Anda di halaman 1dari 212

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

KAJIAN NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK


KARYA AHMAD TOHARI DAN NOVEL SINDEN
KARYA PURWADMADI ADMADIPURWA

(Pendekatan Intertekstual dan Nilai Pendidikan)

TESIS

Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magester

Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia

Oleh

Suwarmo

S841108031

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2013
commit to user
KAJIAN NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK
KARYA AHMAD TOHARI DAN NOVEL SINDEN
KARYA PURWADMADI ADMADIPURWA

(Pendekatan Intertekstual dan Nilai Pendidikan)

TESIS

Oleh
Suwarmo
S841108031

Komisi Nama Tanda Tangan Tanggal


Pembimbing

Pembimbing I Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd.-------------------------------2012


NIP 196204071987031003

Pembimbing II Dr. Nugraheni Eko Wardani, M.Hum-------------------------2012


NIP 19700716 200212 2 001

Telah dinyatakan memenuhi syarat


pada tanggal.................................2012

Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia


Program Pascasarjana UNS

Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd.


NIP 196204071987031003
commit to user
KAJIAN NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK
KARYA AHMAD TOHARI DAN NOVEL SINDEN
KARYA PURWADMADI ADMADIPURWA

(Pendekatan Intertekstual dan Nilai Pendidikan)

TESIS

Oleh:

Suwarmo
S841108031

Tim Penguji
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal

Ketua Prof. Dr.Andayani, M.Pd. -------------- ------ 2013


NIP 196010301986012002

Sekretaris Prof. Dr. Retno Winarni, M.Pd. -------------- ------ 2013


NIP 195601211982032003

Anggota Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. -------------- ------ 2013


NIP 196204071987031003

Dr. Nugraheni Eko Wardani, M.Hum. ------------- ------ 2013


NIP 19700716 2002122001

Telah dipertahankan di depan penguji


Dinyatakan telah memenuhi syarat
pada tanggal......................2013

Mengetahui; Ketua Program Studi


Direktur Program Pascasarjana UNS Pendidikan Bahasa Indonesia

Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, M.S. Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd.
NIP 196107171986011001 NIP 196204071987031003
commit to user
PERNYATAAN ORISINALITAS DAN PUBLIKASI ISI TESIS

Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa:

1. KAJIAN NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK


KARYA AHMAD TOHARI DAN NOVEL SINDEN KARYA
PURWADMADI ADMADIPURWA (Pendekatan Intertekstual dan
Nilai Pendidikan) ini adalah karya penelitian saya sendiri dan bebas plagiat,
serta tidak terdapat karya ilmiah yang pernahdiajukan oleh orang lain untuk
memperoleh gelar akademik serta tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis digunakan
sebagai acuan dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber acuan serta
daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya
ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan(Permendiknas No,17, tahun 2010).
2. Publikasi sebagian atau keseluruhan isi Tesis pada jurnal atau forum
ilmiah lain harus seijin dan menyertakan tim pembimbing sebagai author
dan PPs UNS sebagai institusinya. Apabila dalam waktu sekurang-
kurangnya satu semester (enam bulan sejak pengesahan Tesis) saya tidak
melakukan publikasi dari sebagian atau keseluruhan Tesis ini, maka Prodi
Bahasa Indonesia PPs UNS berhak mempublikasikanya dalam forum
ilmiah yang diterbitkan oleh Prodi Bahasa Indonesia PPs UNS. Apabila
saya melakukan pelanggaran dari ketentuan publikasi ini, maka saya
bersedia mendapatkan sanksi akademik yang berlaku.

Surakarta, 2013
Mahasiswa

Suwarmo
S841108031

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

MOTTO

PENDIDIKAN BUKAN PERSIAPAN UNTUK HIDUP. PENDIDIKAN

ADALAH HIDUP ITU SENDIRI (JOHN DEWEY)

JATUH TETAPI ORANG YANG KUAT ADALAH ORANG YANG PERNAH JATUH TETAPI MAMPU UNTUK BANGKIT KEMBALI DEMI
MENDAPATKAN SEMUA YANG DICITA-

commit to
user
PERSEMBAHAN

Karya ini kupersembahkan


kepada:

1. Istriku tercinta dan anak-


anakku yang kusayang.
2. Bapak dan Ibuku.
3. Saudara-saudaraku.
4. Teman-teman mahasiswa S-2
PBI kelas paralel UNS.
5. Almamater.
KATA PENGANTAR

Rasa syukur yang tak terhingga penulis panjatkan kepada Allah SWT yang

Maha Pengasih dan Penyayang yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya,

sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan.

Tesis yang berjudul Kajian Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad

Tohari dan Novel Sinden Karya Purwadmadi Admadipurwa (Intertekstual dan Nilai-

nilai Pendidikan , disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat

Magister Pendidikan pada Program Studi Bahasa Indonesia, program pascasarjana

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penyususnan Tesis ini dapat terselesaikan atas bantuan dan bimbingan

berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih

kepada:

1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.Pd. Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS. Direktur PPs Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

3. Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. Ketua Program Studi S-2 Pendidikan

Bahasa Indonesia, sekaligus Pembimbing I yang telah memberikan arahan,

petunjuk, dan bimbingan dalam penulisan tesis ini.

4. Dr. Nugraheni Eko Wardani, M.Hum. selaku Pembimbing II yang dengan

sabar meluangkan pikiran, dan waktunya untuk memberikan arahan, petunjuk,

dan bimbingan sehingga mampu menyelesaikan penulisan tesis ini.


5. Secara pribadi penghargaan dan penghormatan yang tak terhingga penulis

berikan kepada kedua putra kebanggaan dan istri tercinta yang telah

memberikan motivasi sehingga dapat penulisan tesis ini dapat terselesaikan.

Penulis berharap, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi para pembaca

khususnya mahasiswa jurusan pendidikan pembelajaran Bahasa dan Sastra

Indonesia, guru bahasa Indonesia dan seluruh masyarakat pecinta bahasa dan

sastra Indonesia.

Surakarta, 11 Januari 2013.

Penulis
DAFTAR ISI

JUDUL i

PENGESAHAN PEMBIMBING ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI TESIS iii

PERNYATAAN iv

KATA PENGANTAR v

ABSTRAK vi

ABSTRACK vii

DAFTAR ISI viii

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Rumusan Masalah 5

C. Tujuan Penelitian 6

D. Manfaat Penelitian 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 8

A. Kajian Teori 8

B. Penelitian yang Relevan 41

C. Kerangka Berpikir 42

BAB III METODE PENELITIAN 44

A. Tempat dan Waktu Penelitian 44

B. Jenis Penelitian 45

C. Data dan Sumber Data 45

D. Tekni Pengumpulan Data 46


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

E. Validasi Data ............................................................................ 46

F. Teknik Analisis Data 47

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 49

A. Hasil Penelitian 49

1. Struktur Novel Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) dan Novel

Sinden................................................... 49

a. Struktur Novel Ronggeng Dukuh Paruk 49

1. Tema 49

2. Alur atau Plot 50

3. Penokohan 57

4. Setting atau Latar 83

5. Point of View 93

b. Struktur Novel Sinden 94

1. Tema 94

2. Alur atau Plot 94

3. Penokohan 102

4. Setting atau Latar 115

5. Point of View 121

2. Intertekstual Novel RDP dan novel Sinden 122

a. Persamaan Struktur Novel RDP dan novel Sinden 122

1) Penokohan 122

2) Setting atau Latar 123

3) Alur atau Plot 124

4) Point of Veiw 124

b. Perbedaan Struk tu r N o v e l R D P dan novel 125


c o m m i t t o u s er
Sinden
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

3. Nilai-nilai Pendidikan Novel Ronggeng Dukuh Paruk dan

Novel Sinden 127

A. Nilai-nilai Pendidikan Novel Ronggeng Dukuh Paruk..............127

a. Nilai Pendidikan Religius Novel Ronggeng Dukuh

Paruk 127

Nilai Pendidikan Budaya Novel Ronggeng Dukuh Paruk


Nilai Pendidikan Sosial Novel Ronggeng Dukuh Paruk
131
Nilai Pendidikan Moral Novel Ronggeng Dukuh Paruk
B. Nilai-nilai Pendidikan Novel Sinden................

Nilai Pendidikan Religius Novel Sinden

Nilai Pendidikan Budaya Novel Sinden

Nilai Pendidikan Sosial Novel Sinden

139

141

d. Nilai Pendidikan Moral Novel Sinden

Pembahasan Hasil Penelitian............................................................................144

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 178

A. Simpulan 178

B. Implikasi 184[

C. Saran-saran 186

DAFTAR PUSTAKA 188

LAMPIRAN..........................................................................................................191

commit to
user
Suwarmo. S.84 Kajian Intertekstual dan Nilai Pendidikan Novel
Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari dan Novel Sinden Karya
.TESIS. Pembimbing I: Prof. Dr. Sarwiji Suwandi,
M.Pd, II: Dr. Nugraheni Eko Wardani, M.Hum. Program Studi Pendidikan Bahasa
Indonesia, Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dan menjelaskan: (1) struktur


pembangun novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Sinden; (2) persamaan dan
perbedaan unsur pembangun struktur novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel
Sinden; (3) nilai-nilai pendidikan yang terkandung di dalam novel Ronggeng
Dukuh Paruk dan novel Sinden.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Metode ini
digunakan untuk menggali sumber informasi dan data yang berupa teks-teks
sastra, sehingga data yang tampil bukan berupa konsep-konsep secara statistik.
Teknik pengumpulan data yang digunakan: teknik noninteraktif meliputi
membaca data, mencatat dokumen dengan content analysis, dan riset pustaka.
Data yang sudah terkumpul dianalisis dengan teknik analisis data model analisis
inter aktif tiga alur kegiatan: (1) reduksi data; (2) penyajian data, dan (3)
kesimpulan atau verifikasi.
Hasil temuan penelitian dengan pendekatan intertekstual menunjukkan bahwa
ke dua novel tersebut: (1) memiliki unsur pembangun yang padu, melalui unsur
pembangun ditemukan bahwa novel Ronggeng Dukuh Paruk merupakan
hipogram, sedangkan novel Sinden sebagai bentuk transformasinya, (2) unsur-
unsur struktur pembangun ke dua novel memiliki persamaan dan perbedaan.
Persamaan kedua novel: tema sosial budaya perjuangan wongcilik sebagai penari
ronggeng dan sinden. Alur kedua novel menggunakan alur maju. Penokohaan
menggunakan tokoh wanita muda belia yang cantik jelita, setting waktu terjadi
pada tahun 1960-an gencar-gencarnya isu pergolakan politik PKI, sudut pandang
atau point of view - Sedangkan,
perbedaan terletak pada: penokohan, tokoh utama pada novel Ronggeng Dukuh
Paruk Srintil menjadi ronggeng karena panggilan, sedangkan tokoh utama novel
Sinden Tumi menjadi sinden karena cita-cita, Setting tempat pada novel Sinden
menggunakan latar desa yang agak maju (dibawah pimpinan Priyayi) sebagai latar
primer yaitu desa Sumberwungu, sedangkan novel Ronggeng Dukuh Paruk
menggunakan latar pedukuhan terpencil, miskin, terbelakang yaitu dukuh Paruk.
Setting sosial novel Ronggeng Dukuh Paruk menghadirkan sosial kemasyarkatan
masyarakat pedesaan (masih satu keturunan) dengan penuh keluguan dan
kesederhanaan, sedangkan setting sosial novel Sinden menghadirkan latar suasana
masyarakat campuran antara wong cilik dan priyayi yang penuh keangkuhan, (3)
nilai pendidikan yang terkandung di dalam kedua novel tersebut yaitu nilai
pendidikan religius, nilai pendidikan sosial, nilai pendidikan budaya, dan nilai
pendidikan moral.

Kata kunci: novel, intertekstual, analisis konten, nilai pendidikan.


Suwarmo. S841108031. An Intertextual Study and Education Value of Ronggeng
Dukuh Paruk Novel by Ahmad Tohari and Sinden Novel by Purwadmadi
Admadipurwa . Thesis. First Counselor: Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd, Second
Counselor: Dr. Nugraheni Eko Wardani, M.Hum. Indonesian Language Education
Study Program, Postgraduate Program, Sebelas Maret University.

ABSTRACT

This research aims to describe and to explain: (1) the structure of Ronggeng
Dukuh Paruk and Sinden novels; (2) the similarity and difference of elements
constructing the intertexstual of Ronggeng Dukuh Paruk and Sinden novels; and
(3) education value in Ronggeng Dukuh Paruk and Sinden novels.
This research employed a descriptive qualitative method. This method was
used to explore information and data source constituting literary texts, so that the
data appeared is not statistically concepts. Techniques of collecting data used
were: interactive and document recording technique with content analysis,
listening, reading and recording technique; and library research technique). The
data collected was analyzed using technique of analyzing data with an interactive
model of analysis encompassing three components: (1) data reduction; (2) data
display, and (3) conclusion or verification.
The finding of research using intertextuality approach showed that the two
novels and intertextual relationship form; (1) the elements constructing the novel
structure included theme, plot, characterization, setting, and point of view
structurally having similarity and difference, (2) the novel had similarity and
difference. The themes of both novels were different. The theme of Sinden novel
is the specific form of Ronggeng Dukuh Paruk novel. Ronggeng Dukuh Paruk
novel presented the social culture theme involving a broader problems.
Meanwhile Sinden novel presented a not-too complicated social culture theme.
Bot

used a rather developed village (under Priyayi leadership) as the primary


background, Sumberwungu village, while Ronggeng Dukuh Paruk novel used an
isolated rural background, Paruk hamlet. The social setting of Ronggeng Dukuh
Paruk novel presented the social condition of rural society plainness and
simplicity, while novel social aspect of Sinden presented combined society of
grassroots and the Priyayi replete with arrogance as setting of circumstance. (3)
the education values contained in both novels were social cultural and religious
education values.

Keywords: novel, intertextual, content analysis, education value.


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Karya sastra dipandang sebagai rekaman terhadap segala sesuatu yang

berkenaan dengan kompleksitas kehidupan. Gambaran tersebut meliputi

kehidupan sosial budaya yang terjadi dalam masyarakat. Persoalan sosial budaya

kemudian menjadikan inspirasi bagi seorang sastrawan untuk di direspon dan

ditanggapinya. Persoalan-persoalan yang terjadi kemudian dituangkan dalam

sebuah karya sastra yang dikemas dan disajikan dengan penuh estetika .

Karya sastra yang dihasilkan hendaknya dapat dinikmati untuk kemudian

dimanfaatkan sebagai gambaran kehidupan baru. Hasil karya sastra merupakan

kreasi pengarang yang diilhami oleh kepekaan rasa. Untuk itu karya sastra

seharusnya mengandung dua unsur yang seimbang yaitu dulce et utile. Dulce

adalah kesenangan atau kenikmatan, dan utile adalah kegunaan atau manfaat.

Dengan demikian, dulce mengandung nilai-nilai estetika, dan utile mengandung

nilai-nilai moral. Jadi untuk sastra yang baik memuat dua hal tersebut secara

seimbang.

Karya sastra diciptakan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh

masyarakat. Sastra menyajikan kehidupan yang tersaji dalam teks sastra sebagian

besar terdiri dari kenyataan sosial budaya. Dalam pengertian kehidupan

menyangkut hubungan masyarakat, antar individu dengan masyarakat, antar

peristiwa, dan antar manusia.

commit to user

1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Dalam sastra Indonesia ada beberapa bentuk cipta sastra, yaitu puisi, prosa

dan drama. Karya prosa Indonesia dapat dibedakan menjadi roman, novel, dan

cerpen, ketiganya biasa disebut juga cerita rekaan atau fiksi. Dibanding karya

sastra puisi dan drama, novel mempunyai daya tarik tersendiri. Novel

menceritakan lebih bebas, detil, rinci, berisi masalah yang lebih kompleks. Novel

bernilai sastra lebih tinggi.

Daya tarik cerita inilah yang pertama-tama memotivasi orang untuk

membacanya. Hal itu disebabkan pada dasarnya bahwa setiap orang senang cerita,

apalagi yang sensasional, baik diperoleh dengan cara melihat maupun

mendengarkan. Melalui sarana cerita itu pembaca secara tak langsung dapat

belajar, merasakan dan menghayati berbagai permasalahan kehidupan yang secara

sengaja ditawarkan pengarang. Oleh karena itu, cerita fiksi, atau kesastraan pada

umumnya, sering dianggap dapat membuat manusia menjadi lebih arif, atau dapat

dikatakan sebagai

Sebagai bahan bacaan, novel mampu menghibur pembacanya, mampu

membawa pembaca untuk mendalami bentuk kehidupan yang baru atau yang

belum pernah di alaminya. Novel memuat cerita tentang aneka ragam warna

kehidupan manusia dengan watak dan gaya hidupnya, dapat memberi wawasan

berpikir yang lebih luas kepada para pembaca. Dengan bahasa yang indah novel

memberikan suatu alur cerita kehidupan secara tuntas dan mendalam. Melalui

tema, amanat, tokoh, perwatakan dan unsur instrinsik lainnya, novel mampu

memberikan suatu ajaran atau nilai didik bagi pembacanya. Novel merupakan

commit to
user
gambaran dari kehidupan dan perilaku yang nyata, dari zaman pada saat novel itu

ditulis.

Untuk mampu memahami karya sastra dilakukan dengan mengkaji karya

sastra tersebut tidak hanya sekadar membaca tetapi membaca secara cermat, dan

serius. Kajian yang dimaksud adalah dalam pengertian penelaahan, penyelidikan.

Pengkajian terhadap karya fiksi berarti penelaahan, penyelidikan, atau mengkaji,

menelaah, menyelidiki karya fiksi tersebut. Untuk melakukan pengkajian terhadap

unsur-unsur pebentuk karya sastra, khususnya fiksi, pada umumnya kegiatan itu

disertai kegiatan analisis. Istilah analisis, misalnya analisis karya fiksi, dalam

pengertian menguraikan karya itu atas unsur-unsur pembentuk karya tersebut,

yaitu berupa unsur-unsur interinsik.

Novel yang hadir di hadapan pembaca, seperti telaah yang dikemukakan,

adalah sebuah totalitas. Novel dibangun dari sejumlah unsur, dan setiap unsur

saling berhubungan sehingga dapat membentuk sebuah karya yang bermakna,

hidup. Dengan kata lain tiap-tiap unsur pembangun novel akan semakin bermakna

jika ada keterkaitannya secara menyeluruh.

Hubungan intertekstual memandang bahwa tidak ada teks yang proses

penciptaannya dilakukan tanpa sama sekali berhubungan teks-teks lain. Jadi,

interteks dapat digunakan untuk menelusuri kedudukan teks dalam suatu karya

sastra. Terutama dalam studi sastra baik dalam bidang kritik sastra maupun

sejarah sastra. Hal ini penting karena untuk memperjelas makna sebagai karya

sastra, sehingga karya sastra akan mudah untuk dipahami, baik pemahaman

makna teks maupun makna, dan posisi kesejarahannya.


Dalam mengkaji sebuah karya sastra (cerita fiksi; novel) terdapat bermacam-

macam orientasi atau pendekatan. Diantaranya adalah intertekstual. Kritik

Intertekstual ini untuk memahami makna sastra dengan melihat hubungannya

dengan karya sastra (teks) lain. Melalui pengajaran atau mempertentangkan dua

atau lebih karya sastra yang menunjukkan adanya hubungan antarteks, makna karya

sastra akan lebih dapat digali secara timbal balik (Rachmad Djoko Pradopo,

2002: 368).

Prinsip intertekstual yang utama adalah prinsip memahami dan

memberikan makna karya sastra yang bersangkutan. Karya itu dipredeksi sebagai

reaksi, penyerapan, atau transformasi dari teks-teks lain. Intertekstual lebih dari

sekadar pengaruh, ambilan, atau jiplakan, melainkan bagaimana memperoleh

makna sebuah karya secara penuh dalam konstrasnya dengan karya lain yang

menjadi hipogramnya (Burhan Nurgiyantoro, 1998:54).

Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan novel Sinden

karya Purwadmadi Admadipurwa, merupakan dua novel yang menggambarkan

warna kehidupan sosial budaya masyarakat golongan bawah. Novel Ronggeng

Dukuh Paruk diterbitkan tahun 1982 mengisahkan tentang pergulatan penari

ronggeng yang terletak di dusun terpencil pada pedukuhan Paruk pada masa

pergolakan komunis. Di mana tanpa disadari seni ronggeng dimanfaatkan dalam

berpolitik. Begitu juga dalam novel Sinden yang mengisahkan sosok perempuan

yang ingin menjadi sinden sejati yang mumpuni dalam perjuangannya terjadi

tindak penganiayaan untuk keluarganya oleh penguasa yaitu seorang priyayi.

Dalam novel Sinden pun terjadi pemanfaatan seni-seni tradisional untuk kegiatan
politik. Selain itu Ahmad Tohari menuangkan nilai-nilai religius dalam Ronggeng

Dukuh Paruk begitu halus, kehidupan masyarakat Dukuh Paruk yang selalu taat

dan menjunjung tinggi budaya para leluhurnya, bentuk ketaatan dan keiklasan

dalam menjalankan kehidupan. Sedangkan Purwadmadi Admadipurwa dalam

novel Sinden lebih menggambarkan bentuk ketaatan dan menjunjung tinggi

tatakrama budaya menjadi sinden sejati yang telah diwariskan para leluhurnya,

mengenai hubungannya dengan Tuhan maupun hubungan dengan sesama manusia

sebagai makluk sosial.

Penulis tertarik mengkaji novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad

Tohari dan novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa dengan pendekatan

intertekstualitas. Pengkajian kedua novel tersebut dengan menganalisis struktur

kedua novel kemudian menemukan benang merah berupa persamaan dan

perbedaan dari novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan novel

Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa, serta mencari nilai-nilai pendidikan

yang terkandung pada kedua novel tersebut. Sehingga akan memberikan jawaban

dari permasalahan dan mempermudah dalam memahami novel Ronggeng Dukuh

Paruk karya Ahmad Tohari dan novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa,

sebagai salah satu bentuk apresiasi terhadap karya sastra.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka

rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut :


1. Bagaimanakah struktur pembangun novel Ronggeng Dukuh Paruk karya

Ahmad Tohari dan novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa ?

2. Bagaimanakah persamaan dan perbedaan unsur pembangun novel Ronggeng

Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan novel Sinden karya Purwadmadi

Admadipurwa ?

3. Bagaimanakah nilai-nilai pendidikan yang terkandung di dalam novel

Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan novel Sinden karya

Purwadmadi Admadipurwa ?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mendeskripsikan dan menjelaskan struktur pembangun novel Ronggeng

Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan novel Sinden karya Purwadmadi

Admadipurwa.

2. Mendeskripsikan dan menjelaskan persamaan dan perbedaan unsur

pembangun novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan novel

Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa.

3. Mendeskripsikan dan menjelaskan nilai-nilai pendidikan yang terkandung di

dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan novel Sinden

karya Purwadmadi Admadipurwa.


D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap

teori sastra khususnya novel. Mengenai penerapan salah satu bentuk kajian

yaitu penelitian sastra yang menggunakan pendekatan intertekstual, selain itu

hasil penelitian dapat digunakan sebagai salah satu contoh kajian dalam

rangka peningkatan apresiasi sastra.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada

guru, siswa, dan peneliti lain dalam mengapresiasi novel novel Ronggeng

Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, dan novel Sinden karya Purwadmadi

Admadipurwa.

a. Bagi guru memberi gambaran di dalam membimbing siswanya

untuk menganalisis novel dengan pendekatan intertekstual.

b. Bagi siswa dapat memperoleh pengetahuan tentang nilai-nilai

pendidikan, sehingga dapat mengimplementasikan dalam kehidupan

sehari-hari.

c. Bagi peneliti lain untuk memberi gambaran dalam mengapresiasi

karya sastra dengan pendekatan intertekstual.


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1.
Hakikat Novel
Istilah novel berasal dari bahasa Italia novell (yang dalam bahasa Jerman : novella). Secara harafiah novella

ndonesia novelette (Inggris : novelette), yang berarti sebuah karya sastra berbentuk prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terla

ang melukiskan paratokoh, gerak serta adegan kehidupan nyata yang

representative dalam suatu alur atau keadaan yang agak kacau atau kusut

(1960: 830).

Dalam

adalah suatu cerita dengan suatu alur, cukup panjang mengisi satu buku atau

lebih, yang menggarap kehidupan pria, dan wanita yang bersifat imajinatif

(1960: 853).

Novel adalah gambaran dari kehidupan, dan perilaku yang nyata, dari

zaman pada saat novel itu ditulis (The novel is a picture of real life and

commit to user

8
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

manners, and of the time in which it is written), (dalam Rene Wellek dan

Austin Warren: 282).

Virginia Wolf mengatakan bahwa sebuah roman atau novel adalah

terutama sekali sebuah eksplorasi atau suatu kronik penghidupan;

merenungkan, dan melukiskan dalam bentuk yang tertentu pengaruh, ikatan,

hasil, kehancuran atau tercapainya gerak-gerik manusia Lubis (dalam Henry

Guntur Tarigan,1984: 164)

Herman J. Waluyo (2009:1), sependapat dengan Abrams, dijelaskan

bahwa :

fiction
yang sebenarnya tidak ada. Cerita-cerita sastra, seperti roman, novel,
dan cerita pendek diklasifikasikan sebagai prosa fiksi, sedangkan
prosa yang bukan karya sastra yang merupakan deskripsi dari
kenyataan yang dinyatakan sebagai prosa non-fiksi, misalnya :
biografi, catatan harian, laporan kegiatan, dan sebagainya yang
merupakan karya sastra yang bukan hasil imajinasi.

Selanjutnya, Nugraheni Eko Wardani (2009 : 13) menjelaskan bahwa

kedudukan prosa dengan istilah fiksi dari beberapa pendapat ahli sastra

sebagai berikut :

Ahli sastra sering menyebut prosa dengan istilah fiksi, teks naratif,
atau wacana naratif. Istilah fiksi dipergunakan untuk menyebut karya
naratif yang isinya perpaduan antara kenyataan dan imajinasi. Tidak
semua fiksi sepenuhnya khayalan. Dunia fiksi berada di samping
dunia realitas. Pengarang dalam menciptakan karyanya selalu
menghubungkan tokoh-tokoh, latar, dan peristiwa seperti yang ada
dalam dunia nyata.
commit to
user
Pada dasarnya pengertian Novel secara etimologis berasal dari

novellus

bentuk karya sastra cerita fiksi yang paling baru (Herman J. Waluyo, 2011:5).

Abrams menjelaskan tentang pengertian novel sebagai barikut :

The novel is characterized as the fictional attempt to give the effect


of tealism, by representing complex characters with mixes motives
who are rooted in a social class, operate in a highly developed
social structur, interact with many other characters, and undergo
plausible, and everyday modes of the experience, (1971 : 112).

Menurut pendapat Abrams novel adalah fiksi dengan ciri sebagai

usaha untuk memberikan effect dari tealism, dengan mewakili karakter yang

kompleks dengan mencampur motif yang berakar dengan kelas sosial,

berkembang struktur sosial, berinteraksi dengan banyak karakter lain, dan

menjalani mode masuk akal, dan sehari-hari dari pengalaman, (1971 : 112).

Novel merupakan salah satu jenis fiksi, dalam perkembangannya

novel dianggap relefan dengan prosa fiksi, sehingga pengertian fiksi berlaku

untuk novel. Dalam novel disajikan sebuah dunia khayal yang dibangun

melalui cerita, tokoh, peristiwa, dan latar yang semua bersifat imajinasi

(Burhan Nurgiyantoro , 1998:163)

Novel adalah cerita rekaan yang berisi tentang aspek problematika

kehidupan manusia yang lebih kompleks, serta merupakan kesatuan dinamis

yang bermakna. Kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri atas kenyataan

sosial budaya dan juga ada yang meniru subjektivitas manusia (Wijaya Heru

Santoso, 2010: 47).


Sementara itu, Wellek dan Warren, (dalam Wijaya Heru Santoso,

2010: 47) berpendapat novel menyajikan kehidupan itu sendiri. Sebagian

besar terdiri atas kenyataan sosial, walaupun karya sastra meniru alam, dan

kehidupan subjektivitas manusia.

Pendapat lain tentang novel dari Jakob Sumarjo (1981: 12)

mengatakan bahwa novel adalah produk masyarakat. Novel berada di

masyarakat karena novel dibentuk oleh anggota masyarakat berdasarkan

desakan-desakan emosional atau rasional yang berada dalam masyarakat

tersebut. Faruk (1999: 29) mengatakan bahwa novel adalah sebuah cerita

tentang pencarian yang tergradasi akan nilai-nilai yang otentik yang

dilakukan oleh seorang hero yang problematic dalam dunia yang terdegradasi

( Wijaya Heru Santoso, 2010: 47).

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa pengertian novel adalah cerita rekaan berisi tentang

aspek problematika kehidupan manusia yang lebih kompleks (yang dibangun

melalui beberapa unsur intrinsiknya seperti: tema, plot, tokoh dan penokohan,

latar, sudut pandang, dan lain-lain).

2. Hakikat Cerita Fiksi

Istilah fiksi (fiction), dalam pengertian novel berarti cerita rekaan

(disingkat : cerkan) atau cerita khayalan. Hal ini disebabkan fiksi merupakan

karya naratif yang isinya tidak merujuk pada kebenaran sejarah (Abrams

dalam Burhan Nurgiyantoro, 1998 : 2). Kata fiksi merujuk pada suatu karya
yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak

ada, dan terjadi dengan sungguh-sungguh sehingga tidak perlu dicari

kebenarannya pada dunia nyata.

Memang tidak semua karya sastra bersifat fiksi. Dalam dunia

kesastraan ada suatu bentuk karya sastra yang mendasarkan diri pada fakta

(penceritaan tentang peristiwa yang pernah terjadi). Misalnya, jika dasar

penulisan berdasarkan fakta sejarah maka disebut sebagai fiksi historis

(historical fiction), jika dasar penulisannya berupa fakta biografis disebut

fiksi biografis (biographical fiction), jika dasar penulisannya berupa fakta

ilmu pengetahuan maka disebut fiksi sains (science fiction). Ketiga contoh

fiksi tersebut disebut fiksi nonfiksi (nonfiction fiction) (Burhan Nurgiyantoro

dalam Ni Nyoman Karmini, 2000: 12).

Namun, cerita fiksi walau berupa khayalan, tidak benar jika dianggap

sebagai hasil lamunan belaka, melainkan penghayatan, dan perenungan secara

intens, perenungan terhadap hakikat hidup, dan kehidupan, perenungan yang

dilakuakn dengan penuh kesadaran, dan tanggung jawab. Fiksi merupakan

karya imajinatif yang dilandasi kesadaran, dan tanggung jawab dari segi

kreativitas sebagai karya seni.

Oleh karena itu, bagaimanapun, fiksi merupakan sebuah cerita, dan

terkadang juga terdapat di dalamnya tujuan untuk memberikan hiburan

kepada pembaca di samping adanya estetik. Membaca sebuah karya fiksi

berarti menikmati cerita, menghibur diri untuk memperoleh kepuasan batin.


Selanjutnya Cleanth Brooks menyatakan bahwa fiksi adalah suatu

istilah yang dipergunakan untuk membedakan uraian yang tidak bersifat

historis dari uraian yang bersifat historis, dengan penunjukan khusus pada sastra.

( dalam Henry Guntur Tarigan;1984.120)

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan, fiksi adalah sebuah cerita

yang bersifat rekaan, khayalan, imajinatif yang dilandasi kesadaran dan

tanggung jawab dari segi kreativitas sebagai karya seni.

3. Pendekatan Kajian Sastra

Banyak teori-teori kajian tentang sastra yang digunakan untuk

menelaah novel. Namun dalam uraian di bawah ini disampaikan beberapa

pendekatan kajian sastra. Hal ini dikandung maksud untuk mengetahui asumsi

karya sastra sesuai dengan pendekatan yang akan digunakan untuk mengkaji

karya sastra.

a. Pendekatan Struktural

Dalam hal orientasi sastra ada bermacam-macam orientasi atau

pendekatan terhadap karya sastra. Menurut Abrams ( Rachmat Djoko

Pradopo, 2009: 162-166) mengemukakan bahwa bermacam-macam

pendekatan itu dapat disimpulkan menjadi empat tipe berdasarkan

keseluruhan situasi karya sastra; alam (universe), pembaca, pengarang

(artist), dan karya sastra, yaitu pendekatan mimetik menganggap bahwa

karya sastra itu merupakan tiruan dari alam atau kehidupan atau dunia ide;

pendekatan ekspresif berpendapat karya sastra itu merupakan ekspresi


perasaan, pikiran,dan pengalaman pengarang; pendekatan pragmatik

menganggap bahwa karya sastra sebagai alat untuk mencapai tujuan

tertentu bagi pembaca; dan pendekatan obyektif berpendapat karya sastra

itu sebagai sesuatu yang otonom, yang berdiri sendiri, sesuatu yang

mencukupi dirinya. Dari keempat pendekatan tersebut mengalami

pembaharuan teori-teorinya.

Dari teori tersebut, teori obyektif atau struktural lebih populer.

Dengan tampilnya para kritikus baru (New Critics), aliran Chicago

(Chicago School), dan kaum formalis Eropa. Sudah dikemukakan di

depan bahwa kritik obyektif memusatkan perhatiannya pada karya sastra

itu sebagai sesuatu yang berdiri sendiri. Karena berdasarkan kenyataannya

yang dihadapi oleh para kritikus yaitu karya sastra itu sendiri. Pada

hakekatnya teks sastra itu sendirilah yang penting, yaitu mengenai

struktur intrinsik karya sastra. yang penting dalam penelitian sastra.

Dengan menganggap karya sastra (teks sastra) sebagai sesuatu

yang otonom, yang mencukupi dirinya, maka dalam kritik sastra yang

dipentingkan adalah menganalisis struktur intrinsik-intrinsiknya,

menganalisis kompleksitas karya sastra, menganalisis bentuk formal,

karya sastra, fenomena-fenomena kaarya sastra.

Banyak teori-teori yang membahas tentang unsur-unsur

pembangun dalam cerita fiksi. Unsur-unsur pembangun tersebut menurut

(Herman J,. Waluyo, 2011: 6) meliputi; tema cerita, plot atau kerangka

cerita, penokohan, dan perwatakan, setting atau tempat kejadian cerita atau
disebut juga latar, sudut pandang pengarang atau point of view, latar

belakang atau back ground, dialog atau percakapan, gaya bahasa/gaya

bercerita, waktu cerita, dan waktu penceritaan dan amanat.

Pendapat lain, (Burhan Nurgiyantoro, 1998:23) Novel merupakan

sebuah totalitas suatu keseluruhan yang bersifat artistik. Sebagai sebuah

totalitas, novel mempunyai bagian-bagian, unsur-unsur yang saling

berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan saling menggantungkan..

Kata inilah yang menyebabkan novel, juga sastra pada umumnya, menjadi

berwujud. Namun, secara garis besar berbagai macam unsur tersebut

secara tradisional dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, walau

pembagian itu tidak benar-benar pilah. Pembagian unsur yang dimaksud

adalah unsur intrinsik dan unsur exstrinsik.

Unsur intrinsik (intrinsic) adalah unsur-unsur yang membangun

karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra

hadir sebagai karya sastra, unsur yang secara faktual akan dijumpai jika

orang membaca karya sastra. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-

unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita. Unsur yang

dimaksud adalah peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut

pandang penceritaan dan lain-lain.

Unsur ektrinsik (extrinsic) adalah unsur-unsur yang berada di luar

karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau

system organisme karya sastra. Unsur yang dimaksud diantaranya adalah


pandangan hidup, keyakinan, sikap, pendidikkan, ekonomi, politik,

socsial, dan lain sebagainya.

William Kenney (1966: 8-10) menyebutkan terdapat enam unsur

pembangun struktur cerita rekaan, yaitu: (1) plot; (2) character; (3)

setting; (4) point of view; (5) style and tone; (6) tema.

Pendapat lain dari Jakob Sumardjo (1984: 54) menyebutkan ada

tujuh unsur-unsur fiksi yaitu : (1) plot (alur cerita); (2) karakter

(perwatakan); (3) tema (pokok pembicaraan); (4) setting (tempat

terjadinya cerita); (5) suasana cerita; (6) gaya cerita; (7) sudut pandang

cerita.

Herman J.Waluyo dan Nugraheni Eko Wardani (2008:10)

membagi unsur-unsur prosa fiksi terdiri dari : tema cerita, plot atau

kerangka cerita, penokohan dan perwatakan, setting atau tempat cerita atau

latar, sudut pandang pengarang atau point of view, latar belakang atau back-

ground, dialog atau percakapan, gaya bahasa atau gaya cerita, waktu cerita

dan waktu penceritaan, serta amanat.

Unsur pembangun novel dibagi menjadi dua yaitu unsur intrinsik

dan ekstrinsik. Unsur intrinsik (intrinsic) adalah unsur-unsur yang

membangun karya sastra itu sendiri. Unsur intrinsik antara lain: peristiwa,

cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, dan

bahasa. Unsur ektrinsik (extrinsic) adalah unsur-unsur yang berada di luar

karya sastra, namun secara tidak langsung masih mempengaruhi bangunan

karya sastra itu sendiri. Unsur ektrinsik anatara lain: subyektivitas keadaan
individu pengarang seperti, keyakinan, pendidikan, pandangan hidup,

ekonomi, politik, sosial budaya.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dijelaskan unsur-unsur cerita

pembangun novel terdiri dari :

1) Tema

Tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang

melatar belakangi ciptaan karya sastra. Karena sastra merupakan

refleksi kehidupan masyarakat, maka tema yang diungkapkan dalam

karya sastra sangat beragram. Tema bisa berupa persoalan moral, etika,

agama, sosial budaya, teknologi, tradisi yang terkait erat dengan

masalah kehidupan.( Zainuddin Fananie. 2002: 84).

Tema Brooks dan Warren ( Henry Guntur Tarigan,1984: 125)

adalah dasar atau makna suatu cerita atau novel, Sedangkan Brooks,

Purser, dan Werren dalam bukunya yang lain mengatakan tema adalah

pandangan hidup yang tertentu atau perasaan tertentu mengenai

kehidupan atau rangkaian nilai-nilai tertentu yang membentuk atau

membangun dasar atau gagasan utama dari suatu karya sastra (Brooks,

1952: 820)

Menurut Herman J. Waluyo, (2011: 8 ) tema adalah gagasan

pokok dalam cerita fiksi. Untuk dapat mengetahui tema cerita mungkin

dapat diketahui denga membaca judul atau petunjuk setelah judul,

namun yang banyak melalui membaca karya sastra beberapa kali.


Untuk membedakan tema dengan amanat cerita agar tidak rancu,

maka dapat dinyatakan bahwa tema bersifat objektif, lugas, dan

khusus, sedangkan amanat cerita bersifat subjektif, kias, dan umum.

Objektif artinya semua pembaca cerita diharapkan mampu

menafsirkan tema suatu cerita dengan tafsiran sama. Sedangkan untuk

amanat dapat ditafsirkan secara berbeda-beda oleh pembaca.

Tema cerita dapat diklasifikasikan lima jenis, yaitu; (1) tema

yang bersifat fisik; (2) tema organik; (3) tema sosial; (4) tema egoik

(reaksi pribadi); (5) tema divine (ketuhanan). Lebih lanjut, diterangkan

bahwa tema bersifat fisik adalah tema yang berhubungan dengan inti

cerita yang bersangkut paut dengan kebutuhan fisik manusia, misalnya

tentang cinta, mencari nafkah dan lain-lain. Tema yang bersifat organik

atau moral, menyangkut soal hubungan antar manusia, misalnya

penipuan, problem keluarga dan lain-lain. Tema yang bersifat sosial

berhubungan dengan problema kemasyarakatan. Tema yang bersifat

egoik atau reaksi individual adalah tema yang berhubungan dengan

protes pribadi kepada ketidakadilan, kekuasaan yang berlebihan, dan

pertentangan individu. Sedang tema yang bersifat divine (ketuhanan)

adalah renungan yang bersifat religius antara manusia dengan Sang

Kholik (Herman J.Waluyo, 2011: 8).

Menurut Stanton dan Kenny ( Burhan Nurgiyantoro, 1998:67)

tema (theme) adalah makna yang terkandung dalam sebuah cerita.

Tema bersinonim dengan ide utama (Central Idea) dan tujuan utama
(Central Purpose). Oleh karena itu tema dapat dipandang sebagai dasar

cerita, gagasan dasar dalam sebuah karya novel.

Pengertian tersebut diperjelas dengan pendapat Hartoko dan

Rahmanto ( Burhan Nurgiyantoro, 1998: 68) tema merupakan gagasan

dasar umum yang menopang sebuah karya sastra, dan yang terkandung

dalam teks sebagai struktur semantik yang menyangkut persamaan-

persamaan atau perbedaan-perbedaan. Tema disaring dari motif-motif

yang terdapat dalam karya yang bersangkutan yang menentukan

hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik dan situasi tertentu.

Pendapat lain dari Sumino A. Sayuti (2000:97) menyatakan

bahwa tema adalah makna cerita, gagasan sentral, atau dasar cerita.

Pendapat yang hampir sama diungkapkan oleh Panuti Sudjiman

(1988:51) menyatakan bahwa tema adalah gagasan yang mendasari

karya sastra. Wiyatmi (2006:42) memberikan definisi tema adalah

makna cerita. Dalam tema terkandung sikap pengarang terhadap subjek

atau pokok cerita.

Dapat simpulkan bahwa tema adalah ide, gagasan pokok,

kerangka yang menjadi dasar penceritaan sebuah karya sastra.

2) Alur atau Plot

Abrams ( Burhan Nurgiyantoro, 1998: 113) plot adalah sebuah

karya fiksi berupa struktur peristiwa-peristiwa, yaitu sebagaimana

yang terlihat dalam pengurutan dan penyajian berbagai peristiwa

untuk mencapai efek emosional dan efek artistik tertentu. Dijelaskan


pula oleh Kenny (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1998: 113)

mengemukakan plot sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan

dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang

menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan sebab akibat.

Alur atau plot adalah struktur gerak yang terdapat dalam fiksi

atau drama Brooks (dalam Henry Guntur Tarigan, 1984: 126).istilah

lain yang sama artinya dengan alur atau plot ini adalah trap atau

(dramatic conflict). Pada prinsipnya , cerita fiksi harus bergerak dari

satu permulaan (beginning) melalui suatu pertengahan (middle)

menuju suatu akhir (ending) yang dalam dunia sastra lebih dikenal

sebagai eksposisi, komplikasi, dan resolusi( atau denoument).

Eksposisi adalah proses penggarapan atau memperkenalkan informasi

penting kepada para pembaca (Brooks dan Warren, 1959:684).

Komplikasi adalah antar lakon, antar tokoh dan kejadian yang

membangun atau menumbuhkan suatu ketegangan serta

mengembangkan suatu masalah yang muncul dalam situasi yang

orisinal yang disajikan dalam cerita itu (Brooks dan Warren,

1959:682). Resolusi adalah bagian akhir suatu fiksi. Disinilah sang

pengarang memberikan pemecahan masalah dari semua peristiwa

yang terjadi (Brooks dan Warren, 1959:683) Klimaks adalah puncak

tertinggi dalam serangkaian puncak tempat kekuatan-kekuatan dalam

konplik mencapai intensifikasi yang tertinggi (Brooks dan Warren,

1959:682)
Sejalan dengan pendapat Herman J. Waluyo (2011: 9) alur atau

plot sering juga disebut kerangka cerita, yaitu jalinan cerita yang

disusun dalam urutan waktu yang menunjukkan hubungan sebab dan

akibat memiliki kemungkinan pembaca menebak-nebak peristiwa

yang akan terjadi di kemudian.

Lukman Ali (1978: 120) menyatakan bahwa plot adalah

merupakan sambung-sinambungnya peristiwa berdasarkan hubungan

sebab akibat dan menjelaskan mengapa sesuatu terjadi. Rene Wellek

(1968: 217) menyatakan bahwa plot merupakan struktur penceritaan.

E.M. Foster dalam Herman J. Waluyo (2011: 9) memberi

pengertian plot dengan bahasa Inggris sebagai berikut;

narrative of events, the emphasis falling on causality,

Di dalam sebuah plot (alur

cerita) terdapat hubungan sebab-akibat dari suatu urutan cerita yang

dapat mengembangkan konplik ccerita. Dalam plot itu ada

serangkaian peristiwa.

Plot merupakan unsur cerita fiksi yang penting karena

merupakan unsur linearitas struktur penyajian peristiwa dalam cerita.

Plot atau alur menurut Herman J. Waluyo dan Nugraheni Eko

Wardani (2008:14) jalinan cerita yang disusun dalam urutan waktu

yang menunjukkan hubungan sebab akibat, dan memiliki

kemungkinan agar para pembaca memiliki rasa ingintahu peristiwa

yang akan datang.


Alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-

tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh

para pelaku dalam suatu cerita (Aminudin, 1987:83).

Dijelaskan bahwa pada prinsipnya alur cerita terdiri dari tiga

bagian, yaitu : (1) alur awal, terdiri dari paparan (eksposisi),

rangsangan (inciting moment), dan penggawatan (rising action); (2)

alur tengah, terdiri atas pertikaian (conflict), perumitan (complication),

dan klimaks atau puncak penggawatan (climax); (3) alur akhir, terdiri

dari peleraian (falling action), dan penyelesaian (denouement). Alur

cerita tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :

Climax

Complication

Conflict Falling action

Rising action

Inciting moment

Exposition denouement

Gambar 1 : Plot Prosa Fiksi


(Adelstein & Pival dalam Herman J. Waluyo, 2009 :19)

Exsposition atau eksposisi paparan awal cerita. Pengarang

mulai memmperkenalkan tempat kejadian, waktu, topik, dan tokoh-

tokoh cerita. Inciting moment adalah peristiwa mulai terjadinya

problem-problem yang ditampilkan pengarang kemudian ditingkatkan


mengarah pada peningkatan problem. Rising action adalah

peningkatan adanya permasalahan yang dapat meningkatkan konflik.

Complication adalah konflik yang terjadi semakin genting.

Permasalahan sebagai sumber konflik sudah saling berhadapan.

Climax adalah puncak dari terjadinya konflik cerita yang berasal dari

peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelumnya. Falling action adalah

peredaan konflik cerita. Denouement adalah penyelesaian yang

dipaparkan oleh pengarang dalam mengakiri penyelesaian konflik

yang terjadi.

Pada prinsipnya, ada tiga jenis alur, yaitu (1) alur garis lurus

flash back

atau sorot balik, atau alur regresif, (3) alur campuran, yaitu pemakaian

alur garis lurus dan flash back sekaligus di dalam cerita fiksi.

Lebih lanjut dijelaskan, alur garis lurus atau alur konvensional

yaitu alur yang urutan peristiwa berurutan dari awal hingga akhir.

Alur atau plot sorot balik (flash-back) alur dalam cerita dimulai

dengan bagian akhir dari cerita tersebut, misalnya terdapat pada novel

Atheis karya Achdiat Kartamiharja. Plot campuran yaitu gabungan

antara alur garis lurus, dan sorot balik terdapat pada novel Umar

Kayam, Para Priyayi, dan Saman (Ayu Utami).

Alfred N. Friedman (Herman J. Waluyo, 2011: 9)

menyebutkan tiga jenis plot, yaitu; (1) plot peruntungan; (2) plot

penokohan; dan (3) plot pemikiran. Disebut alur peruntungan jika plot
tersebut memaparkan kesedihan, sifat sinis, penghukuman, sifat

sentimental, atau kekaguman. Dinyatakan sebagai alur penokohan jika

menunjukkan perkembangan watak tokoh-tokohnya, perbaikan nasib

hidupnya, atau kedewasaan. Dikatakan sebagai alur pemikiran jika

menunjukkan peristiwa membuka rahasia atau perkembangan

pemikiran tokoh-tokohnya.

Kenney ( Herman J. Waluyo, 2011: 15) menyebutkan law of

plot yang berupa plausibility, surprise, suspense, unity, subplot, dan

ekspresi. Plausibility (kebolehjadian) artinya bahwa rangkaian cerita

itu bukan hanya khayalan belaka, namun mungkin bisa terjadi di

dalam dunia nyata ini. Walaupun fiksi sebuah cerita khayalan, tetapi

rangkaian cerita itu seperti betul-betul hidup, dan hadir di hadapan

pembaca. Surprise (kejutan) artinya pembaca tidak akan dapat mengira-

irakan bagaimana rangkaian cerita itu terjadi. Para pembaca harus

mendapat kejutan dari apa yang dibaca, sehingga senantiasa akan

mengikuti jalan cerita selanjutnya. Suspense yaitu daya tarik yang

diberikan pengarang kepada pembaca sehingga selalu tertarik untuk

mengikuti jalan cerita berikutnya. Unity (kesatuan) artinya rangkaian

yang disusun harus membentuk satu kesatuan yang terpadu. Subplot

secara erat berhubungan dengan plot induknya, sehingga subplot

merupakan bagian cerita sebagai penjelas. Ekspresi yaitu rangkaian

kejadian dalam cerita haruslah diekspresikan dengan baik sehingga

bermakna dalam cerita.


Dapat ditarik kesimpulan dari pendapat-pendapat tersebut

bahwa yang dimaksud dengan alur atau plot adalah rangkaian peristiwa-

peristiwa yang saling terkait dan dihubungkan secara sebab- akibat

yang terlukis dalam cerita karya sastra.

3) Tokoh dan penokohan

(a) Tokoh

rita fiksi. Burhan Nurgiyantoro (1998: 165) menggunakan istilah tokoh untuk menunjuk pada orangnya, pelaku cerita, sedangkan watak
yaitu protagonis dan antagonis, Tokoh Sentral,

Wardani, 2008:28). Tokoh protagonis adalah tokoh yang

mendukung jalannya cerita yang mendatangkan rasa simpati atau

baik. Tokoh antagonis merupakan kebalikan dari tokoh protagonis

yang menentang alur cerita yang menimbulkan perasaan benci

pada si pembaca. Tokoh sentral yaitu tokoh yang dipentingkan atau

ditonjolkan yang menjadi pusat penceritaan, misalnya tokoh

protagonis, dan antagonis yang biasa mendominasi keseluruhan

cerita. Tokoh bawahan merupakan kebalikan dari tokoh sentral.


Sedangkan tokoh andalan adalah tokoh bawahan yang dapat

diandalkan.

Klasifikasi tokoh lain dikemukakan oleh Shanon Ahmad

(1979: 66) membagi jenis tokoh atau watak menjadi dua, yaitu:

tokoh atau watak bulat (round character), dan tokoh atau watak

pipih (flat character). Tokoh bulat tokoh yang berwatak unik,

bukan watak hitam atau putih. Watak dari tokoh jenis ini tidak

mudah diketahuinya karena penggambarannya tidak sederhana.

Sedangkan watak pipih adalah tokoh yang wataknya sederhana,

dalam penggambaran watak hitam atau putih dapat dihayati secara

sederhana.

Abrams sebagaimana dikutip Burhan Nurgiantoro

(1998:165) memberikan difinisi tokoh adalah orang yang

ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama yang oleh

pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan cenderung

tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan, dan apa yang

dilakukan dalam suatu tindakan.

Dapat diambil kesimpulan yang disebut dengan tokoh

adalah: pelaku dalam cerita yang menjalani peristiwa berdasarkan

perannya.

(b) Penokohan

Penokohan dalam cerita rekaan tidak dapat dilepaskan

hubungannya dengan tokoh. Istilah tokoh menunjukan pada pelaku


dalam cerita, sedangkan penokohan menunjukkan pada sifat,

watak atau karakter yang melengkapi dari tokoh tersebut.

Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang

seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Burhan

Nurgiantoro, 1998:165).

Ada beberapa cara pengarang untuk menggambarkan watak

tokoh-tokohnya, antaralain: (1) penggambaran secara langsung;

(2)secara langsung dengan diperindah; (3)melalui pernyataan oleh

tokohnya sendiri; (4) melalui dramatisasi; (5) melalui pelukisan

terhadap keadaan sekitar pelaku; (6) melalui analisis psikis pelaku;

dan(7) melalui dialog pelaku-pelakunya (Herman J. Waluyo dan

Nugraheni Eko Wardani, 2008:32).

Pendapat selanjutnya, Herman J.Waluyo, (2011: 21) dalam

menggambarkan watak tokoh, pengarang mempertimbangkan tiga

dimensi watak, yaitu dimensi psikis (kejiwaan), dimensi fisik

(jasmaniah), dan dimensi sosiologis (latar belakang kekayaan,

pangkat, dan jabatan). Watak psikis merupakan faktor utama

dalam penggambaran watak atau temperamen tokoh, apakah tokoh

dalam cerita tersebut baik hati, penyabar, murah hati, dermawan,

pemaaf, ataukah sebaliknya ia pemberang, pendendam, pemarah,

sombong, pendengki dan sebagainya. Watak dari segi fisiologis

atau keadaan fisik tokoh tersebut, dapat dikaitkan dengan umur, ciri

fisik, penyakit, keadaan diri dan sebagainya. Watak dari segi


sosiologis, melukiskan suku, jenis kelamin, kekayaan, kelas sosial,

pangkat atau kedudukan, dan profesi atau pekerjaan. Dari ketiga

dimensi watak tersebut dapat dilukiskan dengan cerita (deskripsi

dan narasi) atau dapat juga diperhidup melalui dialog, tindak-

tanduk, dan tingkah laku.

Dengan demikian dapat disimpulkan yang disebut

penokohan adalah gambaran perilaku yang ditunjukkan oleh sikap,

watak, karakter seseorang dalam cerita.

4) Latar atau Setting

Latar atau setting disebut juga landas tumpu, menunjuk pada

pengertian suatu tempat yang berhubungan dengan waktu dan

lingkungan sosial terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakaan

Abrams dalam Burhan Nurgiyantoro ( 1998: 216).

Latar atau setting adalah latar di mana cerita itu berlangsung dan

terjadi. Setting bisa meliputi tempat, waktu, dan suasana. Latar cerita

berkaitan dengan waktu dan tempat penceritaan. Waktu dapat berarti

siang dan malam, tanggal, bulan, dan tahun. Tempat dapat berarti di

dalam atau di luar rumah, di desa atau di kota, dapat juga di kota mana,

di negeri mana, dan sebagainya. Sementara sosial adalah menunjuk

pada hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan sosial masyarakat

yang terdapat pada suatu tempat yang diceritakan dalam cerita fiksi.

Seting dimaksudkan untuk mengidentifikasi situasi yang

tergambar dalam cerita, keberadaan elemen seting bukan hanya sekedar


menyatakan di mana, kapan, dan bagaimana situasi peristiwa

berlangsung, melainkan juga dengan gambaran tradisi, karakter,

perilaku sosial, danj pandangan masyarakat pada waktu cerita ditulis

( Zainuddin Fananie, 2002: 98).

Menurut Hudson (1965: 18) setting juga dikaitkan dengan

keseluruhan lingkungan cerita yang meliputi adat istiadat, kebiasaan,

dan pandangan hidup tokoh. Seting terbagi jadi dua setting material

adalah lingkungannalam, sedangkan yang lain setting sosial.

Fungsi setting adalah sebagai berikut : (1) untuk mempertegas

watak pelaku; (2) memberikan tekanan pada tema cerita; (3)

memperjelas tema yang disampaikan; (4) metafora baga psikis pelaku;

(5) sebagai pemberi atmosfir (kesan); (6) memperkuat posisi plot.

Burhan Nurgiyantoro (1998: 216) menyatakan bahwa latar

adalah segala keterangan petunjuk, pengacauan yang berkaitan dengan

waktu, ruang dan suasana terjadinya peristiwa dalam cerita.

Unsur latar menurut Burhan Nurgiyantoro (1998: 227)

dibedakan menjadi tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu dan sosial.

Ketiga unsur tersebut meskipun menawarkan permasalahan yang

berbeda-beda dan dapat dibicarakan secara sendiri-sendiri, pada

kenyataannya salingberkaitan dan salingdapat mempengaruhi. Ketiga

unsur tersebut antara lain:


(a) Latar Tempat

Latar tempat yaitu lokasi terjadinya peristiwa yang

diceritakan dalam cerita fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan

berupa tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, atau lokasi

tertentu tanpa nama yang jelas. Tempat-tempat yang bernama

adalah tempat-tempat yang dijumpai dalam dunia nyata, misalnya

Yogyakarta, Magelang, Juranggede dan lain-lain. Sedang untuk

tempat-tempat yang menggunakan inisial tertentu, biasanya

digunakan huruf awal (kapital) nama suatu tempat sehingga

pembaca harus memperkirakan sendiri, misalnya kota M, S, T dan

desa B, dan lain-lain. Sedangkan latar tempat tanpa nama jelas

biasanya berupa penyebutan jenis dan sifat secara umum tempat

yang dimaksud, misalnya jalan, sungai, hutan, desa, gunung dan

sebagainya.

Penggunakan latar tempat dengan nama-nama tertentu

seharusnya tidak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis

tempat yang bersangkutan ( Burhan Nurgiyantoro, 1998: 227).

(b) Latar Waktu

terjadinya peristiwa yang dihubungkan dengan cerita tersebut.

asanya dihubungkan dengan waktu faktual,

dapat meliputi tahun, bulan, hari, tanggal, jam, atau saat yang ada

kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah.


Masalah waktu dalam sebuah karya naratif, menurut

Genetto dapat bermakna ganda: disatu pihak menunjuk pada waktu

penceritaan, penulisan cerita, dan dipihak lain menunjuk pada

waktu yang dikisahkan dalam cerita.

Latar waktu dalam cerita fiksi dapat menjadi dominan dan

fungsional jika digarap secara teliti, terutama jika dihubungkan

dengan waktu sejarah. Pengangkatan unsur sejarah ke dalam karya

fiksi akan menyebabkan waktu yang diceritakan menjadi bersifat

khas, tipikal, dan dapat menjadi sangat fungsional, sehingga tak

dapat diganti dengan waktu yang lain tanpa mempengaruhi

perkembangan cerita (Burhan Nurgiyantoro, 1998: 230).

(c) Latar Sosial

Latar sosial menunjuk pada hal-hal yang berhubungan

dengan kehidupan sosial masyarakat yang terdapat pada suatu

tempat yang diceritakan dalam cerita fiksi. Tata kehidupan sosial

masyarakat meliputi beberapa masalah dalam lingkup yang amat

kompleks. Dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi,

keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain

sebagainya. Disamping itu, latar sosial juga berhubungan dengan

status tokoh yang bersangkutan.

Latar sosial dapat meyakinkan untuk menggambarkan

suasana kedaerahan, warna tempat daerah tertentu melalui

kehidupan sosial masyarakat. Namun bila hanya dilukiskan melalui


kata saja tanpa didukung oleh tingkah laku, dan sikap tokoh,

belum merupakan jaminan untuk karya sastra yang bersangkutan

menjadi dominan latar sosialnya (Burhan Nurgiyantoro,1998:

233).

Dapat diambil kesimpulkan bahwa latar merupakan suatu

tempat terjadinya peristiwa yang berkaitan dengan waktu, tempat,

dan suasana dalam cerita.

5) Sudut Pandang Pengarang (point of view)

Herman J.Waluyo dan Nugraheni Eko Wardani (2008: 37)

menjelaskan sudut pandang pengarang atau point of view adalah teknik

yang digunakan oleh pengarang untuk berperan dalam sebuah cerita.

Apakah sebagai orang pertama (juru cerita) ataukah sebagai orang

ketiga (menyebut pelaku sebagai dia). Yang pertama dikatakan sebagai

bergaya akuan, sedangkan yang kedua dinyatakan sebagai gaya diaan.

Lebih lanjut Burhan Nurgiyantoro(1998: 256-257) pembedaan

sudut pandang yang telah umum dilakukan orang, yaitu bentuk person

tokoh cerita: person pertama dan person ketiga.

berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita denga

menyebut nama, atau kata gantinya: ia, dia, mereka. Nama-nama tokoh

cerita, khususnya yang utama, kerap atau terus menerus disebut, dan

sebagai variasi digunakan kata ganti.


mengisahkan kesadarannya dirinya sendiri, self consciousness,

mengisahkan peristiwa dan tindakan, yang diketahui, dilihat, didengar,

dialami, dan dirasakan, serta sikapnya terhadap orang (tokoh) lain

kepada pembaca.

Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro,1998:248) menjelaskan

bahwa sudut pandang merupakan penunjuk pengertian pada cara sebuah

cerita dikisahkan. Merupakan cara dan atau pandangan yang

dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh,

tindakan, latar, dan berbagai yang membentuk cerita dalam karya fiksi

kepada pembaca.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan

bahwa sudut pandang pengarang adalah cara pandang pengarang atau

keterlibatan pengarang yang digunakan untuk menyajikan tokoh,

perwatakan, latar dan berbagai rangkaian peristiwa suatu cerita dalam

karya fiksi. Sudut pandang digunakan pengarang untuk menyampaikan

strategi, teknik, siasat untuk menyampaikan gagasan cerita.

b. Pendekatan Intertekstual

Pendekatan intertekstual muncul pada awal 1960. Mengenai

pemunculan pendekatan tersebut Juvan, Marco (2008: 1) menjelaskan

bahwa kajian intertekstual yang muncul tahun 1960 itu ketika masa

peralihan modern ke postmodern. Ketika itu konsep intertektual


menjadi dipertimbangkan. An explicit theory of intertextuality arose in

the late 1960s during a crisis in the arts and sciences When

transitioning from the modern to the postmodern; however, when

considering the history of the Idea that a text is but a mosaic of

citations, we may adduce older concepts, especially those that had

almost as wide currency in literary studies. (Juvan, Marco, 2008: 1)

Karya sastra tidak lahir dalam kekosongan budaya, termasuk

sastra. Karya sastra itu termasuk response (Teeuw, 1983) pada karya

sastra yang terbit sebelumnya. Oleh sebab itu sebuah teks tidak dapat

dilepaskan sama sekali dari teks lain. Sebuah karya sastra baru

mendapatkan maknanya yang hakiki dalam kontrasnya dengan karya

sebelumnya ( Retno Winarni, 2009: 134).

Menurut Teeuw (1984: 145-146) setiap teks sastra dibaca dan

harus dibaca dengan latar teks-teks lain. Tidak ada sebuah teks pun

yang sunguh-sungguh mandiri, dalam arti bahwa penciptaannya dan

pembacaannya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain

sebagai contoh, teladan, kerangka, tidak dalam arti bahwa teks baru

hanya meneladani teks lain atau mematuhi kerangka yang telah

diberikan terlebih dahulu; tetapi dalam arti bahwa dalam

penyimpangan dan transformasi pun model teks yang ada memainkan

peranan yang penting. Pemberontakan atau penyimpangan

mengandalkann adanya sesuatu yang dapat memberontaki ataupun


disimpangi. Pemahaman teks baru memerlukan latar belakang

pengetahuan tentang teks-teks yang mendahuluinya.

Pendapat Julia Kristeva, sebagai pelopor telaah sastra

pendekatan intertekstualitas dalam Teeuw (1984: 146) berpendapat:

ich provide a grid trough which it is read and structured by establishing expectations which enable one to pick out salient features and
pan-kutipan, setiap teks merupakan peresapan atau tranpormasi teks-
, yang merupakan semacam kisi; lewat kisi-kisi itu teks dibaca dan diberi struktur sehingga memungkinkan para pembaca untuk da

Penelitian disebut bersifat intertekstualitas jika pembaca

mempelajari unsur-unsur dalam teks itu, dilihat dalam hubungannya

dengan unsur-unsur yang ada dalam teks itu sendiri. Karena setiap

unsur akan membuat jaringan hubungan. Arti suatu unsur dianggap

akan dapat diterangkan apabila dihubungkan dengan unsur-unsur

yang lain dalam teks tersebut (Umar Junus,1988: 86).

Secara luas interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antar

satu teks dengan teks lain. Lebih dari itu, teks itu secara etimologi
(texstus, bahasa latin) berarti tenunan, anyaman, penggabungan,
susunan dan jalinan. Produksi makna terjadi dalam interteks, yaitu

melalui proses oposisi, permutasi, dan transformasi. Penelitian

dilakukan dengan cara menemukan hubungan-hubungan bermakna

diantara dua teks atau lebih. Teks-teks yang dikerangkakan sebagai

interteks tidak dibatasi sebagai persamaan genre, interteks

memberikan kemungkinan yang seluas-luasnya bagi peneliti untuk

menemukan hipogram (Nyoman Kutha Ratna, 2006: 172-173).

Kajian intertekstual, menurut Burhan Nurgiyantoro, (1998: 35)

merupakan kajian yang mengkaji adanya hubungan antar sejumlah

teks. Kajian interteks mengkaji adanya hubungan yang melibatkan

unsur struktur, dan pemaknaan teks-teks yang dikaji, kiranya dapat

dipandang sebagai kajian struktural semiotik. Lebih lanjut (Teeuw

dalam Burhan Nurgiyantoro, 1998: 5) karya sastra yang dijadikan

dasar penulisan bagi karya yang lain yang kemudian disebut sebagai

hipogram (hypogram). Istilah hipogram, dapat di Indonesiakan

menjadi latar, yaitu dasar, walaupun mungkin tak tampak secara

implisit, bagi penulisan karya yang lain. Wujud hipogram mungkin

berupa penerusan konvensi, sesuatu yang telah bereksistensi,

penyimpangan dan pemberontakan konvensi, pemutar balikan esensi

dan amanat teks-teks sebelumnya.

Juvan (2005: 1) berpendapat bahwa pengkajian karya sastra

dengan pendekatan intertekstual terbukti berhasil untuk membuktikan

dan menjelaskan jenis karya sastra yang berbeda jauh. Intertekstual


menurut Juvan adalah kajian metatekstual interaksi yang melihat

pengaruh dari semantik, sintaksis, dan pragmatik fitur-fitur teks karya

sastra.

Julia Kristeva ( Sangidu, 2004: 23-26) berpendapat bahwa

prinsip interteks memandang setiap teks sastra yang perlu dibaca, dan

dipahami dengan latar belakang teks-teks lain. Artinya, setiap teks

merupakan mozaik kutipan-kutipan, penyerapan, dan transformasi teks-

teks lain. Hal-hal yang dapat dikerjakan dalam membuktikan kutipan-

kutipan, penyerapan, dan transformasi teks-teks lain adalah dengan

menguraikan atau menggambarkan kejadian-kejadian atau kasus-kasus

yang meneladani maupun yang menentang (Culler, 1981: 107).

Sementara itu, Riffaterre ( Sangidu, 2004: 23) berpendapat

bahwa sebuah karya sastra, baru bermakna penuh dalam hubungannya

dengan karya sastra yang lain atau istilahnya dengan memperhatikan

prinsip intertekstualitas. Selanjutnya ditambahkan, pemaknaan karya

sastra perlu diperhatikan matriks, model, dan varian-varian yang

terdapat di dalamnya. Matriks merupakan kata kunci (keyword), dan

dapat berupa satu kata, gabungan kata, bagian kalimat atau kalimat

sederhana.

Harold Bloom ( Culler, 1981: 107-109) berpendapat bahwa

intertekstual adalah sebuah teks yang berasal dari hubungan antara


tidak mempunyai arti, kecuali hanya dalam hubungannya dengan

karya sastra lain yang memungkinkan bahwa karya sastra tersebut

untuk dapat diinterpretasikan. Hubungan tersebut dapat berupa kata,

frasa, kalimat, atau masalah yang terdapat dalam suatu karya sastra.

Intertekstual merupakan salah satu metode kritik sastra yang

menginduk kepada strukturalisme. Yang menjadi perhatian pokok

dalam kritik intertekstualitas adalah teks itu sendiri, dan bukan hal

yang ada di luar teks. Hanya saja peneliti, kemudian menelaah kaitan

antara teks yang diteliti dengan teks lain yang menjadi model teks

tersebut atau menjadi hipogram dari teks tersebut.

Hubungan interteks merupakan hubungan antarteks dalam

kaitan dengan usaha memberi makna sebuah karya sastra dengan jalan

mensejajarkannya dengan karya sastra sebelumnya yang menunjukkan

adanya pertalian. (Retno Winarni, 2009: 72).

Tokoh yang dapat dikemukakan dalam teori intertekstualitas

adalah Julia Kristeva (1970: 198). Ia berpendapat bahwa dalam

intertekstualitas, karya sastra dipandang sebagai objek yang statis,

pasif, terutama bila pengertian tersebut dibatasi dalam pengertian

struktur karya sastra. Intertekstualitas memandang bahwa di dalam

teks yang ditelaah hadir teks yang lain (yang mendahuluinya).

Julia Kristeva menjelaskan ciri-ciri intertekstualitas sebagai

berikut: (1) kehadiran secara fisikal suatu teks dalam suatu teks

lainnya; (2) pengertian teks bukan hanya terbatas pada cerita, tetapi
juga teks bahasa; (3) adanya tanda yang menunjukkan hubungan

(persambungan atau pemisahan) antara suatu teks dengan teks yang

lain yang mendahuluinya; mungkin penulis teks tersebut telah

membaca teks yang mendahului itu kemudian dimasukkannya di

dalam teks yang ditulisnya; dalam membaca teks jangan terpancang

pada teks itu saja, tetapi hendaknya mendampingkan teks tersebut

dengan teks lainnya sehingga interpretasi terhadapnya tidak dapat

dilepaskan dari teks-teks lainnya Umar Junus ( Herman J. Waluyo,

2011: 32).

Pada prinsipnya, intertekstualitas adalah dapat berupa: (1)

perbandingan dua atau lebih teks sastra yang berbeda namun salah

satunya dapat menjadi hipogram dari teks yang lain; (2) judul naskah

yang sama, tetapi memiliki versi yang bermacam-macam, yang

dibandingkan adalah strukturnya.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kajian

intertekstual adalah kajian sastra dalam mencari keterkaitan antarteks

untuk menemukan hubungan yang bermakna dengan cara

membandingkan dengan teks-teks lainnya.

4. Hakikat Nilai-nilai Pendidikan dalam Novel

a. Nilai Pendidikan dalam Novel

Herman J.Waluyo (1992: 20) berpedapat bahwa makna nilai dalam

sastra adalah kebaikan yang ada dalam makna sastra seseorang. Hal ini
berarti bahwa dalam karya sastra pada dasarnya selalu mengandung nilai-

nilai kehidupan yang bermanfaat untuk pembaca. Muatan nilai-nilai yang

tersirat dalam karya sastra pada umumnya adalah nilai religius, nilai moral,

nilai sosial, nilai budaya dan lain-lain.

1) Nilai Religius (Agama)

Kehadiran nilai religius dalam karya sastra adalah suatu

keberadaan sastra itu sendiri. Bahkan sastra itu tumbuh dari

sesuatunyang bersifat religius. Pada awal mulanya segala sastra adalah

religius (Burhan Nurgiyantoro, 1998: 326). Lebih lanjut Burhan

Nurgiyantoro menjelaskan bahwa agama lebih menunjukkan pada

kelembagaan kebaktian kepada Tuhan dengan hukum-hukum yang

resmi religiusitas dengan fihak lain.

Agama adalah hal yang mutlak dalam kehidupan manusia yang

bersumber dari keyakinan dan kepercayaan manusia kepada Tuhan,

sehingga melalui pendidikan ini diharapkan terbentuk manusia religius.

Mangunwijaya (Burhan Nurgiyantoro, 1998: 327) menyatakan:

Tuhan dengan hukum-hukum yang resmi. Religiositas, di pihak lain


melihat aspek yang di lubuk hati, riak getaran nurani pribadi,
totalitas kedalaman pribadi manusia. Dengan demikian, religius
bersifat mengatasi, lebih dalam, dan lebih luas dari agama yang

Koentjaraningrat (1985: 145) menyatakan bahwa makin


seseorang taat dalam menjalankan syariat agama, maka semakin tinggi
pula tingkat religiusitasnya. Pernyataan tersebut sejalan dengan

pendapat Dojosantoso (Tirto Suwondo, dkk, 1994: 63) religius adalah

keterkaitan antara manusia dengan Tuhan sebagai sumber ketentraman

dan kebahagiaan. Keterkaitan manusia secara sadar terhadap Tuhan

mencerminkan sikap manusia religius.

Dengan demikian, Nilai Pendidikan religius adalah nilai ke-

Tuhanan yang bersumber dari keyakinan kepada Tuhan,dan merupakan

nilai pusat yang terdapat di masyarakat. Masyarakat percaya bahwa

agama telah menjadi kekuatan untuk kebaikan.

2) Nilai Sosial

Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh masyarakat tertentu,

mengenai segala perbuatan yang dianggap baik, ataupun buruk. Karya

sastra tercipta selalu melibatkan sistem sosial yang terjadi di suatu

wilayah tertentu. Tata nilai sosial tentu akan mengungkapkan sesuatu

hal yang dapat direnungkan dalam karya sastra dengan ekspresinya.

Pada akhirnya dapat dijadikan cermin atau sikap para pembacanya

(Suyitno, 1986: 31).

Sosial dapat diartikan hal-hal yang berkenaan dengan

masyarakat atau kepentingan umum. Nilai sosial merupakan hikmah

yang dapat diambil dari perilaku sosial, dan tata cara hidup sosial, M.

Zaini Hasan dan Salladin (1996: 83).

Nilai sosial dalam karya sastra adalah penggambaran suatu

masyarakat sosial oleh karya sastra dalam sebuah masyarakat. Tata


nilai sosial tertentu akan mengungkapkan sesuatu hal yang dapat

direnungkan dalam karya sastra dengan ekspresinya. Pada akhirnya

dapat dijadikan cermin atau sikap para pembacanya (Suyitno, 1986: 31

dalam Sugihastuti, 2002: 45). Nilai sosial dapat diartikan sebagai

landasan bagi masyarakat untuk merumuskan apa yang benar dan

penting, memiliki ciri-ciri tersendiri, dan berperan penting untuk

mendorong dan mengarahkan individu agar berbuat sesuai norma yang

berlaku. Nilai sosial mengacu pada hubungan individu dengan individu

yang lain dalam sebuah masyarakat. Bagaimana seseorang harus

bersikap, bagaimana cara mereka menyelesaikan masalah, dan

menghadapi situasi tertentu juga termasuk dalam nilai sosial.

Hampir semua novel Indonesia sejak awal pertumbuhanya

samapi dewasa ini mengandung nilai sosial walau dengan identitas

yang berbeda (Burhan Nurgiyantoro, 1998: 330).

Dapat ditarik kesimpulan nilai pendidikan sosial adalah nilai

sosial yang terkait antara hubungan manusia dalam masyarakat

sehingga menjadikan manusia menyadari akan pentingnya kehidupan

bersama, kelompok dalam ikatan kekeluargaan antara individu yang

satu dengan yang lainnya.

3) Nilai Budaya

Koentjaraningrat (1985: 18) mengemukakan bahwa nilai sistem

budaya terdiri atas konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran

sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka


anggap amat bernilai dalam hidup. Suatu sistem nilai budaya biasanya

berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Nilai-nilai

budaya yang terkandung dalam cerita dapat diketahui melalui telaah

terhadap karakteristik dan perilaku tokoh-tokoh dalam cerita.

Menurut Tylor, kebudayaan adalah keseluruhan aktivitas

manusia, termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-

istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan lain. Definisi lain oleh Marvin Harris

(1999: 19) yaitu seluruh aspek kehidupan manusia dalam masyarkat,

yang diperoleh dengan cara belajar, termasuk pikiran dan tingkah laku.

Nilai budaya adalah pedoman yang berlaku dalam masyarakat

yang diyakini kebenarannya, dan dipakai sebagai pedoman dalam

bertingkah laku pada masyarakat tertentu.

4) Nilai Pendidikan Moral

Moral merupakan laku perbuatan manusia dipandang dari nilai-

nilai baik dan buruk, benar dan salah, dan berdasarkan adat kebiasaan

di mana individu berada (Burhan Nurgiyantoro, 1998: 319).

Pendidikan moral memungkinkan manusia memilih secara bijaksana

yang benar dan yang salah atau tidak benar. Moral merupakan sesuatu

yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca, merupakan

makna yang terkandung dalam karya sastra, makna yang disyaratkan

melalui cerita. Moral dapat dipandang sebagai tema dalam bentuk yang

sederhana, tetapi tidak semua tema merupakan moral (Kenny dalam


Burhan Nurgiyantoro, 2006: 320). Moral merupakan pandangan

pengarang tentang nilai-nilai kebenaran dan pandangan itu yang ingin

disampaikan kepada pembaca. Pesan-pesan moral tersebut dapat

disampaikan pengarang secara langsung maupun dengan cara tidak

langsung. Moralitas dapat dilihat dari besar kecilnya kesadaran

manusia tentang perilaku baik dan buruk tersebut.

Bentuk penyampaian pesan moral dalam karya fiksi mungkin

bersifat langsung, atau sebaliknya tak langsung. Bentuk penyampaian

pesan moral secara langsung, boleh dikatakan, identik dengan cara

pelukisan watak tokoh yang bersifat uraian, telling, atau penjelasan.

Sedangkan bentuk penyampaian pesan moral secara tidak langsung.

Pesan itu hanya tersirat dalam cerita, berpadu secara koherensif dengan

unsur-unsur cerita yang lain.

Joko Widagdo (2001: 30) mengemukakan moral diartikan

sebagai norma, dan konsep kehidupan yang dijunjung tinggi oleh

masyarakat. Nilai-nilai pendidikan tersebut dapat mengubah perbuatan,

perilaku, dan sikap. Kewajiban moral dalam masyarakat yang baik

seperti budi pekerti, akhlak, dan etika.

Moral menurut Darajat (Kamaruddin, 1985: 9) adalah kelakuan

yang sesuai ukuran (nilai-nilai) masyarakat yang timbul dari hati, dan

bukan paksaan dari luar yang disertai pula oleh rasa tanggung jawab

atas kelakuan (tindakaan) tersebut. Tindakan ini haruslah

mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi.


Nilai moral yang terkandung dalam karya sastra bertujuan

untuk mendidik manusia agar mengenal nilai-nilai etika merupakan

nilai baik buruk suatu perbuatan, apa yang harus dihindari, dan apa

yang harus dikerjakan, sehingga tercipta suatu tatanan hubungan

dan bermanfaat bagi orang itu, masyarakat, lingkungan, dan alam sekitar.
al yang terdapat dalam karya sastra di atas dapat ditarik kesimpulan nilai pendidikan moral adalah nilai atau ukuran baik dan buruk per

B. Penelitian yang Relevan


Hubungan Intertektual antara Film dan Novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy
a.

ditunjukan adanya hubungan intertekstual mengenai variasi-variasi dan

perubahan fungsi yang terdapat dalam film AAC berdasar novel asli selaku

hipogramnya dengan meninjau sistem sastra dan sistem filmnya

melalui telaah studi ekranisasi. Pemaknaan data didasarkan atas teori

intertekstual yang digunakan sebagai pisau analisisnya. Hasil temuan

dipercaya sebagai data setelah dilakukan pembacaan secara berulang-ulang

(intrarater). Berdasar hasil analisis yang dilakukan dapat diketahui bahwa


antara film dan novel AAC terdapat perbedaan struktur dan fungsi. Sruktur

yang dibahas meliputi alur, tokoh danpenokohan, serta setting

b. Hubungan Intertekstual Roman Balai

Pustaka dan Roman Pujangga Baru Azab dan Sengsara karya

MerariSeregarmerupakanhipogrambagiroman-romanyangterbit sesudahnya, seperti : roman Siti Nurb


win paksa. Hubungan antar teks yang timbul mengenai pemikiran- pemikiran serta ungkapan penceritaan atau alurnya.
lture of the Context yang dimuat dalam jurnal CLCWeb: Comparative Literature and Culture. Penelitian ini menjelaskan pentingnya s
s

c.

lintas-budaya, sehingga disiplin ilmu sastra khususnya dalam sastra bandingan

dianggap logis dan layak sebagai modus utama dari studi kritis di era

banyaknya bermunculannya karya sastra.

d. Jacobmayer, Hannah. 2010. Graham Swift, Ever After: a Study in

Intertextuality. Dalam Journal International Sociology of Literature. Penelitian

ini berusaha untuk mengungkap beberapa pola intertekstual yang melekat

dalam novel Ever After (1992) oleh Graham Swift, salah satu penulis

terkemuka Inggris kontemporer. Hasilnya terdapat kemiripan novel Ever After


karya Graham Swift dengan novel-novel Shaksphare, dari segi tema dan

bentuk penulisan. Maka novel-novel shaksphre merupakan hipogram dari

novel karya Graham Swift itu.

C. Kerangka Berpikir

Novel novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan novel

Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa merupakan dua novel yang memiliki

unsur struktur pembangun karya sastra yang berdiri sendiri-sendiri. Namun kedua

novel itu dapat diperpadukan dengan pendekatan intertekstual. Hubungan

intertekstual kedua novel dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan novel Sinden karya

Purwadmadi Admadipurwa memiliki unsur-unsur struktur pembangun novel

yaitu: tema, alur atau plot, penokohan atau perwatakan, setting, Point of view

2. Dikaji melalui pendekatan intertekstual novel Ronggeng Dukuh Paruk karya

Ahmad Tohari dan novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa

mempunyai perbedaan dan persamaan unsur-unsur strukturnya.

3. Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan novel Sinden karya

Purwadmadi Admadipurwa terkandung nilai-nilai pendidikan yaitu: nilai

religius, dan nilai sosial budaya.


Kajian Intertekstual

Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari Novel Sinden Karya Purwadmadi Admadipurwa

Struktur Novel Struktur Novel


Tema Tema
Alur/plot Alur/plot
Penokohan dan perwatakan Penokohan dan perwatakan
Setting Setting
Point of view Point of view

Persamaan dan perbedaan

Nilai-nilai Pendidikan Novel

Gambar 3. Kerangka Berpikir Kajian Intertekstual Novel Ronggeng


DukuhParuk danSinden
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kulitatif dengan studi pustaka dan

tidak terikat dengan tempat penelitian. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei

2012 sampai dengan Oktober 2012. Rencana kegiatan adalah sebagai berikut :

No Kegiatan Bulan Bulan Bulan Bulan Bulan Bulan


V VI VII VIII IX X

1 Persiapan yang meliputi:


a. Konsultasi judul.
b. Penyusunan proposal
penelitian, pengembangan
pedoman pengumpulan data
c. Seminar profosal
2 Pengumpulan data meliputi:
a. Pengumpulan data
b. Pemerikasaan dan
pembahasan data
c. Pemilihan dan pengaturan
data

3 Analisis Data meliputi:

a. Pengembangan sajian data


dengan analisis lanjut;
b. Pembuatan simpulan akhir.

4 Penyusunan laporan penelitian yang


meliputi:
a. Penyusunan laporan awal;.
b. Revisi laporan;
c. Penyusunan laporan akhir.

Gambar 4. Jadwal Kegiatan Penelitian


commit to user

49
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

B. Jenis Penelitian

Kajian sastra dengan pendekatan intertekstual merupakan jenis

penelitian kualitatif. Penelitian ini menekankan catatan dengan deskripsi kalimkat

yang rinci, lengkap, dan mendalam, yang menggambarkan situasi sebernarnya

guna mendukung penyajian data. Data yang dikumpulkan terutama berupa kata-

kata, kalimat atau gambar yang memiliki arti lebih bermakna dan mampu memacu

timbulnya pemahaman yang lebih nyata.

Kajian sastra dengan pendekatan intertekstual merupakan kajian

sastra sebagai kelanjutan dari kajian sastra dengan pendekatan strukturalisme.

Kajian sastra yang mengaitkan analisis struktur karya sastra yang menghubungkan

teori sastra dengan lebih luas, seperti : psiologi, ilmu sosial, filsafat sejarah dan lain-

lain, termasuk kajian sastra pasca strukturalisme (Teeuw, 1984: 144).

Berdasarkan uraian di atas, kajian novel Ronggeng Dukuh Paruk

karya Ahmad Tohari dan novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa dengan

pendekatan intertekstual dalam penelitian kualitatif berarti mengkaji struktur

pembangun novel, mencari perbedaan dan persamaan struktur pembangun sastra

kedua novel tersebut dan nilai-nilai pendidikan dalam kedua novel tersebut.

C. Data dan Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari data primer yaitu : Ronggeng

Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari yang terbit pertama tahun 1981 dan novel

Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa 2005, sedangkan data sekunder berupa

commit to
user
naskah sumber, seperti buku-buku teori sastra, penelitian kajian sastra yang

relevan, dan jurnal ilmiah atau internasional.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

teknik noninteraktif dilakukan dengan cara membaca, mencatat dokumen atau

arsip (content analysis), dan riset pustaka. Aspek penting dari content analysis

adalah bagaimana hasil analisis dapat diimplikasikan kepada siapa saja (Herman

J. Waluyo, 2006: 65).

Langkah-langkah dalam content analysis sebagai berikut:

1. Membaca berulang-ulang novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad

Tohari dan novel Sinden karya Purwadmadi admadipurwa.

2. Mengumpulkan dan mempelajari teori-teori yang relevan.

3. Mencatat dan menganalisis semua data yang berupa kutipan penting

sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas.

E. Validitas Data

Data yang telah digali, dikumpulkan, dan dicatat dalam kegiatan penalitian

harus diusahakan kemantapan dan kebenarannya. Oleh karena itu, peneliti

memilih dan menentukan cara-cara yang tepat untuk mengembangkan validitas

data yang diperoleh guna menjamin, dan mengembangkan validitas data yang

dikumpulkan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan triangulasi. Teknik

pemeriksaan keabsahan data terbagi menjadi empat jenis yaitu triangulasi sumber,
triangulasi data, triangulasi metode, dan triangulasi teori (Lexy J. Moleong, 2007:

33).

Dari keempat teknik triangulasi, peneliti menggunakan teknik triangulasi

data untuk mengumpulkan data yang sama. Artinya data yang sama atau sejenis

akan lebih mantab kebenaranya bila digali dari beberapa sumber data yang lain.

Triangulasi data yang penulis maksud, data yang terkumpul diambil dari buku-

buku yang relefan, jurnal ilmiah dan penelitian yang relefan.

F. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara

bersama-sama, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.

Teknik analisis data menggunakan model analisis interaktif, dan berupa kegiatan

yang bergerak pada ketiga alur kegiatan proses penelitian. Kegiatan analisis

interaktif dapat digambarkan sebagai berikut:

(1) Pengumpulan Data

Reduksi Data (2) Sajian Data

(3)

Penarikan
Kesimpulan/verifikasi

Gambar 5. Skema Analisis Interaktif Data, Miles & Hurberman,

(Sutopo, 2006 : 120)


Teknik analisis data yang bersifat kualitatif memerlukan penjelasan yang

deskriptif. Teknik analisis data terdiri dari tiga data alur kegiatan yang terjadi

secara bersama-sama, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan

kesimpulan atau verivikasi.

Berdasarkan skema diatas dapat dijelaskan bahwa pada waktu

pengumpulan data, peneliti selalu membuat reduksi data dan penyajian data. Data

berupa catatan lapangan terdiri dari bagian deskripsi dan refleksinya adalah data

yang telah digali dan dicatat. Dari kedua kegiatan tersebut peneliti menyusun

rumusan pengertiannya secara singkat berupa pokok-pokok temuan yang penting,

yang disebut reduksi data. Kemudian dilakukan penyusunan penyajian data

berupa cerita sistematis dan logis sehingga makna peristiwanya dapat lebih jelas

untuk dipahami. Dari sajian data kemudian dilakukan penarikan kesimpulan

sementara dilanjutkan verifikasi.

Apabila simpulan dirasakan kurang lengkap karena kurangnya rumusan

data dalam reduksi maupun sajian data, maka peneliti kembali melakukan

kegiatan pengumpulan data yang sudah terfokus untuk digunakan mendukung

simpulan yang telah dikembangkan semua dilakukan untuk pendalaman data.

Kegiatan tersebut dilakukan berulang-ulang untuk mendapatkan simpulan yang

memuaskan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Struktur Novel Ronggeng Dukuh Paruk ( RDP ) dan Novel Sinden

Struktur merupakan totalitas dari beberapa unsur yang saling terkait dan

merupakan satu kesatuan dari unsur-unsur pembentuknya. Unsur-unsur

tersebut saling berhubungan yang bersifat timbal balik, saling menentukan ,

saling mempengaruhi yang secara bersama membentuk satu kesatuan yang

utuh sehingga akan bermakna. Dengan kata lain, bila unsur-unsur tersebut

berdiri sendiri-sendiri tidak akan bermakna atau berfungsi. Dalam penelitian ini

hanya akan dibahas unsur-unsur struktur pembangun novel, yaitu: tema, alur,

penokohan, setting, dan point of view.

a. Struktur Novel RDP

1) Tema novel RDP

Tema adalah ide, gagasan pokok yang menjadi dasar penceritaan

sebuah karya sastra. Tema untuk novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah

tentang sosial budaya kehidupan wong cilik sebagai penari ronggeng di

Dukuh Paruk. Dukuh Paruk suatu pedukuhan yang terpencil dengan

keadaan alam yang kurang subur. Kehidupan rakyatnya miskin dan tidak

mengenal pendidikan atau terbelakang.

Ronggeng merupakan kebanggaan sekaligus citra dukuh paruk.

Budaya ronggeng tersebut telah 11 tahun hilang, sehingga kehidupan

commit to user

54
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Paruk menjadi hambar. Kehidupan bangkit kembali setelah Srintil cucu

Sakarya tokoh utama dalam novel dianggap mampu mengembalikan citra

Dukuh Paruk melalui seni ronggeng.

Sakarya tersenyum. Sudah lama pemangku keturunan Ki


Secamenggala itu merasakan hambarnya Dukuh Paruk karena

ronggeng bukanlah Dukuh Paruk. Srintil, cucuku sendiri, akan


mengembaalikan citra sebenarny
pada dirinya sendiri. Sakarya percaya arwah Ki Secamenggala
akan terbahak di kuburnya bila kelak tahu ada ronggeng di Dukuh
Partuk. (Ahmad Tohari, 2003: 15)

2) Alur atau Plot

Alur atau plot adalah rangkaian peristiwa-peristiwa yang saling

terkait dan dihubungkan secara sebab-akibat yang terlukis dalam cerita

karya sastra. Berdasarkan urutan peristiwa yang terlukis dalam alur novel

Ronggeng Dukuh Paruk menggunakan alur maju. Dalam artian jalinan

cerita tersusun secara urut melalui peristiwa-peristiwa yang terjadi dapat

dipahami secara lengkap mulai awal sampai akhir cerita. Meskipun

sedikit adanya penuturan tragedi tempe bongkrek itu dengan cara flash

back (kilas balik).

Rangkaian kejadian yang tersusun dan membentuk satu kesatuan

yang utuh. Rangkaian unsur-unsur alur cerita itu pada prinsipnya terdiri

dari tiga bagian, yaitu : (1) alur awal, terdiri dari paparan (eksposisi),

rangsangan (inciting moment), dan penggawatan (rising action); (2) alur

tengah, terdiri atas perti k a ia n ( c o n fl ic t ), perumitan


c o m m it t o u s er

(complication), dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

klimaks atau puncak penggawatan (climax); (3) alur akhir, terdiri dari

peleraian (falling action), dan penyelesaian (denouement).

Urutan peristiwa yang terjalin dalam plot novel Ronggeng Dukuh

Paruk adalah sebagai berikut:

(a) Tahap Paparan (Eksposisi)

Tahap paparan atau eksposisi pada novel Ronggeng Dukuh

Paruk karya Ahmad Tohari yaitu tahap dimana pengarang mulai

untuk memperkenalkan tempat terjadinya cerita, waktu, tokoh-tokoh

cerita dan permasalahan dalam cerita sebagai sumber konflik.

Awal cerita dikisahkan tentang kehidupan di Dukuh Paruk

lengkap dengan gambaran alam dan kehidupan rakyatnya. Dukuh

Paruk adalah sebuah desa kecil yang miskin dan terpencil serta

rakyatnya belum mengenal pendidikan. Namun, segenap warganya

memiliki suatu kebanggaan tersendiri karena mewarisi kesenian

ronggeng yang menjadi martabat Dukuh Paruk. Dalam Novel ini

dikisahkan kehidupan Dukuh Paruk sudah lama hambar tanpa

kehadiran seni Ronggeng yang menjadi ciri khusus Dukuh Paruk.

Pada waktu anak-anak Dukuh Paruk asyik menjalankan tugasnya

menggembala kambing, Srintil gadis cilik itu menyanyi dan menari di

bawah pohon nangka. Melihat Srintil menari Rasus dan teman-

temannya memujinya. Oleh Srintil, Rasus dan teman-temannya malah

diminta mengiringi. Meskipun suara calung dan gendang tersebut

berasal dari mulut mereka. Srintil menari serupa tarian ronggeng.

commit to
user
Peristiwa itu diketahui oleh nenek Srintil, Sakarya. Mereka kagum

sekaligus bangga akan cucunya yang mewarisi budaya leluhurnya

yaitu tari Ronggeng.

Sudah 11 tahun menantikan ronggeng kini lewat Srintil

ronggeng Paruk akan tumbuh kembali. Srintil kemudian diserahkan

kepada Kartareja dukun ronggeng untuk dilatih meronggeng. Dalam

waktu singkat, Srintil pun membuktikan kebolehannya menari

disaksikan orang-orang Dukuh Paruk. Mulai saat itu Dukuh Paruk

terasa citranya hidup kembali dengan munculnya cucu Sakarya

pemangku keturunan Ki Secamenggala sebagai penari ronggeng.

(b) Tahap Rangsangan (Inciting Moment)

Tahap Rangsangan adalah peristiwa mulai adanya problem-

problem yang ditampilkan dalam cerita oleh pengarang kemudian

dikembangkan yang mengarah peningkatan terjadinya konflik.

Srintil kemudian diserahkan dukun ronggeng Kartareja untuk dibina

menjadi ronggeng. Warga Dukuh Paruk teringat peristiwa tempe

bongkrek yang membuat banyak bocah Paruk menjadi yatim. Srintil

mendapat hadiah keris dari Rasus.

Sebelum Srintil menjadi ronggeng Srintil harus menjalani ritual.

Mulai dari mandi di pusara kuburan Ki Secamenggala sampai dengan

ritual bukak klambu. Dalam ritual bukak klambu ini Srintil harus

melepaskan keperawanannya kepada lelaki yang mampu membayar

sesuai dengan sayembara yang ditawarkan dukun ronggeng Kartareja


yaitu dengan membayar sekeping uang logam ringgit emas. Peristiwa

ini bertentangan dengan naluri Srintil karena Srintil sudah menyayangi

Rasus begitu pula dengan Rasus.

Upacara bukak klambu itu membuat resah pada jiwa Rasus

dalam hati kecilnya tidak rela sosok wanita yang dianggap dapat

mewakili keberadaan ibunya, wanita yang harus dijunjung tinggi dan

dihormati tetapi harus diperlakukan dengan tidak manusiawi.

Walaupun akhirnya keperawanan Srintil diberikan kepada Rasus

dengan iklas karena rasa cintanya. Srintil dan Rasus kemudian

mencari hidupnya sendiri-sendiri.

(c) Tahap Penggawatan (Rising Action)

Tahap penggawatan adalah dimana konflik cerita menjadi

meningkat yaitu ketenaran Srinthil banyak mengundang para lelaki

yang datang ke dukuh Paruk. Kekayaan dari hasil meronggeng Srintil.

Dan perginya Rasus dari dukuh Paruk karena Srintil telah menjadi

milik banyak orang, padahal Rasus sangat mencintainya. Namun,

dalam hari kecil Srintil terlibat cinta dengan Rasus pemuda Paruk

sahabat kecilnya.

Rasus mengasingkan diri ke Dawuhan. Pada saat itu wilayah

kecamatan Dawuan tidak aman sering terjadi perampokan.

Didatangkan bantuan keamanan dari kota. Rasus mulai berkenalan

dengan tentara, ia diminta untuk menurunkan peti-peti yang dibawa


oleh tentara. Ia bekerja bersama dengan para tentara yang bertugas di

sana kemudian Rasus menjadi tobang.

Dukuh Paruk terjadi perampokkan yaitu di rumah Sakarya dan

Kartareja (rumah Srintil). Rasus diminta membantu tentara untuk

mengamankan dukuh Paruk. Berkat bantuan Rasus perampokan dapat

diatasi. Waktu itulah orang Paruk, juga Srintil tahu bahwa putra Paruk

menjadi tentara dan telah mengamankan daerahnya sendiri. Cinta

Srintil kepada Rasus semakin besar. Srintil mengajak Rasus menikah,

ia ingin menjadi istri tentara yaitu Rasus, tetapi Rasus tidak

menerimanya. Srintil sangat bersedih karena hal tersebut. Srintil

mencari Rasus ke Dawuan namun tidak ditemukan karena Rasus

peregi tugas.

(d) Tahap Pertikaian (Comflict)

Konflik semakin ruwet Srinthil merasa kecewa tidak bertemu

Rasus, ia jatuh sakit. Mulai saat itu Srintil berniat untuk berhenti

menjadi ronggeng. Hati Srintil telah dihantui rasa takut akan

kemandulan. Ia ingin menjadi perempuan pada umunya punya anak,

suami dan keluarga.

Srintil tidak ingin menerima tamu laki-laki lagi. Nyi Kartareja si

mucikari bingung. Apalagi Srintil juga telah mendapatkan Goder anak

tampi yang dijadikan anaknya sendiri untuk mengobati kekecewaan

hatinya. Srintil mengecewakan banyak orang.


(e) Tahap Perumitan (Complication)

Tahap perumitan terjadinya Srintil diminta untuk meronggeng

lagi, mulai dari kegiatan pentas seni Agustusan, di alaswangkal dan

meronggeng pada kegiatan rapat-rapat umum bersama pak Bakar.

Pada kegiatan Agustusan Srintil terpaksa meronggeng kembali

di kecamatan Dawuan. Melihat ronggeng Paruk yang mempesona

banyak pejabat yang mengaguminya sehingga istri-istri pejabat

merasa cemburu. Takut suaminya akan tergoda.

Srintil juga diminta meronggeng di desa Alaswangkal dalam

acara kaulan atau nadar. Bahkan Srintil disuruh merangkap sebagai

gowok untuk anaknya Sentika. Kegiatan itupun diterima oleh Srintil.

Srintil dibawa pak Bakar untuk meronggeng. Awalnya pak

Bakar begitu perhatiann terhadap Ronggeng Dukuh Paruk. Banyak

bantuan yang diberikan sehingga rombongan Ronggeng Dukuh Paruk

merasa hutang budi. Tak tahunya pak Bakar telah memanfaatkan seni

ronggeng untuk kampanye partainya. rombongan Ronggeng Dukuh

Paruk digunakan untuk menghibur waktu rapat-rapat partai. Dalam

kegiatan ini terjadi kerusuhan karena para penonton ronggeng mabuk

separti orang kesurupan merusak tanaman padi penduduk. Hingga

ronggeng dukuh paruk tidak mau lagi tampil dalam pentas pada rapat-

rapat umum. Dan terjadinya pengrusakan makam leluhur dukuh

Paruk. Dukuh Paruk diadudomba dengan kelompok caping hijau.


(f) Tahap Klimaks atau penggawatan (Climax)

Tahab klimak ini Srinthil dan beberapa warga dukuh Paruk

dituduh terlibat kegiatan politik yang mendukung partai terlarang

karena terlibat dalam setiap pertunjukan namanya tercatat dalam

daftar anggota partai terlarang. Maka Srintil dan rombongan

Ronggeng juga warga dukuh Paruk ditangkap dan ditahan. Kemudian

dukuh Paruk dibumi hanguskan. Srintil ditahan untuk beberapa tahun

lamanya.

(g) Tahap Peleraian (Falling Action)

Tahap peleraian yaitu setelah warga Paruk dikeluarkan dari

tahanan, dan selang beberapa tahun Srintil juga keluar, Srintil ingin

menjadi wanita somahan, yaitu wanita yang dapat menjalankan tugas

hidupnya menjalin keluarga dan mempunyai keturunan dan tidak

selalu meladeni lelaki-lelaki hidung belang yang memandang wanita

sebagai pemuas saja. Pengenalan Srintil dengan lelaki Bajus lelaki

yang menjadi pilihan hati Srintil. Srintil ingin bisa hidup bersama,

walau nasibnya harapan Srintil tak menjadi kenyataan karena Bajus

tidak berniat memperistri Srintil. Srintil malah disuruh melayani

Blengur, atasan Bajus demi mendapatkan pekerjaannya.

(h) Tahap Penyelesaian (Denouement)

Tahap ini Srintil mengalami gangguan ingatan karena

penderitaannya. Rasus merasa iba kepada Srintil gadis yang

dicintainya gila kemudian dibawa ke rumah sakit jiwa.


3) Penokohan

Tokoh dalam cerita menempati posisi strategis untuk menyampaikan

pesan, ide yang disampaaikan pengarang kepada pembaca. Tokoh dalam

Novel Ronggeng Dukuh Paruk didasarkan perannya dalam cerita.

Penokohan dalam novel terbagi menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan.

Dalam pembahasan ini, yang akan penulis kemukakan hanya tokoh-tokoh

penting saja yang memegang peranan besar dalam novel Ronggeng Dukuh

Paruk.

Tokoh novel Ronggeng Dukuh Paruk dibedakan menjadi tokoh

protagonis dan antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang

mendukung jalannya cerita sebagai tokoh yang mendatangkan simpati atau

tokoh baik. Tokoh antagonis adalah tokoh yang menentang atau

menimbulkan perasaan tidak suka pada diri pembaca sering disebut tokoh

jahat. Yang termasuk tokoh protagonis utama adalah Srintil. Tokoh

protagonis tambahan adalah: Rasus, Sakarya, Nyai Sakarya, Sakum,

Tampi, Goder, Warta, dan Darsun. Sedangkan, tokoh antagonis utama

adalah Kartareja, Nyai Kartareja, tokoh antagonis tambahan adalah:

Marsusi, Bajus, dan Bakar, Blengur, Dower, Sulam, Sentika, Waras.

Berdasarkan peranannya tokoh-tokoh tersebut akan dijelaskan secara

terperinci sebagai berikut:

(a) Srintil

Srintil adalah tokoh utama dalam novel trilogi Ronggeng Dukuh

Paruk. Srintil dikisahkan sebagai gambaran salah satu dari sekian


perempuan Dukuh Paruk yang hidup tanpa kasih sayang kedua

orangtua. Srintil tumbuh menjadi gadis lugu. Ia mempunyai

kemampuan yang tidak dimiliki perempuan lain yaitu pandai menari

dan menyanyi. Keluguan dan kemampuan menyanyi dan menari

seorang diri. Perawan kecil itu sedang merangkai daun nangka dengan sebatang lidi untuk dija
Duduk bersimpuh di tanah sambil meneruskan pekerjaannya, Srintil berdendang. Siapa pun d
Dukuh Paruk tidak akan bersusah hati bila ada anak kecil

menyanyikan lagu yang paling cabul sekalipun. (Ahmad Tohari,


2003: 11-12)
Siapa yang akan percaya, tak seorang pun pernah
mengajari Srintil menari dan bertembang. Siapa yang akan
percaya, belum sekali pun Srintil pernah melihat pentas
ronggeng. Ronggeng terakhir di Dukuh Paruk mati ketika Srintil
masih bayi. Tetapi di depan Rasus, Warta, dan Darsun, Srintil
menari dengan baiknya. (Ahmad Tohari, 2003: 13)

Srintil adalah gadis cantik, kenes yang mempesona, kecantikan

Srintil tercermin dari kulitnya bersih dan bentuk rahang yang bagus,
pipinya jernih dengan hiasan jambang halus sehingga akan dapat

memikat bagi lelaki yang memandangnya. Apalagi disaat Srintil

tampil meronggeng. Usianya memang masih terlalu muda yaitu baru

17 tahun. Gadis yang baru menginjak dewasa. Gambaran fisik Srintil

terlihat dalam kutipan berikut ini:

Srintil duduk agak menyamping. Ketenangannya yang demikian


utuh adalah pesona baru dalam penampilannya. Dengan tata
sanggul seadanya profil Srintil justru memperlihatkan kesegaran
remaja yang amat impresif. Bentuk rahangnya bagus. Pipinya
jernih dengan hiasan jambang halus. Kulit leher berkata apa
adanya, bahwa usia Srintil memang baru tujuh belas. (Ahmad
Tohari, 2003: 148)
Srintil adalah seorang perempuan yang mempunyai berpendirian

kuat. Dalam menyampaikan prinsip hidupnya. Sikap ini terlukis pada

saat Srintil memutuskan untuk berhenti meronggeng dan ingin

mencari lelaki tambatan hatinya yaitu Rasus. Srintil bosan dengan

hidup yang ia jalani, ia ingin hidup seperti perempuan somahan yaitu

perempuan pada umumnya mengabdi pada anak, suami dan

mempunyai keluarga yang jelas. Srintil juga tidak tertarik pemberian

yang ditawarkan pak Marsusi walau sangat menggiurkan yaitu sebuah

kalung rantai emas seberat seratus gram dengan berbandul berlian.

Kalung sejenis itu hanya dimiliki oleh istri Lurah Pecikalan. Walau

banyak bujukan, rayuan untuk kembali meronggeng, namun tekad

Srintil untuk tidak menerima tamu laki-laki telah bulat.


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Keteguhan sikap atau prinsip hidup Srintil terlihat dalam kutipan

berikut ini:

Srintil terkejut sebelum kesadarannya pulih. Tanpa menoleh


kearah sumber suaradia tahu siapa yang datang.

Srintil mengerdip tanda mengerti.

mosi.

menyepelekan tamu. Apalagi tramu kali ini tidak sembarang

(Ahmad Tohari, 2003: 119)

sebagai upahku menari atau bertayub, melainkan untuk satunya


lagi. Oh, Pak Marsusi, sampean tidak salah. Kerana aku

memang telah melakukan hal semacam itu dengan sekian

Marsusi mencondongkan kepalanya lebih ke depan.


Pikirannya yang mulai baur membuat dia ingin segera tahu apa
kata Srintil selanjutnya.
(Ahmad Tohari, 2011: 150).

Srintil bertekat ingin menjadi perempuan somahan. Hal itu

terlihat waktu Bajus, lelaki yang diharapkan bisa menggantikan Rasus

untuk dapat menjadi pendamping hidupnya. Tetapi Bajus malah

meminta Srintil untuk m e la ya ni l e l aki hidung belang


co m m it to u s e r

yaitu Blengur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dengan tujuan agar Bajus mendapatkan pekerjaan sesuai yang

diharapkan. Kemauan Srintil untuk menjadi perempuan baik-baik

terdapat dalam kutipan berikut ini:

Blengur. Percayalah dia orangnya baik. Aku yakin bila kamu


minta apa-apa kepadanya, berapa pun harganya, akan dia
kabulkan. Nanti dia akan bermalam di sini. Temanilah dia.

Srintil tersentak dengan kedua matanya terbelalak.


Mulutnya terbuka dan dadanya turun-naik dengan cepat. Kedua
tanganya bergetar.
idak ada pikiran
macam-macam, anggaplah Pak Blengur itu diriku sendiri. Atau
malah tidak perlu karena kenyatannya dia dalam semua hal lebih
baik daripada aku. Kamu mau, bukan?

, 2003: 150)

Srintil adalah tokoh perempuan yang taat terhadap orang tua

yaitu kakek neneknya (Sakarya) selaku gurunya dan tradisi yang

berlaku. Sebelum Srintil menjadi ronggeng Srintil melakukan upacara

tradisi untuk seorang ronggeng yang ada di Dukuh Paruk. Srintil

melakukannya dengan patuh. Sikap taat Srintil dapat dicermati dalam

kutipan berikut ini:

Mantra-mantra dibacakan oleh Nyai Kartareja, ditiupkan ke ubun-

ubun Srin ti l. K e m u di a n tubuh perawan itu mulai


c o m m i t t o u s er
diguyur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

air kembang, gayung demi gayung. Semantara itu orang-orang


Dukuh Paruk lainnya hanya menonton. Srintil menjadi pusat
perhatian. Rombongan penabuh mempersiapkan diri. Mereka
menata perkakas masing-masing, duduk bersila di atas tanah.
(Ahmad Tohari, 2003: 46)

Srintil adalah perempuan yang tahu balas budi dan berhati mulia

walaupun dirinya seorang ronggeng. Srintil akan iba bila menghadapi

sesuatu yang tidak seharusnya. Tindakan Srintil yang tahu balas budi

dan penuh belas kasihan dapat dipahami dalam kutipan di bawah ini :

Srintil pribadi yang tahu bahwa uang yang banyak itu tidak
dapat mengusir rasa sedih dalam hatinya. Perih karena
sesungguhnya Srintil pulang dengan membawa kegagalan yang
tidak kepalang. Waras tidak mungkin dilupakannya sepanjang
masa; simpati bagi seorang manusia dalam kemalangan abadi.
(Ahmad Tohari, 2003: 225)

Warga Dukuh Paruk termasuk Srintil tidak mengenal pendidikan

sehingga akan mempengaruhi cara berpikir mereka. Mereka

memandang orang dari satu sisi seperti yang dilakukan pak Bakar. Pak

Bakar suka membantu tetapi pak Bakar punya pamrih hal tersebut

tidak disadarinya. Kesederhanaan cara berpikir Srintil dan orang-

orang Dukuh Paruk dimanfaatkan oleh Pak Bakar untuk mencapai

ambisinya. Sehingga mengantarkannya ke dalam penderitaan yaitu

penjara. Keterbelakangan Srintil dan warga Dukuh Paruk yang tidak

mengenal pendidikan akan mempengaruhi cara berpikir terlihat dalam

kutipan berikut ini:

commit to
user
Bila datang ke sana ahli pidato itu mendapat penghormatan
sebagai seorang kamitua laiknya. Kata-katanya dituruti,
pengaturannya dijalankan. Satu-satunya jalan yang menjadi
pintu masuk ke dukuh Paruk berhias lambang partai. Orang-
orang merasa bangga karena itulah pengaturan Bakar. Di
depan rumah Kartareja juga dipasang sebuah papan. Tak ada
orang dukuh paruk yang bisa membaca tulisan dalam papan
itu. Namun setidaknya mereka tahu tulisan di sana
bersangkutan dengan kesenian ronggeng. (Ahmad Tohari,
2003: 228)

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulkan bahwa Srintil

adalah perempuan yang cantik dan mempesona. Srintil juga

mempunyai pribadi yang kuat dalam menjalani prinsip hidup. Srintil

perempuan yang taat kepada adat istiadat dan orang tua. Srintil juga

tidak mengenal pendidikkan sehingga cara berpikirnya sangat

sederhana.

Berdasarkan uraian di atas Srintil dikategorikan sebagai tokoh

protagonis. Srintil termasuk tokoh yang berkembang karena watak

tokoh Srintil mengalami perubahan dan perkembangan sejalan dengan

perubahan peristiwa dan plot yang dikisahkan. Salah satu contoh,

sikap Srintil ingin menjadi ronggeng waktu muda setelah dewasa ia

sadar suara jiwanya bahwa ia ingin menjadi perempuan somahan.

(b) Rasus

Rasus merupakan tokoh yang digambarkan dalam novel trilogi

Ronggeng Dukuh Paruk sebagai laki-laki yang menghormati seorang


wanita, berkepribadian kuat, setia, cerdas, berbakti pada orang tua.

Rasus memang menyukai Srintil. Walaupun Rasus mendapatkan

kesempatan lebih berduaan dengan Srintil, ia tetap menghormatinya

karena baginya Srintil adalah merupakan gambaran emaknya yang

menciumku. Nafasnya terdengar cepat. Kurasakan telapak tanggannya berkeringat. Ketika me


(Ahmad Tohari, 2003: 66)

Rasus seorang yang jujur, rajin dan pekerja keras. Keadaan yang

dimiliki Rasus serta dijalankan dengan penuh keyakinan membawa

perubahan hidupnya. Rasus akhirnya terpilih menjadi seorang tobang.

Pernyataan tersebut dapat dicermati dalam kutipan berikut ini:

dapat melaksanakan tugas sebagai tobang. Tentang tenaga, aku


sudah merasa pasti engkau memilikinya dengan cukup.
Kejujuranmu sudah terpancar dari wajah dan sinar matamu
sendiri. Jadi, aku merasa pasti pula engkau mampu menjadi
seorang tobang (Ahmad Tohari, 2003: 93)
Rasus meninggalkan Dukuh Paruk. Rasus ingin mencari hidup,

Srintil perempuan yang dicintainya sekarang telah menjadi milik

semua orang yang mempunyai banyak uang. Setelah peristiwa bukak-

klambu benar-benar membuat kecewa hati Rasus. Sehingga desa

tempat membesarkannya, neneknya, perempuan yang ia cintai

ditinggalkannya. Dengan prinsip hidup yang kuat Rasus tidak ingin

terlalu larut dalam kekecewaan. Ketegaran dan semangat Rasus

dalam menentukan pilihan hidupnya mengantarkannya menjadi

seorang tobang. Juga karena keberanian dan kejujurannya Rasus

menjadi tentara. Prinsip hidup Rasus yang kuat dapat disimak dalam

percakapan berikut ini :

Tetapi Dukuh Paruk dan orang-orangnya di sana tak ada


yang mengerti diriku yang sakit. Memang Dukuh Paruk member
kesempatan kepadaku mengisi bagian hati yang kosong dengan
seorang perawan kecil bernama Srintil. Tidak lama, sebab sejak
peristiwa malam bukak-klambu itu Srintil diseret keluar dari
dalam hatiku. Dukuh Paruk bertindak semena-mena. Aku
bersumpah tidak memaafkannya.
Salah seekor kambing kutuntun ke luar Dukuh Paruk pada
suatu pagi. Sebelum berangkat aku berkata kepada nenek, aku
akan mencari paman di luar kampung dan mungkin tidak
kembali lagi, Nenek menangis. Terbata-bata Nenek meminta

(Ahmad Tohari, 2003: 80)


Rasus mampu bersikap lebih dewasa dan selalu menjunjung

tinggi leluhurnya. Tidak mau melakukan tindakan yang kurang pantas

dimakam leluhurnya. Walau Rasus harus melawan gejolak nafsu yang

membelenggunya, perasaan jiwanya, namun karena sikap

Rasus seorang laki-laki yang berpendirian teguh, prinsipnya kuat. Rasus pernah ikut menyela

meskipun disaat yang bersamaan Srintil perempuan yang dicintainya

merasa pasrah dan berjanji untuk meninggalkan ronggeng. Karena

keteguhan hatinya memilih meninggalkan Srintil di pagi buta untuk

menjadi seorang tentara. Semua itu tergambar dalam kutipan berikut

ini:

Malam terakhir di Dukuh Paruk aku hampir gagal memejamkan


mata hingga pagi hari. Sepanjang malam itu aku menghadapi
ulah seorang perempuan yang sedang dituntut oleh nalurinya.
Seorang perempuan yang ingin kuanggap tanpa sebutan apapun,
baik sebutan ronggeng atau sebutan perempuan Dukuh Paruk.
Srintil hanya ingin disebut sebagai seorang perempuan utuh. Dia
sungguh-sungguh ingin melahirkan anakku dari rahimnya. Dia
ingin aku tetap tinggal bersamanya di Dukuh Paruk, atau ikut
bersamaku, pergi bergabung dengan kelompok Sersan Slamet.
(Ahmad Tohari, 2003: 10
Rasus seorang laki-laki ya

kepadaku. Aku tak bisa berkata apa-apa, sebab aku akan segera berangkat ke tempat yang jau
dahulu. Aku yang me(Ahmad Tohari, 2003:

360)

Rasus adalah seorang cucu yang baik. Diantara tugas yang ia

lakukan selalu mengingat akan Neneknya yang telah renta. Ia

mengingat Neneknya yang tinggal sendirian di Dukuh Paruk. Rasus

ingin selalu berbakti kepada neneknya. Ia masih menyayangi warga

Paruk, sehingga Rasus kembali untuk menjenguk neneknya.

Rasa bakti Rasus kepada neneknya tergambar dalam kutipan

berikut ini:
wong bagus. Kau datang
bukan untuk menangkap kami, bukan? Kau hendak menjenguk
nenekmu yang sudah payah ini, bukan? Kau masih mengaku
saudara kepada kami orang-
(Ahmad Tohari, 2003: 256)

Rasus adalah seorang anak Dukuh Paruk yang

bertanggungjawab. Menjadi satu-satunya anak yang telah berhasil

menjadi tentara pada dirinya tertadapat sebuah tanggung jawab untuk

Dukuh Paruk. Kesediaan Rasus mencari Srintil adalah menunjukkan

bahwa Rasus berjiwa besar. Ia masih menyayangi Srintil dan Dukuh

Paruk yang telah membiarkan Rasus dalam kekecewaan. Rasus adalah

pribadi yang dewasa dan jelas dalam menentukan pilihan hidup.

Ketika Sakum menanyakan perasaan terhadap Srintil, Rasus hanya

tersenyum. Kutipan berikut ini adalah alasan mengapa Rasus tidak

juga menikahi Srintil:

Sakarya kembali mengusap air matanya.

segera dibebaskan? Karena sampean tahu tak seorang Dukuh


Paruk pun sebenarnya mengerti urusan yang menyebabkan
(Ahmad Tohari, 2003:
263)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa Rasus

adalah seorang yang menghormati wanita. Ia begitu menghargai

Srintil karena dalam sosok Srintil ia menemukan gambaran kembali

emaknya. Ketegaranya dalam mencari harapannya ia rela

meninggalkan Neneknya. Rasus merupakan sosok yang jujur dan

pekerja keras. Ia memiliki prinsip yang kuat dan teguh pendirian.

Berdasarkan karakter dan sifat tokoh, Rasus dapat dikategorikan

sebagai tokoh protagonis. Rasus merupakan tokoh yang berkembang.

Watak tokoh Rasus mengalami perubahan dari rasa kecewa terhadap

Srintil dan Dukuh Paruk, namun kemudian Rasus merubah semua itu

menjadi sebuah rasa menyayangi dalam bentuk sebuah pengabdian.

(c) Sakarya

Sakarya kakek Srintil adalah orang yang bertanggungjawab

terhadap Dukuh Paruk. Rasa tanggung jawabnya dibuktikan pada

waktu Dukuh Paruk terjadi malapetaka. Sakarya keluar menuju makan

Ki Secamenggala. Laki-laki itu menangis seorang diri di pusara Ki

Secamenggala kemudian ia berkeliling pedukuhan dengan mengamati

perumahan penduduk. Rasa tanggung jawab Sakarya tersebut dapat

dicermati dalam kutipan berikut ini:

tengah malam Sakarya keluar menuju makan Ki Secamenggala.


Laki-laki itu menangis seorang diri di sana. Dalam kesedihannya
yang amat sangat, Sakarya mengadukan malapetaka yang terjadi
kepada moyang orang Dukuh Paruk. Sakarya tidak lupa, dirinya

menjadi kamitua d i p e d u k u h a n itu.


co m m i t t o u s e r
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Keluar dari pekuburan Sakarya berkeliling pedukuhan.


Dijenguknya setiap rumah. Setiap kali membuka pintu Sakarya
mendapat kesedihan. Bahkan tidak jarang Sakarya mendapat
perlakuan yang tidak enak. Seolah-olah dia harus ikut
bertanggung jawab atas dosa anaknya, Santayib. Meskipun
demikian tak sebuah rumah dilewati oleh Sakarya. (Ahmad
Tohari, 2003: 30)

Sebagai kamitua, Sakarya orang yang bertanggung jawab

terhadap Dukuh Paruk. Ia ingin mengembalikan citra Dukuh Paruk.

Jatidiri Dukuh Paruk tersebut diantaranya ada keramat Ki

Secamenggala, ada seloroh cabul, ada sumpah serapah, dan ada

ronggeng bersama perangkat calungnya. Maka ketika pada suatu sore

Sakarya melihat cucunya Srintil menari ronggeng di bawah pohon

nangka. Hati Sakarya lega, ia tidak ragu, Srintil cucunya telah

kerasukan indang ronggeng.

Sakarya yakin bahwa cucunya akan mampu mengembalikan

citra sebenarnya Dukuh Paruk. Keyakinan Sakarya itu dapat

diperhatikan dalam kutipan berikut ini:

Secamenggala itu merasakan hambarnya Dukuh Paruk karena

ronggeng bukanlah Dukuh Paruk. Srintil, cucuku sendiri, akan

kepada dirinya sendiri. Sakarya percaya, arwah Ki


Secamenggala akan terbahak di kuburnya bila kelak tahu ada
ronggeng di Dukuh Paruk. (Ahmad Tohari, 2003: 15)
commit to
user
Keinginan mendengar kembali calung mengiringi ronggeng

ternyata harapan banyak orang di Dukuh Paruk. Sikap teguh pendirian

yang dimiliki Sakarya ini bukti tanggung jawabnya sebagai kamitua.

Sakarya menyerahkan Srintil pada Kartareja seorang dukun ronggeng.

Sakarya tahu betul akibat yang akan diterima Srintil setelah cucunya itu menjadi ronggeng. S
-laki yang hampir sebaya ini secara turun temurun menjadi dukun ronggeng di Dukuh Paruk.

(Ahmad Tohari, 2003: 16)

Sebagai seorang Kamitua Sakarya seorang yang mampu

membaca sasmita alam. Ia juga peka terhadap kejadian yang terjadi di

sekelilingnya. Demi mencari keselamatan untuk Dukuh Paruk dan

warganya. Sakarya juga mampu menyadari akan keadaan dirinya.

Usianya yang sudah di atas tujuh puluh tahun tergolong telah lanjut. Ia

menyadari dengan usianya yang lanjut berarti kematian semakin dekat


dengan dirinya. Kepekaan Sakarya dalam membaca sasmita alam

dapat dicermati pada kutipan berikut ini:

Sasmita buruk lagi, pikir Sakarya. Apabila sudah yakin


demikian maka hanya satu hal yang harus dilakukan oleh
kamitua Dukuh Paruk itu; mengetuk pintuk makam Eyang
Secamenggala di puncak bukit, kemudian memasang sesaji dan
membakar kemenyan. Dia bersiap-siap. Istrinya disuruh mencari
kembang di halaman rumah Kartareja. Dia sendiri masuk ke
kamar mengambil seikat upet. Bila sekali dibakar ujungnya,
sayatan kelopak manggar ini akan terus membara sampai habis.
(Ahmad Tohari, 2003: 159).

Tiba-tiba Sakarya tersenyum. Di tengah keheningan hatinya


mendadak muncul kesadaran yang dalam bahwa usianya sudah
di atas tujuh puluh tahun. Di Dukuh Paruk dialah laki-laki yang
paling lanjut. Apabila pertanda buruk yang dirasakannya adalah
peringatan akan datangnya ajal, maka pantaslah adanya. Perihal
kematian diri, bukan hanya sekali-dua Sakarya
merenungkannya. Kadang malah merindukannya. Beberapa
tahun yang lalu Sakarya memesan tempat di pekuburan Dukuh
Paruk. Dibuatnya pemakaman palsu dengan tonggak nisan. Bila
ajal tiba maka orang akan menanam tubuh Sakarya di tempat itu.
(Ahmad Tohari, 2003: 159).

Sakarya merupakan orang yang bijaksana dan penuh kehati-

hatian. Ketika orang-orang Dukuh Paruk larut dalam hiruk-pikuk

perayaan tujuh belasan, Sakarya tidak ikut-ikutan. Sakarya tetap

penuh kehati-hatian. Ia mempunyai filsafat yang sederhana yaitu eling


lan waspada. karena segala sesuatu selalu berpasang-pasangan. Ada

kegembiraan pastilah ada kesusahan.

Sakarya mampu menahan rasa kegembiraannya, walaupun

malam peringatan tujuh belasan itu adalah malam kembalinya Srintil

untuk meronggeng. Ia tidak larur dalam kegembiraan sebagai kamitua

Sakarya menekankan pada persiapan kejiwaan dengan memasang

sesaji di makam Ki Secamenggala, terjaga di malam hari, dan

mengurangi makan-minum. Sikap Sakarya yang bijaksana dan penuh

kehati-hatian dapat diperhatikan dalam kutipan berikut ini:

Boleh jadi hanya Sakarya yang tidak sepenuhnya larut dalam


kegembiraan. Sikapnya yang hati-hati berasal dari filsafatnya
yang sederhana. Bahwa segala sesuatu berpasang-pasangan
adanya, tak terkecuali sesuatu yang bernama kegembiraan.
Pasangannya pastilah kesusahan. Sepanjang lintasan hidupnya
yang panjang, Sakarya sering menemukan kenyataan bahwa
segala sesuatu tak pernah berpisah jauh dari pasangannya. Orang
selalu memilih pihak yang menguntungkan dan menjauhi pihak
yang merugikan. Antara keduanya harus tetap terjaga jarak. Dan
dalam pikiran Sakarya menjaga jarak itu berarti harus selalu
bersikap hati-hati, eling. Kadang juga diartikannya sebagai
keseimbangan dan tidak berlebih-lebihan. (Ahmad Tohari, 2003:
180)

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagaiberikut:

bahwa Sakarya adalah orang yang penuh tanggung jawab memikirkan

kelangsungan dan kejayaan Dukuh Paruk. Walaupun samapai harus


mengorbankan cucunya Srintil. Ia juga mampu membaca sasmita

alam.

Berdasarkan karakter dan sifat tokoh, Sakarya dapat

dikategorikan sebagai tokoh protagonis. Sakarya mempunyai watak

yang tidak berkembang. Sepanjang cerita novel Ronggeng Dukuh

Paruk, karakter Sakarya tidak mengalami perubahan.

(d) Kartareja

Kartareja dukun ronggeng di Dukuh Paruk. Mengenai

kemampuan untuk mengelola ronggeng tidak perlu diragukan. Karena

untuk menjadi seorang ronggeng, tidak hanya pandai menari tapi sisi

yang lain juga perlu dipersiapkan. Seorang ronggeng harus melakukan

upacara tradisional. Kartareja dan istrinya sangat ahli di bidang ini.

Sebagai dukun ronggeng mereka berdua menguasai seluk beluk

ronggeng.

Kemampuan Kartareja mengenai ronggeng dapat dicermati dalam


kutipan berikut ini:
s tarian Srintil.
Cucuku tampak belum pintar melempar sampur. Nah, ada lagi

Kartareja terkekeh. Dia merasa tidak perlu berkata apa-apa.


-
guna, pekasih, susuk, dan tetek bengek lainnya yang akan
membuat seorang ronggeng laris. Kartareja dan istrinya sangat
ahli dalam urusan ini. (Ahmad Tohari, 2003: 16)
Untuk menjadi seorang ronggeng harus melakukan upacara

tradisi. Dari upacara pemandian yang dilaksanakan di pekuburan Ki

Secamenggala sampai upacara ritual bukak-klambu. Bukak-klambu

adalah upacara berupa sayembara untuk mendapatkan keperawanan

calon ronggeng dengan syarat tertentu. Bagi laki-laki yang mampu

untuk menyerahkan sejumlah uang atau perhiasan yang telah

ditentukan oleh dukun ronggeng, berhak mendapatkan virginitas calon

ronggeng.

Sebagai dukun ronggeng Kartareja sudah menentukan malam

upacara bukak-klambu. Kartareja memasang syarat sekeping uang

logam ringgit emas. Dengan alasan bahwa selama ini di Dukuh Paruk

belum pernah ada seorang ronggeng secantik Srintil.

Banyak orang merasa keberatan dengan syarat yang ditentukan

oleh Kartareja. Menurutnya terlalu berat harga yang telah ditentukan

untuk mengikuti sayembara bukak-klambu bagi orang Dukuh Paruk.

Jangankan ringgit emas, sebuah rupiah perak pun tidak dimiliki oleh

laki-laki Dukuh Paruk. Alasan Kartareja memasang harga yang amat

mahal untuk seorang ronggeng dapat diperhatikan kutipan berikut ini:

-baik. Pernahkah ada

tapi siapa yang

-laki Dukuh Paruk


akan memenangkan sayembara. Jangankan ringgit emas, sebuah
rupiah perak pun tak dimiliki oleh laki-laki Dukuh Paruk. Saya
tidak berhar (Ahmad Tohari,
2003: 52)

Kesombongan Kartareja terlihat juga ketika Dower datang untuk

melengkapi uang panjarnya dengan membawa seekor kerbau betina.

Ia sangat tidak menghargai kerbau betina yang dibawa Dower. Padahal dua uang perak kala
Sifat sombong Kartareja dapat diperhatikan dalam kutipan berikut ini:

bernil
menerangkan. Namun Kartareja menyambutnya dengan
tidak kotor, dan aku takkan disusahkannya dengan urusan

membuang muka. (A

Kartareja juga bersifat licik ketika malam bukak-klambu.

Dower yang pada waktu itu datang membawa seekor kerbau untuk

melengkapi panjar hari sebelumnya, tetapi datang juga Sulam yang

membawa sekeping ringgit emas. Kartareja mempunyai niat jahat

bagaimana untuk dapat menguasai kekayaan dua pemuda tersebut.

Kartareja menggunakan cara licik untuk mendapatkan uang Dower

dan Sulam dalam acara malam bukak-kalmbu.

Kartareja memberi keduanya minuman ciu. Kedua pemuda

mulai minum ciu. Sulam mulai mengigau karena minum terlalu


banyak. Sebaliknya Dower sama sekali tidak mabuk. Sulam

merasakan beribu bintang jatuh dari langit. Telinganya mendengar

tembang asmara, Sulam tgerasa mabuk kepayang. Dalam keadaan

semacam itu, oleh Sulam, Nyai Kartareja dianggap sebagai Srintil.

SulammangajakNyaiKartarejabertayub.Kutipanberikut

menggambarkan kelicikan Kartareja:

kau harus datang membawa sebuah ringgit emas. Kalau tidak,


apa boleh buat. Kau kalah dan uang panjarmu hilang.

panjar saya
i wajahnya. Dower termangu, tampak berpikir keras. (Ahmad
Tohari, 2003: 58)

sedang hilang ingatan. Soal bertayub tak usah ditanyakan


kepada istri dukun ronggeng itu. Dia sangat berpengalaman.
Jadilah, teringat masa mudanya, maka Nyai Kartareja melayani
Sulam dengan sepenuh hati. Dia membiarkan dirinya dibawa
(Ahmad Tohari, 2003:
74-75)

Kartareja juga seorang yang cerdik, sikap cerdiknya terlihat ketika

perampokan melanda Dawuan dan sekitarnya, termasuk diantaranya

Dukuh Paruk. Kartareja dengan cerdik mengelabuhi perampok


dengan menyembunyikan perhiasan yang dimiliki Srintil yang lebih

mahal sedang yang lainnya disuruh memakainya. Sehingga menjadi

sasaran perampok perhiasan yang dipakai. Kecerdikan Kartareja dapat

diperhatikan dalam kutipan berikut ini:

Ketika aku dan Sersan Slamet masuk, Kartareja sedang


menggigil di depan Kopral Pujo. Istrinya duduk termangu.
Srintil terbelalak melihat aku membawa bedil, sehingga dia ragu-
ragu mendekat. Dari keterangan Kartareja diketahui perampok
hanya berhasil membawa perhiasan yang pada saat itu dikenakan
Srintil: sepasang subang, dua cincin, dan seuntai kalung.
Kartareja menyuruh Srintil tetap mengenakan perhiasan itu untuk
melindungi perhiasan lain yang lebih dari jarahan para perampok.
(Ahmad Tohari, 2003: 102)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa watak Kartareja

adalah sombong, licik, dan cerdik. Sifat sombong Kartareja yaitu

pada saat dipercaya menjadi dukun ronggeng, ia memasang Kartareja

memasang harga yang amat mahal untuk seorang ronggeng, dan juga

ketika menanggapi Dower peserta sayembara bukak-klambu. Ia juga

seorang yang licik dalam usaha untuk mendapatkan kekayaan Sulam

dan Dower dan ia juga cerdik dalam mengamankan perhiasan Srintil.

Sebagai dukun ronggeng ia bersama istrinya pandai memanfaatkan

Srintil untuk mendapatkan uang dan materi yang lain.

Berdasarkan karakter dan sifat tokoh, Kartareja bisa

dikategorikan sebagai tokoh antagonis. Kartareja juga dapat

dikategorikan sebagai tokoh yang berkembang perwatakannya.


Setelah Sakarya meninggal dunia, Kartareja memikul tanggung jawab

untuk Dukuh Paruk. Karena ia satu-satunya yang bisa menggantikan

Sakarya sebagai kamitua di Dukuh Paruk.

(e) Nyai Kartareja

Nyai Kartareja adalah dukun ronggeng di Dukuh Paruk. Waktu

muda Nyai Kartareja pernah menjadi ronggeng. Dahulu Nyai

Kartareja menjadi ronggeng tetapi tidak laku, istilahnya menjadi

ronggeng bobor. Dengan latar belakang pernah menjadi ronggeng

Nyai Kartareja sangat memahami dunia ronggeng.

Ketika mengetahui Srintil mendapat indang ronggeng, Sakarya

(kakek Srintil) menyerahkan Srintil kepada Kartareja dan Nyai

Kartareja. Kartareja bertugas melatih tarian Srintil. Sedangkan Nyai

Kartareja bertugas menangani Srintil tentang bagaimana Srintil jadi

ronggeng dari sisi perempuan. Nyai Kartareja tidak hanya mendadani

Srintil, ia juga meniupkan mantra pekasih, bahkan memasang susuk

emas pada Srintil. Kemampuan Nyai Kartareja dalam memahami

dunia ronggeng terdapat dalam kutipan sebagai berikut:

Satu hal disembunyikan oleh Nyai Kartareja terhadap siapa pun.

Itu, ketika dia meniupkan mantra pekasih ke ubun-ubun Srintil.

Mantra yang di Dukuh Paruk dipercaya akan membuat siapa saja

tampak lebih cantik dari sebenarnya;

uluk-uluk perkutut manggung


teka saka ngendi,
teka saka tanah sabrang
pakanmu apa,
pakanku madu tawon
manis madu tawon
ora manis kaya putuku, Srintil.
Konon bukan hanya itu. Beberapa susuk emas dipasang oleh
Nyai Sakarya di tubuh Srintil. (Ahmad Tohari, 2003: 18-19)

Nyai Kartareja mempersiapkan Srintil dengan matang. Srintil

diberi jampi-jampi juga mantra pekasih. Ia juga berusaha membuat

Srintil tidak dapat hamil dengan cara memijit hingga mati indung telur

Srintil. Hal ini sangat memungkinkan karena selain menjadi ronggeng,

Srintil juga harus melayani banyak laki-laki yang memintanya. Sikap

ini baru disadari ketika Srintil menginjak dewasa. Dalam hati Srintil

menilai begitu jahat tindakan yang dilakukan oleh Nyai Kartareja.

Karena hal itu dilakukan pada saat usia Srintil masih muda belia.

Dugaan sikap jahat Nyai Kartareja pada diri Srintil dapat diperhatikan

pada kutipan di bawah ini:

Aku menduga keras Srintil mulai dihantui kesadaran bahwa


Nyai Kartareja telah memijit hingga mati indung telurnya,
peranakannya. Suami-istri dukun ronggeng itu merasa perlu
berbuat demikian sebab hokum Dukuh Paruk mengatakan karier
seorang ronggeng terhenti sejak kehamilannya yang pertama.
Kukira Srintil mulai sadar kemandulan adalah hantu
mengerikan, yang akan menjelang pada hari tua. Atau Srintil
telah mendengar riwayat para ronggeng yang tak pernah
mencapai hari tua karena dimakan raja singa atau penyakit kotor
lainnya. (Ahmad Tohari, 2003: 90)
Nyai Kartareja adalah juga pandai ndai mengambil hati orang

lain. Ia pandai merayu atau mengelabuhi mangsanya. Ia juga mampu

mengurus Srintil dalam setiap penampilan menjadi ronggeng. Apa

yang dilakukan Nyai Kartareja mempunyai maksud tertentu yaitu

untuk mencari penghasilan dari kemolekan seorang ronggeng Paruk. Dia pandai me
menaklukan mangsanya dapat diperhatikan dalam kutipan berikut ini:

bertengkar di sini. Aku khawatir tetangga nanti datang karena mendengar keributan. Ayo, boc
Oleh caranya yang khas gaya seorang mucikari, Nyai Kartareja dapat menenangkan Sulam dan
duduk termangu. (Ahmad Tohari, 2003: 73)

-menyiakan
kesempatan ini. Membonceng motor ubluk bersama pak Marsusi
ke kota. Pelesir ke mana-mana, nonton bioskop misalnya. Kau
belum pernah melihat tontonan itu, bukan? Kepada Pak Marsusi
kau bisa minta dibelikan barang-barang. Nah, bagaimana kalau
kau minta kalung seperti yang dipakai istri Lura

wong ayu. Tetapi


(Ahmad Tohari, 2003: 119)
Nyai Kartareja juga bersifat licik. Kelicikan itu terlihat ketika

malam bukak-klambu ada dua pemuda yang datang ke rumahnya.

Sulam membawa sebuah ringgit emas dan Dower membawa kerbau

untuk melengkapi dua rupiah perak yang telah dibawanya. Dalam hati

Nyai Kartareja ingin memiliki ringgit emas sekaligus semua yang dibawa Dower. Siasat licik Ny
bukak-klambu. Dua rupiah perak serta kerbau itu sah menjadi milik
keinginannya memperolehsebutan sebagai pemudayang mewisu

da

tengik. Baiklah, aku mau tidur di sini. Aku pun telah lelah dan
(Ahmad Tohari, 2003: 76)

Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Nyai

Kartareja adalah seorang nenek yang pandai merayu (pandai

mengambil hati orang lain). Ia seorang nenek yang serakah dan licik

dengan memanfaatkan Srintil ia akan menguras kekayaan laki-laki

yang mendekatinya.

Berdasarkan sifat atau karakter yang dimiliki oleh Nyai

Kartareja. Tokoh Nyai Kartareja dikategorikan sebagai tokoh


antagonis. Perwatakannya tidak mengalami perkembangan sepanjang

alur cerita dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk.

4) Latar atau setting

Latar atau setting adalah merupakan suatu tempat terjadinya

peristiwa yang berkaitan dengan waktu, tempat, dan suasana dalam

cerita. Latar cerita berkaitan dengan waktu dan tempat penceritaan.

Waktu dapat berarti siang dan malam, tanggal, bulan, dan tahun. Tempat

dapat berarti di dalam atau di luar rumah, di desa atau di kota, dapat juga

di kota mana, di negeri mana, dan sebagainya. Setting sosial menunjuk

pada hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan sosial masyarakat

yang terdapat pada suatu tempat yang diceritakan dalam cerita fiksi.

Untuk lebih jelasnya, penulis akan menguraiakan satu persatu

setting yang ada dalam cerita Ronggeng Dukuh Paruk ini. Setting

tersebut meliputi: setting tempat, setting waktu, dan setting sosial.

(a) Setting Tempat

Novel Ronggeng Dukuh Paruk ada beberapa tempat yang

menjadi setting cerita. Cerita ini terjadi di Dukuh Paruk. Dukuh Paruk

bisa dikategorikan sebagai setting primer. Dukuh Paruk dihuni dua

puluh tiga rumah semuanya adalah orang-orang seketurunan Ki

Secamenggala. Dukuh Paruk merupakan pemukiman yang sempit dan

terpencil. Kemelaratan, kebodohan dan keterbelakangan selalu

menyertai Dukuh Paruk.


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

. Gambaran keadaan Dukuh Paruk yang amat memprihatinkan

dapat diperhatikan dalam kutipan berikut ini:

Entah sampai kapan pemukiman sempit dan terpencil ini


bernama Dukuh Paruk. Kemelaratannya, keterbelakangan-nya,
penghuninya yang kurus dan sakit, serta sumpah serapah cabul
menjadi bagiannya yang sah. Keramat Ki Secamenggala pada
puncak bukit kecil di tengah Dukuh Paruk seakan menjadi
pengawal abadi atas segala kekurangan di sana. Dukuh Paruk
yang dikelilingi hamparan sawah berbatas kaki langit, tak
seorang pun penduduknya memiliki lumbung padi meski yang
paling kecil sekalipun. Dukuh Paruk yang karena kebodohannya
tak pernah menolak nasib yang diberikan alam. (Ahmad Tohari,
2003: 79)

Dua puluh tiga rumah berada di pedukuhan itu, dihuni oleh orang-
orang seketurunan. Konon, moyang semua orang Dukuh Paruk
adalah Ki Secamenggala, seorang bromocorah yang sengaja
mencari daerah paling sunyi sebagai tempat menghabiskan
riwayat keberadaannya. Di Dukuh Paruk inilah akhirnya Ki
Secamenggala menitipkan darah dagingnya. (Ahmad Tohari,
2003: 79)

Selain setting primer novel Ronggeng Dukuh Paruk juga

memiliki beberapa setting sekunder. Setting sekunder dalam novel ini

misalnya: Pasar Dawuan, Kota Eling-Eling, dan Desa Alas Wangkal.

Dalam pembahasan ini penulis hanya akan membicarakan setting

sekunder yaitu Pasar Dawuan, karena Pasar Dawuan merupakan

tempat pelarian Rasus setelah dirinya merasa tidak dihargai oleh Dukuh

Paruk. Hal itu d a pa t d ip er ha ti kan dalam kutipan berikut


c o m m i t to u se r

ini:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Dawuan tempatku menyingkir dari Dukuh Paruk terletak di


sebelah kota kecamatan. Akan terbukti nanti, pasar Dawuan
merupakan tempat melarikan diri yang tepat. Di sana aku dapat
melihat kehadiran orang-orang dari perkampung dalam wilayah
kecamatan itu. Tak terkecuali orang-orang dari Dukuh Paruk.
n menjadi tempat kabar merambat dari mulut ke telinga, dari telinga ke mulut, dan seterusnya. Berita yang terjadi di pelosok yang palin
ri, 2003: 80)

eng Dukuh Paruk memiliki setting primer Dukuh Paruk. Semua kejadian cerita novel dari awal sampai akhir cerita bersumber di Dukuh

(b) (b)

biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, dapat meliputi tahun,

bulan, hari, tanggal, jam, atau saat yang ada kaitannya atau dapat

dikaitkan dengan peristiwa sejarah.

Novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk berkisah tentang

kehidupan Dukuh Paruk mulai tahun 1946. Cerita ini dumulai sejak

terjadi malapetaka tempe bongkrek yang membuat anak-anak Dukuh

Paruk menjadi yatim piatu. Diantara mereka yang menjadi yatim piatu

yaitu Srintil dan Rasus, tokoh dalam cerita ini.


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Setting waktu dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk dapat

diperhatikan kutipan di bawah ini:

Seandainya ada seorang di Dukuh Paruk yang pernah


bersekolah, dia dapat mengira-ngira saat itu hampir pukul dua
belas tengah malam, tahun 1946. Semua penghuni pedukuhan
itu telah tidur pulas, kecuali Santayib, ayah Srintil. Dia sedang
mengakhiri pekerjaannya malam itu. Bangkil ampas minyak
kelapa yang telah ditumbuk halus dibilas dalam air. Setelah
dituntas kemudian dikukus. Turun dari tungku, bahan ini
diratakan dalam sebuah tampah besar dan ditaburi ragi bila
sudah dingin. Besok hari pada bungkil ampas minyak kelapa itu
akan tumbuh jamur-jamur halus. Jadilah tempe bongkrek.
Sudah sejak lama Santayib memenuhi kebutuhan orang Dukuh
Paruk. (Ahmad Tohari, 2003: 21)
Alam membisu mendengar ratap Sakarya. Dukuh Paruk
bungkam. Hanya kadang terdengar keluh sakit. Atau tangis orang-
orang yang menyaksikan saudara meregang nyawa. Bau bunga
sedap malam dikalahkan oleh asap kemenyan yang mengepul dari
semua rumah di Dukuh Paruk, pedukuhan yang berduka ketika
Srintil genap berusia lima bulan. (Ahmad Tohari, 2003: 31)

Novel ini diawali dengan kemunculan anak-anak Dukuh Paruk

seperti: Rasus, Warta, Darsun, dan Srintil. Namun yang sebenarnya

sebenarnya cerita ini dimulai sejak terjadi malapetaka tempe bongkrek

di Dukuh Paruk. Saat itu tokoh utama Srintil masih bayi. Penulis

menuturkan tragedi tempe bongkrek itu dengan cara flash back (kilas

balik). Diketahui dalam cerita tersebut Rasus masih berusia sekitar tiga

tahun. Hal itu dap a t di pe rh ati k a n dalam kutipan berikut


c o m m it to u s e r

ini:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Tetapi orang akan sia-sia menyampaikan pengetahuan ini ke


Dukuh Paruk. Di sana orang begitu yakin asam tembaga adalah
satu-satunya penyebab racun bongkrek. Demikian, dengan
menghindarkan perkakas tembaga, orang Dukuh Paruk masih
membuat tempe bongkrek. Jadi petaka yang terjadi ketika Srintil
bayi (kata nenek aku berusia tiga tahun saat itu) bukan musibah
pertama, bukan pula yang terakhir. (Ahmad Tohari, 2003: 33)

Cerita novel Ronggeng Dukuh Paruk diakhiri dengan

kepulangan Rasus setelah bertugas dari Kalimantan. Ia mendapati

Srintil dalam keadaan hilang ingatan. Rasus membawa Srintil ke

rumah sakit jiwa. Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 70-an. Jadi

diperkirakan Setting waktu yang terjadi dalam cerita novel Ronggeng

Dukuh Paruk berakhir sekitar tahun 70-an. Keterangan tersebut dapat

dicermati dalam kutipan berikut ini:

Februari 1971 adalah mangsa kesanga dalam pranata mangsa


yang dianut oleh orang Dukuh Paruk. Sepanjang hari, bahkan
kadang juga pada waktu malam, udara terasa sangat panas.
Angin sering bertiup amat kencang merontokkan dedaunan,
mematahkan pelepah pisang, dan mematahkan batang bamboo
muda. Di sawah tanaman padi yang sedang berbunga melewati
saat kritis. Penyerbukan bisa gagal karena angin yang terlalu
kencang. Bila hujan turun, curahnya jatuh dalam butiran-butiran
besar. (Ahmad Tohari, 2003: 371)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa setting waktu pada

novel Ronggeng Dukuh Paruk dimulai tahun 1946. Pada waktu itu

terjadinya musibah tempe bongkrek dan cerita novel ini diakhiri pada

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

tahun 70-an, bahkan data pendukung secara eksplisit disebutkan pada

tahun 1971 dalam novel tersebut.

(c) Setting Sosial

Latar sosial menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan

kehidupan sosial masyarakat yang terdapat pada suatu tempat yang

diceritakan dalam cerita fiksi. Tata kehidupan sosial masyarakat

meliputi beberapa masalah dalam lingkup yang amat kompleks. Dapat

berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan

hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain sebagainya. Disamping itu,

latar sosial juga berhubungan dengan status tokoh yang bersangkutan.

Kehidupan masyarakat dalam cerita novel Ronggeng Dukuh

Paruk adalah suasana kemelaratan, kebodohan, dan keterbelakangan.

Keterbelakangan mengenai pendidikan yang dialami oleh tokoh cerita

seperti Srintil dan Rasus juga anak-anak Dukuh Paruk lainnya.

Gambaran tentang keterbelakangan pendidikan dapat di perhatikan

dalam kutipan berikut ini:

Hubungan dengan Sersan Slamet lebih dapat dikatakan sebagai


hubungan pribadi daripada sebagai hubungan antara seorang
tobang dan seorang sersan. Dia banyak bertanya tentang diriku,
asal-usulku, bahkan sekolahku. Dia mangajariku menulis dan
membaca setelah mengetahui aku tak pernah bersekolah.
Berbagai kisah seorang tentara pelajar yang karena
keberaniannya dapat membunuh tiga serdadu musuh dalam
suatu pertempuran. (Ahmad Tohari, 2003: 94). Hanya
diperlukan waktu seperempat jam dari kota Eling-Eling ke daerah

berhawa s e ju k d i ka k i g unung di sebelah utaranya.


c o m m i t to u s e r
Bajus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

membelokkan mobilnya ke halaman sebuah vila mungil yang


ternyata kemudian sudah disewanya. Srintil diajaknya masuk. Di
ruang istirahat penunggu vila sudah menyiapkan minuman serta
buah-buahan. Srintil diberitahu di mana dia bisa beristirahat, dan
dimana letak kamar mandi. Bajus langsung kelihatan sibuk
mengeluarkan map dan buku agenda. Sebuah pemutar pita
kaset diambil dari kamar lalu Srintil diajari bagaimana
menghidupkannya. Majalah-majalah disodorkan dan Bajus
lupa atau tidak mengerti bahwa Srintil buta huruf. (Ahmad
Tohari, 2003: 374)
Kemelaratan juga terlukis jelas pada Dukuh Paruk. Tidak hanya

pada keluarga Sakum, tapi kemiskinan itu dimiliki oleh semua orang

Dukuh Paruk. Pada waktu sayembara bukak-klambu, terbukti tak

satupun orang Dukuh Paruk yang berani mengikuti sayembara itu.

Jangankan ringgit emas, sebuah rupiah perak pun tidak dimiliki oleh

laki-laki Dukuh Paruk. Hal itu dapat diperhatikan pada kutipan di

bawah ini:

-laki Dukuh Paruk


akan memenangkan sayembara. Jangankan ringgit emas, sebuah
rupiah perak pun tak dimiliki oleh laki-laki Dukuh Paruk. Saya
(Ahmad Tohari,
2003: 52)

Novel ini menggambarkan peristiwa pada tahun 60-an dimana

keadaan masyarakat tidak aman. Banyak terjadi perampokan. Untuk

commit to
user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
orang-orang yang kaya merasa terganggu, kecuali untuk orang-orang

commit to
user
Dukuh Paruk karena miskin, kecuali untuk ronggeng Dukuh Paruk.

Suasana pada tahun 60-an yang tidak aman dapat diperhatikan dalam

kutipan berikut ini:

Tahun 1960 wilayah Kecamatan Dawuan tidak aman.


Perampokan dengan kekerasan senjata sering terjadi. Tidak
jarang para perampok membakar rumah korbannya. Aku yang
selalu tidur di sudut pasar Dawuan mulai terasa takut. Mulai
tepikir olehku, apakah sudah tiba saatnya bagiku kembali ke
Dukuh Paruk? Aku berharap para perampok tidak tertarik pada
pedukuhan itu karena letaknya yang berada di tengah sawah.
Menurut perhitunganku, andaikata terjadi perampokan di sana,
polisi gampang mengepungnya. (Ahmad Tohari, 2003: 90)

Cara berpikir dan bersikap warga Dukuh Paruk karena

keterbelakangannya sehingga terbawa arus politik tanpa mereka

sadari. Kesenian ronggeng dimanfaatkan salah satu organisasi politik

dengan teknik adu domba. Waktu itu warga Dukuh Paruk mendapati

cungkup Ki Secamenggala dalam keadaan rusak. Warga menduga

Bakar pelakunya. Ia harus bartanggungjawab akan kejadian ini. Bakar

adalah salah satu tokoh PKI yang merasa ditolak kehadirannya oleh

Dukuh Paruk.

Kemampuan Bakar untuk melabuhi warga Dukuh Paruk dapat

berhasil. Untuk dapat menguasahi kembali Dukuh Paruk Bakar

membuat kegaduhan yang ditujukan kepada kelompok caping hijau.

Dalam situasi marah dan ingin menuntut pertanggungjawaban Bakar,

justru berbalik setelah warga menemukan caping barwarna hijau.


Caping itu ada tulisan tertentu, orang Dukuh Paruk tak bisa

membacanya. Karena kebodohannya orang Dukuh Paruk

menyimpulkan sendiri bahwa pemilik caping hijau adalah organisasi

politik yang lain. Kemudian Dukuh Paruk bersatu kembali dengan

Bakar.

Setelah peristiwa tersebut Bakar semakin leluasa menggunakan

ronggeng Dukuh Paruk dalam melancarkan tujuannya. Dukuh Paruk

yang bodoh tidak tahu bahwa mereka telah masuk perangkap. Hari-

hari berikutnya kesenian ronggeng selalu dilibatkan dalam rapat-rapat

akbar. Keadaan ini membawa orang-orang Dukuh Paruk dalam

kesulitan besar. Dukuh Paruk dalam penderitaan yang

berkepanjangan. Suasana Dukuh Paruk setelah peristiwa politik tahun

1965 dapat diperhatikan dalam kutipan berikut ini:

Awal kemarau tahun 1966. Malam yang sangat dingin


menyertakan kecemasan yang meluas. Anjing-anjing liar yang
beringas karena terangsang bau darah. Atau mayat-mayat yang
tidak diurus secara layak. Angin membawa bau bangkai. Dini
hari di langit timur muncul tanda keperkasaan alam. Lintang
kemukus menggaris langit dengan ujungnya yang runcing
kemilau. Suara malam ialah bunyi langkah sepatu yang berat.
Dan letupan bedil sekali-kali. (Ahmad Tohari, 2003: 238-239)

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa keadaan

sosial dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah keadaan

masyarakat yang miskin, bodoh dan keterbelakangan sehingga

mempengaruhi cara berpikir dan bersikap. Sehingga menjadi korban


kekacauan politik yang akhirnya membawa penderitaan

berkepanjangan semua warga Dukuh Paruk.

5) Poin of View

Point of View atau sudut pandang cerita adalah cara pandang

perwatakan, latar dan berbagai rangkaian peristiwa suatu cerita dalam karya fiksi. Sudut pandang digunakan pengarang untuk menyam
Dukuh

ariasi kata ganti. Sudut pandang yang paling menonjol dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk menggunakan cara seperti dibawah ini. Ku

Malam terakhir di Dukuh Paruk aku hampir gagal memejamkan


mata hingga pagi hari. Sepanjang malam itu aku menghadapi
ulah seorang perempuan yang sedang dituntut oleh nalurinya.
Seorang perempuan yang ingin kuanggap tanpa sebutan apapun,
baik sebutan ronggeng atau sebutan perempuan Dukuh Paruk.
Srintil hanya ingin disebut sebagai seorang perempuan utuh. Dia
sungguh-sungguh ingin melahirkan anakku dari rahimnya. Dia
ingin aku tetap tinggal bersamanya di Dukuh Paruk, atau ikut
bersamaku, pergi bergabung dengan kelompok Sersan Slamet.
(Ahmad Tohari, 2003: 105)
Ahmad Tohari dalam menggunakan sudut pandang yaitu pesona

menyebut nama tokohnya, sehingga posisi pengarang ada

diluar tetapi serba tahu. Pengarang mengetahui persis perasaan tokoh satu

dengan tokoh lainnya.

b. Struktur Novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa

1) Tema Novel Sinden

Novel Sinden kaya Purwadmadi Admadipurwa mengambil tema

sosial budaya perjuangan wong cilik sebagai sinden. Desa Sumberwungu

merupakan desa miskin dengan keadaan kering dan tandus hidup dalam

penindasan penguasa. Desa ini banyak menghasilkan sinden kondang.

Dalam novel ini juga dilukiskan prinsip keluhuran seorang sinden yang

memegang tatakrama untuk mewujudkan sinden sejati.

2) Alur atau Plot

Alur atau plot adalah rangkaian peristiwa-peristiwa yang saling

terkait dan dihubungkan secara sebab-akibat yang terlukis dalam cerita

karya sastra. Berdasarkan urutan peristiwa yang terlukis dalam alur novel

Sinden menggunakan alur maju. Dalam artian jalinan cerita tersusun

secara urut melalui peristiwa-peristiwa yang terjadi dapat dipahami secara

lengkap mulai awal sampai akhir cerita, meskipun sedikit adanya

penuturan kisah Nyai Estu waktu berguru dengan Nyai Larasmadu

mengenai sinden sejati dengan cara flash back (kilas balik). .


Rangkaian kejadian yang tersusun dan membentuk satu kesatuan

yang utuh. Rangkaian unsur-unsur itu pada prinsipnya alur cerita terdiri

dari tiga bagian, yaitu : (1) alur awal, terdiri dari paparan (eksposisi),

rangsangan (inciting moment), dan penggawatan (rising action); (2) alur

tengah, terdiri atas pertikaian (conflict), perumitan (complication), dan

klimaks atau puncak penggawatan (climax); (3) alur akhir, terdiri dari

peleraian (falling action), dan penyelesaian (denouement).

Urutan peristiwa yang terjalin dalam plot novel Sinden sebagai berikut:

(a) Tahap Paparan (Eksposisi)

Tahap paparan atau eksposisi pada novel Sinden karya

Purwadmadi Admadipurwa yaitu tahap dimana pengarang mulai

untuk memperkenalkan tempat terjadinya cerita, waktu, tokoh-tokoh

cerita dan permasalahan dalam cerita sebagai sumber konflik.

Awal cerita diceritakan tentang kehidupan di Sumberwungu

lengkap dengan gambaran alam dan kehidupan rakyatnya. Tahap

paparan atau eksposisi pada novel Sinden karya Purwadmadi

Admadipurwa yaitu tahap dimana pengarang mulai memaparkan

cerita perjuangan Tumi ingin menjadi seorang sinden yang kondang.

Menjadi Sinden merupakan penghargaan besar untuk desa

Sumberwungu. Tumi berlatih pada Nyai Estu. Melalui Nyai Estu

Tumi dibimbing dan diberi petuah yang baik untuk menjadi sinden

yang bermartabat.
(b) Tahap Rangsangan ( Inciting Moment)

Tahap Rangsangan adalah peristiwa mulai adanya problem-

problem yang ditampilkan dalam cerita oleh pengarang yang

kemudian dikembangkan yang mengarah peningkatan terjadinya

konflik. Berawal dari lurah Ponco melamar Tumi untuk anaknya.

Namun lamaran lurah Ponco ditolak oleh Tumi. Tumi tidak mencintai

Rudito anak lurah Sumberwungu yang mempunyai tabiat tidak baik

yaitu suka mabuk, judi dan main perempuan. Tentu saja penolakan

lamaran lurah Sumberwungu membuat kekecewaan di hati Ponco.

(c) Tahap Penggawatan (Rising Action)

Tahap penggawatan adalah dimana konflik cerita menjadi

meningkat yaitu dimasa pemerintahan lurah Ponco menjelang tua

berperangai keras. Lurah Ponco menggalang kaum pemuda pemudi

untuk dilatih fisik dan mental. Para muda mudi berbaris mengelilingi

desa sambil menyanyikan lagu mars untuk menghina pak Mantri yang

dianggap lawan politik Poncodriyo. Dan ulah Rudito yang selalu

mabuk dan mengganggu Tumi.

(d) Tahap Pertikaian (Comflict)

Komflik semakin ruwet Rudito tengah malam datang kembali

kerumah Tumi dengan keadaan terluka parah darah bersimbah

keseluruh tubuh. Mendengar orang merintih di tengah malam Karto

keluar rumah setelah melihat keadaan itu Karto panik teringat putrinya

yang sampai tengah malam belum pulang. Karto membiarkan Rudito,


Karto membawa obor menuju rumah Nyai Estu ingin mencari Tumi

yang berlatih sinden tapi tidak pulang. Peristiwa itu diceritakan pada

Nyai Estu. Akhirnya ketiga orang itu menuju rumah Tumi.

Rumah Karto ternyata kosong Rudito hilang tak tahu kemana

ditabuhnya tanda bahaya sehingga para tetangga ramai-ramai menuju

rumah Karto. Peristiwa itu segera dilaporkan ke kelurahan

Sumberwungu. Akhirnya Kartosemedi ditangkap Mangundarmo atas

perintah Ponco. Kartosemedi dituduh membunuh Rudito dan

mayatnya disembunyikan. Karto menerima siksaan dan hinaan dibalai

desa bahkan hampir saja disayat oleh para pemuda untung tentara dari

agen repin datang Karto bebas dari siksaan kemudian dibawa untuk

ditahan.

(e) Tahap Perumitan (Complication)

Poncodriyo marah besar, sehabis rapat dari kecamatan, malam

itu juga Mangundarmo mengumpulkan para pamong desa dibalai desa

Sumberwungu. Rapat dilakukan secara tertutup dihalaman pendopo

dijaga ketat oleh para pemuda. Rapat berisi arahan dari lurah

Poncodriyo bahwa hilangnya Rujito bukan kriminal biasa tetapi

merupakan gerakan politik yang ingin mendongkel kekuasaan

Poncodriyo untuk itu setiap malam para pamong harus piket untuk

menjaga gerakan lawan dan rakyat Sumberwungu diminta

mengadakan gerakan merebut tanah milik tuan tanah, penguasa, untuk

dapat dikerjakan para petani yang tidak punya tanah demi


mewujudkan kemakmuran yang merata atas perintah Poncodriyo.

Dalam waktu dekat setiap pamong diminta memberikan laporan

tertulis para penguasa tanah kepada Poncodriyo. Dalam pertemuan itu

pamong desa Kasan Ikromo selaku jagabaya mengundurkan diri

karena tidak setuju dengan Poncodriyo. Setelah selesai rapat para

pamong itu diantar oleh para pemuda satu persatu sampai rumah

masing-masing.

Agen Repin dengan Peltu Sudiro sudah tahu tentang permainan

Poncodriyo, Mangunsarkoro di desa Sumberwungu. Karena desa itu

sudah menjadi pengawasan pihak Kabupaten Argalaksa. Permainan

politik yang dijalankan Poncodriyo dan kawan-kawan. Tarman

dipanggil untuk dimintai keterangan atas tuduhan penganiayaan Sular,

ia datang sambil menengok Karto membawakan bungkusan nasi untuk

Kartosemedi titipan dari Tumi. Tarman berbicara dengan Agen Repin

dan Pak Dandis. Mangun mengadukan Tarman atas nama keluarga

Pak Pawiro ayah Sular, pemuda yang mengeroyok Tarman.

Mangunsarkoro juga melaporkan Karto dengan dua perkara yaitu

pembunuhan Rudito dan penganiayaan Mangun waktu dibalai desa.

Tarman dipanggil untuk dimintai keterangan oleh Agen Repin atas

pengaduan Mangun. Sehabis diperiksa Tarman diajak Pak Repin ke

TKP malam itu juga. Tarman bingung kemana arah dan tujuan yang

dimaksud, diluar dugaan Tarman tempat yang di tuju adalah rumah

Pak Pancar petani kaya di desa Jetis Kecamatan Semugih. Di rumah


Pak Pancar ternyata telah berkumpul Pak Thohir, Gendon Supanji dan

Renggo Baskoro tokoh seni dan Politik Argalaksa. Ada agenda

penting rapat ini yaitu membuat serangan balik atas aksi orang-orang

Mangundarma. Untuk melindungi rakyat dan mengembalikan

kekuatan spiritual yang akan dipimpin Pak Thohir dan Gendon,

gerakan seni oleh Romo Renggo Baskoro, gerakan hukum akan diatur

dengan minta bantuan Agen Repin, mobillisasi massa oleh Tarman.

Gerakan tani oleh pak Mantri yang penting kita tidak akan mencari

permusuhan, kita hindarkan konflik bersama. Sebab hilangnya Rudito

merupakan pematik api, tapi api tidak menyala. Karto dan Gendon

diharap yang membunuh Rudito agar rakyat marah dan mengamuk ,

kemudian Rudito dibunuh oleh Mangun sendiri agar rakyat percaya.

Mangun yang kejam, licik, memperalat Poncodriyo namun tidak

menyadarinya. Untung Rudito ada ditangan kita, jadi aman kita.

Dilain fihak Mangundarmo gelisah menghadapi lawan

politiknya. Karena Rudito yang disembunyikan di Misuwur Budaya

Hilang. Seni kethoprak Tobong Misuwur Budoyo dimanfaatkan

Mangun dalam berpolitik. Pimpinan Misuwur Budoyo Nyai Suparni

wanita simpanan Mangundarmo diberi harapan untuk menjadi Lurah

di Sumberwungu. Selain Nyai Suparni dibantu, Romo Pus (penulis

cerita) dan Johan (ahli pembuat trik). Room Pus punya rencana jahat

ingin mengadu rakyat dengan laskar Poncodriyo dalam penampilan

cerita malam berikutnya. Harapannya rakyat akan menyerang


Misuwur Budoyo kemudian lascar Poncodriyo membalaskannya,

sehingga kekuatan Poncodriyo akan berkurang.

Tahap perumitan terjadinya peristiwa hilangnya Rudito dan

ditangkapnya Karto Semedi yang dituduh menghilangkan nyawa

Rudito. Karto Semedi ditahan. Lurah Poncodriya menggalang

kekuatan bersama Mangundarmo. Para pamong desa dipersiapkan

untuk mengadakan gerakan merebut kembali tanah-tanah yang

dikuasai oleh tuan tanah. Pengadaan jam malam. Juga mundurnya

Kasan Ikromo dari jogoboyo .

(f) Tahap Klimaks atau penggawatan (Climax)

Tahab klimaks terjadinya pergolakan politik dengan ditandai

adanya berita dari Jakarta bahwa keadaan tidak menentu maka dari itu

diadakan jam malam dan semua kantor dibekukan sampai menunggu

perkembangan. Keadaan tidak menentu Karto hilang dari tahanan.

Tumi, Nyai Estu, Kasan Ikromo yang dipanggil polisi untuk dimintai

keterengan sehubungan dengan penahanan Kartosemedi. Sampai

ditempat penahanan diketahui keadaan tidak menentu Karto hilang

dari tahanan. Akhirnya ketiga orang tersebut disuruh kembali naik

truk menuju Sumberwungu.

Keadaan desa Sumberwungu semakin tak menentu banyak

penangkapan tokoh-tokoh desa seperti; Ponco, Mangun, Nyai Suparni,

Margonocarito para pemuda hilang entah kemana. Banyak rakyat

yang ditangkap tidak tahu apa salahnya. Partai besar yang ada
sekarang mlempem. Banyak rakyat kawatir kalau dianggap simpatisan

partai terlarang itu. Dibubarkannya ketoprak tobong yang menjadi alat

propaganda Mangundarmo. Dan penangkapan pembersihan orang-

orangnya Poncodriya dan warga Sumberwungu yang terdaftar sebagai

anggota partai terlarang.

(g) Tahap Peleraian (Falling Action)

Tahap peleraian terjadi adanya peristiwa pergantian pejabatan

lama dengan pejabat baru yang ada di Sumberwungu. Pejabat lama

pada waktu pemerintahan Poncodriya dan Mangundarmo

diberhentikan karena mereka ternyata pengikut partai terlarang.Pak

Mantri, Guru tarman dinobatkan sebagai pimpinan baru di

Sumberwungu. Akan mengembalikan kehidupan rakyat yang telah

dibelokkan oleh Mangundarmo.

(h) Tahap Penyelesaian (Denouement)

Tahap penyelesaiannya setelah terwujudnya pemerintahan baru

Tumi ingin meneruskan cita-citanya menjadi sinden ternama. Atas

saran Nyai Estu agar cita-citanya dapat berhasil Tumi membutuhkan

pendamping hidup yang mampu mengayominya. Tumi kemudian

dikawinkan dengan Raden Renggo Baskara tokoh seni di Argalaksa.

Karena Renggo Baskoro salah satu pejabat Argalaksa maka

pernikahannya dilaksanakan dengan mewah dihadiri oleh bupati

Argalaksa. Tumi bergelar Renggamanis. Hasil dari perkawinannya


Tumi yang berganti nama Renggamanis mendapatkan seorang putra

bernama Tuwuh .

3) Penokohan

Novel Sinden memiliki banyak tokoh. Berdasarkan perannya dalam

sebuah cerita dalam novel terbagi menjadi tokoh utama dan tokoh

tambahan. Dalam pembahasan ini, yang akan penulis kemukakan hanya

tokoh-tokoh penting saja yang memegang peranan besar dalam novel

Sinden

Tokoh utama protagonis dalam novel Sinden adalah: Tumi.

Sedangkan tokoh protagonis tambahan dalam novel ini adalah Gendon

Supanji, Kartosemedi, Nyai Estu Suminar, Minten (ibu Tumi), pak Mantri,

Tarman, Ki Ageng Dipo Badranaya, pak Thohir, pak Dandis, Nyai

Larasmadu, Kasan Ikromo, Peltu Sudiro, RM. Dinu, Renggo Baskoro.

Tokoh antagonis adalah Rudito, Raden Poncodriyo, Mangundarmo,

sedangkan tokoh antagonis tambahan adalah: Margono Sucitro, nyai

Suparmi, Romo pus.

Berdasarkan perannya tokoh-tokoh tersebut akan dijelaskan secara

terperinci sebagai berikut:

(a) Tumi

Tumi merupakan tokoh utama perempuan dalam novel Sinden.

Tumi adalah perempuan Sumberwungu bercita-cita menjadi sinden.

Tumi perempuan lugu. Keluguan Tumi tergambar dalam kutipan di

bawah ini:
-curi pandang saat saya latihan

-menjep
kearah sana kearah sini. (Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 13)

antik mempesona. Ia memiliki kulit lebih cerah dari diantara perempuan Sumberwungu. Gigi gingsul, dan punya lesung pipi, gambaran
ikit
madi Admadipurwa, 2007: 102)

Tumi adalah seorang perempuan yang berpendirian kuat.

Mereka tidak mudah tunduk dengan pria ganteng, kaya, dan anak

penguasa. Untuk menentukan pilihan hidupnya tumi mempunyai

prinsip tersendiri. Kutipan di bawah ini menggambarkan pendirian

kuat dari Tumi:

Tumi sama sekali tidak menaruh perhatian pada Rudito, anak


lurah penguasa Sumberwungu itu. Memang banyak gadis yang
ingin dipersunting Rudito yang ganteng, kaya, berkuasa. Tapi
Tumi tidak. Sama sekali tidak. Hanya saying Rudito selalu
mengejar-ngejarnya. Rudito pemuda yang sudah waktunya
kawin tetapi belum juga mendapat jodohnya. (Purwadmadi
Admadipurwa, 2007: 102)

Tumi juga seorang anak yang mandiri. Karena didikan Ayahnya

Kartosemedi yang hidup menduda sehingga Tumi membantu

ayahnya. Menyiapkan kebutuhan hidupnya, menata rumahnya, bahkan

membantu ayahnya keladang. Semua itu bentuk tanggung jawab Tumi

terhadap ayahnya. Kemandirian Tumi dapat dicermati dalam kutipan

berikut ini:

Tumi tumbuh menjadi gadis remaja yang baik. Ia biasa bekerja


di ladang. Ia biasa menyiapkan makan untuk bapaknya. Ia juga
mengurus ayam-ayam piaraannya. Ia juga mengurus rumahnya
yang mungil hingga menjadib rapi.
Di halaman ada taman kecil dengan bunga bakung dan ceplok
piring. Alau musim penghujan tumbuh juga kembang kertas dan
bunga matahari. Di pembatasan pekarangannya, tumbuh
berbagai tanamanyang dijadikan sumberpendapatan
Kartosemedi. Pekarangan menjadi tampak teduh, rimbun dan
terjaga kesejukannya.
Tumi tumbuh menjadi gadis yang mengerti kebutuhan dirinya.
Kebutuhan rumah tangga dan kebutuhan menyiapkan masa
depan. (Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 14)

Tumi juga bukan berpendidikan cukup karena lulusan SR.

Meneruskan ke SMP swasta saja berhenti di tengah jalan. Tumi sudah

bulat ingin menjadi seorang sinden. Pernyataan Tumi ini dapat

dicermati dalam kutipan di bawah ini:


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Meski tak terlalu pandai Tumi dapat menyelesaikan sekolah SR


Sumberwungu. Ia memang tak lulus dalam ujian Negara dan
karenanya hanya bisa melanjutkan ke sekolah SMP Swasta. Tapi
itu hanya ditempuh seraruh jalan karena Tumi lebih ingin
menekuni dunia sinden yang lebih menarik hasrat hatinya. Sejak
dua tahun terakhir, Tumi tidak masuk sekolah. (Purwadmadi
Admadipurwa, 2007: 15)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Tumi seorang

tokoh yang cantik penuh pesona. Tumi perempuan yang penuh

percaya diri, teguh pendirian, dan kuat dalam memegang prinsip.

Berdasarkan sifatnya, Srintil dikategorikan sebagai tokoh

protagonis. Tumi juga termasuk tokoh yang berkembang. Watak tokoh

Tumi mengalami perubahan dan perkembangan sejalan dengan

perubahan peristiwa dan plot yang dikisahkan. Salah satu contoh,

sikap Tumi yang diwaktu belia sangat manja setelah dewasa menjadi

pribadi yang mandiri.

(b) Nyai Estu

Nyai Estu wanita janda keturunan ningrat adik penguasa

Sumberwungu merupakan guru sinden sejati. Nyai Estu istri Dalang

Dipocarito yang sekarang mengambil istri Minten mboknya Tumi.

Walaupun maru tetapi meraka saling menyayangi Tumi. Dengan

peristiwa tersebut Nyai Estu mematuhi petuah gurunya Nyai

Larasmadu. Bahwa dirinya harus mengembalikan citra sinden yang

telah dihancurkan oleh segelintir orang. Sinden suka kawin cerai,

Sinden menjadi wanit a s im p a n a n k e b anyakan orang.


c om m i t t o u s e r
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Lewat Nyai Estu Sumirat mencoba untuk menjadi guru yang

baik, selain memberikan contoh juga menanamkan prinsip sinden

sejati kepada Tumi muridnya. Semua petuah Nyai Estu dapat

dicermati pada kutipan di bawah ini:

Kartosemedi me
cita-citanya seba

K
A

Nyai Estu wanita penuh wibawa karena keadaan dirumah Kartosemedi tak menentu, maka te
kewibawaan Nyai Estu terlukis pada kutipan dibawah ini:

termasuk orang tuanya Rudito, ia keponakan saya. Kita


harus bertindak dewasa dan tidak emosional. Kita tidak
mempunyai kewajiban menyelidiki semua ini. Polisi yang
akan bertindak. Tugas kita, pertama, amankan lokasi ini.
Kedua, Kang Karto jangan pergi sampai dimintai
keterangan. Ketiga, harus ada yang mencari Gendon.
Keempat, harus ada yang melapor ke kelurahan malam ini
juga. Kelima, kalau ada yang berani, cari ditempat-tempat

(Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 62)


commit to
user
Nyai Estu setelah dicerai dalang Dipocarito masih tetap
menyendiri. Prinsip untuk setia pada suaminya kuat seperti yang
diajarkan pada murid-muridnya. Prinsip kuat Nyai Estu untuk tidak
kawin lagi, banyak lelaki yang menggodanya dengan iming-iming
harta dan emas namun Nyai Estu tidak bergeming. Prinsip Nyai
Estu untuk tetap setia dapat dipahami lewat kutipan berikut ini :
Nyai Estu setelah dicerai Dalang Dipocarito tidak lagi mau
meningkah. Mesti kehidupan sebagai pesinden yang janda justru
sangat menyulitkannya. Banyak laki-laki yang menggoda. Tidak
hanya dengan rayuan gombal, tetapi dengan uang banyak dan

(Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 17)

Nyai Estu Suminar berpendirian kuat tidak mau di pengaruhi

siapapun. Meskipun ia kakaknya sendiri. Nyai Estu juga orang baik tidak

mau menyalah gunakan keahliannya untuk perbuatan merugikan orang

lain.

Prinsip Nyai Estu kuat dan baik dapat dipahami lewat kutipan

berikut ini :

` Bahkan Nyai Estu sendiri telah berkali-kali diminta


Poncodriyo untuk datang kekelurahan dan melatih kesenian
para perempuan yang dikumpulkan di sana. Estu menolak,
karena baginya kesenian bukan untuk melukai orang lain,
bukan untuk menyakiti pihak lain. Kesenian untuk kedamaian
dan ketentraman serta kebaikan sesama. (Purwadmadi
Admadipurwa, 2007: 45)
Keyakinan Nyai Estu Suminar untuk tetap tidak menikah lagi,

pernah bimbang. Namun perasaan itu segera dapat di atasi dengan

memegang prinsip hidup untuk tidak akan menikah lagi. Banyaknya

rayuan dan godaan laki-laki kadanghanya didasarkan atas nafsu dan

keinginan untuk memiliki kekayaan, bukan berdasarkan ketulusan

cinta. Prinsip Nyai Estu untuk tetap setia tergambar lewat kutipan

berikut ini :

Estu iklas menjalani hidup kesendiriannya dengan tenang.


Sesekali masih dipenuhi permintaan menyinden. Termasuk
menyindeni Dipocarito dalam pagelarannya. Estu mencoba
bersikap dewasa dan realistis. Ia putuskan hidup sendiri
hingga akhir hayat. Pernah juga hinggap dalam pikiranya
untuk menikah lagi. Banyak priya yang menginginkanya
untuk menjadi istri. Tidak sedikit para jejaka tulen yang
melamarnya. Tapi Estu masih menangkap sinar mata dan
motivasi mereka kalau tidak pada nafsu juga karena harta
kekayaan Estu. (Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 50)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Nyai Estu Suminar

adalah seorang vigur perempuan yang setia, baik, berwibawa, dengan

prinsip yang kuat. Nyai Estu menjadi pesinden kondang dan mampu

menguasai alat musik tradisional jawa tersebut. Cita-citanya akan

mengembalikan citra pesinden yang suka kawin cerai dan suka

menjadi pelarian laki-laki hidung belang. Untuk mewujudkan

harapannya prinsip itu ditanamkan kepada semua muridnya, termasuk

Tumi. Maka Nyai Estu dijuluki guru sejati.


Berdasarkan sifatnya, Nyai Estu Suminar dikategorikan sebagai

tokoh protagonis. Nyai Estu juga termasuk tokoh yang berkembang.

Watak tokoh Nyai Estu mengalami perubahan dan perkembangan

sejalan dengan perubahan peristiwa dan plot yang dikisahkan.

(c) Kartosemedi

Kartosemedi adalah orang tua dari Tumi. Kartosemedi hidup

menduda karena istrinya Minten seorang sinden tergoda Dalang

Dipocarito yang dapat membawa perubahan dalam hidupnya.

Walaupun Dipocarito sudah memiliki istri Nyai Estu namun Minten

terpikat karena sering menjadi sinden saat Dipocarito mendapat

tanggapan. Kartosemedi adalah bapak yang sabar terhadap nasibnya,

walaupun hidup menduda dengan sabar mengasuh anak gadisnya.

Kesabaran Karto dapat dicermati kutipan di bawah ini:

Waktu Tumi baru saja pulang dari berlatih nyinden di


rumah Nyai Estu, sinden ternama. Tumi bercita-cita
menjadi sinden.
Wis ta, sana. Sudah
gede masih suka nglendhot
agak keras tapi tetap dengan senyumanya.

Elho, bapak sudah bilang sama mereka. Yang mau

(Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 7)

Kartosemedi adalah orang yang berpendirian kuat, meskipun

Karto hanyalah orang lugu seperti kebanyakan orang, namun tidak


mudah dipengaruhi dan dihasut diajak wira-wiri tanpa kepastian.

Kartosemedi lebih senang pergi keladang. Maka Karto dianggap orang

yang bodoh sehingga dianggap juga tidak mengerti soal politik yang

dimainkan oleh Ponco dan Mangundarmo. Hal itu tertulis dalam

kutripan dibawah ini:

Banyak orang orang yang lugu terhasut dan suka


berbarengan kesana-kemari atas nama kerjabakti dan gotong-
royong. Namun, Kartosemedi tak suka mengikuti ubyang-
ubyung, ramai-ramai bergerombol kesana-kemari tidak
karuan. Ia lebih nikmat mengerjakan ladangnya sendiri dan
tidak menyesusahkan orang lain. Ia suka-suka saja membantu
tetangga mengerjakan ladang, tetapi bukan dengan gerakan
masa yang pada akhirnya lebih banyak berbaris atau
menyanyi mars dari pada membedah tanah. (Purwadmadi
Admadipurwa, 2007: 26)

Kartosemedi adalah seorang ayah yang tabah hanya karena

tidak menerima lamaran Rudito anak penguasa Sumberwungu harus

menerima siksaan dari penguasa. Kartosemedi menyadari kalau wong

cilik tidak akan mampu melawan penguasa mereka dengan tabah

menerima perlakuan Poncodriyo dan Mangundarmo. Ketabahan

Kartosemedi dapat diketahui melalui gambaran kutipan berikut ini:

Mangun tampaknya mulai menggunakan teori lama.


Pesakitan yang tidak mengaku atau membuka imformasi,
harus dianiaya. Pesakitan memang untuk disakiti. Karto
mencoba tabah. Mudah-mudahan, piker dan harapnya dalam
hati, Mangun tidak akan menganiaya lebih jauh. Meski begitu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 76)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Kartosemedi

adalah seorang tokoh yang sabar, tabah, mempunyai pribadi yang kuat

dalam menjalani prinsip hidup. Kartosemedi seorang bapak yang baik

dan bertanggung jawab. Walaupun Kartosemedi hidup menjanda, ia

mampu membawa anaknya dalam mencapai kesuksesan atas cita-

citanya.

Berdasarkan sifatnya, Kartosemedi dikategorikan sebagai tokoh

protagonis. Kartosemedi juga termasuk tokoh tidak berkembang.

Watak tokoh Kartosemedi tidak mengalami perubahan dan

perkembangan.

(d) Poncodriyo

Poncodriyo adalah keturunan ningrat yang memerintah sebagai

kepala Desa Sumberwungu. Cara kepemimpinan Poncodriyo sudah

terlihat sejak masih muda, karena para leluhurnya adalah lurah dari

Sumberwungu. Kepemimpinan Ki Poncodriyo berubah perangainya

kereas setelah Poncodriyo tua. Poncodriyo inginlebih meningkatkan

kedudukannya melalui kesanggupannya mendukung partai garis keras

yang menjajikannya. Keberingasan Ponco sudah tak memperdulikan

rakyat dalam kegiatan politik dan pemerintahannya. Sikap tersebut

dapat dilihat dari kutipan di bawah iuni:

Sekarang sandang dan pangan sudah terasa mulai sulit

didapatkan ole h ra k y a t . M e reka harus antri


c om m i t t o u se r
gaplek, minyak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

tanah, susu prongkol, dan disuntik antimalaria. Tampaknya,


Ponco dan Mangun membiarkan rakyatnya miskin.
Memiskinkan rakyat memang program Ponco demi ambisi

Ponco yang sampai ke telinga Tarman. (Purwadmadi


Admadipurwa, 2007: 71)

Poncodriyo penguasa yang mempunyai niat jahat dalam

berpolitik. Dalam pemerintahannya semakin hari semakin tambah

watak kerasnya. Niat jahat Poncoterhadap lawan politiknya

dipersiapkan dengan matang. Para pemuda desa dikumpulkan dan

dilatih beladiri, perang-perangan dan baris-berbaris layaknya pasukan

perang. Kegiatan Poncodriyo tersebut dapat dicermati kutipan berikut

ini:

Setiap kali pulang up grading, selalu tambah watak kerasnya.


Juga semakin sering mengumpulkan orang-orang samopai larut
malam. Bahkan Poncodriyo mulai melatih pemuda-pemuda
dengan ketrampilan beladiri, perang-perangan, dan berbaris.
Setiap pagi di depan rumah tinggalnya, dekat balai desa,
banyak anak muda berltih di sana sambil nyanyi mars.
(Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 27)

Kekejaman Ponco tidak hanya berhenti disitu terhadap lawan

politik atau yang menentangnya. Ia telah mempersiapkan tehnik yang

tepat. Kegiatan tersebut selain baris, beladiri, Ponco juga telah

memepersiapkan pemakaman ternadap korbannya agar tidak diketahui

commit to
user
orang. Tindakan Poncodriyo tersebut tergambar pada kutipan berikut

ini:

Gendon sengaja lewat jalan yang berbeda. Terlihat olehnya, di


belakang rumah Ponco sedang dilakukan penggalian sumur
yang cukup dalam. Juga tengah digali sebuah liang lebar yang
cukup dalam. Konon, lubang itu untuk kolam aair yang akan
ditebari ikan. Tapi Gendon merasakan sesuatu yang aneh,
mana mungkin memelihara ikan harus menggali sedemikian
dalam ? (Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 38)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa watak lurah

Poncodriyo adalah cerdik, licik, dan sombong. Sifat sombongnya

terlihat ketika ia menerima Gendon dib alai desa. Ia juga seorang yang

cerdik dalam menghasut hati rakyat hamper seluruh rakyat 72 %

mendukung partai terlarang tersebut.

Berdasarkan sifat tokoh, Poncodriyo bisa dikategorikan sebagai

tokoh antagonis. Poncodriyo juga dapat dikategorikan sebagai tokoh

yang berkembang perwatakannya. Setelah Poncodriyo keluar dari

penjara terlihat diam .

(e) Mangundarmo

Mangundarmo adalah tokoh yang mampu memerankan

peranpolitiknya. Ia mampu memainkan lurah Poncodriyo demi ambisi

cita-citanya. Bahkan ia mampu membisikan rencana-rencana jahatnya

kepada Poncodriyo. Poncodriyo tidak menyadari kelicikan

Mangundarmo. Mangundarmo seorang yang kejam, bengis serasa


tidak mempunyai rasa kemanusiaan. Kelakuan Mangundarmo yang

tanpa kemanusiaan tercermin dari kutipan berikut ini:

Karto tetap diam dan merunduk. Ia memang tak merasa lapar.


Seandainya ada makanan enak ia tak begitu berselera. Tapi
sungguh, Karto sangat terkejut ketika piring nasi itu diletakan
Mangun di lantai. Persis di depan Mangun duduk di dingklik panjang.
putih yang semula di cangkir kaleng ke piring nasi. Air mengucur

lantai pendapa maju kencang kearah Karto. Ada nasi yang rontok ke lantai. Piring berhenti ketika membentur kaki Karto. Sejumlah bu

Mangundarmo adalah cerdik, licik, dan kejam. Kelicikannya dapat

memperalat Poncodriyo untuk mencari kedudukan. Kejahatannya

untuk memusnahkan lawan politiknya.

Berdasarkan sifat tokoh, Mangundarmo bisa dikategorikan

sebagai tokoh antagonis. Mangundarmo juga dapat dikategorikan

sebagai tokoh tidak berkembang perwatakannya. Setelah

Mangundarmo ditangkap tidak pernah kembali lagi.


4) Latar atau setting

Latar atau setting adalah merupakan suatu tempat terjadinya

peristiwa yang berkaitan dengan waktu, tempat, dan suasana dalam cerita.

Latar cerita berkaitan dengan waktu dan tempat penceritaan. Waktu dapat

berarti siang dan malam, tanggal, bulan, dan tahun. Tempat dapat berarti di

dalam atau di luar rumah, di desa atau di kota, dapat juga di kota mana, di

negeri mana, dan sebagainya. Setting sosial menunjuk pada hal-hal yang

berhubungan dengan kehidupan sosial masyarakat yang terdapat pada

suatu tempat yang diceritakan dalam cerita fiksi..

Untuk lebih jelasnya, penulis akan membahas satu persatu setting

yang ada dalam cerita Sinden ini. Setting tersebut yakni: setting tempat,

setting waktu, dan setting sosial.

(a) Setting Tempat

Dalam novel Sinden ada beberapa tempat yang menjadi setting

cerita. Secara umum, cerita ini terjadi di Desa Sumberwungu. Desa

Sumberwungu bisa dikategorikan sebagai setting primer. Desa

Sumberwungu adalah desa yang subur dari diantara desa sekitar,

namun pada peta kabupaten terdaftar sebagai desa miskin kecamatan

Semugih kabupaten Argalaksa Yogyakarta. Gambaran bisa dicermati

dalam kutipan ini:

Humus dan pupuk kandang menjadi penyubur tanah yang


hebat. Meski begitu, dalam peta kemiskinan, Sumberwungu
tergolong desa miskin yang tandus. Kemiskinan dan ketandusan
tidak jadi penghalang anak-anak gadis belajar menjadi sinden.
(Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 9)

Keadaan desa Sumberwungu merupakan tempat pemukiman

wilayah yang banyak mencetak para sinden. Seolah-olah desa

Sumberwungu merupakan tempat untuk mencetak para sinden.

Tampaknya, bentang alam Sumberwungu sendiri memerlihatkan


rahmat tak terkira, tempat yang dipahat sangat khusus untuk
keperluan berlatih menyinden.
Bentang alam yang dikelilingi bukit-bukit kecil, dibelah sebuah
(Purwadmadi
Admadipurwa, 2007: 9)

Selain setting primer novel Sinden juga memiliki beberapa

setting sekunder. Banyak setting sekunder dalam novel ini misalnya:

Argosari, Semugih. Dalam pembahasan ini penulis hanya akan

membicarakan setting Semugih. Karena Semugih temapat

Kartosemedi ditahan dan Semugih sebagai kota kecamatan.

Jalan setapak itu nanti akan sampai dibelakang Kantor Distrik


Polisi Semugih. Sepanjang perjalanan mereka tidak banyak
bercakap-cakap. Mereka berjalan beriringan. Kasan Ikromo di
depan, disusul Nyai Estu dan Tumi. Oleh karena berharap bisa
bertemu bapaknya. Tumi membawa sepasang baju ganti untuk
Karto, sebungkus makanan ala kadarnya yang dibeli diwarung
didekat perempatan jalan. (Purwadmadi Admadipurwa, 2007:
255-256)
(b) Setting Waktu

biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, dapat meliputi tahun,

bulan, hari, tanggal, jam, atau saat yang ada kaitannya atau dapat

dikaitkan dengan peristiwa sejarah.

Novel Sinden berkisah tentang kehidupan Sumberwungu mulai

tahun 60-an samapai sekitar pergolakan partai terlarang yang

puncaknya tahun 1965. Tanda-tanda terlukis dalam naskah

diantaranya gambaran zaman pegaber, adanya kegiatan Lurah

Poncodriyo seperti kegiatan baris berbaris, membuat kolam dalam

pekarangan, kegiatan tersebut disinyalir kegiatan pada era timbulnya

PKI. Adanya penghilangan para tokoh partai terlarang dan

penangkapan pengikut partai terlarang.

Penulis juga menuturkan mengenai pengalaman Nyai Estu

waktu berguru kepada Nyai Larasmadu yang kemudian ditanamkan

etika untuk menjadi sinden sejati, dikisahkan dengan cara flashback

(kilas balik).

Mengenai awal dimulainya dan akhir dari perjuangan guru

Tarman dan Pak Mantri juga tidak tertulis jelas. Kutipan di bawah ini

yang menunjukkan setting waktu novel Sinden. Keadaan

menggambarkan Sumberwungu pada sekitar tahun enam puluhan


dengan gambaran zaman pegaber Hal itu tergambar dalam kutipan

berikut ini:

Waktu seakan cepat berlalu. Enam tahun memang waktu yang


pendek. Belum hilang dari ingatan, waktu itu banyak orang mati
kelaparan. Banyak warga menderita kurang gizi. Bahan pangan
sulit diperoleh. gaplek berubah menjadi bahan pangan mewah.
Sulit didapat. Bahkan nasi thiwul kering, gogik pun dengan
mudah dapat ditukar sawah-sawah petani milik warga yang
mendesak butuh bahan pangan bagi keluarganya. Terpaksa
banyak warga yang makan kulit ketela yang dikeringkan dan
ditumbuk halus. Diolah sederhana jadi gaber. Zaman sulit itu
sering disebut pegaber. (Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 269)
Pada waktu itu, begitu benih ditabur, tanaman mulai tumbuh,
hujan tak turun lagi. Persediaan benih sudah tertanam dan
persediaan pangan tak cukup lagi. Tanaman peretanian mati.
Persediaan pangan menipis. Hama tikus merajalela. Tanaman
diserang tikus. Mati layu dan lading kembali kering. Di jalan-
jalan banyak rakyat memburu pangan. Ada yang meminta-minta
belaskasihan ke rumah-rumah warga yang masih mampu. Hewan-
hewan ternakpun dipotong, daging sapi, kambing, ayam, bebek
pun sangat murah dan biasa dibagi-bagikan. Malah disejumlah
tempat tikus-tikus reewog diburu, disembelih dan dikuliti,
digoreng didapur-dapur umum. (Purwadmadi Admadipurwa,
2007: 270)

Keadaan menggambarkan Sumberwungu pada sekitar tahun

enam puluhan lima. Banyaknya kegiatan yang dilakukan oleh Lurah

Ponco dan kroni-kroninya. Hal itu tergambar dalam kutipan berikut

ini:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Gendon sengaja lewat jalan yang berbeda. Terlihat olehnya, di


belakang rumah Ponco sedang dilakukan penggalian sumur
yang cukup dalam. Juga tengah digali sebuah liang lebar yang
cukup dalam. Konon, lubang itu untuk kolam air yang akan
ditebari ikan. Tapi Gendon merasakan sesuatu yang aneh,
mana mungkin memelihara ikan harus menggali sedemikian
dalam ? (Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 38)
Setiap kali pulang up grading, selalu tambah watak kerasnya.
Juga semakin sering mengumpulkan orang-orang samopai larut
malam. Bahkan Poncodriyo mulai melatih pemuda-pemuda
dengan ketrampilan beladiri, perang-perangan, dan berbaris.
Setiap pagi di depan rumah tinggalnya, dekat balai desa,
banyak anak muda berltih di sana sambil nyanyi mars.
(Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 27)
-kawan harus waspada, jangan lengah, sebab revolusi
ini hampir selesai, hampir mencapai puncak. Jangan sampai kita
(Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 136)
(c) Setting Sosial

Latar sosial menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan

kehidupan sosial masyarakat yang terdapat pada suatu tempat yang

diceritakan dalam cerita fiksi. Tata kehidupan sosial masyarakat

meliputi beberapa masalah dalam lingkup yang amat kompleks. Dapat

berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan

hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain sebagainya. Disamping itu,

latar sosial juga berhubungan dengan status tokoh yang bersangkutan.

Kehidupan sosial kemasyarakatan untuk warga desa

Sumberwungu terlihat rukun. Warga Sumberwungu sangat peduli

terhadap penderitaan s e sa m a w a rg a . Bentuk kepedulian


c o m m i t t o u s er

itu ada yang


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

berupa harta, pikiran, tindakan. Bentuk kepedulian warga

Sumberwungu terhadap keluarga yang mendapat musibah, seolah-olah

juga ikut merasakan penderitaan ini. Sikap warga desa Sumberwungu

dapat diperhatikan kutipan berikut ini:

Meski diliputi rasa was-was, malam itu sejumlah tetangga


dan beberapa sanak saudara berkunjung ke rumah Karto.
Mereka menemani Tumi. Nyai Estu juga berencana nginep
di rumah Tumi. Mungkin inilah pengalaman Nyai Estu
nginep di rumah orang lain. (Purwadmadi Admadipurwa,
2007: 192)
Mereka berada dirumah Karto secara suka rela untuk
memberi penguatan moril bagi Tumi agar tabah dalam
menghhadapi cobaan. Akan halnya Nyai Estu sampai
bersedia nginep di rumah Tumi adalah sebuah keluar
biasaan. Tetangga Tumi pun merasa turut dihormati oleh
Nyai Estu. Mereka bangga kepada Tumi yang mampu
menarik hati perempuan yang sangat berwibawa itu.
(Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 192)

Dngan demikian dapat disimpulkan keadaan sosial desa

Sumberwungu untuk kalangan wong cilik kehidupan warganya yang

saling rukun, suka menolong dalam mengatsai kesulitan dengan tanpa

pamrih. Untuk para penguasa yang dilakukan kalangan Priyayi terjadi

pergolakan perebutan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara.

Yang berakhir sapa salah seleh, sapa nggawe bakal nganggo.

commit to
user
5) Poin of View

Point of View atau sudut pandang cerita adalah cara pandang

pengarang yang digunakan untuk menyajikan tokoh, perwatakan, latar dan

berbagai rangkaian peristiwa suatu cerita dalam karya fiksi. Sudut pandang

digunakan pengarang untuk menyam


Sudut pandang yang digunakan pad

dalam novel disebut nama dan variasi kata ganti ia. Sudut pandang yang paling menonjol dalam
Tumi tumbuh menjadi gadis remaja yang baik. Ia biasa bekerja di ladang. Ia biasa menyiapkan m
Di halaman ada taman kecil dengan bunga bakung dan ceplok

piring. Kalau musim penghujan tumbuh juga kembang kertas


dan bunga matahari. Di pembatasan pekarangannya, tumbuh
berbagai tanamanyang dijadikan sumberpendapatan
Kartosemedi. Pekarangan menjadi tampak teduh, rimbun dan
terjaga kesejukannya.
Tumi tumbuh menjadi gadis yang mengerti kebutuhan dirinya.
Kebutuhan rumah tangga dan kebutuhan menyiapkan masa
depan. (Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 14)

Purwadmadi Admadipurwa dalam menggunakan sudut pandang


mengetahui persis perasaan tokoh satu dengan tokoh lainnya.

2. Intertekstual Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari dan

Novel Sinden Karya Purwadmadi Admadipurwa.

Hubungan intertekstual akan difokuskan dari persamaan dan perbedaan

unsur-unsur struktur pembangun novel.

a. Persamaan Struktur Novel

1) Tema

Tema pada kedua novel mengenai sosial budaya kehidupan wong

cilik sebagai penari ronggeng pada novel Ronggeng Dukuh Paruk.

Sedangkan untuk novel Sinden menghadirkan tema sosial budaya

kehidupan wong cilik sebagai sinden.

2) Penokohan

Tokoh yang ditampilkan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk

dan Sinden ada persamaan bila ditinjau dari perwatakan. Hal ini bisa

dilihat dari tokoh utama wanita dalam kedua novel tersebut. Srintil

tokoh utama dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk memiliki kemiripan

dengan tokoh utama Tumi pada novel Sinden.

Tokoh utama novel Ronggeng Dukuh Paruk, Srintil adalah

seorang wanita yang cantik penuh pesona. Di usia belia Srintil

perempuan yang taat baik kepada adat, orangtua, serta berkepribadian

kuat pantang menyerah dalam menentukan pilihan hidup. Begitu juga


Tumi tokoh novel Sinden pada usia muda cantik mempesona, taat

kepada perintah orang tua dan guru, mandiri, berkepribadian kuat,

prinsip hidupnya kuat dalam mencapai tujuan yang diinginkan untuk

menjadi sinden sejati.

3) Setting Waktu

Cerita novel Ronggeng Dukuh Paruk berdasarkan cerita terjadi

antara tahun 1957 sampai berakhir tahun 1971. Dikisahkan dalam novel

pada tahun 1946 terjadi kefakuman ronggeng di dukuh Paruk, waktu itu

Srintil belum lahir. Dukuh Faruk terjadi malapetaka tempe bongkrek.

Setelah 11 tahun Srintil menjadi ronggeng. Pada usia 11 tahun inilah

cerita ini dimulai. Sedangkan berakhirnya sekitar tahun 1971 yaitu

ketika Rasus telah kembali berkunjung ke dukuh Paruk setelah ia

bertugas. Berlibur ke Dukuh Paruk mendapatkan Srintil sakit ingatan.

Rasus bertindak untuk melindunginya Srintil dimasukan ke rumah sakit

jiwa.

Untuk novel Sinden mengenai waktu tidak dapat ditunjukan

dengan pasti karena wujudnya hanya tersirat. Namun dapat ditangkap

berdasarkan keadaan yang diterangkan dalam cerita terjadinya sekitar

tahun 1960-an dan diakhiri setelah meletusnya gerakan PKI 1965

dikisahkan dalam cerita rakyat Sumberwungu mengalami zaman

pegaber, musim kemarau panjang bahan makan susah, berburu tikus

kemudian dagingnya dimakan, adanya slogan sama rata sama rasa,

adanya penangkapan pemuka partai terlarang dan pencidukan warga


yang terdaftar pada anggota partai terlarang. Kemudian diadakan

pemberhentian aparat desa dan diganti dengan yang baru.

4) Alur atau Plot

Alur atau plot adalah rangkaian peristiwa-peristiwa yang saling

terkait dan dihubungkan secara sebab-akibat yang terlukis dalam cerita

karya sastra. Berdasarkan urutan peristiwa yang terlukis dalam alur

novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Sinden menggunakan alur

maju. Dalam artian jalinan cerita tersusun secara urut melalui peristiwa-

peristiwa yang terjadi dapat dipahami secara lengkap mulai awal

sampai akhir cerita.

Rangkaian kejadian yang tersusun dan membentuk satu

kesatuan yang utuh. Rangkaian unsur-unsur itu pada prinsipnya alur

cerita terdiri dari tiga bagian, yaitu : (1) alur awal, terdiri dari paparan

(eksposisi), rangsangan (inciting moment), dan penggawatan (rising

action); (2) alur tengah, terdiri atas pertikaian (conflict), perumitan

(complication), dan klimaks atau puncak penggawatan (climax); (3) alur

akhir, terdiri dari peleraian (falling action), dan penyelesaian

(denouement).

5) Poin of View

Point of View atau sudut pandang cerita adalah cara pandang

pengarang yang digunakan untuk menyajikan tokoh, perwatakan, latar

dan berbagai rangkaian peristiwa suatu cerita dalam karya fiksi. Sudut
pandang digunakan pengarang untuk menyampaikan strategi, teknik,

siasat untuk menyampaikan gagasan cerita.

Sudut pandang yang digunakan pada alur novel Ronggeng

Dukuh Paruk dan novel Sinden

luar cerita. Pengarang menampilkan tokoh dalam novel disebutkan

nama dan variasi kata ganti.

b. Perbedaan Struktur Novel

Penokohan, tokoh utama Srintil pada novel Ronggeng Dukuh Paruk

untuk menjadi seorang ronggeng merupakan panggilan, tetapi Tumi tokoh

utama pada novel Sinden untuk menjadi seorang sinden merupakan cita-cita.

Setting tempat kedua novel mempunyai perbedaan. Latar tempat

pada novel Sinden menggunakan latar desa yang agak maju (dibawah

pimpinan Priyayi) sebagai latar primer yaitu desa Sumberwungu, sedangkan

novel Ronggeng Dukuh Paruk menggunakan latar pedukuhan terpencil,

miskin, dan terbelakang yaitu Dukuh Paruk.

Setting Sosial novel Ronggeng Dukuh Paruk menghadirkan sosial

kemasyarkatan masyarakat pedesaan dengan penuh keluguan dan

kesederhanaan, sedangkan segi sosial novel Sinden menghadirkan latar

suasana masyarakat campuran antara wong desa dan priyayi yang penuh

keangkuhan.

Dari beberapa paparan terkait dengan tema, penokohan, setting tempat,

waktu dan sosial bahwa novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari
dan novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa, maka dapat diketahui

bahwa terdapat intertskstual dalam unsur pembangun cerita.

Persamaan dan perbedaan yang ditemukan dalam kedua novel tersebut

menunjukan adanya hipogram untuk novel Ronggeng Dukuh Paruk karya

Ahmad Tohari, sedangkan novel Sinden sebagai bentuk transformasinya.

Novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Sinden menampilkan struktur yang

berupa kesejajaran, penyempitan dan pertentangan atau perbedaan.

Kesejajaran bahwa kedua novel sama-sama mengangkat tema sosial

budaya daerah tertentu dan mengambil latar belakang waktu pengisahan yang

sama sekitar tahun 1960-an dimana pada saat itu baru gencar-gencarnya isu

G30S/PKI dan seni tradisional dijadikan peralatan dalam propaganda suatu

politik, penyempitan terjadi dalam novel Sinden terjadi mempersempit tema

dengan menyajikan permasalahan-permasalahan yang agak sederhana bila

dibandingkan dengan novel Ronggeng Dukuh Paruk, sedangkan bentuk

pertentangan atau perbedaannya terdapat dalam penokohan atau perwatakan

dalam novel RDP guru sebagai pendidiknya (dukun ronggeng) tidak

menanamkan etika kebaikan, sedangkan dalam novel Sinden ditampilkan

sosok guru sinden yang pantas untuk diteladani dengan menanamkan

tatakrama yang baik.

Bukti lain adalah tahun terbit novel. Novel Ronggeng Dukuh Paruk

terbit pertama kali tahun 1981, untuk novel Sinden terbit pertama kali tahun

2005. Dalam kajian intertekstual tahun terbit ini dapat digunakan bukti bahwa

sebuah karya sastra yang terlahir lebih dulu dapat menjadi inspirasi karya
sastra berikutnya. Inspirasi terjadi dapat dijelaskan secara inplisit bahwa

karya novel Sinden ada kemiripan, kemiripan kisah tersebut sebagai bukti

adanya faktor pengarang terinspirasi oleh tek terdahulu.

3. Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Novel

Sinden

Nilai pendidikan dalam sastra adalah suatu ukuran mengenai sifat-sifat

yang berguna dalam kehidupan manusia. Nilai-nilai di dalamnya tidak hanya

terbatas pada soal kebajikan dan moral saja, tetapi terdapat nilai lain yang

terdapat pada karya sastra.

a. Nilai Pendidikan dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk

1) Nilai Pendidikan Religius

Kehadiran nilai religius dalam karya sastra adalah suatu keberadaan

sastra itu sendiri. Bahkan sastra itu tumbuh dari sesuatu yang bersifat

religius. Pada awal mulanya segala sastra adalah religius (Burhan

Nurgiyantoro, 1998: 326). Lebih lanjut Burhan Nurgiyantoro menjelaskan

bahwa agama lebih menunjukkan pada kelembagaan kebaktian kepada

Tuhan dengan hukum-hukum yang resmi religiusitas dengan fihak lain.

Nilai religius dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk penulis

fokuskan pada hubungan manusia dengan Tuhan. Religiusitas yang

membicarakan hubungan manusia dengan Tuhan. Pada dasarnya

beranggapan bahwa manusia sebagai makhluk ciptaan, pastilah sangat erat

kaitannya dengan penciptaNya. Wujud dari hubungan tersebut dapat


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

berupa doa-doa ataupun upacara-upacara adat. Do a dan upacara tersebut

dipanjatkan merupakan wujud suatu kesadaran bahwa semua yang ada di

muka bumi ini ada yang menciptakannya.

Untuk menjadi ronggeng harus melakukan upacara tradisi

ronggeng. Salah satunya adalah upacara pemandian di depan cungkup Ki

Secamenggala, leluhur mereka. Tindakan ini untuk memohon do a atau

diberkahi untuk menjadi ronggeng, bentuk ritual ini sebenarnya sama

dengan yang diminta oleh mereka yang sudah mengenal Tuhan. Upacara

ritual kepercayaan dapat diperhatikan dalam kutipan berikut ini:

Sudah dua bulan Srintil menjadi ronggeng. Namun adat Dukuh


Paruk mengatakan masih ada dua tahapan yang harus dilaluinya
sebelum Srintil berhak menyebut dirinya seorang ronggeng yang
sebenarnya. Salah satu diantaranya adalah upacara pemandian
yang secara turun temurun dilakukan di depan cungkup makam
Ki Secamenggala. (Ahmad Tohari, 2003: 43)

Bentuk ritual yang dilakukan Srintil melalui dukun ronggeng untuk

Paruk tergolong abangan permintaan tersebut dilakukan melalui

leluhurnya.

Hal yang sama dilakukan ketika kesenian ronggeng akan

berpentas di Kecamatan Dawuan dalam upacara Agustusan. Sakarya

sebagai kamitua Dukuh Paruk juga melakukan ritual minta

leluhurnya Ki Secame n g ga la . O r an g -orang Dukuh Paruk


c o m m i t t o u se r
tidak ingin
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

pentas ronggeng dilaksanakan dengan meninggalkan adat atau tradisi.

Hal ini tergambar dalam kutipan berikut ini:

-jangan kita melakukan kesalahan. Pentas kita kali ini


dilakukan menyimpang adat. Sampean mendengar ucapan-

-syarat
lainnya. Wah, hatiku sungguh tidak enak. Bisa terjadi apa-apa

membujuk Srintil agar mau kembali menari. Nah, sekarang Srintil sudah mau, tetapi mereka kelihatan tidak menghar
(Ahmad Tohari, 2003: 188)

Ritual yang dilakukan Sakarya disaat akan pentas ronggeng

merupakan bentuk ritual yang berhubungan dengan arwah Ki

Secamenggala. Entah secara kebetulan atau apa, pentas yang tidak

diawali dengan ritual membakar dupa itu ada sedikit kendala. Srintil tiba-

tiba pingsan di tengah-tengah pementasan.

Upacara-upacara yang dilakukan di Dukuh Paruk sebagai

implementasi kepercayaan dan ketaatan mereka terhadap leluhurnya.

Yang mereka minta adalah keselamatan, kebaikan, dan keselarasan

hidup. Ketika terjadi malapetaka di Dukuh Paruk mereka mengadu pada

Ki Secamenggala buka n y a ng l a in . M enurut mereka


c o m m it t o u s er

semua kejadian di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Dukuh Paruk semua adalah kehendak Ki Secamenggala. Bentuk

kepercayaan di Dukuh Paruk itu dapat dicermati pada kutipan berikut

ini:

Legenda khas Dukuh Paruk misalnya kisah nenek tentang


fenomena di pekuburan Dukuh Paruk malam hari ketika terjadi
bencana itu. Nenek mengatakan banya obor terlihat di atas
kerimbunan pohon beringin di atas makam Ki Secamenggala.
Dari pekuburan itu terdengar suara tangis bersahutan. Nenek
juga mengatakan bayangan Ki Secamenggala keluar,
mendatangi setiap mayat yang malam itu belum satu pun sempat
dikubur.
Bahkan Sakarya mendengar Ki Secamenggala mengatakan
kematian delapan belas warga Dukuh Paruk adalah
kehendaknya. Selama hidupnya menjadi bromocorah, Ki
Secamenggala berutang nyawa sebanyak itu, maka nyawa
keturunannya dipakai sebagai tebusan. (Ahmad Tohari, 2003: 32-
33)

Di Dawuhan Rasus, meninggalkan kepercayaan yang dianut

oleh orang-orang Dukuh Paruk. Religiusitas Rasus selalu dikaitkan

dengan Tuhan. Rasus sudah mengenal dan melaksanakan ibadah

sembahyang. Bagi Rasus semua kejadian di dunia ini erat hubungannya

dengan Tuhan. Perubahan sikap religius yang dilakukan Rasus dapat

diperhatikan pada kutipan berikut ini:

Rasus tersenyum melihat ulah Nyai Kartareja berjalan cerpat


dan girang seperti anak kecil. Handuk disampirkannya pada
pelepah pisang di halaman. Baju dan celananya diganti, dan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

menyisir rambut. Sebuah kain sarung digelar di atas tanah dekat


lincak. Rasus bersembahyang. (Ahmad Tohari, 2003: 351)
Aku bersembahyang. Aku berdoa untuk Dukuh Paruk agar dia
sadar dan bangkit dari kebodohannya. Dengan air mata
berjatuhan aku memohon kepada Tuhan kiranya Srintil
mendapat kesempatan kembali untuk memanusia dan
memakhluk. (Ahmad Tohari, 2003: 398)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam novel

Ronggeng Dukuh Paruk kaya Ahmad Tohari terdapat nilai-nilai

religius. Bentuk religius tersebut berupa keyakinan dan kepercayaan

terhadap leluhurnya, Ki Secamenggala. Berbeda dengan Rasus yang

telah mengenal dunia selain Dukuh Paruk. Rasus sudah mengenal

agama sehingga bentuk religious dilakukan dengan menjalankan

ibadah sholat sesuai agama yang dianutnya.

2) Nilai Pendidikan Budaya

Koentjaraningrat (1985: 18) mengemukakan bahwa sistem nilai

budaya terdiri atas konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran

sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka

anggap amat bernilai dalam hidup. Suatu sistem nilai budaya biasanya

berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Nilai-

nilai budaya yang terkandung di dalam cerita dapat diketahui melalui

penelaahan terhadap karakteristik dan perilaku tokoh-tokoh dalam

cerita.

Menurut Tylor, kebudayaan adalah keseluruhan aktivitas

manusia, termasuk pe n g e ta h u a n, k e percayaan, seni,


c o m m i t t o us e r

moral, hokum,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

adat-istiadat dan kebiasaan-kebiasaan lain dalam ( Nyoman Kutha

Ratna: 5).

Bentuk budaya Jawa yang dapat digunakan untuk menganalisis

novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Novel Sinden yakni adat kebiasaan

yang berlaku di kalangan rakyat klas bawah. Rakyat klas bawah dalam

novel Ronggeng Dukuh Paruk yaitu yang dilakukan warga Dukuh

Paruk, sedangkan klas atas para priyayi di Dawuan. Sedangkan dalam

Novel Sinden yang tergolong rakyat klas bawah adalah sebagian warga

desa Dawuan dan untuk golongan klas atas para priyayi desa Dawuan.

Nilai pendidikan budaya novel Ronggeng Dukuh Paruk penulis

fokuskan pada analisis budaya rakyat klas bawah diantaranya ` sebagai

berikut:

(a) Ngleluri tradisi (Melestarikan Tradisi)

Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk tokoh golongan klas

bawah (wong cilik) mendominasi cerita. Srintil sebagai golongan

rakyat bawah menjadi seorang ronggeng merupakan anugerah karena

mendapat kepercayaan dari para leluhurnya dengan mendapat indang

ronggeng. Merupakan keberhasilan hidup yang harus disyukuri.

Untuk menjadi seorang ronggeng yang terkenal harus

melakukan tradisi yang berlaku di wilayah tersebut yaitu Dukuh

Paruk. Maka Srintil segera diserahkan oleh Kertareja dan istrinya

demi mendapatkan ilmu tentang ronggeng. Srintil harus menjalani

semua tradisi yang ditetapkan dukun ronggeng tersebut agar

commit to
user
keinginan menjadi seorang ronggeng menjadi kenyataan. Bentuk

tradisi tersebut memperoleh ilmu pekasihan, hal itu dapat dipahami

dalam kutipan berikut ini:

Satu hal disembunyikan oleh Nyai Kartareja terhadap siapa


pun. Itu, ketika ia meniupkan mantra pekasih ke ubun-ubun
Srintil. Mantra yang di Dukuh Paruk dipercaya akan
membuat siapa saja tampak lebih cantik dari sebenarnya;
uluk-uluk perkutut manggung
teka saka ngendi,
teka saka tanah sabrang
pakanmu apa
pakanku madu tawon
manis madu wawon,
ora manis kaya putuku, Srintil.
Beberapa susuk emas dipasang oleh Nyai Sakarya di tubuh
Srintil. (Ahmad Tohari, 2003: 18-19)

Selain itu, untuk menjadi ronggeng sejati Srintil juga harus

mau mengikuti tradisi yang berlaku. Ada dua tahapan yang harus

dilalui seorang ronggeng yaitu upacara pemandian di depan pusara

Ki Secamenggala dan upacara bukak klambu. Sebuah upacara tradisi

yang ironis untuk seorang ronggeng. Sebuah tradisi yang dilakukan

oleh Srintil dapat dicermati dalam kutipan berikut ini:

Mantra-mantra dibacakan oleh Nyai Kertareja, ditiupkan ke


ubun-ubun Srintil. Kemudian tubuh perawan itu mulai
diguyur air kembang, gayung demi gayung. Sementara itu
orang-orang Dukuh Paruk lainnya hanya menonton. Srintil
menjadi pusat perhatian. Rombongan penabuh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

mempersiapkan diri. Mereka menata perkakas masing-


masing, duduk bersila di atas tanah. (Ahmad Tohari, 2003:
46) Dari orang-orang Dukuh Paruk aku tahu syarat terakhir
yang harus dipenuhi oleh Srintil bernama bukak klambu.
Berdiri bulu kudukku setelah mengetahui macam apa
persyaratan itu. Bukak klambu adalah semacam sayembara,
terbuka bagi laki-laki mana pun. Yang disayembarakan
adalah keperawanan calon ronggeng. Laki-laki yang dapat
menyerahkan sejumlah uang yang ditentukan oleh dukun
ronggeng, berhak menikmati virginitas itu. (Ahmad Tohari,
2003: 51)

Dapat disimpulkan bahwa betapa berat tradisi yang berlaku di

suatu tempat tetap dijunjung tinggi oleh warganya demi keberhasilan

dari yang diinginkan. Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. tradisi

yang dilakukan merupakan bagian dari nilai-nilai sosial budaya yang

sering dilakukan golongan klas bawah untuk mendapatkan

kemuliaan hidup.

(b) Sapa Temen Bakal Tinemu (Rajin Bekerja)

Setelah melarikan diri ke Dukuh Paruk Rasus menemukan

harapan baru dalam kehidupannya setelah dikecewakan Dukuh

Paruk. Menurut Rasus Dukuh Paruk telah merenggut Srintil dari

hatinya. Untuk mewujudkan harapan tersebut Rasus rela

meninggalkan Dukuh Paruk dan tinggal di Pasar Dawuan.

Rasus mengawali kegiatan di pengasingannya dengan

menjadi kuli pasar Dawuan. Rasus menyadari sebagai wong cilik dan

tidak mempunyai k e m a m pu an a p apun kecuali


c o m m it to us e r

tenaga dan tekat


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

pekerjaan yang diterima dilakukan dengan sepenuh hati (temen),

sapa temen bakal

. Rasus selalu temen atau rajin bekerja dengan penuh

keiklasan. Kelak pasar Dawuan menjadi saksi perubahan hidup

Rasus. Perjuangan Rasus di tempat pelariannya dapat dicermati

pada kutipan berikut ini:

Perkenalanku dengan pedagang singkong di pasar


memungkinkan aku mendapat upah. Di Dukuh Paruk setiap
anak berkenalan dengan singkong sejak lahir. Maka
pedagang itu terkesan betapa cepat aku mengupasi barang
dagangannya. Selain mendapat upah buat makan sehari-hari,
aku menemukan sebuah tempat yang teduh untuk menggelar
karung-karung. Itulah tempat tidur yang kupakai selama
berbulan-bulan. (Ahmad Tohari, 2003: 80-81)

Pada suatu sore di Pasar Dawuan kedatangan sekelompok

tentara. Kedatangan tentara itu bertugas untuk mengamankan daerah

Dawuan dan sekitarnya dari perampokan yang kian merajalela.

Berkat temen dan ketabahan, takdir rupanya telah memilih Rasus

untuk menuju ke garis kehidupan yang lebih baik. Seorang tentara

bernama Sersan Slamet meminta Rasus untuk membantu

menurunkan peti-peti yang berada dalam sebuah truk.

Kelak akan terbukti nasib mengubah kehidupanku secara


ajaib. Dimulai pada sore di depan pasar Dawuan. Pasar begitu
sepi. Apalagi perampokan makin hari makin sering terjadi.
Sebuah truk penuh tentara berhenti. Kira-kira dua puluh
orang tentara turun, masing-masing dengan topi baja dan
commit to
user
bedil. Banyak anak menyingkir melihat kedatangan para
tentara itu. Mereka terutama takut kepada bedil.
Aku sendiri berdiri dan memandang dari jauh di depan
gerbang pasar. Ketika seorang tentara, yang kemudian
kukenal sebagai Sersan Slamet, mencari seseorang untuk
membantu menurunkan peti-peti serta barang-barang lainnya.
Dia tidak melihat seorang pun kecuali aku. Jadi lambaian
tangannya kemudian diarahkannya kepadaku. (Ahmad
Tohari, 2003: 91)

Rasus telah menjadi tentara, berkat ketekunannya sehingga

membuat warga Paruk menaruh harapan pada diri Rasus. Perubahan

yang terjadi sudah merubah nilai sosial pada diri Rasus. Rasus sudah

memiliki kedudukan dan jabatan akan merubah cara berpikir,

bertindak untuk Dukuh Paruk.

Rasus baru kali pertama berkenalan dengan tentara, maka

dalam hatinya ada rasa takut ketika dan gemetar menerima panggilan

seorang tentara. Tapi ketika Sersan Slamet mengulangi dengan

lambaian tangannya, Rasus mendekat dan menerima tawaran kerja

dari Sersan Slamet. Rajin bekerja adalah salah satu sikap yang

dimiliki Rasus. Rasus tidak berusaha menunjukkan pada Sersan

Slamet, tapi Sersan Slamet melihat ketangkasan Rasus dalam

bekerja.

Pekerjaan kumulai. Peti-peti logam serta barang-barng berat


lainnya kuangkat di atas pundak dan kubawa ke sebuah
rumah batu yang ternyata telah dipersiapkan sebagai markas
tentara. Dari rasa takut lambat laun berubah menjadi rasa
bangga. Seorang Dukuh Paruk bekerja dalam kelompok
tentara. Meski pakaianku tidak seragam dengan mereka,
tetapi aku berjalan beriring dengan mereka. Bahkan aku
sudah berbicara dengan pemimpin mereka, Sersan Slamet.
Aku telah berkenalan dengan seorang tentara.
Karena merasa bangga bekerja dengan sekelompok tentara,
maka aku mampu mengeluarkan tenaga lebih dari biasanya.
Bila mereka mengangkat peti itu satu-satu, aku
mengangkatknya sekaligus dua buah di pundakku. Dalam
waktu sekian menit mereka hanya bisa membawa sebuah
barang dari truk ke markas. Tetapi dalam waktu yang sama
aku telah dua kali hilir-mudik. Rupanya Sersan Slamet
mencatat hal ini. (Ahmad Tohari, 2003: 91-92)

Sersan Slamet sangat terpesona dengan cara kerja Rasus

begitu rajin. Rasus kemudian ditawari untuk menjadi tobang di

kesatuan tentara yang dipimpin Sersan Slamet. Tugas tobang adalah

melayani segala keperluan tentara di sebuah markas. Bagi seorang

Rasus, yang tidak pernah mengenal baca tulis menjadi seorang

tobang adalah kebanggaan dan kehormatan yang tak terhingga.

Dengan penuh kesadaran Rasus sebagai wong cilik selalu

temen dalam menerima tugas dari majikan dilakukan dengan baik

penuh kejujuran, mengantarkan dirinya memiliki kedudukan yang

lebih baik yaitu sebagai tentara sehingga dapat mengabdikan diri

untuk tanah airnya.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sifat temen

bakal tinemu dari apa yang akan dicita-citakan, serta dengan


kejujuran akan membawa keberkahan bagi dirinya sendiri. Dalam

novel Ronggeng Dukuh Paruk, temen merupakan bagian dari nilai-

nilai sosial budaya yang harus dilakukan wong cilik maupun

golongan klas atas untuk mencapai kesuksesan dalam hidup.

(c) Eling lan waspada (Selalu Hati-hati)

Sakarya merupakan orang yang bijaksana dan penuh kehati-

hatian. Ketika orang-orang Dukuh Paruk larut dalam hiruk-pikuk

perayaan tujuh belasan, Sakarya tidak ikut-ikutan. Sakarya tetap

penuh kehati-hatian. Ia mempunyai filsafat yang sederhana yaitu eling

lan waspada. karena segala sesuatu selalu berpasang-pasangan. Ada

kegembiraan pastilah ada kesusahan.

Sakarya mampu menahan rasa kegembiraannya, walaupun

malam peringatan tujuh belasan itu adalah malam kembalinya Srintil

untuk meronggeng. Sakarya menekankan pada persiapan kejiwaan

dengan memasang sesaji di makam Ki Secamenggala, terjaga di

malam hari, dan mengurangi makan-minum. Sikap Sakarya yang

penuh kehati-hatian dapat diperhatikan dalam kutipan berikut ini:

Boleh jadi hanya Sakarya yang tidak sepenuhnya larut dalam


kegembiraan. Sikapnya yang hati-hati berasal dari filsafatnya
yang sederhana. Bahwa segala sesuatu berpasang-pasangan
adanya, tak terkecuali sesuatu yang bernama kegembiraan.
Pasangannya pastilah kesusahan. Sepanjang lintasan hidupnya
yang panjang, Sakarya sering menemukan kenyataan bahwa
segala sesuatu tak pernah berpisah jauh dari pasangannya. Orang
selalu memilih pihak yang menguntungkan dan menjauhi pihak
yang merugikan. Antara keduanya harus tetap terjaga jarak. Dan
dalam pikiran Sakarya menjaga jarak itu berarti harus selalu
bersikap hati-hati, eling. Kadang juga diartikannya sebagai
keseimbangan dan tidak berlebih-lebihan (Ahmad Tohari, 2003:
180).

3) Nilai Pendidikan Sosial

Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh masyarakat tertentu,

mengenai segala perbuatan yang dianggap baik, ataupun buruk. Karya

sastra tercipta selalu melibatkan sistem sosial yang terjadi di suatu

wilayah tertentu. Tata nilai sosial tentu akan mengungkapkan sesuatu

hal yang dapat direnungkan dalam karya sastra dengan ekspresinya.

Pada akhirnya dapat dijadikan cermin atau sikap para pembacanya

(Suyitno, 1986: 31).

(a) Kerukunan

Warga Paruk yang hidup di dukuh kecil dan masih berasal

dari satu keturunan memiliki rasa kerukunan yang kuat. Hal ini

dapat diperhatikan pada kutipan di berikut ini:

Srintil.
Rasus tersenyum. Baginya, memenuhi permintaan Srintil
selalu menyenangkan. Maka ia berbalik, menoleh kiri
kanan mencari pohon bacang. Setelah di dapat, Rasus
memanjat. Cepat seperti seekor monyet. Dipetiknya
beberapa lembar daun bacang yang lebar. Piker Rasus
dengan daun itu mahkota di kepala Srintil akan bertambah
manis. (Ahmad Tohari, 2003: 12-13).

Pada waktu Srintil berlatih meronggeng di rumah Kartareja

banyak warga yang tertarik kepada Srintil. Rasa ketertarikan itu

menunjukansuatudukunganparaperempuanyang menyaksikannya. Pernyataan tersebut dapa


berikut ini:

ya. Aku akan

kalian dengar. Srintil bukan milik orang per orang. Bukan


hanya kalian yang ingin memanjakan Srintil. Sehabis pertunjukan nanti aku mau m

(Ahmad Tohari, 2003: 20).

4) Nilai Pendidikan Moral

Joko Widagdo (2001: 30) mengemukakan moral diartikan

sebagai norma, dan konsep kehidupan yang dijunjung tinggi oleh

masyarakat. Nilai-nilai pendidikan tersebut dapat mengubah perbuatan,

perilaku, dan sikap. Kewajiban moral dalam masyarakat yang baik

seperti budi pekerti, akhlak, dan etika.


Sikap budi luhur merupakan sebuah sikap yang dilakukan

manusia dalam menjalankan kehidupannya yang dilandasi sikap mulia

seperti: kasih sayang, balas budi, adil, tidak membeda-bedakan, suka

menolong.

(a) Balas Budi


Srintil perempuan penari ronggeng yang memiliki rasa

balas budi. Kecantikan dan kemampuan dalam meronggeng tidak

semata digunakan untuk mencari uang seperti kebanyakan penari

ronggeng. Tetapi keluhuran budi Srintil dapat diperhatikan dalam

kutipan berikut ini:

Bersama kabut tipis yang mulai lenyap oleh cahaya


matahari. Srintil berjalan menuruni bukit, meninggalkan
Alaswangkal. Di belakangnya berjalan Mertanakim yang
disuruh majikannya mangawal Srintil sampai ke Dukuh
Paruk. Sebuah sapu tangan di dalam genggaman Srintil
penuh uang. Tetapi hanya Srintil pribadi yang tahu bahwa
uang yang banyak itu tidak bias mengusir rasa perih dalam
hatinya. Perih karena sesungguhnya Srintil pulang dengan
membawa kegagalan yang tidak kepalang. Waras tidak
mungkin dilupakannya sepanjang m asa; simpati bagi
seorang manusia dalam kemalangan abadi. (Ahmad Tohari,
2003: 224-225).

Kutipan di atas menunjukan keluhuran sifat Srintil karena

sudah mendapatkan imbalan, namun tidak dapat menjalankan

tugasnya. Beban hati Srintil juga merasa tidak tega melihat

penderitaan yang diterima oleh Waras.


(b) Budi Luhur
Rasus memiliki sifat budi luhur, sikap tersebut diberikan

kepada Srintil perempuan yang telah mengecewakan hatinya,

hingga membuat Rasus pergi dari Dukuh Paruk menuju Dawuan.

Sifat budi luhur tercermin bahwa Rasus tidak memiliki rasa

dendam terhadap Srintil. Ketika Srintil mengalami gangguan

kejiwaannya dengan iklas Rasus menolong membawanya ke rumah

sakit jiwa. Hal itu dapat diperhatikan dalam kutipan di bawah ini:

Pagi-pagi sesaat matahari terbit aku sudah berpakaian rapi.


Baju lengan panjang serta celana abu-abu. Yang masih
menandakanaku tentara adalah potongan rambut serta
sepatuku. Pintu rumah Kartareja aku ketuk. Istrinya kuminta
memandikan Srintil dan memberinya pakaian yang pantas. Aku
akan membawanya ke rumah sakit tentarakarena aku tahu di
sana ada bagian perawatan penyakit kejiwaan. Oh, aku
menyaksikan sekali lagi Srintil yang sudah kehilanganm
kemanusiaannya. (Ahmad Tohari, 2003: 398-399).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sikap balas


budi dan budi luhur dapat dijumpai dalam novel Ronggeng Dukuh
Paruk. Sikap tersebut merupakan bentuk tindakan manusia dalam
menjalankan hidupnya yang dilandasi sifat mulia tahu balas budi,
suka menolong, dan ikut merasakan penderitaan orang lain.

b. Nilai Pendidikan dalam Novel Sinden

1) Nilai Pendidikan Religius

Kehadiran nilai religius dalam karya sastra adalah suatu keberadaan

sastra itu sendiri. Bahkan sastra itu tumbuh dari sesuatun yang bersifat
religius. Pada awal mulanya segala sastra adalah religious (Burhan

Nurgiyantoro, 1998: 326). Lebih lanjut Burhan Nurgiyantoro menjelaskan

bahwa agama lebih menunjukkan pada kelembagaan kebaktian kepada

Tuhan dengan hokum-hukum yang resmi religiusitas dengan fihak lain.

Ada berbagai macam hubungan manusia yang berkaitan dengan

masalah religiuitas. Hubungan-hubungan tersebut meliputi: hubungan

manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan lingkungan dan

masyarakat, hubungan sesama manusia, dan hubungan manusia dengan

dirinya. Pembahasan mengenai nilai religious dalam novel Sinden penulis

fokuskan pada hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan

manusia.

Religiusitas yang membicarakan hubungan manusia dengan Tuhan

beranggapan bahwa manusia sebagai makhluk ciptaanNya, pastilah sangat

erat kaitannya dengan penciptanya. Wujud dari hubungan itu biasa berupa

doa-doa. Doa tersebut dilakukan oleh manusia karena suatu kesadaran

bahwa semua yang ada di alam raya ini tidak akan luput dari

pengawasanNya.

Penggunaan kekuasaan yang otoriter walau sekuat apapun. Tidak

akan mampu melawan kekuasaan Tuhan. Karena Tuhan tidak pernah tidur

akan selalu welas asih terhadap hambanya yang teraniaya. Melalui rasa

pasrah, narimo dengan menyerahkan semua urusan kepada Tuhan. Dengan

demikian ada kepercayaan kepada Tuhan bahwa orang yang teraniaya akan

mendapat pertolongan, sedangkan orang yang menindas, menganiaya akan


mendapat balasan dari Tuhan. Kepercayaan warga Sumberwungu akan hal

itu dapat diperhatikan kutipan berikut ini:

...tapi memang, kalau menolak keinginan mereka sama halnya akan


menjadi makanan empuk untuk diejek, difitnah dan macam-
macamlah. Tapi Tuhan tidak pernah tidur tetap, welas asih, pasti
tahu. (Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 52)

Rakyat Sumberwungu tidak mampu untuk memahami peristiwa yang

terjadi, banyaknya orang-orang yang ditangkap atau diciduk. Tidak tahu

mana kawan, mana lawan. Tidak tahu juga apa salahnya, rasa was-was itu

menghantui semua warga, namun hanya keprasahan pada Tuhannya.

Keprasahan itu berupa keyakinan yang tertanam dalam hatinya sapa salah

seleh, sapa nggawe ngenggo. Pernyataan itu terlukis dalam kutipan berikut

ini :

Kemana harus mencari dan menuntut? Tak ada yang tahu. Tak ada
yang membela. Semua orang seakan tenggelam dalam rasa bersalah
dan menerima kekalahan. Rakyat Sumberwungu hanya mempunyai
keyakinan. Sapa salah seleh,atau siapapun yang salah akan
mendapatkan hukumannya. Sapa nggawe ngenggo, siapa yang
berbuat akan menuai hasil sesuai dengan perbuatannya. Tidak heran
bila banyak yang permisif dan membiarkan semuanya terjadi tanpa
perlu diusut dan dipermasalahkan. (Purwadmadi Admadipurwa,
2007: 267)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam novel Sinden

karya Purwadmadi Admadipurwa terdapat nilai-nilai religius. Nilai-nilai

tersebut tertanam dalam keyakinan jiwanya akan keadilan Tuhan terhadap


semua perbuatan manusia di muka bumi ini. Keyakinan akan perbuatan

manusia yang tertanam dalam hati Rakyat Sumberwungu adalah pasrah,

sapa salah seleh, sapa nggawe bakal ngenggo.

2) Nilai Pendidikan Budaya

Koentjaraningrat (1985: 18) mengemukakan bahwa system nilai

budaya terdiri atas konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran

sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka

anggap amat bernilai dalam hidup. Suatu system nilai budaya biasanya

berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Nilai-nilai

budaya yang terkandung di dalam cerita dapat diketahui melalui penelaahan

terhadap karakteristik dan perilaku tokoh-tokoh dalam cerita.

Analisis nilai pendidilan budaya dalam novel Sinden penulis

fokuskan pada analisis budaya wong cilik yang meliputi sebagai berikut:

(a) Aja Seneng Raben ( budaya kawincerai)

Dalam novel Sinden tokoh cerita Tumi ditanamkan prinsip kawin

cerai. Prinsip tersebut ditanamkan oeh orang tuanya yaitu Kartosemedi

dan oleh gurunya yaitu Nyai Estu Suminar. Walau kenyataannya Tumi

adalah korban kawin cerai dari orang tuanya. Untuk itu mengingat

peristiwa itu pada Tumi ditanamkan rasa kesetiaan terhadap suami.

Seperti kutipan berikut ini:

Tetapi Kartosemedi teguh dalam pendiriannya. Ia menempuh


segala resiko jika lurah Sumberwungu akan mempersulit
dirinya dikemudian hari kartosemedi menginginkan anak
gadisnya mencapai cita-citanya sebagai sinden sekeligus akan
membrantas tradisi kawin cerai yang dialami banyak pesinden.

pesinden. Kalau kamu kawin, sekali saja. Disamping itu,


bersetialah kamu pada suamimu satu- (Purwadmadi
Admadipurwa, 2007: 17)

en yang dengan mudah kawin cerai, tidak memiliki kesetiaan terhadap pendamping hidupnya. Maka Nyai Estu yang juga korban kawin

gi. Banyak priya yang menginginkanya untuk menjadi istri. Tidak sedikit para jejaka tulen yang melamarnya. Tapi Estu masih menangk
madi Admadipurwa,

2007: 50)
(b) Aja Seneng Royal (Membudayakan penampilan sederhana)

Nyai Estu guru sinden sejati juga menanamkan sekaligus

member contoh kepada muridnya bahwa dalam menyinden sinden

tidak perlu royal, dandan yang terlalu berlebihan cukup sederhana

saja. Perilaku orang yang suka royal pada akhirnya mudah melakukan

tindakan negatif. Tetapi dengan kesederhanaan dapat mewujudkan

keaslian diri akan menarik banyak orang. Contoh tindakan Nyai Estu

tertulis dalam kutipan berikut ini :


Berbeda dengan banyak sinden lainnya, berbedak tebal,
bergincu kemerahan, gelungnya bercunduk mentul, dan
telinganya, leher, lengan, dan jemarinya banyak perhiasan
emas. Kain kebayaknya bukan hanya lurik, melainkan kain
boorklat dengan warna mencorong, merah menyala, hijau
menyala, biru menyaka, bahkan ada yang mengenakan kebaya
merah jambu. Malah ada seorang pesinden yang berkulit hitam
terbakar sinar matahari yang mengwenakan kebayak hijau
pupus dan selendang merah jambu.
Demikian juga dengan Tumi, sinden muda belia terbaik dari
yang ada di Argalaksa saat ini. Ia berdandan amat sederhana
seperti guru sejatinya. Juga tanpa perhiasan sedikitpun.
Tubuhnya kosong melompong dari perhiasan. Bahkan tanpa
bedak dan gincu. Wajah Nyai Estu dan Tumi seakan rembulan
kembar diantara wajah sinden lainnya. (Purwadmadi
Admadipurwa, 2007: 288)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk

mengembalikan citra sinden sejati harus mampu menjadi figur sinden

yang tidak melakukan tindakan yang meremehkan dirinya sendiri,

seperti Seneng Raben (suka kawin cerai), Seneng Royal

(berpenampilan yang berlebihan). Dengan kemampuan olah pikir,olah

rasa,olah cara dan olah batin akan membentuk sinden sejati yang

bermatabat.

3) Nilai Pendidikan Sosial

Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh masyarakat tertentu,

mengenai segala perbuatan yang dianggap baik, ataupun buruk. Karya sastra

tercipta selalu melibatkan sistem sosial yang terjadi di suatu wilayah


tertentu. Tata nilai sosial tentu akan mengungkapkan sesuatu hal yang dapat

direnungkan dalam karya sastra dengan ekspresinya. Pada akhirnya dapat

dijadikan cermin atau sikap para pembacanya (Suyitno, 1986: 31).

(a) Rasa Sosial

Kehidupan sosial kemasyarakatan untuk warga desa

Sumberwungu terlihat rukun. Warga Sumberwungu sangat peduli

terhadap penderitaan sesama warga. Bentuk kepedulian itu ada yang

berupa harta, pikiran, tindakan. Bentuk kepedulian warga

Sumberwungu terhadap keluarga yang mendapat musibah, seolah-olah

juga ikut merasakan penderitaan ini. Sikap warga desa Sumberwungu

dapat diperhatikan kutipan berikut ini:

Meski diliputi rasa was-was, malam itu sejumlah tetangga dan


beberapa sanak saudara berkunjung ke rumah Karto. Mereka
menemani Tumi. Nyai Estu juga berencana nginep di rumah
Tumi. Mungkin inilah pengalaman Nyai Estu nginep di rumah
orang lain. (Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 192)
Mereka berada dirumah Karto secara suka rela untuk memberi
penguatan moril bagi Tumi agar tabah dalam menghhadapi
cobaan. Akan halnya Nyai Estu sampai bersedia nginep di rumah
Tumi adalah sebuah keluar biasaan. Tetangga Tumi pun merasa
turut dihormati oleh Nyai Estu. Mereka bangga kepada Tumi
yang mampu menarik hati perempuan yang sangat berwibawa itu.
(Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 192)

Dngan demikian dapat disimpulkan keadaan sosial desa

Sumberwungu untuk kalangan wong cilik kehidupan warganya yang


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

saling rukun, suka menolong dalam mengatsai kesulitan dengan tanpa

pamrih.

4) Nilai Pendidikan Moral

Nilai pendidikan moral dalam novel Sinden dapat dilihat dari

mi, pencitraan sinden dapat diubah dari citra yang negatif menjadi citra yang positif.
erja di ladang. Ia biasa menyiapkan makan untuk bapaknya. Ia juga mengurus ayam-ayam piaraannya. Ia juga mengurus rumahnya ya
apai cita-

win cerai

kamu harus membangun citra pesinden. Kalau kamu kawin sekali

saja. Disamping itu, bersetialah kepada suamimu satu-satunya

, 2007: 17)

B. Pembahasan Hasil Penelitian

1. Unsur-unsur Struktur Novel Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) dan

Sinden

a) Tema

Tema untuk novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah tentang

kehidupan sosial budaya kehidupan masyarakat lapisan bawah yang

bernama Dukuh Paruk . D u k u h P ar u k suatu pedukuhan


c o m m i t to u s e r

yang terpencil
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dengan keadaan alam yang kurang subur. Kehidupan rakyatnya miskin

dan tidak mengenal pendidikan. Ronggeng merupakan seni budaya

kebanggaan sekaligus citra Dukuh Paruk. Budaya ronggeng tersebut

telah 11 tahun hilang, kehidupan bangkit kembali setelah Srintil cucu

Sakarya tokoh utama dalam novel dianggap mampu mengembalikan

citra Dukuh Paruk melalui seni ronggeng. Dalam novel ini

digambarkan warna kehidupan Dukuh Paruk yang mengagungkan seni

ronggeng dan perjuangan wanita penari ronggeng yang ingin kembali

menjadi wanita baik-baik (wanita somahan).

Novel Sinden kaya Purwadmadi Admadipurwa mengambil

tema kehidupan sosial budaya bagi masyarakat kalangan bawah

bernama desa Sumberwungu. Desa Sumberwungu merupakan desa

miskin dan mendapat perlakuan penindasan penguasa. Desa ini banyak

menghasilkan sinden kondang. Kebiasaan para Sinden yang kurang

baik akan merendahkan martabat sinden itu sendiri. Agar dapat

mewujudkan sinden yang bermartabat ditanamkan prinsip keluhuran

seorang sinden yang memegang tatakrama.

Secara intertekstual novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel

Sinden memiliki persamaan yaitu mengangkat sosial budaya suatu

daerah kalangan rakyat kecil, sedangkan perbedaannya adalah pada

novel Sinden berbentuk lebih spesifik dari novel Ronggeng Dukuh

Paruk. Novel Ronggeng Dukuh Paruk menghadirkan kehidupan sosial

commit to
user
budaya yang melibatkan permasalahan yang lebih luas, untuk novel

Sinden tidak begitu komplek.

b) Alur atau Plot

Berdasarkan urutan peristiwa yang terlukis dalam alur novel

Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Sinden menggunakan alur maju.

Dalam artian jalinan cerita tersusun secara urut melalui peristiwa-

peristiwa yang terjadi dapat dipahami secara lengkap mulai awal

sampai akhir cerita. Namun ada sebagian Penulis menuturkan tragedi

tempe bongkrek itu dengan cara flashback (kilas balik) dalam novel

Ronggeng Dukuh Paruk dan pada novel Sinden, penulis juga

menuturkan pengalaman Nyai Estu Suminar pada waktu berguru

sinden dengan Nyai Larasmadu dengan cara flashback (kilas balik).

Jadi kedua novel tersebut menggunakan alur maju, sehingga rangkaian

kejadian yang tersusun secara urut mulai awal sampai akhir dan

membentuk satu kesatuan yang utuh.

a. Pokok-pokok peristiwa yang terjalin dalam plot novel Ronggeng Dukuh

Paruk adalah sebagai berikut:

1. Gambaran alam dan kehidupan rakyat Paruk (exsposition).

2. Srintil mendapat indang ronggeng.

2. Srintil diserahkan kepada Kartareja seorang dukun ronggeng

(inciting moment)
3. Petaka tempe bongkrek (flash back).

4. Srintil figur emak bagi Rasus.

5. Srintil mendapat hadiah keris dari Rasus sebagai tanda cintanya.

6. Srintil melakukan ritual sebagai syarat menjadi ronggeng.

7. Srintil melakukan ritual bukak klambu (rising actions)

8. Srintil penari ronggeng dari Paruk menjadi terkenal.

9. Rasus mengasingkan diri ke Dawuan .

10. Rasus menjadi tobang membantu mengamankan Dukuh Paruk dari

perampokan

11. Srintil mencintai Rasus. Srintil mengajak Rasus menikah.

12. Srintil menolak untuk meronggeng (conflict).

13. Srinthil tidak mau melayani tamu.

14. Srintil malah mencari Rasus ke Dawuan.

15. Srintil merasa kecewa tidak bertemu Rasus, ia jatuh sakit.

16. Srintil terhibur setelah mendapatkan Goder menjadi anaknya

17. Srintil tidak mau meronggeng dan melayani tamu laki-laki.

18. Srintil diminta untuk meronggeng lagi (complication).

19. Srintil meronggeng dalam kegiatan pentas seni Agustusan.

20. Srintil menjadi gowok di alaswangkal.

21. Srintil bergabung dengan pak Bakar.

22. Ronggeng Paruk digunakan untuk menghibur rapat-rapat partai.

23. Kerusuhan pengikut pak Bakar merusak tanaman padi penduduk.

24. Ronggeng Paruk tidak lagi tampil dalam pentas pada rapat-rapat.
25. Terjadinya pengrusakan makam leluhur Dukuh Paruk.

26. Dukuh Paruk diadudomba dengan kelompok caping hijau.

27. Srintil dan rombongan Ronggeng juga warga Dukuh Paruk

dituduh sebagai pengikut partai terlarang, ditangkap dan

ditahan. Kemudian Dukuh Paruk dibumi hanguskan ( climax)

28. Srintil ditahan untuk beberapa tahun lamanya.

29. Rasus pulang ke Paruk.

30. Rasus mencari Srintil ditahanan.

31. Warga Paruk dikeluarkan dari tahanan, kecuali Srintil

(falling actions)

32. Srintil keluar dari tahanan.

33. Srintil ingin menjadi wanita somahan.

34. Srintil berkenalan dengan Bajus.

35. Srintil diumpankan untuk melayani Blengur, atasan Bajus.

36. Srintil hilang ingatan (denouement)

37. Srintil dibawa ke rumah sakit jiwa oleh Bajus.

Dari rentetan peristiwa di atas dapat dikelompokan ke dalam beberapa

bagian peristiwa sesuai dengan tahapan alur cerita yang terjadi. Tahap

pemaparan atau exsposition terlukis pada bagian peristiwa 1 sampai 2.

Bagian 1 gambaran situasi keadaan alam Dukuh Paruk dan bagian 2

kegiatan anak-anak Paruk di musim kemarau yang dikejutkan Srintil

menyanyi dan menari layaknya penari ronggeng dewasa. Menurut para

sesepuh Srintil kemasukan indang ronggeng Paruk.


Bagian 3, 4, 5, 6, 7 adalah tahap inciting moment atau rangsangan.

Pada bagian ini Srintil mulai diserahkan kepada dukun Ronggeng untuk

dididik menjadi penari ronggeng oleh Kartareja dan istrinya. Kemampuan

Srintil menari ronggeng mengingatkan peristiwa silam petaka tempe

bongkrek yang dialamiorang tua Srintil. Waktu itu Srintil baru umur lima

bulan. Dan nasib itu juga dialami Rasus pemuda yang simpati pada Srintil.

Rasus mencari emaknya vigur emaknya justru tersirat pada Srintil. Sebagai

pelengkap Rasus menyerahkan keris peninggalan orang tuanya untuk

Srintil. Untuk menjadi ronggeng Srintil harus melalui upacara adat mulai

mandi di pusara Ki Secamenggala leluhur Dukuh Paruk.

Bagian 8, 9, 10, 11, 12, adalah tahap rising action atau penggawatan.

Pada tahap ini upacara yang susah diterima akal sehat yaitu upacara bukak

klambu. Dimana upacara ini mengenai penyerahan keperawanan seorang

calon ronggeng dengan syarat bagi siapapun yang memenangkan

sayembara yang telah ditentukan dukun ronggeng. Sekepeng uang logam

ringgit emas. Warga Dukuh Paruk menjadi gelisah dengan besarnya harga

keperawanan seorang ronggeng tak terkecuali Rasus. Rasus tidak bisa

menerima tindakan yang semena-mena melecehkan seorang wanita apalagi

terhadap Srintil, gadis yang ia cintai. Begitu pula dengan Srintil merasa

begitu berat karena Srintil belum dewasa dan memang itu syarat menjadi

ronggeng Srintil patuh terhadap perintah dukun ronggeng. Walau akhirnya

keperawanan Srintil diberikan kepada Rasus tanpa imbalan apapun.


Srintil menjadi terkenal dan menjadi pujaan semua orang serta kaya

raya. Melihat Srintil telah menjadi mili8k semua orang Rasus kecewa

kemudian melarikan diri ke Dawuan yang kemudian menjadi tobang

pembantu tentara bahkan mampu ikut mengamankan Dukuh Paruk ketika

terjadi perampokan. Dan pertemuan antara Rasus dengan Srintil membuat

Srintil semakin mencintai Rasus bahkan berniat untuk menjadi istri Rasus.

Bagian 13, 14, 15, 16, 17 adalah tahap conflict atau pertikaian. Srintil

benar-benar mencintai Rasus. Seorang ronggeng pantangan untuk jatuh

cinta. Srintil tidak mau meronggeng, tidak mau melayani tamu laki-

lakinya tindakkan itu membuat dukun ronggeng menjadi sangat kecewa.

Bahkan pada waktu pak Marsusi mandor perkebunan karet

menginginkannya Srintil tidak mau menemui bahkan malah pergi mencari

Rasus di Dawuan. Srintil tidak menemukan Rasus merasa kecewa dia

mengurung diri, tidak mau makan, tidak mau keluar kamar. Dia sakit,

untung menemukan Goder anak tampi Srintil merasa terhibur dan

menganggap Goder sebagai anaknya sendiri. Srintil masih tetap tidak mau

melayani tamu laki-laki sehingga banyak orang yang kecewa.

Bagian 18,19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27 adalah tahap complication

atau tahap perumitan. Pada tahap ini Srintil dan rombongan ronggeng

Paruk diminta meronggeng lagi oleh atasan mereka di Dawuan pada acara

tujuh belasan bersama kelompok kesenian yang lain. Akhirnya Srintil

kembali meronggeng. Rombongan ronggeng Paruk juga mendapat

tanggapan ke Alaswangkal dalam acara kaulan atau nadar. Bahkan Srintil


diminta untuk menjadi gowok untuk putra Sentika di Alaswangkal. Tidak

hanya itu ronggeng Paruk bertemu dengan pak Bakar ketua partai dimusim

paceklik itu justru ronggeng Paruk banyak mendapat tanggapan untuk

menghibur dalam rapat-rapat partai. Bahkan karena seringnya ronggeng

Paruk dijuluki ronggeng rakyat dan Dukuh Paruk terpasang gambar-

gambar yang warga paruk sendiri tak mengerti maksudnya. Dan juga

terjadinya penonton ronggeng peserta rapat mengamuk menghancurkan

padi milik petani. Peristiwa itu membuat ronggeng Paruk protes tidak mau

meronggeng dalam rapat. Namun karena kelicikan pak Bakar warga Paruk

diadu domba melalui pengrusakan makam Ki Secamenggala dengan

kelompok caping hijau. Kemudian ronggeng Paruk kembali meronggeng

dalam kegiatan partai.

Bagian 28, 29, 30, 31 adalah tahap penggawatan atau climax. Pada

tahap ini terjadilah malapetaka bagi Dukuh Paruk karena Srintil

dankelompok ronggeng Paruk juga warga yang terdaftar ditangkap dan di

tahan karena dituduh anggota partai terlarang. Tidak hanya itu saja Dukuh

Paruk dibumi hanguskan. Banyak warga Paruk yang ketakutan. Pada saat

itu Rasus pulang ke Dukuh Paruk melihat rumah-rumah habis terbakar

Rasus merasa prihatin. Rasus diminta untuk mencari Srintil ditahanan.

Rasus dapat bertemu Srintil namun tak sempat untuk bicara.

Bagian 32, 33, 34, 35, 36 tahap peleraian atau falling action.Tahap ini

warga Paruk yang di tahan di keluarkan kecuali Srintil . Srintil ditahan

agak lama kemudian selang beberapa tahun Srintil dilepaskan. Ke


pulangan Srintil disambut dengan suka cita warga Paruk. Srintil bertekat

menjadi wanita baik-baik, walau sekembali dari tahanan Srintil ditawari

meronggeng kembali oleh Nyai Kartareja Srintil tidak mau dia ingin

menjadi wanita somahan. Srintil berkenalan dengan Bajus. Perkenalan

mereka semakin akrab, bahkan ketika Rasus berlibur ke Paruk Srintil

bimbang karena hatinya menaruh harapan kepada Bajus untuk menjadi

pendamping hidupnya. Rasuspun menyadari bila memang Srintil telah

menemukan lelaki yang baik. Srintil ternyata masih menerima kemalangan

nasibnya karena Bajus tidak berniat memperistri Srintil, malah Srintil

diminta melayani pak Blengur hingga akhirnya Srintil tak mampu

menerima penderitaannya jiwanya menjadi tergoncang.

Bagian 37, 38 adalah tahap penyelesaian atau denouement. Tahap ini

dikisahkan Srintil menjadi hilang ingatan. Pada waktu itu Rasus pulang

dari tugas keluar Jawa. Melihat keadaan warga Paruk apalagi yang dialami

Srintil batin Rasus tersentuh Srintil kemudian dibawa kerumah sakit jiwa.

b. Pokok-pokok peristiwa yang terjalin dalam plot novel Sinden

adalah sebagai berikut:

1. Gambaran alam dan kehidupan rakyat Desa Sumberwungu

yang dihiasi tembang-tembang dari para wanita yang meladang

(exsposition).

2. Tumi bercita-cita menjadi sinden yang kondang.

3. Tumi mulai berlatih nyinden di rumah Nyai Estu.

4. Karto dan Tumi menolak lamaran Rudito (inciting moment).


5. Tumi digoda oleh Rudito yang sedang mabuk.

6. lurah Ponco melatih pemuda dalam kegiatan beladiri, baris

dengan meneriyakan yel-yel untuk menghina lawan. (rising

actions)

7. Ayah Tumi menyuruh Gendon melapor keadaan Rudito ke balai

desa.

8. Gendon diperlakukan kurang baik oleh Mangundarmo.

9. Lurah Ponco mash kecewa lamaranya belum diterima oleh Tumi.

10. Tumi berlatih di rumah Nyai Estu.

11. Tumi bermalam di rumah Nyai Estu.

12. Nyai Estu menceritakan masa silamnya (flash back).

13. Rudito mabuk di rumah Tumi dengan bersimbah darah

Kartosemedi mencari Tumi di tengah malam

14. Karto dituduh membunuh Rudito (conflict)..

15. Karto ditangkaap daan dibawa ke balai desa.

16. Karto diperlakukan tidak baik di balai desa Sumberwungu.

17. Karto melawan perlakuan Mangundarmo.

18. Guru Tarman membela Karto

19. Lurah Ponco menyusun gerakan untuk melawan lawan

politiknya (complication).

20. Lurah Ponco mengadakan piket malam

21. Kasan Ikromo mengundurkan diri dari jogoboyo.


22. Guru Tarman, pak Mantri dkk menyusun siasat untuk melawan

Ponco.

23. Mangundarmo orangnya Ponco memanfaatkan Misuwur Budoyo

dalam aksinya.

24. Penangkapan para pemimpin Sumberwungu Lurah Ponco dkk(

climax)

25. Ketoprak Tobong dibubarkan.

26. Pembersihan warga Sumberwungu yang masuk daftar.

27. Pergantian pejabat lama dengan pejabat baru (falling actions)

28. Tumi ingin meneruskan cita-citanya menjadi sinden

(denouement)

29. Tumi diperistri Raden Renggo Baskoro

Dari rentetan peristiwa di atas dapat dikelompokan ke dalam beberapa

bagian peristiwa sesuai dengan tahapan alur cerita yang terjadi. Tahap

pemaparan atau exsposition terlukis pada bagian peristiwa 1, 2, 3. Tahap

ini adalah gambaran situasi keadaan alam Desa Sumberwungu serta

menceritakan cita-cita Tumi untuk menjadi sinden yang kondang samapai

harus putus sekolah. Menjadi sinden di Desa Sumberwungu adalah suatu

kebanggaan. Tumi berguru sinden kepada Nyai Estusuminar.

Bagian 4, 5 adalah tahap inciting moment atau rangsangan. Pada

bagian Tumi selalu digoda oleh Rudito putra Lurah Sumberwungu. Tentu

lamaran Lurah Ponco ditolak Tumi karena tabiat Rudito yang kerjanya

mabuk dan main perempuan. Siang itu Rudito mabuk berat mengejar Tumi
hingga ke rumah Tumi. Penolakan Tumi menjadikan Lurah Ponco merasa

kecewa seakan Karto ayah Tumi menentang kekuasaan Ponco.

Bagian 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, adalah tahap rising action atau

penggawatan. Pada tahap ini Lurah Ponco mempersiapkan para pemuda

Sumberwungu untuk beladiri, baris sambil menyanyi dan meneriakan yel-

yel untuk menghina lawan politik (guru Tarman dkk). Karto menyuruh

kepada Gendon untuk melapor kepada Lurah Ponco tentang Rudito yang

teler di rumah Tumi. Namun Gendon malah mendapat perlakuan tidak

baik oleh Mangundarmo. Lurah Ponco juga merasa sakit hati karena

lamarannya tidak diterima oleh Tumi. Tumi giat berlatih ditempat Nyai

Estu. Hari itu Tumi tidak diperbolehkan pulang diminta tidur di rumah

Nyai Estu. Nyai Estu malam itu banyak bercerita pada muridnya tentang

keluarganya, tentang gurunya Nyai Larasmadu. Sesampai dirumah Karto

tidak menemukan anaknya. Sedang malam itu Rudito mabuk lagi dengan

tubuh berlumuran darah. Perasaan Karto bingung dan cemas tentang

anaknya. Sehingga Karto meninggalkan Rudito yang bersimbah darah di

lincaknya. Karto mencari ke rumah Nyai Estu.

Bagian 14, 15, 16, 17, 18 adalah tahap conflict atau pertikaian.

Sampai dirumah Karto kaget karena Rudito tidak ada, ditabuhnya tanda

baahaya. Peristiewea itu dilaporkan ke kelurahan. Lurah Ponco menuduh

Karto telah membunuh Rudito dan mayatnya disembunyikan. Karto

ditangkap oleh Mangundarmo atas perintah Ponco. Di Balai Desa

Kartomenjadi pesakitan, ia dilakukan dengan tidak manusiawi.hingga


akhirnya Karto berani melawan Mangundarmo. Guru Tarman bermaksud

membela Karto namun malah disambut dengan tidak baik.

Bagian 19, 20, 21, 22, 23 adalah tahap complication atau tahap

perumitan. Pada tahap ini lurah Ponco menyusun gerakan untuk melawan

politiknya. Aparat desa Sumberwungu diminta jaga malam. Banyak

mendengarkan pidato dari pusat. Walau keputusan Ponco ditolak oleh

Kasan Ikromo selaku Jogo Boyo. Kegiatan Ponco juga diimbangi oleh

kelompok pak Mantri dan guru Tarman. Pak Mantri dkk juga membentuk

kelompok tersendiri. Bahkan kegiatan Ponco telah mendapat pengamatan

dari apparat polisi. Dalam melancarkan aksinya Mangundarmo juga

memanfaatkan Misuwur Budoyo. Dengan catatan kontrak jabatan.

Bagian 24, 25, 26 adalah tahap penggawatan atau climax. Pada tahap

ini terjadilah malapetaka setelah ada imformasi geger di Jakarta. Lurah

Ponco dkk ditangkap karena menjadi anggota partai terlarang.

Penangkapan diteruskan bagi warga Sumberwungu yang tercatat dalam

daftar anggota tersebut. Misuwur Budaya dibubarkan,

Bagian 27 tahap peleraian atau falling action.Tahap ini warga

Sumberwungu berganti pemerintahan baru dengan pejabatan baru karena

pejabat lama ditangkap dan entah di bawa kemana. Diharapkan dengan

pemerintahan baru dapat pula menyejahterakan warga.

Bagian 28, 29 adalah tahap penyelesaian atau denouement. Tahap ini

disahkan Tumi tetap akan meneruska cita-citanya menjadib sinden sejati.

Untuk dapat melancarkan tujuannya Tumi diperistri Renggo Baskoro


seniman dari Argalaksa. Tumi mengganti namanya menjadi Renggamanis.

Perkawianannya dengan Renggo Baskoro dikaruniai seorang putra yaitu

Tuwuh. Renggo Baskoropun hilang entah kemana. Ternyata Renggo

Baskoro merupakan agen ganda.

Dari pembahasan tentang alur novel Ronggeng Dukuh Paruk dan

novel Sinden bila dikaji dengan alur yang sama, secara konvensional

menggambarkan alur yang sama. Masing-masing terdiri atas tiga jalinan

peristiwa yaitu: bagian awal, tengah, dan akhir. Rangkaian unsur-

unsurtersebut adalah : (1) alur awal, terdiri dari paparan (eksposisi),

rangsangan (inciting moment), dan penggawatan (rising action); (2) alur

tengah, terdiri atas pertikaian (conflict), perumitan (complication), dan

klimaks atau puncak penggawatan (climax); (3) alur akhir, terdiri dari

peleraian (falling action), dan penyelesaian (denouement).


c) Penokohan dan perwatakan
Dari bagan penokohan dan perwatakan dapat dijelaskan

intertekstualnya novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Sinden, sebagai

berikut:

Tokoh utama protagonis dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk

adalah: Srintil dan Tumi untuk novel Sinden. Tokoh utama protagonis

yaitu tokoh yang selalu mendominasi dan mendukung jalannya cerita.

Tokoh utama yang ditunjukkan oleh kedua novel tersebut memiliki unsur

kesamaan dari segi fisik Srintil dan Tumi adalah perempuan cantik dan

mempesona. Dari segi watak kedua tokoh memiliki watak yang baik hati,

taat, berpendirian kuat serta kedua tokoh juga tergolong tokoh yang

berkembang. Perbedaan dari kedua tokoh Srintil perempuan dusun yang

sama sekali tidak mengenyam sekolahan, tetapi untuk Tumi mengalami

sekolah walau hanya pendidikan dasar ( SMP belum lulus) dengan latar

belakang pendidikan yang berbeda akan mempengaruhicara berpikirnya.

Tokoh protagonis tambahan novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah: Rasus,

Sakarya, Sarkum, Goder, Tampi, Darsun, Warta. Untuk novel Sinden

tokoh protagonis tambahan adalah: Nyai Estu, Gendon, Guru Tarman, Pak

Mantri, Kasanikromo, Nyai Larasmadu, Pak Dandis, Agen Revin.

Tokoh antagonis utama adalah tokoh yang menjadi sumber konflik

tokoh utama. Tokoh antagonis utama novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah

dukun ronggeng Sakarya dan Nyai Sakarya, sedangkan antagonis

tambahan adalah: Marsusi, Bajus, Blengur, Dower, Sulam,Sentika, Waras.

Untuk novel Sinden sebagai tokoh antagonis utama adalah Rudito, Lurah
Poncodrio, Mangundarmo, dan tokoh antagonis tambahan adalah: Nyai

Suparni, Romo Pus, Bung Johan. Persamaan pada tokoh antagonis kedua

novel tersbut sama-sama memicu terjadinya konflik egois, licik.

Sedangkan segi pembedanya untuk novel RDP watak dari tokohnya tidak

melalui kekerasan sedang pada novel Sinden wataknya keras dan kejam.

c. Deskripsi karakteristik tokoh novel RDP dan novel Sinden:

1) Tokoh dalam novel RDP

(a) Srintil

Srintil adalah perempuan yang cantik dan mempesona. Srintil juga

mempunyai pribadi yang kuat dalam menjalani prinsip hidup. Srintil

perempuan yang taat kepada adat istiadat dan orang tua. Srintil juga tak

berbeda dengan warga paruk yang lainnya karena tidak mengenal

pendidikkan sehingga cara berpikirnya sangat sederhana.

Srintil dikategorikan sebagai tokoh protagonis. Srintil juga

termasuk tokoh yang berkembang karena watak tokoh Srintil mengalami

perubahan dan perkembangan sejalan dengan perubahan peristiwa dan plot

yang dikisahkan. Salah satu contoh, sikap Srintil ingin menjadi ronggeng

waktu muda setelah dewasa ia sadar suara jiwanya bahwa ia ingin menjadi

perempuan somahan.

(b) Rasus

Rasus adalah seorang yang menghormati wanita. Ia begitu

menghargai Srintil karena dalam sosok Srintil ia menemukan gambaran


kembali emaknya. Ketegaranya dalam mencari harapannya ia rela

meninggalkan Neneknya. Rasus merupakan sosok yang jujur dan pekerja

keras. Ia memiliki prinsip yang kuat dan teguh pendirian.

Berdasarkan karakter dan sifat tokoh, Rasus dapat dikategorikan

sebagai tokoh protagonis. Rasus juga merupakan tokoh yang berkembang.

Watak tokoh Rasus mengalami perubahan dari rasa kecewa terhadap

Srintil dan Dukuh Paruk namun kemudian Rasus merubah semua itu

menjadi sebuah rasa menyayangi dalam bentuk sebuah pengabdian.

(c) Sakarya

Sakarya adalah orang yang penuh tanggung jawab memikirkan

kelangsungan dan kejayaan Dukuh Paruk. Walaupun samapai harus

mengorbankan cucunya Srintil. Ia juga mampu membaca sasmita alam.

Berdasarkan karakter dan sifat tokoh, Sakarya dapat dikategorikan

sebagai tokoh protagonis. Rasus juga merupakan tokoh yang berkembang.

Sakarya mempunyai watak yang tidak berkembang. Sepanjang cerita novel

Ronggeng Dukuh Paruk, karakter Sakarya tidak mengalami perubahan.

(d) Kartareja

Kartareja adalah sombong, licik, dan cerdik. Sifat sombong

Kartareja yaitu pada saat dipercaya menjadi dukun ronggeng, ia

memasang Kartareja memasang harga yang amat mahal untuk seorang

ronggeng, dan juga ketika menanggapi Dower peserta sayembara bukak-

klambu. Ia juga seorang yang licik dalam usaha untuk mendapatkan

kekayaan Sulam dan Dower dan ia juga cerdik dalam mengamankan


perhiasan Srintil. Sebagai dukun ronggeng ia bersama istrinya pandai

memanfaatkan Srintil untuk mendapatkan uang dan materi yang lain.

Berdasarkan karakter dan sifat tokoh, Kartareja bisa dikategorikan

sebagai tokoh antagonis. Kartareja juga dapat dikategorikan sebagai tokoh

yang berkembang perwatakannya. Setelah Sakarya meninggal dunia,

Kartareja memikul tanggung jawab untuk Dukuh Paruk. Karena ia satu-

satunya yang bisa menggantikan Sakarya sebagai kamitua di Dukuh Paruk.

(e) Nyai Kartareja

Nyai Kartareja adalah seorang nenek yang pandai merayu (pandai

mengambil hati orang lain). Ia seorang nenek yang serakah dan licik

dengan memanfaatkan Srintil ia akan menguras kekayaan laki-laki yang

mendekatinya.

Berdasarkan sifat atau karakter yang dimiliki oleh Nyai Kartareja.

Tokoh Nyai Kartareja dikategorikan sebagai tokoh antagonis.

Perwatakannya tidak mengalami perkembangan sepanjang alur cerita

dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk.

2) Tokoh dalam Novel Sinden:

(a) Tumi

Tumi merupakan tokoh utama perempuan dalam novel Sinden.

Tumi adalah perempuan Sumberwungu bercita-cita menjadi sinden sejati.

Tumi perempuan lugu penunuh pesona. Tumi perempuan yang penuh

percaya diri, teguh pendirian, dan kuat dalam memegang prinsip.


Berdasarkan sifatnya, Tumi dikategorikan sebagai tokoh protagonis.

Tumi juga termasuk tokoh yang berkembang. Watak tokoh Tumi

mengalami perubahan dan perkembangan sejalan dengan perubahan

peristiwa dan plot yang dikisahkan. Salah satu contoh, sikap Tumi yang

diwaktu belia sangat manja setelah dewasa menjadi pribadi yang mandiri.

(b) Nyai Estu

Nyai Estu wanita janda keturunan ningrat adik penguasa

Sumberwungu merupakan guru sinden sejati. Nyai Estu istri Dalang

Dipocarito yang sekarang mengambil istri Minten mboknya Tumi.

Walaupun maru tetapi meraka saling menyayangi Tumi. Dengan

peristiwa tersebut Nyai Estu mematuhi petuah gurunya Nyai Larasmadu.

Bahwa dirinya harus mengembalikan citra sinden yang telah dihancurkan

oleh segelintir orang. Sinden suka kawin cerai, Sinden menjadi wanita

simpanan kebanyakan orang.

Lewat Nyai Estu Sumirat mencoba untuk menjadi guru yang baik,

selain memberikan contoh juga menanamkan prinsip sinden sejati kepada

Tumi muridnya. Semua petuah Nyai Estu dapat dicermati pada kutipan di

bawah ini:

Berdasarkan sifatnya, Nyai Estu Suminar dikategorikan sebagai

tokoh protagonis. Nyai Estu juga termasuk tokoh yang berkembang.

Watak tokoh Nyai Estu mengalami perubahan dan perkembangan sejalan

dengan perubahan peristiwa dan plot yang dikisahkan.


(c) Kartosemedi

Kartosemedi adalah orang tua dari Tumi. Kartosemedi hidup

menduda karena istrinya Minten seorang sinden tergoda Dalang Dipocarito

yang dapat membawa perubahan dalam hidupnya. Walaupun Dipocarito

sudah memiliki istri Nyai Estu namun Minten terpikat karena sering

menjadi sinden saat Dipocarito mendapat tanggapan. Kartosemedi adalah

bapak yang sabar terhadap nasibnya, walaupun hidup menduda dengan

sabar mengasuh anak gadisnya.

Kartosemedi adalah seorang tokoh yang sabar, tabah, mempunyai

pribadi yang kuat dalam menjalani prinsip hidup. Kartosemedi seorang

bapak yang baik dan bertanggung jawab. Walaupun Kartosemedi hidup

menjanda, ia mampu membawa anaknya dalam mencapai kesuksesan atas

cita-citanya.

Berdasarkan sifatnya, Kartosemedi dikategorikan sebagai tokoh

protagonis. Kartosemedi juga termasuk tokoh tidak berkembang. Watak

tokoh Kartosemedi tidak mengalami perubahan dan perkembangan.

(d) Poncodriyo

Poncodriyo adalah keturunan ningrat yang memerintah sebagai

kepala Desa Sumberwungu. Cara kepemimpinan Poncodriyo sudah terlihat

sejak masih muda, karena para leluhurnya adalah lurah dari

Sumberwungu. Kepemimpinan Ki Poncodriyo berubah perangainya kereas

setelah Poncodriyo tua. Poncodriyo inginlebih meningkatkan

kedudukannya melalui kesanggupannya mendukung partai garis keras


yang menjajikannya. Keberingasan Ponco sudah tak memperdulikan

rakyat dalam kegiatan politik dan pemerintahannya

Poncodriyo adalah cerdik, licik, dan sombong. Sifat sombongnya

terlihat ketika ia menerima Gendon dib alai desa. Ia juga seorang yang

cerdik dalam menghasut hati rakyat hamper seluruh rakyat 72 %

mendukung partai terlarang tersebut.

Berdasarkan sifat tokoh, Poncodriyo bisa dikategorikan sebagai

tokoh antagonis. Poncodriyo juga dapat dikategorikan sebagai tokoh yang

berkembang perwatakannya. Setelah Poncodriyo keluar dari penjara

terlihat diam.

(e) Mangundarmo

Mangundarmo seorang yang kejam, bengis serasa tidak

mempunyai rasa kemanusiaan. Mangundarmo adalah cerdik, licik, dan

kejam. Kelicikannya dapat memperalat Poncodriyo untuk mencari

kedudukan. Kejahatannya untuk memusnahkan lawan politiknya.

Berdasarkan sifat tokoh, Mangundarmo bisa dikategorikan sebagai

tokoh antagonis. Mangundarmo juga dapat dikategorikan sebagai tokoh

tidak berkembang perwatakannya. Setelah Mangundarmo ditangkap tidak

pernah kembali lagi.

4) Latar atau setting

Latar atau setting untuk kedua novel untuk lebih jelasnya, penulis

akan menguraiakan satu persatu. Setting dalam cerita Ronggeng Dukuh

Paruk meliputi: setting tempat, setting waktu, dan setting sosial.Setting


tempat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk setting primer terjadi pada

Dukuh Paruk pemukiman yang sempit dan terpencil dengan gambaran

kemelaratan, kebodohan dan keterbelakangan. Karena semua kejadian

cerita novel dari awal sampai akhir cerita bersumber di Dukuh Paruk.

Novel ini juga terdapat setting sekunder yang paling dominan adalah pasar

Dawuan. Setting waktu novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk berkisah

tentang kehidupan Dukuh Paruk mulai tahun 1957 samapai sekitar tahun

1971. Cerita ini dumulai setelah Sintil berusia 11 tahun mendapatkan

indang ronggeng, meskipun diceritakan malapetaka tempe bongkrek yang

membuat anak-anak Dukuh Paruk menjadi yatim piatu tahun 1946 secara

flashback (kilas balik). Setting Sosial novel Ronggeng Dukuh Paruk

keadaan masyarakat yang miskin, bodoh dan keterbelakangan sehingga

mempengaruhi cara berpikir dan bersikap. Sehingga menjadi korban

kekacauan politik yang akhirnya membawa penderitaan berkepanjangan

semua warga Dukuh Paruk.

Sedangkan untuk novel Sinden Setting tempat sebagai setting

primer Desa Sumberwungu yang juga dikategorikan desa miskin

kecamatan Semugih kabupaten Argalaksa Yogyakarta karena peristiwa

awal sampai akhir terjadi di desa Sumberwungu sedangkan setting

sekundernya Semugih sebagai kota kecamatan. Setting waktuNovel Sinden

berkisah tentang kehidupan Sumberwungu mulai tahun 60-an samapai

sekitar pergolakan partai terlarang yang puncaknya tanggal pertama bulan

Oktober tahun 1965. Tanda-tanda terlukis dalam naskah diantaranya


gambaran zaman pegaber, adanya kegiatan Lurah Poncodriyo seperti

kegiatan baris berbaris, membuat kolam dalam pekarangan, kegiatan

tersebut disinyalir kegiatan pada era timbulnya PKI. Adanya penangkapan

dan pembersihan para tokoh partai dan pengikut partai terlarang yang

terdaftar. Setting sosial desa Sumberwungu masyarakatnya campuran

antara wong cilik dan priyayi. Sumberwungu untuk kalangan wong cilik

kehidupan warganya yang saling rukun, suka menolong dalam mengatsai

kesulitan dengan tanpa pamrih. Untuk para penguasa yang dilakukan

kalangan Priyayi terjadi pergolakan perebutan kekuasaan dengan

menghalalkan segala cara.

Secara intertekstual setting waktu antara novel Ronggeng Dukuh

Paruk dan novel Sinden mengangkat peristiwa yang sama yaitu gerakan

partai terlarang beserta akibat yang diterima oleh masyarakat saat itu dan

berakhir meletusnya PKI tahun1965. Sedangkan untuk setting tempat dan

sosial ada perbedaan. Tempat untuk novel Ronggeng Dukuh Paruk

mengangkat latar kehidupan rakyat kecil Dukuh Paruk yang homogen,

sedang novel Sinden masyarakat campuran antara rakyat keci dan para

priyayi Desa Sumberwungu.

5) Poin of View novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Sinden

Sudut pandang yang digunakan pada novel Ronggeng Dukuh

Paruk

menampilkan tokoh dalam novel disebut nama dan variasi kata ganti.
dengan menyebut nama tokohnya, sehingga posisi pengarang ada diluar

tetapi serba tahu. Pengarang mengetahui persis perasaan tokoh satu dengan

tokoh lainnya

Sudut pandang yang digunakan pada novel Sinden yaitu pesona

dalam novel disebut nama dan

posisi pengarang ada diluar tetapi serba tahu. Pengarang mengetahui persis

perasaan tokoh satu dengan tokoh lainnya.

Secara intertekstual novel RDP dan novel Sinden ada persamaan

2. Intertekstual novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan

novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa.

Hubungan intertekstual akan difokuskan dari persamaan dan perbedaan

unsur-unsur struktur novel.

1) Tema

Tema untuk kedua novel ada persamaan. Novel Ronggeng Dukuh

Paruk menghadirkan tema sosial budaya kehidupan wong cilik sebagai

penari ronggeng. Sedangkan untuk novel Sinden menghadirkan tema

sosial budaya seputar kehidupan dan perjuangan wong cilik sebagai

sinden.
2) Penokohan

Tokoh yang ditampilkan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk

dan Sinden ada persamaan bila ditinjau dari perwatakan. Hal ini bisa

dilihat dari tokoh utama wanita dalam kedua novel tersebut. Srintil

tokoh utama dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk memiliki kemiripan

dengan tokoh utama Tumi pada novel Sinden.

Tokoh utama novel Ronggeng Dukuh Paruk, Srintil adalah

seorang wanita yang cantik penuh pesona. Di usia belia Srintil

perempuan yang taat baik kepada adat, orangtua, serta berkepribadian

kuat, pantang menyerah dalam menentukan pilihan hidup. Begitu juga

Tumi tokoh novel Sinden pada usia muda cantik mempesona, taat

kepada perintah orang tua dan guru, mandiri, berkepribadian kuat,

prinsip hidupnya kuat dalam mencapai tujuan yang diinginkan untuk

menjadi sinden sejati. Namun dari segi prosesi dalam menjalani profesi

ada perbedaan. Srintil menjadi ronggeng karena panggilan, sedangkan

Tumi menjadi sinden karena kemauan sendiri, sinden adalah profesi

yang diinginkan.

3) Setting latau latar

Cerita novel Ronggeng Dukuh Paruk terjadi antara tahun 1957

sampai berakhir tahun 1971. Dikisahkan dalam novel pada tahun 1946

terjadi kefakuman ronggeng di dukuh Paruk, waktu itu Srintil belum

lahir. Dukuh Paruk terjadi malapetaka tempe bongkrek. Setelah 11

tahun Srintil menjadi ronggeng. Pada usia 11 tahun inilah cerita ini
dimulai. Sedangkan berakhirnya sekitar tahun 1971 yaitu ketika Rasus

telah kembali berkunjung ke Dukuh Paruk setelah ia bertugas samapi

Dukuh Paruk mendapatkan Srintil sakit ingatan. Rasus bertindak untuk

melindunginya Srintil dimasukkan ke rumah sakit jiwa.

Untuk novel Sinden mengenai waktu tidak dapat ditunjukan

dengan pasti karena wujudnya hanya tersirat. Namun dapat ditangkap

berdasarkan keadaan yang diterangkan dalam cerita terjadinya sekitar

tahun 1960-an dan diakhiri setelah meletusnya gerakan PKI 1965

dikisahkan dalam cerita rakyat Sumberwungu mengalami zaman

pagaber musim kemarau panjang bahan makan susah, berburu tikus

kemudian dagingnya dimakan, adanya slogan sama rata sama rasa,

hingga adanya penangkapan pemuka partai terlarang dan pencidukan

warga yang terdaftar pada anggota partai terlarang. Kemudian diadakan

pemberhentian aparat desa dan diganti dengan yang baru.

Jadi setting waktunya mempunyai kesamaan mengangkat

peristiwa pergolakkan politik tahun 1965 beserta dampak yang diterima

oleh rakyat. Dalam kurun waktu 60-an sampai meletusnya PKI 1965.

Setting Tempat dan sosial. Setting tempat kedua novel

mempunyai perbedaan. Latar tempat pada novel Sinden menggunakan

latar desa yang agak maju (dibawah pimpinan Priyayi) sebagai latar

primer yaitu desa Sumberwungu, sedangkan novel Ronggeng Dukuh

Paruk menggunakan latar pedesaan terpencil yaitu dukuh Paruk.


Setting Sosial novel Ronggeng Dukuh Paruk menghadirkan

sosial kemasyarkatan masyarakat pedesaan dengan penuh keluguan dan

kesederhanaan, sedangkan segi sosial novel Sinden menghadirkan latar

suasana masyarakat campuran antara wong desa dan priyayi yang

penuh keangkuhan.

4) Alur atau Plot

Alur atau plot novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Sinden

ada persamaan yaitu menggunakan alur maju. Dalam artian jalinan

cerita tersusun secara urut melalui peristiwa-peristiwa yang terjadi

dapat dipahami secara lengkap mulai awal sampai akhir cerita.

Rangkaian kejadian yang tersusun dan membentuk satu

kesatuan yang utuh. Rangkaian unsur-unsur itu pada prinsipnya alur

cerita terdiri dari tiga bagian, yaitu : (1) alur awal, terdiri dari paparan

(eksposisi), rangsangan (inciting moment), dan penggawatan (rising

action); (2) alur tengah, terdiri atas pertikaian (conflict), perumitan

(complication), dan klimaks atau puncak penggawatan (climax); (3) alur

akhir, terdiri dari peleraian (falling action), dan penyelesaian

(denouement).

5) Poin of View

Sudut pandang yang digunakan pada alur novel Ronggeng

Dukuh Paruk dan novel Sinden mempunyai persamaan yaitu pesona


Dari beberapa paparan terkait dengan tema, penokohan, setting

tempat, waktu dan sosial bahwa novel Ronggeng Dukuh Paruk karya

Ahmad Tohari dan novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa,

maka dapat diketahui bahwa terdapat intertskstual dalam unsur

pembangun cerita.

Persamaan dan perbedaan yang ditemukan dalam kedua novel

tersebut menunjukan adanya hipogram untuk novel Ronggeng Dukuh

Paruk karya Ahmad Tohari, sedangkan novel Sinden sebagai bentuk

transformasinya. Novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Sinden

menampilkan struktur yang berupa kesejajaran, penyempitan dan

pertentangan atau perbedaan.

Kesejajaran bahwa kedua novel sama-sama mengangkat tema

sosial budaya daerah tertentu dan mengambil latar belakang waktu

pengisahan yang sama sekitar tahun 1960-an dimana pada saat itu baru

gencar-gencarnya isu G30S/PKI dan seni tradisional dijadikan

peralatan dalam propaganda suatu politik, penyempitan terjadi dalam

novel Sinden terjadi mempersempit tema dengan menyajikan

permasalahan-permasalahan yang agak sederhana bila dibandingkan

dengan novel Ronggeng Dukuh Paruk, sedangkan bentuk

pertentangan atau perbedaannya terdapat dalam penokohan atau

perwatakan dalam novel RDP guru sebagai pendidiknya (dukun

ronggeng) tidak menanamkan etika kebaikan, sedangkan dalam novel


Sinden ditampilkan sosok guru sinden yang pantas untuk diteladani

dengan menanamkan tatakrama yang baik.

Bukti lain adalah tahun terbit novel. Novel Ronggeng Dukuh

Paruk terbit pertama kali tahun 1981, untuk novel Sinden terbit

pertama kali tahun 2005. Dalam kajian intertekstual tahun terbit ini

dapat digunakan bukti bahwa sebuah karya sastra yang terlahir lebih

dulu dapat menjadi inspirasi karya sastra berikutnya. Inspirasi terjadi

dapat dijelaskan secara inplisit bahwa karya novel Sinden ada

kemiripan, kemiripan kisah tersebut sebagai bukti adanya faktor

pengarang terinspirasi oleh tek terdahulu.

4. Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Novel

Sinden

a. Nilai Pendidikan Novel Ronggeng Dukuh Paruk

1) Nilai Pendidikan Religius

Nilai religius dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk penulis

fokuskan pada hubungan manusia dengan Tuhan. Pada dasarnya

beranggapan bahwa manusia sebagai makhluk ciptaan, pastilah sangat erat

kaitannya dengan penciptaNya. Wujud dari hubungan tersebut dapat

berupa doa-doa ataupun upacara-upacara adat. Doa dan upacara tersebut

dipanjatkan merupakan wujud suatu kesadaran bahwa semua yang ada di

muka bumi ini ada yang menciptakannya. Bentuk religius tersebut berupa

keyakinan dan kepercayaan terhadap leluhurnya, Ki Secamenggala.


Berbeda dengan Rasus yang telah mengenal dunia selain Dukuh Paruk.

Rasus sudah mengenal agama sehingga menjalankan ibadah sholat sesuai

yang dianutnya.

2) Nilai Pendidikan Budaya

Bentuk budaya Jawa yang dapat digunakan untuk menganalisis

novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Sinden yakni adat kebiasaan

yang berlaku di kalangan rakyat klas bawah dan rakyat klas atas. Rakyat

klas bawah dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk yaitu yang dilakukan

warga Dukuh Paruk, sedangkan Klas atas para priyayi di Dawuhan.

Sedangkan dalam novel Sinden yang tergolong rakyat klas bawah adalah

sebagian warga desa Dawuhan dan untuk golongan klas atas para

priyayi desa Dawuhan.

Nilai pendidilan sosial budaya novel Ronggeng Dukuh Paruk

penulis fokuskan pada analisis budaya rakyat klas bawah diantaranya `

sebagai berikut:

(a) Ngeluri Tradisi (Melestarikan tradisi).

Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk tokoh golongan klas

bawah (wong cilik) mendominasi cerita. Srintil sebagai golongan

rakyat bawah menjadi seorang ronggeng merupakan anugerah

karena mendapat kepercayaan dari para leluhurnya dengan mendapat

indang ronggeng. Merupakan keberhasilan hidup yang harus

disyukuri. Betapa berat tradisi yang berlaku di suatu tempat tetap

dijunjung tinggi oleh warganya demi keberhasilan dari yang


diinginkan. Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. tradisi yang

dilakukan merupakan bagian dari nilai-nilai sosial budaya yang

sering dilakukan golongan klas bawah untuk mendapatkan

kemuliaan hidup.

(b) Sapa temen bakal tinemu (bekerja dengan sungguh-sungguh)

Setelah melarikan diri ke Dukuh Paruk Rasus menemukan

harapan baru dalam kehidupannya setelah dikecewakan Dukuh

Paruk. Menurut Rasus Dukuh Paruk telah merenggut Srintil dari

hatinya. Untuk mewujudkan harapan tersebut Rasus rela

meninggalkan Dukuh Paruk dan tinggal di Pasar Dawuan.

Bahwa sifat sapa temen bakal tinemu dari apa yang akan

dicita-citakan, serta dengan kejujuran akan membawa keberkahan

bagi dirinya sendiri. Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, temen

merupakan bagian dari nilai-nilai sosial budaya yang harus

dilakukan wong cilik maupun golongan klas atas untuk mencapai

kesuksesan dalam hidup.

(c) Eling lan waspada (selalu wapada)

Sakarya merupakan orang yang bijaksana dan penuh kehati-

hatian. Ketika orang-orang Dukuh Paruk larut dalam hiruk-pikuk

perayaan tujuh belasan, Sakarya tidak ikut-ikutan. Sakarya tetap

penuh kehati-hatian. Ia mempunyai filsafat yang sederhana yaitu

eling lan waspada karena segala sesuatu selalu berpasang-pasangan.

Ada kegembiraan pastilah ada kesusahan.


Manusia pada umumnya gampang lupa bila mendapatkan

suatu nikmat, sehingga mudah terjerumus dalam penderitaan. Untuk

itu perlu kiranya sifat eling lan waspada dalam novel Ronggeng

Dukuh Paruk, merupakan bagian dari nilai-nilai sosial budaya yang

harus dilakukan wong cilik maupun golongan klas atas untuk tetap

selalu ingat kepada keagungan Tuhan.

3) Nilai Pendidikan Sosial

Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh masyarakat tertentu,

mengenai segala perbuatan yang dianggap baik, ataupun buruk. Karya

sastra tercipta selalu melibatkan sistem sosial yang terjadi di suatu

wilayah tertentu. Tata nilai sosial tentu akan mengungkapkan sesuatu

hal yang dapat direnungkan dalam karya sastra dengan ekspresinya.

Pada akhirnya dapat dijadikan cermin atau sikap para pembacanya

(Suyitno, 1986: 31).

(a) Kerukunan

Warga Paruk yang hidup di dukuh kecil dan masih berasal


dari satu keturunan memiliki rasa kerukunan yang kuat.
Pada waktu Srintil berlatih meronggeng di rumah Kartareja

banyak warga yang tertarik kepada Srintil. Rasa ketertarikan itu

menunjukan suatu dukungan para perempuan yang

menyaksikannya.

4) Nilai Pendidikan Moral

Joko Widagdo (2001: 30) mengemukakan moral diartikan

sebagai norma, dan konsep kehidupan yang dijunjung tinggi oleh


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

masyarakat. Nilai-nilai pendidikan tersebut dapat mengubah perbuatan,

perilaku, dan sikap. Kewajiban moral dalam masyarakat yang baik

seperti budi pekerti, akhlak, dan etika.

Sikap budi luhur merupakan sebuah sikap yang dilakukan

manusia dalam menjalankan kehidupannya yang dilandasi sikap mulia

seperti: kasih sayang, balas budi, adil, tidak membeda-bedakan, suka

menolong.

(a) Budi Luhur


Rasus memiliki sifat budi luhur, sikap tersebut diberikan kepada

Srintil perempuan yang telah mengecewakan hatinya, hingga membuat

Rasus pergi dari Dukuh Paruk menuju Dawuan. Sifat budi luhur

tercermin bahwa Rasus tidak memiliki rasa dendam terhadap Srintil.

Ketika Srintil mengalami gangguan kejiwaannya dengan iklas Rasus

menolong membawanya ke rumah sakit jiwa.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sikap balas budi dan

budi luhur dapat dijumpai dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Sikap

tersebut merupakan bentuk tindakan manusia dalam menjalankan

hidupnya yang dilandasi sifat mulia tahu balas budi, suka menolong,

dan ikut merasakan penderitaan orang lain.

b. Nilai Pendidikan Religius dalam Novel Sinden

1) Nilai Pendidikan Religius

Novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa terdapat nilai-

nilai religius. Nilai-nilai tersebut tertanam dalam keyakinan jiwanya akan

keadilan Tuhan terhadap s em u a pe rb u atan manusia di


co m m it to u se r

muka bumi ini.


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Keyakinan akan perbuatan manusia yang tertanam dalam hati Rakyat

Sumberwungu adalah sapa salah seleh, sapa nggawe bakal ngenggo.

2) Nilai Pendidikan Budaya

Nilai pendidikan sosial budaya dalam novel Sinden penulis

fokuskan pada analisis budaya wong cilik yang meliputi sebagai berikut:

(a) Aja Seneng Raben (Menolak budaya kawincerai)

Dalam novel Sinden tokoh cerita Tumi ditanamkan prinsip

kawin cerai. Prinsip tersebut ditanamkan oeh orang tuanya yaitu

Kartosemedi dan oleh gurunya yaitu Nyai Estu Suminar. Walau

kenyataannya Tumi adalah korban kawin cerai dari orang tuanya.

Untuk itu mengingat peristiwa itu pada Tumi ditanamkan kebiasaan

kawin cerai yang dilakukan sinden sumberwungu.

Pesan tersebut untuk membangun citra sinden yang telah

dicemarkan perilaku beberapa sinden yang dengan mudah kawin cerai

(raben), tidak memiliki kesetiaan terhadap pendamping hidupnya.

Maka Nyai Estu yang juga korban kawin cerai oleh suaminya mewanti-

wanti pesan pada murid-muridnya untuk selalu setia pada pasangan

hidupnya

(b) Aja Seneng Royal (Membudayakan dengan penampilan sederhana)

Nyai Estu guru sinden sejati juga menanamkan sekaligus

memberi contoh kepada muridnya bahwa dalam menyinden sinden

tidak perlu dandan yang terlalu berlebihan cukup sederhana saja.

commit to
user
Karena dengan kesederhanaan mewujudkan keaslian diri akan

menarik banyak orang.

Bahwa untuk mengembalikan citra sinden sejati harus mampu

menjadi figur sinden yang tidak melakukan tindakan yang

meremehkan dirinya sendiri, seperti raben ( suka kawin cerai), royal

(berpenampilan yang berlebihan). Dengan kemampuan olah pikir,

olah rasa, olah cara dan olah batin dapat mewujudkan sinden sejati

yang bermartabat.

3) Nilai Pendidikan Sosial

Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh masyarakat tertentu,

mengenai segala perbuatan yang dianggap baik, ataupun buruk. Karya sastra

tercipta selalu melibatkan sistem sosial yang terjadi di suatu wilayah

tertentu. Tata nilai sosial tentu akan mengungkapkan sesuatu hal yang dapat

direnungkan dalam karya sastra dengan ekspresinya. Pada akhirnya dapat

dijadikan cermin atau sikap para pembacanya (Suyitno, 1986: 31).

Kehidupan sosial kemasyarakatan untuk warga desa Sumberwungu

terlihat rukun. Warga Sumberwungu sangat peduli terhadap penderitaan

sesama warga. Bentuk kepedulian itu ada yang berupa harta, pikiran,

tindakan. Bentuk kepedulian warga Sumberwungu terhadap keluarga yang

mendapat musibah, seolah-olah juga ikut merasakan penderitaan ini.

Dngan demikian dapat disimpulkan keadaan sosial desa

Sumberwungu untuk kalangan wong cilik kehidupan warganya yang saling

rukun, suka menolong dalam mengatsai kesulitan dengan tanpa pamrih.


d) Nilai Pendidikan Moral

Joko Widagdo (2001: 30) mengemukakan moral diartikan sebagai

norma, dan konsep kehidupan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Nilai-

nilai pendidikan tersebut dapat mengubah perbuatan, perilaku, dan sikap.

Kewajiban moral dalam masyarakat yang baik seperti budi pekerti, akhlak,

dan etika.

Nilai pendidikan moral dalam novel Sinden dapat dilihat dari tokoh

Tumi. Tokoh ini digambarkan pengarang sebagai tokoh perempuan remaja

yang baik. Citra sinden di mata penduduku yang semulanya negatif, melalui

tokoh Tumi citra buruk tersebut dapat diubah menjadi citra yang positif.
BAB V

SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

A. Simpulan

1. Struktur novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Sinden terdiri dari (a)

Tema Novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Sinden mengangkat tema

sosial budaya perjuangan wong cilik sebagai penari ronggeng dan sinden.

(a) Penokohan atau perwatakan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk dan

Sinden terdiri dari tokoh protagonis, tokoh antagonis, tokoh utama dan

tokoh tambahan. Srintil tokoh utama dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk

dan tokoh utama Tumi pada novel Sinden. (c) Setting waktu antara novel

Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Sinden mengangkat peristiwa yang sama

yaitu sekitar tahun 1960-an dimana saat itu sedang gencar-gencarnya isu

G30S PKI dan berakhir meletusnya PKI tahun 1965-an. Sedangkan untuk

setting tempat dan sosial untuk novel Ronggeng Dukuh Paruk mengangkat

latar kehidupan rakyat kecil Dukuh Paruk yang homogen, sedang novel

Sinden masyarakat campuran antara rakyat kecil dan para priyayi Desa

Sumberwungu. (d) Alur novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Sinden

menggunakan alur maju. Dalam artian jalinan cerita tersusun secara urut

melalui peristiwa-peristiwa yang terjadi dapat dipahami secara lengkap

mulai awal sampai akhir cerita. (e) Sudut pandang yang digunakan pada alur

novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Sinden

pengarang berada di luar cerita.


2. Hubungan intertekstual berdasarkan keterkaitan unsur pembangun novel,

novel Ronggeng Dukuh Paruk sebagai hipogram dan novel Sinden sebagai

transformasinya. Persamaan dan perbedaan unsur-unsur struktur novel.

Persamaan: tema pada kedua novel yaitu sosial budaya, perjuangan wong

cilik sebagai penari ronggeng dan pesinden, penokohannya menggunakan

tokoh wanita muda belia yang cantik belia, alur kedua novel menggunakan

alur maju, setting waktu sekitar tahun 1960-an, sudut pandang atau Poin of

View - . Perbedaan: penokohan pada novel

Ronggeng Dukuh Paruk tokoh utama Srintil menjadi ronggeng karena

panggilan, sedangkan untuk novel Sinden tokoh uatama Tumi karena cita-

cita, latar tempat pada novel Sinden menggunakan latar desa yang agak

maju (dibawah pimpinan Priyayi) sebagai latar primer yaitu desa

Sumberwungu, sedangkan novel Ronggeng Dukuh Paruk menggunakan

latar pedukuhan terpencil, miskin, terbelakang yaitu dukuh Paruk, setting

sosial novel Ronggeng Dukuh Paruk menghadirkan sosial kemasyarkatan

masyarakat pedesaan dengan penuh keluguan dan kesederhanaan,

sedangkan segi sosial novel Sinden menghadirkan latar suasana masyarakat

campuran antara wong cilik dan priyayi yang penuh keangkuhan.

3. Nilai pendidikan novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Sinden ialahnilai

pendidikan religius, nilai pendidikan budaya, nilai pendidikan sosial, dan

nilai pendidikan moral. Keempat nilai pendidikan tersebut terintegrasi dan

diwujudkan dalam kedua novel masing-masing melalui penggambaran

perwatakan para tokoh-tokohnya.


B. Implikasi

Perkembangan dan perubahan paradigma sastra perlu direspon secara

positif. Hai itu karena karya sastra khususnya novel memuat fenomena kehidupan

yang dapat direalisasikan pemanfaatannya dalam dunia pendidikan. Dalam

konteks ini kajian intertekstual pada novel RDP dan Sinden akan mampu

menambah wawasan manusia yang memiliki kepakaan rasa, empati, jiwa dan

pikiran jika dibaca dengan cermat, teliti penuh pemahaman. Sebab sastra adalah

sebuah refleksi kehidupan dengan fenomena yang tertata secara rasional yang

terjadi di masyarakat.

Dalam novel RDP dan Sinden menawarkan fenomena kehidupan

masyarakat lapisan bawah dalam berjuang untuk perubahan kelangsungan

hidupnya. Srintil dalam RDP perempuan yang menjadi penari ronggeng kurban

pemaksaan budaya leluhur yang selalu mendapat nasib kemalangan hidupnya,

tetap berjuang menuju perubahan nasibnya untuk menjadi perempuan seutuhnya.

Begitu pula Dukuh Paruk yang selalu membanggakan budaya leluhurnya dan

membiarkan tindak asusila dalam kehidupannya ternyata tidak membawa

kedamaian dan kebahagiaan selalu datang bencana menyertainya. Maka putra

Paruk, Rasus berani hidup keluar dari Paruk sehingga dapat menemukan

jatidirinya. Begitu pula dalam novel Sinden yang menawarkan paradigma baru

menjadi sinden harus dapat menjujung tinggi citra sinden. Agar pesinden

mempunyai martabat dalam masyarakat. Dengan demikian novel ini akan mampu

memberi nilai-nilai baru yang dapat diteladani. Nilai tersebut antara lain : nilai
religius, kompleksitas kehidupan sosial, pemahaman kebudayaan, serta kesadaran

untuk tidak mengekploitasi seks dalam kehidupan yang berdampak kurang baik.

Implikasi Teoritis bahwa dengan pesatnya penelitian sastra dengan

berbagai pendekatan maka penelitian sastra melalui pendekatan intertekstualitas

dapat memperkaya kajian telaah sastra. Model kajian secara struktural yang

dilanjutkan dengan intertekstualitas dapat dimanfaatkan menjadi acuan pengkajian

sastra yang berbeda dengan pendekatan yang berbeda pula. Kajian novel dengan

pendekatan intertekstualitas dapat pula menjadi solusi untuk mengatasi

kemandulan kajian sastra.

Implikasi Praktis diharapkan penelitian ini kajian novel dengan

pendekatan intertekstualitas ini merupakan salah satu novel yang menggunakan

dua pendekatan dalam menelaah dan mengapresiasi dua karya novel atau lebih.

Dua pendekatan yang dimaksud adalah pendekatan strukturalisme yang

dilanjutkan pendekatan intertekstual dapat dimanfaatkan sebagai bahan rujukan

telaah sastra dalam pembelajaran apresiasi sastra disekolah. Sehingga dalam

pembelajaran sastra tidak hanya sekedar teori saja, namun kegiatan apresiasi

sastra harus mampu mendorong peserta didik untuk lebih mencintai, memahami,

serta meneladani nilai-nilai yang terdapat dalam karya sastra sehingga akan

terbentuk pribadi yang dewasa.


C. Saran

Saran-saran ini ditujukan kepada para pendidik dan tenaga kependidikan,

peneliti sastra, dan para pembaca sebagai bahan pertimbangan dalam

mengabdikan tugas-tugas mereka:

1. Bagi Pendidik

a. Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan novel Sinden karya

Purwadmadi Admadipurwa sangat baik untuk digunakan sebagai bahan

pembelajaran sastra dan dapat pula digunakan untuk membandingkan unsure-

unsur struktur novel sehingga dapat ditemukan persamaan dan perbedaannya.

b. Nilai-nilai pendidikan yang terdapat pada Novel Ronggeng Dukuh Paruk

karya Ahmad Tohari dan novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa

yang berupa pendidikan sosial budaya, nilai-nilai religius, dan nilai

moral/budipekerti sangat baik untuk ditanamkan pada anak didik.

2. Bagi Pembaca

a. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca, khususnya

mengenai pembahasan tokoh dan perwatakannya.

b. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca mengenai nilai-

nilai pendidikan yang ada di dalamnya.

3. Bagi Peneliti Sastra

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk penelitian

berikutnya ketika menganalisis karya sastra, khususnya untuk pendekatan

intertekstual.

Anda mungkin juga menyukai