Laporan Pembacaan Novel “Suti” karya Sapardi Djoko Damono
Persoalan dan Konflik
Dalam novel ini pokok persoalan yang diangkat adalah berkaitan dengan pandangan masyarakat pada masa itu terhadap keberadaan perempuan. Dalam pembacaan saya akan novel “Suti” ini, saya mendapati beberapa konflik yang terdapat didalamnya. Konflik tersebut antara lain konflik batin tokoh, konflik antar individu tokoh, dan konflik dengan masyarakat. Konflik batin yang terdapat dalam novel “Suti” karya Sapardi Djoko Damono dirasakan oleh tokoh Suti, Dewo, Kunto dan Bu Sastro. Konflik batin yang dialami oleh tokoh Suti di saat ia membayangkan tokoh Kunto yang selalu membayanginya, hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut. Suti merasa tidak tahu apa yang ia rasakannya. Ia belum bisa menjelaskan sesuatu yang tersimpan rapi di sebuah pojok otaknya yang isinya adalah bayang-bayang Kunto. Hanya suara-suara dan warna-warna yang muncul kalau ia bersama pemuda itu. ..................Pojok otaknya yang sebelah lagi kini dihuni pertanyaan yang lebih musykil lagi, kenapa bu Sastro menyebut nyebut Mbah Parmin? (Suti, 61-62). Dalam kutipan tersebut, terdapat konflik internal yang dialami oleh tokoh Suti. Ia merasa bingung dengan pemikirannya sendiri karena selalu dipenuhi oleh bayangan Kunto, yang merupakan sosok yang sangat didambakannya. Di sisi lain, ia juga merasa kebingungan dengan ucapan Bu Sastro yang selalu menyebut nama Mbah Parmin, yang merupakan sesepuh yang sudah meninggal dan dimakamkan di dekat rumah Bu Sastro. Lalu konflik antar individu terjadi antara Dewo dengan Pak Sastro pada kutipan berikut. Pernah suatu hari Pak Sastro marah besar, membanting gelas sampai berkeping-keping, Dewo menjawabnya dengan melempar gelas juga ke pintu lebih berkeping-keping. Bu Sastro pun muncul dan langsung menangis tidak tahu harus berbuat apa. (Suti, 44). Pada kutipan tersebut terjadi pertentangan antara Pak Sastro dengan Dewo yang disebabkan oleh sikap keras dan membangkang dari Dewo. Akibatnya, Pak Sastro menjadi sangat marah dan merusak beberapa peralatan rumah tangga seperti piring. Meskipun begitu, Pak Sastro berhasil mengakhiri pertikaian tersebut dengan meninggalkan Dewo, untuk mencegah terjadinya konflik yang lebih besar. Lalu konflik dengan masyarakat yang terlihat pada kutipan berikut. Dibangunkan Suti dari tidur siang, Sastro agak sempoyongan masuk ke kamar tamu. Belum sempat ia menyambut tamunya dengan basa-basi, salah seorang di antara mereka langsung saja mendekati Pak Sastro dan melayangkan tinju. Priyai setengah baya itu terpental membentur dinding kamar, langsung disambut oleh tamu lagi dengan tendangan di perutnya. Dan lagi. Dan lagi. Lengkap sudah upacara singkat itu. Dan sebelum mereka pergi meninggalkan adegan kekerasan itu salah seorang beberapa kali berteriak , “Mentang-mentang!” (Suti,77-78). Dalam kutipan tersebut, Pak Sastro mengalami konflik dengan masyarakat yang ditunjukkan oleh serangan yang ia terima di kamar tamu oleh beberapa orang yang tidak dikenal. Serangan tersebut mengakibatkan Pak Sastro mendapatkan kekerasan fisik berupa pukulan dan tendangan yang berulang- ulang. Meskipun dalam konflik ini, Pak Sastro tidak melakukan perlawanan sehingga terlihat ada ketidakseimbangan dalam keadaan tersebut. Sudut Pandang Setelah saya mencermati novel ini dengan baik, sudut pandang atau point of view yang digunakan oleh penulis adalah sudut pandang orang ketiga serbatahu. Ini merupakan jenis sudut pandang orang ketiga dimana penulis seperti Tuhan dalam karyanya yang mengetahui segala hal tentang semua tokoh, peristiwa, tindakan, hingga motif tindakan tersebut. Sapardi Djoko Damono menggunakan sudut pandang pihak ketiga dalam novel Suti yang memainkan peran penting dalam mengembangkan cerita. Hal ini membuat penulis seolah-olah menjadi bagian dari inti cerita dan terlibat dalam proses cerita. Oleh karena itu, membaca novel Suti akan memberikan pengalaman seolah-olah membaca kisah kehidupan nyata dari Sapardi Djoko Damono. Dalam novel ini, kehidupan keluarga Pak Sastro digambarkan dengan cara yang menggambarkan kehidupan Sapardi Djoko Damono sendiri secara tidak langsung. Alur cerita Suti juga mengikuti tiga tahapan, yaitu pengenalan tokoh-tokoh, munculnya konflik, dan penyelesaian. Alur Novel “Suti” karya Sapardi Djoko Damono ini memiliki alur yang jelas dan maju secara bertahap. Terdapat tiga tahap dalam alur cerita, yaitu tahap awal yang berfungsi untuk memperkenalkan tokoh-tokoh dalam cerita, kemudian pada tahap kedua terdapat konflik antar tokoh yang terjadi dan menjadi semakin kompleks, dan pada tahap ketiga terdapat penyelesaian dimana para tokoh mulai menemukan cara untuk mengatasi masalah dan konflik yang terjadi. Dengan demikian, alur dalam novel Suti terdiri dari tiga tahapan yang saling berkaitan dan memperlihatkan perkembangan cerita secara progresif. Setting dan Warna Lokal Terdapat tiga elemen setting yang menjadi bagian penting dari novel ini, yaitu lokasi atau setting tempat, waktu, dan juga aspek sosial budaya. Dalam hal setting tempat, terdapat beberapa lokasi yang menjadi setting dalam novel Suti. Salah satu lokasi utamanya adalah Desa Tungkal, sebuah desa yang terletak di pinggiran Kota Solo. Desa Tungkal menjadi lokasi utama yang menjadi setting dalam novel Suti. Setting tempat kedua adalah Jakarta, tempat Pak Sastro mengadu nasib. Setting tempat ketiga adalah Yogyakarta dan Bandung. Lalu setting tempat yang keempat adalah Surabaya, yang menjadi tempat Kunto mengadakan pesta pernikahan dengan Sarah. Untuk setting waktu, novel ini berlatar tahun 1960an. Setting budaya pada novel ini terletak pada Desa Tungkal. Dalam masyarakat Desa Tungkal, masih ada kebiasaan mistik yang terkait dengan tradisi budaya, yaitu keyakinan pada makam atau kuburan sebagai tempat yang memiliki kekuatan atau dapat menjadi penghubung dengan kekuatan yang lebih tinggi. Dalam cerita ini, Mbah Parmin digambarkan sebagai sosok yang dimakamkan di tempat keramat, yang sering dikunjungi oleh masyarakat kota untuk berziarah dan mencari berkah. Hal ini merupakan contoh dari kepercayaan bahwa makam dapat menjadi perantara untuk memenuhi kebutuhan manusia. Dan dari gambaran budaya tersebut menjadi warna lokal dalam novel ini. Tema dan Amanat Novel Suti membahas tentang perubahan sosial yang terjadi di masyarakat Solo dari kalangan bawah yang diwakili oleh tokoh Suti, dan kehidupan keluarga priyayi mantan abdi dalem keraton Surakarta yang pindah ke daerah pinggiran di Desa Tungkal yang diwakili oleh Pak Sastro dan Bu Sastro. Sapardi Djoko Damono menyatakan bahwa tema utama dalam novel Suti adalah perubahan sosial masyarakat dari pra-modern ke era modern yang terjadi dari sebuah kampung pinggir kota (Desa Tungkal) menuju pusat kota (Solo, Jakarta, Bandung). Alur cerita dalam novel Suti membawa pembaca melalui tiga tahapan, yaitu pengenalan tokoh-tokohnya, munculnya konflik antara tokoh-tokohnya, dan penyelesaian masalah yang dihadapi oleh tokoh-tokohnya. Dalam novel ini, pesan yang ingin disampaikan oleh penulis belum tersampaikan dan masih tersirat. Setelah saya coba telaah, saya mengalami kesulitan dalam menentukan pesan atau amanat yang dapat diambil dalam novel “Suti” karya Sapardi Djoko Damono ini. Keberadaan Wanita Dalam novel Suti karya SDD, terdapat ketidaksetaraan dalam konstruksi tokoh perempuan. Meskipun mereka tinggal dalam satu desa, tetapi mereka tidak dapat melebur menjadi sosok perempuan yang seragam karena adanya perbedaan kelas sosial, pendidikan, status perkawinan, usia, dan kecenderungan seksual yang berbeda. Mereka hanya menjadi pengisi ruang belaka, seperti selimut perca. Bu Sastro, yang merupakan tokoh perempuan dengan kelas sosial yang lebih tinggi daripada Suti dan Tomblok, memiliki kuasa untuk melakukan opresi. Meskipun Suti diperlakukan lebih istimewa daripada Tomblok, tetapi Bu Sastro tidak bisa meleburkan diri bersama Suti. Keberadaan perempuan-perempuan tersebut dalam satu desa yang sama dengan latar belakang yang berbeda dimaknai sebagai keberagaman yang saling mengisi, tetapi tidak bisa melebur menjadi sosok perempuan yang seragam. Penilaian Dari Novel ini hal menarik yang saya temukan adalah perjalan tokoh perempuan dalam novel ini yang dengan tegar menjalani kehidupan ditengah berisiknya dunia akan pandangan perempuan pada masa itu. Selain itu, hal yang menarik dari buku ini adalah terdapat perjalanan kisah cinta antara tokoh perempuan dan tokoh laki-laki yang pada akhirnya tidak dapat bersama. Selebihnya, cerita dalam novel ini menarik dan memiliki alur yang mudah dipahami. Kelebihan novel ini terletak pada bahasa yang digunakan ringan, sehingga mudah dipahami. Selain itu juga terdapat daftar arti istilah bahasa jawa, sehingga memudahkan pembaca yang tidak mengerti bahasa jawa (percakapan dalam novel ini banyak menggunakan bahasa jawa). Kelebihan lainnya yaitu setting tempat dan budaya yang menarik sehingga membuat pembaca seolah-olah berada di lokasi yang diceritakan. Jika saya diminta untuk menganalisis unsur ekstrinsik dalam novel ini, saya akan mengangkat permasalahan terkait pandangan orang-orang terhadap perempuan dalam novel “Suti” ini.