*)Naskah diterima: 30 Maret 2021; direvisi: 23 April 2021; disetujui: 2 Juni 2021
Abstrak
Penelitian ini akan membandingkan cerita, tokoh, dan peristiwa antara teks dalam naskah
Wawacan Sulanjana dan teks dalam Carita Pantun Sri Sadana. Kedua teks tersebut memiliki
bentuk berbeda yaitu yang satu teks tertulis dan yang satu teks yang dituturkan secara lisan.
Adapun teori yang digunakan yaitu teori intertekstualitas yang dikemukakan oleh Julia
Kristeva. Secara genre, Wawacan Sulanjana dan Carita Pantun Sri Sadana bisa dikategorikan
sebagai puisi. Disinyalir Wawacan Sulanjana menjadi salah satu bentuk transformasi dari Carita
Pantun Sri Sadana. Adapun untuk membuktikan transformasi dan hipogram maka digunakan
teori intertekstualitas Julia Kristeva. Berdasarkan hasil analisis didapatkan kesimpulan bahwa
tema dalam kedua teks tersebut memiliki satu kesamaan yaitu tentang kehidupan masyarakat
agraris di tanah Sunda. Adapun yang menjadi objek cerita yaitu seorang tokoh bernama Nyi
Pohaci Sanghyang Sri. Setelah dibandingkan, ada sedikit perbedaan urutan peristiwa dalam
cerita dan adanya tokoh-tokoh lain yang menyertai cerita di dalam teks Carita Pantun Sri
Sadana, tidak disertakan dalam cerita Wawacan Sulanjana.
Abstract
This research will compare the stories, chadacters, and events in the text between the Wawacan Sulanjana
manuscript and the text in the Carita Pantun Sri Sadana. The two texts have different forms, one is
a written text and one is oral text. The theory used is the intertextuality theory proposed by Julia
Kristeva. In genre, Wawacan Sulanjana and Carita Pantun Sri Sadana can be categorized as poetry.
It is pointed out that Wawacan Sulanjana is a form of transformation of Carita Pantun Sri Sadana.
As for proving the transformation and hypogram, Julia Kristeva’s theory of intertextuality is used.
Based on the results of the analysis, it can be concluded that the themes in the two texts have one thing
in common, namely about the life of agrarian communities in Sundanese land. The story is based on
one of the character, namely Nyi Pohaci Sanghyang Sri. After comparison, there is a slight different in
the sequence of the events, and there are several characters who told in the Carita Pantun Sri Sadana
were not involved in the Wawacan Sulanjana.
Tokoh Nyi Pohaci Sanghyang Sri dalam Wawacan Sulanjana dan Carita Pantun Sri Sadana: ... 65
dua diantaranya informasi hanya berdasar- naskah Sunda kuno, Sanghyang Siksa
kan katalog yaitu: Kandang Karesyan yang ditulis pada tahun
a. Pada naskah (2) Wawacan Sulanjana 1518 masehi tercatat bahwa jika kita ingin
(bernomor LOr. 7839 atau Mal. 2058) bertanya tentang sebuah masalah tanyakan-
yang mana pada lembaran terkahir ter- lah pada ahlinya, dan bila kita ingin menge-
dapat tulisan tahui tentang carita pantun maka bertanyalah
‘Wawatjan Solenjana kepada juru pantun. “Hayang nyaho di pantun
Ongeveer = het ex. Uit Tjiampea ma: Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi,
Haturwangi; prepantun tanya.” Yang artinya
Bandoeng 1896’
“bila ingin mengetahui tentang pantun,
seperti Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi,
Wawacan Sulanjana Haturwangi; tanyalah juru pantun” (Fauziyah,
Tentang = mantan dari Ciampea 2014: 2).
Bandung 1896 Jika merujuk pada keterangan tersebut,
bisa dipastikan Carita Pantun Sri Sadana
b. Pada naskah (3) LOr. 7851 (Mal 2070)
memiliki teks yang lebih tua daripada
Naskah ini berasal dari Koleksi Snouck
Wawacan Sulanjana. Yang menarik dari
Hurgronje No. 75, salinan tahun 1894,
kedua teks tersebut adalah adanya tokoh Sri
berdasarkan naskah dari Ciampea,
yang disakralkan dan menjadi pusat pen-
Bogor (Holil, 2018: 7).
ceritaan. Kristeva dalam Culler (1975) me-
c. Pada naskah (5) Cod. Or. 8633 (Mal. ngemukakan bahwa tiap teks itu merupa-
3136) kan mosaik kutipan-kutipan dan merupa-
Sampul halaman terbuat dari karton kan penyerapan (transformasi) teks-teks
tipis berwarna biru seperti yang umum- lain. Transformasi adalah teks yang muncul
nya digunakan untuk sampul buku tulis. belakangan, sedangkan teks yang menjadi
Alas naskah menggunakan buku tulis sumber acuan disebut hipogram.
bergaris seperti buku “Letjes”. Kondisi Maka dari itu pendekatan penelitian
naskah masih bagus, aksara jelas dan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dapat dibaca. Naskah ini disatukan pendekatan intertekstual. Pendekatan
dalam bundel yang sama dengan intertekstual membandingkan dua buah
naskah-naskah bernomor koleksi: Cod. teks yang diduga memiliki keterkaitan.
Or. 8630, Cod. Or. 8631, Cod. Or. 8632, Dengan menggunakan intertekstual ini
Cod. Or. 8634, Cod. Or. 8633, Cod. Or. diharapkan mampu memunculkan per-
8635, dan Cod. Or. 8637 (atau Mal. 3133- bandingan antar teks dan mendeskripsikan
3140). Naskah ini berasal dari Koleksi keterkaitan karakter tokoh, alur, dan latar
Rinkes, ditulis pada 1321 H/ 1903 M pada Wawacan Sulanjana dan Carita Pantun
(Holil, 2018: 9). Sri Sadana. Penulis juga menggunakan
pendekatan intertekstual untuk menemu-
Carita pantun merupakan satu dari kan hipogram dan transformasi dalam
sekian banyak sastra lisan yang tersebar di kedua teks tersebut. Data dalam penelitian
masyarakat Sunda. Bentuk carita pantun ini adalah kutipan berupa kata-kata atau
berupa narasi monolog seorang juru pantun, kalimat yang mendeskripsikan tentang
yang menceritakan kisah-kisah yang di- tokoh, alur, latar, untuk mengetahui per-
anggap suci dan sakral, kebanyakan berupa samaan dan perbedaan dari kedua teks
mitos berkisah tentang kerajaan Sunda dan tersebut.
tokoh-tokoh pada zaman dahulu. Dalam
Tokoh Nyi Pohaci Sanghyang Sri dalam Wawacan Sulanjana dan Carita Pantun Sri Sadana: ... 67
menjelaskan teks sebagai “permutasi teks, teks terletak dalam transformasi dari satu
intertekstualitas dalam teks tertentu,” genre ke dalam genre lain baik sebagai
“beberapa ucapan, diambil dari teks lain negasi, oposisi, sinis, lelucon, parodi mau-
berpotongan dan menetralkan satu sama pun sebagai apresiasi, afirmasi, nostalgia,
lain” (Kristeva, 1980). dan jenis pengakuan estetis lain yang secara
Intertekstual yang digagaskan oleh keseluruhan berfungsi untuk menemukan
Kristeva ada dalam sebuah ruang teks yang makna-makna baru dan orisinil. Trans-
terdapat berbagai ujaran atau tuturan, yang formasi tidak terbatas semata-mata dalam
diambil dari teks lain dan teks tersebut kerangka literer, tetapi juga meluas dalam
silang-menyilang dan menetralisir satu sama karya seni yang lain. Dalam kerangka multi
lain (Kristeva, 1980). Dengan kata lain, kultural, aktivitas intertekstual berfungsi
sebuah teks dikonstruksi atas beberapa untuk membangktikan kesadaran masa
komponen atau potongan tekstual yang lampau, baik sebagai citra primordial mau-
dapat dilihat melalui karya tersebut. pun nostalgia atau disebut teks pastiche.
Potongan-potongan teks dalam satu teks Untuk melakukan kegiatan transformasi
tersebut tidak dapat dilihat sebagai satu hal atau perubahan dari teks satu ke teks yang
yang terpisah, tetapi dimaknai sebagai satu lain, pengarang tidak semata-mata melaku-
kesatuan (Kristeva, 1980). Hal itu disebut kan duplikasi atau menyalin, menyadur
ideologeme oleh Kristeva. atau menterjemahkan. Bentuk transformasi
Kristeva memandang teks sebagai ditandai dengan suatu proses tertentu baik
interaksi teks bukan sebagai entitas tunggal. secara langsung ataupun tak langsung
Kemungkinan keterbukaan yang dimasuk- menggambarkan tanggapan pengarang
kan teks di dalamnya melepaskan kemung- terhadap teks asing yang diambilnya
kinan melihat teks dari berbagai bidang. sebagai latar karya sastranya. Bagaimana-
Klaim bahwa penulis saat menyusun teks pun, gagasan Bakhtin tentang dialogisme
terlibat dalam wacana dengan teks lain didasarkan pada bagaimana manusia meng-
menunjukkan dinamika kreativitas yang gunakan bahasa dalam situasi sosial ter-
menjelajah di luar subjek kreatif. Percakapan tentu, tetapi Kristeva lebih banyak berpikir
yang dilakukan penulis ini adalah dialog dalam konteks teks dan tekstualitas. Kedua-
kreatif di mana makna diatur atau disusun, nya sampai pada titik teks tidak dapat
bukan diciptakan. Oleh karena itu, apa yang dilepaskan dari tekstualitas sosial atau
kita sebut sebagai makna teks menemukan budaya yang merupakan titik balik teks itu
karakterisasi yang lebih luas dan kompleks dibuat. Teks sosial dan teks sastra saling
di luar apa yang tertulis dalam teks. terkait tak terpisahkan.
Bakhtin dalam Ratna (2006) berpendapat
tidak ada teks yang benar-benar asli tanpa HASIL DAN PEMBAHASAN
dipengaruhi oleh teks lain. Dalam penyim- Pantun dalam masyarakat Sunda adalah
pangan dan transformasi pun model teks simbol budaya, yakni alam pikiran masya-
yang sudah ada tetap memainkan peranan rakat Sunda. Pantun bukan hanya simbol,
kaitannya transformasi karya sastra. Hal tetapi simbol sakral. Pantun tidak dapat
tersebut merupakan proses pengalihan diceritakan sehari-hari. Pantun diceritakan
hubungan intertekstualitas untuk menemu- dalam sebuah ritual, tempat ritual, waktu
kan hubungan makna secara langsung ritual dan tema ritual. Tema ritualnya adalah
maupun tak langsung. Kristeva dalam menghadirkan tokoh-tokoh pahlawan
Ratna, (2006) berpendapat bahwa dinamika budaya Sunda di masa lampau, tingkah
Tokoh Nyi Pohaci Sanghyang Sri dalam Wawacan Sulanjana dan Carita Pantun Sri Sadana: ... 69
tergila-gila, ingin lagi makan buah holdi, beureum eusi, buluna sawareìh aya nu gundil,
tidak mau makan minum, siang malam tina lebah panon, buluna nya kitu pisan, aya
hanya menangis saja. panjang aya gundil.
i. Caritana lajeng ngangluh, eìta Nyi Deìwi Ada yang panjang bulu, ada yang gun-
Puhaci, langkung banget kasawatna, sagala dul, dari sebelah mata kiri, keluar padi
tamba teu matih, ti dinya dongkap ka ajal, merah berisi, sebagian bulunya gundul,
pupus Nyi Deìwi Puhaci. dari pas mata, bulunya ya begitu, ada
Lalu dia mengeluh, dia Nyi Dewi Pohaci, yang panjang ada yang gundul.
semakin menjadi sakitnya, segala obat 4. Aya anu beureum bulu, sawareìh aya nu
tidak manjur, lalu dia menemui ajalnya, putih, aya nu koneìng rupana, aya anu
meninggal Nyi Dewi Puhaci. hideung kulit, anu jadi lebah mata, ketan
saranggeuy bijil.
Setelah Nyi Pohaci meninggal lalu Dewa Ada yang merah berbulu, sebagian ada
Guru memerintahkan Aki Bagawat untuk yang putih, ada yang kuning rupanya,
mempersiapkan ruangan kubur untuk me- ada yang hitam kulitnya, yang tumbuh
ngubur jasadnya. Ketika mayat sudah di- pas mata, beras ketan satu tangkai tumbuh.
mandikan, disalatkan dengan tertib, lalu 5. Bulu ketan geì nya kitu, aya panjang aya
mayatnya dikuburkan. Dewa Guru memberi gundil, eusina nya kitu pisan, //13// aya
amanat kepada Bagawat untuk menjaga hideung aya putih, aya nu beureum rupana,
kuburannya. Setiap Jumat Aki Bagawat me- eusina kabeìh teu sami.
nyapu bersih kuburannya, tidak ada sam- Bulu ketan juga begitu, ada yang pan-
pah atau daun satu lembar pun, kuburannya jang ada yang gundul, isinya juga begitu,
rapih bersih. Lama-lama dari kuburannya ada yang hitam ada yang putih, ada juga
tumbuh berbagai macam tanaman. Berikut yang merah rupanya, isinya semua tak
ini kutipannya dalam Wawacan Sulanjana, sama.
Pupuh 3, Kinanti baris 13 – 20: 6. Ti lebah pingping katuhu, haur cucuk anu
1. Lila-lila tina kubur, bet aya kalapa jadi, jeung jadi, ti lebah pingping ti keìnca, haur temen
tina lebah sirahna, buah kalapa teu sami, heìjo haur geulis, ti lebah bitis ti keìnca, awi tali
beureum rupa buah, warna-warna hanteu anu jadi.
sami. Dari sebelah paha kanan, bambu duri
Lama-lama dari kuburannya, tumbuh bertumbuh, dari sebelah paha kiri,
pohon kelapa, dari pas kepalanya, tumbuh bambu haur temen dan haur
tumbuh juga buah kelapa yang tidak geulis, dari betis sebelah kiri, tumbuh
sama, hijau merah rupa buah, warna- bambu tali.
warnanya tidak sama. 7. Ti lebah bitis katuhu, awi teman anu jadi, eìta
2. Salebah panon katuhu, eìta pareì anu jadi, perkara wartana, jadi areuy bulat-beulit,
sarta ngan saranggeuy pisan, buahna eìta teu buluna jadi sagala, cukup nu aya di bumi.
sami, aya beureum aya bodas, buluna nya kitu Dari betis sebelah kanan, bambu temen
deui. tumbuh, adapun urat nadinya, menjadi
Di sebelah mata kanan, ada padi yang sembung rambat yang menjulat jalit.
tumbuh, hanya satu tangkai, buahnya 8. Sakabeìh taya nu kantun, sapangeusi jagat
juga tidak sama, ada yang merah ada bukti, sipat rupa nu dicekel, hanteu aya anu
yang putih, bulunya pun juga begitu. kari, ki Bagawat ngadeuheusan, uninga ka
3. Aya anu panjang bulu, sawareìh aya nu Yang Permeìsti.
gundil, tina lebah naon keìnca, bijil pareì
Tokoh Nyi Pohaci Sanghyang Sri dalam Wawacan Sulanjana dan Carita Pantun Sri Sadana: ... 71
datang tangara ti nu kawasa kenyataan dari kejadian itu terbukti
kareseban kotoran sri sadana
bijil ciciri menjadi gadung, gandrung, jagung,
bijil kotoran jagung kecil, hanjere, hanjeli,
clak murag kana jagat kotoran sri sadana sekul, kunyit, dan terigu
katingali ku nini jeung aki (CPSS, 1970: 22)
lila ti lila
Jadi proses kejadian yang melibatkan Sri
pelentung aya nu jadi
Sadana tidak menunggu dia meninggal
tuluy bae dipiara terlebih dahulu, tetapi tanaman itu tumbuh
dimumule dihade-hade dari darah yang menetes ke bumi. Lain
halnya dengan Nyi Pohaci Sanghyang Sri,
bahwa sri sadana sudah masuk usia dalam CPSS tanaman padi-padian tumbuh
remaja putri dari kuburannya. Akibat melakukan per-
kira-kira usia lima belas tahun buatan suami istri, kakak beradik Nyi
Pohaci dan Bangbang Kusiang dipisahkan.
datang berita dari yang kuasa
Dewa Guru marah dan Bangbang Kusiang
menstruasi dibuang ke Tanah Aceh. Karena ditinggal
keluar ciri kekasihnya, Nyi Pohaci akhirnya jatuh sakit
keluar kotoran dan meninggal. Nawang Wulan diperintah
menetes ke bumi darah sri sadana Raja Pajajaran menghadap Dewa Guru dan
bertanya harus bagaimana dengan mayat
terlihat oleh nini dan aki
Nyi Pohaci. Maka diperintahkanlah mayat-
lama-lama nya di kuburkan di Tegal Cikahuripan,
kemudian ada yang tumbuh makamnya harus dijaga Aki Nini Oma yang
lalu dipelihara kemudian diangkat dan diubah namanya
dilestarikan dengan baik menjadi Aki Bagawat Sangsri dan Nini
Bagawat Sangsri. Dari kuburannya tumbuh
(CPSS, 1970: 22)
berbagai macam tanaman. Berikut kutipan
teks dalam CPSS:
Lalu kelanjutannya, setelah kejadian di tanah pakuburan tea
darah menstruasi yang turun ke bumi, maka
pelentung aya nu jadi
tumbuh berbagai tanaman palawija, serealia,
dan rempah. Disebutkan diantaranya ada angenna ngajadi pare ketan
gadung, gandrung, jagung, jagung kecil, rupa-rupa ketan sarupana sacangci
hanjere, hanjeli, sekul, kunyit, dan terigu panon bobodasna jadi pare bulu
(gandum). bodas nu kenca jadi alot
kanyataanna kajadian kabuktian kotoran sri
nu bereum jadi pare gintung bereum
sadana teh
nu konengna jadi pare sari kuning
ngajadi gadung, gandrung, jagong,
hihideungna pare gintung hideung
jagong leutik, hanjere, hanjeli,
bulu panon ngajadi bulu pare
sekul, kunyit, sareng tarigu
…..
dari tanah kuburan (Nyi Pohaci
Sanghyang Sri)
Tokoh Nyi Pohaci Sanghyang Sri dalam Wawacan Sulanjana dan Carita Pantun Sri Sadana: ... 73
Pohaci, Budugbasu berkeliling 7 kali lalu Proses meninggalnya Nyi Pohaci
mati. Sapi Gumarang merasa kehilangan Sanghyang Sri tidak mau makan dan
Budugbasu, lalu ia mencarinya dan me- minum karena ditinggalkan oleh kakak-
nemukan Budugbasu telah menjadi ber- nya ke Aceh.
bagai macam hama. Kemudian Sapi Guma- Di dalam Wawacan Sulanjana, Nyi
rang memelihara hama-hama tersebut dan Pohaci diberi buah khuldi saat masih
juga memelihara Kalamula yang berganti menyusui kepada Dewi Uma, lalu dia
nama menjadi Ki Darweng yang bertugas menangis karena tidak mau minum susu
menjaga hama di darat dan Kalamuntir dan mau makan buah khuldi saja. Akhir-
yang berganti nama menjadi Ki Kaliwengkang nya, Nyi Pohaci meninggal dan mayatnya
yang bertugas menjaga hama di air. diturunkan ke bumi diurus oleh Aki
Sawah-sawah di Pajajaran sudah mulai Bagawat.
menguning dan tiba waktunya untuk di- 2. Sulanjana
panen. Dewa Guru dan Dewi Uma turun ke Tokoh Sulanjana dalam Wawacan
bumi menyamar menjadi burung pipit, dan Sulanjana adalah anak ibu pertiwi yang
mematuk-matuk padi, artinya padi harus berasal dari air mani Dewa Guru yang
dipipit atau dipanen. Semar dan anak-anak- jatuh ke bumi, kemudian ia menjelma
nya diganggu dan diajari membuat air nira menjadi lawan Sapi Gumarang, dan
dan gula kawung. Aki dan Nini Bagawat anak buahnya Budug Basu dan Kalabuat.
Sangsri memetik padi. Negara Pajajaran Dalam wawacan, terjadi pertempuran
subur makmur, Nyi Pohaci menjalankan hebat antara keduanya.
tugasnya dengan baik yaitu memajukan Sementara itu, edangkan tokoh
kehidupan manusia. Sulanjana dalam CPSS hanya berkisah
III. Perbedaan Cerita dalam Wawacan saat ia menemui ayahnya yaitu Dewa
Sulanjana dan Carita Pantun Sri Sadana Guru dan saat berduel dengan Bangbang
Tema yang terkandung dalam teks Kusiang. Jadi, Sulanjana dalam CPSS
Wawacan Sulanjana adalah asal mula tidak menjadi tokoh utama.
terjadinya tumbuhan padi dan tanaman 3. Tokoh Pelengkap
lainnya. Disebutkan bahwa padi berasal dari Dalam Wawacan Sulanjana tokoh yang
kuburan Puhaci, kemudian ditanam di disebutkan antara lain Dewa Guru, Panji
Pakuan. Jadi negeri yang pertama kali Narada, Dewa Anta, Sulanjana, Nyi
mengenal padi adalah Pakuan di bawah Pohaci Sanghyang Sri, Sapi Gumarang,
pimpinan Prabu Siliwangi. Sedangkan Budug Basu, Nini dan Aki Bagawat,
dalam Carita Pantun Sri Sadana negara yang keluarga Semar, Prabu Siliwangi, dan
menjadi tempat pertama kali mengenal Dewi Nawang Wulan.
padi adalah Pajajaran. Namun yang menarik Sementara itu, dalam CPSS selain
istri dari raja namanya sama yaitu Dewi tokoh-tokoh yang disebutkan tadi, ada
Nawang Wulan. Beberepa perbedaan lain juga tokoh lain yang bercerita dan
dalam Wawacan Sulanjana dan CPSS bisa diceritakan. Diantaranya adalah kisah
dirunut sebagai berikut. Sri Sadana, Jaka Sadana, Rambut Sadana.
1. Buah Khuldi Lalu kisah Lembu Wulung dan Idajil,
Di dalam Carita Pantun buah khuldi Jaka Sabeulah, Raja Majapait dan Dewi
diberikan kepada Nyi Pohaci Sanghyang Sukraba, Anggana Anggani Angganiah,
Sri dan Bangbang Kusiang, lalu mereka Raja Aceh, dan Jaka Sela Jaka Pamor.
diturunkan ke bumi, dan hidup di bumi.
Tokoh Nyi Pohaci Sanghyang Sri dalam Wawacan Sulanjana dan Carita Pantun Sri Sadana: ... 75