DISERTASI
ii Universitas Indonesia
Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur kepada-Mu, Ya Allah, penguasa semesta alam yang telah
mengaruniai perlindungan, kemampuan dan kesehatan selama penulis menempuh
studi dan kemudian mewujudkan disertasi ini. Berkat rahmat dan kasih sayang-Mu,
semua kesulitan dan halangan bisa penulis lalui dengan baik.
Penelitian untuk disertasi ini sempat memberikan keraguan dalam diri
penulis karena kurang melimpahnya data sehingga seperti menghambat. Namun
kemudian keraguan berubah menjadi tantangan bahkan harapan karena dalam
proses penelitian tumbuh kesadaran bahwa pekerjaan ini tidak semestinya ditunda
mengingat keberadaan data bisa semakin sulit dilacak bila diundur-undur. Sebuah
proses yang tidak mudah, namun dengan penuh harapan dan tanggung jawab serta
didukung banyak pihak di sekitar penulis, disertasi ini dapat tampil seperti adanya
sekarang ini. Sepatutnya, dengan ketulusan hati, penulis haturkan terima kasih dan
penghargaan setinggi-tinginya kepada:
Prof. Dr. Susanto Zuhdi, promotor yang telah berkenan meluangkan waktu
untuk membimbing penulis di tengah kesibukannya. Dengan kedalaman wawasan
dan pengalamannya, Beliau memberikan pengarahan mulai dari perumusan masalah
hingga membantu meluruskan berbagai gagasan dari penulis. Saat kuliah, dalam
mata kuliah Teori dan Metodologi Sejarah, Beliau banyak memberikan pengarahan
sehingga penulis paham mengenai metodologi dan penulisan sejarah dan kemudian
fokus menulis tentang perkembangan karya tari baru di Indonesia, khususnya
kontemporer. Berikutnya adalah Prof. Dr. Edi Sedyawati sebagai kopromotor yang
telah memberikan inspirasi kepada penulis untuk menulis Sejarah Tari
Kontemporer di Indonesia. Beliau juga membaca secara kritis draf disertasi yang
penulis ajukan. Terima kasih, Bu. Ibu Edi, demikian panggilan akrab penulis
kepada Beliau, dengan sabar, keibuan dan lapang hati, membagi pengetahuan dan
data perkembangan karya tari baru pada era yang dialaminya. Kedua promotor
dengan telaten memberikan masukan-masukan tajam dan konstruktif serta
memotivasi penyelesaian disertasi ini.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
kerja sama yang baik dalam mengurus surat-surat maupun administrasi lainnya
yang berhubungan dengan studi selama penulis menjalaninya di Departemen
Sejarah.
Tak ketinggalan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh
pengajar dan penguji proposal, penguji laporan perkembangan penelitian, tim
penguji hasil penelitian pada Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya UI, yaitu: Prof. Dr. Susanto Zuhdi, Prof. Dr. Edi Sedyawati,
Prof. Dr. M.I. Djoko Marihandono, Dr. Julianti Parani, Dr. Bondan Kanumoyoso,
Prof. Dr. Peter Brian Ramsay Carey, Dr. Yon Machmudi, M.Hum., Dr. Mohammad
Iskandar, S.S., M.Hum., Dr. Akhjar Yusuf, M.Hum., Tommy Christomy, S.S.A.,
Ph.D., Prof. Dr. Melani Budianta, Dr. Manneke Budiman, Dr. Irmawati Marwoto.
Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada
Prof. Dr. Peter Brian Ramsay Carey yang telah begitu besar memberi dorongan dan
perhatian kepada penulis untuk terus menggali sumber primer guna terajutnya
benang merah dari disertasi ini. Beliau tiada henti meyakinkan penulis bahwa
seorang praktisi juga mampu melakukan penelitian dan penulisan ilmiah dengan
baik dan benar. Beliau selalu bersedia memberikan masukan dan arahan kepada
penulis sebagai bekal dalam melakukan penelitian di lapangan dan dalam rangka
penulisan disertasi. Selain itu juga kepada Prof. Dr. M.I. Djoko Marihandono dan
Dr. Bondan Kanumoyoso, penulis sampaikan terima kasih atas pertanyaan-
pertanyaan tajam dan saran-saran terhadap isi disertasi dan mengusulkan beberapa
buku sebagai pelengkap disertasi ini.
Pertemanan, diskusi, saling bertukar informasi dan saling memberi
semangat selama menempuh pendidikan program doktoral di Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya UI adalah bagian penting dan menyenangkan yang penulis
rasakan. Sepatutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman
seangkatan: Achmad Sunjayadi, Muhammad Prasojo, Juhdi Syarif, Tri Candra
Aprianto, Sugih Biatoro, Fuad Gani, Endang Rochmiatun, Ahmad Fahrurodji, yang
selalu ikhlas berbagi ilmu dan pengetahuan selama masa kuliah yang tidak ringan.
Semua ini menjadi kenangan indah yang tak terlupakan. Endang Rochmiatun
adalah teman dekat yang selalu siap menemani penulis dalam menghadapi
Universitas Indonesia
kekalutan dan kebingungan saat penelitian dan penulisan. Kami selalu saling
menguatkan sehingga kepenatan dan kejenuhan yang penulis alami menjadi lebih
ringan.
Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada teman-teman
seperjuangan di tim pekerja dan kurator festival tari kontemporer internasional,
Indonesian Dance Festival (IDF), yaitu: Maria Darmaningsih, Ina Suryadewi, Helly
Minarti, Yessy Aprianti, Yeni Rahmawati, Tota Puta Tambunan, Retno Proborini,
Lambertus Berto Tukan, Seno Joko Suyono yang selalu memberi semangat atas
studi penulis dan memahami saat-saat sulit dalam penulisan disertasi ini. Mereka
dengan ikhlas memberi kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan disertasi
meski persiapan festival sudah dekat dan kesibukan memuncak. Terima kasih juga
kepada teman lama yang penuh perhatian, Ungu Winati, untuk masukan dan
pandangan kritis atas materi disertasi dan selalu memberi semangat agar penulis
pantang mundur, Wicaksono Adi yang sering mengingatkan agar jangan berhenti
menulis, Sulaiman Yuda Harahap yang membantu mencarikan beberapa data
tertulis dan audio-visual penelitian.
Terima kasih kepada Dewan Kesenian Jakarta, Perpustakaan Nasional,
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Pusat Dokumentasi Harian Kompas dan
Majalah Tempo yang telah meminjamkan data tertulis, audio-visual dan
menyediakan akses penelusuran manual maupun digital sehingga memperlancar
penelitian penulis.
Kepada Bapak Prof. Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro, H. Soedarmadji J.H.
Damais, Drs. H. Soeparmo dan Drs. Nunus Supardi, penulis menyampaikan terima
kasih dan penghargaan yang tinggi atas penyediaan waktu untuk penulis
wawancarai mengenai Ali Sadikin, Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki
tahun 1970-an–1980-an. Juga kepada Prof. Sardono W. Kusumo, Sentot Sudiharto,
Dr. Julianti Parani, Farida Oetoyo (almarhumah), Prof. Dr. I Wayan Dibya, Wiwiek
Sipala M.Hum., S. Trisapto S.Sn. (almarhum), Dr. Dedy Lutan (almarhum), Retno
Maruti, Agus Tasman M.Hum., Wahyu Santoso Prabowo M.Hum., Prof. Dr. Y.
Sumandiyo Hadi, Dr. M. Miroto, Dr. Eko Supriyanto, Ery Mefri, Dr. Hendro
Martono, Laksmi Notokusumo, Tom Ibnur S.Sn., Marusya Nainggolan M. Mus.
Universitas Indonesia
dan masih banyak lagi nara sumber primer yang tidak bisa disebutkan satu persatu,
terima kasih yang tak terhingga dari penulis atas informasi Anda semua untuk
kepentingan penelitian disertasi ini.
Secara khusus penulis haturkan terima kasih tak terhingga kepada kedua
orangtua yakni dr. RM Sayid Warsito (almarhum) dan Rr. Siti Rektorini
(almarhumah), kedua mertua H. Masyur (almarhum) dan Siti Bariah, atas
bimbingan, dorongan dan doa yang tulus. Penulis sampaikan pula terima kasih
kepada kakak-kakak dan adik kandung, kakak-kakak dan adik ipar penulis: Mbak
Santi P. Mardikarno, Mbak Esti Andayani, Sayid Agung Wardoyo, Mas Rendi
Untung Mardikarno, Kak Marliana, Kak Darmayanti, Bang Khalilullah Rangkuti,
Agus Lubis dan Andi Lubis.
Akhirnya, terima kasih yang setulus-tulusnya penulis haturkan kepada Bang
Eb (Ir. Febrimansyah Lubis), suami tercinta yang dengan sabar dan penuh
pengertian, dan tanpa banyak bertanya telah memberi izin, waktu dan ruang kepada
penulis untuk menyelesaikan studi dan disertasi ini. Kepada anak kami Cacha
(Nurizka Aliya Hapsari), Ibu sampaikan: “Terima kasih, Nak, telah memberi
kesempatan kepada Ibu untuk kuliah lagi dan sibuk melakukan penelitian serta
menulis disertasi. Semoga apa yang Ibu lakukan dapat menjadi contoh bagimu,
tiada pernah berhenti belajar dan bekerja”.
Ingin sekali rasa terima kasih ini penulis layangkan kepada semua pihak
yang telah membantu, namun tidak mungkin karena keterbatasan spasial. Akhir
kata, penulis menyadari bahwa disertasi ini masih penuh kekurangan dan jauh dari
sempurna. Penulis membuka tangan atas saran maupun kritik untuk
penyempurnaan disertasi ini.
Universitas Indonesia
ABSTRAK
Universitas Indonesia
dan di antara itu ada yang melakukan eksplorasi lebih jauh lagi untuk mencapai
level kontemporer. Gairah penciptaan muncul karena didukung oleh ketersediaan
sarana dan prasarana. Di luar itu terdapat sebuah lembaga pemasok dana jangka
panjang yakni Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta. Melalui manajemen yang
baik berdasarkan visi dan misi yang padu, bermunculanlah karya-karya tari yang
menarik minat penonton. Dari sana terbentuklah segi tiga ideal: seniman dan DKJ,
pemerintah, penonton yang di dalamnya juga terdapat media massa, pengamat dan
kritikus.
Kata kunci: seniman tari, Pemda DKI Jakarta, Komite Tari DKJ, tari kontemporer
Universitas Indonesia
ABSTRACT
Universitas Indonesia
choreography, which are responsible for the emergence of new works. Some are
new works developed from tradition, and some explore even further to reach a
contemporary level. The passion for creation emerges by being supported by
facilities and infrastructure available. Without interferring the policy of Dance
Committee of DKJ, the government of Jakarta gives long-term funds to DKJ. With
a good management based on a solid vision and mission, new dance arts will emerge
and it will attract audience. Then we will achieve the ideal triangle: artists, the
government, and the audience, which includes the media, observers, and critics.
Key words: dance artists, the government of Jakarta, Dance Committee of DKJ,
contemporary dance
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL I
HALAMAN PENGESAHAN ii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI iii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS iv
UCAPAN TERIMA KASIH v
ABSTRAK x
ABSTRACT xii
DAFTAR ISI xiv
DAFTAR GAMBAR/FOTO xix
SINGKATAN xx
1. PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.1.1. Beberapa Istilah dan Batasannya 5
1.1.1.a. Karya Tari Tradisional di Indonesia 6
1.1.1.b. Karya Tari Baru Pengembangan dari Tradisi di Indonesia 7
1.1.1.c. Karya Tari Modern di Indonesia 8
1.1.1.d. Karya Tari Kontemporer di Indonesia 10
1.2. Rumusan Masalah 15
1.3. Tujuan Penelitian 16
1.4. Manfaat Penelitian 17
1.5. Ruang Lingkup Penelitian 17
1.5.1. Lingkup Tematis 17
1.5.2. Lingkup Spasial 18
1.5.3. Lingkup Temporal 18
1.6. Penelitian Sebelumnya 18
1.7. Metodologi dan Landasan Konsep 21
1.8. Metode Penelitian 28
1.8.1. Pengumpulan Data Tertulis 28
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
LAMPIRAN 300
Tabel 1 Tradisi yang Dikembangkan sebagai Kontinyuitas Sejarah 300
Tabel 2 Karya Tari Baru Pengembangan dari Tradisi Menuju
Kontemporer Sebagai Kontinyuitas Sejarah 318
Universitas Indonesia
Gambar 1. Grafik Pertunjukan Tari, 1968–1985 128
Foto 1. Lelangen Beksan Wirata Parwa, karya Ben Soeharto (Dok. DKJ) 148
Foto 2. Majarengan, karya I Made Netra (Dok. DKJ) 158
Foto 3. Sepasang Api Jatuh Cinta, karya Huriah Adam (Dok. DKJ) 200
Foto 4. Putih-putih, karya Farida Oetoyo (Dok. Berita Buana 22 November
1976) 207
Foto 5. Samgita Pancasona, karya Sardono W. Kusumo (Dok. DKJ) 210
Foto 6. Meta Ekologi, karya Sardono W. Kusumo (Dok. Harian Merdeka, 12
Oktober 1979) 214
Foto 7. Plesiran, karya Karya Julianti Parani (Dok. DKJ 1974) 220
Foto 8. Ironi, Karya Wiwiek Sipala (Dok.Kompas 1987) 230
Foto 9. Klana Tunjung Seta, karya Endo Suanda (Dok. DKJ, 1978) 233
Foto 10. Sampah, karya M. Miroto (Dok. DKJ, 1986) 256
Foto 11. Fatamorgana, Karya Hendro Martono (Dok. DKJ, 1987) 262
Foto 12. Kurusetra, karya Bagong Kussudiardja (Dok. DKJ, 1987) 264
Universitas Indonesia
SINGKATAN
AJ : Akademi Jakarta
BPK : Badan Pembina Kebudayaan
DKI Jakarta : Daerah Khusus Ibukota Jakarta
DKJ : Dewan Kesenian Jakarta
IKJ : Institut Kesenian Jakarta
LKN : Lembaga Kebudayaan Nasional
Lekra : Lembaga Kebudayaan Rakyat
LPKJ : Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta
Lesbumi : Lembaga Seniman Budayawan Muslim Indonesia
LSJ : Lingkaran Seni Jakarta
PKJ : Pusat Kesenian Jakarta
PKJ-TIM : Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki
TIM : Taman Ismail Marzuki
Universitas Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
1
Koreografi adalah keterampilan dan pengetahuan penciptaan tari atau hasil penciptaan
tari yang dilakukan oleh koreografer. Oleh Soedarsono (1986) dikatakan bahwa istilah koreografi di
Indonesia baru dikenal pada sekitar tahun 1950, ketika pemerintah Republik Indonesia mulai giat
mengirim misi kesenian ke luar negeri. Istilah koreografi berasal dari bahasa Inggris choreography
yang jika hanya diartikan dari makna katanya saja, koreografi berarti catatan tentang tari. Dalam
perkembangannya arti koreografi berubah menjadi penciptaan dan penataan tari (dance
composition) dan sistem pencatatan tari disebut notasi tari (dance notation). Lihat Soedarsono,
“Pengantar Pengetahuan Tari dan Komposisi Tari”, Pengantar Elementer Tari dan Beberapa
Masalah Tari (Jakarta: Direktorat Kesenian Proyek Pengembangan Kesenian Jakarta Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1986), hlm. 97–8; lihat juga Sal Murgiyanto, “Pengantar”, Bergerak
Menurut Kata Hati, Metoda Baru dalam Menciptakan Tari, diindonesiakan oleh Prof. Dr. I Wayan
Dibia (Jakarta: Ford Foundation kerja sama Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 2003), hlm.
xii.
2
Deborah Jowitt, “Introduction” dalam Martha Bremser (ed.), Fifty Contemporary
Choreographers (London & New York: Routledge, 1999), hlm. 1–12.
3
Edi Sedyawati, “Art Summit Indonesia”, pidato pembukaan Art Summit Indonesia ke-8
di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, pada 15 Agustus 2016.
4
Karya lama bisa berupa karya tradisional, yaitu karya yang diwariskan dari masa lalu dan
menurut Edward Shils sedikitnya tiga generasi, dalam hal ini termasuk tari. Lihat Edward Shils,
Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1981), hlm. 4–16. Karya tari tradisional yang
1 Universitas Indonesia
Selanjutnya, mengikuti gagasan artistik atau gagasan ideal sang seniman, karya
lama tersebut diolah hingga terwujud kebaruan dengan segala kekhasannya.5
Dalam hal kebaruan para seniman tari di Indonesia sudah termotivasi
melakukannya di era kebijakan kebudayaan Presiden Soekarno (1945–1966) yang
menggariskan keindonesiaan berpedoman pada falsafah Pancasila. Ini juga berlaku
pada kesenian.6 Bagi Soekarno, kekayaan seni pertunjukan tradisional dan daerah
Indonesia harus dirawat, dibina selain juga dikembangkan sesuai dengan
kepribadian Indonesia. Di era tersebut berbagai kegiatan kesenian diadakan untuk
menumbuhkan rasa nasionalisme dan persatuan. Tari Pulau Sari yang merupakan
karya tari tradisional Melayu digarap kembali menjadi tari Serampang Dua Belas
dan pada tahun 1959 diinstruksikan sebagai “Tari Nasional” (tari pergaulan
Indonesia) untuk mengimbangi merebaknya gaya musik dan tari dari Amerika
Serikat, Rock’n Roll dari film Bill Haley, yang dianggap tidak berkepribadian
Indonesia.7 Soekarno juga mendorong terjadinya pembaruan dalam karya tari
menjadi lebih singkat, padat, dinamis, dan busana tarinya menjadi lebih cerah. Ini
dimaksudkan agar karya tari yang dikirim keluar negeri sebagai diplomasi budaya
ataupun yang dipertunjukkan di Istana Negara setiap perayaan 17 Agustus (juga
dalam acara kenegaraan lainnya) bisa lebih menarik dan tidak membosankan dalam
menampilkan keindonesiaan dengan kekayaan dan keberagaman keseniannya.8
Dalam suasana yang demikian itu gelombang kepentingan politik ikut serta
mewarnai kesenian di Indonesia. Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat, salah satu
diterima akan menjadi unsur yang hidup di dalam kehidupan pendukungnya, sebagai bagian dari
masa lalu yang dipertahankan hingga kini.
5
Keterangan lebih lanjut mengenai karya tari kontemporer lihat di Bab I. hlm. 10.
6
Claire Holt, Art in Indonesia: Continuities and Changes (Ithaca, New York: Cornel
University Press, 1967), hlm. 183; dan Jennifer Lindsay, “Ahli Waris Budaya Dunia 1950–1965;
Sebuah Pengantar” dalam Jennifer Lindsay dan Maya H.T. Liem (eds.), Ahli Waris Budaya Dunia,
Menjadi Indonesia 1950–1965 (Denpasar: Pustaka Lasaran, 2011), hlm. 1–2.
7
Julianti Parani, “Kemelayuan sebagai Jatidiri” dalam Helly Minarti dan Winda Anggriani
(eds.) Tari Melayu, Membayangkan Jakarta: Bagaimana Geliat Tari Melayu Di Sana? (Jakarta:
Dewan Kesenian Jakarta, 2016), hlm. 43.
8
Lihat Jennifer Lindsay, “Menggelar Indonesia” dalam Jennifer Lindsay dan Maya H.T.
Liem (eds.), Ahli Waris Budaya Dunia, Menjadi Indonesia 1950–1965 (Denpasar: Pustaka Lasaran,
2011), hlm. 221–52; Irawati Durban Ardjo, “Tari Sunda Baru untuk Panggung Baru” dalam Jennifer
Lindsay dan Maya H.T. Liem (eds.), Ahli Waris Budaya Dunia Menjadi Indonesia 1950–1965
(Denpasar: Pustaka Larasan, 2011), hlm. 457–59.
Universitas Indonesia
sayap Partai Komunis Indonesia, PKI) gencar menggunakan kesenian sebagai alat
ekspresi ideologi partai. Demikian pula partai-partai lainnya, sebutlah Nahdlatul
Ulama dengan Lesbumi (Lembaga Seniman Budayawan Muslim Indonesia) dan
Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan LKN-nya (Lembaga Kebudayaan
Nasional), mengusung kesenian sebagai corong ideologi partai.9 Dalam situasi
demikian memang muncul karya-karya tari baru sebagai penyampai pesan-pesan
ideologi partai seperti sendratari Saijah dan Adinda karya Bakri Siregar yang
digarap tahun 1954, tari Blonjo Wurung karya Sujud yang digarap 1955–1956,
drama tari Aksi Enampat karya Drs. Sunardi digarap tahun 1957, dan lain-lain.
Segala gemuruh kepentingan partai-partai tersebut dalam memanfaatkan
kesenian kemudian tidak terdengar lagi bersamaan dengan gagalnya
“pemberontakan” Gerakan 30 September/PKI pada tahun 1965. Menyusul setelah
itu adalah tampilnya kepemimpinan Presiden Soeharto (1966–1998) dalam era yang
disebut Orde Baru. Di awal era tersebut para seniman mengharapkan adanya
kebebasan dalam berekspresi. Harapan tersebut ditanggapi oleh Gubernur DKI
Jakarta Ali Sadikin (1966–1977)10 dengan membangun Pusat Kesenian Jakarta-
Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM) yang diresmikan pada tahun 1968. Di area inilah
tersedia sarana untuk berkesenian, lengkap dengan berbagai fasilitas yang memadai
di masa itu, dan lebih penting lagi munculnya atmosfer kebebasan berekspresi.
Ali Sadikin mempunyai peran yang sangat besar dalam menciptakan kondisi
yang membangkitkan semangat berkesenian seniman-seniman hingga karya tari
kontemporer berkembang. Selain itu Ali Sadikin juga menyediakan anggaran untuk
pertumbuhan kesenian di Jakarta. Dibentuknya Dewan Kesenian Jakarta (DKJ)
sebagai penentu kebijakan dan strategi di PKJ-TIM terutama di bidang artistik,
telah berhasil menjaga bergulirnya rutinitas pertunjukan.
9
D.S. Moeljanto dan Taufiq Ismail, Prahara Budaya, Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI DKK
(Bandung: Penerbit Mizan dan HU Republika, 1995), hlm. 36.
10
Ali Sadikin dilantik sebagai Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta oleh
Presiden Soekarno pada 28 April 1966, dan saat itu ia adalah mayor jendral Marinir atau KKO AL
(Korps Komando Angkatan Laut). Lihat Ramadhan K.H., Bang Ali, Demi Jakarta 1966–1977
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992), hlm. 17.
Universitas Indonesia
11
LPKJ adalah lembaga yang bersifat akademik untuk mendidik dan meluluskan seniman-
seniman muda dari berbagai bidang seni: tari, teater, musik, seni rupa dan sinematografi. LPKJ
didirikan pada 24 Juni 1970 di lahan yang sama dengan PKJ-TIM. LPKJ berganti nama menjadi
Institut Kesenian Jakarta (IKJ) pada tahun 1981 dan meluluskan sarjana kesenian.
12
Nama Dedy Lutan dahulu dikenal dengan Deddy Luthan. Sejak tahun 1999, ia mengubah
cara penulisan namanya menjadi Dedy Lutan (tanpa huruf ‘h’) atas permintaan ayahnya, yang
menyatakan bahwa cara penulisan nama yang benar adalah Dedy dan Lutan. Kemudian Deddy pun
mengubahnya. Hasil wawancara dengan Dedy Lutan di Kampus IKJ Jakarta, 25 Februari 2014.
13
Lihat Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi (Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 2002), hlm. 110. Selain hasil wawancara tentang peran PKJ-TIM dalam
perkembangan tari kontemporer di Indonesia dengan Endo Suanda, I Wayan Dibya, dan Dedy Lutan
di Jakarta, 1 Juni 2012, saat mereka hadir dalam acara “Indonesian Dance Festival”, dan
Universitas Indonesia
karya tari kontemporer. Ini untuk memudahkan komunikasi secara tepat dan benar
menurut kaidah-kaidah ilmiah yang berlaku. Oleh karena penelitian ini merupakan
penelitian dalam disiplin ilmu sejarah yang fokusnya berada dalam disiplin ilmu
sejarah kesenian17 dan secara khusus di dalam bidang seni tari, penggunaan
batasan-batasan istilah perlu diketengahkan terlebih dahulu.
kreasi baru sebagai karya tari baru pengembangan dari tradisi. Lihat Sal Murgiyanto “Menyoal
Makna: Tidak Ada Model Tunggal Kontemporer” (naskah akan terbit dan diizinkan untuk dikutip,
2015), hlm. 6.
17
Sejarah Kesenian yang dalam bahasa Inggris disebut Art History atau dalam bahasa
Jerman Kunstgeschichte, pada mulanya dikenal di Eropa dengan bahasan awal terpusat pada nilai-
nilai keindahan yang terkandung di dalam karya-karya seni tertentu, disertai pengenalan biografi
seniman-seniman yang menghasilkannya. Dalam perkembangannya, karya dan gaya seni juga
dilihat dalam kaitan yang erat dengan keadaan masyarakat dan kebudayaan tempat kesenian tersebut
dilahirkan. Lihat Edi Sedyawati, Pengarcaan Ganesa Masa Kadiri dan Sinhasari: Sebuah Tinjauan
Sejarah Kesenian, Seri Seni dan Budaya Asia Tenggara (Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia dan Universitas Leiden, bekerja sama dengan Ecolè Franςaise d’Extreme-Orient, 1994),
hlm. 1–2.
18
Edward Shils, Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1981), hlm. 4–16.
19
Lihat Roy Wagner, The Invention of Culture, revised and expanded edition (Chicago:
University of Chicago Press, 1981), 51; Umar Kayam, Seni, Tradisi, Masyarakat (Jakarta: Sinar
Harapan, 1981), 59–61; C.A.Van Peursen, Strategi Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm.
11; Edi Sedyawati, Kumpulan Makalah (1993–1995) Direktur Jendral Kebudayaan (Jakarta:
Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995/1996), hlm. 249.
Universitas Indonesia
20
Konsepsi keseimbangan ini di Bali dikenal dan diyakini oleh masyarakatnya, disebut
desa- kala-patra. Lihat juga Ni Nyoman Sudewi, “Legong Keraton Dalam Pertunjukan” dalam
Sumaryono (ed.), Dialektika Seni dalam Budaya Masyarakat (Yogyakarta: Badan Penerbit Institut
Seni Indonesia, 2013), hlm. 226.
21
Eric Hobsbawm, “Introduction: Inventing Tradition”, Eric Hobsbawm and Terence
Ranger (eds.) The Invention of Tradition (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), hlm. 1–
14
Universitas Indonesia
22
Edi Sedyawati, “Pelestarian Seni Tradisi Dalam Program Pemerintah” dalam Kumpulan
Naskah Makalah dan Sambutan Direktur Jendral Kebudayaan Thn. 1999 (Jakarta: Direktorat
Jendral Kebudayaan, Departemen Pendidikan Nasional, 2001), hlm. 60.
23
Dalam catatan kaki no 16 telah disebutkan bahwa karya tari baru pengembangan dari
tradisi sering juga disebut tari kreasi baru. Lihat Sal Murgiyanto “Menyoal Makna”, hlm. 6.
Mengenai tari kreasi baru oleh Eko Supriyanto dikatakan bahwa walaupun tari kreasi baru
mempunyai indikasi mengubah tarian tradisi, tetapi tarian tersebut tidak meninggalkan unsur tradisi
yang melatarbelakanginya. Tari kreasi baru mengembangkan dan membuat pembaruan pada gerak
tari. Lihat Eko Supriyanto “Perkembangan Gagasan dan Perubahan Bentuk serta Kreativitas Tari
Kontemporer Indonesia (Periode 1990–2008) dalam Disertasi untuk memenuhi sebagian
persyaratan mencapai derajat S-3 Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa,
Sekolah Pascasarjana Universitas Gajah Mada Yogyakarta, 2015, hlm. 56
24
Desakan modernisme di Indonesia terungkap secara nyata di dalam seni sastra melalui
polemik kebudayaan pada tahun 1930-an, yang diprakarsai oleh kelompok Pujangga Baru antara
lain Sutan Takdir Alisjahbana (1908–1986), kakak beradik Sanusi Pane (1905–1968) dan Armijn
Pane (1908–1970), Amir Hamzah (1911–1946) melalui tulisan-tulisan mereka pada masa itu. Di
masa angkatan Pujangga Baru tersebut para intelektual dan seniman Indonesia menghadapi dilema
apakah akan mengikuti model Barat dalam mengembangkan budaya Indonesia yang menekankan
pentingnya individualisme dan kreativitas pribadi, atau mengikuti model Timur yang lebih memberi
perhatian kepada kesadaran kelompok dengan keandalan teknik. Gejolak politik dan sosial masa itu
juga menambahkan suatu intensitas kepada proses pencarian jati diri seniman. Lihat Julianti L.
Parani, “Sejarah Kesenian Modern: Dinamika Argumentatif dari Kebangkitan Kesenian”, Seminar
Sejarah Nasional V: Subtema Sejarah Kesenian (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional,
1990), hlm. 100; Lihat juga Hilda Soemantri, “Seni Rupa”, Indonesian Heritage Vol 7 (Jakarta:
Buku Antar Bangsa untuk Grolier International, Inc, 2002), hlm. 56.
Universitas Indonesia
25
Martha Graham menciptakan teknik latihan yang menampilkan potensi dualistik yaitu
contraction and release, sedangkan Doris Humprey menggarap fall and recovery. Lihat Shaaron
Bougen, “What is Contemporary Dance?” (theconversation.com/explainer-what-is-contemporary-
dance-25713, diunduh 30 Agustus 2015), hlm. 1.
26
Jack Anderson, Art Without Boundaries: The World of Modern Dance (Iowa City:
University of Iowa Press), hlm. 177; Richard Kraus dan Sarah Chapman (eds.), History of the Dance
in Art and Education (USA: Prentise Hall, Inc., 1991), hlm. 195; Edi Sedyawati, Pertumbuhan Seni
Pertunjukan, Seri Esni No. 4 (Jakarta: Sinar Harapan, 1981), hlm. 111; Soedarsono, Seni
Pertunjukan dari Perspektif Politik, Sosial dan Ekonomi (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2003), hlm. 165.
Universitas Indonesia
dan Layang-layang (1959) karya Bagong Kussudiardja (1928–2004),27 dan tari Aku
(1959) karya Seti-Arti Kailola (lahir 1919) yang diilhami sajak Chairil Anwar
(1920–1947). Bahwa jejak tradisi masih sering terlihat itu karena sebagian besar
seniman tari Indonesia mempunyai latar belakang yang kuat pada seni tradisional.
Raden Mas Jodjana (1893–1972), seorang penari Jawa Yogyakarta yang menetap
di Belanda (1914–1972), melakukan pembaruan dalam karya tari yang
diciptakannya mulai tahun 1930-an. Seniman tari Indonesia lainnya yang
melakukan pembaruan pada level internasional adalah Devi Dja (1914–1989) yang
menetap di Amerika Serikat sejak 1943 hingga akhir hayatnya tahun 1989.28
Dengan demikian yang dimaksud karya tari modern di Indonesia dalam
penelitian ini ialah karya tari yang dalam penggarapannya terdapat kebaruan-
kebaruan pada bentuk, gerak dan teknik tari, gagasan, dan semangat penciptaan.
Unsur-unsur ini menjadi titik tolak utama untuk penciptaan karya tari modern
dengan karakteristik gaya ungkap individual senimannya.
27
Karya tari Layang-layang, yang diciptakan tahun 1955, merupakan karya pertama
Bagong Kussudiardja yang semangat pencariannya adalah gaya individual dan teknik tarinya
mencoba tidak mengikuti teknik dan atau pola gerak karya tari tradisional. Sepulang dari Amerika
Serikat untuk belajar tari modern di Sekolah Musim Panas di Connecticut College atas beasiswa
Rockefeller, pada tahun 1959, karya tari Layang-layang digarap kembali oleh Kussudiardja dengan
pengaruh teknik gerak karya tari modern Martha Graham. Lihat Soedarsono, Seni Pertunjukan
Indonesia di Era Globalisasi, hlm. 244. Dalam perkembangannya, Kussudiardja menggarap karya-
karyanya dengan mengembangkan bentuk-bentuk dari berbagai karya tari tradisional kelompok
etnik yang ada di Indonesia. Oleh Soedarsono karya-karya Kussudiardja dengan fokus pencarian
kreatif ke arah pengembangan atau pencarian bentuk (baru) itu disebut sebagai kreasi baru, seperti
juga dikatakan oleh Sal Murgiyanto dalam tulisannya “Menyoal Makna”, hlm. 6.
28
Uraian tentang Jodjana dan Devi Dja, lihat di Bab II.
Universitas Indonesia
waktu dan cita rasa, minat, tren29 zaman. Penekanan pada kekinian dalam hal
kontemporer bisa pula dilihat pada dictionary.com. Pada lema contemporary, salah
satu batasan maknanya adalah of the present time.30
Edi Sedyawati dalam pidato pembukaan “Art Summit Indonesia” ke-8 pada
15 Agustus 2016 di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, lebih lanjut menyatakan
bahwa seorang pencipta seni kontemporer dapat memilih di antara dua sikap dalam
menentukan titik tolak berkarya, yaitu: (1) sama sekali melepaskan diri dari segala
bentuk ungkapan yang sudah pernah ada, atau (2) menggunakan bahan dari suatu
unsur tradisi tetapi menggarapnya dengan cara baru yang belum pernah dilakukan
orang.
Seterusnya Sedyawati menyatakan, kategori kontemporer dalam karya seni
pada dasarnya bertolak dari kebutuhan untuk memberi nama jenis karya baru yang
tidak lagi cocok untuk disebut modern, meskipun modern dan kontemporer sama-
sama “melawan” yang tradisional untuk mencari modus ungkapan yang baru.
Dalam sejarah seni, yang sebelumnya disebut “modern” akhirnya berkembang
menjadi “terstandar”. Itu menunjukkan betapa suatu upaya yang berawal sebagai
pembaruan kemudian bisa berkembang menjadi “mentradisi”. Orang pun kemudian
mencari nama kategori baru untuk karya baru yang harus dapat menampilkan
sesuatu yang baru, baik itu berupa teknik maupun pendekatan berkerya.
29
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat, Departemen Pendidikan
Nasional (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), “tren” adalah kecenderungan atau gaya
mutakhir. Dalam konteks kesenian di penelitian ini, tren berarti kecenderungan atau gaya artistik
mutakhir, seperti diungkapkan pula oleh Tang Fu Kuen, seorang kurator di berbagai festival tari
kontemporer internasional dan dramaturg visual arts dan art performance dari Singapura, saat
berdiskusi dalam acara kuratorial “Indonesian Dance Festival” di Jakarta pada tanggal 24–25 Juni
2013. Dalam pengertian tren tersebut Fukuen memberikan contoh kecenderungan artistik dalam
garapan tari kontemporer di Indonesia saat ini (mutakhir) yaitu masih bergulat dengan perumusan
tari secara konvensional antara lain: adanya cerita, pendekatan naratif ataupun penokohan karakter.
Dibandingkan dengan tren karya tari di Eropa Barat saat ini yang bersifat eksperimental, di
antaranya mengeksplorasi hubungan tubuh manusia dengan sensitivitas keindrawian (sensori),
seperti melalui sentuhan, pendengaran dan penglihatan.
30
Dalam diskusi acara Pesta Seni Jakarta di Taman Ismail Marzuki pada 13 Desember
1970, Fuad Hasan, yang kelak menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1988–1993),
menyampaikan pemahaman tentang seni kontemporer yaitu, seni yang menggambarkan zeitgeist
atau jiwa waktu masa kini. Oleh Umar Kayam lebih ditegaskan bahwa seni kontemporer adalah seni
yang menunjukkan kondisi kreatif dari masa terakhir. Lihat juga Edi Sedyawati, “Masalah Tari
Kontemporer dalam Seni Tari Indonesia”, Sinar Harapan, 31 Desember 1970.
Universitas Indonesia
Terjumpailah istilah kontemporer itu yang bermakna sesuatu yang aktual dari masa
kini.
Di Barat, istilah “kontemporer” muncul dari sebuah generasi seniman yang
disebut “post-postmodern”. Ini adalah sebuah generasi yang terdapat dalam
pembabakan generasi-generasi seni tari di Barat. Generasi post-postmodern hadir
sebagai reaksi dari generasi sebelumnya. Jauh sebelum istilah “kontemporer”
muncul, terdapatlah generasi seni tari modern yang hadir di tahun 1920-an
digantikan oleh generasi berikutnya yang menganggap generasi tari modern
tersebut telah terlalu mapan dalam teknik tarinya bahkan dibakukan sebagaimana
teknik balet. Salah satu contohnya adalah teknik terkenal Martha Graham, contract
and release. Oleh generasi berikutnya yaitu anak-anak muda kreatif, inovatif dan
juga cerdas, antara lain: Yvonne Rainer (lahir 1934), Trisha Brown (lahir 1936),
Steve Paxton (lahir 1939), dan Deborah Hay (lahir 1941) yang bergabung di dalam
Judson Dance Theatre, melalui gerakan mereka yang disebut “postmodernis” teknik
tersebut ditinggalkan agar terbebas dari orbit generasi sebelumnya.
Richard Schechner menjelaskan postmodernism bergerak untuk
menumbangkan segala aturan yang sudah mapan.31 Tari postmodern Amerika
generasi pertama tahun 1960-an ditandai dengan hadirnya berbagai pendekatan
kreatif individual yang mengangkat gerak laku sehari-hari, gerakan jatuh-berguling
yang tidak distilir, dan pengembangan gerak seni bela diri Asia. Tampilan wujud
gerak dan tarian mereka sangat berbeda dengan gerak-gerak tari modern Martha
Graham maupun tari modern pada umumnya. Oleh Deborah Jowitt dikatakan
bahwa generasi postmodern Amerika Serikat itu menghasilkan penari yang asyik
memusatkan perhatian mereka dengan cara melakukan (doing) daripada
mempertunjukkan (performing) gerak. Selain itu juga penari-penarinya ingin
tampak spontan dan rileks dibandingkan penari-penari didikan Martha Graham
yang sangat terlatih dan tertib.32
31
Richard Schechner, Performance Studies, An Introduction. Second edition. (New York
and London: Routledge, 2006), hlm. 141.
32
Deborah Jowitt, “Introduction”, hlm. 1–12.
Universitas Indonesia
33
Sal Murgiyanto, “Menyoal Makna”, hlm. 1–2. Menyambung hal yang disampaikan
Murgiyanto, Lar Lubovitch (lahir 1943), koreografer tari kontemporer Amerika Serikat yang penting
di era 1980-an dan pernah berpentas di PKJ-TIM di bulan Maret 1983, melalui dialog di tahun 1989
dengan beberapa tokoh tari Indonesia yaitu Edi Sedyawati, Farida Oetoyo, dan Julianti Parani
Universitas Indonesia
menyampaikan pandangannya. Menurutnya, dalam perkembangan tari kontemporer di Amerika
Serikat saat itu, penjelajahan kreativitas dalam mencipta merambah jalan baru yang tak terbatas dan
tiada henti termasuk kerja sama yang gencar antara koreografer dengan komposer dan juga dengan
seniman bidang seni lain. Namun di sisi lain kemudian sering terjadi jarak antara penonton dengan
karya kontemporer karena penonton tak menangkap makna kontemporer dan pesan yang
disampaikan. Lebih jauh Lubovitch mengungkapkan bahwa pertumbuhan tari kontemporer di
berbagai negara lain sering mengopi apa yang terjadi di Amerika Serikat, padahal para koreografer
di wilayah tersebut dalam berkarya lazim berbicara “secara Amerika” dan untuk masyarakat
Amerika. Dengan demikian seharusnya para koreografer dari berbagai negara di luar Amerika
Serikat memiliki inspirasi dari bahan-bahan yang dimilikinya. Lihat Efix Muyadi, “Dialog Satelit
Tari Kontemporer: Tari, Pemikiran Tinggi Masa Kini” dalam Kompas, 8 April 1989, hlm. 4.
34
Deborah Jowitt, “Introduction”, hlm 1–12; Lihat juga Sal Murgiyanto, “Menyoal
Makna”, hlm. 2.
35
Sesungguhnya hal penggunaan materi tradisi untuk menggarap karya tari kontemporer
bukan hanya menjadi wacana di Indonesia. Gerhard Bohner, koreografer tari kontemporer dari
Thanztheatre Jerman, menciptakan kolase-kolase tarian dengan mengeksplorasi tubuh, gerak tubuh,
musik, kata-kata dan ruang sehingga muncul imaji-imaji yang saling bertautan dan menghadirkan
persepsi spasial dan psikologikal. Ia adalah seniman yang menukik kembali ke akar seni tari Jerman
Universitas Indonesia
demikian yang dimaksud dengan karya tari kontemporer di Indonesia adalah karya
tari yang diciptakan pada masa kini (masa pada kurun waktu yang dimaksudkan
dalam sebuah pembahasan), pendekatan atau konsep penggarapannya tidak mau
terikat pada kebiasaan dan kekhasan apa pun, tidak terpaku pada penggunaan tradisi
tertentu dan tidak terpaku pada garapan sebelumnya. Karya tari kontemporer selalu
aktual dan konsep penggarapannya bertitik tolak dari cita rasa, minat, dan tren
zamannya.36
Batasan istilah-istilah yang telah disebutkan adalah batasan yang dibuat
untuk keperluan penelitian ini berdasarkan pemahaman yang terdapat di lingkungan
seniman, pemerhati seni maupun dalam wacana akademis sejarah tari.
dengan mencoba menyambung kembali kontinuitas dalam seni tari yang porak poranda oleh Perang
Dunia II. Lihat Claudia Jeschke, “Reconstruction/Deconstruction Current I Contemporary” dalam
Walter Sorell (ed.), The Dance Has Many Faces (Chicago: Chicago Review Press), hlm. 192.
36
Karya tari kontemporer Indonesia pada ranah kontemporer secara luas terinspirasi dari
perbandingan karya tari kontemporer di Eropa dan Amerika. Dalam tulisannya tentang tari
kontemporer 1990–2008 Eko Supriyanto menuliskan bahwa posisi tari kontemporer Indonesia juga
terinspirasi dari perbandingan tari kontemporer di negara-negara lain di Asia melalui tokoh-tokoh
tari di Jepang, Taiwan, India, Thailand, Malaysia. Lihat Eko Supriyanto “Perkembangan Gagasan”,
hlm 67–68.
Universitas Indonesia
Dengan demikian rumusan masalah kajian ini adalah bagaimana keterkaitan itu
dapat dijelaskan.
Serangkaian keingintahuan kemudian muncul dan yang hendak
diungkapkan melalui penelitian ini:
1. Kebijakan dan langkah apa yang dilakukan oleh pemerintah untuk
mendukung seniman dalam upaya kreatif penciptaan karya tari baru
pengembangan dari tradisi dan kontemporer yang bisa diapresiasi oleh
penonton.
2. Bagaimana para koreografer memformulasikan gagasan yang berasal dari
pergumulan pemikiran tentang kebaruan karya tari yang dipengaruhi faktor
internal dan eksternal.
3. Bagaimana upaya DKJ melalui PKJ-TIM menyediakan kesempatan untuk
hadirnya input eksternal yang kemudian bersinergi dengan daya kreatif pada
diri seniman tari.
4. Tindakan apa yang dilakukan oleh Komite Tari DKJ, pengelola PKJ-TIM,
media massa yang menampung pandangan kritikus dan pengamat untuk
mendatangkan penonton sehingga pertunjukan karya tari baru dan
kontemporer bisa berkelanjutan.
tema, teknik gerak, tata ruang dan atau panggung, musik, properti, kostum,
dan lain-lain sehingga menjadi baru dan kontemporer melalui pemahaman
yang komprehensif kepada masyarakat penonton.
Universitas Indonesia
37
Julianti Parani mempunyai arsip dokumentasi seni tari cukup lengkap.
Universitas Indonesia
struktur merupakan jalinan dialektika yang simbiotik dan tidak bersifat dikotomis.
Artinya, peristiwa dan struktur hadir untuk saling melengkapi sebagai satu kesatuan
metodologi.38 Peristiwa di sini mengandung kekuatan mengubah struktur sosial,
sedangkan struktur sosial mengandung hambatan (constraining) namun juga bisa
menjadi pendorong bagi tindakan perubahan (enabling). Selain itu, dalam
metodologi ini terdapat tahapan analisis yang berhubungan dengan struktur sosial
dan penentuan mekanisme kausalitas yang menyebabkan terjadinya perubahan itu.
Struktur sosial yang dimaksud dalam metodologi strukturistik bisa berupa norma-
norma, peran-peran, interaksi-interaksi yang muncul dari tindakan-tindakan dan
pemikiran manusia karena manusia yang dilahirkan dalam struktur sosial tertentu
memiliki kemampuan untuk mengubah struktur sosial di mana ia berasal. Di sinilah
pendekatan strukturistik meneguhkan peranan individu, kelompok individu dan
institusi sebagai faktor determinan dalam mentransformasi dan mereproduksi
perubahan struktur sosial. Individu atau kelompok individu dan institusi ini yang
kemudian disebut sebagai agents of change, agen-agen perubahan.
Penelitian ini akan mengungkapkan peran individu, kelompok individu dan
institusi sebagai agen (agent) dalam struktur sosial. Mereka berperan besar
mengubah struktur karena memiliki kemauan, kemampuan dan kekuatan untuk
membentuk struktur baru. Oleh karena sedemikian penting unsur individu atau
kelompok individu dan institusi sebagai faktor yang aktif dalam metodologi
strukturistik, unsur ini perlu ditelaah lebih mendalam. Tujuan utama dari
metodologi ini adalah menemukan causal power yang obyektif, yang diperoleh
melalui analisis atas interaksi antara agency dan struktur sosial.39
Selanjutnya, jika merujuk pada teori strukturistik, dinyatakan bahwa setiap
hubungan antara agen dan struktur tidak berarti struktur menentukan tindakan atau
sebaliknya. Dengan demikian antara struktur dan agen selalu saling melengkapi
(agency and structure are mutually constitutive). Setiap tindakan sosial
memerlukan struktur dan seluruh struktur memerlukan tindakan sosial, di mana
38
Christopher Lloyd, The Structures of History (Oxford: Blackwell, 1993), hlm. 93–6.
39
Christopher Lloyd, The Structures of History, hlm. 93–6.
Universitas Indonesia
pada titik ini agen dan struktur saling jalin-menjalin dalam praktik atau aktivitas
manusia.40
Melalui teori strukturistik, penelitian ini akan bisa mengungkapkan para
agen perubahan (agents of change) dan struktur-struktur yang saling melengkapi
dan jalin menjalin dalam perkembangan koreografi di Indonesia terutama karya tari
baru hingga level kontemporer di PKJ-TIM 1968–1987.
Mencermati awal munculnya karya-karya tari kontemporer di Indonesia,
penelitian ini juga akan menggunakan beberapa konsep sebagai penguat
pengamatan, analisis dan interpretasi.
Pertama, di sini akan digunakan konsep kebudayaan karena seni tari adalah
bagian dari kesenian dan kesenian merupakan salah satu unsur dalam kebudayaan.
Kebudayaan di sini dilihat sebagai keseluruhan sistem gagasan manusia yang hadir
dalam rangka memenuhi kebutuhan kehidupan masyarakat yang dijadikan milik
dengan cara belajar. Bentuk nyata dari gagasan-gagasan tersebut kemudian
berwujud berbagai tindakan, nilai, norma, dan hasil karya manusia.41 Parsudi
Suparlan42 menambahkan, kebudayaan cenderung bersifat tradisional dan tidak
mudah berganti karena menjadi pedoman hidup masyarakat, namun di sisi lain
kebudayaan juga selalu berganti dan menjadi dinamis mengikuti perubahan yang
terjadi dalam unsur-unsur lingkungan alam, sosial dan budaya. Menurut Marshall
Sahlins43 kebudayaan adalah segala hal yang berkaitan dengan sejarah yang
mereproduksi dalam tindakan. Konsep kebudayaan dalam penelitian sejarah tari ini
akan digunakan untuk memperkuat tindakan seniman tari sebagai agen perubahan.
40
Anthony Giddens, The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration
(Oxford: Polity Press, 2010), hlm. 2–23.
41
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Aksara Baru, 2002), hlm. 182.
Lihat juga Willam H. Sewell Jr., “The Concept(s) of Culture” dalam Gabrielle M. Spiegel (ed.)
Practising History: New Direction in Historical Wriring after the Linguistic Turn (New York and
London: Routledge, 2005), hlm. 76–98.
42
Parsudi Suparlan, “Kebudayaan dan Pembangunan” dalam Sudjangi (ed.), Kajian Agama
dan Masyarakat (Jakarta: Departemen Agama RI, Badan Penelitian dan Pengembangan Agama,
1992), hlm. 95.
43
Marshall Sahlins, Islands of History (Chicago: University of Chicago Press, 1987), hlm.
vii; lihat juga Susanto Zuhdi, “Perspektif Tanah Air dalam Sejarah Indonesia” dalam Riris K. Toha-
Sarumpaet (ed.), Ilmu Pengetahuan Budaya dan Tanggung Jawabnya; Analekta Pemikiran Guru
Besar FIB UI (Depok: UI Press, 2011), hlm. 59.
Universitas Indonesia
44
Contoh dalam tari modern, Isadora Duncan (1877–1927), tokoh tari modern Amerika,
merasa bahwa dunia karya-karya tari Barat telah kehilangan hubungan yang hidup dengan tari-tarian
kuno mereka. Dalam pencarian dan menjangkau prinsip-prinsip dari kesenian yang kuno tersebut
justru kemudian ia menghasilkan yang modern. Lihat Helly Minarti, “Mencari Tari
Modern/Kontemporer Indonesia”, https://ko-kr.facebook.com/Helly Minarti, April 20, 2009,
diakses 15 September 2013.
45
John Barth, “The Literature of Replenishment” dalam The Friday Book: Essays and
Other Non-Fiction (London: The John Hopkins University, 1984), hlm. 193–206.
46
Lihat Bachtiar Alam, “Globalisasi dan Perubahan Budaya: Perspektif Teori
Kebudayaan”, Antropologi Indonesia (Majalah Antropologi Sosial dan Budaya Indonesia) No 54,
Th XXI, Des. 1997–April 1998 (Depok: Jurusan Antropologi UI), hlm. 1–8.
Universitas Indonesia
bahwa di Indonesia proses globalisasi sudah ada sejak zaman dahulu, zaman
kerajaan Sriwijaya, Majapahit ataupun pada masa kolonial. Dalam disertasi ini
penulis menempatkan globalisasi tersebut sebagai pergaulan atau interaksi
komunitas tari internasional.
Menurut Marshall Sahlins dalam tulisannya “Goodbye to Tristes Tropiques:
Ethnology in the Context of Modern World History”, setiap masyarakat di muka
bumi ini pada dasarnya merupakan suatu “masyarakat global”, yang
persentuhannya di antaranya melalui perjalanan, migrasi maupun media, dan proses
persentuhan tersebut menghasilkan difusi dan akulturasi.47 Hal ini kemudian
ditegaskan oleh Thomas Clarke dan Steward Clegg48 bahwa globalisasi telah
menyebabkan hilangnya batas-batas ruang (wilayah) dan waktu.
Jika kenyataannya di satu sisi globalisasi telah menimbulkan
transnasionalisasi, di sisi lain sesungguhnya lokalitas dan etnisitas juga
berkembang. Oleh sebab itu, globalisasi sesungguhnya tak terlepas dari lokalisasi.
Globalisasi kerap menjadikan hubungan semakin intens antara dimensi budaya
global dengan lokal atau etnis. Bahkan Roland Robertson49 kemudian mengenalkan
istilah “glokalisasi” sebagai perkawinan dari globalisasi dan lokalisasi yang
berjalan bersama-sama. Lebih lanjut Yamashita dan J.S. Eades mengatakan bahwa
globalisasi merupakan proses hibriditas dualistik di mana lokalisasi adalah sebuah
proses yang dihasilkan oleh globalisasi.50
Hal sama juga ditegaskan oleh Anthony Giddens bahwa globalisasi pada
dasarnya membentuk jaringan di seluruh permukaan bumi secara menyeluruh.
47
Marshall Sahlins dalam tulisannya “Goodbye to Tristes Tropiques: Ethnology in the
Context of Modern World History” dalam R. Borofsky (ed.), In Assessing Cultural Anthropology
(New York: McGraw-Hill, Inc. 1994), hlm. 377–95; lihat juga Conrad Phillip Kottak, Mirror for
Humanity, A Concise Introduction to Cultural Anthropology (Michigan: Mc Graw Hill, 2010), hlm.
40 & 281.
48
Thomas Clarke and Steward Clegg, Changing Paradigm; The Transformation of
Management Knowledge for the 21 st Century (Harper Collins Publisher, 1998).
49
Roland Robertson, “Glocalization: Time-Space and Homogeneity-Heterogeneity” dalam
Mike Featherstone, Scott Lash and Roland Robertson (eds.), Global Modernities (California: Sage
Publication Inc., 1995), hlm. 25–44.
50
Shinji Yamashita and J.S. Eades (eds.), Globalization in South Asia: Local, National and
Transnational Perspectives (New York: Berghahn Books, 2003), hlm. 6.
Universitas Indonesia
Globalisasi merupakan proses penyempitan ruang dan waktu akibat kemajuan pesat
teknologi informasi dan komunikasi.51
Keempat, konsep koreografi, berisi pengetahuan yang berkaitan dengan
bagaimana mencipta, menggarap, memilih dan menata gerakan-gerakan tubuh
menjadi suatu karya tari. Definisi koreografi sangat beragam, di antaranya adalah
keterampilan dan pengetahuan penciptaan atau penataan tari. Selain itu hasil
penciptaan dan penataan tari yang dilakukan oleh koreografer juga disebut
koreografi. Pengetahuan koreografi bersangkut-paut dengan bagaimana mencipta,
memilih dan menata gerakan-gerakan menjadi sebuah karya tari. Namun dalam
menggarap karya tari hal utama yang diperlukan yakni adanya gagasan atau ide
yang merupakan tumpuan bagi proses pemikiran dan tindakan selanjutnya yang
berupa konsep-konsep (tema, bentuk), naskah, proses atau tahap-tahap penciptaan,
dan produk atau karya tari itu sendiri.
Konsep penciptaan meliputi dua hal, yakni (1) konsep tema, (2) konsep
bentuk yang terdiri dari bentuk koreografi dan bentuk pemanggungan. Adapun
naskah merupakan jembatan transformasi atau pengejawantahan dari gagasan dan
konsep-konsep dalam bentuk tulisan untuk mengarahkan dan memantau proses
penciptaan karya. Selanjutnya yang dimaksud dengan proses adalah tahap-tahap
dalam penciptaan atau penataan tari, dan dalam melakukan proses penciptaan atau
penataan tari setiap koreografer memiliki cara atau pendekatannya sendiri.52
Judith Chazin-Bennahum dalam bukunya Teaching Dance Studies
mengatakan:
Choreography is the skill of improvising (both ‘free’ and ‘structured’ sort),
composing in the sense of shaping and forming movement material, and
criticism: observing describing, analyzing, interpreting, evaluating, and
revising both the work in progress and the completed dance.53
51
Anthony Giddens, Konsekwensi-konsekwensi Modernitas (terj. Nurhadi) (Yogyakarta:
Kreasi Wacana, 2009), hlm. 2.
52
Lihat Martinus Miroto, “Pertunjukan Realitas Teleholografis Body in Between Tubuh di
antara Nyata dan Maya”, Disertasi Program Doktor Peciptaan dan Pengkajian Seni Institut Seni
Indonesia Yogyakarta Minat Utama Penciptaan Seni Tari, Program Pascasarjana Institut Seni
Indonesia Yogyakarta, 2014, hlm. 15–21.
53
Judith Chazin-Bennahun (ed.), Teaching Dance Studies (New York & London:
Routledge, 2005), hlm. 35.
Universitas Indonesia
54
Butterworth and Wildschuts (eds.), Contemporary Choreography: A Critical Reader
(London: Routledges, 2009), hlm. 1.
Universitas Indonesia
55
Louis Gotschalk, Mengerti Sejarah, Nugroho Notosusanto (ed.) (Jakarta: UI Press,
1986).
Universitas Indonesia
program, pendanaan, dan lain-lain. Di samping itu dokumentasi dari media cetak
tentang kegiatan para seniman tari maupun pementasan karya tari kontemporer
(prapertunjukan dan atau resensi) untuk mengetahui pandangan wartawan maupun
kritikus bahkan penonton yang diwawancarai. Dokumen lainnya berupa brosur,
surat selebaran (flyer) dan poster.
terbatas, sehingga pendekatan sejarah lisan sangat membantu proses penelitian ini.
Pendekatan macam ini mengandalkan pengumpulan ingatan, kenangan akan
sesuatu, terhadap suatu peristiwa penting sejarah yang merupakan bagian dari
sejarah lisan.56
Oleh karena tidak semua sumber primer berada di Jakarta, penulis menggali
informasi mereka melalui telepon dan email. Namun ternyata ini tidak bisa optimal
untuk mengarahkan daya ingat mereka sesuai dengan informasi di masa lalu yang
penulis perlukan. Untuk mengatasi hal tersebut penulis mendatangi mereka agar
bisa melakukan wawancara tatap muka langsung.
56
Donald A. Ritchie, Doing Oral History: A Practical Guide (Oxford University Press.
2003), hlm. 19.
Universitas Indonesia
garapan para koreografer dan juga pandangan para pengamat tentang karya-karya
tersebut.
Universitas Indonesia
BAB II
SENI TARI DI INDONESIA TAHUN 1950-an–1966:
BENIH-BENIH PEMBARUAN
33 Universitas Indonesia
57
Cita-cita utama perguruan tersebut adalah menyatukan bangsa dengan ikatan batin
warisan masa lalu (kebesaran kerajaan-kerajaan) untuk menentang kekuatan budaya penjajah
Belanda. Ki Hadjar Dewantara, Dari Kebangunan Nasional sampai Proklamasi Kemerdekaan
(Jakarta: N.V Pustaka & Penerbitan Endang, 1952), hlm. 11; lihat juga Julianti Parani, Seni
Pertunjukan Indonesia, Suatu Politik Budaya (Jakarta: Nalar, 2011), hlm. 27.
58
Diungkapkan oleh Ki Hadjar Dewantara: “puncak-puncak dan sari-sari kebudayaan,
yang terdapat di seluruh kepulauan kita itu, adalah merupakan modal kita pertama, yang nantinya
harus dan akan disusul dengan ciptaan-ciptaan baru, yang timbul karena ada hasrat untuk
membangun kebudayaan sendiri dan karenanya pasti akan berjiwa nasional”. “Modal pertama” tadi
sebenarnya hanya berarti pengakuan, bahwa apa segala yang luhur dan indah di seluruh Indonesia
itu adalah kekayaan rakyat kita se-Indonesia. Lihat Ki Hadjar Dewantara, “Tentang Puncak-puncak
dan Sari-sari Kebudayaan di Indonesia” dalam Soedarsono, Djoko Soekiman, Retna Astuti (eds.),
Peranan Kebudayaan Daerah Dalam Proses Pembentukan Kebudayaan Nasional (Jakarta: Proyek
Penelitian Kebudayaan Nusantara (Javanologi) Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1985), hlm. 85–6.
59
Kongres Kebudayaan yang dihelat di Surakarta pada 5–7 Juli 1918 atas prakarsa
Pangeran Prangwedono (Mangkunegara VII, 1885–1944) bersama para tokoh Boedi Oetomo antara
lain Wahidin Sudirohusodo (1852–1917), dr. Soetomo (1888–1938), dan Goenawan
Mangoenkoesoemo (1889–1929), dianggap sebagai kongres kebudayaan I. Kongres ini
sesungguhnya berupa Kongres Kebudayaan Jawa (Congres voor Javansche Cultuur Ontwikkeling)
dengan membahas topik-topik dalam lingkup kebudayaan di pulau Jawa. Kendati masih bersifat
kedaerahan dan pesertanya di antaranya adalah orang Belanda, namun pembicaraan dalam kongres
tersebut ternyata telah menyentuh kesadaran nasionalisme dan kesadaran kebudayaan bangsanya di
masa depan. Kongres ini dihadiri oleh sejumlah tokoh antara lain Radjiman Wediodiningrat (1879–
1952), dr. Tjipto Mangunkusumo (1886–1943), RM Soewardi Surjaningrat atau Ki Hadjar
Dewantara (1889–1959). Kongres kebudayaan berikutnya pada tahun 1919, 1921, 1924, 1926, 1929,
1937. Lihat Nunus Supardi, Bianglala Budaya, Rekam Jejak 95 Tahun Kongres Kebudayaan 1918–
2013. (Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013),
hlm. 15–62.
Universitas Indonesia
60
Kebudayaan dianggap sangat penting untuk memahami Indonesia pada zaman itu.
Pentingnya Indonesia menempatkan kebudayaan di dalam membangun bangsa tampak melalui
penyelenggaraan Kongres Kebudayaan I tersebut, saat keadaan Indonesia belum stabil, penuh
ketegangan hingga tak lama kemudian meletus pemberontakan komunis pada bulan September di
Madiun. Kongres Kebudayaan I itu saat acara pembukaan dan penutupan dihadiri Presiden Soekarno
(1901–1970), Wakil Presiden Hatta (1902–1980), dan Jenderal Sudirman (1916–1960), sedangkan
Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan, Ali Sastroamidjojo (1903–1976), terlibat dalam
keseluruhan acara. Lihat Majalah Indonesia No I–II, 1950, hlm 3; Jennifer Lindsay, “Ahli Waris
Budaya Dunia”, hlm. 7–8; Nunus Supardi, “Bianglala Budaya”, hlm. 75.
61
Pax Benedanto (ed.), Kronik Revolusi I Indonesia (Jakarta: KPG bekerjasama dengan
Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation, 1999), hlm. 283.
62
LKI pada tahun 1951, setelah Kongres Kebudayaan II di Bandung, dilebur ke dalam
sebuah badan penasehat pemerintah yang lebih besar yaitu Badan Musyawarah Kebudayaan
Universitas Indonesia
Nasional (BMKN), yang aktif hingga akhir masa Soekarno. Lihat Nunus Supardi, “Kebudayaan
Pada Masa Orde Baru” dalam Starlita dkk. (eds.) Indonesia dalam Arus Sejarah, Vol 8 Bab 22 Orde
Baru dan Reformasi (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve atas kerjasama dengan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2012), hlm. 592–93; Nunus Supardi, “Bianglala
Budaya”, hlm. 84–86: Lihat juga Els Bogaerts, “Ke mana Arah Kebijakan Kita? Menggagas
Kembali Kebudayaan di Indonesia pada Masa Dekolonisasi” dalam Jennifer Lindsay dan Maya H.T.
Liem (eds.), “Ahli Waris Budaya Dunia”, hlm. 256–57.
63
Els Bogaerts, “Ke mana Arah”, hlm. 256–57.
64
Nunus Supardi, Bianglala Budaya, hlm. 89–118.
Universitas Indonesia
65
D.S. Moeljanto dan Taufiq Ismail, Prahara Budaya, Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI DKK
(Bandung: Penerbit Mizan dan HU Republika, 1995), hlm. 34–6, Nunus Supardi, “Bianglala
Budaya”, hlm.119–121.
66
Keadaan ini mengakibatkan kehidupan kesenian yang amat terpengaruh oleh suasana
politik menjadi tidak kondusif dan terkotak-kotak. Kelompok-kelompok kesenian dan para seniman
berafiliasi dengan organisasi-organisasi politik, dan atau organisasi-organisasi politik tertentu
mempunyai kelompok pendukungnya sendiri di bidang kesenian. Misalnya, golongan Islam:
Nahdlatul Ulama (NU) mempunya Lembaga Seniman Budayawan Muslim Indonesia (LESBUMI);
golongan nasionalis: Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan Lembaga Kebudayaan Nasional
(LKN); Partai Komunis Indonesia (PKI) mempunyai Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra); dan
lain-lain. Lekra, yang secara tegas menyatakan mendukung PKI, menampilkan dan mempromosikan
kesenian dengan tema-tema kerakyatan karena PKI gencar melakukan pendekatan pada rakyat untuk
menggalang massa (pengikut). Agresivitas PKI dalam mendekati rakyat mengakibatkan organisasi-
organisasi kesenian lainnya yang nonkomunis (non-PKI), termasuk Badan Musyawarah
Kebudayaan Nasional (BMKN), menjadi miskin kegiatan dan debat-debat antara pemuda-pemuda
tidak lagi berupa penangkisan gagasan dan konsep melainkan cenderung menjadi serangan sengit
yang bersifat pribadi. Lihat Sri Warso Wahono “Dewan Kesenian Jakarta” dalam Alisjahbana dkk.
(eds.), 25 Tahun Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (Jakarta: Yayasan Kesenian Jakarta
dan PT. Dian Rakyat, 1994) hlm. 50; Isaac T. Sinjal, Muhammad Kennedy dkk., Who bukan Wah
Catatan Perjalanan Hidup Aktor Kusno Soedjawardi (Jakarta: Perhimpunan Gerak Indonesia
Mandiri, 2005), hlm. 94; Jennifer Lindsay, “Ahli Waris Budaya Dunia”, hlm. 1; Nunus Supardi,
“Kebudayaan pada Masa Orde Baru”, hlm. 94.
Universitas Indonesia
67
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, “Demokrasi Terpimpin”
dalam Sejarah Nasional Indonesia I (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hlm. 382: Goenawan Mohamad,
Kesusastraan dan Kekuasaan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), hlm. 12–5; D.S. Moeljanto dan
Taufiq Ismail, Prahara Budaya Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI Dkk (Kumpulan Dokumen
Pergolakan Sejarah) (Bandung: Penerbit Mizan dan HU Republika, 1995).
68
Goenawan Mohamad, Kesusatraan, hlm. 53; Nunus Supardi, “Bianglala Budaya”, hlm.
593.
Universitas Indonesia
dibawa dalam misi-misi kesenian ke luar negeri untuk menunjukkan keindahan dan
kemegahan seni tari yang berasal dari keraton.69
69
Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi (Yogyakarta: Gadjah Mada
Press, 2002), hlm. 93.
70
Di era Demokrasi Terpimpin ini (1959–1965), sebulan setelah Manifesto Politik
diumumkan (17 Agustus 1959), haluan politik Soekarno mulai membelok ke kiri. Lihat Rhoma Dwi
Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan, Lekra tak Membakar Buku, Suara Senyap Lembar
Kebudayaan Harian Rakyat 1950–1965 (Yogyakarta: Merakesumba, 2008), hlm. 16.
71
Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yaitu organisasi seniman-seniman yang dibentuk
pada 17 Agustus 1950 dan bergerak untuk menghimpun kekuatan yang taat dan teguh dalam
mendukung revolusi dan kebudayaan nasional. Lekra dibentuk atas anjuran Presiden Soekarno yang
mendorong agar semua partai memiliki lembaga kebudayaan. Setelah terbentuk, Lekra menjelma
menjadi alat propaganda politik para seniman. Lihat Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M
Dahlan, “Lekra Tak Membakar Buku”, hlm. 22; dan Arif Zulkifli dkk (eds.), Lekra dan Geger 1965
(Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia bekerjasama dengan Tempo, 2014), hlm. 16.
72
Dalam pandangan Lekra, kebebasan mencipta selalu harus diikuti dengan tanggung
jawab dan kesadaran politik dan Soekarno mencanangkan kesenian yang bertanggung jawab adalah
kesenian yang mendukung revolusi. Dalam buku Lekra dan Geger, Arif Zulkifli dkk (eds.), hlm.xi,
diuraikan bahwa para seniman yang sibuk memikirkan imajinasi personal dan tidak peduli pada
politik dianggap oleh Lekra sebagai musuh revolusi. Menurut Lekra, abai pada politik adalah sikap
yang dekaden. Lebih tajam lagi Lekra berpandangan bahwa seorang seniman yang menciptakan
karya-karyanya dengan bebas, suka pada eksperimen pribadi, tidak bergabung dalam organisasi, dan
hanya bertumpu pada humanisme merupakan gelandangan tanpa arah.
Universitas Indonesia
ungkapan laku dan tema secara visual dari sebuah teks yang tidak terlalu rumit, lalu
dipadu dengan musik dan lagu, juga media yang mampu meningkatkan muatan
emosional sebuah karya sehingga menumbuhkan rasa dan efek yang kuat tentang
kehidupan dan perjuangan rakyat serta kepahlawanan. Drama tari dan sendratari
dianggap sesuai dengan tujuan Lekra sebab bisa menyampaikan pesan-pesan
tersebut, di samping pesan sosialis dan pandangan kiri lainnya, antara lain, (1)
Saijah dan Adinda adalah sendratari berdasarkan fragmen Max Havelaar karya
Multatuli yang diadaptasi oleh Bakri Siregar (1922–1994) pada tahun 1954.
Sendratari ini dibuka dengan menampilkan penari-penari yang melakukan gerakan-
gerakan karya tari Jawa klasik, dipadu gerakan-gerakan tari dari daerah lainnya
yang lebih dinamis, di antaranya tari Melayu. Koreografi sendratari ini digarap oleh
Bambang Sukowati (1930–1994) dan diiringi musik yang dibuat oleh Djoni Trisno,
anggota Lekra dari Yogyakarta; (2) Blonjo Wurung karya Sujud, penata tari dari
Jawa Tengah, yang digarap pada tahun 1955–1956. Drama tari ini bertema harga
barang-barang yang membubung sebagai akibat dari inkompetensi dan kejahatan
pejabat pemerintah yang bersekutu dengan para kapitalis asing. Drama tari ini
diilhami lagu ciptaan Sujud yang berjudul Blonjo Wurung juga, dan menggunakan
dialog berbahasa Jawa dan diringi gamelan;77 (3) Aksi Enampat adalah karya Drs.
Sunardi, drama tari tanpa lagu yang digarap tahun 1957 sesudah Blonjo Wurung
bertema aksi kelompok petani yang menuntut diterapkannya undang-undang
pembaruan agraria. Karya ini sempat dibawa tur ke Vietnam, Tiongkok, dan Korea
Utara;78 (4) Mekarlah Partai di Mana-mana, merupakan karya bersama Sj.
Andjasmara dan Asmaralda yang digarap pada tahun 1965 dan dipentaskan di
77
Karya ini dianggap cocok untuk kepentingan Lekra dan PKI dalam membangun
“kebudayaan nasional”, karena berangkat dari tradisi daerah namun digarap dalam bentuk modern
dengan tema kekinian yang dinamis dan bersifat revolusioner. Penggunaan bahasa daerah setempat
juga dianggap baik agar mudah terhubung dengan penonton setempat secara meluas. Lihat Michael
Bodden, “Teater Nasional Modern Lekra 1959–1965; Dinamika dan Ketegangan”, dalam Jennifer
Lindsay dan Maya H.T Liem (eds.), Ahli Waris Budaya Dunia Menjadi Indonesia 1950–1965
(Denpasar: Pustaka Lasaran, 2011), hlm. 518.
78
Dalam tulisan Michael Bodden “Teater Nasional Modern”, hlm. 518, disebutkan bahwa
Sunardi sebagai penggarap karya tari bermain sebagai tokoh jahat, Rahwana, yang
mempersonifikasikan seorang tuan tanah, dan Bambang Sukowati (penata tari Lekra) memerankan
petani yang sadar politik.
Universitas Indonesia
Gedung Olahraga Medan. Karya ini didukung sekitar 400 seniman rakyat dan
melukiskan sejarah perjuangan PKI sejak lahirnya 23 Mei 1920 hingga 1965; (5)
Membangun Dunia Baru, karya Masupik yang digarap juga pada tahun 1965 dan
ditampilkan di Gedung Olahraga Medan, bersama-sama dengan sendratari
Mekarlah Partai di Mana-mana;79 selanjutnya adalah (6) Djajalah Partai dan
Negeri, sendratari yang digarap oleh tim penata tari terdiri dari Sujud, Basuki
Resobowo (1916–1999), dan Atjoen, merepresentasikan sejarah PKI sejak lahir 23
Mei 1920 hingga Mei 1965. Produksi ini melibatkan 150 penari dan atau aktor, 400
penyanyi, 30 musisi dan sekitar 50 kru panggung, dipentaskan di Stadion Istora
Senayan selama tiga hari berturut-turut, 26–28 Mei 1965, sebagai bagian dari ulang
tahun ke-45 PKI, serta dihadiri ribuan penonton setiap malam. Slide proyektor
digunakan untuk memproyeksikan citra PKI yang ditampilkan di latar belakang
panggung yang besar, dan musiknya didasarkan pada sejumlah lagu patriotik seperti
lagu kebangsaan Indonesia Raya, Fajar Menyingsing, Internationale, Nasakom
Bersatu, serta digabung dengan lagu-lagu rakyat Sunda. Adapun garapan tarinya
mencakup karya-karya tari rakyat seperti tari Nelayan dari Madura dan beberapa
garapan baru seperti tari Buruh, tari Tani, tari Bambu Runcing, dan tari Bendera.
Setiap empat babak pertunjukan terdiri dari tiga adegan dengan masing-masing
adegan berakhir dengan sebuah tablo.80
Mengenai drama tari dan atau sendratari sebagai karya baru yang digarap
Lekra dengan menggali tradisi-tradisi daerah yang cocok untuk membangun drama
tari baru yang dinamis, oleh Michael Bodden dikatakan sebagai “nativisme kritis”,
atau pencarian selektif terhadap dasar kebudayaan pribumi untuk kebudayaan
Indonesia modern yang dikerjakan di dalam Lekra, dan juga oleh kelompok-
kelompok lain di zaman itu.81 Komentar-komentar Banda Harahap mengenai
79
Sendratari berjudul Mekarlah Partai di Mana-mana mendapat sambutan yang meriah
karena dianggap berhasil baik dari segi kandungan ideologi maupun dari segi artistik. Dari segi
ideologi sendratari ini memihak rakyat dan dari segi artistik didukung pekerja dan pemain yang
terlatih baik, dengan tata cahaya, dekorasi, dan pengadeganan yang cukup baik. Lihat Rhoma Dwi
Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan, Lekra tak Membakar Buku, hlm. 406.
80
Banda Harahap, “Tingkatkan dan Kembangkan ‘Djaja Partai Negeri”’, Harian Rakyat,
6 Juni 1965, hlm. 4; lihat juga Michael Bodden, “Teater Nasional Modern” hlm. 520.
81
Michael Bodden, “Teater Nasional Modern”, hlm. 519.
Universitas Indonesia
sendratari Djajalah Partai dan Negeri meneguhkan kesan tersebut, bahwa kerja
sendratari baru dengan tema kekinian yang revolusioner adalah kerja Partai yang
serius dan bukan sekadar untuk hiburan.82
Selain menggarap drama tari dan atau sendratari, Lekra juga mengapresiasi
dan mendorong terciptanya karya-karya tari baru nondrama yang diyakini sebagai
jalan terang menuju revolusi melalui tema-tema kepahlawanan dan bertema kerja.
Garapan tari yang bertema kerakyatan dan kepahlawanan antara lain tari Sokoguru
Revolusi, tari Perang, tari Ketahanan Revolusi, tari Olahraga, tari Bambu Runcing,
tari Bendera. Karya tari yang bertema kerja seperti tari Batik, tari Tenun, tari
Nelayan, tari Potong Padi, tari Pemetik Teh, tari Buruh, tari Gotong Royong, dan
sebagainya digarap pada tahun 1959–1965.83 Adapun tari Ganyang Nekolim yang
dipertunjukkan pertama kali pada malam peringatan ulang tahun Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI) ke-19 tahun 1964 di Yogyakarta, adalah garapan
Bagong Kussudiardja (1928–2004) yang ditarikan oleh Kussudiardja sendiri. Karya
ini melukiskan seorang yang terbelenggu kedua tangannya, kemudian berupaya
dengan gigih melepaskannya dan berhasil mematahkan belenggu tersebut. Ketika
belenggu itu telah patah, ternyata ia masih harus menghadapai Nekolim. Melalui
pergulatan yang ulet dilawannya Nekolim hingga hancur. Karya tari ini diapresiasi
oleh Lekra sebagai kreasi yang dengan baik menafsirkan konteks sosial masyarakat,
sarat makna, bebas, dan sarat aspirasi nasional. Lekra juga sangat senang dengan
karya tari ini karena dianggap mampu melukiskan tema dan peristiwa yang tepat,
sesuai dengan garis-garis yang ditetapkan dalam Konferensi Nasional Lembaga
Tari Indonesia (Lestari-Lekra) pada 1964: bahwa tari bukanlah sekadar “tari untuk
tari”. Selain itu, tari garapan Kussudiardja ini disebut-sebut sebagai kreasi yang
mampu mengejawantahkan keinginan D.N. Aidit dalam Konferensi Nasional Sastra
dan Seni Revolusioner (KSSR) yang diselenggarakan oleh PKI, 27 Agustus–2
September 1964, sebagai karya seni yang berkepribadian baik karena
82
Banda Harahap, “Tingkatkan dan Kembangkan”, hlm. 4
83
Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan, Lekra tak Membakar Buku, hlm.
397; Michael Bodden, “Teater Nasional Modern”, hlm. 519; dan Soedarsono, Seni Pertunjukan
Indonesia, hlm. 93.
Universitas Indonesia
84
Lihat Rhoma Dwi Aria Yulianti dan Muhidin M Dahlan, Lekra tak Membakar Buku,
hlm. 391–2; dan Seno Joko Suyono dalam Arif Zulkifli dkk (eds.), “Pengantar: Lekra Anatomi
Sebuah Gagasan” dalam Lekra dan Geger 1965 (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
bekerjasama dengan Tempo, 2014), hlm. xiii.
85
Lihat Wagiono Sunarto, “Pemitosan dan Perombakan Mitos Soekarno dan Ideologinya
dalam Karikatur Politik di Surat Kabar Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin Sampai Akhir
Kekuasaan Presiden Soekarno (1959–1967)”, Disertasi untuk memperoleh gelar Doktor dalam
Bidang Ilmu Pengetahuan Budaya Program Studi Ilmu Sejarah Program Pascasarjana Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2007 (belum diterbitkan), hlm. 135–7; dan Els
Bogaerts, “Kemana Arah Kebijakan”, hlm. 255–8.
Universitas Indonesia
86
Lihat Wagiono Sunarto, “Pemitosan dan Perombakan”, hlm. 136–7; dan Els Bogaerts,
“Kemana Arah Kebijakan”, hlm. 255–9.
87
Pemikiran tentang perlunya menggalang persatuan nasional Indonesia telah diikrarkan
sejak 28 Oktober 1928 dan mampu meresapi masyarakat Indonesia dari waktu ke waktu. Bukan
hanya bagi para pelaku politik, melainkan mereka yang tidak berpolitik juga merasakan kebutuhan
itu, termasuk para seniman tari. Lihat Edi Sedyawati, “Tari: Bidang Seni yang Paling Maju dalam
Proses Pembentukan Kesatuan Nasional” dalam Muhadjir dkk. (eds.), Evaluasi Dan Strategi
Kebudayaan (Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia Kampus Universitas Indonesia, 1987),
hlm. 236–51.
88
Larangan tersebut dilakukan antara lain dengan cara razia dan penyitaan alat perekam
dan kaset grup musik The Beatles, The Rolling Stones; razia rambut gondrong dan celana jeans
jengki; para artis yang menyanyi dan bergaya ala Barat ditegur. Bahkan dalam pidatonya saat
peringatan 17 Agustus 1965, Soekarno menyindir Koes Bersaudara yang dinilai kebarat-baratan
dengan mengatakan, “Jangan seperti kawan-kawanmu Koes Bersaudara. Masih banyak lagu-lagu
Indonesia, kenapa mesti Elvis-elvisan.” Sebelumnya, pada tanggal 1 Juli 1965 kakak beradik Tony,
Nomo, Yon dan Yok (Koes Bersaudara) ditangkap sepasukan tentara dan dimasukkan penjara. Lihat
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, “Demokrasi Terpimpin”, hlm. 382; lihat
juga Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan, Lekra Tak Membakar Buku, hlm. 38 dan
405; Hendra Sugiantoro, “Soekarno dan Kebudayaan Bangsa” dalam Kedaulatan Rakyat,
Yogyakarta, Minggu, 30 Januari 2011, hlm. 2, resensi atas buku Nurani Suyomukti, Soekarno: Visi
Kebudayaan dan Revolusi Indonesia (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010); dan Julianti Parani, Seni
Pertunjukan Indonesia, Suatu Politik Budaya (Jakarta: Nalar, 2011), hlm. 72–3 dan “Kemelayuan
sebagai Jatidiri”, hlm. 43.
Universitas Indonesia
keratonnya.89 Gaya tari Serampang Dua Belas ini oleh Soekarno dinilai indah dan
tidak terlalu rumit, sehingga mudah dipelajari oleh orang di luar suku bangsa
Melayu. Oleh karena itu, pada tahun 1959 Serampang Dua Belas diinstruksikan
sebagai “Tari Nasional” (tari pergaulan Indonesia), dan dipertunjukkan di berbagai
tempat dan kesempatan. Tarian ini cepat sekali menarik perhatian masyarakat, yang
oleh Edi Sedyawati dikatakan bahwa barangkali karena sifatnya yang lincah,
bergaya, dan penuh gelora. Selain itu, dorongan Pemerintah Republik Indonesia
sangat berperan. Tarian itu diajarkan secara serempak di kota-kota besar Indonesia
sehingga hadir semarak di sekolah-sekolah, di kampus-kampus, di perkumpulan-
perkumpulan kesenian, dan di acara-acara pertemuan. Bahkan diselenggarakan pula
sayembara Serampang Dua Belas tingkat nasional.90
Dalam upaya menunjukkan keberadaan Indonesia di mata dunia dan
menciptakan suatu citra yang resmi mengenai identitas nasional suatu bangsa,
Soekarno sering mengirimkan para seniman tari, musik, dan pedalangan ke luar
negeri untuk mementaskan aneka tari dan musik tradisional daerah serta wayang91
sebagai misi kesenian Indonesia. Di sisi lain, Soekarno juga mendorong terjadinya
pembaruan dalam seni tari dan musik tradisional daerah menjadi lebih singkat,
padat, dinamis dan busana tarinya menjadi lebih cerah.92 Ini dimaksudkan agar seni
tradisional daerah yang dikirim ke luar negeri ataupun yang dipertunjukkan di
Istana Negara setiap perayaan 17 Agustus (juga dalam acara-acara kenegaraan
89
Claire Holt, Art in Indonesia, hlm. 214; Julianti Parani, Seni Pertunjukan Indonesia, hlm.
32.
90
Lihat Edi Sedyawati, “Tari: Bidang Seni”, hlm. 248; Hasil wawancara dengan Edi
Sedyawati di Jakarta, 11 November 2013.
91
Jennifer Lindsay dalam tulisannya “Menggelar Indonesia di Luar Negeri” dalam Jennifer
Lindsay dan Maya H.T Liem (eds.), Ahli Waris Budaya Dunia Menjadi Indonesia 1950–1965
(Denpasar: Pustaka Lasaran, 2011), hlm. 226–27, menyebutkan bahwa misi-misi kebudayaan
(kesenian) Indonesia pada zaman Soekarno merupakan suatu ekspresi rasa percaya diri dan
kebanggaan nasional. Dalam misi tersebut seniman dikirim ke luar negeri sebagai perwakilan
Presiden dan menerima sambutan diplomatik.
92
Sebagai contoh, tari Pakarena dari Makassar yang semula berdurasi panjang ditata
kembali oleh Andi Siti Nurhani Sapada (1929–2010) menjadi lebih singkat dan diiringi oleh pukulan
kendang yang ritmik lembut namun dinamis. Lihat R. Anderson Sutton, Pakkuru Sumange, Musik,
Tari, dan Politik Kebudayaan Sulawesi Selatan (Makassar: Ininnawa, 2013), hlm. 69. Selain itu, tari
Menanam Padi dari Kalimantan Timur digarap menjadi tari Giring-giring oleh Ismet Mahakam
dengan gerak yang lebih lincah dan kostum yang cerah menawan.
Universitas Indonesia
93
Lihat Jennifer Lindsay, “Menggelar Indonesia”, hlm. 221–52; Irawati Durban Ardjo,
“Tari Sunda Baru untuk Panggung Baru” dalam Jennifer Lindsay dan Maya H.T. Liem (eds.), Ahli
Waris Budaya Dunia Menjadi Indonesia 1950–1965 (Denpasar: Pustaka Larasan, 2011), hlm. 457–
59. Juga hasil wawancara dengan Edi Sedyawati di Jakarta, 11 November 2013 dan Irawati Durban
di Bandung, 21 Agustus 2015.
Universitas Indonesia
negeri, menjadi tahu bahwa Indonesia memiliki aneka tarian yang indah dari
berbagai daerah, yang pada masa itu tidak mudah disaksikan dalam kesempatan
sehari-hari. Kedua, adalah apa yang terjadi di belakang pentas, di mana para penari
dari berbagai daerah saling menonton, mengenal, mengagumi, menghargai, dan
saling belajar satu sama lain. Pengenalan dan apresiasi terhadap tari-tarian
Indonesia yang beragam dan khas tersebut telah memupuk rasa bangga akan
kebinekaan Indonesia dan menambah kecintaan pada seni tari daerah sendiri.94
Selain itu wawasan mereka juga bertambah dan semua ini memberikan kontribusi
yang sangat berarti bagi perkembangan kesenian pada tahun 1950 hingga1960-an.
Kesempatan saling mengintip pertunjukan kenegaraan di Jakarta itu
membuat para penari dan pemusik saling mengagumi hingga mendorong untuk
mempelajari kesenian daerah lain. Nantinya, ketika mereka terlibat dalam satu
rombongan untuk misi kesenian ke luar negeri, muncul kesempatan yang lebih
leluasa untuk saling mengenal dan berinteraksi secara pribadi. Secara mendalam
mereka juga berkesempatan mempelajari dan membawakan tari-tarian maupun
menyanyikan lagu-lagu dari daerah lain di Indonesia. Inilah yang menumbuhkan
kesadaran bahwa mereka adalah bagian dari bangsa Indonesia yang luas dan
beraneka ragam.95
Soekarno melangkah kian kuat dalam upaya menumbuhkan rasa
keindonesiaan melalui kesenian dengan mendirikan empat sekolah tinggi seni untuk
memelihara dan mengembangkan kesenian: (1) Akademi Seni Rupa Indonesia
(ASRI) didirikan di Yogyakarta pada tahun 1949 dan merupakan perguruan tinggi
seni pertama di Indonesia; (2) Konservatori Karawitan Indonesia (KKI) didirikan
pada tahun 1950 di Surakarta, Jawa Tengah, agar semua kesenian daerah bisa
berbaur bersama-sama, kemudian statusnya diubah menjadi Akademi Seni
Karawitan Indonesia (ASKI) pada tahun 1964; (3) Sekolah Musik Barat yang
94
Edi Sedyawati, “Tari: Bidang Seni yang Paling Maju”, hlm. 250; dan Edi Sedyawati,
“Tari di Indonesia 1951–2000”, hlm. 167. Lihat juga Jennifer Lindsay “Menggelar Indonesia”, hlm.
223; dan Irawati Durban Ardjo, “Tari Sunda”, hlm. 444. Selain hasil wawancara dengan Edi
Sedyawati, di Jakarta, Agustus 2013.
95
Lihat Jennifer Lindsay, “Menggelar Indonesia”, hlm. 226; dan Irawati Durban Ardjo,
“Tari Sunda”, hlm. 447.
Universitas Indonesia
96
Tod Jones, Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia, Kebijakan Budaya Selama Abad
Ke-20 Hingga Era Reformasi (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2015), hlm. 103. Lihat juga Nunus
Supardi, “Kebudayaan Pada Masa Orde Baru” dalam Taufik Abdulah dan AB Lapian (eds.),
Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid 8, Orde Baru dan Reformasi (Jakarta: PT Ichtiar Baru van
Hoeve atas kerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2012),
hlm. 600.
97
Menurut John Martin dalam bukunya Introduction of the Dance (New York: Dance
Horizons, 1965), hlm. 113, istilah klasik berasal dari bahasa Latin classici yang dipakai oleh Aulus
Universitas Indonesia
tidak bisa dilepaskan mengingat di tempat itulah pertunjukan ini tumbuh dan
berkembang sebagai suatu karya tari yang telah mencapai kualitas estetis yang
tinggi. Dalam kualitas estetis tinggi tersebut terdapat ukuran-ukuran seperti: teknik
gerak yang berpola, mempunyai standar tertentu dan mengikat, relatif rumit dan
sulit dilakukan; koreografi yang digarap cermat; dan mempunyai kedalaman makna
atau isi. Untuk mencapai aturan-aturan dan nilai-nilai estetis yang tinggi diperlukan
perhatian dan pemeliharaan yang baik, penanganan yang cermat dan tertib, dan
biaya yang tidak sedikit. Di masa lampau hanya para bangsawan dan raja yang bisa
memenuhi syarat tersebut karena mereka termasuk golongan yang mampu dalam
hal materi.
Di Pulau Jawa, tepatnya di keraton Surakarta dan keraton Yogyakarta,
adalah tempat yang banyak melahirkan karya tari klasik dengan ciri-cirinya yang
khas. Tari Bedaya, Serimpi, dan Wayang Wong98 merupakan karya yang
diperkirakan telah ada sejak zaman Mataram Islam (1586).99 Adapun tari Golek dan
Gellius (130–180 AD), seorang penulis di zaman Romawi, untuk menyebut hasil-hasil karangan
yang baik, berkualitas tinggi, di zaman Romawi yang kemudian disebutnya scriptor classicus.
Pengertian klasik (classic) menurut The Lexicon Webster Dictonary adalah sesuatu yang dianggap
sebagai contoh atau model yang nyaris sempurna. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, klasik
adalah sesuatu yang mempunyai nilai atau mutu yang diakui atau menjadi tolok ukur kesempurnaan
yang abadi, tertinggi. Edi Sedyawati dalam “Jalan Perkembangan Tari di Indonesia” dalam
Pertumbuhan Seni Pertunjukan, Seri Esni No. 4 (Jakarta: Sinar Harapan, 1981), hlm. 110–11
mengatakan bahwa tari tradisional klasik mempunyai ciri-ciri sebagai tari yang telah mengalami
pengolahan dan penggarapan gerak secara terkembang, yang keindahannya disalurkan melalui pola-
pola gerak yang telah ditentukan. Dalam kategori ini gerak telah dikembangkan dengan sengaja,
melampaui kebutuhan minimal yang diperlukan oleh konteksnya. Dengan demikian geraknya
dianggap sebagai seni yang mempunyai ukuran-ukuran tersendiri. Ciri penting lainnya ialah ukuran-
ukuran keindahannya yang telah terbukti melampaui batas-batas daerah.
98
Tari Bedaya adalah tari putri keraton yang ditarikan oleh tujuh atau sembilan putri dan
bersifat sangat tenang, irama tarinya mengikuti pukulan-pukulan matra yang teratur dari iringan
karawitannya. Beberapa tari Bedaya terutama yang ditarikan oleh sembilan penari putri dianggap
keramat. Tari Serimpi adalah tari putri keraton yang ditarikan empat putri, bersifat sangat tenang
dan irama tarinya mengikuti pukulan matra yang teratur dari iringan karawitannya, seperti halnya
Bedaya. Tari Serimpi biasanya menggambarkan prajurit putri yang sedang berlatih perang. Adapun
Wayang Wong adalah teater tradisional Jawa yang dimainkan pelaku-pelaku tanpa topeng dan
merupakan peniruan atas wayang kulit, yaitu teater boneka yang dimainkan oleh dalang. Lihat Edi
Sedyawati, Pertumbuhan Seni Pertunjukan (Jakarta: Sinar Harapan), hlm. 4, 8; Soedarsono, The
State Ritual Dance Drama in the Court of Yogyakarta (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press),
hlm 1–2; Clara Brakel Papenhuysen, Seni Tari Jawa: Tradisi Surakarta dan Peristilahannya
(Jakarta: ILDEP RUL), hlm 46–9.
99
Karya tari klasik Surakarta dan Yogyakarta pada hakikatnya mempunyai dasar yang
sama karena keduanya berasal dari satu kerajaan yaitu Mataram. Munculnya Kasunanan Surakarta
Universitas Indonesia
Klana (Klana Raja, Klana Alus, Klana Topeng) diciptakan kemudian, dan tetap
bertahan hingga masa pasca kemerdekaan.100 Selain Bedaya Ketawang dari keraton
Kasunanan Surakarta101 yang dianggap sakral dan dipertunjukkan hanya pada saat
penobatan raja dan ulang tahun penobatan raja (tingalan jumenengan dalem),
terdapat Bedaya-bedaya lainya yang bersifat nonsakral dan menghibur, di
antaranya Bedaya Duradasih, Bedaya Pangkur, Bedaya Sinom, Bedaya Gandrung
Manis, dan sebagainya.
Tari Serimpi juga merupakan karya tari klasik di keraton Kasunanan
Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta yang beberapa di antaranya mempunyai sifat
ritual seperti halnya tari Bedaya, namun sebagian lainnya menghibur. Nama-nama
yang digunakan dalam tari Serimpi pun seringkali mengikuti atau sesuai dengan
nama gending (lagu) yang mengiringinya misalnya Serimpi Gambir Sawit diiringi
gending Gambir Sawit, Serimpi Anglir Mendung diiringi gending Anglir Mendung,
Serimpi Pandhelori juga diiring geding Pandhelori. Pada zaman kerajaan Mataram,
dan Kasultanan Yogyakarta merupakan akibat perjanjian Giyanti pada tahun 1755 yang
memecahkan kerajaan Mataram menjadi dua. Lihat A.M. Hermin Kusmayati, “Tari Klasik” dalam
Soedarsono (ed.), Pengantar Apresiasi Seni (Jakarta: Balai Pustaka, 1992), hlm.105.
100
Meskipun karya-karya tari keraton dipertahankan sebagai milik keraton, namun Sultan
Hamengku Buwana VIII (1880–1939) mendorong saudara-saudaranya, P.A. Surjadiningrat (wafat
1960) dan P.A. Tedjokoesoemo (1881–1973), membentuk kelompok tari “Kridha Beksa Wirama”
(1918) di luar keraton untuk memasyarakatkan beberapa karya tari keraton (Bedaya, Serimpi,
Wayang Wong). Di Surakarta, Sunan Paku Buwana X membuka Taman Hiburan Sriwedari dengan
pertunjukan Wayang Orang (di keraton disebut Wayang Wong) setiap malam dan disambut gembira
oleh masyarakat Surakarta dan sekitarnya (yang masih kuat berorientasi pada budaya keraton). Lihat
Felicia Hughes-Freeland, Nin Bakdi Soemanto (ed.), Komunitas Yang Mewujud, Tradisi Tari dan
Perubahan di Jawa (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2009), hlm. 73; Soedarsono dalam
bukunya Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi, hlm. 82–3 menambahkan bahwa apa yang
dilakukan Sultan Hamengku Buwana VIII selain agar karya-karya tari keraton bisa dinikmati oleh
seluruh lapisan masyarakat juga sebagai upaya untuk menghilangkan batas antara seni keraton dan
seni rakyat.
101
Di keraton Kasultanan Yogyakarta juga dikenal tari Bedaya yang dianggap sakral dan
hanya dipertunjukkan saat penobatan raja serta ulang tahun penobatan raja (tingalan jumenengan
dalem) yaitu Bedaya Semang, seperti halnya Bedaya Ketawang di Surakarta. Namun diperkirakan
sejak tahun 1921, yaitu pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana VIII (1880–1939),
sudah tidak tercatat lagi adanya pementasan Bedaya Semang. Pada akhir tahun 1972–2002 karya
tari ini direkonstruksi dan hasilnya dipertunjukkan pada 7 Oktober 2002 untuk acara peringatan
penobatan Sultan Hamengku Buwana X yang ke-13, di Bangsal Kencono Keraton Yogyakarta. Lihat
Theresia Suharti, Bedhaya Semang Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Reaktualisasi Sebuah tari
Pusaka (Yogyakarya: PT Kanisius, 2015), hlm. 6–7.
Universitas Indonesia
para penari Serimpi dan Bedaya bertugas pula sebagai abdi dalem (pegawai) yang
membawa benda-benda upacara dan pusaka keraton.
Daerah-daerah di Indonesia, selain Surakarta dan Yogyakarta, yang juga
mempunyai karya tari klasik karena pernah memiliki kerajaan besar, antara lain di
Cirebon dikenal tari Sinden Rimbe di keraton Kanoman yang bentuk dan irama
tariannya menyerupai Bedaya di keraton Surakarta, dan tari Jayengrana di keraton
Kasepuhan. Di Sulawesi Selatan terdapat tari Pajaga di bekas kerajaan Luwu dan
tari Pakarena di bekas kerajaan Gowa. Adapun Bali merupakan daerah di Indonesia
yang juga banyak menghasilkan karya tari klasik, baik yang tumbuh-kembang di
keraton (puri) maupun di pura, seperti drama tari Gambuh, Wayang Wong, bentuk-
bentuk tarian Topeng, Legong, dan Panyembrama.102
Berbeda dengan karya tari klasik, karya tari rakyat hidup dan berkembang
di kalangan rakyat yang biasanya berada di lingkungan agraris dan pesisir. Karya
tari rakyat disusun untuk kepentingan rakyat setempat dan bisa dikatakan garapan
gerak, pola lantai, iringan tari, kostum dan tata riasnya relatif sederhana karena yang
ditekankan adalah nilai-nilai kebersamaan dan kepemilikan secara kolektif. Karya
tari rakyat sering berfungsi sebagai tari upacara adat, atau sebagai kelengkapan
sosial, dan juga sebagai hiburan dalam masyarakat. Selain itu ada sejumlah karya
tari rakyat yang berkaitan dengan upacara-upacara ritual dan telah ada sejak zaman
prasejarah.103
Karya-karya tari yang bisa dikategorikan sebagai karya tari rakyat dan
berfungsi sebagai tari upacara ritual antara lain tari Topeng pada beberapa
masyarakat di Indonesia seperti masyarakat suku Dayak di Kalimantan Timur (tari
Hudog), masyarakat suku Batak di Sumatera Selatan (Tortor Toping-toping atau
Tortor Huda-huda), masyarakat Bali (Topeng Ket dan Barong, di antaranya Barong
Bangkal, Barong Macan, Barong Lembu, dan Barong Asu), dan masyarakat suku
102
Soedarsono, Djawa dan Bali: Dua Pusat Perkembangan Drama Tari Tradisionil
(Jogjakarta: Gadjah Mada University Press, 1972), hlm. 59–72; dan A.M. Hermin Kusmayati, “Tari
Klasik”, hlm. 105–10.
103
Lihat Soedarsono, Djawa dan Bali, hlm. 20; A.M. Hermin Kusmayati, “Tari Klasik”,
hlm. 87–9.
Universitas Indonesia
Asmat di Papua (Topeng Jipai). Selain itu juga dikenal karya tari rakyat yang
berfungsi hiburan dan biasanya merupakan tari pergaulan seperti tari Tayub di
masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Barat, tari Ketuk Tilu di Jawa Barat, tari
Gandrung dan tari Jejer di Banyuwangi, tari Lengger dari Banyumas, tari Lenso di
Maluku, tari Pulai Sari yang kemudiam menjadi Serampang Dua Belas pada
masyarakat Pesisir Melayu di Riau dan Sumatera Utara, tari Maengket dari
Sulawesi Utara, dan lain-lain.104
Oleh sebagian seniman, karya tari tradisional sangat menggoda untuk
dikembangkan lebih lanjut. Edi Sedyawati menyebut ini sebagai karya tari hasil
pengembangan dari tradisi. Maksudnya adalah karya tari tradisional yang secara
sadar dan sengaja digarap kembali karena adanya dorongan dari diri seniman untuk
melakukan perubahan dan pembaruan; atau karena adanya dorongan dari
pemerintah dan atau organisasi otoritas, atau pihak yang berpengaruh guna
kepentingan tertentu. Namun bisa dikatakan bahwa perubahan atau pembaruan
tersebut masih berada di ranah tradisi dan mempunyai kesinambungan yang kuat
dengan bentuk tradisi sebelumnya. Dengan demikian karya tari semacam ini bisa
disebut sebagai hasil pengembangan dari tradisi.
Pengembangan kreatif dari tradisi ini di ranah tari Indonesia sebenarnya
telah lama berlangsung. Catatan menyebutkan, I Ketut Maria (kemudian lebih
dikenal dengan nama I Mario, 1897–1978), seorang seniman terkenal dari Bali,
pada tahun 1916 menggarap sebuah karya tari baru yang kemudian dipentaskan
pada tahun 1925. Tarian tersebut dikenal dengan nama Kebyar Duduk. Selain itu
Mario menggarap tari Kebyar Trompong, sejenis tari Kebyar Duduk, yang
penarinya memainkan instrumen trompong saat menari. Karya tari dengan
memainkan trompong sebelumnya sudah ada di desa Bantiran Bali, namun
kemudian I Mario menggarap ulang karya tari tersebut sebagai karya baru dengan
merespon gamelan Gong Kebyar yang bertempo cepat dan memiliki dinamika yang
kaya, sehingga gerak tarinya pun menjadi lincah dan dinamis. Karya tari ini
104
Edi Sedyawati, “Seni Pertunjukan” dalam Indonesian Heritage (Jakarta: Buku Antar
Bangsa untuk Glorier International, Inc, 2002), hlm. 39–41.
Universitas Indonesia
sebagian besar dilakukan dalam posisi setengah duduk sambil berjinjit hingga
akhirnya sepenuhnya duduk dengan kedua kaki menyilang (bersila).105 Oleh karena
karya baru I Mario tersebut sebagian besar masih tetap menggunakan pola dan
teknik gerak tari Bali, diiringi gamelan Bali Gong Kebyar, dan kostum tarinya juga
Bali, bisa dikatakan pembaruan itu masih berada di dalam ranah tradisi dan
mempunyai kesinambungan yang kuat dengan bentuk tradisi sebelumnya.106
Catatan lainnya, pada tahun 1941, Sultan Hamengku Buwana IX (1912–
1988) memprakarsai penggarapan tari Golek Menak yang idenya dipengaruhi oleh
gerak wayang golek yang terbuat dari kayu. Ide tersebut kemudian digarap oleh
pakar tari dan musik di keraton, antara lain KRT Purboningrat (1865–1955),
Pangeran Suryobrongto (1914–1985), KRT Brongtoningrat (1933), dengan
menggunakan unsur gerak karya tari tradisional klasik Yogyakarta dan meniru
gerak Wayang Golek (Menak) yang patah-patah dan langkah kaki ringan. Karya ini
dipertunjukkan pertama kali pada tahun 1943 dalam acara peringatan ulang tahun
Hamengku Buwana IX. Dalam karya ini juga telah terjadi pembaruan, namun masih
berada di dalam ranah tradisi yang dalam tulisan ini disebut sebagai karya tari baru
hasil pengembangan dari tradisi.
105
Lihat Akashi Kapil, “Penari Mario dan Kebyar Duduk”, Budaya, No 7, Juli 1958, tahun
ke-VII. Lihat juga Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi, hlm. 85 dan 241;
Menurut Soedarsono, pada masa Pergerakan Nasional, gamelan Gong Kebyar dari Bali Utara yang
sangat dinamis mulai diperkenalkan ke Bali Selatan, dan I Ketut Maria menggarap karya tari baru
Kebyar Duduk dan Kebyar Trompong dengan merespons kedinamisan gamelan tersebut. Pada masa
itu hampir seluruh masyarakat Bali mengenal babakan baru dalam sejarah seni pertunjukan, yaitu
lahirnya sebuah gaya yang dikenal sebagai gaya kekebyaran; dan lihat juga Pande Made Sukerta,
Gong Kebyar Buleleng: Perubahan dan Keberlanjutan Tradisi Gong Kebyar (Surakarta: Program
Pascasarjana bekerja sama dengan ISI Press, 2009), hlm. 90–91.
106
Sebuah tradisi bisa mengalami perubahan yang cukup berarti tetapi pendukung dan
pewarisnya menganggap perubahan tersebut masih dalam ranah tradisi mereka, karena ada
kesinambungan yang kuat antara bentuk pembaruan dengan bentuk tradisi sebelumnya. Tradisi
berubah karena tidak lagi bisa memuaskan seluruh pendukungnya. Tradisi memberi peluang untuk
diubah guna memenuhi kebutuhan pendukungnya, namun memerlukan tokoh-tokoh yang oleh
Clifford Geerzt sering disebut intellectuals untuk melakukannya. Lihat Clifford Geertz, Abangan,
Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, diterjemahkan oleh Aswab Mahasin (Jakarta: Pustaka Jaya,
1981), hlm. 315–17; Lihat juga Robert Redfield dan Milton Singer, “The Cultural Role of Cities”
dalam Richard Sennett (ed.), Classic Essays on the Culture of Cities (New York: Prentice-Hall,
1969), hlm. 217. Selain itu lihat Agnes DeMile, The Book of the Dance (New York: Golden Press,
1963), hlm. 48, dikutip dalam Joan Kealiinohomoku, “An Anthropologist Looks at Ballet as a Form
of Ethnic Dance” dalam Mariam Van Tuyl (ed.), Impulse: Extesion of Dance, 1969–1970:
Extensions (San Fransisco: Impulse Publication, 1983), hlm. 26.
Universitas Indonesia
107
Bentuk karya tari baru yang berangkat dari karya tari tradisional daerah di Indonesia
tersebut pada masa itu kemudian lebih dikenal dengan sebutan karya tari kreasi baru. Dalam
perkembangannya, karya tari kreasi baru di Indonesia juga dipengaruhi oleh tari modern dari Barat
khususnya dari Amerika Serikat, lihat Soedarsono, “Tari Kreasi Baru” dalam Soedarsono (ed.),
Apresiasi Seni Pertunjukan (Jakarta: Balai Pustaka, 1992), hlm. 111–6.
108
Bahkan para seniman yang bertolak ke luar negeri sebagai peserta dari misi kesenian
juga mempelajari dan membawakan karya-karya tari maupun menyanyikan lagu-lagu dari daerah
lain di Indonesia yang bukan daerah mereka sendiri, agar mereka sadar sebagai bagian dari bangsa
Indonesia yang luas dan beraneka ragam. Lihat Jennifer Lindsay, “Menggelar Indonesia”, hlm. 226,
dan Irawati Durban Ardjo, “Tari Sunda”, hlm. 447.
109
Lihat Lindsay, “Menggelar Indonesia”, hlm. 221–52; dan Irawati Durban Ardjo, “Tari
Sunda”, hlm. 457–9.
Universitas Indonesia
dalam misi-misi kebudayaan ke luar negeri. Tari Legong dan Janger dari Bali juga
dibuat dalam versi-versi pendek. Bahkan ada karya tari baru yang digarap dari
urutan-urutan gerak tari Aceh, Sumatera Timur, Tapanuli, Sumatera Barat dan
Sumatera Selatan yang dinamai tari Ragam Andalas. Adanya karya tari baru yang
berangkat dari tari tradisional daerah tersebut dimaksudkan agar tari-tarian yang
dikirim ke luar negeri ataupun yang dipertunjukkan di Istana Negara setiap
perayaan 17 Agustus (juga dalam acara-acara kenegaraan lainnya) seperti telah
diurai, bisa lebih menarik dan tidak membosankan dalam menampilkan
keindonesiaan dengan kekayaan dan keberagaman budayanya.110
Di awal tahun 1960-an, tepatnya tahun 1961, Departemen Perhubungan
Darat, Pos, Telekomunikasi dan Pariwisata (PDPTP) di bawah pimpinan Mayor
Jendral TNI G.P.H. Djatikoesoemo (1917–1992), putra Sunan Paku Buwana X,
yang menjabat sebagai menteri PDPTP, mengambil prakarsa mengadakan
pertunjukan kolosal Sendratari Ramayana Prambanan (SRP) dengan membangun
panggung di depan Candi Prambanan. Pertunjukan dari cerita klasik Ramayana ini
dikonstruksikan sebagai salah satu atraksi bagi kepentingan pariwisata dan
dilokasikan di ruang terbuka dan komersial untuk menampilkan identitas lokal yang
bisa menarik turis. Dilihat dari konsep penciptaan tari, telah terjadi pembaruan di
pertunjukan tersebut dengan tampilnya drama tari tradisional namun tanpa dialog
verbal dan tembang (yang kemudian disebut sebagai sendratari, akronim dari “seni
drama dan tari”) yang dibawakan dalam format kolosal oleh ratusan penari dan
pemain gamelan di panggung prosenium yang berukuran akbar dengan penataan
lampu panggung (stage lighting) yang disesuaikan dengan besaran panggung.
Adapun dalam garapan gerak tarinya terjadi perpaduan antara karya tari klasik gaya
Surakarta dan karya tari klasik gaya Yogyakarta yang dalam prosesnya sulit untuk
110
Lihat Lindsay, “Menggelar Indonesia”, hlm. 221–52; dan Irawati Durban Ardjo, “Tari
Sunda”, hlm. 457–9. Juga hasil wawancara dengan Andi Ummu di Jakarta, 12 Maret 2012, Irawati
Durban Ardjo di Bandung, Agustus 2015, dan Wiwiek Sipala di Jakarta, 23 November 2015.
Universitas Indonesia
dipertemukan sehingga lahir sebuah gaya tersendiri yang bukan Surakarta dan
bukan Yogyakarta, yaitu sebuah gaya khas Prambanan.111
Penata tari dalam Sendratari Ramayana Prambanan ini adalah Raden
Tumenggung Koesoemakesawa (1909–1972) didampingi penata tari pembantu S.
Ngaliman (1919–2002) untuk tarian putra, dan tarian putri oleh Ny. Djoko Suhardjo
(1932–2006), ketiganya dari Surakarta. Penata karawitan adalah Kanjeng Raden
Tumenggung Wasitodipuro (1909–2007) dari Paku Alaman, Yogyakarta,
didampingi oleh Martopangrawit (1914–1986) dari Surakarta. Adapun Raden Mas
Ngabehi Bambang Soemodarmoko (1922–2007) dari Surakarta mendapat tugas
untuk menangani drama atau pengadeganan, dan kostum tari dirancang oleh
seniman seni rupa Kusnadi (1921–1997) dari Yogyakarta.112
Dalam garapan baru Sendratari Ramayana Prambanan tersebut diciptakan
pula karya tari baru untuk kebutuhan kelengkapan cerita, misalnya tari Kijang dan
tari Kelinci yang menggambarkan perilaku kijang dan kelinci yang lincah, dan tari
Api untuk menggambarkan kobaran api pada adegan pembakaran Dewi Sinta saat
membuktikan kesuciannya. Ketiga karya tari ini sebelumnya tidak ada dalam karya
tari tradisional Jawa dan pola gerak serta tekniknya merupakan pencarian baru di
luar pola karya tari tradisional Jawa.113 Meski demikian, ketiga karya tersebut masih
tampak berada di dalam ranah tradisi dan tetap terasa mempunyai kesinambungan
yang kuat dengan bentuk tradisi, sehingga menyatu dengan garapan Sendratari
Ramayana tersebut.
111
Edi Sedyawati, “Balet Ramajana di Prambanan” dalam Trio, No 11, Agustus 1961, hlm.
18–9; Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia dan Pariwisata (Bandung: Masyarakat Seni
Pertunjukan Indonesia bekerjasama dengan artiline atas bantuan Ford Foundation, 1999), hlm. 144–
8; Sal Murgiyanto, “Seni Tradisi Tidak Mati” dalam Tradisi dan Inovasi Beberapa Masalah Tari di
Indonesia (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2004), hlm. 14.
112
Soedarsono, “Seni Pertunjukan”, hlm. 147.
113
Wawancara dengan Retno Maruti, pelaku tari Kijang Kencana dalam Sendratari
Ramayana Prambanan pada tahun 1962–1964, di Jakarta 2013.
Universitas Indonesia
117
Dalam tulisannya, Jennifer Lindsay memakai istilah “koreografi kontemporer yang
menggunakan gerakan-gerakan tradisional” sebagai salah satu genre tari program kesenian ke
Tiongkok. Dalam tulisan ini penulis menggantinya menjadi “karya tari baru yang menggunakan
gerakan-gerakan tradisional”. Ini karena Lindsay tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan
istilah “koreografi kontemporer” dalam tulisannya tersebut. Dengan demikian, jika penulis
konsisten dengan batasan arti kontemporer dalam penelitian ini, maka istilah “karya tari baru” lebih
tepat untuk digunakan dalam konteks tersebut.
118
Jennifer Lindsay, “Menggelar Indonesia”, hlm. 226; Juga hasil wawancara dengan Edi
Sedyawati di Jakarta, November 2013 dan Irawati Durban Ardjo di Bandung, Agustus 2015.
Universitas Indonesia
119
Jennifer Lindsay, “Menggelar Indonesia”, hlm. 234–8.
120
Prof. Dr. Prijono (1907–1969) adalah seorang Jawa dari Yogyakarta, penari Jawa klasik
yang memperoleh gelar doktor bidang sastra dari Universitas Leiden. Menjadi Dekan Fakultas
Sastra Universitas Indonesia sejak tahun 1950 hingga menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
pada kabinet Djuanda tahun 1957. Ia bertahan pada posisi tersebut hingga enam kabinet berikutnya,
yaitu sampai Maret 1966. Lihat Jennifer Lindsay, “Menggelar Indonesia”, hlm. 238–9.
121
Kekagumannya ini dimuat dalam sebuah artikel Harian Rakyat dan Merdeka. Lihat
Prof. Prijono, “Nasional dalam Bentuk Sosialis dalam Djiwa”, Harian Rakyat 21 Oktober 1954; dan
“Kesan-kesan Prof. Dr. Prijono tentang Kunjungannya di RRT”, Merdeka, 21-10-1954 (bagian
pertama) dan 22-10-1954 (sambungan).
122
Lihat Herbert Feith and Lance Castles (eds.), Indonesian Political Thinking, 1945–1965,
(Ithaca/London: Cornell University Press, 1970), hlm. 328–9; lihat juga Jennifer Lindsay, Op.Cit.,
239.
Universitas Indonesia
Nelayan, Batik, Tenun, Menanam Padi, Pergaulan Anak Muda adalah sebagian
contoh dari karya-karya tari yang dikirim ke negara-negara sosialis. Bahkan karya
tari dari daerah Jawa Tengah yang menampilkan adegan perkelahian antara Buto
Cakil (tokoh raksasa yang berkarakter kasar dan beringas) dengan Srikandi (tokoh
kesatria yang berkarakter halus namun pemberani dan gesit) diberi interpretasi baru
yang “progresif” sebagai kekuatan kemajuan yang ingin melenyapkan kekuatan-
kekuatan lama yang bersifat feodal atau imperialisme.123
Dampak lain adanya pengiriman misi kesenian ke luar negeri dan adanya
hubungan yang baik dengan negara-negara yang dikunjungi, di tahun 1956–1957
terpilih empat seniman Bali (I Wayan Likes, Ni Nyoman Artha, I Wayan Badon,
dan I Wayan Mudana) untuk mengajar tari Bali di Dance Academy, Beijing. Para
seniman ini kemudian membawa pulang pengalaman mereka selama di luar negeri
ke sekolah-sekolah, pusat-pusat, dan perkumpulan-perkumpulan seni di Indonesia,
dan kemudian juga mengembangkan karya tari yang sesuai untuk kunjungan-
kunjungan berikutnya dan di ajang-ajang seni nasional.124 Lebih lanjut, masih
dalam tulisannya “Menggelar Indonesia di Luar Negeri”, Jennifer Lindsay
menambahkan bahwa perjalanan ke luar negeri telah membuat banyak seniman bisa
melihat secara lebih segar apa yang terjadi di dalam dunia seni di negeri mereka
sendiri. Mereka mulai mencari rumusan peran yang tepat untuk kesenian
tradisional, apakah akan mengaitkannya dengan kondisi revolusioner Indonesia,
atau memasukkan di dalamnya kesadaran nasional, ataukah justru keduanya
sekaligus.125 Dalam misi kebudayaan pertama ke Tiongkok tahun 1954, para
seniman muda dari Indonesia juga berbicara atau menulis tentang pengalaman
mereka. Susanti (salah seorang penari Jawa klasik Yogyakarta), misalnya, berbicara
mengenai Akademi Tari di Beijing sebagai suatu model untuk sekolah tari di
123
Jennifer Lindsay, “Menggelar Indonesia”, hlm. 248.
124
Lihat Berita Kebudayaan, Budaya 7-7 (Juli 1958), hlm. 296, Lihat juga Jennifer Lindsay,
“Menggelar Indonesia”, 249. Dalam tulisannya di sini Lindsay menambahkan, “Para seniman yang
mengajar di Beijing tersebut mengembangkan repertoar yang sesuai untuk tur-tur berikutnya. Ini
merupakan aspek yang penting, namun kurang diakui dalam perkembangan seni pertunjukan di
Indonesia sekarang ini.”
125
Jennifer Lindsay, “Menggelar Indonesia”, hlm. 249
Universitas Indonesia
Indonesia yang saat itu sedang digagas akan dibuka di Yogyakarta. Bagong
Kussudiardja dan Wisnoe Wardhana juga menulis betapa mereka terkesan dengan
status dan pendapatan para seniman yang tinggi, perhatian yang diberikan negara
untuk meningkatkan dan melindungi kesenian tradisional, dan para seniman yang
belajar di akademi-akademi diminta oleh negara untuk menggelar pertunjukan di
pabrik-pabrik, kota-kota dan pelosok kampung di seluruh Tiongkok. Hal penting
lainnya, para seniman di Tiongkok dijamin masa depannya oleh negara dengan
bekerja sebagai guru. Dalam tulisan mereka tersebut, Kussudiardja dan Wardhana
juga tergugah dengan keberadaan kesenian tradisional dan ekspresi seni yang lebih
kontemporer berjalan beriringan, dan ekspresi-ekspresi kedaerahan bisa menjadi
ekspresi nasional.126
Lainnya adalah Irawati Durban Ardjo (lahir 1943), salah satu penari Sunda
dari Bandung yang banyak mengikuti misi kesenian Indonesia ke luar negeri. Ia
menuliskan pengalamannya bahwa saat ke luar negeri bukan hanya menari untuk
menunjukkan kekayaan kesenian Indonesia, tetapi juga berkesempatan untuk
menonton pertunjukan-pertunjukan di negara-negara yang dikunjungi. Pertunjukan
yang ditontonnya antara lain karya tari rakyat Eropa Timur (di Cekoslovakia,
Polandia, Hongaria), orkestra dengan lagu-lagu klasik ciptaan para komposer
terkenal dunia seperti Mozart dan Beethoven (di Hongaria), balet klasik dengan
cerita Swan Lake (di Moskow-Rusia), sirkus kelas dunia (di Leningrad, Rusia), tari
Perut (di Mesir) dan sebagainya. Di samping itu, para seniman juga mengunjungi
tempat-tempat penting, seperti gedung pertunjukan (dengan panggung, lampu, efek
panggung yang lengkap), museum, istana, peninggalan sejarah, misalnya piramid,
patung-patung, lukisan dan lain-lain. Kunjungan ini telah menyadarkan Irawati
akan keberagaman karya seni di dunia dan keindahan yang universal.127
126
Lihat Bagong Kussudiardja, “Kesan-kesan Perlawatan ke RRT, Budaya 4-1 (Januari,
1955) hlm. 2–12; dan Wisnoe Wardhana, “Tari dan Opera di RRT, Budaya 4-5 (April–Mei, 1955),
hlm. 187–190. Lihat juga Jennifer Lindsay, “Menggelar Indonesia”, hlm. 250.
127
Irawati Durban Ardjo, “Tari Sunda”, hlm. 448–50; dan hasil wawancara di Bandung,
Agustus 2015.
Universitas Indonesia
Edi Sedyawati (lahir 1938), yang tampil sebagai penari pada misi kesenian
tahun 1961 ke Uni Soviet, RRC, Korea Utara, dan Vietnam Utara, menulis surat
panjang ketika melakukan perjalanan pertama ke Uni Soviet. Surat yang dimuat di
rubrik “Taman Remaja” majalah Trio yang terbit di Jakarta itu berisi penggambaran
kegiatan pada sesi-sesi latihan dan perjalanan ke negara tersebut sebelum
melanjutkan ke Cina.128 Ia juga menulis tujuan utama misi-misi kesenian adalah
untuk mengeratkan kerja sama antarnegara yang saat itu dijiwai semangat
kebangkitan negara-negara Asia-Afrika. Isi dari misi-misi tersebut berupa aneka
kesenian daerah yang juga dipergelarkan di acara Tujuh Belas Agustusan di Istana
Presiden. Pertunjukan karya-karya tari tersebut sering disertai pula dengan
nyanyian keroncong oleh penyanyi-penyanyi terkemuka zaman itu.
Hal yang perlu dicatat dari kegiatan misi kesenian ke luar negeri adalah
kesempatan berkumpulnya para seniman dari berbagai bangsa di belakang
panggung pertunjukan sehingga terjadi perkenalan dan pertukaran pengetahuan.
Momen kecil itu sesungguhnya mempunyai arti sangat besar karena “Menjadi
Indonesia” antara lain terbentuk melalui proses semacam ini yang menghasilkan
saling kenal dan saling menghargai antarbangsa, antarseniman. Pengaruhnya
kemudian menyentuh kalangan seni lebih luas sehingga muncul kesadaran adanya
berbagai perbedaan gaya seni.129 Tulisan Sedyawati tersebut di atas menyingkapkan
mengenai bagaimana pentingnya nasional dan internasional berinteraksi di dalam
tur-tur misi kesenian. Rasa menjadi Indonesia dan kesadaran keberadaan dirinya
sebagai bagian dari suatu bangsa yang besar, ditumbuhkan melalui interaksi satu
dengan lainnya ketika mewakili bangsa di dalam konteks kancah internasional.130
Kedatangan grup-grup kesenian dari luar negeri ke Indonesia (antara lain ke
Bandung), sebagai kunjungan balasan, di antaranya adalah grup “Bayanihan” dari
Filipina, grup tari dari Tiongkok, Vietnam dan Korea Utara. Itu semua menambah
lengkapnya pengetahuan dan pengalaman menonton, yang di kemudian hari
128
Edi Sedyawawi, “Surat Edi Sedyawati dari Perdjalanan”, Trio: 27–8. (Diakses dari
fotokopi, tanggal tidak diketahui).
129
Lihat Edi Sedyawati, “Tari di Indonesia 1951–2000”, hlm.166–70.
130
Lihat Jennifer Lindsay, “Menggelar Indonesia”, hlm. 249.
Universitas Indonesia
131
Dampak menonton pertunjukan ataupun melihat dapur seni di luar negeri menginspirasi
grup tari Viatikara (1964), grup tari di Bandung tempat Irawati Durban Ardjo bergabung, untuk
berlatih olah tubuh secara intensif sebelum berlatih gerak tari keseluruhan. Kegiatan ini biasa
dilakukan oleh para penari Thailand sehingga mereka mampu melakukan gerak tari yang sulit
dengan disiplin yang ketat. Selain itu Irawati D. Ardjo terinspirasi membuat karya tari Sunda
menjadi lebih dinamis, rampak, dan ekspresif jika ditarikan berkelompok. Karya tari garapan Irawati
D. Ardjo tersebut kemudian sering dipertunjukkan di berbagai tempat oleh grup Viatikara. Lihat
Irawati Durban Ardjo, “Tari Sunda”, hlm. 445–461; Juga hasil wawancara dengan Irawati Durban
Ardjo, di Bandung, Agustus 2015.
Universitas Indonesia
132
Irawati Durban Ardjo, “Tari Sunda”, hlm. 455–6; Juga hasil wawancara dengan Irawati
Durban Ardjo, di Bandung, Agustus 2015.
Universitas Indonesia
133
Harry A. Poeze, Di Negeri Penjajah, Orang Indonesia Di Negeri Belanda 1600–1950
(Jakarta: KPG bekerja sama dengan KITLV, 2008), hlm. 250.
134
Trisno Sumardjo, “Sedikit Tentang Jodjana” dalam Indonesia, Madjalah Kebudajaan
No. 9 TH. III, September 1952, hlm. 8–21; Marcel Bonneff dan Pierre Labrousse, “Un Danseur
Javanais en France: Raden Jodjana (1893–1972)”, Archipel 54, Etudes interdisciplinaires sur le
monde insulindien (Paris: Association Archipel, 1977), hlm. 225–42.
135
Matthew Isaac Cohen, Performing Othernes, Java and Bali on International Stages,
1905–1952 (London: Palgrave Macmilan, 2010), hlm. 175. Lihat juga Aneka, no 16, Th V, 1 Agustus
1954, hlm. 14.
Universitas Indonesia
Dja mencapai nadir, ia justru membantu KIM (Komite Indonesia Merdeka) …..
Padahal kalau Dja mau melacurkan dirinya kepada kepentingan politik Belanda,
sebagai propagandis ia sepuluh kali lebih efektif ketimbang propagandis-
propagandis Belanda”.136 Devi Dja tidak luntur ketika ia harus memenuhi tuntutan
komersial di pentas internasional.
Devi Dja bukan seniman puritan yang mempelajari seni tari dari keraton
atau lembaga-lembaga kebudayaan formal seperti pura, melainkan ia mempelajari
seni tari selama bertahun-tahun dari perjalanan-perjalanan panjang di Indonesia,
Asia dan kemudian melanglang dunia. Kemampuannya menyerap berbagai
kesenian di berbagai belahan dunia tersebut membuatnya otentik secara etnologis
dan menghasilkan kemeriahan dalam pertunjukannya – yang terakhir inilah yang
membuat Hollywood tertarik padanya.
Setelah Perang Dunia II, Indonesia dianggap sebagai kawasan penting
dalam politik kebudayaan global dan menjadi perebutan pengaruh internasional. R.
Burt menyatakan bahwa kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat memandang
seni dan kebudayaan (termasuk tari) bisa dimanfaaatkan untuk memperkuat
pengaruh kekuasaan dalam kancah global, termasuk Indonesia. Dengan demikian,
bukan tanpa perhitungan ketika pemerintah Amerika Serikat mengirim Martha
Graham Dance Company untuk berpentas di Jakarta dan Asia pada 1955.
Pengiriman Martha Graham tersebut merupakan bagian dari kebijakan politik luar
negeri Amerika Serikat dan diplomasi kebudayaan yang digarap oleh Kementerian
Luar Negeri.137 Ditulis oleh Sal Murgiyanto dalam tesisnya, Graham terpesona bisa
berpentas di Jakarta meskipun ia diberi tahu situasi politik sedang memanas dan
pemerintah Indonesia cenderung memusuhi Amerika. Ternyata pula, karya tari
Graham yang dipertunjukkan selama tiga hari di Gedung Kesenian Jakarta
136
S.I. Poeradisastra, “Sekapur Sirih” dalam Ramadhan KH, Gelombang Hidupku, Dewi
Dja dari Dardanella (Jakarta, Sinar Harapan, 1982), hlm. 10.
137
Lihat Burt, R. Alien Bodies: Representation of Modernity, ‘Race and Nation in Early
Modern Dance (London and New York: Routledge, 1998); Prevots N., Dance foe Export: Cultural
Diplomacy and the Cold War (Middletown: Wesleyan University Press, 1998); Helly Minarti,
“Modern and Contemporary Dance in Asia: Bodies, Routes and Discourse” disertasi untuk
memperoleh gelar Ph.D di Department of Dance University of Roehampton, London-UK, 2014
(belum diterbitkan), hlm. 12–13.
Universitas Indonesia
ditambah satu hari demonstrasi teknik tari di Gedung Olah Raga Jakarta diterima
dengan baik oleh penonton. Sambutan penonton tersebut menunjukkan bahwa
Indonesia tak terpisahkan dari gelombang modernitas internasional.138
Pada tahun 1950-an muncul nama Seti-Arti Kailola (lahir 1919), Bagong
Kussudiardja (1928–2004) dan Wisnoe Wardhana (1929–2002) yang terinspirasi
oleh gaung generasi kedua tari modern di Barat yang diwakili oleh Martha Graham.
Tahun 1952, selama 11 bulan, Seti-Arti Kailola belajar tari modern di Martha
Graham School of Contemporary Dance, di New York, Amerika Serikat. Ia
merupakan perempuan Indonesia pertama yang memperoleh pengalaman
mempelajari tari modern di sana. Saat pulang ke Indonesia, ia menetap di Jakarta
dan mendirikan sekolah tari bernama Sutalagati, ‘Sekolah Seni Gerak’, yang
mengajarkan teknik tari modern gaya Martha Graham yang dipadu dengan unsur-
unsur gerak tari Bali dan Jawa yang pernah dipelajarinya.
Tahun 1957, Kailola kembali ke Amerika untuk memperdalam teknik tari
modern di Graham School dan juga sempat belajar di Connecticut College School
of the Dance dengan beasiswa dari Rockefeller Foundation. Di sana ia bertemu
dengan dua penari Indonesia lainnya, Bagong Kussudiarja dan Wisnoe Wardana.
Kedua penari yang menguasai karya tari Jawa klasik gaya Yogyakarta itu juga
memperoleh beasiswa dari Rockefeller Foundation untuk belajar tari modern di
Amerika pada Connecticut College School of the Dance dan Martha Graham
School of Contemporary Dance.
Di kemudian hari, setelah kembali ke Indonesia, hanya Kailola yang tetap
setia menyajikan dan mengajarkan tari modern dengan teknik dan gaya Martha
Graham, sedangkan Kussudiardja dan Wardhana hanya memanfaatkan beberapa
unsur teknik dan gaya Graham. Selanjutnya, kedua pria penari itu mengembangkan
teknik dan gaya masing-masing sebagai ungkapan jati diri secara individual.
Kussudiardja juga menyerap berbagai teknik tari dari daerah-daerah di Indonesia
138
Lihat Sal Murgiyanto, “The Influence of American Modern Dance on Contemporary
Dance of Indonesia”, MA Thesis, University of Colorado, 1976, hlm. 7; lihat juga Subagyo Pr (Pr/k-
2), “Kunjungan Martha Graham 20 Tahun Silam” dalam Sinar Harapan, 13 September 1974.
Universitas Indonesia
dalam berlatih maupun membuat karya baru, yang hasilnya bisa disebut sebagai tari
modern Indonesia pada masa itu.139
Bagong Kussudiardja adalah sosok yang melakukan lompatan dari
tradisionalisme ke modernisme dengan tetap menggenggam penguasaannya yang
hebat atas karya tari tradisional. Sebelumnya ia telah digembleng dalam olah tari
Jawa klasik gaya Yogyakarta di Krida Beksa Wirama (KBW) selama bertahun-
tahun dan merupakan penari yang baik dengan bakat besar. Oleh Soedarsono
dikatakan bahwa Kussudiardja sangat piawai bila menarikan tokoh yang dinamis,
agresif, dan nakal, misalnya menarikan Hanuman dalam wiracarita Ramayana, atau
Burisrawa dalam lakon dari Mahabarata. Melalui peran-peran agresif dan kaya
gerak yang ditarikannya, membuat Kussudiardja mempunyai peluang untuk
menunjukkan kreativitasnya dan bisa mengekspresikan gairahnya untuk bergerak
bebas. Semua ini merupakan bagian dari pelampiasan atas kegelisahannya dalam
proses menunjukkan jati diri dalam menggarap karya tari.140 Sampai pada suatu saat
ia mengungkapkan perasaan terbelenggunya ketika ia harus bergerak dalam
patokan-patokan ketat yang digariskan karya tari tradisional.
“Terus terang, saya suka gelisah. Proses menentukan diri sendiri itulah yang
selalu hendak saya cari ..... ketika saya melukis, saya selalu merasa terlibat
sepenuhnya dalam proses pencarian diri. .....Lha, selama ini saya menekuni
tari, disuruh menarikan Hanuman, tokoh kera dalam kisah pewayangan
Ramayana kok hanya seperti itu terus, dengan bentuk-bentuk yang memiliki
patokan pasti ..... Tidak berubah. Kenapa? Bentuk-bentuk ekspresi tarian
Hanuman yang kerap saya tarikan itu adalah ekspresi dari peninggalan
nenek moyang saya. Dan bukan ekspresi saya. Bila kemudian saya merasa
bahwa ekspresi saya adalah hasil refleksi dari pencarian diri saya, maka saya
pun tentunya mesti bisa menuangkan apa yang tengah saya gagas.
Menuangkan apa yang sedang saya gelisahkan ..... Lha mengapa saya tidak
boleh begitu? Mestinya boleh. Dan seharusnya bisa. Bahkan saya akan
merasa tolol sekali bila saya tidak bisa berbuat sebagaimana nenek moyang
saya ..... Itulah pertanyaan yang senantiasa menggelitik saya. Sehingga saya
bertubi-tubi harus menjawabnya. Dan jawabannya tetap sesuatu yang
konkret, berkarya”.141
139
Edi Sedyawati, “Tari di Indonesia”, hlm. 168.
140
Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia, hlm. 243
141
Bagong Kussudiardja, Bagong Kussudiardja, Sebuah Autobiografi (Yogyakarta:
Bentang Intervisi Utama bekerja sama dengan Padepokan Press, 1993), hlm. 110–1.
Universitas Indonesia
Dalam disertasi Sal Murgiyanto yang berjudul “Moving Between Unity and
Diversity: Four Indonesian Choreographers”, diulas hal Kussudiardja pada Bab II
berjudul “Bagong Kussudiardja: In Search of Individual Expression”, bahwa arah
pembaruan Kussudiardja selalu ditujukan untuk pencarian pada ungkapan jati diri
yang individual.142 Itu dilakukannya sebelum berangkat ke Amerika, ia sudah
menggarap tari baru, Kuda-kuda (1954), Batik (1955), dan Layang-layang (1955),
yang tema tarinya diangkat dari lingkungan kehidupan sehari-hari yang sangat
dekat dan akrab di sekelilingnya. Menurut Kussudiardja, tari Batik dan Layang-
layang diciptakan sebagai jawaban dan jalan keluar atas langkanya jenis karya tari
tunggal. Tari Batik menggambarkan orang yang sedang asyik membatik dan tari
Layang-layang melukiskan orang yang bermain layang-layang.143 Masih
menurutnya, tari Layang-layang geraknya sederhana demikian juga dengan kostum
dan iringannya. Meski tetap menggunakan beberapa unsur gerak karya tari
tradisional Jawa, tetapi gerak ini telah digarap menjadi baru yang dipadu dengan
gerak tari Bali, Sumatera, Cina dan India. Kostumnya tidak seperti kostum karya
tari Jawa pada umumnya, hanya menggunakan celana sebatas dengkul, baju tanpa
lengan, sebuah selendang yang diikatkan di pinggang dan gelang kaki yang bisa
menimbulkan bunyi kerincing untuk memainkan ritme, memperkuat dinamika dan
memberikan suasana gembira. Iringan karya tarinya hanya terdiri dari ketipung,
kentongan dan kendang besar.
Pada titik inilah Kussudiardja melakuan penyimpangan terhadap patokan-
patokan tertentu yang digariskan karya tari tradisional. Sebagaimana dinyatakan
Murgiyanto, Kussudiardja melakukan pembaruan untuk mengungkapan jati diri
yang individual. Pembaruan tersebut adalah penyimpangan dari karya lama
(tradisional) untuk terwujudnya karya tari baru. Dalam karya baru terkandung
142
Sal Murgiyanto, “Moving Between Unity and Diversity: Four Indonesian
Choreographers”. Ph.D Thesis submitted to the Department of Performance Studies in School Art
and Science, New York, 1991, hlm. 109–10.
143
Konon karya tari dalam bentuk karya tari tunggal ini diilhami oleh penampilan abdi-
pelawak Pentul dalam drama tari Jawa Topeng Panji. Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia, hlm.
244.
Universitas Indonesia
ekspresi artistik sebagai cap jati diri, sebagai penanda karya cipta seorang individu
bernama Bagong Kussudiardja.
Ketika tari Kuda-kuda disuguhkan pada tahun 1954 dan tari Batik serta
Layang-layang pada tahun 1955, muncul reaksi dan berbagai komentar positif
maupun negatif terutama dari kalangan seniman tari senior. Karya Kussudiardja
tersebut dipuji bahwa meskipun merupakan karya baru namun tetap menggunakan
unsur gerak dan musik tradisional. Namun ada pula yang mencerca sebagai telah
merusak unsur kesenian tradisional yang telah ada, lengkap dan mapan menjadi
garapan yang primitif.144
Sekembalinya ke Indonesia dari Amerika, 1958, Kussudiardja membuka
wadah latihan yang ia beri nama Pusat Latihan Tari (PLT) Bagong Kussudiardja
(Maret 1958),145 dan mengajarkan teknik tari modern Graham kepada murid-
muridnya serta menggarap karya tari yang diwarnai beberapa teknik dan gaya
Graham. Karya-karyanya kemudian kentara menyerap pelajaran yang telah
diterimanya di Amerika. Tari Layang-layang, yang ia garap ulang pada tahun 1959,
tampak menggunakan beberapa teknik Graham.146 Karyanya yang lain, bertajuk
Derita, menyerupai karya tari Graham berjudul Lamentations, yaitu karya tari
tunggal dengan penari memakai kain berbentuk tabung sehingga yang tampak
hanya tangan dan kaki. Namun waktu belajar yang pendek, kurang dari satu
semester, tidak cukup baginya untuk mampu memindahkan teknik tari modern
Graham kepada para penari. Oleh karena itu Kussudiardja memilih kembali
memadukan teknik gerak kaya tari Jawa, Sunda, dan Bali.
144
Lihat Rustopo (ed.), Gendhon Humardani Pemikiran dan Kritiknya (Surakarta: STST-
PRESS), hlm. 60–62; Bagong Kussudiardja, Bagong Kussudiardja, hlm. 153–4.
145
Pusat Latihan Tari (PLT) Bagong Kussudiardja pada tahun 1978 berganti nama menjadi
Padepokan Seni Bagong Kussudiardja, yang dibangun di desa Kembaran, Bantul. Lihat “Para
Perintis Tari Indonesia Modern” dalam Edi Sedyawati (ed.), Indonesian Heritage, Seni Pertunjukan
(Jakarta: Buku Anak Bangsa untuk Grolier Indonesia, Inc, 2002), hlm. 113
146
Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia, hlm. 243; dan hasil menyaksikan pertunjukan
tari Layang-layang hasil rekonstruksi Padepokan Seni Bagong Kussudiardja, dalam acara
Pembukaan Lokakarya Kuratorial yang diselenggarakan Akademi Indonesian Dance Festival (IDF)
bekerja sama dengan Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) Universitas Gajah
Mada di Yogyakarta, 23 November 2015.
Universitas Indonesia
147
Lihat Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia., hlm. 246–7.
Universitas Indonesia
menekuni bidang pengajaran dan pendidikan, dan meraih gelar doktor dari Institut
Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Yogyakarta, tempat ia juga mengajar.
Dengan ulasan tentang seniman Seti-Arti Kailola, Bagong Kussudiardja dan
Wisnoe Wardhana tampak jelas ketiga seniman tari tersebut adalah pelopor-pelopor
awal yang menyemaikan karya tari modern di Indonesia tanpa mencampakkan
estetika tradisional yang justru merupakan kekuatan mereka. Selain itu
pencantuman nama pribadi untuk sekolah tari yang didirikan Kussudiardja dan
Wardhana merupakan sebuah isyarat kesadaran mereka akan tuntutan modernisme.
Kedua koreografer tersebut juga membakukan teknik geraknya masing-masing
seperti yang dilakukan Martha Graham.148 Pada generasi seniman tari di Indonesia
berikutnya, penggenggaman estetika tradisional yang dilakukan Kussudiardja dan
Wardhana terus berlangsung dalam mengarungi wilayah penciptaan karya tari baru.
148
Sal Murgiyanto, “Menyoal Makna”, hlm. 6.
Universitas Indonesia
BAB III
SENI TARI DI TAHUN 1966–1987: DUKUNGAN PEMERINTAH
TERHADAP ASPIRASI SENIMAN
149
Yahya A Muhaimin, Bisnis dan Politik, Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950–1980
(Jakarta: Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi Sosial LP3ES, 1990), hlm. 215.
74 Universitas Indonesia
ekonomi, perhatian khusus adalah pada produksi pangan (terutama beras) dan
sandang, serta mendorong masuknya modal asing terutama di sektor industri dan
pertambangan dengan memanfaatkan sumber-sumber daya alam.150
Jika dominasi ideologi politik yang pada era sebelumnya disuarakan dengan
jargon-jargon politik, seperti “politik adalah panglima” atau “politik adalah
panglima kebudayaan”, dan di bidang kesenian dielukan “seni untuk rakyat”, maka
pada era Soeharto ideologi tersebut dikikis habis. Arah pemerintahan diganti
dengan ideologi yang bersih dari paham komunisme. Khususnya di bidang
kesenian, kebebasan berekspresi dan berkarya tanpa bimbingan dan arahan partai-
partai politik pun dicanangkan dan para seniman bebas menggauli perkembangan
kesenian di negara-negara Barat, seperti Amerika Serikat. Pendekatan seni
“modern” dan “kontemporer” dengan melakukan pencarian dan ungkapan yang
orisinal mendapat kesempatan luas untuk berkembang,151 yang oleh sebagian
seniman dilakukan tanpa meninggalkan kekayaan seni tradisional yang dimiliki
berbagai suku bangsa di Indonesia.
Guna menjaga stabilitas politik, ideologi antikomunisme
diimplementasikan secara efektif oleh pemerintah di bawah kepemimpinan
Presiden Soeharto, yang juga disebut Orde Baru, melalui pendekatan politik
kekuasaan dan kebudayaan. Kampanye ideologi antikomunisme diwujudkan
dengan pelarangan karya-karya seni yang, menurut versi pemerintah, berafiliasi
dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sebut saja beberapa, dalam bidang seni
sastra, Pramudya Ananta Toer, sastrawan yang dituduh prokomunis dan dianggap
sebagai juru bicara Lekra, ditahan serta bukunya dilarang beredar. Di bidang seni
pertunjukan, tari Jejer dari Banyuwangi dan Reog dari Ponorogo selama beberapa
tahun dilarang berlatih dan berpentas hanya karena seni pertunjukan rakyat tersebut
150
Anne Booth dan Peter Mc Cawley, “Perekonomian Indonesia Sejak Pertengahan Tahun
Enampuluhan” dalam Anne Booth dan Peter McCawley (eds.), Ekonomi Orde Baru (Jakarta:
Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, 1990), hlm 1.
151
Lihat Nunus Supardi, “Kebudayaan Pada Masa Orde Baru” dalam Taufik Abdulah dan
AB Lapian (eds.), Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid 8, Orde Baru dan Reformasi (Jakarta: PT
Ichtiar Baru van Hoeve atas kerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, 2012), hlm. 599.
Universitas Indonesia
di tahun 1960-an dikuasai oleh Lekra atau sering diminta berpentas oleh Lekra.
Film “Anak Perawan di Sarang Penyamun”, diangkat dari novel Sutan Takdir
Alisjahbana, dilarang beredar karena pemain utamanya, Bambang Hermanto, aktor
yang pada tahun 1960-an dianggap dekat dengan golongan kiri.152 Bahkan sesudah
19 tahun meletusnya G30S, tepatnya tahun 1984, pemerintah masih merasa perlu
memproduksi film berjudul “Pengkhianatan G30S/PKI” karya Arifin C Noer, yang
kemudian setiap tahun hingga tahun 1997 ditayangkan di TVRI sebagai propaganda
rutin untuk mengingatkan masyarakat terhadap bahaya komunisme bagi bangsa
Indonesia.153
Pada era pemerintahan Soeharto (1966–1998), tepatnya sejak tahun 1968,
mulai digelar rencana-rencana pembangunan jangka pendek, jangka menengah, dan
jangka panjang. Penanganan kebudayaan pun dilakukan dengan pengembangan
kelembagaan. Pada tingkat pusat disusun struktur baru dengan menempatkan para
direktur jenderal eselon I yang dipimpin seorang menteri dalam organisasi suatu
departemen. Pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dibentuk Direktorat
Jenderal Kebudayaan dengan Prof. DR. Ida Bagus Made Mantra (1928–1995)
sebagai Direktur Jenderal Kebudayaan yang pertama, 1968–1978. Direktorat
Jenderal ini membawahi Direktorat Kesenian, Direktorat Permuseuman, Direktorat
Sejarah dan Nilai Tradisional, Direktorat Pembinaan Penghayat Kepercayaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa, Pusat (Pembinaan dan Pengembangan) Bahasa,
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, dan sebuah unit pelaksana teknis di pusat,
yaitu Museum Nasional.154
Prof. DR. Ida Bagus Made Mantra sebagai Direktur Jenderal Kebudayaan
(1968–1978) kemudian merintis taman budaya dan museum negeri di provinsi-
152
Lihat Bisri Effendi, “Kesenian Indonesia, Pertarungan Antar Kekuasaan (Sebuah
Pengantar) dalam Kebijakan Kebudayaan di Masa Orde Baru (Jakarta: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Kemasyarakatan dan Kebudayaan - LIPI dengan The Ford Foundation, 2001), hlm.
663–4; Goenawan Mohamad, Kesusastraan dan Kekuasaan (Jakarta: Pustaka Fidaus, 2003), hlm.
106; Rachmi Diyah Larasati, The Dance That Makes You Vanish, Cultural Reconstruction in Post-
Genocide Indonesia (Minneapolis: The University of Minnesota, 2003), hlm. 88–93.
153
Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru
Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film (Jakarta: Gajah Hidup, 2013), hlm. 211.
154
Lihat Nunus Supardi, “Kebudayaan Pada Masa Orde Baru”, hlm. 600.
Universitas Indonesia
155
Tod Jones, Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia, Kebijakan Budaya selama Abad
ke-20 Hingga Era Reformasi, Edisius Riyadi Terre (penerj), (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2015), hlm. 237–45.
156
Selanjutnya Pemerindah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya dalam disertasi ini ditulis
DKI Jakarta atau Jakarta saja, sesuai penamaan Pemerintah Daerah tersebut sesudah pemerintahan
Ali Sadikin.
157
Dalam Ringkasan Repelita II 1974/75-1978/79 (Jakarta: Departemen Penerangan R.I,
1975), hlm 81, 83, Bab “Kebudayaan Nasional”, Sub-Bab IV “Program dan Sasaran: Pendidikan
dan Pengembangan Kesenian” disebutkan tentang pengembangan pusat-pusat pembinaan
pendidikan kesenian; pengembangan dan pembentukan pusat-pusat kebudayaan di provinsi;
melakukan persiapan ke arah pendidikan Wisma Seni Budaya; pengembangan lokakarya-lokakarya
seni; dan menciptakan suatu sistem penghargaan yang merangsang penciptaan baru dalam kesenian.
Universitas Indonesia
di Bali pada tahun 1972. Pusat kesenian yang diberi nama Pusat Kebudayaan Bali
secara teratur bisa mendatangkan pengunjung dan memberikan kontribusi bagi
kebangkitan kesenian tradisional.
Kembali ke PKJT yang dipimpin oleh penari Jawa dan pemikir kesenian
Drs. Sedyono Djojokartika (Gendhon) Humardhani (1923–1983)158, pada tahun
1976 bukan saja melakukan penggalian dan pelestarian berbagai bentuk seni
pertunjukan lama, tetapi juga merevitalisasi seni tradisional dan penciptaan karya-
karya baru, termasuk karya tari, dengan bahan tradisi namun berorientasi masa
kini.159 PKJT ini merupakan cikal bakal berdirinya Taman Budaya Surakarta pada
tahun 1978.
Di Jakarta, seiring dengan pembangunan PKJ-TIM, dibentuklah Dewan
Kesenian Jakarta (DKJ) pada 7 Juni 1968 yang bertugas menyusun dan
melaksanakan program pembinaan kesenian di PKJ-TIM. PKJ-TIM merupakan
wadah untuk berbagai proses penciptaan dan penyajian kesenian baik lokal,
nasional dan internasional, yang bersifat tradisional, modern maupun kontemporer.
Lebih lanjut DKJ pada tahun 1970 menyarankan gubernur membentuk Lembaga
Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) untuk menyiapkan seniman terdidik sebagai
bagian dari program regenerasi, dan membentuk Akademi Jakarta (AJ) yang
bertugas memandu perkembangan kebudayaan di Tanah Air. Pendirian PKJ-TIM
sebagai sarana berkesenian merupakan wujud dari ideologi kebebasan berekspresi,
salah satu ideologi yang didengungkan dalam kebijakan kebudayaan Soeharto.160
158
Pada kurun waktu cukup lama yaitu pada 1968–1983, Drs. Sedyono (Gendhon)
Humardhani yang memiliki pengalaman dan wawasan seni yang luas, memimpin Akademi Seni
Karawitan (ASKI) dan PKJT. Melalui kepemimpinan Gendhon kedua lembaga itu, PKJT dan ASKI,
hadir dengan karya-karya seni tradisional “baru” yang lebih dinamis, mulai dari yang menyiratkan
identitas tradisi sampai dengan yang modern-kontemporer. Lihat Rustopo (ed.), Gendhon
Humardani Pemikiran dan Kritiknya (Surakarta: STSI Press, 1991), hlm. vii–viii
159
Lihat Sal Murgiyanto dalam https://www.facebook.com/note.php?note_id:
279571111109, “Tari, Wayang dan Gamelan Seabad Lewat”, diunduh 15 September 2013. Pada
saat menjadi Pimpinan PKJT (1970–1983), Sedyono D. (Gendon) Humardani juga menjadi Ketua
Presidium Akademi Seni Karawitan Indonesia di Surakarta (ASKI) pada tahun 1972–1975, dan
kemudian menjadi Ketua ASKI di tahun 1975–1983.
160
Oleh Tod Jones dinyatakan, “Di TIM, para seniman mengeksplorasi kebudayaan asli
dengan kebebasan yang baru ditemukan untuk mengubah dan menafsirkan kebudayaan-kebudayaan
itu tanpa memperhatikan imperatif politik Demokrasi Terpimpin, dalam proses menarik penonton
Universitas Indonesia
baru di kalangan pemuda kelas menengah perkotaan”. Tod Jones, Kebudayaan dan Kekuasaan, hlm.
239.
Universitas Indonesia
161
Barbara Hatley “Cultural Expression” dalam Hal Hill (ed.), Indonesia’s News Order:
The Dynamic of Socio-Economic Tranformation (Australia: Allen and Unwin Pty Lth, 1994), hlm:
216–8.
162
D.S. Moeljanto dan Taufik Ismail, Prahara Budaya Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI Dkk
(Kumpulan Dokumen Pergolakan Sejarah) (Bandung: Penerbit Mizan dan Harian Umum
Republika, 1995), hlm. 159–1967.
Universitas Indonesia
mengubah pola pikir rakyat untuk menolak intervensi partai maupun doktrin negara
yang saat itu disebut “Manipol”, singkatan dari “Manifesto Politik” Soekarno.163
Akibat lebih lanjut, sesuai dengan aspirasi seniman, suasana berkesenian pun
terbebas dari belenggu dan tekanan partai-partai yang ditandai dengan pengagungan
terhadap kebebasan berekspresi dan kreatif dalam berkarya. Sebagian seniman pun
bisa berkarya dengan melakukan pendekatan seni modern, bereksplor untuk tidak
terikat pada teknik maupun gaya tertentu, dan membuat eksperimentasi yang
melakukan pencarian ungkapan-ungkapan individu yang orisinal secara terus-
menerus. Untuk mendukung suasana tersebut, Ali Sadikin sebagai gubernur DKI
Jakarta berupaya memenuhi aspirasi seniman Jakarta dengan menghimpun para
seniman dan budayawan untuk berdialog dan kemudian bersama-sama membangun
lembaga bagi pembinaan dan pengembangan kesenian.
3.2.2. Fasilitas
Sebelum berdiri dan diresmikannya Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail
Marzuki (PKJ-TIM) pada 10 November 1968, gedung pertunjukan di Jakarta antara
lain Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) yang kondisinya saat itu tidak terawat dan
kurang memadai untuk sebuah gedung pertunjukan, jika dibandingkan dengan
keadaan sekarang (2014). Koreografer dan guru tari Farida Oetoyo (1939–2014)
dan Julianti Parani (lahir 1939) yang memimpin Sekolah Balet Nirtya Sundara
sering mengadakan pertunjukan di gedung tersebut pada masa itu (1966–1968).164
163
“Manifesto Politik” dirumuskan dari Pidato Soekarno di tahun 1958. Lihat Goenawan
Mohamad, Kesusastraan dan Kekuasaan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), hlm. 15; lihat juga Isaac
T. Sinjal, Muhammad Kennedy, dkk., Who bukan Wah Catatan Perjalanan Hidup Aktor Kusno
Soedjawardi (Jakarta: Perhimpunan Gerak Indonesia Mandiri, 2005), hlm. 94; Nunus Supardi,
“Kebudayaan pada Masa Orde Baru”, hlm. 594
164
Sekolah Balet Nritya Sundara merupakan kelanjutan dari The Jakarta Scholl of Ballet
yang didirikan oleh Elsie Tjiok San Fang. Pada tahun 1959 saat warga keturunan Cina melakukan
eksodus besar-besaran ke RRC, dan Else ikut dalam rombongan itu. Kemudian Farida Oetoyo dan
Julianti Parani mengambil alih sekolah balet tersebut, mengganti namanya menjadi Nritya Sundara
yang diambil dari bahasa Sansekerta, yang berarti tarian yang indah. Sekolah balet tersebut tetap
berlokasi di Metropole, yang kemudian berganti nama menjadi Megaria. Hasil wawancara dengan
Farida Oetoyo (1939–2014) di Jakarta 2013, dan Julianti Parani (1939) di Jakarta 2013. Lihat juga
Farida Oetoyo, Saya Farida, Sebuah Autobiografi (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2014),
hlm. 65, 150.
Universitas Indonesia
165
Hotel Indonesia adalah hotel berbintang pertama yang dibangun pada tahun 1962 atas
inisiatif Presiden Soekarno untuk menyambut Asian Games IV yang diselenggarakan di Jakarta.
166
Sal Murgiyanto, “Benih yang Ditanam Jangan Sampai Layu” dalam Pia Alisjahbana
dkk. (eds.), 25 Tahun Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (Jakarta: Yayasan Kesenian
Jakarta dan PT Dian Rakyat, 1994), hlm. 159.
Universitas Indonesia
seniman seni rupa, teater dan sastra, biasa berkumpul di Pasar Senen167 atau
bertukar pikiran di gedung Balai Budaya di Jalan Gereja Theresia.
Berdirinya PKJ-TIM yang lengkap dengan tempat latihan, tempat
pertunjukan, dan wisma seni, disambut gembira oleh para seniman. Setelah gedung
dan fasilitas tersedia, kemudian para seniman ditantang untuk mampu berkarya,
mengelola, dan memeliharanya. Trisno Soemardjo (1916–1969), sebagai Ketua
Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pertama, dalam sambutan peresmian PKJ-TIM
mengungkapkan tantangan kepada para seniman:
“Seniman, mana karyamu?
Seniman, Kau sudah berkarya dengan serius atau tidak?
Kau lahirkan seni dengan jujur atau tidak?
Betul-betul kau hayati atau tidak?
Kau tergiur oleh uang atau tidak?”168
sebagai pusat kesenian, pusat pelatihan dan pendidikan, dan sekaligus tempat
hiburan berskala nasional bahkan internasional. Keberadaan PKJ-TIM sebagai
ajang para seniman berkreasi juga melebar dengan menjalin kegiatan karya cipta
dengan daerah di luar Jakarta.172
tersebut dipugar oleh pemerintah DKI Jakarta. Melihat dan menyadari gedung yang terletak di Jalan
Gereja Theresia itu terlalu kecil untuk menampung berbagai kegiatan seniman yang semakin banyak
setelah berakhirnya masa Soekarno, Ali Sadikin kemudian mengutus stafnya untuk mencari lokasi
yang pantas sebagai sebuah pusat kesenian. Tempat strategis yang cukup luas di pusat kota
ditemukan, yang saat itu kebetulan sedang terbengkalai, yaitu bekas kebun binatang Cikini yang
sudah pindah ke Ragunan. Ketika tempat itu kemudian diusulkan sebagai tempat yang ideal untuk
sebuah pusat kesenian, Ali Sadikin segera menyetujuinya. Abrar Yusra, “Berdirinya Taman Ismail
Marzuki dan Dewan Kesenian Jakarta”, dalam Pia Alisjahbana, dkk. (eds.), 25 Tahun Pusat
Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (Jakarta: Yayasan Kesenian Jakarta, 1994), hlm. 24–5.
172
Bukti bahwa PKJ-TIM melalui DKJ memberikan perhatian terhadap keberadaan
kesenian di daerah di luar Jakarta adalah dilakukannya revitalisasi drama tari Bali, Gambuh, yang
hampir punah di tahun 1970-an, atas inisiatif Edi Sedyawati yang saat itu menjadi Ketua Komite
Tari DKJ. Ali Sadikin menyetujui program tersebut dan meminta DKJ bekerja sama dengan
Pemerintah Daerah Bali dan seniman setempat di daerah Batuan dan Pedungan untuk melakukan
kegiatan revitalisasi drama tari tersebut. Hasil revitalisasi itu selanjutnya dipertunjukkan di Teater
Arena PKJ-TIM dan penuh dihadiri penonton yang sebagian besar adalah orang Bali di Jakarta. Ida
Bagus Mantra, Dirjen Kebudayaan yang berasal dari Bali, hadir, dan seperti disampaikannya kepada
para anggota Komite Tari DKJ: “Saya sangat terkesan karena belum pernah menyaksikan
pertunjukan Gambuh yang tidak lagi dipertunjukkan di Bali.” Wawancara dengan Edi Sedyawati,
Agustus 2015, dan Julianti Parani, September 2015.
Universitas Indonesia
Ali Sadikin dengan seniman dan budayawan Jakarta dalam acara makan malam di
rumah kediaman resmi gubernur DKI Jakarta di Jalan Taman Suropati.173
Selanjutnya, Ali Sadikin meminta kepada seniman spesifikasi yang lebih
jelas mengenai fasilitas yang diidamkan dan cara pengelolaannya. Para seniman
pun segera bermusyawarah dan membentuk formatur yang terdiri dari tujuh orang
yaitu: Brigjen. Rudy Pirngadie (1917–1973) bidang musik, D. Djajakusuma (1918
–1987) bidang teater dan film, Zulharman Said (1933–1993) dari media, Mochtar
Lubis (1922–2004) bidang sastra dan media, Asrul Sani (1927–2004) bidang sastra
dan film, Usmar Ismail (1921–1971) bidang film, dan Gayus Siagian (1920–1981)
bidang sastra dan film. Pada tanggal 24 Mei 1968 tim formatur menyampaikan hasil
kerja mereka kepada Ali Sadikin dan mengusulkan untuk membentuk Badan
Pembina Kebudayaan (BPK) yang terdiri dari 19 orang anggota. Tugas mereka
adalah merumuskan bentuk organisasi, membuat anggaran dasar, tujuan lembaga
dan menentukan keanggotaan pengurus. Kesembilan belas orang anggota Badan
Pembina Kebudayaan (BPK) tersebut adalah: Trisno Soemardjo (1916–1969)
bidang seni rupa, Arief Budiman (lahir 1941) bidang sastra, Wahyu Sihombing
(1933–1989) bidang teater, Sardono W. Kusumo (lahir 1945) bidang tari, Zaini
(1926–1977) bidang seni rupa, Binsar Sitompul (1923–1991) bidang musik, Teguh
Karya (1937–2001) bidang teater dan film, Goenawan Mohamad (lahir 1941)
bidang sastra dan media, Taufiq Ismail (lahir 1937) bidang sastra, Iravati M.
Sudiarso (lahir 1937) bidang musik, Misbach Yusa Biran (1933 –2012) bidang film,
Pramana Padmodarmaya (1933–2013) bidang teater, Ajip Rosidi (lahir 1938)
bidang sastra dan media, Darsjaf Rachman (1920–1987) bidang sastra, H.B. Jassin
(1917–2000) bidang sastra, B. Surjabrata (1926–1986) bidang musik, Rudy Laban
(1937–2004) bidang musik, Adhidarma (lahir 1930) bidang musik, Dra. Satyawati
173
Ramadhan K.H., Bang Ali, Demi Jakarta 1966–1977 (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1992), hlm. 181; Pramana Padmodarmaya, “25 Tahun Pasang Surut Pusat Kesenian Jakarta” dalam
Pia Alisjahbana, dkk. (eds.), 25 Tahun Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (Jakarta:
Yayasan Kesenian Jakarta, 1994), hlm. 34. Lihat juga Ajip Rosidi, “Ali Sadikin dan Kesenian”
dalam Bambang Bujono (ed.), Empu Ali Sadikin 80 Tahun (Jakarta: IKJ Press, 2006), hlm. 58–60,
dan Ajib Rosidi, Hidup Tanpa Ijazah, Yang Terekam Dalam Kenangan (Jakarta: Pustaka Jaya,
2008), hlm. 412.
Universitas Indonesia
174
Lihat Lihat Abrar Yusra, “Berdirinya Taman Ismail Marzuki”, hlm. 27; dan Sri Warso
Wahono, “Dewan Kesenian Jakarta” dalam Pia Alisjahbana, dkk. (eds.), 25 Tahun Pusat Kesenian
Jakarta Taman Ismail Marzuki (Jakarta: Yayasan Kesenian Jakarta), hlm. 51.
175
Abrar Yusra, “Berdirinya Taman Ismail Marzuki”, hlm. 27.
176
Pada awal pembentukan DKJ ini (disahkan 7 Juni 1968), Ali Sadikin sebagai gubernur
DKI Jakarta menyetujui seniman-seniman ternama yang kreatif dan penuh idealisme menjalankan
peran sebagai anggota DKJ untuk mengelola seluruh kegiatan seni budaya di dalam masyarakat,
khususnya di Ibu kota Jakarta dengan cara merancang program berkualitas yang nantinya akan
direalisasikan dan ditampilkan di PKJ-TIM. Masa jabatan mereka yang pada awalnya disepakati
selama dua tahun, oleh Ali Sadikin disetujui tiga tahun. Dalam penerapannya, pada awalnya di tahun
1968, masa jabatan berlangsung selama tiga tahun (1968–1971). Kemudian dalam dua periode
berikutnya hanya dua tahun yaitu tahun 1971–1972, lalu tahun 1973–1974. Namun sejak tahun 1975
masa jabatan anggota DKJ kembali berlangsung selama tiga tahun. Lihat Pia Alisjahbana dkk. (eds.),
“Lampiran: Susunan Dewan Pekerja Harian Dewan Kesenian Jakarta 1968–1996” dalam 25 Tahun
Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail M Marzuki (Jakarta: Yayasan Kesenian Jakarta dan Dian
Rakyat, 1994), hlm. 248.
Universitas Indonesia
177
Pada 27 Maret 1969 Arief Budiman mengundurkan diri sebagai Ketua I DPH yang
kedudukkannya digantikan oleh Gajus Siagian, sedangkan Trisno Seomardjo meninggal pada 21
April 1969 dan kemudian Umar Kayam (1932–2002) dipilih untuk menggantikannya. Lihat Pia
Alisjahbana dkk. (eds.), 25 Tahun Pusat Kesenian, hlm. 248.
178
Dalam buku Gita Jaya, Catatan H. Ali Sadikin Gubernur Kepakla Daerah Khusus Ibu
Kota Jakarta 1966–1977, Soetjipto Wirosardjono, M.Sc. (ed.), hlm. 207, dituliskan bahwa Ali
Sadikin mengatakan, “Pada tahun 1968 saya sponsori untuk mengadakan musyawarah dari para
eksponen kesenian yang ada di Jakarta. Hasil musyawarah dirumuskan untuk mendirikan Pusat
Kesenian Jakarta yang diurus oleh para seniman sendiri dengan pembinaan dan pengawasan dari
Pemerintah DKI Jakarta. Pada tahun itu juga saya setujui dibentuk suatu wadah organisasi para
seniman yang disebut Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Keanggotaan DKJ ini diatur secara periodik
yaitu selama tiga tahun, dengan ketentuan, bahwa seorang seniman tidak diperbolehkan untuk tiga
Universitas Indonesia
kali secara berturut-turut duduk sebagai anggota”. Lihat juga Sri Warso Wahono, “Dewan Kesenian
Jakarta”, hlm. 50–8.
179
Untuk pembangunan kompleks PKJ-TIM, Pemerintah DKI-Jakarta mengirim Ir. Wastu
Pragantha Zhong (Tjiong Seng Hong) yang lebih dikenal sebagai Ir. Tjong (1933–2011) ke Hawai
untuk mempelajari kompleks bangunan kesenian di sana. Selain itu ia juga melakukan survei ke
berbagai daerah di Indonesia. Bagi Ir Tjong merancang arsitektur PKJ-TIM suatu tantangan berat
karena harus mencerminkan keunikan arsitektur Indonesia. Di samping, kompleks gedung yang
dirancangnya akan dinilai oleh seniman dan budayawan yang amat menguasai nilai seni dan budaya.
Lebih lanjut, menurut Ir.Tjong, konsep rancangannya disebut continous space architecture yang
intinya terletak pada perencanaan plaza dan idenya diperoleh dari seni arsitektur Jawa dan Bali.
Untuk melengkapi idenya itu Ir Tjong berdiskusi dengan para arsitek dari ITB dan melakukan
penelitian ke Jawa Tengah dan Bali. Ia juga mendapat masukan dari para seniman seperti Oesman
Effendi, D Djajakusuma, Trisno Soemardjo, D.A. Peransi, dan lain-lain yang idenya sangat bagus
seperti: adanya suatu panggung (stage) pertunjukan teater yang fleksibel yang bisa digeser maupun
diubah dalam waktu singkat. Namun ide itu tidak dapat direalisasikan karena dana yang terbatas dan
masa pembangunan yang singkat, hanya tiga bulan. Lihat Abrar Yusra, “Berdirinya Taman Ismail
Marzuki”, hlm. 31–2.
180
Lihat Nunus Supardi, “Kebudayaan pada Masa Orde Baru”, hlm. 599. Sejak awal pula
DKJ berkomitmen dan berupaya keras menjaga makna kebebasan berekspresi dan kreativitas. Oleh
sebab itu menurut Mohamad, keberadaan PKJ-TIM pada awal pendiriannya menjadi suatu
eksperimen menarik, tak jarang menegangkan, dalam hubungan antara kebebasan dalam
berkesenian, instruksi dari “atas” dan atau kekuasaan, dan apresiasi masyarakat. Bahwa tidak terjadi
Universitas Indonesia
gangguan yang berarti dalam prosesnya, kesenian untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia
modern mendapatkan cukup kemudahan sekaligus kebebasan. Lihat Goenawan Mohamad,
Kesusastraan dan Kekuasaan, hlm. 108.
181
Dr. Soeparman Soemahamidjaja (1925–2000) adalah pengusaha dan pemilik Galeri
Lontar di Gedung Pembangunan dan Perumahan (PP) di jalan Mohammad Husni Thamrin.
Soemahamidjaja, orang yang memopulerkan istilah wiraswasta dan juga menjadi Ketua Lembaga
Bina Wiraswasta. Lihat Sal Murgiyanto, “Perjalanan Taman Ismail Marzuki” dalam Pia Alisjahbana
dkk. (eds.), 25 Tahun Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail M Marzuki (Jakarta: Yayasan Kesenian
Jakarta dan Dian Rakyat, 1994), hlm. 66.
Universitas Indonesia
182
Dalam Sal Murgiyanto, “Perjalanan Taman Ismail Marzuki”, hlm. 68 dikatakan bahwa
Surihandono sebagai pimpinan PKJ-TIM menerapkan sistem pengelolaan proyek pembanguan yang
pragmatis, dinamis, dan ekonomis dengan pengawasan yang ketat. Beberapa tenaga staf dibawa dari
PT Pembangunan Jaya untuk menangani bidang Keuangan, Sekretariat dan atau Administrasi,
Personalia, Teknik Umum, dan Pengawasan.Tenaga kerja lainnya adalah para seniman dan tenaga
baru yang direkrut dari luar. Jumlah seluruh pekerja PKJ-TIM saat itu 65 orang, yang terdiri dari
tenaga tetap dan honorer.
183
Sri Warso Wahono, “Akademi Jakarta” dalam Pia Alisjahbana dkk. (eds.), 25 Tahun
Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail M Marzuki (Jakarta: Yayasan Kesenian Jakarta dan Dian
Rakyat, 1994), hlm. 44–9.
Universitas Indonesia
Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta tahun 1968 itu kemudian pada tahun
1973 diperbaiki dengan Surat Keputusan Gubernur No. D.II-b.13/2935/73, yang
menyangkut Pedoman Dasar Organisasi Pusat Kesenian Jakarta secara menyeluruh.
Esensi dari SK yang baru ini tidak banyak berbeda dengan SK 1968, hanya ada
perubahan pada pasal 3/SK 1968 yang memuat aturan tentang kewenangan DKJ
yang berfungsi otonom dan bertugas menggariskan kebijakan dasar kesenian. Di
dalam SK tahun 1973 itu disebutkan bahwa DKJ dalam menjalankan fungsinya
harus berkonsultasi dengan Akademi Jakarta (AJ), dan memberikan
pertanggungjawaban mengenai tugas yang dilaksanakan kepada AJ. Pada bagian
lain, DKJ dan Dinas Kebudayaan DKI Jakarta mempunyai hubungan horizontal dan
wajib saling berkonsultasi, terutama dalam hal program kesenian yang telah digarap
oleh DKJ.
Pada awal tahun 1970-an, DKJ memprakarsai berdirinya Lingkaran Seni
Jakarta (LSJ) untuk menghimpun para pencinta kesenian di ibu kota. Menurut
Goenawan Mohamad, sejak awal para pendiri PKJ-TIM menyadari dua masalah
pokok yang dihadapi dalam kehidupan kesenian di Jakarta yaitu, (1) tidak
terbinanya hubungan kesenian dengan birokrasi dan kekuasaan negara, dan (2)
belum terbinanya hubungan kesenian dengan masyarakat.184 Oleh sebab itu, pada
saat tim pemasaran Pengelola Pusat PPKJ-TIM belum sepenuhnya mampu
melakukan promosi dan publikasi untuk program-program yang dipilih
ditampilkan, tersebutlah Toeti Heraty (lahir 1933) bersama Minarsih Soedarpo
(1924–2013), Mochtar Lubis (1922–2004) dan P.K Oyong (1920–1980), direktur
surat kabar Kompas yang bergabung dalam kelompok pemerhati seni Lingkaran
Seni Jakarta, menghadap Ali Sadikin. Mereka meminta agar bisa memperoleh
subsidi untuk memperkenalkan TIM kepada masyarakat luas. Kelompok ini
menyadari bahwa masyarakat Jakarta perlu disiapkan untuk menghadapi perubahan
yang terjadi di kotanya termasuk dalam bidang kesenian. Mendapat subsidi dari Ali
Sadikin sebesar Rp. 70.000 per bulan, kelompok ini kemudian menggelar berbagai
184
Lihat Abrar Yusra, “Berdirinya Taman Ismail Marzuki”, hlm. 30.
Universitas Indonesia
kebijakan kesenian oleh Ali Sadikin pada 9 Mei 1968. Lihat Christianto Wibisono, “Seandainya
Tidak Ada Ali Sadikin” dalam Bambang Bujono Empu Ali Sadikin 80 Tahun (Jakarta: IKJ Press,
2006), hlm. 119–120.
189
Lihat Abrar Yusra, “Berdirinya Taman Ismail Marzuki”, hlm. 30.
Universitas Indonesia
190
Pada tahun 1990–1996 Toeti Heraty menjabat sebagai Rektor IKJ dan menjadi salah
satu anggota Yayasan Kesenian Jakarta.
191
Telah diuraikan terdahulu lembaga-lembaga kesenian tersebut memiliki tugas dan
wewenang yang berbeda-beda. DKJ bertugas membantu Gubernur DKI Jakarta dalam menentukan
kebijakan pembinaan kesenian di wilayah DKI Jakarta dan menyusun program yang mendorong
para seniman Jakarta khususnya, dan Indonesia umumnya, untuk aktif mencipta dan melakukan
eksperimen inovatif. IKJ (sebelumnya LPKJ) bertugas mendidik dan menyiapkan potensi-potensi
seniman masa depan; dan untuk menunaikan tugas-tugasnya tersebut IKJ memerlukan PKJ-TIM
sebagai laboratoriumnya. PKJ-TIM mempunyai tugas menyuguhkan program-program yang sudah
disusun DKJ kepada masyarakat dan mengelola kegiatan dan fasilitas yang ada di kompleks PKJ-
TIM secara profesional. Adapun AJ berkewajiban memilih para anggota DKJ dan memberikan
penghargaan kepada seniman Jakarta dan atau Indonesia yang berprestasi. R. Gondomono dan Sal
Murgiyanto, “Yayasan Kesenian Jakarta” dalam Pia Alisjahbana dkk (eds.), 25 Tahun Pusat
Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (Jakarta: Yayasan Kesenian Jakarta dan Dian Rakyat,
1994), hlm. 59–60.
192
Gubernur Wiyogo Atmodarminto prihatin dengan kondisi PKJ-TIM yang semakin tidak
terawat dan mengalami kemunduran dalam pengadaan program-program berkualitas. Selain itu
PKJ-TIM juga masih menghadapi dilema, di satu sisi pembiayaan PKJ-TIM dan program kesenian
bagi seniman oleh DKJ yang berfungsi sebagai pembina kesenian dan apresiasi masyarakat selalu
bergantung pada subsidi Pemda DKI Jakarta. Di sisi lain Pemda DKI Jakarta dinilai oleh sebagian
seniman ikut campur dan mendikte pembinaan kesenian. Wiyogo Atmodarminto kemudian
menegaskan (1) pelunya dana untuk pembinaan dan pengembangan kesenian di Jakarta yang tidak
hanya bergantung pada subsidi Pemda DKI Jakarta; (2) perlunya pengelolaan PKJ-TIM oleh
manajemen profesional; (3) perlunya penegasan kedudukan dan tugas DKJ. Sal Murgiyanto,
“Perjalanan Taman Ismail Marzuki”, hlm. 60.
Universitas Indonesia
193
Dalam upaya mencari dana, Yayasan Kesenian Jakarta telah mengadakan berbagai
malam gala. Pada tahun 1992, sebagai contoh, Pia Alisjahbana dan Astari Rasyid, sebagai anggota
Dewan Pengurus Yayasan, mengkoordinasikan peluncuran parfum “Dune” produksi Dior di Gedung
Kesenian Jakarta. Sal Murgiyanto, “Perjalanan Taman Ismail Marzuki”, hlm. 63.
194
James R. Brandon, Jejak-jejak Seni Pertunjukan di Asia Tenggara, terj. R.M.
Soedarsono (Bandung: P4ST UPI-Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Seni Tradisional
Universitas Pendidikan Indonesia, 2003).
Universitas Indonesia
195
Alex Papadimitriou adalah kolektor lukisan di tahun 1970 dan 1980-an.
Universitas Indonesia
196
Akibat tingginya antusiasme masyarakat Jakarta dan sekitarnya untuk menyaksikan
pertunjukan Rendra, para calo memanfaatkan situasi tersebut dengan memborong sebagian tiket
pertunjukan. Hasil wawancara dengan beberapa seniman yang aktif di PKJ-TIM pada masa itu; dan
berdasarkan pengalaman penulis.
197
Data kegiatan kesenian dan jumlah pengunjung di PKJ-TIM berdasarkan buku yang
disusun oleh Ayip Rosidi, Taman Ismail Marzuki (Jakarta:Dewan Kesenian Jakarta, 1974), hlm. 78,
menunjukkan: pada tahun 1969, jumlah kegiatan 251 dengan 163.000 pengunjung; tahun 1970,
jumlah kegiatan 312 dengan 500.000 pengunjung; dan tahun 1971 jumlah kegiatan 314 dengan
285.476 pengunjung. Namun setelah tahun 1971 hingga 1976 dinyatakan jumlah pengunjung
mengalami penurunan, meskipun jumlah kegiatan kesenian di tahun 1972–1976 bertambah banyak,
berdasarkan laporan tahunan Pusat Kesenian Jakarta.
198
Lihat Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki, “Laporan 1968–1970”.
Universitas Indonesia
tahunya sudah terpuaskan” dan “Orang datang ke TIM bukan untuk menikmati
kesenian karena panggilan apresiasi yang baik,” demikian dituliskan dalam buku
yang disusunnya. “Maka setelah satu dua kali datang ke sana, orang cepat merasa
tidak ada kebutuhan lagi untuk pergi ke sana.” Goenawan Mohamad
menambahkan, “Yang mungkin dapat disimpulkan dari situ ialah bahwa hadirin
yang punya ‘kebutuhan lagi untuk datang ke sana’ bukanlah hadirin yang baru.”
Pertunjukan di PKJ-TIM pada saat itu hampir selalu menghadirkan kebaruan.
Namun manakala kebaruan diterima sebagai sesuatu yang tidak istimewa, daya
kejutan pun merosot, menyebabkan kehadiran penonton tidak bertambah bahkan
mungkin menurun.199
Dugaan Ayip Rosidi memperoleh pembenaran dari pernyataan Hurip
Winarno, seorang penonton yang beberapa kali menonton pertunjukan di PKJ-TIM.
Ia menonton berbagai karya seni pertunjukan, terutama yang diperkirakannya ada
pembaruan. Setelah itu ia jarang datang karena menurutnya tak ada lagi pembaruan.
Ia berpendapat WS. Rendra ternyata begitu-begitu saja setelah sejumlah karyanya
yang mengagumkan dengan mementaskan drama-drama klasik Yunani dengan
balutan artistik Jawa. Demikian pula pertunjukan teater Putu Wijaya yang semula
menampilkan pembaruan luar biasa namun dalam perjalanan kemudian tak lagi
beranjak lebih jauh.200
Seorang perempuan penonton bernama Meilihanny Sastrowardoyo
mengungkapkan ia diajak temannya menonton sebuah pertunjukan di PKJ-TIM
sewaktu masih SMA di pertengahan tahun 1970-an. Mulai saat itu hingga sekarang
ia tertarik dengan berbagai pertunjukan di pusat kesenian Jakarta tersebut dan juga
pameran seni rupa dan film-film seni. Pernyataan Meilihanny tersebut menegaskan
pendapat Goenawan Mohamad bahwa hadirin yang punya kebutuhan lagi untuk
datang ke PKJ-TIM bukanlah hadirin yang baru.
199
Ajip Rosidi, “Ali Sadikin dan Kesenian”, hlm. 78; Goenawan Mohamad, Kesusastraan
dan Kekuasaan, hlm. 111.
200
Hasil wawancara dengan Hurip Winarno di Jakarta 16 Desember 2016.
Universitas Indonesia
201
Hasil Wawancara dengan Meilihanny Sastrowardoyo dan Tony Prabowo di Jakarta, 17
Desember 2016.
202
Ajip Rosidi, “Ali Sadikin dan Kesenian”, hlm. 79.
Universitas Indonesia
203
Sal Murgiyanto, “Moving Between Unity and Diversity: Four Indonesian
Choreograoher”, A dissertation submitteb to the faculty of Department of Performace Studies in
candidacy for the degree of Doctor of Philosophy Graduate School of Arts and Science (New York:
New York University, 1991, belum diterbitkan), hlm. 207; lihat juga Sal Murgiyanto “Awal Karir
Retno Maruti 1947–1969 dalam Pergelaran Tari Dewabrata Karya Retno Maruti (Jakarta: Bentara
Budaya, 1997), hlm. 9–10.
204
Para penonton setia dari Jawa tersebut selalu ingin menyaksikan pertunjukan karya
Retno Maruti karena merasa menemukan nilai kejawaan dalam karya tersebut, yang selalu selaras
antara gerak, musik, busana, dan dekorasi, tampak apik, rapi, dan anggun sehingga memberi rasa
tenang, tenteram, dan nyaman. Rasa tersebut menurut mereka, mengingatkan mereka pada kampung
halamannya. Lihat Siti N. Kusumastuti, “Tari Tradisional Jawa Surakarta di Jakarta: Kajian Kasus
Terhadap Retno Maruti dan Karyanya”, Tesis untuk memenuhi sebagaian persyaratan mencapai
gelar Magister Sosial (M. Sos) dalam Departemen Antropologi Program Pasca Sarjana Fakultas
Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia, 2003, hlm. 72.
Universitas Indonesia
205
Lihat S.M. Ardan, “Seni Tradisi di PKJ-TIM” dalam Pia Alisjahbana dkk. (eds.), 25
Tahun Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (Jakarta: Yayasan Kesenian Jakarta dan Dian
Rakyat, 1994), hlm. 214; dan berdasarkan pengalaman penulis bersama beberapa kawan yang pada
saat itu berstatus mahasiswa di IKJ-LPKJ pada tahun 1978 hingga awal 1980-an.
Universitas Indonesia
para pejabat di antaranya Gubernur DKI-Jakarta Ali Sadikin, Duta Besar Perancis
untuk Indonesia, dan para diplomat dari negara-negara sahabat.206 Di tahun 1971,
pertunjukan balet modern seperti yang ditampilkan Felix Blaska belum banyak
dilihat dan dikenal oleh masyarakat penonton seni pertunjukan di Jakarta, karena
mereka lebih mengenal balet klasik.207 Pada masa itu di Indonesia sedikit sekali
kesempatan menonton pertunjukan balet modern sehingga tontonan Blaska masih
terasa ganjil, baik tampilan tariannya maupun musik iringannya. Namun penonton
menganggap pertunjukan Blaska bermanfaat untuk menambah pengetahuan
mereka tentang perkembangan seni tari di Eropa, terutama tentunya penting bagi
para penata tari dan penata musik Indonesia untuk memperkaya wawasan mereka
dalam mendukung penciptaan karya-karya baru.208
Martha Graham (1894–1991) dari Amerika Serikat yang tampil bersama
grupnya selama dua malam di Teater Terbuka PKJ-TIM pada tahun 1974, juga
dikunjungi ribuan penonton dari kota-kota besar di Indonesia. Begitu juga dengan
lokakarya dan diskusi yang diadakan keesokan harinya, diikuti oleh para penari,
penata tari dan pengamat tari Indonesia terutama yang berada di Jakarta. Bekas
murid Graham, Bagong Kussudiardja dan Wisnoe Wardhana, khusus datang dari
Yogyakarta untuk menonton maupun mengikuti lokakarya dan diskusi.209
Kedatangan Graham ke Indonesia, setelah kedatangannya yang pertana di tahun
1955, disambut gembira oleh penonton karena ia adalah salah seorang perintis dan
mempunyai kedudukan yang penting di dalam seni tari modern dalam rentang
waktu yang lama. Sekolah tari yang dipimpinnya bukan hanya didatangi penari-
penari Amerika saja, tetapi juga penari-penari dari berbagai penjuru dunia,
206
Berita Yudha, Sabtu, 6 Maret 1971.
207
Saat itu di Jakarta terdapat beberapa grup balet yang mengajarkan balet klasik yaitu
Namarina yang didirikan oleh Nani Lubis, Nritya Sundara didirikan oleh Farida Oetoyo dan Julianti
Parani, dan Marlupi didirikan Marlupi Sijanggarup.
208
Berita Yudha, 6 Maret 1971; lihat juga Pos Indonesia, 4 Maret 1971; dan Nusantara, 5
Maret 1971; hasil wawancara dengan beberapa penonton yang menyaksikan pertunjukan Felix
Blaska, 2014.
209
Kompas, “Martha Graham ke Indonesia Lagi, 17 dan 18 September y.a.d. di Teater
Terbuka TIM”, 2 September 1974; Sinar Harapan, “Martha Graham Dance Company Akan Datang
Ke Jakarta”, 11 September 1974; Agus Husni, “Martha Graham” dalam Angkatan Bersenjata, 1974;
dan P. Hend, “Errand into the Maze”, Berita Buana, 1974;
Universitas Indonesia
210
Angkatan Bersenjata, “Martha Graham ke Jakarta lagi, Guru Tari Isteri Presiden AS dan
Penari2 Indonesia, Membawa 25 Penari”, 5 September 1974.
211
Lihat Sal Murgiyanto “Kanvas Tiga Dimensi”, Tempo, 20 Oktober 1979; lihat juga Edi
Sedyawati, “Happening dalam Tempo Adagio dan Suatu Pesta buat Mata”, Kompas, 22 Oktober
1979;
Universitas Indonesia
rombongan tarinya, Laura Dean Dancers and Musicians, juga dihadari banyak
penonton. Kelompok tari tersebut mewakili tari modern Amerika mutakhir namun
unsur-unsur gerak balet terlihat dalam garapan tarinya yang khas. Ciri karya Dean
yaitu adanya repetisi atau perulangan gerak yang digarap dengan tekun, pola-pola
gerak dilakukan secara berulang-ulang dan berganti-ganti baik dalam pola garis
lurus diagonal, mendatar, lingkaran, atau pola geometris. Selain itu gerak juga
digarap berputar-putar pada poros tubuh masing-masing penari bagaikan gasing,
dengan kedua lengan direntang ke samping. Gerak berputar tanpa henti lebih dari
25 menit tersebut mampu menyedot perhatian dan mengajak penonton tanpa sadar
seakan ikut berputar. Ciri lain dari kelompok Dean adalah para penarinya sekaligus
juga pemusik, sehingga gerakan-gerakan mereka nampak menyatu dengan iringan
musiknya. Pengolahan elemen-elemen gerak maupun komposisi yang sederhana
berhasil menjadi paduan komposisi yang tidak membosankan dan bahkan mampu
menghanyutkan penonton.212
Dean disegani di Amerika sebagai koreografer karya tari modern dengan
kesederhanaan konsep dan ketekunan maupun kesetiaannya terhadap konsep
tersebut, dan pengamat serta penonton mengkategorikan karyanya dalam bentuk
seni minimalis.213 Dalam konsep dan tampilan karyanya, Dean jelas berbeda
dengan Nikolais dan memang mereka dari angkatan yang berbeda, apalagi dengan
Martha Graham. Bahkan dikatakan ia bersikap kritis terhadap para pendahulunya
tersebut. Banyak pula penulis menghubungkan karya Dean dengan karya-karya tari
212
Sal Murgiyanto, “Berpusing Bagai Gasing”, Zaman, 17 Mei 1981; dan Sal Murgiyanto,
Ketika Cahaya Memudar, Sebuah Kritik Tari (Jakarta: Deviri Ganan, 1993), hlm. 314. Dalam
tulisannya Murgiyanto mengatakan pula bahwa dalam teori komposisi, pengulangan yang terlalu
banyak sebaiknya dihindarkan karena memberikan kesan monoton. Namun Dean membuktikan
sebaliknya, pengulangan gerak yang berkali-kali dilakukan mampu memukau penonton; Lihat juga
Efix, “Pementasan Laura Dean, Semangat yang Mengalir”, Kompas, 11 Mei 1981.
213
Penata tari modern generasi Laura Dean di Amerika Serikat cenderung berkarya dengan
konsep dan garapan sederhana dan minimalis, karena bosan dengan “kemewahan” gerak dan
kespektakuleran penataan panggung yang mencoba mempengaruhi pandangan penonton. Lihat Sal
Murgiyanto, “Kanvas Tiga Dimensi”, hlm. 314.
Universitas Indonesia
rakyat dan karya-karya tari Timur, misalnya, Indonesia, Timur Tengah, Afrika dan
India.214
214
Merdeka, “The Laura Dean Dancer and Musicians, Permata dari Pusat Bumi”, 7 Mei
1981; Pelita, “Laura Dean Dancer. USA di TIM”, 8 Mei 1981; Berita Buana, “Laura Dean: Darwish,
Darwish Juga Menari Seperti Ini”, 19 Mei 1981.
215
Lihat Edi Sedyawati, “Masalah Kritik Tari” dalam Seminar Kritik Tari 1977 (Jakarta:
Arsip DKJ, 1977, tidak diterbitkan), hlm. 1.
216
Edi Sedyawati merintis penulisan kritik tari pada tahun 1970 dengan menulis tentang
pertunjukan Bagong Kussudiardja dan Wisnoe Wardhana. Lihat Edi Sedyawati, “Bagong Masih
Harus Ditantang” dalam Kompas, 1 September 1970; dan Edi Sedyawati, “Tentang Pentas Tari
Wisnu Wardhana: Hanya Wisnu Boleh Menggendong Sita?”, Kompas, 17 November 1970.
Universitas Indonesia
Jakarta perlu diberi tahu dan diingatkan bahwa ada karya-karya baru yang
diciptakan, ada penari-penari yang baik, dan ada panata-penata tari yang produktif
dan berkualitas.
Menyadari gersangnya khasanah penulisan tari di Indonesia dan
mendesaknya kebutuhan adanya kritik tari, pada tanggal 20-22 Oktober 1977
Komite Tari DKJ menyelenggarakan Seminar Kritik Tari. Para pembicaranya
adalah Edi Sedyawati (lahir 1938) dari DKJ yang membahas “Masalah Kritik Tari”
dan “Isi dan Sasaran Kritik Tari”, I Wayan Dibia (lahir 1948) dari ASTI Bali
membahas “Fungsi Kritik Tari”, Cornelia Jane Benny S. (lahir 1931) dari IKIP
Bandung membahas “Cara-cara Pengembangan Kritik Tari”, Enoch Atmadribrata
(1927-2011) dari ASTI Bandung membahas “Kritik dalam Kritik Tari”, Soedarsono
(lahir 1933) dari ASTI Yogyakarta membahas “Cara-cara Pengembangan Kritik
Tari”, dan Sardono W. Kusumo (lahir 1945) dari Akademi Tari LPKJ membahas
“Kritik Tari, Sampai di Mana?”. Adapun para pembuat kesimpulan, selain para
pembicara, adalah para moderator yaitu Satyagraha Hoerip (1934–1998) dan
Slamet Sukirnanto (1941–2014), ditambah para pemikir, praktisi tari, dan
penyelenggara seminar yaitu Singgih Wibisono (lahir 1935), Agus Tasman (lahir
1936), Julianti Parani (lahir 1939), Ben Suharto (1944–1997), Sal Murgiyanto (lahir
1945), dan Subanindyo Hadiluwih (lahir 1945).217
Melalui seminar Kritik Tari tersebut terlihat ada keinginan kuat dari Komite
Tari dan seniman tari agar sebuah kritik benar-benar bisa mencerahkan. Melalui
sebuah kritik, diharapkan seniman memperoleh perspektif untuk karya selanjutnya.
Dengan begitu seniman turut serta menumbuhkan kualitas pada perkembangan seni
pertunjukan di masa yang akan datang. Di samping itu, kritik seharusnya juga
menjadi jembatan antara seniman dengan penonton. Penonton diharapkan
mempunyai bekal dalam menghayati peristiwa tari sehingga ke depannya mereka
bisa menjadi penonton yang apresiatif karena mereka berkesempatan mendapatkan
217
Arsip DKJ, Seminar Kritik Tari 1977, tidak diterbitkan, 1977.
Universitas Indonesia
karena disampaikan langsung kepada yang dikritik.222 Namun yang diperlukan oleh
para seniman tari dan masyarakat Jakarta maupun kota-kota besar lainnya di
Indonesia setelah berdirinya PKJ-TIM dan kemudian juga oleh kantong-kantong
kebudayaan lainnya adalah kritik yang disampaikan melalui media massa. Kritik
tari yang baik melalui media massa diharapkan adalah yang padat, berisi, segar,
memikat, jelas, sehingga mudah dipahami.
Telah disebutkan terdahulu, kritikus tari yang diharapkan untuk mengulas
pertunjukan di PKJ-TIM dan tempat-tempat pertunjukan lainnya di Indonesia pada
tahun 1970-an223 jumlahnya sangat terbatas. Para pakar, praktisi, dan pengajar seni
tari yang mampu memberikan ulasan tari dan kritik tari tidak rutin melakukannya.
Mereka biasanya menulis sesekali saja. Semacam ini lebih tepat disebut sebagai
praktisi dan pengamat ahli (keen observers and practitioner) daripada kritikus. Di
luar kritikus, kandungan seni tari di media massa yang ditulis oleh wartawan lebih
sebagai laporan tentang peristiwa pertunjukan. Sebuah laporan lebih condong
bersifat umum, deskriptif, tanpa detail yang memadai dan sering justru
memberitakan subjek si senimannya yang tak ada sangkut-pautnya dengan karya.
Betapapun, pemberitaan tentang seni tari untuk menyongsong sebuah pertunjukan
(prapertunjukan, preview) dan siaran pers di media massa, sangat besar manfaatnya
dalam menarik keinginan publik untuk menonton.224
222
Pada tahun 1970-an, para seniman tari di Bali hanya memberikan kritik lisan jika
kebetulan mereka diminta, dan biasanya didahului dengan permintaan maaf agar tidak menyinggung
pihak yang dikritik. Lihat I Wayan Dibia, “Fungsi Kritik Tari” dalam Seminar Kritik Tari 1977
(Jakarta: Arsip DKJ, 1977, tidak diterbitkan).
223
Jumlah penulis kritik tari di Indonesia masih sangat terbatas bahkan hingga saat ini.
Oleh sebab itu salah satu program Indonesian Dance Festival pada tahun 2006 adalah membuat
Diskusi Kritik Tari, dan pada 2008 mengadakan Lokakarya Penulisan Kritik Tari dengan peserta
dari seluruh Indonesia. Dalam lokakarya itu pesertanya berjumlah 20 orang (sebagian besar dari
perguruan tinggi seni) dan beberapa dari peserta setelah selesai mengikuti lokakarya cukup aktif
menulis di media massa. Namun kondisi tersebut hanya berlangsung singkat, kemudian mereka
tidak lagi aktif menulis.
224
Pada tahun 1970-an hingga 1990-an, penulisan prapertunjukan (preview) belum
berfungsi dengan baik karena banyak kelompok dan penyelenggara pertunjukan tari belum
sepenuhnya siap dengan bahan-bahan publikasi yang memadai yang memuat antara lain konsep, isi,
latar belakang karya tari yang akan disajikan, foto-foto, profil grup tari, kliping koran, biodata
koreografer, penari dan seniman pendukung lainnya, sejarah, dan prestasi grup maupun individu
pendukung pertunjukan. Lihat Sal Murgiyanto, “Kanvas Tiga Dimensi”, hlm. xiii.
Universitas Indonesia
Pada awal tahun 1970-an hingga akhir 1980-an, mereka yang diakui sebagai
kritikus tari adalah Edi Sedyawati dan Sal Murgiyanto.225 Sedyawati dan
Murgiyanto secara kontinyu menulis tentang pertunjukan-pertunjukan tari yang
tampil di PKJ-TIM di berbagai surat kabar nasional yang berada di Jakarta seperti,
Sinar Harapan, Kompas, Berita Buana, Berita Yudha, Suara Karya, dan di majalah
Tempo, Zaman, dan Titian. Adapun praktisi dan pengajar seni tari seperti Julianti
Parani, Sardono W. Kusumo, I Wayan Diya, Cornelia Jane Benny S., S.D.
Humardani, R.M. Soedarsono, I Made Bandem, I Wayan Dibya, Bagong
Kussudiardjo, Wisnu Wardhana, Ben Suharto, Enoch Atmadibrata, Endo Suanda,
FX. Widaryanto, lebih tepat disebut sebagai pengamat ahli dan bukan kritikus tari
karena mereka hanya sewaktu-waktu menyampaikan pengamatan di media massa
maupun di jurnal ilmiah.226 Bagaimana pun, semua nama yang disebut sebagai
pengamat ini adalah para pakar tari, praktisi, maupun pengajar seni tari di perguruan
tinggi seni di Indonesia yang telah turut serta mendukung perkembangan tari di
Indonesia. Selain itu mereka juga berperan mendorong perkembangan koreografi
di Indonesia, khususnya karya tari kontemporer di PKJ-TIM 1968-1987. Adapun
para wartawan yang rutin memuat preview dan review adalah mereka yang bekerja
di surat kabar Sinar Harapan, Kompas, Berita Buana, Berita Yudha, Suara Karya,
Indonesian Observer, Pos Indonesia, Sinar Harapan, Merdeka, Angkatan
Bersenjata, Nusantara, Pedoman, Indonesia Raya, Harian Kami. Itu bisa terjadi
karena koran-koran ini memang konsisten dan mempunyai perhatian pada kesenian.
225
Pada tahun 1993 kumpulan tulisan kritiknya di berbagai media massa dibukukan, dan
di tahun 2002 diterbitkan lagi sebuah bukunya tentang kritik. Lihat Sal Murgiyanto, Ketika Cahaya
Merah Memudar, Sebuah Kritik Tari (Jakarta: Deviri Ganan, 1993); Kritik Tari, Bekal dan
Kemampuan Dasar (Jakarta: Ford Foundation dan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 2002).
226
Namun kemudian di tahun 1980-an FX. Widaryanto banyak menulis kritik tari di media
massa. Pada tahun 2007 kumpulan berbagai artikelnya yang berupa model tulisan kritik diterbitkan
untuk membantu banyak kalangan yang berminat dalam mengamati sebuah seni pertunjukan. Lihat
FX. Widaryanto, Menuju Representasi Dunia Dalam (Bandung: Kelir, 2007).
Universitas Indonesia
227
Keputusan Gubernur KDKI-Jakarta No. Cb8/1/27/1967 tanggal 19 September 1967
tentang Pemisahan Urusan Kebudayaan dari Jawatan Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan DKI-
Jakarta dan Instruksi Gubernur KDKI-Jakarta tanggal 14 September 1967 No. Ib.2/1/48 tentang
Penggunaan Nama-nama Jabatan/Dinas Pemerintah DKI Jakarta.
Universitas Indonesia
228
Keberadaan Gelanggang Remaja berawal dari ide pembangunan kompleks Gelanggang
Remaja Bulungan di Jakarta Selatan yang dipelopori langsung oleh Gubernur DKI Jakarta, Ali
Sadikin. Kompleks Gelanggang Remaja itu mulai dibangun pada 25 Juni 1969 dan diresmikan oleh
Ali Sadikin pada 16 April 1970, dan merupakan Gelanggang Remaja pertama yang didirikan di
Jakarta sekaligus di Indonesia. Adapun tujuan pembangunan Gelanggang Remaja tersebut untuk
menunjang aktivitas remaja dan juga anak-anak dengan berbagai fasilitas penunjang seperti sarana
kegiatan umum, unit gedung olahraga dan unit kolam renang. Penyediaan sarana ini dimaksudkan
agar para remaja dan juga anak-anak dapat memelopori pengeksplorasian masa depan di bidang
seni, budaya, dan olahraga. Untuk itu Gelanggang Remaja juga dilengkapi dengan bengkel kerja,
auditorium, panggung, dan perpustakaan. Melalui berbagai sarana dan prasarana yang disediakan
remaja-remaja berprestasi bermunculan dan memperhatikan fungsinya bernilai positif, kemudian
dibangun Gelanggang-gelanggang Remaja di empat wilayah di Jakarta yaitu di Jakarta Pusat, Jakarta
Timur, Jakarta Barat dan Jakarta Utara. Lihat Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, di
unduh 17 Oktober 2016. Melalui pembinaan di Gelanggang-gelanggang Remaja tersebut muncul
para pelaku tari yang dinilai Komite Tari layak tampil di PKJ-TIM.
229
Balai rakyat adalah tempat pertemuan untuk berbagai kegiatan masyarakat termasuk
wadah penyampaian informasi dan melayani aspirasi masyarakat.
230
Soetjipto Wirosardjono, M.Sc. dkk (eds.), Gita Jaya, hlm. 206.
231
Lihat PKJ-TIM, “Laporan Program PKJ-TIM di Akhir Pelita ke II, 1979” (tidak
diterbitkan).
Universitas Indonesia
cara memantau dan memilih karya-karya yang layak untuk tampil dalam program-
program DKJ di PKJ-TIM, adalah tugas Komite Tari DKJ selanjutnya. Sistem
kuratorial sejak awal diterapkan karena menurut Edi Sedyawati, Komite Tari DKJ
menyusun program dan membina grup maupun seniman tari bukan hanya agar
program tersebut dilaksanakan, tetapi juga dengan landasan dan tujuan agar bisa
dilihat kualitas dan keberhasilannya.232
Pada tahun 1969 para seniman tari yang bergabung dalam bengkel tari
Sardono W. Kusumo mulai menghasilkan karya tari baru yang siap dipentaskan di
PKJ-TIM. Huriah Adam misalnya, melalui pengalaman bereksplor bersama di
dalam bengkel tari itu, berhasil meletakkan landasan penting dalam tari Minang,
yaitu menyusun teknik gerak Minang “baru”. Melalui penjelajahan kreatif dengan
teknik gerak yang disusunnya, Huriah Adam juga berhasil menciptakan karya-
karya tari baru seperti Sepasang Api Jatuh Cinta, dan drama tari Malinkundang.233
Anggota bengkel lainnya, Farida Oetoyo dan Julianti Parani yang berlatar belakang
balet, mampu melakukan transformasi kreatif antara teknik balet dengan unsur-
unsur tradisi daerah menjadi karya-karya baru. Farida Oetoyo menciptakan antara
lain: Roro Jongrang (1969), Rama dan Sinta (1972), Gunung Agung Meletus
(1979), sedangkan Julianti Parani melahirkan balet Kamajaya (1969), Garong-
garong (1974). Selain itu Parani juga melahirkan karya tari nonbalet yang
berangkat dari budaya Betawi, antara lain: Sarung Cukin (1973), Plesiran-Cokek
Jakarta (1974). Pendekar Perempuan (1977). Ketiga perempuan koreografer ini
tampil di PKJ-TIM atas produksi bengkel tari ataupun studio tari mereka masing-
masing.234 Adapun I Wayan Diya pada tahun 1973 bersama grup tarinya, Rasa
232
Pada tahun 1969, Edi Sedyawati yang seorang penari, perintis hadirnya kritikus seni
untuk tari, dan juga sarjana arkeologi, terpilih sebagai anggota Komite Tari DKJ dan ditunjuk
sebagai salah seorang anggota DPH-DKJ tahun 1971–1972. Kemudian terpilih lagi sebagai anggota
Komite Tari tahun 1973–1974, 1975–1977, dan tahun 1984–85 menjadi Ketua Komite Tari. Lihat
Dewan Kesenian Jakarta, “Laporan Kegiatan Tari DKJ, November 1968 s.d. Desember 1985”; lihat
juga Sal Murgiyanto, “Benih yang Ditanam Jangan Sampai Layu”, hlm. 166; dan hasil wawancara
dengan Edi Sedyawati Januari 2014, di Jakarta.
233
Akibat kecelakaan pesawat pada tahun 1971, Huriah Adam meninggal dunia dalam usia
muda.
234
Lihat Sal Murgiyanto, “Kanvas Tiga Dimensi”, hlm.161–162; dan lihat Dewan
Kesenian Jakarta, “Laporan Kegiatan Tari Dewan Kesenian Jakarta November 1968 hingga
Universitas Indonesia
Dhvani, menggarap karya tari Jelantik Bagol (1973), I Jaya Prana (1975), Tari Cak
Cupak (1975), dan lain-lain.
Sementara para peserta bengkel tari Sardono W. Kusumo di PKJ-TIM
secara bertahap kembali ke studio masing-masing, Kusumo membawa bengkelnya
ke Surakarta dan Bali. Di tempat tersebut Kusumo bekerja dengan penari-penari
setempat, dan di Surakarta ia menghasilkan karya tari kontemporer Samgita
Pancasona (1970) yang dipentaskan di PKJ-TIM pada tahun 1971 dalam rangka
“Ramayana International Festival” dan mendapat sambutan hangat dari penonton
maupun media massa.235 Pada tahun 1972 Sardono menggarap karya Cak Tarian
Rina bersama 65 orang penduduk Teges Kanginan Bali yang akan ditampilkan pada
Pesta Seni Jakarta 1972 di PKJ-TIM, namun batal berangkat karena dilarang oleh
Gubernur Bali, Sukarmen. Pada tahun 1973 Sardono bersama penduduk desa Teges
Kanginan Bali menghasilkan karya Dongeng Dari Dirah yang kemudian berpentas
keliling Eropa.236
Desember 1985” (Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, bagian Dokumentasi, 1985, tidak
dipublikasikan), hlm. 1–9.
235
Samgita Pancasona disambut baik oleh penonton dan media massa Jakarta saat
ditampilkan di PKJ-TIM karena masyarakatnya telah terbuka terhadap modernisasi. Namun ketika
ditampilkan di Surakarta (1971), kota kelahiran sang seniman, karya tersebut dianggap “melampaui
batas” oleh penonton tradisional Jawa dan beberapa penonton melemparkan telur busuk ke atas
panggung. Lihat Budi Santoso, “Pertunjukan Tari ‘Samgita Pancasona’ Karya Sardono W. Kusumo
di RRI Surakarta: Dalam Fenomena Konflik Tradisi-Modern Masyarakat Seni Pertunjukan
Surakarta Tahun 1970-an” dalam tesis Pengkajian Seni untuk memenuhi syarat mencapai derajat
magister dalam bidang Seni, Minat Utama Seni Tari, di Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia
Yogyakarta, 2006, hlm. 6 (belum diterbitkan).
236
Dalam tulisan Sal Murgiyanto berjudul “Subur Kang Sarwo Tinandur Mas Kayam dan
Tari Kontemporer Indonesia” dalam Aprinus Salam (ed.), Umar Kayam dan Jaring Semiotik
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1988), hlm. 262, dikatakan bahwa penduduk desa Teges Kanginan,
Bali, menyambut hangat eksperimen Sardono dan antusias berlatih Cak Tarian Rina. Namun
sebagian masyarakat Bali yang lain dan para pejabat merasa terganggu, dengan alasan adanya penari
anak-anak (Ketut Rina, 6 tahun) yang saat berlatih menari dengan melepas baju dan celana
monyetnya, dan ini dianggap tidak pantas. Akhirnya karya tersebut tidak jadi berangkat ke Jakarta,
meski para penari sudah berkemas dan bus sudah siap di mulut Desa Teges. Alasan pelarangan,
karena karya tersebut dianggap kurang mencerminkan karya tari Bali yang semestinya. Bali Post
yang menulis tentang tari Sardono sebagai “Eksperimen Kecak Telanjang”, telah menimbulkan isu
bahwa semua penari karya itu telanjang bulat. Akhirnya Cak Tarian Rina tidak pernah dipentaskan
di Indonesia, tetapi pada tahun 1972 karya itu tampil di Festival Tari Shiraz di Iran, dan pada tahun
1973–1976 ditampilkan di kuil-kuil Jepang. Lihat Sardono W. Kusumo, Hanoman, Tarzan, Homo
Erectus (Jakarta: ku/bu/ku, 2003), hlm. 33–38; Seno Joko Suyono, “Kecak Teges, 31 Tahun
Kemudian” dalam Sardono W. Kusumo, Hanoman, Tarzan, Homo Erectus (Jakarta: ku/bu/ku,
2003), hlm. 146–7; dan hasil wawancara dengan Sardono di Jakarta, 1 Oktober 2014.
Universitas Indonesia
Pada dasarnya, program tari di DKJ sejak awal berdirinya PKJ-TIM dapat
dibedakan ke dalam dua bentuk. Pertama, bentuk festival atau pekan tari, dan kedua,
bentuk pementasan rutin dan kegiatan lain. Selain itu bisa ditambahkan adanya
acara-acara tari dengan grup atau seniman dari luar negeri. Dalam pelaksanaan
program, bentuk festival atau pekan tari menduduki tempat yang penting, misalnya
pada peresmian PKJ-TIM ditandai dengan Pesta Seni Jakarta I/1968 yang
menampilkan 13 “karya tari baru”237 yang digarap berdasarkan delapan (8) tari
tradisional daerah, selain nomor-nomor tari maupun drama tari tradisional
daerah.238 Sampai dengan tahun 1976, Pesta Seni Jakarta diselenggarakan hampir
setiap tahun di PKJ-TIM, bukan hanya dalam bentuk pementasan tetapi dilengkapi
dengan lokakarya, diskusi, simposium, untuk saling bertukar informasi mengenai
perkembangan tari daerah di Indonesia. Di samping itu juga bertukar pikiran dan
pengalaman dalam hal pembinaan dan pengembangan seni tari maupun masalah-
masalah yang dihadapi.
Dalam Pesta Seni Jakarta 1974, DKJ mengadakan Pertemuan Penata Tari
Daerah yang diikuti oleh penata tari dari Aceh, Kalimantan Selatan, Sulawesi
Selatan dan Jakarta. Selain diskusi yang bertujuan untuk saling bertukar informasi
mengenai perkembangan tari di daerah masing-masing, juga diadakan pertunjukan
tari daerah dari keempat wilayah tersebut. Kehadiran rombongan dan pembicara
daerah dalam Pesta Seni tersebut terjadi atas kerjasama DKJ dengan Direktorat
Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Adanya kerjasama
semacam itu, yang bisa melibatkan banyak seniman daerah dalam acara DKJ,
237
Dalam disertasi ini “karya tari baru” penulis sebut sebagai “karya tari baru
pengembangan dari tradisi”.
238
“Karya tari baru” ini digarap dari tari tradisional daerah untuk kepentingan melawat ke
Amerika dengan memakai payung The Indonesian National Dance Company. Adapun nomor-
nomor tari dan drama tari tradisional daerah yang dipertunjukkan antara lain: nomor-nomor balet
dari grup Nritya Sundara, tari Sunda dari Musyawarah Seni Budaya Sunda, tari daerah Tapanuli
dari Badan Pembina Seni Budaya Batak, drama tari Calon Arang dari Yayasan Seni Budaya
Saraswati, Wayang Orang Darmawijaya Timbul dari Wayang Orang Kawi Radya, Sendratari
Menakjinggo Leno dari Yayasan Taman Candra Wilwatikta, dan lain-lain. Lihat Dewan Kesenian
Jakarta, “Laporan Kegiatan Tari Dewan Kesenian Jakarta November 1968–Desember 1985”
(Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, bagian Dokumentasi, 1985, tidak diterbitkan).
Universitas Indonesia
adalah sesuai dengan pesan Ali Sadikin kepada para pengelola PKJ-TIM, “Jangan
mikir Jakarta, tapi juga Indonesia, bahkan dunia!”.239
Kerja sama serupa terjadi lagi pada Pesta Seni Jakarta 1975, tanggal 13–19
Desember, dalam acara simposium dan pertunjukan yang berskala nasional, dengan
pembicara: Drs. Suwandono (1933–1980), Direktur Pembinaan Kesenian
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1968–1980); Dra. Edi Sedyawati,
mewakili Komite Tari DKJ; Julianti Parani mewakili seniman Jakarta; dan S.D.
Humardani mewakili Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT) Surakarta.240 Adapun
pertunjukannya menampilkan grup tari Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur,
Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bandung, dan Pusat Kesenian Jawa Tengah
(PKJT) dari Surakarta.
Pesta Seni Jakarta masih berlangsung hingga tahun 1976 dan pada tahun
tersebut DKJ memusatkan perhatiannya hanya pada tari tradisional gaya Melayu
yang pada tahun 1959 pernah digarap dan dijadikan sebagai tari nasional oleh
Presiden Soekarno. Kegiatan dalam Pesta Seni Jakarta 1976 itu disebut Lokakarya
Tari Melayu, dalam rangka memperbaiki kualitas tarian Melayu yang dinilai oleh
para tokohnya mengalami kemerosotan kualitas di akhir tahun 1960-an. Lokakarya
tersebut mengundang sejumlah tokoh tari Melayu di antaranya Tengku Nazly A.
Mansur (1935–1982), Tengku Luckman Sinar (lahir 1933), Nasroen Poetih Yasin
Darussalam 1915–1986, dan Tengku Haji Mohammad Abdullahah Husny (1915–
1988). Adapun rombongan tari daerah yang tampil dalam Pesta Seni tersebut dari
Sumatera Barat dan Jambi.
Di samping pementasan yang khusus didatangkan dalam rangka pekan atau
festival, DKJ memberi kesempatan kepada grup-grup tari dan penata tari individual
dari luar DKJ dan luar Jakarta untuk menampilkan hasil kegiatan dan karyanya di
239
Lihat Sal Murgiyanto, “Kanvas Tiga Dimensi”, hlm. 166; Juga hasil wawancara dengan
Edi Sedyawati di Jakarta, 2014, dan uraian tentang salah satu perwujudan dari ucapan Ali Sadikin
tersebut, lihat kembali catatan kaki no. 165, hlm. 78.
240
Dalam simposium tersebut Drs. Suwandono mengetengahkan makalah berjudul
“Pembinaan dan Pengembangan Tari Tradisi”, Dra. Edi Sedyawati memaparkan “Tari Tradisi
Mencari Mimbar Pencangkokan”, Julianti Parani dengan prasarannya “Tari Tradisionil dalam
Pengembangan Modernisasi Tari”, dan S.D. Humardani membicarakan “Masalah-masalah
Pengembangan Tari Tradisi”. Lihat Sal Murgiyanto, “Kanvas Tiga Dimensi”, hlm. 168.
Universitas Indonesia
PKJ-TIM. Pada tahun 1969 misalnya, selain Sardono W. Kusumo, Julianti Parani,
dan Farida Oetoyo, tampil grup tari Bali di Jakarta, Saraswati, dan grup Viatikara
dari Bandung. Tahun 1970, individu dan grup tari yang tampil bertambah di
antaranya Badan Musyawarah Seni Budaya Sunda dari Bandung, dan dari
Yogyakarta tampil Bagong Kussudiardja dan Wisnoe Wardhana. Juga hadir grup
tari baru Jaya Budaya yang anggotanya sebagian merupakan anggota wayang orang
Pancamurti yang memisahkan diri.241
Di tahun 1970 yang kesemarakan karya tari mulai terasa di TIM
sebagaimana telah diurai terdahulu, DKJ kemudian mendirikan Lembaga
Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) sebagai sarana pendidikan bagi calon seniman
penerus. Edi Sedyawati dibantu antara lain oleh: Julianti Parani, Farida Oetoyo,
Sardono W. Kusumo, I Wayan Diya, Huriah Adam, dan S. Kardjono, bekerja keras
menyiapkan pembentukan Akademi Tari LPKJ. Edi Sedyawati kemudian terpilih
sebagai Ketua Akademi Tari LPKJ yang pertama.
Tahun berikutnya, 1971, grup tari yang tampil di PKJ-TIM adalah: Siswo
Among Bekso dari Yogyakarta, Narto Sabdo dari Semarang, Konservatori
Karawitan Indonesia dari Surakarta, Ogel Cilampeni dari Bandung, Topeng
Cirebon, selain Julianti Parani, Farida Oetoyo, Sardono W. Kusuma, Bagong
Kussudiardja, dan Wisnoe Wardhana yang sudah tampil di tahun sebelumnya.
Selanjutnya, pada tahun 1972, DKJ mendirikan Bengkel Tari Folklorik untuk
menggarap dan menggiatkan pentas tari Betawi dan Sumatra (Aceh, Batak, dan
Minangkabau). Saraswati adalah grup tari Bali yang tidak pernah absen dalam
pementasan di PKJ-TIM. Demikian seterusnya secara rutin pertunjukan-
pertunjukan tari hadir di PKJ-TIM baik dari grup-grup tari maupun seniman tari
individual, dari Jakarta maupun luar Jakarta, yang perencanaan programnya ditata
oleh Komite Tari DKJ. Pencarian kreatif para seniman yang menggebu itu
diimbangi dengan perencanaan program-program yang terarah. Selain kegiatan
241
Pada tahun 1971, Sardono W. Kusumo turut membantu menangani dan menggarap
karya tari di grup wayang orang tradisional ini. Karya garapan Sardono tetap berangkat dari tradisi
Jawa namun mendapat sentuhan baru. Contoh karya Sardono dalam produksi Jaya Budaya yaitu:
Sumantri Gugur (1971) dan Ngrenaswara (1972).
Universitas Indonesia
kreatif yang menghasilkan karya-karya tari baru, diupayakan pula mengangkat seni
tari tradisional sebagai kerangka acuan dan bahan untuk berkarya.242
Selain membina grup-grup tari senior, sejak tahun 1970 DKJ menangani
pembinaan tari remaja. Bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan DKI-Jakarta, DKJ
menyelenggarakan Lomba Penari dan Lomba Karya Tari yang diadakan setiap
tahun di Gelanggang Remaja di lima wilayah (Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta
Barat, Jakarta Utara, dan Jakarta Selatan). Kegiatan ini berlangsung lancar hingga
tahun 1980. Kegiatan tari di kalangan anak-anak juga menjadi perhatian DKJ sejak
awal berdirinya PKJ-TIM, 1968. Apabila dalam tiga tahun pertama hanya satu
hingga tiga grup yang memperoleh kesempatan untuk tampil, maka dari tahun 1971
sampai dengan 1977 meningkat menjadi empat hingga dua belas grup tari setiap
tahun. Gaya tari yang ditampilkan pun cukup bervariasi, antara lain: balet, Bali,
Jawa, Sunda, Minangkabau, dan Melayu.243
Sejak tahun 1969, DKJ telah melakukan kerjasama dengan grup maupun
seniman tari dari negara sahabat untuk tampil sehingga turut memberi warna dalam
program DKJ. Bahkan diharapkan penampilan grup tari luar negeri bisa menambah
pengalaman, wawasan seniman dan penonton Indonesia, sekaligus terbentuknya
jejaring antara seniman Indonesia dengan pihak luar negeri. Grup-grup tari luar
negeri yang tampil di panggung PKJ-TIM dan mewakili genre tari balet klasik, balet
modern, modern dance maupun tari kontemporer antara lain: dari Asia (India,
Jepang, Pakistan, Malaysia, Filipina, Korea), Eropa (Prancis, Belanda, Jerman), dan
Amerika Serikat. Di antara grup yang tampil adalah Martha Graham Dance
Company, Balet der Deutsche Opera Berlin, Grand Ballet Classique, Louis Falco
Dance Company, Felix Blaska Dance Company, The Netherlands Dance Theatre,
dan Nippon Folklore Dance Company, Jean Albert Cartier, The Arts Theatre Ballet,
242
Seperi dikatakan oleh Putu Wijaya, kehadiran DKJ dan PKJ-TIM telah menyadarkan
seniman modern untuk menggali bentuk dan jiwa seni tradisional sebagai bahan garapannya. Dalam
perjalanan waktu, hubungan seni kontemporer dan seni tradisional berkelanjutan dan beriringan.
Putu Wijaya, NgEH, Kumpulan Esai (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), hlm. 345.
243
Lihat Sal Murgiyanto, “Kanvas Tiga Dimensi”, hlm. 171–2; lihat juga Dewan Kesenian
Jakarta, “Laporan Kegiatan Tari Dewan Kesenian Jakarta November 1968 hingga Desember 1985”
(Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, bagian Dokumentasi, 1985, tidak diterbitkan), hlm. 10–20.
Universitas Indonesia
Wuppertal-Pina Bausch, The Nikolais Dance Theatre, Laura Dean Dancers and
Musicians, Astad Deboo dan Lar Lubovitch.244
Dalam Buku Gita Jaya, Catatan H Ali Sadikin Gubernur Kepala Daerah
Khusus Ibu Kota Jakarta 1966–1977, Ali Sadikin mengatakan bahwa dalam rangka
pembinaan dan pengembangan seni-budaya Betawi sebagai tuan rumah dari segala
bentuk kesenian yang ada di Jakarta, ia menganggap perlu untuk menyelenggarakan
seminar Seni Budaya Betawi dengan maksud untuk menampung gagasan dari
tokoh-tokoh Betawi sendiri. Berangkat dari seruan Ali Sadikin itu, kemudian
seminar diadakan pada bulan Pebruari 1976, dan hasil seminar menyarankan
pembentukan suatu lembaga yang berkewajiban membina dan mengembangkan
segala bentuk kesenian Betawi. Sesuai dengan saran tersebut, pada tahun 1977 Ali
Sadikin membentuk lembaga tersebut. Pengelolaan lembaga itu diserahkan kepada
masyarakat, sedangkan Pemerintah DKI-Jakarta hanya memberi bimbingan dan
bantuan seperlunya. Bersama tokoh teater dan film D. Djajakusuma, tokoh teater
Lenong Soemantri Sastrosuwondo, dan sastrawan S.M. Ardan, lembaga ini berhasil
menghidupkan Lenong pada tahun 1982. Garapan Lenong dengan semangat
pembaruan sesuai zaman, kemudian ditampilkan di PKJ-TIM dan ternyata mampu
mengundang animo masyarakat Jakarta.
Tahun 1977 adalah tahun berakhirnya Ali Sadikin menjabat sebagai
Gubernur DKI Jakarta. Oleh Sal Murgiyanto, yang pada saat itu mulai masuk ke
kancah PKJ-TIM sebagai anggota Komite Tari dan Sekretaris DPH-DKJ dan juga
dosen Akademi Tari LPKJ, dikatakan bahwa sepeninggal Ali Sadikin DKJ akan
menghadapi masalah karena hasil pembinaan tari yang dimulai sejak tahun 1968
dan mulai mekar, tidak diimbangi lagi dengan subsidi Pemerintah DKI Jakarta yang
hampir tak pernah bertambah.245 Oleh karena itu dengan dana terbatas, pembinaan
tari di DKJ dilakukan dengan meneruskan pola lama tetapi dengan strategi dan
interpretasi yang kreatif.
244
Dewan Kesenian Jakarta, “Laporan Kegiatan Tari”, hlm. 20–24.
245
Sal Murgiyanto, “Kanvas Tiga Dimensi”, hlm. 172
Universitas Indonesia
246
Pada era kepemimpinan Ali Sadikin, pajak kasino berfungsi sebagai dinamo
pembangunan untuk berbagai bidang, termasuk kesenian. Di kala Tjokropranolo menjabat sebagai
gubernur, kasino ditutup dan Jakarta kehilangan pendapatan dari pajak kasino, sementara kebutuhan
pembiayaan pemerintah DKI Jakarta untuk berbagai bidang di antaranya kesenian terus meningkat.
Lihat Christianto Wibisono, “Seandainya Tidak Ada Ali Sadikin” dalam Bambang Bujono (ed.),
Empu Ali Sadikin 80 Tahun (Jakarta: IKJ Press, 2006), hlm. 121; dan hasil wawancara dengan Dr.
Ing. Wardiman Djojonegoro, September 2013, dan Drs. Soeparmo, Mei 2014, di Jakarta.
Universitas Indonesia
Festival Jakarta ’78 (29 Juni hingga 9 Juli) merupakan kerja sama antara DKJ
dengan bermacam anggota masyarakat dan lembaga di luar DKJ seperti Ford
Foundation di Indonesia, dengan fokus pada seni pertunjukan tradisional
antarbangsa. Acara tari dimeriahkan oleh grup tari dari daerah Aceh, Jawa Barat,
Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, DKI Jakarta, Bali, Kalimantan Selatan, dan
Maluku. Dari luar negeri, grup tari dari India turut berpartisipasi. Festival Jakarta
’78 yang diketuai oleh Kepala Rumah Tangga Istana Joop Ave (1934–2014)
menggelar pertunjukan selain di PKJ-TIM, Gelanggang Remaja, di pusat-pusat
rekreasi yaitu di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dan Taman Impian Jaya
Ancol, di universitas, juga di stasiun kereta api dan terminal bus. Dengan bantuan
berbagai pihak antara lain Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KASAD), Panglima
Komando Daerah Militer (Pangdam) V Jaya, Kepala Daerah Kepolisian (Kadapol),
dan beberapa pengusaha, di depan museum Fatahillah didirikan sebuah panggung
untuk pertunjukan wayang orang Keraton Yogyakarta dan tari rakyat dari
Kajasthan, India. Diadakan juga pertunjukan khusus untuk Presiden Soeharto di
pendapa Sasono Langen Budoyo TMII, dan ada pula grup topeng dari Betawi,
Malang, Cirebon yang berpentas keliling di atas truk terbuka.
Festival Penata Tari Muda diselenggarakan oleh DKJ pada tanggal 9–11
Desember 1978. Dalam Festival yang pertama ini semua pesertanya adalah para
penata tari dari Perguruan Tinggi Seni, yaitu: Ben Suharto (ASTI Yogyakarta),
kolaborasi antara Suprapto Suryodarmo, A. Tasman, Hajar Satoto, dan Rahayu
Supanggah (ASTI Surakarta), Endo Suanda (ASTI Bandung), I Wayan Dibia (ASTI
Bali), dan Wiwiek Sipala (LPKJ). Selain pementasan karya tari baru, seusai
pertunjukan diadakan diskusi di antara sejumlah pengamat tari dengan para penata
tari. Sepanjang tujuh tahun, Festival Penata Tari Muda diselenggarakan sebanyak
enam kali yakni 1978, 1979, 1981, 1982, 1983, 1984,247 dan menjadi ajang yang
bermanfaat bagi para penata tari Jakarta maupun luar Jakarta untuk mengukur
kemampuan diri dan membuahkan prestasi. Selama enam kali penyelenggaraan, 41
247
Pada saat penyelengaraan Festival Penata Tari Muda tahun 1983 dan 1984, DKI Jakarta
sudah dipimpin oleh Gubernur Soeprapto (1982–1987).
Universitas Indonesia
penata tari dari delapan kota yaitu Yogyakarta, Surakarta, Jakarta, Bandung,
Padang, Denpasar, Surabaya, Medan telah menghasilkan 30 buah karya baru.
Beberapa nama dari forum ini yang di kemudian hari hadir dalam percaturan
penciptaan tari di Indonesia antara lain: I Wayan Dibia, Endo Suanda, Ben Suharto,
Dedy Lutan, Tom Ibnur, Gusmiati Suid, Ery Mefri, Ida Wibowo, Wiwiek Sipala,
Sunarno, Wahyu Santoso Prabawa, S. Pamardi, Sulistyo S. Tirtokusumo, Noerdin
Daud, Marzuki Hasan, Wiwiek Widyastuti.
Bekerja sama dengan Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, DKJ menyelenggarakan Pekan Orientasi
Pendidikan Kesenian pada tahun 1979 yang menampilkan hasil-hasil kegiatan dan
karya tari siswa dan pengajar Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) dari
enam daerah: Surakarta, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Padang dan Ujung
Pandang (sekarang Makassar). Pada tahun yang sama DKJ juga mengambil
prakarsa untuk menyelenggarakan Festival Tari anak-anak se-DKI Jakarta I.
Festival ini dilaksanakan selama 14 hari (25 Juni hingga 8 Juli), dan diikuti 20 grup
yang menampilkan aneka gaya tari: Jawa, Sunda, Bali, Sumatra dan balet. Sejumlah
grup pemenang hasil Festival selanjutnya diberi kesempatan untuk menggelar karya
di panggung PKJ-TIM. Festival Tari Anak-anak DKJ ini diadakan dua tahun sekali
dan berlangsung hingga empat kali: 1979, 1981, 1983,1985, diselang-seling dengan
Festival Tari Remaja Antar-Grup.
Program kerja sama DKJ dengan Dinas Kebudayaan DKI Jakarta berupa
penyelenggaraan Lomba Penari dan Karya Tari Remaja yang pernah
diselenggarakan tahun 1970, berlanjut. Kegiatan tersebut dinamai Festival Tari
Remaja Antar-Grup se DKI Jakarta I dan diselenggarakan selama 10 hari, 3 hingga
12 Juli 1980. Pesertas lomba ada 19 grup tari dari berbagai gaya, dan seperti halnya
Festival tari Anak-anak dipilihlah sejumlah pemenang untuk tampil mandiri di
panggung PKJ-TIM. Festival Tari Remaja ini diselenggarakan DKJ sebanyak tiga
kali: 1980, 1982, dan berlanjut di tahun 1984 pada masa kepemimpinan Gubernur
Soeprapto (1982–1987).
Universitas Indonesia
Pembinaan tari oleh DKJ di tahun 1980 meliputi juga kegiatan di sekolah-
sekolah balet di Indonesia. Pada tahun 1982, DKJ mengadakan Pekan Balet Antar-
Grup yang diikuti 10 sekolah balet se-Indonesia. Pekan Balet DKJ II
diselenggarakan pada tahun 1983 dan lebih meriah karena dibuka dengan
pergelaran grup Theatre du Silence dari Prancis, dan ditutup oleh grup Tanz Forum
Koln dari Jerman. Bahkan kritikus tari Jerman, Jochen Schmidt, datang untuk
mengamati penampilan Pekan Balet tersebut. Pekan Balet DKJ berikutnya diadakan
di tahun 1985,248 dan merupakan penyelenggaraan yang terakhir.
Acara rutin dan kegiatan lainnya di PKJ-TIM pada masa jabatan Gubernur
Tjokropranolo antara lain, pada tahun 1977, 12 penata tari dan grup tari senior,
delapan dari Jakarta dan empat dari luar Jakarta, mengisi acara pentas tari PKJ-TIM
selama 33 hari. Beberapa di antara penata tari dan grup tari dari Jakarta yaitu grup
tari I Wayan Diya (Rasa Dhvani), Julianti Parani dan Farida Oetoyo (Nritya
Sundara), pengajar dan mahasiswa LPKJ (Cipta Karya Tari LPKJ), Sardono W.
Kusumo (Sardono dkk), Retno Maruti (Padneswara), S Kardjono (S. Kardjono
grup), Syawali Amran (Puti Bungsu) dan Pusdiklat Tari Dinas Kebudayaan DKI
Jakarta. Para peserta ini masing-masing tampil dua atau tiga kali pentas. Penata tari
dan grup tari dari luar Jakarta antara lain Bagong Kussudiardja (PLT Bagong
Kussudiardjo, Yogyakarta), Ida Yusuf (Angin Mamiri, Sulawesi Selatan), Endo
Suanda dan Suji (Pring Gading, Cirebon) dan Siswa Among Bekso (Yogyakarta).
Mengamati banyaknya penata tari dan grup tari yang tampil maupun jumlah
hari pentas di PKJ-TIM, pada tahun 1977–1982 di masa kepemimpinan Gubernur
Tjokropranolo merupakan masa yang sangat aktif. Itu berlanjut hingga tahun 1985
di masa kepemimpinan Gubernur R. Soeprapto. Selama sembilan tahun tersebut
tercatat 61 grup tari dari dalam negeri mengisi pentas rutin selama 159 hari. Grup
tari dari luar negeri tercatat 22 rombongan dengan 36 hari pentas. Grup
248
Penyelenggaraan Pekan Balet DKJ II tahun 1983 dan Pekan Balet DKJ III tahun 1985
terjadi pada masa kepemimpinan Gubernur R. Soeprapto (1982–1987). Pekan Balet DKJ III tahun
1985 tersebut merupakan Pekan Balet yang terakhir diselenggarakan. Lihat Dewan Kesenian
Jakarta, “Laporan Kegiatan Tari”, hlm. 36–40.
Universitas Indonesia
249
Dewan Kesenian Jakarta, “Laporan Kegiatan Tari”, 22–23, lihat juga Sal Murgiyanto,
“Benih Yang Ditanam Jangan Sampai Layu”, hlm. 178.
Universitas Indonesia
bahwa para anggota DKJ harus lebih berfungsi sebagai pemikir budaya yang dapat
menampung berbagai aspirasi masyarakat yang tumbuh sebagai akibat interaksi dan
komunikasi budaya. DKJ perlu menyadari fungsinya sebagai penyangga
kebudayaan nasional yang berorientasi pada masyarakat Indonesia yang majemuk.
Sementara itu PKJ-TIM yang sejak tahun 1968 telah menyediakan sarana dan
prasarana lengkap untuk berbagai macam kegiatan kesenian merupakan suatu
manifestasi ideal. Adapun wadah organisasi yang sesuai dengan kondisi kesenian
di DKI-Jakarta ialah wadah organisasi kesenian sedaerah dan wadah organisasi
kesenian sejenis.250
Kegiatan seni tari DKJ tahun 1980-an meliputi pula kegiatan sekolah balet,
dan tahun 1982 DKJ menyelenggarakan Pekan Balet Antar-Grup. Pekan Balet ini
berlanjut pada 1983, sebagai Pekan Balet DKJ II (21 November hingga 2
Desember). Dua grup yang tidak pernah absen adalah Sekolah Balet Sumber Cipta
pimpinan Farida Oetoyo dan Sekolah Balet Namarina pimpinan Nanny Lubis.
Kedua grup tersebut berada di Jakarta dan merupakan grup tari balet yang mampu
bertahan lama dengan jumlah murid yang banyak dan selalu tampil dengan prestasi
yang jauh mengungguli sekolah-sekolah balet lainnya.
Memperhatikan acara seni tari yang rutin tampil di PKJ-TIM, sangat jelas
tahun 1977-1985 merupakan masa yang aktif. Penampilan rombongan luar negeri
terbanyak terjadi di tahun 1983, tercatat delapan grup tari dan atau koreografer
yakni, Lar Lubovitch, dan My Lene Kalhorn (Amerika Serikat), Mantis Dance
Company (Inggris), tiga rombongan tari dari India: (1) Ranjan, Miss Seema, Bs
Rana, Miss Manjit dan lain-lain, (2) Sonal Mansingh, dan (3) Astad Deboo, juga
Theatre du Silence (Prancis), Tanz Forum Koln (Jerman).
Selain itu yang perlu dicatat, pada tahun 1983 dan 1984 DKJ menerbitkan
dua buah buku. Pertama, Seni Menata Tari (1983), sebuah terjemahan Sal
250
Sri Warso Wahono, “Dewan Kesenian Jakarta” dalam Pia Alisjahbana dkk (eds.), 25
Tahun Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (Jakrta: Yayasan Kesenian Jakarta dan Dian
Rakyat, 1994), hlm. 55–56; dan Dinas Kebudayaan, “Kebijakan Pewadahan Organisasi Kesenian
Sejenis dan Sedaerah di Wilayah DKI-Jakarta” (Jakarta: Dinas Kebudayaan Pemerintah Daerah
Khusus Ibukota, 1987, tidak diterbitkan).
Universitas Indonesia
Murgiyanto dari The Art of Making Dances karangan Doris Humphrey, dan kedua,
Tari: Tinjauan dari Berbagai Segi (1984) kumpulan tulisan tari yang diedit oleh
Edi Sedyawati. Di samping itu masih ada kumpulan laporan tentang pelaksanaan
Festival Penata Tari Muda tahun 1978 hingga 1984. Laporan pertama ditulis oleh
Edi Sedyawati dalam Budaya Jaya no 30 Th. XII, Maret 1979, dan empat lainnya
diedit oleh Sal Murgiyanto dalam bentuk buku. Sejumlah dokumentasi audio-visual
juga dilakukan oleh DKJ pada tahun 1980-an. Sekitar 36 pertunjukan tari di PKJ-
TIM telah direkam dalam bentuk film 8 mm dan atau kaset video.251
Tahun 1987 masa jabatan R. Soeprapto sebagai Gubernur DKI Jakarta
berakhir. Satu tahun sebelum itu, Sal Murgiyanto mengatakan bahwa terjadi situasi
yang menuntut ketahanan dan ketekunan PKJ-TIM karena berbagai hal antara lain,
bantuan dana dari Pemerintah Daerah DKI Jakarta yang tidak bertambah, semakin
rentannya fasilitas, dan tuntutan zaman yang berubah dan tidak mudah untuk bisa
memenuhinya. Gagasan menyelenggarakan Festival Penata Tari Muda masih
diteruskan karena dinilai tetap penting keberadaannya bagi para penata tari yang
mulai bertumbuh. Nama festival tersebut diubah menjadi Festival Karya Tari (Baru)
DKJ yang dianggap lebih sesuai dengan perkembangan zaman. Festival tersebut
menampilkan sembilan penata tari. Para penata tari tersebut: Farid Hamid (Ujung
Pandang), Ery Mefry (Padang), Muhammad Ichlas (Padang Panjang), M. Miroto
(Yogyakarta), Sri Setyo Asih dan F. Hari Mulyanto (Surakarta), Iko Sidharta, I
Gusti Kompyang, dan Laksmi Simandjuntak (Jakarta).252
Penyelengaaraan berikutnya adalah di tahun 1987, dan berganti nama lagi
menjadi Pekan Koreografi Indonesia. Gagasan Pekan tersebut tidak hanya
menampilkan penata tari yang baru muncul, tetapi juga yang sudah berpengalaman
luas seperti Bagong Kussudiardja, Sardono W. Kusumo, Farida Oetoyo, Julianti
Parani, dan Sulistyo S. Tirtikusumo. Namun niat dan gagasan besar itu ternyata
251
Dewan Kesenian Jakarta, “Laporan Kegiatan Tari”, 22–23; lihat juga Dewan Kesenian
Jakarta, “Daftar Inventarisasi Pementasan Tari” (Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 1988, tidak
dicetak dan publikasikan); dan Sal Murgiyanto, “Benih Yang Ditanam Jangan Sampai Layu”, hlm.
178–179.
252
Sal Murgiyanto, “Benih Yang Ditanam Jangan Sampai Layu”, hlm. 179–181.
Universitas Indonesia
menguras tenaga dan dana DKJ sehingga DKJ tak memiliki banyak dana tersisa
untuk acara rutin. Padahal pentas rutin sejak sekitar tahun 1985 memang menurun,
misalnya hanya tercatat empat grup senior yang bisa mengisi acara Tari di PKJ-
TIM. Penata tari senior seperti Retno Maruti, Sardono W. Kusumo, Bagong
Kussudiardja, semakin jarang muncul di PKJ-TIM. Sementara itu, acara pembinaan
dalam bentuk festival dan pementasan grup-grup tari remaja, anak-anak, dan balet
penyelenggaraan dialihkan ke Dinas Kebudayaan DKI Jakarta yang melakukan
pembinaan kesenian di kalangan remaja dan anak-anak melalui Gelanggang
Remaja.
Di era R. Soeprapto diresmikan sebuah gedung pertunjukan baru di PKJ-
TIM, Graha Bhakti Budaya (GBB), pada 19 Agustus 1983.253 GBB dibangun
dengan panggung yang lebih besar, peralatan lampu dan suara yang lebih modern,
dan bisa menampung jumlah penonton lebih banyak, dibandingkan tempat
pertunjukan yang sudah ada sebelumnya, Teater Arena dan Teater Tertutup.
Pembangunan gedung ini juga untuk memenuhi kebutuhan bertambah banyaknya
pergelaran di PKJ-TIM, di samping untuk menampung penampilan grup-grup luar
negeri yang memerlukan perlengkapan lebih modern.
253
Rencana pembangunan gedung pertunjukan Graha Bhakti Budaya sudah dirancang
sejak masa kepemimpinan Gubernur Tjokropranolo. Lihat Pramana Padmodarmaya, “25 Tahun
Pasang Surut Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki” dalam Pia Alisjahbana dkk. (eds.), 25
Tahun Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (Jakarta: Yayasan Kesenian Jakarta dan PT.
Dian Rakyat, 1994), hlm. 39.
Universitas Indonesia
Gambar 1. Grafik pertunjukan tari yang dipentaskan di PKJ-TIM selama selang waktu 20 tahun
pertama menyajikan kecenderungan berbentuk grafik piramida. Pada grafik berbentuk piramida ini,
jumlah pertunjukan mengalami kenaikan signifikan pada tahun-tahun antara 1975 hingga 1979
dengan puncaknya berada di tahun 1977, yakni tahun terakhir dari kepemimpinan Gubernur Ali
Sadikin. Meski tampak di tahun 1979 pertunjukan grup tari senior dan atau dewasa meningkat dan
di tahun 1983 grup tari negara asing terbanyak tampil di PKJ-TIM.
Universitas Indonesia
BAB IV
KARYA TARI BARU HASIL PENGEMBANGAN DARI TRADISI
DI PKJ-TIM 1968–1987
Dalam tampilan karya tari di Indonesia, karya tari tradisional masih menjadi
inspirasi dominan untuk penggarapan karya baru. Hal ini karena pengalaman
kreativitas maupun pengalamanan ketubuhan seniman tari di Indonesia sebagian
besar bertumbuh dalam lingkungan tradisi. Oleh sebab itu karya-karya mereka
meski digarap dengan semangat kebaruan dan menampilkan karakteristik gaya
ungkap individual senimannya namun seringkali masih merupakan karya baru
pengembangan dari tradisi. Hal ini tampak pada karya-karya tari baru ciptaan para
koreografer di lokakarya pada awal berdirinya Pusat Kesenian Jakarta-Taman
Ismail Marzuki (PKJ-TIM) dan pada Festival atau Pekan Penari Muda yang
diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
255
Lihat Sal Murgiyanto, “Benih Yang Ditanam Jangan Sampai Layu” dalam Pia
Alisjahbana dkk. (eds.), 25 Tahun Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (Jakarta: Yayasan
Kesenian Jakarta dan Dian Rakyat, 1994), hlm. 160. Selain itu, pengenalan Sardono W. Kusumo
dengan modern dance di Amerika Serikat; pengalaman panjang I Wayan Diya saat belajar di
Kalashetra, sebuah akademi kesenian yang didirikan Rumana Devi, pelaku revitalisasi dalam tari
India, serta pengalaman Diya di Kalashetra yang memperoleh pemahaman tentang hubungan antara
seni tari Asia dengan modernisme di India; maupun pengetahuan yang diperoleh Farida Oetoyo
ketika belajar balet di Rusia dan menjadi penari di Eropa Barat, setidaknya telah mempengaruhi
pandangan dan pendekatan mereka dalam penciptaan karya tari di Indonesia. Pendekatan tersebut
dilakukan melalui improvisasi, eksplorasi dan kesadaran perlunya inovasi dalam tradisi.
Universitas Indonesia
misalnya, sebagai seorang penari lulusan sekolah balet ternama Bolshoi, Moskow,
Rusia, dengan predikat cumlaude (1961–1965) merasa kewalahan ketika harus
membebaskan dirinya dari bekal balet yang kuat melekat dalam dirinya seperti yang
dikehendaki Kusumo.256 Selain itu, Kusumo juga meminta para peserta lokakarya
di bengkel tarinya mempelajari tarian suku bangsa lain agar perbendaharaan gerak
dan pengembangan kepekaan rasa dalam tubuh mereka menjadi lebih kaya dan
beragam. Ia pun memotivasi para peserta bengkel tarinya untuk menciptakan karya-
karya tari baru. Harapannya, melalui bengkel tari lintasbudaya tersebut tercipta
karya-karya tari baru, sebagai buah dari interaksi tradisi-tradisi tari dari berbagai
suku bangsa. Selanjutnya, terjadi pula dialog dan akumulasi pengetahuan berbagai
wilayah budaya yang diwakili oleh individu-individu peserta bengkel. Lebih jauh
ia berucap bahwa seorang peserta tidak hanya hadir sebagai individu namun dengan
sadar juga menjadi wakil dari wilayah budaya tempat ia berasal. Contohnya,
Sardono W. Kusumo hadir dengan membawa banyak pengalaman budaya Jawa,
lantas berinteraksi dengan Huriah Adam yang membawa pengalaman budaya
Minang, Farida Oetoyo dan Julianti Parani membawa budaya balet dan I Wayan
Diya dengan budaya Bali.
Bengkel tari Sardono W. Kusumo yang dimulai sekitar Juli 1968, sebelum
PKJ-TIM diresmikan pada 10 November 1968, berorientasi pada proses (process
oriented) sehingga tidak cepat membuahkan hasil. Namun dalam jangka panjang,
Sal Murgiyanto mencatat bahwa lokakarya yang dilakukan di bengkel tari Kusumo
tersebut merupakan salah satu ajang pembuka jalur seni tari baru dan kontemporer
Indonesia seperti yang diharapkan.257 Di samping itu, lokakarya tersebut juga
berperan memperluas perspektif artistik bagi para pesertanya. Huriah Adam, Farida
Oetoyo, Julianti Parani, I Wayan Diya, dan Sardono W. Kusumo sendiri, berhasil
menggarap karya-karya tari baru, dan kontemporer, serta mewarnai ragam
pertunjukan tari di PKJ-TIM pada tahun 1970-an hingga 1980-an.
256
Hasil wawancara dengan Farida Oetoyo di GKJ tahun 1998, dan Sardono W. Kusumo
di Program Pasca Sarjana IKJ tahun 2013.
257
Tentang karya-karya tari kontemporer yang dipentaskan di PKJ-TIM diurai dan
dianalisis di Bab V.
Universitas Indonesia
Para seniman tari yang bergabung dalam bengkel tari Sardono W. Kusumo
mulai menghasilkan karya tari baru yang siap dipentaskan di PKJ-TIM pada tahun
1969. Mereka menjadi kolaborator untuk masing-masing produksi (karya). Sebagai
contoh, Sardono W. Kusumo dan Sentot Sudiharto menari untuk karya tari Huriah
Adam, begitu pula sebaliknya. Dalam hal kebaruan, melalui pengalaman bereksplor
bersama di dalam bengkel tari itu, Huriah Adam berhasil meletakkan landasan
penting dalam tari Minang, yaitu teknik gerak. Ia memilih dan menyusun gerak-
gerak pencak silat tradisional Minang yang dipelajarinya dari guru-guru tradisi di
pedesaan258 menjadi serangkaian teknik gerak Minang baru yang tujuannya untuk
penguasaan keterampilan gerak dan ekspresi.259 Selanjutnya, melalui penjelajahan
kreatif yang dilandasi teknik gerak tari Minang baru yang disusunnya itu, pada
tahun 1969 Adam berhasil menciptakan karya-karya tari baru dan kontemporer
seperti Payung (1968), Barabah (1968), Sepasang Api Jatuh Cinta (1969), dan
drama tari Malin Kundang (1969).260
Anggota bengkel lainnya, Farida Oetoyo dan Julianti Parani yang berlatar
belakang balet, mampu melakukan transformasi kreatif antara teknik balet dengan
unsur-unsur tradisi dari berbagai suku bangsa menjadi karya-karya baru dan
kontemporer. Farida Oetoyo menciptakan antara lain: Roro Jongrang (1969),
258
Gerak-gerak pencak silat tersebut antara lain kudo-kudo, tagak itiak, tagak gantauan,
mata itiak, mata lereang, gelek, tusuak, suduang daun, duanaia, ramo-ramo tabang, dan ramo-ramo
bagaluik. Lihat Helly Minarti, “Meredefinisi Tari Minang: Huriah Adam Memulai, Gusmiati Suid
Meneruskan” dalam Bambang Bujono (ed.), Seri Figur Seni Pertunjukan Indonesia 2, Empat
Menguak Tradisi (Jakarta: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia & Ford Foundation, 2008), hlm.
146.
259
Teknik gerak tari Minang baru yang terdiri dari 13 rangkaian gerak tidak diberi nama
oleh Huriah Adam tetapi diberi nomor urut dari 1 sampai 13. Di mana pun Adam mengajar, teknik
gerak tari ini digunakan sebagai pemanasan. Lihat Sal Murgiyanto, “Huriah Adam, Peneguh Tari
Minang Baru” dalam Kalam 16, Jurnal Kebudayaan (Jakarta: Komunitas Utan Kayu, 2000), hlm.
13.
260
Masyarakat Minang melihat karya tari Huriah Adam sebagai tarian baru dan khas Huriah
Adam karena tarian itu bukan lagi milik salah satu desa atau nagari. Adapun penonton non-Minang
yang tidak mengenal secara detail gerak Minang, menyebutnya sebagai tarian Minang. Namun,
bakat dan semangat besar tersebut terhenti, Huriah Adam meninggal dunia dalam usia muda akibat
kecelakaan pesawat pada 10 November, 1971. Apa yang dilakukannya merupakan awal
perkembangan tari Minangkabau sebagai karya seni yang dihargai di dalam maupun di luar negeri.
Huriah Adam berjasa membangun lintasan yang memungkinkan tari tradisional Minang pedesaan
digarap kembali dan dipertunjukkan secara kreatif sebagai karya seni, serta dilanjutkan oleh generasi
penerus. Lihat Sal Murgiyanto, “Benih Yang Ditanam”, hlm. 87, 96.
Universitas Indonesia
berkolaborasi dengan komponis Trisutji Kamal, (lahir 1936), Rama dan Sinta
(1972), Carmina Burana (1974), dan Gunung Agung Meletus (1979) yang juga
berkolaborasi dengan komponis Trisutji Kamal, Putih-Putih (1976), Daun Pulus
(1983), Tok (1985), dan Pilihan Sinta (1989). Adapun Julianti Parani melahirkan
balet Kamajaya (1969) dan Garong-garong (1974). Selain itu Parani juga
melahirkan karya tari nonbalet yang berangkat dari ketertarikannya dalam
melakukan penelitian dan revitalisasi seni-budaya Betawi. Karya tari baru Parani
yang berdasarkan budaya Betawi, antara lain: Sarung Cukin (1973), Plesiran-Cokek
Jakarta (1974), Topeng Babakan Betawi (1976), Pendekar Perempuan (1977).
Adapun karya tari lainnya yang berangkat dari seni-budaya Batak adalah Siparnipi
(1987).261 Adapun I Wayan Diya pada tahun 1973 bersama grup tarinya, Rasa
Dhvani, menggarap karya tari Jelantik Bagol (1973), I Jaya Prana (1975), Tari Cak
Cupak (1975), Tontonan (1976), dan lain-lain.
Komite Tari DKJ menyelenggarakan Festival Penata Tari Muda I pada
tahun 1978 yang dimaksudkan untuk menumbuhkan semangat dan kemampuan
menciptakan karya baru. Kegiatan itu dilanjutkan dengan Festival Penata Tari
Muda II (1979) dan Festival Penata Tari Muda III (1981). Ajang prestasi tersebut
terus digulirkan dengan nama baru Pekan Penata Tari Muda IV (1982), Pekan
Penata Tari Muda V (1983), Pekan Penata Tari Muda VI (1984). Forum karya ini
berlanjut pada tahun 1986 dengan nama baru pula: Festival Karya Tari DKJ.
Setahun berkutnya, 1987, namanya diganti lagi menjadi Pekan Koreografi
Indonesia.
Seluruh pergantian nama tersebut tidak mengandung perubahan makna
yang signifikan, meskipun dalam beberapa pelaksanaannya memiliki perbedaan
yang khas. Misalnya, dalam Festival Penata Tari Muda I, 1978, semua pesertanya
dari perguruan tinggi seni. Di tahun berikutnya, Festival Penata Tari Muda II, 1979,
pesertanya bervariasi ada yang dari perguruan tinggi seni dan ada yang dari
261
Lihat Dewan Kesenian Jakarta, “Laporan Kegiatan Tari Dewan Kesenian Jakarta
November 1968-Desember 1985” (Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, bagian Dokumentasi, 1985),
hlm. 1–9.
Universitas Indonesia
nonperguruan tinggi seni. Selanjutnya, pada Festival Karya Tari DKJ VII (1987)
para pesertanya terdiri dari gabungan penata tari (koreografer) senior dan yunior
dan karya tari yang dipertunjukkan ada yang dilombakan dan tidak dilombakan.
Festival Penata Tari Muda I (1978) adalah festival koreografer pertama
yang digagas para anggota Komite Tari DKJ262 sebagai perwujudan untuk lebih
menumbuhsuburkan penciptaan tari di berbagai daerah di Indonesia. Festival ini
diselenggarakan setelah selama 10 tahun DKJ melakukan pembinaan dan
pengembangan seni tari. Forum ini disebut sebagai Festival Penata Tari Muda
karena pesertanya relatif masih tergolong baru dalam dunia penciptaan tari di
Indonesia terutama di kalangan publik Jakarta, tempat festival ini diselenggarakan.
Jadi, penamaan “muda” pada para koreografer tersebut merujuk pada kiprah mereka
yang belum terlalu panjang sebagai koreografer.263
Gagasan menyelenggarakan festival tersebut berangkat dari kesadaran
bahwa menghidupkan, memelihara, dan melanjutkan tari tradisional tidak bisa
dilakukan dengan sekadar melakukan rekonstruksi dan preservasi, tetapi harus
disertai juga sikap kreatif baik dalam berpikir maupun bertindak. Bagong
Kussudiardja, Wisnoe Wardhana, Farida Oetoyo, Julianti Parani, dan Sardono W.
Kusumo adalah beberapa tokoh tari terdahulu yang telah membuktikannya. Usaha
keras para tokoh ini ternyata mampu menumbuhkan rangsangan bagi anak-anak
muda di berbagai daerah dan mereka melakukan berbagai upaya agar pencarian dan
pengembangan kreatif terus berlanjut. Namun upaya dan kemampuan yang
menumbuhkan harapan ini acap kali luruh sebelum berkembang karena kurang
adanya kesempatan, keleluasaan dan dukungan lingkungan, biaya, forum yang
memadai, dan terkadang disebabkan campur tangan dari pihak adat maupun pihak
yang lebih tua. Dengan demikian Festival Penata Tari Muda yang diadakan di PKJ-
262
Anggota Komite Tari DKJ penggagas Festival dan Pekan Penata Tari Muda adalah
anggota Komite Tari tahun 1975–1977 dan 1977–1978 yang terdiri dari Edi Sedyawati, I Wayan
Diya, Sal Murgiyanto, Suwandono, dan Julianti Parani. Lihat DKJ, “Laporan Kegiatan Tari Dewan
Kesenian Jakarta, November 1968–Desember 1985”, (Jakarta: Bagian Dokumentasi Dewan
Kesenian Jakarta).
263
Julianti Parani, “Sambutan Komite Tari DKJ” dalam Festival Penata Tari Muda
(Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 1978).
Universitas Indonesia
TIM, baik dalam bentuk pementasan maupun diskusi antara koreografer dengan
beberapa tokoh tari sebagai pengamat, adalah pemberian kesempatan yang lebih
luas bagi koreografer muda untuk menunjukkan karya-karya mereka, menambah
pengalaman dan menumbuhkan gairah mencipta di daerah.264
Peranan lembaga pendidikan tinggi kesenian formal seperti Akademi Seni
Tari Indonesia (ASTI) di Yogyakarta, Bandung, Denpasar, Akademi Seni
Karawitan Indonesia (ASKI) di Surakarta, dan Lembaga Pendidikan Kesenian
Jakarta (LPKJ) dalam melahirkan koreografer-koreografer muda ternyata sudah
bisa dilihat hasilnya265 Para koreografer yang tampil dalam festival pertama ini
pernah mengenyam pendidikan di salah satu institusi tersebut. Pada sisi karya, tak
sedikit dari mereka menyuguhkan kebaruan dengan pijakan artistik yang erat
kaitannya dengan tradisi dari mana mereka berasal. Koreografer yang tampil dalam
festival pertama itu: Ben Suharto (1944–1998) dari ASTI Yogyakarta, Agus
Tasman (lahir 1936) dan kawan-kawan dari ASKI Surakarta; Wiwiek Sipala (lahir
1953) dari LPKJ; Endo Suanda (lahir 1947) dari ASTI Bandung; dan I Wayan Dibia
(lahir1948) dari ASTI Denpasar-Bali.
Festival Penata Tari Muda II-1979, diselenggarakan sebagai kelanjutan
festival pertama tahun 1978, guna memberikan tempat kepada yang muda agar bisa
mengembangkan daya cipta tari dan menemukan jati diri. Selain menggelar karya
terbaru, masing-masing koreografer menuliskan proses kerja dan pengalaman-
pengalaman yang dihadapi dalam mempersiapkan karya. Pementasan dan tulisan
tersebut dijadikan titik tolak pembahasan antara para koreografer dengan pengamat,
pemikir dan pembina tari, serta hadirin lainnya peminat seni tari. Pembahasan
264
AH, “Wawancara dengan Sal Murgiyanto: Festival Penata Tari Muda Memperkenalkan
Kecenderungan Baru” dalam Berita Buana, Selasa 19 Desember 1978.
265
Lembaga pendidikan tinggi seni tersebut meminjam sistem dan bentuk pendidikan
formal seperti di Barat, namun materi atau bahan yang diajarkan digali dari bumi Indonesia, terutama
Jawa, Sunda dan Bali. Oleh sebab itu lembaga-lembaga itu selain melestarikan seni tari tradisional
dengan mengajarkan tari-tarian tersebut kepada mahasiswa, juga memacu penulisan, penelitian, dan
penciptaan karya tari baru. Mata kuliah komposisi dan koreografi yang berkembang di Barat
diajarkan pula oleh para dosen yang sempat belajar di luar negeri, terutama Amerika Serikat. Lihat
Sal Murgiyanto, “Pengantar” dalam Alma M. Hawkins, Bergerak Menurut Kata Hati, di
Indonesiakan oleh Prof. Dr. I Wayan Dibia (Jakarta: Ford Foundation bekerjasama dengan
Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia), hlm. xii.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
266
Sal Murgiyanto (ed.), “Laporan Koordinator Pelaksana”, Penata Tari Muda 1984
(Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta), hlm.10.
267
Sal Murgiyanto (ed.), “Laporan Koordinator Pelaksana”, hlm. 10
Universitas Indonesia
268
Sal Murgiyanto (ed.), “Laporan Koordinator Pelaksana”, hlm. 10; Hasil wawancara
dengan Dr. I Made Bandem di Jakarta 1998.
269
DKJ mendapat bantuan dari Yayasan Ford Foundation Jakarta untuk pendokumentasian
pertunjukan-pertunjukan para peserta dan pelaksanaan diskusi pembahasan karya selama Pekan
Penata Tari Muda VI-1984 berlangsung.
Universitas Indonesia
Selain itu, lokakarya antarpeserta yang pada pekan sebelumnya diadakan, di tahun
1984 itu tidak diselenggarakan. Hal lain, pemutaran film dan video tari dibatasi
pada hasil rekaman lima tahun terakhir dari pertunjukan para peserta pekan-pekan
sebelumnya. Fasilitas dan sarana yang memungkinkan para peserta mengadakan
komunikasi secara lebih akrab, seperti acara diskusi atau saling menonton
pertunjukan, juga tidak bisa terwujud. Pameran foto, poster, slide, dan penerbitan-
penerbitan yang berhubungan dengan Pekan Penata Tari Muda serta bahan-bahan
lain yang relevan, tidak bisa dilangsungkan.
Keterbatasan dana dari DKJ maupun di beberapa daerah yang
koreografernya diundang dalam Pekan Penata Tari Muda membuat para peserta
mengimbau partisipasi aktif anggota masyarakat, lembaga pemerintah maupun
lembaga swasta untuk memberilan bantuan dana. Rombongan peserta dari Jakarta,
Medan, dan Padang Panjang berhasil mengumpulkan sejumlah dana dari
masyarakat pendukungnya di daerah.270 Dengan demikian para koreografer yang
tampil dalam Pekan Penata Tari Muda tersebut adalah N.L.N. Swasthi Widjaja B.
(lahir 1949) dari ASTI Denpasar-Bali, Jose Rizal Firdaus (lahir 1950) dari Lembaga
Studi Tari Patria Medan, Maya Tamara (lahir 1962) dari Sekolah Balet Namarina
Jakarta, Zuryati Zubir (lahir 1950) dari ASTI Padang Panjang, Dewi Kristianti
(lahir 1960), S Pamardi (lahir 1958) dan Setya Widyawati (lahir 1961) dari ASKI
Surakarta yang berkarya bersama, Ida Wibowo (1955–2005) dari Padepokan
Bagong Kussudiardja Yogyakarta, dan Elly Raranta (lahir 1957) dari IKJ Jakarta.
Pekan Penata Tari Muda pada tahun 1986 berubah menjadi Festival Karya
Tari Dewan Kesenian Jakarta VII-1986. Dari semua penyelenggaraan yang telah
dilaksanakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tersebut tercatatlah 36 karya tari
baru yang digarap oleh 46 koreografer di Indonesia secara individual maupun
kolaborasi. Namun DKJ tidak ingin hanya mengejar kuantitas atau sekadar ajang
silaturahmi para koreografer dan pengamat dalam penyelenggaraan festival
270
Bahkan bantuan dana dari anggota masyarakat dan lembaga daerah di Medan dan
Padang membuat kedua rombongan tersebut bisa mengikuti seluruh acara yang berlangsung selama
lima hari. Lihat Sal Murgiyanto (ed.), “Laporan Koordinator Pelaksana”, hlm. 11.
Universitas Indonesia
271
Lihat Iravati M. Sudiarso, “Sambutan Ketua Dewan Kesenian Jakarta” dan Edi
Sedyawati, “Sambutan Ketua Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta” dalam Sal Murgiyanto (ed.),
Buku Program: Festival Penata Tari Dewan Kesenian Jakarta VII/1986 (Jakarta: Dewan Kesenian
Jakarta, 1986), hlm. 4–5.
272
Saat itu Edi Sedyawati menjabat sebagai Ketua Komite Tari DKJ periode 1985–1988.
Universitas Indonesia
kemampuan berkarya para insan tari Indonesia, dan sebagai satu gebrakan yang
lebih besar dibandingkan program-program sebelumnya. Potensi individual telah
semakin dikenal masyarakat tetapi tetap diperlukan ajang agar mereka dikenal lebih
luas melalui proses kreatif dan penampilan yang berkelanjutan. Dengan demikian
penyelenggaraan Pekan Koreografi Indonesia 1987 tersebut dilaksanakan sebagai
suatu peristiwa istimewa bagi para koreografer, penari, pemusik, pengamat maupun
pencinta tari. Namun upaya besar yang telah direncanakan dengan sunguh-sungguh
oleh DKJ, karena terhadang keterbatasan dana dan fasilitas, membuat DKJ tidak
bisa mengundang semua koreografer yang telah meneguhkan kehadirannya di
pentas Indonesia. Pilihan terpaksa dilakukan lagi dengan kriteria anggaran sebagai
pertimbangan utama.273
Kegiatan Pekan Koreografi Indonesia 1987 terdiri dari dua bagian, yaitu
pertama, penampilan para koreografer senior dan koreografer dari lembaga-
lembaga seni terkemuka atas undangan DKJ; dan kedua, penampilan dalam suatu
lomba dari para pendatang baru yang masih harus membuktikan dirinya layak
sebagai koreografer. Selesai pergelaran karya-karya tari, dilanjutkan dengan diskusi
yang berkisar pada masalah arah perkembangan penciptaan tari di Indonesia pada
masa itu. Masalah yang dibahas bukan saja terbatas pada karya-karya yang tampil
dalam pekan tersebut, tetapi juga mempertimbangkan dan mengamati karya-karya
lain yang pernah ditampilkan di pentas Indonesia, khususnya di PKJ-TIM.
Suka Hardjana, komponis dan pengamat seni pertunjukan di Indonesia
dalam tulisannya di harian Kompas mengatakan bahwa Pekan Koreografi Indonesia
yang menghadirkan 43 karya tari baru telah berhasil memperagakan begitu banyak
eksplorasi budaya dan keragaman ide. Terlihat semangat penciptaan karya-karya
tari baru oleh para seniman tari yang bersumber pada nilai-nilai lingkungan yang
melekat pada diri mereka, maupun karya-karya tari baru yang telah menembus
batas-batas ruang dan waktu yang mereka hadapi. Selain itu ada yang bertolak dari
273
Lihat Edi Sedyawati, “Pengantar Pekan Koreografi Indonesia Dewan Kesenian Jakarta
10 s/d 14 Juni 1987” dalam Pekan Koreografi Indonesia 1987, Buku (Jakarta: Dewan Kesenian
Jakarta, 1987).
Universitas Indonesia
penerapan pengalaman atau hasil studi dari disiplin yang pernah mereka alami ke
dalam garapan tari.274
Dalam pandangan para pengamat lainnya, I Wayan Diya, Endo Suanda,
Danarto dan Soemardjo Hardjoprasonto yang diundang DKJ untuk mengamati
kegiatan forum tersebut, bahwa kesungguhan rata-rata peserta telah menunjukkan
nilai lebih pada forum Pekan Koreografi Indonesia 1987. Pentas bukan lagi sekadar
pigura bagi seniman tari untuk mengaktualisasikan diri dengan menghadirkan
atraksi keindahan gerak dan kepandaian menata. Kemampuan koreografer
mewujudkan rasa, penghayatan dan pencarian makna merupakan nilai yang
diharapkan dari sebuah pertunjukan seni.275
Sesuai dengan kemampuan DKJ, Pekan Koreografi Indonesia mengundang
14 koreografer sebagai pribadi maupun mewakili berbagai lembaga seni tari
terkemuka untuk mementaskan karya tari mereka sebagai kulminasi pengungkapan
diri. Mereka adalah Hendro Martono (lahir 1960) dari ISI Yogyakarta dengan
karyanya Fatamorgana; Omik Ahmad Hidayat (1946) dari ASTI Bandung, Rajah;
Julianti Parani (lahir 1939) dari Jakarta, Siparnipi; Wiwiek Widyastuti (lahir 1952)
dari Jakarta, Aiii....”Loh”; Deddy Luthan (1951–2014) dari Jakarta, Tui Galodo;
Gusmiati Suid (1942–2001) dari Batu Sangkar, Limbago; Sardono W. Kusumo
(lahir 1945) dari Jakarta, 10 Menit dari Borobudur; Nanuk Rahayu (lahir 1957),
Sutarno Haryono (lahir 1955) dan I Nyoman Chaya (lahir 1952) dari ASKI
Surakarta, Nara Yana; Zulkifli (lahir 1957) dan Syaiful Erma (lahir 1960) dari
ASKI Padang Panjang, Tari Parewa; Farida Feisol (1939–2014) dari Jakarta,
Maniera; Sulistyo Tirtokusumo (lahir 1953) dari Jakarta, Diam; Wiwiek Sipala
(lahir 1953) dari Jakarta, Ironi; Joko Suko Sadono (lahir 1951) dari Jakarta, Kerlap-
kerlip Jakarta; Bagong Kussudiardja (1928–2004) dari Yogyakarta, Kuru Setra.
Adapun 29 koreografer pendatang baru karya mereka dilombakan untuk mengukur
sejauh mana gagasan dan garapan mereka layak sebagai karya tari baru yang
274
Lihat Suka Hardjana, “Dari Pekan Koreografi Indonesia, Sardono dan Makna Sebuah
Pekan Seni” dalam Kompas, 28 Juni 1987.
275
Hasil rangkuman dari rekaman suara dalam forum diskusi usai pertunjukan Pekan
Koreografi Indonesia 1987, di Teater Tertutup TIM, 14 Juni 1987, koleksi DKJ.
Universitas Indonesia
276
Seniman-seniman di Jakarta terutama yang aktif di DKJ dan PKJ-TIM adalah seniman-
seniman yang sudah banyak berhubungan dengan kegiatan kesenian internasional yang saat itu
sedang demam dengan kesenian modern dan kontemporer. Seniman tari Sardono W. kusumo yang
baru pulang dari Amerika Serikat, I Wayan Diya dari India, dan Farida Oetoyo dari Rusia dan
beberapa kota besar di Eropa, juga telah mengembuskan semangat modern dan kontemporer dalam
dunia tari di Indonesia khususnya di Jakarta.
277
Hasil wawancara dengan Sal Murgiyanto dan I Wayan Dibya di Jakarta, 2014.
Universitas Indonesia
278
Para koreografer muda Indonesia yang diundang ke Festival dan atau Pekan Penata Tari
Muda saat itu juga belum peduli dengan kata “kontemporer”. Bagi mereka, mendapat kesempatan
keluar dari kegelisahan dengan bebas berkarya tanpa terikat tradisi dan kemudian bisa tampil di
PKJ-TIM, merupakan penegasan jadi diri yang diakui secara nasional. Hal tersebut adalah hasil
wawancara dengan koreografer-koreografer yang tampil dalam Festival Penata Tari Muda, Pekan
Penata Tari Muda, dan Pekan Koreografi Indonesia, yaitu: Wiwiek Sipala, Dedy Lutan, Tom Ibnur,
S.Trisapto, Ery Mefri, Wahyu Santoso, Sulistyo Tirtokusuma, M. Miroto. Juga wawancara dengan
para penggagas kegiatan forum tersebut: Edi Sedyawati, Sal Murgiyanto, Julianti Parani, di Jakarta
dan Surakarta 2013–2015.
Universitas Indonesia
dikategorikan sebagai karya baru yang masih mengikuti pola karya yang sudah ada
sebelumnya.
285
Secara garis besar tari Jawa gaya Yogyakarta berdasarkan jenisnya yakni, peran dalam
tari dibedakan menjadi dua: peran putra (karakter putra) dan peran putri (karakter putri). Untuk peran
putri hanya satu pola gerak pokok yang digunakan, ngenceng encot atau nggruda. Pola gerak untuk
peran putra terdapat empat ragam yaitu: impur untuk karakter putra halus, kambeng untuk karakter
putra gagah, kalang-kinantang untuk karakter putra halus dan gagah, dan bapang untuk karakter
putra gagah berwatak kasar dan sombong. Peran Arjuna dan Karna termasuk dalam karakter putra
halus. Lihat GBPH Suryobronto, “Ragam Tari Klasik Gaya Yogyakarta” dalam Mengenal Tari
Gaya Yogyakarta (Yogyakarta: Dewan Kesenian Propinsi DIY, 1981), hlm. 83.
286
Lihat Ben Suharto, “Lelangen Beksan Wirathaparwa”.
Universitas Indonesia
287
Cupak Grantang adalah pertunjukan teater rakyat tradisional Bali dan Lombok, diringi
musik dengan alat Grantang. Ceritanya berpusat pada dua tokoh kakak-beradik, Cupak dan
Grantang, yang sifat mereka bertolak belakang, menggambarkan sifat baik dan buruk dalam
kehidupan manusia. Cupak mencerminkan sifat buruk seperti rakus, dengki, sering berkhianat, suka
mencuri. Penampilannya mengenakan topeng berwajah buruk, berbadan tambun, gerak-geriknya
menyebalkan. Grantang seorang yang rendah hati, baik budi, sopan, dan digambarkan sebagai
pemuda yang tampan, gagah, tetapi tetap halus. Dalam pertunjukan selalu diakhiri dengan
menampilkan yang baik sebagai pemenang.
288
Di Bali, ngrobog atau magrobogan adalah membunyikan beraneka ragam alat bunyi-
bunyian untuk mengusir kekuatan-kekuatan jahat yang dapat mengganggu ketenteraman hidup
manusia. Lihat I Wayan Dibia, “Grobogan” dalam Festival Penata Tari Muda 1978 (Jakarta: Dewan
Kesenian Jakarta, 1978).
Universitas Indonesia
memadai untuk memperoleh berbagai kemungkinan baru sehingga Dibia sendiri tak
ragu menyebutnya sebagai karya tari kontemporer Bali.289
Salah satu sebab terjadi penurunan keberanian kreatif pada karya berjudul
Grobogan Cupak Grantang, yang dipentaskan di Festival Penata Tari Muda I-1978,
menurut dugaan para pengamat karena karya tersebut dipersiapkan di tempat asal
Dibia, Bali. Di sana ia harus berhati-hati karena berhadapan langsung dengan adat
atau orang-orang tua. Menggarap hal baru, bisa dilakukan bila ada restu dari para
orang tua atau yang dituakan. Dugaan lain, tradisi seni Bali yang sangat kaya itu
mempersempit kemungkinan untuk penciptaan baru sehingga diperlukan kekuatan
kreatif yang lebih besar dari yang sudah ada.290
Karya tari Grobogan Cupak Grantang dikategorikan sebagai karya tari baru
hasil pengembangan dari tradisi, meskipun karya tersebut tidak banyak beranjak
dari seni tari dan teater tradisional Bali. Di beberapa bagian tetap terdapat
eksplorasi. Pada musik, misalnya, dilakukan eksperimen dengan mengunakan
Grobogan yaitu bunyi-bunyian yang biasa digunakan untuk mengusir kekuatan
jahat. Eksperimen semacam itu termasuk baru pada masa tersebut.
289
Karya tari baru Dibia yang digarap di akhir tahun 1970-an menurutnya mendapat
pengaruh global secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh tidak langsung diperoleh melalui
foto-foto di Dance Magazine kiriman teman-teman yang sedang berada di Amerika, di antaranya I
Made Bandem. Kebebasan penggunaan tubuh manusia (penari) dalam tari modern Amerika yang ia
tangkap dalam foto-foto tersebut menginspirasinya untuk mencari kemungkinan-kemungkinan
dalam tubuhnya maupun tubuh penari-penarinya. Memanfaatkan kebebasan dalam pengertian tidak
adanya keterbatasan memosisikan kepala dan kaki, seperti yang ada dalam tari Bali yang
penggunaannya sangat diikat oleh prinsip tri angga yaitu pembagian tubuh manusia atas tiga bagian:
kepala, badan, dan kaki. Karya tersebut menimbulkan polemik di Bali karena Dibia telah melanggar
pembagian “tiga dunia tersebut” yang melekat pada tubuh manusia (Bali). Konsep tri angga
dipengaruhi oleh kosmologi Hindu Bali yang memandang dunia terdiri atas tiga bagian: dunia atas
(swah) tempatnya Tuhan dan para dewa lainnya, dunia tengah (bhwah) yang dihuni manusia dan
makhluk-makhluk lainnya, dan dunia bawah (bhur) yang didiami oleh para bhuta kala. Dengan
konsep ini, kepala disebut sebagai utama angga (harus ditempatkan di level paling tinggi), badan
sebagai madya angga (harus ditempatkan di level tengah), dan kaki sebagai nistha angga (harus
ditempatkan di level paling bawah). Hasil wawancara dengan I Wayan Dibia melalui email, 9 Maret
2015.
290
Berita Buana, “Wawancara dengan Sal Murgiyanto: Festival Penata Tari Muda
Memperkenalkan Kecenderungan Baru”, Selasa 19 Desember, 1978; Wawancara dengan I Wayan
Dibia di Jakarta, November 2014.
Universitas Indonesia
291
Tari Surakarta “gaya Sasonomulyo” adalah gaya penggarapan seni pertunjukan yang
diolah oleh Gendhon (Sedyono Djojokartika) Humardani (1923–1983) bersama murid-muridnya
saat ia memimpin Pusat Pengembangan Kesenian Jawa Tengah (PKJT) di Surakarta, 1970–1983,
dan Ketua Akademi Seni Karawitan Surakarta (ASKI), 1975–1983. Pada masa itu Gendhon bersama
murid-muridnya melahirkan karya-karya tari, karawitan, dan pedalangan baru yang sempat
membuat resah kalangan seni tradisional di Surakarta karena dianggap keluar dari pola (pakem)
yang sudah ada dalam seni pertunjukan tradisional Surakarta. Dasar-dasar seni yang digariskan
PKJT dan ASKI Surakarta dan produk-produk yang dihasilkan sampai sekarang dikenal sebagai
“gaya Sasonomulyo” atau “gaya Gendhon Humardani”. Ciri-ciri “gaya” tersebut dalam karya tari
putri antara lain tempo gerak lebih cepat dan dinamis, volume gerak lebih lebar, jika dibandingkan
karya tari tradisional Surakarta. Adapun pada karya tari putra selain tempo gerak lebih cepat dan
dinamis, juga geraknya lebih lugas dan tegas. Rustopo (ed.), Gendhon Humardan Pemikiran dan
Kritiknya (Surakarta: STSI Press, 1991), halaman cover belakang; hasil wawancara dengan Prof.
Dr. Sri Rochana Widyastutieningrum, 3 September 2016.
292
Dalam tari Jawa gaya Surakarta sedikitnya dikenal tiga golongan tokoh utama dalam
teater tradisional: gaya putri (lemah gemulai) untuk peran putri atau dewi; gaya putra alus atau
alusan untuk tokoh kesatria muda dan tampan serta dewa; gaya gagahan untuk tokoh-tokoh gagah
perwira. Gaya gagah ini bisa dipecah lagi menjadi gaya yang lebih alus yang disebut gagah, dan
gaya yang lebih kasar yang disebut kasar, yang biasanya digunakan untuk peranan raksasa atau kera.
Perbedaan tersebut ada hubungannya dengan peraturan menari yang tercantum dalam Serat
Kridhwayangga yang dinamakan patokan beksan. Lihat Clara Brakel-Papenhuyzen, Seni Tari Jawa,
Tradisi Surakarta dan Peristilahannya (Jakarta: Perpustakaan Nasional, Katalog dalam Terbitan,
1991), hlm. 84.
Universitas Indonesia
4.2.5. Wiwiek Widyastuti (1952) dan Djoko Suko Sadono (1951): Gado-gado
Jakarta
Gado-gado Jakarta, judul karya tari yang digarap oleh Wiwiek Widyastuti
dan Djoko Suko Sadono, ditampilkan dalam Festival Penata Tari II-1979, bertolak
293
Lihat Wahyu Santoso Prabhawa dan Nora Kustantina Dewi, Rudrah, (Surakarta: Sub
Proyek ASKI, Proyek Pengembangan IKI, 1979/1980).
Universitas Indonesia
dari tari tradisional Betawi Kembang Topeng, Topeng Kedok, dan Pencak Silat
Betawi yang diramu menyatu, bak gado-gado, sebagai karya tari. Ide yang
kemudian diproses menjadi konsep garapan karya tersebut diambil dari pengalaman
hidup si koreografer . Dalam proses kerja dan latihan, upaya eksplorasi dan
eksperimentasi sebagai bagian dari kreativitas diupayakan tanpa terkekang oleh
tradisi, dengan memanfaatkan unsur seni tari, teater, rupa dan cahaya. Bagian-
bagian tubuh penari, tangan, kaki, lengan, kepala, dieksplorasi oleh kedua
koreografer untuk bisa bergerak dalam ruang-ruang tak terbatas. Berbagai alternatif
dilakukan dalam pencarian dan atau pengembangan gerak tari karena kesadaran
koreografer pada keterbatasan ragam gerak tari Betawi dibandingkan dengan ragam
gerak tari Jawa atau Bali, misalnya. Selain itu terdapat pula kehendak mereka
memasukkan gerak tari nontradisi dan atau modern dan ekspresi teatrikal.
Dalam garapan karya Gado-gado Jakarta tersebut koreografer juga
mencoba bereksprimen dengan cahaya untuk mengetahui seberapa jauh imajinasi
yang bisa ditimbulkan oleh gerak yang ditopang dinamika cahaya. Eksperimen
lainnya adalah penggunaan dekor berupa layar-layar putih yang pada akhir
pertunjukan dicoreti cat oleh para penari sehingga seakan-akan menjadi lukisan
abstrak.
Komposisi musik karya Gado-gado Jakarta merupakan perpaduan antara
Gambang Kromong dengan permainan rebab, dan pada beberapa bagian digarap
secara ekperimental dengan memanfaatkan keahlian para pemain gamelan Jawa,
Sunda dan Betawi.294
Karya tari Gado-gado Jakarta bisa disebut karya baru karena unsur
tradisinya hanya diikuti sebagian. Porsi besarnya adalah garapan tari baru dengan
unsur seni rupa yang membuat tata cahaya (lighting) tidak sebagai penerang belaka
namun sebagai unsur yang inherent yang kalau ditiadakan berarti menghapus karya
tersebut. Dalam teater tradisional Betawi hal seperti itu tidak dijumpai. Widyastuti
294
Sal Murgiyanto (ed.), Segi Kata Dari Festival Penata Tari Muda II 1979 (Jakarta: P.T.
Sinar Harapan dan Dewan Kesenian Jakarta, 1980), hlm. 24–9; Julianti Parani, “Hasil Pengamatan
Festival Penata Tari Muda II”, dalam Kompas, 24 Desember 1979.
Universitas Indonesia
dan Sadono telah melakukan pembaruan yang tidak terpaku pada pakem karena
pakem pada dasarnya adalah pembatasan. Menyadari perbendaharaan gerak yang
terbatas pada seni tari Betawi, kreativitas mereka dipompa untuk mengatasinya.
Dari situ muncullah pembaruan dengan melibatkan gamelan Jawa dan Sunda yang
berkelindan dengan Gambang Kromong. Unsur bunyi yang baru tersebut untuk
mengakomodasikan gerak baru nontradisi dan ekspresi teatrikal yang tak bisa
dipasangkan dengan Gambang Kromong belaka. Karya ini sungguh sebuah ciptaan
baru meskipun kebetawiannya masih jelas tertampakkan.
295
F.X Widaryanto, “Bagaimana Jika yang Tua-tua yang Diamati? Festival Penata Tari
Muda yang Tidak Muda Lagi” dalam Pikiran Rakyat, 30 Desember 1979. Lihat juga Tri Nardono,
“Empiri” dalam Sal Murgiyanto (ed.), Segi Kata dari Festival Penata Tari Muda II 1979, (Jakarta:
P.T. Sinar Harapan dan Dewan Kesenian Jakarta, 1980), hlm. 62–9.
Universitas Indonesia
unsur gerak Pencak Silat296 Minangkabau, dan gerak tari Randai297 yang diiringi
dendang (lagu) berisi syair sebagai penyampai inti cerita.298
Suid mengolah gerak Pencak Silat dan Randai untuk drama tarinya itu
dengan gerak-gerak dinamis yang menuntut kemampuan teknik dan stamina tinggi
dari para penarinya. Ia juga menata berbagai variasi pola lantai untuk kepentingan
tampilan di Teater Arena PKJ-TIM.299 Adapun untuk garapan musiknya, Suid
memakai musik sebagai pengiring dan ilustrasi yang dihasilkan dari bunyi alat-alat
musik tradisional Minangkabau seperti talempong, kendang, rebab, pupuik (suling
khas Minangkabau), ditambah bunyi-bunyian dari alat-alat sederhana seperti: kayu
dan bambu.
Drama tari Puti Galang Banyak bisa dikategorikan sebagai karya tari baru
pengembangan tradisi karena baik sumber garapan maupun hasil garapannya masih
kuat mengekspresikan unsur tradisi. Berbagai karya tari Suid sejak tahun 1962
hingga awal tahun 1980-an masih merupakan karya baru pengembangan dari tradisi
yang kentara sumbernya, meski ia sudah sering disebut sebagai “pemberontak”
terhadap tari tradisional Minangkabau yang dianggapnya terlalu manis dan lemah
gemulai, seperti pandangan Huriah Adam, gurunya. Namun, di tahun 1987-an dan
hingga akhir hayatnya di tahun 2001, karya-karya Suid sudah melampaui tradisi
296
Pecak Silat adalah seni bela diri yang hingga kini masih dipraktikkan di banyak daerah
di Indonesia, mulai dari Jawa, Sumatra, Madura, Bali hingga Sulawesi (Utara dan Selatan) dan
Maluku. Asal muasal Pencak Silat masih sulit diidentifikasikan dengan tepat, namun salah satu teori
mengatakan bahwa Pencak Silat berasal dari Jawa Barat (Parahiyangan) dan menyebar ke
Minangkabau. Teori tersebut ada yang membantahnya dan mengatakan bahwa Pencak Silat di
Indonesia berasal dari Silek Minang. Lihat O’ong Maryono, Pencak Silat: Merentang Waktu
(Yogyakarta: Yayasan Galang, 1999).
297
Tari Randai merupakan paduan antara tari, pencak silat, musik, lagu, dan drama yang
menyampaikan cerita rakyat Minangkabau. Salah satu kekhasan Randai adalah pola melingkar yang
dilakukan pemain dalam penyajiannya. Surya Dharma Eka Sakti, “Teks Randai Umbuik Mudo
Karya Musra Dahrizal (Tinjauan Antropolosi Sastra)” dalam Wacana Etnik, Jurnal Ilmu Sosial dan
Humaniora Vol 1 (Padang: Pusat Studi Informasi Dan Kebudayaan Minangkabau dan Sastra Daerah
FIB Universitas Andalas, 2010), hlm. 165.
298
Seni sastra dalam bentuk pantun, yang berfungsi dalam kehidupan sehari-hari bagi
masyarakat Minangkabau, biasa diucapkan dengan memakai irama tertentu. Sebagai contoh seni
Basaluang, yang dipentingkan oleh pendengar bukan iramanya tetapi pada isinya, dan jika isinya
mengena di hati penonton maka penonton akan bersorak sebagai tanda puas. Lihat Gusmiati Suid,
“Puti Galang Banyak” dalam Sal Murgiyanto (ed.), Segi Kata Dari Festival Penata Tari Muda II
1979, (Jakarta: P.T. Sinar Harapan dan Dewan Kesenian Jakarta, 1980), hlm. 33.
299
Sal Murgiyanto (ed.) Segi Kata, hlm. 44.
Universitas Indonesia
300
Suid telah tiba pada ranah kontemporer yang dengan kritis mempertanyakan masa lalu
yang disebut tradisi. Hal mempertanyakan tradisi melahirkan karya tarinya yang bertajuk Api dalam
Sekam yang ditampilkan dalam festival tari internasional “Art Summit Indonesia” di Jakarta, 1998.
Hal Art Summit Indonesia akan dijelaskan lebih lengkap di Bab V.
Universitas Indonesia
301
Prembon adalah drama tari yang diciptakan pada awal tahun 1940-an, merupakan
gabungan berbagai elemen dari genre-genre tari yang ada di Bali antara lain Arja, Gambuh, Baris,
Topeng, ceritanya diambil dari babad, dan diiringi gamelan Gong. I Made Bandem & Fredrik
Eugene de Booer, Kaja and Kelod, Balinese Dance in Transition (Kuala Lumpur: Oxford University
Press, 1981), hlm. 96. Dalam perkembangannya genre tari Legong dan Bebarongan juga
dimasukkan dan iringan dengan menggunakan gamelan Gong Kebyar. Lihat
www.babadbali.com/seni/drama/dt-prembon.htm diunduh 13 Februari, 2016.
302
Untuk proses garapannya itu, I Made Netra sangat terbantu karena sebagian besar
pemain gamelan adalah pemain senior yang mumpuni. I Made Netra, “Majangeran” dalam Sal
Murgiyanto (ed.), Segi Kata dari Festival Penata Tari Muda II 1979 (Jakarta: P.T. Sinar Harapan
dan Dewan Kesenian Jakarta, 1980), hlm. 70–9.
Universitas Indonesia
303
I Made Netra, “Majangeran”, hlm. 70–9 .
304
Wireng adalah tari putra berpasangan (dua, empat, delapan, dan seterusnya) dengan
gerak dan pakaian yang sama. Karakter geraknya bisa berbentuk tari gagahan atau alusan. Pada
umumnya tema tariannya adalah keprajuritan atau keperwiraan. Lihat Sulistyo S. Tirtokusumo,
“Ario Jipang” dalam Sal Mrgiyanto (ed.), Segi Kata Dari Festival Penata Tari Muda II 1979,
(Jakarta: P.T. Sinar Harapan dan Dewan Kesenian Jakarta, 1980), hlm. 53–4; Clara Brakel-
Papenhuyzen, Seni Tari Jawa, hlm. 53.
Universitas Indonesia
seperti memasang potret-potret Sri Susuhan Paku Buwana, kain-kain cinde, ukiran
khas keraton, dan penataan busana yang juga khas keraton.
Meskipun begitu, mau tidak mau untuk kesesuaian dengan karya, gerak dan
pola lantai tari Bedaya yang sudah punya aturan itu dimodifikasi oleh Tirtokusumo.
Adapun gerak tari Wireng hampir tak diubah kecuali pada adegan pekelahian Ario
Jipang melawan Sutowijoyo dihadirkan dalam pentas sunyi, tanpa iringan gamelan.
Satu-satunya suara hanyalah dari gerak tubuh penari yang sedang bertanding itu.
Suasana yang muncul adalah perang yang halus tetapi sekaligus kuat dalam
atmosfer rasa, dan memberi peluang bagi imajinasi betapa sengitnya kebencian
antara mereka yang sedang bertanding itu.
Dalam garapan bunyi lebih lanjut, Tirtokusumo menghadirkan dialog yang
dibarengi dengan tembang dan patethan saat terjadi peralihan dari tarian Wireng
oleh penari putra ke tarian Bedaya yang dibawakan penari putri. Hal itu merupakan
penyajian baru karena tidak biasa dalam garapan musik tradisional Jawa.
Melalui uraian ini, dapatlah disebut bahwa karya Tirtokusumo, Ario Jipang,
merupakan karya baru pengembangan dari tradisi, yang pendekatannya bukan
hanya bersumber dari tradisi, tetapi justru ingin menghadirkan kembali tradisi
dengan melakukan perubahan dan atau pembaruan seperlunya di beberapa bagian.
Namun justru pembaruan seperlunya itulah yang membuat karya ini menjadi baru,
karena, walaupun seperlunya, diolah dengan kemahiran tinggi dalam penguasaan
seni tari tradisional Jawa.
Hal yang dilakukan Tirtokusumo tampaknya sesuai dengan konsep Eric
Hobsbawm bahwa menghadirkan tradisi merupakan usaha untuk memantapkan
suatu tradisi yang dibentuk secara formal, namun bisa pula diartikan sebagai suatu
respons terhadap situasi baru dengan mengambil bentuk dari masa lalu (reka
cipta).305 Reka cipta tradisi seperti yang dilakukan Tirtokusumo tersebut bisa
dikatakan bukan hanya mempertahankan dan menghadirkan kembali tradisi, tetapi
305
Eric Hobsbawm, “Introduction: Inventing Traditions” dalam Eric Hobsbawm dan
Terence Ranger (eds.), The Invention of Traditions (London: Cambridge University Press, 1983),
hlm. 1–14.
Universitas Indonesia
bila diperlukan juga membentuk kembali tradisi sehingga bisa mencapai tujuan
yang diinginkan yaitu tujuan budaya, sosial, ekonomi dan politik.306
306
Yasmine Z. Shahab, Identitas dan Otoritas: Rekonstruksi Tradisi Betawi (Depok:
Laboratorium Antropologi FISIP-UI, 2003), hlm. 130.
307
Seblang adalah sebuah tarian kesuburan, dengan penampilan pokok seorang penari
dalam keadaan ekstase atau kemasukan roh tertentu. Kedatangan roh merupakan tumpuan harapan
akan keselamatan desa, kesuburan, kesejahteraan desa, terjauhkan dari malapetaka dan segala
penyakit. Tarian ini diringi gamelan berlaras slendro dan pelog, dan pertunjukan Seblang
diselenggarakan di halaman terbuka. Lihat A.M. Munardi, “Seblang” dalam Sal Murgiyanto (ed.),
Ungkapan dan Bahasan, Festival Penata Tari Muda III 1981 (Jakarta: Sinar Harapan dan Dewan
Kesenian Jakarta, 1981), hlm. 13–4.
308
Dalam pertunjukan Seblang tradisional, penarinya hanya satu orang, sedangkan
pendukung lainnya hanya berfungsi sebagai pendamping, sebagai penyanyi, pelawak, dukun yang
kadang disebut juga pengundang. A.M. Munardi, “Seblang”, hlm. 14.
309
Semangat kebersamaan dalam Seblang garapan Munardi terinspirasi dari semangat
kebersamaan pelaku Seblang dengan penonton yang selalu tampak padu. A.M. Munardi, “Seblang”,
hlm. 15.
310
A.M. Munardi, “Seblang”, hlm. 14.
Universitas Indonesia
311
Pada penyajian Seblang di desa Olehsari, mata penari terpejam saat menarikan tarian
keris, dan mereka sungguh-sungguh tidak sadarkan diri karena dipercaya kerasukan roh tertentu.
Kedatangan roh merupakan tumpuan harapan akan keselamatan desa, datangnya kesuburan,
terjauhkan dari malapetaka dan segala penyakit. A.M. Munardi, “Seblang”, hlm. 14; Rochmad,
“Yang Perlu Dicatat dari: Festival Penata Tari Muda III 1980” dalam Merdeka, 18 Februari 1981.
Universitas Indonesia
Olah gerak yang digunakan Hadi adalah gaya tari Yogyakarta yang
diwariskan di dalam keraton. Bentuk-bentuk komposisi tari tradisional Bedaya,
Serimpi, Beksan,312 dijadikan inspirasi untuk dipilih dan kemudian dikembangkan
sesuai kebutuhan penyampaian tema dalam pertunjukan. Pada awal pertunjukan
disajikan suasana dalam kehidupan kerabat abdi dalem saat mereka melakukan
tugas dari raja di keraton sesuai dengan panggilannya, sebagai penari atau
pengrawit. Dihadirkan pula kegiatan petugas pengantar teh, pembakaran dupa, dan
sesaji ayam hidup. Setelah itu secara perlahan beranjak memasuki suasana
pengadeganan garapan tari.
Dalam olahan musiknya, Hadi menyerahkan sepenuhnya kepada penata
iringan, dengan menggunakan bahan dasar dari komposisi-komposisi gending
Mataraman yang disesuaikan untuk keperluan garapan tarinya. Ritme iringan tari
juga disesuaikan dengan garapan tari dan tidak selalu mengikuti ritme gamelan
yang dibunyikan, demi menghadirkan suasana-suasana yang diperlukan. Dalam
sebuah adegan, misalnya, komposisi tari yang sedang ditarikan dalam suasana
lembut tiba-tiba dihentikan. Penghentian gerak dan iringan tari tersebut dilakukan
untuk menghadirkan konflik batin, suasana hati keraguan Rama dalam menentukan
keputusannya.
Kostum tari Kagunan Beksan Kusa dan Lawa digarap sederhana, tidak
seperti kostum tari di Keraton Yogyakarta. Kesederhanaan ini dilakukan untuk
keutuhan garapan tari tanpa mengganggu hakikat gerak. Tata pentas yang
dihadirkan sesuai dengan wujud garapan yaitu dibagi menjadi alam bayangan dan
312
Cara menggolongkan tari klasik Jawa yang paling diterima umum, yang didasarkan pada
pelaksanaan pergelaran tari-tarian keraton, yaitu beksan putri (tarian putri), beksan putra (tarian
putra), beksan wayang (tarian wayang). Ketiga klasifikasi tersebut tidak hanya untuk tari-tarian
keraton klasik melainkan juga untuk menggolongkan tarian desa atau daerah-daerah lain di Jawa.
Lihat Edi Sedyawati, Pertumbuhan Seni Pertunjukan (Jakarta, Sinar Harapan, 1981), hlm. 7–8;
Soedarsono, Wayang Wong, the State Ritual Dance Drama in the Court of Yogyakarta (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1884), hlm. 1–6; Clara Brakel-Papenhuyzen, Seni Tari Jawa, hlm.
44. Oleh Wisnoe Wardhana dalam tulisannya “Tari Tunggal, Beksan dan Tarian Sakral Gaya
Yogyakarta” dalam Mengenal Tari Klasik Gaya Yogyakarta (Yogyakarta: Dewan Kesenian Prop-
DIY-Proyek Pengembangan Kesenian DIY. Dept P&K, 1981), hlm 39, Beksan diuraikan sebagai
bentuk tarian keistanaan. Petilan atau Beksan itu bervariasi tergantung pada latar belakang lakon
dan ragam tarinya, seperti: Beksan“Dandun-Wijeseno”, Beksan “Gatutkoco-Sekipu”, Beksan
“Bancak-Doyok”, dan lain-lain.
Universitas Indonesia
alam nyata. Penggunaan level bertingkat tiga adalah untuk mengungkapkan fokus
tertentu dalam penggarapan adegan, sedangkan pegolahan pola lantai dengan garis-
garis asimetris untuk menggambarkan keraguan dan konflik.313
Karya tari Kagunan Beksan Kusa dan Lawa tersebut termasuk dalam
kategori karya tari baru hasil pengembangan dari tradisi.
313
Lihat Y. Sumandiyo Hadi, “Kagunan Beksan Kusa dan Lawa” dalam Sal Murgiyanto
(ed.), Ungkapan dan Bahasan Festival Penata Tari Muda III 1981 (Jakarta: P.T. Harapan dan
Dewan Kesenian Jakarta), hlm. 29; Rochmad, Merdeka, 18 Februari 1981.
314
Tari Keurseus atau sering juga disebut Ibing Keurseus adalah tarian yang disusun dari
tari pergaulan bangsawan Sunda, Tayub, yang tidak berpola, dan dibawakan oleh si penari sesuai
dengan kemampuannya. Tarian ini kemudian menjadi berpola, mempunyai susunan, dan terdiri dari
beberapa ragam. Tarian ini disusun oleh R. Sambas Wirakoesoemah, Lurah Rancaekek (Bandung)
pada sekitar tahun 1920-an untuk keperluan pembelajaran atau kursus (dari bahasa Belanda, cursus)
tari kepada para bangsawan Sunda yang kemudian melahirkan berbagai repertoar tarian Kuerseus
dengan karakter yang berbeda. Lihat Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat,
www.disparbud.jabarprov.go.id./wisata/dest-det.php?id=854&lang=id, diunduh 19 November
2016.
315
Menurut Rusliana, walaupun cerita Sunda Pantun telah sejak lama sering dipakai
sebagai sumber garapan tari, namun tidak terdapat aturan pembakuan yang mentradisi tentang ciri
dari karakter tokoh-tokohnya. Tokoh Mundinglaya, misalnya, kadang diungkapkan dengan ciri
satria lungguh atau luruh (tenang) seperti Arjuna, atau berkarakter branyak (lincah) seperti tokoh
Dipati Karna. Lihat Iyus Rusliana, “Mundinglaya Salaka Domas” dalam Sal Murgiyanto (ed.),
Universitas Indonesia
karya yang menampilkan Mundinglaya dengan jiwa dan raga tangguh dalam
mengarungi berbagai cobaan lahir-batin untuk mencapai kesempurnaan hidup.
Dalam proses penggarapan, salah satu caranya adalah dengan improvisasi dan
eksplorasi untuk memperoleh pengembangan gerak dari gerak-gerak tari tradisional
Sunda, pencarian suasana dramatik dan penentuan adegan, pengolahan pola lantai
dan ruang pentas.
Garapan musik iringan karya tari sebagai pengatur irama dan penegas ritme
gerak, penguat dinamika, dan pembentukan suasana, dilakukan Rusliana dengan
tetap menggunakan gamelan berlaras pelog, dilengkapi dengan kecapi dan suling,
selain keprak, cek-cek, teot-teot, alat tiup dari bambu, yang tidak lazim digunakan
dalam karawitan Sunda. Tembang juga digunakan sebagai pengganti dialog untuk
menceritakan lakon yang dilakukan oleh juru pantun.316
Kostum dan tata rias penari perempuan dalam karya Mundinglaya Salaka
Domas bersumber dari kostum tari tradisional klasik Sunda, mengenakan kain
batik, selendang, lengkap dengan hiasan kepala, telinga, pinggang, lengan, tangan,
dan memberi kesan mewah laiknya putri dan atau penari keraton.
Karya tari garapan Iyus Rusliana tersebut bisa dikategorikan sebagai karya
tari baru hasil pengembangan tradisi.
Ungkapan dan Bahasan Festival Penata Tari Muda III-1981 (Jakarta: P.T. Harapan dan Dewan
Kesenian Jakarta, 1981), hlm. 49.
316
Sal Murgiyanto (ed.), Ungkapan dan Bahasan, hlm. 49
317
Gerak tari pada Reog bertumpu pada kaki, kepala, leher dan kekuatan gigi penari,
sehingga penampilan yang menonjol lebih bersifat akrobatik. Soenarto A.S, “Reog” dalam Sal
Murgiyanto (ed.), Penata Tari Muda 1982 (Jakarta: P.T. Harapan dan Dewan Kesenian Jakarta,
1982), hlm. 19.
Universitas Indonesia
maka Soenarto menggarap Reog yang dibawakan oleh dua penari dadak merak
dengan dukungan penari-penari lainnya. Penari dadak merak pertama tetap
memainkan dadak merak seperti halnya dalam tradisi Reog, dan penari kedua lebih
aktif membawakan tarian yang digarap dan dikembangkan dari gerak-gerak tari
tradisional yang ada di Jawa Timur. Dengan demikian penari yang kedua dapat
memperagakan kekayaan gerak tari tradisional Jawa Timuran. Namun kedua penari
dadak merak tersebut tetap menampilkan keselarasan karena oleh Soenarto diolah
menjadi satu kesatuan yang utuh.
Unsur gerak tari tradisional Jawa Timuran yang dijadikan bahan untuk
menggarap karya Reog tersebut adalah tari Ngremo dari Surabaya dan Jombang,
Topeng Dalang dari Madura, Topeng Dalang Kedungmonggo dari Malang, Reog
di Tulungagung, Jaranan di Kediri, Reog Dadak Merak dari Ponorogo, dan tari-
tarian Banyuwangi. Ragam gerak tari-tarian itu bisa dikelompokkan menjadi tari
gecul, tari gagahan, tari alus, tari kenes dan alus, dan tari gagah dan gecul.318
Seluruh unsur tari dan ragam gerak itu dieksplorasi, dikembangkan,
kemudian dipilih seturut kebutuhan penampilan sesuai tema dengan diiringi
garapan musik yang memanfaatkan instrumen gamelan slendro lengkap, angklung,
slompret (terompet) tradisi Reog, dipadu dengan tembang-tembang Dolanan,
Macapat, dan unsur Sulukan pedalangan Jawa Timuran, ditambah suara-suara
bebas sesuai kebutuhan untuk menghadirkan suasana yang diinginkan dalam karya.
Kostum tari digarap dengan menggunakan kain polos tanpa motif batik dan
menonjolkan warna-warna seperti, hitam polos pada celana dan sabuk, kain merah
hati, angkin jingga, salendang biru, sesuai dengan peran dalam garapan tarinya.
318
Di dalam teater tari tradisional di Jawa termasuk di Banyuwangi dikenal tiga golongan
tokoh utama yang perwatakkannya menyerupai tokoh wayang kulit, yang bisa dibedakan pada gaya
geraknya yaitu gaya putri (lemah gemulai) untuk peranan putri dan dewi, gaya putra alus atau alusan
untuk tokoh kesatria muda dan tampan maupun dewa, dan gaya gagahan untuk tokoh-tokoh yang
gagah perwira. Gaya gagahan tersebut bisa dibagi lagi menjadi gaya yang lebih halus yang disebut
gagah dan gaya yang lebih kasar yang disebut kasar. Selain itu dikenal juga perwatakan yang lebih
detail yaitu kenes alus yaitu pada tokoh yang halus tetapi lincah, suka bergaya dan menawan hati,
juga gagah gecul yaitu tokoh yang gagah sekaligus jenaka. Lihat Clara Brakel-Papenhuyzen, Seni
Tari Jawa, hlm. 84.
Universitas Indonesia
Pemililihan tata kostum tersebut juga untuk menghadirkan bentuk gerak penari
menjadi gagah dan kuat sesuai dengan gerak-gerak tari yang disusun.
Karya tari Reog garapan Soenarto A.S tersebut dapat disebut sebagai karya
tari baru pengembangan tradisi karena tampilan unsur tradisionalnya masih
menonjol meski telah diolah melalui eksplorasi dan inovasi untuk disesuaikan
dengan selera zamannya.
319
Makyong merupakan gaya teater tradisional Melayu yang lahir di Semenanjung Malaya
sekitar abad ke-17 dan masuk ke pulau Bintan, Riau, sekitar abad ke-19. Teater tradisional ini berisi
gabungan antara seni tari, seni suara, seni musik, dan seni teater. Walaupun bersifat teater rakyat,
pada mulanya kesenian ini termasuk kesenian istana karena dipentaskan untuk mengisi acara di
kalangan istana, pada siang maupun malam hari. Para pemainnya terdiri dari penyanyi, penari,
pelawak, dan para pemain musik yang menggunakan topeng dan kuku panjang buatan yang disebut
canggai. Ceritanya umumnya komedi yang dipimpin oleh ketua panjak. Ensiklopedi Nasional
Indonesia Jilid 10 (Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1990), hlm. 65; Edi Sedyawati, “Seni
Pertunjukan” dalam Indonesian Heritage (Jakarta: Buku Antar Bangsa untuk Grolier Internasional,
Inc., 2002), hlm. 100.
Universitas Indonesia
mengelak, dayung sebelah; untuk gerak kaki: lenggang kuak, geser, berjinjit,
menyingsing, melayah, menumit, langkah empat sauk.
Tata pentas drama tari Putri Bungsu digarap tidak rumit agar bisa
ditampilkan di ruang terbuka maupun tertutup. Drama tari tersebut diiringi lagu-
lagu Melayu dan menggunakan alat-alat musik tradisional Melayu seperti serunai,
gedombak (gendang yang terdiri atas gendang pengibu dan gendang penganak),
talempong, breng-breng (gong pipih), canang (gong gantung). Busana tarinya
dikembangkan berdasarkan busana drama tari Makyong, antara lain, kebaya
panjang, kain sarung, pending, selendang, hiasan kepala, hiasan dada untuk penari
perempuan, sedangkan penari laki-laki mengenakan celana panjang, kain sarung,
ikat kepala.
Drama tari Putri Bungsu tersebut termasuk drama tari garapan baru
pengembangan dari tradisi.
320
Sebelumnya Tom Ibnur tampil dalam Pekan Penata Tari Muda IV-1982 bersama Dedy
Lutan dengan karya tari berjudul Awan Bailau, dan karya tersebut dikategorikan sebagai karya tari
kontemporer pada masa itu.
Universitas Indonesia
Pedang. Selama lebih dari lima bulan Ibnur pulang-balik Jakarta-Sumatera Barat
untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang berkaitan dengan bahan
kesenian yang akan digarapnya sesuai dengan gagasannya. Selain itu di Jakarta ia
menyiapkan sejumlah penari muda. Menjelang pementasan, Ibnur menggabungkan
penari dan pemusik di Jakarta dengan para penari tua dari Sumatera Barat.
Membawa serta penari tua dari daerah asal merupakan gagasan dan
keinginan Ibnur untuk lebih bisa mengangkat tari tradisional menjadi tontonan yang
komunikatif sekaligus menghidupkan suasana tontonan di area pentas sesuai ide
garapan. Ini sebuah karya tari untuk tontonan masa kini yang diadakan bukan hanya
di daerah asalnya tetapi juga di tempat lain, yaitu Jakarta, yang juga memiliki
komunitas Minangkabau dengan jumlah anggota tidak sedikit. Adapun upaya Ibnur
melibatkan penari dan pemusik muda yang tinggal di Jakarta yaitu agar para penari
dan pemusik yang mempelajari tari Minangkabau di Jakarta bisa lebih mengenal
seni pertunjukan tradisional dan upacara adat yang dilakukan oleh orang-orang asal
tradisi tersebut. Selain itu, bagi Ibnur mengajak penari-penari muda dari sanggar
Minangkabau di Jakarta terasa ada tantangan untuk digarap dengan pencarian-
pencarian dan teknik tari baru yang tidak terlalu jauh lepas dari teknik tari Minang
tradisional sehingga nilai-nilai khas Minang tidak terhapus.
Di Padang Alai, hampir setiap minggu talempong yang ditabuh ibuk-ibuk (=
ibu-ibu) terdengar di perhelatan, baik perhelatan perkawinan, menaiki rumah baru,
syukuran kelahiran anak dan lain-lain. Semua kegiatan tersebut sudah menjadi
kebiasaan mereka dan talempong yang ditabuh tersebut disimpan di rumah mereka
masing-masing.
Oleh Ibnur, enam buah talempong dengan empat orang penabuhnya dibagi
dalam empat bagian pula, yakni, dua talempong basauah, dua talempong
momongan, satu talempong paningkah, satu talempong aguang,321 dan satu
321
Talempong basuah termasuk bagian dari talempong pacik, yaitu talempong yang
memainkannya dengan dipegang dan digantung di tangan; talempong paningkah juga bagian dari
talempong pacik yang ditabuh untuk memberi bunyi tingkahan dari bagian talempong lainnya yakni
talempong palaku dan talempong anak; talempong momongan adalah talempong untuk arak-arakan
berjumlah enam buah dan talempong yang lebih besar dipukul oleh enam orang; talempong aguang
Universitas Indonesia
gandang lasuang yaitu permainan bunyi dengan memukul lesung panjang. Bunyi
lesung tersebut selanjutnya dipadu dengan bunyi gandang dan pukulan talempong.
Sikap ibuk-ibuk yang terbuka dan lebih bebas terhadap adat, membuat mereka tidak
berjarak ketika Ibnur mengolah permainan talempong dan katuntuang dipukul
bersama dan menjadi riuh berbunyi.
Berbeda dengan ibuk-ibuk di Bukit Limbuku, pemain ratok bawak lebih
berhati-hati dalam berkesenian. Adat lebih kuat mengikat rasa gerak mereka, karena
mereka dari lingkungan darah biru. Ninik Mamak, adat, dan lingkungan pada
awalnya membatasi kebebasan ungkapan mereka. Namun dengan pendekatan yang
intens, secara bertahap Ibnur bisa mengatasi tantangan tersebut.
Adapun Napar merupakan desa yang generasi tuanya telah mengelola
keseniannya dengan baik sehingga kesenian tradisional bisa terpelihara dan
berkembang, seperti terpeliharanya tari Pedang, Randai, permainan talempong dan
saluang. Namun, di daerah ini generasi mudanya kurang terlibat dalam kegiatan
kesenian karena sebagai petani ataupun pedagang kecil, mereka harus bekerja keras
untuk kehidupan rumah tangganya.
Sesuai keinginannya, Ibnur lalu menyatukan ketiga nagari tersebut dalam
garapan Ambau Jo Imbau dan membuahkan suatu kerja sama yang baik, bahkan
tumbuh sikap berkesenian yang intensif. Mereka berdialog tentang apa yang mereka
lakukan, dan di dalam dialog maupun kerja sama tersebut kemudian muncul
berbagai macam ide baru. Akhirnya muncul kesadaran bahwa antara Ibnur dan
ibuk-ibuk sesungguhnya telah melakukan “sesuatu” untuk kebersamaan, dan
kebersamaan itu tertuang dalam karya tari baru garapan Ibnur, Ambau Jo Imbau.
Bagi Sayuti Nurdin (Pimpinan Sekolah Kesenian Indonesia Padang)
garapan karya Ambau Jo Imbau telah menjadi semacam upacara yang berbentuk
kesenian atau kesenian yang seolah-olah upacara. Upaya Ibnur mengembangkan
dan menggarap kesenian tradisional menjadi suatu karya baru dari ketiga nagari
tersebut mendapat restu dan dorongan Gubernur Kepala Daerah Tingkai I Provinsi
yaitu talempong yang diletakkan di atas rak kayu dan dimainkan dengan paduan bunyi gengang
gong. Hasil wawancara dengan Tom Ibnur, 3 Januari 2015.
Universitas Indonesia
Sumatera Barat 1983, Azwar Anas, sehingga semua pendukung Awan Jo Imbau
dari ketiga nagari itu sangat bersemangat.
Iringan musik karya tari tersebut menggunakan beberapa alat musik
tradisional Minangkabau: talempong, saluang, rabab, katuntuang, talempong
aguang, gandang dan tong-tong yang dipadu dan digarap dengan vokal berupa
nyanyian, dialog, bersyair dan ratapan.
Warna hitam mendominasi garapan busana tari Ambau Jo Imbau, dipadu
dengan busana tradisional masyarakat Luhak Lima Puluh Kota dengan berbagai
corak ragamnya, terutama untuk busana penari perempuan, dipakai untuk memberi
kesan dan suasana sesuai gagasan karya tari tersebut. Perempuan memakai sarung
batik yang dikenakan lebih panjang dari kain di luarnya, berhias renda emas
(lambak baninsia). Baju kurung hitam berselendang sandang ayam-ayam membelit
dari pinggang hingga bahu, dan kepala memakai tangkuluak talakuang berwarna
putih yang nantinya diganti dengan tangkuluak kompong terbuat dari kain batik.
Paniti wang dukat dan kalung rago-rago merupakan perhiasan yang melengkapi
busana penari perempuan tua (ibuk-ibuk). Penari laki-laki memakai sarawa
galembong dan baju galembong berwarna hitam, di bahunya membelit salempang,
sedangkan pinggang diikat dengan ikek pinggang barumbai. Kepala memakai deta
(destar) berwarna hitam.
Ambau Jo Imbau bisa dikategorikan sebagai karya tari baru pengembangan
tradisi yang dalam proses penggarapannya Ibnur banyak memanfaatkan dan
menggali materi seni tradisional dari tiga nagari sebagai bahan, yang pada beberapa
bagian Ibnur juga melakukan perubahan dan atau pembaruan. Dalam karya tersebut
Ibnur sesungguhnya sekaligus menghadirkan kembali tradisi bahkan
mengikutsertakan masyarakat pendukung seni tradisional tersebut yang relatif
berumur, yang kemudian berkolaborasi dengan penari muda dari Jakarta.
Di dalam diskusi yang membahas karya Tom Ibnur setelah pertunjukan,
muncul beberapa tanggapan dari para pengamat dan menjadi topik hangat. Sal
Murgiyanto (pengamat dan anggota Komite Tari DKJ) mengatakan bahwa
keinginan Ibnur untuk membawa serta penari tua dari daerah asal, patut mendapat
Universitas Indonesia
penghargaan. Menilai karya yang menggarap suatu tradisi yang masih hidup di
kalangan pendukungnya, proses kreatifnya tidak bisa dinilai hanya dari aspek
artistik koreografis saja. Chairul Tanjung (Ketua Badan Koordinator Kesenian
Nasional Indonesia Sumatera Barat) juga mengungkapkan bahwa karya tari yang
berangkat dari tradisi perlu diamati secara artistik-antropologis. Mursal Ensten
(Pimpinan Taman Budaya Padang) menambahkan bahwa jika melihat karya tari
dari segi fungsi dan konteks sosialnya, maka Ambau Jo Imbau memiliki arti yang
sangat penting bagi Sumatera Barat karena usaha Ibnur untuk tetap menekankan
kaitan pertunjukan tari dengan upacara adat Minang, mampu membuat penonton
Minang di Jakarta tetap bertahan dari awal sampai akhir.322
Penghadiran kembali tradisi yang dilakukan Ibnur dalam karya Ambau Jo
Imbau, menyerupai apa yang dilakukan Sulistyo Tirtokusumo dalam karyanya Ario
Jipang yang tampil dalam Pekan Penata Tari II-1979. Hal yang dilakukan Ibnur
sesuai dengan konsep Eric Hobsbawm mengenai tradisi, yakni bahwa
menghadirkan tradisi berupa kebiasaan dan seni tradisional dari tiga nagari di
Sumatera Barat merupakan usaha untuk menciptakan suatu tradisi yang dibentuk
secara formal (reka cipta), namun bisa pula diartikan sebagai suatu respons terhadap
situasi baru dengan mengambil bentuk dari masa lalu.323 Reka cipta tradisi seperti
yang dilakukan Ibnur bisa dikatakan bukan hanya mempertahankan dan
menghadirkan kembali tradisi, tetapi bila diperlukan juga membentuk kembali
tradisi sehingga bisa mencapai tujuan yang diinginkan yaitu tujuan budaya, sosial,
ekonomi dan politik.324
322
Lihat Sal Murgiyanto (ed.), Penata Tari Muda 1983 (Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta,
1984), hlm. 22–5.
323
Eric Hobsbawm, “Introduction: Inventing Tradition”, hlm. 1–14.
324
Yasmine Z. Shahab, Identitas dan Otoritas, hlm.130.
Universitas Indonesia
……………………………..
Nurdin Daud dan Marzuki Hasan menggarap karya tari berjudul Ramphak,
ditampilkan dalam Pekan Penata Tari Muda V-1983. Ide garapannya
mengungkapkan keterbatasan manusia dalam mengarungi hidup dan dalam upaya
mencari yang haq, keterbatasan manusia dalam penghayatan keagamaan, selain
pada hakikatnya kegiatan dan peristiwa kesenian adalah peristiwa manusia,
peristiwa kebersamaan. Peristiwa kebersamaan kemanusian itu adalah proses
belum selesai, yang mungkin tidak pernah selesai, dan merupakan bagian dari
keterbatasan tersebut.
Anggapan bahwa bentuk-bentuk kesenian tradisional Aceh hanyalah
perpanjangan yang ada sangkut pautnya dengan keislaman, iman, taqwa, syariat-
syariat, dakwah dan lain-lain, bagi Daud dan Hasan, sesungguhnya pengaruh itu
hanya ada pada rohnya, bukan pada bentuk kesenian itu sendiri. Melalui kekayaan
bentuk dan semangat kesenian itulah Daud dan Hasan mengangkatnya menjadi
karya tari baru dengan tema pencarian manusia kepada Tuhannya.
Universitas Indonesia
325
(1) Tari Seudati merupakan sebuah adat tari rakyat dari Daerah Istimewa Aceh. Kata
Seudati kemungkinan besar diambil dari bahasa Arab, syahadatain, atau menurut beberapa orang,
meusaman. Seudati diyakini oleh orang Aceh muncul bersamaan dengan penyebaran Islam, yang
pada saat itu digunakan untuk mengajarkan Islam kepada masyarakat dengan cara menghibur.
Sebagai pertunjukan tari, Seudati terdiri atas unsur sastra dan musik yang dihasilkan dari tubuh
penari dengan menggunakan kertakan jari, tepukan tangan atau dada (untuk penari laki-laki) dan
paha (untuk penari perempuan), serta entakan kaki di tanah. Lagu Seudati diambil dari Al Qur’an
atau secara kreatif dikembangkan oleh aneuk syahi, kedua penyanyi-penyair. Gerak-gerak tari
Seudati diilhami dari alam sekeliling seperti cabang yang ditiup angin, kebuasan seekor elang,
keberanian ayam jantan, dan lain-lain. (2) Tari Pho adalah tari dari D.I. Aceh lainnya dan Pho
berasal dari kata peubae yang artinya meratoh atau meratap. Pho juga berarti panggilan atau sebutan
penghormatan dari rakyat hamba kepada Yang Mahakuasa yaitu Po Teu Allah. Tarian ini dibawakan
oleh para perempuan, dan dahulu biasanya dilakukan pada saat kematian raja-raja atau pembesar
lainnya, berupa doa kepada Yang Mahakuasa dan mengeluarkan isi hati yang sedih karena ditimpa
kemalangan disertai ratap tangis. Sejak berkembangnya agama Islam, tarian ini tidak lagi dihadirkan
pada waktu kematian, tetapi telah menjadi kesenian rakyat yang sering ditampilkan pada upacara-
upacara adat selain kematian. (3) Tari Saman adalah sebuah tarian suku Gayo yang biasa
ditampilkan untuk merayakan peristiwa-peristiwa penting dalam adat. Syair dalam tarian Saman
menggunakan Bahasa Gayo. Selain itu biasanya tarian ini juga ditampilkan untuk merayakan
kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dalam beberapa literatur menyebutkan tari Saman di Aceh
digarap dan dikembangkan oleh Syekh Saman, seorang ulama yang berasal dari Gayo (Aceh
Tenggara) dan tarian ini sebagai salah satu media untuk pencapaian pesan (dakwah). Dalam
perkembangannya tari Saman mengandung pesan pendidikan keagamaan, budi pekerti,
kepahlawanan, dan kebersamaan. Lagu dan syair dalam tarian tersebut diungkapkan secara bersama
dan berkesinambungan, pemainnya terdiri dari pria-pria yang masih muda-muda dengan memakai
pakaian adat, duduk berjajar dan bergerak rampak dan dinamis. Penyajian tarian Saman dapat juga
dipertandingkan dengan grup tamu. Penilaiannya dititikberatkan pada kemampuan masing-masing
grup untuk menampilkan gerak tari dan lagu (syair) yang seringkali disampaikan spontan untuk
menjawab atau menandingi grup lawan. (4) Rateb Meuseukat berkembang di Aceh Barat Daya
ditampilkan dalam acara-acara keagamaan Islam yang disebut rateeb atau meurateeb, yang biasanya
dilakukan di tempat-tempat pengajian dalam rangka mendekatkan diri pada Allah SWT. Selain itu
juga ditampilkan di acara-acara adat, seperti perkawinan dan khitanan. Tarian ini dibawakan oleh
para perempuan dengan pakaian adat, duduk berjajar dan berdiri dengan gerakan yang rampak dan
dinamis, bergerak sambil menyanyi dalam bahasa Aceh dan diiringi rapa’i dan geundrang. Edi
Sedyawati, “Seni Pertunjukan”, hlm. 70–1; Muhammad Umar, Profil Budaya/Kesenian Kabupaten
Aceh Barat Daya (Aceh Barat Daya: Yayasan Busafat Banda Aceh, 2000).
Universitas Indonesia
dipadu dengan penghayatan atas syair baru yang digarap dari syair tradisional Aceh
yang didendangkan oleh Hasan dalam bahasa Aceh, maupun puisi baru dalam
bahasa Indonesia yang dibawakan oleh Hamid Jabar. Bukan hanya kata-kata dan
suara, tetapi tepukan tangan di paha, di dada, geseran dan entakan kaki khas tari
tradisional Aceh pun dipadukan sebagai puisi bunyi dari tubuh. Gerak-gerak tari
tradisional Aceh lainnya ditata oleh Daud melalui disipilin tinggi dari para penari
yang berjumlah 22 orang yang memiliki berbagai macam teknik tari non-Aceh,
sembilan penari perempuan dan 13 penari laki-laki, dan menghasilkan koreografi
Ramphak yang semarak, dinamis, variatif, dan baru, seakan mengajak penonton di
Teater Arena PKJ-TIM untuk turut terlibat secara ragawi ataupun jiwani selama 55
menit.
Kebaruan karya tersebut antara lain pada bercampurnya berbagai unsur
tradisi Aceh dan non-Aceh dalam satu karya yang yang kemudian dieksplorasi
sehingga menghasilkan gerak-gerak baru; gubahan syair berbahasa Aceh sesuai
tema yang dinyanyikan oleh Hasan maupun sebagian oleh penari; dimasukkannya
puisi berbahasa Indonesia disertai garapan gerak bagi penyair sesuai isi puisinya;
penggarapan level panggung maupun posisi penari yang tidak hanya duduk berjajar
tetapi menyebar hingga ke berbagai sudut; dan bercampurnya penari laki-laki dan
perempuan dalam satu garapan. Oleh sejumlah tokoh Aceh yang berada di Jakarta,
karya Nurdin Daud dan Marzuki Hasan itu bisa diterima. Namun teguran ditujukan
kepada kedua penata tari tersebut dari para tokoh dan seniman Aceh yang berada di
tempat asalnya. Bagi mereka digabungkannya berbagai unsur tari dan nyanyi
tradisional dalam satu karya masih terasa janggal, dan bercampurnya penari laki-
laki dan perempuan dalam satu karya sepatutnya tidak dilakukan.326
Setahun kemudian, 1984, karya Nurdin Daud dan Marzuki Hasan lainnya
yang berjudul Huu (diciptakan pada 1980) yang ide, gerak, maupun musiknya juga
berangkat dari tari dan musik tradisional Aceh, Seudati, Ratoh Deuk, Pho, dan
Saman, serta tampilnya penari laki-laki dan perempuan dalam satu karya,
326
Lihat Nurdin Daud dan Marzuki Hasan, “Ramphak” dalam Sal Murgiyanto (ed.), Penata
Tari Muda 1983 (Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 1983).
Universitas Indonesia
327
Cerita Anglingdarma cukup dikenal di Bali dan sering dipakai sebagai lakon baik dalam
Drama Gong maupun Arja dengan bentuk pertunjukan serta penafsiran cerita tersendiri.
Universitas Indonesia
melakukan penggarapan cerita tersebut dalam bentuk drama tari Gong dan Arja.
Melalui itu, ia mulai menggarap konsep berupa bagian-bagian cerita yang menjadi
pokok yang kiranya bisa dituangkan ke dalam bentuk karya tari. Kemudian
dilanjutkan dengan melakukan eksplorasi gerak. Dalam mengeksplorasi gerak-
gerak tarinya itu, ia tetap menggunakan materi tari tradisional Bali namun ia juga
melakukan pengembangan dan penggarapan gerak sesuai kebutuhan.
Pada bagian pertama, untuk menggambarkan kebingungan dan kesedihan
Prabu Anglingdarma karena tuntutan permaisurinya, Swasthi mengeksplorasi
geraknya melalui gerakan para penari yang berkelompok sambil memegang
lamak328 yang digerakkan tinggi ke belakang.329 Begitu juga untuk menghadirkan
kesan api hingga datangnya kutukan kepada Anglingdarma, para penari bergerak
berkelompok dengan menampilkan berbagai gerakan tangan dengan berbagai
garapan pola lantai. Pada bagian kedua yang menggambarkan suasana romantis
antara Anglingdarma dengan ketiga putri, Swashi mewujudkannya dengan adegan
dan gerak berkasihan secara bergantian. Saat Anglingdarma heran dan curiga atas
menghilangnya ketiga putri tersebut dari sisinya, diungkapkan dengan sedikit gerak
namun diperkuat dengan ekspresi wajah dan diiringi gending Ginada Candrawati.
Selanjutnya pada bagian ketiga, ketika menggambarkan suasana kuburan dengan
menampilkan ketiga putri yang sedang memakan bangkai, Swasthi memberi
kebebasan kepada penari untuk menafsirkan dan mengekspresikan sendiri bagian
tersebut, baik dalam ekspresi wajah maupun geraknya. Bahkan penari boleh
berimprovisasi dalam melakukannya sejauh tidak lepas dari maksud garapan
tarinya. Adapun pada bagian akhir saat Anglingdarma ditenung menjadi belibis dan
berenang sambil bergurau dengan belibis-belibis lainnya, ditampilkan melalui
328
Lamak adalah bagian dari kostum tari yang menjuntai di bagian dada. Lamak bisa dilihat
misalnya pada kostum tari Legong yang dipasang di dada, menjuntai sampai paha. Biasanya, lamak
terbuat dari kulit atau kain. Hasil wawancara dengan Dr. Ni Nyoman Sudewi, 6 April 2015.
329
Di dalam perbendaharaan tari tradisional Bali, para penari putri biasa menggunakan
lamak untuk menggambarkan kesedihan. Dalam karya tari Anglindarma, gerak tangan penari oleh
Swasthi diangkat lebih tinggi ke belakang. Lihat N.L.N. Swasthi Widjaja B., “Anglingdarma” dalam
Sal Murgiyanto (ed.), Penata Tari Muda 1984 (Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta,1984), hlm. 22.
Universitas Indonesia
sekawanan penari belibis memakai busana tari putih bersih, bergerak romantis
sekaligus ceria.
Kostum tari Anglingdarma dirancang khusus agar tidak mengganggu
gerakan tarinya dan dibuat lebih praktis dalam pemakaiannya dengan tetap
memperhatikan keindahannya. Iringan musik tari sepenuhnya ditangani oleh penata
iringan berdasarkan konsep garapan tari. Iringan tari tersebut menggunakan
sebagian dari barungan Semar Pagulingan330 yang terdiri dari dua pasang gender
rambat, satu pasang gejogan, satu pasang kendang krumpungan, gong, cengceng,
beberapa buah suling dengan ukuran besar dan kecil. Selain itu digunakan juga
vokal, tembang Ginada Candrawati dan Ginada Basur. Suasana lembut bahkan
dalam beberapa bagian digarap sunyi, menghadirkan irama dan suasana iringan
yang ada kalanya justru berlawanan dengan suasana dan irama gerak, merupakan
bagian dari garapan musik Anglingdarma dan hal tersebut tidak biasa dan atau baru
dalam garapan musik tari tradisional Bali.331
Itulah yang antara lain membuat karya Swasti dinilai sebagai karya baru
pengembangan dari karya tradisional. Swasthi menangani karyanya tersebut
dengan konsep berbeda yaitu menggarapnya secara ketat, meski ia tetap selalu
berdialog dengan penari, penata musik maupun pemusiknya agar bisa dicapai hasil
yang baik dan semua pendukung merasa terlibat secara optimal. Garapan yang ketat
tersebut merupakan sesuatu yang baru dalam drama tari di Bali, karena drama tari
tradisional Bali merupakan teater komunal yang unsur improvisasi dan keterlibatan
penonton sangat besar seperti dalam Kecak, Sanghyang, dan Drama Gong. Selain
aspek komposisi tari dan musik, panggung (penggarapan setting), lampu,
330
Barungan Semar Pagulingan, barungan berarti kumpulan dari berbagai jenis tungguhan
(satu satuan dari alat sumber bunyi tertentu) yang menjadi satu kesatuan (ensambel), dan Sekar
Pagulingan yaitu barungan madya perpaduan antara gamelan Gambuh dan Legong, yang bersuara
merdu sehingga pada zaman dahulu banyak digunakan untuk menghibur raja-raja dimalam hari.
Bahkan konon dimainkan ketika raja-raja akan tidur. Kini, Semar Pagulingan biasa dimainkan
sebagai sajian tabuh instrumentalia dan atau mengiringi tarian dan teater. Pande Made Sukerta, Gong
Kebyar Buleleng: Perubahan Keberlanjutan Tradisi Gong Kebyar (Program Pasca Sarjana bekerja
sama dengan ISI Press Surakarta, 2009), hlm. 374.
331
Berdasarkan pandangan Ben Suharto dan Edi Sedyawati dalam acara diskusi setelah
pertunjukan berlangsung. Lihat N.L.N. Swasthi Widjaja B., “Anglingdarma”, hlm. 22.
Universitas Indonesia
disesuaikan dengan tempat karya itu akan ditampilkan, dan disesuaikan dengan
tuntutan karya tari sebagai pertunjukan masa kini. Hal tersebut merupakan sesuatu
yang baru bagi generasi muda Bali saat itu (1984).332
Sejak awal Swasthi Widjaja B. sadar bahwa saat itu melakukan pembaruan
di Bali tidaklah mungkin terlalu jauh melangkah. Oleh sebab itu unsur tari dan
musik tradisional tetap sebagai bahan utama. Eksplorasi dan pengembangan yang
dilakukannya diutamakan untuk lingkungan akademis atau lingkungan di luar Bali.
Harapannya semua lapisan masyarakat Bali kemudian bisa menerima garapan
barunya, setelah karyanya diterima penonton dan pengamat tari di luar Bali.333
saja. Dalam perkembangannya tarian ini digunakan untuk mengantar pengantin dan menyambut
pengantin. (6) Tari Ahoi adalah tarian menginjak-injak (mengirik) padi pada waktu selesai panen,
diiringi vocal yang berisi pantun panjang dan dilakukan bersahut-sahutan. Gerak tarinya dimanis
pada gerak kaki dan tangan dan tarian ini dilakukan untuk menghilangkan rasa letih saat berkerja
bergotong royong mengirik padi. (7) Tari Sarah merupakan bagian dari Zapin, dan menurut
sejarahnya masuk ke Sumatera dari Arab (Hadralmaut). Musik pengiringnya biola, gendang dan
gambus. Lihat Jose Rizal Firdaus, “Simpai Geri” dalam Sal Murgiyanto (ed.), Pekan Penata Tari
Muda 1984 (Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 1984), hlm. 28–9; Edi Sedyawati, “Seni
Pertunjukan”, hlm. 68–9.
335
Di Sumatera Utara, khususnya di Medan, penari Melayu yang tersedia hampir semuanya
amatir dari sanggar-sanggar tari dan mereka biasa berlatih menari karena hobi dan atau untuk
mengisi waktu luang. Saat berlatih tari, pelatih tidak terbiasa memberikan olah tubuh kepada para
penari agar tubuh mereka menjadi lentur, melainkan langsung kepada nomor tari atau materi tari
Melayu yang akan dilatih. Dengan demikian kesiapan tubuh penari di Sumatera Utara untuk bisa
dikembangkan lebih jauh dan teknik tari Melayu menjadi terbatas. Lihat Jose Rizal Firdaus, “Simpai
Geri”, hlm. 25–32.
Universitas Indonesia
Iringan karya tari Simpai Geri adalah lagu-lagu dalam musik Melayu yang
instrumennya terdiri dari akordeon, gendang Hadrah, bansi dan vokal. Pemilihan
lagu sebagai iringan maupun irama dan melodi dilakukan sendiri oleh Firdaus
dibantu penata musik dengan memanfaatkan lagu Patam-patam yang diperlambat
untuk diletakkan di bagian awal garapan tari, lagu Sri Deli, Musalmah, Setelah
Nyata, vokal Ahoi dan gumam Selendang Delima.
Firdaus memilih karya tarinya itu ditampilkan di pentas arena karena ingin
memperoleh suasana yang lebih intim dengan penonton dan bisa sepenuhnya
menggunakan keempat jurusan ruang dengan pola lantai diagonal, lingkaran dan
garis lurus horizontal. Adapun penggunaan setting berbentuk pintu gerbang dari
tiang-tiang bambu untuk menggambarkan suasana di dalam dan di luar rumah.
Kostum tari yang digarap untuk karya Simpai Geri merupakan modifikasi
dari pakaian panglima dan pendekar. Busana penari perempuan yang berperan
sebagai pendekar memakai baju silat yang dipendekkan tangannya dan diketatkan
dengan menggunakan bahan kaos. Penari perempuan sebagai pemeran utama
memakai pakaian yang biasa dipakai untuk penari Melayu ditambah tempat keris
yang diletakkan sebelah kiri . Adapun penari laki-laki pemeran pendekar memakai
celana silat, baju kaos dan ikat pinggang. Penari laki-laki pemeran panglima
memakai baju kecak musang336 di bagian luar, dan dikombinasikan dengan kerah
teluk belanga, ikat kepala destar, dan keris.
Karya tari Simpai Geri garapan Jose Rizal Firdaus merupakan karya tari
baru pengembangan dari tradisi Melayu. Dalam acara diskusi sesudah pertunjukan
karya tari, Tengku Luckman Sinar SH, seorang pengamat dan pembina tari dan
musik daerah Melayu di Sumatera Utara, mengatakan bahwa Firdaus telah berhasil
mendudukkan posisi penari perempuan sejajar dengan penari laki-laki melalui
penggarapan gerak-gerak tari berdasarkan pencak silat. Selain itu Firdaus juga
berani menampilkan penari dengan busana tari yang sederhana, penataan musik
yang kaya bunyi, misalnya, perbedaan pukulan gendang untuk setiap tampilan jenis
336
Semacam teluk belanga, tetapi lebih panjang hingga lutut dan kerah berdiri. Biasa
dipakai oleh pengantin laki-laki Melayu.
Universitas Indonesia
lagu. Pengembangan gerak Rhodat dengan posisi penari laki-laki tidur terlentang
dan mengangkat serta memainkan kedua kaki ke atas, maupun melakukan
persentuhan tangan penari laki-laki dan perempuan dalam gerak dasar pencak silat,
merupakan upaya pencarian dan pengembangan gerak dalam tari tradisional
Melayu.337
337
Lihat Jose Rizal Firdaus, “Simpai Geri”, hlm. 25–32.
338
Menurut Maya Tamara sulit mendefinisikan apa yang dimaksud dengan tarian jazz,
tetapi ciri-cirinya bisa ditandai yaitu, 1) banyak menggunakan level rendah dengan menekuk lutut
yang mendekatkan berat tubuh ke lantai; 2) kecepatan memindahkan berat badan dari kaki yang satu
ke kaki yang lain; 3) pemisahan bagian tubuh dalam gerak, yang dikenal dengan isolations yaitu
mengembangkan gerak pada masing-masing bagian tubuh; 4) menggunakan irama yang rumit dan
sinkopasi gerakan; 5) gerak dan musik menyatu dalam ekspresi. Lihat Maya Tamara, “Tarian Dalam
Warna Dan Musik” dalam Sal Murgiyanto (ed.), Pekan Penata Tari Muda 1984 (Jakarta: Dewan
Kesenian Jakarta, 1984), hlm. 40; Edi Sedyawati, “Pekan Penata Tari Muda, Sesudah Masa
Rintisan” dalam Kompas Minggu, 30 September 1984.
Universitas Indonesia
Dengan demikian karya tari tersebut tidak berangkat dari cerita tertentu
tetapi suatu permainan perpaduan warna, dengan memasukkan karakter setiap
warna baru hasil perpaduan warna dasar ke dalam garapan gerak tari. Untuk bisa
mengidentifikasikan warna-warna itu ke dalam unsur gerak diperlukan gerakan
tubuh yang bebas, lepas, dan penuh dinamika. Kemampuan teknik tari yang
memadai diperlukan dalam bereksplorasi untuk mendapatkan gerak-gerak yang
bebas, lepas, penuh dinamika sekaligus ekspresif. Warna merah menggambarkan
keberanian, ketegasan dan dinamis; biru dengan kelembutannya memberi
ketenangan; kuning bersifat cerah melambangkan sinar matahari, dan seterusnya.
Urutan penyampaikan warna dan karakternya dilaksanakan layaknya seorang
pelukis membuat coretan pada kanvas dengan enam warna tersebut, dibawakan oleh
penari secara ritmis dan penuh tenaga, sesuai dengan karakter yang diperankan.
Kanvas besar dengan kepingan-kepingan cermin yang didasari warna hitam
dipasang di panggung sebagai setting, dipadu dengan pencahayaan dan busana
penari merupakan kesatuan yang saling mendukung.
Sesuai dengan judulnya, Tarian dalam Warna dan Musik, Tamara memilih
musik rock, pop dan jaz dari Rick Wakeman, Camel dan Manaige sebagai iringan
musik, karena ketiga jenis musik tersebut mempunyai karakter yang berbeda-beda
sesuai dengan warna-warna yang digarap. Warna merah, misalnya, adalah warna
yang berkarakter berani, tegas, dan penuh dinamika memerlukan alunan musik
yang keras dengan sentuhan irama yang berkobar-kobar. Berbeda dengan warna
hitam, diperlukan musik yang juga keras tetapi ada unsur berat bagi yang
mendengarkannya.
Karya Tamara ini adalah seni tari yang berlandaskan balet. Dalam perspektif
sejarah seni tari Barat, balet adalah tapak awal menuju seni tari modern (modern
dance). Di dalam balet, gerakan-gerakannya dijaga sopan dan emosi yang
terkandung di dalamnya ditumpahkan melalui stilisasi kesantunan. Dari situ
kemudian berkembang tari modern yang tokohnya antara lain Martha Graham dan
Doris Humphrey. Di sini dikembangkan gaya (style) baru dengan menggelontorkan
emosi manusia tanpa terlalu dibungkus kesantunan. Ini yang membedakan balet
Universitas Indonesia
dengan tari modern. Selanjutnya, sejarah seni tari Barat mencatat, setelah modern
dance yang eksis pada tahun 1920-1960an muncullah gelombang baru yang disebut
postmodern dance. Di sini terjadi perubahan radikal dalam cara berlatih dan
pertunjukannya. Para penari mengasah ketubuhannya dengan berbagai
kemungkinan gerak, termasuk gerak pedestrian dan juga kontak fisik yang keras.
Bahasa gerak penari menjadi sangat lain dibanding tari modern apalagi balet.
Improvisasi tidak lagi digunakan sebagai alat dalam eksplorasi kreatif, melainkan
masuk dalam struktur pertunjukan. Postmodern dance yang menyeruak di tahun
1960-an hingga 1970-an itu memancing reaksi dari para seniman tari yang sudah
matang dalam gerak. Mereka menilai para penari postmodern hanya sekadar
bergerak belaka dan penuh eksperimentasi namun tanpa keterampilan seni tari. Para
reaksionari ini, yang disebut sebagai post-postmodernists, menghela kembali seni
tari kepada estetika gerak yang telah dikembangkan pada periode modern dance.
Pada pertengahan tahun 1970-an, dari para post-postmodernists ini dikenal istilah
tari kontemporer.
Kembali kepada Maya Tamara dengan karyanya yang berjudul Tarian
dalam Warna dan Musik, pertunjukannya itu masuk dalam golongan modern dance,
sebuah genre tradisional dalam perspektif Barat. Tamara tidak melakukan
eksplorasi untuk membuat karyanya dalam jalur semangat pembaruan sebagaimana
yang dilakukan para post-postmodernists. Tamara bergeming pada teknik gerak
modern dance tradisional.
Universitas Indonesia
polos, memandang alam semesta dengan empati, dan mensyukuri karunia Allah.
Timbullah kerinduan akan masa kanak-kanak, manembah (menyembah, berserah
kepada Yang Maha Kuasa), kasih sayang, rasa kebersamaan dalam kehidupan desa
yang tanpa prasangka. Namun kerinduan itu tiada kunjung datang, harapan-harapan
kabur tiada kunjung terjelaskan.
Bertolak dari pengalaman mengamati dan mempelajari tari rakyat Jawa
Tengah disertai penguasaan gerak tari tradisional klasik Jawa Surakarta yang kental
melekat di tubuh ketiga penata tari tersebut, mereka mengeksplorasi pengembangan
bahkan mencoba keluar dari perbendaharaan gerak yang mereka kuasai, sehingga
gerak yang hadir seperti menyepak jauh-jauh gerak tari tradisional klasik Jawa
Surakarta.339 Gerak-gerak baru yang mereka peroleh kemudian dilebur lagi dengan
gerak-gerak tari tradisional yang mereka kuasai, seperti, pose tari gagahan dengan
sedikit gerakan tangan, posisi kaki dan langkah panjang setelah melompat. Gerak-
gerak tari hasil leburan itu disertai pola lantai menggerombol, berpencar, maju ke
depan, menyebar berpasangan, lalu diseleksi lagi untuk mengungkapkan rasa
manembah, kegembiraan, kasih sayang, kebersamaan, keresahan, konflik, dan
harapan-harapan. Pengungkapan rasa tersebut oleh ketiga penata tari itu diramu
dengan pengalaman mereka belajar drama dan membaca puisi. Dengan begitu
ekspresi gerak, wajah, vokal dalam bentuk dialog dan geguritan340 yang wigati
maupun perwujudan rasa, tampil dalam karya tari Komposisi III sebagai kesatuan
yang utuh.
Karya tari Komposisi III diiringi karawitan Jawa Surakarta yang digubah
sesuai tema karya dan berbagai unsur bunyi di luar bunyi alat musik kawaritan Jawa
dieksplorasi dan dikembangkan. Vokal penari dalam bentuk dialog dan vokal penari
maupun pengrawit dalam bentuk geguritan dihadirkan untuk menggambarkan
suasana tertentu.
339
Lihat Efix Mulyadi, “Pekan Penata Tari Muda VI, Maya Melukis di Kanvas Raksasa”
dalam Kompas, 27 September 1984.
340
Puisi berbahasa Jawa atau Bali yang pada awalnya penyampainya dinyanyikan atau
ditembangkan, namun dalam perkembangannya menjadi puisi bebas yang tidak mengikatkan diri
pada aturan metrum, dan lagu.
Universitas Indonesia
Pemasangan layar atau kelir wayang kulit sebagai setting yang diregangkan
di Teater Tertutup, TIM, tempat karya tari tersebut dipentaskan, dimaksudkan untuk
menampilkan bayang-bayang penari yang dihasilkan dari lampu yang disorotkan.
Penggunaan layar untuk menampilkan bayang-bayang, campuran bayang-bayang
dengan penari wadag di depannya, terinspirasi dari wayang kulit yang biasa mereka
saksikan di Surakarta, namun dieksplorasi untuk mendapatkan kesan atau efek yang
berbeda. Adapun kostum tari ditata berdasarkan kebutuhan karya tari agar garis-
garis tubuh penari pada saat bergerak bisa tampak jelas dan kuat, selain agar tubuh
penari bisa bebas bergerak.
Hardjosusilo, pengamat tari dan musik dari University of Hawai, dalam
diskusi pembahasan karya tari setelah pertunjukan, bertanya kepada ketiga penata
tari, “Apakah gerakan baru selalu diperlukan di dalam setiap penciptaan karya tari
baru?” Ia membandingkan dengan masalah penciptaan di dalam seni sastra, seorang
sastrawan untuk mengungkapkan hal-hal baru tidak perlu menciptakan kata-kata
baru. Menanggapi pertanyaan tersebut, S. Pamardi menjelaskan bahwa perlu gerak
baru atau tidak tergantung dari masing-masing penata tari. Namun baginya, oleh
karena sudah menguasai tari tradisional klasik Jawa Surakarta secara mantap, ada
desakan dalam dirinya untuk mencari dan menemukan sesuatu yang baru yang
harus dilakukan, apapun hasilnya. Jika ternyata hasilnya belum banyak beranjak
dari gerak tari tradisional yang dikuasainya, itu soal lain.341
Jawaban S. Pamardi tersebut menyuratkan hasrat untuk membuat karya baru
berdasarkan karya tradisional. Hasilnya memang menampakkan itu. Ia dan kedua
kawannya keluar dari fotokopi gerak tradisional dengan menciptakan gerak baru.
Karya mereka memang pantas disebut ciptaan baru pngembangan dari tradisi.
341
S. Pamardi, Dewi Kristianti dan Setya Widyawati, “Komposisi III” dalam Sal
Murgiyanto (ed.), Pekan Penata Tari Muda 1984 (Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 1984), hlm. 60.
Universitas Indonesia
342
Lihat Zuryati Zubir, “Tari Tangan” dalam Sal Murgiyanto (ed.), Pekan Penata Tari
Muda 1984 (Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 1984), hlm. 44–6.
Universitas Indonesia
343
Zuryati Zubir, “Tari Tangan”, hlm. 50–1; Edi Seyawati, “Pekan Penata Tari VI, Sesudah
Masa Rintisan” dalam Kompas Minggu, 30 September 1984.
Universitas Indonesia
dan tidak rumit, tubuh yang ringan dan rileks, tetap memiliki kekuatan
kebersamaan. Di sisi lain, Raranta mengolah panjangnya ucapan lagu pengiring dan
ucapan gerak tari, menjadi tidak sama. Ucapan pada lagu berganti setiap enam
ketukan, sedangkan ucapan pada gerak tari berganti setiap delapan hitungan. Hal
ini menimbulkan kaitan silang antara irama gerak dan lagu pengiringnya yang
hanya bertemu setiap (6 x 8) atau 48 hitungan. Dalam tari-tarian tradisional di
Indonesia biasanya hitungan lagu pengiring dan hitungan gerak tari adalah sama.344
Lulo Anawai karya Elly Raranta ini tergolong tari baru pengembangan dari tari
tradisional.
344
Lihat Elly Raranta,”Lulo Anawai” dalam Sal Murgiyanto (ed.), Pekan Penata Tari
Muda 1984 (Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 1984), hlm. 74; Efix Mulyadi, “Pekan Penata Tari
Muda VI, Maya Melukis di Kanvas Raksasa” dalam Kompas, 27 September 1984; dan Edi
Sedyawati, “Pekan Penata Tari VI, Sesudah Masa Rintisan” dalam Kompas Minggu, 30 September
1984.
Universitas Indonesia
gerak, yang kemudian disisipkan suara-suara yang merupakan bagian dari vokal
penari, entakan kaki di lantai papan yang juga digunakan sebagai iringan karya tari.
Selain itu permainan irama dalam iringan musik digarap untuk menghadirkan gerak
tari baru sekaligus variatif ritmenya, sehingga tampak adanya pengembangan gerak
dari tari tradisional Toraja yang cenderung monoton karena fungsi ritualnya. Tarik-
menarik antara gerak dan bunyi keras-lembut sengaja dihadirkan dalam Badong. 345
Penggunaan dan penggarapan kain merah polos berbentuk persegi panjang
sebagai properti, yang dibuka melebar dan diusung di atas kepala enam penari,
kemudian digulung memanjang dan digerakkan penari lainnya dengan berlari kecil
mengelilingi area pertunjukan, dan dilanjutkan dengan direntang di belakang area
pertunjukan, membuat para penari Badong pada bagian terakhir karya tari tersebut
terlihat seperti lukisan.346 Pada karya ini, Farid Hamid sangat berusaha untuk
memindahkan tari tradisional Toraja, yang utamanya digunakan untuk kepentingan
ritual, ke matra panggung yang menuntut formula artistik sebagai tontonan. Dalam
hal ini Hamid telah melakukan penciptaan untuk mengubah monotoni tarian ritual
menjadi tarian berdimensi tontonan. Karya ini boleh dibilang reka-cipta baru
pengembangan dari tari tradisional.
345
Farid Hamid, “Tari Badong” dalam Festival Karya Tari VII/1986 (Jakarta: Dewan
Kesenian Jakarta, 1986), hlm.6; Efix Mulyadi, “Tarian Sampah dan Buruh Pabrik” dalam Kompas,
17 Februari 1986; Francis Handayama, “Dari Festival Karya Tari DKJ VII, Sepeda Motor Pun Naik
Panggung” dalam Suara Karya, 22 Februari 1986; Sardono W. Kusumo, “Festival Karya Tari 1986,
Pertunjukan Bukan Sekedar Kecelakaan” dalam Sinar Harapan, 24 Februari 1986.
346
Sinar Harapan, “Festival Karya Tari DKJ 86, Unsur Teater, Puisi, Humor dan Olah
Tubuh Pun Masuk”, 19 Februari 1986.
Universitas Indonesia
kandungan. Lahirlah ide sebuah tarian untuk menjadikan daerah ini tampak pasrah,
merasa terlanjur, tanpa kemampuan untuk menahan lajunya warisan air tuturan.
Garapan gerak Aia Tuturan bertolak dari unsur gerak Silek (silat
Minangkabau) dan dieksplorasi menjadi gerak-gerak baru yang dinamis, penuh
dengan lompatan kecil maupun gerakan tangan kuat dan tajam ke atas. Selain itu
tari Piring yang ada di Sumatera Barat yaitu di daerah Kota Sawahlunto dan daerah
Ambun Pagi di pinggiran Danau Maninjau, diolah dalam gerak tangan dan langkah
kaki yang seirama, disertai pernapasan yang terkendali, di tempat dan waktu yang
tepat.
Garapan musik dalam karya tari tersebut mengikuti kebutuhan gerak,
menghadirkan suasana sesuai tema, tidak lepas dari unsur musik tradisional
Minangkabau, meskipun konsepnya tidak ingin bergantung pada iringan, pemusik
dan penata musiknya. Dalam konsep garapan musiknya, bunyi bisa mengalir dalam
gerakan tubuh sehingga “melahirkan musik tanpa kandungan bunyi.”
Boneka berbentuk dan berukuran sebesar manusia yang digantung di
belakang atas area pentas digunakan sebagai setting karya Aia Tuturan. Adapun
kostum tari yang dikenakan para penari, yaitu, tiga penari laki-laki mengenakan
celana pendek hitam, dan sarung yang diselempangkan di dada telanjang, dan satu
penari laki-laki mengenakan baju dan celana pendek putih, juga dengan sarung
diselempangkan di dada. Penari perempuan menggunakan kostum celana panjang
dan baju berlengan tiga perempat, selendang menjulur di kiri-kanan bahu depan
hingga pinggang, dan kain kecil sebagai ikat pinggang.347
Karya tari Aia Tuturan jika diamati dari proses dan hasilnya bisa
dikategorikan sebagai karya tari baru pengembangan dari tradisi dengan eksplorasi
luas dan mendalam serta inovasi yang kental. Itulah yang menjadi titik tolak Ery
Mefri untuk kemudian lebih melakukan eksplorasi dan inovasi. Hasrat besar untuk
membawa karya tradisional berkelindan dengan kecenderungan kontemporer,
347
Lihat Ery Mefri, “Aia Tuturan” dalam Festival Karya Tari Dewan Kesenian Jakarta
VII/1986 (Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 1986), hlm. 8; dan hasil wawancara dengan Ery Mefri
Juni 2014 dan Desember 2014.
Universitas Indonesia
mendorong Mefri sejak tahun 1994 mulai berinteraksi secara intensif dengan dunia
luar, membuka diri lebih luas, dan mendapatkan pengaruh dan semangat global
meskipun tetap kuat menapak pada tradisi. Di masa itulah Mefri seakan memasuki
babak baru dalam penciptaan tari, seperti diungkapkan oleh gurunya, seorang
penata tari kontemporer Indonesia yang diakui dunia, Gusmiati Suid.348 Hingga
kini, Mefri diakui dunia sebagai salah satu koreografer kontemporer Indonesia, dan
bersama grup tarinya, Nan Jombang, berkeliling dunia memenuhi berbagai
undangan untuk berpentas.
349
Sio-sio berarti sia-sia, dan ancak-ancak ria-ria atau bersombong-sombong. Dengan
demikian kurang sio-sio, balabiah ancak-ancak berarti kurang akan menjadi sia-sia dan berlebihan
bisa menjadikan sombong. Hasil wawancara dengan Mohammad Ikhlas Desember 2014, di Jakarta.
Universitas Indonesia
keseluruhan dalam karyanya. Hal tersebut merupakan bagian dari pembaruan dan
pengayaan atas bahan tradisi Minangkabau yang dijadikan titik tolak. Akhirnya
bagi Ikhlas, semangatnya untuk membuat karya tari baru dan atau kontemporer
yang bertolak dari gerak dan musik tradisional tersebut dipengaruhi oleh semangat
tradisi yang mampu hidup dan berdialog dengan masa kini dan masa yang akan
datang.350
Kontemporer atau kekinian masih merupakan pemikiran atau semangat
dalam konkretisasi karya Ihklas. Saat itu karyanya masih tajam dibayang-bayangi
tradisionalisme seni tari Minangkabau. Tampak ia belum terlalu jauh melakukan
eksplorasi untuk membawa gerak tradisional menjadi gerak baru yang
menunjukkan ia telah melakukan pembaruan. Hal yang dilakukan Mohammad
Ikhlas masih menggarap karya baru hasil dari pengembangan tradisi.
Demikianlah, dari keseluruhan Festival dan Pekan Penata Tari Muda yang
diselenggarakan oleh Komite Tari DKJ telah muncul beragam karya-karya tari baru
hasil dari pengembangan tradisi. Para koreografer telah mengolah peninggalan
lama yang disebut tradisi menjadi sesuatu yang baru. Ini bukan berarti
mencampakkan warisan tradisi karena warisan tersebut justru diagungkan sebagai
sumber inspirasi. Sebagaimana dinyatakan oleh tokoh tari Sardono W. Kusumo
bahwa pelestarian tari tradisional tidak harus dilakukan hanya melalui preservasi
tetapi bisa juga melalui interpretasi kreatif.
Dari 26 karya tari yang dipentaskan di Festival-festival dan Pekan-pekan
Penata Tari Muda yang diselenggarakan oleh Komite Tari DKJ tampak jelas bahwa
karya-karya tersebut mempunyai fondasi karya tari tradisional. Secara kesejarahan
tidak ada diskontinyuitas dari karya tradisional ke karya baru karena karya baru
diciptakan dengan bertolak dari karya tari tradisional. Hal ini terjadi karena basis
seni tari para koreografer Indonesia sebagian besar berasal dari ranah tradisi.
350
Hasil wawancara dengan Mohammad Ikhlas, 21 Desember 2014; lihat juga Mohammad
Ikhlas, “Kie dalam Imbauan” dalam Festival Karya Tari Dewan Kesenian Jakarta VII/1986
(Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta), hlm. 16; Efix Mulyadi, “Tari Sampah dan Buruh Pabrik” dalam
Kompas, 17 Februari 1986.
Universitas Indonesia
BAB V
KARYA-KARYA TARI KONTEMPORER INDONESIA
DI PKJ-TIM 1968–1987
mengesankan karena para seniman tari berkumpul, berlatih bersama dan menjadi
akrab. “Kami bekerja sama dengan idealisme tinggi. Berbagai ide dan gagasan
dibicarakan dan dikembangkan bersama. Kami juga berpikir bahwa keahlian
masing-masing peserta lokakarya tidak boleh dipisah-pisahkan. Saat itu gairah dan
semangat baru berkobar dalam diri kami,” kenang Farida Oetoyo. Menurut Julianti
Parani, bentuk lokakarya dalam bengkel tari itu merupakan penjelajahan gerak
(eksplorasi) dan improvisasi352 dalam upaya mengembangkan kepekaan rasa gerak
dan kemampuan kreatif para peserta. Lokakarya tersebut juga mendorong
pencapaian kreatif dalam wawasan maupun gerak.353 Adapun bagi Huriah Adam,
lokakarya Kusumo telah membantu mewujudkan ambisi kreatifnya. Bahkan Adam
memandang Kusumo sebagai guru yang sangat inspiratif.
Melalui bengkel tari ini benih-benih berharga telah ditanam, yaitu
kebebasan, semangat, kreativitas, dan kebersamaan.354 Dengan demikian forum
lokakarya tersebut telah menjadi salah satu momentum yang menandai pencarian
artistik baru dalam seni tari di Indonesia. Forum tersebut juga berjasa melebarkan
wawasan artistik bagi para pesertanya, ditandai dengan lahirnya karya-karya tari
baru dari tangan para peserta lokakarya tersebut, dan bisa disebut sebagai karya tari
baru dan kontemporer di Indonesia pada masanya serta mewarnai ragam
pertunjukan tari di PKJ-TIM di tahun 1970-an hingga 1980-an.355
352
Improvisasi biasa dilakukan untuk memperoleh gerakan-gerakan baru secara spontan
dalam proses penataan tari. Usaha tersebut dimulai dengan penjelajahan gerak (eksplorasi), yaitu
pencarian secara sadar pada kemungkinan-kemungkinan gerak baru dengan mengembangkan dan
mengolah ketiga elemen dasar gerak: waktu, ruang dan tenaga. Ungkapan melalui gerak improvisasi
bisa menjadi titik awal proses penataan tari. Lihat Jacqueline M. Smith-Autard, Dance Composition,
A practical guide to creative success in dance making (London: Met Huen Drama A&C Black,
2010), hlm. 39; dan Sal Murgiyanto, “Dasar-dasar Koreografi Tari” dalam Pengetahuan Elementer
Tari dan Beberapa Masalah Tari (Jakarta: Direktorat Kesenian Proyek Pengembangan Kesenian
Jakarta Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1986), hlm. 122.
353
Wawancara di Jakarta dengan Farida Oetoyo, Juli 1993, dan Julianti Parani, Juni 2013;
lihat juga Sal Murgiyanto, “Benih Yang Ditanam”, hlm. 160; dan Farida Oetoyo, Saya Farida,
Sebuah Autobiografi (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2014), hlm. 151.
354
Sal Murgiyanto, “Dasar-dasar Koreografi Tari”, hlm. 160–2; dan Sal Murgiyanto,
“Huriah Adam Peneguh Tari Minang Baru”, hlm. 87.
355
Sal Murgiyanto, “Dasar-dasar Koreografi Tari”, hlm. 160–2. Di antara lahirnya karya-
karya tari yang dikategorikan sebagai modern dan konremporer tersebut tetap ada karya tari “baru”
yang belum modern tetapi dikategorikan sebagai karya tari baru pengembangan tradisi.
Universitas Indonesia
Sekitar akhir tahun 1969, seperti telah diuraikan di Bab III dan disebutkan
di Bab IV, para peserta bengkel tari Sardono W. Kusumo yang berlatih bersama di
PKJ-TIM kemudian secara bertahap kembali ke studio masing-masing, sedangkan
Sardono sendiri membawa bengkel tarinya ke kandangnya di Surakarta dan juga
bereksplorasi di Bali. Di tempat-tempat tersebut Sardono bekerja dengan penari-
penari setempat, hingga kemudian di Surakarta ia menghasilkan karya tari
kontemporer Samgita Pancasona I-XII (1969–1970) yang pada tahun 1971
dipentaskan di PKJ-TIM dalam rangka Ramayana International Festival.
Pertunjukan tersebut mendapat sambutan hangat dari penonton maupun media
massa. Pada tahun 1972 Sardono W. Kusumo menggarap karya Cak Tarian Rina
bersama 65 orang penduduk Desa Teges Kanginan, Bali, yang akan ditampilkan
pada Pesta Seni Jakarta 1972 di PKJ-TIM. Namun karya tari tersebut dilarang
berangkat ke Jakarta oleh Gubernur Bali Sukarmen karena dianggap kurang
mencerminkan karya tari Bali yang memiliki pola-pola tradisional.
Mengenai karya tari kontemporer, pada tahun 1971 dan 1972, Dewan
Kesenian Jakarta (DKJ) dan Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki (PKJ-
TIM) mengadakan Pesta Seni 1971 dan Pekan Seni 1972 yang oleh para ketua DKJ
disebut sebagai Pesta dan Pekan Seni Kontemporer yang meliputi berbagai cabang
kesenian: tari, teater, musik, dan seni rupa.356 Pergelaran tersebut sekaligus sebagai
laporan dari seluruh kegiatan yang telah diprogram dan diselenggarakan oleh DKJ
di PKJ-TIM.357 Pertunjukan seni tari yang ditampilkan pada Pesta Seni
356
Pada Pekan Seni Kontemporer 1972 tampil pertunjukan Lenong, sebagai satu-satunya
mata acara seni nonkontemporer, namun tetap merupakan Lenong garapan yang berangkat dari
teater tradisional Betawi dengan sentuhan modern yang berkembang dalam budaya metropolitan.
Lihat Program Acara Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki Juli 1971 dan 1972; lihat juga
Keith Foulcher, Community and The Metropolis: Lenong, Nyai Dasima and the New Order
(Melbourne: Asia Research Institute. 2004), Working Paper Series 20; dan Tod Jones, Kebudayaan
dan Kekuasaan di Indonesia, Kebijakan Budaya Selama Abad ke-20 Hingga Era Reformasi (Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015), hlm. 239.
357
Goenawan Mohamad dalam bukunya mengatakan bahwa di Buku Laporan PKJ-TIM
tahun 1973 yang ditulis oleh Ajip Rosidi, sesudah tahun 1971 penonton yang datang ke PKJ-TIM
menurun. Buku resmi tersebut menduga karena antara lain, “masyarakat ramai rasa ingin tahunya
sudah terpuaskan”; “seni belum menjadi kebutuhan masyarakat, dan datang ke TIM bukan untuk
menikmati kesenian karena apresiasi yang baik; atau “kekurangan dalam pengelolaan TIM sendiri”.
Dalam kenyataannya hiburan yang bernama Ludruk, Lenong, Wayang Orang, dan sebagainya,
masih tetap mendapat pengunjung lebih banyak dibanding kesenian yang berlindung di balik kata
Universitas Indonesia
Kontemporer 1971 antara lain karya tari Farida Syuman (Oetoyo) berjudul Three
Faces of A Man dan dua karya tari Julianti Parani berjudul Serenade Insani dan
Kucing. Di tanggal 12–13 Januari tahun 1971 pula DKJ membuat program
pertunjukan tari yang dinamai Modern Choreography dengan koreografer Farida
Oetoyo, Julianti Parani dan Huriah Adam, dan program tersebut diulang pada
tanggal 10–13 Februari 1971.358 Adapun pada Pekan Seni Kontemporer 1972 karya
tari yang digelar adalah drama tari Ramayana, sedangkan Cak Tarian Rina karya
Kusumo batal tampil karena alasan sebagaimana telah diungkapkan terdahulu.
kontemporer, betapa pun seni ini dipujikan sebagai kesenian yang lebih kreatif”. Lihat Tempo,
“Mencegah Kebangkrutan Seni”, 22 Desember 1973, hlm. 24; Goenawan Mohamad, Kesusastraan
dan Kekuasaan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), hlm. 111.
358
Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki, Calender of Event January 1971, Cipta:
1971; Harian Angkatan Bersenjata, “Malam Modern Choreography Karya Farida, Youlian,
Hurijah”, 10 Januari 1971; Sutasoma, “Prospek2 baru dalam pementasan: Modern Choreography”
dalam Merdeka, 17 Januari 1971; Tempo, “Seni, Trio Wanita”, 6 Maret 1971.
Universitas Indonesia
hal-hal yang jamak digunakan dalam mengamati proses penggarapan karya tari.
Unsur-unsur tersebut: (1) Sumber maupun corak karya tari - etnik, nasional atau
universal; (2) Unsur artistik pendukung yang digunakan; (3) Tema – naratif atau
nonnaratif; (4) Garapan bentuk - gerak sebagai bahan baku, desain ruang, desain
waktu, dinamika, intensitas, tekanan, kualitas, desain dramatik; (5) Garapan isi –
ide tari dan orisinalitas, pendekatan objektif dan subjektif.
5.1. Huriah Adam (1936-1971): Sepasang Api Jatuh Cinta, dan Malin Kundang
5.1.a. Sepasang Api Jatuh Cinta (1969) adalah karya ciptaan Huriah Adam lainnya
yang berupa komposisi tunggal untuk ditarikan sendiri olehnya. Tarian tersebut
diiringi musik karya Nicollo Paganini berjudul Violin Concerto IV, bagian kedua,
yang dimainkan oleh violis Idris Sardi dengan biolanya dan Adam menarikan
karyanya sambil memegang piring dengan sebatang lilin di atas kedua tangan.
Penggunaan piring dan lilin sebagai pelengkap tari yang terpampang pada
foto 3 mengingatkan pada tari Piring tradisional Minang yang oleh Adam geraknya
telah digarap menjadi dinamis dan ekspresif, selain penggunaan musik Barat
mampu menghadirkan suasana non-Minang. Karya baru atau kontemporer Huriah
Adam yang memadukan gerak tari tradisional Minang dengan gerak-gerak baru
yang diciptakannya dan diiringi musik klasik Barat itu masih diterima setengah hati
oleh masyarakat Minang tradisional. Namun oleh para seniman anggota DKJ tari
Universitas Indonesia
karya baru Adam tersebut dipuji sebagai eksperimen yang kreatif dengan hasil
sangat impresif.359
Unsur artistik pendukung yang sangat berperan besar dalam karya ini adalah
musik yang menjadikan karya ini tak ada padanannya pada masa itu. Musik Minang
dengan tegas dihilangkan, diganti dengan musik klasik Eropa. Ini membuat pakem
estetis genre Minang berubah. Seluruh gerak pun berubah mengikuti ritme musik
yang bukan Minang. Mengacu pada pengertian kontemporer, Sepasang Api Jatuh
Cinta ini adalah karya tari kontemporer. Di sini karya lama yang telah mentradisi
hanya dijadikan sebagai pencetus gagasan untuk memunculkan sebuah karya yang
sumbernya kemudian menjadi samar-samar.
5.1.b. Malin Kundang (1969) merupakan karya terakhir Huriah Adam sebelum
wafatnya, berbentuk drama tari dan kisahnya diambil dari cerita rakyat (legenda)
Minangkabau.360 Namun dalam drama tarinya, Adam menafsirkan kembali cerita
ini karena ia berpendapat seorang ibu Minang tak mungkin tega mengutuk anak
yang dicintainya dan di dalam karyanya, Adam mengganti cerita dengan sang ibu
memohon kepada Allah untuk mengingatkan anaknya yang sedang lupa diri.
Dalam tulisannya, “Huriah Adam Peneguh Tari Minang Baru”, Sal
Murgiyanto361 mengatakan bahwa Malin Kundang adalah karya koreografer
Minang pertama yang berhasil dipentaskan di PKJ-TIM yang saat itu baru dibuka,
dan memperoleh apresiasi dari penonton. Malin Kundang digarap sebagai drama
tari tanpa dialog yang pada tahun 1969 sedang populer, dan disebut “sendratari”
(seni drama dan tari). Namun Adam memodifikasi bentuk penyajiannya dengan
359
Seniman yang memuji karya Huriah Adam tersebut antara lain Frans Haryadi, pemusik,
pendidik, dan mantan anggota DKJ; Danarto, pelukis, penulis, mantan anggota DKJ; dan Roedjito,
penata artistik; yang menyatakan bahwa Adam memiliki kepekaan musikal dan rupa yang kuat.
Lihat Sal Murgiyanto, “Dasar-dasar Koreografi Tari”, hlm. 90.
360
Malin Kundang adalah cerita rakyat Minangkabau yang inti ceritanya menghormati
kaum perempuan Minang. Cerita ini biasanya dibawakan oleh seorang pembawa cerita, namun
Adam menggarapnya menjadi sebuah drama tari yang dalam penampilannya di PKJ-TIM didukung
oleh penari-penari peserta lokakarya yang berasal dari berbagai ragam suku-bangsa dengan
penguasaan teknik tari yang berbeda sesuai latar belakang suku-bangsa masing-masing.
361
Jurnal Kebudayaan, Kalam 16, hlm. 91.
Universitas Indonesia
362
Hasil wawancara dengan Farida Oetoyo, sebagai salah seorang penari dalam drama tari
tersebut, di Jakarta 2013.
Universitas Indonesia
serunai, bansi) maupun perkusi (talempong, canang, dan gandang). Namun untuk
beberapa adegan, Adam memainkan instrumen tradisional dengan cara yang tidak
lazim, seperti memukul canang dengan punggung piring untuk mendapatkan warna
suara tertentu.363
Adanya perbedaan pementasan Malin Kundang di Jakarta dan di Padang
karena Adam menyadari bahwa masyarakat penonton Minangkabau yang masih
berada di wilayahnya belum sepenuhnya siap menerima pembaruan dalam kesenian
tradisionalnya.364
Karya tersebut tentu saja keluar dari narasi aslinya. Dalam Malin Kundang,
Adam telah melakukan peninjauan kembali terhadap yang sudah ada hingga
tertemukanlah jawaban transendental bahwa yang menghukum Malin Kundang
bukan ibunya namun Allah. Keyakinannya pada moral keibuan membuat Adam
tidak yakin seorang ibu tega mengutuk anak kandungnya seberat-beratnya. Di
sinilah pemikiran Adam bisa disebut kontemporer karena meloncat dari narasi
tradisional. Fuad Hasan dalam sebuah diskusi di Taman Ismail Marzuki, 13
Desember 1970, menyatakan bahwa seni kontemporer adalah seni yang
menggambarkan zeitgeist atau jiwa waktu masa kini. Jiwa waktu masa kini yang
ada pada Adam adalah pemikirannya tentang Malin Kundang yang tidak dikutuk
363
Seperti disampaikan oleh Suwanismar, salah seorang penari Huriah Adam di ASKI
Padang Panjang, dalam Sal Murgiyanto, “Dasar-dasar Koreografi Tari”, hlm. 93.
364
Chairul Harun, seorang sastrawan Minang, yang menyaksikan pementasan Malin
Kundang di Padang, mengungkapkan bahwa sebagian besar dari 600 orang penonton Minang yang
melihat pertunjukan Malin Kundang sangat terkesan dengan karya Huriah Adam tersebut. Bahkan
banyak kaum terpelajar Minang yang gandrung pada kemajuan menyambut baik karya Adam.
Namun tak sedikit pula di antara penonton yang mempertanyakan apakah pertunjukan itu bisa
dikatakan sebagai karya tari Minang. Betul, bahwa gerak dan instrumen musik yang digunakan
berangkat dari tradisi Minang, namun cara memainkan talempong, canang, bansi sangat berbeda
dengan yang tradisional. Atas pandangan tersebut Adam menjawab bahwa musik pengiring Malin
Kundang dibuat demikian karena sebagian harus disesuaikan dengan kebutuhan artistik koreografi,
antara lain untuk mengiringi gerak yang diciptakan Adam ataupun memunculkan suasana dramatik.
Lihat Tempo, 3 Juli 1971, hlm. 28–9; lihat juga Sal Murgiyanto, “Dasar-dasar Koreografi Tari”, hlm
94. Hal menarik lainnya yang bisa diungkapkan dalam penampilan drama tari Malin Kundang di
Jakarta adalah, semua penarinya tidak berasal dari Minangkabau dan tidak berlatar belakang tari
tradisional maupun silat Minang. Keadaan tersebut justru membuat Adam memanfaatkan
keragaman dan kekuatan masing-masing penari menjadi bagian dari ekperimen pencarian dan
penggarapan gerak. Wawancara dengan Sentot Sudiharto, Farida Oetoyo, dan Julianti Parani, di
Jakarta, 2014. Ketiganya adalah penari dalam drama tari Malin Kundang yang dipentaskan di PKJ-
TIM pada 1969.
Universitas Indonesia
sang Ibu menjadi batu meskipun di akhir pertunjukan Allah membekukan jiwa anak
durhaka itu. Dari pemikiran inilah karya Malin Kundang dari Adam muncul dengan
sentuhan kontemporer.
bergerak dengan berbagai variasi gerak sebagai temuan gerak baru hasil eksplorasi
Oetoyo dalam menggarap drama tari Rama dan Sinta.369
Musik pengiring drama tari Rama dan Sinta digarap oleh I Wayan Diya,
salah seorang seniman tari peserta lokakarya di bengkel tari Sardono, dengan
menggunakan sumber bunyi dari piano rusak370 yang terdapat di Teater Arena PKJ-
TIM dan suling. Piano rusak dan suling dimainkan dan dibunyikan sesuai dengan
interpretasi adegan maupun gerak para penari.371
Drama tari Rama dan Sinta tidak lagi sesuai dengan teks dalam epos
Ramayana Indonesia. Dalam karyanya tersebut, Oetoyo melakukan penafsiran
terhadap yang sudah tertera dalam teks dan tertanam dalam benak pembacanya.
Oetoyo memilih menggunakan logikanya bahkan dia anggap sebagai logika realitas
umum dalam situasi dan kondisi kehidupan manusia pada masa karya tersebut
digarap (tahun 1972). Sesungguhnya pula, menurutnya, logika tersebut merupakan
pantulan kehidupan berkeluarga sepanjang zaman. Di sinilah pemikiran Oetoyo
bisa dikatakan kontemporer karena keluar dari teks tradisional dan diaktualisasikan
ke masa kini. Bahkan ia bergeming ketika dituduh oleh media meremehkan epos
Ramayana yang disucikan oleh agama Hindu.372
Unsur artistik pendukung yang menempatkan karya ini sebagai
kontemporer adalah kostum yang dipakai para pemain. Kostum tersebut merupakan
hasil pemikiran artistik yang sama sekali menanggalkan kostum tradisional yang
dikenal dalam pertunjukan Ramayana. Keputusan penggunaan kostum ini
369
Dalam wawancara di Jakarta 2013, Farida Oetoyo mengungkapkan bahwa ia hampir
selalu merancang sendiri kostum karya tarinya sesuai imajinasi ketika menggarap karya itu. Ia juga
suka menggunakan topeng dan menjelajahi berbagai kemungkinan peruntukan topeng dalam
koreografinya. Baginya, topeng luar biasa unik dan bisa penuh misteri. Saat menggarap karya tari
dengan menggunakan topeng, topeng bisa dipakai oleh semua penari atau hanya penari tertentu saja.
Ketika menggarap Rama dan Sinta, hingga tiga kali ia menjajal topeng yang berbeda, bahkan ada
topeng yang dikerok catnya untuk mendapatkan imaji dan kesan tertentu. Namun karena tidak juga
menemukan topeng yang pas dengan keinginannya, akhirnya drama tari ini tidak menggunakan
topeng.
370
Piano yang fungsi musikalnya rusak karena sebagian dawainya sudah putus sehingga
menghasilkan bunyi yang tidak lengkap dan bernada sumbang karena tidak di-stem.
371
Wawancara dengan Trisapto, salah seorang penari Rama dan Sinta, dan berperan
sebagai Rama, di Jakarta, 12 September 2014.
372
Tetapi menurut Oetoyo, “umat Hindu sendiri tidak ada yang mengajukan keberatan”.
Lihat Farida Oetoyo, Saya Farida, hlm. 188.
Universitas Indonesia
merupakan bagian integral dari interpretasi Oetoyo terhadap kisah Rama dan Sinta.
Demikian pula penggunaan piano rusak untuk menimbulkan bunyi tertentu sebagai
penguat suasana dramatik. Semua ini adalah loncatan yang dilakukan Oetoyo, jauh
meninggalkan gambaran klasik. Dimensi kontemporer ada pada karya ini.
5.2.b. Karya tari Farida Oetoyo lainnya adalah Resume yang terdiri dari enam
koreografi: Putih-Putih, Makan Siang, Kematian, Kenangan, Perkelahian, dan
Tenang Kembali yang dipentaskan pada 10, 11, 12 November 1976, di Teater
Arena, TIM. Putih-putih, salah satu dari enam koreografi yang idenya muncul
ketika Farida Oetoyo mendengar kekhusyukan adzan yang menggetarkan hati dari
masjid di Kuala Lumpur. Dalam keadaan kesepian luar biasa saat tinggal di Kuala
Lumpur, yang tidak pernah dirasakan sebelumnya, adzan dari masjid tersebut
terdengar merdu dan syahdu, seperti lagu, alunan musik, sehingga menimbulkan
desakan kuat untuk membuat sesuatu. Ia juga terpesona pada gerakan salat yang
dilakukan bersama (berjemaah), dengan mengenakan mukena putih-putih, kadang
bergerak serempak turun-naik, kadang serempak diam, laiknya sebuah koreografi.
menjadi sebuah koreografi, diiringi musik dan lagu religi Trio Bimbo yang liriknya
dikarang oleh Taufik Ismail, berjudul Tuhan. Penarinya semua perempuan dengan
kostum celana ketat (tight) dan leotard warna kulit (coklat muda) yang diselubungi
kain putih menyerupai mukena.
Penampilan Putih-putih menimbulkan protes, bukan dari penonton atau
masyarakat tetapi dari Taufik Ismail yang saat itu adalah Ketua Lembaga
Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ). Taufik Ismail menganggap karya Putih-putih
ini “tidak betul” dan kemudian ia melayangkan surat kepada Edi Sedyawati, Ketua
Akademi Tari LPKJ. Itu dilakukan karena ia merasa ikut bertanggung jawab dan
menghendaki penghentian pementasan tersebut. Esok harinya keluar peringatan
dari Majelis Ulama Indonesia (MUI)-DKI Jaya yang menyesalkan keteledoran
Dewan Pimpinan Harian DKJ yang meloloskan karya itu untuk disaksikan khalayak
ramai yang mayoritas beragama Islam. Media massa juga ikut meramaikan dengan
menuliskan komentar tokoh agama dan budayawan di antaranya Buya Hamka,
Yunan Helmy Nasution, dan Asrul Sani, yang sebetulnya tidak menyaksikan
pertunjukan tersebut. Melalui berbagai tanggapan, beberapa kesalahan yang
dianggap fatal dari Putih-putih, yaitu: mengekspresikan orang salat dengan gerak
jumpalitan dan kaki yang diangkat tinggi; mukena yang tembus pandang dan
kurang panjang; adzan yang disuarakan oleh perempuan; dan arah kiblat salat yang
tak berketentuan.373
Setelah membaca surat Taufik Ismail, Edi Sedyawati menghentikan
pementasan Putih-putih pada malam kedua dan ketiga namun pementasan Resume
tetap berlangsung tanpa karya Putih-putih. Kemudian Sedyawati memberikan
tanggapan tentang karya tersebut yang dimuat di Harian Pelita, 30 November 1976,
berjudul “Bagaimana Harus Memperhitungkan Seni kalau Menimbulkan Birahi,
Sekitar Penjelasan LPKJ tentang Putih-putih”. Sedyawati menyatakan dengan jelas
bahwa karya Farida Oetoyo tersebut bukanlah aksi protes terhadap agama seperti
373
Lihat Pelita, “Cipta karya tari: yang sukses dan yang serem”, dan “Tari Itu Wah” 16
November 1976; Berita Buana, “Ballet Putih-putih sebuah penawaran idea; dan Farida Oetoyo, Saya
Farida, hlm.190–2.
Universitas Indonesia
374
Penghentian penampilan Putih-putih di malam kedua dan ketiga memancing reaksi
mahasiswa LPKJ. Mereka memrotes Taufiq Ismail yang diangggap cuci tangan dan membiarkan
Oetoyo memikul kesalahan sendiri. Pamflet bertebaran, antara lain berbunyi: “Putih-putih Farida
Feisol bukanlah copy ibadah dan bukan protes terhadap agama tapi ekspresi dengan teknik tari
tertentu”. Ketua Keluarga Mahasiswa Akademi Teater LPKJ mengatakan bahwa keributan
mahasiswa terjadi karena tindakan yang tidak pada porsinya. Menurutnya, sebagian besar yang
memberikan pandangan adalah orang yang tidak menonton pertunjukan, sehingga mungkin saja
sekadar apriori. Putih-putih adalah suatu karya seni, tidak ada hubungannya dengan agama.
375
Dalam Samgita Pancasona Kusumo tergerak untuk menggarap konflik Subali-Sugriwa.
Sugriwa dan Subali adalah adik dan kakak raja kera yang bersekutu dengan Rama dan membantu
Rama memerangi Rahwana untuk menyelamatkan Sinta. Ketika terjadi perselisihan antara kedua
kera ini, Rama berada di pihak Sugriwa, dan Subali akhirnya tewas di tangan Rama. Dalam karya
tari Samgita, Sardono W. Kusumo selain sebagai koreografer juga terlibat secara intensif sebagai
penari.
Universitas Indonesia
Selain itu gerak tarinya juga dibangun dari energi suara tembang yang
dilagukan sendiri oleh para pemeran utama tanpa mengikuti pola nada yang ada
376
Praktik musikal gamelan tradisional Jawa Sekaten, instrumennya berupa ensambel kuno
Kyai Guntur Madu dan Guntur Sari, dan gending atau lagunya antara lain Rangkung Pathet Lima,
Rendheng Pathet Lima, Gliyung Pathet Nem, Atur-atur Pathet Nem, dan sebagainya.
377
Langendriyan adalah “opera Jawa”, drama tari yang dilengkapi musik gamelan dan
nyanyian puisi metris (tembang macapat) sebagai pengganti dialog untuk mengungkapkan cerita-
cerita yang bersifat setengah sejarah (babad). Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Seri Etnografi
Indonesia no.2 (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984), hlm. 300; Clara Brakel-Papenhuyzen, Seni Tari
Jawa, hlm. 27.
378
Kendhang adalah salah satu instrumen dalam perangkat gamelan dan mempunyai
peranan penting, di antaranya untuk iringan tari. Kendhangan Bali dalam mengiringi tari bertugas
menguasai jalannya irama, menentukan tempo, dan menentukan saat memulai atau pun mengakhiri
pertunjukan.
Universitas Indonesia
dalam tembang tradisional Jawa379 dan tanpa iringan gamelan secara konvensional.
Juga penari tidak lagi dalam sikap tanjak atau pose-pose sederhana yang bersifat
ilustratif seperti halnya dalam tradisi pementasan tari Jawa.380 Melalui proses
mencoba bergerak dan merasakannya terus-menerus, penari mencapai intensitas
rasa gerak yang esensial sekaligus ekspresif dan juga gerak yang dilakukan terasa
pas sesuai suasana dan pesan garapan yang dikehendaki.381 Dalam Samgita,
Kusumo menghilangkan batas-batas gerakan tari putra dan tari putri.382 Kostum
penari dibuat minimalis, dengan menggunakan batik sebagai cawat dan betelanjang
dada untuk penari laki-laki,383 dan penari perempuan memakai kain panjang dan
kemben berwarna pudar.
Pendekatan pemanggungan Samgita yang melepaskan elemen-elemen
gemerlap tari tradisional dan kaidah-kaidah kebiasaan nilai dalam tari tradisional
(tari dan musik klasik Jawa), disambut baik oleh penonton Jakarta saat ditampilkan
di PKJ-TIM karena masyarakatnya telah terbuka terhadap modernisasi. Namun
ketika ditampilkan di Surakarta (1971), kota kelahiran sang seniman, kebaruan
dalam pendekatan koreografinya dianggap tidak lazim, iringan tari, vokal, dan
379
Terdapat 11 jenis tembang macapat yaitu Dhandanggula, Mijil, Kinanthi, Pangkur,
Sinom, Asmaradhana, Pucung, Megatruh, Durma, Maskumambang, Gambuh. Jakob Sumardjo,
“Tembang” dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia (Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1991), hlm. 214–
5.
380
Lihat Edi Sedyawati, “Penari Sardono W. Kusumo Sedang Melangkah, ia seorang
Djawa baru jang penuh kekuatan dan kesegaran chajal” dalam Kompas, 23 Desember 1970.
381
Dikatakan oleh Kusumo di Tempo, 23 Pebruari 1974: “Kalau dalam Samgita I baru saya
yang mencoba konsepsi gerak itu, dalam Samgita II saya merasa lebih mantap karena semua penari
telah menguasainya”; juga hasil wawancara dengan Sentot Sudiharto, penari Samgita Pancasona I-
XII, 31 Agustus 2014, di Jakarta.
382
Dalam tari tradisional Jawa Surakarta terdapat batasan yang signifikan antara gerakan
tari putra dan putri. Bahkan dari masing-masing tari putra dan putri terbagi lagi ke dalam kualitas-
kualitas yang berbeda. Misalnya dalam tari putra, dibedakan antara gagah ksatria dengan kasar.
Dalam tari putri, ada gerakan luruh, lanyap, dan seterusnya. Lihat Budi Santoso, “Pertunjukan Tari
Samgita Pancasona”, “Pertunjukan tari ‘Samgita Pancasona’ karya Sardono W. Kusumo di RRI
Surakarta: dalam fenomena konflik tradisi-modern masyarakat seni pertunjukan Surakarta tahun
1970-an.” Tesis Pengkajian Seni untuk memenuhi syarat mencapai derajat magister dalam bidang
Seni, Minat Utama Seni Tari di Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, 2006,
hlm. 136–7.
383
Dalam wawancara pada 2 Januari 2014, di Jakarta, Sardono W. Kusumo mengatakan
bahwa kostum penari laki-laki yang minimalis dalam Samgita terinspirasi dari penari tradisional
Kalimantan yang bisa menari dengan sangat intens dan intuitif tanpa dibebani oleh kostum tari yang
justru kadang menghalangi gerak penari dan cenderung ornamentif.
Universitas Indonesia
kostum terlalu sederhana, plot jalan ceritanya tidak jelas, dan gerak tarinya yang
minimalis terasa aneh, dan hal tersebut dianggap melampaui batas oleh penonton
tradisional Jawa.384 Beberapa penonton yang kecewa dan “marah” melemparkan
telur busuk ke atas panggung.385
Hal menarik juga dari Samgita, setiap dipentaskan yang sedikitnya 12 kali,
selalu ada elemen yang berubah, sehingga ditandai dengan angka I hingga XII.386
Dalam karya tersebut terjadi semacam transformasi dari sebuah komposisi
koreografi yang longgar dan sarat improvisasi, kemudian secara bertahap
membentuk susunan koreografi yang terpola.387 Samgita Pancasona bisa
dikategorikan sebagai karya tari kontemporer Indonesia.
5.3.b. Meta Ekologi adalah karya Sardono W. Kusumo yang menandai awal
keprihatinannya terhadap lingkungan, diproses-garap pada tahun 1979
sekembalinya dari perjalanan ke Kalimantan Timur dan Nias. Dalam perjalanan
budayanya itu Kusumo semakin menyadari betapa pentingnya tanah dan alam bagi
384
Pada tahun 1970-an, peta seni tari di Surakarta dapat dikelompokkan menjadi empat,
yaitu (1) komunitas konservatori yang mengikuti ajaran tari tradisional klasik dari tokoh Kusuma
Kesawa; (2) kelompok Yayasan Seni Budaya Indonesia (YASBI), lembaga seni yang lahir dari
masyarakat yang mengikuti gaya tari, (3) lingkungan PKJT pimpinan Humardani yang membawa
misi pengembangan tradisi; dan (4) Sardono W. Kusumo sebagai individu yang menguasai tari
tradisional Jawa Surakarta dengan baik namun berpandangan modern dan melakukan perubahan
yang berorientasi kepada hal-hal yang berlaku di dalam dan di luar konvensi tradisional dengan
interpretasi pribadi. Kelompok YASBI mengutamakan gagasan-gagasan keindahan seni tradisional
keraton yang dipenuhi dengan aturan-aturan. Bagi kelompok ini, tari kontemporer tidak memiliki
muatan dan citra keluhuran budaya keraton. Lihat Budi Santoso, “Pertunjukan Tari Samgita
Pancasona”, hlm. 6; lihat juga F.X. Widaryanto, Ekokritikisme Sardono W. Kusumo: Gagasan,
Proses Kreatif, dan Teks-teks Ciptaannya (Jakarta: PascaIKJ, 2015), hlm. 114.
385
Pentas Samgita Pancasona di Gedung Batik PPBI Yogyakarta tanggal 18–19 Juni 1971
ternyata bisa diterima penontonnya, meski juga tetap mengundang kontroversi. F.X. Widaryanto,
Ekokritikisme Sardono, hlm 114.
386
Rusini salah seorang penari Samgita dari Surakarta menambahkan bahwa mengikuti
proses latihan Samgita tidak ada pola gerak yang harus dihafal sebagaimana menghafal ragam gerak
yang berpola dalam tari tradisional. Wawancara dengan Rusini, 19 November 2005, juga dalam
Budi Santoso, “Pertunjukan Tari Samgita Pancasona”, hlm. 63. Sejalan dengan Rusini, Sentot
Sudiharto mengatakan: “Dalam setiap pementasan Samgita, tidak ada yang sama bentuk geraknya,
selalu berubah dan berkembang, yang seringkali disesuaikan dengan tempat dan waktu. Bahkan
kerap terjadi gerak diubah sebelum pementasan atau menjelang action”, hasil wawancara dengan
Sentot Sudiharto, penari Samgita I-XII, 31 Agustus 2014, di Jakarta.
387
Lihat Edi Sedyawati, “Penari Sardono W. Kusumo” dalam Kompas, 23 Desember 1970;
Helly Minarti, “Mencari Tari Modern/Kontemporer Indonesia”, https://ko-kr.facebook.com/Helly
Minarti, April 20, 2009, diakses 15 September 2013.
Universitas Indonesia
kehidupan manusia, yang sering kali terabaikan oleh manusia itu sendiri. Meta
Ekologi mencoba memberikan apresiasi dan respek tubuh pada tanah.388 Diucapkan
oleh Sardono bahwa manusia diciptakan oleh tanah dan nantinya akan kembali lagi
pada tanah.
Meta Ekologi ditampilkan pada 15-16 Oktober 1979 di PKJ-TIM atas
rekomendasi DKJ.389 Dalam persiapan dan proses-garapnya, Sardono membuat
lokakarya di pinggiran Jakarta yang masih mempunyai sawah selama dua bulan. Ia
melatih para mahasiswa penari dan aktor dari Institut Kesenian Jakarta agar peka
terhadap unsur-unsur alam dengan cara meminta mereka secara perlahan
membenamkan diri dalam lumpur sawah untuk menikmati lumpur di seluruh tubuh.
Melalui latihan ini diharapkan mereka kembali mencintai alam, tanah tempat
berpijak, udara untuk bernafas, desiran angin, gelapnya malam dengan bintang
bertaburan di langit, cerahnya purnama, dan sebagainya.
Untuk pertunjukan Meta Ekologi, Kusumo menggelar sebidang sawah
lengkap dengan irigasinya di tempat terbuka, di Teater Halaman PKJ-TIM, dengan
10 truk mengangkut tanah dari kampung di pinggiran Jakarta. Ia juga mendirikan
tiang dengan tinggi sekitar 20 meter pada salah satu sisi di sawah lumpur tersebut
yang digunakan untuk memanjat dan di atas tiang itu juga dipasang loud speaker
untuk mengumandangkan suara rekaman serangga dan hewan-hewan malam hari.
Selain itu kadang-kadang juga terdengar suara beberapa instrumen gamelan seperti
gender, gong dan rebab. Seperti halnya saat berlatih di kampung, di PKJ-TIM
Kusumo juga mengajak para mahasiswa penari dan aktor secara perlahan masuk ke
388
F.X. Widaryanto, Ekokritikisme Sardono, hlm 117.
389
Meta Ekologi dipertunjukkan bersamaan dengan kedatangan Alwin Nikolais yang saat
itu dikenal sebagai pembaru tari dalam manifestasi “Seni rupa tiga dimensi”. Adapun karya Meta
Ekologi adalah manifestasi keakrabannya dengan tanah yang menciptakan “lorong waktu” dalam
penjelajahan ketubuhannya dalam ruang ciptaan yang baru, di luar kisi-kisi arsitektural yang baku
dalam berbagai konteks komunikasi budaya masyarakatnya. Lihat F.X. Widaryanto, “Tari dalam
Berbagai Dimensi” dalam Bambang Sugiharto (ed.), Untuk Apa Seni (Bandung: Pustaka Matahari,
2013); F.X. Widaryanto dan Sri Rustiyanti “Konsep ‘Lawung Sewu’ atau ‘White Box’ sebagai
Fenomena Baru Prosef Kreatif Ketubuhan dalam Masyarakat Urban” dalam Jurnal Ilmiah Seni dan
Budaya Panggung Vol.22, No. 2 April–Juni (Terakreditasi), hlm. 122–38.
Universitas Indonesia
lumpur, membenamkan diri, bermain, berlari, bergelut satu dengan yang lain,
seperti tampak dalam foto 6.
Kemudian beberapa aktor memanjat tiang dan diam di atasnya yang oleh
F.X. Widaryanto dikatakan “seperti layaknya tonggak-tonggak totem suku Papua,
namun ditambah ‘arca batu’ di atasnya, yang sarat dengan makna genealogi nenek
moyang mereka”.390 Dalam kenyataannya, Kusumo bersama para mahasiswa
penari dan aktor itu memang tidak sedang menari, mereka hanya merasakan lumpur
pada setiap bagian tubuh dan membawa diri pada alam. Mereka menyerap energi
alam sebagai semangat hidup yang potensial. Seperti diungkapkannya bahwa
hubungan manusia dengan alam bukan hanya secara fisik tetapi juga pada tingkat
spiritual. Melalui interaksi yang cukup panjang dengan lumpur, langit dan serangga,
emosi dan naluri estetika menjadi pararel. “Kami sudah tiba pada sebuah kesadaran
baru yakni kami tidak lagi terobsesi oleh perlunya penciptaan suatu bentuk aristik,
”tulis Franki Raden.391
390
F.X. Widaryanto, Ekokritikisme Sardono, hlm. 118.
391
Lihat Franki Raden, “Meta Ekologi” dalam Brosur untuk pertunjukan Meta Ekologi,
Jakarta 12–15 Oktober 1979.
Universitas Indonesia
392
Ilham Bintang, “Meta Ekologi: Sebuah Peristiwa ‘Gelembung Sabun’” dalam Angkatan
Bersenjata, Jakarta, 7 Oktober 1979.
393
Ikranagara, “Nikolais yang Gilang Gemilang dan Meta Macet” dalam Berita Buana, 23
Oktober 1979.
394
Emmanuel Subangun, “Kelestarian Alam dan Kesadaran Estetik” dalam Kompas, 18
Oktober 1979.
395
Hasil wawancara Sal Murgiyanto dengan Anderson Sutton, 6 September 1988, di
Amerika; lihat Sal Murgiyanto, “Moving Between Unity and Diversity: Four Indonesian
Choreographers” dalam A dessertation submitted to the faculty of the Departement of Studies in
candidacy for the degree of Doctor of Philosophy Graduade Shool of Arts and Science, New York
University, 1991 (belum diterbitkan), hlm. 393.
396
Umar Kayam, “Peranan Seni Tradisional dalam Modernisasi dan Integrasi di Asia
Tenggara” dalam Seni, Tradisi, Masyarakat (Jakarta: Sinar Harapan, 1979), hlm. 36.
Universitas Indonesia
5.3.c. 10 Menit dari Borobudur adalah karya Sardono W. Kusumo yang tampil atas
undangan DKJ sebagai koreografer senior dalam Pekan Koreografi Indonesia 1987.
Menarikan sendiri karyanya,400 Kusumo mengawali karya tersebut dengan suara
tembang mantra dalam agama Budha di kegelapan panggung. Saat panggung
disorot cahaya secara perlahan, tampak sosok Kusumo berjubah hitam, duduk
bersila dan diam. Beberapa saat kemudian ia meraih mikrofon. Mulailah ia bercerita
tentang candi Borobudur dan pengalamannya berdialog dengan lingkungan candi
itu, tentang agama Budha dan simbol-simbol budaya Jepang, dan pertemuan
antarbudaya. Setelah itu Kusumo mulai menari dan tiba-tiba ia berubah menjadi
Sang Budha yang berpenampilan seperti ‘pertapa Agung dari Asia’. Menggunakan
area sempit di tengah panggung Graha Bhakti Budaya PKJ-TIM yang luas (20 x 12
397
Lihat Sal Murgiyanto, “Moving Between”, hlm. 394.
398
Lihat Edi Sedyawati, “Happening dalam Tempo Adagio dan Suatu Pesta buat Mata
dalam Kompas, 22 Oktober 1979; lihat juga Sal Murgiyanto, “Moving Between”, hlm. 394
399
Lihat Seno Gumira Ajidarma, “Koreografi Budaya” dalam Kompas, 21 September 1983.
400
Menurut Kusumo, karya tersebut ditarikan sendiri olehnya karena karya itu memang
hanya perlu dibawakan oleh satu orang penari, dan sang koreografer merasa bahwa penari tersebut
adalah seorang penari yang sudah lama tidak menari. Kebetulan penari tersebut bernama Sardono
W. Kusumo yang sama dengan sang koreografer. Diambil dari rekaman suara dalam forum diskusi
usai pertunjukan Pekan Koreografi Indonesia 1987, di Teater Tertutup TIM, 14 Juni 1987, koleksi
DKJ.
Universitas Indonesia
meter), Kusumo bergerak layaknya ksatria yang bersilat dengan berbagai jurus
disertai tongkatnya.401
Di bagian tengah pertunjukan, Kusumo melepas jubah hitamnya dan hanya
menggunakan celana putih minim menyerupai kesho mawashi.402 Ia terus menari
lembut, berputar, dan tegak berdiri menyerupai sikap tubuh relief di candi
Borobudur. Semua gerak yang dilakukannya merupakan hasil dialognya dengan
candi Borobudur, dengan diiringi nyanyian mantra Budhis. Tiba-tiba, Kusumo
melemaskan tubuh dengan kedua lengan terulur ke samping, kepala menyandar di
tongkat, dan ia kembali duduk sambil berucap: “Dan ketika aku sampai di puncak
Borobudur.....” yang kemudian diteruskan dengan ia menceritakan pengalamannya
atas Borobudur. Selanjutnya, ia menengadahkan kepala dalam keheningan. Diringi
seorang laki-laki yang menggumamkan mantra Budhis, disertai pula penataan
lampu yang hanya berfokus padanya, karya tersebut terasa menghadirkan suasana
religius. Di akhir karya, gumam mantera Budhis hilang, berganti dengan suara azan
dari masjid berpadu dengan koor gerejani dari musik African Sanctus.403 Di bagian
akhir karya tersebut Kusumo bergerak bagaikan Yesus saat disalib dengan tampilan
koreografi yang dinamis, permainan tempo cepat, lalu diakhiri gerak lambat yang
ekspresif. Dalam posisi tubuh tersalib, Kusumo menutup pertunjukan dengan
berputar di tempat, tata cahaya fade out, dan pertunjukan selesai.
10 Menit dari Borobudur tampak sebagai hasil renungan mengatasi ruang
dan waktu melalui sosok Borobudur, pertemuan budaya-budaya besar di dunia, dan
tidak hanya tampil sebagai wujud-wadag seni tari melalui garapan koreografi
401
Saat berlatih 10 Menit dari Borobudur, si penari melihat sebuah tongkat dan secara
intuitif ia mengambil tongkat itu, dan secara spontan hadir gerak silat dengan menggunakan tongkat
tersebut. Gerak silat hadir begitu saja karena sejak kecil si penari belajar silat, dan di dalam tubuhnya
telah tersimpan memori gerak-gerak silat. Di sini Sardono ingin mengingatkan bahwa penari
mempunyai peran besar dalam proses kreatif penciptaan sebuah karya. Kerangka besar konsep
koreografik bisa dimiliki penata tari, namun dalam proses penggarapan penari turut menentukan
pencarian dan hasil akhirnya. Diambil dari rekaman suara dalam forum diskusi usai pertunjukan
Pekan Koreografi Indonesia 1987, di Teater Tertutup TIM, 14 Juni 1987, koleksi DKJ.
402
Celana yang dikenakan pemain Sumo (pegulat tradisional Jepang) pada saat bertanding.
403
Hasil menyaksikan rekaman gambar 10 Menit dari Borobudur, dan mendengarkan
pendapat Suka Hardjana dalam rekaman suara forum diskusi usai pertunjukan Pekan Koreografi
Indonesia 1987, di Teater Tertutup TIM, 14 Juni 1987, koleksi DKJ 1987.
Universitas Indonesia
seperti, gerak, teknik, bentuk, ekspresi dan sebagainya, tetapi karya tersebut
menghadirkan kesadaran akan hakikat kehidupan. Kusumo bukan lagi berbicara
tentang agama, kepercayaan dan Tuhan saja dan ia juga tidak sedang membahas
tentang kebudayaan, apalagi kesenian, melainkan sebagai kreator ia sedang
melafalkan sebuah kredo tentang alam semesta dan jagad raya tanpa tepi, yang
segalanya berada dalam kenyataan Ilahi. Melalui karya 10 Menit dari Borobudur
Kusumo telah menampilkan karya tari kontemporer dan memberikan makna yang
sangat berharga bagi sebuah pekan seni.404
404
Lihat Efix Mulyadi, “Pekan Koreografi Indonesia, Tari Diam, Tari Pengemis” dalam
Kompas, 15 Juni 1987; dan Suka Hardjana, “Dari Pekan Koreografi Indonesia, Sardono dan Makna
Sebuah Pekan Seni” dalam Kompas, 28 Juni 1987. Juga pendapat para pengamat dalam rekaman
suara forum diskusi usai pertunjukan ‘Pekan Koreografi Indonesia 1987’, di Teater Tertutup TIM,
14 Juni 1987, koleksi DKJ 1987.
405
Lenong adalah sandiwara rakyat Betawi yang mengandung unsur tari, nyanyi, lawak,
pencak silat, dan cerita yang terjalin menjadi satu kesatuan. Jumlah pemainnya tidak terbatas,
tergantung dari cerita yang dibawakan, bisa dimainkan semalam suntuk, dan diringi musik Gambang
Kromong. Terdapat dua jenis Lenong, Lenong Dines, yang berbahasa Melayu tinggi, bercerita
tentang hikayat lama yang berlangsung di istana dengan tokoh raja, putri-putri, dan jin. Jenis kedua
adalah Lenong Preman, berbahasa Betawi sehari-hari (Melayu-Betawi) dan ceritanya
menggambarkan kehidupan rakyat Betawi sehari-hari, dan unsur humor yang diutamakan. Husein
Wijaya (ed.), Seni Budaya Betawi (Jakarta: Pustaka Jaya, 1976), hlm. 76.
406
Gambang kromong adalah sejenis orkes yang memadukan gamelan dengan alat-alat
musik Cina, seperti sukong, tehyan, dan kongahyan. Sebutan Gambang Kromong diambil dari nama
dua buah alat perkusi, yaitu gambang dan kromong. Bilahan gambang yang berjumlah 18 buah,
terbuat dari kayu yang bunyinya empuk bila dipukul. Kromong dibuat dari perunggu atau besi,
berjumlah 10 buah. Tangga nada yang digunakan dalam Gambang Kromong adalah tangga nada
pentatonik Cina yang sering disebut salendro Cina atau salendro mandalungan. Instrumen pada
Gambang Kromong terdiri atas gambang, kromong, gong, gendang, suling, kecrek, dan sukong,
tehyan, ataukongahyan sebagai pembawa melodi. Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 6 (Jakarta:
PT Cipta Adi Pustaka, 1989), hlm. 29.
407
Cokek adalah tari pergaulan Betawi yang berfungsi hiburan, biasa dilakukan
berpasangan dan diiringi Gambang Kromong. Tarian ini sering ditampilkan pada perayaan warga
keturunan Cina di Jakarta dan sekitarnya, dan pada zaman dahulu perempuan penari mengenakan
pakaian baju kurung dan celana hitam dengan rambut dikepang, tetapi sekarang penarinya memakai
Universitas Indonesia
geraknya, Parani menyadari bahwa tari Betawi (dalam hal ini tari Cokek) tidak
mempunyai pola, ragam, dan teknik gerak yang pasti, dan terutama penari laki-laki
yang tidak mempunyai pola gerak tari kecuali gerak Silat. Oleh sebab itu perlu
dikembangkan. Caranya, Parani mengajak para penari yang mempunyai kekayaan
gerak dan teknik tari yang beragam, seperti gerak dan teknik tari Jawa Surakarta,
Minang, balet dan lain-lain, untuk melakukan eksplorasi bersama guna
mendapatkan gerak dan teknik tari Betawi yang baru.408 Kemahiran penari
meloncat dan berputar yang ada dalam teknik balet dimanfaatkan Parani untuk
memperluas jangkauan pencarian gerak.
Dalam menggarap gerak yang bertolak dari tari Cokek diiringi dengan
olahan kendang dan diseling dengan irama Gambang Kromong yang instrumennya
terdiri dari gambang kayu, kromong yang berupa boneng 5 nada, kecrek, gendang,
kempul, gong, suling, kongahyan, tehyan dan shukong. Selain Cokek, Parani dan
para penari juga mengeksplorasi gerak-gerak Silat Betawi yaitu Silat Beksi yang
halus dengan berbagai kembangan menyerupai gerak menari, dan Silat Pengasinan
yang penuh jurus-jurus untuk membela diri. Kedua Silat tersebut digabung dan
dikombinasikan satu dengan lainnya yang tampilan sekilas geraknya tampak seperti
di foto 7.
sarung kebaya dengan rambut disanggul. Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 4 (Jakarta: PT Cipta
Adi Pustaka, 1989), hlm. 169.
408
Dalam karya tari Plesiran, Julianti tidak memberikan ragam gerak atau pola gerak
kepada penari, tetapi membiarkan mereka mencari sendiri dan ia memberikan motivasinya,
kemudian secara bersama memantapkan temuan-temuan mereka. Misal, penari laki-laki dengan
teknik dan geraknya sendiri (Sentot Sudiharto dan Djoko Suko Sadono yang mahir menari Jawa
Surakarta) mencoba menangkap penari perempuan. Dalam pencarian gerak secara bersama ini,
Julianti sangat terbantu oleh permainan kendang tokoh musik dan Lenong Betawi, Nasir, yang selalu
siap merespons pencarian gerak bersama tersebut. Hasil wawancara dengan Julianti Parani di
Jakarta, Oktober 2014 dan Djoko Suko Sadono, penari Plesiran, di Jakarta, Januari 2016.
Universitas Indonesia
409
Pukulan kendang dilakukan oleh tokoh musik dan Lenong Betawi terkenal, Nasir.
Universitas Indonesia
gerak yang bersumber dari tari tradisional Betawi yang tak berpola, untuk kemudian
dikombinasikan dengan gerak balet dan diolah menjadi karya tari baru tanpa
kehilangan rasa kebetawiannya.
5.4.b. Pendekar Perempuan adalah karya tari lainnya yang diciptakan Julianti
Parani pada tahun 1977 dan dipentaskan di PKJ-TIM selama tiga malam (30 April
hingga 2 Mei), diproduksi grup Nritya Sundara. Karya tari ini berbentuk sendratari
dengan meramu teknik gerak balet dan gerak tari Topeng Betawi berdasarkan cerita
rakyat Betawi. Tema tarinya menceritakan pertarungan antara kekuatan baik dan
jahat, yang dituangkan dalam penampilan pendekar perempuan dan pendekar laki-
laki laknat dalam memperebutkan berbagai hal di dalam kehidupan.410
Menggambarkan kebaikan dan kejahatan, Parani menampilkannya secara
simbolis melalui warna kostum. Warna putih mewakili kebaikan yang menjadi cita-
cita atau tujuan hidup manusia. Adapun kejahatan dilambangkan dengan warna
hitam, merupakan tantangan yang harus dihadapi manusia dalam menjalani
kehidupan. Dalam proses-garap karya tari ini, Parani terus bereksplorasi untuk
memperkaya variasi dan teknik gerak tari Betawi di antaranya dari gerak pencak
silat, Blenggo, Cokek, dan Topeng, yang sudah mulai dilakukannya saat menggarap
karya tari sebelumnya, yang juga mengambil akar tari Betawi sebagai sumber, yaitu
Plesiran dan Bajidoran. Seperti diungkapkan Julianti Parani dalam wawancara di
Jakarta, Sepember 2014, “Dalam karya tari Pendekar Perempuan ini saya merasa
sudah mempunyai cukup banyak perbendaharaan gerak tari Betawi yang bertolak
dari imaji-imaji gerak Betawi yang telah saya eksplor selama lebih dari lima tahun
dan saya gubah menjadi temuan estetika saat itu. Meski di sana-sini masih tampak
adanya kolaborasi dengan teknik balet sebagai pengayaan tampilan tarinya, tetapi
bisa dikatakan saya sudah ingin meninggalkan balet dalam karya-karya tari saya
yang bersumber dari seni-budaya Betawi.”
410
Untuk pembuatan alur cerita karya tari ini, Parani dibantu Elanda Rosi, penata musik
Frans Haryadi, dan penata panggung maupun lampu oleh Roedjito. Hasil wawancara dengan Julianti
Parani di Jakarta, Oktober 2014.
Universitas Indonesia
5.4.c. Siparnipi merupakan karya tari Julianti Parani yang ditampilkan dalam Pekan
Koreografi 1987. Inspirasi kreatifnya diilhami budaya Batak melalui musik karya
Marusya Nainggolan berjudul Batak Siparnipi (Si pemimpi) yang semula berjudul
Batak Fantasi. Karya tari dan musik tersebut mengangkat kisah Sigale-gale412 yang
berkembang di wilayah Tapanuli Utara-Samosir, bagian daerah Batak Toba, berupa
impian manusia dalam menghadapi kehidupan, manusia dalam kehidupan sehari-
hari, lahir, berkarya dan juga bermimpi, dan akhir kehidupan. Dalam konsep
garapan tarinya, kisah tersebut kemudian ditonjolkan pada gambaran muda-mudi
yang sedang jatuh cinta dengan penuh mimpi, karena pada dasarnya manusia adalah
411
Lihat Ushanto, “Pendekar Perempuan, Julianti Parani” dalam Berita Buana no 218, Thn
ke IV, 9 Mei 1977; Usil Susilo HS, “Percakapan Dengan Julianti Parani” dalam Berita Buana no 18
Thn ke VII, 6 September 1977; dan wawancara dengan Julianti Parani September 2014, di Jakarta.
412
Keberadaan Patung Sigale-gale diduga sejak 400 tahun lalu yang tercipta dari kisah di
daerah Samosir. Patung kayu Sigale-gale dibuat sebagai upaya menyembuhkan penyakit raja yang
semakin kritis akibat kematian putranya, Manggale, yang gugur di medan perang mempertahankan
wilayahnya. Setelah patung selesai dibuat, para tetua adat dan dukun melakukan upacara adat yang
diiringi peniupan Sordam (suling panjang dari bambu) untuk memanggil arwah anak sang raja agar
masuk ke dalam patung tersebut. Setelah upacara dilakukan, patung diusung ke kerajaan dengan
diiringi Gondang Sabangunan (alat musik gendang dan gong dalam adat Batak). Melihat patung
yang menyerupai anaknya, raja langsung sembuh dan kembali memimpin kerajaan karena merasa
anaknya masih hidup dan berada di dekatnya. Lihat Indoparsada.blog.com/2011/10/06/legenda-
sigale-gale/, diunduh 20 April 2016.
Universitas Indonesia
pemimpi, dan ekspresi Siparnipi dihadirkan. Adapun garapan gerak tari Siparnipi
menggunakan teknik balet yang dilapis dengan gerak dan rasa Tor-tor413 sehingga
gerak Tor-tor dalam karya tari tersebut menjadi lebih dinamis dan bervariasi. Di
antaranya adalah gerakan tangan Tor-tor dengan irama lebih cepat, disertai gerakan
kaki berjinjit kecil melompat di tempat, juga melompat ke depan, belakang dan
samping kiri-kanan yang tekniknya dieksplorasi dari teknik balet. Komposisi
musiknya dipenuhi melodi lagu Batak namun juga dinamis dengan artikulasi bunyi
harmoni, kontras antara gerak dan musik untuk mengungkap sketsa-sketsa
kehidupan yang dimulai dengan introduksi, masuk ke alam hidup, kemudian
bermimpi, dan selanjutnya kembali ke alam nyata. Komposisi musik tersebut
disuguhkan dengan alat musik Barat yaitu piano, cello dan flute yang saling
merespons dengan alat musik tradisional Batak yakni taganing sulim garantung
(gendang Batak).414 Keseluruhan penampilan Siparnipi, baik garapan gerak, olahan
musik, kostum penari yang mengenakan tight dan leotard hitam dan dibalut ulos,
serta tampilnya Sigale-gale yang berjalan di atas kabut putih, berhasil
menghadirkan suasana Batak yang kental.415
Ketiga karya tari Julianti Parani, Plesiran, Pendekar Perempuan dan
Siparnipi, jelas merupakan karya tari kontemporer Indonesia pada zamannya, pada
masa karya tersebut dipertunjukkan. Karya tersebut menggunakan karya tradisional
sebagai titik tolak untuk kemudian diolah dengan memasukkan unsur balet. Pada
masa itu karya Parani oleh para pemerhati langsung disetujui sebagai pembaruan
karena meloncat dari paradigma tradisional. Unsur balet dan para penari yang
menguasai berbagai teknik tari dari berbagai genre menjadikan Plesiran dan
Pendekar Perempuan sebagai suguhan yang kebetawiannya masih ada namun tidak
terasa usang karena disentuh dengan pendekatan baru. Demikian pula dengan
413
Tor-tor adalah tari tradisional suku bangsa Batak, Sumatera Utara, yang berlatar
belakang adat dengan tujuan untuk menghormati arwah para dewa dan leluhur, dan diduga sudah
ada sejak zaman Indonesia Hindu. Tarian ini diringi Gondang Sebangunan. Ensiklopedi Nasional
Indonesia Jilid 16 (Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1991), hlm. 403.
414
Wawancara dengan Marusya Nainggolan di Jakarta, 04 Februari 2016.
415
Hasil menyaksikan rekaman gambar pertunjukan Siparnipi tahun 1987 di PKJ-TIM,
dokumentasi DKJ; lihat juga Sardono W. Kusumo, “Gegap yang Tua, Gempita yang Muda” dalam
Tempo, 20 Juni 1987.
Universitas Indonesia
Siparnipi yang Tor-tor-nya diintervensi oleh gerak balet dan musik tradisionalnya
disusupi piano dan cello dan flute. Meskipun demikian, kebatakannya masih tetap
hadir dalam karya itu yang berkelindan dengan unsur-unsur Barat.
Pembaruan yang dilakukan oleh Parani pada karya-karya lama tersebut
mengantarkan yang tradisional ke ranah kebaruan yang pada masa itu pembaruan
karya seni marak diciptakan oleh para seniman, khususnya di Taman Ismail
Marzuki. Atmosfer kekinian pada masa itu berkembang subur, menghadirkan
karya-karya kontemporer silih berganti. Di antara itu adalah ketiga karya Parani
tersebut.
Universitas Indonesia
416
Tari Topeng di Bali umumnya menceritakan kisah historis yang berdasarkan sejarah
Jawa dan Bali yang disebut Babad Bali. Tarian ini tidak memakai dialog karena seluruh wajah
penarinya tertutup topeng. Isi cerita dan komentar adegan-adegannya yang menghadirkan aspek
dramatik pertunjukan Topeng disuarakan oleh dua punakawan, Penasar dan Kartala. Kedua
punakawan tersebut mengenakan topeng setengah yang terbuka di bagian mulutnya, atau tidak
bertopeng sama sekali. Terdapat 15 tokoh dalam tari Topeng yang kemudian dikenal dengan nama
Topeng Pajegan dan diperankan oleh satu penari yang dimulai dari tokoh berkarakter keras,
kemudian tua renta dan terakhir berkarakter halus dengan tampilan topengnya yang tampan. Seluruh
pergantian topeng dilakukan tanpa penari berganti kostum. Musik pengiring tari Topeng adalah
gamelan barungan Bali. Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 16, hlm. 403.
417
Gambuh adalah drama tari Bali tertua yang mengandung unsur teater, dengan corak seni
keraton tetapi juga berkembang di luar keraton. Drama tari ini kaya gerak-gerak tari sehingga
dianggap sebagai sumber segala jenis tari Bali. Selain melakonkan cerita Panji,Gambuh juga
melakonkan cerita Damarwulan dan Ranggalawe. Musik pengiring Gambuh disebut gambelan
(gamelan) Pegambuhan berlaras pelog saih pitu, dan dianggap sebagai sumber beberapa gamelan
Bali. Di tengah perangkat gamelan duduk juru tandak, penyanyi tunggal laki-laki, yang
menggarisbawahi dramatisasi Gambuh. Bahasa yang digunakan Kawi (Jawa Kuno), kecuali peran
Turas, Panasar dan Condong yang menggunakan bahasa Bali halus, madya, ataupun kasar. I Made
Bandem & Fredrik Eugene de Boer, Kaja and Kelod, Balinese Dance in Transition (Kuala Lumpur:
Oxford University Press, 1981), hlm. 29–47.
418
Arja merupakan seni teater rakyat Bali yang dialognya ditembangkan dengan macapat.
Lakon Arja adalah cerita Panji, selain itu juga menampilkan cerita rakyat lainnya seperti Badasura,
Jayaprana, dan Cupak Grantang. Musik pengiringnya dengan gamelan Gaguntangan yang terdiri
dari gong atau gamelan dan gender bambu yang disebut tingklik, tetapi melodinya didominasi oleh
suling kecil, sehingga terdengar merdu dan lirih. Beryl de Zoete & Walter Spies, Dance and Drama
in Bali (Hongkong: Periplus Edition, 2002), hlm. 196–210; dan Ensiklopedi Nasional Indonesia
Jilid 1 (Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1988), hlm. 248.
419
Baris merupakan tari kepahlawanan yang menggambarkan kesatria besar. Tari yang
dilakukan oleh penari laki-laki segala usia ini melukiskan keberanian dan kedigdayaan melalui
gerakan yang tegas, mengentak dan bertenaga. Baris diiringi gamelan bernada delapan yang disebut
gilak. Edi Sedyawati, “Seni Pertunjukan” dalam Indonesian Heritage 8 (Jakarta: Buku Antar Bangsa
untuk Grolier International, Inc, 2002), hlm. 78.
420
Lihat Edi Sedyawati, Pertumbuhan Seni Pertunjukan, Seri Esni No. 4 (Jakarta: Sinar
Harapan, 1981), hlm. 48–50.
Universitas Indonesia
Diya, yang sangat paham seni tari Bali, berada pada lingkungan seniman-seniman
yang juga sangat ahli pada bidangnya masing-masing. Di sinilah visi kreatif
terbentuk untuk tidak semata-mata menjaga tradisi, tetapi juga melakukan
eksperimen untuk memunculkan kebaruan melalui eksplorasi berbagai
kemungkinan.
Jelantik Bogol, diproduksi Rasa Dhvani, lakon ceritanya adalah cerita
historis Bali yang lazim dipakai dalam pementasan drama tari Topeng, dan
penarinya juga menggunakan topeng. Hal menonjol dari penggarapan karya
tersebut adalah Diya melakukan eksperimen lebih banyak dalam menyusun musik
pengiringnya.Ia melakukan penggabungan alat musik yang tidak lazim dilakukan
di Bali, yaitu antara alat-alat musik Gong Gebyar421 dengan gamelan
Luwang, gending Pleganjuran, tambur baris Cina, dan tektekan.422 Gerak tarinya
berasal dari sikap dasar dan teknik tari Bali yang dikolaborasi dengan gerak-gerak
non-Bali seperti gerak tari Jawa, Melayu dan Minang, yang prosesnya dilakukan
melalui improvisasi dan eksplorasi gerak.
gerak dengan pembatasan hitungan maupun ruang gerak melingkar yang biasa
terdapat dalam tari tradisional Makassar. Pembaruan dalam karya Akkarena lainnya
adalah belum pernah ada garapan karya tari Makassar yang menggabungkan penari
perempuan dan laki-laki.426
Dalam diskusi tari yang dilangsungkan sehari sesudah pementasan,
disinggung tentang pengaruh lingkungan yang tampak pada karya Wiwiek Sipala.
Jika pada I Wayan Dibia lingkungan Bali sedikit-banyak mengungkung
kreativitasnya karena adanya ikatan adat yang ketat, Sipala terhindarkan dari
masalah tersebut karena dia berada di Jakarta dan berkarya di lingkungan LPKJ
yang sangat terbuka dalam olah gagasan dan penciptaan. Seandainya ia melakukan
itu di tempat asalnya, belum tentu karyanya akan diterima.427 Dugaan para
pengamat tersebut terbukti, ketika Sipala diundang oleh Dewan Kesenian Makassar
untuk mementaskan Akkarena di sana terjadi perdebatan dan perbedaan pendapat
tentang kebaruan yang dilakukan Sipala. Sebagian seniman senior di Makassar
mengkritisinya telah menyalahi pola tradisi yang ada di Makassar, namun sebagian
lagi memuji dan mendorongnya untuk terus berkarya dan melakukan inovasi. Hal
menarik dari peristiwa tersebut, kreativitas Sipala telah mendorong para
koreografer muda Makassar untuk mencoba melakukan pembaruan.428
Akkarena adalah karya tari baru hasil pengembangan dari tradisi. Dua hal
yang membuat Akkarena berbeda dengan Pakarena adalah Sipala membongkar
sebagian pola tari tradisional tersebut dan menggunakan penari-penari non-
426
Menggabungkan penari laki-laki dan perempuan dalam Akkarena dilakukan Sipala
karena saat itu ia sangat terkesan dengan tari-tarian daerah lain di Indonesia yang mempunyai tarian
laki-laki, dan ia memilih Paraga sebagai sumber garapan karena permainan tersebut mempunyai
banyak kemungkinan untuk digarap sebagai gerak tari. Hasil wawancara dengan Wiwiek Sipala, 10
Februari 2016.
427
Lihat Berita Buana, “Wawancara dengan Sal Murgiyanto: Festival Penata Tari Muda
Memperkenalkan Kecenderungan Baru, Jakarta: 13 Desember 1978. Dalam wawancara dengan
Wiwiek Sipala di Jakarta, 10 Februari 2016, ia mengatakan bahwa bahwa saat kuliah di LPKJ
(sekarang IKJ), ia mempunayi banyak kesempatan untuk berdialog dengan tokoh-tokoh tari seperti
Julianti Parani, Farida Oetoyo, I Wayan Diya, dan tokoh-tokoh nontari antara lain Frans Haryadi,
Soemaryo L.E., Suka Hardjana, Slamet Abdul Syukur dalam penggarapan musiknya, dan Roedjito
untuk penataan lampu. Kesempatan mengikuti kuliah multidisiplin di LPKJ telah membuat Sipala
memiliki pemahaman yang luas tentang unsur-unsur kesenian, yang bisa mendukung proses
penggarapan tari.
428
Hasil wawancara dengan Wiwiek Sipala di Jakarta, Maret 2014.
Universitas Indonesia
Makassar yang tidak mengakrabi Pakarena. Apa yang dilakukan Sipala tentu saja
menelurkan produk baru. Kondisi yang mendorong Sipala keluar dari tradisi adalah
karena lingkungannya di kampus LPKJ, yang hanya sepelemparan batu dari Taman
Ismail Marzuki, pada masa itu gencar menciptakan karya-karya baru yang bertolak
dari karya tradisional. Semangat pembaruan pun menggelayuti jiwa Sipala, selaras
dengan tren yang melanda lingkungan keseniannya di Jakarta. Mengacu pada
pengertian kontemporer yang dilansir Fuad Hasan, bahwa seni kontemporer adalah
seni yang menggambarkan zeitgeist atau jiwa waktu masa kini (saat karya itu
dipentaskan), jelaslah Akkarena adalah karya kontemporer yang dijiwai oleh
gelegak penciptaan karya baru yang melanda semangat para seniman waktu itu.
5.6.b. Ironi adalah karya kontemporer Wiwiek Sipala lainnya yang tampil di Pekan
Koreografi Indonesia tahun 1987. Inspirasinya tentang kemanusiaan yang
dituliskan berbentuk puisi:
Tersurat lakon-lakon mutakhir
Tersirat suar-suar ambisi
Tersurat keakuan diri
Tersirat kidung-kidung perdamaian
Universitas Indonesia
429
Efix Mulyadi, “Pekan Koreografi Indonesia Tari Diam, Tari Pengemis” dalam Kompas,
15 Juni 1987. Bersamaan dengan tulisan Efix di halaman 6, foto pertunjukan Ironi dimuat di
headline itu. Lihat juga Sardono W. Kusumo, “Gegap yang Tua Gempita yang Muda” dalam Tempo,
20 Juni 1987. Suka Hardjana selaku pengamat dalam forum diskusi Pekan Koreografi Indonesia,14
Juni 1987 menganggap Sipala sebagai koreografer dan solois berbakat. Ide dan konsep garapan Ironi
Universitas Indonesia
sangat bagus dan konsep garapan musiknya yang deformatif merupakan konsep yang cemerlang.
Hasil menyaksikan rekaman gambar pertunjukan Ironi tahun1987 di PKJ-TIM, dan hasil
mendengarkan rekaman suara dalam forum diskusi usai pertunjukan Pekan Koreografi Indonesia
1987, di Teater Tertutup TIM, 14 Juni 1987, dokumentasi DKJ 1987.
Universitas Indonesia
aplikasi yang luas ditilik dari perspektif penonton (termasuk pengamat) dan si
seniman, dan dipentaskan dalam komunitas yang bisa menerima dan lingkungan
yang bisa berbagi. Aplikasi yang luas tersebut termasuk tata pentas, musik, kostum
dan unsur-unsur lain.
Dengan bekal pengetahuan dan praktek di Amerika itu, Sipala menciptakan
Ironi. Karya ini oleh para pengamat dikategorikan sebagai kontemporer,
sebagaimana dinyatakan oleh Butterworth dan Wildschuts bahwa koreografi
kontemporer memberikan perhatian kepada penciptaan karya tari melalui ranah
aplikasi yang luas ditilik dari perspektif penonton (termasuk pengamat) dan si
seniman, dan dipentaskan dalam komunitas yang bisa menerima dan lingkungan
yang bisa berbagi. Aplikasi yang luas tersebut termasuk tata pentas, musik, kostum
dan unsur-unsur lain.
430
Endo Suanda, “Klana Tunjungseta” dalam Festival Penata Tari Muda 1978 (Jakarta:
Dewan Kesenian Jakarta, 1978).
431
Ketiga ragam topeng Badawang yang digarap Suanda yaitu dua ragam dari Cirebon dan
satu ragam dari Rancaekek. Lihat Cornelia J. Benny, “Berfestival di TIM” dalam Pikiran Rakyat,
20 Januari 1979.
Universitas Indonesia
foto ini. Adapun tatanan gerak tarinya diolah sengaja tidak rapi (cenderung
“urakan”), dibiarkan berkesan seperti halnya tontonan rakyat, dengan mengambil
suasana dari pertunjukan Sintren, Tarawangan, Topeng Cirebon, arak-arakan
Barongsay, dan Ronggeng Gunung yang terasa hadir dalam beberapa bagian
pertunjukan.
Universitas Indonesia
tradisi. 2). Karya baru yang masih mengikuti sebagian pola karya lama. 3). Karya
baru yang sama sekali tidak mengikuti pola karya lama karena karya lama hanya
digunakan sebagai pencetus gagasan yang hasilnya adalah karya baru yang
sumbernya samar-samar. Kelompok kedua dan ketiga sering disebut sebagai karya
kontemporer setelah melalui berbagai bahasan untuk memenuhi syarat
kelayakannya. Suanda, setidaknya menurut D. Djajakusuma, menghadirkan Klana
Tunjungseta pada kelompok ketiga: kontemporer yang sumber penyajiannya
samar-samar.
5.8. Agus Tasman (1936), Suprapto Suryodarmo (1945), Hajar Satoto (1951–
2013), Rahayu Supanggah (1949): Wayang Budha Sutasoma
Kolaborasi antara Agus Tasman sebagai penata tari, Rahayu Supanggah
sebagai penata musik, perupa Hajar Satoto pengolah wayang kulit dalam ukuran
besar, dan Suprapto Suryodarmo sebagai penggagas, melahirkankan karya berjudul
Wayang Budha Sutasoma.
Suprapto Suryodarmo, penemu ide Wayang Budha, adalah seorang yang
menjalani ajaran Budha yang tak sepenuhnya menguasai tari tradisional namun
berhasrat besar mengakrabi gerak. Ia menanggapi alam sekitar dengan gerak dan
ingin menyalurkan apa yang bergolak di batinnya juga dengan medium gerak.
Kemudian ia mengajak dan merangsang teman-temannya untuk bersama
mewujudkan sebuah tontonan sebagai ajang samadi melalui gerak.
Unsur audio dan visual yang dipadukan dalam Wayang Budha Sutasoma
terdiri dari wayang kulit, kelir, obor, gerak tubuh penari, suara mantra Budha,
tembang, suara bentakan, serta karawitan. Gerakan tubuh penari ternyata tidak
menjadi bagian utama dari pertunjukan tersebut. Muncul permainan bayangan dari
cahaya obor yang menampakkan penari bergerak menggeliat serta wayang kulit
seukuran tubuh manusia. Cahaya obor yang mengobat-abit di bentangan layar putih
itu menimbulkan deformasi wujud. Pemandangan itu ditimpali olahan karawitan
Universitas Indonesia
435
Lihat Efix Mulyadi, “Catatan Festival Penata Tari Muda I” dalam Kompas, 18 Desember
1978.
436
Sasonomulyo adalah suatu bangunan kuno di Surakarta yang digunakan untuk kegiatan
olah seni berupa penggalian, penggarapan-pengarapan dari yang menyiratkan identitas tradisional
hingga eksperimentasi modern-kontemporer. Peranan Gendhon Humardani sebagai patron
menghasilkan calon-calon seniman-seniman muda yang penuh semangat melakukan pembaruan,
bahkan kemudian dikenal sebagai gaya seni baru Solo, “gaya Sasonomulyo”. Lihat Rustopo (ed.),
Gendhon Humardani, Pemikiran dan Kritiknya (Surakarta: STSI-Press, 1991), hlm. vii.
437
Berita Buana, “Wawancara dengan Sal Murgiyanto”.
Universitas Indonesia
dan menjadi kurang kuat. Telah diketahui, Wayang Budha Sutasoma digarap oleh
empat orang sekaligus dengan kedudukan yang sama kuat, dan hal tersebut
merupakan suatu fenomena baru dalam bidang tari. Keempat orang itu bertolak dari
satu ide tanpa seorang pun yang ditunjuk sebagai penata keseimbangan garapan
empat orang itu.
Beberapa tokoh tari menyatakan keberatan jika Wayang Budha Sutasoma
dikategorikan sebagai karya tari. Sebaliknya, tokoh tari Sal Murgiyanto dan
Sardono W. Kusumo mengatakan bahwa yang penting bukanlah memilahkan
pertunjukan tersebut dalam kategorisasi, melainkan berhasil tidaknya pertunjukan
itu sebagai tontonan yang dipengaruhi antara lain oleh suasana, tempat dan
penonton.438 Apa yang dinyatakan Kusumo juga terdapat pada pokok-pokok
mengenai karya kontemporer menurut Cunningham,439 yakni seni tari adalah seni
tari, tidak untuk dianalisis, dan kebebasan kreatif mutlak dialirkan.
438
Berita Buana, “Wawancara dengan Sal Murgiyanto”. Lihat juga Efix Mulyadi, “Catatan
Festival”.
439
Merce Cunningham, “The handy E-Book of Contemporary Dance History” dalam
http://www.contemporary-dance.org/contemporary-dance-history.html. Diunduh 2 April 2016.
440
Hasil menyaksikan rekaman gambar pertunjukan Limbago tahun 1987 di PKJ-TIM,
dokumentasi DKJ; Lihat juga Efix Mulyadi, “Pekan Koreografi Indonesia, Tari Diam, Tari
Pengemis” dalam Kompas, 15 Juni 1987.
Universitas Indonesia
441
Lihat Helly Minarti, “Gusmiati Suid, Api Dalam Sekam” dalam Bambang Bujono (ed.),
Empat Menguak Tradisi, Syeh Lah Geunta, Saidi Bissu Lolo, Anom Suroto, Gusmiati Suid, Seri
Figur Seni Pertunjukan Indonesia 2 (Jakarta:Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia & Ford
Foundation, 2008), hlm. 155–6.
442
Art Summit Indonesia merupakan festival kesenian internasional tiga tahunan yang
pertama kali diadakan tahun 1995 oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, atas prakarsa Prof.
Dr. Edi Sedyawati, Direktur Jenderal Kebudayaan, dan penyelenggaraannya dipusatkan di Jakarta.
Art Summit Indonesia I-VII menampilkan puncak-puncak pencapain kesenian dari berbagai negara
yang diharapkan bisa membangun pemahaman antar budaya dan antar bangsa bagi terciptanya
toleransi dan perdamaian dunia. Secara nasional Art Summit Indonesia menjadi ajang untuk
mengukur pencapaian estetik kesenian kontemporer Indonesia, setidaknya dalam tiga tahun terakhir.
Pentas berdampingan dengan karya-karya terbaik para seniman dari berbagai belahan dunia,
merupakan kesempatan untuk berbagi wawasan dan pengalaman dari negara lain dan bisa dijadikan
tolok ukur untuk menilai pencapaian kesenian di Indonesia sendiri. Pada mulanya Art Summit
Indonesia hanya terbatas menggelar garapan di wilayah seni pertunjukan yaitu musik, tari dan teater,
namun sejak tahun 2004 diperluas ke wilayah seni rupa. Negara-negara asing yang pernah dilibatkan
antara lain: Perancis, Rusia, Inggris, Finlandia, Ghana, Mesir, Korea, Perancis, Rusia, Inggris,
Finlandia, Ghana, Mesir, Korea, Jepang, Cina, AS, Argentina, Cina, AS, Argentina, dan lain-lain.
Ensiklopedi Jakarta, Budaya dan Warisan Sejarah (Jakarta: Pemerintah Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta, Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, 2005).
443
Mengenai gerak rampak, Edi Sedyawati mengungkapkan bahwa dalam karya-karya
Suid telah tumbuh kuat kesejiwaan antarpenari yang terlihat dari adanya ritme internal yang mampu
Universitas Indonesia
memandu susunan panjang gerak-gerak tanpa iringan yang dilaksanakan dengan ketepatan dan
keterampilan yang mengagumkan. Hasil wawancara dengan Edi Sedyawati, di Jakarta, Maret 2016.
444
Menurut Sulistyo Tirtokusumo, karya tarinya tersebut tidak diberi judul karena ide
garapannya bertolak dari wacana bahwa puncak dari segala gerak adalah “diam”. Diam sama dengan
proses “kosong”. Kosong adalah nol, tanpa label, tanpa embel-embel, dan berarti tanpa nama. Oleh
sebab itu pilihan untuk karya tarinya tersebut adalah tak berjudul. Hasil wawancara dengan Sulistyo
Tirtokusumo di Jakarta, 10 Januari 2015.
445
Lihat Sulistyo S. Tirtokusumo, (tanpa judul) dalam Pekan Koreografi Indonesia
(Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 1987).
446
Hasil Wawancara dengan Sulistyo Tirtokusumo di Jakarta, 10 Januari 2015.
Universitas Indonesia
447
Tari Bedaya Ketawang adalah tarian sakral yang ditarikan oleh sembilan penari putri
dan merupakan pusaka keraton Kasunanan Surakarta. Tarian yang konon diciptakan oleh Sultan
Agung ini dipercaya menggambarkan cerita mistis hubungan Sultan Agung dengan Ratu Kidul,
tokoh mitos Jawa yang menguasai Laut Selatan atau Samudra Indonesia. Tarian ini hanya
dipertunjukkan di keraton pada saat penobatan raja (jumenengan Dalem) atau pada saat ulang tahun
penobatan raja (tingalan jumenengan Dalem). Lihat Nusjirwan Tirtaamidjaja, “A Bedhaya
Ketawang Dance Performance at the Court of Surakarta” dalam Indonesia No. 3 (Itchana: Cornell
University Press, 1967); Soedarsono, Djawa dan Bali, Dua Pusat Perkembangan Drama Tari
Tradisionil (Jogjakarta: Gadjah Mada University Press, 1972), hlm. 60–1.
448
Butterworth and Wildschuts (eds.), Contemporary Choreography: A Critical Reader
(London: Routledge, 2009), hlm. 1.
Universitas Indonesia
termasuk dalam penggarapan teknik geraknya, seperti ungkapan para generasi baru
sesudah generasi modern dance Barat.
Telah diuraikan terdahulu, karya tari ini digarap dengan musik yang
berangkat dari karya musik M.P. Mussorgsky berjudul Pictures at an Exhibition
dan dimainkan dengan piano. Karya musik tersebut terinspirasi dari impresi
pameran sepuluh buah lukisan Victor Hartman, rekan Mussorgsky. Jadi, musik ini
seakan berupa sketsa-sketsa dari pameran tersebut. Oleh Isao Tomika karya musik
tersebut digubah dan dimainkan dengan alat-alat elektronik, sehingga memberi
kesan mendominasi ruang pameran yang berisi sketsa-sketsa lukisan. Oleh
Trisapto, musik gubahan Isao Tomika dipilih karena ia anggap dekat dengan ide
garapannya: gerak, ruang, dan bunyi yang bersatu dalam maket panggung seperti
sketsa-sketsa lukisan.
Trisapto menata panggung tidak seperti biasanya dalam bentuk prosenium
atau arena, melainkan bentuk panggung persegi empat dibuat menjorok ke depan
membentuk segitiga, dan belakang panggung yang merupakan latar juga dibentuk
menjadi segitiga. Namun segitiga yang merupakan latar tersebut dipatah di bagian
tengahnya, dengan maksud agar bisa menangkap sinar lampu yang disorotkan dari
samping. Kedua bentuk segitiga tersebut maupun kostum penari berwarna putih
dengan tujuan agar bisa menyerap warna-warna lampu yang diarahkan ke panggung
maupun ke obyek (penari), sehingga menghasilkan perpaduan warna yang beragam.
Selain itu diletakkan plastik panjang menggelembung, berisi udara, di langit-langit
panggung yang bisa menangkap aneka warna lampu. Adapun gerak penari maupun
komposisi tari yang digarap dalam panggung segitiga yang dilengkapi garapan tata
cahaya tersebut dimaksudkan untuk menghadirkan kesan adanya berbagai ruang di
atas panggung, laiknya kita melihat sebuah pameran lukisan, dan berjalan dari
lukisan yang satu ke lukisan yang lain.
Mengamati proses garapan Trisapto dan hasilnya, karya Segitiga tersebut,
dalam konteks Festival Penata Tari III-1981 di TIM, dikategorikan sebagai karya
tari kontemporer karena ide, konsep, proses hingga hasilnya adalah hasil pencarian
baru yang bersifat eksperimental. Karya ini tidak menarasikan sesuatu. Apa yang
disuguhkan adalah kesatuan gerak, ruang, dan bunyi. Pada masa itu, apa yang
disuguhkan Trisapto boleh dibilang sangat lain dibanding para penata tari lainnya
Universitas Indonesia
5.11.b. Perempatan adalah karya Suwarsidi Trisapto yang digarap dengan bahan
dan pikiran baru, tidak berdasarkan materi tradisional etnik tertentu. Karya itu
melalui eksperimen-eksperimen dan dipertunjukkan di Pekan Penata Tari Muda V-
1983. Sebuah usaha konsisten yang dilakukannya sejak penampilannya dalam
Penata Tari Muda III-1981.
Dalam Perempatan, idenya berawal dari kristalisasi pengalaman-
pengalaman pribadi Trisapto maupun pengamatan terhadap hal-hal yang menjadi
obsesinya. Pengalaman-pengalaman hidup yang penuh benturan, penuh tantangan,
kekesalan pada kemacetan (seperti kemacetan lalu lintas yang membuat buntu
pikiran), dan lain-lain, lalu diendapkan, dan diekspresikan dalam media tari.
Adapun judul karya Perempatan, gagasannya diambil dari rambu-rambu lalu lintas
yang mengisyaratkan ada perempatan di depan kita. Kemacetan lalu lintas yang
banyak terjadi di perempatan jalan di Jakarta menjadi bagian dari ide Trisapto untuk
449
F.X. Widaryanto, “Tradisi dan Modernisasi dalam Tarian Indonesia” dalam Makalah
Diskusi Tari di Salihara, 3 Juni 2015, hlm. 3.
450
Merce Cunningham, “The handy E-Book of Contemporary Dance History” dalam
http://www.contemporary-dance.org/contemporary-dance-history.html. Diunduh 2 April 2016.
Universitas Indonesia
451
Lihat Trisapto, “Perempatan” dalam Sal Murgiyanto (ed.), Penata Tari Muda 1983
(Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 1983), hlm. 55.
Universitas Indonesia
perubahan dan pembaruan, terutama di kota besar seperti di Jakarta, yang selalu
berubah karena dinamika perkotaan.452
tersebut disertai pula olah rasa lembut, halus, lemah, tegap, tegang, menggumpal,
padat, pecah, buyar, agak kasar, harapan, tekad, dan sebagainya yang selanjutnya
diolah menjadi rasa kemanusiaan (setia kawan, setia kelompok, setia jenis, setia
diri, toleransi, komitmen, integritas, dan seterusnya).
Dalam garapan musiknya, karya tari Joged diiringi gamelan yang
gendingnya digarap sesuai tema maupun gerak, juga menggunakan puisi dalam
bahasa Jawa dan Indonesia sebagai ilustrasi untuk mendukung rasa garapan
geraknya. Adapun penggunaan berbagai warna dalam kostum tari seperti warna
putih, kuning, merah dan biru adalah untuk mengungkapkan berbagai rasa yang
ingin dihadirkan dalam garapan karya tari Joged tersebut. Selain itu kostum dibuat
sederhana untuk memudahkan penari bergerak, juga agar gerak-gerak kuat dan
tajam menjadi tampak jelas.453
Karya tari Joged bisa dikategorikan sebagai karya tari kontemporer karena
banyak penjelajahan gerak, ruang dan bunyi yang meski bersumber dari tari
tradisional Jawa Surakarta namun terjadi lompatan-lompatan temuan yang baru dan
belum pernah terpikirkan sebelumnya. Dalam tulisannya di majalah Tempo, 14
Februari 1981, berjudul “Ekspresi Pertentangan Nilai-nilai”, Sardono W. Kusumo
menguraikan, “Penari putri dari Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI)
Surakarta itu mula-mula bergerak lembut, melangkah ke pentas. Mendadak kakinya
menyibak kain, dan dengan loncatan besar dia menjelajah ruang. Gerak itulah yang
membuat kaget seorang peserta dari Sekolah Menengah Karawitan Indonesia
(SMKI) Surabaya, dalam Festival Penata Tari Muda, 31 Januari sampai dengan 2
Februari 1981, di Taman Ismail Marzuki. Seni tradisi Sala yang dikenal sebagai tari
yang halus, setelah mendapat sentuhan anak-anak mudanya mengalami perubahan
yang bisa membuat rasa risih bagi mereka yang kurang lapang dada. Sementara
bayangan orang di luar Sala tentang seni tari Sala masih berkisar pada Tari Srimpi”.
453
Lihat Sunarno, Nora dan Rusini, “Joged” dalam Sal Murgiyanto (ed.), Ungkapan dan
Bahasan Festival Penata Tari Muda III-1981 (Jakarta: PT Harapan dan Dewan Kesenian Jakarta
1981), hlm. 57–65.
Universitas Indonesia
5.13. Dedy Lutan (1951–2014) dan Tom Ibnur (1954): Awan Bailau
Awan Bailau adalah garapan bersama Dedy Lutan dan Tom Ibnur dan
dipertunjukkan di Pekan Penata Tari IV-1982. Karya tersebut digarap
bersumberkan tari dan musik tradisional Minangkabau. Lutan, lulusan Departemen
Tari Institut Kesenian Jakarta (IKJ) adalah anak Minang yang lahir di sana dan
besar di Jakarta. Tom Ibnur (mahasiswa tahun ketiga IKJ pada saat menggarap
Awan Bailau) dilahirkan dan dibesarkan di tempat asalnya. Para penari mereka
adalah remaja Jakarta yang tergabung dalam sanggar Argahari.455
Awan Bailau dalam bahasa Minang bisa diartikan, awan adalah awan yang
bergerak, dan bailau adalah bersenandung. Arti nonharfiahnya adalah
menyampaikan serangkaian pesan tanpa kata-kata sebagai ungkapan rasa melalui
getaran jiwa. Dengan demikian tema karya tari Awan Bailau nonliterer, tidak
berangkat dari cerita rakyat tertentu dan tidak pula berbicara tentang moral, hukum,
atau kaidah-kaidah yang lazim berlaku pada masyarakat Minangkabau.
Garapan gerak tari karya tersebut berangkat dari gerak-gerak yang terdapat
pada Randai, tari Piring, Rantak Kudo, Alang Suntiang Pangulu, Tan Bentan, Alau
Ambek,456 maupun gerak-gerak Silat, yang kemudian dikembangkan sesuai dengan
454
Lihat Kompas, “Festival Penata Tari Muda III Berakhir”, 3 Februari 1981.
455
Dalam acara diskusi setelah pertunjukan, para pengamat dan penonton menyampaikan
apresiasi bahkan terharu menyaksikan semangat para penari muda Jakarta membawakan karya tari
baru yang bertolak dari tari tradisional Minangkabau. Lihat Sal Murgiyanto, “Pekan Penata Tari dan
Komponis Muda 1982, Tradisi dan Kreasi Tari” dalam Kompas, 13 Maret 1982.
456
(1) Tari Piring adalah salah satu tarian tradisional dari beberapa nagari seperti Cupak,
Solok, Palangai di Sumatera Barat dengan menggunakan piring sebagai media utama. Gerak tarinya
berangkat dari gerak langkah Silat, cepat, teratur, dan piring di tangan diayun tanpa lepas dari
genggaman tangan dengan dentingan cincin di jari penari. Tarian ini diiringi talempong dan saluang,
Universitas Indonesia
tema, interpretasi penata tari, maupun kemampuan penari. Pada bagian awal, penata
tari memberikan kebebasan kepada penari untuk mengungkapkan imajinasi dan
interpretasinya terhadap musik tradisional Minangkabau yang menggunakan alat
musik saluang, rebab, talempong, gandang, bansi, pupuik, tasa dan tambua,
maupun tambahan bunyi-bunyian seperti ayakan kawat, pecahan kaca, kerikil,
ganto (genta), kodok-kodokan, dan lonceng kecil, yang muncul saat berproses.
Hasil dari proses ini pada akhirnya berkembang menjadi gerak-gerak tari Piring
yang teknik geraknya merupakan hasil eksplorasi dengan teknik tari modern yang
menggambarkan awal dari terciptanya sesuatu. Hal unik dalam garapan tari Awan
Bailau adalah tidak dibedakan antara gerakan penari laki-laki dan perempuan,
semua penari bisa bergerak dengan kualitas dan irama yang sama, lembut, kuat,
lambat, cepat, dinamis, dan ritmis. Mereka juga menggunakan celana lebar hitam
(galembong) dan ikat kepala, perbedaannya adalah cara mengikat destar di kepala
penari laki-laki dan perempuan. Selain itu, penari laki-laki tidak memakai baju,457
sedangkan penari perempuan memakai baju pesilat Minangkabau berwarna hitam.
dan pada awalnya berupa tarian upacara sebagai ucapan syukur kepada para dewa atas hasil panen
yang melimpah. Tari Rantak Kudo terdapat di nagari Painan dan Taloak, bersifat hiburan dalam
upacara adat panen, acara perhelatan, dan acara pada hari besar keagamaan. Gerak tarinya yang
menonjol adalah gerakan pada tangan, jari, dan rentak kaki, selain ada gerakan pada kepala dan
badan, diiringi lagu pelayaran dengan alat musik gendang, adok, dan serunai. (2) Tari Alang
Suntiang Penghulu adalah tari adat Minangkabau dari nagari Padang Lawas yang dimainkan sebagai
perintang atau permainan di waktu senggang, atau sebagai selingan dalam kesibukan berpikir oleh
para penghulu, mencerminkan para pemuda yang cepat kaki ringan tangan. Tarian ini khusus
dimainkan oleh laki-laki yang sudah tua dimulai dengan dua orang, menjadi empat, enam, delapan.
Kostum yang dikenakan baju, celana dan destar berwarna hitam dilengkapi keris yang disisipkan di
punggung baju. Gerak tarinya meniru gerak burung elang yang sedang berkeliling mengintai
mangsanya dengan dasar Silat, dan menjadi lambang kehidupan jiwa kepenghuluan. Musik
pengiringnya terdiri dari alat adok, talempong jao, saluang, pupuik baranak. (3) Tari Tan Bentan
adalah tari tradisional yang terdapat di nagari Saningbakar, Solok, ditarikan oleh tiga orang yang
masing-masing memerankan Putri Bungsu, Imbang Jayo, dan Cindur Mato. Tarian ini bersifat
hiburan dan dipertunjukkan di perhelatan nagari, perayaan hari nasional dan sebagainya.
Gerakannya berangkat dari Silat dan diiring dengan musik yang alatnya terdiri dari adok, saluang,
talempong dan puput batang padi. Pemeran Putri Bungsu memakai baju kurung, tengkuluk tanduk
serta dilengkapi perhiasan, sedangkan pemeran Imbang Jayo dan Cindur Mato memakai pakaian
anak muda, dilengkapi destar, ikat pinggang berjambur dan keris. Lihat Ensiklopedia Musik dan
Tari Daerah Sumatera Barat (Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1977), hlm. 81, 104, 107, 114.
457
Dalam acara diskusi antara penata tari dengan para pengamat yang terdiri dari para tokoh
tari, pemerhati seni maupun penonton umum, muncul pertanyaan mengapa penari perempuan
memakai galembong seperti penari laki-laki dan penari laki-laki tidak menggunakan baju? Penata
tari menjawab bahwa penari perempuan menggunakan galembong agar bisa bergerak bebas saat
Universitas Indonesia
Pada bagian kedua, penata tari mengambil motif gerak Randai namun dalam
mengembangkan motif geraknya disertai pula dengan pengembangan pola lantai.
Pola lantai Randai yang biasa dilakukan dalam tradisi Minangkabau adalah
melingkar dan berputar, dan dalam karya tari tersebut digarap dengan berbagai garis
untuk memberikan kesan bahwa perputaran itu bisa melahirkan berbagai
kemungkinan dalam kehidupan. Unsur vokal yang terdapat dalam Randai baik yang
berupa syair dan pantun yang dialunkan dengan liris atau ritmis maupun dinamis
tetap dipakai untuk menyampaikan tema garapan.
Pada bagian ketiga, penata tari memunculkan tarian Barabah karya Huriah
Adam sebagai titik tolak dalam menggarap komposisi tari untuk mengungkapkan
renungan terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar kita. Pemunculan
tarian Barabah tersebut hanya diambil bagian-bagian yang dinamis dan penata tari
kemudian mengeksplorasi kekuatan tangan yang terdapat dalam tarian tersebut.
Selanjutnya bagian keempat atau penutup, dimulai dengan ditampilkannya
kain putih panjang yang digerakkan sebagai simbol proses perjalanan jauh, dipadu
dengan gerak tari Gelombang untuk memberikan kesan gelombang kehidupan, dan
diiringi pukulan talempong dan gandang yang ritmis. Pada bagian penutup tersebut
dihadirkan pula permainan Tabuik, para penari mengusung Tabuik dengan gerak
dinamis, melompat dan berputar-putar. Gerakan penari berputar terinspirasi dari
gerakan boneka sawah yang berputar bila ditiup angin, dan gerakan berputar
tersebut memberikan imaji tertentu dalam penyampaian tema garapan. Selain itu,
gerakan berputar juga dipengaruhi oleh pertunjukan Laura Dean, koreografer dari
Amerika Serikat yang ditonton saat berpentas di PKJ-TIM pada tahun 1981, yang
bergerak berputar pada poros tubuh bagikan gasing, dan seakan tanpa henti.
Pengalaman melihat gerakan boneka di sawah dan menonton pertunjukan Laura
membuka kaki tanpa terganggu seperti halnya penari laki-laki. Selain itu, di era sekarang banyak
perempuan Minang yang tidak lagi selalu berkain dan mereka memilih mengenakan celana panjang.
Adapun ide penari laki-laki tidak memakai baju didasari pertimbangan baju yang basah oleh peluh
saat menari akan mengganggu keindahan pandangan ketika terkena cahaya lampu pentas. Saat ide
tersebut didiskusikan dengan beberapa tokoh seni di Minangkabau, tidak ada yang menyatakan
berkeberatan. Lihat Deddy Luthan dan Tom Ibnur, “Awan Bailau” dalam Sal Murgiyanto (ed.),
Penata Tari Muda 1982 (Jakarta: P.T. Harapan dan Dewan Kesenian Jakarta, 1982), hlm. 9, 13.
Universitas Indonesia
458
Lihat Jacqueline M. Smith-Autard, Dance Composition, hlm. 29–32. Dalam beberapa
pementasan tari baik sebagai penari maupun penata tari, Ibnur menampilkan gerak berputar pada
poros tubuh karena ia menyukai gerakan tersebut. Hasil wawancara dengan Tom Ibnur, 13 Maret
2015.
459
Deddy Luthan dan Tom Ibnur, “Awan Bailau”, hlm. 9.
460
Lihat Threes Nio, “‘Awan Bailau’ dan ‘Huu’ Disambut hangat di AS” dalam Kompas
Minggu, 15 Juli 1984; Berita Buana “Masyarakat di AS Menyambut Hangat Tarian Minang dan
Tarian Aceh”, 10 Juli 1984; James Weiss/USIS, “Indonesia di Festival Tari Amerika” dalam
Angkatan Bersenjata, 11 Agustus 1984.
Universitas Indonesia
461
Threes Nio, “‘Awan Bailau’
Universitas Indonesia
ada ikatan dengan gaya tari tertentu, meski akar budaya Jawa tempat ia dibesarkan
mungkin bisa menyertai karya tari garapannya.
Tema tari Sinta menginspirasi Wibowo setelah ia membaca buku Wayang
dan Karakter Wanita karangan Ir. Sri Mulyono dengan sub judul “Sinta Sepanjang
Hayatnya Penuh Penderitaan Bahkan Ajalnya Terjepit Bumi”. Untuk menambah
variasi dan pendalaman tentang Sinta, ia juga membaca Ramayana karangan
Herman Pratikno selain mencari informasi dari dalang-dalang yang ada di
Yogyakarta. Inti utama yang dihadirkan Wibowo dalam garapannya adalah
menggambarkan Sinta sebagai idola perempuan karena nalurinya yang lembut,
kesetiannya terhadap hidup maupun terhadap Rama suaminya. Namun di balik
semua itu sesungguhnya Sinta adalah perempuan yang tidak pernah mengenyam
kebahagiaan, selalu menderita.
Dalam menggarap karya tarinya, Wibowo tidak menokohkan Sinta kepada
salah seorang penarinya, sebab ia ingin semua penari bisa menghayati dan menjadi
Sinta, sekaligus tokoh lainnya. Mengenai jalur ceritanya diserahkannya pada
imajinasi penonton baik melalui gerak, komposisi ruang, pola lantai dan vokal.
Dalam proses penggarapan, Wibowo memulai dengan mencari gerak dan bentuk
melalui improvisasi dengan motivasi bisa melahirkan gerak ataupun suasana yang
sesuai dengan peristiwa yang dialami Sinta menurut imajinasinya. Beberapa sikap
tubuh dan gerak dasar tari Jawa gaya Yogyakarta tetap dijadikan pijakan yang
kemudian dikembangkan. Setelah menemukan gerak dan bentuk, Wibowo mulai
mengolah pola lantai dan komposisi ruang.
Sejak awal berproses Wibowo sudah melibatkan penarinya untuk secara
bersama mencari, mengembangkan, dan mengingat gerak maupun bentuk yang
ditemukan. Bahkan penari acap kali digunakan sebagai pemicu munculnya
penemuan-penemuan gerak baru. Setelah komposisi gerak dan komposisi ruang
terbentuk, Wibowo mulai menggabungkan dengan musik pengiring.
Iringan karya tari Sinta tidak terikat pada salah satu gaya tertentu, dan
Wibowo menginginkan bunyi-bunyian yang hadir berasal dari instrumen gamelan
maupun alat-alat seperti ceng-ceng, gong Cina, gong bumbung, suling Bali, suling
Universitas Indonesia
Sulawesi, kentongan, genta, klontongan sapi, dan juga beberapa alat perkusi Barat
antara lain genderang dan drum, untuk melahirkan suasana baru.
Wibowo menata panggung bagi karya tarinya tersebut dengan membuat
level tinggi di belakang untuk menempatkan instrumen musik dan pemusik
sehingga area mereka lebih tinggi daripada area para penari. Hal itu dilakukan
dengan pertimbangan membentuk keseimbangan ruang. Dalam area pentas yang
luas, jika penari hanya berjumlah delapan orang maka akan tampak ada
kekosongan, dan hal tersebut tidak menguntungkan untuk penggarapan komposisi
ruang dan pola lantai. Selain itu dalam peletakan instrumen dan pemusik yang lebih
tinggi, yang berarti suara musik yang dihasilkan tidak terlalu dekat dengan area
penari, dimaksudkan agar bisa menciptakan suasana yang diperlukan. Penggunaan
kain putih yang membentang di depan pemusik dimaksudkan sebagai tampilan
simbolik dari kotak wayang.
Ide penataan busana bagi penari adalah busana sederhana agar memudahkan
penari dalam melakukan gerak dan postur tubuh bisa terlihat jelas. Penari laki-laki
bertelanjang dada dan memakai kain yang dibentuk menyerupai cawat berwarna
merah jambu, diikat dengan pending, kalung panjang, kelat bahu. Penari perempuan
mengenakan leotard berlengan panjang berwarna putih, kain panjang merah jambu
tipis dengan bagian depan dibentuk menjadi hiasan wiron (wiru) agar kain panjang
bisa melebar jika kaki penari membuka ke samping, juga memakai kalung, giwang,
dan kelat bahu. Rambut penari laki-laki dan perempuan diangkat ke atas dengan
sanggul cepol (sanggul bulat dan kecil) sederhana agar gerak leher tampak jelas.
Tata rambut dan tata rias penari laki-laki dan perempuan oleh Wibowo ditata
serupa, dan hidung penari dibuat lebih mancung untuk memberikan kesan yang
sama antara penari laki-laki dan perempuan. Dalam karya tari Sinta tersebut semua
penari perempuan bisa mengekpresikan dan atau menjadi tokoh Sinta.
Karya tari Sinta garapan Ida Wibowo bisa dikatakan kontemporer karena
upaya eksplorasi untuk memperoleh inovasi dengan keluar dari gaya tari Jawa
meski tetap digunakan sebagai sumber dan ia juga keluar dari gaya Padepokan
Bagong Kussudiardja di mana ia dibesarkan dan menjadi salah satu sanggar
Universitas Indonesia
penimbaan seni tari baginya. Eksperimentasi gerak baru nyata sekali dilakukannya
pada karya ini. Shaaron Boughen menjelaskan bahwa pengertian kontemporer
adalah penyodoran gerak baru untuk mencapai gaya (style) yang lebih baru lagi dan
itu menjadi kecenderungan yang dilakukan oleh para penari dan koreografer terlatih
pada masanya.
462
Sardono W. Kusumo mengungkapkan bahwa adegan sepeda motor yang masuk ke
panggung dan bunyinya menggeram-geram untuk mengacaukan suasana Nyepi tidak mengejutkan
atau mendobrak suasana Nyepi seperti yang dimaksudkan Kompyang, hanya sebatas mendobrak
panggung. Sardono W. Kusumo, “Gegap yang Tua”.
Universitas Indonesia
tenang, dan iringan tari terdengar sayup lalu secara perlahan lampu meredup hingga
menjadi gelap.
Meski karya tari Nyejer Agung bertemakan hari Nyepi, namun kostum dan
perhiasan yang dipakai penari tetap gemerlap dan beraneka warna, dengan tata
lampu yang semarak, dan jumlah penari perempuan maupun laki-laki hampir
memenuhi area pentas.
Karya ini boleh disebut kontemporer dengan basis gerak tari tradisional dari
berbagai daerah meskipun temanya sangat Bali: hari Nyepi. Kehadiran sepeda
motor di panggung dan kostum warna-warni serta tata cahaya gemerlap adalah
kekinian pada zamannya. Masa itu sepeda motor merupakan simbol kekinian yang
dihadirkan dalam sebuah tema berkadar keagamaan yang ritusnya sudah
berlangsung berabad-abad. Kekinian itu merupakan salah satu penanda dalam seni
kontemporer.
463
Miroto sangat terkesan dengan karya Sardono W. Kusumo berjudul Meta Ekologi (1979)
yang menggunakan lumpur sebagai area pentas, sekaligus media untuk para aktor dan penari
bereksplorasi. Kusumo yang dalam karyanya tersebut menumbuhkan kembali kepekaan terhadap
lingkungan dan unsur-unsur alam, mendorong Miroto melakukan hal yang sama. Selain itu
semangat kebaruan Miroto dalam menggarap karyanya juga dipengaruhi oleh semangat kebaruan
yang dilakukan oleh guru-gurunya: Bagong Kussudiardja, Sardono W. Kusumo, dan Pina Bausch
(Hasil wawancara dengan Miroto, 20 Desember 2014). Terdapat pengaruh lokal dan global, stimuli
ide dan visual dalam pencarian geraknya.
Universitas Indonesia
464
Dengan latar belakang idenya tersebut, kemudian Miroto melakukan pengamatan pada
1983 di sekitar jembatan Kewek, Yogyakarta, yang kumuh, sementara di seberangnya berdiri Hotel
Garuda yang megah. Ia juga berdialog dengan para pemulung dan gelandangan yang tinggal di
gubuk plastik, dan sering dicurigai sebagai pencopet, maling, atau penjahat lainnya oleh masyarakat
hanya karena mereka melarat dan tampak kumuh. Padahal pekerjaan mereka halal karena mereka
memulung botol plastik, kertas, mencari puntung rokok dan barang bekas lainnya yang kemudian
dijual. Saat yang paling memilukan adalah saat mereka digusur dan rumah plastik mereka
dihancurkan. Cerita para pemulung tersebut menjadi inspirasi penggarapan karya tari Sampah,
karena sampah merupakan fenomena nyata di Yogyakarta di tahun 1980-an. Dengan demikian tema
garapan tersebut adalah masalah sosial, dan dalam hal tersebut stimuli diperoleh dari melihat (visual)
dan mendengar (audio).
465
Miroto belajar bentuk teater tari dari Pina Bausch di Jerman, dan mengembangkannya
dalam format kontemporer. Hasil wawancara dengan Miroto, 20 Desember 2014.
Universitas Indonesia
466
Pemeran orang gila dimainkan oleh Jemek Supardi, seorang seniman pantomim
terkemuka di Yogyakarta, hasil wawancara dengan Miroto, 20 Desember 2014.
Universitas Indonesia
Sampah garapan Miroto termasuk karya tari kontemporer karena kekuatan ide dan
teknik dengan kemampuan memanfaatkan kekayaan pola gerak, perbendaharaan
teknik dari tari tradisional Jawa gaya Yogyakarta di antaranya tari Bedaya dan
Lawung. Namun unsur tari tradisional tersebut hanya digunakan sebagai pijakan
pada karakternya yang halus dan gagah dengan kemampuan merangkum
pemanfaatan eksplorasi sehingga gerak tari tradisional tersebut tidak lagi terlihat.
Karya tari yang dominan dalam aspek visual dan bukan kinetika467 merupakan
kontribusi Miroto dari aktualisasi permasalahan yang ada di depan mata, sampah.
467
Karya Miroto yang dominan visual dan bukan kinetika, disiapkan dengan cermat melalui
studi adegan dengan digambar terlebih dulu. Metode tersebut tepat dengan pendekatan visual dalam
koreografi.
468
Sejak tahun 1996 Laksmi mengubah nama yang biasa digunakan dalam berkesenian
yaitu Laksmi Simanjuntak (Simanjuntak adalah nama marga suaminya), menjadi Laksmi
Notokusumo (Notokusumo adalah nama keluarga besar ayahnya). Hasil wawancara dengan Laksmi
Notokusumo melalui email, 2 Januari 2015.
Universitas Indonesia
tari juga sosok yang mewujud dari roh dan sukma sebuah tari. Dengan demikian
penggarapan karya tari Kala Bendu tidak terbatas pada gerak sebagai bentuk visual,
tetapi dilanjutkan dengan usaha menangkap roh dan sukma tari tersebut.
Dalam penuangan teks puisi dalam karya tari, meski tetap menggunakan
bahasa Jawa yang sangat dikuasai oleh Laksmi Simanjuntak, namun bentuk dan
penyajiannya tidak lagi terikat oleh batasan-batasan yang ada dalam bentuk-bentuk
puisi yang biasa dilakukan dalam masyarakat pendukung puisi dan bahasa tersebut.
Begitu pula dalam menggarap dan menuangkan gerak dan ekspresi lainnya, tidak
lagi terikat pada bentuk dan pola tari tradisional klasik ataupun modern. Garapan
gerak bertolak dari penghayatannya pada kebudayaan urban di kota besar. Di
sinilah Laksmi Simanjuntak mendongkrak keberaniaannya untuk melepaskan diri
dari keterikatan pada unsur-unsur tradisional klasik maupun modern, dan kembali
kepada pencarian gerak tubuh sehari-hari.
Oleh karena mengeksplorasi gerak sehari-hari dalam garapan karya tarinya,
Laksmi Simanjuntak selain mengajak penari juga mengajak teman-teman bukan
penari. Mereka melakukan eksplorasi bebas pada seluruh anggota tubuh hingga
terwujudlah bentuk-bentuk dan pola-pola gerak, ekspresi, sesuai kebutuhan tema
tarinya.
Musik tari Kala Bendu idenya berdasarkan konsep gagasan karya tari yang
kemudian digubah oleh penata musik dengan memakai media elektronik menjadi
elektronik akustik. Dalam gubahan musik tari tersebut penata musik (Tony
Prabowo, lahir 1956) merekam bunyi dari alat-alat musik akustik yang
dikombinasikan dengan berbagai suara seperti suara angin, air, suara-suara pemain
teater, suara Laksmi Simanjuntak sedang berbicara, menembang, ataupun suara–
suaranya menyebutkan beberapa kata yang diulang dengan nada dan cara
penyebutan yang beragam, dan sebagainya. Suara-suara tersebut direkam dan
diproses sehingga menghasilkan suara musikal elektronik yang kemudian dikenal
dengan istilah elektronik-akustik.469
469
Saat itu di Indonesia musik elektronik-akustik belum banyak dikenal masyarakat dan
penata musik mengubah musiknya dengan pendekatan tersebut di tahun 1980-an. Namun sebagai
Universitas Indonesia
Kala Bendu adalah sebuah eskperimen gerak tanpa maksud untuk menari.
Ia semata-mata gerak untuk menampung narasi kehidupan, yang mencampakkan
manusia ke dalam krisis bila tiada sanggup meniti perubahan. Memang eksperimen
ini tidak bermaksud untuk menari dalam pengertian bahwa tari adalah gerak yang
berpola dan berbentuk; bersifat ritmis; gerak tubuh nonverbal yang bukan aktivitas
gerak keseharian. Laksmi dengan sadar memang menjauhi itu. Ia hanya bergerak
dan bergerak, bahkan sengaja ditonjolkan aktivitas gerak manusia keseharian. Ini
mengingatkan reaksi postmodernism pada modern dance. Karya-karya
postmodernism pun disebut kontemporer karena berpaling dari ciri-ciri masa lalu.
Demikian pula Kala Bendu di tangan Laksmi Simanjuntak.
istilah telah diketahuinya sebelum tahun 1980-an karena pendekatan garap tersebut telah
berkembang di Eropa Barat dan Amerika sekitar tahun 1940-an. Hasil wawancara dengan Tony
Prabowo di Jakarta, 3 Maret 2016.
470
Bagi Hendro Martono, Alwin Nikolais sangat kuat dalam menata cahaya yang bias
cahayanya membentuk garis-garis, bulatan-bulatan kecil, maupun persinggungan warna cahaya
sehingga menghasilkan visualisasi yang unik dan indah. Kostum dan property Nikolais yang
mendukung estetika visual menjadikan bukan lagi manusia yang bergerak melainkan wujud
lain.Wujud tariannya menyerupai seni optik yaitu antara bentuk yang jelas tersamar dengan warna
kostum dan cahaya yang selalu berubah. Adapun Pilobolus bagi Martono, mengutamakan kesatuan
tubuh-tubuh penari, saling memeluk, melengkung, menelusup di antara tubuh-tubuh yang saling
menyatu, bagaikan binatang melata yang bergerak lamban namun pasti, dan membentuk wujud yang
dinamis. Hasi wawancara dengan Martono, 12 Agustus 2015.
Universitas Indonesia
perlengkapan tari, tata cahaya maupun setting, menjadi bentuk-bentuk baru yang
unik, bagaikan wujud mahkluk aneh yang bergerak di atas panggung. Berdasarkan
ketertarikan tersebut Martono berupaya mendekati karya-karya asing tersebut dan
memberinya judul Fatamorgana, antara realita dan khayalan.
Dalam proses penggarapan, Martono melakukan eksplorasi bersama penari
yang dimulai dengan menonton rekaman karya Alwin Nikolais dan Pilobolus
Dance Company. Kemudian ia membuat gambar sketsa formasi beberapa penari
yang saling bertumpuk, bergantung, memeluk, menahan, menyelinap dan lain-lain,
yang pola geraknya ditekankan kepada kerja sama antara dua penari atau lebih,471
dalam permainan pergeseran gravitasi bumi terhadap tubuh dengan memindahkan
secara lembut antara penyangga yang satu kepada penyangga yang lainnya. Karya
tari tersebut tidak naratif, berupa pencarian formasi gerak dan bentuk yang saling
mengait antarpenari.
Esplorasi berikutnya adalah ekperimen penari bergerak di antara parasut.
Ide penggunaan parasut muncul ketika melihat parasut yang ditiup angin
menggelembung ke atas sesaat lalu mengempis lagi seperti jamur atau ubur-bur di
laut.472 Pada sektor lain, gerak-gerak abstraksi serangga yang diproyeksikan ke
bentangan payung parasut, menghasilkan permainan disain parasut dengan sifatnya
terhadap gaya tarik bumi dan dalam menahan udara, dan memberikan imajinasi
“keberadaan dalam kehampaan…” yang kemudian menjadi tema karya
Fatamorgana. Namun konsep tata cahaya Fatamorgana tersebut tidak bisa tercapai
saat ditampilkan di Teater Tertutup PKJ-TIM karena dalam penyelenggaraan Pekan
Koreografi Indonesia tersebut sebuah karya tari tidak bisa tampil sendiri dalam satu
malam (full evening program). Hal itu disebabkan keterbatasan waktu
penyelenggaraan yang tentunya berkaitan dengan dana, selain tidak
memungkinkannya penggarapan konsep lampu bisa dipenuhi bagi dua atau tiga
471
Formasi tari dan geraknya tidak bisa dilakukan sendiri oleh seorang penari, sedikitnya
dua penari, atau beberapa penari. Hasil wawancara dengan Martono, 12 Agustus 2015.
472
Ide menggunakan parasut muncul ketika melihat parasut dipasang sebagai penutup stan
makanan dan barang-barang lainnya, dalam acara bazar di kampus Akademi Seni Tari Indonesia
(ASTI) Yogyakarta dalam rangka Dies Natalis, pada tahun 1985 (Martono, 12 Agustus 2015).
Universitas Indonesia
pertunjukan dalam satu malam pertunjukan di tempat yang sama. Meski demikian
Fatamorgana tetap tampil dalam keterbatasan pemenuhan konsep tata cahaya,
namun suasana kelautan tetap bisa dicapai.
Kostum Fatamorgana oleh Martono dibuat sederhana, hanya mengenakan
baju kaus putih tanpa lengan dan tight agar penari leluasa bergerak, dan gerak yang
dihasilkan utuh. Baju kaus diberi spons untuk membentuk pundak penari menjadi
terlihat tegap dan lurus horizontal, dan berfungsi melindungi pundak saat diinjak
kaki penari lain maupun saat penari bergerak bergulung. Tight yang dikenakan
penari berwarna putih dengan bercorak garis-garis vertikal berwarna hitam, untuk
memperkuat garis gerak kaki.
Universitas Indonesia
gerak bebas hasil proses eksplorasi dengan sedikit gerak akrobatik yang
mengandalkan kemampuan teknik penari. Inovasi gerak itu diperoleh melalui
proses eksplorasi yang tidak sebentar.473
Sebagaimana dinyatakan sendiri oleh Hendro Martono, Fatamorgana
adalah tari modern dalam pengertian modern Amerika karena ia mengambil
referensinya dari sana. Modern dance di Amerika adalah tapak berikutnya dari
balet. Modern dance muncul sebagai reaksi dari balet yang dinilai terlalu
menyembunyikan emosi banal manusia. Hal yang disaksikan Martono dalam
modern dance adalah penonjolan pada batang tubuh (torso), berat badan, dan lantai
panggung adalah milik seluruh tubuh bukan hanya milik kaki seperti di balet. Oleh
karena itu Martono dan para penarinya betul-betul berlatih ketubuhan yang utuh.
Batang tubuh memperoleh fleksibilitas yang lebih besar dan gravitasi tubuh
serendah-rendahnya hampir menyentuh lantai dengan cara menekuk lutut sedalam-
dalamnya.
Apa yang dilakukan Hendro Martono adalah sebuah gaya yang eksis di
Barat pada tahun 1920-an hingga1960-an namun di Indonesia belum merasuk
karena keterbatasan kesempatan menonton kebaruan seni tari pada masa itu dan
keterbatasan seniman tari Indonesia yang beruntung bisa mereguk pengalaman
intensif ke mancanegara. Dengan demikian pertunjukan Martono pun dipandang
sebagai kebaruan dalam konteks kekinian pada waktu itu. Kekinian adalah kata lain
dari kontemporer.
473
Mary Christa, “‘Rajah” & “Fatamorgana” Muncul di Tengah Diskusi Pekan Koreografi
Indonesia di TIM” dalam Berita Buana, 15 Juni 1987.
Universitas Indonesia
dan musik Barat karya Vangelis dalam album MASK, Movement 5, dipadu dengan
percakapan dan nyanyian, yang saling tumpang tindih menghadirkan rasa menekan
dan serba tidak pasti. Warna hitam pada kostum yang dikenakan kedua penari
(dengan penari laki-laki bertelanjang dada), dan sewarna dengan penataan
panggung yang juga hitam serta tanpa setting dan property, menambah suasana
kelam penampilan Kurusetra.474
Kussudiardja menyajikan Kurusetra sebagai karya kontemporer. Cerita
wayang tersebut disajikannya tanpa simbol-simbol yang jelas dari wayang. Gerak
kedua penari bukan gerak Wayang Wong. Ada suara gamelan namun ditimpa suara-
suara lain. Kedua penari berkostum yang tidak selayaknya pemain wayang dan tak
terjumpai karakter wayang. Kussudiardja hanya mengambil tema cerita wayang
lantas memvisualisasikannya menurut daya ciptanya sendiri.
Dari analisis karya-karya tari kontemporer di Indonesia, tertegaskan bahwa
karya tari tradisional merupakan sumber gagasan yang sangat penting untuk
penciptaan karya kontemporer. Sebagai sumber gagasan, karya tari tradisional
selanjutnya oleh koreografer diolah lebih lanjut secara radikal agar muncul suatu
karya yang belum pernah ada sebelumnya. Dalam hal ini dihindarilah segala
ungkapan yang pernah ada. Namun di Indonesia, yang tak terhindarkan adalah
kesejarahan yang tidak terputus antara tradisi sebagai sumber ide yang dalam
garapan tari diejawantahkan menjadi karya kontemporer.
474
Lihat Efix Mulyadi, “Pekan Koreografi Indonesia, Tonggak Baru Bagong
Kussudiardjo” dalam Kompas, 14 Juni 1987; Karsono H. Saputra, “Dari Pekan Koreografi Indonesia
1987, Bunga Rampai Antara Pecarian dan Kemapanan” dalam Suara Pembaruan, 18 Juni 1987; dan
Sardono W. Kusumo, “Gegap yang Tua, Gempita yang Muda” dalam Tempo, 20 Juni 1987.
Universitas Indonesia
BAB VI
PENUTUP
Semua yang telah didapat dan dituliskan dalam disertasi ini diharapkan bisa
memberikan kontribusi dalam memahami perkembangan koreografi di Indonesia
terutama dalam konteks hadirnya karya tari baru, baik yang berupa pengembangan
dari tradisi maupun karya tari kontemporer sesuai dengan tema penelitian ini.
6.1. Kesimpulan
Gagasan dan bentuk penciptaan karya tari bisa berubah dan berkembang
sesuai dengan perubahan zaman yang tak terhindarkan berkaitan erat dengan faktor
perubahan dan kebutuhan dalam diri seniman sendiri yang antara lain dipengaruhi
oleh persinggungan dengan bentuk-bentuk seni lainnya. Seniman juga tidak bisa
mengabaikan selera masyarakat dan atau penonton yang berubah sesuai dengan
perubahan zaman. Di sinilah peran media massa termasuk pengamat dan kritikus
menjadi sangat penting untuk menjembatani aspirasi artistik seniman dan daya
tangkap penonton. Apresiasi terbentuk melalui jalan ini, yang juga berimbas kepada
pemahaman para pengayom dan penyandang dana yang bisa pemerintah, swasta
dan perorangan mengenai adanya perubahan kesenian.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perubahan dan pembaruan dalam
karya tari tradisional dilakukan oleh tokoh-tokoh pembaruan (agents of change).
Sesuai dengan metodologi strukturistik para tokoh pembaharu atau agen perubahan
adalah seniman tari dan mereka melakukan perubahan disebabkan oleh sejumlah
faktor antara lain tidak lagi puas terhadap karya tari tradisional yang dikuasai;
munculnya kreativitas dalam diri yang terbentuk melalui pembongkaran konsep-
konsep yang sudah ada agar bisa mengatasi kemandegan; adanya faktor lingkungan
yaitu masyarakat pendukung tradisi yang menginginkan terjadinya perubahan, atau
bisa justru sebaliknya masyarakat menolak adanya perubahan dan ini menjadi
hambatan (constraining) bagi terciptanya kebaruan. Hambatan ini oleh sebagian
seniman justru dipandang sebagai tantangan untuk penciptaan karya baru
(enabling). Seniman tari yang bergelut pada tradisi itu mampu melakukan
perubahan karena mempunyai pemikiran yang cenderung berorientasi pada nilai-
266 Universitas Indonesia
nilai dan hal-hal yang berlaku di luar tradisi itu sendiri, yang diperolehnya dari
pengalaman dan pendidikan di luar lingkungan tradisinya.
Dengan demikian seniman tari dan atau koreografer yang tampil pada 11
program besar di PKJ-TIM dengan grup tarinya masing-masing adalah bagian dari
agents of change yang gerakan-gerakannya memperoleh saluran dari agent of
change lainnya yakni Gubernur Ali Sadikin yang menyediakan berbagai fasilitas
dan dana yang diperlukan. Melalui birokrasi Pemda DKI Jakarta sebagai struktur
yang menjalankan visi atasannya (Ali Sadikin) terbentuklah mekanisme yang
mendukung seluruh aktivitas di PKJ-TIM. Struktur birokrasi yang penekanannya
pada penyediaan dana tersebut memperoleh mitra struktur lainnya yakni DKJ
sebagai perwakilan manajemen artistik para seniman.
Adanya Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM) sebagai
sebuah struktur lainnya dari buah kebijakan kebudayaan pemerintah DKI Jakarta
menjadikan berbagai karya tari marak dipertunjukkan di tempat tersebut baik yang
berupa karya tari tradisional, karya tari baru hasil pengembangan dari tradisi,
maupun karya tari kontemporer. Hal itu terjadi karena adanya perencanaan program
yang terarah yang disusun oleh Komite Tari DKJ untuk membangun kesamaan visi,
bukan saja antarseniman tetapi juga dengan penyandang dana utama, yakni
pemerintah DKI Jakarta. Berbagai genre seni tari silih berganti ditampilkan di
empat gedung pertunjukan (Teater Arena, Teater Tertutup, Teater Terbuka dan
yang terakhir dibangun Graha Bhakti Budaya pada tahun 1983) di PKJ-TIM yang
kuantitas dan kualitasnya kemudian menjadikannya sebagai barometer karya-karya
tari di Indonesia. Antusiasme luar biasa para seniman tari untuk bisa berpentas di
PKJ-TIM mendorong mereka berupaya menciptakan karya-karya baru terbaik,
melalui pencarian kreatif yang intensif. Namun tidak semuanya terkabul karena
untuk bisa tampil di PKJ-TIM harus melalui pertimbangan kelayakan yang
dilakukan oleh Komite Tari DKJ. Kesempatan tampil melalui kurasi yang ketat
inilah yang membuat PKJ-TIM menjadi ukuran prestasi pencapaian artistik para
seniman tari karena para kurator adalah sejumlah insan tari yang kredibilitasnya
diakui.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
6.2. Rekomendasi
Dari penelitian yang mendalam untuk keperluan disertasi ini, penulis tak
ragu menyatakan bahwa di tengah arus perubahan yang terjadi pada masa kini, para
pendukung seni tari di Indonesia perlu membaca kembali kondisi dunia seni tari
Indonesia yang berkaitan dengan konteks sosial, politik dan ekonomi baik dalam
475
Talcott Parsons, “An Online of Social System” dalam Talcott Parsons, Edward Shils,
Kaspar D. Naegele, Jesse P. Pitts (eds.), Theories of Society, Foundations of Modern Sociolgical
Theory (New York: Macmillan Publishing Co., Inc., 1961), hlm. 30–79.
Universitas Indonesia
tataran lokal maupun global. Perubahan, bila dilihat dari dua sisi, mengandung
konsekuensi melahirkan hambatan namun juga peluang optimisme yang bisa
diarahkan untuk optimalisasi peran seni tari dalam sumbangannya kepada negeri
ini.
Dengan demikian perlu disusun dan dilaksanakan kebijakan negara yang
tidak mengesampingkan kesenian pada umumnya dan seni tari pada khususnya.
Dalam penciptaan dan pertunjukan karya tari tidak mungkin seniman sendirian.
Negara mutlak harus turun tangan menyediakan berbagai prasyarat untuk kelahiran
karya-karya yang membanggakan.
Perlu tersedia infrasruktur berupa pusat-pusat kesenian yang lengkap
dengan tempat pertunjukan sekaligus tempat berlatih dan lokakarya, juga ruang-
ruang publik. Selain itu perlu adanya perangkat lunak seperti kelembagaan yang di
antaranya berperan membuat program, atau organisasi seni tari dan jaringan
kelembagaan sebagai agen pelaku maupun kebijakan publik mengenai seni tari
yang menjamin kebebasan berekspresi. Perangkat keras dan lunak harus sama
baiknya untuk memungkinkan hadirnya karya-karya baru dan pertunjukan-
pertunjukan yang memadai. Pengertian “baik” dalam konteks ini adalah tersedianya
fasilitas yang mendukung bagi perkembangan karya-karya tari berbagai genre.
PKJ-TIM sudah pernah membuktikan itu. Fasilitas tempat pertunjukan telah
dikelola dengan baik oleh manusia-manusia yang diberi tanggung jawab untuk
melakukannya.
Demi perkembangan seni tari, termasuk kontemporer, tak boleh ada
irasionalisme dalam hal dana, fasilitas tempat pertunjukan yang mengikuti
kemajuan teknologi, manusia-manusia pengelolanya dan publik penonton. Kata
kunci dalam hal ini adalah: “memenuhi syarat”. Kata kunci tersebut berlaku untuk
pendanaan, tempat latihan dan tempat pertunjukan serta pengelolanya, pembuat
program acara dan pengumpul penonton.
Sederet langkah strategis yang harus ditempuh adalah pendidikan kesenian,
baik formal maupun nonformal, untuk menyiapkan pelanjutan (regenerasi) seniman
tari yang berkualitas; penguatan dan pembentukan jejaring sebagai wahana
Universitas Indonesia
informasi segala kegiatan dan hasil garapan seni tari di dalam dan luar negeri;
penguatan dokumentasi sebagai pusat data untuk preservasi dan pengembangan
seluruh kekayaan seni tari di Indonesia; menyiapkan penonton di antaranya melalui
literasi untuk menumbuhkembangkan apresiasi terhadap seni tari.
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
A. Sumber Arsip
Laporan Kegiatan Tari DKJ, Dewan Kesenian Jakarta, November 1968 s.d.
Desember 1985.
Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 1/1974 tanggal 28 Maret 1974 tentang
REPELITA II DKI Jakarta 1974/1975-1978/1979 (Lembaran Daerah No.
45 tahun 1974. Jakarta: Pemerintah DKI Jakarta.
Rekaman suara dalam forum diskusi usai pertunjukan Pekan Koreografi Indonesia
1987, di Teater Tertutup TIM, 14 Juni 1987. koleksi DKJ.
Surat Keputusan Gubernur KDKI Jakarta No. B.6/6/52/1966 tanggal 22 Juni 1966
tentang: Struktur Organisasi Sekretariat Pemerintah DKI Jakarta. Jakarta:
Pemerintah DKI Jakarta.
B. Wawancara
- Dibia, I Wayan. 68 tahun, Bali, berasal dari Bali adalah seorang koreografer
dan etnomusikolog. Menjadi koreografer pada acara Pekan Penata Tari
Muda tahun 1978, dengan karya berjudul Grobogan. Wawancara di Jakarta
2012 dan melalui telepon dan email 2014.
- Djojonegoro, Wardiman. 82 tahun, Jakarta, berasal dari Jawa Timur adalah
mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tahun
1993-1998. Saat ini berperan sebagai pemateri dalam seminar, simposium,
lokakarya di lingkungan Lembaga Pendidikan. Pada masa Ali Sadikin
menjabat sebagai Gubernur DKI-Jakarta, ia menduduki jabatan Kepala Biro
2 (Protokol, Humas dan Umum) di kantor Pemerintah DKI-Jakarta, 1966–
1979. Wawancara di Jakarta, 31 Juli 2013.
- Fukuen, Tang. 44 tahun, Bangkok, adalah seorang kurator di berbagai
festival tari kontemporer internasional dan dramaturgi visual art dan art
performance, dari Singapura. Wawancara di Jakarta 24 Juni 2013.
- Ibnur, Tom. 62 tahun, Jambi, adalah koreografer. Menjadi koreografer pada
Pekan Penata Tari Muda III-1981 bersama Dedy Lutan dengan karya
berjudul Awan Bailau, dan Pekan Penata Tari Muda IV - 1982 berkarya
sendiri dengan judul karya Ambo Jo Imbau. Wawancara di Jakarta, 22
Maret 2014, 11 Januari 2015.
- Lutan, Dedy. 1951–2014, Jakarta, adalah seorang penari dan koreografer.
Menjadi koreografer pada acara Pekan Penata Tari Muda, 1982, bersama
Tom Ibnur dengan karya berjudul Awan Bailau. Karya ini kemudian
ditampilkan di Amerika pada tahun 1984 dalam acara American Dance
Festival. Wawancara di Jakarta, 2 Juni 2012.
- Martono, Hendro. 56 tahun, Yogyakarta. Dosen, koreografer dalam Pekan
Koreografi 1987 dengan karya berjudul Fatamorgana. Wawancara melalui
telepon dan email, 14 Desember 2014.
- Mefry, Ery. 59 tahun, Padang, adalah koreografer kontemporer. Menjadi
koreografer yang tanpil dalam Pekan Koreografi Indonesia 1987.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
A.S, Soenarto. (1982). “Reog” dalam Sal Murgiyanto (ed.). Penata Tari Muda
1982. (hlm. 19). Jakarta: P.T. Harapan dan Dewan Kesenian Jakarta.
Alisjahbana, Pia, dkk. (eds.). (1994). 25 Tahun Pusat Kesenian Jakarta Taman
Ismail Marzuki. Jakarta: Yayasan Kesenian Jakarta dan PT Dian Rakyat.
Anderson, Jack. (1997). Art Without Boundaries, The World of Modern Dance.
Iowa City: University of Iowa Press.
Universitas Indonesia
Ardan, S.M. (1994). “Seni Tradisi di PKJ-TIM” dalam 25 Tahun Pusat Kesenian
Jakarta Taman Ismail Marzuki. (hlm. 214). Jakarta: Yayasan Kesenian
Jakarta dan PT Dian Rakyat.
Ardhiati, Yuke. (2005). Bung Karno Sang Arsitek. Jakarta: Komunitas Bambu.
Ardjo, Irawati Durban. (2011). “Tari Sunda Baru dan Panggung Baru” dalam
Jennifer Lindsay dan Maya H.T. Liem (eds.). Ahli Waris Budaya Dunia:
Menjadi Indonesia 1950–1965. (hlm. 437–62). Denpasar: Pustaka Larasan.
Bandem, I Made and Fredrik Eugene de Boer. (1981). Kaja and Kelod, Balinese
Dance in Transition. Kuala Lumpur: Oxford University Press.
Barth, John. (1984). “The Literature of Replenishment” dalam The Friday Book:
Essays and Other Non-fiction. (hlm. 193–206). London: The John Hopkins
University.
Bentara Budaya Jakarta. (1997). Pergelaran Tari Dewabrata Karya Retno Maruti.
Jakarta: Bentara Budaya.
Benny, Cornelia J. (20 Januari 1979). “Berfestival di TIM”. Harian Pikiran Rakyat.
Boneff, Marcel and Pierre Labrousse. (1997). “Un Danseur Javanais en France:
Raden Mas Jodjana (1893–1972)”. Archipel, volume 54. (hlm. 225–42).
Paris: Association Archipel.
Universitas Indonesia
Chazin-Bennahun, Judith (ed.) (2005). Teaching Dance Studies. New York &
London: Routledge.
Christa, Mary. (15 Juni 1987). “’Rajah’ & ‘Fatamorgana’ Muncul di Tengah
Diskusi Pekan Koreografi Indonesia di TIM”. Berita Buana.
Chudori, Leila S. (10 November 1990). “Setelah Lahir TIM-TIM Kecil”. Tempo.
Cohen, Selma Jeanne (ed.). (1984). The Modern Dance, Seven Statements of Belief.
Connecticut: Wesleyan University Press.
Universitas Indonesia
Danandjaja, James. (1987). Folklor Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain.
Jakarta: Grafiti Pers.
Daud, Nurdin dan Marzuki Hasan. (1983). “Ramphak” dalam Sal Murgiyanto (ed.).
Penata Tari Muda 1983. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
Dewan Kesenian Jakarta. (1977). “Seminar Kritik Tari 1977” dalam Arsip DKJ..
-----. (1978). Buku Program Festival Penata Tari Muda 1978. Jakarta: Dewan
Kesenian Jakarta.
-----. (1985). “Laporan Kegiatan Tari DKJ. November 1968 s.d. Desember 1985”.
Dibia, I Wayan. (1977). “Fungsi Kritik Tari” dalam Seminar Kritik Tari. Jakarta:
Arsip DKJ
-----. (1978). “Grobogan” dalam Festival Penata Tari Muda 1978. Jakarta: DKJ.
Ensiklopedi. (1977). Ensiklopedia Musik dan Tari Daerah Sumatera Barat. Jakarta:
Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Feith, Herbert and Lance Castles (eds.). (1970). Indonesian Political Thinking,
1945–1965. Ithaca/London: Cornell University Press.
Firdaus, Jose Rizal. (1984). “Simpai Geri” dalam Sal Murgiyanto (ed.). Pekan
Penata Tari Muda1984. (hlm. 25–32). Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
Foulcher, Keith. (2004). Community and The Metropolis: Lenong, Nyai Dasima
and the New Order. Melbourne: Asia Research Institute.
Freeland, Felicia Hughes. (2009). Komunitas yang Mewujud; Tradisi Tari dan
Perubahan di Jawa. (terj. Nin Bakdi Soemanto). Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Geertz, Clifford. (1981). Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. (terj.
Aswab Mahasin). Jakarta: Pustaka Jaya.
Hadi, Y. Sumandiyo. (1981). “Kagunan Beksan Kusa dan Lawa” dalam Sal
Murgiyanto (ed.). Ungkapan dan Bahasan Festival Penata Tari Muda III
1981. (hlm. 29). Jakarta: PT Harapan dan Dewan Kesenian Jakarta.
Universitas Indonesia
Hamid, Farid. (1986). “Tari Badong” dalam Festival Karya Tari VII/1986. (hlm.
6). Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
Handayama, Francis. (22 Februari 1986). “Dari Festival Karya Tari DKJ VII,
Sepeda Motor Pun Naik Panggung”. Suara Karya.
Harahap, Banda. (6 Juni 1965). “Tingkatkan dan Kembangkan; Djajalah Partai dan
Negeri”. Harian Rakyat.
Hardjana, Suka. (28 Juni 1987). “Dari Pekan Koreografi Indonesia, Sardono dan
Makna Sebuah Pekan Seni”. Kompas.
Hatley, Barbara. (1994). “Cultural Expression” dalam Hal Hill (ed.). Indonesia’s
New Order: The Dynamic of Socio-Economic Transformation. (hlm. 216–
18). Australia: Allen and Unwin Pty Ltd.
Hawkins, Alma M. (2003). Bergerak Menurut Kata Hati, Metoda Baru dalam
Menciptakan Tari. (terj. I Wayan Dibia). Jakarta: Ford Foundation dan
Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
Holt, Claire. (1967). Art in Indonesia: Continuities and Change. Ithaca, New York
Cornell University Press.
HS, Usil Susilo. (6 September 1977). “Percakapan dengan Julianti Parani”. Berita
Buana.
Humphrey, Doris. (1959). The Art of Making Dances. New York: Grove Press.
Ikhlas, Mohammad. (1986). “Kie dalam Imbauan” dalam Festival Karya Tari
Dewan Kesenian Jakarta VII/1986. (hlm. 16). Jakarta: Dewan Kesenian
Jakarta.
Universitas Indonesia
Ikranagara. (23 Oktober 1979). “Nikolais yang Gilang Gemilang dan Meta Macet”.
Berita Buana.
Jenkins, Keith. (1996). Re-thinking History. London & New York: Routledge.
Kayam, Umar. (1979). “Peranan Seni Tradisional dalam Modernisasi dan Integrasi
di Asia Tenggara” dalam Seni, Tradisi, Masyarakat. (hlm. 36). Jakarta:
Sinar Harapan.
Kraus, Richard and Sarah Chapman et al. (1991). History of The Dance in Art and
Education. USA: Prentice Hall.
-----. (1987). “Kurusetra” dalam Pekan Koreografi Indonesia 1987. Jakarta: Dewan
Kesenian Jakarta.
-----. (1993). Olah Seni Sebuah Pengalaman. Yogyakarta: Benteng Intervisi Utama.
Kusumo, Sardono W. (24 Februari 1986). “Festival Karya Tari 1986, Pertunjukan
Bukan Sekedar Kecelakaan.” Sinar Harapan.
-----. (20 Juni 1987). “Gegap yang Tua, Gempita yang Muda”. Tempo.
-----. “Alam, Manusia, dan Kesenian: Terciptanya Cak Teges” dalam Hanoman,
Tarzan, Homo Erectus. (hlm. 38). Jakarta: ku/bu/ku.
Larasati, Rachmi Diyah. (2003). The Dance that Makes You Vanish, Cultural
Reconstruction in Post-genocide Indonesia. Minneapolis: the University of
Minnesota.
-----. (2011). “Menggelar Indonesia di Luar Negeri” dalam Jennifer Lindsay dan
Maya H.T. Liem (eds.). Ahli waris budaya dunia. Menjadi Indonesia 1950–
1965. (hlm. 221–52). Denpasar: Pustaka Larasan.
Universitas Indonesia
Luthan, Deddy dan Tom Ibnur. (1982). “Awan Bailau” dalam Sal Murgiyanto (ed.),
Penata Tari Muda 1982. (hlm. 9–12). Jakarta: PT Harapan dan Dewan
Kesenian Jakarta.
Martin. John. (1963). Book of The Modern Dance. New York: Tudor Publisher Co.
-----. (1972). The Modern Dance. New York: Dance Horizon Inc.
Mefri, Ery. (1986). “Aia Tuturan” dalam Festival Karya Tari Dewan Kesenian
Jakarta VII/1986. (hlm. 8). Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
-----. “Gusmiati Suid, Api Dalam Sekam” dalam Bambang Bujono (ed.). Empat
Menguak Tradisi, Syeh Lah Geunta, Saidi Bissu Lolo, Anom Suroto,
Gusmiati Suid. Seri Figur Seni Pertunjukan Indonesia 2. (hlm. 155–6).
Jakarta: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia dan Ford Foundation
Moeljanto D.S. dan Taufik Ismail. (1995). Prahara Budaya. Kilas Balik Ofensif
Lekra/PKI dkk. (Kumpulan Dokumen Pergolakan Sejarah). Jakarta:
Penerbit Mizan dan HU Republika.
Mulyadi, Efix. (18 Desember1978). “Catatan Festival Penata Tari Muda I”.
Kompas
Universitas Indonesia
-----. (11 Mei 1981). “Pementasan Laura Dean, Semangat yang Mengalir”. Kompas.
-----. (27 September 1984). “Pekan Penata Tari Muda VI, Maya Melukis di Kanvas
Raksasa”. Kompas.
-----. (17 Februari 1986). “Tarian Sampah dan Buruh Pabrik”. Kompas.
-----. (14 Juni 1987). “Pekan Koreografi Indonesia, Tonggak Baru Bagong
Kussudiardjo”. Kompas.
-----. (15 Juni 1987). “Pekan Koreografi Indonesia Tari Diam, Tari Pengemis”.
Kompas
-----. (4 April 1989). “Dialog Satelit Tari Kontemporer: Tari, Pemikiran Tinggi
Masa Kini”. Kompas.
Munardi, A.M. (1981). “Seblang” dalam Sal Murgiyanto (ed.), Ungkapan dan
Bahasan, Festival Penata Tari Muda III. (hlm. 13–4). Jakarta: Sinar
Harapan dan Dewan Kesenian Jakarta.
Murgiyanto, Sal. (17 Desember 1978). “DKI Selenggarakan Festival Penata Tari
Muda”. Berita Yudha.
-----. (13 Maret 1982). “Pekan Penata Tari dan Komponis Muda 1982, Tradisi dan
Kreasi Tari”. Kompas.
-----. (1984). “Pendidikan Tari Kita: Kenyataan, Bandingan dan Harapan” dalam
Edi Sedyawati (ed.). Tari. (hlm. 90–111 ). Jakarta: Pustaka Jaya.
-----. (1988). “Subur Kang Sarwo Tinandur Mas Kayam dan Tari Kontemporer
Indonesia” dalam Aprinus Salam (ed.). Umar Kayam dan Jaring Semiotik.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
-----. (1993). Ketika Cahaya Memudar, Sebuah Kritik Tari. Jakarta: Deviri Ganan.
Universitas Indonesia
-----. (1994). “Benih yang Ditanam Jangan sampai Layu” dalam Pia Alisjahbana,
dkk. (eds.). 25 Tahun Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki. (hlm.
159–182). Jakarta: Yayasan Kesenian Jakarta.
-----. (1994). “Perjalanan Taman Ismail Marzuki” dalam Pia Alisjahbana, dkk.
(eds.). 25 Tahun Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki. Jakarta:
Yayasan Kesenian Jakarta.
-----. (1997). “Awal Karir Retno Maruti 1947–1969” dalam Pagelaran Tari
Dewabrata Karya Retno Maruti. (hlm. 9–10). Jakarta: Bentara Budaya.
-----. (2000). “Huriah Adam, Peneguh Tari Minang Baru” dalam Kalam 16, Jurnal
Kebudayaan. (hlm. 13). Jakarta: Komunitas Utan Kayu.
-----. (2002). Kritik Tari Bekal dan Kemampuan Dasar. Jakarta: Ford Foundation
dan Masyarakat Seni Seni Pertunjukan.
-----. (2003). “Pengantar” dalam Bergerak Menurut Kata Hati, Metoda Baru dalam
Menciptakan Tari. (terj. I Wayan Dibia). Jakarta: Ford Foundation
kerjasama Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
-----. (2004). “Seni Tradisi Tidak Mati” dalam Tradisi dan Inovasi Beberapa
Masalah Tari di Indonesia. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
-----. (30 Desember 2014). “Festival Penata Tari Muda 1978, yang Tak Terkucil”.
Tempo.
-----. (2015). Pertunjukan Budaya dan Akal Sehat. Jakarta: Fakultas Seni
Pertunjukan-IKJ bekerjasama dengan Senrepita Yogyakarta.
-----. “Menyoal Makna: Tidak Ada Model Tunggal Kontemporer” (naskah akan
terbit dan diizinkan untuk dikutip).
-----. (ed.). (1980). Segi Kata dari Festival Penata Tari Muda II 1979. Jakarta: PT
Sinar Harapan dan Dewan Kesenian Jakarta.
-----. (1984). “Laporan Koordinator Pelaksana” dalam Penata Tari Muda 1984.
(hlm. 1–10). Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
Universitas Indonesia
Nardono, Tri. (1980). “Empiri” dalam Sal Murgiyanto (ed.) Segi Kata dari Festival
Penata Tari Muda II 1979. (hlm. 62–9). Jakarta: P.T. Sinar Harapan dan
Dewan Kesenian Jakarta.
Netra, I Made. (1980). “Majangeran” dalam Sal Murgiyanto (ed.), Segi Kata dari
Festival Penata Tari Muda II 1979. (hlm. 70–9). Jakarta: PT Sinar Harapan
dan Dewan Kesenian Jakarta.
Nio, Threes. (15 Juli 1984). “‘Awan Bailau’ dan ‘Huu…’ Disambut hangat di AS”.
Kompas Minggu.
Padmodarmaya, Pramana. (1994). “25 Tahun Pasang Surut Pusat Kesenian Jakarta”
dalam Pia Alisjahbana, dkk. (eds.). 25 Tahun Pusat Kesenian Jakarta
Taman Ismail Marzuki. (hlm. 34). Jakarta: Yayasan Kesenian Jakarta.
Pamardi, S., Dewi Kristianti dan Setya Widyawati. (1984). “Komposisi III” dalam
Sal Murgiyanto (ed.). Pekan Penata Tari Muda 1984. (hlm. 60). Jakarta:
Dewan Kesenian Jakarta.
Parani, Julianti. (1978). “Sambutan Komite Tari DKJ” dalam Festival Penata Tari
Muda. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
-----. (24 Desember 1979). “Hasil Pengamatan Festival Penata Tari Muda II”.
Kompas.
-----. (2011). Seni Pertunjukan Indonesia, Suatu Politik Budaya. Jakarta: Nalar.
-----. (2016). “Kemelayuan sebagai Jatidiri” dalam Helly Minarti dan Winda
Anggriani (eds.). Tari Melayu, Membayangkan Jakarta: Bagaimana Geliat
Tari Melayu Di Sana? (hlm. 43). Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
Parsons, Talcott. (1961). “An Online of Social System” dalam Talcott Parsons,
Edward Shils, Kaspar D. Naegele, Jesse P. Pitts (eds.). Theories of Society,
Foundations of Modern Sociolgical Theory. (hlm 30–79). New York:
Macmillan Publishing Co., Inc.
Universitas Indonesia
Pr, Subagyo. (13 September 1974). “Kunjungan Martha Graham 20 Tahun Silam”.
Sinar Harapan.
Prevots, N. (1998). Dance for Export: Cultural Diplomacy and The Cold War.
Middletown: Wesleyan University Press.
Prijono. (21 Oktober 1954). “Nasional dalam Bentuk Sosialis dalam Djiwa”.
Harian Rakyat.
-----. (22 Oktober 1954). “Kesan-kesan Prof. Dr. Prijono tentang Kunjungannya di
RRT (sambungan)”. Merdeka.
Raden, Franki. (12–15 Oktober 1979). “Meta Ekologi” dalam Brosur untuk
pertunjukan Meta Ekologi. Jakarta.
Ramadhan K.H. (1992). Bang Ali demi Jakarta 1966–1977. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Raranta, Elly. (1984). ”Lulo Anawai” dalam Sal Murgiyanto (ed.). Pekan Penata
Tari Muda1984. (hlm. 74). Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
Redfield, Robert and Milton Singer. (1969). “The Cultural Role of Cities” dalam
Richard Sennett (ed.). Classic Essays on The Culture of Cities. (hlm. 217).
New York: Prentice- Hall.
Universitas Indonesia
Rendra, W.S. (1994). “Perlu Subsidi Bagi Pusat Kesenian” dalam Pia Alisjahbana,
dkk. (eds.). 25 Tahun Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki. (hlm.
234–6). Jakarta: Yayasan Kesenian Jakarta dan PT Dian Rakyat.
Rochmad. (18 Februari 1981). “Yang Perlu Dicatat dari: Festival Penata Tari Muda
III 1980”. Merdeka.
Rosidi, Ajib. (2006). “Ali Sadikin dan Kesenian” dalam Bambang Bujono (ed.).
Empu Ali Sadikin 80 Tahun. (hlm. 60–5). Jakarta: IKJ Press.
-----. (2008). Hidup Tanpa Ijazah, yang Terekam dalam Kenangan. Jakarta: Pustaka
Jaya.
Rosidi, Ajib (ed.). (1974). Taman Ismail Marzuki. Jakarta: Dewan Kesenian
Jakarta.
Rusliana, Iyus. (1981). “Mundinglaya Salaka Domas” dalam Sal Murgiyanto (ed.),
Ungkapan dan Bahasan Festival Penata Tari Muda III-1981. (hlm. 49).
Jakarta: PT Harapan dan Dewan Kesenian Jakarta.
Sach, Curt. (1963). World History of The Dance. Trans. Bessie Schonberg. New
York: W.W. Norton Co., Inc.
Sakti, Surya Dharma Eka. (2010). “Teks Randai Umbuik Mudo Karya Musra
Dahrizal (Tinjauan Antropolosi Sastra)” dalam Wacana Etnik, Jurnal Ilmu
Sosial dan Humaniora Vol. 1. (hlm. 165). Padang: Pusat Studi Informasi
Dan Kebudayaan Minangkabau dan Sastra Daerah FIB Universitas
Andalas.
Universitas Indonesia
Saputra, Karsono H. (18 Juni 1987). “Dari Pekan Koreografi Indonesia 1987,
Bunga Rampai antara Penarian dan Kemapanan”. Suara Pembaruan.
-----. (17 November 1970). “Tentang Pentas Tari Wisnu Wardhana: Hanya Wisnu
Boleh Menggendong Sita?”. Kompas.
-----. (31 Desember 1970). “Masalah Tari Kontemporer dalam Seni Tari Indonesia”.
Sinar Harapan.
-----. (22 Oktober 1979). “Happening dalam Tempo Adagio dan Suatu Pesta buat
Mata”. Kompas.
-----. (1981). “Pertumbuhan Seni Pertunjukan” dalam Seri Esni No. 4. Jakarta: Sinar
Harapan.
-----. (30 September 1984). “Pekan Penata Tari Muda, Sesudah Masa Rintisan”.
Kompas Minggu.
-----. (1986). “Sambutan Ketua Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta” dalam Sal
Murgiyanto (ed.). Buku Program: Festival Penata Tari Dewan Kesenian
Jakarta VII/1986. (hlm. 4–5). Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
-----. (1987). “Tari: Bidang Seni yang Paling Maju dalam Proses Pembentukan
Kesatuan Nasional” dalam Muhadjir dkk (eds.). Evaluasi dan Strategi
Kebudayaan. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
-----. (1994). Pengarcaan Ganesa Masa Kadiri dan Singhasari: Sebuah Tinjauan
Sejarah Kesenian. Jakarta: EFEO, LIPI, Leiden University.
Universitas Indonesia
-----. “Surat Edi Sedyawati dari Perdjalanan.” Trio: 27–8. (diakses dari fotokopi,
tanggal tidak diketahui).
Sedyawati. Edi (ed.). (2002). “Seni Pertunjukan” dalam Indonesian Heritage, Vol
8. (hlm. 78 ). Jakarta: Buku Antar Bangsa untuk Groslier International Inc.
Sinjal, Isaac T., Muhammad Kennedy, dkk. (2005). Who Bukan Wah. Catatan
Perjalanan Hidup Aktor Kusno Soedjawardi. Jakarta: Perhimpunan Gerak
Indonesia Mandiri.
Soedarsono. (1972). Djawa dan Bali: Dua Pusat Perkembangan Drama Tari
Tradisionil di Indonesia. Jogjakarta: Gadjah Mada University Press.
-----. (1984). “Pendidikan Formal Seni Tari” dalam Edi Sedyawati (ed.). Tari. (hlm.
77–89). Jakarta: Pustaka Jaya.
-----. Wayang Wong, The State Ritual Dance Drama in The Court of Yogyakarta.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Universitas Indonesia
-----. (1992). “Tari Kreasi Baru” dalam Soedarsono (ed.). Apresiasi Seni
Pertunjukan. (hlm. 111–6). Jakarta: Balai Pustaka.
-----. (2003). Seni Pertunjukan dari Perspektif Politik, Sosial dan Ekonomi.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Soemantri, Hilda. (2002). “Seni Rupa” dalam Indonesian Heritage Vol 7. (hlm. 56).
Jakarta: Buku Antar Bangsa untuk Golier International, Inc.
Suanda, Endo. (1978). “Klana Tunjung Seta” dalam Buku Program Festival Penata
Tari Muda 1978. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
Sudiarso, Iravati M. (1986). “Sambutan Ketua Dewan Kesenian Jakarta” dalam Sal
Murgiyanto (ed.). Buku Program: Festival Penata Tari Dewan Kesenian
Jakarta VII/1986. (hlm. 4–5). Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta (tidak
diterbitkan).
Suid, Gusmiati. (1980). “Puti Galang Banyak” dalam Sal Murgiyanto (ed.). Segi
Kata Dari Festival Penata Tari Muda II 1979. (hlm. 33). Jakarta: P.T. Sinar
Harapan dan Dewan Kesenian Jakarta.
Sunarno, Nora dan Rusini. (1981). “Joged” dalam Sal Murgiyanto (ed.). Ungkapan
dan Bahasan Festival Penata Tari Muda III-1981. (hlm. 57–65). Jakarta:
PT Harapan dan Dewan Kesenian Jakarta 1981.
Supardi, Nunus. (2012). “Kebudayaan Pada Masa Orde Baru” dalam Taufik
Abdullah dan AB Lapian (eds.). Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 8 Orde
Baru dan Reformasi. (hlm. 599). Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve atas
kerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia.
Suryobronto, GBPH. “Ragam Tari Klasik Gaya Yogyakarta” dalam Mengenal Tari
Gaya Yogyakarta. (hlm. 83). Yogyakarta: Dewan Kesenian Propinsi DIY.
Suyono, Seno Joko. (2003). “Kecak Teges, 31 Tahun Kemudian” dalam Sardono
W. Kusumo, Hanoman, Tarzan, Homo Erectus. (hlm. 146–7). Jakarta:
ku/bu/ku.
Universitas Indonesia
-----. (2014). “Pengantar: Lekra Anatomi Sebuah Gagasan” dalam Arif Zulkifli
(dkk.). Lekra dan Geger. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
bekerjasama dengan Tempo.
Tamara, Maya. (1984). “Tarian Dalam Warna dan Musik” dalam Sal Murgiyanto
(ed.). Pekan Penata Tari Muda 1984. (hlm. 40). Jakarta: Dewan Kesenian
Jakarta.
Tirtokusumo, Sulistyo S. (1980). “Ario Jipang” dalam Sal Murgiyanto (ed.). Segi
Kata dari Festival Penata Tari Muda II 1979. (hlm. 53–4). Jakarta: PT Sinar
Harapan dan Dewan Kesenian Jakarta.
-----. (1987). (artikel tanpa judul) dalam Buku Program Pekan Koreografi
Indonesia.
Toer, Pramoedya Ananta, Koesalah Soebagyo Toer, Ediati Kamil (eds.). (1999).
Kronik Revolusi Indonesia Jilid I. Jakarta: Penerbit KPG.
Trisapto, Suwarsidi. (1981). “Segitiga” dalam Sal Murgiyanto (ed.) Ungkapan dan
Bahasan Festival Penata Tari Muda III-1981. (hlm. 13). Jakarta: P.T.
Harapan dan Dewan Kesenian Jakarta.
-----. (1983). “Perempatan” dalam Sal Murgiyanto (ed.). Penata Tari Muda 1983.
(hlm. 55). Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta 1983.
Wagner, Roy. (1981). The Invention of Culture. Revised and Expanded Edition.
Chicago: University of Chicago Press.
Wahono, Sri Warso. (1994). “Akademi Jakarta” dalam Pia Alisjahbana, dkk. (eds.).
25 Tahun Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki. (hlm. 44–9).
Jakarta: Yayasan Kesenian Jakarta.
Universitas Indonesia
-----. “Dewan Kesenian Jakarta” dalam Pia Alisjahbana, dkk. (eds.). 25 Tahun
Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki. (hlm.50–8). Jakarta:
Yayasan Kesenian Jakarta.
Wardhana, Wisnoe. (April–Mei 1955). “Tari dan Opera di RRT”. Budaya 4–5.
-----. (1981). “Tari Tunggal, Beksan dan Tarian Sakral Gaya Yogyakarta” dalam
Mengenal Tari Klasik Gaya Yogyakarta. (hlm. 39). Yogyakarta: Dewan
Kesenian Prop-DIY-Proyek Pengembangan Kesenian DIY. Dept P&K.
Weiss, James. (11 Agustus 1984). “Indonesia di Festival Tari Amerika”. Angkatan
Bersenjata.
Widaryanto, FX. (30 Desember 1979). “Bagaimana Jika yang Tua-tua yang
Diamati? Festival Penata Tari Muda yang Tidak Muda Lagi”. Pikiran
Rakyat.
-----. (2013). “Tari dalam Berbagai Dimensi” dalam Bambang Sugiharto (ed.).
Untuk Apa Seni. Bandung: Pustaka Matahari.
-----. (2014). “Tradisi dan Modernisasi dalam Tarian Indonesia”. Makalah dalam
Diskusi Tari di Salihara.
Widaryanto, FX dan Sri Rustiyanti. (tanpa tahun). “Konsep ‘Lawung Sewu’ atau
‘White Box’ sebagai Fenomena Baru Prosef Kreatif Ketubuhan dalam
Masyarakat Urban” dalam Jurnal Ilmiah Seni dan Budaya Panggung
Vol.22, No. 2 April–Juni (hlm. 122–38).
Widjaja B., N.L.N. Swasthi. (1984). “Anglingdarma” dalam Sal Murgiyanto (ed.).
Penata Tari Muda 1984. (hlm. 22). Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
Wijaya, Husein (ed.). (1976). Seni Budaya Betawi. Jakarta: Pustaka Jaya.
Universitas Indonesia
Wirosardjono, Soetjipto, dkk. (eds.). (1977). Gita Jaya. Catatan H. Ali Sadikin
Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta 1966–1977. Jakarta:
Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Yamashita, Shinji and J.S. Eades (eds.). (2003). Globalization in South Asia: Local,
National and Transnational Perspectives. New York: Berghahn Books.
Yohanes, Bemmy. (2013). Teater Piktografik, Migrasi Estetika Putu Wijaya dan
Metabahasa Layar. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
Yuliantri, Rhoma Dwi Aria dan Muhidin M Dahlan. (2008). Lekra Tak Membakar
Buku Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950–1965.
Yogyakarta: Merakesumba.
Yusra, Abrar. (1994). “Berdirinya Taman Ismail Marzuki dan Dewan Kesenian
Jakarta” dalam Pia Alisjahbana dkk (eds.). 25 Tahun Pusat Kesenian
Jakarta. (hlm. 24–5). Jakarta: Yayasan Kesenian Jakarta dan PT Dian
Rakyat.
Zoete, Beryl de and Walter Spies. (2002). Dance and Drama in Bali. Hongkong:
Periplus Edition.
Zubir, Zuryati. (1984). “Tari Tangan” dalam Sal Murgiyanto (ed.) Pekan Penata
Tari Muda 1984. (hlm. 44–6). Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
-----. (2011). “Perspektif Tanah-Air dalam Sejarah Indonesia” dalam Riris K. Toha-
Sarumpaet (ed.). Ilmu Pengetahuan Budaya dan Tanggung jawabnya;
Analekta Pemikiran Guru Besar FIB UI. (hlm. 40–56). Depok: UI Press.
Zulkifli, Arif dkk (eds.). (2014). Lekra dan Geger 1965. Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia bekerjasama dengan Tempo.
Universitas Indonesia
Minarti, Helly (2014). “Modern and Contemporary Dance in Asia: Bodies, Routes
and Discourse”. Ph.D Thesis, University of Roehampton.
Sipala, Wa Ode Siti Marwiyah. (2006). “I Wayan Diya (1937–) Tokoh Seni
Pertunjukan Bali (Sebuah Biografi)”. Tesis untuk memenuhi sebagian
persyaratan guna mencapai derajat Sarjana S-2, Program Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
F. Makalah
Parani, Julianti. (1990). “Sejarah Kesenian Modern: Dinamika Argumentatif dari
Kebangkitan Kesenian”. Makalah. Seminar Sejarah Nasiona lV: Sejarah
Kesenian. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat
Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Sejarah Nasional.
G. Website
Boughen, Shaaron. “What is Contemporary Dance?”
http://theconversation.com/explainer-what-is-contemporary-dance-25713.
Diakses 31 Agustus 2015.
Universitas Indonesia
Lampiran
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
- Mengembangkan adegan
- Teater Topeng Arja , topeng diambil dari
Prembon semangat Topeng Arja dan
Universitas Indonesia
Prembon melalui
improvisasi untuk
mendapatkan gerak-gerak
baru tanpa abai pada patokan
karawitan pengiring
- Menggunakan rebab dua
dawai sebagai pengganti
- Menggunakan alat perkusi untuk memberi kesan
musik tradisional Bali ekspresif gerak pinggul
yang sederhana penari perempuan
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Lampiran
TABEL 2 (BAB V)
PENGEMBANGAN KONTEMPORER
No KARYA TRADISI
DARI TRADISI
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
4.b Julianti Parani - Cerita rakyat - Melakukan eksplorasi - Memasukkan gerak balet
Betawi untuk memperkaya variasi
Pendekar - Bentuk-bentuk seni tari
gerak dengan unsur gerak
Perempuan - Tari Topeng Topeng, Pencak Silat, Betawi yang ada di masa
Betawi lampau yang gerak dan
Blenggo dan Cokek.
tekniknya
dikontemporerkan
sehingga mempunyai
makna bagi kehidupan
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
10. Sulistyo - tari tradisional - Eksplorasi gerak untuk - Seorang pemain duduk
Tirtokusumo klasik Jawa keluar dari gerak tari bersila diam di pojok
gaya Surakarta tradisional pentas, seorang pemain
(tanpa judul) berdiri mematung di luar
- Perenungan gedung pertunjukan,
pada patung seorang lagi bergerak
Budha candi tanpa pola dan tanpa jeda,
Borobudur dan seorang lainnya duduk
di kamar-kamar bersila di tengah pentas
para pangeran di dengan menggerakkan
keraton tubuh sangat pelan
Surakarta diiringi gending Bedaya
Ketawang yang meditatif
- Cahaya lampu remang-
- Gending tari remang
Bedaya - Audio sesekali terdengar
Ketawang mantra Budhis
11.a Trisapto - Karya eksperimental
nonnaratif
Segitiga
- Seluruh unsur menjadi
penopang garapan: bunyi,
gerak, tubuh penari, rupa,
cahaya
- Musik klasik Rusia abad
17 yang dimainkan
dengan piano digubah
menjadi musik elektronik
- Kekuatan pertunjukan
terletak pada segitiga
yang mendukung: cahaya,
musik, gerak tubuh
pemain
- Segitiga lainnya adalah
panggung segiempat
dibuat menjadi segitiga
- Memainkan kontras pada
unsur-unsur segitiga,
misalnya gerak tari
lambat meskipun irama
musik cepat
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
16. Martinus Tari Jawa gaya - Tari Bedaya yang lembut - Teater tari, ada akting,
Miroto Yogyakarta (tari dipadu dengan gerak sehingga tari tradisional
Bedaya, rampak yang keras menjadi sangat samar-
Sampah Lawung) samar
- Disisipkan gerak tari Bali
yang meliuk-liuk dan - Kostum rok mini untuk
dinamis karakter perempuan
cantik dan seksi
- Musik bambu dan vokal
yang direkam - Penataan cahaya kontras
17. Laksmi - Bertolak dari syair puisi
Simanjuntak tentang kematian sebagai
akibat dari perubahan
Kala Bendu zaman yang melindas
ganas
- Eksplorasi gerak dengan
menghayati kebudayaan
urban dan tidak terikat
pada bentuk tari apa pun
kecuali gerak manusia
sehari-hari
- Selain penari, para
pemain lainnya tak
mempunyai dasar seni tari
karena pertunjukan ini
memang tidak bermaksud
menyajikan tarian
- Musik menggunakan
peralatan elektronik
akustik dan
mencampurnya dengan
berbagai suara alam dan
suara-suara pemain yang
simpang siur dan
diucapkan secara repetitif
18. Hendro - Terinspirasi dari karya
Martono modern Martha Graham,
Jose Limon, Alwin
Fatamorgana Nikolais
- Nonnarasi, nonfiguratif
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia