Anda di halaman 1dari 10

WILAYAH LAUT DAN UDARA

A. WILAYAH LAUT
Ketentuan hukum mengenai kedaulatan dan yurisdiksi negara di laut
telah diawali denagn dibuatnya konvensi-konvensi Jenewa 1958 dalam
Konferensi Hukum Laut I. Konvensi Hukum Laut 1958 terdiri dari empat
konvensi, yaitu konvensi mengenai laut teritorial dan jalur tambahan
(convention on the territorial sea and contiguous zone); konvensi mengenai
laut lepas (convention on the high seas); konvensi mengenai perikanan dan
perlindungan kekayaan hayati di laut lepas (convention on fishinbg and
conservation of the living resources of the high seas) dan konvensi mengenai
landas kontinen (convention on the continental shelf). Konvensi hukum laut
1958 dianggap tidak berhasil mencapai kesepakatan dalam beberapa hal, yaitu
mengenai lebar laut teritorial. Oleh karena itu, kemudian diadakan Konferensi
Hukum Laut II pada tahun 1960 khusus membahas lebar laut wilayah, serta
membahas mengenai batas perikanan (fishery limits). Konvensi Hukum Laut
II (1960) juga tidak behrail menyepakati mengenai lebar laut teritorial karena
banyak negara yang tidak puas dengan aturan-aturan dalam Konvensi Hukum
Laut 1958 serta semakin bertambahnya jumlah negara di dunia maka
Konvensi Hukum Laut 1958 dianggap perlu direvisi. Pada tahun 1973
diselenggarakan Konferensi Hukum Laut ke III untuk membuat aturan di
bidang hukum laut yang komprehensif.
Menurut pasal 308 ayat (1) Konvensi Hukum Laut 1982 akan berlaku
12 (dua belas) bulan setelah diterimanya ratifikasi ke 60. Ratifikasi ke-60 telah
terpenuhi, dan Konvensi Hukum Laut III mulai berlaku pada tanggal 16
November 1994. Berdasarkan Pasal 311 ayat (1) Konvensi Hukum Laut 1982,
terhadap negara-negara peserta, Konvensi 1982 diutamakan berlakunya atas
Konvensi Hukum 1958.
Konvensi Hukum Laut 1982 menetapkan beberapa zona maritim
dengan status hukum yang berbeda-beda. Pembagian laut menjadi beberapa
zona maritim menjadi patokan bagi setiap Negara tentang batas-batas
kedaulatan teritorialnya di laut. Secara horizontal, zona maritim yang
dimaksud terdiri dari : laut pedalaman (internal water), laut teritorial
(teritorial sea), dan selat yang digunakan untuk pelayaran internasional berada
di kedaulatan penuh negara; zona tambahan (contiguous zone) negara
mempunyai yurudiksi khusus eksllusif untuk memanfaatkan sumber daya
alamnya; dan laut lepas yang tidak berada di bawah kedalatan dan yurisdiksi
negara manapun. Secara vertikal, terdapat kawasand asar laut samudra dalam
(international sea-bed area) yang bera di bawah pengaturan internasional
khusus.

B. PERAIRAN PEDALAMAN (INTERNAL WATERS)


Menurut Charchill, perairan pedalaman yakni “internal waters” atau
“national waters”, atau “interior water”,. Pengertiannya yant tercantum dalam
ketentuan bab II pasal 8 ayat (1) tentang Perairan Pedalaman, Konvensi
Hukum Laut 1982, adalah
“Kecuali sebagaimana diatur dalam Bab IV, perairean pada sisi darat
garis pangkal laut teritorial merupakan bagian perairan pedalaman Negera
tersebut.”
Yang dimaksud dengan perairan pedalaman, adalah wilayah-wilayah
perairan yang ada di dalam garis pangkal, yaitu muara sungai, teluk,
pelabuhan.
Status hukum perairan pedalaman suatu negara pantai adalah di bawah
kedaulatan penuh negara pantai. satatus hukum perairan pedalaman diatur
dalam pasal 2 ayat (1) Konvensi Hukum Laut 1982, bahwa kedaulatan suatu
negara pantai, selain wilayah daratan dan perairan pedalamannya dan dalam
hal suatu negara kepulauan, perairan kepulauannya.
Ketentuan Pasal 218 Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur tentang
pemaksaan, penaatan oleh Negara pelabuhan. Ayat 1 Pasal 218 menyatakan
bahwa : apabila sebuah kendaraan air, dengan sukarela berada dalam
pelabuhan atau pada suatu terminal lepas pantai suatu negara, negara tersebut
dapat mengadakan pemeriksaan dan dimana terdapat bukti-bukti yang cukup
kuat, mengadakan penuntutan berkenaan dengan setiap pelepasan dari
kendaraan air tersebut di luar perairan pedalaman, laut teritorial atau zona
ekonomi ekslusif dari negara itu yang melanggar ketentuan-ketentuan dan
standar-standar internasional yang berlaku dan ditentukan melalui organisasi-
organisasi internasional yang kompeten atau konferensi diplomatik yang
umum.

C. LAUT TERITORIAL (TERRITORIAL SEA)


1. Istilah dan Status Hukum
Istilah laut teritorial untuk istilah territorial sea dalam Konvensi
Hukum Laut 1982 adalah istilah yang umum digunakan. Selain istilah
tersebut, dikenal beberapa istilah lain yang dipergunakan yakni maritime
belt (yang diterjremahkan sebagai jalur maritim), kemudian ada juga yagn
menggunakan istilah marginal sea atau territorial waters (perairan
teritorial).
Ketentuan pasal 2 Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur tentang
Status Hukum Laut Teritorial, Ruang Udara di atas Laut Teritorial dan
Dasar Laut serta Tanah di bawahnya. Pada ayat (1) pasal ini dinyatakan,
bahwa :
“Kedaulatan suatu negara pantai, selain wilayah daratan dan
perairan pedalamannya dan, dalam hal suatu negara kepulauan, perairan
kepulauannya, meliputi pula suatu jalur laut yang berbatasan dengannya
yang dinamakan laut teritorial.”
Pasal 2 ayat (2) Konvensi Hukum Laut 1982 menyatakan bahwa :
“Kedaulatan ini meliputi ruang udara di atas laut teritorial serta
dasar laut dan tanah di bawahnya.”

2. Lebar Laut Teritorial


Lebar laut teritorial sebelum berlakunya Konvensi Hukum 1982
menunjukkan tidak adanya kesatuan pandangan dan lebih menggambarkan
kontroversi karena da negara yang mengklaim lebar laut teritorial dari 3
mil dan ada negara yang menganut prinsip sampai 200 mil. Praktik dan
doktrin yang berlaku pada abad 16 dan 17 menentukan lebar laut teritorial
berdasarkan pada kriteria yang sumir, yaitu pada batas pandang untuk
menetapkan batas perairan yang dapat dimiliki siuatu negara.
Upaya menetapkan lebar laut teritorila kembali dibicarakan dengan
diadakannya Konferensi Hukum Laut yang kedua, bulan Maret 1960 di
Jenewa. Konferensi ini dihadiri oleh 88 negara, termasuk Indonesia, dan
khusus membicarakan tentang lebar laut wilayah. Berikut ini, beberapa
usul penting dalam Konferensi.
a. Usul Amreika Serikat-Kanada yang menyarankan ditetapkannya 6 mil
laut wilayah ditambah dengan 6 mil exclusive fishing zone (tanpa
ketentuan lagi bagi tradisional fishing). Usul ini dikenal dengan nama
six-plux-six proposal dikalahkan.
b. Golongan 12 mil, termasuk Indonesia, mengulangi usul mereka, usul
ini juga ditolak.
c. Usul lainnya untuk hanya mengakui 12 mil wilayah perikanan saja
juga dikalahkan.

3. Penetapan Batas Laut Teritorial


Untuk menentukan batas lebar laut teritorial negara pantai dan zona-
zona maritim lainnya, sangat penting untuk menetapkan titik-titik di
sepanjang pantai paling luar dari mana lebar laut teritorial dan zona-zona
maritim lain akan diukur. Ini iyang disebut dengan garis pangkal
(baselmes) gari darimana lebar laut teritorial dan zona-zona negara pantai
lainnya yaitu zona tambahan, zona ekonomi eksklusif diukur keluar.
Upaya untuk mengatur tentang garis pangkal sudah terdapat pada
Konvensi Hukum Laut I (1958), Konvensi I mengenai laut teritorial dan
jalur tambahan. Konvensi I ini memuat ketentuan-ketentuan tentang
penarikan garis pangkal pada pasal 3, 4, 5. Garis pangkal yang umum
dipakai untuk mengukur lebar latu teritorial adalah low water line.
Cara penarikan garis pangkal dapat dilakukan dalam keadaan-
keadaan tertentu.
a. Apabila pantai banyak liku-liku tajam atau laut masuk jauh ke dalam
(in deeply indented and cut into) dan apabila terdapat deretan atau
gugusan pulau-pulau yang letaknya tidak jauh dari pantai (fringe of
island along the coasts).
b. Penarikan garis pangkal lurus tersebut tidak boleh terlalu menyimpang
dari arah umum daripada pantai dan bahwa daera laut yang terletak di
sebelah dalam dari garis pantai tersebut harus cukup dekat pada
wilayah daratan untuk dapat diatur oleh rezim perairan pedalaman.
c. Garis-garis lurus tidak boleh ditarik di atnara dua pulau atau dua
bagian daratan yang hanya timbul pada saat pasang surut (low tide
eleyations).
d. Penarikan garis pangkal lurus, dapat diperhatikan kebutuhan-
kebutuhan istimewa yang bersifat ekonomis daripada suatu daerah
yang dibuktikan oleh kebiasaan-kebiasaan dan kebutuhan yang telah
berlangsung.
e. Penarikan garis pangkal lurus tidak boleh dilakukan jika cara tersebut
menyebabkan laut wilayah negara lain menjadi terpisah dari laut
bebas.
f. Garis pangkal lurus tersebut harus dinyatakan dengan jelas di dalam
peta dan diumumkan sewajarnya.

4. Hak Lintas Damai (Right to Innocent Passage)


Dalam pasal 17 Konvensi, bahwa kapal-kapal semua negara, baik
negara yang memiliki pantai maupun yang atidak memiliki pantai
menikmati hak lintas damai melalui laut teritorial.
Mengenai pengertian lintas, pasal 18 menyatakan sebagai berikut :
a. Lintas berarti navigasi melalui laut teritorial untuk keperluan :
1) Melintas laut tanpa memasuki perairan pedalaman atau singgah di
tempat berlabuh di tengah laut (roadstead) atau fasilitas pelabuhan
di luar perairanj pedalaman, atau
2) Berlaku ke atau dari perairan pedalaman atau singgah di tempat
berlabuh di tengah laut (roadstead) atau fasilitas pelabuhan
tersebut
b. Lintas harus terus menerus, langsung serta secepat mungkin, namun
demikian, lintas mencakpu berhenti dan buang jangkar, tetapi hanya
sepanjang hal tersebut berkaitan denagn navigasi yang lazim atau
perlud ilakukan karena force majeure atau mengalami kesuliutan atau
guna memberikan pertolongan kepada orang, kapal atau pesawat udara
dalam bahaya atau kesulitan.

D. ZONA TAMBAHAN (CONTIGUOUS ZONES)


Zona tambahan adalah zona di laut yang merupakant ambahan terhadap
atau di luar laut teritorial, dimana negara pantai dapat melaksanakan peraturan
perundang-undangannnya secara terbatas. Menurut ketentuan pasal 33
Konvensi Hukum Laut 1982, negara pantai dapat melaksanakan penagwasan
di zona tambahan untuk :
1. Mencegah pelanggaran peraturan perundang-undangan bea cukai, fiskal,
imigrasi atau saniter di dalam wilayah atau laut teritorialnya; dan
2. Menghukum pelanggaran peraturan perundang-undangan tersebuat di atas
yang dilakukan di dalam wilayah atau laut teritorialnya.
Menurut Konvensi Jenawa 1958 tentang Laut Bebas, laut bebas adalah
laut yang terletak di luar laut wilayah (territorial sea). Lauta bebas ini
sesungguhnya dapat dibedakan antara (1) jalur tambahan atau jalur berdekatan
(contiguous zones) dan (2) laut bebas yang sebenarnnya.
Jalur tambahan adalah bagin dari laut bebas yang berdekatan dengan
laut wilayah dan yang menurut Konvensi Jenewa 1958 jaraknya dari baselines
tidak boleh lebih dari 12 mil laut, karena itu contiguous zone ini telah
termasuk ke dalam laut wilayah.
E. KEPULAUAN (ARCHIPELAGO)
1. Latar Belakang
Pendapat Inggris dan Australia pada waktu itu bahwa setiap pulau
harus mempunyai laut wilayah sendiri. Kesimpulannya, tidak akan ada
tempat bagi konsep archipelago di dalam Hukum Internasional. Pendapat
lain dikemukakan oleh Jepang, pada waktu itu bahwa suatu gugusan pulau
dapat dianggap sebagai suatu archipelago dan karena itu sebagai suatu
kesatuan jika jarak antara pulau-pulaunya tidak boleh lebih dari 10 mil
laut. Panitia Persiapan Konferensi Den Haag kemudian merumuskan suatu
draf untuk menjadi bahan diskusi, yakni :
Pengertian dari draf kurang lebih adlaah jika suatu kelompok pulau
adalah milik suatu negara dan di antara pulau-pulau tersebut tidak
dipisahkan satu dengan yang lainnya lebih dari dua kali lebar laut wilayah
garis pangkal laut wilayahnya akan diukur dari pulau yang paling luar dari
kelompok pulau-pulau tersebut dan perairan di antara pulau-pulau
merupakan laut wilayah. Pada waktu itu dikenal dua macam archipelago
yaitu coastal archipelago dan mild-ocean archipelago.
Dalam Konferensi Hukum Laut PBB tahun 1958, soal kepulauan
(archipelago) juga menjadi agenda konferensi. Indonesia dan Pholipina
adalah dua negara yang mengusulkan rezim khsuus untuk kepulauan pada
konferensi tersebut.
Menurut pandangan Indonesia rezim khusus yang diberikan kepada
archipelago dengan alasan bahwa archipelago adalah a unique nature.
Indonesia mendukung usul yang menginginkan dipeliharanya suatu
archipelago dan lebar laut wilayah duukur dari garis-garis yang
menghubungkan pulau-pulau terluar dalam archipelago tersebut.

2. Definisi Kepulauan (Archipelago); Negara Kepulauan (Archipelago


State) dalam Konvensi Hukum Laut 1982
Pasal 46 Konvensi Hukum Laut 1682 memuat pengertian tentang
kepulauan (archipelago) sebagai :
“Suatu gugusan pulau-pulau termasuk bagian dari pulau-pulau,
perairan di antara pulau-pulau tersebut, dan wujud-wujud alamiah lainnya
yang satu sama lainnya demikian eratnya sehingga pulau-pulau, perairan,
dan wujud alamiah lainnya itu merupakan suatu kesatuan geografis,
ekonomi dan politik yang hakiki, atau yang secara historis dipandang
sebagai demikian.”

3. Penarikan Garis Pangkal Kepulauan (Archipelagic Baselines)


Penarikan garis pangkal kepulauan harus memenuhi beberapa
persyaratan yang diatur dalam pasal 47 sebagai berikut :
a. Garis pangkal lurus harus mencakup pulau-pulau utama dari
kepulauan;
b. Garis pangkal kepulauan harus ditarik dengan perbandingan antara
daratan dan perairan adalah tidak lebih dari 1:1 dan tidak kurang dari
1:9;
c. Panjang garis pangkal tidak boleh lebih dari 100mil laut, keculai kalau
hanya sampai 3% dari jumlah garis pangkal sampai maksimum 125
mil;
d. Garis pangkal tidak boleh menyimpang jauh dari konfigurasi umum
kepulauan;
e. Garis pangkal tidak boleh ditarik dari dan ke elevasi surut, keuclai jika
di atasnya telah dibangun mercusuar atau instalasi sejeni satau apabila
elevasi surut teresbut terletak seluruhnya atau sebagian pada suatu
jarak yang tidak melebihi lebar laut teritorial;
f. Garis pangkal tidak boleh ditarik sedemikian rupa sehingga memotong
laut terotirial negaralain dari laut lepas atau dari zona ekonomi
eksklusif;
g. Negara kepulauan wajib menunjukkan secara jelas sistem garis
pangkal kepulauannya pada peta dengan skala yang cukup.
4. Perairan Kepulauan (Archipelagic Waters)
Perairan kepulauan mencakpu seluruh perairan dalam garis pangkal
kepulauan. Bagaimana status dari perairan kepulauan, dijawab dengan
pasal 49 Konvensi Hukum Laut 1982, bahwa :
a. Kedaulatan suatu negara kepulauan mencakup perairan yang terttup
oleh garis pangkal yang ditarik sesuai dengan pasal 47, yang
dinamakan perairan kepulauan (archipelagic water), tanpa melihat
pada keadalaman dan jaraknya dari pantai;
b. Kedaulatan ini meliputi ruang udara di atas perairan kepulauan, serta
terhadap dasar laut dan tanah di bawahnya dan sumber-sumber daya
yang terkandung di dalamnya;
c. Kedaularan ini dilaksanakan sesuai dengan bab tentang negara
kepulauan;

5. Hak Lintas Alur Laut Kepulauan


Berdasarkan ketentuan dalam pasal 53, yang ditentukan oleh negara
pantai, setelah berkonsultasi dengan organisasi internasional yang
berwenang (IMO). Sebelum konsep perairan kepulauan (archipelagic
waters), negara pantai harus memberikan akomodasi berupa hak untuk
melakukan lintasan bagi kapal-kapal asing, terbatas pada laut teritorial dan
selat yang digunakan untuk pelayaran internasonal.
a. Pengertian
Pasal 53 ayat 3 Konvensi Hukum Laut 1982 memuat pengertian
mengenai hak lintas alur laut kepulauan, sebagai berikut :
“Lintas alur laut kepulauan adalah pelaksanaan hak-hak
pelayaran dan penerbangan di atasnya, sesuai dengan konvensi, dengan
cara yang normal hanya untuk tujuan lintasan yang terus menerus,
cepat dan tidak terhalang, lintasan antara satu bagian dari laut lepas
atau zona ekonomi eksklusif dengan bagian lain dari laut lepas atau
zona ekonomi eksklusif.”
b. Hak dan kewajiban negara kepulauan
Pada pasal 53 ayat (1) Konvensi Hukum Laut 1982 meletakkan
kewajiban negara kepulauan untuk menentukan alur laut dan rute
penerbangan di atasnya, yang cocok untuk lintas kapal dan pesawat
udara asing secara tidak terputus dan cepat melalui atau di atas
perairan kepulauan dan laut teritorial yang berdampingan.
c. Hak dan kewajiban kapal yang melakukan lintas
Pasal 53 ayat (2) menyatakan bahwa semua kapal dan pesawat
udara menikmati hak lintas alur laut dan rute udara tersebut. Pelayaran
dan penerbangan harus memenuhi siyarat yang sama seperti saat
melakukan lintasan melewati selat. Maka, kapal lalut dan penerbangan
harus melalui alur laut dan rute yang sudah ditentukan oleh negara
kepulauan.

Anda mungkin juga menyukai