Anda di halaman 1dari 8

UNSUR – UNSUR INTRINSIK DAN INTERPRETASI PANDANGAN PENGARANG

TERHADAP NILAI – NILAI KEHIDUPAN YANG ADA PADA NOVEL

“ BUMI MANUSIA ’’ Karangan Pramoedya Ananta Toer

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Kelas XII
Semester Ganjil tahun pelajaran 2020/2021

Disusun Oleh :

Dwi Tanti Astuti 181910010

Faisal Rahman 181910013

Fatima Yasinta 181910014

Muhammad Rizki 181910020

Salma Afifah 181910027

Sintya Aulia 181910033

Kelas XII IPA 1

DINAS PENDIDIKAN PROVINSI JAWA BARAT

SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI TANJUNGSARI

Jalan Raya Tanjungsari No.404 Gudang, Tanjungsari,

Sumedang, Jawa Barat

2020/2021
A. Hal – Hal Penting dan Menarik
“Dan, Tuan, di bawah kekuasaan raja-raja Pribumi, rakyat Tuan tidak pemah mendapat
keamanan dan kesentausaan, tidak mendapat perlindungan hukum, karena memang tidak ada
hukum. Kurang baik apa Pemerintah Hindia Belanda? Orang-orang liberal itu memang
mempunyai impian aneh tentang Hindia…”
Masih perkataan Maarten Nijman kepada Minke. Di sini, kita bisa membaca pertentangan di
antara orang-orang Belanda sendiri tentang masa depan Hindia. Nijman mewakili orang Belanda
yang menentang kebebasan di tanah jajahan selama rakyat jajahan bisa sejahtera.

“Pertama wisma, Gus, rumah. Tanpa rumah orang tak mungkin satria. Orang hanya
gelandangan. Rumah, Gus, tempat seorang satria bertolak, tempat dia kembali. Rumah bukan
sekedar alamat, Gus, dia tempat kepercayaan sesama pada yang meninggali… Kedua wanita.
Gus, tanpa wanita satria menyalahi kodrat sebagai lelaki. Wanita adalah lambang kehidupan
dan penghidupan, kesuburan, kemakmuran, kesejahteraan. Dia bukan sekedar istri untuk suami.
Wanita sumbu pada semua, penghidupan dan kehidupan berputar dan berasal… Ketiga
turangga, Gus, kuda itu, dia alat yang dapat membawa kau ke mana-mana: ilmu, pengetahuan,
kemampuan, ketrampilan, kebisaan, keahlian, dan akhirnya—kemajuan. Tanpa turangga takkan
jauh langkahmu, pendek pengelihatanmu… Keempat kukila, burung itu, lambang keindahan,
kelangenan, segala yang tak punya hubungan dengan penghidupan, hanya dengan kepuasan
batin pribadi. Tanpa itu orang hanya sebongkah batu tanpa semangat. Dan kelima curiga, keris
itu, Gus, lambang kewaspadaan, kesiagaan, keperwiraan, alat untuk mempertahankan yang
empat sebelumnya. Tanpa keris yang empat akan bubar binasa bila mendapat gangguan…”
Nasehat “Bunda” kepada Minke sebelum pernikahannya dengan Annelies. Ini penjelasan tentang
lima syarat seorang satria dalam filosofi Jawa.

“Selamatlah kalian bersama-sama membangun kehidupan gemilang. Kalau pada suatu kali
kebetulan kau terkenang pada gurumu yang buruk tapi tulus ini, Minke, ingatlah, di dunia ini
ada orang yang berbesarhati pernah mempunyai seorang murid yang mengikuti jejak humanis
besar Multatuli. Sekarang ini, Minke, pemerintah Hindia atas desakan beberapa orangtua murid
telah memecat aku sebagai guru dan menganjurkan aku meninggalkan Hindia. Kalau tidak, bisa
diusir nanti. Besok aku akan berangkat dengan kapal Inggris. Adieu!”
Pesan terakhir Magda Peters kepada Minke yang tersimpan dalam hadiah pernikahan. Pesan ini
mengharukan karena Magda Peters terpaksa meninggalkan Hindia sebagai konsekuensi sikap
politiknya terhadap pemerintah Kolonial.

“Hanya pengabdi uang. Bertambah banyak uang kau berikan padanya, bertambah dia jujur
padamu. Itulah Eropa.”
Aku bergidik. Seluruh tahun-tahun pelajaran di sekolah dijungkir-balikkan oleh seorang nyai
dalam hanya tiga kalimat pendek.
Nyai Ontosoroh kepada Minke di tengah upaya mereka berdua mempertahankan hak asuh
Annelies. Minke merasa betapa kebanggaannya dulu kepada kemajuan bangsa kulit putih hancur
berantakan di tangan seorang nyai.

“Kita takkan malu bila kalah. Kita harus tahu mengapa… Sepanjang hidupnya Pribumi ini
menderitakan apa yang kita deritakan sekarang ini. Tak ada suara, Nak, Nyo—membisu seperti
batu-batu kali dan gunung, biarpun dibelah-belah jadi apa saja. Betapa akan ramainya kalau
semua mereka bicara seperti kita. Sampai-sampai langit pun mungkin akan roboh kebisingan…
Dengan melawan kita takkan sepenuh kalah.”
Nyai Ontosoroh kepada Minke. Kutipan ini menunjukkan penindasan terjadi dan bertahan lama
karena mereka yang tertindas tak pernah berani menyuarakan perlawanan.

B. Unsur – Unsur Intrinsik

Judul

Bumi Manusia karangan Pramoedya Ananta Toer

Tema
Tema novel ini adalah tentang kisah percintaan seorang pemuda keturunan priyayi Jawa dengan
seorang gadis keturunan Belanda dan perjuangannya di tengah pergerakan Indonesia di awal
abad ke-20.

Tokoh dan Karakter

Minke : merupakan tokoh utama dalam novel ini, cerdas, berjiwa


pribumi, keturunan priyayi, siswa HBS, baik, penyayang.
(hlm 33)

Annelies : putri dari orang belanda (Herman Mellema) dan pribumi


(Nyai Ontosoroh), pendiam, manja, labil.

Nyai Ontosoroh (Sanikem) : istri siri dari Herman Mellema, mandiri, tegas, bijaksana,
pandai, dan tegar.

Herman Mellema : kaku dan kasar {“siapa kasih kowe ijin datang kemari,
monyet!”. Dengusnya dalam melayu-pasar, kaku dan kasar,
juga isinya.”} (hal 64)

Robert Mellema : egois, tidak bermoral

Ayah Minke : masih berpatokan dengan adat istiadat Jawa, pemarah,


keras dalam mendidik Minke.

Ibu Minke  : bijaksana, penyayang


Robert Surhorf   : pengecut

Jean Marais :  penyayang (ayah may marais)

May Marais : manja

Darsam : seorang Madura yang berwatak keras, patuh kepada


tuannya.

Ah Tjong  : licik

Maiko  : seorang pelacur dari Jepang, egois dan tidak jujur

Amelia Hammers Mellema : istri sah Herman Mellema, ambisius

Insinyur Maurits Mellema : ambisius

Magda Petters :baik,


Mevrow Telinga : seorang yang penyayang (hal 268) {“memvrom telinga
telah beberapa kali mengompres kepala ku dengan
cuka- bawang merah”}
Miriam de la Croix : senior Minke di HBS
Sarah de la Croix : senior Minke di HBS
Herbert de la Croix : ayah Sarah dan Miriam

Alur

Alur merupakan rangkaian peristiwa ysng tersusun secara kronologis dalam kaitan sebab akibat
sampai akhir kisah (Rahmanto dan hariyanto 1998:2.10). Susunan-susunan dalam cerita dapat
terjadi karena adanya struktur alur, sehingga dapat menghasilkan sebuah cerita yang
berkesinambungan.

Pram dalam Bumi Manusia menggunakan teknik alur ingatan atau flashback. Teknik ini
menempatkan peristiwa yang mana berisi peralihan dari keadaan satu kepada keadaan yang lain
yang terjadi di masa lalu ditampilakn dalam suatu rangkaian perisitiwa. Di mana dalam
rangkaian tersebut juga memuat alur maju dan mundur yang mana tergantung oleh kondisi si
tokoh dalam cerita. Pada awal dan tengah cerita, mungkin pembaca akan berpikir cerita akan
berakhir bahagia dengan pernikahan Minke dan Annelies, tetapi cerita ini diakhiri dengan
perpisahan Annelies dan Minke. Annelies harus pergi ke negaranya, Belanda, sedangkan Minke
tetap di Hindia sebagai seorang Pribumi. Jadi, alur yang digunakan pada novel ini yaitu alu
campuran atau alur maju dan alur mundur.
Tigabelas tahun kemudian catatan pendek ini kubacai dan kupelajari kembali, kupadu dengan
impian, khayal. Memang menjadi lain dari aslinya. Tak kepalang tanggung. Dan begini
kemudian jadinya: (BM: 10)

Latar

Latar Tempat : Mengambil pulau Jawa, lebih tepatnya di kota Surabaya dan Wonokromo
(hal 24). beberapa tempat pula seperti Rumah Nyai Ontosoroh, kota B,
Rumah Jean Marais, Pondokan Mevrouw Telinga, Rumah Plesiran Baba
Ah Tjong, dan gedung pengadilan.

Latar Waktu : Terjadi pada tahun 1889 pada masa pemerintahan Hindia Belanda.

Latar Sosial : Kedudukan kaum laki-laki lebih tinggi daripada wanita. 

Sudut Pandang

Dalam novel Bumi Manusia pengarang menggunakan sudut pandang orang pertama pelaku
utama, seperti pada kutipan novel di bawah ini.

“Aku tunggu-tunggu meledaknya kemarahan Nyai karena puji-pujian”.

C. Nilai – Nilai Kehidupan


1. Keagamaan
 Beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa
“Perkawinanmu syah menurut hukum islam. Membatalkan adalah menghina hukum islam,
mencemarkan ketentuan yang dimuliakan umat islam...ah, betapa aku inginkan perkawinan
syah. Tuan selalu menolak. Ternyata ia masih ada istri syah. Sekarang anakku kawin syah.
Jauh lebih tinggi daripadaku sendiri. Dan tidak diakui.”
Kutipan tersebut menjelaskan tentang pernikahan yang sesuai ajaran islam, yaitu ada saksi
serta wali. Ini membuktikan kalau masih terdapat keyakinan terhadap Tuhan serta masih
melaksanakan ketentuannya.
 Bersikap sabar dan tawakal atas cobaan Tuhan
“Mama, dengan koper ini dulu Mama pergi dan bertekad takkan kembali lagi. Koper ini
terlalu memberati kenangan Mama. Biar aku bawa, Mama, beserta kenangan berat di
dalamnya. Aku takkan bawa apa-apa kecuali kain batikan Bunda. Hanya koper ini kenangan
Mama, dan batikan Bunda, pakaian pengantinku, Ma. Masukkan sini, jangan kenangkan yang
dulu-dulu. Yang sudah lewat biarlah berlalu, Mamaku, Mamaku sayang.”

Kutipan di atas merupakan ungkapan Annelies kepada Nyai Ontosoroh saat sebelum dia
pergi. Annelies sangat tabah terhadap nasibnya, terhadap cobaan dari Tuhan. Ia harus rela
dibawa oleh pengasuh dari Ir. Maurist Mellema ke Nederland serta meninggalkan orang-
orang yang dicintai. Annelies paham kalau Nyai Ontosoroh dan Minke sudah berupaya keras
untuk mempertahankannya tetapi Tuhan menghendaki ia harus meninggalkan mereka. Maka
yang ia lakukan adalah tabah serta berserah diri terhadap realitas dari Tuhan.

2. Sosial

 Cinta kasih orang tua pada anak

“Annelies anakku, Tuan, hanya seorang Indo, maka tidak boleh melakukan apa yang
dilakukan bapaknya ? Aku yang melahirkannya, membesarka dan mendidik, tanpa bantuan
satu sen pun dari Tuan-Tuan yang terhormat. Atau bukan aku yang telah tanggungjawab
atasnya selama ini ? Tuan-Tuan sama sekali tidak pernah bersusah-payah untuknya. Mengapa
usil ?”

Kutipan di atas menggambarkan tentang Nyai Ontosoroh yang membela Annelies dalam
persidangan yang hendak memisahkan antara ibu dan anak itu. Nyai Ontosoroh bersikeras
mempertahankan anaknya yang hendak diambil oleh keluarga Mellema karena termasuk
keturunan Mellema. Apalagi Nyai Ontosoroh tidak memperdulikan kewibawaan persidangan
dan menghujat orang-orang yang ada dengan kata-kata dendam. Karena kegaduhan yang
dibuat oleh Nyai Ontosoroh tersebut, membuatnya dikeluarkan dari ruang persidangan.

 Sikap sopan santun dengan yang lebih tua

“Rupanya kesopanan pun telah kau tinggalkan maka tak segera sujud pada Bunda”

Pintu kuketuk pelan. Aku tak tahu kamar siapa, membukanya dan masuk. Bunda sedang
duduk bersisir di depan cermin. Sebuah lampu minyak berkaki tinggi berdiri di atas sebuah
kenap di sampingnya.

“Bunda, ampuni sahaya,” kataku mengembik, bersujud dihadapannya dan mencium lututnya.
Tak tahulah aku mengapa tiba-tiba hati diserang rindu begini pada Bunda.

Kutipan di atas menggambarkan bagaimana sepatutnya seorang anak mesti bersujud kepada
orang tuanya ketika baru tiba. Minke sudah lama tidak berjumpa dengan bundanya yang
tinggal di kota B. Minke merasa bersalah karena tidak sempat membalas pesan dari
keluarganya. Kedatangannya ke kota B juga sebab terdapat utusan Ayahnya untuk membawa
Minke kembali karena ada acara pelantikan gubernur.

 Menjaga suasana kekeluargaan dan kebersamaan

“Maka papa menyetujui asosiasi. Hanya itu satu-satunya jalan yang baik untuk Pribumi. Ia
mengharapkan, juga kami, kau kelak duduk setingkat dengan orang Eropa, bersama-sama
memajukan bangsa dan negeri ini, sahabat. Permulaan itu kau sendiri yang sudah memulai.
Pasti kau bisa memahami maksud kami. Kami sangat mencintai ayah kami. Ia bukan sekedar
ayah, juga seorang guru yang memimpin kami melihat dan memahami dunia, seorang sahabat
yang masak dan berisi, seorang adsministator yang tak mengharapkan keuntungan dari keluh
kesah bawahan.”

Kutipan tersebut merupakan sebagian isi pesan dari Miriam de la Croix, putri dari Tuan
Assisten Residen Herbert de la Croix yang dikenal Minke saat pelantikan ayahnya menjadi
bupati. Isinya menyatakan tentang perasaan keluarga Miriam yang keturunan Eropa terhadap
Minke yang asli Pribumi. Keluarga Miriam sangat mengagumi Minke, terutama Tuan
Herbert. Apalagi Tuan Herbert juga mengharapkan kelak kaum Pribumi serta kaum Eropa
bisa sejajar serta bersama-sama membangun negara. Meski jelas terdapat perbedaan antara
mereka, tetapi ada suasana kekeluargaan dan kebersamaan yang terjalin sehingga terdapat rasa
saling membutuhkan satu sama lain.

 Menolong orang lain yang sedang mengalami kesusahan

“ Memang patut aku minta maaf sebesar-besarnya tak dapat berbuat sesuatu untuk
meringankan penderitaan Nyai. Tak ada padaku teman-teman dekat orang besar, karena
memang tidak pernah punya keanggotaan sesuatu kamarbola”

“ Tapi Tuan merasa perlakuan terhadap kami ini tak adil, bukan ?” tanya Mama.

“Bukan hanya tak adil. Biadap!”

“ Itupun mencukupi, Tuan Dokter, kalau keluar dari hati tulus”

“ Maafkan, aku tak ada kemampuan…”

Kutipan di atas merupakan dialog antara Nyai Ontosoroh dengan dokter Martinet, seorang
dokter kepercayaan keluarga itu. Dokter Martinet sangat menyesal karena tidak dapat
membantu lebih atas perkara yang sedang dihadapi keluarga Nyai Ontosoroh. Dokter Martinet
hanya dapat menolong Annelies yang sakit keras dengan membiusnya agar bisa tidur, namun
tidak dapat menolongnya agar tidak dibawa oleh keluarga Ir. Maurist Mellema ke Nederland.
Walaupun dokter Martinet tidak dapat membantu, namun ada keinginan untuk melakukannya.
Bagi dokter Martinet, Annelies adalah anak sekaligus keluarganya. Sudah sepatutnya ia
mempertahankan Annelies. Namun dokter Martinet terbatas dalam hal-hal yang menyangkut
politik, apalagi masalah hukum Eropa yang menginginkan Annelies jauh dari Nyai
Ontosoroh.

3.Budaya

 Ketidakadilan

“ Tak bisa mereka melihat Pribumi tidak penyet terinjak-injak kakinya. Bagi mereka Pribumi
mesti salah, orang Eropa harus bersih, jadi Pribumi pun sudah salah. Dilahirkan sebagai
Pribumi lebih salah lagi. Kita menghadapi keadaan yang lebih sulit, Minke, anakku!” (Itulah
untuk pertama kali ia memanggil anakku, dan aku berkaca-kaca terharu mendengarnya). Apa
kau akan lari dari kami, Nak.”

Kutipan di atas menceritakan manusia Pribumi, yaitu Minke dan Nyai Ontosoroh yang sedang
tersandung masalah karena kematian dari Tuan Mellema, suami Nyai Ontosoroh. Walaupun
dalam masalah sebenarnya mereka tidak bersalah. Namun seperti itulah hukum saat itu.
Manusia Pribumi tidak akan menang menghadapi Eropa. Bahkan dalam pengadilan, jaksa dan
hakim akan memojokkan Pribumi. Apalagi jika persoalannya mengenai Pribumi menggugat
Eropa.

 Usaha Mengembalikan Harkat Kemanusiaan

“ Kau sudah baca cerita ini, Nyo ?”

“Sudah, Ma, di sekolah.”

“Rasanya aku pernah mengenal orang yang ditulis dalam cerita ini”

Kutipan di atas menceritakan tentang bagaimana Minke mencoba untuk mengungkapkan


sosok Nyai yang berkualitas dalam segi kemampuan dan pengetahuaannya lewat tulisan. Hal
ini ia maksudkan agar penilaian terhadap seorang Nyai bisa membaik. Karena dalam
masyarakat keberadaan Nyai memang di anggap rendah, tak terkecuali anggapan Minke
sendiri saat pertama mengenal Nyai Ontosoroh. Bahkan pengetahuan Nyai Ontosoroh lebih
luas dari pada Minke yang bersekolah di H.B.S.

Anda mungkin juga menyukai