Anda di halaman 1dari 23

Nama : Jihan Salwa Azizah

Kelas : XII-1
No. Absen : 23

Tugas Bahasa Indonesia


Novel Bumi Manusia
karya Pramoedya Ananta Toer

A. Sinopsis Novel

Novel Bumi Manusia menjadi salah satu karya dari Pramoedya Ananta Toer
yang fenomenal. Novel ini bercerita tentang dua orang pribumi yang bernama Minke
dan Nyai Ontosoroh. Sinopsis novel Bumi Manusia menceritakan bahwa walaupun
hanya anak pribumi karena pintar sekali menulis, Minke diperbolehkan sekolah di
HBS. Sebenarnya yang bisa dan boleh bersekolah di HBS adalah keturunan orang-
orang Eropa, khususnya Belanda yang menjajah Indonesia pada masa itu dan
keturunan pribumi yang berasal dari golongan ningrat atau pejabat, Minke merupakan
perkecualian karena kepandaiannya dalam menulis yang mendapat pengakuan dari
orang-orang Belanda sehingga banyak sekali koran-koran terbitan negara Belanda
yang memuat tulisannya. Sinopsis novel Bumi Manusia karangan dari penulis
legendaris Pramoedya Ananta Toer ini menggambarkan ketidaksenangan teman-
teman sekolah Eropanya terhadap Minke karena sikapnya yang revolusioner.

Pada zaman itu, Minke menentang keras dan tegas segala sesuatu yang
membuat bangsanya sendiri tidak menerima keadilan. Di samping itu karena
sebetulnya Minke bukan berasal dari bangsawan Jawa yang berdarah ningrat
mengakibatkannya harus berada atau ditempatkan di golongan bawah, yang
membuatnya melawan, memberontak, dianggapnya tidak adil juga.

Selain Minke, tokoh lainnya lagi yang diceritakan oleh Pramadya Ananta Toer
di novelnya yang berjudul Bumi Manusia ini, yaitu Nyai Ontosoroh. Dikatakan
sebagai nyai karena merupakan istri simpanan dari seorang keturunan Eropa yang
terpandang, yang sering dipanggil dengan nama Tuan Mellema. Predikatnya sebagai
seorang nyai, istri simpanan membuat Nyai Ontosoroh dikucilkan, dianggap sebagai
perempuan yang tidak terhormat, tidak memiliki martabat, tidak diperbolehkan
mempunyai hak asasi yang sepantasnya dia dapatkan. Inilah yang membuat Nyai
Ontosoroh menderita. Sadar dengan kondisinya tersebut, Nyai Ontosoroh
melawannya, maksudnya menunjukkan keteladannya dalam arti yang positif supaya
masyarakat lebih bisa menghargainya. Caranya adalah dengan berupaya sekeras
mungkin belajar tanpa kenal putus asa. Hanya dengan belajar, belajar dan belajarlah
semua hal yang sifatnya tidak baik, seperti kebodohan, kemiskinan dan penghinaan
bisa dilawan. Pernikahan Nyai Ontosoroh dengan Tuan Mellema membuahkan
seorang puteri cantik bernama Annelies. Annelies ini pada akhirnya menikah dengan
Minke.
Novel dengan judul Bumi Manusia yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer
menohok kehidupan pada jaman bangsa Indonesia dijajah oleh bangsa Belanda.
Pramoedya Ananta Toer menggambarkan secara gamblang suasana dan kondisi yang
sebenar-benarnya dari apa yang dilakukan oleh pemerintahan Belanda yanKeegoisan
dari bangsa penjajah, ketidakadilan yang mau tidak mau, terpaksa diterima oleh
sebagian besar bangsa Indonesia, tentu saja yang bukan termasuk di dalam golongan
ningrat atau bangsawan dan pejabat, harus dilawan dengan upaya belajar dengan
keras secara terus-menerus, pantang menyerah.

Minke dan Nyai Ontosoroh sudah membuktikannya. Berkat kepandaiannya


dalam menulis, selalu berusaha meningkatkan keterampilan menulisnya, membuat
Minke berhasil mengangkat derajat dirinya sendiri, membuat namanya harum,
membuatnya dihargai dan dihormati meskipun oleh bangsa penjajah. Demikian pula
dengan Nyai Ontosoroh. segala hinaan, caci maki yang ditujukan kepadanya karena
memiliki status sebagai istri simpanan tidak membuatnya tenggelam dalam kesedihan
yang berkepanjangan.

Nyai Ontosoroh berupaya bangkit, melawan semua bulian dengan belajar


ekstra keras, membuat dirinya pintar. Meskipun tidak mengecap bangku sekolah elit
pada jamannya, seperti HBS, belajarnya dari membaca buku-buku, belajar dari
pengalaman hidup sehari-hari yang menempanya dengan begitu keras, ternyata malah
membuat Nyai Ontosoroh menjadi orang yang hebat. Kepintaran yang dimiliki oleh
Nyai Ontosoroh tersebut bahkan bisa menjadikannya guru yang begitu hebat tidak
hanya bagi puterinya Annelies dan menantunya Minke melainkan juga untuk siswa-
siswa yang belajar di HBS. Bahkan jika diukur, dibandingkan dengan kepintaran dari
guru-guru yang mengajar di HBS, Nyai Ontosoroh jauh lebih pintar, ilmunya lebih
banyak, pengetahuannya lebih luas.

B. Resensi Novel

Gambar  B.1  Novel  Bumi  Manusia  


Judul buku : BUMI MANUSIA
Pengarang : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Hasta Mitra
Tahun terbit : 2002
Tebal buku : 408 halaman
Harga buku : Rp49.500,00-

Bumi manusia, salah satu mahakarya terbesar dalam bidang sastra Indonesia,
yang dibuat oleh sastrawan yang memang mengabdikan hidupnya untuk sebuah
proyek keabadian—Pramoedya Ananta Toer. Satu-satunya sastrawan Indonesia yang
pernah enam kali di nominasikan sebagai peraih nobel perdamaian pada masanya.

Karyanya novel Bumi Manusia merupakan buku pertama dalam tetralogi


Pramoedya, yang terdiri dari, berturut-turut Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa,
Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Pramoedya menulisnya ketika di tahan di Pulau
Buru, sebagai tahanan politik Orde baru. Meski mendapat sambutan yang luar biasa
dari dalam dan luar negeri, pada tahun pertama penerbitannya—bukunya harus
mendapati tantangan yang bisa bilang suatu kemunduran, karena dilakukannya
pelarangan pada karyanya itu—dikatakan bahwa bukunya mengandung ajaran
Marxisme dan Leninisme—sebuah ajaran yang dilarang pada masa pemerintahan
Orde Baru.[1]

Kisah Bumi Manusia bisa ditempatkan sebagai sebuah karya yang merupakan
salah satu warisan sejarah terbaik Bangsa Indonesia. Sebuah buku yang mengisahkan
periode kehidupan di Indonesia dari tahun 1898-1918, dimana periode tersebut
merupakan tumbuhnya benih-benih pemikiran Politik Etis dan masa Kebangkitan
Nasional. Nyaris tiada sastrawan yang berhasil menceritakan kehidupan pada masa itu
sebaik Pramoedya dalam tetraloginya, terutama dalam kisah Bumi Manusia.

Kisah Bumi Manusia sendiri mendapatkan banyak sekali apresiasi setelah


pertama kali terbit pada tahun 1980. Hingga tahun 2005, kisah Bumi Manusia telah
diterjemahkan ke 33 bahasa di dunia dan sekarang sudah sekitar 40 bahasa,[2] selain
itu juga—apresiasinya dilakukan kedalam berbagai pertunjukan teater, pada tahun
2006 di gelar di 12 kota besar di Indonesia secara serentak. Dan juga, tidak kalah
menghebohkan, bahwasannya kisah Bumi Manusia ini akan difilmkan oleh Falcon
Picture dengan sutradara Hanum Bramantyo dan tokoh utamnya—Minke, diperankan
oleh Iqbal Ramadhan.

Rencana difilmkannya kisah Bumi Manusia dilakukan sejak 2004, namun


terealisasi pada tahun ini—2019. Hal ini juga menarik antusiasme masyarakat, yang
mencintai sastra maupun baru mencintai, terlebih lagi tokoh utamanya yang
diperankan oleh Iqbal Ramadhan, membikin antusiasme—terutama kaum milenial
untuk bisa menonton film ini.

Untuk itu, penting juga rasanya—agar kita semua tahu bagaiamana duduk
perkaranya, hingga benar-benar kita bisa memetik pelajaran berharga dari kisah Bumi
Manusia ini, kiranya itulah latar belakang penulis mencoba memberikan ulasan karya
ini. Karena seperti kata Susilo Toer, adik Pramoedya yang masih hidup—kisah Bumi
Manusia itu bagi orang yang membacanya secara mendalam sangatlah kompleks, di
dalammnya terdapat sebuah pengajaran yang luar biasa mengenai perjuangan Pribumi
melawan penjajah; pribumi menyingkirkan budaya Jawa yang kolot; perjuangan
perempuan yang di deskriminasi oleh penjajah, maupun bangsa sendiri; perjuangan
mendapat pendidikan; hingga pengenalan budaya bangsa yang sangat bermakna.
Bukan semata-mata kisah cinta kedua tokoh utama—yaitu Minke dan Annalies, yang
akan diceritakan oleh Hanum Bragmantyo, selaku sutradara film.

Bumi Manusia merupakan sebuah buku bergenre fiksi yang berlatar belakang
kehidupan pada masa penjajahan Belanda. Di dalam buku ini, diceritakan hiduplah
seorang pemuda Pribumi bernama Minke, yang mendapati dirinya bersekolah
di Hogere Burgerschool (HBS), sebuah sekolah yang sekarang setingkat dengan
SMA, dan diperuntukan untuk orang Belanda, Eropa dan Elite Pribumi. Minke sendiri
merupakan anak Bupati kota B (disebutkan dalam cerita)—dirinya disekolahkan agar
kemudian bisa menjadi Bupati seperti ayahnya, meski Minke bersikeras menolaknya.

Sebagai Pribumi, Minke merupakan anak yang cerdas di HBS, kemampuannya


dalam menulis telah membawanya menjadi seorang yang cukup dikenal di Jawa,
karena tulisannya banyak diterbitkan di koran berbahasa Belanda, dengan nama
samaran Max Tollenar.

Namun, pendidikan yang diterima Minke di HBS, menjadikannya pribadi yang


sangat mengagungkan Eropa, terutama karena pengajaran gurunya Juffrouw Magda
Peters. Minke sangat menyanjung Eropa dan dikisahkan tidak lagi mengindahkan
budaya Jawa. Meski pada akhirnya, Minke sendiri mendapati bahwa Eropa yang Ia
sanjung tidak lebih sebagai bangsa pendindas terhadap bangsa lain—hal itu
diceritakan secara dramatis oleh Pramoedya, yaitu bagaimana awalnya Minke
menyanjung Eropa hingga akhirnya Ia dibuat benci untuk melakukan itu.

Seperti diceritakan di awal, kisah Bumi Manusia ini sangatlah kompleks—


namun penekanan yang penulis dapat dari kisah ini adalah mengenai kemanusiaan,
Pramoedya dengan lihai menjelaskan konsep itu dalam kisah yang sangat indah.

Ceritanya berawal ketika Minke yang mendapati dirinya ditantang oleh


seorang teman—bernama Robert Suurhof, untuk pergi ke Wonokromo, mengunjungi
seorang wanita cantik—bernama Annalies Melemma. Suurhof akhirnya menjadi
musuh Minke, karena mencintai wanita yang sama, yaitu Annalies Melemma,
celakanya Annalies juga mencintai Minke daripada Suurhof. Annalies tinggal
disebuah rumah besar yang indah bersama Nyai Ontosoroh, yang merupakan seorang
Nyai, dan kakaknya Robert Mellema.

Selain Minke dan Annalies, Nyai Ontosoroh juga mendapat penekanan dalam
kisah Bumi Manusia, bahkan dalam beberapa pertunjukan teater, justru Nyai
Ontosoroh lah yang menjadi pemeran utamanya. Diceritakan dirinya di jual oleh
ayahnya sendiri kepada orang Belanda, agar ayahnya naik jabatan. Secara
menyedihkan, Nyai Ontosoroh tanpa pernikahan harus rela mendapati dirinya hidup
bersama Tuan Mellema, yang bahkan tidak pernah Ia kenal sebelumnya.

Karena dendam Nyai Ontosoroh pada orang tuanya, Nyai bertekad untuk
mengangkat harkat martabatnya sendiri dengan pengetahuan. Nyai belajar banyak
dari Tuan Mellema—hidup seperti bangsa Eropa, membaca buku Eropa, belajar baca
tulis, dan belajar mengelola perusahaan. Tuan Mellema awalnya baik dan sangat
mencintai Nyai Ontosoroh, meski tidak pernah menikahinya secara resmi secara
hukum dan agama. Namun bencana datang ketika anak sah Tuan Mellema datang dari
Belanda untuk bekerja di Indonesia dan menuntut Tuan Mellema, semuanya menjadi
kacau, Tuan Mellema pergi meninggalkan Nyai Ontosoroh.

Meski begitu, Nyai Ontosoroh sudah banyak belajar, bersama Annalies kedua
perempuan itu membangun sebuah perusahaan yang sangat besar. Bisa dikatakan
meski hanya seorang Nyai, Ontosoroh membikin dirinya dihormati karena
kekayaannya yang melimpah, hasil jerih payahnya sendiri, menjadikannya wanita
yang mandiri. Sementara Robert Mellema sudara Annalies Mellema, lebih mengikuti
ayahnya dan membenci Nyai Ontosoroh sebagai Ibunya.

Minke yang datang ke kehidupan Nyai Ontosoroh dan Annalies disambut baik
oleh mereka berdua. Banyak yang membenci hal itu, termasuk orang tua Minke,
karena Ontosoroh adalah seorang Nyai—begitupun Robert Mellema dan tentunya
Suurhof, keduanya secara terang-terangan menyerang Minke dan mengatakannya
sebagai orang yang ingin mendapati kekayaan Nyai Ontosoroh.

Meski mendapati diri dalam tantangan yang panjang, Minke tetap saja
berusaha untuk mendapatkan Annalies, menurutnya hal itu sebanding—karena
Annales adalah wanita cantik dan berkepribadian baik, hal itu terbukti dari sikapnya
yang bisa mengurusi perusahaan bersama Ibunya, Nyai Ontosoroh.

Setelah perjuangan yang sangat berat, Minke dan Annalies akhirnya menikah,
keduanya sangat bahagia, karier Minke pun melejit dengan baik. Minke berhasil lulus
dari HBS dengan peringkat yang sangat memuaskan, padahal dia pernah dikeluarkan
dari sekolah, karena tuduhan-tuduhann yang mengarah padanya telah melakukan hal
buruk dengan seorang Nyai. Semuanya Minke hadapi, dan akhirnya dia bisa berhasil.

Setelah kegembiraan Minke dapatkan, bencana datang menghampirinya,


Minke jatuh sejatuh-jatuhnya. Dan yang menjatuhkannya adalah hukum Belanda—
hukum orang Eropa, sebuah negara yang Ia sanjung-sanjung. Setelah kematian Tuan
Mellema yang misterius, anak Sah Tuan Mellema dari Belanda yang sedari awal telah
menghancurkan rumah tangga Tuan Mellema dengan Nyai Ontosoroh menuntut harta
Tuan Mellema yang dikelola Nyai Ontosoroh. Annalies sama-sama menjadi korban,
karena merupakan anak sah Tuan Mellema, Ia harus dipulangkan ke Eropa dan
meninggalkan Minke bersama Nyai Ontosoroh—Nyai tidak dianggap karena tidak
pernah menikah secara sah dengan Tuan Mellema dan harus merelakan semua
perusahaan yang telah Ia rintis dengan Annalies.

Meski Minke dan Nyai Ontosoroh telah berusaha keras untuk mempertahankan
perusahaan dan Annalies yang harus dibawa ke Belanda, tetap saja hukum tidak
pernah memihak pada Pribumi. Annalies pergi, Minke dan Nyai harus pasrah dan
menerima semuanya. Di akhir buku, Minke berkata pada Nyai Ontosoroh, “Kita kalah
Ma,” bisik Minke, dan dengan bijak Nyai Ontosoroh menjawab, “Kita telah melawan,
Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya,”.

Buku Bumi Manusia ini secara penulisan ditulis dengan sangat apik. Ceritanya
runtut dan penuh makna. Setiap bab diceritan dengan pembabakan yang jelas, dan
terkadang terjadi perubahan pencerita atau orang pertama, misalnya dari Minke,
menuju Annalies, kemudian Nyai Ontorsoroh—tetapi semuanya mudah dipahami dan
justru menambah pemahaman terhadap bagaimana pembangunan karakter-karakter
dalam cerita kisah Bumi Manusia. Seperti ketika Nyai Ontosoroh sebagai orang
pertama, menjelaskan bagaimana bisa dirinya menikah dengan seorang Eropa, dari
hasil dirinya dihinakan oleh adat Jawa—hidupnya hanya dikehendaki nurut dengan
Bapak, apapun kehendak yang dibuat harus dituruti.

Dari segi nilai yang bisa di dapat, buku ini luar biasa memiliki hal itu.
Mungkin dari semua keunggulannya, amanat nilai-nilai kemanusiaan yang diberikan
buku ini adalah yang paling diunggulkan. Berikut penulis kutip kalimat-kalimat yang
menurut penulis sangatlah indah dan bermakna, khususnya bagi penulis sendiri.
Seperti beberapa contoh kutipannya antara lain :

“Dan indah kehidupan tanpa merangkak-rangkak di hadapan orang lain.”

“Kita harus berterima kasih pada segala pemberi kehidupan, sekalipun dia hanya
seekor kuda.”

“Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri bersuka karena usahanya
sendiri maju karena pengalamannya sendiri.”

“Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran,
apalagi dalam perbuatan. Itulah memang arti terpelajar itu.”

“Ikut pendapat umum yang salah juga salah.”

Karena memiliki aspek historis, novel ini selain menyenagkan dibaca untuk
orang yang memang menikmati karya satra romantik, juga bagus untuk kalangan
akademisi yang ingin mengetahui bagaimana kehidupan manusia di Indonesia pada
tahun yang bersangkutan. Bagaiamana kebangkitan nasional dipupuk, termasuk dalam
diri Minke.

Bukan bermaksud melebih-lebihkan, saya pribadi menilai novel ini tidak


terlalu banyak memiliki kekurangan, terkecuali mungkin karena di buat untuk
mengisahkan zaman kolonial, maka cukup banyak istilah yang kurang akrab di
pikiran pembaca.

Akhirnya, buku ini sangat direkomendasikan untuk siapaun yang menyukai


cerita romantik penuh nilai-nilai kemanusiaan dan pemahaman tentang sejarah. Bukan
hanya menambah pembendaharaan pengetahuan—setiap kutipan yang disampaikan
Pramoedya sangatlah bermakna dan menginspirasi. Selain itu, setiap kata bijak sangat
relevan dengan karakter tokoh dalam cerita, hingga setiap kata-kata inpirasi itu bisa
menancap di otak pembaca, dan menjadi pegangan hidup.
C. Riwayat Hidup Pengarang

Gambar  C.1  Pramoedya  Ananta  Toer  

Nama Lahir : Pramoedya Ananta Mastoer

Nama Dewasa : Pramoedya Ananta Toer

Nama Panggilan : Pram

Lahir : 6 Februari 1925, Blora, Jawa Tengah, Hindia Belanda

Wafat : 30 April 2006, Jakarta, Indonesis

Orang Tua : Mastoer Imam Badjoeri (Ayah), Oemi Saidah (Ibu)

Istri : Muthmainah

Anak : Astuti Ananta Toer, Tatyana Ananta Toer, Poedjarosmi,


Setyaning Rakyat Ananta Toer, Ariana Ananta Toer, Etty Indriarti, Yudisthira Ananta
Toer, Anggraini

Biografi Pramoedya Ananta Toer Singkat

Pramoedya Ananta Toer dilahirkan di Blitar tepatnya pada tanggal 6 Februari


1925 dengan nama asli Pramoedya Ananta Mastoer, karena nama keluarga Mastoer
(nama ayahnya) dirasakan terlalu aristokratik, ia menghilangkan awalan “Mas” dari
nama tersebut dan menggunakan “Toer” sebagai nama keluarganya.

Ibunya bernama Oemi Saidah, ia juga memiliki banyak saudara kandung yakni
Soesila Toer, Koesalah Soebagyo Toer, Oemisafaatoen Toer, Prawito Toer,
Koenmarjatoen Toer, Soesetyo Toer, dan Soesanti Toer.
Masa Kecil Pram

Pramoedya menempuh pendidikan pada Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya,


dan kemudian bekerja sebagai juru ketik surat kabar Jepang di Jakarta selama
pendudukan Jepang di Indonesia.

Masa Remaja Pram

Pada masa remaja, ia pernah mengikuti kelompok militer di Jawa dan kerap
ditempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen serta buku
di sepanjang karier militernya dan ketika dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan
1949. Pada 1950-an ia tinggal di Belanda sebagai bagian dari program pertukaran
budaya, dan ketika kembali ke Indonesia ia menjadi anggota lekra, salah satu
organisasi sayap kiri di Indonesia.

Selama masa itu, ia mulai mempelajari penyiksaan terhadap Tionghoa


Indonesia, kemudian pada saat yang sama, ia pun mulai berhubungan erat dengan
para penulis Tiongkok. Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat menyurat dengan
penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia.

Penahanan dan Setelahnya

Selama 3 tahun ia dipenjara Kolonial, 1 tahun di Orde Lama, dan 14 tahun


yang melelahkan di Orde Baru (13 Oktober 1965-Juli 1969, pulau Nusa-Kambangan
Juli 1969-16 Agustus 1969, pulau Buru Agustus 1969-12 November 1979,
Magelang/Banyumanik November-Desember 1979) tanpa proses pengadilan.

Pada tanggal 21 Desember 1979 Pramoedya Ananta Toer mendapat surat


pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat dalam G30S PKI tetapi
masih dikenakan tahanan rumah, tahanan kota, tahanan negara sampai tahun 1999 dan
wajib lapor ke Kodim Jakarta Timur satu kali seminggu selama kurang lebih 2 tahun.

Penjara tak membuatnya berhenti sejengkal pun menulis. Baginya, menulis


adalah tugas pribadi dan nasional. Dan ia konsekuen terhadap semua akibat yang ia
peroleh. Berkali-kali karyanya dilarang dan dibakar.

Akhirnya di tahun 2019 ini sejarah terukir gemilang atas novelnya yang
pernah dilarang. Sebagian pembacanya dipenjara. Pengarangnya dipenjara bertahun-
tahun tanpa diadili. Lalu dibebaskan tanpa dibersihkan namanya. Tanpa maaf negara
terhadap novelis dan keluarganya. Apalagi ganti rugi. Kini novel itu jadi komoditas.
Film yang menggegerkan masyarakat Indonesia tak lain diadaptasi dari novel terkenal
karya Pramoedya Ananta Toer berjudul Bumi Manusia di Tayangkan di seluruh
bioskop Tanah Air pada Kamis 15 Agustus 2019.

Buku Bumi Manusia sendiri pernah dilarang pada 1981 oleh Kejaksaan Agung
RI dengan surat larangan nomer SK-052/JA/5/1981. Sejak larangan itu keluar,
beberapa orang mahasiswa pernah dipenjara dengan tuduhan menyimpan dan
mengedarkan buku. Alasan mendasar beberapa karya Pram dilarang karena ia dikait-
kaitkan dengan Lembaga Kesenian Rakyat atau LEKRA, organisasi kebudayaan di
bawah Partai Komunis Indonesia.
Novel Bumi Manusia dan lain-lain karyanya yang pernah dilarang kini sudah
dijual bebas. Namun surat larangan Kejaksaan Agung itu belum pernah dicabut
walaupun peraturan yang menjadi dasar pelarangan buku-buku di Indonesia yang
dianggap kiri atau berhaluan komunis sudah dibatalkan oleh keputusan Mahkamah
Konstitusi tahun 2010.

Akhir Catatan

Dari tanganya yang dingin telah lahir lebih dari 50 karya dan telah
diterjemahkan ke dalam lebih dari 42 bahasa asing. Karena kiprahnya di gelanggang
sastra dan kebudayaan, Pramoedya Ananta Toer dianugerahi pelbagai penghargaan
internasional, diantaranya: The PEN Freedom-to-write Award pada 1988, Ramon
Magsaysay Award pada 1995, Fukuoka Cultur Grand Price, Jepang pada tahun 2000,
The Norwegian Authorurs Union tahun 2003, dan di tahun 2004 mendapat
penghargaan Pablo Neruda dari Presiden Republik Chile Senor Ricardo Lagos
Escobar.

Perlu diketahui pula bahwa sampai akhir hidupnya, ia adalah satu-satunya wakil
Indonesia yang namanya berkali-kali masuk dalam daftar Kandidat Pemenang Nobel
Sastra.

D. Kutipan Novel

"Minke," ia memulai, "rupa-rupanya kau senang tinggal di sini. Kau teman sekolah
Robert Suurhof, kan ? Dalam satu kias di H.B.S. ?" Aku mengangguk curiga. Kami
duduk di kursi, berhadapan.
"Semestinya aku pun di H.B.S. sudah tammat pula."
"Mengapa tidak meneruskan ?" "Itu kewajiban Mama, dan Mama tidak
melakukannya."
"Sayang. Barangkali kau tak pernah minta padanya." "Tak perlu dipinta. Sudah
kewajibannya."
"Mungkin Mama menganggap kau tak suka meneruskan."
"Nasib tak bisa diandai, Minke. Begini jadinya diri sekarang. Kalah aku olehmu,
Minke, seorang Pribumi saja - siswa H.B.S. Eh, apa guna bicara tentang sekolah*?" ia
diam sebentar, mengawasi aku dengan mata coklat kelereng. "Aku mau bertanya,
bagaimana bisa kau tinggal di sini ? Nampaknya senang pula ? Karena ada Annelies?"
“Betul, Rob, karena ada adikmu. Juga karena dipinta.” Ia mendeham waktu
kuperhatikan
"Kau punya keberatan barangkali ?”
“Kau suka pada adikku” tanyanya balik. "Betul.” "Sayang sekali, hanya Pribumi?'
"Salah kalau hanya Pribumi ?”
Sekali lagi ia mendeham mencari kata-kata. Matanya mengembara keluar jendela.
Pada waktu itu mulai kuperhatikan ranjang yang tidak berklambu. Di kolong berdiri
botol dengan masih ada sisa obat nyamuk pada lehernya. Di bawah botol berserakan
abu rontokan. Lantai belum lagi disapu.

Loteng itu jauh lebih mewah. Hampir seluruh lantai korridor digelari permadani.
Rasanya diri menjadi seekor kucing, dapat melangkah tanpa meninggalkan bekas.
Jendela-jendela yang terbuka melihatkan pemandangan sampai jauh-jauh pada batas
nun jauh di sana. Sawah dan ladang dan hutan membentang sambung-menyambung.
Serombongan kecil orang sedang menyelesaikan panen taraf terakhir. Sawah yang
tertinggal tiada tergarap sedang menunggu penghujung akhir musim kemarau.
Memang koran-koran mengabarkan panen besar tahun ini berlimpahan. Tak perlu
mendatangkan beras bermutu rendah dari Siam, sekali pun - sawah-sawah tersubur
155 di Jawa Timur dan Tengah praktis hanya menghasilkan gula. Pertanda, kata salah
seorang jurutinjau: Ratu Wilhelmina direstui Tuhan sebagai ratu termuda, pada usia
sangat muda sebagai ratu. Kami berdiri di depan ranjang. Nyai memperbaiki letak
selimut Annelies. Buah dada dara itu nampak menjulang dari bawahnya. Dan Nyai
mengalihkan tangan anaknya pada tanganku.

"Dengar, kau, anak mursal!" perintahnya sebagai pembesar baru yang lagi naik
semangat. "Kau sudah jadi linglung mengurusi nyai orang lain. Lupa pada orangtua,
lupa pada kewajiban sebagai anak. Barangkali kau memang sudah ingin beristri. Baik,
lain kali dibicarakan. Sekarang ada soal lain. Perhatikan. Besok malam kau bertindak
sebagai penterjemah. Jangan bikin malu aku dan keluarga di depan umum, di depan
Residen, Assisten Residen, Kontrolir dan para bupati tetangga."
"Sahaya, Ayahanda."
"Kau sanggup jadi penterjemah ?"
"Sanggup, Ayahanda."
"Nah, begitu, sekali-sekali melegakan hati orangtua. Aku sudah kuatir Tuan
Kontrolir yang akan melakukan tugas ini. Coba, bagaimana kalau dalam resepsi
pengangkatan ada anak lelaki tidak hadir dalam kesaksian para pembesar ? Kapan kau
harus mulai dikenal oleh para beliau ? Ini kesempatan terbaik bagimu. Sayang kau
begitu mursal. Barangkali tidak mengerti bagaimana orangtua merintis jalan pangkat
untukmu. Kau, anak lelaki, di-mashurkan terpandai dalam keluarga. Atau barangkali
kau sudah lebih berat pada nyai daripada pangkat ?"
"Sahaya, Ayahanda."
"Biar terang jalanmu ke arah jabatan tinggi."
"Sahaya, Ayahanda."
"Sana, pergi menghadap Bundamu. Kau memang sudah tidak bermaksud pulang.
Memalukan, sampai-sampai harus minta tolong Tuan Assisten Residen. Senang, kan,
ditangkap seperti maling kesiangan ? Tak ada perasaan malu barang sedikit. Bersujud
pada Bundamu sendiri pun sudah bertekad melupakan. Putuskan hubungan dengan
nyai tak tahu di untung itu!"

E. Struktur Novel

A. Abstrak
Pada bagian abstrak, muncul keinginan dari tokoh “aku” yaitu Minke untuk
menuangkan kisahnya tiga belas tahun yang lalu dalam bentuk tulisan, lalu
mengisahkannya satu per satu. Hal ini dapat terlihat dari kutipan novel pada bab 1
sebagai berikut.
Namaku sendiri…. Sementara ini tak perlu kusebutkan. Bukan karena gila
mysteri. Telah aku timbang: belum perlu benar tampilkan diri di hadapan mata orang
lain. Pada mulanya catatan pendek ini aku tulis dalam masa berkabung: dia telah
tinggalkan aku, entah untuk sementara entah tidak. (Waktu itu aku tak tahu
bagaimana bakal jadinya). Hari depan yang selalu menggoda! Mysteri! Setiap
pribadi akan datang padanya—mau-tak-mau, dengan seluruh jiwa dan raganya. Dan
terlalu sering dia ternyata maharaja zalim. Juga akhirnya aku datang padanya
bakalnya. Adakah dia dewa pemurah atau jahil, itulah memang urusan dia: manusia
terlalu sering bertepuk hanya sebelah tangan. Tigabelas tahun kemudian catatan
pendek ini kubacai dan kupelajari kembali, kupadu dengan impian, khayal. Memang
menjadi' lain dari aslinya. Tak kepalang tanggung. Dan begini kemudian jadinya: …

B. Orientasi
Pada bagian orientasi, Minke mulai menggambarkan pandangannya tentang
Eropa yang selama ini ia kagumi karena menurutnya, bangsa Eropa adalah bangsa
terpelajar dan bisa membuat penemuan-penemuan baru. Sekaligus mengisahkan
dirinya yang mempelajari ilmu pengetahuan di Seklah H.B.S. Hal ini dapat dilihat
dari kutipan berikut.

Sudah dapat kurasai: ilmu pengetahuan telah memberikan padaku suatu restu
yang tiada terhingga indahnya. Sekali direktur sekolahku bilang didepan kias: yang
disampaikan oleh tuan-tuan guru di bidang pengetahuan umum sudah cukup luas;
jauh lebih luas daripada yang dapat diketahui oleh para pelajar setingkat di banyak
negeri di Eropa sendiri. Tentu dada ini menjadi gembung. Aku belum pernah ke
Eropa. Benar-tidaknya ucapan tuan Direktur aku tak tahu. Hanya karena
menyenangkan aku cenderung mempercayainya. Lagi pula semua guruku kelahiran
sana, dididik disana pula. Rasanya tak layak tak mempercayai guru. Orang tuaku
telah mempercayakan diriku pada mereka. Oleh masyarakat terpelajar Eropa dan
Indo dianggap terbaik dan tertinggi nilainya di seluruh Hindia Belanda. Maka aku
harus mempercayainya. Ilmu dan pengetahuan, yang kudapatkan dari sekolah dan
kusaksikan sendiri pernyataannya dalam hidup, telah membikin pribadiku menjadi
agak berbeda dari sebangsaku pada umumnya.
….

Betapa aku berterimakasih pada semua dan setiap orang yang telah berjerih-
payah untuk melahirkan keajaiban baru itu. Lima tahun yang lalu belum lagi ada
gambar tercetak beredar dalam lingkungan hidupku. Memang ada cetakan cukilan
kayu atau batu, namun belum lagi dapat mewakili kenyataan sesungguhnya. Berita-
berita dari Eropa dan Amerika banyak mewartakan penemuan-penemuan terbaru.
Kehebatannya menandingi kesaktian para satria dan dewa nenek-moyangku dalam
cerita wayang. Keretapi — kereta tanpa kuda, tanpa sapi, tanpa kerbau — be lasan
tahun telah disaksikan sebangsaku. Dan masih juga ada keheranan dalam hati
mereka sampai sekarang! Betawi-Surabaya telah dapat ditempuh dalam tiga hari.
Diramalkan akan cuma seharmal*! Hanya seharmal! Deretan panjang gerbong
sebesar rumah, penuh barang dan orang pula, ditarik oleh kekuatan air semata!
Kalau Stevenson pernah aku temui dalam hidupku akan kupersembahkan padanya
karangan bunga, sepenuhnya dari anggrek. Jaringan jalan keretapi telah
membelahbelah pulauku, Jawa. Kepulan asapnya mewarnai langit tanahairku dengan
garis hitam, semakin pudar untuk hilang ke dalam ketiadaan. Dunia rasanya tiada
berjarak lagi — telah dihilangkan oleh kawat. Kekuatan bukan lagi jadi monopoli
gajah dan badak. Mereka telah digantikan oleh benda-benda kecil buatan manusia:
torak, sekrup dan mur.

C. Komplikasi
Konflik di dalam novel ini sangat rumit, entah itu konflik batin atau konflik
keluarga. Banyak pertentangan dalam kehidupan Minke, terlebih saat ia makin sering
berkunjung bahkan menginap di rumah Nyai Ontosoroh. Ada masa ia dihadapkan
pada pertentangan : ingin mengikuti kata hati atau tradisi.
Minke ingin selalu berada dekat dengan keluarga Mellema sebab ia memang
begitu mencintai Annelies. Akan tetapi, kultur dan paradigm masyarakat pada saat itu
tidak berpihak pada nyai-nyai. Para nyai dianggap memiliki citra buruk karena
berstatus perempuan simpanan.
Tinggal bersama seorang nyai akhirnya memang memicu kekhawatiran bagi
ayah Minke. Di sinilah konlik itu timbul. Seperti pada kutipan berikut.

“Apa tidak kau pikirkan bahaya mengerami nyai? Kalau tuannya jadi mata
gelap dank au ditembak mati, mungkin dihajar dengan parang, atau pedang, atau
pisau dapur, atau dicekik … bagaimana akan jadinya? Koran-koran itu akan
mengumumkan siapa kau, siapa orang tuamu. Malu apa bakal kau timpakan pada
orangtuamu? Kalau kau tak pernah berpikir sampai ke situ… ( Bumi Manusia,
halaman 185 )

Namun, Minke memiliki nyali besar yang ditopang dengan keteguhan hatinya,
sehingga ia mampu melawan tradisi dan bertahan. Ia tetap tinggal di rumah Nyai
Ontosoroh dan mencintai Annelies seperti Annelies mencintainya.
Berbagai konflik pun hadir, mulai dari teman-temannya yang mulai menjauh,
pikiran barunya mengenai hak asasi manusia bagi pribumi, ancaman pembunuhan,
siding pembunuhan, dikeluarkan dari sekolah, dan lain-lain.

D. Resolusi
Penyelesaian konflik pada Novel Bumi Manusia mulai terlihat saat pengadilan
memutuskan untuk mengirim Annelies ke Belanda, dan berpisah dengan ibu beserta
suaminya, Minke. Hari-hari ia jalani dengan tak ada rasa nafsu makan. Perusahaan
yang telah didirikan oleh Annelies dan Nyai Ontosoroh pun juga hancur. Tapi apa
boleh buat, mereka kalah dalam persidangan kulit putih yang berlandaskan
ketidakadilan. Hal ini tercermin dalam kutipan sebagai berikut.

Ia makan tak lebih dari empat sendok, kemudian taK mau membuka mulut.
entah sudah berapa kali Nyai keluar-masuK kamar dengan gugup. Sekali waktu
kamar itu kosong tiada siapapun kupeluk istriku dan kuberanikan membisikkan pada
kupingnya.
"Ann, kita kalah, Ann, kami akan menyertai kau belayar ke Nederland, tapi
mereka melarang. Ann, kau dengar aku, Ann ?" Ia tetap tak menanggapi.
"Aku tak tahu bagaimana pikiranmu. Ketahuilah, Ann, Jan Dapperste akan
mewakili Mama dan aku. Tiga hari lagi dia akan iringkan kau belayar sampai ke
Eropa. Jangan kecil hati, ya Ann. Kalau kau telah tiba, Mama dan aku pun akan
segera menyusul."
Dan Annelies tetap tak punya perhatian. Namun telah kulakukan tugas berat
itu sebagai suami, tugas yang sama sekali tidak sempurna kutunaikan: dia belum juga
menanggapi. Berapa kali harus kuulangi pemberitahuan ini ? Aku ciumi dia. Juga
tidak menanggapi. Mungkinkah benar Dokter Martinet; ia dalam keadaan telah
melewati masa genting dan kini mulai melepaskan segala dari dirinya ? Untuk
kesekian kali Mama masuk. Sekarang menyampaikan tilgram dari Herbert de la
Croix dan surat dari Bunda. Assisten Residen B. itu menyampaikan penyesalan telah
mengirimkan seorang advokat yang ternyata gagal. Ia ikut ber-dukacita dan
bersympati pada kami.
Dalam tilgramnya yang panjang ia juga menyatakan: keputusan Pengadilan
Amsterdam tidak adil. Ia telah menilgram Gubernur Jendral, menyatakan akan
mengundurkan diri dari jabatannya bila keputusan Pengadilan Amsterdam tetap
dilaksanakan. Juga ia kirimkan tilgram protes pada Kementrian Kehakiman, dan
tanpa , hasil — dijawab pun tidak. Maka ia akan mengundurkan diri dan kembali ke
E-ropa bersama Miriam.
Dan Annelies sendiri ? Ia masih tetap kehilangan perhatian terhadap segala.
Dan aku bicara dan bicara, bercerita dan bercerita. Dan ia tetap tak mau bicara.
Mendengarkan pun barangkali tidak. Aku bawa dia ke ranjang kembali dan aku
baringkan, dan aku sendiri berbaring di sampingnya. Beruntung juga aku mengenal
banyak cerita dan dongengan nenek-moyang. Itu pun sudah habis kurawi.
….

"Ann, Annelies!" seruku. Aku pegangi pergelangan tangannya dan kurasai


denyutan jantungnya tidak lagi selambat kemarin.
"Mas!" jawabnya.
Betulkah Anneliesku mulai bicara ? Atau hanya impianku saja ? Aku gosok mataku.
Hei, kau mimpi, jangan ganggu aku! Tapi mataku melihat istriku tersenyum.
Mukanya pucat, giginya kotor. Dan matanya tidak ikut tersenyum.
"Ah, Annelies, Anneliesku! Kau sudah baik, Ann!" aku peluk dan ciumi dia.
Tak sia-sia jerih-payahku selama berhari-hari belakangan ini.
"Makan sudah tersedia, Mas, mari makan," katanya lunak, tepat seperti dulu.
Aku pandangi dia. Benarkah Dokterf Martinet: jiwanya goyah, mentalnya tidak
tumbuh secara wajar ? Kuawasi matanya. Dan mata itu kuyu. Bibirnya masih
tersenyum, tapi mata itu tetap tidak ikut tersenyum, bahkan seakan telah jadi juling.
"Mama!" teriakku. "Annelies sudah baik." Dan Mama tidak muncul. :
Tanpa membersihkan diri aku duduk menghadapi makan siang di dalam kamar.Tak
ada sendok-garpu atau pun piring di depanku. Hanya ada di depan Annelies. Sudah
berubahkah ingatannya, ataukah aku seorang yang harus makan ? Ia mulai
menyendok makanan dan disuapkan padaku.
"Aku bisa menyuap sendiri, Ann. Kaulah yang makan, mari aku suapi." Ia
tidak makan, hanya menyuapi aku juga. Dan aku harus pengunyah dan menelan. Ia
tak boleh tersinggung - itu aku tahu betul - sampai kenyang. Mengapa kau suapi aku
begini ?
"Sekali dalam hidup biarlah aku suapi suamiku," ia terdiam dan tak mau
bicara.

E. Koda
Pada akhirnya, Minke harus mengikhlaskan keberangkatan Annelies ke
Belanda yang disebabkan karena pernikahan Ontosoroh dan Herman diputuskan tidak
sah oleh hakim pengadilan, sehingga Annelies harus diserahkan kepada walinya di
Belanda. Beberapa hari kemudian, Minke yang membawa buku berdiri di depan
tebing pantai, diiringi dengan senandika dari Minke. Hal ini tercermin pada bagian
akhir novel yang menceritakan detik-detik kepergian Annelies ke Belanda dan
berpisah dengan Nyai Ontosoroh. Kutipannya sebagai berikut.
Mungkin begini juga perasaan ibu Mama diperlakukan oleh Mama dulu
karena tak mampu membelanya dari kekuasaan Tuan Mellema. Tapi bagaimana
perasaan Annelies ? Benarkah dia sudah melepaskan segalanya, juga perasaannya
sendiri ? Aku sudah -tak tahu sesuatu. Tiba-tiba kudengar suara tangisku sendiri.
Bunda, putramu kalah. Putramu tersayang tidak lari, Bunda, bukan kriminil, biar pun
tak mampu membela istri sendiri, menantumu. Sebegini lemah Pribumi di hadapan
Eropa ? Eropa! kau, guruku, begini macam perbuatanmu ? Sampai-sampai istriku
yang tak tahu banyak tentangmu kini kehilangan kepercayaan pada dunianya yang
kecil - dunia tanpa keamanan dan jaminan bagi dirinya seorang. Hanya seorang. Aku
panggil-panggil dia. Annelies tidak menjawab. Menoleh pun tidak.
"Aku akan segera menyusul, Ann," pekikku. Tanpa jawab tanpa toleh.
"Juga aku, Ann, besarkan hatimu!" seru Mama, suaranya parau, hampir-
hampir tak keluar dari kerongkongan. Juga tanpa jawab tanpa toleh. Pintu depan di
persada sana dibuka. Sebuah kereta Gubernur -telah menunggu dalam apitan
Maresose berkuda. Mama dan aku tak diperkenankan melewati pintu itu.
Sekilas masih dapat kami lihat Annelies dibantu menaiki Kereta. Ia tetap tak
menengok, tak bersuara. Pintu ditutup dari luar. Pintu ditutup dari luar. Sayup-sayup
terdengan roda kereta menggiling kerikil, lama makin jauh, jauh akhirnya tak terang
lagi. Annelies dalam pelayaran ke negeri di mana Sri Ratu Whilelmina bertahta.
Kami menundukkan kepala di belakang pintu. "Kita kalah, Ma," bisikku. "Kita telah
melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat hormatnya.

F. Pandangan Pengarang terhadap Novel Bumi Manusia

1. Pengarang memandang kehidupan pribumi saat zaman Belanda, dimana


masyarakat pribumi dipandang sebelah mata, sedangkan peradaban Eropa-lah
yang diagung-agungkan atau dalam artian manusia yang hidup pada zaman itu
terlalu memandang derajat seseorang berdasarkan strata sosialnya saja. Seperti
contohnya, Nyai Ontosoroh tidak terlalu disukai oleh masyarakat, bahkan ayah
Minke melarangnya untuk dekat dengan Nyai Ontosoroh, karena saat itu, sebutan
“Nyai” digambarkan sebagai perempuan jorok, gundik (di mana derajat gundik
sama dengan derajat hewan peliharaan), selir, wanita piaraan para pejabat.
Karena Nyai Ontsoroh di masa muda dijual oleh ayah kandungnya sendiri supaya
ayahnya bisa naik jabatan. Hal ini terbukti dalam kutipan :

"Sana, pergi menghadap Bundamu. Kau memang sudah tidak bermaksud


pulang. Memalukan, sampai-sampai harus minta tolong Tuan Assisten Residen.
Senang, kan, ditangkap seperti maling kesiangan ? Tak ada perasaan malu
barang sedikit. Bersujud pada Bundamu sendiri pun sudah bertekad melupakan.
Putuskan hubungan dengan nyai tak tahu di untung itu!"

Selain itu, juga terdapat pula pada kutipan berikut.

“Apa tidak kau pikirkan bahaya mengerami nyai? Kalau tuannya jadi mata
gelap dank au ditembak mati, mungkin dihajar dengan parang, atau pedang,
atau pisau dapur, atau dicekik … bagaimana akan jadinya? Koran-koran itu
akan mengumumkan siapa kau, siapa orang tuamu. Malu apa bakal kau
timpakan pada orangtuamu? Kalau kau tak pernah berpikir sampai ke situ… (
Bumi Manusia, halaman 185 )

2. Pengarang juga memandang bahwa pada saat itu banyak penghinaan yang secara
langsung diucapkan oleh Bangsa Eropa kepada pribumi, salah satunya menjuluki
Tirto Adhi Soerjo sebagai “Minke” yang akhirnya menjadi nama panggilannya.
Padahal, Minke sendiri berasal dari bahasa Inggris monkey yang berarti monyet,
Dibuktikan dari kutipan novel :

“Selamat petang, Tuan Mellema!” dalam Belanda dan dengan nada yang
cukup sopan.

Ia menggeram seperti seekor kucing. Pakaiannya yang tiada bersetrika itu


longgar pada badannya. Rambutnya yang tak bersisir dan tipis itu menutup
pelipis, kuping.

“Siapa kasih kowe ijin datang kemari, monyet!” dengusnya dalam Melayu-pasar,
kaku dan kasar, juga isinya.

Di belakangku terdengar deham Robert Mellema. Kemudian terdengar olehku


Annelies menarik nafas sedan. Robert Suhhorf menggeserkan sepatu dan
memberi tabik juga. Tapi raksasa di hadapanku itu tidak menggubris.

3. Pengarang juga memandang bangsa Eropa sendiri menganggap derajatnya lebih


tinggi daripada masyarakat pribumi. Masyarakat pribumi dipandang sebagai kasta
yang rendah. Hal ini berdasarkan kutipan pada novel yaitu :

“Kau suka pada adikku?” tanyanya balik.

“Betul.”

“Sayang sekali hanya Pribumi”

“Salah kalau hanya Pribumi?”

4. Pengarang memandang bahwa saat itu Pribumi tidak akan mampu melawan
kolonialisme yang saat itu berkuasa Hal ini dapat diuktikan dari kutipan yang ada
pada pada novel berikut.

Meski Minke dan Nyai Ontosoroh telah berusaha keras untuk mempertahankan
perusahaan dan Annalies yang harus dibawa ke Belanda, tetap saja hukum tidak
pernah memihak pada Pribumi. Annalies pergi, Minke dan Nyai harus pasrah
dan menerima semuanya. Di akhir buku, Minke berkata pada Nyai Ontosoroh,
“Kita kalah Ma,” bisik Minke, dan dengan bijak Nyai Ontosoroh menjawab,
“Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya,”.
G. Unsur Intrinsik dan Unsur Ekstrinsik Novel Bumi Manusia

A. Unsur Intrinsik
1. Tema
Tema dari novel ini adalah tentang kisah percintaan. Kisah percintaan ini
terjalin antara seorang pemuda keturunan priyayi Jawa dengan seorang
gadis keturunan Belanda di awal abad ke-20.

2. Tokoh dan Penokohan


a. Minke (Tirto Adhi Soerjo) : tokoh utama yang berwatak cerdas,
berjiwa pribumi, keturunan priyayi,
siswa HBS, baik, dan penyayang
b. Annelies Mellema : putri dari orang Belanda (Herman
Mellema) dan pribumi (Nyai
Ontosoroh) yang pendiam, manja, dan
labil
c. Nyai Ontosoroh (Sanikem) : istri simpanan dari Herman Mellema
yang berasal dari Jawa tulen dan
bersikap mandiri, tegas, bijaksana,
pandai, dan tegar. Ia juga merupakan
wanita palig kuat dalam memercikkan
api perlawanan terhadap penindasan
yang dilakukan pihak kolonial
d. Herman Mellema : ayah kandung Annelies Mellema,
sifatnya kaku dan kasar
e. Robert Mellema : kakak dari Annelies Mellema,
wataknya egois dan tidak bermoral
f. Ayah Minke : masih berpatokan dengan adat istiadat
Jawa, pemarah, keras dalam mendidik
Minke
g. Ibu Minke : arif dan bijaksana, penyayang, dan suka
melindungi Minke
h. Robert Surhorf : pengecut
i. Jean Marais : penyayang (ayah may marais)
j. May Marais : manja
k. Darsam : seorang Madura yang berwatak keras,
patuh kepada tuannya.
l. Ah Tjong : licik
m. Maiko : seorang pelacur dari Jepang, egois, dan
tidak jujur
n. Amelia Mellema : istri sah Herman Mellema dan
wataknya ambisius.
o. Ir. Maurits Mellema : ambisius
p. Magda Petters : baik hati
q. Mevrow Telinga : seorang yang penyayang, ditandai pada
halaman 268 pada novel yang
menyebutkan bahwa :
“Mevrow Telinga telah beberapa kali
mengompres kepalaku dengan cuka-
bawang merah….”
r. Miriam de la Croix : senior Minke di HBS, baik
s. Sarah de la Croix : senior Minke di HBS, baik
t. Herbert de la Croix : ayah Sarah dan Miriam, baik

3. Latar
a. Latar tempat : Indonesia, tepatnya di Kota Surabaya
dan Wonokromo. Beberapa tempat
spesifiknya yaitu rumah Nyai
Ontosoroh, rumah Jean Marais,
pondokan Mevrow Telinga, rumah
plesiran Baba Ah Tjong, dan gedung
pengadilan.

b. Latar waktu : Tahun 1889 pada masa pemerintahan


Belanda.

c. Latar suasana : Sebagian besar suasana di novel ini


menegangkan dan mengharukan,
terutama pada saat Nyai Ontosoroh dan
Minke diadili di pengadilan.

4. Sudut Pandang
ü Menggunakan sudut pandang orang pertama pelaku utama.
ü Seluruh penceritaan dalam novel ini bertumpu pada pikiran dan
perasaan Minke. Namun, pada beberapa bagian, Minke mengoper
penceritaan sudut pandang orang pertama tersebut kepada Annelies
Mellema, Nyai Ontosoroh, Maiko, dan Ah Tjong.

5. Alur
ü Alur yang digunakan dalam novel ini adalah alur ingatan atau alur
flashback. Jenis alur ini menempatkan peristiwa yang berisi peralihan
dari keadaan satu ke keadaan yang lain terjadi di masa lalu ditampilkan
dalam suatu rangkaian peristiwa. Di mana dalam rangkaian tersebut
juga memuat alur maju dan alur mundur, tergantung pada kondisi
tokoh dalam cerita. Hal ini tercermin dalam salah satu kutipan :

Tigabelas tahun kemudian, catatan pendek ini kubacai dan


kupelajari kembali, kupadu dengan impian, khayal. Memang menjadi
lain dari aslinya. Tak kepalang tanggung. Dan begini kemudian
jadinya.

6. Amanat
ü Jangan memandang seseorang berdasarkan strata sosialnya, karena
semua orang di hadapan Tuhan itu sama derajatnya.
ü Jadilah seseorang yang suka menolong orang lain yang sedang dalam
kesusahan dan memerlukan bantuan kita.
ü Jangan suka memandang rendah orang lain dan bersikap sombong,
selalu ingat bahwa setiap perbuatan kita pasti akan ada balasannya
kelak di hadapan Tuhan.
B. Unsur Ekstrinsik
a. Nilai Agama
ü Ada beberapa nilai agama yang dapat diambil dari Novel Bumi Manusia,
antara lain :
1. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
Beriman dan bertakwa kepada Tuhan adalah hal yang sangat penting.
Pembuktian iman sesorang adalah dengan cara melaksanakan ajaran-
ajaran dari Tuhan. Baik itu menaati perintah-Nya atau menjauhi segala
larangan-Nya. Manusia harus menjalankan kehidupannya sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Merekalah yang
bisa dikatakan taat kepada perintah-Nya. Hal ini tercermin dari kutipan
berikut.

Kami dinikahkan secara islam. Darsam bertindak sebagai saksi dan


Annelies Diwali oleh seseorang wali hakim…

“Perkawinanmu syah menurut hukum islam. Membatalkan adalah


menghina hukum islam, mencemarkan ketentuan yang dimuliakan umat
islam.. ah, betapa aku inginkan perkawinan syah. Tuan seslalu menolak.
Ternyata ia masih ada istri syah. Sekarang anakku kawin syah. Jauh lebih
tinggi daripadaku sendiri. Dan tidak diakui.”

Kutipan di atas menceritakan tentang perkawinan anatara minke dan


Annelies yang sesuai dengan ajaran islam, yaitu adanya saksi dan wali.
Hal ini membuktikan bahwa masih ada kepercayaan kepada Tuhan dan
melaksanakan ketentuan-ketentuan-Nya. Namun pada kutipan Nyai
Ontosoroh adalah ungkapan yang menjelaskan tentang bagaimana hukum-
hukum islam itu dikesampingkan. Minke dan Annelies yang sah
perkawinannya menurut Islam, sama sekali tidak diakui oleh hukum
sidang Eropa. Mereka beranggapan bahwa perkawinan itu tidak sah
sekalipun ada yang menikahkan karena masih di bawah umur. Hal ini
sangat terlihat bagaimana kaum Eropa sama sekali tidak menghargai
ketentuan Islam.

2. Bersikap sabar dan tawakal atas cobaan Tuhan


Manusia dalam menjalani hdiup selalu menemui cobaan dari Tuhan.
Hal tersebut merupakan cara Tuhan ntuk menguji keimanan seseorang.
Keberhasilan ujian tersebut tergantung bagaimana menyikapinya. Mereka
yang sedang mendapatkan cobaan itu bisa sabar atau bahkan sebaliknya.
Ada kutipan sebagai berikut :

“Mama, dengan koper ini dulu Mama pergi dan bertekad takkan
kembali lagi. Koper ini terlalu memberati kenangan Mama. Biar aku
bawa, Mama, beserta kenangan berat di dalamnya. Aku takkan bawa apa-
apa kecuali kain batikan Bunda. Hanya koper ini kenangan Mama, dan
batikan Bunda, pakaian pengantinku, Ma. Masukkan sini, jangan
kenangkan yang dulu-dulu. Yang sudah lewat biarlah berlalu, Mamaku,
Mamaku sayang.”
Kutipan di atas adalah ungkapan Annelies kepada Nyai Ontosoroh
sebelum ia pergi. Annelies sangat sabar terhadap nasibnya, terhadap ujian
dari Tuhan. Ia harus rela dibawa oleh pengasuh dari Ir. Maurist Mellema
ke Belanda dan meninggalkan orang-orang yang dicintai. Annelies
mengerti bahwa Nyai Ontosoroh dan Minke telah berusaha keras untuk
mempertahankannya, namun Tuhan menghendaki dia harus meninggalkan
mereka. Maka yang ia lakukan adalah sabar dan berserah diri terhadap
takdir dari Tuhan.

b. Nilai Moral
ü Ada beberapa nilai moral yang dapat diambil dari Novel Bumi Manusia,
antara lain :
1. Sikap sopan santun dengan yang lebih tua
Dalam adat Jawa, sikap sopan santun sangat penting. Anak-anak mulai
dini diajari tentang bagaimana berlaku dan bersikap kepada yang lebih
tua. Hal ini dimaksudkan agar kelak mereka mempunyai rasahormat yang
tinggi kepada yang lebih tua, apalagi kepada orang tua sendiri. Ungkapan
ini dapat dilihat dari kutipan berikut :

“Rupanya kesopanan pun telah kau tinggalkan maka tak segera sujud
pada Bunda,”
Pintu kuketuk pelan. Aku tak tahu kamar siapa, membukanya dan
masuk. Bunda sedang duduk bersisir di depan cermin. Sebuah lampu
minyak berkaki tinggi berdiri di atas sebuah kenap di sampingnya.
“Bunda, ampunyi sahaya,” kataku mengembik, bersujud di
hadapannya dan mencium lututnya. Tak tahulah aku mengapa tiba-tiba
hati diserang rindu begini pada Bunda.

Kutipan di atas menggambarkan bagaimana seharusnya seorang anak


harus bersujud kepada orang tuanya ketika baru datang. Minke telah lama
tidak bertemu dengan bundanya yang tinggal di Kota B. Minke merasa
bersalah karena tidak pernah membalas surat dari keluarganya.

2. Cinta kasih orang tua kepada anak


Sosok orang tua, khususnya ibu akan memperjuangkan anaknya yang
sedang dalam bahaya atau terancam keselamatannya. Bahkan rela
mengorbankan harga dirinya. Hal ini bisa terlihat dari kutipan berikut.

Annelies anakku, Tuan, hanya seorang Indo, maka tidak boleh


melakukan apa yang dilakukan bapaknya? Aku yang melahirkannya,
membesarkan dan mendidik, tanpa bantuan satu sen pun dari Tuan-Tuan
yang terhormat. Atau bukan aku yang telah tanggungjawab atasnya
selama ini? Tuan-Tuan sama sekali tidak pernah bersusah-payah
untuknya. Mengapa usil?

Kutipan di atas menceritakan tentang Nyai Ontosoroh yang membela


Annelies dalam siding yang akan memisahkan anatara ibu dan anak itu.
Nyai Ontosoroh bersikeras mempertahankan anaknya yang akan diambil
oleh keluarga Mellema karena termasuk keturunan Mellema. Bahkan,
Nyai Ontosoroh tidak memperdulikan kewibawaan siding dan menghujat
orang-orang yang ada dengan kata-kata dendam.

c. Nilai Sosial
ü Ada beberapa nilai sosial dalam Novel Bumi Manusia, antara lain :
1. Menjaga suasana kekeluargaan dan kebersamaan
Menjalin hubungan dengan sesame adalah hal yang sulit. Apalagi
jika ada perbedaan SARA. Namun kesulitan itu bisa diatasi ketika dalam
hubungan sudah timbul suasana kekeluargaan dan kebersamaan. Bahkan
dengan orang lian akan seperti dengan keluarga sendiri. Hal ini bisa
terlihat dari kutipan berikut.

Maka papa menyetujui asosiasi. Hanya itu satu-satunya jalan


yang baik untuk Pribumi. Ia mengharapkan, juga kami, kau kelak duduk
setingkat dengan orang Eropa, bersama-sama memajukan bangsa dan
negeri ini, sahabat. Permulaan itu kau sendiri yang sudah memulai. Pasti
kau bisa memahami maksud kami. Kami sangat mencintai ayah kami. Ia
bukan sekedar ayah, juga seorang guru yang memimpin kami melihat dan
memahami dunia, seorang sahabat yang masak dan berisi, seorang
administator yang tak mengharapkan keuntungan dari keluh kesah
bawahan.

Kutipan tersebut merupakan sebagian isi surat dari Miriam de la


Croix, putri dari Tuan Asisten Herbert de la Croix yang dikenal Minke
ketika pelantikan ayahnya menjadi bupati. Isinya menyatakan tentang
perasaan keluarga Miriam yang keturunan Eropa terhadap Minke yang
asli Pribumi. Keluarga Miriam sangat mengagumi Minke, terutama Tuan
Herbert. Bahkan Tuan Herbert juga mengharapkan kelak kaum Pribumi
dan kaum Eropa bisa sejajar dan bersama-sama membangun negeri.
Walaupun jelas ada perbedaan anatara mereka, namun ada suasana
kekeluargaan dan kebersamaan yang terjalin sehingga ada rasa saling
membutuhkan satu sama lain.

2. Menolong orang lain yang sedang mengalami kesusahan


Tercermin dari kutipan :

“Memang patut aku minta maaf sebesar-besarnya tak dapat


berbuat sesuatu untuk meringankan penderitaan Nyai. Tak ada padaku
teman-teman dekat orang besar, karena memang tidak pernah punya
keanggotaan sesuatu kamarbola.”

“Tapi Tuan merasa perlakuan terhadap kami ini tak adil, bukan?”
tanya Mama.

“Bukan hanya tak adil. Biadap!”

“Itupun mencukupi, Tuan Dokter, kalau keluar dari hati tulus”

“Maafkan, aku taka da kemampuan…”


Kutipan di atas merupakan dialog antara Nyai Ontosoroh dengan
dokter Martinet, seorang dokter kepercayaan keluarga itu. Dokter
Martinet sangat menyesal karena tidak dapat membantu lebih atas perkara
yang sedang dihadapi keluarga Nyai Ontosoroh. Dokter Martinet hanya
dapat menolong Annelies yang sakit keras dengan membiusnya agar bisa
tidur, namun tidak dapat menolongnya agar tidak dibawa oleh keluarga Ir.
Maurist Mellema ke Belanda.

d. Nilai budaya
Pelaku budaya Jawa yang mendominasi dalam tetralogi Pulau
Buru adalah Minke, Nyai Ontosoroh alias Sanikem, Darsam, Bunda,
Ayahanda, dan Trunodongso. Minke adalah seorang priayi Pribumi asli
yang berpendidikan Eropa di HBS Surabaya dan STOVIA Betawi suami
Annelies, Ang San Mei, dan Prinses Van Kasiruta. Nyai Ontosoroh adalah
seorang gundik Tuan Besar Kuasa Adminitrasi pabrik gula, Herman
Mallema. Dari hubungan antara Herman Mallema dan Nyai Ontosoroh
melahirkan dua orang anak, yaitu Robert Mallema dan Annelies Mallema.
Darsam adalah tukang pukul Nyai Ontosoroh yang patuh dan setia.
Trunodongso adalah petani tebu yang tertindas akibat kesewenang-
wenangan. Manusia dan Budaya Jawa dalam Roman Bumi Manusia...
(Puji Retno Hardiningtyas) ISSN 0854-3283 Halaman 83 — 98 penguasa
kolonial. Sementara itu, Ayahanda dan Bunda adalah orang tua Minke.
Menurut Hun (2011: 91) dalam struktur masyarakat Jawa pada
abad ke-19, kondisi Minke berdasarkan adat adalah calon bupati karena
jabatan tersebut diterima secara turun-temurun. Di kalangan masyarakat
Jawa kedudukan Minke sangat dihargai dan dihormati, baik masyarakat
Jawa maupun pemerintah kolonial Belanda. Berdasarkan kenyataan
bahwa bupati dipandang sebagai pemimpin aristokrasi yang disahkan dan
diperlukan rakyat. Oleh karena itu, bupati dimanfaatkan oleh pemerintah
Belanda. Seorang bupati Pribumi pun lebih memihak kepentingan
pemerintah kolonial. Perhatikan kutipan berikut ini. Apa tidak kau baca di
koran-koran, besok malam ini ayahmu akan mengadakan pesta
pengangkatan jadi bupati? Bupati B. Tuan Assisten Residen B, Tuan
Residen Surabaya, Tuan Kontrolir dan semua bupati tetangga akan hadir
Memang berita mutasi tidak pernah menarik perhatianku:
pengangkatan, pemecatan, perpindahan, pensiun. Tidak ada urusan!
Kepriayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar
atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan
jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan. Duniaku Bumi Manusia dengan
persoalannya (Bumi Manusia, 2010:185—186).
Hubungan antara Minke dan Ayahandanya memang tidak
harmonis. Minke tidak mau terkungkung oleh adat dan tradisi Jawa. Ia
melawan feodalisme Ayahandanya yang justru mengukuhi kemapanan
sebagai turunan Jawa. Menurut pandangan Ayahanda Minke, jabatan
sebagai bupati merupakan jabatan yang diinginkan para priayi. Selama
sekolah di HBS, Minke memang tidak mengikuti perkembangan jabatan
Ayahandanya. Minke tidak memperdulikan pangkat, kedudukan, dan
jabatan, bahkan kepriayiannya pun ia sudah ambil pusing. Karena
ketidakpedulian Minke terhadap jabatan baru Ayahandanya sebagai
bupati, ia dijemput paksa oleh agen kepolisian Kota B untuk menghadari
pengangkatan sebagai bupati atas utusan Ayahandanya.

H. Kaidah Kebahasaan Novel


a. Penggunaan ungkapan dan gaya bahasa (majas)
1. Gaya bahasa Perbandingan
Dalam hal ini yaitu majas personifikasi, ialah gaya bahasa kiasan yang
menggambarkan barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki
sifat kemanusiaan. Dalam kutipan novel Bumi Manusia di atas, terdapat majas
personifikasi yaitu :
a. Matanya mengembara keluar jendela.
b. Di kolong berdiri botol dengan masih ada sisa obat nyamuk ….
c. Jendela-jendela yang terbuka melihatkan pemandangan sampai jauh-
jauh pada batas nun jauh di sana.
d. Sawah yang tertinggal tiada tergarap sedang menunggu penghujung
akhir musim kemarau.
e. Memang koran-koran mengabarkan panen besar tahun ini berlimpahan.

Selain itu, juga terdapat majas perumpaan, terdapat pada kutipan


berikut.
a. Seneng, kan, ditangkap seperti maling kesiangan?
b. Rasanya diri menjadi seekor kucing, dapat melangkah tanpa
meninggalkan bekas

Lalu, terdapat majas metafora yang menyatakan payudara sebagai


buah dada, terdapat dalam kutipan :
Buah dada dara itu nampak menjulang dari bawahnya.

2. Gaya bahasa Pertautan


Terdapat majas sinisme, yaitu terdapat pada kutipan :

… “Sayang sekali, hanya Pribumi?”

Kalimat tersebut mengandung ejekan yang sangat mendalam, bahwa


Minke menyukai Annelies, tapi sayang, Minke hanyalah seorang pribumi yang
menurut bangsa kolonial derajatnya berada di bawah mereka.

b. Penggunaan keterangan waktu

a. Pada waktu itu mulai kuperlihatkan ranjang yang ….


b. “…Sekarang ada soal lain. Perhatikan. Besok malam kau bertindak
sebagai penterjemah…”

c. Penggunaan pronomina (kata ganti)


Di dalam kutipan tersebut, terdapat penggunaan kata ganti ‘aku’, ‘kau’
dan ‘ia’. Seperti pada kutipan berikut :
… Aku mengangguk curiga. …
Kata ganti ‘aku’ dalam kutipan tersebut adalah kata ganti orang
pertama, yaitu Minke.
“Minke,” ia memulai, “rupa-rupanya kau senang tinggal di sini… “
Kata ganti orang kedua ‘kau’ dalam kutipan tersebut mengganti kata
Minke, orang yang diajak berbicara oleh tokoh tersebut. Adapula kata ganti
‘ia’, dalam kutipan berikut :
… Ia mendeham waktu kuperhatikan…
Kata ganti orang ketiga ‘ia’ dalam kutipan tersebut menggantikan
tokoh yang sedang diajak berbicara oleh Minke.

d. Penggunaan kata kerja material


Kata kerja material adalah kata kerja berimbuhan yang menunjukkan
aktivitas fisik (perbuatan yang dapat dilihat) yang dilakukan oleh partisipan.
Salah satu contoh pada kutipan adalah kata ‘mengurusi’ seperti pada kutipan
berikut :
"Kau sudah jadi linglung mengurusi nyai orang lain. Lupa pada
orangtua…”
Aku megnangguk curiga. …
Selain itu, terdapat pula kata kerja material yang lain, yaitu dengar,
malu, sanggup, dan yang lainnya.

e. Penggunaan kata kerja mental


Kata kerja mental adalah jenis kata kerja yang mengekspresikan
respons atau sikap seseorang terhadap suatu tindakan, keberadaan, atau
pengalaman. Salah satu contoh pada kutipan novel adalah :
"Kau sudah jadi linglung mengurusi nyai orang lain. Lupa pada
orangtua, lupa pada kewajiban sebagai anak. Barangkali kau memang sudah
ingin beristri..”
“Kau punya keberatan barangkali. …”

f. Penggunaan dialog
Sebagian besar kutipan novel di atas berupa dialog antartokoh.
Ditandai dengan kalimat langsung yang diucapkan tokoh dan diberi tanda
petik ganda. Seperti pada kutipan tersebut :

"Dengar, kau, anak mursal!" perintahnya sebagai pembesar baru yang lagi
naik semangat. "Kau sudah jadi linglung mengurusi nyai orang lain. Lupa
pada orangtua, lupa pada kewajiban sebagai anak. Barangkali kau memang
sudah ingin beristri. Baik, lain kali dibicarakan. Sekarang ada soal lain.
Perhatikan. Besok malam kau bertindak sebagai penterjemah. Jangan bikin
malu aku dan keluarga di depan umum, di depan Residen, Assisten Residen,
Kontrolir dan para bupati tetangga."
"Sahaya, Ayahanda."
"Kau sanggup jadi penterjemah ?"
"Sanggup, Ayahanda."

Anda mungkin juga menyukai