No : 05 ( Lima )
Kelas : XII Tekstil B
Suatu hari di Bulan Maret 1946, dalam waktu tujuh jam, sekitar 200.000
penduduk mengukir sejarah dengan membakar rumah dan harta benda mereka,
meninggalkan kota Bandung menuju pegunungan di selatan. Beberapa tahun
kemudian, lagu “Halo-Halo Bandung” ditulis untuk melambangkan emosi mereka,
seiring janji akan kembali ke kota tercinta,yang telah menjadi lautan api.
Tanggal 27 Agustus 1945, dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR), disusul oleh
terbentuknya Laskar Wanita Indonesia (LASWI) pada tanggal 12 Oktober 1945.
Jumlah anggotanya 300 orang, terdiri dari bagian pasukan tempur, Palang Merah,
penyelidikan dan perbekalan.
Berbagai tekanan dan serangan terus dilakukan oleh pihak Inggris dan Belanda.
Tanggal 5 Desember 1945, beberapa pesawat terbang Inggris membom daerah
Lengkong Besar. Pada tanggal 21 Desember 1945, pihak Inggris menjatuhkan bom
dan rentetan tembakan membabi buta di Cicadas. Korban makin banyak
berjatuhan.
Ultimatum agar Tentara Republik Indonesia (TRI) meninggalkan kota dan rakyat,
melahirkan politik “bumihangus”. Rakyat tidak rela Kota Bandung dimanfaatkan
oleh musuh.
Kolonel Abdul Haris Nasution selaku Komandan Divisi III, mengumumkan hasil
musyawarah tersebut dan memerintahkan rakyat untuk meninggalkan Kota
Bandung. Hari itu juga, rombongan besar penduduk Bandung mengalir panjang
meninggalkan kota.
Bandung sengaja dibakar oleh TRI dan rakyat dengan maksud agar Sekutu tidak
dapat menggunakannya lagi. Di sana-sini asap hitam mengepul membubung tinggi
di udara. Semua listrik mati. Inggris mulai menyerang sehingga pertempuran
sengit terjadi. Pertempuran yang paling seru terjadi di Desa Dayeuhkolot, sebelah
selatan Bandung, di mana terdapat pabrik mesiu yang besar milik Sekutu. TRI
bermaksud menghancurkan gudang mesiu tersebut.
Untuk itu diutuslah pemuda Muhammad Toha dan Ramdan. Kedua pemuda itu
berhasil meledakkan gudang tersebut dengan granat tangan. Gudang besar itu
meledak dan terbakar, tetapi kedua pemuda itu pun ikut terbakar di dalamnya.
Staf pemerintahan kota Bandung pada mulanya akan tetap tinggal di dalam kota,
tetapi demi keselamatan maka pada jam 21.00 itu juga ikut keluar kota. Sejak saat
itu, kurang lebih pukul 24.00 Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan
TRI. Tetapi api masih membubung membakar kota. Dan Bandung pun berubah
menjadi lautan api.
Bandung Lautan Api kemudian menjadi istilah yang terkenal setelah peristiwa
pembakaran itu. Banyak yang bertanya-tanya darimana istilah ini berawal.
Almarhum Jenderal Besar A.H Nasution teringat saat melakukan pertemuan di
Regentsweg (sekarang Jalan Dewi Sartika), setelah kembali dari pertemuannya
dengan Sutan Sjahrir di Jakarta, untuk memutuskan tindakan apa yang akan
dilakukan terhadap Kota Bandung setelah menerima ultimatum Inggris.
“Jadi saya kembali dari Jakarta, setelah bicara dengan Sjahrir itu. Memang dalam
pembicaraan itu di Regentsweg, di pertemuan itu, berbicaralah semua orang. Nah,
disitu timbul pendapat dari Rukana, Komandan Polisi Militer di Bandung. Dia
berpendapat, “Mari kita bikin Bandung Selatan menjadi lautan api.” Yang dia
sebut lautan api, tetapi sebenarnya lautan air” (A.H Nasution, 1 Mei 1997)
Istilah Bandung Lautan Api muncul pula di harian Suara Merdeka tanggal 26 Maret
1946. Seorang wartawan muda saat itu, yaitu Atje Bastaman, menyaksikan
pemandangan pembakaran Bandung dari bukit Gunung Leutik di sekitar
Pameungpeuk, Garut. Dari puncak itu Atje Bastaman melihat Bandung yang
memerah dari Cicadas sampai dengan Cimindi.
Setelah tiba di Tasikmalaya, Atje Bastaman dengan bersemangat segera menulis
berita dan memberi judul Bandoeng Djadi Laoetan Api. Namun karena kurangnya
ruang untuk tulisan judulnya, maka judul berita diperpendek menjadi Bandoeng
Laoetan Api.
Pada Maret 1946, dalam waktu 7 jam, sekitar 200.000 penduduk mengukir
sejarah dengan membakar rumah dan harta benda mereka, meninggalkan kota
menuju pegunungan di selatan.
Setelah Proklamasi Kemerdekan 17 Agustus 1945, Indonesia belum sepenuhnya
merdeka. Kemerdekaan itu harus dicapai dengan sedikit demi sedikit melalui
perjuangan rakyat yang rela mengobarkan segalanya.
Urutan Peristiwa :
Ultimatum agar Tentara Republik Indonesia (TRI) meninggalkan kota dan rakyat,
melahirkan politik "bumihangus". Rakyat tidak rela bila kota Bandung
dimanfaatkan oleh musuh.
Bandung dengan sengaja dibakar oleh TRI dan rakyat dengan maksud agar sekutu
tidak dapat menggunakannya lagi. Banyak asap hitam mengepul membubung
tinggi di udara.
Semua listrik mati, Inggris mulai menyerang sehingga pertempuran sengit terjadi.
Pertempuran yang paling menengangkan, di mana terdapat pabrik mesiu milik
Sekutu. TRI bermaksud untuk menghancurkan gudang tersebut.
Untuk itu diutuslah pemuda bernama Muhammad Toha dan Ramdan. Kedua
pemuda itu berhasil meledakan gudang tersebut dengan granat tangan .Gudang
besar itu meledak dan terbakar di dalamnya.
Sejak saat itu, kurang lebih pukul 24.00 Bandung Selatan telah kosong dari
penduduk dan TRI. Tetapi api masih membubung membakar kota, dan Bandung
berubah menjadi lautan api.
Reorientasi :
Istilah Bandung Lautan Api muncul dari seorang wartawan bernama Atje
Bastaman, yang menyaksikan pemandangan pembakaran Bandung dari bukit
Gunung Leutik di sekitar Pameungpeuk, Garut. Dari puncak ia melihat Bandung
yang memerah dari Cicadas sampai dengan Cimindi
Kolonel Abdul Haris Nasution selaku Komandan Divisi III, mengumumkan hasil
musyawarah tersebut dan memerintahkan rakyat untuk meninggalkan Kota
Bandung. Hari itu juga, rombongan besar penduduk Bandung mengalir panjang
meninggalkan kota.
Nilai Budaya :
Nilai Moral :
Bandung Lautan Api kemudian menjadi istilah yang terkenal setelah peristiwa
pembakaran itu. Banyak yang bertanya-tanya darimana istilah ini berawal.
Almarhum Jenderal Besar A.H Nasution teringat saat melakukan pertemuan di
Regentsweg (sekarang Jalan Dewi Sartika), setelah kembali dari pertemuannya
dengan Sutan Sjahrir di Jakarta, untuk memutuskan tindakan apa yang akan
dilakukan terhadap Kota Bandung setelah menerima ultimatum Inggris.
Nilai Estetis :
Istilah Bandung Lautan Api muncul pula di harian Suara Merdeka tanggal 26 Maret
1946. Seorang wartawan muda saat itu, yaitu Atje Bastaman, menyaksikan
pemandangan pembakaran Bandung dari bukit Gunung Leutik di sekitar
Pameungpeuk, Garut. Dari puncak itu Atje Bastaman melihat Bandung yang
memerah dari Cicadas sampai dengan Cimindi.