Penyusun : Fitri
Profil
Lambertus Nicodemus Palar atau dikenal dengan LN Palar merupakan
seorang pahlawan nasional yang lahir di Sulawesi Utara.
LN Palar merupakan tokoh penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan
Indonesia, khususnya di ranah perjuangan melalui diplomasi.
LN Palar dianugerahi gelar Pahlawan Nasional bertepatan pada hari
pahlawan 10 November 2013 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
berdasarkan Keppres No.68/TK/Tahun 2013, Tanggal 6 November 2013.
Selain LN Palar, pada kesempatan itu Presiden SBY juga menganugerahkan
gelar pahlawan kepada dua tokoh lainnya yaitu Dr Radjiman Widyodiningrat dan
TB Simatupang.
LN Palar dikenal sebagai tokoh yang unik sekaligus istimewa bagi
Indonesia, ia adalah seorang tokoh yang sangat membumi meski menduduki
sejumlah jabatan penting sebagai seorang diplomat.
Kehidupan Pribadi
Riwayat Pendidikan
Riwayat Karier
Gusti Raden Mas Dorojatun, demikian nama yang disandang beliau ketika
kecil. Dilahirkan pada tanggal 12 April 1912, beliau adalah anak kesembilan Sri
Sultan Hamengku Buwono VIII dari istri kelimanya, Raden Ajeng Kustilah atau
Kanjeng Ratu Alit.
Masa muda GRM. Dorojatun dihabiskan di luar lingkungan keraton. Sri
Sultan Hamengku Buwono VIII menitipkan beliau ke pasangan Belanda.
Semenjak berusia 4 (empat) tahun, beliau dititipkan di rumah keluarga Mulder,
seorang kepala sekolah NHJJS (Neutrale Hollands Javanesche Jongen School).
Pihak keluarga Mulder diberi pesan supaya mendidik GRM Dorojatun
layaknya rakyat biasa. GRM Dorojatun diharuskan hidup mandiri, tanpa
didampingi pengasuh. Nama keseharian beliaupun jauh dari kesan bangsawan
keraton. Di keluarga ini, beliau dipanggil sebagai Henkie (henk kecil).
Masa-masa sekolah beliau jalani di Yogyakarta, mulai dari Frobel School
(taman kanak-kanak), lanjut ke Eerste Europe Lagere School B yang kemudian
pindah ke Neutrale Europese Lagere School. Setelah menyelesaikan pendidikan
dasar, beliau melanjutkan pendidikan ke Hogere Burgerschool di Semarang dan
Bandung.
Jenjang pendidikan HBS belum tuntas ditempuh ketika ayahanda
memutuskan mengirim beliau bersama beberapa saudaranya, ke Belanda. Setelah
menyelesaikan Gymnasium beliau melanjutkan pendidikan di Rijkuniversitet di
Leiden. Di sini beliau mendalami ilmu hukum tata negara, sambil aktif mengikuti
klub debat yang dipimpin Profesor Schrieke. Pada masa pendidikan di Belanda ini
pula beliau berkenalan dan kemudian menjadi sahabat karib Putri Juliana yang
kelak akan menjadi Ratu Belanda.
Tahun 1939 peta politik dunia bergerak cepat. Tanda-tanda meletusnya
Perang Dunia II semakin jelas. Sri Sultan Hamengku Buwono VIII memutuskan
memanggil pulang GRM Dorojatun, meskipun yang bersangkutan belum
menyelesaikan jenjang pendidikannya. Setibanya GRM Dorojatun di tanah air,
beliau disambut langsung oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Saat itu pula
Sri Sultan menyerahkan kepada GRM Dorojatun Keris Kyai Joko Piturun. Kyai
Joko Piturun sebenarnya adalah atribut bagi putra mahkota, sehingga yang
mengenakan bisa dianggap sebagai calon penerus tahta. Selang beberapa hari
kemudian, Sri Sultan Hamengku Buwono VIII mangkat.
Perjalanan GRM Dorojatun menuju singgasana ternyata tidak mudah.
Sebagai bagian dari sejarah Mataram, setiap calon raja baru di Kasultanan
Yogyakarta diharuskan untuk menandatangani kesepakatan bersama terlebih
dahulu dengan Belanda. Politisi senior Belanda, Dr. Lucien Adam yang berusia 60
tahun harus berdebat panjang dengan GRM Dorojatun yang saat itu usianya baru
menginjak 28 tahun. Perdebatan berjalan alot utamanya disebabkan karena hal-hal
sebagai berikut:
1. GRM Dorojatun tidak setuju jabatan Patih merangkap pegawai
kolonial, hal ini agar tidak ada konflik kepentingan.
2. Beliau juga tidak setuju dewan penasehatnya ditentukan oleh
Belanda
3. Beliau menolak pasukan/prajurit keraton mendapat perintah
langsung dari Belanda.
Dikisahkan, setelah 4 bulan tidak menghasilkan kesepakatan apapun, GRM
Dorojatun tiba-tiba berubah sikap. Hal yang begitu mengherankan diplomat senior
Belanda tersebut karena GRM Dorojatun bersedia menerima semua usulan Dr.
Lucien Adams. Di kemudian hari, beliau berkisah bahwa keputusan itu berdasar
bisikan yang menyuruh beliau menandatangani saja kesepakatan yang diajukan
karena Belanda tidak lama lagi akan pergi dari bumi Mataram.
Pada tanggal 12 Maret 1940 di Tratag Prabayeksa, kontrak politik dengan
Belanda, yang berisi 17 bab dan terdiri dari 59 pasal, beliau tandatangani tanpa
dibaca lagi. Kontrak tersebut berlaku semenjak GRM Dorojatun naik tahta.
Hari Senin Pon, 18 Maret 1940, beliau dinobatkan sebagai putra mahkota
dengan gelar Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Sudibja Radja Putra
Narendra Mataram dan dilanjutkan penobatan beliau sebagai Raja dengan gelar
Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kandjeng Sultan Hamengku Buwono
Senopati Ingalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah Kaping IX.
Di hari pelantikan tersebut beliau berpidato dan mengeluarkan kalimat yang
dikenang oleh semua orang hingga saat ini, “Saya memang berpendidikan barat
tapi pertama-tama saya tetap orang Jawa”.
SOEDIRMAN
Penyusun : Mita
Biografi Jenderal Sudirman juga mencakup ketika dirinya menjadi saksi dari
berbagai upaya diplomatik Indonesia yang gagal dengan tentara Belanda yang
ingin kembali menjajah. Kegagalan pertama adalah Perjanjian Linggarjati dimana
Sudirman ikut menyusunnya, dan juga sejarah Perjanjian Renville yang
menyebabkan Indonesia harus mengembalikan wilayah yang diambil pada Agresi
Militer belanda I kepada Belanda, dan Indonesia harus menarik 35 ribu tentaranya
dan Perundingan Roem Roijen. Begitu juga adanya upaya – upaya pemberontakan
dari dalam negeri terutama dari peristiwa G30SPKI di Madiun pada 1948.
Sudirman mengatakan kepada Soekarno untuk melanjutkan perang gerilya
karena tidak percaya Belanda akan memenuhi janjinya, namun Soekarno menolak.
Sudirman terpukul dan menganggap hal itu turut menyumbang andil pada
penyakit tuberkulosis (TBC) yang dideritanya, mengakibatkan paru – paru
kanannya dikempeskan karena infeksi pada November 1948. Ketika itu Sudirman
yang juga terpukul karena kematian Oerip pada 1948 sempat mengancam
mengundurkan diri, namun Soekarno juga mengancam untuk melakukan hal sama
sehingga Sudirman menyadari bahwa pengunduran dirinya akan membawa
ketidak stabilan bagi perjuangan.
Beberapa hari setelah Sudirman keluar dari rumah sakit, tepatnya pada 19
Desember 1948, Belanda melakukan Agresi Militer belanda 2. Sudirman bersama
sekelompok kecil tentara dan dokter pribadinya mengarah ke Selaran dan
memulai gerilya selama tujuh bulan dalam keadaan sakit parah, ditandu dan
kekurangan fasilitas medis. Mereka kabur dari kejaran pasukan Belanda dan
mendirikan markas sementara di Sobo, dekat Gunung Lawu. Ia memimpin
kegiatan militer di Pulau Jawa dari sini termasuk mengomandoi Serangan Umum
1 Maret 1949 di Yogyakarta, dipimpin oleh Letkol Soeharto. Kondisi fisiknya
yang terus menurun akhirnya memaksa Jenderal Sudirman untuk mundur dari
medan perang dan tidak bisa memimpin pasukannya secara langsung.
Wafatnya Jenderal Sudirman
Penyakitnya semakin parah namun semangatnya untuk sembuh tidak
berkurang. Beliau terus kontrol kesehatan secara rutin ke RS. Panti Rapih
Yogyakarta, pada masa ketika pengakuan akan kedaulatan Indonesia sedang
dirundingkan dengan Belanda. Pada 27 Desember 1949, Belanda akhirnya
mengakui kedaulatan Indonesia melalui Republik Indonesia Serikat (RIS). Pada
waktu itu Sudirman sedang dirawat di sanatorium Pakem dan pindah ke Magelang
pada Desember 1949. Kurang lebih satu bulan setelah kedaulatan Indonesia diakui
Belanda, Jenderal Sudirman wafat pada tanggal 29 Januari 1950. Ia dimakamkan
di Taman Makam Pahlawan Semaki Yogyakarta dengan diiringi konvoi empat
buah tank dan 80 buah kendaraan bermotor, dinobatkan sebagai Pahlawan
Pembela Kemerdekaan. Ketahui juga cerita para pahlawan lainnya dalam biografi
Pangeran Diponegoro, biografi Ki Hajar Dewantara, dan biografi Ahmad Yani.
Ribuan rakyat berkumpul hingga sepanjang dua kilometer mengiringi
prosesi pemakamannya dan mengibarkan bendera setengah tiang pada hari
kematiannya. Taktik gerilyanya kemudian ditetapkan sebagai esprit de corps untuk
tentara Indonesia, dan rute perang gerilya sepanjang 100 kilometer yang dulu
ditempuh Jenderal Sudirman harus dijalani oleh para taruna Indonesia sebelum
lulus dari akademi militer. Wajahnya juga kerap ditampilkan pada uang kertas
rupiah yaitu pada tahun 1968, dan namanya kerap diabadikan sebagai nama jalan,
universitas, museum, juga monumen. Ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional
Indonesia pada 10 Desember 1964. Sudirman dianugerahi gelar sebagai Jenderal
Besar Anumerta pada 1997 dengan bintang lima, dimana pangkat tersebut hanya
dimiliki oleh tiga orang Indonesia hingga sekarang.