Anda di halaman 1dari 9

Judul Buku 

: Selamat Tinggal
Penulis        : Tere Liye
Penerbit       : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit   : 2020
 
Selamat Tinggal, sebuah novel yang bercerita tentang pemuda yang bernama Sintong Tinggal,
seorang mahasiswa sastra Indonesia yang tak kunjung lulus kendati sudah enam tahun bercokol di
fakultas sastra. Kariernya meredup ketika cintanya kandas di tangan Mawar Terang Bintang, yang
membuatnya patah hati berkepanjangan hingga berdampak pada skripsinya yang akhirnya mandek
selama 2 tahun.
Sintong mulai menemukan dirinya kembali ketika ia menemukan sebuah buku yang di tulis oleh
Sutan Pane, penulis yang menghilang di era 1965, yang akhirnya ia jadikkan sebagai topik
skripsinya. Penelusuran jejak Sutan Pane, kenapa ia bisa menghilang dari nama-nama besar
penulis cemerlang tanah air, dan pencarian empat bukunya yang tidak diketahui keberadaannya
membangkitkan kembali jiwa penulis yang ada dalam diri Sintong.
Pertemuannya dengan mahasiswi ekonomi bernama Jess, yang diikuti oleh perasaan sukanya
terhadap gadis itu, yang kemudian dilanjutkan dengan pendekatan di hari-hari berikutnya membuat
Sintong dapat melupakan sejenak soal patah hati dan hubungannya dengan Mawar Terang Bintang
yang sudah kandas secara mengenaskan. Sintong melanjutkan kembali skripsinya yang tertunda,
dan menikmati euphoria kedekatannya dengan Jess.
Masalah muncul kembali ketika Mawar Terang Bintang kembali datang dalam hidupnya dan
membawa kabar yang tak pernah Sintong duga akan terjadi pada perempuan itu. Apa yang
menimpa Mawar membuat Sintong kembali dibenturkan dengan idealismenya dan kenyataan yang
ia hadapi sebagai penjaga toko buku bajakkan, serta seberapa besar kerugian yang ditanggung oleh
penulis dan pelaku penerbitan di luar sana karena bisnis yang dijalani oleh Pakliknya, dan dia turut
serta dalam bisnis itu selama enam tahun.
Kemampuan Tere Liye dalam membuat bangunan cerita, membawakan narasi, dan
keberhasilannya melibatkan pembaca dalam arus cerita yang ia buat mungkin sudah tak perlu
diperdebatkan lagi. Tere Liye adalah salah satu penulis kenamaan tanah air yang sudah punya
banyak jam terbang, sehingga kualitas tulisannyapun sudah tak perlu diragukan.
Pencarian Sintong akan penulis hebat yang menghilang ditahun 1965 betul-betul membuat para
pembaca penasaran. Dan rasa penasaran itulah yang mengikat para pembaca sampai ke halaman
terakhir. Gagasan yang dibawa Sutan Pane, keempat buku yang belum diketahui keberadaannya,
serta alasan mengapa ia berhenti menulis menjadi inti kekuatan dalam cerita ini. Konflik yang
dibawa dari tulisan-tulisan Sutan Pane juga mampu menghanyutkan pembaca pada sosok sang
penulis. Kita juga akan dibawa sejenak ke masa-masa lampau demi mengetahui kisah hidup Sutan
Pane dan tahun-tahun gemilangnya sebagai seorang penulis. Tere Liye mampu meracik itu semua
sehingga pembaca tidak merasa di kecewakan ketika menutup halaman terakhir dari buku ini.
Di dalam buku ini, Tere Liye menampilkan kualitas kepenulisan yang sama seperti buku-bukunya
sebelumnya. Sama sekali tidak ada masalah dengan hal itu. Sayangnnya, dalam buku ini, Tere Liye
seperti ingin meluapkan segenap kejengkelannya terhadap maraknya penyebaran dan penjualan
buku bajakkan di Indonesia, sehingga hal tersebut di singgung nyaris di segala kesempatan. Bukan
hanya menyoal buku bajakkan saja, tapi juga berbagai barang-barang palsu dan produk bajakkan
lainnya. Buku ini seperti di buat untuk menjadi tempat menumpahkan unek-unek penulisnya.
Alih-alih membangun tokoh-tokoh yang berdiri di alas berbeda dengan pikiran yang berbeda, Tere
Liye menempatkan nyaris semua tokoh dalam buku ini dalam satu garis yang sama, sehingga jika
menemukan topik yang sama di bahas lagi dan lagi, pembaca bisa di bikin jengkel karena terlalu
banyak narasi serupa yang bertebaran di sepanjang novel ini.
Sintong adalah penjaga toko buku bajakkan yang di miliki oleh Paklik dan Bulik-nya. Mawar Terang
Bintang ditangkap polisi karena menjual obat-obatan palsu. Jess memiliki keluarga yang juga
menjual barang-barang branded palsu. Orang tua Bunga adalah pemilik bisnis besar buku-buku
bajakkan. Adam, teman Sintong, memiliki bisnis streaming film ilegal.
Rasa-rasanya berbagai hal tersebut di buat dan ditampilkan satu sama lain demi mengusung satu
gagasan yang sama, yakni maraknya penjualan dan penyebaran barang-barang palsu dan karya-
karya kreatif yang dibajak. Setiap narasi yang di bangun Tere Liye, kentara benar kalau dia sangat
amat jengkel dengan semua hal itu.
Kalau saja Tere Liye bisa mengemas semua pembahasan itu dengan tidak begitu frontal, novel ini
bisa menjadi lebih elegan. Apa yang disampaikan penulis memang benar, tetapi menjejalkan semua
hal tersebut kedalam novel, dan menyinggungnya pada setiap kesempatan, bukanlah sesuatu yang
disenangi pembaca. Itu bukan hal yang salah, tetapi menjadi mengesalkan apabila terus menerus di
ulang-ulang, dalam waktu yang tidak tepat, pula.
Kemegahan yang Tere Liye sampaikan lewat penelusuran Sintong Tinggal akan seorang penulis
yang menghilang di tahun 1965 menjadi agak tersingkir karena perpaduan pembahasan yang tidak
dikemas dengan begitu apik. Jika saja permasalahan menghilangnya Sutan Pane dan kelima buku
yang telah ditulisnya dibuat dalam satu garis, novel ini boleh jadi lebih baik.
Ada banyak hal yang dapat saya pelajari dalam novel ini. Tentu saja, salah satunya, tidak
mengonsumsi barang-barang bajakan, apapun itu bentuknya. Baik itu berupa barang maupun karya-
karya kreatif. Saya bisa mengerti keresahan Tere Liye sebagai orang yang berkecimpung dalam
dunia kreatif, meskipun saya kurang setuju dengan bagaimana cara Tere Liye memaparkan semua
kekesalannya kedalam sebuah buku dan menjabarkannya dari A sampai Z.
Semangat yang dibawa oleh Sutan Pane juga turut serta saya bawa ketika menutup buku ini.
Bagaimana seseorang yang begitu getol dan idealis, tanpa takut dengan apapun juga, terus
melakukan sesuatu yang ia yakini kebenarannya.
Dan ya, selalu ada kesempatan untuk menjadi orang yang lebih baik. Seperti saya yang dulu
menikmati buku-buku bajakkan, seperti Sintong yang menjual buku-buku bajakan, seperti Mawar
Terang Bintang yang terjerumus dalam sindikat obat palsu hingga masuk penjara. Kita, saya, dan
kalian semua, berkesempatan menjadi orang yang lebih baik, dan akan menemukan jalan untuk
menjadi yang terbaik. Selalu ada kesempatan untuk berubah, bukan? Maka, mulailah perubahan itu
dari sekarang. Seperti saya yang akan berubah dari seseorang yang mengonsumsi barang-barang
dan karya-karya kreatif bajakan, mulai membayar dan membeli buku asli, berhenti dan tidak
mengonsumsi barang bajakan lagi.
 
Ni Komang Yuni Lestari
Juara I Lomba Resensi Buku dalam rangka Mitra Netra Year End Festival 2021
Tere Liye kembali menembus pasar buku fiksi dengan respon pembaca yang amat baik. Diterbitkan
oleh Gramedia Pustaka Utama pada September 2020 lalu, novel berjudul Selamat Tinggal saat ini
sudah diperbincangkan sebanyak hampir delapan ratus kali pada platform Goodreads dengan rating
rata-rata yang melampaui empat bintang. Penulis kelahiran Sumatera Selatan ini telah mengolah
360 halaman kosong menjadi refleksi pemikirannya yang termanifestasi pada satu fase kehidupan
tokoh berdarah Batak bernama Sintong Tinggal.
Secara garis besar, novel ini menceritakan tentang seorang mahasiswa abadi sebuah kampus besar
yang akrab dipanggil Sintong. Sebagai anak rantau, Sintong menyambung kuliah dengan menjaga
toko buku bajakan yang terletak di sebuah gang kecil dekat kampus. Meskipun ia terkesan hanya
sebagai “mas-mas toko buku bajakan”, ia sebetulnya adalah mahasiswa berbakat yang memiliki
pemikiran kritis dan keterampilan menulis opini yang tajam dalam mengkritik pemerintah dari sudut
pandang  yang “netral”. Dengan bakatnya yang cemerlang ini, menulis skripsi pun seharusnya
bukanlah hal yang sulit. Sayangnya, hal itu mustahil baginya yang tengah mengemban rasa kecewa
dan getir sejak mendapat kabar bahwa sang kekasih hati memilih untuk menikah dengan orang lain.
Panggilan Pak Dekan, kehadiran mahasiswi bernama Jess, dan penemuan naskah buku yang telah
lama hilang sukses membuatnya tergerak untuk perlahan mulai melanjutkan kehidupannya yang
seolah terhenti selama empat tahun. Namun, ketika ia sudah mulai membuka lembaran baru,
masalah lain muncul dari sisi moral terkait persoalan etis-tidak etisnya kerja paruh waktu yang
selama ini berjasa dalam menghidupi dirinya selama berkuliah; menjaga toko buku bajakan. Masih
dalam benang merah yang sama, ia pun harus kembali menghadapi persoalan dari masa lalunya
tentang Mawar Terang Bintang, kekasih yang akhirnya memilih orang lain, yang tengah
menunggunya di balik bui akibat jeratan transaksi obat-obatan palsu. Dari sini, matanya seolah baru
benar-benar terbuka lebar dalam melihat industri gelap yang selama ini menggerogoti nuraninya dan
masyarakat.
Hal paling menarik dari novel ini, selain tentang isu pelanggaran hak cipta,  adalah upaya pengarang
yang berusaha meninggalkan dominasi Jakarta-Bandung ala cerita-cerita fiksi populer. Hal ini
dilakukan pengarang dengan membuat tokoh protagonis yang berasal dari tanah Batak, Sumatera,
dan figur ikonik bernama Sutan Pane, sastrawan dan tokoh nasionalis revolusioner dalam bidang
literasi yang alkisah menghilang dari peradaban.
Dari sisi Sintong, sang protagonis, ia memiliki nama yang tidak umum, dan sepertinya hal ini dibuat
demikian secara intensional oleh pengarang lewat dialog para tokoh yang beberapa kali
mempertanyakan nama tersebut. Hal ini secara konsisten seperti mencoba mengarahkan pembaca
untuk melihat kejanggalan nama Sintong Tinggal sebagai sebuah perbedaan budaya yang lumrah
dan cukup disikapi dengan biasa-biasa saja. Sedangkan mengenai sosok Sutan Pane, ia
dimunculkan sebagai sebuah diskursus yang merujuk atau terinspirasi pada tokoh sastrawan
berdarah Batak bernama Sutan Pangurabaan Pane. Sosok ini merupakan tokoh sejarah penting
yang bergerak di bidang literasi dan perjuangan nasional, namun jarang diketahui orang.
Pengangkatan unsur Batak dalam cerita Selamat Tinggal dapat dibaca sebagai sebuah pengingat
pada masyarakat bahwa tokoh sejarah, sastrawan, dan intelektual tidak melulu orang ibukota
ataupun orang Jawa. Poin ini berkaitan erat dengan paradigma jawa sentris di Indonesia yang
secara historis pernah dikonstruksi di era Orde Baru. Sehingga, meskipun Indonesia dewasa ini
telah mengalami reformasi pemikiran dan sistem, tak dapat dipungkiri bahwa isu jawa sentris masih
menjadi masalah di masyarakat.
Di samping dari hal tersebut, novel ini memiliki kekuatan untuk menarik simpati masyarakat luas,
terutama generasi muda. Hal ini dapat dilihat dari pengambilan setting yang dekat dengan
kehidupan remaja SSMAatau lulusan SMA yang tengah asyik-asyiknya membayangkan situasi di
perguruan tinggi besar dengan fasilitas yang cukup memukau. Selain itu, tokoh-tokoh sentralnya
pun memiliki penokohan dan latar belakang yang khas anak muda. Kedua hal ini diramu dengan
rapi lewat gaya bahasa kasual, lugas, namun cukup luwes dengan diksi-diksi kekinian. Kekuatan
tersebut rasa-rasanya telah mampu menginfusi pembaca dengan renungan terkait posisi etis praktik
pembajakan atau pemalsuan yang dituangkan sebagai salah satu konflik cerita.
Berbicara tentang produk ilegal, novel ini mengangkat topik besar tersebut secara general lewat
pembagian dualitas nilai; baik-buruk. Meskipun secara normatif hal tersebut dapat dibenarkan, tetapi
secara kritis pembaca dibuat melupakan kondisi situasional antar kasus, misalnya antara
pembajakan karya yang menjadi akses literasi, dengan penipuan atau pemalsuan obat. Meskipun
sama-sama melanggar hukum, situasi pertama diilustrasikan penulis sebagai sebuah praktik
konsensual antara pembeli dan penjual yang keduanya sama-sama menghendaki barang tersebut.
Sedangkan, pemalsuan obat digambarkan sebagai sebuah praktik yang sifatnya penipuan, yang
berarti konsumennya sendiri bahkan tidak mengetahui barang apa yang sebetulnya ia beli.
Konsekuensinya, tujuan politis pengarang novel yang menyuratkan pembacanya untuk bergerak
meninggalkan produk bajakan jadi tidak memiliki relevansi dengan situasi-situasi yang sifatnya
penipuan, meskipun sekilas hal tersebut seolah menguatkan kesan bahwa industri bajakan adalah
praktik yang keji.
Selain itu, ilustrasi yang diberikan pengarang terkesan bias kelas dan terlampau reduksionis. Hal ini
terlihat dari preferensi pengarang yang memunculkan tokoh-tokoh  yang berasal dari kelas
menengah ke atas sebagai penikmat produk bajakan bermuatan literasi seperti buku, film, dan
musik, contohnya pada bagian awal cerita ketika Sintong dengan keras menyebut pembeli buku
bajakannya hanya “berlagak miskin” dan masih mampu hedon. Padahal di saat yang sama,
kenyataannya, memang sebagian pembeli barang bajakan, khususnya buku, juga berasal dari
kalangan masyarakat miskin. Tak jarang mahasiswa penerima bantuan bidikmisi yang harus terus
menerus berusaha bertahan hidup meski uang beasiswa sering terlambat cair dan di saat yang
bersamaan mereka masih harus mencicil buku bajakan. Atau misalnya mahasiswa tingkat akhir
yang memerlukan belasan judul jurnal ilmiah dan buku karangan terbaru yang belum bisa
didapatkan di perpustakaan kampus ataupun perpustakaan nasional. Sedang buku-buku terbitan
luar dan akses jurnal internasional harganya bisa setara satu bulan biaya kos.
Bias kelas dan simplifikasi masalah tersebut membuat polemik akses literasi universal untuk
masyarakat menjadi sebatas asli vs palsu dan good vs evil. Dilema besar ini sayangnya dibiarkan
menggantung dengan konflik cerita yang bercabang dan “sibuk sendiri-sendiri.” Kesan ini nampak
dari bagaimana tokoh Sintong harus fokus pada figur Sutan Pane dan skripsinya, pada kegiatan
sampingannya sebagai seorang kolumnis, pada cinta lamanya, dan pada dilemanya tentang
keterlibatannya di industri gelap ini tanpa benar-benar membawa keseluruhan konflik bermuara
pada satu ending yang saling menguatkan.
Padahal, tokoh Sintong yang punya pemikiran tajam dan kemampuan menulis yang cemerlang
memiliki potensi besar untuk menggiring kegelisahan batinnya menjadi sebuah tulisan brilian.
Tulisan ini dapat menyoroti permasalahan dari sisi kebijakan pemerintah, sikap masyarakat, maupun
penertiban. Sayangnya, Tere Liye terlihat lebih suka membuat mahasiswa itu berkutat pada
pengulangan kenangan masa lalu dan meletakkan masalah sistemis tersebut hanya sebagai konflik
batin protagonis yang dianggap selesai lewat kebohongan “half truth”. Walhasil, pembaca hanya
dibuat merenung habis-habisan tanpa harapan, solusi alternatif, ataupun kapasitas untuk melihat
masalah ini sebagai persoalan sistemis sebuah negara.
Secara pribadi, menurut saya masalah pelanggaran hak cipta memang menjadi hal yang
meresahkan di Indonesia. Selain karena berdampak langsung pada kesejahteraan pegiat-pegiat
kreatif yang pada dasarnya hanya menerima sebagian kecil dari karya yang mereka buat, kegiatan
ini menyisakan rasa berdosa dan berhutang pada diri saya sendiri setiap kali melakukannya.
Meskipun sudah sedikit demi sedikit “berhijrah” untuk mengakses produk-produk legal, khususnya
buku elektronik dan audio, film, dan musik, tidak dapat dipungkiri bahwa pada situasi-situasi
tertentu, mengakses karya bajakan tetap menjadi satu-satunya solusi yang paling masuk akal untuk
menyelesaikan sebuah masalah.
Situasi-situasi seperti ini umumnya saya temui dalam keperluan akademik. Selengkap apapun
perpustakaan kampus maupun perpustakaan milik negara, sebagian besar judul dan bahan yang
saya perlukan untuk referensi artikel ilmiah tetap tidak memadai. Terutama buku-buku berbahasa
asing dengan topik-topik lintas disiplin paling mutakhir. Andaikan pun ada, kendala saya sebagai
seorang tunanetra low vision berkebutuhan khusus adalah kesulitan dalam mengakses buku
berbentuk cetak. Di saat yang bersamaan, koleksi buku-buku perpustakaan tersebut secara umum
belum terdigitalisasi. Sehingga solusi yang saya ambil adalah mengunduh file buku digital dari situs-
situs ilegal untuk kemudian dibacakan oleh aplikasi pembaca buku.
Mungkin sebetulnya saya, kamu, dan kita semua, perlu sedikit bersabar untuk menunggu
perkembangan teknologi yang dapat menengahi masalah kebutuhan, kemampuan finansial, dan
akses yang legal. Sebuah teknologi yang melahirkan  platform-platform serupa rental. Memang saat
ini sudah tersedia berbagai platform berlangganan musik dan film dengan koleksi yang terbilang
sangat lengkap. Hanya saja, rasanya platform semacam itu belum ada untuk memfasilitasi akses
literatur. Situs non-profit yang belum lama ini muncul ke permukaan dunia maya seperti Internet
Archive adalah salah satu contoh media yang sangat potensial dalam hal ini. Tetapi jelas situs
tersebut masih membutuhkan waktu untuk penyempurnaan sistem dan akses yang ramah difabel.
Sebagai penutup, dapat dikatakan bahwa novel Selamat Tinggal ini merupakan novel dengan tajuk
perpisahan yang positif. Berbeda dengan perpisahan yang kerap dinarasikan sebagai ekspresi
kehilangan, kesedihan, kehampaan, dan hal-hal negatif lainnya, Selamat Tinggal karya Tere Liye ini
justru dihadirkan sebagai sebuah pintu untuk membuka lembaran baru yang lebih baik dan bermoral
sebagai seorang manusia.
 
Deanita Adharani
Juara II Lomba Resensi Buku dalam Rangka Mitra Netra Year End Festival 2021
Judul buku : Mimpi Sejuta Dolar

Penulis : Alberthiene Endah

ISBN : 978-979-22-7481-3

Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama

Tahun terbit : September 2011

Tempat terbit : Jakarta

Halaman Asli : 362

Halaman pada file epub : 227

Ukuran file : 326KB

B. Sinopsis
Berawal dari krisis moneter yang mengakibatkan kerusuhan di tahun 1998, semua warga negara
yang berdarah Tionghoa menjadi khawatir. Sebab tersiar berita bahwa mereka sangat rentan
diserang. Salah satunya dialami oleh Merry Riana dan keluarga. Dia yang baru lulus dari SMA,
berencana untuk melanjutkan pendidikkannya di universitas Trisakti. Kampus tersebut dipilihnya
karena merupakan kampus favorit keluarga. Ayahnya yang kini menjadi pengusaha, pernah
mengajar disana.
Di suatu malam, kedua orang tuanya menjelaskan bahwa situasi dan kondisi di Indonesia membuat
mereka khawatir sehingga mereka tidak bisa mengizinkan ia kuliah di Trisakti. Sebagai gantinya,
mereka menyarankan ia berkuliah di luar negeri. Nanyang Technological University dipilihkan
sebagai kampus tujuan. Sebuah kampus yang berada di Singapura. Orang Tua Merry Riana
memilihkannya karena kampus tersebut memiliki sistem kredit biaya pendidikkan. Pembayarannya
bisa dicicil setelah mahasiswa lulus dan berkerja.  Mendengar itu Merry Riana terkejut. Dia sangat
faham kondisi keluarga yang hidup sederhana. Bagaimana mereka bisa melunasi hutang biaya
pendidikkannya? Selain itu mereka tidak pernah mendiskusikan rencana kuliah di luar negeri.
Namun demi menenangkan hati orang tuanya, gadis itu dengan perasaan gentar menyetujui
keinginan mereka.
Di Singapura, Merry harus menerima kenyataan pahit. Disana dia menyadari bahwa bekal yang ia
miliki sangatlah minim. Dana yang dimiliki amat tipis dan kemamppuan berbahasa Inggris yang
terbatas. Kondisi itu menuntut ia lebih dewasa dan disiplin waktu. Sebuah kondisi yang bisa saja
membuat kita menyerah dalam menjalani hidup. Namun Merry tidak pernah melupakan pesan sang
ibu yang mengatakan bahwa ia harus menyerahkan segala urusan dan masalahnya pada Tuhan.
Pesan itulah yang selalu diingatnya dalam menjalani masa-masa sulit.
Meskipun mendapatkan pinjaman dari bank Singapura, uang tersebut tidak bisa mencukupi
kebutuhan Merry Riana. Biaya bulanan yang ia terima tidak seimbang dengan pengeluarannya.
Setiap bulan ia hanya mendapatkan 70$ Yang jika di rupiahkan sekitar RP700000. Nilai segitu
sangatlah sedikit karena ia harus membaginya untuk membeli buku kuliah yang harganya tidak
murah. Disisi lain biaya kehidupan di Singapura lebih mahal dari di Indonesia sehingga ia harus
memakan mi instann setiap hari. Dia tidak ingin meminta tambahan pada orang tuanya karena
khawatir akan membebani mereka. Gadis itu tahu bahwa keluarganya juga sedang menghadapi
masa sulit.
Nanyang technological University adalah salah satu kampus yang menerapkan standar
pembelajaran tinggi. Hampir setiap hari mahasiswa dihadapkan dengan tugas dan ujian. Dalam
kondisi seperti itu Merry Riana harus bisa menyisihkan waktunya untuk berkerja. Sebab jika hanya
mengandalkan uang yang ia pinjam, iya akan hidup serba kekurangan. Ditengah perjuangan, ia
menemukan seorang pria yang menjadi partner. Sama seperti Merry, lelaki itu juga memiliki
masalah finansial. Mereka selalu berbagi suka duka selama perkuliahan. Mereka sering kali terlibat
diskusi terutama untuk menentukan langkah yang akan mereka tempuh. Disaat Merry kehilangan
semangat, dia selalu berusaha membangkitkan kembali.
Mereka berhasil lulus sebagai second upper honours, satu tingkat dibawah cum laude. Kelulusan
tersebut tidak serta merta Membuat Merry lansung meraih kesuksesan. Dia dihadapkan oleh dua
pilihan ya itu menjadi kariawan atau berwira usaha. Ketika ia memutuskan untuk berwira usaha,
sang ibu menentangnya. Dia khawatir putrinya itu akan bernasib sama seperti ayahnya. Setelah
bernegosiasi cukup lama, ia bersedia memberikan kesembatan pada anak gadisnya untuk berwira
usaha dengan syarat jika Merry gagal, ia harus brsedia menjadi kariawan. Kesempatan itu
dimanfaatkan oleh Merry Riana dan partner dengan maksimal hingga akhirnya mereka meraih
kesuksesan bersama.

C. Hubungan antara pesan moral dan


pengalaman pribadi
Dalam buku Mimpi Sejuta Dolar, penulis menyelipkan beberapa pesan diantaranya: tidak semua
yang kita inginkan dapat tercapai, selalu libatkan Allah dalam setiap permasalahan dan urusan kita,
jangan minder dengan kekurangan yang dimiliki, jadikanlah kegagalan sebagai pembelajaran dan
masih banyak pesan-pesan lainnya. Pesan tersebut bermanfaat bagi peresensi karena kisahnya
sedikit mirip dengan pengalaman pribadi. Sama seperti tokoh Merry Riana, peresensi juga harus
menerima kenyataan tidak bisa kuliah di kampus yang diinginkan. Bahkan  jurusan yang peresensi
masukki sangat tidak terduga sehingga tidak memiliki persiapan kuliah disana.
Ketika mendaftar tes masuk perguruan tinggi, orang-orang terdekat memilihkan kampus dan jurusan
tujuan. Mereka tidak mempercayai peresensi untuk memilih sendiri dengan alasan difabel sehingga
tidak yakin peresensi bisa membilih keputusan yang tepat. Sebelum lulus SMA, mereka sibuk
membahas kampus dan jurusan apa yang ingin dipilih seolah lupa bahwa pilihan tersebut bukanlah
untuk mereka. Ada dua jurusan yang dipilih. Jurusan pertama peresensi setuju sedangkan pilihan
kedua tidak lantas berharap diterima dipilihan pertama.
Dihari pengumuman hasil tes, kepala dipenuhi dengan berbagai pertanyaan. Apakah diterima? Jika
Iya, prodi apa? Bagaimana jika diterima di pilihan kedua? Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Pertanyaan tersebut satu-persatu mulai terjawab. Berawal dari membaca pengumuman sampai di
mulainya proses perkuliahan. Pengumuman itu menyatakan bahwa peresensi diterima di sastra
Inggris. Sebuah keputusan yang bersifat mutlak.
Diawal proses perkuliahan, semuanya terasa seperti mendapatkan sebuah kejutan. Bahkan
suasananya bagaikan kuliah di luar negri atau kampus internasional. Disana peresensi menyadari
bahwa kemampuan berbahasa Inggris masih sangat terbatas sementara di perkuliahan sudah tidak
lagi diajarkan bahasa. Mereka yang masuk dianggap sudah mahir menguasai empat kemampuan
bahasa Inggris.
Perkuliahan semester pertama dipenuhi dengan berbagai masalah Seperti tidak bisa mengerti
penjelasan dosen, tidak memahami buku yang dibaca, sering terjadi salah faham dalam
berkomunikasi dan sebagainya. Hati diselimuti dengan beraneka rasa ada sedih, kecewa, minder
dan terkadang ingin marah pada mereka yang telah menyebabkan permasalahan itu terjadi.
Dikondisi itu mereka justru meninggalkan peresensi sendirian menghadapinya. Sempat terpikirkan
untuk mengikuti tes ulang ditahun depan, tapi mereka tidak setuju. Bagi mereka mengulang
semester pertama adalah sesuatu yang sia-sia karena waktu dan biaya sudah banyak terpakai.
Peresensi sangat bersyukur karena pada saat itu Allah mempertemukan dengan seseorang yang
sampai kini masih menjadi sahabat. Kepadanyalah segala keluh kesah tercurahkan. Dia selalu
memberi support, meminta peresensi untuk mengikhlaskan semua yang telah terjadi. Akhirnya
secara perlahan peresensi bisa menyesuaikan diri.
Kami berkuliah di fakultas yang sama, tapi berbeda prodi. Perbedaannya hanyalah dalam segi
bahasa. Hal itu yang menjadi salah satu alasan bertukar ilmu. Setiap hari kami bertukar hasil
terjemahan agar dapat saling mengoreksi. Darinya jugalah peresensi belajar banyak hal.
Setelah membaca novel tersebut, peresensi menjadi lebih bersyukur karena permasalahan yang
dialami tidak serumit Merry. Walau berkuliah seperti di universitas internasional, namun masih
berkuliah di Indonesia sehingga tidak kesulitan dalam berkomunikasi dengan teman dan lingkungan
luar kampus. Ada cukup banyak pembelajaran yang bisa diambil dalam kisah Merry karena
meskipun pengalaman peresensi telah berlalu, tapi kisah perkuliahan belum berakhir.

D. Kelebihan
1. Memiliki banyak pesan moral.
2. Menceritakan perjuangan seorang perempuan dalam menuntut ilmu.
3. Penempatan setting yang sangat detail.
4. Memuat kata-kata yang menginspirasi dan memotifasi.

E.  Kekurangan
1. Tidak dijelaskannya mengapa orang berdarah Tionghoa rentan di serang pada kerusuhan
14 Mei 1998.
2. Sebagian kata-kata sulit di mengerti dan tidak ada glosarium yang menjelaskan maksud dari
kata-kata tersebut.
3. Masih terdapat tipo seperti erat menjadi eras, satu persatu menjadi sate per situ, harus
menjadi hares, aku menjadi aim dan lain-lain.
4. Tidak dijelaskan mengapa Merry Riana dan orang tua memiliki darah Tionghoa. Didalam
buku hanya dijelaskan bahwa Ayah Merry berasal dari Cirebon dan Ibunya dari Bogor.
5. Terdapat pengulangan kata dan kalimat. Contohnya kata jauh lebih rimbun diulang dua kali
dan kalimat mengingatkan aku pada Universitas Indonesia.
6. Terdapat dua kata yang memiliki magna sama dalam satu kalimat. Contoh: teramat sangat
indah. Seharusnya penulis memilih salah satu diantara kata teramat atau sangat. Kalimat
tersebut juga bisa dihapus karena kondisi kampus yang sangat inddah sudah dijelaskan
pada kalimat sebelumnya.
7. Tidak ada penjelasan bagaimana Merry Riana menyesuaikan diri karena keterbatasan
kemampuan bahasa Inggris.

F.  Kesimpulan
Berawal dari krisis moneter yang mengakibatkan kerusuhan di tahun 1998, semua warga negara
yang berdarah Tionghoa menjadi khawatir. Sebab tersiar berita bahwa mereka sangat rentan
diserang. Salah satunya dialami oleh Merry Riana dan keluarga. Orang tua Merry terpaksa harus
memindahkan tujuan kuliah anaknya keluar negri. Merry yang awalnya tidak setuju, namun pada
akhirnya bisa memahami maksud kepindahan tersebut. Dia berangkat keluar negri dengan
persiapan yang serba terbatas.
Kisah Merry Riana sedikit Mirip dengan pengalaman pribadi peresensi. Kami sama-sama berada di
lingkungan yang menuntut kemampuan berbahasa Inggris dan tidak bisa berkuliah di tempat yang
diinginkan. Salah satu perbedaannya beliau kuliah diluar negri yang menuntut penggunaan bahasa
Inggris secara penuh, sementara peresensi masih di Indonesia sehingga untuk diluar perkuliahan
masih bisa menggunakan bahasa Indonesia. Hal itu tidak membuat langkahnya mundur. Begitupun
dengan peresensi, meski sempat merasa minder, tapi akhirnya bisa menyesuaikan.
Buku tersebut menginspirasi banyak orang. Kususnya kaum milenial. Kelebihan yang terdapat
disana adalah: memiliki banyak pesan moral, penempatan setting yang detail, menceritakan
perjuangan seorang perempuan dalam menuntut ilmu dan memuat kata-kata yang memotifasi dan
menginspirasi. Adapun kekurangan buku diantaranya: tidak dijelaskannya mengapa orang berdarah
Tionghoa rentan di serang pada kerusuhan 14 Mei 1998, sebagian kata-kata sulit dimengerti, masih
ditemukannya tipo dalam penulisan, tidak dijelaskan mengapa Merry Riana berdarah Tionghoa,
terdapat pengulangan kata dan kalimat, terdapat dua kata yang memiliki magna sama dalam satu
kalimat serta tidak ada penjelasan bagaimana Merry Riana menyesuaikan diri karena keterbatasan
kemampuan bahasa Inggris.
 
Nadia Maritza
Juara Favorit Lomba Resensi  Buku dalam rangka Mitra Netra Year End Festival 2021

Anda mungkin juga menyukai