Anda di halaman 1dari 15

LAMBERTUS NICODEMUS PALAR

Penyusun : Fitri

Profil
Lambertus Nicodemus Palar atau dikenal dengan LN Palar merupakan
seorang pahlawan nasional yang lahir di Sulawesi Utara.
LN Palar merupakan tokoh penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan
Indonesia, khususnya di ranah perjuangan melalui diplomasi.
LN Palar dianugerahi gelar Pahlawan Nasional bertepatan pada hari
pahlawan 10 November 2013 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
berdasarkan Keppres No.68/TK/Tahun 2013, Tanggal 6 November 2013.
Selain LN Palar, pada kesempatan itu Presiden SBY juga menganugerahkan
gelar pahlawan kepada dua tokoh lainnya yaitu Dr Radjiman Widyodiningrat dan
TB Simatupang.
LN Palar dikenal sebagai tokoh yang unik sekaligus istimewa bagi
Indonesia, ia adalah seorang tokoh yang sangat membumi meski menduduki
sejumlah jabatan penting sebagai seorang diplomat.

Kehidupan Pribadi

LN Palar lahir Rurukan, Tomohon, Sulawesi Utara pada 5 Juni 1900. LN


Palar merupakan seorang anak dari pasangan suami istri Gerrit Palar, seorang
penilik sekolah dan Jacoba Lumanauw. LN Palar menikah dengan seorang
perempuan bernama Johanna Petronella "Yoke" Volmers. Dari pernikahan itu, LN
Palar dikaruniai tiga orang anak, Mary Elizabeth Singh, Maesi Martowardojo, dan
Bintoar Palar.
LN Palar meninggal di Jakarta pada 13 Februari 1981 dalam usia 80 tahun.
LN Palar dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Tanah Kusir, Jakarta
Selatan.

Riwayat Pendidikan

LN Palar mengenyam pendidikan formal pertamanya di Meisjes School di


Tomohon kemudian pindah ke Hoofd School di Tondano.
Lulus dari Hoofd School, LN Palar melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager
Onderwijs (MULO) antara 1916 sampai 1919.
LN Palar kemudian melanjutkan pendidikan menengahnya ke Algemeene
Middlebare School (AMS) di Yogyakarta.
Selama di Yogyakarta, LN Palar tinggal bersama Sam Ratulangi.
Setamat sekolah menengah, LN Palar melanjutkan ke Technische Hooge
School (THS) di Bandung (sekarang ITB) pada tahun 1922 sampai 1923, namun
LN Palar tidak sempat menyelesaikannya karena sakit.
Setelah pulih dari sakitnya, LN Palar kemudian pada 1924 melanjutkan
kuliah ke Sekolah Tinggi Hukum (Rechts Hooge School) di Batavia.
Di Batavia inilah LN Palar mulai aktif dalam pergerakan nasional dengan
bergabung dalam Jong Minahasa.
Pada 1926-1928, ia melanjutkan pendidikan di Gementelijke Universiteit di
Amsterdam sembari bekerja di kota itu.

Riwayat Karier

LN Palar memulai kariernya ketika ia tinggal di Amsterdam, Belanda. Pada


1930, LN Palar aktif menjadi anggota Social Democratische Arbeider Partij
(SDAP) setelah dalam kongresnya menyebutkan hak kemerdekaan nasional untuk
Hindia Belanda tanpa syarat.
Karier organisasinya terus melejit dengan menjabat sebagai sekretaris
Komisi Kolonial SDAP dan Nederlands Verbond van Vakverenigingen pada
Oktober 1933. Selain di kedua organisasi itu, LN Palar juga menjabat sebagai
direktur Perbureau Indonesia.
Melalui lembaga inilah, LN Palar mulai mengirimkan artikel-artikel tentang
sosial demokrasi dari Belanda ke pers di Hindia Belanda. Pada 1938, LN Palar
datang ke Indonesia dan mengunjungi beberapa daerah untuk menghimpun
informasi.
Dia memperoleh informasi bahwa gerakan kemerdekaan Indonesia sedang
giat-giatnya. Sekembalinya ke Belanda, ia menuliskan pengalamannya di
Indonesia, namun Perang Dunia II lebih dahulu berkecamuk dan Belanda
diduduki oleh Jerman. LN Palar tidak lagi bekerja untuk SDAP selama
berkecamuknya perang, ia beraktivitas dalam laboratorium van der Waals,
sembari mengajar Bahasa Melayu.
Selain itu, ia juga aktif dalam gerakan bawah tanah anti-Nazi Jerman.
Setelah PD II berakhir, LN Palar kembali aktif dalam kegiatan politik, ia aktif
dalam Partij van de Arbeid (PvdA), partai baru yang sebelumnya berawal dari
SDAP. Melalui PvdA ini, LN Palar kemudian terpilih menjadi anggota Twede
Kamer atau parlemen.
Setelah mendengar informasi kemerdekaan Indonesia, LN Palar mendukung
pernyataan kemerdekaan Indonesia dan menjalin hubungan dengan para
pemimpin Indonesia. Namun sikap LN Palar ini kurang mendapat dukungan dari
partainya.
Di parlemen, LN Palar juga mendesak pemerintah Belanda untuk
menyelesaikan secara damai konflik Belanda-Indonesia tanpa adanya kekerasan
bersenjata. Namun pada 20 Juli 1947, parlemen menyetujui kebijakan Agresi
Militer I untuk menyelesaikan konflik di Indonesia.
Setelah bertemu dengan Soekarno dan tokoh-tokoh pergerakan lainnya,
seperti Sutan Sjahrir dan Agus Salim, LN Palar kemudian mengundurkan diri dari
parlemen sebagai bentuk protes atas tindakan Belanda dalam Agresi Militer I.
Dari sinilah kontribusi LN Palar dalam perjuangan diplomasi Indonesia dimulai.
Pemerintah Indonesia kemudian memanggil LN Palar pulang untuk
bersama-sama berjuang mempertahankan kemerdekaan. Bersama Dr. Sudarsono
dan Mr. Maramis, LN Palar ditugaskan oleh Mohammad Hatta dan Agus Salim
selaku Menteri Luar Negeri untuk mendirikan Pemerintahan Indonesia dalam
Pengasingan (Government in Exile) jika usaha Mr. Syafrudin Prawiranegara
membuat PDRI di Bukit Tinggi gagal.
Perundingan-perundingan yang terjadi selama revolusi kemerdekaan tidak
terlepas dari peran LN Palar. LN Palar melakukan perundingan demi perundingan
langsung di jantung diplomasio internasional di markas besar PBB, New York,
Amerika Serikat sesuai dengan perintah Soekarno yang memintanya menjadi juru
bicara RI di PBB pada 1947.
Pada akhir 1947, LN Palar membuka kantor perwakilan RI di New York
dibantu oleh Sudarpo, Soedjatmoko, dan Soemitro. Sebelum pengakuan
kedaulatan RI pada 1949, status LN Palar dan delegasi Indonesia di PBB adalah
sebagai peninjau. Namun setelah pengakuan kedaulatan kemerdekaan dan
Indonesia menjadi anggota ke-60 PBB pada 1950, LN Palar menjadi perwakilan
resmi RI pertama dengan status keanggotaan penuh.
Setelah menjadi Kepala Perwakilan RI di PBB pada 1953, LN Palar
kemudian menjadi Duta Besar RI untuk India dan memberikan kontribusi yang
besar dalam persiapan penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika (KAA) pada
1955.
Pada 1955, LN Palar dipanggil pulang ke Indonesia untuk membantu
pelaksanaan KAA, yang dihadiri oleh 30 negara-negara Asia dan Afrika yang
pada umumnya baru merdeka. Usai KAA, LN Palar memulai kembali tugas
diplomasinya dengan menjadi Duta Besar RI untuk Uni Soviet dan Jerman Timur
selama dua tahun.
Kemudian pada 1957, LN Palar ditugasken menjadi Duta Besar RI untuk
Kanada hingga tahun 1962. Pada 1962 hingga 1965, LN Palar kembali menjadi
Kepala Perwakilan RI di PBB.
Karena adanya konflik Indonesia-Malaysia, Presiden Soekarno kemudian
mencabut keanggotaan RI di PBB. Saat presiden Soekarno memutuskan keluar
dari PBB, LN Palar kemudian menjadi Duta Besar RI untuk Amerika Serikat.
Pada masa awal pemerintahan Presiden Soeharto, Indonesia meminta
kembali masuk ke dalam keanggotaan PBB pada 1966. Pengalaman LN Palar di
PBB selama beberapa tahun sebelumnya, membuat ia menjadi utusan pemerintah
pada 1966 usai perubahan politik di dalam negeri.
LN Palar pensiun dari tugas diplomatisnya pada 1968 setelah melayani
bangsanya dalam permulaan usaha kemerdekaan, konflik Indonesia-Belanda
melalui perjuangan diplomasinya. Kahin dalam tulisannya menyebutkan jika LN
Palar merupakan seorang diplomat senior yang memiliki pengalaman sangat
panjang menjadi duta besar dan juga berjuang sebagai diplomat untuk negaranya.
Setelah pensiun, LN Palar masih memberikan kontribusi bagi pendidikan,
pekerjaan sosial, dan juga penasihat perwakilan Indonesia di PBB. LN Palar yang
merupakan seorang putera terbaik Sulawesi Utara itu meninggal pada 12 Februari
1981 di usia 80 tahun.
Sumber : https://video.tribunnews.com/view/89887/profil-lambertus-nicodemus-
palar-pahlawan-nasional
Tribunnews WIKI diupload pada Selasa, 6 Agustus 2019 17:51 WIB

SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO IX


Penyusun : Wita

Gusti Raden Mas Dorojatun, demikian nama yang disandang beliau ketika
kecil. Dilahirkan pada tanggal 12 April 1912, beliau adalah anak kesembilan Sri
Sultan Hamengku Buwono VIII dari istri kelimanya, Raden Ajeng Kustilah atau
Kanjeng Ratu Alit.
Masa muda GRM. Dorojatun dihabiskan di luar lingkungan keraton. Sri
Sultan Hamengku Buwono VIII menitipkan beliau ke pasangan Belanda.
Semenjak berusia 4 (empat) tahun, beliau dititipkan di rumah keluarga Mulder,
seorang kepala sekolah NHJJS (Neutrale Hollands Javanesche Jongen School).
Pihak keluarga Mulder diberi pesan supaya mendidik GRM Dorojatun
layaknya rakyat biasa. GRM Dorojatun diharuskan hidup mandiri, tanpa
didampingi pengasuh. Nama keseharian beliaupun jauh dari kesan bangsawan
keraton. Di keluarga ini, beliau dipanggil sebagai Henkie (henk kecil).
Masa-masa sekolah beliau jalani di Yogyakarta, mulai dari Frobel School
(taman kanak-kanak), lanjut ke Eerste Europe Lagere School B yang kemudian
pindah ke Neutrale Europese Lagere School. Setelah menyelesaikan pendidikan
dasar, beliau melanjutkan pendidikan ke Hogere Burgerschool di Semarang dan
Bandung.
Jenjang pendidikan HBS belum tuntas ditempuh ketika ayahanda
memutuskan mengirim beliau bersama beberapa saudaranya, ke Belanda. Setelah
menyelesaikan Gymnasium beliau melanjutkan pendidikan di Rijkuniversitet di
Leiden. Di sini beliau mendalami ilmu hukum tata negara, sambil aktif mengikuti
klub debat yang dipimpin Profesor Schrieke. Pada masa pendidikan di Belanda ini
pula beliau berkenalan dan kemudian menjadi sahabat karib Putri Juliana yang
kelak akan menjadi Ratu Belanda.
Tahun 1939 peta politik dunia bergerak cepat. Tanda-tanda meletusnya
Perang Dunia II semakin jelas. Sri Sultan Hamengku Buwono VIII memutuskan
memanggil pulang GRM Dorojatun, meskipun yang bersangkutan belum
menyelesaikan jenjang pendidikannya. Setibanya GRM Dorojatun di tanah air,
beliau disambut langsung oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Saat itu pula
Sri Sultan menyerahkan kepada GRM Dorojatun Keris Kyai Joko Piturun. Kyai
Joko Piturun sebenarnya adalah atribut bagi putra mahkota, sehingga yang
mengenakan bisa dianggap sebagai calon penerus tahta. Selang beberapa hari
kemudian, Sri Sultan Hamengku Buwono VIII mangkat.
Perjalanan GRM Dorojatun menuju singgasana ternyata tidak mudah.
Sebagai bagian dari sejarah Mataram, setiap calon raja baru di Kasultanan
Yogyakarta diharuskan untuk menandatangani kesepakatan bersama terlebih
dahulu dengan Belanda. Politisi senior Belanda, Dr. Lucien Adam yang berusia 60
tahun harus berdebat panjang dengan GRM Dorojatun yang saat itu usianya baru
menginjak 28 tahun. Perdebatan berjalan alot utamanya disebabkan karena hal-hal
sebagai berikut:
1. GRM Dorojatun tidak setuju jabatan Patih merangkap pegawai
kolonial, hal ini agar tidak ada konflik kepentingan.
2. Beliau juga tidak setuju dewan penasehatnya ditentukan oleh
Belanda
3. Beliau menolak pasukan/prajurit keraton mendapat perintah
langsung dari Belanda.
Dikisahkan, setelah 4 bulan tidak menghasilkan kesepakatan apapun, GRM
Dorojatun tiba-tiba berubah sikap. Hal yang begitu mengherankan diplomat senior
Belanda tersebut karena GRM Dorojatun bersedia menerima semua usulan Dr.
Lucien Adams. Di kemudian hari, beliau berkisah bahwa keputusan itu berdasar
bisikan yang menyuruh beliau menandatangani saja kesepakatan yang diajukan
karena Belanda tidak lama lagi akan pergi dari bumi Mataram.
Pada tanggal 12 Maret 1940 di Tratag Prabayeksa, kontrak politik dengan
Belanda, yang berisi 17 bab dan terdiri dari 59 pasal, beliau tandatangani tanpa
dibaca lagi. Kontrak tersebut berlaku semenjak GRM Dorojatun naik tahta.
Hari Senin Pon, 18 Maret 1940, beliau dinobatkan sebagai putra mahkota
dengan gelar Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Sudibja Radja Putra
Narendra Mataram dan dilanjutkan penobatan beliau sebagai Raja dengan gelar
Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kandjeng Sultan Hamengku Buwono
Senopati Ingalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah Kaping IX.
Di hari pelantikan tersebut beliau berpidato dan mengeluarkan kalimat yang
dikenang oleh semua orang hingga saat ini, “Saya memang berpendidikan barat
tapi pertama-tama saya tetap orang Jawa”.

Sri Sultan Hamengku Buwono IX: Pangeran Dalam Republik


Ketika sebuah negara baru lahir di negeri ini, 17 Agustus 1945, dengan
dikumandangkannya proklamasi oleh Soekarno dan Moh. Hatta, Sri Sultan
Hamengku Buwono IX segera mengambil sikap. Dua hari setelah proklamasi,
beliau mengirim telegram ucapan selamat kepada para proklamator. Dua minggu
setelahnya, tepatnya tanggal 5 September 1945, beliau bersama Paku Alam VIII,
mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa daerah Yogyakarta adalah
bagian dari wilayah Republik Indonesia.
Yogyakarta dengan demikian resmi memasuki abad modernnya, dimana dia
bukan lagi sebuah entitas negara sendiri, tetapi bagian dari negara republik.
Langkah beliau yang didukung sepenuhnya oleh rakyatnya ini, di kemudian hari
dibuktikan dengan pengabdian yang total.
Ketika negara yang baru lahir ini menghadapi tekanan dari pemerintah
kolonial yang datang kembali, beliau mengundang para tokoh bangsa untuk
pindah ke Yogyakarta. Sri Sultan Hamengku Buwono IX menyatakan bahwa
Yogyakarta siap menjadi ibukota negara Republik yang baru berdiri tersebut.
Peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX terhadap republik juga ditunjukkan
melalui dukungan finansial. Selama pemerintahan republik berada di Yogyakarta,
segala urusan pendanaan diambil dari kas keraton. Hal ini meliputi gaji Presiden/
Wakil Presiden, staff, operasional TNI hingga biaya perjalan dan akomodasi
delegasi-delegasi yang dikirim ke luar negeri. Sri Sultan Hamengku Buwono IX
sendiri tidak pernah mengingat-ingat berapa jumlah yang sudah dikeluarkan. Bagi
beliau hal ini sudah merupakan bagian dari perjuangan. Bahkan beliau memberi
amanat kepada penerusnya untuk tidak menghitung-hitung apalagi meminta
kembali harta keraton yang diberikan untuk republik tersebut.
Pada tahun 1949 ketika Soekarno-Hatta beserta seluruh jajaran staff kabinet
RI harus kembali ke Jakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX menyampaikan
pesan perpisahan dengan sangat berat hati. Ujarnya, “Yogyakarta sudah tidak
memiliki apa-apa lagi, silakan lanjutkan pemerintahan ini di Jakarta”.
Demikianlah Sri Sultan Hamengku Buwono IX menjalankan sabda pandita ratu-
nya, sesuai telegram yang beliau kirim dua hari setelah proklamasi, bahwa beliau
“sanggup berdiri di belakang pimpinan Paduka Yang Mulia”.
Sejarah mencatat bahwa perjuangan Indonesia menuju bentuknya saat ini
mengalami fase pasang surut. Di ujung berakhirnya era Orde Lama, ketika
Soeharto mengambil alih kendali pemerintahan, kepercayaan negara-negara dunia
kepada Indonesia sedang berada di titik terendah. Tak satupun pemimpin dunia
yang mengenal Soeharto. Indonesia sebagai negara juga sedang dijauhi karena
sikap anti-asing yang sangat kuat di era akhir Order Lama. Di saat seperti ini, Sri
Sultan Hamengku Buwono IX pun menyingsingkan lengan bajunya, keliling
dunia untuk meyakinkan para pemimpin negara-negara tetangga bahwa Indonesia
masih ada, dan beliau tetap bagian dari negara itu. Dengan demikian kepercayaan
internasional pelan-pelan dapat dipulihkan kembali.
Seiring perjalanan Republik Indonesia sebagai negara, Sri Sultan Hamengku
Buwono IX telah mengabdikan diri dalam berbagai posisi. Selain menjadi pejuang
pejuang kemerdekaan, Sri Sultan Hamengku Buwono IX tercatat sebagai Menteri
Negara dari era Kabinet Syahrir (2 Oktober 1946 - 27 Juni 1947) hingga Kabinet
Hatta I (29 Januari 1948 s/d 4 Agustus 1949). Di masa kabinet Hatta II (4 Agustus
1949 s/d 20 Desember 1949) hingga masa RIS (20 Desember 1949 s.d. 6
September 1950) beliau menjabat Menteri Pertahanan. Dan menjadi Wakil
Perdana Menteri di era Kabinet Natsir (6 September 1950 s.d. 27 April 1951).
Beliau masih terus menjabat berbagai jabatan di tiap periode hingga pada tahun
1973 menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia yang kedua. Jabatan tersebut
diemban sampai pada tanggal 23 Maret 1978, ketika beliau menyatakan
mengundurkan diri.
Selain berperan di bidang politik, Sri Sultan Hamengku Buwono IX juga
ditetapkan sebagai Bapak Pramuka Indonesia. Khusus mengenai kepanduan ini,
beliau menyandang medali Bronze Wolf dari organisasi resmi World Scout
Committee (WSC) sebagai pengakuan atas sumbangsih seorang individu kepada
kepanduan dunia.
Tepat tanggal 2 Oktober 1988 malam, ketika beliau berkunjung ke Amerika,
Sri Sultan Hamengku Buwono IX menghembuskan nafas terakhirnya di George
Washington University Medical Center. Beliau kemudian dimakamkan di
Kompleks Pemakaman Raja-raja di Imogiri, diiringi oleh lautan massa yang ikut
berduka. Pada saat itu, pohon beringin Kyai Wijayandaru di Alun-alun Utara,
mendadak roboh, seakan pertanda duka yang mendalam.
Berdasar SK Presiden Repulik Indonesia Nomor 053/TK/Tahun 1990, pada
tanggal 30 Juli 1990, atas jasa-jasa beliau kepada Negara Kesatuan Republik
Indonesia, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dianugerahi gelar Pahlawan
Nasional.

Peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono IX


Selokan Mataram adalah salah satu karya paling monumental Sri Sultan
Hamengku Buwono IX . Saluran air yang menghubungkan Sungai Progo dengan
Kali Opak yang membelah Yogyakarta dari barat ke timur ini memberi pengairan
yang tak pernah berhenti bagi lahan-lahan pertanian di sekitarnya. Proyek selokan
mataram ini berhasil menyelamatkan banyak penduduk Yogyakarta untuk tidak
diikutsertakan dalam program kerja paksa Jepang, Romusha. Sebuah solusi brilian
yang tidak hanya bisa menyelamatkan nyawa rakyatnya di kala itu, tetapi juga
membuat manfaat yang terus bisa dinikmati hingga kini.
Di bidang pendidikan, Sri Sultan Hamengku Buwono IX mendukung penuh
berdirinya Universitas Gadjah Mada. Lembaga perguruan tinggi yang telah
mencetak banyak tokoh nasional maupun internasional ini awalnya menggunakan
Pagelaran dan bangunan-bangunan lain di dalam dan sekitar keraton untuk
dijadikan lokasi belajar mengajar. Sejalan dengan perkembangan universitas,
sebidang tanah di Bulak Sumur disediakan oleh Sultan untuk dibangun gedung
utama, Balairung UGM, yang dirancang sendiri oleh Presiden Soekarno kala itu.
Seperti raja-raja Yogyakarta pendahulunya, Sri Sultan Hamengku Buwono IX
juga mempunyai sumbangsih yang besar di bidang seni. Terinspirasi dari cerita
wayang golek, beliau menciptakan tari klasik Golek Menak yang meneguhkan
karekter khas gerak tari gaya Yogyakarta. Karya lain yang beliau hasilkan
diantaranya adalah tari Bedhaya Sapta dan Bedhaya Sanghaskara (Manten).
Sumber : https://www.kratonjogja.id/raja-raja/10/sri-sultan-hamengku-buwono-ix

SOEDIRMAN
Penyusun : Mita

Nama Lengkap : Jenderal Besar TNI A Soedirman


Agama : Islam
Tempat Lahir : Desa Bodas Karangjati, Purbalingga, Jawa Tengah
Tanggal Lahir : Senin, 24 Januari 1916
Pendidikan
 Sekolah Taman Siswa
 HIK (sekolah guru) Muhammadiyah, Solo tetapi tidak sampai tamat.
 Pendidikan Militer Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor
Karir
 Guru di HIS Muhammadiyah di Cilacap
 Panglima Besar TKR/TNI, dengan pangkat Jenderal
 Panglima Divisi V/Banyumas, dengan pangkat Kolonel
 Komandan Batalyon di Kroya
Penghargaan
 Jenderal Besar Anumerta Bintang Lima (1997)
Jenderal Soedirman ialah salah seorang Pahlawan Revolusi Nasional
Indonesia. Dalam sejarah perjuangan Republik Indonesia, ia merupakan Panglima
dan Jenderal RI yang pertama dan termuda. Pada usia yang masih cukup muda,
yaitu 31 tahun, Soedirman telah menjadi seorang jenderal. Selain itu, ia juga
dikenal sebagai pejuang yang gigih. Meskipun ia sedang menderita penyakit paru-
paru parah, ia tetap berjuang dan bergerilya bersama para prajuritnya untuk
melawan tentara Belanda pada Agresi Militer II.
Soedirman lahir di Purbalingga, Jawa Tengah pada tanggal 24 Januari 1916.
Ia berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya seorang pekerja di pabrik gula
Kalibagor Banyumas dan ibunya keturunan Wedana Rembang. Soedirman
memperoleh pendidikan formal dari Sekolah Taman Siswa. Ia kemudian
melanjutkan pendidikannya ke HIK (sekolah guru) Muhammadiyah, Solo tetapi
tidak sampai tamat. Selama menempuh pendidikan di sana, ia pun turut serta
dalam kegiatan organisasi Pramuka Hizbul Wathan. Setelah itu ia menjadi guru di
sekolah HIS Muhammadiyah di Cilacap. Ia kemudian mengabdikan dirinya
menjadi guru HIS Muhammadiyah, Cilacap dan pemandu di organisasi Pramuka
Hizbul Wathan tersebut.
Pada zaman penjajahan Jepang, Soedirman bergabung dengan tentara
Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor. Pasca Indonesia merdeka dari penjajahan
Jepang, ia berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Banyumas. Kemudian
beliau diangkat menjadi Komandan Batalyon di Kroya setelah menyelesaikan
pendidikannya. Ia lalu menjadi Panglima Divisi V/Banyumas sesudah TKR
(Tentara Keamanan Rakyat) terbentuk, dan akhirnya terpilih menjadi Panglima
Angkatan Perang Republik Indonesia (Panglima TNI). Perang Palagan Ambarawa
melawan pasukan Inggris dan NICA Belanda dari bulan November sampai
Desember 1945 adalah perang besar pertama yang ia pimpin. Karena ia berhasil
memperoleh kemenangan pada pertempuran ini, Presiden Soekarno pun
melantiknya sebagai Jenderal.
Biografi Jenderal Sudirman Lengkap – Jenderal Besar TNI
Sudirman atau Soedirman atau Pak Dirman adalah salah seorang Jenderal
yang terpandang dan sangat disegani oleh pasukannya dalam sejarah Indonesia
dan salah satu dari sekian banyak Pahlawan Revolusi Nasional yang dimiliki
Indonesia dan berjasa sangat besar pada masa revolusi kemerdekaan. Ia adalah
Panglima pertama dan Jendral RI pertama dan termuda pada usia 31 tahun. Ia juga
dikenal sebagai pejuang yang gigih dan sangat teguh dalam memegang prinsip,
memiliki tutur kata yang tenang dan mampu memecahkan masalah dengan cara
yang solutif. Jarang diketahui bahwa beliau sudah berkecimpung secara aktif di
dunia pendidikan sebelum menjadi tentara dan menjadi seorang Jenderal besar di
dunia militer. Ia adalah seorang pejuang yang tangguh dan tidak kenal menyerah
sebagaimana cerita pejuang lainnya dalam biografi R.A. Kartini dan biografi Cut
Nyak Dhien sebagai para pahlawan nasional wanita Indonesia.

Riwayat Jenderal Besar Soedirman

Jenderal yang bernama asli Raden Soedirman lahir di Purbalingga, Jawa


Tengah pada 24 Januari 1916 dari orang tua bernama Karsid Kartawiraji dan
Siyem, memiliki seorang saudara bernama Muhammad Samingan. Istrinya
bernama Alfiah dan memiliki 7 orang anak. Tempat kelahirannya tepatnya berada
di Bodas Karangjati, Rembang. Ia tidak dibesarkan oleh orang tua kandungnya
melainkan diadopsi oleh pamannya yang seorang camat bernama Raden
Cokrosunaryo, agar mendapatkan kehidupan yang lebih mapan.
Dalam biografi Jenderal Sudirman ini, ia memang mendapatkan pendidikan
layak sejak kecil dimulai pada usia tujuh tahun di HIS (Hollandsch Indlandsche
School) dan pada tahun ke tujuh pindah bersekolah ke Taman Siswa. Pada tahun
berikutnya ia pindah ke Sekolah Wirotomo karena pemerintah Belanda
menganggap Taman Siswa Ilegal. Ia adalah anak yang taat beribadah dan belajar
mengenai agama Islam dari Raden Muhammad Kholil hingga mendapatkan
julukan Haji karena sering berceramah.
Pamannya wafat pada tahun 1934 dan hal itu menjadi pukulan berat karena
keluarganya menjadi jatuh miskin setelahnya, namun ia dibolehkan untuk tetap
bersekolah tanpa bayaran di Wirotomo. Ketika remaja ia ikut mendirikan
organisasi Islam bernama Hizbul Wathan milik organisasi Muhammadiyah dan
setelah lulus memimpin cabang Cilacap. Sejak muda Sudirman memang sudah
tampak memiliki bakat kepemimpinan. Masyarakat segan dan hormat kepadanya.
Setelah lulus ia kemudian belajar kembali di Kweekschool yaitu sekolah khusus
calon guru Muhammadiyah, tetapi masalah biaya membuatnya berhenti. Ia
kembali ke Cilacap dan menjadi guru di Sekolah Dasar Muhammadiyah, bertemu
dengan Alfiah dan menikah, tinggal di rumah mertuanya yang merupakan
pengusaha batik kaya bernama Raden Sosroatmodjo.
Organisasi Jenderal Sudirman
Biografi Jenderal Sudirman mencatat bahwa selama mengajar ia juga tetap
aktif untuk berorganisasi di organisasi pemuda Muhammadiyah. Setelah masa
penjajahan Jepang di Indonesia pada 1942, kegiatannya mengajar dibatasi bahkan
sekolahnya diubah menjadi pos militer oleh Jepang. Ia berunding dengan Jepang
dan akhirnya tetap diperbolehkan mengajar dengan perlengkapan yang terbatas.
Di tahun 1944 ia menjabat sebagai ketua dewan karesidenan bentukan Jepang, dan
menjadi awal mulanya memasuki dunia militer setelah diminta bergabung dengan
PETA dan menempuh pendidikan di Bogor. Perjuangan Soedirman juga tidak
kalah dengan riwayat biografi Bung Tomo dan biografi W.R. Soepratman yang
berjuang di masa yang berdekatan.
Setelah tamat pendidikan PETA, ia langsung menjadi komandan batalyon
Kroya. Ketika proklamasi kemerdekaan, Sudirman bertemu dengan Soekarno
Hatta dan diberi tugas untuk mengawasi proses penyerahan diri para tentara
Jepang di Banyumas setelah mendirikan divisi lokal dari Badan Keamanan
Rakyat. Pasukannya kemudian dijadikan bagian dari Divisi V oleh Oerip
Soemohardjo, panglima sementara. Sudirman menjadi Panglima Divisi
V/Banyumas berpangkat Kolonel setelah terbentuknya TKR (Tentara Keamanan
Rakyat) atau BKR. Kemudian melalui Konferensi TKR pada tanggal 2 November
1945, Sudirman terpilih menjadi Panglima Besar TKR/Panglima Angkatan Perang
Republik Indonesia. Selama menunggu pelantikan sebagai panglima, ia
memerintahkan agar dilakukan serangan kepada pasukan Inggris dan Belanda di
Ambarawa, yang membuat rakyat semakin kuat mendukung Sudirman. Pada
tanggal 18 Desember 1945 Sudirman diberikan pangkat Jenderal dan dilantik oleh
Presiden.

Perjuangan Jenderal Sudirman dalam Kemerdekaan Indonesia

Biografi Jenderal Sudirman juga mencakup ketika dirinya menjadi saksi dari
berbagai upaya diplomatik Indonesia yang gagal dengan tentara Belanda yang
ingin kembali menjajah. Kegagalan pertama adalah Perjanjian Linggarjati dimana
Sudirman ikut menyusunnya, dan juga sejarah Perjanjian Renville yang
menyebabkan Indonesia harus mengembalikan wilayah yang diambil pada Agresi
Militer belanda I kepada Belanda, dan Indonesia harus menarik 35 ribu tentaranya
dan Perundingan Roem Roijen. Begitu juga adanya upaya – upaya pemberontakan
dari dalam negeri terutama dari peristiwa G30SPKI di Madiun pada 1948.
Sudirman mengatakan kepada Soekarno untuk melanjutkan perang gerilya
karena tidak percaya Belanda akan memenuhi janjinya, namun Soekarno menolak.
Sudirman terpukul dan menganggap hal itu turut menyumbang andil pada
penyakit tuberkulosis (TBC) yang dideritanya, mengakibatkan paru – paru
kanannya dikempeskan karena infeksi pada November 1948. Ketika itu Sudirman
yang juga terpukul karena kematian Oerip pada 1948 sempat mengancam
mengundurkan diri, namun Soekarno juga mengancam untuk melakukan hal sama
sehingga Sudirman menyadari bahwa pengunduran dirinya akan membawa
ketidak stabilan bagi perjuangan.
Beberapa hari setelah Sudirman keluar dari rumah sakit, tepatnya pada 19
Desember 1948, Belanda melakukan Agresi Militer belanda 2. Sudirman bersama
sekelompok kecil tentara dan dokter pribadinya mengarah ke Selaran dan
memulai gerilya selama tujuh bulan dalam keadaan sakit parah, ditandu dan
kekurangan fasilitas medis. Mereka kabur dari kejaran pasukan Belanda dan
mendirikan markas sementara di Sobo, dekat Gunung Lawu. Ia memimpin
kegiatan militer di Pulau Jawa dari sini termasuk mengomandoi Serangan Umum
1 Maret 1949 di Yogyakarta, dipimpin oleh Letkol Soeharto. Kondisi fisiknya
yang terus menurun akhirnya memaksa Jenderal Sudirman untuk mundur dari
medan perang dan tidak bisa memimpin pasukannya secara langsung.
Wafatnya Jenderal Sudirman
Penyakitnya semakin parah namun semangatnya untuk sembuh tidak
berkurang. Beliau terus kontrol kesehatan secara rutin ke RS. Panti Rapih
Yogyakarta, pada masa ketika pengakuan akan kedaulatan Indonesia sedang
dirundingkan dengan Belanda. Pada 27 Desember 1949, Belanda akhirnya
mengakui kedaulatan Indonesia melalui Republik Indonesia Serikat (RIS). Pada
waktu itu Sudirman sedang dirawat di sanatorium Pakem dan pindah ke Magelang
pada Desember 1949. Kurang lebih satu bulan setelah kedaulatan Indonesia diakui
Belanda, Jenderal Sudirman wafat pada tanggal 29 Januari 1950. Ia dimakamkan
di Taman Makam Pahlawan Semaki Yogyakarta dengan diiringi konvoi empat
buah tank dan 80 buah kendaraan bermotor, dinobatkan sebagai Pahlawan
Pembela Kemerdekaan. Ketahui juga cerita para pahlawan lainnya dalam biografi
Pangeran Diponegoro, biografi Ki Hajar Dewantara, dan biografi Ahmad Yani.
Ribuan rakyat berkumpul hingga sepanjang dua kilometer mengiringi
prosesi pemakamannya dan mengibarkan bendera setengah tiang pada hari
kematiannya. Taktik gerilyanya kemudian ditetapkan sebagai esprit de corps untuk
tentara Indonesia, dan rute perang gerilya sepanjang 100 kilometer yang dulu
ditempuh Jenderal Sudirman harus dijalani oleh para taruna Indonesia sebelum
lulus dari akademi militer. Wajahnya juga kerap ditampilkan pada uang kertas
rupiah yaitu pada tahun 1968, dan namanya kerap diabadikan sebagai nama jalan,
universitas, museum, juga monumen. Ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional
Indonesia pada 10 Desember 1964. Sudirman dianugerahi gelar sebagai Jenderal
Besar Anumerta pada 1997 dengan bintang lima, dimana pangkat tersebut hanya
dimiliki oleh tiga orang Indonesia hingga sekarang.

Sumber : ditulis oleh Meidita Kusuma Wardhani


https://m.merdeka.com/soedirman/profil/
Devita Retno https://sejarahlengkap.com/tokoh/biografi-jenderal-sudirman

Anda mungkin juga menyukai