TESIS
ANDRIYATI RAHAYU
0606012844
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
PROGRAM STUDI ILMU SUSASTRA
DEPOK
JANUARI 2009
TESIS
ANDRIYATI RAHAYU
0606012844
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
PROGRAM STUDI ILMU SUSASTRA
PENGKHUSUSAN FILOLOGI
DEPOK
JANUARI 2009
NPM : 0606012844
Tanda Tangan :
DEWAN PENGUJI
Ditetapkan di :
Tanggal :
Oleh
Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
Naskah naskah..., Andriyati Rahayu, FIB UI, 2009 iii Universitas Indonesia
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur saya panjatkan kepada Tuhan YME karena karunia-Nya saya bisa
menyelesaikan tesis ini, lengkap dengan segala kekurangannya. Perkenankan saya
mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu saya dalam
menyelesaikan tesis ini.
1. Terimakasih kepada Dr. Titik Pudjiastuti dan Dr Ninie Susanti selaku pembimbing satu
dan dua, yang dengan kasih sayang dan kesabaran telah membimbing penulis dalam
menyelesaikan tesis ini.
2. Terimakasih kepada Prof. Dr. Achadiati dan Dwi Puspitorini, M.Hum selaku dewan
penguji yang bersedia meluangkan waktu untuk membaca tesis penulis dan
memberikan masukan-masukan yang berharga untuk tesis ini.
3. Terimakasih juga saya ucapkan kepada mas Agung Kriswanto, yang telah membantu
penulis dalam memahami isi dari naskah-naskah yang menjadi objek penelitian ini,
dan memberikan wawasan tentang arti kata-kata sulit dalam naskah saya.
4. Terimakasih kepada bu Hasni dan segenap karyawan PNRI yang telah membantu
penulis selama penelitian di PNRI.
5. Terimakasih kepada seluruh dosen-dosen arkeologi yang selalu memompakan
semangat dan menanyakan perkembangan tesis ini.
6. Terimakasih untuk mbak Nur dan mbak Rita juga seluruh karyawan FIB yang telah
membantu penulis selama ini.
7. Terimakasih untuk semua karyawan perpustakaan FIB-UI yang telah membantu
penulis dalam mencari data untuk kepentingan penulisan tesis.
8. Terimakasih untuk semangatnya kepada teman-teman Susastra, terutama angkatan
2006, mbak Dian, mbak Diyan, mbak Dina, Mbak Lina, Bram, Dika, Hana dan Come.
Juga teman-teman Susastra dari angkatan lain, dan teman-teman FIB dari jurusan lain,
terutama mbak Wiwin, yang sama-sama menyelesaikan tesis ☺.
9. Terimakasih untuk rekan-rekan arkeo, terutama Dian, untuk power point, laptopnya,
dan kesediannya bangun pagi-pagi. Untuk mbak Misra, makasih semangatnya. Untuk
Penulis
sebagai sivitas akademik universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non eksklusif
ini, Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/format-kan, mengelola
dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir
saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta
Dibuat di : Depok
Pada Tanggal : 5 Januari 2009
Yang Menyatakan
(Andriyati Rahayu)
1. PENDAHULUAN ……………………………………………………. 1
1.1. Latar Belakang……………………………………………………. 1
1.2. Permasalahan……………………………………………………… 6
1.3. Tujuan Penelitian………………………………………………….. 7
1.4. Tinjauan Pustaka dan Landasan Teori……………………………. 7
1.4.1. Tinjauan Pustaka…………………………………………… 7
1.4.2. Landasan Teori……………………………………………… 10
1.5. Ruang Lingkup Penelitian………………………………………… 13
1.6. Tahapan Penelitian…………………………………………. .. 14
1.7. Sistematika Penyajian ………………………………………........ 16
2. DESKRIPSI NASKAH………………………………………………. 17
2.1. Pendahuluan……………………………………………………… 17
2.2. Deskripsi Naskah Ramayana…………………………………….. 17
2.3. Deskripsi Naskah Parimbwan …………………………………… 20
2.4. Deskripsi Naskah Cacanden L 305………………………………. 29
2.5. Deskripsi Naskah Cacanden L105a………………………………. 32
Naskah naskah..., Andriyati Rahayu, FIB UI, 2009 viii Universitas Indonesia
4. TINJAUAN PERKEMBANGAN AKSARA NASKAH …………. . 57
4.1. Pendahuluan…………………………………………………………. 57
4.2. Bentuk Aksara-Aksara pada Naskah Merapi Merbabu……….. 58
4.3. Duktus Aksara-Aksara pada Naskah Merapi Merbabu………… 74
4.4. Ukuran Aksara-Aksara pada Naskah Merapi Merbabu………… 89
4.5. Kemiringan Aksara-Aksara pada Naskah Merapi Merbabu……. 92
4.6. Ketebalan Garis Aksara-Aksara pada Naskah Merapi Merbabu… 94
6. PENUTUP………………………………………………………………… 119
Naskah naskah..., Andriyati Rahayu, FIB UI, 2009 xii Universitas Indonesia
Gambar 5.19. Bentuk Aksara Sa pada Naskah Arjuna Wiwaha.................. 111
Gambar 5.20. Duktus Aksara Sa pada Naskah Arjuna Wiwaha.................. 112
Gambar 5.21. Bentuk Aksara Ka pada Naskah Kidung Subrata.................. 113
Gambar 5.22. Duktus Aksara Ka pada Naskah Kidung Subrata.................. 114
Gambar 5.23. Bentuk Aksara Ga pada Naskah Kidung Subrata.................. 114
Gambar 5.24. Duktus Aksara Ga pada Naskah Kidung Subrata.................. 115
Gambar 5.25. Bentuk Aksara Na pada Naskah Kidung Subrata.................. 115
Gambar 5.26. Duktus Aksara Ka pada Naskah Kidung Subrata.................. 116
Gambar 5.27. Bentuk Aksara Sa pada Naskah Kidung Subrata.................. 116
Gambar 5.28. Duktus Aksara Sa pada Naskah Kidung Subrata.................. 117
Naskah naskah..., Andriyati Rahayu, FIB UI, 2009 xiii Universitas Indonesia
DAFTAR FOTO
Naskah naskah..., Andriyati Rahayu, FIB UI, 2009 xiv Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN
Tesis ini membahas tentang variasi bentuk dan pola perkembangan aksara Buda dalam
empat naskah Merapi Merbabu.dan dikaitkan dengan penanggalan naskah. Penelitian ini
memakai metode dinamis yang menganalisis aksara berdasarkan bentuk, ukuran,
kemiringan, ketebalan, dan duktus dari aksara yang bersangkutan.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa:
1. Aksara Merapi Merbabu mempunyai bentuk yang bervariasi
2. Semakin mutakhir usia naskah, jumlah duktusnya semakin sedikit
3. Semakin mutakhir usia naskah, jarak antar aksara semakin renggang
4. Semakin mutakhir usia naskah, penulisan aksaranya semakin tegak .
5. Semakin mutakhir usia naskah, garis pada aksara semakin tipis.
Kata kunci:
Naskah Merapi Merbabu, Perkembangan Aksara Buda, Metode Dinamis
ABSTRACT
This thesis is discussing about the variation of forms and patterns of development in
Buda alphabetical letters. It consists of four dated manuscripts of Merapi Merbabu
collection. This research analyzed the manuscripts according to its date. This research
applies dynamic method in analyzing letters based on the letter’s form, size, inclination,
thickness and ductus.
The result of this research was concluded as below:
1. The letters of Merapi Merbabu have many variations in it’s form.
2. The more recent manuscript has less ductus than the older one.
3. The more recent manuscript has more spaces between letters than the older one.
4. The more recent manuscript has less inclination letters than the older one.
5. The more recent manuscript has thinner letters than the older one.
Naskah naskah..., Andriyati Rahayu, FIB UI, 2009 vii Universitas Indonesia
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1
Naskah-naskah yang tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, terdiri dari beberapa koleksi.
Koleksi-koleksi tersebut umumnya dinamakan sesuai nama pemilik atau kolektor naskah sebelumnya. Misalnya
koleksi CS merupakan singkatan dari Cohen Stuart, kolektor naskah tersebut sebelumnya. Koleksi Merapi
Merbabu dinamakan sesuai dengan tempat penemuan naskah (Kuntara Wiryamartana dan W. van der
Molen, “The Merapi-Merbabu Area Manuscripts, A Neglected Collection,”Bijdragen tot de Taal-,
Land-, en Volkenkunde, 157 (2001:51))
2
Istilah sastra Jawa Kuna mengacu pada karya-karya sastra yang ditulis pada masa kekuasaan Mpu
Sindok sampai dengan Kerajaan Majapahit, yaitu sekitar abad 9-14 M (Sri Sukesi Adiwimarta,
“Periodisasi”, Sastra Jawa Kuna: Suatu Tinjauan Umum, ed. Edi Sedyawati, Jakarta: Balai Pustaka,
2001:3).
3
Istilah sastra Jawa Baru mengacu pada karya-karya sastra yang ditulis pada masa keraton Mataram
Islam dan berlanjut pada masa Keraton Surakarta dan Yogyakarta, yaitu sekitar abad 18-19 M (ibid).
4
Penelitian ini melacak transformasi teks Arjuna Wiwaha sebagai karya sastra Jawa Kuna, hingga ke
teks Wiwaha Jarwa yang merupakan karya sastra Jawa Baru. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa
antara teks Arjuna Wiwaha dan teks Wiwaha Jarwa dihubungkan oleh teks Wiwaha Kawi Jarwa. Salah
satu naskah yang memuat teks Wiwaha Kawi Jarwa adalah lontar 181, yang termasuk dalam koleksi
Merapi Merbabu .
Aksara Buda mempunyai bentuk yang berbeda dengan aksara Jawa Baru
ataupun aksara Bali. Pigeaud (1967:53) berpendapat bahwa bentuk aksara Buda lebih
mirip dengan aksara yang digunakan di Jawa pada masa pra Islam. Penamaan aksara
Buda mengacu pada ajaran agama yang terkandung dalam naskah-naskah tersebut yang
umumnya adalah ajaran agama pra Islam5. Aksara Buda disebut juga aksara gunung.
Hal ini disebabkan naskah-naskah yang menggunakan aksara ini umumnya ditemukan
di gunung-gunung (Pigeaud, 1967:53, 81 dan 283; 1970:53-54).
Ditemukannya naskah-naskah tersebut di daerah pegunungan diperkirakan
karena di daerah pegunungan tersebut juga terjadi kegiatan keagamaan yang berkaitan
dengan kegiatan penulisan dan penyalinan naskah. Penelitian Wiryamartana (1993:503)
membawa pada satu kesimpulan bahwa daerah Merapi Merbabu dahulu merupakan
satu kompleks yang terdiri dari beberapa skriptorium. Dimungkinkan bahwa mereka
yang tinggal di skriptorium ini adalah juga para agamawan yang sedang menimba ilmu
(Yulianto dan Pudjiastuti, 2001:205).
Diperkirakan, pada awalnya, di wilayah Merapi Merbabu ini berdiri suatu
mandala yaitu pusat kajian keagamaan yang didirikan oleh para Brahmin. Para Brahmin
ini menempati suatu wilayah tertentu, yaitu mandala tersebut, sebagai tempat untuk
berkreasi dan mengajarkan hal-hal keagamaan. Mandala di sekitar Merapi Mebabu
merupakan salah satu mandala yang mempunyai peran demikian. Selain sebagai tempat
menimba ilmu keagamaan, wilayah Merapi Merbabu juga menjadi tempat bagi para
Brahmin untuk menuliskan ajaran-ajarannya pada lontar (Munandar, 2001:101). Jadi
mereka menuntut ilmu keagamaan sekaligus menulis dan menyalin naskah-naskah,
yang sebagian di antaranya juga dianggap sebagai kitab suci mereka.
Penelitian yang dilakukan oleh Wiryamartana dan Molen (2001:58)
menunjukkan bahwa bentuk aksara Buda yang digunakan dalam tiap naskah berbeda-
beda. Hal itu terjadi akibat perbedaan waktu penulisan. Perbedaan daerah dan
perbedaan gaya tulisan tangan juga turut mempengaruhi perbedaan bentuk aksara
Wiryamartana dan Molen (2001:62) menganalisis kaitan antara perbedaan waktu
penulisan dengan bentuk aksara ‘sa’ dari tiga buah naskah. Ketiga naskah itu
mempunyai penanggalan yang berbeda-beda yaitu 1521 M, 1632 M dan 1710 M.
5
Di Jawa, ketika agama Islam mulai berkembang, masa sebelum masuknya agama Islam disebut zaman
Buda (Th.G.TH Pigeaud, Literature of Java. Vol I: Synopsis of Javanese Literature, 900-1900 AD (The
Hague: Martinus Nijhoff, 1967:54))
Kesimpulan mereka, ada proses penyederhanaan penulisan aksara’sa’ dari naskah yang
tua ke naskah yang lebih mutakhir.
Namun, tentu saja kesimpulan tersebut belum mewakili seluruh naskah karena
mereka hanya meneliti satu aksara dari tiga naskah. Jadi, masih terbuka kemungkinan
untuk penelitian lebih lanjut tentang aksara Buda pada naskah-naskah Merapi Merbabu.
Penelitian terhadap aksara Buda dalam naskah-naskah Merapi Merbabu diharapkan
akan dapat memberi gambaran tentang variasi bentuk aksara tersebut dan kaitannya
dengan penanggalan naskah karena tidak semua naskah Merapi Merbabu mempunyai
penanggalan.
Penelitian ini akan membuka pintu bagi peneliti-peneliti lain dalam mengkaji
naskah-naskah koleksi Merapi Merbabu. Pertama, hasil penelitian ini diharapkan akan
dapat menambah pengetahuan mengenai bentuk-bentuk aksara Buda dan membantu
peneliti-peneliti selanjutnya untuk melakukan pembacaan yang tepat terhadap naskah-
naskah Merapi Merbabu. Kedua, penelitian ini akan menarik minat penelitian lain
tentang hubungan antara aksara-aksara pada naskah Merapi Merbabu dengan aksara
Jawa lainnya. Penelitian tersebut akan sangat berguna untuk melacak perkembangan
aksara Jawa Kuna yang terputus setelah runtuhnya kerajaan Majapahit.
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, naskah-naskah Merapi Merbabu
sangat variatif dari segi aksara, bahasa, penanggalan, isi, dan aspek agama. Hal ini
menunjukkan kedinamisan skriptorium yang ada di daerah Merapi Merbabu.
Kehidupan kesusastraan di mandala ini akan sangat menarik bila dikaji lebih lanjut.
Penelitian tentang peranan mandala atau skriptorium Merapi Merbabu terhadap
kehidupan kesusastraan di pusat kerajaan akan mengungkapkan proses pelestarian
naskah-naskah Jawa Kuna yang sampai pada kita.
Dari penelusuran naskah pada katalog naskah Merapi Merbabu diketahui bahwa
dari sekitar 400 naskah Merapi Merbabu yang tersimpan di Perpustakaan Nasional RI,
hanya sekitar 53 naskah yang mencantumkan penanggalan. Itu berarti sekitar 350
naskah lainnya tidak diketahui waktu penulisan atau penyalinannya. Dengan
mengetahui bentuk aksara Buda yang ada dalam naskah-naskah Merapi Merbabu,
diharapkan dapat diperkirakan penanggalan atau masa penulisan naskahnya. Lebih
jelasnya lagi, penelitian ini diharapkan dapat membantu peneliti selanjutnya dalam
1.2. Permasalahan
Berdasarkan pemaparan di atas, permasalahan penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah teks dari keempat naskah tersebut di atas ?
2. Bagaimanakah variasi bentuk dan pola perkembangan aksara dalam keempat
naskah tersebut dan kaitannya dengan penanggalan naskah?
kolofon yang berisi informasi tentang penanggalan dan penyalinan naskah. Dalam
tesisnya, Astuti memakai model dinamis untuk meneliti bentuk aksara Ulu. Penelitian
yang dilakukan oleh Astuti ini terutama memberikan gambaran tentang penerapan
model dinamis dalam penelitian paleografi.
Penelitian paleografi lainnya juga menggunakan model dinamis dilakukan oleh
Anton Wibisono (2006) dalam skripsinya yang berjudul “Perkembangan Aksara
Bercorak Khusus pada Prasasti-prasasti abad XV M: Sebuah Kajian Paleografi”.
Penelitian ini menganalisis aksara pada sejumlah prasasti yang ditemukan di Jawa
Timur, yang tidak memiliki pertanggalan. Prasasti-prasasti itu antara lain prasasti Gerba
dan Widodaren yang ditemukan di Malang dan prasasti Pasru Jambe yang ditemukan di
daerah Lumajang. Hasil penelitiannya berupa tabel paleografi aksara dari masing-
masing prasasti. Dari tabel tersebut, dapat ditentukan kronologi relatif dari masing-
masing prasasti.
Model dinamis diterapkan oleh Willem van der Molen pada prasasti di
Indonesia ketika ia meneliti bentuk aksara prasasti Ngadoman. Pada mulanya, aksara
prasasti Ngadoman oleh Casparis (1975:65-66) dianggap sebagai penyederhanaan dan
kelanjutan dari bentuk aksara pada prasasti-prasasti Majapahit. Pendapat ini dibantah
oleh Molen (1985:10-12) yang mengatakan bahwa aksara prasasti Ngadoman justru
lebih rumit daripada aksara prasasti-prasasti Majapahit. Molen mengemukakan hal
tersebut setelah ia menganalisis bentuk aksara prasasti Ngadoman dengan model
dinamis.
Poerbatjaraka pada tahun 1926 pernah melakukan penyuntingan terhadap teks
Arjuna Wiwaha. Suntingannya tersebut memakai 12 naskah dan satu terbitan. Dari 12
naskah tersebut, di antaranya adalah naskah koleksi Merapi Merbabu. Naskah-naskah
yang termasuk koleksi Merapi Merbabu tersebut adalah lontar 181, lontar 164, lontar
220, dan lontar 641. Poerbatjaraka (1926:8) tidak menyebut aksara dalam naskah-
naskah tersebut sebagai aksara Buda. Ia menyebutnya sebagai aksara Bali pertengahan.
Pada tahun 1977, Soepomo melakukan penyuntingan teks Arjuna Wijaya. Ada
sekitar 20 naskah yang berisi teks Arjuna Wijaya, tetapi Soepomo hanya menggunakan
10 naskah sebagai dasar suntingannya. Dari kesepuluh naskah tersebut, satu di
antaranya yaitu Cod.219, menurut Soepomo menggunakan aksara yang tidak umum.
Sesudah diadakan perbandingan dengan bentuk-bentuk aksara lainnya, Soepomo
berpendapat bahwa aksara pada naskah Cod. 219 lebih dekat pada aksara Sunda (hlm.
86). Namun setelah dilakukan penelitian lebih lanjut, diketahui bahwa Cod. 219
termasuk ke dalam koleksi Merapi Merbabu (Wiryamartana, 1993:1).
Riboet Darmasoetopo (1982:291) meneliti naskah pribadinya yang disebut
sebagai keropak dari Dakan. Ia menyebut aksara yang digunakan dalam keropak itu
adalah aksara Kawi yang sudah mengalami perkembangan. Dalam penelitian yang
dilakukan oleh van der Molen (1983:293-294) dapat diketahui bahwa aksara yang
digunakan dalam keropak itu sama dengan aksara yang digunakan dalam naskah lontar
53 dan lontar 187 yang berisi teks Kunjarakarna.
Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa tiap peneliti mempunyai istilah
masing-masing untuk menyebut aksara yang digunakan dalam koleksi Merapi
Merbabu. Hal ini mungkin disebabkan karena istilah aksara Buda belum dikenal.
Istilah aksara Buda atau aksara gunung diperkenalkan oleh Pigeaud pada tahun
1967 dalam bukunya yang berjudul Literature of Java. Vol I: Synopsis of Javanese
Literature, 900-1900 AD (hlm.53-54). Namun Pigeaud bukanlah orang pertama
menyebut aksara dalam naskah-naskah Merapi Merbabu ini sebagai aksara Buda.
Ranggawarsita, seperti yang dikutip oleh Wiryamartana (1993:507), pernah
menyebutkan “Punika haksara Buda hingkang kahangge para hajar-hajar hing redi”:
(ini adalah aksara Buda yang digunakan oleh para agamawan di gunung).
Keberadaan naskah-naskah Merapi Merbabu semakin menjadi perhatian setelah
terbit karya Willem van der Molen (1983) yang berjudul Javaanse Tekst Kritiek. Een
Overzicht en Een Nieuwe Benadering Geillustreerd Aan de Kunjarakarna. Dalam
bukunya tersebut, van der Molen selain melakukan suntingan teks juga membicarakan
aksara Buda yang digunakan dalam teks Kunjarakarna koleksi Merapi Merbabu yaitu
lontar 187 dan lontar 53.
Pada tahun 1990, Wiryamartana menulis sebuah buku berjudul Arjuna Wiwaha:
Transformasi Teks Jawa Kuna lewat Tanggapan dan Penciptaan di Lingkungan Sastra
Jawa. Buku tersebut membicarakan transformasi teks Arjuna Wiwaha ke serat Wiwaha
Jarwa. Namun secara singkat dibicarakan juga tentang bentuk-bentuk aksara Buda yang
ada pada naskah Arjuna Wiwaha koleksi Merapi Merbabu, lontar 165. Kesimpulannya,
aksara lontar 165 mirip dengan aksara naskah Kunjarakarna lontar 187 dan lontar 53
(hlm. 20-22).
aksaranya, teks dalam naskah-naskah tersebut akan disunting terlebih dahulu. Oleh
karena itu, penelitian ini menggunakan pendekatan filologi selain pendekatan
paleografi.
Paleografi adalah ilmu yang mempelajari tentang aksara kuno dan melacak
perkembangan bentuk aksara. Tujuannya agar suatu dokumen kuno dapat dibaca
dengan benar dan bila perlu, diperkirakan penanggalannya. Pengetahuan tentang bentuk
aksara ini adalah prasyarat bila kita ingin mengolah sumber-sumber sejarah yang
berupa tulisan (Naveh, 1982:6).
Untuk seorang filolog, pengetahuan tentang paleografi antara lain berguna
untuk menghindari kesalahan pembacaan teks. Kesalahan pembacaan akan
mengakibatkan kesalahan penerjemahan dan pada akhirnya akan membawa kekeliruan
pada penafsiran teks yang bersangkutan. Dalam hal ini, studi tentang tulisan diperlukan
untuk menghindari hal tersebut. Dengan cara ini paleografi menjadi ilmu bantu bagi
filologi (Robson, 1978:29). Di lain pihak, analisis terhadap aksara dalam suatu naskah,
akan lebih akurat jika teks naskah itu disunting terlebih dahulu. Hal itu perlu dilakukan
untuk menghindari terjadinya kesalahan penafsiran bentuk aksara tertentu (Astuti,
2005:15).
Penyuntingan naskah dapat dilakukan dengan metode diplomatik dan metode
kritik. Metode diplomatik adalah metode penyuntingan teks dimana teks yang disajikan
sama seperti teks yang terdapat dalam naskah sumber. Sebaliknya metode kritik adalah
metode penyuntingan dimana penyunting mengidentifikasikan bagian teks yang
bermasalah dan memberi alternatif perbaikan (Robson, 1994:24-25).
Dalam penelitian ini penyuntingan akan dilakukan dengan metode diplomatik
dan kritik. Metode diplomatik digunakan dengan tujuan agar pembaca dapat mengikuti
teks dengan teks yang tercantum dalam naskah sumber. Metode kritik digunakan agar
pembaca dapat memahami makna dari teks yang disajikan. Selain itu tujuan
penggunaan metode kritik dalam penelitian ini adalah untuk menghindari kesalahan
penafsiran bentuk aksara dalam teks tersebut. Dalam penelitian ini edisi yang memakai
metode kritik disajikan dengan koreksi dari peneliti.
Tahap selanjutnya yang akan dilakukan adalah penerjemahan. Menurut Nida
dan Taber (1969:12) terjemahan adalah pengungkapan kembali pesan bahasa sumber ke
dalam bahasa sasaran dengan padanannya yang paling alamiah, pertama-tama artinya,
kemudian gaya bahasanya. Dalam penelitian ini, penerjemahan lebih ditekankan pada
arti bukan gaya bahasa, karena tujuan penelitian ini adalah untuk melihat
perkembangan aksara. Selain itu teks yang diterjemahkan tidak terlalu panjang,
sehingga tidak memerlukan penafsiran yang terlalu luas.
Penelitian ini berkaitan dengan unsur kronologi. Oleh karena itu, akan
dilakukan tinjauan terhadap naskah-naskah yang sezaman. Dalam penelitian tentang
sumber tertulis, proses ini dikenal dengan nama kritik. Tujuannya adalah untuk
menguji kredibilitas data yang berupa sumber tertulis. Apakah data yang digunakan
dalam penelitian ini otentik dan tidak terdapat anakronisme? (Yulianto, 1996:15).
Dalam penelitian ini, tinjauan terhadap naskah-naskah yang sezaman bertujuan untuk
membuktikan bahwa naskah-naskah yang dijadikan data utama memang benar berasal
dari tanggal yang disebutkan dalam kolofonnya. Caranya adalah dengan
membandingkan naskah-naskah utama dengan naskah-naskah lain yang sezaman.
Dalam penelitian tentang sumber sejarah tertulis, kritik terbagi menjadi kritik
ekstern dan kritik intern. Kritik ekstern dilakukan dengan cara membandingkan unsur
fisik dari data utama dengan unsur fisik dari sumber lain yang sejenis dan sezaman.
Apakah unsur fisik antara kedua sumber tersebut mempunyai kesamaan (Yulianto,
1996:17). Untuk naskah, akan dibandingkan unsur fisik naskah yang menjadi data
utama dengan unsur fisik naskah yang sezaman.
Sementara itu, kritik intern dilakukan dengan menguji isi dan bahasa yang
digunakan dalam data utama. Pengujian bahasa terdiri dari pengujian kata dan kalimat
yang digunakan dalam data utama (Yulianto, 1996:19). Jadi akan dilakukan pengujian
terhadap kata dan kalimat yang digunakan dalam naskah yang menjadi data utama.
Apakah kata-kata tersebut lazim digunakan pada masa yang tercantum di dalam teks?
Namun, dalam penelitian ini tidak akan dilakukan kritik intern, karena naskah-naskah
yang menjadi objek penelitian belum disunting.
Setelah dilakukan penyuntingan teks, akan dilakukan kajian terhadap bentuk
aksaranya. Dalam hal ini akan digunakan pendekatan paleografi. Salah satu tugas
paleografi adalah meneliti sejarah tulisan, yaitu menjelaskan perubahan bentuk tulisan
dari masa ke masa (Molen, 1985:4).
Menurut Molen (1985:9-10) ada dua cara untuk mengkaji bentuk aksara yaitu
model statis dan model dinamis. Model statis menganggap aksara hanya sebagai
susunan garis saja. Model ini bertujuan untuk meneliti bentuk aksara. Oleh karena itu,
dalam penelitian model statis, aksara dianalisis satu persatu. Sebaliknya, model dinamis
menganggap aksara atau tulisan sebagai hasil gerakan tangan dan terdiri dari unsur
nyata dan tidak nyata. Unsur nyata adalah aksara tersebut, sedangkan unsur tidak nyata
adalah gerakan tangan di udara ketika sedang menulis aksara tersebut. Perubahan dalam
bentuk tulisan dipahami sebagai gerakan perpaduan antara kedua unsur tersebut.
(Molen, 1985:9-10)
Penelitian ini bertujuan untuk meneliti perkembangan aksara Buda dalam
naskah-naskah Merapi Merbabu, dan model penelitian yang akan digunakan adalah
model dinamis. Melalui model penelitian ini diharapkan akan dapat diketahui sejarah
perkembangan aksara Buda dalam naskah-naskah Merapi Merbabu.
Perbedaan bentuk aksara dapat disebabkan oleh beberapa hal, misalnya
perbedaan waktu penulisan, perbedaan tempat dan perbedaan gaya tulisan tangan
(Wiryamartana dan Molen, 2001:58). Casparis (1975:9) menyebutkan beberapa hal
yang menyebabkan suatu aksara berubah. Pertama adalah perubahan teknik penulisan,
yang berkaitan dengan perbedaan alat dan bahan yang digunakan untuk menulis.
Kedua adalah perubahan selera, yang berkaitan dengan estetika dan keindahan. Ketiga
adalah kecenderungan untuk mencari bentuk yang lebih sederhana. Hal tersebut
dilakukan untuk menghindari upaya-upaya yang tidak perlu dalam penulisan suatu
aksara.
6
Tahun Merapi Merbabu (MM). Naskah-naskah Merapi Merbabu menggunakan sistem penanggalan
Saka, yang mempunyai perbedaan 78 tahun dengan sistem penanggalan Masehi (J.G. de Casparis,
Indonesian Chronology, (Leiden/Koln: E.J. Brill, 1978:3)). Namun penanggalan Merapi Merbabu
mempunyai beberapa perbedaan dengan sistem penanggalan Saka pada umumnya. Perbedaan itu
misalnya, satu windu MM terdiri dari lima tahun bukan delapan tahun. Selain itu dalam penanggalan
MM ada penyebutan Wuku luar dan Wuku dalam, yang masih belum diketahui maknanya. (Kuntara
Wiryamartana dan W. van der Molen, “The Merapi-Merbabu Area Manuscripts, A Neglected
Collection,”Bijdragen tot de Taal-, Land-, en Volkenkunde, 157 (2001:55-56)). Oleh karena itu tahun
MM dalam tesis ini tidak akan dikonversikan ke dalam tahun Masehi, karena beberapa unsur yang
belum diketahui maknanya.
2. Pengolahan Data
Pada kegiatan ini akan dilakukan penyuntingan dan penerjemahan teks.
Penyuntingan akan dilakukan dengan edisi diplomatik dan edisi kritik, sedangkan
penerjemahan yang akan dilakukan lebih menekankan pada arti, tidak pada gaya
bahasa.
Penyuntingan hanya akan dilakukan pada sebagian naskah saja, yaitu bagian
kolofon dan beberapa lembar lempir pertama. Penyuntingan sebagian teks dianggap
cukup untuk mengetahui bentuk-bentuk aksara Buda dari naskah-naskah yang
bersangkutan. Dalam hal ini juga dipastikan bahwa teks yang disunting dalam satu
naskah menggunakan aksara yang sama.
Tahapan selanjutnya dalam pengolahan data ini adalah analisis bentuk aksara
dari sumber data utama. Analisis ini menggunakan model dinamis dalam penelitian
paleografi. Analisis ini diawali dengan pembahasan bentuk aksara dari tiap naskah
yang menjadi sumber data utama. Selanjutnya dilakukan perbandingan bentuk
aksara dari tiap naskah, untuk mengetahui sejarah perkembangan aksaranya. Tidak
semua aksara akan diteliti. Aksara yang akan dianalisis adalah yang bentuknya
mengalami perubahan secara signifikan dan frekuensi kemunculannya cukup tinggi.
Bersamaan dengan analisis aksara akan dilakukan juga perbandingan dengan
naskah-naskah lain yang sezaman. Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah
naskah-naskah yang menjadi data utama memang berasal dari tahun yang
disebutkan dalam kolofonnya.
3. Penafsiran Data
Pada tahap ini, data utama yang telah diolah kemudian dilengkapi dengan data
penunjang, untuk selanjutnya ditafsirkan menjadi suatu kesimpulan yang utuh.
Kesimpulan inilah yang kemudian akan menjawab permasalahan penelitian ini.
BAB 2
DESKRIPSI NASKAH
Pendahuluan
Dalam bab ini akan disajikan deskripsi dari naskah-naskah yang menjadi data
utama. Ada empat naskah yang menjadi data utama dalam penelitian ini yaitu
Ramayana, Parimbwan, Cacanden L 305 dan Cacanden L 105a.
yang ada di tengah naskah dan mengikat lempirnya agar tidak terburai. Ujung tali di
akhir naskah diikatkan pada sekeping uang logam cina.
Naskah ini terdiri atas 132 lempir. Satu lempir naskah terdiri dari empat baris
tulisan. Tulisan pada recto dan verso. Kondisi naskah tidak terlalu bagus karena banyak
lempir yang patah, sobek dan berlubang-lubang. Empat lempir pertama keadaannya
sangat rusak. Sisi kiri dan kanannya patah. Oleh karena itu agak sulit untuk melihat
penanda awal teks. Lempir terakhir verso hanya terdiri dari dua baris tulisan di sisi
kanan dan tiga baris tulisan di sisi kirinya. Penanda akhir teks adalah sebagai berikut:
Selain patah geripis pada bagian pinggir naskah, kerusakan juga terjadi pada
bagian tengah naskah. Lubang tempat tali perangkai naskah bentuknya sudah tidak
bulat lagi, melainkan melebar karena rusak. Hal ini mengakibatkan beberapa aksara
pada bagian ini hilang. Kerusakan pada bagian tengah ini terjadi pada lempir pertama
hingga lempir keenam puluh.
Ada satu lempir yang patah menjadi dua dan bagian pinggirnya rusak. Lempir
ini juga terlepas dari tali perangkainya sehingga sulit untuk menentukan lempir
keberapa yang patah tersebut. Lempir tersebut ditempatkan sebagai lempir pertama.
Kerusakan-kerusakan yang terjadi pada naskah Kakawin Ramayana ini sebagai
berikut:
1. Lempir ke-1 patah menjadi dua dan terlepas dari talinya
2. Lempir ke-2 sampai ke-4 bagian pinggir kiri dan kanannya patah dan hilang
3. Lempir ke-9 sisi kiri atas geripis
4. Lempir ke-14 sisi kiri atas dan kanan bawah geripis
5. Lempir ke-16 sisi kiri atas geripis
6. Lempir ke-17 sisi kiri atas geripis
7. Lempir ke-20 sisi kiri atas geripis
8. Lempir ke-21 sisi kiri bawah geripis
Kuna. Naskah ini berisi teks Kakawin Ramayana yang dimulai dari Sarga VI.80.b
(Setyawati, dkk., 2002:236)
2.3. Parimbwan
Naskah ini tersimpan di PNRI di bagian naskah dengan kode naskah L 31 peti
7. Alas naskah berupa lontar berukuran 36,5 cm x 3,4 cm. Pengapit naskah terbuat dari
bambu berwarna coklat gelap. Ada tali pengikat berwarna merah dan putih yang dijalin
menjadi satu. Tali pengikat masuk ke dalam lubang yang ada di tengah naskah. Ujung
tali ini hanya dibuat simpul saja, tidak diikatkan pada apa pun.
Naskah ini terdiri dari 17 lempir. Kondisi naskah masih cukup bagus namun di
beberapa bagian naskah berlubang-lubang karena dimakan serangga. Selain itu di
bagian atas dan bawah lempir menghitam sehingga menyulitkan pembacaan. Tulisan
ada di sisi recto dan verso. Sisi recto lempir pertama kosong. Tulisan dimulai di sisi
verso lempir pertama.
Lontar pertama dan kedua patah di sudut kiri bawah sehingga beberapa aksara
hilang. Kondisi yang sama terjadi pada lempir ketiga di sudut kiri atas. Lempir
kesembilan mulanya patah menjadi dua, namun sudah disatukan kembali dengan
menggunakan double tape. Bagian yang patah pada lempir ini ada di tengah-tengah
naskah, sehingga tidak mengganggu tulisan. Kondisi lempir-lempir selanjutnya baik.
Bagian awal tulisan tidak terlalu jelas karena kondisi tulisan yang menghitam.
Berdasarkan keterangan pada katalog diketahui bahwa tahun penulisan adalah
1536 MM. Tempat penulisan adalah kaki gunung Kanistan sisi tenggara, lereng alas
Mamalang, Pangudaksitan, Sesela. Penulis naskah adalah Ki Batur Alihan. Aksara yang
digunakan aksara Buda dan bahasanya Jawa Kuna. Teks berbentuk prosa dan rajah
yang berisi tentang obat-obatan, mantra untuk mempengaruhi orang, obat-obatan dan
rajahnya, mantra dan rajahnya (Setyawati, dkk., 2002:26).
Berikut akan disajikan gambar-gambar yang ada pada rajah beserta keterangan
singkatnya7:
7
Keterangan tentang gambar-gambar rajah ini didapat berdasarkan pembacaan sekilas pada naskah yang
bersangkutan, tidak melalui proses penyuntingan dan penerjemahan yang baku. Selain itu banyak kata-
kata yang sulit diterjemahkan, sehingga keterangan mengenai gambar-gambar rajah ini belum
memadai. Oleh karena itu perlu diadakan penelitan lebih lanjut untuk mengetahui secara lengkap
maksud dari gambar-gambar rajah yang bersangkutan .
a. Lempir 3 recto
Rajah ini digunakan sebagai sarana agar seorang ibu cepat melahirkan
Rajah ini digunakan sebagai sarana untuk mengobati penyakit muntah nanah.
c. Lempir 8 recto
d. Lempir 8 verso
e. Lempir 9 verso
f. Lempir 10 verso
Rajah ini digunakan sebagai sarana untuk memperbesar alat kelamin pria.
g. Lempir 11 verso
8
Belum diketahui secara jelas, apa yang dimaksud dengan penyakit Suren tersebut
9
Belum diketahui secara jelas, apa yang dimaksud dengan penyakit Tarangan tersebut
Rajah ini sebagai sarana agar orang menjadi waras. Tulisan pada rajah adalah
’yapaye’, namun apa kaitan tulisan tersebut dengan penggunaan rajah belum
diketahui secara pasti.
10
Waras berarti sehat (Tim Balai Bahasa Yogyakarta, 2001:841). Namun penyakit apa yang dapat
disembuhkan melalui rajah ini belum diketahui secara pasti.
Rajah ini digunakan sebagai sarana untuk membuat minyak tertentu yang
digunakan dalam pengobatan.
Rajah ini digunakan sebagai sarana untuk membuat minyak tertentu yang
digunakan dalam pengobatan.
Rajah ini digunakan sebagai sarana agar janin dalam kandungan selamat
11
Tidak didapat keterangan yang jelas mengenai kegunaan rajah ini di sawah.
verso, tulisan hampir tidak terbaca. Selain karena laminasi, juga karena tulisan pada
lempir ke-12 ini amat tipis. Tidak ada penanda akhir teks.
Lempir 50b berisi daftar pancawara dan nilainya, yang diilustrasikan dengan
gambar berikut
Gambar 2.21. Daftar Pancawara dan Nilainya pada Naskah Cacanden L 305
Gambar rajah di verso lempir terakhir berjumlah dua buah, terletak di sebelah kiri
dan kanan. Ilustrasi gambar rajah tersebut adalah sebagai berikut
Rajah di sisi sebelah kiri
Keterangan lain tentang rajah ini tidak jelas karena kerusakan pada beberapa aksara.
BAB 3
SUNTINGAN TEKS DAN TERJEMAHAN
aslinya dan dicetak miring. Terjemahan disajikan sama dengan suntingan teks yang
menggunakan metode kritik, yaitu berdasarkan bait-bait yang ada dalam teks aslinya.
Kamus yang digunakan oleh peneliti dalam proses penerjemahan ini adalah:
1. Kamus Jawa Kuna – Indonesia karya P.J. Zoetmulder dan S.O Robson
2. Kamus Jawa Kuna –Indonesia karya L. Mardiwarsito
3. Kamus Pepak Bahasa Jawa karya Drs. Slamet Mulyono
4. Kamus Basa Jawa karya Tim Balai Bahasa Yogyakarta
5. Javanese –English Dictionary karya S. O . Robson dan Singgih Wibisono
6. Javaans-Nederlands Handwoordenboek karya Dr. Th. Pigeaud
7. Baoesastra Djawa karya W.J.S. Poerwadarminta
2. Ħiron) warâhĕn) // śrî ya caturwara ni kaşŃa waranya rudrâŋ kâ suń saŋ-i wuku
nikâ raşikâ kaliwon) tîtî maşa şŃimiya sukla wulanya dâśa câtur timķtŃa maşa riŋ
kamajaya dewa // lâlamba –e kurakahu śaśakala mîlara uttîya weña magaweŕ
kķta kâla nâna om sidña tâ saŋ-amacâ sida saŋ hañrewya om śrî saraswati namâ
śwa ha -- --
3. ne şsa -ta mŋur //0// waneĥ duk aneń kane ha jĕŋ gwa nya hanurat)
Parimbwan L 31
Lempir 1 Recto
1. ôm awiănam-astu nama sidñi //0// kayowanan) şra, kalajaŕ, parud) sahań uyaĥ
kawak) asĕm) lama pipis) ma ôm râ nini baŃari duŕgga sun suru de kayowanan)
nira no
2. ra hanâ hana śihî ki kalajaŕ nora tâ gatěl) horâ mandi tamba saŋar hayan buyan
wuñug) busuń siń lara waras) // pupuĥ -- na pisiĥ, sarana ma o caňdrâ ñitya riń
maŃanku kiwâ t-ěn) tan ka
3. saputâ deniń megâlamad-lamad) śuŋ sań carik) clĕriń waĥ hapañaŋ // gwa niŋ
haŋudań woń luŋa su -- -- -- -- (lempir rusak) mamanya, kaŋ luŋa kumi baňu
… ma ôm sihanu dak kumi baňu den kadi pga pu
4. -- -- ña kummi baňu, puyut ka atine şihanu tan paŋan tan paturu paŋaŋnaŋna
mareŋ haku tkaŋ les) -- -- -- yan sapkan) hāsta warâ yammâ hindra // saŋ ulat
ulat aku mańsâ, mu, den kadi galakane
1. Itiħ pariribwan) samapta tlas tinulaѓ hijĕŋhira sań hyań giri kanişťan
sar
3. Sor riń kadañora higil riń kasnĕt parabĕ kaŋ hanurat ki batuѓ hali
4. han) cedaksara riń paŋucap // maŋkana palawe lawe ni pun-dwa niń ŋani
Lempir 17 Verso
1. -- -- --rajaĥ – ta ha-- -- luwiĥ de naŋ rasa – waŋ akweĥ -- -- -- tra halok anegol)
ajiñě kanigul tan patut=guru şaśaĦâ dereń wrahħ i guru -- gu , aksarâ ha
3. ŋ aparâ sadu, tahâ kira wĕwĕhanâ lwiĥ lwaŋana atuk iŋ asisinahu kapurahâ deni
kâŋamacâ mâruŋu sampun=adriĥ iñĕp iñĕp aniliĥ tan=poliĥ muha hami
piruŋwa//
Cacanden L 305
Lempir 1 Recto
1. //0// ôm awiănam=astu nama siñĕm) //0// ana kiduń rame hutama ramene
yen=şira haŋa wuĥ hana ke hujaŕr=agati sań wbaĥ hayune śa
3. wrsaba ganti ki -- minta nari kapin) tlune, rakati kapi pat)te siŋ=akanya ganti
niki ρapararasen=ka w-ha -na maŋke // tula rasi maŋke mķsika
4. ganti niki, danu makara keĥ hudan- ... mina hakeĥ jawuĥ hudane tka niŋ-
anenka wuh hakna ri kaki watara kesaŋa twaĥ lek)
Lempir 52 Verso
1. // (pu)kulu sań tabe nama siwaya hamĕñĕk) daga sapon sapon paduka baŃara
hene ñawi haluwarri sukrĕtane si jabań bayi kaki wěwili nini wěwili ka -i
samatara nini samatara , kaki
2. -- -- kala nini sakala, kaki sakat) nini sarakat) kaki kabaya nini kaba kaki
pañarika nini pañarikan) bagawan) pulasara bagawan) raspati bagawan) sitra
gotra hiki
3. ... (lempir patah) sajini rahaja hagoña bacana hasukwita si jabań bayi sakuraŋ
amaŋan naŋ inun) hikih picisatak) salawe tutukok)kĕna kuraŋ aguń de sa
4. ... (lempir patah) lara roga sań ki taya, mulih mari taya, lara wiăna saki tan ana,
mulih mari tan ana, lara wiăna saki mukha muliĥ, mari mukha, itiĥ sarińŋi
mantra si mantra nana hajaka
Lempir 50 Recto
1. Dammaluń kań nular mamaŋu yo, sampun=kurań paŋapura, manawi hana harsa
maca muwah, kań ŋrĕŋĕ denpunn=aguń paŋapurane, ha sa du -- --
2. lit) kadi cinakaŕ ri rakaŃa, tuna den) wĕwĕhana, lĕwiĥ den alońŋ ana denira pun
akawi parab=iń batur ri wana kuju , dawu -- -- -- --
3. la soma manis) hasŃarawa humma sadrara haŕyań wahsa kań triwarane, taŋgale
pitělulas) i sakala kuda bramana guli siti
Lempir 50 Verso
Daftar Pancawara
lagi , pahiń hěpon) wage kaliwon) //
3. tupĕk pinaka woĥ boga bogĕm dadi sarwa ginĕgĕm) hulun=mutik-iwa dadi hala
-- -- --
4. Ĝepas) muŕĜapas)
Cacanden L 105a
Lempir 1 Recto
1. //0// ôm awiănam=astu nama sidĕm) //0// ana kiduń ramene yen=sira
ŋawruhhakna hakweh hujaŕr=agati sań wruh hayu kaŋhaŋapus) hapupuĥ
tĕmЪuń kulante hiŋ=âpus=de ra sań ka
3. kara keh hudan=kumЪa kaki gumanti raki mina, akiĥ jawĕĥ hudane tka
niŋ=anen karuha – ri kaki waŃarane kasa, katŋaĥ lek) // yan meşa rasi -- -- -- ri
pamimite ρari putiĥ kaŋ=hutama ta -- -- na hya -- -- -- -- --
4. Ħata pakanipun) sań hyań ŋindra dewatane hudane panujo niki dan=lima lek ka
lawan) // wrsaba raśine pari pamimite ρari habań winihaĦ=ira taρa – ni hyań rasi
huru kata pa ka -- -- pu n) -- -- -- -- -- --
Lempir 42 Verso
1. ŋin kapaŋgiĥ, han deĦiŋ i bapa pîtu kapayuŋana -- nira şań hyań daŕmma
den=śa mpuŕwa ripurna bini şekan) prasida nira sabini şekan-prasida nira sań
ŋabisaka dipun=şamgi daŕgayu saşaripuŕna waśtu hayu pukulun) itiĥ , pa ,// ye
nya ra
3. du – bumi saŋ buta yutan tuŃuwaĦa ŋabuyutana saŋ śamatara deśa ca, lataŕ
gonya //0//
Lempir 40 Verso
1. daĜe matal) raspati manis) wuku jaba talu nawawara, da hasŃawara, ka şatawara
şķ, sadya ra tu pacawara pi , catur wara mñal triwara, bya, şakala , 1461 , //0// ,
şasi kapitu //
Ramayana L 335
Lempir 1 Recto
(1) (satorasi sirań Râma, mawa)raĥ riń haran nira,
lâwan don iń maśuśupan, sumilih tâ sirâ tâkwan //
sampunn ikâna karĕŋĕ prasadū nirâ wasâ kâwaśa nut i jaruman diwaśa warahĕn manis
pwa paňcawara tumpĕk i sap(t)awarahĕn byantâra ta ttriwara śad pa(2)Ħiron warâhĕn//
śrî ya caturwara ni <k>aşŃawaranya rudrâ ŋkâ suńsaŋ i wuku nikâ raşikâ kaliwon tîtî
maşa (a)şŃ[a]mi ya sukla wulanya dâśa câtur timķtŃa maşa riŋ kamajaya dewa //
lâlamba –e kurakahu śaśakala mîlara uttîya weña magawe kķta kâla nâna om sidña tâ
saŋ amacâ sida saŋ hañrĕwya om śrî saraswati namâ śwa ha -- -- (3) ne şsa -ta mŋur
//0//
Parimbwan L 31
Lempir 1 Recto
(1) ôm awiănam-astu nama sidñi //0//
kayowanan şra, kalajaŕ, parud sahań uyaĥ kawak asĕm lama pipis ma ôm râ nini baŃari
duŕgga sun suru de kayowanan nira no(2)ra hanâ hana śihî ki kalajaŕ nora tâ gatěl horâ
mandi tamba saŋar hayan buyan wuñug busuń siń lara waras //
pupuĥ -- na piliĥ, sarana ma o caňdrâ ñitya riń maŃanku kiwâ t(ŋ)ěn tan ka(3)saputâ
deniń megâlamad-lamad śuŋ sań carik clĕriń waĥ hapañaŋ //
gwa niŋ haŋudań woń luŋa su -- -- -- -- (lempir rusak) mamanya , kaŋ luŋa kumi
baňu … ma ôm sihanu dak kumi baňu den kadi pga pu (4)-- -- ña kummi baňu, puyut
(tĕ)ka atine şihanu tan paŋan tan paturu paŋaŋnaŋna mareŋ haku tkaŋ les -- -- -- yan
sap(ĕ)kan hāsta warâ yammâ hindra //
1. Itiħ pari[m]bwan samapta t(ĕ)las tinulaѓ hijĕŋhira sań hyań giri kanişťan
2. Iriń ăneyā gegeѓ lalas mamalań paŋudaksitan sĕsĕla lawan-giri mandaraăĕni sar
3. Sor riń kadañora hi(ń)gil riń kasnĕt parabĕ kaŋ hanurat ki batuѓ hali
Lempir 17 Verso
(1) -- -- --rajaĥ – ta ha-- -- luwiĥ de n[i]ŋ rasa – waŋ akweĥ -- -- -- tra halok anegol
ajiñě kanigul tan patut guru şaśaĦâ dereń wr[u]hħ i guru (la)gu, aksarâ ha(2)hěrakk
asulambur satŋaĥ hikâ pralayâ ka c[ĕ]dakşarâ, hâgĕŋ alit ş<i>rigi(n)tiŋĕn, aksarâ suń
sań sań siń hanolekrah kayâ holiĥ riń yuyu cinańcań maŋkanâ deni(3)ŋ aparâ sadu, ta
hâkira(ŋ) w[e]w[e]hanâ l(ĕ)wiĥ lwaŋana atuk iŋ asisinahu kapurahâ deni kâŋ amacâ
mâruŋu sampun adriĥ iñĕp iñĕp aniliĥ tan poliĥ muha hami piruŋwa //
(4)kahuwusan riŋ anulis paňcawarâ sapta ri wuku şukra pahî(ń) ri gumb(r)ěg , paňcâmî
yâ sukla pakşa riń cetraka i saka ganâ ănî driya bumî //0//
om śrî śrî saraswatiya
Cacanden L 305
Lempir 1 Recto
(1) //0// ôm awiănam astu nama siñĕm //0//
ana kiduń rame hutama ramene yen şira haŋa w(r)uĥha(k)na k[e](h) hujar agati sań
w[ru]ĥ hayune śa(2)ŋ iŋapus hapupuĥ tĕmb[a]ń kula(n)te riŋ ańpus de ra sań kinawi
pananagan lawan pararas[ĕ]n //
pararas[ĕ]n kaki ta hituŋe mesa tĕmЪ[e] niŋ ami[l]a[ń] (3) wķsaba ganti ki – mint[u]na
ri kapin(ń) t(ĕ)lune, rakati kapi(ń) pat<t>e siŋ akan[y]a ganti niki ρa<pa>raras[ĕ]n
kaw(ru)ha(k)na maŋke //
tula rasi maŋke [w]ķsika (4)ganti niki, danu makara keĥ hudan- ... mina hakeĥ jawuĥ
hudane tka niŋ anen kaw(r)uhhakna ri kaki watara k[ĕ]saŋa t[ŋ]aĥ lek
Lempir 52 Verso
(1)//pukulu(n) sań tabe nama siwaya hamĕñĕk daga sapon sapon paduka baŃara hene
ñawi haluwarri sukrĕtane si jabań bayi kaki wěwili nini wěwili ka(k)i samatara nini
samatara, kaki (2) -- -- kala nini sakala, kaki sakat nini sarakat kaki kabaya nini kaba
kaki pañarika nini pañarikan bagawan pulasara bagawan raspati bagawan sitra gotra
hiki(3). ................ sajini rah aja hagoña ba(n)cana hasuk[ĕr)ta si jabań bayi sakuraŋ
amaŋann aŋinu[m] hikih picisatak salawe tutukokkĕna kuraŋ aguń de sa (4). ........ lara
roga sań ki taya, mulih mari taya, lara wiăna saki[t] tan ana, mulih mari tan ana , lara
wiăna saki[t] muksa muliĥ, mari muksa, itiĥ sarińŋi mantra si mantra nana hajaka
Lempir 50 recto
(1) dammaluń kań nular mamaŋu yo, sampun kurań paŋapura, manawi hana harsa maca
muwah, kań ŋrĕŋĕ den punn aguń paŋapurane, ha sa du -- --(2) ..lit kadi cinakaŕ ri
rakaŃa, tuna den w[e]w[e]hana, lĕwiĥ den alońŋana denira pun akawi parabiń batur ri
wana kuju, dawu -- -- -- --(3). la soma manis hasŃa[w]a[r]a humma sad[w]ara haŕyań
wah[y]a kań triwarane, taŋgale pitělulas i sakala kuda bramana guli siti
(4) // wulan katiga taŋgale pińwipat belas ma(ń)ke, gěgěr iń paŋubonan maŋge
Lempir 50 verso
Daftar Pancawara
L[e]gi , pahiń hěpon wage kaliwon) //
Cacanden L 105a
Lempir 1 Recto
(1) //0// ôm awiănam astu nama sidĕm //0//
ana kiduń ramene yen sira ŋawruhhakna hakweh hujaŕr agati sań wruh hayu
kaŋhaŋapus hapupuĥ tĕmЪ[a]ń kulante hiŋâpus de ra sa(ń) ka(wi) (2) lawan pararas[ĕ]n
ma(ń)ke, kaki ta hituŋe mesa těmЪe niŋ amilań wķsaba ganti niki ra mintuna <na> riŋ
kapi(ń) t(ĕ)lu ya rakat(a) kapi(ń) ρate siŋ ahakanya ganti niki pararas[ĕ]n
ka(w)r[u]ĥhana [m]aŋke //
tularaki ma(ŋke) (wķsi)ka ganti niki (3) (ma)kara keh hudan kumЪa kaki gumanti
ra(s)i mina, akeĥ jawĕĥ hudane t(ĕ)ka niŋ anen ka(w)ruha(na) ri kaki waŃarane
kasa(ŋa), katŋaĥ lek //
wķsaba raśine pari pamimite ρari habań winihaĦ ira taρa – ni hyań rasi huru kata pa ka -
- -- pu n -- -- -- -- -- --
Lempir 42 Verso
(1) ŋin kapaŋgiĥ, han deĦiŋ i bapa pîtu kapayuŋana -- nira şań hyań daŕmma den śa
mpuŕ[n]a (pa)ripurna binişekan prasidanira sabinişekan prasida nira sań ŋabisaka
dipunşamgi daŕgayu sa[p]aripuŕna waśtu hayu pukulun itiĥ, pa ,//
ye nya ra(2)me kakĕnde şasambat (ba)Ńari pratiwi baŃari śri baŃara sadana muliĥ , ha s-
ŋuliĥhna sakweĥhi woń ra, ca, ş(ĕ)ga wuduk la(n) <g>arań bebek yñań ŋayu suruĥ
hayu burat wanŋi Ĝ(ĕ)ŋa waŋi //
ye nya p- kşa desa, sas(ĕ)ga tumpań haji lilima sambat sabudi pasań (3) du – bumi saŋ
bu<ta>yutan tuŃuwaĦa ŋabuyutana saŋ śamatara deśa, ca, lataŕ gonya //0//
şasi kapitu //
Ramayana
Lempir 1 Recto
(1)Dengan penuh hormat Rama menerangkan namanya dan tujuannya mencari ke sana
kemari. Rama balik bertanya,
“Siapakah sebenarnya Anda wahai orang suci? Anda tampak seperti dewa.Hendaknya
Anda jelaskan lagi! Apakah tujuanku akan tercapai?
Apakah Dewi Sinta akan terjumpai? Dan apakah musuh akan kalah? Demikianlah isi
pertanyaan Rama. Lalu ia menjawab
(2) Saya anak Dewi Sri tapi saya pernah berbuat salah. Ketika saya sedang berjalan-
jalan di surga, saya melangkahi seorang maharesi.
Karena marahnya kepada saya, beliau mengutuk saya menjadi seorang raksasa
Tuanlah yang dapat mengakhiri kutukan saya, sebab sesungguhnya saya adalah putra
Tuan.
Sedangkan untuk tujuanmu akan tercapai. Permaisuri Tuan akan ditemukan. Beliau
sedang ditawan oleh Dasamuka. Kini ia ada di Langka.
Pergilah ke gunung Resyamuka, di sana Tuan akan berjumpa dengan seekor kera yang
bernama Sugriwa.
(3) Berbudi luhur dan amat sakti, tetapi beliau resah karena tertimpa kesusahan. Dialah
yang hendaknya Tuan bantu. Kakaknya hendaknya dibunuh.
Sang Sugriwa gulana menanggung rindu, sebab istrinya yang bernama Dewi Tara,
dirampas oleh sang Bali. Sang Bali luar biasa jahat.
Sang Sugriwa yang sedang menderita rindu asmara, tak ubahnya seekor lembu jantan,
yang tidak diperbolehkan mendekati sapi betina yang baru melahirkan anak
(4) Demikianlah wahai Putra Raghu, penderitaan Tuan sama. Sang Sugriwalah yang
patut dijadikan sekutu.(Yakni) sekutu Tuan dalam membunuh musuh.
Apabila Tuan membantu Sang Sugriwa, pasti beliau akan membantu Anda. Tuan
umpama guru dan beliau adalah murid. Segala pekerjaan Tuan pasti akan
diselesaikannya.
Seberat apapun pekerjaan itu. Lagi pula dia mempunyai pasukan yang banyak, yang
terdiri dari kera-kera yang hebat dan kuat.
(2) Di sana sudah terkenal, kemasyurannya, tampak bersinar mengikuti yang bisa
dipercaya. Ketika pancawara12nya Legi, saptawara13nya Sabtu, triwara14nya Byantara,
sadwara15nya Paniron //
12
Pancawara adalah nama pekan yang terdiri dari lima hari (Mardiwarsito, 1990:396).
13
Saptawara adalah nama pekan yang terdiri dari tujuh hari (Mardiwarsito, 1990:512)
14
Triwara adalah nama pekan yang terdiri dari tiga hari (Mardiwarsito, 1990:612)
15
Sadwara adalah nama pekan yang terdiri dari enam hari (Mardiwarsito, 1990:558)
16
Caturwara adalah nama pekan yang terdiri dari empat hari (Casparis, 1978:42)
17
Astawara adalah nama pekan yang terdiri dari delapan hari (Casparis, 1978:42)
18
Wuku adalah nama satu periode waktu, yang terdiri dari tujuh hari (Zoetmulder, 2000:1467)
Parimbwan L 31
Lempir 1 Recto
(1) Semoga tidak ada halangan, sembah sempurna.
Untuk awet muda. Sarananya kalajar20, diparut, merica, garam, asem yang sudah tua,
bersama-sama digiling. Mantranya om ra nini dewi durga diminta dengan hormat
kemudaaannya. (2) Tidak ada kalajar, tidak gatal, tidak mujarab obat sangar, ayan, gila,
lepra, busung, yang sakit sembuh //
bait …. tidak memilih. Sarananya mantranya om Candra ditya, di mataku kiri kanan,
tidak (3) tertutupi awan kabut . terbalik dari gelap menjadi terang
19
Menurut keterangan pada katalog uttiya weda magawe diterjemahkan sebagai 443. Candrasengkala ini
kurang kata untuk unsur ribuannya, jadi seharusnya dibaca 1443 MM (Setyawati, dkk., 2002:236)
20
Kalajar tidak ditemukan artinya di kamus, mungkin yang dimaksud adalah kajar. Kajar adalah sejenis
tumbuh-tumbuhan tertentu, Remusatia Vivapara (Zoetmulder, 2000:438)
Lempir 17 Verso
(1).…..Rajah …lebih dari rasa….orang banyak…memberi julukan, menyentuh
kitabnya, tidak ikut ajaran guru, belum mengetahui guru lagunya, aksaranya kitabnya
menyinggung, tanpa ikut ajaran guru, buruk guru lagunya aksaranya. (2)berserakan,
berhamburan, setengah aksaranya mati, cacat aksaranya, besar kecil serupa rumput liar,
aksara terbalik, berantakan seperti cakaran kepiting yang diikat, bila dibandingkan
tulisan (3) orang-orang suci. Jika kurang, tambahkanlah, jika berlebih kurangi, karena
saya baru belajar. Maafkanlah bagi mereka yang membaca dan mendengar, jangan
takut. Mereka yang meminjam tapi tak mendapatkan apa yang seharusnya didengar.
Cacanden L 305
Lempir 1 recto
(1) Semoga tidak ada halangan. Sembah sempurna. Ada kidung yang bagus sekali jika
engkau mengetahui banyak tentang cara yang diujarkan oleh yang mengetahui
21
Tahun ini diterjemahkan sebagai 1536 MM (Setyawati, 2002:26)
keindahannya. (2) Gubahan bait tembang kulante22 yang digubah oleh sang penyair,
Pananagan23 dan Pararasen24
untuk menghitung. Mesa25 yang pertama lalu (3). Wrsaba26 lalu Mintuna27 yang
ketiga, Rakata28 yang keempat, yang diganti oleh Kanya29, ini Pararasennya ketahuilah
nanti //
Tula30 rasinya kemudian Wrsika31 (4). …. menggantikan, saat rasi Danu32, banyak
hujan saat rasi Makara33 banyak hujan saat rasi Mina34, banyak hujan. Hujannya
datang di sana. Ketahuilah tentang kaki yang kira-kira kesembilan itu setengah Lek35.
Lempir 52 verso
(1) Maafkanlah hamba atas nama Siwa, yang menekan kaki untuk disembah-sembah.
Paduka batara meminta untuk melepaskan gangguannya pada si jabang bayi. Kaki
wewili nini wewili kaki samatara nini samatara nenek samatara kakek (2) Sakala
nenek sakala kakek sakat nenek sarakat kakek kabapa nenek kabapa nenek kaba kakek
pañarikan nenek pañarikan begawan pulasara begawan sitra keluarga ini (3).
…..segala jinnya jangan menggoda, bencana, gangguannya si jabang bayi. kurang
makan dan minum. Ini uang 225 belikanlah jika kurang besarnya…(4) ....kesedihan,
penyakit, hilang, sembuh hilang. Kesedihan, halangan, sakit tidak ada. Kesedihan,
22
Kulante adalah nama tembang tengahan (Tim Balai Bahasa Yogyakarta, 2001:429)
23
Pananagan adalah perhitungan tahun berdasarkan kedudukan naga dan dampaknya bagi manusia
(Setyawati, 2002:37)
24
Pararasĕn adalah perhitungan hari dan bulan yang baik beserta dengan dewa penguasanya, obat-
obatan dan mantranya dan sesajen (Setyawati, 2002: 37)
25
Mesa berarti kambing jantan. (Zoetmulder, 2000:667), bisa disamakan dengan rasi aries
26
Wrsaba artinya sapi jantan, bisa disamakan dengan rasi taurus (Zotmulder, 2000:1462)
27
Mintuna atau mithuna artinya sepasang laki-laki dan perempuan (Zoetmulder, 2000:670), bisa
disamakan dengan rasi gemini.
28
Rakata berarti ketam (Zoetmulder, 2000:910), bisa disamakan dengan rasi cancer.
29
Kanya berati gadis (Zoetmulder, 2000:455), bisa disamakan dengan rasi virgo.
30
Tula berarti timbangan (Zoetmulder, 2000:1286). Bisa disamakan dengan rasi Libra.
31
Wrsika atau Wrscika berarti kalajengking, tanda zodiak scorpio (Zoetmulder,2000:429)
32
Danu berarti busur (Zoetmulder, 2000:194), bisa disamakan dengan rasi sagitarius.
33
Makara berarti sejenis binatang laut (Zoetmulder, 2000:637), bisa disamakan dengan rasi capricorn.
34
Mina berarti ikan (Zoetmulder, 2000:668), bisa disamakan dengan rasi pisces.
35
Lek berarti bulan, periode waktu yang lamanya 4 minggu; masa kehamilan, waktu dalam kandungan
(Zoetmulder, 2000:592)
Lempir 50 recto
(1). Damalung tempat menulis, mamaŋu yo. Mohon maaf, jika ada kekurangan. Untuk
mereka yang membaca dan yang mendengar maaf sebesar-besarnya, (2). ….seperti
cakaran kepiting. Jika ada yang kurang, tambahkanlah. Jika ada yang berlebih mohon
dikurangi. Oleh sang kawi namanya yang tinggal di desa Wana Kuju …(3). senin
Legi hastawaranya Huma, sadwaranya Haryang, triwaranya Wahya, tanggalnya tujuh
belas, tahunnya kuda bramana guli siti 36
Lempir 50 verso
Daftar Pancawara
Legi pahing pon wage kliwon
Cacanden L 105a
Lempir 1 Recto
(1) Semoga tidak ada halangan. Sembah sempurna
// Ada kidung yang bagus sekali jika engkau mengetahui banyak tentang jalan yang
diajarkan oleh yang mengetahui keindahannya.Gubahan syair tembang Kulante
36
Diterjemahkan sebagai tahun 1587 MM (Setyawati, 2002:219).
digubah oleh sang penyair 2) dengan Pararasen untuk menghitung, Mesa yang
pertama dihitung, Wrsaba menggantikan, Mintuna yang ketiga, Rakata yang keempat,
yang diganti oleh Kanya. Pararasen ini ketahuilah nanti
// Tula rasinya, kemudian Wrsika menggantikan (3) Saat rasi Makara banyak hujan
diganti oleh Kumbha37, lalu Mina, banyak hujan. Hujan yang datang ada di sana.
Ketahulah tentang kaki yang kira-kira kesembilan itu setengah Lek //
…rasi Mesa…. Pembibitannya padi putih yang utama ...(4). …Makannya Sang Hyang
Indra dewatanya hujannya, musim hujan ini, dan hujan selama lima Lek //
Wķsaba rasinya masa mulai menanam padi merah. Diberikan pada ia yang bertapa
pada dewa penjaga rasi
Lempir 42 Verso
(1). Yang diperoleh tujuh bapak tetap dilindungi .. nya Sang Hyang Darma yang
sempurna dinobatkan disempurnakan dinobatkan dengan sempurna. Sang Raja yang
panjang umur, sempurna, benar, indah. Hamba selesai //
indah (2) menyebut dewi bumi Dewi Sri dewa semua pulang pulanglah. Semua orang.
Caranya nasi uduk dan bebek bakar, ydang ayu38 sirih ayu39, boreh wangi, minyak
wangi //
ye nya p- ksa desa, nasi tumpeng raja lima sambat sabudi pasang. (3). du – bumi saŋ
buyut, leluhur, buyutnya, yang menunggu desa, di belakang tempatnya //0//
37
Kumbha berarti bejana (Zoetmulder, 2000:534), bisa disamakan dengan rasi aquarius.
38
Belum diketahui apa yang dimaksud dengan ydang ayu ini
39
Sirih ayu atau suruh ayu adalah daun sirih yang biasa digunakan untuk sesajen (Tim Balai Bahasa
Yogyakarta, 2001:749)
40
Dalam perhitungan tahun MM ada penyebutan Wuku dalam dan Wuku luar. Wuku yang dimaksud di
sini mempunyai pengertian yang sama dengan wuku dalam perhitungan kalender Jawa. Namun yang
dimaksud dengan Wuku luar dan Wuku dalam, dalam pertanggalan MM ini belum dapat diketahui
maknanya (Kuntara Wiryamartana dan W. van der Molen, “The Merapi-Merbabu Area Manuscripts, A
Neglected Collection,”Bijdragen tot de Taal-, Land-, en Volkenkunde, 157 (2001:56))
41
Nawawara adalah nama pekan yang terdiri dari sembilan hari (Casparis, 1978:42).
42
Da mungkin singkatan dari Dadi atau Dangu.
43
Ka mungkin singkatan dari Kala
44
Sr mungkin singkatan dari Sukra
45
Tu mungkin singkatan dari Tunglai
46
Pi mungkin singkatan dari Pahing
47
Bya mungkin singkatan dari Byantara
BAB 4
TINJAUAN PERKEMBANGAN AKSARA NASKAH
4.1. Pendahuluan
Bab ini membahas perkembangan aksara Merapi Merbabu dalam empat naskah
dari kurun waktu yang berbeda-beda. Teori yang digunakan adalah model dinamis.
Model dinamis menganggap aksara atau tulisan sebagai hasil gerakan tangan dan terdiri
dari unsur nyata dan tidak nyata. Unsur nyata adalah aksara tersebut, sedangkan unsur
tidak nyata adalah gerakan tangan di udara ketika sedang menulis aksara tersebut.
Perubahan dalam bentuk tulisan dipahami sebagai gerakan perpaduan antara kedua
unsur tersebut. (Molen, 1985 :9-10).
Model dinamis menganalisis aksara dari lima segi, yaitu:
• Rupa bentuk lahiriah aksara
• Sudut tulisan, yaitu sudut antara posisi alat tulis dengan arah tulisan
• Duktus, yaitu urutan penulisan garis
2. Parimbwan
Dalam naskah ini aksara A berbentuk seperti angka 4 tanpa kaki dengan
garis-garis yang melengkung dan ujung-ujung yang membulat. Di tengah-
tengahnya ada dua buah garis pendek sejajar.
3. Cacanden L 305
Dalam naskah ini aksara A berbentuk seperti angka 4 tanpa kaki yang ujung
dan pangkalnya membulat. Di bawah angka 4 tanpa kaki tersebut ada dua buah
garis yang melengkung yang saling membentuk juring lingkaran. Di dalam bentuk
angka 4 tadi, ada dua garis horisontal pendek.
4. Cacanden L 105a
Dalam naskah ini aksara A berbentuk seperti angka 4 tanpa kaki dengan
ujung dan pangkalnya membulat. Di bawah bentuk angka 4 tanpa kaki ini ada
bulatan yang di dalamnya ada garis pendek melengkung. Garis melengkung ini juga
ada di dalam bentuk angka 4 tanpa kaki tadi.
Aksara Ka
1. Ramayana
Aksara Ka dalam naskah ini terdiri dari dua garis vertikal sejajar yang
dihubungkan dengan satu garis cembung. Ada satu garis vertikal yang tepat berada
di tengah-tengah antara dua garis vertikal tersebut dan panjangnya melewati garis
cembung. Pangkal garis vertikal di tengah tersebut melengkung membentuk kucir..
2. Parimbwan
Aksara Ka dalam naskah ini terdiri dari dua garis vertikal sejajar yang
dihubungkan dengan satu garis cembung yang ujungnya terus memanjang ke arah
bawah hingga membentuk garis vertikal ketiga di sebelah kanan yang sejajar
dengan dua garis vertikal di sebelah kiri dan tengah.
3. Cacanden L 305
Aksara Ka dalam naskah ini terdiri dari tiga garis vertikal sejajar yang
dihubung-hubungkan oleh satu garis horisontal di bagian atas.
4. Cacanden L 105a
Aksara Ka dalam naskah ini terdiri dari dua garis vertikal di kiri dan kanan
yang dihubungkan oleh satu garis cembung di bagian atas.
Aksara Ga
1. Ramayana
Dalam naskah ini aksara Ga terdiri dari dua buah garis vertikal sejajar yang
dihubungkan dengan saru garis cembung di bagian atas. Di atas garis cembung
tersebut ada kucir.
2. Parimbwan
Dalam naskah ini bentuk aksara Ga terdiri dari dua garis vertikal sejajar
yang dihubungkan dengan satu garis cembung.
3. Cacanden L 305
Dalam naskah ini aksara Ga terdiri dari dua garis vertikal sejajar yang
dihubungkan oleh satu garis lurus di bagian atasnya.
4. Cacanden L 105a
Dalam naskah ini aksara Ga terdiri dari satu garis vertikal di sebelah kanan
dan satu garis horisontal di bagian pangkalnya. Garis horisontal ini memanjang ke
arah kanan lalu ke arah bawah, membentuk garis vertikal yang sejajar dengan garis
vertikal pertama. Di bagian atas garis horisontal ada kucir.
Aksara Na
1. Ramayana
Aksara Na dalam naskah ini berbentuk bulatan seperti telur yang ujung di
sebelah atasnya memanjang. Di atas bulatan telur tersebut ada satu garis cembung.
2. Parimbwan
Aksara Na dalam naskah ini seperti bentuk sepatu dari arah samping dengan
satu garis lengkung yang lebar di bagian atasnya.
3. Cacanden L 305
Aksara Na dalam naskah ini mempunyai bentuk seperti A kecil dalam
tulisan latin, tapi lebih rebah.
4. Cacanden L 105a
Aksara Na dalam naskah ini mempunyai bentuk mirip dengan aksara Na
dalam naskah Cacanden L 305, yaitu seperti huruf A kecil dalam tulisan latin. Hal
yang membedakan adalah bentuknya yang cenderung lebih ramping bila
dibandingkan dengan aksara Na dalam Cacanden L 305.
Aksara Sa
1. Ramayana
Aksara Sa dalam naskah ini terdiri dari satu garis yang bentuknya mirip
dengan huruf J dalam tulisan latin dan satu garis vertikal yang sejajar di sebelah
kanannya. Garis ‘J’ ini dengan garis vertikal di sebelah kanannya dihubungkan
dengan sebuah garis diagonal.
2. Parimbwan
Aksara Sa dalam naskah ini terdiri dari satu garis setengah lingkaran di sebelah
kiri dan satu garis vertikal di sebelah kanan. Keduanya dihubungkan dengan sebuah
garis horisontal .
3. Cacanden L 305
Aksara Sa dalam naskah ini terdiri dari satu garis setengah lingkaran di
sebelah kiri dan satu garis vertikal di sebelah kanan. Keduanya dihubungkan oleh
satu garis diagonal. .
4. Cacanden L 105a
Aksara Sa dalam naskah ini terdiri dari satu garis lengkung di sebelah kiri dan
satu garis vertikal di sebelah kanan. Antara keduanya dihubungkan dengan satu
garis horisontal yang melengkung
Aksara Ca
1. Ramayana
Aksara Ca pada naskah Ramayana mempunyai bentuk seperti huruf B kecil
pada tulisan latin dengan garis vertikal yang melengkung dan bulatan yang tidak
penuh di sebelah kanan. Di atas aksara ini ada garis horisontal yang melengkung .
2. Parimbwan
Aksara Ca pada naskah Parimbwan terdiri dari satu garis vertikal yang
mempunyai kait di ujung atas sehingga mirip dengan topi. Dan satu garis horisontal
di bawah kait tersebut. Di bagian bawah ada bentuk yang menyerupai huruf Y rebah
pada tulisan latin.
3. Cacanden L 305
Aksara Ca pada naskah ini terdiri dari satu garis vertikal yang ujungnya
melengkung ke arah kiri dan satu garis diagonal yang ujungnya membentuk garis
vertikal ke atas. Di atas garis vertikal pertama ada garis setengah lingkaran.
4. Cacanden L 105a
Aksara Ca pada naskah ini terdiri dari garis vertikal dengan satu garis horisontal
melengkung di bagian atas. Di sebelah kanan bawah ada bulatan setengah lingkaran
dengan garis lengkung di bagian luar.
Aksara A
I. Ramayana
a) Titik awal penulisan ada di sebelah kiri atas.
b) Pena membentuk garis melengkung dari atas ke bawah
c) Pena diangkat dibawa ke ujung garis lengkung tadi, lalu membentuk
bulatan kecil yang ekornya memanjang ke arah atas.
d) Pena diangkat, dibawa ke tengah garis melengkung lalu membentuk
garis horisontal cembung ke arah kanan
e) Pena diangkat, dibawa ke tengah garis horisontal dan membentuk garis
lengkung berbentuk setengah lingkaran searah jarum jam
II. Parimbwan
a) Titik awal penulisan ada di sebelah kiri
b) Pena membentuk garis yang melengkung dari atas ke bawah lalu
diteruskan membentuk garis horisontal ke arah kanan, yang ujungnya
melengkung ke arah bawah menyerupai kait.
c) Pena diangkat ke arah ujung sebelah kanan lalu membentuk garis
vertikal dari atas ke bawah
d) Pena diangkat ke arah tengah lalu membentuk dua garis horisontal
pendek yang sejajar
g) Pena diangkat lalu dibawa ke bagian bawah garis horisontal dan membentuk
bulatan berlawanan dengan arah jarum jam
h) Pena diangkat dibawa ke tengah-tengah bentuk angka 4 tanpa kaki dan
membentuk satu garis lengkung pendek di dalamnya.
i) Pena diangkat dibawa ke tengah bulatan dan membentuk satu garis pendek
dari atas ke bawah
Aksara Ka
I. Ramayana
a) Titik awal penulisan ada di sebelah kiri atas
b) Pena membentuk garis vertikal dari atas ke bawah
c) Pena diangkat dibawa ke titik awal garis vertikal lalu membentuk garis
horisontal ke arah kanan dengan ujung agak melengkung ke bawah
d) Pena diangkat, dibawa ke arah titik di sebelah kanan bawah lalu
membentuk garis vertikal yang sejajar dengan garis vertikal pertama, dari
bawah ke atas
e) Pena diangkat, dibawa ke bagian tengah garis horisontal lalu membentuk
garis vertikal dari atas ke bawah
II. Parimbwan
a) Titik awal penulisan ada di sebelah kiri atas
b) Pena membentuk garis vertikal dari atas ke bawah
c) Pena diangkat ke arah sebelah kiri atas garis pertama lalu membentuk garis
lengkung ke arah kanan
d) Garis diteruskan ke arah bawah sehingga membentuk garis vertikal yang
sejajar dengan garis pertama
e) Pena diangkat dibawa ke tengah dua garis vertikal yang sejajar tadi lalu
membentuk garis vertikal dari bawah ke atas
Aksara Ga
I. Ramayana
a) Titik awal penulisan di sebelah kiri atas. Pena membentuk garis vertikal
dari atas ke bawah
b) Pena diangkat ke arah pangkal atas garis pertama lalu membentuk garis
lengkung dari kiri ke kanan
c) Pena diangkat ke arah ujung garis lengkung (c) lalu membentuk garis
vertikal dari atas ke bawah
d) Pena diangkat dibawa ke tengah garis lengkung lalu membentuk garis
pendek (kucir) dari bawah ke atas
II. Parimbwan
a) Titik awal penulisan ada di sebelah kiri atas
b) Pena membentuk garis vertikal dari atas ke bawah
c) Pena diangkat ke arah ujung garis vertikal sebelah atas, lalu membentuk
garis lengkung dari kiri ke kanan
d) Pena diangkat ke arah ujung garis lengkung sebelah kanan, lalu
membentuk garis vertikal dari atas ke bawah.
Aksara Sa
I. Ramayana
a) Titik awal penulisan ada di sebelah kiri atas.
b) Pena membentuk garis vertikal melengkung dari atas ke bawah
c) Pena diangkat dibawa ke sebelah atas garis vertikal lalu membentuk
garis horisontal pendek dari kiri ke kanan
d) Pena diangkat dibawa ke sebelah kanan lalu membentuk garis vertikal
dari bawah ke atas
e) Pena diangkat dibawa ke arah ujung atas garis vertikal kedua (c) lalu
membentuk garis diagonal yang sangat pendek
f) Pena diangkat lalu dibawa ke arah pangkal garis vertikal kedua (c) lalu
membentuk garis diagonal dari kanan ke kiri
II. Parimbwan
a) Awal penulisan ada di sebelah kiri atas
b) Pena membentuk garis melengkung dari atas ke bawah
c) Pena diangkat dibawa ke ujung garis lengkung tadi di sebelah bawah
lalu membentuk garis horisontal ke arah kanan
d) Garis diteruskan ke arah atas hingga membentuk garis vertikal dengan
ujung agak membulat
Aksara Na
I. Ramayana
a) Titik awal penulisan ada di sebelah kanan bawah.
b) Pena membentuk garis melengkung dari kanan ke kiri
c) Pena diangkat dibawa ke pangkal garis pertama lalu membentuk garis
lengkung dari kiri ke kanan di atas garis pertama, sehingga antara garis
pertama dan kedua membentuk elips
d) Pena diangkat dibawa ke arah atas lalu membentuk garis lengkung dari
kiri ke kanan
II. Parimbwan
a) Awal penulisan ada di sebelah kiri bawah.
b) Pena membentuk garis horisontal dari kiri ke kanan
c) Tanpa mengangkat pena garis diteruskan ke atas hingga membentuk
garis vertikal
d) Pena di angkat dibawa ke pangkal garis horisontal lalu membentuk garis
setengah lingkaran searah jarum jam
e) Pena diangkat dibawa ke arah atas lalu membentuk garis horisontal
melengkung dari kiri ke kanan
Aksara Ca
1. Ramayana
a) Titik awal penulisan ada di sebelah kiri atas, pena membentuk garis
vertikal dari atas ke bawah dan melengkung di bagian ujungnya.
b) Pena diangkat dibawa ke tengah garis vertikal lalu membentuk garis
setengah lingkaran searah jarum jam.
c) Pena diangkat dibawa ke atas garis vertikal pertama lalu membentuk garis
horisontal cembung dari kiri ke kanan.
2. Parimbwan
a). Awal penulisan ada di sebelah kiri bawah, pena membentuk garis vertikal ke arah
atas dan ujungnya membentuk garis oval seperti kait ke arah bawah.
b) Pena diangkat lalu dibawa ke arah kiri dan membentuk garis horisontal di bagian
atas garis vertikal pertama (a).
c) Pena diangkat lalu dibawa ke arah bawah garis horisontal lalu membentuk garis
horisontal yang ujungnya membulat ke arah kiri.
d) tanpa diangkat, di ujung garis membulat tadi, pena membentuk garis horisontal
pendek.
.
Gambar 4.46. Duktus Aksara Ca pada Naskah Parimbwan
3. Cacanden L 305
a) Awal penulisan ada di sebelah kiri bawah, pena membentuk garis vertikal ke arah
atas.
b) Pena diangkat dibawa ke tengah garis vertikal pertama (a) lalu membentuk garis
cekung ke arah kanan atas.
c) Pena diangkat dibawa ke pangkal garis vertikal sebelah atas lalu membentuk garis
cembung pendek dari kiri ke kanan.
4. Cacanden L 105 a
a) Awal penulisan ada di sebelah kiri atas, pena membentuk garis vertikal ke arah
bawah.
b) Pena diangkat dibawa ke pangkal garis vertikal lalu membentuk garis horisontal
cembung ke arah kanan.
c) Pena diangkat dibawa ke arah bawah, lalu membentuk garis setengah lingkaran
searah jarum jam.
d) Pena diangkat dibawa ke pangkal garis setengah lingkaran tadi lalu membentuk garis
siku-siku ke arah bawah.
1. Ramayana
Ukuran panjang, lebar dan jarak antar aksara-aksara dalam naskah Ramayana
adalah sebagai berikut:
2. Parimbwan
Ukuran panjang, lebar dan jarak antar aksara-aksara dalam naskah Parimbwan
adalah sebagai berikut:
3. Cacanden L 305
Ukuran panjang, lebar dan jarak antar aksara-aksara dalam naskah Cacanden L
305 adalah sebagai berikut:
4. Cacanden 105 a
Ukuran panjang, lebar dan jarak antar aksara-aksara dalam naskah Cacanden L
105a adalah sebagai berikut:
Kemiringan garis pada aksara adalah ukuran sudut antara garis vertikal pada aksara
dengan garis 180 derajat.
Contoh:
1. Ramayana
Ukuran derajat kemiringan dari aksara-aksara dalam naskah Ramayana adalah
sebagai berikut:
A 65 º - 70 º
Ka 68 º – 70 º
Ga 72 º – 75 º
Na 70 º – 72 º
Sa 65 º - 70 º
Ca 65 º - 70 º
2. Parimbwan
Ukuran derajat kemiringan dari aksara-aksara dalam naskah Parimbwan adalah
sebagai berikut:
A 60 º - 65 º
Ka 63 º - 70 º
Ga 60 º - 65 º
Na 65 º - 70 º
Sa 65 º - 70 º
Ca 68 º - 70 º
3. Cacanden L 305
Ukuran derajat kemiringan dari aksara-aksara dalam naskah Cacanden L 305
adalah sebagai berikut:
A 87 º - 90 º
Ka 87 º - 90 º
Ga 87 º - 90 º
Na 87 º - 90 º
Sa ± 90 º
Ca 85 º - 90 º
4. Cacanden 105 a
Ukuran derajat kemiringan dari aksara-aksara dalam naskah Cacanden L 105a
adalah sebagai berikut:
A 80 º – 85 º
Ka 85 º - 90 º
Ga 80 º - 85 º
Na 80 º - 85 º
Sa 87 º - 90 º
Ca 80 º - 85 º
1. Ramayana
Ketebalan garis dari aksara-aksara pada naskah Ramayana adalah sebagai berikut:
A 0,029 cm
Ka 0,035 cm
Ga 0,035 cm
Na 0,050 cm
Sa 0,030 cm
Ca 0,030 cm
2. Parimbwan
Ketebalan garis dari aksara-aksara dalam naskah Parimbwan adalah sebagai
berikut:
A 0,035 cm
Ka 0,04 cm
Ga 0,031 cm
Na 0,05 cm
Sa 0,0375 cm
Ca 0,035 cm
3. Cacanden L 305
Ketebalan garis dari aksara-aksara yang terdapat dalam naskah Cacanden L 305
adalah sebagai berikut:
A 0,025 cm
Ka 0,023 cm
Ga 0,015 cm
Na 0,025 cm
Sa 0,019 cm
Ca 0,015 cm
4. Cacanden L 105
Ketebalan garis dan aksara-aksara yang terdapat dalam naskah Cacanden L 105a
adalah sebagai berikut:
Ka 0,010 cm
Ga 0,015 cm
Na 0,010 cm
Sa 0,011 cm
Ca 0,013 cm
Dari pemaparan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dari segi bentuk dapat
diamati bahwa ada perbedaan bentuk aksara dari naskah yang tua ke naskah yang lebih
mutakhir. Dari segi duktus, dapat diamati bahwa semakin mutakhir usia naskah
umumnya jumlah duktus aksaranya semakin sedikit. Namun ada juga yang jumlah
duktus aksaranya tetap pada tiap naskah, misalnya aksara Ca. Dari segi ukuran,
diketahui tidak ada perbedaan yang signifikan antara naskah yang tua dengan naskah
yang mutakhir. Namun dari jarak antar-aksara dapat diamati bahwa semakin mutakhir
usia naskah, maka jarak antar-aksaranya semakin lebar. Dari segi kemiringan aksara,
dapat diamati bahwa semakin mutakhir usia naskah maka aksara yang ditulis semakin
tegak. Dari segi ketebalan garis dapat diamati bahwa semakin mutakhir usia naskah
maka garis pada aksaranya semakin tipis.
BAB 5
TINJAUAN ATAS NASKAH-NASKAH YANG SEZAMAN
5.1. Pendahuluan
Pada bab ini akan disajikan tinjauan terhadap naskah-naskah yang sezaman.
Tujuannya adalah untuk menghindari anakronisme atau ketidaksesuaian dengan
zamannya. Caranya adalah dengan membandingkan naskah-naskah yang menjadi objek
penelitian dengan naskah-naskah yang sezaman.
Hal yang dibandingkan adalah unsur fisik dan isi naskah. Pada penelitian ini
hanya akan disajikan perbandingan unsur fisik karena untuk melakukan perbandingan
unsur isi perlu diketahui isi naskah-naskah yang menjadi bahan perbandingan,
sedangkan naskah-naskah yang akan menjadi bahan perbandingan dalam penelitian ini
belum pernah disunting sama sekali.
Unsur fisik yang akan dibandingkan adalah bentuk dan duktus aksara dalam
naskah, karena dua hal tersebut adalah unsur fisik yang paling menonjol yang dapat
dibandingkan. Unsur fisik lain seperti alas naskah dan ukuran naskah tidak dapat
dijadikan patokan. Semua naskah dalam koleksi Merapi Merbabu ditulis di atas lontar.
Untuk ukuran naskah tergantung, pada panjang pendeknya teks di dalamnya. Oleh
karena itu, kedua unsur fisik tersebut tidak dapat dijadikan bahan perbandingan.
Dari empat naskah yang menjadi objek penelitian hanya tiga naskah yang akan
dibandingkan, yaitu Parimbwan, Cacanden L 305 dan Cacanden L 105a. Naskah
Ramayana tidak akan dibandingkan karena tidak ditemukan naskah lain dalam koleksi
Merapi Merbabu yang sezaman dengan Ramayana.
Ketiga naskah yang akan dijadikan pembanding adalah:
a. Aji Kembang dengan nomor inventaris L 276, peti 32. Naskah ini berangka tahun
1537 MM. Naskah ini merupakan pembanding untuk naskah Parimbwan yang
berangka tahun 1536 MM. Naskah ini dipilih karena merupakan satu-satunya naskah
yang memiliki angka tahun yang paling dekat dengan naskah Parimbwan.
b. Arjuna Wiwaha dengan nomor inventaris L 52 I, peti 31. Naskah ini berangka tahun
1588 MM. Naskah ini adalah pembanding untuk Cacanden L 305 yang berangka
tahun 1587 MM. Naskah ini dipilih karena merupakan satu-satunya naskah yang
memiliki angka tahun yang paling dekat dengan naskah Cacanden L 305.
c. Naskah ketiga adalah Kidung Subrata dengan nomor inventaris L 206 peti 32.
Naskah ini berangka tahun 1641 MM. Naskah ini adalah pembanding untuk
Cacanden L 105a yang berangka tahun sama yaitu 1641 MM. Naskah ini dipilih
karena merupakan satu-satunya naskah yang memiliki angka tahun yang sama
dengan naskah Cacanden L 105a.
Ada lima aksara yang akan dibandingkan yaitu A, Ka, Ga, Na, dan Sa. Lima
aksara ini dipilih karena kelimanya adalah aksara yang diteliti dalam empat naskah
utama yaitu Ramayana, Parimbwan, Cacanden L 305 dan Cacanden L105.
Kelima aksara ini juga ditemukan di bagian awal dan akhir naskah pembanding,
sehingga lebih mudah untuk mengenalinya. Bagian awal dan akhir naskah-naskah
pembanding ini sudah dibaca dan ada dalam katalog. Aksara Ca tidak akan
dibandingkan karena aksara ini hampir tidak ditemukan di bagian awal dan akhir ketiga
naskah yang menjadi pembanding ini.
Dalam bab ini juga akan disajikan alih aksara dari bagian awal dan akhir
masing-masing naskah pembanding. Alih aksara ini merupakan alih aksara yang
tercantum dalam katalog. Namun demikian, peneliti juga membaca ulang bagian awal
dan akhir naskah yang dimaksud. Tujuannya untuk menghindari adanya kesalahan
pembacaan dan kesalahan penafsiran atas suatu aksara. Pertanggungjawaban atas alih
aksara sama dengan pertanggungjawaban alih aksara terhadap naskah-naskah utama di
bab 3. Oleh karena naskah-naskah ini bukanlah objek utama di dalam penelitian ini,
maka tidak dilakukan penerjemahan terhadap alih aksara tersebut. Alih aksara naskah-
naskah pembanding ini dianggap cukup sebagai bahan untuk melakukan kritik terhadap
naskah-naskah utama.
Awal Teks
//0// Om awiănam astu //0// sańtabe nama siwaya, tan kabteń śarik tulaħ luputa riŋ
hilahilaħ hawak iŋo
Akhir Teks
Sapun. meŋĕt lakoknā, nastiti ya…. liń pinākānira //0//
Dilihat dari segi duktus, duktus aksara A pada naskah Aji Kembang jumlahnya lebih
sedikit daripada duktus aksara A pada naskah Parimbwan. Pada naskah Parimbwan ada
empat duktus, sedangkan pada naskah Aji Kembang hanya ada dua duktus.
Aksara Ka
Aksara Ka pada naskah Aji Kembang terdiri dari tiga garis vertikal yang
dihubungkan dengan satu garis horisontal melengkung di bagian atas. Bentuk aksara ini
mirip dengan aksara Ka pada naskah Parimbwan.
Duktus aksara Ka pada naskah Aji Kembang jumlahnya dua. Ini berbeda
dengan duktus aksara Ka pada naskah Parimbwan yang berjumlah tiga. Arah
penulisannya juga berbeda.
Aksara Ga
Aksara Ga pada naskah Aji Kembang terdiri dari dua garis vertikal yang
dihubungkan dengan satu garis lengkung horisontal. Dilihat dari segi bentuk, aksara Ga
pada naskah ini mempunyai kemiripan dengan aksara Ga pada naskah Parimbwan.
Jumlah duktus aksara Ga pada naskah Aji Kembang sama dengan jumlah
duktus aksara Ga pada naskah Parimbwan. Arah penulisannya juga sama.
Aksara Na
Bentuk aksara Na pada naskah Aji Kembang seperti huruf A kecil pada tulisan
latin. Bentuk ini mempunyai kemiripan dengan aksara Na pada naskah Parimbwan.
Bila dibandingkan, jumlah duktus pada aksara Na ini sama dengan jumlah
duktus aksara Na pada naskah Parimbwan. Namun arah penulisannya agak berbeda.
Aksara Sa
Bentuk aksara Sa pada naskah Aji Kembang terdiri dari satu garis vertikal di
sebelah kiri dan satu garis vertikal di sebelah kanan yang dihubungkan oleh satu garis
horisontal yang melengkung. Dari segi bentuk, aksara Sa pada naskah ini mempunyai
kemiripan dengan aksara Sa pada naskah Parimbwan. Hal yang membedakan adalah
aksara Sa pada naskah Aji Kembang mempunyai garis horisontal yang lebih
melengkung dibandingkan garis horisontal pada naskah Parimbwan.
Jumlah duktus aksara Sa pada naskah ini sama dengan jumlah duktus aksara Sa pada
naskah Parimbwan. Arah penulisannya juga sama.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa bentuk dan duktus lima aksara dalam
naskah Aji Kembang dengan naskah Parimbwan mempunyai beberapa perbedaan,
misalnya jumlah duktus aksara A dan Ka pada kedua naskah berbeda. Namun, aksara-
aksara lainnya mempunyai kesamaan dalam kedua naskah, baik dari segi jumlah duktus
maupun bentuk. Jadi dapat disimpulkan bahwa naskah Parimbwan memang berasal
dari zaman yang tercantum dalam teks.
Akhir Teks
Paňcawara, ma, caturwara, śri, triwara, dwa i sakala, Ħaga madya buta….
Jumlah duktus aksara A pada naskah ini berbeda dengan jumlah duktus aksara
A pada naskah Cacanden L 305, karena bentuk keduanya memang berbeda.
Aksara Ka
Bentuk aksara Ka pada naskah Arjuna Wiwaha terdiri dari tiga garis vertikal
yang dihubungkan dengan satu garis lengkung horisontal di bagian atas. Bentuk ini
mempunyai kemiripan dengan dengan aksara Ka pada naskah Cacanden L 305. Hal
yang membedakan adalah garis horisontal pada aksara Ka Arjuna Wiwaha lebih
melengkung. Sedangkan garis horisontal pada aksara Ka Cacanden L 305 lurus
mendatar.
Jumlah duktus aksara Ka pada naskah ini tiga, berbeda dengan duktus aksara Ka
pada naskah Cacanden L 305 yang berjumlah dua.
Aksara Ga
Bentuk aksara Ga pada naskah Arjuna Wiwaha terdiri dari dua garis vertikal
sejajar yang dihubungkan dengan satu garis horisontal yang melengkung. Bentuk ini
mirip dengan aksara Ga pada naskah Cacanden L 305. Hal yang membedakan adalah
garis horisontal pada aksara Ga Arjuna Wiwaha lebih cembung dibandingkan aksara
Ga Cacanden L 305 yang berupa garis horisontal lurus.
c. Tanpa mengangkat pena, garis diteruskan ke arah bawah membentuk garis vertikal
yang sejajar dengan garis vertikal yang pertama.
Jumlah duktus aksara Ga pada naskah ini sama dengan jumlah duktus aksara Ga pada
naskah Cacanden L 305.
Aksara Na
Aksara Na pada naskah Arjuna Wiwaha mempunyai bentuk seperti huruf A
kecil pada tulisan latin. Bentuk ini hampir sama dengan aksara Na pada naskah
Cacanden L 305. Hal yang membedakan adalah bahwa aksara Na pada Cacanden L 305
lebih rebah.
d. Pena diangkat dibawa ke ujung garis horisontal kedua lalu membentuk garis
setengah lingkaran searah jarum jam.
Jumlah duktus aksara Na pada naskah Arjuna Wiwaha sama dengan jumlah duktus
aksara Na pada naskah Cacanden L 305, arah penulisannya juga sama
Aksara Sa
Aksara Sa pada naskah Arjuna Wiwaha terdiri dari satu garis vertikal dan satu
garis cekung menyerupai huruf u pada aksara latin. Bentuk ini mirip dengan aksara Sa
dalam naskah Cacanden L 305. Hal yang membedakan adalah dalam Cacanden L 305
bentuk lengkungnya lebih tajam, sehingga lebih mirip huruf v daripada huruf u.
Jumlah duktus aksara Sa pada naskah Arjuna Wiwaha sama dengan jumlah
duktus pada naskah Cacanden L 305, urutan dan arah penulisannya juga sama.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk dan duktus kelima aksara
dalam Naskah Arjuna Wiwaha mempunyai bentuk dan duktus yang sama dengan
bentuk dan duktus kelima aksara dalam Cacanden L 305. Hanya aksara A dan Ka saja
yang mempunyai bentuk dan jumlah duktus yang berbeda. Oleh karena itu dapat
disimpulkan bahwa naskah Cacanden L 305 memang berasal dari zaman yang
tercantum dalam teks.
Awal Teks
//0// om awiănam astu hayu //0// om, gańgańyĕm gagań pawitrm macasta bagawan
ñalinĕm hana tirta mijil. Sakiń taĦn ana
Akhir Teks
Sań hyań hadiĦniń pupuśuh, hiya malahe, lan ikatatadi hamukti jati, itiħ pan bĕbĕkan
raga kuňjarayakaŕĦna,ayya //0//
Dari hasil diatas diketahui bahwa jumlah duktus aksara Ka pada Kidung Subrata
sama dengan jumlah duktus aksara Ka pada naskah Cacanden L 105 a. Arah
penulisannya juga sama.
Aksara Ga
Bentuk aksara Ga pada Kidung Subrata terdiri dari dua garis vertikal yang
dihubungkan dengan satu garis horisontal yang melengkung. Bentuk ini hampir sama
dengan aksara Ga pada naskah Cacanden L 105a.
Jumlah duktus aksara Ga pada Kidung Subrata lebih sedikit daripada jumlah
duktus aksara Ga pada Cacanden L 105a. Namun arah penulisan duktus aksara Ga pada
kedua naskah itu hampir sama.
Aksara Na
Aksara Na pada Kidung Subrata mempunyai bentuk seperti huruf A kecil pada
tulisan latin. Bentuk ini mirip dengan aksara Na pada naskah Cacanden L 105 a.
d. Pena diangkat dibawa ke ujung garis horisontal kedua dan membentuk garis setengah
lingkaran searah jarum jam.
Jumlah duktus aksara Na pada naskah ini sama dengan jumlah duktus aksara Na
pada naskah Cacanden L 105a. Arah penulisannya juga sama.
Aksara Sa
Aksara Sa pada Kidung Subrata terdiri dari satu garis vertikal yang melengkung
ujung-ujungnya dengan garis lengkung yang bentuknya mirip huruf V pada tulisan
latin. Bentuk ini hampir sama dengan aksara Sa pada naskah Cacanden L 105 a. Hal
yang membedakan adalah bahwa garis lengkung di sebelah kanan garis vertikal pada
aksara Sa Cacanden L105a lebih mendatar bila dibandingkan dalam aksara Sa dalam
Kidung Subrata.
Jumlah duktus aksara Sa Kidung Subrata sama dengan jumlah duktus aksara Sa pada
naskah Cacanden L 105 a, arah penulisannya juga sama.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk dan duktus keempat aksara
pada Kidung Subrata sama dengan keempat aksara pada naskah Cacanden L 105 a. Ada
beberapa hal yang membedakan yaitu misalnya adanya kucir pada aksara Ka dalam
Kidung Subrata, dan bentuk aksara Sa yang lebih melengkung pada Kidung Subrata.
Namun dari jumlah duktus hanya duktus aksara Ga saja yang berbeda, sedangkan
aksara lainnya sama. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa naskah Cacanden L
105a berasal dari zaman yang tercantum dalam teks.
Dari perbandingan lima aksara pada ketiga naskah di atas dengan lima aksara
pada naskah utama diketahui bahwa ada beberapa perbedaan antara aksara-aksara yang
dibandingkan. Perbedaan-perbedaan tersebut terjadi mungkin disebabkan oleh
perbedaan gaya tulisan tangan dan tempat penulisan. Contohnya perbedaan bentuk
aksara A pada naskah Arjuna Wiwaha dan Cacanden L 305, mungkin terjadi karena
perbedaan tempat penulisan. Pada katalog, diketahui bahwa Cacanden L 305 ditulis di
BAB 6
PENUTUP
Pada bab ini akan diuraikan secara singkat penelitian yang telah dilakukan
disertai dengan kesimpulannya. Masalah penelitian ini telah dijawab dengan
menggunakan metode dinamis, yaitu suatu metode dalam paleografi yang mengkaji
aksara berdasarkan bentuk, duktus, sudut tulisan, ukuran dan ketebalan garis pada
aksara.
Sebelum meneliti aksara dengan menggunakan metode dinamis, dilakukan
terlebih dahulu pendeskripsian terhadap naskah. Berdasarkan hasil deskripsi diketahui
bahwa kondisi empat naskah yang menjadi objek penelitian cukup baik. Tulisannya
masih terbaca walaupun di beberapa lempir terdapat kerusakan. Selain itu diketahui
pula bahwa dalam naskah Parimbwan dan Cacanden L 305 terdapat gambar-gambar
rajah yang sangat menarik. Namun, karena penelitian ini tidak menitikberatkan pada
penafsiran gambar rajah tersebut, gambar-gambar tersebut tidak dibahas secara
mendalam.
Langkah selanjutnya adalah melakukan suntingan pada beberapa bagian dari
naskah-naskah yang menjadi objek penelitian. Bagian naskah yang disunting adalah
lempir pertama dan lempir terakhir naskah-naskah yang bersangkutan. Proses
penyuntingan dilakukan melalui dua metode, yaitu metode diplomatik dan metode
kritik. Setelah disunting lalu dilakukan penerjemahan. Penerjemahan didasarkan pada
suntingan yang menggunakan metode kritik.
Setelah disunting, diketahui bahwa teks Ramayana Merapi Merbabu dimulai
pada sarga VI.80.b. Teks Parimbwan berisi mantra dan rajah yang digunakan sebagai
sarana pengobatan. Teks Cacanden berisi rasi-rasi bintang dan kaitannya dengan
pertanian.
Bersamaan dengan dilakukannya penelitian metode dinamis, dilakukan juga
tinjauan terhadap naskah-naskah yang sezaman. Tujuannya adalah untuk memastikan
bahwa naskah-naskah yang menjadi objek penelitian memang berasal dari zaman yang
tersebut dalam teks. Caranya adalah dengan membandingkan unsur fisik dan isi naskah-
naskah yang menjadi objek penelitian dengan naskah-naskah lain yang sezaman.
Penelitian ini hanya melakukan tinjauan terhadap unsur fisik. Tinjauan terhadap
unsur isi tidak dilakukan karena naskah-naskah yang dibandingkan belum disunting.
Naskah yang dibandingkan hanya tiga karena untuk Ramayana tidak ditemukan naskah
lain yang sezaman.
Dari hasil kritik diketahui bahwa lima aksara dalam ketiga naskah yang
dibandingkan mempunyai bentuk dan duktus yang sama dengan lima aksara sejenis
dalam naskah-naskah yang sezaman. Jadi dapat disimpulkan bahwa Parimbwan,
Cacanden L 305 dan Cacanden L 105a memang berasal dari zaman yang tercantum
dalam teks.
Untuk penerapan metode dinamis pada keempat naskah utama, ada enam aksara
yang diteliti yaitu A, Ka, Ga, Na , Sa dan Ca. Dari segi bentuk didapat kesimpulan
bahwa aksara-aksara Merapi Merbabu yang diteliti mempunyai beberapa variasi
bentuk. Aksara A dan Ca adalah aksara yang mempunyai variasi bentuk paling banyak.
Sedangkan aksara Ka dan Ga bentuknya relatif tidak banyak mengalami perubahan
sebelumnya, kemiringan aksaranya antara 60º-70º, jarak antar aksara 0,1-0,2 cm dan
ketebalan garis aksaranya 0,035-0,050 cm.
Aksara Merapi Merbabu yang berasal dari rentang waktu 1550-1600 MM
mempunyai ciri-ciri jumlah duktus aksaranya lebih sedikit dari aksara pada naskah
sebelumnya, kemiringannya antara 87º-90º, jarak antar aksara 0,2-0,25 cm dan
ketebalan garisnya 0,015-0-025 cm.
Aksara Merapi Merbabu yang berasal dari rentang waktu 1600-1650 MM
mempunyai ciri-ciri jumlah duktus aksaranya lebih sedikit dari aksara pada naskah
sebelumnya, kemiringannya antara 80º-90º, jarak antar aksara 0,15-0,25 cm, dan
ketebalan garisnya 0,010-0,015 cm.
Bila diamati lagi, ciri-ciri tersebut menunjukkan bahwa dalam aksara Merapi
Merbabu benar-benar mengalami perubahan dalam rentang waktu 100 tahun. Pada 100
tahun pertama aksara-aksara Merapi Merbabu yaitu jumlah duktusnya lebih banyak,
bentuk aksaranya lebih miring, jarak antar-aksara rapat, dan garis pada aksara lebih
tebal. Pada 100 tahun kedua, aksara-aksara Merapi Merbabu mempunyai ciri-ciri yaitu
jumlah duktusnya lebih sedikit dari sebelumnya, penulisan aksara lebih tegak, jarak
antar-aksara lebih lebar daripada sebelumnya dan garis pada aksara lebih tipis daripada
aksara kurun waktu sebelumnya.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan ada beberapa hal yang menyebabkan
perubahan bentuk aksara pada naskah-naskah yang menjadi objek penelitian. Pertama
perbedaan waktu. Keempat naskah yang menjadi objek penelitian ini berasal dari masa
yang berbeda. Kedua perbedaan gaya tulisan tangan. Dari kolofon diketahui bahwa
nama penulis atau penyalin keempat naskah tersebut berbeda. Ketiga perbedaan tempat
penulisan atau penyalinan. Dari kolofon diketahui bahwa nama tempat penulisan atau
penyalinan keempat naskah tersebut berbeda. Keempat adalah kecenderungan ke arah
penyederhanaan untuk menghindari upaya-upaya yang tidak perlu. Hal ini dibuktikan
dengan semakin sedikitnya jumlah duktus aksara pada naskah-naskah yang lebih
mutakhir.
DAFTAR REFERENSI
Astuti, Nunuk Juli. 2005. “Tulisan Ulu dalam Naskah Serawai dan Pasemah:
Suntingan Teks dan Kajian Paleografis.” Tesis Pascasarjana Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Depok.
Molen, Willem van der. 1983. Javaanse Tekst Kritiek. Een Overzicht en Een
Nieuwe Benadering Geillustreerd Aan de Kunjarakarna. Holland/USA: Foris
Publication.
Naveh, Joseph. 1982. Early History of The Alphabet. Jerussalem: The Magnes
Press, The Hebrew University.
Nida, Eugene A. dan Charles R. Taber. 1969. The Theory and Practice of
Translation. Leiden: E.J. Brill
Sugiyarto. 2006.“Mantra Tolak Teluh Naskah Merapi Merbabu: Edisi Teks dan
Kajian Peristiwa Magis.” Tesis Pascasarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya Universitas Indonesia. Depok.
Yulianto, Ninie Soesanti dan Titik Pudjiastuti. 2001. “Aksara” dalam Edi
Sedyawati (ed), Sastra Jawa Kuna: Suatu Tinjauan Umum, hlm.199-
207. Jakarta: Balai Pustaka.
Kamus
Mardiwarsito, L. 1990. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Flores: Nusa Indah. Cet
ke-4.
Mulyono, Drs. Slamet. 2008. Kamus Pepak Basa Jawa. Yogyakarta: Pustaka
Widyatama.
Winter Sr., C.F. dan R. Ng. Ranggawarsita. 1990. Kamus Kawi-Jawa. Terj.
Asia Padmopuspito dan A. Sarman Am. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Keterangan:
(lanjutan)
(lanjutan)
(lanjutan)
(lanjutan)
(lanjutan)
(lanjutan)
Keterangan:
1. Belum diketahui nama skriptoriumnya
2. Belum diketahui nama skriptoriumnya
3. Windusabrang/Windusujan
4. Gertengahlo
5. Belum diketahui nama skriptoriumnya
6. Temulor, Temukidul
7. Ngadoman
8. Gedakan
9. Sidopekso
10. Metep