Sinopsis
“Kepada mereka yang dihilangkan dan tetap hidup selamanya” kutipan kalimat
yang mengawali perjalanan kisah dalam novel ini. Laut Bercerita merupakan
novel fiksi karya Leila S. Chudori yang diangkat berdasarkan kisah nyata tragedi
98, yang bercerita tentang masa orde baru dimana terjadi penghilangan secara
paksa 13 aktivis dari Univesitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Tokoh bernama Laut dan beberapa teman lainnya yang masuk dalam organisasi
Wirasena ditangakap oleh intel. Para aktivis ini menentang pemerintah yang
berlandaskan keinginan mereka untuk mengubah negara yang otoriter, korupsi,
nepotisme, serta hanya dikendalikan oleh orang-orang yang memegang kuasa
membuat tindakan mereka dianggap sebagai PKI yang mengancam keselamatan
presiden.Penyiksaan demi penyiksaan yang mereka dapatkan selama disekap di
ruang bawah tanah oleh para intel, mulai dari siksaan pukulan, tendangan,
disetrum berkali-kali, siksaan semut rangrang, hingga tidur di atas balok es agar
mau membuka mulut dan memberikan kesaksian.Setelah disiksa berhari-hari satu
persatu dari mereka digiring menuju permakaman masing-masing lalu tenggelam
bersama cerita yang misteri dibalut dengan sebuah pengkhiatan berujung
meninggalkan keluarga, sahabat, dan kekasih yang mencari kejelasan akan
keberadaan mereka.
Analisis Buku
Buku ini terdiri dari dua bagian, bagian pertama berjudul “Biru Laut” yang
mengambil sudut pandang Laut sebagai seorang mahasiswa Fakultas Sastra
Inggris Universitas Gajah Mada yang gemar membaca buku-buku terlarang dan
kerap menggandakannya di kios Mas Yunus menjadi awal dari pertemuannya
dengan Kasih Kinanti atau sering dipanggil sebagai Kinan seorang aktivis wanita
yang memiliki sikap sangat dewasa dan menjadi penentu akhir keputusan dalam
organisasi yang menaungi mereka, selain itu kinan jugalah yang menjadi jembatan
bagi Laut untuk berkenalan dengan Arifin Bramntyo, senior aktivis Wirasena
yang merupakan induk Winatra.
Aksi yang mereka lakukan untuk melawan pemerintah adalah aksi Tanam
Jagung di Blangguan, tahun 1993. Walaupun posisi mereka kini menjadi buronan
intel, tidak menjadi alasan bagi mereka untuk tidak melanjutkan aksi
ini.Sesampainya di Blangguan mereka berkumpul di rumah Pak Subroto,tokoh
yang dihormati di Blangguan, untuk merancang rencana perlawanan
tersebut.Setelah pelarian dan persembunyian dari satu rumah ke rumah lain,
kenyataan memukul mundur aksi ini, mereka terpaksa menarik diri dari
Blangguan. Kinan memutuskan untuk menyampaikan orasi mereka secara
langsung kepada pihak DPRD Jawa Timur.Lalu mereka berpencar, ada yang
ditugaskan ke Pacet dan ada yang pergi ke Yogyakrta.
Tak habis-habisnya ujian mereka, beberapa hari setelah Sunu ditangkap oleh
intel, kini tiba giliran Laut, Alex, dan Daniel yang digiring ke markas tentara
untuk diinterogsi tentang keberadaan Kasih Kinanti dan siapa yang menjadi
dalang yang membiayai aksi mereka. Penangkapan Laut dan teman-temannya ini
terjadi pada tanggal 13 Maret 1998 dan menjadi awal dari segala penyiksaan
terhadap mereka, setelah beberapa hari berada di ruangan atas markas Laut, Alex,
dan Daniel dibawa ke markas bawah tanah dimana tempat ini jugalah yang
menjadi tempat penyekapan Sunu dan beberapa aktivis lainnya. Satu persatu
mereka dikeluarkan dari ruangan tanpa cahaya itu untuk diintrogasi, hingga tiba
saatnya Laut untuk mendapatkan giliran penyikasaan intrograsi di atas balok es, di
sini ia mendapati suatu kenyataaan pahit yang menusuk hatinya, Gusti, sahabat
yang selama ini menjadi bagian dari setiap strategi yang mereka rencanakan
ternyata seorang pengkhianat yang menjerumuskan teman-temannya pada
penyiksaan yang berakhir dengan penantian orang tua, saudara, dan kekasih yang
kehilangan arah mencari keberadaan makam keluarganya yang hilang dalam
tragedi itu, sahabat yang kembali pulang pun membawa luka yang membekas di
hati mereka, kehilangan sahabat yang mereka sayangi dan menelan pahitnya
kenyataan tentang keadilan negara yang tidak berpihak pada mereka.
Bagian kedua dari buku ini berjudul “Asmara Jati” seperti judulnya, pada
bagian ini menarik sudut pandang seorang Mara yang merupakan adik kandung
dari Biru Laut dengan latar waktu tahun 2000-an, yang mengisahkan bagaimana
suasana haru keluarga korban penghilangan secara paksa 13 aktivis. Selama
bertahun-tahun mereka tidak mendapatkan kejelasan tentang keberadaan
anak,saudara, kekasih, dan sahabat. Pada kamis keempat awal tahun 2007, mereka
berdiri di depan Istana Merdeka menyampaikan orasi dengan berpakaian serba
hitam dan tanpa bersuara sebagai tanda tuntutan kepada pemerintah mengenai
nasib keberadaaan keluarga mereka yang hilang selama ini.
Keunggulan Buku
Novel karya Leila S. Chudori ini memperlihatkan kepada pembacanya bahwa
terdapat sesuatu yang bisa dibilang ‘tidak biasa’ di dalam novel ini. Terbukti
dengan diperolehnya predikat novel dengan genre historical fiction terbaik pada
tahun 2020. Penggambaran karakter pada setiap tokohnya membawa kita masuk
dalam alur yang dibangun penulis. Terutama pada karakter Biru Laut yang disiksa
secara keji oleh para intel membuat pembaca seperti dapat merasakan pedihnya
siksaan itu. Setiap puisi di dalam novel ini memiliki arti yang sangat mendalam
yang dapat menambah nilai plus dari novel ini yang membuka wawasan kita
dalam dunia kesusatraan. Rasa sedih, kecewa, dan marah yang disajikan di
dalamnya bercampur aduk membentuk suatu pompa yang menguras air mata
pembaca.
Kelemahan Buku
Dibalik keindahaan novel ini, terdapat alur cerita maju mundur yang menurut
saya menjadi salah satu kelemahannya, alur maju mundur dapat membuat
sebagian penikmat karya tulis ini bingung atau jenuh membaca setiap paragraf
yang disuguhkan, selain itu masih terdapat kesalahan penulisan yang tidak sesuai
dengan EYD, seperti kesalahan dalam menggunakan konjungsi dan pemilihan
kata yang tidak baku.
Kesimpulan
Novel fiksi Laut Bercerita ini menorehkan rasa nyata dalam perjuangan yang
dilakukan oleh Laut dan teman-temannya. Setiap perjuangan dan langkah yang
mereka ambil merupakan suatu kontribusi pada negara ini di masa depan.
Penutup
Setelah membaca buku ini, saya lebih merasa bersyukur karna diberikan
kesempatan untuk hidup di masa yang memiliki akses mudah untuk menyuarakan
pendapat walaupun tak sepenuhnya lapang dalam menyampaikan aspirasi
setidaknya Indonesia hari ini lebih demokratis. Selain itu, dari sudut pandang saya
novel ini seakan-akan mengajarkan bahwa kita tidak seharusnya terus menerus
terjebak dalam tikaian masa lalu, kembali bangkit walaupun harapan kecil seperti
bait puisi yang terdapat di dalam novel ini “Matilah engkau mati, Kau akan
terlahir berkali-kali”.