Anda di halaman 1dari 223

i

UNIVERSITAS INDONESIA

KAS MASJID DAN TRANSFORMASI BIROKRASI DI HINDIA


BELANDA, 1882-1942

TESIS

ENDI AULIA GARADIAN


1806250606

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA


PROGRAM MAGISTER ILMU SEJARAH
UNIVERSITAS INDONESIA
2021

Universitas Indonesia
i

UNIVERSITAS INDONESIA

KAS MASJID DAN TRANSFORMASI BIROKRASI DI HINDIA


BELANDA, 1882-1942

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar M.Hum

ENDI AULIA GARADIAN


1806250606

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA


PROGRAM MAGISTER ILMU SEJARAH
UNIVERSITAS INDONESIA
2021

Universitas Indonesia
i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun
dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Endi Aulia Garadian


NPM : 1806250606

Tanda Tangan :
Tanggal : 05-08-2021

Universitas Indonesia
ii

HALAMAN PENGESAHAN

Universitas Indonesia
iii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR


UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Universitas Indonesia
UCAPAN TERIMA KASIH

Studi ini menjadi saksi bisu atas petualangan akademis saya dalam memperoleh derajat
kebijaksanaan (Yunani: sofía) yang lebih tinggi. Dalam prosesnya, banyak pihak yang
telah berkontribusi, baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga studi ini
sampai ke tangan para pembaca. Pertama sekali, selain kepada Allah SWT, saya
hanturkan rasa terimakasih paling dalam untuk “dewa dan dewi” yang paling banyak
mewarnai pandangan saya dalam menulis karya ini, Prof. Susanto Zuhdi dan Prof.
Amelia Fauzia. Sosok mereka bagai Jove (Jupiter) dan Minerva yang selalu sabar
membimbing manusia untuk menemukan kebijaksanaan. Diskusi yang selama ini saya
dapat bersama Prof. Santo dan Prof. Amel begitu menyenangkan, sehingga membuat
saya “terarahkan” dan “tercerahkan” untuk meletakkan kas masjid sebagai bagian
penting di tengah luasnya samudra masa lalu.
Awalnya, tidak terbesit sedikitpun tentang meneliti kas masjid sebagai subjek
penelitian tesis. Saya membayangkan meneliti suara azan dan pengajian di Era Orde
Baru. Semua berubah setelah berdiskusi dengan Bu Amel. Di suatu sore, di ruang rapat
Social Trust Fund (STF) UIN Jakarta, bu Amel menantang saya untuk meneliti satu
fenomena. Fenomena ini sempat ramai, tapi terlewat dari pandangan sejarawan. Hanya
ada beberapa sejarawan yang memotretnya secara singkat, misalnya seperti Pak Aqib
Suminto, Pak Karel Steenbrink, Pak Mohammad Hisyam, dan Bu Amel sendiri. Saat itu
bu Amel memberi saran untuk membedahnya dari aspek filantropi. Tawaran itu, saya
terima. Apalagi dia bilang: “di Indonesia, kalau belum neliti kolonial, bleum disebut
sejarawan”. So, challenge accepted, Mam!
Tak lama kemudian, sekitar 1 bulan, di kelas Pengantar Ilmu Sejarah, Prof.
Santo meminta para mahasiswa untuk menulis proposal. Saya tulislah proposal
mengenai kas masjid. Setiap mahasiswa mendapat masukan, termasuk saya. Saat itu
Prof. Santo bilang untuk meneliti ini secara serius. Beliau meminta saya membaca studi
Heather Sutherland yang berjudul The Making of Bureaucratic Elite. “Cari inspirasi dari
situ dan bagaimana meletakkan kas masjid dalam suasana feodalisme sekaligus
kolonialisme,” sabda Beliau. Dalam prosesnya, banyak sekali coretan. Berulangkali cara
saya berargumen dibimbing oleh Prof. Santo. Tapi buat saya ini membahagiakan. Sebab

i
ii

ini menandakan beliau adalah pembimbing yang sangat bijaksana dan baik, saya merasa
sangat bersyukur. Singkat kata, setelah melewati diskusi sangat panjang, buah pikir ini
menjadi sebuah tesis yang sekarang sedang Anda baca.
Selain dua panutan di atas, tentu masih banyak pihak yang berkontribusi dalam
tesis ini. Karena keterbatasan saya, saya juga sangat menyesal tidak dapat menyebutnya
satu per satu. Kesempatan ini saya berterimakasih kepada Pak Jajat Burhanudin, Pak
Mohammad Hisyam, Pak Mohammad Iskandar, dan Pak Jajang A. Rohmana atas
masukan-masukannya. Mereka menerangi peta jalan yang sudah saya buat. Pecahan-
pecahan informasi berdatangan dari mereka. Walhasil, saya semakin sumringah karena
proses penelitian mengenai kas masjid di masa kolonial ternyata tidak berujung pada
jalan buntu.
Sumbangan terhadap pondasi tesis ini agar tidak kokoh hadir di detik akhir.
Tipologi awal yang saya gunakan dalam tesis ini tidak kuat sehingga berpotensi
merobohkan keseluruhan tesis yang sedang dibangun. Oleh karena itu, kepada orang-
orang hebat yang saya kagumi, Pak Sumanto Al Qurtuby, Pak Sri Margana, Pak
Achmad Munjid, dan Pak Mukhsin Jami, rasa terimakasih saya ucapkan kepada mereka.
Saya beruntung bisa mendapatkan satu sesi bimbingan dalam kesempatan wawancara
beasiswa Nusantara Writing Grant.
Untuk Rektor Universitas Indonesia, Prof. Ari Kuncoro, Dekan Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Indonesia, Dr. Adrianus Laurens Gerung Waworuntu, dan beserta
jajaran rektoran maupun dekanat yang tidak bisa tersebut di pengantar ini, tentu saja
perlu diucapkan terimakasih yang sangat besar. Mereka yang memungkinkan
mahasiswa-mahasiswa pascasarjana tingkat akhir tidak kesulitan melakukan proses
penelitian hingga penulisan tesis di tengah pandemi Covid-19. Keringanan biaya juga
mungkin terjadi salah satunya berkat mereka. Selain itu, Saya berterimakasih karena
dengan surat-surat mereka saya mendapatkan beberapa beasiswa dalam penyelesaian
studi saya di Universitas Indonesia.
Rasa terimakasih yang besar juga saya sampaikan kepada Ketua Departemen
Ilmu Sejarah Universitas Indonesia, Mas Abdurrahman (Mas Maman), Kepala Prodi
Magister Ilmu Sejarah UI, Mbak Linda Sunarti, Mas Agus Setiawan, dan Mas Didik
Pradjoko atas pengayaan-pengayaan yang telah mereka berikan. Di tengah pandemi,
Mas Maman sebagai Kepala Departemen Sejarah telah meringankan banyak hal-hal

Universitas Indonesia
iii

yang sifatnya administratif pada proses pengerjaan tesis ini. Mbak Linda dan Mas Agus
yang posisinya saat itu sebagai Kepala Program Studi Pascasarjana Ilmu Sejarah juga
memberikan masukan-masukan berharga terkait teknis penulisan. Tanpa mereka, tulisan
saya mungkin tidak akan selesai. Mas Didik, bersama mas Linda, juga telah menjadi
penguji yang sangat baik agar tesis ini semakin layak untuk diluluskan. Selain itu, saya
juga mengucapkan kepada Mbak Noor Fatia yang telah membantu “percepatan” urusan-
urusan administrasi di jurusan.
Teman-teman perjuangan di S2 Ilmu Sejarah UI angkatan 2018 adalah kamerad
terbaik yang saya miliki. Mereka adalah Bunga Rosalina yang sudah hamil dua kali
semasa S2, Oppa Afriadi yang rupanya seperti artis K-POP, Sarifudin bin La Kuma
(Unang) yang akhirnya bisa meraih mimpinya studi di Gadjah Mada, Syafaat Rahman
yang sering jadi editor tulisan saya, Irfal Mujaffar si gondrong yang jenaka, Bang
Abdullah Sammy si wartawan ulung dan cerdas (cepat sekali kalau sedang
menyelesaikan tulisan), Adhtyawan Soeharto si juragan buku murah, Azrohal Hasan si
aktivis Muhammadiyah, Yunida Varadyna yang super pemalu, dan Ririn Qunury yang
sangat terobsesi dengan Australia. Diskusi bersama kalian di kampus adalah tahun-
tahun terakhir yang menyenangkan.
Rasa penghargaan juga saya ucapkan ke sahabat saya yang sedang berjuang di
Jerman, Rangga Eka Saputra. Ketika saya sempat mengalami writing block, Rangga
terus menyemangati dan mendorong saya untuk bisa menulis tesis lagi. Saran dan
masukannya sangat brilian. Misalnya, ia menyarankan saya untuk mengerjakan hal-hal
printilan terlebih dahulu dan tinggalkan konten tesis sejenak, seperti benahi bibliografi,
edit kesalahan ketik, hingga merapihkan format tulisan. Sesederhana itu. Namun
dampaknya luar biasa karena “mood” menulis saya akhirnya datang lagi.
Studi ini juga mendapatkan dukungan pendananaan dari beberapa pihak.
Adapun yang bisa disebutkan di sini adalah hibah publikasi dari Universitas Indonesia
dalam skema Publikasi Internasional Terindeks Tugas Akhir (PITMA B) dan juga
Professor Azyumardi Azra Scholarship yang diinisiasi oleh Social Trust Fund (STF)
UIN Jakarta dan LazisMU. Tanpa beberapa dukungan ini, riset penelitian tesis Saya
mungkin tidak akan pernah terwujud.
Akhirulkalam, saya sangat sangat berterimakasih pada istri saya tercinta,
Ekarizki Aryani Mandala Putri, yang mau meladeni ocehan-ocehan gila saya, meski

Universitas Indonesia
iv

beberapa kali dirinya berseloroh tidak begitu paham tentang apa yang saya utarakan. Di
tengah perjuangannya sembuh dari TBC, dia selalu memberi semangat kepada saya.
Denganmu, nirwana seakan hadir di bumi yang semakin gersang ini. Lalu, untuk
sumber semangat ayah, Alicakra Fayzan Garadian, dan penenang jiwa ayah, Kirana
Aliaputri Garadian, terimakasih banyak sudah mau mengorbankan waktu kalian buat
ayah. Semoga Allah SWT terus melindungi kalian dalam berbagai kesempatan.
Sungguh, saya, seorang suami dan ayah yang tidak berdaya, yang tidak akan mampu
menyelesaikan studi ini tanpa dukungan kalian.

Ciputat, 3 Juli 2021

Universitas Indonesia
ABSTRAK

Nama : Endi Aulia Garadian


Program Studi : Magister Ilmu Sejarah
Judul : KAS MASJID DAN TRANSFORMASI BIROKRASI DI HINDIA
BELANDA, 1882-1942
Pembimbing : Prof. Dr. Susanto Zuhdi, M.Hum

Tesis ini membahas bagaimana transformasi birokrasi menimbulkan polemik mengenai


kas masjid di antara pemerintah dalam negeri orang Eropa (Binnenlandsch Bestuur),
pemerintahan dalam negeri orang Bumiputera (Inlandsch Bestuur), dan masyarakat
sipil. Sumber penelitian ini berupa arsip pemerintah Hindia Belanda, laporan penelitian,
surat korespondensi, koran dan majalah, serta berbagai literatur sezaman. Tesis ini
merupakan studi sejarah sosial yang menggunakan metode penelitian sejarah. Penelitian
ini menunjukkan bahwa meskipun Inlandsch Bestuur masih menjadi bagian dari
pemerintah kolonial, namun mereka punya persepsi yang berbeda tentang pengelolaan
kas masjid. Perbedaan perspektif antara Binnenlandsch Bestuur dengan Inlandsch
Bestuur menjadi alasannya. Binnenlandsch Bestuur menilai sebuah fenomena di Hindia
Belanda berdasarkan pandangan birokrasi modern dimana semua harus diatur sesuai
dengan aturan-aturan yang sudah dibuat. Sementara Inlandsch Bestuur justru kerap
bertindak perspektifnya sebagai penguasa feodal. Ini berakibat pada perbedaan
pandangan dalam mengelola kas masjid, meskipun mereka sama-sama bagian dari
pemerintah kolonial. Di tengah mereka terdapat kelompok masyarakat sipil yang
mereprensentasikan pandangan-pandangan transformatif pasca kolonial. Mereka ini
adalah kelompok yang mengarusutamakan narasi bahwa kas masjid adalah bagian dari
umat Islam dan sudah seharusnya dikelola oleh orang Muslim.
Kata kunci: Kas masjid (moskeekas), transformasi birokrasi, Hindia Belanda, kolonial

v
ABSTRACT

Name : Endi Aulia Garadian


Program : Master of Arts in History
Title : MOSQUE FUND AND BUREAUCRACY TRANSFORMATION IN
DUTCH EAST INDIES, 1882-1942
Counsellor : Prof. Dr. Susanto Zuhdi, M.Hum

This thesis focuses on discussing how the transformation of the bureaucracy has created
a polemic regarding the mosque fund among European domestic governments
(Binnenlandsch Bestuur), domestic governments of Bumiputera (Inlandsch Bestuur),
and civil society. The sources of this research are Dutch East Indies government
archives, research reports, correspondence letters, newspapers and magazines, as well as
various secondary literature. This thesis is a study of social history that uses historical
research methods. It shows that although Inlandsch Bestuur was still part of the colonial
government, they had different perceptions about mosque cash administration. The
difference in perspective between Binnenlandsch Bestuur and Inlandsch Bestuur is the
reason. Binnenlandsch Bestuur assesses a phenomenon in the Dutch East Indies based
on the paradigm of modern bureaucracy where everything should be regulated
according to the rules that have been issued. Meanwhile, Inlandsch Bestuur often acts
from its perspective as a feudal representative. This resulted in different views on
managing the mosque fund, even though they were both part of the colonial
government. In their midst are civil society groups who represent post-colonial
transformative perspective. They are a group that mainstreams the narrative that mosque
treasury is part of Muslims and should be managed by Muslims.
Keywords: Mosque fund (moskeekas), bureaucracy transformation, Dutch East Indies,
Colonial

vi
DAFTAR ISI

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ........................................................................ i


HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK
KEPENTINGAN AKADEMIS ................................................................................................. iii
UCAPAN TERIMA KASIH ........................................................................................................ i
ABSTRAK ................................................................................................................................... v
ABSTRACT .................................................................................................................................vi
DAFTAR ISI ...............................................................................................................................vii
BAB 1............................................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN ........................................................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang Masalah ............................................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah ..................................................................................................... 11
1.3. Tujuan Penelitian ...................................................................................................... 12
1.4. Ruang Lingkup Studi ................................................................................................ 12
1.5. Tinjauan Pustaka ...................................................................................................... 17
1.6. Metode Penelitian dan Sumber Sejarah .................................................................. 20
1.7. Kerangka Konsep ...................................................................................................... 24
1.8. Sistematika Penulisan ............................................................................................... 31
BAB 2.......................................................................................................................................... 33
GENEALOGI KAS MASJID DI JAWA................................................................................. 33
2.1. Islamisasi di Jawa ...................................................................................................... 33
2.2. Islam di Jawa Sekitar Abad 19 ................................................................................ 41
2.3. Masjid: Episentrum Kota dan Spiritualitas Keislaman di Jawa .......................... 48
2.4. Baitulmal dan Embrio Kas Masjid di Era Kerajaan Islam .................................. 53
2.5. Terbentuknya “Kas Masjid” di Era Kolonial, 1854-1890 ..................................... 65
2.6. Kas Masjid dan Pengelolaannya: Gambaran Umum pada 1890-1905................. 69
BAB 3.......................................................................................................................................... 77
BINNENLANDSCHCH BESTUUR:....................................................................................... 77
MENGATUR DAN MENGAWASI KAS MASJID ............................................................... 77
3.1. Agama, Islam, dan Kolonial Hindia Belanda ......................................................... 77
3.2. Sikap Gubernur Jenderal terhadap Kas Masjid, 1892-1903 ................................ 83
3.3. Mengawasi Pundi Kas Masjid: Zakat-Fitrah ......................................................... 88

vii
viii

3.4. Snouck Hurgronje dan Kas Masjid ......................................................................... 91


3.5. Kantoor voor Inlandsche Zaken dan Kas Masjid ................................................ 100
3.6. Bijblad No. 12726 Tahun 1931: Babak Akhir Pengawasan dan Pengaturan Kas
Masjid ................................................................................................................................... 107
BAB 4........................................................................................................................................ 112
INLANDSCH BESTUUR:...................................................................................................... 112
MEMAKNAI KAS MASJID SEBAGAI KUASA ADAT.................................................... 112
4.1. Dari Priyayi Tradisional ke Priyayi Modern ........................................................ 112
4.2. Posisi Penghulu dan Personalia Masjid dalam Urusan Kas Masjid ................... 121
4.3. Distribusi Penggunaan Kas Masjid oleh Pangreh Praja ..................................... 124
4.4. Patuh Terhadap Peraturan .................................................................................... 127
4.5. Penggunaan Kas Masjid di luar Aturan ............................................................... 128
4.6. Deposito dan Kas Masjid: Cara-cara Mendapatkan Uang Tambahan ............. 132
4.7. Kas Masjid Bagian Dari Kekuasaan Adat? .......................................................... 134
BAB 5........................................................................................................................................ 137
MASYARAKAT SIPIL: ......................................................................................................... 137
SEMANGAT MEMPERJUANGKAN KAS MASJID ........................................................ 137
5.1. Islam dan Masyarakat Sipil di Hindia Belanda ................................................... 137
5.2. Kas Masjid di Kongres Nasional Centraal Sarekat Islam ................................... 142
5.3. Kas Masjid di Sidang Volksraad ........................................................................... 145
5.4. Merespon Penggunaan Kas Masjid: Kritik Masyarakat Sipil di Media Massa 155
5.5. Ketika Anak Buah Penghulu Berkeluh Kesah: Korban dari Pengelolaan Kas
Masjid ................................................................................................................................... 159
5.6. Kas Masjid Sebagai Harta Umat ........................................................................... 163
BAB 6........................................................................................................................................ 169
KESIMPULAN........................................................................................................................ 169
DAFTAR ACUAN ................................................................................................................... 180
LAMPIRAN ............................................................................................................................. 200
INDEKS ................................................................................................................................... 205

Universitas Indonesia
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Salah satu wacana inti dalam sejarah masa kolonial adalah adanya pembaruan dalam
praktik kolonialisme yang berdasarkan pada sistem birokrasi modern. Dalam konteks
Hindia Belanda, hal ini ditandai dengan diberlakukannya politik pasifikasi oleh Belanda
dengan nama Pax Neerlandica yang berlangsung sepanjang abad ke-19.1 Kebijakan ini
bertujuan menyatukan daerah-daerah di sekitar Nusantara yang dikolonisasi oleh
Belanda dalam satu sistem administrasi yang pusatnya ada di Batavia2. Dalam
pelaksanaannya, kebijakan ini membagi otoritas pemerintah kolonial Hindia Belanda
menjadi tiga bagian berdasarkan letak geografisnya. Van den Berg3 dan Snouck
Hurgronje4 memberikan petunjuk mengenai pembagian otoritas ini, dimana otoritas
pertama adalah pemerintahan utama (parent government) di Den Haag yang fokus
utamanya menangani persoalan-persoalan legislatif. Otoritas kedua adalah pusat
pemerintahan di Batavia yang fokus utamanya mengurusi gabungan persoalan legislatif
dan administratif. Meski demikian, secara struktural fokus utama yang mereka jalankan
harus tetap sejalan dengan peraturan umum yang telah digariskan oleh pemerintahan
utama di Belanda. Otoritas ketiga adalah pemerintahan di tingkat lokal yang dijalankan
oleh pejabat di seluruh Hindia Belanda, baik itu pejabat yang berbangsa Eropa maupun
bumiputera. Adapun fokus utama dari otoritas ketiga adalah urusan-urusan
administratif.
Di saat yang bersamaan, kolonialisme sedang menghadapi tantangan dari
kebangkitan gerakan Pan-Islamisme. Gerakan yang dimotori oleh Jamal al-Din al-
Afghani (1838/1839 – 9 Maret 1897) ini berusaha menyatukan seluruh kekuatan umat

1
Ferjan J. Ormeling, “The Exploration and Survey of the Outlying Islands of the Dutch East
Indies,” dalam Mapping Empires: Colonial Cartographies of Land and Sea, ed. oleh Alexander James
Kent dkk., Lecture Notes in Geoinformation and Cartography (Cham: Springer International Publishing,
2020), 37–38, https://doi.org/10.1007/978-3-030-23447-8_3.
2
Peter Boomgaard, “Smallpox, Vaccination, and the Pax Neerlandica: Indonesia, 1550-1930,”
Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 159, no. 4 (2003): 591.
3
L.W.C Van Den Berg, “Het Pan Islamisme,” De Gids LXIV, no. IV (1900): 256.
4
C. Snouck Hurgronje, Mekka in the Latter Part of the 19th Century: Daily Life, Customs and
Learning. The Moslims of the East-Indian Archipelago (Leiden: Brill, 2007), 244–45.

1
2

Muslim di dunia sebagai sebuah persatuan tunggal dengan nama umat (ummah).5 Selain
itu, al-Afghani juga membayangkan sebuah penggulingan terhadap penguasa yang
lemah atau tunduk pada kekuasaan kolonial, dan mengganti mereka dengan seorang
Muslim yang kuat serta patriotik.6 Adapun mengenai sistem kekuasaan yang seharusnya
ditegakkan di sebuah wilayah, al-Afghani tidak menganjurkan pemerintahan
konstitusional tertentu.7 Dalam konteks Hindia Belanda, gagasan al-Afghani itulah yang
dikhawatirkan oleh Belanda.
Pan-Islamisme juga hidup di masyarakat lewat kisah-kisah heroik Sultan Seljuk
Rum. Kisah seorang sultan yang lebih dikenal masyarakat sebagai Sultan Rum tersebut
memberikan inspirasi dalam menghalang kekuatan kolonialisme. Dalam studi Sartono8,
terlihat bahwa masyarakat Muslim di Banten juga kerap mengenang kejayaan Sultan
Rum dengan mengirim doa kepadanya. Dalam pengamatan Snouck Hurgronje9, hal ini
terjadi sejak tahun 1880-an, ketika banyak ulama mulai menggunakan kitab Majmu’ al-
Fatâwa Ibnu Taimiyah yang dikumpulkan atau disusun ‘Abd. Al-Rahmân bin
Muhammad bin Qâsim al-simiy al-Najdiy al-Hanbaliy, dan kitab ini kemudian
memperluas pengaruh pan-Islamisme di Hindia Belanda.
Faktor lain yang membuat pan-Islamisme tumbuh di Hindia Belanda adalah
terbangunnya jaringan komunikasi global antara Tanah Jawi dengan dunia Islam di
Timur Tengah. Lewat para peziarah haji, berita mengenai perlawanan Islam terhadap
kolonialisme tersebar begitu cepat.10 Bahkan di Mekah sendiri semangat reformasi
puritan kelompok Wahabi, dan lebih jauh lagi semangat reformasi yang digaungkan
oleh Muhammad Abduh di abad ke-19, dengan cepat menginspirasi para haji untuk
menyebarkan gerakan melawan kolonialisme.11 Adapun indikator yang memperkuat

5
Dwight E. Lee, “The Origins of Pan-Islamism,” The American Historical Review 47, no. 2
(1942): 283, https://doi.org/10.2307/1841668.
6
Nikki R. Keddie, Sayyid Jamal Ad-Din “Al-Afghani”: A Political Biography (New York, NY:
ACLS Humanities E-Book, 2008), 225.
7
Keddie, 226.
8
Sartono Kartodirdjo, The Peasants’ Revolt of Banten in 1888: Its Conditions, Course and
Sequel: A Case Study of Social Movements in Indonesia, 1966th edition (New York: Springer, 1970),
209.
9
Hurgronje, Mekka in the Latter Part of the 19th Century, 258.
10
Kris Alexanderson, “‘A Dark State of Affairs’: Hajj Networks, Pan-Islamism, and Dutch
Colonial Surveillance during the Interwar Period,” Journal of Social History 47, no. 4 (1 Juni 2014):
1022, https://doi.org/10.1093/jsh/shu020.
11
Michael Christopher Low, “Empire and the Hajj: Pilgrims, Plagues, and Pan-Islam Under
British Surveillance, 1865–1908,” International Journal of Middle East Studies 40, no. 2 (Mei 2008):
272, https://doi.org/10.1017/S0020743808080549.

Universitas Indonesia
3

bahwa semangat pan-Islamisme terus tumbuh telah dicatat oleh Holle. Menurutnya,
sebagaimana dikaji oleh Karel Steenbrink, kebangkitan kehidupan keagamaan terwujud
juga dalam peningkatan jumlah pesantren dan masjid yang didirikan di Hindia
Belanda.12 Masyarakat juga mulai menghormati orang-orang yang telah berhaji,
sehingga membuat para haji punya kedudukan khusus di tengah masyarakat.13 Oleh
karena itu, Islam mempunyai kedudukan penting dalam kehidupan masyarakat, dan
Islam kerap berkesesuaian dengan gerakan nasionalisme maupun kebangsaan yang
menyatakan kesetiaan kepada tanah air dalam melawan penjajah asing.14 Wajar
kemudian jika pemerintah kolonial sangat curiga terhadap berbagai kehidupan
keagamaan masyarakat Muslim dan memperlakukan mereka secara khusus, yaitu bahwa
Islam dipandang tidak hanya sebagai ancaman terhadap kebijakan keamanan dan
ketertiban (rust en orde), tetapi juga bagi masa depan kelanjutan kolonialisme di Hindia
Belanda.
Atas dasar di atas, dari berbagai aspek kehidupan keagamaan masyarakat, kas
masjid adalah salah satu praktik yang terdampak dari kebijakan Belanda. Belanda
berupaya mengatur kas masjid dengan alasan banyak penyalahgunaan administrasi yang
terjadi dalam praktik ini seperti yang bisa dibaca lebih jauh pada Bab 3. Beberapa di
antaranya misalnya pemungutan dana dari masyarakat dengan dalih pengumpulan untuk
dana kas masjid yang dianggap pajak terselubung oleh pemerintah kolonial, penggunaan
uang kas masjid tidak hanya untuk kepentingan masjid namun lebih banyak untuk
kepentingan bupati, dan penggunaan uang kas masjid yang dianggap tidak transparan.
Berbagai kecurigaan pemerintah kolonial terhadap praktik kas masjid ini kemudian
mendorong mereka menyelidiki lebih jauh dengan mengundang salah satu pakar Islam
saat itu, Snouck Hurgronje, ke Hindia Belanda.15 Landasan terkuat dari Belanda,
mereka ingin membuat kebijakan yang sesuai dengan semangat modernisasi birokrasi,
sehingga pemerintah kolonial mulai merasa bahwa kebutuhan pengetahuan tentang
Islam di Hindia Belanda sangat diperlukan sebagai landasan membuat kebijakan.
Pemerintah kolonial kemudian meminta Snouck untuk meneliti Islam dan memberikan

12
Karel Andrian Steenbrink, Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942)
(Yogyakarta: Gading, 2017), 53.
13
Lihat misalnya: M. Dien Madjid, Berhaji di Masa Kolonial (Jakarta: CV Sejahtera, 2008),
https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/35079.
14
Howard M. Federspiel, “Islam and Nationalism,” Indonesia, no. 24 (1977): 46,
https://doi.org/10.2307/3350918.
15
Husnul Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1985), 114.

Universitas Indonesia
4

masukan kepada mereka tentang kebijakan model apa yang harusnya diciptakan. Sebab
selama ini kebijakan yang ditempuh oleh Pemerintah Hindia Belanda justru cenderung
melahirkan sikap antipati dari masyarakat Muslim. Hal tersebut pada gilirannya justru
merugikan Pemerintah Kolonial, misalnya seperti tidak bisa menjalankan roda
pemerintahan secara efektif maupun mendapatkan pertentangan-pertentangan yang
sifatnya militeristik.
Lantas, apa sebetulnya kas masjid yang menjadi perhatian pemerintah kolonial?
Mengapa pemerintah kolonial merasa perlu menyelidiki secara khusus praktik kas
masjid yang sudah menjadi tradisi di beberapa daerah di Pulau Jawa dan Madura? Perlu
diketahui bahwa secara historis, kas masjid dalam konteks tersebut merupakan sebuah
tradisi yang dijalankan di beberapa daerah di Nusantara, terutama di daerah Jawa dan
Madura.16 Praktik ini merupakan pengumpulan uang yang dilakukan oleh para penghulu
maupun anak buahnya setelah mendapatkan imbalan balas budi ketika menikahkan,
menceraikan, mengurus warisan, mendoakan, ataupun urusan-urusan keagamaan lain
untuk masyarakat Muslim. Meski demikian, penghulu juga menerima imbalan bukan
uang. Hanya saja, imbalan yang berupa uang akan disetor ke kas masjid, dan uang yang
sudah terkumpul ini umumnya digunakan oleh para Bupati untuk mengurus masjid
agung di sebuah karesidenan. Selain itu, uang yang diberikan mereka ke kas masjid
besarannya tidak pernah sama di berbagai daerah, dan hal itu berjalan sesuai tradisi
daerah masing-masing.17 Tradisi ini diperkirakan sudah ada sejak pusat-pusat
pengkajian dan penyebaran Islam mulai bermunculan di beberapa daerah di pesisir Jawa
pada kisaran abad ke-15.
Di bawah penghulu masjid, para personalia masjid memberikan bantuan
keagamaan kepada masyarakat seperti menikahkan, mendoakan, mengurus warisan, dan
berbagai persoalan keagamaan lainnya. Kadangkala, mereka juga mendapatkan tugas-
tugas di luar kemampuan mereka seperti diminta menyembuhkan bayi yang terkena
cacar maupun penyakit lain yang seharusnya dijelaskan oleh tenaga medis. Namun
terlepas dari itu, berkat kerja-kerja keagamaan dan kemasyarakatannya tersebut, jajaran
staf masjid itu umumnya akan menerima imbalan. Bentuknya bukan hanya uang, namun

16
Lihat misalnya salah entri “Moskeekas” dalam ensiklopedia berikut: S. De Graaff dan D. G.
Stibbe, ed., “Moskeekas,” dalam Encyclopǣdia van Nederlandsch Indië (Leiden: E.J. Brill, 1918).
17
Lihat misalnya surat-menyurat Snouck dengan pegawai Binnenladsch Bestuur: C. Snouck
Hurgronje, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintahan Hindia
Belanda, 1889-1936, ed. oleh E. Gobèe dan C. Adriaanse, vol. Jilid 5 (Jakarta: INIS, 1991).

Universitas Indonesia
5

bisa berupa barang seperti tikar, minyak, maupun makanan lainnya seperti beras dan
sayur-sayuran.18 Tidak dapat diketahui secara pasti kapan tradisi seperti ini dijalankan,
tapi studi ini beranggapan bahwa kemungkinan hal ini sudah berjalan cukup lama di
berbagai daerah di Jawa dan Madura semenjak masuknya Islam, sejalan dengan proses
vernakularisasi ketika Islam mulai datang ke Indonesia sebagai agama yang dianut
secara massal.
Dalam perjalanannya, tahun-tahun di sekitar akhir abad ke-19 dan awal abad ke-
20 adalah masa-masa yang menentukan bagi sejarah kas masjid. Dengan
berkembangnya semangat humanisme di Benua Eropa, banyak negara kolonial yang
merombak kebijakannya. Ditandai dengan misalnya kebijakan Pax Neerlandica, hal ini
tentu saja berdampak pada daerah yang masuk dalam kategori dikolonisasi (colonized
areas) seperti Nusantara, dimana saat itu sedang terjadi peralihan besar dari masa
kolonial ke pasca kolonial. Akibat dari ini secara sosio-kultural adalah berubahnya
struktur sosial yang bernuansa feodal menjadi modern secara perlahan-lahan. Sartono
Kartodirdjo19, misalnya, membahasakan zaman ini sebagai masa defeodalisasi.
Selain itu, dimotori oleh Kebijakan Etis (Ethische Politiek), kelas sosial baru
yang terdiri dari masyarakat intelektual mulai mengisi arus wacana publik kala itu.
Mereka awalnya adalah para priyayi atau masih memiliki koneksi dengan priyayi.
Namun karena mendapatkan akses pendidikan modern, ide-ide pencerahan dari Eropa
mewarnai cara pandang mereka tentang kolonialisme. Ini yang kemudian membuat
mereka berpandangan bahwa berbagai kebijakan kolonial mengeksploitasi masyarakat
bumiputera. Berbagai aktivisme kritik mereka lancarkan ke pemerintah kolonial, baik
lewat institusi formal seperti Volksraad (Dewan Rakyat) maupun lewat media-media
kelompok pergerakan.
Lalu, bagaimana perubahan di atas berdampak pada kas masjid di akhir abad ke-
19 itu? Transisi birokrasi yang terjadi di satu sisi, dan perubahan semangat zaman dari
feodal ke modern di sisi lain, mempengaruhi tradisi kas masjid. Pemerintah merasa
banyak eksploitasi terselubung dari praktik kas masjid, lantaran kas tersebut terisi dari
sebagian pendapatan para penghulu dan jajarannya. Hal ini kemudian merembet pada

18
Dr. A.W.T Juynboll, “Kleine Bijdragen over Den Islam Op Java,” Bijdragen Tot de Taal-,
Land- En Volkenkunde / Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia 30, no. 1
(1882): 267.
19
Sartono Kartodirdjo, Modern Indonesia Tradition and Transformation (Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 1984): 150-149.

Universitas Indonesia
6

praktik pemungutan atas bantuan-bantuan keagamaan yang dilakukan oleh penghulu


dan jajarannya. Hilangnya pendapatan penghulu membuat mereka menambah biaya
pungutan. Namun, sebagaimana akan dijelaskan lebih lanjut, praktik ini tidak bisa
digeneralisasi untuk seluruh Jawa meskipun banyak terjadi di banyak daerah di Jawa.
Pemerintah kemudian menginstruksikan daerah-daerah untuk membuat
peraturan mengenai pendapatan penghulu dan juga peraturan mengenai penggunaan
dana kas masjid untuk apa saja. Besaran pungutan berbeda dari satu daerah ke daerah
lain, tergantung konteks. Sementara untuk dana kas masjid, karena uang yang masuk
lebih besar daripada yang keluar akibat aturan dari pemerintah, besaran uang dalam kas
masjid terus menggulung. Saking besarnya, para bupati dan penghulu yang menjadi
penanggungjawab dari dana dalam kas masjid ini menggunakannya untuk keperluan
pribadi mereka. Adanya penggunaan ini membuat para bupati dan penghulu yang
menjadi bagian dari struktur pemerintahan kolonial diperingatkan oleh Gubernur
Jenderal. Tindakan mereka dianggap telah merugikan masyarakat dan masuk ke tahap
penyalahgunaan wewenang. Sebab apa yang dilakukan oleh bupati dan penghulu
tersebut tidak sesuai dengan semangat birokrasi modern.
Kemudian di saat yang sama, ada pihak masyarakat sipil yang mencoba
memperingati pemerintah yang justru tidak melibatkan mereka dalam pemanfaatan dana
di kas masjid. Mereka umumnya terdiri dari kaum intelektual. Adanya pengetahuan
mengenai eksploitatifnya pemerintah kolonial, baik pegawai berbangsa Eropa
(Binnenlandschch Bestuur) maupun bumiputera (Inlandsch Bestuur), membuat mereka
mengkritik pemerintah secara masif, terutama karena tidak menjalankan prinsip tata
kelola pemerintahan yang baik (good governance). Persoalan kas masjid terus
disuarakan lewat berbagai upaya agar terjadi perubahan peraturan dalam praktik
pengelolaan kas masjid. Upaya mereka pun berhasil pada 1931, ketika pemerintah
kolonial mengeluarkan peraturan resmi agar masyarakat Muslim diberi ruang untuk ikut
berpartisipasi dalam pengelolaan kas masjid di setiap daerah.
Pada abad ke-19, dengan adanya modernisasi birokrasi pasca Pax Neerlandica,
sebagaimana dijelaskan di awal bagian ini, yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia
Belanda, tradisi kas masjid mulai dikelola secara administratif oleh Bupati, sebab
masjid menjadi salah satu bagian dari Pemerintahan Daerah (Inlandsch Bestuur).
Penghulu bersama jajarannya tidak lagi menerima imbalan berupa barang. Praktik

Universitas Indonesia
7

pungutan imbalan ini kemudian dibirokratisasi dan menjadi pendapatan utama penghulu
atas kerja-kerja keagamaan yang sudah mereka lakukan. Dari pungutan yang sudah
mengalami proses birokratisasi dan administratisasi ini, sebagai kepala pengurus masjid
karesidenan, para penghulu mendapat pemasukan dan mampu menghidupi dirinya
beserta stafnya di masjid. Segala kebutuhan agar masjid terus terawat pun diambil dari
porsi uang administrasi tersebut. Perubahan ini juga membentuk semacam kebiasaan
baru yang membuat penghulu menyetor sebagian pemasukannya ke apa yang disebut
sebagai kas masjid (moskeekas). Selain itu, juga jamak ditemui bahwa zakat-fitrah
menjadi salah satu komponen yang mengisi pundi-pundi kas masjid.
Setiap daerah juga punya perlakuan yang berbeda dengan pemasukan para
penghulu itu.20 Menurut Hisyam, ada daerah yang bupatinya mewajibkan para penghulu
menyetor 30-40% pendapatannya ke dalam kas masjid. Ia menambahkan bahwa ada
juga daerah yang penghulunya secara sukarela menginfakkan hartanya untuk masjid.
Tidak ada pola baku di setiap daerah. Hanya saja, dalam surat-surat Snouck Hurgronje21
kepada Gubernur Jenderal, terlihat bahwa Binnenlandschch Bestuur maupun Inlandsch
Bestuur di berbagai daerah berinisiatif untuk menciptakan kas masjid, sekalipun tidak
pernah ditemukan adat mengenai pemberian imbalan kepada personalia masjid di
daerah-daerah tersebut sebelumnya. Untuk kasus seperti ini, motifnya bervariasi seperti
untuk menumbuhkan semangat kedermawanan hingga menyediakan uang untuk
perawatan masjid. Fenomena ini terus bergulir hingga akhirnya kas masjid semakin
mudah ditemukan di Hindia Belanda, terutama di daerah Jawa dan Madura.
Di berbagai daerah, kas masjid mampu menghimpun dana yang signifikan dan
memunculkan polemik. Pada 1886-1888, Raden Tumenggung Panji Kartowinoto––yang
saat itu bertindak sebagai Bupati Rembang dan mengemban tugas pemerintahan dari
pihak bumiputera––menggunakan uang dari kas masjid22 sebesar ƒ3.89223, ƒ3,196, dan

20
Muhamad Hisyam, Caught between Three Fires: The Javanese Pangulu under the Dutch
Colonial Administration, 1882-1942 (Jakarta: INIS, 2001), 160.
21
Lihat bagian XIII – Kas Masjid, Hurgronje, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa
Kepegawaiannya kepada Pemerintahan Hindia Belanda, 1889-1936.
22
Terkait penggunaan ini bisa ditemukan di Mailrapporten no 287, 1889. Selain itu, dari arsip ini
terlihat bahwa isu kas masjid cukup serius sebab masuk ke dalam kategori mailrapporten. Semua
dokumen yang masuk ke kategori ini berarti duplikat dokumennya di Hindia Belanda dikirim langsung ke
Belanda untuk diberikan tanggapan oleh Kementerian Urusan Tanah Jajahan Belanda.
23
ƒ1 setara dengan €12.54 di tahun 2016. Sementara €1 setara dengan Rp14.954 per Agustus
2016. Sehingga, ƒ1 setara dengan Rp187.523. Maka dapat dibayangkan bahwa ƒ5.500 bukanlah jumlah
uang yang sedikit lantaran setara dengan Rp729.839.516,00. Kalkulasi dari mata uang Gulden ke Euro
mengacu pada data penelitian yang dilakukan oleh International Institute of Social History Amsterdam

Universitas Indonesia
8

ƒ2.328 selama tiga tahun berturut-turut tanpa bisa menjelaskannya kepada Gubernur
Jenderal.24 Preseden ini mengakibatkan sang Bupati dipecat pada 1 Mei 1899––walau
sebetulnya penghulu juga turut andil dalam penggunaan uang kas masjid tersebut karena
mereka menjadi menjadi pengawas masjid di bawah otoritas bupati25––dan menjadi
peringatan keras bagi para bupati di wilayah lain.26
Selang setahun lewat, peristiwa di atas berulang. Pada 30 Juli dan 1 Agustus
1890, Bataviaasch Nieuwsblad dan De Locomotief secara berurutan mewartakan
kekecewaan serius seorang Cornelis P. Hordijk, Gubernur Jenderal Hindia Belanda,
kepada Bupati Tuban yang dianggap telah menyalahgunakan wewenangnya
(dibahasakan dengan kata verduistering atau malversatie). Uang sebesar ƒ5.500 dari kas
masjid Tuban dipakai untuk keperluan yang tidak bisa dijelaskan oleh sang bupati.
Setelah diusut, uang tersebut ternyata digunakan untuk kepentingan selain keperluan
perawatan masjid. Atas tindakannya itu, gubernur jenderal mengambil sikap dengan
meminta sang bupati mengembalikan sejumlah uang yang telah digunakannya atau
jabatannya akan dicopot.
Dalam menyikapi persoalan kas masjid ini, pemerintah Hindia Belanda
membuat peraturan baru. Sebuah surat edaran––setelah mendapat masukan dari Snouck
Hurgronje selaku Penasihat (Adviseur) dari Kantor urusan Pribumi dan Arab (Kantoor
voor Inlandsche Zaken)––yang berisi pembatasan penggunaan kas masjid secara
spesifik dikeluarkan oleh negara kolonial pada 4 Agustus 1892.27 Surat ini28 diedarkan29

(https://iisg.amsterdam/nl/onderzoek/projecten/hpw/calculate.php), sementara euro ke rupiah mengacu


data Free Currency Rates (https://freecurrencyrates.com/en/exchange-rate-history/EUR-IDR/2016).
Berkaca pada data-data yang dipakai oleh Anne Booth. “Living Standards and the Distribution of Income
in Colonial Indonesia: A Review of the Evidence”. Journal of Southeast Asian Studies, 19 (1988), 310-
334., bahwa gaji kuli kasar di berbagai daerah di Jawa ada pada rentang 20-50 sen per hari pada 1900.
Sementara pada 1900-1917 kebutuhan beras per orang dalam satu tahun mencapai 108.25 kg, dengan
harga rata-rata beras mencapai ƒ2.1175. Jika kebutuhan beras ini dipecah menjadi harian maka kebutuhan
beras harian kira-kira sebesar 0.3 kg per orang dengan biaya yang dikeluarkan sekitar 63 sen per hari.
Sehingga uang ƒ1 di sekitori tahun-tahun tersebut jumlahnya sangat besar. Bahkan rata-rata gaji kuli
harian saja tidak cukup untuk membeli beras.
24
Lihat juga Amelia Fauzia, Faith and the State: A History of Islamic Philanthropy in Indonesia
(Leiden: Brill, 2013), 131.
25
Hisyam, Caught between Three Fires, 67–69.
26
Surat pemecatan Bupati Rembang ini ditandatangani langsung oleh Gubernur Jenderal Hindia
Belanda, setelah mendapatkan saran dari Raad van Indie no. 284, 1 April 1889. (Lihat juga Amelia
Fauzia, Faith and the State, 2013, 132).
27
Surat Edaran no. 3282/1 tanggal 4 Agustus 1892 (Lihat Adatrecthbundels Vol VII, no 8, h.
297-299).
28
Adatrechtbundels Vol. VII, no. 8, h. 302-306.

Universitas Indonesia
9

pertama kali di Rembang lalu kemudian diberlakukan di seluruh Jawa dan Madura satu
tahun setelahnya30. Lewat surat edaran itu negara berupaya membatasi pendapatan, tata
kelola, dan penggunaan kas masjid. Surat ini juga mendorong pemerintah di tingkat
karesidenan dan afdelling (wilayah administratif setingkat kabupaten) untuk berhati-hati
dalam menunjuk penghulu. Alasannya, mereka memegang peranan kunci dalam
mengontrol dan mengamankan uang kas masjid.31 Sebagai tambahan, peraturan ini bisa
juga dibaca dalam perspektif yang lebih bijak. Sebab, lewat berbagai peraturan tersebut
Snouck juga punya misi untuk mengupayakan sebuah sistem yang membendung praktik
“pengumpulan” dana kas masjid yang mengarah pada praktik pungutan pajak
terselubung bagi masyarakat, terutama buat para penghulu.32
Meski peraturan sudah dikeluarkan, praktik penggunaan dana kas masjid di luar
ketentuan masih tetap berlangsung di beberapa wilayah di Jawa. Di Purwokerto pada
1895, seorang patih menggunakan kas masjid untuk menolong kerabatnya––yang juga
masih seorang priyayi––dari lilitan hutang.33 Kemudian di Surabaya pada 1903, setiap
bulan seorang bupati mendermakan uang kas masjid ƒ90 ke rumah sakit misionaris dan
orang miskin di Mojowarno––atas arahan Residen.34 Meski demikian, ada juga
penggunaan dana kas masjid untuk kepentingan karitas sebagaimana terjadi di
Sumedang pada 1903.35 Sejauh penelitian tesis ini atas sumber-sumber yang tersedia,
praktik ini masih bisa ditemukan sampai Pemerintah Hindia Belanda bubar pada 1942,
tidak lama setelah Jepang memukul Belanda untuk keluar dari Jawa.
Kemudian, bila melihat lebih luas dalam rentang tahun 1882-1942, berbagai
penggunaan uang kas masjid ini menuai pro-kontra di masyarakat. Terkhusus pada
penggunaan kas masjid yang menguntungkan segelintir priyayi, masyarakat pun tidak
tinggal diam. Terwakilkan oleh kalangan nasionalis, kegeraman masyarakat dengan
perilaku para pejabat bumiputera, dan dalam beberapa kasus kepada residen dan asisten

29
Surat ini juga diedarkan lewat Locomotief pada hari Jumat, 1 September 1893 no. 204.
30
Fauzia, Faith and the State, 2013, 130–32.
31
Fauzia, 133.
32
Hurgronje, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada
Pemerintahan Hindia Belanda, 1889-1936, Jilid 5:853.
33
Sugeng Priyadi, Sejarah Kota Purwakarta (Purwokerto) (1832-2018) (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2019).
34
Hurgronje, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada
Pemerintahan Hindia Belanda, 1889-1936, Jilid 5:862.
35
H. van Kol. 19-05-1903. “Hulp aan noodlIjdenden”, De Preangerbode, h.6.

Universitas Indonesia
10

residen, pun tersampaikan lewat berbagai sarana informasi. Sarekat Islam, salah satu
gerakan masyarakat sipil paling awal di Hindia Belanda, bahkan membawa isu kas
masjid ke dalam kongres nasional mereka pada 1916 dan 1918.36 Tidak sampai situ,
kritik mereka pun terus dilancarkan lewat surat kabar milik partisi sayap kiri (left-wing)
gerakan ini, Sinar Hindia. Pada 16 April 1919, surat kabar ini mewartakan bahwa kas
masjid sebaiknya digunakan untuk menolong orang-orang miskin yang memerlukan.
Selain itu, sebuah kritik juga muncul dari Indische Sociaal Democratische Vereeniging
(ISDV), embrio dari Partai Komunis Indonesia (PKI)37, dengan meminta pemerintah
untuk mendukung kerja-kerja sosial yang berkaitan dengan pemberian bantuan kepada
orang-orang miskin atau pembangunan panti jompo, salah satunya dengan membiarkan
kas masjid di atur oleh kelompok masyarakat sipil.38 Perwakilan-perwakilan nasionalis
di Volksraad pun turut menyuarakan kegentingan persoalan kas masjid ini di forum
tersebut.
Dari kritik-kritik yang tertuang, rasanya bisa dipahami mengapa kelompok
masyarakat sipil memahami kas masjid sebagai bentuk lain dari “baitul maal”. Sebab,
mau bagaimanapun, kas masjid juga terisi dari sebagian uang zakat dan fitrah yang telah
dikumpulkan oleh penghulu. Berdasarkan ajaran agama Islam, zakat dan fitrah memang
harus bisa memberikan manfaat bagi masyarakat banyak. Mengingat hal ini, maka bisa
dimengerti bila masyarakat memberikan wanti-wanti supaya negara tidak boleh
mengintervensi lebih jauh mengenai keberadaan harta umat ini39––terlepas dari satu
fakta tak terbantahkan bahwa Hindia Belanda berupaya melakukan upaya modernisasi
terhadap administrasi kas masjid agar lebih mudah diawasi dan penggunaannya sesuai
dengan kaidah-kaidah agama Islam.40 Namun nampaknya, masyarakat justru
menganggap langkah-langkah Pemerintah Hindia Belanda sebagai upaya pembatasan
maupun pengendalian dana kas masjid agar masyarakat tidak bisa leluasa dalam
memanfaatkannya.41

36
Lihat Centraal Sarekat Islam Congress (1e national congress) 17-24 Juni 1916 te Bandung dan
Centraal Sarekat Islam Congress (3de national congress) 1918 te Soerabaja.
37
Ruth T. McVey, The Rise of Indonesian Communism (Singapore: Equinox Publishing, 2006),
https://doi.org/10.7591/9781501742651.
38
Lihat misalnya Roedjak Oeleg, “Wang Kas Masdjid,” Poesaka, Mei 1919.
39
Lihat Saroen, “De godsdienstige beweging”, Sin Po, 27 November 1931,
40
Karel Andrian Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19 (Jakarta:
Bulan Bintang, 1984), 229.
41
Lihat misalnya Neratja no. 1 dan no. 2, 1-3 Juli 1917.

Universitas Indonesia
11

1.2. Rumusan Masalah


Ada persoalan perspektif mengenai kas masjid antara Binnenlandsch Bestuur, Inlandsch
Bestuur, dan masyarakat sipil. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari proses transformasi
kolonial yang berpengaruh pada perubahan tatanan sosial-politik di Hindia Belanda.
Pertama, proses birokratisasi di level daerah menghadirkan kebingungan tentang
wewenang Pemerintahan dalam Negeri dengan para Pemerintahan Daerah. Kas masjid
yang menjadi wewenang para Pemerintahan Daerah akhirnya menjadi entitas yang
penuh kontestasi. Pasalnya secara struktural kerja-kerja Pangreh Praja diawasi oleh
Pemerintahan dalam Negeri, namun di sisi lain kekuasaan adat tidak boleh dicampuri
oleh orang-orang kolonial.
Sementara itu, kedua, munculnya kelas-kelas intelektual––yang mana sebagian
besar dari mereka menjadi bagian dari apa yang disebut kalangan nasionalis––
memunculkan perdebatan yang terus berkembang mengenai status kas masjid saat itu.
Masyarakat merasa keberadaan kas masjid lebih banyak menguntungkan pihak-pihak
Pangreh Praja beserta jajarannya. Mereka melontarkan kritik agar kas masjid dapat
memberikan manfaat bagi masyarakat luas, misalnya seperti pembangunan rumah yatim
piatu, membantu orang-orang Bumiputera yang sengsara, maupun hal-hal yang
dianggap lebih bermanfaat buat masyarakat. Posisi kalangan masyarakat sipil ini pun
dilematis lantaran paling sedikit memiliki akses ke kas masjid, terutama di awal-awal
perkembangan kas masjid.
Bertolak dari rumusan ini, dan juga penjelasan di bagian sebelumnya, penelitian
ini membahas perbedaan perspektif di antara Binnenlandschch Bestuur, Inlandsch
Bestuur, dan kelompok masyarakat sipil yang kemudian turut mempengaruhi trajektori
historis kas masjid di Hindia Belanda dari 1882-1942. Selanjutnya, tesis ini
merumuskan masalah tersebut ke dalam tiga pertanyaan penelitian berikut:
1. Bagaimana genealogi kas masjid di pulau Jawa?
2. Bagaimana Binnenlandschch Bestuur, Inlandsch Bestuur dan masyarakat
sipil menyikapi keberadaan kas masjid?
3. Apa yang melatarbelakangi perbedaan perspektif Binnenlandschch Bestuur,
Inlandsch Bestuur dan masyarakat sipil?

Universitas Indonesia
12

1.3. Tujuan Penelitian


Tesis ini merupakan studi mengenai kas masjid dan kontestasi kelas-kelas sosial di
belakangnya, dengan melihat bagaimana kas masjid berkelindan di tengah pusaran tiga
kepentingan, yakni: Binnenlandschch Bestuur, Inlandsch Bestuur, dan masyarakat sipil.
Fokus utama studi ini adalah menjelaskan perbedaan perspektif yang ada pada tiga
kelompok tersebut, dan perbedaan tersebut berdampak pada trajektori historis atau
pengumpulan sekaligus penggunaan uang kas masjid. Tesis ini juga menggali alasan-
alasan mengapa ketiga kelompok ini memiliki aspirasi dalam mengklaim kewenangan
mereka atas kas masjid di Jawa.

1.4. Ruang Lingkup Studi


Pemilihan Jawa sebagai ruang lingkup penelitian sejarah bukan tanpa alasan. Selain
tentunya ketersediaan sumber primer yang cukup memadai serta banyaknya kasus
penggunaan dana kas masjid ketimbang di kepulauan-kepulauan lain, wilayah ini juga
menjadi lokus penting untuk memotret bagaimana mekanisme pemerintah Hindia
Belanda bekerja. Sebab, sekalipun cakupan pemerintahannya sampai ke Sumatra,
Kalimantan (Borneo), Sulawesi (Celebes), hingga Papua, kebijakan dan peraturan
pemerintah Belanda paling banyak diterapkan untuk wilayah Jawa. Untuk masjid, studi
ini hanya memilih masjid-masjid yang berada di bawah otoritas para Inladsch Bestuur.
Sehingga masjid yang masuk dalam kategori ini hanyalah masjid besar yang ada di
karesidenan maupun kewadanaan. Masjid-masjid di luar itu seperti masjid pesantren
maupun masjid yang berada di bawah otoritas organisasi Islam seperti Muhammadiyah
tidak dianalisa lebih jauh.
Kemudian, penting dihadirkan sedari awal mengenai kelompok kepentingan
yang merasa paling berhak atas penggunaan sekaligus pengaturan uang kas masjid:
Binnenlandsch Bestuur, Inlandsch Bestuur, dan masyarakat sipil. Semua agaknya bisa
dilacak dari bagaimana Belanda menerapkan sistem kolonialisme yang ambivalen,
sehingga menyebabkan kerancuan otoritas di wilayah jajahannya, teristimewa di Jawa.
Pasalnya, di satu sisi Belanda melakukan campur tangan langsung apabila ada situasi
yang menganggu ketentaraman dan keteraturan. Tapi di sisi lain, Belanda tetap
memegang teguh prinsipnya untuk terus menerapkan sistem pemerintahan kolonial
tidak langsung (indirect rule), dimana mereka memaksimalkan sistem pemerintahan
tradisional (feodalisme priyayi) yang sudah ada. Oleh karena itu, sistem negara kolonial

Universitas Indonesia
13

yang dianut Belanda disebut juga “Beamtenstaat”, dimana artinya adalah negara apolitis
yang kebijakan-kebijakan utamanya hanya menjadi sebuah instrumen yang tidak
digunakan untuk mendominasi kelas-kelas sosial yang eksis di negara jajahan.42 Di sini
akan dijelaskan ketiga kategori unit analisa yang paling berpengaruh dalam perubahan
dan kesinambungan kas masjid dalam arus sejarah.
Pertama, Belanda punya struktur pemerintahan tersendiri yang disebut sebagai
Pemerintah dalam Negeri (Binnenlandschch Bestuur) dan ada agensi politik (gubernur
jenderal, residen, asisten residen) di dalamnya. Struktur ini kerap disebut juga sebagai
Gouvernement. Mereka yang mengatur secara administratif Hindia Belanda dan
membaginya menjadi bagian-bagian (Gewest) yang bentuknya mirip provinsi, atau
dalam masa itu disebut sebagai karesidenan. Bagian ini kemudian dipecah lagi menjadi
kecil-kecil dengan nama afdeeling (mirip dengan kabupaten/kota). Kekuasaan tertinggi
dipegang oleh Gubernur Jenderal, kemudian di level karesidenan ada residen yang
bertugas secara administratif, dan asisten residen di level afdeeling. Mereka semua
masih berada di bawah struktur kerajaan Belanda.
Kedua adalah Inlandsch Bestuur. Mereka juga disebut sebagai Pangreh Praja
atau birokrasi pelaksana pemerintahan kolonial Belanda di daerah yang dijalankan oleh
penguasa bumiputera.43 Mereka umumnya adalah para aristokrat Jawa (priyayi atau
ménak) yang sebelumnya merupakan para pemegang kekuasaan di roda pemerintahan
Kesultanan Mataram44. Bagi Belanda, mereka ini adalah kelompok yang menjadi orang
tengah (middlemen) dalam menjembatani para petani Jawa dengan para pegawai
pemerintahan Belanda. Tapi pada praktiknya, sistem pemerintahan tidak langsung
Belanda justru memperkuat kewenangan kekuasaan tradisional dan berakibat pada
sulitnya para agensi politik di otoritas ini untuk dikendalikan.45 Upaya menerapkan
sistem pemerintahan tidak langsung yang idealnya bisa memperjelas posisi kelompok

42
Harry J. Benda, “The Pattern of Administrative Reforms in the Closing Years of Dutch Rule in
Indonesia,” The Journal of Asian Studies 25, no. 4 (1966): 589.
43
Heather Sutherland, The Making of a Bureaucratic Elite: The Colonial Transformation of the
Javanese Priyayi (Singapore: Heinemann Educational Books (Asia), 1979), 1.
44
Sartono Kartodirdjo, A Sudewo, dan Suhardjo Hatmosuprobo, Perkembangan Peradaban
Priyayi (Yoyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993); Nina Herlina Lubis, Kehidupan Kaum Ménak
Priangan, 1800-1942 (Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda, 1998).
45
Sartono Kartodirdjo, Modern Indonesia, Tradition & Transformation: A Socio-Historical
Perspective (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991); Kuntowijoyo, Raja, priyayi, dan kawula:
Surakarta, 1900-1915 (Yogyakarta: Ombak, 2004),
http://catalog.hathitrust.org/api/volumes/oclc/66480802.html.

Universitas Indonesia
14

aristokrat sebagai subordinat dalam struktur pemerintahan Hindia Belanda, sekaligus


menjadi upaya pemerintah dalam mereformasi tatanan pemerintahan tradisional, justru
tidak berjalan sesuai rencana karena ternyata pemerintahan tradisional yang didukung
nilai-nilai adat Mataram kuno sudah mengakar sebagai sebuah alam pikir.46 Belum lagi,
banyak dari para aristokrat ini punya gaya hidup yang suka berfoya-foya.47
Sebagai tambahan, dalam kategori unit analisa yang kedua ini juga terdapat
penghulu. Alasan mengapa para penghulu masuk ke dalam kategori ini karena mereka
bekerja sebagai kepala masjid langsung berada di bawah pengawasan para bupati.
Sehingga mereka masih menjadi bagian dari struktur kekuasaan tradisional dengan alam
pikir yang tidak jauh berbeda dengan para bupati. Dalam berbagai studi mereka juga
disebut sebagai ulama birokrat atau ulama penghulu. Secara kultural, mereka adalah
pemegang wewenang keagamaan berdasarkan pengangkatan oleh sistem kekuasaan
modern yang diterapkan oleh Hindia Belanda. Sementara di luar itu, terdapat juga ulama
bebas yang mendapat wibawa keagamaan karena pengakuan masyarakat.48 Dari sisi
fungsinya, ulama penghulu bergerak pada jalur ilmu fikih yang manifestasinya
berbentuk al-tasyri’ wa al-qadha (tata hukum dan peradilan), sementara ulama bebas
menggeluti jalur akidah dan tasawuf yang pengejewantahannya berbentuk al-da’wah wa
al-tarbiyah (dakwah dan pendidikan).49
Dibandingkan dengan ulama penghulu, ulama bebas memang memiliki
kebebasan. Selain melaksanakan kegiatan pendidikan dan pengajaran di lembaga-
lembaga pendidikan Islam, ulama ini melakukan dakwah untuk menyebarkan agama
Islam kepada masyarakat tanpa terikat oleh sistem kekuasaan tradisional. Selain itu,
ulama bebas secara ekonomis kebanyakan mempunyai usaha sendiri. Sementara di sisi
lain, ulama penghulu diharuskan untuk melakukan pengawasan terhadap kegiatan para

46
Benda, “The Pattern of Administrative Reforms in the Closing Years of Dutch Rule in
Indonesia”; Soemarsaid Moertono, State and Statecraft in Old Java (Ithaca: Modern Indonesia Project,
Cornell University, 1963); Niels Mulder, Inside Indonesian Society Cultural Change in Java
(Yogyakarta: Kanisius, 2005); Jan Luiten van Zanden, “Colonial State Formation and Patterns of
Economic Development in Java, 1800-1913,” Economic History of Developing Regions 25, no. 2
(Desember 2010): 155–76, https://doi.org/10.1080/20780389.2010.527689.
47
Onghokham, Dari soal Priyayi sampai Nyi Blorong: Refleksi Historis Nusantara (Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2002), 16.
48
Taufik Abdullah, “Pengantar,” dalam Para Pengemban Amanah: Pergulatan Pemikiran Kiai
dan Ulama di Jawa Barat, 1900-1950, ed. oleh Muhammad Iskandar (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2001),
xiii–xiv.
49
Ibnu Qoyim Ismail, Kiai Penghulu Jawa: Peranannya di Masa Kolonial (Jakarta: Gema
Insani, 1997), 50.

Universitas Indonesia
15

ulama bebas tersebut. Hal ini menyebabkan terjadinya hubungan yang kurang harmonis
antara kedua golongan ulama tersebut.50

Gambar 1.1. Struktur Pemerintahan Kolonial di Hindia Belanda

Sementara kategori yang ketiga, masyarakat sipil51 adalah mereka yang mulai
muncul ke ruang publik pasca penerapan kebijakan politik etis. Lahir di tengah
terbukanya kesempatan mengenyam pendidikan52, bangkitnya gerakan kepemudaan53,
dan menggejalanya kultur media massa sebagai wahana penyebar semangat
nasionalisme54, kelompok ini kerap bersikap kritis terhadap aspek-aspek “penindasan”

50
Endang Rochmiatun, “Ulama Bebas dan Ulama Birokrat: Dinamika Gerakan Islam di
Palembanga 1825-1942” (Dissertation, Depok, Universitas Indonesia, 2016), 3.
51
Kalangan nasionalis dalam studi ini juga merujuk pada konsep masyarakat sipil. Dimana
kelompok ini menjadi sebuah kekuatan masyarakat di ruang publik untuk mengontrol kekuasaan negara
agar hubungan antara keduanya selalu berada pada kondisi produktif. Konsep ini dikembangkan para
pemikir barat yang pondasinya, salah satunya, dibentuk oleh Alexis de Tocqueville dan juga bias
dimaknai sebagai otoritas milik masyarakat sipil yang berada di luar negara. Lebih jauh baca: Gabriel A.
Almond & Sidney Verba, The Civic Culture: Political Attitudes and Democracy in Five Nations
(Princeton: Princeton University Press, 1963), https://doi.org/10.1515/9781400874569., The Civic
Culture: Political Attitudes and Democracy in Five Nations. (Princeton: Princeton University Press).
52
Ruth T. McVey, “Taman Siswa and the Indonesian National Awakening,” Indonesia 4
(Oktober 1967): 128–49.
53
Keith Foulcher, “Sumpah Pemuda: The Making and Meaning of a Symbol of Indonesian
Nationhood,” Asian Studies Review 24, no. 3 (2000): 377–410, https://doi.org/10.1111/1467-8403.00083.
54
Lihat studi Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread
of Nationalism (Verso, 1983).

Universitas Indonesia
16

dan “ketidakadilan” yang terjadi di Hindia Belanda. Mereka dalam bahasa pergerakan
disebut juga sebagai kalangan nasionalis. Studi ini melihat posisi mereka dalam
mengkritisi penggunaan uang kas masjid di Jawa yang mereka anggap telah
disalahgunakan––atau barangkali hal ini juga bisa dibaca sebagai salah satu fase dari
sejarah dinamika korupsi di Indonesia55. Serangan dari kelompok ini belum ditemukan
secara masif sebelum pendidikan mentransformasi kritisisme masyarakat, sebab
sebelumnya, teristimewa di tengah psikologi feudalisme (psychological feudalism) yang
masih meradang, masyarakat malah mengamini kekuasaan feodal yang dinikmati oleh
para priyayi.56 Masyarakat sipil ini terfragmentasi pada berbagai gerakan dengan afiliasi
ideologi tertentu, mulai dari kalangan keagamaan, etnisitas, nasionalis, hingga komunis.
Kemudian mengenai kas masjid, tesis ini merujuk kas masjid yang dipraktikkan
pada rentang tahun 1882-1942, bukannya mengacu pada kas masjid yang jamak
ditemukan di masjid-masjid Indonesia seperti sekarang ini. Imajinasi mengenai kas
masjid diletakkan pada konteksnya, dimana isi dari kas masjid berasal dari porsi uang
zakat, fitrah, serta sisihan dari pungutan upaya yang diperoleh oleh penghulu ketika
melakukan pencatatan administrasi pernikahan, perceraian, rujuk, dan waris.57 Pada saat
itu kas masjid lebih banyak ditemukan pada masjid-masjid karesidenan.58 Sementara––
selain kurangnya data-data mengenai ini––di masjid-masjid di pesantren tidak
ditemukan praktik pengumpulan dana kas masjid, sebab sistem perekonomian di
kalangan pesantren kala itu cenderung masih sangat sederhana. Hanya praktik wakaf,
zakat, dan fitrah yang masih bisa terlacak sampai tahun-tahun tersebut.59 Selain itu,
semua permasalahan kas masjid ditemukan di masjid-masjid yang berada langsung di
bawah pengawasan pemerintahan tradisional, yang pada saat tertentu juga bisa menjadi
kepanjangan tangan dari pemerintah Hindia Belanda.
Terakhir, cakupan waktu dalam studi ini terbentang dari 1882-1942. Dalam
penulisannya ada analisa yang menarik mundur melebihi lingkup waktu yang sudah
ditentukan. Apalagi, berkaca pada beberapa catatan awal tentang kas masjid bahwa
55
Susanto Zuhdi, “Korupsi Ditinjau dari Segi Sejarah,” Masyarakat Indonesia: Majalah Ilmu-
Ilmu Sosial di Indonesia 35, no. 1 (2009): 27–60.
56
Azhar Ibrahim, Historical Imagination and Cultural Responses to Colonialism and
Nationalism: A Critical Malay(sian) Perspective (Petaling Jaya, Selangor: Strategic Information and
Research Development Centre, 2017), 104–9.
57
De Graaff dan Stibbe, “Moskeekas.”
58
Hurgronje, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada
Pemerintahan Hindia Belanda, 1889-1936.
59
Fauzia, Faith and the State, 2013, 75.

Universitas Indonesia
17

keberadaannya diasumsikan sudah muncul sejak kerajaan Islam mulai bermunculan di


Nusantara.60 Periode ini juga menjadi masa dimana Pemerintah Hindia Belanda dan
kelompok masyarakat sipil mulai berperan aktif dalam menyikapi persoalan kas masjid
di Jawa. Tapi yang terpenting, pembabakan waktu yang telah ditentukan,
bagaimanapun, sangat terpaut erat dengan ketersediaan sumber primer.

1.5. Tinjauan Pustaka


Studi mengenai kas masjid sudah dilakukan beberapa sarjana. Setidaknya sampai saat
ini, sifat studi-studi itu masih tercecer di sana-sini sebagai bagian dari studi mereka.
Penting disebut di sini beberapa studi yang sudah dilakukan itu. Salah satu sarjana
paling awal yang menelusuri persoalan kas masjid adalah Karel Steenbrink. Dalam
Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, ada petunjuk yang
menerangkan bahwa ambivalensi pemerintah kolonial terhadap umat Islam menjadi
alasan paling kuat yang menyebabkan terjadinya polemik kas masjid di Hindia
Belanda.61 Studi lain juga berupaya memperkuat temuan dari Steenbrink dengan
memperjelas posisi kas masjid sebagai ihwal yang diurus oleh Kantoor voor Inlandsche
Zaken62, menjadi salah satu urusan prioritas di samping urusan pembangunan masjid,
pendidikan, dan urusan Muslim dengan Kristen.
Studi Amelia Fauzia berupaya meletakkan persoalan kas masjid sebagai penguat
argumen mereka. Faith and the State, misalnya, membaca kontroversi kas masjid di
ruang publik sebagai pertarungan antara negara dengan masyarakat sipil dalam
mempertahankan kas masjid sebagai bagian dari aktivitas derma masyarakat yang sudah
ada sejak zaman kerajaan Islam.63 Terlepas dari upaya pemerintah untuk mencegah
pejabatnya mendapat manfaat dari dana tersebut, dan perbedaan persepsi antara
pemerintah dan masyarakat tentang uang kas masjid tersebut, studi ini mencoba
menunjukkan bahwa kas masjid menjadi salah satu fase dari perkembangan filantropi
dan penguatan masyarakat sipil, salah satunya keterlibatan Sarekat Islam dalam
merespon isu ini64, dalam arus sejarah Indonesia modern.

60
Hisyam, Caught between Three Fires, 189.
61
Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, 228–29.
62
Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 1985, 162–69.
63
Fauzia, Faith and the State, 2013, 127–37.
64
Hisyam, Caught between Three Fires, 160–62.

Universitas Indonesia
18

Pada pengalaman lain, sebuah studi dari Sugeng Priyadi menunjukkan bahwa
penggunaan kas masjid yang tidak sesuai aturan pemerintah kolonial ternyata mampu
menjadi sarana untuk memperkuat jalinan persaudaraan antara priyayi.65 Penggunaan
uang kas masjid untuk menalangi hutang-hutang antar priyayi di Purwokerto seakan
menjadi bukti kuat bahwa praktek seperti ini kerap terjadi di Hindia Belanda kala itu.
Selain itu, berkaca pada studi lain, kas masjid berhasil menghubungkan dua otoritas
sekaligus: priyayi dan ulama. Pada 1894, Wirjaatmadja dipercaya oleh Asisten Residen
E. Sieburgh, untuk mengelola kas masjid kota Purwokerto sebesar ƒ4.000. Uang itu
juga kemudian dipakai untuk memberi pinjaman kepada pegawai rendahan dan petani
yang membutuhkan. Sehingga lambat laun uang kas masjid yang awalnya bersifat
sebagai bank perkreditan rakyat dapat bertransformasi menjadi salah satu bank besar di
Indonesia saat ini, Bank Rakyat Indonesia.66 Satu hal yang menarik adalah bahwa saat
mula-mula didirikan, bank ini sudah menjalin hubungan dengan masjid dan ulama-
ulama setempat.
Meski demikian, bila ditarik ke ranah diskursus (discourse) belum ada studi
yang cukup holistik dalam membaca kas masjid sebagai pemicu “perseteruan
suprastruktur” antara tiga struktur di masa pemerintahan Hindia Belanda: negara
kolonial, pemerintahan tradisional, dan kalangan nasionalis. Studi yang sudah ada baru
melihat hubungan dua struktur, alih-alih menaruhnya pada kontestasi tiga struktur
tersebut. Studi yang sudah ada masih terfragmentasi dalam membahas masing-masing
struktur sebagai subjek tunggal.67 Terobosan brilian mungkin mulai dilakukan
Sutherland68 yang mencoba menganalisa relasi-kuasa antara priyayi dengan negara
kolonial, atau studi Nordholt69 yang membaca priyayi pasca reformasi tata negara
sebagai fenomena kelas menengah baru kala itu. Adapun studi yang cukup ambisius
datang dari Kuitenbrouwer70 yang membandingkan pola-pola pemerintahan kolonial di
India dengan Jawa.

65
Priyadi, Sejarah Kota Purwakarta (Purwokerto) (1832-2018), 29.
66
Pandu Suharto, Sejarah Pendirian Bank Perkreditan Rakyat (Jakarta: Lembaga
Pengembangan Perbankan Indonesia, 1988).
67
Kartodirdjo, Modern Indonesia, Tradition & Transformation, 12.
68
“The Priyayi,” Indonesia, no. 19 (1975): 57–77, https://doi.org/10.2307/3350702; The Making
of a Bureaucratic Elite, 1979.
69
“New Urban Middle Classes in Colonial Java: Children of the Colonial State and Ancestors of
a Future Nation,” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 173, no. 4 (2017): 439–41.
70
“Aristocracies under Colonial Rule: North India and Java,” dalam Two Colonial Empires:
Comparative Essays on the History of India and Indonesia in the Nineteenth Century, ed. oleh C. A.

Universitas Indonesia
19

Hubungan menarik antar kelas priyayi pun sempat digarisbawahi oleh beberapa
sarjana. Brenner71, misalnya, melihat persaingan dagang antar priyayi di solo sebagai
ajang berebut pasar serta jabatan, dan untuk meraih hal tersebut priyayi setidaknya
memerlukan pengorbanan yang besar, baik dari sisi kapital maupun sosial. Sementara
itu, ada juga sarjana yang melihat perkembangan relasi kuasa antara priyayi dan petani
dalam sejarah, yang pada gilirannya memunculkan kebangkitan praktik politik
despotisme di bawah panji kekuasaan kultural para priyayi.72
Beberapa sarjana pun memperlihatkan bagaimana hubungan sekaligus
pergulatan antara ulama dan kekuasaan73, dan bagaimana pengaruh ulama dalam
menanamkan pemahaman ekumenisme Islam (baca: umat) pada masyarakat sehingga
pada gilirannya berkontribusi pada kebangkitan dan pembentukan nasionalisme di
Indonesia.74 Ada juga sarjana yang memotret hubungan Islam dengan negara kolonial
lewat tokoh-tokoh Belanda yang dekat dengan Muslim di Hindia Belanda.75
Bertolak dari peta kajian seperti itu, studi ini berupaya menambah khazanah
keilmuan mengenai diskusi sejarah sosial yang terjadi pada salah satu praktik
keagamaan di masa Hindia Belanda, yakni kas masjid. Lebih spesifik, studi ini mencoba
melihat berbagai perspektif yang ada di belakang Binnenlandschch Bestuur, Inlandsch
Bestuur, dan masyarakat sipil dalam mempengaruhi trajektori transformasi kas masjid
di Hindia Belanda. Selain itu, studi ini juga memperkuat diskursus mengenai
perjumpaan dua sistem kekuasaan, yakni kekuasaan tradisional dengan kekuasaan yang
bertumpu pada dasar-dasar negara modern. Perjumpaan ini pada gilirannya turut

Bayly dan D. H. A. Kolff, Comparative Studies in Overseas History (Dordrecht: Springer Netherlands,
1986), 75–94, https://doi.org/10.1007/978-94-009-4366-7_4.
71
“Competing Hierarchies: Javanese Merchants and the Priyayi Elite in Solo, Central Java,”
Indonesia, no. 52 (1991): 55–83, https://doi.org/10.2307/3351155.
72
Tilman Schiel, “‘Petani’ and ‘Priyayi’: The Transformation of Rural Java and the Rise of
Despotism,” Sojourn: Journal of Social Issues in Southeast Asia 5, no. 1 (1990): 63–85.
73
Jajat Burhanuddin, Ulama & Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia,
trans. oleh Testriono, Olman Dahuri, dan Irsyad Rhafsadi (Jakarta: Mizan Publika, 2012); Mohammad
Iskandar, Para Pengemban Amanah: Pergulatan Pemikiran Kiai dan Ulama di Jawa Barat, 1900-1950
(Yogyakarta: Matabangsa, 2001).
74
Michael Francis Laffan, Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The Umma Below the
Winds, 1st Edition (Abingdon: Routledge, 2007).
75
Harry J. Benda, “Christiaan Snouck Hurgronje and the Foundations of Dutch Islamic Policy in
Indonesia,” The Journal of Modern History 30, no. 4 (1 Desember 1958): 338–47,
https://doi.org/10.1086/238264; Steenbrink, Kawan dalam pertikaian.

Universitas Indonesia
20

berkontribusi pada salah satu praktik keagamaan yang dijalankan oleh masyarakat
Muslim di Hindia Belanda.

1.6. Metode Penelitian dan Sumber Sejarah


Ada berbagai pertimbangan sebelum akhirnya “kas masjid” dijadikan objek penelitian
dalam tesis ini. Selain sedikitnya studi mengenai ini dan banyaknya sumber-sumber
yang tersedia secara daring (online), ada dorongan serta dukungan dari berbagai
kalangan untuk mewujudkan kas masjid menjadi sebuah karya sejarah yang lebih
komprehensif ketimbang studi-studi sebelumnya. Tentu saja untuk mewujudkan hal ini,
menggunakan metode sejarah merupakan sebuah keniscayaan. Sebab konsekuensi dari
meletakkan kas masjid sebagai persoalan historis menuntut studi ini menerapkan
metode ini sebagai sebuah prosedur dalam penelitian sejarah.
Kerja sejarah setidaknya punya lima langkah baku (pemilihan topik, heuristik,
verifikasi sumber, interpretasi, dan historiografi) yang menjadi semacam konvensi para
sejarawan.76 Setelah topik penelitian ditentukan, langkah selanjutnya yang dilakukan
adalah melakukan pencarian dan pengumpulan sumber (heuristik)77, baik primer
maupun sekunder. Dalam penelitian ini, apa yang dimaksud sebagai sumber primer
adalah fakta-fakta sejarah yang tertuang dalam berbagai dokumen, baik itu arsip negara,
pemberitaan di media massa, maupun laporan-laporan penelitian sarjana sezaman. Foto,
bangunan, maupun lukisan (artifact) juga menjadi data-data yang juga bisa diklasifikasi
sebagai sumber primer. Sementara itu, untuk sumber sekunder berbagai bentuk
publikasi maupun basis data (database), baik yang ilmiah maupun non-ilmiah.78
Berangkat dari pemahaman demikian, studi ini fokus menggali sumber-sumber
yang diproduksi pada rentangan zaman penelitian, 1882-1942. Langkah heuristic ini
sangat terbantu oleh proyek digitalisasi yang dilakukan oleh Belanda, sehingga
menemukan sumber primer tidak terlalu memakan biaya. Setidaknya, ada tiga situs
pengumpul sumber-sumber sejarah digital yang ditelusuri cukup dalam, yakni: Delpher
(delpher.nl), Khazanah Arsip Nusantara (sejarah-nusantara.anri.go.id), maupun Koleksi

76
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2001), 91; W.
H McDowell, Historical Research: A Guide (London: Routledge, 2014), 39–181.
77
Sebagian besar dari bagian ini sudah pernah dipresentasikan di The 4 th Asia-Pacific Research
in Social Sciences and Humanities (APRISH), 13-15 Agustus 2019, JS Luwansa Hotel, Jakarta.
78
Anthony Brundage, Going to the Sources: A Guide to Historical Research and Writing, Sixth
Edition (New Jersey: Wiley-Blackwell, 2018), 35–88.

Universitas Indonesia
21

Perpustakaan Universitas Leiden dan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en


Volkenkunde (KITLV) (digitalcollections.universiteitleiden.nl/).
Bermodal beberapa petunjuk tentang kas masjid dari studi-studi sebelumnya,
pelacakan sumber di dunia digital berbuah manis. Kata kunci, menurut Anthony
Brundage79, adalah pintu gerbang untuk mencapai informasi lebih lanjut untuk
mengendus lebih jauh permasalahan uang kas masjid. Tetapi, kata kunci apa yang harus
digunakan? Dan adakah petunjuk lain yang bisa digunakan untuk mendapatkan data
yang dibutuhkan? Untuk menjawab ini, pencarian Google menjadi tak terhindarkan.
Metode ini juga sering digunakan oleh banyak sejarawan sebelum memulai penelitian
mereka lebih lanjut. Banyak sejarawan mengutak-atik kotak pencarian dengan
memasukkan berbagai jenis kata kunci yang terkait dengan topik penelitian. Sementara
beberapa dari mereka mengeksploitasi potensi tersembunyi dari mesin pencari Google
(Solberg 2012). Namun demikian, penting untuk digarisbawahi bahwa penggunaan kata
kunci tidak boleh melebihi tiga kata. Karena, semakin banyak kata, semakin sedikit
hasil pencarian yang keluar; dan itu berarti kecil kemungkinannya untuk mendapatkan
sumber sejarah yang diperlukan.
Setelah mempelajari literatur sebelumnya dan mendapatkan petunjuk tambahan
dari Google, kata kunci "moskeekas" menjadi kata kunci awal yang dimasukkan dalam
permintaan pencarian situs pertama, delpher.nl. Dengan memasukkan kata kunci ini di
Delpher, permintaan pencarian memiliki setidaknya 346 hasil pencarian––jumlah ini
sebenarnya tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan kata kunci "moskee" yang
menghasilkan setidaknya 56.168 hasil pencarian. Meskipun demikian, dari total 346
hasil pencarian, setidaknya ada lebih dari 200 sumber yang bisa digunakan.
Mencari sumber sejarah di Delpher, setidaknya secara kuantitatif, cukup
memuaskan. Namun, kasus pertama tampaknya tidak berfungsi dalam kasus kedua.
Hasil serupa tidak terjadi di situs kedua, Khazanah Arsip Nusantara. Menjelajahi situs
ini cukup membuat frustrasi, belum lagi antarmuka pengguna (user interface) situs
webnya kurang ramah. Sepertinya basis data situs ini juga tidak mutakhir. Jadi, data
terbaru yang dapat diperoleh dari situs ini terbatas pada pertengahan abad ke-19. Satu-
satunya pilihan untuk mencari tahu dan mendapatkan basis data terbaru adalah dengan

79
Brundage, 60.

Universitas Indonesia
22

mengunjungi Arsip Nasional Indonesia secara langsung. Beruntung, pelayanan di


tempat Arsip Nasional Republik Indonesia cukup memuaskan.
Meskipun tampaknya gagal dan tidak menghasilkan hasil yang begitu
memuaskan, tidak berarti bahwa situs kedua ini tidak memberikan pelajaran.
Sebaliknya, situs ini setidaknya memberikan fakta untuk memperkuat argumen pada
pernyataan bahwa uang tunai masjid hanya muncul pada awal abad ke-19. Tidak adanya
dokumentasi tentang uang tunai masjid sebelum abad ke-19 tampaknya cukup aman
untuk mengatakan tidak adanya di abad-abad ini. Untuk penelitian ini, hasil-hasil ini
bagaimanapun juga memiliki dampak dalam memastikan rentang tahun yang akan
dipelajari.
Bagaimana dengan situs ketiga? Koleksi Perpustakaan Universitas Leiden
adalah perpustakaan paling lengkap yang mengumpulkan informasi tentang Indonesia
pada masa kolonial. Apriori, harus ada banyak sumber yang dapat diperoleh dari situs
https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/. Sama seperti di Delpher, kata kunci awal
yang digunakan adalah "moskeekas". Dengan kata kunci, setidaknya ada 31 hasil
pencarian koleksi dari para peneliti dan pejabat kolonial yang bekerja di bawah
pemerintahan Hindia Belanda.
Hasil ini agak memuaskan, mengingat bahwa penelitian paling awal tentang
uang tunai masjid dilakukan oleh para peneliti Belanda. Beberapa peneliti, beberapa
contoh, Snouck Hurgronje, Godard A. J. Hazeu dan Rudolf A. Kern sebenarnya menjadi
pelopor yang memulai penelitian tentang topik ini. Sayangnya, tidak semua informasi
yang muncul dalam permintaan pencarian tersedia dalam bentuk digital. Buku yang
berjudul Sedjarah mesdjid dan amal ibadah dalamnja, misalnya, hanya dapat diperoleh
langsung dari Perpustakaan Leiden atau KITLV di rak Buku Aceh.
Dari pencarian di atas, setidaknya ditemukan berbagai jenis sumber primer yang
mampu menopang sekaligus menjadi “daging” dari penelitian ini. Sumber-sumber
berupa pemberitaan yang berbahasa Belanda, Melayu, Jawa, maupun Indonesia, baik di
koran, terbitan mingguan, maupun majalah, menjadi “daging” dari penelitian ini.
Terbitan pemerintah berupa seri lengkap Adatrecht Bundels, Kolonial Verslaag,
Kolonial Weekblad, Koloniale Studien, maupun Indisch Verslaag juga memperkaya
sudut pandang negara dalam mengelola kas masjid. Sebab, lewat terbitan-terbitan ini,

Universitas Indonesia
23

penulis secara tidak langsung mendapatkan sumber-sumber arsip yang kerap dikutip di
dalamnya.
Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) di Jakarta menyediakan sumber
sejarah dalam bentuk microfilm dan beberapa arsip yang mendukung penguatan studi
ini seperti Memorie van Overgave, Politiek Verslag, Algemeen Verslag, Binenlandsch
Bestuur, dan Besluiten. Arsip-arsip di tempat ini memberikan informasi mengenai
kondisi di lokal-lokal Hindia Belanda, mulai dari statistik penduduk, ekonomi, dan
hukum.
Sementara dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, baik di Salemba
maupun di Medan Merdeka Selatan, studi ini terbantu karena tersedianya beberapa
koran-koran yang diterbitkan oleh Sarekat Islam (Sinar Hindia dan Oetoesan Hindia),
PKI (Harian Rakjat), serta Boedi Oetomo (Boedi Oetomo). Berbagai koran lain yang
tidak memiliki afiliasi pada lembaga masyarakat sipil (Neratja, Poeasaka, dan
Bramartani) pun memberikan petunjuk ekstra tentang dinamika kas masjid semasa
1882-1942.
Meski menuai sumber cukup banyak dari berbagai upaya heuristik di atas, tidak
dapat dipungkiri bahwa masih banyak arsip yang belum terjamah seperti arsip-arsip di
Algemeen Rijksarchief (ARA) dan arsip bekas departemen jajahan di Ministerie van
Binnenlandsche Zaken di The Hague. Oleh karena, bila mendapat kesempatan untuk
berkunjung ke Belanda, studi ini sudah dipastikan akan semakin kaya informasi.
Beberapa koleksi peneliti Belanda yang fokus mendalami isu kas masjid seperti Koleksi
Snouck Hurgronje, Koleksi R.A. Kern, Koleksi G.A.J Hazeu, dan Koleksi Holle juga
tidak bias diakses secara penuh via dalam jaringan (online).
Setelah selesai di proses heuristik, studi ini menempuh sebuah tahap yang
bernama verifikasi. Dalam tahap ini, peneliti tidak melakukan kritik ekstern secara
ekstensif lantaran kebanyakan sumber bersifat digital. Namun kritik intern dilakukan
terutama pada sumber-sumber digital yang jenisnya berupa artikel koran. Pemberitaan
di artikel pada sebuah koran, sebagai contoh, bisa sama dengan koran lainnya karena
sumber rujukannya sama. Sehingga tidak menutup kemungkinan redaksi pemberitaan di
De Locomotief bisa sama persis atau sedikit perbedaan dengan Bataviaasch
Nieuwsblaad. Tantangannya hadir ketika ada perbedaan yang cukup jelas dalam sisi
redaksi, meskipun konten beritanya sama. Untuk memverifikasinya, peneliti

Universitas Indonesia
24

membandingkan dengan tiga sampai empat pemberitaan dengan konten serupa untuk
melihat fakta apa yang sebetulnya bisa digali dari berita tersebut. Cara lain yang juga
digunakan adalah dengan membandingkan pemberitaan yang ada dengan notulensi-
notulensi dari Volksraad. Apakah ada kesesuaian isu yang dibahas di Volksraad dengan
yang diberitakan di sebuah media. Umumnya, banyak kesesuaian sehingga langkah
verifikasi biasanya berhenti di sini.
Sementara untuk interpretasi, peneliti melakukan proses analisa terhadap
sumber-sumber yang sudah diklasifikasi dan layak digunakan, kemudian diikuti dengan
proses sintesis agar sumber-sumber yang faktanya sudah diekstraksi dapat dirangkai
sebuah sebuah narasi historis yang utuh. Meminjam bahasa Lucien Febvre,
"perlengkapan mental" (mental equipment) digunakan peneliti untuk menangkap nuansa
yang mempengaruhi perspektif sebuah kelompok sosial pada rentang zaman tertentu.
Nuansa itu bsia terdapat dalam kosakata, sintaksis, tempat, konsep ruang dan waktu,
sistem logis yang diproduksi suatu zaman.80 Dengan kata lain, pendekatan ini selalu
mengingatkan penggunanya untuk mendudukkan sumber sesuai dengan gelora zaman
(zeitgeist).
Langkah terakhir adalah menulis sejarah (historiografi). Dalam langkah ini,
sejarawan berupaya menghadirkan kembali rangkaian historis lewat proses kreasi masa
lalu yang imajinatif, dan hal tersebut sudah menjadi perangkat penting dan tidak
terpisahkan dari diri sejarawan.81 Historiografi pun bertujuan menyajikan “sejarah”
dalam bentuk penulisan yang bisa dipertanggungjawabkan kredibilitasnya, teristimewa
dengan mempertimbangkan aspek kronologi, kausalitas, dan analitis sebagai pedoman
ketika menuliskan studi ini.

1.7. Kerangka Konsep


Studi ini melihat modernisasi birokrasi sebagai sebuah kerangka konsep yang
digunakan untuk menganalisa lebih jauh bagaimana dampaknya terhadap persoalan kas
masjid di Hindia Belanda. Perubahan nuansa kepemerintahan tentu mempengaruhi
berbagai banyak aspek kehidupan. Apalagi jika perubahan tersebut cukup besar hingga

80
Lucien Febvre, “Psychologie et histoire,” dalam Encyclopédie Française 8: La vie Mentale,
ed. oleh Pierre Abraham dkk. (Paris: Société de gestion de l’Encyclopédie Française:Diff. librairie
Larousse, 1938).
81
Robin George Collingwood, The Idea of History (Oxford: Clarendon Press, 1993), 301;
Vivienne Little, “What is Historical Imagination?,” Teaching History, no. 36 (1983): 27–32.

Universitas Indonesia
25

menyentuh aspek fundamental di sebuah masyarakat. Salah satu transisi pemerintahan


terbesar dalam sejarah misalnya terjadi dari periode feodal menuju kolonial. Pada
pengalaman Indonesia, berbagai transformasi pemerintahan telah dilalui sejak
pemerintah Belanda mengambilalih kekuasaan dari VOC pada akhir abad ke-18. Pada
peralihan ini, terutama ketika reformasi dilakukan sejak era Daendels (1808-1811),
kekuasaan feodal bupati semakin berkurang. Ia, misalnya, memodernisasi status
pemerintah tradisional dengan memasukkan para bupati dan elit-elit pemerintahan
tradisional lainnya ke dalam tatanan struktur kolonial. Mereka kemudian diberi gaji dan
diberi kedudukan dalam sistem pemerintahan, dan mereka diberikan peran penting
sebagai perantara (middlemen) antara orang-orang Belanda (atau Eropa) dengan para
petani. Adanya upaya, dalam bahasa Sartono Kartodirdjo82, de-feodalisasi tersebut
membuat bupati kehilangan banyak keistimewaan adat. Salah satunya adalah dengan
rampingnya staf pengiring (entourage) para bupati yang dianggap pemerintah kolonial
tidak efisien untuk birokrasi modern.
Meski demikian, Pemerintah Hindia Belanda tetap ingin memaksimalkan
kekuasaan penguasa tradisional untuk kepentingan kolonial mereka. Sebab, para
penguasa feodal dianggap dapat mengerahkan tenaga, pelayanan dan barang-barang dari
rakyat. Belanda sadar bahwa dalam masyarakat yang masih mengedepankan ekonomi
agraris sangat wajar bila penguasa melakukan mobilisasi tenaga dan hasil bumi untuk
kepentingannya tertentu. Kedudukan penguasa daerah tersebut berada pada puncak
hirarki daerah menghasilkan pengaruh yang menyeluruh, seperti kedudukan patrimonial
di tengah-tengah rakyatnya. Oleh karena itu, Belanda mempraktikkan sistem
kolonialisme tidak langsung lewat kekuasaan para penguasa feodal.83
Dari studi Sartono terlihat bahwa salah satu langkah dalam memperkuat sistem
kolonialisme tidak langsung adalah dengan memodernisasi perangkat pemerintahan
dearah yang selama ini berjalan dalam suasana feodal. Agar para elit daerah ini mudah
dikontrol, Belanda kemudian berusaha mengurangi pengaruh kekuasaan feodal mereka.
Oleh karena itu, wewenang para priyayi selalu diawasi secara seksama dengan
meletakkan residen maupun asisten residen yang mendampingin para Bupati. Selain itu,

82
Sartono Kartodirdjo, Modern Indonesia Tradition and Transformation (Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 1984): 150-149.
83
J. Furnivall, Colonial Policy and Practice. A comparative study of Burma and Netherlands
India (Cambridge: Cambridge University Press, 1984).

Universitas Indonesia
26

terjadi apa yang dinamakan sebagai proses "abanganisasi" di kalangan priyayi sejak
abad ke-19. Hal ini perlu dipahami dalam hubungannya dengan adanya Islamophobia di
kalangan Belanda pada masa itu. Akibatnya secara luas akan dapat terasa dalam formasi
gaya hidup priyayi. Proses "abanganisasi" itu diperkuat dengan munculnya sekolah-
sekolah menurut sistem Barat yang mempunyai daya tarik kuat terhadap putra-putra
kaum priyayi. Pendidikan tradisional di pesantren mulai kurang dikunjungi putra-putra
priyayi.
Di saat yang bersamaan, kecenderungan untuk "mengikuti zaman" atau
menyesuaikan diri kepada alam modern seperti yang diciptakan oleh kaum Barat, tidak
lain karena para priyayi sebetulnya juga punya kepentingan. Sebab, bagaimanapun, bila
dipandang dari perspektif kelompok Islam tradisionalis, posisi priyayi tidak begitu
menguntungkan lantaran sudah dianggap terwesternisasi. Selain itu, kelompok priyayi
juga dianggap tidak bereaksi terlalu keras dengan praktik kolonialisme, sehingga
mengambil posisi sebagai bagian kolonial dianggap cukup masuk akal. 84 Alasan lainnya
mengapa priyayi kooperatif juga tidak bisa dilepaskan dari inherensi antara peradaban
priyayi sebagai elit birokrasi dengan sistem birokrasi Belanda. Selain itu, oriyayi yang
sebelumnya memegang kepemimpinan religius juga dikurangi wewenangnya dengan
menyerahkan otoritas ini kepada kaum ulama yang bersedia menduduki jabatan formal
di lingkungan birokrasi kolonial. Dengan demikian bupati dan para pangrehpraja
lainnya "setengahnya" dibebaskan dari fungsi kepemimpinan agama.
Studi Heather Sutherland juga memperlihatkan bagaimana hirarki menjadi
semakin ketat, sehingga timbul suasana di mana feodalisme mulai berpengaruh lagi.85
Di setiap lingkungan kabupaten para bupatilah yang menjadi pemegang tampuk
kekuasaan, maka mudah menimbulkan otoritarianisme tanpa ada unsur kekuasaan lain
yang mampu mengawasi dan mengimbanginya. Lingkungan setengah tradisional
memberi ke sempatan banyak untuk melakukan penyimpangan dan penyalahgunaan
kekuasaan mereka.
Hal ini menyebabkan peranan bupati pada masa itu penuh ambivalensi. Di satu
pihak, mereka perlu menaati peraturan Pemerintah Kolonial yang hendak menegakkan

84
Sartono Kartodirdjo, A Sudewo, dan Suhardjo Hatmosuprobo, Perkembangan Peradaban
Priyayi (Yoyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993).
85
Heather Sutherland, The Making of a Bureaucratic Elite: The Colonial Transformation of the
Javanese Priyayi (Singapore: Heinemann Educational Books, 1979).

Universitas Indonesia
27

birokrasi dengan otoritas legal-rasional, sementara pada pihak lain kedudukannya


sebagai penguasa daerah masih dilakukan berdasarkan otoritas tradisional. Sehingga
tidak mengherankan apabila sering terjadi konflik antara gupernur Belanda dan para
penguasa pribumi. Kasus yang cukup luas dampaknya adalah konflik antara E. Douwes
Dekker (Multatuli) dengan KRT Karta Natanegara, bupati Lebak (1856).
Politik kolonial dengan sistem pemerintahan tidak langsung (indirect rule)
sesungguhnya menghadapi hal yang paradoksal. Di satu pihak politik kolonial itu
sebenarnya bermaksud memodernisasikan sistem pemerintahan yang lazimnya
didasarkan atas sistem legal-rasional, sedang di lain pihak dukungan yang kuat kepada
birokrat itu menimbulkan perkembangan kekuasaan lebih ke arah kekuasaan tradisional,
yaitu yang lebih bersifat feodal. Dalam hal ini pengaruh bupati (regent) di daerahnya
ternyata semakin meluas, pengawasan pihak Belanda tidak cukup kuat untuk mencegah
perkembangan ke arah refeodalisasi itu.
Tambahan pula, para elit birokrasi itu semakin merasakan pengaruh langsung
dari pihak Belanda dan pengaruh segala proses modernisasi, maka oleh karena itu
mereka memerlukan penghidupan kembali (revival) pelbagai nilai dan lambang
tradisional, rupanya untuk mengatasi adanya semacam krisis identitas. Dalam hal ini
mulai tumbuh dengan kuatnya orientasi ke kerajaan kerajaan, tidak hanya di bidang
kesenian dan adat upacara, tetapi juga dalam mencari perjodohan. Banyak terjadi
perkawinan an ara putri-putri keraton dengan elit birokrasi di tanah guper nemen
(daerah di bawah pemerintahan kolonial). Mengingat daerah pengaruh para bupati
Pasisir sangat terbatas, maka arena politik yang sempit itu mengakibatkan
kecenderungan memperkuat atau menghidupkan kembali upacara (ritualisasi) serta
simbol-simbol yang berfungsi sebagai dramatisasi identitas di pihak lain. Hirarki
menjadi semakin ketat, orientasi ke atas, aliran pelayanan dari bawah, sedang aliran
perintah dari atas ke bawah. Ketergantungan bawahan kepada atasan semakin kuat,
tidak lagi berlaku prinsip-prinsip hubungan patron-client, yang pada hakekatnya masih
bersifat simetris. Politik kolonial yang men dukung refeodalisasi itu rupanya ada
hubungannya dengan me ningkatnya gerakan nasionalis yang lebih menuntut
demokratisa si. Di sini elit birokrasi sebagai bagian dari establishment tentu
menghendaki status quo, jadi bersikap konservatif.

Universitas Indonesia
28

Di pihak Pemerintah Kolonial sendiri, sejak kembali berkuasa lagi di Pulau Jawa
(sesudah tahun 1816), sudah timbul pemikiran untuk mendirikan sekolah-sekolah bagi
anak-anak pribumi untuk mendidik tenaga yang akan mengisi jabatan jabatan
pemerintahan, terutama jabatan-jabatan di kantor residen. Usaha pendidikan ini pada
permulaan kalinya tidak diselenggarakan secara resmi oleh Pemerintah Kolonial, tetapi
oleh beberapa orang residen yang "progresif" sebagai usaha perorangan. Murid-
muridnya diambil dari anak-anak orang-orang terkemuka setempat, tempat mengajarnya
biasanya di rumah residen, gurunya salah seorang pegawai keresidenan yang Eropa atau
sering residen sendiri dan waktu pelajarannya pada siang hari sesudah kantor ditutup.86
Terhadap usaha pendidikan seperti tersebut di atas tanggapan bupati-bupati dan
korps pangrehpraja pada permulaan kalinya kurang, sehingga pada umumnya usaha
pendidikan tersebut beberapa saat kemudian kehabisan murid. Baru pada pertengahan
abad ke-19 berdiri sekolah-sekolah atas usaha beberapa orang bupati atas inisiatif dan
biaya sendiri.87 Pada akhir abad ke-19 di antara bupati-bupati mulai ada yang berusaha
mendidik anak anak mereka seperti orang Barat dan dengan bahasa Belanda. Gurunya
orang Belanda yang diundang ke rumah bupati, maka kaum intelektual yang
berorientasi Barat di Jawa yang mula-mula lahir dari lingkungan priyayi, khususnya
keluarga bupati, antara lain: Bupati Serang (P.A.A. Achmad Djajadiningrat), Bupati
Ngawi (R.M.T. Koesoemo Oetaja), Bupati Demak (P.A. Hadi ningrat), Bupati Jepara
(R.M.A.A. Sasraningrat). Kaum intelektual ini tidak hanya merupakan elit birokrat,
tetapi juga elit intelektual profesional.
Situasi di atas kurang lebih mirip seperti yang dijelaskan oleh Max Weber.
Penjelasannya mengenai struktur organisasi yang berbasis pada keluarga (family
structure) dan komponen-komponen perilaku (behavioral components) untuk
memahami struktur organisasi dari masyarakat tradisional memberikan penguatan pada
tesis ini. Selain itu, pernyataan Weber yang penting digarisbawahi adalah bahwa

86
Residen-residen yang mengadakan usaha pendidikan semacam ini antara lain: J.C.
Ellinghuijsen (Pasuruan, 1823), Valck (Krawang, 1824), J.E. Sturler (Banyumas, 1835). Lihat: J.A. van
der Chijs, "Bijdrage van het Inlandsch Onderwijs in Nederlandsch Indie", Bijdtaallandvolk Bijdragen Tot
de Taal-, Land- En Volkenkunde 14 (1864): 221-223, 235.
87
Antara lain: Bupati Banyumas, Bupati Bagelen, Bupati Kediri, Bupati Cian jur, Bupati
Manonjaya, Bupati Trogong (Bandung), Bupati Besuki. Lihat Lihat: J.A. van der Chijs, "Bijdrage van het
Inlandsch Onderwijs in Nederlandsch Indie", Bijdtaallandvolk Bijdragen Tot de Taal-, Land- En
Volkenkunde 14 (1864): 271-272.

Universitas Indonesia
29

struktur birokrasi tidak harus selalu dikaitkan dengan rasionalitas.88 Ini berarti bahwa
elemen-elemen dalam struktur birokrasi seperti struktur otoritas berhirarki (hierarchical
authority structure), unit staf administrasi (administrative staff units), dan gradasi
pendapatan (income gradations) menurut jenjang jabatan tidak selalu berlaku dalam
konteks masyarakat tradisional.89 Dalam model birokrasi yang tidak rasional seperti ini
ada faktor-faktor budaya yang mempengaruhi tidak berjalannya logika birokrasi
modern.90 Apalagi, model birokrasi modern yang rasioal akan semakin sulit diterapkan
pada tipologi masyarakat tradisional yang sedang bertransisi menuju masyarakat
modern.91
Dalam konteks Hindia Belanda, para elit dalam struktur pemerintahan Eropa
cenderung berasumsi bahwa etos, perilaku, dan teknologi birokrasi Barat dapat
menggantikan secara langsung struktur masyarakat tradisional. Mereka, lebih jauh,
beranggapan dapat melakukan reformasi birokrasi tanpa harus mengubah keberpihakan
ideologis maupun kultural struktur tradisional yang selama ini dijalankan oleh para
priyayi. Belanda memang masih mempertahankan ciri khas birokrasi tradisional para
priyayi, namun hal tersebut tidak berjalan lancar. Tidak semua proses transisi birokrasi
akan berjalan mulus sebagaimana terjadi pada Jepang, dimana birokrasi Barat tidak
harus mengubah pondasi-pondasi fundamental struktur pemerintahan tradisional ke-
shogun-an dengan ciri khas otoritas patriarkal yang sudah ada di Jepang.92
Menggunakan kerangka Weber pada jenis masyarakat seperti di Hindia Belanda, terlihat
bahwa ada upaya penerapan organisasi pemerintah yang sangat birokratis (highly
bureaucratized governmental organizations), namun di saat yang sama terdapat
konsekuensi dimana ada semacam deviasi perilaku dari konteks sosial masyarakat di
Hindia Belanda, terutama dari kalangan aristokrat. Nilai-nilai sosial dan struktur kelas
yang mendasari mereka kemudian tercampur dengan nuansa birokrasi modern, sehingga

88
Stanley H. Udy, “‘Bureaucracy’ and ‘Rationality’ in Weber’s Organization Theory: An
Empirical Study,” American Sociological Review 24, no. 6 (1959): 791–95,
https://doi.org/10.2307/2088566.
89
Stanley H. Udy, 792.
90
Robert V. Presthus, “The Social Bases of Bureaucratic Organization,” Social Forces 38, no. 2
(1959): 103, https://doi.org/10.2307/2573927.
91
Robert V. Presthus, “Weberian v. Welfare Bureaucracy in Traditional Society,” Administrative
Science Quarterly 6, no. 1 (1961): 2, https://doi.org/10.2307/2390738.
92
M. F. Nimkoff, “Is the Joint Family an Obstacle to Industrialization?,” International Journal
of Comparative Sociology 1, no. 1 (1 Januari 1960): 110, https://doi.org/10.1163/156854260X00094.

Universitas Indonesia
30

pada gilirannya kelompok aristokrat yang menjadi bagian pemerintah Hindia Belanda
memiliki asumsi sendiri dalam menjalankan roda pemerintahan.
Meskipun sulit untuk menempatkan nilai-nilai birokrasi Barat pada masyarakat
yang masih mengadopsi birokrasi tradisional, tapi jika mereka memilih untuk mengikuti
Barat maka mereka harus siap secara sistematis untuk mengarahkan kembali nilai-nilai
dan institusi tradisional ke arah yang lebih pragmatis dan rasional. 93 Di atas segalanya,
stratifikasi kelas yang meluas dari sistem semacam itu, dengan memperhatikan
pemerataan kesempatan pendidikan dan ekonomi, harus dilonggarkan agar sumber daya
manusia laten mereka dapat dikembangkan. Tapi penting dicatat bahwa ini bukan
berarti nilai-nilai Barat secara intrinsik lebih unggul, atau bahwa masyarakat non-Barat
"seharusnya" mengadopsinya.94
Dengan menerima tujuan seperti itu, mari kita beralih ke masalah yang dihadapi
masyarakat seperti itu, seperti yang dialami oleh apa yang disebut ahli bantuan teknis
yang harus melampaui analisis untuk menghasilkan perubahan sosial. Di sini, seseorang
segera mengetahui bahwa model birokrasi Barat bersandar pada penilaian implisit
tertentu tentang efisiensi, objektivitas, motivasi, dan otoritas. Selama era transisi
sekarang, ketika masyarakat tradisional harus terombang-ambing antara norma-norma
mereka sendiri dan norma-norma Barat, pengenalan nilai-nilai Weberian dianggap
dengan ambivalensi yang cukup besar, tidak hanya oleh mayoritas petani, tetapi oleh elit
terpelajar, yang tidak selalu memiliki banyak keuntungan dari revolusi sosial yang
menyertai pembangunan ekonomi.
Generalisasi ini dipertajam oleh penelitian di negara-negara yang masih
menerapkan pemerintahan tradisional, yang menyoroti perbedaan normatif antara
komunitas barat dan non-barat dan menggambarkan beberapa konsekuensi institusional
spesifik mereka. Segi-segi teori organisasi semacam itu dapat membawa kita lebih dekat
pada pemahaman tentang bagaimana nilai-nilai sosial dan kepribadian mempengaruhi
perilaku administratif yang sesuai dengan prinsip Barat.95

93
Presthus, “Weberian v. Welfare Bureaucracy in Traditional Society,” 4.
94
Robert V. Presthus, 5.
95
Robert V. Presthus, “The Sociology of Economic Development,” International Journal of
Comparative Sociology 1, no. 2 (1 Januari 1960): 197, https://doi.org/10.1163/156854260X00166.

Universitas Indonesia
31

1.8. Sistematika Penulisan


Dalam menjelaskan bagaimana posisi kas masjid di tengah polemik antara
(Binnenlandsch Bestuur, Inlandsch Bestuur, dan masyarakat sipil), tulisan ini akan
menarasikan bagaimana kekuatan-kekuatan tersebut bekerja dalam mempengaruhi
penggunaan kas masjid sesuai dengan intensi, perspektif, dan kepentingan setiap unsur
kelas sosial tersebut. Tapi sebelum itu, rasanya penjelasan mengenai apa itu kas masjid
perlu diuraikan terlebih dahulu di dalam BAB 2. Mulai dari asal-usul, kegunaan, hingga
posisi kas masjid di Hindia Belanda, dalam konteks ini Jawa, akan dijabarkan terlebih
dahulu sebagai pengantar diskusi. Penjelasan mengenai Jawa pun akan dibeberkan di
bagian ini agar Jawa sebagai ruang spasial penelitian historis dapat terpetakan secara
jelas. Kemudian, bila dilacak dari sejarahnya, boleh jadi mengatakan bahwa kas masjid
adalah suatu prototipe dari baitul maal yang sempat dikembangkan pada awal
perkembangan Islam. Apalagi, ada beberapa kemiripan antara kas masjid dengan baitul
maal. Mereka, misalnya, sama-sama menghimpun harta masyarakat Muslim untuk
kepentingan umat dalam artian luas seperti pembangunan, pemeliharaan masjid,
pemberdayaan ekonomi, dan lainnya. Oleh karena, dalam upaya pencarian definisi kas
masjid, bagian ini pun mencoba melacak penjelasannya sampai masa kelahiran Islam,
perkembangan dinasti dan kekhalifahan Islam, hingga munculnya gerakan Pan
Islamisme pada abad ke-19.
Penjelasan mengenai keterlibatan ketiga unsur otoritas dalam persoalan kas
masjid akan di jelaskan pada BAB 3-5. Unsur pertama yang akan dijelaskan adalah
otoritas Gubernur Jenderal, Binnenlandsch Bestuur, dan elemen lain yang menjadi
penggerak utama sistem negara kolonial. Selain lewat penerbitan peraturan sebagaimana
dijelaskan pada Bagian Tiga, bagian ini lebih menitikberatkan bagaimana negara,
utamanya lewat residen dan asisten residen, dalam mendorong para bupati untuk
menggunakan kas masjid agar sejalan dengan kepentingan Belanda. Kelompok Pangreh
Praja yang umumnya direpresentasikan umumnya oleh priyayi, sebagai unsur otoritas
kedua akan digambarkan lewat penggunaan uang kas masjid yang sarat dengan
kepentingan mereka. Sementara penjelasan selanjutnya akan memuat unsur otoritas
ketiga yang direpresentasikan oleh gerakan masyarakat sipil. Gerakan ini utamanya
terdiri dari beberapa kelompok dari kalangan Islam (Sarekat Islam), nasionalis (Boedi
Oetomo), dan komunis (PKI). Protes-protes mereka mengenai penggunaan kas masjid
yang bukan untuk kepentingan rakyat tergambar jelas dalam beberapa kesempatan, baik

Universitas Indonesia
32

itu opini di media cetak sampai masuk ke dalam perdebatan kongres nasional salah satu
organisasi masyarakat sipil.
BAB 6 merupakan penutup yang menyajikan jawaban atas pertanyaan penelitian
yang sudah diajukan. Bagian ini juga menjadi refleksi dari keseluruhan studi ini tentang
situasi kas masjid di tanah Jawa pada 1882-1942, dan memperlihatkan pola sejarah
berulang, lebih-lebih pada persoalan otoritas mana yang paling berhak mengelola dan
menerima manfaat terbanyak dari “harta umat”.

Universitas Indonesia
BAB 2
GENEALOGI KAS MASJID DI JAWA

Bagian ini menjelaskan asal-usul kelahiran kas masjid di Jawa pada masa Administrasi
Hindia Belanda. Perlu diketahui bahwa proses kelahirannya tidak terpisahkan dari
perjalanan islamisasi di pulau tersebut yang kemudian melahirkan kerajaan-kerajaan
Islam maupun wilayah-wilayah yang terpengaruh oleh agama ini––menggeser dominasi
kerajaan Hindu-Buddha yang sudah bercokol sebelumnya. Karenanya, akan ada survei
selintas tentang kerajaan maupun wilayah berbasis agama Islam secara sekilas.
Berbeda dengan candi yang menjadi pusat spiritualitas utama kerajaan Hindu-
Buddha, dan umumnya menjadi tempat penambatan istimewa para Deva-Raja, di
kerajaan Islam masjid menjadi episentrum baru bagi kerajaan-kerajaan tersebut
sekaligus menjadi wahana ruang publik masyarakat Muslim. Hadirnya masjid di basis
kekuasaan kerajaan Islam juga membuat para Muslimin dapat berpartisipasi aktif
sebagai bagian dari komunitas (umat). Pada perkembangannya kas masjid pun lahir
menjadi salah satu perangkat agama Islam guna mempererat kohesi sosial di Jawa,
terutama dalam rangka menyejaterahkan para personalia masjid di wilayah-wilayah
mayoritas Islam. Memasuki era kolonial, kas masjid bertransformasi menjadi entitas
yang sifatnya administratif dan pada akhirnya menimbulkan berbagai persoalan.

2.1.Islamisasi di Jawa
Jawa sebelum masuknya Islam sudah memiliki struktur-struktur yang mapan. Hal ini
bisa dilihat lewat merebaknya literatur, struktur sosial-budaya yang canggih, serta
adanya berbagai kerajaan besar dengan pengaruhnya yang relatif luas.1 Pernyataan ini
semakin relevan bila menimbang eksistensi agama-agama kepercayaan dan agama
global di pulau ini, terutama Hindu-Buddha. Untuk dua agama yang terakhir, orang-
orang Jawa punya tempat spesial buat keduanya. Banyaknya peninggalan arsitektur
seperti candi, gapura, dan akulturasi di berbagai ekspresi kebudayaan menjadi beberapa
buktinya. Sehingga rasanya tidak keliru bila mengatakan bahwa kedua agama ini sudah
menancap begitu solid pada peradaban masyarakat Jawa kala itu––dan bahkan sampai
sekarang.
1
Merle C. Ricklefs, Mystic Synthesis in Java: A History of Islamization from the Fourteenth to
the Early Nineteenth Centuries (Norwalk: EastBridge, 2006).

33
34

Pengislaman Jawa, secara besar-besaran dan cenderung tidak sporadis, sudah


dimulai pada era Majapahit. Namun demikian fakta mengenai ini masih sulit
diverifikasi. Penuh kejutan, misteri, dan kompleks setidaknya menjadi diksi yang
mampu menggambarkan bagaimana proses islamisasi yang terjadi di pulau ini. Perlu
waktu lebih dari 600 tahun sebelum akhirnya Islam bisa menjadi seperti sekarang. Tapi
satu fakta penting bahwa masuknya Islam ke wilayah ini terjadi secara damai dan tidak
terlepas dari jalur perdagangan internasional yang berkembang di negeri bawah angin. 2
Maka, tidak begitu mengherankan bila studi-studi yang sudah ada menyoroti orang-
orang Muslim yang berdatangan dari India, Cina, dan Timur Tengah sebagai agen
islamisasi.3 Para pedagang Muslim, dan juga pelancong maupun agamawan, kemudian
melakukan fraternisasi dengan mengawini orang setempat dan menularkan keislaman
mereka pada pasangan sekaligus keluarganya.
Pada perkembangan selanjutnya, abad ke-16 menjadi tonggak bagi babak baru
Islamisasi di Nusantara. Munculnya berbagai kerajaan Islam membuat norma-norma
Islam mulai diadopsi secara formal, integralistik, dan intensif ke dalam tatanan sosial-
politik yang ada. Kerajaan-kerajaan tersebut juga menjadi garda depan yang
memastikan penerapan Islam di tengah masyarakat. Mereka kemudian menjelma
sebagai kekuatan baru yang menggantikan kekuasaan kerajaan Hindu-Buddha. Tumbuh
dan berkembangnya pusat perdagangan baru (port-polity), beserta jaringan-jaringannya,
pasca jatuhnya Malaka malah mempercepat proses Islamisasi di berbagai wilayah
Nusantara.4
Di Pulau Jawa, episentrum produksi dan reproduksi kultural agama Islam pun
berpindah dari pedalaman ke pesisir, mengikuti keberadaan komunitas Muslim awal
yang berkembang pesat akibat ramainya aktivitas perdagangan di Pantai Utara Jawa.
Perlahan tapi pasti, Islam menjadi agama mayoritas yang dianut oleh orang-orang Jawa.
Kepercayaan lama dan kuno yang dianut masyarakat turut tergeser. Dari itu semua,

2
Carool Kersten, A History of Islam in Indonesia: Unity in Diversity, 1 edition (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 2017), 23.
3
Perdebatan mengenai masuknya Islam ke Asia Tenggara, teristimewa ke Jawa, disajikan
komprehensif namun ringkas misalnya oleh: Johan H. Meuleman, “The History of Islam in Southeast
Asia: Some Questions and Debates,” dalam Islam in Southeast Asia: Political, Social and Strategic
Challenges for the 21st Century, ed. oleh K. S. Nathan dan Mohammad Hashim Kamali (Singapore:
Institute of Southeast Asian Studies, 2005), 21–43; Anthony H. Johns, “Islam in Southeast Asia:
Reflections and New Directions,” Indonesia, no. 19 (1975): 33–55, https://doi.org/10.2307/3350701.
4
J. Kathirithamby-Wells, The Southeast Asian Port and Polity: Rise and Demise (Singapore
University Press, National University of Singapore, 1990).

Universitas Indonesia
35

motor dari perubahan ini adalah komunitas pedagang Muslim yang berkembang di fase
awal Islamisasi.5 Mereka menjadi elit sosial terkemuka dan tumbuh sebagai kelas
menengah Muslim, yang kemudian memberi kontribusi besar berkontribusi dalam
proses transformasi pusat perdagangan di wilayah-wilayah itu menjadi kerajaan Islam.6
Nilai-nilai persaudaraan dan egalitarianisme yang tidak menjadi corak kental
pada agama-agama sebelumnya, terutama Hindu yang mengedepankan sistem kasta,
membentuk solidaritas sosial yang kuat di antara para pedagang dan membuka jalan
bagi integrasi mereka ke dalam berbagai komunitas lokal. Lewat salah satu rukun Islam,
zakat (bukan fitrah), dan sedekah para pedagang menyebarkan pesan-pesan Islam
dengan bungkus aktivitas kedermawanan.7 Pemberian zakat dan sedekah tersebut
bahkan tidak terbatas hanya untuk orang Muslim, sehingga praktik ini menjadi daya
tarik bagi masyarakat untuk melakukan konversi ke dalam agama Islam. 8 Lantaran ini,
komunitas-komunitas Muslim di pesisir tumbuh begitu pesat. Kekuatan politik dan
ekonomi pun tumbuh dengan sendirinya. Sementara di saat yang bersamaan, Kerajaan
Majapahit di pedalaman Jawa runtuh secara perlahan.9 Meski begitu, bukan berarti
Islam tidak menyentuh daerah pedalaman yang dulunya menjadi basis kekuatan
kerajaan Hindu-Buddha. Islamisasi tetap terjadi, hanya saja temponya cenderung lebih
lambat ketimbang di daerah pesisir.
Demak menjadi kesultanan pertama di Jawa pada abad ke-16. Raden Patah, yang
terindikasi kuat adalah seorang pedagang Muslim China, menjadi sultan pertama
kesultanan ini.10 Masjid Agung Demak menjadi pusat spiritualitas Islam di bawah
pimpinan Wali Sembilan (Wali Sanga). Memang mistisisme dan fantasi heroistis
melingkupi kisah-kisah para wali tersebut, namun bukan berarti menihilkan sebuah
fakta bahwa Demak adalah sentral baru dari kekuatan politik dan budaya agama Islam
kala itu.

5
Hermanus Johannes de Graaf dan Theodore Gauthier Th Pigeaud, Islamic States in Java 1500–
1700: A Summary, Bibliography, and Index (The Hague: Martinus Nijhoff, 1976), 5.
6
de Graaf dan Pigeaud, 6.
7
Amelia Fauzia, Faith and the State: A History of Islamic Philanthropy in Indonesia (Leiden;
Boston: Brill, 2013), 71, http://site.ebrary.com/id/10667742.
8
Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya. Bagian Kedua: Jaringan Asia, vol. 2, 3 vol.
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996).
9
Jajat Burhanuddin, Islam dalam Arus Sejarah Indonesia (Jakarta: Kencana, 2017), 26.
10
Mengenai Raden Patah, ada banyak sumber yang menjelaskan asal-usulnya mulai dari Babad
Tanah Jawi, Serat Kanda, Suma Oriental, hingga Kronik Tiongkok. Untuk penjelasan mengenai sumber-
sumber tersebut, lihat misalnya: Bab 2 – Sumber Berita, Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-
Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara (Jogjakarta: LKiS, 2005), h. 35-80.

Universitas Indonesia
36

Ekspansi wilayah yang dilakukan Demak, terutama ketika berupaya


“mengislamkan” Banten dan Majapahit, membuat viralitas agama Islam semakin besar
di Pulau Jawa. Selain itu, disintegrasi Demak di tahun-tahun berikutnya juga menjadi
faktor yang memperkuat distribusi ceruk-ceruk kekuasaan baru di berbagai wilayah di
Jawa.11 Tentu saja, hampir semua kerajaan baru tersebut mengikuti tren keislaman yang
sedang menguat––terlepas dari perseteruan yang ada di terjadi sebagai latarnya. Misalya
saja, tidak jauh dari Demak dan masih berada di sekitaran pesisir utara pulau Jawa, dan
hampir mengelilingi Gunung Muria secara geografis, muncul kerajaan-kerajaan Islam
kecil seperti Pati, Juwana, Kudus, dan Jepara (Kali Nyamat).12 Sementara pengaruh
kerajaan ini di pedalaman bisa ditemui di Jipang-Panolan, yang sekarang berada di
wilayah administratif bernama Kabupaten Blora.
Di Barat Pulau Jawa, Banten dan Cirebon (Cheribon) adalah dua wilayah yang
pertama kali diperkenalkan dengan Islam, seiring sejalan dengan ekspansi yang
dilakukan oleh Demak. Berdasarkan catatan Babad Tanah Jawi, Islamisasi di Cirebon
dilakukan oleh salah satu dari wali sembilan, Sunan Gunung Jati. Seorang apoteker dari
Portugis, Tomé Pires, mencatat bahwa sosok ini punya beberapa nama seperti Falatehan
dan Tagaril. Sunan yang punya nama asli Syarif Hidayatullah ini juga dikenal dengan
sebutan Syekh Nurullah (Ar: Nūr Allāh: ‫ )النورٱلله‬yang berarti cahaya Ilahi, dan menjadi
tamu kehormatan, sekaligus adik ipar dari Sultan Trenggana dari Demak.13 Tapi,
kedekatan Cirebon dengan Demak ini tidak lantas menjadikan Cirebon sebagai salah
satu kerajaan yang signifikan secara politis di Pulau Jawa, terutama bila dibandingkan
dengan kerajaan-kerajaan setelahnya seperti Banten, dan belakangan Mataram Islam.
Namun dipotret dari sisi spiritualitas, Cirebon masih punya pengaruh besar karena
eksistensi Gunung Jati.
Sekitar 1525, Sunan Gunung Jati kemudian mendirikan komunitas Muslim di
Banten. Dua tahun berikutnya, dirinya menaklukkan pelabuhan Pakuwan, yang juga
disebut Pelabuhan Sunda Kalapa, dan menamainya Jayakarta (sekarang Jakarta).14 Dua
momentum ini membuat Islam semakin luas diyakini di daerah Barat Pulau Jawa.
Sehingga akhirnya dirinya memutuskan untuk kembali ke Cirebon. Sementara itu,

11
de Graaf dan Pigeaud, Islamic States in Java 1500–1700, 9.
12
de Graaf dan Pigeaud, 9–11.
13
de Graaf dan Pigeaud, 12.
14
de Graaf dan Pigeaud, 13.

Universitas Indonesia
37

posisi kepemimpinan Banten dipercayakan kepada putranya yang bernama Hasanuddin


dan dianggap sebagai raja pertama dalam tradisi Jawa Banten. Pada masa
pemerintahannya, perdagangan Banten berkembang.
Sementara itu, di bagian Timur Jawa, Gresik (Gresee) lahir sebagai kerajaan
Islam terkemuka sekaligus sebagai pelabuhan penting dalam jaringan perdagangan
internasional. Tomé Pires menggambarkan kerajaan ini sebagai “Mutiara Jawa di antara
bandar-bandar perdagangan”15, mengindikasikan perannya yang signifikan dalam mata
rantai jaringan perdagangan sekaligus pusat kebudayaan Islam. Tampuk kepemimpinan
pertama dipegang oleh Sunan Giri dari Giri, salah seorang ulama terkenal sekaligus satu
dari sembilan wali di Jawa. Di bawah kekuasaannya, Gresik berkembang sebagai suatu
kerajaan dengan ulama sebagai penguasa (priester-vorstendom).16 Mask Kejayaan
Gresik terjadi ketika berada di bawah kekuasaan Sunan Prapen, dan pengaruh Gresik
menjadi semakin luas di Indonesia bagian timur terkhusus di Lombok, Makassar,
Ternate, dan Hitu.17
Pengaruh Islam bahkan dapat dengan mudah ditemui di wilayah-wilayah yang
berada di sekitar Gresik. Garis pantai Jawa menjadi penanda tumbuhnya wilayah-
wilayah ini hingga nanti berujung di wilayah antara Pasuruan dan Kerajaan Blambangan
(Panarukan), yang kemungkinan besar sampai akhir abad ke-16 masih bercorak
Hindu.18 Wilayah-wilayah ini punya andil besar dalam fase Islamisasi di Jawa, seperti
Surabaya, Pasuruan, Probolinggo, dan Besuki. Pasalnya, tempat-tempat ini berlokasi di
pesisir dan memiliki pelabuhan yang kala itu menjadi pintu masuk (entrepot) dan
penghubung antar budaya. Pola fraternisasi masih terus berlangsung, ditambah masifnya
ekspansi dakwah yang dilakukan para wali. Meski begitu, dalam konteks perekonomian,
tidak semua pelabuhan punya peran signifikan. Barangkali, hanya Surabaya satu-
satunya wilayah yang punya kontribusi lebih besar dari wilayah-wilayah lainnya sampai
ke zaman kolonial.

15
Tomé Pires, The Suma Oriental of Tomé Pires: An Account of the East, from the Red Sea to
Japan, Written in Malacca and India in 1512-1515, and the Book of ... Volume I, trans. oleh Armando
Cortesão, 1 edition (London: Hakluyt Society, 1944), 193.
16
Burhanuddin, Islam dalam Arus Sejarah Indonesia, 28.
17
de Graaf dan Pigeaud, Islamic States in Java 1500–1700, 15.
18
Perbincangan Islamisasi di Kerajaan Blambangan masih menyisakan misteri dan perdebatan,
sebagaimana bisa dilihat di: Sri Margana, “Java’s Last Frontier: The Struggle for Hegemony of
Blambangan, C. 1763-1813” (Ph.D Dissertation, Leiden, Leiden University, 2007).

Universitas Indonesia
38

Kerajaan lain yang juga penting digambarkan di sini adalah Tuban. Masih
terletak di Kawasan Timur Pulau Jawa, agak mengarah Barat Laut dari Gresik, kerajaan
ini juga terletak di pesisir utara. Kerajaan ini menjadi daerah penyebaran Islam dari
salah seorang wali sembilan, Sunan Bonang. Dalam catatan de Graaf, wilayah ini sudah
mengaku Islam sejak pertengahan abad ke-15.19 Walau demikian, sebagaimana dicatat
oleh Pires, para penguasa Tuban masih merupakan pengikut setia dari “Pengadilan di
Majapahit” pada tahun 1513-14.20 Keberadaan hubungan persahabatan antara Tuban
dan Majapahit juga tampak dalam tradisi sejarah Jawa. Anggota keluarga penguasa
Tuban (berdarah campuran Jawa dan Arab, menurut tradisi Jawa) aktif dalam
penyebaran Islam di pedalaman Jawa Tengah dan Jawa Timur pada pertengahan abad
ke-16. Sunan Kali Jaga, bahkan disebut-sebut sebagai penduduk asli Tuban.
Survei berikutnya adalah sebuah wilayah di antara gunung Lawu dan gunung
Merapi, Bengawan (sekarang disebut sebagai Solo/Sälä: Surakarta). Wilayah ini
menjadi territorial Kerajaan Pengging (Pajang) yang terletak di lereng tenggara Gunung
Mêrapi. Pada paruh pertama abad ke-16, penguasa Pengging dikonversi ke Islam oleh
seorang sufi yang bernama Kyai Lêmah Abang atau dikenal juga di masyarakat Jawa
sebagai Syekh Siti Jenar. Metodenya yang heterodoks, membuat Islam yang disebarkan
oleh dirinya mendapat pertentangan dari berbagai kalangan, termasuk wali sembilan.
Dalam Serat Negara Kertabumi, Sunan Kudus yang corak keislamannya cukup ketat
ditunjuk untuk memurnikan ajaran Islam di daerah Pengging. Implikasi dari ini adalah
meninggalnya Syekh Siti Jenar––meski kematiannya masih menjadi perdebatan di
banyak kalangan karena terdapat setidaknya tujuh versi meninggalnya Siti Jenar. Selain
itu, jatuhnya Pengging ke tangan Demak juga membuat wilayah ini lebih dikenal
dengan nama Kesultanan Pajang. Sultan Pajang kemudian menjadi penerus raja-raja
Demak dan menjadi pusat keislaman baru di daerah Jawa Tengah.
Di saat yang bersamaan, kekuatan politik dinasti muda Mataram tumbuh begitu
cepat dalam dekade terakhir abad ke-16. Pajang pun akhirnya kehilangan independesi
dan pengaruh di tanah Jawa. Para penguasa Pajang menjadi pengikut raja-raja Mataram.
Meski begitu, masih ada pertentangan di Pajang terhadap pemerintahan Mataram.
Keturunan terakhir dari Kesultanan Pajang melarikan diri ke Surabaya dan melakukan
pemberontakan. Namun aksi ini kemudian berhasil diredam oleh Sultan Agung pada
19
de Graaf dan Pigeaud, Islamic States in Java 1500–1700, 14–15.
20
Pires, The Suma Oriental of Tomé Pires, 184–86.

Universitas Indonesia
39

tahun 1618. Keberhasilan luar biasa dari dinasti ini mengalahkan kerajaan maupun
kesultanan yang lebih dulu ada. Salah satu penyebab besarnya adalah perselisihan dan
kecemburuan yang terjadi di internal mereka dalam memperluas pengaruh di kota-kota
di Pulau Jawa. Pola ini tentu saja tidak unik dan terjadi di berbagai belahan dunia,
sebagaimana dicatat oleh Ibn Khaldun.21 Sementara di sisi lain, para penguasa lama juga
mulai kalah bersaing dengan para pedagang dari Portugis dan Belanda.
Selain kerajaan dan wilayah-wilayah penting yang telah disebutkan, penting
juga menyinggung kota-kota pelabuhan lainnya di Jawa. Beberapa di antaranya sudah
disebut seperti Pasuruan dan Pamanukan. Namun eksistensi kota-kota ini sesungguhnya
jauh lebih banyak dari itu. Secara struktural dan kultural, mereka umumnya berada di
bawah pengaruh kerajaan maupun kesultanan yang sedang berkuasa. Namun, kota
tersebut punya mekanisme kerja tersendiri. Berada di bawah kendali kelas penguasa,
yang umumnya berdarah campuran Jawa-Sino maupun orang Indo-Jawa, kota-kota ini
menjadi nafas peradaban Islam di abad ke-16. Islam memungkinkan sesuatu yang tidak
pernah terjadi sebelumnya di masa Hindu: akulturasi antar bangsa. Perpaduan orang-
orang dari keturunan yang berbeda melalui pernikahan adalah satu contohnya. Selain
itu, di kota-kota pesisir yang lahir pasca Islamisasi, sulit ditemukan kesenjangan sosial
dan budaya antara warga kaya dan bangsawan di kota-kota dan orang Jawa pedalaman,
yang masih hidup dalam masyarakat agraris murni.22 Singkatnya, kehidupan di pesisir
kala itu begitu interinsular, toleran, dan kosmopolit.
Memasuki abad ke-17-19, keterhubungan antara Islam di Timur Tengah dengan
Asia Tenggara, tidak terlepas Jawa, menjadi semakin erat. Islam, dalam bahasa John O.
Voll, menjadi sistem dunia yang special (special world-system), dimana banyak
kerajaan menjadi satu wilayah besar yang merentang dari Timur Tengah, Asia Timur,
hingga Asia Tenggara di bawah bendera Islam namun secara bersamaan punya otonomi
masing-masing dalam mengendalikan teritorial mereka.23 Sistem ini agak berbeda
dengan system dunia “core-periphery” yang umumnya meletakkan periperi sebagai
wilayah-wilayah yang kurang berkembang dibanding pusat (core). Penekanan penting
dari sistem yang ditawarkan oleh Voll adalah konsep berbagi identitas (shared identity)

21
Ibn Khaldûn, The Muqaddimah: An Introduction to History - Abridged Edition, ed. oleh N. J.
Dawood, trans. oleh Franz Rosenthal, Abridged edition (Princeton, NJ: Princeton University Press, 2015).
22
de Graaf dan Pigeaud, Islamic States in Java 1500–1700.
23
John Obert Voll, “Islam as a Special World-System,” Journal of World History 5, no. 2
(1994): 213–26.

Universitas Indonesia
40

sesama masyarakat Muslim. Muslim di berbagai belahan dunia menjadi bagian dari satu
kesatuan bernama “umat”. Sehingga, tidak ada konsep negara bawahan (vassal state)
yang dilindungi oleh negara superior (superior state). Hanya saja, mekanisme pusat
dengan periperi tetap ada secara non-substansial. Dalam kerangka Voll maka Timur
Tengah, teristimewa Hijaz (Haramayn) maupun Turki Utsmani, menjadi pusat dari
peradaban Islam, dan wilayah-wilayah Islam di peri-peri di Asia Tenggara, Asia
Selatan, Asia Barat, Afrika Utara, dan sebagainya akan berupaya mengakses segala
sesuatu yang berkaitan dengan Islam ke pusat.
Dalam konteks Nusantara, dan tentu saja Jawa, Timur Tengah kerap diakses
dalam tiga hal: pendidikan keagamaan, ritual haji, dan diplomasi militer. Terkait
pendidikan keagamaan, jaringan antara Timur Tengah dan Nusantara menciptakan
komunitas baru di memperlihatkan bagaimana munculnya komunitas ashab al-Jawiyyin
lantaran banyaknya orang-orang dari Tanah Jawa (bilad al-Jawi).24 Komunitas ini
merujuk pada orang-orang Nusantara yang belajar di sana. Orang-orang ini kemudian
menjadi katalisator yang mentransformasi corak-corak keislaman masyarakat Nusantara
berorientasi pada syariat Islam (fiqh-oriented). Selain itu, di fase ini juga ditemui tradisi
belajar jarak jauh antara para ulama Nusantara dengan ulama Hijaz dengan berkirim
surat.
Sementara diplomasi militer sudah mulai banyak dilakukan oleh beberapa
kesultanan maupun kerajaan Islam besar di Nusantara. Tengah berurusan dengan
kekuatan Barat di Nusantara, kerajaan-kerajaan ini menciptakan narasi “persaudaraan
Muslim” dalam menghadapi musuh yang sama. Sehingga bantuan-bantuan militer, baik
angkatan perang maupun persenjataan, sangat dibutuhkan. Aceh25 dan Banten26 menjadi
salah satu kesultanan yang aktif dalam menyurati Turki Utsmani, mengindikasikan
sebuah upaya yang dibangun mereka untuk menjadi bagian dari “umat” di bawah
bendera Turki. Surat-menyurat ini menghasilkan sebuah hubungan diplomatik kerajaan
di Nusantara dengan Turki Utsmani. Sehingga, pernah ada pertukuran utusan, tapi
kelihatannya lebih banyak memberi keuntungan pada Aceh dan Banten ketimbang Turki

24
Azyumardi Azra, The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-
Indonesian and Middle Eastern Ulama in the Seventeenth and Eighteenth Centuries (Hawaii: University
of Hawaii Press, 2004), 3; Burhanuddin, Ulama & kekuasaan, 113.
25
Denys Lombard, Kerajaan Aceh: Jaman Sultan Iskandar Muda,1607-1636 (Jakarta: Balai
Pustaka, 1986).
26
Titik Pudjiastuti, Perang, Dagang, Persahabatan: Surat-Surat Sultan Banten (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2007).

Universitas Indonesia
41

Utsmani. Tapi lebih dari itu, hubungan diplomatik ini ikut mempengaruhi corak-corak
keislaman di Nusantara.

2.2. Islam di Jawa Sekitar Abad 19


Pada tahun 1825 terjadi perpecahan antara Pangeran Diponegoro dengan keraton
Jogjakarta dan sekutu Belandanya. Perpecahan ini kerap dikenal sebagai Perang Jawa
(1825-30). Dengan dukungan luas di antara bangsawan dan masrayakat biasa,
Diponegoro pada awalnya melakukan kerusakan serius pada orang-orang Eropa yang
tidak siap. Namun, pada akhirnya, justru Belanda yang menang. Konflik ini bukan
perseteruan kecil. Selama pertempuran, pihak pemerintah Hindia Belanda kehilangan
sekitar 8.000 tentara Eropa dan 7.000 orang Indonesia, dan sedikitnya 200.000 orang
Jawa tewas. Tetapi jelas bahwa Diponegoro tidak bisa menang. Pada tahun 1830 dirinya
bertemu pihak Belanda untuk negosiasi. Tidak jelas apa yang sebenarnya dia harapkan
terjadi, tetapi bagaimanapun dia ditangkap dan diasingkan, dan kemudian meninggal 25
tahun kemudian.27
Perang Jawa adalah perlawanan besar terakhir terhadap dominasi Belanda di
Jawa. Setelah itu, periode kolonial yang sesungguhnya dalam sejarah Jawa dimulai, dan
dengan itu terjadi perubahan politik, sosial, agama, dan budaya yang dramatis.
Menjelang tahun 1850-an, tiga pilar Sintesis Mistik—identifikasi menjadi orang Jawa
dengan menjadi Muslim, pengamatan luas terhadap lima rukun Islam dan penerimaan
realitas kekuatan roh lokal—semuanya mendapat tantangan. Lalu, perlu diketahui
bahwa di sekitar abad ke-19, tepatnya pada 1872-1875, Jawa sedang mengalami ledakan
penduduk. Studi P.J Veth28 memperkirakan pada tahun-tahun tersebut jumlah penduduk
di Jawa mencapai 17,1 juta jiwa, dimana 23.4% penduduk beretnis Sunda, 9.4%
beretnis Madura, dan 67.3% beretnis Jawa atau sekitar 11,5 juta jiwa. Veth juga
memperlihatkan tingginya tingkat kepadatan penduduk di Jawa saat itu. Ditambah
dengan penerapan kebijakan Cultursteelsel yang membuat pembukaan besar-besaran
lahan untuk agrikultur dan tempat tinggal. Ricklefs menyebut situasi ini bukan hanya

27
Peter Carey, The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and The End of an Old Order in
Java, 1785-1855 (Leiden: Brill, 2008), http://www.oapen.org/record/403791.
28
Pieter Johannes Veth, Java: Geographisch, Ethnologisch, Historisch Vol 3 (Haarlem: Bohn,
1884), 1872–75.

Universitas Indonesia
42

sekedar “masyarakat tradisional” yang terikat pada gaya hidup tradisional, melainkan
masyarakat yang terus berubah dalam sebuah arus sejarah (society in flux).29
Dalam konteks keagamaan, khususnya Islam, masyarakat juga sedang
mengalami perubahan. Meskipun agama Islam versi Jawa (Abangan) yang dinamakan
oleh Ricklefs mystic synthesis masih ada, namun kecenderungan umum keberagamaan
masyarakat Jawa mulai bergeser terutama sejak 1840an.30 Kelompok Putihan (Islam
santri) yang mengedepankan ajaran-ajaran kebangkitan Islam sebagaimana digaungkan
oleh kelompok pembaharu Islam seperti Jamāl al-Dīn al-Afghānī mulai bertambah.31
Gejala meningkatnya keberagamaan masyarakat juga ditandai dengan munculnya
berbagai nomenklatur keagamaan seperti marbot masjid, ustadz, kiai, dan tentu saja
santri. Belanda bahkan punya julukan sendiri buat kelompok putihan ini, meskipun
istilah ini kemudian dikoreksi setelah Snouck datang ke Hindia Belanda, yakni
geestelijken (kependetaan Islam).32
Di saat yang sama, Islam di abad-19 terus tumbuh bersamaan dengan majunya
teknologi cetak. Kemajuan ini memperkuat hubungan komunikasi antara Timur Tengah
dengan ulama-ulama Islam di Asia Tenggara, khususnya di Pulau Jawa dan Madura.
Quran dengan translasi berbahasa Jawa juga sudah mulai dicetak di Batavia pada
1858.33 Selain itu, terdapat salah seorang Arab Hadramaut, Sayyid Uthman b. Aqil b.
Yahya al-Alawi (1822-1913) menjadi salah satu tokoh reformis Islam ternama di Hindia
Belanda yang cukup vokal.34 Dia mendapat tugas di Batavia sebagai salah satu
penasihat Belanda di bidang Islam, sekaligus menjadi salah satu informan kunci Snouck
Hurgronje. Selama hidupnya, setidaknya ada lebih dari 100 karya yang
dipublikasikannya, baik dalam Bahasa Arab maupun Bahasa Melayu. Dari banyaknya
karyanya juga ada yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa, sehingga pengaruhnya
semakin luas di tengah masyarakat Jawa.
Orang-orang yang berhaji juga punya peran penting dalam mengubah wacana
keislaman di wilayah ini. Sebab, banyak ulama-ulama lokal yang menunaikan haji pada

29
Merle C. Ricklefs, Polarizing Javanese Society: Islamic, and Other Visions, c. 1830-1930
(Honolulu: University of Hawaii Press, 2007), 15, http://books.google.com/books?id=_EXwAAAAIAAJ.
30
Ricklefs, Polarizing Javanese Society 49.
31
Keddie, Sayyid Jamal Ad-Din “Al-Afghani.”
32
Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 1985, 32.
33
Ricklefs, Polarizing Javanese Society.
34
Azyumardi Azra, “Ḥadrāmī scholars in the Malay-Indonesian Diaspora: A Preliminary Study
of Sayyid ‘Uthmān,” Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies 2, no. 2 (1995): 1–33.

Universitas Indonesia
43

gelombang awal di kisaran abad ke-17-18.35 Kemudian memasuki era kolonial,


gelombang peziarah haji berikutnya juga terdiri dari masyarakat awam. Selain berupaya
menjadi Muslim yang taat, meskipun pergi haji merupakan urusan hidup-mati kala itu,
semakin terbukanya akses pelayaran ke Mekah menjadi salah satu faktor penentunya.
Sekembalinya masyarakat awam itu kembali ke Jawa, mereka turut meramaikan
gelombang syariatisasi di Jawa, terutama yang terjadi pada abad ke-19.
Gerakan fundamentalis paling ekstrem yang dipicu oleh haji yang kembali pada
pertengahan abad kesembilan belas adalah gerakan Kyai Haji Ahmad Rifai (atau
Rifangi), pendiri gerakan yang dikenal sebagai Rifa'iyah. Dia menghabiskan tahun
1833-41 di Mekah. Ia kembali ke Jawa dan akhirnya menetap di desa pasisir Kalisalak,
di mana ia mendirikan sebuah pesantren. Ajaran-ajarannya berbasis pada puritanisme
Islam, yang kemudian berusaha untuk meminggirkan praktik-praktik Islam lokal yang
telah mengaburkan pesan asli Qur'an. Pendidikan lalu menjadi strategi kunci bagi Rifa'i.
Dia menulis banyak karya dalam bahasa Jawa untuk menyebarkan apa yang dia pahami
sebagai makna Islam yang lurus.36 Dia misalnya mencela bentuk budaya lokal seperti
wayang. Tetapi penting untuk dicatat bahwa––tidak seperti beberapa reformis yang
generasi setelahnya di pertengahan abad 20––dia tidak menolak sufisme. Beberapa
karyanya berhubungan dengan tasawuf, tetapi tentu saja berisi idei-ide mengenai
bagaimana mereformasi mistisisme dan menekankan pada “pelurusan” dari praktik
menyimpang dan akresi lokal yang menurutnya tidak sesuai Islam. Namun, dia tidak
pernah menyatakan dirinya sebagai anggota tarekat manapun.
Selain itu, di sekitar Abad ke-19, jumlah haji dan akibatnya putihan agama
profesional sebagai kelompok terus tumbuh di Jawa. Dilaporkan bahwa semakin banyak
orang yang dianggap orang Belanda sebagai orang-orang terkemuka yang pergi haji
(aanzienlijken): hingga 242 orang seperti itu pada tahun 1872, yang merupakan tahun
yang disebut haji akbar.37 Angka jumlah haji yang hadir di Jawa pada tahun 1874
untungnya memungkinkan kita untuk membedakan keresidenan berbahasa Jawa.38
Angka-angka ini mencerminkan jumlah haji yang signifikan ditemukan terutama di

35
Ronit Ricci, Islam Translated: Literature, Conversion, and the Arabic Cosmopolis of South
and Southeast Asia (Chicago; London: University of Chicago Press, 2011), 18.
36
Ricklefs, Polarizing Javanese Society, 61.
37
E. de Waal dan Emile A.G.J. van Delden, Onze Indische Financien: Nieuwe Reeks
Aanteekeningen Vol IX (’s Gravenhage: Nijhoff, 1907), 245.
38
Waal dan Delden, 246–47.

Universitas Indonesia
44

pesisir, dan khususnya di kota-kota yang menjadi pusat perdagangan utama seperti
Semarang dan Surabaya. Di pedalaman, hanya kota keraton Surakarta yang memiliki
jumlah haji yang sebanding dengan yang ditemukan di kota-kota besar di pesisir. Kaitan
antara perdagangan dan ketakwaan yang begitu sering muncul dalam sejarah Islam juga
terlihat di sini. Poensen mengamati pada tahun 1881 bahwa “sejauh perdagangan
pribumi penting, terutama di tangan para haji dan santri yang mengikuti teladan mereka.
Bahkan perdagangan menjajakan pasar di dalam kesulitan mereka sampai batas
tertentu.”39

Tabel 2.1. Haji di Berbagai Karesidenan di Jawa, 1847


KARESIDENAN DI PESISIR JUMLAH HAJI

Cirebon 1,463
Tegal 1,158
Pekalongan 972
Semarang 4,998
Jepara 2,059
Rembang 651
Surabaya 3,110
Pasuruan 746
Prabalingga 117
Besuki 149
Banyuwangi 143
TOTAL 15,566

KARESIDENAN DI PEDALAMAN
Kediri 502
Madiun 843
Surakarta 1,312
Yogyakarta 836
Kedu 923
Bagelen 798
Banyumas 467
TOTAL 5,681

39
C. Poensen, "Naar en op de pasar", Kediri, May 1881, dalam ARZ 261.

Universitas Indonesia
45

Sumber: E. de Waal dan Emile A.G.J. van Delden, Onze Indische Financien: Nieuwe Reeks
Aanteekeningen Vol IX (’s Gravenhage: Nijhoff, 1907), 245.

Jumlah tersebut terus bertambah. Pada tahun-tahun haji akbar 1880, 1885 dan
1888 menghasilkan jumlah yang sangat besar dari seluruh wilayah Indonesia yang
dikuasai Belanda, tetapi angka-angka yang tersedia tidak memungkinkan kita untuk
memisahkan wilayah-wilayah berbahasa Jawa. Akan tetapi, kita dapat memberikan
angka-angka seperti itu untuk Jawa Tengah dan Jawa Timur, Madura, Surakarta, dan
Yogyakarta selama bertahun-tahun kemudian pada abad ke-19 dan pada awal abad
kedua puluh, yang menunjukkan arus jumlah yang signifikan pada haji (tabel 2.2).40

Tabel 2.2. Keberangkatan Haji dari Daerah Berbahasa Jawa dan Madura,
1884-1911
TAHUN JUMLAH HAJI

1884 2,568
1885 2,501
1898 5,322
1899 N/A

1900 2,274

1901 1,546

1902 1,232

1903 1,172

1904 N/A

1905 2,543

1906 2,940

1907 1,128

1908 4,630

1909 3,243

1910 3,602

1911 7,614

TOTAL 42,315

40
Waal dan Delden, Onze Indische Financien: Nieuwe Reeks Aanteekeningen Vol IX, 251–52.

Universitas Indonesia
46

Sumber: Waal dan Delden, Onze Indische Financien: Nieuwe Reeks Aanteekeningen Vol IX,
251.

Tabel 2.3. Ulama dan Santri di Jawa, 1863-74


TAHUN ULAMA (PEMUKA AGAMA) SANTRI

1863 64,980 93,680

1864 65,103 97,384

1865 72,440 103,699

1866 73,832 110,315

1867 73,658 109,242

1868 95,670 121,590

1869 78,816 129,575

1870 N/A 142,178

1871 138,775 189,955

1872 90,023 162,474

TOTAL 753,297 1,260,092


Sumber: Waal dan Delden, Onze Indische Financien: Nieuwe Reeks Aanteekeningen Vol IX,
252.

Dengan demikian, jumlah aksi keagamaan dan keagamaan profesional secara


kasar meningkat dua kali lipat pada tahun 1863-71. Dimungkinkan juga untuk membagi
angka-angka ini di antara karesidenan berbahasa Jawa pada tahun 1872:

Tabel 2.4. Ulama dan Santri di Daerah Berbahasa Jawa dan Madura, 1872
KARESIDENAN DI ULAMA (PEMUKA AGAMA) SANTRI
PESISIR

Cirebon 5,983 6,590


Tegal 2,478 4,832
Pekalongan 2,592 3,202
Semarang 7,978 15,911
Jepara 4,151 11,750
Rembang 3,422 6,370
Surabaya 7,409 13,740

Universitas Indonesia
47

Pasuruan 2,782 7,211


Prabalingga 752 4,937
Besuki 3,797 6,382
Banyuwangi 291 3,772
TOTAL 41,635 84,697

KARESIDENAN DI
PEDALAMAN
Kediri 3,338 4,859
Madiun 2,821 6,526
Surakarta 7,367 3,386
Yogyakarta 2,446 4,361
Kedu 4,357 9,636
Bagelen 6,766 4,338
Banyumas 2,704 2,010
TOTAL 29,799 35,116
Sumber: Waal dan Delden, Onze Indische Financien: Nieuwe Reeks Aanteekeningen Vol IX,
254.

Seperti halnya angka-angka tentang haji yang diberikan pada Tabel 2.1 dan pada
Tabel 2.4 kita kembali melihat keunggulan pasisir, dan khususnya Semarang dan
Surabaya. Di antara daerah-daerah pedalaman, hanya kota keraton Surakarta yang
memiliki jumlah religius seperti kota-kota besar di pesisir, meskipun jumlah santri
(siswa) lebih rendah daripada kota-kota besar pesisir. Meski demikian, jumlah penganut
agama di pedalaman cukup signifikan. Pada tahun 1884, misionaris yang tidak bahagia
H.C Kruyt menulis kepada kepala lembaga misinya di Rotterdam,
“Ketekunan orang-orang Muhammad tampak di atas segalanya di Sukabumi41,
karena patih adalah orang yang sangat fanatik. Waktu sholat dilaksanakan
dengan setia dan tepat waktu. Mereka yang tidak tahu rumus yang biasa
diajarkan setiap hari di masjid. Gedung itu penuh kejutan pada hari Jumat.
Sukabumi dipenuhi oleh para haji.”42

41
Menurut Ricklefs Sukabumi yang dimaksud Kruyt adalah Sukabumi di daerah Prabalingga,
Jawa Timur. Lihat: Ricklefs, Polarizing Javanese Society, 67.
42
H.C. Kruyt, Majawarma, 20 Oct. 1884, dalam ARZ 145.

Universitas Indonesia
48

Meski demikian, Ricklefs menekankan bahwa tidak semua haji datang kembali
ke Hindia Belanda dengan membawa paham revivalisme Islam. Kebanyakan dari
mereka yang tidak menyebarkan paham revivalisme Islam adalah haji-haji yang
berangkat dari sebuah wilayah yang punya tradisi paham keagamaan yang cukup
mengakar, utamanya di daerah yang kuat dengan tradisi pesantren. Bahkan, Sartono
Kartodirdjo memberikan gambaran bagi ustadz dan haji tahun 1887, yang menunjukkan
pola yang sama. Di keresidenan berbahasa Jawa, di mana jumlah guru agama lebih
tinggi (disebut kyai dalam bahasa Jawa) cenderung lebih sedikit jumlah haji, dan
sebaliknya.43

2.3. Masjid: Episentrum Kota dan Spiritualitas Keislaman di Jawa


Gelombang islamisasi dari abad ke-16-20 yang telah dijelaskan di atas turut merenovasi
budaya orang-orang Jawa. Banyak aspek kehidupan masyarakat Muslim yang kemudian
berkiblat pada Timur Tengah. Sumbangsih signifikan dari gelombang ini adalah
munculnya tradisi penggunaan aksara Arab yang kemudian melahirkan Bahasa Jawi dan
Pegon, ditambah perluasan jaringan literasi antara masyarakat Muslim di Asia
Tenggara.44 Meski demikian, dalam konteks studi ini, pembahasan akan dibatasi pada
masjid alih-alih aspek lain.
Di bawah kerajaan-kerajaan Muslim yang tengah bermunculan tersebut, banyak
masjid diinisiasi dan didirIkan oleh wali, raja atau sultan, keluarganya, ataupun murid-
murid wali yang menjadi kyai. Menurut Graaf, bentuk masjid yang jamak ditemui di
Nusantara dan dianggap orisinil dengan corak budaya setempat adalah yang bentuk
bangunannya berupa persegi, atapnya berundak, dan di puncak atap terdapat ornamen-
ornamen.45 Berbeda dengan masjid di Timur Tengah, masjid-masjid di Nusantara
umumnya tidak memiliki menara (minaret) yang biasa digunakan oleh bilal untuk
mengumandangkan azan. Oleh karena, bedug menjadi alternatif dalam memanggil
masyarakat agar segera berdatangan ke masjid untuk menunaikan sholat wajib
berjamaah. Sementara dari jenisnya, masjid-masjid di Jawa terdiri atas empat kategori,
yakni masjid agung yang umumnya terletak di pusat kota, langgar kraton yang terletak

43
Kartodirdjo, The Peasants’ Revolt of Banten in 1888, 332.
44
Ronit Ricci, “Islamic Literary Networks in South and Southeast Asia,” Journal of Islamic
Studies 21, no. 1 (1 Januari 2010): 1–28, https://doi.org/10.1093/jis/etp084.
45
Hermanus Johannes de Graaf, “The Origin of the Javanese Mosque,” Journal of Southeast
Asian History 4, no. 1 (Maret 1963): 1, https://doi.org/10.1017/S0217781100000727.

Universitas Indonesia
49

di kompleks kraton, masjid komunitas yang letaknya di tengah-tengah komunitas, dan


masjid terisolasi yang letaknya di gunung, tebing, maupun dataran tinggi.46
Hadirnya masjid-masjid berikut diiringi dengan pergeseran posisi candi sebagai
situs sakral. Dalam proses konversi agama secara masif, hal ini merupakan fenomena
yang lumrah. Namun yang agak berbeda, hadirnya masjid ternyata menghadirkan ruang
publik baru bagi masyarakat. Sebab, candi sebagai tempat ibadah fungsinya sangat
terbatas pada ritual peribadatan. Sementara masjid dalam tradisi Islam punya fungsi
luas, melebihi batasan-batasan ritual keagamaan. Masjid pun terus tumbuh dan menjadi
ruang publik baik untuk beribadah maupun bersosialisasi, sebagaimana yang mudah
ditemui di Haramayn. Masjid pun menjadi salah satu pilar-pilar kerajaan Islam. Ini
semua dapat terjadi karena proses transmisi dari Timur Tengah ke Nusantara.
Maka tidak begitu mengherankan bila kesultanan maupun kerajaan Islam di
Jawa berbagi pengalaman dengan dinasti-dinasti Islam yang ada di Timur Tengah.
Meskipun tidak bisa dikatakan sama persis, karena vernakularisasi terjadi di berbagai
titik, ada kesamaan dari mereka dalam memperlakukan masjid sebagai salah satu pusat
peradaban. Selain dicontohkan langsung oleh Nabi Muhammad di Madinah pada
perkembangan Islam awal, hal ini paling tidak juga bisa dijelaskan dari fungsi masjid
sebagai ruang publik bagi masyarakat. Pertama, masjid menjadi tempat dijalankannya
ritual keagamaan, mulai dari yang wajib hingga yang sunnah. Adanya masjid di pusat
kerajaan, tentu saja berfungsi memfasilitasi ritual-ritual keagamaan yang dilakukan oleh
masyarakat Muslim teristimewa di hari Jumat ketika rutinitas sholat Jumat dijalankan.
Semakin besar masjidnya, maka semakin efektif fungsi masjid tersebut sebagai tempat
ibadah lantaran dapat memuat banyak jamaah.
Kedua, masjid menjadi pusat informasi. Di Jawa, fungsi ini kerap beririsan
dengan alun-alun. Namun karena Sebagian besar laki-laki Muslim sudah bisa dipastikan
datang ke masjid ketika sholat Jum’at, maka sangat mungkin bahwa masjid bisa
menjadi media baru dalam menyampaikan informasi. Tradisi khutbah yang dilakukan
sebelum shalat Jumat dilakukan bisa menjadi sarana bagi pemuka-pemuka agama Islam
di kerajaan, dan bahkan raja atau sultan itu sendiri, bila ingin meyampaikan sesuatu
kepada umat.

46
Bambang Setia Budi, “A Study on the History and Development of the Javanese Mosque,”
Journal of Asian Architecture and Building Engineering 4, no. 1 (1 Mei 2005): 4–5,
https://doi.org/10.3130/jaabe.4.1.

Universitas Indonesia
50

Ketiga, masjid sebagai sarana pendidikan. Fenomena semacam ini mudah


ditemui di Afrika Utara, dimana masjid bertransformasi menjadi madrasah47 atau
bahkan zawiya yang terafiliasi dengan aliran-aliran tarekat. Di Jawa, fenomena serupa
juga bisa ditemui semenjak Masjid Agung Demak didirikan oleh para wali. Masjid
kerapkali dijadikan sebagai tempat pendidikan menyangkut ilmu-ilmu keislaman
(Qur’an dan hadîts, syarî’ah, kalam, dan tasawuf). Tidak sedikit orang-orang yang
belajar di masjid-masjid tersebut untuk mengembangkan Islam dan mendirikan masjid
di daerahnya masing-masing. Masjid-masjid mereka ini bahkan tidak jarang yang
bertransformasi menjadi pesantren.
Tiga fungsi masjid ini mudah ditemui di kota-kota Islam di dunia, termasuk di
Jawa. Meski demikian, sebagaimana diamati oleh Hafid Setiadi, ada perdebatan teoritis
mengenai pendefinisian kota-kota Jawa sebagai kota Islam. Pasalnya, mayoritas kota-
kota di Jawa yang berada di bawah pengaruh kerajaan Islam tidak mengikuti kaidah
standar yang biasa ditemukan pada kota-kota Islam di Timur Tengah, dimana masjid
menjadi pusat peradaban, bukannya kraton.48 Beberapa sarjana pengkaji kota-kota Jawa
lebih senang menggunakan istilah “kota di Jawa di era kerajaan Islam”.49 Studi yang
agak berbeda datang dari Uka Tjandrasasmita yang menyebutkannya “kota-kota
Muslim”, meski tidak mengatakan kota Islam.50 Dalam pertaliannya dengan kajian
perkotaan, kecenderungan ini menandakan bahwa fitur-fitur dalam Jawa sebetulnya
lebih mapan daripada fitur-fitur Islam. Jawa menjadi sebuah produk sosial-kebudayaan

47
Istilah madrasah di zaman sekarang, merupakan sebuah institusi pendidikan yang mengajarkan
ilmu-ilmu keislaman dasar dan akan dilanjutkan ke jenjang universitas untuk jenjang pendidikan yang
lebih tinggi. Sedangkan pada abad pertengahan, istilah madrasah pada dasarnya sebuah perguruan tinggi
syariah yang mempelajari ilmu-ilmu keislaman secara total. Lihat misalnya: Robert Hillenbrand,
“Madrasa,” dalam Encyclopaedia of Islam, Volume V (Khe-Mahi), ed. oleh Clifford Edmund Bosworth
dkk. (Leiden: Brill, 1986).
48
Hafid Setiadi, “Islam and Urbanism in Indonesia: The Mosque as Urban Identity in Javanese
Cities,” dalam The Changing World Religion Map: Sacred Places, Identities, Practices and Politics, ed.
oleh Stanley D. Brunn (Dordrecht: Springer Netherlands, 2015), 2420, https://doi.org/10.1007/978-94-
017-9376-6_127.
49
Willem Frederik Wertheim, Indonesian Society in Transition: A Study of Social Change
(Westport, Conn.: Greenwood Press, 1980); Nathan Keyfitz, “The Ecology of Indonesian Cities,”
American Journal of Sociology 66, no. 4 (1 Januari 1961): 348–54, https://doi.org/10.1086/222901;
Werner Rutz, Cities and Towns in Indonesia: Their Development, Current Positions and Functions with
Regard to Administration and Regional Economy (Stuttgart: Gebrüder Borntraeger, 1987).
50
Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia dari
Abad XIII Sampai XVIII Masehi (Jakarta: Menara Kudus, 2000).

Universitas Indonesia
51

yang diperkaya lewat proses Indianisasi, Islamisasi, dan kemudian Westernisasi maupun
Globalisasi.51
Eksistensi masjid tidak hanya menjadi persoalan kehidupan sosial-keagamaan,
melainkan menjadi peneguh atas stabilitas politik dan agama. Letaknya pun berdekatan
dengan keraton yang menjadi tempat tinggal seorang pemimpin umat (kalipatullah ing
Tanah Jawi). Ditambah, masjid di Jawa pada umumnya berada di sisi barat alun-alun52,
seolah-olah sedang menghadap Mekah.53 Pada pengalaman Mataram, masjid juga
menjadi saksi atas perkawinan antara Hindu dengan Islam, dan menemukan momentum
vernakularisasinya seiring dengan proses Islamisasi. Unsur-unsur pra-Islam ikut
mempengaruhi fungsi dan bentuk masjid. Sumur Gumuling, misalnya, tidak hanya
berperan sebagai masjid tapi juga petilasan penghormatan bagi Dewa Wisnu (Vishnu)
yang dianggap sebagai pemimpin Jawa pertama, sehingga seremonial terhadap dirinya
ditetapkan oleh Hamengkubuwono I.54 Maka penting dipertegas bahwa masjid-masjid
di Jawa pada awal kemunculan kerajaan Islam selain mempunyai peran sebagai pusat
Islamisasi sekaligus alat legitimasi kekuasaan, dan proses transisi dari kebudayaan
Hindu ke Islam terjadi lewat cara-cara yang cenderung mulus dan tidak radikal.55
Letak masjid yang berdekatan dengan kraton juga menandakan simbolisme dari
amalgamasi antara nilai-nilai agama dengan politik. Ini berkaitan dengan kompleksnya
struktur kota-kota Muslim di Jawa, dimana pusatnya bukan hanya masjid semata
sebagaimana mudah ditemukan di kota-kota Islam di Timur Tengah. Adapun elemen
penting lainnya yang berpengaruh pada kota-kota di Jawa adalah alun-alun, dan pasar
meski letaknya tidak selalu berdekatan dengan masjid dan kraton. Konsep ini kemudian
jamak dikenal dengan istilah Caturtunggal.
Alun-alun adalah tempat utama untuk perayaan publik seperti perayaan-
perayaan budaya, keagamaan, dan turnamen. Ia juga berfungsi sebagai tempat di mana
misi asing bertemu dengan pihak kerajaan. Bila masjid menjadi simbol yang

51
Setiadi, “Islam and Urbanism in Indonesia.”
52
Guillaume Frédéric Pijper, “Masjid-Masjid di Pulau Jawa,” dalam Beberapa Studi tentang
Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950 (Depok: Penerbit Universitas Indonesia, 1984), 15.
53
J. Kathirithamby-Wells, “The Islamic City: Melaka to Jogjakarta, c. 1500–1800,” Modern
Asian Studies 20, no. 2 (April 1986): 338, https://doi.org/10.1017/S0026749X0000086X.
54
Jacques Dumarçay, “Le Taman Sari (étude Architecturale),” bullecolfranextr Bulletin de
l’École française d’Extrême-Orient 65, no. 2 (1978): 592.
55
Abidin Kusno, “‘The Reality of One-Which-is-Two’—Mosque Battles and other Stories,”
Journal of Architectural Education 57, no. 1 (1 September 2003): 60,
https://doi.org/10.1162/104648803322336593.

Universitas Indonesia
52

merepresentasikan dua kekuasaan yang bercampur, alun-alun publik pada masa Islam
menjadi juga menjadi penyokong masjid dalam memobilisasi umat.56 Selain itu, sangat
mungkin bila tradisi yang bisa ditemukan pada masa kini seperti perayaan Garebeg dan
kegiatan yang terkait parade pasukan kerajaan, selamatan (pesta ritual), wayang orang,
pawai lebaran, juga bisa ditemukan akar-akarnya di awal masa kerajaan Islam berdiri.
Ada banyak aspek fisik dan fungsional kota di Jawa yang ditentukan oleh faktor
ekologis dan tetap tidak berubah selama periode Islam. Sekalipun ada perubahan,
sifatnya memperbaharui dan menambahkan, bukan menghilangkan. Tuntutan dan
orientasi masyarakat Islam di Jawa pada umumnya pun akhirnya tidak terlalu banyak
mengubah corak struktur dan kultur yang ada. Satu-satunya yang terlihat jelas, mulai
bergesernya privatisasi ruang menjadi ruang publik yang bisa diakses secara bebas oleh
masyarakat. Adanya masjid di kota justru menjadikan aktivitas-aktivitas masyarakat dan
pihak istana lebih egaliter. Kota yang plural dan inklusif ini akhirnya lebih akomodatif
pada pandangan baru, berorientasi internasional dan, adaptif dalam proses evolusi yang
berkelanjutan.57 Hal ini pun kembali terbukti ketika VOC mulai memiliki pengaruh
besar secara politik di Jawa. Kota tidak dirombak total, hanya ada elemen-elemen
tambahan seperti Kantor Residen, tempat hunian orang Belanda, gereja, taman, dan
penjara.58
Bila di atas dijelaskan secara umum gambaran masjid di kota-kota Jawa, lantas
bagaimana dengan situasi di Vorstenlanden.59 yang mendapatkan hak administrasi
khusus sejak datangnya kolonial Belanda? Perang Jawa lagi-lagi menjadi titik balik bagi
56
Kathirithamby-Wells, “The Islamic City,” 339.
57
Kathirithamby-Wells, 346.
58
Sunaryo Rony Gunawan dkk., “Colonial and Traditional Urban Space in Java: A
Morphological Study of Ten Cities,” DIMENSI (Journal of Architecture and Built Environment) 40, no. 2
(1 Desember 2013): 82, https://doi.org/10.9744/dimensi.40.2.77-88.
59
Vorstenlanden (Bahasa Belanda untuk 'tanah pangeran' atau 'negara pangeran') adalah empat
negara pangeran asli di pulau Jawa di Hindia Belanda. Mereka secara nominal adalah pengikut yang
memerintah sendiri (otonom) di bawah kekuasaan Kerajaan Belanda. Namun otonomi politik mereka
menjadi semakin dibatasi oleh berbagai perjanjian dan tereduksinya pemukiman yang berada di bawah
kekuasaan mereka. Dua di antaranya masih ada sebagai wilayah pangeran dalam Republik Indonesia saat
ini. Adapun empat negara kepangeranan Jawa adalah: 1) Surakarta, sebuah kasunanan di utara; 2)
Yogyakarta, kesultanan di selatan; 3) Mangkunegaran, sebuah kerajaan di sebelah timur; dan 4)
Pakualaman, sebuah kerajaan kecil yang sebagian besar tertutup dalam wilayah Kesultanan Yogyakarta.
Wilayah pangeran ini adalah negara penerus Kesultanan Mataram Islam dan merupakan pecahan
dari perang saudara dan perang suksesi di kalangan bangsawan Jawa di masa Mataram. Pada tahun 1755,
selama Perang Suksesi Jawa Ketiga, Kesultanan Mataram terpecah menjadi Kasunanan Surakarta dan
Kesultanan Yogyakarta (ejaan Belanda kontemporer: Djokjakarta); Mankunegoro berpisah dari Surakarta
pada tahun 1757. Terakhir, Paku Alam memisahkan diri dari Yogyakarta pada tahun 1812 setelah Invasi
Jawa (1811). Lebih jauh mengenai ini lihat: V. J. H. Houben, Kraton and Kumpeni: Surakarta and
Yogyakarta, 1830-1870, Kraton and Kumpeni (Leiden: Brill, 1994), https://brill.com/view/title/23407.

Universitas Indonesia
53

perubahan pada kondisi sosial-ekonomi-politik di Vorstenlanden. Sempat mendapatkan


hak otonomi khusus, wilayah-wilayah ini menjalankan berbagai hukumnya secara
otonom. Termasuk dalam menjalankan hukuman-hukuman adat dan Islam, wilayah
Vorstenlanden punya majelis hukum sendiri yang biasanya dijalankan oleh seorang
Penghulu.60
Penguasa pribumi secara resmi dianggap 'otokrat' oleh penguasa kolonial dan
semua tanah di wilayah mereka dianggap milik mereka. Namun mereka tidak memiliki
yurisdiksi atas orang Eropa dan 'orang Timur non-pribumi' dan sebagian besar
pengadilan hukum pribumi akhirnya digantikan oleh pengadilan kolonial Belanda.
Pemerintah kolonial juga mengambil alih kekuasaan di daerah lain; wilayah
Vorstenlanden tidak memiliki layanan pos sendiri, misalnya. Para administrator kolonial
Belanda berperan sebagai “kakak” bagi “adik” pribumi, sebuah hubungan yang secara
ritual dilambangkan dengan pribumi menggandeng tangan kanan residen maupun
Gubernur Hindia Belanda dalam upacara-upacara publik.61 Para penguasa pribumi
diberi gelar “Yang Mulia” oleh penguasa Belanda. Seperti tanah partikelir, wilayah
Vorstenlanden tidak secara langsung dikendalikan oleh pemerintah kolonial, dan
karenanya tidak tunduk pada Sistem Tanam Paksa yang diperkenalkan oleh Gubernur
Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830.62

2.4. Baitulmal dan Embrio Kas Masjid di Era Kerajaan Islam


Setelah berhasil melebarkan kekuasaan sampai Syam63, umat muslim di bawah Umar b.
Khattab mendapatkan banyak sekali fai.64 Kubu Bilal dan Abdurrahman b. Awf
menginginkan agar harta tersebut bisa dibagi rata kepada para mujahid yang
berpartisipasi dalam misi penyebaran Islam tersebut. Namun, Amirul Mukminin
menolak gagasan tersebut, terutama setelah mendengar pandangan dari kubu Ali b. Abi

60
Hisyam, Caught between Three Fires.
61
Houben, Kraton and Kumpeni: Surakarta and Yogyakarta, 1830-1870.
62
Taro Goh, Communal Land Tenure in Nineteenth-Century Java: The Formation of Western
Images of the Eastern Village Community (Canberra: Department of Anthropology, Research School of
Pacific and Asian Studies, Australian National University, 1998), 14.
63
Syam, kerap dipersamakan dengan istilah al-Masyriq atau Levant, adalah sebuah wilayah
historis yang merujuk pada sebuah areal geografis di daerah Timur Mediterania. Dalam perspektif negara
pasca kolonial, wilayah ini juga bisa merujuk pada Suriah, Libanon, Jordania, Israel, Palestina, dan
sedikit wilayah Turki.
64
Fai dalam Islam adalah harta yang diperoleh dari musuh-musuh Islam tanpa pertumpahan
darah. Bedakan dengan ghanimah yang perolehannya lewat jalan peperangan atau yang penyitaan.

Universitas Indonesia
54

Thalib dan Muadz b. Jabal. Umar lalu mengutip ayat 7 dari Surat Hasyr untuk
mengatakan bahwa harta ini sebaiknya dikelola dan diberikan kepada masyarakat yang
membutuhkan.65
Peristiwa di atas penting dalam perjalanan sejarah awal Islam. Sebab Umar
meletakkan gagasan tentang pengelolaan aset umat, dalam hal ini tanah di daerah Irak
dan Suriah, untuk kepentingan masyarakat. Ia juga memercikan ide tentang kepemilikan
pribadi (private ownership) menjadi properti untuk kepentingan pelayanan publik
(public interest).66 Di tahun 20 hijriah (sektiar 641 masehi), praktik ini
diinstitusionalisasi oleh Umar dengan nama bayt al-mal (baitulmal). Secara harfiah
baitulmal sendiri berarti “rumah harta”. Namun secara empiris, konsep ini menjadi
dasar-dasar dari tempat penyimpanan harta-harta dan pengelolaannya (perbendaharaan)
maupun perpajakan pada komunitas Muslim awal. Segala ragam filantropi Islam mulai
dari zakat, infak, sedekah, dan wakaf memang pernah dikumpulkan dan ditampung
sebagaimana prinsip-prinsip dasar baitulmal. Namun, hal tersebut hanya sementara
lantaran Nabi, lalu diteruskan Abu Bakar, segera mendistribusikannya kepada para
penerima manfaat yang telah ditentukan dalam Quran.
Umar juga hanya melanjutkan pengumpulan harta yang pernah dilakukan di
masa Nabi sebagai pemasukan baitulmal.67 Hanya saja, ada ketentuan khusus yang
ditetapkannya dalam menambah pemasukannya. Hal ini terjadi lantaran kaum Muslimin
semakin banyak mendapatkan ghanimah dan fai, seiring dengan perluasan wilayah
Islam (al-Futūḥāt al-Islāmiyya) ke berbagai wilayah. Di bawah petugas baitulmal (sahib
bayt al-mal) yang ditunjuk langsung oleh Amirul Mukminin, harta yang diperoleh umat
Muslim tersebut dikategorisasi dan diberi label sebelum akhirnya bisa dikatakan sebagai
harta kekayaan baitulmal (hukuk bayt al-mal).68 Proses pelabelannya mengedepankan
prinsip-prinsip khums atau 1/5 bagian.69 Sehingga 20% dari harta perolehan akan
menjadi bagian dari baitulmal, sedangkan sisanya didistribusikan entah sebagai imbalan
bagi para sahabat atau terhitung sebagai harta kekayaan negara. Selain ghanimah dan fai

65
Abū Yūsuf Yaʻqūb, Abū Yūsuf’s Kitāb al-Kharāj, trans. oleh A. Ben Shemesh, 1st Ed. edition
(Leiden, London: Luzac, 1969), 34.
66
Noel James Coulson, “Bayt Al-Mal: I. Legal Doctrine,” dalam Encyclopaedia of Islam,
Volume I (A-B), ed. oleh Hamilton Alexander Roskeen Gibb dkk. (Leiden: Brill, 26 Juni 1998), 1141,
https://brill.com/view/title/1480.
67
Coulson, 1141.
68
Coulson, 1142.
69
Yaʻqūb, Abū Yūsuf’s Kitāb al-Kharāj, 80.

Universitas Indonesia
55

baitulmal juga terisi dari properti-properti tidak bertuan yang telah ditinggalkan oleh
pemiliknya, properti orang-orang yang murtad, dan properti orang yang meninggal tapi
tidak diwariskan ke ahli warisnya. Sementara untuk ushr dan jizya, posisinya agak
simpang siur apakah masuk ke dalam kas baitulmal atau kas negara.70 Selain itu,
merujuk pada Kitab al-Kharaj, pemasukan baitulmal tersebut kerap dianggap sebagai
sistem pungutan perpajakan dalam Islam.
Dalam konteks pendistribusian dan pemanfaatan, mungkin tidak keliru bila
menganggap prinsip-prinsip baitulmal sama dengan lembaga fiskal (kementerian
keuangan) sekaligus lembaga penjamin sosial yang memastikan jaringan keamanan buat
masyarakat Muslim awal. Pasalnya, di satu sisi baitulmal memadupadankan prinsip-
prinsip yang dilakukan ketika mendistribusikan khums dan zakat. Sementara di sisi lain
baitulmal juga menjadi penopang pembelajaan negara pada perkembangannya. Untuk
yang pertama, kekhalifahan, misalnya, memberikan jaminan sosial secara adil untuk
laki-laki yang kehilangan kemampuan untuk bekerja, dan memastikan kebutuhan-
kebutuhan hidup minimumnya terpenuhi.71 Sampai ada tulang punggung baru yang
akan menghidupi keluarganya, orang tersebut dan keluarganya akan diberikan tunjangan
kehidupan yang diambil dari baitulmal.72 Amirul Mukminin juga memastikan para
jompo, bayi terlantar, dan anak-anak yatim piatu mendapat perlindungan sosial dari
program baitulmal tersebut.73 Bahkan di masa krisis kelaparan, Umar juga memastikan
semua warganya––tanpa memperhatikan status sosial––mendapatkan kupon makanan
yang bisa ditukar dengan gandum dan terigu.74
Memasuki era kekuasaan Dinasti Umayyah I75, baitulmal juga digunakan untuk
memberikan tunjangan pensiun kepada tentara yang sudah tidak bisa lagi berperang.76

70
ʻAlī ibn Muḥammad Māwardī, Al-Māwardī’s Al-Aḥkām As-Sulṭāniyyah: A Partial Translation
with Introduction and Annotations, trans. oleh Darlene Rae May (Indiana: Indiana University Press,
1978).
71
Shadi Hamid, “An Islamic Alternative? Equality, Redistributive Justice, and the Welfare State
in the Caliphate of ‘Umar (rta),” Renaissance: Monthly Islamic Journal 13, no. 8 (2003),
http://www.monthly-renaissance.com/issue/content.aspx?id=355.
72
Yaʻqūb, Abū Yūsuf’s Kitāb al-Kharāj, 85.
73
Abu Al-Abbas Ahmad Bin Jab al-Baladhuri, Kitab Futuhu’l-Buldan, trans. oleh Philip K. Hitti
(Piscataway, N.J: Gorgias Press, 2002), 452.
74
Shibli Nu’mani, ’Umar the Great: The Second Caliph of Islam (Lahore: Sh. Muhammad
Ashraf Press, 1956).
75
Dinasti Umayyah (Khilāfah al-ʾUmawīyah) I merupakan dinasti Islam pertama yang didirikan
oleh Bani Umayyah di Damaskus. Bedakan dengan Dinasti Umayyah II atau lebih dikenal dengan Al-
Andalusia yang lokasinya berada di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Spanyol.

Universitas Indonesia
56

Selain itu, salah satu khalifah dinasti ini, Al-Walid I, tercatat melakukan pembayaran
dan layanan kepada warganya yang membutuhkan, termasuk pemberian jaminan untuk
orang miskin, minim penglihatan, dan semua orang yang difabel sehingga mereka tidak
perlu lagi mengemis. Khalifah-khalifah selanjutnya seperti Khalifah Al-Walid II dan
Umar b. Abdul-Aziz memasok uang dan pakaian untuk orang buta dan lumpuh.77
Pembimbing bagi mereka bahkan difasilitasi juga oleh negara. Praktik ini berlanjut
sampai khalifah Abbasiyah Al-Mahdi.78 Kala itu, Tahir b. Husain, Gubernur Provinsi
Khurasan, menyatakan dalam sebuah surat kepada putranya bahwa dana dari baitulmal
harus diberikan kepada orang minim penglihatan, orang miskin dan melarat pada
umumnya, para korban penindasan yang tidak dapat mengeluh dan tidak tahu
bagaimana mengklaim hak-hak mereka pada khalifah, dan korban bencana dan janda
dan anak yatim yang mereka tinggalkan.79
Selain bantuan-bantuan sosial seperti di atas, di era kesultanan Islam
“pembelajaan” harta baitulmal nampaknya mulai menyokong belanja-belanja yang
biasanya berada pada pos anggaran harta negara. Hal ini bisa terjadi karena baitulmal
umumnya berada di bawah dewan atau lembaga keuangan yang lebih besar. Pada kasus
Dinasti Umayyah I, baitulmal menjadi hal yang diurus oleh Diwan al-Kharaj (Dewan
Perpajakan atau Keuangan).80 Untuk membuktikan hal ini, mari lihat pandangan Al-
Māwardī dalam Kitab Al-Aḥkām As-sulṭāniyyah mengenai pembelajaan baitulmal yang
dibaginya menjadi dua kategori utama. Pembelajaan pertama adalah jenis penggunaan
dana baitulmal yang sifatnya untuk membiayai aspek-aspek krusial dalam roda
pemerintahan. Dalam hal ini, baitulmal didistribusikan untuk tunjangan para serdadu,
gaji pejabat negara, dan kebutuhan lain yang dibutuhkan oleh negara, seperti kewajiban
merawat tahanan perang. Untuk yang pertama ini berlaku juga semacam hukum
pinjaman, sehingga negara perlu mengembalikan pinjaman tersebut bila sudah memiliki
anggaran.

76
Patricia Crone, Medieval Islamic Political Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press,
2006), 390.
77
Claude Cahen, “Bayt Al-Mal: II. History,” dalam Encyclopaedia of Islam, Volume I (A-B), ed.
oleh Hamilton Alexander Roskeen Gibb dkk. (Leiden: Brill, 26 Juni 1998), 1145,
https://brill.com/view/title/1480.
78
Philip K. Hitti, History of the Arabs, 10th edition (New York, NY: Red Globe Press, 2002),
232, 319, 320.
79
Crone, Medieval Islamic Political Thought, 308.
80
Māwardī, Al-Māwardī’s Al-Aḥkām As-Sulṭāniyyah, 373.

Universitas Indonesia
57

Sementara pembelajaan jenis kedua adalah yang sifatnya untuk kesejahteraan


dan kepentingan publik. Selain memberikan bantuan yang bersifat karitas seperti
menolong fakir, miskin, dan kelompok-kelompok yang marjinal secara ekonomi,
pembelajaan yang pertama ini mendanai hal-hal yang bertalian dengan infrastruktur
seperti pembangunan jalan, instalasi penyediaan air, dan memperbaiki kerusakan lahan-
lahan agrikultur. Meski untuk publik, baitulmal tidak diperbolehkan membiayai
kepentingan publik yang sifatnya menjurus ke hiburan masyarakat, terutama yang
dilarang oleh syariat, termasuk dukungan untuk musik.
Di kesultanan-kesultanan kecil yang tersebar di berbagai Jazirah Arabia,
baitulmal juga bisa ditemukan. Membentang dari wilayah Timur (Al-Masyriq al-ʻArabī)
sampai Barat (al-Maghrib al-ʻArabī), dinasti-dinasti ini menciptakan baitulmal sebagai
sebuah cara dalam mengorganisasi sistem keuangan mereka. Meski pecahan, beberapa
baitulmal di beberapa dinasti sebetulnya masih merupakan cabang dari baitulmal yang
ada di Damaskus dan Baghdad.81 Pada pengalaman Dinasti Umayyah II di Andalusia,
baitulmal dipraktikkan lebih sempit daripada praktik yang diterapkan di masa Umayyah
I maupun Abbasiyah. Alih-alih sebagai lembaga fiskal modern, baitulmal di sini lebih
mengarah pada praktik pengelolaan wakaf produktif.82 Di bawah Qadi beserta jajaran
nazir di berbagai provinsi, semua keuntungan yang didapat dari pengelolaan tanah
wakaf dikumpulkan di sebuah maqsurah di Masjid Cordova.83 Pengalaman Umayyah II
ini sebetulnya agak membingungkan, sebab derivasi baitulmal di masa ini tidak
sekompleks masa Dinasti Umayyah I.
Pengalaman baitulmal di dinasti-dinasti lainnya belum distudi cukup
komprehensif.84 Kemungkinan karena rekaman ataupun bukti mengenai hal ini tidak
pernah dibuat secara baik, atau tercecer ketika komunitas Muslim sedang terlibat dalam
Perang Salib dengan komunitas Kristen. Catatan dari Ibn Haukal sang geografer dan
penulis perjalanan, sebagaimana dikumpulkan dan diedit oleh Michael Jan de Goeje,
mungkin bisa jadi petunjuk mengenai hal ini. Catatannya mengenai Aghlabiyyah,

81
Roger Le Tourneau, “Bayt Al-Mal: In the Ottoman State and Muslim West (al-Andalus and
Maghrib),” dalam Encyclopaedia of Islam, Volume I (A-B), ed. oleh Hamilton Alexander Roskeen Gibb
dkk. (Leiden: Brill, 26 Juni 1998), 1148, https://brill.com/view/title/1480.
82
Evariste Lévi-Provençal, Histoire de l’espagne Musulmane (Paris; Leiden: G.P. Maisonneuve;
E.J. Brill, 1950), iii, 13–134.
83
Abū al-ʽAbbās ibn ʽIḏārī, Al-Bayān al-Mughrib fī Akhbār al-Andalus wa’l-Maghrib, ed. oleh
Évariste Lévi-Provençal, Iḥsān ʻAbbās, dan Georges Séraphin Colin (Bayrūt: Dār al-Thaqāfah, 1967), 98.
84
Tourneau, “Encyclopaedia of Islam, Volume I (A-B).”

Universitas Indonesia
58

Ziriyyah, dan Fatimiyyah menunjukkan bahwa kemungkinan besar praktik baitulmal di


tiga dinasti ini tidak berbeda jauh sebagaimana diterapkan di Damaskus maupun
Baghdad.85
Dari Encyclopaedia of Islam yang dicetak oleh Brill, bukti cukup terang tentang
baitulmal dapat ditemukan pada Kesultanan Turki Utsmani.86 Ada pembedaan yang
jelas antara harta milik Sultan (Khazine-i Enderun) dengan harta negara (Khazine-i
Emiriyye, Khazine-i Dewlet, Khazine-i ‘Amire). Namun praktik umum yang digunakan
untuk merujuk baitulmal sebagaimana jamak ditemukan di masa Umayyah dan
Abbasiyah adalah kata Emirriyye (Keamiran). Pembuktian mengenai ini bisa ditemukan
di banyak dokumen kenegaraan Turki Utsmani. Sementara kata baitulmal di Turki
Utsmani ternyata merujuk pada aktivitas keuangan yang lebih sempit. Ia lebih banyak
ditemukan pada hal-hal yang berkaitan dengan pemasukan bagi kas negara. Mulai dari
urusan wakaf, properti tidak bertuan, barang hilang, hingga barang yang tercecer
menjadi tanggung jawab dari baitulmal.87 Bila diperhatikan, hal ini sebetulnya hanya
sebagian dari fungsi baitulmal yang bisa ditemukan di masa-masa sebelumnya.
Terlepas daripada inovasi-inovasi yang ada terhadap baitulmal di berbagai
dinasti maupun kesultanan, ada satu ketetapan inti yang sama-sama mereka sepakati. Di
masa kekosongan kekuasaan, baitulmal akan dikelola oleh para ulama.88 Selain itu,
kewajiban membayar zakat tetap dilakukan di masa kekosongan ini karena menjadi
salah satu pilar rukun Islam. Sementara untuk jizya tidak diwajibkan bagi kaum dhimmi
(warga non-Muslim di wilayah Islam) lantaran kewajiban membayarnya diterapkan oleh
pemimpin.89 Mekanisme ini dilakukan agar tidak ada penyelewengan terhadap dana
umat yang tersimpan di baitulmal. Kebiasaan seperti ini kemungkinan dicontohkan oleh
Umar b. Abdul Aziz, salah satu khilafah Umayyah I, di masa kepemimpinannya. Salah
satu contoh riwayat paling masyhur adalah ketika Umar mematikan sebuah lilin lantaran
seorang hamba datang untuk mendiskusikan urusan domestiknya. Bagi Umar, hal

85
Abu’l-Ksim Ibn Haukal, Viae et Regna, Descriptio Ditionis Moslemicae Auctore Abu’l-Kasim
Ibn Haukal, ed. oleh M. J. de (Michael Jan) Goeje (Leiden: Lugdunum Batavorum, Brill, 1873), 69,
http://archive.org/details/viaeetregnadescr02ibnh.
86
Tourneau, “Encyclopaedia of Islam, Volume I (A-B),” 1147–48.
87
Tourneau, 1147.
88
’Abd al-Malik ibn ’Abd Allah Iman al-Haramayn al-Juwaynī, Ghiyāth al-umam fī iltiyāth al-
ẓulam, 2nd. ed (Cairo: Mutba’ah nazah misr, 1981), 560.
89
Crone, Medieval Islamic Political Thought, 291.

Universitas Indonesia
59

tersebut bertentangan dengan prinsipnya karena dirinya sedang membicarakan urusan di


luar negara, sementara lilin tersebut adalah harta milik negara.
Memang tidak semua khalifah seketat Umar dalam menggunakan dana umat
yang tersimpan dalam baitulmal sebagai kas negara. Kadangkala, uang pemimpin
dengan uang negara tercampur menjadi satu. Perbedaan antara baitulmal dengan bayt al
mal al-khasas (uang pribadi kenegaraan) menjadi sulit dibedakan. Akibatnya
penyelewengan tidak bisa dihindari. Abu Ja'far al-Mansur (754-775), Khalifah dari
Dinasti Abbasiyah misalnya pernah melakukan penyelewengan terhadap baitulmal dan
dikritik oleh Abu Hanifa.90 Namun, Abu Hanifa malah ditangkap karena berbagai
tuduhan. Kecurigaan serupa terhadap ketidakjelasan pengelolaan kas negara Abbasiyah
pun pernah dilontarkan juga oleh Ibn Khaldun.91 Tapi satu hal bahwa penggunaan uang
baitulmal untuk kepentingan Sultan atau khalifah, terlebih pasca khulafaurrasyidun,
memang tidak begitu jelas pencatatannya. Kadangkala Sultan, seperti di Dinasti
Safawiyah mendapatkan ganti rugi (reimburse) setelah menggunakan uang pribadinya
untuk keperluan negara.92 Sementara itu ada juga kasus dimana sultan tidak
mendapatkan bayaran apapun atas uang yang telah dikeluarkannya.93
Lantas, bagaimana dengan baitulmal di kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara,
terkhusus Jawa? Konsisten dengan logika Islamisasi yang telah dijelaskan, seharusnya
baitulmal juga bisa ditemukan di sana-sini. Paling tidak, adaptasi seperti yang terjadi di
morfologi kota maupun bentuk masjid juga bisa menjadi barang bukti tentang eksistensi
baitulmal di Jawa. Entah hanya sebagai tempat penyimpanan maupun sekaligus dengan
fungsi pengelolaannya. Dari studi Amelia Fauzia setidaknya ada petunjuk bahwa
catatan mengenai baitulmal di Jawa belum ditemukan.94 Studinya berhasil
mengungkapkan bahwa baitulmal kemungkinan besar bisa ditemukan di kerajaan-
kerajaan Islam di sekitar jalur perdagangan Malaka, seperti Aceh. Hal ini terbaca dari
historiografi tradisional seperti Bustan as-Salatin, Adat Aceh, maupun Sejarah

90
Abū Jaʼfar Muhạmmad B. Jarīr al-Tạbarī, Al-̣Tabarī: Volume 1, The Reign of Abū Ja’Far Al-
Maṇsūr A. D. 754-775: The Early ‛Abbāsī Empire, trans. oleh John Alden Williams (Cambridge:
Cambridge University Press, 1988), 148–49.
91
Di beberapa pasal, Ibn Khaldûn mencatat berbagai kemewahan dan kekeliruan yang dilakukan
oleh pemimpin, salah satunya penggunaan baitulmal (kas negara). Lihat: Khaldûn, The Muqaddimah.
92
Ann K. S. Lambton, State and Government in Medieval Islam: An Introduction to the Study of
Islamic Political Theory : The Jurists (London and New York: RoutledgeCurzon, 1981), 281.
93
Cahen, “Encyclopaedia of Islam, Volume I (A-B).”
94
Lihat Bab 2: Fauzia, Faith and the State, 2013.

Universitas Indonesia
60

Melayu.95 Fauzia menghitung seberapa banyak kata-kata yang berkaitan dengan


filantropi Islam digunakan pada historiografi tradisional tersebut. Secara berurutan, dia
menemukan bahwa kata sedekah paling banyak ditemukan, sementara baitulmal paling
sedikit.96
Adapun yang penting digarisbawahi di sini adalah istilah zakat tidak ditemukan
dalam karya-karya tersebut maupun di Undang-Undang Melaka––regulasi legendaris
yang pengaruhnya bisa ditemukan sampai ke wilayah Timur Nusantara.97 Kemungkinan
besar hal ini terjadi karena dalam proses Islamisasi, zakat melebur sebagai bagian dari
pajak. Hal ini sebetulnya tidak terlalu berbeda dengan pengalaman Timur Tengah,
dimana zakat berlaku sebagai pajak dan menjadi salah satu bagian pengisi harta
kekayaan negara. Bahkan baitulmal salah satunya juga terisi dari zakat kaum Muslimin.
Tapi sayang, bukti mengenai ini kurang kuat. Satu-satunya bukti saat ini baru bisa
mengatakan bahwa hanya Kesultanan Aceh yang mengadopsi sistem baitulmal, entah
sebagai lembaga fiskal maupun lembaga jaminan sosial.
Asumsi yang mungkin bisa dikembangkan di sini adalah pertama bahwa
baitulmal di Jawa sudah bercampur dengan dewan pengurus keuangan, sebagaimana
terjadi di masa Umayyah I. Ia menjadi bagian dari negara sehingga cara
pengumpulannya pun dilakukan oleh negara. Pengumpulannya barangkali lewat ulama
untuk zakat, dan lewat pengumpul pajak bila sifatnya seperti ‘ushr (1/10)––yang
penggunaannya merujuk pada pajak tanah––maupun pajak perdagangan.98 Sementara
untuk sumbangan-sumbangan non wajib seperti sedekah, kemungkinan besar
dikumpulkan secara kolektif di masjid-masjid. Untuk yang kedua, tradisi ini
kemungkinan terjadi karena masjid merupakan ruang publik baru di Jawa. Para
pedagang, pelancong, atau siapa saja yang datang ke masjid kemudian memberikan
sedekahnya untuk masjid. Ada semacam tempat pengumpulan, atau maqsurah99 seperti
yang ada di Masjid Cordova, yang digunakan untuk menempatkan uang-uang

95
Fauzia, 72.
96
Fauzia, 72.
97
Kathirithamby-Wells, The Southeast Asian Port and Polity.
98
Lombard, Kerajaan Aceh.
99
Bedakan dengan keberadaan maksura yang ada di masjid-masjid di Indoensia seperti di Masjid
Agung Surakarta maupun di Masjid Bingkudu, Agam, Sumatra Barat. Pada pengalaman Indonesia,
maksura lebih berfungsi sebagai protokol penjagaan keamanan penguasa apabila berkenan hadir untuk
melakukan salat di masjid.

Universitas Indonesia
61

sumbangan tersebut. Selain itu, sangat mungkin bila raja-raja kerajaan Islam di Jawa
juga punya tradisi menyumbang ke masjid sebagaimana terjadi di daerah Melayu.
Baitulmal dalam pengertian lembaga fiskal sepertinya sudah tidak bisa
ditemukan lagi. Kemungkinan fungsinya melebur dengan lembaga keuangan kerajaan,
atau menjadi bagian dari pemerintahan Hindia Belanda ketika Belanda melakukan
modernisasi pada kekuasaan-kekuasaan tradisional. Adapun kemungkinan lainnya,
baitulmal memang tidak ada karena apa yang dikatakan sebagai harta umat sudah
bercampur dengan keuangan negara, sebagaimana sempat terjadi di masa Abbasiyyah.
Tapi, meski begitu, pada konteks yang kedua tradisi baitulmal sebetulnya masih bisa
dikais sedikit demi sedikit. Kebiasaan orang menyumbang ke masjid masih terus
berjalan. Menurut pengamatan Juynboll, betoelmal (baitulmal) bahkan menjadi
penyebutan lain dari kas masjid yang umum ditemukan di Pulau Jawa.100
Pandangan bahwa kas masjid adalah bentuk lain dari baitulmal sebagai tempat
penyimpanan juga bisa dibuktikan dari sebuah deskripsi yang diberikan oleh
Klinkert.101 Dirinya menyebutkan bahwa ditemukan banyak benda yang terbuat dari
sambungan, atau kemungkinan yang lain adalah anyaman, bambu kuning di Jawa.
Sambungan tersebut mirip tabung (taboeng) dan biasanya digunakan untuk menyimpan
air, uang, penanak makanan, maupun menjadi pipa opium. Klinkert melanjutkan bahwa
tabung ini juga kerap digunakan sebagai kotak uang, celengan (kenclengan), dan tempat
penyimpanan uang publik di masjid-masjid. Satu waktu bentuk tabungnya juga bisa
menyerupai kendi. Deskripsi ini penting untuk memberikan gambaran bagaimana
sebetulnya bentuk kas masjid. Memang tidak dijelaskan secara pasti oleh Klinkert sejak
kapan model tabung seperti ini digunakan di masjid. Namun dari deskripsi tersebut,
kemungkinan besar memang tabung tersebut yang digunakan sebagai salah satu media
pengumpulan kas masjid, sejalan dengan temuan fisik seperti yang bisa dilihat pada
gambar 2.1.

100
Th W. Juynboll, Handleiding tot de Kennis van de Mohammedaansche Wet Volgens de Leer
Der Sjafi Tische School (Leiden: Brill, 1930), 249.
101
Hillebrandus Cornelius Klinkert, Nieuw Maleisch-Nederlandsch Woordenboek Met Arabisch
Karakter: Naar De Beste en Laatste Bronnen Bewerkt (Leiden: E. J. Brill, 1916), 234.

Universitas Indonesia
62

Gambar 2.1. Ilustrasi Kas Masjid di Era Kerajaan Islam Nusantara

Meski bukan bernama baitulmal, deskripsi tentang kas masjid di atas sebetulnya
punya fungsi yang mirip dengan Qubbat al-Khazna (Kubah Penyimpanan Harta) di
Masjid Umayyah, Damaskus. Relik ini dibuat oleh Gubernur Damaskus, Fadl b. Shalih,
pada masa Dinasti Abbasiyah tahun 789.102 Bentuknya mungkin tidak bisa dikatakan
serupa dengan kas masjid yang umum ditemukan di masjid-masjid di Jawa. Sebab,
kubah ini kental dengan tradisi arsitektur Romawi. Bentuknya adalah segi delapan dan
diikuti lapisan dekorasi mosaik pada permukaannya. Selain itu, Qubbat al-Khazna juga
menyerupai kubah di atap masjid, hanya saja ada tambahan empat kaki yang menjadi
pondasinya. Dari catatan yang masih bisa ditemukan bahwa kubah ini berfungsi sebagai
tempat penyimpanan baitulmal. Dan, Sebagian besar isinya adalah harta dari wakaf
produktif Masjid Umayyah.103 Dengan demikian, kubah ini dipastikan bukan satu-
satunya tempat untuk menyimpan harta-harta yang dikumpulkan dalam baitulmal
sebagaimana dijelaskan di atas.

Gambar 2.2. Qubbat al-Khazna

102
Paul M. Cobb, White Banners: Contention in ’Abbasid Syria, 750-880 (New York: SUNY
Press, 2001), 151.
103
David S. Margoliouth, Cairo, Jerusalem & Damascus: Three Chief Cities of the Egyptian
Sultans (New York: Cosimo Classics, 2010), 400.

Universitas Indonesia
63

(Sumber: Damasco: Mezquita omeya, https://en.wikipedia.org/wiki/Qubbat_al-


Khazna#/media/File:Umayyad_Mosque-Dome_of_the_Treasury.jpg

Dalam konteks pengumpulan, kas masjid sebelum kehadiran pemerintah Hindia


Belanda mudah ditemukan sebagai kebiasaan (tradisi). Ia menjadi harta yang disimpan
oleh para personalia masjid atas asistensi keagamaan yang mereka lakukan di desa-desa.
Kas masjid juga menjadi sarana bagi masyarakat luas supaya bisa berkontribusi dalam
pemeliharaan maupun kemakmuran masjid. Adat ini terus berlangsung bahkan sampai
sekarang. Meski demikian, dalam konteks masa lalu, tidak diketahui pasti apakah
praktik pengumpulan kas masjid ini menjadi pola umum yang terjadi di masjid-masjid
Jawa atau tidak. Sementara di Aceh, sultan sendiri yang meminta masyarakat untuk
berdonasi ke masjid dengan narasi beramal ke masjid keutamannya sangat besar.104
Satu asumsi yang bisa dikembangkan di sini bahwa mengingat amal dan sedekah
adalah salah satu praktik yang mendapat sokongan dari teks-teks keagamaan Islam,
sangat mungkin praktik seperti ini untuk masjid di Jawa menjadi umum dilakukan.
Apalagi, semenjak abad ke-16-19, para ulama-ulama yang belajar dari Arab mulai
berdatangan dan berkarir di kerajaan.105 Sehingga narasi-narasi keagamaan mudah
menyebar di kalangan masyarakat. Beberapa teks yang bisa disampaikan di sini adalah
ucapan Nabi yang disampaikan oleh Jabir b. ‘Abdillah tentang siapa membangun masjid
karena Allah maka akan dibangunkan rumah di surga kelak oleh Allah106 dan Surat At-
Taubah ayat 18 tentang memakmurkan masjid. Adapun narasi lain yang berkembang
adalah mengenai pahala jariyah (pahala yang tidak terputus). Dengan menyumbang ke
masjid, masyarakat akan mendapat pahala terus-menerus, sekalipun sudah meninggal,
lantaran masjid akan terus dipakai untuk beribadah sampai hari penghakiman kelak.
Selain sedekah, Sebagian besar dari kas masjid terisi dari sumbangan uang nikah yang
diberikan kepada para personalia masjid. Pada pengamatan lainnya, kas masjid

104
C. Snouck Hurgronje, Orang Aceh: Budaya, Masyarakat, dan Politik Kolonial (Yogyakarta:
IRCiSoD, 2019).
105
Azra, The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia; Burhanuddin, Ulama &
kekuasaan.
106
Ibn Majah, “Hadith - The Book On The Mosques And The Congregations - Sunan Ibn Majah
- Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad ( ‫)صلى هللا عليه و سلم‬,” diakses 23 Mei 2020,
https://sunnah.com/ibnmajah/4/4.

Universitas Indonesia
64

merupakan sisihan harta sukarela yang didapat oleh penghulu sehabis melakukan
kontribusi keagamaan pada masyarakat––umumnya mengawinkan orang-orang.107
Uang di kas masjid umumnya digunakan untuk operasional masjid seperti
mengganti karpet, lampu minyak, dan furnitur-furnitur yang sudah keropos. Selain itu,
kas masjid juga digunakan untuk membantu masyarakat yang membutuhkan seperti
santunan kepada janda, fakir, miskin, hingga pembelian bibit padi.108 Namun demikian,
uang yang digunakan untuk melakukan perawatan-perawatan masjid tidak
membutuhkan dana besar. Rata-rata uang yang digunakan paling tidak hanya mencapai
ƒ20. Lalu uang yang digunakan dalam urusan kedermawanan tidak terlalu sering
dilakukan. Sementara itu, penghulu dan jajarannya paling tidak mampu mengumpulkan
uang sebesar ƒ700 sampai ƒ3,000 per tahun, tergantung kepadatan penduduk tempat
mereka berdomisili.109 Mengacu pada perandaian yang dibuat oleh Snouck, sekitar 30-
40% uang tersebut kemudian disetor sebagai pemasukan kas masjid.110 Kadangkala bisa
lebih besar, namun kadangkala bisa lebih kecil. Praktik seperti inilah yang kemudian
membuat uang mengendap di dalam kas masjid mencapai angka yang signifikan.
Pada kasus-kasus tertentu, uang kas ini juga digunakan oleh para bupati selaku
pimpinan adat yang membawahi penghulu. Memang pada awalnya praktik penggunaan
ini tidak menjadi kecenderungan umum di Jawa. Hanya wilayah-wilayah yang
bupatinya punya peran keagamaan cukup kuat yang kerap menggunakan uang kas
masjid. Alasan penggunaannya pun bervariasi. Mulai dari kepentingan kedermawanan,
penggajian para bawahan, hingga pemenuhan kebutuhan gaya hidup. Sebelum Belanda
mengatur penggunaan semacam ini, terlebih sebelum politik etis diterapkan dan
melahirkan kalangan nasionalis yang kritis, tidak tercatat ketidaksukaan masyarakat
terhadap perilaku bupati.
Sampai sini, kita baru cukup yakin bahwa kas masjid adalah bentuk
vernakularisasi dari baitulmal. Penggunaannya pun punya kemiripan dengan baitulmal
di berbagai dinasti Islam di Timur Tengah, entah itu dalam konteks sedekah maupun

107
Snouck C. Hurgronje, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya
kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, vol. 4 (Jakarta: INIS, 1991), 546.
108
Alg. Hbl., “De geestelijkheid op Java,” Bataviaasch Handelsblad, 2 November 1882, 36
edisi, 8.
109
Muhammad Hisyam, Caught between three Fires: The Javanese Pengulu under the Dutch
Colonial Administration, 1882-1942 (Jakarta: INIS, 2001), 77.
110
C. Snouck Hurgronje, Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya
kepada Pemerintah Hindia Belanda, 1889-1936, vol. 5 (Jakarta: INIS, 1991), 854.

Universitas Indonesia
65

pemenuhan kebutuhan penguasa. Meski begitu, terdapat beberapa pergeseran maupun


penyempitan fungsi dalam prosesnya. Praktik ini pun akan bergeser lagi di masa
pemerintahan Hindia Belanda. Kas masjid yang awalnya bersifat tradisi berubah
menjadi urusan yang sifatnya administratif. Tidak hanya itu, beberapa kebijakan negara
kolonial nantinya berbuntut pada persoalan kas masjid yang menjadi objek kontestasi
antar kepentingan.

2.5.Terbentuknya “Kas Masjid” di Era Kolonial, 1854-1890


Secara historis, lahirnya kas masjid sebagai “produk administratif” tidak bisa dilepaskan
dari kebijakan pemerintah Hindia Belanda, yang dalam hal ini berperan sebagai negara.
Hal ini terikat pada konteks bahwa kontak antara Islam dan Belanda yang semakin
intens di abad ke-18 mengakibatkan praktik pemberian bantuan terhadap masjid mulai
dicurigai. Apalagi Belanda khawatir karena tidak tahu persis dana-dana masjid tersebut
akan digunakan untuk apa. Berbagai langkah ditempuh oleh pihak Belanda agar tradisi
pemberian ini bisa dihentikan. Hal ini terjadi karena meskipun sudah menjalin kontak
lama, Islam masih dianggap “benda” asing bagi Belanda.111 Islam dianggap mirip
dengan Katolik yang pengikutnya kerap melakukan aksi-aksi radikal karena
kepatuhannya terhadap narasi-narasi dari Gereja. Pengistilahan penghulu yang menjadi
pengampu bidang keagamaan di kerajaan sebagai “priester”, misalnya, menjadi bukti
bahwa struktur agama Islam dianggap mirip dengan katolik.112 Dan, tentu saja istilah ini
tidak tepat sama sekali.
Sama halnya dengan negara-negara kolonial lainnya, Belanda juga punya
kekhawatiran dengan umat Muslim, teristimewa mereka yang baru atau sudah
melaksanakan ibadah haji. Bahkan Thomas Stamford Raffles yang dianggap punya
sudut pandang progresif pun berbagi kecemasan yang sama.113 Atas dasar ini, Belanda
melakukan banyak eksperimen terhadap masyarakat Muslim di Hindia Belanda. Mulai
dari penerapan pendidikan modern sebagai sarana untuk mensekularisasi orang Islam di
wilayah ini hingga memanfaatkan beberapa tokoh Islam berpengaruh, sebagaimana

111
Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 1985, 10.
112
Guillaume Frédéric Pijper, Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950
(Depok: Penerbit Universitas Indonesia, 1984).
113
Thomas Stamford Raffles, The History of Java, 1978 Reprints, vol. II (Kuala Lumpur: Oxford
University Press, 1817), 3.

Universitas Indonesia
66

dilakukan oleh Karen Frederik Holle114, dilakukan Belanda dengan dalih menjaga
stabilitas politik. Selain itu, pihak Belanda agaknya juga masih mengalami trauma,
mengingat di paruh awal abad ke-19 mereka didera konflik bersenjata berulangkali
lewat dua perang besar melawan kekuataan revivalisme Islam, baik di Minangkabau
saat Perang Padari (1803-1837)115 dan di Jawa pada Perang Jawa (1825-1830)116.
Terlepas dari sikap pro-kontra antara orang Belanda terhadap kedua perang
tersebut117, keputusan Belanda untuk membatasi pergerakan kaum Muslimin sudah
bulat. Lewat Keputusan Raja tanggal 4 Februari 1859 No. 78118, sebuah peraturan yang
membolehkan Gubernur Jenderal ikut campur dalam urusan agama sejauh itu berkaitan
dengan kepentingan rust en orde (tata tenteram) di tanah jajahan. Masjid dan tentunya
kas masjid menjadi salah satu yang terdampak. Hal ini jelas bertentangan dengan
prinsip awal Belanda yang ingin menerapkan kebijakan netral agama.119
Pada tahun 1867, sebuah intruksi diberikan kepada para pegawai pemerintahan
Hindia Belanda, baik Binnenlandsch Bestuur maupun Indlansche Bestuur (Pangreh
Praja). Untuk residen, sejauh ada persoalan yang mengganggu ketertiban umum dan
keamanan, tindakan intervensi terhadap urusan agama diperbolehkan. Sementara untuk
bupati selaku kepala daerah diberikan hak untuk melakukan pengawasan terhadap
aktivitas para ulama, dan untuk wedana diberikan kewajiban untuk menjaga ketertiban
dan keamanan di wilayahnya masing-masing.120 Lebih jauh, Belanda juga mulai
mengatur pembatasan segala hal yang berkaitan erat dengan masjid121, salah satunya

114
Karel Andrian Steenbrink, Jan Steenbrink, dan Henry Jansen, Dutch Colonialism and
Indonesian Islam: Contacts and Conflicts 1596-1950 (Amsterdam & New York: Rodopi, 2006), 143.
115
Christine E. Dobbin, Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy Central Sumatra,
1784-1847 (London: Routledge, 2018).
116
Peter Carey, The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of An Old Order in
Java, 1785-1855 (Leiden: KITLV Press, 2008).
117
Steenbrink, Steenbrink, dan Jansen, Dutch Colonialism and Indonesian Islam: Contacts and
Conflicts 1596-1950, 120–21.
118
Dalam keputusan ini, Raja Belanda memberikan instruksi rahasia kepada Gubernur Jenderal.
Keputusan Raja ayat 78, misalnya, berbunyi: “Gubernur Jenderal yang memegang prinsip bahwa
pemerintah tidak boleh mencapuri urusan agama, boleh mencampurinya bila dipandang perlu untuk
memelihara ketenangan dan ketertiban umum.” (Lihat juga: Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda,
Politik Islam Hindia Belanda, 1985., h. 10).
119
Suminto, 15.
120
Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1867, No. 114, Batavia, 1868, 1–21.
121
Dalam kasus ini, Hindia Belanda terlihat inkonsisten dalam kebijakan-kebijakannya. Bila
mengacu pada ayat 119 Reglement op het beleid der Regeering van Nederland-Indië (1854, 52) bahwa:
“Setiap warga negara bebas menganut pendapat agamanya, tidak kehilangan perlindungan masyarakat
dan anggotanya atas pelanggaran peraturan umum hukum agama.”

Universitas Indonesia
67

sumbangan kepada masjid.122 Mereka melakukan pembatasan ini atas dasar ketakutan
terhadap kekuatan umat Islam di Hindia Belanda pasca merebaknya syariatisasi
kelompok wahhabisme dari Arab yang diimpor oleh para haji dari Mekah.123
Implikasi dari rentetan aturan ini adalah pengawasan yang semakin ketat
terhadap kas masjid. Penggunaan uang masjid dibatasi hanya untuk kepentingan
pengurusan masjid.124 Pemasukan kas masjid pun ikut dibatasi dengan mengatur tarif
administratif pernikahan di beberapa daerah.125 Para penghulu pun dipegawaikan
sehingga mengubah tradisi pengisian kas masjid tadinya semi-sukarela126 menjadi
birokratis. Pencatatan kas masjid pun diperketat dan diawasi oleh asisten residen
maupun residen. Pengeluaran-pengeluaran yang terendus di luar ketentuan juga
diselidiki. Bahkan, tidak sedikit kepala daerah yang mendapat teguran karena
ketahuan.127 Kas masjid kemudian menjadi urusan yang sifatnya administratif.
Beberapa praktik yang sebelumnya dilakukan sebelum pengaturan kini
mendapatkan penalti. Dalam surat yang ditulis oleh Holle pada 12 Agustus 1873, para
pembantu Bupati Karawang mendapatkan upahnya dari kas masjid, di samping para
bupati juga menggunakannya untuk kepentingan pribadi.128 Pelanggaran lainnya terjadi
di Tuban ketika bupatinya kedapatan mengambil uang sebesar ƒ20,000 dari kas
masjid.129 Tindakan tersebut berujung pada pemanggilan sang bupati ke meja hijau.
Meski demikian, tindakan seperti itu jarang sekali terjadi. Hukuman yang diterapkan
terkesan tebang pilih. Kemungkinan besar ini terjadi lantaran residen yang seharusnya
mengawasi kas masjid, justru kerap terlibat pada persoalan ini.130
Namun demikian, di beberapa daerah sepertinya tergambarkan bahwa akses
kepada kas masjid dipegang secara penuh oleh para bupati. Dijelaskan bahwa terdapat

122
Guillaume Frédéric Pijper, Studiën over de Geschiedenis van de Islam in Indonesia, 1900-
1950 (Leiden: E.J. Brill, 1977).
123
Burhanuddin, Ulama & kekuasaan, 142–43; Burhanuddin, Islam dalam Arus Sejarah
Indonesia, 293.
124
Lihat misalnya Adatrechtbundels, vol. 7 (Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1910).
125
Terkait hal ini lihat studi dari Hisyam, Caught between three Fires: The Javanese Pengulu
under the Dutch Colonial Administration, 1882-1942.
126
Disebut semi-sukarela karena bupati dan para jajarannya terikat perintah para Bupati yang
meminta mereka menyisihkan pendapatannya untuk kesejahteraan masjid. Hal ini bisa terjadi karena
Bupati punya kekuatan kultural yang cukup berpengaruh, sebagaimana dijelaskan pada Bab 4.
127
Hurgronje, Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada
Pemerintah Hindia Belanda, 1889-1936, 5:853–77.
128
Lihat putusan rahasia Gubernur Jenderal: Geh. Besluit 29 November 1873, No. C7)
129
Karel Andrian Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia Abad Ke 19 (Jakarta:
Bulan Bintang, 1984), 228.
130
Steenbrink, 228.

Universitas Indonesia
68

sebuah sekolah di Gombong yang pendiriannya merupakan upaya urun rembug


masyarakat sekitar. Mulai dari pendanaan hingga tenaga pendirian sekolah ini berkat
kontribusi masyarakat sekitar. Namun pada perjalanannya sekolah ini mengalami
kesulitan keuangan dan terancam ditutup. Agar eksistensi sekolah ini tetap berlanjut,
Bupati meminjam uang dari kas Masjid Gombong dan Karanganyar untuk membeli
sekolah tersebut ke masyarakat. Bupati bahkan memberikan subsidi kepada sekolah di
tahun pertama pengambilalihannya pada 1875. Tidak sulit bagi bupati yang tidak
disebutkan darimana asalnya itu untuk menggunakan kas masjid sesuai kebutuhannya.
Hal ini menandakan bahwa sebelum adanya peraturan dari pemerintah kolonial, kas
masjid menjadi sesuatu yang belum diatur secara administratif.
Kasus serupa juga terjadi Di Mojokerto. Terbukti bahwa seorang Bupati
menggunakan dana kas masjid untuk kepentingan masyarakatnya. Bupati tersebut
mengusulkan agar dana kas masjid dihabiskan saja untuk keperluan mendesak. Tercatat
bahwa uang tersebut digunakan untuk pembelian benih padi untuk dibagikan kepada
para petani. Hal ini supaya petani tetap bisa melakukan proses produksi tanpa harus
meminjam utang kepada para rentenir. Ini terjadi misalnya pada 1896, dan jumlah
penggunaan uang kas masjid tersebut terus mengalami peningkatan dari yang awalnya
berjumlah f1,000.131 Beberapa daerah lain kemudian mengikuti, misalnya seperti Blora,
Jombang, Kediri, dan Madiun.132
Upaya modernisasi sistem pemerintahan yang berniat meredam praktik-praktik
terkait kas masjid justru bukan menekan eksistensinya. Apa yang terjadi adalah
sebaliknya. Kas masjid tumbuh semakin banyak lantaran diadopsi di daerah-daerah di
Jawa. Sampai awal abad ke-20, misalnya, di Batavia belum pernah ditemukan
keberadaan kas masjid sampai akhirnya nanti bisa ditemukan di Masjid An-Nawir,
Pekojan. Sementara di Banten dan Pasuruan, kas masjid baru saja dibentuk atas usulan
pegawai berkebangsaan Eropa.133 Dalam surat-surat Snouck, kemunculan kas masjid ini
umumnya tidak dilandasi motif yang “mulia”, melainkan hanya keinginan kepala daerah

131
Koloniaal Verslag van 1897: I. Nedelandsch [Oost-] Indië. Handelingen der Staten-Generaal.
(Algemeene Landsrukkerij: Bijlagen C, 1897-1898), h. 196.
132
Koloniaal Verslag van 1898: I. Nedelandsch [Oost-] Indië. Handelingen der Staten-Generaal.
(Algemeene Landsrukkerij: Bijlagen C, 1899-1900), h. 142; Koloniaal Verslag van 1899-1900: I.
Nedelandsch [Oost-] Indië. Handelingen der Staten-Generaal. (Algemeene Landsrukkerij: Bijlagen C,
1899-1900), h. 172.
133
Hurgronje, Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada
Pemerintah Hindia Belanda, 1889-1936; Hurgronje, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa
Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936.

Universitas Indonesia
69

maupun pejabat Eropa setempat yang ingin mengambil keuntungan dari keberadaan kas
masjid. Hal ini tidak terlepas dari godaan dana-dana signifikan yang tersimpan di dalam
kas masjid. Belum lagi beberapa bupati mencoba menginvestasikan dana kas masjid ke
deposito bank sehingga mendapatkan bunga.134 Sangat mungkin bila para kepala
daerah, dan juga residen maupun asisten residen, melihat peluang ini sehingga berakibat
pada menjamurnya kas masjid di Jawa.
Di satu sisi, apa yang dilakukan Belanda telah mencampuri urusan agama––
meski nanti akan dijelaskan pada Bab 3 bahwa tindakan ini bukan termasuk intervensi
kepada praktik keagamaan––dan bertentangan dengan Regerings Reglement 1854 ayat
119.135 Tapi di sisi lain, Belanda telah menanamkan benih-benih transparansi dan
pengawasan terhadap dana publik. Meski demikian, dalam konteksnya, praktik
pengawasan ini belum menjadi pola umum. Baru setelah kedatangan Snouck Hurgronje,
sistem pengawasan ini bisa berjalan cukup sempurna––meski tetap saja masih ada celah
di banyak titik.

2.6. Kas Masjid dan Pengelolaannya: Gambaran Umum pada 1890-1905


Pengelolaan kas masjid di berbagai wilayah Hindia Belanda umumnya mirip-mirip.
Berdasarkan laporan-laporan yang telah masuk berdasarkan atas surat edaran rahasia
tertanggal 28 Mei 1904 No. 240, adanya ketidakpatuhan para bupati dalam mengatur
tata usaha kas masjid tidak bisa dilepaskan dari keteledoran para pegawai
Binnenlandsch Bestuur.136 Padahal, bagi Snouck Hurgronje, peraturan mengenai tata
usaha kas masjid sudah dijelaskan cukup detail pada beberapa surat edaran sebelumnya,
misalnya seperti surat edaran rahasia 14 Agustus 1893 No. 1962 dan surat edaran
rahasia 3 Agustus 1901 No. 249. Ini menandakan bahwa para Binnenlandsch Bestuur
tidak bertanggungjawab secara pribadi dengan perilaku-perilaku penyalahgunaan
kewenangan yang dilakukan oleh para bupati.

134
Alg. Hbl., “De geestelijkheid op Java.”
135
Dalam bahasa Indonesia, ayat ini kira-kira berbunyi: “Setiap warga negara bebas menganut
pendapat agamanya, tidak kehilangan perlindungan masyarakat dan anggotanya atas pelanggaran
peraturan umum hukum agama.” (Reglement op het beleid der Regeering van Ned. Indie, 1854, h. 28).
136
Hurgronje, Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada
Pemerintah Hindia Belanda, 1889-1936, 5:873–78.

Universitas Indonesia
70

Ada beberapa catatan yang dibuat oleh Emile Gobée dan C. Adriaanse terkait
masukan-masukan Snouck tentang kas masjid.137 Semua catatan ini secara umum
menggambarkan apa itu kas masjid dan bagaimana pengelolaannya selama periode
Snouck menjabat di Kantoor voor Inlandsche Zaken. Pertama, pemeriksaan kas masjid
seyogyanya dilakukan oleh para pegawai pemerintah kolonial atau Binnenlandsch
Bestuur. Dalam hal ini, para residen, asisten residen, dan kontrolir punya peran besar
agar tidak terjadi penyalahaturan yang dilakukan baik itu oleh Pangreh Praja maupun
penghulu beserta jajarannya.
Poin ini ditekankan karena masih banyak terjadi pengawasan yang diadakan
secara tidak teratur, atau bahkan tidak ada sama sekali. Sebab, berbagai tindakan
menyalahi aturan mengenai kas masjid ternyata kadang-kadang bisa juga berasal dari
ketidaktahuan para bupati. Hal ini pun diketahui karena Gubernur Jenderal mulai
memberlakukan pengawasan rutin terhadap kas masjid di daerah-daerah. Catatan
lainnya adalah penting melakukan inspeksi dadakan ke daerah agar para pegawai
Binnenlandsch Bestuur dapat menemukan keadaan sesungguhnya mengenai kas masjid.
Apabila pengawasan kas masjid telah dilakukan sebelum bulan Juli 1904, maka tetap
harus dipastikan apakah pengawasan tersebut sudah sejalan dengan instruksi maupun
surat edaran yang paling terbaru.
Kedua, kas masjid bukanlah pranata yang terbilang tua. Bahkan di beberapa
karesidenan, misalnya seperti Batavia dan Banten, kas masjid umurnya masih sangat
muda. Maka patut dipastikan, terutama di daerah yang belakangan memiliki kas masjid,
apakah inisiasinya lahir dari para bupati atau bukan. Sebab, ada beberapa daerah dimana
kas masjid lahir atas dorongan dari para pegawai Binnenlandsch Bestuur. Meskipun
tidak dibentuk oleh Binnenlandsch Bestuur secara langsung. Selain itu, mereka juga
tercatat memberikan rekomendasi kepada para bupati terkait distribusi uang kas masjid.
Hal ini misalnya terjadi di Mojowarno.
Dalam catatan kedua ini, patut juga diperhatikan tentang pemasukan dana kas
masjid. Umumnya dana ini berasal dari pungutan masyarakat. Pungutan ini merupakan
hasil kerja dari para penghulu dan bawahannya dalam melakukan kerja-kerja
keagamaan seperti menikahkan dan menceraikan orang maupun mengurusi warisan.
Namun karena belum ada peraturan yang baku di tiap daerah, besar pungutan bisa

137
Hurgronje, 5:873–78.

Universitas Indonesia
71

sangat berbeda-beda. Porsi yang disumbankan ke kas masjid dari uang tersebut pun juga
tidak ada kesepakatan antar daerah. Peraturan yang ada selama ini dan pada tahun-tahun
berikutnya baru membahas secara umum terkait pengurangan138, tapi tidak ada
ketetapan besarannya. Oleh karena itu, penting diawasi pemasukan-pemasukan kas
masjid agar tetap selalu terkendali dan tidak membebani masyarakat.
Pertama-tama, penyantunan orang miskin yang sejak zaman dahulu sebagian
diperhitungkan sebagai kewajiban suatu desa, dan sebagian lagi dibiayai dari zakat dan
fitrah. Sekarang pun hiasih terlihat adanya penyalahgunaan dana masjid untuk tujuan
yang sebenarnya sangat baik. Penyalahgunaan itu bahkan dibela oleh beberapa pegawai
Pemerintah Daerah yang dalam hal itu juga menyandarkan diri kepada pendapat para
pegawai pribumi. Ada seorang residen yang mengajukan alasan yang isinya mendukung
pembelanjaan itu mengatakan bahwa jumlah uang yang dikurangi dari kas-kas masjid
guna menyantuni kaum miskin sangat kecil. Kemudian dapat dikatakan bahwa tidak
banyak alasan untuk menghargai pelestarian penyalahgunaan ini. Sebaliknya, ada
beberapa residen lain yang justru menunjukkan pentingnya jumlah beberapa bagian
penyantunan kaum miskin yang dibiayai dari kas masjid. Mereka lupa bahwa tidak
adilnya pajak tersamar ini tidak dihalalkan oleh tujuan yang baik. Sebab, kalau begitu
misalnya, maka dengan hak yang sama dapat dihalalkan pemotongan terhadap
pendapatan para pegawai Pemerintah Daerah dengan alasan untuk tujuan yang pantas,
padahal untuk tujuan lain.
Terlepas dari ketidakadilan asasi dalam pembelanjaan ini, sari dari buku-buku
kas menunjukkan dengan jelas bahwa terlalu sering yang dibukukan dalam buku-buku
kas masjid bukannya penyantunan terhadap kaum miskin. Pengeluaran bulanan
sebanyak beBerapa gulden untuk para pengemis yang melaporkan diri, mengakibatkan
bertambahnya pengemisan sebagai suatu usaha. Maka, sering orang Arab, haji atau
santri, terkadang malah orang Eropa menarik keuntungan daripadanya.
Tunjangan-tunjangan tetap, terkadang berjumlah cukup banyak, untuk para
priayi yang dipecat dari pekerjaannya, janda atau selir para pegawai yang sudah
meninggal, para penghuni tetap kauman, orang yang namanya menunjukkan asal usul

138
Koloniaal Verslag van 1909: I. Nedelandsch [Oost-] Indië. Handelingen der Staten-Generaal.
(Algemeene Landsrukkerij: Bijlagen C, 1909-1910), h. 186; Koloniaal Verslag van 1910: I. Nedelandsch
[Oost-] Indië. Handelingen der Staten-Generaal. (Algemeene Landsrukkerij: Bijlagen C, 1910-1911), h.
154.

Universitas Indonesia
72

mereka yang terkemuka, dan sebagainya dan sebagainya, nyatanya merupakan tanda
kasih yang diberikan oleh para bupati atau penghulu atas biaya pihak lain. Padahal,
tanda kasih itu sedikit pun tidak meringankan penyantunan umum bagi kaum miskin.
Pondok-pondok untuk orang sakit yang di sana-sini telah didirikan dengan membebani
kas masjid pada tahun-tahun terakhir ini, nyatanya sering merupakan tempat yang tidak
lebih daripada tempat penyimpanan orang-orang yang tidak tahu harus dikemanakan
lagi, dan yang tinggal di situ tidak atas kehendak mereka sendiri. Sering pengeluaran
terpenting ialah pembelanjaan yang dilakukan untuk keperluan seorang mandor dan
para petugas lainnya.
Akan tetapi, juga di mana pranata seperti itu untuk sementara dapat mencapai
tujuannya disebabkan oleh minat Pemerintah Daerah berbangsa Eropa, tetap tidak ada
kaitan antara pranata itu dengan kas masjid. Ternyata di beberapa wilayah tidak terdapat
kas masjid dan d wilayah lain tidak diadakan pengeluaran dari kas masjid. Hal ini
menunjukkan bahwa tanpa penyelewengan dana-dana dari tujuannya pun, kebutuhan
yang telah ditegaskan itu dapat dipenuhi juga. Jumlah-jumlah yang cukup penting,
benar-benar atau katanya, di sana-sini telah dibelanjakan untuk premi-premi
pemberantasan hama tikus, pembagian bibit, pertolongan kepada mereka yang terkena
musibah panen gagal, orang yang desanya terbakar, dan sebagainya, dan sebagainya. Itu
semuanya tujuan, bukan bagi adat lama, melainkan justru bagi orang-orang yang
berpaham Pemerinahan Daerah yang bercorak modern. Untuk urusan-urusan itulah
mereka menggunakan sebagian honorarium "para rohaniwan".
Hal tersebut terakhir ini, juga berlaku untuk ongkos penguburan yang sering
pula dibebankan kepada kas masjid. Sumbangan-sumbangan penting bagi pembayaran
ongkos pengurusan jenazah tokoh-tokoh terkemuka memang pernah terjadi, namun
termasuk kekecualian. Di beberapa keresidenan, sebaliknya, telah dibayarkan sejumlah
uang yang berkisar antara f1 sampai f3 untuk setiap narapidana yang meninggal,
terkadang malah untuk terpidana yang sudah dilaksanakan hukuman matinya, dan untuk
orang meninggal yang tidak diketahui asal usulnya. "Para rohaniwan" menurut hukum
hanya dapat ditugaskan memandikan jenazah tanpa biaya dan melakukan salat untuk
orang meninggal seperti itu.

Universitas Indonesia
73

Mereka juga harus menikahkan orang miskin tanpa biaya. Akan tetapi, mereka
tidak usah memberikan maskawin untuk orang miskin tersebut; mereka juga tidak usah
memberikan kain kafan atau keranda atas ongkos petugas itu sendiri.
Di beberapa keresidenan orang tergoda oleh kas-kas yang cukup berisi untuk
memberikan sumbangan, terkadang malah sumbangan yang sangat penting, untuk badan
Kristen atau badan kemanusiaan di dalam atau di luar wilayah tersebut, terkadang malah
di luar keresidenan di mana kas masjid tersebut berkedudukan. Sumbangan-sumbangan
seperti itu sebenarnya merupakan bukti yang murah terhadap pranata-pranata tersebut.
Bukti itu diberikan oleh para penguasa berbangsa Eropa atau pribumi atas ongkos orang
lain.
Sumbangan kas masjid untuk penerangan jalan, dengan jumlah yang berpariasi
dari f1 sampai f15 sebulan, masih tercantum di dalam bukubuku kas meskipun hal itu
sudah berulang-ulang dilarang. Hampir semua bentuk penyalahgunaan dana-dana
masjid yang disebut satu persatu dalam surat edaran tertanggal 3 Agustus 1901, No.
249, menurut sari laporan, sekarang pun masih terdapat di sana-sini. Rasanya tidak
perlu menyebut lebih banyak contoh tentang hal itu.
Akan tetapi, cara yang dipakai untuk membelajakan dana-dana untuk ibadah
sendiri terkadang bahkan menimbulkan keberatan. Di mana pemotongan yang cukup
besar persentasenya, untuk keperluan dana masjid dan keperluan tata usaha,
menyebabkan jumlah uang yang masuk ke dalam kas itu lebih besar daripada dahulu,
tidak jarang orang tergoda untuk mendirikan rumah ibadah. Tanah telah dibeli, rumah
ibadah pun didirikan, padahal dulu tidak ada. Sebagai pengganti masjid yang sudah tua
dan rapuh telah dibangun masjid baru yang sering menelan puluhan ribu gulden.
Perluasan bangunan dengan mendirikan bangunan tambahan dalam berbagai corak
terjadi setiap hari.
Gejala ini sepenuhnya bertentangan dengan peraturan Pemerintah Pusat yang
mengharuskan orang memenuhi kebutuhan ibadah dengan menggunakan kas masjid. Ini
harus dilakukan semata-mata dengan cara seperti yang lazim sejak zaman dahulu dan
tidak boleh dilakukan dengan melebihi ukuran cara berpikir penduduk. Gejala ini
menunjukkan bahwa persentase yang harus disisihkan dari kemudahan "para
rohaniwan" untuk masjid, biasanya diperkirakan terlalu tinggi.

Universitas Indonesia
74

Ada beberapa kepala Pemerintah Daerah yang dengan demikian memperkirakan


bahwa yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan ibadah tanpa memperhitungkan
asas tersebut, meskipun pembangunan gedung jumlahnya belum diketahui, saldo-saldo
dibiarkan bertambah secara berangsur-angsur, dengan maksud, katanya, membiayai
perbaikan yang luar biasa beratnya yang mungkin terjadi kelak. Kas masjid tidak
semestinya dipersiapkan untuk hal ini. Sudah cukup jika pemeliharaan biasa terhadap
gedung dapat dipenuhi secara longgar. Andaikan sebuah masjid hancur karena gempa
bumi atau andaikan ingin memiliki sebuah gedung yang jauh lebih indah daripada yang
dahulu dirasakan cukup, maka guna pembayaran ongkos luar biasa seperti itu, dapat
diadakan tindakan luar biasa, seperti yang selalu terjadi di mana pun. Maka, tidak perlu
dan tidak pantas dianjurkan agar untuk hal tersebut dipersiapkan ribuan gulden. Uang
itu––setiap kali hal itu ditunjukkan lagi oleh pengalaman––menggoda para pengelola
dana serta para pejabat Pemerintah Daerah untuk menggunakannya dengan cara yang
"bermanfaat".
Di samping untuk gedung-gedung itu sendiri, untuk perlengkapannya pun jauh
lebih banyak uang yang dibelanjakan. Di dalam beberapa buku kas berulang-ulang
terdapat pos-pos besar untuk pelayanan makan dan lampu. Juga terdapat pos untuk
minyak tanah yang cukup banyak guna memberi kenyamanan kepada orang yang
tinggal di luar masjid.
Selanjutnya telah dibuat kebun-kebun dan untuk pemeliharaannya digaji pelayan
tetap yang agaknya masih menjalankan beberapa fungsi lainnya. Di beberapa wilayah,
perubahan yang dilakukan di rumah penghulu serta perlengkapan kantor bupati pun
dibiayai dari dana-dana masjid. Di beberapa masjid telah dihamburkan sejumlah uang
yang cukup besar untuk kenduri yang diadakan berulang-ulang. Yang sama tidak
pantasnya seperti penyalahgunaan ini ialah penggajian bulanan wakil penghulu yang
pembayarannya dilakukan secara diam-diam di sana-sini (terkadang sampai f60
sebulan). Wakil penghulu itu telah diangkat tanpa memberati negeri (di luar anggaran
belanja resmi). Sudah sewajarnyalah untuk fungsi tersebut ditunjuk orang yang berperan
sebagai petugas masjid, naib, atau anggota majelis ulama yang sudah memperoleh
kemudahan-kemudahan, tetapi tidak pantas untuk memberikan gaji sebagai wakil
penghulu dengan mengambil uang dari dana ibadah.

Universitas Indonesia
75

Ada beberapa residen yang menegaskan, meskipun harus mengakui terjadinya


penyalahgunaan yang gawat, pembelanjaan sebagian dana masjid untuk tujuan
kedermawanan itu sendiri tidak bertentangan dengan peraturan yang telah mereka
tetapkan. Akan tetapi, karena pembelanjaan itu bertentangan juga dengan asal usul dan
sifat dana-dana yang digunakan dengan cara begitu, maka dengan sendirinya peraturan
mengenai hal ini harus diubah. Memang peraturan yang masih baru diadakan itu, dalam
hal lain pun perlu ditinjau kembali. Peraturan-peraturan keresidenan harus dengan cara
demikian. Jika memang sudah ada, harus ditinjau kembali seperlunya. Hal ini
hendaknya dilakukan sedemikian rupa sehingga tujuan dana masjid semata-mata untuk
keperluan ibadah Mohammadan. Sementara itu, semua uraian lebih lanjut tentang dana
itu merupakan penerapan asas tersebut. Semua pengeluaran yang bertentangan dengan
peraturan itu hendaknya segera diakhiri. Hanya untuk keperluan perseorangan – bukan
pranata atau segolongan orang - yang hingga kini benar-benar bergantung pada
tunjangan yang diberikan kepada mereka, dapat diadakan pengecualian sebagai
peraturan peralihan, selama mereka belum disantuni dengan cara lain. Akan tetapi,
dengan pengertian bahwa hendaknya secara sungguh-sungguh diusahakan agar
penyimpangan dari peraturan itu secepat mungkin diakhiri.
Ketiga, peraturan yang digunakan untuk memberantas masuknya jumlah uang
yang agak lebih besar daripada yang diperlukan untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan
dengan menggunakan kas tersebut, hanya diadakan di satu dua keresidenan dengan
ukuran kecil, meskipun hampir d i manamana ada alasan untuk melaksanakannya. Ada
beberapa kepala Pemerintah Daerah yang menjelaskan tidak dipatuhinya peraturan ini
dengan anggaran belanja yang sama sekali terlalu besar, yang ditegaskan sebagai sub 3.
Anggaran itu terlalu besar dibandingkan dengan yang mungkin dibutuhkan untuk kas
masjid. Ada juga yang mencatat keteledoran itu tanpa tambahan apa pun. Peninjauan
kembali terhadap ketentuan mengenai jumlah honorarium yang harus dibayar untuk
nikah, talak, dan rujuk serta mengenai persentasenya yang dimasukkan ke dalam kas
masjid, dengan demikian hendaknya segera ditangani sekarang. Kekhawatiran yang
ditimbulkan oleh salah seorang residen, kalaukalau dengan penurunan honorarium
ikatan pernikahan pribumi yang sudah renggang itu akan bertambah kendur di
keresidenan yang diperintahnya, tidak beralasan. Sebaliknya, memang ada pengalaman
bahwa pungutan-pungutan yang terlalu tinggi menyebabkan pribumi yang ingin

Universitas Indonesia
76

menikah atau bercerai menggunakan cara-cara untuk melakukan hal itu tanpa bantuan
atau pengawasan resmi. Namun di mana juga, biarpun ada sejumlah honorarium
tertentu, mereka tidak dapat dihalangi untuk mengadakan pernikahan atau perceraian
dengan cara yang gegabah.
Maka, semua peraturan mengharuskan para petugas pernikahan untuk membantu
orang yang tidak mampu tanpa dipungut biaya, sedangkan yang berpenghasilan kecil
dipungut tarif yang lebih rendah. Sementara itu, penurunan pungutan hendaknya hanya
dilakukan dimana para petugas pernikahan sudah cukup berpenghasilan. Kalau tidak,
penurunan bagian kas masjid malah mengakibatkan bertambahnya kemudahan bagi
mereka. Sumbangan kepada kas masjid hendaknya ditentukan, berdasarkan pengalaman
yang didapat dalam tahun-tahun terakhir ini, dengan mempertimbangkan kebutuhan
biasa pada gedung dan perlengkapannya. Tidak banyak wilayah di mana peraturan ini
dapat dianggap berlebihan.
Apabila sekarang terdapat saldo yang agak banyak, maka hendaknya––jika ada
alasannya––honorarium yang sudah diturunkan jangan dipotong sedikit pun untuk kas
masjid, sampai saldo-saldo itu turun hingga mencapai tingkat yang normal. Pada akhir
tahun hendaknya diperiksa apakah hasil tata usaha juga menjadi alasan untuk mengubah
jumlah pungutan uang atau mengubah bagian penerimaan para petugas pernikahan dan
sebagainya, ataupun mengubah bagian yang disisihkan bagi kas masjid.
Keempat, saldo-saldo yang sehubungan dengan peraturan yang telah diberikan
tadi tak lama lagi hanya akan berupa jumlah uang yang kecil, tentu saja tidak boleh
dipinjamkan kepada para priayi atau digunakan untuk membangun balai-balai
pertemuan Eropa atau pribumi, seperti yang masih terjadi pada tahun-tahun terakhir ini.
Akan tetapi, untuk keperluan bank tabungan, bantuan, dan kredit pun hendaknya
jumlah-jumlah tersebut jangan digunakan dengan cara apa pun. Bilamana hal ini
dianggap perlu demi keamanan, maka saldo yang untuk sementara terasa penting dapat
didepositokan tanpa bunga pada sebuah pranata bank yang mantap, di mana deposito itu
setiap waktu segera dapat diminta kembali.

Universitas Indonesia
BAB 3
BINNENLANDSCHCH BESTUUR:
MENGATUR DAN MENGAWASI KAS MASJID

Bab ini melihat bagaimana transformasi birokrasi yang dilakukan Binnenlandschch


Bestuur mempengaruhi persoalan keagamaan di Hindia Belanda, terlebih bagi urusan
kas masjid. Dalam konteks hubungan antara Islam dan kolonialisme, pengaturan
mengenai kas masjid yang dilakukan oleh negara kolonial berada di antara kepentingan
melakukan modernisasi birokrasi sekaligus kekhawatiran akan adanya penggunaan uang
kas masjid oleh Masyarakat Muslim yang merugikan visi mereka sebagai penyedia
perdamaian dan keteraturan (rust en orde). Dalam menjabarkan gagasan ini, bab ini
akan membahas secara umum hubungan antara Islam dengan sistem admistrasi yang
diberlakukan oleh pemerintah Hindia Belanda, kebijakan seperti apa yang diterapkan
terkait Islam dan kas masjid, pandangan Snouck dan Het Kantoor voor Inlandsche
Zaken sebagai kantor yang secara khusus bertugas mengawasi kas masjid, dan terbitnya
Bijblad No. 12726 tahun 1931 sebagai titik krusial dalam pengawasan dan pengaturan
kas masjid di Hindia Belanda.

3.1.Agama, Islam, dan Kolonial Hindia Belanda


Kebijakan resmi pemerintah Kolonial Belanda terhadap agama adalah mengedepankan
prinsip netralitas. Hal ini sesuai dengan instruksi Gubernur Jenderal Hindia Belanda
Johanes Siberg yang dikeluarkan pada 1803.1 Semua agama, utamanya Protestan
maupun Islam, secara umum mendapat perlakuan yang sama. Kehidupan keagamaan
dibebaskan bagi para pemeluk agama masing-masing dengan tujuan bisa tercapainya
perdamaian dan keteraturan di antara masyarakat dengan pemerintah Hindia Belanda.
Meski demikian, ada beberapa anomali dimana Pemerintah Kolonial Belanda
tidak menjalankan kebijakan ini seutuhnya. Studi Kruithof2 misalnya memperlihatkan
bagaimana Misionaris Protestan bahkan dicegah untuk menyebarkan ajarannya di

1
Willem Henry Alting von Geusau, Neutraliteit der overheid in de Nederlandsche koloniën
jegens godsdienstzaken (Haarlem, 1917), 6–13.
2
Maryse Kruithof, “Shouting in A Dessert: Dutch Missionary Encounters with Javanese Islam,
1850-1910” (Ph.D Dissertation, Rotterdam, Erasmus Universiteit Rotterdam, 2014), 58.

77
78

Hindia Belanda. Baru pada tahun 1808 pemerintah membuat pengecualian dengan
memberikan izin kepada dua pendeta Protestan Belanda. Sehingga, alih-alih
mengedepankan prinsip netral, pemerintah lebih terkesan menonjolkan sifat sekuler
yang kurang begitu tertarik dengan aspek keagamaan.
Beberapa tahun berlalu, kebijakan terhadap agama ini berubah signifikan sejak
Belanda jatuh ke tangan Inggris pada 1811. Semasa Thomas Stamford Raffles, para
misionaris Kristen didorong untuk membentuk komunitas di berbagai pulau di Hindia
Belanda.3 Di masa ini, Pemerintah Kolonial menjadi sangat pro dengan gerakan
kelompok Protestan, menyingkirkan kebijakan netral agama yang bertahun-tahun
dipertahankan oleh Belanda.
Baru pada 1815, ketika berhasil mendapatkan kendali penuh atas Hindia
Belanda, pemerintah Kolonial Belanda kembali menerapkan kebijakan prinsip netral
agama. Sama seperti era VOC dahulu, kebijakan ini ditempuh oleh Belanda dengan
alasan mempertahankan situasi ‘rust en orde’. Namun, kebijakan ini hanya bersifat
administratif belaka lantaran tidak sepenuhnya diterapkan. Masih ada upaya dari
pemerintah dalam membatasi pergerakan agama, terutama agama Islam yang selama ini
dianggap sebagai tantangan terbesar dari sistem kolonialisme.4 Penyebabnya tidak lain
adalah hilir-mudik orang-orang yang pergi haji ke Mekah. Perjumpaan mereka dengan
Muslim lain dari negara-negara Maghrib dan Tanah Arab yang juga sedang berhadapan
dengan kolonialisme, bagaimanapun, turut berkontribusi dalam memperbesar gerakan
anti kolonialisme di Hidnia Belanda kelak.5
Para haji dari Arab itu kemudian berdatangan dengan membawa pengaruh yang
bisa diidentifikasi sebagai gerakan Pan Islamisme dan Salafisme.6 Kedua ideologi ini
menjadi ancaman bagi praktik imperialisme bangsa Barat. Dalam pengalaman Prancis,
misalnya, dua ideologi ini terbukti menjadi motor bagi beberapa gerakan perlawanan di
beberapa daerah di tanah Maghrib seperti Tunisia, Maroko, dan Aljazair.7 Kekhawatiran

3
Kruithof, 59.
4
Marcel Maussen, Constructing Mosques: The Governance of Islam in France and the
Netherlands (Amsterdam: Amsterdam School for Social Science Research, 2009), 91.
5
Anthony Reid, “Nineteenth Century Pan-Islam in Indonesia and Malaysia,” The Journal of
Asian Studies 26, no. 2 (1967): 267–83, https://doi.org/10.2307/2051930.
6
Harry J. Benda, “Christiaan Snouck Hurgronje and the Foundations of Dutch Islamic Policy in
Indonesia,” The Journal of Modern History 30, no. 4 (1 Desember 1958): 338–47,
https://doi.org/10.1086/238264.
7
Henri Lauzière, The Making of Salafism: Islamic Reform in the Twentieth Century (New York:
Columbia University Press, 2015).

Universitas Indonesia
79

berlebih Belanda terhadap hal ini bahkan membuat mereka takut dengan segala hal yang
berkaitan dengan Arab. Maka dari itu, orang Arab yang berada di Hindia Belanda,
sebagaimana terlihat dalam catatan Antoine Cabaton8, dibatasi pergerakannya karena
dianggap dapat membangkitkan api fanatisme orang-orang Jawa dan meracuni pikiran
mereka dengan Pan Islamisme.
Namun apa daya, Belanda tidak bisa membendung fenomena global ini. Apa
yang dikhawatirkan oleh Belanda kemudian terjadi. Mereka terpaksa melakukan
perlawanan bersenjata menghadapi letupan-letupan perjuangan yang terjadi atas nama
Islam9, seperti Perang Padri10 (1803-1837), Perang Jawa11 (1825-1830), dan
Pemberontakan Petani di Banten12 (1888).
Kebijakan-kebijakan Belanda terhadap Islam pada 1815-1880an menjadi tidak
netral lagi. Ketakutan dan miskonsepsi dalam melihat Islam menjadi salah satu
penyebabnya, dan pada titik tertentu justru menyebabkan letupan-letupan di atas terjadi.
Belanda yang belum begitu mengenal Islam membaca agama ini layaknya institusi
Katolik, salah satu misalnya dengan membuat lembaga keagamaan bernama
Priesterraad (Majelis Pendeta).13 Tokoh-tokoh Muslim di Jawa diibaratkan seperti para
pendeta yang loyal terhadap kepemimpinan Paus di Roma. Gerakan-gerakan dari Islam
dianggap sangat terorganisir dan masih menjadi satu komando di bawah kekhalifahan
Turki Utsmani. Bahkan Belanda cukup naif dengan menyamaratakan semua Muslim di
Jawa hidup dengan berlandaskan aturan-aturan Syariah yang rigid.14 Dengan paradigma
seperti ini, Belanda juga memilih pembentukan aliansi politik dengan pangeran dan
bangsawan Jawa, yang mana selama ini dianggap sebagai musuh alami dari kelompok
Islam putihan. Hal ini misalnya sangat terlihat jelas pada Perang Paderi, dimana
Belanda menolong kelompok adat dalam melawan kelompok ulama.15

8
Antoine Cabaton, Java, Sumatra, and the Other Islands of the Dutch East Indies (London:
Unwin, 1911), 175.
9
Benda, “Christiaan Snouck Hurgronje and the Foundations of Dutch Islamic Policy in
Indonesia,” 1 Desember 1958.
10
Mengenai hal ini, baca misalnya: Christine E. Dobbin, Islamic Revivalism in a Changing
Peasant Economy: Central Sumatra (London: Routledge, 2018).
11
Mengenai hal ini, baca misalnya: Carey, The Power of Prophecy, 2008.
12
Mengenai hal ini, baca misalnya: Kartodirdjo, The Peasants’ Revolt of Banten in 1888.
13
J.J. van de Velde, De godsdienstige rechtspraak in Nederlandsch-Indië, staatsrechtelijk
beschouwd (Leiden: s.n., 1928), 5.
14
Muhammad Hisyam, “Islam and Dutch Colonial Administration: The Case of Panghulu in
Java,” Studia Islamika 7, no. 1 (2000), https://doi.org/10.15408/sdi.v7i1.717.
15
Christine E. Dobbin, “Economic Change in Minangkabau as a Factor in the Rise of the Padri
Movement, 1784-1830,” Indonesia, no. 23 (1977): 1–38, https://doi.org/10.2307/3350883.

Universitas Indonesia
80

Inkonsistensi Belanda terkait kebijakan netral agama pun terlihat pada


dukungannya terhadap gerakan Kristenisasi. Hal ini agak berbeda dengan tahun 1800an
awal, dimana untuk membendung kekuatan Islam, Belanda memanfaatkan misi
Protestan dalam menghilangkan pengaruh Islam dengan cara mengkristenkan sebagian
besar orang Jawa di Hindia Belanda secara cepat.16 Harapan ini sebagian bertumpu pada
kepercayaan banyak orang Barat tentang superioritas Kristen terhadap Islam, dan
sebagian lagi pada asumsi yang salah bahwa sifat sinkretis Islam Indonesia di tingkat
desa akan membuat proses konversi agama ke Kristen menjadi lebih mudah bila
dibandingkan dengan negara-negara Muslim di Jazirah Arab.17 Tapi, upaya ini ternyata
tidak berhasil sebagaimana dibayangkan sebab mayoritas penduduk di Jawa masih
menganut agama Islam bahkan sampai saat ini.
Hingga pada suatu titik Belanda sadar bahwa mereka tidak mengetahui
seutuhnya realitas Islam yang berkembang di Hindia Belanda.18 Mereka pun
memutuskan untuk mendatangkan pakar Islam yang bernama Christiaan Snouck
Hurgronje ke Hindia Belanda. Snouck mengkaji Islam langsung dari sumbernya,
Mekah. Hasil penelitiannya dia publikasikan menjadi dua volume buku yang berjudul
Mekka. Snouck sendiri baru tiba di Hindia Belanda pada 11 Mei 1889, kurang lebih 10
bulan setelah peristiwa Pemberontakan Petani Banten terjadi. Sesampainya di Hindia
Belanda, dia diminta untuk meneliti Islam yang ada di Hindia Belanda. Dirinya
kemudian melakukan safari keliling Jawa. Ini dengan tujuan akhir menghasilkan studi
monograf Islam di Jawa.19 Dengan melibatkan para sarjana orientalis dalam proyek
kolonialisme, Belanda bisa mendapatkan jendela pengetahuan lokal tentang Islam di
Jawa.
Selasa masa jabatannya di Hindia Belanda, Snouck membenahi banyak
kebijakan Belanda terhadap Islam. Ia, misalnya, mengubah paradigma Belanda yang
beranggapan bahwa Islam diatur osecara hirarkis oleh dengan sistem kependetaan

16
Wertheim, Indonesian Society in Transition, 204–5.
17
Benda, “Christiaan Snouck Hurgronje and the Foundations of Dutch Islamic Policy in
Indonesia,” 1 Desember 1958.
18
Jajat Burhanudin, “The Dutch Colonial Policy on Islam: Reading the Intellectual Journey of
Snouck Hurgronje,” Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies 52, no. 1 (8 Juni 2014): 25–58,
https://doi.org/10.14421/ajis.2014.521.25-58.
19
Gerardus Willebrordus Joannes Drewes, “Snouck Hurgronje and the Study of Islam,”
Bijdtaallandvolk Bijdragen Tot de Taal-, Land- En Volkenkunde 113, no. 1 (1957): 1–15; PH. S. Van
Ronkel, “Aanteekeningen over Islam en Folklore in West- en Midden-Java,” Bijdragen tot de Taal-,
Land- en Volkenkunde 101, no. 1 (1942): 311–39, https://doi.org/10.1163/22134379-90001256.

Universitas Indonesia
81

terpusat (geestelijken).20 Untuk mengetahui keagamaan model apa yang berkembang di


Jawa, utamanya Islam, Snouck Hurgronje bahkan menggunakan catatan dan
menghubungi para misionaris sebagai sumber informasi penting.21 Langkah lanjutan
yang dilakukan oleh Snouck secara umum adalah agar pemerintah kolonial sesedikit
mungkin campur tangan dalam urusan keagamaan, dan bila perlu memberlakukan
kebijakan netral agama secara serius agar terwujud kehidupan keagamaan yang bebas.22
Oleh karena itu, undang-undang yang bertujuan untuk membatasi haji dihapuskan pada
tahun 1902 dan 1905. Namun, dari semua itu, kebijakan yang paling fenomenal dari
Snouck adalah dirinya mencoba untuk membedakan antara Muslim "biasa" dari Muslim
"fanatik". Pembedaan ini menandakan antara umat Islam yang taat dan orang-orang
yang menganggap Islam bukan hanya agama tetapi juga sebagai doktrin politik.23
Dengan basis berpikir seperti itu, kebijakan kolonial terhadap Islam kemudian
lebih berorientasi pada pelarangan kegiatan kebangkitan Pan-Islamisme.24 Snouck
Hurgronje percaya bahwa pemerintah seharusnya tidak mencoba membatasi Islam yang
tidak ada hubungan dengan Pan-Islamisme, karena itu hanya akan menyebabkan lebih
banyak fanatisme dan permusuhan terhadap Belanda.25 Oleh karena itu, asalkan bukan
politik, Ia sangat menyarankan agar haji dan unsur Islam lainnya terus diperbolehkan di
tengah kehidupan sosial keagamaan masyarakat Muslim di Hindia Belanda.26 Selain itu,
agar upaya pemberontakan semakin mereda, ulama yang "fanatik" ditahan maupun
perlu diasingkan. Lalu terakhir sistem kekuatan yang menopang hukum adat diperkuat
untuk memberikan lebih banyak otonomi dan keamanan kepada masyarakat adat.27
Meskipun Snouck Hurgronje dengan gigih membela netralitas negara dalam
masalah agama, dirinya percaya bahwa orang-orang pada akhirnya harus berasimilasi
dengan budaya Belanda. Sebab baginya, pondasi masyarakat kolonial yang baik harus

20
Hisyam, “Islam and Dutch Colonial Administration.”
21
Kruithof, “Shouting in A Dessert: Dutch Missionary Encounters with Javanese Islam, 1850-
1910.”
22
Husnul Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1985), 10–12.
23
Burhanudin, “The Dutch Colonial Policy on Islam.”
24
C. Snouck Hurgronje, Politique musulmane de la Hollande: quatre conférences (Paris: E.
Leroux, 1911), 225–306.
25
Maussen, Constructing Mosques; Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 1985.
26
C. Snouck Hurgronje, Der hadji-politiek der Indische regeering (Place of publication not
identified, 1909), 173–98, http://catalog.hathitrust.org/api/volumes/oclc/29410991.html.
27
Untuk mengetahui lebih jauh konsolidasi hukum adat dalam Administrasi Hindia Belanda,
baca misalnya: C. van Vollenhoven, Het Adatrecht van Nederlandsch-Indië, vol. (Volume I, 1918 ;
Volume II, 1931) (The Hague: M. Nijhoff, 1981).

Universitas Indonesia
82

tersusun atas masyarakat kelas menengah baru yang sudah menerima pendidikan Barat.
Oleh karena itu, dia menyarankan untuk menerapkan model pendidikan Barat untuk
kalangan pribumi dan memperbolehkan lebih banyak orang Bumiputera mengisi jabatan
administrasi publik. Keturunan tidak lagi menjadi jaminan seorang bangsawan Jawa
menjadi birokrat, namun lebih mengutamakan kualifikasi pendidikannya.28 Pada 1901,
ide-ide ini tercermin dalam Ethische Politiek, sebuah kebijakan kolonial yang lahir atas
meningkatnya semangat humanisme di Eropa.
Masyarakat di Hindia Belanda dipaksa bertransformasi dengan sistem modern
Barat. Dalam proses ini, negara mengubah cara pandang masyarakat di Hindia Belanda,
utamanya di Jawa, terhadap agama, budaya, dan peran agama dalam masyarakat Jawa.29
Pemerintah menetapkan wacana dominan tentang agama dan mendefinisikan sebagian
besar agama yang ada di Hindia Belanda. Dengan demikian, negara mengkategorikan
keyakinan dan praktik lokal dengan memutuskan kepercayaan dan tradisi mana yang
religius dan mana yang tidak. Agama bukanlah bidang independen di Jawa sebelum
masa Belanda. Keberadaan agama terinkorporasi bidang kegiatan manusia lainnya,
seperti politik, ekonomi, sains, dan filsafat.30 Tetapi sekarang Belanda semakin
mengidentifikasi agama sebagai domain yang berbeda.31 Sebagai misal, pemerintah
kolonial Belanda secara aktif memperkuat perbedaan antara hukum Islam, Syariah, dan
hukum adat, yaitu adat. Belanda mempromosikan hukum adat karena berbagai alasan,
termasuk melemahkan ancaman pan-Islam melalui pengaruh pemulangan haji.32
Administrasi Hindia Belanda bahkan berusaha menyusun buku pegangan hukum
adat (Adatrecht) untuk digunakan di pengadilan.33 Ini mengubah adat menjadi sistem
yang rigid dan formal, yang sebelumnya selalu cair dan mudah beradaptasi. Dengan
kebijakan seperti ini negara kolonial membangun realitas sosial baru di tanah Hindia

28
Heather Sutherland, The Making of a Bureaucratic Elite: The Colonial Transformation of the
Javanese Priyayi (Singapore: Heinemann Educational Books, 1979).
29
Michael Francis Laffan, Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The Umma Below the
Winds (London and New York: Routledge, 2003).
30
Dietrich Jung, “Islam as a Problem: Dutch Religious Politics in the East Indies,” Review of
Religious Research 51, no. 3 (2010): 288–301.
31
Steenbrink, Steenbrink, dan Jansen, Dutch Colonialism and Indonesian Islam: Contacts and
Conflicts 1596-1950.
32
Maussen, Constructing Mosques, 30.
33
Daniel S. Lev, “Colonial Law and the Genesis of the Indonesian State,” dalam Law and
Society in East Asia, oleh Christoph Antons, ed. oleh Christoph Antons dan Roman Tomasic, 1 ed.
(Routledge, 2017), 3–20, https://doi.org/10.4324/9781315091976-1; Peter Burns, The Leiden Legacy:
Concepts of Law in Indonesia (Leiden: Brill Academic Pub, 2004).

Universitas Indonesia
83

Belanda. Ditambah, kodifikasi ini memungkinkan adanya gesekan antara adat dan
hukum Islam di masyarakat. Padahal, dalam arus sejarah, adat dan hukum Islam
menjadi dua entitas hukum yang saling melengkapi, dan mereka tidak bisa dipisahkan
dalam konteks Nusantara. Pasalnya, letak Nusantara di jalur rempah yang kosmopolit
membuat kedua entitas ini selalu beradaptasi satu sama lain.
Beberapa penjelasan di atas mengenai hubungan Islam dan pemerintah kolonial,
ditambah dengan berbagai upaya modernisasi di bidang hukum dan transformasi
birokrasi, membuat tatanan kehidupan masyarakat turut berubah. Hal ini yang kemudian
menciptakan kesenjangan perspektif tentang hukum maupun praktik-praktik tertentu di
masyarakat. Praktik kas masjid adalah salah satunya. Sebagai bagian dari praktik
kegamaan yang telah terjadi sejak masa Kerajaan Islam di Nusantara, kas masjid telah
menjadi tradisi di beberapa daerah di Jawa. Pada bagian ini dijelaskan alasan dibalik
pengawasan dan pengaturan kas masjid di Jawa.

3.2. Sikap Gubernur Jenderal terhadap Kas Masjid, 1892-1903


Inisiasi pengawasan kas masjid sejatinya lahir dari Gubernur Jenderal Cornelis Pijnaker
Hordijk (1888-1893). Selain khawatir dengan perkembangan pengamalan praktik
keagamaan yang akan merugikan keberadaan pemerintah kolonial, Gubernur Jenderal
juga merasa wajib untuk mengawasi berbagai pungutan keagamaan yang dirasa
merugikan masyarakat.34 Konsen Gubernur Jenderal, bila ditelusuri dari beberapa
suratnya, sedikit banyak lahir dari ketidaktahuan dirinya pada praktik kas masjid yang
sudah lama terjadi di Hindia Belanda. Alasan lain kenapa dirinya ingin ada pengawasan
mengenai kas masjid karena dirinya berupaya menghadirkan transparansi birokrasi
dalam pemerintahannya. Hal ini dilakukan oleh Gubernur Jenderal lantaran banyak
aduan dan keluhan dari para bawahannya di berbagai daerah di Jawa mengenai kas
masjid.
Berdasarkan Surat Sekretaris Gubernemen tanggal 4 Agustus 1893 No. 196235,
ada laporan dari para Binnenlandschch Bestuur bahwa penduduk Muslim yang memiliki
otoritas kegamaan––terutama para penghulu beserta jajarannya seperti naib, modin,

34
Mengenai hal ini dapat dilihat pada beberapa dokumentasi korespondensi antara Gubernur
Jenderal dengan Snouck Hurgronje. Lebih jauh lihat: Hurgronje, Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje
Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda, 1889-1936, 5:853–78.
35
Salinan surat ini ditemukan dalam lampiran sebuah buku yang ditulis oleh H. Aboebakar,
Sedjarah Mesdjid dan Amal Ibadah Dalamnja (Bandjarmasin: Adil, 1955), 447–49.

Universitas Indonesia
84

lebe, dan sebagainya––di Jawa kerapkali mengumpulkan sejumlah pungutan uang atau
barang sebagai keperluan agama dari penduduk Muslim lainnya. Para pegawai
Binnenlandsch Bestuur ini menyaksikan bahwa dalam pengumpulan tersebut ada
masyarakat yang secara sukarela memberikan bantuan, namun ada juga yang melakukan
hal tersebut karena mendapat sedikit ancaman.36 Uang yang telah terkumpul ini akan
dikelola, dijaga, dan didistribusi oleh para penghulu. Masih menurut laporan dari
beberaepa Binnenlandsch Bestuur, penggunaan uang yang telah dikumpulkan sebagai
kas masjid kurang bisa dikontrol, atau bahkan tidak terkontrol sama sekali di beberapa
wilayah, lantaran minimnya kebiasaan melakukan pencatatan dari personalia masjid.
Uang kas masjid ini merupakan kumpulan dari zakat dan fitrah yang bisa
dianggap sebagai upaya berderma masyarakat. Pemerintah kolonial tidak dapat
mengetahui berapa banyak uang derma yang telah terkumpul, sehingga pada saat itu
37
Gubernur Jenderal memutuskan untuk tidak mencampuri urusan ini . Namun, karena
kas masjid juga berisi uang pungutan yang diperoleh para penghulu dari mengawinkan
suami-istri, talak, pembagian warisan, dan persoalan-persoalan syariat lainnya,
pemerintah justru memutuskan untuk mencampuri urusan ini.38 Alasannya karena para
penghulu bagaimanapun merupakan bagian dari birokrasi kolonial––sebagaimana akan
dijelaskan lebih jauh dalam bab 4––dan pungutan bersifat seperti pajak terselubung
yang memberatkan masyarakat.
Pungutan-pungutan yang dilakukan oleh para penghulu ini pada dasarnya tidak
dilarang oleh pemerintah kolonial, mengingat para penghulu tidak menerima gaji
sebagaimana birokrat lainnya39. Namun, masih mengacu pada Surat Sekretaris
Gubernemen di atas, pungutan harus berlandaskan pada asas keadilan. Memang ada
kesan bahwa masyarakat sukarela membayar pungutan, karena itu dianggap sebagai
ungkapan terimakasih kepada para penghulu dan jajarannya yang telah membantu
menyelesaikan urusan mereka. Namun, Gubernur Jenderal tidak ingin para penghulu ini
memberatkan masyarakat, terutama dalam urusan perkawinan. Sebab, di bebereapa
daerah terdapat fenomena dimana masyarakat memutuskan untuk tidak menikah

36
Hisyam, Caught between three Fires: The Javanese Pengulu under the Dutch Colonial
Administration, 1882-1942, 216.
37
Aboebakar, Sedjarah mesdjid, 448.
38
Hal ini misalnya terdapat pada surat Snouck yang berisi saran kepada Gubernur Jenderal
tertanggal Batavia, 4 Maret 1893. Lihat: Hurgronje, Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa
Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda, 1889-1936, 5:853.
39
Hisyam, “Islam and Dutch Colonial Administration.”

Universitas Indonesia
85

ataupun menikah tanpa pencatatan karena begitu konsumtifnya biaya perkawinan40––


terlepas adanya ketentuan adat di berbagai daerah yang membuat para pasangan suami-
istri tetap akan mengeluarkan biaya banyak untuk, misalnya, resepsi pernikahan.41
Gubernur Jenderal juga berpesan bahwa uang yang telah dikumpulkan oleh para
penghulu tersebut dapat dibagi dengan adil kepada masyarakat yang membutuhkan.
Pertama, adanya konsen seperti ini karena saat itu Gubernur Jenderal belum banyak
mendengar penggunaan uang kas masjid untuk kepentingan tertentu sebagaimana terjadi
di beberapa daerah di Jawa. Bupati juga diminta untuk tidak menumpuk uang banyak
sekali dalam kas masjid. Bahkan ada kasus dimana penghulu hanya memberikan porsi
yang sedikit kepada para pegawainya. Kedua, konsen tambahan dari Gubernur Jenderal
dalam surat tersebut adalah tidak jelasnya pemisahan uang dalam kas masjid. Uang
yang dikumpulkan dari pungutan urusan-urusan seperti perkawinan, talak, rujuk, dan
waris tidak dipisah dengan uang zakat dan fitrah. Hal ini menurut Gubernur Jenderal
tidak sesuai peruntukannya sebagaimana pemahamannya mengenai zakat dan fitrah
sebagai uang derma masyarakat Muslim.
Menurut pertimbangan Gubernur Jenderal, para Binnenlandsch Bestuur
sebaiknya turut mengawasi praktik-praktik yang terkait dengan kas masjid. Sebab,
Gubernur Jenderal beranggapan bahwa tidak ada pelarangan dalam Islam mengenai
pengawasan tentang praktik-praktik yang terkait dengan kas masjid. Penting akan
adanya perlindungan dari pemerintah mengenai sejauhmana uang dalam kas masjid
digunakan. Apakah penggunaannya selama ini masih berkaitan dengan urusan
keagamaan, kemaslahatan masyarakat, atau justru hanya menguntungkan beberapa
kelompok saja, terutama para priyayi yang menjabat dalam struktur pemerintahan.
Selain itu, dalam surat Sekretaris Gubernemen tersebut permintaan pengawasan justru
datang dari masyarakat. Fakta ini tidak berlebihan karena sebetulnya sesuai dengan
pemberitaan-pemberitaan yang ada di masa itu.42 Oleh karenanya, Gubernur Jenderal

40
Terence H. Hull dan Valerie J. Hull, “Changing Marriage Behavior in Java: The Role of
Timing of Consummation,” Asian Journal of Social Science 15, no. 1 (1 Januari 1987): 104–19,
https://doi.org/10.1163/080382487X00082.
41
Alison M. Buttenheim dan Jenna Nobles, “Ethnic diversity, traditional norms, and marriage
behaviour in Indonesia,” Population Studies 63, no. 3 (1 November 2009): 277–94,
https://doi.org/10.1080/00324720903137224.
42
Lihat misalnya: “Regenten en Moskee-kassen,” Java-Bode, 30 November 1897, A1897, No.
277 edisi, bag. Headline; “Over Moskeekassen,” De Locomotief, 23 Maret 1899, A1899, No. 68 edisi,
bag. Nederlandsch-Indie.

Universitas Indonesia
86

semakin yakin untuk melakukan pengawasan atas pungutan-punguntan yang dilakukan


oleh penghulu dan jajarannya dalam mengisi kas masjid di beberapa daerah di Jawa.
Ada beberapa upaya yang kemudian dilakukan oleh Gubernur Jenderal dalam
memperbaiki keadaan kas masjid kala itu. Pertama, penting untuk melakukan seleksi
yang ketat dalam menentukan seorang penghulu. Sebab, mau bagaimanapun, penghulu
menjadi tokoh sentral yang secara langsung bertugas dalam mengumpulkan pungutan
untuk kas masjid sekaligus menjaga dan mengelolanya. Seleksi lowongan jabatan
hoofdpanghulu landraad dan hoofdpanghulu masjid (penghulu masjid) pun langsung
dilakukan oleh Kepala Pemerintahan gewest.43 Hal ini merubah pola seleksi sebelumnya
dimana penghulu landraad diangkat oleh pemerintah kolonial dan mendapatkan gaji,
sementara penghulu masjid diangkat langsung oleh para bupati.
Kedua, bila sebuah daerah memiliki kas masjid, Gubernur Jenderal meminta
agar urusan kas tersebut diawasi secara ketat. Tidak hanya diminta untuk melakukan
pembukuan, tapi para ambtenaar Eropa juga harus melakukan penyelidikan terhadap
para priyayi. Selain tentu saja mereka juga diminta untuk menanyakan langsung
kegelisahan masyarakat mengenai kas masjid.44 Mulai dari seberapa besar pungutan
yang diminta oleh penghulu pada urusan perkawinan, talak, rujuk, dan waris, maupun
bertanya pada pegawai masjid di bawah penghulu tentang seberapa porsi dana yang
mereka dapatkan. Selain itu, Gubernur Jenderal juga konsen agar uang yang dipungut
dari masyarakat harus sesuai dengan kekayaan setiap orang dan tidak bisa dipukul rata.
Ketiga, bila mendesak, maka akan dikeluarkan peraturan mengenai pungutan
perkawinan, talak, dan putusan raad agama, dengan tentunya mempertimbangkan aspek
hukum adat yang berlaku di sebuah daerah. Pada poin ini, pihak pemerintah kolonial
tidak terlalu mementingkan persoalan-persoalan kecil, terutama yang terkait dengan
hukum adat dan kebiasaan setempat. Namun, bila dirasa perlu, ambtenaar Eropa boleh
melakukan campur tangan lewat perantaraan para bupati. Maksud dari campur tangan
tidak langsung seperti ini adalah untuk mencegah adanya penyalahgunaan wewenang
(malversatie) para birokrat daerah. Tapi tetap, apapun itu, prioritas utama adalah
bagaimana sebuah bayaran yang terkait dengan pernikahan ditetapkan sesuai dengan
kepatutan biaya hidup di sebuah daerah. Bagi masyarakat miskin sangat diutamakan

43
Hisyam, “Islam and Dutch Colonial Administration.”
44
Aboebakar, Sedjarah mesdjid, 448; Koloniaal Verslag van 1908: I. Nedelandsch [Oost-] Indië.
Handelingen der Staten-Generaal. (Algemeene Landsrukkerij: Bijlagen C, 1908-1909), h. 174.

Universitas Indonesia
87

untuk menerima bantuan dari dana kas masjid. Para penghulu pun juga wajib
memberikan pendapatan kepada pegawai-pegawai di bawahnya.
Keempat, bila di sebuah wilayah telah terdapat kas masjid namun belum diatur
bagaimana pendapatan dan pengelolaan uangnya, maka para bupati setempat bisa
mengadopsi Besluit Residen Rembang 4 Agustus 1892 No. 3282/1. Namun yang
penting digarisbawahi bahwa Gubernur Jenderal memberikan penekanan serius pada
wilayah-wilayah yang belum pernah memiliki kas masjid. Sebab, hal ini merupakan
sesuatu yang sifatnya lahir secara kultural di daerah-daerah tertentu, dan tidak ada
kewajiban bagi sebuah daerah untuk mengadakan kas masjid. Maka dari itu, aturan-
aturan yang tertera dalam Besluit Residen Rembang tersebut haruslah sesuatu yang
sudah ada sejak lama berdasarkan ketentuan adat. Hanya ada penyesuaian pada
ketentuan-ketentuan adat yang dianggap memberatkan rakyat.
Sementara di daerah yang tidak memiliki kas masjid, para ulama mendapat
pemasukan dari kegiatan pengadministrasian berkaitan ritual keagamaan. Sangat tidak
adil bila para penghulu masjid ataupun ulama yang tidak digaji oleh pemerintah
kolonial justru tetap dipotong pemasukannya untuk kas masjid karena alasan adat.
Dalam poin ini, segala urunan kas masjid haruslah bersifat sukarela. Kecuali kalau
aturan adat setempat menghendaki para penghulu untuk mempergunakan
pendapatannya untuk kesejahteraan mereka, dimana hal ini sangat disukai oleh
pemeirntah kolonial. Sebab mau bagaimanapun pemerintah kolonial tidak bisa terlalu
jauh mencampuri urusan adat dan agama. Selain itu, pembagian uang pendapatan antara
penghulu dengan jajaran staf di bawahnya pun harus didasari asas keadilan antar
mereka. Bahkan bila perlu, Gubernur Jenderal mendorong agar pembagian ini dicatat
dalam jurnal kas masjid.
Namun pada perkembangan setelahnya, terutama dengan banyaknya
penyimpangan wewenang yang dilakukan oleh para bupati dan penghulu (sebagaimana
dijelaskan lebih banyak pada Bab 4), Gubernur Jenderal mengeluarkan aturan susulan
mengenai kas masjid. Menimbang-nimbang berbagai masukan terutama setelah
berdiskusi dengan Snouck Hurgronje, pada 3 Agustus 1901 dirinya mengeluarkan Surat
Edaran Rahasia yang berisi beberapa hal mengenai kas masjid. 45 Perlu digarisbawahi
bahwa Surat Rahasia ini merupakan perintah yang memperkuat Besluit yang
45
Koloniaal Verslag van 1902: I. Nedelandsch [Oost-] Indië. Handelingen der Staten-Generaal.
(Algemeene Landsrukkerij: Bijlagen C, 1902-1903), h. 202.

Universitas Indonesia
88

sebelumnya dikeluarkan oleh Residen Rembang. Dalam segi substansi, tidak ada yang
berubah secara signifikan. Gubernur Jenderal, misalnya, masih memerintahkan agar
para bupati dapat mengurangi dana di kas masjid dengan tidak lagi meminta pungutan
yang besar dari masyarakat maupun penghulu. Perlu juga dipertimbangkan agar ada
penurunan biaya untuk perkawinan dan talak.46 Surat ini misalnya juga menegaskan
larangan bagi para bupati untuk mendirikan kas masjid di daerahnya masing-masing.
Bupati pun secara administratif seharusnya melakukan pengawasan kas masjid di bawah
supervisi para Binnenlandsch Bestuur, terutama residen dan asisten residen. Sehingga
ada mekanisme pengecekan ganda dalam mengevaluasi keberadaan kas masjid di
Hindia Belanda, terutama di Jawa.
Selain itu dalam peraturan ini juga ditegaskan bahwa penggunaan dana kas
masjid tidak boleh digunakan untuk tujuan-tujuan di luar kepentingan pengurusan
masjid.47 Penggunaan dana kas masjid untuk keperluan penerangan jalan maupun
renovasi jembatan tidak diperbolehkan, dan tentu saja penggunaan yang sifatnya
berkaitan dengan ongkos pribadi para bupati.48 Uang yang masuk menjadi bagian
dari kas masjid yang didapat dari biaya perkawinan dan perceraian pun haruslah uang
yang memang diperuntukkan untuk keberlangsungan masjid.49 Oleh karena itu,
penghulu yang dipilih haruslah penghulu yang cakap tidak hanya dari sisi keagamaan,
namun juga sisi administratif. Langkah seperti ini dianggap oleh pemerintah kolonial
cukup efektif dalam mengurangi praktik penyalahgunaan wewenang para bupati dan
jajarannya.50 Walau tetap saja ada persoalan di beberapa daerah pada tahun-tahun
setelahnya.

3.3. Mengawasi Pundi Kas Masjid: Zakat-Fitrah


Zakat adalah salah satu pilar dalam ajaran Islam. Ia menjadi salah satu kewajiban bagi
seluruh Muslim yang mampu. Penekanan pada yang mampu karena zakat merupakan
aktivitas derma dari orang Islam yang mempunyai harta lebih kepada orang lain yang

46
Koloniaal Verslag van 1904: I. Nedelandsch [Oost-] Indië. Handelingen der Staten-Generaal.
(Algemeene Landsrukkerij: Bijlagen C, 1904-1905), h. 210.
47
“Over Moskeekassen.”
48
“Regenten en Moskee-kassen.”
49
Koloniaal Verslag van 1905: I. Nedelandsch [Oost-] Indië. Handelingen der Staten-Generaal.
(Algemeene Landsrukkerij: Bijlagen C, 1905-1906), h. 120.
50
“Missighit-kassen,” De Locomotief, 9 Januari 1893, A1893, No. 204 edisi, bag. Nederlandsch
Indie.

Universitas Indonesia
89

membutuhkan. Sehingga sebetulnya zakat tidak diwajibkan bagi seluruh umat Islam,
hanya saja ada kebaikan bagi mereka yang tetap membagikan hartanya kepada orang
lain. Di masa kerajaan Islam, posisi zakat bahkan dipersamakan dengan konsepsi pajak
di masa sekarang.51 Namun, dari semua itu, ada satu jenis zakat yang hukumnya
sebaiknya dilakukan oleh seluruh umat Islam, yakni zakat fitrah. Ia adalah kegiatan
sedekah yang dilakukan beberapa hari sebelum berakhirnya bulan Ramadhan.52
Biasanya, dalam konteks kolonial Hindia Belanda, zakat fitrah akan disalurkan melalui
para kiai, penghulu, naib, modin, lebe, ataupun orang-orang lain yang dianggap paham
urusan Islam. Masyarakat umumnya akan menemui mereka di masjid-masjid
karesidenan ataupun masjid pesantren, atau dalam beberapa catatan justru mereka yang
mendatangi masyarakat.53
Idealnya, zakat dan zakat fitrah (setelahnya zakat-fitrah) dari masyarakat
disalurkan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat Muslim.
Para penyalur zakat, atau disebut sebagai amil, berhak mendapatkan bagian dari zakat
tersebut bersama dengan tujuh kriteria penerima zakat lainnya (asnaf54). Para kiai,
penghulu, naib, modin, dan lebe sejatinya bisa dikategorikan ke dalam bagian ini. Ada
juga masyarakat yang menyalurkan zakat-fitrahnya kepada santri. Kemudian, di
beberapa daerah di Jawa ada juga santri yang justru memberikan uangnya kepada para
naib. Uang yang diterima oleh naib kemudian disetor ke penghulu untuk dimasukkan
sebagai bagian dari kas masjid. Uang ini kemudian dibagi-bagi oleh penghulu kepada
jajarannya.

51
Muḥammad ibn al-Ḥasan Ṭūsī dan Abū al-Faz̤l ʻIzzatī, Al-Nihayah: Concise Description of
Islamic Law and Legal Opinions (al-Nihayah Fī Mujarrad Al-Fiqh Wa Al-Fatawa) (London: ICAS Press,
2008).
52
Kewajiban melakukan zakat fitrah tertera dalam sebuah riwayat dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu
‘anhuma yang mengatakan bahwa Rasul: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat
fithri dengan satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum bagi hamba dan yang merdeka, bagi laki-laki dan
perempuan, bagi anak-anak dan orang dewasa dari kaum muslimin. Beliau memerintahkan agar zakat
tersebut ditunaikan sebelum manusia berangkat menuju shalat ‘ied.” Muttafaqun ‘alaih. (HR. Bukhari dan
Muslim).
53
Mengenai hal ini dapat dilihat pada Surat Edaran Sekretaris Gubernemen Pertama tertanggal
28 Februari 1905 No. 873 (Bijblad No. 6200) Aboebakar, Sedjarah mesdjid, 449–51.
54
Penerima zakat atau asnaf biasanya mengacu pada Quran pada Surat At-Taubah ayat 60:
“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus
zakat, para muallaf, yang dibujuk hatinya,untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang,
untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang
diwajibkan Allah. Dan Allah Lagi Maha Mengetahui Lagi Maha Bijaksana.” Namun demikian, para
ulama memiliki beberapa tafsir tentang asnaf.

Universitas Indonesia
90

Namun demikian, sebagaimana tertera dalam Surat Edaran Sekretaris


Gubernemen 28 Februari 1905 No. 873, para pegawai Binnenlandsch Bestuur di daerah
merasa bahwa uang tersebut sebaiknya disalurkan secara langsung kepada orang miskin
atau hal-hal lain yang sekiranya lebih memberikan dampak luas pada masyarakat.
Sebab, dalam pandangan mereka hal tersebut justru lebih sesuai dengan ketentuan
agama Islam. Terang saja usulan dan inisiatif mereka ditolak oleh Gubernur Jenderal,
karena hal tersebut berada di luar koridor pemerintah Hindia Belanda yang berupaya
tidak ikut campur urusan keagamaan masyarakat pribumi. Ia bahkan mengingatkan para
Binnenlandsch Bestuur di daerah supaya tidak mendorong para bupati setempat untuk
mengubah praktik zakat-fitrah yang sudah ada. Akan tetapi, imbauan dari Gubernur
Jenderal tidak dipatuhi seutuhnya. Masih ada beberapa pegawai, misalnya seperti
residen maupun asisten residen, yang mengarahkan para bupati agar dana zakat yang
sudah terkumpul dalam kas masjid digunakan untuk kepentingan yang lebih inklusif.
Beberapa fakta yang bisa ditemukan misalnya adanya kerjasama antara Residen
dengan Bupati Bodjonegoro pada 1903. Pada kasus ini55, terlepas dari persoalan
Bupatinya yang dianggap berkarakter antagonis di daerah tersebut, Residen
menyarankan agar kas masjid dipergunakan untuk kepentingan infrastruktur. Beberapa
fasilitas yang dibangun misalnya seperti pipa irigasi, bendungan, dan kebutuhan sumber
air untuk kota. Sementara di wilayah lainnya, sebagai misal Purwodadi, Residen
mendorong Bupatinya agar menyalurkan dana di kas masjid untuk pelayanan rumah
sakit.56
Meski praktik di atas terdengar baik, para pegawai Binnenlandsch Bestuur hanya
boleh mengambil tindakan jika ada praktik-praktik pemungutan zakat-fitrah yang
dianggap memberatkan masyarakat. Pemaksaan penyerahan zakat-fitrah dari
masyarakat kepada penghulu, misalnya, sudah masuk kategori meresahkan versi
Gubernur Jenderal. Apalagi bila uang itu nantinya hanya menjadi pundi bagi kas
masjid-masjid Karesidenan. Pungutan yang bersifat memaksa seperti ini terasa seperti
memberikan pajak tambahan kepada masyarakat.57 Agar tidak terjadi penyalahgunaan
wewenang, Gubernur Jenderal sebelum Hordijk bahkan pernah membuat sebuah surat

“Semarangsch Comitee Voor Zieskenver Pleging,” Soerabaiasch-Handelsblad, 16 Desember


55

1904, 52, No. 293 edisi, bag. Nederlandsch-Indie.


56
“De Afdeeling Grobogan,” De Locomotief, 16 Mei 1903, A1903, No. 114 edisi, bag. De nood
in de Residentie Semarang.
57
Aboebakar, Sedjarah mesdjid, 450.

Universitas Indonesia
91

edaran pada 18 Agustus 1866 agar para priyayi bumiputera dan aparatur desa tidak ikut
campur tangan dalam pemungutan zakat. Biarkan hal tersebut berjalan secara sukarela
di tengah masyarakat.
Gubernur Jenderal konsen dengan urusan zakat-fitrah karena dalam beberapa
kasus ada aparatur pemerintah lokal yang menyalahgunakan kewenangannya. Di daerah
Priangan, sebagai misal, pegawai pemerintah kerap campur tangan dalam urusan zakat-
fitrah. Bahkan para pegawai ini mendapat bagian dari uang zakat-fitrah yang telah
terkumpul dari masyarakat. Oleh karenanya, penting dilakukan imbauan dan
pengawasan secara ketat oleh para ambtenaar Eropa kepada aparatur pemerintah lokal
agar tidak terjadi hal-hal yang seperti ini.58 Meski demikian ada daerah-daerah yang
tidak diawasi, terutama daerah yang sudah punya tradisi menyetor uang zakat-fitrah ke
dalam kas masjid sejak lama. Alasan Gubernur Jenderal karena tidak pantas ikut campur
tangan ke urusan seperti itu, apalagi tidak terdapat praktik salah dalam perspektif tata
kelola pemerintahan yang baik (good governance). Pertimbangan lainnya, Gubernur
Jenderal juga tidak ingin memberikan tugas tambahan kepada para pegawai Eropa
dengan tugas-tugas pengawasan seperti ini. Hanya beberapa daerah saja yang diamati
secara serius, teristimewa kepada daerah yang pernah punya kasus kas masjid. Itupun
setelah melakukan konsultasi dengan adviseur dari Kantoor voor Inlandsche Zaken,
yang tidak lain adalah Snouck Hurgronje.59

3.4. Snouck Hurgronje dan Kas Masjid


Beberapa Konsen Gubernur Jenderal terkait persoalan keagamaan secara umum,
maupun kas masjid dan zakat-fitrah secara khusus, seringkali dikonsultasikan kepada
Snouck Hurgronje. Sebagai pionir yang memancang pondasi kebijakan kolonial
Belanda dalam merespon Islam, Snouck punya posisi istimewa di mata Gubernur
Jenderal. Hal ini terutama dalam konteks penanganan persoalan terkait penduduk
Muslim di wilayah yang sekarang disebut Indonesia. Saran-sarannya kepada pemerintah
melahirkan sebuah kebijakan bernama Islam Politiek, sebuah kebijakan yang
diatribusikan khusus untuk mengelola persoalan-persoalan yang terkait dengan Islam di

58
Pijper, Studiën over de Geschiedenis van de Islam in Indonesia, 1900-1950.
59
Hurgronje, Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada
Pemerintah Hindia Belanda, 1889-1936.

Universitas Indonesia
92

wilayah jajahan.60 Selain itu, kebijakan ini juga menjadi payung bagi kebijakan-
kebijakan Belanda lainnya seperti netral agama, asosiasi kebudayaan, asosiasi
pendidikan, dan bagaimana mengkonter gelombang pan Islamisme di Indonesia.61
Asosiasi pendidikan menjadi salah satu upaya paling berdampak dalam memuluskan
misi-misi Belanda di Indonesia, termasuk salah satunya mensekularisasi masyarakat
Muslim di Indonesia.
Spesifik mengenai kas masjid, pandangan-pandangannya bisa ditemui dengan
mudah dalam surat-surat nasihatnya (Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje,
1889-1936). Di volume 5, terdapat partisi khusus yang berisi semua surat-suratnya
mengenai kas masjid, baik kepada Gubernur Jenderal maupun beberapa residen di
berbagai daerah di Jawa. Setidaknya terdapat 9 surat yang ditulis secara khusus oleh
Snouck untuk merespon keluh kesah mereka tentang berbagai persoalan kas masjid di
Hindia Belanda, terutama di daerah Jawa. Selain itu, isu kas masjid juga muncul di
nasihat Snouck lainnya dalam volume dan partisi buku yang terpisah.

Tabel. 3.1. Konsultasi Gubernur Jenderal maupun Residen dengan Snouck


Hurgronje, 1983-1905
Tanggal Surat Penerima Surat Persoalan Utama
4 Maret 1893 Gubernur Jenderal - Persengkokolan dalam mengumpulkan dana
kas masjid
- Status aturan kolonial dan hukum adat
setempat mengenai kas masjid
18 Maret 1895 Residen Pasuruan - Hukum kas masjid dalam Islam
23 Januari 1902 Residen Pekalongan - Opsi mengurangi pemasukan kas masjid dan
langkah-langkahnya
- Kas masjid untuk modal bank kredit
11 Juni 1902 Gubernur Jenderal - Pembelajaan dana kas masjid dalam
perspektif birokrasi kolonial
- Penggunaan dana kas masjid di luar ketetapan
12 Januari 1903 Residen Banyumas - Imbauan agar kas masjid digunakan hanya

60
Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 1985.
61
Burhanudin, “The Dutch Colonial Policy on Islam.”

Universitas Indonesia
93

untuk keperluan ibadah


4 Maret 1904 Residen Banyumas - Penyalahgunaan tafsir kitab Fathul Muin
untuk kepentingan penghulu dalam
memungut uang kas masjid
16 April 1905 Gubernur Jenderal - Uang kas masjid untuk keperluan buka puasa
bersama
22 April 1905 Gubernur Jenderal - Persoalan yang mencuat terkait kas masjid
dan pengawasannya
14 Desember 1905 Residen Banyumas - Keberatan dari elit provinsi pribumi mengenai
aturan-aturan kas masjid dari pemerintah
kolonial
Sumber: Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje, 1889-1936 Vol. 5.

Sebagai ilustrasi, mari lihat bagaimana penggalan isi surat tertanggal 4 Maret
1893 antara Snouck dengan Gubernur Jenderal berikut:
“Meskipun begitu, dalam hal-hal tersebut pun tetap diperlukan pengawasan: 1)
agar apa yang dipungut dari penduduk jangan melampaui batas keadilan dan
sementara itu orang memperhitungkan kemampuan pembayar 2) agar dalam
pembagian penghasilan tersebut antara penghulu atau naib dan para
bawahannya, janganlah menyebabkan para bawahan itu merasa tidak puas.
Bilamana tidak ada kas mesjid pun, tata buku mengenai pungutan "para
rohaniwan" serta tata buku mengenai pembagian di samping pengawasan yang
keras atas tata usahanya rupanya sangat perlu. Beberapa catatan mengenai
ketentuan-ketentuan di daerah Rembang yang saya ikutkan di sini mungkin
dapat juga berguna untuk membuat peraturan yang akan disahkan di
keresidenan-keresidenan lain semakin dapat mencapai tujuan yang
diinginkan.62”

Dari berbagai data di atas, ada beberapa benang merah yang dapat digambarkan
di sini tentang seberapa serius pemerintah kolonial merespon kas masjid. Snouck,

62
Penggalan surat ini dapat dilihat pada: Hurgronje, Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje
Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda, 1889-1936, 5:854.

Universitas Indonesia
94

dengan segala kapasitasnya dan tradisi alam modern yang mengakar dalam dirinya,
merasa bahwa sebuah tradisi yang dinamakan kas masjid umumnya hanya menjadi “alat
peras” para penguasa lokal kepada rakyatnya. Berbagai ketidakadilan, dalam perspektif
negara yang punya tujuan menciptakan ketenangan dan ketertiban, mesti diselesaikan
oleh para pemerintah Eropa.
Apa yang dimaksud dengan “ketidakadilan dalam fenomena kas masjid” oleh
Snouck dapat ditemukan hampir di semua suratnya. Dia misalnya menyoroti bagaimana
tingginya biaya pungutan pernikahan di berbagai daerah di Jawa.63 Alasan mengapa
pungutan ini tinggi, dan dianggap oleh Snouck sekaligus Gubernur Jenderal sebagai
bentuk terselubung dari upeti, lantaran ada praktik penyisihan pungutan tersebut untuk
dimasukkan ke dalam kas masjid. Para penghulu, naib, modin, lebe, dan sebagainya, di
dearah yang sudah mentradisikan kas masjid, harus menyetor kira-kira 30-40% (tidak
ada besaran yang pasti di setiap daerah) dari pungutan yang telah mereka lakukan.64
Snouck tidak bisa menerima praktik seperti itu. Pasalnya, praktik seperti ini
kerap merugikan masyarakat. Pertama, pungutan yang dilakukan oleh para penghulu
beserta jajarannya sering melebihi kemampuan finansial masyarakat. Saking tingginya
pungutan biaya pernikahan bahkan sempat muncul persoalan maraknya nikah siri di
tengah masyarakat, lantaran penduduk tidak ingin mengeluarkan uang pungutan yang
dirasa berat.65 Senada dengan hal tersebut, jumlah perceraian di bawah meja pun juga
sempat mengalami peningkatan66, dan kemungkinan besar hal ini terjadi untuk
menghindari pungutan tersebut. Belum lagi adanya pemaksaan untuk membayar orang-
orang yang terlibat seperti saksi-saksi yang dibutuhkan dalam perceraian.67 Persoalan
kedua, ditemukan di beberapa daerah dimana ada pembagian penghasilan yang kurang
bijak oleh penghulu kepada para bawahannya. Padahal, jumlah uang yang sudah dikutip

63
Hurgronje, Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada
Pemerintah Hindia Belanda, 1889-1936, 5:858–61.
64
Hurgronje, 5:854.
65
Tijds v. B.B, “Moskeekassen,” Bataviaasch Handelsblad, 20 Mei 1889, A1889, No. 115 edisi,
bag. Bijvoegsel van het Bataviaasch Handelsblad.
66
Peter Boomgaard, Children of the Colonial State: Population Growth and Economic
Development in Java, 1795-1880 (Amsterdam: Vrije University Press: Centre for Asian Studies
Amsterdam, 1989), http://catalog.hathitrust.org/api/volumes/oclc/20433848.html.
67
Hisyam, Caught between three Fires: The Javanese Pengulu under the Dutch Colonial
Administration, 1882-1942.

Universitas Indonesia
95

dari masyarakat besar. Namun di saat yang bersamaan tidak membawa kesejahteraan
bagi para bawahan penghulu.68 Hal ini akan dijelaskan lebih jauh pada Bab 5.
Oleh karena itu, dalam suratnya dengan Guberrnur Jenderal tertanggal 4 Maret
189369, misalnya, tertulis sebuah rekomendasi dimana Para Residen di daerah sebaiknya
membuat peraturan mengenai kas masjid––utamanya di daerah-daerah yang belum
memiliki aturan kas masjid. Snouck sangat menyarankan agar biaya pungutan
pernikahan dikurangi, atau bahkan dihilangkan sama sekali. Sebab, mengutip kitab
Fathul Mu’in70, Snouck beranggapan bahwa tidak pantas seorang ahli agama untuk
memungut bayaran pada sebuah pekerjaan yang sangat mudah seperti membantu orang
membaca ijab qabul.71 Adapun Opsi lain yang ditawarkan oleh Snouck adalah
memberikan gaji kepada para pegawai yang mengurus perkawinan dan perceraian di
masyarakat. Dengan ditambahnya gaji, tidak ada lagi alasan dari para penghulu untuk
mengutip masyarakat karena telah memberi bantuan pada perkawinan maupun
perceraian mereka.
Pada tahun-tahun setelahnya bahkan amandemen dibuat oleh Residen
Banyumas, Besuki dan Cirebon terhadap aturan pungutan perkawinan dan perceraian
ini. Adapun isi peraturan tersebut adalah mengakhiri dan membubarkan biaya pungutan
perkawinan dan perceraian yang dilakukan oleh para penghulu. Selain itu, sekalipun
pungutan tetap berjalan, pendapatan personalia masjid tidak wajib dimasukkan sebagai
bagian dari kas masjid.72
Selain itu, poin penting lain dari Snouck adalah supaya para residen maupun
asisten residen agar berkolaborasi dengan Bupati setempat dalam membuat peraturan

68
M. Moesa, “Keloeh Kesahnya Pegawai Mesdjid Jepara,” Sinar Hindia, 1 September 1919, No.
6 Edisi 20 edisi.
69
Hurgronje, Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada
Pemerintah Hindia Belanda, 1889-1936, 5:853–56.
70
Fathul Muin, atau dikenal pada saat itu sebagai kitab Padkulmungin, adalah kitab syarah
(komentar) atas kitab Qurrotul ‘Ain. Uniknya, pengarang kedua kitab itu adalah satu orang yang sama.
Jadi, di sini ada seorang pengarang menulis kitab komentar untuk kitab yang ditulisnya sendiri. Sang
pengarang itu bernama Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz bin Zainuddin bin Ali al-Ma’bari al-Malibari al-
Fanani al-Syafi’i. Tidak ada keterangan yang pasti mengenai tahun kelahiran dan kewafatan beliau.
Tetapi, beliau menulis di bagian akhir Fathul Muin tanggal kitab tersebut selesai ditulis, yakni 24
Ramadhan 982 H. Jadi, yang dapat kita pastikan adalah beliau ulama yang hidup di abad ke-10 hijriah.
Lihat: Zahid Murtadlo, “Mengenal Kitab Pesantren (6): Fathul Muin, Kitab Fikih Banyak Jebakan,”
Alif.ID (blog), 29 April 2020, https://alif.id/read/m-zahid-murtadho/mengenal-kitab-pesantren-6-fathul-
muin-kitab-fikih-banyak-jebakan-b228532p/.
71
Hurgronje, Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada
Pemerintah Hindia Belanda, 1889-1936, 5:865.
72
Koloniaal Verslag van 1905: I. Nedelandsch [Oost-] Indië. Handelingen der Staten-Generaal.
(Algemeene Landsrukkerij: Bijlagen C, 1905-1906), h. 174.

Universitas Indonesia
96

mengenai pungutan-pungutan yang berkaitan dengan perkawinan. Selain itu, kolaborasi


juga berupaya mencegah kekeliruan maupun mispersepsi bahwa pemerintah Eropa
mencoba ikut campur dalam urusan adat dan keagamaan. Sebagai tambahan, Snouck
juga merujuk aturan paling awal mengenai kas masjid sebagaimana yang sudah
dikeluarkan oleh karesidenan Rembang.73
Snouck juga mendapatkan keluhan dari beberapa Residen yang menemukan
praktik mendepositokan uang kas masjid ke bank kredit. Dalam pandangan Snouck, hal
ini sudah jelas bertentangan dengan syariat Islam. Bunga yang didapat dari deposito
adalah sesuatu yang jamak dipahami sebagai entitas yang haram di berbagai negara
mayoritas Muslim––meski Snouck juga tidak memungkiri bahwa ada ulama yang
memberikan justifikasi bahwa tidak ada yang keliru dengan bunga deposito.74 Poin
Snouck dalam hal ini adalah agar bunga-bunga seperti ini akan lebih baik bila diusulkan
langsung oleh para penghulu atau siapa saja yang ahli dalam bidang agama. Bukannya
justru diusulkan oleh para Bupati. Sejauh bunga-bunga ini digunakan untuk kepentingan
masyarakat, residen boleh memberikan rekomendasi pada para bupati. Hanya saja yang
jadi masalah adalah ketika bunga deposito dana kas masjid di bank kredit hanya
dimanfaatkan oleh kepentingan pribadi para bupati dan keluarganya.75 Penggunaan lain
yang keterlaluan, sebagai misal, adalah dana kas masjid yang digunakan untuk modal
kerja bank-bank kredit sebagaimana terjadi di Purwokerto.76 Oleh karena itu para
residen diminta mengawasi secara ketat penggunaan kas masjid, ditambah selalu
mendorong bupati agar membuat jurnal finansial kas masjid.77
Selain keluhan, dalam korespondensi Snouck dengan beberapa residen maupun
asisten residen juga ditemukan berbagai perbedaan persepsi mengenai kas masjid di
kalangan orang Belanda. Sebagai contoh adalah suratnya dengan Asisten Residen
Purwokerto, De Wolf van Westerrode. Bagi Westerrode, kas masjid bisa dimanfaatkan
untuk perawatan orang sakit, penderita kusta, tuna netra, orang sakit ingatan, atau untuk

73
Hurgronje, Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada
Pemerintah Hindia Belanda, 1889-1936, 5:854.
74
Hurgronje, 5:856–57.
75
“Zitting van den gemeenteraad: slot van het Tweede blad,” Soerabaijasch Handelsblad, 11
Januari 1906, 54ste Jaargang, No. 253 edisi.
76
“Het ontslag van den regent van Poerwokerto,” De Locomotief, 20 April 1905, Ao 1905 No.
94, 54e Jaargang edisi, bag. Nederlandsch Indie.
77
Hurgronje, Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada
Pemerintah Hindia Belanda, 1889-1936, 5:862–78.

Universitas Indonesia
97

pemberian uang muka tanpa bunga bagi pengadaan pranata kredit. 78 Sebab menurutnya
hal ini jauh lebih bermanfaat ketimbang hanya mengendapkan uang dalam kas masjid.
Akan tetapi pandangan Westerrode ditolak oleh Snouck karena dianggap telah
melanggar ketetapan Gubernur Jenderal. Hal seperti ini menurut Snouck berpotensi
mendorong para residen maupun asisten residen dalam mencampuri urusan adat
masyarakat pribumi, terutama kalangan elitnya.
Selain itu, ada saran dari para elit Pangreh Praja agar Gubernur Jenderal bisa
memberi kelonggaran dalam penggunaan dana kas masjid. Namun, bagi Snouck hal ini
dapat memunculkan potensi penyelewenangan kekuasaan di kemudian hari. Dengan
dalih menggunakan dana kas masjid secara “bermanfaat”, para bupati bisa saja
menggunakan uang tersebut secara sembarangan di luar aturan.79 Memang, dengan
memberikan kewenangan bagi para bupati untuk mengelola dana kas masjid di bawah
pengawasan residen adalah bentuk desentralisasi keuangan. Apalagi dana dari kas
masjid yang cukup besar dapat membantu kekosongan anggaran di berbagai daerah.
Namun, jika begitu, pungutan kepada rakyat untuk mengisi kas masjid akan terus lestari
dan bisa saja menimbulkan ketidaksenangan yang lebih luas. Bagi Snouck, ketimbang
memungut dengan alasan agar kas masjid terisi, akan lebih baik bila sekalian saja
diciptakan pajak baru dengan nomenklatur yang lebih memadai.80 Sebab dengan tata
usaha yang bersih mengenai pendapatan umum yang baru itu, orang dengan sendirinya
akan wajib menjalankan tindakan yang lebih sungguh-sungguh; dan bahkan bisa lebih
sungguh-sungguh dibandingkan membayar pungutan untuk kas masjid.
Snouck juga mendapatkan keluhan mengenai posisi kas masjid dalam syariat
Islam. Keluhan ini dapat dipahami karena beberapa residen di daerah menemukan
bahwa penghulu memberikan justifikasi keagamaan dalam pungutan-pungutan mereka
untuk kas masjid. Namun, Snouck memberikan sanggahannya sehingga para residen
dapat memahami bahwa hal tersebut tidak dapat ditemukan dimanapun dalam syariat
Islam.81 Memang bila kas masjid digunakan untuk kepentingan kedermawanan hal ini
sesuai dengan ajaran agama Islam, apalagi kas masjid juga terdiri dari uang zakat-fitrah.

78
Hurgronje, 5:858–60.
79
“De Regent van Bodjonegoro,” Bataviaasch Nieuwsblad, 22 Maret 1905, A1905, No. 93 edisi,
bag. Nederlandsch Indie; “Een Regent Aangeklaagd,” Bataviaasch Nieuwsblad, 3 Oktober 1905, A1905,
No. 83 edisi, bag. Nederlandsch Indie.
80
Hurgronje, Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia
Belanda, 1889-1936, 5:870.
81
Hurgronje, 5:856.

Universitas Indonesia
98

Hanya saja yang menjadi persoalan adalah adanya kesengajaan memutarbalikkan tafsir
atas kitab untuk kepentingan para penghulu, dan juga bupati pada kesempatan tertentu.82
Persoalan lain karena petugas pernikahan yang menjadi bawahan para penghulu, atau
juga penghulunya itu sendiri, tidak paham soal agama secara mendalam. Sehingga ada
kasus, sebagaimana terjadi di Cilacap, dimana seorang penghulu dengan serampangan
menggunakan sebuah kitab sebagai landasan memungut bayaran pernikahan pada
masyarakat, yang mana uangnya akan dimasukkan ke dalam kas masjid.
Dari semua itu, kita bisa menemukan garis besar persoalan kas masjid dari
perspektif kolonial berdasarkan surat Snouck tertanggal 16 April 1905 yang dikirim
kepada Gubernur Jenderal. Pertama, Snouck menggarisbawahi sejauhmana peraturan
mengenai pembatasan uang kas masjid tidak berjalan dengan baik. Ihwal-ihwal yang
menjadi konsen Gubernur Jenderal kerap terbentur realita dimana masih banyak
ditemukan penggunaan kas masjid di luar kebutuhan keagamaan. Dengan dalih urusan
yang “bermanfaat”, para penguasa daerah dan penghulu kerap menggunakan uang kas
masjid justru untuk sesuatu yang justru “kurang bermanfaat” untuk masyarakat luas.
Beberapa yang bisa disebut misalnya penggunaan uang kas masjid untuk kebutuhan
hiburan para bupati, pembayaran gaji pegawai mereka, pinjaman kepada kolega bupati,
maupun pendapatan besar para penghulu yang tidak dibagi secara adil kepada
jajarannya.
Kedua, Snouck merasa peraturan mengenai pengurangan pendapatan dari
pungutan pernikahan tidak berjalan di berbagai daerah. Aturan pembatasan penggunaan
uang kas masjid memang berjalan dan membuat pengeluaran kas masjid menjadi
berkurang. Namun, karena tidak diimbangi dalam mengurangi pemasukan untuk kas
masjid sehingga uang yang ada di dalamnya justru semakin membesar. Snouck
mencontohkan di Priangan, tidak ada tindakan tegas untuk mengurangi pungutan dan
administrasi pernikahan. Saldo kas di beberapa masjid di wilayah ini bahkan melonjak
cukup tinggi hanya dalam waktu lima tahun. Secara berturut-turut, kas masjid di
Cianjur, Sukabumi, dan Tasikmalaya, bahkan telah menghimpun dana dalam jumlah
besar yakni ƒ13,000, ƒ14,000, dan ƒ21,000.
Ketiga, uang yang besar dalam kas masjid memancing perbuatan-perbuatan
yang mengarah pada penyelewengan kekuasaan (Dutch: malversatie). Ada beberapa

82
Hurgronje, 5:805.

Universitas Indonesia
99

pangreh praja yang menginginkan agar kapasitas penyimpanan kas masjid tidak dibatasi
oleh Gubernur Jenderal. Alasannya, mereka beranggapan bahwa dengan saldo yang
gemuk maka renovasi masjid agar menjadi lebih bagus semakin mudah dilakukan. Bagi
Snouck, ini hanya alasan dari para pangreh praja saja. Sebab, sebetulnya sudah ada
aturan agar tidak bermewah-mewah dalam membangun masjid lantaran tidak pantas
dengan keadaan masyarakat bumiputera yang masih banyak orang miskinnya. Apalagi,
di banyak keresidenan, sejak diadakan perbaikan pengawasan terhadap kas-kas masjid,
pembangunan masjid-masjid mewah masih saja dilakukan meskipun gairah beragama
masyarakat sekitar besar.
Namun, memang Pemerintah Kolonial sebenarnya dalam surat edaran tertanggal
28 Mei 1904 telah mengemukakan pertanyaan kepada Snouck: Bila terdapat saldo-saldo
besar yang bertentangan dengan peraturan, apakah saldo-saldo ini dapat dibelanjakan
untuk "tujuan bermanfaat", dan menjadi cenderung bertentangan dengan aturan yang
telah ditentukan? Namun, bila belum ada pembenahan signifikan dari para pengawas
kas masjid, penyelewengan tidak bisa terkendali. Sehingga sulit bagi Snouck memberi
rekomendasi yang isinya menyetujui penggunaan kas masjid di luar ketentuan pada
surat edaran rahasia yang pernah dikeluarkan sebelumnya mengenai peraturan kas
masjid.
Snouck juga pernah melontarkan pertanyaan ke beberapa residen maupun
asisten residen yang pernah mengizinkan Bupati menggunakan kas masjid di luar
aturan. Namun banyak dari mereka tidak menjawab pertanyaan. Dirinya melanjutkan,
mereka yang tidak menjawab adalah para pegawai yang tercatat sudah mendorong para
Bupati untuk menggunakan uang kas masjid di luar ketentuan. Namun, beberapa dari
para pegawai yang ditanya Snouck justru meminta kuasa untuk membantu sejumlah
masyarakat dengan uang kas masjid. Snouck beranggapan bahwa dengan kata lain,
mereka sebetulnya menyarankan agar penyalahgunaan yang dilakukan oleh para Bupati,
terutama yang terjadi atas dorongan Pegawai Binnenlandsch Bestuur, tidak ditindak
secara radikal namun dibiarkan saja. Tentu saja Residen Priangan yang belum pernah
memperdulikan dana di kas masjid atau peraturan yang telah dikeluarkan tentang itu,
"tidak berkeberatan" terhadap penggunaan saldo-saldo yang antara lain juga timbul
karena kelalaiannya sendiri "untuk tujuan bermanfaat lainnya. Namun ini hanya karena
dirinya kurang pengetahuan.

Universitas Indonesia
100

Seandainya terjadi pembengkakan saldo kas masjid karena adanya kelalaian di


pihak Binnenlandsch Bestuur, maka begitu sebuah insiden seperti ini terungkap
hendaknya diadakan penurunan tarif nikah dan talak, atau pengurangan persentase kas
masjid. Upaya ini dilakukan dengan harapan agar saldo kas masjid segera berkurang
dan kelak tidak bertambah lagi. Akan tetapi, Snouck menekankan bahwa jangan sekali-
kali mencari celah atas banyaknya uang dalam kas masjid, dan satu-satunya cara untuk
mengurangi adalah dengan membelanjakan saldo yang berlebihan untuk tujuan yang
"bermanfaat". Selain itu, pembelanjaan atas kas masjid juga jangan ditingkatkan
jumlahnya untuk tujuan yang menimbulkan keberatan di kalangan masyarakat pribumi.
Hal ini juga terbukti dari dokumen-dokumen: Banyak pegawai pribumi yang berani
menyatakan pendapatnya bahwa mereka dengan alasan yang bersifat agama dan moral
terpaksa mengajukan keberatan terhadap pembatasan penggunaan uang kas masjid yang
bukan diperuntukkan untuk kesejahteraan masjid. Snouck pun menolak beberapa
pengajuan dari Bupati Priangan yang ingin menggunakan kas masjid untuk deposito,
meskipun bunganya dari f10,000 yang disetor diperuntukkan untuk kepentigan
pertanian di daerah Sukapura.83

3.5. Kantoor voor Inlandsche Zaken dan Kas Masjid


Para adviseur yang bertugas di Kantoor voor Indlandsche Zaken (Kantor untuk Urusan
Pribumi) ini melakukan penelitian mendalam, terutama etnografis, terkait kehidupan
politik pribumi di Hindia Belanda. Meski demikian, pada praktiknya, lembaga ini lebih
banyak mengkaji persoalan kehidupan keagamaan masyarakat Muslim dan hukum-
hukum adat yang berlaku di berbagai daerah di Hindia Belanda. Secara garis besar,
tugas pokok kantor ini adalah memberikan rekomendasi kepada Gubernur Jenderal,
Residen dan Asisten Residen, Pangreh Praja, serta institusi-institusi lain seperti
Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan, Departemen Kehakiman, dan
Departemen Perekonomian, dan Departemen Pendidikan dan Agama terkait persoalan-
persoalan yang telah disinggung tadi.84 Dan sesuai namanya, para adviseur kerjanya
hanya memberikan saran (advice) dan tidak punya kemampuan untuk memproduksi
peraturan tersendiri. Semua tergantung pada hubungan antara Gubernur Jenderal dengan
para adviseur di kantor ini. Bila hubungannya baik, rekomendasi kantor ini bisa berjalan
83
Hurgronje, 5:870.
84
Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 1985.

Universitas Indonesia
101

secara efektif. Namun bila tidak, rekomendasi yang dibuat hanya berujung pada
lembaran kertas kerja.
Penelitian tentang Kantoor voor Inlandsche Zaken (Kantor untuk Urusan
Pribumi) sudah dilakukan secara komprehensif oleh Husnul Aqib Suminto dalam
karyanya yang berjudul Politik Islam Hindia Belanda.85 Sehingga rasanya tidak perlu
uraian panjang lebar dituliskan lagi di sini. Studi ini hanya akan fokus memotret
bagaimana kantor ini mengurusi kas masjid di setiap periode adviseur yang memimpin
institusi ini. Dari studi Suminto, setidaknya ada enam adviseur yang pernah mengepalai
lembaga ini, mulai dari Snouck Hurgronje, G.A.J Hazeu, D.A. Rinkes, R.A. Kern, E.
Gobee, dan G.F. Pijper. Terkhusus Pijper, dia juga pernah menjabat sebagai adjunct
adviseur dalam satu kali periode. Selain itu, para adviseur juga kerap dibantu oleh
informan lokal dalam mengumpulkan informasi di lapangan.
Sebelumnya telah dijelaskan mengenai peran Snouck Hurgronje sebagai ketua
pertama institusi ini dalam menangani urusan kas masjid dalam bagian sebelumnya.
Maka bagian ini akan mengulas beberapa kasus kas masjid di bawah adviseur setelah
Snouck. Berdasarkan surat Sekretaris Pemerintah86 tanggal 28 Februari 1907, Hazeu
diperintahkan untuk mengadakan penelitian pribadi tentang administrasi dan
pengelolaan kas masjid. Pada akhir tahun 1907 Hazeu mengunjungi masjid Sukabumi,
Canjur, Bandung, Garut, Ciamis, Banyumas, Purworejo dan Kutoarjo. la melaporkan
bahwa semua peraturan tertulis tentang kas masjid itu dimaksudkan untuk
mengusahakan agar saldo kas masjid tidak teralu tinggi. Ternyata peraturan ini
dinilainya kurang berhasil karena di Bandung, Tasikmalaya dan Ponorogo uang kas
masjid sudah ditempatkan pada bank dan memperoleh bunga.87 Kemudian pada tahun

85
Suminto.
86
Sekretaris Pemerintah adalah Sekretaris Gubernar Jenderal. Pemegang tampuk pimpinan
pemerintah Hindia Belanda adalah Gubernur Jenderal yang diangkat oleh Raja atas rekomendasi Menteri
Jajahan. la didampingi oleh Dewan Penasehat Hindia Belanda, yang secara ex-officio diketuai cleh
Gubernur Jenderal. Menjelang tahun 1900 dewan ini bisa dikatakan kehilang an kekuatannya, setelah
adanya Sekretariat Jenderal bagi Gubernar Jenderal Semua hubungan ke dan dari Gubernur Jenderal harus
melahai lembaga yang Sekretaris Pemerintah merupakan orang pertamany2 ini. Dengan dibentakaya
Volksraad sesudah Perang Dunia I, hubungan lisan antara Gabemur Jenderal dan kepala-kepala
departemen sering terjadi, sehingga mengurangi wewenang Sekretaris Jenderal tersebut Lihat: Robert van
Niel, The Emergence of the Modern Indonesian Elite, (The Hague, 1960), hal, 10-11.
87
Surat rahasia Hatcu ke Gubernur Jenderal Van Heutsz tanggal 24 no. 52, KITLV, Leiden.

Universitas Indonesia
102

1923 para kepala daerah di seluruh Jawa dan Madura diserukan untuk mengusahakan
agar kas masjid tidak terlalu besar melebihi keperluan.88
Peran Hazeu juga dapat dilihat Surat Or. 8952 A 735 Tanggal 1 Januari 1911 (h,
2).89 Surat ini adalah salah satu surat yang dikirm Hasan Mustapa di awal tahun baru
Masehi 1911, setelah cukup lama tidak berkorespondensi dengan Snouck Hurgronje di
Belanda sejak surat terakhir pada 21 September 1907. Surat ini ditulis dalam bahasa
Arab tanpa harakat dengan aksara riq’ah, seringkali juga menggunakan kata berbahasa
Sunda, Melayu, dan Belanda.
Surat ini berisi kehidupan kaum Priangan, khususnya Bandung, yang
dianggapnya sedang mengalami kekacauan. Asal mula sebabnya adalah adanya
perubahan aturan tentang penentuan lebe (modin). Aturan yang baru ini menyerahkan
penentuan lebe kepada para lurah dan kuwunya. Hal ini membuat kekuasaan Pakauman
pun hilang seluruhnya. Selain itu, juga ada perubahan peraturan mengenai pungutan
biaya pernikahan sesuai dengan pendapatan tiap-tiap orang. Peraturan ini juga
memperbarui susuna pembagian yang dianggap kacau, lantaran ia telah keluar dari adat
kebiasaan dan tanpa ketetapan dari Gubernur Jenderal di Bogor. Aturan ini dijelaskan
oleh Hasan Mustapa sama saja dengan cara pemerintah daerah untuk meminta tambahan
pendapatan dari masyarakat. Alasannya supaya pemerintah dapat memberikan
kemaslahatan yang lebih luas pada masyarakat fakir-miskin. Sehingga kebutuhan dasar
mereka seperti makan dan tempat tinggal dapat terpenuhi.
Namun, lebih jauh dalam surat yang ditulis oleh Hasan Mustapa tersebut
dijelaskan bahwa dirinya berupaya mencegah perubahan peraturan ini. Berkas
penolakannya pun sudah diserahkan kepada Hazeu selaku kepala Kantoor voor
Inlandsche Zaken kala itu. Menurut Hasan Mustapa, Hazeu berpikir bahwa aturan baru
tersebut dapat menambahkan jumlah kas masjid sebesar f5,000, terutama di masjid-
masjid besar di Priangan. Bahkan di Tasikmalaya jumlahnya bisa lebih besar dari itu.
Terlepas dari adanya “niatan baik” dari pemerintah daerah, Hazeu tetap membatalkan
perubahan aturan tersebut melalui residen.

88
Surat edaran Sekretaris Pemerintab tertangal 28 Agustus 1923 Januari 1908, (Lihat "Kaum
Toestanden en Moskeekasen", Koleka Haz (Lihat "De Moskeekassen op Java en Madura", Koleksi Kern,
op cit.),
89
Jajang A Rohmana, Informan Sunda masa kolonial: surat-surat Haji Hasan Mustapa untuk C.
Snouck Hurgronje dalam kurun 1894-1923 (Yogyakarta: Octopus, 2018), 79–80.

Universitas Indonesia
103

Peran lain kantoor ini dapat terlihat juga dalam Volksraad. Dalam pembicaraan
mengenai anggaran belanja di Volkraad tahun 1928, pemerintah memberikan
keterangan tentang pembentukan komite pengawas kas masjid. Pemerintah berpendapat
bahwa umat Islam juga perlu diikutsertakan dalam pengawasan kas masjid. Dalam hal
ini peraturan yang ada akan disesuaikan kembali sesuai kebutuhan.90 Dalam suratnya
kepada Gubernur Jenderal tahun 1931, Gobee mengajukan usul tentang pembaruan
peraturan kas masjid,91 dan ternyata surat edaran resmi pemerintah dalam- hal ini, tidak
begitu berbeda dengan usul Gobee tersebut.92 Kemudian pada 1933, Gobee menegaskan
bahwa uang kas masjid adalah semata-mata milik umat Islam. Dikatakannya pula bahwa
sejak pengawasan terakhir, kontrol berjalan cukup baik.93
Agaknya Gobee-selaku Adviseur voor Inlandsche Zaken cukup tanggap
terhadap situasi yang dihadapinya. Sehingga, institusi ini berhasil memberikan solusi
alternatif yang tepatkepada persoalan kas masjid ini. Adapun solusi institusi ini
menegaskan bahwa kas masjid semata-mata milik umat Islam, mengikutsertakan
pemiliknya untuk mengatur harta tersebut, dan mcletakkan kedudukan bupati hanya
sebagai pengawas bukan pengelola langsung sebagaimana yang terjadi sebelumnya.
Dengan demikian campur tangan pihak lain bisa dihindari, dan orang lain pun tidak lagi
meributkan terlalu banyaknya harta umat Islam ini.
Selama ini memang terjadi semacam anomali terhadap persoalan kas masjid, di
mana berbagai peraturan yang sudah dibuat mengenai hal ini selalu diarahkan untuk
membatasi kas masiid agar jumlahnya tidak berlebihan.94 Maksud dari hal ini agar

90
Lihat "Memorie van Antwoord 1928", dalam Koleksi Kern, no, 460 KITLV, Leiden.
91
Surat Gobee kepada Gubernur Jenderal de Graff tanggal 2 Mei 1931. Sebagai ketua pengurus
diusulkannya seorang penghulu bukan bupati, dan sebagai anggota diusulkannya beberapa orang bukan
pegawai, dan seorang ulama kabupaten. Penghulu kabupaten harus bertindak sebagai penasehat. Bupati
harus mengontrol uang kas masjid itu setiap tiga bulan. Dalam pada itu pemasukan uang bagi masjid,
harus terpisah dari uang nikah. Menurut Gobee pemerintah tidak perlu mengatur kas masjid secara
seragam, sebab peraturan setempat perlu dihormati.
92
Seorang biasa hendaknya dilibatkan dalam pengawasan kas masjid. Pengawasan dilakukan
oleh bupati. Ketua pengurus bila dianggap perlu bisa bupati, berada di tangan pegawai. Peraturan
setempat perlu diperhitungkan. Karena kondisi setiap kabupaten berlainan, maka peraturan lokal harus
disesuaikan dengan ketentuan Gubernur Jenderal. Dalam pada itu ada tiga anggota pengurus bukan
pegawai, seorang ulama dan beberapa orang pegawai. (Surat Edaran Sekretaris Pemerintah tanggal 24
November 1931.
93
Surat Gobee ke Gubernur Jenderal de Jonge tanggal 12 Januari 1933.
94
Semua peraturan tertulis tentang kas masjid bertujuan untuk mem- batasi saldo kas masjid agar
tidak terlalu tinggi. (Surat rahasia Hazeu ke Gubernur Jenderal Van Heutsz tanggal 24 Januari 1908,
Koleksi Hazeu no. 52. Bandingkan dengan surat edaran pemerintah tanggal 28 Agustus 1923, Koleksi
Kern no. 460.

Universitas Indonesia
104

masjid tidak memiliki uang lebih dari yang diperlukan.95 Di sana-sini kas masjid
digunakan untuk membantu rumah sakit Kristen, membantu para janda maupun pelacur
miskin, dan sebagainya. Sementara untuk pembangunan dan pemugaran asrama yatim
piatu serta pengelolaan masjid justru dibatasi sedemikian rupa. Dalihnya agar tidak
melebihi intensitas kehidupan beragama rakyat setempat.96 Bahkan ada biaya masjid
rehabilitasinya tidak diperkenankan menggunakan uang masjid itu sendiri.97 Semua ini
bisa terjadi karena tidak ada keterlibatan secara langsung dari umat Muslim.
Setelah adanya ketegasan––bahwa kas masjid merupakan harta umat Islam dan
bisa diikutsertakannya nonpegawai dalam pengelolaannya––betapapun penggunaan
harta ini disesuaikan dengan kepentingan masjid dan umat Islam itu sendiri. Sampai
akhir masa penjajahan Belanda, kas masjid di kabupaten Imndramayu, misalnya,
dikembangkan sedemikian rupa sehingga bisa dimanfaatkan untuk membayar gaji
penghulu dan lain-lain, bahkan memberikan tunjangan pensiun kepada mereka.98

95
W.J.A. Kernkamp, "Regeering en Islam", dalam W.H. van Helsdingen, hal, 200. Perlu dicatat
bahwa ada tiga variabel yang saling berkaitan dalam masalah kas masjid ini, yaitu: pemasukan,
penggunaan dan saldo. Kas masjid pada dasarnya tidak dikehendaki oleh pemerintah kolonial, karena hal
ini akan berpengaruh kepada intensitas kehidupan beragama. Karena itu untuk mengurangi pemasukan
kas masjid permah dipikirkan usaha menurunkan tarif perkawinan.
96
Dalam suratnya kepada Gubernur Jenderal tanggal 16 April 1905 Snouck Hurgronje
menyatakan: "Beberapa pegawai berpendapat bahwa harus cukup banyak uang untuk pemugaran masjid
yang kadang-kadang diperlukan Tapi mereka melupakan peraturan bahwa kebutuhan beragama tidak
baleh dicukupi lebih me wah dari keadaan sebelumnya. Sejak pengawasan kas masjid diperbaiki, di
banyak daerah didirikan rumah ibadah yang melebihi intensitas kehidupan beragama rakyat setempat.
Dulu orang tidak memiliki dan banyak itu, sekarang pun tidak diperlukan sebanyak itu". (Lihat Snouck
Hurgronje, "Moskeekassen", hal. 813). Di sini nampak jelas bahwa Snouck Hurgronje sama sekali tidak
menghendaki peningkatan kehidupan beragama. Ia tidak ingin timbulnya intensitas dan kehebatan
kehidupan agama Islam, terutama dalam konteks penggunaan dana kas masjid tersebut.
97
Pada tahun 1926 masyarakat Pekalongan bermaksud membangun kembali masjidnya. Tetapi,
meskipun kas masjid yang disimpan di bank diper kirakan lebih dari f.26,000, namun mereka hanya
diizinkan menggunakan kas masjid tersebut sebanyak f.6,000,, sedang bitya selebihnya harus dikum
pulkan dari sumbangan wakaf. Seorang penulis "K" memprotes kejadian ini dalam surat kabar Bendera
Islam tanggal 8 Juli 1926. Harta wakaf yang diperlukan diperkirakannya akan bisa dikumpulkan dengan
mudah. Namun penulis ini mempersoalkan ke mana dan untuk siapa bunga dari sekian banyak uang
masjid tersebut Dalam estimasinya dia menyetujui bahwa bunga tersebut tidak akan ditambahkan pada
kas masjid, juga tidak akan dibagikan kepada penghulu atau pegawai masjid. Ia menyarankan hendaknya
biaya pembangun- an bisa menggunakan kas masjid sekitar f20,000 atau f22,000, sehingga tidak perlu
bergantung pada pengumpulan dana wakaf. Saldo f6,000-f4,000, diharapkannya tetap pada kas masjid.
(IPO, II, 1926, hal. 110). Suatu kejanggalan terlihat di sini justru kas masjid tidak bebas digunakan untuk
kepentingan masjid itu sendiri, sementara itu dari kas masjid yang sama bisa dikeluarkan untuk
membangun suatu gedung pertemuan umum.
98
Uang NTR (Nikah Talak Rujuk) di kecamatan daerah Indramayu setelah dikeluarkan untuk
honorarium naib, badal naib, juru tulis dan lebai serta personil masjid, sisanya sekitar separuh disetorkan
ke kabupaten. Di kabupaten harta ini kemudian dikembangkan dan didayagunakan dalam bentuk pemb
angunan gedung atau rumah sewa. Dari sinilah gaji bulanan dan tunjangan pensiun para pegawai agama
setempat bisa ditanggulangi. (Informasi diterima dari K.H. Djazuli Wangsasaputra di Jakarta tanggal 3
Januari1984. Yang bersangkutan adalah lulusan sekolah penghulu Opleidingsschool voor Penghulu di

Universitas Indonesia
105

Dari aneka dokumen tentang kas masjid tersebut, nampaklah bahwa jangkauan
pemerintah Hindia Belanda dalam mengatur masalah ini baru terbatas pada wilayah
Jawa Madura. Di wilayah Sulawesi Selatan misalnya, lembaga kas masjid baru dibentuk
setclah Indonesia merdeka oleh Departemen Agama Republik Indonesia. Pengelolaan
masjid dan urusan nikah di sana sejak ratusan tahun yang lalu dibebankan kepada
Pegawai Syara', yang dipilih oleh jamaah masjid setempat untuk masa tahun.99 Di
wilayah Sumatera Barat pun pemerintah Hindia Relanda tidak pernah mencampuri
masalah keuangan masjid. Hal ini sepenuhnya berada di tangan rakyat setempat.100

Tabel 3.2. Surat Edaran dan aturan terkait kas masjid di Hindia Belanda
Surat Edaran Perihal
Surat Edaran Rahasia 3 - Perintah untuk mengurangi dana kas masjid
Agustus 1901 No. 249 dengan tidak berlebih-lebihan dalam memungut
biaya pernikahan, perceraian, pengurusan warisan.
- Pembatasan penggunaan uang kas masjid hanya
untuk kebutuhan renovasi masjid
Surat Edaran Rahasia 28 Mei - Peringatan kepada Pangreh Praja, Penghulu,

Tasikmalaya, pernah menjabat sebagai Direktur Urusan Agama Departemen Agama RI dan kini menjadi
anggota Majelis Ulama Indonesia). Setelah Indonesia merdeka, pengaturan kas masjid ini diseragamkan
untuk seluruh Indonesia, yakni 20 persen dari uang NTR harus diserahkan ke kabupaten dan 60 persen
disetorkan ke pusat. Dari kas masjid pusat ini sebagian dikembalikan lagi ke daçrah, berupa dana bantuan
bagi pembangun an masjid yang memerlukannya. (Informasi dari K.H. Sjukri Ghozali di Jakarta tanggal 4
Januari 1984. Yang bersangkutan adalah lulusan sekolah penghulu Mamb a 'ul Ulum Solo, pernah
menjabat sebagai Direktur Urusan Agama Departemen Agama RI dan menjadi Ketua Umum Majelis
Ulama Indonesia).
99
Pegawai Syara' ini biasanya terdiri dari seorang imam, dua orang khatib dan dua orang
muazzin/bilal. Mereka menerima nafkah dari zakat dan sodaqah, serta masih dibenarkan mengumpulkan
dana masyarakat bila dipandang perlu untuk kepentingan masjid. Pembagian penghasilan antara imam,
khatib dan bilal ini diatur dengan perbandingan 4:2:1. Tradisi semacam ini telah berjalan puluhan bahkan
ratusan tahun. Pada saat-saat menjelang perang, pemerintah Hindia Belanda penah berusaha mengenakan
pajak pendapatan kepada mereka. Imam harus membayar f4 khatib f2 dan muazzin f1 setiap tahun.
Kebijaksanaan ini cukup mengguncangkan dan menimbulkan reaksi. Banyak orang yang enggan
menerima jabatan pegawai syara' pada masa itu. (Informasi diterima dari K.H. Abduh Pabbajah di Jakarta
tanggal 24 Februari 1988. Yang bersangkutan adalah pemimpin Pesantren A Furqon Pare-Pare).
100
Menurut Buya A.R. Sutan Mansjur, hal ini bisa dimaklumi. Reaksi hebat rakyat Sumatera
Barat terhadap kemungkinan diterapkannya Ordonansi Guru di wilayah ini pada tahun 1928, betapapun
harus diperhitungkan andaikata pemerintah kolonial hendak mencampuri masalah keuangan masjid.
(Informasi diterima dari Buya A.R. Sutan Mansjur di Jakarta tanggal 6 Januari 1984. Yang bersangkutan
pernah menjabat sebagai Ketua Umum Pirmpinan Pusat Muhamma diyah tahun 1953-1959, dan dalam
usia menjelang 90 tahun masih aktif sebagai penasehat pimpinan pusat organisasi tersebut.

Universitas Indonesia
106

1904 No. 240 maupun Binnenlandschch Bestuur yang tidak


mengindahkan Surat Edaran Rahasia 3 Agustus
1901 No. 249
Surat Edaran 1 Agustus 1904 - Pengaturan biaya pernikahan
(Bijblad No. 6057)
Surat Edaran 28 Februari - Status zakat-fitrah dalam kas masjid dan
1905 No. 873 bagaimana penggunaannya sesuai dengan aturan-
aturan agama Islam
Surat Edaran 7 Oktober 1905 - Petunjuk pengawasan dan pencatatan kas masjid
Surat Edaran 28 Agustus - Peringatan untuk mengurangi dana kas masjid dan
1923 imbauan agar dana tersebut hanya digunakan
untuk kepentingan-kepentingan yang bersifat
kemaslahatan (bantuan kepada orang miskin,
orang kelaparan, dan sebagainya)
Surat Perintah Gubernur - Tata kelola kas masjid dan isu-isu terkait yang
Jenderal 20 Mei 1931 melingkupinya
Surat Edaran 24 November - Pembentukan dewan pengawas kas masjid yang
1931 harus melibatkan masyarakat Islam
Sumber: Amelia Fauzia, State and Philanthropy, h. 110.

Keseriusan pemerintah kolonial juga terlihat dari tabel di atas. Terlihat


bagaimana pemerintah menerbitkan berbagai surat edaran terkait kas masjid. Surat-surat
secara umum berisi bagaimana seharusnya kas masjid dikelola secara transparan. Untuk
mencapai transparansi, surat-surat edaran berikutnya dikeluarkan sebagai pedoman
teknis pelaksanaan pengelolaan kas masjid. Dalam perjalanannya, peraturan tersebut
juga dibuat sebagai sarana pemerintah kolonial untuk mengingatkan pejabat bumiputera
bahwa kas masjid bukan lagi daerah otonom milik mereka, melainkan entitas yang
harus diurus dengan menggunakan prinsip-prinsip birokrasi modern.

Universitas Indonesia
107

3.6. Bijblad No. 12726 Tahun 1931: Babak Akhir Pengawasan dan Pengaturan
Kas Masjid
Tahun 1931 menjadi babak akhir dari perkembangan pengawasan dan pengaturan kas
masjid di Hindia Belanda. Setelah mendapat pertentangan dari masyarakat sipil
(sebagaimana akan dijelaskan di bawah, dan lebih jauh pada Bab 5), pemerintah Hindia
Belanda akhirnya menuruti permintaan masyarakat agar melibatkan komponen umat
Islam beserta tokoh-tokoh setempat dalam mengawasi dan mengatur kas masjid.
Keputusan Belanda melibatkan kalangan masyarakat sipil ini juga tidak terlepas dari
semangat agar para bupati dan jajarannya mengurangi perilaku penyalahgunaan
wewenang. Perubahan besar ini kemudian menjadikan bentuk kas masjid sebagaimana
ditemukan di masa sekarang.
Bijblad No. 12726 Tahun 1931 menjadi penanda perubahan besar ini. Aturan ini
membicarakan pedoman komposisi panitia pengawas dan pengelolaan kas masjid.
Dalam surat tersebut termaktub pertimbangan pemerintah Hindia Belanda kenapa
akhirnya perlu ada pelibatan masyarakat dalam urusan kas masjid. 101 Pertama, ada
dorongan yang kuat Dewan Rakyat (Volksraad) agar pemerintah Hindia Belanda mau
menyesuaikan kembali Setelah mendapatkan kritik dari beberapa tokoh seperti
Tjokroaminoto sejak 1919, akhirnya baru berbuah hasil pada 1931. Hal ini juga tidak
bisa dilepaskan dari banyaknya penyelewengan dana kas masjid yang tak kunjung usai.
Apalagi dana tersebut dipakai para bupati bukan untuk kebaikan rakyat luas,
sebagaimana yang dikritik oleh kalangan masyarakat sipil.
Kedua, tampak terlihat bahwa Belanda, setelah mendapat tekanan dari berbagai
kelompok Islam, mau melibatkan orang-orang Islam di daerah dalam mengurusin kas
masjid. Komponen pemerintah, baik yang Eropa maupun lokal, dalam Bijblad ini
menjadi berkurang fungsi pengaturan maupun pendistribusian dana kas masjid, dan
hanya melakukan fungsi supervisi saja. Lebih jauh, bila membaca secara detail Bijblad
ini sebetulnya isinya tidak berbeda jauh dengan aturan-aturan yang pernah dibuat
sebelumnya. Di beberapa daerah, misalnya, adanya pelibatan masyarakat dalam kas
masjid sudah diatur. Hanya saja dalam praktiknya, masih banyak ditemukan daerah
yang justru tidak menjalankan ini sebagaimana mestinya, sebagaimana diberitakan di

101
Lihat: Indisch Verslag 1932: I. Tekst van Het Verslag van Bestuur en Staat van
Nederlandsch-Indië over Het Jaar 1931. (‘S-Gravenhage: Algemeene Landsdrukkerij, 1933), h. 223-225.

Universitas Indonesia
108

Telegraaf102, Bataviaasch Nieuwsblaad103, dan Soerabaiasch Nieuwsblaad104. Contoh


yang dapat disebutkan di sini adalah kasus kas masjid di Pekalongan dan Semarang.
Setidaknya ada tiga pengurus masjid yang terbukti menggelapkan dana kas masjid.
Mereka harus menerima ganjaran dengan dijatuhi hukuman penjara.105 Sehingga,
Belanda berharap Bijblad ini dapat mempertegas kembali posisi kas masjid di
masyarakat dan memperluas skala penerapannya sampai ke seluruh Hindia Belanda,
terutama Jawa dan Madura.
Selain itu, aturan ini juga diharapkan dapat memberikan kesempatan pada
penduduk yang dihormati agar menjadi komisi pengawas kas masjid.106 Mereka bisa
tokoh agama setempat maupun tokoh masyarakat lainnya. Asal bukan bagian dari
pemerintah, maka orang yang masuk ke dalam kriteria tersebut bisa menjadi anggota
komisi pengawas, atau bahkan ketua komisi pengawas. Fungsi pengawas di sini pun
tidak hanya mengawasi, namun lebih luas sampai kepada hal-hal yang sifatnya
penggunaan. Komisi ini berperan tidak hanya sebagai badan supervisi, melainkan juga
sebagai badan yang mengeksekusi kenapa sebuah dana harus dikeluarkan dari kas
masjid. Dengan begitu, uang kas masjid diharapkan dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan penduduk setempat, bukan hanya kepentingan Bupati, penghulu, maupun
jajarannya.
Adanya peraturan ini juga berupaya mendorong supaya ada perubahan kebiasaan
tentang darimana uang kas masjid ini berasal. Masyarakat diharapkan dapat
memberikan kontribusi secara langsung kepada kas masjid, yang selama ini lebih
banyak bergantung pada pungutan yang dilakukan oleh penghulu. Dalam Bijblad No.
12726 ini dijelaskan bahwa sebaiknya masyarakat yang punya harta lebih bisa
memberikan tunjangan pada pengurus masjid atau bahkan mewakafkan hartanya untuk
kepentingan masjid. Namun wakaf yang diutamakan dalam Bijblad ini adalah wakaf
yang sifatnya produktif, sehingga keuntungan dari wakaf dapat menjadi dana abadi bagi
pengeluaran rutin sebuah masjid.

102
“Malversaties met Moskeekas?,” De Telegraaf, 31 Desember 1932, bag. Archipel-Varia.
103
“Verduistering Moskeekas,” Bataaviasch Nieuwsblad, 5 Agustus 1939, bag. Uit de Provincie:
Buitenzorg.
104
“De Moskee-kas en de kas-boekbuilding,” Soerabaijasch Handelsblad, 14 Oktober 1938,
bag. Staadsnieuws: De Bodjonegoro-zaak.
105
“Malversaties met Moskeekas?”
106
“Beheer van Moskeegelden: Voorkoming van Fraude,” Bataviaasch Nieuwsblad, 7
November 1940, 55e Jargang No. 192 edisi.

Universitas Indonesia
109

Lebih jauh, agar ihwal-ihwal yang dicanangkan dalam pendahuluan Bijblad ini
dapat berjalan sebagaimana mestinya, Gubernur Jenderal memberikan beberapa
pedoman yang harus dijalankan oleh semua pihak yang berkaitan dengan persoalan kas
masjid. Pedoman berisi mulai dari pembentukan komisi hingga dimana posisi bupati
pada peraturan terbaru ini.107Berikut poin-poinnya:
1. Urusan mengenai kas masjid diawasi langsung oleh Bupati. Adapun anggaran biaya
pemeliharaan masjid yang diterima baik oleh para pengurus komisi pengawas kas
masjid harus dikirim dan diberitahukan kepada para bupati setiap tahun. Para Bupati
juga mempunyai kewajiban untuk memberitahukan anggaran dalam kas masjid ke
ruang publik dengan cara menempel informasi mengenai hal ini di kantor
kabupaten, kantor Raad Agama, kantor nikah, dan surat kabar milik orang-orang
Pribumi agar bisa dilihat banyak orang (Surat edaran 24 Nopember 1931 No. 2852
B/A). Selain itu, para pegawai Binnenlandsch Bestuur tidak diperbolehkan campur
tangan mengenai hal ini kecuali ada situasi-situasi mendesak yang mengarah pada
pelanggaran aturan.
2. Kalaupun Bupati merasa perlu ada unsur Binnenlandsch Bestuur sebagai pimpinan
komisi pengawas, maka yang ditunjuk sebagai ketua pengawas haruslah seorang
pegawai yang penugasannya di daerah tersebut. Bahkan kalau dianggap perlu dan
kalau mungkin, jabatan ketua pengawas ini sebaiknya diserahkan kepada penghulu
kabupaten.
3. a. Komisi Pengawas Kas Masjid terdiri dari beberapa orang anggota yang ditetapkan
oleh Bupati. Sebaiknya susunan anggota komisi adalah adanya ketua dan jajarannya
harus terdiri dari dua atau tiga orang anggota yang bukan pegawai pemerintah.
Mereka bisa dipilih dari penduduk yang terpandang, dan sangat disarankan punya
latar belakang dari dunia perniagaan atau perusahaan. Seorang atau beberapa orang
ulama juga harus masuk dalam susunan komisi pengawas. Bila kesulitan mencari
orang, semua penentuan diputuskan oleh bupati berdasarkan kepentingan daerah
masing-masing. Ada baiknya memilih anggota yang bukan berasal dari daerah
sekitar, namun masih merasakan manfaat dari kas masjid karesidenan. Penghulu
karesidenan wajib diangkat jadi ketua pengurus masjid. Semua hal yang bertalian
dengan pemeliharaan mesdjid, harus melakukan pemukatan terlebih dahulu dengan

107
Aboebakar, Sedjarah mesdjid, 451–52.

Universitas Indonesia
110

penghulu. Para penghulu ini kemudian mendapat anggaran dari komisi pengurus kas
masjid, yang tentunya setelah mendapatkan persetujuan dari bupati.
b. Selain komisi pengurus, diangkat juga komisi pengurus harian yang terdiri dari
kepala dan seorang atau dua orang anggota yang ditunjuk untuk periode tertentu.
Setiap ada pengeluaran uang kas masjid, para pengurus harian harus mengetahuinya
terlebih dahulu.
4. Peraturan-peraturan yang pernah dikeluarkan sebelumnya mengenai kas masjid
harus diselaraskan dengan tiga poin sebelumnya oleh para bupati. Selain itu, para
bupati hendaklah mengatur pekerjaan yang dilakukan oleh anggota itu bahwa pada
umumnya mereka tidak akan menerima uang pengganti kerugian. Mereka diangkat
untuk beberapa tahun lamanya, tetapi sesudah habis masa jabatannya mereka boleh
diangkat lagi. Uang untuk pemeliharaan mesdjid itu harus ada sistem
administrasinya sendiri, dan sebaiknya dipisahkan dari uang lain-lain, terutama uang
yang diterima oleh pegawai masjid yang menjadi bagian dari pendapatan mereka.
Jika sekiranya pada kemudian hari masyarakat Muslim di Hindia Belanda
menjalankan kehendaknya, yakni akan menjalankan sendiri pengurusan kas masjid,
maka hendaklah Bupati yang bersangkutan menimbang dapat tidaknya permintaan
itu ditindaklanjuti. Sebab, tidak semua karesidenan punya persoalan yang mirip
mengenai kas masjid. Sehingga aturan-aturan yang ada perlu diselaraskan. Jika
bupati memakai kekuasaan yang diberikan kepadanya menurut Staatsblad 1931 No.
467, pasal 1, ayat 9, yakni menetapkan atau mengubah banyaknya bagian perseratus
dari uang nikah yang harus dimasukkan ke dalam kas masjid, maka sebaiknya hal
itu dilakukan dengan meminta pertimbangan dari komisi pengawasan kas masjid.

Mengenai hal di atas, beberapa media juga sudah memberitakannya.108 Hal ini
supaya publisitas atas aturan ini dapat diketahui khalayak, terutama masyarakat Muslim
yang selama ini geram dengan perbuatan penggelapan dana kas masjid. Ini menjadi
salah satu prinsip transparansi yang sedang dijalankan oleh Hindia Belanda, sesuai
dengan kesadaran mereka dalam mentransformasi tanah jajahan mereka dengan
birokrasi modern. Selain itu, dengan diterbitkanya bijblad tersebut, periode pengawasan

108
“Beheer van Moskeegelden: Voorkoming van Fraude.”

Universitas Indonesia
111

kas masjid oleh negara kolonial, teristimewa Binnenlandsch Bestuur, mencapai titik
akhir.

Universitas Indonesia
112

BAB 4
INLANDSCH BESTUUR:
MEMAKNAI KAS MASJID SEBAGAI KUASA ADAT

Bab ini membahas bagaimana transformasi birokrasi di tubuh kolonial yang berdampak
pada munculnya berbagai penyalahgunaan wewenang di tubuh para Inlandsch Bestuur.
Secara umum terlihat bahwa ada kecenderungan otoritas tradisional yang bertabrakan
dengan semangat modernisasi birokrasi pemerintah Kolonial. Dalam kasus kas masjid,
Pangreh Praja yang notabene adalah para priyayi, beranggapan bahwa masjid berada di
bawah kewenangannya. Dengan demikian, aturan yang diberlakukan oleh Kolonial
Belanda tentang pembatasan akses mereka terhadap kas masjid sering tidak dipatuhi.
Selain itu, adanya ambivalensi sikap dari Binnenlandsch Bestuur, termasuk Gubernur
Jenderal, yang tidak menerapkan hukuman kepada mereka yang menyalahgunakan
wewenang, menjadikan para pangreh praja terus mengotak-atik dana kas masjid tanpa
pertaruhan besar. Selain itu, bagian ini juga memperlihatkan bagaimana dana kas masjid
digunakan oleh para Pangreh Praja, termasuk penghulu, untuk kepentingan pribadi
mereka. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan fondasi otoritas kultural mereka di
masyarakat

4.1. Dari Priyayi Tradisional ke Priyayi Modern


Upaya untuk mendefinisikan priyayi, baik priyayi sebagai individu maupun sebagai
kelas sosial, telah dilakukan oleh banyak sarjana. Tidaklah berlebihan jika dikatakan
bahwa kamus kesarjanaan tentang priyayi dapat disusun mengingat informasi rinci
tentang mereka telah banyaka tersedia. “Priyayi” sendiri merujuk pada pejabat
administratif pemerintahan tertentu1, dan karena posisi ini mereka diberi hak oleh
pemerintah kolonial untuk menggunakan gelar kehormatan, seperti Raden atau Raden
Mas. Mereka adalah kelompok sosial yang menguasai dan memonopoli posisi
pemerintahan, maka masuk akal jika “birokrasi priyayi” menjadi ciri utama dari gaya
pemerintahan tidak langsung yang dianut oleh pemerintah kolonial.2

1
Robert van Niel, The Emergence of the Modern Indonesian Elite (Dordrecht [etc.: Foris, 1985).
2
Sutherland, The Making of a Bureaucratic Elite, 1979; Sutherland, “The Priyayi.”

Universitas Indonesia
113

Nampaknya tidak banyak sarjana yang menyatakan bahwa silsilah kerajaan


menjadi elemen penting bagi seseorang untuk disebut priyayi dalam konteks abad ke-
20.3 Bagi mereka, priyayi adalah bangsawan feodal dan pewaris budaya keraton
Yogyakarta dan Surakarta.4 Karena itu, tidak semua pejabat pemerintah bisa disebut
priyayi. Sementara sarjana lain lebih setuju bahwa “priyayi” tidak dilihat dari asal-usul
keturunan mereka, posisi mereka sebagai birokrat dalam sistem pemerintahan kolonial
menyiratkan hal ini.5
Pelembagaan pendidikan Barat menjadi elemen penting dalam pembentukan
priyayi di Jawa6, terutama di Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur7. Adapun di Jawa
Barat, pengaruh Islam cenderung lebih kuat sehingga elemen kepriyayiannya tidak
begitu kuat. Apalagi, kultur priyayi di Jawa Barat yang kerap disebut ménak juga
derivasi dari priyayi di Jawa Tengah.8 Sebab, dengan ekspansi kepentingan Belanda di
wilayah jajahannya—seiring dengan pesatnya kapitalisme global—mereka juga
memperluas kebutuhan mereka akan pejabat pemerintah yang berpendidikan. Dalam hal
ini, lembaga pendidikan menjadi penting agar pejabat adat memiliki kemampuan dasar
menulis surat, membuat laporan, berkomunikasi dalam bahasa asing, dan memahami
adat istiadat Barat lebih dalam.
Selain itu, baik priyayi sebagai pewaris budaya budaya Jawa maupun sebagai
pengurus pemerintahan kolonial, gaya hidup menjadi faktor utama untuk menunjukkan
“kesetiaan” mereka di ruang publik. Gaya hidup mereka menjadi bentuk totalitas dari
berbagai prosedur, adat istiadat, struktur perilaku, kompleksitas simbol, dan sikap hidup
kelompok sosial yang sepenuhnya mempengaruhi kehidupan sehari-hari.9 Ini karena
merupakan fungsi dari stratifikasi sosial dan indikasi perbedaan atau garis pemisah antar

3
Lebih jauh lihat: Leslie H. Palmier, “The Javanese Nobility under the Dutch,” Comparative
Studies in Society and History 2, no. 2 (Januari 1960): 197–227,
https://doi.org/10.1017/S0010417500000669; Leslie H. Palmier, Social Status and Power in Java
(Oxford, UK: Berg, 2004); Savitri Prastiti Scherer, “Harmony and Dissonance: Early Nationalist Thought
in Java” (Ph.D Dissertation, Ithaca, N.Y., Photo Services of Cornell University, 1978).
4
Lebih jauh lihat: Clifford Geertz, The Religion of Java (Chicago: University of Chicago Press,
1976); Sjafri Sairin, Javanese Trah: Kin-Based Social Organization (Jogjakarta: Gadjah Mada University
Press, 1992).
5
Lebih jauh lihat: Sartono Kartodirdjo, A Sudewo, dan Suhardjo Hatmosuprobo, Perkembangan
Peradaban Priyayi (Yoyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993); Moertono, State and Statecraft in
Old Java; Sutherland, “The Priyayi.”
6
Scherer, “Harmony and Dissonance.”
7
Kartodirdjo, Sudewo, dan Hatmosuprobo, Perkembangan Peradaban Priyayi, 1993.
8
Lubis, Kehidupan Kaum Ménak Priangan, 1800-1942.
9
B. J. O Schrieke, Penguasa-penguasa Pribumi (Jakarta: Bhratara, 1974),
http://catalog.hathitrust.org/api/volumes/oclc/5301338.html.

Universitas Indonesia
114

kelompok. Jadi penting untuk digarisbawahi bahwa faktor status, kekuasaan, dan
kekayaan menentukan model gaya hidup yang ingin mereka ciptakan dan pertahankan.
Gaya hidup jika dilihat secara simbolik merupakan subkultur dari tradisi
kejawen (sinkretisme jawa) sebagai tradisi jawa agung yang didukung oleh kelompok
masyarakat tertentu. Sebuah ruang sosiokultural diciptakan dimana kelompok-kelompok
dengan gaya hidup dapat menjalani kehidupannya sesuai dengan status dan perannya.
Dengan gaya hidup ini mereka juga mempertahankan prestise dan kekuatan sosial yang
dibutuhkan untuk mempertahankan posisi politik dan ekonomi mereka. Di sini, ada
pengaruh yang saling menguatkan. Tentunya gengsi sosial ini memungkinkan gaya
hidup elit menjadi model dan mendorong elemen sosial lainnya untuk menirunya, bukan
karena gaya hidup itu sendiri menjadi simbol status. Di sini kita menemukan nilai
tertentu terkait dengan status yang dalam bahasa Jawa disebut juga praja dan
belakangan ini disebut sebagai “gengsi”.10
Di satu sisi, politik kolonial dimaksudkan untuk memodernisasi sistem
pemerintahan yang biasanya bertumpu pada sistem hukum-rasional, sedangkan di sisi
lain dukungan yang kuat kepada birokrat mengarah pada perkembangan kekuasaan yang
lebih tradisional, yang lebih banyak. feodal di alam. Dalam hal ini, pengaruh bupati di
wilayahnya ternyata semakin meluas, dan pengawasan Belanda tidak cukup kuat untuk
mencegah perkembangan menuju re-feodalisasi.11 Reformasi yang dilakukan sejak
Daendels (1808–1811) dan penerusnya kemudian berhasil mereduksi banyak
rombongan bupati, yang tetap bertahan sepanjang abad ke-19, terutama karena sifat
feodalnya yang tidak dapat dihapuskan. Dengan demikian, posisi dan peran bupati saat
itu penuh ambivalensi. Di satu sisi perlu menaati peraturan pemerintah kolonial yang
ingin menegakkan birokrasi dengan otoritas legal-rasional, sedangkan di sisi lain
posisinya sebagai penguasa daerah masih bertumpu pada otoritas tradisional. Tak heran,
sering terjadi konflik antara gubernur jenderal Belanda dengan penguasa pribumi. Satu
konflik terkenal terjadi antara E. Douwes Dekker (Multatuli) dan K.R.T. Karta Negara,
Bupati Lebak.12

10
Kartodirdjo, Modern Indonesia, Tradition & Transformation.
11
Perkara Boemipoetra Jang Bersangkoetan dengan Agama Islam (Weltevreden: Balai Pustaka,
1926).
12
Multatuli, Max Havelaar, trans. oleh Ingrid Dwijani Nimpoeno dan Susanti Priyandari
(Jakarta: Qanita - Mizan, 2015).

Universitas Indonesia
115

Nilai-nilai tradisional menempatkannya sebagai otoritas tradisional dengan


segala kekuasaan dan haknya, tetapi meskipun dituntut dari fungsi birokrasi kolonial
yang rasional-legal, konflik muncul dalam situasi personal, yang menjadi sumber
“korupsi”. Dalam lingkungan tradisional, diharapkan seorang tokoh terkemuka
menjunjung tinggi martabatnya, tidak hanya menunjukkan karakter dan sikap yang
pantas, tetapi di bidang materi, ia juga selalu siap membantu. Hal ini berdampak luas,
karena rumah tangga yang besar juga menanggung banyak kebutuhan kerabat dan lain-
lain. Selain itu, gaya hidup di dalam rumah diharapkan bersifat “grand style” sehingga
terlihat jelas jati dirinya, menonjolkan status tinggi dengan kesopanan yang selaras
dengan kehidupan sehari-hari. Di sini, harus ditetapkan bahwa gaya hidup melekat
dalam mempertahankan status.
Bagi para bupati dan seluruh bawahannya, struktur tersebut menempatkan
mereka dalam situasi paradoks. Di satu sisi, mereka tunduk untuk menunjukkan
kesetiaan penuh kepada atasan mereka, dan di sisi lain, ada kebutuhan untuk
mempertahankan dan menunjukkan kewibawaan dan “kebesaran” kepada bawahan dan
rakyat. Di sini, “keutamaan” membuat mereka merasa perlu melakukan kompensasi,
bertindak sebagai katalisator dalam menyalurkan kekuatan pengaruh kolonial ke bawah.
Sikap terhadap bawahan juga menjadi otoriter, tidak hanya terhadap bawahan tetapi
juga terhadap keluarga dan kerabatnya. Sikap seperti itu berdampak luas pada
kehidupan sehari-hari di lingkungan dan menumbuhkan otoritarianisme dalam gaya
hidup priyayi. Dikombinasikan dengan pola hierarki ketat yang disebutkan di atas,
muncullah etos feodalistik yang kuat.13
Dari sudut pandang ini, kekuasaan kolonial cenderung mempertahankan — jika
tidak memperkuat — struktur sosial feodal, sekaligus menggunakan sistem yang ada
dan menghambat pertumbuhan kelas menengah yang kuat. Memang tidak dapat
disangkal bahwa birokrasi tradisional yang kemudian berpotensi menjadi penghubung
antara masyarakat adat dan penguasa kolonial, sehingga transisi menjadi jauh lebih
mudah.14 Di sinilah letak strategis “priyayi” sehingga bisa dieksploitasi sejauh mungkin
mengingat posisi tawar yang kuat.
Dalam kaitannya dengan agama, posisi kegamaan bupati sesungguhnya adalah
ciptaan Belanda, karena mereka sendiri tidak ingin terlibat dalam urusan agama.
13
Kartodirdjo, Modern Indonesia, Tradition & Transformation.
14
Kartodirdjo, Sudewo, dan Hatmosuprobo, Perkembangan Peradaban Priyayi, 1993.

Universitas Indonesia
116

Belanda sangat memahami bahwa sebagai orang Kristen mereka harus menghindari
kesan bahwa mereka ikut campur dalam urusan umat Islam dan melakukan segala upaya
untuk mendorong bupati sebagai pimpinan umat. Taktik ini, bagaimanapun, memiliki
kontradiksi yang menjadi makin tampak pada dekade terakhir abad ke-19.15
Seorang bupati adalah pemimpin umat dan tradisi Islam. Hal ini umumnya
berkaitan dengan tiga bidang: hirarki, kas masjid, dan upaca keagamaan. Bupati adalah
pemimpin hakim agama dan punya wewenang menunjuk kekosongan hakim dan
dimintai perimbangan atas urusan ini. Lebih penting lagi, bupati juga memiliki peran
menentukan dalam menangani kas masjid, yang didapat dari biaya perkawinan,
perceraian, dan zakat-fitrah. Kadangkala kas masjid digunakan untuk kepentingan
pribadi bupati dan menjadi penghasilan tambahan baginya ketimbang digunakan untuk
pemeliharaan masjid dan menggaji pengurusnya atau untuk amal. Kas masjid dapat
menjadi rebutan antara priyayi dan pemuka agama sehingga harus dilerai oleh Belanda.
Peran bupati yang paling tidak kontroversial adalah tempatnya yang khusus dalam
upacara keagamaan, misalnya imam saat shalat Id di akhir bulan puasa di Masjid Agung
ibukota Kabupaten. Peran terakhir ini, sebetulnya, menaikkan prestise bupati dan
menambah aura religius pada dirinya.
Belanda kurang menyukai sikap beragama yang ketat dan taat, khususnya di
kalangna priyayi. Belanda merasa sifat-sifat seperti ini adalah milik kelompok Islam
fanatic, sehingga dianggap merupakan sentimen anti-Kristen atau anti-Eropa. Belanda
secara alamiah lebih suka priyayi yang suka minum anggur dan nakal, dan lebih suka
mempromosikan orang seperti ini.16 Di pihak lain, pengaruh para priyayi terhadap
urusan agama setempat tentu bergantung pada kepribadian, ketaatan, dan hubungannya
dengan Islam.
Sekitar 1880an, Belanda mulai menaruh perhatian pada urusan Islam di Jawa
secara hati-hati. Para sarjana Belanda yang ahli agama Islam memberi pengaruh pada
bidang yang selama ini tidak pernah disentuh Belanda. Supaya tidak membuat
perubahan yang terlalu radikal terhadap kebijakan lama yang bersifat non-intervensi,

15
Ong Hok Ham, Madiun dalam Kemelut Sejarah: Priyayi dan Petani di Karesidenan Madiun
Abad XIX, 276.
16
Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriftenm Vol. IV/I, “Brieven van een Wedono-pensioen
1891-1892”, 167-170. Dalam sebuah surat pensiunan wedana ini Snouck menunjukkan dengna brilian
dunia kehidupan seorang pensiunan pejabat pribumi: pikirannya, budaya, adat, kepercayaan agama dan
spiritual, juga kritiknya terhadap orang Eropa.

Universitas Indonesia
117

para sarjana ini sangat berhati-hati dalam memecahkan urusan tentang Islam. Pada
1885, misalnya, L.W.C van den Berg, seorang penasihat dalam “Bahasa Timur dan
Hukum Islam” diperintahkan untuk menyelidiki beberapa buku agama dalam bahasa
Arab yang ditemukan di masjid-masjid Madiun. Dalam menjalankan tugas ini Van den
Berg pergi ke toko buku Jawa dengan menyamar dan berpura-pura ia tertarik secara
intelektual di hadapan pemilik toko. Kepada Batavia ia melaporkan semua Tindakan
kehati-hatian ini supaya tidak membuat malu pemerintah.17
Berlawanan dengan sikap hati-hati yang coba dijaga oleh Van den Berg,
Christiaan Snouck Hurgronje,18 yang ditunjuk menduduki jabatan yang sama pada 1889,
melakukan safari keliling Jawa dengan tugas untuk melakukan riset tentang institusi
keagamaan setempat.
Perjalanan ini juga membawanya sampai ke Karesidenan Madiun, di mana ia
mengamati khususnya dua bupati, yaitu Bupati Madiun dan Ponorogo, yang
berpengaruh besar dalam urusan masjid dan keagamaan.19 Keduanya, seperti kita
ketahui, berasal dari keluarga lama di Madiun, ditarik dari keturunan wali di daerah
tersebut, Bathara Katong. Keluarga Bupati Magetan adalah keturunan Bathara Katong
lainnya. Namun di wilayah ini, mitos Bathara Katong tidak memiiki pengaruh, sehingga
garis keturunan Bupati di sana tidak memiliki pengaruh dalam urusan keagamaan.
Bupati Ponorogo, Tjokronegoro, berkerabat dekat dengan kepala desa dan guru
desa perdikan Tegalsari dan merupakan keturunan guru besar Kiai Imam Besari II.
Bupati meletakkan klaim khusus atas keutamaan agama Islam dan menurut Snouck,
didukung oleh “penghulu setempat yang tidak cakap namun baik hati”.20 Menurut
Snouck, bupati mengutip kitab Islam yang tidak pernah ada tentang segala macam
aturan tentang perkawinan dan posisi keagamaan seorang penguasa, yang memberikan
hak kepadanya untuk mengurusi kas masjid semaunya.21

17
Ong Hok Ham, 260
18
Harry J. Benda, The Crescent and the Rising Sun. Karya ini memberikan evaluasi tentang
pengaruh Snouck dalam membentuk kebijakan dan pendapat Belanda. Menurut Benda (h. 65), Snouck
secara sadar membuat kebijakan untuk mendorong dan mempromosikan priyayi berpendidikan Barat
sehubungan dengan rencananya untuk Indonesia di masa depan yang lebih otonom, yang diperintah oleh
sekelompok pejabat pribumi.
19
Snouck Hurgronje, Aantekeningen, Manuskrip University of Leiden, Oriental Library, 1132-
33. Manuskrip ini berisi catatan yang seringkali tidak terbaca dari safari keliling Jawa Snouck Hurgronje
pada 1890. Sebagian besar pengamatan dimuat dalam Verspreide Geschriften dan Adviezen.
20
Snouck, Aantekeningen, 1133.
21
Ibid.

Universitas Indonesia
118

Pada 1891 Bupati Ponorogo mengusulkan untuk mengasingkan seorang guru


spiritual setempat. Ketika dimintai pendapat tentang masalah ini, Snouck membkan
pandangan yg berbeda dan menyatakan bahwa guru ini tidak besalah. Ia lebih lanjut
menunjukkan bahwa seorang bupati tidak memiliki hak secara hukum untuk memaksa
guru ini menghadiri salat Jumat di Ponorogo. Ia juga menunjukkan bahwa bupat ini
tidak menetahui tentang hakikat dari tarekat di dalam Islam berdasarkan laporannya, di
mana guru ini adalah pimpinannya. Snouck merasa bahwa motivasi bupati ini adalah
untuk menyenangkan Belanda dengan menunjukkan kekuasaannya atas guru tersebut.
Pemerintah sangat takut terhadap guru spiritual seperti ini sejak Pemberontakan Banten,
di mana banyak guru dan pemimpin agama memainkan peran penting di dalamnya.22
Kecemasan akan penilaian pemerintah Belanda, bagaimanapun, kurang menjadi
motif untuk menjelaskan Tindakan bupati ini dibandingkan dengna keinginan untuk
menyingkirkan rival dalam urusan keagamaan. Pemimpin agama, dalam batas tertentu,
terlibat di dalam intrik dan politik priyayi setempat. Tjokronegoro dan Ponorogo
terkenal sebagai seorang Muslim yang taat dan ketat, meskipun bukan seorang Muslim
terpelajar menurut standar Snouck. Ikut campurnya bupati, misalnya dalam urusan
perkawinan dan perceraian, tidak ada hubungannya dengan penilaian pemerintah
Belanda. Penanganan perkara-perkara ini oleh bupati menimbulkan kontroversi, dan
Snouck lagi-lagi dimintai pendapat oleh pemerintah. Ia melaporkan bahwa bupati ini
tidak mengetahui prosedur dan hukum dalam perkara perceraian yang ia tangani, dan
terlebih lagi ia mengutip kitab lokal yang tidak pernah ada. Sang bupati mencoba
mengisi jabatan pemuka agama sebisa mungkin dari keponakan dan kerabatnya atau
orang yang bisa disetirnya. Ia tidak mencoba menyembunyikan ini sama sekali dari
Snouck, bahkan bangga akan hal itu, karena ini membuktikan pengaruh besarnya
keluarganya dalam urusan agama dan menunjukkan kekuasaan keluarganya.23
Pernyataan Bupati Ponorogo ini menimbulkan sedikit gejolak lokal, karena kalau hal ini
tidak muncul, Belanda tidak akan pernah mengetahuinya. Sang bupat tentu saja
menganggap dirinya sendiri sebagai imam atau pimpinan umat di Ponorogo.
Selama safarinya di Jawa pada 1890 Snouck Hurgronje mencatat ada seorang
bupati lain di Karesidenan Madiun yang mengklaim peran keagamaan, artinya ia
berpengaruh pada penghulu dan pemuka agama lainnya. Ia ada Bupati Madiun, R.M.A
22
Snouck Hurgronje, Adviezen Vol. I, 751-753.
23
Adviezen, 759-61.

Universitas Indonesia
119

Brotodiningrat. Namun tidak ada cerita bahwa bupati ini mengurus perkara perkawinan
dan perceraian, dan yang lebih penting lagi tidak ada kontroversi yang muncul. Bupati
Madiun tampaknya tidak punya rencana untuk melembagakan agama dalam dirinya atau
dalam posisi bupati, seperti yang coba dilakukan oleh rekan bupatinya di Ponorogo.
Kepentingan keagamaan Brotodiningrat lebih bersifat pribadi, meskipun karena
posisinya memberi akibat secara umum. Kita bisa mengatakan bahwa ia sedikit
eksentrik dalam menjalankan praktik keagamaan di dalam batas kabupatennya atau
mengingatkan kita pada raja-raja Hindu dari Jawa Timur, yang menjalankan ritus tantra.
Bupati ini tampaknya melembagakan beberapa bentuk doa mistis di kabupatennya,
sementara ia mencoba menggabungkan urusan agama dan sekuler. Ia memiliki
sekelompok gadist yang menari dan menyanyi semacam syair moral dan semi-religius.
Snouck hadir sekali dalam festival Maulid, dimana sebuah pertunjukan sacral diadakan
dengan diiringi gamelan sementara orang di sekitarnya berjudi.24 Sinkretisme semacam
ini dalam urusan agama juga dijalankan oleh bupati lain seperti Brotodiningrat.
Bupati Madiun yang sama, yang memegang teguh hak prerogratif dan dominasi
dalam urusan setempat, bisa melihat dengan jelas dampak dari campur tangan Snouck
Hurgronje dalam urusan keagamaan. Ia pasti cemas ketika Snouck diangkat pada 1899
sebagai penasihat “Urusan Bahas Pribumi dan Arab”, sehingga ia bertanya apakah
penasihat memiliki hak untuk menyelidiki “… urusan yang berkenaan dengan bupati”.25
Status bupati sebagai kepala agama diperbincangkan dalam Volksraad.26 Sebuah
notulensi Volksraad27, misalnya, dapat menunjukkan bagaimana status keagamaan
seorang Bupati di masyarakat dan pada saat yang sama hal ini dilihat penting oleh para
pemegang kebijakan. Semua ini tentu saja dilihat dalam kerangka persoalan kas masjid.
Adapun pembicaraan ini dilakukan oleh Soeroso, Soejono, dan Meyer Ranneft:
“Persoalan kas masjid mengakar pada sejarah panjang Jawa dan Madura.
Tetapi seiring berjalannya waktu tradisi panjang tersebut mulai menghilang.
Kami juga membuat sejarah, dan bukannya para pejabat administrasi, yang lain
datang untuk mencari kontak dengan Residen. Itu jelas. Orang-orang itu tidak

24
Adviezen, 593-94
25
Vb. 26 Oktober 2013 dalam Ong, 263.
26
“Volksraad Eerste Gewone Zitting 1923: Onderwerp 1 – afd. V stuk 7 Begrooting van
Nederlandsch voor Het Dienstjaar 1924”, Afdeelinigsverslag 1923-4 488, 4.
27
“18de Vergadering – Mandag 29 Juni 1925: Avondevgardering Onderwerp 1 – afd. v stuk 8
Begrooting 1926 afd V”, Dept van Onderwijs en Ereendiests Uitgaven in Indië 1924-25 676, 542-543.

Universitas Indonesia
120

begitu terhalang oleh semua ketentuan yang mungkin, seperti kita, karena
mereka bukan warga negara. Seringkali untuk menghubungi penduduk Pribumi
kita membutuhkan perantara dari para pemimpin intelektual populer, yaitu yang
bonafid di antara mereka. Demi kepentingan manajemen yang baik, kami
mencari kontak dengan Residen tersebut..........
Pak Soeroso: Benar!
Tuan Soejono: ... tapi tentu saja tanpa menghilangkan pemerintahan
Pribumi dan Eropa.
Bapak Voorzitter! Untuk kembali pada ambiguitas kedudukan para
bupati, juga dalam pemerintahan Pribumi pada umumnya, berikut ini.
Saya senang mengetahui bahwa dalam beberapa hal Pemerintah
memenuhi keinginan berbagai anggota Volksraad sehubungan dengan campur
tangan pemerintah Pribumi, pertama-tama berkaitan dengan penguasa masjid.
Saat ini bupati disebut sebagai pemimpin rakyat, dan juga pemuka agama Islam
di wilayahnya, tetapi dalam praktiknya hal ini tidak berarti banyak, karena ia
begitu terikat dengan aturan dan peraturan yang melampaui kewenangan pusat.
Sekarang Pemerintah memberikan ruang bagi partisipasi komunitas Muslim
untuk diekspresikan sebanyak mungkin dalam pengelolaan kas masjid.
Ini juga berlaku untuk izin pemberlakuan aturan baru mengenai Shalat
Jumat. Saya sangat menghargai itu, karena saya sendiri tahu dari pengalaman
bahwa seringkali membuat saya pusing kepala untuk membuat keputusan dalam
hal ini. Hukum Mohammedansch (red: syariah Islam) agak kabur dalam hal ini,
bagaimanapun hal itu menimbulkan kesulitan, dan ketika Pemerintah
memberikan lebih banyak kebebasan, sehingga tidak diperlukan izin dari bupati
untuk mendirikan masjid atau mendirikan ibadah Jumat, saya tidak bisa
bersyukur cukup kepada Pemerintah untuk itu.
Sehubungan dengan kedudukan Pemerintah Daerah pada umumnya dan
para bupati pada khususnya, yang menjadi pertanyaan adalah apakah
pelaksanaan desentralisasi lebih lanjut tidak akan menurunkan kedudukan para
bupati Yang bersangkutan Bapak Presiden? dalam hal ini ketentuan yang tegas,
tentu saja, bahwa bupati mengetahui denyut nadi waktu, bahwa melalui
desentralisasi kesempatan diberikan kepada penduduk asli dari yang tinggi ke

Universitas Indonesia
121

rendah, semaksimal mungkin untuk memajukan kepentingan lokal dan bila


bupati memperhatikan bahwa dia akan melepaskan posisi otokratisnya, saya
akan menyebutnya posisi hormat, demi tuntutan yang dibuat masyarakat saat
ini, saya tidak khawatir dengan kemerosotan posisi bupati. Sebaliknya, sebagai
imbalan atas kurangnya otoritas palsu lahiriah, jika perlu, otoritas kekuasaan,
sebagai gantinya muncul penguatan otoritas Inlaudian, berdasarkan kerja sama
internal penduduk.
Mr Meyer Ranneft berbicara dengan satu kata tentang hubungan antara
orang Eropa dengan orang Pribumi. Saya juga tidak akan membahas ini secara
mendetail, karena hal-hal yang diperlukan telah dikatakan pada kongres dewan
asli, tetapi saya ingin menunjukkan kepada Tuan. Ini adalah masalah kekuasaan
yang begitu banyak dan eksklusif untuk kelompok tertentu seperti adanya,
masalah psikologis. Emansipasi penduduk Pribumi, dan khususnya Pemerintah
Pribumi, membuat tuntutan lain dan memberi alasan untuk memaksakan
tuntutan lain pada pemerintahan Pribumi itu.”

Di atas kita dapat melihat bagaimana Soejono menjelaskan kepada seluruh


peserta sidang Volksraad, terutama merespon Meyer Ranneft, mengenai situasi bupati
yang secara formal merupakan pemuka agama Islam di wilayahnya. Namun dalam
pratiknya, bupati nyatanya menyerahkan otoritas agama pada ulama-ulama setempat,
terutama ulama penghulu yang secara administratif menjadi bawahan dari para bupati.
Hal ini tidak terlepas dari aturan pusat yang sebisa mungkin memisahkan urusan-urusan
sekuler dengan agama. Bupati selalu kepanjangan tangan dari pemerintah kolonial pun
terikat pada aturan agar netral pada agama. Oleh karena itu, posisinya atas agama
cenderung tercerabut. Dalam situasi seperti ini, tentu saja pelibatan masyarakat Muslim
di luar pemerintah, sebagaimana dinyatakan Ranneft, menjadi poin penting yang
diapresiasi oleh anggota Volksraad seperti Soejono.

4.2.Posisi Penghulu dan Personalia Masjid dalam Urusan Kas Masjid


Penghulu adalah sebuah jabatan keagamaan di pulau Jawa. Mereka yang menjadi
penghulu ditugaskan sebagai kepala masjid, lalu ditunjuk dan bertanggunjawab
langsung kepada seorang Bupati. Posisinya kurang lebih mirip seperti direktur masjid.

Universitas Indonesia
122

Ia diangkat sebagai pegawai negeri, yang antara lain bertugas membantu bupati dalam
mengawasi umat Islam. Tindak-tanduk penghulu pun diawasi oleh Gubernur Jenderal.
Hal ini sesuai dengan instruksi rahasia Raja Belanda kepada Gubernur Jenderal untuk
mengambil tindakan yang diperlukan dalam rangka memelihara tugas pengawasan yang
dilakukan oleh para bupati terhadap ulama pribumi. Hal ini misalnya dapat dilihat pada
Besluit Raja no. 78, tanggal 4 Februari 1859, ayat 80, arsip UB no. 1803, A21, Leiden.28
Para penghulu tersebut mengelola dana milik masjid, mengatur ritual
peribadatan, dan mengawasi para pegawai masjid. Para penghulu juga harus
memastikan para pegawainya memberikan pelayanan yang terbaik pada masyarakat,
terutama dalam hal pernikahan dan pungutan zakat-fitrah. Mereka mengelola dan
mendistribusikan honorarium yang didapat dari aktivitas di atas kepada para personalia
masjid. Selain itu, uang yang mereka dapat juga harus dialokasikan ke kas masjid. Uang
ini nantinya akan digunakan oleh penghulu untuk merawat masjid.
Tidak ada fungsi tetap bagi para penghulu dan bawahannya dalam menjalankan
tugas. Hampir semua tugas penghulu bisa dilakukan oleh bawahannya. Bahkan di
sebuah daerah bawahan justru melakukan semua tugas-tugas penghulu.29 Namun, para
bawahan penghulu tidak bisa mengakses kas masjid. Akses kas masjid terbatas hanya
pada bupati dan penghulu, dan pada tahun-tahun berikutnya residen atau asisten residen.
Para bawahan penghulu ini biasa disebut sebagai modin, lebe, naib, dan sebutan lainnya.
Kepala staf masjid di daerah-daerah administratif yang lebih kecil tidak disebut sebagai
penghulu, melainkan naib atau wakil kepala divisi penghulu. Dari sisi pakaian,
penghulu biasanya memakai, pakaian Arab (sorban dan tabard) dengan atau tanpa
tasbih. Meski demikian, hal ini tidak bisa digeneralisir. Selain itu, hampir semua
penghulu menguasai Bahasa Arab, meskipun sangat sederhana, dan sudah pernah
melakukan ibadah haji ke Mekah. Tidak sedikit juga para penghulu yang menggunakan
nama Arab.
Praktik di Jawa menyiratkan bahwa sebagian besar penghulu di daerah juga
memiliki fungsi "hakim" (kadhi) bagi masyarakat Muslim. Dalam kapasitas ini,
penghulu ditugaskan untuk (1) menyelesaikan perselisihan tentang keluarga dan hukum
waris sesuai dengan hukum Islam; (2) menunjuk wali bagi anak di bawah umur; (3)
penghulu juga menjadi wali hakim di saat perkawinan wanita-wanita Muslim yang pada
28
Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 1985, 3.
29
M. Moesa, “Keloeh Kesahnya Pegawai Mesdjid Jepara.”

Universitas Indonesia
123

saat pernikahan mereka tidak memiliki akses kepada seorang wali dari kerabat laki-laki
mereka; dan (4) menjadi nazhir bagi aset-aset wakaf umat Islam.
Pemerintah, bagaimanapun, memanfaatkan jasa penghulu dengan menunjuk
mereka menjadi bagian dari Landraad dan berfungsi sebagai penasihat bagi umat
Muslim. Mereka juga ditugaskan untuk mengambil sumpah para saksi Muslim di
pengadilan. Oleh karena itu, ada dua jenis penghulu yang bisa ditemukan di Jawa.
Pertama adalah penghulu-landraad yang ditunjuk oleh pemerintah dan statusnya sebagai
pegawai negeri. Mereka ditugaskan menjadi ketua Raad Agama. Sementara yang kedua
adalah penghulu masjid yang ditunjuk oleh Bupati. Untuk yang terakhir, penduduk juga
punya istilah sendiri dengan nama penghulu kawin, penghulu hakim, atau juga penghulu
masjid. Tapi ada juga wilayah dimana jabatan penghulu Raad Agama dan penghulu
masjid dijabat oleh satu orang. Hal ini misalnya terjadi di Priangan. Melihat hal ini,
pemerintah pun justru ingin menyeragamkan model seperti ini. Alasannya agar semua
penghulu bisa mendapatkan gaji tetap dari negara, dan pemerintah berharap dapat
menekan kasus-kasus penyelewenangan jabatan di masjid.
Sekarang akan dijelaskan lebih jauh mengenai staf masjid di bawah penghulu.
Mereka bertanggung jawab atas pelaksanaan ibadah, pemeliharaan, kebersihan dan
penerangan masjid, penyediaan air wudhu, dan segala urusan domestik lainnya di
masjid. Mereka berada di Jawa di bawah pengawasan penghulu. Jumlah mereka
tergantung pada keadaan setempat, tetapi jarang kurang dari empat, dan di masjid-
masjid besar kadang-kadang bisa lebih dari 40 orang. Gelar yang mereka bawa punya
semuanya adalah turunan dari bahasa Arab, seperti imam, ketib, dan modin. Istilah
imam merujuk pada orang yang memimpin shalat sebagai. Sementara katib atau ketib
adalah orang yang bertugas sebagai pengkhotbah. Khatib umumnya bertugas
membacakan khutbah Jumat dan pada hari-hari raya. Sementara itu, modin merupakan
turunan dari bahasa Arab mu'addzin. Ia adalah orang yang ditugasi melakukan adzan. Di
tanah Sumatera, modin sering disebut sebagai bilal. Staf masjid lain yang bisa
ditemukan adalah merbot. Secara kultural merbot mirip seperti abdi dalem Istana. Sebab
tugas mereka benar-benar hal yang berkaitan dengan pembersihan bangunan,
penyediaan air, penerangan dan pembersihan lampu dan kegiatan sejenis.
Fungsi-fungsi yang melekat pada jabatan-jabatan di atas dilakukan secara
bergantian di antara staf masjid. Meski demikian, tidak semuanya mampu berkhotbah

Universitas Indonesia
124

walau hanya membaca pedoman yang sudah ada. Fungsi lain yang tidak bisa dijalankan
banyak staf adalah imam shalat. Hanya staf-staf tertentu yang dapat menjalankan fungsi
ini. Bahkan di banyak daerah fungsi ini hanya bisa dijalankan oleh para penghulu.
Namun, biasanya ada kalipah (wakil) yang berdiri di samping penghulu, dan mereka
yang akan menggantikan kedua tugas ini bila penghulu tidak dapat hadir.
Penunjukan staf tetap di masjid sifatnya sangat tentatif, sesuai kebutuhan daerah
masing-masing. Utamanya sesuai dengan ukuran ketertiban yang diperlukan sebuah
masjid. Oleh karena itu, pejabat masjid tidak memperoleh prestise pribadi apa pun dari
aktivitas profesional mereka.30 Gaji yang mereka terima untuk ini biasanya sangat kecil.
Apalagi, mereka belum dianugerahi jabatan khusus apa pun yang bersifat religius dan
kharismatik setidaknya di mata struktur pemerintahan.31

4.3.Distribusi Penggunaan Kas Masjid oleh Pangreh Praja


Tidak dapat dipungkiri bahwa uang seringkali membawa perubahan. Posisi paradoks
Pangreh Praja di tengah transformasi kolonial membuat segalanya semakin rumit. Studi
ini menunjukkan bahwa uang tunai masjid lebih sering digunakan untuk keperluan
pribadi daripada untuk kepentingan pemeliharaan masjid. Dari 203 kasus yang diteliti,
setidaknya 27% menunjukkan para priyayi menggunakan uang tunai masjid untuk
kegiatan amal. Kegiatan ini paling sering dilakukan karena dapat meningkatkan reputasi
priyayi di ruang publik. Mereka menyalurkan dana tersebut kepada orang-orang miskin,
seperti para janda dan tenaga penjual. Namun, amal sebagian besar ditujukan untuk
membantu orang-orang miskin di Eropa. Alasannya tidak diketahui, tetapi sangat
mungkin hal ini terjadi karena inisiasi dari asisten residen atau residen.

30
Lihat misalnya: Snouck Hurgronje, Mr. L. W. O. van den Berg's beoefening van het
Mohammedaansehe reoht, p. 47-5/5 (Ind. Gids, 1884 I, p. 409-417); DeAtjèhers I, 88v. (The Achehnese I,
85 v.); Het Mohanlmedanisme, in Colijn's Neerland's Indië I, p. 254; de Islam in Ned.-I ndië p. 10 (Gr.
Godsd. Ilo ser., p. 386); Rapport over de Mohamm. Godsd. rechtspraa.k (Adatreohtbundel I. p. 206)enin
de Bijdr. t.d. T., L. En Vlk. v. N. I., Volg'- Dl. 6 (1882) p. 358v. ; A.W. 'f. JuynbolI,
EtymologiseheMededeelingen p. 3 vvo (Tijd8ohr. v. N. l., 1870 I, 444 vv.); Kleine bijdragen over den
Islam op Java p. 6 v. (Bijdr. t. d. T., L.•n Vlk. v. N. I . 4.Volgr. 6. Dl. (1882) p. 267 v.); L. W. C. va.n den
Derg, De Moharum. geestelijkheid en de geostelijke goederen op Ja.va. en Madoera, Ba.ta.via.1882, p. 6-
10; P. J. Veth, Jovo IV (1907) p. 426-429, I (1875) 374.
31
Lihat misalnya: Snouck Hurgronje. Rapport over de Mobammedaansohe godsdienstige
reohtspraak met name op Java (Adatreohtbundel I , 206 vv.); Do Atjèhers, I , 368 vvo (The Aohehneae, I,
338 vv.); De Islam in Ned.Indië, p. 11 vvo (Groote godadiensten. Serie 11, p. 387 vv.); Het
Mohammedanisme (Oolijn's Neerland's Indië J, p. 254); L. W. . van den Berg, Do Mohamm.
geestelijkheid en geestelijke goederen op Java en Madoera (Tijdsohr. v. h. Batav. Genootsoh. Dl. XXVII
(1882) p. 7.); herziene overdruk van die verhandeling (Batavia 1882) p. 6 vv.; Th. W. Juynboll.
Handleiding llohamm. wet (1003» p. 75 vv. ; P. J. Veth. Java Dl. IV. (1907) 429.

Universitas Indonesia
125

Pada Gambar 4.1, gaya hidup ditampilkan dalam arti sempit, tidak seperti
penjelasan sebelumnya. Di sini, gaya hidup diartikan sebagai pengeluaran yang
berkaitan dengan penampilan priyayi dan keluarganya. Beberapa contohnya antara lain
penggunaan uang tunai masjid untuk renovasi makam, renovasi kantor, pembelian
bendera, dan judi kartu Tionghoa. Selain itu, terkadang pos belanja tunai masjid
berbentuk tunjangan tetap, seperti tunjangan bagi priyayi yang dipecat atau peningkatan
pendapatan bagi priyayi, sehingga tidak mengherankan jika 10% kasus pelecehan
masuk ke ranah gaji.

Pangreh Praja dan Kas Masjid, 1882-


1942

Hadiah

12% 10% Kredit & Deposito


10% Lain-lain
18%
Sarana Publik
4%
Derma
27%
19% Gaji
Gaya Hidup

Gambar 4.1. Penggunaan Kas Masjid oleh Para Pangreh Praja berdasarkan Sasarannya
(Sumber: Diolah dari delpher.nl dan Arsip Digital Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia)32

Meski begitu, tidak menutup kemungkinan penggunaan uang masjid juga


ditujukan untuk kepentingan umum. Beberapa pencairan tunai masjid dilakukan untuk
membasmi tikus, mendistribusikan benih, membantu penuai padi yang tidak berhasil
dan warga yang dibakar, membangun rumah sakit, menerangi jalan umum, bahkan
memperbaiki jembatan. Pinjaman juga merupakan sektor penggunaan terbesar ketiga.
Hal ini terlihat jelas karena kolegialitas yang tinggi di antara para priyayi membuat

32
Data yang ditampilkan diolah menggunakan perangkat angka Microsoft Excel. Langkah
pertama adalah membuat database yang berisikan informasi berupa tahun terbit artikel, judul artikel,
konten artikel, dan klasifikasi kasus kas masjid yang dibahas dalam artikel. Setelah data terkumpul,
gambar dibuat dengan mengkuantifikasi jumlah kasus kas masjid berdasarkan klasifikasinya.

Universitas Indonesia
126

mereka mau membantu satu sama lain, terutama jika rekan priyayi mereka bergelut
dengan hutang, baik dari orang Tionghoa maupun rentenir dari kelompok lain.
Bagi para priyayi, kegiatan di atas jelas merupakan simbol yang menunjukkan
identitas sosial budaya mereka di ruang publik. Reputasi sangat penting bagi para
priyayi karena memudahkan komunikasi sosial mereka, baik kepada masyarakat umum
maupun pemerintah kolonial. Selain itu, terlepas dari apakah terjadi proses transformasi
kolonial atau tidak, upaya mempertahankan reputasi juga dapat dibaca sebagai upaya
menjaga tatanan sosial yang terpelihara dalam waktu lama. Ini bukan semata-mata
ornamen melainkan lebih dari itu. Ia menjadi suatu mekanisme yang berfungsi
melambangkan makna kehidupan, kekuatan, kekayaan, dan kewibawaan karena masing-
masing faktor dapat menjadi sumber daya sosial budaya yang mengarah pada potensi
masing-masing di masa depan.
Namun, menggunakan uang tunai masjid tidak berarti bahwa para priyayi tidak
memiliki risiko sama sekali. Dalam mempertahankan reputasinya, para bupati selalu
khawatir akan dihukum di pengadilan. Sebagai contoh, hal ini dapat dilihat dalam
laporan Direktur Binnenlandsch Bestuur 26.6.1873, di mana Bupati Tuban telah
mengambil 20.000 dari uang tunai masjid. Dia tidak bisa menjelaskan dengan jelas uang
tunai masjid yang dia gunakan kepada asisten residen. Karena itu, ia dipanggil
pengadilan, apalagi setelah kasus itu menjadi perhatian utama gubernur jenderal Hindia
Belanda saat itu.
Dipublikasi dalam koran nasional, lokal, bahkan Belanda, seharusnya membuat
semua orang berpikir berulang kali sebelum menggunakan dana masjid di luar aturan
karena jika ditemukan, eksposur semacam ini jelas akan mengancam reputasi priyayi.
Sangat mungkin kebanggaan jatuh di mata masyarakat, terutama di kalangan
masyarakat anti-kolonial terdidik. Itu adalah pertaruhan yang signifikan. Apalagi, uang
tunai masjid adalah salah satu dana sosial umat Islam, dan akan menjadi masalah nyata
bagi siapa pun yang mengacaukannya. Penggunaan uang masjid yang tidak masuk akal
dapat menyebabkan ketidakpercayaan. Hal ini misalnya terjadi ketika Sarekat Islam
beberapa kali membuat masalah kas masjid dalam kongres nasionalnya. Alasannya, para
priyayi tidak menggunakan uang itu untuk kesejahteraan umat Islam di Jawa.
Kendati demikian, hukuman pengadilan seperti yang diterapkan kepada Bupati
Tuban dan pemaparan berita dan debat dalam kongres organisasi masyarakat besar

Universitas Indonesia
127

bukanlah peristiwa yang sering terjadi. Sehingga secara hipotetis, hal ini membuat para
priyayi tidak terlalu khawatir melakukan perbuatan curang. Apalagi, tindakan
penggunaan uang masjid di luar aturan kerap melibatkan warga dan asisten warga.
Bahkan, warga Surabaya menyarankan kepada para priyayi untuk mendonasikan
seluruh uang yang ada di masjid ke rumah sakit Kristen di Mojowarno yang dipimpin
tokoh Zending, J-Kruyt. Menurut warga, bantuan ini diperlukan karena umat Islam juga
dirawat di rumah sakit. Ia tidak pernah mendengar keluhan atau protes dari bupati atau
penghulu karena sedekah sangat dianjurkan dalam hukum Islam. Apalagi sesuai aturan
yang ada di pemerintahan kolonial Belanda, warga diminta mengawasi dana masjid, tapi
mereka juga dilibatkan.

4.4.Patuh Terhadap Peraturan


Ada bupati maupun penghulu yang patuh terhadap peraturan yang telah dikeluarkan
oleh Pemerintah Hindia Belanda terkait kas masjid. Hal tersebut dapat ditemukan dalam
beberapa pemberitaan. Overzicht van de Inlandsche en Maleisch-Chineesche Pers No.
28/1921, "Masjid-Comite", Oetoesan Hindia, 4-7-1921, misalnya.
Dalam koran tersebut seorang wartawan melaporkan pada Minggu 3 Juli 1921,
diadakan sebuah pertemuan di di Sekolah Agama Nahdlatul Wathan Kawatan,
Surabaya, untuk mendirikan Komite Pengawas Kas Masjid. Pertemuan itu dihadiri kira-
kira 200 orang. Hadir pada pertemuan tersebut seorang Patih Surabaya bersama
beberapa polisi mantri dan penghulu masjid Surabaya, Raden Hadji Mohammad. Rapat
dibuka oleh H. Dahlan Imam yang setelah kata sambutan menyerahkan pimpinan
kepada Bapak R. Sosropoero sebagai ketuanya.
Selanjutnya, saat mulai berpidato, H. Dahlan memberikan informasi kepada para
hadirin tentang buruknya kondisi masjid di Kemajoran dan Kendjeran, yang dibenarkan
oleh H. Abdullah Hakim dan Kiai Mansur dari Gemblongan. Mereka memberikan
kesaksian tentang situasi penanganan kas masjid di daerah-daerah tersebut, dan menurut
laporan tersebut mereka termotivasi atas kewajibannya sebagai umat Muslim terhadap
situasi masjidnya. Dalam perbincangna tersebut juga diperbincangkan tentang rencana
pendirian kantor pribadi bagi para anggota Raad Agama dan para penghulu beserta
jajarannya. Sehingga mereka tidak lagi berkantor di masjid, sebuah ruang yang bagi

Universitas Indonesia
128

mereka sakral. Masjid sudah seharusnya menjadi upacara keagamaan dan pelajaran
agama, sebagaimana tertuang dalam laporan tersebut.
Setelah perdebatan panjang, mereka memutuskan untuk membentuk Komite
Masjid dengan nama "Masjid Ta'mirul Surabaya”. Pengurus dipilih dengan H. A.
Dahlan dari Kebon Dalam sebagai ketuanya. Sedangkan Bupati Surabaya diangkat
sebagai penanggungjawab komite tersebut. Sementara patih, polisi mantri, dan penghulu
masuk menjadi semacam satuan pengawasan di komite tersebut.
Menanggapi pertanyaan dari sekretaris R. Sastrodipoero (kepala sekolah), patih
tersebut menyatakan bahwa, sejak tahun 1916, kas masjid di Surabaya tidak menerima
bagian dari perkawinan dan perceraian, yang seluruhnya digunakan untuk pembayaran
pegawai masjid. Itulah sebabnya saldo kas masjid menjadi kosong dan tidak ada
restorasi yang bisa dilakukan di masjid. Patih berjanji untuk meminta rekening dana kas
masjid untuk diselidiki lebih jauh. Pertemuan tersebut diakhiri dengan penggalangan
dana untuk membangun kembali kas masjid yang sesuai tujuan pemerintah. Setidaknya
terkumpul f476,50 dalam bentuk tunai.
Liputan ini memberi gambaran bahwa sebetulnya tidak semua bupati tidak taat
pada aturan-aturan Gubernur Jenderal mengenai pembatasan uang di kas masjid. Sedari
Snouck memberikan gagasan ini pada 1903, sudah ada beberapa masjid yang kas
masjidnya berkurang sedikit demi sedikit. Selain itu, Gubernur Jenderal juga
memberikan perintah khusus kepada Kantoor voor Inlandsche Zaken (Kantor Urusan
Agama Pribumi) untuk menangani langsung pengurangan uang kas masjid ini.

4.5.Penggunaan Kas Masjid di luar Aturan


Penggunaan kas masjid di luar aturan pemerintah Hindia Belanda masih lebih mudah
ditemukan daripada yang patuh. Sebuah laporan dalam Bataviaasch Nieuwsblad 14 Mei
1889, dengan judul “Moskeekassen” (h. 4-5) memperlihatkan bagaimana seorang
Bupati menghabiskan uang dari kas masjid tanpa alasan yang jelas. Atas kesalahannya
tersebut, dirinya dipaksa untuk mengundurkan diri dan ditutut secara serius. Adapun
penggalan berita mengenai kesewenangan Bupati dalam memanfaatkan kekuatan
kulturalnya dapat dilihat sebagai berikut33:

33
“Moskeekassen”, Bataviaasch Nieuwsblad 14 Mei 1889.

Universitas Indonesia
129

“Dilaporkan secara rinci juga tentang status bupati dengan penghulu sebagai
dua orang yang bertanggungjawab secara langsung terhadap persoalan agama
Islam. Namun, apakah mereka begitu bersalah, atau lebih tepatnya, bukankah
itu kejadian yang wajar? Menurut penulis laporan tersebut. Bupati menyukai
agama, dan oleh karena itu penghulu, yang mengelola masjid, adalah
bawahannya. Sementara untuk pundi-pundi kas masjid, secara kultural
penghoeloe tidak akan pernah menuduh bupatinya, jika hanya karena ia juga
menangani pundi-pundi tersebut dari waktu ke waktu, pemeliharaan dan
perbaikan masjid, jadi orang hanya perlu melihat sekilas semua bangunan
bobrok, kurang terawat untuk yakin akan kebenaran. Selain itu, dia telah
menangani kasus pidana, dia pasti telah menulis kepada seorang anggota yang
berpengaruh di Dewan Volksraad, yang dia sambut beberapa waktu yang lalu,
bahwa dia dengan senang hati menerima uang dari kas masjid sebesar kira-kira
f6,000. Bupati, Penghulu, dan anggota dewan tersebut makan dan minum
bersama menggunakan uang dari kas masjid tersebut.
Bupati juga sering meminjam uang dari kas masjid. Beberapa waktu lalu
saya mendengar dari sumber yang dapat dipercaya, dari seseorang yang
mungkin tahu bahwa salah satu bupati Jawa yang paling berhak memiliki
masjid. Selain itu mereka dipromosikan karena dianggap memiliki martabat
yang tinggi, dan yang telah berdiri di Hindia Belanda selama bertahun-tahun
sebagai pegawai negeri sipil tertinggi. Juga salah satu keluhan dalam kasus
bupati yang sekarang banyak dibicarakan adalah bahwa oleh, saya yakin,
f30,000 telah dikaburkan dari masjid. Dan kini ada kasus lain yang sampai ke
telinga seorang bupati yang harus mengajukan pengunduran dirinya, lagi-lagi
“karena telah menghabiskan uang dari kas masjid.” Apakah pemerintah tidak
akan melakukan apa-apa tentang hal ini? Menurut saya dengan menyerahkan
administrasi kepada Komisi pejabat terpercaya di markas kabupaten (Patih,
Pengumpul, Wedono; bukan Bupati atau Penghoeloe, tentunya), dengan hak
untuk Pembantu Residen dan Bupati, untuk diizinkan memeriksa pembukuan
sama sekali. Uang kemudian, kecuali untuk Bom yang cukup untuk perbaikan
kecil, disimpan dengan Penerima Umum, atau jika perlu diinvestasikan dalam
dana yang solid dan dengan demikian dibuat berbunga.”

Universitas Indonesia
130

Berita lain juga ditemukan pada Bataviaasch Nieuwsblad, 02-12-1904, h.4. Di


awal Desember, Yayasan Panitia Khusus Orang Sakit dan Miskin Semarang dibuka
secara resmi. Banyak pihak yang berkepentingan, termasuk semua otoritas sipil.
Penduduk, Pdt. De Vries, memperingati kemunculan komite, dukungan besar dari
pegawai negeri dan individu swasta dan memberikan penghormatan kepada perawat
Dr.Benyamin Toor yang tidak tertarik, kepada Tuan Brouwer dari Bala Keselamatan
yang mengelola yayasan. Saldo kas sekarang f32,000. Dia mendesak semua untuk
mengeksplorasi lubang dukungan keuangan, menyesali penolakan pemerintah untuk
memberikan subsidi. Kemudian ia mempersilakan warga untuk menghadiri pembukaan
resmi. Warga dalam pidatonya antara lain mengatakan bahwa permohonan subsidi telah
diajukan olehnya - tanpa memberikan nasihat yang baik sekali pun. Setelah itu,
Komandan Van Dorssen dan bupati berbicara, yang menjanjikan dukungan finansial
dari masjid. Semua kemudian mengunjungi gedung dan interiornya.
Di Arnhemsche Courant, 14-4-1905, h. 2, dimuat bahwa Bupati Poerwokerto,
selama berbulan-bulan ia telah mendapat laporan dari warga Rembang tentang tindakan
Bupati Bodjonegoro Raden Adipati Reksokoesoemo, yang tindakannya mendesak
Residen tersebut Bupati akan mengundurkan diri karena menyalahgunakan
wewenangnya dalam menggunakan uang kas masjid.
Kasus bupati dikatakan terkait dengan pertanggungjawaban masjid dan berbagai
keluhan tidak menyenangkan lainnya yang diajukan terhadap dirinya oleh warga
Bodjonegoro. Dan menunggu keputusan pemerintah, keluhan lain masih masuk. Bupati
Bodjonegoro lahir rendah dan mencapai posisinya sekarang karena kemampuannya
sendiri. Hanya sesaat sebelum pengangkatannya sebagai bupati dia menerima, sebagai
patih Bodjonegoro, predikat dewan, dan kemudian penghargaan. Bupati pasti sudah
tanya ke pemerintah. Untuk bisa membenarkan diri sendiri. Tidak diketahui apakah
pemerintah akan mengizinkan hal ini, tetapi bagaimanapun juga, mengingat hubungan
di dunia Pribumi, keputusan yang cepat diperlukan.
Di Mojokerto pada 1907, Bupati menggunakan sebagian uang kas masjid untuk
membeli bahan tanaman yang indah dari hasil panen untuk dibagikan ke aset pantomim.
Sehingga bupati hanya memutar uang kas masjid lewat modus operandi tanaman hias
mahal. Selain itu, dirinya juga membeli tanaman hias namun bersamaan dengan padi

Universitas Indonesia
131

yang disimpan di lumbung. Oleh karenanya, pembelian semacam ini sulit terlacak oleh
elemen Binnenlads Besturr, utamanya Residen dan Asisten Residen. Namun akhirnya,
modus ini terdengar dan bupatinya diperingkatkan.34
Di Sukabumi, kasus kas masjid juga sampai ke ranah gugatan. Pada Algemeen
Handelsblad, 23-12-1913, h. 11, ditemukan hasil pemeriksaan kekurangan kas masjid di
Masjid Sukabumi menunjukkan bahwa pembantu residen dan bupati melakukan cek
tunai bersama pada 11 November. Administrasi sudah benar, tapi aman di ruang kantor
teras, satu kunci cadangan oleh pengbulu, yang lainnya di teras, ternyata terbuka dan 35
ribu kecuali 29 gulden uang perak hilang. Polisi sedang menyelidiki masalah ini dengan
rajin. Rumah kaca itu tidak dimasukkan selama bertahun-tahun.
Hal ini juda terekam dalam surat Haji Hasan Moestapa pada Snouck Hurgronje.
Pada Surat Or. 8952 A 736 Tanggal 27 Januari 1912 (h. 6) – Jajang A Rohmana (h.
015), di antara kabar lainnya, karena terdorong pikiran yang sudah tua, saya memberi
tanda tangan (teken) untuk utang bank sebesar 3,000, sandarannya dengan segel untuk
jaminan harta sampai (sebanyak utang) tersebut. Bila terjadi sesuatu yang menyalahi
urusan itu, maka jaminannya yang diamankan dari hasil kas beserta aneka warna yang
dihasilkan setiap bulan dikurangi permintaan per bulan. Dan utang itu digunakan untuk
memperbaiki masjid. Peminjam merupakan pemberi wakaf mandiri yang baru sekaligus
pengutang. Saya tertawa melihat orang-orang yang tergesa-gesa membenarkan
pembicara yang cepat dari ... tetapi dalam (perkara) itu, tidak khusus tercantum nama
saya, karena sudah umum diketahui oleh semua. Sedangkan jaminan yang lazim berlaku
adalah harta milik yang punya urusan.
Sebagai tambahan, sebagaimana tertera dalam Surat Or.8952 A 737 Tanggal 12
Agustus 1915 (h. 1).35 Adapun urusan yang terkenal tentang kas masjid Sukabumi dicuri
64,800 orang-orang dalam pun sangat sedih dalam urusan ini hingga sampai ke
Mahkamah Yustisi di Betawi pada 10 Agustus dengan menghadirkan 56 saksi kembali
mendatangi Gedung Bicara.
Sementara di Cirebon, Hoofdpenghoeloe dan stafnya dipecat. Seperti yang
dilaporkan oleh Aneta kepada kami dari Cheribon, kepala penghoeloe, wakil kepala

34
Adatrechtbundel II; Bezorgd door de Commissie voor het Adatrecht; Java en Madoera, ('S-
Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1911), 249
35
Rohmana, Informan Sunda masa kolonial, 189.

Universitas Indonesia
132

penghulu, dua penghulu, dan enam imam dipecat juga dalam kasus penggelapan dana
kas masjid.36

4.6. Deposito dan Kas Masjid: Cara-cara Mendapatkan Uang Tambahan


Ada berbagai cara yang dilakukan oleh para Pangreh Praja bersama penghulu dalam
menggunakan uang kas masjid. Dalam Tanda Kemadjoean, 11 Januari 1919, diberitakan
bahwa ada sebagian uang kas masjid di Tegal yang dideposito ke bank. Kejadian ini
terjadi pada 1912, dimana sebesar f10,000 diinvestasikan ke sebuah bank dan
memberikan bunga sebesar dalam 5 tahun. Sehingga pada 1917, uang yang
diinvestasikan tersebut bertambah menjadi f3,470. Pada tahun yang sama, para
pengurus masjid dengan instruksi bupati kemudian menginvestasikan lagi sebesar
f20,000 ke bank. Sehingga uang tersebut terus bertumbuh dengan sistem bunga
berbunga (compounding investment).
Ihwal serupa ternyata juga pada sebuah tulisan di Het Nieuws van den Dag, 1
Desember 1913. Sebuah bank di Pati kedapatan menerima deposito uang kas masjid
sebesar f12,000. Ketentuan deposito yang berlaku adalah sang pemilik dana tidak dapat
mengambil uang tersebut dalam kurun waktu tertentu, namun imbalannya adalah
mendapatkan bunga sebesar 6% dari total modal disetor setiap tahunnya. Namun, dalam
tulisan di koran ini ternyata ada praktik dimana uang sebesar f12,000 itu sempat diambil
sebesar f2,500 dan sebelum akhir tahun 1913 uangnya kembali menjadi nominal
semula. Diperkirakan uang deposito dari kas masjid ini akan tumbuh sebanyak f2,160
dalam tiga tahun.
Kasus semacam ini sebetulnya sudah pernah didiskusikan oleh beberapa residen
maupun asisten residen kepada Snouck Hurgronje. Beberapa pertanyaan dari mereka
kepada Snouck umumnya berupa hukum Islam mengenai bunga bank. Respon Snouck
cukup jelas bahwa sebagian besar Muslim di dunia tidak bisa menerima bunga bank
dengan alasan riba. Namun pada praktiknya hal tersebut tetap berjalan di tengah-tengah
masyarakat Muslim. Selain itu, Snouck juga pernah kedapatan sebuah pertanyaan
mengenai mendepositokan uang kas masjid ke bank dari beberapa bupati. Saat itu
respon Snouck kira-kira tidak mengizinkan sebab itu bertentangan dengan aturan yang
sudah dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal.

36
Aneta, “De Fraudes te Cheribon,” De Koerier, 10 Januari 1935, bag. Nederlandsch Indie.

Universitas Indonesia
133

Tapi apa yang terjadi di lapangan adalah sebaliknya. Beberapa bupati justru
memanfaatkan jumlah dana mengendap yang besar di masjid untuk diputar kembali
dalam bentuk investasi. Deposito adalah salah satu pilihan mereka. Namun yang
menjadi persoalan dalam hal ini adalah tidak adanya pencatatan yang jelas. Karena
bunga deposito umumnya tidak boleh dimasukkan ke dalam kas masjid, membuat bunga
ini tidak jelas lari kemana.
Beberapa laporan dari masyarakat di media cetak menyebutkan bahwa uang
tersebut justru digunakan untuk kepentingan pribadi para bupati. Ada juga yang
menyebutkan bahwa uang tersebut juga dinikmati oleh para penghulu. Namun, yang
pasti, memang tidak ada pencatatan yang jelas mengenai penggunaan uang kas masjid
untuk deposito. Sehingga masyarakat meminta agar para Binnenlandschch Bestuur ikut
mengawasi secara seksama praktik seperti ini, meskipun mereka mengerti dengan ikut
mengawasi artinya meminta pihak Belanda untuk ikut campur urusan adat dan agama.
Pada 1918, pemerintah Binnenlandschch Bestuur pun turun tangan mengawasi
persoalan deposito ini. Dalam sebuah laporan, di sebuah daerah yang tidak disebut
namanya, seorang asisten residen menyelidiki arus keuangan dari kas masjid. Ia
menemukan bahwa ternyata pencatatan kas masjid tidak berjalan sesuai aturan. Buku
jurnal yang seharusnya diperbarui setiap 3 bulan, ternyata sudah lama tidak dijalankan
di daerah tersebut. Alhasil, asisten residen tidak menemukan bukti tertulis dari
penggunaan uang kas masjid untuk deposito.
Dengan banyak kasus seperti ini, akses ke kas masjid sendiri sejak tahun 1905
harus berdasarkan izin bupati dan residen/asisten residen. Sebab keduanya harus sama-
sama hadir untuk membuka kunci untuk mengakses kas masjid. Satu kunci tidak bisa
membuka akses kas masjid, sehingga dibutuhkan dua kunci. Para penghulu yang ingin
mengakses brankas kas majsjid harus meminta izin terlebih dahulu. Namun, dalam
beberapa kasus, ketika asisten residen mundur dari jabatannya, kunci ini kerap tidak
diturunkan kepada penerusnya. Kerapkali justru para penghulu yang diamanatkan untuk
memegang kuncinya.
Adanya celah seperti ini yang kemudian membuat pengawasan kas masjid
menjadi sangat sulit dilakukan. Meskipun sudah banyak masukan dalam majelis
Volksraad (sebagaimana dijelaskan dalam Bab 5), pada praktiknya hal-hal yang ideal
menjadi sulit dijalankan. Termasuk soal deposito, pemerintah akhirnya tidak bisa

Universitas Indonesia
134

berbuat banyak meskipun ada banyak laporan dari berbagai pihak. Uang deposito dari
dana kas masjid yang diharapkan dapat membantu masyarakat, justru tidak terlacak
penggunaannya dan diduga masuk ke kantong-kantong pribadi para bupati atau
penghulu.

4.7.Kas Masjid Bagian Dari Kekuasaan Adat?


Dengan judul “Regents en Moskeekassen”, koran Oetoesan Jawa menceritakan tentang
seorang penduduk asli Semarang, di mana dia melaporkan apa yang dia amati baru-baru
terjadi di Jepara pada 1897. Menurut laporan tersebut terdapat sebuah kas masjid yang
dikepalai oleh Bupati, sementara para penghulu menjadi kaki-tangannya dalam
menangani hal-hal yang sifatnya administratif. Akses ke kas masjid hanya dimiliki oleh
Bupatinya. Sebagai pewaris kekuasaan kultural dari garis kerajaan Mataram, para
Bupati ini, yang kemudian menjadi Pangreh Praja di bawah sistem administrasi Hindia
Belanda, merasa kekuasaannya masih sama seperti dulu. Hegemoni adalah dirinya,
sesuai dengan kepercayaan kuno mengenai dewa-raja. Sehingga kas masjid tentu saja
menjadi entitas yang sudah seyogyanya menjadi miliknya.
Meski demikian, dalam laporan tersebut para penduduk setempat menganggap
ini bertentangan dengan adat, karena ia menganggap kas masjid sebagai milik pribadi
yang dimiliki oleh bupati. Apalagi dana tersebut didapat dari pungutan terhadap
masyarakat, dan pada beberapa titik dari para penghulu itu sendiri. Selain itu, beberapa
penduduk menganggap biaya yang dikumpulkan sudah seharusnya menjadi honorarium
resmi dari para penghulu dan bawahannya yang terlibat dalam pekerjaan-pekerjaan
mengkawinkan orang. Uang tersebut pun dipercayakan oleh masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan tempat ibadah dan untuk keperluan terkait lainnya. Oleh karena
itu, dalam kasus terakhir, dana kas masjid untuk tujuan keagamaan, telah dipungut dari
retribusi penduduk.37
Masih dalam laporan tersebut, bupati merasa bahwa mereka mendapat
kepercayaan dari administrasi Hindia Belanda untuk mengatur segala urusan di
daerahnya. Sehingga, mereka mendapat dua kewenangan sekaligus: administratif dan
kultural. Selain itu, berdirinya kas masjid juga tidak bisa dilepaskan dari prakarsa
bupati. Awalnya, uang tersebut digunakan sebagai biaya perawatan masjid bila

37
De Locomotief, 03-12-1897, 3

Universitas Indonesia
135

dibutuhkan. Kadangkala juga sebagai dana tambahan bagi para personalia masjid di
bawah penghulu. Para Binnenlandsch Bestuur yang seharusnya mengawasi para Bupati
ini bahkan tak jarang ikut dalam persengkokolan penggunaan dana kas masjid. Hanya
saja, biasanya mereka menggunakan kewenangan konsultasinya yang luas dan
mendorong para Bupati untuk mengalokasikan dana masjid buat keperluan umum.
Sangat disayangkan bahwa banyak dari mereka tidak berhenti di situ, tetapi
mengambil alih manajemen kas masjid hampir seluruhnya. Menurut laporan dalam
Locomotief dan Java Bode bahkan tidak jarang mereka––dalam hal ini Pangreh Praja
dan Binnenlandsch Bestuur––bersalah atas penggunaan dana kas masjid di luar aturan.
Hanya saja dari laporan tersebut terlihat bahwa para Bupati terkesan menggunakan
kewenangannya untuk menggunakan kas masjid buat dompet pribadinya.38
Meski demikian, tidak selamanya bupati menganggap kas masjid adalah bagian
dari kekuasaan adat. Di berbagai daerah di Jawa, pundi-pundi yang mengisi kas masjid
hanyalah sedikit porsi dari tarif yang ditarik oleh para penghulu. Penghulu masih
mendapatkan bagian yang cukup ketimbang untuk sekedar mengisi pundi-pundi masjid,
sebagaimana terjadi di beberapa daerah lainnya di Jawa.
Untuk bupati yang memberlakukan kas masjid seperti di atas, mereka
meletakkan dirinya sebagai pejabat administratif. Mereka mengakui bahwa dana kas
masjid tidak boleh dianggap sebagai milik pribadi, apalagi ada peraturan dari Gubernur
Jenderal yang tidak memperbolehkan mereka mengakuisisi kas masjid sebagai bagian
dari kekuasaan mereka. Hal ini tertera pada peraturan yang dikeluarkan oleh Residen
Rembang misalnya. Ia, setelah berkonsultasi dengan bupati, memberikan contoh yang
baik pada tahun 1892 dengan menetapkan peraturan tentang pungutan, pengelolaan,
serta distribusi yang kas masjid. Peraturan ini membuat semua orang tahu apa yang
harus dipatuhi, apa yang harus dibayar atau diterima, dan apa yang harus dilakukan oleh
para Pangreh Praja maupun pegawai Binnenlandsch Bestuur. Para bupati yang semena-
mena bahkan bisa menerima konsekuensi hukum maupun administratif dari negara.
Dalam surat edaran tanggal 4 Agustus 1893, Pemerintah merekomendasikan
contoh baik ini kepada kepala daerah lainnya untuk diikuti. Pengaturan yang akan
dibuat, dengan mempertimbangkan adat istiadat setempat sebanyak mungkin, harus
bertujuan untuk menjaga pungutan pendeta dalam batas yang moderat, untuk mencegah

38
Java-Bode, 30-11-1897, Regenten en Moskee-kassen, 1

Universitas Indonesia
136

penghulu yang lebih rendah diabaikan oleh atasan mereka di divisi, atau untuk
mencegah pejabat Asli, di bawah atas nama pengawas administrasi, membiarkan diri
mereka sendiri menghabiskan dana untuk keperluan mereka sendiri. Dengan cara ini
pengaturan secara berangsur-angsur muncul, yang tentunya tidak akan mengurangi
martabat para bupati. Majalah itu berharap para bupati di Jepang memiliki pemahaman
yang lebih baik tentang tugas mereka dan tidak akan menganggap diri mereka
bertanggung jawab kepada siapa pun atas uang yang dikumpulkan oleh penduduk.
'Justru merupakan karakteristik dari para bupati terbaik di zaman modern bahwa mereka
menunjukkan lebih sedikit keterikatan pada ketakutan tradisional itu daripada pada
penghargaan umum bahwa mereka dapat merusak diri mereka sendiri dengan integritas
resmi, bahwa mereka lebih terikat dalam jabatan administratif mereka.untuk tugas
mereka. dan mulai kurang memikirkan hak-hak istimewa kantor mereka, lebih
menghargai pendengaran atas nasihat mereka yang terinformasi dan mengurangi
penampilan dan bau yang sia-sia.
Namun terlepas dari apapun, kewenangan bupati dalam menggunakan dana kas
masjid jarang sekali mendapat tindakan tegas dari pemerintah. Hanya ada beberapa
kasus dimana para pengguna dana kas masjid di luar ketentuan di bawah sampai meja
hijau, sebagaimana terjadi di Sukabumi. Posisi bupati juga merasa mereka tidak perlu
bertanggungjawab kepada siapapun. Bahkan dalam beberapa kasus, keterlibatan mereka
dalam masalah ini kerap tidak terendus sebab pengelola yang bertanggungjawab secara
langsung adalah para penghulu. Situasi kas masjid pada akhirnya membingungkan,
tergantung daerah-daerah masing-masing. Tidak bisa digeneralisasi bahwa semua
pengalaman pengelolaan kas masjid di Jawa punya pola serupa. Namun yang jelas,
beberapa kasus besar dimana para penghulu menyalahgunakan wewenangnya dapat
ditemukan di berbagai pemberitaan, sebagaimana yang terjadi di Jepara (1897), Tegal
(1912), Semarang (1915), maupun Sukabumi (1917).

Universitas Indonesia
BAB 5
MASYARAKAT SIPIL:
SEMANGAT MEMPERJUANGKAN KAS MASJID

Bagian ini memperlihatkan bagaimana semangat transformasi birokrasi di tubuh


pemerintahan Eropa maupun Pribumi direspon oleh masyarakat kolonial. Dalam kasus
kas masjid, bab ini menggambarkan bagaimana masyarakat sipil memasuki ruang-ruang
modern yang lahir karena semangat modernisasi birokrasi dalam mewarnai perubahan
dan kesinambungan kas masjid di Hindia Belanda. Di berbagai kesempatan masyarakat
sipil punya anggapan bahwa penggunaan kas masjid harus mengedepankan prinsip-
prinsip yang menguntungkan masyarakat secara luas, terutama masyarakat yang secara
ekonomi tidak beruntung. Dalam menguraikan hal ini, ada beberapa hal yang dibahas,
yakni pertama, bagian ini akan menjelaskan hubungan masyarakat sipil di Hindia
Belanda dengan Islam. Mengingat studi ini mengenai kas masjid, maka penting melihat
pergerakan masyarakat sipil yang dekat dengan Islam. Kedua, studi ini menyelidiki
lebih lanjut perbincangan-perbincangan strategis mengenai kas masjid oleh kelompok
masyarakat sipil dengan pihak pemerintah baik di Volksraad (Dewan Rakyat) maupun
media cetak. Ketiga, bagian ini juga memotret kegelisahan dari modin, meski
sebetulnya menjadi bagian dari penghulu, yang terdampak kebijakan pengelolaan kas
masjid di Hindia Belanda. Benang merah dalam bagian ini menemukan gencarnya kritik
masyarakat sipil lewat berbagai cara dalam memperjuangkan kas masjid.

5.1.Islam dan Masyarakat Sipil di Hindia Belanda


Kebangkitan masyarakat sipil di Hindia Belanda menjadi pemicu bagi berbagai
perubahan sosial. Dalam beberapa studi didiskusikan bahwa mereka menjadi kekuatan
sosial yang menolak hegemoni negara kolonial, feodalisme, dan di saat yang sama
memperjuangkan kemerdekaan lewat berbagai upaya.1 Muhammadiyah, misalnya, bisa
dibaca sebagai salah satu organisasi yang menjadi tonggak berdirinya perkumpulan sipil

1
Lihat misalnya: Fauzia, Faith and the State, 2013; John Keane, ed., Civil Society and the State:
New European Perspectives (London ; New York: Verso Books, 1988); Garry Rodan, The Prospects for
Civil Society in Southeast Asia (North York, Ontario: University of Toronto-York University Joint Centre
for Asia Pacific Studies, 1997); Charles Taylor, “Invoking Civil Society,” dalam Philosophical
Arguments (Cambridge: Harvard University Press, 1990).

137
138

dan organisasi sosial politik di Hindia Belanda saat itu.2 Setelah sebelumnya didahului
pendirian Sarekat Islam sebagai perwujudan masyarakat sipil dalam konteks ekonomi
politik. Mereka menjadi ruang semai bagi lahirnya gerakan nasionalis sekaligus gerakan
masyarakat sipil di awal abad ke-20, selain tentunya organisasi-organisasi lain yang
bergerak dengan landasan kultural seperti Boedi Oetomo ataupun sosialisme seperti
Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV).
Semua ini bila dilacak berawal dari Kebijakan Politik Etis (Ethische Politiek)
Belanda, yang tentu saja tidak bisa dimaknai sebagai bentuk balas budi an sich.
Apalagi, mereka sebetulnya membutuhkan sumber daya manusia untuk menjalankan
pemerintahannya di Hindia Belanda. Dengan adanya kebijakan ini, harapannya
masyarakat lokal dapat memiliki keterampilan administratif dan mau menjadi pegawai
pemerintah kolonial––dan tentu saja dengan standar gaji masyarakat pribumi. Namun di
saat yang sama kebijakan ini malah menjadi bumerang. Sebab, kebijakan ini
memunculkan kelas sosial baru yang membawa aspirasi kemerdekaan sebagai sebuah
kesadaran baru. Mereka mulai berorganisasi dan bergerak secara komunal. Berbagai
organisasi masyarakat sipil semakin bermunculan, mulai dari yang bergerak di bidang
sosial, pendidikan, dan agama. Tidak sampai situ, aspirasi mereka tentang kesadaran
baru sebagai bangsa pun terus didiseminasikan lewat berbagai sarana informasi, baik itu
sekolah maupun surat kabar. Lambat laun, fenomena ini melahirkan gerakan
kemerdekaan Indonesia.3
Dengan semakin merebaknya kesadaran nasionalisme di masyarakat, konflik
antara negara kolonial dengan kelompok masyarakat sipil ini semakin tak terelakkan.
Kelompok ini barangkali yang biasa disebut sebagai kelompok nasinoalis, dengan
berbagai varian dan spektrumnya. Spesifik pada kelompok Muslim, Belanda menaruh
kecurigaan penuh lantaran orang-orang Islam menjadi bibit potensial yang dapat
melahirkan gereakan-gerakan pemberontakan––sebagaimana terjadi pada tahun 1800an.
Akibatnya, pemerintah kolonial kerap melanggar aturan mereka sendiri mengenai
posisinya yang seharusnya netral agama. Tercatat bahwa beberapa aturan dihembuskan
pemerintah kolonial untuk menghambat pertumbuhan kelompok masyarakat sipil ini.4
Kondisi makin buruk lantaran adanya diskriminasi antara kelompok Islam dengan

2
Taufik Abdullah, “Historical Reflections on Civil Society in Indonesia” (1999).
3
Abdullah.
4
Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 1985, 26–38.

Universitas Indonesia
139

kelompok Kristiani dalam konteks subsidi pendidikan. Sehingga ada yang kemudian
menolak sepenuhnya subsidi yang diberikan oleh negara kolonial sebagai bentuk
resistensi mereka. Meski demikian, Muhamamdiyah justru mengambil jalan berbeda.
Agar terus tumbuh sebagai organisasi masyarakat sipil, mereka tetap mengambil subsisi
dari Belanda. Akibatnya, ada beberapa kalangan yang mencap Muhammadiyah sebagai
kolaborator kolonial.5
Namun dari semua itu, kebangkitan masyarakat sipil paling fenomenal,
khususnya yang punya kaitan erat dengan masyarakat Muslim, adalah Sarekat Islam
(SI). Merupakan kelanjutan dari Sarekat Dagang Islam (SDI), SI berdiri pada 26 Januari
19 September 1912 di Surabaya. Kemudian beberapa bulan setelahnya, tepatnya 26
Januari 1913, partai ini melakukan kongres partai pertama di Surabaya yang diikuti oleh
puluhan ribu peserta.6 Gerakan masyarakat sipil ini menjadi solid lantaran hasil kongres
partai tersebut melahirkan pemimpin baru yang sangat karismatik, Oemar Said
Tjokroaminoto, sebagai nahkoda baru di SI. Di bawah kepemimpinannya, organisasi ini
menyebar begitu cepat ke seluruh wilayah Jawa dan bahkan hingga menyebar ke luar
pulau Jawa. Hal ini pula yang membuat sosok Tjokroaminoto kerap dianggap sebagai
ratu adil.7
Pada 1912, Tjokroaminoto pernah menegaskan bahwa “menurut syariah Islam,
kita harus tunduk pada perintah pemerintah Belanda, kita harus dengan tegas dan setia
mengikuti hukum dan peraturan Belanda8”. Hal ini sejalan dengan Quran dan Hadits
yang menekankan pentingnya taat kepada ulil amri (pemimpin/otoritas). Namun
demikian, pertumbuhan SI yang luar biasa pesat membuat organisasi ini akhirnya ikut
mengkritisi, dan dalam beberapa titik melakukan aksi politik frontal, terhadap
pemerintah kolonial. Tjokro akhirnya turut terseret dalam arus politik kelompok
nasional. Dan pada gilirannya mendorong SI sebagai sebuah gerakan politik nasional
pada titik tertentu.

5
Muhammad Fuad, “Civil Society in Indonesia: The Potential and Limits of Muhammadiyah,”
Journal of Social Issues in Southeast Asia 17, no. 2 (Oktober 2002): 138, https://doi.org/10.1355/SJ17-
2A.
6
Takashi Shiraishi, An Age in Motion: Popular Radicalism in Java, 1912-1926, 1st Edition
(Ithaca: Cornell University Press, 1990), 9.
7
Firman Manan, “Sosialisme Islam: Perspektif Pemikiran Politik H.o.s. Tjokroaminoto,” Jurnal
Wacana Politik 1, no. 1 (2 Maret 2016): 62–70, https://doi.org/10.24198/jwp.v1i1.10543.
8
Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942 (Kuala Lumpur:
Oxford university press, 1978), 111–12.

Universitas Indonesia
140

Di tahun 1916, partai ini melakukan kongres nasional pertama dan menunjukkan
kepada publik, terutama kepada negara kolonial, bahwa mereka telah menjadi salah satu
masyarakat sipil dengan basis massa terbesar di Jawa Barat. Penggunaan istilah
“kongres nasional” pun bukannya tanpa alasan. Bagi Tjokroaminoto, istilah ini menjadi
representasi dari gerakan kerakyatan yang sedang berjuang untuk terbentuknya
persatuan yang kuat bagi seluruh bumiputera di Hindia Belanda.9 Meski demikian,
status hukum sebagai organisasi nasional tidak kunjung datang dari pemerintah kolonial
kepada Sarekat Islam. Izin hanya diberikan kepada Sarekat Islam yang ada di daerah-
daerah atau biasa disebut Sarekat Islam lokal, itupun dengan beberapa syarat yang telah
ditetapkan oleh kolonial.10
Lebih jauh, dalam konteks SI, Islam telah menyediakan basis bagi gerakan
politik massa pertama di Hindia.11 Berbasis luas tetapi berakar secara lokal, dengan
egalitarianisme samar-samar yang berdiri sebagai lawan dari hierarki aristokrat, SI
adalah "gerakan rakyat besar yang menghubungkan kebangkitan Islam dengan anti-
kolonialisme12". Selain itu, dengan berbagai diseminasi narasi lewat media dan literatur,
Sarekat Islam tampil menjadi salah satu organisasi masyarakat sipil yang solid.13 Selain
itu, selain menjadi identitas SI, Islam telah menjadi motif bagi terbentuknya masyarakat
komunitarian yang menyatukan orang-orang dari berbagai pemahaman Islam yang
berbeda.14
Seperti yang ditunjukkan Suwardi, SI telah memutuskan “di masa depan tidak
hanya menerima agama tetapi juga dan terutama nasionalisme Hindia Belanda sebagai
ikatan persatuan”.15 Pemimpin SI Abdul Muis pada tahun 1917 mengatakan bahwa

9
Laffan, Islamic Nationhood and Colonial Indonesia, 2003, 179.
10
Aris Santoso, “Kongres Nasional Centraal Sarekat Islam Pertama dan Kedua” (Skripsi, Depok,
Universitas Indonesia, 1988).
11
R. E. Elson, “Islam, Islamism, the Nation, and the Early Indonesian Nationalist Movement,”
Journal of Indonesian Islam 1, no. 2 (1 Desember 2007): 248, https://doi.org/10.15642/JIIS.2007.1.2.231-
266.
12
David Henley, Nationalism and Regionalism in a Colonial Context: Minahasa in the Dutch
East Indies (Leiden: KITLV Press, 1996), 84–85.
13
J. Th Petrus Blumberger, De Nationalistische Beweging in Nederlandsch-Indië (Dordrecht:
Foris Publications, 1987), 63.
14
Elson, “Islam, Islamism, the Nation, and the Early Indonesian Nationalist Movement,” 248.
15
Suwardi Suryaningrat, “Het Javaansch nationalisme in de Indische beweging,” dalam
Soembangsih: Gedenkboek Boedi-Oetomo, 1908-20 Mei, 1918, ed. oleh Boedi Oetomo (Batavia: Indie
Oud & Nieuw, 1918), 33.

Universitas Indonesia
141

"dasar dari gerakan kita ... adalah nasionalis".16 Kedua pendapat pembesar SI ini
menjadi katalis positif bagi SI dalam merangkul kalangan yang lebih luas, tidak hanya
terbatas pada orang-orang Muslim belaka. SI sendiri menganut gagasan politik
representasional (“pemerintahan Hindia oleh rakyatnya sendiri, tanpa ada diskriminasi
atas dasar ras, warna kulit atau agama”)17, sosialisme, serta memproklamasikan bahwa
Islam adalah "agama par excellence untuk pendidikan moral masyarakat".18 Bagi
intelektual SI, misalnya seperti Haji Agus Salim, hubungan antara agama dan politik
tetap menjadi salah satu yang pada dasarnya meningkatkan perilaku pribadi bagi
masyarakat, kebaikan sosial, dan kemaslahatan umat.19
Dengan berbagai pendapat tersebut, pada akhirnya mengubah SI menjadi
gerakan politis, meskipun belum berorientasi pada Islamis (politik Islam). Akibatnya,
dengan mengangkat wacana kebangsaan bersamaan dengan Islam, SI menghadapi tiga
masalah besar. Pertama, SI semakin memposisikan dirinya sebagai oposisi dari
pemerintah. Kedua, SI semakin memperkuat dugaan Belanda bahwa Islam memang
antithesis dari kolonialisme. Ketiga, SI yang menempatkan Islam sebagai sentralitas
gerakan juga berpeluang dalam memperkecil gerak mereka di tengah masyarakat yang
multikultural sekaligus multireligius.
Selain SI, gerakan masyarakat sipil juga lahir dari orang-orang Arab yang sudah
lama menetap di Indonesia. Mereka misalnya mendirikan organisasi modern sebagai
wahana mereka memperjuangkan nilai-nilai kelompok. Jamiat Khair, yang bertujuan
untuk mengimbangi laju perubahan modern terutama melalui pendidikan modern
kebarat-baratan, termasuk pendidikan agama.20 Dalam sejarahnya, arah organisasi ini
terbagi menjadi dua periode, dimana periode pertama (1905 - 1919) merkea bergerak
sebagai organisasi kemasyarakatan (termasuk program sekolah), dan periode kedua
(sejak 1919) menjadi lembaga yang hanya fokus pada pendidikan. Bahkan di SI sendiri

16
Abdoel Moeis, “Hindia boeat anak Hindia [1917],” dalam Permata Terbenam: Kumpulan
Tulisan Asli Dan Pidato Tokoh-Tokoh Perintis Pergerakan Kebangsaan Dalam Menelusuri
Berkembangnya Nasionalisme, ed. oleh Pitut Soeharto dan A. Zainoel Ihsan (Jakarta: Aksara Jayasakti,
1982).
17
“Centraal Sarekat Islam (2e national congres)” (National Congress, Batavia, 27 Oktober
1917).
18
Santoso, “Kongres Nasional Centraal Sarekat Islam Pertama dan Kedua.”
19
Elson, “Islam, Islamism, the Nation, and the Early Indonesian Nationalist Movement,” 250.
20
Noer, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942, 6.

Universitas Indonesia
142

terdapat orang-orang keturunan Hadrami. Namun karena ada perselisihan, kebanyakan


dari mereka justru tidak lagi aktif di SI.21
Di samping Islam, masih ada banyak organisasi masyarakat sipil lainnya yang
tumbuh pasca Kebijakan Politik Etis Belanda. Gerakan dan organisasi yang cukup
besar, dan tidak akan dibahas terlalu panjang di tesis ini, adalah buruh. Selama lebih
dari tiga dekade setelah serikat pekerja pertama dibentuk pada tahun 1908, para
pemimpin serikat berjuang untuk membangun organisasi yang melintasi sekat-sekat
etnis, bahasa, dan kelas sosial di tempat kerja. Meski keberhasilan mereka cenderung
terbatas dalam konteks pergerakan nasional, namun peran mereka penting dalam
meningkatkan upah pekerja dan mewakili keluhan mereka kepada pengusaha dan
memaksa pemerintah kolonial untuk menekan pengusaha agar memperbaiki baik upah
maupun kondisi. Mereka sangat penting dalam pengembangan kesadaran politik,
menciptakan peluang bagi masyarakat bumiputera untuk memperoleh keterampilan
berorganisasi dan menyediakan saluran bagi banyak orang untuk bergabung dengan
partai politik nasionalis.22

5.2.Kas Masjid di Kongres Nasional Centraal Sarekat Islam


Salah satu subjek yang menimbulkan badai kritik dari SI adalah uang kas masjid. Para
pemimpin SI mengklaim bahwa dana tersebut merupakan sumbangan dari penduduk
Muslim. Oleh karena itu, dana masjid adalah dana umat Islam, dan sudah seharusnya
masyarakat punyak hak untuk mengetahui sejauh mana penggunaan dana tersebut oleh
pihak-pihak berwajib. Dalam benak orang-orang SI, uang yang terkandung di dalam kas
masjid seharusnya digunakan untuk kesejahteraan umat Islam, seperti mendirikan
sekolah Islam, membiayai panti asuhan, membantu orang miskin, dan membayar kiai-
kiai di desa.
Banyaknya uang kas masjd, namun tidak memberi dampak kepada masyarakat
sekitar menjadi penyebab lahirnya kritik orang-orang SI. Pencatatan yang tidak terbuka
menjadikan kecurigaan orang-orang SI bertambah besar. Tidak ada yang mengetahui
secara persis uang kas masjid dipakai untuk apa. Satu-satunya yang tahu adalah para

21
Elson, “Islam, Islamism, the Nation, and the Early Indonesian Nationalist Movement.”
22
John Ingleson, “Urban Java during the Depression,” Journal of Southeast Asian Studies 19,
no. 02 (September 1988): 292–309, https://doi.org/10.1017/S0022463400000576; John Ingleson, “The
Legacy of Colonial Labour Unions in Indonesia,” Australian Journal of Politics & History 47, no. 1
(2001): 85–100, https://doi.org/10.1111/1467-8497.00220.

Universitas Indonesia
143

pengulu, selaku orang yang memegang jurnal pencatatan kas masjid. Selain itu,
sebagaimana mengemuka dalam Kongres Nasional Sarekat Islam, dana di kas masjid
seharusnya tidak menjadi milik para bupati dan penghulunya. Bahkan, SI juga
menganggap para pejabat Belanda ikut mendapatkan keuntungan dari penggunaan uang
kas masjid. Belanda dianggap telah mencampuri urusan dana Muslim ini23, bahkan
terkadang menggunakannya untuk hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan Islam atau
kepentingan Muslim. Para pemimpin SI yakin bahwa ini merupakan bentuk pelanggaran
prinsip netralitas pemerintah terhadap agama.24 Apalagi, SI semakin geram sebab tidak
ada pelibatan masyarakat sekitar dalam pengelolaannya. Kegelisahan di atas kerap
dilontarkan dalam kongres25 atau artikel-artikel di surat kabar.26
Respon di atas sempat direspon oleh pemerintah kolonial. Lewat Kantoor voor
Inlandsche Zaken, mereka melakukan semacam klarifikasi dan permintaan maaf terkait
kesalahpahaman yang tersebar luas tentang dana masjid. Masyarakat beranggapan
bahwa dana masjid itu setara dengan baitul maal, atau kas pemerintah daerah, yang
tentunya merupakan kekayaan rakyat agar digunakan bagi kepentingan umum. Apalagi
di dalamnya juga terdapat porsi zakat-fitrah. Tapi kenyataannya, dana tersebut
merupakan sumbangan yang diberikan oleh pengulu dan stafnya setelah melakukan
kerja-kerja mereka dalam menikahkan, menceraikan, maupun mengurus persoalan
warisan masyarakat.27 Sesuai peraturan yang ada, sebagaimana dijelaskan pada Bab 3,
dana kas masjid tersebut hanya boleh digunakan untuk biaya operasional masjid,
termasuk penerangan, karpet, perabotan, perbaikan kecil dan sebagainya.
Secara gamblang penjelasan ini mengasumsikan bahwa pembiayaan
pemeliharaan fisik masjid sebenarnya menjadi tanggung jawab bupati, karena itu masjid
kabupaten, dan sudah pasti bukan menjadi tanggung jawab pengulu. Hal ini
menjelaskan mengapa para pengulu dan stafnya menyumbangkan uang secara tidak
menentu dan akibatnya, pemeliharaan banyak masjid sering diabaikan. Dana yang
dibutuhkan sama sekali tidak tersedia. Untuk mengatasi masalah ini, bupati telah

23
Sebagai contoh, ada surat edaran dari Residen Kedu, 19 Agustus 1904 yang memerintahkan
penghulu di Kedu untuk mengeluarkan pendapatan mereka yang telah disetor ke dalam kas masjid. Lihat
Memorie van Overgave, Resident Kedoe: J. H. F. ter Meulen, 5 Maart 1907, h. 45.
24
Central Sarekat Islam Congres, (1te) 1916, p. 31.
25
Dalam kongres ketiga di Surabaya 1918, pernyataan serupa juga masih mengemuka. Lihat
Centraal Sarekat Islam Congres, (3de) Surabaja, 1918, h. 59.
26
Neratja, no. 1, and no. 2 th. I, 2 and 3 July 1917.
27
Lihat misalnya studi Hisyam, Caught between three Fires: The Javanese Pengulu under the
Dutch Colonial Administration, 1882-1942.

Universitas Indonesia
144

mengeluarkan peraturan dimana pendapatan dipotong secara permanen dari gaji


pengulu dan staf mereka, dengan persetujuan pemerintah kolonial. Nampaknya menurut
pemerintah, dana masjid tidak diatur secara syariah, tetapi atas kebijakan bupati, agar
pengulu dan jajarannya bisa dipaksa ikut bertanggung jawab dalam pemeliharaannya.
Namun realitanya, penerapan regulasi tersebut malah menambah jumlah dana.
Sejumlah dana di kas masjid justru menjadi tumbuh berlipat-lipat, sehingga selalu tidak
habis untuk pemeliharaan masjid yang sederhana. Keadaan ini memikat banyak pejabat,
seperti bupati, patih, pengulu, bahkan beberapa pejabat Belanda, untuk menghabiskan
uang yang terkumpul untuk hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan tujuan utama
yang dimaksudkan, atau bahkan sering tidak ada hubungannya dengan masjid sama
sekali.
Menjawab kritikan-kritikan dari pimpinan SI tentang campur tangan pemerintah
kolonial Belanda, penjelasan resmi yang diberikan oleh pemerintah kolonial adalah
untuk melindungi dana dari penyalahgunaan. Gubernur Jenderal menilai bahwa
mengeluarkan instruksi kepada warga di seluruh Jawa dan Madura untuk mengatur
pengelolaan dana tersebut di wilayahnya merupakan bagian kebijakan yang esensial.
Pengelolaan dana masjid menjadi tanggung jawab penghulu. Baik atau buruknya
pengelolaan ini sangat bergantung pada individu penghulu. Oleh karena itu, penghulu
harus ditunjuk dari kumpulan ahli yang dihormati yang ada. Hal inilah yang disarankan
oleh Snouck kepada Gubernur Jenderal dalam nasihat-nasihatnya. Dengan cara ini
harapannya masyarakat akan mempercayai mereka––meski yang terjadi justru
sebaliknya.
Selain itu, pihak Kantoor voor Inlandsche Zaken juga memberikan klarifikasi
kepada para pimpinan SI bahwa untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dalam
bentuk apapun, setiap masjid yang memiliki kas masjid wajib membuat buku besar di
mana pendapatan dan pengeluaran dapat dicatat. Kekayaan dana masjid bergantung
pada pendapatan pengulu dan pengurusnya, yang selanjutnya tergantung pada
pembayaran jasanya, seperti biaya pengurusan akad nikah, perceraian, warisan dan lain
sebagainya. Untuk meningkatkan pendapatan para pengulu dan sekaligus mendongkrak
dana, sejumlah pengulu menaikkan pungutan-pungutan ini yang langsung dilihat orang
sebagai pungutan yang dibebankan oleh para penghulu. Oleh karena itu, pemerintah
mengimbau kepada semua penghulu untuk meminta tidak lebih dari jumlah yang layak

Universitas Indonesia
145

sebagai pembayaran atas jasa mereka, jumlah yang sepadan dengan kemakmuran umum
penduduk, karena hal itu tidak akan menjadi beban bagi mereka. Penggunaan dana
masjid sebaiknya dibatasi hanya untuk pemeliharaan masjid dan perbaikan kecil, dan
tidak digunakan untuk mendirikan bangunan baru. Selain itu, para pejabat Belanda
dilarang keras untuk mengambil kendali atas pengelolaan dana, tugas yang seharusnya
dipercayakan kepada para pejabat bumiputera.
Bila dicermati, segala hal yang berkaitan dengan tuntutan SI sebetulnya sudah
pernah menjadi konsen pemerintah kolonial Belanda, terutama Gubernur Jenderal.
Sebagaimana dijelaskan lebih detail pada Bab 3, potensi penyelewengan dana kas
masjid sangat besar karena kerap tidak terpantau. Adanya aturan pembatasan
penggunaan kas masjid untuk keperluan-keperluan yang berkaitan dengan masjid pun
dengan tujuan agar ke depannya pengeluaran kas masjid terpantau. Namun, yang tidak
dibayangkan oleh saat itu adalah penggelembungan dana. Pemerintah kolonial gagal
mengurangi pemasukan kas masjid, sebab tradisi-tradisi pemberian dana dari penghulu
dan jajarannya untuk kas masjid masih berlaku. Karena banyak keluhan SI sudah
dilakukan sejak lama, pada akhirnya tuntutan SI tentang dana masjid tidak
ditindaklanjuti lebih jauh pemerintah kolonial. Belum ada bentuk konkrit agar dana ini
bisa digunakan untuk kepentingan masyarakat luas ataupun pelibatan masyarakat
Muslim dalam pengelolaan dana kas masjid.

5.3.Kas Masjid di Sidang Volksraad


Volksraad, atau biasa disebut sebagai Dewan Rakyat, didirikan pada 1916 di Batavia
dan mulai bekerja secara efektif pada 1918.28 Awalnya, Volksraad didirikan hanya
sebagai penasihat belaka, kemudian menurut Undang-undang Dasar 1922 dan Undang-
undang Pemerintah Hindia Belanda 1925, diubah menjadi badan legislatif, yang
persetujuannya diperlukan untuk seluruh peraturan yang disahkan oleh Gubernur
Jenderal. Sehingga secara fungsional, institusi ini lebih berperan sebagai majelis
legislatif.29 Selain itu, ia juga memiliki hak untuk memperbaiki rancangan undang-
undang dan memajukan rancangan undang-undang, hak mengajukan petisi kepada Raja

28
Volksraad, Tien jaar Volksraad arbeid 1928-1938 (Batavia: Landsdrukkerij, 1938).
29
Dutch East Indies dan Afdeeling Handel, 1930 Handbook of the Netherlands East-Indies
(Buitenzorg, Java: Division of Commerce of the Dept. of Agriculture, Industry and Commerce, 1930).

Universitas Indonesia
146

dan Majelis Perwakilan Tertinggi di Belanda, dan anhak untuk menginterpelasi


pemerintah Hindia Belanda.
Anggota Volksraad sendiri di awal berdirinya berjumlah 61 orang. Adapun
komposisinya adalah seorang Presiden yang ditunjuk langsung oleh Raja, dan 60
anggota lainnya yang diajukan oleh Gubernur Jenderal maupun dipilih dari tiga kelas
masyarakat. Kelas masyarakat yang dimaksud yaitu masyarakat berbangsa Belanda,
Bumiputera, dan masyarakat berbangsa dari Timur Asing. Presiden harus selalu orang
Belanda. Sementara untuk anggota terdiri dari 30 orang Belanda, 25 Bumiputera, dan 5
dari Timur Asing. Namun dalam perjalanannya, ada amandemen pada 1929 dimana
komposisi Volksraad pada 1931 harus terdiri 30 orang Bumiputera dari total 60 orang
anggota.
Terkait kas masjid, para anggota Volksraad juga membincangnya dalam rentang
tahun 1918-1931. Ini menandakan bahwa persoalan kas masjid merupakan urusan yang
cukup penting sehingga dikemukakan di majelis tersebut. Tjokroaminoto adalah salah
satu anggota Volksraad yang pertama kali mengangkat isu kas masjid pada 1918.
Sebagaimana tertuang dalam Notulensi Rapat Dewan Rakyat 21 Juni 1918, Departemen
Kehakiman 11. Hal ini diawali dari masukannya mengenai ketidakpuasannya terhadap
penyatuan undang-undang yang dianggap tidak adil. Pasalnya, berbagai tindak kriminal
ditindak secara dualistik antara warga Eropa dengan warga Bumiputera dan Timur
Asing. Pada kasus kas masjid, masyarakat dianggap oleh Tjokroaminoto takut untuk
melaporkan perlakuan para Bupati. Sebab mereka mengetahui bahwa hukum tidak
ditegakkan pada kalangan-kalangan tertentu, meskipun ada kekeliruan dalam tata kelola
kas masjid.30

Tabel 5.1. Pembahasan Kas Masjid dalam Volksraad


Tahun Orang/Dokumen yang Konteks Pembicaraan
membicarakan
1918 Tjokroaminoto31 Ketidakadilan hukum di Hindia Belanda, termasuk dalam

30
“7de Vergadering 21 Juni 1918”. Begrooling van Nederlandsch-Indië voor het dienstjaar 1919.
Afdeeling 11 justitie. Tjokroaminoto, h. 228-229.
31
Adapun penggalan pernyataan dari Tjokroaminoto dapat dilihat sebagai berikut:
“Ook persoonlijke verlangens, het meedoen met de meer met aard sche goederen gezegenden
zijn oorzaak dat de kleine man het gelag betaalt. Knevelarijen worden gepleegd zonder dat er een haan
naar kraait. Niet zelden doen Regenten daaraan mede.

Universitas Indonesia
147

penindakan penyalahgunaan wewenang pegawai pemerintah


dalam pengelolaan kas masjid.
1919- Volksraad Zittingsjaar Beberapa catatan muncul terkait persoalan-persoalan kas
1929 1919-1928 masjid. Hal ini nantinya menjadi landasan dalam penerbitan
Bijblad 12726 dan Rondschrijven 24 November 1931 No.
2852 b/A
1925 Soeroeso 1. Bupati Malang yang menolak usulan penggunaan kas
masjid untuk renovasi masjid raya Malang.
2. Ketidaktahuan dan kesan lepas tangan pemerintah dalam
persoalan kas masjid di Malang.
1930 Soeroeso Kegembiraan Soeroeso atas pemberian wewenang kepada
masyarakat Muslim untuk mengelola kas masjid secara
mandiri, meskipun masih dalam pengawasan Pangreh Praja
dan Binnenlandsch Bestuur.
1930 Nja Arif Keberatan terhadap pengangkatan Bupati non-Muslim di
Probolinggo, karena nantinya akan berpengaruh pada aspek-
aspek lain dalam kehidupan masyarakat Muslim, termasuk
kas masjid.
1930 Van Helsdingen Klarifikasi atas isu Bupati non-Muslim yang menunjuk orang-
orang sebagai komite pengawas kas masjid di Probolinggo.
Helsdingen mengklarifikasi bahwa penunjukkan memang
dilakukan oleh Bupati, namun seleksinya dilakukan oleh
orang-orang Muslim, seperti para penghulu.
1930 Kesimpulan Rapat Dalam bagian “pengawasan ulama-ulama Muslim”: perlu
adanya pertimbangan dalam memberikan sedikit keleluasaan
terhadap masyarakat muslim, baik dalam persoalan sholat
jumat, kas masjid, dan sebagainya.

Zelfs de moskeekas is, gelijk mij bekend is, niet vei lig. Als men 'den kleinen man gelooven wil,
zijn knoeierijen, bedreven door loerahs en bij desaverkiezingen, schering en inslag. De bevolking zwijgt,
omdat zij niet durft spreken, omdat haar voormannen - enkele goede uitzonderingen daargelaten - niet
durven spreken.” 7de Vergadering 21 Juni 1918”. Begrooling van Nederlandsch-Indië voor het dienstjaar
1919. Afdeeling 11 justitie. Tjokroaminoto, h. 228-229.

Universitas Indonesia
148

1930 Hoofdstuk III ayat 50 Susunan komite pengawas kas masjid.


1931 Gondoesoebroto Penurunan pendapatan daerah, termasuk penurunan
pendapatan kas masjid di Banyumas.
1931 Wiranata Koesoema Pembagian pendapatan kas masjid yang tidak adil untuk para
personalia masjid, dimana yang mendapat keuntungan lebih
banyak adalah bupati dan penghulu.
1931 Van Helsdingen Kesepakatan terhadap argumen Wiranata Koesoema dan
menekankan satu poin bahwa kewenangan bupati terhadap
kas masjid masih terlalu luas, sehingga menyebabkan
ketidakadilan.
1931 Keputusan Voorzitter Penerbitan Rondschrijven van den Isten Gouvernements
Volksraad Secretaris van 24 November 1931 No. 2852 b/A betreffende
het beheer der moskeekassen en het toezicht op het onderhoud
der moskeen (Surat Edaran Sekretaris Pemerintah Pertama
tanggal 24 November 1931 No. 2852 b/A tentang pengelolaan
rumah kaca masjid dan pengawasan pemeliharaan masjid).
1932 Volksraad Zittingsjaar Pengadaan komite pengawas kas masjid di daerah-daerah
1932-1933 yang belum memilikinya.
1932 Volksraad Zittingsjaar Dalam dokumen ini terdapat tiga pembahasan mengenai kas
1932-1933 masjid, yaitu:
1. tidak ada lagi kewajiban memungut biaya pernikahan
untuk kas masjid;
2. mengurangi uang dalam kas masjid secara perlahan
dan pelaksanaan Bijblad No. 12726 Tahun 1931;
3. pendirian kas masjid harus diinisiasi oleh masyarakat,
bukan bupati.
1934 M. Husni Thamrin, Penggunaan uang kas masjid untuk kebaikan masyarakat,
Sosrohadikoesomo misalnya seperti pembelian beras, pembangunan lumbung
padi, dan menjadikan uang dalam kas masjid mirip seperti
koperasi.
1934 Dwidjosewojo Menjelaskan posisi kas masjid di kalangan para bupati,
terutama posisinya sebagai pundi bagi pengeluaran bupati.

Universitas Indonesia
149

1935 Van Baalen Menjelaskan penggunaan uang kas masjid di Bandung untuk
membantu masyarakat miskin yang tidak punya biaya
merawat jenazah dan pemakamannya.
1935 Prawoto Soemodilogo Menanyakan kemungkinan apakah uang kas masjid juga
boleh digunakan untuk membantu orang miskin membeli kain
kafan.
1939 Soeria Kartalegawa Kemungkinan adanya pungutan kas masjid di desa-desa di
Kabupaten Ciamis yang dilakukan oleh pegawai
pemerintahan Pangreh Praja.
1940 Salamoen Mengangkat isu yang dilaporkan dalam Pemandangan 8
Februari 1940 tentang pungutan liar dan penggelapan dana
kas masjid liar yang dilakukan oleh para staf masjid di
Pekalongan. Dirinya menyarankan dua hal kepada pemerintah
Hindia Belanda terkait isu ini:
1. Pemerintah harus menyudahi praktik-praktik seperti
ini dengan mengambil tindakan tegas
2. Perlu adanya pelaporan anggaran kas masjid setiap
tiga bulan agar pengawasan berjalan maksimal.
1940 Antwoord der Respon terhadap Salamoen adalah berikut:
Regeering 1. Penyelidikan yudisial mengenai staf masjid yang
menggelapkan dana kas masjid sudah dilakukan, dan
mereka sudah dijatuhi hukuman penjara oleh
Landraad
2. Tidak perlu membuat laporan keuangan setiap tiga
bulan karena hal tersebut memberatkan komite
pengawas kas masjid. Publikasi mengenai uang kas
masjid di ruang publik dianggap jauh lebih efektif
agar banyak mata bisa berkontribusi dalam
pengawasan kas masjid.
1942 Soeria Kartalegawa Mengangkat isu tentang ketidakadilan pembagian pendapatan
antara pegawai kas masjid, dan hal ini harus ditindaklanjuti.

Universitas Indonesia
150

Selain itu, anggota dewan juga kerap membahas persoalan pemasukan kas
masjid yang harus dibatasi.32 Mereka memastikan agar seluruh struktur pemerintahan
turut terlibat aktif dalam mengawasi kas masjid agar memiliki arus kas seimbang antara
pendapatan dan pengeluaran. Selain itu, pemerintah juga diminta agar tetap bertindak
sesuai dengan pagu-pagu yang sudah dikeluarkan mengenai pengelolaan kas masjid.
Hal utama yang digarisbawahi oleh anggota dewan adalah supaya uang kas masjid
hanya digunakan untuk kebutuhan masjid dan ibadah umat Islam.
Pembahasan juga diarahkan supaya pengawasan dilakukan secara ketat, sebab
masih ada beberapa praktik pemungutan kas masjid yang dilakukan dengan kedok amal.
Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa memang ada praktik-praktik amal yang benar-
benar serius dilakukan oleh para pemimpin di daerah. Anggota dewan juga
menyebutkan bahwa para pegawai kolonial harus mematuhi segala instruksi yang sudah
dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal terkait dengan kas masjid.33
Sebagaimana tertuang dalam Nota Balasan tentang rancangan anggaran tahun
1924, pengawasan kas masjid diatur lewat peraturan daerah baik itu yang dikeluarkan
oleh Bupati, maupun Gubernur Jenderal. Dalam nota tersebut dijelaskan bagaimana
pengawasan kas masjid dapat dilaksanakan sebaik-baiknya, terutama oleh para komisi
kas masjid yang sudah dibentuk oleh Bupati. Hal ini menandakan bahwa konsen
masyarakat sipil tentang kas masjid sudah mulai diakomodir secara perlahan-lahan.
Dengan adanya komisi pengawas ini, diharapkan segala jenis pengeluaran dan
pemasukan kas masjid dapat memberi manfaat pada masyarakat Muslim. Kepala
daerah, dalam konteks ini, harus memastikan mekanisme ini berjalan dengan baik agar
tidak terjadi penyelewengan sebagaimana terjadi di tahun-tahun sebelumnya.34
Anggota dewan juga mendiskusikan posisi Bupati sebagai pemuka agama Islam.
Situasi ini cukup problematik mengingat dalam beberapa daerah ada juga bupati yang
tidak beragama Islam. Namun karena hal ini sudah menjadi ketentuan adat yang
berjalan lama, anggota dewan sepakat bahwa pemerintah tidak bisa mencampuri urusan
hal ini lantaran punya akar sejarah yang panjang di tengah masyarakat. Selain itu, juga

32
“Volksraad Tweede Gewone Zitting 1920: Onderwerp 3 – stuk 5 Hervorming van het
bestnursstelsel in Nederlandsch-Indie,” Memorie van Antwoord 1920-2 Zitting 2, h. 500.
33
"Volksraad Eersete Gewone Zitting 1924: Onderwerp 1 – afd. v stuk 7 Begrooting van
Nederlandsch voor het Dienstjaar 5,” Afdeelingsverslag uitgaven in Indië: 1924-25 3 522-523, h. 10-11.
34
"Volksraad Eersete Gewone Zitting 1924: Onderwerp 1 – afd. v stuk 8 Begrooting van
Nederlandsch voor het Dienstjaar 5, ”Memorie van Antwoord (ontvagen 17 juni 1924) 1924-25 3 538, h.
12.

Universitas Indonesia
151

tidak ada bukti kuat bahwa predikat agama seorang Bupati dapat berpengaruh secara
langsung terhadap kualitas pengawasan kas masjid.35
Tahun 1925 barangkali menjadi tahun yang paling serius bagi Volksraad dalam
membahas kas masjid.36 Soeroeso adalah orang yang mengemukakan persoalan ini ke
tengah para anggota dewan. Selain memperkarakan pendapatan kas masjid yang berasal
dari penghulu, dirinya terutama mempertanyakan soal pendirian masjid yang
menggunakan dana kas masjid. Sebetulnya hal ini biasa saja, karena memang sudah
semestinya uang kas masjid digunakan untuk kesejahteraan bangunan masjid. Namun
yang jadi perkara adalah uang tersebut tidak dapat dikeluarkan sebagaimana mestinya.
Semua berawal dari rencana renovasi masjid raya di Malang yang pengerjaannya
mengalami stagnasi setelah kekurangan dana. Pihak komite pengawas kas masjid
sebetulnya sudah mengajukan penggunaan anggaran kepada Bupati Malang, namun
usulan tersebut ditolak. Soeroso tidak bisa menerima hal ini karena kas masjid memang
seyogyanya diperuntukkan untuk masjid. Dirinya juga mempertanyakan pemerintah
kolonial yang tidak mengambil tindakan atas hal ini, dan bahkan cenderung abai pada
perkara ini. Hal ini bisa terlihat pada notulensi berikut37:
“Selanjutnya Pak Presiden, saya sampai pada pertanyaan tentang biaya
pendirian masjid. Jawaban yang sangat singkat atas ucapan di laporan divisi
tentang penolakan Bupati Malang untuk menyerahkan sebagian dana dari kas
masjid untuk pembangunan masjid sungguh membuat saya heran.
Mungkin saja Pemerintah masih belum menyadarinya. Namun kemudian
Pemerintah tidak akan menyelidiki komentar yang dibuat jika komentar itu
benar. Jika ternyata benar, apa yang ingin dilakukan oleh Pemerintah. Dalam
semangat ini Pemerintah seharusnya menyatakan, tetapi tidak seperti yang
dikatakan dalam Nota Balasan: Pemerintah tidak mengetahui adanya
penolakan untuk menyerahkan dana dari kasir masjid di Malang untuk
rekonstruksi missigit tersebut. Tidak ada lagi.

35
"Volksraad Eersete Gewone Zitting 1923: Onderwerp 1 – afd. V stuk 8 Begrooting van
Nederlandsch voor Het Dienstjaar 1924,”Memorie van Antwoord 1923-4 500-501, h. 4-5.
36
"10de Vergadering – Mandang 22 Juni 1925: Avondevgardering Onderwerp 1 – afd. v stuk 8
Begrooting 1926 afd V”, Dept van Onderwijs en Ereendiests Uitgaven in Indië 1924-25 3 538, h. 12.
37
"10de Vergadering – Mandang 22 Juni 1925: Avondevgardering Onderwerp 1 – afd. v stuk 8
Begrooting 1926 afd V”, Dept van Onderwijs en Ereendiests Uitgaven in Indië 1924-25 3 538, h. 12.

Universitas Indonesia
152

Bapak Presiden, jawaban ini bagi saya tidak lain adalah kesaksian
ketidakpedulian demonstratif dari pihak Pemerintah––masalah penting ini, yang
saya sesali. Terlebih lagi, Pak Presiden, jika saya tahu bahwa Pemerintah tidak
berada di luar masalah ini. Toh, Pemerintah sudah mengeluarkan surat edaran
tentang regulasi pengelolaan rumah kaca masjid yang ketat oleh otoritas
terkait.
Keterlibatan Pemerintah ini sangat saya hargai. Tetapi saya tetap
berharap bahwa Regeering akan sesekali memastikan apa yang telah dilakukan
oleh otoritas terkait dengan manajemen. Apakah ini perlu ditunjukkan oleh apa
yang terjadi di Malang. Demi kejelasan, saya akan menguraikan secara singkat
masalah yang relevan di sini. Karena masjid di Kota Malang terlalu kecil, maka
dibentuklah panitia di kalangan umat Muslim untuk menghimpun dana untuk
pembangunan kembali umat Islam. Kemudian terkumpul sejumlah yang
diinginkan masjid mulai direnovasi. Tapi kemudian ditemukan. bahwa jumlah
yang terkumpul terlalu sedikit untuk menyelesaikan renovasi.
Guna mencegah terjadinya stagnasi dalam renovasi, panitia berpaling
kepada Bupati untuk menerima sejumlah dana dari kas masjid untuk kelanjutan
renovasi. Namun Bupati menolak begitu saja. Sekarang saya ingin bertanya
kepada Pemerintah apakah penolakan ini sesuai. Aturan-aturan yang ditetapkan
oleh Pemerintah bermuara pada fakta bahwa sebuah panitia, yang dipimpin
oleh Bupati, mengawasi pemasukan dan pengeluaran uang dan juga tujuan
penggunaan dana tersebut, yang mana pun kasusnya, karakter amal dan
religius sesuai dengan ajaran Islam. Bapak Presiden! Hal ini memungkinkan
adanya kejelasan untuk tidak mengharapkan penggunaan sebagian uang masjid
untuk renovasi masjid tidak bertentangan dengan aturan yang ditetapkan oleh
Pemerintah. Oleh karena itu saya ingin menyarankan agar Pemerintah
memberikan bantuan dalam menyelesaikan pertanyaan ini.”

Universitas Indonesia
153

Masukan Soeroso di Volksraad tentu saja ditanggapi oleh pihak yang


bersangkutan. Pertama, Voorzitter (Presiden Volksraad) menjelaskan pandangannya
mengenai pendapatan penghulu sebagai berikut38:
“Sejauh Pak Soeroso mengkritik cara para penghoelo dibayar ketika
perkawinan dan perceraian diselesaikan, saya menjawab bahwa pajak-pajak itu
bukan berasal dari Pemerintah, tetapi pajak-pajak itu hanyalah kelanggengan
adat yang dilakukan oleh pemerintah Pangreh Praja. Pungutan tersebut
menjadi semacam pungutan adat, berdasarkan jamaah Muslim sendiri, yang
hampir tidak dapat disumbangkan oleh Pemerintah.”

Adapun persoalan yang utama, yakni mengenai uang kas masjid untuk renovasi
masjid Malang, hal tersebut langsung ditanggapi oleh Vander Mulen, Direktur
Departement van Onderwijs en Eeredienst39:
“Tuan Presiden! Pertanyaan lain selain mahasiswa di Kairo yang pernah saya
bicarakan yang pernah dikemukakan oleh Pak Soeroso adalah pertanyaan
tentang penggunaan uang masjid.
Bapak Presiden! Saya harus membaca keras-keras apa yang dikatakan
Laporan Divisi tentang ini: "Akan diberi tahu apakah aturan tertentu telah
dibuat mengenai pengelolaan kas masjid dan penggunaan uang dari kas
tersebut (le. Geil '. Inspeczitt. 1924, Bagian 1 -). Membantu. V; st. 8, hal. 12).
Diketahui bahwa di Malang, seorang Bupati menolak memberikan
bantuan uang kas masjid sebesar ƒ14,000 untuk renovasi masjid Malang.
Karena penolakan ini maka pembangunan masjid tersebut terpaksa dihentikan
karena kekurangan dana. Kasus seripa juga mencuat mengenai izin yang
diminta tetapi ditolak untuk membangun masjid baru di Tjilatjap, dimana
dibutuhkan uang sebesar ƒ35,000. Terkait hal ini, saya ingin menginformasikan
lebih lanjut.
Dalam Nota Tanggapan dikatakan penjelasan rinci tentang aturan
pengelolaan kas masjid diberikan dalam Nota Balasan tentang rancangan

38
“18de Vergadering – Mandag 29 Juni 1925: Avondevgardering Onderwerp 1 – afd. v stuk 8
Begrooting 1926 afd V”, Dept van Onderwijs en Ereendiests Uitgaven in Indië 1924-25 676, h. 542-543.
39
“18de Vergadering – Mandag 29 Juni 1925: Avondevgardering Onderwerp 1 – afd. v stuk 8
Begrooting 1926 afd V”, Dept van Onderwijs en Ereendiests Uitgaven in Indië 1924-25 676, h. 542-543.

Universitas Indonesia
154

anggaran 1925 (sesi pertama 1924, Bagian 1 - Bagian V; dokumen 8, hal. 12).
Dijelaskan bahwa pemerintah tidak mengetahui adanya penolakan penggunaan
dana dari kas masjid di Malang untuk renovasi masjid tersebut. Pernyataan
tentang penolakan untuk pembangunan masjid di Tjilatjap juga tidak benar.
Dengan keputusan Bupati Banjoemas 14 April 1925 No. 57/30 disetujui
rancangan anggaran yang diajukan kepada Bupati Tjilatjap untuk masjid
sebesar ƒ25,000.
Oleh karena itu, komunikasi kedua hal yang salah satunya disampaikan
oleh Tuan Soeroeso dapat diverifikasi oleh Pemerintah dan terbukti tidak benar.
Pada saat itu, Pemerintah tidak dapat memberikan informasi apapun tentang
persoalan pertama hanya karena tidak menyadarinya dan tidak ada waktu untuk
segera menyelidikinya. Namun Tuan Soeroeso menyimpulkan dari hal tersebut
bahwa Pemerintah tidak tertarik dengan masalah tersebut dan tidak akan
memberikan informasi apapun tentang hal tersebut. Pernyataan itu jelas tidak
benar.
Dari jawaban telegram yang saya terima dari Residen Pasoeroean yang
akan saya bacakan untuk Pak Soeroso, yaitu sebagai berikut: "Mendapat
informasi dari Asisten Residen Malang bahwa atas permintaan beberapa warga
memutuskan pada pertengahan 1924 untuk memperluas Masjid Malang dengan
menggunakan uang dan material utama, pembangunan dimulai pada paruh
kedua tahun 1924-25. Dari laporan ini bupati meminta sebelas haji di Malang
untuk memberikan sumbangan agar dapat mempercepat proses renovasi masjid,
dan ada urunan juga dari penduduk. Namun uang-uang tersebut belum cukup
dari total biaya yang diperlukan. Dan oleh karena itu, Bupati pada prinsipnya
tidak keberaetan apabila menggunakan dana dari kas masjid untuk renovasi
ini."

Dari sepenggal notulensi di atas, terlihat bahwa sebetulnya semangat membela


penggunaan kas masjid sudah dilakukan. Volksraad menjadi fungsi kontrol kepada
departemen-departemen yang bertanggungjwab terhadap persoalan masjid. Proses
klarifikasi pun dilakukan secara gamblang sehingga dapat mendudukkan perkara agar
tidak terjadi polemik yang berkepanjangan.

Universitas Indonesia
155

5.4.Merespon Penggunaan Kas Masjid: Kritik Masyarakat Sipil di Media Massa


Respon dan kritik atas penggunaan kas masjid juga ditemukan di media cetak. Dalam
studi ini akan dijabarkan secara kronologis macam-macam kritik yang dilontarkan lewat
media tersebut. Kritis pertama dapat ditemukan pada Sinar Hindia 9 Januari 1919 dan
16 April 1919. Pada kolom Kabar Semarang ditemukan sebuah pandangan dari
seseorang bernama Soeradi. Ia memastikan tentang kabar angin yang mengatakan
lenyapnya uang kas masjid di Semarang dalam jumlah yang besar. Uang tersebut
diklaimnya berjumlah hingga jutaan rupiah. Dalam surat Soeradi tersebut, ada poin
penting lain yang menggambarkan pemaknaan masyarakat terhadap uang kas masjid. Ia
menganggap bahwa uang tersebut adalah uang yang sudah dikumpulkan untuk anak-
anak yatim.
Beberapa bulan setelahnya, redaksi Sinar Hindia membuat tajuk khusus tentang
kas masjid. Dalam sebuah artikel berjudul “Oeang Mesigit Haroes Digoenakan Boeat
Keperloean Boeemipoetera”, Sinar Hindia 8 Mei 1919, ada narasi yang mendorong agar
para pemegang kekuasaan menindak perilaku orang-orang yang bertanggungjwab atas
hilangnya uang kas masjid Semarang. Selain itu, lewat kasus kas masjid ini, redaktur
menciptakan kerangka (framing) bahwa uang kas masjid bisa digunakan untuk
memelihara orang-orang miskin di Hindia Belanda. Apalagi di tengah situasi
masyarakat kala itu, dan secara spesifik dikatakan sebagai kondisi sebuah bangsa, yang
semakin melarat maka kebutuhan untuk menggunakan uang kas masjid semakin
mendesak. Bila tidak maka akan semakin banyak orang yang terjerumus menjadi
pengemis (bedelaars).
Lebih jauh dijelaskan mengapa kas masjid sudah seharusnya diperuntukkan
untuk orang miskin. Sebab, uang tersebut juga terdiri dari unsur zakat-ftrah. Sehingga,
menurut redaktur, “apakah djeleknja jang itoe oeang djoega digoenakan boeat pitrah
dan djakat kepada bangsa kita jang menjadi melarat (kere)?” Djangan lantas di
djekatkan (baca: zakatkan) atau di pitrahkan pada orang jang tida kakoerangan dan
pada tikoes jang bisa minoem tjeroetoe sadja.”
Redaktur cukup berharap agar pesan bernada kritik ini dapat terdengar sampai
ke telinga pemerintah. Bahkan ada keinginan dari redaktur Sinar Hindia agar uang kas
masjid tidak hanya digunakan untuk memberikan makanan saja. Ada keinginan agar

Universitas Indonesia
156

uang kas masjid dapat memenuhi unsur filantropi, dimana bantuan tidak hanya berhenti
pada memberi ikan, tapi memberi kail dan pancing. Sehingga sangat pantas bila uang
kas masjid digunakan untuk pendirian “Roemah Pemiaraan” bagi masyarakat miskin.
Selain itu, masih dalam tulisan yang sama, redaktur secara khusus meminta pada
jajaran tinggi perkumpulan Boedi Oetoemo dan Sarekat Islam untuk mendorong saran
ini di forum-forum terhormat. Sebab, sudah banyak contoh baik dari pembangunan
“Roemah Pemiaraan” di negara maju yang berhasil menolong banyak orang miskin.
Paling tidak hal ini bisa disuarakan kepada para pejabat-pejabat daerah seperti Bupati
untuk menggunakan kas masjid sesuai fungsi idealnya.
Kritik dan masukan redaktur Sinar Hindia di atas rasanya memang bukan tanpa
alasan. Sebab, sekitar sebulan sebelumnya, terdapat surat pembaca yang ditulis oleh
Mintoroo & Co. Pada Sinar Hindia 24 April 1919, dalam kolom Roepa-Roepa Kabar,
tulisan tersebut diberi judul “Kas Mesdjid”. Dengan sangat keras disampaikan dalam
artikel tersebut bahwa uang kas masjid adalah uang yang tidak ada gunanya. Pasalnya,
uang yang banyak tersebut tidak dapat menolong ribuan orang miskin.
Penulis artikel itu meyakinkan dirinya bahwa ada aturan tentang peruntukan
penggunaan uang kas masjid yang hanya untuk keperluan masjid. Padahal menurutnya,
berdasar pada kita fikih yang tidak dijelaskannya secara lebih rinci, bahwa kas masjid
berlaku sebagai baitul maal. Sehingga peruntukan dana di dalamnya jelas untuk
keperluan umum. Uang di kas masjid selalu bertambah banyak setiap harinya,
sementara hampir tidak ada uang yang dikeluarkan. Sehingga tidak heran kalau banyak
kas masjid yang, dalam bahasa Mintoroo & Co, “gemoek-gemoek toer ginoek-ginoek
karena tinggal ngorok selama-lamanja”. Banyaknya uang yang mengendap di masjid
tersebut pun membuat masyarakat tidak heran bila para administratur kas masjid justru
melanggar kepercayaan dan membelanjakan uang tersebut untuk keperluan pribadinya.
Penulis juga mengkritik praktik mendepositokan uang kas masjid ke bank.
Dirinya mengambil contoh kas masjid di Jepara. Setiap tahun uang yang disetor tersebut
berbunga. Namun karena pihak masjid tidak mau menerima uang bunga tersebut,
utamanya karena alasan riba, para pemimpin daerah yang punya akses ke kas masjid
seperti bupati. Bahkan penulis artikel ini juga menyampaikan bahwa ada kemungkinan
uang tersebut juga sampai ke tangan para kontrolir (controleur) Belanda.

Universitas Indonesia
157

Namun demikian, penulis juga tidak menampik bahwa uang tersebut digunakan
untuk perbuatan-perbuatan baik. Misalnya saja, uang dari bunga itu dipakai untuk
membelikan kain kafan putih bagi keluarga-keluarga miskin. Sebab, tidak semua orang
mampu membeli kain kafan bagi keluarganya yang telah meninggal. Dalam hal ini,
kontrolir sendiri bahkan sempat memberi sebesar f17.5 kepada orang-orang miskin jenis
seperti ini.
Adapun saran lain disampaikan oleh Mintoroo agar elemen tinggi dari Sarekat
Islam dan Boedi Oetoemo dapat mendorong pemerintah supaya uang kas masjid
dimasukkan saja ke dalam deposito. Ada tiga pertimbangan mengapa penulis artikel
menyarankan hal ini. Pertama supaya bunganya dapat meringankan tanggungan para
personalia masjid. Kedua supaya tidak ada kekhawatiran melanggar peraturan
penggunaan uang kas masjid, sebab bunga sudah tidak lagi menjadi bagian dari kas
masjid. Ketiga akan ada uang tersendiri yang dapat dikelola secara khusus untuk
masyarakat umum.
Diatas soeadah saja terangkan, jang mesdjid tiada maoe menerima boenganja,
itoe bagi kita baik sekali. Karena kita laloe dapat makan kepada jang wadjib
soepaja boekan jang ditampik (1) oleh mesdjid itoe boleh kita pergoenakan
oentoek mendirikan roemah sekolah agama, roemah miskin, roemah sakit dsb.
Bagi kaeom Moeslimin. Biarkan saja berseroe-seroe: hal saudara kita
Moeslimin, hal SI perhimpoenan-perhimpoenan soetji, marillah kita beramai-
ramai mohon kepada Pemerintah soepaja wang kas mesdjid dimana mana
tempat dimasoekkan depossito atau lain lainnja, agar kita dapat merasakan
boenganja jang tak bergoena bagi mesdjid itoe.

Kritik terhadap pengelolaan kas masjid juga dapat ditemukan pada Tanda
Kemadjoean No. 10, 8-3-1919 (Dalam Overzicht van de Inlandsche Pers No. 10/1919,
Extremitische Bladen, Hongergevaar). Artikel tersebut menceritakan tragedi
kekurangan pangan di Tegal dan sikap dewan kota terhadap peristiwa tersebut. Pertama,
penulis dalam artikel ini merasa puas dengan kinerja dewan kota yang telah
bekerjasama dengan pemerintah daerah dalam menangani persoalan krisis pangan.
Tidak dijelaskan langkah apa yang ditempuh. Selain itu, dijelaskan juga bagaimana si
penulis mengandaikan situasi ideal dimana para pedagang beras menjual beras dengan

Universitas Indonesia
158

harga murah alih-alih menimbunnya untuk kekayaannya sendiri. Apalagi di masa


paceklik, hal tersebut dianggapnya kurang layak. Terakhir, ia menunjukkan bahwa
banyak sekali pengemis di jalanan kota Tegal. Oleh karena itu dia berharap agar Bupati
dapat mengalokasikan uang dari kas masjid untuk kebutuhan orang miskin tersebut.
Meskipun konsekuensinya adalah melanggar peraturan pemerintah kolonial sementara
waktu.
Hal tersebut juga ditemukan dalam sebuah laporan di Pemandangan 15 Agustus
1919. Dilaporkan bahwa masih ada cara untuk mendapatkan uang untuk menolong
orang miskin, yaitu dengan menggunakan uang di di kas masjid. Sebab, penulis tersebut
secara sederhana beranggapan bahwa uang tersebut diperoleh dari perceraian,
perkawinan dan bingkisan masyarakat kepada masjid secara sukarela. Dia
mencontohkan di Tasikmalaya yang masjidnya bisa mendapatkan uang tidak kurang
dari f8,000 pertahun. Uang sebanyak ini tentunya dapat menolong banyak orang miskin,
ditambah penulis beranggapan bahwa hal tersebut tidak bertentangan dengan hukum
Islam. Sejauh yang ditolong menggunakan dana ini hanya orang-orang Muslim.
Adapun masukan lain dapat ditemukan di Bandera Islam 12-7-1926 dengan
judul artikel Di "De Moskeekas". Pada artikel tersebut, penulis mengkritik penghambur-
hamburan uang kas masjid untuk kebutuhan perluasan masjid Karesidenan Pekalongan.
Uang yang diperlukan menurutnya sekitar f6,000 diambil dari uang kas masjid, dan
sisa-sisa lainnya yang lebih sedikit dapat dikumpulkan dengan skema wakaf. Namun
yang terjadi, pemerintah justru menghabiskan uang hingga lebih dari tiga kali lipat.
Setidaknya uang sebesar f26,000 habis untuk renovasi masjid tersebut.
Penulis juga melayangkan keherananannya dalam artikel tersebut. Menurutnya,
mengapa uang sebesar f20,000 dari kas masjid tersebut tidak dikembalikan, melainkan
didepositokan ke dalam bank. Dalam artikel itu tersirat kemarahan penulis sebagai
berikut:
“Untuk siapa sebetulnya bunga tersebut? justru tidak Masyarakat yakin bahwa
sisa uang yang dibutuhkan akan dengan mudah dikumpulkan melalui
sumbangan wakaf, namun yang menjadi pertanyaan adalah mengapa uang yang
ada sekarang harus disimpan di bank? f20,000 yang tersisa di bank membayar
bunga, untuk tujuan apa atau untuk siapa bunga itu? Apakah itu berfungsi untuk

Universitas Indonesia
159

memperbesar kas masjid atau apakah itu diberikan kepada penghoeloe dan
pengurus masjid? Mungkin tidak!”

Penulis artikel ini memberikan solusi untuk persoalan pembangunan masjid ini.
Menurutnya akan lebih baik jika menggunakan jika menggunakan f20,000 atau f22,000
dari kas masjid dan tidak perlu menyelenggarakan pengumpulan wakaf. Dengan begitu,
masih akan ada uang sisa sebesar f6,000 atau f 4,000 di kas masjid.
Adanya pengawasan kas masjid oleh pemerintah Binnenlandsch Bestuur, lanjut
penulis, sudah sangat ideal sebagai sebuah solusi. Hal ini menurutnya untuk mencegah
agar uang kas masjid ataupun bunga keuntungan dari kas masjid tidak digunakan
semena-mena. Ia tidak senang dengan perilaku oknum bupati yang menggunakan uang
tersebut untuk pesta, perjamuan, penguburan mewah kerabat bupati, melunasi hutang
mereka dan koleganya, hingga hiburan-hiburan lain yang sifatnya hedonistis. Selain itu,
besar harapan agar para Binnenlandsch Bestuur justru tidak ikut merongrong uang kas
masjid tersebut untuk kepentingan-kepentingan pribadinya maupun kepentingan
lainnya.

5.5.Ketika Anak Buah Penghulu Berkeluh Kesah: Korban dari Pengelolaan Kas
Masjid
Suara sumbang tentang kas masjid ternyata tidak hanya hadir dari lingkaran luar
kekuasaan. Dalam sebuah artikel koran ditemukan keluh kesah anak buah penghulu
yang menjadi korban pengelolaan kas masjid. Dalam Sinar Hindia 9 Januari 1919, M.
Moesa menulis sebuah artikel dengan judul “Keluh Kesahnya Pegawai Masjid Jepara”.
Dari penyelidikannya, dia menyimpulkan beberapa hal terkait persoalan ini ke publik.
Menurutnya, perkara ketidakadilan dan pembagian kerja yang tidak berperikemanusiaan
semakin sering terdengar di tengah-tengah masyarakat. Dalam artikel ini, Moesa
mengambil masjid Jepara sebagai contoh kasus.
Moesa menulis bahwa pendapatan khatib dan modin di masjid Jepara sangat
jauh dari kata cukup. Menimbang situasi ekonomi saat itu, gaji ini menurut Moesa
membuat mereka dalam keterbatasan. Apalagi kala itu harga makanan sangat mahal.
Pendapatannya bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan perut mereka sendiri.
Sehingga dengan pendapatan sebesar f7 -f12 rasanya sangat sulit bagi mereka
menghidupi anak istrinya juga, kata Moesa. Bahkan sekedar buat beli beras saja sangat

Universitas Indonesia
160

pas-pasan. Hal ini cukup miris mengingat mereka mengabdikan waktunya di dekat
pundi-pundi uang yang sangat besar: kas masjid.
Berdasarkan aturan yang dibuat oleh Residen Semarang pada 28 Februari 1914
No. 6206/68, pembagian uang kas masjid sebetulnya dapat ditemukan pada pasal 6,
yakni sebagai berikut:
a. Pendapatan wang mesdjid diloear kota:
10 pCt. boeat Pengoeloe.
10 pCt. boeat kas mesdjid
81 pCt. boeat Pengoeloe, Naib dan Modin
b. Pendapatan wang mesdjid di dalam kota:
10 pCt. boeat kas mesdjid
90 pCt. boeat Pengoloe dan pegawainja

Adanya pembagian tersebut oleh residen sebetulnya menegaskan bahwa para


Binnenlandsch Bestuur cukup serius dalam penanganan urusan kas masjid. Hanya saja
menurut Moesa, dalam besluit tersebut tidak disebutkan secara spesifik pembagian
antara penghulu dengan para pegawainya. Menurut Moesa, para penghulu membagi
81%-90% pendapatan secara tidak adil. Dia mengumpamakan pembagian tersebut
seperti halnya pembagian ala Petruk, dimana penghulu punya tanggungjawab yang
besar kepada para pegawainya. Sehingga para penghulu berhak mendapatkan porsi lebih
banyak dibanding para pegawainya. Hal ini misalnya disimulasikan oleh Moesa dalam
tulisannya:
“Dari itoe, Pengoloe ---- membaginja memakai atoeran Petroek… Modin
badjak mempelai bagian Pengoeloe hingga f500 lebih, tetapi bagian ketib dan
modin banjak-banjaknya f6; kalau tidak moesim mempelai bagian pengoeloe
f300, sedang ketib dan modin f8, djadi rata-rata tiap boelan bagiannja
Pengoeloe dari wang mesdjid f350, wang gadjih Pengoeloe Landraad f70
ditambah duurte toeslag f10,50 goenggoeng f.43-50 sedang ketib dan modin
rata-rata tjoema f7-f3. Apakah ini namanja adil?”

Moesa mempertanyakan model keadilan seperti itu. Sebab, tidak ada peraturan
yang jelas antara afdeeling satu dengan afdeeling lainnya dalam pembagian uang kas

Universitas Indonesia
161

masjid kepada para pegawainya. Dia mencotohkan Kudus dimana ada perlakuan adil
dari para pemipin daerahnya terhadap pegawai masjid. Memang gaji modin dan khatib
dengan penghulu di Kudus tidak setara. Namun, pembagian pendapatan untuk modin
dan khatib jauh lebih layak ketimbang di Jepara. Mereka bisa mencukupi kebutuhan
dirinya sendiri, ditambah dapat memberi penghidupan yang layak bagi anak-istrinya.
Bagi Moesa, hal inilah yang dianggap adil sebab kerja antara penghulu dan para
pegawainya sebetulnya tidak berbeda jauh.
Sama halnya dengan daerah-daerah lain, pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya
dilakukan Penghulu umumnya dilakukan oleh para pegawainya seperti modin dan
khatib. Bahkan di Jepara, menurut Moesa, penghulu sama sekali tidak pernah bekerja
berat. Di hari Senin, Rabu, dan Jumat, penghulu hanya duduk-duduk santai di Landraad.
Pada hari Selasa para penghulu menghadap ke Landgerecht. Sementara itu, kerja-kerja
di masjid hanya dilakukan sedikit. Biasanya penghulu Jepara datang ke masjid hanya
untuk menghitung pendapatan kas masjid. Setelah itu, para penghulu pulang untuk tidur
di rumahnya. Selebihnya, di hari Sabtu dan Minggu, para penghulu datang untuk
memeriksa peradilan di Raad Agama. Tetapi datangnya penghulu umumnya hanya
bersifat formalitas. Sebab tidak sering peradilan terjadi pada hari-hari tersebut. Sehingga
waktu akhir pekannya lebih banyak dipakai untuk plesiran, dan tidak jarang berpergian
tanpa izin kepada para atasannya.
Bila ada persoalan di masjid, para penghulu bahkan menghindari tanggung
jawab dan menyerahkannya kepada para pegawai masjid, terutama modin dan khatib.
Bagi Moesa, penghulu Jepara sudah tidak memperdulikan lagi segala aktivitas di
masjid, sebagaimana berikut:
“Djadi semoea pekerdjaan mesdjid, Pengoeloe soedah moengkoer gangsir,
tetapi djikalau ada kesalahannja apakah Toean-toean pembatja kira siapa jang
menanggoeng? Mereka? tidak Toean? Ia lantas main boeroeng dan semoea
kesalahannja didjatoehkan pada pegawai mesdjid. Dari kesengsaraannja ketib
dan modin mesdjid Itoe, Pengoeloe setelaah menelaah betoel-betoel, tetapi Ia
poera-poera ta’ tao. Asal bagaiannja sendiri soedah banjak. Ia soedah tidak
perloe fikir kesoesahannja orang lain. Apalagi pengidoepannja pegawai mesdjid
kalau Pengoeloe soeka fikir, sedang keadaannja mesdjid Ia ta’ perdoelijkan.”

Universitas Indonesia
162

Kondisi Masjid Jepara betul-betul menyedihkan. Sungguh tidak layak dijadikan


tempat pernikahan. Moesa mengatakan bahwa orang-orang yang pergi masjid buat
menikah dan cerai umumnya memakai pakaian serba necis. Tapi ketika datang ke
masjid situasinya justru ironis. Sebab tikar yang dipakai untuk duduk sudah sobek, lebih
mirip tikar orang-orang yang jaga malam di gardu, kata Moesa. Selain itu, meja tulis
yang dipakai untuk proses akad dan cerai begitu kecil seperti dingklik. Tempat wudhu
masjid ini pun terlalu kotor. Bau pesing tercium sangat pekat, ditambah kolam
wudhunya sangat-sangat tidak layak seperti sudah lama tidak dibersihkan. Penerangan
masjid pun ala kadarnya, seperti halnya kehidupan di masa kerajaan Brawijaya. Hal ini
berbanding jauh pada masjid-masjid besar lainnya di afdeeling lain. Masjid lain
perkakasnya sangat bersih, terawat, dan rutin diperbarui. Lampunya saja menggunakan
model lampu onderdruk, bukan lampion. Buruknya situasi Masjid Jepara direspon oleh
Moesa seperti ini untuk menekankan betapa buruknya kondisi masjid tersebut, “Kami ta
abis mengarti bagaimana ada satoe Pengoeloe tidak soeka memoeljakan tempat jang
soetji boeat mendjalankan agama. Tetapi toean-toean pembatja djangan kaget dan
boleh saksikan sendiri.”
Bagi Moesa persoalan Masjid Jepara ini terjadi semendjak penghulu Jepara yang
sedang menjabat (tidak disebutkan namanya) saat itu. Sejak menjabat, penghulu
tersebut bahkan belum pernah sekalipun menjadi imam shalat. Namun yang
mengherankan Moesa, kenapa penghulu tersebut bisa masuk pada jajaran tinggi Sarekat
Islam Jepara? Bahkan sampai bisa duduk sebagai bagian dari Penningmeester. Saking
kesalnya, Moesa bahkan melontarkan beberapa umpatan, menuduhnya beragama
Kristen, dan hanya mementingkan bisnisnya sendiri:
“...hal-hal apakah ini boekan pendapatannja orang jang berontak miring? Dan
patoetkah orang jang sematjam itoe didjadikan penontoen Agama Islam? Boleh
djadi pengoeloe Japara itoe beragama Christen, Pekerdjaannya tida lain hanja
menambahkan harta bendanja sahadja, jaitoe beli tambak bandengan, sawah
dan berdagang dengan seorang Hadji sahabat karibnja. Djikalau tida salah,
semoea peagawai Gouvernement di larang tidak boleh berdagang, mempoenjai
atau sewa menjewa sawah, baik dengan namanja sendiri maoepoen lantaran
orang lain, tetapi roepa-roepanja pembesar di Japara tida mengoeroet, sebab
itoe Pengoeloe dianggap sebagai orang jang koerang ingatan.”

Universitas Indonesia
163

Terakhir, Moesa berharap agar keluhannya ini dapat dibaca oleh para petinggi
daerah Jepara. Ia ingin supaya Residen Semarang dan Bupati Jepara mengetahui
bagaimana kesengsaraan modin dan khatib di Jepara selama ini. Dengan mengetahui hal
tersebut, Moesa juga berharap ada perbaikan taraf kehidupan bagi para pegawai masjid
di bawah penghulu.
Berita mengenai ketidakadilan terhadap para bawahan penghulu juga dapat
ditemukan pada pemberitaan lain. Di Sipatahoenan 28 Desember 1918, terdapat sebuah
artikel yang melaporkan ketidakadilan dalam pembagian uang nikah. Sebab, pegawai
penghulu yang secara langsung menjadi penghulu perkawinan hanya mendapat 10%
saja, sementara penghulu masjid yang justru tidak terlibat mendapatkan uang sebesar
40%. Sementara 50% sisa pendapatan dari mengawinkan masyarakat masuk ke dalam
kas masjid. Hal ini sebetulnya sudah pernah diingatkan oleh Snouck Hurgronje sejak
1890an. Sehingga dia sempat mendorong para Binnenlandsch Bestuur untuk
bekerjasama dengan Pangreh Praja dalam membuat aturan mengenai pendapatan
penghulu dan pegawai masjid. Namun sayang, ternyata sampai masa jabatan Snouck
selesai, kejadian ini masih tetap terjadi.

5.6.Kas Masjid Sebagai Harta Umat


Dari berbagai laporan dan kasus di atas, terlihat bahwa masyarakat meletakkan kas
masjid sebagai dana milik umat. Terlepas dari ketidaktahuan mereka bahwa dana
tersebut juga terisi dari sebagian pendapatan penghulu dan pegawainya, masyarakat
beranggapan dana kas masjid merupakan kumpulan dana amal dan dana sukarela dari
masyarakat. Bahkan dalam Pandji Poestaka terbitan 11 Oktober 1919, Sapardjo, Dewan
Imamat di Jawa, mengatakan bahwa kas masjid sama seperti baitul maal. Hal ini
menegaskan bahwa masyarakat, terutama kalangan yang lebih terdidik, merasa bahwa
peruntukan dana kas masjid sudah seharusnya buat masyarakat luas.
Hal ini juga tidak bisa terlepas dari preseden Januari 1906. 40 Sebuah suaka bagi
orang miskin terpaksa ditutup karena kekurangan pendanaan. Sebelum peraturan
mengenai penggunaan kas masjid dikeluarkan, suaka ini dapat beroperasi karena
didukung dana dari kas masjid. Sebulan sebelumnya, tepatnya pada Desember 1905,

40
Koloniaal Verslag van 1907: I. Nedelandsch [Oost-] Indië. Handelingen der Staten-Generaal.
(Algemeene Landsrukkerij: Bijlagen C, 1907-1908), h. 3.

Universitas Indonesia
164

aturan pelarangan penggunaan kas masjid ini akibatnya merugikan orang yang tengah
dirawat pada suaka tersebut. Setidaknya ada 9 pasien yang sakit parah dibawa ke rumah
sakit saat itu juga, sedangkan 71 orang sisanya dikirim kembali ke desa masing-masing.
Hal ini melahirkan imajinasi di tengah masyarakat sipil bahwa di masa lalu kas masjid
dapat digunakan untuk pemberdayaan masyarakat, tapi saat ini yang ada hanyalah
larangan, dan pada titik tertentu lebih banyak merugikan masyarakat.
Selain itu, dilaporkan lebih jauh bahwa uang dari kas masjid juga akan
digunakan untuk pendirian sekolah yang sistemmnya mereplikasi sistem pendidikan
"Madrasatul Gadaissjari" di Kairo.41 Selain itu, uang kas masjid rencananya juga akan
digunakan untuk pembangunan yayasan "Roemah Piatoe Moeslimin" (Panti Asuhan
Muslim) di Batavia, dan pertimbangan ini telah diusulkan kepada pemerintah agar
bersedia menyediakan dana dari kas masjid di Jawa dan Madura untuk keperluan
pendirian yayasan tersebut.42 Hal ini misalnya terbaca dalam laporan mengenai dua
pertemuan yang terjadi, yaitu pertemuan Sarekat Istri Jacatra dan Komite Al-Islam di
Batavia berikut43:
“Pada Minggu pagi, digelar dua pertemuan publik di koridor Kenari di Batavia,
yakni pertemuan 'Sarikat Istri Jacatra' dan 'Komite Al-Islam'. Pertemuan
Sarikat Istri pertama dipimpin oleh Ibu S. Z. Goenawan. Aula itu penuh sesak;
jumlah wanita diperkirakan mencapai 50 orang. Orang Arab juga hadir di aula.
Konselor Inlandsche Zaken dan Deputy Counselor, Mr. Gobee dan Dr. Pijper,
menghadiri kedua pertemuan tersebut. Nyonya Goenawan mendaftarkan
organisasi yang hadir dan meminta masyarakat untuk menghadiri kebaktian
kecil, dengan salah satu wanita yang hadir bertindak sebagai ketuanya.
Rapat pimpinan menyebutkan agenda pembahasan yayasan "Roemah
Piatoe Moeslimin". Anggaran dasar lembaga baru ini dibacakan dan disetujui.
Pendanaan untuk yayasan akan didukung dari bantuan kas masjid, karena ini
menyangkut suatu tujuan, sesuai dengan ketentuan mengenai pengelolaan kas
masjid tersebut. Kemudian dijelaskan tentang pengelolaan dana tersebut dan
penggunaan dana tersebut. Kasus seperti itu disebutkan dimana uang dari kas

41
Overzicht van de Inlandsche en Maleisch-Chineesche Pers No. 41/1923, "Hervorming
Priesterraden", Boedi-Oetomo, 6-10-1923
42
De Indische Courant, 01-12-1931, h.9
43
De Sumatra Post, 16-10-1931, Nederlandsch-Indie, Sarikat Istri en Al Islam, h.3

Universitas Indonesia
165

masjid itu pernah dihabiskan untuk rumah sakit misionaris di Mojowarno, di


jalan dan jembatan. Yayasan ini mengumumkan bahwa supaya para bupati
dapat menyediakan lima gulden per bulan, beberapa bupati lainnya menyatakan
bahwa kas masjid tidak mengizinkan pemberian bantuan. Namun, belum semua
jawaban diterima. Namun beberapa bupati setuju untuk memberikan bantuan.
Ibu Mangoenporopito kemudian memberikan ceramah tentang tugas-
tugas manusia. Karena pimpinan pertemuan kedua menunggu tidak sabaran.
Tly, Ketua meminta tambahan satu jam lagi.
Pak Kadar, salah satu pemimpin pertemuan kedua, bersedia
memberikan sepuluh menit saja. Kemudian Ibu N. Badjenet Effendi memberikan
ceramah tentang pakaian wanita muslimah. Ia mengatakan bahwa gaun itu
terus berubah, tetapi tidak selalu menjadi lebih baik, karena, misalnya, menjadi
semakin transparan. Tak ubahnya seperti pakaian wanita Arab yang tinggal di
sini di pedesaan. Pemimpin pertemuan mengingat fakta bahwa ini setidaknya
untuk pertama kalinya diucapkan oleh seorang wanita Arab. Lebih lanjut,
diumumkan bahwa tanah telah tersedia untuk Rumah Piatoe Moeslimin. Mereka
yang ingin memberi lebih banyak, dalam bentuk uang atau barang,
dipersilakan. Sementara agenda lain yang telah diprogramkan batal karena
kurangnya waktu.”

Pertemuan tersebut kemudian juga dilaporkan oleh Saeroen dalam Sin Po 27


November 1917. Ia menyatakan bahwa Pemerintah Kolonial tidak dapat memberikan
keputusan begitu saja terkait hasil pertemuan Sarekat Istri Jacatra dan Komite Al-Islam.
Sebab, pemerintah khawatir dianggap mencampuri urusan keagamaan, dan tidak lagi
dianggap netral. Pendirian Roemah Piatoe Moeslimin dianggap sangat spesifik
ditujukan kepada masyarakat Muslim. Oleh karena itu pemerintah tidak bisa berbuat
banyak. Selain itu, dana kas masjid bukanlah milik pemerintah. Sehingga dana kas
masjid dapat digunakan untuk pendirian lembaga yang bersifat religius. Untuk ini,
pemerintah tidak berhak melarangnya. Namun, karena Roemah Piatoe Moeslimin
statusnya juga berafiliasi pada kelompok atau organisasi tertentu karena mirip dengan
asosiasi swasta, pemerintah juga tidak bisa mengizinkan pemberian dana tersebut.
Adapun dasar pertimbangan dari pemerintah adalah sebagai berikut:

Universitas Indonesia
166

“bahwa pemerintah telah lama menetapkan tujuan didirikannya kas masjid,


sehubungan dengan sejarah keberadaan mereka sebagai pemenuhan kebutuhan
peribadatan di masing-masing kabupaten sebagaimana aturan adat. Oleh
karena itu, ada keberatan untuk mengalokasikan uang milik penduduk Muslim,
menurut kabupaten, ke asosiasi swasta; bahwa oleh karena itu pemerintah
menganggap pengabulan permintaan panitia lokal pengelola kas masjid
tersebut bertentangan dengan tujuan pendirian kas masjid tersebut.”

Penegasan bahwa kas masjid merupakan milik umat Islam adalah sangat
penting, meskipun harta ini berasal dari persentase uang nikah dan zakat yang sengaja
diperuntukkan bagi kepentingan masjid. Tidak adanya penegasan sebelumnya, sering
menyebabkan pemanfaatan uang masjid ini sedemikian jauh dari kepentingan masjid
dan umat Islam sendiri, sehingga patut dinamakan sebagai penyalahgunaan atau
penyelewengan. Hal ini bisa dilihat misalnya, pada gagasan De Wolff van Westerrode
untuk memanfaatkan kas masjid sebagai dana pemeliharaan orang sakit gila, lepra, buta
atau memberikan pinjaman tanpa bunga kepada suatu lembaga kredit.44 Di wilayah
karesidenan Surabaya, Residen menggariskan bahwa salah satu pos pengeluaran bagi
kas masjid setempat adalah memberikan sumbangan kepada Rumah Sakit Zending di
Mojowarno.45 Ternyata dari kas masjid Sedayu Surabaya, setiap bulan nya dikeluarkan
uang scbanyak f.90, untak membantu Rumah Sakit Zending tersebut. Dari kas masjid di
pelbagai tempat di Rembang juga dikeluarkan bantuan bayi rumah sakit tersebut.46

44
Snouck Hurgronje menentang keras gagasan ini. (Snouck Hurgronje, "Moskeekasse", op cit,
hal. 803). Ketika Snouck Hargronje menulis artikel Ini tahun 1902, De Wolff van Westerrode bertugas
sebagai Asisten Residen Purwokerto. Pada tahun 1904 ia ditugaskan untak mendirikan Bank Kredit
Rakyat.
45
Rumah Sakit ini diprakarsai oleh Johannes Kruyt (1835-1918) y ang bertugas sebagai pendeta
di Mojowarno sejak tahun 1864 sampai 1898. Dalam hal ini Snouck Hurgronje mengecam keras
kebijakeanaan Residen Sara baya tersebut, Menurut Snouck Hurgronje, memang orang bisa simpati ke
pada usaha J. Kruyt ini, karena aktivitas Kristennya memberikan manfaat pula bagi mercka yang bukan
Kristen. Tapi orang pun bisa pula menegur keras pegawai Eropa yang menyalahgunakan pengaruhnya,
agar sumber dana Islam dipergunakan membantu aktivitas zending Kristen. (Surat Snouck Hurgronje ke
Gubernur Jenderal W. Rooseboom tanggal 11 Juni 1902, dalam ibid. hal. 806)
46
Bendera Islam, 8-12 Juli 1926; IPO, 1926, II, hal. 110; W.H. Alting von Geusau, Neutraliteit
der Overheid in de Nederlandsche Kolonien Jegens Godsdienstraken, Haarlem, 1917, hal, 107.
Penggunaan sumber dana Islam untuk memb antu aktivitas Kristen ini seharumya mengundang reaksi
kalang- an Islam Tapi reaksi ini ternyata tidak begitu nampak pada pers maupun organisasi pribumi. Hal
ini perlu dimaklumi karena kasus Rembang itu terjadi pada zaman Residen A.C: Uljee tahun 1888 dan
kasus Surabaya terjadi sekitar tahun 1902. Pada tahun-tahun itu lembaga pers pribumi jelas belum berkem
bang, sedang organisasi pribumi pun belum pula lahir. Tidak terlihatnya reaksi Ima sy arakat slam ini bisa

Universitas Indonesia
167

Sementara itu pada tahun 1898, dari kas masjid Pekalongan dikeluarkan uang
f.3000, untuk membangun sebuah gedung per temuan umum di Pemalang,47 sedangkan
kas masjid di Kediri dimanfaatkan untuk membiayai sebuah asrama bagi kepentingan
pelacur yang sakit.48 Di samping itu ada pula kas masjid yang. dipergunakan untuk
membangun suatu rumah sewa bagi Asisten Wedono.49
Snouck Hurgronje mengungkapkan bahwa yang biasa memperoleh sumbangan
dari kas masjid adalah para musafir, Arab haji atau santri, bahkan juga musafir Eropa.
Kadang-kadang pos pengeluaran kas masjid ini ada yang berbentuk tunjangan tetap,
misal nya tunjangan bagi priyayi yang dipecat, janda pegawai yang di tinggal mati
suaminya, atau penghuni tetap kaum yang menurut namanya jelas orang ningrat.50
Diungkapkan pula bahwa kadang kadang juga diberikan tunjangan untuk memberantas
tikus, membagi-bagikan bibit, membantu orang yang panen padinya tidak berhasil dan
orang yang kebakaran. Juga untuk ongkos pemakaman, untuk lampu di jalan umum,
bahkan untuk membeli peralatan makan yang cukup besar, membiayai lampu yang
demikian banvak sehingga bisa dimanfaatkan orang-orang di luar masjid dan
mengusahakan kebun serta membayar tukang kebunnya, serta untuk memugar rumah
penghulu dan peralatan kantor bupati.51
Dari aneka kasus tersebut bisa dilihat betapa simpang siurnya penggunaan kas
masjid, sebelum tahun 1930-an. Agaknya masalah penguasaan harta masjid oleh bupati
ini merupakan salah satu faktor kunci. Sekalipun dalam hal ini penghulu memang
mendampingi Bupati, namun kedudukannya hanya sekedar membantu, dan bukan
sebagai atasan bagi bupati tersebut. Sementara itu seorang residen - yang merasa
sebagai atasan bupati – bias merasa berhak mencampuri wewenang bawahannya. Dalam
hal ini bupati sebagai kepala pribumi, mustahil bisa menentang atasannya yang Eropa.

dimaklumi, scbab pada waktu itu tidak banyak orang yang mengetahui seluk beluk kas masjid, selain
penghulu dan bupst atau residen.
47
Bendera Islam 8 Juli 1 926:IPO, 1926, I1, hal. 110.
48
Hal ini dikemukakan oleh Dr. A.G. Voorderman yang pernah ber tugas sebagai Inspektur
Dinas Keschatan di Kediri pada tahun 1890. (Snouck Hrgronje, op cit, hal. 808).
49
Ibid, hal. 816
50
Menurut Snouck Hurgronje sumbangan semacam ini merupakan hadiah bupati atau penghulu,
yang dibayar oleh orang lain. (Ibid.)
51
Ibid. Ungkapan Snouck Hurgronje ini bernada kurang setuju atas penggunaan kas masjid bagi
kepentingan sosial kemasy arakatan. Di sisi lain ia juga kurang setuju jika jumlah kas masjid terdalu
banyak sehingga melebihi keperluan.

Universitas Indonesia
168

Di samping itu tidak tegasnya status kas masjid, juga merupakan faktor kunci bagi
kesimpangsiuran masalah ini. Sementara residen bahkan beranggapan bahwa kas masjid
merupakan lembaga pemerintah, karena lembaga ini pada umumnya dibentuk oleh
pemerintah.52 Itulah sebabnya banyak pegawai Eropa juga ikut mengatur penggunaan
kas masjid, sementara itu masyarakat Islam nonpe gawai tidak diikutsertakan dalam
mengelola harta milik mereka sendiri.
Dari sini terlihat bahwa keberadaan kas masjid sudah dinilai sebagai milik
masyarakat, setidaknya dari kacamata masyarakat sipil. Meskipun pengajuan Roemah
Piatoe Moeslimin tidak serta merta berhasil, namun pada tahun-tahun berikutnya usaha
mendirikan yayasan tersebut berhasil. Hal ini mungkin terjadi karena banyak tekanan
dari berbagai pihak agar pengelolaan kas masjid diserahkan kepada umat Muslim.
Lewat pembicaraan yang panjang di Volksraad, Gubernur Jenderal akhirnya mendapat
masukan agar membuat peraturan agar pengelolaan kas masjid turut menyertakan tokoh
lokal, tidak hanya bergantung pada pegawai Binnenlandsch Bestuur dan Pangreh Praja
semata.

52
Surat Residen Priangan tanggal 30 September 1932 ke Kantoor voOT Inlandsche zaken,
meneruskan pertanyaan Bupati Tasikmalaya, tentang materai dan kedudukan kas masjid sebagai lembaga
pemerintah atau bukan. (Koleksi Kern, op cit., no. 460).

Universitas Indonesia
BAB 6

KESIMPULAN

Mengapa Gubernur Jenderal berkepentingan mengatur pengelolaan kas masjid? Padahal


kas masjid sudah dianggap domain agama dan menjadi ranah kekuasaan para elit-elit
tradisional dari Bumiputera? Mengapa seorang Bupati, yang notabene bagian dari
pemerintahan kolonial Hindia Belanda, melanggar peraturan yang telah dibuat oleh
Gubernur Jenderal? Padahal konsekuensinya cukup berat termasuk harus menempuh
jalur hukum? Mengapa masyarakat sipil merasa pengaturan yang dilakukan oleh
Gubernur Jenderal sama saja mencerabut hak umat Muslim atas kas masjid? Padahal
aturan Gubernur Jenderal bertujuan agar dana kas masjid bisa dikelola secara transparan
dan terhindar dari penyalahgunaan oknum-oknum korup?
Sebelum dijelaskan lebih jauh, akan dijelaskan terlebih dahulu kemunculan kas
masjid di Hindia Belanda, khususnya di Pulau Jawa. Ia merupakan produk kultural yang
lahir dari tradisi filantropi agama Islam. Secara historis, hal ini juga terjadi di masa
Nabi, dimana muncul praktek baitul maal yang mengumpulkan harta milik umat
Muslimin awal kala itu. Dalam perjalanannya, baitul maal terus bertransformasi dan
terinstitusionalisasi dalam sistem pemerintahan, sehingga Ia juga berlaku sebagai
institusi keuangan dalam sebuah kesultanan Islam. Ketika Islam mulai masuk dan
menyebar di Nusantara, baitul maal juga turut masuk dan dipraktekkan. Hanya saja
tidak ada bukti kuat bagaimana transmisi kas masjid terjadi dari Timur Tengah ke
Nusantara. Perlu penelitian lebih lanjut untuk membuktikan hal ini. Namun yang pasti,
praktik baitul maal di zaman Nabi punya kemiripan dengan praktik kas masjid di Jawa,
dimana keduanya menjadi wadah harta milik umat Islam yang dikumpulkan dari
berbagai perangkat filantropi Islam seperti zakat, infak, sedekah, dan wakaf. Perbedaan
yang cukup jelas hanya pada pengelolaannya yang kemudian mengalami proses
vernakularisasi.
Ketidaksepahaman terjadi pada sisi pengelolaan dan pemanfaatan uang kas
masjid. Ada tiga kelas sosial utama yang membuat perjalanan sejarah kas masjid
menjadi begitu dinamis, yakni pemerintah kolonial Hindia Belanda berbangsa Eropa,
para elit tradisional yang juga masuk ke dalam struktur pemerintahan Hindia Belanda,

169
170

lalu terakhir adalah para kelompok terpelajar yang menjadi bagian dari masyarakat sipil.
Ketidaksepahaman ini dapat dijelaskan dengan bantuan kerangka Weber yang melihat
benturan semacam ini wajar terjadi pada masyarakat tradisional yang sedang mengalami
masa transisi Adanya perubahan dari tradisional ke modern secara tiba-tiba membuat
tatanan birokrasi goncang dan berdampak pada berbagai aspek kehidupan. Kas masjid
adalah salah satunya. Oleh karena itu, pertama akan dijelaskan mengapa pemerintah
kolonial bermaksud mengatur kas masjid. Orang-orang yang menjadi penyusun kelas
sosial ini merupakan masyarakat modern, datang dari Barat dan punya anggapan
peradabannya lebih tercerahkan dibanding daerah lain. Perspektif seperti ini kemudian
diejawantahkan dalam berbagai kebijakan yang tujuan utamanya berupaya menjaga
ketenangan dan ketertiban (rust en orde) di negara jajahan. Berbagai mekanisme
tradisional yang menjadi warisan feodalisme dimodernisasi perlahan-lahan, meskipun
masih ada beberapa yang dipertahankan guna kepentingan ekonomi-politik mereka.
Kas masjid adalah salah satu entitas yang dianggap membuka celah terhadap
berbagai penyalahgunaan wewenang lantaran masih kental dengan nuansa feodalisme.
Gubernur Jenderal, terutama bersama jajarannya dari Kantoor voor Inlandsche Zaken,
membuat berbagai peraturan agar praktik kas masjid dapat berjalan dalam koridor
sistem pemerintahan yang modern. Berbagai kebijakan diterapkan agar praktik ini bisa
lebih transparan dan dapat diawasi oleh banyak mata. Sebagai sebuah bagian
modernisasi birokrasi, hal ini dianggap sebagai sebuah seni agar pemerintahan bisa
berjalan sesuai dengan kepentingan mereka yang mengusung nilai-nilai modernitas.
Tendensi ini semakin kuat sebab kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah kolonial
juga berangkat dari kompleksitas studi lapangan. Para prajurit akademik dari Kantoor
voor Inlandsche Zaken mensuplai pemerintah kolonial agar kebijakan yang dibuat tepat
sasaran.
Kedua adalah para Inlandsch Bestuur, mulai dari bupati hingga penghulu.
Mereka adalah pemangku-pemangku utama hegemoni kultural yang mengakar pada
tradisi feodalisme. Masjid, dan tentu saja kas masjid, berada dalam kekuasaan mereka.
Secara kultural, mentalité masyarakat yang ada memberikan dukungan bagi para
Inlandsch Bestuur untuk mendapatkan kuasa penuh dalam mengelola kas masjid. Sebab
agama, dalam kasus ini Islam, menjadi domain penuh para bupati dengan dibantu oleh
penghulu beserta jajarannya, terutama sebelum Belanda memodernisasi mereka

Universitas Indonesia
171

kedalam sistem pemerintahan kolonial. Oleh karena itu, uang di kas masjid seyogyanya
berada di bawah otorisasi penuh mereka. Ini yang kemudian membuat mereka, dalam
berbagai kasus yang dijelaskan di bagian sebelumnya, tidak menggubris aturan-aturan
yang telah dibuat oleh Gubernur Jenderal. Meskipun secara formal administratif posisi
bupati dan penghulu berada di dalam struktur pemerintahan kolonial––yang mana
artinya mereka adalah bawahan tidak langsung dari Kerajaan Belanda karena
mendapatkan gaji––namun mereka tidak patuh pada sistem. Adanya arogansi dari
kelompok ini secara substantial juga tidak tergerus oleh nilai-nilai modern pemerintahan
kolonial. Adanya upaya modernisasi hanya mengubah protokol mereka dalam
menjalankan feodalisme. Ditambah pemerintah kolonial juga menerapkan sistem
“indirect colonialism”, sehingga posisi para feodal ini masih kuat karena mendapat
posisi special yang menjembatani (middlemen) orang Eropa dengan para petani.
Dalam konteks kas masjid, mereka yang masuk dalam kategori elit tradisional
menjadi kelompok yang paling diuntungkan. Uang-uang kas masjid masuk ke dalam
masjid yang notabene diurus oleh para penghulu. Kemudian para penghulu
melaporkannya ke para bupati. Meskipun aturan dari pemerintah kolonial tidak
memperbolehkan uang kas masjid dibelanjakan di luar kebutuhan masjid, para bupati
selalu punya cara untuk bisa menikmati uang ini untuk, salah satunya, pemenuhan gaya
hidup mereka. Salah satu cara adalah dengan mendepositokan uang kas masjid yang
jumlahnya besar-besar tersebut, lalu bunganya dinikmati oleh mereka. Masjid tidak bisa
menerima uang ini lantaran ada hukum syariah yang menyatakan bahwa bunga deposito
termasuk dari riba dan haram hukumnya. Secara formal, mereka memang tidak
melanggar aturan karena uang kas masjid tidak berkurang. Namun secara etika, hal ini
mendapatkan kritik dari kalangan masyarakat sipil dan pemerintah kolonial.
Ketiga adalah kelompok masyarakat sipil. Mereka bertindak selayaknya aktivis
maupun kelompok pergerakan nasionalis. Mereka adalah orang-orang yang selalu
mengkritik kesalahan dari pemerintah dan elit tradisional. Selain itu, mereka umumnya
adalah kelas masyarakat terpelajar, sehingga tidak jarang dari mereka sebetulnya adalah
anak-anak priyayi––atau dalam bahasa saat ini masyarakat kelas menengah sampai
menengah atas––yang memiliki akses pendidikan yang baik. Perspektif mereka
terbentuk oleh paparan modernitas yang lebih substantial dari pendidikan mereka,
sehingga bila melihat sistem yang tidak adil akan menggangu mereka. Dalam kasus kas

Universitas Indonesia
172

masjid, mereka merasa bahwa ada pengelolaan kas masjid tidak seharusnya diatur oleh
pemerintah kolonial. Sebab, bagaimanapun, mereka percaya bahwa harta tersebut
adalah milik umat Muslim lantaran juga dikumpulkan dari dana zakat-fitrah. Mereka
tidak menggubris bahwa sebagian dana kas masjid adalah porsi uang yang didapat oleh
penghulu beserta jajarannya setelah melakukan kerja-kerja keagamaan seperti
mengawinkan, menceraikan, dan mengurus soal harta warisan masyarakat. Oleh
karenanya, mereka berulangkali mengkritik pemerintah kolonial, sekalipun alasan
pemerintah kolonial mengatur kas masjid karena alasan-alasan yang sifatnya pada tata
kelola pemerintahan yang baik (good governance). Kelompok ini juga mengkritik elit
tradisional yang tidak berempati karena menggunakan uang kas masjid untuk hal-hal
yang dianggap hedon maupun foya-foya belaka.
Selain itu, kelompok ini juga menempuh jalur-jalur formal seperti menyuarakan
kas masjid dalam sidang Dewan Rakyat (Volksraad). Suara-suara yang telah
disampaikan pada berbagai kesempatan baik di media, audiensi resmi dengan
pemerintah, maupun kongres persarikatan, dianggap belum cukup. Latar belakang
mereka mendorong kelompok ini untuk merambah semua jalur, dan terbukti jalur
Volksraad cukup berhasil, dengan ditandai kelahiran kebijakan mengenai kas masjid
pada 1931. Kebijakan ini membuat hak pengelolaan kas masjid berada di bawah
masyarakat Muslim secara langsung. Bupati dan penghulu tidak lagi menjadi otoritas
utama yang bisa mengakses kas masjid, namun mereka hanya menjadi semacam dewan
pengawas kas masjid. Adapun pemerintah kolonial juga menjadi pengawas agar ada
keseimbangan antara elit tradisional dengan pegawai Eropa pemerintah Hindia Belanda.
Terakhir, keempat, dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh terhadap sikap dan
aksi kelompok sosial terhadap kas masjid. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
meskipun pangreh praja masih menjadi bagian dari pemerintah kolonial, namun mereka
punya persepsi yang berbeda tentang pengelolaan kas masjid. Perbedaan perspektif
antara Binnenlandsch Bestuur dengan Inlansch Bestuur menjadi alasannya.
Binnenlandsch Bestuur menilai sebuah fenomena di Hindia Belanda berdasarkan nilai-
nilai birokrasi modern dimana semua harus diatur sesuai dengan aturan-aturan yang
sudah dibuat. Sementara Inlandsch Bestuur justru kerap bertindak berdasarkan
kesadarannya sebagai priyayi. Akibatnya mereka sering berbeda pandangan dalam
mengelola kas masjid meskipun sama-sama bagian dari pemerintah kolonial. Di tengah

Universitas Indonesia
173

mereka terdapat kelompok masyarakat sipil yang punya kesadaran berbeda, dimana
mereka berjuang agar kas masjid bisa dikelola oleh masyarakat Muslim sendiri.

Kas Masjid, Mentalité, dan Sebuah Studi Lanjutan?


Studi ini juga menemukan celah lain untuk dieksplorasi, yakni bagaimana pengaruh
mentalité sebuah kelas sosial dalam mempengaruhi sebuah entitas dalam lintasan
sejarah. Namun sebelumnya, penting dihadirkan di sini sebuah konteks yang terjadi di
pertengahan abad ke-20. Berpetualang ke tahun 1939, kita melihat sebuah upaya dari
Marc Bloch yang tengah memperkenalkan istilah La Société Féodale (Masyarakat
Feudal). Istilah ini merupakan judul karyanya dalam bahasa Prancis. Lebih dari dua
dekade setelahnya, tepatnya pada 1962, versi inggrisnya telah beredar di kalangan
sejarawan Eropa dengan judul Feudal Society Vol 1 (The Growth and Ties of
Dependence) dan Feudal Society Vol 2 (Social Classes and Political Organisation).
Kedua karya ini melacak akar-akar kemunculan masyarakat feodal dan bagaimana ia
tumbuh, berkembang, dan akhirnya runtuh. Masyarakat feodal, sebagai sebuah
mentalité, tidak hanya entitas yang statis, melainkan dinamis dan selalu berevolusi dari
tahun ke tahun bersamaan dengan perubahan zaman.
Lebih jauh, dua karya yang berasal dari satu karya Marc Bloch ini memberikan
kontribusi besar dalam kajian sejarah mentalité setelah dialihbahasakan ke dalam
Bahasa Inggris. Salah satu yang menjadi perhatian adalah sebuah bagian yang mengulas
masalah kerpecayaan (belief) manusia pada seseorang yang dikultuskan dalam struktur
masyarakat feodal, dan dianggap suci karena menjadi kepanjangan tangan dari Tuhan di
dunia.1 Bloch memperlihatkan bagaimana masyarakat di Abad Pertengahan punya
kesadaran ilusi kolektif––atau dalam bahasa lain psikologi kolektif dalam sejarah2––
mengenai mistisisme seorang raja, dimana salah satunya kemampuan suci sang raja
yang mampu menyembuhkan berbagai penyakit kronis seperti scrofula3. Mentalité ini

1
Marc Bloch, Feudal Society: Volume I The Growth of Ties of Dependence (London: Routledge
and Kegan Paul, 1962), 81–87.
2
Jacques Le Goff, “Mentalities: A History of Ambiguities,” dalam Constructing the Past:
Essays in Historical Methodology, ed. oleh Jacques Le Goff dan Pierre Nora, 2nd ed. (Cambridge:
Cambridge University Press, 2011), 166–80.
3
Istilah "skrofula" digunakan untuk waktu yang lama untuk menunjukkan pembengkakan kronis
kelenjar getah bening serviks. Sebuah risalah Hippocrates menganggap skrofula sebagai yang dihasilkan
oleh akumulasi dahak, dengan ketidakseimbangan konsekuen atau diskrasia dari cairan tubuh. Diyakini
bahwa itu bisa sembuh secara spontan; tetapi bisa juga melunak, terbuka melalui kulit dan memiliki sifat
yang sulit disembuhkan.

Universitas Indonesia
174

mengakar dalam masyarakat sehingga memperkuat tradisi feodalisme kala itu.


Kesadaran seperti ini kemudian menjadi perangkat lunak yang disebut sebagai
“mentalité feodal”.
Berkenaan dengan kas masjid, ada benang merah yang bisa digunakan dari
penjabaran Bloch mengenai masyarakat feodal. Konsep kebangsawanan (nobility) dan
masyarakat intelektual memberikan inspirasi bagi peneliti dalam membaca situasi yang
terjadi di Hindia Belanda. Pertama soal kebangsawanan. Pada konteks Hindia Belanda,
konsep bangsawan punya kemiripan dengan jenis kekuasaan tradisional yang ada
khususnya di Jawa dan Madura. Dijelaskan oleh Bloch bahwa dalam konteks Prancis
Abad Pertengahan seorang bisa dikategorikan sebagai kelas bangsawan harus memiliki
dua karakteristik. Pertama, ia harus memiliki status hukumnya sendiri yang menegaskan
dan membuat efektif superioritas yang diklaimnya, dan kedua status ini harus
diwariskan secara turun-temurun. Bila kedua aspek ini tidak dijalankan, seseorang tidak
akan mendapatkan hak istimewa (privilege) seorang bangsawan, atau tidak punya daya
kuasa penuh secara kultural.4 Hal ini sebetulnya mirip dengan apa yang terjadi di Jawa
bahwa tidak semua bangsawan punya kesetaraan yang sederajat. Raja dan priyayi tidak
bisa disamakan. Bahkan di kalangan priyayi pun ada jenjang-jenjang tertentu yang
sifatnya hirarkis.
Hak istimewa para bangsawan tentu saja punya konsekuensi tersendiri. Ada
mentalité yang merasa bahwa mereka adalah pemegang hegemoni kultural. Sebagai
bangsawan, mereka bisa melakukan banyak hal kepada masyarakatnya. Tentu saja,
masayarakat juga senang melayani para bangsawannya. Inilah nuansa feodalisme yang
menjadi salah satu bentuk mentalité. Bahkan sekalipun para bangsawan di Jawa sudah
dilibatkan dalam struktur modern negara kolonial, mentalité feodal ini tetap mengakar
utamanya pada para bangsawan, dan tentu saja rakyat yang belum terekspos dengan
pencerahan-pencerahan politik etis. Lewat penobatan, pensakralan kuasa, otoritas, dan
prestise yang diberikan kepada para aristokrat oleh lingkungannya (entrée royales)5
menjadikan mentalité ini dapat terlembagakan cukup kuat di masyarakat feodal, tidak

4
Marc Bloch, Feudal Society: Volume II Social Classes and Political Organization (London:
Routledge and Kegan Paul, 1962), 2–3.
5
Ernst H. Kantorowicz dan Conrad Leyser, The King’s Two Bodies: A Study in Mediaeval
Political Theology (Princeton: Princeton University Press, 1957); Le Goff, “Mentalities: A History of
Ambiguities,” 172–73.

Universitas Indonesia
175

terkecuali di Jawa dan Madura. Untuk mentalité seperti ini, penulis menawarkan sebuah
istilah mentalité feodal (feodal mentality).
Kedua, adalah masyarakat intelektual dan vendetta. Poin ini merupakan unsur
penting yang menjadi bangunan lain dalam masyarakat feodal. Masih berkenaan dengan
kasus kas masjid, konsep ini juga mirip dengan pondasi kelompok masyarakat sipil.
Ada kesamaan mentalité dari dua kelas sosial tersebut. Dalam masyarakat intelektual,
lebih jauh dijelaskan bahwa telah tumbuh kesadaran diri (self-consciousness) dari
mereka dan mulai menentang hegemoni gereja. Bangkitnya gerakan reformasi
Gregorian yang dipelopori oleh Paus Gregorius VII telah menjadi tonggak bagi
mentalité reformasi, yang pada gilirannya menginisiasi kelahiran kaum-kaum
intelektual di Era Renaissance. Masyarakat intelektual hadir dengan mentalité mereka
sendiri dalam mengkonter kultur feodalisme––baik raja maupun paus––yang tidak
mencerminkan integritas moral dan kekuasaan yang beretika.6 Adapun unsur lainnya
adalah vendetta. Bloch berangkat dari sebuah fakta mental bahwa pada Abad
Pertengahan, dari awal hingga akhir, dan khususnya era feodal, masyarakatnya hidup di
bawah balas dendam pribadi (vendetta). Ada semacam tanggung jawab dari keluarga
yang telah dititipkan “wasiat” apabila ada anggota keluarganya dibunuh dalam
persengkataan politik. Balas dendam ini menjadi tugas yang paling suci bagi merkea
yang mendapatkan wasiat, yang bahkan harus dikerjakan sampai maut menjemput. Dari
wasiat ini kemudian tak jarang tumbuh menjadi problem politik dan melibatkan segenap
rakyat yang mendukung keluarga bangsawan yang terzalimi secara politis. Gerakan
vendetta ini kemudian bisa menjelma menjadi semacam gerakan populisme yang
mewadahi berbagai kepentingan antar kelas dalam satu gerakan. Tentu saja kepentingan
rakyat semata-mata karena keluarga bangsawan kesayangannya telah terzalimi, karena
mau bagaimanapun mentalité yang terbangun seperti itu.7
Masyarakat intelektual dan vendetta punya kemiripan dengan gerakan
masyarakat sipil pada konteks Hindia Belanda. Mewujud sebagai kelas nasionalis yang
terdidik dan terpelajar, orang-orang di kelas ini menggerakkan rakyat dalam nuansa
mencapai kemerdekaan. Orang terpelajar merasa terzalimi dengan adanya hegemoni
kultural yang dilakukan oleh negara kolonial. Sementara rakyat biasa disulut emosinya
mengenai wacana penjajahan, sehingga pada gilirannya menyatukan kelas terpelajar
6
Bloch, Feudal Society: Volume I The Growth of Ties of Dependence, 103–8.
7
Bloch, 125–30.

Universitas Indonesia
176

dengan masyarakat dalam satu gerakan populisme. Lewat kasus kas masjid, gerakan
intelektual dan vendetta mewujud jadi satu lewat suara-suara masyarakat sipil. Peneliti
mencoba mengkonseptualisasikan ulang konsep Bloch dengan bahasa mentalité aktivis
(activist-mentality).
Bagaimana dengan mentalité pemerintah kolonial? Terkhusus mereka yang
berasal dari Kerajaan Belanda? Studi ini meminjam konsep governmentality8 yang
diusung oleh Michel Foucault. Gagasan ini masih punya akar dengan tradisi mentalité
yang dicetuskan oleh sejarawan-sejarawan Annales, yang tentu saja, seperti Marc Bloch
dan Lucian Febvre. Dalam sebuah kuliah di Collège de France, Foucault mendefinisikan
“governmentality” sebagai "seni pemerintahan" dalam arti luas, yaitu sebuah gagasan
"memerintah" yang tidak terbatas pada politik dalam bentuk negara saja, tapi mencakup
berbagai teknik kontrol yang berlaku untuk berbagai macam objek, dari kontrol diri
seseorang hingga kontrol populasi "biopolitik".9 Lebih jauh, Foucault memberikan tiga
definisi tentang apa yang dimaksud dengan governmentality. Pertama, ensambel yang
dibentuk oleh institusi, prosedur, analisis dan refleksi, perhitungan dan taktik, yang
memungkinkan pelaksanaan bentuk kekuasaan yang sangat spesifik meskipun kompleks
dengan target utamanya adalah populasi, dengan ranah utamanya di bidang ekonomi
politik, dan pelaksana teknisnya adalah aparat keamanan. Kedua, kecenderungan yang,
dalam jangka waktu yang lama berada hampir di seluruh negara Barat, terus mengarah
pada keunggulan atas semua sistem-sistem kekuasaan yang lain mengakibatkan, di satu
sisi, pembentukan seluruh rangkaian aparatur pemerintah tertentu yang sangat kental
dengan corak Barat, dan, di sisi lain, dalam pengembangan seluruh kompleks
pengetahuan. Ketiga, proses, atau lebih tepatnya hasil proses, sebuah bentuk negara di
masa Abad Pertengahan berubah menjadi negara administratif selama abad ke-15 dan
keenam belas, dan secara bertahap berubah menjadi sistem yang 'dipemerintahkan'.10
Lebih jauh, lewat beberapa sarjana lain yang mengembangkan terma ini juga,
governmentality berkaitan dengan "cara-cara di mana mereka yang akan menjalankan
aturan telah mengajukan pertanyaan kepada diri mereka sendiri tentang alasan,

8
Seterusnya, hanya istilah governmentality yang tidak menggunakan kata mentalité, mengingat
istilah ini berasal langsung dari pemikiran Foucault tentang mentalité.
9
Michel Foucault, Security, Territory, Population: Lectures at the College De France, 1977 -
78, ed. oleh Arnold I. Davidson, Michel Foucault, Lectures at the Collège de France (London: Palgrave
Macmillan UK, 2009), https://doi.org/10.1057/9780230245075.
10
Michel Foucault, The Government of Self and Others: Lectures at the Collège de France
1982–1983 (London: Palgrave Macmillan, 2010), //www.palgrave.com/gp/book/9781403986665.

Universitas Indonesia
177

pembenaran, sarana dan tujuan aturan, dan masalah, tujuan atau ambisi yang harus
menghidupkannya".11 Sebagai rasionalitas politik, governmentality dipahami "sebagai
semacam mesin intelektual atau aparatus untuk membuat realitas dapat dipikirkan
sedemikian rupa sehingga dapat diterima untuk pemrograman politik" (politik di sini
dipahami dalam arti luas). Penegasan bahwa negara modern itu sendiri adalah formasi
sosial impersonal yang mengembangkan kekuatannya dengan memperbanyak alat-alat
pemerintahan impersonal dari infrastruktur ke arsip hukum.12
Dalam konteks kas masjid, studi Bloch dan Foucault tersebut telah memberikan
inspirasi penting dalam memetakan struktur-struktur yang paling signifikan dalam
mempengaruhi trajektori historis kas masjid. Bila masyarakat feodal (feudal society),
sebagaimana dijelaskan oleh Bloch, menjadi payung mentalité yang mewadahi ekspresi
perilaku dan berbagai perangkat nilai lain masyarakat Abad Pertengahan, maka penulis
menawarkan sebuah upaya formulasi konsep bernama masyarakat kolonial (colonial
society). Ini adalah tipologi masyarakat yang mentaliténya mengalami transformasi dari
masyarakat feodal menuju masyarakat modern. Adanya pertemuan dua peradaban,
yakni masyarakat pra-modern dan modern, menciptakan keguncangan budaya di
berbagai aspek kehidupan. Hal ini membuat banyak persoalan karena adanya
penyesuaian-penyesuaian baik dari kelas sosial pemerintah Eropa, elit-elit tradisional,
kelas terpelajar, dan juga masyarakat awam.
Lebih jauh, studi ini berupaya mensitesis konsep-konsep di atas dan kerangka
konsep sebagaimana tertera pada Gambar 6.1. Di bawah payung mentalité masyarakat
kolonial, terdapat tiga mentalité yang paling signifikan dalam mempengaruhi kas
masjid, yakni feudal-mentalité, governmentality, dan activist- mentalité. Feudal-
mentalité menjadi mentalité yang melatarbelakangi sikap elit pemerintah tradisional,
governmentality yang mempengaruhi pilihan kebijakan pemerintah kolonial dari
kalangan Eropa, sementara activist-mentality yang menjadi mentalité dari kalangan
nasionalis––atau dalam bahasa yang lebih luas masyarakat sipil (civil society)––kala itu.
Ketiga mentalité ini kemudian, meminjam bahasa Jacques Le Goff13, menentukan

11
Mitchell Dean, Governmentality: Power and Rule in Modern Society, 2nd ed (London ;
Thousand Oaks, Calif: SAGE, 2010).
12
Patrick Joyce, “History and Governmentality,” Análise Social 49, no. 212 (2014): 752–56.
13
Jacques Le Goff, “Mentalities: A New Field for Historians,” Social Science Information 13,
no. 1 (1 Februari 1974): 81–97, https://doi.org/10.1177/053901847401300105.

Universitas Indonesia
178

pewarnaan kolektif sebuah aktivitas mental, cara berpikir, dan perasaan tertentu dari
suatu kelas sosial mengenai kas masjid.

Gambar 6.1. Kerangka Konsep yang disintesa dari Karya Marc Bloch dan Michel Foucault

Kekuatan dari pendekatan mentalité adalah memungkinkan sejarawan untuk


tidak selalu mengarahkan eksplanasi sejarah ke dua kutub yang saling berlawanan. Jika
kita menggantinya dengan beberapa alternatif, maka kita bisa menghubungkan sesuatu
yang keliatannya sangat tidak penting dan sifatnya praktik keseharian (seperti kas
masjid) ke dalam konteks yang lebih luas. Istilah mentalité, selain itu, tidak digunakan
untuk menggambarkan sesuatu atau kekuatan, melainkan untuk mengkarakterisasi
hubungan antara keyakinan, yang membuat mereka menjadi suatu sistem. Keyakinan itu
bersifat 'kolektif' hanya dalam arti menjadi dimiliki oleh individu atau kelompok sosial
tertentu, bukan dalam arti berdiri di luar mereka.14
Namun demikian, ada empat kelemahan dalam catatan Peter Burke mengenai
pendekatan mentalité dalam studi sejarah. Pertama, untuk mencari perbedaan yang luas
dalam mentalité, sejarawan dituntut untuk memperlakukan sikap yang mereka anggap
asing seolah-olah mereka homogen, untuk melebih-lebihkan tingkat konsensus
intelektual dalam masyarakat tertentu di masa lalu. Menghomogenisasi sebuah entitas
sosial menjadi sesuatu yang berlebihan yang seringkali diterapkan oleh para pengkaji
sejarah mentalité. Kedua, terkait dengan masalah variasi adalah masalah perubahan,

14
Le Goff, 81–83.

Universitas Indonesia
179

atau variasi dari waktu ke waktu. Ini adalah sebuah masalah sejarah mentalité, dimana
alasan dan modalitas peralihan dari satu sistem ke sistem lainnya tidak dipotret lebih
rigid dan variatif. Ketiga, keberatan serius Burke lainnya terhadap sejarah mentalité
adalah bahwa ia memperlakukan sistem kepercayaan sebagai sesuatu yang otonom,
yakni sesuatu yang berkaitan dengan hubungan kepercayaan satu sama lain dan
cenderung mengesampingkan hubungan antara kepercayaan dan masyarakat. Terakhir,
keempat, sejarah mentalité umumnya dibangun di atas konsep evolusionisme yang
berlebihan, sehingga melupakan keunikan-keunikan yang ada dalam problematika
sosial.
Penulis tentu saja menyadari kritik Burke. Oleh karena itu, terbuka ruang lebar
bagi sejarawan selanjutnya bila tertarik menggali kas masjid dengan pendekatan yang
berbeda dan lebih canggih. Sehingga, fenomena kas masjid di masa kolonial bisa
dihadirkan kembali dengan perspektif yang lebih baru.

Universitas Indonesia
DAFTAR ACUAN
A. Arsip
“7de Vergadering 21 Juni 1918”. Begrooling van Nederlandsch-Indië voor het
dienstjaar 1919. Afdeeling 11 justitie. Tjokroaminoto, h. 228-229.
"10de Vergadering – Mandang 22 Juni 1925: Avondevgardering Onderwerp 1 – afd. v
stuk 8 Begrooting 1926 afd V”, Dept van Onderwijs en Ereendiests Uitgaven in
Indië 1924-25 3 538, h. 12.
“18de Vergadering – Mandag 29 Juni 1925: Avondevgardering Onderwerp 1 – afd. v
stuk 8 Begrooting 1926 afd V”, Dept van Onderwijs en Ereendiests Uitgaven in
Indië 1924-25 676, h. 542-543.
“Centraal Sarekat Islam (2e national congres).” National Congress, Batavia, 27 Oktober
1917.
Adatrecht Bundel VII, bezorgd door de commissie voor het adatrecht (Java en
Madoera). (‘S-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1913).
C. Poensen, "Naar en op de pasar", Kediri, May 1881, dalam ARZ 261.
H.C. Kruyt, Majawarma, 20 Oct. 1884, dalam ARZ 145.
Bijblad op het Indisch Staatsblad no. 6057. (‘S-Gravenhage: Landsrukkerij, 1906)
Koloniaal Verslag van 1897: I. Nedelandsch [Oost-] Indië. Handelingen der Staten-
Generaal. (Algemeene Landsrukkerij: Bijlagen C, 1897-1898).
Koloniaal Verslag van 1898: I. Nedelandsch [Oost-] Indië. Handelingen der Staten-
Generaal. (Algemeene Landsrukkerij: Bijlagen C, 1899-1900).
Koloniaal Verslag van 1899-1900: I. Nedelandsch [Oost-] Indië. Handelingen der
Staten-Generaal. (Algemeene Landsrukkerij: Bijlagen C, 1899-1900).
Koloniaal Verslag van 1902: I. Nedelandsch [Oost-] Indië. Handelingen der Staten-
Generaal. (Algemeene Landsrukkerij: Bijlagen C, 1902-1903).
Koloniaal Verslag van 1904: I. Nedelandsch [Oost-] Indië. Handelingen der Staten-
Generaal. (Algemeene Landsrukkerij: Bijlagen C, 1904-1905).
Koloniaal Verslag van 1905: I. Nedelandsch [Oost-] Indië. Handelingen der Staten-
Generaal. (Algemeene Landsrukkerij: Bijlagen C, 1905-1906).
Koloniaal Verslag van 1907: I. Nedelandsch [Oost-] Indië. Handelingen der Staten-
Generaal. (Algemeene Landsrukkerij: Bijlagen C, 1907-1908).

180
181

Koloniaal Verslag van 1908: I. Nedelandsch [Oost-] Indië. Handelingen der Staten-
Generaal. (Algemeene Landsrukkerij: Bijlagen C, 1908-1909).
Koloniaal Verslag van 1909: I. Nedelandsch [Oost-] Indië. Handelingen der Staten-
Generaal. (Algemeene Landsrukkerij: Bijlagen C, 1909-1910).
Koloniaal Verslag van 1910: I. Nedelandsch [Oost-] Indië. Handelingen der Staten-
Generaal. (Algemeene Landsrukkerij: Bijlagen C, 1910-1911).
Indisch Verslag 1932: I. Tekst van Het Verslag van Bestuur en Staat van Nederlandsch-
Indië over Het Jaar 1931. (‘S-Gravenhage: Algemeene Landsdrukkerij, 1933).
Indisch Verslag 1933: II. Statistich Jaaroeverzicht van Nederlandsch-Indie over Het
Jaar 1934. Samengesteld door het Centraal Kantoor voor de Statistiek van het
Departement van Economische Zaken. (Batavia: Landsdrukkerij, 1934).
Indisch Verslag 1934: II. Statistich Jaaroeverzicht van Nederlandsch-Indie over Het
Jaar 1935. Samengesteld door het Centraal Kantoor voor de Statistiek van het
Departement van Economische Zaken. (Batavia: Landsdrukkerij, 1935).
Indisch Verslag 1935: II. Statistich Jaaroeverzicht van Nederlandsch-Indie over Het
Jaar 1936. Samengesteld door het Centraal Kantoor voor de Statistiek van het
Departement van Economische Zaken. (Batavia: Landsdrukkerij, 1936).
Indisch Verslag 1937: II. Statistich Jaaroeverzicht van Nederlandsch-Indie over Het
Jaar 1938. Samengesteld door het Centraal Kantoor voor de Statistiek van het
Departement van Economische Zaken. (Batavia: Landsdrukkerij, 1938).
Indisch Verslag 1938: II. Statistich Jaaroeverzicht van Nederlandsch-Indie over Het
Jaar 1939. Samengesteld door het Centraal Kantoor voor de Statistiek van het
Departement van Economische Zaken. (Batavia: Landsdrukkerij, 1939).
Indisch Verslag 1939: II. Statistich Jaaroeverzicht van Nederlandsch-Indie over Het
Jaar 1940. Samengesteld door het Centraal Kantoor voor de Statistiek van het
Departement van Economische Zaken. (Batavia: Landsdrukkerij, 1940).
Indisch Verslag 1940: II. Statistich Jaaroeverzicht van Nederlandsch-Indie over Het
Jaar 1941. Samengesteld door het Centraal Kantoor voor de Statistiek van het
Departement van Economische Zaken. (Batavia: Landsdrukkerij, 1941).
Indisch Verslag 1941: II. Statistich Jaaroeverzicht van Nederlandsch-Indie over Het
Jaar 1942. Samengesteld door het Centraal Kantoor voor de Statistiek van het
Departement van Economische Zaken. (Batavia: Landsdrukkerij, 1942).

Universitas Indonesia
182

“Volksraad Tweede Gewone Zitting 1920: Onderwerp 3 – stuk 5 Hervorming van het
bestnursstelsel in Nederlandsch-Indie,” Memorie van Antwoord 1920-2 Zitting
2, h. 500.
"Volksraad Eerste Gewone Zitting 1923: Onderwerp 1 – afd. V stuk 8 Begrooting van
Nederlandsch voor Het Dienstjaar 1924,”Memorie van Antwoord 1923-4 500-
501, h. 4-5.
“Volksraad Eerste Gewone Zitting 1923: Onderwerp 1 – afd. V stuk 7 Begrooting van
Nederlandsch voor Het Dienstjaar 1924”, Afdeelinigsverslag 1923-4 488, h. 4.
"Volksraad Eerste Gewone Zitting 1924: Onderwerp 1 – afd. v stuk 7 Begrooting van
Nederlandsch voor het Dienstjaar 5,” Afdeelingsverslag uitgaven in Indië:
1924-25 3 522-523, h. 10-11.
"Volksraad Eerste Gewone Zitting 1924: Onderwerp 1 – afd. v stuk 8 Begrooting van
Nederlandsch voor het Dienstjaar 5,” Memorie ban Antwoord (ontvagen 17
juni 1924) 1924-25 3 538, h. 12.

B. Surat Kabar dan Majalah


"Hervorming Priesterraden", Boedi-Oetomo, 6-10-1923 dalam Overzicht van de
Inlandsche en Maleisch-Chineesche Pers No. 41/1923
"Masjid-Comite", Oetoesan Hindia, 4-7-1921 dalam Overzicht van de Inlandsche en
Maleisch-Chineesche Pers No. 28/1921,
“Beheer van Moskeegelden: Voorkoming van Fraude.” Bataviaasch Nieuwsblad. 7
November 1940, 55e Jargang No. 192 edisi.
“De Afdeeling Grobogan.” De Locomotief. 16 Mei 1903, A1903, No. 114 edisi, bag. De
nood in de Residentie Semarang.
“De Moskee-kas en de kas-boekbuilding.” Soerabaijasch Handelsblad. 14 Oktober
1938, bag. Staadsnieuws: De Bodjonegoro-zaak.
“De Regent van Bodjonegoro.” Bataviaasch Nieuwsblad. 22 Maret 1905, A1905, No.
93 edisi, bag. Nederlandsch Indie.
“Een Regent Aangeklaagd.” Bataviaasch Nieuwsblad. 3 Oktober 1905, A1905, No. 83
edisi, bag. Nederlandsch Indie.
“Het ontslag van den regent van Poerwokerto.” De Locomotief. 20 April 1905, Ao 1905
No. 94, 54e Jaargang edisi, bag. Nederlandsch Indie.

Universitas Indonesia
183

“Malversaties met Moskeekas?” De Telegraaf, 31 Desember 1932, bag. Archipel-Varia.


“Missighit-kassen.” De Locomotief. 9 Januari 1893, A1893, No. 204 edisi, bag.
Nederlandsch Indie.
“Over Moskeekassen.” De Locomotief. 23 Maret 1899, A1899, No. 68 edisi, bag.
Nederlandsch-Indie.
“Regenten en Moskee-kassen.” Java-Bode. 30 November 1897, A1897, No. 277 edisi,
bag. Headline.
“Semarangsch Comitee Voor Zieskenver Pleging.” Soerabaiasch-Handelsblad. 16
Desember 1904, 52, No. 293 edisi, bag. Nederlandsch-Indie.
“Verduistering Moskeekas.” Bataaviasch Nieuwsblad. 5 Agustus 1939, bag. Uit de
Provincie: Buitenzorg.
“Zitting van den gemeenteraad: slot van het Tweede blad.” Soerabaijasch Handelsblad.
11 Januari 1906, 54ste Jaargang, No. 253 edisi.
Alg. Hbl. “De geestelijkheid op Java.” Bataviaasch Handelsblad. 11 Februari 1882, 36
edisi.
Aneta. “De Fraudes te Cheribon.” De Koerier, 10 Januari 1935, bag. Nederlandsch
Indie.
https://www.delpher.nl/nl/kranten/view?coll=ddd&identifier=MMKB19:000415
079:mpeg21:a00019.
M. Moesa. “Keloeh Kesahnya Pegawai Mesdjid Jepara.” Sinar Hindia. 1 September
1919, No. 6 Edisi 20 edisi.
Murtadlo, Zahid. “Mengenal Kitab Pesantren (6): Fathul Muin, Kitab Fikih Banyak
Jebakan.” Alif.ID (blog), 29 April 2020. https://alif.id/read/m-zahid-
murtadho/mengenal-kitab-pesantren-6-fathul-muin-kitab-fikih-banyak-jebakan-
b228532p/.
Tanda Kemadjoean No. 10, 8-3-1919 dalam Overzicht van de Inlandsche Pers No.
10/1919, Extremitische Bladen, Hongergevaar
Tijds v. B.B. “Moskeekassen.” Bataviaasch Handelsblad. 20 Mei 1889, A1889, No.
115 edisi, bag. Bijvoegsel van het Bataviaasch Handelsblad.

C. Artikel Jurnal

Universitas Indonesia
184

Alexanderson, Kris. “‘A Dark State of Affairs’: Hajj Networks, Pan-Islamism, and
Dutch Colonial Surveillance during the Interwar Period.” Journal of Social
History 47, no. 4 (1 Juni 2014): 1021–41. https://doi.org/10.1093/jsh/shu020.
Azra, Azyumardi. “Ḥadrāmī scholars in the Malay-Indonesian Diaspora: A Preliminary
Study of Sayyid ‘Uthmān.” Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic
Studies 2, no. 2 (1995): 1–33.
Benda, Harry J. “Christiaan Snouck Hurgronje and the Foundations of Dutch Islamic
Policy in Indonesia.” The Journal of Modern History 30, no. 4 (1 Desember
1958): 338–47. https://doi.org/10.1086/238264.
———. “Christiaan Snouck Hurgronje and the Foundations of Dutch Islamic Policy in
Indonesia.” The Journal of Modern History 30, no. 4 (1 Desember 1958): 338–
47. https://doi.org/10.1086/238264.
———. “The Pattern of Administrative Reforms in the Closing Years of Dutch Rule in
Indonesia.” The Journal of Asian Studies 25, no. 4 (1966): 589–605.
Boomgaard, Peter. “Smallpox, Vaccination, and the Pax Neerlandica: Indonesia, 1550-
1930.” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 159, no. 4 (2003): 590–
617.
Booth, Anne. “Living Standards and the Distribution of Income in Colonial Indonesia:
A Review of the Evidence.” Journal of Southeast Asian Studies, 19 (1988): 310-
334. doi:10.1017/S0022463400000588
Binning, Kevin R., dan D. Sears. “On the history of political diversity in social
psychology.” The Behavioral and brain sciences, 2015.
https://doi.org/10.1017/S0140525X14001137.
Brenner, Suzanne A. “Competing Hierarchies: Javanese Merchants and the Priyayi Elite
in Solo, Central Java.” Indonesia, no. 52 (1991): 55–83.
https://doi.org/10.2307/3351155.
Budi, Bambang Setia. “A Study on the History and Development of the Javanese
Mosque.” Journal of Asian Architecture and Building Engineering 4, no. 1 (1
Mei 2005): 1–8. https://doi.org/10.3130/jaabe.4.1.
Burhanudin, Jajat. “The Dutch Colonial Policy on Islam: Reading the Intellectual
Journey of Snouck Hurgronje.” Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies 52, no. 1
(8 Juni 2014): 25–58. https://doi.org/10.14421/ajis.2014.521.25-58.

Universitas Indonesia
185

Burke, Peter. “Strengths and Weaknesses of the History of Mentalities.” History of


European Ideas 7, no. 5 (1 Januari 1986): 439–51. https://doi.org/10.1016/0191-
6599(86)90120-8.
Buttenheim, Alison M., dan Jenna Nobles. “Ethnic diversity, traditional norms, and
marriage behaviour in Indonesia.” Population Studies 63, no. 3 (1 November
2009): 277–94. https://doi.org/10.1080/00324720903137224.
van der Chijs, J.A. "Bijdrage van het Inlandsch Onderwijs in Nederlandsch Indie."
Bijdtaallandvolk Bijdragen Tot de Taal-, Land- En Volkenkunde 14 (1864):
221-396.
Dobbin, Christine E. “Economic Change in Minangkabau as a Factor in the Rise of the
Padri Movement, 1784-1830.” Indonesia, no. 23 (1977): 1–38.
https://doi.org/10.2307/3350883.
Drewes, Gerardus Willebrordus Joannes. “Snouck Hurgronje and the Study of Islam.”
Bijdtaallandvolk Bijdragen Tot de Taal-, Land- En Volkenkunde 113, no. 1
(1957): 1–15.
Dumarçay, Jacques. “Le Taman Sari (étude Architecturale).” bullecolfranextr Bulletin
de l’École française d’Extrême-Orient 65, no. 2 (1978): 589–623.
Elson, R. E. “Islam, Islamism, the Nation, and the Early Indonesian Nationalist
Movement.” Journal of Indonesian Islam 1, no. 2 (1 Desember 2007): 231–66.
https://doi.org/10.15642/JIIS.2007.1.2.231-266.
Federspiel, Howard M. “Islam and Nationalism.” Indonesia, no. 24 (1977): 39–85.
https://doi.org/10.2307/3350918.
Foulcher, Keith. “Sumpah Pemuda: The Making and Meaning of a Symbol of
Indonesian Nationhood.” Asian Studies Review 24, no. 3 (2000): 377–410.
https://doi.org/10.1111/1467-8403.00083.
Fuad, Muhammad. “Civil Society in Indonesia: The Potential and Limits of
Muhammadiyah.” Journal of Social Issues in Southeast Asia 17, no. 2 (Oktober
2002): 133–63. https://doi.org/10.1355/SJ17-2A.
Graaf, Hermanus Johannes de. “The Origin of the Javanese Mosque.” Journal of
Southeast Asian History 4, no. 1 (Maret 1963): 1–5.
https://doi.org/10.1017/S0217781100000727.

Universitas Indonesia
186

Gunawan, Sunaryo Rony, Soewarno Nindyo, Ikaputra Ikaputra, dan Setiawan Bakti.
“Colonial and Traditional Urban Space in Java: A Morphological Study of Ten
Cities.” DIMENSI (Journal of Architecture and Built Environment) 40, no. 2 (1
Desember 2013): 77–88. https://doi.org/10.9744/dimensi.40.2.77-88.
Hamid, Shadi. “An Islamic Alternative? Equality, Redistributive Justice, and the
Welfare State in the Caliphate of ‘Umar (rta).” Renaissance: Monthly Islamic
Journal 13, no. 8 (2003). http://www.monthly-
renaissance.com/issue/content.aspx?id=355.
Hisyam, Muhamad. “Islam and Dutch Colonial Administration: The Case of Panghulu
in Java.” Studia Islamika 7, no. 1 (2000). https://doi.org/10.15408/sdi.v7i1.717.
Hull, Terence H., dan Valerie J. Hull. “Changing Marriage Behavior in Java: The Role
of Timing of Consummation.” Asian Journal of Social Science 15, no. 1 (1
Januari 1987): 104–19. https://doi.org/10.1163/080382487X00082.
Hutton, Patrick H. “The History of Mentalities: The New Map of Cultural History.”
History and Theory Vol. 20, No. 3 (Oct. 1981): 237-259.
Ingleson, John. “The Legacy of Colonial Labour Unions in Indonesia.” Australian
Journal of Politics & History 47, no. 1 (2001): 85–100.
https://doi.org/10.1111/1467-8497.00220.
———. “Urban Java during the Depression.” Journal of Southeast Asian Studies 19,
no. 02 (September 1988): 292–309.
https://doi.org/10.1017/S0022463400000576.
Johns, Anthony H. “Islam in Southeast Asia: Reflections and New Directions.”
Indonesia, no. 19 (1975): 33–55. https://doi.org/10.2307/3350701.
Jung, Dietrich. “Islam as a Problem: Dutch Religious Politics in the East Indies.”
Review of Religious Research 51, no. 3 (2010): 288–301.
Juynboll, Dr. A.W.T. “Kleine Bijdragen over Den Islam Op Java.” Bijdragen Tot de
Taal-, Land- En Volkenkunde / Journal of the Humanities and Social Sciences of
Southeast Asia 30, no. 1 (1882): 265–96.
Kathirithamby-Wells, J. “The Islamic City: Melaka to Jogjakarta, c. 1500–1800.”
Modern Asian Studies 20, no. 2 (April 1986): 333–51.
https://doi.org/10.1017/S0026749X0000086X.

Universitas Indonesia
187

Keyfitz, Nathan. “The Ecology of Indonesian Cities.” American Journal of Sociology


66, no. 4 (1 Januari 1961): 348–54. https://doi.org/10.1086/222901.
Joyce, Patrick. “History and Governmentality.” Análise Social 49, no. 212 (2014): 752–
56.
Kusno, Abidin. “‘The Reality of One-Which-is-Two’—Mosque Battles and other
Stories.” Journal of Architectural Education 57, no. 1 (1 September 2003): 57–
67. https://doi.org/10.1162/104648803322336593.
Le Goff, Jacques. “Mentalities: A New Field for Historians.” Social Science
Information 13, no. 1 (1 Februari 1974): 81–97.
https://doi.org/10.1177/053901847401300105.
Lee, Dwight E. “The Origins of Pan-Islamism.” The American Historical Review 47,
no. 2 (1942): 278–87. https://doi.org/10.2307/1841668.
Lev, Daniel S. “Colonial Law and the Genesis of the Indonesian State.” Dalam Law and
Society in East Asia, oleh Christoph Antons, 3–20. disunting oleh Christoph
Antons dan Roman Tomasic, 1 ed. Routledge, 2017.
https://doi.org/10.4324/9781315091976-1.
Little, Vivienne. “What is Historical Imagination?” Teaching History, no. 36 (1983):
27–32.
Low, Michael Christopher. “Empire and the Hajj: Pilgrims, Plagues, and Pan-Islam
Under British Surveillance, 1865–1908.” International Journal of Middle East
Studies 40, no. 2 (Mei 2008): 269–90.
https://doi.org/10.1017/S0020743808080549.
Manan, Firman. “Sosialisme Islam: Perspektif Pemikiran Politik H.o.s. Tjokroaminoto.”
Jurnal Wacana Politik 1, no. 1 (2 Maret 2016): 62–70.
https://doi.org/10.24198/jwp.v1i1.10543.
McVey, Ruth T. “Taman Siswa and the Indonesian National Awakening.” Indonesia 4
(Oktober 1967): 128–49.
Nimkoff, M. F. “Is the Joint Family an Obstacle to Industrialization?” International
Journal of Comparative Sociology 1, no. 1 (1 Januari 1960): 109–18.
https://doi.org/10.1163/156854260X00094.

Universitas Indonesia
188

Nordholt, Henk Schulte. “New Urban Middle Classes in Colonial Java: Children of the
Colonial State and Ancestors of a Future Nation.” Bijdragen tot de Taal-, Land-
en Volkenkunde 173, no. 4 (2017): 439–41.
Palmier, Leslie H. “The Javanese Nobility under the Dutch.” Comparative Studies in
Society and History 2, no. 2 (Januari 1960): 197–227.
https://doi.org/10.1017/S0010417500000669.
Presthus, Robert V. “The Social Bases of Bureaucratic Organization.” Social Forces 38,
no. 2 (1959): 103–9. https://doi.org/10.2307/2573927.
———. “The Sociology of Economic Development.” International Journal of
Comparative Sociology 1, no. 2 (1 Januari 1960): 195–201.
https://doi.org/10.1163/156854260X00166.
———. “Weberian v. Welfare Bureaucracy in Traditional Society.” Administrative
Science Quarterly 6, no. 1 (1961): 1–24. https://doi.org/10.2307/2390738.
Reid, Anthony. “Nineteenth Century Pan-Islam in Indonesia and Malaysia.” The
Journal of Asian Studies 26, no. 2 (1967): 267–83.
https://doi.org/10.2307/2051930.
Ronkel, PH. S. Van. “Aanteekeningen over Islam en Folklore in West- en Midden-
Java.” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 101, no. 1 (1942): 311–39.
https://doi.org/10.1163/22134379-90001256.
Schiel, Tilman. “‘Petani’ and ‘Priyayi’: The Transformation of Rural Java and the Rise
of Despotism.” Sojourn: Journal of Social Issues in Southeast Asia 5, no. 1
(1990): 63–85.
Sutherland, Heather. “The Priyayi.” Indonesia, no. 19 (1975): 57–77.
https://doi.org/10.2307/3350702.
Udy, Stanley H. “‘Bureaucracy’ and ‘Rationality’ in Weber’s Organization Theory: An
Empirical Study.” American Sociological Review 24, no. 6 (1959): 791–95.
https://doi.org/10.2307/2088566.
Van Den Berg, L.W.C. “Het Pan Islamisme.” De Gids LXIV, no. IV (1900): 228–69.
Voll, John Obert. “Islam as a Special World-System.” Journal of World History 5, no. 2
(1994): 213–26.
Zanden, Jan Luiten van. “Colonial State Formation and Patterns of Economic
Development in Java, 1800-1913.” Economic History of Developing Regions 25,

Universitas Indonesia
189

no. 2 (Desember 2010): 155–76.


https://doi.org/10.1080/20780389.2010.527689.
Zuhdi, Susanto. “Korupsi Ditinjau dari Segi Sejarah.” Masyarakat Indonesia: Majalah
Ilmu-Ilmu Sosial di Indonesia 35, no. 1 (2009): 27–60.

D. Buku
Abdullah, Taufik. “Historical Reflections on Civil Society in Indonesia,” 1999.
———. “Pengantar.” Dalam Para Pengemban Amanah: Pergulatan Pemikiran Kiai dan
Ulama di Jawa Barat, 1900-1950, disunting oleh Muhammad Iskandar, xiii–xiv.
Yogyakarta: Mata Bangsa, 2001.
Aboebakar, H. Sedjarah Mesdjid dan Amal Ibadah Dalamnja. Bandjarmasin: Adil,
1955.
Adatrechtbundels. Vol. 1–34. Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1910.
Almond, Gabriel Abraham, dan Sidney Verba. The Civic Culture: Political Attitudes
and Democracy in Five Nations. Princeton: Princeton University Press, 1963.
https://doi.org/10.1515/9781400874569.
Alting von Geusau, Willem Henry. Neutraliteit der overheid in de Nederlandsche
koloniën jegens godsdienstzaken. Haarlem, 1917.
Anderson, Benedict. Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of
Nationalism. Verso, 1983.
Azra, Azyumardi. The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of
Malay-Indonesian and Middle Eastern Ulama in the Seventeenth and Eighteenth
Centuries. Hawaii: University of Hawaii Press, 2004.
Baladhuri, Abu Al-Abbas Ahmad Bin Jab al-. Kitab Futuhu’l-Buldan. Diterjemahkan
oleh Philip K. Hitti. Piscataway, N.J: Gorgias Press, 2002.
Bloch, Marc. Feudal Society: Volume I The Growth of Ties of Dependence. London:
Routledge and Kegan Paul, 1962.
———. Feudal Society: Volume II Social Classes and Political Organization. London:
Routledge and Kegan Paul, 1962.
Blumberger, J. Th Petrus. De Nationalistische Beweging in Nederlandsch-Indië.
Dordrecht: Foris Publications, 1987.

Universitas Indonesia
190

Boomgaard, Peter. Children of the Colonial State: Population Growth and Economic
Development in Java, 1795-1880. Amsterdam: Vrije University Press: Centre
for Asian Studies Amsterdam, 1989.
Brundage, Anthony. Going to the Sources: A Guide to Historical Research and Writing.
Sixth Edition. New Jersey: Wiley-Blackwell, 2018.
Burhanuddin, Jajat. Islam dalam Arus Sejarah Indonesia. Jakarta: Kencana, 2017.
———. Ulama & Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia.
Diterjemahkan oleh Testriono, Olman Dahuri, dan Irsyad Rhafsadi. Jakarta:
Mizan Publika, 2012.
Burns, Peter. The Leiden Legacy: Concepts of Law in Indonesia. Leiden: Brill
Academic Pub, 2004.
Cabaton, Antoine. Java, Sumatra, and the Other Islands of the Dutch East Indies.
London: Unwin, 1911.
Cahen, Claude. “Bayt Al-Mal: II. History.” Dalam Encyclopaedia of Islam, Volume I
(A-B), disunting oleh Hamilton Alexander Roskeen Gibb, Johannes Hendrik
Kramers, Évariste Lévi-Provençal, dan Joseph Franz Schacht, 1:1143–47.
Leiden: Brill, 26 Juni 1998. https://brill.com/view/title/1480.
Carey, Peter. The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of An Old Order
in Java, 1785-1855. Leiden: KITLV Press, 2008.
Cobb, Paul M. White Banners: Contention in ’Abbasid Syria, 750-880. New York:
SUNY Press, 2001.
Collingwood, Robin George. The Idea of History. Oxford: Clarendon Press, 1993.
Coulson, Noel James. “Bayt Al-Mal: I. Legal Doctrine.” Dalam Encyclopaedia of
Islam, Volume I (A-B), disunting oleh Hamilton Alexander Roskeen Gibb,
Johannes Hendrik Kramers, Évariste Lévi-Provençal, dan Joseph Franz Schacht,
1:1141–43. Leiden: Brill, 26 Juni 1998.
Crone, Patricia. Medieval Islamic Political Thought. Edinburgh: Edinburgh University
Press, 2006.
De Graaff, S., dan D. G. Stibbe, ed. “Moskeekas.” Dalam Encyclopǣdia van
Nederlandsch Indië, Tweede Deel (H-M):789–90. Leiden: E.J. Brill, 1918.
Dean, Mitchell. Governmentality: Power and Rule in Modern Society. 2nd ed. London;
Thousand Oaks, Calif: SAGE, 2010.

Universitas Indonesia
191

Dobbin, Christine E. Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy Central


Sumatra, 1784-1847. London: Routledge, 2018.
Dutch East Indies dan Afdeeling Handel. 1930 Handbook of the Netherlands East-
Indies. Buitenzorg, Java: Division of Commerce of the Dept. of Agriculture,
Industry and Commerce, 1930.
Fauzia, Amelia. Faith and the State: A History of Islamic Philanthropy in Indonesia.
Leiden: Brill, 2013.
Febvre, Lucien. “Psychologie et histoire.” Dalam Encyclopédie Française 8: La vie
Mentale, disunting oleh Pierre Abraham, Hélène Gratiot-Alphandéry, Charles
Blondel, Henri Delacroix, dan Georges Dumas, 3–8. Paris: Société de gestion de
l’Encyclopédie Française:Diff. Librairie Larousse, 1938.
Foucault, Michel. Security, Territory, Population: Lectures at the College De France,
1977 - 78. Disunting oleh Arnold I. Davidson. Michel Foucault, Lectures at the
Collège de France. London: Palgrave Macmillan UK, 2009.
https://doi.org/10.1057/9780230245075.
———. The Government of Self and Others: Lectures at the Collège de France 1982–
1983. London: Palgrave Macmillan, 2010.
www.palgrave.com/gp/book/9781403986665.
Furnivall, J. Colonial Policy and Practice. A comparative study of Burma and
Netherlands India. Cambridge: Cambridge University Press, 1984.
Geertz, Clifford. The Religion of Java. Chicago: University of Chicago Press, 1976.
Graaf, Hermanus Johannes de, dan Theodore Gauthier Th Pigeaud. Islamic States in
Java 1500–1700: A Summary, Bibliography, and Index. The Hague: Martinus
Nijhoff, 1976.
Henley, David. Nationalism and Regionalism in a Colonial Context: Minahasa in the
Dutch East Indies. Leiden: KITLV Press, 1996.
Hillenbrand, Robert. “Madrasa.” Dalam Encyclopaedia of Islam, Volume V (Khe-Mahi),
disunting oleh Clifford Edmund Bosworth, Emeri Johannes van Donzel, Bernard
Lewis, dan Charles Pellat, 5:1123–54. Leiden: Brill, 1986.
Hisyam, Muhamad. Caught between Three Fires: The Javanese Pangulu under the
Dutch Colonial Administration, 1882-1942. Jakarta: INIS, 2001.

Universitas Indonesia
192

Hitti, Philip K. History of the Arabs. 10th edition. New York, NY: Red Globe Press,
2002.
Houben, V. J. H. Kraton and Kumpeni: Surakarta and Yogyakarta, 1830-1870. Kraton
and Kumpeni. Leiden: Brill, 1994. https://brill.com/view/title/23407.
Hurgronje, C. Snouck. Der hadji-politiek der Indische regeering. Place of publication
not identified, 1909.
———. Mekka in the Latter Part of the 19th Century: Daily Life, Customs and
Learning. The Moslims of the East-Indian Archipelago. Leiden: Brill, 2007.
———. Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada
Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936. Disunting oleh E. Gobèe dan C.
Adriaanse. Vol. Jilid 4. Jakarta: INIS, 1991.
———. Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada
Pemerintahan Hindia Belanda, 1889-1936. Disunting oleh E. Gobèe dan C.
Adriaanse. Vol. Jilid 5. Jakarta: INIS, 1991.
———. Orang Aceh: Budaya, Masyarakat, dan Politik Kolonial. Yogyakarta:
IRCiSoD, 2019.
———. Politique musulmane de la Hollande: quatre conférences. Paris: E. Leroux,
1911.
ʽIḏārī, Abū al-ʽAbbās ibn. Al-Bayān al-Mughrib fī Akhbār al-Andalus wa’l-Maghrib.
Disunting oleh Évariste Lévi-Provençal, Iḥsān ʻAbbās, dan Georges Séraphin
Colin. Bayrūt: Dār al-Thaqāfah, 1967.
Ibn Haukal, Abu’l-Ksim. Viae et Regna, Descriptio Ditionis Moslemicae Auctore Abu’l-
Kasim Ibn Haukal. Disunting oleh M. J. de (Michael Jan) Goeje. Leiden:
Lugdunum Batavorum, Brill, 1873.
Ibn Majah. “Hadith - The Book On The Mosques And The Congregations - Sunan Ibn
Majah - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad ( ‫صلى هللا‬
‫)عليه و سلم‬.” Diakses 23 Mei 2020. https://sunnah.com/ibnmajah/4/4.
Ibrahim, Azhar. Historical Imagination and Cultural Responses to Colonialism and
Nationalism: A Critical Malay(sian) Perspective. Petaling Jaya, Selangor:
Strategic Information and Research Development Centre, 2017.
Iskandar, Mohammad. Para Pengemban Amanah: Pergulatan Pemikiran Kiai dan
Ulama di Jawa Barat, 1900-1950. Yogyakarta: Matabangsa, 2001.

Universitas Indonesia
193

Ismail, Ibnu Qoyim. Kiai Penghulu Jawa: Peranannya di Masa Kolonial. Jakarta: Gema
Insani, 1970.
Juwaynī, ’Abd al-Malik ibn ’Abd Allah Iman al-Haramayn al-Ghiyāth al-umam fī
iltiyāth al-ẓulam. 2nd. ed. Cairo: Mutba’ah nazah misr, 1981.
Juynboll, Th W. Handleiding tot de Kennis van de Mohammedaansche Wet Volgens de
Leer Der Sjafi Tische School. Leiden: Brill, 1930.
Kantorowicz, Ernst H., dan Conrad Leyser. The King’s Two Bodies: A Study in
Mediaeval Political Theology. Princeton: Princeton University Press, 1957.
Kartodirdjo, Sartono. Modern Indonesia, Tradition & Transformation: A Socio-
Historical Perspective. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991.
———. The Peasants’ Revolt of Banten in 1888: Its Conditions, Course and Sequel: A
Case Study of Social Movements in Indonesia. 1966th edition. New York:
Springer, 1970.
Kartodirdjo, Sartono, A Sudewo, dan Suhardjo Hatmosuprobo. Perkembangan
Peradaban Priyayi. Yoyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993.
Kathirithamby-Wells, J. The Southeast Asian Port and Polity: Rise and Demise.
Singapore University Press, National University of Singapore, 1990.
Keane, John, ed. Civil Society and the State: New European Perspectives. London ;
New York: Verso Books, 1988.
Keddie, Nikki R. Sayyid Jamal Ad-Din “Al-Afghani”: A Political Biography. New
York, NY: ACLS Humanities E-Book, 2008.
Kersten, Carool. A History of Islam in Indonesia: Unity in Diversity. 1 edition.
Edinburgh: Edinburgh University Press, 2017.
Khaldûn, Ibn. The Muqaddimah: An Introduction to History - Abridged Edition.
Disunting oleh N. J. Dawood. Diterjemahkan oleh Franz Rosenthal. Abridged
edition. Princeton, NJ: Princeton University Press, 2015.
Klinkert, Hillebrandus Cornelius. Nieuw Maleisch-Nederlandsch Woordenboek Met
Arabisch Karakter: Naar De Beste en Laatste Bronnen Bewerkt. Leiden: E. J.
Brill, 1916.
Kluckhohn, Clyde, Henry A Murray, dan David M Schneider. Personality in Nature,
Society, and Culture. New York: Alfred A. Knopf, 1954.

Universitas Indonesia
194

Kruithof, Maryse. “Shouting in A Dessert: Dutch Missionary Encounters with Javanese


Islam, 1850-1910.” Ph.D Dissertation, Erasmus Universiteit Rotterdam, 2014.
Kuitenbrouwer, Maarten. “Aristocracies under Colonial Rule: North India and Java.”
Dalam Two Colonial Empires: Comparative Essays on the History of India and
Indonesia in the Nineteenth Century, disunting oleh C. A. Bayly dan D. H. A.
Kolff, 75–94. Comparative Studies in Overseas History. Dordrecht: Springer
Netherlands, 1986. https://doi.org/10.1007/978-94-009-4366-7_4.
Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2001.
———. Raja, priyayi, dan kawula: Surakarta, 1900-1915. Yogyakarta: Ombak, 2004.
Laffan, Michael Francis. Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The Umma
Below the Winds. London and New York: Routledge, 2003.
Lambton, Ann K. S. State and Government in Medieval Islam: An Introduction to the
Study of Islamic Political Theory : The Jurists. London and New York:
RoutledgeCurzon, 1981.
Lauzière, Henri. The Making of Salafism: Islamic Reform in the Twentieth Century.
New York: Columbia University Press, 2015.
Le Goff, Jacques. “Mentalities: A History of Ambiguities.” Dalam Constructing the
Past: Essays in Historical Methodology, disunting oleh Jacques Le Goff dan
Pierre Nora, 2nd ed., 166–80. Cambridge: Cambridge University Press, 2011.
Lévi-Provençal, Evariste. Histoire de l’espagne Musulmane. Paris; Leiden: G.P.
Maisonneuve; E.J. Brill, 1950.
Lombard, Denys. Kerajaan Aceh: Jaman Sultan Iskandar Muda,1607-1636. Jakarta:
Balai Pustaka, 1986.
———. Nusa Jawa: Silang Budaya. Bagian Kedua: Jaringan Asia. Vol. 2. 3 vol.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Lubis, Nina Herlina. Kehidupan Kaum Ménak Priangan, 1800-1942. Bandung: Pusat
Informasi Kebudayaan Sunda, 1998.
Madjid, M. Dien. Berhaji di Masa Kolonial. Jakarta: CV Sejahtera, 2008.
https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/35079.
Margana, Sri. “Java’s Last Frontier: The Struggle for Hegemony of Blambangan, C.
1763-1813.” Ph.D Dissertation, Leiden University, 2007.

Universitas Indonesia
195

Margoliouth, David S. Cairo, Jerusalem & Damascus: Three Chief Cities of the
Egyptian Sultans. New York: Cosimo Classics, 2010.
Maussen, Marcel. Constructing Mosques: The Governance of Islam in France and the
Netherlands. Amsterdam: Amsterdam School for Social Science Research,
2009.
Māwardī, ʻAlī ibn Muḥammad. Al-Māwardī’s Al-Aḥkām As-Sulṭāniyyah: A Partial
Translation with Introduction and Annotations. Diterjemahkan oleh Darlene Rae
May. Indiana: Indiana University Press, 1978.
McDowell, W. H. Historical Research: A Guide. London: Routledge, 2014.
McVey, Ruth T. The Rise of Indonesian Communism. Singapore: Equinox Publishing,
2006. https://doi.org/10.7591/9781501742651.
Meuleman, Johan H. “The History of Islam in Southeast Asia: Some Questions and
Debates.” Dalam Islam in Southeast Asia: Political, Social and Strategic
Challenges for the 21st Century, disunting oleh K. S. Nathan dan Mohammad
Hashim Kamali, 21–43. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2005.
Moeis, Abdoel. “Hindia boeat anak Hindia [1917].” Dalam Permata Terbenam:
Kumpulan Tulisan Asli Dan Pidato Tokoh-Tokoh Perintis Pergerakan
Kebangsaan Dalam Menelusuri Berkembangnya Nasionalisme, disunting oleh
Pitut Soeharto dan A. Zainoel Ihsan. Jakarta: Aksara Jayasakti, 1982.
Moertono, Soemarsaid. State and Statecraft in Old Java. Ithaca: Modern Indonesia
Project, Cornell University, 1963.
Mulder, Niels. Inside Indonesian Society Cultural Change in Java. Yogyakarta:
Kanisius, 2005.
Muljana, Slamet. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara
Islam di Nusantara. Jogjakarta: LKiS, 2005.
Multatuli. Max Havelaar. Diterjemahkan oleh Ingrid Dwijani Nimpoeno dan Susanti
Priyandari. Jakarta: Qanita - Mizan, 2015.
Niel, Robert van. The Emergence of the Modern Indonesian Elite. Dordrecht [etc.:
Foris, 1985.
Noer, Deliar. The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942. Kuala
Lumpur: Oxford university press, 1978.

Universitas Indonesia
196

Nu’mani, Shibli. ’Umar the Great: The Second Caliph of Islam. Lahore: Sh.
Muhammad Ashraf Press, 1956.
Onghokham. Dari soal Priyayi sampai Nyi Blorong: Refleksi Historis Nusantara.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002.
Ormeling, Ferjan J. “The Exploration and Survey of the Outlying Islands of the Dutch
East Indies.” Dalam Mapping Empires: Colonial Cartographies of Land and Sea,
disunting oleh Alexander James Kent, Soetkin Vervust, Imre Josef Demhardt,
dan Nick Millea, 37–59. Lecture Notes in Geoinformation and Cartography.
Cham: Springer International Publishing, 2020. https://doi.org/10.1007/978-3-
030-23447-8_3.
Palmier, Leslie H. Social Status and Power in Java. Oxford, UK: Berg, 2004.
Perkara Boemipoetra Jang Bersangkoetan dengan Agama Islam. Weltevreden: Balai
Pustaka, 1926.
Pijper, Guillaume Frédéric. Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-
1950. Depok: Penerbit Universitas Indonesia, 1984.
———. “Masjid-Masjid di Pulau Jawa.” Dalam Beberapa Studi tentang Sejarah Islam
di Indonesia 1900-1950, 14–66. Depok: Penerbit Universitas Indonesia, 1984.
———. Studiën over de Geschiedenis van de Islam in Indonesia, 1900-1950. Leiden:
E.J. Brill, 1977.
Pires, Tomé. The Suma Oriental of Tomé Pires: An Account of the East, from the Red
Sea to Japan, Written in Malacca and India in 1512-1515, and the Book of ...
Volume I. Diterjemahkan oleh Armando Cortesão. 1 edition. London: Hakluyt
Society, 1944.
Priyadi, Sugeng. Sejarah Kota Purwakarta (Purwokerto) (1832-2018). Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2019.
Pudjiastuti, Titik. Perang, Dagang, Persahabatan: Surat-Surat Sultan Banten. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2007.
Raffles, Thomas Stamford. The History of Java. 1978 Reprints. Vol. II. II vol. Kuala
Lumpur: Oxford University Press, 1817.
Ricci, Ronit. Islam Translated: Literature, Conversion, and the Arabic Cosmopolis of
South and Southeast Asia. Chicago; London: University of Chicago Press, 2011.

Universitas Indonesia
197

———. “Islamic Literary Networks in South and Southeast Asia.” Journal of Islamic
Studies 21, no. 1 (1 Januari 2010): 1–28. https://doi.org/10.1093/jis/etp084.
Ricklefs, Merle C. Mystic Synthesis in Java: A History of Islamization from the
Fourteenth to the Early Nineteenth Centuries. Norwalk: EastBridge, 2006.
———. Polarizing Javanese Society: Islamic, and Other Visions, c. 1830-1930.
Honolulu: University of Hawaii Press, 2007.
http://books.google.com/books?id=_EXwAAAAIAAJ.
Rodan, Garry. The Prospects for Civil Society in Southeast Asia. North York, Ontario:
University of Toronto-York University Joint Centre for Asia Pacific Studies,
1997.
Rochmiatun, Endang. “Ulama Bebas dan Ulama Birokrat: Dinamika Gerakan Islam di
Palembanga 1825-1942.” Dissertation, Universitas Indonesia, 2016.
Rohmana, Jajang A. Informan Sunda masa kolonial: surat-surat Haji Hasan Mustapa
untuk C. Snouck Hurgronje dalam kurun 1894-1923. Yogyakarta: Octopus,
2018.
Rutz, Werner. Cities and Towns in Indonesia: Their Development, Current Positions
and Functions with Regard to Administration and Regional Economy. Stuttgart:
Gebrüder Borntraeger, 1987.
Sairin, Sjafri. Javanese Trah: Kin-Based Social Organization. Jogjakarta: Gadjah Mada
University Press, 1992.
Santoso, Aris. “Kongres Nasional Centraal Sarekat Islam Pertama dan Kedua.” Skripsi,
Universitas Indonesia, 1988.
Scherer, Savitri Prastiti. “Harmony and Dissonance: Early Nationalist Thought in Java.”
Ph.D Dissertation, Photo Services of Cornell University, 1978.
Schrieke, B. J. O. Penguasa-penguasa Pribumi. Jakarta: Bhratara, 1974.
Setiadi, Hafid. “Islam and Urbanism in Indonesia: The Mosque as Urban Identity in
Javanese Cities.” Dalam The Changing World Religion Map: Sacred Places,
Identities, Practices and Politics, disunting oleh Stanley D. Brunn, 2415–36.
Dordrecht: Springer Netherlands, 2015. https://doi.org/10.1007/978-94-017-
9376-6_127.
Shiraishi, Takashi. An Age in Motion: Popular Radicalism in Java, 1912-1926. 1st
Edition. Ithaca: Cornell University Press, 1990.

Universitas Indonesia
198

Steenbrink, Karel Andrian. Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia Abad Ke 19.
Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
———. Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19. Jakarta: Bulan
Bintang, 1984.
———. Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942). Yogyakarta:
Gading, 2017.
Steenbrink, Karel Andrian, Jan Steenbrink, dan Henry Jansen. Dutch Colonialism and
Indonesian Islam: Contacts and Conflicts 1596-1950. Amsterdam & New York:
Rodopi, 2006.
Suharto, Pandu. Sejarah Pendirian Bank Perkreditan Rakyat. Jakarta: Lembaga
Pengembangan Perbankan Indonesia, 1988.
Suminto, Husnul Aqib. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: LP3ES, 1985.
———. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: LP3ES, 1985.
Suryaningrat, Suwardi. “Het Javaansch nationalisme in de Indische beweging.” Dalam
Soembangsih: Gedenkboek Boedi-Oetomo, 1908-20 Mei, 1918, disunting oleh
Boedi Oetomo. Batavia: Indie Oud & Nieuw, 1918.
Sutherland, Heather. The Making of a Bureaucratic Elite: The Colonial Transformation
of the Javanese Priyayi. Singapore: Heinemann Educational Books (Asia), 1979.
———. The Making of a Bureaucratic Elite: The Colonial Transformation of the
Javanese Priyayi. Singapore: Heinemann Educational Books, 1979.
Tạbarī, Abū Jaʼfar Muhạmmad B. Jarīr al-. Al-̣Tabarī: Volume 1, The Reign of Abū
Ja’Far Al-Maṇsūr A. D. 754-775: The Early ‛Abbāsī Empire. Diterjemahkan
oleh John Alden Williams. Cambridge: Cambridge University Press, 1988.
Taylor, Charles. “Invoking Civil Society.” Dalam Philosophical Arguments.
Cambridge: Harvard University Press, 1990.
Tjandrasasmita, Uka. Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia
dari Abad XIII Sampai XVIII Masehi. Jakarta: Menara Kudus, 2000.
Tourneau, Roger Le. “Bayt Al-Mal: In the Ottoman State and Muslim West (al-Andalus
and Maghrib).” Dalam Encyclopaedia of Islam, Volume I (A-B), disunting oleh
Hamilton Alexander Roskeen Gibb, Johannes Hendrik Kramers, Évariste Lévi-
Provençal, dan Joseph Franz Schacht, 1:1147–49. Leiden: Brill, 26 Juni 1998.

Universitas Indonesia
199

Ṭūsī, Muḥammad ibn al-Ḥasan, dan Abū al-Faz̤l ʻIzzatī. Al-Nihayah: Concise
Description of Islamic Law and Legal Opinions (al-Nihayah Fī Mujarrad Al-
Fiqh Wa Al-Fatawa). London: ICAS Press, 2008.
Velde, J.J. van de. De godsdienstige rechtspraak in Nederlandsch-Indië, staatsrechtelijk
beschouwd. Leiden: s.n., 1928.
Veth, Pieter Johannes. Java: Geographisch, Ethnologisch, Historisch Vol 3. Haarlem:
Bohn, 1884.
Volksraad. Tien jaar Volksraad arbeid 1928-1938. Batavia: Landsdrukkerij, 1938.
Vollenhoven, C. van. Het Adatrecht van Nederlandsch-Indië. Vol. (Volume I, 1918 ;
Volume II, 1931). The Hague: M. Nijhoff, 1981.
Waal, E. de, dan Emile A.G.J. van Delden. Onze Indische Financien: Nieuwe Reeks
Aanteekeningen Vol IX. ’s Gravenhage: Nijhoff, 1907.
Wertheim, Willem Frederik. Indonesian Society in Transition: A Study of Social
Change. Westport, Conn.: Greenwood Press, 1980.
Yaʻqūb, Abū Yūsuf. Abū Yūsuf’s Kitāb al-Kharāj. Diterjemahkan oleh A. Ben
Shemesh. 1st Ed. edition. Leiden, London: Luzac, 1969.

E. Sumber Elektronik
https://www.delpher.nl/
https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/

https://khastara.perpusnas.go.id/

https://lampje.leidenuniv.nl/KITLV-docs/

Universitas Indonesia
LAMPIRAN

200
201

Universitas Indonesia
202
203

Universitas Indonesia
204

Universitas Indonesia
INDEKS
gubernur jenderal · 6, 10, 99, 111
A
H
abanganisasi · 23
adat · 4, 8, 11, 23, 25, 51, 59, 67, 68, harta umat · 8, 27, 48, 89, 90
69, 72, 73, 74, 79, 82, 83, 86, 88, 98,
100, 101, 118, 119, 120, 135, 137, I
150
alun-alun · 37, 39, 40 imbalan · 1, 3, 4, 41, 106
aristokrat · 11, 125, 158 Islam · v, vii, viii, 1, 2, 4, 7, 8, 10, 12,
14, 15, 16, 17, 19, 21, 24, 26, 27, 28,
B 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 37, 38, 39,
40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 49, 50,
baitulmal · 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 51, 52, 53, 54, 64, 65, 66, 67, 68, 69,
48, 49, 51 70, 71, 72, 73, 75, 77, 78, 79, 82, 84,
bangsawan · 34, 66, 69, 98, 157, 158, 87, 89, 90, 92, 93, 98, 99, 101, 102,
159 103, 105, 106, 107, 108, 109, 111,
birokrasi · v, 1, 2, 3, 4, 10, 22, 24, 25, 113, 117, 122, 123, 124, 125, 126,
64, 70, 71, 79, 96, 97, 99, 100, 122, 127, 128, 134, 135, 136, 137, 140,
154, 156 141, 142, 146, 148, 149, 150, 151,
birokrat · 11, 25, 26, 69, 71, 73, 98, 99 152, 153, 154, 164, 167, 168, 169,
170, 171, 172, 173, 174, 175, 176,
D 177, 178, 179
islamisasi · 28, 29
defeodalisasi · 1
deposito · 56, 63, 82, 86, 117, 118, 141, J
155
jaringan · 21, 29, 32, 35, 36, 42
E
K
elit bumiputera · 8
elit tradisional · 153, 155, 156, 161 kawula · 11, 175
kedermawanan · 5, 30, 51, 61, 84
F komunis · 13, 27
korupsi · 13, 100
feodalisme · i, 10, 24, 122, 154, 157, kyai · 36
158, 159
filantropi · i, 15, 41, 46, 140, 153 L

G lebe · 70, 76, 80, 88, 107


legitimasi · 39
gaya hidup · 11, 23, 51, 98, 99, 100,
109, 155

205
206

M 124, 125, 126, 127, 128, 129, 130,


131, 133, 134, 135, 137, 138, 140,
makam · 109 141, 142, 143, 148, 149, 150, 152,
masjid · i, ii, v, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 153, 154, 155, 156, 159, 161
10, 11, 13, 14, 15, 17, 18, 19, 20, 21, pendidikan · 2, 12, 13, 15, 25, 26, 35,
22, 26, 27, 28, 36, 37, 38, 39, 40, 46, 38, 52, 69, 78, 98, 123, 126, 148, 155
47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, penghulu · 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 11, 12, 13,
57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 70, 71, 50, 51, 52, 54, 57, 58, 61, 70, 71, 72,
72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 73, 74, 75, 76, 77, 79, 80, 81, 82, 84,
82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 89, 90, 91, 94, 95, 97, 102, 103, 106,
92, 93, 94, 95, 96, 97, 101, 102, 104, 107, 108, 111, 112, 113, 116, 117,
105, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 118, 119, 120, 121, 122, 127, 129,
112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 130, 132, 135, 137, 143, 144, 145,
119, 120, 121, 122, 127, 128, 129, 146, 147, 151, 154, 155, 156
131, 132, 133, 134, 135, 136, 137, penguasa tradisional · 23
138, 139, 140, 141, 142, 143, 144, penyalahgunaan · 3, 24, 56, 58, 60, 61,
145, 146, 147, 148, 149, 150, 151, 73, 75, 77, 86, 93, 97, 129, 131, 150,
152, 153, 154, 155, 156, 159, 161, 153, 154
162, 163 pesantren · 9, 14, 23, 38, 76, 81, 181
modernisasi · 2, 8, 22, 25, 48, 55, 64, priyayi · 2, 6, 7, 10, 11, 13, 15, 16, 23,
70, 97, 122, 154, 155 24, 26, 27, 72, 73, 77, 97, 98, 100,
modin · 70, 76, 80, 88, 107, 108, 122, 101, 102, 103, 109, 110, 111, 151,
143, 144, 145, 147 155, 156, 158, 175

N R

nasionalisme · 13, 16, 123, 125 religius · 24, 69, 101, 104, 109, 137,
149
O ritual · 35, 37, 40, 74, 106

otoritas · 5, 9, 10, 11, 13, 15, 24, 27, 70, S


97, 99, 100, 106, 114, 124, 136, 156,
158 sekolah · 23, 25, 26, 54, 91, 112, 123,
126, 127, 141, 148
P status sosial · 42

partai · 124, 127 T


pedagang · 29, 30, 34, 47, 142
pemerintah · v, 2, 3, 6, 7, 9, 11, 14, 15, tradisi · 1, 2, 4, 32, 33, 35, 36, 37, 40,
20, 22, 50, 52, 53, 55, 57, 64, 65, 68, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 54, 69, 70, 78,
69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 77, 78, 80, 80, 99, 101, 104, 130, 153, 154, 157,
82, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 159
97, 98, 99, 102, 103, 105, 107, 110,
113, 114, 115, 118, 121, 122, 123,

Universitas Indonesia
207

U V

ulama · 11, 12, 15, 16, 24, 32, 35, 45, VOC · 22, 40, 65
47, 50, 53, 61, 67, 68, 74, 76, 81, 82,
89, 95, 106, 132 Z
upah · 127
zakat-fitrah · 4, 76, 77, 78, 84, 92, 101,
106, 128, 155

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai