Anda di halaman 1dari 8

Menyelami Kelamnya Cerita Laut Sejarah Indonesia di Era Orde Baru

Oleh:

Riri Aisyah Andini (180110180057)

Sebastian Arandano Madanie (!80110180050)

Aulia Rizky Fathya (180110180021)

Kurnia Ramadhan (180110180049)

Ahmad Subagja (180110180009)

Jailani Kahfi (180110180079)

Begies

Apa itu “Laut Bercerita”?

Laut Bercerita. Apa yang kalian pikirkan ketika mendengar dua kata tersebut? Laut yang
bisa bicara? Deburan laut yang kadang lembut kadang kencang seakan seperti sedang berujar?
Makhluk hidup di dalam laut yang saling bercengkrama, mencurahkan kisah hidup mereka? Atau
seseorang bernama Laut yang sedang bercerita? Mungkin, dua pilihan terakhir—ketiga dan
keempat—bisa menjadi benar, hanya saja di pilihan ketiga, makhluk hidup yang dimaksud
tersebut sedang dalam proses menuju mati, seseorang bernama Laut yang sedang tenggelam
menuju akhirat mencoba menyampaikan cerita hidupnya dan kebenaran kepada adiknya,
Asmara, kepada negara, kepada sejarah, dan kepada dunia.

Begitulah gambaran awal mengenai salah satu novel karya Leila Salikha Chudori yang
berjudul Laut Bercerita. Perempuan yang lahir di Jakarta pada 12 Desember 1962 ini adalah
seorang penulis cerpen, novel, dan naskah skenario film yang juga seorang jurnalis di TEMPO.
Sekarang, Leila mengisi beberapa situs podcast yang membahas tentang kehidupan, karya seni,
dan karya sastra. Melalui karya-karya yang pernah dibacanya seperti karya-karya dari D. H.
Lawrence, seorang pengarang Inggris yang memperjuangkan kebebasan mutlak nurani manusia;
ayahnya, Mohammad Chudori yang juga seorang wartawan; pekerjaannya sebagai jurnalis
akhirnya membuat Leila menjadi sosok yang begitu kritis apalagi jika sudah menyangkut
kehidupan akan kejujuran, keyakinan, prinsip, tekad, dan kemanusiaan. Leila banyak mengulik
dan mewawancarai langsung saksi-saksi sejarah khususnya Indonesia—karena baginya (melalui
ucapan ayahnya) ada alasan mengapa ia dan kita semua dilahirkan di Indonesia—yang membuat
tulisan-tulisannya, entah itu esai, jurnal, artikel, cerpen, atau novel yang mengangkat tema
sejarah Indonesia terasa begitu nyata dan dekat dengan kehidupan. Leila mencoba mendobrak
ketidaktahuan masyarakat awam mengenai sejarah negaranya yang tersembunyi di balik skenario
rezim melalui tulisan-tulisannya. Ia mencoba mengulik dan mengatakan kebenaran sejarah yang
tidak diajarkan di sekolah-sekolah.

Berdasarkan Kisah Nyata

Melalui wawancara Leila dengan salah satu wartawan di The Jakarta Post yang juga saksi
hidup sejarah kelam Indonesia pada zaman Orde Baru, Nezar Patria, buku novel Laut Bercerita
ini dibuat. Tokoh “Laut” dibuat berdasarkan Nezar sendiri yang pada zaman Orde Baru adalah
seorang mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus aktivis
menyerukan suara mahasiswa dan masyarakat yang sudah mulai gerah dengan rezim Sang
Jendral yang memerintah Indonesia selama 32 tahun. Ia tergabung dalam Solidaritas Mahasiswa
Indonesia (SMID) sebagai Sekretaris Umum. Nezar bersama teman-temannya di SMID berjuang
melawan kediktatoran Orba melalui tulisan, rapat-rapat, konferensi, dan aksi di jalan. Kegiatan-
kegiatan ini memicu “gerah” dari pihak pemerintah sehingga mulai ada banyak larangan untuk
berorganisasi terutama organisasi yang dinilai radikal bagi pemerintah. Mulai banyak gerakan
tersembunyi dari intel yang diselundupkan pemerintah ke dalam organisasi-organisasi
kemahasiswaan sehingga menimbulkan banyak kecurigaan dan sindiran “bahkan tembok dan
pohon pun punya telinga.”. Semua hal ini menyebabkan para aktivis yang sudah masuk ke dalam
catatan merah pemerintah begitu dicari dan membuat mereka harus bersembunyi, menggunakan
identitas samaran, dan berpindah-pindah tempat.

Menurut sebuah surat Kesaksian Nezar Patria melalui Partai Rakyat Demokratik (PRD),
pada 13 Maret 1998, Nezar bersama tiga kawannya; Mugiyanto, Bimo Petrus, dan Aan
Rusdianto “diculik” di Rumah Susun Klender yang baru mereka tempati. Empat orang bertubuh
tegap dan menggunakan penutup kepala menangkap mereka dan membawa mereka ke dalam
mobil Jip. Kemudian, Nezar dibawa ke dalam satu ruangan introgasi, ditanyai banyak hal. Ia
disiksa dengan berbagai cara jika tidak menjawab. Dipukul, disetrum, ditendang, digantung,
dipaksa tidur di atas es balok, disilet, dan masih banyak lagi cara menyiksa hingga yang tidak
manusiawi. Ketika mereka dibawa ke Polda Metro Jaya, mereka dimasukkan ke dalam sel isolasi
(1 sel 1 orang) dan menjalani kurungan selama kurang lebih tiga bulan. Selama dalam tahanan
Polda Metro Jaya, mereka sempat dipanggil oleh tiga orang perwira dari Paspom ABRI yang
menanyakan proses penangkapan kami oleh orang-orang tak dikenal itu.

Kisah yang dituturkan Nezar ini membuatnya diundang untuk diwawancara oeh berbagai
media, termasuk oleh sebuah akun YouTube “Menjadi Manusia” dan Leila S. Choduri yang
mewawancari Nezar dan memintanya menulis kisahnya yang ternyata cukup membuat Leila
tertarik untuk mengembangkannya menjadi sebuah novel. Lahirnya tokoh bernama Biru Laut
Wibisana yang didasarkan pada Nezar sendiri.

Adaptasi

Novel Laut Bercerita dibagi ke dalam dua bagian atau dua sudut pandang. Yang pertama
adalah sudut pandang Biru Laut Wibisana, seorang mahasiswa semester tiga jurusan Sastra
Inggris di Universitas Gadjah Mada. Ia bergabung ke dalam sebuah organisasi aktivis mahasiswa
bernama Wirasena. Kegiatannya di Wirasena sebagai aktivis yang memprotes kediktatoran Orba
terutama melalui aksi membuatnya dan teman-temannya masuk ke dalam daftar merah
pemerintah. Mereka diburu intel sehingga harus menggunakan identitas palsu dan berpindah-
pindah tempat. Berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun tidak pulang ke rumah. Sampai akhirnya,
Laut dan kawan-kawannya, Alex, Sunu, dan Daniel yang baru tinggal di rumah susun, “diculik”
oleh tiga orang yang menggunakan penutup wajah berwarna hitam; seibo. Mereka dibawa ke
suatu tempat, diintrogasi, disiksa, ditempati di sel isolasi selama berbulan-bulan. Satu persatu
teman-teman Laut yang ditempatkan di ruang penjara yang sama (hanya berbeda kamar sebab sel
isolasi) dibawa keluar dan tidak pernah kembali. Laut tidak pernah tahu apa yang terjadi dengan
mereka, apakah mereka dipulangkan kembali ke masyarakat atau justru “dihilangkan” alias
dieksekusi mati. Laut juga mendapat giliran keluar dari ruang penjara, ia dibawa ke sebuah pulau
yang sangat sepi dengan wajah tertutup kain hitam. Di pulau itu, Laut yang masih diborgol
tangannya, dilututkan paksa di pinggir tebing, kemudian ditendang punggungnya, jatuh menyatu
dengan dirinya, laut. Laut mati.
Sudut pandang kedua dari adik Laut yang bernama Asmara Jati Wibisana. Mara adalah
seorang mahasiswi kedokteran di Universitas Indonesia. Pada masa-masa baik, Mara dan Laut
bersama kedua orang tuanya selalu melakukan ritual mingguan: masak bersama. Kegiatan yang
ditunggu-tunggu tiap minggunya karena begitu mengeratkan mereka di antara banyaknya
perbedaan di bidang yang mereka tekuni. Ibu memasak dibantu Laut, Bapak mengolah bumbu
bersama Mara. Kemudian, Laut dan Mara menata piring untuk empat orang, menghidangkan
masakan yang mereka masak bersama, biasanya berupa tengleng, kesukaan sekeluarga. Sembari
menikmati hidangan, mereka akan mengobrol banyak hal, berbagi cerita. Namun, ritual
mingguan ini harus hilang kehangatannya, sebab Laut yang sudah tak bisa pulang karena diburu
intel. Mara yang juga sudah lulus kuliah membuatnya jarang di rumah. Ibu dan Bapak tetap
melakukan ritual mingguan itu, mengundang Mara dan Anjani, kekasih Laut. Mara terpaksa
datang, harus mengikuti skenario yang diulang-ulang, memasak makanan kesukaan Laut,
menyusun lima piring untuk Ibu, Bapak, Mara, Anjani, dan Laut. Ketika isu aktivis yang
dihilangkan beredar, Ibu dan Bapak begitu terpukul, Bapak menjadi sakit-sakitan dan Ibu
menangis terus, tetapi mereka tak pernah berhenti melakukan ritual mingguan itu, tetap dengan
menyusun piring untuk Laut padahal mereka semua tahu, Laut tidak akan pulang lagi, tidak
seperti Alex yang kembali pulang ke Flores. Tak hanya keluarga Laut yang tidak mampu
merelakan dan menerima bahwa putranya tidak akan kembali, tetapi keluarga Sunu juga begitu.
Ibu Sunu yang seorang pembatik bersaksi bahwa ada yang menyelesaikan batiknya dengan
menggambar kupu-kupu—yang mana hanya bisa digambar oleh Sunu, padahal Sunu juga
“hilang”, tidak pernah kembali ke masyarakat apalagi ke rumah. Anjani juga tidak bisa
merelakan kenyataan bahwa kekasihnya tidak akan kembali, ia yang semula adalah perempuan
cantik dan bersih, semenjak hilangnya Laut menjadi perempuan yang berantakan dan lupa
merawat diri, kurus kering, kuku-kukunya hitam seakan tidak pernah dibersihkan. Asmara
berada di antara orang-orang yang tidak mampu keluar dari memori mereka bersama orang-
orang tersayang yang hilang. Asmara sudah berusaha menyadarkan mereka, sembari mencari
orang-orang yang hilang dengan mengikuti berbagai macam organisasi pencarian orang hilang
dan HAM, namun mereka seakan memang tidak mau keluar karena takut menghadapi kenyataan.

Cerminan di Kehidupan Nyata


Kisah mahasiswa aktivis yang diculik dan dihilangkan ini adalah sebuah coretan kelam di
dalam sejarah Indonesia. Betapa pemerintahan yang penuh dengan kediktatoran dan KKN
(Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) dapat membuat stigma yang begitu menakutkan bagi berbagai
lapisan masyarakat. Dengan segala peraturan yang membawa embel-embel ketertiban bernegara
namun tidak masuk akal, hingga banyaknya sejarah dan pemberitaan yang simpang siur
kebenarannya tentu membuat banyak pihak oposisi yang bangkit dan melawan. Munculah
gerakan-gerakan aksi protes, demo, tulisan-tulisam, rapat, dan banyak jenis perlawan yang
dilakukan. Perlawan-perlawanan ini membuat pihak pemerintah marah dan melakukan
“perburuan” bagi para oposisi yang masuk ke dalam daftar merah bahkan hitam mereka yang
membuat para target tersebut harus bersembunyi bahkan menggunakan identitas palsu.
Organisasi-organisasi mereka diselundupkan intel-intel yang menyamar, menjadikan mereka
curiga satu sama lain, khawatir ada pengkhianat. Ketika mereka tertangkap, nasib mereka ada di
tangan para “orang-orang tidak dikenal” yang menyulik mereka. Entah itu berarti disiksa lalu
dilepas kembali ke masyarakat, atau disiksa lalu “dihilangkan”.

Kronologi ini digunakan dalam novel Laut Bercerita. Bagaimana kegiatan organisasi
aktivis berkegiatan. Laut yang seorang mahasiswa sekaligus aktivis yang ikut tertangkap dan
dihilangkan bersama teman-temannya. Bagaimana mereka diinterogasi sedemikian rupa hingga
menggunakan penyiksaan tidak manusiawi. Bagaimana kehidupan mereka dikikis sedikit demi
sedikit. Bagaimana mereka dipisahkan tanpa tahu nasib teman-temannya. Bagaimana ada yang
hilang sementara dan kembali, tapi ada pula yang hilang sepenuhnya.

Kisah Laut yang memang berdasarkan kisah nyata dari Nezar Patria dan kawan-
kawannya. Bedanya Nezar, Mugiyanto, Bimo Petrus, dan Aan Rusdianto dapat kembali ke
masyarakat setelah hilang sementara—setelah tiga bulan di dalam penjara. Selain mereka
berempat, beberapa korban penculikan yang berhasil kembali ada Andi Arief, Desmond Junaedi
Mahesa, Faisol Reza, dan Haryanto Taslam. Yang tak kembali seperti Laut dan Sunu antara lain
Dedy Umar Hamdun, Herman Hendrawan, Petrus Bima Anugerah, Ismail, Hendra Hambali, Wiji
Thukul, Ucok Munandar Siahaan, Yadin Muhidin, Abdun Nasser, Sonny.

Mereka yang kembali dari penculikan tentunya mengalami rasa trauma yang mendalam,
namun mereka akhirnya mampu bersuara dan berusaha menceritakan kisah mereka. Beberapa
dari mereka ada yang melanjutkan hidup menjadi politikus partai, ada juga yang menjadi jurnalis
seperti Nezar. Mereka yang tidak kembali meninggalkan banyak hal dalam hidup mereka, seperti
orang-orang tersayang. Ketika mereka masih dipenjara, mereka tidak mampu sepenuhnya
melupakan kehangatan rumah beserta masakan yang dibuat oleh ibu atau istri.

Bagaimana dengan mereka yang ditinggalkan? Orang-orang tersayang: kekasih dan


keluarga para korban penculikan. Ketika mereka tahu bahwa anak/suami/ayah mereka menjadi
seorang aktivis melawan Orba, ada dua respon yang paling umum; menerima atau melarang.
Yang melarang bukan berarti tidak merasakan keresahan yang sama, namun mereka takut jika
terjadi apa-apa pada orang tercinta mereka. Menjadi orang yang mempunyai hubungan dekat
dengan mereka yang “diburu” berarti siap dengan resiko ditinggalkan tanpa ada kabar.
Pernyataan tersebut tidak selalu membuahkan kenyataan yang sesuai, justru banyak dari mereka
yang tidak mau menerima resiko tersebut terjadi, sehingga membuat mereka tidak bisa
merelakan apa yang akhirnya terjadi. rasa kehilangan dan kesedihan yang begitu besar membuat
banyak orang merasa tidak mampu untuk melaluinya. Mereka memilih untuk tetap menaruh
piring meski paham sekali bahwa anaknya tidak akan kembali; mereka memilih untuk percaya
pada “mimpi” yan gjelas tidak nyata; saking jatuh cintanya, cinta yang kalian bawakan ini bisa
menjadi seperti seorang Anjani yang menjadi tidak mengurus diri setelah ditinggal “hilang” oleh
Laut.

Sikap para tokoh dalam menghadapi suatu kehilangan adalah sikap atau respon yang
tidak asing di dalam kehidupan nyata. Betapa manusia begitu takut dengan mengalami rasa sakit
dan rindu dari yang namanya “ditinggalkan” terutama jika tidak mengetahui kabar pasti. Mereka
memilih untuk membiarkan diri terjebak pada lingkaran “tidak percaya” bahwa anak/suami/ayah
mereka tidak akan kembali pulang, terus menerus melakukan rutinitas dengan tetap “membawa”
unsur para korban di keseharian mereka. Memasak makanan kesukaan, menata piring,
membersihkan kamar, membaca buku-bukunya, menyalakan lagu kesukaan, adalah beberapa
upaya untuk tetap membuat para korban tetap “hidup” di keseharian mereka yang ditinggalkan.
Meskipun ada beberapa orang yang berpendapat apa yang mereka lakukan ini adalah suatu
proses penyembuhan atau proses “menerima”, namun bagi mereka yang sadar betul akan apa
yang terjadi —bahwa kekasih/kakak/adik/ayah/ibu/suami/istri mereka memang telah dihilangkan
dan tidak akan pulang—adalah suatu bentuk penyiksaan batin. Mereka harus menyaksikan
“kepura-puraan” dan “ketidakikhlasan” yang keluarga mereka lakukan, sementara harus terus
berusaha untuk salin menguatkan dan menyadarkan.

Seiring waktu, manusia akan sembuh. Seiring waktu, mereka yang tidak mampu untuk
merelakan dan menerima kenyataan, pelan-pelan mulai menerima dan mengikhlaskan. Ada yang
akhirnya menerima dengan begitu lapang dada dan bergabung dalam berbagai organisasi HAM
untuk mengungkap apa yang sebenarnya terjadi, ada pula yang pelan-pelan makin hancur
termakan pikiran mereka. Itulah hidup. Betapa perasaan kehilangan adalah perasaan yang cukup
menakutkan sehingga banyak manusia yang rela melakukan apa saja agar tak merasakan hal
tersebut.

Leila menulis Laut Bercerita dengan demikian kompleksnya. Ia mengangkat isu yang
tabu bagi masyarakat Indonesia yang masih melekat alam bawah sadarnya dengan apa yang
sudah ditanamkan Orba. Ia juga mengembangkan karakter Laut begitu baik hingga ke kebiasaan
keluarga dan teman-temannya, menggambarkan begitu nyata bagaiman kegiatan mahasiswa
aktivis, bagaimana perjuangan dan penyiksaan yang mereka terima. Selain melalui sisi aktivis
atau mahasiswa, Leila juga membuat segalanya menjadi kian menyakitkan ketika ia memutuskan
untuk mengangkat juga dari sisi keluarga yang ditinggalkan melalui sudut pandang Asmara.
Bagaimana kehilangan dapat membuat manusia menjadi sebegitu linglungnya, dan mereka yang
sadar begitu tersiksa secara batin melihat keluarganya hidup seperti di bayang-bayang, terjebak
memori. Betapa sulitnya mencari kebenaran dan berita perihal anggota keluarganya yang hilang.
Bagaimana harus menguasai diri ketika ada dari mereka yang sempat hilang akhirnya kembali,
bergabung bersama mereka mencari rekan-rekannya yang masih hilang. Bagaimana ketika
akhirnya menerima kenyataan bahwa keluarga dan kekasih mereka sudah mati dengan bukti-
bukti jasad yang ditemukan. Bagaimana akhirnya mereka yang linglung tersadar dan bergabung
untuk bersama-sama berjuang menuntut kebenaran. Sebuah novel adaptasi sejarah yang tidak
diberikan di sekolah yang cukup menguras emosi, tapi juga sarat akan pengetahuan. Jika misi
Leila adalah membawa kebenaran di tiap alunan susunan kata-katanya dalam bercerita, maka ia
sudah berhasil.

Anda mungkin juga menyukai