Anda di halaman 1dari 6

Bumi Manusia adalah buku pertama dari Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer.

Buku
ini pertama kali terbit pada tahun 1980. Karena buku ini adalah yang pertama, isi buku ini menjadi
latar belakang cerita pada tiga buku berikutnya yaitu Anak Semua Bangsa (1981), Jejak Langkah
(1985), dan Rumah Kaca (1988). Jika dibandingkan dengan tiga buku lainnya, buku ini lebih
mengedepankan konflik dalam percintaan, tetapi latarnya masih sama dengan tiga novel lainnya yaitu
masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Buku ini menarik karena meskipun konflik yang dihadapi
tokoh berupa konflik percintaan, tetapi konflik itu dibalut dengan masalah politik yang ada pada masa
pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Alhasil, buku ini tidak hanya diminati oleh remaja yang
tertarik dengan kisah percintaan, tetapi juga diminati oleh banyak kalangan dari yang tua sampai yang
muda. Pramoedya Ananta Toer sangat pandai dalam memadukan dua hal yang sangat berlainan itu.

Buku ini menceritakan tentang seorang pemuda pribumi revolusioner yang bernama Minke.
Bumi Manusia adalah babak baru Indonesia, digambarkan pada tokoh Minke yang memerangi asal-
usulnya yang masih tertanam dalam tradisi kuno dam tak gentar menentang pemerintahan kolonial
Hindia Belanda. Ia adalah siswa H.B.S. Surabaya. Teman satu sekolahnya, Robert Suurhof,
mengajaknya memenuhi undangan Robert Mellema di Wonokromo, tepatnya di Boerderij Buitenzorg.
Di sana, Minke bertemu dengan Annelies Mellema dan Nyai Ontosoroh. Sejak saat itu, Annelies
sangat menyukai Minke, seringkali Minke diminta tinggal di Wonokromo untuk menemani Annelies.
Berbagai masalah datang pada Minke, mulai dari teman-temannya yang menjauh, pikiran barunya
tentang perjuangan hak asasi manusia bagi pribumi, ancaman pembunuhan, sidang pembunuhan,
dikeluarkan dari sekolah, dan lain-lain. Pada akhirnya, Minke mampu mengatasi semua masalah itu
dan akhrinya ia menikah dengan Annelies. Setelah enam bulan menikah, masalah datang lagi. Lagi-
lagi Minke dihadapkan pada kekejaman kebijakan pemerintahan Hindia Belanda. Haknya atas
Annelies tidak diakui dan Annelies dibawa kembali ke Belanda.

Tema yang diusung dalam buku ini adalah percintaan dan perbedaan sosial. Tema ini bisa
dilihat dari apa yang diceritakan dalam buku ini. Dua orang yang saling mencintai, harus berpisah
karena perbedaan sosial di antara mereka. Alhasil, buku ini tidak hanya menceritakan kisah cinta
tokohnya, tetapi juga masalah sosial dan politik yang dihadapi mereka. Bagaimana mereka berjuang
untuk melawan pemerintahan kolonial Hindia Belanda demi memperjuangkan cinta mereka. Ini sangat
menarik karena jarang ada kisah percintaan yang dibalut dengan masalah politik yang sangat nyata
seperti itu.
Judul dari buku ini, Bumi Manusia, memiliki makna tersirat yang cukup dalam. Bumi adalah
tempat di mana manusia tinggal dan melakukan aktivitasnya. Isi buku ini benar-benar menggambarkan
bagaimana kehidupan para manusia di buminya ini pada abad 19. Bagaimana orang-orang Eropa
memperlakukan orang pribumi, bagaimana kehidupan orang Jawa pada masa itu, bagaimana pemikiran
orang-orang tentang kehidupan pada masa itu, dan masih banyak lagi. Pandangan manusia tentang
buminya berbeda-beda satu sama lain. Pramoedya Ananta Toer sangat pandai menggambarkan
kehidupan masyarakat yang ada di Indonesia masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda.
Latar tiap peristiwa juga sangat jelas digambarkan oleh Pramoedya. Pembaca akan dengan
mudah membayangkan latar yang coba disampaikan oleh Pramoedya. Misalnya penggambaran latar
tempat seperti ini, "Jalan raya batu kuning itu lurus langsung ke Wonokromo. Rumah, ladang, sawah,
pepohonan jalanan yang dikurung dengan keranjang bambu, bagian-bagian hutan yang bermandikan
sinar perak matari, semua, semua beterbangan riang," (halaman 22). Dengan penggambaran seperti itu,
pembaca akan langsung membayangkan suasana masa itu yang masih sangat sederhana, asri, dan
penuh kesejukan. “Semua jenjang tangga depan sekarang tertutup anyaman tali sabut kelapa. Dan
ruang depan rumah tak berserambi itu sangat luas, diperaboti beberapa sitje jati berukir. Di sebuah
pojokan terdapat sitje bambu coklat. Dinding dihiasi cermin dari berbagai ukuran bertuliskan kaligrafi
Tionghoa berwarna merah. Sebuah rana kayu berukir tembus menutup mulut koridor yang terdapat di
tengah-tengah gedung. Beberapa jambang besar dari tembikar menghiasi ruangan itu tanpa isi, berdiri
di atas kaki dengan naga melingkar. Tak ada hiasan lantai. Juga tak ada potret Ratu Wilhelmina.
Bunga-bungaan juga tak terdapat di mana pun di ruang depan ini,” (ebook halaman 127). Begitulah
Pramoedya menggambarkan ruang depan rumah babah Ah Tjong. Hanya menggambarkan ruang depan
pun sampai sedetail itu. Pramoedya benar-benar ingin menghasilkan karya yang bisa mengajak
pembacanya masuk ke dalam ceritanya. Pramoedya juga menggambarkan loteng di rumah Annelies
dengan sangat detail. “Loteng itu jauh lebih mewah. Hampir seluruh lantai koridor digelari permadani.
Rasanya diri menjadi seekor kucing, dapat melangkah tanpa meninggalkan bekas. Jendela-jendela
yang terbuka melihatkan pemandangan sampai jauh-jauh pada batas nun jauh di sana. Sawah dan
ladang dan hutan membentang sambung-menyambung. Serombongan kecil orang sedang
menyelesaikan panen taraf terakhir. Sawah yang tertinggal tiada tergarap sedang mengunggu
penghujung akhir musim kemarau.” (ebook halaman 154). Bahkan loteng pun digambarkan sampai
sebegitunya oleh Pramoedya. Tak hanya latar tempat, suasana yang digambarkan dalam buku ini juga
terasa sangat nyata. Misalnya saja penggambaran suasana ketika Minke bertemu Herman Mellema,
ayah Annelies, untuk pertama kali. Suasana yang menegangkan itu dibuat sangat nyata dengan
perilaku tiap tokohnya. Penggambaran suasana juga semakin kuat dengan penjelasan dari Pramoedya
tentang sosok yang datang dengan misterius (halaman 62-66). Itu baru satu contoh dari banyaknya
penggambaran latar suasana yang sangat jelas oleh Pramoedya.

Bukan hal yang aneh kemudian jika Pramoedya mampu untuk menggambarkan latar yang bisa
dikatakan sempurna itu. Ia memang hidup pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Ia benar-
benar merasakan sendiri rasanya hidup pada masa itu. Jadi, penggambaran latar yang sangat bagus itu
memang tidak terlepas dari apa yang dirasakannya sendiri. Sementara untuk penggambaran latar
suasana, hal itu adalah kepandaian Pramoedya dalam membuat ceritanya menjadi lebih nyata. Ini
membuktikan bahwa Pramoedya adalah orang yang memiliki daya imajinasi tinggi. Caranya
menyampaikan imajinasinya bisa membuat suatu hal terasa lebih nyata walaupun hal itu hanya sebatas
imajinasi.

Tokoh yang ditampilkan dalam buku ini cukup banyak. Ada tiga tokoh yang paling utama,
yaitu Minke, Annelies Mellema, dan Nyai Ontosoroh. Meskipun tokoh utamanya hanya tiga, tokoh
lain juga dijelaskan dengan baik oleh Pramoedya. Tokoh-tokoh itu tidak hanya numpang lewat untuk
melengkapi cerita, tetapi hadir karena memang ada makna dan tujuannya. Sebut saja Jean Marais,
Herman Mellema, Robert Suurhof, Robert Mellema, Magda Peters, Maurits Mellema, ayah dan ibu
Minke, dan bahkan penjaga rumah Nyai Ontosoroh, Darsam, juga memiliki peran yang penting dalam
buku ini. Jean Marais diceritakan sebagai orang bijak yang merupakan sahabat Minke. Dia adalah
penasihat, penolong spiritual, dan tempat berkeluh kesah bagi Minke. Petuahnya yang sangat diingat
yaitu “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.”
(halaman 77). Jean Marais sangat sering diceritakan dalam buku ini. Bahkan, pada awal
kemunculannya di buku ini, tokoh Jean dibahas sampai 15 halaman (halaman 76-90). Setelah itu,
tokoh Jean Marais tetap sering muncul di beberapa bagian buku ini. Tokoh selanjutnya Magda Peters.
Dia adalah guru Bahasa dan Sastra Belanda di sekolah Minke. Di dalam buku ini, Magda Peters
diceritakan sebagai guru yang sangat diagungkan oleh Minke. Pengetahuannya luas, berbudi pekerti,
tahu tentang modernisasi, dan patut dikagumi. Minke sering berkonsultasi dengan tokoh yang satu ini.
Cerita semakin komples saat ada indikasi bahwa Magda Peters bukan sebaik yang semua orang kira.

Tokoh selanjutnya yaitu Herman Mellema. Ia adalah ayah dari Annelies Mellema. Pada awal
kemunculannya, ia digambarkan sebagai seorang lelaki Eropa, tinggi, besar, dan gendut. Ia berperilaku
kasar dan penampilannya kacau. Ia tidak menghargai tamu dan justru malah menghinya karena tamu
itu pribumi (halaman 62-66). Namun, Herman Mellema juga digambarkan memiliki watak lain melalui
penjelasan Nyai Ontosoroh. Herman Mellema digambarkan sebagai seorang yang baik, pandai,
terampil, dan cerdas. Ia sangat menyayangi Nyai Ontosoroh. Ia mendidik Nyai Ontosoroh untuk bisa
mengendalikan perusahaan dengan hati-hati. Pada akhirnya Nyai Ontosoroh bisa menjadi wanita yang
hebat juga karena Herman Mellema (halaman 110-139). Herman Mellema juga dibahas cukup banyak
dalam buku ini. Selanjutnya ada Maurits Mellema. Ia adalah anak dari istri sah Herman Mellema.
Kehadirannya dalam buku memang tidak terlalu banyak, tapi makna kehadirannya sangat penting.
Mauritslah yang membuat Nyai Ontosoroh dan Minke kehilangan Annelies setelah Herman Mellema
meninggal. Menurut hukum Belanda, Maurits berhak menjadi wali yang sah bagi Annelies. Ia hadir
untuk menuntut haknya sebagai pewaris sah bagi Herman Mellema. Akhirnya Annelies juga jatuh
padanya dan harus pergi ke Belanda (ebook halaman 281-284). Selanjutnya ada ayah dan ibu Minke.
Ayah Minke adalah seorang bupati. Ia masih sangat menjunjung adat daerahnya. Pada awalnya ia
sangat marah kepada Minke karena ia tinggal di rumah seorang nyai. Tapi akhirnya ia memaafkan
Minke setelah Minke mendapat berbagai undangan dari orang-orang penting yang kagum dengan
kepandaiannya (halaman 183-194). Sementara itu, ibu Minke diceritakan sebagai sosok yang sangat
menyayangi Minke. Ia membiarkan Minke hidup sesuai dengan apa yang dikehendakinya. Tetapi ia
tidak lupa memberi petuah-petuah bagi Minke yang akan dikenang Minke selama hidupnya (ebook
halaman 247-249). Dan masih banyak lagi tokoh-tokoh lain yang ada di buku ini. Semua tokoh
dimunculkan dengan tepat sasaran. Dari segi penokohan ini, jelas sekali bahwa Pramoedya tidak
pernah main-main dalam karyanya. Dia sanggup menghubungkan begitu banyak orang dengan
berbagai macam karakteristik, budaya, ideologi, dan latar belakang menjadi satu kesatuan yang
menimbulkan pergesekan satu sama lain. Semua tokoh penting dan tidak ada tokoh yang terbuang
dalam buku ini.
Buku ini mengandung banyak nilai-nilai positif yang hendak disampaikan oleh Pramoedya.
Nilai yang pertama adalah semangat nasionalisme. Hal ini terlihat dari watak tokoh Minke. Ia sangat
revolusioner dan sangat berani untuk menuntut keadilan bagi pribumi. Ia bahkan berani melawan
kedigdayaan pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk memperjuangkan haknya sebagai pribumi.
Dalam buku ini, pribumi digambarkan sebagai masyarakat kelas bawah dan tidak perlu dihormati
apalagi oleh orang Eropa. Dari sinilah Pram menyampaikan nilai nasionalisme lewat tokoh Minke.
Dalam buku ini, Pramoedya juga menunjukkan tentang betapa pentingnya belajar. Hal ini bisa dilihat
dari tokoh Nyai Ontosoroh. Nyai Ontosoroh adalah seorang gundik yang tidak pernah bersekolah,
tetapi pada akhirnya ia menjadi orang yang sangat pandai dan lihai dalam menjalankan perusahaan.
Untuk mencapai itu semua tentu harus dengan belajar, dari sinilah Pramoedya menyampaikan
maksudnya. Nyai Ontosoroh yang tidak pernah belajar di sekolah itu selalu membaca buku sendiri dan
belajar secara otodidak. Ia juga mendapatkan kepandaiannya dari pengalaman yang ia dapat. Hal ini
menegaskan bahwa belajar adalah hal sangat penting.

Alur yang digunakan pada buku ini adalah mengalir. Peristiwa yang satu dengan yang lain
dibiarkan terjadi mengalir. Semua peristiwa tersusun secara runtut, hanya kadang-kadang ada kilas
balik melalui cerita satu tokoh kepada tokoh lain. Memang hal ini membuat buku ini kurang menarik,
tetapi bagi orang yang jarang membaca buku alur seperti ini akan membuat pembacanya lebih mudah
memahami. Jika alur itu dibuat melompat-lompat, beberapa orang akan kesulitan memahami buku
tersebut. Pramoedya memang sengaja membuat alur yang demikian agar buku ini bisa dikonsumsi
semua pihak.

Peristiwa yang terjadi di buku ini terkesan sangat panjang dan berbelit-belit. Untuk terjadinya
satu peristiwa yang sangat sederhana, Pramoedya harus menceritakannya dengan cukup panjang.
Misalnya saja peristiwa Minke hendak bertemu dengan ayahnya. Sebenarnya peristiwa itu sangat
sederhana, tetapi oleh Pramoedya diubah menjadi sesuatu yang sangat panjang dan melelahkan. Untuk
bertemu ayahnya, Minke harus dipanggil oleh polisi. Polisi itu juga sarapan di rumah Nyai Ontosoroh
dan diceritakan dengan cukup panjang. Perjalanan Minke menuju ke tempat ayahnya juga diceritakan.
Bahkan ketika Minke disuruh menunggu di kantor kabupaten pun diceritakan. Tambah membosankan
lagi saat-saat Minke hendak menemui ayahnya. Konflik batin yang dialami Minke harus diceritakan
dengan sangat panjang oleh Pramoedya (halaman 183-194). Hal itulah yang membuat buku ini agak
membosankan. Maksud Pramoedya mungkin agar cerita dalam buku ini bisa sedetail mungkin, tetapi
sebaliknya hal ini malah membuat pembaca lelah. Sementara itu, bagian yang seharusnya penting
untuk diceritakan malah tidak diceritakan dengan jelas. Yaitu peristiwa-peristiwa yang dialami oleh
Minke dan Annelies setelah mereka menikah. Tiba-tiba saja pernikahan mereka sudah enam bulan
tanpa cerita apapun (ebook halaman 256). Mungkin dalam hal ini Pramoedya kurang pandai untuk
memilih mana peristiwa yang penting dan mana peristiwa yang kurang penting.

Gaya bahasa yang digunakan oleh Pramoedya cukup tinggi. Pramoedya adalah sastrawan yang
sangat cerdas. Hal ini terlihat dari bahasanya. Susunan kalimat yang tidak biasa juga menunjukkan
kecerdasan Pramoedya. Banyak juga kata-kata asing yang digunakan oleh Pramoedya dalam buku ini.
Bagi orang cerdas, hal ini akan sangat menarik, tetapi bagi orang awam hal ini bisa menjadi
kebalikannya. Mereka akan malas untuk membaca buku ini karena gaya bahasanya yang sulit
dimengerti. Selain itu, ada juga kata-kata asing yang belum tentu semua orang tau maksudnya.
Memang ada terjemahan bagi kata-kata itu, tapi tidak semua. Bagi Pramoedya, kata yang menurutnya
sulitlah yang diterjemahkan, padahal tidak semua orang sepandai Pram.

Dalam beberapa hal, Bumi Manusia berhasil memperlihatkan capaian yang gemilang.
Penggambaran latar, tokoh, dan nilai-nilai yang terkandung di dalam buku ini memang sangat baik.
Akan tetapi, alur yang terlalu mengalir, peristiwa kurang penting yang terlalu bertele-tele, dan gaya
bahasa yang cukup tinggi membuat buku ini sedikit kurang menarik bagi beberapa orang. Namun
semua kekurangan itu tak pelaknya hanya menjadi kesalahan kecil yang tertutup oleh cara Pramoedya
menggambarkan latar dan tokoh yang sangat indah dan realistis. Bumi Manusia tampil sebagai novel
dengan kategori: cerdas! ‘bagi sebagian orang’.
BUMI MANUSIA: DARI ORANG CERDAS UNTUK
ORANG CERDAS

Musa Dewanata Mu’tashim Billah


12 MIPA 1/19
SMAN 2 Wonosari

Anda mungkin juga menyukai