Anda di halaman 1dari 3

NAMA: NAZNIN SUHA (20)

KELAS: XI IPA 2
TUGAS RESENSI BAHASA INDONESIA

Kerumitan Cinta dalam novel ‘Segi Tiga’

A. IDENTITAS
Judul : Segi Tiga
Penulis : Sapardi Djoko Damono
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2020
Tebal : 320 halaman

B. SINOPSIS
Percayakah kau pada ganasnya cinta pertama? Pernahkah kau berpikir bahwa cinta
pertama diciptakan Juru Dongeng agar perempuan seperti kita ini tidak henti-hentinya
kacau pikirannya, agar gadis-gadis baik seperti kita ini sering sekali tidak bisa tidur
nyenyak? Kisah yang dirakit Juru Dongeng untukku itu mungkin tidak berlaku untuk
semua gadis sepertimu, namun seandainya pada suatu ketika nanti dirakit untukmu
oleh Juru Dongeng janganlah kau menganggap itu hanya terjadi padamu dan
karenanya membuatmu merasa ciut atau malah mengobarkan marahmu dan
membusuk-busukkan Juru Dongeng kita itu. Ia ada sebab kita ada, atau sebaliknya:
kita ada dan karenanya Sang Juru Dongeng itu ada.
C. ULASAN
Sebagai penikmat literatur berbahasa Indonesia, tentunya kita sudah tak asing lagi
dengan nama Sapardi Djoko Damono. Namanya kerap kali muncul dalam puisi atau
cerpen yang terpampang di buku pelajaran bahasa Indonesia. Bapak Sapardi sendiri
adalah seorang pujangga terkemuka yang telah menerima puluhan penghargaan baik
nasional maupun internasional. Salah satu karya beliau yang akan kita bahas kali ini
adalah novel terakhir yang ditulis sebelum wafat yang berjudul Segi Tiga.
Segi Tiga merupakan kelanjutan kisah dari Trilogi Hujan Bulan Juni dengan tokoh
utama dan fokus yang berbeda. Jika Trilogi Hujan Bulan Juni berfokus pada karakter
Pingkan dan Sarwono, maka dalam novel ini fokus beralih pada karakter baru yang
pernah muncul dalam trilogi sebelumnya, yaitu Gendhis, Suryo, dan Noriko. Novel ini
mengisahkan tentang cinta segi banyak yang melibatkan masing-masing tokoh,
sehingga semuanya menjadi benang kusut yang tak kunjung terurai. Ketiga karakter
utama dalam novel ini memiliki dominasi yang sama, tak ada yang menjadi pusat dan
tak ada pula yang disisihkan.
Jika dilihat dari sinopsisnya, novel ini memiliki unsur surealis khas novel-novel Bapak
Sapardi yang lain. Kisah ini bermula dari tokoh Suryo yang mempertanyakan
eksistensi dari seorang juru dongeng. Tak jelas siapakah juru dongeng yang selalu
dibahas oleh masing-masing tokoh tersebut. Suryo sendiri percaya jika juru dongeng
merupakan sesuatu yang menjadi dalang dari setiap aspek kehidupan. Jika hidup ini
adalah sebuah novel, maka sesuatu yang mempengaruhi sang penulis untuk menulis
novel tersebut itulah yang disebut juru dongeng. Hal ini menimbulkan tanda tanya
besar dalam diri suryo. Bukannya terjawab, tanda tanya tersebut justru bertambah
besar saat seorang gadis jepang bernama Noriko keluar dari dalam laptopnya. Noriko
ternyata juga memiliki pertanyaan yang sama dengan Suryo. Ia berkelana dalam
laptop untuk meminta pertanggung jawaban kepada sang juru dongeng atas apa
yang telah menimpa dirinya di kampung halamannya. Bersama-sama mereka
mengurai benang kusut dalam hati, hingga pada akhirnya saling jatuh cinta.
Noriko sendiri sejujurnya masih mencintai lelaki Bernama Katsuo, yang kini hanya
tinggal kenangan. Meski begitu, Noriko malah selalu menyebut Suryo sebagai cinta
pertamanya. Novel ini juga mengisahkan tentang Gendhis, sepupu Suryo yang diam-
diam memendam cinta padanya. Kisah ini penuh dengan konflik batin yang dirasakan
tiap-tiap tokoh. Hal tersebut ditambah dengan keinginan Noriko dan Suryo untuk
mencari sang Juru dongeng yang membuat pembaca merasa bingung, namun juga
mengerti dengan apa yang dibicarakan di saat yang bersamaan.
Untuk orang yang terbiasa membaca novel penuh majas dan diksi puisi, novel ini bisa
menjadi pilihan yang menarik. Bahasa yang digunakan cenderung rumit khas seorang
penyair. Hal ini menambah gairah dalam membaca sebab memberikan efek
hiperbola. Pembagian peran yang sama rata juga merupakan keunggulan tersendiri
yang jarang ditemukan dalam novel-novel lain. Satu hal yang saya suka dari novel ini
adalah penggambaran tokohnya yang sangat manusiawi. Karakter akan menangis
dan bahagia dalam situasi yang tepat, sehingga tidak terkesan memaksa. Novel ini
juga memberikan gambaran hati manusia yang penuh gejolak dan konflik. Tidak ada
karakter yang benar-benar baik dan tidak ada pula karakter yang benar-benar jahat.
Tidak ada karakter yang berlaku salah dan tidak ada pula karakter yang berlaku
benar. Hal ini menjadikan saya merasa nyaman dalam membacanya.
Meski begitu, saya sendiri menemukan beberapa kekurangan. Salah satunya adalah
cukup sering ada adegan yang seharusnya tidak perlu ditulis sebab justru megganggu
perkembangan cerita. Contohnya adalah saat Suryo bertemu dengan perempuan lain
di kereta yang malah memberikan kesan canggung dalam membaca. Alur yang
lambat juga membuat saya seringkali bertanya-tanya tentang klimaks apa yang
tengah dicari dalam kisah hidup mereka. Namun hal ini mungkin adalah poin
tambahan, sebab manusia pada dasarnya juga butuh banyak waktu untuk sanggup
mencapai suatu klimaks dalam kehidupan. Novel ini mungkin akan cocok untuk para
penikmat slow burn.

Anda mungkin juga menyukai