keindahan  fragmentatif,  komoditas  yang  harus 
memenuhi  permintaan  pasar,  dan  sosok  hidup  yang  “tidak  memiliki  suara.”  Segala 
bentuk  nilai  yang  melekat  pada  perempuan  ditentukan  oleh  (budaya)  laki‐laki,  yang 
karena  begitu  kuatnya  hingga  membuat  perempuan  terseret  ke  dalam  arus  dan 
mengamini segala bentuk nilai tersebut. Perempuan sebagai keindahan fisikal kembali 
tampak  dalam  cerpen  “Sang  Ratu.”  Hanya  saja,  perempuan  di  dalam  cerpen  ini  tidak 
berdiam  diri,  ia  bertindak  untuk  menunjukkan  keperempuanannya  meskipun  tetap 
dalam  permainan  halus  dan  simbolis.  Perempuan  pun  sebenarnya  juga  memiliki 
standar nilainya sendiri dalam memandang laki‐laki dan budaya patriarkhi. 
 
Sihir  Perempuan  tidak  hadir  sebagai  teks  yang  berupaya  keras  mendobrak  budaya 
patriarkhi, dan menyuarakan dengan lantang suara‐suara perempuan. Ia hadir sebagai 
teks  yang  mencoba  mengusung  realitas  keperempuanan  yang  dekat  dengan  kita, 
masalah‐masalah  domestik  yang  jarang  tersentuh  bahkan  terabaikan  oleh  hingar‐
bingar problematika publik, dan membisikkan dengan lembut sekaligus nyaring, “Inilah 
kehidupan  perempuan.”  Kehidupan  yang  lebih  banyak  pahitnya  daripada  manisnya, 

21
kehidupan yang tidak pernah mudah untuk dijalani, kehidupan yang tidak pernah usai 
menghadirkan luka berkepanjangan, bagaikan hantu perempuan di dalam loteng yang 
tak  kunjung  berhenti  memintal:  Karena  si  hantu  perempuan  tidak  menggunakan 
benang untuk selimutnya. Ia memintal kegelapan. 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

22
1
  Jan  Mukarovsky,  “Asthetische  Funktion,  Norm  und  ästhetischer  Wert  als  soziale  Fakten,” 
Mukarovsky  1970,  hlm.  7—112  dalam  Rien  T.  Segers,  Evaluasi  Teks  Sastra,  terj.  Suminto  A.  Sayuti 
(Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2000), hlm. 31. 
2
  Istilah  ini  berasal  dari  Roman  Ingarden  dan  diperkenalkan  secara  luas  oleh  Felix  Vodicka. 
Menurut Ingarden, karya sastra memiliki struktur yang objektif, yang tidak terikat pada pembaca, tetapi 
sekaligus  memiliki  kemandirian  terhadap  kenyataan,  bersifat  skematik  dan  selektif,  tidak  pernah 
menciptakan  gambaran  dunia  yang  sesungguhnya.  Setiap  karya  sastra  mengandung 
unbestimmtheitsstellen  atau  tempat‐tempat  kosong  yang  pengisiannya  terserah  pembaca;  Teeuw, 
Sastra  dan  Ilmu  Sastra:  Pengantar  Teori  Sastra    (Jakarta:  Pustaka  Jaya,  1988),  hlm.  190—191;  cf.  Iser, 
“Teks‐teks  fiksi  tidak  identik  dengan  situasi  nyata.  Teks‐teks  itu  tidak  memiliki  pasangan  (counterpart) 
yang pasti dalam kenyataan. Dalam hal ini, teks‐teks tersebut hampir bisa dikatakan tidak bertempat, di 
luar  substrata  historis  yang  menyertainya.  Namun,  sebenarnya  keterbukaan  inilah  yang  menyebabkan 
teks‐teks  itu  mampu  membentuk  berbagi  situasi  yang  dilengkapi  oleh  pembaca  dalam  bacaan‐bacaan 
pribadinya.  Keterbukaan  teks  fiksi  bisa  ditiadakan  hanya  dalam  tindakan  pembacaan;”  Wolfgang  Iser, 
Die  Apellstruktur  der  Texte:  Unbestimmtheit  als  Wirkungsbedingung  literarischer  Prosa  (Konstanz: 
Universitätsverlag, 1970) dalam D.W. Fokkema dan Elrud Kunne Ibsch, Teori Sastra Abad Kedua Puluh, 
terj. J. Praptadiharja dan Kepler Silaban, (Jakarta: Gramedia, 1998), hlm. 185. 
3
 Mengacu pada pendapat Culler, istilah kompetensi kesastraan atau literary competence dapat 
dipahami  sebagai  “set  of  conventions  of  reading  literary  texts”  (perangkat  konvensi  untuk  membaca 
teks  sastra).  Melalui  kemampuan  sistem  konvensi  itu  kita  merebut  makna  karya  sastra,  yang  disebut 
naturalization,  mengembalikan  yang  aneh  pada  yang  wajar;  Teeuw,  ibid.,  hlm.  103—104,  mengutip 
Jonathan  Culler,  Structuralist  Poetics:  Structuralism,  Linguistics,  and  The  Study  of  Literature  (London: 
Routledge and Kegan Paul, 1975). Secara lebih luas, horison harapan bergantung pada statistik personal 
tentang  seks,  pekerjaan,  pendidikan,  tempat  tinggal,  agama,  sikap  dan  norma  pembaca,  kompetensi 
sastra  dan  linguistiknya,  pengalaman  analisisnya,  luas‐sempitnya  keakraban  dengan  pengirim  dan 
sarana,  serta  situasi  resepsi  pembaca;  Wolfgang  Gast,  “Text  und  Leser  im  Feld  der 
Massenkommunikation:  Űberlegungen  zur  Wirkungsanalyse  von  Unterhaltungsliteratur,”  Wirkendes 
Wort 25, 2:108—128, 1975 dalam Segers, op.cit., hlm. 42. 
4
 Hans Robert Jauss, Toward An Aesthetic of Reception (Minneapolis: University of Minnesota 
Press, 1983), hlm. 24. Objektivitas horison harapan disusun melalui tiga kriteria, yaitu pertama, aturan 
yang  terkenal  yang  berkaitan  erat  dengan  teks  yang  dibaca  pembaca,  kedua,  pengalaman  dan 
pengetahuan  pembaca  terhadap  keseluruhan  teks  yang  telah  dibaca  sebelumnya,  dan  ketiga,  kontras 
antara fiksi dan kenyataan, yaitu kemampuan pembaca untuk menerima teks baru di dalam cakrawala 
harapan yang “sempit” dan cakrawala pengetahuan hidupnya yang “luas.” 
5
  Gadis  Arivia,  Feminisme:  Sebuah  Kata  Hati  (Jakarta:  Penerbit  Buku  Kompas,  2006),  hlm.  x. 
Falogosentrisme adalah gabungan dari falosentrisme dan logosentrisme, suatu istilah yang diajukan oleh 
Jacques  Derrida  dalam  gagasan‐gagasannya  yang  kemudian  dikenal  dengan  sebutan  dekonstruksi. 
Logosentrisme  adalah  suatu  ideologi  yang  memperioritaskan  kestabilan  makna.  Dalam  sejarah 
pemikiran Barat, logosentrisme didukung oleh keyakinan pada rasionalitas manusia (Descartes) dan oleh 
penekanan  pada  bahasa  lisan  daripada  bahasa  tulisan  (Saussure).  Keinginan  untuk  mengontrol  makna 
dan  stabilitas  itu,  menurut  Derrida  berbarengan  dengan  orientasi  yang  falosentris,  yang 
mengedepankan  perspektif  laki‐laki  atas  perempuan.  Jadi,  falogosentrisme  adalah  suatu  pola  pikiran 
dan bahasa dalam sistem patriarkhi; Melani Budianta, “Pendekatan Feminis terhadap Wacana,” Analisis 
Wacana: dari Linguistik sampai Dekonstruksi (Yogyakarta: Penerbit Kanal, 2002), hlm. 208. 
6
  Jack  Tresidder,  The  Complete  Dictionary  of  Symbols  in  Myth,  Art  and  Literature  (London: 
Duncan Baird Publisher, 2004), hlm. 291. 
7
 Ibid. 
8
 Ibid., hlm. 209. 
9
 Ibid., hlm. 142. 
10
 Ibid., hlm. 291. 
11
  Freud  menemukan  fakta  bahwa  manakala  pasien  menjadi  dekat  dengan  akar 
permasalahannya,  resistensi  pun  terjadi;  Ruth  Berry,  Seri  Siapa  Dia?  Freud,  terj.  Frans  Kowa  (Jakarta: 
Erlangga, 2001), hlm. 28. 
12
 Ibid., hlm. 21. 
13
  Metode  asosiasi  bebas  pertama  kali  digunakan  Freud  setelah  ia  menyadari  bahwa  dengan 
mengajukan  pertanyaan‐pertanyaan  yang  terlalu  menjurus  kepada  pasiennya,  ia  telah  menghalangi 

23
munculnya  hal‐hal  yang  amat  penting.  Oleh  karena  itu,  Freud  kemudian  membiasakan  diri  meminta 
pasien mengatakan semua yang terlintas di benaknya; Max Milner, Freud dan Interpretasi Sastra, terj. 
Apsanti Djokosujatno, Sri Widaningsih, dan Laksmi (Jakarta: Intermasa, 1992), hlm. 10. 
14
 Sandra M. Gilbert dan Susan Gubar, “Perempuan Gila di Loteng Rumah,” Hidup Matinya Sang 
Pengarang, terj. Iwan Mucipto, Toeti Heraty (ed.) (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000), hlm. 184. 
15
 Ibid., hlm. 193. 
16
  Istilah  intertekstualitas  pertama  kali  digunakan  oleh  Julia  Kristeva  dalam  tulisannya  “Word, 
Dialog, and Novel” yang ditulis pada tahun 1966 dan dipublikasikan pertama kali pada tahun 1967, yang 
pada  dasarnya  merupakan  pengembangan  terhadap  pemikiran  Mikhail  Bakhtin;  dapat  dilihat  pada 
Michael  Worton  dan  Judith  Still  (ed.),  Intertextualiy:  Theories  and  Practices  (Manchester/New  York: 
Manchester University Press, 1993), hlm. 1, 16, dan 33. Kristeva menyatakan, “... any text is contructed 
as mosaic of quotations; any text is the absorption and transformation of another” (setiap teks dibangun 
sebagai  mosaik  kutipan‐kutipan;  setiap  teks  merupakan  penyerapan  dan  transformasi  dari  teks  lain); 
Julia Kristeva, “Word, Dialog, and Novel,” Desire in Language: A Semiotic Approach to Literature and Art, 
Leon  S.  Roudiez  (ed.)  (New  York:  Columbia  University  Press,  1980),  hlm.  66.  Untuk  selanjutnya,  istilah 
intertekstualitas  mengalami  perkembangan.  Pada  awalnya,  intertekstualitas,  yang  berasal  dari  bahasa 
Prancis  intertextualité  hanya  mengacu  kepada  hubungan  antara  sebuah  teks  dengan  teks  lain  dalam 
pengertian  harafiah,  bukan  dengan  pengaruh  seorang  pengarang  kepada  pengarang  lain  atau  segala 
sesuatu yang menjadi sumber penciptaan sebuah karya sastra. Tetapi, dalam perkembangannya, istilah 
intertekstualitas mengacu kepada hubungan antara sebuah teks dengan teks lain dalam pengertian yang 
lebih luas. 
17
  Michael  Riffaterre,  Semiotics  of  Poetry  (Bloomington:  Indiana  University  Press,  1978), 
hlm.149. 
18
 Ibid., hlm. 124. 
19
  Dalam  sebuah  tulisannya,  Simone  de  Beauvoir  menyatakan  bahwa  sepanjang  sejarah, 
perempuan  sulit  tampak  menonjol  dalam  berbagai  bidang  profesi.  Bahkan,  dalam  profesi  kepenulisan 
sastra  pun  perempuan  sangat  sulit  menghasilkan  tulisan‐tulisan  yang  baik.  Hal  ini  tidak  terlepas  dari 
kedudukan  perempuan  di  dalam  rumah  tangga.  Meskipun  mereka  mungkin  memiliki  banyak  waktu 
luang  di  rumah,  mereka  terikat  oleh  berbagai  bentuk  pekerjaan  domestik.  Mereka  harus  memikirkan 
dan melibatkan diri dengan banyak hal di luar karirnya. Mereka harus membagi waktu antara kehidupan 
profesional  dan  kehidupan  rumah  tangga;  Simone  de  Beauvoir,  “Perempuan  dan  Kreativitas,”  Hidup 
Matinya Sang Pengarang, terj. Haniah, Toeti Heraty (ed.) (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000), hlm. 
91—117. 
20
  Pelabelan  “Liyan”  atau  the  other  pada  seseorang  atau  kelompok  tertentu  biasanya 
didasarkan pada pola pikir dikotomis seperti baik‐buruk, normal‐abnormal, biasa‐tidak biasa. Pelabelan 
semacam  ini  tentu  tidak  dapat  dilepaskan  dari  relasi  kuasa  yang  berlaku  waktu  itu;  pemegang  kuasa 
“berhak” memberikan kepada pihak‐pihak yang “tidak memiliki kuasa.” Berkaitan dengan hal tersebut, 
menurut  Cixous,  perempuan  eksis  dalam  dunia  yang  telah  didefinisikan  oleh  laki‐laki  dalam  aturan‐
aturan  yang  telah  ditetapkan  oleh  laki‐laki.  Laki‐laki  kemudian  menjadi  self  dan  perempuan  menjadi 
other. Menurut Lacan, perempuan selalu menjadi Liyan. Pendiskriminasian terhadap perempuan terjadi 
karena  ada  keterasingan  yang  dialami  perempuan  ketika  ia  tumbuh  dewasa,  ada  simbol‐simbol  dalam 
the law of the father yang tidak mereka mengerti karena simbol‐simbol tersebut dikomunikasikan lewat 
bahasa maskulin; Arivia, op.cit., hlm. 6, 129, dan 203. 
21
 Pernyataan perempuan buta ini senada dengan pemikiran Gayatri Spivak, “Can the subaltern 
speak?”  Subaltern  di  sini  dapat  dipahami  sebagai  pihak  inferior.  Istilah  ini  pertama  kali  diadopsi  oleh 
Antonio  Gramsci  untuk  mengacu  pada  kelompok‐kelompok  di  dalam  masyarakat  yang  berkedudukan 
sebagai  objek  hegemoni;  Bill  Ashcroft,  Gareth  Griffiths,  dan  Helen  Tiffin,  Key  Concept  in  Post‐colonial 
Studies (London & New York: Routledge, 1998), hlm. 215. 
22
 Menurut Freud, bila seseorang (laki‐laki) tidak memiliki penis, ia tidak hanya merasakannya 
sebagai suatu perbedaan seks, melainkan juga sebagai kehilangan; Milner, op.cit., hlm. 180. 
23
  Berkaitan  dengan  hal  tersebut,  dalam  tradisi  sastra  dunia  juga  tampak  adanya  “dua  sisi” 
perempuan sebagai pembawa kebahagiaan sekaligus kehancuran. Helen dari Troya menjadi tokoh kunci 
terjadinya  pertempuran  dahsyat  yang  menyebabkan  hancurnya  Troya.  Hal  yang  sama  juga  terdapat 
pada Shinta yang menjadi tokoh kunci terjadinya pertempuran antara pasukan Rama melawan pasukan 
Rahwana,  terlepas  dari  hal  tersebut  berkaitan  dengan  “perang”  antara  “kebaikan”  dan  “kejahatan.” 
Perang  besar  keluarga  Bharata  pun  tidak  terlepas  dari  sosok  perempuan:  salah  satu  hal  yang  menjadi 

24
motif pendukung Bharatayudha adalah peristiwa dipermalukannaya Drupadi—istri para Pandawa—oleh 
Dursasana—salah  satu  yang  tertua  dalam  Kurawa,  adik  Duryudana—dengan  menarik  kain  penutup 
tubuhnya. 

25

Anda mungkin juga menyukai