Anda di halaman 1dari 351

UNIVERSITAS INDONESIA

PERKEMBANGAN KOREOGRAFI DI INDONESIA:


SUATU KAJIAN KARYA TARI KONTEMPORER DI
PUSAT KESENIAN JAKARTA-TAMAN ISMAIL MARZUKI
1968–1987

DISERTASI

R.AJ. SITI NURCHAERANI KUSUMASTUTI


NPM 1106126522

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA


PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH
DEPOK
2016

ii Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.
Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.
Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.
v

UCAPAN TERIMA KASIH

Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur kepada-Mu, Ya Allah, penguasa semesta alam yang telah
mengaruniai perlindungan, kemampuan dan kesehatan selama penulis menempuh
studi dan kemudian mewujudkan disertasi ini. Berkat rahmat dan kasih sayang-Mu,
semua kesulitan dan halangan bisa penulis lalui dengan baik.
Penelitian untuk disertasi ini sempat memberikan keraguan dalam diri
penulis karena kurang melimpahnya data sehingga seperti menghambat. Namun
kemudian keraguan berubah menjadi tantangan bahkan harapan karena dalam
proses penelitian tumbuh kesadaran bahwa pekerjaan ini tidak semestinya ditunda
mengingat keberadaan data bisa semakin sulit dilacak bila diundur-undur. Sebuah
proses yang tidak mudah, namun dengan penuh harapan dan tanggung jawab serta
didukung banyak pihak di sekitar penulis, disertasi ini dapat tampil seperti adanya
sekarang ini. Sepatutnya, dengan ketulusan hati, penulis haturkan terima kasih dan
penghargaan setinggi-tinginya kepada:
Prof. Dr. Susanto Zuhdi, promotor yang telah berkenan meluangkan waktu
untuk membimbing penulis di tengah kesibukannya. Dengan kedalaman wawasan
dan pengalamannya, Beliau memberikan pengarahan mulai dari perumusan masalah
hingga membantu meluruskan berbagai gagasan dari penulis. Saat kuliah, dalam
mata kuliah Teori dan Metodologi Sejarah, Beliau banyak memberikan pengarahan
sehingga penulis paham mengenai metodologi dan penulisan sejarah dan kemudian
fokus menulis tentang perkembangan karya tari baru di Indonesia, khususnya
kontemporer. Berikutnya adalah Prof. Dr. Edi Sedyawati sebagai kopromotor yang
telah memberikan inspirasi kepada penulis untuk menulis Sejarah Tari
Kontemporer di Indonesia. Beliau juga membaca secara kritis draf disertasi yang
penulis ajukan. Terima kasih, Bu. Ibu Edi, demikian panggilan akrab penulis
kepada Beliau, dengan sabar, keibuan dan lapang hati, membagi pengetahuan dan
data perkembangan karya tari baru pada era yang dialaminya. Kedua promotor
dengan telaten memberikan masukan-masukan tajam dan konstruktif serta
memotivasi penyelesaian disertasi ini.

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


vi

Penulis ucapkan terima kasih pula kepada Dekan Fakultas Ilmu


Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Dr. Adrianus LG. Waworuntu M.A.,
yang telah memberikan kesempatan dan berbagai keperluan kepada penulis untuk
menempuh dan menyelesaikan studi Program Doktor Ilmu Sejarah dan secara
pribadi mendorong penulis untuk secepatnya menyelesaikan studi. Ucapan terima
kasih juga penulis sampaikan kepada mantan Dekan Fakultas Seni Pertunjukan
Institut Kesenian Jakarta periode 2008–2012 dan 2013–2016 Hari Purwanto, M.Sn.,
yang telah memberi izin kepada penulis untuk melanjutkan studi program doktoral.
Penulis sampaikan pula terima kasih kepada Dr. Wagiono Sunarto, mantan Rektor
Institut Kesenian Jakarta periode 2009–2013 dan 2013–2017, yang telah
memotivasi penulis untuk melanjutkan kuliah program doktoral di Departemen
Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Tak lupa, penulis menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada
Biro Perencanaan dan Kerja Sama Luar Negeri, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia yang telah memberikan Beasiswa Unggulan
periode 2011–2014 untuk dana bantuan studi S3 penulis di Universitas Indonesia.
Terima kasih juga kepada Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi
Republik Indonesia yang telah memberikan bantuan dana penelitian disertasi
melalui Hibah Penelitian Disentralisasi RISTEKDIKTI, skema penelitian Disertasi
Doktor, tahun anggaran 2016.
Juga terima kasih penulis kepada para dosen Penasehat Akademik, Dr.
Priyanto Wibowo, Dr. Bondan Kanumoyoso, Dr. Abdurakhman M.Hum., yang
selalu hadir membantu penulis dengan sangat baik dan menyenangkan di Program
Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Atas selesainya disertasi ini, ucapan terima kasih dan penghargaan juga penulis
sampaikan kepada Dr. Abdurakhman, M.Hum., selaku Ketua Departemen Ilmu
Sejarah. Hubungan antara Ketua Departemen dan mahasiswa yang akrab telah
membantu membangkitkan semangat penulis di saat menghadapi kejenuhan dan
keraguan di dalam penyusunan disertasi ini. Penulis juga sangat berterima kasih
kepada seluruh staf akademik Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, terutama
Mbak Wiwik sebagai staf sekretariat Departemen Ilmu Sejarah, atas bantuan dan

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


vii

kerja sama yang baik dalam mengurus surat-surat maupun administrasi lainnya
yang berhubungan dengan studi selama penulis menjalaninya di Departemen
Sejarah.
Tak ketinggalan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh
pengajar dan penguji proposal, penguji laporan perkembangan penelitian, tim
penguji hasil penelitian pada Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya UI, yaitu: Prof. Dr. Susanto Zuhdi, Prof. Dr. Edi Sedyawati,
Prof. Dr. M.I. Djoko Marihandono, Dr. Julianti Parani, Dr. Bondan Kanumoyoso,
Prof. Dr. Peter Brian Ramsay Carey, Dr. Yon Machmudi, M.Hum., Dr. Mohammad
Iskandar, S.S., M.Hum., Dr. Akhjar Yusuf, M.Hum., Tommy Christomy, S.S.A.,
Ph.D., Prof. Dr. Melani Budianta, Dr. Manneke Budiman, Dr. Irmawati Marwoto.
Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada
Prof. Dr. Peter Brian Ramsay Carey yang telah begitu besar memberi dorongan dan
perhatian kepada penulis untuk terus menggali sumber primer guna terajutnya
benang merah dari disertasi ini. Beliau tiada henti meyakinkan penulis bahwa
seorang praktisi juga mampu melakukan penelitian dan penulisan ilmiah dengan
baik dan benar. Beliau selalu bersedia memberikan masukan dan arahan kepada
penulis sebagai bekal dalam melakukan penelitian di lapangan dan dalam rangka
penulisan disertasi. Selain itu juga kepada Prof. Dr. M.I. Djoko Marihandono dan
Dr. Bondan Kanumoyoso, penulis sampaikan terima kasih atas pertanyaan-
pertanyaan tajam dan saran-saran terhadap isi disertasi dan mengusulkan beberapa
buku sebagai pelengkap disertasi ini.
Pertemanan, diskusi, saling bertukar informasi dan saling memberi
semangat selama menempuh pendidikan program doktoral di Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya UI adalah bagian penting dan menyenangkan yang penulis
rasakan. Sepatutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman
seangkatan: Achmad Sunjayadi, Muhammad Prasojo, Juhdi Syarif, Tri Candra
Aprianto, Sugih Biatoro, Fuad Gani, Endang Rochmiatun, Ahmad Fahrurodji, yang
selalu ikhlas berbagi ilmu dan pengetahuan selama masa kuliah yang tidak ringan.
Semua ini menjadi kenangan indah yang tak terlupakan. Endang Rochmiatun
adalah teman dekat yang selalu siap menemani penulis dalam menghadapi

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


viii

kekalutan dan kebingungan saat penelitian dan penulisan. Kami selalu saling
menguatkan sehingga kepenatan dan kejenuhan yang penulis alami menjadi lebih
ringan.
Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada teman-teman
seperjuangan di tim pekerja dan kurator festival tari kontemporer internasional,
Indonesian Dance Festival (IDF), yaitu: Maria Darmaningsih, Ina Suryadewi, Helly
Minarti, Yessy Aprianti, Yeni Rahmawati, Tota Puta Tambunan, Retno Proborini,
Lambertus Berto Tukan, Seno Joko Suyono yang selalu memberi semangat atas
studi penulis dan memahami saat-saat sulit dalam penulisan disertasi ini. Mereka
dengan ikhlas memberi kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan disertasi
meski persiapan festival sudah dekat dan kesibukan memuncak. Terima kasih juga
kepada teman lama yang penuh perhatian, Ungu Winati, untuk masukan dan
pandangan kritis atas materi disertasi dan selalu memberi semangat agar penulis
pantang mundur, Wicaksono Adi yang sering mengingatkan agar jangan berhenti
menulis, Sulaiman Yuda Harahap yang membantu mencarikan beberapa data
tertulis dan audio-visual penelitian.
Terima kasih kepada Dewan Kesenian Jakarta, Perpustakaan Nasional,
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Pusat Dokumentasi Harian Kompas dan
Majalah Tempo yang telah meminjamkan data tertulis, audio-visual dan
menyediakan akses penelusuran manual maupun digital sehingga memperlancar
penelitian penulis.
Kepada Bapak Prof. Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro, H. Soedarmadji J.H.
Damais, Drs. H. Soeparmo dan Drs. Nunus Supardi, penulis menyampaikan terima
kasih dan penghargaan yang tinggi atas penyediaan waktu untuk penulis
wawancarai mengenai Ali Sadikin, Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki
tahun 1970-an–1980-an. Juga kepada Prof. Sardono W. Kusumo, Sentot Sudiharto,
Dr. Julianti Parani, Farida Oetoyo (almarhumah), Prof. Dr. I Wayan Dibya, Wiwiek
Sipala M.Hum., S. Trisapto S.Sn. (almarhum), Dr. Dedy Lutan (almarhum), Retno
Maruti, Agus Tasman M.Hum., Wahyu Santoso Prabowo M.Hum., Prof. Dr. Y.
Sumandiyo Hadi, Dr. M. Miroto, Dr. Eko Supriyanto, Ery Mefri, Dr. Hendro
Martono, Laksmi Notokusumo, Tom Ibnur S.Sn., Marusya Nainggolan M. Mus.

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


ix

dan masih banyak lagi nara sumber primer yang tidak bisa disebutkan satu persatu,
terima kasih yang tak terhingga dari penulis atas informasi Anda semua untuk
kepentingan penelitian disertasi ini.
Secara khusus penulis haturkan terima kasih tak terhingga kepada kedua
orangtua yakni dr. RM Sayid Warsito (almarhum) dan Rr. Siti Rektorini
(almarhumah), kedua mertua H. Masyur (almarhum) dan Siti Bariah, atas
bimbingan, dorongan dan doa yang tulus. Penulis sampaikan pula terima kasih
kepada kakak-kakak dan adik kandung, kakak-kakak dan adik ipar penulis: Mbak
Santi P. Mardikarno, Mbak Esti Andayani, Sayid Agung Wardoyo, Mas Rendi
Untung Mardikarno, Kak Marliana, Kak Darmayanti, Bang Khalilullah Rangkuti,
Agus Lubis dan Andi Lubis.
Akhirnya, terima kasih yang setulus-tulusnya penulis haturkan kepada Bang
Eb (Ir. Febrimansyah Lubis), suami tercinta yang dengan sabar dan penuh
pengertian, dan tanpa banyak bertanya telah memberi izin, waktu dan ruang kepada
penulis untuk menyelesaikan studi dan disertasi ini. Kepada anak kami Cacha
(Nurizka Aliya Hapsari), Ibu sampaikan: “Terima kasih, Nak, telah memberi
kesempatan kepada Ibu untuk kuliah lagi dan sibuk melakukan penelitian serta
menulis disertasi. Semoga apa yang Ibu lakukan dapat menjadi contoh bagimu,
tiada pernah berhenti belajar dan bekerja”.
Ingin sekali rasa terima kasih ini penulis layangkan kepada semua pihak
yang telah membantu, namun tidak mungkin karena keterbatasan spasial. Akhir
kata, penulis menyadari bahwa disertasi ini masih penuh kekurangan dan jauh dari
sempurna. Penulis membuka tangan atas saran maupun kritik untuk
penyempurnaan disertasi ini.

Depok, Desember 2016

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


x

ABSTRAK

Nama : R.Aj. Siti Nurchaerani Kusumastuti


Program Studi : Ilmu Sejarah
Judul : Perkembangan Koreografi di Indonesia:
Suatu Kajian Karya Tari Kontemporer di
Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki 1968–1987

Perkembangan signifikan koreografi di Indonesia, termasuk karya tari


kontemporer, terjadi sejak berdirinya Pusat Kesenian Jakarta–Taman Ismail
Marzuki (PKJ-TIM) tahun 1968 hingga batas temporal penelitian ini yakni tahun
1987.
Di Indonesia, ditinjau dari sejarah penciptaannya, karya tari baru
pengembangan dari tradisi, modern, dan kontemporer cenderung bertolak dari
karya-karya yang sudah ada. Selanjutnya, mengikuti gagasan artistik atau gagasan
ideal sang seniman, karya-karya yang sudah ada diolah hingga terwujud kebaruan
dengan segala kekhasannya bahkan jejak karya lama bisa sama sekali tak terlihat.
Merunut ke belakang, para seniman tari termotivasi menciptakan kebaruan
pada karya-karya tari yang didorong oleh kebijakan kebudayaan Presiden Soekarno
(1950–1959), yang menggariskan keindonesiaan yang juga berlaku pada kesenian,
termasuk seni tari.
Di era kepemimpinan Presiden Soeharto (1966–1998), para seniman
mengharapkan adanya kebebasan berekpresi dan tersedianya fasilitas pertunjukan
yang memadai. Hal tersebut ditanggapi oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin
dengan membangun PKJ-TIM yang diresmikan pada tahun 1968 dan membentuk
Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dengan komite-komitenya, termasuk Komite Tari,
dan menyediakan anggaran yang diperlukan.
Berdasarkan analisis sepintas tampaknya ada keterkaitan antara dukungan
pemerintah, kreativitas dan produktivitas seniman, kehadiran penonton, media
massa. Pertanyaan mendasar adalah kebijakan dan langkah apa yang dilakukan oleh
pemerintah untuk mendukung seniman dalam upaya kreatif penciptaan karya tari
baru dan kontemporer; bagaimana para koreografer memformulasikan gagasan
yang berasal dari pergumulan pemikiran tentang kebaruan karya tari; bagaimana
upaya PKJ-TIM menyediakan sarana untuk hadirnya input eksternal yang
kemudian bersinergi dengan daya kreatif pada diri seniman tari; tindakan apa yang
dilakukan oleh Komite Tari DKJ, pengelola PKJ-TIM, seniman tari dan media
massa untuk mendatangkan penonton sehingga pertunjukan karya tari baru dan
kontemporer bisa berkelanjutan.
Kajian ini mengungkapkan peran individu, kelompok individu dan institusi,
sebagai faktor determinan dalam mentransformasi dan mereproduksi perubahan
struktur sosial yang bisa disebut sebagai agen-agen perubahan (agents of change).
Dengan demikian pendekatan strukturistik menjadi tepat digunakan. Melalui
metodologi tersebut, penelitian ini menyimpulkan bahwa telah terjadi
perkembangan pemikiran, proses kreatif dan penataan koreografi sehingga karya-
karya baru bermunculan. Sebagian adalah karya baru pengembangan dari tradisi

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


xi

dan di antara itu ada yang melakukan eksplorasi lebih jauh lagi untuk mencapai
level kontemporer. Gairah penciptaan muncul karena didukung oleh ketersediaan
sarana dan prasarana. Di luar itu terdapat sebuah lembaga pemasok dana jangka
panjang yakni Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta. Melalui manajemen yang
baik berdasarkan visi dan misi yang padu, bermunculanlah karya-karya tari yang
menarik minat penonton. Dari sana terbentuklah segi tiga ideal: seniman dan DKJ,
pemerintah, penonton yang di dalamnya juga terdapat media massa, pengamat dan
kritikus.

Kata kunci: seniman tari, Pemda DKI Jakarta, Komite Tari DKJ, tari kontemporer

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


xii

ABSTRACT

Name : R.Aj. Siti Nurchaerani Kusumastuti


Study Program : Ilmu Sejarah (History)
Title : Perkembangan Koreografi di Indonesia:
Suatu Kajian Karya Tari Kontemporer di
Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki 1968–1987
(The Development of Choreography in Indonesia:
A Study of Contemporary Dances in Jakarta Arts Center-Taman
Ismail Marzuki 1968–1987)

The significant development of modern dance, including contemporary


dance, has started from the establishment of the PKJ-TIM (Pusat Kesenian Jakarta-
Taman Ismail Marzuki-Jakarta Arts Center Taman Ismail Marzuki) in 1968 until
the temporal limit of this research, in 1987.
In Indonesia, looking at the history of its creation, some new works
developed from tradition, and there are modern or contemporary dances which
tends to embark from existing or old works. Then, following the artist’s artistic
ideas or ideals, the old works go through a process until some sort of newness
emerge, with all its unique elements; so much so that the traces of the old works are
no longer detectable.
In hindsight, dance artists have been motivated to do these rejuvenations
since the first decade after the Independence (1950–1959) through President
Soekarno’s policies on culture, championing elements of Indonesia, which also
applied to arts, including dance.
In the era of President Soeharto (1966–1998), artists were hoping for
freedom of expression and adequate performance facilities. The governor of Jakarta
at the time, Ali Sadikin, responded by building PKJ-TIM, launched in 1968;
forming the DKJ (Dewan Kesenian Jakarta-Jakarta Arts Council) with its
committees, including the Dance Committee; and providing the necessary budgets.
An overview analysis shows that there is a connection between the
government, artists’ creativity and productivity, audience number, and the media.
The fundamental question is what kind of policies and actions that the government
takes to support artists in their creative endeavors to create new and contemporary
dance pieces; how choreographers formulate ideas coming from the mixture of
thoughts about the newness of dance pieces; what actions PKJ-TIM takes to provide
facilities for external inputs that would synergice with the creative power within
dance artists; what actions taken by the Dance Committee of DKJ, the PKJ-TIM
management, dance artists, and the media to attract audiences so that new and
contemporary dance performances can continue to thrive.
This study reveals the roles of individuals, individual and institutional
groups, as a determinant factor in transforming and reproducing the change in social
stucture that can be referred to as an agent of change. Therefore, the use of a
structural approach is appropriate. With this methodology, this research comes to a
conclusion that there has been a development of ideas, creative process, and

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


xiii

choreography, which are responsible for the emergence of new works. Some are
new works developed from tradition, and some explore even further to reach a
contemporary level. The passion for creation emerges by being supported by
facilities and infrastructure available. Without interferring the policy of Dance
Committee of DKJ, the government of Jakarta gives long-term funds to DKJ. With
a good management based on a solid vision and mission, new dance arts will emerge
and it will attract audience. Then we will achieve the ideal triangle: artists, the
government, and the audience, which includes the media, observers, and critics.

Key words: dance artists, the government of Jakarta, Dance Committee of DKJ,
contemporary dance

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


xiv

DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL I
HALAMAN PENGESAHAN ii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI iii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS iv
UCAPAN TERIMA KASIH v
ABSTRAK x
ABSTRACT xii
DAFTAR ISI xiv
DAFTAR GAMBAR/FOTO xix
SINGKATAN xx

1. PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.1.1. Beberapa Istilah dan Batasannya 5
1.1.1.a. Karya Tari Tradisional di Indonesia 6
1.1.1.b. Karya Tari Baru Pengembangan dari Tradisi di Indonesia 7
1.1.1.c. Karya Tari Modern di Indonesia 8
1.1.1.d. Karya Tari Kontemporer di Indonesia 10
1.2. Rumusan Masalah 15
1.3. Tujuan Penelitian 16
1.4. Manfaat Penelitian 17
1.5. Ruang Lingkup Penelitian 17
1.5.1. Lingkup Tematis 17
1.5.2. Lingkup Spasial 18
1.5.3. Lingkup Temporal 18
1.6. Penelitian Sebelumnya 18
1.7. Metodologi dan Landasan Konsep 21
1.8. Metode Penelitian 28
1.8.1. Pengumpulan Data Tertulis 28
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


xv

1.8.2. Pengumpulan Data dengan Teknik Wawancara 29


1.8.3. Pengumpulan Data Audio-Visual 30
1.8.4. Teknik Analisis 31
1.9. Sistematika penulisan 31

II. SENI TARI DI INDONESIA TAHUN 1950-an–1966: BENIH-


BENIH PEMBARUAN 33
2.1. Kongres Kebudayaan di Masa Awal Kemerdekaan (1945–1965) 33
2.2. Karya Tari Baru sebagai Wahana Propaganda Politik 39
2.3. Identitas Nasional dalam Kesenian 44
2.4. Kesenian Tradisional sebagai Sumber Penciptaan Karya Tari Baru 49
2.5. Pengaruh Artistik: Lawatan ke Luar Negeri dan Kunjungan Misi
Kesenian Luar Negeri ke Indonesia 58
2.6. Barat sebagai Tempat Berekspresi dan Berorientasi 65

III. SENI TARI DI TAHUN 1966–1987:


DUKUNGAN PEMERINTAH TERHADAP ASPIRASI SENIMAN 74
3.1. Kebijakan Kebudayaan di Era Soeharto (1966–1998): Kebebasan
Berekspresi dan Kelembagaan 74
3.2. Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki: Aspirasi Seniman dan
Ketersediaan Fasilitas 80
3.2.1. Aspirasi Seniman 80
3.2.2. Fasilitas 81
3.2.3. Manajemen dan Anggaran 84
3.2.4. Animo Masyarakat 96
3.2.5. Media Massa, Penguatan Kritik dan Pengamat 106
3.3. Kegiatan dan Karya-karya Tari di Tahun 1968–1987 111
3.3.1. Tahun 1968–1977 111
3.3.2. Tahun 1977–1982 120
3.3.3. Tahun 1982–1987 124

IV. KARYA TARI BARU PENGEMBANGAN DARI TRADISI DI


PKJ-TIM 1968–1987 129

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


xvi

4.1. Lokakarya dan Festival Penata Tari Muda: Kemunculan Karya-karya


Tari Baru 129

4.2. Para Koreografer dan Karya-karya Mereka 145


4.2.1. Huriah Adam (1939–1971): Payung 146
4.2.2. Ben Suharto (1944–1998): Lelangen Beksan Wirata Parwa 147
4.2.3. I Wayan Dibia (1948): Grobogan Cupak Grantang 149
4.2.4. Wahyu Santoso Prabowo (1952): Rudrah 151
4.2.5. Wiwiek Widyastuti (1952) dan Djoko Suko Sadono (1951): Gado-
gado Jakarta 152
4.2.6. Tri Nardono (1953): Empiri 154
4.2.7. Gusmiati Suid (1942–2001): Puti Galang Banyak 155
4.2.8. I Made Netra (1950–2006): Majangeran 157
4.2.9. Sulistyo S. Tirtokusumo (1953): Ario Jipang 159
4.2.10. A.M. Munardi (1939–2000): Seblang 161
4.2.11. Y. Sumandiyo Hadi (1949): Kagunan Beksan Kusa dan Lawa 162
4.2.12. Iyus Rusliana (1949): Mundinglaya Salaka Domas 164
4.2.13. Soenarto A.S. (1936): Reog 165
4.2.14. Sita Syaritsa (1938): Putri Bungsu 167
4.2.15. Tom Ibnur (1954): Ambau Jo Imbau 168
4.2.16. Nurdin Daud (1943–2007) dan Marzuki Hasan (1946): Ramphak 172
4.2.17. N.L.N. Swasthi Widjaja B. (1949): Anglingdarma 176
4.2.18. Jose Rizal Firdaus (1950): Simpai Giri 179
4.2.19. Maya Tamara (1962): Tarian dalam Warna dan Musik 182
4.2.20. Dewi Kristianti (1960), S. Pamardi (1958), Setya Widyawati
(1961): Komposisi III 184
4.2.21. Zuryati Zubir (1950): Tari Tangan 186
4.2.22. Elly Raranta (1957): Lulo Anawai 188
4.2.23. Farid Hamid (1944): Badong 190
4.2.24. Ery Mefri (1957): Aia Tuturan 191
4.2.25. Iko Sidharta (1945): Panggung Penari-penari 193
4.2.26. Mohammad Ikhlas (1959): Kie dalam Imbauan 194

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


xvii

V. KARYA-KARYA TARI KONTEMPORER di PKJ-TIM 1968–1987 196


5. Para Koreografer dan Karya-karya Tari Kontemporer: Hasil Lokakarya,
Festival Penata Tari Muda hingga Pekan Koreografi Indonesia 199
5.1. Huriah Adam (1939–1971): Sepasang Api Jatuh Cinta, dan Malin
Kundang 200
5.1.a. Sepasang Api Jatuh Cinta 200
5.1.b. Malin Kundang 201
5.2. Farida Oetoyo (1939–2014): Rama dan Sinta, Putih-putih 204
5.2.a. Rama dan Sinta 204
5.2.b. Putih-putih 207
5.3. Sardono W. Kusumo (1945): Samgita Pancasoma I–XII, Meta
Ekologi, 10 Menit dari Borobudur 209
5.3.a. Samgita Pancasoma I–XII 209
5.3.b. Meta Ekologi 212
5.3.c. 10 Menit Dari Borobudur 216
5.4. Julianti Parani (1939): Plesiran, Pendekar Perempuan, dan Siparnipi 218
5.4.a. Plesiran 218
5.4.b. Pendekar Perempuan 221
5.4.c. Siparnipi 222
5.5. I Wayan Diya (1937–2007): Jelantik Bogol 224
5.6. Wiwiek Sipala (1953): Akkarena dan Ironi 226
5.6.a. Akkarena 226
5.6.b. Ironi 229
5.7. Endo Suanda (1947): Klana Tunjungseta 232
5.8. Agus Tasman (1936), Suprapto Suryodarmo (1945), Hajar Satoto
(1951–2013), Rahayu Supanggah (1949): Wayang Budha Sutasoma 235
5.9. Gusmiati Suid (1942–2001): Limbago 237
5.10. Sulistyo S. Tirtokusumo (1953): (tanpa judul) 239
5.11. SuwarsidiTrisapto (1951): Segitiga (∆) dan Perempatan ( ) 241
5.11.a. Segitiga ( ∆ ) 241
5.11.b. Perempatan ( ) 243

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


xviii

5.12. Sunarno (1955–2007), Nora Kunstantina Dewi (1948–2009), Rusini


(1948): Joged 245
5.13. Dedy Lutan (1951–2014) dan Tom Ibnur (1954): Awan Bailau 247
5.14. Ida Wibowo (1955–2005): Sinta 251
5.15. I Gusti Kompyang Raka (1947): Nyejer Agung 255
5.16. Martinus Miroro (1959): Sampah 255
5.17. Laksmi Simanjuntak (1952): Kala Bendu 258
5.18. Hendro Martono (1960): Fatamorgana 260
5.19. Bagong Kussudiardja (1928–2004): Kurusetra 263

VI. PENUTUP 266


6.1. Kesimpulan 266
6.2. Rekomendasi 269

DAFTAR PUSTAKA 272

LAMPIRAN 300
Tabel 1 Tradisi yang Dikembangkan sebagai Kontinyuitas Sejarah 300
Tabel 2 Karya Tari Baru Pengembangan dari Tradisi Menuju
Kontemporer Sebagai Kontinyuitas Sejarah 318

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


xix

DAFTAR GAMBAR / FOTO


Gambar 1. Grafik Pertunjukan Tari, 1968–1985 128
Foto 1. Lelangen Beksan Wirata Parwa, karya Ben Soeharto (Dok. DKJ) 148
Foto 2. Majarengan, karya I Made Netra (Dok. DKJ) 158
Foto 3. Sepasang Api Jatuh Cinta, karya Huriah Adam (Dok. DKJ) 200
Foto 4. Putih-putih, karya Farida Oetoyo (Dok. Berita Buana 22 November
1976) 207
Foto 5. Samgita Pancasona, karya Sardono W. Kusumo (Dok. DKJ) 210
Foto 6. Meta Ekologi, karya Sardono W. Kusumo (Dok. Harian Merdeka, 12
Oktober 1979) 214
Foto 7. Plesiran, karya Karya Julianti Parani (Dok. DKJ 1974) 220
Foto 8. Ironi, Karya Wiwiek Sipala (Dok.Kompas 1987) 230
Foto 9. Klana Tunjung Seta, karya Endo Suanda (Dok. DKJ, 1978) 233
Foto 10. Sampah, karya M. Miroto (Dok. DKJ, 1986) 256
Foto 11. Fatamorgana, Karya Hendro Martono (Dok. DKJ, 1987) 262
Foto 12. Kurusetra, karya Bagong Kussudiardja (Dok. DKJ, 1987) 264

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


xx

SINGKATAN


AJ : Akademi Jakarta
BPK : Badan Pembina Kebudayaan
DKI Jakarta : Daerah Khusus Ibukota Jakarta
DKJ : Dewan Kesenian Jakarta
IKJ : Institut Kesenian Jakarta
LKN : Lembaga Kebudayaan Nasional
Lekra : Lembaga Kebudayaan Rakyat
LPKJ : Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta
Lesbumi : Lembaga Seniman Budayawan Muslim Indonesia
LSJ : Lingkaran Seni Jakarta
PKJ : Pusat Kesenian Jakarta
PKJ-TIM : Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki
TIM : Taman Ismail Marzuki

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.



BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Memahami perkembangan koreografi1 di Indonesia, dalam hal ini karya tari
kontemporer, diperlukan penelusuran sejarahnya yang cukup panjang karena ia
tidak hadir begitu saja. Karya kontemporer adalah karya baru yang sarat dengan
nilai-nilai artistik zamannya. Bahkan lebih dari itu, karya kontemporer tidak
sekadar karya baru karena melampaui level artistik rata-rata karya baru. Deborah
Jowitt menyebutnya postmodern dance2 yang pengertian ini adalah melampaui
kebaruan yang ada, dan itulah karya kontemporer.
Edi Sedyawati dalam pidato pembukaan “Art Summit Indonesia” ke-8 pada
15 Agustus 2016 di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki,3 menyinggung soal
kontemporer dengan pernyataannya bahwa model karya yang lazim disebut
kontemporer adalah suatu jenis karya cipta seni yang menerobos batas-batas yang
sudah ada, mencari dan mengungkapkan hal-hal yang baru diadakan, diciptakan
atau direkayasa.
Ditinjau dari sejarah penciptaannya, karya tari kontemporer di Indonesia
kebanyakan bertolak dari karya-karya yang sudah ada atau karya lama.4


1
Koreografi adalah keterampilan dan pengetahuan penciptaan tari atau hasil penciptaan
tari yang dilakukan oleh koreografer. Oleh Soedarsono (1986) dikatakan bahwa istilah koreografi di
Indonesia baru dikenal pada sekitar tahun 1950, ketika pemerintah Republik Indonesia mulai giat
mengirim misi kesenian ke luar negeri. Istilah koreografi berasal dari bahasa Inggris choreography
yang jika hanya diartikan dari makna katanya saja, koreografi berarti catatan tentang tari. Dalam
perkembangannya arti koreografi berubah menjadi penciptaan dan penataan tari (dance
composition) dan sistem pencatatan tari disebut notasi tari (dance notation). Lihat Soedarsono,
“Pengantar Pengetahuan Tari dan Komposisi Tari”, Pengantar Elementer Tari dan Beberapa
Masalah Tari (Jakarta: Direktorat Kesenian Proyek Pengembangan Kesenian Jakarta Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1986), hlm. 97–8; lihat juga Sal Murgiyanto, “Pengantar”, Bergerak
Menurut Kata Hati, Metoda Baru dalam Menciptakan Tari, diindonesiakan oleh Prof. Dr. I Wayan
Dibia (Jakarta: Ford Foundation kerja sama Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 2003), hlm.
xii.
2
Deborah Jowitt, “Introduction” dalam Martha Bremser (ed.), Fifty Contemporary
Choreographers (London & New York: Routledge, 1999), hlm. 1–12.
3
Edi Sedyawati, “Art Summit Indonesia”, pidato pembukaan Art Summit Indonesia ke-8
di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, pada 15 Agustus 2016.
4
Karya lama bisa berupa karya tradisional, yaitu karya yang diwariskan dari masa lalu dan
menurut Edward Shils sedikitnya tiga generasi, dalam hal ini termasuk tari. Lihat Edward Shils,
Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1981), hlm. 4–16. Karya tari tradisional yang
1 Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


2

Selanjutnya, mengikuti gagasan artistik atau gagasan ideal sang seniman, karya
lama tersebut diolah hingga terwujud kebaruan dengan segala kekhasannya.5
Dalam hal kebaruan para seniman tari di Indonesia sudah termotivasi
melakukannya di era kebijakan kebudayaan Presiden Soekarno (1945–1966) yang
menggariskan keindonesiaan berpedoman pada falsafah Pancasila. Ini juga berlaku
pada kesenian.6 Bagi Soekarno, kekayaan seni pertunjukan tradisional dan daerah
Indonesia harus dirawat, dibina selain juga dikembangkan sesuai dengan
kepribadian Indonesia. Di era tersebut berbagai kegiatan kesenian diadakan untuk
menumbuhkan rasa nasionalisme dan persatuan. Tari Pulau Sari yang merupakan
karya tari tradisional Melayu digarap kembali menjadi tari Serampang Dua Belas
dan pada tahun 1959 diinstruksikan sebagai “Tari Nasional” (tari pergaulan
Indonesia) untuk mengimbangi merebaknya gaya musik dan tari dari Amerika
Serikat, Rock’n Roll dari film Bill Haley, yang dianggap tidak berkepribadian
Indonesia.7 Soekarno juga mendorong terjadinya pembaruan dalam karya tari
menjadi lebih singkat, padat, dinamis, dan busana tarinya menjadi lebih cerah. Ini
dimaksudkan agar karya tari yang dikirim keluar negeri sebagai diplomasi budaya
ataupun yang dipertunjukkan di Istana Negara setiap perayaan 17 Agustus (juga
dalam acara kenegaraan lainnya) bisa lebih menarik dan tidak membosankan dalam
menampilkan keindonesiaan dengan kekayaan dan keberagaman keseniannya.8
Dalam suasana yang demikian itu gelombang kepentingan politik ikut serta
mewarnai kesenian di Indonesia. Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat, salah satu

diterima akan menjadi unsur yang hidup di dalam kehidupan pendukungnya, sebagai bagian dari
masa lalu yang dipertahankan hingga kini.
5
Keterangan lebih lanjut mengenai karya tari kontemporer lihat di Bab I. hlm. 10.
6
Claire Holt, Art in Indonesia: Continuities and Changes (Ithaca, New York: Cornel
University Press, 1967), hlm. 183; dan Jennifer Lindsay, “Ahli Waris Budaya Dunia 1950–1965;
Sebuah Pengantar” dalam Jennifer Lindsay dan Maya H.T. Liem (eds.), Ahli Waris Budaya Dunia,
Menjadi Indonesia 1950–1965 (Denpasar: Pustaka Lasaran, 2011), hlm. 1–2.
7
Julianti Parani, “Kemelayuan sebagai Jatidiri” dalam Helly Minarti dan Winda Anggriani
(eds.) Tari Melayu, Membayangkan Jakarta: Bagaimana Geliat Tari Melayu Di Sana? (Jakarta:
Dewan Kesenian Jakarta, 2016), hlm. 43.
8
Lihat Jennifer Lindsay, “Menggelar Indonesia” dalam Jennifer Lindsay dan Maya H.T.
Liem (eds.), Ahli Waris Budaya Dunia, Menjadi Indonesia 1950–1965 (Denpasar: Pustaka Lasaran,
2011), hlm. 221–52; Irawati Durban Ardjo, “Tari Sunda Baru untuk Panggung Baru” dalam Jennifer
Lindsay dan Maya H.T. Liem (eds.), Ahli Waris Budaya Dunia Menjadi Indonesia 1950–1965
(Denpasar: Pustaka Larasan, 2011), hlm. 457–59.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


3

sayap Partai Komunis Indonesia, PKI) gencar menggunakan kesenian sebagai alat
ekspresi ideologi partai. Demikian pula partai-partai lainnya, sebutlah Nahdlatul
Ulama dengan Lesbumi (Lembaga Seniman Budayawan Muslim Indonesia) dan
Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan LKN-nya (Lembaga Kebudayaan
Nasional), mengusung kesenian sebagai corong ideologi partai.9 Dalam situasi
demikian memang muncul karya-karya tari baru sebagai penyampai pesan-pesan
ideologi partai seperti sendratari Saijah dan Adinda karya Bakri Siregar yang
digarap tahun 1954, tari Blonjo Wurung karya Sujud yang digarap 1955–1956,
drama tari Aksi Enampat karya Drs. Sunardi digarap tahun 1957, dan lain-lain.
Segala gemuruh kepentingan partai-partai tersebut dalam memanfaatkan
kesenian kemudian tidak terdengar lagi bersamaan dengan gagalnya
“pemberontakan” Gerakan 30 September/PKI pada tahun 1965. Menyusul setelah
itu adalah tampilnya kepemimpinan Presiden Soeharto (1966–1998) dalam era yang
disebut Orde Baru. Di awal era tersebut para seniman mengharapkan adanya
kebebasan dalam berekspresi. Harapan tersebut ditanggapi oleh Gubernur DKI
Jakarta Ali Sadikin (1966–1977)10 dengan membangun Pusat Kesenian Jakarta-
Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM) yang diresmikan pada tahun 1968. Di area inilah
tersedia sarana untuk berkesenian, lengkap dengan berbagai fasilitas yang memadai
di masa itu, dan lebih penting lagi munculnya atmosfer kebebasan berekspresi.
Ali Sadikin mempunyai peran yang sangat besar dalam menciptakan kondisi
yang membangkitkan semangat berkesenian seniman-seniman hingga karya tari
kontemporer berkembang. Selain itu Ali Sadikin juga menyediakan anggaran untuk
pertumbuhan kesenian di Jakarta. Dibentuknya Dewan Kesenian Jakarta (DKJ)
sebagai penentu kebijakan dan strategi di PKJ-TIM terutama di bidang artistik,
telah berhasil menjaga bergulirnya rutinitas pertunjukan.


9
D.S. Moeljanto dan Taufiq Ismail, Prahara Budaya, Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI DKK
(Bandung: Penerbit Mizan dan HU Republika, 1995), hlm. 36.
10
Ali Sadikin dilantik sebagai Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta oleh
Presiden Soekarno pada 28 April 1966, dan saat itu ia adalah mayor jendral Marinir atau KKO AL
(Korps Komando Angkatan Laut). Lihat Ramadhan K.H., Bang Ali, Demi Jakarta 1966–1977
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992), hlm. 17.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


4

Tersedianya dana, tempat berdiskusi dan berlatih, wahana pertunjukan,


program yang terarah, serta promosi dan publikasi maupun kebebasan berekspresi
yang diberikan Ali Sadikin kepada seniman, mendorong para seniman tari segera
membuat lokakarya di PKJ-TIM dan di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta
(LPKJ).11 Dalam lokakarya tersebut mereka berdiskusi dan bertukar gagasan,
berlatih bersama, bertukar teknik tari berdasarkan keahlian masing-masing, berlatih
kepekaan gerak dan kreativitas, berlatih ketajaman intuisi kepenarian melalui
proses improvisasi, sekaligus berimprovisasi untuk menjelajahi berbagai
kemungkinan baru dalam proses penciptaan karya tari. Bahkan dalam lokakarya
tersebut mereka bekerja sama dengan seniman-seniman dari berbagai disiplin
lainnya.
Dari pengamatan pendahuluan, lokakarya inilah yang menjadi titik sumber
lahirnya karya-karya tari baru di Taman Ismail Marzuki yang dikategorikan sebagai
karya tari baru pengembangan dari tradisi dan kontemporer. Edi Sedyawati, Sal
Murgiyanto dan beberapa seniman tari yang karya-karyanya mulai menonjol di
akhir tahun 1970-an seperti Endo Suanda (lahir 1947) dari Bandung, Wahyu
Santoso Prabowo (lahir 1948) dari Surakarta, I Wayan Dibia (lahir 1948) dari Bali,
Dedy Lutan12 (1951–2014) dari Jakarta, menilai bahwa perkembangan karya-karya
tari baru pengembangan dari tradisi dan kontemporer yang ditampilkan di PKJ-TIM
dijadikan barometer kualitas daya cipta seniman tari se-Indonesia baik oleh
seniman yang tinggal di Jakarta maupun seniman yang berada di daerah luar
Jakarta.13


11
LPKJ adalah lembaga yang bersifat akademik untuk mendidik dan meluluskan seniman-
seniman muda dari berbagai bidang seni: tari, teater, musik, seni rupa dan sinematografi. LPKJ
didirikan pada 24 Juni 1970 di lahan yang sama dengan PKJ-TIM. LPKJ berganti nama menjadi
Institut Kesenian Jakarta (IKJ) pada tahun 1981 dan meluluskan sarjana kesenian.
12
Nama Dedy Lutan dahulu dikenal dengan Deddy Luthan. Sejak tahun 1999, ia mengubah
cara penulisan namanya menjadi Dedy Lutan (tanpa huruf ‘h’) atas permintaan ayahnya, yang
menyatakan bahwa cara penulisan nama yang benar adalah Dedy dan Lutan. Kemudian Deddy pun
mengubahnya. Hasil wawancara dengan Dedy Lutan di Kampus IKJ Jakarta, 25 Februari 2014.
13
Lihat Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi (Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 2002), hlm. 110. Selain hasil wawancara tentang peran PKJ-TIM dalam
perkembangan tari kontemporer di Indonesia dengan Endo Suanda, I Wayan Dibya, dan Dedy Lutan
di Jakarta, 1 Juni 2012, saat mereka hadir dalam acara “Indonesian Dance Festival”, dan
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


5

Dua gubernur sesudah Ali Sadikin, yaitu Gubernur Tjokropranolo (1977–


1982) dan Gubernur R. Suprapto (1982–1987) memang melanjutkan kebijakan Ali
Sadikin namun dengan pendanaan yang besarannya mengalami penurunan akibat
inflasi yang mencapai kurang lebih sembilan persen (9%) per tahun di masa itu.14
Akibat turunnya nilai uang, dana yang diterima DKJ menjadi berkurang.
Di tengah kondisi seperti itu, para seniman tari yang penuh idealisme
ternyata tak patah semangat. Sejumlah program berbobot tetap bisa dihasilkan oleh
DKJ. Sebutlah program Pekan Penata Tari Muda (1978, 1979, 1981, 1982, 1984),
Festival Karya Tari Baru (1986) dan Pekan Koreografi Indonesia (1987) telah
berhasil melahirkan koreografer muda kreatif, yang di masa kemudian menjadi
koreografer andal Indonesia yang juga diakui dunia internasional.15

1.1.1. Beberapa Istilah dan Batasannya


Terdapat beberapa istilah yang perlu diketahui untuk memperjelas
pengertian-pengertian dalam penelitian ini. Istilah-istilah tersebut adalah karya tari
tradisional, karya tari baru pengembangan dari tradisi, karya tari modern,16 dan

wawancakra dengan Wahyu Santoso Prabowo di Jakarta, 30 Agustus 2012, saat latihan persiapan
pertunjukan karya Retno Maruti.
14
Bantuan dana Pemda DKI Jakarta kepada Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan Taman
Ismail Marzuki (TIM) sejak tahun 1968–1978 terus meningkat. Sebagai gambaran (dalam Rp) 1968
–1969: 2.090.500, 1969–1970: 14.315.280, 1970–1971: 19.025.000 dan seterusnya hingga tahun
1977–1978: 120.312.500. Namun sejak tahun 1978–1987 dana bantuan tersebut turun sedikit dan
kemudian statis, tidak meningkat dan juga tidak menurun dilihat dari sisi jumlah, yaitu sebesar
Rp.115.000.000. Lihat “Tabel Bantuan Dana Pemda DKI Jakarta Kepada Pusat Kesenian Jakarta”
dalam Pia Alisjahana dkk. (eds.), 25 Tahun Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (Jakarta:
Yayasan Kesenian Jakarta dan PT Dian Rakyat, 1994), hlm. 43; Jumlah tersebut sesungguhnya
secara nilai nyata berkurang akibat inflasi sebesar kurang lebih 9% per tahun di awal Orde Baru.
Mengenai inflasi pada awal Orde Baru, lihat Inggrid, “Sektor Keuangan dan Pertumbuhan Ekonomi
di Indonesia: Pendekatan Kausalitas dalam Multivariate Vector Error Correction Model (VECM)”,
Jurnal Manajemen Kewirausahaan, Vol 8, No 1, Maret 2006, hlm. 40–50. Dana statis yang diterima
DKJ dari Pemda DKI-Jakarta, oleh Ali Sadikin dikatakan bahwa masa pemerintahan Gubernur
Tjokropranolo (1977–1982) sebagai awal menurunnya keberadaan PKJ-TIM. Sadikin melontarkan
kritik bahwa Pemerintah DKI-Jakarta tidak mencarikan uang untuk mengembangkan PKJ-TIM,
melainkan menjadikan PKJ-TIM sebagai alat untuk mencari uang. Lihat Leila S. Chudori, “Setelah
lahir TIM-TIM kecil” dalam Tempo, 10 November, 1990, hlm. 91.
15
Sal Murgiyanto, “Benih Yang Ditanam Jangan Sampai Layu” dalam Pia Alisjahana dkk.
(eds.), 25 Tahun Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki (Jakarta: Yayasan Kesenian Jakarta
dan PT Dian Rakyat, 1994), hlm. 159–182.
16
Di Indonesia, istilah “modern” terkadang juga disebut “kreasi baru”, lihat Soedarsono,
“Pengantar Pengetahuan Tari dan Komposisi Tari”, hlm. 95. Namun Sal Murgiyanto menyebut
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


6

karya tari kontemporer. Ini untuk memudahkan komunikasi secara tepat dan benar
menurut kaidah-kaidah ilmiah yang berlaku. Oleh karena penelitian ini merupakan
penelitian dalam disiplin ilmu sejarah yang fokusnya berada dalam disiplin ilmu
sejarah kesenian17 dan secara khusus di dalam bidang seni tari, penggunaan
batasan-batasan istilah perlu diketengahkan terlebih dahulu.

1.1.1.a. Karya Tari Tradisional di Indonesia


Kata tradisi berasal dari bahasa Latin traditio, pada dasarnya berarti segala
sesuatu yang diwariskan dari masa lalu. Menurut Edward Shils, pewarisan tersebut
sedikitnya tiga generasi,18 bisa berupa pemikiran, kebiasaan, kepercayaan,
khayalan, hasil karya manusia seperti kesenian, lembaga, dan sebagainya. Dalam
perubahan zaman yang merupakan keniscayaan, ada tradisi yang musnah karena
ditinggalkan pendukungnya, dan ada tradisi tetap bertahan karena para
pendukungnya masih melihat dan merasakan manfaat serta menyukainya. Tradisi
yang diterima akan menjadi unsur yang hadir di dalam kehidupan pendukungnya,
sebagai bagian dari masa lalu yang dipertahankan hingga kini.19 Tradisi yang
sanggup bertahan adalah tradisi yang mengikuti konsepsi keseimbangan dan selalu
menyesuaikan dengan keadaan, tempat dan waktu dalam menghadapi


kreasi baru sebagai karya tari baru pengembangan dari tradisi. Lihat Sal Murgiyanto “Menyoal
Makna: Tidak Ada Model Tunggal Kontemporer” (naskah akan terbit dan diizinkan untuk dikutip,
2015), hlm. 6.
17
Sejarah Kesenian yang dalam bahasa Inggris disebut Art History atau dalam bahasa
Jerman Kunstgeschichte, pada mulanya dikenal di Eropa dengan bahasan awal terpusat pada nilai-
nilai keindahan yang terkandung di dalam karya-karya seni tertentu, disertai pengenalan biografi
seniman-seniman yang menghasilkannya. Dalam perkembangannya, karya dan gaya seni juga
dilihat dalam kaitan yang erat dengan keadaan masyarakat dan kebudayaan tempat kesenian tersebut
dilahirkan. Lihat Edi Sedyawati, Pengarcaan Ganesa Masa Kadiri dan Sinhasari: Sebuah Tinjauan
Sejarah Kesenian, Seri Seni dan Budaya Asia Tenggara (Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia dan Universitas Leiden, bekerja sama dengan Ecolè Franςaise d’Extreme-Orient, 1994),
hlm. 1–2.
18
Edward Shils, Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1981), hlm. 4–16.
19
Lihat Roy Wagner, The Invention of Culture, revised and expanded edition (Chicago:
University of Chicago Press, 1981), 51; Umar Kayam, Seni, Tradisi, Masyarakat (Jakarta: Sinar
Harapan, 1981), 59–61; C.A.Van Peursen, Strategi Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm.
11; Edi Sedyawati, Kumpulan Makalah (1993–1995) Direktur Jendral Kebudayaan (Jakarta:
Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995/1996), hlm. 249.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


7

permasalahan.20 Dalam kesenian, tradisi tidak dipertentangkan dengan perubahan


atau inovasi.
Mencermati arti kata tradisi dan keberadaan tari di Indonesia, dapatlah
kiranya dibuat batasan apa yang dimaksud dengan karya tari tradisional di
Indonesia dalam penelitian ini, yaitu karya tari yang berasal dari masa lampau yang
terwariskan secara turun-temurun sedikitnya dalam rentang tiga generasi dan
diajarkan atau dipertunjukkan secara berulang. Hal ini yang membuat karya-karya
tari masa lampau tetap bertahan hingga kini karena pendukungnya masih
merasakan manfaat dan menyukainya, dan meski terdapat perubahan, inovasi,
ataupun reka cipta, namun pada intinya tetap berpegang pada pola-pola serta aturan-
aturan tradisi.

1.1.1.b. Karya Tari Baru Pengembangan dari Tradisi di Indonesia


Karya-karya tari tradisional di Indonesia sebagian terus bertahan dan
berlangsung. Namun meskipun sebagian karya tari tradisional itu bertahan, dalam
kenyataannya selalu saja dari waktu ke waktu sebagian mengalami perubahan-
perubahan bahkan darinya muncul penciptaan-penciptaan baru.
Eric Hobsbawm dalam tulisannya “Introduction: Inventing Traditions”
mengatakan bahwa menghadirkan tradisi merupakan usaha untuk menjaga suatu
tradisi yang telah dibentuk secara formal (reka cipta), namun bisa pula diartikan
sebagai suatu respons terhadap situasi baru dengan mengambil bentuk dari masa
lalu.21 Edi Sedyawati pun menyatakan bahwa di dalam tradisi terdapat dinamika
pengembangan dan di dalam tradisi selalu terdapat kreativitas ke arah


20
Konsepsi keseimbangan ini di Bali dikenal dan diyakini oleh masyarakatnya, disebut
desa- kala-patra. Lihat juga Ni Nyoman Sudewi, “Legong Keraton Dalam Pertunjukan” dalam
Sumaryono (ed.), Dialektika Seni dalam Budaya Masyarakat (Yogyakarta: Badan Penerbit Institut
Seni Indonesia, 2013), hlm. 226.
21
Eric Hobsbawm, “Introduction: Inventing Tradition”, Eric Hobsbawm and Terence
Ranger (eds.) The Invention of Tradition (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), hlm. 1–
14
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


8

pengembangan dan pembaruan.22 Dengan demikian yang dimaksud dengan karya


tari baru pengembangan dari tradisi adalah karya tari yang merupakan
pengembangan dari bentuk-bentuk tradisi yang ada sebelumnya. Fokus pencarian
kreatifnya lebih ke arah pengembangan dan pencarian bentuk (baru), tidak terlalu
terikat pada pola-pola dan aturan-aturan tradisi sehingga menjadi karya tari baru
pengembangan dari tradisi.23

1.1.1.c. Karya Tari Modern di Indonesia


Adanya gelombang perubahan zaman di awal abad ke-20 yang ditandai
dengan menyebarnya modernisme di Barat, telah membawa pengaruh pada
perkembangan seni modern di Indonesia menjelang kemerdekaan dan awal
kemerdekaan.24 Dalam bidang seni tari, modernisme di Barat tersebut telah
memberikan pengaruh pula kepada seniman-seniman tari Indonesia. Pengaruh


22
Edi Sedyawati, “Pelestarian Seni Tradisi Dalam Program Pemerintah” dalam Kumpulan
Naskah Makalah dan Sambutan Direktur Jendral Kebudayaan Thn. 1999 (Jakarta: Direktorat
Jendral Kebudayaan, Departemen Pendidikan Nasional, 2001), hlm. 60.
23
Dalam catatan kaki no 16 telah disebutkan bahwa karya tari baru pengembangan dari
tradisi sering juga disebut tari kreasi baru. Lihat Sal Murgiyanto “Menyoal Makna”, hlm. 6.
Mengenai tari kreasi baru oleh Eko Supriyanto dikatakan bahwa walaupun tari kreasi baru
mempunyai indikasi mengubah tarian tradisi, tetapi tarian tersebut tidak meninggalkan unsur tradisi
yang melatarbelakanginya. Tari kreasi baru mengembangkan dan membuat pembaruan pada gerak
tari. Lihat Eko Supriyanto “Perkembangan Gagasan dan Perubahan Bentuk serta Kreativitas Tari
Kontemporer Indonesia (Periode 1990–2008) dalam Disertasi untuk memenuhi sebagian
persyaratan mencapai derajat S-3 Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa,
Sekolah Pascasarjana Universitas Gajah Mada Yogyakarta, 2015, hlm. 56
24
Desakan modernisme di Indonesia terungkap secara nyata di dalam seni sastra melalui
polemik kebudayaan pada tahun 1930-an, yang diprakarsai oleh kelompok Pujangga Baru antara
lain Sutan Takdir Alisjahbana (1908–1986), kakak beradik Sanusi Pane (1905–1968) dan Armijn
Pane (1908–1970), Amir Hamzah (1911–1946) melalui tulisan-tulisan mereka pada masa itu. Di
masa angkatan Pujangga Baru tersebut para intelektual dan seniman Indonesia menghadapi dilema
apakah akan mengikuti model Barat dalam mengembangkan budaya Indonesia yang menekankan
pentingnya individualisme dan kreativitas pribadi, atau mengikuti model Timur yang lebih memberi
perhatian kepada kesadaran kelompok dengan keandalan teknik. Gejolak politik dan sosial masa itu
juga menambahkan suatu intensitas kepada proses pencarian jati diri seniman. Lihat Julianti L.
Parani, “Sejarah Kesenian Modern: Dinamika Argumentatif dari Kebangkitan Kesenian”, Seminar
Sejarah Nasional V: Subtema Sejarah Kesenian (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional,
1990), hlm. 100; Lihat juga Hilda Soemantri, “Seni Rupa”, Indonesian Heritage Vol 7 (Jakarta:
Buku Antar Bangsa untuk Grolier International, Inc, 2002), hlm. 56.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


9

modernisme ini diperoleh para seniman di antaranya melalui pengalaman mereka


berpentas dan menimba ilmu di luar negeri, membaca dan menyaksikan film.
Modernisme dalam dunia seni tari di Barat muncul sebagai reaksi terhadap
kemapanan balet klasik, sekitar tahun 1920-an hingga 1960-an. Ini dilakukan
awalnya oleh tokoh-tokoh tari modern di Amerika Serikat: Lois Fuller (1862–
1928), Isadora Duncan (1877–1927), Ruth St. Dennis (1877–1968), dan di Eropa
oleh dua penari ekspresionis Jerman, yaitu Mary Wigman (1886–1973), dan Hanya
Holm (1893–1992). Para pendahulu ini membuka jalan bagi lahirnya dua tokoh tari
modern (modern dance) Amerika Serikat: Martha Graham (1894–1991) dan Doris
Humphrey (1895–1958),25 dan dilanjutkan oleh para koreografer dari sekolah
Martha Graham yang berhasil menemukan teknik gerak dan pendekatan
koreografinya sendiri yang khas. Mereka antara lain Alwin Nikolais (1910–1993),
Merce Cunningham (1919–2009), dan Paul Taylor (lahir 1930). Aksi tersebut
diwujudkan dengan cara melakukan pencarian gaya individual, landasan baru
dalam teknik tari, hingga gagasan baru dalam setiap karya.
Apabila di Amerika Serikat dan Eropa Barat tari modern merupakan
gerakan baru dalam seni tari yang memberontak atau mengkritisi formalisme,
kemandekan dalam pengembangan teknik, stereotip penataan tari, dan stereotip
produksi balet klasik,26 maka gerakan tari modern di Indonesia tidak jauh berbeda
dengan itu yakni dengan melakukan pembaruan dalam berekspresi dan pencarian
teknik yang tidak dipengaruhi pola-pola tradisional karena semangatnya tidak ingin
terikat oleh pola-pola dalam tradisi yang ketat. Contohnya adalah tari Derita (1959)


25
Martha Graham menciptakan teknik latihan yang menampilkan potensi dualistik yaitu
contraction and release, sedangkan Doris Humprey menggarap fall and recovery. Lihat Shaaron
Bougen, “What is Contemporary Dance?” (theconversation.com/explainer-what-is-contemporary-
dance-25713, diunduh 30 Agustus 2015), hlm. 1.
26
Jack Anderson, Art Without Boundaries: The World of Modern Dance (Iowa City:
University of Iowa Press), hlm. 177; Richard Kraus dan Sarah Chapman (eds.), History of the Dance
in Art and Education (USA: Prentise Hall, Inc., 1991), hlm. 195; Edi Sedyawati, Pertumbuhan Seni
Pertunjukan, Seri Esni No. 4 (Jakarta: Sinar Harapan, 1981), hlm. 111; Soedarsono, Seni
Pertunjukan dari Perspektif Politik, Sosial dan Ekonomi (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2003), hlm. 165.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


10

dan Layang-layang (1959) karya Bagong Kussudiardja (1928–2004),27 dan tari Aku
(1959) karya Seti-Arti Kailola (lahir 1919) yang diilhami sajak Chairil Anwar
(1920–1947). Bahwa jejak tradisi masih sering terlihat itu karena sebagian besar
seniman tari Indonesia mempunyai latar belakang yang kuat pada seni tradisional.
Raden Mas Jodjana (1893–1972), seorang penari Jawa Yogyakarta yang menetap
di Belanda (1914–1972), melakukan pembaruan dalam karya tari yang
diciptakannya mulai tahun 1930-an. Seniman tari Indonesia lainnya yang
melakukan pembaruan pada level internasional adalah Devi Dja (1914–1989) yang
menetap di Amerika Serikat sejak 1943 hingga akhir hayatnya tahun 1989.28
Dengan demikian yang dimaksud karya tari modern di Indonesia dalam
penelitian ini ialah karya tari yang dalam penggarapannya terdapat kebaruan-
kebaruan pada bentuk, gerak dan teknik tari, gagasan, dan semangat penciptaan.
Unsur-unsur ini menjadi titik tolak utama untuk penciptaan karya tari modern
dengan karakteristik gaya ungkap individual senimannya.

1.1.1.d. Karya Tari Kontemporer di Indonesia


Penggunaan istilah “kontemporer” dalam penelitian ini mengacu pada kata
serapan dari bahasa asing (Inggris), contemporary, yang berakar dari bahasa Latin
“contemporius: con + tempus, tempor [time + ius (ary)]”. Istilah ini bisa diartikan
sebagai kehidupan, kejadian atau keadaan pada waktu yang sama, selain juga bisa
diartikan sebagai masa kini (characteristic of the present; belonging to the present
time). Di sini bisa dilihat bahwa istilah kontemporer lebih berhubungan dengan


27
Karya tari Layang-layang, yang diciptakan tahun 1955, merupakan karya pertama
Bagong Kussudiardja yang semangat pencariannya adalah gaya individual dan teknik tarinya
mencoba tidak mengikuti teknik dan atau pola gerak karya tari tradisional. Sepulang dari Amerika
Serikat untuk belajar tari modern di Sekolah Musim Panas di Connecticut College atas beasiswa
Rockefeller, pada tahun 1959, karya tari Layang-layang digarap kembali oleh Kussudiardja dengan
pengaruh teknik gerak karya tari modern Martha Graham. Lihat Soedarsono, Seni Pertunjukan
Indonesia di Era Globalisasi, hlm. 244. Dalam perkembangannya, Kussudiardja menggarap karya-
karyanya dengan mengembangkan bentuk-bentuk dari berbagai karya tari tradisional kelompok
etnik yang ada di Indonesia. Oleh Soedarsono karya-karya Kussudiardja dengan fokus pencarian
kreatif ke arah pengembangan atau pencarian bentuk (baru) itu disebut sebagai kreasi baru, seperti
juga dikatakan oleh Sal Murgiyanto dalam tulisannya “Menyoal Makna”, hlm. 6.
28
Uraian tentang Jodjana dan Devi Dja, lihat di Bab II.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


11

waktu dan cita rasa, minat, tren29 zaman. Penekanan pada kekinian dalam hal
kontemporer bisa pula dilihat pada dictionary.com. Pada lema contemporary, salah
satu batasan maknanya adalah of the present time.30
Edi Sedyawati dalam pidato pembukaan “Art Summit Indonesia” ke-8 pada
15 Agustus 2016 di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, lebih lanjut menyatakan
bahwa seorang pencipta seni kontemporer dapat memilih di antara dua sikap dalam
menentukan titik tolak berkarya, yaitu: (1) sama sekali melepaskan diri dari segala
bentuk ungkapan yang sudah pernah ada, atau (2) menggunakan bahan dari suatu
unsur tradisi tetapi menggarapnya dengan cara baru yang belum pernah dilakukan
orang.
Seterusnya Sedyawati menyatakan, kategori kontemporer dalam karya seni
pada dasarnya bertolak dari kebutuhan untuk memberi nama jenis karya baru yang
tidak lagi cocok untuk disebut modern, meskipun modern dan kontemporer sama-
sama “melawan” yang tradisional untuk mencari modus ungkapan yang baru.
Dalam sejarah seni, yang sebelumnya disebut “modern” akhirnya berkembang
menjadi “terstandar”. Itu menunjukkan betapa suatu upaya yang berawal sebagai
pembaruan kemudian bisa berkembang menjadi “mentradisi”. Orang pun kemudian
mencari nama kategori baru untuk karya baru yang harus dapat menampilkan
sesuatu yang baru, baik itu berupa teknik maupun pendekatan berkerya.


29
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat, Departemen Pendidikan
Nasional (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), “tren” adalah kecenderungan atau gaya
mutakhir. Dalam konteks kesenian di penelitian ini, tren berarti kecenderungan atau gaya artistik
mutakhir, seperti diungkapkan pula oleh Tang Fu Kuen, seorang kurator di berbagai festival tari
kontemporer internasional dan dramaturg visual arts dan art performance dari Singapura, saat
berdiskusi dalam acara kuratorial “Indonesian Dance Festival” di Jakarta pada tanggal 24–25 Juni
2013. Dalam pengertian tren tersebut Fukuen memberikan contoh kecenderungan artistik dalam
garapan tari kontemporer di Indonesia saat ini (mutakhir) yaitu masih bergulat dengan perumusan
tari secara konvensional antara lain: adanya cerita, pendekatan naratif ataupun penokohan karakter.
Dibandingkan dengan tren karya tari di Eropa Barat saat ini yang bersifat eksperimental, di
antaranya mengeksplorasi hubungan tubuh manusia dengan sensitivitas keindrawian (sensori),
seperti melalui sentuhan, pendengaran dan penglihatan.
30
Dalam diskusi acara Pesta Seni Jakarta di Taman Ismail Marzuki pada 13 Desember
1970, Fuad Hasan, yang kelak menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1988–1993),
menyampaikan pemahaman tentang seni kontemporer yaitu, seni yang menggambarkan zeitgeist
atau jiwa waktu masa kini. Oleh Umar Kayam lebih ditegaskan bahwa seni kontemporer adalah seni
yang menunjukkan kondisi kreatif dari masa terakhir. Lihat juga Edi Sedyawati, “Masalah Tari
Kontemporer dalam Seni Tari Indonesia”, Sinar Harapan, 31 Desember 1970.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


12

Terjumpailah istilah kontemporer itu yang bermakna sesuatu yang aktual dari masa
kini.
Di Barat, istilah “kontemporer” muncul dari sebuah generasi seniman yang
disebut “post-postmodern”. Ini adalah sebuah generasi yang terdapat dalam
pembabakan generasi-generasi seni tari di Barat. Generasi post-postmodern hadir
sebagai reaksi dari generasi sebelumnya. Jauh sebelum istilah “kontemporer”
muncul, terdapatlah generasi seni tari modern yang hadir di tahun 1920-an
digantikan oleh generasi berikutnya yang menganggap generasi tari modern
tersebut telah terlalu mapan dalam teknik tarinya bahkan dibakukan sebagaimana
teknik balet. Salah satu contohnya adalah teknik terkenal Martha Graham, contract
and release. Oleh generasi berikutnya yaitu anak-anak muda kreatif, inovatif dan
juga cerdas, antara lain: Yvonne Rainer (lahir 1934), Trisha Brown (lahir 1936),
Steve Paxton (lahir 1939), dan Deborah Hay (lahir 1941) yang bergabung di dalam
Judson Dance Theatre, melalui gerakan mereka yang disebut “postmodernis” teknik
tersebut ditinggalkan agar terbebas dari orbit generasi sebelumnya.
Richard Schechner menjelaskan postmodernism bergerak untuk
menumbangkan segala aturan yang sudah mapan.31 Tari postmodern Amerika
generasi pertama tahun 1960-an ditandai dengan hadirnya berbagai pendekatan
kreatif individual yang mengangkat gerak laku sehari-hari, gerakan jatuh-berguling
yang tidak distilir, dan pengembangan gerak seni bela diri Asia. Tampilan wujud
gerak dan tarian mereka sangat berbeda dengan gerak-gerak tari modern Martha
Graham maupun tari modern pada umumnya. Oleh Deborah Jowitt dikatakan
bahwa generasi postmodern Amerika Serikat itu menghasilkan penari yang asyik
memusatkan perhatian mereka dengan cara melakukan (doing) daripada
mempertunjukkan (performing) gerak. Selain itu juga penari-penarinya ingin
tampak spontan dan rileks dibandingkan penari-penari didikan Martha Graham
yang sangat terlatih dan tertib.32


31
Richard Schechner, Performance Studies, An Introduction. Second edition. (New York
and London: Routledge, 2006), hlm. 141.
32
Deborah Jowitt, “Introduction”, hlm. 1–12.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


13

Kehadiran para “penari” postmodern dengan keterampilan terbatas dan tak


terlatih, serta sifat eksperimental tari postmodern pada tahun 1960-an, selanjutnya
menggugah hasrat generasi yang lebih muda lagi untuk menuntut kembali
keterampilan dan teknik gerak tinggi dari para penari dalam karya-karya baru yang
mereka ciptakan, seperti yang telah lama sebelumnya berlaku di dalam tari modern
Amerika Serikat. Namun tak mau mengulang teknik gerak tari modern, mereka
mencari bentuk-bentuk gerak baru yang bisa memberikan pengalaman tautan
hubungan tubuh dengan pikiran. Untuk itu mereka melakukan latihan berbagai
bentuk dan teknik gerak antara lain balet, modern dance, Yoga, Tai Chi, Pilates,
Alexander, dan sebagainya. Sejak itu di awal tahun 1970-an, karya tari di Amerika
Serikat memasuki masa yang disebut sebagai karya tari “post-postmodern” yang
kemudian lebih dikenal sebagai karya tari “kontemporer”. Generasi baru tari
kontemporer tersebut juga berpedoman bahwa setiap penciptaan karya harus selalu
ada pembaruan dan tidak mengulang karya yang telah ada, termasuk dalam
penggarapan teknik geraknya. Selain itu, karya-karya tari kontemporer juga
memperluas jangkauan pentas bukan hanya di tempat-tempat pertunjukan yang
sudah mapan, juga di ruang-ruang publik yang tidak untuk pertunjukan.
Jadi, pengertian kontemporer adalah suatu pembaruan yang tercetus oleh
kondisi suatu zaman. Faktor kondisi ini tidak selalu sama di tempat yang satu dan
tempat lainnya. Sal Murgiyanto, dalam tulisannya “Menyoal Makna: Tidak Ada
Model Tunggal Kontemporer”, mengatakan memang tidak mudah membahas
makna kontemporer, bukan hanya di tempat bertumbuhnya istilah tersebut tetapi
juga di tempat lain termasuk di Indonesia. Menurutnya, setidaknya ada dua arti kata
kontemporer. Pertama, dalam arti luas atau umum, kontemporer merujuk pada
pengertian waktu yang sama, satu waktu, pada masa kini dan dewasa ini. Kedua,
dalam seni, kontemporer dimaknai sebagai karya baru atau karya yang sedang
menjadi tren pada saat karya tersebut dibuat.33 Dalam pengertian yang kedua ini,


33
Sal Murgiyanto, “Menyoal Makna”, hlm. 1–2. Menyambung hal yang disampaikan
Murgiyanto, Lar Lubovitch (lahir 1943), koreografer tari kontemporer Amerika Serikat yang penting
di era 1980-an dan pernah berpentas di PKJ-TIM di bulan Maret 1983, melalui dialog di tahun 1989
dengan beberapa tokoh tari Indonesia yaitu Edi Sedyawati, Farida Oetoyo, dan Julianti Parani
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


14

kritikus tari Amerika Serikat ternama, Deborah Jowitt, memadankan tari


kontemporer (contemporary dance) dengan modern dance, postmodern dance, dan
new dance.34 Dari pengertian tersebut kemudian Murgiyanto menyarikan “sebuah
karya seni baru yang relevan dengan masa ketika karya tersebut diciptakan ‘boleh’
disebut kontemporer tetapi ‘bisa’ saja ia dikenal dengan nama lain sesuai dengan
konteks sejarah, sosial budaya, dan di negara mana ia diciptakan”. Lebih jauh
Murgiyanto berpendapat bahwa tari kontemporer bisa dibedakan dengan genre tari
lainnya bukan pada bentuk melainkan karena misi penciptaannya, yaitu untuk
melawan kemapanan, menantang harapan dan kepekaan masyarakat, bahkan bisa
menampilkan imaji-imaji tak mengenakkan, tak indah, di dalam karyanya karena
diambil dari kenyataan hidup masa kini. Adapun tujuan penciptaannya adalah untuk
membangkitkan kesadaran, melakukan koreksi atau kritik atas pandangan atau
perbuatan masyarakat masa kini yang menyimpang dari nilai-nilai kemanusiaan.
Tampak jelas bahwa penciptaannya karya tari kontemporer menuntut
prasyarat adanya kesiapan dan kemampuan untuk menemukan serta menyajikan
kebaruan-kebaruan baik dalam gagasan, konsep maupun teknik gerak. Dalam
perkembangannya, kebaruan karya tari kontemporer di Indonesia tidak harus
menolak tradisi karena sesungguhnya materi tradisi bisa digarap secara baru,
ditafsirkan secara lain, ataupun diramu dengan berbagai materi lain.35 Dengan


menyampaikan pandangannya. Menurutnya, dalam perkembangan tari kontemporer di Amerika
Serikat saat itu, penjelajahan kreativitas dalam mencipta merambah jalan baru yang tak terbatas dan
tiada henti termasuk kerja sama yang gencar antara koreografer dengan komposer dan juga dengan
seniman bidang seni lain. Namun di sisi lain kemudian sering terjadi jarak antara penonton dengan
karya kontemporer karena penonton tak menangkap makna kontemporer dan pesan yang
disampaikan. Lebih jauh Lubovitch mengungkapkan bahwa pertumbuhan tari kontemporer di
berbagai negara lain sering mengopi apa yang terjadi di Amerika Serikat, padahal para koreografer
di wilayah tersebut dalam berkarya lazim berbicara “secara Amerika” dan untuk masyarakat
Amerika. Dengan demikian seharusnya para koreografer dari berbagai negara di luar Amerika
Serikat memiliki inspirasi dari bahan-bahan yang dimilikinya. Lihat Efix Muyadi, “Dialog Satelit
Tari Kontemporer: Tari, Pemikiran Tinggi Masa Kini” dalam Kompas, 8 April 1989, hlm. 4.
34
Deborah Jowitt, “Introduction”, hlm 1–12; Lihat juga Sal Murgiyanto, “Menyoal
Makna”, hlm. 2.
35
Sesungguhnya hal penggunaan materi tradisi untuk menggarap karya tari kontemporer
bukan hanya menjadi wacana di Indonesia. Gerhard Bohner, koreografer tari kontemporer dari
Thanztheatre Jerman, menciptakan kolase-kolase tarian dengan mengeksplorasi tubuh, gerak tubuh,
musik, kata-kata dan ruang sehingga muncul imaji-imaji yang saling bertautan dan menghadirkan
persepsi spasial dan psikologikal. Ia adalah seniman yang menukik kembali ke akar seni tari Jerman
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


15

demikian yang dimaksud dengan karya tari kontemporer di Indonesia adalah karya
tari yang diciptakan pada masa kini (masa pada kurun waktu yang dimaksudkan
dalam sebuah pembahasan), pendekatan atau konsep penggarapannya tidak mau
terikat pada kebiasaan dan kekhasan apa pun, tidak terpaku pada penggunaan tradisi
tertentu dan tidak terpaku pada garapan sebelumnya. Karya tari kontemporer selalu
aktual dan konsep penggarapannya bertitik tolak dari cita rasa, minat, dan tren
zamannya.36
Batasan istilah-istilah yang telah disebutkan adalah batasan yang dibuat
untuk keperluan penelitian ini berdasarkan pemahaman yang terdapat di lingkungan
seniman, pemerhati seni maupun dalam wacana akademis sejarah tari.

1.2. Rumusan Masalah


Bertolak dari uraian terdahulu, terdapat suatu kondisi yang mendorong para
koreografer menciptakan karya tari kontemporer, selain beberapa faktor yang
muncul dari dinamika pergumulan ide, secara eksternal maupun internal, yang
menjadikan perkembangan tari kontemporer semakin marak pasca berakhirnya
pemerintahan Soekarno (Demokrasi Terpimpin) hingga dekade terakhir tahun
1980-an di masa pemerintahan Soeharto (Orde Baru). Dalam dua dekade pertama
masa pemerintahan Orde Baru itu, khususnya dengan ditampilkan di PKJ-TIM,
karya tari kontemporer mengalami perkembangan yang berarti. Mengapa secara
signifikan bisa berkembang? Dari analisis sepintas tampaknya ada keterkaitan
antara kreativitas seniman, penonton, media massa, dan dukungan kebijakan
pemerintah (khususnya DKI Jakarta). Inilah yang sepertinya merupakan faktor-
faktor yang memungkinkan terjadinya perkembangan karya tari kontemporer.


dengan mencoba menyambung kembali kontinuitas dalam seni tari yang porak poranda oleh Perang
Dunia II. Lihat Claudia Jeschke, “Reconstruction/Deconstruction Current I Contemporary” dalam
Walter Sorell (ed.), The Dance Has Many Faces (Chicago: Chicago Review Press), hlm. 192.
36
Karya tari kontemporer Indonesia pada ranah kontemporer secara luas terinspirasi dari
perbandingan karya tari kontemporer di Eropa dan Amerika. Dalam tulisannya tentang tari
kontemporer 1990–2008 Eko Supriyanto menuliskan bahwa posisi tari kontemporer Indonesia juga
terinspirasi dari perbandingan tari kontemporer di negara-negara lain di Asia melalui tokoh-tokoh
tari di Jepang, Taiwan, India, Thailand, Malaysia. Lihat Eko Supriyanto “Perkembangan Gagasan”,
hlm 67–68.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


16

Dengan demikian rumusan masalah kajian ini adalah bagaimana keterkaitan itu
dapat dijelaskan.
Serangkaian keingintahuan kemudian muncul dan yang hendak
diungkapkan melalui penelitian ini:
1. Kebijakan dan langkah apa yang dilakukan oleh pemerintah untuk
mendukung seniman dalam upaya kreatif penciptaan karya tari baru
pengembangan dari tradisi dan kontemporer yang bisa diapresiasi oleh
penonton.
2. Bagaimana para koreografer memformulasikan gagasan yang berasal dari
pergumulan pemikiran tentang kebaruan karya tari yang dipengaruhi faktor
internal dan eksternal.
3. Bagaimana upaya DKJ melalui PKJ-TIM menyediakan kesempatan untuk
hadirnya input eksternal yang kemudian bersinergi dengan daya kreatif pada
diri seniman tari.
4. Tindakan apa yang dilakukan oleh Komite Tari DKJ, pengelola PKJ-TIM,
media massa yang menampung pandangan kritikus dan pengamat untuk
mendatangkan penonton sehingga pertunjukan karya tari baru dan
kontemporer bisa berkelanjutan.

1.3. Tujuan Penelitian


Penulisan disertasi yang merupakan hasil penelitian mengenai
“Perkembangan Koreografi di Indonesia: Suatu Kajian Karya Tari Kontemporer di
Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki 1968–1987” memiliki tujuan:
1. Menguraikan kebijakan kebudayaan pemerintah melalui pembentukan
lembaga-lembaga, di antaranya adalah DKJ, yang mendorong dinamika
penciptaan kebaruan dalam karya tari yang dalam eksplorasi lebih jauh
menghasilkan karya kontemporer.
2. Menunjukkan peran pengelola PKJ-TIM, media massa, termasuk kritikus
dan pengamat, dalam kontribusi mereka untuk perkembangan karya tari
yang meliputi aspek kreatif dan aplikasinya dalam hal konsep garapan,
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


17

tema, teknik gerak, tata ruang dan atau panggung, musik, properti, kostum,
dan lain-lain sehingga menjadi baru dan kontemporer melalui pemahaman
yang komprehensif kepada masyarakat penonton.

1.4. Manfaat Penelitian


Penelitian ini memiliki dua manfaat, praktis dan akademis. Manfaat
praktisnya adalah memberikan sumbangan pemikiran kepada pihak-pihak yang
berkepentingan dengan perkembangan seni tari Indonesia. Selain itu juga
melengkapi pengetahuan proses penciptaan karya tari baru dari beberapa seniman
tari kontemporer Indonesia. Adapun manfaat akademisnya, pertama adalah
menambah literatur di bidang sejarah kesenian Indonesia, khususnya sejarah tari
Indonesia. Kedua, penelitian ini diharapkan bisa memberikan gambaran perubahan
suatu peristiwa yang terjadi pada sejarah kesenian Indonesia modern, khususnya
sejarah tari kontemporer. Ketiga, menunjukkan saling dukung ilmu-ilmu bantu,
seperti sejarah, antropologi, kesenian dalam meneliti suatu obyek penelitian. Ini
adalah dukungan lintas keilmuan, khususnya dalam meneliti prasyarat
perkembangan tari kontemporer di Indonesia. Keempat, memberikan sumbangan
materi bagi titik tolak penelitian lebih lanjut demi kepentingan akademis.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian


1.5.1. Lingkup Tematis
Penelitian ini merupakan kajian sejarah tari Indonesia, khususnya
perkembangan tari kontemporer di Indonesia dengan tinjauan khusus atas
pertunjukan-pertunjukan di PKJ-TIM di tahun 1968–1987. Pada kurun waktu
tersebut tercatat 11 program besar dengan beragam tajuk yang yang
diselenggarakan oleh Komite Tari DKJ dengan melibatkan ratusan peserta seniman
tari Indonesia. Mereka terlibat dalam Pesta dan Pekan Seni Kontemporer (1971),
Modern Choreography (1972), Pekan Seni Kontemporer (1972). Kemudian dalam
tiga tahun berturut-turut (1978, 1979, 1981) diselenggarakan Festival Penata Tari
Muda. Berikutnya, dalam empat tahun berturut-turut (1981, 1982, 1983, 1984)
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


18

diselenggarakan Pekan Penata tari Muda. Tahun 1986 diselenggarakan Festival


Karya Tari Baru dan tahun 1987 Pekan Koreografi Indonesia. Dalam belasan
program tersebut dipertunjukkan karya tari baru pengembangan dari tradisi,
modern, dan kontemporer. Inilah tema besar yang menjadi batasan tematis pada
penelitian ini.

1.5.2. Lingkup Spasial


Sesuai dengan judul penelitian ini, “Perkembangan Tari Kontemporer di
Indonesia: Suatu Kajian Seni Kontemporer di PKJ-TIM tahun 1968–1987”,
menjadikan fokus tempat penelitian ini di area PKJ-TIM yang merupakan wadah
dengan fasilitas untuk berlatih, pertunjukan, berdiskusi dan seminar, termasuk
tempat penginapan bagi seniman yang datang dari luar kota Jakarta. Berdasarkan
data, lebih dari 100 karya tari baru pengembangan dari tradisi, modern, dan
kontemporer di Indonesia tercipta berkat fasilitas yang tersedia di PKJ-TIM. Para
seniman tari menggunakan fasilitas tersebut secara maksimal sehingga secara
kuantitas tercatatlah banyak penciptaan karya tari kontemporer yang lahir atau
dipentaskan di PKJ-TIM. Di tempat ini pula juga tercatat pertunjukan-pertunjukan
tari dari mancanegara yang memberikan pengaruh bagi penciptaan karya tari
kontemporer di Indonesia (lihat Bab III).

1.5.3. Lingkup Temporal


Batas temporal dalam penelitian ini adalah tahun 1968 hingga 1987. Batasan
awal di tahun 1968 karena pada tahun tersebut PKJ-TIM diresmikan sebagai area
kesenian. Di tempat inilah berbagai jenis kesenian berkembang, termasuk karya tari
kontemporer. Perkembangan tersebut ditandai dengan penyelenggaraan 11 program
besar (lihat Batasan Tematis) yang terselenggara hingga 1987. Setelah itu tidak ada
lagi program besar yang secara konstan berkelanjutan. Dengan alasan tersebut
rentang waktu tahun 1968–1987 menjadi batasan temporal penelitian.

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


19

1.6. Penelitian Sebelumnya


Penelitian dan kajian dengan judul “Perkembangan Tari Kontemporer di
Indonesia: Suatu Kajian Seni Kontemporer di PKJ-TIM tahun 1968–1987” ini
dimaksudkan untuk melengkapi tulisan-tulisan dan kajian-kajian yang telah ada
sebelumnya tentang karya-karya tari kontemporer Indonesia.
Sal Mugiyanto dalam tesisnya (1976), yang belum diterbitkan, untuk
memperoleh gelar Master of Arts di Department of Theatre and Dance of the
University of Colorado yang berjudul “The Influence of American Modern Dance
on the Contemporary Dance of Indonesia” mengungkapkan tentang pengaruh tari
modern Amerika Serikat dalam tari kontemporer Indonesia. Dalam tesis ini
diuraikan pula beberapa bentuk dan ciri tari tradisional Jawa dan Bali untuk
diperbandingkan dengan tari kontemporer, dengan catatan bahwa tarian tradisional
tersebut juga bisa menjadi sumber ide dan sumber gerak untuk diolah dalam tren
kekinian sesuai cita rasa si seniman.
Tulisan dan kajian berikutnya adalah tentang empat seniman tari Indonesia
yang menggarap karya dengan pendekatan modern dan kontemporer. Mereka
adalah Bagong Kussudiardja, Huriah Adam, Retno Maruti dan Sardono W.
Kusumo. Kajian ini juga ditulis oleh Sal Murgiyanto dalam disertasinya (1991),
yang juga belum diterbitkan, berjudul “Moving Between Unity and Diversity: Four
Indonesian Choreographers” untuk memperoleh gelar Ph.D di Department of
Performance Studies, New York University. Kajiannya membandingkan keempat
seniman tari tersebut yang masing-masing mempunyai ciri, kekhasan dan keunikan
dalam proses penciptaan karya tarinya, baik dalam proses penjelajahan dan
pencarian bentuk baru maupun karya tari yang dihasilkan.
Penelitian ini akan menambahkan berbagai gagasan kreatif dan aplikasi
gagasan kreatif seperti tema, teknik gerak, tata ruang dan atau panggung, musik,
properti, kostum dari para penata tari yang tampil dalam Pekan Penata Tari Muda
(1978, 1979, 1981, 1983, 1984), Festival Karya Tari Baru (1986) dan Festival
Koreografi (1987), selain para penata tari yang sudah dikaji dalam penelitian dan
tulisan di disertasi Murgiyanto.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


20

Soedarsono, dalam bukunya Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi


(Yogyakarta: Gadjah Mada Press, 2002) dan Seni Pertunjukan dari Perspektif
Politik, Sosial dan Ekonomi (Yogyakarta: Gadjah Mada Press, 2003), membahas
tentang seni pertunjukan Indonesia di antaranya seni tari dari zaman dulu hingga
era globalisasi. Ia juga mengkaji seni pertunjukan dunia termasuk seni pertunjukan
Indonesia dari perspektif politik, sosial dan ekonomi, serta tak dilewatkan pula soal
seni tari Indonesia dan beberapa tokohnya.
Sehubungan dengan buku Soedarsono tersebut penelitian ini bermanfaat
memberikan informasi tambahan tentang keberadaan dan perjalanan seni tari di
Indonesia dari masa lampau hingga tahun 2002, yang bisa membantu memberikan
gambaran tentang kebaruan karya tari di Indonesia.
Buku lainnya adalah Seni Pertunjukan Indonesia; Suatu Politik Budaya
(Jakarta: Nalar, 2011) yang ditulis Julianti Parani.37 Buku tersebut mengungkapkan
geliat kebudayaan Indonesia, terutama di bidang seni pertunjukan daerah termasuk
seni tari yang berhadapan dengan budaya nasional sejak awal abad ke-20 hingga
menjelang awal abad ke-21. Parani juga menguraikan pemikiran tokoh-tokoh yang
bergulat di bidang seni tari di antaranya mereka yang mendalami budaya Minang
di Sumatera, Betawi di Jakarta maupun budaya Jawa dan Bali. Dalam menganalisis
perkembangan seni pertunjukan Indonesia pada lingkup budaya politik yang
berkembang pada masanya, Parani mengkaji kaitan perjalanan sejarah kebudayaan
lokal dan kebudayaan nasional terutama pada abad ke-20.
Tulisan Parani tersebut membantu penelitian ini untuk membahas lebih jauh
kebijakan kesenian di era pemerintahan Ali Sadikin. Pada gilirannya kemudian,
penelitian ini bisa menjadi tema lain yang khusus menyoroti Jakarta di samping
buku Parani yang lebih pada bidang seni pertunjukan daerah di luar Jakarta.
Jennifer Lindsay bersama Maya H.T. Liem menyunting buku Ahli Waris
Budaya Dunia, Menjadi Indonesia 1950–1965 (Denpasar: Pustaka Larasan, 2011),
yang berisi kumpulan hasil kajian akademis baru para sarjana Indonesia dan non-


37
Julianti Parani mempunyai arsip dokumentasi seni tari cukup lengkap.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


21

Indonesia tentang riwayat kebudayaan Indonesia 1950–1965. Tulisan tersebut


membahas hubungan internasional, pertukaran seniman dan intelektual, karya tulis
dan gagasan antara Indonesia dan berbagai negeri, dan juga perkembangan jejaring
kebudayaan termasuk bagaimana jejaring itu saling taut dan mempengaruhi wacana
kebudayaan di Indonesia. Dalam buku tersebut terungkap pula hadirnya karya tari
baru Indonesia di masa itu yang diciptakan untuk kepentingan misi kebudayaan ke
luar negeri yang diselenggarakan oleh Soekarno dan untuk memeriahkan perayaan
Hari Kemerdekaan 17 Agustus. Masih di buku tersebut, penciptaan karya tari baru
di masa itu sebagian juga dikaitkan untuk kepentingan partai politik (PKI) melalui
LEKRA.
Esai-esai dalam buku tersebut membantu penelitian ini dalam memberikan
gambaran riwayat perkembangan kebudayaan Indonesia di era pascakemerdekaan,
1950–1965, termasuk gambaran kondisi seni tari Indonesia di masa itu.

1.7. Metodologi dan Landasan Konsep


Sejarah sebagai ilmu mempunyai metode tersendiri di dalam kerja
merekonstruksi masa lalu. Hal ini karena sejarah sebagai ilmu yang berkaitan
dengan proses dinamika tindakan manusia pada masa lalu telah berlangsung lama
diukur dari saat penelitian dilakukan. Bisa dikatakan bahwa pengkajian suatu fakta
sejarah dengan fakta lainnya jika tidak didukung oleh pemaparan komprehensif
yang saling berkaitan tidak akan menghasilkan tulisan sejarah yang jelas dan
menarik.
Untuk menghadirkan fakta sejarah, secara metodologis dibutuhkan landasan
konsep atau kerangka teoritis yang tepat di dalam merekonstruksi sejarah. Selain
untuk memperjelas fakta-fakta sejarah yang ditemukan, konsep atau kerangka
teoritis juga untuk pengayaan sebuah eksplanasi.
Dalam melakukan eksplanasi terhadap peristiwa sejarah yang bertemakan
“Perkembangan Koreografi di Indonesia: Suatu Kajian Seni Tari Kontemporer di
Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki 1968–1987”, metodologi
strukturistik menjadi pilihan penulis. Dalam metodologi tersebut peristiwa dan
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


22

struktur merupakan jalinan dialektika yang simbiotik dan tidak bersifat dikotomis.
Artinya, peristiwa dan struktur hadir untuk saling melengkapi sebagai satu kesatuan
metodologi.38 Peristiwa di sini mengandung kekuatan mengubah struktur sosial,
sedangkan struktur sosial mengandung hambatan (constraining) namun juga bisa
menjadi pendorong bagi tindakan perubahan (enabling). Selain itu, dalam
metodologi ini terdapat tahapan analisis yang berhubungan dengan struktur sosial
dan penentuan mekanisme kausalitas yang menyebabkan terjadinya perubahan itu.
Struktur sosial yang dimaksud dalam metodologi strukturistik bisa berupa norma-
norma, peran-peran, interaksi-interaksi yang muncul dari tindakan-tindakan dan
pemikiran manusia karena manusia yang dilahirkan dalam struktur sosial tertentu
memiliki kemampuan untuk mengubah struktur sosial di mana ia berasal. Di sinilah
pendekatan strukturistik meneguhkan peranan individu, kelompok individu dan
institusi sebagai faktor determinan dalam mentransformasi dan mereproduksi
perubahan struktur sosial. Individu atau kelompok individu dan institusi ini yang
kemudian disebut sebagai agents of change, agen-agen perubahan.
Penelitian ini akan mengungkapkan peran individu, kelompok individu dan
institusi sebagai agen (agent) dalam struktur sosial. Mereka berperan besar
mengubah struktur karena memiliki kemauan, kemampuan dan kekuatan untuk
membentuk struktur baru. Oleh karena sedemikian penting unsur individu atau
kelompok individu dan institusi sebagai faktor yang aktif dalam metodologi
strukturistik, unsur ini perlu ditelaah lebih mendalam. Tujuan utama dari
metodologi ini adalah menemukan causal power yang obyektif, yang diperoleh
melalui analisis atas interaksi antara agency dan struktur sosial.39
Selanjutnya, jika merujuk pada teori strukturistik, dinyatakan bahwa setiap
hubungan antara agen dan struktur tidak berarti struktur menentukan tindakan atau
sebaliknya. Dengan demikian antara struktur dan agen selalu saling melengkapi
(agency and structure are mutually constitutive). Setiap tindakan sosial
memerlukan struktur dan seluruh struktur memerlukan tindakan sosial, di mana


38
Christopher Lloyd, The Structures of History (Oxford: Blackwell, 1993), hlm. 93–6.
39
Christopher Lloyd, The Structures of History, hlm. 93–6.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


23

pada titik ini agen dan struktur saling jalin-menjalin dalam praktik atau aktivitas
manusia.40
Melalui teori strukturistik, penelitian ini akan bisa mengungkapkan para
agen perubahan (agents of change) dan struktur-struktur yang saling melengkapi
dan jalin menjalin dalam perkembangan koreografi di Indonesia terutama karya tari
baru hingga level kontemporer di PKJ-TIM 1968–1987.
Mencermati awal munculnya karya-karya tari kontemporer di Indonesia,
penelitian ini juga akan menggunakan beberapa konsep sebagai penguat
pengamatan, analisis dan interpretasi.
Pertama, di sini akan digunakan konsep kebudayaan karena seni tari adalah
bagian dari kesenian dan kesenian merupakan salah satu unsur dalam kebudayaan.
Kebudayaan di sini dilihat sebagai keseluruhan sistem gagasan manusia yang hadir
dalam rangka memenuhi kebutuhan kehidupan masyarakat yang dijadikan milik
dengan cara belajar. Bentuk nyata dari gagasan-gagasan tersebut kemudian
berwujud berbagai tindakan, nilai, norma, dan hasil karya manusia.41 Parsudi
Suparlan42 menambahkan, kebudayaan cenderung bersifat tradisional dan tidak
mudah berganti karena menjadi pedoman hidup masyarakat, namun di sisi lain
kebudayaan juga selalu berganti dan menjadi dinamis mengikuti perubahan yang
terjadi dalam unsur-unsur lingkungan alam, sosial dan budaya. Menurut Marshall
Sahlins43 kebudayaan adalah segala hal yang berkaitan dengan sejarah yang
mereproduksi dalam tindakan. Konsep kebudayaan dalam penelitian sejarah tari ini
akan digunakan untuk memperkuat tindakan seniman tari sebagai agen perubahan.


40
Anthony Giddens, The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration
(Oxford: Polity Press, 2010), hlm. 2–23.
41
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Aksara Baru, 2002), hlm. 182.
Lihat juga Willam H. Sewell Jr., “The Concept(s) of Culture” dalam Gabrielle M. Spiegel (ed.)
Practising History: New Direction in Historical Wriring after the Linguistic Turn (New York and
London: Routledge, 2005), hlm. 76–98.
42
Parsudi Suparlan, “Kebudayaan dan Pembangunan” dalam Sudjangi (ed.), Kajian Agama
dan Masyarakat (Jakarta: Departemen Agama RI, Badan Penelitian dan Pengembangan Agama,
1992), hlm. 95.
43
Marshall Sahlins, Islands of History (Chicago: University of Chicago Press, 1987), hlm.
vii; lihat juga Susanto Zuhdi, “Perspektif Tanah Air dalam Sejarah Indonesia” dalam Riris K. Toha-
Sarumpaet (ed.), Ilmu Pengetahuan Budaya dan Tanggung Jawabnya; Analekta Pemikiran Guru
Besar FIB UI (Depok: UI Press, 2011), hlm. 59.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


24

Kedua, konsep modernisme dalam kesenian. Pada masyarakat Barat di


akhir abad ke-19 dan di awal abad ke-20 modernisme dalam lingkup kesenian
secara tegas meninggalkan pemikiran dan budaya klasik dan juga ideologi
“realisme” kaum borjuis abad 19. John Barth menyatakan bahwa modernisme
menawarkan kesadaran diri untuk menguburkan konvensi-konvensi realisme
borjuis, menuju pada pengetahuan modern yang rasional. Modernisme menolak
tema linear, sebab-akibat, rasionalitas, anekdot lugu, ilusi naif, bahasa jelas, moral
kelas menengah, karena semua itu menjadi pembatas atau kendala eksplorasi
kreatif. Karakteristik menonjol pada modernisme adalah kesadaran diri (self-
consciousness). Kesadaran diri ini menuntun dalam melakukan eksperimen pada
bentuk dan karya dengan curah perhatian yang besar pada proses serta materi yang
digunakan dan cenderung pada hasil yang abstrak. Modernisme juga menoleh pada
karya-karya masa silam untuk dibangkitkan kembali dalam bentuk baru.44 Secara
umum, istilah modernisme dalam kesenian mempunyai pengertian pada tindakan
yang meninggalkan tradisionalisme karena tradisionalisme tidak lagi sepadan
dengan kondisi ekonomi, sosial dan politik yang berganti dalam tatanan baru dan
seringkali mengandalkan kemajuan teknologi.45
Ketiga, konsep pergaulan internasional. Pengaruh internasional yang
mendukung perkembangan koreografi di Indonesia, yang di kemudian hari
mendorong perkembangan karya tari kontemporer di PKJ-TIM (1968–1987), telah
dimulai sejak Indonesia bersentuhan dengan komunitas kesenian internasional.
Konsep pergaulan internasional ini oleh Bachtiar Alam dalam tulisannya berjudul
“Globalisasi dan Perubahan Budaya: Perspektif Teori Kebudayaan”46 dikatakan


44
Contoh dalam tari modern, Isadora Duncan (1877–1927), tokoh tari modern Amerika,
merasa bahwa dunia karya-karya tari Barat telah kehilangan hubungan yang hidup dengan tari-tarian
kuno mereka. Dalam pencarian dan menjangkau prinsip-prinsip dari kesenian yang kuno tersebut
justru kemudian ia menghasilkan yang modern. Lihat Helly Minarti, “Mencari Tari
Modern/Kontemporer Indonesia”, https://ko-kr.facebook.com/Helly Minarti, April 20, 2009,
diakses 15 September 2013.
45
John Barth, “The Literature of Replenishment” dalam The Friday Book: Essays and
Other Non-Fiction (London: The John Hopkins University, 1984), hlm. 193–206.
46
Lihat Bachtiar Alam, “Globalisasi dan Perubahan Budaya: Perspektif Teori
Kebudayaan”, Antropologi Indonesia (Majalah Antropologi Sosial dan Budaya Indonesia) No 54,
Th XXI, Des. 1997–April 1998 (Depok: Jurusan Antropologi UI), hlm. 1–8.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


25

bahwa di Indonesia proses globalisasi sudah ada sejak zaman dahulu, zaman
kerajaan Sriwijaya, Majapahit ataupun pada masa kolonial. Dalam disertasi ini
penulis menempatkan globalisasi tersebut sebagai pergaulan atau interaksi
komunitas tari internasional.
Menurut Marshall Sahlins dalam tulisannya “Goodbye to Tristes Tropiques:
Ethnology in the Context of Modern World History”, setiap masyarakat di muka
bumi ini pada dasarnya merupakan suatu “masyarakat global”, yang
persentuhannya di antaranya melalui perjalanan, migrasi maupun media, dan proses
persentuhan tersebut menghasilkan difusi dan akulturasi.47 Hal ini kemudian
ditegaskan oleh Thomas Clarke dan Steward Clegg48 bahwa globalisasi telah
menyebabkan hilangnya batas-batas ruang (wilayah) dan waktu.
Jika kenyataannya di satu sisi globalisasi telah menimbulkan
transnasionalisasi, di sisi lain sesungguhnya lokalitas dan etnisitas juga
berkembang. Oleh sebab itu, globalisasi sesungguhnya tak terlepas dari lokalisasi.
Globalisasi kerap menjadikan hubungan semakin intens antara dimensi budaya
global dengan lokal atau etnis. Bahkan Roland Robertson49 kemudian mengenalkan
istilah “glokalisasi” sebagai perkawinan dari globalisasi dan lokalisasi yang
berjalan bersama-sama. Lebih lanjut Yamashita dan J.S. Eades mengatakan bahwa
globalisasi merupakan proses hibriditas dualistik di mana lokalisasi adalah sebuah
proses yang dihasilkan oleh globalisasi.50
Hal sama juga ditegaskan oleh Anthony Giddens bahwa globalisasi pada
dasarnya membentuk jaringan di seluruh permukaan bumi secara menyeluruh.


47
Marshall Sahlins dalam tulisannya “Goodbye to Tristes Tropiques: Ethnology in the
Context of Modern World History” dalam R. Borofsky (ed.), In Assessing Cultural Anthropology
(New York: McGraw-Hill, Inc. 1994), hlm. 377–95; lihat juga Conrad Phillip Kottak, Mirror for
Humanity, A Concise Introduction to Cultural Anthropology (Michigan: Mc Graw Hill, 2010), hlm.
40 & 281.
48
Thomas Clarke and Steward Clegg, Changing Paradigm; The Transformation of
Management Knowledge for the 21 st Century (Harper Collins Publisher, 1998).
49
Roland Robertson, “Glocalization: Time-Space and Homogeneity-Heterogeneity” dalam
Mike Featherstone, Scott Lash and Roland Robertson (eds.), Global Modernities (California: Sage
Publication Inc., 1995), hlm. 25–44.
50
Shinji Yamashita and J.S. Eades (eds.), Globalization in South Asia: Local, National and
Transnational Perspectives (New York: Berghahn Books, 2003), hlm. 6.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


26

Globalisasi merupakan proses penyempitan ruang dan waktu akibat kemajuan pesat
teknologi informasi dan komunikasi.51
Keempat, konsep koreografi, berisi pengetahuan yang berkaitan dengan
bagaimana mencipta, menggarap, memilih dan menata gerakan-gerakan tubuh
menjadi suatu karya tari. Definisi koreografi sangat beragam, di antaranya adalah
keterampilan dan pengetahuan penciptaan atau penataan tari. Selain itu hasil
penciptaan dan penataan tari yang dilakukan oleh koreografer juga disebut
koreografi. Pengetahuan koreografi bersangkut-paut dengan bagaimana mencipta,
memilih dan menata gerakan-gerakan menjadi sebuah karya tari. Namun dalam
menggarap karya tari hal utama yang diperlukan yakni adanya gagasan atau ide
yang merupakan tumpuan bagi proses pemikiran dan tindakan selanjutnya yang
berupa konsep-konsep (tema, bentuk), naskah, proses atau tahap-tahap penciptaan,
dan produk atau karya tari itu sendiri.
Konsep penciptaan meliputi dua hal, yakni (1) konsep tema, (2) konsep
bentuk yang terdiri dari bentuk koreografi dan bentuk pemanggungan. Adapun
naskah merupakan jembatan transformasi atau pengejawantahan dari gagasan dan
konsep-konsep dalam bentuk tulisan untuk mengarahkan dan memantau proses
penciptaan karya. Selanjutnya yang dimaksud dengan proses adalah tahap-tahap
dalam penciptaan atau penataan tari, dan dalam melakukan proses penciptaan atau
penataan tari setiap koreografer memiliki cara atau pendekatannya sendiri.52
Judith Chazin-Bennahum dalam bukunya Teaching Dance Studies
mengatakan:
Choreography is the skill of improvising (both ‘free’ and ‘structured’ sort),
composing in the sense of shaping and forming movement material, and
criticism: observing describing, analyzing, interpreting, evaluating, and
revising both the work in progress and the completed dance.53

51
Anthony Giddens, Konsekwensi-konsekwensi Modernitas (terj. Nurhadi) (Yogyakarta:
Kreasi Wacana, 2009), hlm. 2.
52
Lihat Martinus Miroto, “Pertunjukan Realitas Teleholografis Body in Between Tubuh di
antara Nyata dan Maya”, Disertasi Program Doktor Peciptaan dan Pengkajian Seni Institut Seni
Indonesia Yogyakarta Minat Utama Penciptaan Seni Tari, Program Pascasarjana Institut Seni
Indonesia Yogyakarta, 2014, hlm. 15–21.
53
Judith Chazin-Bennahun (ed.), Teaching Dance Studies (New York & London:
Routledge, 2005), hlm. 35.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


27

Koreografi adalah kemampuan dalam hal mengembangkan (secara bebas


maupun terstruktur), menata dalam pengertian membuat pola dan membuat
bentuk materi gerak, dan melakukan peninjauan kritis melalui: observasi,
deskripsi, analisis, interpretasi, evaluasi, dan merevisi karya yang masih
dalam proses maupun yang sudah jadi.

Dalam konteks koreografi kontemporer, Butterworth dan Wildschuts


menyatakan:
Contemporary choreography is concerned with dance making in an ever-
expanding field of application: from both viewer and performer perspective,
in live and broadcast media, in site-specific, applied, community and shared
environment.54

Koreografi kontemporer memberikan perhatian kepada penciptaan karya


tari melalui ranah aplikasi yang luas: ditilik dari perspektif penonton dan si
seniman, secara langsung dan melalui media penyiaran, dengan
menggunakan pentas tertentu (spesifik), dalam komunitas yang bisa
menerima dan lingkungan yang bisa berbagi.

Dari seluruh tinjauan tersebut, melalui metodologi strukturistik tampaklah


adanya dialektika yang simbiotik antara karya tari tradisional dan karya tari baru
pengembangan dari tradisi dan kontemporer di Indonesia. Ini dikarenakan sebagian
besar seniman tari di negeri kita mempunyai latar belakang yang kuat pada seni tari
tradisional. Dengan gambaran ini, perubahan dari seni tari tradisional menuju pada
karya tari baru pengembangan dari tradisi dan kontemporer tidak terlalu mengalami
hambatan, apalagi nuansa karya tradisional masih bisa dirasakan. Di sini para agen
perubahan menjalankan perannya lebih kepada pemikiran dan tindakan artistik
penciptaan karya-karya baru.


54
Butterworth and Wildschuts (eds.), Contemporary Choreography: A Critical Reader
(London: Routledges, 2009), hlm. 1.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


28

1.8. Metode Penelitian


Penelitian tidak bisa berjalan seperti yang diharapkan jika tidak tersedia dan
didukung oleh sumber data.55 Oleh karena tujuan penelitian ini adalah untuk
mencapai penulisan sejarah, upaya merekonstruksi masa lampau dari obyek yang
diteliti ditempuh melalui metode sejarah. Peristiwa diresmikannya PKJ-TIM dan
hadirnya program-program DKJ yang mendorong terciptanya kaya-karya tari baru
yang kemudian ditampilkan di PKJ-TIM pada tahun 1970-an hingga 1987, telah
menghadirkan sejumlah penata tari dan penata musik di Indonesia. Untuk
mengetahui latar belakang, proses dan hasil dari karya tersebut diperlukan tahapan
penelitian yaitu, heuristik (penelusuran dan pengumpulan sumber), kritik sumber
(pemilahan dan menilai sumber secara kritis), interpretasi (pengolahan temuan) dan
historiografi (penulisan sejarah). Tahapan tersebut dimulai dengan cara sebagai
berikut.

1.8.1. Pengumpulan Data Tertulis


Dilakukan penelitian pustaka tertulis yang luas dan mendalam, diawali
dengan memahami peta seni tari di Indonesia dengan mencermati kebijakan
kebudayaan di era Soekarno (1945–1966), kebijakan kebudayaan di era Soeharto
(1966–1998), sampai dengan berdirinya Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail
Marzuki di tahun 1968–1987 sesuai dengan batas temporal penelitian. Penelitian
ini diarahkan pada karya tari tradisional, karya tari baru pengembangan dari tradisi,
modern, dan kontemporer di Indonesia.
Sumber dalam bentuk dokumen yang penulis gali adalah tulisan-tulisan
yang menyentuh kebijakan kebudayaan di era Soekarno, juga kebijakan
kebudayaan di era Soeharto, arsip pendirian maupun pedoman dasar DKJ dan PKJ-
TIM, kebijakan-kebijakan ataupun peraturan-peraturan yang mengatur pelaksanaan
pengelolaan PKJ-TIM. Termasuk di sini adalah catatan atau notulensi rapat-rapat
yang berisi perdebatan atau pemikiran-pemikiran tentang pengelolaan tempat,


55
Louis Gotschalk, Mengerti Sejarah, Nugroho Notosusanto (ed.) (Jakarta: UI Press,
1986).
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


29

program, pendanaan, dan lain-lain. Di samping itu dokumentasi dari media cetak
tentang kegiatan para seniman tari maupun pementasan karya tari kontemporer
(prapertunjukan dan atau resensi) untuk mengetahui pandangan wartawan maupun
kritikus bahkan penonton yang diwawancarai. Dokumen lainnya berupa brosur,
surat selebaran (flyer) dan poster.

1.8.2. Pengumpulan Data dengan Teknik Wawancara


Penelusuran dan pengumpulan data berikutnya adalah melalui wawancara.
Pihak pertama yang dihubungi adalah para narasumber primer, antara lain para
koreografer, penari dan pemusik yang masih hidup dan masih mampu memberikan
informasi yang diperlukan dalam penelitian ini. Mereka adalah para seniman yang
karya tari barunya ditampilkan dalam program DKJ dan dipertunjukkan di PKJ-
TIM sejak tahun 1970-an–1987. Program tersebut adalah karya-karya koreografer
hasil lokakarya yang diprakarsai oleh Sardono W. Kusumo; Festival dan Pekan
Penata Tari Muda (1978, 1979, 1981, 1982,1984); Festival Karya Tari Baru (1986);
dan Pekan Koreografi Indonesia (1987). Selain itu juga para saksi lainnya, seperti:
pengamat atau pemerhati kesenian khususnya seni tari termasuk wartawan budaya,
kritikus seni tari, juga pengelola tempat kegiatan seni pertunjukan, maupun
penonton pertunjukan tari pada saat itu. Sumber-sumber primer ini memberikan
informasi menyangkut proses penciptaan hingga lahirnya karya-karya tari
kontemporer Indonesia pada tahun 1968–1987 baik dari aspek pemikiran tentang
kebaruan, gagasan kreatif, aplikasi dari gagasan kreatif yang meliputi tema, teknik
gerak, tata panggung, musik, properti, kostum.
Pengumpulan data melalui wawancara dari sumber primer yang dilakukan
dengan teknik wawancara yang didesain dalam format wawancara informal, tidak
terstruktur, semi terstruktur, dan wawancara terbuka merupakan metode sejarah
lisan (oral history). Obyek penelitian tari kontemporer Indonesia merupakan
aktivitas perorangan dan kelompok, yang dalam proses penciptaan dan
penggarapannya didominasi oleh aspek lisan daripada tertulis. Itu sebabnya materi
(dokumentasi) tertulis terkait tari kontemporer Indonesia tahun 1968–1987 masih
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


30

terbatas, sehingga pendekatan sejarah lisan sangat membantu proses penelitian ini.
Pendekatan macam ini mengandalkan pengumpulan ingatan, kenangan akan
sesuatu, terhadap suatu peristiwa penting sejarah yang merupakan bagian dari
sejarah lisan.56
Oleh karena tidak semua sumber primer berada di Jakarta, penulis menggali
informasi mereka melalui telepon dan email. Namun ternyata ini tidak bisa optimal
untuk mengarahkan daya ingat mereka sesuai dengan informasi di masa lalu yang
penulis perlukan. Untuk mengatasi hal tersebut penulis mendatangi mereka agar
bisa melakukan wawancara tatap muka langsung.

1.8.3. Pengumpulan Data Audio-Visual


Pengumpulan data audio-visual diperlukan untuk memperoleh gambaran
yang nyata karena seni tari adalah produk pandang-dengar. Melalui data audio-
visual, penulis melakukan penelitian karya-karya yang dipentaskan di PKJ-TIM
pada kurun waktu sesuai dengan batasan temporal penelitian ini. Sebagaimana
keterbatasan pada data tertulis, hal yang sama juga dijumpai pada pengumpulan
data audio-visual. Materi audio-visual yang penyimpanannya tidak memenuhi
syarat, sehingga gambar tidak jelas dan audio tidak terdengar, terpaksa dilakukan
reparasi yang memakan waktu dan biaya. Ini pun tidak membuat materi-materi
tersebut menjadi pulih seperti sediakala. Selain itu tidak semua karya tari
didokumentasikan secara audio-visual. Untuk mengatasi ketiadaan ini penulis
melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang mengalami atau mengetahui
peristiwa kesenian yang penulis inginkan serta melengkapinya dengan membaca
tulisan-tulisan tentang peristiwa tersebut.
Pada aspek rekaman audio, penulis sangat terbantu oleh kondisi kaset yang
masih bagus dan terkumpul dalam dokumentasi lengkap sehingga data-data yang
penulis inginkan bisa diperoleh dari rekaman tersebut. Ini yang membuat penulis
bisa memperoleh informasi memadai untuk menguraikan konsep dan proses


56
Donald A. Ritchie, Doing Oral History: A Practical Guide (Oxford University Press.
2003), hlm. 19.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


31

garapan para koreografer dan juga pandangan para pengamat tentang karya-karya
tersebut.

1.8.4. Teknik Analisis


Teknik analisis yang digunakan adalah melalui data tertulis dan data
pertunjukan. Data tertulis diperoleh dari media cetak hasil laporan yang diperoleh
dari pihak-pihak yang terlibat langsung (seniman pelaku) maupun tidak langsung
(pengamat dan penonton). Data pertunjukan diperoleh dari dokumentasi audio-
visual (lihat 1.8.3. tentang pengumpulan data audio-visual). Untuk kategorisasi
jenis-jenis tari berdasarkan koreografinya digunakan pengertian makna tentang
karya tari tradisional, karya tari baru pengembangan dari tradisi, modern, dan
kontemporer.

1.9. Sistematika Penulisan


Laporan penelitian ini dirangkai secara sistematis dalam lima bab. Bab I
adalah pendahuluan yang berisi latar belakang permasalahan yang di dalamnya
terkandung beberapa istilah batasannya untuk karya tari tradisional, karya tari baru
pengembangan dari tradisi, karya tari modern, dan karya tari kontemporer di
Indonesia. Selanjutnya adalah perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
batasan penelitian secara tematis, spasial, dan temporal. Setelah itu dilanjutkan
dengan paparan penelitian-penelitian sebelumnya, kemudian metodologi dan
landasan konseptual, metode penelitian, dan Bab I ini ditutup dengan sistematika
penulisan.
Bab II berisi runutan awal perkembangan seni tari di Indonesia dengan
mengambil titik tolak dari era pasca kemerdekaan 1950-an hingga berakhirnya
pemerintahan Soekarno 1966. Diuraikan tentang kebijakan kebudayaan di era
Soekarno, antara lain menyangkut kebijakan yang berkaitan dengan seni tari
merupakan upaya untuk merawat karya tradisional dan pengembangannya. Di era
ini misi kesenian Indonesia sering dikirim ke luar negeri sebagai bagian dari
diplomasi kebudayaan, termasuk pengiriman seniman muda berbakat untuk belajar.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


32

Demikian pula sebaliknya misi kesenian luar negeri bermuhibah ke Indonesia. Di


sinilah seniman-seniman tari Indonesia menyerap unsur-unsur kebaruan. Di era ini
pula seni tari Indonesia dijadikan sebagai alat propaganda partai-partai.
Bab III berisi perkembangan seni tari di Indonesia di era setelah Soekarno
yaitu di era Soeharto, 1966–1987. Gambaran kebijakan kebudayaan di era Soeharto
selama masa jabatan gubernur Ali Sadikin, Tjokropranolo dan R. Soeprapto adalah
kebebasan berekspresi dengan pembentukan lembaga. Keterbukaan ini disambut
kalangan seniman dengan meminta fasilitas kesenian yang memadai. Gubernur Ali
Sadikin pun menjawabnya dengan membangun Pusat Kesenian Jakarta-Taman
Ismail Marzuki sebagai wahana berproses, berlatih, berdiskusi dan menampilkan
berbagai jenis dan cabang kesenian, dalam maupun luar negeri. Di sinilah
berkembang karya-karya tari dari yang tradisional hingga kontemporer.
Bab IV. Di sini dilakukan deskripsi dan analisis karya-karya tari baru
pengembangan dari tradisi, dilihat berdasarkan perkembangan wawasan yang
kemudian menjadi ide dan konsep garapan, proses kreatif dan penataan koreografi.
Karya-karya tari baru di sini akan diurai lagi berdasarkan penggunaan tata
panggung sebagai ide garapan, maupun penggunaan perangkat bantu ketubuhan,
seperti properti. Berdasarkan analisis ini tampaklah perkembangan karya tari baru
pengembangan dari tradisi di Indonesia.
Bab V. Di sini dilakukan deskripsi dan analisis karya-karya tari
kontemporer tahun 1968–1987 yang diurai berdasarkan perkembangan wawasan
sehingga menjadi ide dan konsep garapan yang bertolak dari pemikiran kritis
terhadap teks dominan. Kemudian dilihat juga proses kreatif dengan eksplorasi dan
improvisasi dan penataan koreografi. Melalui analisis ini tampaklah perkembangan
karya tari kontemporer di Indonesia sebagaimana yang memang menjadi tujuan dari
penelitian ini.
Bab VI berisi penutup, kesimpulan dan rekomendasi kepada pihak-pihak
yang memerlukan hasil penelitian disertasi ini.

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.



BAB II
SENI TARI DI INDONESIA TAHUN 1950-an–1966:
BENIH-BENIH PEMBARUAN

Karya-karya tradisional yang digarap kembali untuk menjadi baru adalah


kerja kesenimanan yang sangat memerlukan kemahiran dan kreativitas. Pembaruan
tersebut selaras dengan konsep pengembangan kesenian Soekarno, yakni
pengembangan kesenian yang tetap berorientasi nasionalisme. Pancaran
nasionalisme menyemburat dari khasanah tradisi. Misi-misi kesenian Indonesia
yang dikirim ke luar negeri maupun yang dipertunjukkan pada acara-acara resmi di
dalam negeri adalah yang seperti itu. Beberapa sekolah seni didirikan untuk
mendukung pengembangan identitas nasional dalam kesenian. Untuk lebih
melengkapi kemampuan dan wawasan tari, sejumlah seniman menimba ilmu di luar
negeri.

2.1. Kongres Kebudayaan di Masa Awal Kemerdekaan (1945–1965)


Di era pascakemerdekaan, terutama pada periode 1950–1959, Presiden
Soekarno menetapkan kebijakan kebudayaan pada keindonesiaan sebagai
kepribadian bangsa dengan berpedoman falsafah Pancasila. Selanjutnya pada
periode Demokrasi Terpimpin (1959–1966), kebijakan kebudayaan tersebut tetap
pada keindonesiaan sebagai kepribadian bangsa tetapi secara lebih tegas berpijak
pula pada konsep politik Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme), dan
Manipol-Usdek (Manifesto Politik - Undang-undang Dasar 1945 - Sosialisme
Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian
Indonesia), yang kemudian juga berlaku terhadap kesenian.
Konsep resmi kebudayaan sesungguhnya telah digarap oleh Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam perumusan Undang-Undang
Dasar yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945, sehari sesudah proklamasi
kemerdekaan Indonesia. Dalam penjelasan pasal 32 diuraikan bahwa “Pemerintah
memajukan kebudayaan nasional Indonesia”. Dalam pandangan Ki Hadjar
Dewantara (1889–1959), salah satu anggota PPKI yang mempunyai pengalaman

33 Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


34

melaksanakan pendidikan formal Taman Siswa (1922),57 kebudayaan nasional


adalah puncak dari kebudayaan daerah.58 Di samping itu, pengertian kebudayaan
nasional Indonesia juga diserap dari hasil perbincangan tentang konsep
nasionalisme dan kesiapan menjadi bangsa multietnik dan multikultur yang dibahas
dalam kongres kebudayaan prakemerdekaan (1918).59
Menyadari sulitnya mempertahankan kesepakatan hidup dalam satu bangsa
yang multietnik dan multikultur, selain juga memahami bahwa isu kebudayaan
sangat penting dan mempunyai peran strategis dalam berbangsa, para budayawan,
seniman dan cendekiawan menyelenggarakan Kongres Kebudayaan I di Magelang
pada 20–24 Agustus 1948. Gagasan penyelenggaraan kongres awalnya dari Pusat
Kebudayaan Kedu dan penyelenggaraannya kemudian dilakukan oleh Kementrian
Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan, meski Kementerian tersebut hanya


57
Cita-cita utama perguruan tersebut adalah menyatukan bangsa dengan ikatan batin
warisan masa lalu (kebesaran kerajaan-kerajaan) untuk menentang kekuatan budaya penjajah
Belanda. Ki Hadjar Dewantara, Dari Kebangunan Nasional sampai Proklamasi Kemerdekaan
(Jakarta: N.V Pustaka & Penerbitan Endang, 1952), hlm. 11; lihat juga Julianti Parani, Seni
Pertunjukan Indonesia, Suatu Politik Budaya (Jakarta: Nalar, 2011), hlm. 27.
58
Diungkapkan oleh Ki Hadjar Dewantara: “puncak-puncak dan sari-sari kebudayaan,
yang terdapat di seluruh kepulauan kita itu, adalah merupakan modal kita pertama, yang nantinya
harus dan akan disusul dengan ciptaan-ciptaan baru, yang timbul karena ada hasrat untuk
membangun kebudayaan sendiri dan karenanya pasti akan berjiwa nasional”. “Modal pertama” tadi
sebenarnya hanya berarti pengakuan, bahwa apa segala yang luhur dan indah di seluruh Indonesia
itu adalah kekayaan rakyat kita se-Indonesia. Lihat Ki Hadjar Dewantara, “Tentang Puncak-puncak
dan Sari-sari Kebudayaan di Indonesia” dalam Soedarsono, Djoko Soekiman, Retna Astuti (eds.),
Peranan Kebudayaan Daerah Dalam Proses Pembentukan Kebudayaan Nasional (Jakarta: Proyek
Penelitian Kebudayaan Nusantara (Javanologi) Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1985), hlm. 85–6.
59
Kongres Kebudayaan yang dihelat di Surakarta pada 5–7 Juli 1918 atas prakarsa
Pangeran Prangwedono (Mangkunegara VII, 1885–1944) bersama para tokoh Boedi Oetomo antara
lain Wahidin Sudirohusodo (1852–1917), dr. Soetomo (1888–1938), dan Goenawan
Mangoenkoesoemo (1889–1929), dianggap sebagai kongres kebudayaan I. Kongres ini
sesungguhnya berupa Kongres Kebudayaan Jawa (Congres voor Javansche Cultuur Ontwikkeling)
dengan membahas topik-topik dalam lingkup kebudayaan di pulau Jawa. Kendati masih bersifat
kedaerahan dan pesertanya di antaranya adalah orang Belanda, namun pembicaraan dalam kongres
tersebut ternyata telah menyentuh kesadaran nasionalisme dan kesadaran kebudayaan bangsanya di
masa depan. Kongres ini dihadiri oleh sejumlah tokoh antara lain Radjiman Wediodiningrat (1879–
1952), dr. Tjipto Mangunkusumo (1886–1943), RM Soewardi Surjaningrat atau Ki Hadjar
Dewantara (1889–1959). Kongres kebudayaan berikutnya pada tahun 1919, 1921, 1924, 1926, 1929,
1937. Lihat Nunus Supardi, Bianglala Budaya, Rekam Jejak 95 Tahun Kongres Kebudayaan 1918–
2013. (Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013),
hlm. 15–62.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


35

berperan secara pasif.60 Kongres ini diselenggarakan atas dasar rekomendasi


Musyawarah Kebudayaan pada 31 Desember 1945 di Sukabumi. Dalam
rekomendasi itu disebutkan antara lain agar pemerintah menyelenggarakan
pertemuan besar antara wakil-wakil pemerintah dan wakil-wakil perkumpulan
budaya serta ahli-ahli dan peminat dalam bidang budaya untuk meletakkan dasar-
dasar yang kukuh dalam upaya pemeliharaan pembangunan kebudayaan nasional.61
Rekomendasi ini muncul karena para peserta Musyawarah Kebudayaan
menganggap bahwa kebudayaan kurang mendapat perhatian di dalam UUD ’45.
Adapun isu yang dinilai penting untuk dibahas dalam kongres tersebut adalah peran
kebudayaan dalam pembangunan bangsa, dan tema yang disodorkan yaitu
kebudayaan dan pembangunan masyarakat. Selanjutnya, dua hal utama yang
diperhatikan dalam pembahasan: (1) cara mendorong kebudayaan agar tidak
stagnan; dan (2) cara agar kebudayaan jangan bersifat kebudayaan jajahan,
melainkan menjadi kebudayaan yang menentang anasir-anasir kebudayaan jajahan
tersebut. Di samping itu, para peserta kongres meminta dibentuknya sebuah badan
penasehat pemerintah yang terdiri dari tokoh-tokoh di pemerintahan maupun di luar
pemerintahan dalam dunia seni Indonesia.
Kemudian pada tahun itu juga (1948) dibentuklah Lembaga Kebudayaan
Indonesia (LKI) dengan Wongsonegoro (1897–2013) sebagai ketua, dan Abu
Hanifah (1906–1979) sebagai wakil ketua. Pembentukan LKI tersebut atas prakarsa
Armijn Pane (1908–1970), Sunarjo Kolopaking (1906–1972), dan Wongsonegoro
(1907–1978).62


60
Kebudayaan dianggap sangat penting untuk memahami Indonesia pada zaman itu.
Pentingnya Indonesia menempatkan kebudayaan di dalam membangun bangsa tampak melalui
penyelenggaraan Kongres Kebudayaan I tersebut, saat keadaan Indonesia belum stabil, penuh
ketegangan hingga tak lama kemudian meletus pemberontakan komunis pada bulan September di
Madiun. Kongres Kebudayaan I itu saat acara pembukaan dan penutupan dihadiri Presiden Soekarno
(1901–1970), Wakil Presiden Hatta (1902–1980), dan Jenderal Sudirman (1916–1960), sedangkan
Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan, Ali Sastroamidjojo (1903–1976), terlibat dalam
keseluruhan acara. Lihat Majalah Indonesia No I–II, 1950, hlm 3; Jennifer Lindsay, “Ahli Waris
Budaya Dunia”, hlm. 7–8; Nunus Supardi, “Bianglala Budaya”, hlm. 75.
61
Pax Benedanto (ed.), Kronik Revolusi I Indonesia (Jakarta: KPG bekerjasama dengan
Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation, 1999), hlm. 283.
62
LKI pada tahun 1951, setelah Kongres Kebudayaan II di Bandung, dilebur ke dalam
sebuah badan penasehat pemerintah yang lebih besar yaitu Badan Musyawarah Kebudayaan
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


36

Untuk mewujudkan cita-cita LKI, diterbitkan majalah kebudayaan


Indonesia pada tahun 1950 yang menghimpun pemikiran para seniman kreatif dan
pemikir kebudayaan dari berbagai aliran politik dan ideologi. LKI juga berperan
menyelenggarakan kongres kebudayaan berikutnya. Di luar berbagai saluran resmi
guna mempromosikan kebudayaan nasional baru, para intelektual dan seniman
mempunyai wadah berupa sanggar untuk berkumpul dan bertukar gagasan. Di
sanggar-sanggar tersebut mereka mempunyai kesempatan dan wadah untuk
membahas kebudayaan dan seni, juga tentang peranan seni dalam penciptaan
identitas Indonesia baru. Pada masa itu media massa pun berperan penting sebagai
ajang untuk menampung perdebatan mereka.63
Kongres Kebudayaan II diselenggarakan di Bandung pada 6–11 Oktober
1951 oleh LKI dan topik pembahasan diarahkan pada masalah kebijakan tentang
perlindungan hak cipta, pengembangan seni sastra, kritik seni, dan sensor film.
Setelah kongres kebudayaan ini, LKI berubah menjadi Badan Musyawarah
Kebudayaan Nasional (BMKN). Badan ini selanjutnya melaksanakan Kongres
Kebudayaan III di Surakarta pada 18–23 September 1954 yang merumuskan
kebijakan tentang pendidikan kebudayaan untuk masyarakat sekolah, pendidikan
kebudayaan untuk masyarakat kota, dan pendidikan kebudayaan untuk masyarakat
buruh serta petani. Berikutnya, Kongres Kebudayaan IV di Bali pada 20–24 Juli
1957 bertema masalah hubungan antara arsitektur dan seni rupa, seni dan
masyarakat, dan kebudayaan dalam konstitusi. Kongres ini merekomendasikan agar
dibuat peraturan perundang-undangan yang menegaskan bahwa kebudayaan
menjadi milik seluruh rakyat dan bisa dijadikan landasan dalam memajukan
kebudayaan bangsa.64


Nasional (BMKN), yang aktif hingga akhir masa Soekarno. Lihat Nunus Supardi, “Kebudayaan
Pada Masa Orde Baru” dalam Starlita dkk. (eds.) Indonesia dalam Arus Sejarah, Vol 8 Bab 22 Orde
Baru dan Reformasi (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve atas kerjasama dengan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2012), hlm. 592–93; Nunus Supardi, “Bianglala
Budaya”, hlm. 84–86: Lihat juga Els Bogaerts, “Ke mana Arah Kebijakan Kita? Menggagas
Kembali Kebudayaan di Indonesia pada Masa Dekolonisasi” dalam Jennifer Lindsay dan Maya H.T.
Liem (eds.), “Ahli Waris Budaya Dunia”, hlm. 256–57.
63
Els Bogaerts, “Ke mana Arah”, hlm. 256–57.
64
Nunus Supardi, Bianglala Budaya, hlm. 89–118.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


37

Kongres selanjutnya, Kongres Kebudayaan V diadakan di Bandung pada


16–20 Juli 1960 dan membahas fungsi kebudayaan dalam pembangunan ekonomi
yang meliputi peranan ilmu dan sarjana, peranan seni dan seniman, dan peranan
pendidikan dan pendidik. Namun kongres ini gagal mencapai sasaran karena
pembahasannya bergeser ke arah politik. Sebelum kongres dimulai, Manifesto
Politik (Manipol) diperdebatkan, dan para utusan Lembaga Kebudayaan Rakyat
(Lekra) dari Partai Komunis Indonesia (PKI) yang didukung Lembaga Kebudayaan
Nasional (LKN) dari Partai Nasional Indonesia (PNI) mengajukan sebuah resolusi
agar melalui kongres itu BMKN menerima Manipol-Usdek sebagai landasan
kegiatan kerja di masa depan. Situasi saat itu oleh D.S. Moeljanto dan Taufiq Ismail
disebut sebagai “prahara budaya 1960-an”, yakni “kepentingan politik mulai gencar
merembesi sektor kebudayaan yang taktik dan strategi ofensifnya dilancarkan di
tengah-tengah berlangsungnya Kongres BMKN”.65 Setelah berlangsungnya
kongres kebudayaan 1960 ini, perseteruan antara kelompok sosialisme-komunis
dan kelompok humanisme universal dan juga kelompok netral terus menajam.66
Situasi ini memunculkan reaksi dari para seniman dan budayawan non-PKI
(kelompok humanis) yang menentang Lekra dengan membuat pernyataan sikap


65
D.S. Moeljanto dan Taufiq Ismail, Prahara Budaya, Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI DKK
(Bandung: Penerbit Mizan dan HU Republika, 1995), hlm. 34–6, Nunus Supardi, “Bianglala
Budaya”, hlm.119–121.
66
Keadaan ini mengakibatkan kehidupan kesenian yang amat terpengaruh oleh suasana
politik menjadi tidak kondusif dan terkotak-kotak. Kelompok-kelompok kesenian dan para seniman
berafiliasi dengan organisasi-organisasi politik, dan atau organisasi-organisasi politik tertentu
mempunyai kelompok pendukungnya sendiri di bidang kesenian. Misalnya, golongan Islam:
Nahdlatul Ulama (NU) mempunya Lembaga Seniman Budayawan Muslim Indonesia (LESBUMI);
golongan nasionalis: Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan Lembaga Kebudayaan Nasional
(LKN); Partai Komunis Indonesia (PKI) mempunyai Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra); dan
lain-lain. Lekra, yang secara tegas menyatakan mendukung PKI, menampilkan dan mempromosikan
kesenian dengan tema-tema kerakyatan karena PKI gencar melakukan pendekatan pada rakyat untuk
menggalang massa (pengikut). Agresivitas PKI dalam mendekati rakyat mengakibatkan organisasi-
organisasi kesenian lainnya yang nonkomunis (non-PKI), termasuk Badan Musyawarah
Kebudayaan Nasional (BMKN), menjadi miskin kegiatan dan debat-debat antara pemuda-pemuda
tidak lagi berupa penangkisan gagasan dan konsep melainkan cenderung menjadi serangan sengit
yang bersifat pribadi. Lihat Sri Warso Wahono “Dewan Kesenian Jakarta” dalam Alisjahbana dkk.
(eds.), 25 Tahun Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (Jakarta: Yayasan Kesenian Jakarta
dan PT. Dian Rakyat, 1994) hlm. 50; Isaac T. Sinjal, Muhammad Kennedy dkk., Who bukan Wah
Catatan Perjalanan Hidup Aktor Kusno Soedjawardi (Jakarta: Perhimpunan Gerak Indonesia
Mandiri, 2005), hlm. 94; Jennifer Lindsay, “Ahli Waris Budaya Dunia”, hlm. 1; Nunus Supardi,
“Kebudayaan pada Masa Orde Baru”, hlm. 94.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


38

yang mereka namakan Manifesto Kebudayaan (Manikebu) pada 17 Agustus 1963.


Manifesto Kebudayaan pada intinya menegaskan bahwa sektor kebudayaan harus
hidup berdampingan dan tak ada perbedaan tinggi rendah masing-masing sektor.
Konsepsi “humanisme universal” menekankan kebebasan individu untuk berkarya
secara kreatif. Di samping itu juga tak ada deklarasi penolakan atau pengagungan
terhadap kecenderungan seni tertentu.67 Sementara itu serangan kelompok sosialis-
komunis semakin keras terhadap kelompok seniman dan budayawan dengan
Manikebu-nya karena Manikebu dengan tegas menentang hadirnya kebudayaan
nasional yang didominasi oleh ideologi partai tertentu dan pembatasan kebebasan
berkreasi. Lekra dan LKN pun menuduh Manikebu sebagai bernuansa borjuis dan
nonrevolusioner. Dalam suasana perdebatan ideologi yang semakin panas, akhirnya
pada 8 Mei 1964, Manikebu dilarang oleh Soekarno dan di Indonesia hanya boleh
ada satu manifesto saja yaitu Manifesto Politik yang lekat dengan komunis.68
Perkembangan politik di Indonesia mempunyai dampak yang besar
terhadap perkembangan seni tari. Pada tahun 1950-an sampai tahun 1960-an, Partai
Komunis Indonesia (PKI) melalui Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)
mempunyai pengaruh terhadap perkembangan seni tari Indonesia. Berbagai seni
tari tradisional yang disukai masyarakat dan mampu meraih penonton, yang
sebagian besar adalah tarian rakyat, kemudian digunakan oleh PKI untuk media
propaganda. Oleh seniman Lekra, tari-tarian tradisional rakyat tersebut digarap
kembali dan selalu diarahkan pada tema kerakyatan dan antifeodalisme sesuai
pesan yang hendak disampaikan. Dengan begitu, tari-tarian yang berasal dari
keraton, yang dianggap feodal dan nonrevolusioner, dibatasi. Kalaupun tari-tarian
itu tetap dipertahankan, hanya diajarkan di akademi-akademi untuk pelestarian dan


67
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, “Demokrasi Terpimpin”
dalam Sejarah Nasional Indonesia I (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hlm. 382: Goenawan Mohamad,
Kesusastraan dan Kekuasaan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), hlm. 12–5; D.S. Moeljanto dan
Taufiq Ismail, Prahara Budaya Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI Dkk (Kumpulan Dokumen
Pergolakan Sejarah) (Bandung: Penerbit Mizan dan HU Republika, 1995).
68
Goenawan Mohamad, Kesusatraan, hlm. 53; Nunus Supardi, “Bianglala Budaya”, hlm.
593.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


39

dibawa dalam misi-misi kesenian ke luar negeri untuk menunjukkan keindahan dan
kemegahan seni tari yang berasal dari keraton.69

2.2. Karya Tari Baru sebagai Wahana Propaganda Politik


Perkembangan politik di Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin
(1959–1965)70 membawa pengaruh dalam perkembangan tari di Indonesia. Pada
masa itu dicetuskan bahwa “politik adalah panglima” di seluruh bidang kehidupan
bangsa, termasuk di dalamnya kegiatan-kegiatan kebudayaan. Kebudayaan,
termasuk kesenian, diarahkan dengan tegas untuk mencapai tujuan revolusi yang
belum selesai, progresif, dan keberpihakan pada kaum yang tertindas. Kaum
tertindas adalah rakyat, dan rakyat merupakan satu-satunya pencipta kebudayaan.
Melalui Kongres I Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)71 pada 27 Januari 1959,
semangat perubahan dan sikap kebudayaan tersebut disahkan. Oleh sebab itu, cita-
cita nasional di bidang kesenian juga dikonsepsikan sebagai “seni untuk rakyat”,
yaitu seni yang berpihak kepada kepentingan rakyat yang kemudian
dipertentangkan dengan “seni untuk seni”.72 Lebih detail, dalam kongres tersebut
juga dibahas ikhwal penciptaan karya tari baru, membangun dan mengembangkan


69
Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi (Yogyakarta: Gadjah Mada
Press, 2002), hlm. 93.
70
Di era Demokrasi Terpimpin ini (1959–1965), sebulan setelah Manifesto Politik
diumumkan (17 Agustus 1959), haluan politik Soekarno mulai membelok ke kiri. Lihat Rhoma Dwi
Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan, Lekra tak Membakar Buku, Suara Senyap Lembar
Kebudayaan Harian Rakyat 1950–1965 (Yogyakarta: Merakesumba, 2008), hlm. 16.
71
Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yaitu organisasi seniman-seniman yang dibentuk
pada 17 Agustus 1950 dan bergerak untuk menghimpun kekuatan yang taat dan teguh dalam
mendukung revolusi dan kebudayaan nasional. Lekra dibentuk atas anjuran Presiden Soekarno yang
mendorong agar semua partai memiliki lembaga kebudayaan. Setelah terbentuk, Lekra menjelma
menjadi alat propaganda politik para seniman. Lihat Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M
Dahlan, “Lekra Tak Membakar Buku”, hlm. 22; dan Arif Zulkifli dkk (eds.), Lekra dan Geger 1965
(Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia bekerjasama dengan Tempo, 2014), hlm. 16.
72
Dalam pandangan Lekra, kebebasan mencipta selalu harus diikuti dengan tanggung
jawab dan kesadaran politik dan Soekarno mencanangkan kesenian yang bertanggung jawab adalah
kesenian yang mendukung revolusi. Dalam buku Lekra dan Geger, Arif Zulkifli dkk (eds.), hlm.xi,
diuraikan bahwa para seniman yang sibuk memikirkan imajinasi personal dan tidak peduli pada
politik dianggap oleh Lekra sebagai musuh revolusi. Menurut Lekra, abai pada politik adalah sikap
yang dekaden. Lebih tajam lagi Lekra berpandangan bahwa seorang seniman yang menciptakan
karya-karyanya dengan bebas, suka pada eksperimen pribadi, tidak bergabung dalam organisasi, dan
hanya bertumpu pada humanisme merupakan gelandangan tanpa arah.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


40

tari nasional sebagai senjata untuk memenangkan revolusi. Tarian-tarian daerah


terutama tarian tradisional rakyat digarap kembali untuk membangkitkan solidaritas
suku bangsa dari berbagai golongan masyarakat. Tari Lenso dari Maluku adalah
contoh tarian rakyat yang digarap, kemudian diangkat ke tingkat nasional sebagai
tari pergaulan73 dan tari persahabatan, yang ditarikan bersama-sama, laki-laki dan
perempuan, di berbagai pertemuan nasional bahkan internasional. Pemilihan tari
Lenso dari Maluku ini karena garapan tarinya berupa gerak-gerak tari rakyat yang
mudah, meriah, indah dan massal, dan diramu dengan gerak-gerak kerja kaum tani
yang ceria penuh semangat. Bagi Lekra, tari bukanlah sekadar hiburan tetapi harus
bersifat revolusioner, memberikan amunisi dan optimisme kepada massa-rakyat
tentang diri, tanah selingkungan, maupun bangsanya.74
Upaya Lekra mengibarkan bendera seni untuk rakyat semakin terorganisasi
pada pasca Kongres Nasional Lekra tersebut. Dengan pendekatan turun ke bawah,
para seniman Lekra didorong untuk lebih aktif dan kreatif menggarap karya-karya
tari baru dengan tema kerakyatan dan kesenian rakyat sebagai sumber.75
“Kehidupan dan perjuangan rakyat pekerja atau kepahlawanan” adalah tema
utamanya. Adapun media massa organ PKI, seperti Harian Rakyat dan Bintang
Timur, diharuskan turut berperan menyebarluaskan karya dan pemikiran para
seniman.76
Karya-karya tari baru yang digarap oleh seniman Lekra sebagian berbentuk
drama tari dan atau sendratari karena gerakan-gerakan tari memungkinkan

73
Sebelumnya tari Melayu Serampang Dua Belas telah ditetapkan sebagai “Tari Nasional”
pada tahun 1959, lihat uraian di Bab II, hlm. 47.
74
Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan, “Lekra tak Membakar Buku”, hlm.
38. Lebih lanjut disebutkan dalam buku Lekra tersebut, hlm 393, bahwa Lekra memilih menggarap
tari rakyat karena di balik kesederhanaannya terdapat keakraban, dan tersimpan kekuatan estetis
yang bisa didayakan kreasinya sebagai wahana ideologi.
75
Dalam membuat karya-karya tari baru yang mengandung kepribadian nasional dan
bertemakan kerakyatan, seniman tidak boleh meninggalkan karya tari tradisional daerah karena
Lekra sangat menghormati peninggalan-peninggalan nenek moyang. Caranya antara lain dengan
melakukan penggalian, pemilahan dan kemudian penggarapan. Meski sangat menekankan pada
kepribadian nasional namun menurut Ketua Lestari-Lekra, Sunardi, dalam Harian Rakyat, 29 Maret
1964, tidak semua unsur yang berasal dari luar ditolak, yang bernilai positif diambil untuk
menambah kekayaan kultural bangsa Indonesia. Lihat, Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M
Dahlan, Lekra tak Membakar Buku, hlm. 404.
76
Lihat Arif Zulkifli dkk (eds.), Lekra dan Geger, hlm. 24.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


41

ungkapan laku dan tema secara visual dari sebuah teks yang tidak terlalu rumit, lalu
dipadu dengan musik dan lagu, juga media yang mampu meningkatkan muatan
emosional sebuah karya sehingga menumbuhkan rasa dan efek yang kuat tentang
kehidupan dan perjuangan rakyat serta kepahlawanan. Drama tari dan sendratari
dianggap sesuai dengan tujuan Lekra sebab bisa menyampaikan pesan-pesan
tersebut, di samping pesan sosialis dan pandangan kiri lainnya, antara lain, (1)
Saijah dan Adinda adalah sendratari berdasarkan fragmen Max Havelaar karya
Multatuli yang diadaptasi oleh Bakri Siregar (1922–1994) pada tahun 1954.
Sendratari ini dibuka dengan menampilkan penari-penari yang melakukan gerakan-
gerakan karya tari Jawa klasik, dipadu gerakan-gerakan tari dari daerah lainnya
yang lebih dinamis, di antaranya tari Melayu. Koreografi sendratari ini digarap oleh
Bambang Sukowati (1930–1994) dan diiringi musik yang dibuat oleh Djoni Trisno,
anggota Lekra dari Yogyakarta; (2) Blonjo Wurung karya Sujud, penata tari dari
Jawa Tengah, yang digarap pada tahun 1955–1956. Drama tari ini bertema harga
barang-barang yang membubung sebagai akibat dari inkompetensi dan kejahatan
pejabat pemerintah yang bersekutu dengan para kapitalis asing. Drama tari ini
diilhami lagu ciptaan Sujud yang berjudul Blonjo Wurung juga, dan menggunakan
dialog berbahasa Jawa dan diringi gamelan;77 (3) Aksi Enampat adalah karya Drs.
Sunardi, drama tari tanpa lagu yang digarap tahun 1957 sesudah Blonjo Wurung
bertema aksi kelompok petani yang menuntut diterapkannya undang-undang
pembaruan agraria. Karya ini sempat dibawa tur ke Vietnam, Tiongkok, dan Korea
Utara;78 (4) Mekarlah Partai di Mana-mana, merupakan karya bersama Sj.
Andjasmara dan Asmaralda yang digarap pada tahun 1965 dan dipentaskan di


77
Karya ini dianggap cocok untuk kepentingan Lekra dan PKI dalam membangun
“kebudayaan nasional”, karena berangkat dari tradisi daerah namun digarap dalam bentuk modern
dengan tema kekinian yang dinamis dan bersifat revolusioner. Penggunaan bahasa daerah setempat
juga dianggap baik agar mudah terhubung dengan penonton setempat secara meluas. Lihat Michael
Bodden, “Teater Nasional Modern Lekra 1959–1965; Dinamika dan Ketegangan”, dalam Jennifer
Lindsay dan Maya H.T Liem (eds.), Ahli Waris Budaya Dunia Menjadi Indonesia 1950–1965
(Denpasar: Pustaka Lasaran, 2011), hlm. 518.
78
Dalam tulisan Michael Bodden “Teater Nasional Modern”, hlm. 518, disebutkan bahwa
Sunardi sebagai penggarap karya tari bermain sebagai tokoh jahat, Rahwana, yang
mempersonifikasikan seorang tuan tanah, dan Bambang Sukowati (penata tari Lekra) memerankan
petani yang sadar politik.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


42

Gedung Olahraga Medan. Karya ini didukung sekitar 400 seniman rakyat dan
melukiskan sejarah perjuangan PKI sejak lahirnya 23 Mei 1920 hingga 1965; (5)
Membangun Dunia Baru, karya Masupik yang digarap juga pada tahun 1965 dan
ditampilkan di Gedung Olahraga Medan, bersama-sama dengan sendratari
Mekarlah Partai di Mana-mana;79 selanjutnya adalah (6) Djajalah Partai dan
Negeri, sendratari yang digarap oleh tim penata tari terdiri dari Sujud, Basuki
Resobowo (1916–1999), dan Atjoen, merepresentasikan sejarah PKI sejak lahir 23
Mei 1920 hingga Mei 1965. Produksi ini melibatkan 150 penari dan atau aktor, 400
penyanyi, 30 musisi dan sekitar 50 kru panggung, dipentaskan di Stadion Istora
Senayan selama tiga hari berturut-turut, 26–28 Mei 1965, sebagai bagian dari ulang
tahun ke-45 PKI, serta dihadiri ribuan penonton setiap malam. Slide proyektor
digunakan untuk memproyeksikan citra PKI yang ditampilkan di latar belakang
panggung yang besar, dan musiknya didasarkan pada sejumlah lagu patriotik seperti
lagu kebangsaan Indonesia Raya, Fajar Menyingsing, Internationale, Nasakom
Bersatu, serta digabung dengan lagu-lagu rakyat Sunda. Adapun garapan tarinya
mencakup karya-karya tari rakyat seperti tari Nelayan dari Madura dan beberapa
garapan baru seperti tari Buruh, tari Tani, tari Bambu Runcing, dan tari Bendera.
Setiap empat babak pertunjukan terdiri dari tiga adegan dengan masing-masing
adegan berakhir dengan sebuah tablo.80
Mengenai drama tari dan atau sendratari sebagai karya baru yang digarap
Lekra dengan menggali tradisi-tradisi daerah yang cocok untuk membangun drama
tari baru yang dinamis, oleh Michael Bodden dikatakan sebagai “nativisme kritis”,
atau pencarian selektif terhadap dasar kebudayaan pribumi untuk kebudayaan
Indonesia modern yang dikerjakan di dalam Lekra, dan juga oleh kelompok-
kelompok lain di zaman itu.81 Komentar-komentar Banda Harahap mengenai

79
Sendratari berjudul Mekarlah Partai di Mana-mana mendapat sambutan yang meriah
karena dianggap berhasil baik dari segi kandungan ideologi maupun dari segi artistik. Dari segi
ideologi sendratari ini memihak rakyat dan dari segi artistik didukung pekerja dan pemain yang
terlatih baik, dengan tata cahaya, dekorasi, dan pengadeganan yang cukup baik. Lihat Rhoma Dwi
Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan, Lekra tak Membakar Buku, hlm. 406.
80
Banda Harahap, “Tingkatkan dan Kembangkan ‘Djaja Partai Negeri”’, Harian Rakyat,
6 Juni 1965, hlm. 4; lihat juga Michael Bodden, “Teater Nasional Modern” hlm. 520.
81
Michael Bodden, “Teater Nasional Modern”, hlm. 519.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


43

sendratari Djajalah Partai dan Negeri meneguhkan kesan tersebut, bahwa kerja
sendratari baru dengan tema kekinian yang revolusioner adalah kerja Partai yang
serius dan bukan sekadar untuk hiburan.82
Selain menggarap drama tari dan atau sendratari, Lekra juga mengapresiasi
dan mendorong terciptanya karya-karya tari baru nondrama yang diyakini sebagai
jalan terang menuju revolusi melalui tema-tema kepahlawanan dan bertema kerja.
Garapan tari yang bertema kerakyatan dan kepahlawanan antara lain tari Sokoguru
Revolusi, tari Perang, tari Ketahanan Revolusi, tari Olahraga, tari Bambu Runcing,
tari Bendera. Karya tari yang bertema kerja seperti tari Batik, tari Tenun, tari
Nelayan, tari Potong Padi, tari Pemetik Teh, tari Buruh, tari Gotong Royong, dan
sebagainya digarap pada tahun 1959–1965.83 Adapun tari Ganyang Nekolim yang
dipertunjukkan pertama kali pada malam peringatan ulang tahun Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI) ke-19 tahun 1964 di Yogyakarta, adalah garapan
Bagong Kussudiardja (1928–2004) yang ditarikan oleh Kussudiardja sendiri. Karya
ini melukiskan seorang yang terbelenggu kedua tangannya, kemudian berupaya
dengan gigih melepaskannya dan berhasil mematahkan belenggu tersebut. Ketika
belenggu itu telah patah, ternyata ia masih harus menghadapai Nekolim. Melalui
pergulatan yang ulet dilawannya Nekolim hingga hancur. Karya tari ini diapresiasi
oleh Lekra sebagai kreasi yang dengan baik menafsirkan konteks sosial masyarakat,
sarat makna, bebas, dan sarat aspirasi nasional. Lekra juga sangat senang dengan
karya tari ini karena dianggap mampu melukiskan tema dan peristiwa yang tepat,
sesuai dengan garis-garis yang ditetapkan dalam Konferensi Nasional Lembaga
Tari Indonesia (Lestari-Lekra) pada 1964: bahwa tari bukanlah sekadar “tari untuk
tari”. Selain itu, tari garapan Kussudiardja ini disebut-sebut sebagai kreasi yang
mampu mengejawantahkan keinginan D.N. Aidit dalam Konferensi Nasional Sastra
dan Seni Revolusioner (KSSR) yang diselenggarakan oleh PKI, 27 Agustus–2
September 1964, sebagai karya seni yang berkepribadian baik karena


82
Banda Harahap, “Tingkatkan dan Kembangkan”, hlm. 4
83
Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan, Lekra tak Membakar Buku, hlm.
397; Michael Bodden, “Teater Nasional Modern”, hlm. 519; dan Soedarsono, Seni Pertunjukan
Indonesia, hlm. 93.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


44

mencerminkan tradisi rakyat, bertema nasional, dan melukiskan aspirasi nasional


rakyat.84

2.3. Identitas Nasional dalam Kesenian


Di era pasca kemerdekaan seperti telah diuraikan terdahulu, pada tahun
1950–1966 Soekarno melaksanakan berbagai kegiatan kebudayaan dengan
semangat nasionalisme yang menggebu dalam memimpin Indonesia untuk
melepaskan diri dari citra penjajahan. Adanya konsep Nasakom (Nasionalisme,
Agama dan Komunisme) berawal dari konsep politik Soekarno prakemerdekaan
yang gigih mendesak bersatunya Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme untuk
perjuangan melawan penjajah dan mencapai kemerdekaan. Kemudian pada era
Demokrasi Terpimpin, Soekarno kembali menyerukan persatuan tiga kekuatan
tersebut dalam konteks politik baru yaitu untuk menjalankan revolusi yang belum
selesai. Bagi Soekarno, musuh perjuangan yang baru dalam mengisi kemerdekaan
adalah neokolonialisme-imperialisme di segala bentuk, baik di dalam dan luar
negeri, termasuk dalam bidang kesenian.85
Selain itu Soekarno mengumandangkan Manipol (Manifesto Politik), pada
pidato kenegaraan 17 Agustus 1959, berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”,
yang merupakan penjelasan dan penegasan mengenai sistem Demokrasi Terpimpin
dan Dekrit 5 Juli 1959. Manipol-Usdek disahkan sebagai Garis Besar Haluan
Negara oleh MPRS melalui Ketetapan MPRS no.1/MPRS/1960, disosialisasikan
dan dijadikan slogan oleh masyarakat melalui berbagai cara dan upacara. Slogan


84
Lihat Rhoma Dwi Aria Yulianti dan Muhidin M Dahlan, Lekra tak Membakar Buku,
hlm. 391–2; dan Seno Joko Suyono dalam Arif Zulkifli dkk (eds.), “Pengantar: Lekra Anatomi
Sebuah Gagasan” dalam Lekra dan Geger 1965 (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
bekerjasama dengan Tempo, 2014), hlm. xiii.
85
Lihat Wagiono Sunarto, “Pemitosan dan Perombakan Mitos Soekarno dan Ideologinya
dalam Karikatur Politik di Surat Kabar Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin Sampai Akhir
Kekuasaan Presiden Soekarno (1959–1967)”, Disertasi untuk memperoleh gelar Doktor dalam
Bidang Ilmu Pengetahuan Budaya Program Studi Ilmu Sejarah Program Pascasarjana Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2007 (belum diterbitkan), hlm. 135–7; dan Els
Bogaerts, “Kemana Arah Kebijakan”, hlm. 255–8.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


45

tersebut didengungkan di mana-mana dan dituliskan pada dinding rumah dan


bangunan di seluruh Indonesia.86
“Indentitas Nasional” menjadi konsep pengembangan kesenian yang
diketokkan pada tahun 1959. Dalam hal ini kesenian berorientasi nasionalisme.87
Oleh Soekarno, kesenian populer dari Barat seperti musik pop dibatasi, ekspresi
hiburan musik dan tari Rock and Roll dari film Bill Haley yang dianggap musik
“ngak-ngik-ngok” (tidak bermutu) dilarang.88 Upaya mengimbangi merebaknya
tari pergaulan Barat, dansa-dansi (Twist), pada sekitar tahun 1954, itu diwujudkan
dengan tarian pergaulan bercorak Indonesia, Serampang Dua Belas. Tarian ini pada
awalnya dikenal dengan nama Pulau Sari dan merupakan seni tari tradisional
Melayu yang berkembang pada masa Kesultanan Serdang di Sumatera Utara
(1723–1946). Pada sekitar tahun 1957–1958 tari Pulau Sari digarap kembali oleh
Sauti Daulay (1903– 1963) bersama rekannya Oka Odram (1903–1961) menjadi
Serampang Dua Belas untuk sarana pendidikan, dan Tengku Rajih Anwar (1900–
1960) juga menggarap tarian tersebut untuk mengisi kehidupan kesenian di


86
Lihat Wagiono Sunarto, “Pemitosan dan Perombakan”, hlm. 136–7; dan Els Bogaerts,
“Kemana Arah Kebijakan”, hlm. 255–9.
87
Pemikiran tentang perlunya menggalang persatuan nasional Indonesia telah diikrarkan
sejak 28 Oktober 1928 dan mampu meresapi masyarakat Indonesia dari waktu ke waktu. Bukan
hanya bagi para pelaku politik, melainkan mereka yang tidak berpolitik juga merasakan kebutuhan
itu, termasuk para seniman tari. Lihat Edi Sedyawati, “Tari: Bidang Seni yang Paling Maju dalam
Proses Pembentukan Kesatuan Nasional” dalam Muhadjir dkk. (eds.), Evaluasi Dan Strategi
Kebudayaan (Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia Kampus Universitas Indonesia, 1987),
hlm. 236–51.
88
Larangan tersebut dilakukan antara lain dengan cara razia dan penyitaan alat perekam
dan kaset grup musik The Beatles, The Rolling Stones; razia rambut gondrong dan celana jeans
jengki; para artis yang menyanyi dan bergaya ala Barat ditegur. Bahkan dalam pidatonya saat
peringatan 17 Agustus 1965, Soekarno menyindir Koes Bersaudara yang dinilai kebarat-baratan
dengan mengatakan, “Jangan seperti kawan-kawanmu Koes Bersaudara. Masih banyak lagu-lagu
Indonesia, kenapa mesti Elvis-elvisan.” Sebelumnya, pada tanggal 1 Juli 1965 kakak beradik Tony,
Nomo, Yon dan Yok (Koes Bersaudara) ditangkap sepasukan tentara dan dimasukkan penjara. Lihat
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, “Demokrasi Terpimpin”, hlm. 382; lihat
juga Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan, Lekra Tak Membakar Buku, hlm. 38 dan
405; Hendra Sugiantoro, “Soekarno dan Kebudayaan Bangsa” dalam Kedaulatan Rakyat,
Yogyakarta, Minggu, 30 Januari 2011, hlm. 2, resensi atas buku Nurani Suyomukti, Soekarno: Visi
Kebudayaan dan Revolusi Indonesia (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010); dan Julianti Parani, Seni
Pertunjukan Indonesia, Suatu Politik Budaya (Jakarta: Nalar, 2011), hlm. 72–3 dan “Kemelayuan
sebagai Jatidiri”, hlm. 43.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


46

keratonnya.89 Gaya tari Serampang Dua Belas ini oleh Soekarno dinilai indah dan
tidak terlalu rumit, sehingga mudah dipelajari oleh orang di luar suku bangsa
Melayu. Oleh karena itu, pada tahun 1959 Serampang Dua Belas diinstruksikan
sebagai “Tari Nasional” (tari pergaulan Indonesia), dan dipertunjukkan di berbagai
tempat dan kesempatan. Tarian ini cepat sekali menarik perhatian masyarakat, yang
oleh Edi Sedyawati dikatakan bahwa barangkali karena sifatnya yang lincah,
bergaya, dan penuh gelora. Selain itu, dorongan Pemerintah Republik Indonesia
sangat berperan. Tarian itu diajarkan secara serempak di kota-kota besar Indonesia
sehingga hadir semarak di sekolah-sekolah, di kampus-kampus, di perkumpulan-
perkumpulan kesenian, dan di acara-acara pertemuan. Bahkan diselenggarakan pula
sayembara Serampang Dua Belas tingkat nasional.90
Dalam upaya menunjukkan keberadaan Indonesia di mata dunia dan
menciptakan suatu citra yang resmi mengenai identitas nasional suatu bangsa,
Soekarno sering mengirimkan para seniman tari, musik, dan pedalangan ke luar
negeri untuk mementaskan aneka tari dan musik tradisional daerah serta wayang91
sebagai misi kesenian Indonesia. Di sisi lain, Soekarno juga mendorong terjadinya
pembaruan dalam seni tari dan musik tradisional daerah menjadi lebih singkat,
padat, dinamis dan busana tarinya menjadi lebih cerah.92 Ini dimaksudkan agar seni
tradisional daerah yang dikirim ke luar negeri ataupun yang dipertunjukkan di
Istana Negara setiap perayaan 17 Agustus (juga dalam acara-acara kenegaraan


89
Claire Holt, Art in Indonesia, hlm. 214; Julianti Parani, Seni Pertunjukan Indonesia, hlm.
32.
90
Lihat Edi Sedyawati, “Tari: Bidang Seni”, hlm. 248; Hasil wawancara dengan Edi
Sedyawati di Jakarta, 11 November 2013.
91
Jennifer Lindsay dalam tulisannya “Menggelar Indonesia di Luar Negeri” dalam Jennifer
Lindsay dan Maya H.T Liem (eds.), Ahli Waris Budaya Dunia Menjadi Indonesia 1950–1965
(Denpasar: Pustaka Lasaran, 2011), hlm. 226–27, menyebutkan bahwa misi-misi kebudayaan
(kesenian) Indonesia pada zaman Soekarno merupakan suatu ekspresi rasa percaya diri dan
kebanggaan nasional. Dalam misi tersebut seniman dikirim ke luar negeri sebagai perwakilan
Presiden dan menerima sambutan diplomatik.
92
Sebagai contoh, tari Pakarena dari Makassar yang semula berdurasi panjang ditata
kembali oleh Andi Siti Nurhani Sapada (1929–2010) menjadi lebih singkat dan diiringi oleh pukulan
kendang yang ritmik lembut namun dinamis. Lihat R. Anderson Sutton, Pakkuru Sumange, Musik,
Tari, dan Politik Kebudayaan Sulawesi Selatan (Makassar: Ininnawa, 2013), hlm. 69. Selain itu, tari
Menanam Padi dari Kalimantan Timur digarap menjadi tari Giring-giring oleh Ismet Mahakam
dengan gerak yang lebih lincah dan kostum yang cerah menawan.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


47

lainnya) bisa lebih menarik dan tidak membosankan dalam menampilkan


keindonesiaan dengan kekayaan dan keberagaman keseniannya.93 Untuk itulah,
pada awal masa kemerdekaan, bentuk kesenian, jenis, dan penyajiannya harus
disesuaikan dengan kebutuhan acara, situasi maupun kondisi yang baru.
Pertunjukan-pertunjukan tradisional yang semula bersifat lokal dan hanya ditonton
oleh masyarakat setempat, kemudian diangkat ke panggung nasional bahkan
internasional.
Menumbuhkan rasa keindonesiaan yang bhineka tunggal ika setelah
penyerahan kedaulatan tahun 1950, disadari oleh Soekarno bisa didekati melalui
kesenian sebagai sarana pemersatu bangsa. Sejak tahun 1950-an hingga awal 1960-
an, kemudian Soekarno menyelenggarakan pertunjukan kesenian “dari Sabang
sampai Merauke” pada setiap perayaan Hari Kemerdekaan di istana Presiden (di
panggung Istana Negara, atau di taman halaman antara Istana Negara dan Istana
Merdeka, di Istana Bogor, maupun di Istana Olah Raga (Istora) Senayan dengan
penonton di tribun yang mengitarinya). Acara pertunjukan yang dibawakan oleh
grup-grup tari dari Jawa Tengah, Bali, Bandung, Padang, Medan, Makasar itu
berupa rangkaian tarian daerah (sebagian tradisional daerah) yang telah digarap
menjadi lebih singkat, padat dan dinamis, dan ditutup dengan nyanyian bersama
melagukan “Rayuan Pulau Kelapa”. Dikatakan oleh Edi Sedyawati dalam
tulisannya “Tari: Bidang Seni yang Paling Maju dalam Proses Pembentukan
Kesatuan Nasional”, bahwa Presiden Soekarno ikut memberikan penilaian atas
tarian-tarian yang akan ditampilkan dan tarian-tarian yang perlu digarap kembali
oleh para seniman daerah, bahkan juga ikut memilih penari-penarinya. Dampak dari
penampilan pertunjukan-pertunjukan tersebut yaitu, pertama, para hadirin yang
terdiri dari pejabat-pejabat pemerintah dan tamu-tamu lain termasuk perwakilan
diplomatik negara-negara sahabat serta undangan khusus dari dalam dan luar


93
Lihat Jennifer Lindsay, “Menggelar Indonesia”, hlm. 221–52; Irawati Durban Ardjo,
“Tari Sunda Baru untuk Panggung Baru” dalam Jennifer Lindsay dan Maya H.T. Liem (eds.), Ahli
Waris Budaya Dunia Menjadi Indonesia 1950–1965 (Denpasar: Pustaka Larasan, 2011), hlm. 457–
59. Juga hasil wawancara dengan Edi Sedyawati di Jakarta, 11 November 2013 dan Irawati Durban
di Bandung, 21 Agustus 2015.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


48

negeri, menjadi tahu bahwa Indonesia memiliki aneka tarian yang indah dari
berbagai daerah, yang pada masa itu tidak mudah disaksikan dalam kesempatan
sehari-hari. Kedua, adalah apa yang terjadi di belakang pentas, di mana para penari
dari berbagai daerah saling menonton, mengenal, mengagumi, menghargai, dan
saling belajar satu sama lain. Pengenalan dan apresiasi terhadap tari-tarian
Indonesia yang beragam dan khas tersebut telah memupuk rasa bangga akan
kebinekaan Indonesia dan menambah kecintaan pada seni tari daerah sendiri.94
Selain itu wawasan mereka juga bertambah dan semua ini memberikan kontribusi
yang sangat berarti bagi perkembangan kesenian pada tahun 1950 hingga1960-an.
Kesempatan saling mengintip pertunjukan kenegaraan di Jakarta itu
membuat para penari dan pemusik saling mengagumi hingga mendorong untuk
mempelajari kesenian daerah lain. Nantinya, ketika mereka terlibat dalam satu
rombongan untuk misi kesenian ke luar negeri, muncul kesempatan yang lebih
leluasa untuk saling mengenal dan berinteraksi secara pribadi. Secara mendalam
mereka juga berkesempatan mempelajari dan membawakan tari-tarian maupun
menyanyikan lagu-lagu dari daerah lain di Indonesia. Inilah yang menumbuhkan
kesadaran bahwa mereka adalah bagian dari bangsa Indonesia yang luas dan
beraneka ragam.95
Soekarno melangkah kian kuat dalam upaya menumbuhkan rasa
keindonesiaan melalui kesenian dengan mendirikan empat sekolah tinggi seni untuk
memelihara dan mengembangkan kesenian: (1) Akademi Seni Rupa Indonesia
(ASRI) didirikan di Yogyakarta pada tahun 1949 dan merupakan perguruan tinggi
seni pertama di Indonesia; (2) Konservatori Karawitan Indonesia (KKI) didirikan
pada tahun 1950 di Surakarta, Jawa Tengah, agar semua kesenian daerah bisa
berbaur bersama-sama, kemudian statusnya diubah menjadi Akademi Seni
Karawitan Indonesia (ASKI) pada tahun 1964; (3) Sekolah Musik Barat yang

94
Edi Sedyawati, “Tari: Bidang Seni yang Paling Maju”, hlm. 250; dan Edi Sedyawati,
“Tari di Indonesia 1951–2000”, hlm. 167. Lihat juga Jennifer Lindsay “Menggelar Indonesia”, hlm.
223; dan Irawati Durban Ardjo, “Tari Sunda”, hlm. 444. Selain hasil wawancara dengan Edi
Sedyawati, di Jakarta, Agustus 2013.
95
Lihat Jennifer Lindsay, “Menggelar Indonesia”, hlm. 226; dan Irawati Durban Ardjo,
“Tari Sunda”, hlm. 447.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


49

didirikan di Jakarta dan dikendalikan oleh Dinas Kebudayaan. Ketiga lembaga


tersebut didirikan sebagai upaya agar semua yang terlibat dalam lembaga tersebut
akan berkontribusi pada pengembangan nasionalisme dan kesenian Indonesia; (4)
Program pelatihan guru kesenian didirikan di Bandung pada tahun 1947 sebagai
bagian dari Kampus Universitas Indonesia (UI) cabang Bandung. Sekolah tersebut
kemudian dijadikan bagian dari Institut Teknologi Bandung (ITB) di tahun 1959.
(5) Akademi Seni Musik (AMI) pada tahun 1961 yang merupakan peningkatan dari
Sekolah Musik Indonesia (dibentuk 1952), dan Akademi Seni Tari (ASTI) pada
tahun 1963.96 Pendirian sekolah-sekolah tinggi seni ini merupakan warisan penting
dari Soekarno pada periode 1945–1965.

2.4. Kesenian Tradisional sebagai Sumber Penciptaan Karya Tari Baru


Dalam Bab I telah diuraikan bahwa yang dimaksud dengan karya tari
tradisional di Indonesia dalam penelitian ini adalah karya tari yang berasal dari
masa lampau yang terwariskan secara turun-temurun sedikitnya dalam rentang tiga
generasi serta diajarkan atau dipertunjukkan secara berulang. Hal ini yang membuat
banyak karya tari masa lampau tetap bertahan hingga kini dan meski terdapat
perubahan atau inovasi namun pada intinya tetap berpegang pada pola-pola serta
aturan-aturan tradisi.

Dalam perkembangannya, karya tari tradisional di Indonesia dapat


dibedakan antara karya tari tradisional klasik yang biasanya bertumbuh-kembang
di keraton pada saat raja berkuasa, dan karya tari tradisional nonklasik yang
umumnya bersifat kerakyatan yang bertumbuh-kembang di lingkungan masyarakat
agraris dan pesisir. Berbicara mengenai seni tari klasik,97 peranan keraton hampir


96
Tod Jones, Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia, Kebijakan Budaya Selama Abad
Ke-20 Hingga Era Reformasi (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2015), hlm. 103. Lihat juga Nunus
Supardi, “Kebudayaan Pada Masa Orde Baru” dalam Taufik Abdulah dan AB Lapian (eds.),
Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid 8, Orde Baru dan Reformasi (Jakarta: PT Ichtiar Baru van
Hoeve atas kerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2012),
hlm. 600.
97
Menurut John Martin dalam bukunya Introduction of the Dance (New York: Dance
Horizons, 1965), hlm. 113, istilah klasik berasal dari bahasa Latin classici yang dipakai oleh Aulus
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


50

tidak bisa dilepaskan mengingat di tempat itulah pertunjukan ini tumbuh dan
berkembang sebagai suatu karya tari yang telah mencapai kualitas estetis yang
tinggi. Dalam kualitas estetis tinggi tersebut terdapat ukuran-ukuran seperti: teknik
gerak yang berpola, mempunyai standar tertentu dan mengikat, relatif rumit dan
sulit dilakukan; koreografi yang digarap cermat; dan mempunyai kedalaman makna
atau isi. Untuk mencapai aturan-aturan dan nilai-nilai estetis yang tinggi diperlukan
perhatian dan pemeliharaan yang baik, penanganan yang cermat dan tertib, dan
biaya yang tidak sedikit. Di masa lampau hanya para bangsawan dan raja yang bisa
memenuhi syarat tersebut karena mereka termasuk golongan yang mampu dalam
hal materi.
Di Pulau Jawa, tepatnya di keraton Surakarta dan keraton Yogyakarta,
adalah tempat yang banyak melahirkan karya tari klasik dengan ciri-cirinya yang
khas. Tari Bedaya, Serimpi, dan Wayang Wong98 merupakan karya yang
diperkirakan telah ada sejak zaman Mataram Islam (1586).99 Adapun tari Golek dan


Gellius (130–180 AD), seorang penulis di zaman Romawi, untuk menyebut hasil-hasil karangan
yang baik, berkualitas tinggi, di zaman Romawi yang kemudian disebutnya scriptor classicus.
Pengertian klasik (classic) menurut The Lexicon Webster Dictonary adalah sesuatu yang dianggap
sebagai contoh atau model yang nyaris sempurna. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, klasik
adalah sesuatu yang mempunyai nilai atau mutu yang diakui atau menjadi tolok ukur kesempurnaan
yang abadi, tertinggi. Edi Sedyawati dalam “Jalan Perkembangan Tari di Indonesia” dalam
Pertumbuhan Seni Pertunjukan, Seri Esni No. 4 (Jakarta: Sinar Harapan, 1981), hlm. 110–11
mengatakan bahwa tari tradisional klasik mempunyai ciri-ciri sebagai tari yang telah mengalami
pengolahan dan penggarapan gerak secara terkembang, yang keindahannya disalurkan melalui pola-
pola gerak yang telah ditentukan. Dalam kategori ini gerak telah dikembangkan dengan sengaja,
melampaui kebutuhan minimal yang diperlukan oleh konteksnya. Dengan demikian geraknya
dianggap sebagai seni yang mempunyai ukuran-ukuran tersendiri. Ciri penting lainnya ialah ukuran-
ukuran keindahannya yang telah terbukti melampaui batas-batas daerah.
98
Tari Bedaya adalah tari putri keraton yang ditarikan oleh tujuh atau sembilan putri dan
bersifat sangat tenang, irama tarinya mengikuti pukulan-pukulan matra yang teratur dari iringan
karawitannya. Beberapa tari Bedaya terutama yang ditarikan oleh sembilan penari putri dianggap
keramat. Tari Serimpi adalah tari putri keraton yang ditarikan empat putri, bersifat sangat tenang
dan irama tarinya mengikuti pukulan matra yang teratur dari iringan karawitannya, seperti halnya
Bedaya. Tari Serimpi biasanya menggambarkan prajurit putri yang sedang berlatih perang. Adapun
Wayang Wong adalah teater tradisional Jawa yang dimainkan pelaku-pelaku tanpa topeng dan
merupakan peniruan atas wayang kulit, yaitu teater boneka yang dimainkan oleh dalang. Lihat Edi
Sedyawati, Pertumbuhan Seni Pertunjukan (Jakarta: Sinar Harapan), hlm. 4, 8; Soedarsono, The
State Ritual Dance Drama in the Court of Yogyakarta (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press),
hlm 1–2; Clara Brakel Papenhuysen, Seni Tari Jawa: Tradisi Surakarta dan Peristilahannya
(Jakarta: ILDEP RUL), hlm 46–9.
99
Karya tari klasik Surakarta dan Yogyakarta pada hakikatnya mempunyai dasar yang
sama karena keduanya berasal dari satu kerajaan yaitu Mataram. Munculnya Kasunanan Surakarta
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


51

Klana (Klana Raja, Klana Alus, Klana Topeng) diciptakan kemudian, dan tetap
bertahan hingga masa pasca kemerdekaan.100 Selain Bedaya Ketawang dari keraton
Kasunanan Surakarta101 yang dianggap sakral dan dipertunjukkan hanya pada saat
penobatan raja dan ulang tahun penobatan raja (tingalan jumenengan dalem),
terdapat Bedaya-bedaya lainya yang bersifat nonsakral dan menghibur, di
antaranya Bedaya Duradasih, Bedaya Pangkur, Bedaya Sinom, Bedaya Gandrung
Manis, dan sebagainya.
Tari Serimpi juga merupakan karya tari klasik di keraton Kasunanan
Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta yang beberapa di antaranya mempunyai sifat
ritual seperti halnya tari Bedaya, namun sebagian lainnya menghibur. Nama-nama
yang digunakan dalam tari Serimpi pun seringkali mengikuti atau sesuai dengan
nama gending (lagu) yang mengiringinya misalnya Serimpi Gambir Sawit diiringi
gending Gambir Sawit, Serimpi Anglir Mendung diiringi gending Anglir Mendung,
Serimpi Pandhelori juga diiring geding Pandhelori. Pada zaman kerajaan Mataram,


dan Kasultanan Yogyakarta merupakan akibat perjanjian Giyanti pada tahun 1755 yang
memecahkan kerajaan Mataram menjadi dua. Lihat A.M. Hermin Kusmayati, “Tari Klasik” dalam
Soedarsono (ed.), Pengantar Apresiasi Seni (Jakarta: Balai Pustaka, 1992), hlm.105.
100
Meskipun karya-karya tari keraton dipertahankan sebagai milik keraton, namun Sultan
Hamengku Buwana VIII (1880–1939) mendorong saudara-saudaranya, P.A. Surjadiningrat (wafat
1960) dan P.A. Tedjokoesoemo (1881–1973), membentuk kelompok tari “Kridha Beksa Wirama”
(1918) di luar keraton untuk memasyarakatkan beberapa karya tari keraton (Bedaya, Serimpi,
Wayang Wong). Di Surakarta, Sunan Paku Buwana X membuka Taman Hiburan Sriwedari dengan
pertunjukan Wayang Orang (di keraton disebut Wayang Wong) setiap malam dan disambut gembira
oleh masyarakat Surakarta dan sekitarnya (yang masih kuat berorientasi pada budaya keraton). Lihat
Felicia Hughes-Freeland, Nin Bakdi Soemanto (ed.), Komunitas Yang Mewujud, Tradisi Tari dan
Perubahan di Jawa (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2009), hlm. 73; Soedarsono dalam
bukunya Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi, hlm. 82–3 menambahkan bahwa apa yang
dilakukan Sultan Hamengku Buwana VIII selain agar karya-karya tari keraton bisa dinikmati oleh
seluruh lapisan masyarakat juga sebagai upaya untuk menghilangkan batas antara seni keraton dan
seni rakyat.
101
Di keraton Kasultanan Yogyakarta juga dikenal tari Bedaya yang dianggap sakral dan
hanya dipertunjukkan saat penobatan raja serta ulang tahun penobatan raja (tingalan jumenengan
dalem) yaitu Bedaya Semang, seperti halnya Bedaya Ketawang di Surakarta. Namun diperkirakan
sejak tahun 1921, yaitu pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana VIII (1880–1939),
sudah tidak tercatat lagi adanya pementasan Bedaya Semang. Pada akhir tahun 1972–2002 karya
tari ini direkonstruksi dan hasilnya dipertunjukkan pada 7 Oktober 2002 untuk acara peringatan
penobatan Sultan Hamengku Buwana X yang ke-13, di Bangsal Kencono Keraton Yogyakarta. Lihat
Theresia Suharti, Bedhaya Semang Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Reaktualisasi Sebuah tari
Pusaka (Yogyakarya: PT Kanisius, 2015), hlm. 6–7.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


52

para penari Serimpi dan Bedaya bertugas pula sebagai abdi dalem (pegawai) yang
membawa benda-benda upacara dan pusaka keraton.
Daerah-daerah di Indonesia, selain Surakarta dan Yogyakarta, yang juga
mempunyai karya tari klasik karena pernah memiliki kerajaan besar, antara lain di
Cirebon dikenal tari Sinden Rimbe di keraton Kanoman yang bentuk dan irama
tariannya menyerupai Bedaya di keraton Surakarta, dan tari Jayengrana di keraton
Kasepuhan. Di Sulawesi Selatan terdapat tari Pajaga di bekas kerajaan Luwu dan
tari Pakarena di bekas kerajaan Gowa. Adapun Bali merupakan daerah di Indonesia
yang juga banyak menghasilkan karya tari klasik, baik yang tumbuh-kembang di
keraton (puri) maupun di pura, seperti drama tari Gambuh, Wayang Wong, bentuk-
bentuk tarian Topeng, Legong, dan Panyembrama.102
Berbeda dengan karya tari klasik, karya tari rakyat hidup dan berkembang
di kalangan rakyat yang biasanya berada di lingkungan agraris dan pesisir. Karya
tari rakyat disusun untuk kepentingan rakyat setempat dan bisa dikatakan garapan
gerak, pola lantai, iringan tari, kostum dan tata riasnya relatif sederhana karena yang
ditekankan adalah nilai-nilai kebersamaan dan kepemilikan secara kolektif. Karya
tari rakyat sering berfungsi sebagai tari upacara adat, atau sebagai kelengkapan
sosial, dan juga sebagai hiburan dalam masyarakat. Selain itu ada sejumlah karya
tari rakyat yang berkaitan dengan upacara-upacara ritual dan telah ada sejak zaman
prasejarah.103
Karya-karya tari yang bisa dikategorikan sebagai karya tari rakyat dan
berfungsi sebagai tari upacara ritual antara lain tari Topeng pada beberapa
masyarakat di Indonesia seperti masyarakat suku Dayak di Kalimantan Timur (tari
Hudog), masyarakat suku Batak di Sumatera Selatan (Tortor Toping-toping atau
Tortor Huda-huda), masyarakat Bali (Topeng Ket dan Barong, di antaranya Barong
Bangkal, Barong Macan, Barong Lembu, dan Barong Asu), dan masyarakat suku


102
Soedarsono, Djawa dan Bali: Dua Pusat Perkembangan Drama Tari Tradisionil
(Jogjakarta: Gadjah Mada University Press, 1972), hlm. 59–72; dan A.M. Hermin Kusmayati, “Tari
Klasik”, hlm. 105–10.
103
Lihat Soedarsono, Djawa dan Bali, hlm. 20; A.M. Hermin Kusmayati, “Tari Klasik”,
hlm. 87–9.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


53

Asmat di Papua (Topeng Jipai). Selain itu juga dikenal karya tari rakyat yang
berfungsi hiburan dan biasanya merupakan tari pergaulan seperti tari Tayub di
masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Barat, tari Ketuk Tilu di Jawa Barat, tari
Gandrung dan tari Jejer di Banyuwangi, tari Lengger dari Banyumas, tari Lenso di
Maluku, tari Pulai Sari yang kemudiam menjadi Serampang Dua Belas pada
masyarakat Pesisir Melayu di Riau dan Sumatera Utara, tari Maengket dari
Sulawesi Utara, dan lain-lain.104
Oleh sebagian seniman, karya tari tradisional sangat menggoda untuk
dikembangkan lebih lanjut. Edi Sedyawati menyebut ini sebagai karya tari hasil
pengembangan dari tradisi. Maksudnya adalah karya tari tradisional yang secara
sadar dan sengaja digarap kembali karena adanya dorongan dari diri seniman untuk
melakukan perubahan dan pembaruan; atau karena adanya dorongan dari
pemerintah dan atau organisasi otoritas, atau pihak yang berpengaruh guna
kepentingan tertentu. Namun bisa dikatakan bahwa perubahan atau pembaruan
tersebut masih berada di ranah tradisi dan mempunyai kesinambungan yang kuat
dengan bentuk tradisi sebelumnya. Dengan demikian karya tari semacam ini bisa
disebut sebagai hasil pengembangan dari tradisi.
Pengembangan kreatif dari tradisi ini di ranah tari Indonesia sebenarnya
telah lama berlangsung. Catatan menyebutkan, I Ketut Maria (kemudian lebih
dikenal dengan nama I Mario, 1897–1978), seorang seniman terkenal dari Bali,
pada tahun 1916 menggarap sebuah karya tari baru yang kemudian dipentaskan
pada tahun 1925. Tarian tersebut dikenal dengan nama Kebyar Duduk. Selain itu
Mario menggarap tari Kebyar Trompong, sejenis tari Kebyar Duduk, yang
penarinya memainkan instrumen trompong saat menari. Karya tari dengan
memainkan trompong sebelumnya sudah ada di desa Bantiran Bali, namun
kemudian I Mario menggarap ulang karya tari tersebut sebagai karya baru dengan
merespon gamelan Gong Kebyar yang bertempo cepat dan memiliki dinamika yang
kaya, sehingga gerak tarinya pun menjadi lincah dan dinamis. Karya tari ini


104
Edi Sedyawati, “Seni Pertunjukan” dalam Indonesian Heritage (Jakarta: Buku Antar
Bangsa untuk Glorier International, Inc, 2002), hlm. 39–41.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


54

sebagian besar dilakukan dalam posisi setengah duduk sambil berjinjit hingga
akhirnya sepenuhnya duduk dengan kedua kaki menyilang (bersila).105 Oleh karena
karya baru I Mario tersebut sebagian besar masih tetap menggunakan pola dan
teknik gerak tari Bali, diiringi gamelan Bali Gong Kebyar, dan kostum tarinya juga
Bali, bisa dikatakan pembaruan itu masih berada di dalam ranah tradisi dan
mempunyai kesinambungan yang kuat dengan bentuk tradisi sebelumnya.106
Catatan lainnya, pada tahun 1941, Sultan Hamengku Buwana IX (1912–
1988) memprakarsai penggarapan tari Golek Menak yang idenya dipengaruhi oleh
gerak wayang golek yang terbuat dari kayu. Ide tersebut kemudian digarap oleh
pakar tari dan musik di keraton, antara lain KRT Purboningrat (1865–1955),
Pangeran Suryobrongto (1914–1985), KRT Brongtoningrat (1933), dengan
menggunakan unsur gerak karya tari tradisional klasik Yogyakarta dan meniru
gerak Wayang Golek (Menak) yang patah-patah dan langkah kaki ringan. Karya ini
dipertunjukkan pertama kali pada tahun 1943 dalam acara peringatan ulang tahun
Hamengku Buwana IX. Dalam karya ini juga telah terjadi pembaruan, namun masih
berada di dalam ranah tradisi yang dalam tulisan ini disebut sebagai karya tari baru
hasil pengembangan dari tradisi.


105
Lihat Akashi Kapil, “Penari Mario dan Kebyar Duduk”, Budaya, No 7, Juli 1958, tahun
ke-VII. Lihat juga Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi, hlm. 85 dan 241;
Menurut Soedarsono, pada masa Pergerakan Nasional, gamelan Gong Kebyar dari Bali Utara yang
sangat dinamis mulai diperkenalkan ke Bali Selatan, dan I Ketut Maria menggarap karya tari baru
Kebyar Duduk dan Kebyar Trompong dengan merespons kedinamisan gamelan tersebut. Pada masa
itu hampir seluruh masyarakat Bali mengenal babakan baru dalam sejarah seni pertunjukan, yaitu
lahirnya sebuah gaya yang dikenal sebagai gaya kekebyaran; dan lihat juga Pande Made Sukerta,
Gong Kebyar Buleleng: Perubahan dan Keberlanjutan Tradisi Gong Kebyar (Surakarta: Program
Pascasarjana bekerja sama dengan ISI Press, 2009), hlm. 90–91.
106
Sebuah tradisi bisa mengalami perubahan yang cukup berarti tetapi pendukung dan
pewarisnya menganggap perubahan tersebut masih dalam ranah tradisi mereka, karena ada
kesinambungan yang kuat antara bentuk pembaruan dengan bentuk tradisi sebelumnya. Tradisi
berubah karena tidak lagi bisa memuaskan seluruh pendukungnya. Tradisi memberi peluang untuk
diubah guna memenuhi kebutuhan pendukungnya, namun memerlukan tokoh-tokoh yang oleh
Clifford Geerzt sering disebut intellectuals untuk melakukannya. Lihat Clifford Geertz, Abangan,
Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, diterjemahkan oleh Aswab Mahasin (Jakarta: Pustaka Jaya,
1981), hlm. 315–17; Lihat juga Robert Redfield dan Milton Singer, “The Cultural Role of Cities”
dalam Richard Sennett (ed.), Classic Essays on the Culture of Cities (New York: Prentice-Hall,
1969), hlm. 217. Selain itu lihat Agnes DeMile, The Book of the Dance (New York: Golden Press,
1963), hlm. 48, dikutip dalam Joan Kealiinohomoku, “An Anthropologist Looks at Ballet as a Form
of Ethnic Dance” dalam Mariam Van Tuyl (ed.), Impulse: Extesion of Dance, 1969–1970:
Extensions (San Fransisco: Impulse Publication, 1983), hlm. 26.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


55

Menginjak tahun 1950-an, terutama pada era Demokrasi Terpimpin, karya


tari baru hasil pengembangan dari tradisi tetap berlanjut. Pelecutnya adalah
Soekarno sendiri yang sangat menekankan pentingnya keindonesiaan dan kesatuan
nasional sebagai kepribadian bangsa, yang juga berlaku dalam kesenian melalui
perawatan dan pembinaan kekayaan seni pertunjukan tradisional yang sekaligus
juga perlu dikembangkan untuk menemukan kebaruan dalam tari Indonesia,
menjadi bentuk tari baru107. Melalui karya baru pengembangan dari tradisi ini
diharapkan akan lebih mencerminkan keindonesiaan dari berbagai daerah yang
tersebar di seluruh Indonesia.108 Caranya, para seniman kemudian diminta
menggarap kembali tari dan musik tradisional daerah mereka sehingga menjadi
lebih singkat, padat, dinamis. Kostum tarinya pun digarap menjadi lebih cerah,
berwarna-warni dan gemerlap.109 Tari Pakarena dari Makassar, misalnya, yang
semula berdurasi sekitar 40 menit, ditata kembali oleh Andi Siti Nurhani Sapada
(1929–2010) menjadi lebih singkat (kurang lebih 10 menit), dan diiringi oleh
pukulan kendang yang dinamis dan suling yang melengking, namun tampilan
tarinya tetap terasa lembut dan anggun, dengan kostum yang cerah. Tari Menanam
Padi dari Kalimantan Timur digarap menjadi tari Giring-giring oleh Ismet
Mahakam dengan gerak yang lebih lincah dan kostum yang cerah menawan. Pada
tahun 1952, Tjetje Soemantri (1892–1963) menggarap tari putri Kukupu menjadi
sangat dinamis untuk ukuran karya tari putri Sunda yang cenderung gemulai. Tari
Kukupu telah menarik perhatian Soekarno saat dipertunjukkan di Bandung pada
Konferensi Asia-Afrika, 1955, dan sejak itu karya tari tersebut sering diikutsertakan


107
Bentuk karya tari baru yang berangkat dari karya tari tradisional daerah di Indonesia
tersebut pada masa itu kemudian lebih dikenal dengan sebutan karya tari kreasi baru. Dalam
perkembangannya, karya tari kreasi baru di Indonesia juga dipengaruhi oleh tari modern dari Barat
khususnya dari Amerika Serikat, lihat Soedarsono, “Tari Kreasi Baru” dalam Soedarsono (ed.),
Apresiasi Seni Pertunjukan (Jakarta: Balai Pustaka, 1992), hlm. 111–6.
108
Bahkan para seniman yang bertolak ke luar negeri sebagai peserta dari misi kesenian
juga mempelajari dan membawakan karya-karya tari maupun menyanyikan lagu-lagu dari daerah
lain di Indonesia yang bukan daerah mereka sendiri, agar mereka sadar sebagai bagian dari bangsa
Indonesia yang luas dan beraneka ragam. Lihat Jennifer Lindsay, “Menggelar Indonesia”, hlm. 226,
dan Irawati Durban Ardjo, “Tari Sunda”, hlm. 447.
109
Lihat Lindsay, “Menggelar Indonesia”, hlm. 221–52; dan Irawati Durban Ardjo, “Tari
Sunda”, hlm. 457–9.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


56

dalam misi-misi kebudayaan ke luar negeri. Tari Legong dan Janger dari Bali juga
dibuat dalam versi-versi pendek. Bahkan ada karya tari baru yang digarap dari
urutan-urutan gerak tari Aceh, Sumatera Timur, Tapanuli, Sumatera Barat dan
Sumatera Selatan yang dinamai tari Ragam Andalas. Adanya karya tari baru yang
berangkat dari tari tradisional daerah tersebut dimaksudkan agar tari-tarian yang
dikirim ke luar negeri ataupun yang dipertunjukkan di Istana Negara setiap
perayaan 17 Agustus (juga dalam acara-acara kenegaraan lainnya) seperti telah
diurai, bisa lebih menarik dan tidak membosankan dalam menampilkan
keindonesiaan dengan kekayaan dan keberagaman budayanya.110
Di awal tahun 1960-an, tepatnya tahun 1961, Departemen Perhubungan
Darat, Pos, Telekomunikasi dan Pariwisata (PDPTP) di bawah pimpinan Mayor
Jendral TNI G.P.H. Djatikoesoemo (1917–1992), putra Sunan Paku Buwana X,
yang menjabat sebagai menteri PDPTP, mengambil prakarsa mengadakan
pertunjukan kolosal Sendratari Ramayana Prambanan (SRP) dengan membangun
panggung di depan Candi Prambanan. Pertunjukan dari cerita klasik Ramayana ini
dikonstruksikan sebagai salah satu atraksi bagi kepentingan pariwisata dan
dilokasikan di ruang terbuka dan komersial untuk menampilkan identitas lokal yang
bisa menarik turis. Dilihat dari konsep penciptaan tari, telah terjadi pembaruan di
pertunjukan tersebut dengan tampilnya drama tari tradisional namun tanpa dialog
verbal dan tembang (yang kemudian disebut sebagai sendratari, akronim dari “seni
drama dan tari”) yang dibawakan dalam format kolosal oleh ratusan penari dan
pemain gamelan di panggung prosenium yang berukuran akbar dengan penataan
lampu panggung (stage lighting) yang disesuaikan dengan besaran panggung.
Adapun dalam garapan gerak tarinya terjadi perpaduan antara karya tari klasik gaya
Surakarta dan karya tari klasik gaya Yogyakarta yang dalam prosesnya sulit untuk


110
Lihat Lindsay, “Menggelar Indonesia”, hlm. 221–52; dan Irawati Durban Ardjo, “Tari
Sunda”, hlm. 457–9. Juga hasil wawancara dengan Andi Ummu di Jakarta, 12 Maret 2012, Irawati
Durban Ardjo di Bandung, Agustus 2015, dan Wiwiek Sipala di Jakarta, 23 November 2015.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


57

dipertemukan sehingga lahir sebuah gaya tersendiri yang bukan Surakarta dan
bukan Yogyakarta, yaitu sebuah gaya khas Prambanan.111
Penata tari dalam Sendratari Ramayana Prambanan ini adalah Raden
Tumenggung Koesoemakesawa (1909–1972) didampingi penata tari pembantu S.
Ngaliman (1919–2002) untuk tarian putra, dan tarian putri oleh Ny. Djoko Suhardjo
(1932–2006), ketiganya dari Surakarta. Penata karawitan adalah Kanjeng Raden
Tumenggung Wasitodipuro (1909–2007) dari Paku Alaman, Yogyakarta,
didampingi oleh Martopangrawit (1914–1986) dari Surakarta. Adapun Raden Mas
Ngabehi Bambang Soemodarmoko (1922–2007) dari Surakarta mendapat tugas
untuk menangani drama atau pengadeganan, dan kostum tari dirancang oleh
seniman seni rupa Kusnadi (1921–1997) dari Yogyakarta.112
Dalam garapan baru Sendratari Ramayana Prambanan tersebut diciptakan
pula karya tari baru untuk kebutuhan kelengkapan cerita, misalnya tari Kijang dan
tari Kelinci yang menggambarkan perilaku kijang dan kelinci yang lincah, dan tari
Api untuk menggambarkan kobaran api pada adegan pembakaran Dewi Sinta saat
membuktikan kesuciannya. Ketiga karya tari ini sebelumnya tidak ada dalam karya
tari tradisional Jawa dan pola gerak serta tekniknya merupakan pencarian baru di
luar pola karya tari tradisional Jawa.113 Meski demikian, ketiga karya tersebut masih
tampak berada di dalam ranah tradisi dan tetap terasa mempunyai kesinambungan
yang kuat dengan bentuk tradisi, sehingga menyatu dengan garapan Sendratari
Ramayana tersebut.


111
Edi Sedyawati, “Balet Ramajana di Prambanan” dalam Trio, No 11, Agustus 1961, hlm.
18–9; Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia dan Pariwisata (Bandung: Masyarakat Seni
Pertunjukan Indonesia bekerjasama dengan artiline atas bantuan Ford Foundation, 1999), hlm. 144–
8; Sal Murgiyanto, “Seni Tradisi Tidak Mati” dalam Tradisi dan Inovasi Beberapa Masalah Tari di
Indonesia (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2004), hlm. 14.
112
Soedarsono, “Seni Pertunjukan”, hlm. 147.
113
Wawancara dengan Retno Maruti, pelaku tari Kijang Kencana dalam Sendratari
Ramayana Prambanan pada tahun 1962–1964, di Jakarta 2013.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


58

2.5. Pengaruh Artistik: Lawatan ke Luar Negeri dan Kunjungan Misi


Kesenian114 Luar Negeri ke Indonesia

Penegasan sebagai bangsa yang berdaulat, sekaligus sebagai kepercayaan


diri dan kebanggaan nasional, ditunjukkan oleh Soekarno dengan menjalin
hubungan kebudayaan dengan luar negeri, sejak tahun 1951. Bagi Soekarno
mengenalkan kesenian Indonesia, berarti juga mengenalkan Indonesia. Era itu
disebut oleh Jennifer Lindsay sebagai era diplomasi budaya internasional.
Tujuannya oleh Edi Sedyawati dikatakan untuk mengeratkan kerja sama
antarnegara, yang dijiwai oleh semangat kebangkitan negara-negara Asia-Afrika.115
Di antara berbagai misi kesenian, Soekarno mengirim rombongan para
seniman seni pertunjukan yaitu tari, musik, dan pedalangan. Pada tahun 1952,
pemerintah mengirim sekelompok seniman dari Bali dan Jawa ke Ceylon (Sri
Lanka) untuk mewakili Indonesia dalam “Colombo Exhibition”. Pada acara itu
Indonesia tampil sebagai salah satu negara di antara negara-negara lain.
Rombongan ini juga mampir di Singapura untuk menggelar pertunjukan. Masih di
tahun yang sama, Soekarno juga mengirim misi kesenian ke Amerika Serikat dan
Eropa, tahun 1954 ke Tiongkok, tahun 1955 ke Pakistan, dan seterusnya.116
Misi kesenian ke Tiongkok pada tahun 1954 tersebut merupakan misi resmi
pertama yang dibiayai pemerintah Indonesia. Misi ini dirancang sebagai tur yang
tampil untuk mempromosikan Indonesia, dan kemudian berlanjut dengan misi-misi
kesenian lainnya ke berbagai negara. Dari hasil penelitian Jennifer Lindsay, yang
ditulis dengan judul “Menggelar Indonesia di Luar Negeri”, program kesenian ke
Tiongkok tersebut terdiri dari tari-tarian pendek dari berbagai daerah di Indonesia

114
Penggunaan istilah untuk misi seni pertunjukan ke luar negeri tidak seragam. Istilah misi
kebudayaan juga dipakai bagi delegasi-delegasi para pejabat yang dikirim untuk kunjungan-
kunjungan perkenalan pada awal tahun 1950-an. Istilah misi kesenian kemudian lebih umum untuk
rombongan-rombongan seniman seni pertunjukan dari pada para pejabat. Dalam tulisan ini penulis
memakai istilah misi kesenian karena berkonteks dengan kebijakan Soekarno dalam hal identitas
nasional sebagai unsur kebudayaan, termasuk seni tari.
115
Lihat Jennifer Lindsay, “Menggelar Indonesia”, hlm. 229; dan Edi Sedyawati, (2006).
“Tari di Indonesia 1951–2000” dalam Philip Yampolsky (ed.), Perjalanan Kesenian Indonesia Sejak
Kemerdekaan: Perubahan dan Pelaksanaan, Isi dan Profesi (Jakarta: Equinox), hlm. 167
116
Lihat Jennifer Lindsay, “Menggelar Indonesia”, hlm. 226.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


59

yang dibawakan oleh sepasang penari atau kelompok-kelompok kecil dengan


diiringi pertunjukan musik secara langsung (live music), selain beberapa karya tari
baru yang menggunakan gerakan-gerakan tradisional117, dan lagu-lagu Indonesia
yang dinyanyikan bersama oleh seluruh anggota pertunjukan. Pada misi-misi
kesenian berikutnya, program-program yang ditampilkan lebih beragam, lebih
menuntut keahlian dari pendukungnya, dan daerah yang disertakan lebih bervariasi.
Program-program tersebut menghadirkan kesenian Indonesia sebagai bagian dari
dunia yang baru, muda, kreatif, dan bergerak dinamis.118 Dengan demikian misi
kesenian 1950-an dan awal 1960-an adalah cerminan kekayaan budaya Indonesia
yang melimpah.
Pada tahun 1950-an, selain Indonesia banyak mengirim seniman-seniman
ke luar negeri sebagai bagian dari misi-misi kesenian, kemudian Indonesia juga
menerima banyak kunjungan dari seniman-seniman asing baik pada tingkat
pemerintah resmi maupun tur-tur yang diatur oleh Lekra. Selain itu juga hadir grup-
grup kesenian yang lebih kecil yang dibiayai oleh kedutaan-kedutaan asing dan
organisasi-organisasi kebudayaan. Kebanyakan misi kesenian resmi Indonesia ke
luar negeri mengundang balasan ke Indonesia dari negara-negara yang dikunjungi,
atau kebalikannya misi kesenian Indonesia merupakan perjalanan balasan dari
kunjungan seniman-seniman luar negeri atau kepala negara. Adapun misi-misi
kesenian Indonesia yang lebih kecil atau yang waktu kunjungannya lebih singkat
biasanya merupakan bagian dari keikutsertaan Indonesia dalam festival atau ajang-
ajang kesenian internasional. Meski demikian, misi-misi kesenian resmi yang
dikirim ke luar negeri atas inisiatif pemerintah Indonesia, tujuan utamanya adalah
untuk mendukung kegiatan diplomatik Indonesia. Pada tahun 1950-an saat


117
Dalam tulisannya, Jennifer Lindsay memakai istilah “koreografi kontemporer yang
menggunakan gerakan-gerakan tradisional” sebagai salah satu genre tari program kesenian ke
Tiongkok. Dalam tulisan ini penulis menggantinya menjadi “karya tari baru yang menggunakan
gerakan-gerakan tradisional”. Ini karena Lindsay tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan
istilah “koreografi kontemporer” dalam tulisannya tersebut. Dengan demikian, jika penulis
konsisten dengan batasan arti kontemporer dalam penelitian ini, maka istilah “karya tari baru” lebih
tepat untuk digunakan dalam konteks tersebut.
118
Jennifer Lindsay, “Menggelar Indonesia”, hlm. 226; Juga hasil wawancara dengan Edi
Sedyawati di Jakarta, November 2013 dan Irawati Durban Ardjo di Bandung, Agustus 2015.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


60

Indonesia membuka kedutaan-kedutaan di luar negeri misalnya, misi kesenian


menjadi semacam bagian dari pernyataan kehadiran diplomatik, terutama di negara-
negara sosialis baru atau di negara-negara yang baru merdeka. Di samping itu, misi-
misi kesenian seringkali juga diutus saat hubungan politik Indonesia dengan negeri
tujuan mengalami keretakan.119
Melalui berbagai kesempatan mengikuti kunjungan ke luar negeri dalam
misi-misi kesenian, muncul kesan-kesan menarik dan mendalam dari para peserta
baik sebagai pemimpin rombongan ataupun sebagai seniman. Bahkan kesan
menarik dan mendalam tersebut kemudian memberi dampak dalam sikap
berkesenian maupun proses kreativitas. Prof. Dr. Prijono (1907–1969)120 yang
memimpin misi kesenian tahun 1954 ke Tiongkok, sebagai contoh, saat tiba di
Jakarta mengutarakan kekagumannya tentang seni-seni istana dan literatur klasik
dihargai sebagai produk dari “karya seni Tiongkok kreatif”.121 Selanjutnya, dalam
kedudukannya sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam Kabinet
Djuanda (1957–1959), Prijono mendukung kuat kesenian-kesenian daerah, sejauh
kesenian itu dimanfaatkan untuk kesadaran nasional. “Kesadaran nasional harus
lebih tinggi dari kesadaran apa pun, lebih tinggi dari kesadaran suku”, ungkapnya
dalam suatu pidato di tahun1959.122
Untuk kepentingan pengiriman misi kesenian Indonesia ke negara-negara
sosialis seperti ke Vietnam, Tiongkok maupun Korea Utara, karya-karya tari
tradisional daerah digarap ulang menjadi lebih pendek, padat, dinamis dengan tema
kerakyatan yang sesuai dengan karya-karya tari yang ada di negara tujuan. Tari


119
Jennifer Lindsay, “Menggelar Indonesia”, hlm. 234–8.
120
Prof. Dr. Prijono (1907–1969) adalah seorang Jawa dari Yogyakarta, penari Jawa klasik
yang memperoleh gelar doktor bidang sastra dari Universitas Leiden. Menjadi Dekan Fakultas
Sastra Universitas Indonesia sejak tahun 1950 hingga menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
pada kabinet Djuanda tahun 1957. Ia bertahan pada posisi tersebut hingga enam kabinet berikutnya,
yaitu sampai Maret 1966. Lihat Jennifer Lindsay, “Menggelar Indonesia”, hlm. 238–9.
121
Kekagumannya ini dimuat dalam sebuah artikel Harian Rakyat dan Merdeka. Lihat
Prof. Prijono, “Nasional dalam Bentuk Sosialis dalam Djiwa”, Harian Rakyat 21 Oktober 1954; dan
“Kesan-kesan Prof. Dr. Prijono tentang Kunjungannya di RRT”, Merdeka, 21-10-1954 (bagian
pertama) dan 22-10-1954 (sambungan).
122
Lihat Herbert Feith and Lance Castles (eds.), Indonesian Political Thinking, 1945–1965,
(Ithaca/London: Cornell University Press, 1970), hlm. 328–9; lihat juga Jennifer Lindsay, Op.Cit.,
239.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


61

Nelayan, Batik, Tenun, Menanam Padi, Pergaulan Anak Muda adalah sebagian
contoh dari karya-karya tari yang dikirim ke negara-negara sosialis. Bahkan karya
tari dari daerah Jawa Tengah yang menampilkan adegan perkelahian antara Buto
Cakil (tokoh raksasa yang berkarakter kasar dan beringas) dengan Srikandi (tokoh
kesatria yang berkarakter halus namun pemberani dan gesit) diberi interpretasi baru
yang “progresif” sebagai kekuatan kemajuan yang ingin melenyapkan kekuatan-
kekuatan lama yang bersifat feodal atau imperialisme.123
Dampak lain adanya pengiriman misi kesenian ke luar negeri dan adanya
hubungan yang baik dengan negara-negara yang dikunjungi, di tahun 1956–1957
terpilih empat seniman Bali (I Wayan Likes, Ni Nyoman Artha, I Wayan Badon,
dan I Wayan Mudana) untuk mengajar tari Bali di Dance Academy, Beijing. Para
seniman ini kemudian membawa pulang pengalaman mereka selama di luar negeri
ke sekolah-sekolah, pusat-pusat, dan perkumpulan-perkumpulan seni di Indonesia,
dan kemudian juga mengembangkan karya tari yang sesuai untuk kunjungan-
kunjungan berikutnya dan di ajang-ajang seni nasional.124 Lebih lanjut, masih
dalam tulisannya “Menggelar Indonesia di Luar Negeri”, Jennifer Lindsay
menambahkan bahwa perjalanan ke luar negeri telah membuat banyak seniman bisa
melihat secara lebih segar apa yang terjadi di dalam dunia seni di negeri mereka
sendiri. Mereka mulai mencari rumusan peran yang tepat untuk kesenian
tradisional, apakah akan mengaitkannya dengan kondisi revolusioner Indonesia,
atau memasukkan di dalamnya kesadaran nasional, ataukah justru keduanya
sekaligus.125 Dalam misi kebudayaan pertama ke Tiongkok tahun 1954, para
seniman muda dari Indonesia juga berbicara atau menulis tentang pengalaman
mereka. Susanti (salah seorang penari Jawa klasik Yogyakarta), misalnya, berbicara
mengenai Akademi Tari di Beijing sebagai suatu model untuk sekolah tari di


123
Jennifer Lindsay, “Menggelar Indonesia”, hlm. 248.
124
Lihat Berita Kebudayaan, Budaya 7-7 (Juli 1958), hlm. 296, Lihat juga Jennifer Lindsay,
“Menggelar Indonesia”, 249. Dalam tulisannya di sini Lindsay menambahkan, “Para seniman yang
mengajar di Beijing tersebut mengembangkan repertoar yang sesuai untuk tur-tur berikutnya. Ini
merupakan aspek yang penting, namun kurang diakui dalam perkembangan seni pertunjukan di
Indonesia sekarang ini.”
125
Jennifer Lindsay, “Menggelar Indonesia”, hlm. 249
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


62

Indonesia yang saat itu sedang digagas akan dibuka di Yogyakarta. Bagong
Kussudiardja dan Wisnoe Wardhana juga menulis betapa mereka terkesan dengan
status dan pendapatan para seniman yang tinggi, perhatian yang diberikan negara
untuk meningkatkan dan melindungi kesenian tradisional, dan para seniman yang
belajar di akademi-akademi diminta oleh negara untuk menggelar pertunjukan di
pabrik-pabrik, kota-kota dan pelosok kampung di seluruh Tiongkok. Hal penting
lainnya, para seniman di Tiongkok dijamin masa depannya oleh negara dengan
bekerja sebagai guru. Dalam tulisan mereka tersebut, Kussudiardja dan Wardhana
juga tergugah dengan keberadaan kesenian tradisional dan ekspresi seni yang lebih
kontemporer berjalan beriringan, dan ekspresi-ekspresi kedaerahan bisa menjadi
ekspresi nasional.126
Lainnya adalah Irawati Durban Ardjo (lahir 1943), salah satu penari Sunda
dari Bandung yang banyak mengikuti misi kesenian Indonesia ke luar negeri. Ia
menuliskan pengalamannya bahwa saat ke luar negeri bukan hanya menari untuk
menunjukkan kekayaan kesenian Indonesia, tetapi juga berkesempatan untuk
menonton pertunjukan-pertunjukan di negara-negara yang dikunjungi. Pertunjukan
yang ditontonnya antara lain karya tari rakyat Eropa Timur (di Cekoslovakia,
Polandia, Hongaria), orkestra dengan lagu-lagu klasik ciptaan para komposer
terkenal dunia seperti Mozart dan Beethoven (di Hongaria), balet klasik dengan
cerita Swan Lake (di Moskow-Rusia), sirkus kelas dunia (di Leningrad, Rusia), tari
Perut (di Mesir) dan sebagainya. Di samping itu, para seniman juga mengunjungi
tempat-tempat penting, seperti gedung pertunjukan (dengan panggung, lampu, efek
panggung yang lengkap), museum, istana, peninggalan sejarah, misalnya piramid,
patung-patung, lukisan dan lain-lain. Kunjungan ini telah menyadarkan Irawati
akan keberagaman karya seni di dunia dan keindahan yang universal.127


126
Lihat Bagong Kussudiardja, “Kesan-kesan Perlawatan ke RRT, Budaya 4-1 (Januari,
1955) hlm. 2–12; dan Wisnoe Wardhana, “Tari dan Opera di RRT, Budaya 4-5 (April–Mei, 1955),
hlm. 187–190. Lihat juga Jennifer Lindsay, “Menggelar Indonesia”, hlm. 250.
127
Irawati Durban Ardjo, “Tari Sunda”, hlm. 448–50; dan hasil wawancara di Bandung,
Agustus 2015.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


63

Edi Sedyawati (lahir 1938), yang tampil sebagai penari pada misi kesenian
tahun 1961 ke Uni Soviet, RRC, Korea Utara, dan Vietnam Utara, menulis surat
panjang ketika melakukan perjalanan pertama ke Uni Soviet. Surat yang dimuat di
rubrik “Taman Remaja” majalah Trio yang terbit di Jakarta itu berisi penggambaran
kegiatan pada sesi-sesi latihan dan perjalanan ke negara tersebut sebelum
melanjutkan ke Cina.128 Ia juga menulis tujuan utama misi-misi kesenian adalah
untuk mengeratkan kerja sama antarnegara yang saat itu dijiwai semangat
kebangkitan negara-negara Asia-Afrika. Isi dari misi-misi tersebut berupa aneka
kesenian daerah yang juga dipergelarkan di acara Tujuh Belas Agustusan di Istana
Presiden. Pertunjukan karya-karya tari tersebut sering disertai pula dengan
nyanyian keroncong oleh penyanyi-penyanyi terkemuka zaman itu.
Hal yang perlu dicatat dari kegiatan misi kesenian ke luar negeri adalah
kesempatan berkumpulnya para seniman dari berbagai bangsa di belakang
panggung pertunjukan sehingga terjadi perkenalan dan pertukaran pengetahuan.
Momen kecil itu sesungguhnya mempunyai arti sangat besar karena “Menjadi
Indonesia” antara lain terbentuk melalui proses semacam ini yang menghasilkan
saling kenal dan saling menghargai antarbangsa, antarseniman. Pengaruhnya
kemudian menyentuh kalangan seni lebih luas sehingga muncul kesadaran adanya
berbagai perbedaan gaya seni.129 Tulisan Sedyawati tersebut di atas menyingkapkan
mengenai bagaimana pentingnya nasional dan internasional berinteraksi di dalam
tur-tur misi kesenian. Rasa menjadi Indonesia dan kesadaran keberadaan dirinya
sebagai bagian dari suatu bangsa yang besar, ditumbuhkan melalui interaksi satu
dengan lainnya ketika mewakili bangsa di dalam konteks kancah internasional.130
Kedatangan grup-grup kesenian dari luar negeri ke Indonesia (antara lain ke
Bandung), sebagai kunjungan balasan, di antaranya adalah grup “Bayanihan” dari
Filipina, grup tari dari Tiongkok, Vietnam dan Korea Utara. Itu semua menambah
lengkapnya pengetahuan dan pengalaman menonton, yang di kemudian hari


128
Edi Sedyawawi, “Surat Edi Sedyawati dari Perdjalanan”, Trio: 27–8. (Diakses dari
fotokopi, tanggal tidak diketahui).
129
Lihat Edi Sedyawati, “Tari di Indonesia 1951–2000”, hlm.166–70.
130
Lihat Jennifer Lindsay, “Menggelar Indonesia”, hlm. 249.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


64

mempengaruhi idealisme, cita-cita dan sikap Irawati Durban Ardjo dalam


berkesenian, sekaligus mendorong kreativitasnya untuk menggarap ulang maupun
mencari bentuk baru pada penataan karya tari Sunda.131
Contohnya, Irawati Durban Ardjo terinspirasi membuat karya tari Sunda
menjadi lebih dinamis, ekspresif, dan rampak jika ditarikan berkelompok. Tari
Merak karya Tjetje Soemantri tahun 1955 misalnya, digarap kembali oleh Ardjo
antara lain dengan membuat langkah keupat Merak berupa gerak burung pada
tangan, kepala dan badan dengan nuansa Bali, balet dan Sunda; di awal trisik
(berjalan kecil-kecil di atas jari kaki) dimasukkan gerak balet pirouette (gerak
berputar dalam satu langkah); dan di akhir trisik dimasukkan unsur gerak tari
Burung Kaswari dari Afrika. Di samping itu Ardjo juga mengadopsi gerak dari
karya tari modern Amerika pada bahu penari sambil membentangkan ekor merak
sebagai akhir langkah trisik, selain diselipkan pula sikap kepala pada balet untuk
menguatkan watak anggun dan angkuh dari burung merak. Ardjo pun mengubah
beberapa bagian dari kostum tari Merak agar memesona ketika berada di panggung
karena pengaruh melihat kostum karya-karya tari di beberapa negara sosialis yang
indah dan gemerlap. Jika kostum tari Merak Soemantri gambaran merak tampak
pada sayap saat terbang yang ditampilkan penari trisik sambil memegang sayap,
maka yang ingin ditonjolkan oleh Ardjo dari merak adalah pada ekornya yang bila
dikembangkan menjadi sumber pesona burung tersebut. Motif bulu merak tampak
pada bahu-dada dan badan; motif ekor merak tampak jelas pada kain, dan bentuk
ekor merak yang setengah lingkaran tampak bila dimekarkan membentang di kedua
tangan penari pada setiap trisik. Adapun jambul merak ditampilkan pada singer


131
Dampak menonton pertunjukan ataupun melihat dapur seni di luar negeri menginspirasi
grup tari Viatikara (1964), grup tari di Bandung tempat Irawati Durban Ardjo bergabung, untuk
berlatih olah tubuh secara intensif sebelum berlatih gerak tari keseluruhan. Kegiatan ini biasa
dilakukan oleh para penari Thailand sehingga mereka mampu melakukan gerak tari yang sulit
dengan disiplin yang ketat. Selain itu Irawati D. Ardjo terinspirasi membuat karya tari Sunda
menjadi lebih dinamis, rampak, dan ekspresif jika ditarikan berkelompok. Karya tari garapan Irawati
D. Ardjo tersebut kemudian sering dipertunjukkan di berbagai tempat oleh grup Viatikara. Lihat
Irawati Durban Ardjo, “Tari Sunda”, hlm. 445–461; Juga hasil wawancara dengan Irawati Durban
Ardjo, di Bandung, Agustus 2015.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


65

(hiasan kepala) yang bergelombang, melengkung tinggi dengan tiga jambul di


puncaknya.132
Pengaruh misi-misi kesenian ke luar negeri, baik ke negara sosialis maupun
nonsosialis, dan datangnya grup-grup kesenian ke dalam negeri telah memberikan
kesempatan pada para seniman untuk berdialog tentang seni dan bangsa, dan
pengalaman perbandingan yang mendorong mereka untuk berpikir tentang
kesenian di Indonesia dalam kerangka nasional. Selain itu, para seniman
memperoleh contoh model bagi pengembangan kesenian di dalam negeri, mengenai
apa yang tepat untuk ditiru maupun apa yang sebaiknya dihindari. Ditambahkan
pula oleh Jennifer Lindsay bahwa hal yang terakhir ini telah mengakibatkan para
seniman semakin beragam pandangannya tentang keberadaan dan perkembangan
kesenian Indonesia.

2.6. Barat sebagai Tempat Berekspresi dan Berorientasi


Pembaruan yang benar-benar mengarah pada terciptanya tari modern di
Indonesia baru muncul setelah koreografer-koreografer muda mulai bergaul dengan
tari modern dari Barat. Gerakan tari modern yang awalnya muncul di Eropa Barat
dan Amerika Serikat telah berjalan selama tiga generasi. Generasi pertama
memusatkan perhatiannya pada kesan pribadi dan gaya individual penata tari.
Generasi kedua mencoba mencari dan menemukan landasan baru dalam teknik tari,
dan generasi yang ketiga selalu berupaya mencari gagasan baru pada setiap
karyanya.
Beberapa koreografer Indonesia dipengaruhi oleh pembaruan tari di
mancanegara, meskipun pada awalnya sebagian masih menggarap karya tarinya
bertolak dari salah satu gaya tari tradisional, dan biasanya yang paling dikuasainya.
Jodjana (1893–1972), penari Jawa-Yogyakarta yang menetap di Belanda (1914–
1972), adalah penari Indonesia yang pada tahun 1930-an bersama dengan
koreografer modern dari Eropa Barat dan Amerika Serikat seangkatannya


132
Irawati Durban Ardjo, “Tari Sunda”, hlm. 455–6; Juga hasil wawancara dengan Irawati
Durban Ardjo, di Bandung, Agustus 2015.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


66

menciptakan karya-karya tari baru yang seluruhnya digarap untuk mewujudkan


kesan pribadi terhadap tema tertentu. Di tahun 1930-an itu Jodjana telah menggarap
dan mempertunjukkan karya-karyanya di Eropa Barat yang oleh media massa dan
pengamat tari di Eropa karyanya mendapat pujian dan mereka menyebutnya
sebagai “tari modern berbasis Jawa” karena memadukan elemen karya tari
tradisional Jawa dan India dan digarap menjadi karya tari baru. Disebutkan pula di
media massa bahwa dalam salah satu karya terbaiknya, Topeng Mas, Jodjana
bergerak lembut dan membuat wajahnya seperti topeng, menyiratkan ketenangan
jiwa yang menunjukkan kemampuannya dalam mengontrol segala bentuk emosi,
seperti halnya kualitas gerak dan ekspresi dalam karya tari Jawa. Karya tari ini
diiringi piano yang dimainkan oleh istrinya.133 Dalam perjalanan kariernya, ia
menjadi penari sangat terkenal di Eropa pada tahun 1930–1950-an dan didekati oleh
penari terkenal (Anna Pavlova, penari balet Rusia), koreogafer (Josephin Baker),
pemusik (Pablo Casals), juga beberapa aktor, pelukis dan politikus terkenal yang
berpengaruh saat itu.134
Devi Dja yang sangat menguasai seni tari Jawa dan Bali adalah contoh lain
yang disambut baik di berbagai tempat di Asia, Eropa dan Amerika Serikat.
Matthew Isaac Cohen dalam tulisannya berjudul “Devi Dja Goes Hollywood”
menyebut Devi Dja sebagai agen transnasional di wilayah artistik lintas budaya.
Devi Dja sanggup menyerap tari modern Barat yang ketika digabungkan dengan
tradisional Bali dan Jawa muncullah pertunjukan hibrid.135
Patriotisme Devi Dja tergambar pada buku Gelombang Hidupku Devi Dja
dari Dardanella karangan Ramadhan KH, di mana dalam sekapur sirih buku
tersebut S.I. Poeradisastra mengatakan: “Bukankah ketika keadaan ekonomi Dewi


133
Harry A. Poeze, Di Negeri Penjajah, Orang Indonesia Di Negeri Belanda 1600–1950
(Jakarta: KPG bekerja sama dengan KITLV, 2008), hlm. 250.
134
Trisno Sumardjo, “Sedikit Tentang Jodjana” dalam Indonesia, Madjalah Kebudajaan
No. 9 TH. III, September 1952, hlm. 8–21; Marcel Bonneff dan Pierre Labrousse, “Un Danseur
Javanais en France: Raden Jodjana (1893–1972)”, Archipel 54, Etudes interdisciplinaires sur le
monde insulindien (Paris: Association Archipel, 1977), hlm. 225–42.
135
Matthew Isaac Cohen, Performing Othernes, Java and Bali on International Stages,
1905–1952 (London: Palgrave Macmilan, 2010), hlm. 175. Lihat juga Aneka, no 16, Th V, 1 Agustus
1954, hlm. 14.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


67

Dja mencapai nadir, ia justru membantu KIM (Komite Indonesia Merdeka) …..
Padahal kalau Dja mau melacurkan dirinya kepada kepentingan politik Belanda,
sebagai propagandis ia sepuluh kali lebih efektif ketimbang propagandis-
propagandis Belanda”.136 Devi Dja tidak luntur ketika ia harus memenuhi tuntutan
komersial di pentas internasional.
Devi Dja bukan seniman puritan yang mempelajari seni tari dari keraton
atau lembaga-lembaga kebudayaan formal seperti pura, melainkan ia mempelajari
seni tari selama bertahun-tahun dari perjalanan-perjalanan panjang di Indonesia,
Asia dan kemudian melanglang dunia. Kemampuannya menyerap berbagai
kesenian di berbagai belahan dunia tersebut membuatnya otentik secara etnologis
dan menghasilkan kemeriahan dalam pertunjukannya – yang terakhir inilah yang
membuat Hollywood tertarik padanya.
Setelah Perang Dunia II, Indonesia dianggap sebagai kawasan penting
dalam politik kebudayaan global dan menjadi perebutan pengaruh internasional. R.
Burt menyatakan bahwa kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat memandang
seni dan kebudayaan (termasuk tari) bisa dimanfaaatkan untuk memperkuat
pengaruh kekuasaan dalam kancah global, termasuk Indonesia. Dengan demikian,
bukan tanpa perhitungan ketika pemerintah Amerika Serikat mengirim Martha
Graham Dance Company untuk berpentas di Jakarta dan Asia pada 1955.
Pengiriman Martha Graham tersebut merupakan bagian dari kebijakan politik luar
negeri Amerika Serikat dan diplomasi kebudayaan yang digarap oleh Kementerian
Luar Negeri.137 Ditulis oleh Sal Murgiyanto dalam tesisnya, Graham terpesona bisa
berpentas di Jakarta meskipun ia diberi tahu situasi politik sedang memanas dan
pemerintah Indonesia cenderung memusuhi Amerika. Ternyata pula, karya tari
Graham yang dipertunjukkan selama tiga hari di Gedung Kesenian Jakarta

136
S.I. Poeradisastra, “Sekapur Sirih” dalam Ramadhan KH, Gelombang Hidupku, Dewi
Dja dari Dardanella (Jakarta, Sinar Harapan, 1982), hlm. 10.
137
Lihat Burt, R. Alien Bodies: Representation of Modernity, ‘Race and Nation in Early
Modern Dance (London and New York: Routledge, 1998); Prevots N., Dance foe Export: Cultural
Diplomacy and the Cold War (Middletown: Wesleyan University Press, 1998); Helly Minarti,
“Modern and Contemporary Dance in Asia: Bodies, Routes and Discourse” disertasi untuk
memperoleh gelar Ph.D di Department of Dance University of Roehampton, London-UK, 2014
(belum diterbitkan), hlm. 12–13.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


68

ditambah satu hari demonstrasi teknik tari di Gedung Olah Raga Jakarta diterima
dengan baik oleh penonton. Sambutan penonton tersebut menunjukkan bahwa
Indonesia tak terpisahkan dari gelombang modernitas internasional.138
Pada tahun 1950-an muncul nama Seti-Arti Kailola (lahir 1919), Bagong
Kussudiardja (1928–2004) dan Wisnoe Wardhana (1929–2002) yang terinspirasi
oleh gaung generasi kedua tari modern di Barat yang diwakili oleh Martha Graham.
Tahun 1952, selama 11 bulan, Seti-Arti Kailola belajar tari modern di Martha
Graham School of Contemporary Dance, di New York, Amerika Serikat. Ia
merupakan perempuan Indonesia pertama yang memperoleh pengalaman
mempelajari tari modern di sana. Saat pulang ke Indonesia, ia menetap di Jakarta
dan mendirikan sekolah tari bernama Sutalagati, ‘Sekolah Seni Gerak’, yang
mengajarkan teknik tari modern gaya Martha Graham yang dipadu dengan unsur-
unsur gerak tari Bali dan Jawa yang pernah dipelajarinya.
Tahun 1957, Kailola kembali ke Amerika untuk memperdalam teknik tari
modern di Graham School dan juga sempat belajar di Connecticut College School
of the Dance dengan beasiswa dari Rockefeller Foundation. Di sana ia bertemu
dengan dua penari Indonesia lainnya, Bagong Kussudiarja dan Wisnoe Wardana.
Kedua penari yang menguasai karya tari Jawa klasik gaya Yogyakarta itu juga
memperoleh beasiswa dari Rockefeller Foundation untuk belajar tari modern di
Amerika pada Connecticut College School of the Dance dan Martha Graham
School of Contemporary Dance.
Di kemudian hari, setelah kembali ke Indonesia, hanya Kailola yang tetap
setia menyajikan dan mengajarkan tari modern dengan teknik dan gaya Martha
Graham, sedangkan Kussudiardja dan Wardhana hanya memanfaatkan beberapa
unsur teknik dan gaya Graham. Selanjutnya, kedua pria penari itu mengembangkan
teknik dan gaya masing-masing sebagai ungkapan jati diri secara individual.
Kussudiardja juga menyerap berbagai teknik tari dari daerah-daerah di Indonesia


138
Lihat Sal Murgiyanto, “The Influence of American Modern Dance on Contemporary
Dance of Indonesia”, MA Thesis, University of Colorado, 1976, hlm. 7; lihat juga Subagyo Pr (Pr/k-
2), “Kunjungan Martha Graham 20 Tahun Silam” dalam Sinar Harapan, 13 September 1974.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


69

dalam berlatih maupun membuat karya baru, yang hasilnya bisa disebut sebagai tari
modern Indonesia pada masa itu.139
Bagong Kussudiardja adalah sosok yang melakukan lompatan dari
tradisionalisme ke modernisme dengan tetap menggenggam penguasaannya yang
hebat atas karya tari tradisional. Sebelumnya ia telah digembleng dalam olah tari
Jawa klasik gaya Yogyakarta di Krida Beksa Wirama (KBW) selama bertahun-
tahun dan merupakan penari yang baik dengan bakat besar. Oleh Soedarsono
dikatakan bahwa Kussudiardja sangat piawai bila menarikan tokoh yang dinamis,
agresif, dan nakal, misalnya menarikan Hanuman dalam wiracarita Ramayana, atau
Burisrawa dalam lakon dari Mahabarata. Melalui peran-peran agresif dan kaya
gerak yang ditarikannya, membuat Kussudiardja mempunyai peluang untuk
menunjukkan kreativitasnya dan bisa mengekspresikan gairahnya untuk bergerak
bebas. Semua ini merupakan bagian dari pelampiasan atas kegelisahannya dalam
proses menunjukkan jati diri dalam menggarap karya tari.140 Sampai pada suatu saat
ia mengungkapkan perasaan terbelenggunya ketika ia harus bergerak dalam
patokan-patokan ketat yang digariskan karya tari tradisional.
“Terus terang, saya suka gelisah. Proses menentukan diri sendiri itulah yang
selalu hendak saya cari ..... ketika saya melukis, saya selalu merasa terlibat
sepenuhnya dalam proses pencarian diri. .....Lha, selama ini saya menekuni
tari, disuruh menarikan Hanuman, tokoh kera dalam kisah pewayangan
Ramayana kok hanya seperti itu terus, dengan bentuk-bentuk yang memiliki
patokan pasti ..... Tidak berubah. Kenapa? Bentuk-bentuk ekspresi tarian
Hanuman yang kerap saya tarikan itu adalah ekspresi dari peninggalan
nenek moyang saya. Dan bukan ekspresi saya. Bila kemudian saya merasa
bahwa ekspresi saya adalah hasil refleksi dari pencarian diri saya, maka saya
pun tentunya mesti bisa menuangkan apa yang tengah saya gagas.
Menuangkan apa yang sedang saya gelisahkan ..... Lha mengapa saya tidak
boleh begitu? Mestinya boleh. Dan seharusnya bisa. Bahkan saya akan
merasa tolol sekali bila saya tidak bisa berbuat sebagaimana nenek moyang
saya ..... Itulah pertanyaan yang senantiasa menggelitik saya. Sehingga saya
bertubi-tubi harus menjawabnya. Dan jawabannya tetap sesuatu yang
konkret, berkarya”.141


139
Edi Sedyawati, “Tari di Indonesia”, hlm. 168.
140
Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia, hlm. 243
141
Bagong Kussudiardja, Bagong Kussudiardja, Sebuah Autobiografi (Yogyakarta:
Bentang Intervisi Utama bekerja sama dengan Padepokan Press, 1993), hlm. 110–1.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


70

Dalam disertasi Sal Murgiyanto yang berjudul “Moving Between Unity and
Diversity: Four Indonesian Choreographers”, diulas hal Kussudiardja pada Bab II
berjudul “Bagong Kussudiardja: In Search of Individual Expression”, bahwa arah
pembaruan Kussudiardja selalu ditujukan untuk pencarian pada ungkapan jati diri
yang individual.142 Itu dilakukannya sebelum berangkat ke Amerika, ia sudah
menggarap tari baru, Kuda-kuda (1954), Batik (1955), dan Layang-layang (1955),
yang tema tarinya diangkat dari lingkungan kehidupan sehari-hari yang sangat
dekat dan akrab di sekelilingnya. Menurut Kussudiardja, tari Batik dan Layang-
layang diciptakan sebagai jawaban dan jalan keluar atas langkanya jenis karya tari
tunggal. Tari Batik menggambarkan orang yang sedang asyik membatik dan tari
Layang-layang melukiskan orang yang bermain layang-layang.143 Masih
menurutnya, tari Layang-layang geraknya sederhana demikian juga dengan kostum
dan iringannya. Meski tetap menggunakan beberapa unsur gerak karya tari
tradisional Jawa, tetapi gerak ini telah digarap menjadi baru yang dipadu dengan
gerak tari Bali, Sumatera, Cina dan India. Kostumnya tidak seperti kostum karya
tari Jawa pada umumnya, hanya menggunakan celana sebatas dengkul, baju tanpa
lengan, sebuah selendang yang diikatkan di pinggang dan gelang kaki yang bisa
menimbulkan bunyi kerincing untuk memainkan ritme, memperkuat dinamika dan
memberikan suasana gembira. Iringan karya tarinya hanya terdiri dari ketipung,
kentongan dan kendang besar.
Pada titik inilah Kussudiardja melakuan penyimpangan terhadap patokan-
patokan tertentu yang digariskan karya tari tradisional. Sebagaimana dinyatakan
Murgiyanto, Kussudiardja melakukan pembaruan untuk mengungkapan jati diri
yang individual. Pembaruan tersebut adalah penyimpangan dari karya lama
(tradisional) untuk terwujudnya karya tari baru. Dalam karya baru terkandung

142
Sal Murgiyanto, “Moving Between Unity and Diversity: Four Indonesian
Choreographers”. Ph.D Thesis submitted to the Department of Performance Studies in School Art
and Science, New York, 1991, hlm. 109–10.
143
Konon karya tari dalam bentuk karya tari tunggal ini diilhami oleh penampilan abdi-
pelawak Pentul dalam drama tari Jawa Topeng Panji. Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia, hlm.
244.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


71

ekspresi artistik sebagai cap jati diri, sebagai penanda karya cipta seorang individu
bernama Bagong Kussudiardja.
Ketika tari Kuda-kuda disuguhkan pada tahun 1954 dan tari Batik serta
Layang-layang pada tahun 1955, muncul reaksi dan berbagai komentar positif
maupun negatif terutama dari kalangan seniman tari senior. Karya Kussudiardja
tersebut dipuji bahwa meskipun merupakan karya baru namun tetap menggunakan
unsur gerak dan musik tradisional. Namun ada pula yang mencerca sebagai telah
merusak unsur kesenian tradisional yang telah ada, lengkap dan mapan menjadi
garapan yang primitif.144
Sekembalinya ke Indonesia dari Amerika, 1958, Kussudiardja membuka
wadah latihan yang ia beri nama Pusat Latihan Tari (PLT) Bagong Kussudiardja
(Maret 1958),145 dan mengajarkan teknik tari modern Graham kepada murid-
muridnya serta menggarap karya tari yang diwarnai beberapa teknik dan gaya
Graham. Karya-karyanya kemudian kentara menyerap pelajaran yang telah
diterimanya di Amerika. Tari Layang-layang, yang ia garap ulang pada tahun 1959,
tampak menggunakan beberapa teknik Graham.146 Karyanya yang lain, bertajuk
Derita, menyerupai karya tari Graham berjudul Lamentations, yaitu karya tari
tunggal dengan penari memakai kain berbentuk tabung sehingga yang tampak
hanya tangan dan kaki. Namun waktu belajar yang pendek, kurang dari satu
semester, tidak cukup baginya untuk mampu memindahkan teknik tari modern
Graham kepada para penari. Oleh karena itu Kussudiardja memilih kembali
memadukan teknik gerak kaya tari Jawa, Sunda, dan Bali.


144
Lihat Rustopo (ed.), Gendhon Humardani Pemikiran dan Kritiknya (Surakarta: STST-
PRESS), hlm. 60–62; Bagong Kussudiardja, Bagong Kussudiardja, hlm. 153–4.
145
Pusat Latihan Tari (PLT) Bagong Kussudiardja pada tahun 1978 berganti nama menjadi
Padepokan Seni Bagong Kussudiardja, yang dibangun di desa Kembaran, Bantul. Lihat “Para
Perintis Tari Indonesia Modern” dalam Edi Sedyawati (ed.), Indonesian Heritage, Seni Pertunjukan
(Jakarta: Buku Anak Bangsa untuk Grolier Indonesia, Inc, 2002), hlm. 113
146
Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia, hlm. 243; dan hasil menyaksikan pertunjukan
tari Layang-layang hasil rekonstruksi Padepokan Seni Bagong Kussudiardja, dalam acara
Pembukaan Lokakarya Kuratorial yang diselenggarakan Akademi Indonesian Dance Festival (IDF)
bekerja sama dengan Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) Universitas Gajah
Mada di Yogyakarta, 23 November 2015.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


72

Proses kreatif Kussudiardja terus berlangsung dengan adonan artistik dari


berbagai pengalaman yang telah direguknya di dalam maupun luar negeri. Di
kemudian hari ia dikenal sebagai guru dan penata tari dengan ratusan karya
termasuk drama tari. Karya-karyanya sering memadukan unsur karya tari danmusik
dari beberapa daerah di Indonesia: Jawa Tengah, Bali, Jawa Barat, dan Kalimantan
Timur. Karya Tari garapannya banyak diterima masyarakat Indonesia karena ia
dipandang mampu menggali dan memanfaatkan kekayaan seni negerinya sendiri
dengan format baru.
Wisnoe Wardhana yang dilahirkan pada tahun 1929 adalah putra Pangeran
Suryodiningrat, pendiri organisasi kesenian (sanggar) Jawa gaya Yogyakarta, Krida
Beksa Wirama (KBW). Ia sejak kecil dan selama bertahun-tahun belajar karya tari
Jawa klasik gaya Yogyakarta di sanggar KBW sebelum mengikuti pelatihan singkat
bersama Kussudiardja di Martha Graham School. Dalam bukunya Seni Pertunjukan
di Era Globalisasi, Soedarsono menyebutkan bahwa pemberian beasiswa bagi
Wardhana didasari oleh pertimbangan bahwa selain karena Wardhana sangat
piawai dalam membawakan tokoh-tokoh gagah pada pergelaran Wayang Wong
gaya Yogyakarta, ia juga memiliki bakat sebagai penari yang kreatif dan sebagai
penata tari. Ia telah menggarap sendratari jauh sebelum istilah “sendratari” muncul
sebagai genre baru, yaitu drama tari tanpa dialog verbal yang pada tahun 1961
menandai pergelaran Ramayana di Candi Prambanan.147
Kembali ke Indonesia dari Amerika, Wardhana mendirikan Sekolah Tari
Kontemporer Wisnoe Wardhana (Contemporary Dance School Wisnoe Wardhana
– CDSW), dan menggarap karya tari antara lain: Introspeksi, Nada Irama, Pesona
Canda, Yoga Prana, Bhineka Tunggal Ika, dan sebagainya. Di kemudian hari,
seperti halnya Kussudiardja, Wardhana dikenal juga sebagai guru dan penata tari
yang baik dan produktif, dan telah menghasilkan ratusan karya tari tunggal, duet,
berkelompok, maupun drama tari. Namun dalam tahap berikutnya, ia lebih banyak


147
Lihat Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia., hlm. 246–7.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


73

menekuni bidang pengajaran dan pendidikan, dan meraih gelar doktor dari Institut
Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Yogyakarta, tempat ia juga mengajar.
Dengan ulasan tentang seniman Seti-Arti Kailola, Bagong Kussudiardja dan
Wisnoe Wardhana tampak jelas ketiga seniman tari tersebut adalah pelopor-pelopor
awal yang menyemaikan karya tari modern di Indonesia tanpa mencampakkan
estetika tradisional yang justru merupakan kekuatan mereka. Selain itu
pencantuman nama pribadi untuk sekolah tari yang didirikan Kussudiardja dan
Wardhana merupakan sebuah isyarat kesadaran mereka akan tuntutan modernisme.
Kedua koreografer tersebut juga membakukan teknik geraknya masing-masing
seperti yang dilakukan Martha Graham.148 Pada generasi seniman tari di Indonesia
berikutnya, penggenggaman estetika tradisional yang dilakukan Kussudiardja dan
Wardhana terus berlangsung dalam mengarungi wilayah penciptaan karya tari baru.


148
Sal Murgiyanto, “Menyoal Makna”, hlm. 6.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.



BAB III
SENI TARI DI TAHUN 1966–1987: DUKUNGAN PEMERINTAH
TERHADAP ASPIRASI SENIMAN

Di era pemerintahan Soeharto, perioritas ditekankan pada stabilitas


keamanan, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan. Hal ini berimbas pada ekspresi
kesenian untuk berkarya tanpa campur tangan pihak mana pun sejauh tidak
mengganggu stabilitas keamanan. Di era ini Pemda DKI Jakarta membangun PKJ-
TIM pada tahun 1968. Dengan adanya pusat kesenian yang berfasilitas memadai
pada masa itu PKJ-TIM memberikan daya tarik besar bagi seniman tari untuk
mementaskan berbagai karya yang sebelumnya tidak terfasilitasi secara layak di
tempat-tempat pertunjukan yang sudah ada.
Kurasi pertunjukan di PKJ-TIM dilakukan oleh DKJ yang selain
mempunyai wewenang di bidang artistik juga wewenang anggaran untuk program.
Kehadiran penonton mempunyai level yang sama pentingnya dengan program-
program yang dipilih. Berbagai wahana publikasi dibuat untuk memberi tahu
masyarakat dengan harapan hadir di berbagai program. Pemberitaan kepada
masyarakat juga dilakukan oleh media massa sebelum dan sesudah program
berlangsung.

3.1. Kebijakan Kebudayaan di Era Soeharto (1966–1998): Kebebasan


Berekspresi dan Kelembagaan
Indonesia memasuki babak baru setelah gagalnya Gerakan 30 September
(G30S), 1965. Hal pokok yang dihadapi pemerintahan baru di bawah pimpinan
Soeharto pada hakikatnya adalah keamanan dan ekonomi. Oleh sebab itu, struktur
politik dalam negeri pada tahun 1966 mengalami perubahan besar-besaran.
Golongan militer – Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) – tampil di
arena papan atas kekuasaan politik dan bertugas sebagai penjaga stabilitas
keamanan.149 Di tahun 1966 itu pula Presiden Soeharto (1921–2008) bersama
sejumlah ahli ekonomi melakukan pemulihan roda perekonomian. Dalam kebijakan


149
Yahya A Muhaimin, Bisnis dan Politik, Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950–1980
(Jakarta: Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi Sosial LP3ES, 1990), hlm. 215.
74 Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


75

ekonomi, perhatian khusus adalah pada produksi pangan (terutama beras) dan
sandang, serta mendorong masuknya modal asing terutama di sektor industri dan
pertambangan dengan memanfaatkan sumber-sumber daya alam.150
Jika dominasi ideologi politik yang pada era sebelumnya disuarakan dengan
jargon-jargon politik, seperti “politik adalah panglima” atau “politik adalah
panglima kebudayaan”, dan di bidang kesenian dielukan “seni untuk rakyat”, maka
pada era Soeharto ideologi tersebut dikikis habis. Arah pemerintahan diganti
dengan ideologi yang bersih dari paham komunisme. Khususnya di bidang
kesenian, kebebasan berekspresi dan berkarya tanpa bimbingan dan arahan partai-
partai politik pun dicanangkan dan para seniman bebas menggauli perkembangan
kesenian di negara-negara Barat, seperti Amerika Serikat. Pendekatan seni
“modern” dan “kontemporer” dengan melakukan pencarian dan ungkapan yang
orisinal mendapat kesempatan luas untuk berkembang,151 yang oleh sebagian
seniman dilakukan tanpa meninggalkan kekayaan seni tradisional yang dimiliki
berbagai suku bangsa di Indonesia.
Guna menjaga stabilitas politik, ideologi antikomunisme
diimplementasikan secara efektif oleh pemerintah di bawah kepemimpinan
Presiden Soeharto, yang juga disebut Orde Baru, melalui pendekatan politik
kekuasaan dan kebudayaan. Kampanye ideologi antikomunisme diwujudkan
dengan pelarangan karya-karya seni yang, menurut versi pemerintah, berafiliasi
dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sebut saja beberapa, dalam bidang seni
sastra, Pramudya Ananta Toer, sastrawan yang dituduh prokomunis dan dianggap
sebagai juru bicara Lekra, ditahan serta bukunya dilarang beredar. Di bidang seni
pertunjukan, tari Jejer dari Banyuwangi dan Reog dari Ponorogo selama beberapa
tahun dilarang berlatih dan berpentas hanya karena seni pertunjukan rakyat tersebut


150
Anne Booth dan Peter Mc Cawley, “Perekonomian Indonesia Sejak Pertengahan Tahun
Enampuluhan” dalam Anne Booth dan Peter McCawley (eds.), Ekonomi Orde Baru (Jakarta:
Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, 1990), hlm 1.
151
Lihat Nunus Supardi, “Kebudayaan Pada Masa Orde Baru” dalam Taufik Abdulah dan
AB Lapian (eds.), Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid 8, Orde Baru dan Reformasi (Jakarta: PT
Ichtiar Baru van Hoeve atas kerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, 2012), hlm. 599.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


76

di tahun 1960-an dikuasai oleh Lekra atau sering diminta berpentas oleh Lekra.
Film “Anak Perawan di Sarang Penyamun”, diangkat dari novel Sutan Takdir
Alisjahbana, dilarang beredar karena pemain utamanya, Bambang Hermanto, aktor
yang pada tahun 1960-an dianggap dekat dengan golongan kiri.152 Bahkan sesudah
19 tahun meletusnya G30S, tepatnya tahun 1984, pemerintah masih merasa perlu
memproduksi film berjudul “Pengkhianatan G30S/PKI” karya Arifin C Noer, yang
kemudian setiap tahun hingga tahun 1997 ditayangkan di TVRI sebagai propaganda
rutin untuk mengingatkan masyarakat terhadap bahaya komunisme bagi bangsa
Indonesia.153
Pada era pemerintahan Soeharto (1966–1998), tepatnya sejak tahun 1968,
mulai digelar rencana-rencana pembangunan jangka pendek, jangka menengah, dan
jangka panjang. Penanganan kebudayaan pun dilakukan dengan pengembangan
kelembagaan. Pada tingkat pusat disusun struktur baru dengan menempatkan para
direktur jenderal eselon I yang dipimpin seorang menteri dalam organisasi suatu
departemen. Pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dibentuk Direktorat
Jenderal Kebudayaan dengan Prof. DR. Ida Bagus Made Mantra (1928–1995)
sebagai Direktur Jenderal Kebudayaan yang pertama, 1968–1978. Direktorat
Jenderal ini membawahi Direktorat Kesenian, Direktorat Permuseuman, Direktorat
Sejarah dan Nilai Tradisional, Direktorat Pembinaan Penghayat Kepercayaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa, Pusat (Pembinaan dan Pengembangan) Bahasa,
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, dan sebuah unit pelaksana teknis di pusat,
yaitu Museum Nasional.154
Prof. DR. Ida Bagus Made Mantra sebagai Direktur Jenderal Kebudayaan
(1968–1978) kemudian merintis taman budaya dan museum negeri di provinsi-


152
Lihat Bisri Effendi, “Kesenian Indonesia, Pertarungan Antar Kekuasaan (Sebuah
Pengantar) dalam Kebijakan Kebudayaan di Masa Orde Baru (Jakarta: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Kemasyarakatan dan Kebudayaan - LIPI dengan The Ford Foundation, 2001), hlm.
663–4; Goenawan Mohamad, Kesusastraan dan Kekuasaan (Jakarta: Pustaka Fidaus, 2003), hlm.
106; Rachmi Diyah Larasati, The Dance That Makes You Vanish, Cultural Reconstruction in Post-
Genocide Indonesia (Minneapolis: The University of Minnesota, 2003), hlm. 88–93.
153
Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru
Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film (Jakarta: Gajah Hidup, 2013), hlm. 211.
154
Lihat Nunus Supardi, “Kebudayaan Pada Masa Orde Baru”, hlm. 600.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


77

provinsi di Indonesia sebagai bentuk pengembangan institusional. Kedua instansi


tersebut mempunyai tugas untuk menjaga, mengembangkan dan menampilkan
hasil-hasil budaya yang masih hidup dan dirasakan relevan di masing-masing
daerah. Taman-taman budaya dan museum-museum itu diharapkan bisa menjadi
etalase seni budaya yang ada di daerah serta manajerialnya menjadi tanggung jawab
pemerintah daerah setempat. Selanjutnya sarana-sarana tersebut dimanfaatkan pula
untuk ajang integrasi kegiatan antarprovinsi, dengan berbagai program, kegiatan,
dan tanggung jawab yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan.155
Sebelum berdirinya taman budaya dan museum negeri di provinsi-provinsi,
telah terlebih dahulu diberdayakan lembaga kesenian di daerah. Di Surakarta
didirikan Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT) pada akhir tahun 1968. Di tahun itu
pula (1968) di Jakarta Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya,156 Ali
Sadikin (1927–2008), bersama para seniman dan budayawan membangun lembaga
seni-budaya, Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM).
Selanjutnya PKJT diprogramkan sebagai bagian dari “Rencana
Pembangunan Lima Tahun” (Repelita) tahap kedua di tahun 1970-an.157 Tugas
utama PKJT adalah sekitar pembinaan dan pengembangan kesenian terutama seni
tradisional, yaitu menggali dan merevitalisasi berbagai bentuk seni tradisional:
“repertoar” tari klasik Surakarta, “gending-gending ageng”, naskah-naskah lakon,
serta pengetahuan dan praktik pedalangan.
Sesuai dengan langkah-langkah Ida Bagus Mantra dalam membentuk pusat
kesenian di berbagai ibu kota provinsi di Indonesia, sebuah pusat kesenian didirikan


155
Tod Jones, Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia, Kebijakan Budaya selama Abad
ke-20 Hingga Era Reformasi, Edisius Riyadi Terre (penerj), (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2015), hlm. 237–45.
156
Selanjutnya Pemerindah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya dalam disertasi ini ditulis
DKI Jakarta atau Jakarta saja, sesuai penamaan Pemerintah Daerah tersebut sesudah pemerintahan
Ali Sadikin.
157
Dalam Ringkasan Repelita II 1974/75-1978/79 (Jakarta: Departemen Penerangan R.I,
1975), hlm 81, 83, Bab “Kebudayaan Nasional”, Sub-Bab IV “Program dan Sasaran: Pendidikan
dan Pengembangan Kesenian” disebutkan tentang pengembangan pusat-pusat pembinaan
pendidikan kesenian; pengembangan dan pembentukan pusat-pusat kebudayaan di provinsi;
melakukan persiapan ke arah pendidikan Wisma Seni Budaya; pengembangan lokakarya-lokakarya
seni; dan menciptakan suatu sistem penghargaan yang merangsang penciptaan baru dalam kesenian.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


78

di Bali pada tahun 1972. Pusat kesenian yang diberi nama Pusat Kebudayaan Bali
secara teratur bisa mendatangkan pengunjung dan memberikan kontribusi bagi
kebangkitan kesenian tradisional.
Kembali ke PKJT yang dipimpin oleh penari Jawa dan pemikir kesenian
Drs. Sedyono Djojokartika (Gendhon) Humardhani (1923–1983)158, pada tahun
1976 bukan saja melakukan penggalian dan pelestarian berbagai bentuk seni
pertunjukan lama, tetapi juga merevitalisasi seni tradisional dan penciptaan karya-
karya baru, termasuk karya tari, dengan bahan tradisi namun berorientasi masa
kini.159 PKJT ini merupakan cikal bakal berdirinya Taman Budaya Surakarta pada
tahun 1978.
Di Jakarta, seiring dengan pembangunan PKJ-TIM, dibentuklah Dewan
Kesenian Jakarta (DKJ) pada 7 Juni 1968 yang bertugas menyusun dan
melaksanakan program pembinaan kesenian di PKJ-TIM. PKJ-TIM merupakan
wadah untuk berbagai proses penciptaan dan penyajian kesenian baik lokal,
nasional dan internasional, yang bersifat tradisional, modern maupun kontemporer.
Lebih lanjut DKJ pada tahun 1970 menyarankan gubernur membentuk Lembaga
Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) untuk menyiapkan seniman terdidik sebagai
bagian dari program regenerasi, dan membentuk Akademi Jakarta (AJ) yang
bertugas memandu perkembangan kebudayaan di Tanah Air. Pendirian PKJ-TIM
sebagai sarana berkesenian merupakan wujud dari ideologi kebebasan berekspresi,
salah satu ideologi yang didengungkan dalam kebijakan kebudayaan Soeharto.160


158
Pada kurun waktu cukup lama yaitu pada 1968–1983, Drs. Sedyono (Gendhon)
Humardhani yang memiliki pengalaman dan wawasan seni yang luas, memimpin Akademi Seni
Karawitan (ASKI) dan PKJT. Melalui kepemimpinan Gendhon kedua lembaga itu, PKJT dan ASKI,
hadir dengan karya-karya seni tradisional “baru” yang lebih dinamis, mulai dari yang menyiratkan
identitas tradisi sampai dengan yang modern-kontemporer. Lihat Rustopo (ed.), Gendhon
Humardani Pemikiran dan Kritiknya (Surakarta: STSI Press, 1991), hlm. vii–viii
159
Lihat Sal Murgiyanto dalam https://www.facebook.com/note.php?note_id:
279571111109, “Tari, Wayang dan Gamelan Seabad Lewat”, diunduh 15 September 2013. Pada
saat menjadi Pimpinan PKJT (1970–1983), Sedyono D. (Gendon) Humardani juga menjadi Ketua
Presidium Akademi Seni Karawitan Indonesia di Surakarta (ASKI) pada tahun 1972–1975, dan
kemudian menjadi Ketua ASKI di tahun 1975–1983.
160
Oleh Tod Jones dinyatakan, “Di TIM, para seniman mengeksplorasi kebudayaan asli
dengan kebebasan yang baru ditemukan untuk mengubah dan menafsirkan kebudayaan-kebudayaan
itu tanpa memperhatikan imperatif politik Demokrasi Terpimpin, dalam proses menarik penonton
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


79

Telah diuraikan, pembangunan kebudayaan pada era Soeharto di antaranya


melalui upaya pengembangan kelembagaan, termasuk lembaga kesenian. Lembaga
pendidikan kesenian yang telah dibentuk oleh Soekarno merupakan warisan penting
bagi seniman Indonesia untuk memelihara kesenian yang sudah ada dan
mengembangkannya, selain juga untuk menghasilkan seniman professional. Pada
era Soeharto visi, misi, dan tujuannya dilanjutkan bahkan dikembangkan. Di
Yogyakarta, Akademi Seni Rupa (ASRI) ditingkatkan statusnya menjadi Sekolah
Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI) “ASRI” untuk bisa menghasilkan sarjana seni
rupa di atas derajat akademi pada tahun 1968. Selain ASRI juga berdiri Akademi
Seni Musik (AMI) yang merupakan peningkatan dari Sekolah Musik Indonesia dan
Akademi Seni Tari (ASTI). Di tahun 1973, pimpinan ketiga lembaga tersebut
berembuk untuk melebur menjadi lembaga yang lebih luas cakupannya di bidang
seni dan lebih besar kewenangannya sesuai ketentuan-ketentuan perguruan tinggi.
Dari hasil pertemuan pimpinan ketiga lembaga tersebut, berdirilah Institut Seni
Indonesia (ISI) Yogyakarta sebagai hasil fusi dari ketiga lembaga pendidikan itu di
tahun 1984. Perguruan tinggi seni yang sudah berstatus institute ini dilengkapi pula
dengan program studi seni media rekam, yang kemudian berbentuk fakultas.
Di Surakarta, Konservatori Karawitan Indonesia (KOKAR) yang statusnya
sudah diubah menjadi Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI), pada tahun 1988
berfusi dengan Konservatori Tari Indonesia (KONRI). Peleburan tersebut
mengubah status menjadi Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI), yang selain
memiliki program studi di bidang seni pertunjukan juga di bidang seni rupa.
Selain di Yogyakarta dan Surakarta, lembaga-lembaga pendidikan seni juga
terdapat di Bali, Bandung, Padang Panjang, dan Surabaya. Tujuannya adalah
melahirkan seniman profesional ataupun pengkaji dan peneliti seni. Dengan
demikian diharapkan lembaga kesenian tersebut mampu memelihara kesenian
Indonesia sekaligus menciptakan karya-karya seni baru yang sebagian juga disebut
sebagai karya seni kontemporer.


baru di kalangan pemuda kelas menengah perkotaan”. Tod Jones, Kebudayaan dan Kekuasaan, hlm.
239.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


80

3.2. Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki: Aspirasi Seniman dan


Ketersediaan Fasilitas
3.2.1. Aspirasi Seniman
Kehadiran pemerintahan Soeharto memberi harapan baru di segala aspek
kehidupan termasuk bidang kesenian. Sebagaimana dinyatakan Hatley161 bahwa
pemerintah memberikan dukungan dan mendanai program-program maupun
lembaga-lembaga kesenian sehingga mendorong tumbuhnya inovasi kreatif pada
karya-karya tradisional dan modern. Selain itu, para seniman pun merasa mendapat
kelonggaran untuk berkespresi maupun menciptakan karya dengan tema-tema serta
gaya ungkap sesuai dengan ide-ide dan gejolak nurani mereka. Hal ini senafas
dengan perjuangan para seniman yang dirumuskan melalui Manifesto Kebudayaan
(Manikebu) di era Soekarno yang pada intinya menyatakan bahwa sektor
kebudayaan harus hidup berdampingan dan tak ada perbedaan tinggi rendah
masing-masing sektor. Di samping itu, juga tak boleh ada deklarasi penolakan
maupun pengagungan terhadap kecenderungan seni tertentu.162 Manikebu dengan
tegas menentang hadirnya kebudayaan nasional yang didominasi oleh ideologi
partai tertentu dan pembatasan kebebasan berkreasi.
Dalam menghadapi perubahan era kepemimpinan tersebut, kelompok
seniman maupun kelompok budayawan dan cendekiawan berupaya
mengembalikan kebudayaan dalam posisi netral, bebas dari pengaruh ideologi
politik mana pun. Jika sebelum peristiwa G30S kelompok sosialis-komunis terus
menekan kelompok humanis universal dan kelompok netral, serta kehidupan
kesenian amat dipengaruhi oleh suasana politik sehingga menjadi tidak kondusif
dan terkotak-kotak, maka setelah peristiwa itu keadaan berbalik arah. Kelompok
humanis universal didukung oleh seluruh komponen bangsa bersatu memerangi dan


161
Barbara Hatley “Cultural Expression” dalam Hal Hill (ed.), Indonesia’s News Order:
The Dynamic of Socio-Economic Tranformation (Australia: Allen and Unwin Pty Lth, 1994), hlm:
216–8.
162
D.S. Moeljanto dan Taufik Ismail, Prahara Budaya Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI Dkk
(Kumpulan Dokumen Pergolakan Sejarah) (Bandung: Penerbit Mizan dan Harian Umum
Republika, 1995), hlm. 159–1967.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


81

mengubah pola pikir rakyat untuk menolak intervensi partai maupun doktrin negara
yang saat itu disebut “Manipol”, singkatan dari “Manifesto Politik” Soekarno.163
Akibat lebih lanjut, sesuai dengan aspirasi seniman, suasana berkesenian pun
terbebas dari belenggu dan tekanan partai-partai yang ditandai dengan pengagungan
terhadap kebebasan berekspresi dan kreatif dalam berkarya. Sebagian seniman pun
bisa berkarya dengan melakukan pendekatan seni modern, bereksplor untuk tidak
terikat pada teknik maupun gaya tertentu, dan membuat eksperimentasi yang
melakukan pencarian ungkapan-ungkapan individu yang orisinal secara terus-
menerus. Untuk mendukung suasana tersebut, Ali Sadikin sebagai gubernur DKI
Jakarta berupaya memenuhi aspirasi seniman Jakarta dengan menghimpun para
seniman dan budayawan untuk berdialog dan kemudian bersama-sama membangun
lembaga bagi pembinaan dan pengembangan kesenian.

3.2.2. Fasilitas
Sebelum berdiri dan diresmikannya Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail
Marzuki (PKJ-TIM) pada 10 November 1968, gedung pertunjukan di Jakarta antara
lain Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) yang kondisinya saat itu tidak terawat dan
kurang memadai untuk sebuah gedung pertunjukan, jika dibandingkan dengan
keadaan sekarang (2014). Koreografer dan guru tari Farida Oetoyo (1939–2014)
dan Julianti Parani (lahir 1939) yang memimpin Sekolah Balet Nirtya Sundara
sering mengadakan pertunjukan di gedung tersebut pada masa itu (1966–1968).164


163
“Manifesto Politik” dirumuskan dari Pidato Soekarno di tahun 1958. Lihat Goenawan
Mohamad, Kesusastraan dan Kekuasaan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), hlm. 15; lihat juga Isaac
T. Sinjal, Muhammad Kennedy, dkk., Who bukan Wah Catatan Perjalanan Hidup Aktor Kusno
Soedjawardi (Jakarta: Perhimpunan Gerak Indonesia Mandiri, 2005), hlm. 94; Nunus Supardi,
“Kebudayaan pada Masa Orde Baru”, hlm. 594
164
Sekolah Balet Nritya Sundara merupakan kelanjutan dari The Jakarta Scholl of Ballet
yang didirikan oleh Elsie Tjiok San Fang. Pada tahun 1959 saat warga keturunan Cina melakukan
eksodus besar-besaran ke RRC, dan Else ikut dalam rombongan itu. Kemudian Farida Oetoyo dan
Julianti Parani mengambil alih sekolah balet tersebut, mengganti namanya menjadi Nritya Sundara
yang diambil dari bahasa Sansekerta, yang berarti tarian yang indah. Sekolah balet tersebut tetap
berlokasi di Metropole, yang kemudian berganti nama menjadi Megaria. Hasil wawancara dengan
Farida Oetoyo (1939–2014) di Jakarta 2013, dan Julianti Parani (1939) di Jakarta 2013. Lihat juga
Farida Oetoyo, Saya Farida, Sebuah Autobiografi (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2014),
hlm. 65, 150.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


82

Di tahun 1968–1987, gedung tersebut dialihfungsikan sebagai gedung bioskop,


sehingga tidak bisa digunakan sebagai tempat pementasan seni panggung. Nirtya
Sundara terpaksa berpentas di Bali Room Hotel Indonesia sebelum Taman Ismail
Marzuki diresmikan pada 10 November 1968.165
Pada masa pra-PKJ-TIM, banyak seniman dan kelompok seni, termasuk
seni tari, yang bekerja sendiri-sendiri. Apabila kegiatan para seniman pendukung
balet beruntung bisa berpentas di Hotel Indonesia, maka Wayang Orang Pancamurti
mengadakan pertunjukan setiap malam di sebuah gedung lusuh di wilayah Pasar
Senen. Sandiwara Sunda Miss Tjitjih di gedung Angke sebelah stasiun Tanah
Abang. Adapun perkumpulan tari tradisional yang dimotori kaum terpelajar berlatih
di sudut-sudut lain kota Jakarta, misalnya Ikatan Seni Tari Indonesia (ISTI), yang
membina tari Jawa gaya Surakarta dan penggeraknya adalah Sampoerno S.H.
(1929–1999) dan Soemardjo H. (1926–2000), mempunyai tempat latihan di Jalan
Pintu Air. Perkumpulan Indonesia Tunggal Irama (INTI) yang bergerak dalam tari
Jawa gaya Yogyakarta, dipimpin A. Suhastjarjo (1928–1992), dan Yayasan Seni
Budaya Saraswati yang memberikan pelatihan tari tradisional Bali, mempunyai
tempat di kantor Direktorat Pembinaan Kesenian Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Selain tampil dalam pertunjukan berkala dan pentas untuk acara
perkawinan, perkumpulan-perkumpulan tari tradisional tersebut biasa tampil di
perayaan pembukaan atau penutupan konferensi.166
Kegiatan tari yang dianggap bergengsi bagi para seniman tari dari
perkumpulan-perkumpulan tersebut adalah bisa tampil dalam acara kenegaraan di
istana Presiden, dan terpilih ikut dalam pengiriman misi kesenian (sering juga
disebut sebagai misi kebudayaan) ke luar negeri, yang pada masa Soekarno diatur
dan diseleksi ketat oleh pemerintah. Adapun para seniman di luar seni tari, yaitu


165
Hotel Indonesia adalah hotel berbintang pertama yang dibangun pada tahun 1962 atas
inisiatif Presiden Soekarno untuk menyambut Asian Games IV yang diselenggarakan di Jakarta.
166
Sal Murgiyanto, “Benih yang Ditanam Jangan Sampai Layu” dalam Pia Alisjahbana
dkk. (eds.), 25 Tahun Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (Jakarta: Yayasan Kesenian
Jakarta dan PT Dian Rakyat, 1994), hlm. 159.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


83

seniman seni rupa, teater dan sastra, biasa berkumpul di Pasar Senen167 atau
bertukar pikiran di gedung Balai Budaya di Jalan Gereja Theresia.
Berdirinya PKJ-TIM yang lengkap dengan tempat latihan, tempat
pertunjukan, dan wisma seni, disambut gembira oleh para seniman. Setelah gedung
dan fasilitas tersedia, kemudian para seniman ditantang untuk mampu berkarya,
mengelola, dan memeliharanya. Trisno Soemardjo (1916–1969), sebagai Ketua
Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pertama, dalam sambutan peresmian PKJ-TIM
mengungkapkan tantangan kepada para seniman:
“Seniman, mana karyamu?
Seniman, Kau sudah berkarya dengan serius atau tidak?
Kau lahirkan seni dengan jujur atau tidak?
Betul-betul kau hayati atau tidak?
Kau tergiur oleh uang atau tidak?”168

Adapun Ali Sadikin dalam sambutannya mengatakan “politik tidak boleh


intervensi ke dalam Pusat Kesenian ini, semacam waktu pra-Gestapu dulu”.169
Sebagai Gubernur sebuah ibu kota Republik Indonesia, Ali Sadikin
menghendaki Jakarta selain sebagai pusat politik dan pemerintahan, juga sebagai
pusat ekonomi dan perdagangan, pusat pengembangan seni-budaya secara nasional,
seperti halnya beberapa ibu kota dan kota-kota besar di mancanegara yang pernah
dikunjunginya.170 Oleh sebab itu, Ali Sadikin menyetujui pendirian pusat kesenian
di Jakarta selain untuk memenuhi aspirasi para budayawan dan seniman Indonesia,
yang juga sesuai dengan gagasannya itu.171 Pendirian PKJ-TIM pun diarahkan

167
Dari situlah kemudian lahir sebutan “Seniman Senen”, lihat Sal Murgiyanto “Perjalanan
Taman Ismail Marzuki” dalam Pia Alisjahbana dkk. (eds.), 25 Tahun Pusat Kesenian Jakarta Taman
Ismail Marzuki (Jakarta: Yayasan Kesenian Jakarta dan Dian Rakyat, 1994), hlm. 66.
168
Sal Murgiyanto “Perjalanan Taman Ismail Marzuki”, hlm. 66.
169
Dikutip oleh Taufiq Ismail dari sambutan Ali Sadikin dalam peresmian PKJ-TIM, lihat
Goenawan Mohamad, Kesusastraan dan Kekuasaan, hlm. 107.
170
Cita-cita untuk menjadikan Jakarta sebagai kota kebudayaan digariskan dalam Rencana
Induk 20 Tahun DKI Jakarta 1965–1985, tertanggal 3 Mei 1967. Di dalamnya tersurat keinginan
untuk menjadikan Jakarta sebagai Pusat Kebudayaan Nasional. Oleh Karena itu penanganan
masalah kebudayaan perlu dilakukan oleh aparat yang memadai, lihat Soetjipto Wirosardjono, M.Sc.
dkk (eds.), Gita Jaya, Catatan H. Ali Sadikin Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu kota Jakarta
1966–1977 (Jakarta: Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, 1977), hlm. 205; lihat juga
Ramadhan K.H., Bang Ali Demi Jakarta 1966–1977 (Jakarta: Sinar Harapan, 1992), hlm. 111–2.
171
Rencana pembangunan pusat kesenian di Jakarta diungkapkan oleh Ali Sadikin secara
terbuka pada awal tahun 1968 saat meresmikan pemakaian kembali Balai Budaya, setelah gedung
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


84

sebagai pusat kesenian, pusat pelatihan dan pendidikan, dan sekaligus tempat
hiburan berskala nasional bahkan internasional. Keberadaan PKJ-TIM sebagai
ajang para seniman berkreasi juga melebar dengan menjalin kegiatan karya cipta
dengan daerah di luar Jakarta.172

3.2.3. Manajemen dan Anggaran


Di Jakarta, awal tahun 1967, para seniman muda kreatif Indonesia yang
sangat merindukan adanya fasilitas memadai untuk berkarya meminta Ajip Rosidi
(lahir 1939), Ramadhan K.H. (1927–2006), Ilen Surianegara (1924–2000) sebagai
wakil mereka menghadap Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI
Jakarta) yang baru, Ali Sadikin. Ketiga orang tersebut diharapkan mampu
meyakinkan Ali Sadikin tentang perlunya wadah dan fasilitas kesenian yang layak
di Jakarta. Aspirasi seniman dan budayawan ini kemudian semakin dipahami oleh
Ali Sadikin setelah terjadi dialog langsung antara Ali Sadikin dengan para seniman
dan pers Jakarta dalam suatu pertemuan (1967) yang dihadiri lebih dari 100 orang.
Setelah itu, tepatnya 9 Mei 1968, diadakan pertemuan dan percakapan lagi antara


tersebut dipugar oleh pemerintah DKI Jakarta. Melihat dan menyadari gedung yang terletak di Jalan
Gereja Theresia itu terlalu kecil untuk menampung berbagai kegiatan seniman yang semakin banyak
setelah berakhirnya masa Soekarno, Ali Sadikin kemudian mengutus stafnya untuk mencari lokasi
yang pantas sebagai sebuah pusat kesenian. Tempat strategis yang cukup luas di pusat kota
ditemukan, yang saat itu kebetulan sedang terbengkalai, yaitu bekas kebun binatang Cikini yang
sudah pindah ke Ragunan. Ketika tempat itu kemudian diusulkan sebagai tempat yang ideal untuk
sebuah pusat kesenian, Ali Sadikin segera menyetujuinya. Abrar Yusra, “Berdirinya Taman Ismail
Marzuki dan Dewan Kesenian Jakarta”, dalam Pia Alisjahbana, dkk. (eds.), 25 Tahun Pusat
Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (Jakarta: Yayasan Kesenian Jakarta, 1994), hlm. 24–5.
172
Bukti bahwa PKJ-TIM melalui DKJ memberikan perhatian terhadap keberadaan
kesenian di daerah di luar Jakarta adalah dilakukannya revitalisasi drama tari Bali, Gambuh, yang
hampir punah di tahun 1970-an, atas inisiatif Edi Sedyawati yang saat itu menjadi Ketua Komite
Tari DKJ. Ali Sadikin menyetujui program tersebut dan meminta DKJ bekerja sama dengan
Pemerintah Daerah Bali dan seniman setempat di daerah Batuan dan Pedungan untuk melakukan
kegiatan revitalisasi drama tari tersebut. Hasil revitalisasi itu selanjutnya dipertunjukkan di Teater
Arena PKJ-TIM dan penuh dihadiri penonton yang sebagian besar adalah orang Bali di Jakarta. Ida
Bagus Mantra, Dirjen Kebudayaan yang berasal dari Bali, hadir, dan seperti disampaikannya kepada
para anggota Komite Tari DKJ: “Saya sangat terkesan karena belum pernah menyaksikan
pertunjukan Gambuh yang tidak lagi dipertunjukkan di Bali.” Wawancara dengan Edi Sedyawati,
Agustus 2015, dan Julianti Parani, September 2015.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


85

Ali Sadikin dengan seniman dan budayawan Jakarta dalam acara makan malam di
rumah kediaman resmi gubernur DKI Jakarta di Jalan Taman Suropati.173
Selanjutnya, Ali Sadikin meminta kepada seniman spesifikasi yang lebih
jelas mengenai fasilitas yang diidamkan dan cara pengelolaannya. Para seniman
pun segera bermusyawarah dan membentuk formatur yang terdiri dari tujuh orang
yaitu: Brigjen. Rudy Pirngadie (1917–1973) bidang musik, D. Djajakusuma (1918
–1987) bidang teater dan film, Zulharman Said (1933–1993) dari media, Mochtar
Lubis (1922–2004) bidang sastra dan media, Asrul Sani (1927–2004) bidang sastra
dan film, Usmar Ismail (1921–1971) bidang film, dan Gayus Siagian (1920–1981)
bidang sastra dan film. Pada tanggal 24 Mei 1968 tim formatur menyampaikan hasil
kerja mereka kepada Ali Sadikin dan mengusulkan untuk membentuk Badan
Pembina Kebudayaan (BPK) yang terdiri dari 19 orang anggota. Tugas mereka
adalah merumuskan bentuk organisasi, membuat anggaran dasar, tujuan lembaga
dan menentukan keanggotaan pengurus. Kesembilan belas orang anggota Badan
Pembina Kebudayaan (BPK) tersebut adalah: Trisno Soemardjo (1916–1969)
bidang seni rupa, Arief Budiman (lahir 1941) bidang sastra, Wahyu Sihombing
(1933–1989) bidang teater, Sardono W. Kusumo (lahir 1945) bidang tari, Zaini
(1926–1977) bidang seni rupa, Binsar Sitompul (1923–1991) bidang musik, Teguh
Karya (1937–2001) bidang teater dan film, Goenawan Mohamad (lahir 1941)
bidang sastra dan media, Taufiq Ismail (lahir 1937) bidang sastra, Iravati M.
Sudiarso (lahir 1937) bidang musik, Misbach Yusa Biran (1933 –2012) bidang film,
Pramana Padmodarmaya (1933–2013) bidang teater, Ajip Rosidi (lahir 1938)
bidang sastra dan media, Darsjaf Rachman (1920–1987) bidang sastra, H.B. Jassin
(1917–2000) bidang sastra, B. Surjabrata (1926–1986) bidang musik, Rudy Laban
(1937–2004) bidang musik, Adhidarma (lahir 1930) bidang musik, Dra. Satyawati


173
Ramadhan K.H., Bang Ali, Demi Jakarta 1966–1977 (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1992), hlm. 181; Pramana Padmodarmaya, “25 Tahun Pasang Surut Pusat Kesenian Jakarta” dalam
Pia Alisjahbana, dkk. (eds.), 25 Tahun Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (Jakarta:
Yayasan Kesenian Jakarta, 1994), hlm. 34. Lihat juga Ajip Rosidi, “Ali Sadikin dan Kesenian”
dalam Bambang Bujono (ed.), Empu Ali Sadikin 80 Tahun (Jakarta: IKJ Press, 2006), hlm. 58–60,
dan Ajib Rosidi, Hidup Tanpa Ijazah, Yang Terekam Dalam Kenangan (Jakarta: Pustaka Jaya,
2008), hlm. 412.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


86

Sulaiman (1920–1988) bidang arkeologi. Tim formatur kemudian memberi


kebebasan kepada para anggota BPK untuk menetapkan cara kerja, menambah atau
mengurang jumlah anggotanya, dan memilih pula seorang manajer yang akan
mengatur pekerjaan sehari-hari badan ini.174
Pada Senin, 27 Mei 1968, BPK mengadakan rapat pertamanya di Balai
Budaya Jakarta, Jalan Gereja Theresia 47, untuk membicarakan soal organisasi dan
program kerja. Rapat itu memutuskan untuk menambah anggotanya dengan enam
orang seniman, yaitu: Oesman Effendi (1912–2009) bidang seni rupa, D.
Djajakusuma (1918–1987) bidang teater, Asrul Sani (1927–2004) bidang sastra,
Moh. Amir Sutaarga (1928–2013) bidang antropologi, Sjuman Djaja (1934–1985)
bidang film, dan D.A. Peransi (1939–1993) bidang film dan seni rupa, yang
sebagian adalah anggota tim formatur.175 Selanjutnya, BPK yang sudah berjumlah
25 orang tersebut menyepakati untuk mengubah namanya menjadi Dewan Kesenian
Jakarta (DKJ) dan akan menduduki masa jabatan selama dua tahun.176 DKJ terdiri
dari enam komite: musik, tari, seni sastra, seni rupa, film, dan teater. Sebagai
pelaksana harian ditetapkan Dewan Pekerja Harian (DPH) dengan tujuh orang
anggota yang terdiri dari tiga orang ketua, dua sekretaris, dan dua anggota. Trisno
Soemardjo terpilih sebagai Ketua Umum DPH-DKJ yang pertama, didampingi
Arief Budiman dan D. Djajakusuma sebagai Ketua I dan Ketua II, sedangkan


174
Lihat Lihat Abrar Yusra, “Berdirinya Taman Ismail Marzuki”, hlm. 27; dan Sri Warso
Wahono, “Dewan Kesenian Jakarta” dalam Pia Alisjahbana, dkk. (eds.), 25 Tahun Pusat Kesenian
Jakarta Taman Ismail Marzuki (Jakarta: Yayasan Kesenian Jakarta), hlm. 51.
175
Abrar Yusra, “Berdirinya Taman Ismail Marzuki”, hlm. 27.
176
Pada awal pembentukan DKJ ini (disahkan 7 Juni 1968), Ali Sadikin sebagai gubernur
DKI Jakarta menyetujui seniman-seniman ternama yang kreatif dan penuh idealisme menjalankan
peran sebagai anggota DKJ untuk mengelola seluruh kegiatan seni budaya di dalam masyarakat,
khususnya di Ibu kota Jakarta dengan cara merancang program berkualitas yang nantinya akan
direalisasikan dan ditampilkan di PKJ-TIM. Masa jabatan mereka yang pada awalnya disepakati
selama dua tahun, oleh Ali Sadikin disetujui tiga tahun. Dalam penerapannya, pada awalnya di tahun
1968, masa jabatan berlangsung selama tiga tahun (1968–1971). Kemudian dalam dua periode
berikutnya hanya dua tahun yaitu tahun 1971–1972, lalu tahun 1973–1974. Namun sejak tahun 1975
masa jabatan anggota DKJ kembali berlangsung selama tiga tahun. Lihat Pia Alisjahbana dkk. (eds.),
“Lampiran: Susunan Dewan Pekerja Harian Dewan Kesenian Jakarta 1968–1996” dalam 25 Tahun
Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail M Marzuki (Jakarta: Yayasan Kesenian Jakarta dan Dian
Rakyat, 1994), hlm. 248.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


87

Sekretaris I adalah Pramana Padmodarmaya, Sekretaris II D.A. Peransi serta


anggota Oesman Effendi dan B. Surjabrata.177
Tempat yang dipilih untuk dijadikan pusat kesenian terletak di pusat kota
yang strategis sehingga memudahkan masyarakat untuk mencapainya. Oleh para
pemrakarsa DKJ tempat itu dinamakan Taman Ismail Marzuki (TIM), diambil dari
nama seorang seniman Betawi yang terkenal, pencipta lagu-lagu perjuangan. Dalam
persiapan membangun PKJ-TIM itu juga diajukan dan disusun konsep tentang
tempat dan atau fasilitas yang dibutuhkan seperti tempat untuk berlatih dan
pertunjukan, tempat untuk berdiskusi dan seminar, termasuk tempat penginapan
bagi seniman yang datang dari luar kota. Pedoman tersebut disetujui oleh Ali
Sadikin dan pada tanggal 7 Juni 1968 diterbitkanlah Surat Keputusan Gubernur
KDKI Jakarta, No. Ib. 3/2/19/1968 sebagai pedoman dasar pembentukan DKJ dan
kemudian ditandatangani Gubernur Ali Sadikin (Mayor Jenderal KKO). Tugas
utama DKJ adalah merencanakan dan mengatur program (program yang terarah
dengan karya-karya unggul) di PKJ-TIM. Selain itu DKJ juga bertugas membina
dan memberi kesempatan seluas-luasnya kepada para seniman untuk bebas
berkreasi dan menyajikan hasilnya kepada masyarakat luas; membina dan memberi
kesempatan kepada masyarakat untuk menikmati karya seni tradisional, modern
dan kontemporer, baik nasional maupun internasional. Dalam SK Gubernur KDKI-
Jakarta No. Ib.3/2/19/1968 tanggal 7 Juni 1968 disebutkan juga bahwa sebagai
lembaga yang berwenang menangani kesenian di Jakarta secara menyeluruh, DKJ
bertugas mengelola Taman Ismail Marzuki.178


177
Pada 27 Maret 1969 Arief Budiman mengundurkan diri sebagai Ketua I DPH yang
kedudukkannya digantikan oleh Gajus Siagian, sedangkan Trisno Seomardjo meninggal pada 21
April 1969 dan kemudian Umar Kayam (1932–2002) dipilih untuk menggantikannya. Lihat Pia
Alisjahbana dkk. (eds.), 25 Tahun Pusat Kesenian, hlm. 248.
178
Dalam buku Gita Jaya, Catatan H. Ali Sadikin Gubernur Kepakla Daerah Khusus Ibu
Kota Jakarta 1966–1977, Soetjipto Wirosardjono, M.Sc. (ed.), hlm. 207, dituliskan bahwa Ali
Sadikin mengatakan, “Pada tahun 1968 saya sponsori untuk mengadakan musyawarah dari para
eksponen kesenian yang ada di Jakarta. Hasil musyawarah dirumuskan untuk mendirikan Pusat
Kesenian Jakarta yang diurus oleh para seniman sendiri dengan pembinaan dan pengawasan dari
Pemerintah DKI Jakarta. Pada tahun itu juga saya setujui dibentuk suatu wadah organisasi para
seniman yang disebut Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Keanggotaan DKJ ini diatur secara periodik
yaitu selama tiga tahun, dengan ketentuan, bahwa seorang seniman tidak diperbolehkan untuk tiga
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


88

Pembangunan PKJ-TIM dimulai pada pertengahan Juni 1968 dan Ir Tjong


Pragantha (1933–2011) ditunjuk sebagai arsitek pembangunan pusat kesenian
tersebut.179 Pembangunan ini kemudian disahkan dengan SK Gubernur tertanggal
19 Juli 1968, dan pembangunan pertama terdiri dari: bangunan Teater Terbuka,
Teater Tertutup, Teater Arena, Ruang Pameran, Tempat Latihan, Sanggar, dan
Tempat Penginapan yang kemudian dinamakan Wisma Seni. PT Pembangunan
Jaya ditunjuk sebagai salah satu pelaksana pembangunan.
Pendirian PKJ-TIM sebagai sarana berkesenian yang bukan hanya berupa
gedung-gedung pertunjukan semata, tetapi juga mengusung kebebasan berekspresi
dan kreativitas, dengan DKJ sebagai penentu kebijakan dan strategi terutama di
bidang artistik, kemudian berhasil memunculkan sejumlah seniman kreatif-inovatif
yang melakukan eksplorasi untuk mewujudkan karya-karya baru. Adanya acara
diskusi seni secara teratur sebagai bagian dari program DKJ di PKJ-TIM
memungkinkan pula berbagai gagasan dan tema penciptaan seni digelar untuk
konsumsi publik. Forum ini juga memungkinkan terjadinya interaksi lintas bidang
seni. Wacana yang digulirkan di PKJ-TIM, yang gemanya merambat ke seluruh
Indonesia, berpusat pada permasalahan mutu dan kebermaknaan seni.180


kali secara berturut-turut duduk sebagai anggota”. Lihat juga Sri Warso Wahono, “Dewan Kesenian
Jakarta”, hlm. 50–8.
179
Untuk pembangunan kompleks PKJ-TIM, Pemerintah DKI-Jakarta mengirim Ir. Wastu
Pragantha Zhong (Tjiong Seng Hong) yang lebih dikenal sebagai Ir. Tjong (1933–2011) ke Hawai
untuk mempelajari kompleks bangunan kesenian di sana. Selain itu ia juga melakukan survei ke
berbagai daerah di Indonesia. Bagi Ir Tjong merancang arsitektur PKJ-TIM suatu tantangan berat
karena harus mencerminkan keunikan arsitektur Indonesia. Di samping, kompleks gedung yang
dirancangnya akan dinilai oleh seniman dan budayawan yang amat menguasai nilai seni dan budaya.
Lebih lanjut, menurut Ir.Tjong, konsep rancangannya disebut continous space architecture yang
intinya terletak pada perencanaan plaza dan idenya diperoleh dari seni arsitektur Jawa dan Bali.
Untuk melengkapi idenya itu Ir Tjong berdiskusi dengan para arsitek dari ITB dan melakukan
penelitian ke Jawa Tengah dan Bali. Ia juga mendapat masukan dari para seniman seperti Oesman
Effendi, D Djajakusuma, Trisno Soemardjo, D.A. Peransi, dan lain-lain yang idenya sangat bagus
seperti: adanya suatu panggung (stage) pertunjukan teater yang fleksibel yang bisa digeser maupun
diubah dalam waktu singkat. Namun ide itu tidak dapat direalisasikan karena dana yang terbatas dan
masa pembangunan yang singkat, hanya tiga bulan. Lihat Abrar Yusra, “Berdirinya Taman Ismail
Marzuki”, hlm. 31–2.
180
Lihat Nunus Supardi, “Kebudayaan pada Masa Orde Baru”, hlm. 599. Sejak awal pula
DKJ berkomitmen dan berupaya keras menjaga makna kebebasan berekspresi dan kreativitas. Oleh
sebab itu menurut Mohamad, keberadaan PKJ-TIM pada awal pendiriannya menjadi suatu
eksperimen menarik, tak jarang menegangkan, dalam hubungan antara kebebasan dalam
berkesenian, instruksi dari “atas” dan atau kekuasaan, dan apresiasi masyarakat. Bahwa tidak terjadi
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


89

Telah disebutkan terdahulu bahwa DKJ yang beranggotakan 25 orang


memilih tujuh (7) orang sebagai pelaksana harian, Dewan Pekerja Harian (DPH),
dengan Trisno Soemardjo terpilih sebagai Ketua Umum DPH yang pertama. Selain
itu, rupanya masih diperlukan orang yang mampu menjalankan manajemen
administrasi PKJ-TIM dengan tugas antara lain menyelenggarakan acara
pertunjukan atau pameran dengan menyiapkan gedung dan peralatan, menyiapkan
tempat untuk pertemuan (diskusi, sarasehan, seminar, lokakarya), mengadakan
promosi dan publikasi, memelihara dan menjaga keamanan dan ketertiban seluruh
gedung dan peralatan, dan lain-lain yang berkaitan dengan aktivitas PKJ-TIM.
Untuk jabatan tersebut DKJ mencalonkan Dr. Soeparman Soemahamidjaja (1925–
2000), seorang pengusaha dan pemilik Galeri Lontar.181 Namun dari hasil
perundingan beberapa kali dengan Pemerintah DKI Jakarta, akhirnya Ali Sadikin
menunjuk Surihandono SH (tidak diketahui tahunnya), seorang staf direksi PT
Pembangunan Jaya yang berpengalaman di sektor proyek-proyek pembangunan
gedung dan Taman Rekreasi di tahun 1969, sebagai General Manager (GM) PKJ-
TIM (1969–1973). Surihandono dibantu oleh tiga orang wakil: G.F. Nanlohy
(1928–1983) sebagai Wakil GM Umum, Drh. Taufiq Ismail (lahir 1935) sebagai
Wakil GM Artistik, dan Tammy Efendi (1935–1999) sebagai Wakil GM Produksi.
Dalam pembagian tugas, hal yang berkaitan dengan sarana fisik, gedung-gedung,
peralatan, dan subsidi ditangani oleh Wakil GM Umum, yang juga pejabat
Pemerintah DKI Jakarta. Hubungan kerja dengan DKJ di bidang artistik diserahkan
kepada Wakil Direktur Artistik yang anggota DKJ. Penyelenggaraan acara yang


gangguan yang berarti dalam prosesnya, kesenian untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia
modern mendapatkan cukup kemudahan sekaligus kebebasan. Lihat Goenawan Mohamad,
Kesusastraan dan Kekuasaan, hlm. 108.
181
Dr. Soeparman Soemahamidjaja (1925–2000) adalah pengusaha dan pemilik Galeri
Lontar di Gedung Pembangunan dan Perumahan (PP) di jalan Mohammad Husni Thamrin.
Soemahamidjaja, orang yang memopulerkan istilah wiraswasta dan juga menjadi Ketua Lembaga
Bina Wiraswasta. Lihat Sal Murgiyanto, “Perjalanan Taman Ismail Marzuki” dalam Pia Alisjahbana
dkk. (eds.), 25 Tahun Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail M Marzuki (Jakarta: Yayasan Kesenian
Jakarta dan Dian Rakyat, 1994), hlm. 66.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


90

sifatnya mendadak, akan langsung dirundingkan antara Pimpinan PKJ-TIM dengan


DPH-DKJ.182
Dua tahun setelah PKJ-TIM berdiri, tepatnya pada tanggal 26 Juni 1970, di
lahan yang sama, DKJ mendirikan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ),
dan pada tahun 1981 berganti nama menjadi Institut Kesenian Jakarta (IKJ) sebagai
wadah bersifat akademik untuk mendidik dan meluluskan seniman-seniman muda
dari berbagai cabang seni: tari, teater, musik, seni rupa dan sinematografi. Pendirian
lembaga pendidikan ini berangkat dari kesadaran pentingnya kaderisasi,
menyiapkan potensi-potensi seniman masa depan yang akan melanjutkan prestasi
para seniman pendahulunya. Dalam menjalani pendidikan, calon-calon seniman
tersebut bisa memakai PKJ-TIM sebagai laboratorium, wadah untuk menyaksikan
berbagai pertunjukan dan pameran, bahkan bisa juga ikut serta dalam pertunjukan
dan pameran yang diadakan di tempat tersebut.
Setelah berdirinya LPKJ, sekitar dua bulan kemudian yaitu pada 24 Agustus
1970, atas prakarsa DKJ pula diresmikan Akademi Jakarta (AJ) yang anggotanya
diusulkan oleh DKJ. Akademi Jakarta merupakan dewan kehormatan bagi seniman
dan budayawan di Indonesia. Peran AJ adalah memberi arahan serta dasar-dasar
pemikiran guna pembinaan kesenian dan kebudayaan bagi seluruh masyarakat
Indonesia yang berlandaskan Pancasila. AJ juga berperan sebagai stabilisator nilai-
nilai yang tumbuh di dalam masyarakat serta dinamisator dalam berbagai sektor
kehidupan kebudayaan modern dan tradisional. Selain itu, AJ bertugas memilih
anggota-anggota DKJ.183


182
Dalam Sal Murgiyanto, “Perjalanan Taman Ismail Marzuki”, hlm. 68 dikatakan bahwa
Surihandono sebagai pimpinan PKJ-TIM menerapkan sistem pengelolaan proyek pembanguan yang
pragmatis, dinamis, dan ekonomis dengan pengawasan yang ketat. Beberapa tenaga staf dibawa dari
PT Pembangunan Jaya untuk menangani bidang Keuangan, Sekretariat dan atau Administrasi,
Personalia, Teknik Umum, dan Pengawasan.Tenaga kerja lainnya adalah para seniman dan tenaga
baru yang direkrut dari luar. Jumlah seluruh pekerja PKJ-TIM saat itu 65 orang, yang terdiri dari
tenaga tetap dan honorer.
183
Sri Warso Wahono, “Akademi Jakarta” dalam Pia Alisjahbana dkk. (eds.), 25 Tahun
Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail M Marzuki (Jakarta: Yayasan Kesenian Jakarta dan Dian
Rakyat, 1994), hlm. 44–9.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


91

Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta tahun 1968 itu kemudian pada tahun
1973 diperbaiki dengan Surat Keputusan Gubernur No. D.II-b.13/2935/73, yang
menyangkut Pedoman Dasar Organisasi Pusat Kesenian Jakarta secara menyeluruh.
Esensi dari SK yang baru ini tidak banyak berbeda dengan SK 1968, hanya ada
perubahan pada pasal 3/SK 1968 yang memuat aturan tentang kewenangan DKJ
yang berfungsi otonom dan bertugas menggariskan kebijakan dasar kesenian. Di
dalam SK tahun 1973 itu disebutkan bahwa DKJ dalam menjalankan fungsinya
harus berkonsultasi dengan Akademi Jakarta (AJ), dan memberikan
pertanggungjawaban mengenai tugas yang dilaksanakan kepada AJ. Pada bagian
lain, DKJ dan Dinas Kebudayaan DKI Jakarta mempunyai hubungan horizontal dan
wajib saling berkonsultasi, terutama dalam hal program kesenian yang telah digarap
oleh DKJ.
Pada awal tahun 1970-an, DKJ memprakarsai berdirinya Lingkaran Seni
Jakarta (LSJ) untuk menghimpun para pencinta kesenian di ibu kota. Menurut
Goenawan Mohamad, sejak awal para pendiri PKJ-TIM menyadari dua masalah
pokok yang dihadapi dalam kehidupan kesenian di Jakarta yaitu, (1) tidak
terbinanya hubungan kesenian dengan birokrasi dan kekuasaan negara, dan (2)
belum terbinanya hubungan kesenian dengan masyarakat.184 Oleh sebab itu, pada
saat tim pemasaran Pengelola Pusat PPKJ-TIM belum sepenuhnya mampu
melakukan promosi dan publikasi untuk program-program yang dipilih
ditampilkan, tersebutlah Toeti Heraty (lahir 1933) bersama Minarsih Soedarpo
(1924–2013), Mochtar Lubis (1922–2004) dan P.K Oyong (1920–1980), direktur
surat kabar Kompas yang bergabung dalam kelompok pemerhati seni Lingkaran
Seni Jakarta, menghadap Ali Sadikin. Mereka meminta agar bisa memperoleh
subsidi untuk memperkenalkan TIM kepada masyarakat luas. Kelompok ini
menyadari bahwa masyarakat Jakarta perlu disiapkan untuk menghadapi perubahan
yang terjadi di kotanya termasuk dalam bidang kesenian. Mendapat subsidi dari Ali
Sadikin sebesar Rp. 70.000 per bulan, kelompok ini kemudian menggelar berbagai


184
Lihat Abrar Yusra, “Berdirinya Taman Ismail Marzuki”, hlm. 30.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


92

kegiatan kesenian di PKJ-TIM dan dipublikasikan oleh media massa. Hasilnya,


Lingkaran Seni Jakarta dinyatakan sukses mengundang masyarakat Jakarta masuk
gerbang PKJ-TIM.185
Berbicara tentang keberadaan karya seni tidaklah ada artinya tanpa
penikmat atau penonton. Dalam konsep pembentukan DKJ dan kemudian dimuat
dalam Mukadimah Pedoman Dasar DKJ disebutkan ada dua kegiatan seni, yaitu (1)
kesenian hiburan, yang sudah ada pendukungnya; dan (2) kesenian serius, termasuk
kesenian tradisional dan kesenian kreatif-inovatif yang masih sedikit
pendukungnya.186 Kesenian yang perlu didukung oleh PKJ-TIM dalam hal
pendanaan dan fasilitas adalah kesenian yang belum banyak pendukungnya.187
Dalam hal ini, Ali Sadikin sebagai gubernur menyadari bahwa tugasnya memang
harus menyediakan fasilitas yang diperlukan warga kota Jakarta, di antaranya
sebuah pusat kesenian yang diinginkan oleh seniman dan budayawan. Oleh sebab
itu ketika kondisi keuangan DKI Jakarta mulai membaik dan konsep yang diajukan
seniman dan budayawan mengenai pendirian pusat kesenian dan pengelolaannya
diterima,188 PKJ-TIM segera dibangun dan diresmikan. Selanjutnya, kegiatan PKJ-

185
Lihat Toety Herati . “Bertetangga dengan Taman Ismail Marzuki” dalam Bambang
Bujono (ed.), Empu Ali Sadikin 80 Tahun (Jakarta: IKJ Press, 2006), hlm. 68–70.
186
Dalam Mukadimah Pedoman Dasar DKJ dan PKJ 1968–1994 disebutkan, “seni hiburan
lebih mengutamakan segi komersial. Jenis seni ini terutama bertujuan memuaskan selera populer
masyarakat. Faktor artistik menjadi soal yang tidak terlalu penting. Sebaliknya seni kreatif terutama
mengarahkan diri kepada penciptaan baru tanpa memperhitungkan selera popular yang ada.Selalu
terjadi jarak antara seni kreatif dengan kebanyakan anggota masyarakat sebagaimana setiap hal yang
baru tidak dengan sendirinya mudah begitu saja diterima oleh kebanyakan anggota masyarakat.
Sebab itu, pada mulanya publik atau ‘konsumen’ seni kreatif selalu merupakan kelompok yang
relatif kecil……”. Lihat Pia Alisjahbana dkk. (eds.), “Mukadimah Pedoman Dasar Dewan Kesenian
Jakarta dan Pusat Kesenian Jakarta 1968–1994” dalam 25 Tahun Pusat Kesenian Jakarta Taman
Ismail Marzuki (Jakarta: Yayasan Kesenian Jakarta dan Dian Rakyat, 1994), hlm. 244.
187
Lihat Abrar Yusra, “Berdirinya Taman Ismail Marzuki”, hlm. 30; dan Ajib Rosidi “ Ali
Sadikin dan Kesenian” dalam Bambang Bujono (ed.), Empu Ali Sadikin 80 Tahun” (Jakarta: IKJ
Press, 2006), hlm. 61. Dikatakan pula bahwa untuk pembangunan kompleks TIM termasuk kampus
LPKJ serta pembiayaan kegiatannya sejak tahun 1968 sampai dengan 1976, Pemerintah DKI Jakarta
telah mengeluarkan biaya sekitar 2,5 milyar rupiah, lihat Soetjipto Wirosardjono, M.Sc., dkk. (eds.),
Gita Jaya, hlm. 208–9.
188
Kondisi keuangan di DKI Jakarta membaik karena pajak kasino memberikan surplus
dana kepada Pemerintah DKI Jakarta yang berfungsi sebagai dinamo pembangunan untuk berbagai
bidang termasuk kesenian. Adapun konsep mengenai pusat kesenian dan pengelolaannya digarap
oleh Arief Budiman dan Goenawan Mohamad, dan kemudian diserahkan oleh Christianto Wibisono
(lahir 1945) yang saat itu bekerja sebagai wartawan Harian Kami yang punya akses dan networking
dengan Gubernur Ali Sadikin sejak 1967. Setelah disusun rapi, tulisan tersebut dijadikan pidato
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


93

TIM menempati prioritas utama dalam kebijakan kebudayaan Pemerintah DKI


Jakarta, dan Pemerintah DKI Jakarta mempercayakan pembinaan kebudayaan
kepada PKJ-TIM. Mengenai hal ini oleh Abrar Yusra disebutkan, pada tahun
1972/1973 sebagai contoh, anggaran kebudayaan Pemerintah DKI Jakarta yang
disetujui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebesar Rp. 279 juta (dua ratus
tujuh puluh sembilan juta), dan dari jumlah tersebut Rp. 264 juta (dua ratus enam
puluh empat juta) disediakan untuk kegiatan di PKJ-TIM.189
Sumber Pembiayaan PKJ-TIM ditegaskan dalam Pedoman Dasar Tahun
1973 Bab V, Pasal 26 dan 27 dan Pedoman Penyempurnaan Tahun 1991, Bab IV,
Pasal 17 dan 18. Kemudian, Surat Keputusan tentang pembentukan Yayasan
Kesenian Jakarta pada tahun 1989 menjelaskan pembiayaan secara rinci. Namun
demikian, anggaran rutin DKJ hingga tahun 1990-an masih dibiayai melalui subsidi
tahunan Pemerintah DKI Jakarta, sedangkan untuk program-program DKJ, yang
sebagian besar dilaksanakan di PKJ-TIM secara teratur, dibiayai oleh Yayasan
Kesenian Jakarta. Selanjutnya, sesuai dengan ketentuan pasal 27 SK 1973, untuk
membiayai anggarannya DKJ bisa mencari sumbangan atau sponsor dari
masyarakat. Dengan demikian bisa dikatakan, sejak didirikannya Yayasan
Kesenian Jakarta pada tahun 1989, tanggung jawab pembiayaan acara kesenian
yang diprogramkan oleh DKJ diserahkan kepada Yayasan Kesenian Jakarta.
Namun pembiayaan insidental yang jumlahnya kadang-kadang cukup besar,
diusahakan sendiri oleh DKJ, misalnya untuk penyelenggaraan Temu Budaya
Tahun tahun1986, Pidato Kebudayaan Umar Kayam (30 Oktober 1972), Pidato
Kebudayaan Emil Salim (1991), Musyawarah Dewan Keseniaan se-Indonesia
(1992) di Ujung Pandang, pemberian Hadiah Sastra kepada Mochtar Lubis (1992),
dan acara-acara besar lainnya.
Yayasan Kesenian Jakarta didirikan pada tahun 1989 di saat DKI Jakarta
dipimpin Gubernur Wiyogo Atmodarminto, 1987–1992, dengan tujuan untuk


kebijakan kesenian oleh Ali Sadikin pada 9 Mei 1968. Lihat Christianto Wibisono, “Seandainya
Tidak Ada Ali Sadikin” dalam Bambang Bujono Empu Ali Sadikin 80 Tahun (Jakarta: IKJ Press,
2006), hlm. 119–120.
189
Lihat Abrar Yusra, “Berdirinya Taman Ismail Marzuki”, hlm. 30.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


94

memayungi kepentingan bersama berbagai lembaga yang ada di PKJ-TIM.


Gagasan pendirian yayasan ini sesungguhnya sudah muncul sejak masa
kepengurusan DKJ tahun 1981–1985, dengan Dr. Toeti Heraty Noerhadi sebagai
Ketua DKJ,190 bersama Abdurachman Wahid (1940–2009) yang Ketua Nahdatul
Ulama dan Soedarmadji (lahir 1934) sebagai kritikus seni rupa. Ketika itu DKJ
mengambil prakarsa untuk menyusun suatu pedoman dasar yang direncanakan
berlaku bagi seluruh lembaga yang ada di PKJ-TIM yaitu: Dewan Kesenian Jakarta
(DKJ), Institut Kesenian Jakarta (IKJ yang sebelumnya LPKJ), Taman Ismail
Marzuki (TIM), dan Akademi Jakarta (AJ).191 Pembetukan yayasan ini diharapkan
akan bisa memadukan berbagai aspirasi dari lembaga-lembaga kesenian tersebut
dan menyelaraskan tata kerja lembaga-lembaga itu. Lebih penting lagi, yayasan
diharapkan bisa membantu Pemerintah DKI Jakarta dalam menyediakan dana untuk
pengelolaan dan penyelenggaraan kegiatan-kegiatan di PKJ-TIM dalam rangka
pembinaan dan pengembangan kesenian di Indonesia khususnya di Jakarta.192
Anggota yayasan terdiri dari wakil-wakil masyarakat, termasuk sejumlah


190
Pada tahun 1990–1996 Toeti Heraty menjabat sebagai Rektor IKJ dan menjadi salah
satu anggota Yayasan Kesenian Jakarta.
191
Telah diuraikan terdahulu lembaga-lembaga kesenian tersebut memiliki tugas dan
wewenang yang berbeda-beda. DKJ bertugas membantu Gubernur DKI Jakarta dalam menentukan
kebijakan pembinaan kesenian di wilayah DKI Jakarta dan menyusun program yang mendorong
para seniman Jakarta khususnya, dan Indonesia umumnya, untuk aktif mencipta dan melakukan
eksperimen inovatif. IKJ (sebelumnya LPKJ) bertugas mendidik dan menyiapkan potensi-potensi
seniman masa depan; dan untuk menunaikan tugas-tugasnya tersebut IKJ memerlukan PKJ-TIM
sebagai laboratoriumnya. PKJ-TIM mempunyai tugas menyuguhkan program-program yang sudah
disusun DKJ kepada masyarakat dan mengelola kegiatan dan fasilitas yang ada di kompleks PKJ-
TIM secara profesional. Adapun AJ berkewajiban memilih para anggota DKJ dan memberikan
penghargaan kepada seniman Jakarta dan atau Indonesia yang berprestasi. R. Gondomono dan Sal
Murgiyanto, “Yayasan Kesenian Jakarta” dalam Pia Alisjahbana dkk (eds.), 25 Tahun Pusat
Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (Jakarta: Yayasan Kesenian Jakarta dan Dian Rakyat,
1994), hlm. 59–60.
192
Gubernur Wiyogo Atmodarminto prihatin dengan kondisi PKJ-TIM yang semakin tidak
terawat dan mengalami kemunduran dalam pengadaan program-program berkualitas. Selain itu
PKJ-TIM juga masih menghadapi dilema, di satu sisi pembiayaan PKJ-TIM dan program kesenian
bagi seniman oleh DKJ yang berfungsi sebagai pembina kesenian dan apresiasi masyarakat selalu
bergantung pada subsidi Pemda DKI Jakarta. Di sisi lain Pemda DKI Jakarta dinilai oleh sebagian
seniman ikut campur dan mendikte pembinaan kesenian. Wiyogo Atmodarminto kemudian
menegaskan (1) pelunya dana untuk pembinaan dan pengembangan kesenian di Jakarta yang tidak
hanya bergantung pada subsidi Pemda DKI Jakarta; (2) perlunya pengelolaan PKJ-TIM oleh
manajemen profesional; (3) perlunya penegasan kedudukan dan tugas DKJ. Sal Murgiyanto,
“Perjalanan Taman Ismail Marzuki”, hlm. 60.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


95

pengusaha yang mempunyai kepedulian terhadap kehidupan seni-budaya di


Indonesia dan yayasan ini dinamakan Yayasan Kesenian Jakarta dan Dewan
Pengurus Yayasan yang pertama diketuai oleh H. Omar Abdalla (lahir 1926).
Selanjutnya pendirian Yayasan Kesenian Jakarta dikukuhkan dengan Akte Notaris
No: 69, di hadapan Notaris Koesbiono Sarmanhadi, di Jakarta pada tanggal 22
Agustus 1989.
Dalam Akte Notaris dicantumkan maksud dan tujuan Yayasan Kesenian
Jakarta di antaranya: (1) menumbuhkan kesenian yang sehat; (2) memberikan
kesempatan kepada seniman untuk mencipta dengan penuh kebebasan
berlandaskan Pancasila; (3) memupuk dan mempertinggi mutu serta
mengembangkan seni dan budaya yang luhur; dan (4) memberikan kesempatan bagi
masyarakat luas dalam membina apresiasi seni. Adapun tugas-tugas yayasan antara
lain: (1) mengumpulkan dana dari masyarakat bagi kegiatan PKJ-TIM; (2)
melaksanakan program-program DKJ; (3) mengelola PKJ-TIM dan IKJ-LPKJ.
Tugas kedua dan ketiga ini meliputi penyelenggaraan kegiatan kesenian di PKJ-
TIM dan penyelenggaraan pendidikan kesenian di IKJ-LPKJ, dan juga pengelolaan
kompleks PKJ-TIM yang asetnya dimiliki oleh Pemerintah DKI Jakarta.
Pada langkah awal (1989–1992-an) YKJ berhasil mengumpulkan dana lebih
dari dua milyar rupiah yang disimpan sebagai dana abadi. Bunga dari dana abadi
ini dipakai untuk membantu pengelolaan dan penyelengaraan program kesenian
PKJ-TIM dan pendidikan di IKJ-LPKJ. Para penyandang dana tersebut adalah: (1)
Soeharto (1921–2008), Presiden Republik Indonesia; (2) Ir. Ciputra (lahir 1931),
PT Pembangunan Jaya; (3) Sudwikatmono (1934–2010), PT Bogasari; (4) Robby
Djohan (1938–2016), Bank Niaga; (5) Sofyan Wanandi (lahir 1941), Gemala
Group; (6) Usman Atmadjaja (lahir 1946), Bank Danamon; (7) Laksamana Sukardi
(lahir 1956), Lippo Bank; (8) Aburizal Bakri (lahir 1946), Bakrie Group; (9) Jakob
Oetama (lahir 1931), PT Gramedia; (10) Eka Tjipta Widjaja (lahir 1923), Bank BII;
(11) Probosutedjo (lahir 1930), PT Garmak; (12) D. Ramli (lahir 1951), Bank Bali;
(13) Wiyogo Atmodarminto (1922–2012), Gubernur DKI Jakarta. Pengurus
yayasan berharap agar pada masa datang akan semakin banyak masyarakat
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


96

termasuk para pengusaha Indonesia, terutama yang tertarik ikut memikirkan


pembinaan dan pengembangan kesenian di Jakarta, dengan menjadi penyandang
dana abadi.193 Namun sesungguhnya setelah yayasan berjalan empat (4) tahun
masih terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan. Misalnya yayasan belum
sepenuhnya memanfaatkan gagasan berbagai pihak di PKJ-TIM untuk mendalami
aspirasi mereka dan tidak hanya fokus pada pencarian dana.

3.2.4. Animo Masyarakat


Perkembangan seni tari sebagai bagian dari seni pertunjukan tidak bisa
dipisahkan oleh hadirnya empat komponen yakni seniman, penonton, pengelola,
dan media massa. Keberadaan seni tari memperoleh pijakan kokoh bila keempat
tonggak tersebut tidak goyah.
James R. Brandon menyatakan bahwa penyelenggaraan sebuah seni
pertunjukan selain melibatkan pelaku, juga bersangkut-paut dengan materi seni
yang disajikan, tempat beserta peralatan yang digunakan dan penonton yang
menyaksikan pertunjukan tersebut.194 Kehadiran penonton sebagai salah satu
sasaran penyelenggaraan pertunjukan selalu menjadi pertimbangan penyelengara
dan seniman dalam menentukan jenis atau bentuk sajian yang tepat untuk
disuguhkan.
Dalam sebuah peristiwa tari, keberhasilan penampilan sebuah karya tari bisa
ditandai antara lain dari kehadiran penonton dan respons mereka. Karya tari baru
dan atau kontemporer bisa menggaet penonton jika mampu memberikan sajian
yang inovatif karena bagi sebagian masyarakat inovasi, perubahan dan pembaruan
merupakan daya tarik tersendiri. Namun pada saat PKJ-TIM didirikan dan
diresmikan di tahun 1968, masyarakat Jakarta masih perlu disiapkan dalam


193
Dalam upaya mencari dana, Yayasan Kesenian Jakarta telah mengadakan berbagai
malam gala. Pada tahun 1992, sebagai contoh, Pia Alisjahbana dan Astari Rasyid, sebagai anggota
Dewan Pengurus Yayasan, mengkoordinasikan peluncuran parfum “Dune” produksi Dior di Gedung
Kesenian Jakarta. Sal Murgiyanto, “Perjalanan Taman Ismail Marzuki”, hlm. 63.
194
James R. Brandon, Jejak-jejak Seni Pertunjukan di Asia Tenggara, terj. R.M.
Soedarsono (Bandung: P4ST UPI-Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Seni Tradisional
Universitas Pendidikan Indonesia, 2003).
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


97

menghadapi berbagai perubahan yang terjadi di kotanya termasuk di bidang


kesenian. PKJ-TIM belum didatangi oleh pengunjung yang cukup untuk
mengapresiasi kesenian yang ada. Diungkapkan oleh Goenawan Mohamad bahwa
pada masa itu belum terbina hubungan antara kesenian dengan masyarakat. Adapun
Arief Budiman membedakan dua jenis kesenian yaitu kesenian hiburan yang sudah
ada pendukungnya, dan kesenian kreatif-inovatif yang belum terbentuk
pendukungnya. Oleh sebab itu, seperti telah diuraikan terdahulu, pada awal tahun
1970-an DKJ memrakarsai berdirinya Lingkar Seni Jakarta (LSJ) yang berupaya
menarik minat berbagai kalangan masyarakat dan menghimpun para pencinta
kesenian di ibu kota terhadap berbagai kegiatan dan acara kesenian di PKJ-TIM.
Langkah yang dilakukan LSJ adalah memrakarsai antara lain: pemutaran
film Young Aphrodite, sebuah film drama Yunani pemenang Silver Bear for Best
Director (Berlin Film Festival) dan International Federation of Film Critics Prize
pada tahun 1963, yang dilaksanakan oleh Kine Klub DKJ; mengadakan pameran
lukisan pertama oleh DKJ yaitu lukisan koleksi Alex Papadimitriou195; pementasan
teater pertama ialah Molliere, yang disadur dan disutradarai oleh Teguh Karya; dan
konser musik pertama adalah penampilan orkestra pimpinan Frans Haryadi.
Selanjutnya, LSJ juga menyelenggarakan pameran perabotan dan perkakas rumah
tangga antik zaman kolonial-VOC dan memboyong lukisan Jan Peterszoon Coen
dari Taman Fatahillah untuk dipajang di dinding ruang pameran di Cikini, serta
meminta Ali Sadikin berpose di depan lukisan tersebut untuk difoto; mengadakan
kursus membuat anyaman Bali dan kursus melukis untuk anak-anak. Melalui
berbagai kegiatan yang diprakarsainya itu LSJ dianggap berhasil mengundang
masyarakat Jakarta datang ke PKJ-TIM.
Setelah langkah-langkah yang dilakukan LSJ, tugas dan tanggung jawab
berupa promosi dan publikasi sehubungan dengan pelaksanaan semua kegiatan atau
program kesenian di PKJ-TIM dilakukan oleh badan pengelola. Namun untuk
menggaet pengunjung di awal berdirinya PKJ-TIM, terutama untuk karya-karya


195
Alex Papadimitriou adalah kolektor lukisan di tahun 1970 dan 1980-an.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


98

kreatif-inovatif, termasuk karya tari kontemporer, memang tidak mudah. Para


seniman atau grup kesenian yang akan tampil biasanya ikut bekerja keras
menginformasikan kegiatannya, hingga acapkali perlu door to door atau
menghubungi peminat seni melalui telepon. Dalam hal ini, media massa sangat
berperan membantu para seniman dan grup kesenian dengan menyajikan berita
kegiatan kesenian, hingga terjadi hubungan yang baik dan saling mendukung antara
PKJ-TIM, seniman dan media massa. Hasilnya, pertunjukan karya tari kontemporer
Sardono W. Kusumo dikunjungi banyak penonton. Bahkan pertunjukan teater
modern W.S. Rendra memperoleh animo yang sangat tinggi dari masyarakat.196
Apabila dua bulan pertama (Desember 1968 hingga Januari 1969) setelah
PKJ-TIM diresmikan, DKJ hanya membuat acara “Tari Wira Rasa” dengan jumlah
pengunjung yang hadir masih sangat terbatas, maka di sepanjang tahun 1969 PKJ-
TIM telah menampilkan berbagai mata acara kegiatan tari, teater, musik, pameran
seni rupa, dan pemutaran film yang beritanya disebarluaskan oleh media massa,
terjadilah penambahan jumlah pengunjung. Bahkan di tahun 1970 dan 1971 jumlah
pengunjung mengalami lonjakan yang signifikan disebabkan semakin banyaknya
kegiatan di kedua tahun tersebut.197 Namun setelah tahun 1971 hingga 1976 jumlah
pengunjung mengalami penurunan meskipun jumlah kegiatan kesenian di tahun
1972–1976 bertambah banyak.198 Perkecualian terjadi pada bidang seni tari yang
jumlah kegiatan pertunjukannya relatif tidak bertambah, namun jumlah
penontonnya relatif cenderung meningkat. Menurunnya jumlah pengunjung,
menurut dugaan Ayip Rosidi, karena antara lain, “Masyarakat umum rasa ingin


196
Akibat tingginya antusiasme masyarakat Jakarta dan sekitarnya untuk menyaksikan
pertunjukan Rendra, para calo memanfaatkan situasi tersebut dengan memborong sebagian tiket
pertunjukan. Hasil wawancara dengan beberapa seniman yang aktif di PKJ-TIM pada masa itu; dan
berdasarkan pengalaman penulis.
197
Data kegiatan kesenian dan jumlah pengunjung di PKJ-TIM berdasarkan buku yang
disusun oleh Ayip Rosidi, Taman Ismail Marzuki (Jakarta:Dewan Kesenian Jakarta, 1974), hlm. 78,
menunjukkan: pada tahun 1969, jumlah kegiatan 251 dengan 163.000 pengunjung; tahun 1970,
jumlah kegiatan 312 dengan 500.000 pengunjung; dan tahun 1971 jumlah kegiatan 314 dengan
285.476 pengunjung. Namun setelah tahun 1971 hingga 1976 dinyatakan jumlah pengunjung
mengalami penurunan, meskipun jumlah kegiatan kesenian di tahun 1972–1976 bertambah banyak,
berdasarkan laporan tahunan Pusat Kesenian Jakarta.
198
Lihat Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki, “Laporan 1968–1970”.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


99

tahunya sudah terpuaskan” dan “Orang datang ke TIM bukan untuk menikmati
kesenian karena panggilan apresiasi yang baik,” demikian dituliskan dalam buku
yang disusunnya. “Maka setelah satu dua kali datang ke sana, orang cepat merasa
tidak ada kebutuhan lagi untuk pergi ke sana.” Goenawan Mohamad
menambahkan, “Yang mungkin dapat disimpulkan dari situ ialah bahwa hadirin
yang punya ‘kebutuhan lagi untuk datang ke sana’ bukanlah hadirin yang baru.”
Pertunjukan di PKJ-TIM pada saat itu hampir selalu menghadirkan kebaruan.
Namun manakala kebaruan diterima sebagai sesuatu yang tidak istimewa, daya
kejutan pun merosot, menyebabkan kehadiran penonton tidak bertambah bahkan
mungkin menurun.199
Dugaan Ayip Rosidi memperoleh pembenaran dari pernyataan Hurip
Winarno, seorang penonton yang beberapa kali menonton pertunjukan di PKJ-TIM.
Ia menonton berbagai karya seni pertunjukan, terutama yang diperkirakannya ada
pembaruan. Setelah itu ia jarang datang karena menurutnya tak ada lagi pembaruan.
Ia berpendapat WS. Rendra ternyata begitu-begitu saja setelah sejumlah karyanya
yang mengagumkan dengan mementaskan drama-drama klasik Yunani dengan
balutan artistik Jawa. Demikian pula pertunjukan teater Putu Wijaya yang semula
menampilkan pembaruan luar biasa namun dalam perjalanan kemudian tak lagi
beranjak lebih jauh.200
Seorang perempuan penonton bernama Meilihanny Sastrowardoyo
mengungkapkan ia diajak temannya menonton sebuah pertunjukan di PKJ-TIM
sewaktu masih SMA di pertengahan tahun 1970-an. Mulai saat itu hingga sekarang
ia tertarik dengan berbagai pertunjukan di pusat kesenian Jakarta tersebut dan juga
pameran seni rupa dan film-film seni. Pernyataan Meilihanny tersebut menegaskan
pendapat Goenawan Mohamad bahwa hadirin yang punya kebutuhan lagi untuk
datang ke PKJ-TIM bukanlah hadirin yang baru.


199
Ajip Rosidi, “Ali Sadikin dan Kesenian”, hlm. 78; Goenawan Mohamad, Kesusastraan
dan Kekuasaan, hlm. 111.
200
Hasil wawancara dengan Hurip Winarno di Jakarta 16 Desember 2016.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


100

Musisi Tony Prabowo di masa lalunya selalu menonton pertunjukan-


pertunjukan terkenal dari dalam dan luar negeri di PKJ-TIM. Ia mengaku
memperoleh pengalaman artistik luar biasa dan itu sedikit-banyak ikut membentuk
keseniannya sekarang. Sama dengan Meilihanny Sastrowardoyo, Tony Prabowo
hingga sekarang selalu menyempatkan menonton pertunjukan-pertunjukan di PKJ-
TIM yang dinilainya bisa memperkaya keseniannya.201
Data dan kenyataan menunjukkan bahwa apresiasi masyarakat terhadap
kesenian memang belum mantap terbentuk, masih belum mengimbangi kegiatan
seni yang berkembang, namun ada harapan besar untuk bisa menumbuhkan
apresiasi di kalangan masyarakat terutama bagi kalangan muda. Menyadari hal ini
DKJ kemudian meninjau kembali Anggaran Dasarnya, dan pada tahun 1973
memasukkan kegiatan pembinaan apresiasi seni bagi masyarakat ke dalam
programnya. Hasilnya, minat terhadap drama modern dari kalangan pemuda
meningkat yang bisa ditandai dengan jumlah penonton bertambah, jumlah hari
pertunjukan meningkat, dan bertumbuhnya grup-grup teater remaja di Jakarta.
Ketika DKJ membuat Festival Teater Remaja se-DKI Jakarta di tahun 1973 tercatat
111 grup teater yang turut serta.202
Meski semangat kebebasan kreatif dan inovatif merupakan cita-cita utama
para seniman, namun DKJ tidak mengesampingkan seni tradisional daerah. Selain
mempunyai hak hidup, seni tradisional daerah bisa berperan sebagai sumber
inspirasi bagi pertumbuhan seni kontemporer dan bagi pertumbuhan budaya
nasional. Dibangkitkannya kembali kesenian tradisional daerah yang sebagian
hampir mati suri, seperti Wayang Orang, Lenong, Gambang Kromong, Srimulat,
Opera Batak yang kemudian dikemas baru menjadi lebih singkat dan dinamis dan
dipentaskan di PKJ-TIM awal tahun 1970-an berhasil mengundang masyarakat
datang menonton. Mereka adalah para penonton yang mempunyai ikatan
kedaerahan, rindu dengan atribut-atribut kebudayaan yang ada di kampung


201
Hasil Wawancara dengan Meilihanny Sastrowardoyo dan Tony Prabowo di Jakarta, 17
Desember 2016.
202
Ajip Rosidi, “Ali Sadikin dan Kesenian”, hlm. 79.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


101

halamannya. Dengan demikian, menonton pertunjukan yang berangkat dari daerah


asalnya di Jakarta, menjadi obat penghilang rindu.
Bisa dijadikan contoh adalah perkumpulan Jaya Budhaya, sebuah
perkumpulan tari yang dibentuk oleh D. Djajakusuma (1918–1987) bersama
Sardono W. Kusumo (lahir 1945) dan Kies Slamet (lahir 1941) pada tahun 1971.
Perkumpulan ini dalam berkarya mencoba melakukan terobosan-terobosan baru
Wayang Wong maupun drama tari. Misalnya, membuat garapan gerak untuk
menggambarkan suasana laut dengan ombak, ikan dan binatang lainnya;
penggarapan area pentas, lampu, busana, rias dan setting melalui kerja sama dengan
seniman seni rupa sehingga menghasilkan kebaruan. Berproses kreatif dan
berpentas di PKJ-TIM, Jaya Budhaya telah menjadi ajang kreativitas untuk
kebangkitan tradisi drama tari Jawa203, dan mampu mengundang penonton yang
kemudian menjadi penonton setia. Kehadiran Jaya Budhaya kemudian disusul
terbentuknya grup tari Padneswara pimpinan Retno Maruti (lahir 1947) pada tahun
1976, grup tari Jawa Surakarta yang banyak menampilkan karya tari baru berangkat
dari tradisi Jawa Surakarta. Dalam setiap kali pertunjukan, grup tari Padneswara
selalu dibanjiri penonton, terutama penonton setia yang berasal dari Jawa.204
Lenong sebagai contoh lainnya, adalah tontonan yang mempunyai banyak
peminat dan berfungsi sebagai ‘hiburan rakyat’. Oleh sebab itu D. Djajakusuma
sebagai salah satu tokoh yang menghidupkan kembali Lenong pada tahun 1968
bersama Soemantri Sastrosuwondho (1932–1988) dan S.M. Ardan (1932–2006)


203
Sal Murgiyanto, “Moving Between Unity and Diversity: Four Indonesian
Choreograoher”, A dissertation submitteb to the faculty of Department of Performace Studies in
candidacy for the degree of Doctor of Philosophy Graduate School of Arts and Science (New York:
New York University, 1991, belum diterbitkan), hlm. 207; lihat juga Sal Murgiyanto “Awal Karir
Retno Maruti 1947–1969 dalam Pergelaran Tari Dewabrata Karya Retno Maruti (Jakarta: Bentara
Budaya, 1997), hlm. 9–10.
204
Para penonton setia dari Jawa tersebut selalu ingin menyaksikan pertunjukan karya
Retno Maruti karena merasa menemukan nilai kejawaan dalam karya tersebut, yang selalu selaras
antara gerak, musik, busana, dan dekorasi, tampak apik, rapi, dan anggun sehingga memberi rasa
tenang, tenteram, dan nyaman. Rasa tersebut menurut mereka, mengingatkan mereka pada kampung
halamannya. Lihat Siti N. Kusumastuti, “Tari Tradisional Jawa Surakarta di Jakarta: Kajian Kasus
Terhadap Retno Maruti dan Karyanya”, Tesis untuk memenuhi sebagaian persyaratan mencapai
gelar Magister Sosial (M. Sos) dalam Departemen Antropologi Program Pasca Sarjana Fakultas
Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia, 2003, hlm. 72.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


102

mengemukakan bahwa sudah selayaknya keinginan masyarakat penonton


diperhatikan tanpa harus terjerumus hanya mengikuti kehendak penonton.
Penggarapan dilakukan mengikuti perkembangan zaman dengan tetap
mempertahankan nilai-nilai yang sudah ada. Dengan cara itu, pertunjukan Lenong
berjudul Nyai Dasima yang ditampilkan di PKJ-TIM pada tahun 1968 dan
pertunjukan-pertunjukan lainnya yang berlanjut hingga tahun 1980-an, ternyata
sanggup mengundang animo masyarakat Jakarta. Penonton yang datang banyak
sekali bahkan melebihi kapasitas Teater Terbuka, salah satu gedung teater terbesar
di PKJ-TIM, dengan kapasitas 1700 penonton.205 Sebagian penonton yang tidak
memperoleh tiket masuk, berusaha memanjat pagar Teater Terbuka agar dapat
menyaksikan pertunjukan kesenian tradisional tersebut. Begitu pula dengan
pertunjukan Opera Batak, mampu mengundang supir dan kenek bus di ibu kota
republik ini, yang sebagian besar berasal dari Sumatera Utara, datang berduyun-
duyun ke Teater Terbuka TIM. Dengan demikian terlihat jelas bahwa pertunjukan
tradisional yang dikemas sesuai dengan cita rasa masa itu yaitu sekitar tahun 1968
hingga 1980-an disukai masyarakat pendatang di Jakarta karena merupakan pelipur
rindu akan kampung halamannya.
Data tersebut selaras dengan pernyataan Eric Habsbowm bahwa reka cipta
tradisi merupakan suatu respons terhadap situasi baru dengan mengambil bentuk
dari masa lalu.
Adapun karya-karya tari para koreografer dari mancanegara yang
dipertunjukkan di PKJ-TIM pada masa 1970 hingga 1980-an atas kerja sama DKJ
dengan kedutaan besar negara-negara sahabat selalu ramai dihadiri penonton dari
Jakarta maupun luar Jakarta. Pertunjukan Felix Blaska (lahir 1941) dari Prancis di
tahun 1971, misalnya, yang berlangsung selama tiga hari di Teater Terbuka PKJ-
TIM dengan kapasitas 1.700 tempat duduk, dipadati penonton. Selain orang-orang
Perancis yang tinggal di Jakarta, tampak hadir pula orang-orang asing lainnya, juga


205
Lihat S.M. Ardan, “Seni Tradisi di PKJ-TIM” dalam Pia Alisjahbana dkk. (eds.), 25
Tahun Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (Jakarta: Yayasan Kesenian Jakarta dan Dian
Rakyat, 1994), hlm. 214; dan berdasarkan pengalaman penulis bersama beberapa kawan yang pada
saat itu berstatus mahasiswa di IKJ-LPKJ pada tahun 1978 hingga awal 1980-an.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


103

para pejabat di antaranya Gubernur DKI-Jakarta Ali Sadikin, Duta Besar Perancis
untuk Indonesia, dan para diplomat dari negara-negara sahabat.206 Di tahun 1971,
pertunjukan balet modern seperti yang ditampilkan Felix Blaska belum banyak
dilihat dan dikenal oleh masyarakat penonton seni pertunjukan di Jakarta, karena
mereka lebih mengenal balet klasik.207 Pada masa itu di Indonesia sedikit sekali
kesempatan menonton pertunjukan balet modern sehingga tontonan Blaska masih
terasa ganjil, baik tampilan tariannya maupun musik iringannya. Namun penonton
menganggap pertunjukan Blaska bermanfaat untuk menambah pengetahuan
mereka tentang perkembangan seni tari di Eropa, terutama tentunya penting bagi
para penata tari dan penata musik Indonesia untuk memperkaya wawasan mereka
dalam mendukung penciptaan karya-karya baru.208
Martha Graham (1894–1991) dari Amerika Serikat yang tampil bersama
grupnya selama dua malam di Teater Terbuka PKJ-TIM pada tahun 1974, juga
dikunjungi ribuan penonton dari kota-kota besar di Indonesia. Begitu juga dengan
lokakarya dan diskusi yang diadakan keesokan harinya, diikuti oleh para penari,
penata tari dan pengamat tari Indonesia terutama yang berada di Jakarta. Bekas
murid Graham, Bagong Kussudiardja dan Wisnoe Wardhana, khusus datang dari
Yogyakarta untuk menonton maupun mengikuti lokakarya dan diskusi.209
Kedatangan Graham ke Indonesia, setelah kedatangannya yang pertana di tahun
1955, disambut gembira oleh penonton karena ia adalah salah seorang perintis dan
mempunyai kedudukan yang penting di dalam seni tari modern dalam rentang
waktu yang lama. Sekolah tari yang dipimpinnya bukan hanya didatangi penari-
penari Amerika saja, tetapi juga penari-penari dari berbagai penjuru dunia,


206
Berita Yudha, Sabtu, 6 Maret 1971.
207
Saat itu di Jakarta terdapat beberapa grup balet yang mengajarkan balet klasik yaitu
Namarina yang didirikan oleh Nani Lubis, Nritya Sundara didirikan oleh Farida Oetoyo dan Julianti
Parani, dan Marlupi didirikan Marlupi Sijanggarup.
208
Berita Yudha, 6 Maret 1971; lihat juga Pos Indonesia, 4 Maret 1971; dan Nusantara, 5
Maret 1971; hasil wawancara dengan beberapa penonton yang menyaksikan pertunjukan Felix
Blaska, 2014.
209
Kompas, “Martha Graham ke Indonesia Lagi, 17 dan 18 September y.a.d. di Teater
Terbuka TIM”, 2 September 1974; Sinar Harapan, “Martha Graham Dance Company Akan Datang
Ke Jakarta”, 11 September 1974; Agus Husni, “Martha Graham” dalam Angkatan Bersenjata, 1974;
dan P. Hend, “Errand into the Maze”, Berita Buana, 1974;
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


104

termasuk Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, RRC, Korea dan Jepang.210 Ia


mengenalkan gerak dan teknik tari baru, membuat perbendaharaan tari yang
orisinal, metode-metode latihan, merancang sendiri kostum karya tarinya, bekerja
sama dengan komponis-komponis kontemporer, di samping dalam pertunjukannya
selalu membuat suasana pentas yang khas dengan tema yang selalu bercerita meski
tidak digarap secara naratif, dan melakukan penggabungan gerak tari dengan tata
lampu dan kostum yang sekaligus menjadi properti, sehingga tercapai apa yang
disebut “teater total”.
Selanjutnya pertunjukan Alwin Nikolais (1912–1992) di tahun 1979, Laura
Dean (lahir 1945) di tahun1981, Lar Lubovich (lahir 1943) pada tahun 1983, juga
penuh dibanjiri penonton Jakarta dan luar Jakarta. Alwin Nikolais, yang juga tampil
di Teater Terbuka PKJ-TIM adalah koreografer dan tokoh tari modern dari Amerika
Serikat yang mendunia sesudah generasi Martha Graham. Ia hadir dengan teater
tarinya yang khas dan bertolak belakang dengan konsepsi para penata tari modern
pendahulunya. Nikolais bekerja berdasarkan konsep teater total, suatu sumber
kekuatan baru dalam perkembangan tari modern, yang meramu gerak, properti,
kostum, bunyi, dekor, warna dan cahaya, dalam kontribusi yang berimbang. Bagi
Nikolais, penari bukanlah pemain-pemain yang harus mengungkapkan emosinya di
pentas melainkan hadir di bawah manipulasi yang padu antara set, properti atau
kostum, permainan cahaya dan iringan bunyi yang rumit, serta pengolahan wujud-
wujud “dehumanisasi”. Menurut Nikolais, gerak sebagai gerak jika ditata dengan
kecermatan dan kecerdikan bisa menghadirkan dunianya sendiri yang memikat dan
mengesankan, dan pentas dianggapnya sebagai sebuah kanvas tiga dimensi yang
harus digarap dengan berbagai macam media.211
Penampilan Laura Dean (lahir 1945), penari dan koreografer dari Amerika
Serikat, berpentas di Teater Terbuka PKJ-TIM pada tahun 1981 bersama


210
Angkatan Bersenjata, “Martha Graham ke Jakarta lagi, Guru Tari Isteri Presiden AS dan
Penari2 Indonesia, Membawa 25 Penari”, 5 September 1974.
211
Lihat Sal Murgiyanto “Kanvas Tiga Dimensi”, Tempo, 20 Oktober 1979; lihat juga Edi
Sedyawati, “Happening dalam Tempo Adagio dan Suatu Pesta buat Mata”, Kompas, 22 Oktober
1979;
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


105

rombongan tarinya, Laura Dean Dancers and Musicians, juga dihadari banyak
penonton. Kelompok tari tersebut mewakili tari modern Amerika mutakhir namun
unsur-unsur gerak balet terlihat dalam garapan tarinya yang khas. Ciri karya Dean
yaitu adanya repetisi atau perulangan gerak yang digarap dengan tekun, pola-pola
gerak dilakukan secara berulang-ulang dan berganti-ganti baik dalam pola garis
lurus diagonal, mendatar, lingkaran, atau pola geometris. Selain itu gerak juga
digarap berputar-putar pada poros tubuh masing-masing penari bagaikan gasing,
dengan kedua lengan direntang ke samping. Gerak berputar tanpa henti lebih dari
25 menit tersebut mampu menyedot perhatian dan mengajak penonton tanpa sadar
seakan ikut berputar. Ciri lain dari kelompok Dean adalah para penarinya sekaligus
juga pemusik, sehingga gerakan-gerakan mereka nampak menyatu dengan iringan
musiknya. Pengolahan elemen-elemen gerak maupun komposisi yang sederhana
berhasil menjadi paduan komposisi yang tidak membosankan dan bahkan mampu
menghanyutkan penonton.212
Dean disegani di Amerika sebagai koreografer karya tari modern dengan
kesederhanaan konsep dan ketekunan maupun kesetiaannya terhadap konsep
tersebut, dan pengamat serta penonton mengkategorikan karyanya dalam bentuk
seni minimalis.213 Dalam konsep dan tampilan karyanya, Dean jelas berbeda
dengan Nikolais dan memang mereka dari angkatan yang berbeda, apalagi dengan
Martha Graham. Bahkan dikatakan ia bersikap kritis terhadap para pendahulunya
tersebut. Banyak pula penulis menghubungkan karya Dean dengan karya-karya tari


212
Sal Murgiyanto, “Berpusing Bagai Gasing”, Zaman, 17 Mei 1981; dan Sal Murgiyanto,
Ketika Cahaya Memudar, Sebuah Kritik Tari (Jakarta: Deviri Ganan, 1993), hlm. 314. Dalam
tulisannya Murgiyanto mengatakan pula bahwa dalam teori komposisi, pengulangan yang terlalu
banyak sebaiknya dihindarkan karena memberikan kesan monoton. Namun Dean membuktikan
sebaliknya, pengulangan gerak yang berkali-kali dilakukan mampu memukau penonton; Lihat juga
Efix, “Pementasan Laura Dean, Semangat yang Mengalir”, Kompas, 11 Mei 1981.
213
Penata tari modern generasi Laura Dean di Amerika Serikat cenderung berkarya dengan
konsep dan garapan sederhana dan minimalis, karena bosan dengan “kemewahan” gerak dan
kespektakuleran penataan panggung yang mencoba mempengaruhi pandangan penonton. Lihat Sal
Murgiyanto, “Kanvas Tiga Dimensi”, hlm. 314.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


106

rakyat dan karya-karya tari Timur, misalnya, Indonesia, Timur Tengah, Afrika dan
India.214

3.2.5. Media Massa, Penguatan Kritik dan Pengamat


Berdirinya PKJ-TIM pada tahun 1968 dan ditampilkannya karya tari baru
hampir setiap bulan di tempat itu pada tahun 1970-an belum diimbangi dengan
hadirnya kritikus tari yang memadai jumlahnya di Indonesia. Keluhan di kalangan
seniman tari pun merebak karena gema maupun pembicaraan mengenai peristiwa
tari kurang terdengar melalui media massa sehingga pancaran apresiasi kepada
publik tak sepenuhnya tercapai. Itu berarti informasi kesenian tidak sampai kepada
masyarakat.215
Untuk memberikan pemahaman seni kepada publik, yang diperlukan bukan
sekadar berita atau reportase, melainkan jauh lebih menukik adalah pembahasan
komprehensif dari pengamat yang menguasai bidangnya dan atau kritikus. Kata
“kritik” yang berasal dari bahasa Yunani “kritikos”, berarti mampu berdiskusi.
Dengan demikian seorang kritikus diharapkan mampu membahas sebuah
pertunjukan tari dan tidak hanya melontarkan baik-buruknya saja. Sebuah kritik tari
adalah sebuah deskripsi yang membahas sajian atau tampilan pertunjukan,
interpretasi kreatif yang dimunculkan senimannya, dan evaluasi yang memberikan
nilai-nilai maupun masukan membangun atas kerja keras si seniman. Masih sangat
sedikitnya penulisan kritik tari di Indonesia hingga tahun 1970-an216
mengakibatkan masyarakat kurang mengetahui tentang nilai-nilai atau mutu suatu
karya tari, atau bahkan tidak tahu adanya karya-karya tari yang diciptakan dari
waktu ke waktu di PKJ-TIM. Padahal masyarakat luas khususnya masyarakat


214
Merdeka, “The Laura Dean Dancer and Musicians, Permata dari Pusat Bumi”, 7 Mei
1981; Pelita, “Laura Dean Dancer. USA di TIM”, 8 Mei 1981; Berita Buana, “Laura Dean: Darwish,
Darwish Juga Menari Seperti Ini”, 19 Mei 1981.
215
Lihat Edi Sedyawati, “Masalah Kritik Tari” dalam Seminar Kritik Tari 1977 (Jakarta:
Arsip DKJ, 1977, tidak diterbitkan), hlm. 1.
216
Edi Sedyawati merintis penulisan kritik tari pada tahun 1970 dengan menulis tentang
pertunjukan Bagong Kussudiardja dan Wisnoe Wardhana. Lihat Edi Sedyawati, “Bagong Masih
Harus Ditantang” dalam Kompas, 1 September 1970; dan Edi Sedyawati, “Tentang Pentas Tari
Wisnu Wardhana: Hanya Wisnu Boleh Menggendong Sita?”, Kompas, 17 November 1970.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


107

Jakarta perlu diberi tahu dan diingatkan bahwa ada karya-karya baru yang
diciptakan, ada penari-penari yang baik, dan ada panata-penata tari yang produktif
dan berkualitas.
Menyadari gersangnya khasanah penulisan tari di Indonesia dan
mendesaknya kebutuhan adanya kritik tari, pada tanggal 20-22 Oktober 1977
Komite Tari DKJ menyelenggarakan Seminar Kritik Tari. Para pembicaranya
adalah Edi Sedyawati (lahir 1938) dari DKJ yang membahas “Masalah Kritik Tari”
dan “Isi dan Sasaran Kritik Tari”, I Wayan Dibia (lahir 1948) dari ASTI Bali
membahas “Fungsi Kritik Tari”, Cornelia Jane Benny S. (lahir 1931) dari IKIP
Bandung membahas “Cara-cara Pengembangan Kritik Tari”, Enoch Atmadribrata
(1927-2011) dari ASTI Bandung membahas “Kritik dalam Kritik Tari”, Soedarsono
(lahir 1933) dari ASTI Yogyakarta membahas “Cara-cara Pengembangan Kritik
Tari”, dan Sardono W. Kusumo (lahir 1945) dari Akademi Tari LPKJ membahas
“Kritik Tari, Sampai di Mana?”. Adapun para pembuat kesimpulan, selain para
pembicara, adalah para moderator yaitu Satyagraha Hoerip (1934–1998) dan
Slamet Sukirnanto (1941–2014), ditambah para pemikir, praktisi tari, dan
penyelenggara seminar yaitu Singgih Wibisono (lahir 1935), Agus Tasman (lahir
1936), Julianti Parani (lahir 1939), Ben Suharto (1944–1997), Sal Murgiyanto (lahir
1945), dan Subanindyo Hadiluwih (lahir 1945).217
Melalui seminar Kritik Tari tersebut terlihat ada keinginan kuat dari Komite
Tari dan seniman tari agar sebuah kritik benar-benar bisa mencerahkan. Melalui
sebuah kritik, diharapkan seniman memperoleh perspektif untuk karya selanjutnya.
Dengan begitu seniman turut serta menumbuhkan kualitas pada perkembangan seni
pertunjukan di masa yang akan datang. Di samping itu, kritik seharusnya juga
menjadi jembatan antara seniman dengan penonton. Penonton diharapkan
mempunyai bekal dalam menghayati peristiwa tari sehingga ke depannya mereka
bisa menjadi penonton yang apresiatif karena mereka berkesempatan mendapatkan


217
Arsip DKJ, Seminar Kritik Tari 1977, tidak diterbitkan, 1977.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


108

pengayaan wawasan.218 Dengan demikian tugas seorang kritkus tari sesungguhnya


juga sebagai pendidik yang memberikan informasi berguna, dan pandangannya
menjadi masukan bagi seniman (pelaku maupun pencipta) dan publik atau penikmat
seni tari. Kritikus adalah orang yang tekun mengamati peristiwa tari,
menyampaikannya dengan jelas, sekaligus menjadi bahan evaluasi dengan keluasan
wawasan, kedalaman, ketajaman pandangan, dan tentunya beritikad baik.219
Idealnya seorang kritikus tari memiliki ketajaman intuisi, kepekaan estetis,
pengetahuan yang luas tentang berbagai bentuk seni, pengetahuan tentang sejarah
perkembangan dan teori seni tari (teknik tari, koreografi, gaya, genre), pengetahuan
produksi, dan juga cabang seni lain yang berkaitan dengan seni tari yang
dibahasnya, memiliki pengetahuan tentang agama, memahami kondisi budaya,
sosial, politik, dan situasi masyarakat tempat pertunjukan dilakukan. Seorang
kritikus juga harus memiliki sikap kritis dan selalu berpikir logis, dan penilaiannya
terhadap sebuah karya harus disampaikan secara terbuka kepada publik dengan cara
yang baik dan argumentatif, disertai bukti dan alasan logis.220
Di Indonesia, kritik tari sering masih disampaikan secara samar-samar, tidak
langsung diungkapkan kepada yang dikritik. Pada beberapa masyarakat tradisional,
jika pertunjukan tari yang disaksikan tidak berkenan di hati, maka reaksinya cukup
dengan tidak mengacuhkannya atau perlahan-lahan pergi meninggalkan tempat
pertunjukan.221 Selain itu, kadang kritik yang disampaikan tidak sampai ke publik

218
Lihat Edi Sedyawati, “Masalah Kritik Tari” dalam Seminar Kritik Tari 1977 (Jakarta:
Arsip DKJ, 1977, tidak diterbitkan), hlm. 1–5; Sal Murgiyanto, Ketika Cahaya Merah Memudar
(Jakarta: Deviri Ganan, 1993), hlm. 24–25.
219
Lihat Sal Murgiyanto, Kritik Tari Bekal dan Kemampuan Dasar (Jakarta: Ford
Foundation dan Masyarakat Seni Seni Pertunjukan, 2002), hlm. viii–xiv.
220
Berkaitan dengan kriteria seorang kritikus tari, Prof. Dr. RM Soedarsono mengatakan
bahwa tidak sembarang orang bisa menjadi kritikus tari. Adapun Sardono W. Kusumo
mengingatkan agar seorang kritikus tari tidak hanya asyik membicarakan sebuah pertunjukan tari
sebagai pertunjukan semata, tetapi juga mengingatkan kaitan pertunjukan tersebut dengan latar
belakang masyarakatnya.
221
Ada pandangan dari beberapa seniman di bidang sastra dan teater maupun tari, yang
menganggap bahwa tidak perlu ada pembahasan atau pertanyaan atas sebuah karya tari. Hal tersebut
karena karya tari adalah sesuatu yang utuh, mempunyai bahasanya tersendiri yang nonverbal dalam
menyampaikan pesan, yang tidak perlu diurai lagi dengan kata-kata. Pembahasan tentang karya tari
dikhawatirkan justru akan menyalahtafsirkan tari, atau kemudian penonton akan menuntut arti dan
penjelasan mengenai tari. Lihat Edi Sedyawati, “Pekan Penata Tari Muda, Sesudah Masa Rintisan”,
Kompas Minggu, 30 September 1984.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


109

karena disampaikan langsung kepada yang dikritik.222 Namun yang diperlukan oleh
para seniman tari dan masyarakat Jakarta maupun kota-kota besar lainnya di
Indonesia setelah berdirinya PKJ-TIM dan kemudian juga oleh kantong-kantong
kebudayaan lainnya adalah kritik yang disampaikan melalui media massa. Kritik
tari yang baik melalui media massa diharapkan adalah yang padat, berisi, segar,
memikat, jelas, sehingga mudah dipahami.
Telah disebutkan terdahulu, kritikus tari yang diharapkan untuk mengulas
pertunjukan di PKJ-TIM dan tempat-tempat pertunjukan lainnya di Indonesia pada
tahun 1970-an223 jumlahnya sangat terbatas. Para pakar, praktisi, dan pengajar seni
tari yang mampu memberikan ulasan tari dan kritik tari tidak rutin melakukannya.
Mereka biasanya menulis sesekali saja. Semacam ini lebih tepat disebut sebagai
praktisi dan pengamat ahli (keen observers and practitioner) daripada kritikus. Di
luar kritikus, kandungan seni tari di media massa yang ditulis oleh wartawan lebih
sebagai laporan tentang peristiwa pertunjukan. Sebuah laporan lebih condong
bersifat umum, deskriptif, tanpa detail yang memadai dan sering justru
memberitakan subjek si senimannya yang tak ada sangkut-pautnya dengan karya.
Betapapun, pemberitaan tentang seni tari untuk menyongsong sebuah pertunjukan
(prapertunjukan, preview) dan siaran pers di media massa, sangat besar manfaatnya
dalam menarik keinginan publik untuk menonton.224


222
Pada tahun 1970-an, para seniman tari di Bali hanya memberikan kritik lisan jika
kebetulan mereka diminta, dan biasanya didahului dengan permintaan maaf agar tidak menyinggung
pihak yang dikritik. Lihat I Wayan Dibia, “Fungsi Kritik Tari” dalam Seminar Kritik Tari 1977
(Jakarta: Arsip DKJ, 1977, tidak diterbitkan).
223
Jumlah penulis kritik tari di Indonesia masih sangat terbatas bahkan hingga saat ini.
Oleh sebab itu salah satu program Indonesian Dance Festival pada tahun 2006 adalah membuat
Diskusi Kritik Tari, dan pada 2008 mengadakan Lokakarya Penulisan Kritik Tari dengan peserta
dari seluruh Indonesia. Dalam lokakarya itu pesertanya berjumlah 20 orang (sebagian besar dari
perguruan tinggi seni) dan beberapa dari peserta setelah selesai mengikuti lokakarya cukup aktif
menulis di media massa. Namun kondisi tersebut hanya berlangsung singkat, kemudian mereka
tidak lagi aktif menulis.
224
Pada tahun 1970-an hingga 1990-an, penulisan prapertunjukan (preview) belum
berfungsi dengan baik karena banyak kelompok dan penyelenggara pertunjukan tari belum
sepenuhnya siap dengan bahan-bahan publikasi yang memadai yang memuat antara lain konsep, isi,
latar belakang karya tari yang akan disajikan, foto-foto, profil grup tari, kliping koran, biodata
koreografer, penari dan seniman pendukung lainnya, sejarah, dan prestasi grup maupun individu
pendukung pertunjukan. Lihat Sal Murgiyanto, “Kanvas Tiga Dimensi”, hlm. xiii.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


110

Pada awal tahun 1970-an hingga akhir 1980-an, mereka yang diakui sebagai
kritikus tari adalah Edi Sedyawati dan Sal Murgiyanto.225 Sedyawati dan
Murgiyanto secara kontinyu menulis tentang pertunjukan-pertunjukan tari yang
tampil di PKJ-TIM di berbagai surat kabar nasional yang berada di Jakarta seperti,
Sinar Harapan, Kompas, Berita Buana, Berita Yudha, Suara Karya, dan di majalah
Tempo, Zaman, dan Titian. Adapun praktisi dan pengajar seni tari seperti Julianti
Parani, Sardono W. Kusumo, I Wayan Diya, Cornelia Jane Benny S., S.D.
Humardani, R.M. Soedarsono, I Made Bandem, I Wayan Dibya, Bagong
Kussudiardjo, Wisnu Wardhana, Ben Suharto, Enoch Atmadibrata, Endo Suanda,
FX. Widaryanto, lebih tepat disebut sebagai pengamat ahli dan bukan kritikus tari
karena mereka hanya sewaktu-waktu menyampaikan pengamatan di media massa
maupun di jurnal ilmiah.226 Bagaimana pun, semua nama yang disebut sebagai
pengamat ini adalah para pakar tari, praktisi, maupun pengajar seni tari di perguruan
tinggi seni di Indonesia yang telah turut serta mendukung perkembangan tari di
Indonesia. Selain itu mereka juga berperan mendorong perkembangan koreografi
di Indonesia, khususnya karya tari kontemporer di PKJ-TIM 1968-1987. Adapun
para wartawan yang rutin memuat preview dan review adalah mereka yang bekerja
di surat kabar Sinar Harapan, Kompas, Berita Buana, Berita Yudha, Suara Karya,
Indonesian Observer, Pos Indonesia, Sinar Harapan, Merdeka, Angkatan
Bersenjata, Nusantara, Pedoman, Indonesia Raya, Harian Kami. Itu bisa terjadi
karena koran-koran ini memang konsisten dan mempunyai perhatian pada kesenian.


225
Pada tahun 1993 kumpulan tulisan kritiknya di berbagai media massa dibukukan, dan
di tahun 2002 diterbitkan lagi sebuah bukunya tentang kritik. Lihat Sal Murgiyanto, Ketika Cahaya
Merah Memudar, Sebuah Kritik Tari (Jakarta: Deviri Ganan, 1993); Kritik Tari, Bekal dan
Kemampuan Dasar (Jakarta: Ford Foundation dan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 2002).
226
Namun kemudian di tahun 1980-an FX. Widaryanto banyak menulis kritik tari di media
massa. Pada tahun 2007 kumpulan berbagai artikelnya yang berupa model tulisan kritik diterbitkan
untuk membantu banyak kalangan yang berminat dalam mengamati sebuah seni pertunjukan. Lihat
FX. Widaryanto, Menuju Representasi Dunia Dalam (Bandung: Kelir, 2007).
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


111

3.3. Kegiatan dan Karya-karya Tari di Tahun 1968–1987


3.3.1. Tahun 1968–1977
Cita-cita untuk menjadikan Jakarta sebagai kota kebudayaan digariskan
dalam Rencana Induk 20 Tahun DKI Jakarta 1965–1985, tertanggal pada 3 Mei
1987. Di dalamnya tersurat keinginan untuk menjadikan Jakarta sebagai pusat
kebudayaan Nasional. Oleh sebab itu Ali Sadikin sejak menduduki jabatan sebagai
gubernur DKI Jakarta telah memutuskan, masalah kebudayaan harus dilakukan
oleh aparat yang memadai dan orang-orang yang menguasai bidang tersebut.
Apabila pembinaan seni-budaya yang pada awal tahun 1967 dilakukan secara rutin
oleh Jawatan Pendidikan dan Kebudayaan, maka pada bulan September 1967 status
kebudayaan dari jawatan tersebut dipisahkan menjadi dinas tersendiri.227 Dinas
Kebudayaan DKI Jakarta menangani pengaturan pembinaan dan pengembangan
seni-budaya dan pengembangan fasilitas seni-budaya.
Di samping pembinaan kegiatan seni-budaya dan pengembangan fasilitas
tersebut, dalam rangka peningkatan minat dan apresiasi masyarakat di bidang seni-
budaya khususnya seni tari, ditempuh langkah-langkah antara lain: (1)
mengintensifkan pendidikan kesenian di antaranya seni tari yang secara kurikulum
sudah tercantum di pendidikan Sekolah Dasar, dengan diselenggarakannya
penataran guru-guru kesenian; (2) dibentuk SD-SD Percontohan di bidang
pendidikan kesenian, dan kepada SD Percobaan tersebut diberikan juga alat-alat
kesenian; (3) menyelenggarakan kursus-kursus tari tradisional dan baru dari daerah
Jawa, Bali, Sunda, Sumatera, bagi masyarakat terutama pelajar dan remaja dengan
pembayaran yang relatif rendah; (4) mengintensifkan pembinaan dan apresiasi seni-


227
Keputusan Gubernur KDKI-Jakarta No. Cb8/1/27/1967 tanggal 19 September 1967
tentang Pemisahan Urusan Kebudayaan dari Jawatan Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan DKI-
Jakarta dan Instruksi Gubernur KDKI-Jakarta tanggal 14 September 1967 No. Ib.2/1/48 tentang
Penggunaan Nama-nama Jabatan/Dinas Pemerintah DKI Jakarta.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


112

budaya melalui Gelanggang-gelanggang Remaja228 dan Balai-balai Rakyat229; (5)


mengadakan festival dan lomba tari serta juga memberikan kesempatan kepada
guru-guru kesenian untuk mengadakan pergelaran tari terutama pada acara-acara
penting seperti Hari Ulang Tahun (HUT) Kota Jakarta, HUT Proklamasi RI, dan
lain-lain.230
Tidak dapat disanggah bahwa pendirian PKJ-TIM yang diresmikan pada
tanggal 10 November 1968, lengkap dengan tempat latihan dan pementasannya,
disambut gembira para seniman tari. Setelah gedung dan fasilitas tersedia, tibalah
giliran seniman tari yang ditantang untuk berkarya. Namun masalah utama yang
kemudian dihadapi para pengelola PKJ-TIM saat itu adalah belum tersedianya
grup-grup dan seniman seni tari yang sudah benar-benar siap untuk secara rutin
mengisi acara, selain juga belum tersedianya pengunjung yang cukup untuk
mengapresiasinya. Oleh sebab itu tugas Komite Tari DKJ yang pertama kali adalah
membina tumbuhnya grup-grup seni tari, mendorong seniman-seniman tari untuk
berkarya, dan memberi kesempatan kepada masyarakat untuk meningkatkan
animonya terhadap seni tari. Kemudian, agar seniman dapat berkarya dengan
optimal, DKJ berupaya menumbuhkan iklim penciptaan yang bebas dan hasil
kreasinya akan disajikan dalam forum yang memadai.231 Sistem kuratorial dengan


228
Keberadaan Gelanggang Remaja berawal dari ide pembangunan kompleks Gelanggang
Remaja Bulungan di Jakarta Selatan yang dipelopori langsung oleh Gubernur DKI Jakarta, Ali
Sadikin. Kompleks Gelanggang Remaja itu mulai dibangun pada 25 Juni 1969 dan diresmikan oleh
Ali Sadikin pada 16 April 1970, dan merupakan Gelanggang Remaja pertama yang didirikan di
Jakarta sekaligus di Indonesia. Adapun tujuan pembangunan Gelanggang Remaja tersebut untuk
menunjang aktivitas remaja dan juga anak-anak dengan berbagai fasilitas penunjang seperti sarana
kegiatan umum, unit gedung olahraga dan unit kolam renang. Penyediaan sarana ini dimaksudkan
agar para remaja dan juga anak-anak dapat memelopori pengeksplorasian masa depan di bidang
seni, budaya, dan olahraga. Untuk itu Gelanggang Remaja juga dilengkapi dengan bengkel kerja,
auditorium, panggung, dan perpustakaan. Melalui berbagai sarana dan prasarana yang disediakan
remaja-remaja berprestasi bermunculan dan memperhatikan fungsinya bernilai positif, kemudian
dibangun Gelanggang-gelanggang Remaja di empat wilayah di Jakarta yaitu di Jakarta Pusat, Jakarta
Timur, Jakarta Barat dan Jakarta Utara. Lihat Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, di
unduh 17 Oktober 2016. Melalui pembinaan di Gelanggang-gelanggang Remaja tersebut muncul
para pelaku tari yang dinilai Komite Tari layak tampil di PKJ-TIM.
229
Balai rakyat adalah tempat pertemuan untuk berbagai kegiatan masyarakat termasuk
wadah penyampaian informasi dan melayani aspirasi masyarakat.
230
Soetjipto Wirosardjono, M.Sc. dkk (eds.), Gita Jaya, hlm. 206.
231
Lihat PKJ-TIM, “Laporan Program PKJ-TIM di Akhir Pelita ke II, 1979” (tidak
diterbitkan).
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


113

cara memantau dan memilih karya-karya yang layak untuk tampil dalam program-
program DKJ di PKJ-TIM, adalah tugas Komite Tari DKJ selanjutnya. Sistem
kuratorial sejak awal diterapkan karena menurut Edi Sedyawati, Komite Tari DKJ
menyusun program dan membina grup maupun seniman tari bukan hanya agar
program tersebut dilaksanakan, tetapi juga dengan landasan dan tujuan agar bisa
dilihat kualitas dan keberhasilannya.232
Pada tahun 1969 para seniman tari yang bergabung dalam bengkel tari
Sardono W. Kusumo mulai menghasilkan karya tari baru yang siap dipentaskan di
PKJ-TIM. Huriah Adam misalnya, melalui pengalaman bereksplor bersama di
dalam bengkel tari itu, berhasil meletakkan landasan penting dalam tari Minang,
yaitu menyusun teknik gerak Minang “baru”. Melalui penjelajahan kreatif dengan
teknik gerak yang disusunnya, Huriah Adam juga berhasil menciptakan karya-
karya tari baru seperti Sepasang Api Jatuh Cinta, dan drama tari Malinkundang.233
Anggota bengkel lainnya, Farida Oetoyo dan Julianti Parani yang berlatar belakang
balet, mampu melakukan transformasi kreatif antara teknik balet dengan unsur-
unsur tradisi daerah menjadi karya-karya baru. Farida Oetoyo menciptakan antara
lain: Roro Jongrang (1969), Rama dan Sinta (1972), Gunung Agung Meletus
(1979), sedangkan Julianti Parani melahirkan balet Kamajaya (1969), Garong-
garong (1974). Selain itu Parani juga melahirkan karya tari nonbalet yang
berangkat dari budaya Betawi, antara lain: Sarung Cukin (1973), Plesiran-Cokek
Jakarta (1974). Pendekar Perempuan (1977). Ketiga perempuan koreografer ini
tampil di PKJ-TIM atas produksi bengkel tari ataupun studio tari mereka masing-
masing.234 Adapun I Wayan Diya pada tahun 1973 bersama grup tarinya, Rasa


232
Pada tahun 1969, Edi Sedyawati yang seorang penari, perintis hadirnya kritikus seni
untuk tari, dan juga sarjana arkeologi, terpilih sebagai anggota Komite Tari DKJ dan ditunjuk
sebagai salah seorang anggota DPH-DKJ tahun 1971–1972. Kemudian terpilih lagi sebagai anggota
Komite Tari tahun 1973–1974, 1975–1977, dan tahun 1984–85 menjadi Ketua Komite Tari. Lihat
Dewan Kesenian Jakarta, “Laporan Kegiatan Tari DKJ, November 1968 s.d. Desember 1985”; lihat
juga Sal Murgiyanto, “Benih yang Ditanam Jangan Sampai Layu”, hlm. 166; dan hasil wawancara
dengan Edi Sedyawati Januari 2014, di Jakarta.
233
Akibat kecelakaan pesawat pada tahun 1971, Huriah Adam meninggal dunia dalam usia
muda.
234
Lihat Sal Murgiyanto, “Kanvas Tiga Dimensi”, hlm.161–162; dan lihat Dewan
Kesenian Jakarta, “Laporan Kegiatan Tari Dewan Kesenian Jakarta November 1968 hingga
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


114

Dhvani, menggarap karya tari Jelantik Bagol (1973), I Jaya Prana (1975), Tari Cak
Cupak (1975), dan lain-lain.
Sementara para peserta bengkel tari Sardono W. Kusumo di PKJ-TIM
secara bertahap kembali ke studio masing-masing, Kusumo membawa bengkelnya
ke Surakarta dan Bali. Di tempat tersebut Kusumo bekerja dengan penari-penari
setempat, dan di Surakarta ia menghasilkan karya tari kontemporer Samgita
Pancasona (1970) yang dipentaskan di PKJ-TIM pada tahun 1971 dalam rangka
“Ramayana International Festival” dan mendapat sambutan hangat dari penonton
maupun media massa.235 Pada tahun 1972 Sardono menggarap karya Cak Tarian
Rina bersama 65 orang penduduk Teges Kanginan Bali yang akan ditampilkan pada
Pesta Seni Jakarta 1972 di PKJ-TIM, namun batal berangkat karena dilarang oleh
Gubernur Bali, Sukarmen. Pada tahun 1973 Sardono bersama penduduk desa Teges
Kanginan Bali menghasilkan karya Dongeng Dari Dirah yang kemudian berpentas
keliling Eropa.236


Desember 1985” (Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, bagian Dokumentasi, 1985, tidak
dipublikasikan), hlm. 1–9.
235
Samgita Pancasona disambut baik oleh penonton dan media massa Jakarta saat
ditampilkan di PKJ-TIM karena masyarakatnya telah terbuka terhadap modernisasi. Namun ketika
ditampilkan di Surakarta (1971), kota kelahiran sang seniman, karya tersebut dianggap “melampaui
batas” oleh penonton tradisional Jawa dan beberapa penonton melemparkan telur busuk ke atas
panggung. Lihat Budi Santoso, “Pertunjukan Tari ‘Samgita Pancasona’ Karya Sardono W. Kusumo
di RRI Surakarta: Dalam Fenomena Konflik Tradisi-Modern Masyarakat Seni Pertunjukan
Surakarta Tahun 1970-an” dalam tesis Pengkajian Seni untuk memenuhi syarat mencapai derajat
magister dalam bidang Seni, Minat Utama Seni Tari, di Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia
Yogyakarta, 2006, hlm. 6 (belum diterbitkan).
236
Dalam tulisan Sal Murgiyanto berjudul “Subur Kang Sarwo Tinandur Mas Kayam dan
Tari Kontemporer Indonesia” dalam Aprinus Salam (ed.), Umar Kayam dan Jaring Semiotik
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1988), hlm. 262, dikatakan bahwa penduduk desa Teges Kanginan,
Bali, menyambut hangat eksperimen Sardono dan antusias berlatih Cak Tarian Rina. Namun
sebagian masyarakat Bali yang lain dan para pejabat merasa terganggu, dengan alasan adanya penari
anak-anak (Ketut Rina, 6 tahun) yang saat berlatih menari dengan melepas baju dan celana
monyetnya, dan ini dianggap tidak pantas. Akhirnya karya tersebut tidak jadi berangkat ke Jakarta,
meski para penari sudah berkemas dan bus sudah siap di mulut Desa Teges. Alasan pelarangan,
karena karya tersebut dianggap kurang mencerminkan karya tari Bali yang semestinya. Bali Post
yang menulis tentang tari Sardono sebagai “Eksperimen Kecak Telanjang”, telah menimbulkan isu
bahwa semua penari karya itu telanjang bulat. Akhirnya Cak Tarian Rina tidak pernah dipentaskan
di Indonesia, tetapi pada tahun 1972 karya itu tampil di Festival Tari Shiraz di Iran, dan pada tahun
1973–1976 ditampilkan di kuil-kuil Jepang. Lihat Sardono W. Kusumo, Hanoman, Tarzan, Homo
Erectus (Jakarta: ku/bu/ku, 2003), hlm. 33–38; Seno Joko Suyono, “Kecak Teges, 31 Tahun
Kemudian” dalam Sardono W. Kusumo, Hanoman, Tarzan, Homo Erectus (Jakarta: ku/bu/ku,
2003), hlm. 146–7; dan hasil wawancara dengan Sardono di Jakarta, 1 Oktober 2014.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


115

Pada dasarnya, program tari di DKJ sejak awal berdirinya PKJ-TIM dapat
dibedakan ke dalam dua bentuk. Pertama, bentuk festival atau pekan tari, dan kedua,
bentuk pementasan rutin dan kegiatan lain. Selain itu bisa ditambahkan adanya
acara-acara tari dengan grup atau seniman dari luar negeri. Dalam pelaksanaan
program, bentuk festival atau pekan tari menduduki tempat yang penting, misalnya
pada peresmian PKJ-TIM ditandai dengan Pesta Seni Jakarta I/1968 yang
menampilkan 13 “karya tari baru”237 yang digarap berdasarkan delapan (8) tari
tradisional daerah, selain nomor-nomor tari maupun drama tari tradisional
daerah.238 Sampai dengan tahun 1976, Pesta Seni Jakarta diselenggarakan hampir
setiap tahun di PKJ-TIM, bukan hanya dalam bentuk pementasan tetapi dilengkapi
dengan lokakarya, diskusi, simposium, untuk saling bertukar informasi mengenai
perkembangan tari daerah di Indonesia. Di samping itu juga bertukar pikiran dan
pengalaman dalam hal pembinaan dan pengembangan seni tari maupun masalah-
masalah yang dihadapi.
Dalam Pesta Seni Jakarta 1974, DKJ mengadakan Pertemuan Penata Tari
Daerah yang diikuti oleh penata tari dari Aceh, Kalimantan Selatan, Sulawesi
Selatan dan Jakarta. Selain diskusi yang bertujuan untuk saling bertukar informasi
mengenai perkembangan tari di daerah masing-masing, juga diadakan pertunjukan
tari daerah dari keempat wilayah tersebut. Kehadiran rombongan dan pembicara
daerah dalam Pesta Seni tersebut terjadi atas kerjasama DKJ dengan Direktorat
Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Adanya kerjasama
semacam itu, yang bisa melibatkan banyak seniman daerah dalam acara DKJ,


237
Dalam disertasi ini “karya tari baru” penulis sebut sebagai “karya tari baru
pengembangan dari tradisi”.
238
“Karya tari baru” ini digarap dari tari tradisional daerah untuk kepentingan melawat ke
Amerika dengan memakai payung The Indonesian National Dance Company. Adapun nomor-
nomor tari dan drama tari tradisional daerah yang dipertunjukkan antara lain: nomor-nomor balet
dari grup Nritya Sundara, tari Sunda dari Musyawarah Seni Budaya Sunda, tari daerah Tapanuli
dari Badan Pembina Seni Budaya Batak, drama tari Calon Arang dari Yayasan Seni Budaya
Saraswati, Wayang Orang Darmawijaya Timbul dari Wayang Orang Kawi Radya, Sendratari
Menakjinggo Leno dari Yayasan Taman Candra Wilwatikta, dan lain-lain. Lihat Dewan Kesenian
Jakarta, “Laporan Kegiatan Tari Dewan Kesenian Jakarta November 1968–Desember 1985”
(Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, bagian Dokumentasi, 1985, tidak diterbitkan).
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


116

adalah sesuai dengan pesan Ali Sadikin kepada para pengelola PKJ-TIM, “Jangan
mikir Jakarta, tapi juga Indonesia, bahkan dunia!”.239
Kerja sama serupa terjadi lagi pada Pesta Seni Jakarta 1975, tanggal 13–19
Desember, dalam acara simposium dan pertunjukan yang berskala nasional, dengan
pembicara: Drs. Suwandono (1933–1980), Direktur Pembinaan Kesenian
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1968–1980); Dra. Edi Sedyawati,
mewakili Komite Tari DKJ; Julianti Parani mewakili seniman Jakarta; dan S.D.
Humardani mewakili Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT) Surakarta.240 Adapun
pertunjukannya menampilkan grup tari Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur,
Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bandung, dan Pusat Kesenian Jawa Tengah
(PKJT) dari Surakarta.
Pesta Seni Jakarta masih berlangsung hingga tahun 1976 dan pada tahun
tersebut DKJ memusatkan perhatiannya hanya pada tari tradisional gaya Melayu
yang pada tahun 1959 pernah digarap dan dijadikan sebagai tari nasional oleh
Presiden Soekarno. Kegiatan dalam Pesta Seni Jakarta 1976 itu disebut Lokakarya
Tari Melayu, dalam rangka memperbaiki kualitas tarian Melayu yang dinilai oleh
para tokohnya mengalami kemerosotan kualitas di akhir tahun 1960-an. Lokakarya
tersebut mengundang sejumlah tokoh tari Melayu di antaranya Tengku Nazly A.
Mansur (1935–1982), Tengku Luckman Sinar (lahir 1933), Nasroen Poetih Yasin
Darussalam 1915–1986, dan Tengku Haji Mohammad Abdullahah Husny (1915–
1988). Adapun rombongan tari daerah yang tampil dalam Pesta Seni tersebut dari
Sumatera Barat dan Jambi.
Di samping pementasan yang khusus didatangkan dalam rangka pekan atau
festival, DKJ memberi kesempatan kepada grup-grup tari dan penata tari individual
dari luar DKJ dan luar Jakarta untuk menampilkan hasil kegiatan dan karyanya di

239
Lihat Sal Murgiyanto, “Kanvas Tiga Dimensi”, hlm. 166; Juga hasil wawancara dengan
Edi Sedyawati di Jakarta, 2014, dan uraian tentang salah satu perwujudan dari ucapan Ali Sadikin
tersebut, lihat kembali catatan kaki no. 165, hlm. 78.
240
Dalam simposium tersebut Drs. Suwandono mengetengahkan makalah berjudul
“Pembinaan dan Pengembangan Tari Tradisi”, Dra. Edi Sedyawati memaparkan “Tari Tradisi
Mencari Mimbar Pencangkokan”, Julianti Parani dengan prasarannya “Tari Tradisionil dalam
Pengembangan Modernisasi Tari”, dan S.D. Humardani membicarakan “Masalah-masalah
Pengembangan Tari Tradisi”. Lihat Sal Murgiyanto, “Kanvas Tiga Dimensi”, hlm. 168.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


117

PKJ-TIM. Pada tahun 1969 misalnya, selain Sardono W. Kusumo, Julianti Parani,
dan Farida Oetoyo, tampil grup tari Bali di Jakarta, Saraswati, dan grup Viatikara
dari Bandung. Tahun 1970, individu dan grup tari yang tampil bertambah di
antaranya Badan Musyawarah Seni Budaya Sunda dari Bandung, dan dari
Yogyakarta tampil Bagong Kussudiardja dan Wisnoe Wardhana. Juga hadir grup
tari baru Jaya Budaya yang anggotanya sebagian merupakan anggota wayang orang
Pancamurti yang memisahkan diri.241
Di tahun 1970 yang kesemarakan karya tari mulai terasa di TIM
sebagaimana telah diurai terdahulu, DKJ kemudian mendirikan Lembaga
Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) sebagai sarana pendidikan bagi calon seniman
penerus. Edi Sedyawati dibantu antara lain oleh: Julianti Parani, Farida Oetoyo,
Sardono W. Kusumo, I Wayan Diya, Huriah Adam, dan S. Kardjono, bekerja keras
menyiapkan pembentukan Akademi Tari LPKJ. Edi Sedyawati kemudian terpilih
sebagai Ketua Akademi Tari LPKJ yang pertama.
Tahun berikutnya, 1971, grup tari yang tampil di PKJ-TIM adalah: Siswo
Among Bekso dari Yogyakarta, Narto Sabdo dari Semarang, Konservatori
Karawitan Indonesia dari Surakarta, Ogel Cilampeni dari Bandung, Topeng
Cirebon, selain Julianti Parani, Farida Oetoyo, Sardono W. Kusuma, Bagong
Kussudiardja, dan Wisnoe Wardhana yang sudah tampil di tahun sebelumnya.
Selanjutnya, pada tahun 1972, DKJ mendirikan Bengkel Tari Folklorik untuk
menggarap dan menggiatkan pentas tari Betawi dan Sumatra (Aceh, Batak, dan
Minangkabau). Saraswati adalah grup tari Bali yang tidak pernah absen dalam
pementasan di PKJ-TIM. Demikian seterusnya secara rutin pertunjukan-
pertunjukan tari hadir di PKJ-TIM baik dari grup-grup tari maupun seniman tari
individual, dari Jakarta maupun luar Jakarta, yang perencanaan programnya ditata
oleh Komite Tari DKJ. Pencarian kreatif para seniman yang menggebu itu
diimbangi dengan perencanaan program-program yang terarah. Selain kegiatan


241
Pada tahun 1971, Sardono W. Kusumo turut membantu menangani dan menggarap
karya tari di grup wayang orang tradisional ini. Karya garapan Sardono tetap berangkat dari tradisi
Jawa namun mendapat sentuhan baru. Contoh karya Sardono dalam produksi Jaya Budaya yaitu:
Sumantri Gugur (1971) dan Ngrenaswara (1972).
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


118

kreatif yang menghasilkan karya-karya tari baru, diupayakan pula mengangkat seni
tari tradisional sebagai kerangka acuan dan bahan untuk berkarya.242
Selain membina grup-grup tari senior, sejak tahun 1970 DKJ menangani
pembinaan tari remaja. Bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan DKI-Jakarta, DKJ
menyelenggarakan Lomba Penari dan Lomba Karya Tari yang diadakan setiap
tahun di Gelanggang Remaja di lima wilayah (Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta
Barat, Jakarta Utara, dan Jakarta Selatan). Kegiatan ini berlangsung lancar hingga
tahun 1980. Kegiatan tari di kalangan anak-anak juga menjadi perhatian DKJ sejak
awal berdirinya PKJ-TIM, 1968. Apabila dalam tiga tahun pertama hanya satu
hingga tiga grup yang memperoleh kesempatan untuk tampil, maka dari tahun 1971
sampai dengan 1977 meningkat menjadi empat hingga dua belas grup tari setiap
tahun. Gaya tari yang ditampilkan pun cukup bervariasi, antara lain: balet, Bali,
Jawa, Sunda, Minangkabau, dan Melayu.243
Sejak tahun 1969, DKJ telah melakukan kerjasama dengan grup maupun
seniman tari dari negara sahabat untuk tampil sehingga turut memberi warna dalam
program DKJ. Bahkan diharapkan penampilan grup tari luar negeri bisa menambah
pengalaman, wawasan seniman dan penonton Indonesia, sekaligus terbentuknya
jejaring antara seniman Indonesia dengan pihak luar negeri. Grup-grup tari luar
negeri yang tampil di panggung PKJ-TIM dan mewakili genre tari balet klasik, balet
modern, modern dance maupun tari kontemporer antara lain: dari Asia (India,
Jepang, Pakistan, Malaysia, Filipina, Korea), Eropa (Prancis, Belanda, Jerman), dan
Amerika Serikat. Di antara grup yang tampil adalah Martha Graham Dance
Company, Balet der Deutsche Opera Berlin, Grand Ballet Classique, Louis Falco
Dance Company, Felix Blaska Dance Company, The Netherlands Dance Theatre,
dan Nippon Folklore Dance Company, Jean Albert Cartier, The Arts Theatre Ballet,


242
Seperi dikatakan oleh Putu Wijaya, kehadiran DKJ dan PKJ-TIM telah menyadarkan
seniman modern untuk menggali bentuk dan jiwa seni tradisional sebagai bahan garapannya. Dalam
perjalanan waktu, hubungan seni kontemporer dan seni tradisional berkelanjutan dan beriringan.
Putu Wijaya, NgEH, Kumpulan Esai (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), hlm. 345.
243
Lihat Sal Murgiyanto, “Kanvas Tiga Dimensi”, hlm. 171–2; lihat juga Dewan Kesenian
Jakarta, “Laporan Kegiatan Tari Dewan Kesenian Jakarta November 1968 hingga Desember 1985”
(Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, bagian Dokumentasi, 1985, tidak diterbitkan), hlm. 10–20.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


119

Wuppertal-Pina Bausch, The Nikolais Dance Theatre, Laura Dean Dancers and
Musicians, Astad Deboo dan Lar Lubovitch.244
Dalam Buku Gita Jaya, Catatan H Ali Sadikin Gubernur Kepala Daerah
Khusus Ibu Kota Jakarta 1966–1977, Ali Sadikin mengatakan bahwa dalam rangka
pembinaan dan pengembangan seni-budaya Betawi sebagai tuan rumah dari segala
bentuk kesenian yang ada di Jakarta, ia menganggap perlu untuk menyelenggarakan
seminar Seni Budaya Betawi dengan maksud untuk menampung gagasan dari
tokoh-tokoh Betawi sendiri. Berangkat dari seruan Ali Sadikin itu, kemudian
seminar diadakan pada bulan Pebruari 1976, dan hasil seminar menyarankan
pembentukan suatu lembaga yang berkewajiban membina dan mengembangkan
segala bentuk kesenian Betawi. Sesuai dengan saran tersebut, pada tahun 1977 Ali
Sadikin membentuk lembaga tersebut. Pengelolaan lembaga itu diserahkan kepada
masyarakat, sedangkan Pemerintah DKI-Jakarta hanya memberi bimbingan dan
bantuan seperlunya. Bersama tokoh teater dan film D. Djajakusuma, tokoh teater
Lenong Soemantri Sastrosuwondo, dan sastrawan S.M. Ardan, lembaga ini berhasil
menghidupkan Lenong pada tahun 1982. Garapan Lenong dengan semangat
pembaruan sesuai zaman, kemudian ditampilkan di PKJ-TIM dan ternyata mampu
mengundang animo masyarakat Jakarta.
Tahun 1977 adalah tahun berakhirnya Ali Sadikin menjabat sebagai
Gubernur DKI Jakarta. Oleh Sal Murgiyanto, yang pada saat itu mulai masuk ke
kancah PKJ-TIM sebagai anggota Komite Tari dan Sekretaris DPH-DKJ dan juga
dosen Akademi Tari LPKJ, dikatakan bahwa sepeninggal Ali Sadikin DKJ akan
menghadapi masalah karena hasil pembinaan tari yang dimulai sejak tahun 1968
dan mulai mekar, tidak diimbangi lagi dengan subsidi Pemerintah DKI Jakarta yang
hampir tak pernah bertambah.245 Oleh karena itu dengan dana terbatas, pembinaan
tari di DKJ dilakukan dengan meneruskan pola lama tetapi dengan strategi dan
interpretasi yang kreatif.


244
Dewan Kesenian Jakarta, “Laporan Kegiatan Tari”, hlm. 20–24.
245
Sal Murgiyanto, “Kanvas Tiga Dimensi”, hlm. 172
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


120

3.3.2. Di tahun 1977–1982


Di kurun waktu tersebut, gubernur DKI Jakarta adalah Tjokropranolo
(1923–1998). Di bidang seni-budaya, terutama yang berkaitan dengan pembinaan
dan pengembangan kesenian, Tjokropranolo menetapkan untuk melanjutkan
kebijakan yang sudah berjalan dan dianggap baik. Dengan demikian konsep dan
pola penataan program kesenian di Jakarta termasuk yang dilakukan oleh DKJ
bersama PKJ-TIM terus berlanjut. Namun tetap ada kekurangan karena seperti telah
disebutkan terdahulu (lihat Bab I, hlm. 4), subsidi Pemerintah DKI Jakarta hampir
tak pernah bertambah,246 sementara pembinaan kesenian yang dimulai sejak PKJ-
TIM diresmikan tahun 1968 termasuk seni tari, mulai mekar.
Festival dan seminar tetap mendapatkan prioritas dalam program acara yang
disusun DKJ di tahun 1977–1982. Pada tanggal 20–22 Oktober 1977 DKJ
menyelenggarakan Seminar Kritik Tari yang pertama di Indonesia. Kegiatan ini
diadakan karena DKJ melihat masih sangat terbatasnya ulasan dan tulisan tari yang
bernas di media massa. Enam pakar penulisan kritik dari tiga Akademi Seni Tari
Indonesia (ASTI): Yogyakarta, Bandung, dan Denpasar tampil sebagai pembicara,
dimoderatori Dra. Edi Sedyawati, yang kala itu menjadi Ketua Akademi Tari LPKJ.
Masih di tahun 1977 DKJ mengadakan Festival Tari Rakyat dari empat daerah:
Lombok menampilkan Cepung, Kulonprogo-Yogyakarta mempertunjukkan Oglek,
Madura menghadirkan Pantil, dan tari-tarian dari Pulau Mentawai.
DKJ menyelenggarakan tiga macam festival tari, pada tahun 1978, yaitu:
Festival Tari Pencak Silat, Festival Jakarta ’78, dan Festival Penata Tari Muda I.
Festival Tari Pencak Silat yang diselenggarakan bekerjasama dengan Direktorat
Kesenian, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, menyuguhkan beragam tari
pencak silat dari Sumatera Barat, Yogyakarta, Jawa Barat dan DKI Jakarta. Adapun


246
Pada era kepemimpinan Ali Sadikin, pajak kasino berfungsi sebagai dinamo
pembangunan untuk berbagai bidang, termasuk kesenian. Di kala Tjokropranolo menjabat sebagai
gubernur, kasino ditutup dan Jakarta kehilangan pendapatan dari pajak kasino, sementara kebutuhan
pembiayaan pemerintah DKI Jakarta untuk berbagai bidang di antaranya kesenian terus meningkat.
Lihat Christianto Wibisono, “Seandainya Tidak Ada Ali Sadikin” dalam Bambang Bujono (ed.),
Empu Ali Sadikin 80 Tahun (Jakarta: IKJ Press, 2006), hlm. 121; dan hasil wawancara dengan Dr.
Ing. Wardiman Djojonegoro, September 2013, dan Drs. Soeparmo, Mei 2014, di Jakarta.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


121

Festival Jakarta ’78 (29 Juni hingga 9 Juli) merupakan kerja sama antara DKJ
dengan bermacam anggota masyarakat dan lembaga di luar DKJ seperti Ford
Foundation di Indonesia, dengan fokus pada seni pertunjukan tradisional
antarbangsa. Acara tari dimeriahkan oleh grup tari dari daerah Aceh, Jawa Barat,
Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, DKI Jakarta, Bali, Kalimantan Selatan, dan
Maluku. Dari luar negeri, grup tari dari India turut berpartisipasi. Festival Jakarta
’78 yang diketuai oleh Kepala Rumah Tangga Istana Joop Ave (1934–2014)
menggelar pertunjukan selain di PKJ-TIM, Gelanggang Remaja, di pusat-pusat
rekreasi yaitu di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dan Taman Impian Jaya
Ancol, di universitas, juga di stasiun kereta api dan terminal bus. Dengan bantuan
berbagai pihak antara lain Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KASAD), Panglima
Komando Daerah Militer (Pangdam) V Jaya, Kepala Daerah Kepolisian (Kadapol),
dan beberapa pengusaha, di depan museum Fatahillah didirikan sebuah panggung
untuk pertunjukan wayang orang Keraton Yogyakarta dan tari rakyat dari
Kajasthan, India. Diadakan juga pertunjukan khusus untuk Presiden Soeharto di
pendapa Sasono Langen Budoyo TMII, dan ada pula grup topeng dari Betawi,
Malang, Cirebon yang berpentas keliling di atas truk terbuka.
Festival Penata Tari Muda diselenggarakan oleh DKJ pada tanggal 9–11
Desember 1978. Dalam Festival yang pertama ini semua pesertanya adalah para
penata tari dari Perguruan Tinggi Seni, yaitu: Ben Suharto (ASTI Yogyakarta),
kolaborasi antara Suprapto Suryodarmo, A. Tasman, Hajar Satoto, dan Rahayu
Supanggah (ASTI Surakarta), Endo Suanda (ASTI Bandung), I Wayan Dibia (ASTI
Bali), dan Wiwiek Sipala (LPKJ). Selain pementasan karya tari baru, seusai
pertunjukan diadakan diskusi di antara sejumlah pengamat tari dengan para penata
tari. Sepanjang tujuh tahun, Festival Penata Tari Muda diselenggarakan sebanyak
enam kali yakni 1978, 1979, 1981, 1982, 1983, 1984,247 dan menjadi ajang yang
bermanfaat bagi para penata tari Jakarta maupun luar Jakarta untuk mengukur
kemampuan diri dan membuahkan prestasi. Selama enam kali penyelenggaraan, 41


247
Pada saat penyelengaraan Festival Penata Tari Muda tahun 1983 dan 1984, DKI Jakarta
sudah dipimpin oleh Gubernur Soeprapto (1982–1987).
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


122

penata tari dari delapan kota yaitu Yogyakarta, Surakarta, Jakarta, Bandung,
Padang, Denpasar, Surabaya, Medan telah menghasilkan 30 buah karya baru.
Beberapa nama dari forum ini yang di kemudian hari hadir dalam percaturan
penciptaan tari di Indonesia antara lain: I Wayan Dibia, Endo Suanda, Ben Suharto,
Dedy Lutan, Tom Ibnur, Gusmiati Suid, Ery Mefri, Ida Wibowo, Wiwiek Sipala,
Sunarno, Wahyu Santoso Prabawa, S. Pamardi, Sulistyo S. Tirtokusumo, Noerdin
Daud, Marzuki Hasan, Wiwiek Widyastuti.
Bekerja sama dengan Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, DKJ menyelenggarakan Pekan Orientasi
Pendidikan Kesenian pada tahun 1979 yang menampilkan hasil-hasil kegiatan dan
karya tari siswa dan pengajar Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) dari
enam daerah: Surakarta, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Padang dan Ujung
Pandang (sekarang Makassar). Pada tahun yang sama DKJ juga mengambil
prakarsa untuk menyelenggarakan Festival Tari anak-anak se-DKI Jakarta I.
Festival ini dilaksanakan selama 14 hari (25 Juni hingga 8 Juli), dan diikuti 20 grup
yang menampilkan aneka gaya tari: Jawa, Sunda, Bali, Sumatra dan balet. Sejumlah
grup pemenang hasil Festival selanjutnya diberi kesempatan untuk menggelar karya
di panggung PKJ-TIM. Festival Tari Anak-anak DKJ ini diadakan dua tahun sekali
dan berlangsung hingga empat kali: 1979, 1981, 1983,1985, diselang-seling dengan
Festival Tari Remaja Antar-Grup.
Program kerja sama DKJ dengan Dinas Kebudayaan DKI Jakarta berupa
penyelenggaraan Lomba Penari dan Karya Tari Remaja yang pernah
diselenggarakan tahun 1970, berlanjut. Kegiatan tersebut dinamai Festival Tari
Remaja Antar-Grup se DKI Jakarta I dan diselenggarakan selama 10 hari, 3 hingga
12 Juli 1980. Pesertas lomba ada 19 grup tari dari berbagai gaya, dan seperti halnya
Festival tari Anak-anak dipilihlah sejumlah pemenang untuk tampil mandiri di
panggung PKJ-TIM. Festival Tari Remaja ini diselenggarakan DKJ sebanyak tiga
kali: 1980, 1982, dan berlanjut di tahun 1984 pada masa kepemimpinan Gubernur
Soeprapto (1982–1987).

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


123

Pembinaan tari oleh DKJ di tahun 1980 meliputi juga kegiatan di sekolah-
sekolah balet di Indonesia. Pada tahun 1982, DKJ mengadakan Pekan Balet Antar-
Grup yang diikuti 10 sekolah balet se-Indonesia. Pekan Balet DKJ II
diselenggarakan pada tahun 1983 dan lebih meriah karena dibuka dengan
pergelaran grup Theatre du Silence dari Prancis, dan ditutup oleh grup Tanz Forum
Koln dari Jerman. Bahkan kritikus tari Jerman, Jochen Schmidt, datang untuk
mengamati penampilan Pekan Balet tersebut. Pekan Balet DKJ berikutnya diadakan
di tahun 1985,248 dan merupakan penyelenggaraan yang terakhir.
Acara rutin dan kegiatan lainnya di PKJ-TIM pada masa jabatan Gubernur
Tjokropranolo antara lain, pada tahun 1977, 12 penata tari dan grup tari senior,
delapan dari Jakarta dan empat dari luar Jakarta, mengisi acara pentas tari PKJ-TIM
selama 33 hari. Beberapa di antara penata tari dan grup tari dari Jakarta yaitu grup
tari I Wayan Diya (Rasa Dhvani), Julianti Parani dan Farida Oetoyo (Nritya
Sundara), pengajar dan mahasiswa LPKJ (Cipta Karya Tari LPKJ), Sardono W.
Kusumo (Sardono dkk), Retno Maruti (Padneswara), S Kardjono (S. Kardjono
grup), Syawali Amran (Puti Bungsu) dan Pusdiklat Tari Dinas Kebudayaan DKI
Jakarta. Para peserta ini masing-masing tampil dua atau tiga kali pentas. Penata tari
dan grup tari dari luar Jakarta antara lain Bagong Kussudiardja (PLT Bagong
Kussudiardjo, Yogyakarta), Ida Yusuf (Angin Mamiri, Sulawesi Selatan), Endo
Suanda dan Suji (Pring Gading, Cirebon) dan Siswa Among Bekso (Yogyakarta).
Mengamati banyaknya penata tari dan grup tari yang tampil maupun jumlah
hari pentas di PKJ-TIM, pada tahun 1977–1982 di masa kepemimpinan Gubernur
Tjokropranolo merupakan masa yang sangat aktif. Itu berlanjut hingga tahun 1985
di masa kepemimpinan Gubernur R. Soeprapto. Selama sembilan tahun tersebut
tercatat 61 grup tari dari dalam negeri mengisi pentas rutin selama 159 hari. Grup
tari dari luar negeri tercatat 22 rombongan dengan 36 hari pentas. Grup


248
Penyelenggaraan Pekan Balet DKJ II tahun 1983 dan Pekan Balet DKJ III tahun 1985
terjadi pada masa kepemimpinan Gubernur R. Soeprapto (1982–1987). Pekan Balet DKJ III tahun
1985 tersebut merupakan Pekan Balet yang terakhir diselenggarakan. Lihat Dewan Kesenian
Jakarta, “Laporan Kegiatan Tari”, hlm. 36–40.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


124

mancanegara tersebut berasal dari Amerika Serikat, India, Inggris, Australia,


Jerman, Prancis, Jepang, Belanda, dan Spanyol.
Tahun 1979 merupakan tahun dengan acara festival dan pementasan grup
tari terbanyak. Terdapat 52 grup dengan 69 hari pentas. Empat grup dari luar negeri
yang tampil adalah Wuppertal pimpinan Pina Bausch dari Jerman yang
menampilkan karya tari kontemporer, Australian Dance Theatre dari Australia
(balet), Nicolais Dance Theatre, teater tari kontemporer dari Amerika Serikat dan
tari Flamenco Lucero Tena dari Spanyol. Pada tahun itu pula, DKJ mengirimkan
rombongan Topeng Cirebon ke Hongkong atas undangan manajemen Hongkong
Arts Centre.249

3.3.3. Tahun 1982–1987


R. Soeprapto (1924–2009) dalam tugasnya sebagai Gubernur DKI Jakarta
tahun 1982–1987, menyatakan DKI Jakarta memiliki lima pokok permasalahan
besar, yaitu kependudukan, sosial kemasyarakatan, mobilitas masyarakat, sarana
dan prasarana masyarakat, dan lingkungan pendukungnya. Berkaitan dengan
pembinaan seni-budaya di DKI Jakarta, R Soeprapto menganggap ada kekuatan tiga
komponen utama yaitu, seniman, masyarakat pendukung dan atau penonton, dan
pemerintah. Dalam hal itu, pemerintah berkewajiban menciptakan iklim kehidupan
dan penggiatan seniman dan masyarakat kesenian. Di sisi lain pihak seniman harus
terus kreatif, menjaga, mengembangkan dan menciptakan karya-karya seni
berkualitas, sedangkan masyarakat diharapkan menghimpun dan menyatukan
semua potensi yang ada untuk diabdikan pada upaya pembinaan kesenian. Untuk
itu PKJ-TIM dan wadah-wadah kesenian di DKI Jakarta menjadi penting
keberadaannya.
Pada tahun 1985, dua minggu sesudah pelantikan Anggota DKJ periode
1985-1988, di ruang kerja rumah dinasnya, Gubernur R. Soeprapto mengajak
seniman menyusun suatu strategi pengembangan budaya. Soeprapto menekankan


249
Dewan Kesenian Jakarta, “Laporan Kegiatan Tari”, 22–23, lihat juga Sal Murgiyanto,
“Benih Yang Ditanam Jangan Sampai Layu”, hlm. 178.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


125

bahwa para anggota DKJ harus lebih berfungsi sebagai pemikir budaya yang dapat
menampung berbagai aspirasi masyarakat yang tumbuh sebagai akibat interaksi dan
komunikasi budaya. DKJ perlu menyadari fungsinya sebagai penyangga
kebudayaan nasional yang berorientasi pada masyarakat Indonesia yang majemuk.
Sementara itu PKJ-TIM yang sejak tahun 1968 telah menyediakan sarana dan
prasarana lengkap untuk berbagai macam kegiatan kesenian merupakan suatu
manifestasi ideal. Adapun wadah organisasi yang sesuai dengan kondisi kesenian
di DKI-Jakarta ialah wadah organisasi kesenian sedaerah dan wadah organisasi
kesenian sejenis.250
Kegiatan seni tari DKJ tahun 1980-an meliputi pula kegiatan sekolah balet,
dan tahun 1982 DKJ menyelenggarakan Pekan Balet Antar-Grup. Pekan Balet ini
berlanjut pada 1983, sebagai Pekan Balet DKJ II (21 November hingga 2
Desember). Dua grup yang tidak pernah absen adalah Sekolah Balet Sumber Cipta
pimpinan Farida Oetoyo dan Sekolah Balet Namarina pimpinan Nanny Lubis.
Kedua grup tersebut berada di Jakarta dan merupakan grup tari balet yang mampu
bertahan lama dengan jumlah murid yang banyak dan selalu tampil dengan prestasi
yang jauh mengungguli sekolah-sekolah balet lainnya.
Memperhatikan acara seni tari yang rutin tampil di PKJ-TIM, sangat jelas
tahun 1977-1985 merupakan masa yang aktif. Penampilan rombongan luar negeri
terbanyak terjadi di tahun 1983, tercatat delapan grup tari dan atau koreografer
yakni, Lar Lubovitch, dan My Lene Kalhorn (Amerika Serikat), Mantis Dance
Company (Inggris), tiga rombongan tari dari India: (1) Ranjan, Miss Seema, Bs
Rana, Miss Manjit dan lain-lain, (2) Sonal Mansingh, dan (3) Astad Deboo, juga
Theatre du Silence (Prancis), Tanz Forum Koln (Jerman).
Selain itu yang perlu dicatat, pada tahun 1983 dan 1984 DKJ menerbitkan
dua buah buku. Pertama, Seni Menata Tari (1983), sebuah terjemahan Sal


250
Sri Warso Wahono, “Dewan Kesenian Jakarta” dalam Pia Alisjahbana dkk (eds.), 25
Tahun Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (Jakrta: Yayasan Kesenian Jakarta dan Dian
Rakyat, 1994), hlm. 55–56; dan Dinas Kebudayaan, “Kebijakan Pewadahan Organisasi Kesenian
Sejenis dan Sedaerah di Wilayah DKI-Jakarta” (Jakarta: Dinas Kebudayaan Pemerintah Daerah
Khusus Ibukota, 1987, tidak diterbitkan).
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


126

Murgiyanto dari The Art of Making Dances karangan Doris Humphrey, dan kedua,
Tari: Tinjauan dari Berbagai Segi (1984) kumpulan tulisan tari yang diedit oleh
Edi Sedyawati. Di samping itu masih ada kumpulan laporan tentang pelaksanaan
Festival Penata Tari Muda tahun 1978 hingga 1984. Laporan pertama ditulis oleh
Edi Sedyawati dalam Budaya Jaya no 30 Th. XII, Maret 1979, dan empat lainnya
diedit oleh Sal Murgiyanto dalam bentuk buku. Sejumlah dokumentasi audio-visual
juga dilakukan oleh DKJ pada tahun 1980-an. Sekitar 36 pertunjukan tari di PKJ-
TIM telah direkam dalam bentuk film 8 mm dan atau kaset video.251
Tahun 1987 masa jabatan R. Soeprapto sebagai Gubernur DKI Jakarta
berakhir. Satu tahun sebelum itu, Sal Murgiyanto mengatakan bahwa terjadi situasi
yang menuntut ketahanan dan ketekunan PKJ-TIM karena berbagai hal antara lain,
bantuan dana dari Pemerintah Daerah DKI Jakarta yang tidak bertambah, semakin
rentannya fasilitas, dan tuntutan zaman yang berubah dan tidak mudah untuk bisa
memenuhinya. Gagasan menyelenggarakan Festival Penata Tari Muda masih
diteruskan karena dinilai tetap penting keberadaannya bagi para penata tari yang
mulai bertumbuh. Nama festival tersebut diubah menjadi Festival Karya Tari (Baru)
DKJ yang dianggap lebih sesuai dengan perkembangan zaman. Festival tersebut
menampilkan sembilan penata tari. Para penata tari tersebut: Farid Hamid (Ujung
Pandang), Ery Mefry (Padang), Muhammad Ichlas (Padang Panjang), M. Miroto
(Yogyakarta), Sri Setyo Asih dan F. Hari Mulyanto (Surakarta), Iko Sidharta, I
Gusti Kompyang, dan Laksmi Simandjuntak (Jakarta).252
Penyelengaaraan berikutnya adalah di tahun 1987, dan berganti nama lagi
menjadi Pekan Koreografi Indonesia. Gagasan Pekan tersebut tidak hanya
menampilkan penata tari yang baru muncul, tetapi juga yang sudah berpengalaman
luas seperti Bagong Kussudiardja, Sardono W. Kusumo, Farida Oetoyo, Julianti
Parani, dan Sulistyo S. Tirtikusumo. Namun niat dan gagasan besar itu ternyata


251
Dewan Kesenian Jakarta, “Laporan Kegiatan Tari”, 22–23; lihat juga Dewan Kesenian
Jakarta, “Daftar Inventarisasi Pementasan Tari” (Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 1988, tidak
dicetak dan publikasikan); dan Sal Murgiyanto, “Benih Yang Ditanam Jangan Sampai Layu”, hlm.
178–179.
252
Sal Murgiyanto, “Benih Yang Ditanam Jangan Sampai Layu”, hlm. 179–181.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


127

menguras tenaga dan dana DKJ sehingga DKJ tak memiliki banyak dana tersisa
untuk acara rutin. Padahal pentas rutin sejak sekitar tahun 1985 memang menurun,
misalnya hanya tercatat empat grup senior yang bisa mengisi acara Tari di PKJ-
TIM. Penata tari senior seperti Retno Maruti, Sardono W. Kusumo, Bagong
Kussudiardja, semakin jarang muncul di PKJ-TIM. Sementara itu, acara pembinaan
dalam bentuk festival dan pementasan grup-grup tari remaja, anak-anak, dan balet
penyelenggaraan dialihkan ke Dinas Kebudayaan DKI Jakarta yang melakukan
pembinaan kesenian di kalangan remaja dan anak-anak melalui Gelanggang
Remaja.
Di era R. Soeprapto diresmikan sebuah gedung pertunjukan baru di PKJ-
TIM, Graha Bhakti Budaya (GBB), pada 19 Agustus 1983.253 GBB dibangun
dengan panggung yang lebih besar, peralatan lampu dan suara yang lebih modern,
dan bisa menampung jumlah penonton lebih banyak, dibandingkan tempat
pertunjukan yang sudah ada sebelumnya, Teater Arena dan Teater Tertutup.
Pembangunan gedung ini juga untuk memenuhi kebutuhan bertambah banyaknya
pergelaran di PKJ-TIM, di samping untuk menampung penampilan grup-grup luar
negeri yang memerlukan perlengkapan lebih modern.


253
Rencana pembangunan gedung pertunjukan Graha Bhakti Budaya sudah dirancang
sejak masa kepemimpinan Gubernur Tjokropranolo. Lihat Pramana Padmodarmaya, “25 Tahun
Pasang Surut Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki” dalam Pia Alisjahbana dkk. (eds.), 25
Tahun Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (Jakarta: Yayasan Kesenian Jakarta dan PT.
Dian Rakyat, 1994), hlm. 39.

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


128

Gambar 1. Grafik pertunjukan tari yang dipentaskan di PKJ-TIM selama selang waktu 20 tahun
pertama menyajikan kecenderungan berbentuk grafik piramida. Pada grafik berbentuk piramida ini,
jumlah pertunjukan mengalami kenaikan signifikan pada tahun-tahun antara 1975 hingga 1979
dengan puncaknya berada di tahun 1977, yakni tahun terakhir dari kepemimpinan Gubernur Ali
Sadikin. Meski tampak di tahun 1979 pertunjukan grup tari senior dan atau dewasa meningkat dan
di tahun 1983 grup tari negara asing terbanyak tampil di PKJ-TIM.

Dengan adanya fasilitas yang memenuhi syarat untuk pertunjukan, PKJ-


TIM menjadi wadah berbagai aktivitas kesenian termasuk seni tari. Aktivitas
tersebut mulai dari lokakarya, eksplorasi pembaruan, hingga pertunjukan yang
tradisional sampai kontemporer dan upaya-upaya menghadirkan penonton. Melalui
relasi yang ideal terdapatlah interaksi positif antara Pemda DKI Jakarta, seniman,
karya dan penonton. Kondisi ideal ini membuat seni tari menorehkan prestasi dalam
penciptaan karya-karya baru dan kemunculan seniman-seniman muda melalui
ajang festival tari baik lomba maupun nonlomba.

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.



BAB IV
KARYA TARI BARU HASIL PENGEMBANGAN DARI TRADISI
DI PKJ-TIM 1968–1987

Dalam tampilan karya tari di Indonesia, karya tari tradisional masih menjadi
inspirasi dominan untuk penggarapan karya baru. Hal ini karena pengalaman
kreativitas maupun pengalamanan ketubuhan seniman tari di Indonesia sebagian
besar bertumbuh dalam lingkungan tradisi. Oleh sebab itu karya-karya mereka
meski digarap dengan semangat kebaruan dan menampilkan karakteristik gaya
ungkap individual senimannya namun seringkali masih merupakan karya baru
pengembangan dari tradisi. Hal ini tampak pada karya-karya tari baru ciptaan para
koreografer di lokakarya pada awal berdirinya Pusat Kesenian Jakarta-Taman
Ismail Marzuki (PKJ-TIM) dan pada Festival atau Pekan Penari Muda yang
diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).

4.1. Lokakarya dan Festival Penata Tari Muda: Kemunculan Karya-karya


Tari Baru
Lima bulan sebelum Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki (PKJ-
TIM) diresmikan (10 November 1968), Gubernur Ali Sadikin membentuk Dewan
Kesenian Jakarta (DKJ) pada 17 Juni 1968 yang tugas utamanya merencanakan dan
mengatur program-program yang terarah dengan karya-karya unggul di PKJ-
TIM.254 Dalam Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Ibukota Jakarta No
1b/3/2/19/1968 tentang Pembentukan DKJ tersebut, dua orang penari tercantum
namanya sebagai anggota. Mereka adalah I Wayan Diya (1937–2007) yang baru
pulang dari India setelah hampir 10 tahun belajar tari dan musik di Kalakshetra,
Madras, dan di Ajanta Kalamandalam, Assam, dan Sardono W. Kusumo (lahir
1945) yang baru kembali dari New York, setelah mengikuti perlawatan misi
kesenian Indonesia di Amerika Serikat serta berkelana di sana sekitar satu tahun.

254
Selain itu DKJ juga bertugas membina dan memberi kesempatan seluas-luasnya kepada
para seniman untuk bebas berkreasi dan menyajikan hasilnya kepada masyarakat luas; membina dan
memberi kesempatan kepada masyarakat untuk menikmati karya seni tradisional, baru dan
kontemporer, baik nasional maupun internasional. Lihat Sri Warso Wahono, “Dewan Kesenian
Jakarta” dalam Pia Alisjahbana dkk. (eds.), 25 Tahun Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki
(Jakarta: Yayasan Kesenian Jakarta dan PT. Dian Rakyat, 1994), hlm. 50–58.
129 Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


130

Sardono W. Kusumo adalah penari Jawa yang menjadi direktur artistik


dalam rombongan Indonesian Artist Management (IAM) untuk misi kesenian ke
Amerika Serikat tersebut, dan diangkat sebagai anggota DKJ termuda. Dengan
pengalamannya dalam tradisi Jawa, pengetahuannya tentang modern dance
Amerika, dan keinginannya melakukan pembaruan, ia kemudian mempunyai
gagasan untuk mengadakan pelatihan bersama (lokakarya) di ruang latihan tari
PKJ-TIM, dan mengajak teman-teman seniman berprestasi dan tinggal di Jakarta
serta memiliki latar belakang budaya yang berbeda-beda. Para seniman tersebut
antara lain Huriah Adam (1936–1971) yang berlatar belakang seni tari Minang, I
Wayan Diya (1937–2007) berlatar belakang seni tari dan seni musik Bali, Farida
Oetoyo (1938–2014) dan Julianti Parani (lahir 1939) berlatar belakang balet, dan
Sentot Sudiharto (lahir 1945) berlatar belakang seni tari Jawa. Wadah kegiatan
lokakarya tersebut kemudian lebih dikenal sebagai “bengkel” tari.255
Tujuan utama dari lokakarya yang diadakan Sardono W. Kusumo di bengkel
tari tersebut adalah menumbuhkan dorongan dan kemampuan kreatif bagi para
peserta. Ia menawarkan berdialog dengan mereka bahwa pelestarian tari tradisional
tidak harus dilakukan hanya melalui preservasi tetapi bisa juga melalui interpretasi
kreatif. Dalam laku kreatif, seorang penari tidak harus meninggalkan tradisi.
Kesediaan membuka diri terhadap pengalaman dan eksperimen baru juga sangat
penting. Oleh sebab itu unsur utama dalam bengkel tari itu adalah kebebasan.
Seperti diucapkan Kusumo bahwa semua peserta harus bergerak bebas, tidak
dibatasi oleh tuntutan bentuk yang sudah mapan. Namun ternyata itu tidak mudah
bagi para peserta yang memiliki bekal keahlian yang sudah mapan. Farida Oetoyo,


255
Lihat Sal Murgiyanto, “Benih Yang Ditanam Jangan Sampai Layu” dalam Pia
Alisjahbana dkk. (eds.), 25 Tahun Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (Jakarta: Yayasan
Kesenian Jakarta dan Dian Rakyat, 1994), hlm. 160. Selain itu, pengenalan Sardono W. Kusumo
dengan modern dance di Amerika Serikat; pengalaman panjang I Wayan Diya saat belajar di
Kalashetra, sebuah akademi kesenian yang didirikan Rumana Devi, pelaku revitalisasi dalam tari
India, serta pengalaman Diya di Kalashetra yang memperoleh pemahaman tentang hubungan antara
seni tari Asia dengan modernisme di India; maupun pengetahuan yang diperoleh Farida Oetoyo
ketika belajar balet di Rusia dan menjadi penari di Eropa Barat, setidaknya telah mempengaruhi
pandangan dan pendekatan mereka dalam penciptaan karya tari di Indonesia. Pendekatan tersebut
dilakukan melalui improvisasi, eksplorasi dan kesadaran perlunya inovasi dalam tradisi.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


131

misalnya, sebagai seorang penari lulusan sekolah balet ternama Bolshoi, Moskow,
Rusia, dengan predikat cumlaude (1961–1965) merasa kewalahan ketika harus
membebaskan dirinya dari bekal balet yang kuat melekat dalam dirinya seperti yang
dikehendaki Kusumo.256 Selain itu, Kusumo juga meminta para peserta lokakarya
di bengkel tarinya mempelajari tarian suku bangsa lain agar perbendaharaan gerak
dan pengembangan kepekaan rasa dalam tubuh mereka menjadi lebih kaya dan
beragam. Ia pun memotivasi para peserta bengkel tarinya untuk menciptakan karya-
karya tari baru. Harapannya, melalui bengkel tari lintasbudaya tersebut tercipta
karya-karya tari baru, sebagai buah dari interaksi tradisi-tradisi tari dari berbagai
suku bangsa. Selanjutnya, terjadi pula dialog dan akumulasi pengetahuan berbagai
wilayah budaya yang diwakili oleh individu-individu peserta bengkel. Lebih jauh
ia berucap bahwa seorang peserta tidak hanya hadir sebagai individu namun dengan
sadar juga menjadi wakil dari wilayah budaya tempat ia berasal. Contohnya,
Sardono W. Kusumo hadir dengan membawa banyak pengalaman budaya Jawa,
lantas berinteraksi dengan Huriah Adam yang membawa pengalaman budaya
Minang, Farida Oetoyo dan Julianti Parani membawa budaya balet dan I Wayan
Diya dengan budaya Bali.
Bengkel tari Sardono W. Kusumo yang dimulai sekitar Juli 1968, sebelum
PKJ-TIM diresmikan pada 10 November 1968, berorientasi pada proses (process
oriented) sehingga tidak cepat membuahkan hasil. Namun dalam jangka panjang,
Sal Murgiyanto mencatat bahwa lokakarya yang dilakukan di bengkel tari Kusumo
tersebut merupakan salah satu ajang pembuka jalur seni tari baru dan kontemporer
Indonesia seperti yang diharapkan.257 Di samping itu, lokakarya tersebut juga
berperan memperluas perspektif artistik bagi para pesertanya. Huriah Adam, Farida
Oetoyo, Julianti Parani, I Wayan Diya, dan Sardono W. Kusumo sendiri, berhasil
menggarap karya-karya tari baru, dan kontemporer, serta mewarnai ragam
pertunjukan tari di PKJ-TIM pada tahun 1970-an hingga 1980-an.


256
Hasil wawancara dengan Farida Oetoyo di GKJ tahun 1998, dan Sardono W. Kusumo
di Program Pasca Sarjana IKJ tahun 2013.
257
Tentang karya-karya tari kontemporer yang dipentaskan di PKJ-TIM diurai dan
dianalisis di Bab V.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


132

Para seniman tari yang bergabung dalam bengkel tari Sardono W. Kusumo
mulai menghasilkan karya tari baru yang siap dipentaskan di PKJ-TIM pada tahun
1969. Mereka menjadi kolaborator untuk masing-masing produksi (karya). Sebagai
contoh, Sardono W. Kusumo dan Sentot Sudiharto menari untuk karya tari Huriah
Adam, begitu pula sebaliknya. Dalam hal kebaruan, melalui pengalaman bereksplor
bersama di dalam bengkel tari itu, Huriah Adam berhasil meletakkan landasan
penting dalam tari Minang, yaitu teknik gerak. Ia memilih dan menyusun gerak-
gerak pencak silat tradisional Minang yang dipelajarinya dari guru-guru tradisi di
pedesaan258 menjadi serangkaian teknik gerak Minang baru yang tujuannya untuk
penguasaan keterampilan gerak dan ekspresi.259 Selanjutnya, melalui penjelajahan
kreatif yang dilandasi teknik gerak tari Minang baru yang disusunnya itu, pada
tahun 1969 Adam berhasil menciptakan karya-karya tari baru dan kontemporer
seperti Payung (1968), Barabah (1968), Sepasang Api Jatuh Cinta (1969), dan
drama tari Malin Kundang (1969).260
Anggota bengkel lainnya, Farida Oetoyo dan Julianti Parani yang berlatar
belakang balet, mampu melakukan transformasi kreatif antara teknik balet dengan
unsur-unsur tradisi dari berbagai suku bangsa menjadi karya-karya baru dan
kontemporer. Farida Oetoyo menciptakan antara lain: Roro Jongrang (1969),


258
Gerak-gerak pencak silat tersebut antara lain kudo-kudo, tagak itiak, tagak gantauan,
mata itiak, mata lereang, gelek, tusuak, suduang daun, duanaia, ramo-ramo tabang, dan ramo-ramo
bagaluik. Lihat Helly Minarti, “Meredefinisi Tari Minang: Huriah Adam Memulai, Gusmiati Suid
Meneruskan” dalam Bambang Bujono (ed.), Seri Figur Seni Pertunjukan Indonesia 2, Empat
Menguak Tradisi (Jakarta: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia & Ford Foundation, 2008), hlm.
146.
259
Teknik gerak tari Minang baru yang terdiri dari 13 rangkaian gerak tidak diberi nama
oleh Huriah Adam tetapi diberi nomor urut dari 1 sampai 13. Di mana pun Adam mengajar, teknik
gerak tari ini digunakan sebagai pemanasan. Lihat Sal Murgiyanto, “Huriah Adam, Peneguh Tari
Minang Baru” dalam Kalam 16, Jurnal Kebudayaan (Jakarta: Komunitas Utan Kayu, 2000), hlm.
13.
260
Masyarakat Minang melihat karya tari Huriah Adam sebagai tarian baru dan khas Huriah
Adam karena tarian itu bukan lagi milik salah satu desa atau nagari. Adapun penonton non-Minang
yang tidak mengenal secara detail gerak Minang, menyebutnya sebagai tarian Minang. Namun,
bakat dan semangat besar tersebut terhenti, Huriah Adam meninggal dunia dalam usia muda akibat
kecelakaan pesawat pada 10 November, 1971. Apa yang dilakukannya merupakan awal
perkembangan tari Minangkabau sebagai karya seni yang dihargai di dalam maupun di luar negeri.
Huriah Adam berjasa membangun lintasan yang memungkinkan tari tradisional Minang pedesaan
digarap kembali dan dipertunjukkan secara kreatif sebagai karya seni, serta dilanjutkan oleh generasi
penerus. Lihat Sal Murgiyanto, “Benih Yang Ditanam”, hlm. 87, 96.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


133

berkolaborasi dengan komponis Trisutji Kamal, (lahir 1936), Rama dan Sinta
(1972), Carmina Burana (1974), dan Gunung Agung Meletus (1979) yang juga
berkolaborasi dengan komponis Trisutji Kamal, Putih-Putih (1976), Daun Pulus
(1983), Tok (1985), dan Pilihan Sinta (1989). Adapun Julianti Parani melahirkan
balet Kamajaya (1969) dan Garong-garong (1974). Selain itu Parani juga
melahirkan karya tari nonbalet yang berangkat dari ketertarikannya dalam
melakukan penelitian dan revitalisasi seni-budaya Betawi. Karya tari baru Parani
yang berdasarkan budaya Betawi, antara lain: Sarung Cukin (1973), Plesiran-Cokek
Jakarta (1974), Topeng Babakan Betawi (1976), Pendekar Perempuan (1977).
Adapun karya tari lainnya yang berangkat dari seni-budaya Batak adalah Siparnipi
(1987).261 Adapun I Wayan Diya pada tahun 1973 bersama grup tarinya, Rasa
Dhvani, menggarap karya tari Jelantik Bagol (1973), I Jaya Prana (1975), Tari Cak
Cupak (1975), Tontonan (1976), dan lain-lain.
Komite Tari DKJ menyelenggarakan Festival Penata Tari Muda I pada
tahun 1978 yang dimaksudkan untuk menumbuhkan semangat dan kemampuan
menciptakan karya baru. Kegiatan itu dilanjutkan dengan Festival Penata Tari
Muda II (1979) dan Festival Penata Tari Muda III (1981). Ajang prestasi tersebut
terus digulirkan dengan nama baru Pekan Penata Tari Muda IV (1982), Pekan
Penata Tari Muda V (1983), Pekan Penata Tari Muda VI (1984). Forum karya ini
berlanjut pada tahun 1986 dengan nama baru pula: Festival Karya Tari DKJ.
Setahun berkutnya, 1987, namanya diganti lagi menjadi Pekan Koreografi
Indonesia.
Seluruh pergantian nama tersebut tidak mengandung perubahan makna
yang signifikan, meskipun dalam beberapa pelaksanaannya memiliki perbedaan
yang khas. Misalnya, dalam Festival Penata Tari Muda I, 1978, semua pesertanya
dari perguruan tinggi seni. Di tahun berikutnya, Festival Penata Tari Muda II, 1979,
pesertanya bervariasi ada yang dari perguruan tinggi seni dan ada yang dari


261
Lihat Dewan Kesenian Jakarta, “Laporan Kegiatan Tari Dewan Kesenian Jakarta
November 1968-Desember 1985” (Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, bagian Dokumentasi, 1985),
hlm. 1–9.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


134

nonperguruan tinggi seni. Selanjutnya, pada Festival Karya Tari DKJ VII (1987)
para pesertanya terdiri dari gabungan penata tari (koreografer) senior dan yunior
dan karya tari yang dipertunjukkan ada yang dilombakan dan tidak dilombakan.
Festival Penata Tari Muda I (1978) adalah festival koreografer pertama
yang digagas para anggota Komite Tari DKJ262 sebagai perwujudan untuk lebih
menumbuhsuburkan penciptaan tari di berbagai daerah di Indonesia. Festival ini
diselenggarakan setelah selama 10 tahun DKJ melakukan pembinaan dan
pengembangan seni tari. Forum ini disebut sebagai Festival Penata Tari Muda
karena pesertanya relatif masih tergolong baru dalam dunia penciptaan tari di
Indonesia terutama di kalangan publik Jakarta, tempat festival ini diselenggarakan.
Jadi, penamaan “muda” pada para koreografer tersebut merujuk pada kiprah mereka
yang belum terlalu panjang sebagai koreografer.263
Gagasan menyelenggarakan festival tersebut berangkat dari kesadaran
bahwa menghidupkan, memelihara, dan melanjutkan tari tradisional tidak bisa
dilakukan dengan sekadar melakukan rekonstruksi dan preservasi, tetapi harus
disertai juga sikap kreatif baik dalam berpikir maupun bertindak. Bagong
Kussudiardja, Wisnoe Wardhana, Farida Oetoyo, Julianti Parani, dan Sardono W.
Kusumo adalah beberapa tokoh tari terdahulu yang telah membuktikannya. Usaha
keras para tokoh ini ternyata mampu menumbuhkan rangsangan bagi anak-anak
muda di berbagai daerah dan mereka melakukan berbagai upaya agar pencarian dan
pengembangan kreatif terus berlanjut. Namun upaya dan kemampuan yang
menumbuhkan harapan ini acap kali luruh sebelum berkembang karena kurang
adanya kesempatan, keleluasaan dan dukungan lingkungan, biaya, forum yang
memadai, dan terkadang disebabkan campur tangan dari pihak adat maupun pihak
yang lebih tua. Dengan demikian Festival Penata Tari Muda yang diadakan di PKJ-


262
Anggota Komite Tari DKJ penggagas Festival dan Pekan Penata Tari Muda adalah
anggota Komite Tari tahun 1975–1977 dan 1977–1978 yang terdiri dari Edi Sedyawati, I Wayan
Diya, Sal Murgiyanto, Suwandono, dan Julianti Parani. Lihat DKJ, “Laporan Kegiatan Tari Dewan
Kesenian Jakarta, November 1968–Desember 1985”, (Jakarta: Bagian Dokumentasi Dewan
Kesenian Jakarta).
263
Julianti Parani, “Sambutan Komite Tari DKJ” dalam Festival Penata Tari Muda
(Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 1978).
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


135

TIM, baik dalam bentuk pementasan maupun diskusi antara koreografer dengan
beberapa tokoh tari sebagai pengamat, adalah pemberian kesempatan yang lebih
luas bagi koreografer muda untuk menunjukkan karya-karya mereka, menambah
pengalaman dan menumbuhkan gairah mencipta di daerah.264
Peranan lembaga pendidikan tinggi kesenian formal seperti Akademi Seni
Tari Indonesia (ASTI) di Yogyakarta, Bandung, Denpasar, Akademi Seni
Karawitan Indonesia (ASKI) di Surakarta, dan Lembaga Pendidikan Kesenian
Jakarta (LPKJ) dalam melahirkan koreografer-koreografer muda ternyata sudah
bisa dilihat hasilnya265 Para koreografer yang tampil dalam festival pertama ini
pernah mengenyam pendidikan di salah satu institusi tersebut. Pada sisi karya, tak
sedikit dari mereka menyuguhkan kebaruan dengan pijakan artistik yang erat
kaitannya dengan tradisi dari mana mereka berasal. Koreografer yang tampil dalam
festival pertama itu: Ben Suharto (1944–1998) dari ASTI Yogyakarta, Agus
Tasman (lahir 1936) dan kawan-kawan dari ASKI Surakarta; Wiwiek Sipala (lahir
1953) dari LPKJ; Endo Suanda (lahir 1947) dari ASTI Bandung; dan I Wayan Dibia
(lahir1948) dari ASTI Denpasar-Bali.
Festival Penata Tari Muda II-1979, diselenggarakan sebagai kelanjutan
festival pertama tahun 1978, guna memberikan tempat kepada yang muda agar bisa
mengembangkan daya cipta tari dan menemukan jati diri. Selain menggelar karya
terbaru, masing-masing koreografer menuliskan proses kerja dan pengalaman-
pengalaman yang dihadapi dalam mempersiapkan karya. Pementasan dan tulisan
tersebut dijadikan titik tolak pembahasan antara para koreografer dengan pengamat,
pemikir dan pembina tari, serta hadirin lainnya peminat seni tari. Pembahasan


264
AH, “Wawancara dengan Sal Murgiyanto: Festival Penata Tari Muda Memperkenalkan
Kecenderungan Baru” dalam Berita Buana, Selasa 19 Desember 1978.
265
Lembaga pendidikan tinggi seni tersebut meminjam sistem dan bentuk pendidikan
formal seperti di Barat, namun materi atau bahan yang diajarkan digali dari bumi Indonesia, terutama
Jawa, Sunda dan Bali. Oleh sebab itu lembaga-lembaga itu selain melestarikan seni tari tradisional
dengan mengajarkan tari-tarian tersebut kepada mahasiswa, juga memacu penulisan, penelitian, dan
penciptaan karya tari baru. Mata kuliah komposisi dan koreografi yang berkembang di Barat
diajarkan pula oleh para dosen yang sempat belajar di luar negeri, terutama Amerika Serikat. Lihat
Sal Murgiyanto, “Pengantar” dalam Alma M. Hawkins, Bergerak Menurut Kata Hati, di
Indonesiakan oleh Prof. Dr. I Wayan Dibia (Jakarta: Ford Foundation bekerjasama dengan
Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia), hlm. xii.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


136

tersebut diharapkan mampu mengilhami dan memberi pelajaran kepada semuanya


bagi perkembangan seni tari di Indonesia.
Para koreografer muda yang diundang oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ)
dalam kenyataannya sebagian besar masih sangat akrab dengan seni tradisional,
namun ada kegelisahan untuk melakukan pembaruan. Selain itu adanya
keterbukaan mereka terhadap perkembangan zaman yang ditunjang adanya
kebebasan menampilkan karya cipta di PKJ-TIM telah mendorong lahirnya karya-
karya baru mereka. Imbas lebih jauh adalah rangsangan penciptaan karya-karya dari
para koreografer muda yang juga diikuti dengan garapan musik di berbagai wilayah
Indonesia.
Festival Penata Tari Muda II-1979 diikuti oleh para koreografer dari jalur
akademik dan nonakademik karena penciptaan tari juga bertumbuh di luar lembaga
pendidikan seni formal. Enam koreografer yang tampil: Wahyu Santoso Prabowo
(lahir 1952) dari ASKI Surakarta; Wiwiek Widyastuti (lahir 1952) dan Djoko Suko
Sadono (lahir 1951) dari Dinas Kebudayaan DKI-Jakarta; I Made Netra (1950–
2006), dari Taman Budaya Denpasar-Bali; Tri Nardono (lahir1953) dari ASTI
Yogyakarta; Gusmiati Suid (1942–2001) dari ASKI Padang Panjang; Sulistyo
Tirtokusumo (lahir 1953) dari Jakarta.
Festival Penata Tari Muda III-1981 diselenggarakan tetap sebagai usaha
DKJ memberikan rangsangan bagi koreografer muda untuk mencipta tanpa harus
mempertentangkan tradisional dengan karya baru atau kontemporer. Seiring
perjalanan waktu, dengan sadar para koreografer muda menggauli seni tradisional
sebagai bahan garap yang bisa dikembangkan sesuai dengan kemampuan, masa,
dan lingkungannya. Di sisi lain tak ada lagi niat untuk membeda-bedakan secara
tajam antara bentuk dan rasa gerak tradisional dan nontradisional. Bahkan muncul
kesadaran bahwa seni tari tradisional keraton maupun kerakyatan mempunyai
potensi yang sama untuk digarap dan dikembangkan.
Peranan lembaga-lembaga pendidikan kesenian formal sebagai ajang para
koreografer muda untuk terus berusaha, mencoba, dan berkarya tetap cukup besar
meski bukan berarti api kreasi tidak hidup di luar lembaga-lembaga tersebut.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


137

Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta juga menyadari bahwa merangsang


kreativitas atau penciptaan karya tari baru yang berbobot sangat bergantung pada
frekuensi dan kualitas dari acara-acara festival yang diselenggarakan secara teratur.
Inilah yang mendasari keberlanjutan Festival Penata Tari Muda dari waku ke
waktu.
Para koreografer yang tampil dalam Festival Penata Tari Muda III-1981:
A.M. Munardi (1939-2000) dari Sekolah Menengah Kesenian Indonesia (SMKI)
Surabaya, Y. Sumandiyo Hadi (lahir 1949) dari ASTI Yogyakarta, Suwarsidi
Trisapto (lahir 1951) dari LPKJ, Iyus Rusliana (lahir 1949) dari ASTI Bandung,
tiga penata tari dari ASKI Surakarta Sunarno (1955–2007), Nora Kunstantina Dewi
(1948–2009) dan Rusini (lahir 1948).
Selanjutnya adalah forum Pekan Penata Tari Muda-1982 yang
diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang masih merupakan
kelanjutan dari forum Festival Penata Tari Muda yang diadakan tahun-tahun
sebelumnya. Dirunut sejak awal dimulainya forum tersebut, Pekan Penata Tari
Muda-1982 adalah penyelenggaraan yang keempat. Hal menarik pada
penyelengaraan di tahun 1982 tersebut adalah nama forum berubah menjadi Pekan
Penata Tari Muda dan dalam penyelenggaraannya digabung dengan Pekan
Komponis Muda, sehingga forum tersebut lengkapnya bernama Pekan Penata Tari
Muda dan Komponis Muda-1982.
Penggabungan itu memang disengaja oleh DKJ untuk memacu kreativitas
seniman muda tari dan musik agar manfaatnya bisa dirasakan oleh para peserta
karena bisa memperluas cakrawala wawasan kesenian melalui apresiasi karya dari
kedua cabang kesenian tersebut. Meski demikian dalam penampilan dan
pembahasan karya tetap dipisahkan antara pembahasan karya tari dan karya musik.
Adapun para koreografer yang diundang dalam Pekan Penata Tari Muda IV-1982
adalah Dedy Lutan (1951–2014) dan Tom Ibnur (lahir 1954) dari IKJ yang berkarya
bersama, Soenarto A.S (lahir 1936) dari SMKI Surabaya, dan T. Sita Syaritsa (lahir
1938) dari Dewan Kesenian Medan.

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


138

Pekan Penata Tari Muda V-1983, seperti tahun sebelumnya (1982),


diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) bersama dengan Pekan
Komponis Muda dari tanggal 16 hingga 22 Maret 1983 di Pusat Kesenian Jakarta-
Taman Ismail Marzuki. Penyelenggaraan bersama tersebut dimaksudkan untuk
memacu pertukaran pikiran dan pengalaman kreatif para seniman muda di kedua
bidang, tari dan musik. Itu itu diperlukan waktu penyelenggaraan yang lebih lama,
sarana yang lebih banyak, dan juga biaya yang lebih besar. Oleh karena keperluan
yang dibutuhkan tersebut tidak mencukupi, jumlah peserta untuk masing-masing
bidang dikurangi. Walhasil hanya tampil empat koreografer dengan tiga karya dan
semuanya dari Jakarta yang berasal dari satu liang: Departemen Tari Institut
Kesenian Jakarta (IKJ). Meski demikian keempat koreografer tersebut
menampilkan karya tari individul dengan bahan latar yang sangat berbeda dan
merambah wilayah yang kadang jarang dijamah. Para koreografer yang diundang
tampil adalah Tom Ibnur (lahir 1954), Nurdin Daud (1943–2007) dan Marzuki
Hasan (lahir 1946) yang berkarya bersama, dan Suwarsidi Trisapto (lahir 1951).
Sampai dengan Pekan Penata Tari Muda VI-1984 telah tampil 37 penata tari
yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menggarap dan mementaskan 29
karya tari baru. Jumlah peserta yang terdiri dari sembilan koreografer dengan tujuh
buah karya tari baru, merupakan jumlah terbanyak yang pernah tampil dalam
sebuah Pekan Penata Tari yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta.
Hingga pelaksanaan yang ke-6, Pekan Penata Tari Muda merupakan forum yang
dianggap berhasil oleh para pengamat karena menelurkan karya-karya baru yang
cukup berbobot di tingkat nasional maupun internasional.266
Contohnya, empat koreografer dari Jakarta (Dedy Lutan, Tom Ibnur, Nurdin
Daud, Marzuki Hasan) dengan garapan berjudul Awan Bailau dan Huu yang
mendapat undangan tampil dalam Ulang Tahun ke-50 American Dance Festival di
Durham, North Carolina, Amerika Serikat, pada Juli 1984.267 Rentetan dari


266
Sal Murgiyanto (ed.), “Laporan Koordinator Pelaksana”, Penata Tari Muda 1984
(Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta), hlm.10.
267
Sal Murgiyanto (ed.), “Laporan Koordinator Pelaksana”, hlm. 10
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


139

penyelenggaraan Festival Penata Tari Muda tersebut menstimulasi munculnya


forum-forum kesenian yang sebagian atau seluruhnya diarahkan untuk memacu
penciptaan karya-karya baru. Beberapa di antaranya adalah Pekan Orientasi
Pendidikan Kesenian Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan yang berlangsung
setiap tahun sejak 1979. Selain itu adalah festival tahunan Institut Kesenian
Indonesia yang diikuti perguruan-perguruan tinggi kesenian pemerintah, ASTI,
ASKI dan AMI yang diselenggarakan sejak tahun 1980. Tahun 1982, Pekan Penata
Tari bahkan telah diselenggarakan juga di Medan, Padang, dan Surakarta.
Pengamat tari dan musik I Made Bandem menggarisbawahi keunikan forum
Pekan Penata Tari Muda yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta yaitu
memberikan kebebasan yang luas kepada para koreografer dalam memilih bahan
dan menentukan pendekatan garap sesuai dengan bekal, kemampuan, dan
lingkungan si koreografer. Keleluasaan juga diberikan kepada pengamat, yang
dalam melaksanakan tugasnya tidak harus berpegang pada kriteria pengamatan
tertentu yang telah disiapkan penyelenggara. Dengan begitu bukan hanya
koreografer yang diuji kemampuannya, juga para pengamat diuji keluasan
pengalaman dan pandangan estetikanya. Hal-hal tersebut yang membuat forum
nasional tidak resmi tersebut memiliki daya tarik tersendiri bagi koreografer,
bahkan menjadi barometer keberhasilan penggarapan karya tari baru.268
Pekan Penata Tari Muda VI yang direncanakan dilaksanakan pada bulan
Maret 1984 bersama dengan Pekan Komponis Muda oleh Dewan Kesenian Jakarta
(DKJ), terpaksa ditangguhkan hingga September 1984 (23–27 September 1984)
karena dana dari pemerintah terlambat diterima oleh DKJ. Keterlambatan dan
keterbatasan dana yang diterima DKJ,269 mengakibatkan DKJ tidak bisa
memberikan bantuan biaya transportasi bagi peserta dari daerah ke Jakarta dan
diberlakukannya pembatasan waktu menginap di Wisma Seni TIM selama tiga hari.


268
Sal Murgiyanto (ed.), “Laporan Koordinator Pelaksana”, hlm. 10; Hasil wawancara
dengan Dr. I Made Bandem di Jakarta 1998.
269
DKJ mendapat bantuan dari Yayasan Ford Foundation Jakarta untuk pendokumentasian
pertunjukan-pertunjukan para peserta dan pelaksanaan diskusi pembahasan karya selama Pekan
Penata Tari Muda VI-1984 berlangsung.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


140

Selain itu, lokakarya antarpeserta yang pada pekan sebelumnya diadakan, di tahun
1984 itu tidak diselenggarakan. Hal lain, pemutaran film dan video tari dibatasi
pada hasil rekaman lima tahun terakhir dari pertunjukan para peserta pekan-pekan
sebelumnya. Fasilitas dan sarana yang memungkinkan para peserta mengadakan
komunikasi secara lebih akrab, seperti acara diskusi atau saling menonton
pertunjukan, juga tidak bisa terwujud. Pameran foto, poster, slide, dan penerbitan-
penerbitan yang berhubungan dengan Pekan Penata Tari Muda serta bahan-bahan
lain yang relevan, tidak bisa dilangsungkan.
Keterbatasan dana dari DKJ maupun di beberapa daerah yang
koreografernya diundang dalam Pekan Penata Tari Muda membuat para peserta
mengimbau partisipasi aktif anggota masyarakat, lembaga pemerintah maupun
lembaga swasta untuk memberilan bantuan dana. Rombongan peserta dari Jakarta,
Medan, dan Padang Panjang berhasil mengumpulkan sejumlah dana dari
masyarakat pendukungnya di daerah.270 Dengan demikian para koreografer yang
tampil dalam Pekan Penata Tari Muda tersebut adalah N.L.N. Swasthi Widjaja B.
(lahir 1949) dari ASTI Denpasar-Bali, Jose Rizal Firdaus (lahir 1950) dari Lembaga
Studi Tari Patria Medan, Maya Tamara (lahir 1962) dari Sekolah Balet Namarina
Jakarta, Zuryati Zubir (lahir 1950) dari ASTI Padang Panjang, Dewi Kristianti
(lahir 1960), S Pamardi (lahir 1958) dan Setya Widyawati (lahir 1961) dari ASKI
Surakarta yang berkarya bersama, Ida Wibowo (1955–2005) dari Padepokan
Bagong Kussudiardja Yogyakarta, dan Elly Raranta (lahir 1957) dari IKJ Jakarta.
Pekan Penata Tari Muda pada tahun 1986 berubah menjadi Festival Karya
Tari Dewan Kesenian Jakarta VII-1986. Dari semua penyelenggaraan yang telah
dilaksanakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tersebut tercatatlah 36 karya tari
baru yang digarap oleh 46 koreografer di Indonesia secara individual maupun
kolaborasi. Namun DKJ tidak ingin hanya mengejar kuantitas atau sekadar ajang
silaturahmi para koreografer dan pengamat dalam penyelenggaraan festival


270
Bahkan bantuan dana dari anggota masyarakat dan lembaga daerah di Medan dan
Padang membuat kedua rombongan tersebut bisa mengikuti seluruh acara yang berlangsung selama
lima hari. Lihat Sal Murgiyanto (ed.), “Laporan Koordinator Pelaksana”, hlm. 11.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


141

tersebut, melainkan juga mengharapkan lahirnya karya-karya tari baru yang


bermutu dan terjadinya peningkatan wawasan. Dengan demikian pelaksanaan
festival selalu berupaya menghadirkan pertunjukan yang terpilih, diskusi antara
pengamat dan koreografer, maupun dengan penonton yang berminat.
Ditegaskan lebih lanjut oleh Ketua Dewan Pekerja Harian DKJ, Iravati M.
Sudiarso (lahir 1937) dan Ketua Komite Tari DKJ, Edi Sedyawati (lahir 1938)
bahwa Indonesia adalah negeri kaya sumber garapan dan terdapat gagasan-gagasan
seni dari berbagai daerah yang bisa dipertemukan dengan gagasan-gagasan seni
yang berkembang di mancanegara. Namun insan yang berminat untuk bergiat
dalam bidang penciptaan seni tari di Indonesia belum banyak. Oleh karena itu masih
sangat penting mempertemukan mereka dari waktu ke waktu dalam suatu ajang
festival tari. Peristiwa festival tari tidak hanya berguna untuk menantang kreativitas
para koreografer tetapi juga mempertahankan eksistensi mereka tanpa
memasalahkan antara yang tradisional dan nontradisional atau antara yang tua dan
muda.271 Tampil dalam Festival Karya Tari DKJ VII-1986 adalah koreografer Farid
Hamid (lahir 1944) dari Bengkel Tari Makassar, Ery Mefri (lahir 1958) dari Taman
Budaya Padang, Iko Sidharta (lahir 1945) dari Jakarta, Martinus Miroto (lahir 1959)
dari Yogyakarta, I Gusti Kompyang Raka (lahir 1947) dari Lembaga Kesenian Bali
Jakarta, Mohammad Ikhlas (lahir 1959) dari Sanggar Bagurau Padang Panjang,
Laksmi Simanjuntak (lahir 1952) dari IKJ Jakarta.
Di Tahun 1987, DKJ mengubah lagi nama Festival Karya Tari Baru yang
dilaksanakan tahun 1986 menjadi Pekan Koreografi Indonesia. Meski begitu, Pekan
Koreografi Indonesia tetap merupakan kelanjutan dari program Pekan Penata Tari
Muda yang telah dirintis sejak 1978 dengan beberapa pengembangan ide dan tujuan
penyelenggaraannya. Ketua Komite Tari, Edi Sedyawati,272 mengatakan bahwa
tujuan Pekan Koreografi tersebut adalah menampilkan bagian terbaik dari


271
Lihat Iravati M. Sudiarso, “Sambutan Ketua Dewan Kesenian Jakarta” dan Edi
Sedyawati, “Sambutan Ketua Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta” dalam Sal Murgiyanto (ed.),
Buku Program: Festival Penata Tari Dewan Kesenian Jakarta VII/1986 (Jakarta: Dewan Kesenian
Jakarta, 1986), hlm. 4–5.
272
Saat itu Edi Sedyawati menjabat sebagai Ketua Komite Tari DKJ periode 1985–1988.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


142

kemampuan berkarya para insan tari Indonesia, dan sebagai satu gebrakan yang
lebih besar dibandingkan program-program sebelumnya. Potensi individual telah
semakin dikenal masyarakat tetapi tetap diperlukan ajang agar mereka dikenal lebih
luas melalui proses kreatif dan penampilan yang berkelanjutan. Dengan demikian
penyelenggaraan Pekan Koreografi Indonesia 1987 tersebut dilaksanakan sebagai
suatu peristiwa istimewa bagi para koreografer, penari, pemusik, pengamat maupun
pencinta tari. Namun upaya besar yang telah direncanakan dengan sunguh-sungguh
oleh DKJ, karena terhadang keterbatasan dana dan fasilitas, membuat DKJ tidak
bisa mengundang semua koreografer yang telah meneguhkan kehadirannya di
pentas Indonesia. Pilihan terpaksa dilakukan lagi dengan kriteria anggaran sebagai
pertimbangan utama.273
Kegiatan Pekan Koreografi Indonesia 1987 terdiri dari dua bagian, yaitu
pertama, penampilan para koreografer senior dan koreografer dari lembaga-
lembaga seni terkemuka atas undangan DKJ; dan kedua, penampilan dalam suatu
lomba dari para pendatang baru yang masih harus membuktikan dirinya layak
sebagai koreografer. Selesai pergelaran karya-karya tari, dilanjutkan dengan diskusi
yang berkisar pada masalah arah perkembangan penciptaan tari di Indonesia pada
masa itu. Masalah yang dibahas bukan saja terbatas pada karya-karya yang tampil
dalam pekan tersebut, tetapi juga mempertimbangkan dan mengamati karya-karya
lain yang pernah ditampilkan di pentas Indonesia, khususnya di PKJ-TIM.
Suka Hardjana, komponis dan pengamat seni pertunjukan di Indonesia
dalam tulisannya di harian Kompas mengatakan bahwa Pekan Koreografi Indonesia
yang menghadirkan 43 karya tari baru telah berhasil memperagakan begitu banyak
eksplorasi budaya dan keragaman ide. Terlihat semangat penciptaan karya-karya
tari baru oleh para seniman tari yang bersumber pada nilai-nilai lingkungan yang
melekat pada diri mereka, maupun karya-karya tari baru yang telah menembus
batas-batas ruang dan waktu yang mereka hadapi. Selain itu ada yang bertolak dari


273
Lihat Edi Sedyawati, “Pengantar Pekan Koreografi Indonesia Dewan Kesenian Jakarta
10 s/d 14 Juni 1987” dalam Pekan Koreografi Indonesia 1987, Buku (Jakarta: Dewan Kesenian
Jakarta, 1987).
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


143

penerapan pengalaman atau hasil studi dari disiplin yang pernah mereka alami ke
dalam garapan tari.274
Dalam pandangan para pengamat lainnya, I Wayan Diya, Endo Suanda,
Danarto dan Soemardjo Hardjoprasonto yang diundang DKJ untuk mengamati
kegiatan forum tersebut, bahwa kesungguhan rata-rata peserta telah menunjukkan
nilai lebih pada forum Pekan Koreografi Indonesia 1987. Pentas bukan lagi sekadar
pigura bagi seniman tari untuk mengaktualisasikan diri dengan menghadirkan
atraksi keindahan gerak dan kepandaian menata. Kemampuan koreografer
mewujudkan rasa, penghayatan dan pencarian makna merupakan nilai yang
diharapkan dari sebuah pertunjukan seni.275
Sesuai dengan kemampuan DKJ, Pekan Koreografi Indonesia mengundang
14 koreografer sebagai pribadi maupun mewakili berbagai lembaga seni tari
terkemuka untuk mementaskan karya tari mereka sebagai kulminasi pengungkapan
diri. Mereka adalah Hendro Martono (lahir 1960) dari ISI Yogyakarta dengan
karyanya Fatamorgana; Omik Ahmad Hidayat (1946) dari ASTI Bandung, Rajah;
Julianti Parani (lahir 1939) dari Jakarta, Siparnipi; Wiwiek Widyastuti (lahir 1952)
dari Jakarta, Aiii....”Loh”; Deddy Luthan (1951–2014) dari Jakarta, Tui Galodo;
Gusmiati Suid (1942–2001) dari Batu Sangkar, Limbago; Sardono W. Kusumo
(lahir 1945) dari Jakarta, 10 Menit dari Borobudur; Nanuk Rahayu (lahir 1957),
Sutarno Haryono (lahir 1955) dan I Nyoman Chaya (lahir 1952) dari ASKI
Surakarta, Nara Yana; Zulkifli (lahir 1957) dan Syaiful Erma (lahir 1960) dari
ASKI Padang Panjang, Tari Parewa; Farida Feisol (1939–2014) dari Jakarta,
Maniera; Sulistyo Tirtokusumo (lahir 1953) dari Jakarta, Diam; Wiwiek Sipala
(lahir 1953) dari Jakarta, Ironi; Joko Suko Sadono (lahir 1951) dari Jakarta, Kerlap-
kerlip Jakarta; Bagong Kussudiardja (1928–2004) dari Yogyakarta, Kuru Setra.
Adapun 29 koreografer pendatang baru karya mereka dilombakan untuk mengukur
sejauh mana gagasan dan garapan mereka layak sebagai karya tari baru yang


274
Lihat Suka Hardjana, “Dari Pekan Koreografi Indonesia, Sardono dan Makna Sebuah
Pekan Seni” dalam Kompas, 28 Juni 1987.
275
Hasil rangkuman dari rekaman suara dalam forum diskusi usai pertunjukan Pekan
Koreografi Indonesia 1987, di Teater Tertutup TIM, 14 Juni 1987, koleksi DKJ.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


144

berkualitas. Kehadiran mereka diharapkan bisa mengisi dan menambah kemajuan


dalam perkembangan karya tari baru di Indonesia, demikian diungkapkan oleh
Iravati M Sudiarso, Ketua Dewan Pekerja Harian-DKJ. Dari 29 peserta lomba
tersebut lima koreografer dinyatakan sebagai pemenang oleh para juri yang terdiri
dari Sardono W. Kusumo, Julianti Parani, I Wayan Diya dan Wiwiek Sipala, yaitu
juara I: Bekti Lasmini (lahir 1961) dari Jakarta dengan karyanya berjudul Bila; juara
II: Yanti Aranditio, (lahir 1963) dari Jakarta, Kalaganti; juara III: Retno
Marnilawanti (lahir 1968) dari Jakarta, Topeng Dogan; juara harapan I: Maya
Tamara (lahir 1959) dari Jakarta, Integrasi; juara harapan II: Boy G Sakti (lahir
1966) dari Jakarta, Pitaruah.
Memperhatikan uraian terdahulu, sejak adanya kegiatan lokakarya dalam
bengkel tari Sardono tahun 1968, dan diselenggarakannya kegiatan Festival Penata
Tari Muda 1978 hingga Pekan Koreografi Indonesia 1987, baik Sardono W.
Kusumo maupun Komite tari DKJ tidak pernah menyinggung istilah kontemporer.
Hal tersebut disebabkan kata “kontemporer” pada masa itu esensinya hanya dikenal
di kalangan terbatas di Jakarta, khususnya di PKJ-TIM276 dan di luar Jakarta kata
tersebut belum banyak dikenal secara baik dan tepat. Mengingat pengertian
kontemporer yang secara tepat belum benar-benar dipahami ini dikhawatirkan akan
membuat pemerintah daerah di luar Jakarta tidak memberi dukungan kepada para
penata tari dari daerahnya yang diundang berfestival di Jakarta. Di perguruan tinggi
seni di luar Jakarta pada masa itu bahkan kata “kontemporer” masih ada yang
menyalahartikan dan menginterpretasikan sebagai “merusak” tradisi.277
Melalui uraian yang dituliskan dalam buku program pada setiap festival,
tampak bahwa Komite Tari DKJ pada saat itu sudah membaca situasi, kondisi, dan
keberadaan seni tari di Indonesia dan para pendukungnya. Secara sadar dan arif


276
Seniman-seniman di Jakarta terutama yang aktif di DKJ dan PKJ-TIM adalah seniman-
seniman yang sudah banyak berhubungan dengan kegiatan kesenian internasional yang saat itu
sedang demam dengan kesenian modern dan kontemporer. Seniman tari Sardono W. kusumo yang
baru pulang dari Amerika Serikat, I Wayan Diya dari India, dan Farida Oetoyo dari Rusia dan
beberapa kota besar di Eropa, juga telah mengembuskan semangat modern dan kontemporer dalam
dunia tari di Indonesia khususnya di Jakarta.
277
Hasil wawancara dengan Sal Murgiyanto dan I Wayan Dibya di Jakarta, 2014.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


145

mereka membuat panduan festival tari tanpa embel-embel kata “kontemporer”.


Bagi mereka yang penting bukan istilahnya namun hakikatnya, yakni mendorong
para koreogafer muda mampu melakukan pencarian, pengembangan kreatif, dan
pengembangan daya cipta sehingga menghasilkan pembaruan dalam karya-karya
mereka.278

4.2. Para Koreografer dan Karya-karya Mereka


Berikut ini adalah uraian dan analisis karya tari baru dari para koreografer
yang ditampilkan di PKJ-TIM tahun 1968–1987. Penyuguhan para koreografer dan
karya tari baru mereka dalam tulisan ini diupayakan berurut sesuai dengan tahun
dimulainya proses penggarapan dan atau penampilan karya tersebut di PKJ-TIM.
Apabila seorang koreografer pada masa tertentu membuat beberapa karya tari maka
akan dipilih satu atau beberapa karya tarinya yang penting untuk dibahas
berdasarkan (1) intensitas proses dan hasil inovasinya; (2) data yang ditemukan
memadai untuk diulas dan dianalisis.
Adapun cara menguraikan dan menganalisis karya-karya tari adalah dengan
menggunakan pendekatan yang erat kaitannya dengan unsur-unsur dan atau hal-hal
yang jamak digunakan dalam mengamati proses penggarapan karya tari. Unsur-
unsur tersebut: (1) Sumber dan corak karya tari; (2) Unsur artistik pendukung yang
digunakan; (3) Tema - naratif atau nonnaratif; (4) Garapan bentuk - gerak sebagai
bahan baku, desain ruang, desain waktu, dinamika, intensitas, tekanan, kualitas,
desain dramatik; (5) Garapan isi - ide tari berdasarkan pendekatan objektif dan
subjektif.


278
Para koreografer muda Indonesia yang diundang ke Festival dan atau Pekan Penata Tari
Muda saat itu juga belum peduli dengan kata “kontemporer”. Bagi mereka, mendapat kesempatan
keluar dari kegelisahan dengan bebas berkarya tanpa terikat tradisi dan kemudian bisa tampil di
PKJ-TIM, merupakan penegasan jadi diri yang diakui secara nasional. Hal tersebut adalah hasil
wawancara dengan koreografer-koreografer yang tampil dalam Festival Penata Tari Muda, Pekan
Penata Tari Muda, dan Pekan Koreografi Indonesia, yaitu: Wiwiek Sipala, Dedy Lutan, Tom Ibnur,
S.Trisapto, Ery Mefri, Wahyu Santoso, Sulistyo Tirtokusuma, M. Miroto. Juga wawancara dengan
para penggagas kegiatan forum tersebut: Edi Sedyawati, Sal Murgiyanto, Julianti Parani, di Jakarta
dan Surakarta 2013–2015.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


146

4.2.1. Huriah Adam (1936–1971)279: Payung


Payung karya Huriah Adam yang diciptakan tahun 1969 merupakan nomor
(repertoar) tari Minang yang bertolak dari tari Melayu dengan iringan musik
Melayu.280 Sebelum digarap oleh Adam, tarian ini tidak mempunyai tema naratif
dan hanya menggambarkan keindahan serta keserasian hubungan muda-mudi.
Ketika karya baru Huriah Adam lahir, terdapatlah tema naratif dan penggunaan
payung bukan hanya sebagai penghias gerak dan desain visual tetapi juga untuk
mengungkapkan emosi. Iringan tarinya pun digarap untuk menggambarkan suasana
maupun emosi yang ditampilkan. Dalam karya tari Payung garapan Adam tersebut
dimasukkan gerakan-gerakan pecak silat untuk memberi aksentuasi tajam, kuat, dan
cepat pada adegan-adegan tertentu.281
Huriah Adam telah melakukan perenungan untuk melahirkan kembali karya
terdahulu yang tanpa konflik, yang semata hanya menggambarkan hubungan serasi
sepasang muda-mudi. Karya lama tersebut oleh Adam dikembangkan menjadi teks
gerak yang menggambarkan dinamika percintaan dengan menyertakan konflik di
dalamnya. Dinamika tersebut direpresentasikan melalui penggunaan unsur artistik
pendukung berupa payung yang secara kreatif diolah sebagai alat penyampai untuk
menggambarkan berbagai situasi. Di sini Adam telah melakukan rekreasi kreatif
untuk mencapai pembaruan dari sumber sebelumnya. Pada sebuah karya rekreasi,
karya sumber masih kentara pola geraknya. Dengan demikian karya ini bisa

279
Huriah Adam terlahir dengan nama Hoerijah Adam. Saat namanya mulai dikenal di
Sumatera Barat dan kemudian memutuskan untuk pindah ke Jakarta, ia mengganti penulisan
namanya menjadi Huriah Adam agar lebih mudah dibaca dan diucapkan. Meski demikian keluarga
dekatnya masih cenderung menyebut nama Hoerijah Adam. Hasil wawancara dengan Muhammad
Ichlas, putra tertua Huriah Adam, di Jakarta, 2013.
280
Sal Mugiyanto, “Huriah Adam Peneguh Tari Minang Baru” dalam Kalam 16, Jurnal
Kebudayaan, 2000, hlm. 88–89; dan hasil wawancara dengan Sentot Sudiharto, Agustus 2014; Juga
berdasarkan pengalaman penulis mempelajari tarian ini saat menjadi mahasiswa di Jurusan Tari
LPKJ (sekarang IKJ) pada tahun 1977 dengan dosen Dedy Lutan (salah seorang murid Huriah Adam
di Jakarta pada tahun 1970). Penulis juga pernah menarikan Payung berpasangan dengan Dedy
Lutan yang dilatih oleh Sentot Sudiharto, dalam acara Festival Asean ke-3 di Bangkok, Thailand,
tahun 1980.
281
Juga berdasarkan pengalaman penulis mempelajari tarian ini saat menjadi mahasiswa di
Jurusan Tari LPKJ (sekarang IKJ) pada tahun 1977 dengan dosen Dedy Lutan (salah seorang murid
Huriah Adam di Jakarta pada tahun 1970). Penulis juga pernah menarikan Payung berpasangan
dengan Dedy Lutan yang dilatih oleh Sentot Sudiharto, dalam acara Festival Asean ke-3 di Bangkok,
Thailand, tahun 1980.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


147

dikategorikan sebagai karya baru yang masih mengikuti pola karya yang sudah ada
sebelumnya.

4.2.2. Ben Suharto (1944–1998): Lelangen Beksan Wirata Parwa


Lelangen Beksan Wirata Parwa adalah karya tari garapan Ben Suharto,
produksi Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Yogyakarta, ditampilkan dalam
Festival Penata Tari Muda I-1978. Lelangen Beksan Wirata Parwa digarap
berbentuk drama tari, bertolak dari tari Jawa klasik gaya Yogyakarta, dan ceritanya
diambil dari wiracarita Mahabarata yaitu ketika Pandawa menyamar dengan
mengabdikan diri di Kerajaan Wiratha setelah menjalani pembuangan 12 tahun di
tengah hutan.
Tetap setia pada alur cerita, Ben Suharto menggarap karyanya dengan
bagian pembuka menampilkan tari Bedaya Putri gaya Yogyakarta. Lima penari
putri berbusana hijau tua berpola cinden dan dua penari putri pemeran Utari (putri
raja Wiratha) dan Sarindi (nama samaran Drupadi dari keluarga Pandawa)
berbusana dodot hijau tua dengan garis putih memanjang di ujung kain putih. Tokoh
Utari tetap menggunakan perhiasan lengkap, sedangkan tokoh Sarindi dan
pengikutnya mengenakan perhiasan secukupnya sehingga terkesan sederhana
namun tetap anggun.282 Selain mengolah gerak murni Bedaya, Soeharto juga
mencoba mengolah gerak naratif untuk mengekspresikan cerita.283
Adegan lainnya yang digarap Suharto dan dianggap berhasil oleh para
pengamat yang terdiri dari S.D. Humardani, Drs. Soedarsono, Enoch Atmadibrata,
Nyoman Tusan, Farida Feisol dan Sardono W. Kusumo,284 adalah perang antara
Arjuna dengan Karna, halus tetapi sigap, cekatan, penuh daya pikat, dan
menegangkan.

282
Dalam tari Bedaya tradisional yang dipentaskan di keraton, semua penari yang
berjumlah tujuh atau sembilan orang mengenakan busana dodot ageng dengan warna dan corak yang
sama serta memakai perhiasan yang megah dan gemerlap, seperti perhiasan pengantin.
283
Ben Suharto, “Lelangen Beksan Wirathaparwa” dalam Festival Penata Tari Muda 1978
(Jakarta: Dewan Kesnian Jakarta, 1978).
284
Sal Murgiyanto, “Festival Penata Tari Muda 1978, Yang Tak Terkucil” dalam Tempo
30 Desember 1978; dan Berita Yudha, “DKI Selenggarakan Festival Penata Tari Muda”, 17
Desember 1978.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


148

Foto 1. Dok DKJ


Foto ini (Foto 1) adalah adegan perang antara Arjuna dan Karna. Rangkaian
bunga melati yang menghiasi keris, berhamburan saat diayunkan kuat dalam perang
kembang, membuahkan efek kejut bagi penonton.285 Adapun karawitan diolah
sebatas mengiringi tari seperti gending untuk mengiringi tari Bedaya, dan keperluan
pengadeganan.286
Karya ini memikat dalam konteks kesempurnaannya memainkan seni klasik
tradisional berdasarkan pola yang sudah pakem. Kesempurnaan itu menghadirkan
suasana yang memukau dilengkapi kejutan indah dalam perang kembang. Ini
merupakan upaya dari koreografer untuk menghadirkan adegan yang tiba-tiba
mengagetkan oleh hamburan bunga.


285
Secara garis besar tari Jawa gaya Yogyakarta berdasarkan jenisnya yakni, peran dalam
tari dibedakan menjadi dua: peran putra (karakter putra) dan peran putri (karakter putri). Untuk peran
putri hanya satu pola gerak pokok yang digunakan, ngenceng encot atau nggruda. Pola gerak untuk
peran putra terdapat empat ragam yaitu: impur untuk karakter putra halus, kambeng untuk karakter
putra gagah, kalang-kinantang untuk karakter putra halus dan gagah, dan bapang untuk karakter
putra gagah berwatak kasar dan sombong. Peran Arjuna dan Karna termasuk dalam karakter putra
halus. Lihat GBPH Suryobronto, “Ragam Tari Klasik Gaya Yogyakarta” dalam Mengenal Tari
Gaya Yogyakarta (Yogyakarta: Dewan Kesenian Propinsi DIY, 1981), hlm. 83.
286
Lihat Ben Suharto, “Lelangen Beksan Wirathaparwa”.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


149

4.2.3. I Wayan Dibia (1948): Grobogan Cupak Grantang


Grobogan Cupak Grantang adalah garapan I Wayan Dibia, produksi
Akademi Seni Tari (ASTI) Denpasar, ditampilkan dalam Festival Penata Tari Muda
I-1978. Eksplorasi dan eksperimentasi Dibya dalam karyanya tersebut antara lain
pada garapan unsur narasi dalam cerita Cupak Grantang287 yang banyak
menggunakan akting, dialog dengan pendekatan humor untuk tujuan merangsang
tawa. Dalam karya tersebut Dibya tidak banyak mengeksplorasi gerak seni tari
tetapi lebih pada gerak keseharian yang distilisasi. Untuk garapan musiknya, ia
menampilkan Grobogan yang terdiri dari instrumen-instrumen antara lain
kentongan bambu, bumbung, yang dibunyikan dengan dipukul atau dibenturkan
satu sama lain.288 Dalam pertunjukan tersebut, alat-alat bunyi itu telah ditata
sehingga menjadi suatu unit gamelan.
Menurut para pengamat tari, antara lain Julianti Parani, Farida Oetoyo, Sal
Murgiyanto, R.M. Soedarsono, SD. Humardani, Danarto, karya Dibia kali ini
mengalami penurunan keberanian bereksplorasi untuk mencari kemungkinan-
kemungkinan baru dalam gerak dan tema, dibandingkan dengan karyanya terdahulu
yang berjudul Kecak Sugriwa-Subali (1976) saat Dibia masih kuliah di ASTI
Yogyakarta yang saat itu ia tidak puas dengan tari Kecak yang dianggapnya tampil
begitu-begitu saja tanpa ada upaya pembaruan. Grobogan Cupak Grantang juga
dinilai mengalami penurunan dibanding karya tarinya yang lain, Setan Bercanda
(1978), yang konsep garapannya diilhami tari tradisional Bali, Berutuk, Baris
Memedi, dan Baris Ketujeng. Setan Bercanda dieksplorasi dengan intensitas yang


287
Cupak Grantang adalah pertunjukan teater rakyat tradisional Bali dan Lombok, diringi
musik dengan alat Grantang. Ceritanya berpusat pada dua tokoh kakak-beradik, Cupak dan
Grantang, yang sifat mereka bertolak belakang, menggambarkan sifat baik dan buruk dalam
kehidupan manusia. Cupak mencerminkan sifat buruk seperti rakus, dengki, sering berkhianat, suka
mencuri. Penampilannya mengenakan topeng berwajah buruk, berbadan tambun, gerak-geriknya
menyebalkan. Grantang seorang yang rendah hati, baik budi, sopan, dan digambarkan sebagai
pemuda yang tampan, gagah, tetapi tetap halus. Dalam pertunjukan selalu diakhiri dengan
menampilkan yang baik sebagai pemenang.
288
Di Bali, ngrobog atau magrobogan adalah membunyikan beraneka ragam alat bunyi-
bunyian untuk mengusir kekuatan-kekuatan jahat yang dapat mengganggu ketenteraman hidup
manusia. Lihat I Wayan Dibia, “Grobogan” dalam Festival Penata Tari Muda 1978 (Jakarta: Dewan
Kesenian Jakarta, 1978).
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


150

memadai untuk memperoleh berbagai kemungkinan baru sehingga Dibia sendiri tak
ragu menyebutnya sebagai karya tari kontemporer Bali.289
Salah satu sebab terjadi penurunan keberanian kreatif pada karya berjudul
Grobogan Cupak Grantang, yang dipentaskan di Festival Penata Tari Muda I-1978,
menurut dugaan para pengamat karena karya tersebut dipersiapkan di tempat asal
Dibia, Bali. Di sana ia harus berhati-hati karena berhadapan langsung dengan adat
atau orang-orang tua. Menggarap hal baru, bisa dilakukan bila ada restu dari para
orang tua atau yang dituakan. Dugaan lain, tradisi seni Bali yang sangat kaya itu
mempersempit kemungkinan untuk penciptaan baru sehingga diperlukan kekuatan
kreatif yang lebih besar dari yang sudah ada.290
Karya tari Grobogan Cupak Grantang dikategorikan sebagai karya tari baru
hasil pengembangan dari tradisi, meskipun karya tersebut tidak banyak beranjak
dari seni tari dan teater tradisional Bali. Di beberapa bagian tetap terdapat
eksplorasi. Pada musik, misalnya, dilakukan eksperimen dengan mengunakan
Grobogan yaitu bunyi-bunyian yang biasa digunakan untuk mengusir kekuatan
jahat. Eksperimen semacam itu termasuk baru pada masa tersebut.


289
Karya tari baru Dibia yang digarap di akhir tahun 1970-an menurutnya mendapat
pengaruh global secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh tidak langsung diperoleh melalui
foto-foto di Dance Magazine kiriman teman-teman yang sedang berada di Amerika, di antaranya I
Made Bandem. Kebebasan penggunaan tubuh manusia (penari) dalam tari modern Amerika yang ia
tangkap dalam foto-foto tersebut menginspirasinya untuk mencari kemungkinan-kemungkinan
dalam tubuhnya maupun tubuh penari-penarinya. Memanfaatkan kebebasan dalam pengertian tidak
adanya keterbatasan memosisikan kepala dan kaki, seperti yang ada dalam tari Bali yang
penggunaannya sangat diikat oleh prinsip tri angga yaitu pembagian tubuh manusia atas tiga bagian:
kepala, badan, dan kaki. Karya tersebut menimbulkan polemik di Bali karena Dibia telah melanggar
pembagian “tiga dunia tersebut” yang melekat pada tubuh manusia (Bali). Konsep tri angga
dipengaruhi oleh kosmologi Hindu Bali yang memandang dunia terdiri atas tiga bagian: dunia atas
(swah) tempatnya Tuhan dan para dewa lainnya, dunia tengah (bhwah) yang dihuni manusia dan
makhluk-makhluk lainnya, dan dunia bawah (bhur) yang didiami oleh para bhuta kala. Dengan
konsep ini, kepala disebut sebagai utama angga (harus ditempatkan di level paling tinggi), badan
sebagai madya angga (harus ditempatkan di level tengah), dan kaki sebagai nistha angga (harus
ditempatkan di level paling bawah). Hasil wawancara dengan I Wayan Dibia melalui email, 9 Maret
2015.
290
Berita Buana, “Wawancara dengan Sal Murgiyanto: Festival Penata Tari Muda
Memperkenalkan Kecenderungan Baru”, Selasa 19 Desember, 1978; Wawancara dengan I Wayan
Dibia di Jakarta, November 2014.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


151

4.2.4. Wahyu Santoso Prabowo (1952): Rudrah


Rudrah adalah judul karya tari Wahyu Santoso Prabowo, yang tampil dalam
Festival Penata Tari II-1979. Konsep garapannya berintikan pada pengolahan jiwa
manusia karena adanya konflik batin: cemas, galau, bingung, sedih, marah, ragu,
kalut, takut, rendah, kecil, namun sekaligus berani, gembira, yang menjadi satu dan
menggumpal di diri manusia dalam upaya mencapai harapan hidup. Karya tari ini
tidak mengaitkan dengan satu cerita tertentu.
Prabowo memulai garapan karyanya dengan menampilkan sembilan penari
Bedaya yang gerakannya dipilih dari materi dan ragam gerak tari Bedaya Surakarta
“gaya Sasonomulyo”.291 Aneka ragam gerak yang sudah ada tersebut dipilih untuk
mengekpresikan rasa tak berdaya, sedih, kecil hati, dan manembah (berserah).
Garapan Rudrah tersebut dibagi menjadi tiga bagian.
Dalam garapan tari bagian kedua dan ketiga muncul penari pria yang
membawakan tarian putra alus atau alusan Surakarta292 “gaya Sasonomulyo”
dengan pengolahan pada pola dasar tempo, tekanan dan kekuatan, serta kualitas
gerak sesuai kemampuan ketubuhan penari. Selanjutnya untuk menggambarkan


291
Tari Surakarta “gaya Sasonomulyo” adalah gaya penggarapan seni pertunjukan yang
diolah oleh Gendhon (Sedyono Djojokartika) Humardani (1923–1983) bersama murid-muridnya
saat ia memimpin Pusat Pengembangan Kesenian Jawa Tengah (PKJT) di Surakarta, 1970–1983,
dan Ketua Akademi Seni Karawitan Surakarta (ASKI), 1975–1983. Pada masa itu Gendhon bersama
murid-muridnya melahirkan karya-karya tari, karawitan, dan pedalangan baru yang sempat
membuat resah kalangan seni tradisional di Surakarta karena dianggap keluar dari pola (pakem)
yang sudah ada dalam seni pertunjukan tradisional Surakarta. Dasar-dasar seni yang digariskan
PKJT dan ASKI Surakarta dan produk-produk yang dihasilkan sampai sekarang dikenal sebagai
“gaya Sasonomulyo” atau “gaya Gendhon Humardani”. Ciri-ciri “gaya” tersebut dalam karya tari
putri antara lain tempo gerak lebih cepat dan dinamis, volume gerak lebih lebar, jika dibandingkan
karya tari tradisional Surakarta. Adapun pada karya tari putra selain tempo gerak lebih cepat dan
dinamis, juga geraknya lebih lugas dan tegas. Rustopo (ed.), Gendhon Humardan Pemikiran dan
Kritiknya (Surakarta: STSI Press, 1991), halaman cover belakang; hasil wawancara dengan Prof.
Dr. Sri Rochana Widyastutieningrum, 3 September 2016.
292
Dalam tari Jawa gaya Surakarta sedikitnya dikenal tiga golongan tokoh utama dalam
teater tradisional: gaya putri (lemah gemulai) untuk peran putri atau dewi; gaya putra alus atau
alusan untuk tokoh kesatria muda dan tampan serta dewa; gaya gagahan untuk tokoh-tokoh gagah
perwira. Gaya gagah ini bisa dipecah lagi menjadi gaya yang lebih alus yang disebut gagah, dan
gaya yang lebih kasar yang disebut kasar, yang biasanya digunakan untuk peranan raksasa atau kera.
Perbedaan tersebut ada hubungannya dengan peraturan menari yang tercantum dalam Serat
Kridhwayangga yang dinamakan patokan beksan. Lihat Clara Brakel-Papenhuyzen, Seni Tari Jawa,
Tradisi Surakarta dan Peristilahannya (Jakarta: Perpustakaan Nasional, Katalog dalam Terbitan,
1991), hlm. 84.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


152

keresahan namun memiliki tekad untuk mengatasinya sekaligus yakin sanggup


melakukannya, Prabowo mengolahnya dengan mengembangkan gerak-gerak tari
gagahan Surakarta “gaya Sasonomulyo” maupun gerak-gerak nontradisional
sebagai hasil eksplorasi tubuh penari berupa gerak-gerak dinamis, kuat dan
bervariasi yang dikontraskan dengan gerak tari putri Bedaya yang cenderung tenang
dan mengalir. Dengan demikian tampak perbedaan atau kontras antara kekuatan
penari laki-laki dan kelembutan dan ketenangan penari perempuan. Selain itu
berbagai dimensi ruang dan kualitas gerak juga dikembangkan secara terpadu.
Musik iringan karya tari Rudrah digarap secara bervariasi. Ada bagian yang
tetap menggunakan iringan karawitan dalam tari tradisional Jawa yang sudah ada,
yang dipilih untuk disesuaikan dengan adegan guna menegaskan gerak sekaligus
menambah kekuatan ungkap sesuai tema. Gending iringan untuk tari Bedaya pada
bagian pertama, diolah baru, yang sebelumnya tidak ada, digarap khusus untuk
keperluan bagian tersebut.293 Adapun kostum tari Rudrah sebagaian besar masih
menggunakan kostum tari Jawa namun dikonsepkan sederhana agar sesuai dengan
temanya dan tidak menyulitkan untuk mengekspresikan kebaruan dalam garap
geraknya.
Karya tari Rudrah dikategorikan sebagai karya tari baru pengembangan
tradisi, karena unsur seni tari dan musik tradisional Jawa yang dipakai sebagai
sumber garap tarinya masih tampak nyata pada hasil akhir garapan, selain rasa
kejawaannya masih kuat, meski terjadi ekplorasi dan inovasi di berbagai bagian.
Demikian pula dengan kostum tarinya sebagaian besar masih menggunakan kostum
tari Jawa meski dikonsepkan tampil lebih sederhana.

4.2.5. Wiwiek Widyastuti (1952) dan Djoko Suko Sadono (1951): Gado-gado
Jakarta
Gado-gado Jakarta, judul karya tari yang digarap oleh Wiwiek Widyastuti
dan Djoko Suko Sadono, ditampilkan dalam Festival Penata Tari II-1979, bertolak


293
Lihat Wahyu Santoso Prabhawa dan Nora Kustantina Dewi, Rudrah, (Surakarta: Sub
Proyek ASKI, Proyek Pengembangan IKI, 1979/1980).
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


153

dari tari tradisional Betawi Kembang Topeng, Topeng Kedok, dan Pencak Silat
Betawi yang diramu menyatu, bak gado-gado, sebagai karya tari. Ide yang
kemudian diproses menjadi konsep garapan karya tersebut diambil dari pengalaman
hidup si koreografer . Dalam proses kerja dan latihan, upaya eksplorasi dan
eksperimentasi sebagai bagian dari kreativitas diupayakan tanpa terkekang oleh
tradisi, dengan memanfaatkan unsur seni tari, teater, rupa dan cahaya. Bagian-
bagian tubuh penari, tangan, kaki, lengan, kepala, dieksplorasi oleh kedua
koreografer untuk bisa bergerak dalam ruang-ruang tak terbatas. Berbagai alternatif
dilakukan dalam pencarian dan atau pengembangan gerak tari karena kesadaran
koreografer pada keterbatasan ragam gerak tari Betawi dibandingkan dengan ragam
gerak tari Jawa atau Bali, misalnya. Selain itu terdapat pula kehendak mereka
memasukkan gerak tari nontradisi dan atau modern dan ekspresi teatrikal.
Dalam garapan karya Gado-gado Jakarta tersebut koreografer juga
mencoba bereksprimen dengan cahaya untuk mengetahui seberapa jauh imajinasi
yang bisa ditimbulkan oleh gerak yang ditopang dinamika cahaya. Eksperimen
lainnya adalah penggunaan dekor berupa layar-layar putih yang pada akhir
pertunjukan dicoreti cat oleh para penari sehingga seakan-akan menjadi lukisan
abstrak.
Komposisi musik karya Gado-gado Jakarta merupakan perpaduan antara
Gambang Kromong dengan permainan rebab, dan pada beberapa bagian digarap
secara ekperimental dengan memanfaatkan keahlian para pemain gamelan Jawa,
Sunda dan Betawi.294
Karya tari Gado-gado Jakarta bisa disebut karya baru karena unsur
tradisinya hanya diikuti sebagian. Porsi besarnya adalah garapan tari baru dengan
unsur seni rupa yang membuat tata cahaya (lighting) tidak sebagai penerang belaka
namun sebagai unsur yang inherent yang kalau ditiadakan berarti menghapus karya
tersebut. Dalam teater tradisional Betawi hal seperti itu tidak dijumpai. Widyastuti


294
Sal Murgiyanto (ed.), Segi Kata Dari Festival Penata Tari Muda II 1979 (Jakarta: P.T.
Sinar Harapan dan Dewan Kesenian Jakarta, 1980), hlm. 24–9; Julianti Parani, “Hasil Pengamatan
Festival Penata Tari Muda II”, dalam Kompas, 24 Desember 1979.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


154

dan Sadono telah melakukan pembaruan yang tidak terpaku pada pakem karena
pakem pada dasarnya adalah pembatasan. Menyadari perbendaharaan gerak yang
terbatas pada seni tari Betawi, kreativitas mereka dipompa untuk mengatasinya.
Dari situ muncullah pembaruan dengan melibatkan gamelan Jawa dan Sunda yang
berkelindan dengan Gambang Kromong. Unsur bunyi yang baru tersebut untuk
mengakomodasikan gerak baru nontradisi dan ekspresi teatrikal yang tak bisa
dipasangkan dengan Gambang Kromong belaka. Karya ini sungguh sebuah ciptaan
baru meskipun kebetawiannya masih jelas tertampakkan.

4.2.6. Tri Nardono (1953): Empiri


Karya tari garapan Tri Nardono berjudul Empiri yang berarti pengalaman,
dipentaskan dalam Festival Penata Tari Muda II-1979. Idenya berangkat dari
pengalaman hidup atau laku kehidupan seseorang pada usia remaja yang menanjak
dewasa, yang penuh dengan ketidaktetapan hati dan sering ada keguncangan batin.
Meskipun tidak bercerita, garapan tari ini dibagi menjadi empat bagian. Diawali
dengan introduksi yang memuat gerakan pelan kemudian cepat dalam kerampakan
yang dibawakan sekelompok penari di area pentas.
Penggambaran adegan ditampilkan dengan para penari secara bergantian
berada di area pentas, diolah dalam komposisi ruang dan pola lantai yang berubah-
ubah, baik untuk penguat adegan maupun sebagai pertimbangan artistik. Pola-pola
gerak tari tradisional klasik Jawa gaya Surakarta dan Yogyakarta merupakan titik
tolak garapan gerak. Sebagian gerak tari tradisional klasik tersebut tetap digunakan
dan ditata sesuai kebutuhan tema dan suasana, namun sebagian lagi dikembangkan
menjadi gerak-gerak baru yang tidak lagi tampak sebagai gerak tari Jawa. Untuk
menggambarkan gejolak batin digunakan vokal Sekar Rambangan Asmorodono
Pelog Nem.
Iringan musik Empiri diolah dengan tidak banyak beranjak dari pola-pola
gending tradisional Jawa, kecuali beberapa bagian dikembangkan untuk
menggambarkan gejolak batin. Dalam pengolahan karya tari tersebut Tri Nardono
melakukan eksplorasi pembaruan dengan memanfaatkan musik Barat untuk
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


155

mewadahi gerak-gerak nontradisional Jawa. Sebaliknya, dalam menghadirkan


gerak-gerak yang berkisar pada pola tradisional klasik Jawa, gending Jawa
Yogyakarta-lah yang dipakai.
Adapun untuk kostum tarinya, penari laki-laki mengenakan tight hitam
sebatas lutut yang dipadu dengan kain parang rusak dan sabuk (setagen), dan tidak
berbaju. Rambut penari dibiarkan apa adanya tanpa penutup ataupun hiasan.
Sementara itu penari perempuan memakai kain panjang juga bermotif parang rusak
dan dada ditutup dengan kemben cinde dan dilengkapi selendang cinde pula.
Rambut penari perempuan dicepol dihiasi sebuah cunduk mentul. Pemakaian
selendang dalam karya Empiri berfungsi untuk membantu mengungkapkan
ekspresi gerak.295
Empiri merupakan karya tari baru pengembangan tradisi yang proses
pengembangan gerak dan musiknya dilakukan melalui eksplorasi untuk
mendapatkan berbagai variasi gerak dan rasa gerak sesuai tema dan suasana.
Namun boleh disebutkan karya ini tidak banyak melakukan perubahan untuk
pembaruan. Warna tradisinya masih cukup pekat.

4.2.7. Gusmiati Suid (1942–2001): Puti Galang Banyak


Puti Galang Banyak karya tari garapan Gusmiati Suid yang dipertunjukkan
di Festival Penata Tari Muda II-1979. Karya tersebut merupakan drama tari yang
bertolak dari cerita rakyat berbentuk kaba Minangkabau, “Puti Galang Banyak”,
berisikan pendidikan terhadap anak gadis agar tidak sombong dan memandang
rendah, apalagi suka menghina, orang lain.
Drama tari tersebut oleh Suid dibagi dalam 21 babak, dan dalam
penggarapannya menggunakan unsur vokal bakaba untuk menyampaikan cerita,


295
F.X Widaryanto, “Bagaimana Jika yang Tua-tua yang Diamati? Festival Penata Tari
Muda yang Tidak Muda Lagi” dalam Pikiran Rakyat, 30 Desember 1979. Lihat juga Tri Nardono,
“Empiri” dalam Sal Murgiyanto (ed.), Segi Kata dari Festival Penata Tari Muda II 1979, (Jakarta:
P.T. Sinar Harapan dan Dewan Kesenian Jakarta, 1980), hlm. 62–9.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


156

unsur gerak Pencak Silat296 Minangkabau, dan gerak tari Randai297 yang diiringi
dendang (lagu) berisi syair sebagai penyampai inti cerita.298
Suid mengolah gerak Pencak Silat dan Randai untuk drama tarinya itu
dengan gerak-gerak dinamis yang menuntut kemampuan teknik dan stamina tinggi
dari para penarinya. Ia juga menata berbagai variasi pola lantai untuk kepentingan
tampilan di Teater Arena PKJ-TIM.299 Adapun untuk garapan musiknya, Suid
memakai musik sebagai pengiring dan ilustrasi yang dihasilkan dari bunyi alat-alat
musik tradisional Minangkabau seperti talempong, kendang, rebab, pupuik (suling
khas Minangkabau), ditambah bunyi-bunyian dari alat-alat sederhana seperti: kayu
dan bambu.
Drama tari Puti Galang Banyak bisa dikategorikan sebagai karya tari baru
pengembangan tradisi karena baik sumber garapan maupun hasil garapannya masih
kuat mengekspresikan unsur tradisi. Berbagai karya tari Suid sejak tahun 1962
hingga awal tahun 1980-an masih merupakan karya baru pengembangan dari tradisi
yang kentara sumbernya, meski ia sudah sering disebut sebagai “pemberontak”
terhadap tari tradisional Minangkabau yang dianggapnya terlalu manis dan lemah
gemulai, seperti pandangan Huriah Adam, gurunya. Namun, di tahun 1987-an dan
hingga akhir hayatnya di tahun 2001, karya-karya Suid sudah melampaui tradisi


296
Pecak Silat adalah seni bela diri yang hingga kini masih dipraktikkan di banyak daerah
di Indonesia, mulai dari Jawa, Sumatra, Madura, Bali hingga Sulawesi (Utara dan Selatan) dan
Maluku. Asal muasal Pencak Silat masih sulit diidentifikasikan dengan tepat, namun salah satu teori
mengatakan bahwa Pencak Silat berasal dari Jawa Barat (Parahiyangan) dan menyebar ke
Minangkabau. Teori tersebut ada yang membantahnya dan mengatakan bahwa Pencak Silat di
Indonesia berasal dari Silek Minang. Lihat O’ong Maryono, Pencak Silat: Merentang Waktu
(Yogyakarta: Yayasan Galang, 1999).
297
Tari Randai merupakan paduan antara tari, pencak silat, musik, lagu, dan drama yang
menyampaikan cerita rakyat Minangkabau. Salah satu kekhasan Randai adalah pola melingkar yang
dilakukan pemain dalam penyajiannya. Surya Dharma Eka Sakti, “Teks Randai Umbuik Mudo
Karya Musra Dahrizal (Tinjauan Antropolosi Sastra)” dalam Wacana Etnik, Jurnal Ilmu Sosial dan
Humaniora Vol 1 (Padang: Pusat Studi Informasi Dan Kebudayaan Minangkabau dan Sastra Daerah
FIB Universitas Andalas, 2010), hlm. 165.
298
Seni sastra dalam bentuk pantun, yang berfungsi dalam kehidupan sehari-hari bagi
masyarakat Minangkabau, biasa diucapkan dengan memakai irama tertentu. Sebagai contoh seni
Basaluang, yang dipentingkan oleh pendengar bukan iramanya tetapi pada isinya, dan jika isinya
mengena di hati penonton maka penonton akan bersorak sebagai tanda puas. Lihat Gusmiati Suid,
“Puti Galang Banyak” dalam Sal Murgiyanto (ed.), Segi Kata Dari Festival Penata Tari Muda II
1979, (Jakarta: P.T. Sinar Harapan dan Dewan Kesenian Jakarta, 1980), hlm. 33.
299
Sal Murgiyanto (ed.) Segi Kata, hlm. 44.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


157

dan merupakan karya tari kontemporer walaupun tetap berbasis tradisi


Minangkabau baik unsur gerak, musik, maupun filosofi di balik gerak Pencak Silat
dan filosofi hidup. Suid adalah salah satu perempuan penata tari Indonesia yang
diakui dunia sebagai penata tari kontemporer Indonesia, dan salah satu penggagas
utama tari kontemporer di Indonesia.300

4.2.8. I Made Netra (1950–2006): Majangeran


Majangeran adalah karya I Made Netra yang digelar pada Festival Penata
Tari II-1979 di PKJ-TIM, berbentuk teater, tari dan nyanyi, yang bertolak dari tari
Janger Bali yang bersifat kerakyatan. Tarian Janger awalnya terwujud sebagai
ungkapan rasa gembira anak-anak muda setelah memetik hasil panen di sawah.
Permainan Janger kemudian berkembang dengan ditambahkannya lakon dari cerita
Mahabaratha, Ramayana, maupun cerita-cerita raja-raja Jawa dan Bali yang
bersifat historik, dan biasanya ditampilkan dalam bentuk Topeng Primbon atau
Arja. Namun dalam perkembangan tersebut Janger hanya berperan sebagai latar
belakang saja, sebagai tarian penutup dari pertunjukan.
Dalam karya Majangeran Netra ingin mengembalikan awal munculnya
Janger, yang selanjutnya digubah dengan meluaskan ruang gerak penari dan
mengembangkan ragam gerak tari. Penari perempuan (janger) dan penari laki-laki
(kecak) tidak lagi bergerak di satu tempat tetapi bergerak mengisi area pentas
dengan berbagai pola lantai dan permaianan level.


300
Suid telah tiba pada ranah kontemporer yang dengan kritis mempertanyakan masa lalu
yang disebut tradisi. Hal mempertanyakan tradisi melahirkan karya tarinya yang bertajuk Api dalam
Sekam yang ditampilkan dalam festival tari internasional “Art Summit Indonesia” di Jakarta, 1998.
Hal Art Summit Indonesia akan dijelaskan lebih lengkap di Bab V.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


158

Foto 2. Dok. DKJ

Dalam foto 2, tampak Netra juga mengembangkan adegan topeng yang


diambil dari semangat teater Topeng Arja dan Prembon301 melalui improvisasi,
dengan harapan akan muncul gerakan-gerakan baru yang tidak lagi terikat pada
aturan atau patokan teater tradisional tersebut. Meskipun begitu, patokan dalam
gamelan pengiring tidak diabaikan. Untuk proses garapannya itu, ia memberikan
kebebasan kepada penari dan pemain gamelan bereksplorasi dan berimprovisasi
sesuai dengan kemampuan.302


301
Prembon adalah drama tari yang diciptakan pada awal tahun 1940-an, merupakan
gabungan berbagai elemen dari genre-genre tari yang ada di Bali antara lain Arja, Gambuh, Baris,
Topeng, ceritanya diambil dari babad, dan diiringi gamelan Gong. I Made Bandem & Fredrik
Eugene de Booer, Kaja and Kelod, Balinese Dance in Transition (Kuala Lumpur: Oxford University
Press, 1981), hlm. 96. Dalam perkembangannya genre tari Legong dan Bebarongan juga
dimasukkan dan iringan dengan menggunakan gamelan Gong Kebyar. Lihat
www.babadbali.com/seni/drama/dt-prembon.htm diunduh 13 Februari, 2016.
302
Untuk proses garapannya itu, I Made Netra sangat terbantu karena sebagian besar
pemain gamelan adalah pemain senior yang mumpuni. I Made Netra, “Majangeran” dalam Sal
Murgiyanto (ed.), Segi Kata dari Festival Penata Tari Muda II 1979 (Jakarta: P.T. Sinar Harapan
dan Dewan Kesenian Jakarta, 1980), hlm. 70–9.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


159

Garapan musik Majangeran tetap menggunakan alat musik tradisional Bali,


namun bukan Gong Kebyar atau Semar Pagulingan, melainkan dengan alat yang
sederhana. Gerakan pinggul penari perempuan yang biasanya diringi dengan
permainan alat musik perkusi, oleh Netra diganti dengan permainan rebab dua
dawai agar memberi kesan ekspresif. Di samping itu, Netra juga memberi tugas
pada seluruh penari Janger untuk ikut memainkan alat musik dari bambu saat
menari di area pentas.
Sebagai penutup, Netra menampilkan arak-arakan kematian yang bukan
saja menghadirkan suasana kesedihan tetapi juga kemeriahan untuk menghibur
keluarga yang ditinggal mati.303
Karya tari garapan I Made Netra tersebut merupakan pengembangan dari
karya tradisional dengan menyusupkan unsur-unsur lain yang juga Bali.
Majangeran menjadi tampak lain meskipun tetap Janger.

4.2.9. Sulistyo S. Tirtokusumo (1953): Ario Jipang


Ario Jipang merupakan karya tari Sulistyo S. Tirtokusumo yang
ditampilkan dalam Festival Penata Tari Muda II-1979, dengan ide maupun konsep
garapannya berangkat dari tari tradisional Jawa. Apabila dua penata tari yang telah
diuraikan terdahulu, yaitu Wahyu Santoso Prabowo dengan karya Rudrah dan Tri
Nardono dengan karya Empiri, yang garapan karya mereka lekat pada tradisi Jawa
namun berupaya untuk beranjak, maka Tirtokusumo justru hendak sebanyak-
banyaknya berdiam pada tradisi itu. Kisah sejarah Jawa Ario Jipang dijadikan titik
tolak dan kemudian Tirtokusumo mengolah karya tarinya dengan pendekatan gaya
tari tradisional klasik Jawa Bedaya dan Wireng.304 Selain itu ia juga menghidupkan
suasana keraton di area pentas melalui tata laku maupun unsur-unsur tata rupa,


303
I Made Netra, “Majangeran”, hlm. 70–9 .
304
Wireng adalah tari putra berpasangan (dua, empat, delapan, dan seterusnya) dengan
gerak dan pakaian yang sama. Karakter geraknya bisa berbentuk tari gagahan atau alusan. Pada
umumnya tema tariannya adalah keprajuritan atau keperwiraan. Lihat Sulistyo S. Tirtokusumo,
“Ario Jipang” dalam Sal Mrgiyanto (ed.), Segi Kata Dari Festival Penata Tari Muda II 1979,
(Jakarta: P.T. Sinar Harapan dan Dewan Kesenian Jakarta, 1980), hlm. 53–4; Clara Brakel-
Papenhuyzen, Seni Tari Jawa, hlm. 53.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


160

seperti memasang potret-potret Sri Susuhan Paku Buwana, kain-kain cinde, ukiran
khas keraton, dan penataan busana yang juga khas keraton.
Meskipun begitu, mau tidak mau untuk kesesuaian dengan karya, gerak dan
pola lantai tari Bedaya yang sudah punya aturan itu dimodifikasi oleh Tirtokusumo.
Adapun gerak tari Wireng hampir tak diubah kecuali pada adegan pekelahian Ario
Jipang melawan Sutowijoyo dihadirkan dalam pentas sunyi, tanpa iringan gamelan.
Satu-satunya suara hanyalah dari gerak tubuh penari yang sedang bertanding itu.
Suasana yang muncul adalah perang yang halus tetapi sekaligus kuat dalam
atmosfer rasa, dan memberi peluang bagi imajinasi betapa sengitnya kebencian
antara mereka yang sedang bertanding itu.
Dalam garapan bunyi lebih lanjut, Tirtokusumo menghadirkan dialog yang
dibarengi dengan tembang dan patethan saat terjadi peralihan dari tarian Wireng
oleh penari putra ke tarian Bedaya yang dibawakan penari putri. Hal itu merupakan
penyajian baru karena tidak biasa dalam garapan musik tradisional Jawa.
Melalui uraian ini, dapatlah disebut bahwa karya Tirtokusumo, Ario Jipang,
merupakan karya baru pengembangan dari tradisi, yang pendekatannya bukan
hanya bersumber dari tradisi, tetapi justru ingin menghadirkan kembali tradisi
dengan melakukan perubahan dan atau pembaruan seperlunya di beberapa bagian.
Namun justru pembaruan seperlunya itulah yang membuat karya ini menjadi baru,
karena, walaupun seperlunya, diolah dengan kemahiran tinggi dalam penguasaan
seni tari tradisional Jawa.
Hal yang dilakukan Tirtokusumo tampaknya sesuai dengan konsep Eric
Hobsbawm bahwa menghadirkan tradisi merupakan usaha untuk memantapkan
suatu tradisi yang dibentuk secara formal, namun bisa pula diartikan sebagai suatu
respons terhadap situasi baru dengan mengambil bentuk dari masa lalu (reka
cipta).305 Reka cipta tradisi seperti yang dilakukan Tirtokusumo tersebut bisa
dikatakan bukan hanya mempertahankan dan menghadirkan kembali tradisi, tetapi


305
Eric Hobsbawm, “Introduction: Inventing Traditions” dalam Eric Hobsbawm dan
Terence Ranger (eds.), The Invention of Traditions (London: Cambridge University Press, 1983),
hlm. 1–14.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


161

bila diperlukan juga membentuk kembali tradisi sehingga bisa mencapai tujuan
yang diinginkan yaitu tujuan budaya, sosial, ekonomi dan politik.306

4.2.10. A.M. Munardi (1939–2000): Seblang


Seblang adalah karya tari A.M. Munardi yang dipertunjukkan di Festival
Penata Tari Muda III- 1981, digubah dari pertunjukan sakral, Seblang,307 yang
hidup di daerah Banyuwangi. Karya tari ini dimulai dengan membentuk lingkaran
di area pentas, dengan titik pusat di tengah lingkaran. Segala aktivitas tari berputar-
putar mengitarinya dan kebanyakan putaran tersebut ke arah berlawanan jarum jam.
Jumlah penari lebih dari satu orang, laki-laki dan perempuan,308 dan mereka menari
secara berkelompok dengan semangat kebersamaan.309 Kemudian Munardi
mengolah gerak-gerak tari baru dengan memanfaatkan nyanyian dalam Seblang.
Penyanyi yang biasanya hanya duduk sambil menyanyi sepanjang pertunjukan,
oleh Munardi dibuat mereka menyanyi sambil menari dengan gerakan yang
menyerupai tari Bali, tetangga sebelah timur Banyuwangi. Hal menarik lainnya
yaitu nyanyian yang mirip dengan laras pelog dipadu dengan iringan gamelan
berlaras slendro dengan embat Banyuwangi oleh Munardi tetap dipertahankan,
tetapi pada beberapa bagian disesuaikan dengan garapan tarinya.310
Selanjutnya, proses mengolah tubuh untuk menghasilkan gerak-gerak baru
karya ini diserahkan kepada kemampuan eksplorasi para penari. Adapun tarian


306
Yasmine Z. Shahab, Identitas dan Otoritas: Rekonstruksi Tradisi Betawi (Depok:
Laboratorium Antropologi FISIP-UI, 2003), hlm. 130.
307
Seblang adalah sebuah tarian kesuburan, dengan penampilan pokok seorang penari
dalam keadaan ekstase atau kemasukan roh tertentu. Kedatangan roh merupakan tumpuan harapan
akan keselamatan desa, kesuburan, kesejahteraan desa, terjauhkan dari malapetaka dan segala
penyakit. Tarian ini diringi gamelan berlaras slendro dan pelog, dan pertunjukan Seblang
diselenggarakan di halaman terbuka. Lihat A.M. Munardi, “Seblang” dalam Sal Murgiyanto (ed.),
Ungkapan dan Bahasan, Festival Penata Tari Muda III 1981 (Jakarta: Sinar Harapan dan Dewan
Kesenian Jakarta, 1981), hlm. 13–4.
308
Dalam pertunjukan Seblang tradisional, penarinya hanya satu orang, sedangkan
pendukung lainnya hanya berfungsi sebagai pendamping, sebagai penyanyi, pelawak, dukun yang
kadang disebut juga pengundang. A.M. Munardi, “Seblang”, hlm. 14.
309
Semangat kebersamaan dalam Seblang garapan Munardi terinspirasi dari semangat
kebersamaan pelaku Seblang dengan penonton yang selalu tampak padu. A.M. Munardi, “Seblang”,
hlm. 15.
310
A.M. Munardi, “Seblang”, hlm. 14.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


162

dengan menggunakan keris yang di desa Olehsari sering menakutkan penonton,


oleh Munardi digarap tidak menakutkan dengan mengembangkan gerak tari
bervariasi. Namun mata penari dibiarkan konsentrasi terus-menerus memandang
keris untuk mencapai kondisi semacam ekstase.311 Pada bagian lain, nyanyian-
nyanyian gembira seperti Ayun Kasilir yang melambangkan romantika perkawinan,
digarap melalui gerakan penari laki-laki yang menggoyangkan bokong sebagai
cerminan kegembiraan dalam pergaulan muda-mudi.
Kostum tari yang dikenakan penari Seblang di daerah Olehsari adalah kain
bercorak alas-alasan, mekak polos, sanggul dan sampur. Namun demi garapan
karya tari Seblang yang baru, warna mekak disesuaikan dengan komposisi tari,
seperti, warna hitam, merah hati, dan hijau, dan kainnya tidak bercorak alas-alasan
namun dicari corak lain yang proses pencariannya dilakukan bertahap. Digunakan
pula kipas untuk mengembangkan komposisi tari dan untuk menyampaikan
ungkapan-ungkapan tematis. Perlengkapan lainnya yaitu kain belacu putih yang
dipakai sebagai tikar oleh penari untuk berbaring pada adegan kegembiraan atau
pada saat lain sebagai simbol hujan yang membawa kesuburan.
Karya tari garapan A.M. Munardi ini dikategorikan sebagai karya tari baru
pengembangan dari tradisi, yang bahan tradisi sebagai sumber garapan masih
tampak mendominasi meski banyak inovasi dilakukan.

4.2.11. Y. Sumandiyo Hadi (1949): Kagunan Beksan Kusa dan Lawa


Tema yang ditampilkan dalam karya tari Y. Sumandiyo Hadi di Festival
Penata Tari III-1981 berasal dari epos Ramayana yang ditulis dalam bentuk
kakawin. Dengan judul Kagunan Beksan Kusa dan Lawa, garapan karya tari
tersebut menampilkan kelahiran Kusa dan Lawa yang terdapat dalam cerita
Ramayana.


311
Pada penyajian Seblang di desa Olehsari, mata penari terpejam saat menarikan tarian
keris, dan mereka sungguh-sungguh tidak sadarkan diri karena dipercaya kerasukan roh tertentu.
Kedatangan roh merupakan tumpuan harapan akan keselamatan desa, datangnya kesuburan,
terjauhkan dari malapetaka dan segala penyakit. A.M. Munardi, “Seblang”, hlm. 14; Rochmad,
“Yang Perlu Dicatat dari: Festival Penata Tari Muda III 1980” dalam Merdeka, 18 Februari 1981.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


163

Olah gerak yang digunakan Hadi adalah gaya tari Yogyakarta yang
diwariskan di dalam keraton. Bentuk-bentuk komposisi tari tradisional Bedaya,
Serimpi, Beksan,312 dijadikan inspirasi untuk dipilih dan kemudian dikembangkan
sesuai kebutuhan penyampaian tema dalam pertunjukan. Pada awal pertunjukan
disajikan suasana dalam kehidupan kerabat abdi dalem saat mereka melakukan
tugas dari raja di keraton sesuai dengan panggilannya, sebagai penari atau
pengrawit. Dihadirkan pula kegiatan petugas pengantar teh, pembakaran dupa, dan
sesaji ayam hidup. Setelah itu secara perlahan beranjak memasuki suasana
pengadeganan garapan tari.
Dalam olahan musiknya, Hadi menyerahkan sepenuhnya kepada penata
iringan, dengan menggunakan bahan dasar dari komposisi-komposisi gending
Mataraman yang disesuaikan untuk keperluan garapan tarinya. Ritme iringan tari
juga disesuaikan dengan garapan tari dan tidak selalu mengikuti ritme gamelan
yang dibunyikan, demi menghadirkan suasana-suasana yang diperlukan. Dalam
sebuah adegan, misalnya, komposisi tari yang sedang ditarikan dalam suasana
lembut tiba-tiba dihentikan. Penghentian gerak dan iringan tari tersebut dilakukan
untuk menghadirkan konflik batin, suasana hati keraguan Rama dalam menentukan
keputusannya.
Kostum tari Kagunan Beksan Kusa dan Lawa digarap sederhana, tidak
seperti kostum tari di Keraton Yogyakarta. Kesederhanaan ini dilakukan untuk
keutuhan garapan tari tanpa mengganggu hakikat gerak. Tata pentas yang
dihadirkan sesuai dengan wujud garapan yaitu dibagi menjadi alam bayangan dan


312
Cara menggolongkan tari klasik Jawa yang paling diterima umum, yang didasarkan pada
pelaksanaan pergelaran tari-tarian keraton, yaitu beksan putri (tarian putri), beksan putra (tarian
putra), beksan wayang (tarian wayang). Ketiga klasifikasi tersebut tidak hanya untuk tari-tarian
keraton klasik melainkan juga untuk menggolongkan tarian desa atau daerah-daerah lain di Jawa.
Lihat Edi Sedyawati, Pertumbuhan Seni Pertunjukan (Jakarta, Sinar Harapan, 1981), hlm. 7–8;
Soedarsono, Wayang Wong, the State Ritual Dance Drama in the Court of Yogyakarta (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1884), hlm. 1–6; Clara Brakel-Papenhuyzen, Seni Tari Jawa, hlm.
44. Oleh Wisnoe Wardhana dalam tulisannya “Tari Tunggal, Beksan dan Tarian Sakral Gaya
Yogyakarta” dalam Mengenal Tari Klasik Gaya Yogyakarta (Yogyakarta: Dewan Kesenian Prop-
DIY-Proyek Pengembangan Kesenian DIY. Dept P&K, 1981), hlm 39, Beksan diuraikan sebagai
bentuk tarian keistanaan. Petilan atau Beksan itu bervariasi tergantung pada latar belakang lakon
dan ragam tarinya, seperti: Beksan“Dandun-Wijeseno”, Beksan “Gatutkoco-Sekipu”, Beksan
“Bancak-Doyok”, dan lain-lain.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


164

alam nyata. Penggunaan level bertingkat tiga adalah untuk mengungkapkan fokus
tertentu dalam penggarapan adegan, sedangkan pegolahan pola lantai dengan garis-
garis asimetris untuk menggambarkan keraguan dan konflik.313
Karya tari Kagunan Beksan Kusa dan Lawa tersebut termasuk dalam
kategori karya tari baru hasil pengembangan dari tradisi.

4.2.12. Iyus Rusliana (1949): Mundinglaya Salaka Domas


Karya tari Iyus Rusliana berjudul Mundinglaya Salaka Domas tampil di
Festival Penata Tari Muda III-1981 dengan ide berangkat dari cerita lisan Sunda
berjudul Mundinglaya Dikusumah, yang biasanya epos tersebut dibawakan oleh
juru pantun dengan nyanyian dan narasi verbal disertai petikan kecapi. Namun
dalam garapan karyanya, Rusliana hanya mengambil sebagian dari cerita tersebut
yang inti ceritanya tentang tokoh Mundinglaya sedang diuji kesadaran, ketabahan
dan keyakinannya dalam mengemban tugas dari Pakuan Pajajaran untuk mencari
Lalayang Salaka Domas sebagai tumbal negara.
Garapan gerak karya tari ini bertolak dari berbagai sumber tari tradisional
Sunda yang cocok dan selaras dengan tuntutan ide, seperti tari Topeng, tari Wayang,
tari Keurseus,314 tari Pencak dan beberapa lagi tarian rakyat Sunda. Tokoh
Mundinglaya ditampilkan dengan karakter gagah (monggawa),315 sesuai dengan ide


313
Lihat Y. Sumandiyo Hadi, “Kagunan Beksan Kusa dan Lawa” dalam Sal Murgiyanto
(ed.), Ungkapan dan Bahasan Festival Penata Tari Muda III 1981 (Jakarta: P.T. Harapan dan
Dewan Kesenian Jakarta), hlm. 29; Rochmad, Merdeka, 18 Februari 1981.
314
Tari Keurseus atau sering juga disebut Ibing Keurseus adalah tarian yang disusun dari
tari pergaulan bangsawan Sunda, Tayub, yang tidak berpola, dan dibawakan oleh si penari sesuai
dengan kemampuannya. Tarian ini kemudian menjadi berpola, mempunyai susunan, dan terdiri dari
beberapa ragam. Tarian ini disusun oleh R. Sambas Wirakoesoemah, Lurah Rancaekek (Bandung)
pada sekitar tahun 1920-an untuk keperluan pembelajaran atau kursus (dari bahasa Belanda, cursus)
tari kepada para bangsawan Sunda yang kemudian melahirkan berbagai repertoar tarian Kuerseus
dengan karakter yang berbeda. Lihat Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat,
www.disparbud.jabarprov.go.id./wisata/dest-det.php?id=854&lang=id, diunduh 19 November
2016.
315
Menurut Rusliana, walaupun cerita Sunda Pantun telah sejak lama sering dipakai
sebagai sumber garapan tari, namun tidak terdapat aturan pembakuan yang mentradisi tentang ciri
dari karakter tokoh-tokohnya. Tokoh Mundinglaya, misalnya, kadang diungkapkan dengan ciri
satria lungguh atau luruh (tenang) seperti Arjuna, atau berkarakter branyak (lincah) seperti tokoh
Dipati Karna. Lihat Iyus Rusliana, “Mundinglaya Salaka Domas” dalam Sal Murgiyanto (ed.),
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


165

karya yang menampilkan Mundinglaya dengan jiwa dan raga tangguh dalam
mengarungi berbagai cobaan lahir-batin untuk mencapai kesempurnaan hidup.
Dalam proses penggarapan, salah satu caranya adalah dengan improvisasi dan
eksplorasi untuk memperoleh pengembangan gerak dari gerak-gerak tari tradisional
Sunda, pencarian suasana dramatik dan penentuan adegan, pengolahan pola lantai
dan ruang pentas.
Garapan musik iringan karya tari sebagai pengatur irama dan penegas ritme
gerak, penguat dinamika, dan pembentukan suasana, dilakukan Rusliana dengan
tetap menggunakan gamelan berlaras pelog, dilengkapi dengan kecapi dan suling,
selain keprak, cek-cek, teot-teot, alat tiup dari bambu, yang tidak lazim digunakan
dalam karawitan Sunda. Tembang juga digunakan sebagai pengganti dialog untuk
menceritakan lakon yang dilakukan oleh juru pantun.316
Kostum dan tata rias penari perempuan dalam karya Mundinglaya Salaka
Domas bersumber dari kostum tari tradisional klasik Sunda, mengenakan kain
batik, selendang, lengkap dengan hiasan kepala, telinga, pinggang, lengan, tangan,
dan memberi kesan mewah laiknya putri dan atau penari keraton.
Karya tari garapan Iyus Rusliana tersebut bisa dikategorikan sebagai karya
tari baru hasil pengembangan tradisi.

4.2.13. Soenarto A.S. (1936): Reog


Soenarto A.S menggarap karya tari berjudul Reog, ditampilkan dalam
Pekan Penata Tari IV-1982, bertolak dari kesenian tradisional rakyat Jawa Timur
dengan judul yang sama. Apabila Reog Jawa Timur mempunyai ciri khusus dengan
dadak merak yang bentuknya megah, berat, dibawakan oleh seseorang dengan
kondisi badan terlatih disertai kekuatan rohani dan gerak-gerak tarinya terbatas,317


Ungkapan dan Bahasan Festival Penata Tari Muda III-1981 (Jakarta: P.T. Harapan dan Dewan
Kesenian Jakarta, 1981), hlm. 49.
316
Sal Murgiyanto (ed.), Ungkapan dan Bahasan, hlm. 49
317
Gerak tari pada Reog bertumpu pada kaki, kepala, leher dan kekuatan gigi penari,
sehingga penampilan yang menonjol lebih bersifat akrobatik. Soenarto A.S, “Reog” dalam Sal
Murgiyanto (ed.), Penata Tari Muda 1982 (Jakarta: P.T. Harapan dan Dewan Kesenian Jakarta,
1982), hlm. 19.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


166

maka Soenarto menggarap Reog yang dibawakan oleh dua penari dadak merak
dengan dukungan penari-penari lainnya. Penari dadak merak pertama tetap
memainkan dadak merak seperti halnya dalam tradisi Reog, dan penari kedua lebih
aktif membawakan tarian yang digarap dan dikembangkan dari gerak-gerak tari
tradisional yang ada di Jawa Timur. Dengan demikian penari yang kedua dapat
memperagakan kekayaan gerak tari tradisional Jawa Timuran. Namun kedua penari
dadak merak tersebut tetap menampilkan keselarasan karena oleh Soenarto diolah
menjadi satu kesatuan yang utuh.
Unsur gerak tari tradisional Jawa Timuran yang dijadikan bahan untuk
menggarap karya Reog tersebut adalah tari Ngremo dari Surabaya dan Jombang,
Topeng Dalang dari Madura, Topeng Dalang Kedungmonggo dari Malang, Reog
di Tulungagung, Jaranan di Kediri, Reog Dadak Merak dari Ponorogo, dan tari-
tarian Banyuwangi. Ragam gerak tari-tarian itu bisa dikelompokkan menjadi tari
gecul, tari gagahan, tari alus, tari kenes dan alus, dan tari gagah dan gecul.318
Seluruh unsur tari dan ragam gerak itu dieksplorasi, dikembangkan,
kemudian dipilih seturut kebutuhan penampilan sesuai tema dengan diiringi
garapan musik yang memanfaatkan instrumen gamelan slendro lengkap, angklung,
slompret (terompet) tradisi Reog, dipadu dengan tembang-tembang Dolanan,
Macapat, dan unsur Sulukan pedalangan Jawa Timuran, ditambah suara-suara
bebas sesuai kebutuhan untuk menghadirkan suasana yang diinginkan dalam karya.
Kostum tari digarap dengan menggunakan kain polos tanpa motif batik dan
menonjolkan warna-warna seperti, hitam polos pada celana dan sabuk, kain merah
hati, angkin jingga, salendang biru, sesuai dengan peran dalam garapan tarinya.


318
Di dalam teater tari tradisional di Jawa termasuk di Banyuwangi dikenal tiga golongan
tokoh utama yang perwatakkannya menyerupai tokoh wayang kulit, yang bisa dibedakan pada gaya
geraknya yaitu gaya putri (lemah gemulai) untuk peranan putri dan dewi, gaya putra alus atau alusan
untuk tokoh kesatria muda dan tampan maupun dewa, dan gaya gagahan untuk tokoh-tokoh yang
gagah perwira. Gaya gagahan tersebut bisa dibagi lagi menjadi gaya yang lebih halus yang disebut
gagah dan gaya yang lebih kasar yang disebut kasar. Selain itu dikenal juga perwatakan yang lebih
detail yaitu kenes alus yaitu pada tokoh yang halus tetapi lincah, suka bergaya dan menawan hati,
juga gagah gecul yaitu tokoh yang gagah sekaligus jenaka. Lihat Clara Brakel-Papenhuyzen, Seni
Tari Jawa, hlm. 84.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


167

Pemililihan tata kostum tersebut juga untuk menghadirkan bentuk gerak penari
menjadi gagah dan kuat sesuai dengan gerak-gerak tari yang disusun.
Karya tari Reog garapan Soenarto A.S tersebut dapat disebut sebagai karya
tari baru pengembangan tradisi karena tampilan unsur tradisionalnya masih
menonjol meski telah diolah melalui eksplorasi dan inovasi untuk disesuaikan
dengan selera zamannya.

4.2.14. T. Sita Syaritsa (1938): Putri Bungsu


Putri Bungsu adalah judul karya tari T. Sita Syaritsa, produksi Dewan
Kesenian Medan, dan dipertunjukkan di Pekan Penata Tari Muda IV-1982. Karya
tari tersebut berangkat dari dongeng saduran Tengku Athar, dan terinspiransi dari
drama tari Melayu Makyong.319 Inti ceritanya tentang seorang raja yang tak kunjung
beristri karena asyik mendalami ilmu silat dari teman seperguruan dan
kepercayaannya bernama Awang. Setelah cukup bekal ilmu silatnya, Awang
menganjurkan agar raja meminang Putri Bungsu yang cantik dan baik budi itu.
Dalam drama tari tersebut Syaritsa berupaya menggarap gerak-gerak tari
baru yang belum ada namanya. Karena itulah ia sendiri memberi nama antara lain,
untuk gerak tangan yaitu: kembang teratai, berbalas, sapu sirih, kelopak teratai,
dan serangguh sebelah; untuk gerak kepala: menoleh; untuk gerak kaki: mendaki,
gentam kaki, langkah satu, putaran mesra, kaki berbalas; untuk gerak bahu: tekuk
bahu, berkanan di hati. Adapun nama-nama gerak yang telah ada dan tetap
digunakan oleh Syaritsa namun kemudian dipilih dan disusun sesuai kebutuhan
pemeranan dan cerita, yaitu, untuk gerak tangan: senandung sebelah, melegar,


319
Makyong merupakan gaya teater tradisional Melayu yang lahir di Semenanjung Malaya
sekitar abad ke-17 dan masuk ke pulau Bintan, Riau, sekitar abad ke-19. Teater tradisional ini berisi
gabungan antara seni tari, seni suara, seni musik, dan seni teater. Walaupun bersifat teater rakyat,
pada mulanya kesenian ini termasuk kesenian istana karena dipentaskan untuk mengisi acara di
kalangan istana, pada siang maupun malam hari. Para pemainnya terdiri dari penyanyi, penari,
pelawak, dan para pemain musik yang menggunakan topeng dan kuku panjang buatan yang disebut
canggai. Ceritanya umumnya komedi yang dipimpin oleh ketua panjak. Ensiklopedi Nasional
Indonesia Jilid 10 (Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1990), hlm. 65; Edi Sedyawati, “Seni
Pertunjukan” dalam Indonesian Heritage (Jakarta: Buku Antar Bangsa untuk Grolier Internasional,
Inc., 2002), hlm. 100.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


168

mengelak, dayung sebelah; untuk gerak kaki: lenggang kuak, geser, berjinjit,
menyingsing, melayah, menumit, langkah empat sauk.
Tata pentas drama tari Putri Bungsu digarap tidak rumit agar bisa
ditampilkan di ruang terbuka maupun tertutup. Drama tari tersebut diiringi lagu-
lagu Melayu dan menggunakan alat-alat musik tradisional Melayu seperti serunai,
gedombak (gendang yang terdiri atas gendang pengibu dan gendang penganak),
talempong, breng-breng (gong pipih), canang (gong gantung). Busana tarinya
dikembangkan berdasarkan busana drama tari Makyong, antara lain, kebaya
panjang, kain sarung, pending, selendang, hiasan kepala, hiasan dada untuk penari
perempuan, sedangkan penari laki-laki mengenakan celana panjang, kain sarung,
ikat kepala.
Drama tari Putri Bungsu tersebut termasuk drama tari garapan baru
pengembangan dari tradisi.

4.2.15. Tom Ibnur (1954): Ambau Jo Imbau


Tampil kembali di Pekan Penata Tari Muda 1983320, Tom Ibnur menggarap
karya tari berjudul Ambau Jo Imbau yang berdasarkan tari tradisional
Minangkabau. Kaba buruak baambauan, kaba baiak baimbauan, atau dalam
bahasa Indonesia berarti kabar buruk berdatangan, kabar baik diimbaukan, adalah
pepatah Minangkabau yang menjadi gagasan dasar dalam garapan karya tari Tom
Ibnur ini. Pepatah itu bermakna rasa persatuan, penuh tanggung jawab, dan
kegotongroyongan di dalam masyarakat.
Dalam upaya mewujudkan gagasannya, Tom Ibnur pulang ke kampung,
menyusup ke tiga daerah: Padang Alai nagari Air Tabit, Payakumbuh Timur, untuk
lebih mengenal Talempong Sikatuntuang; Bukit Limbuku nagari Koto Malintang,
Kabupaten Lima Puluh Kota, untuk mengenal lebih jauh mengenai Ratok Bawak;
dan Napar nagari Koto Nan Gadang, Payakumbuh Utara, untuk mendalami tari


320
Sebelumnya Tom Ibnur tampil dalam Pekan Penata Tari Muda IV-1982 bersama Dedy
Lutan dengan karya tari berjudul Awan Bailau, dan karya tersebut dikategorikan sebagai karya tari
kontemporer pada masa itu.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


169

Pedang. Selama lebih dari lima bulan Ibnur pulang-balik Jakarta-Sumatera Barat
untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang berkaitan dengan bahan
kesenian yang akan digarapnya sesuai dengan gagasannya. Selain itu di Jakarta ia
menyiapkan sejumlah penari muda. Menjelang pementasan, Ibnur menggabungkan
penari dan pemusik di Jakarta dengan para penari tua dari Sumatera Barat.
Membawa serta penari tua dari daerah asal merupakan gagasan dan
keinginan Ibnur untuk lebih bisa mengangkat tari tradisional menjadi tontonan yang
komunikatif sekaligus menghidupkan suasana tontonan di area pentas sesuai ide
garapan. Ini sebuah karya tari untuk tontonan masa kini yang diadakan bukan hanya
di daerah asalnya tetapi juga di tempat lain, yaitu Jakarta, yang juga memiliki
komunitas Minangkabau dengan jumlah anggota tidak sedikit. Adapun upaya Ibnur
melibatkan penari dan pemusik muda yang tinggal di Jakarta yaitu agar para penari
dan pemusik yang mempelajari tari Minangkabau di Jakarta bisa lebih mengenal
seni pertunjukan tradisional dan upacara adat yang dilakukan oleh orang-orang asal
tradisi tersebut. Selain itu, bagi Ibnur mengajak penari-penari muda dari sanggar
Minangkabau di Jakarta terasa ada tantangan untuk digarap dengan pencarian-
pencarian dan teknik tari baru yang tidak terlalu jauh lepas dari teknik tari Minang
tradisional sehingga nilai-nilai khas Minang tidak terhapus.
Di Padang Alai, hampir setiap minggu talempong yang ditabuh ibuk-ibuk (=
ibu-ibu) terdengar di perhelatan, baik perhelatan perkawinan, menaiki rumah baru,
syukuran kelahiran anak dan lain-lain. Semua kegiatan tersebut sudah menjadi
kebiasaan mereka dan talempong yang ditabuh tersebut disimpan di rumah mereka
masing-masing.
Oleh Ibnur, enam buah talempong dengan empat orang penabuhnya dibagi
dalam empat bagian pula, yakni, dua talempong basauah, dua talempong
momongan, satu talempong paningkah, satu talempong aguang,321 dan satu


321
Talempong basuah termasuk bagian dari talempong pacik, yaitu talempong yang
memainkannya dengan dipegang dan digantung di tangan; talempong paningkah juga bagian dari
talempong pacik yang ditabuh untuk memberi bunyi tingkahan dari bagian talempong lainnya yakni
talempong palaku dan talempong anak; talempong momongan adalah talempong untuk arak-arakan
berjumlah enam buah dan talempong yang lebih besar dipukul oleh enam orang; talempong aguang
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


170

gandang lasuang yaitu permainan bunyi dengan memukul lesung panjang. Bunyi
lesung tersebut selanjutnya dipadu dengan bunyi gandang dan pukulan talempong.
Sikap ibuk-ibuk yang terbuka dan lebih bebas terhadap adat, membuat mereka tidak
berjarak ketika Ibnur mengolah permainan talempong dan katuntuang dipukul
bersama dan menjadi riuh berbunyi.
Berbeda dengan ibuk-ibuk di Bukit Limbuku, pemain ratok bawak lebih
berhati-hati dalam berkesenian. Adat lebih kuat mengikat rasa gerak mereka, karena
mereka dari lingkungan darah biru. Ninik Mamak, adat, dan lingkungan pada
awalnya membatasi kebebasan ungkapan mereka. Namun dengan pendekatan yang
intens, secara bertahap Ibnur bisa mengatasi tantangan tersebut.
Adapun Napar merupakan desa yang generasi tuanya telah mengelola
keseniannya dengan baik sehingga kesenian tradisional bisa terpelihara dan
berkembang, seperti terpeliharanya tari Pedang, Randai, permainan talempong dan
saluang. Namun, di daerah ini generasi mudanya kurang terlibat dalam kegiatan
kesenian karena sebagai petani ataupun pedagang kecil, mereka harus bekerja keras
untuk kehidupan rumah tangganya.
Sesuai keinginannya, Ibnur lalu menyatukan ketiga nagari tersebut dalam
garapan Ambau Jo Imbau dan membuahkan suatu kerja sama yang baik, bahkan
tumbuh sikap berkesenian yang intensif. Mereka berdialog tentang apa yang mereka
lakukan, dan di dalam dialog maupun kerja sama tersebut kemudian muncul
berbagai macam ide baru. Akhirnya muncul kesadaran bahwa antara Ibnur dan
ibuk-ibuk sesungguhnya telah melakukan “sesuatu” untuk kebersamaan, dan
kebersamaan itu tertuang dalam karya tari baru garapan Ibnur, Ambau Jo Imbau.
Bagi Sayuti Nurdin (Pimpinan Sekolah Kesenian Indonesia Padang)
garapan karya Ambau Jo Imbau telah menjadi semacam upacara yang berbentuk
kesenian atau kesenian yang seolah-olah upacara. Upaya Ibnur mengembangkan
dan menggarap kesenian tradisional menjadi suatu karya baru dari ketiga nagari
tersebut mendapat restu dan dorongan Gubernur Kepala Daerah Tingkai I Provinsi


yaitu talempong yang diletakkan di atas rak kayu dan dimainkan dengan paduan bunyi gengang
gong. Hasil wawancara dengan Tom Ibnur, 3 Januari 2015.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


171

Sumatera Barat 1983, Azwar Anas, sehingga semua pendukung Awan Jo Imbau
dari ketiga nagari itu sangat bersemangat.
Iringan musik karya tari tersebut menggunakan beberapa alat musik
tradisional Minangkabau: talempong, saluang, rabab, katuntuang, talempong
aguang, gandang dan tong-tong yang dipadu dan digarap dengan vokal berupa
nyanyian, dialog, bersyair dan ratapan.
Warna hitam mendominasi garapan busana tari Ambau Jo Imbau, dipadu
dengan busana tradisional masyarakat Luhak Lima Puluh Kota dengan berbagai
corak ragamnya, terutama untuk busana penari perempuan, dipakai untuk memberi
kesan dan suasana sesuai gagasan karya tari tersebut. Perempuan memakai sarung
batik yang dikenakan lebih panjang dari kain di luarnya, berhias renda emas
(lambak baninsia). Baju kurung hitam berselendang sandang ayam-ayam membelit
dari pinggang hingga bahu, dan kepala memakai tangkuluak talakuang berwarna
putih yang nantinya diganti dengan tangkuluak kompong terbuat dari kain batik.
Paniti wang dukat dan kalung rago-rago merupakan perhiasan yang melengkapi
busana penari perempuan tua (ibuk-ibuk). Penari laki-laki memakai sarawa
galembong dan baju galembong berwarna hitam, di bahunya membelit salempang,
sedangkan pinggang diikat dengan ikek pinggang barumbai. Kepala memakai deta
(destar) berwarna hitam.
Ambau Jo Imbau bisa dikategorikan sebagai karya tari baru pengembangan
tradisi yang dalam proses penggarapannya Ibnur banyak memanfaatkan dan
menggali materi seni tradisional dari tiga nagari sebagai bahan, yang pada beberapa
bagian Ibnur juga melakukan perubahan dan atau pembaruan. Dalam karya tersebut
Ibnur sesungguhnya sekaligus menghadirkan kembali tradisi bahkan
mengikutsertakan masyarakat pendukung seni tradisional tersebut yang relatif
berumur, yang kemudian berkolaborasi dengan penari muda dari Jakarta.
Di dalam diskusi yang membahas karya Tom Ibnur setelah pertunjukan,
muncul beberapa tanggapan dari para pengamat dan menjadi topik hangat. Sal
Murgiyanto (pengamat dan anggota Komite Tari DKJ) mengatakan bahwa
keinginan Ibnur untuk membawa serta penari tua dari daerah asal, patut mendapat
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


172

penghargaan. Menilai karya yang menggarap suatu tradisi yang masih hidup di
kalangan pendukungnya, proses kreatifnya tidak bisa dinilai hanya dari aspek
artistik koreografis saja. Chairul Tanjung (Ketua Badan Koordinator Kesenian
Nasional Indonesia Sumatera Barat) juga mengungkapkan bahwa karya tari yang
berangkat dari tradisi perlu diamati secara artistik-antropologis. Mursal Ensten
(Pimpinan Taman Budaya Padang) menambahkan bahwa jika melihat karya tari
dari segi fungsi dan konteks sosialnya, maka Ambau Jo Imbau memiliki arti yang
sangat penting bagi Sumatera Barat karena usaha Ibnur untuk tetap menekankan
kaitan pertunjukan tari dengan upacara adat Minang, mampu membuat penonton
Minang di Jakarta tetap bertahan dari awal sampai akhir.322
Penghadiran kembali tradisi yang dilakukan Ibnur dalam karya Ambau Jo
Imbau, menyerupai apa yang dilakukan Sulistyo Tirtokusumo dalam karyanya Ario
Jipang yang tampil dalam Pekan Penata Tari II-1979. Hal yang dilakukan Ibnur
sesuai dengan konsep Eric Hobsbawm mengenai tradisi, yakni bahwa
menghadirkan tradisi berupa kebiasaan dan seni tradisional dari tiga nagari di
Sumatera Barat merupakan usaha untuk menciptakan suatu tradisi yang dibentuk
secara formal (reka cipta), namun bisa pula diartikan sebagai suatu respons terhadap
situasi baru dengan mengambil bentuk dari masa lalu.323 Reka cipta tradisi seperti
yang dilakukan Ibnur bisa dikatakan bukan hanya mempertahankan dan
menghadirkan kembali tradisi, tetapi bila diperlukan juga membentuk kembali
tradisi sehingga bisa mencapai tujuan yang diinginkan yaitu tujuan budaya, sosial,
ekonomi dan politik.324

4.2.16. Nurdin Daud (1943-2007) dan Marzuki Hasan (†1946): Ramphak


“Zamzam berkumpullah
Berkumpullah menyembah Allah
Zamzam bergembiralah
Bergembiralah mengingat Allah”


322
Lihat Sal Murgiyanto (ed.), Penata Tari Muda 1983 (Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta,
1984), hlm. 22–5.
323
Eric Hobsbawm, “Introduction: Inventing Tradition”, hlm. 1–14.
324
Yasmine Z. Shahab, Identitas dan Otoritas, hlm.130.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


173

Ramphak nama tarinya


Jalin berjalin sebagai seni
Gerak, nyanyi, puisi
Dan sunyi itu sendiri
Jalin berjalin menjadi tari

Aceh, itulah Serambi Mekkah


Itulah wilayah budaya kita
Ini kali jadi parigi
Jadi sumber tempat menimba
Gerak dasar berbagai bentuk
Dan dari dulu sampai sekarang
Di sana tumbuh dan berkembang:
Seudati, Ratohduek, Pho,
Seudati Inong, syair dan pantun.
Semua jalin berjalin
Dipintal di buhul menjadi satu
Tumbuh, mekar dan rimbun
Jadi Ramphak namanya tari

……………………………..

Nurdin Daud dan Marzuki Hasan menggarap karya tari berjudul Ramphak,
ditampilkan dalam Pekan Penata Tari Muda V-1983. Ide garapannya
mengungkapkan keterbatasan manusia dalam mengarungi hidup dan dalam upaya
mencari yang haq, keterbatasan manusia dalam penghayatan keagamaan, selain
pada hakikatnya kegiatan dan peristiwa kesenian adalah peristiwa manusia,
peristiwa kebersamaan. Peristiwa kebersamaan kemanusian itu adalah proses
belum selesai, yang mungkin tidak pernah selesai, dan merupakan bagian dari
keterbatasan tersebut.
Anggapan bahwa bentuk-bentuk kesenian tradisional Aceh hanyalah
perpanjangan yang ada sangkut pautnya dengan keislaman, iman, taqwa, syariat-
syariat, dakwah dan lain-lain, bagi Daud dan Hasan, sesungguhnya pengaruh itu
hanya ada pada rohnya, bukan pada bentuk kesenian itu sendiri. Melalui kekayaan
bentuk dan semangat kesenian itulah Daud dan Hasan mengangkatnya menjadi
karya tari baru dengan tema pencarian manusia kepada Tuhannya.

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


174

Syair yang didendangkan di awal karya Ramphak digarap oleh Marzuki


Hasan, berisi tentang kebesaran Ilahi dan menyerukan agar manusia hanya
menyembah Allah. Dalam proses penggarapan tari, Daud dan Hasan mengambil
sikap terbuka untuk mendapatkan masukan dari para penarinya, yang diberinya
kebebasan untuk mengemukakan pendapat baik pada tema garapan maupun
pencarian gerak. Daud bereksplorasi bersama para penari, secara bersama pula
menafsirkan gerak-gerak tari tradisional Aceh seperti tari Seudati, Pho, Saman,
Rateb Meuseukat.325 Rasa dan warna Aceh yang kuat di dalam tubuh dan jiwa Daud
ditularkan kepada para penari yang sebagian besar penari non-Aceh di Jakarta. Lalu


325
(1) Tari Seudati merupakan sebuah adat tari rakyat dari Daerah Istimewa Aceh. Kata
Seudati kemungkinan besar diambil dari bahasa Arab, syahadatain, atau menurut beberapa orang,
meusaman. Seudati diyakini oleh orang Aceh muncul bersamaan dengan penyebaran Islam, yang
pada saat itu digunakan untuk mengajarkan Islam kepada masyarakat dengan cara menghibur.
Sebagai pertunjukan tari, Seudati terdiri atas unsur sastra dan musik yang dihasilkan dari tubuh
penari dengan menggunakan kertakan jari, tepukan tangan atau dada (untuk penari laki-laki) dan
paha (untuk penari perempuan), serta entakan kaki di tanah. Lagu Seudati diambil dari Al Qur’an
atau secara kreatif dikembangkan oleh aneuk syahi, kedua penyanyi-penyair. Gerak-gerak tari
Seudati diilhami dari alam sekeliling seperti cabang yang ditiup angin, kebuasan seekor elang,
keberanian ayam jantan, dan lain-lain. (2) Tari Pho adalah tari dari D.I. Aceh lainnya dan Pho
berasal dari kata peubae yang artinya meratoh atau meratap. Pho juga berarti panggilan atau sebutan
penghormatan dari rakyat hamba kepada Yang Mahakuasa yaitu Po Teu Allah. Tarian ini dibawakan
oleh para perempuan, dan dahulu biasanya dilakukan pada saat kematian raja-raja atau pembesar
lainnya, berupa doa kepada Yang Mahakuasa dan mengeluarkan isi hati yang sedih karena ditimpa
kemalangan disertai ratap tangis. Sejak berkembangnya agama Islam, tarian ini tidak lagi dihadirkan
pada waktu kematian, tetapi telah menjadi kesenian rakyat yang sering ditampilkan pada upacara-
upacara adat selain kematian. (3) Tari Saman adalah sebuah tarian suku Gayo yang biasa
ditampilkan untuk merayakan peristiwa-peristiwa penting dalam adat. Syair dalam tarian Saman
menggunakan Bahasa Gayo. Selain itu biasanya tarian ini juga ditampilkan untuk merayakan
kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dalam beberapa literatur menyebutkan tari Saman di Aceh
digarap dan dikembangkan oleh Syekh Saman, seorang ulama yang berasal dari Gayo (Aceh
Tenggara) dan tarian ini sebagai salah satu media untuk pencapaian pesan (dakwah). Dalam
perkembangannya tari Saman mengandung pesan pendidikan keagamaan, budi pekerti,
kepahlawanan, dan kebersamaan. Lagu dan syair dalam tarian tersebut diungkapkan secara bersama
dan berkesinambungan, pemainnya terdiri dari pria-pria yang masih muda-muda dengan memakai
pakaian adat, duduk berjajar dan bergerak rampak dan dinamis. Penyajian tarian Saman dapat juga
dipertandingkan dengan grup tamu. Penilaiannya dititikberatkan pada kemampuan masing-masing
grup untuk menampilkan gerak tari dan lagu (syair) yang seringkali disampaikan spontan untuk
menjawab atau menandingi grup lawan. (4) Rateb Meuseukat berkembang di Aceh Barat Daya
ditampilkan dalam acara-acara keagamaan Islam yang disebut rateeb atau meurateeb, yang biasanya
dilakukan di tempat-tempat pengajian dalam rangka mendekatkan diri pada Allah SWT. Selain itu
juga ditampilkan di acara-acara adat, seperti perkawinan dan khitanan. Tarian ini dibawakan oleh
para perempuan dengan pakaian adat, duduk berjajar dan berdiri dengan gerakan yang rampak dan
dinamis, bergerak sambil menyanyi dalam bahasa Aceh dan diiringi rapa’i dan geundrang. Edi
Sedyawati, “Seni Pertunjukan”, hlm. 70–1; Muhammad Umar, Profil Budaya/Kesenian Kabupaten
Aceh Barat Daya (Aceh Barat Daya: Yayasan Busafat Banda Aceh, 2000).
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


175

dipadu dengan penghayatan atas syair baru yang digarap dari syair tradisional Aceh
yang didendangkan oleh Hasan dalam bahasa Aceh, maupun puisi baru dalam
bahasa Indonesia yang dibawakan oleh Hamid Jabar. Bukan hanya kata-kata dan
suara, tetapi tepukan tangan di paha, di dada, geseran dan entakan kaki khas tari
tradisional Aceh pun dipadukan sebagai puisi bunyi dari tubuh. Gerak-gerak tari
tradisional Aceh lainnya ditata oleh Daud melalui disipilin tinggi dari para penari
yang berjumlah 22 orang yang memiliki berbagai macam teknik tari non-Aceh,
sembilan penari perempuan dan 13 penari laki-laki, dan menghasilkan koreografi
Ramphak yang semarak, dinamis, variatif, dan baru, seakan mengajak penonton di
Teater Arena PKJ-TIM untuk turut terlibat secara ragawi ataupun jiwani selama 55
menit.
Kebaruan karya tersebut antara lain pada bercampurnya berbagai unsur
tradisi Aceh dan non-Aceh dalam satu karya yang yang kemudian dieksplorasi
sehingga menghasilkan gerak-gerak baru; gubahan syair berbahasa Aceh sesuai
tema yang dinyanyikan oleh Hasan maupun sebagian oleh penari; dimasukkannya
puisi berbahasa Indonesia disertai garapan gerak bagi penyair sesuai isi puisinya;
penggarapan level panggung maupun posisi penari yang tidak hanya duduk berjajar
tetapi menyebar hingga ke berbagai sudut; dan bercampurnya penari laki-laki dan
perempuan dalam satu garapan. Oleh sejumlah tokoh Aceh yang berada di Jakarta,
karya Nurdin Daud dan Marzuki Hasan itu bisa diterima. Namun teguran ditujukan
kepada kedua penata tari tersebut dari para tokoh dan seniman Aceh yang berada di
tempat asalnya. Bagi mereka digabungkannya berbagai unsur tari dan nyanyi
tradisional dalam satu karya masih terasa janggal, dan bercampurnya penari laki-
laki dan perempuan dalam satu karya sepatutnya tidak dilakukan.326
Setahun kemudian, 1984, karya Nurdin Daud dan Marzuki Hasan lainnya
yang berjudul Huu (diciptakan pada 1980) yang ide, gerak, maupun musiknya juga
berangkat dari tari dan musik tradisional Aceh, Seudati, Ratoh Deuk, Pho, dan
Saman, serta tampilnya penari laki-laki dan perempuan dalam satu karya,


326
Lihat Nurdin Daud dan Marzuki Hasan, “Ramphak” dalam Sal Murgiyanto (ed.), Penata
Tari Muda 1983 (Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 1983).
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


176

dipertunjukkan di Amerika Serikat dalam acara American Dance Festival, Durham,


North Carolina, di New York, Chicago, dan Washington, bersama karya tari Awan
Bailau karya Dedy Lutan dan Tom Ibnur. Bersama Awan Bailau, karya Nurdin dan
Hasan tersebut mendapat sambutan yang sangat baik dari penonton, pengamat seni
maupun media massa di Amerika. Tokoh tari modern, Martha Graham, hadir dalam
pertunjukan di New York dan memberikan komentar sangat positif yang kemudian
ditulis oleh Threes Nio dalam Kompas. Setelah peristiwa tersebut, karya Daud dan
Hasan mulai diterima oleh tokoh dan seniman di Aceh, bahkan mempengaruhi
koreografer-koreografer muda di sana, terutama dalam hal menggarap berbagai
materi tradisional Aceh dalam satu karya.
Kembali ke Ramphak, karya tari ini bisa dikategorikan sebagai karya tari
baru pengembangan dari tradisi yang sarat dengan inovasi dan dicapai melalui
eksplorasi. Penggabungan antara penari perempuan dan laki-laki sebagai
pengembangan dari tari tradisional Seudati, Ratoh Deuk, dan Saman, merupakan
kelanjutan eksperimen dari karya terdahulu berjudul Huu (digarap 1980) yang
berani dan siap untuk memperoleh teguran dari tokoh dan seniman tari di Aceh.

4.2.17. N.L.N. Swasthi Widjaja B. (1949): Anglingdarma


Karya tari berjudul Anglingdarma garapan N.L.N Swasthi Widjaja B,
dipertunjukkan dalam Pekan Penata Tari VI-1984. Karya tari tersebut bertolak dari
cerita ‘Kidung Ajidarma’ yaitu sebuah cerita rakyat Bali yang bersumber pada
cerita Tantri,327 yang kemudian ditafsirkan kembali oleh Swasthi baik dari segi isi
maupun garapan tarinya. Pemilihan tema tersebut menurut Swasthi karena di
dalamnya memuat nilai spriritual, yaitu kesetiaan prabu Anglingdarma dalam
merahasiakan ilmu memahami bahasa binatang, pemberian Antaboga, gurunya.
Langkah awal dalam menggarap karya tari tersebut, Swasthi mematangkan
idenya menjadi konsep garapan dengan melakukan studi cerita Anglingdarma baik
yang berupa literatur tertulis maupun lisan dari beberapa seniman yang pernah


327
Cerita Anglingdarma cukup dikenal di Bali dan sering dipakai sebagai lakon baik dalam
Drama Gong maupun Arja dengan bentuk pertunjukan serta penafsiran cerita tersendiri.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


177

melakukan penggarapan cerita tersebut dalam bentuk drama tari Gong dan Arja.
Melalui itu, ia mulai menggarap konsep berupa bagian-bagian cerita yang menjadi
pokok yang kiranya bisa dituangkan ke dalam bentuk karya tari. Kemudian
dilanjutkan dengan melakukan eksplorasi gerak. Dalam mengeksplorasi gerak-
gerak tarinya itu, ia tetap menggunakan materi tari tradisional Bali namun ia juga
melakukan pengembangan dan penggarapan gerak sesuai kebutuhan.
Pada bagian pertama, untuk menggambarkan kebingungan dan kesedihan
Prabu Anglingdarma karena tuntutan permaisurinya, Swasthi mengeksplorasi
geraknya melalui gerakan para penari yang berkelompok sambil memegang
lamak328 yang digerakkan tinggi ke belakang.329 Begitu juga untuk menghadirkan
kesan api hingga datangnya kutukan kepada Anglingdarma, para penari bergerak
berkelompok dengan menampilkan berbagai gerakan tangan dengan berbagai
garapan pola lantai. Pada bagian kedua yang menggambarkan suasana romantis
antara Anglingdarma dengan ketiga putri, Swashi mewujudkannya dengan adegan
dan gerak berkasihan secara bergantian. Saat Anglingdarma heran dan curiga atas
menghilangnya ketiga putri tersebut dari sisinya, diungkapkan dengan sedikit gerak
namun diperkuat dengan ekspresi wajah dan diiringi gending Ginada Candrawati.
Selanjutnya pada bagian ketiga, ketika menggambarkan suasana kuburan dengan
menampilkan ketiga putri yang sedang memakan bangkai, Swasthi memberi
kebebasan kepada penari untuk menafsirkan dan mengekspresikan sendiri bagian
tersebut, baik dalam ekspresi wajah maupun geraknya. Bahkan penari boleh
berimprovisasi dalam melakukannya sejauh tidak lepas dari maksud garapan
tarinya. Adapun pada bagian akhir saat Anglingdarma ditenung menjadi belibis dan
berenang sambil bergurau dengan belibis-belibis lainnya, ditampilkan melalui


328
Lamak adalah bagian dari kostum tari yang menjuntai di bagian dada. Lamak bisa dilihat
misalnya pada kostum tari Legong yang dipasang di dada, menjuntai sampai paha. Biasanya, lamak
terbuat dari kulit atau kain. Hasil wawancara dengan Dr. Ni Nyoman Sudewi, 6 April 2015.
329
Di dalam perbendaharaan tari tradisional Bali, para penari putri biasa menggunakan
lamak untuk menggambarkan kesedihan. Dalam karya tari Anglindarma, gerak tangan penari oleh
Swasthi diangkat lebih tinggi ke belakang. Lihat N.L.N. Swasthi Widjaja B., “Anglingdarma” dalam
Sal Murgiyanto (ed.), Penata Tari Muda 1984 (Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta,1984), hlm. 22.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


178

sekawanan penari belibis memakai busana tari putih bersih, bergerak romantis
sekaligus ceria.
Kostum tari Anglingdarma dirancang khusus agar tidak mengganggu
gerakan tarinya dan dibuat lebih praktis dalam pemakaiannya dengan tetap
memperhatikan keindahannya. Iringan musik tari sepenuhnya ditangani oleh penata
iringan berdasarkan konsep garapan tari. Iringan tari tersebut menggunakan
sebagian dari barungan Semar Pagulingan330 yang terdiri dari dua pasang gender
rambat, satu pasang gejogan, satu pasang kendang krumpungan, gong, cengceng,
beberapa buah suling dengan ukuran besar dan kecil. Selain itu digunakan juga
vokal, tembang Ginada Candrawati dan Ginada Basur. Suasana lembut bahkan
dalam beberapa bagian digarap sunyi, menghadirkan irama dan suasana iringan
yang ada kalanya justru berlawanan dengan suasana dan irama gerak, merupakan
bagian dari garapan musik Anglingdarma dan hal tersebut tidak biasa dan atau baru
dalam garapan musik tari tradisional Bali.331
Itulah yang antara lain membuat karya Swasti dinilai sebagai karya baru
pengembangan dari karya tradisional. Swasthi menangani karyanya tersebut
dengan konsep berbeda yaitu menggarapnya secara ketat, meski ia tetap selalu
berdialog dengan penari, penata musik maupun pemusiknya agar bisa dicapai hasil
yang baik dan semua pendukung merasa terlibat secara optimal. Garapan yang ketat
tersebut merupakan sesuatu yang baru dalam drama tari di Bali, karena drama tari
tradisional Bali merupakan teater komunal yang unsur improvisasi dan keterlibatan
penonton sangat besar seperti dalam Kecak, Sanghyang, dan Drama Gong. Selain
aspek komposisi tari dan musik, panggung (penggarapan setting), lampu,


330
Barungan Semar Pagulingan, barungan berarti kumpulan dari berbagai jenis tungguhan
(satu satuan dari alat sumber bunyi tertentu) yang menjadi satu kesatuan (ensambel), dan Sekar
Pagulingan yaitu barungan madya perpaduan antara gamelan Gambuh dan Legong, yang bersuara
merdu sehingga pada zaman dahulu banyak digunakan untuk menghibur raja-raja dimalam hari.
Bahkan konon dimainkan ketika raja-raja akan tidur. Kini, Semar Pagulingan biasa dimainkan
sebagai sajian tabuh instrumentalia dan atau mengiringi tarian dan teater. Pande Made Sukerta, Gong
Kebyar Buleleng: Perubahan Keberlanjutan Tradisi Gong Kebyar (Program Pasca Sarjana bekerja
sama dengan ISI Press Surakarta, 2009), hlm. 374.
331
Berdasarkan pandangan Ben Suharto dan Edi Sedyawati dalam acara diskusi setelah
pertunjukan berlangsung. Lihat N.L.N. Swasthi Widjaja B., “Anglingdarma”, hlm. 22.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


179

disesuaikan dengan tempat karya itu akan ditampilkan, dan disesuaikan dengan
tuntutan karya tari sebagai pertunjukan masa kini. Hal tersebut merupakan sesuatu
yang baru bagi generasi muda Bali saat itu (1984).332
Sejak awal Swasthi Widjaja B. sadar bahwa saat itu melakukan pembaruan
di Bali tidaklah mungkin terlalu jauh melangkah. Oleh sebab itu unsur tari dan
musik tradisional tetap sebagai bahan utama. Eksplorasi dan pengembangan yang
dilakukannya diutamakan untuk lingkungan akademis atau lingkungan di luar Bali.
Harapannya semua lapisan masyarakat Bali kemudian bisa menerima garapan
barunya, setelah karyanya diterima penonton dan pengamat tari di luar Bali.333

4.2.18. Jose Rizal Firdaus (1950): Simpai Giri


Simpai Giri adalah garapan Jose Rizal Firdaus yang dipentaskan pada
Pekan Penata Tari VI-1984. Karya ini bertolak dari tradisi Melayu yang dalam
penggarapannya memanfaatkan materi tari tradisional antara lain tari Zapin,
Hadrah, Inai, Silat, Gubang, Ahoi, Sarah dan Ronggeng,334 dan bagian-bagian dari

332
Seperti disampaikan I Made Bandem (Ketua ASTI Denpasar), dalam N.L.N. Swasthi
Widjaja B., “Anglingdarma”, hlm. 21.
333
Lihat N.L.N. Swasthi Widjaja B., “Anglingdarma”, hlm. 22.
334
(1) Tari Zapin terdapat di hampir seluruh pesisir Indonesia terutama di daerah-daerah
yang pengaruh Islamnya kuat seperti di Deli, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Jakarta, Garut, Ternate,
dan seterusnya, dan masing-masing mempunyai ragam Zapin yang khas. Beberapa Zapin Melayu
mempunyai banyak gaya dan langkah sesuai daerahnya, dan pola tarinya serupa dengan Zapin Arab.
Zapin Melayu menggunakan peralatan tari, dan nama tarinya sesuai dengan nama peralatan tari
tersebut. Alat musik pengiring terdiri dari gambus, rebana, gendang, rebab, marakas. (2) Tari
Hadrah hidup di daerah Batang Kuis, berkembang di sana dari Malaya bersama dengan
berkembangnya agama Islam. Tarian ini biasa dipersembahkan setelah selesai pengajian. Gerak
tarinya diambil dari gerak silat, dengan pola serempak, disertai vokal yang berisi puji-pujian kepada
Nabi Muhammad SAW dan pesan-pesan tentang keluhuran budi pekerti. Tarian ini diringi tujuh
buah gendang yang tidak sama besarnya. (3) Tari Ronggeng Melayu adalah salah satu bentuk seni
pertunjukan yang memadukan tari, musik, teater dan sastra (pantun). Tari ini mempunyai makna dan
fungsi untuk menghormati dewi kesuburan namun kini berfungsi hiburan pada acara sunatan,
syukuran panen, dan perkawinan. Ditarikan oleh penari perempuan (Cik Ronggeng) pada awalnya,
lalu disusul hadirnya penari laki-laki. Gerak tarinya dinamis tanpa pola gerak yang teratur, dan
kadang disertai gerak silat. Diiringi akordion, gendang Melayu, biola dan nyanyian yang dibawakan
bergantian disertai pantun-pantun spontan berisi sindiran, rayuan, atau sekadar menanyakan kabar.
(4) Tari Inai merupakan tarian dengan bunga-bunga silat yang dilakukan di hadapan pelaminan
sambil memegang piring kecil yang berisi inai dan lilin. Menyerupai tari Piring di Minangkabau
tarian ini bagian dari upacara perkawinan dan inai yang dibawa penari akan dipakaikan kepada
pengantin. Iringan tariannya biola, suling, gendang, akordion dan gong. (5) Tari Silat merupakan
bunga-bunga silat yang ditarikan di hadapan raja-raja pada saat menjamu tamu kehormatan, dalam
bentuk ada ketangkasan bersilat para panglima meski yang ditampilkan hanya bunga-bunga silatnya
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


180

Makyong menggambarkan kehidupan pemuda-pemudi Melayu. Selain kegiatan


sehari-hari baik sebagai petani maupun nelayan, para pemuda-pemudi juga
disibukkan dengan kegiatan rutin yakni mengaji, berlatih silat, dan mereka juga
bersenda gurau dengan pantun, nyanyian dan tari. Hal utama yang ingin
ditampilkan Firdaus dalam karya tari tersebut adalah keperkasaan perempuan, yang
mana ini merombak citra lemah lembut perempuan Melayu. Dalam penggarapan
karya tarinya, Firdaus mulai melakukan penelitian tari Hadrah di Batang Kuis, tari
Gubang di Asahan, tari Inai dan Ahoi di Sunggal, tari Zapin dan Sarah di Bedagai,
Silat di Perbaungan dan Galang. Dalam pemilihan, pengembangan materi, dan
latihan dengan para penari dan pemusik Firdaus melakukannya di tiga tempat yaitu
di Batang Kuis, Bedagai Sunggal dan Perbaungan. Proses selanjutnya dilakukan di
studio di Medan dengan seluruh pendukung, para penari dan pemusik, selama tiga
bulan. Dalam menggarap karya tari tersebut Firdaus sadar bahwa karya yang
dihasilkannya masih menyerupai bunga rampai tari Melayu meskipun ia telah
melakukan pengembangan dalam gerak dan musik serta dikaitkan dengan tema
tertentu. Belum tersedianya penari profesional di Sumatera Utara335 dan belum
terbiasanya masyarakat menerima pembaruan dalam keberagaman seni tari
tradisional merupakan kendala tersendiri baginya untuk melangkah lebih jauh
dalam upaya penggarapan karya tari baru.


saja. Dalam perkembangannya tarian ini digunakan untuk mengantar pengantin dan menyambut
pengantin. (6) Tari Ahoi adalah tarian menginjak-injak (mengirik) padi pada waktu selesai panen,
diiringi vocal yang berisi pantun panjang dan dilakukan bersahut-sahutan. Gerak tarinya dimanis
pada gerak kaki dan tangan dan tarian ini dilakukan untuk menghilangkan rasa letih saat berkerja
bergotong royong mengirik padi. (7) Tari Sarah merupakan bagian dari Zapin, dan menurut
sejarahnya masuk ke Sumatera dari Arab (Hadralmaut). Musik pengiringnya biola, gendang dan
gambus. Lihat Jose Rizal Firdaus, “Simpai Geri” dalam Sal Murgiyanto (ed.), Pekan Penata Tari
Muda 1984 (Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 1984), hlm. 28–9; Edi Sedyawati, “Seni
Pertunjukan”, hlm. 68–9.
335
Di Sumatera Utara, khususnya di Medan, penari Melayu yang tersedia hampir semuanya
amatir dari sanggar-sanggar tari dan mereka biasa berlatih menari karena hobi dan atau untuk
mengisi waktu luang. Saat berlatih tari, pelatih tidak terbiasa memberikan olah tubuh kepada para
penari agar tubuh mereka menjadi lentur, melainkan langsung kepada nomor tari atau materi tari
Melayu yang akan dilatih. Dengan demikian kesiapan tubuh penari di Sumatera Utara untuk bisa
dikembangkan lebih jauh dan teknik tari Melayu menjadi terbatas. Lihat Jose Rizal Firdaus, “Simpai
Geri”, hlm. 25–32.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


181

Iringan karya tari Simpai Geri adalah lagu-lagu dalam musik Melayu yang
instrumennya terdiri dari akordeon, gendang Hadrah, bansi dan vokal. Pemilihan
lagu sebagai iringan maupun irama dan melodi dilakukan sendiri oleh Firdaus
dibantu penata musik dengan memanfaatkan lagu Patam-patam yang diperlambat
untuk diletakkan di bagian awal garapan tari, lagu Sri Deli, Musalmah, Setelah
Nyata, vokal Ahoi dan gumam Selendang Delima.
Firdaus memilih karya tarinya itu ditampilkan di pentas arena karena ingin
memperoleh suasana yang lebih intim dengan penonton dan bisa sepenuhnya
menggunakan keempat jurusan ruang dengan pola lantai diagonal, lingkaran dan
garis lurus horizontal. Adapun penggunaan setting berbentuk pintu gerbang dari
tiang-tiang bambu untuk menggambarkan suasana di dalam dan di luar rumah.
Kostum tari yang digarap untuk karya Simpai Geri merupakan modifikasi
dari pakaian panglima dan pendekar. Busana penari perempuan yang berperan
sebagai pendekar memakai baju silat yang dipendekkan tangannya dan diketatkan
dengan menggunakan bahan kaos. Penari perempuan sebagai pemeran utama
memakai pakaian yang biasa dipakai untuk penari Melayu ditambah tempat keris
yang diletakkan sebelah kiri . Adapun penari laki-laki pemeran pendekar memakai
celana silat, baju kaos dan ikat pinggang. Penari laki-laki pemeran panglima
memakai baju kecak musang336 di bagian luar, dan dikombinasikan dengan kerah
teluk belanga, ikat kepala destar, dan keris.
Karya tari Simpai Geri garapan Jose Rizal Firdaus merupakan karya tari
baru pengembangan dari tradisi Melayu. Dalam acara diskusi sesudah pertunjukan
karya tari, Tengku Luckman Sinar SH, seorang pengamat dan pembina tari dan
musik daerah Melayu di Sumatera Utara, mengatakan bahwa Firdaus telah berhasil
mendudukkan posisi penari perempuan sejajar dengan penari laki-laki melalui
penggarapan gerak-gerak tari berdasarkan pencak silat. Selain itu Firdaus juga
berani menampilkan penari dengan busana tari yang sederhana, penataan musik
yang kaya bunyi, misalnya, perbedaan pukulan gendang untuk setiap tampilan jenis


336
Semacam teluk belanga, tetapi lebih panjang hingga lutut dan kerah berdiri. Biasa
dipakai oleh pengantin laki-laki Melayu.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


182

lagu. Pengembangan gerak Rhodat dengan posisi penari laki-laki tidur terlentang
dan mengangkat serta memainkan kedua kaki ke atas, maupun melakukan
persentuhan tangan penari laki-laki dan perempuan dalam gerak dasar pencak silat,
merupakan upaya pencarian dan pengembangan gerak dalam tari tradisional
Melayu.337

4.2.19. Maya Tamara (1962): Tarian dalam Warna dan Musik


Tarian dalam Warna dan Musik adalah karya Maya Tamara yang digelar
dalam Pekan Penata Tari VI- 1984. Ide garapannya adalah keinginan untuk
mengolah warna-warna cerah yang cenderung digunakan dalam interior rumah dan
busana sehari-hari maupun asesoris yang biasa digunakan. Karakter warna yang
berbeda-beda dan musik dari beragam jenis dituangkan dalam satu karya tari
bernuansa jaz338 namun tetap menggunakan dasar-dasar balet klasik sebagai titik
tolaknya.
Untuk mewujudkan ide tersebut Tamara mencoba mencari karakter
berbagai warna baru hasil pencampuran warna dasar cat air yaitu merah, biru,
hitam, kuning, hijau dan putih yang dicoretkan pada kertas gambar. Kemudian
warna-warna tersebut dicampur untuk mendapatkan pilihan warna baru cerah yang
akan diekspresikan karakternya. Pencampuran merah dan putih menghasilkan
warna merah jambu; tosca adalah campuran hijau dan biru; ungu lembayung hasil
pencampuran merah dan biru; jingga sebagai hasil pencampuran merah dan kuning
dan seterusnya.


337
Lihat Jose Rizal Firdaus, “Simpai Geri”, hlm. 25–32.
338
Menurut Maya Tamara sulit mendefinisikan apa yang dimaksud dengan tarian jazz,
tetapi ciri-cirinya bisa ditandai yaitu, 1) banyak menggunakan level rendah dengan menekuk lutut
yang mendekatkan berat tubuh ke lantai; 2) kecepatan memindahkan berat badan dari kaki yang satu
ke kaki yang lain; 3) pemisahan bagian tubuh dalam gerak, yang dikenal dengan isolations yaitu
mengembangkan gerak pada masing-masing bagian tubuh; 4) menggunakan irama yang rumit dan
sinkopasi gerakan; 5) gerak dan musik menyatu dalam ekspresi. Lihat Maya Tamara, “Tarian Dalam
Warna Dan Musik” dalam Sal Murgiyanto (ed.), Pekan Penata Tari Muda 1984 (Jakarta: Dewan
Kesenian Jakarta, 1984), hlm. 40; Edi Sedyawati, “Pekan Penata Tari Muda, Sesudah Masa
Rintisan” dalam Kompas Minggu, 30 September 1984.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


183

Dengan demikian karya tari tersebut tidak berangkat dari cerita tertentu
tetapi suatu permainan perpaduan warna, dengan memasukkan karakter setiap
warna baru hasil perpaduan warna dasar ke dalam garapan gerak tari. Untuk bisa
mengidentifikasikan warna-warna itu ke dalam unsur gerak diperlukan gerakan
tubuh yang bebas, lepas, dan penuh dinamika. Kemampuan teknik tari yang
memadai diperlukan dalam bereksplorasi untuk mendapatkan gerak-gerak yang
bebas, lepas, penuh dinamika sekaligus ekspresif. Warna merah menggambarkan
keberanian, ketegasan dan dinamis; biru dengan kelembutannya memberi
ketenangan; kuning bersifat cerah melambangkan sinar matahari, dan seterusnya.
Urutan penyampaikan warna dan karakternya dilaksanakan layaknya seorang
pelukis membuat coretan pada kanvas dengan enam warna tersebut, dibawakan oleh
penari secara ritmis dan penuh tenaga, sesuai dengan karakter yang diperankan.
Kanvas besar dengan kepingan-kepingan cermin yang didasari warna hitam
dipasang di panggung sebagai setting, dipadu dengan pencahayaan dan busana
penari merupakan kesatuan yang saling mendukung.
Sesuai dengan judulnya, Tarian dalam Warna dan Musik, Tamara memilih
musik rock, pop dan jaz dari Rick Wakeman, Camel dan Manaige sebagai iringan
musik, karena ketiga jenis musik tersebut mempunyai karakter yang berbeda-beda
sesuai dengan warna-warna yang digarap. Warna merah, misalnya, adalah warna
yang berkarakter berani, tegas, dan penuh dinamika memerlukan alunan musik
yang keras dengan sentuhan irama yang berkobar-kobar. Berbeda dengan warna
hitam, diperlukan musik yang juga keras tetapi ada unsur berat bagi yang
mendengarkannya.
Karya Tamara ini adalah seni tari yang berlandaskan balet. Dalam perspektif
sejarah seni tari Barat, balet adalah tapak awal menuju seni tari modern (modern
dance). Di dalam balet, gerakan-gerakannya dijaga sopan dan emosi yang
terkandung di dalamnya ditumpahkan melalui stilisasi kesantunan. Dari situ
kemudian berkembang tari modern yang tokohnya antara lain Martha Graham dan
Doris Humphrey. Di sini dikembangkan gaya (style) baru dengan menggelontorkan
emosi manusia tanpa terlalu dibungkus kesantunan. Ini yang membedakan balet
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


184

dengan tari modern. Selanjutnya, sejarah seni tari Barat mencatat, setelah modern
dance yang eksis pada tahun 1920-1960an muncullah gelombang baru yang disebut
postmodern dance. Di sini terjadi perubahan radikal dalam cara berlatih dan
pertunjukannya. Para penari mengasah ketubuhannya dengan berbagai
kemungkinan gerak, termasuk gerak pedestrian dan juga kontak fisik yang keras.
Bahasa gerak penari menjadi sangat lain dibanding tari modern apalagi balet.
Improvisasi tidak lagi digunakan sebagai alat dalam eksplorasi kreatif, melainkan
masuk dalam struktur pertunjukan. Postmodern dance yang menyeruak di tahun
1960-an hingga 1970-an itu memancing reaksi dari para seniman tari yang sudah
matang dalam gerak. Mereka menilai para penari postmodern hanya sekadar
bergerak belaka dan penuh eksperimentasi namun tanpa keterampilan seni tari. Para
reaksionari ini, yang disebut sebagai post-postmodernists, menghela kembali seni
tari kepada estetika gerak yang telah dikembangkan pada periode modern dance.
Pada pertengahan tahun 1970-an, dari para post-postmodernists ini dikenal istilah
tari kontemporer.
Kembali kepada Maya Tamara dengan karyanya yang berjudul Tarian
dalam Warna dan Musik, pertunjukannya itu masuk dalam golongan modern dance,
sebuah genre tradisional dalam perspektif Barat. Tamara tidak melakukan
eksplorasi untuk membuat karyanya dalam jalur semangat pembaruan sebagaimana
yang dilakukan para post-postmodernists. Tamara bergeming pada teknik gerak
modern dance tradisional.

4.2.20. Dewi Kristianti (1960), S. Pamardi (1958), Setya Widyawati (1961):


Komposisi III
Komposisi III merupakan karya tiga penata tari Dewi Kristianti, S. Pamardi,
dan Setya Widyawati dari Surakarta yang dipertunjukkan di Pekan Penata Tari VI-
1984. Karya tari ini tidak bercerita dan ide garapannya lahir dari kerinduan untuk
bisa lepas dari lingkungan yang terasa makin mengimpit, penuh kesibukan, kerja
dan kerja, bersaing, disiplin keras, tipu-menipu, kedengkian, walau hanya sekali
waktu. Tekanan itu meledakkan damba kehidupan yang menyenangkan, tenang,

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


185

polos, memandang alam semesta dengan empati, dan mensyukuri karunia Allah.
Timbullah kerinduan akan masa kanak-kanak, manembah (menyembah, berserah
kepada Yang Maha Kuasa), kasih sayang, rasa kebersamaan dalam kehidupan desa
yang tanpa prasangka. Namun kerinduan itu tiada kunjung datang, harapan-harapan
kabur tiada kunjung terjelaskan.
Bertolak dari pengalaman mengamati dan mempelajari tari rakyat Jawa
Tengah disertai penguasaan gerak tari tradisional klasik Jawa Surakarta yang kental
melekat di tubuh ketiga penata tari tersebut, mereka mengeksplorasi pengembangan
bahkan mencoba keluar dari perbendaharaan gerak yang mereka kuasai, sehingga
gerak yang hadir seperti menyepak jauh-jauh gerak tari tradisional klasik Jawa
Surakarta.339 Gerak-gerak baru yang mereka peroleh kemudian dilebur lagi dengan
gerak-gerak tari tradisional yang mereka kuasai, seperti, pose tari gagahan dengan
sedikit gerakan tangan, posisi kaki dan langkah panjang setelah melompat. Gerak-
gerak tari hasil leburan itu disertai pola lantai menggerombol, berpencar, maju ke
depan, menyebar berpasangan, lalu diseleksi lagi untuk mengungkapkan rasa
manembah, kegembiraan, kasih sayang, kebersamaan, keresahan, konflik, dan
harapan-harapan. Pengungkapan rasa tersebut oleh ketiga penata tari itu diramu
dengan pengalaman mereka belajar drama dan membaca puisi. Dengan begitu
ekspresi gerak, wajah, vokal dalam bentuk dialog dan geguritan340 yang wigati
maupun perwujudan rasa, tampil dalam karya tari Komposisi III sebagai kesatuan
yang utuh.
Karya tari Komposisi III diiringi karawitan Jawa Surakarta yang digubah
sesuai tema karya dan berbagai unsur bunyi di luar bunyi alat musik kawaritan Jawa
dieksplorasi dan dikembangkan. Vokal penari dalam bentuk dialog dan vokal penari
maupun pengrawit dalam bentuk geguritan dihadirkan untuk menggambarkan
suasana tertentu.


339
Lihat Efix Mulyadi, “Pekan Penata Tari Muda VI, Maya Melukis di Kanvas Raksasa”
dalam Kompas, 27 September 1984.
340
Puisi berbahasa Jawa atau Bali yang pada awalnya penyampainya dinyanyikan atau
ditembangkan, namun dalam perkembangannya menjadi puisi bebas yang tidak mengikatkan diri
pada aturan metrum, dan lagu.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


186

Pemasangan layar atau kelir wayang kulit sebagai setting yang diregangkan
di Teater Tertutup, TIM, tempat karya tari tersebut dipentaskan, dimaksudkan untuk
menampilkan bayang-bayang penari yang dihasilkan dari lampu yang disorotkan.
Penggunaan layar untuk menampilkan bayang-bayang, campuran bayang-bayang
dengan penari wadag di depannya, terinspirasi dari wayang kulit yang biasa mereka
saksikan di Surakarta, namun dieksplorasi untuk mendapatkan kesan atau efek yang
berbeda. Adapun kostum tari ditata berdasarkan kebutuhan karya tari agar garis-
garis tubuh penari pada saat bergerak bisa tampak jelas dan kuat, selain agar tubuh
penari bisa bebas bergerak.
Hardjosusilo, pengamat tari dan musik dari University of Hawai, dalam
diskusi pembahasan karya tari setelah pertunjukan, bertanya kepada ketiga penata
tari, “Apakah gerakan baru selalu diperlukan di dalam setiap penciptaan karya tari
baru?” Ia membandingkan dengan masalah penciptaan di dalam seni sastra, seorang
sastrawan untuk mengungkapkan hal-hal baru tidak perlu menciptakan kata-kata
baru. Menanggapi pertanyaan tersebut, S. Pamardi menjelaskan bahwa perlu gerak
baru atau tidak tergantung dari masing-masing penata tari. Namun baginya, oleh
karena sudah menguasai tari tradisional klasik Jawa Surakarta secara mantap, ada
desakan dalam dirinya untuk mencari dan menemukan sesuatu yang baru yang
harus dilakukan, apapun hasilnya. Jika ternyata hasilnya belum banyak beranjak
dari gerak tari tradisional yang dikuasainya, itu soal lain.341
Jawaban S. Pamardi tersebut menyuratkan hasrat untuk membuat karya baru
berdasarkan karya tradisional. Hasilnya memang menampakkan itu. Ia dan kedua
kawannya keluar dari fotokopi gerak tradisional dengan menciptakan gerak baru.
Karya mereka memang pantas disebut ciptaan baru pngembangan dari tradisi.

4.2.21. Zuryati Zubir (1950): Tari Tangan


Zuryati Zubir menggarap karya Tari Tangan yang ditampilkan dalam
Pekan Penata Tari Muda VI-1984 bertolak dari pengalaman hidup dan banyak


341
S. Pamardi, Dewi Kristianti dan Setya Widyawati, “Komposisi III” dalam Sal
Murgiyanto (ed.), Pekan Penata Tari Muda 1984 (Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 1984), hlm. 60.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


187

melihat maupun mempelajari tari tradisional Minangkabau. Melalui


pengalamannya tersebut ia mengambil bahan olahan untuk karya tarinya dari
gerakan tangan, karena dalam tari tradisional Minangkabau gerak tangan lebih
banyak digunakan dibandingkan dengan bagian tubuh lainnya. Menurutnya, dalam
kehidupan, tangan sangat besar fungsinya seperti, saat berdoa, menolak, meminta,
meraba, dan bahkan tangan dapat ditafsirkan secara simbolis. Selain itu ia sangat
tertarik dan terinspirasi pada Tari Tangan yang merupakan tarian tunggal di daerah
kabupaten Sawah Lunto Sijunjung. Dengan demikian karya Tari Tangan tidak
berangkat dari tema atau cerita rakyat tertentu, dan juga tidak berbicara tentang tata
cara atau adat istiadat, tetapi menekankan pada energi gerak tangan sehingga tangan
bisa bermakna, ditafsirkan, dan berfungsi dari berbagai macam gerak.342
Dalam membuat karyanya, Zubir mengeksplorasi, mengembangkan dan
kemudian menggarap berbagai gerak yang berangkat dari pola-pola gerak
tradisional Minangkabau menjadi gerak-gerak baru. Dalam prosesnya, Zubir
menjelajahi kemungkinan pengembangan gerak secara terpisah, mulai dari kaki,
tangan, dan bagian tubuh lainnya dan kemudian dirangkai menjadi satu kesatuan.
Garapan musik untuk mendukung karya Tari Tangan berangkat dari ciri
khas yang dipunyai musik tradisional Minangkabau yang berpola dari garinyiak
talempong, garinyiak saluang, alunan bansi dan sarunai, dendang Minang, adok
dan rabana, gandang muko duo, agung, canang, dan lain-lain. Khusus adok dan
agung difungsikan untuk memberi rangkuman metrik dari garapan komposisi
musik. Selanjutnya dalam menggarap musik iringan, keharmonisan penting dan
tampak pada pola irama yang dipakai, sedangkan pengaturan dinamika dan tempo
disesuaikan untuk membentuk karakter dan suasana yang dikehendaki dalam karya
tari tersebut. Dalam Tari Tangan didendangkan pantun yang menggambarkan dan
menafsirkan besarnya peranan tangan dalam kehidupan.
Tari Tangan karya Zuryati Zubir bisa dikategorikan sebagai karya tari baru
hasil pengembangan dari tradisi. Dalam pembahasan karya sesudah pementasan,


342
Lihat Zuryati Zubir, “Tari Tangan” dalam Sal Murgiyanto (ed.), Pekan Penata Tari
Muda 1984 (Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 1984), hlm. 44–6.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


188

beberapa pengamat mengatakan bahwa Zuryati Zubir berhasil melakukan pencarian


dan percobaan terhadap gerak-gerak tangan yang berangkat dari tari tradisional
Minangkabau menjadi gerak-gerak baru tanpa canggung. Meskipun pencapaian
teknik penari belum optimal sehingga untuk langkah selanjutnya perlu melatih dan
mengolah teknik para penari menjadi lebih tergarap.343

4.2.22. Elly Raranta (1957): Lulo Anawai


Karya tari Elly Raranta berjudul Lulo Anawai ditampilkan dalam Pekan
Penata Tari Muda VI-1984. Lulo Anawai bertolak dari adat kebiasaan suku Tolaki,
salah satu suku bangsa di Sulawesi Tenggara, tepatnya di wilayah Kendari. Kata
lulo anawai berarti tari bidadari. Namun dalam karya tari tersebut Raranta tidak
menggarap tari bidadari melainkan mengolah tradisi Malulo. Malulo bagi suku
Tolaki merupakan cermin persatuan dengan tidak mempersoalkan derajat manusia
apakah ia orang tua, muda, miskin, atau kaya. Tarian tersebut dilakukan
berkelompok dengan posisi melingkar sambil berpegangan tangan. Kelincahan
gerak kaki merupakan inti utama tarian itu sambil mengikuti irama gong yang
bervariasi.
Lulo Anawai garapan Raranta merupakan ekspresi kehidupan manusia yang
saling membutuhkan. Rasa persatuan dan kebersamaan yang penuh tanggung jawab
dalam kehidupan bermasyarakat ditampilkan melalui gerakan kaki yang dilakukan
para penari, diiringi para pemusik, sehingga karya tari tersebut menjadi peristiwa
kebersamaan. Dalam menggarap karyanya, Raranta mengembangkan Malulo
dengan berpegang pada kekuatan gerak dan permainan kaki, sedangkan gerak
tangan hanya mengikuti langkah dan gerak kaki. Pola lantai melingkar dalam tari
tradisional Malulo digarap Raranta menjadi lebih bervariasi dengan garis-garis
lurus ke depan dan ke samping, garis siku-siku, garis diagonal maupun garis
melengkung, dan jangkauan komposisi ruang lebih meluas dan variatif. Antara
gerak penari perempuan dan laki-laki oleh Raranta digarap dalam gerak-gerak


343
Zuryati Zubir, “Tari Tangan”, hlm. 50–1; Edi Seyawati, “Pekan Penata Tari VI, Sesudah
Masa Rintisan” dalam Kompas Minggu, 30 September 1984.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


189

kontras, seperti penari perempuan menari dengan gerak-gerak kecil, ringan, di


antaranya dengan permainan tangan berayun rileks mengikuti gerakan kaki, dan
cenderung tanpa tempo tinggi meski tetap terdapat dinamika gerak tubuh dan
iringan musiknya. Adapun penari laki-laki menari dengan gerak-gerak setengah
melompat, membungkuk ke depan, dan menggoyang-goyangkan lengan, bahkan
terlentang, dan bergulung di lantai pentas sehingga memberi kesan lebar dan kuat.
Dalam garapan musik pengiring tarian Lulo Anawai, Raranta memanfaatkan
musik iringan yang biasa digunakan untuk mengiringi Malulo maupun tari-tarian
tradisional di Sulawesi Tenggara, yang kemudian diolah dengan memadukan
pukulan dari tetabuhan yang biasa terdengar bila ada perahu yang akan berlayar,
atau baru tiba di pelabuhan. Dalam pengembangan lebih lanjut, Raranta dan penata
musik maupun para pemusik mencari kemungkinan-kemungkinan baru agar iringan
tari tersebut bisa membangun suasana, sekaligus membangkitkan semangat
bergerak para penari, di antaranya membuat musik iringan tarinya kontras-ritmik.
Alat musik yang biasa digunakan untuk iringan tari Malulo yaitu gong, gendang,
suling, bonang (di Kendari dikenal dengan nama dengu-dengu), oleh Raranta dan
penata musik tetap digunakan.
Kostum yang dipakai para penari dalam karya tari Lulo Anawai berangkat
dari kostum tradisional agar bisa tetap mewujudkan identitas daerah Kendari,
Sulawesi Tenggara.
Dalam diskusi yang membahas karya-karya tari yang sudah tampil,
sebagian besar pengamat menganggap karya tari Elly Raranta mengesankan
kesederhanaan gerak dalam komposisi garis yang tidak rumit pula. Meski demikian
tetap ada kontras-ritmik antara garapan gerak tari dengan musiknya, dan gerak tari
tersebut merupakan bahasa pengucapan yang khas. Para penari di dalam karya tari
tersebut lebih mengutamakan kebersamaan bergerak sesuai tema. Hal lain yang
menarik dari karya tari Lulo Anawai adalah, jika para penata tari lainnya dalam
Pekan Penata Tari Muda itu asyik dengan eksplorasi gerak dalam arti mencari
kemungkinan sebanyak-banyaknya, maka Raranta justru seolah efisien dalam
menggunakan gerak. Ia ingin memberi kesan bahwa gerakan penari yang sedikit
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


190

dan tidak rumit, tubuh yang ringan dan rileks, tetap memiliki kekuatan
kebersamaan. Di sisi lain, Raranta mengolah panjangnya ucapan lagu pengiring dan
ucapan gerak tari, menjadi tidak sama. Ucapan pada lagu berganti setiap enam
ketukan, sedangkan ucapan pada gerak tari berganti setiap delapan hitungan. Hal
ini menimbulkan kaitan silang antara irama gerak dan lagu pengiringnya yang
hanya bertemu setiap (6 x 8) atau 48 hitungan. Dalam tari-tarian tradisional di
Indonesia biasanya hitungan lagu pengiring dan hitungan gerak tari adalah sama.344
Lulo Anawai karya Elly Raranta ini tergolong tari baru pengembangan dari tari
tradisional.

4.2.23. Farid Hamid (1944): Badong


Badong adalah judul karya Farid Hamid, produksi Bengkel Tari Makassar
yang dipertunjukkan di Festival Karya Tari VII-1986. Gagasan yang diusungnya
adalah penggambaran sebagian dari proses upacara pemakaman dan suasana duka
dalam pesta kematian di Tana Toraja. Kegiatan tersebut diawali dengan pernyataan
resmi bahwa seluruh keluarga sedang berkabung. Badong itu sendiri adalah sejenis
lagu duka dalam puisi yang dinyanyikan bersama-sama dalam formasi melingkar
pada pesta kematian di Tana Toraja. Pada bagian awal keberadaan penari,
komposisi ruang, dan gerak para penari menggambarkan rumah adat Toraja dan
batu kuburan purba Toraja. Bagian tersebut diiringi musik yang menyayat hati, silih
berganti dengan bunyi yang menyentak.
Gerak tarinya oleh Hamid digarap berdasarkan gerak tari tradisional Toraja
yang dikembangkan sesuai kebutuhan tema dan untuk menghadirkan suasana duka.
Pukulan genderang bertalu yang memekakkan telinga disertai dengan gerakan
penari yang lembut, tampak melalui lengan yang bergerak mengalir dari bahu,
pangkal lengan, hingga lentik jemari. Hadir sebuah ketegangan antara musik dan


344
Lihat Elly Raranta,”Lulo Anawai” dalam Sal Murgiyanto (ed.), Pekan Penata Tari
Muda 1984 (Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 1984), hlm. 74; Efix Mulyadi, “Pekan Penata Tari
Muda VI, Maya Melukis di Kanvas Raksasa” dalam Kompas, 27 September 1984; dan Edi
Sedyawati, “Pekan Penata Tari VI, Sesudah Masa Rintisan” dalam Kompas Minggu, 30 September
1984.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


191

gerak, yang kemudian disisipkan suara-suara yang merupakan bagian dari vokal
penari, entakan kaki di lantai papan yang juga digunakan sebagai iringan karya tari.
Selain itu permainan irama dalam iringan musik digarap untuk menghadirkan gerak
tari baru sekaligus variatif ritmenya, sehingga tampak adanya pengembangan gerak
dari tari tradisional Toraja yang cenderung monoton karena fungsi ritualnya. Tarik-
menarik antara gerak dan bunyi keras-lembut sengaja dihadirkan dalam Badong. 345
Penggunaan dan penggarapan kain merah polos berbentuk persegi panjang
sebagai properti, yang dibuka melebar dan diusung di atas kepala enam penari,
kemudian digulung memanjang dan digerakkan penari lainnya dengan berlari kecil
mengelilingi area pertunjukan, dan dilanjutkan dengan direntang di belakang area
pertunjukan, membuat para penari Badong pada bagian terakhir karya tari tersebut
terlihat seperti lukisan.346 Pada karya ini, Farid Hamid sangat berusaha untuk
memindahkan tari tradisional Toraja, yang utamanya digunakan untuk kepentingan
ritual, ke matra panggung yang menuntut formula artistik sebagai tontonan. Dalam
hal ini Hamid telah melakukan penciptaan untuk mengubah monotoni tarian ritual
menjadi tarian berdimensi tontonan. Karya ini boleh dibilang reka-cipta baru
pengembangan dari tari tradisional.

4.2.24. Ery Mefri (1957): Aia Tuturan


Ide garapan karya tari Ery Mefri berjudul Aia Tuturan dan dipertunjukkan
pada Festival Karya Tari VII-1986, dipicu oleh keinginan untuk mengekspresikan
diri dengan meyakini kelebihan yang ada di dalam diri, maupun potensi budaya dan
tradisi Minangkabau. Aia Tuturan mempunyai makna mewarisi sesuatu secara
otodidak karena darah telah mengalir terlebih dahulu sebelum berwujud dalam


345
Farid Hamid, “Tari Badong” dalam Festival Karya Tari VII/1986 (Jakarta: Dewan
Kesenian Jakarta, 1986), hlm.6; Efix Mulyadi, “Tarian Sampah dan Buruh Pabrik” dalam Kompas,
17 Februari 1986; Francis Handayama, “Dari Festival Karya Tari DKJ VII, Sepeda Motor Pun Naik
Panggung” dalam Suara Karya, 22 Februari 1986; Sardono W. Kusumo, “Festival Karya Tari 1986,
Pertunjukan Bukan Sekedar Kecelakaan” dalam Sinar Harapan, 24 Februari 1986.
346
Sinar Harapan, “Festival Karya Tari DKJ 86, Unsur Teater, Puisi, Humor dan Olah
Tubuh Pun Masuk”, 19 Februari 1986.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


192

kandungan. Lahirlah ide sebuah tarian untuk menjadikan daerah ini tampak pasrah,
merasa terlanjur, tanpa kemampuan untuk menahan lajunya warisan air tuturan.
Garapan gerak Aia Tuturan bertolak dari unsur gerak Silek (silat
Minangkabau) dan dieksplorasi menjadi gerak-gerak baru yang dinamis, penuh
dengan lompatan kecil maupun gerakan tangan kuat dan tajam ke atas. Selain itu
tari Piring yang ada di Sumatera Barat yaitu di daerah Kota Sawahlunto dan daerah
Ambun Pagi di pinggiran Danau Maninjau, diolah dalam gerak tangan dan langkah
kaki yang seirama, disertai pernapasan yang terkendali, di tempat dan waktu yang
tepat.
Garapan musik dalam karya tari tersebut mengikuti kebutuhan gerak,
menghadirkan suasana sesuai tema, tidak lepas dari unsur musik tradisional
Minangkabau, meskipun konsepnya tidak ingin bergantung pada iringan, pemusik
dan penata musiknya. Dalam konsep garapan musiknya, bunyi bisa mengalir dalam
gerakan tubuh sehingga “melahirkan musik tanpa kandungan bunyi.”
Boneka berbentuk dan berukuran sebesar manusia yang digantung di
belakang atas area pentas digunakan sebagai setting karya Aia Tuturan. Adapun
kostum tari yang dikenakan para penari, yaitu, tiga penari laki-laki mengenakan
celana pendek hitam, dan sarung yang diselempangkan di dada telanjang, dan satu
penari laki-laki mengenakan baju dan celana pendek putih, juga dengan sarung
diselempangkan di dada. Penari perempuan menggunakan kostum celana panjang
dan baju berlengan tiga perempat, selendang menjulur di kiri-kanan bahu depan
hingga pinggang, dan kain kecil sebagai ikat pinggang.347
Karya tari Aia Tuturan jika diamati dari proses dan hasilnya bisa
dikategorikan sebagai karya tari baru pengembangan dari tradisi dengan eksplorasi
luas dan mendalam serta inovasi yang kental. Itulah yang menjadi titik tolak Ery
Mefri untuk kemudian lebih melakukan eksplorasi dan inovasi. Hasrat besar untuk
membawa karya tradisional berkelindan dengan kecenderungan kontemporer,


347
Lihat Ery Mefri, “Aia Tuturan” dalam Festival Karya Tari Dewan Kesenian Jakarta
VII/1986 (Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 1986), hlm. 8; dan hasil wawancara dengan Ery Mefri
Juni 2014 dan Desember 2014.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


193

mendorong Mefri sejak tahun 1994 mulai berinteraksi secara intensif dengan dunia
luar, membuka diri lebih luas, dan mendapatkan pengaruh dan semangat global
meskipun tetap kuat menapak pada tradisi. Di masa itulah Mefri seakan memasuki
babak baru dalam penciptaan tari, seperti diungkapkan oleh gurunya, seorang
penata tari kontemporer Indonesia yang diakui dunia, Gusmiati Suid.348 Hingga
kini, Mefri diakui dunia sebagai salah satu koreografer kontemporer Indonesia, dan
bersama grup tarinya, Nan Jombang, berkeliling dunia memenuhi berbagai
undangan untuk berpentas.

4.2.25. Iko Sidharta (1945): Panggung Penari-penari


Panggung Penari-penari Kecil adalah judul karya tari garapan Iko Sidharta
yang bertumpu pada khasanah balet dan digelar pada Festival Karya Tari VII-1986.
Ditarikan oleh empat orang dara, karya tari tersebut memotret kehidupan buruh
usaha wiraswasta celup kain yang lemah ekonomi dan terbatas ruang lingkupnya.
Dalam menghadirkan kesibukan rutin dan suasana kerja mereka, Sidharta
menggarap gerak penari yang bertumpu pada gerak balet menjadi gerak-gerak baru
dengan memainkan properti kain dalam berbagai ukuran dan warna. Pada bagian
akhir karya tari Panggung Penari-penari Kecil tersebut, Sidharta menggarapnya
dengan tampilan seorang penari berada di tengah area pentas, dilibat sejumlah kain
panjang yang ditarik berputar-putar oleh tiga penari lainnya. Suasana menjadi riuh

348
Mefri telah berkarya sebelum tahun 1982, namun di tahun 1982 itu ia memutuskan untuk
terus menekuni bidang tari seperti ayahnya dan menjadi penata tari, dengan filosofi “terus bekerja
dan berusaha, dan kalau bersungguh-sungguh, hasilnya akan bagus”. Di tahun 1994 Mefri mendapat
undangan mengikuti workshop di American Dance Festival (ADF), Durham, North Carolina,
Amerika Serikat. Sepulang dari sana, yang dianggapnya sebagai perjalanan penting, ia
menumpahkan pengalamannya dalam karya Big Question (1994) dan ditampilkan di Indonesian
Dance Festival (IDF) III-1994 di Jakarta. Interaksi Mefri dengan dunia luar menghasilkan
“pertanyaan besar” sekaligus perubahan besar dalam dirinya. Ia terus bertanya tentang hidup dan
dirinya, evaluasi diri dan kaitannya dengan realitas konkret tempat individu berada, maupun falsafah
dan fenomena kehidupan masyarakat Minangkabau. Filosofi hidup berkeseniannya tersebut
tercermin dalam proses dan hasil karyanya. Mengekspresikan esensi tradisi Minang melalui gerakan
baru para penari yang lahir dari pencarian dan pengolahan yang tekun dari khasanah tari Minang.
Penari tidak hanya mampu menghadirkan gerak baru tetapi juga mengekspresikan musik melalui
suara vokal, suara tubuh, dan suara dari permainan kostum (celana galembong). Karya-karya Mefri
yang kemudian dipentaskan di banyak tempat di dunia antara lain Negeri Tak Berbaju, Rantok
Piriang, Rantau Berbisik, dan sebagainya. Hasil wawancara dengan Ery Mefri Juni 2014 dan
Desember 2014.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


194

dan kelebatan kain-kain yang digerakkan penari mengacaukan setting di panggung


berupa tangga, tong-tong plastik, kain-kain jemuran yang digantung, diiringi musik
bergemuruh dari Symphony No 2C Minor gubahan Gustaf Mahler. Adapun kostum
penari terdiri dari tight hitam yang ditutup dengan rok putih panjang mendekati
mata kaki, dan baju tanpa lengan beraneka warna.
Panggung Penari-penari Kecil adalah karya tari dengan gerak balet yang
Barat yang ditarik ke dalam bingkai sosial lokal, yakni pekerjaan para buruh celup
kain. Di sinilah ada modifikasi gerak balet ke gerak tertentu yang bukan balet untuk
menyelaraskan dengan ucapan yang khas lokal “goyang, celup, tariiiik”. Karya ini
bisa disebut karya baru pengembangan dari tradisi balet.

4.2.26. Mohammad Ikhlas (1959): Kie dalam Imbauan


Karya tari garapan Mohammad Ikhlas yang berjudul Kie dalam Imbauan
produksi Sanggar Bagurau, Padang Panjang, dan ditampilkan dalam Festival Karya
Tari VII-1986, temanya berangkat dari ide hidup dalam kesederhanaan yang
diekspresikan melalui permainan musik saluang pada pembukaan pertunjukan.
Dalam pepatah Minangkabau “kurang sio-sio, balabiah ancak-ancak”349 yang
intinya berarti bahwa keseimbangan akan dapat menumbuhkan kewajaran dalam
diri. Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan masa kini menjadi problem
keseimbangan dan orang sering lupa menyadarinya. Dengan demikian pepatah itu
diharapkan mampu sebagai titik tolak penyelesaian.
Gerak dasar Silat dan tari Piring maupun musik tradisional Minangkabau
yang instrumennya terdiri dari saluang, talempong, gendang, pupuik, dipakai Ikhlas
dalam menggarap Kie dalam Imbauan. Dua piring yang ditumpuk di tangan kiri-
kanan, digerakkan dan ditingkahi bunyi dari piring tersebut, digarap Ikhlas dengan
intens. Penggunaan kain putih yang direntang dan digerakkan sekelompok penari
adalah untuk menjawab penggarapan ruang, bentuk, warna dan irama gerak secara


349
Sio-sio berarti sia-sia, dan ancak-ancak ria-ria atau bersombong-sombong. Dengan
demikian kurang sio-sio, balabiah ancak-ancak berarti kurang akan menjadi sia-sia dan berlebihan
bisa menjadikan sombong. Hasil wawancara dengan Mohammad Ikhlas Desember 2014, di Jakarta.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


195

keseluruhan dalam karyanya. Hal tersebut merupakan bagian dari pembaruan dan
pengayaan atas bahan tradisi Minangkabau yang dijadikan titik tolak. Akhirnya
bagi Ikhlas, semangatnya untuk membuat karya tari baru dan atau kontemporer
yang bertolak dari gerak dan musik tradisional tersebut dipengaruhi oleh semangat
tradisi yang mampu hidup dan berdialog dengan masa kini dan masa yang akan
datang.350
Kontemporer atau kekinian masih merupakan pemikiran atau semangat
dalam konkretisasi karya Ihklas. Saat itu karyanya masih tajam dibayang-bayangi
tradisionalisme seni tari Minangkabau. Tampak ia belum terlalu jauh melakukan
eksplorasi untuk membawa gerak tradisional menjadi gerak baru yang
menunjukkan ia telah melakukan pembaruan. Hal yang dilakukan Mohammad
Ikhlas masih menggarap karya baru hasil dari pengembangan tradisi.
Demikianlah, dari keseluruhan Festival dan Pekan Penata Tari Muda yang
diselenggarakan oleh Komite Tari DKJ telah muncul beragam karya-karya tari baru
hasil dari pengembangan tradisi. Para koreografer telah mengolah peninggalan
lama yang disebut tradisi menjadi sesuatu yang baru. Ini bukan berarti
mencampakkan warisan tradisi karena warisan tersebut justru diagungkan sebagai
sumber inspirasi. Sebagaimana dinyatakan oleh tokoh tari Sardono W. Kusumo
bahwa pelestarian tari tradisional tidak harus dilakukan hanya melalui preservasi
tetapi bisa juga melalui interpretasi kreatif.
Dari 26 karya tari yang dipentaskan di Festival-festival dan Pekan-pekan
Penata Tari Muda yang diselenggarakan oleh Komite Tari DKJ tampak jelas bahwa
karya-karya tersebut mempunyai fondasi karya tari tradisional. Secara kesejarahan
tidak ada diskontinyuitas dari karya tradisional ke karya baru karena karya baru
diciptakan dengan bertolak dari karya tari tradisional. Hal ini terjadi karena basis
seni tari para koreografer Indonesia sebagian besar berasal dari ranah tradisi.


350
Hasil wawancara dengan Mohammad Ikhlas, 21 Desember 2014; lihat juga Mohammad
Ikhlas, “Kie dalam Imbauan” dalam Festival Karya Tari Dewan Kesenian Jakarta VII/1986
(Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta), hlm. 16; Efix Mulyadi, “Tari Sampah dan Buruh Pabrik” dalam
Kompas, 17 Februari 1986.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.



BAB V
KARYA-KARYA TARI KONTEMPORER INDONESIA
DI PKJ-TIM 1968–1987

Shaaron Boughen351 menyatakan bahwa istilah “kontemporer” mempunyai


pengertian berbeda-beda dalam komunitas seni tari di berbagai wilayah kebudayaan
yang luas. Sebagai panduan, dalam arti luas atau umum, kontemporer merujuk pada
pengertian waktu masa kini yang produknya adalah karya baru atau karya yang
sedang menjadi tren pada saat karya tersebut dibuat. Istilah “kontemporer” dalam
seni tari dikenal sejak tahun 1970-an sebagai reaksi dari gaya (style) sebelumnya
yang dalam terminologi Barat disebut “tari modern” (1920-an–1960-an). Tari
modern sendiri merupakan reaksi dari gaya sebelumnya yakni balet.
Seni tari tradisional di Indonesia terkategorikan sebagai karya klasik dan
nonklasik yang biasanya bersifat kerakyatan. Namun, dalam tampilan karya tari di
Indonesia, seni tradisional masih menjadi inspirasi dominan untuk penciptaan karya
baru pengembangan dari tradisi seperti telah diuraikan di BAB IV, dan bahkan
sebagai titik tolak eksplorasi karya kontemporer. Berdasarkan pengertian tersebut,
karya-karya tari kontemporer di Pusat Kesenian Jakarta–Taman Ismail Marzuki
pada rentang tahun 1968–1987 akan diurai dan dikaji di sini.
Sejak dibentuk oleh Gubernur Ali Sadikin pada 17 Juni 1968, Dewan
Kesenian Jakarta (DKJ) mulai menjalankan tugas utamanya yaitu merencanakan,
mengatur dan melaksanakan program-program yang terarah dengan karya-karya
unggul di PKJ-TIM.
Sardono W. Kusumo sebagai anggota termuda DKJ dan baru pulang dari
Amerika seperti telah diuraikan di Bab IV, mempunyai gagasan untuk mengadakan
pelatihan bersama (lokakarya) di ruang latihan tari PKJ-TIM, yang kemudian
dikenal sebagai “bengkel” tari. Ia mengajak beberapa seniman tari yang tinggal di
Jakarta namun memiliki latar belakang budaya yang berbeda-beda.
Tentang lokakarya tersebut, bagi Farida Oetoyo berlatih di bengkel tari pada
masa awal berdirinya TIM merupakan saat yang sangat menyenangkan dan

351
Shaaron Boughen, “What is Contemporary Dance?” theconversation.com/explainer-
what-is-contemporary-dance-25713. Diunduh 24 September 2016.
196 Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


197

mengesankan karena para seniman tari berkumpul, berlatih bersama dan menjadi
akrab. “Kami bekerja sama dengan idealisme tinggi. Berbagai ide dan gagasan
dibicarakan dan dikembangkan bersama. Kami juga berpikir bahwa keahlian
masing-masing peserta lokakarya tidak boleh dipisah-pisahkan. Saat itu gairah dan
semangat baru berkobar dalam diri kami,” kenang Farida Oetoyo. Menurut Julianti
Parani, bentuk lokakarya dalam bengkel tari itu merupakan penjelajahan gerak
(eksplorasi) dan improvisasi352 dalam upaya mengembangkan kepekaan rasa gerak
dan kemampuan kreatif para peserta. Lokakarya tersebut juga mendorong
pencapaian kreatif dalam wawasan maupun gerak.353 Adapun bagi Huriah Adam,
lokakarya Kusumo telah membantu mewujudkan ambisi kreatifnya. Bahkan Adam
memandang Kusumo sebagai guru yang sangat inspiratif.
Melalui bengkel tari ini benih-benih berharga telah ditanam, yaitu
kebebasan, semangat, kreativitas, dan kebersamaan.354 Dengan demikian forum
lokakarya tersebut telah menjadi salah satu momentum yang menandai pencarian
artistik baru dalam seni tari di Indonesia. Forum tersebut juga berjasa melebarkan
wawasan artistik bagi para pesertanya, ditandai dengan lahirnya karya-karya tari
baru dari tangan para peserta lokakarya tersebut, dan bisa disebut sebagai karya tari
baru dan kontemporer di Indonesia pada masanya serta mewarnai ragam
pertunjukan tari di PKJ-TIM di tahun 1970-an hingga 1980-an.355


352
Improvisasi biasa dilakukan untuk memperoleh gerakan-gerakan baru secara spontan
dalam proses penataan tari. Usaha tersebut dimulai dengan penjelajahan gerak (eksplorasi), yaitu
pencarian secara sadar pada kemungkinan-kemungkinan gerak baru dengan mengembangkan dan
mengolah ketiga elemen dasar gerak: waktu, ruang dan tenaga. Ungkapan melalui gerak improvisasi
bisa menjadi titik awal proses penataan tari. Lihat Jacqueline M. Smith-Autard, Dance Composition,
A practical guide to creative success in dance making (London: Met Huen Drama A&C Black,
2010), hlm. 39; dan Sal Murgiyanto, “Dasar-dasar Koreografi Tari” dalam Pengetahuan Elementer
Tari dan Beberapa Masalah Tari (Jakarta: Direktorat Kesenian Proyek Pengembangan Kesenian
Jakarta Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1986), hlm. 122.
353
Wawancara di Jakarta dengan Farida Oetoyo, Juli 1993, dan Julianti Parani, Juni 2013;
lihat juga Sal Murgiyanto, “Benih Yang Ditanam”, hlm. 160; dan Farida Oetoyo, Saya Farida,
Sebuah Autobiografi (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2014), hlm. 151.
354
Sal Murgiyanto, “Dasar-dasar Koreografi Tari”, hlm. 160–2; dan Sal Murgiyanto,
“Huriah Adam Peneguh Tari Minang Baru”, hlm. 87.
355
Sal Murgiyanto, “Dasar-dasar Koreografi Tari”, hlm. 160–2. Di antara lahirnya karya-
karya tari yang dikategorikan sebagai modern dan konremporer tersebut tetap ada karya tari “baru”
yang belum modern tetapi dikategorikan sebagai karya tari baru pengembangan tradisi.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


198

Sekitar akhir tahun 1969, seperti telah diuraikan di Bab III dan disebutkan
di Bab IV, para peserta bengkel tari Sardono W. Kusumo yang berlatih bersama di
PKJ-TIM kemudian secara bertahap kembali ke studio masing-masing, sedangkan
Sardono sendiri membawa bengkel tarinya ke kandangnya di Surakarta dan juga
bereksplorasi di Bali. Di tempat-tempat tersebut Sardono bekerja dengan penari-
penari setempat, hingga kemudian di Surakarta ia menghasilkan karya tari
kontemporer Samgita Pancasona I-XII (1969–1970) yang pada tahun 1971
dipentaskan di PKJ-TIM dalam rangka Ramayana International Festival.
Pertunjukan tersebut mendapat sambutan hangat dari penonton maupun media
massa. Pada tahun 1972 Sardono W. Kusumo menggarap karya Cak Tarian Rina
bersama 65 orang penduduk Desa Teges Kanginan, Bali, yang akan ditampilkan
pada Pesta Seni Jakarta 1972 di PKJ-TIM. Namun karya tari tersebut dilarang
berangkat ke Jakarta oleh Gubernur Bali Sukarmen karena dianggap kurang
mencerminkan karya tari Bali yang memiliki pola-pola tradisional.
Mengenai karya tari kontemporer, pada tahun 1971 dan 1972, Dewan
Kesenian Jakarta (DKJ) dan Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki (PKJ-
TIM) mengadakan Pesta Seni 1971 dan Pekan Seni 1972 yang oleh para ketua DKJ
disebut sebagai Pesta dan Pekan Seni Kontemporer yang meliputi berbagai cabang
kesenian: tari, teater, musik, dan seni rupa.356 Pergelaran tersebut sekaligus sebagai
laporan dari seluruh kegiatan yang telah diprogram dan diselenggarakan oleh DKJ
di PKJ-TIM.357 Pertunjukan seni tari yang ditampilkan pada Pesta Seni

356
Pada Pekan Seni Kontemporer 1972 tampil pertunjukan Lenong, sebagai satu-satunya
mata acara seni nonkontemporer, namun tetap merupakan Lenong garapan yang berangkat dari
teater tradisional Betawi dengan sentuhan modern yang berkembang dalam budaya metropolitan.
Lihat Program Acara Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki Juli 1971 dan 1972; lihat juga
Keith Foulcher, Community and The Metropolis: Lenong, Nyai Dasima and the New Order
(Melbourne: Asia Research Institute. 2004), Working Paper Series 20; dan Tod Jones, Kebudayaan
dan Kekuasaan di Indonesia, Kebijakan Budaya Selama Abad ke-20 Hingga Era Reformasi (Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015), hlm. 239.
357
Goenawan Mohamad dalam bukunya mengatakan bahwa di Buku Laporan PKJ-TIM
tahun 1973 yang ditulis oleh Ajip Rosidi, sesudah tahun 1971 penonton yang datang ke PKJ-TIM
menurun. Buku resmi tersebut menduga karena antara lain, “masyarakat ramai rasa ingin tahunya
sudah terpuaskan”; “seni belum menjadi kebutuhan masyarakat, dan datang ke TIM bukan untuk
menikmati kesenian karena apresiasi yang baik; atau “kekurangan dalam pengelolaan TIM sendiri”.
Dalam kenyataannya hiburan yang bernama Ludruk, Lenong, Wayang Orang, dan sebagainya,
masih tetap mendapat pengunjung lebih banyak dibanding kesenian yang berlindung di balik kata
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


199

Kontemporer 1971 antara lain karya tari Farida Syuman (Oetoyo) berjudul Three
Faces of A Man dan dua karya tari Julianti Parani berjudul Serenade Insani dan
Kucing. Di tanggal 12–13 Januari tahun 1971 pula DKJ membuat program
pertunjukan tari yang dinamai Modern Choreography dengan koreografer Farida
Oetoyo, Julianti Parani dan Huriah Adam, dan program tersebut diulang pada
tanggal 10–13 Februari 1971.358 Adapun pada Pekan Seni Kontemporer 1972 karya
tari yang digelar adalah drama tari Ramayana, sedangkan Cak Tarian Rina karya
Kusumo batal tampil karena alasan sebagaimana telah diungkapkan terdahulu.

5. Para Koreografer dan Karya-karya Tari Kontemporer: Hasil Lokakarya,


Festival Penata Tari hingga Pekan Koreografi Indonesia
Berikut ini adalah uraian dan analisis karya tari baru dari para koreografer
yang ditampilkan di PKJ-TIM tahun 1968–1987 yang bisa dikategorikan sebagai
tari kontemporer. Karya para koreografer dalam tulisan ini dibuat berurut sesuai
dengan tahun dimulainya proses penggarapan dan atau penampilan karya mereka
di PKJ-TIM. Apabila seorang koreografer pada masa tertentu membuat beberapa
karya tari maka akan dipilih satu atau beberapa karyanya yang penting untuk
dibahas berdasarkan (1) intensitas proses dan hasil inovasinya; (2) data yang
ditemukan memadai untuk diulas dan dianalisis. Apabila seorang koreografer
membuat beberapa karya tari dalam tahun yang berbeda, dan karya tari tersebut
memadai untuk diulas dan dianalisis, maka karya tersebut dituliskan berurutan guna
memudahkan pembandingan proses penciptaan ataupun hasil karya sang
koreografer.
Adapun cara menguraikan dan menganalisis karya-karya tari di sini adalah
dengan menggunakan pendekatan yang erat kaitannya dengan unsur-unsur dan atau


kontemporer, betapa pun seni ini dipujikan sebagai kesenian yang lebih kreatif”. Lihat Tempo,
“Mencegah Kebangkrutan Seni”, 22 Desember 1973, hlm. 24; Goenawan Mohamad, Kesusastraan
dan Kekuasaan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), hlm. 111.
358
Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki, Calender of Event January 1971, Cipta:
1971; Harian Angkatan Bersenjata, “Malam Modern Choreography Karya Farida, Youlian,
Hurijah”, 10 Januari 1971; Sutasoma, “Prospek2 baru dalam pementasan: Modern Choreography”
dalam Merdeka, 17 Januari 1971; Tempo, “Seni, Trio Wanita”, 6 Maret 1971.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


200

hal-hal yang jamak digunakan dalam mengamati proses penggarapan karya tari.
Unsur-unsur tersebut: (1) Sumber maupun corak karya tari - etnik, nasional atau
universal; (2) Unsur artistik pendukung yang digunakan; (3) Tema – naratif atau
nonnaratif; (4) Garapan bentuk - gerak sebagai bahan baku, desain ruang, desain
waktu, dinamika, intensitas, tekanan, kualitas, desain dramatik; (5) Garapan isi –
ide tari dan orisinalitas, pendekatan objektif dan subjektif.

5.1. Huriah Adam (1936-1971): Sepasang Api Jatuh Cinta, dan Malin Kundang
5.1.a. Sepasang Api Jatuh Cinta (1969) adalah karya ciptaan Huriah Adam lainnya
yang berupa komposisi tunggal untuk ditarikan sendiri olehnya. Tarian tersebut
diiringi musik karya Nicollo Paganini berjudul Violin Concerto IV, bagian kedua,
yang dimainkan oleh violis Idris Sardi dengan biolanya dan Adam menarikan
karyanya sambil memegang piring dengan sebatang lilin di atas kedua tangan.

Foto 3. Dok. DKJ

Penggunaan piring dan lilin sebagai pelengkap tari yang terpampang pada
foto 3 mengingatkan pada tari Piring tradisional Minang yang oleh Adam geraknya
telah digarap menjadi dinamis dan ekspresif, selain penggunaan musik Barat
mampu menghadirkan suasana non-Minang. Karya baru atau kontemporer Huriah
Adam yang memadukan gerak tari tradisional Minang dengan gerak-gerak baru
yang diciptakannya dan diiringi musik klasik Barat itu masih diterima setengah hati
oleh masyarakat Minang tradisional. Namun oleh para seniman anggota DKJ tari

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


201

karya baru Adam tersebut dipuji sebagai eksperimen yang kreatif dengan hasil
sangat impresif.359
Unsur artistik pendukung yang sangat berperan besar dalam karya ini adalah
musik yang menjadikan karya ini tak ada padanannya pada masa itu. Musik Minang
dengan tegas dihilangkan, diganti dengan musik klasik Eropa. Ini membuat pakem
estetis genre Minang berubah. Seluruh gerak pun berubah mengikuti ritme musik
yang bukan Minang. Mengacu pada pengertian kontemporer, Sepasang Api Jatuh
Cinta ini adalah karya tari kontemporer. Di sini karya lama yang telah mentradisi
hanya dijadikan sebagai pencetus gagasan untuk memunculkan sebuah karya yang
sumbernya kemudian menjadi samar-samar.

5.1.b. Malin Kundang (1969) merupakan karya terakhir Huriah Adam sebelum
wafatnya, berbentuk drama tari dan kisahnya diambil dari cerita rakyat (legenda)
Minangkabau.360 Namun dalam drama tarinya, Adam menafsirkan kembali cerita
ini karena ia berpendapat seorang ibu Minang tak mungkin tega mengutuk anak
yang dicintainya dan di dalam karyanya, Adam mengganti cerita dengan sang ibu
memohon kepada Allah untuk mengingatkan anaknya yang sedang lupa diri.
Dalam tulisannya, “Huriah Adam Peneguh Tari Minang Baru”, Sal
Murgiyanto361 mengatakan bahwa Malin Kundang adalah karya koreografer
Minang pertama yang berhasil dipentaskan di PKJ-TIM yang saat itu baru dibuka,
dan memperoleh apresiasi dari penonton. Malin Kundang digarap sebagai drama
tari tanpa dialog yang pada tahun 1969 sedang populer, dan disebut “sendratari”
(seni drama dan tari). Namun Adam memodifikasi bentuk penyajiannya dengan


359
Seniman yang memuji karya Huriah Adam tersebut antara lain Frans Haryadi, pemusik,
pendidik, dan mantan anggota DKJ; Danarto, pelukis, penulis, mantan anggota DKJ; dan Roedjito,
penata artistik; yang menyatakan bahwa Adam memiliki kepekaan musikal dan rupa yang kuat.
Lihat Sal Murgiyanto, “Dasar-dasar Koreografi Tari”, hlm. 90.
360
Malin Kundang adalah cerita rakyat Minangkabau yang inti ceritanya menghormati
kaum perempuan Minang. Cerita ini biasanya dibawakan oleh seorang pembawa cerita, namun
Adam menggarapnya menjadi sebuah drama tari yang dalam penampilannya di PKJ-TIM didukung
oleh penari-penari peserta lokakarya yang berasal dari berbagai ragam suku-bangsa dengan
penguasaan teknik tari yang berbeda sesuai latar belakang suku-bangsa masing-masing.
361
Jurnal Kebudayaan, Kalam 16, hlm. 91.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


202

tidak memasukkan gerakan pantomimik yang biasa terdapat dalam sendratari.


Selain itu ia juga memasukkan karakter yang tidak terdapat dalam cerita aslinya,
yaitu karakter orang bunian atau makhluk halus. Orang bunian diwujudkan sebagai
roh jahat yang mempengaruhi Malin agar tidak mengakui ibunya. Ide dan konsep
kreatif Huriah Adam lainnya dalam garapan ini antara lain membuat latar panggung
yang menggambarkan sebuah reruntuhan kapal.
Dalam adegan drama tari Malin Kundang ini juga disisipkan tari Barabah,
tari lepas garapan Adam yang sarat gerak silat, yang menggambarkan ketabahan
orang Minang dalam mengarungi kehidupan, dan diiringi permainan talempong
pacik dan gandang. Di bagian akhir tarian Barabah, dimasukkan adegan Malin
Kundang dan istrinya menari duet, gemulai dan anggun, namun kemudian
terganggu oleh kedatangan orang bunian. Orang bunian menari dengan gerakan
keras dan tajam, diiringi rebana yang dimainkan sendiri oleh penari secara
improvisatoris. Ketika Malin Kundang malu dan tak mau mengakui ibunya, dan
menendangnya, terdengarlah lagu Minang Palayaran yang mengungkapkan
kepiluan hati seorang ibu yang ditolak oleh anak kesayangannya. Pada bagian kapal
Malin Kundang hancur diempas badai, para pemusik memukul gendang besar
(dhol) untuk menggambarkan suasana galau. Akhirnya amukan badai itu melempar
semua awak kapal hingga terkapar di lantai pentas. Hanya Malin Kundang seorang
yang secara perlahan mampu berdiri tegak dan gagah, namun beku membatu
jiwanya, bukan beku menjadi batu karena durhaka seperti dalam legenda. Malin
Kundang tetap hidup walaupun dalam penyesalan. Adam menilai, Malin Kundang
sudah banyak berjasa sehingga tidak layak dimatikan.362
Ketika dipentaskan di negeri Minangkabau, Adam mengubah interpretasi
dan koreografi Malin Kundang. Beberapa momen dramatik dihapus, adegan orang
bunian dihilangkan agar tidak mengundang kontroversi, dan kostum tari dibuat
lebih mendekati kostum tari tradisional Minang dan gemerlap. Sebagai iringan,
Adam banyak menggunakan lagu, musik dan instrumen Minang, baik tiup (saluang,


362
Hasil wawancara dengan Farida Oetoyo, sebagai salah seorang penari dalam drama tari
tersebut, di Jakarta 2013.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


203

serunai, bansi) maupun perkusi (talempong, canang, dan gandang). Namun untuk
beberapa adegan, Adam memainkan instrumen tradisional dengan cara yang tidak
lazim, seperti memukul canang dengan punggung piring untuk mendapatkan warna
suara tertentu.363
Adanya perbedaan pementasan Malin Kundang di Jakarta dan di Padang
karena Adam menyadari bahwa masyarakat penonton Minangkabau yang masih
berada di wilayahnya belum sepenuhnya siap menerima pembaruan dalam kesenian
tradisionalnya.364
Karya tersebut tentu saja keluar dari narasi aslinya. Dalam Malin Kundang,
Adam telah melakukan peninjauan kembali terhadap yang sudah ada hingga
tertemukanlah jawaban transendental bahwa yang menghukum Malin Kundang
bukan ibunya namun Allah. Keyakinannya pada moral keibuan membuat Adam
tidak yakin seorang ibu tega mengutuk anak kandungnya seberat-beratnya. Di
sinilah pemikiran Adam bisa disebut kontemporer karena meloncat dari narasi
tradisional. Fuad Hasan dalam sebuah diskusi di Taman Ismail Marzuki, 13
Desember 1970, menyatakan bahwa seni kontemporer adalah seni yang
menggambarkan zeitgeist atau jiwa waktu masa kini. Jiwa waktu masa kini yang
ada pada Adam adalah pemikirannya tentang Malin Kundang yang tidak dikutuk


363
Seperti disampaikan oleh Suwanismar, salah seorang penari Huriah Adam di ASKI
Padang Panjang, dalam Sal Murgiyanto, “Dasar-dasar Koreografi Tari”, hlm. 93.
364
Chairul Harun, seorang sastrawan Minang, yang menyaksikan pementasan Malin
Kundang di Padang, mengungkapkan bahwa sebagian besar dari 600 orang penonton Minang yang
melihat pertunjukan Malin Kundang sangat terkesan dengan karya Huriah Adam tersebut. Bahkan
banyak kaum terpelajar Minang yang gandrung pada kemajuan menyambut baik karya Adam.
Namun tak sedikit pula di antara penonton yang mempertanyakan apakah pertunjukan itu bisa
dikatakan sebagai karya tari Minang. Betul, bahwa gerak dan instrumen musik yang digunakan
berangkat dari tradisi Minang, namun cara memainkan talempong, canang, bansi sangat berbeda
dengan yang tradisional. Atas pandangan tersebut Adam menjawab bahwa musik pengiring Malin
Kundang dibuat demikian karena sebagian harus disesuaikan dengan kebutuhan artistik koreografi,
antara lain untuk mengiringi gerak yang diciptakan Adam ataupun memunculkan suasana dramatik.
Lihat Tempo, 3 Juli 1971, hlm. 28–9; lihat juga Sal Murgiyanto, “Dasar-dasar Koreografi Tari”, hlm
94. Hal menarik lainnya yang bisa diungkapkan dalam penampilan drama tari Malin Kundang di
Jakarta adalah, semua penarinya tidak berasal dari Minangkabau dan tidak berlatar belakang tari
tradisional maupun silat Minang. Keadaan tersebut justru membuat Adam memanfaatkan
keragaman dan kekuatan masing-masing penari menjadi bagian dari ekperimen pencarian dan
penggarapan gerak. Wawancara dengan Sentot Sudiharto, Farida Oetoyo, dan Julianti Parani, di
Jakarta, 2014. Ketiganya adalah penari dalam drama tari Malin Kundang yang dipentaskan di PKJ-
TIM pada 1969.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


204

sang Ibu menjadi batu meskipun di akhir pertunjukan Allah membekukan jiwa anak
durhaka itu. Dari pemikiran inilah karya Malin Kundang dari Adam muncul dengan
sentuhan kontemporer.

5.2. Farida Oetoyo (1939-2014)365: Rama dan Sinta, Putih-Putih


5.2.a. Rama dan Sinta adalah drama tari karya Farida Oetoyo yang diciptakan
tahun 1972 dan ide garapannya berangkat dari epos Ramayana.366 Namun dalam
garapannya ini Oetoyo keluar dari pakem cerita mengenai Rama yang meragukan
kesucian Sinta, yang telah delapan tahun ditawan Rahwana, dan mengujinya
dengan cara membakarnya. Dalam cerita Ramayana klasik, Sinta digambarkan
tidak bisa terbakar karena kesuciannya sedangkan dalam konsep garapan Oetoyo,
Sinta mati dan raganya hangus terbakar. Meski begitu, sukma Sinta yang suci dan
setia tetap abadi mengikuti Rama ke mana pun pergi. Bagi Oetoyo, kesucian sukma
sangat penting dalam kehidupan dan perlu dipertahankan, karena sukma dan raga
merupakan unsur yang terpisah. Sukma yang suci bisa bersemayam dalam raga
yang tidak suci, sebaliknya raga yang suci bisa menyandang sukma yang tidak suci.
Kreativitas dalam melakukan adaptasi dan penafsiran cerita ini didasari oleh
kenyataan dan logika yang kemudian diaktualisasikan dalam situasi dan kondisi
kehidupan manusia yang seutuhnya pada masa kini (di tahun 1972), dan bukan
manusia separuh dewa. “Selama delapan tahun mengungkung Sinta, pasti Rahwana
telah menjamah Sinta secara badaniah, walau Sinta tetap cinta dan setia kepada
Rama,” demikian argumentasi Farida Oetoyo. “Sangat tidak adil Rama menuntut
kesucian Sinta meskipun atas desakan rakyatnya, dan lalu mempertontonkan
pembuktian seperti itu di depan umum. Saya juga tidak bersimpati dengan cara yang
dilakukan Rama”, sambung Oetoyo. Lebih lanjut menurut Oetoyo, bahtera

365
Lahir dengan nama Farida Oetoyo pada tahun 1939. Sejak tahun 1962 berganti nama
menjadi Farida Sjuman karena menikah dengan Sjumandjaja, sutradara film. Pada tahun 1975
berganti nama lagi menjadi Farida Feisol karena menikah dengan Feisol Hashim, pengusaha dari
Malaysia. Pada tahun 1985 Farida kembali menggunakan nama Farida Oetoyo setelah bercerai
dengan Feisol, dan terus menggunakan nama tersebut hingga wafat di tahun 2014.
366
Dasar cerita yang digunakan untuk menggarap koreografi Farida Oetoyo diperoleh dari
berbagai sumber. Selain dari epos Ramayana, Oetoyo juga mengambil dari epos Mahabharata,
cerita mengenai Kunti.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


205

perkawinan Rama dan Sinta yang digarapnya merupakan pantulan kehidupan


berkeluarga sepanjang zaman.367
Dalam menggarap koreografi gerak, Oetoyo ingin mencari corak dan ciri
sendiri dengan mengembangkan gerak balet klasik yang mulai ditinggalkannya
menjadi gerak balet nonklasik, seperti balet jaz, dan gerak nonbalet di antaranya
teknik tari Jawa Surakarta, Bali, dan tari modern dari tokoh modern dance Amerika
Serikat.368 Hal ini karena selain garapannya berangkat dari epos Ramayana yang
non-Barat, juga para penari dalam drama tari ini berasal dari berbagai latar belakang
teknik tari. Oetoyo kemudian dengan sengaja mengeksplor dan memanfaatkan
kekuatan dan keragaman teknik tari yang dimiliki para penari tersebut dan
meramunya menjadi koreografi gerak yang baru.
Kostum yang dikenakan para penari baik laki-laki maupun perempuan tidak
menyerupai kostum tari tradisional Jawa atau Bali, tempat berkembangnya epos
Ramayana yang diekspresikan dalam drama tari. Kostum Rama dan Sinta garapan
Oetoyo untuk penari laki-laki di terdiri dari celana tight sebatas lutut dengan warna
sesuai peran, seperti Rama dan Laksmana dengan warna kulit (coklat muda),
Rahwana dengan warna merah, Hanoman dengan warna putih. Adapun penari
perempuan mengenakan tight dan leotard, pemeran Sinta dengan warna kulit
(coklat muda), Kijang Kencana coklat keemasan, dan “Alamat Buruk” berwarna
hitam. Pemakaian kostum tari yang sederhana tersebut memudahkan penari

367
Hasil wawancara dengan Farida Oetoyo, Desember 2013; dan lihat Kalender Acara
Pusat Kesenian Jakarta, Juli 1973; juga Sinar Harapan, “Pekan Seni Kontemporer 1972”.
Selanjutnya dalam Farida Oetoyo, Saya Farida, Sebuah Autobiografi (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2014), hlm. 187–8 diuraikan bahwa drama tari Rama dan Sinta yang dipentaskan di PKJ-
TIM dalam “Pekan Seni 1972” dikunjungi banyak penonton dan mengundang berbagai reaksi.
Sebagian penonton puas dan memuji, tetapi sebagian lagi mengkritik dan mengecam bahwa drama
tari itu telah merusak pakem dan telah meremehkan epos Ramayana yang disucikan dalam agama
Hindu, dengan mengeksploitasi senggama antara Rama dan Sinta, dan antara Rahwana dan Sinta.
Dari sekian banyak kritik dan kecaman terdapat juga pembelaan terhadap Oetoyo yang dimuat di
media massa.
368
Sepulang dari Amerika Serikat pada tahun 1974 untuk belajar modern dance (1973–
1974), Farida Oetoyo tidak lantas berkiblat pada genre tari tersebut. Baginya, banyak unsur etnik di
Indonesia yang bisa digali untuk pengembangan karya tarinya. Untuk itu Oetoyo melakukan
pencarian materi dari khasanah tari etnik Indonesia dengan belajar tari misalnya Bali dari I Wayan
Suparta, tari Minang dari Huriah Adam, dan tari Sulawesi Selatan dari Wiwiek Sipala. Adapun balet
klasik dan nonklasik dijadikan sebagai dasar pengembangan teknik tari dalam karya-karyanya. Lihat
Farida Oetoyo, Saya Farida, hlm. 183; dan Hasil wawancara dengan Farida Oetoyo di Jakarta, 2013.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


206

bergerak dengan berbagai variasi gerak sebagai temuan gerak baru hasil eksplorasi
Oetoyo dalam menggarap drama tari Rama dan Sinta.369
Musik pengiring drama tari Rama dan Sinta digarap oleh I Wayan Diya,
salah seorang seniman tari peserta lokakarya di bengkel tari Sardono, dengan
menggunakan sumber bunyi dari piano rusak370 yang terdapat di Teater Arena PKJ-
TIM dan suling. Piano rusak dan suling dimainkan dan dibunyikan sesuai dengan
interpretasi adegan maupun gerak para penari.371
Drama tari Rama dan Sinta tidak lagi sesuai dengan teks dalam epos
Ramayana Indonesia. Dalam karyanya tersebut, Oetoyo melakukan penafsiran
terhadap yang sudah tertera dalam teks dan tertanam dalam benak pembacanya.
Oetoyo memilih menggunakan logikanya bahkan dia anggap sebagai logika realitas
umum dalam situasi dan kondisi kehidupan manusia pada masa karya tersebut
digarap (tahun 1972). Sesungguhnya pula, menurutnya, logika tersebut merupakan
pantulan kehidupan berkeluarga sepanjang zaman. Di sinilah pemikiran Oetoyo
bisa dikatakan kontemporer karena keluar dari teks tradisional dan diaktualisasikan
ke masa kini. Bahkan ia bergeming ketika dituduh oleh media meremehkan epos
Ramayana yang disucikan oleh agama Hindu.372
Unsur artistik pendukung yang menempatkan karya ini sebagai
kontemporer adalah kostum yang dipakai para pemain. Kostum tersebut merupakan
hasil pemikiran artistik yang sama sekali menanggalkan kostum tradisional yang
dikenal dalam pertunjukan Ramayana. Keputusan penggunaan kostum ini

369
Dalam wawancara di Jakarta 2013, Farida Oetoyo mengungkapkan bahwa ia hampir
selalu merancang sendiri kostum karya tarinya sesuai imajinasi ketika menggarap karya itu. Ia juga
suka menggunakan topeng dan menjelajahi berbagai kemungkinan peruntukan topeng dalam
koreografinya. Baginya, topeng luar biasa unik dan bisa penuh misteri. Saat menggarap karya tari
dengan menggunakan topeng, topeng bisa dipakai oleh semua penari atau hanya penari tertentu saja.
Ketika menggarap Rama dan Sinta, hingga tiga kali ia menjajal topeng yang berbeda, bahkan ada
topeng yang dikerok catnya untuk mendapatkan imaji dan kesan tertentu. Namun karena tidak juga
menemukan topeng yang pas dengan keinginannya, akhirnya drama tari ini tidak menggunakan
topeng.
370
Piano yang fungsi musikalnya rusak karena sebagian dawainya sudah putus sehingga
menghasilkan bunyi yang tidak lengkap dan bernada sumbang karena tidak di-stem.
371
Wawancara dengan Trisapto, salah seorang penari Rama dan Sinta, dan berperan
sebagai Rama, di Jakarta, 12 September 2014.
372
Tetapi menurut Oetoyo, “umat Hindu sendiri tidak ada yang mengajukan keberatan”.
Lihat Farida Oetoyo, Saya Farida, hlm. 188.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


207

merupakan bagian integral dari interpretasi Oetoyo terhadap kisah Rama dan Sinta.
Demikian pula penggunaan piano rusak untuk menimbulkan bunyi tertentu sebagai
penguat suasana dramatik. Semua ini adalah loncatan yang dilakukan Oetoyo, jauh
meninggalkan gambaran klasik. Dimensi kontemporer ada pada karya ini.

5.2.b. Karya tari Farida Oetoyo lainnya adalah Resume yang terdiri dari enam
koreografi: Putih-Putih, Makan Siang, Kematian, Kenangan, Perkelahian, dan
Tenang Kembali yang dipentaskan pada 10, 11, 12 November 1976, di Teater
Arena, TIM. Putih-putih, salah satu dari enam koreografi yang idenya muncul
ketika Farida Oetoyo mendengar kekhusyukan adzan yang menggetarkan hati dari
masjid di Kuala Lumpur. Dalam keadaan kesepian luar biasa saat tinggal di Kuala
Lumpur, yang tidak pernah dirasakan sebelumnya, adzan dari masjid tersebut
terdengar merdu dan syahdu, seperti lagu, alunan musik, sehingga menimbulkan
desakan kuat untuk membuat sesuatu. Ia juga terpesona pada gerakan salat yang
dilakukan bersama (berjemaah), dengan mengenakan mukena putih-putih, kadang
bergerak serempak turun-naik, kadang serempak diam, laiknya sebuah koreografi.

Foto 4. Dok. Berita Buana, 22 Nov 1976.

Kemudian Farida Oetoyo mengadaptasinya dalam gerak tari yang didasari


gerak balet klasik dan modern dance seperti terlihat dalam foto 4, dan menyusunnya
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


208

menjadi sebuah koreografi, diiringi musik dan lagu religi Trio Bimbo yang liriknya
dikarang oleh Taufik Ismail, berjudul Tuhan. Penarinya semua perempuan dengan
kostum celana ketat (tight) dan leotard warna kulit (coklat muda) yang diselubungi
kain putih menyerupai mukena.
Penampilan Putih-putih menimbulkan protes, bukan dari penonton atau
masyarakat tetapi dari Taufik Ismail yang saat itu adalah Ketua Lembaga
Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ). Taufik Ismail menganggap karya Putih-putih
ini “tidak betul” dan kemudian ia melayangkan surat kepada Edi Sedyawati, Ketua
Akademi Tari LPKJ. Itu dilakukan karena ia merasa ikut bertanggung jawab dan
menghendaki penghentian pementasan tersebut. Esok harinya keluar peringatan
dari Majelis Ulama Indonesia (MUI)-DKI Jaya yang menyesalkan keteledoran
Dewan Pimpinan Harian DKJ yang meloloskan karya itu untuk disaksikan khalayak
ramai yang mayoritas beragama Islam. Media massa juga ikut meramaikan dengan
menuliskan komentar tokoh agama dan budayawan di antaranya Buya Hamka,
Yunan Helmy Nasution, dan Asrul Sani, yang sebetulnya tidak menyaksikan
pertunjukan tersebut. Melalui berbagai tanggapan, beberapa kesalahan yang
dianggap fatal dari Putih-putih, yaitu: mengekspresikan orang salat dengan gerak
jumpalitan dan kaki yang diangkat tinggi; mukena yang tembus pandang dan
kurang panjang; adzan yang disuarakan oleh perempuan; dan arah kiblat salat yang
tak berketentuan.373
Setelah membaca surat Taufik Ismail, Edi Sedyawati menghentikan
pementasan Putih-putih pada malam kedua dan ketiga namun pementasan Resume
tetap berlangsung tanpa karya Putih-putih. Kemudian Sedyawati memberikan
tanggapan tentang karya tersebut yang dimuat di Harian Pelita, 30 November 1976,
berjudul “Bagaimana Harus Memperhitungkan Seni kalau Menimbulkan Birahi,
Sekitar Penjelasan LPKJ tentang Putih-putih”. Sedyawati menyatakan dengan jelas
bahwa karya Farida Oetoyo tersebut bukanlah aksi protes terhadap agama seperti


373
Lihat Pelita, “Cipta karya tari: yang sukses dan yang serem”, dan “Tari Itu Wah” 16
November 1976; Berita Buana, “Ballet Putih-putih sebuah penawaran idea; dan Farida Oetoyo, Saya
Farida, hlm.190–2.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


209

prasangka yang tersisip dalam pemberitaan. Karya tersebut, baik motivasi,


penggarapan, maupun ekspresinya adalah sincere yang didasari pesona atas
kekhusyukan adzan. Namun, imaji-imaji Oetoyo yang disampaikan melalui gerak-
gerak dan teknik tari tersebut ternyata tidak komunikatif terhadap penonton tertentu
yang telah memiliki kerangka referensi tentang posisi salat dan suara adzan. Lebih
lanjut Sedyawati menegaskan bahwa karya tersebut bukan tiruan adegan ibadah,
melainkan ekspresi kreatif dengan menggunakan teknik tari balet dan modern
dance.374 Karya tari Putih-putih bisa merupakan karya tari kontemporer karena
imaji dan ekspresi kreatif Oetoyo bertolak dari kondisi kekinian yang dialaminya.

5.3. Sardono W. Kusumo (1945): Samgita Pancasoma I-XII, , Meta Ekologi, 10


Menit dari Borobudur
5.3.a. Samgita Pancasona I-XII (1969–1971) adalah salah satu karya tari gubahan
Sardono W. Kusumo dalam pencarian bentuk ekspresi kulturalnya yang baru.
Karya ini terinspirasi dari tradisi etnik Indonesia, dari salah satu episode epik
Ramayana versi Jawa, Subali-Sugriwa.375 Garapan musiknya tetap menggunakan
nyanyian tradisional Jawa (macapat) namun diiringi gamelan yang jumlah
instrumennya tidak selengkap gamelan konvensinal, dan ditata dalam bentuk


374
Penghentian penampilan Putih-putih di malam kedua dan ketiga memancing reaksi
mahasiswa LPKJ. Mereka memrotes Taufiq Ismail yang diangggap cuci tangan dan membiarkan
Oetoyo memikul kesalahan sendiri. Pamflet bertebaran, antara lain berbunyi: “Putih-putih Farida
Feisol bukanlah copy ibadah dan bukan protes terhadap agama tapi ekspresi dengan teknik tari
tertentu”. Ketua Keluarga Mahasiswa Akademi Teater LPKJ mengatakan bahwa keributan
mahasiswa terjadi karena tindakan yang tidak pada porsinya. Menurutnya, sebagian besar yang
memberikan pandangan adalah orang yang tidak menonton pertunjukan, sehingga mungkin saja
sekadar apriori. Putih-putih adalah suatu karya seni, tidak ada hubungannya dengan agama.
375
Dalam Samgita Pancasona Kusumo tergerak untuk menggarap konflik Subali-Sugriwa.
Sugriwa dan Subali adalah adik dan kakak raja kera yang bersekutu dengan Rama dan membantu
Rama memerangi Rahwana untuk menyelamatkan Sinta. Ketika terjadi perselisihan antara kedua
kera ini, Rama berada di pihak Sugriwa, dan Subali akhirnya tewas di tangan Rama. Dalam karya
tari Samgita, Sardono W. Kusumo selain sebagai koreografer juga terlibat secara intensif sebagai
penari.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


210

perpaduan antara gaya sekaten,376 langendriyan,377 kendhangan Bali,378 dan dua


kendang dengan ritme imbal yang cepat. Pada aspek gerak tarinya, inspirasi dan
pola eksplorasi tubuh penari berasal dari wujud visual relief Candi Prambanan yang
diekspresikan seperti dalam foto 5.

Foto 5. Dok. DKJ

Selain itu gerak tarinya juga dibangun dari energi suara tembang yang
dilagukan sendiri oleh para pemeran utama tanpa mengikuti pola nada yang ada


376
Praktik musikal gamelan tradisional Jawa Sekaten, instrumennya berupa ensambel kuno
Kyai Guntur Madu dan Guntur Sari, dan gending atau lagunya antara lain Rangkung Pathet Lima,
Rendheng Pathet Lima, Gliyung Pathet Nem, Atur-atur Pathet Nem, dan sebagainya.
377
Langendriyan adalah “opera Jawa”, drama tari yang dilengkapi musik gamelan dan
nyanyian puisi metris (tembang macapat) sebagai pengganti dialog untuk mengungkapkan cerita-
cerita yang bersifat setengah sejarah (babad). Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Seri Etnografi
Indonesia no.2 (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984), hlm. 300; Clara Brakel-Papenhuyzen, Seni Tari
Jawa, hlm. 27.
378
Kendhang adalah salah satu instrumen dalam perangkat gamelan dan mempunyai
peranan penting, di antaranya untuk iringan tari. Kendhangan Bali dalam mengiringi tari bertugas
menguasai jalannya irama, menentukan tempo, dan menentukan saat memulai atau pun mengakhiri
pertunjukan.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


211

dalam tembang tradisional Jawa379 dan tanpa iringan gamelan secara konvensional.
Juga penari tidak lagi dalam sikap tanjak atau pose-pose sederhana yang bersifat
ilustratif seperti halnya dalam tradisi pementasan tari Jawa.380 Melalui proses
mencoba bergerak dan merasakannya terus-menerus, penari mencapai intensitas
rasa gerak yang esensial sekaligus ekspresif dan juga gerak yang dilakukan terasa
pas sesuai suasana dan pesan garapan yang dikehendaki.381 Dalam Samgita,
Kusumo menghilangkan batas-batas gerakan tari putra dan tari putri.382 Kostum
penari dibuat minimalis, dengan menggunakan batik sebagai cawat dan betelanjang
dada untuk penari laki-laki,383 dan penari perempuan memakai kain panjang dan
kemben berwarna pudar.
Pendekatan pemanggungan Samgita yang melepaskan elemen-elemen
gemerlap tari tradisional dan kaidah-kaidah kebiasaan nilai dalam tari tradisional
(tari dan musik klasik Jawa), disambut baik oleh penonton Jakarta saat ditampilkan
di PKJ-TIM karena masyarakatnya telah terbuka terhadap modernisasi. Namun
ketika ditampilkan di Surakarta (1971), kota kelahiran sang seniman, kebaruan
dalam pendekatan koreografinya dianggap tidak lazim, iringan tari, vokal, dan


379
Terdapat 11 jenis tembang macapat yaitu Dhandanggula, Mijil, Kinanthi, Pangkur,
Sinom, Asmaradhana, Pucung, Megatruh, Durma, Maskumambang, Gambuh. Jakob Sumardjo,
“Tembang” dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia (Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1991), hlm. 214–
5.
380
Lihat Edi Sedyawati, “Penari Sardono W. Kusumo Sedang Melangkah, ia seorang
Djawa baru jang penuh kekuatan dan kesegaran chajal” dalam Kompas, 23 Desember 1970.
381
Dikatakan oleh Kusumo di Tempo, 23 Pebruari 1974: “Kalau dalam Samgita I baru saya
yang mencoba konsepsi gerak itu, dalam Samgita II saya merasa lebih mantap karena semua penari
telah menguasainya”; juga hasil wawancara dengan Sentot Sudiharto, penari Samgita Pancasona I-
XII, 31 Agustus 2014, di Jakarta.
382
Dalam tari tradisional Jawa Surakarta terdapat batasan yang signifikan antara gerakan
tari putra dan putri. Bahkan dari masing-masing tari putra dan putri terbagi lagi ke dalam kualitas-
kualitas yang berbeda. Misalnya dalam tari putra, dibedakan antara gagah ksatria dengan kasar.
Dalam tari putri, ada gerakan luruh, lanyap, dan seterusnya. Lihat Budi Santoso, “Pertunjukan Tari
Samgita Pancasona”, “Pertunjukan tari ‘Samgita Pancasona’ karya Sardono W. Kusumo di RRI
Surakarta: dalam fenomena konflik tradisi-modern masyarakat seni pertunjukan Surakarta tahun
1970-an.” Tesis Pengkajian Seni untuk memenuhi syarat mencapai derajat magister dalam bidang
Seni, Minat Utama Seni Tari di Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, 2006,
hlm. 136–7.
383
Dalam wawancara pada 2 Januari 2014, di Jakarta, Sardono W. Kusumo mengatakan
bahwa kostum penari laki-laki yang minimalis dalam Samgita terinspirasi dari penari tradisional
Kalimantan yang bisa menari dengan sangat intens dan intuitif tanpa dibebani oleh kostum tari yang
justru kadang menghalangi gerak penari dan cenderung ornamentif.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


212

kostum terlalu sederhana, plot jalan ceritanya tidak jelas, dan gerak tarinya yang
minimalis terasa aneh, dan hal tersebut dianggap melampaui batas oleh penonton
tradisional Jawa.384 Beberapa penonton yang kecewa dan “marah” melemparkan
telur busuk ke atas panggung.385
Hal menarik juga dari Samgita, setiap dipentaskan yang sedikitnya 12 kali,
selalu ada elemen yang berubah, sehingga ditandai dengan angka I hingga XII.386
Dalam karya tersebut terjadi semacam transformasi dari sebuah komposisi
koreografi yang longgar dan sarat improvisasi, kemudian secara bertahap
membentuk susunan koreografi yang terpola.387 Samgita Pancasona bisa
dikategorikan sebagai karya tari kontemporer Indonesia.

5.3.b. Meta Ekologi adalah karya Sardono W. Kusumo yang menandai awal
keprihatinannya terhadap lingkungan, diproses-garap pada tahun 1979
sekembalinya dari perjalanan ke Kalimantan Timur dan Nias. Dalam perjalanan
budayanya itu Kusumo semakin menyadari betapa pentingnya tanah dan alam bagi

384
Pada tahun 1970-an, peta seni tari di Surakarta dapat dikelompokkan menjadi empat,
yaitu (1) komunitas konservatori yang mengikuti ajaran tari tradisional klasik dari tokoh Kusuma
Kesawa; (2) kelompok Yayasan Seni Budaya Indonesia (YASBI), lembaga seni yang lahir dari
masyarakat yang mengikuti gaya tari, (3) lingkungan PKJT pimpinan Humardani yang membawa
misi pengembangan tradisi; dan (4) Sardono W. Kusumo sebagai individu yang menguasai tari
tradisional Jawa Surakarta dengan baik namun berpandangan modern dan melakukan perubahan
yang berorientasi kepada hal-hal yang berlaku di dalam dan di luar konvensi tradisional dengan
interpretasi pribadi. Kelompok YASBI mengutamakan gagasan-gagasan keindahan seni tradisional
keraton yang dipenuhi dengan aturan-aturan. Bagi kelompok ini, tari kontemporer tidak memiliki
muatan dan citra keluhuran budaya keraton. Lihat Budi Santoso, “Pertunjukan Tari Samgita
Pancasona”, hlm. 6; lihat juga F.X. Widaryanto, Ekokritikisme Sardono W. Kusumo: Gagasan,
Proses Kreatif, dan Teks-teks Ciptaannya (Jakarta: PascaIKJ, 2015), hlm. 114.
385
Pentas Samgita Pancasona di Gedung Batik PPBI Yogyakarta tanggal 18–19 Juni 1971
ternyata bisa diterima penontonnya, meski juga tetap mengundang kontroversi. F.X. Widaryanto,
Ekokritikisme Sardono, hlm 114.
386
Rusini salah seorang penari Samgita dari Surakarta menambahkan bahwa mengikuti
proses latihan Samgita tidak ada pola gerak yang harus dihafal sebagaimana menghafal ragam gerak
yang berpola dalam tari tradisional. Wawancara dengan Rusini, 19 November 2005, juga dalam
Budi Santoso, “Pertunjukan Tari Samgita Pancasona”, hlm. 63. Sejalan dengan Rusini, Sentot
Sudiharto mengatakan: “Dalam setiap pementasan Samgita, tidak ada yang sama bentuk geraknya,
selalu berubah dan berkembang, yang seringkali disesuaikan dengan tempat dan waktu. Bahkan
kerap terjadi gerak diubah sebelum pementasan atau menjelang action”, hasil wawancara dengan
Sentot Sudiharto, penari Samgita I-XII, 31 Agustus 2014, di Jakarta.
387
Lihat Edi Sedyawati, “Penari Sardono W. Kusumo” dalam Kompas, 23 Desember 1970;
Helly Minarti, “Mencari Tari Modern/Kontemporer Indonesia”, https://ko-kr.facebook.com/Helly
Minarti, April 20, 2009, diakses 15 September 2013.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


213

kehidupan manusia, yang sering kali terabaikan oleh manusia itu sendiri. Meta
Ekologi mencoba memberikan apresiasi dan respek tubuh pada tanah.388 Diucapkan
oleh Sardono bahwa manusia diciptakan oleh tanah dan nantinya akan kembali lagi
pada tanah.
Meta Ekologi ditampilkan pada 15-16 Oktober 1979 di PKJ-TIM atas
rekomendasi DKJ.389 Dalam persiapan dan proses-garapnya, Sardono membuat
lokakarya di pinggiran Jakarta yang masih mempunyai sawah selama dua bulan. Ia
melatih para mahasiswa penari dan aktor dari Institut Kesenian Jakarta agar peka
terhadap unsur-unsur alam dengan cara meminta mereka secara perlahan
membenamkan diri dalam lumpur sawah untuk menikmati lumpur di seluruh tubuh.
Melalui latihan ini diharapkan mereka kembali mencintai alam, tanah tempat
berpijak, udara untuk bernafas, desiran angin, gelapnya malam dengan bintang
bertaburan di langit, cerahnya purnama, dan sebagainya.
Untuk pertunjukan Meta Ekologi, Kusumo menggelar sebidang sawah
lengkap dengan irigasinya di tempat terbuka, di Teater Halaman PKJ-TIM, dengan
10 truk mengangkut tanah dari kampung di pinggiran Jakarta. Ia juga mendirikan
tiang dengan tinggi sekitar 20 meter pada salah satu sisi di sawah lumpur tersebut
yang digunakan untuk memanjat dan di atas tiang itu juga dipasang loud speaker
untuk mengumandangkan suara rekaman serangga dan hewan-hewan malam hari.
Selain itu kadang-kadang juga terdengar suara beberapa instrumen gamelan seperti
gender, gong dan rebab. Seperti halnya saat berlatih di kampung, di PKJ-TIM
Kusumo juga mengajak para mahasiswa penari dan aktor secara perlahan masuk ke


388
F.X. Widaryanto, Ekokritikisme Sardono, hlm 117.
389
Meta Ekologi dipertunjukkan bersamaan dengan kedatangan Alwin Nikolais yang saat
itu dikenal sebagai pembaru tari dalam manifestasi “Seni rupa tiga dimensi”. Adapun karya Meta
Ekologi adalah manifestasi keakrabannya dengan tanah yang menciptakan “lorong waktu” dalam
penjelajahan ketubuhannya dalam ruang ciptaan yang baru, di luar kisi-kisi arsitektural yang baku
dalam berbagai konteks komunikasi budaya masyarakatnya. Lihat F.X. Widaryanto, “Tari dalam
Berbagai Dimensi” dalam Bambang Sugiharto (ed.), Untuk Apa Seni (Bandung: Pustaka Matahari,
2013); F.X. Widaryanto dan Sri Rustiyanti “Konsep ‘Lawung Sewu’ atau ‘White Box’ sebagai
Fenomena Baru Prosef Kreatif Ketubuhan dalam Masyarakat Urban” dalam Jurnal Ilmiah Seni dan
Budaya Panggung Vol.22, No. 2 April–Juni (Terakreditasi), hlm. 122–38.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


214

lumpur, membenamkan diri, bermain, berlari, bergelut satu dengan yang lain,
seperti tampak dalam foto 6.

Foto 6. Dok. Harian Merdeka, 12 Oktober 1976

Kemudian beberapa aktor memanjat tiang dan diam di atasnya yang oleh
F.X. Widaryanto dikatakan “seperti layaknya tonggak-tonggak totem suku Papua,
namun ditambah ‘arca batu’ di atasnya, yang sarat dengan makna genealogi nenek
moyang mereka”.390 Dalam kenyataannya, Kusumo bersama para mahasiswa
penari dan aktor itu memang tidak sedang menari, mereka hanya merasakan lumpur
pada setiap bagian tubuh dan membawa diri pada alam. Mereka menyerap energi
alam sebagai semangat hidup yang potensial. Seperti diungkapkannya bahwa
hubungan manusia dengan alam bukan hanya secara fisik tetapi juga pada tingkat
spiritual. Melalui interaksi yang cukup panjang dengan lumpur, langit dan serangga,
emosi dan naluri estetika menjadi pararel. “Kami sudah tiba pada sebuah kesadaran
baru yakni kami tidak lagi terobsesi oleh perlunya penciptaan suatu bentuk aristik,
”tulis Franki Raden.391


390
F.X. Widaryanto, Ekokritikisme Sardono, hlm. 118.
391
Lihat Franki Raden, “Meta Ekologi” dalam Brosur untuk pertunjukan Meta Ekologi,
Jakarta 12–15 Oktober 1979.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


215

Penampilan Meta Ekologi di PKJ-TIM ini mengundang reaksi pro dan


kontra. Reaksi kontra mengatakan bahwa terlalu banyak energi, pikiran, dan dana
hanya untuk proyek yang mengingatkan kita pada lumpur. Reaksi kontra lainnya
mengatakan Meta Ekologi menjadi besar karena argumentasi yang menggelegar
dan publikasi yang berlebihan.392 Meta Ekologi sebagai sesuatu yang eksotis, dan
cara kerja Kusumo yang process-oriented menjadikan karya tersebut sebagai
sesuatu yang belum selesai. Penampilannya masih dalam tataran latihan,
improvisasional, dan belum mencapai bentuk finalnya. Jadi, masih terlalu dini
untuk membicarakan visi Kusumo tentang kehidupan atau tentang arti dari Meta
Teater dan Ekologi.393 Kritik yang paling tajam menyatakan bahwa pertunjukan
Sardono W. Kusumo merupakan pertunjukan teater sekaligus peristiwa pertunjukan
terburuk yang pernah tampil di Jakarta.394
Anderson Sutton, seorang etnomusikolog Amerika yang turut terlibat
sebagai pemain gender dalam Meta Ekologi, mengatakan reaksi positif kepada Sal
Murgiyanto bahwa garapan Kusumo adalah karya bagus, secara estetik bisa
diterima dan provokatif. Dalam banyak hal karya ini menyerupai tampilan avant-
garde Barat dengan konsep brilian, intelektual, dan kaya dimensi.395 Adapun Umar
Kayam, penulis, sosiolog, dan mantan Ketua DKJ, setuju dengan pandangan Sutton.
Bagi Kayam, avant-garde hanya cara lain dalam melihat kesenian tradisional, dan
itulah yang dilakukan Sardono W. Kusumo. Menurut Kayam, Kusumo memiliki
kesadaran untuk menciptakan bahasa baru dalam kesenian, yang berakar pada
budaya lokal yang sudah ada sebelumnya.396 Penulis lainnya, Abdul Hadi W.M.,


392
Ilham Bintang, “Meta Ekologi: Sebuah Peristiwa ‘Gelembung Sabun’” dalam Angkatan
Bersenjata, Jakarta, 7 Oktober 1979.
393
Ikranagara, “Nikolais yang Gilang Gemilang dan Meta Macet” dalam Berita Buana, 23
Oktober 1979.
394
Emmanuel Subangun, “Kelestarian Alam dan Kesadaran Estetik” dalam Kompas, 18
Oktober 1979.
395
Hasil wawancara Sal Murgiyanto dengan Anderson Sutton, 6 September 1988, di
Amerika; lihat Sal Murgiyanto, “Moving Between Unity and Diversity: Four Indonesian
Choreographers” dalam A dessertation submitted to the faculty of the Departement of Studies in
candidacy for the degree of Doctor of Philosophy Graduade Shool of Arts and Science, New York
University, 1991 (belum diterbitkan), hlm. 393.
396
Umar Kayam, “Peranan Seni Tradisional dalam Modernisasi dan Integrasi di Asia
Tenggara” dalam Seni, Tradisi, Masyarakat (Jakarta: Sinar Harapan, 1979), hlm. 36.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


216

merangkum bahwa Sardono W. Kusumo lebih mengutamakan esensi, dan bukan


pada bentuk. Menurut Hadi, bagi Kusumo dalam berkarya yang terpenting adalah
mengurai apa yang dialami dalam kehidupan dan sikap dalam menghadapi
kehidupan.397
Mengamati karya Sardono W. Kusumo, apa yang dikerjakannya sering
tampak seperti keluar dari konteks ketika hanya dinilai sebagai kinerja estetika,
tanpa mengacu pada proses kreatif dan perhatiannya pada masalah sosial-budaya.
Ia selalu tertarik pada hal-hal yang esensial, dan pada kebenaran.398 Oleh Seno
Gumira Ajidarma, sebagian besar karya Sardono dinilainya sebagai koreografi
budaya yang tidak hanya mengandalkan taktik formal estetik untuk sebuah
panggung dengan sejumlah penonton.399

5.3.c. 10 Menit dari Borobudur adalah karya Sardono W. Kusumo yang tampil atas
undangan DKJ sebagai koreografer senior dalam Pekan Koreografi Indonesia 1987.
Menarikan sendiri karyanya,400 Kusumo mengawali karya tersebut dengan suara
tembang mantra dalam agama Budha di kegelapan panggung. Saat panggung
disorot cahaya secara perlahan, tampak sosok Kusumo berjubah hitam, duduk
bersila dan diam. Beberapa saat kemudian ia meraih mikrofon. Mulailah ia bercerita
tentang candi Borobudur dan pengalamannya berdialog dengan lingkungan candi
itu, tentang agama Budha dan simbol-simbol budaya Jepang, dan pertemuan
antarbudaya. Setelah itu Kusumo mulai menari dan tiba-tiba ia berubah menjadi
Sang Budha yang berpenampilan seperti ‘pertapa Agung dari Asia’. Menggunakan
area sempit di tengah panggung Graha Bhakti Budaya PKJ-TIM yang luas (20 x 12


397
Lihat Sal Murgiyanto, “Moving Between”, hlm. 394.
398
Lihat Edi Sedyawati, “Happening dalam Tempo Adagio dan Suatu Pesta buat Mata
dalam Kompas, 22 Oktober 1979; lihat juga Sal Murgiyanto, “Moving Between”, hlm. 394
399
Lihat Seno Gumira Ajidarma, “Koreografi Budaya” dalam Kompas, 21 September 1983.
400
Menurut Kusumo, karya tersebut ditarikan sendiri olehnya karena karya itu memang
hanya perlu dibawakan oleh satu orang penari, dan sang koreografer merasa bahwa penari tersebut
adalah seorang penari yang sudah lama tidak menari. Kebetulan penari tersebut bernama Sardono
W. Kusumo yang sama dengan sang koreografer. Diambil dari rekaman suara dalam forum diskusi
usai pertunjukan Pekan Koreografi Indonesia 1987, di Teater Tertutup TIM, 14 Juni 1987, koleksi
DKJ.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


217

meter), Kusumo bergerak layaknya ksatria yang bersilat dengan berbagai jurus
disertai tongkatnya.401
Di bagian tengah pertunjukan, Kusumo melepas jubah hitamnya dan hanya
menggunakan celana putih minim menyerupai kesho mawashi.402 Ia terus menari
lembut, berputar, dan tegak berdiri menyerupai sikap tubuh relief di candi
Borobudur. Semua gerak yang dilakukannya merupakan hasil dialognya dengan
candi Borobudur, dengan diiringi nyanyian mantra Budhis. Tiba-tiba, Kusumo
melemaskan tubuh dengan kedua lengan terulur ke samping, kepala menyandar di
tongkat, dan ia kembali duduk sambil berucap: “Dan ketika aku sampai di puncak
Borobudur.....” yang kemudian diteruskan dengan ia menceritakan pengalamannya
atas Borobudur. Selanjutnya, ia menengadahkan kepala dalam keheningan. Diringi
seorang laki-laki yang menggumamkan mantra Budhis, disertai pula penataan
lampu yang hanya berfokus padanya, karya tersebut terasa menghadirkan suasana
religius. Di akhir karya, gumam mantera Budhis hilang, berganti dengan suara azan
dari masjid berpadu dengan koor gerejani dari musik African Sanctus.403 Di bagian
akhir karya tersebut Kusumo bergerak bagaikan Yesus saat disalib dengan tampilan
koreografi yang dinamis, permainan tempo cepat, lalu diakhiri gerak lambat yang
ekspresif. Dalam posisi tubuh tersalib, Kusumo menutup pertunjukan dengan
berputar di tempat, tata cahaya fade out, dan pertunjukan selesai.
10 Menit dari Borobudur tampak sebagai hasil renungan mengatasi ruang
dan waktu melalui sosok Borobudur, pertemuan budaya-budaya besar di dunia, dan
tidak hanya tampil sebagai wujud-wadag seni tari melalui garapan koreografi


401
Saat berlatih 10 Menit dari Borobudur, si penari melihat sebuah tongkat dan secara
intuitif ia mengambil tongkat itu, dan secara spontan hadir gerak silat dengan menggunakan tongkat
tersebut. Gerak silat hadir begitu saja karena sejak kecil si penari belajar silat, dan di dalam tubuhnya
telah tersimpan memori gerak-gerak silat. Di sini Sardono ingin mengingatkan bahwa penari
mempunyai peran besar dalam proses kreatif penciptaan sebuah karya. Kerangka besar konsep
koreografik bisa dimiliki penata tari, namun dalam proses penggarapan penari turut menentukan
pencarian dan hasil akhirnya. Diambil dari rekaman suara dalam forum diskusi usai pertunjukan
Pekan Koreografi Indonesia 1987, di Teater Tertutup TIM, 14 Juni 1987, koleksi DKJ.
402
Celana yang dikenakan pemain Sumo (pegulat tradisional Jepang) pada saat bertanding.
403
Hasil menyaksikan rekaman gambar 10 Menit dari Borobudur, dan mendengarkan
pendapat Suka Hardjana dalam rekaman suara forum diskusi usai pertunjukan Pekan Koreografi
Indonesia 1987, di Teater Tertutup TIM, 14 Juni 1987, koleksi DKJ 1987.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


218

seperti, gerak, teknik, bentuk, ekspresi dan sebagainya, tetapi karya tersebut
menghadirkan kesadaran akan hakikat kehidupan. Kusumo bukan lagi berbicara
tentang agama, kepercayaan dan Tuhan saja dan ia juga tidak sedang membahas
tentang kebudayaan, apalagi kesenian, melainkan sebagai kreator ia sedang
melafalkan sebuah kredo tentang alam semesta dan jagad raya tanpa tepi, yang
segalanya berada dalam kenyataan Ilahi. Melalui karya 10 Menit dari Borobudur
Kusumo telah menampilkan karya tari kontemporer dan memberikan makna yang
sangat berharga bagi sebuah pekan seni.404

5.4. Julianti Parani (1939): Pelesiran, Pendekar Perempuan, dan Siparnipi


5.4.a. Tari Pelesiran adalah karya tari Julianti Parani yang digubah pada tahun
1972. Garapan koreografinya terinspirasi dari kesenian Lenong405, dan iringan
musiknya digubah berdasarkan musik Gambang Kromong,406 dilengkapi dengan
eksplorasi gerak tari Cokek407 Betawi dan gerak balet. Dalam proses-garap


404
Lihat Efix Mulyadi, “Pekan Koreografi Indonesia, Tari Diam, Tari Pengemis” dalam
Kompas, 15 Juni 1987; dan Suka Hardjana, “Dari Pekan Koreografi Indonesia, Sardono dan Makna
Sebuah Pekan Seni” dalam Kompas, 28 Juni 1987. Juga pendapat para pengamat dalam rekaman
suara forum diskusi usai pertunjukan ‘Pekan Koreografi Indonesia 1987’, di Teater Tertutup TIM,
14 Juni 1987, koleksi DKJ 1987.
405
Lenong adalah sandiwara rakyat Betawi yang mengandung unsur tari, nyanyi, lawak,
pencak silat, dan cerita yang terjalin menjadi satu kesatuan. Jumlah pemainnya tidak terbatas,
tergantung dari cerita yang dibawakan, bisa dimainkan semalam suntuk, dan diringi musik Gambang
Kromong. Terdapat dua jenis Lenong, Lenong Dines, yang berbahasa Melayu tinggi, bercerita
tentang hikayat lama yang berlangsung di istana dengan tokoh raja, putri-putri, dan jin. Jenis kedua
adalah Lenong Preman, berbahasa Betawi sehari-hari (Melayu-Betawi) dan ceritanya
menggambarkan kehidupan rakyat Betawi sehari-hari, dan unsur humor yang diutamakan. Husein
Wijaya (ed.), Seni Budaya Betawi (Jakarta: Pustaka Jaya, 1976), hlm. 76.
406
Gambang kromong adalah sejenis orkes yang memadukan gamelan dengan alat-alat
musik Cina, seperti sukong, tehyan, dan kongahyan. Sebutan Gambang Kromong diambil dari nama
dua buah alat perkusi, yaitu gambang dan kromong. Bilahan gambang yang berjumlah 18 buah,
terbuat dari kayu yang bunyinya empuk bila dipukul. Kromong dibuat dari perunggu atau besi,
berjumlah 10 buah. Tangga nada yang digunakan dalam Gambang Kromong adalah tangga nada
pentatonik Cina yang sering disebut salendro Cina atau salendro mandalungan. Instrumen pada
Gambang Kromong terdiri atas gambang, kromong, gong, gendang, suling, kecrek, dan sukong,
tehyan, ataukongahyan sebagai pembawa melodi. Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 6 (Jakarta:
PT Cipta Adi Pustaka, 1989), hlm. 29.
407
Cokek adalah tari pergaulan Betawi yang berfungsi hiburan, biasa dilakukan
berpasangan dan diiringi Gambang Kromong. Tarian ini sering ditampilkan pada perayaan warga
keturunan Cina di Jakarta dan sekitarnya, dan pada zaman dahulu perempuan penari mengenakan
pakaian baju kurung dan celana hitam dengan rambut dikepang, tetapi sekarang penarinya memakai
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


219

geraknya, Parani menyadari bahwa tari Betawi (dalam hal ini tari Cokek) tidak
mempunyai pola, ragam, dan teknik gerak yang pasti, dan terutama penari laki-laki
yang tidak mempunyai pola gerak tari kecuali gerak Silat. Oleh sebab itu perlu
dikembangkan. Caranya, Parani mengajak para penari yang mempunyai kekayaan
gerak dan teknik tari yang beragam, seperti gerak dan teknik tari Jawa Surakarta,
Minang, balet dan lain-lain, untuk melakukan eksplorasi bersama guna
mendapatkan gerak dan teknik tari Betawi yang baru.408 Kemahiran penari
meloncat dan berputar yang ada dalam teknik balet dimanfaatkan Parani untuk
memperluas jangkauan pencarian gerak.
Dalam menggarap gerak yang bertolak dari tari Cokek diiringi dengan
olahan kendang dan diseling dengan irama Gambang Kromong yang instrumennya
terdiri dari gambang kayu, kromong yang berupa boneng 5 nada, kecrek, gendang,
kempul, gong, suling, kongahyan, tehyan dan shukong. Selain Cokek, Parani dan
para penari juga mengeksplorasi gerak-gerak Silat Betawi yaitu Silat Beksi yang
halus dengan berbagai kembangan menyerupai gerak menari, dan Silat Pengasinan
yang penuh jurus-jurus untuk membela diri. Kedua Silat tersebut digabung dan
dikombinasikan satu dengan lainnya yang tampilan sekilas geraknya tampak seperti
di foto 7.


sarung kebaya dengan rambut disanggul. Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 4 (Jakarta: PT Cipta
Adi Pustaka, 1989), hlm. 169.
408
Dalam karya tari Plesiran, Julianti tidak memberikan ragam gerak atau pola gerak
kepada penari, tetapi membiarkan mereka mencari sendiri dan ia memberikan motivasinya,
kemudian secara bersama memantapkan temuan-temuan mereka. Misal, penari laki-laki dengan
teknik dan geraknya sendiri (Sentot Sudiharto dan Djoko Suko Sadono yang mahir menari Jawa
Surakarta) mencoba menangkap penari perempuan. Dalam pencarian gerak secara bersama ini,
Julianti sangat terbantu oleh permainan kendang tokoh musik dan Lenong Betawi, Nasir, yang selalu
siap merespons pencarian gerak bersama tersebut. Hasil wawancara dengan Julianti Parani di
Jakarta, Oktober 2014 dan Djoko Suko Sadono, penari Plesiran, di Jakarta, Januari 2016.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


220

Foto 7. Dok. DKJ

Dalam mengolah imaji-imaji gerak tarinya, Parani kemudian


mengembangkan gerak-gerak tari dalam Plesiran menjadi motif-motif jenaka
sehingga mengungkapkan suatu kualitas kejenakaan, suasana jenaka. Motif dan
suasana jenaka di antaranya terinspirasi oleh adegan dan gerak tari dari daerah Poso,
Sulawesi Tengah, yang penari laki-laki dan perempuan menari bersama di dalam
sarung mengikuti irama musik. Oleh Parani adegan dan gerak tari tersebut
dikombinasikan dengan gerak Sarung Cukin, yaitu gerakan tari Betawi yang
menggunakan sarung.
Edi Sedyawati dalam tulisannya di Harian Kompas, 11 November 1972,
berjudul “Prestasi Julian Menjadi Bumerang Berupa Tantangan” mengatakan
bahwa motif-motif jenaka yang diciptakan Parani cukup beragam dengan takaran
yang serba pas, tidak berlebihan. Ditambah dengan plotting adegan demi adegan
membuat karya ini memikat dan mampu memancing tawa. Kepiawaian para penari
melakukan gerakan tari jenaka dengan teknik memadai dan kemampuan
membawakan peranannya, serta diiringi paduan musik Gambang Kromong dengan
pukulan kendang yang diolah menjadi lebih dinamis, riang dan bersemangat telah
mendukung keberhasilan tampilan karya tari Plesiran.409 Karya ini bisa
dikategorikan sebagai karya tari kontemporer karena Parani melakukan pencarian


409
Pukulan kendang dilakukan oleh tokoh musik dan Lenong Betawi terkenal, Nasir.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


221

gerak yang bersumber dari tari tradisional Betawi yang tak berpola, untuk kemudian
dikombinasikan dengan gerak balet dan diolah menjadi karya tari baru tanpa
kehilangan rasa kebetawiannya.

5.4.b. Pendekar Perempuan adalah karya tari lainnya yang diciptakan Julianti
Parani pada tahun 1977 dan dipentaskan di PKJ-TIM selama tiga malam (30 April
hingga 2 Mei), diproduksi grup Nritya Sundara. Karya tari ini berbentuk sendratari
dengan meramu teknik gerak balet dan gerak tari Topeng Betawi berdasarkan cerita
rakyat Betawi. Tema tarinya menceritakan pertarungan antara kekuatan baik dan
jahat, yang dituangkan dalam penampilan pendekar perempuan dan pendekar laki-
laki laknat dalam memperebutkan berbagai hal di dalam kehidupan.410
Menggambarkan kebaikan dan kejahatan, Parani menampilkannya secara
simbolis melalui warna kostum. Warna putih mewakili kebaikan yang menjadi cita-
cita atau tujuan hidup manusia. Adapun kejahatan dilambangkan dengan warna
hitam, merupakan tantangan yang harus dihadapi manusia dalam menjalani
kehidupan. Dalam proses-garap karya tari ini, Parani terus bereksplorasi untuk
memperkaya variasi dan teknik gerak tari Betawi di antaranya dari gerak pencak
silat, Blenggo, Cokek, dan Topeng, yang sudah mulai dilakukannya saat menggarap
karya tari sebelumnya, yang juga mengambil akar tari Betawi sebagai sumber, yaitu
Plesiran dan Bajidoran. Seperti diungkapkan Julianti Parani dalam wawancara di
Jakarta, Sepember 2014, “Dalam karya tari Pendekar Perempuan ini saya merasa
sudah mempunyai cukup banyak perbendaharaan gerak tari Betawi yang bertolak
dari imaji-imaji gerak Betawi yang telah saya eksplor selama lebih dari lima tahun
dan saya gubah menjadi temuan estetika saat itu. Meski di sana-sini masih tampak
adanya kolaborasi dengan teknik balet sebagai pengayaan tampilan tarinya, tetapi
bisa dikatakan saya sudah ingin meninggalkan balet dalam karya-karya tari saya
yang bersumber dari seni-budaya Betawi.”


410
Untuk pembuatan alur cerita karya tari ini, Parani dibantu Elanda Rosi, penata musik
Frans Haryadi, dan penata panggung maupun lampu oleh Roedjito. Hasil wawancara dengan Julianti
Parani di Jakarta, Oktober 2014.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


222

Pernyataan Parani tersebut bertolak dari kesadaran bahwa Betawi tidak


memiliki tradisi yang pasti dan hasilnya belum tentu mencapai suatu tingkatan yang
berarti. Oleh sebab itu yang harus dipelihara adalah bentuk-bentuk seni tari yang
memang pernah hidup di masa lampau kemudian perlu dikontemporerkan sehingga
bentuk-bentuk itu bisa mempunyai arti bagi kehidupan masa kini dan bisa
merupakan landasan di masa mendatang.411 Pernyataan Parani tersebut diperkuat
oleh wartawan budaya Harian Merdeka, bahwa karya Parani bisa disaksikan dan
dirasakan oleh penonton sebagai karya yang berangkat dari penggalian bahan-
bahan seni lama Betawi yang digarap dengan sedikit teknik gerak balet, dan
menjadi karya tari baru. Dengan demikian karya Pendekar Perempuan bisa
dikategorikan karya kontemporer baik dari ide dan konsep gagasan hingga hasil
garapannya.

5.4.c. Siparnipi merupakan karya tari Julianti Parani yang ditampilkan dalam Pekan
Koreografi 1987. Inspirasi kreatifnya diilhami budaya Batak melalui musik karya
Marusya Nainggolan berjudul Batak Siparnipi (Si pemimpi) yang semula berjudul
Batak Fantasi. Karya tari dan musik tersebut mengangkat kisah Sigale-gale412 yang
berkembang di wilayah Tapanuli Utara-Samosir, bagian daerah Batak Toba, berupa
impian manusia dalam menghadapi kehidupan, manusia dalam kehidupan sehari-
hari, lahir, berkarya dan juga bermimpi, dan akhir kehidupan. Dalam konsep
garapan tarinya, kisah tersebut kemudian ditonjolkan pada gambaran muda-mudi
yang sedang jatuh cinta dengan penuh mimpi, karena pada dasarnya manusia adalah


411
Lihat Ushanto, “Pendekar Perempuan, Julianti Parani” dalam Berita Buana no 218, Thn
ke IV, 9 Mei 1977; Usil Susilo HS, “Percakapan Dengan Julianti Parani” dalam Berita Buana no 18
Thn ke VII, 6 September 1977; dan wawancara dengan Julianti Parani September 2014, di Jakarta.
412
Keberadaan Patung Sigale-gale diduga sejak 400 tahun lalu yang tercipta dari kisah di
daerah Samosir. Patung kayu Sigale-gale dibuat sebagai upaya menyembuhkan penyakit raja yang
semakin kritis akibat kematian putranya, Manggale, yang gugur di medan perang mempertahankan
wilayahnya. Setelah patung selesai dibuat, para tetua adat dan dukun melakukan upacara adat yang
diiringi peniupan Sordam (suling panjang dari bambu) untuk memanggil arwah anak sang raja agar
masuk ke dalam patung tersebut. Setelah upacara dilakukan, patung diusung ke kerajaan dengan
diiringi Gondang Sabangunan (alat musik gendang dan gong dalam adat Batak). Melihat patung
yang menyerupai anaknya, raja langsung sembuh dan kembali memimpin kerajaan karena merasa
anaknya masih hidup dan berada di dekatnya. Lihat Indoparsada.blog.com/2011/10/06/legenda-
sigale-gale/, diunduh 20 April 2016.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


223

pemimpi, dan ekspresi Siparnipi dihadirkan. Adapun garapan gerak tari Siparnipi
menggunakan teknik balet yang dilapis dengan gerak dan rasa Tor-tor413 sehingga
gerak Tor-tor dalam karya tari tersebut menjadi lebih dinamis dan bervariasi. Di
antaranya adalah gerakan tangan Tor-tor dengan irama lebih cepat, disertai gerakan
kaki berjinjit kecil melompat di tempat, juga melompat ke depan, belakang dan
samping kiri-kanan yang tekniknya dieksplorasi dari teknik balet. Komposisi
musiknya dipenuhi melodi lagu Batak namun juga dinamis dengan artikulasi bunyi
harmoni, kontras antara gerak dan musik untuk mengungkap sketsa-sketsa
kehidupan yang dimulai dengan introduksi, masuk ke alam hidup, kemudian
bermimpi, dan selanjutnya kembali ke alam nyata. Komposisi musik tersebut
disuguhkan dengan alat musik Barat yaitu piano, cello dan flute yang saling
merespons dengan alat musik tradisional Batak yakni taganing sulim garantung
(gendang Batak).414 Keseluruhan penampilan Siparnipi, baik garapan gerak, olahan
musik, kostum penari yang mengenakan tight dan leotard hitam dan dibalut ulos,
serta tampilnya Sigale-gale yang berjalan di atas kabut putih, berhasil
menghadirkan suasana Batak yang kental.415
Ketiga karya tari Julianti Parani, Plesiran, Pendekar Perempuan dan
Siparnipi, jelas merupakan karya tari kontemporer Indonesia pada zamannya, pada
masa karya tersebut dipertunjukkan. Karya tersebut menggunakan karya tradisional
sebagai titik tolak untuk kemudian diolah dengan memasukkan unsur balet. Pada
masa itu karya Parani oleh para pemerhati langsung disetujui sebagai pembaruan
karena meloncat dari paradigma tradisional. Unsur balet dan para penari yang
menguasai berbagai teknik tari dari berbagai genre menjadikan Plesiran dan
Pendekar Perempuan sebagai suguhan yang kebetawiannya masih ada namun tidak
terasa usang karena disentuh dengan pendekatan baru. Demikian pula dengan

413
Tor-tor adalah tari tradisional suku bangsa Batak, Sumatera Utara, yang berlatar
belakang adat dengan tujuan untuk menghormati arwah para dewa dan leluhur, dan diduga sudah
ada sejak zaman Indonesia Hindu. Tarian ini diringi Gondang Sebangunan. Ensiklopedi Nasional
Indonesia Jilid 16 (Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1991), hlm. 403.
414
Wawancara dengan Marusya Nainggolan di Jakarta, 04 Februari 2016.
415
Hasil menyaksikan rekaman gambar pertunjukan Siparnipi tahun 1987 di PKJ-TIM,
dokumentasi DKJ; lihat juga Sardono W. Kusumo, “Gegap yang Tua, Gempita yang Muda” dalam
Tempo, 20 Juni 1987.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


224

Siparnipi yang Tor-tor-nya diintervensi oleh gerak balet dan musik tradisionalnya
disusupi piano dan cello dan flute. Meskipun demikian, kebatakannya masih tetap
hadir dalam karya itu yang berkelindan dengan unsur-unsur Barat.
Pembaruan yang dilakukan oleh Parani pada karya-karya lama tersebut
mengantarkan yang tradisional ke ranah kebaruan yang pada masa itu pembaruan
karya seni marak diciptakan oleh para seniman, khususnya di Taman Ismail
Marzuki. Atmosfer kekinian pada masa itu berkembang subur, menghadirkan
karya-karya kontemporer silih berganti. Di antara itu adalah ketiga karya Parani
tersebut.

5.5. I Wayan Diya (1937-2007): Jelantik Bogol


Dalam menggarap karya tarinya, I Wayan Diya selalu tetap berangkat dari
latar belakang budayanya yaitu Bali. Meski begitu, menurut pengamat tari Edi
Sedyawati, Diya mampu menghasilkan karya sesuai kondisi artistik di lingkungan
karya tersebut ditampilkan, yakni di PKJ-TIM. Ia sadar di area pentas PKJ-TIM ada
pemisah fisik antara penonton dengan tontonan, bukan seperti tontonan tradisional
Bali di mana penonton dan tontonan terasa menyatu. Selain itu, meskipun tidak ada
garapannya yang menyimpang dari sikap dasar tari Bali, namun Diya tetap
menyerap penggunaan unsur-unsur non-Bali yang diperolehnya dari bekerja sama
dengan seniman-seniman berbagai etnik dan penjelajahannya ke berbagai tempat di
Indonesia. Semua yang non-Bali tersebut diolahnya dengan unsur-unsur Bali.
Unsur besar dalam seni pertunjukan tradisional Bali, yang semula terkotak-kotak

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


225

dalam jenis-jenis pementasan yang berbeda-beda seperti Topeng416, Gambuh417,


Arja418, Baris419 dan lain-lain, digarap menjadi satu kesatuan yang utuh. Ini
sekaligus menghadirkan bentuk, gerak dan penerapannya yang tidak biasa dalam
tari Bali.420
Ketidakbiasaan inilah yang menjadi penanda adanya pembaruan dalam
karya Diya. Meskipun ia tetap memunculkan Bali yang kental, namun anasir-anasir
lain di luar Bali dimasukkannya sebagai suatu bumbu yang menyatu dengan bumbu
lainnya hingga menghadirkan rasa yang tidak semata-mata Bali. Dalam konteks
waktu (1973), ini adalah kontemporer. Diya adalah bagian dari para pencipta yang
ketika itu menggebu dengan penciptaan-penciptaan baru sebagai tren pada masa itu.


416
Tari Topeng di Bali umumnya menceritakan kisah historis yang berdasarkan sejarah
Jawa dan Bali yang disebut Babad Bali. Tarian ini tidak memakai dialog karena seluruh wajah
penarinya tertutup topeng. Isi cerita dan komentar adegan-adegannya yang menghadirkan aspek
dramatik pertunjukan Topeng disuarakan oleh dua punakawan, Penasar dan Kartala. Kedua
punakawan tersebut mengenakan topeng setengah yang terbuka di bagian mulutnya, atau tidak
bertopeng sama sekali. Terdapat 15 tokoh dalam tari Topeng yang kemudian dikenal dengan nama
Topeng Pajegan dan diperankan oleh satu penari yang dimulai dari tokoh berkarakter keras,
kemudian tua renta dan terakhir berkarakter halus dengan tampilan topengnya yang tampan. Seluruh
pergantian topeng dilakukan tanpa penari berganti kostum. Musik pengiring tari Topeng adalah
gamelan barungan Bali. Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 16, hlm. 403.
417
Gambuh adalah drama tari Bali tertua yang mengandung unsur teater, dengan corak seni
keraton tetapi juga berkembang di luar keraton. Drama tari ini kaya gerak-gerak tari sehingga
dianggap sebagai sumber segala jenis tari Bali. Selain melakonkan cerita Panji,Gambuh juga
melakonkan cerita Damarwulan dan Ranggalawe. Musik pengiring Gambuh disebut gambelan
(gamelan) Pegambuhan berlaras pelog saih pitu, dan dianggap sebagai sumber beberapa gamelan
Bali. Di tengah perangkat gamelan duduk juru tandak, penyanyi tunggal laki-laki, yang
menggarisbawahi dramatisasi Gambuh. Bahasa yang digunakan Kawi (Jawa Kuno), kecuali peran
Turas, Panasar dan Condong yang menggunakan bahasa Bali halus, madya, ataupun kasar. I Made
Bandem & Fredrik Eugene de Boer, Kaja and Kelod, Balinese Dance in Transition (Kuala Lumpur:
Oxford University Press, 1981), hlm. 29–47.
418
Arja merupakan seni teater rakyat Bali yang dialognya ditembangkan dengan macapat.
Lakon Arja adalah cerita Panji, selain itu juga menampilkan cerita rakyat lainnya seperti Badasura,
Jayaprana, dan Cupak Grantang. Musik pengiringnya dengan gamelan Gaguntangan yang terdiri
dari gong atau gamelan dan gender bambu yang disebut tingklik, tetapi melodinya didominasi oleh
suling kecil, sehingga terdengar merdu dan lirih. Beryl de Zoete & Walter Spies, Dance and Drama
in Bali (Hongkong: Periplus Edition, 2002), hlm. 196–210; dan Ensiklopedi Nasional Indonesia
Jilid 1 (Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1988), hlm. 248.
419
Baris merupakan tari kepahlawanan yang menggambarkan kesatria besar. Tari yang
dilakukan oleh penari laki-laki segala usia ini melukiskan keberanian dan kedigdayaan melalui
gerakan yang tegas, mengentak dan bertenaga. Baris diiringi gamelan bernada delapan yang disebut
gilak. Edi Sedyawati, “Seni Pertunjukan” dalam Indonesian Heritage 8 (Jakarta: Buku Antar Bangsa
untuk Grolier International, Inc, 2002), hlm. 78.
420
Lihat Edi Sedyawati, Pertumbuhan Seni Pertunjukan, Seri Esni No. 4 (Jakarta: Sinar
Harapan, 1981), hlm. 48–50.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


226

Diya, yang sangat paham seni tari Bali, berada pada lingkungan seniman-seniman
yang juga sangat ahli pada bidangnya masing-masing. Di sinilah visi kreatif
terbentuk untuk tidak semata-mata menjaga tradisi, tetapi juga melakukan
eksperimen untuk memunculkan kebaruan melalui eksplorasi berbagai
kemungkinan.
Jelantik Bogol, diproduksi Rasa Dhvani, lakon ceritanya adalah cerita
historis Bali yang lazim dipakai dalam pementasan drama tari Topeng, dan
penarinya juga menggunakan topeng. Hal menonjol dari penggarapan karya
tersebut adalah Diya melakukan eksperimen lebih banyak dalam menyusun musik
pengiringnya.Ia melakukan penggabungan alat musik yang tidak lazim dilakukan
di Bali, yaitu antara alat-alat musik Gong Gebyar421 dengan gamelan
Luwang, gending Pleganjuran, tambur baris Cina, dan tektekan.422 Gerak tarinya
berasal dari sikap dasar dan teknik tari Bali yang dikolaborasi dengan gerak-gerak
non-Bali seperti gerak tari Jawa, Melayu dan Minang, yang prosesnya dilakukan
melalui improvisasi dan eksplorasi gerak.

5.6. Wiwiek Sipala (1953): Akkarena dan Ironi


5.6.a. Akkarena adalah karya Wiwiek Sipala, satu-satunya perempuan koreografer
dan termuda yang tampil dalam Festival Penata Tari Muda I pada tahun 1978. Karya
Tari tersebut bertolak dari tari tradisional Pakarena423 dan permainan rakyat

421
Gong Kebyar dilihat dari segi fisik adalah satu ansambel (barungan) gamelan Bali yang
sebagian besar tungguhan-nya berjenis perkusi, dibuat dari perunggu dan menggunakan laras pelog
lima nada. Dilihat dari segi musikalnya, Gong Kebyar adalah salah satu teknik permainan tungguhan
yang dipukul dalam waktu bersamaan sehingga terkesan “byar”. Lihat Pande Made Sukerta, Gong
Kebyar Buleleng: Perubahan dan Keberlanjutan Tradisi Gong Kebyar (Surakarta: Program
Pascasarjana bekerja sama dengan ISI Press Surakarta, 2009), hlm. 27–30.
422
Edi Sedyawati, Pertumbuhan Seni Pertunjukan, hlm. 48–50; lihat juga Program Acara
Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki Juli 1973; dan Wa Ode Siti Marwiyah Sipala, “I
Wayan Diya (1937-) Tokoh Seni Pertunjukan Bali (Sebuah Biografi)”, Tesis untuk memenuhi
sebagian persyaratan guna mencapai derajat Sarjana S-2, ProgramPasca Sarjana Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta 2006.
423
Tari Pakarena adalah tari tradisional Bugis-Makassar yang konon diperkenalkan di
keraton oleh para bidadari yang turun ke bumi untuk mengajari para perempuan mengenai seni
kewanitaan seperti menenun dan berhias. Tari ini diiringi alat musik dua gendang, suling bambu
(puwi-puwi), sia-sia dan gong kecil. Istilah Pakarena juga digunakan untuk menunjukkan sebuah
lagu yang dibawakan penari. Lihat Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 12 (Jakarta: PT Cipta Adi
Pustaka, 1991), hlm. 37; dan Edi Sedyawati, “Seni Pertunjukan”, hlm. 87.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


227

Paraga424 Sulawesi Selatan (Bugis-Makassar), yang sangat dikenal di daerahnya,


dan diproduksi oleh Departemen Tari, Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta
(LPKJ), tempat Sipala menempuh pendidikan.
Keinginan Sipala menggarap karya berdasarkan tari tradisional Pakarena
dan permainan tradisional Paraga, termotivasi oleh kemampuan dan keseriusan
dosennya yang juga penata tari senior, Retno Maruti (lahir 1948), dalam menggarap
karya-karyanya yang bertolak dari seni pertunjukan tradisional Jawa Surakarta
Langendriyan, Bedaya dan Beksan Putra Alus (alusan) maupun Beksan Putra
Gagah (gagahan) menjadi garapan Jawa baru yang mengesankan. Motivasi itu
muncul melalui pengamatan maupun keterlibatannya sebagai penari dalam
beberapa karya Maruti. Hal yang terjadi pada Sipala ini sesuai dengan konsep
stimuli dari Jacqueline M. Smith-Autard bahwa melalui pendengaran (audio),
penglihatan (visual), impresi pada pikiran dan atau gagasan, sentuhan, dan kinetika,
telah membangkitkan pikiran dan semangat Sipala untuk beraktivitas menggarap
karya berdasarkan bahan-bahan yang ada dalam tradisi Bugis-Makassar.425
Dari sudut garapan gerak, Sipala mencoba kembali ke bahan-bahan tari
Bugis-Makassar, mencari dan membongkar, terutama dari gerak Pakarena selain
juga gerak Paraga yang belum sungguh-sungguh didalaminya. Usaha itu
dilakukannya antara lain dengan mendalami gerak tari Pakarena melalui gurunya
di Makassar yaitu Daeng Manda (lahir 1939), dan Munasiah Nadjamuddin (lahir
1941). Selanjutnya gerak-gerak Pakarena yang telah didalaminya diolah oleh
Sipala dengan menghadirkan variasi dalam komposisidan mencari kemungkinan
baru melalui tubuh para penari yang justru bukan penari Pakarena dan Paraga. Saat
pencarian itu, ia merasa menemukan proses pemaknaan tubuh dalam gerak penari
non-Makassar, yang dirancang melalui pernapasan, dan berupaya keluar dari gerak-

424
Paraga merupakan perpaduan unsur permainan, olahraga, dan kesenian tradisional
Bugis. Paraga dimainkan berkelompok, menggunakan bola dari rotan yang dipantul-pantulkan
dengan kaki, tangan, dan juga kepala. Paraga tidak dipertandingkan, dan dalam permainan diiringi
gendang, gong dan calong-calong yaitu alat musik yang terbuat dari bambu dan memainkannya
dengan cara dipukul menggunakan potongan kayu. Hasil wawancara dengan Wiwiek Sipala, 10
Februari 2016.
425
Lihat Jaccqueline M. Smith-Autard, Dance Composition, A Practical Guide to Creative
Success in Dance Making (London: Methuen Drama A&C Black, 2010), hlm. 29–32.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


228

gerak dengan pembatasan hitungan maupun ruang gerak melingkar yang biasa
terdapat dalam tari tradisional Makassar. Pembaruan dalam karya Akkarena lainnya
adalah belum pernah ada garapan karya tari Makassar yang menggabungkan penari
perempuan dan laki-laki.426
Dalam diskusi tari yang dilangsungkan sehari sesudah pementasan,
disinggung tentang pengaruh lingkungan yang tampak pada karya Wiwiek Sipala.
Jika pada I Wayan Dibia lingkungan Bali sedikit-banyak mengungkung
kreativitasnya karena adanya ikatan adat yang ketat, Sipala terhindarkan dari
masalah tersebut karena dia berada di Jakarta dan berkarya di lingkungan LPKJ
yang sangat terbuka dalam olah gagasan dan penciptaan. Seandainya ia melakukan
itu di tempat asalnya, belum tentu karyanya akan diterima.427 Dugaan para
pengamat tersebut terbukti, ketika Sipala diundang oleh Dewan Kesenian Makassar
untuk mementaskan Akkarena di sana terjadi perdebatan dan perbedaan pendapat
tentang kebaruan yang dilakukan Sipala. Sebagian seniman senior di Makassar
mengkritisinya telah menyalahi pola tradisi yang ada di Makassar, namun sebagian
lagi memuji dan mendorongnya untuk terus berkarya dan melakukan inovasi. Hal
menarik dari peristiwa tersebut, kreativitas Sipala telah mendorong para
koreografer muda Makassar untuk mencoba melakukan pembaruan.428
Akkarena adalah karya tari baru hasil pengembangan dari tradisi. Dua hal
yang membuat Akkarena berbeda dengan Pakarena adalah Sipala membongkar
sebagian pola tari tradisional tersebut dan menggunakan penari-penari non-

426
Menggabungkan penari laki-laki dan perempuan dalam Akkarena dilakukan Sipala
karena saat itu ia sangat terkesan dengan tari-tarian daerah lain di Indonesia yang mempunyai tarian
laki-laki, dan ia memilih Paraga sebagai sumber garapan karena permainan tersebut mempunyai
banyak kemungkinan untuk digarap sebagai gerak tari. Hasil wawancara dengan Wiwiek Sipala, 10
Februari 2016.
427
Lihat Berita Buana, “Wawancara dengan Sal Murgiyanto: Festival Penata Tari Muda
Memperkenalkan Kecenderungan Baru, Jakarta: 13 Desember 1978. Dalam wawancara dengan
Wiwiek Sipala di Jakarta, 10 Februari 2016, ia mengatakan bahwa bahwa saat kuliah di LPKJ
(sekarang IKJ), ia mempunayi banyak kesempatan untuk berdialog dengan tokoh-tokoh tari seperti
Julianti Parani, Farida Oetoyo, I Wayan Diya, dan tokoh-tokoh nontari antara lain Frans Haryadi,
Soemaryo L.E., Suka Hardjana, Slamet Abdul Syukur dalam penggarapan musiknya, dan Roedjito
untuk penataan lampu. Kesempatan mengikuti kuliah multidisiplin di LPKJ telah membuat Sipala
memiliki pemahaman yang luas tentang unsur-unsur kesenian, yang bisa mendukung proses
penggarapan tari.
428
Hasil wawancara dengan Wiwiek Sipala di Jakarta, Maret 2014.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


229

Makassar yang tidak mengakrabi Pakarena. Apa yang dilakukan Sipala tentu saja
menelurkan produk baru. Kondisi yang mendorong Sipala keluar dari tradisi adalah
karena lingkungannya di kampus LPKJ, yang hanya sepelemparan batu dari Taman
Ismail Marzuki, pada masa itu gencar menciptakan karya-karya baru yang bertolak
dari karya tradisional. Semangat pembaruan pun menggelayuti jiwa Sipala, selaras
dengan tren yang melanda lingkungan keseniannya di Jakarta. Mengacu pada
pengertian kontemporer yang dilansir Fuad Hasan, bahwa seni kontemporer adalah
seni yang menggambarkan zeitgeist atau jiwa waktu masa kini (saat karya itu
dipentaskan), jelaslah Akkarena adalah karya kontemporer yang dijiwai oleh
gelegak penciptaan karya baru yang melanda semangat para seniman waktu itu.

5.6.b. Ironi adalah karya kontemporer Wiwiek Sipala lainnya yang tampil di Pekan
Koreografi Indonesia tahun 1987. Inspirasinya tentang kemanusiaan yang
dituliskan berbentuk puisi:
Tersurat lakon-lakon mutakhir
Tersirat suar-suar ambisi
Tersurat keakuan diri
Tersirat kidung-kidung perdamaian

Mengungkapkan tema kemanusiaan dan kehidupan, Sipala menggarap Ironi


tidak bertolak dari tari tradisional etnik tertentu, dan menarikan karyanya dengan
dibantu dua penari laki-laki. Semua penari di karya tersebut menggunakan kostum
berwarna putih sebagai gambaran hati yang bersih penuh harapan sebagaimana
yang digambarkan dalam foto 8.

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


230

Foto 8. Dok. Kompas 1987.

Musik digarap dengan menghadirkan suasana teatrikal, melalui lengkingan


terompet yang memekakkan telinga dipadu dengan tiupan trombon yang tidak
mengacu pada harmoni tertentu sehingga kadang terdengar tumpang tindih. Juga
dentang timpani dan suara anak-anak yang dihadirkan dan terdengar seperti koor
sekaligus jeritan, menambah suasana gemuruh.
Dalam garapan koreografinya, Sipala mengolah komposisi ruang dengan
penuh variasi, di antaranya loncatan tinggi para penari, menyebar dan bersatunya
para penari, maupun penempatan pemain timpani dan anak-anak yang masuk ke
area pentas. Anak-anak adalah pemilik masa depan dengan berbagai kemungkinan
dan asa. Pada akhir pertunjukan, piring kertas berwarna putih berterbangan dari
segala penjuru ruang ke area pentas dan ke tempat penonton, mencerminkan luapan
gagasan dengan kemungkinan tak terhingga. Penutup pertunjukan tersebut mampu
mengesankan para pengamat dan penonton. Ironi membuat penonton terhenyak
karena mengungkap tema kemanusiaan, kehidupan, dengan konsep musik
deformatif yang cemerlang, penggarapan ruang dengan perhitungan cermat, dan
akhir pertunjukan yang mengejutkan.429


429
Efix Mulyadi, “Pekan Koreografi Indonesia Tari Diam, Tari Pengemis” dalam Kompas,
15 Juni 1987. Bersamaan dengan tulisan Efix di halaman 6, foto pertunjukan Ironi dimuat di
headline itu. Lihat juga Sardono W. Kusumo, “Gegap yang Tua Gempita yang Muda” dalam Tempo,
20 Juni 1987. Suka Hardjana selaku pengamat dalam forum diskusi Pekan Koreografi Indonesia,14
Juni 1987 menganggap Sipala sebagai koreografer dan solois berbakat. Ide dan konsep garapan Ironi
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


231

Ironi adalah buah dari pembelajaran Sipala di Departemen Tari Universitas


New York, Amerika Serikat, 1981–1983, melalui beasiswa dari The Asian Cultural
Council. Di sana Sipala antara lain mempelajari teknik tari modern dan langsung
bersentuhan dengan estetika seni tari Amerika di studio-studio para tokoh seni tari
modern dan atau kontemporer seperti Martha Graham, Alwin Nikolais, Murry
Louis. Hal terpenting yang bisa dipetik dari pengalamannya belajar di Amerika
adalah kesadarannya dalam menggarap karya dengan memadukan teknik tari
modern Amerika untuk kemudian dieksplorasi dengan teknik tari tradisional yang
dipelajarinya di Sulawesi Selatan maupun teknik tari tradisional etnik lainnya di
LPKJ. Melalui pengalaman mengamati dan mempelajari proses penciptaan karya
dengan pendekatan koreografi Barat, ia semakin menyadari kekayaan seni budaya
Indonesia yang di dalamnya memuat berbagai aspek seperti kesejarahan, nilai-nilai
filosofis dan estetika, bentuk-bentuk maupun simbol-simbol. Pada tahun 1983, saat
belajar di Amerika, Sipala menggarap karya Image II dan karya tersebut
ditampilkan di American Dance Festival, sebuah ajang penampilan karya yang
berwibawa di sana. Image II mendapat perhatian dari para pengamat tari Amerika
karena Sipala membuat garapan baru yang bertolak dari tari tradisional Sulawesi
Selatan, Pakarena, yang konsepnya dicerahi oleh karya kolaborasi koreografer
modern Amerika, Merce Cunningham dan komponis garda depan Amerika John
Cage (1912–1992). Dalam konsep tari Pakarena maupun karya Cunningham dan
Cage terdapat persamaan yaitu tari berkaitan dengan musik yang bisa menyatu
dalam ruang dan waktu yang sama, namun keduanya tetap mempunyai kebebasan
masing-masing.
Dengan bekal pengetahuan dan praktek di Amerika itu, Sipala menciptakan
Ironi. Karya ini oleh para pengamat dikategorikan sebagai kontemporer,
sebagaimana dinyatakan oleh Butterworth dan Wildschuts bahwa koreografi
kontemporer memberikan perhatian kepada penciptaan karya tari melalui ranah


sangat bagus dan konsep garapan musiknya yang deformatif merupakan konsep yang cemerlang.
Hasil menyaksikan rekaman gambar pertunjukan Ironi tahun1987 di PKJ-TIM, dan hasil
mendengarkan rekaman suara dalam forum diskusi usai pertunjukan Pekan Koreografi Indonesia
1987, di Teater Tertutup TIM, 14 Juni 1987, dokumentasi DKJ 1987.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


232

aplikasi yang luas ditilik dari perspektif penonton (termasuk pengamat) dan si
seniman, dan dipentaskan dalam komunitas yang bisa menerima dan lingkungan
yang bisa berbagi. Aplikasi yang luas tersebut termasuk tata pentas, musik, kostum
dan unsur-unsur lain.
Dengan bekal pengetahuan dan praktek di Amerika itu, Sipala menciptakan
Ironi. Karya ini oleh para pengamat dikategorikan sebagai kontemporer,
sebagaimana dinyatakan oleh Butterworth dan Wildschuts bahwa koreografi
kontemporer memberikan perhatian kepada penciptaan karya tari melalui ranah
aplikasi yang luas ditilik dari perspektif penonton (termasuk pengamat) dan si
seniman, dan dipentaskan dalam komunitas yang bisa menerima dan lingkungan
yang bisa berbagi. Aplikasi yang luas tersebut termasuk tata pentas, musik, kostum
dan unsur-unsur lain.

5.7. Endo Suanda (1947): Klana Tunjungseta


Endo Suanda menggarap lakon Klana Tunjungseta untuk tampil dalam
Festival Penata Tari Muda I-1978. Ia berangkat dari pengamatannya atas tontonan
rakyat di Jawa dan Bali, khususnya Jawa Barat. Kemampuan Suanda menghayati
secara mendalam dan menjelajahi musik tradisional Jawa dan Bali, khususnya Jawa
Barat, maupun keterampilannya membuat topeng, ia tumpahkan dalam garapan
pentasnya tersebut. Lakon karya ini menceritakan pasangan yang sangat
berbahagia, Panji dan Angreni, namun tidak mendapat restu dari orangtua karena
Panji harus menikah dengan Sekartaji, saudara sepupunya sendiri. Angreni yang
yakin Panji akan menepati janji sehidup semati, memilih bunuh diri.430
Dalam mewujudkan lakon tersebut, Suanda membuat tiga buah Topeng
Badawang,431semacam Ondel-ondel, yang sangat besar untuk transformasi wujud
tokoh-tokoh Panji, Sekar Taji dan atau Angreniswara, dan Klana seperti terlihat di


430
Endo Suanda, “Klana Tunjungseta” dalam Festival Penata Tari Muda 1978 (Jakarta:
Dewan Kesenian Jakarta, 1978).
431
Ketiga ragam topeng Badawang yang digarap Suanda yaitu dua ragam dari Cirebon dan
satu ragam dari Rancaekek. Lihat Cornelia J. Benny, “Berfestival di TIM” dalam Pikiran Rakyat,
20 Januari 1979.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


233

foto ini. Adapun tatanan gerak tarinya diolah sengaja tidak rapi (cenderung
“urakan”), dibiarkan berkesan seperti halnya tontonan rakyat, dengan mengambil
suasana dari pertunjukan Sintren, Tarawangan, Topeng Cirebon, arak-arakan
Barongsay, dan Ronggeng Gunung yang terasa hadir dalam beberapa bagian
pertunjukan.

Foto 9. Dok. DKJ

Dalam proses penggarapannya, Suanda hanya memberikan kerangka


konsep gerak kepada para penarinya. Penjelajahan Suanda pada musik tradisional
Jawa Barat melahirkan beberapa warna dan ragam musik baru. Alat musik yang
digunakan antara lain biola (bukan rebab), bonang, kendang, ketipung, angklung,
seruling, kodok-kodokan, sempritan, dan kaleng yang diberi benang dan ditarik
agar menghasilkan bunyi tertentu. Selain itu Suanda mengolah ruang dengan
penjelajahan yang luas, seperti, penari memanjat tangga di tribun samping sambil
memukul gong yang digantung di tembok ruang pertunjukan (Teater Arena).
Topeng Badawang dan boneka berbentuk binatang jadi-jadian bergerak dinamis
diringi musik meriah, kostum warna-warni, dan gerak-gerak lucu yang kadang

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


234

terkesan tanpa aturan sehingga menghadirkan suasana gegap-gempita dan menarik


perhatian penonton.432
Muncul kemudian pertanyaan dari para pengamat tari dan teater yang
merupakan tokoh-tokoh berpengalaman seperti Farida Oetoyo (Jakarta), Julianti
Parani (Jakarta), Mursal Ensten (Sumatera Barat) maupun penonton, apakah karya
Endo tersebut bisa disebut sebagai karya tari? Ada yang menyangsikan, tetapi tak
sedikit yang mengaguminya sebagai tontonan yang bisa dinikmati. D.
Djajakusuma, tokoh teater tradisional, menilai, “Inilah tontonan yang berhasil
mengolah kekayaan seni tradisional dalam bentuknya yang baru.”433 Dalam
kenyataannya, tari tradisional di Indonesia sebagai tontonan bisa berupa tontonan
tari murni yang titik beratnya pada olahan gerak, namun ada juga tontonan tari
dengan unsur-unsur lain seperti seni teater dan seni rupa mengambil porsi yang
besar
Di sinilah pembaruan radikal itu terjadi, sehingga saat itu orang
mempertanyakan karya ini seni tari atau teater. Bagi Wagner,434 ini disebut
exogenous, yakni pembaruan yang tidak mengacu pada konvensi. Suanda
menempuh jalan ini, meminggirkan konvensi seni tari, sekaligus ia juga tidak taat
pada konvensi seni teater. Jadilah karyanya sebuah tontonan yang tak bisa
dikategorikan tari atau teater.
Berdasarkan sumbernya, pembaruan karya tari dibagi tiga. 1). Karya baru
yang masih mengikuti pola karya lama, atau disebut pengembangan kreatif dari

432
Efix Mulyadi, “Pekan Koreografi Indonesia”, dan Cornelia J. Benny, “Berfestival di
TIM”.
433
Bagi Suanda tidak masalah karyanya digolongkan sebagai tontonan tari atau teater dan
atau keduanya yang dikenal sebagai teater total. Sesungguhnya, tradisi teater total terdapat dalam
banyak pertunjukan tari tradisional atau tontonan rakyat di Indonesia. Di Amerika pada tahun 1970-
an muncul kecenderungan yang kuat seni tari membuka diri untuk menerima kolaborasi dengan
unsur-unsur seni lainnya, seperti dengan musik, seni suara, seni rupa, bahkan puisi. Lihat Sal
Murgiyanto, “Festival Penata Tari Muda” dalam Tempo 30 Desember 1978; dan Berita Buana,
“Wawancara dengan Sal Murgiyanto”.
434
Roy Wagner dalam bukunya The Invention of Culure (Chicago: University of Chicago
Press, 1981), hlm.15 menjelaskan bahwa inovasi dapat dilakukan dengan dua orientasi yaitu
pertama, mengacu pada konvensi yang berlaku (indigenous). Kedua, perubahan yang berorientasi
hal-hal yang berlaku di luar tradisi (exogenous) dan hasilnya sering tidak senada dengan konvensi
yang berlaku dalam tradisi. Lihat juga Sal Murgiyanto, Tradisi dan Inovasi, Beberapa Masalah Tari
di Indonesia (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2004), hlm.3.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


235

tradisi. 2). Karya baru yang masih mengikuti sebagian pola karya lama. 3). Karya
baru yang sama sekali tidak mengikuti pola karya lama karena karya lama hanya
digunakan sebagai pencetus gagasan yang hasilnya adalah karya baru yang
sumbernya samar-samar. Kelompok kedua dan ketiga sering disebut sebagai karya
kontemporer setelah melalui berbagai bahasan untuk memenuhi syarat
kelayakannya. Suanda, setidaknya menurut D. Djajakusuma, menghadirkan Klana
Tunjungseta pada kelompok ketiga: kontemporer yang sumber penyajiannya
samar-samar.

5.8. Agus Tasman (1936), Suprapto Suryodarmo (1945), Hajar Satoto (1951–
2013), Rahayu Supanggah (1949): Wayang Budha Sutasoma
Kolaborasi antara Agus Tasman sebagai penata tari, Rahayu Supanggah
sebagai penata musik, perupa Hajar Satoto pengolah wayang kulit dalam ukuran
besar, dan Suprapto Suryodarmo sebagai penggagas, melahirkankan karya berjudul
Wayang Budha Sutasoma.
Suprapto Suryodarmo, penemu ide Wayang Budha, adalah seorang yang
menjalani ajaran Budha yang tak sepenuhnya menguasai tari tradisional namun
berhasrat besar mengakrabi gerak. Ia menanggapi alam sekitar dengan gerak dan
ingin menyalurkan apa yang bergolak di batinnya juga dengan medium gerak.
Kemudian ia mengajak dan merangsang teman-temannya untuk bersama
mewujudkan sebuah tontonan sebagai ajang samadi melalui gerak.
Unsur audio dan visual yang dipadukan dalam Wayang Budha Sutasoma
terdiri dari wayang kulit, kelir, obor, gerak tubuh penari, suara mantra Budha,
tembang, suara bentakan, serta karawitan. Gerakan tubuh penari ternyata tidak
menjadi bagian utama dari pertunjukan tersebut. Muncul permainan bayangan dari
cahaya obor yang menampakkan penari bergerak menggeliat serta wayang kulit
seukuran tubuh manusia. Cahaya obor yang mengobat-abit di bentangan layar putih
itu menimbulkan deformasi wujud. Pemandangan itu ditimpali olahan karawitan

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


236

yang dinamis, kuat, membombardir perubahan-perubahan wujud di layar putih.435


Di antara itu pula merasuk suara dalang yang sesekali disisipi suara bentakan dari
pengrawit dan mantra pendeta Budha. Tak pelak, semua itu memberikan kebaruan
yang radikal dalam genre wayang.
Di dalam pertunjukan Wayang Budha Sutasoma, para penari bergerak
menari dengan gerakan hasil eksplorasi dan penggarapan baru, sedangkan
Suryodarmo mengaku melakukan samadi dengan gerak di area pentas. Gerakannya
kadang tampak seperti gerak keseharian, kadang seperti silat, kadang juga seperti
gerak tari. Semuanya dilakukan dalam konteks kebatinan.
Aspek musik dan seni rupa dalam Wayang Budha Sutasoma terasa sangat
menonjol. Ketika diskusi diadakan sesudah pementasan, muncul pertanyaan sejauh
mana unsur-unsur lain dengan porsi yang menonjol boleh hadir dalam sebuah karya
tari sehingga bisa menenggelamkan karya tersebut. Contoh yang terjadi pada
pertunjukan Wayang Budha Sutasoma ini ditengarai sebagai kecenderungan
penciptaan pembaruan yang dilakukan para seniman muda tari, musik maupun seni
rupa di Surakarta yang tampaknya didorong dan didukung oleh adanya wadah
kesenian Sasonomulyo di bawah pimpinan Gendhon Humardani436 yang
memotivasi para seniman muda di Surakarta untuk menjaga sekaligus melakukan
inovasi bahkan invensi yang bertolak dari karya-karya tradisional. Selain itu
pengaruh Sardono W. Kusumo dalam proses penggarapan karya-karya
pembaruannya maupun pementasan Samgita Pancasona di Surakarta tahun 1971
telah memacu para seniman muda untuk melakukan hal serupa, inovasi.437
Dalam Wayang Budha Sutasoma unsur musiknya dominan, unsur seni rupa
menonjol dan unsur teatrikal yang kuat semakin mengurangi peran penataan tari


435
Lihat Efix Mulyadi, “Catatan Festival Penata Tari Muda I” dalam Kompas, 18 Desember
1978.
436
Sasonomulyo adalah suatu bangunan kuno di Surakarta yang digunakan untuk kegiatan
olah seni berupa penggalian, penggarapan-pengarapan dari yang menyiratkan identitas tradisional
hingga eksperimentasi modern-kontemporer. Peranan Gendhon Humardani sebagai patron
menghasilkan calon-calon seniman-seniman muda yang penuh semangat melakukan pembaruan,
bahkan kemudian dikenal sebagai gaya seni baru Solo, “gaya Sasonomulyo”. Lihat Rustopo (ed.),
Gendhon Humardani, Pemikiran dan Kritiknya (Surakarta: STSI-Press, 1991), hlm. vii.
437
Berita Buana, “Wawancara dengan Sal Murgiyanto”.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


237

dan menjadi kurang kuat. Telah diketahui, Wayang Budha Sutasoma digarap oleh
empat orang sekaligus dengan kedudukan yang sama kuat, dan hal tersebut
merupakan suatu fenomena baru dalam bidang tari. Keempat orang itu bertolak dari
satu ide tanpa seorang pun yang ditunjuk sebagai penata keseimbangan garapan
empat orang itu.
Beberapa tokoh tari menyatakan keberatan jika Wayang Budha Sutasoma
dikategorikan sebagai karya tari. Sebaliknya, tokoh tari Sal Murgiyanto dan
Sardono W. Kusumo mengatakan bahwa yang penting bukanlah memilahkan
pertunjukan tersebut dalam kategorisasi, melainkan berhasil tidaknya pertunjukan
itu sebagai tontonan yang dipengaruhi antara lain oleh suasana, tempat dan
penonton.438 Apa yang dinyatakan Kusumo juga terdapat pada pokok-pokok
mengenai karya kontemporer menurut Cunningham,439 yakni seni tari adalah seni
tari, tidak untuk dianalisis, dan kebebasan kreatif mutlak dialirkan.

5.9. Gusmiati Suid (1942–2001): Limbago


Gusmiati Suid, tampil kembali atas undangan DKJ dalam Pekan Koreografi
1987 dengan karya tari Limbago. Didukung enam penari, karya tersebut
mengungkapkan bahwa agama adalah kemudi dalam kehidupan manusia. Limbago
bertolak dari Pencak Silat dan Suid mengeksplorasinya menjadi gerak dan teknik
baru berupa gerakan tari yang terkesan kuat dan dinamis, gerak dan sikap tangan
yang tajam ke atas, bawah, dan samping. Ia juga menambah aksentuasi bunyi pada
iringan tari yang bertolak dari musik tari Minangkabau lewat entakan kaki di area
pentas, tepukan tangan dan vokal penari maupun pemusik.440
Pada 18 Desember, 1987, Limbago kembali dipertunjukkan di International
Seminar and Festival on Theatre, Dance and Martial Arts yang diselenggarakan


438
Berita Buana, “Wawancara dengan Sal Murgiyanto”. Lihat juga Efix Mulyadi, “Catatan
Festival”.
439
Merce Cunningham, “The handy E-Book of Contemporary Dance History” dalam
http://www.contemporary-dance.org/contemporary-dance-history.html. Diunduh 2 April 2016.
440
Hasil menyaksikan rekaman gambar pertunjukan Limbago tahun 1987 di PKJ-TIM,
dokumentasi DKJ; Lihat juga Efix Mulyadi, “Pekan Koreografi Indonesia, Tari Diam, Tari
Pengemis” dalam Kompas, 15 Juni 1987.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


238

oleh Padatik di Kalkuta, India. Menyaksikan karya tersebut tumpahlah berbagai


komentar seniman dan pengamat kesenian internasional seperti Andrew T. Tsubaki,
ahli teater Jepang-Amerika; Reena Lahin, pelukis asal India; Eugineo Barba,
sutradara dari Denmark; Manjusri Caki-Sircar, koreografer asal Channai, India,
terhadap Gusmiati Suid. Mereka terpukau dengan tingkat universalitas yang dicapai
lewat koreografi dan penerapan Pencak Silat dalam pertunjukan Suid. Pertunjukan
Suid juga dinilai liris dan vigorous, serta mereka kagum atas kemampuan Suid yang
memadukan tradisi dan kontemporer, sangat terlatih dalam seni tradisional dan
kemudian secara kreatif menjadikannya berada di wilayah kontemporer.441
Di tahun-tahun berkutnya, Suid telah tiba pada ranah kontemporer yang
dengan kritis mempertanyakan masa lalu yang disebut tradisi. Dari pertanyaan
itulah lahir karya tarinya yang bertajuk Api dalam Sekam yang ditampilkan dalam
festival tari internasional “Art Summit Indonesia” di Jakarta, 1998.442
Kekontemporeran tersebut terlihat dari ide dan konsep garapannya yang bertolak
dari karya tradisional namun dibelokkan sehingga ekspresi pribadinya tampak
menonjol. Suid menciptakan 75 frase gerak dengan teknik tertentu yang khas
seperti gerak tajam dan rampak,443 yang didasarkan pada gerak Pencak Silat


441
Lihat Helly Minarti, “Gusmiati Suid, Api Dalam Sekam” dalam Bambang Bujono (ed.),
Empat Menguak Tradisi, Syeh Lah Geunta, Saidi Bissu Lolo, Anom Suroto, Gusmiati Suid, Seri
Figur Seni Pertunjukan Indonesia 2 (Jakarta:Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia & Ford
Foundation, 2008), hlm. 155–6.
442
Art Summit Indonesia merupakan festival kesenian internasional tiga tahunan yang
pertama kali diadakan tahun 1995 oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, atas prakarsa Prof.
Dr. Edi Sedyawati, Direktur Jenderal Kebudayaan, dan penyelenggaraannya dipusatkan di Jakarta.
Art Summit Indonesia I-VII menampilkan puncak-puncak pencapain kesenian dari berbagai negara
yang diharapkan bisa membangun pemahaman antar budaya dan antar bangsa bagi terciptanya
toleransi dan perdamaian dunia. Secara nasional Art Summit Indonesia menjadi ajang untuk
mengukur pencapaian estetik kesenian kontemporer Indonesia, setidaknya dalam tiga tahun terakhir.
Pentas berdampingan dengan karya-karya terbaik para seniman dari berbagai belahan dunia,
merupakan kesempatan untuk berbagi wawasan dan pengalaman dari negara lain dan bisa dijadikan
tolok ukur untuk menilai pencapaian kesenian di Indonesia sendiri. Pada mulanya Art Summit
Indonesia hanya terbatas menggelar garapan di wilayah seni pertunjukan yaitu musik, tari dan teater,
namun sejak tahun 2004 diperluas ke wilayah seni rupa. Negara-negara asing yang pernah dilibatkan
antara lain: Perancis, Rusia, Inggris, Finlandia, Ghana, Mesir, Korea, Perancis, Rusia, Inggris,
Finlandia, Ghana, Mesir, Korea, Jepang, Cina, AS, Argentina, Cina, AS, Argentina, dan lain-lain.
Ensiklopedi Jakarta, Budaya dan Warisan Sejarah (Jakarta: Pemerintah Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta, Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, 2005).
443
Mengenai gerak rampak, Edi Sedyawati mengungkapkan bahwa dalam karya-karya
Suid telah tumbuh kuat kesejiwaan antarpenari yang terlihat dari adanya ritme internal yang mampu
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


239

Minangkabau (bunga silat). Dalam garapan karya-karya Suid selanjutnya, Suid


berpegang pada teknik dasar yang diciptakannya tetapi kemudian diolah lagi
sehingga menghasilkan gerak-gerak baru tanpa mengulang. Selain itu pada garapan
musik karya tari Suid yang sering dikerjakan bersama penata musik, terdengar
bunyi gemuruh sesuai dengan gerak tarinya, namun kerap diselingi pula dengan
bunyi vokal yang mendayu menyayat hati.

5.10. Sulistyo S. Tirtokusumo (1953): (tanpa judul)


Sulistyo S. Tirtokusumo kembali tampil dalam Pekan Koreografi Indonesia
di tahun 1987 dengan karya tari yang tak diberinya judul (tanpa judul).444 Dalam
karya tari ini Tirtokusumo dibantu tiga pemain, yaitu: 1) Suprapto Suryodarmo,
seorang pelaku budaya yang selama bertahun-tahun melakukan studi gerak; 2)
seorang Cina pasar yang ahli meditasi; dan 3) seorang pencari kodok dan pemegang
rekor diam selama 14 jam versi MURI, Jaya Suprana. Ketiga orang yang berbeda
latar belakang tersebut, masing-masing berproses untuk mendapatkan inti (isi) dari
karya tanpa judul itu. Di sinilah Tirtokusumo menyajikan keyakinan bahwa puncak
dari segala gerak adalah diam.445
Menurut Tirtokusumo, ide dan konsep garapan tersebut lahir dari
pengalaman batinnya ketika mengamati patung Budha di candi Borobudur dan
krobongan (kamar) di nDalem para pangeran keraton Surakarta. Selain itu juga
ketika ia melihat baling-baling pesawat terbang yang berputar kencang namun
tampak diam.446


memandu susunan panjang gerak-gerak tanpa iringan yang dilaksanakan dengan ketepatan dan
keterampilan yang mengagumkan. Hasil wawancara dengan Edi Sedyawati, di Jakarta, Maret 2016.
444
Menurut Sulistyo Tirtokusumo, karya tarinya tersebut tidak diberi judul karena ide
garapannya bertolak dari wacana bahwa puncak dari segala gerak adalah “diam”. Diam sama dengan
proses “kosong”. Kosong adalah nol, tanpa label, tanpa embel-embel, dan berarti tanpa nama. Oleh
sebab itu pilihan untuk karya tarinya tersebut adalah tak berjudul. Hasil wawancara dengan Sulistyo
Tirtokusumo di Jakarta, 10 Januari 2015.
445
Lihat Sulistyo S. Tirtokusumo, (tanpa judul) dalam Pekan Koreografi Indonesia
(Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 1987).
446
Hasil Wawancara dengan Sulistyo Tirtokusumo di Jakarta, 10 Januari 2015.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


240

Dalam menampilkan karyanya, Tirtokusumo mengatur seorang pemainnya


duduk bersila terus-menerus di pojok panggung, seorang lagi mematung di bagian
depan luar panggung Graha Bhakti Budaya, PKJ-TIM. Keduanya diam sepanjang
pertunjukan. Seorang lagi, Suprapto Suryodarmo, melakukan serangkaian gerak
mengalir yang hampir tanpa pola dan tanpa jeda namun penuh energi, sebagai hasil
eksplorasi untuk mendapatkan rasa gerak. Tirtokusumo sendiri duduk bersila
sambil bergerak sangat pelan, gerakan baru hasil eksplorasinya untuk keluar dari
gerak tari tradisional klasik Jawa Surakarta, dalam iringan gending tari Bedaya
Ketawang447 yang menghadirkan suasana meditatif. Hanya sekali-sekali Suprapto
dan Sulistyo tiba-tiba melakukan perubahan gerak dengan cepat.
Pendukung karya tanpa judul tersebut mengenakan kostum berupa celana
panjang dan baju berlengan panjang warna putih, kecuali Tirtokusumo yang juga
mengenakan celana putih namun bertelanjang dada. Di bagian tengah pertunjukan,
Suryodarmo yang sekali-sekali menggumamkan mantra Budhis, melepas kain putih
panjang yang melilit tubuhnya dan kemudian kain tersebut digunakan sebagai
pelengkap gerak, misalnya diputar bersama putaran tubuh. Adapun lampu
panggung ditata remang-remang sehingga menambah suasana meditatif dan magis
sesuai dengan konsep garapannya.
Karya tari (tanpa judul) garapan Sulistyo Tirtokusumo tersebut dapat
dikategorikan sebagai karya tari kontempoter karena seperti dikatakan oleh
Butterworth dan Wildschuts448 bahwa penciptaan karya tari kontemporer di
antaranya melakukan eksplorasi seluas-luasnya ditilik dari perspektif penonton dan
seniman, sehingga ada pembaruan dan tidak mengulang karya yang telah ada,


447
Tari Bedaya Ketawang adalah tarian sakral yang ditarikan oleh sembilan penari putri
dan merupakan pusaka keraton Kasunanan Surakarta. Tarian yang konon diciptakan oleh Sultan
Agung ini dipercaya menggambarkan cerita mistis hubungan Sultan Agung dengan Ratu Kidul,
tokoh mitos Jawa yang menguasai Laut Selatan atau Samudra Indonesia. Tarian ini hanya
dipertunjukkan di keraton pada saat penobatan raja (jumenengan Dalem) atau pada saat ulang tahun
penobatan raja (tingalan jumenengan Dalem). Lihat Nusjirwan Tirtaamidjaja, “A Bedhaya
Ketawang Dance Performance at the Court of Surakarta” dalam Indonesia No. 3 (Itchana: Cornell
University Press, 1967); Soedarsono, Djawa dan Bali, Dua Pusat Perkembangan Drama Tari
Tradisionil (Jogjakarta: Gadjah Mada University Press, 1972), hlm. 60–1.
448
Butterworth and Wildschuts (eds.), Contemporary Choreography: A Critical Reader
(London: Routledge, 2009), hlm. 1.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


241

termasuk dalam penggarapan teknik geraknya, seperti ungkapan para generasi baru
sesudah generasi modern dance Barat.

5.11. Suwarsidi Trisapto (1951–2016): Segitiga (∆) dan Perempatan ( )


5.11.a. Trisapto tampil dalam Festival Penata Tari III-1981 menggarap karya tari
berjudul Segitiga yang dihadirkan dengan simbol ∆. Karya tersebut tidak berangkat
dari tradisi atau tari tradisional tertentu. Ide garapannya berangkat dari
memanfaatkan unsur-unsur yang ada, seperti bunyi, gerak, tubuh penari, maupun
rupa, yang dengan kekuatan masing-masing saling menopang untuk selanjutnya
digarap bersama penataan panggung dan cahaya. Proses kerja Trisapto diawali
dengan membuat maket panggung yang bisa dipakai sebagai area pentas tari, dan
pada saat yang sama ia mendengarkan musik Modest Pyotrovich Mussorgsky (M.P.
Mussorgsky, komponis Rusia, 1839–1881) berjudul Pictures at an Exhibition yang
kemudian digubah oleh Isao Tomita (komponis Jepang, pionir dalam musik
elektronik, lahir 1932). Terbayang oleh Trisapto sejumlah penari bergerak di dalam
maket tersebut. Kemudian muncul ide lagi, dengan penataan lampu tertentu, juga
dengan lampu ultra violet, penari akan mendapat efek dari lampu-lampu tersebut,
apa lagi ditambah dengan lampu kilat. Bayangan dan ide itu selanjutnya
dikembangan melalui ekspresi gerak penari yang diolah di dalam maket. Tampilan
penari tersebut sebagai sketsa-sketsa gerak dalam panggung. Adapun penggunaan
judul Segitiga (∆) sebagai gambaran hubungan antara tata ruang yang didukung
cahaya, bunyi diwakili oleh musik, dan gerak oleh tubuh para penari. Semua bersatu
antara kesan lihat dan kesan dengar: gerak, ruang, dan bunyi.
Dalam garapan gerak, Trisapto melakukan proses pencarian bersama para
penari yang telah memiliki teknik gerak tertentu, dan tubuh mereka siap serta
mampu melakukan berbagai kemungkinan gerak karena mempunyai pengalaman
eksplorasi gerak. Trisapto mengolah karyanya dengan pemahaman bahwa bunyi
musik yang keras tidak selalu direspons dengan gerak yang keras atau cepat, tetapi
justru bisa sebaliknya, lembut dan perlahan, sehingga terjadi kontras antara gerak
dengan iringan musiknya. Beberapa gerak bahkan diolah tanpa bunyi musik.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


242

Telah diuraikan terdahulu, karya tari ini digarap dengan musik yang
berangkat dari karya musik M.P. Mussorgsky berjudul Pictures at an Exhibition
dan dimainkan dengan piano. Karya musik tersebut terinspirasi dari impresi
pameran sepuluh buah lukisan Victor Hartman, rekan Mussorgsky. Jadi, musik ini
seakan berupa sketsa-sketsa dari pameran tersebut. Oleh Isao Tomika karya musik
tersebut digubah dan dimainkan dengan alat-alat elektronik, sehingga memberi
kesan mendominasi ruang pameran yang berisi sketsa-sketsa lukisan. Oleh
Trisapto, musik gubahan Isao Tomika dipilih karena ia anggap dekat dengan ide
garapannya: gerak, ruang, dan bunyi yang bersatu dalam maket panggung seperti
sketsa-sketsa lukisan.
Trisapto menata panggung tidak seperti biasanya dalam bentuk prosenium
atau arena, melainkan bentuk panggung persegi empat dibuat menjorok ke depan
membentuk segitiga, dan belakang panggung yang merupakan latar juga dibentuk
menjadi segitiga. Namun segitiga yang merupakan latar tersebut dipatah di bagian
tengahnya, dengan maksud agar bisa menangkap sinar lampu yang disorotkan dari
samping. Kedua bentuk segitiga tersebut maupun kostum penari berwarna putih
dengan tujuan agar bisa menyerap warna-warna lampu yang diarahkan ke panggung
maupun ke obyek (penari), sehingga menghasilkan perpaduan warna yang beragam.
Selain itu diletakkan plastik panjang menggelembung, berisi udara, di langit-langit
panggung yang bisa menangkap aneka warna lampu. Adapun gerak penari maupun
komposisi tari yang digarap dalam panggung segitiga yang dilengkapi garapan tata
cahaya tersebut dimaksudkan untuk menghadirkan kesan adanya berbagai ruang di
atas panggung, laiknya kita melihat sebuah pameran lukisan, dan berjalan dari
lukisan yang satu ke lukisan yang lain.
Mengamati proses garapan Trisapto dan hasilnya, karya Segitiga tersebut,
dalam konteks Festival Penata Tari III-1981 di TIM, dikategorikan sebagai karya
tari kontemporer karena ide, konsep, proses hingga hasilnya adalah hasil pencarian
baru yang bersifat eksperimental. Karya ini tidak menarasikan sesuatu. Apa yang
disuguhkan adalah kesatuan gerak, ruang, dan bunyi. Pada masa itu, apa yang
disuguhkan Trisapto boleh dibilang sangat lain dibanding para penata tari lainnya
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


243

yang kebanyakan membuat karya baru dengan bertolak dari karya-karya


tradisional.
Widaryanto, dalam diskusi di Salihara (2014), menyatakan ekspresi tubuh
dengan gerak yang tidak jelas dan amat tersamar sekali pun, menjadi ciri olahan
proses kreatif dari banyak koreografer. Untuk memahaminya tidak bisa dengan cara
dijelaskan dengan kata-kata, melainkan dengan proses mengalami, mengendapkan
dan merenungkan kembali esensi bentuk imajinatif yang direkam dalam memori
seseorang.449 Itulah yang didapatkan pada karya Trisapto. Tak ada penjelasan di
dalamnya, kecuali dengan totalitas pengendapan oleh penontonnya. Tokoh seni tari
kontemporer Cunningham memberikan perspektif bahwa seni tari kontemporer
telah mengabaikan sesuatu untuk dikomunikasikan. Demikian pula dengan gerak
yang tidak ditunggangi niatan untuk menjelaskan sesuatu karena gerak adalah
ekspresi gerak itu sendiri.450

5.11.b. Perempatan adalah karya Suwarsidi Trisapto yang digarap dengan bahan
dan pikiran baru, tidak berdasarkan materi tradisional etnik tertentu. Karya itu
melalui eksperimen-eksperimen dan dipertunjukkan di Pekan Penata Tari Muda V-
1983. Sebuah usaha konsisten yang dilakukannya sejak penampilannya dalam
Penata Tari Muda III-1981.
Dalam Perempatan, idenya berawal dari kristalisasi pengalaman-
pengalaman pribadi Trisapto maupun pengamatan terhadap hal-hal yang menjadi
obsesinya. Pengalaman-pengalaman hidup yang penuh benturan, penuh tantangan,
kekesalan pada kemacetan (seperti kemacetan lalu lintas yang membuat buntu
pikiran), dan lain-lain, lalu diendapkan, dan diekspresikan dalam media tari.
Adapun judul karya Perempatan, gagasannya diambil dari rambu-rambu lalu lintas
yang mengisyaratkan ada perempatan di depan kita. Kemacetan lalu lintas yang
banyak terjadi di perempatan jalan di Jakarta menjadi bagian dari ide Trisapto untuk


449
F.X. Widaryanto, “Tradisi dan Modernisasi dalam Tarian Indonesia” dalam Makalah
Diskusi Tari di Salihara, 3 Juni 2015, hlm. 3.
450
Merce Cunningham, “The handy E-Book of Contemporary Dance History” dalam
http://www.contemporary-dance.org/contemporary-dance-history.html. Diunduh 2 April 2016.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


244

membuat karya tersebut.451 Untuk mewujudkan karyanya itu, Trisapto


menggunakan payung sebagai alat bantu pencarian gerak dari tubuh lentur penari
yang memiliki teknik memadai serta siap bereksplorasi agar bisa memperoleh
berbagai kemungkinan teknik dan gerak baru. Selain itu, penampilan dilengkapi
pula dengan lilin, gelas, dan tiang-tiang dari plastik. Lilin dan payung adalah dua
alat yang biasa digunakan dalam tari tradisional di Indonesia, tetapi dalam karya
Trisapto cara dan teknik menarikannya berbeda sama sekali. Bukan keindahan yang
ingin diperlihatkan atau dicapai, melainkan berbagai kemungkinan tubuh
berinteraksi dengan lilin dan payung, misalnya menggunakan payung sambil
berjalan berjongkok, memegang lilin sambil berputar-putar. Didirikannya pilar-
pilar plastik yang digembungkan sebagai pengganti wings di kiri kanan panggung
merupakan usaha Trisapto mencari bias cahaya lampu-lampu samping saat sinar
lampu tersebut mengenai penari. Semua bagian panggung dibuat berwarna putih
kecuali lantai dengan maksud agar bisa lebih banyak warna yang terserap oleh
warna putih tersebut. Digunakan pula lampu violet untuk memperkaya efek lampu.
Musik untuk karya Perempatan yang digunakan adalah musik hidup (live
music) dengan mengutamakan alat-alat pukul yang direkam ke instrumen elektrik
sehingga bunyi yang dihasilkan bukan lagi bunyi asli dan kualitas bunyinya pun
berubah.Pementasan Perempatan selesai bersamaan dengan lampu panggung yang
meredup perlahan hingga menjadi gulita.
Namun di balik pertunjukan itu, keterbatasan sarana perlengkapan
panggung di PKJ-TIM merupakan penghambat bagi Trisapto untuk mewujudkan
gagasannya. Meski demikian dapatlah disimpulkan bahwa ide, konsep, eksplorasi,
dan eksperimen Trisapto dalam gerak, iringan tari, dan pemanfaatan panggung dan
lampu adalah sesuatu yang baru sehingga tampilan karyanya bisa disebut
kontemporer dan bisa mewakili kekinian manusia modern yang menghendaki


451
Lihat Trisapto, “Perempatan” dalam Sal Murgiyanto (ed.), Penata Tari Muda 1983
(Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 1983), hlm. 55.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


245

perubahan dan pembaruan, terutama di kota besar seperti di Jakarta, yang selalu
berubah karena dinamika perkotaan.452

5.12. Sunarno (1955–2007), Nora Kunstantina Dewi (1948–2009), Rusini


(1948): Joged
Joged merupakan karya tari garapan bersama Sunarno, Nora Kunstantina
Dewi dan Rusini, untuk tampil di Festival Penata Tari III-1981. Gagasan karya ini
berangkat dari berbagai pengalaman yang pernah ada dalam kehidupan ketiga
penata tari tersebut pada masa lampau, yaitu kehidupan yang banyak diwarnai
ketidakpuasan, yang dapat merusak namun dapat juga membangun. Sesuai dengan
temanya itu, susunan karya tari dibagi menjadi lima bagian (babak), dan karena
digarap oleh tiga penata tari, dibuatlah pembagian. Bagian pertama digarap oleh
Sunarno yang tugas utamanya menggarap gerak tari penari laki-laki. Bagian kedua
digarap oleh Rusini yang menggarap gerak tari penari perempuan. Bagian ketiga
dan keempat digarap oleh Dewi, yang bersama Rusini kembali menggarap gerak
penari perempuan. Bagian kelima digarap bersama, Sunarno, Rusini dan Dewi.
Selain mereka bertiga, ada Hadi Subagya yang ikut melatih penari laki-laki maupun
penari perempuan untuk garapan gerak yang dinamis, kuat, dan bertenaga.
Dalam menggarap gerak tari laki-laki, Sunarno memanfaatkan pengalaman
dan kemampuan gerak para penari laki-laki yang memiliki dasar gerak tari
tradisional Jawa untuk bereksplorasi bersama mencari kemungkinan-kemungkinan
gerak baru tanpa membedakan gerak yang dieksplorasi tersebut berangkat dari tari
tradisional Jawa keraton, kerakyatan maupun nontradisional untuk kemudian
disesuaikan dengan tema. Adapun untuk garapan gerak perempuan, Dewi dan
Rusini banyak mengambil dari gerak tari putri keraton, Bedaya, yang kemudian
diubah volume dan kualitas geraknya menjadi lebih membuka dan melebar pada
bagian lengan, tekanan gerak menjadi lebih kuat, misalnya pada seblakan sampur
dan sepakan kain yang menjulur (samparan kain) dengan kecepatan menjadi lebih
dinamis, maupun loncatan lebar dalam menjelajahi ruang. Dalam olahan gerak

452
Trisapto, “Perempatan”, hlm.52–3.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


246

tersebut disertai pula olah rasa lembut, halus, lemah, tegap, tegang, menggumpal,
padat, pecah, buyar, agak kasar, harapan, tekad, dan sebagainya yang selanjutnya
diolah menjadi rasa kemanusiaan (setia kawan, setia kelompok, setia jenis, setia
diri, toleransi, komitmen, integritas, dan seterusnya).
Dalam garapan musiknya, karya tari Joged diiringi gamelan yang
gendingnya digarap sesuai tema maupun gerak, juga menggunakan puisi dalam
bahasa Jawa dan Indonesia sebagai ilustrasi untuk mendukung rasa garapan
geraknya. Adapun penggunaan berbagai warna dalam kostum tari seperti warna
putih, kuning, merah dan biru adalah untuk mengungkapkan berbagai rasa yang
ingin dihadirkan dalam garapan karya tari Joged tersebut. Selain itu kostum dibuat
sederhana untuk memudahkan penari bergerak, juga agar gerak-gerak kuat dan
tajam menjadi tampak jelas.453
Karya tari Joged bisa dikategorikan sebagai karya tari kontemporer karena
banyak penjelajahan gerak, ruang dan bunyi yang meski bersumber dari tari
tradisional Jawa Surakarta namun terjadi lompatan-lompatan temuan yang baru dan
belum pernah terpikirkan sebelumnya. Dalam tulisannya di majalah Tempo, 14
Februari 1981, berjudul “Ekspresi Pertentangan Nilai-nilai”, Sardono W. Kusumo
menguraikan, “Penari putri dari Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI)
Surakarta itu mula-mula bergerak lembut, melangkah ke pentas. Mendadak kakinya
menyibak kain, dan dengan loncatan besar dia menjelajah ruang. Gerak itulah yang
membuat kaget seorang peserta dari Sekolah Menengah Karawitan Indonesia
(SMKI) Surabaya, dalam Festival Penata Tari Muda, 31 Januari sampai dengan 2
Februari 1981, di Taman Ismail Marzuki. Seni tradisi Sala yang dikenal sebagai tari
yang halus, setelah mendapat sentuhan anak-anak mudanya mengalami perubahan
yang bisa membuat rasa risih bagi mereka yang kurang lapang dada. Sementara
bayangan orang di luar Sala tentang seni tari Sala masih berkisar pada Tari Srimpi”.


453
Lihat Sunarno, Nora dan Rusini, “Joged” dalam Sal Murgiyanto (ed.), Ungkapan dan
Bahasan Festival Penata Tari Muda III-1981 (Jakarta: PT Harapan dan Dewan Kesenian Jakarta
1981), hlm. 57–65.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


247

Dalam forum diskusi setelah penampilan Karya tari Joged, muncul


pertanyaan dari peserta, apakah para senior tari tradisional di Surakarta sudah
begitu “longgar” memberi kesempatan kepada penata tari muda untuk bereksplorasi
dalam penggarapan gerak.454 Nyatalah, Joged adalah karya kontemporer yang
menyeruak keluar dari norma-norma tradisi untuk menemukan cita rasa kekinian
ketika karya tersebut dipentaskan.

5.13. Dedy Lutan (1951–2014) dan Tom Ibnur (1954): Awan Bailau
Awan Bailau adalah garapan bersama Dedy Lutan dan Tom Ibnur dan
dipertunjukkan di Pekan Penata Tari IV-1982. Karya tersebut digarap
bersumberkan tari dan musik tradisional Minangkabau. Lutan, lulusan Departemen
Tari Institut Kesenian Jakarta (IKJ) adalah anak Minang yang lahir di sana dan
besar di Jakarta. Tom Ibnur (mahasiswa tahun ketiga IKJ pada saat menggarap
Awan Bailau) dilahirkan dan dibesarkan di tempat asalnya. Para penari mereka
adalah remaja Jakarta yang tergabung dalam sanggar Argahari.455
Awan Bailau dalam bahasa Minang bisa diartikan, awan adalah awan yang
bergerak, dan bailau adalah bersenandung. Arti nonharfiahnya adalah
menyampaikan serangkaian pesan tanpa kata-kata sebagai ungkapan rasa melalui
getaran jiwa. Dengan demikian tema karya tari Awan Bailau nonliterer, tidak
berangkat dari cerita rakyat tertentu dan tidak pula berbicara tentang moral, hukum,
atau kaidah-kaidah yang lazim berlaku pada masyarakat Minangkabau.
Garapan gerak tari karya tersebut berangkat dari gerak-gerak yang terdapat
pada Randai, tari Piring, Rantak Kudo, Alang Suntiang Pangulu, Tan Bentan, Alau
Ambek,456 maupun gerak-gerak Silat, yang kemudian dikembangkan sesuai dengan


454
Lihat Kompas, “Festival Penata Tari Muda III Berakhir”, 3 Februari 1981.
455
Dalam acara diskusi setelah pertunjukan, para pengamat dan penonton menyampaikan
apresiasi bahkan terharu menyaksikan semangat para penari muda Jakarta membawakan karya tari
baru yang bertolak dari tari tradisional Minangkabau. Lihat Sal Murgiyanto, “Pekan Penata Tari dan
Komponis Muda 1982, Tradisi dan Kreasi Tari” dalam Kompas, 13 Maret 1982.
456
(1) Tari Piring adalah salah satu tarian tradisional dari beberapa nagari seperti Cupak,
Solok, Palangai di Sumatera Barat dengan menggunakan piring sebagai media utama. Gerak tarinya
berangkat dari gerak langkah Silat, cepat, teratur, dan piring di tangan diayun tanpa lepas dari
genggaman tangan dengan dentingan cincin di jari penari. Tarian ini diiringi talempong dan saluang,
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


248

tema, interpretasi penata tari, maupun kemampuan penari. Pada bagian awal, penata
tari memberikan kebebasan kepada penari untuk mengungkapkan imajinasi dan
interpretasinya terhadap musik tradisional Minangkabau yang menggunakan alat
musik saluang, rebab, talempong, gandang, bansi, pupuik, tasa dan tambua,
maupun tambahan bunyi-bunyian seperti ayakan kawat, pecahan kaca, kerikil,
ganto (genta), kodok-kodokan, dan lonceng kecil, yang muncul saat berproses.
Hasil dari proses ini pada akhirnya berkembang menjadi gerak-gerak tari Piring
yang teknik geraknya merupakan hasil eksplorasi dengan teknik tari modern yang
menggambarkan awal dari terciptanya sesuatu. Hal unik dalam garapan tari Awan
Bailau adalah tidak dibedakan antara gerakan penari laki-laki dan perempuan,
semua penari bisa bergerak dengan kualitas dan irama yang sama, lembut, kuat,
lambat, cepat, dinamis, dan ritmis. Mereka juga menggunakan celana lebar hitam
(galembong) dan ikat kepala, perbedaannya adalah cara mengikat destar di kepala
penari laki-laki dan perempuan. Selain itu, penari laki-laki tidak memakai baju,457
sedangkan penari perempuan memakai baju pesilat Minangkabau berwarna hitam.

dan pada awalnya berupa tarian upacara sebagai ucapan syukur kepada para dewa atas hasil panen
yang melimpah. Tari Rantak Kudo terdapat di nagari Painan dan Taloak, bersifat hiburan dalam
upacara adat panen, acara perhelatan, dan acara pada hari besar keagamaan. Gerak tarinya yang
menonjol adalah gerakan pada tangan, jari, dan rentak kaki, selain ada gerakan pada kepala dan
badan, diiringi lagu pelayaran dengan alat musik gendang, adok, dan serunai. (2) Tari Alang
Suntiang Penghulu adalah tari adat Minangkabau dari nagari Padang Lawas yang dimainkan sebagai
perintang atau permainan di waktu senggang, atau sebagai selingan dalam kesibukan berpikir oleh
para penghulu, mencerminkan para pemuda yang cepat kaki ringan tangan. Tarian ini khusus
dimainkan oleh laki-laki yang sudah tua dimulai dengan dua orang, menjadi empat, enam, delapan.
Kostum yang dikenakan baju, celana dan destar berwarna hitam dilengkapi keris yang disisipkan di
punggung baju. Gerak tarinya meniru gerak burung elang yang sedang berkeliling mengintai
mangsanya dengan dasar Silat, dan menjadi lambang kehidupan jiwa kepenghuluan. Musik
pengiringnya terdiri dari alat adok, talempong jao, saluang, pupuik baranak. (3) Tari Tan Bentan
adalah tari tradisional yang terdapat di nagari Saningbakar, Solok, ditarikan oleh tiga orang yang
masing-masing memerankan Putri Bungsu, Imbang Jayo, dan Cindur Mato. Tarian ini bersifat
hiburan dan dipertunjukkan di perhelatan nagari, perayaan hari nasional dan sebagainya.
Gerakannya berangkat dari Silat dan diiring dengan musik yang alatnya terdiri dari adok, saluang,
talempong dan puput batang padi. Pemeran Putri Bungsu memakai baju kurung, tengkuluk tanduk
serta dilengkapi perhiasan, sedangkan pemeran Imbang Jayo dan Cindur Mato memakai pakaian
anak muda, dilengkapi destar, ikat pinggang berjambur dan keris. Lihat Ensiklopedia Musik dan
Tari Daerah Sumatera Barat (Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1977), hlm. 81, 104, 107, 114.
457
Dalam acara diskusi antara penata tari dengan para pengamat yang terdiri dari para tokoh
tari, pemerhati seni maupun penonton umum, muncul pertanyaan mengapa penari perempuan
memakai galembong seperti penari laki-laki dan penari laki-laki tidak menggunakan baju? Penata
tari menjawab bahwa penari perempuan menggunakan galembong agar bisa bergerak bebas saat
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


249

Pada bagian kedua, penata tari mengambil motif gerak Randai namun dalam
mengembangkan motif geraknya disertai pula dengan pengembangan pola lantai.
Pola lantai Randai yang biasa dilakukan dalam tradisi Minangkabau adalah
melingkar dan berputar, dan dalam karya tari tersebut digarap dengan berbagai garis
untuk memberikan kesan bahwa perputaran itu bisa melahirkan berbagai
kemungkinan dalam kehidupan. Unsur vokal yang terdapat dalam Randai baik yang
berupa syair dan pantun yang dialunkan dengan liris atau ritmis maupun dinamis
tetap dipakai untuk menyampaikan tema garapan.
Pada bagian ketiga, penata tari memunculkan tarian Barabah karya Huriah
Adam sebagai titik tolak dalam menggarap komposisi tari untuk mengungkapkan
renungan terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar kita. Pemunculan
tarian Barabah tersebut hanya diambil bagian-bagian yang dinamis dan penata tari
kemudian mengeksplorasi kekuatan tangan yang terdapat dalam tarian tersebut.
Selanjutnya bagian keempat atau penutup, dimulai dengan ditampilkannya
kain putih panjang yang digerakkan sebagai simbol proses perjalanan jauh, dipadu
dengan gerak tari Gelombang untuk memberikan kesan gelombang kehidupan, dan
diiringi pukulan talempong dan gandang yang ritmis. Pada bagian penutup tersebut
dihadirkan pula permainan Tabuik, para penari mengusung Tabuik dengan gerak
dinamis, melompat dan berputar-putar. Gerakan penari berputar terinspirasi dari
gerakan boneka sawah yang berputar bila ditiup angin, dan gerakan berputar
tersebut memberikan imaji tertentu dalam penyampaian tema garapan. Selain itu,
gerakan berputar juga dipengaruhi oleh pertunjukan Laura Dean, koreografer dari
Amerika Serikat yang ditonton saat berpentas di PKJ-TIM pada tahun 1981, yang
bergerak berputar pada poros tubuh bagikan gasing, dan seakan tanpa henti.
Pengalaman melihat gerakan boneka di sawah dan menonton pertunjukan Laura


membuka kaki tanpa terganggu seperti halnya penari laki-laki. Selain itu, di era sekarang banyak
perempuan Minang yang tidak lagi selalu berkain dan mereka memilih mengenakan celana panjang.
Adapun ide penari laki-laki tidak memakai baju didasari pertimbangan baju yang basah oleh peluh
saat menari akan mengganggu keindahan pandangan ketika terkena cahaya lampu pentas. Saat ide
tersebut didiskusikan dengan beberapa tokoh seni di Minangkabau, tidak ada yang menyatakan
berkeberatan. Lihat Deddy Luthan dan Tom Ibnur, “Awan Bailau” dalam Sal Murgiyanto (ed.),
Penata Tari Muda 1982 (Jakarta: P.T. Harapan dan Dewan Kesenian Jakarta, 1982), hlm. 9, 13.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


250

Dean merupakan stimuli visual yang oleh Jacqueline M. Smith-Autard dikatakan


telah membangkitkan pikir, semangat, dan mendorong Ibnur melakukan kegiatan
menyerupai untuk diwujudkan dalam garapan karya Awan Bailau.458
Dalam suasana gemuruh gegap gempita dan diiringi bunyi gendang yang
terjalin secara ritmis, perlahan-lahan suara gemuruh tersebut kemudian sirna dalam
alunan pupuik yang terdengar semakin jauh dan akhirnya menghilang. Lalu muncul
bunyi gesekan rebab yang diiringi alunan Ratok Suayan, menyiratkan kemusnahan
dari sesuatu yang telah tercipta, menjadi kesenyapan yang abadi.459
Karya tari Awan Bailau bisa dikategorikan sebagai tari karya baru hasil
pengembangan dari tradisi yang sarat dengan eksplorasi dan inovasi. Namun ketika
karya tersebut pada tahun 1984 dipilih oleh Charles Reinhart dan Stephanie
Reinhart, ketua dan wakil ketua panitia American Dance Festival (ADF), untuk
tampil dalam festival tersebut di Durham, North Carolina, Amerika Serikat, oleh
tokoh tari modern dance Amerika Serikat yang mendunia, Martha Graham, kritikus
tari dari surat kabar Durham Morning Herald, dikatakan bahwa Awan Bailau
adalah karya tari kontemporer yang modern dalam bentuk gaya, interpretasi,
maupun pengungkapannya, tetapi unsur-unsur dan lambang-lambang tari
tradisional setempat tetap terlihat dan karya tersebut dianggap berhasil
mempertahankan sesuatu yang bersifat Indonesia. Lambang-lambang tradisional
tersebut mampu diungkapkan dengan interpretasi lambang-lambang kontemporer,
misalnya, gerakan yang dihadirkan lebih bebas dan menghindari pola simetri,
eksplorasi penggunaan panggung gelap, permainan musik dan tempo, untuk
membangun suasana pertunjukan.460


458
Lihat Jacqueline M. Smith-Autard, Dance Composition, hlm. 29–32. Dalam beberapa
pementasan tari baik sebagai penari maupun penata tari, Ibnur menampilkan gerak berputar pada
poros tubuh karena ia menyukai gerakan tersebut. Hasil wawancara dengan Tom Ibnur, 13 Maret
2015.
459
Deddy Luthan dan Tom Ibnur, “Awan Bailau”, hlm. 9.
460
Lihat Threes Nio, “‘Awan Bailau’ dan ‘Huu’ Disambut hangat di AS” dalam Kompas
Minggu, 15 Juli 1984; Berita Buana “Masyarakat di AS Menyambut Hangat Tarian Minang dan
Tarian Aceh”, 10 Juli 1984; James Weiss/USIS, “Indonesia di Festival Tari Amerika” dalam
Angkatan Bersenjata, 11 Agustus 1984.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


251

Sebelum ditampilkan di Amerika Serikat, Awan Bailau oleh koreografernya


Dedy Lutan dan Tom Ibnur memang digarap kembali. Beberapa bagian mengalami
perubahan, seperti, gerak dan musik tarinya yang pada tahun 1982 digarap dengan
eksplorasi dan sarat inovasi namun sumber tradisi Minangkabau masih tampak
jelas, untuk penampilan di ADF ekplorasi dan inovasi dikembangkan disertai
dengan invensi di beberapa bagian tanpa kehilangan unsur-unsur tradisional
keminangan-nya; dan apabila pada karya 1982 penari dan pemusiknya anak-anak
muda berkualitas sanggar, maka untuk kepentingan ADF diganti menjadi penari
dan pemusik akademis dari Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan Akademi Seni Tari
Indonesia (ASTI) di Padang Panjang.
Selama pertunjukan di Amerika Serikat, baik di ADF Durham, North
Carolina, maupun kemudian tampil di American University di Washington DC, di
New York, dan Chicago, pertunjukan Awan Bailau selalu mendapat sambutan
hangat dari penonton. Bahkan saat tampil di ADF penonton selalu memberikan
standing ovation. Lebih lanjut disampaikan oleh Martha Graham bahwa unsur
tradisional lainnya yang menonjol dari Awan Bailau adalah suasana keislaman yang
kuat, namun tidak mengganggu penonton Amerika Serikat, karena yang mereka
perhatikan adalah vitalitas, kegairahan hidup, gerakan-gerakan tangan dan gerakan
tubuh, yang merupakan inti dari koreografi, dan berhasil disampaikan oleh penari
melalui gerakan tangan dan kaki, cara mereka menggerakkan dalam lingkaran, dan
sebagainya.461

5.14. Ida Wibowo (1955–2005): Sinta


Karya tari berjudul Sinta yang digelar dalam Pekan Penata Tari Muda VI-
1984, digarap oleh Ida Wibowo karena ingin mengungkapkan kembali
pengalaman-pengalaman pribadi yang pernah dipelajari, dilihat dan dirasakannya.
Oleh sebab itu karya tari tersebut merupakan perwujudan ekspresi pribadinya, tidak


461
Threes Nio, “‘Awan Bailau’
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


252

ada ikatan dengan gaya tari tertentu, meski akar budaya Jawa tempat ia dibesarkan
mungkin bisa menyertai karya tari garapannya.
Tema tari Sinta menginspirasi Wibowo setelah ia membaca buku Wayang
dan Karakter Wanita karangan Ir. Sri Mulyono dengan sub judul “Sinta Sepanjang
Hayatnya Penuh Penderitaan Bahkan Ajalnya Terjepit Bumi”. Untuk menambah
variasi dan pendalaman tentang Sinta, ia juga membaca Ramayana karangan
Herman Pratikno selain mencari informasi dari dalang-dalang yang ada di
Yogyakarta. Inti utama yang dihadirkan Wibowo dalam garapannya adalah
menggambarkan Sinta sebagai idola perempuan karena nalurinya yang lembut,
kesetiannya terhadap hidup maupun terhadap Rama suaminya. Namun di balik
semua itu sesungguhnya Sinta adalah perempuan yang tidak pernah mengenyam
kebahagiaan, selalu menderita.
Dalam menggarap karya tarinya, Wibowo tidak menokohkan Sinta kepada
salah seorang penarinya, sebab ia ingin semua penari bisa menghayati dan menjadi
Sinta, sekaligus tokoh lainnya. Mengenai jalur ceritanya diserahkannya pada
imajinasi penonton baik melalui gerak, komposisi ruang, pola lantai dan vokal.
Dalam proses penggarapan, Wibowo memulai dengan mencari gerak dan bentuk
melalui improvisasi dengan motivasi bisa melahirkan gerak ataupun suasana yang
sesuai dengan peristiwa yang dialami Sinta menurut imajinasinya. Beberapa sikap
tubuh dan gerak dasar tari Jawa gaya Yogyakarta tetap dijadikan pijakan yang
kemudian dikembangkan. Setelah menemukan gerak dan bentuk, Wibowo mulai
mengolah pola lantai dan komposisi ruang.
Sejak awal berproses Wibowo sudah melibatkan penarinya untuk secara
bersama mencari, mengembangkan, dan mengingat gerak maupun bentuk yang
ditemukan. Bahkan penari acap kali digunakan sebagai pemicu munculnya
penemuan-penemuan gerak baru. Setelah komposisi gerak dan komposisi ruang
terbentuk, Wibowo mulai menggabungkan dengan musik pengiring.
Iringan karya tari Sinta tidak terikat pada salah satu gaya tertentu, dan
Wibowo menginginkan bunyi-bunyian yang hadir berasal dari instrumen gamelan
maupun alat-alat seperti ceng-ceng, gong Cina, gong bumbung, suling Bali, suling
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


253

Sulawesi, kentongan, genta, klontongan sapi, dan juga beberapa alat perkusi Barat
antara lain genderang dan drum, untuk melahirkan suasana baru.
Wibowo menata panggung bagi karya tarinya tersebut dengan membuat
level tinggi di belakang untuk menempatkan instrumen musik dan pemusik
sehingga area mereka lebih tinggi daripada area para penari. Hal itu dilakukan
dengan pertimbangan membentuk keseimbangan ruang. Dalam area pentas yang
luas, jika penari hanya berjumlah delapan orang maka akan tampak ada
kekosongan, dan hal tersebut tidak menguntungkan untuk penggarapan komposisi
ruang dan pola lantai. Selain itu dalam peletakan instrumen dan pemusik yang lebih
tinggi, yang berarti suara musik yang dihasilkan tidak terlalu dekat dengan area
penari, dimaksudkan agar bisa menciptakan suasana yang diperlukan. Penggunaan
kain putih yang membentang di depan pemusik dimaksudkan sebagai tampilan
simbolik dari kotak wayang.
Ide penataan busana bagi penari adalah busana sederhana agar memudahkan
penari dalam melakukan gerak dan postur tubuh bisa terlihat jelas. Penari laki-laki
bertelanjang dada dan memakai kain yang dibentuk menyerupai cawat berwarna
merah jambu, diikat dengan pending, kalung panjang, kelat bahu. Penari perempuan
mengenakan leotard berlengan panjang berwarna putih, kain panjang merah jambu
tipis dengan bagian depan dibentuk menjadi hiasan wiron (wiru) agar kain panjang
bisa melebar jika kaki penari membuka ke samping, juga memakai kalung, giwang,
dan kelat bahu. Rambut penari laki-laki dan perempuan diangkat ke atas dengan
sanggul cepol (sanggul bulat dan kecil) sederhana agar gerak leher tampak jelas.
Tata rambut dan tata rias penari laki-laki dan perempuan oleh Wibowo ditata
serupa, dan hidung penari dibuat lebih mancung untuk memberikan kesan yang
sama antara penari laki-laki dan perempuan. Dalam karya tari Sinta tersebut semua
penari perempuan bisa mengekpresikan dan atau menjadi tokoh Sinta.
Karya tari Sinta garapan Ida Wibowo bisa dikatakan kontemporer karena
upaya eksplorasi untuk memperoleh inovasi dengan keluar dari gaya tari Jawa
meski tetap digunakan sebagai sumber dan ia juga keluar dari gaya Padepokan
Bagong Kussudiardja di mana ia dibesarkan dan menjadi salah satu sanggar
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


254

penimbaan seni tari baginya. Eksperimentasi gerak baru nyata sekali dilakukannya
pada karya ini. Shaaron Boughen menjelaskan bahwa pengertian kontemporer
adalah penyodoran gerak baru untuk mencapai gaya (style) yang lebih baru lagi dan
itu menjadi kecenderungan yang dilakukan oleh para penari dan koreografer terlatih
pada masanya.

5.15. I Gusti Kompyang Raka (1947): Nyejer Agung


Nyejer Agung adalah judul karya tari I Gusti Kompyang Raka yang
ditampilkan dalam Festival Karya Tari VII-1986. Karya tersebut digarap
berdasarkan inspirasi dari rangkaian suatu upacara suci di Bali yaitu hari Nyepi.
Hari Nyepi dilaksanakan setiap tahun secara turun-temurun dan dilaksanakan
selama lima hari berturut-turut.
Kompyang Raka menggarap karya tari Nyejer Agung dengan memanfaatkan
kekayaan gerak dan gending Bali tetapi gerak tarinya dipilih yang relatif sederhana
dan bernuansa khidmat. Selanjutnya garapan geraknya dikembangkan dengan
memadukan berbagai gerak tari dari daerah di luar Bali seperti Melayu, Sunda,
Aceh dan Jawa, yang disesuaikan dengan tema karya tari tersebut dan terdiri atas
empat adegan.
Pada bagian penutup, Kompyang Raka menggarap karya tarinya dengan
menghadirkan sekelompok anak muda masuk ke area pentas dengan sepeda motor.
Derum mesinnya memecah kesunyian, mengacaukan suasana sepi pada adegan
upacara hari Nyepi yang dihadirkan dengan para penari diam tidak bergerak dan
juga tanpa bunyi gending. Lampu-lampu panggung tetap dibiarkan bersinar sangat
terang dari berbagai sudut area pentas, menerangi sejumlah penari yang tersebar
dalam kondisi diam. Selanjutnya pemeran Hansip menyuruh anak-anak muda itu
mematikan sepeda motor.462 Di pengujung karya, para penari bergerak lambat dan


462
Sardono W. Kusumo mengungkapkan bahwa adegan sepeda motor yang masuk ke
panggung dan bunyinya menggeram-geram untuk mengacaukan suasana Nyepi tidak mengejutkan
atau mendobrak suasana Nyepi seperti yang dimaksudkan Kompyang, hanya sebatas mendobrak
panggung. Sardono W. Kusumo, “Gegap yang Tua”.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


255

tenang, dan iringan tari terdengar sayup lalu secara perlahan lampu meredup hingga
menjadi gelap.
Meski karya tari Nyejer Agung bertemakan hari Nyepi, namun kostum dan
perhiasan yang dipakai penari tetap gemerlap dan beraneka warna, dengan tata
lampu yang semarak, dan jumlah penari perempuan maupun laki-laki hampir
memenuhi area pentas.
Karya ini boleh disebut kontemporer dengan basis gerak tari tradisional dari
berbagai daerah meskipun temanya sangat Bali: hari Nyepi. Kehadiran sepeda
motor di panggung dan kostum warna-warni serta tata cahaya gemerlap adalah
kekinian pada zamannya. Masa itu sepeda motor merupakan simbol kekinian yang
dihadirkan dalam sebuah tema berkadar keagamaan yang ritusnya sudah
berlangsung berabad-abad. Kekinian itu merupakan salah satu penanda dalam seni
kontemporer.

5.16. Martinus Miroto (1959): Sampah


Miroto menggarap teater tari Sampah dan ditampilkan dalam Festival
Karya Tari VII-1986. Idenya adalah sampah bisa dijadikan inspirasi untuk
penggarapan sebuah karya tari.463 Miroto, yang yakin banyak orang seperti dirinya,
sering merasa terganggu oleh sampah yang berserakan di mana-mana. Meski
demikian bagi mereka yang disebut kere (gelandangan), keberadaan sampah justru
merupakan sumber kehidupan yang bisa membuat mereka bertahan hidup.
Berangkat dari ide tersebut karya tari Sampah berbicara tentang keakraban kere
dengan sampah sehingga membuat diri mereka juga sering mendapat predikat


463
Miroto sangat terkesan dengan karya Sardono W. Kusumo berjudul Meta Ekologi (1979)
yang menggunakan lumpur sebagai area pentas, sekaligus media untuk para aktor dan penari
bereksplorasi. Kusumo yang dalam karyanya tersebut menumbuhkan kembali kepekaan terhadap
lingkungan dan unsur-unsur alam, mendorong Miroto melakukan hal yang sama. Selain itu
semangat kebaruan Miroto dalam menggarap karyanya juga dipengaruhi oleh semangat kebaruan
yang dilakukan oleh guru-gurunya: Bagong Kussudiardja, Sardono W. Kusumo, dan Pina Bausch
(Hasil wawancara dengan Miroto, 20 Desember 2014). Terdapat pengaruh lokal dan global, stimuli
ide dan visual dalam pencarian geraknya.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


256

sebagai sampah. Namun di dalam “bersih” pun sesungguhnya juga terdapat


sampah. Sampah juga ada di batin manusia.464

Foto 10. Dok DKJ


Sampah, yang secuplik adegannya tampak dalam foto 10 oleh Miroto
digarap dalam bentuk teater tari yang membuka kemungkinan bercampurnya aspek
gerak tari dan akting,465 yang di tahun 1980-an belum lazim dilakukan oleh penata
tari di Indonesia. Teater tari tersebut ditampilkan melalui beberapa karakter
pemulung yang didukung tujuh penari, petugas kebersihan didukung empat penari,
dan seorang perempuan seksi. Sampah di dalam karung digambarkan dengan tujuh
anak-anak yang berada dalam karung. Dihadirkan juga satu orang yang berperan
sebagai orang gila.


464
Dengan latar belakang idenya tersebut, kemudian Miroto melakukan pengamatan pada
1983 di sekitar jembatan Kewek, Yogyakarta, yang kumuh, sementara di seberangnya berdiri Hotel
Garuda yang megah. Ia juga berdialog dengan para pemulung dan gelandangan yang tinggal di
gubuk plastik, dan sering dicurigai sebagai pencopet, maling, atau penjahat lainnya oleh masyarakat
hanya karena mereka melarat dan tampak kumuh. Padahal pekerjaan mereka halal karena mereka
memulung botol plastik, kertas, mencari puntung rokok dan barang bekas lainnya yang kemudian
dijual. Saat yang paling memilukan adalah saat mereka digusur dan rumah plastik mereka
dihancurkan. Cerita para pemulung tersebut menjadi inspirasi penggarapan karya tari Sampah,
karena sampah merupakan fenomena nyata di Yogyakarta di tahun 1980-an. Dengan demikian tema
garapan tersebut adalah masalah sosial, dan dalam hal tersebut stimuli diperoleh dari melihat (visual)
dan mendengar (audio).
465
Miroto belajar bentuk teater tari dari Pina Bausch di Jerman, dan mengembangkannya
dalam format kontemporer. Hasil wawancara dengan Miroto, 20 Desember 2014.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


257

Gerak tari pemulung bersumber dari hasil observasi kegiatan mereka


mencari puntung rokok, botol plastik, dan barang bekas lainnya yang selanjutnya
dieksplorasi dan diolah menjadi gerak tari. Komposisi gerak tari berkelompok para
pemulung bersumber dari bentuk tari Bedaya yang lembut, dipadu dengan gerak
rampak yang keras, dan akting. Tari petugas kebersihan, dengan simbol membawa
sapu panjang, koreografinya dilahirkan berdasarkan format tari Lawung yang
gagah, rampak dan agresif. Perempuan seksi dihadirkan sebagai simbol kemegahan,
kenikmatan, pelacuran dan korupsi. Koreografi karakter perempuan cantik
bersumber dari tari Bali yang geraknya meliuk-liuk dan dinamis sedangkan penari
sampah dalam karung menggunakan gerak sederhana. Adapun karakter orang gila
merupakan simbol dari punakawan yang lucu, yang perannya lepas dari konteks
tema garapan teater tari Sampah, namun tetap terkait sebagai bagian dari dinamika
keseluruhan garapan. Miroto menggarap karakter orang gila yang meminjam
simbol punakawan, inspirasinya diperoleh dari dramaturgi wayang kulit pada
adegan gara-gara yang terselip di antara alur cerita. Garapan gerak orang gila
bersumber dari berbagai gaya akting yang mencerminkan orang gila.466
Musik iringan teater tari Sampah digubah secara khusus berdasarkan tema,
isi garapan, plot, yang terdiri dari beberapa adegan yaitu para pemulung, sampah
dalam karung, cinta kere, pembersihan, seksi dan megah, dan “semua sampah”,
dengan menggunakan alat musik bambu dan vokal yang direkam.
Kostum penari perempuan seksi adalah rok mini yang memberi kesan seksi.
Penari sampah selain berada di dalam karung juga seluruh tubuhnya dibalut
tempelan koran bekas. Petugas kebersihan memakai busana celana dan baju
panjang dengan ikat pinggang, sedangkan orang gila bertelanjang dada dan
memakai celana hitam sebatas betis.
Dalam mengolah suasana yang ingin dihadirkan, Miroto memanfaatkan
penataan lampu dengan membuat kontras antara lampu yang cenderung gelap
dengan pemakaian lampu ultraviolet sehingga mempertajam kontras. Karya tari


466
Pemeran orang gila dimainkan oleh Jemek Supardi, seorang seniman pantomim
terkemuka di Yogyakarta, hasil wawancara dengan Miroto, 20 Desember 2014.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


258

Sampah garapan Miroto termasuk karya tari kontemporer karena kekuatan ide dan
teknik dengan kemampuan memanfaatkan kekayaan pola gerak, perbendaharaan
teknik dari tari tradisional Jawa gaya Yogyakarta di antaranya tari Bedaya dan
Lawung. Namun unsur tari tradisional tersebut hanya digunakan sebagai pijakan
pada karakternya yang halus dan gagah dengan kemampuan merangkum
pemanfaatan eksplorasi sehingga gerak tari tradisional tersebut tidak lagi terlihat.
Karya tari yang dominan dalam aspek visual dan bukan kinetika467 merupakan
kontribusi Miroto dari aktualisasi permasalahan yang ada di depan mata, sampah.

5.17. Laksmi Simanjuntak (1952): Kala Bendu


Masa depan datang begitu cepat dengan mendesakkan yang serba baru,
asing, dan nilai-nilai baru dalam segala bidang. Ketidakmampuan seseorang
menghadapi kenyataan yang ada dalam perjalanan kehidupannya yang tak
menemukan tujuan, berpacu dengan kecepatan, kebaruan, dan keanekaragaman
lingkungan hidup masa sekarang ini yang terasa mengimpit, hingga menimbulkan
kebingungan, kepanikan, kegelisahan yang menjeratnya dalam krisis. Eksistensi
yang tak mampu memberi makna dan ketika tersadar, kematian menjadi pilihannya,
yang kemudian dipuisikan dalam bahasa Jawa.
Berangkat dari pengamatan terhadap berbagai kenyataan hidup di era
modern dan juga berdasarkan puisi di atas, kemudian Laksmi Simanjuntak468
menggarapnya menjadi karya tari berjudul Kala Bendu, dan ditampilkan dalam
Festival Karya Tari VII-1986.
Bila puisi bergantung pada kata, maka tari bergantung pada gerak. Sebagai
media ekspresi, kata dan gerak menjadi sandaran penampilannya. Bila kata dalam
puisi merupakan sosok yang mewujud dari roh dan sukma puisi, maka gerak dalam


467
Karya Miroto yang dominan visual dan bukan kinetika, disiapkan dengan cermat melalui
studi adegan dengan digambar terlebih dulu. Metode tersebut tepat dengan pendekatan visual dalam
koreografi.
468
Sejak tahun 1996 Laksmi mengubah nama yang biasa digunakan dalam berkesenian
yaitu Laksmi Simanjuntak (Simanjuntak adalah nama marga suaminya), menjadi Laksmi
Notokusumo (Notokusumo adalah nama keluarga besar ayahnya). Hasil wawancara dengan Laksmi
Notokusumo melalui email, 2 Januari 2015.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


259

tari juga sosok yang mewujud dari roh dan sukma sebuah tari. Dengan demikian
penggarapan karya tari Kala Bendu tidak terbatas pada gerak sebagai bentuk visual,
tetapi dilanjutkan dengan usaha menangkap roh dan sukma tari tersebut.
Dalam penuangan teks puisi dalam karya tari, meski tetap menggunakan
bahasa Jawa yang sangat dikuasai oleh Laksmi Simanjuntak, namun bentuk dan
penyajiannya tidak lagi terikat oleh batasan-batasan yang ada dalam bentuk-bentuk
puisi yang biasa dilakukan dalam masyarakat pendukung puisi dan bahasa tersebut.
Begitu pula dalam menggarap dan menuangkan gerak dan ekspresi lainnya, tidak
lagi terikat pada bentuk dan pola tari tradisional klasik ataupun modern. Garapan
gerak bertolak dari penghayatannya pada kebudayaan urban di kota besar. Di
sinilah Laksmi Simanjuntak mendongkrak keberaniaannya untuk melepaskan diri
dari keterikatan pada unsur-unsur tradisional klasik maupun modern, dan kembali
kepada pencarian gerak tubuh sehari-hari.
Oleh karena mengeksplorasi gerak sehari-hari dalam garapan karya tarinya,
Laksmi Simanjuntak selain mengajak penari juga mengajak teman-teman bukan
penari. Mereka melakukan eksplorasi bebas pada seluruh anggota tubuh hingga
terwujudlah bentuk-bentuk dan pola-pola gerak, ekspresi, sesuai kebutuhan tema
tarinya.
Musik tari Kala Bendu idenya berdasarkan konsep gagasan karya tari yang
kemudian digubah oleh penata musik dengan memakai media elektronik menjadi
elektronik akustik. Dalam gubahan musik tari tersebut penata musik (Tony
Prabowo, lahir 1956) merekam bunyi dari alat-alat musik akustik yang
dikombinasikan dengan berbagai suara seperti suara angin, air, suara-suara pemain
teater, suara Laksmi Simanjuntak sedang berbicara, menembang, ataupun suara–
suaranya menyebutkan beberapa kata yang diulang dengan nada dan cara
penyebutan yang beragam, dan sebagainya. Suara-suara tersebut direkam dan
diproses sehingga menghasilkan suara musikal elektronik yang kemudian dikenal
dengan istilah elektronik-akustik.469


469
Saat itu di Indonesia musik elektronik-akustik belum banyak dikenal masyarakat dan
penata musik mengubah musiknya dengan pendekatan tersebut di tahun 1980-an. Namun sebagai
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


260

Kala Bendu adalah sebuah eskperimen gerak tanpa maksud untuk menari.
Ia semata-mata gerak untuk menampung narasi kehidupan, yang mencampakkan
manusia ke dalam krisis bila tiada sanggup meniti perubahan. Memang eksperimen
ini tidak bermaksud untuk menari dalam pengertian bahwa tari adalah gerak yang
berpola dan berbentuk; bersifat ritmis; gerak tubuh nonverbal yang bukan aktivitas
gerak keseharian. Laksmi dengan sadar memang menjauhi itu. Ia hanya bergerak
dan bergerak, bahkan sengaja ditonjolkan aktivitas gerak manusia keseharian. Ini
mengingatkan reaksi postmodernism pada modern dance. Karya-karya
postmodernism pun disebut kontemporer karena berpaling dari ciri-ciri masa lalu.
Demikian pula Kala Bendu di tangan Laksmi Simanjuntak.

5.18. Hendro Martono (1960): Fatamorgana


Fatamorgana adalah karya tari garapan Hendro Martono yang ditampilkan
di Pekan Koreografi 1987. Ide karya tari tersebut terinspirasi dari pengalaman
menonton rekaman karya tari para tokoh tari modern Amerika Serikat yaitu, Marta
Graham, Jose Limon (1906–1972), Alwin Nikolais, dan Pilobulos Dance Company
(1971), di perpustakaan Kedutaan Amerika Serikat di Jakarta, pada tahun 1980-an.
Karya-karya Alwin Nikolais dan para koreografer Amerika Serikat yang bergabung
dalam Pilobolus Dance Company sangat menarik perhatian Martono karena seni
tari tidak berdiri sendiri tetapi didukung penataan kostum, rias dan perlengkapan
tari (property), setting yang sama kuatnya.470 Peran manusia sebagai seorang penari
tidak individual tetapi justru melebur menyatu dengan penari yang lain, kostum,


istilah telah diketahuinya sebelum tahun 1980-an karena pendekatan garap tersebut telah
berkembang di Eropa Barat dan Amerika sekitar tahun 1940-an. Hasil wawancara dengan Tony
Prabowo di Jakarta, 3 Maret 2016.
470
Bagi Hendro Martono, Alwin Nikolais sangat kuat dalam menata cahaya yang bias
cahayanya membentuk garis-garis, bulatan-bulatan kecil, maupun persinggungan warna cahaya
sehingga menghasilkan visualisasi yang unik dan indah. Kostum dan property Nikolais yang
mendukung estetika visual menjadikan bukan lagi manusia yang bergerak melainkan wujud
lain.Wujud tariannya menyerupai seni optik yaitu antara bentuk yang jelas tersamar dengan warna
kostum dan cahaya yang selalu berubah. Adapun Pilobolus bagi Martono, mengutamakan kesatuan
tubuh-tubuh penari, saling memeluk, melengkung, menelusup di antara tubuh-tubuh yang saling
menyatu, bagaikan binatang melata yang bergerak lamban namun pasti, dan membentuk wujud yang
dinamis. Hasi wawancara dengan Martono, 12 Agustus 2015.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


261

perlengkapan tari, tata cahaya maupun setting, menjadi bentuk-bentuk baru yang
unik, bagaikan wujud mahkluk aneh yang bergerak di atas panggung. Berdasarkan
ketertarikan tersebut Martono berupaya mendekati karya-karya asing tersebut dan
memberinya judul Fatamorgana, antara realita dan khayalan.
Dalam proses penggarapan, Martono melakukan eksplorasi bersama penari
yang dimulai dengan menonton rekaman karya Alwin Nikolais dan Pilobolus
Dance Company. Kemudian ia membuat gambar sketsa formasi beberapa penari
yang saling bertumpuk, bergantung, memeluk, menahan, menyelinap dan lain-lain,
yang pola geraknya ditekankan kepada kerja sama antara dua penari atau lebih,471
dalam permainan pergeseran gravitasi bumi terhadap tubuh dengan memindahkan
secara lembut antara penyangga yang satu kepada penyangga yang lainnya. Karya
tari tersebut tidak naratif, berupa pencarian formasi gerak dan bentuk yang saling
mengait antarpenari.
Esplorasi berikutnya adalah ekperimen penari bergerak di antara parasut.
Ide penggunaan parasut muncul ketika melihat parasut yang ditiup angin
menggelembung ke atas sesaat lalu mengempis lagi seperti jamur atau ubur-bur di
laut.472 Pada sektor lain, gerak-gerak abstraksi serangga yang diproyeksikan ke
bentangan payung parasut, menghasilkan permainan disain parasut dengan sifatnya
terhadap gaya tarik bumi dan dalam menahan udara, dan memberikan imajinasi
“keberadaan dalam kehampaan…” yang kemudian menjadi tema karya
Fatamorgana. Namun konsep tata cahaya Fatamorgana tersebut tidak bisa tercapai
saat ditampilkan di Teater Tertutup PKJ-TIM karena dalam penyelenggaraan Pekan
Koreografi Indonesia tersebut sebuah karya tari tidak bisa tampil sendiri dalam satu
malam (full evening program). Hal itu disebabkan keterbatasan waktu
penyelenggaraan yang tentunya berkaitan dengan dana, selain tidak
memungkinkannya penggarapan konsep lampu bisa dipenuhi bagi dua atau tiga


471
Formasi tari dan geraknya tidak bisa dilakukan sendiri oleh seorang penari, sedikitnya
dua penari, atau beberapa penari. Hasil wawancara dengan Martono, 12 Agustus 2015.
472
Ide menggunakan parasut muncul ketika melihat parasut dipasang sebagai penutup stan
makanan dan barang-barang lainnya, dalam acara bazar di kampus Akademi Seni Tari Indonesia
(ASTI) Yogyakarta dalam rangka Dies Natalis, pada tahun 1985 (Martono, 12 Agustus 2015).
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


262

pertunjukan dalam satu malam pertunjukan di tempat yang sama. Meski demikian
Fatamorgana tetap tampil dalam keterbatasan pemenuhan konsep tata cahaya,
namun suasana kelautan tetap bisa dicapai.
Kostum Fatamorgana oleh Martono dibuat sederhana, hanya mengenakan
baju kaus putih tanpa lengan dan tight agar penari leluasa bergerak, dan gerak yang
dihasilkan utuh. Baju kaus diberi spons untuk membentuk pundak penari menjadi
terlihat tegap dan lurus horizontal, dan berfungsi melindungi pundak saat diinjak
kaki penari lain maupun saat penari bergerak bergulung. Tight yang dikenakan
penari berwarna putih dengan bercorak garis-garis vertikal berwarna hitam, untuk
memperkuat garis gerak kaki.

Foto 11. Dok. DKJ


Foto 11 menunjukkan kepala penari dibungkus kain kaos dilapisi spons
sehingga menyerupai helm, untuk melindungi kepala saat penari bergerak jungkir-
balik dan bentuk kepala tampak jelas, namun bisa mengesankan bukan kepala
manusia.
Fatamorgana merupakan karya tari kontemporer yang dihasilkan pada
tahun 1987. Martono menyebut karyanya dalam kategori tari modern yang
merupakan hasil studi dari karya koreogafer modern dance Amerika Serikat. Ia
tidak berangkat dari tari tradisional daerah tertentu. Ia menggunakan pola-pola

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


263

gerak bebas hasil proses eksplorasi dengan sedikit gerak akrobatik yang
mengandalkan kemampuan teknik penari. Inovasi gerak itu diperoleh melalui
proses eksplorasi yang tidak sebentar.473
Sebagaimana dinyatakan sendiri oleh Hendro Martono, Fatamorgana
adalah tari modern dalam pengertian modern Amerika karena ia mengambil
referensinya dari sana. Modern dance di Amerika adalah tapak berikutnya dari
balet. Modern dance muncul sebagai reaksi dari balet yang dinilai terlalu
menyembunyikan emosi banal manusia. Hal yang disaksikan Martono dalam
modern dance adalah penonjolan pada batang tubuh (torso), berat badan, dan lantai
panggung adalah milik seluruh tubuh bukan hanya milik kaki seperti di balet. Oleh
karena itu Martono dan para penarinya betul-betul berlatih ketubuhan yang utuh.
Batang tubuh memperoleh fleksibilitas yang lebih besar dan gravitasi tubuh
serendah-rendahnya hampir menyentuh lantai dengan cara menekuk lutut sedalam-
dalamnya.
Apa yang dilakukan Hendro Martono adalah sebuah gaya yang eksis di
Barat pada tahun 1920-an hingga1960-an namun di Indonesia belum merasuk
karena keterbatasan kesempatan menonton kebaruan seni tari pada masa itu dan
keterbatasan seniman tari Indonesia yang beruntung bisa mereguk pengalaman
intensif ke mancanegara. Dengan demikian pertunjukan Martono pun dipandang
sebagai kebaruan dalam konteks kekinian pada waktu itu. Kekinian adalah kata lain
dari kontemporer.

5.19. Bagong Kussudiardja (1928-2004): Kurusetra


Koreografer senior yang tampil dalam Pekan Koreografi 1987 adalah
Bagong Kussudiardja dari Yogyakarta yang menampilkan karya berjudul
Kurusetra melalui tema yang menggambarkan peperangan besar antara dua
keluarga sedarah Pandawa dan Kurawa.


473
Mary Christa, “‘Rajah” & “Fatamorgana” Muncul di Tengah Diskusi Pekan Koreografi
Indonesia di TIM” dalam Berita Buana, 15 Juni 1987.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


264

Foto 12. Dok. DKJ

Foto 12 menunjukkan Kurusetra yang digarap oleh Kussudiardja hanya


dengan menghadirkan dua penari laki-laki dan perempuan, dan mereka bergerak di
dalam ruang yang sempit berupa dua lapis level kecil (kurang lebih berukuran 100
x 80 cm, dengan ketinggian 20 cm) ditutup kain hitam. Dengan gerak yang relatif
hemat namun tetap mengeksplorasi media tubuh dan asosiasi karakter, gerak penari
yang tampak sederhana menjadi terasa kuat karena gesture, mimik, kualitas gerak,
digarap dengan emosi yang tepat. Bahkan saat kedua penari berbaring di atas level
dan menggerakkan jari-jarinya dengan intens, getaran jari-jari tersebut menjadi
seperti gerakan besar karena dialirkan dari seluruh tubuh. Ide dan konsep garapan
Kussudiardja yang menggambarkan perang saudara yang sangat besar, di padang
yang sangat luas, namun dihadirkan di panggung di atas dua lapis level kecil dengan
hanya dua orang penari. Ini merupakan penjabaran pandangan Kussudiardja atas
pilihan yang ada “hidup atau mati”.
Atmosfer pertempuran besar yang mengandung ketamakan, kebencian,
dendam, kesakitan, kesetiaan maupun kebenaran itu dibangun melalui garapan
musik gemuruh dari tiga komponis melalui berbagai pendekatan. Djaduk Ferianto
dengan garapannya dari berbagai macam corak musik etnik Indonesia, suara
gamelan garapan Ki Timbul Hadiprayitno berjudul gending Ranjaban Abimanyu,
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


265

dan musik Barat karya Vangelis dalam album MASK, Movement 5, dipadu dengan
percakapan dan nyanyian, yang saling tumpang tindih menghadirkan rasa menekan
dan serba tidak pasti. Warna hitam pada kostum yang dikenakan kedua penari
(dengan penari laki-laki bertelanjang dada), dan sewarna dengan penataan
panggung yang juga hitam serta tanpa setting dan property, menambah suasana
kelam penampilan Kurusetra.474
Kussudiardja menyajikan Kurusetra sebagai karya kontemporer. Cerita
wayang tersebut disajikannya tanpa simbol-simbol yang jelas dari wayang. Gerak
kedua penari bukan gerak Wayang Wong. Ada suara gamelan namun ditimpa suara-
suara lain. Kedua penari berkostum yang tidak selayaknya pemain wayang dan tak
terjumpai karakter wayang. Kussudiardja hanya mengambil tema cerita wayang
lantas memvisualisasikannya menurut daya ciptanya sendiri.
Dari analisis karya-karya tari kontemporer di Indonesia, tertegaskan bahwa
karya tari tradisional merupakan sumber gagasan yang sangat penting untuk
penciptaan karya kontemporer. Sebagai sumber gagasan, karya tari tradisional
selanjutnya oleh koreografer diolah lebih lanjut secara radikal agar muncul suatu
karya yang belum pernah ada sebelumnya. Dalam hal ini dihindarilah segala
ungkapan yang pernah ada. Namun di Indonesia, yang tak terhindarkan adalah
kesejarahan yang tidak terputus antara tradisi sebagai sumber ide yang dalam
garapan tari diejawantahkan menjadi karya kontemporer.


474
Lihat Efix Mulyadi, “Pekan Koreografi Indonesia, Tonggak Baru Bagong
Kussudiardjo” dalam Kompas, 14 Juni 1987; Karsono H. Saputra, “Dari Pekan Koreografi Indonesia
1987, Bunga Rampai Antara Pecarian dan Kemapanan” dalam Suara Pembaruan, 18 Juni 1987; dan
Sardono W. Kusumo, “Gegap yang Tua, Gempita yang Muda” dalam Tempo, 20 Juni 1987.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.



BAB VI
PENUTUP

Semua yang telah didapat dan dituliskan dalam disertasi ini diharapkan bisa
memberikan kontribusi dalam memahami perkembangan koreografi di Indonesia
terutama dalam konteks hadirnya karya tari baru, baik yang berupa pengembangan
dari tradisi maupun karya tari kontemporer sesuai dengan tema penelitian ini.

6.1. Kesimpulan
Gagasan dan bentuk penciptaan karya tari bisa berubah dan berkembang
sesuai dengan perubahan zaman yang tak terhindarkan berkaitan erat dengan faktor
perubahan dan kebutuhan dalam diri seniman sendiri yang antara lain dipengaruhi
oleh persinggungan dengan bentuk-bentuk seni lainnya. Seniman juga tidak bisa
mengabaikan selera masyarakat dan atau penonton yang berubah sesuai dengan
perubahan zaman. Di sinilah peran media massa termasuk pengamat dan kritikus
menjadi sangat penting untuk menjembatani aspirasi artistik seniman dan daya
tangkap penonton. Apresiasi terbentuk melalui jalan ini, yang juga berimbas kepada
pemahaman para pengayom dan penyandang dana yang bisa pemerintah, swasta
dan perorangan mengenai adanya perubahan kesenian.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perubahan dan pembaruan dalam
karya tari tradisional dilakukan oleh tokoh-tokoh pembaruan (agents of change).
Sesuai dengan metodologi strukturistik para tokoh pembaharu atau agen perubahan
adalah seniman tari dan mereka melakukan perubahan disebabkan oleh sejumlah
faktor antara lain tidak lagi puas terhadap karya tari tradisional yang dikuasai;
munculnya kreativitas dalam diri yang terbentuk melalui pembongkaran konsep-
konsep yang sudah ada agar bisa mengatasi kemandegan; adanya faktor lingkungan
yaitu masyarakat pendukung tradisi yang menginginkan terjadinya perubahan, atau
bisa justru sebaliknya masyarakat menolak adanya perubahan dan ini menjadi
hambatan (constraining) bagi terciptanya kebaruan. Hambatan ini oleh sebagian
seniman justru dipandang sebagai tantangan untuk penciptaan karya baru
(enabling). Seniman tari yang bergelut pada tradisi itu mampu melakukan
perubahan karena mempunyai pemikiran yang cenderung berorientasi pada nilai-
266 Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


267

nilai dan hal-hal yang berlaku di luar tradisi itu sendiri, yang diperolehnya dari
pengalaman dan pendidikan di luar lingkungan tradisinya.
Dengan demikian seniman tari dan atau koreografer yang tampil pada 11
program besar di PKJ-TIM dengan grup tarinya masing-masing adalah bagian dari
agents of change yang gerakan-gerakannya memperoleh saluran dari agent of
change lainnya yakni Gubernur Ali Sadikin yang menyediakan berbagai fasilitas
dan dana yang diperlukan. Melalui birokrasi Pemda DKI Jakarta sebagai struktur
yang menjalankan visi atasannya (Ali Sadikin) terbentuklah mekanisme yang
mendukung seluruh aktivitas di PKJ-TIM. Struktur birokrasi yang penekanannya
pada penyediaan dana tersebut memperoleh mitra struktur lainnya yakni DKJ
sebagai perwakilan manajemen artistik para seniman.
Adanya Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM) sebagai
sebuah struktur lainnya dari buah kebijakan kebudayaan pemerintah DKI Jakarta
menjadikan berbagai karya tari marak dipertunjukkan di tempat tersebut baik yang
berupa karya tari tradisional, karya tari baru hasil pengembangan dari tradisi,
maupun karya tari kontemporer. Hal itu terjadi karena adanya perencanaan program
yang terarah yang disusun oleh Komite Tari DKJ untuk membangun kesamaan visi,
bukan saja antarseniman tetapi juga dengan penyandang dana utama, yakni
pemerintah DKI Jakarta. Berbagai genre seni tari silih berganti ditampilkan di
empat gedung pertunjukan (Teater Arena, Teater Tertutup, Teater Terbuka dan
yang terakhir dibangun Graha Bhakti Budaya pada tahun 1983) di PKJ-TIM yang
kuantitas dan kualitasnya kemudian menjadikannya sebagai barometer karya-karya
tari di Indonesia. Antusiasme luar biasa para seniman tari untuk bisa berpentas di
PKJ-TIM mendorong mereka berupaya menciptakan karya-karya baru terbaik,
melalui pencarian kreatif yang intensif. Namun tidak semuanya terkabul karena
untuk bisa tampil di PKJ-TIM harus melalui pertimbangan kelayakan yang
dilakukan oleh Komite Tari DKJ. Kesempatan tampil melalui kurasi yang ketat
inilah yang membuat PKJ-TIM menjadi ukuran prestasi pencapaian artistik para
seniman tari karena para kurator adalah sejumlah insan tari yang kredibilitasnya
diakui.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


268

Di PKJ-TIM pula terjadi interaksi intensif antarseniman, yang juga


melibatkan seniman tari dengan seniman seni lainnya baik lokal, nasional, maupun
internasional. Melalui interaksi tersebut terjadilah saling tukar gagasan, teknik, dan
pengayaan artistik. Adanya suasana saling memberi dan menerima itu
menimbulkan gairah penciptaan karya-karya baru melalui eksperimentasi. Di
sinilah bermunculan karya-karya tari tradisional yang dikembangkan dan karya tari
kontemporer.
Perkembangan koreografi di Indonesia tak lepas dari akarnya, yakni seni
tari tradisional. Keberlanjutan ini karena banyak koreografer kita dibesarkan dalam
tempaan tradisi secara intensif mencakup aspek filosofis dan teknis. Sedemikian
tajamnya tempaan itu sehingga dalam penciptaan terjadi simbiosa antara
pendekatan tradisional dan pendekatan nontradisional.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya gairah penciptaan muncul bila
didukung oleh ketersediaan fasilitas, manajemen dan pendanaan. Dengan
penanganan yang baik berdasarkan visi dan misi yang padu, bermunculanlah karya-
karya tari baru, termasuk kontemporer, yang menarik minat penonton.
Terbentuklah segi tiga ideal: seniman, pemerintah, penonton.
Pada masa itu, PKJ-TIM merupakan sebuah wadah berkesenian yang belum
ada modelnya di Indonesia. Perangkat keras lengkap tersedia, mulai dari gedung
pertunjukan beserta peralatan-peralatan yang diperlukan (lampu, dekor dan
sebagainya), tempat berlatih, berproses, dan lokakarya (workshop), hingga wisma
tempat menginap para seniman. Ini semua adalah bagian dari kondisi berkesenian
yang memunculkan kegairahan berkarya pada masa itu.
Fasilitas yang baik bisa bermanfaat optimal bila dikelola oleh manusia-
manusia yang kompeten di bidangnya. Itu bisa ditemukan di PKJ-TIM: ada
karyawan yang fokus mengurusi perangkat keras di gedung pertunjukan, dan
Komite Tari DKJ yang khusus mengurusi perangkat lunak yakni pemilihan
program yang pantas dihadirkan, dan mengalokasikan pendanaan yang berasal dari
Pemda.

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


269

Komite Tari DKJ selalu memberikan kesempatan tampilnya karya-karya


baru melalui program reguler maupun program khusus. Program khusus tersebut
antara lain Festival Penata Tari Muda, Pekan Penata Tari Muda, Festival Karya
Tari, dan Pekan Koreografi Indonesia. Pada peristiwa itu muncullah karya-karya
baru yang di antaranya dikategorikan sebagai karya terkini atau kontemporer. Para
penciptanya dari kalangan yang sudah berpengalaman maupun wajah-wajah baru
namun diketahui telah menggembleng diri secara intensif dalam ranah penciptaan
karya baru.
Sebagai sebuah struktur yang bergantung pada struktur lain dalam hal
pendanaan, DKJ pada tahun 1983, 1984, 1987 mengalami keterbatasan pembiayaan
untuk penyelenggaraan festival-festival tari. Namun festival tersebut tetap
terselenggra karena ada komitmen luar biasa dari para anggota Komite Tari, para
anggota DKJ serta para pengelola PKJ-TIM yang komposisi personelnya selain
seniman adalah akademisi, birokrat dan profesional dalam manajemen. Komitmen
tersebut muncul dari sebuah sistem yang telah teruji bertahun-tahun tentang
mekanisme penyelenggaraan program di mana setiap kali ada kekurangan selalu
terselesaikan oleh sistem yang oleh Talcott Parsons dinyatakan bahwa sistem bisa
berjalan antara lain karena adanya personaliti dari setiap individu.475 Banyak
kendala yang memang bisa teratasi oleh personaliti dari masing-masing individu di
DKJ dan pengelola PKJ-TIM yang punya komitmen tinggi untuk berjalannya
program kesenian.

6.2. Rekomendasi
Dari penelitian yang mendalam untuk keperluan disertasi ini, penulis tak
ragu menyatakan bahwa di tengah arus perubahan yang terjadi pada masa kini, para
pendukung seni tari di Indonesia perlu membaca kembali kondisi dunia seni tari
Indonesia yang berkaitan dengan konteks sosial, politik dan ekonomi baik dalam


475
Talcott Parsons, “An Online of Social System” dalam Talcott Parsons, Edward Shils,
Kaspar D. Naegele, Jesse P. Pitts (eds.), Theories of Society, Foundations of Modern Sociolgical
Theory (New York: Macmillan Publishing Co., Inc., 1961), hlm. 30–79.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


270

tataran lokal maupun global. Perubahan, bila dilihat dari dua sisi, mengandung
konsekuensi melahirkan hambatan namun juga peluang optimisme yang bisa
diarahkan untuk optimalisasi peran seni tari dalam sumbangannya kepada negeri
ini.
Dengan demikian perlu disusun dan dilaksanakan kebijakan negara yang
tidak mengesampingkan kesenian pada umumnya dan seni tari pada khususnya.
Dalam penciptaan dan pertunjukan karya tari tidak mungkin seniman sendirian.
Negara mutlak harus turun tangan menyediakan berbagai prasyarat untuk kelahiran
karya-karya yang membanggakan.
Perlu tersedia infrasruktur berupa pusat-pusat kesenian yang lengkap
dengan tempat pertunjukan sekaligus tempat berlatih dan lokakarya, juga ruang-
ruang publik. Selain itu perlu adanya perangkat lunak seperti kelembagaan yang di
antaranya berperan membuat program, atau organisasi seni tari dan jaringan
kelembagaan sebagai agen pelaku maupun kebijakan publik mengenai seni tari
yang menjamin kebebasan berekspresi. Perangkat keras dan lunak harus sama
baiknya untuk memungkinkan hadirnya karya-karya baru dan pertunjukan-
pertunjukan yang memadai. Pengertian “baik” dalam konteks ini adalah tersedianya
fasilitas yang mendukung bagi perkembangan karya-karya tari berbagai genre.
PKJ-TIM sudah pernah membuktikan itu. Fasilitas tempat pertunjukan telah
dikelola dengan baik oleh manusia-manusia yang diberi tanggung jawab untuk
melakukannya.
Demi perkembangan seni tari, termasuk kontemporer, tak boleh ada
irasionalisme dalam hal dana, fasilitas tempat pertunjukan yang mengikuti
kemajuan teknologi, manusia-manusia pengelolanya dan publik penonton. Kata
kunci dalam hal ini adalah: “memenuhi syarat”. Kata kunci tersebut berlaku untuk
pendanaan, tempat latihan dan tempat pertunjukan serta pengelolanya, pembuat
program acara dan pengumpul penonton.
Sederet langkah strategis yang harus ditempuh adalah pendidikan kesenian,
baik formal maupun nonformal, untuk menyiapkan pelanjutan (regenerasi) seniman
tari yang berkualitas; penguatan dan pembentukan jejaring sebagai wahana
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


271

informasi segala kegiatan dan hasil garapan seni tari di dalam dan luar negeri;
penguatan dokumentasi sebagai pusat data untuk preservasi dan pengembangan
seluruh kekayaan seni tari di Indonesia; menyiapkan penonton di antaranya melalui
literasi untuk menumbuhkembangkan apresiasi terhadap seni tari.

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.



DAFTAR PUSTAKA

A. Sumber Arsip

Instruksi Gubernur KDKI-Jakarta tanggal 14 September 1967 No. Ib.2/1/48


tentang Penggunaan Nama-nama Jabatan/Dinas Pemerintah DKI-Jakarta.

Keputusan Gubernur KDKI-Jakarta No. Cb8/1/27/1967 tanggal 19 September


1967 tentang Pemisahan Urusan Kebudayaan dari Jawatan Pendidikan,
Pengajaran dan Kebudayaan DKI-Jakarta.

Laporan Kegiatan Tari DKJ, Dewan Kesenian Jakarta, November 1968 s.d.
Desember 1985.

Laporan Program PKJ-TIM di Akhir Pelita ke II, 1979.

Laporan Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki 1968–1970.

Pendapatan Regional DKI Jakarta 1966–1974. Jakarta.

Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 1/1974 tanggal 28 Maret 1974 tentang
REPELITA II DKI Jakarta 1974/1975-1978/1979 (Lembaran Daerah No.
45 tahun 1974. Jakarta: Pemerintah DKI Jakarta.

Rekaman suara dalam forum diskusi usai pertunjukan Pekan Koreografi Indonesia
1987, di Teater Tertutup TIM, 14 Juni 1987. koleksi DKJ.

Surat Keputusan Gubernur KDKI Jakarta No. B.6/6/52/1966 tanggal 22 Juni 1966
tentang: Struktur Organisasi Sekretariat Pemerintah DKI Jakarta. Jakarta:
Pemerintah DKI Jakarta.

Surat Keputusan Gubernur KDKI Jakarta No. Ib.12/1/10/72 Tanggal 11 November


1972 tentang Penyempurnaan Susunan Organisasi Sekretariat Daerah DKI
Jakarta. Jakarta: Pemerintah DKI Jakarta.

B. Wawancara

- Damais, Adje. 74 tahun Jakarta, berasal dari Jawa-Perancis, adalah mantan


Direktur Museum Sejarah Jakarta 1989–1999 dan banyak memahami
kesenian Indonesia dan sejarahnya. Pada tahun 1978 mengetuai Festival
Jakarta, sebuah festival seni pertunjukan yang berpentas di banyak tempat
di Jakarta, ditempat terbuka dan tertutup. Wawancara di Jakarta 29 Juli
2013.
272 Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


273

- Dibia, I Wayan. 68 tahun, Bali, berasal dari Bali adalah seorang koreografer
dan etnomusikolog. Menjadi koreografer pada acara Pekan Penata Tari
Muda tahun 1978, dengan karya berjudul Grobogan. Wawancara di Jakarta
2012 dan melalui telepon dan email 2014.
- Djojonegoro, Wardiman. 82 tahun, Jakarta, berasal dari Jawa Timur adalah
mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tahun
1993-1998. Saat ini berperan sebagai pemateri dalam seminar, simposium,
lokakarya di lingkungan Lembaga Pendidikan. Pada masa Ali Sadikin
menjabat sebagai Gubernur DKI-Jakarta, ia menduduki jabatan Kepala Biro
2 (Protokol, Humas dan Umum) di kantor Pemerintah DKI-Jakarta, 1966–
1979. Wawancara di Jakarta, 31 Juli 2013.
- Fukuen, Tang. 44 tahun, Bangkok, adalah seorang kurator di berbagai
festival tari kontemporer internasional dan dramaturgi visual art dan art
performance, dari Singapura. Wawancara di Jakarta 24 Juni 2013.
- Ibnur, Tom. 62 tahun, Jambi, adalah koreografer. Menjadi koreografer pada
Pekan Penata Tari Muda III-1981 bersama Dedy Lutan dengan karya
berjudul Awan Bailau, dan Pekan Penata Tari Muda IV - 1982 berkarya
sendiri dengan judul karya Ambo Jo Imbau. Wawancara di Jakarta, 22
Maret 2014, 11 Januari 2015.
- Lutan, Dedy. 1951–2014, Jakarta, adalah seorang penari dan koreografer.
Menjadi koreografer pada acara Pekan Penata Tari Muda, 1982, bersama
Tom Ibnur dengan karya berjudul Awan Bailau. Karya ini kemudian
ditampilkan di Amerika pada tahun 1984 dalam acara American Dance
Festival. Wawancara di Jakarta, 2 Juni 2012.
- Martono, Hendro. 56 tahun, Yogyakarta. Dosen, koreografer dalam Pekan
Koreografi 1987 dengan karya berjudul Fatamorgana. Wawancara melalui
telepon dan email, 14 Desember 2014.
- Mefry, Ery. 59 tahun, Padang, adalah koreografer kontemporer. Menjadi
koreografer yang tanpil dalam Pekan Koreografi Indonesia 1987.

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


274

Wawancara di Jakarta, 15 Juli 2014 di Jakarta dan melalui email pada 11


Januari 2015.
- Meilihanny Sosrowardoyo. 59 tahun, Jakarta, adalah pensiunan PT Alun-
alun Indonesia dan pencinta seni. Wawancara di Jakarta, 16 Desember
2016.
- Miroto, Martinus. 57 tahun, Yogyakarta, adalah penari dan koreografer
yang tampil dalam Pekan Koreografi Indonesia 1987 dengan karya berjudul
Sampah. Wawancara melalui email 12 Januari 2014 dan tatap muka di
Jakarta 22 April 2015.
- Murgiyanto, Sal. 71 tahun, Yogyakarta, berasal dari Surakarta, di Jakarta,
adalah salah satu penggagas Festival Penata Tari Muda, Pengamat dan
Kritikus Tari. Wawancara di Jakarta, 19 Agustus 2014 dan di Yogyakarta,
20 Desember
- Oetoyo, Farida. 1939–2014, Jakarta, berasal dari Surakarta dan Belanda,
adalah penari dan koreografer yang bergabung dalam bengkel tari Sardono
W. Kusumo, banyak berkarya di tahun 1970-an dan 1980-an, tampil dalam
Pekan Koreografi Indonesia 1987, juga anggota DKJ, serta pengamat tari.
Wawancara di Jakarta, 11 Januari 2013.
- Parani, Julianti. 77 tahun, Jakarta, adalah penari dan koreografer yang
bergabung dalam bengkel tari Sardono W. Kusumo di tahun 1969 banyak
berkarya di tahun 1970-an dan 1980-an, tampil dalam Pekan Koreografi
Indonesia 1987, dan juga pengamat tari. Wawancara di Jakarta, 7 Juni 2013
dan 15 Februari 2014.
- Prabowo, Tony. 60 tahun, Jakarta, berasal dari Jawa Timur, adalah
komponis dan kurator seni pertunjukan. Wawancara di Jakarta, 4 Desember
2016.
- Sedyawati, Edi. 78 tahun, Jakarta, berasal dari Jawa Tengah, adalah penari,
anggota DKJ, pendiri Departemen Tari LPKJ, penggagas Festival Penata
Tari Muda, Seminar Kritik Tari 1977, pengamat, dan kritikus tari.
Wawancara di Jakarta, 22 Maret 2013 dan 17 Februari 2014.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


275

- Sipala,Wiwiek. 63 tahun, Bogor, berasal dari Sulawesi Selatan, adalah


seorang koreografer yang tampil dalam Festival Penata Tari Muda I-1978
dengan karya berjudul Akkarena, dan di Pekan Koreografi Indonesia 1987
dengan karya berjudul Ironi. Wawancara di Jakarta 28 Januari, 29 Februari
dan 28 Desember 2014.
- Suanda, Endo. 69 tahun, Bandung, adalah seorang koreografer dan
etnomusikolog. Menjadi koreografer pada acara Pekan Penata Tari Muda
tahun 1978, dengan karya berjudul Klana Tunjungseta. Wawancara di
Jakarta, 1 Juni 2012.
- Sudiharto, Sentot. 71 tahun, Jakarta, berasal dari Surakarta adalah seorang
penari dan koreografer. Bergabung dalam bengkel tari Sardono W. 1 Juni
2012 di Jakarta, Kusumo di tahun 1968, dan menjadi penari andalan
Sardono W. Kusumo, Huriah Adam, Julianti Parani, dan Farida Oetoyo.
Wawancara di Jakarta, 1 Juni 2012.
- Tasman, Agus. 80 tahun, Surakarta, berasal dari Jawa Tengah adalah penata
tari dalam Festival Penata Tari Muda 1978 dengan karya berjudul Wayang
Budha Sutasoma. Wawancara di Surakarta,12 Oktober 2013.
- Wibowo, Wahyu Santoso. 64 tahun, Surakarta, berasal dari Jawa Tengah,
adalah seorang penari dan koreografer. Menjadi koreografer pada acara
Pekan Penata Tari Muda tahun 1979, dengan karya berjudul Rudrah.
Wawancara di Jakarta, 30 Agustus 2012 di Jakarta dan di Surakarta,
Februari 2014.
- Winarno, Hurip. 62 tahun, Bogor, berasal dari Yogyakarta, adalah pengajar
Fakultas Seni Pertunjukan Institut Kesenian Jakarta, pegawai swasta dan
pencinta seni. Wawancara di Jakarta, 11 Desember 2016.

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


276

C. Surat Kabar dan Majalah

Angkatan Bersenjata, 27 Oktober 1968; 10 Januari 1971; 5 September 1974.


Aneka, no 16, Th V, 1 Agustus 1954.
Berita Buana, 1974, 13 & 19 Desember 1978; 19 Mei 1981; 10 Juli 1984.
Berita Yudha, 6 Maret 1971.
Harian Pelita, 16 November 1976; 8 Mei 1981; 5 April 1986.
Harian Rakyat, 29 Maret 1964.
Harian Merdeka, 7 Mei 1981.
Kompas, 1 September, 17 November, 23 Desember 1970; 2 September 1974; 2
September 1974; 18 Desember 1978; 18 dan 22 Oktober, 24 Desember
1979; 3 Februari, 11 Mei 1981; 13 Maret 1982; 21 September 1983; 15 Juli,
27 dan 30 September 1984; 17 Februari 1986; 14, 15 dan 28 Juni 1987; 8
April 1989
Majalah Indonesia, No. I–II, 1950.
Nusantara, 5 Maret 1971.
Pelita, 8 Mei 1981.
Pos Indonesia, 4 Maret 1971.
Sinar Harapan, 3 April 1968; 12 Desember 1972; 11 September 1974; 19 Februari
1986.
Tempo, 6 Maret 1971; 3 Juli 1971; 22 Desember 1973; 22 Desember 1973; 23
Februari 1974; 30 Desember 1978; 20 Oktober 1979; 20 Juni 1987; 10
November, 1990

D. Buku, Jurnal, dan Artikel

A.S, Soenarto. (1982). “Reog” dalam Sal Murgiyanto (ed.). Penata Tari Muda
1982. (hlm. 19). Jakarta: P.T. Harapan dan Dewan Kesenian Jakarta.

Ajidarma, Seno Gumira. (21 September 1983). “Koreografi Budaya”. Kompas.

Alam, Bachtiar. (1997). “Globalisasi dan Perubahan Budaya: Perspektif Teori


Kebudayaan”. Antropologi Indonesia, Majalah Antropologi Sosial dan
Budaya Indonesia No. 54, Thn XXI, Desember 1997-April 1998. (hlm. 1–
8). Depok: Antropologi UI.

Alisjahbana, Pia, dkk. (eds.). (1994). 25 Tahun Pusat Kesenian Jakarta Taman
Ismail Marzuki. Jakarta: Yayasan Kesenian Jakarta dan PT Dian Rakyat.

Anderson, Jack. (1997). Art Without Boundaries, The World of Modern Dance.
Iowa City: University of Iowa Press.

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


277

Ardan, S.M. (1994). “Seni Tradisi di PKJ-TIM” dalam 25 Tahun Pusat Kesenian
Jakarta Taman Ismail Marzuki. (hlm. 214). Jakarta: Yayasan Kesenian
Jakarta dan PT Dian Rakyat.

Ardhiati, Yuke. (2005). Bung Karno Sang Arsitek. Jakarta: Komunitas Bambu.

Ardjo, Irawati Durban. (2011). “Tari Sunda Baru dan Panggung Baru” dalam
Jennifer Lindsay dan Maya H.T. Liem (eds.). Ahli Waris Budaya Dunia:
Menjadi Indonesia 1950–1965. (hlm. 437–62). Denpasar: Pustaka Larasan.

Bandem, I Made and Fredrik Eugene de Boer. (1981). Kaja and Kelod, Balinese
Dance in Transition. Kuala Lumpur: Oxford University Press.

Barth, John. (1984). “The Literature of Replenishment” dalam The Friday Book:
Essays and Other Non-fiction. (hlm. 193–206). London: The John Hopkins
University.

Benedanto, Pax (ed.). (1999). Kronik Revolusi I Indonesia. Jakarta: KPG


bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation.

Bentara Budaya Jakarta. (1997). Pergelaran Tari Dewabrata Karya Retno Maruti.
Jakarta: Bentara Budaya.

Benny, Cornelia J. (20 Januari 1979). “Berfestival di TIM”. Harian Pikiran Rakyat.

Bintang, Ilham. (7 Oktober 1979). “Meta Ekologi: Sebuah Peristiwa ‘Gelembung


Sabun’”. Angkatan Bersenjata.

Bodden, Michael. (2011). “Teater Nasional Modern Lekra 1959–1965. Dinamika


dan Ketegangan” dalam Jennifer Lindsay dan Maya H.T. Liem (eds.). Ahli
Waris Budaya Dunia: Menjadi Indonesia 1950–1965. (hlm. 49 526).
Denpasar: Pustaka Larasan.

Bogaerts, Els. (2011). “’Kemana Arah Kebudajaan Kita?’ Menggagas Kembali


Kebudayaan di Indonesia Pada Masa Dekolonisasi” dalam Jennifer Lindsay
dan Maya H.T. Liem (eds.). Ahli Waris Budaya Dunia: Menjadi Indonesia
1950–1965. (hlm. 255–85). Denpasar: Pustaka Larasan.

Boneff, Marcel and Pierre Labrousse. (1997). “Un Danseur Javanais en France:
Raden Mas Jodjana (1893–1972)”. Archipel, volume 54. (hlm. 225–42).
Paris: Association Archipel.

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


278

Booth, Anne dan Peter McCawley. (1990). “Perekonomian Indonesia Sejak


Pertengahan Tahun Enampuluhan” dalam Anne Booth dan Peter McCawley
(eds.). Ekonomi Orde Baru. (hlm.1). Jakarta: Lembaga Penelitian,
Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial.

Brakel, Clara-Papenhuyzen. (1991). Seni Tari Jawa: Tradisi Surakarta dan


Peristilahannya. Jakarta: ILDEP RUL.

Brandon, James R. (2003). Jejak-jejak Seni Pertunjukan di Asia Tenggara. (terj.


R.M. Soedarsono). Bandung: P4ST UPI-Pusat Penelitian dan
Pengembangan Pendidikan Seni Tradisional Universitas Pendidikan
Indonesia.

Bremser, Martha (ed.). (1999). Fifty Contemporary Choreographers.


London/NYC: Routledge.

Bourdieu, Pierre. (1984). Distinction: A Social Critique and The Judgement of


Taste. (terj. Richard Nice). Cambridge: Harvard University Press.

Burt, R. (1998). Alien Bodies: Representation of Modernity, ‘Race and Nation’ in


Early Modern Dance. London and New York: Routledge.

Butterworth and Wildschuts (eds.). (1995). Language and Symbolic Power.


Cambridge, Mass: Harvard University Press.

-----. (2009). Contemporary Choreography: A Critical Reader. London: Routledge.

Chazin-Bennahun, Judith (ed.) (2005). Teaching Dance Studies. New York &
London: Routledge.

Christa, Mary. (15 Juni 1987). “’Rajah’ & ‘Fatamorgana’ Muncul di Tengah
Diskusi Pekan Koreografi Indonesia di TIM”. Berita Buana.

Chudori, Leila S. (10 November 1990). “Setelah Lahir TIM-TIM Kecil”. Tempo.

Clarke, Thomas and Steward Clegg. (1998). Changing Paradigm; The


Transformation of Management Knowledge for The 21st Century. Harper
Collins.

Cohen, Selma Jeanne (ed.). (1984). The Modern Dance, Seven Statements of Belief.
Connecticut: Wesleyan University Press.

Cohen, Matthew Isaac. (2010). Performing Othernes, Java and Bali on


International Stages, 1905–1952. (hlm. 175). London: Palgrave Macmilan.

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


279

Danandjaja, James. (1987). Folklor Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain.
Jakarta: Grafiti Pers.

Daud, Nurdin dan Marzuki Hasan. (1983). “Ramphak” dalam Sal Murgiyanto (ed.).
Penata Tari Muda 1983. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.

Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi


keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Dewan Kesenian Jakarta. (1977). “Seminar Kritik Tari 1977” dalam Arsip DKJ..

-----. (1978). Buku Program Festival Penata Tari Muda 1978. Jakarta: Dewan
Kesenian Jakarta.

-----. (1985). “Laporan Kegiatan Tari DKJ. November 1968 s.d. Desember 1985”.

-----. (1987). “Pekan Koreografi Indonesia 1987” dalam Buku Program..

-----. (1988). “Daftar Inventarisasi Pementasan Tari.”

Dewantara, Ki Hadjar. (1952). Dari Kebangunan Nasional Sampai Proklamasi


Kemerdekaan. Jakarta: NV Pustaka & Penerbitan Endang.

-----. (1985). “Tentang Puncak-puncak dan Sari-sari Kebudayaan di Indonesia”


dalam Soedarsono, Djoko Soekiman, Retna Astuti (eds.). Peranan
Kebudayaan Daerah dalam Proses Pembentukan Kebudayaan Nasional.
(hlm. 85–6). Jakarta: Proyek Penelitian Kebudayaan Nusantara (Javanologi)
Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Dibia, I Wayan. (1977). “Fungsi Kritik Tari” dalam Seminar Kritik Tari. Jakarta:
Arsip DKJ

-----. (1978). “Grobogan” dalam Festival Penata Tari Muda 1978. Jakarta: DKJ.

Dinas Kebudayaan . (1987). “Kebijakan Pewadahan Organisasi Kesenian Sejenis


dan Sedaerah di Wilayah DKI-Jakarta”. Jakarta: Dinas Kebudayaan
Pemerintah Daerah Khusus Ibukota.

D.P. Gaonkar. (2001). “On Alternative Modernities” dalam Gaonkar D.P.(ed.).


Alternative Modernities. (hlm. 1–23). Durham: Duke University Press.

Effendi, Bisri. (2001). “Kesenian Indonesia, Pertarungan antar-Kekuasaan (Sebuah


pengantar)” dalam Kebijakan Kebudayaan di Masa Orde Baru. (hlm. 663–
4). Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kemasyarakatan dan
Kebudayaan - LIPI dengan The Ford Foundation.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


280

Ensiklopedi. (1977). Ensiklopedia Musik dan Tari Daerah Sumatera Barat. Jakarta:
Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.

-----. (1989). Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 1. Jakarta: PT Cipta Adi


Pustaka.

-----. Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 4. Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka.

-----. Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 6. Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka.

Feith, Herbert and Lance Castles (eds.). (1970). Indonesian Political Thinking,
1945–1965. Ithaca/London: Cornell University Press.

Firdaus, Jose Rizal. (1984). “Simpai Geri” dalam Sal Murgiyanto (ed.). Pekan
Penata Tari Muda1984. (hlm. 25–32). Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.

Foulcher, Keith. (2004). Community and The Metropolis: Lenong, Nyai Dasima
and the New Order. Melbourne: Asia Research Institute.

Freeland, Felicia Hughes. (2009). Komunitas yang Mewujud; Tradisi Tari dan
Perubahan di Jawa. (terj. Nin Bakdi Soemanto). Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.

Geertz, Clifford. (1981). Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. (terj.
Aswab Mahasin). Jakarta: Pustaka Jaya.

Giddens, Anthony. (2009). Konsekwensi-konsekwensi Modernitas. Yogyakarta:


Kreasi Wacana.

-----. (2010). The Constitution of Society; Outline of The Theory of Structuration.


Oxford: Polity Press.

Gondomono, R. dan Sal Murgiyanto. (1994). “Yayasan Kesenian Jakarta” dalam


Pia Alisjahbana dkk (eds.). 25 Tahun Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail
Marzuki. (hlm. 59–60). Jakarta: Yayasan Kesenian Jakarta dan Dian Rakyat.

Gotschalk, Louis. (1986). Mengerti Sejarah. (terj. Nugroho Notosusanto). Jakarta:


UI Press.

Hadi, Y. Sumandiyo. (1981). “Kagunan Beksan Kusa dan Lawa” dalam Sal
Murgiyanto (ed.). Ungkapan dan Bahasan Festival Penata Tari Muda III
1981. (hlm. 29). Jakarta: PT Harapan dan Dewan Kesenian Jakarta.

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


281

Hamid, Farid. (1986). “Tari Badong” dalam Festival Karya Tari VII/1986. (hlm.
6). Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.

Handayama, Francis. (22 Februari 1986). “Dari Festival Karya Tari DKJ VII,
Sepeda Motor Pun Naik Panggung”. Suara Karya.

Harahap, Banda. (6 Juni 1965). “Tingkatkan dan Kembangkan; Djajalah Partai dan
Negeri”. Harian Rakyat.

Hardjana, Suka. (28 Juni 1987). “Dari Pekan Koreografi Indonesia, Sardono dan
Makna Sebuah Pekan Seni”. Kompas.

Hatley, Barbara. (1994). “Cultural Expression” dalam Hal Hill (ed.). Indonesia’s
New Order: The Dynamic of Socio-Economic Transformation. (hlm. 216–
18). Australia: Allen and Unwin Pty Ltd.

Hawkins, Alma M. (2003). Bergerak Menurut Kata Hati, Metoda Baru dalam
Menciptakan Tari. (terj. I Wayan Dibia). Jakarta: Ford Foundation dan
Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.

Heraty, Toeti. (2006). “Bertetangga dengan Taman Ismail Marzuki” dalam


Bambang Bujono (ed.). Empu Ali Sadikin 80 Tahun. (hlm. 68–70). Jakarta:
IKJ Press.

Herlambang, Wijaya. (2013). Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde


Baru Melegitimasi Anti Komunisme Melalui Sastra dan Film. Jakarta:
Marjin Kiri.

Hobsbawm, Eric. (1983). “Introduction: Inventing Traditions” dalam Eric


Hobsbawm dan Terence Ranger (eds.). The Invention of Traditions. (hlm.
1–14). London: Cambridge University Press.

Holt, Claire. (1967). Art in Indonesia: Continuities and Change. Ithaca, New York
Cornell University Press.

HS, Usil Susilo. (6 September 1977). “Percakapan dengan Julianti Parani”. Berita
Buana.

Humphrey, Doris. (1959). The Art of Making Dances. New York: Grove Press.

Ikhlas, Mohammad. (1986). “Kie dalam Imbauan” dalam Festival Karya Tari
Dewan Kesenian Jakarta VII/1986. (hlm. 16). Jakarta: Dewan Kesenian
Jakarta.

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


282

Ikranagara. (23 Oktober 1979). “Nikolais yang Gilang Gemilang dan Meta Macet”.
Berita Buana.

Inggrid. (Maret 2005). “Sektor Keuangan dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia:


Pendekatan Kausalitas dalam Multivariate Error Correction Model
(VECM)”. (hlm. 40–50). Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, Vol 8,
No.1.

Jenkins, Keith. (1996). Re-thinking History. London & New York: Routledge.

Jeschke, Claudia. (1992). “Reconstruction/Deconstruction: Currents in


Contemporary German Dance” dalam Walter Sorell (ed.). The Dance Has
Many Faces. (hlm. 88–93). Chicago: Capella Books.

Jones, Tod. (2015). Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia. Kebijakan Budaya


Selama Abad ke-20 hingga Era Reformasi. (terj. Edisius Riyadi Terre).
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Jowitt, Deborah. (1999). “Introduction” dalam Martha Bremser (ed.). Fifty


Contemporary Choreographer. (hlm. 1–12). London & New York:
Routledge.

Kayam, Umar. (1979). “Peranan Seni Tradisional dalam Modernisasi dan Integrasi
di Asia Tenggara” dalam Seni, Tradisi, Masyarakat. (hlm. 36). Jakarta:
Sinar Harapan.

-----. (1981). Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan.

Kealiinohomoku, Joan. (1982). “An Anthropologist Looks at Ballet as a Form of


Ethnic Dance” dalam Meriam Van Tuy (ed.). Impulse 1969–1970:
Extension of Dance. (hlm. 26). San Francisco: Impulse Publications.

Koentjaraningrat. (1984). “Kebudayaan Jawa” dalam Seri Etnografi Indonesia no.


2. (hlm. 300). Jakarta: PN Balai Pustaka.

-----. (2002). Pengantar Antropologi Budaya. Jakarta: Aksara Baru.

Kottak, Conrad Phillip. (2010). Mirror for Humanity, A Concise Introduction to


Cultural Anthropology. Michigan: Mc Graw Hill.

Kraus, Richard and Sarah Chapman et al. (1991). History of The Dance in Art and
Education. USA: Prentice Hall.

Kusmayati, A.M. Hermin. (1992). “Tari Klasik” dalam Soedarsono (ed.).


Pengantar Apresiasi Seni. Jakarta: Balai Pustaka.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


283

Kussudiardja, Bagong. (Januari 1955). “Kesan-kesan Perlawatan ke RRT”. Budaya


IV-1.

-----. (1987). “Kurusetra” dalam Pekan Koreografi Indonesia 1987. Jakarta: Dewan
Kesenian Jakarta.

-----. (1993). Olah Seni Sebuah Pengalaman. Yogyakarta: Benteng Intervisi Utama.

-----. Bagong Kussudiardja, Sebuah Autobiografi. Yogyakarta: Bentang Intervisi


Utama bekerja sama dengan Padepokan Press.

Kusumo, Sardono W. (24 Februari 1986). “Festival Karya Tari 1986, Pertunjukan
Bukan Sekedar Kecelakaan.” Sinar Harapan.

-----. (20 Juni 1987). “Gegap yang Tua, Gempita yang Muda”. Tempo.

-----. (ed.). (2003). Hanoman, Tarzan, Homo Erectus. Jakarta: ku/bu/ku.

-----. “Alam, Manusia, dan Kesenian: Terciptanya Cak Teges” dalam Hanoman,
Tarzan, Homo Erectus. (hlm. 38). Jakarta: ku/bu/ku.

Langer, Susane K. (1957). Problem of Art. New York: Scribner’s.

Larasati, Rachmi Diyah. (2003). The Dance that Makes You Vanish, Cultural
Reconstruction in Post-genocide Indonesia. Minneapolis: the University of
Minnesota.

Leirissa, R.Z. (1999). Metodologi Strukturis dalam Ilmu Sejarah. Kumpulan


Karangan. Depok: Program Ilmu Sejarah, Program Pascasarjana
Universitas Indonesia.

Lindsay, Jennifer. (2011). “Ahli Waris Budaya Dunia 1950–1965; Sebuah


Pengantar” dalam Jennifer Lindsay dan Maya H.T. Liem (eds.). Ahli Waris
Budaya Dunia. Menjadi Indonesia 1950–1965. (hlm. 1–28). Denpasar:
Pustaka Larasan.

-----. (2011). “Menggelar Indonesia di Luar Negeri” dalam Jennifer Lindsay dan
Maya H.T. Liem (eds.). Ahli waris budaya dunia. Menjadi Indonesia 1950–
1965. (hlm. 221–52). Denpasar: Pustaka Larasan.

Lloyd, Christopher. (1993). The Structures of History. Oxford: Blackwell


Publisher.

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


284

Luthan, Deddy dan Tom Ibnur. (1982). “Awan Bailau” dalam Sal Murgiyanto (ed.),
Penata Tari Muda 1982. (hlm. 9–12). Jakarta: PT Harapan dan Dewan
Kesenian Jakarta.

Marihandono, Djoko. (2011). “Menjadi Sejarawan Profesional. Kajian tentang


Sumber Sejarah dan Metodologinya” dalam Riris K. Toha-Sarumpaet (ed.).
Ilmu Pengetahuan Budaya dan Tanggung Jawabnya. Analekta Pemikiran
Guru Besar FIB UI. Depok: UI-Press.

Martin. John. (1963). Book of The Modern Dance. New York: Tudor Publisher Co.

-----. (1965). Introduction of The Dance. New York: Dance Horizons.

-----. (1972). The Modern Dance. New York: Dance Horizon Inc.

Maryono, O’ong. (1999). “Pencak Silat: Merentang Waktu”. Yogyakarta: Yayasan


Galang.

Mefri, Ery. (1986). “Aia Tuturan” dalam Festival Karya Tari Dewan Kesenian
Jakarta VII/1986. (hlm. 8). Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.

Minarti, Helly. (2008). “Meredefinisi Tari Minang: Huriah Adam Memulai,


Gusmiati Suid Meneruskan” dalam Bambang Bujono (ed.). Empat Menguak
Tradisi. (hlm. 146). Jakarta: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia dan
Ford Foundation.

-----. “Gusmiati Suid, Api Dalam Sekam” dalam Bambang Bujono (ed.). Empat
Menguak Tradisi, Syeh Lah Geunta, Saidi Bissu Lolo, Anom Suroto,
Gusmiati Suid. Seri Figur Seni Pertunjukan Indonesia 2. (hlm. 155–6).
Jakarta: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia dan Ford Foundation

Moeljanto D.S. dan Taufik Ismail. (1995). Prahara Budaya. Kilas Balik Ofensif
Lekra/PKI dkk. (Kumpulan Dokumen Pergolakan Sejarah). Jakarta:
Penerbit Mizan dan HU Republika.

Mohamad, Goenawan. (2003). Kesusastraan dan Kekuasaan. Jakarta: Pustaka


Firdaus.

Muhaimin, Yahya A. (1990). Bisnis dan Politik, Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia


1950–1980. Jakarta: Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan
Ekonomi Sosial.

Mulyadi, Efix. (18 Desember1978). “Catatan Festival Penata Tari Muda I”.
Kompas

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


285

-----. (11 Mei 1981). “Pementasan Laura Dean, Semangat yang Mengalir”. Kompas.

-----. (27 September 1984). “Pekan Penata Tari Muda VI, Maya Melukis di Kanvas
Raksasa”. Kompas.

-----. (17 Februari 1986). “Tarian Sampah dan Buruh Pabrik”. Kompas.

-----. (14 Juni 1987). “Pekan Koreografi Indonesia, Tonggak Baru Bagong
Kussudiardjo”. Kompas.

-----. (15 Juni 1987). “Pekan Koreografi Indonesia Tari Diam, Tari Pengemis”.
Kompas

-----. (4 April 1989). “Dialog Satelit Tari Kontemporer: Tari, Pemikiran Tinggi
Masa Kini”. Kompas.

Munardi, A.M. (1981). “Seblang” dalam Sal Murgiyanto (ed.), Ungkapan dan
Bahasan, Festival Penata Tari Muda III. (hlm. 13–4). Jakarta: Sinar
Harapan dan Dewan Kesenian Jakarta.

Murgiyanto, Sal. (17 Desember 1978). “DKI Selenggarakan Festival Penata Tari
Muda”. Berita Yudha.

-----. (20 Oktober 1979). “Kanvas Tiga Dimensi”. Tempo.

-----. (17 Mei 1981). “Berpusing bagai gasing”. Zaman.

-----. (13 Maret 1982). “Pekan Penata Tari dan Komponis Muda 1982, Tradisi dan
Kreasi Tari”. Kompas.

-----. (1984). “Pendidikan Tari Kita: Kenyataan, Bandingan dan Harapan” dalam
Edi Sedyawati (ed.). Tari. (hlm. 90–111 ). Jakarta: Pustaka Jaya.

-----. (1986). “Dasar-dasar Koreografi Tari” dalam Pengetahuan Elementer Tari


dan Beberapa Masalah Tari. (hlm. 122). Jakarta: Direktorat Kesenian
Proyek Pengembangan Kesenian Jakarta Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.

-----. (1988). “Subur Kang Sarwo Tinandur Mas Kayam dan Tari Kontemporer
Indonesia” dalam Aprinus Salam (ed.). Umar Kayam dan Jaring Semiotik.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

-----. (1993). Ketika Cahaya Memudar, Sebuah Kritik Tari. Jakarta: Deviri Ganan.

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


286

-----. (1994). “Benih yang Ditanam Jangan sampai Layu” dalam Pia Alisjahbana,
dkk. (eds.). 25 Tahun Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki. (hlm.
159–182). Jakarta: Yayasan Kesenian Jakarta.

-----. (1994). “Perjalanan Taman Ismail Marzuki” dalam Pia Alisjahbana, dkk.
(eds.). 25 Tahun Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki. Jakarta:
Yayasan Kesenian Jakarta.

-----. (1997). “Awal Karir Retno Maruti 1947–1969” dalam Pagelaran Tari
Dewabrata Karya Retno Maruti. (hlm. 9–10). Jakarta: Bentara Budaya.

-----. (2000). “Huriah Adam, Peneguh Tari Minang Baru” dalam Kalam 16, Jurnal
Kebudayaan. (hlm. 13). Jakarta: Komunitas Utan Kayu.

-----. (2002). Kritik Tari Bekal dan Kemampuan Dasar. Jakarta: Ford Foundation
dan Masyarakat Seni Seni Pertunjukan.

-----. (2003). “Pengantar” dalam Bergerak Menurut Kata Hati, Metoda Baru dalam
Menciptakan Tari. (terj. I Wayan Dibia). Jakarta: Ford Foundation
kerjasama Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.

-----. (2004). “Seni Tradisi Tidak Mati” dalam Tradisi dan Inovasi Beberapa
Masalah Tari di Indonesia. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

-----. (2005). “Membaca Sardono: Penata-penata Tari, Pejalan, dan Pemikir


Budaya” dalam Tommy F. Awuy (ed.). Tiga Jejak Seni Pertunjukan
Indonesia. Rendra, Sardono W. Kusumo, Slamet Abdul Syukur. (hlm. 43).
Jakarta: Ford Foundatin & Masyarakat Seni Pertunjukan.

-----. (30 Desember 2014). “Festival Penata Tari Muda 1978, yang Tak Terkucil”.
Tempo.

-----. (2015). Pertunjukan Budaya dan Akal Sehat. Jakarta: Fakultas Seni
Pertunjukan-IKJ bekerjasama dengan Senrepita Yogyakarta.

-----. “Menyoal Makna: Tidak Ada Model Tunggal Kontemporer” (naskah akan
terbit dan diizinkan untuk dikutip).

-----. (ed.). (1980). Segi Kata dari Festival Penata Tari Muda II 1979. Jakarta: PT
Sinar Harapan dan Dewan Kesenian Jakarta.

-----. (1984). “Laporan Koordinator Pelaksana” dalam Penata Tari Muda 1984.
(hlm. 1–10). Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


287

Nardono, Tri. (1980). “Empiri” dalam Sal Murgiyanto (ed.) Segi Kata dari Festival
Penata Tari Muda II 1979. (hlm. 62–9). Jakarta: P.T. Sinar Harapan dan
Dewan Kesenian Jakarta.

Netra, I Made. (1980). “Majangeran” dalam Sal Murgiyanto (ed.), Segi Kata dari
Festival Penata Tari Muda II 1979. (hlm. 70–9). Jakarta: PT Sinar Harapan
dan Dewan Kesenian Jakarta.

Nio, Threes. (15 Juli 1984). “‘Awan Bailau’ dan ‘Huu…’ Disambut hangat di AS”.
Kompas Minggu.

Oetoyo, Farida. (2014). Saya Farida. Sebuah Autobiografi. Jakarta: PT Gramedia


Pustaka Utama.

Padmodarmaya, Pramana. (1994). “25 Tahun Pasang Surut Pusat Kesenian Jakarta”
dalam Pia Alisjahbana, dkk. (eds.). 25 Tahun Pusat Kesenian Jakarta
Taman Ismail Marzuki. (hlm. 34). Jakarta: Yayasan Kesenian Jakarta.

Pamardi, S., Dewi Kristianti dan Setya Widyawati. (1984). “Komposisi III” dalam
Sal Murgiyanto (ed.). Pekan Penata Tari Muda 1984. (hlm. 60). Jakarta:
Dewan Kesenian Jakarta.

Parani, Julianti. (1978). “Sambutan Komite Tari DKJ” dalam Festival Penata Tari
Muda. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.

-----. (24 Desember 1979). “Hasil Pengamatan Festival Penata Tari Muda II”.
Kompas.

-----. (1990). “Sejarah Kesenian Modern: Dinamika Argumentatif dari Kebangkitan


Kesenian” dalam Seminar Sejarah Nasional V: Subtema Sejarah Kesenian.
(hlm. 100). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat
Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Sejarah Nasional.

-----. (2011). Seni Pertunjukan Indonesia, Suatu Politik Budaya. Jakarta: Nalar.

-----. (2016). “Kemelayuan sebagai Jatidiri” dalam Helly Minarti dan Winda
Anggriani (eds.). Tari Melayu, Membayangkan Jakarta: Bagaimana Geliat
Tari Melayu Di Sana? (hlm. 43). Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.

Parsons, Talcott. (1961). “An Online of Social System” dalam Talcott Parsons,
Edward Shils, Kaspar D. Naegele, Jesse P. Pitts (eds.). Theories of Society,
Foundations of Modern Sociolgical Theory. (hlm 30–79). New York:
Macmillan Publishing Co., Inc.

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


288

Peursen, C.A. Van. (1988). Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Pigeaud, Theodore G.Th. (1938). Javaanse Volksvertoningen Bijdrage tot de


Beschrijving van Land en Volk. Batavia: Volkslectuur.

Poeradisastra, S.I. (1982). “Sekapur Sirih” dalam Ramadhan KH, Gelombang


Hidupku, Dewi Dja dari Dardanella. (hlm. 10). Jakarta, Sinar Harapan.

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. (1984). “Demokrasi


Terpimpin” dalam Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka.

Poeze, Harry A. (2008). Di Negeri Penjajah. Orang Indonesia di Negeri Belanda


1600–1950. Jakarta: KPG bekerja sama dengan KITLV.

Pr, Subagyo. (13 September 1974). “Kunjungan Martha Graham 20 Tahun Silam”.
Sinar Harapan.

Prabhawa, Wahyu Santoso dan Nora Kustantina Dewi. (1979/1980). Rudrah.


Surakarta: Sub Proyek ASKI, Proyek Pengembangan IKI.

Prevots, N. (1998). Dance for Export: Cultural Diplomacy and The Cold War.
Middletown: Wesleyan University Press.

Prijono. (21 Oktober 1954). “Nasional dalam Bentuk Sosialis dalam Djiwa”.
Harian Rakyat.

-----. (22 Oktober 1954). “Kesan-kesan Prof. Dr. Prijono tentang Kunjungannya di
RRT (sambungan)”. Merdeka.

Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki. (1971). Calendar of Event January


1971. Jakarta: Cipta.

Raden, Franki. (12–15 Oktober 1979). “Meta Ekologi” dalam Brosur untuk
pertunjukan Meta Ekologi. Jakarta.

Ramadhan K.H. (1992). Bang Ali demi Jakarta 1966–1977. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.

Raranta, Elly. (1984). ”Lulo Anawai” dalam Sal Murgiyanto (ed.). Pekan Penata
Tari Muda1984. (hlm. 74). Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.

Redfield, Robert and Milton Singer. (1969). “The Cultural Role of Cities” dalam
Richard Sennett (ed.). Classic Essays on The Culture of Cities. (hlm. 217).
New York: Prentice- Hall.

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


289

Rendra, W.S. (1994). “Perlu Subsidi Bagi Pusat Kesenian” dalam Pia Alisjahbana,
dkk. (eds.). 25 Tahun Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki. (hlm.
234–6). Jakarta: Yayasan Kesenian Jakarta dan PT Dian Rakyat.

Ritchie, Donald A. (2003). Doing Oral History: A Practical Guide. Oxford


University Press.

Robertson, Roland. (1995). “Glocalization: Time-space and Homogeneity-


Heterogeneity” dalam Mike Featherstone, Scott Lash & Roland Robertson
(eds.). Global Modernities. (hlm. 25–44). California: Sage Publication Inc.

Rochmad. (18 Februari 1981). “Yang Perlu Dicatat dari: Festival Penata Tari Muda
III 1980”. Merdeka.

Rosidi, Ajib. (2006). “Ali Sadikin dan Kesenian” dalam Bambang Bujono (ed.).
Empu Ali Sadikin 80 Tahun. (hlm. 60–5). Jakarta: IKJ Press.

-----. (2008). Hidup Tanpa Ijazah, yang Terekam dalam Kenangan. Jakarta: Pustaka
Jaya.

Rosidi, Ajib (ed.). (1974). Taman Ismail Marzuki. Jakarta: Dewan Kesenian
Jakarta.

Rusliana, Iyus. (1981). “Mundinglaya Salaka Domas” dalam Sal Murgiyanto (ed.),
Ungkapan dan Bahasan Festival Penata Tari Muda III-1981. (hlm. 49).
Jakarta: PT Harapan dan Dewan Kesenian Jakarta.

Rustopo (ed.). (1991). Gendhon Humardani Pemikiran dan Kritiknya. Surakarta:


STSI Press.

Sach, Curt. (1963). World History of The Dance. Trans. Bessie Schonberg. New
York: W.W. Norton Co., Inc.

Sahlins, Marshall. (1987). Islands of History. Chicago: University of Chicago Press.

-----. (1994). “Goodbye to Tristes Tropiques: Ethnology in The Context of Modern


World History” dalam R. Borofsky (ed.). Assessing Cultural Anthropology.
(hlm. 377–95). New York: McGraw-Hill, Inc.

Sakti, Surya Dharma Eka. (2010). “Teks Randai Umbuik Mudo Karya Musra
Dahrizal (Tinjauan Antropolosi Sastra)” dalam Wacana Etnik, Jurnal Ilmu
Sosial dan Humaniora Vol. 1. (hlm. 165). Padang: Pusat Studi Informasi
Dan Kebudayaan Minangkabau dan Sastra Daerah FIB Universitas
Andalas.

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


290

Saputra, Karsono H. (18 Juni 1987). “Dari Pekan Koreografi Indonesia 1987,
Bunga Rampai antara Penarian dan Kemapanan”. Suara Pembaruan.

Schechner, Richard. (2006). Performance Studies, An Introduction. Second edition.


New York and London: Routledge.

Sedyawati, Edi. (1 September 1970). “Bagong Masih Harus Ditantang”. Kompas.

-----. (17 November 1970). “Tentang Pentas Tari Wisnu Wardhana: Hanya Wisnu
Boleh Menggendong Sita?”. Kompas.

-----. (23 Desember 1970). “Penari Sardono W. Kusumo Sedang Melangkah, Ia


Seorang Djawa Baru jang Penuh Kekuatan dan Kesegaran Chajal”. Kompas.

-----. (31 Desember 1970). “Masalah Tari Kontemporer dalam Seni Tari Indonesia”.
Sinar Harapan.

-----. (22 Oktober 1979). “Happening dalam Tempo Adagio dan Suatu Pesta buat
Mata”. Kompas.

-----. (1981). “Pertumbuhan Seni Pertunjukan” dalam Seri Esni No. 4. Jakarta: Sinar
Harapan.

-----. (30 September 1984). “Pekan Penata Tari Muda, Sesudah Masa Rintisan”.
Kompas Minggu.

-----. (1986). “Sambutan Ketua Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta” dalam Sal
Murgiyanto (ed.). Buku Program: Festival Penata Tari Dewan Kesenian
Jakarta VII/1986. (hlm. 4–5). Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.

-----. (1987). “Tari: Bidang Seni yang Paling Maju dalam Proses Pembentukan
Kesatuan Nasional” dalam Muhadjir dkk (eds.). Evaluasi dan Strategi
Kebudayaan. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

-----. “Pengantar Pekan Koreografi Indonesia Dewan Kesenian Jakarta 10 s/d 14


Juni 1987” dalam Pekan Koreografi Indonesia 1987. Jakarta: Dewan
Kesenian Jakarta.

-----. (1994). Pengarcaan Ganesa Masa Kadiri dan Singhasari: Sebuah Tinjauan
Sejarah Kesenian. Jakarta: EFEO, LIPI, Leiden University.

-----. (1995/96). “The Dance in Indonesia” dalam Compilation of Papers (1993–


1995) by Director General for Culture Prof. Edi Sedyawati. (hlm. 53–7).
Jakarta: Directorate for Culture Ministry of Education and Culture.

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


291

-----. Kumpulan Makalah (1993–1995) Direktur Jendral Kebudayaan. Jakarta:


Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

-----. (2001). “Pelestarian Seni Tradisi dalam Program Pemerintah” dalam


Kumpulan Naskah Makalah dan Sambutan Direktur Jendral Kebudayaan
Thn. 1999. Jakarta: Direktorat Jendral Kebudayaan, Departemen
Pendidikan Nasional.

-----. (2006). “Tari di Indonesia 1951–2000” dalam Philip Yampolsky (ed.).


Perjalanan Kesenian Indonesia sejak Kemerdekaan: Perubahan dan
Pelaksanaan, Isi dan Profesi. (hlm. 166–170). Jakarta: Equinox.

-----. “Surat Edi Sedyawati dari Perdjalanan.” Trio: 27–8. (diakses dari fotokopi,
tanggal tidak diketahui).

Sedyawati. Edi (ed.). (2002). “Seni Pertunjukan” dalam Indonesian Heritage, Vol
8. (hlm. 78 ). Jakarta: Buku Antar Bangsa untuk Groslier International Inc.

Sewell Jr., Willam H. (2005). “The Concept(s) of Culture” dalam Gabrielle M.


Spiegel (ed.) Practising History: New Direction in Historical Wriring after
the Linguistic Turn. New York and London: Routledge.

Shahab, Yasmine Z. (2004). Identitas dan Otoritas Rekonstruksi Tradisi Betawi.


Depok: Laboratorium Antropologi FISIP-UI.

Shils, Edward. (1981). Tradition. Chicago: University of Chicago.

Sinjal, Isaac T., Muhammad Kennedy, dkk. (2005). Who Bukan Wah. Catatan
Perjalanan Hidup Aktor Kusno Soedjawardi. Jakarta: Perhimpunan Gerak
Indonesia Mandiri.

Smith, Terry. (2009). What is Contemporary Art? Chicago: University of Chicago


Press.

Smith-Autard, Jacqueline M. (2010). Dance Composition, A Practical Guide to


Creative Success in Dance Making. London: Methuen Drama/A&C Black.

Soedarsono. (1972). Djawa dan Bali: Dua Pusat Perkembangan Drama Tari
Tradisionil di Indonesia. Jogjakarta: Gadjah Mada University Press.

-----. (1984). “Pendidikan Formal Seni Tari” dalam Edi Sedyawati (ed.). Tari. (hlm.
77–89). Jakarta: Pustaka Jaya.

-----. Wayang Wong, The State Ritual Dance Drama in The Court of Yogyakarta.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


292

-----. (1986). “Pengantar Pengetahuan Tari dan Komposisi Tari” dalam


Pengetahuan Elementer Tari dan Beberapa Masalah Tari. (hlm. 95).
Jakarta: Direktorat Kesenian Proyek Pengembangan Kesenian Jakarta,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

-----. (1992). “Tari Kreasi Baru” dalam Soedarsono (ed.). Apresiasi Seni
Pertunjukan. (hlm. 111–6). Jakarta: Balai Pustaka.

-----. (2002). Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi. Yogyakarta: Gadjah


Mada University Press.

-----. (2003). Seni Pertunjukan dari Perspektif Politik, Sosial dan Ekonomi.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Soekarno, Guntur. (1997). Bapakku, Kawanku, Guruku. Jakarta: PT Delta Rohita.

Soemantri, Hilda. (2002). “Seni Rupa” dalam Indonesian Heritage Vol 7. (hlm. 56).
Jakarta: Buku Antar Bangsa untuk Golier International, Inc.

Soeparmo. (2012). Refleksi Pers Kepala Daerah Jakarta 1945–2012. Jakarta:


Badan Kerjasama Kesenian Indonesia.

Stowell J. (2011). Walter Spies: A Life in Art. Jakarta: Afterhours Books.

Suanda, Endo. (1978). “Klana Tunjung Seta” dalam Buku Program Festival Penata
Tari Muda 1978. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.

Subangun, Emmanuel. (18 Oktober 1979). “Kelestarian Alam dan Kesadaran


Estetik”. Kompas.

Sudewi, Ni Nyoman. (2013). “Legong Keraton dalam Pertunjukan” dalam


Sumaryono (ed.). Dialektika Seni dalam Budaya Masyarakat. (hlm. 226).
Yogyakarta: Badan Penerbit Institut Seni Indonesia.

Sudiarso, Iravati M. (1986). “Sambutan Ketua Dewan Kesenian Jakarta” dalam Sal
Murgiyanto (ed.). Buku Program: Festival Penata Tari Dewan Kesenian
Jakarta VII/1986. (hlm. 4–5). Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta (tidak
diterbitkan).

Sugiantoro, Hendra. (30 Januari 2011). “Soekarno dan Kebudayaan Bangsa”.


Kedaulatan Rakyat.

Suharti, Theresia. (2015). Bedhaya Semang Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.


Reaktualisasi Sebuah Ari Pusaka. Yogyakarya: PT Kanisius.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


293

Suharto, Ben. (1978). “Lelangen Beksan Wirathaparwa” dalam Festival Penata


Tari Muda 1978. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.

Suid, Gusmiati. (1980). “Puti Galang Banyak” dalam Sal Murgiyanto (ed.). Segi
Kata Dari Festival Penata Tari Muda II 1979. (hlm. 33). Jakarta: P.T. Sinar
Harapan dan Dewan Kesenian Jakarta.

Sukerta, Pande Made. (2009). Gong Kebyar Buleleng: Perubahan dan


Keberlanjutan Tradisi Gong Kebyar. Surakarta: Program Pascasarjana
bekerja sama dengan ISI Press.

Sumardjo, Jakob. (1991). “Tembang” dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia.


(hlm.214–5). Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka.

Sumardjo, Trisno. (1952). “Sedikit tentang Jodjana” dalam Indonesia, Madjalah


Kebudajaan, No. 9 TH. III. (hlm. 8–21). September.

Sunarno, Nora dan Rusini. (1981). “Joged” dalam Sal Murgiyanto (ed.). Ungkapan
dan Bahasan Festival Penata Tari Muda III-1981. (hlm. 57–65). Jakarta:
PT Harapan dan Dewan Kesenian Jakarta 1981.

Supardi, Nunus. (2012). “Kebudayaan Pada Masa Orde Baru” dalam Taufik
Abdullah dan AB Lapian (eds.). Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 8 Orde
Baru dan Reformasi. (hlm. 599). Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve atas
kerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia.

-----. (2013). Bianglala Budaya. Rekam Jejak 95 Tahun Kongres Kebudayaan


1918–2013. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.

Suparlan, Parsudi. (1992). “Kebudayaan dan Pembangunan” dalam Sudjangi (ed.).


Kajian Agama dan Masyarakat. (hlm. 95–102). Jakarta: Departemen
Agama RI, Badan Penelitian dan Pengembangan Agama.

Suryobronto, GBPH. “Ragam Tari Klasik Gaya Yogyakarta” dalam Mengenal Tari
Gaya Yogyakarta. (hlm. 83). Yogyakarta: Dewan Kesenian Propinsi DIY.

Sutasoma. (17 Januari 1971). “Prospek2 Baru dalam Pementasan: Modern


Choreography”. Merdeka.

Suyono, Seno Joko. (2003). “Kecak Teges, 31 Tahun Kemudian” dalam Sardono
W. Kusumo, Hanoman, Tarzan, Homo Erectus. (hlm. 146–7). Jakarta:
ku/bu/ku.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


294

-----. (2014). “Pengantar: Lekra Anatomi Sebuah Gagasan” dalam Arif Zulkifli
(dkk.). Lekra dan Geger. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
bekerjasama dengan Tempo.

Suyomukti, Nurani. (2010). Soekarno: Visi Kebudayaan dan Revolusi Indonesia.


Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Sutton, R. Anderson. (2013). Pakkuru Sumange, Musik, Tari, dan Politik


Kebudayaan Sulawesi Selatan. Makassar: Ininnawa.

Tamara, Maya. (1984). “Tarian Dalam Warna dan Musik” dalam Sal Murgiyanto
(ed.). Pekan Penata Tari Muda 1984. (hlm. 40). Jakarta: Dewan Kesenian
Jakarta.

Tirtaamidjaja, Nusjirwan. (1967). “A Bedhaya Ketawang Dance Performance at


The Court of Surakarta” dalam Indonesia No. 3. Ithaca: Cornell University
Press.

Tirtokusumo, Sulistyo S. (1980). “Ario Jipang” dalam Sal Murgiyanto (ed.). Segi
Kata dari Festival Penata Tari Muda II 1979. (hlm. 53–4). Jakarta: PT Sinar
Harapan dan Dewan Kesenian Jakarta.

-----. (1987). (artikel tanpa judul) dalam Buku Program Pekan Koreografi
Indonesia.

Toer, Pramoedya Ananta, Koesalah Soebagyo Toer, Ediati Kamil (eds.). (1999).
Kronik Revolusi Indonesia Jilid I. Jakarta: Penerbit KPG.

Trisapto, Suwarsidi. (1981). “Segitiga” dalam Sal Murgiyanto (ed.) Ungkapan dan
Bahasan Festival Penata Tari Muda III-1981. (hlm. 13). Jakarta: P.T.
Harapan dan Dewan Kesenian Jakarta.

-----. (1983). “Perempatan” dalam Sal Murgiyanto (ed.). Penata Tari Muda 1983.
(hlm. 55). Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta 1983.

Ushanto. (9 Mei 1977). “Pendekar Perempuan, Julianti Parani”. Berita Buana.

Wagner, Roy. (1981). The Invention of Culture. Revised and Expanded Edition.
Chicago: University of Chicago Press.

Wahono, Sri Warso. (1994). “Akademi Jakarta” dalam Pia Alisjahbana, dkk. (eds.).
25 Tahun Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki. (hlm. 44–9).
Jakarta: Yayasan Kesenian Jakarta.

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


295

-----. “Dewan Kesenian Jakarta” dalam Pia Alisjahbana, dkk. (eds.). 25 Tahun
Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki. (hlm.50–8). Jakarta:
Yayasan Kesenian Jakarta.

Wardhana, Wisnoe. (April–Mei 1955). “Tari dan Opera di RRT”. Budaya 4–5.

-----. (1981). “Tari Tunggal, Beksan dan Tarian Sakral Gaya Yogyakarta” dalam
Mengenal Tari Klasik Gaya Yogyakarta. (hlm. 39). Yogyakarta: Dewan
Kesenian Prop-DIY-Proyek Pengembangan Kesenian DIY. Dept P&K.

Weiss, James. (11 Agustus 1984). “Indonesia di Festival Tari Amerika”. Angkatan
Bersenjata.

Wibisono, Christianto. (2006). “Seandainya Tidak Ada Ali Sadikin” dalam


Bambang Bujono (ed.). Empu Ali Sadikin 80 Tahun. (hlm. 119–121).
Jakarta: IKJ Press.

WicaksonoAdi. (2012). “Pembuka” dalam Bambang Bujono dan Wicaksono Adi


(eds.). Seni Rupa Indonesia dalam Kritik dan Esai. (hlm. xix–xxxviii).
Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.

Widaryanto, FX. (30 Desember 1979). “Bagaimana Jika yang Tua-tua yang
Diamati? Festival Penata Tari Muda yang Tidak Muda Lagi”. Pikiran
Rakyat.

-----. (2007). Menuju Representasi Dunia Dalam. Bandung: Kelir.

-----. (2013). “Tari dalam Berbagai Dimensi” dalam Bambang Sugiharto (ed.).
Untuk Apa Seni. Bandung: Pustaka Matahari.

-----. (2014). “Tradisi dan Modernisasi dalam Tarian Indonesia”. Makalah dalam
Diskusi Tari di Salihara.

-----. (2015). Ekokritikisme Sardono W. Kusumo: Gagasan, Proses Kreatif, dan


Teks-teks Ciptaannya. Jakarta: PascaIKJ.

Widaryanto, FX dan Sri Rustiyanti. (tanpa tahun). “Konsep ‘Lawung Sewu’ atau
‘White Box’ sebagai Fenomena Baru Prosef Kreatif Ketubuhan dalam
Masyarakat Urban” dalam Jurnal Ilmiah Seni dan Budaya Panggung
Vol.22, No. 2 April–Juni (hlm. 122–38).

Widjaja B., N.L.N. Swasthi. (1984). “Anglingdarma” dalam Sal Murgiyanto (ed.).
Penata Tari Muda 1984. (hlm. 22). Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.

Wijaya, Husein (ed.). (1976). Seni Budaya Betawi. Jakarta: Pustaka Jaya.
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


296

Wijaya, Putu. (1997). Ngeh. Kumpulan Esai. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Williams, Raymond. (1981). Culture is Ordinary. Cambridge: Fontana Paperback.

Winarto, Jason. (16 Desember 1972). “Pengembaraan Sardono yang


Menggetarkan”. Kompas.

Wirosardjono, Soetjipto, dkk. (eds.). (1977). Gita Jaya. Catatan H. Ali Sadikin
Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta 1966–1977. Jakarta:
Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Yamashita, Shinji and J.S. Eades (eds.). (2003). Globalization in South Asia: Local,
National and Transnational Perspectives. New York: Berghahn Books.

Yohanes, Bemmy. (2013). Teater Piktografik, Migrasi Estetika Putu Wijaya dan
Metabahasa Layar. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.

Yuliantri, Rhoma Dwi Aria dan Muhidin M Dahlan. (2008). Lekra Tak Membakar
Buku Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950–1965.
Yogyakarta: Merakesumba.

Yusra, Abrar. (1994). “Berdirinya Taman Ismail Marzuki dan Dewan Kesenian
Jakarta” dalam Pia Alisjahbana dkk (eds.). 25 Tahun Pusat Kesenian
Jakarta. (hlm. 24–5). Jakarta: Yayasan Kesenian Jakarta dan PT Dian
Rakyat.

Zoete, Beryl de and Walter Spies. (2002). Dance and Drama in Bali. Hongkong:
Periplus Edition.

Zubir, Zuryati. (1984). “Tari Tangan” dalam Sal Murgiyanto (ed.) Pekan Penata
Tari Muda 1984. (hlm. 44–6). Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.

Zuhdi, Susanto. (2008). “Metodologi Strukturistik dalam Historiografi Indonesia:


Sebuah Alternatif” dalam Djoko Marihandono (ed.). Titik Balik
Historiografi di Indonesia. (hlm. 1–20). Jakarta: Wedatama Widya Sastra
dan Departemen Sejarah FIB UI.

-----. (2011). “Perspektif Tanah-Air dalam Sejarah Indonesia” dalam Riris K. Toha-
Sarumpaet (ed.). Ilmu Pengetahuan Budaya dan Tanggung jawabnya;
Analekta Pemikiran Guru Besar FIB UI. (hlm. 40–56). Depok: UI Press.

Zulkifli, Arif dkk (eds.). (2014). Lekra dan Geger 1965. Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia bekerjasama dengan Tempo.

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


297

E. Tesis & Disertasi

Kusumastuti, Siti N. (2003). “Tari Tradisional Jawa Surakarta di Jakarta: Kajian


Kasus Terhadap Retno Maruti dan Karyanya”. Tesis untuk memenuhi
sebagian persyaratan mencapai gelar Magister Sosial (M.Sos) dalam
Departemen Antropologi Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan
Politik Universitas Indonesia, Jakarta.

Minarti, Helly (2014). “Modern and Contemporary Dance in Asia: Bodies, Routes
and Discourse”. Ph.D Thesis, University of Roehampton.

Miroto, Martinus. (2014). “Pertunjukan Realitas Teleholografis Body in Between


Tubuh di antara Nyata dan Maya”. Disertasi. Program Doktor Peciptaan dan
Pengkajian Seni Institut Seni Indonesia Yogyakarta.

Murgiyanto, Sal. (1976). “The Influence of American Modern Dance on The


Contemporary Dances of Indonesia”. A Research Thesis submitted to the
Faculty of Departement of Theatre and Dance of The University of
Colorado.

-----. (1991). “Moving Between Unity and Diversity: Four Indonesian


Choreographers.” PhD Thesis submitted to the Department of Performance
Studies in School Art and Science, New York.

Santoso, Budi. (2006). “Pertunjukan Tari ‘Samgita Pancasona’ karya Sardono W.


Kusumo di RRI Surakarta” dalam “Fenomena Konflik Tradisi-Modern
Masyarakat Seni Pertunjukan Surakarta Tahun 1970-an”. Tesis Pengkajian
Seni untuk memenuhi syarat mencapai derajat magister dalam bidang Seni,
Minat Utama Seni Tari di Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia,
Yogyakarta.

Sipala, Wa Ode Siti Marwiyah. (2006). “I Wayan Diya (1937–) Tokoh Seni
Pertunjukan Bali (Sebuah Biografi)”. Tesis untuk memenuhi sebagian
persyaratan guna mencapai derajat Sarjana S-2, Program Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Supriyanto, Eko. (2015). “Perkembangan Gagasan dan Perubahan Bentuk serta


Kreativitas Tari Kontemporer Indonesia (Periode 1990–2008)”. Disertasi
untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat S-3 Program Studi
Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Program Pascasarjana
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Wagiono Sunarto. (2007). “Pemitosan dan Perombakan Mitos Soekarno dan


Ideologinya dalam Karikatur Politik di Surat Kabar Indonesia pada Masa
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


298

Demokrasi Terpimpin sampai Akhir Kekuasaan Presiden Soekarno (1959–


1967)”. Disertasi. Program Studi Ilmu Sejarah Program Pascasarjana
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

F. Makalah
Parani, Julianti. (1990). “Sejarah Kesenian Modern: Dinamika Argumentatif dari
Kebangkitan Kesenian”. Makalah. Seminar Sejarah Nasiona lV: Sejarah
Kesenian. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat
Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Sejarah Nasional.

-----. (2012). “Mempersoalkan Regenerasi”. Makalah Seminar Internasional the


11th IDF 2012, The Collaboration and Urban Sphere. Jakarta.

G. Website
Boughen, Shaaron. “What is Contemporary Dance?”
http://theconversation.com/explainer-what-is-contemporary-dance-25713.
Diakses 31 Agustus 2015.

Cunningham, Merce. “The handy E-Book of Contemporary Dance History”.


http://www.contemporary-dance.org/contemporary-dance-history.html.
Diakses 2 April 2016.

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat


www.disparbud.jabarprov.go.id./wisata/dest-det.php?id=854&lang=id.
Diakses 19 November 2016

“Happening.” Wikipedia. https://en.wikipedia.org/wiki/Happening. Diakses 20


Agustus 2013.

“Happening.” Encyclopeda Britannica. http://www.britannica.com/art/Happening.


Diakses 20 Agustus 2013.

Murgiyanto, Sal. “Tari, Wayang, dan Gamelan Seabad Lewat.”


https://www.facebook.com/note.php?note_id:279571111109. Diakses 15
September 2013.

Minarti, Helly. “Mencari tari modern/ kontemporer Indonesia.”


https://ko-kr.facebook.com/HellyMinarti,April 20, 2009. Diakses 15
September 2013.

Tari Legong dan Bebarongan.

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


299

www.babadbali.com/seni/drama/dt-prembon.htm. Diakses 13 Februari,


2016

Lampiran

TABEL 1 (BAB IV)

TRADISI YANG DIKEMBANGKAN SEBAGAI KONTINYUITAS


SEJARAH
Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


300

NO KARYA TRADISI PENGEMBANGAN DARI KETERANGAN


TRADISI

- Melayu - Tema naratif


- Tema nonnaratif - Properti sebagai alat untuk
1.
Huriah Adam - Properti sebagai mengungkapkan suasana dan
Payung penghias belaka emosi
Melayu - Menggunakan gerak Pencak
Silat Minangkabau untuk
memberikan aksentuasi
suasana
- Jawa klasik
2. Yogyakarta (epik
Ben Suharto Mahabarata)
- Gerak tari Bedaya - Rekreasi gerak Bedaya putri
Lelangen gaya Yogyakarta
Beksan putri gaya
Yogyakarta - Kostum tari dibuat lebih
Wirata Parwa sederhana
- Keanggunan kostum
& perhiasan lengkap - Perang digarap halus tetapi
- Perang dalam pakem sigap, cekatan, menegangkan
konvensional - Sajian bunga berhamburan
(alusan) pada adegan perang
kembang

3. I Wayan - Bali & Lombok


Dibia - Naratif
- Pakem gerak tari - Pengembangan narasi
Grobogan dilengkapi dengan akting dan
Cupak dialog untuk memperkuat
Grantang humor
- Stilisasi gerak tari yang
diambil dari gerak
keseharian
- Musik: alat Grantang - Musik Grobogan

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


301

4. Wahyu - Gerak tradisional - Seleksi beragam gerak tari


Santoso Jawa Surakarta, tari putri Bedaya
Prabowo putri Bedaya gaya - Seleksi gerak tersebut untuk
Sasonomulyo menggambarkan tema
Rudrah - Gerak penari putra konflik batin
alusan dan gagahan - Ditampilkan juga gerak
Jawa Surakarta gaya nontradisional melalui
Sasonomulyo eksplorasi ketubuhan para
penari laki-laki
- Musik: karawitan - Ditampilkan karawitan
tradisional Jawa ciptaan baru
- Kostum: tradisional - Kostum tradisional yang
Bedaya, putra alusan disederhanakan untuk
dan gagahan kepentingan ekspresi
kebaruan dalam garapan
gerak
5. Wiwiek - Betawi: gerak tari - Memasukkan gerak tari
Widyastuti & Kembang Topeng, Nontradisional
Djoko Suko Topeng Kedok,
Sadono Pencak Silat
- Musik Gambang - Menimpali dengan musik
Gado-gado Kromong gamelan Jawa dan Sunda
Jakarta - Dekor - Dekor dicoret-coret dengan
menggambarkan cat yang terkesan lukisan
adegan abstrak
- Menghadirkan dengan kuat
unsur teater, seni rupa dan
cahaya

6. Tri Nardono - Pola gerak tari - Gerak tari klasik sebagian


tradisional klasik dikembangkan menjadi
Empiri Jawa gaya Surakarta gerak baru sehingga tidak
dan Yogyakarta tampak sebagai tari Jawa
- Pola lantai yang berubah-
ubah untuk penguatan
adegan dan pengembangan
artistik
- Musik: gending - Memasukkan musik Barat
tradisional Jawa untuk gerak-gerak nontradisi
Jawa
- Kostum penari laki-laki:
tight hitam sebatas lutut yang
dipadu dengan kain parang

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


302

rusak dan setagen, dan tak


berbaju
- Penari perempuan
mengenakan kain panjang
parang rusak dan dada
ditutup kemben cinde dan
dilengkapi selendang cinde
yang juga membantu untuk
menungkapkan ekspresi
gerak
- Rambut penari laki-laki
dibiarkan apa adanya tanpa
penutup dan hiasan
- Rambut penari perempuan
dicepol dan dihiasi cunduk
mentul
7. Gusmiati Suid - Drama tari: cerita
rakyat Minangkabau
Puti Galang - Naratif
Banyak - Gerak Pencak Silat - Mengolah gerak menjadi
dan Randai dinamis dan menuntut
kemampuan teknis dan
stamina tinggi dari penari
- Terdapat berbagai variasi
pola lantai untuk disesauikan
dengan ruang pertunjukan

- Musik: talempong, - Menambah bunyi-bunyian


kendang, rebab, dari kayu dan bambu
pupuik
8. I Made Netra - Teater, tari dan
nyanyi tradisional
Majangeran Bali: Janger
- Penari bergerak di - Mengembangkan ragam
satu tempat dalam gerak tari
posisi berjajar - Meluaskan ruang gerak
penari dengan mengisi area
pentas, menggarap berbagai
pola lantai dan level

- Mengembangkan adegan
- Teater Topeng Arja , topeng diambil dari
Prembon semangat Topeng Arja dan

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


303

Prembon melalui
improvisasi untuk
mendapatkan gerak-gerak
baru tanpa abai pada patokan
karawitan pengiring
- Menggunakan rebab dua
dawai sebagai pengganti
- Menggunakan alat perkusi untuk memberi kesan
musik tradisional Bali ekspresif gerak pinggul
yang sederhana penari perempuan

9. Sulistyo S. - Tari tradisional Jawa


Tirtokusumo Surakarta, dan
berdiam pada tradisi
Ario Jipang - Epik Jawa: Ario - karya tari Ario
Jipang Jipang
- Gerak tari tradisional pendekatannya
klasik Bedaya dan - Memodifikasi gerak dan pola bukan hanya
Wireng lantai Bedaya. bersumber dari
- Menghidupkan - Menggarap adegan tradisi tetapi
suasana keraton perkelahian Ario Jipang menghadirkan
melalui tata laku dan dengan Sutowijoyo dalam kembali tradisi
unsur-unsur rupa pentas sunyi tanpa iringan dengan
- Dialog, tembang dan gamelan. Suara dari gerak melakukan
patethan tidak tubuh penari perubahan dan
ditampilkan - Menghadirkan dialog yang pembaruan
bersamaan dibarengi dengan tembang dengan
dan patethan saat peralihan kemahiran
dari tarian Wireng ke tarian tinggi.
ke Bedaya - Sesuai konsep
Eric
Hobsbawm,
menghadirkan
tradisi sebagai
usaha
memantapkan
suatu tradisi.
Atau suatu
respon terhadap
situasi baru

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


304

10. AM. Munardi - Pertunjukan


tradisional, sakral
Seblang Banyuwangi, Seblang
- Dipertunjukkan di - Dipertunjukkan di Teater
halaman terbuka Arena PKJ-TIM
- Penari utama satu - Jumlah penari lebih dari satu,
orang perempuan, laki-laki dan perempuan dan
pendukung lainnya menari berkelompok
sebagai pendamping
(penyanyi, pelawak,
dukun)
- Gerak bebas karena - Menggarap gerak-gerak baru
ekstase kemasukan dari gerak tari Bali dan
roh tertentu Banyuwangi dengan
memanfaatkan nyanyian
dalam Seblang, termasuk
gerak memainkan keris yang
biasanya menakutkan dibuat
dengan gerak tari bervariasi.
- Menggunakan - Nyanyian gembira seperti
nyanyian yang Ayam Kasilir yang
diiringi gamelan melambangkan romantika
dengan embat perkawinan digarap dengan
Banyuwangi goyangan bokong penari
laki-laki, cerminan
kegembiraan pergaulan
muda-mudi.
- Kostum dengan mekak yang
- Kostum penari, kain
disesuaikan dengan
bercorak alas-alasan,
komposisi tari, dan kain
mekak polos, dan
tidak bercorak alas-alasan
sampur
- Properti kipas untuk
ungkapan tematis dan kain
putih sebagai simbol hujan
yang membawa kesuburan

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


305

Y.Sumandyo - Naratif, dari epik


11. Hadi Mahabarata,
kelahiran Kura dan
Kagunan Lawa
Beksan Kusa - Tari klasik Jawa gaya
dan Lawa Yogyakarta - Gerak tari Bedaya, Serimpi,
- Gerak tari putri Beksan dijadikan inspirasi
Bedaya, Serimpi, lalu dikembangkan untuk
Beksan penyampaian tema
- Dihadirkan kegiatan - Garapan gerak tari juga
dan suasana di untuk menggambarkan
keraton oleh para suasana pengadeganan
abdi dalem seperti
mengantar teh,
membakar dupa,
sesaji ayam hidup
- Musik gending - Musik tari digarap sesuai
tradisional pengadeganan dan untuk
Mataraman menghadirkan suasana-
suasana, misalnya gending
- Kostum tari di tiba-tiba dihentikan
keraton yang penuh - Kostum sederhana jika
Perhiasan, gemerlap dibandingkan tari tradisional
keraton untuk keperluan
keutuhan gagasan dan agar
tidak mengganggu gerak
- Pola lantai tarian di - Mengolah pola lantai,
keraton tidak rumit bervariasi dan garis asimetri
dan tanpa tata pentas untuk menggambarkan
keraguan dan konflik
- Tata pentas dihadirkan sesuai
dengan wujud garapan
12. Iyus Rusliana - Cerita lisan Sunda - Mengambil sebagian cerita,
Mundinglaya tokoh Mundinglaya diuji
Mundinglaya Dikusumah kesabaran dan ketabahannya
Salaka Domas - Naratif
- Gerak tari tradisional - Mengembangkan gerak-
Sunda, tari Topeng, gerak tradisional dengan
tari Wayang dan tari eksplorasi dan improvisasi
Kuersues, Pencak, untuk menda- patkan suasana
dan tarian rakyat dramatik, penentuan adegan
Sunda dilengkapi pengolahan pola
lantai.

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


306

- Musik karawitan - Musik iringan ditambah alat


Sunda diringi cek-cek, teot-teot, alat tiup
gamelan pelog, bambu
dilengkapi kecapi,
suling, keprak
- Dialog oleh juru - Dialog diganti tembang
pantun
- Kostum tari
tradisional Sunda
13. Soenarto A.S. - Reog Jawa Timur, - Dibawakan oleh dua orang
dan dibawakan pembawa dadak merak,
Reog seorang Dadak seorang tetap seperti yang
Merak tradisional dan seorang lagi
- Gerak tari Ngremo, menari yang geraknya
Topeng Dalang, Reog dikembangkan dari gerak tari
Dadak Merak, tari- tradisional Jawa
tarian Banyuwangi. Timur
- Musik menggunakan - Musik iringan digarap
alat tradisional dengan menggunakan alat-
gamelan slendro, alat musik tradisioanl
angklung, terompet ditambah suara-suara bebas
Reog untuk menghadirkan suasana
- Tembang tradisional - Tembang-tembang
dolanan, macapat, tradisional dipadukan untuk
sulukan pedalangan menghasilkan tembang
garapan baru
- Mengenakan kostum berupa
kain polos tanpa motif batik
dan warna yang dipakai
hitam, merah, jingga untuk
menghadirkan ekspresi gerak
gagah dan kuat
14 T. Sita - Drama tari Melayu
Syaritsa Makyong
- Gerak tari Melayu tak - Dikembangkan dan
Putri Bungsu bernama dibuatkan nama seperti
kembang teratai, sapu sirih,
kelopak teratai
- Gerak tari tradisional - Gerak-gerak tradisional
Melayu bernama Melayu yang bernama dipilih
seperti gerak tangan: dan disusun sesuai
senandung sebelah, kebutuhan cerita dan
melegar, mengelak, pemeranan

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


307

gerak kaki: lenggang


kuak, melayah, geser
- Musik menggunakan
lagu-lagu Melayu dan
diiringi dengan alat-
alat musik Melayu - Kostum dikembangkan
- Kostum berdasarkan berdasarkan kostum tari
drama tari Makyong tradisional Melayu
15 Tom Ibnur - Nonnaratif, dari Seperti halnya
pepatah tradisional karya
Ambau Jo Minangkabau Tirtokusumo,
Imbau
- Garapan karyanya - Mengangkat tari tradisional Ario Jipang,
dari Sumatera Barat menjadi karya Ibnur ini
menggabungkan
tontonan yang komunikatif menggali dan
kesenian tradisional
di area pentas di PKJ-TIM memanfaatkan
dari tiga nagari di
Sumatera Barat yakni materi seni
Talembong tradisional dari
Sikatuntuang dari tiga nagari
Payakumbuh Timur, bahkan
Ratok Bawak dari mengikutsertakan
masyarakat
Lima Puluh Kota dan
pendukung seni
tari Pedang
tradisional
Payakumbuh Utara
tersebut yang
- Merupakan gabungan antara berkolaborasi
- Karya ditarikan oleh penari tua dari Sumatera
penari tua dari ke tiga dengan penari
Barat dengan penari dan Jakarta, lalu
nagari di Sumatera pemusik muda dari Jakarta
Barat melakukan
- Alat musik pembaruan di
- Enam talempong dibagi 4
tradisional: 6 buah beberapa bagian.
bagian: 2 talempong
talempong basauah, 2 talempong
dengan empat Sesuai konsep
momongan, 1 talempong Eric Hobsbawm,
penabuh, ditambah paningkah, 1 talempong
saluang, rabab di sini Ibnur
aguang, ditambah gandang
mempertahankan
lasuang. Bunyi lesung
dan
dipadu dengan bunyi
gandang, talempong dan menghadirkan
katuntuang dipukul bersama sekaligus
dan menjadi riuh berbunyi, membentuk
dan digarap bersama bunyi kembali tradisi
sebagai suatu

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


308

alat saluang, rabab dan respons terhadap


ditambang tong-tong situasi baru
Bunyi alat musik itu dipadu
pula dengan vokal berupa
nyanyian, dialog, bersyair
dan ratapan
- Kostum penari
perempuan dan laki-
laki adalah kostum
tradisional nagari
Lima Puluh Kota

16. Nurdin Daud - Nonnaratif - Tema garapan - Penggabungan


Dan Marzuki mengungkapkan beberapa gerak
Hasan keterbatasan manusia dalam tari tradisional
mengarungi hidup dan dalam Aceh diterima
Ramphak upaya mencari yang haq, oleh tokoh tari
pencarian manusia kepada Aceh di Jakarta,
Tuhannya. tetapi dirasakan
- Gerak tari tradisional - Koreografer mengeksplor janggal oleh
Aceh yakni Seudati, dan menafsirkan gerak-gerak sejumlah tokoh
Pho, Saman, Rhateb tari tradisional Aceh bersama Aceh di tempat
Meusekat para penari dan penata musik asalnya. Begitu
(syair) yang juga penyanyi, juga
dipadu seluruhnya menjadi bercampurnya
gerak-gerak baru dan penari laki-laki
bervariasi dan perempuan
- Koreografer dan - Garapan musik di antaranya sepatutnya
penata musik berasal berupa syair dalam bahasa tidak dilakukan.
dari Aceh Aceh yang dinyanyikan dan Koreografer dan
- Tepukan tangan di berisi tentang kebesaran Ilahi penata musik-
paha, dada, geseran - Syair dalam bahasa Aceh syair ditegur.
dan entakan kaki khas dipadukan dengan garapan
tari tradisional Aceh Setahun
syair dalam bahasa Indonesia kemudian, 1984,
yang dibawakan oleh penyair
garapan tari Huu
non-Aceh
(1980) yang
- Menularkan rasa dan jiwa
tarian Aceh kepada penari pendekatannya
yang memiliki beragam menyerupai
teknik tari non-Aceh Ramphak
- Gerak tradisional Aceh ditampil kan di
dipadukan dengan syair-syair American Dance
berbahasa Aceh dan Festival di

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


309

Indonesia menjadi gerakan Durham-North


yang semarak, dinamis, Carolina, New
variatif dan baru sekaligus York, Chicago
mengajak penonton ikut dan Washinton
merasakan dan terlibat serta mendapat
- Penggarapan level dan posisi sambutan sangat
penari yang menyebar ke
baik dari
berbagai sudut dan
penoton,
bercampurnya penari laki-
laki dan perempuan pengamat dan
media massa
Amerika Serikat.
Kembali ke
Indonesia karya
Daud dan Hasan
diteri- ma tokoh
dan masyarakat
Aceh bahkan
mendrong
koreografer-
koreografer
muda di sana
untuk melakukan
inovasi

17. N.L.N. - Drama tari bersumber - Ditafsirkan kembali Garapan drama


Swasthi dari cerita rakyat Bali pengadeganannya melalui tari Anglindarma
Widjaja B. “Kidung Ajidarma” gerak-gerak baru dengan
- Gerak tari tradisional - Melakukan pengembangan kebaruannya
Anglindarma Bali gerak melalui eksplorasi sengaja didesain
seperti gerakan penari untuk penonton
berkelompok sambil
lingkungan
memegang lamak untuk
akademis atau
menggambarkan kesedihan;
menampilkan berbagai lingkungan di luar
gerakan tangan untuk Bali
menggambarkan api;
memberi kebebasan gerak
dan ekspresi wajah pada
penari saat menggambarkan
adegan kuburan dan para
penari memakan bangkai

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


310

- Kostum tradisional - Kostum dirancang khusus


Bali yang indah agar tidak mengganggu
sebagai sumber gerakan tari dan dibuat lebih
praktis dalam pemakaiannya
namun tetap indah
- Iringan tari Bali - Iringan musik digarap sesuai
tradisional konsep garapan tari. Pada
beberapa adegan yang
lembut digarap sunyi, juga
menghadirkan irama dan
suasana yang kadang justru
berlawanan dengan suasana
dan irama gerak, yang tidak
biasa atau baru dalam musik
tradisi- onal Bali
- Penggarapan panggung dan
lampu sesuai adegan
18. Jose Rizal - Nonnaratif, - Mengubah citra perempuan
Firdaus menggambarkan Melayu tidak hanya lemah
kehidupan muda- lembut tetapi juga bisa
Simpai Giri mudi Melayu perkasa

- Materi tari tradisional - Pemilihan, pengembangan


dan melakukan dan latihan materi gerak
penelitian tari Zapin, awalnya dilakukan di tempat
Sarah, Hadrah, Inai, asal tarian yakni di Batang
Ahoi, Gubang, Silat, Kuis, Bedagai Sunggai dan
Materi tari tradisional Perbaungan. Setelah itu
lainnya yakni tari latihan dilakukan di studio di
Ronggeng dan dari kota Medan
bagian Makyong - Karya tari menyerupai bunga
rampai tari Melayu walau
sudah dilakukan
pengembangan gerak dan - Ini disadari
musik. Penggarapan gerak oleh
Pencak Silat bagi penari koreografer
perempuan dan laki-laki serta karena belum
menyejajarkan penari laki- tersedia penari
profesional dan
laki dan perempuan berhasil
masyarakat
menunjukkan keperkasaan
belum terbiasa
perempuan sesuai tema menerima
pembaruan

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


311

- Pengembangan gerak Rhodat


dengan posisi penari laki-laki
tidur terlentang dan
mengangkat serta
memainkan ke dua kaki ke
atas, dan pernyentuhan
tangan penari laki-laki dan
perempuan dalam gerak
dasar Silat adalah upaya
pencarian dan
pengembangan gerak tari
tradisional Melayu
- Iringan tari lagu-lagu - Lagu-lagu tradisional
dalam musik Melayu Melayu dipilih untuk
disesuaikan dengan tema dan
gerak tari dan digarap
perbedaan pukulan gendang
untuk setiap perubahan lagu
- Memilih Teater Arena agar
intim dengan penonton dan
memanfaatkan ke empat sisi
ruang serta menggarap pola
lantai
- Dekor berbentuk pintu
gerbang dari tiang-tiang
- Kostum penari bambu
tradisional Melayu - Kotum dibuat lebih
sederhana untuk kepentingan
garapan gerak
19. Maya Tamara - Nonnaratif - Mengolah warna-warna
cerah yang digunakan dalam
Tarian dalam interior rumah, atau busana
Warna dan sehari-hari maupun asesoris
Musik - Karakter warna yang berbeda
dicampur untuk
mendapatkan warna baru
yang cerah dengan karakter
yang baru pula
- Dasar gerak tari balet - Gerak digarap dengan
klasik beragam jenis musik
- Diperlukan penari sehingga menjadi karya tari
balet klasik dengan bernuansa jaz
teknik memadai

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


312

- Mengeksplorasi gerak untuk


menggambarkan karakter
warna dan memerlukan
gerak tubuh yang bebas,
lepas, penuh dinamika dan
ekspresif .
- Karakter gerak yang
dihasilkan berani, tegas,
dinamis, tenang, cerah dan
dibawakan penari secara
ritmis, penuh tenaga
- Dekor panggung berupa
kanvas besar dengan
kepingan cermin yang
didasari warna hitam dipadu
dengan pencahayaan
- Musik rock, pop, jaz untuk
disesuaikan dengan karakter
warna
20. Dewi - Nonnaratif - Rindu untuk bisa lepas dari
Kristianti, S. lingkungan yang terasa
Pamardi, semakin menyempit, penuh
Setya kesibukan, kedengkian.
Widyawa ti Mendambakan kehidupan
menyenangkan, mensyukuri
Komposisi III karunia Allah, namun
kerinduan yang tak kunjung
datang
- Penguasaan atas tari - Mengeksplorasi dan
tradisional rakyat dan mengembangkan bahkan
klasik Jawa Surakarta mencoba keluar dari
perbendaharaan gerak tari
tradisional rakyat dan klasik
Jawa Surakarta
- Gerak baru yang ditemukan
lalu dilebur lagi dengan
gerak-gerak tradisional yang
dikuasai.
- Gerak hasil leburan itu
digarap dengan berbagai pola
lantai untuk mengungkapkan
berbagai perasaan. Lalu
gerak baru itu diramu lagi

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


313

ekspresi gerak, wajah, vokal


dalam bentuk dialog dan
geguritan menjadi kesatuan
yang utuh
- Musik karawitan - Digubah sesuai tema karya
Jawa Surakarta dan berbagai bunyi di luar
karawitan Jawa dieksplor
dan dikembangkan
- Dialog maupun vokal penari
dan pengrawit dalam bentuk
geguritan dihadirkan untuk
menggambarkan suasana
tertentu
- Kelir wayang kulit - Kelir sebagai dekor untuk
me nampilkan bayang-
bayang penari yang dieksplor
- Kostum ditata berdasarkan
kebutuhan karya agar garis-
garis tubuh penari saat
bergerak tampak jelas dan
kuat dan penari bisa bergerak
bebas
21. Zuryati Zubir - Tari Tangan, tari - Mengeksplor dan menggarap
tradisional energi dari berbagai pola
Tari Tangan Minangkabau dari gerak tangan menjadi gerak-
kabupaten Sawah gerak baru
Lunto Sijunjung - Menjelajah kemungkinan
pengembangan gerak secara
terpisah, mulai dari kaki,
tangan dan bagian tubuh
lainnya dan dirangkai
menjadi satu kesatuan
- Musik tradisional - Menggarap musik untuk
Minangkabau yang memberi rangkaian irama
berpola dalam pantun
- Menggarap pantun yang
menggambarkan dan
menafsirkan besarnya
peranan tangan dalam
kehidupan

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


314

22. Elly Raranta - Tradisi Malulo, adat


suku Tolaki di
Lulo Anawai Kendari Sulawesi
Tenggara
- Cermin persatuan,
tidak membedakan
derajat, tua, muda,
- Mengembangkan Malulo
miskin, kaya
dengan berpegang pada
- Ditarikan
kekuatan gerak dan
berkelompok dengan
permainan kaki, sedang
pola lantai melingkar
gerakan tangan mengikuti
sambil berpegangan
langkah dan gerak kaki
tangan
- Pola lantai digarap menjadi
bervariasi dengan garis-garis
lurus ke depan, ke samping,
garis siku-siku, diagonal,
melengkung
- Gerak penari perempuan dan
laki-laki digarap kontras.
- Penari perempuan dengan
gerak-gerak kecil, ringan,
tangan berayun, tanpa tempo
tinggi tetapi ada dinamika
gerak tubuh dengan iringan
musik
- Penari laki-laki bergerak
setengah melompat,
membungkuk ke depan,
mengoyang-goyangkan
lengan, terlentang dan
bergulung di lantai, memberi
kesan lebar dan kuat
- Musik tradisioanl - Musik tradisional digarap
untuk iringan Malulo kontras dan ritmik dipadu
dan musik tari-tarian dengan pukulan dari
di Sulawesi Tenggara tetabuhan yang biasa
terdengar bila ada perahu
akan berlayar atau berlabuh.
Iringan musik untuk
menghadirkan suasana Dalam tari-tarian
semangat tradisional di
- Panjangnya ucapan lagu Indonesia
pengiring dan ucapan gerak
biasanya hitungan

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


315

tari tidak sama. Ucapan lagu musik pengiring


berganti setiab 6 ketukan, dan hitungan
dalam gerak berganti setiap 8 gerak tidak
ketukan. berbeda
- Kostum tari
tradisional Kendari
23. Farid Hamid - Adat di Tana Toraja
- Proses upacara
Badong pemakamam dan
suasana duka dalam
pesta kematian
- Badong adalah
sejenis lagu duka
dalam puisi yang
dinyanyikan bersama
dalam formasi
melingkar di upacara
kematian
- Gerak tari tradisional - Gerak dan komposisi ruang
Toraja digarap menggambarkan
rumah adat Toraja dan batu
kuburan purba Toraja
- Musik tradisional - Musik digarap menyayat hati
Toraja untuk menghadirkan suasana
duka. Pukulan genderang
bertalu yang memekakkan
telinga untuk mengiringi
gerakan penari yang lembut,
lengan bergerak mengalir
dari bahu, pangkal lengan
hingga lentik jemari
- Hadir ketegangan antara
musik dan gerak, dipadu
dengan volal dan entakan
kaki penari di lantai papan
- Permainan irama yang
variatif menjadikan gerak
tari tradisional Toraja yang
cenderung monoton menjadi
bervariasi
24. Ery Mefri - Menghadirkan
potensi budaya dan
Aia Tuturan tradisi Minangkabau

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


316

- Aia Tuturan berarti - Ide karya menghadirkan


mewarisi sesuatu daerah yang tampak pasrah,
secara otodidak merasa terlanjur, tanpa
karena darah telah kemauan untuk menahan
mengalir sebelum lajunya warisan air tuturan
berwujud dalam
kandungan
- Gerak Silek dan tari - Digarap menjadi gerak baru
Piring dari daerah yang dinamis, penuh
Sawah Lunto dan lompatan kecil, gerakan
Ambun Pagi di tangan kuat dan tajam ke
pinggiran Danau atas. Tari Piring digarap
Maninjau dalam tangan langkah kaki
yang seirama

- Unsur musik Minang- - Digarap sesuai tema. Dalam


kabau konsep garapan musik bunyi
bisa mengalir dalam gerakan
tubuh sehingga “melahirkan
musik tanpa kandungan
bunyi”
- Boneka berbentuk dan
berukur
Manusia yang digantun di
bela
kang atas area pentasan
- Kostum digarap sederhana, 3
penari laki-laki dengan
celana pendek hitam dan 1
penari laki-laki bercelana
pendek putih dan sarung
diselempangkan di dada
telanjang. Penari perempuan
mengenakan celana panjang
dan baju berlengan ¾,
selendang menjulur di kiri-
kanan bahu dan kain kecil
sebagai ikat pinggang
25. Iko Siharta - Balet - Tema memotret kehidupan
buruh wirausaha celup kain
Panggung yang lemah ekonomi dan
Penari-penari terbatas ruang lingkupnya
- Menghadirkan suasana kerja

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


317

- Gerak balet - Menggarap gerak balet


menjadi gerak-gerak baru
dan celetukan dari penari
“goyang, celup, tarik”
- Properti kain dengan
berbagai ukuran dan warna,
tangga, tong plastik
- Kostum tight hitam ditutup
rok putih panjang dan baju
tanpa lengan beraneka
warna
- Musik Symphony No
2 C Minor gubahan
Gustaf Mahler
26. Mohammad - Pepatah
Ikhlas Minangkabau
- Tema, hidup dalam
Kie dalam kesederhanaan
Imbauan - Gerak digarap dan
- Gerak dasar Silat dan dikembangkan dari Silat dan
tari Piring tari Piring, dua piring
ditumpuk di tangan kiri dan
kanan dan digerakkan
ditingkahi bunyi piring
tersebut
- Musik tradisional - Properti kain putih yang
Minangkabau, digerakkan oleh para penari
saluang, untuk menjawab
talempong, gendang, penggarapan ruang, bentuk,
pupuik warna dan irama gerak

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


318

Lampiran

TABEL 2 (BAB V)

KARYA TARI BARU PENGEMBANGAN DARI TRADISI MENUJU


KONTEMPORER SEBAGAI KONTINYUITAS SEJARAH

PENGEMBANGAN KONTEMPORER
No KARYA TRADISI
DARI TRADISI

1.a. Huriah Adam - Tari Piring - Musik Nicolle Paganini


tradisional berjudul Violin Cocerto IV
Sepasang Api Minangkabau memunculkan suasana
Jatuh Cinta dengan non-Minang
iringan musik - Penggarapan gerak - Gerak-gerak baru
tradisional dan yang dinamis dan ekspresif diciptakan yang serasi
gerak dengan musik Paganini
bersumber - Kostum: rok merah
dari Silat berlengan panjang dengan
potongan Shanghai melipit
di bawahnya, yang dalam
tata kostum tradisional
belum pernah ada
- Karya ini diterima
setengah hati oleh
masyarakat Minang
tradisional
Huriah Adam - Legenda - - Ibu mengutuk - Menafsirkan kembali,
tradisional - anak kandungnya tidak mungkin ibu
Malin Minangkabau mengutuk anak
Kundang kandungnya. Allah-lah

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


319

yang membekukan jiwa


- Drama tari anak durhaka
- Sendratari tanpa gerak
- Drama tari dengan gerak pantomimik
pantomimik - Hadir karakter orang
bunian atau makhluk
halus yang mempengaruhi
Malin Kundang agar tidak
mengakui ibunya.
- Gerak keras dan tajam
diringi rebana yang
dimainkan penari secara
improvisatoris
- Tari Barabah hanya
sisipan
-Musik: lagu -Tari Barabah - Pukulan gendang besar
Minang (dhol) untuk
Palayaran, menggambarkan suasana
mengambarkan galau
kepiluan ibu - Akhir tarian Malin
Kundang tetap hidup
namun jiwanya beku
membatu karena
penyesalan, bukan
tubuhnya yang membatu
- Ketika dipentaskan di
Padang, tari kontemporer
ini tafsir teksnya
diperlunak agar tidak
menimbulkan reaksi
penolakan
2.a. Farida Oetoyo - Epos - Drama tari meninggalkan - Sinta ditafsirkan mati
Ramayana pakem teks tentang Rama dengan hangus terbakar,
Rama dan yang meragukan kesucian namun sukmanya yang
Sinta Sinta setelah ditawan suci mengikuti Rama
Rahwana kemana pun pergi
- Tafsir teks ini didasarkan
oleh asumsi bahwa
pastilah selama ditahan
Rahwana telah menjamah
tubuh Sinta walaupun

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


320

Sinta tetap cinta dan setia


kepada Rama
- Koreografi balet
nonklasik dicampur
dengan gerak nonbalet di
antaranya teknik Jawa
Surakarta dan Bali
- Kostum penari laki-laki
celana tight sebatas lutut,
penari perempuan
mengenakan tight dan
leotard, pemakaian
kostum seperti itu untuk
memudahkan gerak penari
sebagai temuan gerak
baru hasil eksplorasi
koreografer
- Musik mengunakan
sumber bunyi piano rusak
dan suling yang
dibunyikan sesuai
interpretasi adegan dan
gerak para penari
2.b Farida Oetoyo - Balet klasik - Kesyahduan yang - Musik dari lagu Trio
Putih-Putih diperoleh saat Bimbo berjudul Tuhan
mendengarkan azan dan
gerakan salat berjamaah - Semua penarinya
perempuan dengan
kostum tight dan leotard
warna kulit
- Muncul protes karena
adegan salat yang
dilakukan dengan gerak
jumpalitan dan kaki yang
diangkat tinggi, mukena
yang tembus pandang,
azan yang disuarakan
oleh perempuan dan arah
kiblat yang tak
berketentuan

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


321

- Protes tersebut diperkuat


oleh peringatan Majelis
Utama DKI Jaya
3.a Sardono W. - Tradisi etnik - Gerak tari terinspirasi - Gerak tari dibarengi
Kusumo Indonesia dari dari relief candi dengan tembang yang
salah satu Prambanan dilakukan sendiri oleh
Samgita episode para pemeran utama
Pancasona Ramayana - Musik nyanyian tanpa mengukuti pola
versi Jawa, tradisional Jawa diiringi nada yang ada dalam
Subali-Sugriwo perangkat gamelan yang tembang tradisional Jawa
tidak selengkap gamelan
konvensional - Gerakan tari
menghilangkan batas-
batas gerakan tari putra
dan tari putri
- Kostum minimalis untuk
penari laki-laki dengan
menggunakan batik
sebagai cawat dan
bertelanjang dada,
sedangkan penari
perempuan memakai kain
panjang dan kemben
berwarna pudar
- Sebagai karya
kontemporer tarian ini
memperoleh sambutan
penonton di Jakarta,
namun di Surakarta
memperoleh kecaman dari
penonton karena jauh
melampaui batas pakem
tradisional Jawa.

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


322

3.b. Sardono W. - Tema keprihatinan


Kusumo terhadap lingkungan
Meta Ekologi - Mendatangkan bertruk-
truk lumpur untuk
ditumpahkan di tanah
PKJ-TIM
- Dalam genangan lumpur
itulah para pemain
bergerak merespons tubuh
mereka terhadap lumpur,
tanpa pola gerak yang
dibimbing oleh koreografi
tertentu
- Para pemain perlahan
masuk ke lumpur
membenamkan diri,
bermain-main, berlari dan
bergelut
- Musik suara rekaman
serangga dan hewan-
hewan malam yang
kadang-kadang disusupi
oleh suara gong dn rebab
- Menurut Umar Kayam
karya kontemporer Meta
Ekologi ini merupakan
bahasa baru dalam
memberikan kesadaran
sesuai dengan eksplorasi
kesadaran lingkungan
yang dilakukan oleh
Kusumo di Kalimantan
Timur dan Nias
3.c. Sardono W. - Tembang - Kisah tentang candi
Kusumo mantra dalam Borobudur, agama Budha,
agama Budha simbol-simbol budaya
10 Menit dari Jepang dan pertemuan
Borobudur antar budaya

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


323

- Menari berdasarkan gerak - Gerak tari lembut,


tafsirnya mengenai Sang berputar, dan tegak berdiri
Budha menyerupai sikap tubuh
relief di candi Borobudur,
sebagai dialognya dengan
candi tersebut

- Kostum jubah hitam - Kostum celana putih


minim menggantikan
jubah hitam
- Musik gumam mantra
Budhis hilang berganti
suara azan yang dipadu
koor gerejani dan musik
Afrika untuk mewadahi
sang penari yang bergerak
bagaikan Yesus saat
disalib
4.a. Julianti Parani - Lenong
Plesiran - Musik
Gambang
Kromong - Eksplorasi gerak tari - Segi kontemporernya
Cokek terletak pada
penggarapan gerak yang
- Mengeksplorasi gerak bersumber dari tari
Silat Betawi dan Silat tradisional Betawi yang
Pengasinan tak berpola yang
- Efek jenaka diperoleh dari kemudian
penari laki-laki dan dikombinasikan dengan
perempuan menari gerak tari Jawa
bersama di dalam sarung Surakarta, Minang dan
yang idenya diperoleh dari balet untuk memperoleh
tarian daerah Poso, gerak dan teknik Betawi
Sulawesi Tengah yang baru

4.b Julianti Parani - Cerita rakyat - Melakukan eksplorasi - Memasukkan gerak balet
Betawi untuk memperkaya variasi
Pendekar - Bentuk-bentuk seni tari
gerak dengan unsur gerak
Perempuan - Tari Topeng Topeng, Pencak Silat, Betawi yang ada di masa
Betawi lampau yang gerak dan
Blenggo dan Cokek.
tekniknya
dikontemporerkan
sehingga mempunyai
makna bagi kehidupan

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


324

masa kini dan menjadi


landasan di masa
mendatang
4.c Julianti Parani - Inspirasi dari - Gerak dan teknik balet
budaya Batak yang dipadukan dengan
Siparnipi yang dalam gerak Tor-tor yang dibuat
sebuah lebih dinamis dan
kisahnya bervariasi
menceritakan
tentang Sigale- - Musik menggunakan
gale instrumen tradisional
Batak yang
diharmonisasikan dengan
instrumen musik Barat
yaitu piano, cello, dan
flute
- Kostum penari
mengenakan tight dan
leotard hitam yang dibalut
ulos.
5. I Wayan Diya - Drama tari - Menggabungkan Topeng, - Eksperimentasi tampak
Topeng Gambuh, Arja, Baris dan menonjol pada musik,
Jelantik unsur-unsur besar lainnya yaitu penggabungan alat
Bogol dalam seni pertunjukan musik yang tidak lazim
Bali menjadi satu kesatuan dilakukan di Bali, alat-alat
yang utuh yang tidak biasa musik Gong Gebyar yang
dilakukan dalam dipadukan dengan
pementasan tari Bali gamelan Luang, Gending
Pleganjuran, tambur
Baris Cina, dan tek-tekan
6.a Wiwiek - Tari Pakarena - Gerak penari yang - Menggunakan penari-
Sipala dan permainan mengandalkan pernafasan penari non-Makassar yang
rakyat Paraga dan meninggalkan gerak- tidak memahami
Akkarena gerak yang dibatasi oleh Pakarena sehingga
hitungan maupun ruang memunculkan produk
gerak melingkar yang baru sebagai akibat dari
biasa terdapat dalam tari para penari yang didorong
tradisional Makassar untuk melakukan gerak
menurut persepsi mereka
- Menggabungkan penari dalam mendekati
perempuan dan laki-laki Pakarena

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


325

yang belum pernah terjadi


dalam tarian Makassar
6.b Wiwiek - Komposisi ruang diolah
Sipala dengan penuh variasi
dengan penari melakukan
Ironi loncatan tinggi kemudian
menyebar sebelum
akhirnya bersatu kembali
- Musik mengentak dengan
lengkingan terompet yang
memekakkan telinga
dipadu dengan tiupan
trombon sehingga terjadi
tumpang tindih, deformasi
musik ini masih ditambah
dengan dentang timpani
dan jeritan anak-anak
- Pertunjukan diakhiri
dengan piring kertas putih
berterbangan di panggung
dan di tempat duduk
penonton yang belum
pernah terjadi dalam
keseluruhan rangkaian
festival di PKJ-TIM
1968–1987
7. Endo Suanda - Tontonan -Topeng dibuat sangat besar -Para pemain hanya diberi
rakyat Jawa seukuran Ondel-ondel konsep gerak, tidak rapi
Klana Barat tanpa aturan
Tunjungseta - Arak-arakan Barongsay
- Topeng dan Ronggeng Gunung - Para pemain bergerak
Badawang menguasai seluruh ruang
- Musik meriah antara lain gedung pertunjukan
- Musik dengan menggunakan termasuk tangga pintu
tradisional biola (bukan rebab) masuk penonton
- Sebagian pengamat
- Kostum warna-warni mempertanyakan apakah
untuk memperkuat arak- ini bisa disebut karya tari,
arak namun sebagian pengamat
menyatakan ini karya tari
dengan memasukkan

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


326

dalam porsi besar unsur


teater dan seni rupa
8. Agus Tasman, - Wayang Kulit - Audio: suara dalang yang - Wayang kulit seukuran
Suprapto disisipi mantra Budha dan tubuh manusia
Suryodarmo, bentakan-bentakan
Hajar satoto, - Menggunakan penari
Rahayu namun bukan sebagai
Supanggah unsur utama

Wayang Bu- - Cahaya obor yang


dha terpantul di bentangan kain
Sutasoma putih memunculkan
bayang-bayang ajaib dari
gerak dan benda-benda
- Aspek Audio, seni rupa
dan teatrikal sangat kuat
sehingga mereduksi
dimensi ketarian
- Sebagian pengamat
mempertanyakan ini seni
tari atau bukan, sebagian
lagi menyatakan
kategorisasi tak penting
karena dikalahkan oleh
daya tariknya sebagai
pertunjukan
9. Gusmiati Suid - Pencak Silat - Gerak baru tari yang - Ide dan konsep garapan
dinamis dan kuat, gerak yang bertolak dari karya
Limbago - Musik Minang tangan yang tajam ke tradisional ditambahkan
segala arah dengan 75 frase gerak
garapan dan teknik
- Memperkuat bunyi individu yang khas
dengan entakan kaki, sehingga ekspresi pribadi
tepukan tangan, suara-suara sangat menonjol dalam
penari dan pemusik karya
- Sejumlah pengamat asing
terpukau dengan
pertunjukan ini yang
mereka sebut sebagai
perpaduan kreatif
tradisional dan
kontemporer

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


327

10. Sulistyo - tari tradisional - Eksplorasi gerak untuk - Seorang pemain duduk
Tirtokusumo klasik Jawa keluar dari gerak tari bersila diam di pojok
gaya Surakarta tradisional pentas, seorang pemain
(tanpa judul) berdiri mematung di luar
- Perenungan gedung pertunjukan,
pada patung seorang lagi bergerak
Budha candi tanpa pola dan tanpa jeda,
Borobudur dan seorang lainnya duduk
di kamar-kamar bersila di tengah pentas
para pangeran di dengan menggerakkan
keraton tubuh sangat pelan
Surakarta diiringi gending Bedaya
Ketawang yang meditatif
- Cahaya lampu remang-
- Gending tari remang
Bedaya - Audio sesekali terdengar
Ketawang mantra Budhis
11.a Trisapto - Karya eksperimental
nonnaratif
Segitiga
- Seluruh unsur menjadi
penopang garapan: bunyi,
gerak, tubuh penari, rupa,
cahaya
- Musik klasik Rusia abad
17 yang dimainkan
dengan piano digubah
menjadi musik elektronik
- Kekuatan pertunjukan
terletak pada segitiga
yang mendukung: cahaya,
musik, gerak tubuh
pemain
- Segitiga lainnya adalah
panggung segiempat
dibuat menjadi segitiga
- Memainkan kontras pada
unsur-unsur segitiga,
misalnya gerak tari
lambat meskipun irama
musik cepat

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


328

11.b Trisapto - Karya eksperimental


dengan pengalaman hidup
Perempatan sebagai sumber ide
- Perempatan ditandai
dengan rambu-rambu lalu
lintas
- Eksplorasi gerak dengan
menggunakan payung,
lilin, gelas dan tiang-tiang
plastik yang
penggunaannya bukan
untuk mencari keindahan
melainkan untuk
memperoleh berbagai
kemungkinan interaksi
tubuh dengan benda-benda
- Musik: musik pukul yang
dibiaskan melalui
rekayasa alat elektronik
untuk produksi bunyi
yang lain sama sekali
12. Sunarno, Jawa Surakarta - Gerak dibuat lebih kuat, - Seni tradisional Surakarta
Nora lebih cepat, loncatan lebih yang dikenal halus pada
Kunstantina, lebar karya ini menimbulkan
Rusini kerisihan pada mereka
- Kostum dibuat lebih yang menolak adanya
Joged sederhana untuk perubahan besar
memudahkan penari
bergerak - Diskusi setelah
pertunjukan mucul
pertanyaan dari beberapa
peserta apakah penjaga
kebudayaan Surakarta
membiarkan saja
perubahan tradisi yang
cukup radikal ini
13. Dedy Lutan, - Tari dan musik - Nonliteral, tidak bertema - Tak ada perbedaan gerak
Tom Ibnur tradisional moralitas yang biasa antara penari laki-laki
Minangkabau terdapat pada teks dan perempuan
Awan Bailau Minangkabau
- Ketika dipertnjukkan di
Amerika Serikat di

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


329

- Para penari bukan dari American Dance Festival,


Minangkabau tapi para tokoh tari modern Martha
remaja Jakarta yang Graham memuji sebagai
dimaksudkan untuk karya kontemporer yang
mendapat gerak baru sarat eksplorasi dan
dalam bereksplorasi inovasi dengan tetap
menyemburatkan unsur-
- Gerak tradisional berubah unsur dan lambang
menjadi gerak yang tradisional
disesuaikan dengan
interpretasi dan
kemampuan penari
- Boneka sawah yang
tertiup angina sebagai
inspirasi gerak berputar,
juga terinspirasi juga
gerak berputar seperti
gasing dari Laura Dean
14. Ida Wibowo Tari Jawa gaya Membentuk pola lantai, - Sinta tidak dimainkan
Yogyakarta komposisi ruang dan vokal oleh 1 penari melainkan
Sinta memlalui improvisasi semua penari bisa
gerak para penari yang memainkannya
didorong untuk aktif
melakukan pencarian - Demikian pula untuk
sehingga ditemukan karakter-karakter lainnya
kebaruan dimainkan oleh semua
penari secara bergantian
15. I Gusti Terinspirasi dari Gerak Bali dipadukan - Pada adegan penutup
Kompyang Hari Raya Nyepi dengan berbagai gerak dari sekelompok anak muda
Raka luar Bali (Melayu, Aceh, masuk mengendarai sepeda
Sunda, Jawa) motor yang bunyi
Nyejer Agung knalpotnya menghancurkan
keheningan Nyepi,
dibarengi denpan para
penari diam tak bergerak
dan ending tak bersuara,
sedangkan lampu pnggung
menyala sangat terang
untuk kemudian meredup
sebelum menjadi gelap

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


330

16. Martinus Tari Jawa gaya - Tari Bedaya yang lembut - Teater tari, ada akting,
Miroto Yogyakarta (tari dipadu dengan gerak sehingga tari tradisional
Bedaya, rampak yang keras menjadi sangat samar-
Sampah Lawung) samar
- Disisipkan gerak tari Bali
yang meliuk-liuk dan - Kostum rok mini untuk
dinamis karakter perempuan
cantik dan seksi
- Musik bambu dan vokal
yang direkam - Penataan cahaya kontras
17. Laksmi - Bertolak dari syair puisi
Simanjuntak tentang kematian sebagai
akibat dari perubahan
Kala Bendu zaman yang melindas
ganas
- Eksplorasi gerak dengan
menghayati kebudayaan
urban dan tidak terikat
pada bentuk tari apa pun
kecuali gerak manusia
sehari-hari
- Selain penari, para
pemain lainnya tak
mempunyai dasar seni tari
karena pertunjukan ini
memang tidak bermaksud
menyajikan tarian
- Musik menggunakan
peralatan elektronik
akustik dan
mencampurnya dengan
berbagai suara alam dan
suara-suara pemain yang
simpang siur dan
diucapkan secara repetitif
18. Hendro - Terinspirasi dari karya
Martono modern Martha Graham,
Jose Limon, Alwin
Fatamorgana Nikolais
- Nonnarasi, nonfiguratif

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.


331

- Semua unsur (kostum,


rias, properti, tata cahaya,
setting) dimunculkan
dalam kemenonjolan yang
sama
-Tidak ada penari
individual karena lebur
dalam sebuah kelompok
yang sarat dengan kerja
sama
19. Bagong - Tradisi Wayang - Ruang untuk bergerak
Kussudiardja Wong sangat kecil (100 x 80 cm)
berupa 2 level yang disusun
Kurusetra
- Eksplorasi ketubuhan
- Penggarapan emosi yang - Gerak penari bukan gerak
intensif untuk Wayang Wong
memunculkan gerak-gerak - Tiada karakter dan
kecil anggota badan simbol-simbol
pewayangan yang jelas
-Tanpa setting dan properti
- Musik gamelan dipadu
dengan musik Barat
karya Vangelies dan
disusupi audio
percakapan dan nyanyian
tumpang tindih tidak jelas
namun menimbulkan efek
menekan dalam suasana
permusuhan perang
saudara

Universitas Indonesia

Perkembangan koreografi..., R Aj Siti Nurchaerani Kusumastuti, FIB UI, 2017.

Anda mungkin juga menyukai