Anda di halaman 1dari 223

UNIVERSITAS INDONESIA

DARI WANUA RI LALENG KE WANUA LAENG:


PERAN PELABUHAN PAREPARE DALAM PERDAGANGAN BERAS
DI KAWASAN SELAT MAKASSAR (1905-1939)

TESIS

SYAFAAT RAHMAN MUSYAQQAT


1706090723

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA


PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH
DEPOK
2021
UNIVERSITAS INDONESIA

DARI WANUA RI LALENG KE WANUA LAENG:


PERAN PELABUHAN PAREPARE DALAM PERDAGANGAN BERAS
DI KAWASAN SELAT MAKASSAR (1905-1939)

TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Humaniora

SYAFAAT RAHMAN MUSYAQQAT


1706090723

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA


PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH
DEPOK
2021
ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri,


dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Syafaat Rahman Musyaqqat

NPM : 1706090723

Tanda Tangan :

Tanggal : 6 Agustus 2021


iii

HALAMAN PENGESAHAN

Tesis ini diajukan oleh


Nama : Syafaat Rahman Musyaqqat
NPM : 1706090723
Program Studi : Ilmu Sejarah
Judul Tesis : Dari Wanua Ri Laleng ke Wanua Laeng: Peran
Pelabuhan Parepare dalam Perdagangan Beras di
Kawasan Selat Makassar (1905-1939)

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima


sebagai bagian pesyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister
Humaniora pada Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya, Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing : Dr. Didik Pradjoko, M. Hum ( )

Penguji : Prof. Dr. Susanto Zuhdi, M. Hum ( )

Penguji : Dr. Linda Sunarti, M. Hum ( )

Ditetapkan di : Depok
Tanggal : 6 Agustus 2021

oleh
Dekan
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia

Dr. Adrianus Laurens Gerung Waworuntu, M. A


NIP. 195808071987031003
iv

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbilalamin. Tiada ungkapan yang pantas mengawali selain


kata tersebut. Atas berkat dan rahmat Allah SWT, penulis pada akhirnya dapat
menyelesaikan tesis ini. Karya ini ditulis sebagai syarat kelulusan pada Program
Magister Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Karya ini juga menjadi penanda bahwa penulis telah tiba di penghujung perjalanan
dalam rangka mengenyam pendidikan di Universitas Indonesia. Berbagai tantangan
dan hambatan sudah tentu menyertai proses penyusunan tesis. Di samping
pemahaman terkait Sejarah Maritim yang memang masih jauh dari kata mencukupi,
penulis juga sempat mengalami kesulitan dalam hal mencari dan menemukan
sumber sejarah terkait pelabuhan Parepare. Kondisi pandemi Covid-19 semakin
membatasi ruang gerak. Alih-alih kembali ke kampung halaman (Makassar),
penulis memilih tetap bertahan di Depok untuk sekedar memastikan penyusunan
tesis tetap berjalan. Alhamdulillah, tesis yang berjudul “Dari Wanua Ri Laleng ke
Wanua Laeng: Peran Pelabuhan Parepare dalam Perdagangan Beras di Kawasan
Selat Makassar (1905-1939)” ini pada akhirnya dapat terselesaikan juga. Hal ini
tentunya tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak.
Pertama-tama, penulis mengucapkan terima kasih kepada Rektor
Universitas Indonesia, Prof. Ari Kuncoro, S.E., M.A., P.h.D, beserta jajarannya.
Ucapan terima kasih juga untuk Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia, Dr. Adrianus Laurens Gerung Waworuntu, S.S., M.A,
beserta jajarannya. Penulis juga mengucapkan terima kasih untuk segenap staf
akademik fakultas. Terkhusus Mbak Ari, terima kasih untuk segala kemudahannya
dalam persoalan administrasi selama penulis mengikuti perkuliahan.
Ucapan terima kasih penulis yang sebesar-besarnya ditujukan kepada dosen
pembimbing, Dr. Didik Pradjoko, M. Hum. Dengan begitu sabar, beliau telah
banyak berkorban waktu untuk memberi masukan dan arahan kepada penulis
selama proses penyusunan tesis yang menghabiskan waktu kurang lebih 10 bulan.
Penulis merasa terbantu untuk berani mengeksplor topik tesis ini lebih dalam
melalui saran-saran mencerahkan dari beliau mengenai Sejarah Maritim, yang
notebene merupakan bidang yang digelutinya. Selain itu, penulis juga banyak
v

belajar Sejarah Maritim melalui ceramah dan kegiatan perkuliahan beliau. Bukan
hanya itu, beliau juga sering menyarankan beberapa referensi penting yang tentunya
semakin memperluas cakrawala penulis mengenai dunia “Ilmu Sejarah”. Motivasi
agar segera menuntaskan penulisan tesis paling tidak menjadi dorongan berharga
bagi penulis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof.
Dr. Susanto Zuhdi, M. Hum, selaku penguji. Beliau bukan hanya memberikan
masukan dan saran-saran yang konstruktif dalam penulisan tesis ini. Dari beliau
juga penulis belajar banyak mengenai Metodologi Sejarah. Awal jatuh cinta dengan
Sejarah Maritim juga bermula ketika penulis membaca salah satu tulisan beliau
dalam buku Nasionalisme, Laut dan Sejarah (2014). Suatu waktu, dalam kegiatan
perkuliahan Pengantar Ilmu Sejarah (2018), beliau bertanya satu-persatu ke
mahasiswa di ruang kelas perihal topik tesis yang akan dikaji. Meskipun awalnya
sempat ragu dengan kemampuan diri sendiri, saya kemudian menyebutkan salah
satu topik, yakni perdagangan beras di pelabuhan Parepare. Alhamdulillah beliau
turut mendukung rencana topik tesis tersebut. Semenjak saat itulah penulis bertekad
mendalami kajian pelabuhan. Gagasan beliau mengenai “Tanah-Air” semakin
meyakinkan penulis terkait pentingnya posisi pelabuhan dalam Sejarah Indonesia.
Juga kepada Dr. Linda Sunarti M. Hum, selaku penguji, penulis ucapkan banyak
terima kasih atas segala kritik dan saran selama proses penyusunan tesis ini. Selain
itu, pemahaman penulis mengenai Metode Sejarah juga tidak terlepas dari petuah-
petuah mencerahkan dari beliau selama kegiatan perkuliahan. Ucapan terima kasih
pula untuk segenap tenaga pengajar di Departemen Ilmu Sejarah, seperti Mas
Maman, Mas Yudha, Mas Bondan, Mas Mohammad Iskandar, Mas Kasijanto, Prof.
Djoko dan Prof. Maswadi Rauf serta dosen-dosen lainnya yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu. Sekali lagi, terima kasih untuk ilmu dan pengetahuan yang
penulis peroleh selama belajar di Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Ucapan terima kasih penulis juga kepada Dr. Suriadi Mappangara, M. Hum,
dosen Ilmu Sejarah di Universitas Hasanuddin. Dari diskusi dengan beliau, penulis
memperoleh informasi dan pengetahuan berharga mengenai sejarah Sulawesi
Selatan, termasuk Parepare. Selanjutnya ialah Margriet Lappie, S.S, M.S (Almh).
vi

Awal perjumpaan dan perkenalan saya dengan beliau berlangsung dalam seminar
sejarah publik di Universitas Indonesia pada November 2019. Beliau memberi
wejangan-wejangan bermanfaat sekaligus meyakinkan penulis untuk secara serius
menggarap pelabuhan Parepare yang sejauh ini belum banyak mendapat perhatian
dalam Historiografi Sulawesi Selatan. Untuk itu, terima kasih Bu, semoga Tuhan
selalu memberi kelapangan di alam sana.
Penelitian ini tentunya banyak berhutang kepada beberapa lembaga
kearsipan. Pertama-tama, ucapan terima kasih ditujukan kepada para pegawai Arsip
Nasional Republik Indonesia (ANRI) yang dengan sabar melayani berbagai macam
permintaan penulis selama proses pencarian sumber. Terima kasih pula kepada para
pegawai Perpustakaan Nasional Republik Indonesia untuk segala kesabaran dan
keramahannya dalam melayani setiap permintaan penulis selama proses penelitian.
Ucapan terima kasih juga kepada para pegawai Dinas Perpustakaan dan Kearsipan
Provinsi Sulawesi Selatan (Makassar), khususnya Kak Iccang yang dengan tulus
meladeni permintaan arsip dari penulis.
Terima kasih kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia yang telah menanggung biaya studi penulis selama menempuh program
Magister. Berkat program Beasiswa Unggulan Tahun 2018, penulis sangat terbantu
dengan adanya program tersebut. Kepada Pak Yoseph, selaku koordinator Beasiswa
Unggulan, penulis ucapkan terima kasih untuk segala kebijaksanaannya.
Teristimewa kepada keluarga penulis, untuk Ayahanda, Drs. Ambo Tang
Rahman, M. Pd (Alm), semoga Allah SWT senantiasa mengampuni segala dosa
dan memberikan kelapangan di alam kuburnya. Untuk Ibunda tercinta, Dra.
Minatang, ribuan kata terima kasih tidak akan mampu membalas segala kasih dan
sayang yang dicurahkan kepada penulis. Hanya untaian doa yang senantiasa penulis
panjatkan. Kepada saudara-saudari penulis, Mujahid Zul Fadli AR, S. Pd,
Nurfadilah Fajri Rahman, S. Hum, Ahmad Nashiruddin MR, S. Pd, M. Ak dan
Tashdieq Ulil Amri Arhamzah, terima kasih untuk segala dukungan dan dorongan
positif, mulai dari sebelum perkuliahan hingga sampai pada tahap penulisan tesis
ini. Juga kepada kemanakan terkasih, Waiz Naufal Awaluddin dan Muthi Arsal
Furqan serta sepupu-sepupu, penulis haturkan terima kasih.
vii

Yang terhormat untuk seluruh penghuni grup “Jong Celebes”. Khususnya


Pak Taufik Ahmad, terima kasih sudah menjadi senior, mentor sekaligus sosok
“ayah” di perantauan. Juga terima kasih kepada Pak Abd. Rahman Hamid yang
selalu menginspirasi. Beliau senantiasa menanyakan kabar perihal perkembangan
studi dan secara sukarela membagi berbagai macam referensi terkait Sejarah
Maritim kepada penulis. Terima kasih juga kepada Pak Abd. Rahman, Kak Rifal,
Kak Abd. Karim yang selalu menginspirasi, Kak Wins Senor yang selalu tampak
tenang di setiap keadaan, Kak Lili dan Kak Dewi.
Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada teman-teman seperguruan
selama penulis mengenyam pendidikan di Departemen Ilmu Sejarah, Universitas
Indonesia. Khususnya kepada teman-teman seangkatan (angkatan 2018), mulai dari
Endi, Kang Irfal, Bang Sammy, Adhytiawan, Afriadi, Cak Azrohal, Bang Unang,
Bang Hasby, Yunida, Bunga dan Mbak Ririn, penulis ucapkan terima kasih. Kalian
hebat, sehat-sehat selalu dan teruslah berkarya. Begitupun dengan teman-teman
angkatan lain, Kang Ferdy, Kang Fajar, Bang Salamun, Yogas, Aslam, Anita,
penulis ucapkan terima kasih.
Untuk teman-teman di Pondok Akang, seperti Bro Fadly, Kak Apri, Thesar,
Ardi, Erik dan Ais, penulis juga haturkan banyak terima kasih. Untuk Arham, tetap
semangat menjalani perkuliahan di tengah kondisi pandemi. Terima kasih juga
untuk Yusuf dan Erik Hariansah yang telah bersedia menemani penulis
mengadakan kunjungan lapangan di Parepare pada Januari 2020. Juga teruntuk
teman-teman di Makassar, di antaranya Qadri, Yusran, Valdi, Yaen, Hasnan,
Ahmad, Eki, Elim dan Aan, terima kasih untuk segala dukungan morilnya.
Akhirnya, dengan segala keterbatasannya, penulis berharap tesis ini dapat
memperkaya khazanah Sejarah Maritim Indonesia umumnya dan Sejarah Sulawesi
Selatan khususnya.

Depok, 17 Juli 2021

Syafaat Rahman Musyaqqat


viii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI


TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di


bawah ini:
Nama : Syafaat Rahman Musyaqqat
NPM : 1706090723
Program Studi : Ilmu Sejarah
Fakultas : Ilmu Pengetahuan Budaya
Jenis Karya : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

Dari Wanua Ri Laleng ke Wanua Laeng: Peran Pelabuhan Parepare dalam


Perdagangan Beras di Kawasan Selat Makassar (1905-1939).

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama
saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 6 Agustus 2021

Yang menyatakan

(Syafaat Rahman Musyaqqat)


ix

ABSTRAK

Nama : Syafaat Rahman Musyaqqat


Program Studi : Ilmu Sejarah
Judul : Dari Wanua Ri Laleng ke Wanua Laeng: Peran Pelabuhan
Parepare dalam Perdagangan Beras di Kawasan Selat Makassar
(1905-1939)
Pembimbing : Dr. Didik Pradjoko, M. Hum

Penelitian ini membahas peran pelabuhan Parepare dalam perdagangan beras di


kawasan Selat Makassar. Sejauh ini, Historiografi Maritim Sulawesi Selatan
cenderung menempatkan komoditas kopra sebagai penggerak sejarah yang
dominan selama paruh pertama abad ke-20. Akibatnya, narasi sejarah pelabuhan
Makassar masih lebih mencolok dibanding narasi pelabuhan-pelabuhan lain di
sekitarnya. Penelitian ini menelusuri sejarah pelayaran dan perdagangan di
Sulawesi Selatan dari sisi yang berbeda, yakni komoditas beras. Dengan mengambil
temporal penelitian yang mencakup 1905 hingga 1939, penelitian ini menggunakan
metode sejarah dan pendekatan struktural. Adapun sumber-sumber yang digunakan
ialah arsip pemerintah kolonial, surat kabar, jurnal dan majalah. Terletak di pantai
barat Sulawesi, Parepare adalah suatu pelabuhan yang ditopang beberapa wanua ri
laleng (daerah pedalaman), seperti Sidenreng, Rappang, Pinrang, Barru, Parepare,
Enrekang dan Toraja. Meskipun pada awalnya terdapat berbagai faktor yang saling
berkelindan dan turut mempengaruhi dinamika perdagangan beras, namun hal itu
tidak menjadi penghalang bagi Parepare yang didukung wanua ri laleng yang
terkenal subur. Hal ini tercermin dari aktivitas ekspor beras dengan jaringan
perdagangan yang mencakup intra-regional dan inter-regional. Pada 1930-an,
komoditas beras di Parepare diangkut langsung ke beberapa wanua laeng (daerah
seberang), seperti Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, Manado, Maluku,
Timor dan Jawa. Luasnya cakupan perdagangan itu mewujudkan peran Parepare
sebagai pusat perniagaan beras utama di Selat Makassar. Dengan peranan itu,
penelitian ini menemukan bahwa collecting centre (Parepare) tidak selalu bertindak
sebagai penyuplai bagi entrepot (Makassar). Temuan ini juga menjelaskan bahwa
Parepare telah berperan melampaui fungsinya dalam perdagangan (over-collecting
centre). Kontrol pemerintah kolonial dalam perdagangan beras sejak 1933 adalah
salah satu faktor penting di balik pencapaian peranan tersebut dan, bahkan, Parepare
menjelma sebagai salah satu pelabuhan tersibuk di Timur Besar (Groote Oost). Di
samping itu, ramainya aktivitas perdagangan pada gilirannya berdampak pula
terhadap perkembangan Kota Pelabuhan Parepare pada masa kolonial, sebagaimana
tercermin dari struktur masyarakat, fasilitas kota dan peran para pedagang dalam
pengembangan kota.

Kata Kunci: pelabuhan, perdagangan beras, kontrol negara, Parepare, Sulawesi


Selatan, Selat Makassar

Universitas Indonesia
x

ABSTRACT

Name : Syafaat Rahman Musyaqqat


Major : History
Title : From Wanua Ri Laleng to Wanua Laeng: The role of the Port of
Parepare in Rice Trade in the Makassar Strait Area (1905-1939)
Counsellor : Dr. Didik Pradjoko, M. Hum

This study discusses the role of the port of Parepare in the rice trade in the Makassar
Strait area. So far, the Maritime Historiography of South Sulawesi tends to place
copra as the dominant historical driver during the first half of the 20th century. As
a result, the historical narrative of the Makassar port is still more striking than the
narratives of other ports in the vicinity. This study traces the history of shipping and
trade in South Sulawesi from a different side, namely rice commodities. By taking
the research temporal which covers 1905 to 1939, this research uses historical
methods and structural approaches. The sources used are colonial government
archives, newspapers, journals and magazines. Located on the west coast of
Sulawesi, Parepare is a port supported by several wanua ri laleng (hinterland), such
as Sidenreng, Rappang, Pinrang, Barru, Parepare, Enrekang and Toraja. Although
in the beginning there were various factors that were intertwined and also
influenced the dynamics of the rice trade, this did not become a barrier for Parepare,
who was supported by the famous fertile wanua ri laleng. This is reflected in rice
export activities with a trade network that includes intra-regional and inter-regional.
In the 1930s, rice commodities in Parepare were transported directly to several
wanua laeng (foreland), such as East and South Kalimantan, Manado, Maluku,
Timor and Java. The wide scope of trade embodies Parepare's role as the main rice
trading center in the Makassar Strait. With that role, this study found that the
collecting center (Parepare) does not always act as a supplier for entrepot
(Makassar). This finding also explains that Parepare has played a role beyond its
function in trading (over-collecting center). The colonial government's control of
the rice trade since 1933 was one of the important factors behind achieving this role
and, in fact, Parepare became one of the busiest ports in the Great East (Groote
Oost). In addition, the hectic trading activities in turn also had an impact on the
development of the Port City of Parepare during the colonial period, as reflected in
the community structure, city facilities and the role of traders in the development
of the city.

Keywords: port, rice trade, state control, Parepare, Southern Sulawesi, Makassar
Strait area

Universitas Indonesia
xi

DAFTAR ISI

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................. ii


HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... iii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI.................... viii
ABSTRAK ......................................................................................................... ix
ABSTRACT ........................................................................................................ x
DAFTAR ISI ...................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xiii
DAFTAR GRAFIK ......................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xvi
DAFTAR KONVERSI SATUAN ................................................................. xvii
BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................. 8
1.3 Ruang Lingkup Penelitian .................................................................. 8
1.4 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ......................................... 9
1.5 Penelitian Terdahulu ........................................................................ 10
1.6 Kerangka Konseptual ....................................................................... 18
1.7 Metode Penelitian dan Penggunaan Sumber .................................... 24
1.8 Sistematika Penulisan ...................................................................... 26
BAB 2 TINJAUAN UMUM PELABUHAN PAREPARE............................ 28
2.1 Pendahuluan ..................................................................................... 28
2.2 Letak dan Kondisi Geografis Pelabuhan Parepare ........................... 28
2.3 Daerah Penyangga............................................................................ 36
2.4 Pembuatan Perahu ............................................................................ 45
2.5 Lintasan Historis Pelabuhan Parepare Hingga 1905 ........................ 49
BAB 3 PELABUHAN DAN PERDAGANGAN BERAS (1905-1925) ......... 60
3.1 Pendahuluan ..................................................................................... 60
3.2 Organisasi Pelabuhan ....................................................................... 60
3.3 Pelayaran dan Perdagangan.............................................................. 64
3.4 Perdagangan Beras ........................................................................... 72
3.4.1 Wanua Laeng .......................................................................... 72
3.4.1.1Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan ................. 72
3.4.1.2 Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah ......................... 76
3.4.1.3 Maluku ........................................................................ 79
3.4.1.4 Timor dan Daerah Taklukannya.................................. 81
3.4.1.5 Jawa ............................................................................. 84
3.4.2 Struktur Perdagangan .............................................................. 87

Universitas Indonesia
xii

3.4.3 Intensifikasi Pertanian di Daerah Pedalaman ......................... 89


3.4.4 Perdagangan Beras Sampai 1925 ............................................ 92
3.5 Pengembangan Infrastruktur Pelabuhan ........................................... 97
BAB 4 MENJADI RIJST HAVEN DI KAWASAN SELAT MAKASSAR:
PELABUHAN PAREPARE DAN PERDAGANGAN BERAS
(1926-1939) .......................................................................................... 105
4.1 Pendahuluan ................................................................................... 105
4.2 Pengembangan Infrastruktur Pelabuhan ........................................ 106
4.3 Kompetisi Pelabuhan Parepare dan Pelabuhan Palima:
Terkonsentrasinya Pintu Keluar Beras di Bagian Tengah
Jazirah Sulawesi Selatan ................................................................ 110
4.4 Perdagangan di Pelabuhan Parepare Pada 1930-an:
Menjadi Pelabuhan Beras di bawah Kontrol Negara ..................... 119
4.5 Jaringan Pelayaran ......................................................................... 133
BAB 5 DAMPAK PERDAGANGAN TERHADAP PERKEMBANGAN
KOTA PELABUHAN PAREPARE (1905-1939) ............................ 140
5.1 Pendahuluan ................................................................................... 140
5.2 Struktur Masyarakat Kota Pelabuhan ............................................ 140
5.3 Perkembangan Fasilitas Kota Pelabuhan ....................................... 148
5.4 Peran Pedagang dalam Pembangunan Kota Pelabuhan ................. 159
BAB 6 ............................................................................................................. 168
SIMPULAN .................................................................................................... 168
DAFTAR ACUAN.......................................................................................... 175
LAMPIRAN .................................................................................................... 189
INDEKS .......................................................................................................... 204

Universitas Indonesia
xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Jumlah Areal Sawah di Daerah Penyangga Parepare pada 1936 ....... 42
Tabel 4.1 Kunjungan Kapal dan Perahu di Parepare dan Palima
pada Dekade 1920 ........................................................................... 118
Tabel 4.2 Ekspor Beras di Tiga Pelabuhan Ekspor Sulawesi Selatan
pada 1932 ......................................................................................... 120
Tabel 4.3 Kunjungan Kapal Uap dan Perahu Layar di Pelabuhan Parepare
(1930-1939) ..................................................................................... 135
Tabel 4.4 Kunjungan Perahu Layar dan Kapal Uap di Lima Pelabuhan
Timur Besar (Groote Oost) pada 1939 ............................................ 137
Tabel 5.1 Keadaan Penduduk Kota Pelabuhan Parepare pada 1930 ................ 144
Tabel 5.2 Daftar Panitia Pembangunan Masjid Jami di Parepare
pada 1933 ......................................................................................... 163

Universitas Indonesia
xiv

DAFTAR GRAFIK

Grafik 3.1 Volume Ekspor Pelabuhan Parepare Untuk Lima Komoditas


Utama, 1909-1911 ............................................................................ 65
Grafik 3.2 Perdagangan Impor di Parepare pada 1911 ...................................... 67
Grafik 3.3 Ekspor Beras di Parepare pada 1909-1911 ....................................... 92
Grafik 3.4 Ekspor Beras di Parepare pada Paruh Pertama Dekade 1920........... 94
Grafik 4.1 Perbandingan Ekspor Beras di Parepare dan Palima pada
Paruh Kedua Dekade 1920 ............................................................. 117
Grafik 4.2 Ekspor Beras di Parepare pada 1930-an ......................................... 128
Grafik 4.3 Daerah Tujuan Ekspor Beras di Parepare pada 1938 ..................... 131
Grafik 4.4 Ekspor Pelabuhan Parepare untuk Lima Komoditas
pada 1932 ....................................................................................... 132

Universitas Indonesia
xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Peta Pulau Sulawesi yang menunjukkan lokasi pelabuhan


Parepare di pantai barat Sulawesi (1916) ........................................ 2
Gambar 2.1 Peta Teluk Parepare yang menunjukkan posisi pelabuhan
Parepare berada tepat di seberang timur Semenanjung
Tanah Maeli .................................................................................. 32
Gambar 2.2 Deretan Perahu Palari di pelabuhan Parepare pada 1920-an.......... 47
Gambar 2.3 Perahu Pakur yang sedang berlayar di perairan Teluk Parepare
pada 1940-an................................................................................... 48
Gambar 3.1 Dermaga kapal dengan pondasi tiang pancang di pelabuhan
Parepare pada 1911 ......................................................................... 98
Gambar 3.2 Peta jaringan jalan yang menghubungkan pelabuhan Parepare
dan daerah pedalaman .................................................................. 101
Gambar 4.1 Dermaga Perahu dan Gudang di Parepare pada 1935 .................. 107
Gambar 4.2 Peta Zuidwest-Celebes yang menunjukkan lokasi pelabuhan
Palima dan Parepare di bagian tengah Jazirah Sulawesi
Selatan (1919) ............................................................................... 110
Gambar 4.2 Peta Jaringan Perdagangan Beras (intra-regional)
di pelabuhan Parepare ................................................................... 130
Gambar 4.3 Peta Jaringan Perdagangan Beras (inter-regional)
di pelabuhan Parepare pada 1930-an ............................................ 130
Gambar 5.1 Tata Kota Pelabuhan Parepare pada masa kolonial ..................... 147

Universitas Indonesia
xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Sebuah Peta Belanda pada akhir abad ke-18 yang pertama kali
menyebut Parepare ...................................................................... 190
Lampiran 2. Penampakan sawah di daerah pedalaman Parepare (Suppa)
pada 1910 .................................................................................... 191
Lampiran 3. Aktivitas Bongkar Petroleum di Pelabuhan Parepare
pada 1939 .................................................................................... 192
Lampiran 4. Segerombolan kuda yang sedang mengangkut rumput
di Parepare pada 1939 ................................................................. 193
Lampiran 5. Pemandangan Jalan Utama di Parepare antara 1930-1936 .......... 194
Lampiran 6. Pembangunan Bendungan Irigasi Sadang
(Onderafdeeling Pinrang) pada 1939 .......................................... 195
Lampiran 7. Iklan Lowongan Kerja di MEPB Parepare pada 1940 ................ 196
Lampiran 8. Gerobak di Parepare antara 1905-1940 ....................................... 197
Lampiran 9. Aktivitas Perniagaan di Pasar Parepare pada 1937 ..................... 198
Lampiran 10. Alat transportasi sepeda di Parepare antara 1930-1936............. 199
Lampiran 11. Alat transportasi bendi yang sedang melintas di depan Terminal
“Kandang Oto” di Parepare antara 1930-1936 .......................... 200
Lampiran 12. Iklan Lowongan Kerja Bank Rakyat (Volksbank) di Parepare
pada 1924 ................................................................................. 201
Lampiran 13. Hotel di Jalan Pusat Pertokoan Utama ...................................... 202
Lampiran 14. Rumah Sakit (Ziekenhuis) di Parepare antara 1926-1940 ......... 203

Universitas Indonesia
xvii

DAFTAR KONVERSI SATUAN

SATUAN UKUR
1 depa = 1,7 meter
1 mil laut 1.852 meter
1 kaki 0,283 meter
1 paal 1.507 meter
1 yard 0,914 meter

VOLUME
1 pikul 61,76 kilogram
1 bau 7.096 meter persegi

Sumber: Indisch Verslag 1938, hlm. xxxv-xxxvi

Universitas Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


“Parepare, Potensi Maritim di Timur Indonesia”, demikian tajuk salah satu
berita online yang dirilis pada 9 September 2020.1 Warta itu bertolak dari andil
pelabuhan Parepare yang sejauh ini dikatakan telah memainkan peran penting
sebagai pintu gerbang untuk komoditas ekspor-impor di bagian tengah jazirah
Sulawesi Selatan. Di samping berperan sebagai penopang pelabuhan Makassar,
yang merupakan pelabuhan terbesar di bagian timur Indonesia, berita tersebut
juga menyatakan Parepare adalah pelabuhan unik. Keunikan ini tampak dari
aktivitas bongkar-muat di pelabuhan, di mana jumlah produk yang dimuat
seringkali lebih besar dari produk yang dibongkar. Dari beragam produk ekspor,
beras merupakan produk primadona yang dikapalkan ke berbagai daerah tujuan,
seperti Kalimantan dan wilayah timur Indonesia.
Realitas tersebut tercermin pula dari sebuah syair lagu daerah setempat.
“Parepare, onroang a’depungeng wassele’ reso pa’dare pa’galunge, sipulung
takkiring” (Parepare, tempat berkumpul hasil pekerjaan petani dan pekebun, untuk
sama-sama dikirim), demikian penggalan lagu tersebut. Syair lagu itu bukanlah
sekedar deretan kata tanpa makna, melainkan juga terkandung di dalamnya
ingatan kolektif masyarakat terkait eksistensi Parepare saat ini. Terlepas dari hal
tersebut, baik berita maupun syair lagu, tampak bahwa keduanya menyiratkan
kedudukan penting Parepare sebagai pintu keluar komoditas pertanian di bagian
tengah jazirah Sulawesi Selatan. Bila ditinjau lebih jauh, keadaan itu sudah barang
tentu tidak terjadi begitu saja. Dengan kata lain, terdapat rangkaian proses sejarah
yang telah membentuk dan saling berhubungan dengan kondisi pelabuhan
Parepare dewasa ini.
Pelabuhan Parepare adalah salah satu pelabuhan yang terletak di kawasan
Selat Makassar. Lebih tepatnya lagi, Parepare berada di pantai barat Sulawesi atau
sebelah utara dari pelabuhan Makassar dan sebelah selatan dari pelabuhan Majene

1
Anonim, “Parepare, Potensi Maritim Di Timur Indonesia,” 2020, https://indomaritim.id/parepare-
potensi-maritim-di-timur-indonesia/.

1
Universitas Indonesia
2

(lihat tanda panah merah di Gambar 1.1). Di samping jarak yang cukup dekat
dengan pelabuhan Makassar, Parepare juga memiliki keistimewaan lain dari
posisinya, yakni berada di Teluk Parepare. Di dalam teluk, pelabuhan Parepare
terbentang di sisi timur teluk. Tepat di muka pelabuhan, Parepare terlindungi oleh
sebuah tanjung (Tanjung Lero) di sisi barat teluk. Karena bentuknya yang
memanjang dari utara ke selatan, Tanjung Lero seakan-akan “memunggungi” laut
sehingga hembusan angin dan gelombang perairan selat tidak begitu kuat di
perairan teluk. Oleh sebab itu, pelabuhan Parepare terkenal pula sebagai
pelabuhan alam yang aman di semua musim.

Gambar 1.1 Peta Pulau Sulawesi yang menunjukkan lokasi pelabuhan


Parepare di pantai barat Sulawesi (1916)
Sumber: www.universiteitleiden.nl
Ditinjau dari aspek darat, pelabuhan Parepare berlokasi di bagian tengah
jazirah Sulawesi Selatan. Secara tradisional, Parepare adalah bagian dari kawasan
Ajatappareng2, yakni sebuah kawasan yang mayoritas didiami masyarakat Bugis.

2
Ajatappareng adalah sebuah persekutuan kerajaan-kerajaan Bugis yang dibentuk pada abad ke-
16. Terdapat lima kerajaan Bugis yang tergabung dalam persekutuan itu, di antaranya ialah
Kerajaan Suppa, Sidenreng, Sawitto, Alitta dan Rappang. Kelima kerajaan ini terletak di sebelah
barat danau (Aja Tappareng), yaitu Danau Tempe, Danau Sidenreng dan Danau Buaya. Karena
setiap kerajaan memiliki kedudukan yang sama dan memiliki hak otonom dalam mengatur
daerahnya sendiri, maka persekutuan ini sering pula disebut konfederasi. Oleh sebab itu, pada
dasarnya sebutan Ajatappareng merujuk pada istilah politik maupun geografis. Untuk hal ini lihat
Muhammad Amir, Konfederasi Ajatappareng: Kajian Sejarah Persekutuan Antar Kerajaan Di
Sulawesi Selatan Abad Ke-16 (Makassar: De La Macca, 2013).

Universitas Indonesia
3

Sementara itu, eksistensi pelabuhan Parepare ditunjang oleh daerah-daerah


pedalaman yang kaya dengan sumber daya. Di antaranya ialah Sidenreng,
Rappang, Pinrang, Barru, Enrekang dan Toraja. Kecuali daerah yang disebut
terakhir, semua daerah itu memiliki tanah yang subur dan sebagian besar cocok
untuk budidaya padi. Karena itu, daerah pedalaman Parepare sudah sejak lama
dikenal sebagai daerah penghasil padi, terutama daerah penyangga yang termasuk
kawasan Ajatappareng. Hal ini dapat diketahui dari catatan perjalanan orang
Eropa. “Keadaan masyarakat Sidenreng tidak begitu menyedihkan dibandingkan
dengan kerajaan-kerajaan Bugis lainnya, (karena) padi cukup melimpah…”,
demikian penuturan B.F. Matthes ketika berkunjung ke Sidenreng pada 1856.3
Jauh sebelum itu, kesaksian dengan gambaran yang hampir serupa diungkapkan
pula oleh Manuel Pinto, salah seorang Portugis, yang mengunjungi Sidenreng
pada 1548. Dengan mengamati secara langsung daerah tersebut, ia menyatakan,
“negeri ini paling baik dari yang pernah saya lihat di dunia, karena daerahnya
berupa daratan di mana padi, ternak, ikan dan buah-buahan berlimpah ruah.”4
Secara historis, berbeda dengan Makassar yang sejak 1667 telah diduduki
oleh Vereenigde Oost-Indische Compagnie (selanjutnya disebut VOC), Parepare
adalah bandar niaga yang masih dikontrol langsung oleh kerajaan pribumi, yakni
Kerajaan Sidenreng, sampai akhir abad ke-19. Itu artinya Parepare termasuk salah
satu pelabuhan pribumi (indlandsch haven) atau pelabuhan independen yang
setidaknya bertahan hingga pemerintah kolonial Belanda berupaya untuk
mengukuhkan kuasa politiknya atas seluruh jazirah Sulawesi bagian selatan pada
awal abad ke-20. Pelabuhan Parepare sendiri mulai dikembangkan pada 1770-an.
Pembangunan pelabuhan ini tidak dapat dilepaskan dari upaya kerajaan Bone
dalam memanfaatkan potensi ekonomi maritim di balik kuasa politiknya atas
jazirah Sulawesi bagian selatan ketika itu.5

3
B. F Matthes, Beknopt Verslag van Een Verblijf in Die Binnenlanden van Celebes, Naar
Boegineesch Gesproken Wordt, Gedurende Zes Maanden, van 24 April Tot 24 October 1856
(Makassar: W. Eekhout & Co., 1861), 7.
4
Christian Pelras, “Sulawesi Selatan Sebelum Datangnya Islam Berdasarkan Kesaksian Bangsa
Asing,” in Citra Masyarakat Indonesia, ed. Marcel Bonneff (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), 59–
60.
5
Sebagaimana umum diketahui, akhir dari perang Makassar pada 1669 berhasil memunculkan dua
penguasa atasan baru di Sulawesi Selatan, yakni VOC dan sekutunya, Arung Palakka. Namun
demikian, secara politik, arti penting Kerajaan Bone di Sulawesi Selatan semakin tampak jelas
ketika Arung Palakka dilantik sebagai Arumpone pada September 1672. Lihat Leonard Y. Andaya,

Universitas Indonesia
4

Parepare baru tampil sebagai salah satu bandar niaga pribumi terkemuka di
jazirah Sulawesi bagian selatan pada paruh kedua abad ke-19. Di bawah kuasa
Kerajaan Sidenreng, yang sejak 1812 memperoleh hak pengelolaan dari Inggris,
pelabuhan bukan hanya sekedar tempat persinggahan bagi para pelaut dan
pedagang di kawasan Selat Makassar. Parepare juga berkembang sebagai pusat
perniagaan utama bagi masyarakat Ajatappareng, di samping sebagai pintu keluar-
masuk untuk komoditas ekspor-impor di pantai barat Sulawesi. Salah satu faktor
yang mendorong perkembangan pelabuhan saat itu ialah kopi. Dengan kata lain,
kopi menjadi komoditas primadona ekspor6 dalam aktivitas pelayaran dan
perdagangan di Parepare. Ekspansi politik Sidenreng ke daerah dataran tinggi
(Enrekang dan Toraja) pada paruh kedua abad ke-19 adalah salah satu petunjuk
kuat bahwa kopi menjadi komposisi utama dalam perdagangan ekspor. Selain
pedagang pribumi, saat itu aktivitas perdagangan dan pelayaran di Parepare juga
diramaikan oleh para pedagang Arab. Indikator lain yang menunjukkan
pentingnya kegiatan perniagaan yang berlangsung di Parepare ketika itu ialah
tampak dari rute pelayaran Nederlandsch-Indische Stoomboot Maatschappij
(NISM).7 Perusahaaan pelayaran ini telah memasukkan Parepare sebagai salah
satu pelabuhan persinggahan dalam rute pelayarannya di perairan Hindia Belanda
sejak 1875.
Selain kapal uap, pelayaran dan perdagangan di Parepare juga diramaikan
oleh kunjungan perahu layar pribumi. Sebagaimana umum diketahui, dalam
konteks pelayaran di bagian timur Indonesia, suku Bugis terkenal sebagai suku

Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Abad Ke-17 (Nurhady Sirimorok, Penerjemah)
(Makassar: Ininnawa, 2004), 182.
6
Tampilnya kopi sebagai komoditas ekspor primadona di Parepare sebenarnya tidak terlepas dari
situasi perdagangan yang berlangsung di pelabuhan Makassar, di mana kopi mulai menjadi
komoditas ekspor penting sejak 1870-an. Untuk hal ini, lihat Heather Sutherland, “On the Edge of
Asia: Maritime Trade in East Indonesia, Early Seventeenth to Mid-Twentieth Century,” in
Commodities, Ports and Asian Maritime Trade Since 1750, ed. Ulbe Bosma and Anthony Webster
(Houndmills: Palgrave Macmillan, 2015), 59–78.
7
NISM adalah perusahaan pelayaran yang dibentuk pemerintah kolonial Belanda pada 1842.
Tujuannya ialah untuk melayani kepentingan pelayaran niaga dan penumpang di daerah pesisir,
termasuk kepentingan monopoli rempah di Maluku. Pendirian perusahaan pelayaran kapal api ini
juga bersamaan dengan kerjasama antara pemerintah kolonial dan Angkutan Laut Hindia Belanda
guna mengawal kapal dagang dari ancaman bajak laut dan pengangkutanpos untuk Jawa-
Singapura. Mengenai NISM, selengkapnya lihat Edward L Poelinggomang, Makassar Abad XIX:
Studi Tentang Kebijakan Perdagangan Maritim (Jakarta: KPG, 2016), 92–93.

Universitas Indonesia
5

pelaut terkemuka, di samping suku Makassar, Mandar, Buton dan Madura.8


Dalam konteks pelayaran di Parepare, para pelaut Bugis, Makassar dan Mandar
merupakan agensi yang menghubungkan Parepare dengan bandar-bandar niaga
lainnya di Nusantara. Kunjungan perahu layar ramai terutama saat angin muson
timur berhembus. Mengingat status Parepare yang tetap berkedudukan sebagai
pelabuhan pribumi hingga awal abad ke-20, komoditas yang dinyatakan telah
dilarang untuk diperdagangkan nyatanya masih tetap terjadi. Di antaranya ialah
budak, senjata api dan bubuk mesiu. Karena itu, realitas ini sesungguhnya
menguatkan kembali pendapat G.J. Resink mengenai mitos “350 tahun Indonesia
dijajah Belanda”. Sebab, adanya perdagangan komoditas terlarang yang terus
berlangsung hingga awal abad ke-20, menegaskan bahwa penguasa Sidenreng
bertindak ibarat “seorang raja yang merdeka.”9
Ekspansi pemerintah kolonial Belanda di daerah luar Jawa (the outer
islands) yang dimulai sejak 1873, pada gilirannya berdampak pula terhadap
perjalanan sejarah pelabuhan Parepare. Berawal dari hasrat untuk memantapkan
kedudukannya di Sulawesi Selatan, pemerintah melancarkan ekspedisi militer di
Sulawesi Selatan pada 1905-1906. Parepare pun tidak luput dari sasaran tersebut.
Bahkan, sebelum parade militer itu dimulai, Parepare telah diduduki pada Maret
1905. Sejak saat itu, praktis kontrol politik atas Parepare beralih dari Kerajaan
Sidenreng ke pemerintah kolonial Belanda. Selain itu, pelabuhan Parepare tidak
lagi berkedudukan sebagai pelabuhan independen, namun oleh pemerintah
kolonial dimasukkan ke dalam pelabuhan wajib pajak (tol-gebied) pada Agustus
1906. Selama dikelola oleh pemerintah kolonial, Parepare sendiri ditopologikan
sebagai pelabuhan kecil (kleine haven).
Di awal abad ke-20, Parepare berperan sebagai pelabuhan pengumpul
(colecting centre)10 untuk kawasan sekitarnya. Berbagai komoditas didatangkan
dari daerah pedalaman melalui jalur darat atau dari pelabuhan pengumpan (feeder

8
Howard Dick, ‘Prahu Shipping in Eastern Indonesia Part I’, Bulletin of Indonesian Economic
Studies 11, no. 2 (1975), 72-73.
9
G J Resink, Bukan 350 Tahun Dijajah (Depok: Komunitas Bambu, 2013), 313.
10
Collecting Centre, Feeder Points dan Entrepot adalah tipologi pelabuhan dalam fungsi
perdagangan yang diperkenalkan oleh Leong Sau Heng. Lihat Leong Sau Heng, “Collesting
Centres, Feeder Points and Entrepots in the Malay Peninsula 1000 B.C - A.D. 1400,” in The
Southeast Asian Port and Polity: Rise and Demise, ed. J. Kathirithamby- Wells and John Villiers
(Singapore: Singapore University Press, 1990), 17–38.

Universitas Indonesia
6

points) lewat jalur laut. Di pelabuhan Parepare, barang-barang produksi lokal


kemudian dikapalkan menuju Makassar, yang menjadi pusat pelayaran dan
perdagangan (entrepot) di bagian timur Indonesia, ataupun menuju entrepot
lainnya, seperti Surabaya. Komoditas ekspor yang lazim diekspor ketika itu ialah
beras, kopra, kemiri, jagung, kopi, tembakau, kacang, pisang, rotan, dan kulit
hewan. Selain sebagai pintu keluar, Parepare juga bertindak sebagai pintu masuk
untuk komoditas impor yang kemudian didistribusikan ke daerah pedalaman.
Satu hal yang menarik ialah pelabuhan Parepare bukan hanya bertindak
sebagai pintu gerbang (gateway) di pantai barat Sulawesi, namun juga mengalami
perkembangan dengan komoditas ekspor primadonanya, yakni beras. Bila ditinjau
lebih jauh, tampak pula adanya persaingan antara pelabuhan Parepare dan
pelabuhan lain di sekitarnya, seperti Palima yang berada di Teluk Bone.
Persaingan ini terutama menyangkut perebutan komoditas beras di daerah
pedalaman yang berbatasan. Meskipun demikian, selama dekade terakhir
pemerintahan kolonial, Parepare berhasil tampil sebagai pusat perniagaan beras
terkemuka di Sulawesi Selatan dan kawasan Selat Makassar. Fenomena ini
tentunya menguatkan kembali pendapat Howard Dick yang menuturkan bahwa
komoditas beras adalah komoditas yang paling dominan dalam perdagangan antar
pulau sepanjang 1930-an.11 Namun demikian, mengingat kedudukannya hanyalah
salah satu pelabuhan kecil di Hindia Belanda, fakta tersebut sebetulnya
menunjukkan adanya peran yang besar dalam proses sejarah pelabuhan Parepare.
Pada masa itu, ramainya aktivitas perdagangan dan pelayaran di Parepare
erat kaitannya dengan komoditas beras. Komoditas ini didatangkan dari beberapa
wanua ri laleng (daerah pedalaman) yang terkenal subur dan cocok untuk budi
daya padi, seperti Sidenreng, Rappang, Pinrang, Barru dan Enrekang. Peningkatan
hasil produksi padi akibat intensifikasi pertanian membuat lalu lintas komoditas
dari wanua laleng ke pelabuhan cenderung didominasi komoditas beras. Di
pelabuhan, komoditas beras dimuat dengan perahu layar dan kapal KPM untuk
kemudian dikapalkan ke berbagai wanua laeng (daerah seberang), antara lain
Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, sebagian besar kawasan Timur Besar

11
H.W. Dick, “Perdagangan Antar Pulau, Pengintegrasian Ekonomi dan Timbulnya Suatu
Perekonomian Nasional,” in Sejarah Ekonomi Indonesia, ed. Anne. Booth, Willian Joseph
O’Malley, and Anna. Weidemann (Jakarta: LP3ES, 1988), 399–434.

Universitas Indonesia
7

(Groote Oost) dan, bahkan, Jawa. Karena luasnya cakupan perdagangan itu, tidak
heran jika menjelang berakhirnya kolonialisme Belanda, Parepare kemudian
berkembang sebagai salah satu pelabuhan tersibuk di Groote Oost.
Adanya realitas historis tersebut tentunya dimungkinkan oleh berbagai
faktor. Salah satu di antaranya ialah keadaan lingkungan wanua ri laleng yang
memang sebagian besar cocok untuk budidaya padi. Di samping itu, sebagai salah
satu bentuk aktivitas perekonomian, keberlangsungan perniagaan beras bukan
hanya bergantung pada penawaran, namun juga permintaan. Karena itu, aktivitas
ekspor beras di Parepare tidak terlepas pula dari struktur ekonomi di wanua laeng
yang pada gilirannya memunculkan adanya permintaan. Lebih jauh, faktor
migrasi orang Bugis ke berbagai wilayah di Kepulauan Nusantara yang telah
berlangsung sejak abad ke-17 juga perlu untuk dipertimbangkan. Dengan
demikian, terdapat berbagai situasi yang saling berkelindan dan tentunya turut
mempengaruhi dinamika perdagangan beras di pelabuhan Parepare.
Sayangnya, bagaimana tapak-tapak pelabuhan Parepare di masa silam
cukup sulit untuk dilacak dalam konteks Historiografi Maritim Sulawesi Selatan.
Dalam kaitan itu, meski kajian tentang pelabuhan-pelabuhan lain12 telah
bermunculan, namun bisa dikatakan bahwa “romantisme” pelabuhan Makassar
masih cukup mendominasi. Kecenderungan ini mudah dipahami dari posisi
Makassar yang telah berperan sebagai emporium internasional sejak abad ke-16.
Tidak mengherankan jika sejauh ini historiografi mengenai pelabuhan-pelabuhan
kecil di sekitarnya relatif terbatas. Padahal Gordon Jackson, sejarawan maritim
asal Inggris, telah mengingatkan bahwa perlu adanya sebuah pendekatan yang
berbeda dalam menganalisis signifikansi pelabuhan kecil. Salah satu di antara
tawarannya ialah memberi penekanan terhadap spesialisasi produk suatu
pelabuhan.13 Oleh sebab itu, kiranya menarik untuk ditelusuri lebih jauh terkait

12
Kecuali Makassar, sejauh ini terdapat tiga kajian historis yang mengulas pelabuhan di Sulawesi
Selatan, yakni pelabuhan Selayar, Palima dan Mandar. Untuk hal ini, lihat Christiaan Heersink,
Dependence on Green Gold: A Socio-Economic History of the Indonesian Coconut Island Selayar
(Leiden: KITLV Press, 1999); Taufik Ahmad and Syahrir Kila, Awal Kebangkitan & Keruntuhan
Pelabuhan Pallime Di Bone (Makassar: Pustaka Refleksi, 2016); A. R Hamid, “Jaringan Maritim
Mandar: Studi Tentang Pelabuhan ‘Kembar’ Pambauwang Dan Majene Di Selat
Makassar1900−1980” (Disertasi) (Depok: Universitas Indonesia, 2019).
13
G Jackson, “The Significance of Unimportant Ports,” International Journal of Maritime History
13 (2001): 4–7.

Universitas Indonesia
8

dinamika pelabuhan Parepare dalam konteks perdagangan beras di kawasan Selat


Makassar.
1.2 Rumusan Masalah
Sepanjang paruh pertama abad ke-20, aktivitas pelayaran dan perdagangan
di bagian timur Indonesia menempatkan kopra sebagai komoditas ekspor yang
dominan.14 Namun demikian, dinamika pelabuhan Parepare sesungguhnya
memperlihatkan sebuah gerak sejarah yang berbeda. Dalam hal ini, pelayaran dan
perdagangan di Parepare mengalami perkembangan yang khas dengan produk
ekspor unggulannya, yakni beras. Oleh sebab itu, permasalahan yang diajukan
dalam tesis ini ialah bagaimana peran pelabuhan Parepare dalam perdagangan
beras di kawasan Selat Makassar (1905-1939)?
Untuk menjawab permasalahan tersebut, maka akan diturunkan beberapa
pertanyaan penelitian berikut ini:
1. Faktor apa yang melatarbelakangi perkembangan pelabuhan Parepare?
2. Faktor apa saja yang mempengaruhi pasang surut peran pelabuhan Parepare
dalam perdagangan beras di kawasan Selat Makassar?
3. Bagaimana dampak perniagaan terhadap perkembangan Kota Pelabuhan
Parepare?
1.3 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini bertema Sejarah Maritim. Pada dasarnya, pengetahuan
mengenai kehidupan masyarakat di masa lampau yang menyangkut laut dalam
aspek sosial-ekonomi, budaya, politik dan pertahanan-keamanan serta teknologi
adalah fokus utama dari tema sejarah ini.15 Di samping itu, Sejarah Maritim lebih
relevan untuk digunakan sebagai pendekatan dalam rangka menyorot suatu negara
kepulauan yang berwawasan bahari.16 Mengikut alur pemikiran itu, tesis ini

14
Untuk hal ini, lihat Heersink, Dependence on Green Gold: A Socio-Economic History of the
Indonesian Coconut Island Selayar; Abdul Rasyid Asba, “Ekspansi Dan Kontraksi Ekspor Kopra
Makassar 1883-1958” (Disertasi) (Depok: Universitas Indonesia, 2003).
15
Susanto Zuhdi, “Historiografi Maritim Indonesia Dalam Perspektif Teori, Metodologi Dan
Sumber Sejarah: Suatu Pemetaan Dan Arah Perkembangan,” Jurnal Sejarah Indonesia 1, no. 1
(2018): 19.
16
Adrian B Lapian, ‘“Kajian Sejarah Lokal Dalam Perspektif Sejarah Maritim” (Makalah Dalam
Sosialisasi Pedoman Penulisan Sejarah Lokal, Departemen Kebudayaan Dan Pariwisata, Makassar
26-29 Mei 2009)’.

Universitas Indonesia
9

mengambil lingkup peran pelabuhan Parepare dalam perdagangan beras di


kawasan Selat Makassar (1905-1939).
Berkenaan dengan ruang lingkup spasial, studi ini tidak hanya sekedar
berfokus pada pelabuhan Parepare di pantai barat Sulawesi. Studi ini juga
menyorot wanua ri laleng (daerah pedalaman) sebagai elemen vital yang turut
menentukan proses sejarah pelabuhan Parepare. Adapun wanua ri laleng
pelabuhan ialah Parepare, Sidenreng, Rappang, Pinrang, Barru, Enrekang dan
Toraja. Kecuali yang disebut terakhir, semua daerah tersebut merupakan wilayah
yang tergabung dalam Afdeeling Parepare. Secara geografis, daerah pedalaman
Parepare bisa dikatakan meliputi sebagian besar bagian tengah jazirah Sulawesi
Selatan. Oleh sebab itu, pada hakikatnya studi ini dapat pula digolongkan sebagai
sejarah sosial-ekonomi, khususnya di bagian tengah jazirah Sulawesi Selatan.
Selain itu, studi ini juga mengetengahkan wanua laeng, yakni daerah-
daerah yang menerima suntikan beras dari Parepare. Sebagai bagian dari
perdagangan, kegiatan ekspor beras di pelabuhan Parepare tentunya tidak
sepenuhnya bergantung dari suplai beras wanua ri laleng, namun juga berkaitan
dengan struktur ekonomi di wanua laeng. Berkaitan dengan itu, wanua laeng
yang dimaksud dalam kajian ini ialah Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan,
Manado, Maluku, Timor dan Jawa.
Adapun lingkup temporal studi ini mengambil kurun waktu 1905-1939.
Pemilihan 1905 atas dasar pertimbangan bahwa pada tahun itu pelabuhan
Parepare mulai diambil alih dan dikelola langsung oleh pemerintah kolonial
Belanda. Sedangkan 1939 merupakan tahun dibentuknya Voedingmiddelenfonds
(VMF). Pembentukan lembaga ini memberi pengaruh cukup penting terhadap
aktivitas perdagangan beras di pelabuhan Parepare. Di samping itu, ketersediaan
sumber tentunya turut menjadi pertimbangan penulis dalam menentukan
rentangan waktu tersebut.
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sebagai bagian dari Sejarah Maritim, studi ini bertujuan mengungkap
peran pelabuhan Parepare dalam perdagangan beras di kawasan Selat Makassar
(1905-1939). Merujuk pada pertanyaan-pertanyaan penelitian yang telah
disebutkan sebelumnya, tujuan penelitian ini ialah: pertama, menguraikan faktor-

Universitas Indonesia
10

faktor yang melatarbelakangi perkembangan pelabuhan Parepare; kedua,


menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pasang surut peran pelabuhan
Parepare dalam perdagangan beras di kawasan Selat Makassar; ketiga,
menjelaskan dampak perniagaan terhadap perkembangan Kota Pelabuhan
Parepare.
Penelitian ini memiliki dua manfaat, baik secara akademis maupun secara
praktis. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah
Historiografi Maritim Indonesia dan Sulawesi Selatan khususnya. Dalam kaitan
itu, studi ini menawarkan sebuah wawasan (insight) yang berbeda dalam mengkaji
sejarah pelabuhan di Indonesia, yakni dengan menelusuri peran suatu pelabuhan
kecil (pelabuhan Parepare) dalam konteks pelayaran dan perdagangan di Hindia
Belanda dengan pendekatan spesialisasi produk. Dengan demikian, melalui
perspektif pelabuhan kecil, pada gilirannya sejarah pelayaran dan perdagangan di
Indonesia akan dapat dimaknai secara lebih komprehensif.
Sementara itu, secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat
mengungkapkan sejarah suatu “pelabuhan yang terabaikan”, yakni pelabuhan
Parepare di pantai barat Sulawesi. Perannya dalam konteks perdagangan beras di
kawasan Selat Makassar pada periode kolonial adalah bagian penting dari
penulisan tesis ini. Pengungkapan peran Parepare di era kolonial dapat menguak
potensi ekonomi (terutama produk pertanian) yang terkandung di kawasan
pedalaman pelabuhan atau bagian tengah jazirah Sulawesi Selatan. Karena itu,
pengetahuan mengenai potensi ekonomi yang sudah mengakar sejak lama dapat
menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah dalam pengembangan kota
Parepare dan daerah-daerah di sekitarnya pada masa mendatang.
1.5 Penelitian Terdahulu
Studi tentang pelabuhan atau kota pelabuhan sebenarnya bukan suatu hal
yang baru dalam konteks Historiografi Maritim di Indonesia. Berbagai kajian
dengan beragam perspektif telah diupayakan oleh para sarjana. Meskipun
demikian, secara umum kajian Sejarah Maritim (termasuk pelabuhan) bisa
dikatakan masih tergolong minim bila hendak dipetakan dalam kawasan dan tema

Universitas Indonesia
11

tertentu.17 Tidak mengherankan pula apabila studi tentang pelabuhan-pelabuhan


kecil juga masih cukup terbatas, termasuk pelabuhan kecil di Sulawesi Selatan.
Sebelum menguraikan lebih jauh, penulis perlu menyinggung salah satu karya
penting dalam konteks Historiografi Maritim di Indonesia, yakni karya Adrian B.
Lapian. Dalam karya monumentalnya, beliau mengkaji sejarah kawasan Laut
Sulawesi pada abad ke-19.18 Selain mengungkapkan secara detail mengenai
kawasan Laut Sulawesi, melalui karyanya, ia juga berhasil mengklasifikasikan
tiga tipe ideal dalam hal kekuatan bahari, yakni Orang Laut, Bajak Laut dan Raja
Laut. Dengan karya itu dan beberapa tulisan lainnya, penulis memperoleh
landasan penting dalam rangka memahami dan merekonstruksi sejarah pelabuhan
Parepare sebagai bagian dari pemikiran utamanya, yakni “Sejarah Nusantara
Sejarah Bahari”. Hal yang tidak kalah pentingnya ialah studi mengenai kawasan
Laut Sulawesi itu ibarat pembuka gerbang dalam studi sejarah maritim yang
dilakukan oleh para sejarawan Indonesia berikutnya.
Salah satu di antaranya ialah Susanto Zuhdi. Kajiannya membahas
dinamika suatu pelabuhan yang berada di pantai selatan Jawa, yakni pelabuhan
Cilacap (1830-1940).19 Bermula dari pelabuhan terpencil yang hampir tidak
dikenal, Cilacap kemudian berhasil tampil sebagai salah satu pelabuhan ekspor
terkemuka di pantai selatan Pulau Jawa, terutama antara 1856 hingga 1942.
Dalam hubungan itu, motor penggerak utamanya ialah penerapan sistem tanam
paksa sejak 1830. Selain itu, meski lokasinya berada di luar tradisi pelayaran dan
perdagangan yang notabene berlangsung di pantai utara Jawa, namun dalam
perkembangannya Cilacap juga berhasil tampil sebagai pelabuhan teramai di
Jawa, terutama antara 1909 hingga 1930. Kolaborasi antara ketersediaan tanaman
perdagangan ekspor (cash-crop), utamanya gula, dan perkembangan jaringan
komunikasi dan transportasi menjadi faktor yang cukup menentukan dari
pencapaian tersebut. Satu hal yang menarik ialah Susanto Zuhdi juga
membandingkan kedudukan pelabuhan Cilacap dengan pelabuhan-pelabuhan lain

17
Zuhdi, “Historiografi Maritim Indonesia Dalam Perspektif Teori, Metodologi Dan Sumber
Sejarah: Suatu Pemetaan Dan Arah Perkembangan,” 37.
18
Adrian B Lapian, Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX
(Depok: Komunitas Bambu, 2009).
19
Susanto Zuhdi, “Perkembangan Pelabuhan Dan Kota Cilacap, Jawa Tengah 1830-1940”
(Tesis) (Jakarta: Universitas Indonesia, 1991).

Universitas Indonesia
12

di pantai utara Jawa, seperti Cirebon dan Semarang. Dalam konteks itu, nilai
berharga pelabuhan Cilacap bersumber dari keanekaragaman komoditas yang
diekspor. Karena itu, Cilacap bukan hanya mampu menandingi Cirebon,
Pekalongan dan Tegal, tetapi juga memungkinkan pelabuhan tersebut bertahan
pada masa depresi ekonomi 1930-an. Upaya Susanto Zuhdi ini tentunya memberi
inspirasi. Dalam kaitan itu, studi ini berupaya mengemukakan perbandingan,
yakni antara pelabuhan Parepare dan pelabuhan Palima di Teluk Bone. Pada
gilirannya, perbandingan itu menampilkan adanya bentuk persaingan antara kedua
pelabuhan itu, terutama perebutan komoditas beras yang dihasilkan di bagian
tengah jazirah Sulawesi Selatan.
Selanjutnya ialah Linda Sunarti. Studinya membahas pembangunan dan
perkembangan pelabuhan Swettenham mulai 1900 hingga 1963.20 Pelabuhan yang
berada di bagian tengah pantai barat Semenanjung Melayu ini mulai dibuka oleh
pemerintah kolonial Inggris sejak 1901. Dari hasil penelitiannya, Linda Sunarti
menyimpulkan bahwa periode perkembangan pesat dalam sejarah pelabuhan
Swettenham berlangsung antara 1920 hingga 1945. Hal ini tidak terlepas dari
dampak positif perkembangan perekonomian di Negeri-negeri Melayu dengan
komoditas primadonanya, yakni karet dan biji timah. Keberadaan komoditas
itulah yang memungkinkan Swettenham tampil sebagai salah satu pelabuhan
utama di Semenanjung Melayu. Hal yang menarik ialah beras disebutkan menjadi
komoditas impor utama di Swettenham. Tingginya angka impor beras,
menurutnya, sangat berkaitan dengan kebijakan pemerintah kolonial yang
mengesampingkan penanaman padi. Karena itu, Negeri Melayu selalu disuntik
dengan beras impor asing dari Siam dan Burma. Temuan itu membantu penulis
untuk menganalisis struktur ekonomi daerah seberang yang mendorong
munculnya permintaan beras di pelabuhan Parepare.
Berikutnya ialah studi Indriyanto. Kajiannya membahas pelabuhan
Surabaya sebagai pusat pelayaran dan perdagangan interregional di bagian timur
Kepulauan Nusantara.21 Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa adanya sikap

20
Linda Sunarti, “Pembangunan Dan Perkembangan Pelabuhan Swettenham Di Malaysia, 1900-
1963” (Tesis) (Depok: Universitas Indonesia, 2001).
21
Indriyanto, “Menjadi Pusat Pelayaran Dan Perdagangan Interregional: Pelabuhan Surabaya
1900-1940” (Disertasi) (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2015).

Universitas Indonesia
13

keraguan-raguan pemerintah kolonial menyebabkan pelabuhan Surabaya hanya


berkembang sebagai entreport untuk pelayaran dan perdagangan interregional di
Nusantara bagian timur, alih-alih sebagai pelabuhan internasional yang semula
direncanakan untuk menyaingi pelabuhan Singapura. Dengan kedudukannya
sebagai pusat pelayaran interregional, eksistensi Surabaya ditentukan oleh jejaring
pelayaran dan perdagangannya yang meliputi Nusa Tenggara, Kalimantan dan
Sulawesi. Keberadaan industri di Surabaya juga turut menunjang fungsi
pelabuhan dalam pelayaran interregional. Karya Indriyanto tentunya cukup
berharga bagi penelitian ini mengingat Surabaya merupakan bagian dari jaringan
pelayaran dan perdagangan di pelabuhan Parepare.
Berbeda dari para sarjana sebelumnya, Didik Pradjoko dan Bambang Budi
Utomo berupaya menghimpun pelabuhan-pelabuhan yang tersebar di berbagai
wilayah Kepulauan Nusantara. Melalui tulisannya, kedua sarjana itu menyorot
dinamika pelabuhan-pelabuhan di Indonesia yang telah berperan penting dalam
konteks ekonomi-politik mulai dari masa kuno hingga kurun kolonial.
Menurutnya, terdapat beberapa pelabuhan di Indonesia yang pernah berperan
besar meski dalam perkembangannya mengalami kemunduran dan, bahkan,
tenggelam sama sekali, seperti pelabuhan Barus di pantai barat Sumatera.
Sekalipun pelabuhan Parepare tidak disinggung, namun pembahasan mengenai
pelabuhan-pelabuhan yang tergolong sebagai pelabuhan kecil selama periode
kolonial, banyak diungkapkan dalam tulisannya. Hal ini menyiratkan bahwa
sejarah pelayaran dan perdagangan di Indonesia lebih dapat dimaknai secara
komprehensif tanpa mengabaikan eksistensi pelabuhan-pelabuhan yang notebene
berukuran kecil. Terlebih lagi pelabuhan yang disokong dengan komoditas
incaran di pasar Internasional yang hanya dihasilkan di wilayah tertentu, seperti
pelabuhan Kupang di Pulau Timor dengan komoditas ekspor primadonanya, yakni
kayu cendana.22
Kajian lainnya ialah Studi Singgih Tri Sulistyono. Dengan menempatkan
kawasan Laut Jawa sebagai unit analisis, ia menyimpulkan bahwa Singapura
bukanlah tujuan perniagaan utama bagi daerah luar Jawa. Sebab, pada dasarnya

22
Didik Pradjoko and Bambang Budi Utomo, Atlas Pelabuhan-Pelabuhan Bersejarah Di
Nusantara (Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013), 269.

Universitas Indonesia
14

pelabuhan lainnya, seperti Batavia, Surabaya dan Makassar, juga berkedudukan


penting sebagai tujuan perdagangan utama. Dengan kata lain, jaringan Laut Jawa
dapat dikategorikan sebagai sistem perdagangan regional yang tidak terikat oleh
batas-batas nasional. Kajian Sulistyono membantu penulis dalam memahami
konteks sejarah pelayaran dan perdagangan di Hindia Belanda, terutama selama
periode yang bersinggungan dengan temporal penelitian ini.
Dalam konteks Sulawesi Selatan, kajian mengenai pelabuhan dan
perniagaan maritim juga telah banyak dihasilkan oleh para sarjana. Di antaranya
ialah Edward Poelinggomang23, Rasyid Asba24, Nahdia Nur25 dan Heather
Sutherland26. Poelinggomang membahas kebijakan-kebijakan yang diterapkan
oleh pemerintah kolonial Belanda dalam mengelola perdagangan Makassar
sepanjang abad ke-19. Menurutnya, antara 1847 hingga 1873, aktivitas
perdagangan dan pelayaran mengalami perkembangan yang pesat karena
kebijakan pelabuhan bebas yang diterapkan di Makassar sejak 1846. Meskipun
berfokus pada pelabuhan Makassar, namun Poelinggomang banyak menguraikan
aspek politik dan ekonomi di daerah-daerah pedalaman Sulawesi Selatan,
termasuk Parepare. Hal ini sudah tentu membantu penulis dalam memahami
konteks pelayaran dan perdagangan di Parepare pada kurun waktu yang sama.
Selanjutnya ialah Rasyid Asba. Kajiannya mengetengahkan ekspansi dan
kontraksi komoditas kopra di pelabuhan Makassar pada 1883-1958. Hasil
penelitiannya menyimpulkan bahwa ekspansi kopra yang berlangsung antara 1883
hingga 1930 telah berhasil menempatkan Makassar sebagai pusat perdagangan
kopra di Indonesia bagian timur. Terkait fungsi sentral Makassar tersebut, Rasyid
Asba tidak memungkiri adanya faktor kebijakan pemerintah yang turut berperan
menentukan pasang-surutnya perdagangan kopra. Kesimpulan ini membuka
pemahaman penulis dalam menganalis pengaruh campur tangan negara dalam
konteks perdagangan komoditas beras di Parepare.

23
Poelinggomang, Makassar Abad XIX: Studi Tentang Kebijakan Perdagangan Maritim.
24
Asba, “Ekspansi Dan Kontraksi Ekspor Kopra Makassar 1883-1958” (Disertasi).
25
Nahdia Nur, “Jejaring Perdagangan Dan Integrasi Ekonomi: Sejarah Ekonomi Sulawesi
Bagian Selatan 1902-1930-an” (Disertasi) (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2017).
26
Sutherland, “On the Edge of Asia: Maritime Trade in East Indonesia, Early Seventeenth to Mid-
Twentieth Century.”

Universitas Indonesia
15

Berikutnya ialah Nahdia Nur. Studinya berfokus pada perkembangan


jaringan perdagangan dan integrasi ekonomi di Sulawesi bagian selatan mulai
1902 hingga 1930. Temuannya menunjukkan bahwa jejaring perdagangan dan
integrasi ekonomi yang tampak selama periode itu merupakan fase runtuhnya
kekuasaan elit lokal dan menguatnya kuasa politik pemerintah kolonial Belanda di
Sulawesi bagian selatan. Ia juga menyebutkan Parepare adalah pelabuhan
penunjang yang menopang peran pelabuhan Makassar. Sayangnya, dalam
pembahasannya mengenai perdagangan beras selama 1930-an, Nahdia Nur tidak
menguraikan secara detail perihal bentuk-bentuk keterlibatan pemerintahan
kolonial dan pengaruhnya. Karya Nahdia Nur menjadi pijakan penting bagi
penulis dalam rangka mendalami arti Parepare dalam konteks perdagangan
maritim di Sulawesi bagian selatan.
Perdagangan maritim adalah fokus utama dalam tulisan Heather
Sutherland. Dengan mengambil Indonesia bagian timur sebagai unit analisis, ia
menguraikan aktivitas perdagangan maritim mulai dari awal abad ke-17 sampai
pertengahan abad ke-20. Sutherland mengakui bahwa sekalipun letaknya berada
di perbatasan negara kolonial, namun Indonesia bagian timur merupakan kawasan
pinggiran yang menarik (an attractive periphery). Hal ini berkaitan dengan
perannya sebagai pusat jaringan perdagangan Indonesia, Cina dan luar negeri,
terutama menyangkut komoditas kayu dan hasil laut, yang berkonsentrasi di
pelabuhan Makassar. Di samping itu, ia juga menyatakan bahwa sejak awal abad
ke-20 peran Makassar semakin meningkat sebagai pusat distribusi untuk bahan
makanan impor, seperti beras dari Saigon dan Thailand dan Tepung dari
Australia, yang kemudian dikapalkan langsung menuju ke berbagai daerah di
Indonesia bagian timur. Namun, Sutherland tidak lagi menyatakan Makassar
sebagai pelabuhan transit penting untuk beras impor asing, khususnya selama
dekade terakhir pemerintahan kolonial.27 Tentu saja keadaan ini dipengaruhi oleh
berbagai faktor, termasuk perkembangan signifikan pelabuhan Parepare.
Dari berbagai studi tersebut, tampak jelas bahwa Historiografi Maritim
Sulawesi Selatan masih didominasi oleh narasi Makassar. Sebetulnya ada
beberapa studi yang berfokus pada pelabuhan selain Makassar. Salah satunya

27
Sutherland, 70–73.

Universitas Indonesia
16

ialah karya Christian G. Heersink.28 Studinya mengkaji sejarah sosial-ekonomi


Kepulauan Selayar yang terkenal dengan komoditas kopranya. Hasil penelitiannya
menyebutkan bahwa komoditas kopra telah mengintegrasikan Selayar dan
masyarakatnya ke dalam sistem ekonomi dan politik yang lebih luas sejak abad
ke-17 hingga pertengahan abad ke-20, meski Selayar sendiri hanya sebagai
wilayah periferi dari Makassar. Ia juga menyinggung persoalan dinamika
pelabuhan Selayar yang cukup dipengaruhi oleh aktivitas perdagangan kopra,
khususnya di abad ke-19 dan 20. Sementara itu, Taufik Ahmad dan Syahrir Kila
membahas dinamika pelabuhan Palima di Teluk Bone pada 1906-1942.29 Kajian
menarik lainnya dilakukan oleh Abd. Rahman Hamid.30 Ia menjelaskan mengenai
pelabuhan ‘kembar’ Majene dan Pambauwang di pantai barat Sulawesi. Hamid
juga menyebutkan Parepare sebagai bagian dari jaringan pelayaran pelaut Mandar.
Walaupun menyinggung Parepare sebagai pangkalan pelaut Mandar untuk
memperoleh komoditas beras, ia tidak menguraikan lebih detail relasi antara
Parepare dan daerah penyangganya. Terlepas dari hal ini, ketiga karya tersebut
menjadi rujukan penulis dalam rangka melakukan perbandingan antara pelabuhan
Parepare dan pelabuhan lain di sekitarnya.
Dalam konteks wilayah Ajatappareng, belum terdapat satu pun kajian yang
menyinggung dinamika pelabuhan Parepare pada periode kolonial. Kajian yang
ada kebanyakan hanya menyinggung dimensi sosial-politik. Salah satunya ialah
tulisan Stephen C. Druce.31 Ia mengkaji sejarah kerajaan-kerajaan lokal yang
termasuk kawasan Ajatappareng (1200-1600). Hasil penelitiannya menegaskan
kembali bahwa pola-pola penguasaan politik di jazirah Sulawesi bagian selatan
pada abad ke-17 terkait erat dengan pengelolaan sawah yang luas dan produksi.
Hal ini tampak dari kasus Sidenreng yang sejak abad ke-16 mulai tampil sebagai
kekuatan ekonomi politik yang dominan di kawasan Ajatappareng menggantikan
Suppa. Penelitian Druce ini membantu penulis dalam memahami geo-politik
Ajatappareng sejak abad ke-13 hingga 17. Adapun studi Abd. Latif membahas
28
Heersink, Dependence on Green Gold: A Socio-Economic History of the Indonesian Coconut
Island Selayar.
29
Ahmad and Kila, Awal Kebangkitan & Keruntuhan Pelabuhan Pallime Di Bone.
30
Hamid, “Jaringan Maritim Mandar: Studi Tentang Pelabuhan ‘Kembar’ Pambauwang Dan
Majene Di Selat Makassar1900−1980” (Disertasi).
31
Stephen C. Druce, The Lands West of The Lakes: A History of the Ajatappareng Kingdoms of
South Sulawesi 1200 to 1600 CE (Leiden: KITLV Press, 2009).

Universitas Indonesia
17

konfederasi Ajatappareng dalam peta politik Sulawesi Selatan.32 Uraiannya


menekankan persoalan peranan dan karakter kepemimpinan para penguasa
kerajaan-kerajaan lokal di Ajatappareng. Temuannya ialah kasus Ajatappareng
memperlihatkan bahwa perempuan dapat menjadi raja dan kedudukan raja bisa
digantikan oleh adik, kakak, tante, paman dan cucu dari penguasa yang sedang
berkuasa. Selain mengungkap genealogi masing-masing penguasa, kajian Abd
Latif ini membantu penulis untuk menelusuri jejak Parepare dalam konteks politik
Ajatappareng di era pra-kolonial.
Sebetulnya masih ada dua tulisan lagi yang berfokus di wilayah
Ajatappareng, yakni karya Muhammad Amir dan Muhajir dan M Nur.
Muhammad Amir mengkaji latar belakang dan dinamika konflik pemerintah
Hindia Belanda dan para penguasa lokal di wilayah Ajatappareng (1905-1942).33
Temuannya menunjukkan bahwa penguasaan secara langsung wilayah
Ajatappareng bukan hanya bertujuan untuk mengokohkan kedudukan pemerintah
kolonial di seluruh Sulawesi Selatan, namun juga menguasai sumber daya
ekonomi yang potensial untuk kepentingan pemerintah Hindia Belanda.
Sementara itu, Muhajir dan Muh Nur membahas tata kota Parepare pada periode
kolonial Belanda.34 Menurutnya, tata kota Parepare terbagi ke dalam tiga zona,
yakni zona inti sebagai pusat pemerintahan (pusat pemerintahan), zona kedua
sebagai kawasan pecinan dan zona ketiga sebagai kawasan untuk permukiman
penduduk pribumi. Tulisan ini membantu penulis dalam memahami bentuk kota
pelabuhan Parepare pada masa kolonial.
Aspek perdagangan merupakan elemen yang vital bagi Asia Tenggara,
terutama selama periode yang disebut oleh Anthony Reid sebagai “era kurun
niaga” (abad ke-15 hingga 17). Anthony Reid juga tidak memungkiri bahwa
beras merupakan barang dagangan terbesar di Asia Tenggara ketika itu.35 Kajian

32
Abd Latif, Para Penguasa Ajatappareng: Refleksi Sejarah Sosial Politik Orang Bugis
(Yogyakarta: Ombak, 2014).
33
Muhammad Amir, “Konflik Dan Relasi Kekuasaan Di Ajatappareng, 1905-1942” (Makalah
dalam International Seminar on Conflict and Violence: Historical Reconstructions and Cultural
Resolutions, BPNB Sulawesi Selatan, Makassar 27-29 Agustus 2019), 16.
34
Muhajir Muhajir and Muhammad Nur, “Tata Kota Parepare Periode Kolonial Belanda,”
Walennae: Jurnal Arkeologi Sulawesi Selatan Dan Tenggara 17, no. 1 (2019): 57–70,
https://doi.org/10.24832/wln.v17i1.372.
35
Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid 1: Tanah di Bawah Angin
(Mochtar Pabottingi, penerjemah) (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992), 28.

Universitas Indonesia
18

mengenai perdagangan beras di Indonesia sebenarnya telah dilakukan oleh


beberapa sarjana, seperti Sidik Moeljono36, W.M.F. Mansvelt37, Pierre van der
Eng38, Jeroen Touwen39 dan Hiroyoshi Kano40. Namun demikian, kajian dari para
sarjana tersebut masih berfokus di seluruh Hindia Belanda.
Studi mutakhir perdagangan beras yang bertema Sejarah Maritim
dilakukan oleh Hasna Fuadilla Hidayati. Kajiannya membahas jaringan pelayaran
dan perdagangan di Lombok.41 Pasca penaklukan Lombok pada 1894,
menurutnya, beras tetap menjadi komoditas andalan yang tidak hanya
diperdagangkan di dalam Hindia Belanda, namun juga di luar Hindia Belanda,
seperti Singapura. Ia juga menuturkan bahwa terdapat kecenderungan penurunan
ekspor beras Lombok sejak 1930-an. Meskipun demikian, kajiannya kurang
mengetengahkan relasi antara dinamika pelabuhan Lombok (pelabuhan Ampenan
dan Labuan Haji) dan aktivitas perniagaan dan pelayaran komoditas beras. Pada
dekade 1930, berbeda dengan kasus Lombok yang memperlihatkan penurunan,
perdagangan beras di Parepare memperlihatkan adanya kecenderungan
peningkatan yang signifikan.
Dari berbagai tinjauan literatur tersebut, penelitian ini dimaksudkan untuk
mengisi kekosongan dalam dua sisi yang berbeda. Di satu sisi, kajian ini berupaya
mengisi kekosongan pengetahuan terkait dinamika pelabuhan Parepare pada
periode kolonial. Di lain sisi, kajian ini juga melihat dinamika perdagangan beras
dari perspektif pelabuhan, yakni satu aspek yang belum banyak dikaji para
sejarawan. Dengan demikian, melalui pengkajian perdagangan beras di pelabuhan
Parepare pada era kolonial, kedudukan beras sebagai komoditas yang integratif

36
Sidik Moeljono, Seperempat Abad Bergulat dengan Butir-butir Beras (Djakarta: Bulog, 1971).
37
W M F Mansvelt, Changing Economy in Indonesia: : A Selection of Statistical Source Material
from the Early 19th Century up to 1940/ Volume 4 Rice Prices (The Hague: Nijhoff, 1978).
38
Pierre van der Eng, Agricultural Growth in Indonesia : Productivity Change and Policy Impact
since 1880 (New York: St. Martin’s Press, 1996),
http://search.ebscohost.com/login.aspx?direct=true&scope=site&db=nlebk&db=nlabk&AN=4915
74.
39
Jeroen Touwen, Extremes in The Archipelago: Trade and Economic Development in the Outer
Islands of Indonesia 1900-1941 (Leiden: KITLV Press, 2001).
40
Hiroyoshi. Kano, Indonesian Exports, Peasant Agriculture and the World Economy, 1850-
2000 : Economic Structures in a Southeast Asian State (Singapore: NUS Press, 2008).
41
Hasna Fuadilla Hidayati, “Jaringan Pelayaran Dan Perdagangan Lombok, 1894-1942” (Tesis)
(Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2018).

Universitas Indonesia
19

akan semakin terlihat jelas dalam konteks sejarah pelayaran dan perdagangan di
Hindia Belanda.
1.6 Kerangka Konseptual
Dalam pidato guru besarnya, Adrian B. Lapian menekankan pentingnya
memahami perairan Indonesia sebagai pemersatu yang menautkan ribuan pulau
yang terpisah-pisah. Karena itu, dalam rangka merekonstruksi sejarah maritim
Indonesia, ia menyarankan perlunya melihat wilayah perairan Indonesia sebagai
kesatuan yang terdiri dari berbagai macam satuan bahari (sea-systems),42
misalnya, Laut Jawa, Laut Flores, Laut Banda ataupun Selat Makassar. Dengan
menyorot beragam satuan maritim itu, pada gilirannya narasi sejarah dengan
deskripsi dan analisis yang lebih utuh dan mendalam akan sangat mungkin untuk
didapatkan.
Selat Makassar dalam kajian ini dipandang sebagai satu unit bahari yang
menautkan pantai timur Kalimantan dan pantai barat Sulawesi. Selat ini juga
menghubungkan dua kawasan laut utama, yaitu Laut Sulawesi di sebelah utara
dan Laut Jawa dan Laut Flores di sebelah selatan. Mengikuti gambaran Kenneth
R. Hall terkait jaringan perniagaan di Asia Tenggara pada abad ke-14 dan 15,43
Selat Makassar berada di antara jaringan perdagangan Laut Cina Selatan, Selat
Malaka dan Teluk Bengal di sebelah barat, jaringan perdagangan Laut Sulu di
sebelah utara, dan jaringan perdagangan Laut Jawa di sebelah selatan dan timur.
Pendekatan sea systems tidak selalu identik dengan sistem laut yang besar.
Itu artinya bahwa studi sejarah maritim Indonesia bisa dimulai dari kawasan laut
kecil,44 baik berupa teluk kecil maupun selat sempit. Karena dalam
perkembangannya, unit bahari itu dapat terhubung ke dalam suatu wilayah bahari
yang lebih besar, baik akibat pengaruh ekonomi dan politik maupun adanya
perkembangan teknologi perkapalan. Di samping itu, mengingat pantai di Pulau
Sulawesi umumnya memiliki lekuk-lekuk yang menjorok jauh ke dalam, Adrian
B. Lapian juga menyarankan agar analisis sejarah tidak hanya berhenti pada

42
Adrian B Lapian, ‘“Sejarah Nusantara Sejarah Bahari” (Pidato Pengukuhan Guru Besar Luar
Biasa Fakultas Sastra Universitas Indonesia), 4 Maret 1992, 6.
43
Kenneth R Hall, A History of Early Southeast Asia : Maritime Trade and Societal Development,
100-1500 (Lanham, Md.: Rowman & Littlefield, 2011).
44
Lapian, “Kajian Sejarah Lokal dalam Perspektif Sejarah Maritim” (Makalah dalam Sosialisasi
Pedoman Penulisan Sejarah Lokal, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Makassar 26-29 Mei
2009).

Universitas Indonesia
20

empat semenanjungnya, namun juga perlu memberi perhatian pada sistem-sistem


teluk yang ada.45 Dengan demikian, saran tersebut tampaknya relevan dengan
kajian ini, di mana pelabuhan Parepare berada di dalam salah satu teluk kecil di
Pulau Sulawesi, yakni Teluk Parepare.
Berikutnya ialah pelabuhan. Pada prinsipnya, pelabuhan merupakan titik
tumpu bagi setiap aktivitas perdagangan dan pelayaran. “There would be no
routes if there were no stopping-places: a harbour”.46 Begitulah ungkapan Fernand
Braudel ketika menggambarkan pentingnya peran pelabuhan dalam karya
monumentalnya mengenai kawasan Laut Mediterania. Karena itu, penulisan
sejarah Kepulauan Nusantara dengan pendekatan Indonesia-sentris hendaknya
bukan hanya melalui pendekatan dari daerah pedalaman, tetapi juga melalui
geladak kapal pribumi dan bandar pelabuhan.47 Selain tempat berlabuh, pelabuhan
merupakan tempat berkumpul untuk melakukan perdagangan, sebagaimana arti
dalam kata bandar itu sendiri.48 Dalam bahasa inggris, kata pelabuhan bersinonim
dengan “port” dan “harbour”. Menurut Rhoads Murphey, kata port mengacu pada
konsep ekonomi. Artinya bahwa pelabuhan menjadi pusat tukar menukar darat-
laut (a center of land-sea exchange) atau tempat keluar-masuk komoditas antara
daerah penyangga (hinterland) dan daerah seberang (foreland). Sedangkan, kata
harbour sendiri menekankan pada konsep fisik, yakni pelabuhan berfungsi
sebagai tempat berlindung atau berteduhnya kapal-kapal.49 Merujuk pada kedua
definisi itu, pelabuhan Parepare dalam kajian ini tentunya dipandang sebagai port.
Dalam studinya mengenai sejarah perdagangan awal di Semenanjung
Melayu, Leong Sau Heng juga memperkenalkan tipologi pelabuhan yang terdiri
dari tiga jenis, yakni “Feeder Point” (pengumpan), “Collecting Centre” (pusat

45
Lapian, “Sejarah Nusantara Sejarah Bahari” (Pidato Pengukuhan Guru Besar Luar Biasa
Fakultas Sastra Universitas Indonesia), 4 Maret 1992, 7.
46
Fernand. Braudel, The Mediterranean and the Mediterranean World in the Age of Philip II. 1
(Sian Reynolds, Penerjemah) (New York: Harper & Row., 1972), 277.
47
Lapian, Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX, 1.
48
Adrian B Lapian, “Dunia Maritim Asia Tenggara,” in Sejarah Indonesia: Penilaian Kembali
Karya Utama Sejarah Asing, ed. Taufik Abdullah and Edi Sedyawati (Depok: Lembaga Penelitian
Universitas Indonesia, 1997), 25.
49
Rhoads Murphey, “On the Evolution of the Port City,” in Brides of The Sea: Port Cities of Asia
from the 16th-20th Centuries, ed. Frank Broeze ((Kensington: New South Wales University Press,
1989), 230–32.

Universitas Indonesia
21

pengumpul) dan “Entrepot” (pelabuhan utama).50 Umumnya feeder points dapat


dijumpai di daerah pesisir atau daerah sungai di pedalaman. Tipe pelabuhan ini
berhubungan langsung dengan daerah penghasil produk lokal.51 Selain itu, dalam
hal perdagangan, feeder points berperan dalam melayani pusat pengumpul dan
selanjutnya diteruskan menuju pelabuhan utama. Feeder points dalam studi ini
berada di sekitar muara sungai atau di pesisir pantai sebagai tempat untuk memuat
barang produksi lokal. Adapun komoditas yang biasanya dimuat di feeder points
terdiri dari berbagai macam produk hasil bumi, termasuk beras. Sementara itu,
entrepot adalah pelabuhan utama yang berperan sebagai pusat ekspor utama untuk
produk lokal. Di samping itu, karena keterlibatannya dalam perdagangan jarak
jauh, entrepot juga merupakan pusat perdagangan yang paling terkemuka di satu
kawasan, baik dalam hal volume perdagangan maupun keragaman
komoditasnya.52
Berbeda dengan dua tipe pelabuhan sebelumnya, collecting centre
berperan sebagai outlet untuk produk lokal khusus.53 Hal ini terutama karena
lokasinya yang dekat dengan daerah di mana produk lokal dihasilkan. Menurut
Susanto Zuhdi, ciri khas dari pelabuhan pusat pengumpul ialah; (1) merupakan
pelabuhan alam yang baik, (2) sebagai tempat persinggahan yang dilengkapi
bahan makanan sekaligus menjadi pasar lokal, (3) memiliki pedalaman yang kaya,
(4) menjadi emporia besar di kawasannya dan tempat perakitan komoditas yang
didatangkan dari feeder points.54 Berdasarkan ciri-ciri tersebut, pelabuhan
Parepare merupakan collecting centre. Ciri lain dari pusat pengumpul ialah
berlokasi di sepanjang rute perdagangan internasional sehingga disebut pula
“stasiun setengah jalan”.55 Itu artinya bahwa collecting centre juga berfungsi
sebagai penyuplai komoditas untuk entrepot, seperti halnya feeder points. Kendati
demikian, fungsi collecting centre sebagai penyuplai komoditas bagi entrepot

50
Heng, “Collesting Centres, Feeder Points and Entrepots in the Malay Peninsula 1000 B.C - A.D.
1400.”
51
Heng, 29.
52
Heng, 26.
53
Heng, 23.
54
Susanto Zuhdi, Sejarah Buton Yang Terabaikan: Labu Rope Labu Wana (Jakarta: Rajawali
Press, 2010), 64–65.
55
Heng, “Collesting Centres, Feeder Points and Entrepots in the Malay Peninsula 1000 B.C - A.D.
1400,” 23.

Universitas Indonesia
22

tidak seutuhnya berlaku dalam kasus pelabuhan Parepare. Sebab, komoditas beras
di Parepare justru diperdagangkan langsung ke daerah seberang. Bahkan, selama
dekade terakhir pemerintahan kolonial, Parepare berhasil tampil sebagai pintu
keluar utama untuk produk beras di Sulawesi Selatan. Dengan demikian, peranan
Parepare dalam konteks perdagangan beras telah melampaui kapasitasnya sebagai
pusat pengumpul (over-collecting centre).
Selanjutnya ialah “Wanua Ri Laleng”. Istilah ini berasal dari bahasa Bugis
yang terdiri dua suku kata, yaitu “wanua” yang berarti kampung atau negeri dan
“laleng” yang berarti pedalaman. Sementara itu, “ri” lebih sebagai kata
penghubung yang berarti di. Dalam masyarakat Bugis, menurut Mattulada, wanua
adalah suatu gabungan kampung dalam struktur asli yang dipimpin seorang kepala
wanua, yaitu Arung, Gallarang atau Karaeng.56 Dewasa ini, penyebutan wanua ri
laleng masih digunakan oleh masyarakat Bugis, terutama daerah pesisir, untuk
menyebut daerah pedalaman, baik yang berada di dataran rendah maupun dataran
tinggi. Dalam kaitannya dengan studi ini, daerah pedalaman adalah daerah-daerah
yang berada di sekitar pelabuhan, termasuk di dalamnya kota pelabuhan itu
sendiri dan kota-kota serta daerah-daerah pedalaman di luar kota pelabuhan yang
memiliki relasi ekonomi dengan pelabuhan.57 Daerah pedalaman sering pula
dipadankan dengan “daerah penyangga” atau “daerah hinterland”. Adapun daerah
pedalaman bagi pelabuhan Parepare meliputi bagian tengah dan bagian utara
jazirah Sulawesi Selatan, yaitu Parepare, Sidenreng, Rappang, Pinrang, Barru,
Enrekang dan Toraja. Selain penghasil komoditas ekspor, daerah penyangga turut
mempengaruhi aktivitas impor. Dengan kata lain, besar-kecilnya perdagangan
impor di pelabuhan Parepare ditentukan daya beli masyarakat di daerah
pedalaman.
Dalam konteks perdagangan di Sulawesi bagian selatan, menurut Hamid,
daerah pesisir juga tergolong sebagai daerah pedalaman yang menyokong peran
suatu pelabuhan. Pelabuhan Majene dan Pambauwang, misalnya, yang suplai

56
Mattulada, “Bugis-Makassar: Manusia Dan Kebudayaannya,” Berita Antropologi 6, no. 6
(1974): 29.
57
Agus Supriyono, “Hubungan Antara Pelabuhan Dengan Daerah-Daerah Hinterland: Studi Kasus
Di Pelabuhan Semarang Pada Masa Kolonial Belanda Abad XX,” in Arung Samudera:
Persembahan Memperingati Sembilan Windu A.B. Lapian, ed. Edi Sedyawati and Susanto Zuhdi
(Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia - Yayasan Adikarya IKAPI, 2001), 21.

Universitas Indonesia
23

komoditas kopranya kebanyakan bersumber dari daerah Mandar pesisir.58 Dalam


kaitannya dengan studi ini, suplai komoditas kopra di pelabuhan Parepare juga
tidak sedikit yang bersumber dari daerah pesisir, sedangkan komoditas beras
sendiri kebanyakan bersumber dari daerah pedalaman yang sawahnya dapat
dijumpai di mana-mana (bukan daerah pesisir).
Konsep berikutnya ialah “Wanua Laeng”. Secara harfiah, istilah ini berarti
kampung atau negeri lain, baik kampung yang berada di sekitar tempat asal atau
kampung yang berada di seberang lautan. Istilah itu juga tersirat dalam sebuah
lagu rakyat yang berjudul “Tana Ogi Wanuakku”. “Engkana ri mabelae, ri lipu
wanua laeng” (aku kini di tempat jauh, di negeri lain), demikian penggalan syair
lagu tersebut. Dalam kaitannya dengan studi ini, wanua laeng diartikan sebagai
wilayah yang termasuk daerah seberang (foreland) bagi pelabuhan Parepare.
Mengingat kajian ini berfokus pada perdagangan beras, daerah seberang yang
dimaksud ialah daerah yang menerima suplai komoditas beras dari Parepare.
Daerah seberang bukan hanya menjadi pasar, tetapi juga menentukan tingkat
permintaan dalam konteks perdagangan beras. Adapun daerah yang dimaksud
ialah Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, Manado, Maluku, Timor dan
Jawa.
Konsep berikutnya ialah kota pelabuhan. Istilah kota pelabuhan, menurut
Broeze, berangkat dari argumen bahwa karakter ekonomi, termasuk produk atau
jasa yang dihasilkan untuk kepentingan pasar luar, menjadi landasan utama dalam
menentukan sifat dan klasifisikasi dari sebuah kota.59 Karena itu, kota pelabuhan
merupakan kota yang basis ekonomi utamanya bertumpu pada pelabuhan, yakni
sebagai tempat berlangsungnya peralihan pengangkutan barang dan orang dari dua
bentuk transportasi, yakni darat dan laut. Dengan demikian, eksistensi dan
peranan pelabuhan mempunyai arti dominan bagi kota tempat pelabuhan itu
berada.60
Studi ini menggunakan metodologi struktural. Metodologi yang
diperkenalkan oleh Fernand Braudel ini membagi tiga jenis fakta sejarah, yakni

58
Hamid, “Jaringan Maritim Mandar: Studi Tentang Pelabuhan ‘Kembar’ Pambauwang Dan
Majene Di Selat Makassar1900−1980” (Disertasi), 16.
59
Frank Broeze, “Intorduction: Brides of the Sea,” in Brides of the Sea : Port Cities of Asia from
the 16th to the 20th Centuries, ed. Frank Broeze (Honolulu: University of Hawaii Press, 1989), 11.
60
Zuhdi, “Perkembangan Pelabuhan Dan Kota Cilacap, Jawa Tengah 1830-1940” (Tesis), 3.

Universitas Indonesia
24

peristiwa-peristiwa (event), konjungtur (conjungture) dan struktur (structure). Jika


yang pertama berkaitan dengan sejarah peristiwa, maka konjungtur berhubungan
dengan naik-turunnya kegiatan perekonomian di suatu wilayah ataupun struktur
sosial dalam suatu masyarakat. Berbeda dengan dua kategori sebelumnya, fakta
sejarah berupa struktur berkaitan dengan hal-hal yang bersifat alamiah atau
menyangkut kondisi geografis. Meskipun pergerakannya bersifat lambat dan
bahkan hampir-hampir tidak terlihat, namun kondisi lingkungan merupakan siklus
yang berulang sehingga kedudukannya penting dalam mengungkap relasi manusia
dan lingkungannya.61 Dalam penelitian ini, pengungkapan aspek-aspek geografis,
seperti keadaan teluk, sungai-sungai, iklim dan sebagainya, merupakan bagian
penting untuk menjelaskan “panggung” yang memungkinkan berlangsungnya
aktivitas pelayaran dan perdagangan di pelabuhan Parepare.
1.7 Metode Penelitian dan Penggunaan Sumber
Sebagaimana lazimnya sebuah kajian historis, studi ini menggunakan
metode sejarah. Metode ini terdiri dari beberapa tahap, antara lain heuristik, kritik
(kritik internal dan eksternal), interpretasi dan historiografi.62 Pada tahap heuristik,
penulis mengunjungi beberapa lokasi untuk mencari dan menemukan sumber-
sumber, baik yang sifatnya primer maupun sekunder.
Pertama, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) Jakarta. Di lokasi
ini, penulis memanfaatkan arsip berupa laporan serah terima jabatan (Memorie
van Overgave) J.A. Allaart, Asisten Residen Parepare (memerintah 1930-1933).
Laporan serupa dari daerah pedalaman juga digunakan, seperti Sidenreng-
Rappang, Pinrang, Barru, Enrekang, Toraja, Bone dan Majene. Sumber lainnya
ialah arsip terkait pembangunan pelabuhan Parepare di dalam katalog “Guide
Arsip Pelabuhan di Hindia Belanda” dan Politiek Verslag van Celebes en
Onderhoorigheden. Lokasi selanjutnya ialah Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia, baik di jalan Medan Merdeka Selatan maupun di jalan Salemba,
Jakarta. Di kedua lokasi itu, penulis memanfaatkan beberapa sumber terbit, antara
lain Kolonial Verslag, Indische Verslag, Volkstelling 1930, Statistiek van de

61
Braudel, The Mediterranean and the Mediterranean World in the Age of Philip II. 1 (Sian
Reynolds, Penerjemah), 23.
62
Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah (Nugroho Notosusanto, Trans.) (Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia, 1985).

Universitas Indonesia
25

Scheepvaart, dan Dienst Regeling der Koninklijke Paketvaart Maatschappij.


Selanjutnya ialah koran-koran lokal, seperti Pemberita Makassar dan Berita
Baroe. Sedangkan sumber majalah ialah Economische Weekblad. Sumber-sumber
itu juga akan dikolaborasikan dengan Jaarverslag Handelsvereniging te
Makassar. Tempat terakhir ialah Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi
Sulawesi Selatan (Makassar). Di tempat ini, penulis memanfaatkan Arsip
Pemerintah Daerah Kotamadya Parepare (1889-1981) dan Arsip Barru (1920-
1976). Khusus yang disebut pertama, penulis memperoleh data tentang “Daftar
Kematian Bangsa Tionghoa di Parepare (1944)”. Karena memuat tempat lahir,
tempat tinggal dan pekerjaan, arsip itu cukup krusial terutama untuk mengungkap
struktur masyarakat kota. Penulis juga memanfaatkan website yang menyediakan
sumber sejarah, seperti Delpher.nl, https://digitalcollections.universiteitleiden.nl
dan http://collectie.wereldculturen.nl. Adapun sumber sekunder yang digunakan
ialah karya-karya ilmiah yang berkaitan dengan topik kajian, baik berupa artikel,
makalah, buku, tesis dan disertasi. Sumber sekunder terutama diperoleh dari
Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia, Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia dan jstor.org. Sumber sekunder lainnya ialah memoar dan biografi dari
masyarakat lokal yang hidup semasa periode kolonial. Sumber yang diperoleh di
Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan (Makassar) ini
memperkaya perspektif penulis dan dapat pula dianggap sebagai “perspektif
lokal”.
Tahap selanjutnya ialah kritik. Pada tahap ini, berbagai sumber yang telah
dikumpulkan kemudian diverifikasi (kritik sumber), baik secara internal maupun
eksternal. Langkah ini untuk menguji keotentikan dan kekredibilitasan sumber.
Sebagai contoh, dalam tahap kritik internal, data ekspor beras yang ditemukan
tidak jarang menunjukkan adanya perbedaan antara satu sumber dengan sumber
yang lain. Misalnya ialah data ekspor beras di pelabuhan Parepare pada 1932.
Dalam Memorie van Overgave pejabat Gubernur Selebes dan Daerah
Bawahannya, jumlah ekspor beras di pelabuhan Parepare tercatat hanya sebesar
12.323 ton, sementara laporan serupa dari Asisten Residen Parepare mencatat jauh
lebih banyak, yaitu 17.291 ton. Penulis memilih untuk menggunakan data dari

Universitas Indonesia
26

laporan Asisten Residen Parepare dengan pertimbangan bahwa angka yang


dimuat lebih valid.
Berikutnya ialah interpretasi. Tahap ini merupakan penentuan hubungan
kausalitas antara berbagai data sejarah untuk menetapkan fakta sejarah. Dalam
tahap ini, berbagai pendekatan yang telah dikemukakan sebelumnya menjadi
pisau analisis. Karena itu, penelitian ini tidak hanya sekedar berisi rangkaian
peristiwa demi peristiwa dalam dimensi ruang dan waktu (deskriptif-naratif),
namun lebih kepada eksplanasi sejarah yang bersifat deksriptif-analitis. Dengan
begitu, penjelasan yang dikemukakan dapat menjawab persoalan kausalitas, faktor
kondisional dan faktor determinan dari peristiwa sejarah yang dikaji.63
Tahap terakhir ialah historiografi. Pada tahap inilah berbagai fakta sejarah
yang telah ditetapkan kemudian dirangkai ke dalam suatu tulisan yang sistematis
dan utuh dengan judul “Dari Wanua Ri Laleng ke Wanua Laeng: Peran Pelabuhan
Parepare dalam Perdagangan Beras di Kawasan Selat Makassar, 1905-1939”.
1.8 Sistematika Penulisan
Penulisan tesis ini dibagi ke dalam lima bab. Bab I ialah pendahuluan yang
mencakup latar belakang, pokok permasalahan, ruang lingkup, tujuan penelitian,
penelitan terdahulu, kerangka konseptual, metode penelitian dan penggunaan
sumber serta sistematika penulisan.
Bab II menguraikan “Tinjauan Umum Pelabuhan Parepare”. Sistematika
bab ini terdiri dari empat sub bab. Pembahasan dimulai dengan letak dan kondisi
geografis pelabuhan. Hal ini penting untuk memaparkan “panggung” yang telah
memungkinkan berlangsungnya aktivitas pelayaran dan perdagangan di pelabuhan
Parepare. Sub bab ini diikuti uraian tentang daerah penyangga. Berikutnya ialah
pembuatan perahu. Adapun sub bab terakhir membahas tentang lintasan historis
sejarah pelabuhan Parepare hingga 1905.
Bab III membahas tentang “Pelabuhan Parepare dan Perdagangan Beras
(1905-1925)”. Terdiri dari empat sub bab, bab ini diawali dengan uraian mengenai
struktur organisasi pelabuhan. Bab ini juga memaparkan kegiatan perdagangan
dan pelayaran di Parepare. Berikutnya ialah perdagangan beras. Sub bab ini

63
Sartono Kartodirdjo, Pemikiran Dan Perkembangan Historiografi Indonesia (Yogyakarta:
Ombak, 2014), 92.

Universitas Indonesia
27

mencakup pembahasan terkait Wanua Laeng, struktur perdagangan, intensifikasi


pertanian di daerah pedalaman dan perdagangan beras yang berlangsung di
pelabuhan Parepare hingga 1925. Selanjutnya ialah sub bab mengenai
pengembangan infrastruktur pelabuhan.
Bab IV mengusung judul “Menjadi Rijst Haven di kawasan Selat
Makassar: Pelabuhan Parepare dan Perdagangan Beras (1926-1939)”.
Pembahasan mengenai pengembangan infrastruktur pelabuhan menjadi sub bab
awal. Selanjutnya ialah kompetisi antara pelabuhan Parepare dan pelabuhan
Palima yang berada di Teluk Bone. Bahasan berikutnya ialah perdagangan beras
selama dekade 1930. Dalam bahasan ini, perdagangan beras di pelabuhan
Parepare erat kaitannya dengan kontrol negara. Bab ini ditutup dengan bahasan
tentang jaringan pelayaran.
Selanjutnya ialah Bab V. Bab ini berupaya menjelaskan “Dampak
Perdagangan Terhadap Perkembangan Kota Pelabuhan Parepare”. Dalam bab ini,
pembahasan diawali dengan struktur masyarakat kota pelabuhan pada periode
kolonial. Di samping itu, bagaimana perkembangan fasilitas kota pelabuhan
menjadi bahasan berikutnya. Bab ini ditutup dengan uraian terkait peran para
pedagang dalam pembangunan kota.
Bab VI merupakan bagian penutup. Bab ini berisi kesimpulan dari bab-bab
yang telah diuraikan sebelumnya. Karena itu, jawaban atas pokok permasalahan
dan pertanyaan-pertanyaan penelitan yang diajukan dalam penulisan tesis akan
disinggung dalam bab ini.

Universitas Indonesia
BAB II
TINJAUAN UMUM PELABUHAN PAREPARE

2.1 Pendahuluan
Sebagai penghubung matra laut dan darat, eksistensi pelabuhan Parepare
sudah barang tentu berkaitan dengan kondisi geografisnya. Pada prinsipnya, aspek
geografi mencakup berbagai hal mengenai situasi lingkungan, misalnya, laut,
teluk, tanjung, sungai, arus, iklim, pegunungan, pulau-pulau, dataran dan
sebagainya. Dalam kajian ini, aspek lingkungan ibarat “panggung” yang telah
memungkinkan berlangsungnya aktivitas pelayaran dan perdagangan di pelabuhan
Parepare, termasuk peran pelabuhan Parepare dalam perdagangan beras di
kawasan Selat Makassar. Fernand Braudel menegaskan bahwa sekalipun
pergerakannya bersifat lambat dan hampir tidak terlihat, namun keadaan geografi
adalah siklus yang berulang sehingga berguna dalam mengungkap relasi manusia
dan lingkungannya.1 Bab ini menguraikan tinjauan umum pelabuhan Parepare.
Pembahasan dimulai dengan menjelaskan letak dan kondisi geografis pelabuhan.
Berikutnya ialah uraian mengenai daerah penyangga. Di samping itu, bahasan
mengenai perkapalan menjadi sub bab selanjutnya. Adapun lintasan historis
pelabuhan Parepare hingga 1905 merupakan bahasan penutup dalam bab ini.
2.2 Letak dan Kondisi Geografis Pelabuhan Parepare
Secara umum Parepare dalam kajian ini merujuk pada tiga hal.
Diantaranya ialah afdeeling, onderafdeeling dan ibukota afdeeling, yakni tempat
di mana pelabuhan berada. Sebelum menguraikan kondisi lingkungan Parepare,
terlebih dahulu akan dipaparkan beberapa versi menyangkut asal usul kata
Parepare sendiri. Pertama, sebutan Parepare kerap dikaitkan dengan kondisinya
yang dahulu konon ditumbuhi banyak semak-belukar.2 Dalam bahasa Bugis,
semak-belukar disebut para’. Karena banyaknya para’ para’, orang bugis
kemudian lebih fasih menyebutnya dengan “parepare”. Kedua, ingatan kolektif
masyarakat. Versi ini menyebutkan bahwa suatu waktu raja Kerajaan Gowa-

1
Fernand. Braudel, The Mediterranean and the Mediterranean World in the Age of Philip II. 1
(Sian Reynolds, Penerjemah) (New York: Harper & Row., 1972), 23.
2
A. M. Makka, Parepare Lebih Indah Dari Monte Carlo (Parepare: Yayasan Pembina Generasi
Penerus Indonesia, 2006), 84.

28
Universitas Indonesia
29

Tallo, Tunipallangga Ulaweng (memerintah 1548-1566), berkunjung dan


mengamati teluk yang dianggapnya cukup baik untuk berlabuh. Raja ini konon
secara spontan mengatakan, “bajiki ni pare” (bahasa Makassar, bagus untuk
dibuat). Kata yang diucapkan terakhir itulah yang dianggap menjadi asal mula
istilah Parepare. Namun demikian, versi ini tampaknya perlu dipertimbangkan
lebih lanjut. Adalah hal yang mustahil diterima apabila Tunipallangga Ulaweng
membangun sebuah pelabuhan baru, sementara Kerajaan Gowa-Tallo sendiri
sedang bergiat untuk mengonsentrasikan seluruh kegiatan perdagangan di bandar
Makassar saat itu. Lagipula, kata Parepare sendiri baru muncul pertama kali dalam
sebuah peta Belanda yang dibuat pada akhir abad ke-18 (lihat lampiran 1). Oleh
sebab itu, versi kedua ini tampaknya hanya salah satu bentuk representasi dari
upaya Kerajaan Gowa-Tallo untuk melegitimasi dominasi politiknya di daerah
Bugis pada masa silam.
Hal yang menarik datang dari versi terakhir. Versi ini dikemukakan oleh
B.F. Matthes dalam salah satu tulisannya. Istilah Parepare, menurutnya, berasal
dari orang Mandar yang sudah sering mengunjungi pelabuhan dengan perahu
dagangnya. Pada suatu waktu, orang Mandar konon terkesima dengan
melimpahnya padi (bahasa Mandar: Pare’) yang dijumpai di daerah itu.3 Karena
melimpahnya pare, daerah itu selanjutnya dinamakan parepare. Dengan begitu,
versi terakhir tampaknya sejalan dengan topik yang diketengahkan kajian ini.
Parepare adalah salah satu pelabuhan yang berada di kawasan Selat
Makassar. Selat ini memiliki panjang kira-kira 700 kilometer. Sedangkan lebar
selat lebih variatif karena mengikuti garis pantai Pulau Sulawesi di bagian timur
dan Pulau Kalimantan di bagian barat, yakni antara 100 hingga 400 kilometer.
Adapun kedalaman selat rata-rata sekitar 2.000 meter. Mengingat ukurannya yang
terhitung luas, tidak heran bila Selat Makassar ditahbiskan sebagai selat
terpanjang di kepulauan Nusantara.4 Di ujung selatan, selat terhubung dengan
kawasan laut lain, yakni Laut Jawa dan Laut Flores. Sementara itu, di ujung utara,
selat terhubung dengan Laut Sulawesi. Dengan letaknya yang berada persis di

3
B. F Matthes, ‘Boegineesche En Makassaarsche Legenden’, Bijdragen Tot de Taal-, Land- En
Volkenkunde van Nederlandsch-Indië 34 (1885): 478.
4
S. De Graaf dan Stibbe, D.G, Encyclopædie Van Nederlandsch-Indië (’s-Gravenhage: Martinus
Nijhoff, 1918), 646.

Universitas Indonesia
30

tengah kepulauan Nusantara, Selat Makassar sudah sejak lama berperan penting
sebagai “jalan raya” dalam aktivitas pelayaran dan perniagaan Asia Tenggara.
Selain sebagai bagian dari zona perdagangan Jaringan Laut Jawa yang muncul
sejak abad ke-2 dan 3 seperti yang digambarkan oleh Hall,5 penemuan keramik-
keramik asal Asia daratan di Sulawesi Selatan yang diperkirakan berasal dari abad
ke-13, sesungguhnya menjadi bukti dari posisi strategis Selat Makassar yang telah
memberi “kemudahan jalan masuk”6 terkait kontak dengan dunia luar. Hal yang
terpenting ialah Selat Makassar juga menjadi kawasan laut yang menautkan
pelabuhan Parepare dan pelabuhan-pelabuhan lain di pantai barat Sulawesi, pantai
timur Kalimantan, Nusa Tenggara di sebelah selatan dan pulau Mindanao dan
sekitarnya di sebelah utara.
Di kawasan selat, Parepare tepatnya berada di Teluk Parepare (lihat
Gambar 2.1). Teluk ini termasuk bagian dari pantai barat Sulawesi Selatan dan
posisinya sekitar 67 mil laut di sebelah utara pelabuhan Makassar. Bentuk teluk
memanjang dari selatan ke utara mengikuti bentuk Pulau Sulawesi, sementara
mulut teluk menghadap ke selatan. Teluk Parepare terbentuk karena adanya
Tanjung Lero yang memanjang ke arah selatan dan secara sepintas terlihat
“membelakangi” selat. Sementara itu, mulut teluk terbentuk oleh dua tanjung,
yakni Tanjung Lero di sebelah barat dan Tanjung Tonrangang di sebelah timur.
Dengan kondisi yang hampir sepenuhnya ditutupi oleh teluk, Parepare terkenal
sebagai pelabuhan alam yang aman di semua musim. “Kondisinya tertutup dan
senyaman danau besar”, demikian kesan Agusta De Wit ketika berkunjung ke
teluk pada 1910-an.7

5
Antara abad 1 hingga 5 M, ada lima jaringan perdagangan di Asia Tenggara, antara lain Jaringan
Laut Cina Selatan, Jaringan Laut Jawa, Jaringan Selat Malaka, Jaringan Laut Sulu dan Jaringan
Teluk Bengal. Untuk uraian yang lebih detail, lihat Kenneth R Hall, A History of Early Southeast
Asia : Maritime Trade and Societal Development, 100-1500 (Lanham, Md.: Rowman & Littlefield,
2011), 29–34.
6
Susanto Zuhdi, Sejarah Buton Yang Terabaikan: Labu Rope Labu Wana (Jakarta: Rajawali
Press, 2010), 68.
7
Augusta De Wit, Natuur en Menschen In Indië, ed. oleh Maatschappij voor Goede en Goedkoope
Lectuur (Amsterdam, 1914), 360.

Universitas Indonesia
31

Teluk Parepare sebenarnya tergolong sebagai teluk yang berukuran kecil


di kawasan Selat Makassar. Teluk ini berada pada 3° 59’ LS, 119° 37’ BT dengan
panjang dari selatan ke utara mencapai kira-kira 4 mil.8 Di tengah Tanjung Lero,
terdapat sebuah semenanjung yang menjorok ke arah timur (ke dalam teluk).
Semenanjung ini dikenal dengan Semenanjung Tanah Maeli, yang berhutan
dengan tepian yang curam. Karena bentuknya yang menjorok ke timur, Tanah
Maeli membagi Teluk Parepare menjadi dua bagian; teluk bagian luar (Teluk
Parepare) dan teluk bagian dalam (Teluk Suppa).9 Tanah Maeli juga membuat
lebar Teluk Parepare lebih bervariasi mengikuti garis pantai di bagian dalam
teluk. Lebar teluk di bagian terluar kira-kira 2 kilometer dengan tingkat
kedalaman air antara 9 sampai 35 depa. Ketika berlayar memasuki teluk ke utara,
lebar teluk kemudian sempat melebar dan secara perlahan menyempit dengan
adanya semenanjung. Lebar teluk tersempit berada di Tanah Maeli, yakni sekitar
350 meter dengan kedalaman air 4,5 depa. Pelabuhan Parepare berada tepat di
seberang timur Semenanjung Tanah Maeli atau di sisi timur teluk. Setelah
melewati Tanah Maeli, sebuah cekungan lebar kemudian akan dijumpai, yakni
Teluk Suppa. Lebar teluk bagian dalam ini mencapai 4 kilometer dengan tingkat
kedalaman antara 6 sampai 8 depa. Dalam keadaan normal, arus perairan teluk
tidak begitu kuat. Laju aliran terbesarnya ialah 2 mil laut per jam.10 Sementara itu,
arus akan mengarah ke utara jika air laut pasang. Sebaliknya, arus melaju ke
selatan saat air laut surut. Adapun dasar perairan teluk mengandung lumpur dan
berpasir hitam serta terkadang ditemukan bercampur dengan bebatuan.

8
Sailing Direction, Sailing Direction for Celebes, Southeast Borneo, Java and Islands East of
Java (Washington: Government Office United State, 1935), 462.
9
Penamaan teluk ini berdasarkan nama tempat utama di masing-masing perairan teluk, yakni
Parepare (Teluk Parepare) dan Suppa (Teluk Suppa). Namun demikian, dewasa ini kedua teluk
umunya hanya disebut sebagai Teluk Parepare.
10
Untuk uraian lebih detail, lihat David G Stibbe, Encyclopædie Van Nederlandsch-Indië (’s-
Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1935), 403; Ministerie Van Marine Afdeeling Hydrographie,
Zeemansgids voor den Oost-Indischen Archipel. Deel IV (’s-Gravenhage: Mouton & Co, 1919),
176–77.

Universitas Indonesia
32

Gambar 2.1 Peta Teluk Parepare yang menunjukkan posisi pelabuhan


Parepare berada tepat di seberang timur Semenanjung Tanah Maeli
Sumber: Hasil repro peta dari www.google.com. Diakses pada 11 Agustus 2021.

Walaupun memiliki ukuran yang relatif kecil, Teluk Parepare sebagai satu
unit bahari tetap memperlihatkan unsur-unsur yang kompleks. Di perairan teluk
bagian dalam misalnya, beberapa pulau kecil bisa dijumpai, antara lain Pulau
Dapo, Karama dan Bokoang. Di teluk bagian dalam, terdapat dua sumur sebagai
tempat pengambilan air untuk mengisi bekal selama pelayaran ketika sedang

Universitas Indonesia
33

berlabuh di Parepare.11 Batu karang juga tersebar di beberapa lokasi perairan


teluk. Diantaranya ialah Batu Pekicang, Batu Bajangan, Batu Paroi, Batu Laubang
dan Batu Tete. Sementara itu, ketika hendak memasuki teluk dan menuju
pelabuhan Parepare, para pelaut disarankan untuk tetap menjaga jarak guna
menghindari terumbu karang dan perairan dangkal terutama di sisi selatan
Tanjung Lero sekitar setengah mil dan tidak lebih dari 200 yard di sisi timur
Tanjung Lero.12 Tidak jauh di sebelah selatan dari mulut teluk, bagi para pelaut,
puncak gunung Batu Tollong (tinggi 342 kaki) dan Batu Kiki (tinggi 135 kaki)
yang tampak di daerah pedalaman adalah penanda ketika hendak menuju
Parepare. Jika cuaca buruk, puncak kedua gunung itu tidak terlihat. Meskipun
demikian, pohon berbentuk mahkota di Tanah Maeli, yang terlihat sekitar 18 mil
dari arah selatan teluk, sering menjadi penanda pelayaran yang baik.13
Beberapa sungai di sekitar pelabuhan Parepare juga dapat ditemukan di
kawasan teluk. Sungai-sungai itu antara lain Majinang, Tar, Maraulang,
Barakasanda, Cakkiala, Sabangparoe dan Agalatjange. Semua sungai ini
bersumber dari pegunungan Bojo dan bermuara di Teluk Parepare. Di antara
sungai tersebut, hanya Sungai Maraulang yang dapat dilayari dengan perahu kecil
memanfaatkan tiupan angin yang rendah meskipun tidak jauh ke daerah
pedalaman. Sungai lainnya ialah Sungai Sumpang Minangae. Sungai ini memiliki
hulu di Gunung Paria yang berada di sebelah timur Parepare dengan ketinggian
kira-kira 500 kaki dan bermuara persis di mulut teluk. Di hulu, lebar sungai
mencapai 20 meter dan debit airnya melimpah sekalipun di musim kemarau.
Sungai itu biasanya disebut Salo Karaja (sungai besar). Karena muaranya yang
lebar, Sungai Sumpang Minangae adalah satu-satunya sungai di sekitar pelabuhan
yang dapat dilayari oleh perahu berukuran besar. Tidak jauh berbeda dengan
Sungai Maraulang, Sungai Sumpang Minangae hanya dapat dilayari hingga

11
F.A.A Gregory, Zeemans Gids voor de vaarwaters van Java naar en door den Molukschen
Archipel en Terug (Amsterdam: G. Hulst van Keulen, 1853), 423.
12
Sailing Direction, Sailing Direction for Celebes, Southeast Borneo, Java and Islands East of
Java, 462.
13
Ministerie Van Marine Afdeeling Hydrographie, Zeemansgids voor den Oost-Indischen
Archipel. Deel IV, 177.

Universitas Indonesia
34

mencapai Kampung Lontange, di mana terdapat sebuah pasar yang ramai.14 Dari
kondisi tersebut, tampak jelas bahwa Parepare sebenarnya tidak didukung oleh
sungai-sungai yang menguntungkan di sekitarnya.15 Itulah sebabnya, Christian
Pelras menuturkan bahwa karakter geografis Sulawesi berbeda dengan
Kalimantan dan Sumatera, di mana hanya sedikit sungai-sungai yang dapat
dilayari hingga jauh ke pedalaman.16
Kawasan pesisir di sekitar pelabuhan Parepare atau di sisi timur teluk
sebagian besar berupa pantai yang landai. Kondisi ini tentu menjadi keuntungan
tersendiri terutama kemudahan bagi perahu-perahu yang hendak berlabuh, meski
pantai yang sedikit curam juga tampak di beberapa tempat. Di belakang
pelabuhan, daratan berupa dataran rendah menghampar ke arah timur hingga
kurang dari 1 mil sebelum mulai menancak menuju punggungan bukit. Selain
dataran sempit, topografi Parepare dikelilingi oleh bukit yang berbatu dan
bergelombang. Perbukitan di sana-sini ditumbuhi oleh semak belukar, rumput
kering dan terkadang berhutan.17 Jejeran bukit itu membentang di sebelah utara
(Sungai Agalatjange) melalui Gunung Lasakko di arah timur dan kemudian
berlanjut ke selatan menuju Sumpang Ala sebelum akhirnya mencapai Sungai
Sumpang Minangae yang mengalir ke barat menuju mulut Teluk Parepare.18
Kondisi dataran yang sempit dan dikelilingi oleh bukit tersebut secara tidak
langsung turut mempengaruhi perkembangan pelabuhan Parepare.
Parepare diuntungkan dengan letak yang strategis jika ditinjau dari sisi
darat. Di pantai barat, posisi Parepare terletak di titik persimpangan jalur, yakni ke
arah selatan menuju Makassar, ke arah timur menuju Sengkang dan ke arah utara
menuju menuju Majene. Selain membuat lokasi pelabuhan mudah dijangkau dari
berbagai arah, kondisi itu juga mempengaruhi pola pengangkutan yang

14
Stibbe, Encyclopædie Van Nederlandsch-Indië, 257–59; Arthur Wichmann, Bericht uber eine im
jahre 1888-1889 im auftrage der Niederlandischen Geographischen Gesellschaft Ausgefuhrte
Reise Nach Dem Indischen Archipel (Leiden: E.J. Brill, 1890), 34.
15
Ministerie Van Marine Afdeeling Hydrographie, Zeemansgids voor den Oost-Indischen
Archipel. Deel IV, 176–77.
16
Christian Pelras, Manusia Bugis (A.R. Abu, Trans.) (Jakarta: Nalar, 2006), 7.
17
Wichmann, Bericht uber eine im jahre 1888-1889 im auftrage der Niederlandischen
Geographischen Gesellschaft Ausgefuhrte Reise Nach Dem Indischen Archipel, 32.
18
Redactie KITLV, “Mededeelingen Betreffende de Landschappen Soreang, Batjoe Kiki, Bodjo,
Palanro En Nepo (Malloese Tasie),” Bijdragen Tot de Taal-, Land- En Volkenkunde / Journal of
the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia 61, no. 1 (1908): 669,
https://doi.org/https://doi.org/10.1163/22134379-90001903.

Universitas Indonesia
35

berlangsung di Parepare. Dengan kata lain, jalur darat adalah hal yang
fundamental sejauh menyangkut suplai dan distribusi barang-barang dari
pelabuhan ke daerah hinterland ataupun sebaliknya.
Sebagaimana halnya dengan pelabuhan lain, pelayaran di pelabuhan
Parepare juga ditentukan oleh faktor angin muson yang bertiup di perairan
Indonesia. Di Selat Makassar, angin muson barat mulai berhembus di awal
Desember dan melemah di akhir Maret. Sebaliknya, angin muson timur yang
membawa sedikit hujan bertiup di akhir Mei hingga akhir November, yakni bulan
di mana mulai timbulnya dasar muson barat.19 Ketika sedang bertiup, angin muson
timur (angin barubu) sering membawa banyak debu di Parepare. Hal yang
menarik ialah masa berhembusnya angin tersebut bersamaan dengan masa panen
padi di daerah hinterland. Tidak heran jika angin muson timur berlangsung,
Parepare menjadi salah satu pelabuhan di pantai barat Sulawesi Selatan yang
ramai dikunjungi oleh perahu. Pengaruh angin darat dan angin laut yang bertiup
sepanjang tahun juga menentukan pelayaran di selat. Jika angin darat mulai
berhembus jam lima sore hingga delapan pagi, maka angin laut bertiup mulai jam
sembilan hingga sebelas siang.20 Kedua angin itu penting terutama menyangkut
pelayaran pantai di selat.
Selain arah pelayaran, angin muson juga mempengaruhi perubahan musim
yang berlangsung, yakni musim hujan dan musim kemarau. Musim kemarau
umumnya mulai pada Juli. Agustus, September dan Oktober adalah bulan-bulan
terkering di Parepare. Sementara itu, musim hujan bermula pada November. Bagi
masyarakat di daerah hinterland Parepare, bermulanya bulan November menjadi
penanda bahwa aktivitas penanaman padi tidak akan lama lagi dilakukan. Barru,
misalnya, budidaya padi biasanya dimulai pada akhir Desember.21 Terlepas dari
itu, secara umum Parepare sebenarnya memiliki curah hujan yang relatif minim
setiap tahunnya. Sebagai contoh, antara 1909 hingga 1913 curah hujan secara
berturut-turut ialah 1.928 mm, 2.279 mm, 1.138 mm, 1.503 mm, dan 1.207 mm.
Selain cenderung fluktuatif, gambaran itu juga menunjukkan rendahnya curah

19
A. R Hamid, “Jaringan Maritim Mandar: Studi Tentang Pelabuhan ‘Kembar’ Pambauwang
dan Majene di Selat Makassar1900−1980” (Disertasi) (Depok: Universitas Indonesia, 2019), 55–
57.
20
Hamid, 58.
21
K Mantel, Nota van Toelichting betreffende het landschap Soppengriadja, 1932, 8.

Universitas Indonesia
36

hujan yang berlangsung di Parepare. Hal ini sangat dipengaruhi oleh dekatnya
Parepare dengan daerah perbukitan di sebelah timur sehingga awan yang
membawa hujan seringkali terhalang oleh perbukitan tersebut.22 Sementara itu,
Parepare memiliki suhu udara yang variatif, meskipun cenderung panas. Suhu
udara yang berhembus di pagi hari rata-rata antara 23°-25° C. Pada siang hari
suhu bisa mencapai 33° C dan mulai merendah pada sore hari, yakni antara 28°-
30° C.23
2.3 Daerah Penyangga
Suatu pelabuhan sudah tentu bergantung pada ketersediaan sumber daya di
daerah penyangganya. Perlu diketahui, pelabuhan Parepare berlokasi di daerah
yang dihuni mayoritas suku Bugis. Secara tradisional, Parepare adalah bagian dari
kawasan Ajatappareng. Adapun daerah penyangga Parepare ialah Sidenreng,
Rappang, Pinrang, Barru, Enrekang dan Toraja serta Parepare sendiri. Daerah-
daerah inilah yang menghasilkan berbagai jenis barang produksi lokal yang
dikapalkan melalui pelabuhan, termasuk beras. Selain itu, kegiatan impor di
pelabuhan bergantung pula dari daya beli masyarakat di daerah hinterland,
khususnya permintaan barang-barang yang tidak diproduksi secara lokal. Dengan
demikian, ramainya aktivitas pelayaran dan perniagaan di Parepare tidak terlepas
dari relasi ekonominya dengan daerah pedalaman.
Parepare adalah daerah penyangga utama sekaligus tempat di mana
pelabuhan berada. Parepare yang dimaksud disini ialah Onderafdeeling Parepare,
yang terdiri dari wilayah Suppa dan Mallusetasi dengan luas wilayahnya
mencapai 297 kilometer persegi.24 Secara umum, daerah ini sebagian besar
terletak di pantai barat Sulawesi Selatan. Keadaan dataran Suppa di bagian timur
berupa perbukitan dengan ketinggian rata-rata 200 meter yang diselingi oleh
lembah-lembah. Di bagian barat dan selatan Suppa membentang dataran rendah

22
E.C Abendanon, Geologische en Geographische Doorkruisingen van Midden-Celebes (1909-
1910), Deel II (Leiden: E.J. Brill, 1915), 949.
23
Vereeniging Tot Bevordering Der Geneeskundige Wetenschappen In Nederlandsch-Indie,
Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch-lndië. Deel L (Batavia: Javasche Boekhandel &
Drukkerij, 1910), 175–76.
24
Volkstelling 1930, Volkstelling 1930 (Deel V: Inheemsche Bevolking van Borneo, Celebes en
Kleine Soenda Eilanden en de Molukken) (Batavia: Departement van Economische Zaken, 1936),
155.

Universitas Indonesia
37

subur terutama sawah.25 Sementara itu, Mallusetasi dianugerahi dataran rendah


yang terhampar luas, khususnya berupa sawah-sawah dan juga banyak ditemukan
empang di bagian barat. Di bagian timur terbentang perbukitan dari utara ke
selatan yang umumnya dimanfaatkan sebagai ladang.26 Aliran sungai-sungai yang
ada di daerah ini juga penting sebagai sumber pengairan di sawah. Di antaranya
ialah Sungai Majinang, Tar, Maraulang, Barakasanda, dan sungai kecil lainnya.
Di Mallusetasi, sungai terpenting ialah Sungai Batupute.
Masyarakat di daerah Parepare umumnya bertumpu pada aktivitas
pertanian, terutama budidaya padi. Penanaman padi tidak hanya dilakukan di
sawah, namun juga ladang-ladang yang terdapat di perbukitan. Dengan kondisi
sawah yang luas dan subur, hasil panen padi cukup melimpah setiap tahun
sehingga selalu memungkinkan untuk diekspor. Adapun pohon kelapa banyak
ditemukan khususnya di sepanjang daerah pesisir. Hasil olahan kelapa berupa
kopra turut diekspor. Di samping padi dan kopra, masyarakat juga menanam
tanaman lain, seperti jagung, kacang, ubi, wijen, tembakau, kemiri, dan pisang.
Yang disebut terakhir biasanya diekspor ke Makassar, selain diperdagangkan
secara lokal di pasar Parepare. Sementara itu, pinang hanya dibudidayakan di
Suppa. Sekalipun wilayah Onderafdeeling Parepare sebagian besar berada di
kawasan pesisir, nelayan adalah mata pencaharian sampingan bagi masyarakat,
baik di Suppa maupun Mallusetasi. Bagi masyarakat Parepare, penangkapan ikan
biasanya dilakukan di perairan teluk dan sungai-sungai. Ikan hasil tangkapan
terlebih dahulu dikeringkan dan kemudian dijual ke pasar-pasar di daerah
pedalaman lainnya, di samping pasar Parepare sendiri. Mengapa aktivitas maritim
hanya menjadi pekerjaan sampingan bagi masyarakat di Parepare? Hal ini
kemungkinan besar bersumber dari kondisi dataran Parepare berupa sawah yang
luas dan subur sehingga dianggap memiliki potensi ekonomi yang lebih
menguntungkan bagi masyarakat.
Daerah penyangga selanjutnya ialah Pinrang. Sama halnya dengan
Parepare, sebagian besar daerah ini juga terletak di pantai barat Sulawesi Selatan.
Daerah itu memiliki luas sebesar 2.150 kilometer persegi yang terdiri dari wilayah

25
Stibbe, Encyclopædie Van Nederlandsch-Indië, 403.
26
Stibbe, 257.

Universitas Indonesia
38

Sawitto, Batulappa dan Kassa. Permukaan Pinrang dibentuk oleh dataran rendah
di bagian timur dan dataran tinggi, yakni pegunungan, di bagian timur laut hingga
ke bagian selatan. Pada dataran rendah sebagian besar berupa sawah yang luas dan
sangat subur. Selain sawah, rawa-rawa juga banyak ditemukan. Pinrang
dianugerahi beberapa sungai yang tidak hanya penting sebagai sumber pengairan
di sawah, namun juga berguna sebagai jalur komunikasi dan lalu lintas komoditas
dari daerah pedalaman ke daerah pesisir ataupun sebaliknya. Sungai-sungai itu
antara lain Sungai Galangkang, Sungai Bungi, Sungai Saddang dan Sungai
Kariango. Meskipun bidang pertanian menjadi mata pencaharian utama, namun
sebagian besar masyarakat lebih terkonsentrasi pada pertanian padi. Budi daya
padi tidak hanya dilakukan di sawah, namun juga di kebun dan ladang. Hasil
panen padi setiap tahunnya juga melimpah sehingga selalu tersedia sejumlah beras
yang dapat diekspor. Sawitto adalah wilayah penghasil utama padi di Pinrang.
Pada 1933 dan 1934, misalnya, wilayah ini mengekspor padi dalam bentuk ludah
sekitar 100.000 pikul. Selain ke Parepare, beras yang dihasilkan di Pinrang
sebagian kecil dibawa ke Mandar. Hasil produksi penting lainnya ialah jagung dan
kelapa. Terutama kelapa, penanamannya lebih terkonsentrasi di daerah pesisir
Pinrang. Mengingat sebagian daerah ini juga berlokasi di pegunungan, tanaman
yang dibudidayakan oleh masyarakat lebih variatif. Tanaman-tanaman itu antara
lain kapok, kopi, kemiri, katun, aren dan wijen serta buah-buahan seperti langsat,
durian dan pisang. Kecuali katun, aren, langsat dan durian yang ditanam untuk
dikonsumsi pribadi ataupun diperdagangkan secara lokal di pasar, semua hasil
tanaman yang telah disebutkan juga turut diekspor. Sementara itu, aktivitas
nelayan merupakan mata pencaharian penting bagi masyarakat yang bermukim di
kampung-kampung sekitar daerah pesisir, seperti Jampue, Baru, Langa,
Palameang, Amani, Salipolo, Paria, Maroneng dan Pajalele. Penangkapan ikan
oleh masyarakat tidak hanya dilakukan di laut, namun juga di rawa-rawa dan
sungai-sungai kecil. Masyarakat turut mengembangkan budi daya ikan di empang-
empang yang membentang di daerah pesisir. Pada 1935, luas empang di Pinrang
kira-kira mencapai 1.800 hektar. Ikan hasil tangkapan dijual di pasar, seperti Pasar
Kariango, Pinrang, Lasape dan Bungi. Selain itu, hasil tangkapan ikan laut juga

Universitas Indonesia
39

biasanya dikeringkan dan kemudian dijual ke daerah lain, seperti Enrekang dan
Rappang.27
Daerah hinterland lainnya yang berada di pantai barat Sulawesi Selatan
ialah Barru. Daerah ini terletak di sebelah selatan Parepare yang mencakup tiga
wilayah, yakni Soppengriaja, Barru dan Tanete. Dengan luas wilayah sebesar
1.063 kilometer persegi,28 permukaan Barru di bagian barat umumnya berupa
dataran rendah yang ditandai dengan sawah yang luas dan kebun. Di sepanjang
kawasan pantai, rawa-rawa dan hutan bakau banyak dijumpai serta empang. Di
bagian timur, topografi daerah berupa kawasan perbukitan dengan ketinggian rata-
rata 1.000 meter. Budi daya padi merupakan aktivitas pertanian utama
masyarakat. Padi ditanam baik di sawah maupun ladang. Hasil produksinya
seringkali melebihi kebutuhan penduduk. Kelebihan ini selain dibawa ke
Parepare, padi ataupun beras juga diekspor ke Mandar, Makassar dan pulau-pulau
di Kepulauan Spermonde.29 Hasil komoditas lain, seperti sirih, tembakau, gula
merah dan kopra, turut diperdagangkan ke kota-kota pesisir di sebelah utara dan
selatan sekalipun dalam jumlah yang sedikit.30 Masyarakat juga membudidayakan
tanaman lain, yaitu jagung, kelapa, katela, kacang ijo, kacang tanah, ubi,
tembakau, kemiri dan kapuk. Hal yang menarik bahwa selain bertani, terdapat
pula masyarakat Barru yang berprofesi sebagai pandai besi dan pembuatan sarung
bugis. Khususnya pembuat sarung, mereka kebanyakan bermukim di wilayah
pesisir, seperti Kampung Ajakang dan Takalasi.31 Beberapa pedagang juga
bermukim di kampung tersebut. Ketika pembuatan sarung telah selesai, para
pedagang itulah yang menjadi pembeli dan kemudian diekspor ke berbagai
daerah.
Sidenreng adalah daerah pedalaman penting lainnya bagi Parepare.
Permukaan Sidenreng, yang luas wilayahnya mencapai 1.450 kilometer persegi,
berupa dataran rendah yang terdiri dari sawah-sawah yang luas dan diselingi
27
Untuk uraian lebih jelas mengenai daerah Pinrang, lihat M.D Mey, Memorie va Overgave van
de Onderafdeeling Pinrang, Afdeeling Parepare, 11 Juni 1935.
28
Volkstelling 1930, Volkstelling 1930 (Deel V: Inheemsche Bevolking van Borneo, Celebes en
Kleine Soenda Eilanden en de Molukken), 155.
29
W.R Beeuwkes, Nota van Toelichting over Het Landschap Tanette, 1937, 8; K Mantel, Nota van
Toelichting Betreffende Het Landschap Soppengriadja, 6 Mei 1932, 9.
30
D.A.F Brautigam, Nota betreffende het zelfsbesturend landschap Tanette (Batavia: Albrecht &
Co, 1914), 457.
31
Mantel, Nota van Toelichting betreffende het landschap Soppengriadja, 7.

Universitas Indonesia
40

dengan kebun kelapa. Permukaan berupa pegunungan hanya terbentang di bagian


utara, utamanya wilayah Pituriase. “Kemakmuran daerah ini hampir seluruhnya
bergantung pada harga beras”.32 Demikian ungkapan N.C. Beudeker (memerintah
1935-1938) sebagaimana tertuang dalam laporan memori serah terima jabatannya.
Pernyataan itu menyiratkan bahwa budidaya padi memiliki arti ekonomi yang
penting bagi masyarakat. Setiap tahunnya, Sidenreng menghasilkan padi dan
jagung yang melimpah, sehingga selalu tersedia pasokan untuk diekspor. Selain
padi, jagung dan kelapa, masyarakat juga membudidayakan kopi, khususnya di
wilayah Guru dan Pituriawa. Sementara itu, daerah pegunungan yang berhutan di
Pituriase menghasilkan rotan dan damar, namun hanya diekspor melalui
pelabuhan Siwa dan Pallima di pantai timur Sulawesi Selatan. Hasil industri
berupa sarung, keranjang dan tembikar biasanya diperdagangkan secara lokal. Hal
yang menarik bahwa di daerah ini terdapat pula komunitas pandai besi yang
tinggal di wilayah Masepe. Komunitas ini juga menjajakan hasil produksinya di
seluruh daerah di Sulawesi Selatan.33 Di samping terdapat beberapa sungai yang
penting sebagai sumber pengairan di sawah, Sidenreng juga sangat diuntungkan
dengan adanya dua danau, yakni Danau Sidenreng (luas 45, 5 kilometer persegi)
dan Danau Tempe (luas 105 kilomter persegi). Saat musim hujan berlangsung,
kedua danau ini seringkali menyatu sehingga membentuk sebuah kawasan danau
yang lebih besar. Bagi masyarakat Sidenreng, kedua danau itu penting karena
bukan hanya menjadi tempat penangkapan ikan, namun juga menyediakan lahan
yang luas untuk penanaman padi dan jagung di sekitar pinggiran danau utamanya
saat musim kemarau.
Selanjutnya ialah Rappang. Daerah ini berbatasan dengan Sidenreng di
sebelah selatan serta Enrekang di sebelah utara. Daerah itu memiliki luas sebesar
470 kilometer persegi. Selain orang bugis sebagai masyarakat mayoritas, Rappang
juga dihuni oleh orang Cina, Arab dan Eropa. Sementara itu, topografi daerah ini
terdiri dari jejeran gunung di bagian utara. Di bagian selatan, dataran rendah
menghampar luas, terutama berupa sawah. Beberapa sungai besar dan kecil
mengalir di permukaaan daratan Rappang. Salah satu diantaranya ialah Sungai

32
N.C Beudeker, Memorie van Overgave van de onderafdeeling Sidenreng-Rappang, Afdeeling
Parepare, 1938, 22.
33
Stibbe, Encyclopædie Van Nederlandsch-Indië, 395–98.

Universitas Indonesia
41

Rappang atau Salo Karaja (sungai besar). Sungai ini melintasi dataran Rappang
dari timur ke barat untuk selanjutnya terus mengalir melalui Pinrang dan
bermuara di Jampue (Selat Makassar). Sungai itu memiliki kedudukan yang
penting sebagai sumber irigasi bagi sawah-sawah di Rappang. Sungai-sungai kecil
lainnya kebanyakan mengalir ke Danau Sidenreng dan secara umum tidak begitu
penting untuk sumber irigasi.
Dengan kondisi geografis tersebut, pertanian adalah mata pencaharian
utama bagi masyarakat di Rappang. Hasil produksi padi yang melimpah setiap
tahunnya memungkinkan daerah ini menghasilkan surplus beras. Parepare adalah
tempat ekspor utama untuk beras yang dihasilkan di Rappang. Sementara itu,
pohon kelapa dapat ditemui di mana-mana. Hasil olahan kelapa berupa kopra
juga diekspor melalui Parepare dan menjadi salah satu pendapatan penting
masyarakat. Selain padi dan kelapa, masyarakat juga membudidayakan jagung,
kacang, wijen dan ubi. Perdagangan di Rappang terutama berlangsung di pasar
yang sibuk, seperti Pasar Baranti dan Pasar Rappang
Berikutnya ialah Enrekang. Daerah ini memiliki luas sekitar 2.000
kilometer persegi yang berbatasan dengan Pinrang di sebalah barat dan Rappang
di sebelah selatan.34 Enrekang pada dasarnya merupakan daerah hinterland
Parepare yang terletak di dataran tinggi. Permukaan Enrekang di bagian utara,
khususnya wilayah Duri dan Enrekang, terdiri dari pegunungan yang umumnya
curam dan berpotongan dengan jurang dan lembah-lembah yang dalam. Di bagian
selatan, terutama wilayah Maiwa, permukaannya sebagian besar berupa tanah
datar dan perbukitan yang lebih landai. Dengan kondisi itu, Maiwa adalah wilayah
penghasil padi utama, sekalipun praktek budidaya padi bisa ditemukan di mana-
mana di Enrekang. Hasil produksi padi hanya dapat memenuhi untuk konsumsi
secara lokal. Selain padi, jagung dan kopi juga dikembangkan oleh masyarakat.
Yang disebut terakhir merupakan komoditas ekspor utama Enrekang yang setiap
tahunnya menghasilkan sekitar 4000 sampai 5000 pikul. Bersama pinang, kopi
diekspor ke Parepare. Hasil produksi masyarakat lainnya ialah kentang, ketela,
tembakau, kelapa, kacang, kemiri dan gula merah.35 Perdagangan yang ramai

34
G.A Tideman, Militaire Memorie van Enrekang, Afdeeling Parepare, 1918, 1.
35
Tideman, 34–35.

Universitas Indonesia
42

berlangsung di pasar-pasar utama, seperti Pasar Enrekang, Maroangin, Kalosi,


Malua dan Pasui. Barang-barang yang lazim diperdagangkan antara lain kain,
benang, gerabah, kopi, anyaman, kacang, kemiri, gula, garam dan ikan. Dua
barang yang disebut terakhir utamanya didatangkan dari Parepare.36
Daerah dataran tinggi lainnya yang juga termasuk sebagai daerah
hinterland Parepare ialah Toraja. Daerah ini berada di sebelah utara Enrekang.
Karena berlokasi di dataran tinggi, topografi Toraja didominasi oleh sistem bukit-
bukit dan lembah-lembah, di mana sawah dapat pula dijumpai. Namun, hasil
produksi padi seringkali hanya dapat bertahan selama enam bulan.37 Sementara
itu, kopi adalah hasil komoditas ekspor utama Toraja, yang penanamannya mulai
semakin masif pada 1870-an.38 Sama halnya dengan Enrekang, kopi yang ditanam
di Toraja ialah berjenis kopi Arabika dan umumnya dikenal di perdagangan
Makassar sebagai Kopi Bungi. Sampai awal dekade 1910-an, sebagian besar hasil
produksi kopi Toraja masih dibawa menuju Parepare, baik dari Makale maupun
Rantepao.39 Setelah itu, kopi dari Toraja lebih banyak diangkut menuju pelabuhan
Palopo akibat adanya intervensi dari pemerintah kolonial setempat.40 Selain kopi,
sayuran dari Makale juga banyak yang dibawa ke Parepare, seperti kentang.41
Tabel 2.1 Jumlah Areal Sawah di Daerah Penyangga Parepare
pada 1936
No. Daerah Jumlah (dalam HA)
1 Parepare 4.445
2 Pinrang 12.681
3 Barru 8.401
4 Sidenreng-Rappang 31.628
5 Enrekang 4.310
Sumber: J.L.M. Swaab, Memorie van Overgave van den afgetreden Gouverneur Celebes
en Onderhoorigheden, hlm. 189.

36
Bundel Wijzingen en Aanvullingen van de Militaire Memorie van Enrekang, 1922, 9.
37
Terance W. Bigalke, Sejarah Sosial Tana Toraja (M. Yuanda Zara, Trans.) (Yogyakarta:
Ombak, 2016), 3.
38
B.H Paerels, Agronomische Beschrijving van de Koffiecultuur in de Zuidelijke Toradjalanden
(Weltevreden: Landsdrukkerij, 1927), 44–45.
39
Paerels, 65.
40
Bigalke, Sejarah Sosial Tana Toraja (M. Yuanda Zara, Trans.), 100.
41
A.C Lafeber, Memorie van Overgave van de Onderafdeeling Makale, 1925, 6.

Universitas Indonesia
43

Berdasarkan uraian mengenai berbagai daerah penyangga, tampak jelas


Parepare adalah pelabuhan yang dikelilingi daerah-daerah agraris yang subur. Hal
ini terutama ditandai dengan hamparan sawah yang dapat dijumpai di mana-mana
di daerah penyangga (lihat lampiran 2). Situasi itu juga tercermin dari luasnya
areal sawah di daerah penyangga, sebagaimana terlihat dari tabel 1 di atas.
Dengan total sawah sebanyak 61.645 hektar, itu artinya bahwa sebanyak 19 %
dari 323.093 hektar sawah42 di Sulawesi Selatan berada di daerah hinterland
Parepare. Tabel di atas juga menunjukkan bahwa Sidenreng dan Rappang ialah
daerah dengan jumlah sawah terbanyak di antara daerah penyangga lainnya, yakni
sekitar 51 % dari total keseluruhan sawah. Keadaan lingkungan yang mendukung
untuk budidaya padi ditunjang pula oleh keberadaaan sungai-sungai berukuran
besar dan kecil. Aliran sungai-sungai sudah barang tentu dapat dimanfaatkan
sebagai sumber pengairan. Karakter ini bukan hanya menjadi modal bagi
Sulawesi Selatan untuk tampil sebagai daerah surplus beras selama 1930-an,43
namun juga membawa pengaruh yang signifikan terhadap dinamika pelabuhan
Parepare selama periode kolonial.
Jalur darat adalah akses yang dominan dalam pengangkutan barang-barang
dari dan ke pelabuhan. Hal ini terutama bersumber dari kondisi sungai-sungai
yang tidak menguntungkan di kawasan Teluk Parepare. Akan tetapi, dari sisi
darat, pelabuhan masih diuntungkan dengan posisinya yang cukup strategis. Letak
Parepare berada di persimpangan jalan utama; ke arah selatan menuju Makassar,
ke arah timur menuju Sengkang dan ke arah utara menuju Suppa dan lebih ke
utara lagi hingga mencapai Majene. Dominannya jalur darat pada gilirannya
menentukan pola pengangkutan komoditas di pelabuhan Parepare. Dalam sebuah
sumber yang ditulis pada 1880-an, dikemukakan bahwa jalan-jalan utama di
Sulawesi Selatan disebut dengan lalang-pateke atau jalan perdagangan
(handelswegen). Jalan perdagangan umumnya masih berupa jalan setapak besar
dan kecil. Adapun jalan perdagangan yang terhubung dengan pelabuhan ketika itu

42
J.L.M. Swaab, Memorie van Overgave van den afgetreden Gouverneur Celebes en
Onderhoorigheden, 1936, 189.
43
Pierre van der Eng, Agricultural Growth in Indonesia : Productivity Change and Policy Impact
since 1880 (New York: St. Martin’s Press, 1996), 185,
http://search.ebscohost.com/login.aspx?direct=true&scope=site&db=nlebk&db=nlabk&AN=4915
74.

Universitas Indonesia
44

ialah jalan poros Parepare ke Kampung Teteaji, terletak di sekitar Danau Tempe.
Jalan poros ini membentang ke arah timur dengan panjang 18 paal. Di
pertengahan jalan poros ini, terdapat pula sebuah jalan mengarah ke timur laut
yang terhubung dengan Enrekang dan lebih jauh ke Toraja. Jalan perdagangan
lainnya ialah jalan poros Parepare ke Alitta. Jalan yang membentang ke arah utara
ini memiliki panjang sekitar 16 paal.44 Sementara itu, khususnya ke arah selatan,
jalan yang menghubungkan Parepare dan Makassar ketika itu dikenal dengan
“jalan besar” (groote weg).45 Kuda beban (kuda pa’teke) dan tenaga pengangkut
(pabule’) adalah pilihan utama masyarakat di daerah pedalaman dalam hal moda
pengangkutan komoditas.
Beberapa muara sungai juga berfungsi sebagai pelabuhan kecil yang
menjadi feeder points bagi Parepare. Hal ini terutama dijumpai di daerah
penyangga yang berada di kawasan pesisir. Di Pinrang, misalnya, Jampue,
Maroneng, Paria dan Langa adalah pelabuhan-pelabuhan kecil penting yang
digunakan sebagai tempat pengiriman komoditas lokal. Adapun produk lokal yang
biasanya dimuat ialah kelapa, beras (dalam bentuk padi dan ludah) dan ikan laut.
Sayangnya, semua pelabuhan kecil itu cukup berbahaya dikunjungi selama angin
muson barat berhembus (Desember hingga Juni) dan hanya memiliki arti penting
saat angin muson timur berhembus.46 Feeder points lainnya dapat ditemukan di
Barru, yakni pelabuhan-pelabuhan kecil berupa muara sungai. Di antaranya ialah
Batuputih, Takalasi dan Lipukasi. Sama halnya dengan karakter sungai di
Pinrang, semua sungai itu hanya aman dikunjungi saat angin muson timur
berlangsung. Selain beras, Sarung Bugis dan gula merah diekspor melalui
pelabuhan tersebut.47 Dengan demikian, walaupun jalur sungai atau laut turut
berperan sebagai lalu lintas komoditas, namun artinya bagi Parepare tidak lebih
dominan dibandingkan jalur darat.

44
P.B. Standen ten van Brink, Zuid Celebes Bijdragen Tot De Krijgsgeschieen Militaire
Geographie van de Zuidelijke Aandtong van het eiland Celebes (Utrecht: Kemink & Zoon, 1884),
31–33.
45
Brink, 20.
46
Mey, Memorie van Overgave van de Onderafdeeling Pinrang, Afdeeling Parepare, 17.
47
Mantel, Nota van Toelichting betreffende het landschap Soppengriadja, 3.

Universitas Indonesia
45

2.4 Pembuatan Perahu


Transportasi adalah darah kehidupan perdagangan. Orang Bugis tidak
akan mungkin menjadi salah satu pedagang penting dalam kegiatan perdagangan
di Singapura pada abad ke-1948 tanpa adanya dukungan perahu layar. Dalam studi
ini, armada perahu sudah tentu merupakan sarana vital yang memungkinkan
berlangsungnya aktivitas pelayaran dan perdagangan di pelabuhan. Terdapat
beberapa jenis perahu layar di Sulawesi Selatan yang digunakan sebagai perahu
dagang, seperti padewakang, pinisi, palari, pajala dan jenis perahu lainnya. Di
Parepare, sampan atau lepa-lepa digunakan untuk mencari ikan oleh nelayan,
selain difungsikan sebagai tongkang bagi perahu dagang.
Setiap perahu dagang umumnya dikendalikan oleh nahkoda, juru mudi,
juru batu dan sawi. Adapun jumlahnya disesuaikan dengan ukuran sebuah perahu.
Padewakang, misalnya, yang umumnya berukuran 7 sampai 15 koyang (14 – 30
ton) pada 1920-an membutuhkan “tim pelayaran” paling sedikit delapan orang.
Jumlah itu terdiri dari satu nahkoda, satu juru mudi, satu juru batu dan lima
sawi.49 Padewakang adalah salah satu jenis perahu tua dari Sulawesi. Dalam
studinya, Knaap dan Sutherland menyebutkan bahwa padewakang, yang
mendahului kehadiran jenis perahu pinisi dan palari, paling tidak telah dikenal
sejak awal ke-18.50 Perahu ini umumnya memiliki panjang 8 hingga 20 meter dan
lebarnya sekitar 4 meter. Perahu ini dilengkapi dengan dua atau tiga tiang layar
yang terbuat dari kayu dan bambu. Jika layar bagian tengah berbentuk persegi
panjang (sobal tanja), maka layar bagian depannya berbentuk segitiga. Jenis
perahu inilah yang digunakan oleh para pelaut Sulawesi Selatan dalam pencarian
teripang hingga ke pantai utara Australia pada abad ke-18.51
Salah satu pedagang di Parepare yang memiliki perahu ialah Haji Gattung.
Ia merupakan pedagang kopi dan tekstil. Pedagang ini memiliki perahu dagang
pinisi dengan bobot 69 ton. Menurut pengakuan Andi Mannaungi, perahu yang
dimiliki Haji Gattung merupakan perahu terbesar di Parepare pada awal abad ke-

48
Wong Lin Ken, “The Trade of Singapore, 1819-69,” Journal of the Malayan Branch of the
Royal Asiatic Society 33, no. 4 (192) (4 Februari 1960): 74, http://remote-
lib.ui.ac.id:2100/stable/41505501.
49
Vuuren, L Van, “De Prauwvaart van Celebes,” Koloniale Studiën 1 (1917): 109.
50
G Knaap dan Heather Sutherland, Monsoon Traders: Ship, skippers and commodities in
eighteenth-century Makassar (Leiden: KITLV Press, 2004), 47.
51
A. R Hamid, Sejarah dan Budaya Maritim Indonesia (Yogyakarta: Ombak, 2020), 99.

Universitas Indonesia
46

20.52 Ketika itu, pembuatan kapal terbatas pada pembuatan perahu berukuran kecil
dan sampan (lepa-lepa) di daerah pesisir. Tidak ada pembuatan perahu yang
berukuran besar. Sebelum dikontrol langsung oleh pemerintah kolonial Belanda
pada 1905, terdapat sebanyak 60 perahu dagang dan 120 lepa-lepa yang
beroperasi di pelabuhan Parepare.53 Sayang sekali, informasi yang penulis
temukan tidak menyebutkan perihal jenis perahu, pembuatan dan lokasinya.
Namun, dalam sumber lain yang terbit pada 1945, disebutkan bahwa tempat
pembuatan perahu di Parepare berada di Kampung Ujung.54 Di kampung ini,
sebagian besar masyarakat berprofesi sebagai nelayan. Tempat pembuatan perahu
lainnya ialah Ujung Lero, yang lokasinya tidak jauh dari pelabuhan. Di tempat ini,
pembuatan perahu terutama dilakukan oleh orang Mandar55 yang bermukim di
tempat tersebut. Hal ini diketahui dari salah seorang responden yang tulisannya
dimuat dalam Limburgsch Dagblad. Ketika berkunjung ke tempat itu pada 1947,
ia menyaksikan “… seorang sedang mengerjakan sebuah perahu, yang
lambungnya telah dipotong dari batang pohon yang berat, ada tali-temali besar
menjulang ke atas dan di kedua sisinya ada bambu yang besar.”56 Meskipun
responden tersebut tidak menyebut jenis perahu yang dibuat, namun penuturannya
jelas menunjukkan bahwa pembuatan perahu juga dilakukan di Ujung Lero.57
Adapun kayu berupa balok dan papan yang menjadi bahan baku pembuatan
perahu umumnya didatangkan dari Kalimantan yang dibawa para pelaut-pedagang
(Bugis, Makassar dan Mandar) ke Parepare.

52
H.A Mannaungi, Corat Coret Masa Revolusi Memoar: H.A. Mannaungi (Parepare: Yayasan
Makkarumpa, 2002), 14–15.
53
Soerabaijasch Handelsblad, 17 Juli 1905.
54
Lihat Allied Geographical Section Southwest Pacific Area, Special Report No. 80, Makassar
(SW Celebes), Dates 24 August 1945.
55
Menurut Andi Oddang, orang Mandar telah bermukim di Ujung Lero pada tahun 1930-an.
Dalam satu sumber, disebutkan bahwa pada 1947 Ujung Lero merupakan perkumpulan kampung
yang dihuni oleh orang Mandar dan Bugis. Selain berprofesi sebagai nelayan, orang Mandar dan
Bugis juga menanam jagung di wilayah tersebut. Kedatangan orang Mandar di Ujung Lero bukan
hanya sebagai upaya pengungsian mereka selama perang revolusi kemerdekaan berkecamuk di
Mandar, sebagaimana dinyatakan oleh Ridwan Alimuddin. Penulis menduga bahwa kedatangan
mereka untuk bermukim di wilayah itu pada 1930-an, juga tidak terlepas dari daya tarik
perdagangan, terutama beras, di pelabuhan Parepare. Lihat Andi Oddang, Memoar Brigjen
Purnawirawan Andi Oddang Untuk Merah Putih (Jakarta: Media Group Fajar, 2015), 15;
Limburgsch Dagblad, 23 Mei 1947; M Ridwan Alimuddin, Orang Mandar Orang Laut
(Yogyakarta: Ombak, 2013), 97.
56
Limburgsch Dagblad, 23 Mei 1947.
57
Dewasa ini, perahu sandeq Mandar mudah dijumpai di Ujung Lero. Lihat Adrian Horridge,
Perahu Layar Tradisional (Yogyakarta: Ombak, 2015), 49.

Universitas Indonesia
47

Walaupun terdapat pembuatan perahu, namun penulis berpendapat bahwa


hanya sedikit masyarakat Parepare yang bergiat sebagai pelaut. Sebagian besar
masyarakat yang bermukim di daerah pesisir ialah nelayan. Hal ini tampak dari
jumlah perahu yang memiliki jaarpas (surat izin berlayar tahunan) dan zeebrief
(paspor berlayar). Pada 1919, misalnya, hanya terdapat 37 perahu yang memiliki
jaarpas ataupun zeebrief di Parepare. Situasi ini jauh berbeda dengan pelabuhan
lainnya di Sulawesi Selatan, seperti Makassar (1.204 perahu), Bone (207 perahu),
Mandar (186 perahu) dan Bantaeng (67 perahu).58 Pada 1935, jumlah perahu di
Parepare telah bertambah menjadi 69 perahu. Meskipun mengalami pertambahan,
namun perbedaannya masih cukup mencolok dibanding pelabuhan lainnya, seperti
59
Makassar (1.062 perahu), Bone (143 perahu) dan Mandar (127 perahu). Dari
hasil penelusuran sumber visual, palari adalah jenis perahu dagang yang paling
umum digunakan. Hilir mudik perahu Mandar adalah pemandangan yang juga
lazim terlihat di perairan teluk, seperti pakur (lihat gambar 2.3). Karena itu,
keberadaan orang Mandar, yang notabene terkenal sebagai salah satu pelaut
tangguh, di Ujung Lero mempunyai arti penting dalam aktivitas pelayaran dan
perdagangan di Parepare.

Gambar 2.2 Deretan Perahu Palari di pelabuhan Parepare pada 1920-an


Sumber: H F Tillema, Zonder Tropen Geen Europa !, hlm. 236

58
Statistiek van de Scheepvaart Nederlandsch-Indie over Het Jaar 1919, 164.
59
Statistiek van de Scheepvaart in Nederlandsch-Indie over Het Jaar 1934, 187.

Universitas Indonesia
48

Gambar 2.3. Perahu Pakur yang sedang berlayar


di perairan Teluk Parepare pada 1940-an.
Sumber: https://www.nationaalarchief.nl/
Pertanyaannya, mengapa masyarakat yang berprofesi sebagai pelaut
terbilang minim di Parepare? Kemungkinan hal itu terutama bersumber dari
kondisi tanah yang subur di daerah pedalaman sehingga sebagian besar
masyarakat cenderung memilih bergiat sebagai petani dibanding pelaut. Mengenai
hal itu, Christian Pelras sendiri mengakui bahwa orang Bugis pada awalnya
merupakan petani. Sementara itu kegiatan maritim di kalangan orang Bugis baru
berkembang pesat pada abad ke-18.60 Keadaan itu juga secara tersirat disebutkan
dalam lontara’ Sidenreng, bahwa pada masa Suppa tampil sebagai salah satu
kerajaan maritim penting di pantai barat Sulawesi (abad ke-16), pembuatan perahu
di kerajaan-kerajaan Ajatappareng dilakukan oleh orang Mandar.61
Akan tetapi, minimnya masyarakat yang bergiat sebagai pelaut sebetulnya
tidak banyak membawa pengaruh terhadap aktivitas pelayaran perahu di
pelabuhan Parepare. Sebab, Sulawesi Selatan adalah salah satu pusat pelayaran
perahu layar di perairan Hindia Belanda. Kondisi ini ditopang dengan keberadaan
pelaut-pelaut tangguh (terutama orang Galesong, Mandar dan Bira) dan tempat
pembuatan perahu dalam skala yang penting, seperti di Bira.62 Karena itu, potensi
niaga Parepare bukan hanya dimanfaatkan oleh pelaut Bugis, tetapi juga pelaut

60
Pelras, Manusia Bugis (A.R. Abu, Trans.), 4.
61
Ahmad Yani, “Islamisasi di Ajatappareng Abad XVI-XVII,” Pustaka Jurnal Khazanah
Keagamaan 8, no. 2 (2020): 195.
62
Horst H Liebner, “Tradisi Kebaharian di Sulawesi Selatan: Tinjauan Sejarah Pelayaran dan
Perkapalan,” in Kontinuitas dan Perubahan dalam Sejarah Sulawesi Selatan, ed. oleh Dias
Pradadimara dan Muslimin A R Effendy (Yogyakarta: Ombak, 2004), 95.

Universitas Indonesia
49

Makassar dan Mandar. Bahkan, pada 1930-an Parepare menjadi salah satu
pelabuhan yang paling ramai dikunjungi perahu layar setelah Makassar di
kawasan Groote Oost. Hal yang menarik bahwa ramainya hilir mudik perahu
tersebut karena daya tarik perdagangan beras di pelabuhan. Pasca krisis ekonomi
1930-an, menurut Ijzereef, sebagian pelaut Bugis Bone yang sebelumnya
beroperasi di kawasan Teluk Bone mengalihkan kegiatan pelayarannya ke
Parepare untuk turut terlibat dalam pengangkutan rutin ke Kalimantan dan Jawa.63
2.5 Lintasan Historis Pelabuhan Parepare Hingga 1905
Melacak tapak-tapak pelabuhan Parepare di masa silam tidak dapat
dilepaskan dari eksistensi Teluk Parepare sebagai kawasan niaga. Paling tidak
sejak abad ke-15, Kerajaan Suppa telah tampil sebagai salah satu kekuataan
maritim di pantai barat Sulawesi dan sekaligus kerajaan yang paling berpengaruh
di kawasan Ajatappareng.64 Selain berhasil memaksimalkan potensi pertanian di
wilayah kerajaan dan sekitarnya, kedudukan dominan Suppa juga bersumber dari
aktivitas perdagangan pelabuhan Suppa di Teluk Parepare. Dalam studi
arkeologisnya, Druce mengungkapkan bahwa indikasi penting dari kemajuan
Suppa saat itu ialah tampak dari penemuan keramik yang berasal dari abad ke-15
yang meningkat drastis mencapai 250 sampai 650 % dibanding temuan keramik
dari dua abad sebelumnya. Ia juga menuturkan bahwa peningkatan itu tidak hanya
terlihat di Suppa, namun juga di palili (kerajaan bawahan) Suppa, seperti
Bacukiki, Bojo dan Soreang.65 Semua palili ini berlokasi di kawasan pantai barat
Sulawesi. Palili yang disebut terakhir ialah daerah yang menjadi cikal bakal
pelabuhan Parepare di masa kemudian.
Signifikansi pelabuhan Suppa semakin meningkat dengan datangnya para
pedagang Melayu yang mengungsi pasca penaklukan Malaka oleh Portugis pada
1511. Kedatangan mereka tentu dengan harapan dapat memperoleh perlindungan
dari penguasa Suppa, di samping untuk berdagang dengan aman dan

63
Wilhelmus Theodorus. Ijzereef, “De Wind en de Bladeren: Hierarchie en Autonomie inBone en
Polombangkeng (Zuid-Sulawesi), 1850-1950” (Disertasi) (Groningen: Rijksuniversiteit
Groningen, 1994), 65.
64
Stephen C. Druce, The Lands West of The Lakes: A history of the Ajatappareng kingdoms of
South Sulawesi 1200 to 1600 CE (Leiden: KITLV Press, 2009), 217.
65
Druce, 215.

Universitas Indonesia
50

menguntungkan.66 Para pedagang Melayu tidak sekedar menetap, namun juga


mengumpulkan berbagai produk ekspor lokal Sulawesi Selatan seperti beras,
budak, hasil laut dan cendana.67 Antonio de Paiva, salah seorang pendeta Portugis,
juga dikabarkan telah mengunjungi Suppa pada 1544.68 Kunjungan ini pada
dasarnya menunjukkan arti penting perniagaan yang berlangsung di Teluk
Parepare saat itu. Meski begitu, saat itu pelabuhan Suppa belum sampai pada
tahap perkembangan sebagai pusat perdagangan utama (major trade centre) dalam
perdagangan internasional.
Pada saat yang hampir bersamaan, Tumapa’risi Kallonna (memerintah
1510-1546), raja dari Kerajaan Gowa di sebelah selatan, rupanya mulai mengubah
orientasi kerajaan dari yang sebelumnya berhaluan agraris ke maritim.
Pemindahan ibukota kerajaan dari Tamalate ke Somba Opu, pengadaan jabatan
syahbandar dan penciptaan huruf aksara Makassar oleh Daeng Pamatte adalah
bukti-bukti nyata dari upaya raja tersebut. Demi memajukan bandar niaga
Makassar, raja memperluas wilayah kekuasaannya melalui penaklukan berbagai
kerajaan di sekitarnya.69 Di masa raja berikutnya, Tunipallangga Ulaweng
(memerintah 1546-1565), perluasan diwujudkan bukan hanya dengan
menaklukkan kerajaan lain, namun juga mengangkut serta rakyatnya, seperti
Suppa, Sawitto dan Bacukiki, ke bandar Makassar.70 Pada fase inilah praktis
Suppa dan Teluk Parepare, yang lebih dahulu berkembang sebagai kawasan niaga,
memasuki fase kemundurannya. Oleh sebab itu, bisa diutarakan bahwa kemajuan
Makassar sebagai bandar transito internasional di abad ke-17 tidak terlepas dari
kesuksesan penguasanya dalam mengonsentrasikan seluruh aktivitas perdagangan
ke satu titik, termasuk pengalihan perniagaan dari Teluk Parepare ke Makassar.
Dalam perkembangannya, kemajuan Makassar rupanya mendorong VOC
untuk menaklukkan bandar tersebut, yang dianggap sebagai ancaman terhadap
upaya monopoli perdagangan rempah di Maluku. Usaha ini baru berhasil

66
Leonard Y. Andaya, Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke-17 (Nurhady
Sirimorok, penerjemah) (Makassar: Ininnawa, 2004), 34–35.
67
Anthony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara (Jakarta: LP3ES, 2004), 154–55.
68
Pelras, Manusia Bugis (A.R. Abu, Trans.), 151.
69
Mattulada, Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar Dalam Sejarah (Yogyakarta: Ombak, 2011),
6–7.
70
G.J Wolhoff dan Abdurrahim, ed., Sedjarah Goa (Makassar: Jajasan Kebudayaan Sulawesi
Selatan dan Tenggara, n.d.), 24–25.

Universitas Indonesia
51

sepenuhnya pasca ditandanganinya Perjanjian Bungaya pada 1669 oleh Kerajaan


Gowa-Tallo sebagai bentuk pengakuan kekalahan atas VOC bersama sekutunya,
Arung Palakka. Penguasaan VOC atas Makassar membawa perubahan dalam
berbagai hal menyangkut kegiatan pelayaran dan perdagangan. Pertama-tama
yang perlu disebut ialah sejak saat itu Makassar difungsikan sebagai pos
pengawasan untuk pelayaran ke Maluku.71 Sementara itu, bagi pelaut dan
pedagang Sulawesi Selatan (Bugis, Makassar dan Mandar), kebijakan VOC
cenderung merugikan, seperti larangan berlayar ke berbagai tempat di Kepulauan
Nusantara. Selain itu, VOC juga memberlakukan pajak pelabuhan yang cukup
memberatkan saat itu.72 Berbagai regulasi itulah yang membuat para pedagang
dan pelaut pribumi cenderung mengalihkan perniagaannya ke berbagai bandar
niaga lain di Nusantara.
Dalam kondisi tersebut, kawasan lain di pantai barat Sulawesi Selatan
kembali menjadi penting artinya bagi aktivitas niaga pribumi terutama di abad ke-
18. Pada 1760-an, misalnya, Soreang, Sawitto dan Mandar adalah tempat-tempat
niaga yang ramai dikunjungi oleh para pelaut dan pedagang pribumi, khususnya
orang Mandar dan Wajo. Bagi perniagaan pribumi, ketiga tempat itu dikunjungi
bukan hanya untuk menghindari kontrol VOC, namun juga menjadi pintu masuk
komoditas impor, utamanya tekstil India yang dibeli di Selat Malaka, ke daerah
pedalaman Sulawesi Selatan. Sebagai gambaran, Soreang, yang notabene
berlokasi di Teluk Parepare, biasanya dikunjungi hingga sebanyak 30-an perahu
milik pribumi. Yang menarik ialah Bone turut serta menempatkan syahbandar dan
mendirikan semacam kantor pajak guna menarik keuntungan niaga di Soreang.73
Hal ini jelas menunjukkan bahwa penaklukan Makassar (1667) pada dasarnya
adalah sarana bagi Bone yang bukan hanya telah memudahkan perluasan
pengaruhnya di jazirah Sulawesi Selatan, namun juga menjadi ruang untuk
memanfaatkan lebih jauh potensi niaga maritim, di mana fokus VOC sendiri
cenderung berkonsentrasi di Makassar. Sebenarnya ambisi itu sudah mulai tampak

71
Edward L Poelinggomang, Makassar Abad XIX: Studi Tentang Kebijakan Perdagangan
Maritim (Jakarta: KPG, 2016), 30–31.
72
Sutherland menjelaskan secara detail beberapa kebijakan terkait biaya tol pelabuhan pasca
Makassar dikuasai oleh VOC. Untuk hal ini, lihat Knaap dan Sutherland, Monsoon Traders: Ship,
skippers and commodities in eighteenth-century Makassar, 22–25.
73
Knaap dan Sutherland, 27.

Universitas Indonesia
52

pasca penaklukan Wajo pada 1670, di mana Arung Palakka kemudian mencaplok
Sungai Cenrana, yang bermuara di Teluk Bone, sebagai bagian dari wilayah
Bone.74
Namun demikian, hal yang terpenting ialah hasrat itulah yang mendorong
Bone untuk memapankan posisinya di pantai barat Sulawesi Selatan dengan
mengembangkan sebuah bandar niaga baru pada 1770-an.75 Pelabuhan ini
kemudian dikenal sebagai pelabuhan Parepare. Lokasi pelabuhan masih berada di
kawasan teluk, yakni di sebelah selatan dari posisi Soreang (tempat niaga
sebelumnya).
Paling tidak terdapat dua hal yang mendasari pengembangan pelabuhan
Parepare saat itu. Pertama, faktor eksternal yaitu ramainya aktivitas perniagaan
maritim di Selat Makassar. Sebagaimana diketahui, pelayaran dan perniagaan di
abad ke-18 diramaikan oleh aktivitas penangkapan dan perdagangan teripang guna
memenuhi permintaan junk (Wangkang) dari Cina. Di Makassar, aktivitas
pencarian komoditas teripang membentuk sebuah jaringan perdagangan yang
disebut oleh Sutherland sebagai “jaringan perdagangan utara”.76 Selain ramainya
pelayaran di selat, Bone juga mengembangkan Parepare guna menjalin hubungan
yang lebih intens dengan bandar niaga lain di bagian barat Nusantara, seperti
Banjarmasin, Riau, Palembang dan Johor.77 Kedua, faktor internal yang
bersumber dari relasi yang kurang harmonis antara pihak kompeni dan pihak
Bone, yang sejak penaklukan Makassar (1667) keduanya tampil sebagai penguasa
atasan baru di jazirah Sulawesi Selatan. Kedudukan VOC sebagai “pelindung dan
perantara” (schutsheer en bemiddelaar), sebagaimana tercantum dalam perjanjian
Bungaya, nyatanya tidak tercermin sepenuhnya dari hubungan kompeni, baik
dengan Bone maupun kerajaan pribumi lainnya. Bagaimanapun kondisi internal
yang terjadi, yang terpenting ialah perdagangan kompeni tidak terganggu. Tidak
heran jika La Temasonge Datu Baringeng, raja Bone yang memerintah 1749-

74
Andaya, Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke-17 (Nurhady Sirimorok,
penerjemah), 176.
75
Poelinggomang, Makassar Abad XIX: Studi Tentang Kebijakan Perdagangan Maritim, 37.
76
Yang dimaksud dengan jaringan perdagangan utara adalah jaringan yang menghubungkan
Makassar dengan Amoy dan Kanton. Selengkapnya lihat Heather Sutherland, “Trepang and
wangkang: The China trade of eighteenth-century Makassar c. 1720s-1840s,” Bijdragen tot de
taal-, land- en volkenkunde 156, no. 3 (2000): 452.
77
Poelinggomang, Makassar Abad XIX: Studi Tentang Kebijakan Perdagangan Maritim, 37.

Universitas Indonesia
53

1775, adalah salah satu tokoh yang dikenal sangat membenci VOC. Ia juga
termasuk salah seorang yang menginisiasi gerakan Batara Gowa Amas Medina
pada 1760-an, yang tidak lain ditujukan untuk menghilangkan pengaruh
kekuasaan VOC di Sulawesi Selatan.78 Terlepas dari hal itu, pendirian Parepare
dapat pula dipandang sebagai upaya Bone mendirikan “pelabuhan tandingan”
dalam menyaingi VOC yang mengontrol pelabuhan Makassar. Hal ini tidak hanya
berdasarkan faktor geografis yang cukup dekat antar kedua pelabuhan itu, namun
juga tampak dari merosotnya pemasukan VOC atas penjualan budak dan beras
pasca pendirian Parepare. Kondisi ini tidak terlepas dari pendudukan Maros oleh
Bone pada 21 Mei 1777.79 Akibatnya berbagai hasil produksi dari Maros, terutama
beras, kemungkinan telah berhasil dikonsentrasikan ke Parepare saat itu. Kontrol
Bone atas pelabuhan Parepare sebenarnya tidaklah berlangsung lama.
Bermulanya pemerintahan sementara Inggris di Hindia Belanda pada 1811
dan di Makassar dan Daerah Taklukannya pada 1812 adalah tonggak baru dalam
perjalanan sejarah pelabuhan Parepare di masa berikutnya. Keterlibatan Bone
dalam konflik internal Kerajaan Gowa-Tallo berujung perang antara Inggri dan
Bone pada 1814. Alih-alih turut membantu penguasa pribumi, Kerajaan Sidenreng
justru memilih bersekutu dengan Inggris. Perang itu berakhir pada tahun yang
sama dengan kemenangan Inggris bersama sekutunya, Sidenreng. Berakhirnya
perang itu juga menyebabkan Parepare kemudian diserahkan hak pengelolaannya
oleh Inggris kepada Sidenreng sebagai imbalan atas bantuannya.80 Sejak saat itu,
kontrol atas pelabuhan Parepare praktis beralih ke Kerajaan Sidenreng, yang saat
itu dipimpin oleh La Wawo (memerintah 1779-1831). Ketika pemerintah kolonial
kembali berkuasa di Hindia Belanda pada 1816, pelabuhan Parepare masih
dikelola oleh kerajaan itu. Bahkan pada 1824, sebagaimana termaktub dalam
Pembaharuan Perjanjian Bungaya, status Parepare ditetapkan sebagai daerah yang
tidak langsung dikuasai oleh pemerintah Belanda dan pengelolaanya dipinjamkan

78
Mukhlis. Paeni, Edward L Poelinggomang, dan Ina. Mirawati, “Batara Gowa : messianisme
dalam gerakan sosial di Makassar” (Jakarta: Arsip Nasional, Republik Indonesia kerjasama dengan
Gadjah Mada University Press, 2002), 121–22,
http://books.google.com/books?id=vbbXAAAAMAAJ.
79
Poelinggomang, Makassar Abad XIX: Studi Tentang Kebijakan Perdagangan Maritim, 37.
80
Brink, Zuid Celebes Bijdragen Tot De Krijgsgeschieen Militaire Geographie van de Zuidelijke
Aandtong van het eiland Celebes, 76.

Universitas Indonesia
54

kepada Sidenreng.81 Selama berada di bawah kontrol kerajaan itu, kontrak politik
terkait status dan pengelolaan Parepare diadakan dengan pemerintah kolonial
Belanda terutama setiap kali pergantian raja Sidenreng terjadi, seperti yang
dilakukan pada 23 September 1854 dan 28 Oktober 1886.
Dalam pengelolaan Parepare, Sidenreng menugaskan seorang sabenara
(syahbandar) yang bertugas mengatur aktivitas pelayaran perdagangan di
pelabuhan. Ia pula yang memungut bea ekspor, impor dan cukai. Dalam
menjalankan tugasnya, syahbandar dibantu oleh seorang bawahan yang disebut
mata-mata.82 Sementara itu, hingga awal abad ke-20, fasilitas Parepare sebagai
pelabuhan pribumi masih sangat terbatas. Saat itu, Parepare belum memiliki
sebuah dermaga permanen,83 sehingga kapal uap yang berkunjung umumnya
melabuhkan sauhnya di perairan teluk sekitar satu mil laut sebelum mencapai
pelabuhan. Adapun bangunan yang berfungsi sebagai gudang pelabuhan ialah
rumah raja Sidenreng sendiri, yang merupakan bangunan terbesar di Parepare.84
Walaupun kegiatan niaga di Parepare dikatakan sebagai salah satu faktor
dari kemerosotan perdagangan Makassar di dekade awal abad ke-19,85 namun
pelabuhan Parepare sesungguhnya tidak banyak mengalami perkembangan
sepanjang paruh pertama abad ke-19. Hal ini terkait erat dengan konflik internal
yang terus berlangsung di Kerajaan Sidenreng. Kondisi itu berawal dari penetapan
La Pangoriseng oleh Belanda sebagai raja Sidenreng menggantikan kakeknya, La
Wawo, yang mangkat pada 1831. La Patongai, saudara tiri La Pangoriseng, yang
sebelumnya diamanahkan oleh La Wawo untuk menggantikan dirinya tidak
menerima penetapan itu, sehingga berujung timbulnya perang saudara.
Berdasarkan Lontarak Addituang Sidenreng, perang ini berlangsung kurang lebih
20 tahun yang dimenangkan oleh La Pangoriseng dengan memperoleh bantuan

81
Sartono Kartodirdjo, ‘Ikhtisar keadaan politik Hindia Belanda tahun 1839-1848 / Arsip Nasional
RI’ (Jakarta: Arsip Nasional RI, Penerbitan Sumber-sumber Sejarah No.5, 1973), 105.
82
Soerabaijasch Handelsblad, 18 July 1905.
83
Hal ini berdasarkan catatan perjalan dari salah seorang penumpang kapal KPM yang berkunjung
ke Parepare pada 1894. Untuk lebih jelasnya, lihat “De locomotief : Samarangsch handels- en
advertentie-blad,” 1 Agustus 1894.
84
Wichmann, Bericht uber eine im jahre 1888-1889 im auftrage der Niederlandischen
Geographischen Gesellschaft Ausgefuhrte Reise Nach Dem Indischen Archipel, 33.
85
Poelinggomang, Makassar Abad XIX: Studi Tentang Kebijakan Perdagangan Maritim, 81.

Universitas Indonesia
55

dari Belanda.86 Konflik itulah yang membuat Sidenreng tidak mampu fokus
sepenuhnya dalam mengembangkan pelabuhan Parepare selama paruh pertama
abad ke-19.
Parepare, pada akhirnya, menemukan momentum dalam mencapai tahap
perkembangan signifikan di paruh kedua abad ke-19. Hal ini bukan hanya terkait
konflik internal Sidenreng yang telah berakhir, namun juga menyangkut
kekalahan Bone dalam perang menghadapi Belanda (1859-1860). Perlu diketahui,
pasca kekalahan itu, pemerintah kolonial memblokir pusat-pusat perniagaan Bone
yang berkonsentrasi di Teluk Bone, seperti Pompanua, Bajoe dan pelabuhan
lainnya. Akibatnya pada 1860 sejumlah pedagang bugis Bone, Wajo dan Soppeng
kemudian mengalihkan aktivitas niaganya ke tempat niaga lain, terutama
pelabuhan Parepare di pantai barat Sulawesi Selatan.87 Perpindahan mereka ke
Parepare tentunya semakin meramaikan aktivitas niaga di Selat Makassar,
termasuk kontak niaga antara pantai barat Sulawesi Selatan dan pantai timur
Kalimantan.88 Selain itu, pada 1880-an sebuah sumber juga menyebutkan adanya
kontak niaga reguler yang terjalin antara Parepare dan Singapura, yakni sebuah
pelabuhan bebas yang dikembangkan oleh Inggris sejak 1819.89
Pada paruh kedua abad ke-19, arti penting perniagaan di Parepare juga
tampak dari perhatian pemerintah kolonial Belanda. Keadaan ini terlihat jelas
ketika pemerintah kolonial mulai memfokuskan perhatian terhadap aktivitas
pelayaran dan perniagaan di daerah luar Jawa sejak 1875.90 Pada 1876, misalnya,
pemerintah kolonial memberi subsidi pelayaran kepada NISM (Nederlandsch-
Indische Stoomboot Maatschappij), sebuah perusahaan pelayaran swasta yang
sejak 1863 bekerjasama dengan H.O Robinson untuk menjalankan pelayaran

86
Abd Latif, Para Penguasa Ajatappareng: Refleksi Sejarah Sosial Politik Orang Bugis
(Yogyakarta: Ombak, 2014), 159.
87
J.A Bakkers, “Het Leenvorstendom Boni,” Tijdschrift voor Indische Taal-, Land en
Volkenkunde 15, no. 1 (1866): 35–36; Brink, Zuid Celebes Bijdragen Tot De Krijgsgeschieen
Militaire Geographie van de Zuidelijke Aandtong van het eiland Celebes, 8.
88
Poelinggomang, Makassar Abad XIX: Studi Tentang Kebijakan Perdagangan Maritim, 140.
89
Brink, Zuid Celebes Bijdragen Tot De Krijgsgeschieen Militaire Geographie van de Zuidelijke
Aandtong van het eiland Celebes, 85.
90
Menurut Sulistyono, perhatian pemerintah kolonial sebenarnya bukan hanya menyangkut
kepentingan ekonomi semata, melainkan juga kepentingan politik. Lihat Singgih Tri Sulistyono,
“The Java Sea Network: Patterns in the Development an of Interregional Shipping and Trade in the
Process of National Economic Integration in Indonesia, 1870s-1970s” (Universiteit Leiden, 2003),
120.

Universitas Indonesia
56

niaga di Hindia Belanda. Dalam subsidi itu, jalur pelayaran NISM turut
memasukkan pelabuhan-pelabuhan di pantai timur Kalimantan, Parepare, Palu,
dan pelabuhan kecil lainnya di Nusa Tenggara serta Maluku.91 Potensi niaga
Parepare juga tetap memikat perusahaan pelayaran KPM (Koninklijke Pakeetvaart
Maatschappij), yang mulai beroperasi di Hindia Belanda pada 1891 dengan 29
armada kapalnya.92 Di awal kegiatannya, KPM memasukkan Parepare sebagai
pelabuhan persinggahan di jalur 9. Jalur ini mengadakan pelayaran sekali dalam
sebulan dengan rute; Surabaya, Makassar, Ambon, Banda, Kaili, Bacan, Ternate,
Gorontalo, Manado, Amurang, Kwandang, Toli-Toli, Teluk Palu, Parepare,
Makassar dan selanjutnya kembali ke Surabaya.93
Aktivitas pelayaran di Parepare bukan hanya diramaikan oleh pelaut Bugis
dan Makassar, namun juga pelaut Mandar.94 Selain itu, Parepare ramai dikunjungi
oleh perahu-perahu layar milik pribumi terutama ketika angin muson timur
berlangsung. Dengan memanfaatkan hembusan angin, para pelautlah yang
berperan penting menghubungkan Parepare dengan bandar niaga lain, apalagi di
masa sebelum adanya kapal uap.
Selama paruh kedua abad ke-19, perkembangan signifikan Parepare
berhasil menarik kedatangan para pedagang asing. Kelompok pedagang asing
yang dominan saat itu ialah pedagang Arab. Menurut Arthur Wichmann, yang
berkunjung ke Parepare pada 1880-an, perdagangan di pelabuhan sebagian besar
berada di tangan pedagang Arab.95 Salah satu faktor yang membuat dominannya
kelompok pedagang ini ialah adanya upaya pembatasan izin usaha untuk
pedagang Arab dan Timur Asing lainnya yang diterapkan oleh pemerintah
kolonial di Makassar sejak 1862.96 Faktor lainnya ialah perkembangan pelayaran
kapal uap antara Arab dan Timur Jauh pada 1870. Akibatnya ialah migrasi orang

91
Poelinggomang, Makassar Abad XIX: Studi Tentang Kebijakan Perdagangan Maritim, 95–96.
92
Howard Dick, Industri Pelayaran Indonesia: Kompetisi dan Regulasi (Jakarta: LP3ES, 1989),
13–14.
93
Lihat Bijblad Op Het Staatsblad Van Nederlandsch-Indië 1891 No. 4569.
94
Pada abad ke-20, pelabuhan Parepare adalah bagian penting dari jaringan maritim Mandar
dengan pusatnya di pelabuhan Pambauwang dan Majen. Lihat Hamid, “Jaringan Maritim
Mandar: Studi Tentang Pelabuhan ‘Kembar’ Pambauwang dan Majene di Selat
Makassar1900−1980” (Disertasi), 151–55.
95
Wichmann, Bericht uber eine im jahre 1888-1889 im auftrage der Niederlandischen
Geographischen Gesellschaft Ausgefuhrte Reise Nach Dem Indischen Archipel, 30.
96
Poelinggomang, Makassar Abad XIX: Studi Tentang Kebijakan Perdagangan Maritim, 157.

Universitas Indonesia
57

Arab dari Hadramaut ke Nusantara, termasuk di bagian timur Nusantara, semakin


masif sejak 1870.97 Hingga awal abad ke-20, kopi adalah komoditas yang
dominan diperdagangkan di pelabuhan. Selain berhasil menarik kedatangan
pedagang asing, komoditas kopi menjadi motor penggerak sejarah perdagangan di
Parepare saat itu. Arti penting kopi di Parepare sebetulnya terkait erat dengan
situasi perdagangan di Makassar, di mana kopi mulai menjadi komoditas ekspor
penting sejak 1870-an.98 Demi memanfaatkan keuntungan perniagaan kopi, sejak
1860-an Sidenreng memang telah berupaya memperluas pengaruhnya hingga ke
dataran tinggi, seperti Enrekang dan Toraja, yakni terkenal sebagai daerah-daerah
penghasil kopi. Data mengenai perdagangan kopi saat itu memang cukup sulit
ditemukan. Namun, sebuah sumber menyebutkan bahwa antara 1 hingga 15
Oktober 1869 tercatat ada 19 perahu asal Parepare dengan muatan 1.180 pikul
kopi yang berlabuh di Makassar. Barang-barang lain yang turut diekspor di
Parepare ialah beras, sarung, hasil hutan, jagung, buah-buahan, senjata, anyaman.
Adapun barang-barang yang biasanya diimpor ialah minyak bumi, besi, tembakau,
garam, tembikar dan opium. Rotan didatangkan dari pesisir timur Kalimantan.
Kelapa dan minyak kelapa disuplai dari Teluk Palu dan Mandar. Selama paruh
kedua abad ke-19, keuntungan yang diperoleh tidaklah sedikit. Sebagai gambaran,
pada 1873 penguasa Sidenreng berhasil meraup pendapatan dari Parepare
sebanyak f 20.000.99
Terkait perniagaan beras pada paruh kedua abad ke-19, tampaknya
komoditas ini belum menjadi produk primadona di Parepare. Dengan kata lain,
beras masih diekspor dalam jumlah yang terbatas. Salah satu daerah tujuan ekspor
saat itu ialah Donggala. Pada Maret 1894, misalnya, salah seorang responden
menuturkan bahwa sebanyak 300 karung beras di Parepare dimuat ke kapal KPM
untuk dibawa menuju Donggala.100 Sumber lain menyebutkan jumlah ekspor beras
dari Parepare dan Surabaya ke Donggala tercatat sebanyak 1.045 ton pada 1897.101

97
L. W. C van den Berg, Orang Arab di Nusantara (Depok: Komunitas Bambu, 2010), 95–96.
98
Heather Sutherland, “On the Edge of Asia: Maritime Trade in East Indonesia, Early Seventeenth
to Mid-Twentieth Century,” in Commodities, Ports and Asian Maritime Trade Since 1750, ed.
oleh Ulbe Bosma dan Anthony Webster (Houndmills: Palgrave Macmillan, 2015), 69–70.
99
Pelras, Manusia Bugis (A.R. Abu, Trans.), 326.
100
“De Locomotief : Semarangsch Handels- en Advertentie-blad,” 1 Agustus 1894.
101
L Nadjamuddin et al., Satu Kota Empat Zaman: Donggala Pada Masa Tradisional Hingga
Terbentuknya Kabupaten (Yogyakarta: Ombak, 2016), 27.

Universitas Indonesia
58

Belum berkembangnya perniagaan beras tentunya berkaitan dengan jumlah


produksi yang relatif terbatas. Apalagi, sawah-sawah di daerah pedalaman juga
sepenuhnya belum diirigasi secara teknis.
Satu hal yang menarik ialah komoditas yang terlarang di Makassar justru
tetap diperdagangkan di Parepare hingga awal abad ke-20. Salah satu diantaranya
ialah budak, yang aktivitas perdagangannya telah dilarang di Hindia Belanda
sejak 1812. Hal ini diketahui dari catatan perjalanan dua naturalis terkenal, Paul
dan Fritz Sarasin. Pada 9 Agustus 1895, ketika berada di Enrekang, mereka
bertemu dengan serombongan budak yang dibawa oleh seorang wanita dan
seorang Arab menuju daerah pesisir untuk diekspor melalui pelabuhan Parepare.
Menurutnya, budak-budak itu merupakan “orang Toraja yang sering diburu oleh
orang Arab dan Bugis dengan senjata api modern mereka”.102 Budak-budak
biasanya dibawa menuju Kalimantan, Singapura dan Semenanjung Melayu.
Komoditas “terlarang” lainnya ialah senjata api dan bubuk mesiu yang diimpor
langsung dari Singapura oleh kapal-kapal Inggris. Di Parepare, komoditas itu
mulai diimpor secara reguler sejak 1850 dan mengalami peningkatan signifikan
pada 1870-an seiring pelarangan perdagangan senjata di Makassar. Setiap kali
kedatangan kapal Inggris dilaporkan sekurang-kurangnya sebanyak 100 unit
senjata yang dimasukkan ke Parepare. Ketika itu, raja Sidenreng juga disebut-
sebut memiliki senjata yang tidak sedikit, yakni sekitar 500 hingga 1000 senjata
lebih beserta amunisinya.103
Di awal abad ke-20, keinginan mewujudkan Pax Neerlandica dengan
menggabungkan seluruh kepulauan Nusantara di bawah kekuasaan pemerintah
kolonial Belanda adalah pertanda yang menjadi tonggak baru dalam sejarah
pelabuhan Parepare. Di Sulawesi Selatan, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van
Heutz (memerintah 1904-1909) mencanangkan sebuah sikap politik yang dikenal
dengan Politik Pasifikasi. Selain memaksa para penguasa pribumi untuk mengakui
kekuasaan pemerintah kolonial melalui Korte Verklaring (Pernyataan Pendek),
politik itu juga ditujukan untuk menghapus kebijakan “pelabuhan bebas” di
Makassar yang diterapkan sejak 1846. Sementara itu, status “pelabuhan wajib

102
Paul Sarasin dan Fritz Sarasin, Reisen in Celebes, aufgefuhrt in de Jaren 1893-1896 und 1902-
1903 (Zweiter Band) (Wiesbaden: C.W. Kreidel, 1905), 174.
103
Bigalke, Sejarah Sosial Tana Toraja (M. Yuanda Zara, Trans.), 38–39.

Universitas Indonesia
59

pajak” hendak pula dikenakan pada pelabuhan-pelabuhan pribumi lainnya,


termasuk Parepare. Politik pasifikasi diwujudkan melalui ekspedisi militer yang
mulai dilancarkan sejak Juni 1905,104 meski pemerintah kolonial telah menduduki
Parepare pada Maret 1905.105 Mengapa hal ini dapat terjadi? Pernyataan Baron
van Hoevell, Gubernur Celebes en Onderhoorigeheden (memerintah 1898-1903),
sekiranya dapat menjawab pertanyaan tersebut. Dalam suatu sumber, ia
menyatakan bahwa, “Parepare adalah kunci daerah pedalaman Sulawesi Selatan
dan dari Parepare semua jalan mengarah ke pedalaman serta mempengaruhi
Wajo, Soppeng, Sidenreng dan kerajaan Ajatappareng lainnya”.106 Dengan
demikian, lokasi strategis Parepare merupakan pertimbangan utama. Itulah
sebabnya, bagi Belanda, pengamanan Parepare merupakan langkah penting yang
perlu diwujudkan sebelum ekspedisi militer di Sulawesi Selatan dimulai.

104
Menurut Thomas Lindblad, ekspedisi militer tersebut merupakan bentuk ekspansi imperialis
Belanda yang cenderung menekankan pada motif ekonomi. Lihat J.Thomas Lindblad, “The Outer
Islands in the 19th century: contest for the periphery,” in The emergence of a national economy:
an economic history of Indonesia, 1800–2000, ed. oleh Howard Dick et al. (Crows Nest, N.S.W.:
Allen & Unwin, 2002), 99.
105
Koloniaal Verslag 1905, 65.
106
Bataviaasch Nieuwsblad, 4 January 1905.

Universitas Indonesia
BAB III
PELABUHAN PAREPARE DAN PERDAGANGAN BERAS (1905-1925)

3.1. Pendahuluan
Pendudukan Parepare oleh pemerintah kolonial Belanda pada Maret 1905
menjadi penanda bermulanya episode baru dalam sejarah pelabuhan Parepare.
Walaupun Kerajaan Sidenreng sempat mengadakan perlawanan terhadap pasukan
ekspedisi militer pada September 1905, namun hal itu sesungguhnya tidak berarti
banyak terhadap upaya penguasaan seluruh wilayah Sulawesi Selatan yang oleh
pemerintah kolonial Belanda dianggap telah berhasil pada 1906. Pendudukan
Parepare sendiri berarti bahwa statusnya bukan lagi pelabuhan independen,
melainkan sebagai pelabuhan wajib pajak (tolgebied). Oleh karena itu, tanpa
mengurangi arti politis atas penguasaan daerah-daerah luar Jawa, pengambilalihan
pelabuhan Parepare bersama pelabuhan-pelabuhan pribumi lainnya pada gilirannya
memuluskan proses integrasi ekonomi Sulawesi Selatan yang berpusat di pelabuhan
Makassar.1 Setidaknya kondisi itulah yang menentukan kedudukan dan peran
pelabuhan Parepare di kawasan Selat Makassar pada masa berikutnya. Bab ini
mengetengahkan dinamika pelabuhan Parepare dan perdagangan beras mulai 1905
hingga 1925. Pembahasan dimulai dengan organisasi pelabuhan. Bahasan ini diikuti
dengan uraian mengenai kegiatan perdagangan dan pelayaran di pelabuhan. Sub
bab selanjutnya ialah serdagangan beras. Sub bab ini mencakup pembahasan
tentang Wanua Laeng, struktur perdagangan, intensifikasi pertanian dan
perdagangan beras. Sementara itu, pengembangan infrastruktur pelabuhan
merupakan sub bab terakhir dalam bab ini.
3.2. Organisasi Pelabuhan
Sebagai sebuah struktur, suatu pelabuhan pada hakikatnya tercermin dari
keberadaan organisasi pelabuhannya. Arti penting organisasi bukan hanya
menyangkut persoalan manajemen pelabuhan, tetapi juga cukup menentukan
kedudukan dan peran suatu pelabuhan. Sebagaimana halnya di era sebelumnya,
selama era kolonial organisasi pelabuhan juga diadakan guna memperlancar

1
Nahdia Nur, “Jejaring Perdagangan Dan Integrasi Ekonomi: Sejarah Ekonomi Sulawesi Bagian
Selatan 1902-1930-an” (Disertasi) (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2017).

60
Universitas Indonesia
61

aktivitas pelayaran dan perdagangan di Parepare. Struktur organisasi yang dibentuk


sudah barang tentu disesuaikan berdasarkan struktur yang telah ada sebelumnya,
sebagaimana yang diterapkan pada pelabuhan-pelabuhan lain di Hindia Belanda.
Secara umum, sepanjang abad ke-19 kebijakan pemerintah kolonial
mengenai pengelolaan pelabuhan bisa dikatakan relatif terbatas dan terkesan belum
dikelola secara modern. Hal ini tidak terlepas dari kedudukan pelabuhan yang
hanya dijadikan sebagai salah satu sarana untuk melayani kepentingan eksploitasi
kolonial.2 Pada 1873, misalnya, sebuah peraturan dikeluarkan oleh pemerintah
kolonial mengenai pelabuhan-pelabuhan dalam daerah tol yang dibuka untuk
perdagangan umum. Aturan yang dikenal dengan Tarifwet ini menempatkan
pelabuhan-pelabuhan di Hindia Belanda ke dalam dua kategori, yakni pelabuhan
ekspor-impor umum dan pelabuhan untuk impor terbatas dan ekspor umum. Aturan
itu bukan hanya mencakup pelabuhan-pelabuhan di daerah Jawa, namun juga di
daerah luar Jawa. Penerapan regulasi baru berupa Ordonansi 1 Oktober 1882
sesungguhnya tidak banyak membawa perubahan menyangkut pengelolaan
pelabuhan, kecuali bertambahnya jumlah pelabuhan umum untuk ekspor-impor.3
Dalam konteks itu, kedudukan pelabuhan di daerah-daerah yang belum
dikuasai langsung oleh pemerintah kolonial Belanda dikategorikan sebagai
pelabuhan pribumi (inlandsche haven). Itu artinya bahwa jenis pelabuhan ini masih
dikendalikan oleh kerajaan pribumi. Oleh karena itu, pelabuhan Parepare yang
notabene masih berada di bawah kuasa Kerajaan Sidenreng hingga awal abad ke-
20, pada dasarnya tergolong sebagai pelabuhan pribumi.
Pasca diambil alih oleh pemerintah kolonial Belanda pada 1905, Parepare
tetap dikategorikan sebagai pelabuhan pribumi.4 Penetapan ini tidak terlepas dari
lokasi pelabuhan yang berada di wilayah pemerintahan Swapraja5 (Zelfbestuurende

2
Singgih Tri Sulistyono, “The Java Sea Network: Patterns in the Development an of Interregional
Shipping and Trade in the Process of National Economic Integration in Indonesia, 1870s-1970s”
(Universiteit Leiden, 2003), 104–5.
3
Widodo menjelaskan secara rinci mengenai kebijakan pelabuhan di Hindia Belanda pada abad ke-
19, termasuk pembagian pelabuhan berdasarkan kategori tersebut. Untuk hal ini lihat Sutejo Kuwat
Widodo, “Perkembangan Pelabuhan Pekalongan Menjadi Pelabuhan Perikanan, 1900-1990”
(Disertasi) (Depok: Universitas Indonesia, 2002), 50–52.
4
Lihat Regeringsalmanak van Nederlandsch Indie 1907, 512–13.
5
Secara garis besar, pada awal abad ke-20, wilayah pemerintahan Sulawesi Selatan terbagi menjadi
dua kategori, yakni Wilayah Pemerintahan Langsung (Gouvernement Gebieden) dan Wilayah
Pemerintahan Swapraja (Zelfbestuurende Landschappen). Berbeda dengan Wilayah Pemerintahan
Langsung, di mana pemerintahan ditangani langsung oleh pejabat Belanda, Wilayah Pemerintahan

Universitas Indonesia
62

Landschap), yaitu lanskap Mallusetasi6 yang termasuk bagian dari Onderafdeeling


Parepare. Karena itu, tampak jelas bahwa sejak awal kedudukan pelabuhan tidak
jauh berbeda ketika Parepare belum dikuasai oleh pemerintah kolonial Belanda.
Hanya saja letak perbedaan utamanya ialah hasil pendapatan dari bea ekspor-impor
dan cukai telah beralih menjadi hak penuh pemerintah kolonial.
Secara umum kedudukan pelabuhan yang dijelaskan di atas paling tidak
bertahan hingga keluhan-keluhan mengenai buruknya pengelolaan pelabuhan di
Hindia Belanda mulai disuarakan oleh para pemilik kapal dan pedagang di awal
abad ke-20. Karena keluhan itu, pada 1910 pemerintah kolonial akhirnya
mendatangkan tenaga ahli dari Belanda, yakni G.J. Jongh dan Y. Kraus, untuk
memberikan ceramah dan saran terkait pengelolaan pelabuhan secara modern di
Hindia Belanda. Upaya perbaikan itu bukan hanya menyangkut persoalan
manajemen pelabuhan, namun juga persoalan teknis pelabuhan. Pertama-tama
kedua tenaga ahli tersebut menyarankan agar pengelolaan pelabuhan hendaknya
tidak mengindahkan unsur profit-oriented. Mereka juga mengusulkan agar pihak
pengelola pelabuhan seharusnya lebih bertindak sebagai fasilitator instrumen
pelabuhan dan juga memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada pihak swasta.
Dengan begitu, berbagai terobosan itu diharapkan dapat mendatangkan lebih
banyak keuntungan yang diperoleh dari bea ekspor-impor dan cukai. Itulah
sebabnya, pada 1912 pemerintah kolonial mulai mengadakan sebuah dinas
tersendiri yang khusus mengurus pelabuhan-pelabuhan di Hindia Belanda. Dinas
ini dikenal dengan Dinas Pelabuhan yang berada di bawah naungan Departemen
Pekerjaan Umum. Sistem manajemen pelabuhan yang baru itu juga diikuti dengan
pembentukan Komisi Bantuan. Komisi ini bertugas memberikan saran dalam

Swapraja merupakan daerah-daerah yang masih diperintah rajanya masing-masing dan diawasi oleh
pejabat Belanda. Untuk penjelasan lebih detail mengenai penataan wilayah pemerintahan di
Sulawesi Selatan selama periode kolonial Belanda, lihat Edward L Poelinggomang et al., Sejarah
Sulawesi Selatan (Jilid 2) (Makassar: Balitbangda - MSI Sulawesi Selatan, 2005), 36–37.
6
Lanskap Mallusetasi mulai dibentuk pada 1906 seiring upaya politik pasifikasi yang dilancarkan
pemerintah kolonial Belanda di Sulawesi Selatan. Lanskap ini merupakan hasil penggabungan dari
beberapa kerajaan lokal, yaitu Kerajaan Soreang, Bacukiki, Bojo, Nepo dan Palanro. Sebelumnya,
kerajaan tersebut adalah kerajaan-kerajaan bawahan dari Kerajaan Sidenreng. Lihat H. de Vogel
Hzn, “Mededeelingen Betreffende de Landschappen Soreang, Batjoe Kiki, Bodjo, Palanro en Nepo
(Malloese Tasie),” Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde 61, no. 1 (1908): 668–72. Lanskap
Mallusetasi dan lanskap Suppa, dulunya ialah wilayah kekuasaan Kerajaan Suppa, membentuk satu
wilayah pemerintah administratif yang disebut Onderafdeeling Parepare yang merupakan bagian
dari Afdeeling Parepare.

Universitas Indonesia
63

pengelolaan suatu pelabuhan, baik yang sifatnya teknis maupun non-teknis.7 Pada
gilirannya, pembentukan komisi tersebut membawa dampak positif dalam
pengelolaan pelabuhan karena telah memungkinkan keterlibatan secara langsung
dari berbagai macam pihak.
Namun demikian, hal terpenting ialah upaya pengelolaan pelabuhan secara
modern tersebut juga menggolongkan pelabuhan ke dalam tiga jenis, yakni
pelabuhan besar (grootere haven), pelabuhan menengah (midden haven) dan
pelabuhan kecil (kleinere haven). Dalam klasifikasi itu, pelabuhan yang termasuk
sebagai pelabuhan besar, antara lain Tanjung Priok, Surabaya, Semarang, Cilacap,
Belawan Deli, Emma Haven dan Makassar. Sementara itu, pelabuhan yang
termasuk sebagai pelabuhan menengah ialah Cirebon, Tegal, Pekalongan,
Probolinggo, Pasuruan, Banyuwangi, Banjarmasin, Pontianak, Bengkulu,
Palembang, Amboina (Ambon) dan Manado. Adapun pelabuhan lainnya yang
berjumlah lebih dari 500 dan tersebar di seluruh wilayah perairan Hindia Belanda
digolongkan sebagai pelabuhan kecil,8 tidak terkecuali pelabuhan Parepare di Selat
Makassar.
Setelah 1924, sebagian besar pelabuhan yang sebelumnya merupakan
pelabuhan menengah kemudian dialihkan ke dalam kategori pelabuhan kecil.
Sementara itu, pelabuhan kecil mulai dibagi menjadi dua kategori, yaitu pelabuhan
kecil yang dikelola sebagai perusahaan (kleine bedrijfshaven) dan pelabuhan kecil
yang tidak dikelola sebagai perusahaan (kleine niet-bedrijfshaven). Perbedaan
kedua jenis pelabuhan itu ialah segi pengelolaan keuangannya. Jika pelabuhan kecil
yang diusahakan berada di bawah kewenangan direksi pelabuhan (haven directie),
maka pelabuhan kecil yang tidak diusahakan berada di bawah naungan pemerintah
daerah.
Dalam konteks pembaharuan itu, Makassar tetap berkedudukan sebagai
salah satu pelabuhan besar di Hindia Belanda. Sementara itu, Manado adalah satu-
satunya pelabuhan di Pulau Sulawesi yang berstatus pelabuhan kecil yang
diusahakan. Karena itu, semua pelabuhan lainnya di Sulawesi dikategorikan

7
Widodo, “Perkembangan Pelabuhan Pekalongan Menjadi Pelabuhan Perikanan, 1900-1990”
(Disertasi), 52–56.
8
Nederlandsch-Indische Havens, Deel I (Batavia: Department Der Burgerlijke Openbare Werken,
1920), 11–12.

Universitas Indonesia
64

sebagai pelabuhan kecil yang tidak diusahakan, termasuk pelabuhan Parepare


sendiri. Dengan demikian, terlihat jelas bahwa secara status pelabuhan Parepare
selama era kolonial Belanda pada dasarnya merupakan pelabuhan kecil yang
ditangani langsung oleh pemerintah daerah, yakni pemerintahan Celebes en
Onderhoorigheden. Dalam sebuah sumber yang terbit pada 1920, disebutkan bahwa
terdapat tiga jenis dermaga yang umum ditemukan di pelabuhan-pelabuhan kecil,
yaitu dermaga dinding berbobot, dermaga dengan konstruksi tiang pancang dan
dermaga kayu dengan konstruksi kayu yang lebih sederhana.9
Terkait pengelolaan pelabuhan Parepare, sejak 1905 pemerintah kolonial
telah menempatkan pegawai pemerintahan Eropa (De europeesche besturende
ambtenaar) yang bertugas menangani bea ekspor-impor dan cukai. Berdasarkan
Besluit Gubernur tanggal 9 Oktober 1905 No.1, saat itu penempatan staf untuk
biaya tol bukan hanya ditetapkan untuk pelabuhan Parepare, namun juga pelabuhan
Bone dan Luwu.10 Selain memungut biaya tol, pejabat duane juga bertugas
mengawasi aktivitas pelayaran dan perdagangan di pelabuhan. Dalam istilah lokal,
pejabat itu lazim disebut Punggawa Boom. Terkadang punggawa juga masih harus
memastikan areal pelabuhan steril dari segala kegiatan yang tidak berkaitan dengan
pelayaran dan perdagangan. Seperti misalnya, ketika punggawa melarang
masyarakat Parepare yang biasanya menjadikan area dermaga pelabuhan sebagai
tempat penangkapan ikan, baik dengan menggunakan pancing maupun jaring.11
3.3 Perdagangan dan Pelayaran
Sebelum menguraikan perdagangan beras, sub bab ini akan memaparkan
secara sekilas terkait kondisi perdagangan dan pelayaran di Parepare pada awal
abad ke-20. Hal ini penting untuk melihat posisi Parepare dalam konteks
perdagangan dan pelayaran di Selat Makassar. Semenjak dikontrol oleh pemerintah
kolonial Belanda, Parepare berperan sebagai pelabuhan pengumpul (collecting
centre) untuk kawasan sekitarnya. Berbagai jenis komoditas yang dihasilkan di
daerah pedalaman kemudian diangkut ke pelabuhan Parepare. Jalur darat adalah
elemen vital yang mewarnai pola pengangkutan komoditas dan sarana komunikasi
antara Parepare dan daerah penyangganya. Di samping itu, jalur laut juga ikut

9
Netherlands East Indian Harbours (Batavia: Department of Public Works, 1920), 79.
10
Regeringsalmanak van Nederlandsch Indie 1906, 490.
11
Pemberita Makassar, 17 May 1915, 1.

Universitas Indonesia
65

berperan melalui pelabuhan-pelabuhan kecil (feeder points) di daerah pedalaman


meski dengan porsi sedikit lebih kecil. Secara garis besar, aktivitas perdagangan
ekspor di pelabuhan Parepare terdiri dari berbagai macam produk hasil bumi dan
hasil hutan. Di antaranya ialah beras, kopra, kemiri, jagung, kopi, tembakau, pisang,
rotan, dan kulit hewan. Kendati demikian, setidaknya ada lima produk ekspor yang
dominan diperdagangkan pada periode awal, antara lain beras, kopra, kopi, jagung
dan kemiri. Mengenai denyut perdagangan ekspor untuk kelima komoditas tersebut
dapat dilihat dari grafik berikut ini;
Grafik 3.1 Volume Ekspor Pelabuhan Parepare untuk Lima
Komoditas Utama, 1909-1911
80000
70000
60000 Beras
dalam pikul

50000 Kopra
40000
Kopi
30000
Jagung
20000
10000 Kemiri

0
1909 1910 1911

Sumber: Verlag van de Kamer van Koephandel en Nijverheid te Makassar over het jaar
1911

Grafik di atas memperlihatkan bahwa beras menduduki posisi dominan


dalam perdagangan ekspor, walaupun tren penurunan terjadi pada 1910 dan 1911.
Posisi komoditas beras yang dominan itu sudah tentu terkait erat dengan kondisi
geografis di daerah pedalaman yang cocok untuk budidaya padi. Namun demikian,
beras sebenarnya tidak selalu menjadi komoditas utama ekspor, khususnya selama
dekade 1910. Misalnya, perdagangan ekspor yang berlangsung pada 1914, di mana
beras yang diekspor hanya berjumlah 2.012 pikul. Berbeda dengan komoditas beras,
secara umum perdagangan komoditas kopra terlihat meningkat. Pada 1910
misalnya, angka ekspor mengalami kenaikan, yakni sebesar 25.605 pikul atau naik
sebanyak 152 % dari jumlah ekspor pada tahun sebelumnya. Sekalipun mengalami
penurunan pada 1911, namun jumlahnya masih tetap unggul dibanding ekspor
kopra pada 1909. Adanya peningkatan ekspor kopra antara 1909 hingga 1911
kemungkinan berhubungan dengan upaya pemerintah kolonial dalam mendorong
masyarakat pribumi untuk menggalakkan penanaman kelapa di seluruh wilayah

Universitas Indonesia
66

Sulawesi Selatan sejak 1906.12 Perdagangan kopi juga menunjukkan peningkatan


dalam hal volume. Jika ekspor kopi masih tercatat sebanyak 2.166 pikul pada 1909,
maka setahun berikutnya jumlah yang diekspor yaitu 4.328 pikul. Ekspor kopi
kemudian tampak menurun pada 1911, yakni sebanyak 3.155 pikul. Perdagangan
kopi di Makassar bukan hanya untuk memenuhi permintaan pasar di Eropa, namun
juga Amerika. Kendati demikian, selama dekade awal abad ke-20, produk kopi
sebenarnya tidak lagi menduduki posisi dominan di Sulawesi Selatan. Hal ini
terutama bersumber dari penyakit yang menyerang tanaman kopi.13 Sementara itu,
perdagangan ekspor jagung terlihat fluktuatif. Setelah sempat mengalami
peningkatan pada 1910 dengan jumlah 2.303 pikul, ekspor jagung justru menurun
drastis pada 1911, yakni hanya sekitar 140 pikul. Kondisi ini terutama disebabkan
oleh gagal panen jagung yang terjadi hampir di seluruh wilayah Sulawesi Selatan.
Itulah sebabnya jumlah ekspor jagung dalam perdagangan Makassar tercatat hanya
sebanyak 814 pikul pada 1911, yang setahun sebelumnya masih diekspor dengan
jumlah 77.005 pikul. Di Makassar, komoditas jagung yang didatangkan dari
berbagai pelabuhan, termasuk pelabuhan Parepare, biasanya diekspor langsung ke
luar negeri, seperti Belanda, Inggris dan Australia.14 Adapun kemiri dieskpor ke
Makassar dan Jawa.15 Berdasarkan pemaparan di atas, maka urutan untuk
komoditas ekspor terbanyak pada 1909 hingga 1911 secara berurut ialah beras,
kopra, kemiri, kopi dan jagung.
Perdagangan impor juga penting dalam aktivitas ekonomi di pelabuhan
Parepare. Hal ini terutama berkenaan dengan kebutuhan penduduk menyangkut
barang-barang yang tidak diproduksi secara lokal. Secara garis besar, barang yang
lazim diimpor di Parepare ketika itu dapat dibagi ke dalam empat jenis, antara lain
barang manufaktur, barang-barang rumah tangga, petroleum dan garam. Untuk
perdagangan impor, dapat dilihat dari tabel berikut ini:

12
Abdul Rasyid Asba, ‘Ekspansi Dan Kontraksi Ekspor Kopra Makassar 1883-1958’ (Disertasi)
(Depok: Universitas Indonesia, 2003), 128.
13
Heather Sutherland, ‘On the Edge of Asia: Maritime Trade in East Indonesia, Early Seventeenth
to Mid-Twentieth Century’, in Commodities, Ports and Asian Maritime Trade Since 1750, ed. Ulbe
Bosma and Anthony Webster (Houndmills: Palgrave Macmillan, 2015), 70.
14
Nur, ‘Jejaring Perdagangan Dan Integrasi Ekonomi: Sejarah Ekonomi Sulawesi Bagian Selatan
1902-1930-an’ (Disertasi), 264–65.
15
‘Jaarverslag van de Handelsvereeniging/Exporteurs Vereeniging Makassar over 1940’ (n.d.).

Universitas Indonesia
67

Grafik 3.2 Perdagangan Impor di Parepare pada 1911

Nilai Impor = 709.237 Gulden


Barang Manufaktur Barang Peralatan Rumah Tangga Petroleum Garam Barang Lainnya

Barang Lainnya Barang


37% Manufaktur
43%

Garam Barang Peralatan


7% Petroleum Rumah Tangga
6% 7%

Sumber: Verslag van de Kamer van Koophandel En Nijverheid Te Makassar over Het
Jaar 1911, hlm. 17.

Grafik di atas menunjukkan barang manufaktur adalah komoditas utama


impor. Barang-barang ini terutama terdiri dari kain katun, benang putih, mesin jahit
dan sebagainya. Permintaan barang tersebut umumnya berkenaan dengan bahan
utama untuk pembuatan Sarung Bugis oleh masyarakat di daerah pedalaman.
Setelah barang-barang lainnya yang juga termasuk produk minuman impor, posisi
selanjutnya ialah barang peralatan rumah tangga, seperti pisau, korek api dan lain-
lain. Barang impor terbanyak berikutnya ialah garam dan petroleum (minyak bumi)
di urutan terakhir. Khususnya garam, komoditas impor ini didatangkan dari daerah
sekitar Makassar, seperti Alu, Laikang dan Takalar. Selain Parepare, hasil produksi
garam di daerah-daerah itu juga diperdagangkan ke Palopo, Palima, Malili,
Kendari, Kolaka, Raha, Bau-Bau, Binongko, Sinjai, Bulukumba, Bantaeng,
Majene, Polewali, Balangnipa dan Segeri. Sebagai gambaran, pada 1929, garam
yang dibawa menggunakan perahu layar dijual di Parepare dengan kisaran harga
antara 50 sen hingga 90 sen per pikul.16 Tentu saja bahwa arus barang-barang impor
tersebut bergantung dari daya beli masyarakat di daerah penyangga.
Pendapatan yang diperoleh dari bea dan cukai ekspor-impor menjadi salah
satu indikator penting terkait dinamika suatu pelabuhan. Selama dinamika awal,
pemasukan Parepare bisa dikatakan terbilang minim dan tampak fluktuatif. Pada
1910, misalnya, pendapatan bea dan cukai ekspor-impor ialah sebesar f 693 dan

16
Soerabaijasch Handelsblad, 4 Juni 1929, 13.

Universitas Indonesia
68

pada 1922 menurun menjadi f 295. Hal yang menarik ialah lonjakan pendapatan
pelabuhan terjadi pada tahun 1923, di mana hasil yang diperoleh sebesar f 3.162.
Peningkatan ini terutama bersumber dari cukai petroleum17 yang mencapai f
2.639.18
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, Parepare adalah pelabuhan
pribumi sebelum dikontrol langsung oleh pemerintah kolonial Belanda. Itu artinya
bahwa setiap pelayaran dari dan ke pelabuhan Parepare ditetapkan sebagai kegiatan
pelayaran scheepvaart (pelayaran internasional). Menurut Singgih Tri Sulistyono,
secara sederhana scheepvaart berarti kegiatan pelayaran yang melibatkan
pelabuhan yang berada di wilayah kekuasaan pemerintah kolonial dengan
pelabuhan asing (foreign ports), pelabuhan bebas (free ports), ataupun pelabuhan
yang berada di wilayah yang belum diperintah langsung oleh pemerintah kolonial
(inlandsche havens).19 Dengan demikian, hingga 1905, kegiatan pelayaran antara
pelabuhan Parepare dan pelabuhan lain yang berada di wilayah kekuasaan
pemerintah kolonial sampai pelabuhan Singapura (foreign ports) ialah bentuk
pelayaran internasional.
Ketika pemerintah kolonial menguasai Parepare pada 1905, kegiatan
pelayaran dan perdagangan di pelabuhan tidak dapat lagi disebut pelayaran
scheepvaart, melainkan hanya pelayaran kustvaart. Secara etimologi, kustvaart
berarti pelayaran pantai. Namun, dalam konteks Hindia Belanda, pelayaran
kustvaart bukan hanya dalam bentuk pelayaran antar pantai, melainkan juga
mencakup pelayaran antar pulau (interisland) dan dalam pulau (intra-islands).
Sementara itu, berdasarkan Staatsblaad 1850 nomor 42, kustvaart adalah kegiatan
pelayaran yang melibatkan dua pelabuhan di Hindia Belanda yang berada di
wilayah kekuasaan pemerintah kolonial.20 Karena itu, pelayaran di pelabuhan
Parepare dapat pula disebut pelayaran domestik. Berkaitan dengan itu, hanya kapal-
kapal tertentu yang dapat melakukan pelayaran kustvaart, yakni kapal milik

17
Lihat lampiran 3
18
Lihat Koloniaal Verslag 1910, dalam Bijlage BB, 7; Koloniaal Verslag 1922, dalam Bijlage W,
6; Koloniaal Verslag 1923, dalam Bijlage X, 6.
19
Sulistyono, ‘The Java Sea Network: Patterns in the Development an of Interregional Shipping
and Trade in the Process of National Economic Integration in Indonesia, 1870s-1970s’.
20
Sulistyono, 5.

Universitas Indonesia
69

Belanda, kapal Hindia Belanda, dan kapal milik pribumi.21 Lebih jauh, sejalan
dengan aturan pelayaran kustvaart, tidak ada lagi barang-barang ekspor yang boleh
dikapalkan secara langsung ke luar Hindia Belanda, kecuali melalui pelabuhan
Makassar, yakni satu-satunya pelabuhan di wilayah pemerintahan Celebes en
Onderhoorigheden yang dibuka untuk perdagangan impor dan ekspor umum.22
Begitupun juga barang-barang impor dari luar Hindia Belanda, tidak lagi
diperbolehkan untuk dibongkar secara langsung di pelabuhan-pelabuhan pribumi,
termasuk Parepare, tanpa terlebih dahulu melalui pelabuhan Makassar.
Sebelum menerangkan rute pelayaran KPM, terlebih dahulu akan dijelaskan
mengenai agen KPM di Parepare. Berdasarkan keterangan sumber, agen KPM di
Parepare baru tercatat pertama kali pada 1908. Tuan L. Rhemrev bertindak sebagai
agen perusahaan saat itu.23 Mengingat sejak 1891 Parepare telah disinggahi oleh
kapal KPM, itu artinya bahwa sebelum 1908 agen KPM yang tersedia kemungkinan
masih ikut berlayar dengan kapal. Hal ini memang lazim dijumpai di pelabuhan-
pelabuhan kecil yang minim fasilitas. Karena itu, tidak heran jika Howard Dick
menyatakan bahwa kapal KPM berfungsi pula sebagai pasar terapung (a floating
market).24 Perusahaan KPM sendiri baru mendirikan kantor cabang di Parepare
yang secara resmi mulai beroperasi pada 1924.25
Jalur pelayaran KPM paling tidak memberi gambaran penting mengenai
kegiatan pelayaran yang berlangsung di pelabuhan Parepare. Misalnya, pada 1914
atau setahun sebelum perjanjian kontrak kedua diperbaharui antara perusahaan dan
pemerintah kolonial, terdapat dua jalur pelayaran KPM yang menempatkan
Parepare sebagai pelabuhan singgah, yakni Jalur 9a dan 9b. Kedua jalur pelayaran
ini beroperasi sekali dalam sebulan dan merupakan jalur bukan kontrak (niet-
contractueel).26 Rute pelayaran KPM di Sulawesi, menurut Rasyid Asba, erat

21
Lihat Regeerings Almanak van Nederlandsch Indie 1907, 33.
22
Staatsblad van Nederlandsch Indie 1906 No. 297. Lihat pula Nur, ‘Jejaring Perdagangan Dan
Integrasi Ekonomi: Sejarah Ekonomi Sulawesi Bagian Selatan 1902-1930-an’ (Disertasi), 413.
23
Lihat Regeerings Almanak van Nederlandsch Indie 1908, 923.
24
Howard Dick, The Indonesian Interisland Shipping Industry : An Analysis of Competition and
Regulation. (Pasir Panjang, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1990), 12.
25
Lihat Regeerings Almanak van Nederlandsch Indie 1924, 862.
26
Lihat Dienstregeling Der Koninklijke Paketvaart Maatschappij Voor Het Jaar 1914, 27.

Universitas Indonesia
70

kaitannya dengan pengangkutan komoditas kopra, jagung, beras dan berbagai hasil
hutan, seperti rotan dan damar.27
Pada 1924, terdapat empat jalur pelayaran KPM yang menyinggahi
Parepare. Keempat jalur itu ialah jalur 13, 17a, 19 dan 20.28 Merujuk pada kontrak
KPM, keempat jalur tersebut merupakan hasil dari pembaharuan kontrak yang
ketiga (1915-1930).29 Selain itu, dari keempat jalur tersebut, hanya jalur 17a yang
merupakan bukan jalur kontrak. Jalur 17a melayani rute pendek yakni trayek pantai
barat Sulawesi. Jalur ini menyinggahi pelabuhan-pelabuhan Makassar, Parepare,
Polewali, Campalagian, Balangnipa, Majene dan selanjutnya kembali ke Makassar.
Tidak jauh berbeda dengan Jalur 17a, Jalur 19 dan 20 juga menyisir pantai barat
Sulawesi meski dengan trayek yang lebih panjang, yakni Makassar-Sulawesi
bagian barat-Sulawesi bagian utara-Manado- Sangir dan Talaud. Kedua jalur itu
melayani pelayaran sekali dalam sebulan.30
Satu hal yang menarik ialah jalur 13. Jalur ini mulai menyinggahi Parepare
sejak 1924 dan menghubungkan pantai barat Sulawesi, pantai timur dan selatan
Kalimantan serta Singapura. Dimasukkannya Parepare sebagai pelabuhan singgah
tidak terlepas dari adanya peningkatan permintaan komoditas beras di Kalimantan
Timur dan Kalimantan Selatan. Pada rute itu, Parepare adalah pelabuhan yang akan
disinggahi dalam jalur kepulangan meski bersifat fakultatif.31 Pada November 1924,
misalnya, rute kepulangan jalur tersebut ialah Makassar, Parepare, Donggala,
Samarinda, Balikpapan, Kota Baru, Stagen, Banjarmasin, Sampit dan terus ke
Singapura.32

27
Asba, ‘Ekspansi Dan Kontraksi Ekspor Kopra Makassar 1883-1958’ (Disertasi), 103.
28
Lihat Dienstregeling Der Koninklijke Paketvaart Maatschappij Voor Het Jaar 1924.
29
Penjelasan yang lengkap mengenai perjanjian kontrak antara perusahaan KPM dan pemerintah
kolonial terkait pelayaran dan pengangkutan di Hindia Belanda lihat Sulistyono, ‘The Java Sea
Network: Patterns in the Development an of Interregional Shipping and Trade in the Process of
National Economic Integration in Indonesia, 1870s-1970s’, 123–24.
30
Jalur 19 dan 20 menyinggahi pelabuhan-pelabuhan seperti Makassar, Parepare, Polewali, Majene,
Mamuju, Simpaga, Lariang, Donggala, Palu, Toli-Toli, Leok, Palehleh, Sumalata, Kwandang,
Labuan-broko, Bolang Mongondou, Amurang, Manado, Tagulandang, Siau, Taruna, Lirung, Beo,
Nanusam Peta, Taruan, Tamako, Siau, Tagulandang, Talise, Manado dan selanjutnya kembali ke
Makassar dengan jalur yang sama.
31
Dienstregeling Der Koninklijke Paketvaart Maatschappij Voor Het Jaar 1924, 25.
32
Pemberita Makassar 6 November 1924.

Universitas Indonesia
71

Selain kapal uap, perahu layar juga tidak kalah pentingnya dalam aktivitas
pelayaran dan perdagangan di pelabuhan Parepare. Keberadaan perahu layar telah
memungkinkan terjalinnya hubungan niaga antara Parepare dan bandar niaga
lainnya, termasuk bandar niaga yang tidak dilalui jalur pelayaran KPM. Pada
musim panen padi, misalnya, para pelaut Bugis, Makassar dan Mandar dengan
perahu dagangngya masing-masing mengunjungi daerah-daerah yang berada di
sepanjang pantai barat Sulawesi guna memuat padi, gabah atau beras. Adapun
daerah yang biasanya dikunjungi ialah Parepare, Pinrang, Barru dan Pangkajene.33
Dengan perahu dagangnya, merekalah yang berperan dalam mengapalkan
komoditas beras ke Wanua Laeng.
Dalam suatu sumber disebutkan bahwa selain beras, perahu-perahu dagang
yang berkunjung ke pelabuhan Parepare juga memuat kopra, kemiri, kopi, kulit
hewan dan komoditas niaga lainnya. Lebih lanjut, disebutkan pula bahwa
kebanyakan pedagang yang membeli berbagai komoditas tersebut ialah adalah
pedagang asal Parepare dan pedagang-pedagang dari luar Parepare.34 Selanjutnya,
berbagai komoditas niaga tersebut umumnya dibawa ke Makassar atau entrepot
lainnya, seperti Surabaya.
Informasi yang ditulis oleh Van Vuuren cukup berharga perihal aktivitas
pelayaran para pelaut-pedagang Mandar. Ia menuturkan bahwa, dengan titik
pemberangkatan Majene, pelaut Mandar mengadakan pelayaran ke Maluku setiap
Januari untuk menjual barang-barang niaga yang telah dibawa dari Singapura.
Dengan memanfaatkan hembusan angin muson barat, mereka menyinggahi
Parepare, Kepulauan Spermonde, Bantaeng dan Balangnipa sebelum menuju
Maluku.35 Dalam konteks ini, bagi pelaut-pedagang Mandar, Parepare adalah pasar
untuk menjual barang-barang impor, seperti kain katun, benang, korek api, pisau,
mesin jahit dan sebagainya, yang dibawa dari Singapura. Selain itu, Parepare juga
menjadi tempat persinggahan para pelaut Mandar setelah berlayar dari Maluku
untuk memuat padi dan kemudian dibawa ke Pambauwang.36

33
Hamid, “Jaringan Maritim Mandar: Studi Tentang Pelabuhan ‘Kembar’ Pambauwang Dan
Majene Di Selat Makassar1900−1980” (Disertasi), 102.
34
Pemberita Makassar, 30 Oktober 1917.
35
Vuuren, L Van, ‘De Prauwvaart van Celebes’, Koloniale Studiën 1 (1917): 110.
36
Hamid, “Jaringan Maritim Mandar: Studi Tentang Pelabuhan ‘Kembar’ Pambauwang Dan
Majene Di Selat Makassar1900−1980” (Disertasi), 113-114.

Universitas Indonesia
72

3.4 Perdagangan Beras


3.4.1 Wanua Laeng
Perdagangan beras di pelabuhan sejatinya bukan hanya bertumpu pada
jaringan perniagaan yang sudah berlangsung sejak lama, tetapi juga berkaitan
dengan berbagai situasi di Wanua Laeng (daerah seberang). Dalam konteks ilmu
ekonomi, hal itu lazim dikenal dengan istilah penawaran (suplay) dan permintaan
(demand). Sehubungan dengan kajian ini, penawaran berhubungan dengan hasil
produksi beras di daerah pedalaman, sementara permintaan berkaitan dengan
tingkat konsumsi pangan masyarakat di Wanua Laeng. Semakin tinggi tingkat
permintaan, semakin meningkat pula tingkat penawaran. Sementara itu, sepanjang
periode akhir pemerintahan kolonial Belanda, Touwen menegaskan adanya
keragaman yang tampak jelas di antara masing-masing daerah luar Jawa, terutama
dalam aspek ekonomi. Karena itu, setiap Wanua Laeng yang menjadi daerah tujuan
ekspor beras di Parepare akan dipaparkan lebih lanjut.
3.4.1.1 Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan adalah Wanua Laeng utama.
Letaknya yang secara geografis cukup dekat menjadikannya sebagai daerah
seberang penting bagi pelabuhan Parepare. Di era kolonial, kedua daerah tersebut
tergabung ke dalam satu wilayah pemerintahan administratif yang dikenal dengan
Zuider-Oosterafdeeling Borneo. Wanua Laeng ini memiliki luas kira-kira sebesar
90.000 kilometer persegi yang di sebelah utaranya ditandai dengan pegunungan
Schwaner dan Muller.37 Keberadaan sungai-sungai menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan masyarakat setempat. Salah satu di antaranya ialah
Sungai Barito yang mengalir ke Laut Jawa. Karena itu, pelayaran dan perdagangan
di sungai-sungai adalah hal yang vital sejauh menyangkut daerah ini.
Sampai 1925, jumlah areal tanah pertanian hanya mencapai 9.800 kilometer
persegi.38 Itupun budi daya padi kebanyakan dilakukan di ladang, seperti di Hulu
Dusun, daerah pegunungan Meratus, Pasir dan Kutai. Menurut Touwen, penanaman

37
Han Knapen, Forests of Fortune? : The Environmental History of Southeast Borneo, 1600-1880
(Leiden: KITLV Press, 2001), 30.
38
J Thomas. Lindblad, Antara Dayak dan Belanda : Sejarah Ekonomi Kalimantan Timur dan
Kalimantan Selatan 1880-1942 (Ika Diyah Candra, penerjemah) (Malang: Lilin Persada Press,
2012), 178.

Universitas Indonesia
73

padi di ladang adalah karakteristik yang umum ditemukan di daerah luar Jawa
sehingga sedikit banyak telah mencegah produksi surplus beras dalam skala besar.39
Sementara itu, hambatan budi daya padi di sawah juga masih sering muncul
terutama ketika banjir. Tidaklah mengherankan apabila sawah, yang notabene
mampu menghasilkan padi dua kali lebih banyak dibanding ladang, tidak banyak
yang bisa diharapkan. Namun demikian, yang terpenting ialah faktor kualitas tanah
yang minim membuat budi daya padi tidak dapat berkembang baik. Akibatnya,
daerah ini tidak dapat memenuhi kebutuhan berasnya sendiri.40 Dengan demikian,
keadaan lingkungan merupakan salah satu faktor utama yang membuat Kalimantan
Timur dan Kalimantan Selatan selalu membutuhkan impor beras dari luar guna
memenuhi kebutuhan domestik.
Paling tidak sejak 1880-an, beras adalah komoditas utama impor di
Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, di samping dua komoditas utama impor
lainnya, yakni barang tekstil dan barang rumah tangga. Sebagian besar kebutuhan
beras diimpor dari luar Hindia Belanda dan dilengkapi dengan suplai beras
tambahan dari daerah lain di Hindia Belanda. Antara 1880 hingga 1900, impor
beras di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan sebetulnya cenderung
fluktuatif. Naik turunnya permintaan beras impor dari luar Hindia Belanda sangat
ditentukan keberhasilan panen lokal dan jumlah pasokan beras yang dikirim dari
Jawa.41 Selain itu, para pelaut Mandar juga telah rutin memasok beras, kelapa,
minyak kelapa, dan sarung Bugis ke tempat-tempat di pantai timur Kalimantan pada
akhir abad ke-19. Mereka memuat beras yang diperoleh dari Palu.42 Di pantai timur
Kalimantan, komoditas beras dijual atau dibarter dengan produk hasil hutan,
terutama kayu. Sementara itu, dalam kajiannya mengenai pelayaran rakyat di
pelabuhan Banjarmasin, Endang Sulistyowati menyatakan bahwa kegiatan
pelayaran perahu pribumi untuk jalur Banjarmasin - Makassar dari tahun ke tahun
mengalami peningkatan pada 1880-an. Dari Banjarmasin ke Makassar, perahu

39
Jeroen Touwen, Extremes in The Archipelago: Trade and Economic Development in the Outer
Islands of Indonesia 1900-1941 (Leiden: KITLV Press, 2001), 153.
40
Lindblad, Antara Dayak dan Belanda : Sejarah Ekonomi Kalimantan Timur dan Kalimantan
Selatan 1880-1942 (Ika Diyah Candra, penerjemah), 177–78.
41
Lindblad, 14.
42
A. R Hamid, “Jaringan Maritim Mandar: Studi Tentang Pelabuhan ‘Kembar’ Pambauwang dan
Majene di Selat Makassar1900−1980” (Disertasi) (Depok: Universitas Indonesia, 2019), 102.

Universitas Indonesia
74

biasanya memuat karet, kayu, kopra dan kelapa. Sementara itu, dalam pelayaran
pulang, perahu memuat beras, tepung dan gula.43
Memasuki awal abad ke-20, produksi padi lokal di Kalimantan Timur dan
Kalimantan Selatan sebenarnya memperlihatkan adanya peningkatan. Sebagai
gambaran, antara 1895-1904 rata-rata hasil produksi setiap tahun ialah 22.800 ton
dan meningkat menjadi hampir 29.000 ton pada 1905-1914.44 Sekalipun demikian,
hal itu tidak sejalan dengan kondisi ekonomi regional yang semakin lekat dengan
pasar dunia. Dalam satu sumber, disebutkan bahwa impor beras di Kalimantan
Timur dan Kalimantan Selatan pada 1917 mencapai 37.000 ton.45 Hingga dekade
1930-an, ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi semakin jelas yang
ditandai dengan perkembangan berbagai perusahaan yang dimiliki orang Eropa,
terutama di pantai timur Kalimantan, seperti batu bara, minyak, kopra, karet,
minyak kelapa, gambir dan kopi.46 Situasi itu pada gilirannya semakin
meningkatkan kebutuhan beras domestik karena jumlah kuli perusahaan yang terus
meningkat. Pada 1922, misalnya, jumlah tenaga kuli perusahaan di Kalimantan
Timur dan Kalimantan Selatan ialah sebanyak 19.200 jiwa. Tujuh tahun kemudian,
jumlahnya telah meningkat menjadi 36.300 jiwa.47 Sampai dekade 1930-an,
Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan adalah daerah yang tetap tercatat
sebagai daerah surplus impor beras di Hindia Belanda. Pada 1935, misalnya, daerah
ini membutuhkan suntikan beras impor dari luar sebanyak 30.000 ton.48
Dengan kondisi demikian, tampak bahwa struktur ekonomi yang bertumpu
pada aktivitas pertambangan dan perkebunan, juga menjadi faktor krusial sehingga
Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan selalu membutuhkan impor beras. Jika
ditilik lebih jauh, aktivitas impor beras di suatu wilayah yang diakibatkan oleh
struktur ekonomi yang bergantung pada pasar internasional adalah sebuah hal yang
umum terjadi di Asia Tenggara, khususnya selama paruh pertama abad ke-20. Salah

43
Endang Susilowati, “Pasang Surut Pelabuhan Rakyat di Pelabuhan Banjarmasin, 1880-1990”
(Disertasi) (Depok: Universitas Indonesia, 2004), 126–28.
44
Lindblad, Antara Dayak dan Belanda : Sejarah Ekonomi Kalimantan Timur dan Kalimantan
Selatan 1880-1942 (Ika Diyah Candra, penerjemah), 25.
45
C Lulofs, De Voedselvoorziening van Nederlandsch-Indie (Jakarta: Landsdrukkerij, 1918), 73.
46
Touwen, Extremes in The Archipelago: Trade and Economic Development in the Outer Islands
of Indonesia 1900-1941, 75.
47
Touwen, 390.
48
Indisch Verslag 1938., 62.

Universitas Indonesia
75

satu di antaranya ialah Semenanjung Melayu, yang struktur ekonominya terutama


berkonsentrasi pada industri pertambangan timah dan perkebunan. Dengan kondisi
demikian, budi daya padi tidak banyak mendapat perhatian oleh masyarakat
setempat. Hal ini tercermin dari barang-barang yang diimpor melalui pelabuhan
Swettenham antara 1900-1940, di mana beras menjadi komoditas utama impor yang
didatangkan dari Siam dan Burma.49
Selain faktor lingkungan dan struktur ekonomi, faktor migrasi orang Bugis
juga perlu dipertimbangkan. Sebagaimana umum diketahui, gelombang migrasi
penduduk secara besar-besaran di Sulawesi Selatan berlangsung ketika Somba Opu
jatuh ke tangan VOC pada 1669. Terdapat beberapa penguasa Makassar beserta
pengikutnya yang bermigrasi ke beberapa tempat di Jawa antara 1667-1680.
Sementara itu, pengungsi Bugis umumnya hijrah ke Dunia Melayu pada abad ke-
18.50 Khususnya pantai timur Kalimantan, menurut Lindblad, orang Bugis telah
bermukim sejak abad ke-17.51 La Madukelleng, salah seorang bangsawan Kerajaan
Bugis Wajo, bersama pengikutnya juga bermigrasi ke Pulau Laut pada 1718 sebagai
bentuk penolakan terhadap kekuasaan VOC di Sulawesi Selatan. Selain tampil
sebagai pemimpin bajak laut di kawasan selat Makassar, ia juga memperistri
seorang putri dari Kerajaan Kutai. Karena itu, ia kemudian dinobatkan menjadi
52
sultan di kerajaan itu pada 1726. Pada tahun yang sama, ia juga berhasil
menduduki Pasir.53 Sejak saat itu, kehadiran orang Bugis di wilayah ini menjadi
penting, baik secara politik maupun ekonomi. Bahkan, orang Bugis menjadi satu-
satunya kelompok pedagang penting yang mengendalikan sebagian besar
perdagangan impor di daerah pesisir sebelum akhirnya digeser oleh pedagang Cina
di paruh kedua abad ke-19. Sementara itu, permukiman orang Bugis bisa dikatakan
tersebar di sepanjang pantai timur Kalimantan. Pada awal abad ke-19, misalnya,

49
Linda Sunarti, “Pembangunan dan Perkembangan Pelabuhan Swettenham di Malaysia, 1900-
1963” (Tesis) (Depok: Universitas Indonesia, 2001), 60–61.
50
Mengenai kisah pengungsian penduduk Sulawesi Selatan pada masa itu, lihat Leonard Y. Andaya,
“The Bugis-Makassar Diasporas,” Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society 68,
no. 1 (1995): 121.
51
Lindblad, Antara Dayak dan Belanda : Sejarah Ekonomi Kalimantan Timur dan Kalimantan
Selatan 1880-1942 (Ika Diyah Candra, penerjemah), 10.
52
Edward L Poelinggomang et al., Sejarah Sulawesi Selatan (Jilid 1) (Makassar: Balitbangda
Provinsi Sulawesi Selatan, 2004), 155.
53
G Knaap dan Heather Sutherland, Monsoon Traders: Ship, skippers and commodities in
eighteenth-century Makassar (Leiden: KITLV Press, 2004), 14.

Universitas Indonesia
76

permukiman orang Bugis telah dapat ditemukan di Samarinda, Pulau Laut, Pegatan,
Bulngan, Kutai, Berau dan Gunung Tabur.54
Satu hal yang penting ialah keberadaan orang Bugis di Wanua Laeng ini
telah memudahkan terjalinnya aktivitas perdagangan, termasuk perdagangan beras,
antara pantai barat Sulawesi dan pantai timur Kalimantan. Tidak sedikir orang
Bugis yang bermigrasi ke Kalimantan Timur merupakan pedagang atau masyarakat
biasa yang memiliki relasi dengan komunitas bisnis di Sulawesi Selatan. Karena
jaringan inilah, eksploitasi ekonomi orang Bugis di wilayah itu dapat berjalan
secara rutin dan aman.55 Sementara itu, pada awal abad ke-20, aktivitas
perdagangan di wilayah ini sebagian besar berada di tangan para pedagang Cina.
3.4.1.2 Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah
Wanua Laeng berikutnya ialah Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah. Jika
Pulau Sulawesi sering digambarkan dengan bentuk yang terdiri dari empat lengan
semenanjung, maka dua lengan semenanjungnya (semenanjung utara dan
semenanjung timur) adalah daratan yang membentuk wilayah Sulawesi Utara dan
Sulawesi Tengah. Sejak 1904, kedua wilayah ini mulai digabungkan ke dalam satu
daerah pemerintahan administratif dengan nama Residentie Manado (untuk
selanjutnya kedua wilayah disebut Manado).56
Secara geografis, dengan luas wilayah sekitar 90.000 kilometer persegi,
Manado dicirikan dengan lebar daratan yang sempit dan garis pantai yang panjang.
Di ujung semenanjung utara, permukaan daratan sangat bergunung dan terdapat
beberapa gunung berapi aktif, seperti di Minahasa dan Sangir. Sungai-sungai pada
umumnya berukuran kecil dan bergradasi curam. Dataran penting tersebar di
berbagai tempat, antara lain dataran Minahasa, Mongondou, dan kawasan sekitar
Danau Limboto di Gorontalo. Di Sulawesi Tengah, dataran penting kebanyakan
berupa lembah, seperti Lembah Bongka di Semenanjung Luwuk, Lembah Sungai
La di Kolonedale, kawasan sekitar Danau Poso dan lembah-lembah kecil di

54
Harto Yuwono, “Sea as A Location for Transaction: Buginese Pandeling in East Borneo,” Journal
of Maritime Studies and National Integration 1, no. 2 (2017): 101.
55
Yuwono, 100.
56
Sebelum bergabung dengan Keresidenan Manado, wilayah Sulawesi Tengah yang meliputi
Donggala, Poso, Tolitoli dan Mamuju, termasuk ke dalam daerah pemerintahan Celebes en
Onderhoorigeheden. Selengkapnya lihat L Nadjamuddin et al., Satu Kota Empat Zaman: Donggala
Pada Masa Tradisional Hingga Terbentuknya Kabupaten (Yogyakarta: Ombak, 2016), 45–47.

Universitas Indonesia
77

pegunungan barat. Dengan kondisi lingkungan tersebut, sampai 1930 ciri pertanian
yang menonjol adalah sistem pertanian ladang. Sistem pertanian ini dilengkapi
sistem pengairan sederhana di dataran tinggi.57 Adapun penanaman padi di Manado
secara umum bukan hanya dilakukan di ladang, tetapi juga sawah, meski dengan
jumlah dan konsentrasi penanaman yang terbatas.
Sebetulnya budi daya padi bukanlah suatu hal yang asing bagi masyarakat
setempat. Paling tidak sejak awal abad ke-17, masyarakat Manado, terutama di
Minahasa, telah rutin menanam padi dan mengekspor beras ke Maluku. Ketika itu,
hasil produksi beras juga sering dibarter guna memperoleh barang-barang impor,
seperti tekstil asing dan senjata api.58 Selain beras, jagung juga menjadi tanaman
pangan dan makanan pokok bagi sebagian besar masyarakat di Manado. Di tempat
lain, seperti Sangir dan Talaud, tanaman pangan utama ialah umbi-umbian dan
pisang.
Perubahan mendasar mulai tampak dalam perdagangan Manado setelah
1870. Angin perubahan itu terlihat dari kedudukan dominan kopi dan cengkeh yang
mulai tergeser dengan tampilnya komoditas ekspor menggiurkan, seperti rotan,
damar dan kopra. Sejak saat itu, bisa diutarakan bahwa secara garis besar Manado
mengalami perubahan dari basis produksi subsistensi menjadi sistem yang lekat
dengan perdagangan global. Penetrasi pasar global secara perlahan mengikis aspek
ketahanan pangan dari petani subsisten. Selain berdampak terhadap peningkatan
volume impor Manado antara 1850 hingga 1900, hal itu juga mengakselerasi proses
monetisasi di kalangan masyarakat Manado. Hal yang penting ialah perubahan
tersebut membuat pengabaian terhadap tanaman pangan mulai terlihat. Kondisi ini
terbukti ketika pada akhir abad ke-19 tanaman pangan disebut mulai sering
terabaikan akibat banyak waktu yang diperlukan masyarakat saat mengumpulkan
damar dan rotan di hutan. Tidak heran jika impor beras dari luar juga meningkat
pesat, terutama setelah 1900.59

57
David Henley, Fertility, Food and Fever : Population, Economy and Environment in North and
Central Sulawesi : 1600-1930 (Leiden: KITLV Press, 2005), 13; 58–59.
58
David Henley, “Rizification revisited Re-examining the rise of rice in Indonesia with special
reference to Sulawesi,” in Histories of foodcrop and livestock farming in Southeast Asia:
Smallholders and Stockbreeders, ed. oleh Peter Boomgaard dan David Henley (Leiden: KITLV
Press, 2004), 125.
59
Henley, Fertility, Food and Fever : Population, Economy and Environment in North and Central
Sulawesi : 1600-1930, 356–57.

Universitas Indonesia
78

Memasuki awal abad ke-20, perkembangan perdagangan kopra menjadi


landasan utama yang membentuk ekonomi Manado secara umum. Sebagai
gambaran, pada dekade awal abad ke-20 Manado telah menduduki posisi kedua
setelah Sulawesi Selatan sebagai penghasil ekspor kopra utama di Hindia Belanda.
Di Manado, penghasil kopra terbanyak berasal dari distrik Manado, Tonsea,
Tondano dan Amurang. Hasil kopra umumnya dibawa ke Makassar dan Jawa,
disamping diekspor langsung ke Eropa, Amerika Serikat dan Jepang.60 Dengan
kondisi itu, tanaman pangan, terutama beras, semakin terpuruk dengan terus
berkembangnya budi daya kelapa. Pada 1922 misalnya, Kepulauan Sangir hanya
memiliki lahan sebesar setengah bau untuk tanaman padi dan jagung karena
konsentrasi berlebihan dari budi daya kelapa. Selain itu, tidak sedikit para peladang
yang membuka hutan hanya bertujuan untuk budi daya kelapa, alih-alih menanam
tanaman pangan.61 Kecenderungan ini dapat dipahami dari sifat pertanian kelapa
yang merupakan padat karya dan tidak memerlukan banyak biaya perawatan,
kecuali modal saat memanen kelapa. Di samping itu, bagi masyarakat Manado,
kopra juga lebih menjanjikan keuntungan. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah
sumber bahwa, “harga kopra sedemikian rupa lebih menguntungkan daripada
memiliki sawah. Tanaman padi yang ada terbengkalai sehingga pada akhirnya
bergantung pada impor beras dari luar (Manado).”62
Signifikansi kopra sebagai komoditas ekspor utama membuat Manado
menjadi salah satu daerah defisit beras di Hindia Belanda hingga dekade 1930. Itu
artinya bahwa setiap tahun Manado perlu memasok sejumlah beras dari daerah lain
guna memenuhi kebutuhan penduduk setempat. Sebuah laporan menyebutkan
bahwa impor beras di Manado tercatat sebanyak 27.250 ton pada 1917.63 Angka ini
hampir tidak jauh berbeda pada tahun-tahun berikutnya. Antara 1928 hingga 1932,
misalnya, rata-rata tahunan impor beras luar negeri ialah 28.414 ton. Suntikan beras
di Manado tidak hanya berasal dari Hindia Belanda, tetapi juga luar Hindia

60
Asba, ‘Ekspansi Dan Kontraksi Ekspor Kopra Makassar 1883-1958’ (Disertasi), 41-2.
61
David Henley dan Noldy Tuerah, “Krisis-Krisis Abad ke-20 dan Akibatnya di Sulawesi Utara,”
in Dari Krisis Ke Krisis: Masyarakat Indonesia Menghadapi Resesi Ekonomi selama Abad ke-20
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2016), 170–73.
62
Soerabaijasch Handelsblad 17 Maret 1933, 5.
63
Lulofs, De Voedselvoorziening van Nederlandsch-Indie, 70.

Universitas Indonesia
79

Belanda, terutama beras Saigon.64 Sementara itu, perdagangan beras di Manado


sebagian besar melibatkan pedagang Cina sebagai importir.
3.4.1.3 Maluku
Maluku merupakan daerah kepulauan yang berada di kawasan Indonesia
bagian timur. Daerah ini berbatasan dengan Sulawesi di sebelah barat, Papua di
sebelah timur, Timor di sebelah selatan dan perairan Samudera Pasifik di sebelah
utara. Kecuali Pulau Halmahera dan Seram, Maluku terdiri dari banyak pulau-pulau
kecil. Dari segi administratif, pada 1925 pemerintahan kolonial Belanda
meningkatkan status daerah kepulauan Maluku menjadi Gubernuran Maluku
(Gouvernement der Molukken) yang terdiri dari dua keresidenan, yakni
Keresidenan Ambon (Maluku Selatan) dan Ternate (Maluku Utara).65
Sejak abad ke-16, rempah-rempah berupa cengkeh, pala dan bunga pala
menjadi daya tarik utama yang telah membuat Maluku ramai dikunjungi para
pedagang mancanegara. Puncak perdagangan rempah berlangsung sekitar 1620-an
yang ditandai dengan meningkatnya pengiriman rempah-rempah Maluku ke Eropa,
di samping persaingan ketat yang muncul di antara kapal-kapal Eropa saat itu.
Kedatangan para pedagang di Maluku biasanya disertai dengan barang-barang
muatan, seperti beras, tekstil, perhiasan dan barang lainya, untuk dipertukarkan
dengan rempah-rempah. Seiring tegaknya monopoli VOC atas rempah Maluku
pada pertengahan abad ke-17, daya tarik rempah sebenarnya mulai meredup dan
tidak lagi begitu menguntungkan dalam perdagangan di Asia,66 Bahkan, pada 1864
pemerintah kolonial Belanda juga menghapus kebijakan monopoli rempah di
Maluku. Meski demikian, selain keuntungan berlipat yang diperoleh para pedagang
asing dan bangsawan lokal, aktivitas perdagangan rempah juga telah berhasil
menarik kedatangan para pendatang untuk bermukim di Maluku. Di antaranya ialah
orang Jawa, Melayu, Bugis, Makassar, Cina, Eropa dan Arab yang menyusul

64
L.J.J. Caron, Memorie van Overgave van den afgetreden Gouverneur van Celebes en
Onderhoorigheden, 1933, 265.
65
Rosmaida. Sinaga, Masa Kuasa Belanda di Papua 1898-1962 (Depok: Komunitas Bambu, 2013),
7.
66
Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid II: Jaringan Perdagangan
Global Asia Tenggara (R.Z. Leirissa & P. Soemitro, penerjemah) (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2015), 29–31.

Universitas Indonesia
80

kemudian pada abad ke-19.67 Para pendatang itu umumnya bermukim di kota utama
Maluku, seperti Ambon dan Ternate. Kehadiran mereka sudah tentu semakin
meningkatkan kebutuhan beras di Maluku.
Terlepas dari hal tersebut, tampak bahwa Maluku sudah sejak lama
mengimpor beras dari daerah luar guna memenuhi kebutuhan penduduk setempat.
Walaupun saat itu praktek budi daya padi dikembangkan di beberapa tempat,
seperti Moro, Bacan, Sahu dan Halmahera, namun lahan pertanian dan jumlah yang
dihasilkan terbilang minim sehingga belum mampu mencukupi kebutuhan pangan
setempat. Menurut taksiran Van Leur, pada abad ke-17 kebutuhan beras untuk
seluruh penduduk Maluku setiap tahunnya mencapai 8.800 ton.68 Perlu diketahui,
selain beras, sagu dan ikan adalah makanan pokok bagi masyarakat Maluku.69
Ketergantungan terhadap beras impor pada dasarnya tetap berlanjut di paruh
pertama abad ke-20. Hal ini terutama berkaitan dengan kehadiran kopra sebagai
produk ekspor yang dominan dalam aktivitas perdagangan, walaupun produk
ekspor Maluku juga beragam saat itu, seperti rempah-rempah, pertambangan, hutan
dan hasil produk laut. Sebagai gambaran, nilai ekspor kopra mencapai f 0,7 juta
pada 1914. Dalam perkembangannya, kopra telah berkedudukan sebagai komoditas
utama ekspor pada 1927, di mana saat itu total nilai ekspor Maluku mencapai f 6
juta.70 Tren ini tetap terlihat selama dekade 1930-an. Pada 1936, misalnya, sekitar
80 % dari total produk ekspor Maluku yang berjumlah 61.000 ton berasal dari
produk kopra
Pada gilirannya, keadaan tersebut membuat budi daya padi di masyarakat
Maluku tidak berkembang dengan baik sehingga kebutuhan beras tetap bergantung
dari suplai daerah lain, termasuk Sulawesi Selatan. Kecenderungan ini tampak jelas
dari barang-barang yang diimpor di Maluku selama periode akhir pemerintahan
kolonial. Sebagai contoh, impor beras Maluku tercatat sekitar 23.500 ton atau

67
R. Z Leirissa, “Orang Bugis dan Makassar di Kota-kota Pelabuhan Ambon dan Ternate selama
Abad ke-19,” in Kuasa dan Usaha di Masyarakat Sulawesi Selatan (Tim Penerjemah Ininnawa,
penerjemah)2, ed. oleh Roger Tol, Kees Van Dijk, dan Greg Acciaioli (Makassar: Ininnawa, 2019),
300.
68
J.C. Van Leur, Indonesian Trade and Society: Essays in Asian and Economic History (Bandung:
Sumur Bandung, 1960), 171–72.
69
M Adnan. Amal, Kepulauan Rempah-rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950
(Jakarta: KPG, 2010), 13–14.
70
Asba, ‘Ekspansi Dan Kontraksi Ekspor Kopra Makassar 1883-1958’ (Disertasi), 49-51.

Universitas Indonesia
81

sebanyak 63 % dari total tonase impor Maluku yang berjumlah 37.200 ton. Angka
ini jauh melebihi jumlah barang impor lain, seperti gula, tepung, barang-barang
rumah tangga dan barang lainnya. Gula, misalnya, yang hanya diimpor sebanyak
1.800 ton pada tahun yang sama.71 Sementara itu, integrasi perdagangan antar pulau
di Hindia Belanda juga merupakan salah satu faktor yang memudahkan masuknya
beras impor di Maluku. Di Maluku, perdagangan beras umumnya melibatkan
pedagang Cina dan Bugis.72 Beras yang didatangkan di Maluku bukan hanya
diangkut dengan perahu layar, namun juga kapal-kapal uap milik KPM. Sebelum
dekade 1930-an, kebutuhan beras Maluku banyak disuplai dari luar Hindia Belanda
(terutama Saigon dan Siam),73 di samping beras dari daerah lain di Hindia Belanda.
3.4.1.4 Timor dan Daerah Taklukannya
Timor dan Daerah Taklukannya merupakan bagian dari Nusa Tenggara,
yakni sebuah gugusan kepulauan di kawasan Indonesia bagian timur. Di era
kolonial, Nusa Tenggara disebut juga Kepulauan Sunda Kecil yang terdiri dari
berbagai pulau, antara lain Pulau Lombok, Bali, Sumbawa, Flores, Solor, Alor,
Sumba, Timor dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Khususnya Pulau Timor,
sebagian daerahnya (bagian timur) termasuk wilayah yang berada di bawah
kekuasaan Potugis sejak abad ke-18 hingga 1975, sementara sebagiannya lagi
(bagian barat) ialah wilayah yang dikontrol pemerintah kolonial Belanda.74 Secara
umum posisi Nusa Tenggara terletak di antara Laut Flores di sebelah utara, Laut
Timor di sebelah selatan, Selat Lombok di sebelah barat dan Kepulauan Maluku di
sebelah Timur.
Pada 1915, seiring perluasan wilayah koloni di daerah luar Jawa,
pemerintah kolonial Belanda melakukan penataan terhadap Pulau Timor dan pulau-
pulau sekitarnya ke dalam satu wilayah pemerintahan administratif tersendiri
dengan nama Keresidenan Timor dan Daerah Taklukannya (Timor en
Onderhoorigheden). Keresidenan ini terdiri dari lima afdeeling, yakni Afdeeling

71
Haga, 36.
72
Asba, “Ekspansi dan Kontraksi Ekspor Kopra Makassar 1883-1958” (Disertasi), 54.
73
Caron, Memorie van Overgave van den afgetreden Gouverneur van Celebes en
Onderhoorigheden, 265.
74
I Gde Parimartha, Perdagangan dan Politik di Nusa Tenggara 1815-1915 (Jakarta: Penerbit
Djambatan-KITLV, 2002), 29.

Universitas Indonesia
82

Timor Selatan, Timor Utara dan Tengah, Flores, Sumba dan Sumbawa.75
Keresidenan itu kira-kira mencakup wilayah Nusa Tenggara Timur dewasa ini
(selanjutnya disebut Nusa Tenggara bagian timur untuk membedakan dengan Nusa
Tenggara bagian barat).
Nusantara bagian timur sangat populer dengan hasil produk hutannya. Di
antaranya ialah kayu sapan, kayu kuning dan kayu manis yang banyak dihasilkan
di Sumba dan Flores serta kayu cendana, sarang burung, lilin di Sumba dan Timor.
Dengan berbagai komoditas itu, Nusa Tenggara bagian timur sudah sejak lama
bersentuhan dengan dunia luar. Didik Pradjoko menuturkan bahwa sejak 1511
kapal-kapal dagang Portugis telah rutin mengunjungi Pulau Timor untuk membeli
kayu cendana, di samping kunjungan para pedagang Nusantara dan Asia.76 Di abad
ke-18, perdagangan teripang yang meningkat di Makassar menjadikan wilayah ini
sebagai salah satu tempat untuk menjual atau menukar komoditas teripang yang
telah dikumpulkan, selain menjadi tempat persinggahan bagi para pelaut dan
pedagang Sulawesi Selatan yang hendak mencari teripang hingga ke pantai utara
Australia.77
Terlepas dari hal tersebut, secara umum topografi Nusa Tenggara bagian
timur memiliki perbedaan yang cukup menonjol dibandingkan Nusa Tenggara
bagian barat. Selain permukaan yang berbukit-bukit dan lembah yang curam, Nusa
Tenggara bagian timur umumnya memiliki kondisi tanah yang berbatu, kering dan
sedikit air. Akibatnya, dalam hal bercocok tanam, penduduk harus berpindah dari
satu tempat ke tempat lain. Satu bidang tanah garapan biasanya hanya diolah selama
tiga atau empat tahun. Wilayah ini juga tidak didukung dengan keberadaan sungai-
sungai besar yang alirannya dapat difungsikan sebagai sumber pengairan di sawah.
Kalaupun ada, sungainya hanya berupa sungai kecil dengan aliran air yang cukup
di saat musim hujan. Selain itu, curah hujan yang berlangsung juga lebih minim

75
Didik Pradjoko, “Kerajaan Larantuka dan Politik Kolonia Belanda: Dianamika Politik Lokal di
Kawasan Flores Timor, Kepulauan Solor dan Timor Barat 1851-1915” (Disertasi) (Depok:
Universitas Indonesia, 2015), 307–8.
76
Pradjoko, 124.
77
Heather Sutherland, “Trepang and wangkang: The China trade of eighteenth-century Makassar c.
1720s-1840s,” Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde 156, no. 3 (2000): 463; Didik Pradjoko,
“Pelayaran, Perdagangan dan Perebutan Kekuatan Politik dan Ekonomi di Nusa Tenggara Timur:
Sejarah Kawasan Laut Sawu pada Abad XVIII-XIX” (Tesis) (Depok: Universitas Indonesia, 2007),
102.

Universitas Indonesia
83

dibanding Nusa Tenggara bagian barat. Itulah sebabnya sistem pertanian yang
berkembang di masyarakat Nusa Tenggara bagian timur ialah sistem pertanian
ladang (swidden agriculture), bukannya sistem pertanian sawah sebagaimana
tampak Nusa Tenggara bagian barat.
Pada gilirannya, kondisi tersebut berdampak terhadap hasil produksi
pertanian. Jika Nusa Tenggara bagian barat umumnya menghasilkan beras, kapas,
kopi, tebu dan komoditas lainnya, maka Nusa Tenggara bagian timur kebanyakan
menghasilkan jagung, kelapa, kopi, umbi-umbian dan buah-buahan.78 Tidak heran
jika jagung dan umbi-umbian merupakan makanan pokok penduduk, sekalipun
terkadang dijumpai pula nasi yang terbuat dari campuran beras dan jagung
dijadikan sebagai makanan sehari-hari. Karena itu, kebutuhan beras di wilayah ini
sudah sejak lama bergantung dengan suplai beras dari daerah lain. Pelabuhan
Larantuka, misalnya, yang sejak 1879 disinggahi dua kali dalam sebulan oleh kapal
uap Belanda dan perahu layar dari Jawa atau Makassar dengan muatan beras dan
kopi guna memenuhi kebutuhan konsumsi yang sangat dibutuhkan penduduk
setempat saat itu.79
Di awal abad ke-20, secara umum Nusa Tenggara bagian timur masih
dianggap sebagai wilayah yang kurang subur, kering dan penduduk yang lebih
sedikit. Partisipasinya dalam pasar dunia juga lebih sedikit dibanding daerah-daerah
lain di luar Jawa. Dorongan pemerintah kolonial Belanda untuk mengembangkan
budi daya padi bagi masyarakat sesungguhnya baru mulai dilakukan seiring
penataan wilayah ini pada 1915. Hasilnya, menjelang Perang Dunia II, Sumbawa
menjadi daerah penghasil beras penting di Nusa Tenggara bagian timur, di samping
komoditas jagung, bawang dan kacang hijau serta hasil ternak (kuda, sapi dan
kambing).80 Walaupun telah terhitung sebagai daerah surplus ekspor beras sejak
1934,81 namun jumlah yang dihasilkan sebenarnya tidak begitu signifikan. Itulah

78
I Gde Parimartha telah menjelaskan secara detail mengenai kondisi lingkungan dan kehidupan
sosial ekonomi penduduk Nusa Tenggara. Selengkapnya lihat Parimartha, Perdagangan dan Politik
di Nusa Tenggara 1815-1915, 25–57.
79
Pradjoko, “Kerajaan Larantuka dan Politik Kolonia Belanda: Dianamika Politik Lokal di
Kawasan Flores Timor, Kepulauan Solor dan Timor Barat 1851-1915” (Disertasi), 224.
80
Touwen, Extremes in The Archipelago: Trade and Economic Development in the Outer Islands
of Indonesia 1900-1941, 94–95.
81
Dalam laporan kolonial, pada 1934 jumlah surplus beras yang dihasilkan di wilayah Timor en
Onderhoorigheden yakni sebanyak 600 ton. Lihat Indisch Verslag 1938, 62.

Universitas Indonesia
84

mengapa hingga akhir dekade 1930-an komoditas beras masih tetap tercatat dalam
perdagangan impor di Nusa Tenggara bagian timur. Sebagai gambaran, antara 1929
hingga 1933 beras yang diimpor setiap tahun rata-rata sebanyak 5,4 % dari total
nilai impor.82

Beberapa pelabuhan yang strategis menunjang keberlangsungan aktivitas


pelayaran dan perdagangan di Nusa Tenggara bagian timur. Di antaranya ialah
pelabuhan Ende, Kupang, Baa, Bima dan Larantuka. Pelabuhan-pelabuhan ini
sudah tentu berperan penting sebagai pintu masuk beras impor dari daerah lain.
Sementara itu, keberadaan orang Bugis dan Makassar, yang setidaknya telah
menetap sejak abad ke-17, di hampir seluruh daerah pantai utara di Pulau Flores
dan Sumbawa turut menyokong kegiatan pelayaran. Pada 1938, misalnya, perahu
Bugis memuat produk ekspor di Nusa Tenggara bagian timur delapan kali lebih
banyak dibanding jumlah muatan kapal KPM.83 Biasanya produk ekspor bukan
hanya dibawa menuju Jawa, tetapi juga Makassar. Dengan demikian, keterlibatan
orang Bugis dan Makassar, baik sebagai pelaut maupun pedagang, sesungguhnya
telah memungkinkan berlangsungnya kontak niaga antara Nusa Tenggara bagian
timur dan Sulawesi Selatan, termasuk perdagangan beras.
3.4.1.5. Jawa
Pulau Jawa sudah sejak lama dikenal sebagai ‘Pulau Beras’ (Rijst Eiland).
Sematan ini bertolak dari realitas bahwa Jawa merupakan daerah penghasil beras
utama di Hindia Belanda. Dengan kondisi lingkungan yang dianugerahi lebih dari
30 gunung berapi, sungai-sungai dengan aliran pendek, deras dan mengandung
lumpur serta dataran landai yang luas,84 aspek pertanian merupakan basis utama
ekonomi Jawa yang telah berlangsung sejak dahulu. Selain penanaman padi dapat
dijumpai di mana-mana, faktor geografis juga menyebabkan praktek budi daya padi
dalam masyarakat Jawa lebih unggul dibanding masyarakat di daerah luar Jawa. Di
era kurun niaga, Jawa terkenal sebagai pemasok beras penting yang dipertukarkan

82
Touwen, Extremes in The Archipelago: Trade and Economic Development in the Outer Islands
of Indonesia 1900-1941, 381.
83
Touwen, 95.
84
Clifford Geertz, Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia (Gatot Triwira,
penerjemah) (Depok: Komunitas Bambu, 2016), 49–50.

Universitas Indonesia
85

dengan rempah-rempah di Maluku. Dalam aktivitas pelayaran dan perdagangan di


Jawa pada abad ke-18, beras adalah salah satu komoditas ekspor dominan yang
dikapalkan ke berbagai daerah lain, seperti Selat Malaka, Sulawesi, Maluku, Nusa
Tenggara dan Kalimantan. Pada dekade 1770-an, misalnya, rata-rata tahunan
volume beras yang diekspor ke luar Jawa mencapai 175.075 pikul.85
Namun demikian, sematan “Pulau Beras” tidak berarti menjadikan Jawa
selalu berdikari dalam hal kebutuhan beras, apalagi pada masa berikutnya. Paling
tidak sejak 1860-an Jawa mulai secara rutin tercatat mengimpor beras, terutama
beras yang berasal dari daratan Asia Tenggara (Vietnam, Myanmar dan Thailand).86
Sebetulnya ada beberapa faktor yang mempengaruhi kondisi tersebut. Pertama,
sistem tanam paksa. Sebagaimana umum diketahui, sejak 1830 penerapan sistem
tanam paksa telah banyak mengubah produksi pertanian di Jawa yang ditandai
dengan meningkatnya porsi tanaman perdagangan ekspor, seperti tebu, kopi dan
nila. Kedua, beras di daratan Asia Tenggara lebih murah dibanding beras produksi
domestik. Situasi ini juga didukung dengan perkembangan teknologi kapal uap di
abad ke-19 sehingga biaya pengangkutan komoditas semakin murah saat itu.
Ketiga, perbedaan musim panen. Panen padi di daratan Asia Tenggara terjadi lebih
dahulu dibanding Jawa.87 Oleh karena itu, suplai beras dari daratan Asia Tenggara
menjadi penting terutama saat stok beras mulai berkurang menjelang panen padi di
Jawa. Suplai beras tersebut sudah tentu ditujukan pula untuk mencegah kenaikan
harga beras sebelum panen padi.
Memasuki awal abad ke-20, secara garis besar Pulau Jawa memiliki posisi
yang lebih menarik sejauh menyangkut perdagangan beras. Hal ini tampak dari
perannya yang bukan hanya bertindak sebagai pengekspor beras, tetapi juga
pengimpor beras. Sebagai daerah pengekspor, hasil produksi beras di Jawa dikirim
ke daerah luar Jawa dan luar Hindia Belanda. Khususnya untuk ekspor ke luar
Hindia Belanda, beras dikirim ke berbagai negara, seperti Singapura, Australia,
Jerman, Prancis, Austria dan Belanda. Negara yang disebut terakhir merupakan

85
G Knaap, Shallow Waters, Rising Tide: Shipping and Trade in Java around 1775 (Leiden: KITLV
Press, 1996), 110–12.
86
W M F Mansvelt, Changing Economy in Indonesia: : A Selection of Statistical Source Material
from the Early 19th Century up to 1940/ Volume 4 Rice Prices (The Hague: Nijhoff, 1978), 17–18.
87
Pierre van der Eng, “Market Responses to Climate Stress: Rice in Java in the 1930s,” Australian
Economic History Review 50, no. 1 (2010): 66.

Universitas Indonesia
86

daerah tujuan utama ekspor beras. Pada 1912, misalnya, ekspor beras ke Belanda
sebanyak 32.731 ton dari total ekspor beras Jawa untuk luar negeri yang saat itu
berjumlah 45.407 ton beras. Beberapa pelabuhan penting sebagai pintu keluar untuk
ekspor beras, antara lain Indramayu, Tanjung Priok, Semarang, Pamanukan,
Banyuwangi dan Surabaya.88 Sebagai daerah pengimpor, Jawa menerima suplai
beras dari luar Hindia Belanda dan daerah luar Jawa. Jika impor beras dari luar
negeri umumnya berasal dari daerah daratan Asia Tenggara, maka impor beras dari
domestik utamanya berasal dari Bali dan Lombok serta daerah-daerah lain dengan
jumlah yang lebih minim, seperti Sulawesi Selatan. Beras yang diimpor dari luar
negeri cenderung disukai karena harga yang lebih murah dan tingkat pecahan yang
lebih sedikit dibanding beras hasil produksi domestik. Saat itu, impor beras
terutama ditujukan untuk memenuhi permintaan di kota-kota Jawa yang biasanya
dimasukkan melalui pelabuhan-pelabuhan utama, seperti Tanjung Priok, Semarang
dan Surabaya.89
Walaupun aktivitas impor beras di Jawa tetap berlangsung hingga dekade
1930-an, namun jumlahnya telah menurun drastis. Hal ini disebabkan oleh semakin
intensifnya penanamanan padi akibat depresi ekonomi yang mengguncang
perusahaan-perusahan perkebunan Eropa, di samping adanya kebijakan
pembatasan impor beras. Itulah sebabnya tren peningkatan ekspor beras Jawa ke
daerah luar Jawa tampak jelas pada dekade 1930-an. Pada 1929, misalnya, ekspor
beras daerah Jawa ke daerah luar Jawa masih tercatat sebanyak 30.135 ton dan
kemudian meningkat drastis pada 1937 dengan jumlah 197.143 ton.90
Satu hal yang menarik ialah kegagalan panen padi di beberapa tempat di
Jawa masih kerap terjadi hingga 1930-an. Situasi ini, pada gilirannya,
mengharuskan daerah yang mengalami gagal panen untuk mengimpor beras, baik
dari daerah lain di Jawa maupun daerah luar Jawa. Sebagai contoh, ketika
Bojonegoro, yang notabene merupakan daerah penyuplai beras untuk Kota
Surabaya, dilaporkan mengalami kekurangan hasil produksi padi karena kegagalan

88
H. Blink, “Economische ontwikkeling van nederlandsch oost-indie gedurende de laatste eeuw,”
Tijdschrift voor economische geographie 5, no. 16 (1914): 237–38.
89
van der Eng, “Market Responses to Climate Stress: Rice in Java in the 1930s,” 66.
90
Touwen, Extremes in The Archipelago: Trade and Economic Development in the Outer Islands
of Indonesia 1900-1941, 386.

Universitas Indonesia
87

panen pada 1937. Sementara itu, pada saat yang sama daerah produksi lainnya,
seperti Jember dan Lumajang tidak mengalami hal yang serupa. Namun, beras hasil
produksi Jember dan Lumajang memiliki kualitas yang baik. Karena itu, harganya
lebih mahal dibanding beras Bojonegoro. Dengan kondisi tersebut, sebagian besar
penduduk Kota Surabaya dikhawatirkan akan kesulitan membeli beras Jember dan
Lumajang saat itu. Untuk menghindari hal tersebut, pada akhirnya pemerintah
kolonial setempat memutuskan untuk mengimpor beras dari Cirebon, Banyumas
dan Parepare. Dalam sumber disebutkan bahwa ketiga daerah tersebut memiliki
beras dengan kualitas dan harga yang tidak jauh berbeda dari beras produksi
Bojonegoro.91
Perlu diketahui, sebagaimana diutarakan G.J. Schimmel, wakil kepala
Kantor Perdagangan di Hindia Belanda, bahwa beras dalam perdagangan adalah
barang konsumsi yang rentan dengan fluktuasi harga. Dalam hal ini, keadaan panen
padi yang melimpah di suatu daerah akan dapat menekan harga beras di pasaran.
Sebaliknya, apabila kekurangan beras karena kegagalan panen padi, maka harga
beras akan naik secara cepat.92 Sifat perdagangan beras ini sudah tentu berlaku di
Hindia Belanda secara umum dan Jawa khususnya. Keadaan inilah yang membuat
Jawa terkadang membutuhkan suplai beras dari daerah luar Jawa guna memenuhi
kekurangan beras di daerah tertentu. Dengan demikian, berbeda dari kasus Wanua
Laeng lainnya, pola impor beras yang berlaku di Jawa umumnya berlangsung dalam
keadaan darurat, terutama faktor kegagalan panen.
3.4.2 Struktur Perdagangan
Sebagai aktivitas perekonomian, perniagaan beras sudah tentu tidak terlepas
dari keberadaan struktur yang menentukan pola perdagangan. Struktur yang
dimaksud disini ialah aktor-aktor ekonomi yang terlibat langsung dalam rangkaian
proses perniagaan beras, mulai dari produksi hingga distribusi. Karena itu,
mengingat posisi Parepare berkedudukan sebagai pelabuhan ekspor beras, struktur
perdagangan beras yang berlaku di Parepare perlu diterangkan lebih lanjut.

91
Soerabaijasch Handelsblad 21 Oktober 1937, 5.
92
G. J Schimmel, “De Rijstpolitiek in de jaren 1933 tot 1937,” Landbouw 13 (1937): 158.

Universitas Indonesia
88

Petani

Pedagang Perantara

Eksportir

Pengangkutan
(Kapal Uap KPM/Perahu Layar)

Pada dasarnya, struktur perdagangan beras tidak jauh berbeda dengan


komoditas lain yang lazim diperdagangkan di Sulawesi Selatan. Pada tingkatan
pertama ialah para petani. Pada tingkatan ini, penduduk pribumi yang menanam
dan menghasilkan padi atau bertindak sebagai aktor produsen. Untuk penjualan
hasil produksi, para petani mesti berhubungan dengan pedagang perantara. Namun
demikian, petani yang memiliki lahan sawah yang luas terkadang langsung
berhubungan dengan para pelaut pribumi untuk pengangkutan ke daerah seberang
tanpa melalui hubungan dengan pedagang perantara dan eksportir. Dalam kasus ini,
komoditas beras yang dikapalkan biasanya masih berupa gabah dan beras ludah.
Contoh ini lumrah terjadi dalam konteks perdagangan beras antar daerah di pantai
barat Sulawesi, terutama untuk pengangkutan gabah dan beras ludah ke daerah
Mandar.
Selanjutnya ialah pedagang perantara. Dalam proses penjualan, petani
sebenarnya tidak selalu menjualnya ke pedagang perantara. Dengan kata lain,
petani terkadang menjual hasil padinya secara langsung ke pihak eksportir.
Berikutnya adalah eksportir. Pihak eksportir merupakan elemen penting yang
berperan sebagai penghubung produsen di daerah pedalaman dan konsumen di
daerah seberang. Selain membutuhkan modal yang tidak sedikit, pihak eksportir
juga umumnya mempunyai pabrik penggilingan padi. Di Parepare, para eksportir
merupakan penduduk Tionghoa dan Pribumi (Bugis). Merekalah yang berperan
sebagai pihak penyalur komoditas beras ke Wanua Laeng. Di samping itu, pihak
eksportir juga masih harus berurusan dengan KPM dan pelaut pribumi, yakni pihak

Universitas Indonesia
89

yang berperan dalam proses pengangkutan komoditas beras dari pelabuhan ke


daerah seberang.
3.4.3. Intensifikasi Pertanian di Daerah Pedalaman
Kebijakan politik etis pada dasarnya membawa perubahan mendasar
terhadap aspek pertanian di Hindia Belanda. Berawal dari munculnya berbagai
keluhan mengenai kondisi kesejahteraan masyarakat jajahan yang memprihatinkan
di akhir abad ke-19, Ratu Wilhelmina melalui pidatonya pada 1901 secara resmi
mengumumkan sebuah kebijakan baru yang dikenal dengan politik etis.93
Kebijakan yang tidak terlepas dari perkembangan paham liberal di Eropa ini,
dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanah jajahan di
Hindia Belanda. Adapun hal-hal pokok yang terkandung dalam kebijakan etis ialah
irigasi, emigrasi dan edukasi. Khususnya irigasi, politik pasifikasi di Sulawesi
Selatan juga paling tidak telah memungkinkan tersentuhnya seluruh daerah untuk
program tersebut, termasuk daerah hinterland Parepare. Sebelumnya, perhatian
terhadap sistem irigasi di Sulawesi Selatan sudah tentu masih relatif terbatas,
terutama hanya tampak di daerah-daerah yang telah dikuasai secara langsung oleh
pemerintah kolonial Belanda.
Penerapan politik etis, yang dianggarkan sebanyak 40 juta gulden pada
1904, juga membawa dampak terhadap administrasi kolonial. Dalam hal ini,
beberapa departemen baru mulai dibentuk, seperti Departemen Pertanian, Industri
dan Perdagangan (1904), Departemen Pekerjaan Umum (1908) dan Departemen
Pendidikan (1908) serta beberapa layanan dinas lainnya.94 Dua departemen yang
disebut pertama bisa dikatakan menjadi tumpuan utama berdasarkan pandangan
umum saat itu, di mana kesejahteraan masyarakat terkait erat dengan hasil tanaman
pangan. Di samping itu, Departemen Pekerjaan Umum juga berperan penting
menyangkut pembangunan dan pemeliharaan sarana irigasi, baik di daerah Jawa
maupun daerah luar Jawa.

93
G.H.A. Prince, “Kebijakan Ekonomi di Indonesia, 1900-1942,” in Sejarah Ekonomi Modern
Indonesia: Berbagai Tantangan Baru, ed. oleh J. T Lindblad (Jakarta: LP3ES, 2000), 235.
94
J. T Lindblad, “The late colonial state and economic expansion, 1900-1930s,” in The emergence
of a national economy : an economic history of Indonesia, 1800-2000, ed. oleh Howard Dick et al.
(Crows Nest, N.S.W.: Allen & Unwin, 2002), 117–18.

Universitas Indonesia
90

Peran tersebut tampak jelas sejak awal pembentukan Departemen Pekerjaan


Umum. Pada 1908 misalnya, melalui surat tertanggal 9 April 1908 No. 5476/E,
Direktur Departemen Pekerjaan Umum meminta informasi kepada setiap kepala
daerah terkait pengelolaan irigasi di wilayah pemerintahannya masing-masing.
Sayangnya, data yang terkumpul dianggap tidak banyak membantu pemerintah
dalam rangka menganalisis keadaan infrastruktur pengairan di Hindia Belanda.95
Itulah sebabnya, pada 1910 pemerintah kolonial kemudian menunjuk dua orang
insinyur guna mengadakan penyelidikan lokal di Sulawesi dan Sumatera.96 Di
Sulawesi, tugas ini dibebankan kepada J.A.M. Van Buuren. Insinyur ini
menjalankan tugasnya sejak 5 September 1911 hingga 15 September 1912 melalui
penyelidikan secara langsung di seluruh wilayah pemerintahan Celebes en
Onderhoorigeheden,97 termasuk daerah pedalaman Parepare. Berdasarkan hasil
penyelidikannya, Buuren menganjurkan pemerintah kolonial di Batavia agar
memberi perhatian lebih terhadap 10 rencana pembangunan dan perbaikan sistem
pengairan berskala besar di Sulawesi Selatan. 10 rencana ini dikategorikan sebagai
rencana pengembangan irigasi berskala besar di Sulawesi Selatan. Dari 10 rencana
tersebut, tiga di antaranya berlokasi di daerah pedalaman Parepare. Ketiga rencana
itu ialah perbaikan saluran air di kawasan Danau Tempe (diperkirakan sekitar
puluhan ribu bau lahan), pembangunan sebuah irigasi yang disuplai aliran Sungai
Rappang (4.000 bau sawah) dan satu irigasi lagi yang disuplai aliran Sungai Sadang
(6.000 bau sawah).98
Sebenarnya upaya intensifikasi pertanian bukan hanya didorong oleh
pemerintah kolonial di Batavia, tetapi juga pemerintah kolonial setempat.
Keterlibatan pemerintah kolonial setempat terutama menyangkut pengembangan
irigasi berskala menengah dan kecil. Pada 1914 misalnya, K.H. Prehn, pejabat
kontrolir Parepare, menugaskan insinyur Stigter guna mengawasi pembangunan

95
J.A.M. Van Buuren, Irrigatie Rapport van Celebes, 1911, 1.
96
Pierre van der Eng, Agricultural Growth in Indonesia : Productivity Change and Policy Impact
since 1880 (New York: St. Martin’s Press, 1996), 57,
http://search.ebscohost.com/login.aspx?direct=true&scope=site&db=nlebk&db=nlabk&AN=4915
74.
97
Van Buuren, Irrigatie Rapport van Celebes, 2–7.
98
Van Buuren, 317.

Universitas Indonesia
91

irigasi skala menengah di Nepo dengan memanfaatkan aliran Sungai Batu Putih.99
Pembangunan ini diperkirakan dapat mengairi secara teknis sekitar 6.000 bau
sawah, yang sebelumnya sebagian besar bergantung pada curah hujan.
Agar program intensifikasi pertanian dapat berjalan lebih maksimal,
pemerintah kolonial mulai menempatkan seorang konsultan pertanian di Afdeeling
Parepare pada 1921. Tujuannya ialah agar penduduk di Afdeeling Parepare dapat
memperoleh hasil panen padi yang memuaskan.100 Selain menggalakkan promosi
penanaman padi, konsultan itu juga berperan penting dalam program intensifikasi
pertanian di daerah pedalaman Parepare. Pada 1923 misalnya, konsultan pertanian
di Parepare membentuk sebuah tim guna mengadakan investigasi terkait kondisi
tanah di Pinrang. Sebanyak 68 sampel tanah di Pinrang berhasil dikumpulkan oleh
tim yang dipimpin langsung oleh konsultan tersebut. Sampel tanah yang telah
dikumpulkan itu kemudian diselidiki lebih lanjut di Weltevreden. Hasilnya ialah
tanah di Pinrang dikatakan sangat cocok untuk budi daya padi, baik secara kualitas
maupun bentuk permukaan tanah yang datar.101 Karakter ini turut disinggung dalam
sumber lain. Disebutkan bahwa tanah di Pinrang, Sidenreng dan Rappang adalah
tanah yang umumnya berjenis alluvial, regosol dan grumosol.102 Jenis tanah tersebut
sangat sesuai untuk budi daya pertanian. Dalam sumber lain disebutkan bahwa
tanah yang ada di Pinrang, Sidenreng dan Rappang adalah tanah yang umumnya
berjenis alluvial, regosol dan grumosol.103 Jenis tanah tersebut sangat sesuai untuk
budi daya pertanian.
Pengembangan irigasi berskala besar direncanakan lagi pada 1924. Saat itu,
terdapat dua rencana pembangunan irigasi baru di daerah pedalaman Parepare.
Salah satunya ialah irigasi yang memanfaatkan aliran Sungai Saddang.
Pembangunan irigasi ini berada di Sawitto (Pinrang) dan diperkirakan akan dapat
mengairi sawah sebanyak 30.000 bau. Satunya lagi ialah pembangunan irigasi Bulu
Timurung di Sidenreng. Sejak 1924, seorang insinyur telah ditunjuk guna

99
Th. A. L Heyting, Memorie van Overgave van den aftredende Gouverneur van Celebes en
Onderhoorigheden, 1915, 90.
100
Nahdia Nur, “Perdagangan Beras di Makassar Awal Abad XX,” Lembaran Sejarah 5, no. 1
(2003): 87.
101
Bataviaasch Nieuwsblad, 22 Oktober 1924, 1.
102
A. A. Adi Mulya, “Dampak Revolusi Hijau Di Sulawesi Selatan 1969-1998” (Tesis) (Depok:
Universitas Indonesia, 2017), 39.
103
Mulya, 39.

Universitas Indonesia
92

menyelidiki rencana pembangunan irigasi itu. Dengan pembangunan itu, sekitar


18.000 bau sawah dapat diairi secara teknis dengan memanfaatkan aliran Sungai
Klempang.104 Berbagai upaya intensifikasi pertanian tersebut bukan hanya
berdampak positif terhadap kondisi pertanian di daerah pedalaman, namun juga
membawa pengaruh terkait kondisi perdagangan beras di pelabuhan Parepare.
3.4.4. Perdagangan Beras Sampai 1925
Pada awalnya, aktivitas perdagangan beras di pelabuhan Parepare cukup
bergantung dari sawah-sawah yang sebagian besar berupa sawah tadah hujan.
Karena itu, kondisi musim kemarau yang panjang atau keterlambatan musim hujan
membawa pengaruh terhadap ketersediaan beras ekspor (penawaran). Hal ini
terutama berlangsung hingga akhir paruh pertama dekade 1910. Untuk lebih
detailnya dapat dilihat dari grafik berikut ini :
Grafik 3.3 Ekspor Beras di Parepare pada 1909-1911
5000
4384
4000
dalam ton

3000 3159

2000
1238
1000

0
1909 1910 1911

Ekspor Beras

Sumber: diolah dari Verslag van de Kamer van Koophandel en Nijverheid te Makassar
over het jaar 1911.

Grafik di atas menggambarkan kondisi perdagangan beras pada dekade awal


abad ke-20. Tampak jelas bahwa ekspor beras mengalami penurunan setelah 1909.
Pada 1910, misalnya, jumlah beras yang diekspor yaitu sebanyak 3.159 ton atau
menurun sebanyak 1.225 ton dibanding jumlah ekspor pada tahun sebelumnya.
Angka ekspor beras tetap menunjukkan penurunan pada tahun 1911, di mana
jumlahnya hanya sebesar 1.238 ton. Penurunan ekspor beras itu tidak terlepas dari
kondisi kemarau panjang yang berlangsung pada tahun-tahun tersebut. Penurunan
ekspor tidak jarang memperlihatkan perbedaan yang cukup mencolok. Pada 1914,

104
F Vorstman, Memorie van den Gouverneur van Selebes en Onderhoorigheden, 1924, 78.

Universitas Indonesia
93

misalnya, beras yang diekspor tercatat hanya sebesar 1.338 pikul atau setara dengan
83 ton.105 Karena itu, dengan kondisi sawah yang sebagian besar sawah tadah hujan,
tingkat votalitas yang tinggi masih membayangi budi daya pada ketika itu. Oleh
sebab itu, tampak bahwa sawah tadah hujan adalah faktor utama yang menghambat
perdagangan beras di pelabuhan Parepare.
Pada akhirnya, upaya intensifikasi pertanian di daerah pedalaman yang
pertama kali dilakukan pada 1914 mulai membawa pengaruh terhadap aktivitas
perdagangan beras di pelabuhan. Kondisi ini tampak jelas dari jumlah ekspor beras
yang terus meningkat setelah upaya tersebut. Pada 1915, misalnya, beras yang
dikapalkan di Parepare telah tercatat sebanyak 124 ton, meskipun perbedaannya
masih cukup mencolok dibanding ekspor beras pada 1911.106 Hal yang menarik
ialah lonjakan drastis ekspor beras terjadi pada 1916, yakni sebanyak 2.558 ton atau
telah meningkat sebanyak 2.434 ton dari jumlah ekspor tahun sebelumnya.107
Bahkan, antara Januari hingga September 1917, jumlah beras yang diekspor telah
mencapai sekitar 50.000 pikul atau setara dengan 3.000 ton.108 Sebab itu, jelas
bahwa selain kondisi musim yang berlangsung normal, peningkatan jumlah ekspor
beras pada tahun-tahun tersebut adalah dampak positif dari upaya intensifikasi
pertanian di daerah pedalaman.
Harga pasaran beras di Parepare pada dekade 1910 terbilang murah. Pada
1917, misalnya, beras nomor 1 dijual dengan kisaran harga f 7 – f 7,5 per pikul dan
beras nomor 2 dijual antara f 5 – f 6 per pikul.109 Pada 1918, kondisi perberasan
domestik di Hindia Belanda semakin mengkhawatirkan akibat langkanya110 barang
impor, termasuk beras. Akibatnya, harga beras semakin naik di pasaran. Pada tahun

105
De Indische Mercuur, 30 Januari 1920.
106
De Indische Mercuur, 30 Januari 1920.
107
Pemberita Makassar, 6 September 1917.
108
Pemberita Makassar, 30 Oktober 1917.
109
Pemberita Makassar, 6 September 1917.
110
Berlangsungnya Perang Dunia I (1914-1918) membuat sebagian besar aktivitas pelayaran dan
perdagangan di pelabuhan-pelabuhan Hindia Belanda mengalami hambatan karena terbatasnya
kapal-kapal yang beroperasi. Hal ini juga berakibat semakin langkanya barang-barang impor di
pasaran domestik, termasuk komoditas beras yang diimpor dari daratan Asia Tenggara. Untuk hal
ini, lihat Jan Luiten van Zanden dan Daan Marks, Ekonomi Indonesia 1800-2010: Antara Drama
dan Keajaiban Pertumbuhan (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2012), 198; C. v Dijk, The
Netherlands Indies and the Great War 1914-1918 (Leiden: KITLV Press, 2007), 527–29.

Universitas Indonesia
94

itu, harga beras di Batavia telah dijual sebesar f 12 per pikul,111 sementara beras di
Parepare masih dijual sebesar f 10 per pikul.112
Grafik 3.4 Ekspor Beras di Parepare pada Paruh Pertama
Dekade 1920
10000
9000
8000 9000
7000 7800
dalam ton

6000
5000
4000 4500 4300
3000
2000 2700
1000
0
1921 1922 1923 1924 1925

Ekspor Beras

Sumber: H. C Zentgraaff, Van Eilanden in Opkomst, hlm. 83.

Memasuki dekade 1920, perkembangan positif tetap tampak dalam kondisi


perdagangan beras di pelabuhan. Grafik di atas memperlihatkan jumlah ekspor yang
cenderung meningkat selama paruh pertama dekade 1920. Sekalipun sempat
mengalami penurunan pada 1922, namun jumlah ekspor beras kembali
memperlihatkan peningkatan pada tahun-tahun berikutnya. Adapun penurunan
temporer yang terjadi pada 1922 kemungkinan berkaitan dengan pengaruh resesi
ekonomi yang terjadi pada awal dekade 1920, di samping hasil panen padi yang
menurun akibat gagal panen. Hal yang menarik ialah peningkatan yang cukup
signifikan tampak dari ekspor beras pada 1924. Selain hasil produksi pertanian di
daerah pedalaman yang terus membaik akibat intensifikasi pertanian, peningkatan
ekspor yang signifikan pada tahun itu juga tidak terlepas dari peranan kapal uap
dalam pengangkutan komoditas beras ke Kalimantan Timur dan Kalimantan
Selatan. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, sejak 1924 jalur 13 dari rute
pelayaran KPM mulai menjadikan Parepare sebagai pelabuhan singgah dalam jalur
kepulangannya (bersifat fluktuatif) menuju pantai timur dan selatan Kalimantan.

111
Dijk, The Netherlands Indies and the Great War 1914-1918, 523.
112
Pemberita Makassar, 3 April 1918.

Universitas Indonesia
95

Dengan demikian, bisa ditarik kesimpulan bahwa peningkatan tersebut


berhubungan dengan permintaan beras yang meningkat di Wanua Laeng.
Harga beras di Parepare sepanjang dekade 1920 pada dasarnya tidak jauh
berbeda dengan dekade sebelumnya. Dalam sebuah sumber disebutkan bahwa, pada
1925 harga beras yang diolah sendiri113 ialah antara f 8 – f 10,50 per pikul.
Sementara itu, harga beras yang diolah melalui pabrik penggilingan padi dijual
antara f 10 – f 12,50 per pikul.114 Perlu diketahui pula, sebuah mesin penggilingan
padi yang menggunakan minyak bumi telah beroperasi di Parepare pada 1924.115
Sayang sekali, tidak banyak informasi yang diperoleh mengenai hal tersebut. Satu
hal yang penting bahwa penggunaan mesin penggilingan padi tersebut belum
membawa dampak yang signifikan terhadap perdagangan beras ketika itu karena
jumlahnya yang masih minim.
Berbeda dengan dekade sebelumnya, pada 1920-an vrachtauto (prahoto)
telah menggeser kedudukan kuda pateke’ sebagai sarana transportasi utama dalam
hal pengangkutan komoditas beras dari pedalaman ke pelabuhan. Biaya
pengangkutan umumnya dikenakan sebesar f 1 per pikul. Tentu saja pengangkutan
beras dengan menggunakan angkutan truk lebih efisien dalam hal waktu
pengiriman. Dengan kondisi demikian, pada paruh pertama 1920, seorang
pengamat menuturkan bahwa “…Parepare telah membuat kemajuan yang
signifikan, ada lebih banyak perdagangan dan lalu lintas dan mobil menunggu di
pasar yang ramai.”116
Pertanyaannya, bagaimana komoditas beras di Parepare dikapalkan ke
Wanua Laeng? Penjelasan dari pertanyaan itu kiranya dapat diketahui dari
penuturan seorang responden yang dimuat dalam surat kabar Pemberita Makassar.
Menurutnya, pada 1917 pelabuhan Parepare sangat ramai dikunjungi oleh perahu-
perahu dagang guna memuat komoditas beras, terutama pada saat musim muson
timur. Lebih lanjut, responden itu juga berharap agar ke depannya perusahaan
pelayaran KPM dapat “…banjak moewatan dari Pare2, hingga itoe toekang2

113
Jenis beras yang diolah sendiri disebut “Beras Tumbuk”. Penjelasan detail mengenai jenis beras
berdasarkan proses pengolahannya dapat dilihat di bab berikutnya.
114
Lihat Koloniaal Verslag 1926, dalam Hoofdstuk O, 185.
115
Bataviaasch Nieuwsblad, 22 April 1924.
116
H. C Zentgraaff, Van Eilanden in Opkomst (Soerabaiasch Handelsblad, 1929), 61.

Universitas Indonesia
96

tongkang boleh dikata ada saingan keras dari KPM.”117 Dengan demikian, bisa
dikatakan bahwa pengangkutan komoditas beras dari Parepare ke Wanua Laeng
kebanyakan ditangani oleh armada perahu. Situasi ini paling tidak berlangsung
sampai akhir 1910-an. Memasuki dekade 1920, struktur ekonomi yang semakin
lekat dengan perdagangan global membuat kebutuhan beras di Wanua Laeng juga
semakin meningkat. Itulah sebabnya, KPM mulai memberi perhatian terhadap
potensi niaga komoditas beras di Parepare. Hal ini tampak dari jalur 13 yang mulai
memasukkan Parepare sebagai pelabuhan singgah yang fakultatif pada 1924. Jalur
ini menyinggahi Parepare dalam rute kepulangannya guna memuat komoditas beras
untuk dikapalkan ke pantai timur dan selatan Kalimantan. Sebab itu, tampak jelas
arti penting komoditas beras dalam konteks kegiatan pelayaran di Parepare. Selain
itu, mengingat antara Parepare dan Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan baru
terkoneksi dengan kapal uap KPM sejak 1924, itu berarti bahwa pada masa
sebelumnya pengangkutan komoditas beras ke Wanua Laeng tersebut hanya
mengandalkan perahu layar milik pribumi. Dalam konteks itu, ketika tiba di
Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, komoditas beras dijual atau dibarter ke
penduduk atau pedagang setempat. Dalam pelayaran pulang, para pelaut-pedagang
sering memuat kayu dan balok sebagai muatan balik untuk kemudian dijual di
Parepare atau tempat lain di pantai barat Sulawesi.118
Sampai akhir 1920-an, komoditas beras di Parepare diperdagangkan ke
beberapa tempat. Di antaranya ialah Mandar, Sulawesi Tengah, Kalimantan Timur
dan Kalimantan Selatan, pulau-pulau di dekat Madura dan pulau-pulau di Selat
Makassar.119 Khususnya pulau-pulau di Selat Makassar, kebutuhan beras di daerah
tersebut terutama bersumber dari mata pencaharian masyarakat yang sebagian besar
berprofesi sebagai nelayan dan budi daya kelapa.120
Berdasarkan uraian mengenai perdagangan beras di atas, tampak jelas
bahwa aturan collecting centre bagi Parepare tidaklah berlaku secara ketat. Sebab,
sekalipun berbagai komoditas yang dimuat di pelabuhan umumnya diangkut ke
Makassar atau entrepot lainnya, komoditas beras sesungguhnya tidaklah demikian

117
Pemberita Makassar, 30 Oktober 1917.
118
Pemberita Makassar, 30 Oktober 1917.
119
Pemberita Makassar, 30 Oktober 1917’.
120
Vorstman, Memorie van den Gouverneur van Selebes en Onderhoorigheden.

Universitas Indonesia
97

adanya. Komoditas beras justru dikapalkan langsung ke daerah-daerah seberang.


Oleh sebab itu, kasus perdagangan beras di pelabuhan Parepare paling tidak
menjadi satu temuan bahwa fungsi perdagangan collecting centre, sebagaimana
yang diperkenalkan oleh Leong Sau Heng,121 tidak selalu bertindak sebagai
pelabuhan penyuplai untuk entrepot.
Terlepas dari hal tersebut, walaupun tampak adanya tren peningkatan
jumlah ekspor, namun hingga akhir dekade 1920 perdagangan dan pelayaran
komoditas beras belum menjadikan Parepare sebagai pelabuhan utama beras di
Sulawesi Selatan dan kawasan Selat Makassar. Dari segi jumlah, ekspor beras pada
1920-an masih jauh di bawah ekspor beras pada 1930-an. Padahal, produksi padi di
daerah hinterland selalu tersedia untuk ekspor. Sejalan dengan hal itu, jangkauan
yang merepresentasikan jaringan perdagangan komoditas beras juga masih relatif
terbatas. Meskipun ekspor beras telah berlangsung dalam jaringan perdagangan
inter-regional (antar-daerah), namun hal ini hanya dapat dipandang sebagai bentuk
kontinuitas dari aktivitas perdagangan dan pelayaran yang telah berlangsung sejak
lama, seperti Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan.
3.5 Pengembangan Infrastruktur Pelabuhan
Sejak awal, persoalan utama pelabuhan Parepare ialah ketiadaan dermaga
kapal. Itulah sebabnya, pasca pendudukan Parepare pada Maret 1905, tindakan awal
pemerintah kolonial ialah mencari dan menentukan lokasi yang tepat untuk
pembangunan dermaga. Tentunya hal ini bertujuan agar kapal dapat bersandar tepat
di depan pelabuhan. Lokasi yang dipilih adalah sebuah areal di sisi timur teluk atau
tepatnya di sebelah selatan dari lokasi pelabuhan lama. Berdasarkan salinan surat
Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tertanggal 27 Juni 1906, anggaran
biaya yang telah disetujui untuk pembangunan dermaga ialah sebanyak f 28.230.122
Pembangunan dermaga yang menggunakan konstruksi tiang pancang ini
diselesaikan pada 1907 dengan ukuran panjangnya sekitar 22,5 meter. Pembuatan
dermaga tentunya memiliki nilai tersendiri dalam proses sejarah Parepare
mengingat pelabuhan ini belum pernah memiliki dermaga sejak didirikan pada

121
Leong Sau Heng, “Collesting Centres, Feeder Points and Entrepots in the Malay Peninsula 1000
B.C - A.D. 1400,” in The Southeast Asian Port and Polity: Rise and Demise, ed. oleh J.
Kathirithamby- Wells dan John Villiers (Singapore: Singapore University Press, 1990), 17–38.
122
Arsip Financien, No 739.

Universitas Indonesia
98

1770-an. Akses jalan ke pelabuhan juga turut dikerjakan yang selesai pada 1907.
Sampai 1919, fasilitas dermaga pelabuhan Parepare paling tidak telah dilengkapi
dengan 2 mooring bouy.123

Gambar 3.1 Dermaga kapal dengan pondasi tiang pancang di pelabuhan


Parepare pada 1911
Sumber: https://collectie.wereldculturen.nl/?query=search=*=TM-60033710#/query/aac93006-
ecdb-444e-9351-be0a064f9135, diakses pada 26 Maret 2020

Dengan pembangunan dermaga tersebut, itu artinya bahwa perairan yang


menjadi wilayah operasional pelabuhan bertambah luas. Sebelumnya, aktivitas
bongkar-muat hanya berpusat di perairan teluk yang berdekatan dengan Pasar
Ujung (lokasi pelabuhan lama). Karena itu, pada 1908 batas-batas pelabuhan mulai
ditetapkan secara yuridis. Adapun batas-batas pelabuhan Parepare ialah mengikuti
bentuk Teluk Parepare dari utara ke selatan. Di sebelah utara, batas pelabuhan
sejajar dengan titik tertinggi di Pulau Dapo, yakni salah satu pulau kecil di perairan
teluk. Sedangkan, sisi barat terumbu karang Batu Larebang menjadi batas
pelabuhan di sebelah selatan.124
Pemerintah kolonial turut membangun kantor duane dan gudang.
Berdasarkan surat masuk Gubernur Celebes en Onderhoorigheden tertanggal 20
Januari 1906 No. 310/3 yang ditujukan ke Departemen Pekerjaan Umum,
pemerintah kolonial menganggarkan sejumlah biaya untuk pendirian bangunan

123
Ministerie Van Marine Afdeeling Hydrographie, Zeemansgids voor den Oost-Indischen Archipel.
Deel IV (’s-Gravenhage: Mouton & Co, 1919), 176.
124
Staatsblad van Nederlandsch Indie 1908 No. 332.

Universitas Indonesia
99

kantor duane berukuran 4 x 4 meter dan gudang penyimpanan sementara dengan


ukuran 6 x 4 meter, di samping sebuah bangunan untuk tempat tinggal buat pejabat
duane. Biaya yang dianggarkan untuk ketiga bangunan tersebut ialah sebesar f
2.027.125 Selain itu, akses jalan menuju pelabuhan juga tidak luput dalam proyek
pembangunan awal tersebut. Lokasi kantor duane sendiri dibangun berdekatan
dengan dermaga. Namun, berhubung gudang sebelumnya hanya bersifat sementara,
biaya sebesar f 9.600 kembali dianggarkan untuk pendirian gudang penyimpanan
permanen pada 1909. Biaya ini juga termasuk pendirian bangunan yang
diperuntukkan sebagai kantor pegawai pemerintahan di Parepare.126 Kedua
bangunan itu selesai dikerjakan pada 1910.
Fasilitas berupa persediaan air minum dan bahan makanan merupakan aspek
mendasar yang cukup menentukan maju-mundurnya suatu pelabuhan.127
Menyangkut persoalan air minum, hal ini tidak terlepas dari upaya Tuan W. Corne,
seorang arsitektur dari Departemen Pekerjaan Umum di Makassar, yang ditugaskan
oleh pemerintah kolonial setempat untuk menyelidiki sumber air yang dapat
dimanfaatkan di Parepare. Setelah berhasil menemukan lokasi sumber air di
pegunungan sekitar Parepare, proyek pembangunan pipa air kemudian
dipercayakan kepada Carl Schlieper & Co, yakni sebuah perusahaan konstruksi di
Makassar. Upaya ini berhasil diwujudkan dengan diresmikannya sebuah pipa air
minum di Parepare pada 3 Oktober 1914. Perlu diketahui, sebelum 1914 kebutuhan
air penduduk sebagian besar masih bergantung dengan sumur-sumur yang airnya
sering asin dan, bahkan, terkadang kering saat musim kemarau. Meskipun saat itu
tujuan utamanya ialah agar memudahkan penduduk dalam memenuhi kebutuhan
air, namun pendirian pipa air minum juga digunakan untuk mengisi perbekalan air
bagi kapal dan perahu yang sandar di pelabuhan Parepare.128

125
Arsip Financien, No 739, Surat tentang Begrooting van Kosten voor het bouwen van tijdelijke
bamboozen loodsen ten dienste van de recherche te Makasser.
126
Verslag over de Burgerlijke Openbare Werken in Nederlandsch-Indie over het jaar 1909
(Batavia: Landsdrukkerij, 1911), 46.
127
Adrian B Lapian, Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad Ke-16 dan 17 (Depok: Komunitas
Bambu, 2008), 102.
128
Th. A. L Heyting, Memorie van Overgave van Den Aftredende Gouverneur van Celebes En
Onderhoorigheden, 1915, 114; Pemberita Makassar 17 Mei 1915, 1; Pemberita Makassar, 6
Oktober 1914, 2.

Universitas Indonesia
100

Mengingat Parepare adalah pusat perdagangan bagi masyarakat


Ajatappareng, kedudukan pasar juga cukup penting. Sebelum 1914, pasar utama
Parepare di Kampung Ujung masih belum cukup teratur dan tertata rapi. Menyadari
kekurangan tersebut, pemerintah kolonial kemudian mengadakan renovasi pasar
yang ditandai dengan penataan dan pembangunan dua aula baru. Usaha ini dimulai
pada 1914. Penataan ini telah membawa pengaruh positif terhadap penampakan
pasar saat itu. Ketika berkunjung ke Parepare dan mengamati pasar pada 1915,
Kijker menuliskan pengalamannya seperti berikut ini:
Sekarang soedah kelihatan amat molek roepanja, karena doea boeah loods
dari pada pasar itoe telah dibetulkan hingga mendjadi sangat permai di
pemandangan. Di moeka loods itoe yang menghadap ke djalan raja
kelihatan toelisan jang demikian batjanja: “Pasar loods”. Di sebelah loods
jang baharoe itoe (masih di dalam pasar) ada bangsal jang dari dahoeloe.
Betapakah lagi indah dan permainja pasar Parepare itoe apabila
seloeroehnja habis dibetoelkan sebagai jang telah djadi?129
Keterangan kijker di atas menunjukkan bahwa usaha renovasi telah
menjadikan pasar lebih tertata, di mana gudang-gudang pasar telah dibangun
menghadap ke jalan. Pasar menjadi lebih menarik dan rapi. Namun demikian, hal
yang terpenting ialah keberadaan dan perbaikan pasar setidaknya semakin memberi
kemudahan bagi para pedagang dan pelaut dalam memperoleh bahan makanan
ketika berkunjung ke Parepare.
Sebagaimana telah dikemukakan di awal, jalur darat menduduki posisi vital
terkait hubungan pelabuhan dan daerah pedalaman. Pada 1905, kondisi jaringan
jalan yang ada umumnya masih berupa jalan setapak besar dan kecil. Kondisi ini
pada gilirannya berdampak terhadap pola pengangkutan komoditas. Dalam kaitan
itu, kuda beban (kuda pa’teke) dan kuli angkut (pabule’) adalah moda transportasi
yang lazim dijumpai di jalan-jalan perdagangan utama. Dua bentuk pengangkutan
itulah yang berperan dalam hal lalu lintas barang dari daerah pedalaman ke
pelabuhan atau sebaliknya.
Biaya pengangkutan di setiap daerah berbeda-beda. Di Toraja, misalnya,
sewa kuda beban dikenakan ongkos sebesar f 1,25 per hari. Sedangkan tarif kuli
angkut berkisar f 0,25 hingga f 0,35 per hari.130 Sementara itu, biaya pengangkutan

129
Pemberita Makassar 17 Mei 1915, 1.
130
E. A. J Nobele, Memorie van overgave betreffende de onderafdeeling Makale van den
aftredenden Gezaghebber bij het Binnenlandsch-Bestuur (Weltevreden: Albrecht & Co, 1926), 102.

Universitas Indonesia
101

dari Pinrang ke Parepare dengan kuda beban sebesar f 1 dan f 0,50 untuk biaya
pengangkutan dengan kuli angkut.131 Dari jumlah itu, tampak bahwa ongkos
transportasi di Pinrang lebih rendah dibandingkan di Toraja. Perbedaan tersebut
kemungkinan ditentukan oleh kondisi dan tingkat kerumitan rute yang dilalui, di
mana Toraja berada di dataran tinggi dan Pinrang sendiri sebagian wilayahnya
berada di dataran rendah. Kedudukan kuda beban dan kuli angkut sebagai moda
transportasi utama bagi penduduk paling tidak bertahan hingga akhir dekade 1910-
an.

Gambar 3.2 Peta jaringan jalan yang menghubungkan pelabuhan Parepare


dan daerah pedalaman
Sumber: diolah dari koleksi www.digitalcollections.universiteitleiden.nl

Kondisi tersebut mulai mengalami perubahan seiring upaya pemerintah


kolonial dalam pengembangan jaringan jalan. Di Sulawesi bagian selatan, upaya
perbaikan jalan sebenarnya baru mulai diwujudkan secara serius pada masa
Gubernur Th. A. L. Heyting (memerintah 1913-1916). Upaya ini terutama dalam
bentuk pengerasan jalan. Misalnya, jalan poros ke arah timur yang menghubungkan
Parepare dan Sidenreng. Jalan poros itu mulai dapat diakses dengan kendaraan
bermotor sejak 1916 (lihat gambar 3.2). Sementara itu, jalan poros ke arah utara

131
Soerabaijasch Handelsblad, 27 Juli 1907, 6.

Universitas Indonesia
102

yang menghubungkan Parepare dan Pinrang telah dapat dilalui dengan kendaraan
bermotor setahun sebelumnya. Pada masa itu, proyek perbaikan jalan di Afdeeling
Parepare dikerjakan oleh perusahaan Volharding. Sampai 1916, biaya yang telah
dikeluarkan untuk pengerjaan jalan-jalan tersebut ialah sebesar f 22.687. Adapun
pengerjaan jalan menggunakan layanan kerja wajib (heerendiensten).
Minimnya saldo kas daerah adalah salah satu hambatan utama perluasan
perbaikan jalan di Afdeeling Parepare. Heyting kemudian mengajukan permohonan
pinjaman dana ke Gubernur Jenderal di Batavia melalui suratnya tertanggal 25 Juni
1914 nomor 3516. Dalam permohonan itu, Heyting menganggarkan jumlah
pinjaman dalam rangka pembangunan jalan dan jembatan untuk Afdeeling Parepare
sebanyak f 150.000.132 Pada akhirnya, pengerjaan jalan dapat berlanjut berkat
permohonan tersebut. Pada 1917 misalnya, pengerasan jalan diperpanjang ke arah
yang lebih utara lagi hingga mencapai Majene dan mulai dapat dilalui dengan mobil
pada tahun yang sama.133 Untuk jalan poros Parepare-Makassar, yang telah dapat
dilalui dengan kendaraan bermotor sebelum 1915, perbaikan infrastruktur hanya
ditujukan pada pembangunan beberapa jembatan permanen. Hal ini guna
mengganti jembatan penyeberangan yang masih menggunakan rakit di Barru. Pada
1916, sebanyak 200.000 gulden dianggarkan untuk pembangunan jembatan
permanen tersebut.134
Berbeda dengan dekade 1910-an, perubahan signifikan terhadap jaringan
jalan mulai tampak pada awal dekade 1920-an. Perubahan ini tidak terlepas dari
upaya pengembangan jaringan jalan yang digagas selama pemerintahan F.C.
Vorstman, Gubernur Celebes en Onderhoorigheden (memerintah 1921-1924). Di
masanya, penyempurnaan jalan-jalan utama yang telah ada menjadi fokus
utamanya, di samping pembangunan jalan baru. Misalnya, peningkatan jalan utama
yang membentang di sepanjang pesisir barat, mulai dari Makassar melalui Parepare
hingga ke Majene (panjang 393,50 km). Peningkatan jalan utama juga dilakukan
untuk jalan poros Parepare-Sidenreng (75,75 km), yang melalui Pangkajene,
Tanrutedong, Bolamalimpong dan Gilirang.135 Dengan pengembangan jaringan

132
Heyting, Memorie van Overgave van den aftredende Gouverneur van Celebes en
Onderhoorigheden, 108–13.
133
Pemberita Makassar 6 September 1917.
134
Pemberita Makassar, 31 Maret 1916.
135
Vorstman, Memorie van den Gouverneur van Selebes en Onderhoorigheden, 206–7.

Universitas Indonesia
103

jalan itu, sebagaimana disebutkan dalam surat kabar yang terbit pada 1923,
“...semua jalan itu sudah cocok untuk mobil atau dibuat sesuai untuk lalu lintas
cepat (snel verkeer).”136
Upaya Vorstman tersebut sesungguhnya telah mengubah secara mendasar
praktek pengangkutan barang dari dan ke pelabuhan Parepare. Sejak saat itu,
dengan pertimbangan efisiensi, mobil penumpang (personenauto) dan mobil truk
(vrachtauto) secara perlahan mulai menjadi pilihan utama bagi masyarakat di
daerah pedalaman.137 Sementara itu, kuda pa’teke dan kuli angkut mulai kurang
diminati untuk pengangkutan jarak jauh, meskipun belum sepenuhnya tergantikan
dalam konteks pengangkutan komoditas dari dan ke pelabuhan. Dalam tahap
peralihan itu, selain sebagai alat pengangkut rumput untuk pakan hewan ternak
(lihat lampiran 4), kuda pa’teke lebih banyak dimanfaatkan untuk mengangkut
barang produksi lokal dari permukiman penduduk, berupa jalan setapak, menuju
pasar-pasar utama di daerah pedalaman. Dari tempat-tempat perdagangan tersebut,
barang produksi lokal, termasuk gabah dan beras, kemudian diangkut ke Parepare
menggunakan angkutan truk dan sejenisnya. Pola pengangkutan itulah yang terus
berlangsung hingga berakhirnya kolonialisme Belanda.
Jika dicermati lebih jauh, khususnya selama periode 1905 hingga 1925,
berbagai pengembangan jaringan jalan tersebut pada dasarnya terkait erat dengan
peningkatan hasil produksi pertanian di daerah pedalaman, terutama beras.
Peningkatan itu pada gilirannya memengaruhi aktivitas perdagangan beras di
pelabuhan. Kondisi ekonomi di Wanua Laeng yang semakin lekat dengan
perdagangan global juga membuat permintaan komoditas beras di Parepare
meningkat, terutama selama paruh pertama dekade 1920. Praktis, lalu lintas barang
ekspor-impor di pelabuhan juga semakin meningkat. Karena itu, pemerintah
kolonial sekali lagi mengadakan perbaikan infrastruktur pelabuhan. Hal ini terlihat
ketika dermaga kapal di pelabuhan mulai diperbaharui pada 1924. Pekerjaan ini
terutama dimaksudkan untuk mengganti dua tiang pancang yang menjadi pondasi

136
De Indische Courant, 11 Oktober 1923.
137
Sebenarnya Parepare telah terhubung dengan layanan mobil untuk jurusan Makassar-Parepare
sejak 1918. Namun demikian, saat itu layanan pengangkutan yang beroperasi masih terbatas dan
hanya diperuntukan bagi pengangkutan pos (beroperasi 4 kali dalam seminggu). Layanan
pengangkutan pos ini diadakan oleh J.H.R. Broeder yang memiliki sebuah perusahaan pengangkutan
di Makassar. Lihat Pemberita Makassar, 10 September 1918.

Universitas Indonesia
104

dermaga. Dengan biaya sebesar f 194.855, proyek renovasi dermaga baru selesai
dikerjakan pada Februari 1925.138 Oleh sebab itu, tampak jelas bahwa komoditas
beras menjadi salah satu pemicu utama pengembangan infrastruktur pelabuhan.

138
Lihat Arsip Burgerlijke Openbare Werken , No. 12162. Arsip tentang Laporan Resmi Pekerjaan
Pembangunan Tiang Dermaga di Pelabuhan Parepare.

Universitas Indonesia
BAB IV
MENJADI RIJST HAVEN DI KAWASAN SELAT MAKASSAR:
PELABUHAN PAREPARE DAN PERDAGANGAN BERAS (1926-1939)

4.1. Pendahuluan
Dalam konteks studi pelabuhan di Hindia Belanda, terdapat sebuah
pandangan yang beranggapan bahwa pelabuhan-pelabuhan kecil umumnya
mengalami fase kemunduran selama dekade terakhir pemerintahan kolonial
Belanda.1 Namun, pandangan itu tampaknya tidak berlaku bagi Parepare. Sebab,
aktivitas pelayaran dan perdagangan di pelabuhan justru memasuki fase yang
gemilang. Berawal dari terkonsentrasinya pintu keluar komoditas beras pada
1926, fase kegemilangan itu berhasil menghantarkan Parepare untuk tampil
sebagai pelabuhan beras (rijst haven) utama di kawasan Selat Makassar, terutama
pada 1930-an. Dalam laporannya, seorang ahli bumi asal Eropa sempat
menyinggung persoalan aktivitas pelayaran dan perdagangan komoditas beras di
Selat Makassar. Ketika menyeberangi perairan selat dari pantai timur Kalimantan
menuju pantai barat Sulawesi pada Oktober 1932, perahu yang ia tumpangi
berpapasan dengan rombongan perahu layar milik pribumi yang sedang berlayar
ke arah utara. Dengan begitu yakin, ia menulis bahwa “…beberapa perahu lain
melewati kami, seperti membawa muatan beras dari Parepare.”2 Penuturan ini
menyiratkan sebuah kesan bahwa saat itu pelabuhan Parepare telah dikenal
khalayak sebagai pusat perdagangan beras di kawasan Selat Makassar, alih-alih
menyebut Makassar yang notabene merupakan entrepot di wilayah timur
Nusantara. Pertanyaannya, bagaimana pencapaian itu bisa terjadi? Penjelasan dari
pertanyaan itu bermuara pada fokus bab ini yang mengetengahkan perkembangan
pelabuhan Parepare dan perdagangan beras (1926-1939). Pembahasan bab ini
dimulai dengan pengembangan fasilitas pelabuhan. Bab ini juga mengulik
persaingan antara pelabuhan Parepare di pantai barat dan pelabuhan Palima di
Teluk Bone. Selanjutnya ialah perdagangan di pelabuhan Parepare selama 1930-

1
Lihat misalnya Sutejo Kuwat Widodo, “Perkembangan Pelabuhan Pekalongan Menjadi
Pelabuhan Perikanan, 1900-1990” (Disertasi) (Depok: Universitas Indonesia, 2002), 5.
2
H Witkamp, “Langs de Lariang-Rivier (West-Celebes),” Tijdschrift van Het Aardrijkskundig
Genootschap 57 (1940): 582–83.

105
Universitas Indonesia
106

an, di mana dekade ini sarat kaitannya dengan kontrol negara dalam aktivitas
perniagaan beras serta jaringan pelayaran sebagai bahasan penutup.
4.2. Pengembangan Infastruktur Pelabuhan
Peningkatan aktivitas perdagangan secara umum dan perdagangan beras
secara khusus, adalah pendorong utama dalam pengembangan fasilitas pelabuhan
Parepare. Salah satu indikator utamanya ialah jumlah pendapatan bea dan cukai
ekspor-impor. Pada 1926, misalnya, jumlah pendapatan pelabuhan telah mencapai
f 39.915,3 yang dua tahun sebelumnya hanya tercatat sebesar f 16.456.4
Penghasilan sebesar itu mencatatkan Parepare sebagai pelabuhan dengan
pendapatan terbanyak kedua setelah Makassar di Celebes en Onderhoorigheden.
Jadi, jelas bahwa upaya perbaikan tiang dermaga pelabuhan yang selesai
dikerjakan pada 1925 tidak terlepas dari peningkatan aktivitas perdagangan,
termasuk komoditas beras. Hal yang menarik ialah perbaikan dermaga telah
memungkinkan Parepare dikunjungi kapal uap KPM yang memiliki bobot 3.000
ton, seperti kapal Van Waerwijck dan Van Imhoff .5
Walaupun perbaikan tiang dermaga pancang membawa dampak positif,
namun kondisi infrastruktur pelabuhan sebetulnya masih meninggalkan keluhan-
keluhan serius dari para pedagang. Salah satu keluhan yang menonjol
diungkapkan oleh salah seorang responden pada 1926. Dalam tulisannya, ia
menyatakan bahwa Parepare masih sulit dikunjungi pada malam hari.6 Kesulitan
ini bersumber dari ketiadaan pencahayaan pantai yang memungkinkan kapal dapat
melego jangkar dengan aman di dermaga pelabuhan. Munculnya keluhan itu
agaknya dapat dipahami dari keadaan perdagangan di Parepare yang mengalami
peningkatan saat itu, khususnya produk ekspor yang dihasilkan daerah pedalaman.
Sebagai gambaran, komoditas beras yang diekspor mencapai sekitar 160.000 pikul
pada 1925.7 Itu sebabnya, sebagai tanggapan atas keluhan itu, sebuah lampu
pencahayaan pantai juga mulai dipasang di Tanjung Lero pada 1927.8 Lampu ini
menjadi penanda pintu masuk area pelabuhan di malam hari.

3
Koloniaal Verslag 1926, dalam hoofdstuk S, 6.
4
Koloniaal Verslag 1924, dalam hoofdstuk U, 6.
5
De Locomotief, 11 Februari 1926.
6
De Locomotief, 11 Februari 1926.
7
Deli Courant, 28 Desember 1926.
8
De Indische Courant, 19 September 1927.

Universitas Indonesia
107

Mengingat produksi padi di daerah pedalaman semakin meningkat pada


paruh kedua dekade 1920, kebutuhan gudang penyimpanan di pelabuhan mulai
dirasa semakin mendesak. Pasalnya, gudang-gudang yang ada sebelumnya tidak
lagi mampu menampung berbagai produk ekspor di pelabuhan. Karena itu, pada
1932, sebuah bangunan baru yang dimaksudkan sebagai gudang penyimpanan
juga mulai dibangun.9 Gudang ini dibangun berdekatan dengan Pasar Ujung atau
berada di bagian utara Parepare. Sampai 1935, sebanyak tiga bangunan yang
berfungsi sebagai gudang telah didirikan di lokasi ini (lihat gambar 4.1).

Gambar 4.1 Dermaga Perahu dan Gudang di Parepare pada 1935


Sumber: Allied Geographical Section Southwest Pacific Area, Special Report No. 80,
Makassar (SW Celebes), 24 Agustus 1945.

Sejalan dengan hal tersebut, fasilitas pelabuhan berupa dermaga perahu


mulai diupayakan. Hal ini tampak ketika sebuah dermaga untuk perahu dibangun
pada 1933. Lokasi dermaga ini berdekatan dengan gudang baru yang disebutkan
di atas. Pada dasarnya, pembangunan dermaga itu menjadi penanda penting terkait
perkembangan signifikan pelabuhan selama dekade 1930. Sebab, sebelumnya
Parepare hanya memiliki sebuah dermaga khusus kapal uap, yang telah dibangun
sejak 1905. Satu hal yang penting ialah pembangunan dermaga perahu
memungkinkan Parepare menjadi “lebih siap” dalam menyongsong perannya

9
L.J.J. Caron, Memorie van Overgave van Den Afgetreden Gouverneur van Celebes En
Onderhoorigheden, 1933, 311.

Universitas Indonesia
108

sebagai pusat perniagaan beras pada tahun-tahun berikutnya. Itu sebabnya pula,
dalam laporan serah terima jabatannya yang ditulis pada 1933, L.J.J. Caron
mengungkapkan bahwa, “…ketika kebutuhan (dermaga) muncul dan pemangku
kepentingan (pedagang) bersedia membiayai pembangunan, tujuannya adalah
membangun lebih banyak dermaga (perahu). ”10
Pernyataan tersebut terbukti dari kondisi fasilitas dermaga di Parepare
menjelang Perang Dunia II. Pada masa itu, pelabuhan telah memiliki sembilan
dermaga. Satu di antaranya ialah dermaga kapal uap. Satu lagi ialah dermaga
pendaratan milik BPM. Selebihnya merupakan dermaga kayu yang dikhususkan
buat perahu layar. Pengembangan yang serupa juga tampak dari fasilitas
pelabuhan berupa gudang penyimpanan. Terdapat sembilan bangunan yang
difungsikan sebagai gudang pada akhir 1930-an. Adapun gudang-gudang itu
adalah tiga gudang milik KPM, dua gudang milik pedagang Cina, satu gudang
milik perusahaan pengaspalan milik Socony, satu gudang milik BPM dan
selebihnya merupakan gudang yang didirikan oleh pemerintah kolonial guna
menunjang aktivitas bongkar-muat di pelabuhan.11 Seluruh gudang itu tersebar di
sekitar pelabuhan.
Pada dasarnya, perdagangan komoditas beras merupakan faktor penting
yang mendorong berbagai pengadaan fasilitas pelabuhan tersebut. Salah satu
indikatornya ialah dermaga perahu. Dari tujuh dermaga perahu yang tersedia,
empat di antaranya merupakan dermaga pabrik penggilingan padi yang
dikhususkan untuk memuat komoditas beras. Adapun besaran masing-masing
dermaga itu ialah dua dermaga berukuran 90 kaki, satu dermaga berukuran 60
kaki x 20 kaki dan satunya lagi berukuran 55 kaki x 12 kaki.12
Selain itu, pengembangan jaringan jalan tetap menjadi fokus utama dalam
rangka menopang kegiatan pelayaran dan perdagangan. Meskipun jalan-jalan
sekunder masih berupa pengerasan, namun jalan-jalan utama13 di Parepare telah

10
Caron, 312.
11
Allied Geographical Section Southwest Pacific Area, Special Report No. 80, Makassar (SW
Celebes), Dates 24 August 1945, 25–26.
12
Allied Geographical Section Southwest Pacific Area, Special Report No. 80, Makassar (SW
Celebes), Dates 24 August 1945, 25.
13
Lihat lampiran 5

Universitas Indonesia
109

diaspal, di mana proses pengerjaannya berlangsung hingga 1933.14 Dalam rapat


Volksraad pada 24 Agustus 1929, sejumlah anggaran juga telah disetujui
pemerintah kolonial di Batavia untuk biaya pengaspalan poros jalan utama
Parepare – Makassar.15 Sementara itu, upaya pengembangan jaringan jalan juga
diupayakan untuk jalan yang menghubungkan Parepare dan daerah pedalaman
yang berada di dataran tinggi. Kondisi ini tampak jelas dari pengerasan poros
jalan Parepare – Enrekang. Dalam sumber disebutkan bahwa poros jalan ini mulai
dapat diakses dengan kendaraan bermotor pada 1926 (lihat gambar 3.2).16 Bahkan,
pengerasan jalan terus dilanjutkan ke arah utara mencapai Toraja. Dengan
perbaikan itu, poros jalan utama ke dataran tinggi, yakni hingga ke Toraja, dapat
diakses dengan mobil pada 1928 (lihat gambar 3.2). Oleh sebab itu, sejak tahun
itulah Parepare baru mulai benar-benar terhubung baik dengan kendaraan
bermotoe untuk seluruh daerah pedalaman yang menjadi layanan jaringan
pelabuhan.
Selain pengembangan jaringan jalan, menjelang akhir dekade 1920,
pemerintah kolonial juga masih berupaya menghilangkan hambatan-hambatan di
poros jalan utama. Hambatan ini bersumber dari ketiadaan jembatan permanen, di
mana poros jalan yang menghubungkan Parepare – Majene (ibukota Afdeeling
Mandar) masih menggunakan jembatan penyeberangan hingga 1928. Jembatan
penyeberangan ini berada di Kampung Lasappe yang melintasi Sungai Sadang.
Namun demikian, hambatan ini berhasil dilenyapkan melalui proyek
pembangunan jembatan baru pada 1928. Proyek pembangunan ini dikerjakan oleh
perusahaan Carl Schlieper dengan menggunakan sekitar 200 ton baja dan besi.
Jembatan ini dikenal dengan nama “Jembatan Sadang” dan diresmikan pada 14
April 1929. Dengan ukuran panjang 133 meter dan lebar mencapai 4,5 meter,
Jembatan Sadang merupakan jembatan terbesar di Sulawesi saat itu.17

14
J. Allart, Memorie van Overgave van de Afdeeling Parepare, 1933, 2.
15
Het Nieuws van Den Dag Voor Nederlandsch-Indië, 24 Agustus 1929, 1.
16
Pemberita Makassar, 5 Mei 1926.
17
Soerabaijasch Handelsblad, 24 April 1929.

Universitas Indonesia
110

4.3. Kompetisi Pelabuhan Parepare dan Pelabuhan Palima:


Terkonsentrasinya Pintu Keluar Beras di Bagian Tengah Jazirah Sulawesi
Selatan
Suatu hal yang sulit diterima apabila dinamika suatu pelabuhan tidak
disertai dengan kontestasi, sekalipun hal itu menyangkut pelabuhan kecil. Itu
artinya bahwa kontestasi merupakan hal yang lumrah mengingat fungsi dari
pelabuhan itu sendiri, yakni distributif-kolektif. Fungsi ini menimbulkan suatu
kondisi di mana satu pelabuhan niaga mengalami kemajuan pesat, sementara
pelabuhan niaga lainnya mengalami kemunduran.18 Adapun bentuk kompetisi
antar pelabuhan tercermin dari persaingan dalam memperebutkan produk ekspor
dan pemasaran barang impor. Dengan menguraikan aspek persaingan secara
konkret, maka pelabuhan mana yang diuntungkan ataupun dirugikan akan
tampak.19 Mengingat studi ini berfokus pada perdagangan beras, pelabuhan yang
disorot dalam kerangka kompetisi dengan pelabuhan Parepare, yaitu pelabuhan
Palima. Pemilihan ini didasarkan pertimbangan bahwa Palima berada di bagian
tengah jazirah Sulawesi Selatan (lihat gambar 4.1) dan memiliki daerah
pedalaman yang berbatasan dengan Afdeeling Parepare, yang notabene merupakan
jaringan layanan pelabuhan Parepare.

Ket :
Parepare
Sungai
Cenrana

Palima

Gambar 4.2 Peta Zuidwest-Celebes yang menunjukkan lokasi Palima


dan Parepare di bagian tengah Jazirah Sulawesi Selatan (1919)
Sumber: Koleksi www.leidenuniv.nl

18
Widodo, “Perkembangan Pelabuhan Pekalongan Menjadi Pelabuhan Perikanan, 1900-1990”
(Disertasi), 2–3.
19
Susanto Zuhdi, “Perkembangan Pelabuhan Dan Kota Cilacap, Jawa Tengah 1830-1940”
(Tesis) (Jakarta: Universitas Indonesia, 1991), 51.

Universitas Indonesia
111

Pelabuhan Palima adalah salah satu pelabuhan yang berada di perairan


Teluk Bone atau tepatnya di muara Sungai Cenrana. Walaupun tidak ada data
yang pasti mengenai tahun pendirian pelabuhan, namun setidaknya Palima telah
berkembang dan menjadi salah satu pusat perniagaan penting pribumi sebelum
dikuasai pemerintah kolonial Belanda sejak 1905. Sama halnya dengan pelabuhan
Parepare, Palima adalah pelabuhan kecil yang tidak dikelola sebagai perusahaan
(klein-niet bedrijfshaven) sepenjang era pemerintahan kolonial Belanda.
Aktivitas pelayaran dan perdagangan di Palima ditunjang beberapa daerah
penyangga, yaitu Bone, Wajo dan Soppeng. Secara administratif, ketiga daerah ini
termasuk dalam wilayah Afdeeling Bone.20 Sementara itu, secara geografis Wajo
dan Soppeng adalah daerah pedalaman yang berbatasan langsung dengan wilayah
lain, yakni Afdeeling Parepare yang notabene merupakan jaringan layanan
pelabuhan Parepare. Karena itu, Wajo dan Soppeng adalah daerah yang berpotensi
menjadi rebutan antara Parepare dan Palima.
Selain itu, daerah pedalaman Palima adalah daerah-daerah yang dikenal
subur dengan kondisi tanah yang relatif cocok untuk budi daya padi. Penanaman
padi sebagian besar dilakukan di sawah, meski terkadang juga ditemui di ladang.
Kesuburan tanah di daerah penyangga diketahui dari salah satu sumber kolonial.
Disebutkan bahwa pada 1925 Soppeng dikatakan sebagai daerah dengan tingkat
produktivitas lahan terbaik di wilayah pemerintahan Celebes en
Onderhoorigheden, yakni sebanyak 47 pikul padi basah per hektar. Sebagai
perbandingan, pada tahun yang sama Pangkajene, yang terkenal sebagai daerah
penghasil padi, hanya mampu menghasilkan 39 pikul padi basah per hektar.21
Dengan adanya dukungan daerah pedalaman penghasil padi, beras merupakan
salah satu komoditas ekspor penting bagi pelabuhan Palima.
Sebenarnya terdapat perbedaan karakter antara pelabuhan Palima dan
Parepare dalam konteks perdagangan beras. Di Palima, sebagian besar komoditas
beras hanya dibawa ke Makassar, baik untuk diperdagangkan secara lokal maupun

20
Pada periode pemerintahan kolonial Belanda, selain Pallima sebagai gerbang ekspor-impor
utama di pantai timur Sulawesi Selatan, Afdeeling Bone sebenarnya masih memiliki beberapa
pelabuhan kecil lain yang berada di pantai timur Sulawesi Selatan, antara lain Patiro, Bajoe,
Jalang, Siwa, Doping, Peneki, Lamuru Kung, Barobbo dan Salangketo. Kecuali dua yang disebut
pertama, semua pelabuhan lainnya terletak di Wajo. Untuk lebih jelasnya, lihat M Van. Rhijn,
Memorie van Overgave van de Afdeeling Bone, 1931, 21.
21
Koloniaal Verslag over het jaar 1926, Hoofdstuk O, 185.

Universitas Indonesia
112

diekspor kembali. Dalam jumlah yang lebih sedikit, komoditas beras di Palima
juga diangkut langsung ke daerah-daerah yang berada di sekitar kawasan Teluk
Bone, seperti Malili, Palopo, Kendari, Kolaka, Buton, Muna dan bahkan
Kepulauan Selayar.22 Sementara itu, berbeda dengan Palima, komoditas beras di
Parepare dikapalkan langsung ke berbagai daerah tujuan. Produk ekspor lain di
Palima ialah jagung, kopra, tembakau, kapok dan gula aren.
Semenjak berada di bawah kontrol pemerintah Belanda, Palima secara
perlahan berkembang sebagai salah satu pelabuhan penting di kawasan Teluk
Bone. Keadaan ini tampak jelas dari aktivitas ekspor-impor. Sebagai gambaran,
pada 1911 nilai impor Palima tercatat sebesar f 730.662, sementara nilai impor
Malili, salah satu pelabuhan kecil di Teluk Bone yang produk ekspornya
bertumpu dari hasil hutan (damar dan rotan), hanya sebesar f 477.400. Adapun
nilai impor Parepare sendiri ialah sebesar f 709.039 pada tahun yang sama.23 Arti
penting Palima juga tercermin dari frekuensi kunjungan kapal. Pada 1916,
misalnya, Palima dikunjungi kapal uap sebanyak 52 dengan tonase 200.256 M3.
Pada tahun yang sama, sekalipun Parepare juga dikunjungi kapal uap sebanyak
52, namun jumlah tonasenya masih lebih rendah dibanding Palima, yakni 118.139
M3.24 Dengan demikian, tampak jelas keunggulan Palima dibandingkan Parepare.
Situasi ini setidaknya tetap bertahan hingga akhir dekade 1910.
Pada dasarnya, keunggulan Palima tersebut tidak terlepas dari upaya
perbaikan jaringan jalan yang menghubungkan pusat-pusat perdagangan utama di
daerah pedalaman Palima. Tempat-tempat itu ialah Cabenge, Sengkang,
Pompanua dan Watampone. Dari tempat itulah hasil produksi pertanian dibawa ke
Sungai Cenrana untuk kemudian dialirkan ke Palima. Terkait perbaikan jalan di
daerah-daerah tersebut, pemerintah kolonial telah banyak memberi perhatian sejak
berakhirnya ekspedisi militer Sulawesi Selatan pada 1905-1906. Di samping
perbaikan jaringan jalan, kemajuan Palima juga bersumber dari curahan perhatian
yang sejak awal telah ditunjukkan pihak KPM. Semenjak penggabungan
Makassar dan pelabuhan-pelabuhan kecil di sekitarnya ke dalam daerah tol pada 1

22
J.A. van Beukering, “De Rijstsituatie in Zuid-Celebes,” Economisch Weekblad Voor
Nederlandsch-Indie (Batavia, December 1935), 1264.
23
Verslag van de Kamer van Koophandel En Nijverheid Te Makassar over Het Jaar 1911.
24
Statistiek van de Scheepvaart Nederlandsch-Indie over Het Jaar 1916.

Universitas Indonesia
113

Agustus 1906, KPM telah menunjukkan ketertarikannya terhadap prospek produk


ekspor lokal dalam jangka panjang, khususnya di kawasan pantai selatan dan
pantai timur Sulawesi bagian selatan. Ketertarikan ini ditandai dengan pembukaan
dua jalur pelayaran KPM di Teluk Bone dan di pantai timur Sulawesi Selatan
hingga mencapai Luwu.25 Palima sudah tentu menjadi pelabuhan persinggahan
penting dalam pembukaan jalur pelayaran tersebut.
Namun demikian, pembangunan jaringan jalan yang semakin intens pada
awal 1920-an menjadi pondasi utama Parepare dalam menyaingi Palima. Hal ini
terutama menyangkut pengembangan jaringan jalan di Wajo dan Soppeng, yang
notabene termasuk jaringan layanan pelabuhan Palima. Berawal dari program
brillian W. Frijling, Gubernus Selebes dan Daerah Taklukannya (memerintah
1916-1921), tempat-tempat utama di daerah pedalaman Sulawesi Selatan berhasil
dihubungkan dengan baik melalui jaringan jalan. Sebagaimana terungkap dalam
surat kabar De Locomotief bahwa, pembangunan jaringan jalan di masa pejabat
tersebut telah “meletakkan dasar ekonomi yang baik”26 di Sulawesi Selatan.
Upaya tersebut kemudian diteruskan pula oleh penerusnya, F.C. Vorstman
(memerintah 1921-1924). Di masa pemerintahannya, pengerasan jalan dilakukan
untuk poros jalan yang menghubungkan Cabenge dan Pompanua. Selain itu,
pengerasan juga dikerjakan untuk jalan yang menghubungkan Cabenge dan
Sengkang (24 kilometer). Peningkatan jalan lainnya ialah Ujung Lamuru (321,50
kilometer). Poros jalan ini menghubungkan Takalasi (Soppeng) dan Pangkajene
(Sidenreng) dan terus ke utara hingga mencapai Toraja. Karena itu, jalan itu juga
terhubung dengan Parepare yang berada di sebelah timur.27 Paling tidak program
kerja Vorstman tersebut telah memungkinkan jalan-jalan utama dilalui dengan
kendaraan bermotor.
Sekalipun perbaikan jalan utama telah dilakukan di sana-sini, namun
sampai 1924 masih terdapat dua jembatan penyeberangan28 yang menggunakan
rakit di jalan poros Wajo dan Soppeng. Kedua jembatan penyeberangan itu berada

25
J.N.F.M. Campo, Engines of Empire : Steamshipping and State Formation in Colonial
Indonesia (Hilversum: Verloren, 2002), 145.
26
De Locomotief, 10 Maret 1925.
27
F Vorstman, Memorie van Den Gouverneur van Selebes En Onderhoorigheden, 1924, 207.
28
Kecuali dua jembatan penyeberangan tersebut, sampai 1924 masih terdapat tiga jembatan
penyeberangan di jalan-jalan utama, yakni Parepare-Majene, Gilringan-Palopo, Balangnipa-
Watampone. Lihat Vorstman, 208.

Universitas Indonesia
114

di antara poros jalan Sengkang-Pompanua (Wajo) dan satunya lagi di Cabenge


(Soppeng). Akibatnya, hambatan mobilitas barang dan penumpang tidak jarang
terjadi. Terlebih lagi jika musim hujan berlangsung, di mana air sungai sering
meluap. Selain menghambat mobilitas, kondisi itu tentunya membuat
pengangkutan komoditas dari Wajo dan Soppeng ke pelabuhan Parepare masih
cukup beresiko, apalagi dengan menggunakan kendaraan bermotor. Namun
demikian, pada 1925 pemerintah kolonial akhirnya membangun dua jembatan
permanen untuk mengganti dua jembatan penyeberangan tersebut.29 Oleh sebab
itu, pendirian jembatan permanen itu telah menghilangkan hambatan utama yang
menghubungkan Parepare dan daerah pedalaman perbatasan tersebut.
Situasi kepemilikan kendaraan bermotor tampaknya sejalan dengan
pengembangan jaringan jalan raya tersebut. Peningkatan pesat sangat jelas terlihat
antara 1921 hingga 1923. Sebagai gambaran, pada 1920 angkutan truk
(vrachtauto) masih tercatat sebanyak 60 unit. Setahun kemudian, angkutan truk
telah meningkat menjadi 80 unit. Jumlah ini terus meningkat selama dua tahun
berikutnya, yakni 112 unit pada 1922 dan 117 unit pada 1923.30 Bertambahnya
jumlah kendaraan bermotor sudah tentu akan berdampak terhadap perluasan
layanan angkutan truk (dienst-vrachtauto). Pada 1926, misalnya, seorang
responden menuturkan bahwa saat itu terdapat hampir 100 unit angkutan truk,
yang sebagian besar dimiliki orang Bugis, beroperasi untuk jalur Makassar-
Parepare-Sengkang.31
Perbaikan jalan yang diikuti perkembangan jumlah kendaraan bermotor
praktis membuat akses ke Parepare semakin mudah. Tidak heran jika kemudahan
ini membuat penduduk cenderung mengangkut hasil produksi berasnya ke
Parepare. Itu sebabnya pula, dalam memori serah terima jabatan M. Van Rhijn,
Asisten Residen Bone (memerintah 1928 - 1931), pengangkutan beras dari Wajo
dan Soppeng ke Parepare mulai tercatat sejak 1926. Selama tahun itu, Wajo
mengirim beras dengan jumlah 15.698 pikul, sementara Soppeng menyuplai beras
sebanyak 12.000 pikul.32 Karena itu, bisa dikatakan bahwa tahun 1926 menjadi

29
De Locomotief, 10 Maret 1925, 1.
30
Vorstman, Memorie van Den Gouverneur van Selebes En Onderhoorigheden, 212.
31
Pemberita Makassar, 5 Mei 1926, 1.
32
Rhijn, Memorie van Overgave van de Afdeeling Bone.

Universitas Indonesia
115

penanda bermulanya peralihan sebagian hasil produksi beras di Wajo dan


Soppeng ke Parepare. Kuantitas beras yang dibawa ke Parepare terus meningkat
setiap tahun. Pada 1933 misalnya, beras yang diekspor dari kedua daerah tersebut
sebanyak 159.076 pikul dan, bahkan meningkat menjadi 278.300 pikul pada
1934.33 Di samping perbaikan jaringan jalan dan perkembangan mobil,
keberhasilan Parepare menarik hasil produksi beras juga bersumber dari keadaan
pelabuhan Palima. Perlu diketahui bahwa, walaupun Van Vuuren menyatakan
Palima sebagai “pelabuhan alam yang bagus”34, namun kapal uap tidak dapat
bersandar tepat di dermaga pelabuhan. Karena itu, kapal uap hanya melego
jangkar di lepas pantai atau tepatnya tidak jauh dari Tanjung Capie (Ceppie) di
Teluk Bone. Selain itu, posisi pelabuhan di muara sungai juga membuat Palima
tidak aman untuk semua musim, terutama saat angin muson timur berhembus.
Di balik berbagai macam problema yang melanda Palima, pada 1926
muncul sebuah rencana terkait pembangunan jalur kereta api yang
menghubungkan Parepare dan kawasan sekitar Danau Tempe (Parepare-
Sengkang-Pompanua). Tujuan utamanya ialah untuk mengalihkan seluruh produk
ekspor beras dan jagung di sekitar kawasan danau, yang selama ini dikapalkan
melalui Palima. Dengan begitu, Parepare diharapkan menjadi titik konsentrasi
ekspor di bagian tengah jazirah Sulawesi Selatan. Namun demikian, Gubernur
Selebes dan Daerah Taklukannya, A.J.L. Covreur (memerintah 1924-1929),
menganggap rencana tersebut tidak perlu diwujudkan, sebagaimana
pernyataannya berikut ini:
Boeat adanja djalanan kereta api baroe, perloe ada pengangkoetan besar
tapi sementara waktoe pengangkoetan beloem ada. Betul djoega ada
diminta satoe djalanan kereta api Pare2-Singkang-Pompanoea, tapi
harganja djagoeng ada begitoe rendah hingga tidak mengizinkan
pengangkoetan dengan kreta api dan lantaran pengangkoetan dengan ambil
djalanan aer masi bisa dipake maski itoe spoor soeda ada. Saja anggap itoe
djalanan kreta api tida perloe.35
Rencana pembangunan tersebut sebetulnya bukanlah yang pertama
kalinya. Sebelumnya, rencana pengadaan jalur trem telah muncul pada 1909. Hal

33
W.E.G. Veen, Memorie van Overgave van de Afdeeling Bone, 1935, 19.
34
L.Van Vuuren, Het Gouvernement Celebes, Deel I (Weltevreden: Encyclopaedisch Bureau,
1920), 463.
35
Pemberita Makassar, 5 Mei 1926, 1.

Universitas Indonesia
116

ini ditandai dengan dikeluarkannya sebuah konsesi pembangunan jalur trem yang
diberikan kepada Tuan E.W. van Baerle atas nama Naamlooze Vennootschap
(NV) “Mijnbouw- en Industrie-Syndicaat Timor”. Berdasarkan besluit Gubernur
tanggal 14 Mei 1909 No. 35, perusahaan swasta ini diberi prioritas membangun
jalur trem uap, yang dimulai dari Parepare hingga ke Padoepa.36 Sayangnya,
rencana tersebut tidak berhasil diwujudkan. Salah seorang responden menuturkan
bahwa konstruksi jalur trem tersebut sulit terlaksana mengingat tempat-tempat
yang dilalui tidak cukup datar atau landai sehingga biaya pembangunan yang
dibutuhkan tidaklah sedikit.37
Berikutnya ialah rencana pembangunan rel kereta api pada 1917. Ada dua
jalur dalam rencana pembangunan rel kereta tersebut. Pertama, jalur di sepanjang
daerah pesisir yang menghubungkan Takalar, Limbung, Makassar, Maros,
Pangkajene, Marang hingga Segeri. Kedua, jalur yang menghubungkan Parepare,
Alita, Sidenreng, Balamalimpong hingga ke selatan menuju Sengkang. Dengan
panjang 87 kilometer, Parepare direncanakan menjadi titik pemberhentian utama
dalam jalur tersebut.38 Tujuan jalur kedua ini ialah mengalihkan pembuangan
produk ekspor lokal dari Palima ke Parepare. Namun demikian, akibat resesi
ekonomi pada awal dekade 1920-an, hanya jalur pertama yang terealisasi.39 Isu
pembangunan jalur kereta api sekali lagi digulirkan pada 1928. Jalur kereta
direncanakan hendak menghubungkan Parepare dan kawasan sekitar Danau
Tempe. Namun, rencana yang diproyeksikan menelan biaya pembangunan sebesar
8 juta gulden ini juga tidak berhasil direalisasikan. Pertimbangan utamanya ialah
semakin maraknya layanan angkutan truk (dienst-vrachtauto) antara Parepare dan
Sengkang40, sehingga pembangunan ini akan sangat beresiko. Kendati berbagai
rencana tersebut tidak pernah terwujudkan, namun peningkatan jaringan jalan raya
menjadi berkah tersendiri bagi Parepare. Hal ini terlihat dalam pengangkutan
beras dari Wajo dan Soppeng ke Parepare yang semakin intens berlangsung.
36
Koloniaal Verslag 1909, dalam Hoofdstuk P, 296–97.
37
De Locomotief, 8 Juli 1909, 2.
38
Pemberita Makassar, 30 Juni 1917, 1.
39
Saat itu, pengaruh resesi ekonomi sangat berdampak terhadap pembangunan kereta api tersebut.
Bahkan, jalur pertama, yang secara resmi mulai beroperasi pada 1 Juli 1922, banyak mengalami
perubahan dari yang telah direncanakan sebelumnya. Perubahan ini tampak jelas dari rutenya yang
hanya mencakup Takalar hingga Makassar dengan panjang kira-kira mencapai 47 kilometer. Lihat
Pemberita Makassar, 1 Juli 1922, 1.
40
Pemberita Makassar, 17 April 1928

Universitas Indonesia
117

Dalam memori serah terima jabatan M.J. Allaart, Asisten Residen Parepare
(memerintah 1930-1933), ia menegaskan bahwa beras yang diekspor melalui
pelabuhan Parepare tidak sepenuhnya berasal dari Afdeeling Parepare, tetapi juga
Onderafdeeling Wajo dan Soppeng.41 Informasi dari Van Beukering cukup
membantu dalam melihat seberapa besar andil beras Wajo dan Soppeng terhadap
perdagangan beras di pelabuhan Parepare. Menurutnya, pada tahun panen
1934/1935, sebanyak 15.400 ton atau sekitar 48 % dari total beras yang diekspor
di Parepare ialah berasal dari Wajo dan Soppeng.42 Angka tersebut jelas
menunjukkan arti penting beras hasil produksi Wajo dan Soppeng bagi
perdagangan beras di Parepare.
Grafik 4.1 Perbandingan Ekspor Beras di Parepare dan Palima
pada Paruh Kedua Dekade 1920
18.000
15.527 15.165
16.000
14.000
12.000 10.000
10.000
Parepare
8.000
5.191 Palima
6.000 4.388
4.000 3.089
2.000
0
1926 1928 1930

Sumber: diolah dari H. C Zentgraaff, Van Eilanden in Opkomst, hlm. 83; J. Allart,
Memorie van Overgave van de Afdeeling Parepare, hlm. 7; M. Van Rhijn, Memorie van Overgave
van de Afdeeling Bone.

Adalah faktor peralihan komoditas beraslah sehingga Parepare mampu


mengungguli Palima. Berdasarkan grafik perbandingan di atas, pada 1926
perbedaan jumlah ekspor antara kedua pelabuhan ialah sebesar 4.809 ton.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, 1926 adalah tahun pertama kalinya
beras dari Wajo dan Soppeng dikeluarkan melalui Parepare. Pada 1925, jumlah
perbedaan ekspor di kedua pelabuhan masih tercatat sebesar 4.294 ton.43 Kondisi
perbedaan itu semakin besar pada tahun-tahun berikutnya dan cenderung

41
Allart, Memorie van Overgave van de Afdeeling Parepare, 6.
42
van Beukering, “De Rijstsituatie in Zuid-Celebes,” 1264.
43
Lihat Rhijn, Memorie van Overgave van de Afdeeling Bone; H. C Zentgraaff, Van Eilanden in
Opkomst (Soerabaiasch Handelsblad, 1929), 83.

Universitas Indonesia
118

memperlihatkan penurunan ekspor beras di Palima. Sebagai gambaran, tingkat


perbedaan ekspor telah mencapai 12.076 ton pada 1930.44
Selain perniagaan beras, keunggulan Parepare atas Palima juga tampak
dalam hilir mudik kapal. Pada dekade 1910, Palima masih mengungguli Parepare.
Sebagai gambaran, pada 1910 Palima dikunjungi sebanyak 54 kapal dan 243
perahu. Pada tahun yang sama, frekuensi kunjungan di Parepare yaitu 40 kapal
dan 271 perahu.45 Meskipun frekuensi kunjungan perahu di Parepare masih lebih
banyak, namun hal itu tidak mengurangi keunggulan Palima dengan jumlah
kunjungan kapal uap yang lebih banyak dibandingkan Parepare. Namun demikian,
pada 1920-an, perubahan mulai terlihat dalam hal frekuensi kunjungan kapal dan
perahu. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel berikut ini:
Tabel 4.1 Kunjungan Kapal dan Perahu di Parepare dan Palima
pada Dekade 1920
Tahun Parepare Palima
Kapal Perahu Kapal Perahu
Jumlah Muatan Jumlah Muatan Jumlah Muatan Jumlah Muatan
(M3) (M3) (M3) (M3)
1923 153 342.361 524 10.623 55 270.481 601 15.214
1926 191 505.190 977 20.452 67 310.186 749 19.134
1929 189 564.088 1.627 34.960 57 316.863 485 13.881
Sumber: Statistiek van de Scheepvaart Nederlandsch-Indie over Het Jaar 1923, 1926,
1929.

Tabel di atas jelas menunjukkan bahwa Parepare mengungguli Palima


pada dekade 1920. Sejak saat itu, bisa dikatakan Palima secara perlahan mulai
mengalami kemunduran. Sebaliknya, Parepare menjadi semakin ramai dengan
aktivitas bongkar-muat. Keadaan ini sudah tentu sejalan dengan peningkatan
jaringan jalan dan peralihan komoditas beras di Soppeng dan Wajo.
Selain itu, penting untuk diketahui, bahwa jangkauan pasar yang terbatas
juga menjadi salah satu faktor yang membuat perdagangan beras di Palima tidak
pernah mengalami perkembangan yang signifikan. Sebagaimana telah
dikemukakan sebelumnya, selain beberapa tempat di Teluk Bone, komoditas

44
Allart, Memorie van Overgave van de Afdeeling Parepare, 7; Rhijn, Memorie van Overgave van
de Afdeeling Bone.
45
Statistiek van de Scheepvaart Nederlandsch-Indie over Het Jaar 1915, 51–53.

Universitas Indonesia
119

beras di Palima umumnya dibawa ke Selayar ataupun Makassar. Berbeda dengan


Palima, lokasi strategis Parepare di selat menjadi pendukung utama yang
membuat jangkauan pasar beras lebih luas, terutama dalam koneksinya dengan
Kalimantan dan Jawa. Berdasarkan uraian di atas, terlihat jelas bahwa
terkonsentrasinya sebagian besar hasil produksi beras di bagian tengah jazirah
Sulawesi Selatan ke satu titik (pelabuhan Parepare) sejak 1926, adalah penanda
berakhirnya kompetisi antara kedua pelabuhan. Tidaklah berlebihan untuk
mengatakan bahwa komoditas beras telah memungkinkan Parepare mengungguli
Palima. Hal lain yang tidak kalah pentingnya ialah peralihan beras merupakan
salah satu modal penting bagi peranan Parepare dalam perdagangan beras di
kawasan Selat Makassar.
4.4. Perdagangan Pada 1930-an: Menjadi Pelabuhan Beras (Rijst Haven) di
Bawah Kontrol Negara
Sejak 1932, Parepare telah berperan sebagai pintu keluar utama beras di
Sulawesi Selatan.46 Dalam sumber disebutkan bahwa sebagian besar ekspor beras
di daerah itu bersumber dari pelabuhan Parepare, bukan lagi pelabuhan Makassar.
Perdagangan beras di Makassar sendiri mulai mengalami penyusutan sejak 1930,
terutama perannya sebagai pusat distribusi beras impor asing dari daratan Asia
Tenggara. Bahkan, dua tahun berikutnya, pelabuhan Makassar hampir sepenuhnya
tidak lagi berkontribusi dalam mengimpor beras asing ke daerah-daerah di Hindia
Belanda bagian timur.47
Perlu diketahui, dalam konteks komoditas beras, Makassar ditopang
dengan beberapa daerah pedalaman subur yang paling tidak sejak abad ke-17
terkenal sebagai lumbung padi. Di antaranya ialah Maros dan Pangkajene yang
berada di bagian utara Makassar serta Takalar, Bantaeng dan Bulukumba di
bagian selatan Makassar.48 Selain itu, pelabuhan Makassar juga menerima suplai
beras dari pulau-pulau lain, seperti Lombok serta luar Hindia Belanda (daratan
Asia Tenggara). Sebelum 1932, posisi Makassar sebagai pintu keluar utama beras
di Sulawesi Selatan ditunjang dengan keberadaan. Apalagi, antara 1880-an hingga
1930 atau periode yang digolongkan oleh Rasyid Asba sebagai “masa ekspansi

46
Jaarverslag van de Handelsvereeniging Makassar over 1930, 26.
47
Jaarverslag van de Handelsvereeniging Makassar over 1932, 29.
48
Edward L Poelinggomang, Makassar Abad XIX: Studi Tentang Kebijakan Perdagangan Maritim
(Jakarta: KPG, 2016), 31.

Universitas Indonesia
120

kopra”, pelabuhan Makassar berkedudukan sebagai pusat ekspor kopra di Hindia


Belanda. Hal ini juga berdampak terhadap ketersediaan sarana pelabuhan yang
memadai, keberadaan eksportir Cina dan Eropa, permodalan serta berbagai
industri. Kondisi ini tentu saja bukan hanya mendukung peran Makassar sebagai
pusat ekspor kopra, melainkan juga sebagai pusat perniagaan beras di Sulawesi
Selatan.49 Namun demikian, seiring perkembangan waktu, Parepare nyatanya
berhasil tampil menggeser posisi Makassar sebagai pelabuhan utama ekspor beras
di Sulawesi Selatan. Terkait peran Parepare tersebut dapat dilihat dari tabel
berikut ini:
Tabel 4.2 Ekspor Beras di Tiga Pelabuhan Ekspor Sulawesi Selatan
pada 1932
Pelabuhan Jumlah Ekspor (dalam ton)
Parepare 17.291
Makassar 4.730
Palima 2.754
Sumber: Allart, Memorie van Overgave van de Afdeeling Parepare, hlm. 7; L.J.J. Caron,
Memorie van Overgave van Den Afgetreden Gouverneur van Celebes En Onderhoorigheden, hlm.
265; J.W.Th. Heringa, Memorie van Overgave van Den Aftredenden Assistent Resident van Bone.

Paling tidak terdapat beberapa faktor yang memungkinkan Parepare


berkedudukan sebagai pintu keluar utama beras di Sulawesi Selatan sejak 1932.
Pertama, hasil dari persaingan antara Parepare dan Palima. Terkonsentrasinya
sebagian besar hasil produksi beras di daerah pedalaman yang berbatasan (Wajo
dan Soppeng) ke satu titik, membuat persediaan beras di Parepare tentunya
bertambah. Kedua, program intensifikasi pertanian. Berbagai upaya yang
dilakukan oleh pemerintah kolonial guna meningkatkan hasil produksi padi
masyarakat di daerah pedalaman Parepare, pada gilirannya berpengaruh pula
terhadap persediaan beras ekspor. Usaha intensifikasi pertanian bukan hanya
berupa perbaikan irigasi, namun juga pembangunan irigasi baru guna mengairi
sawah-sawah yang sebelumnya masih berupa sawah tadah hujan. Hasil dari
pengembangan irigasi ini tampak jelas dari perdagangan beras di Parepare selama
paruh kedua dekade 1920, sebagaimana telah dipaparkan di bab sebelumnya.
Selain pengembangan irigasi, keberadaan konsultan pertanian di Afdeeling

49
Abdul Rasyid Asba, “Ekspansi Dan Kontraksi Ekspor Kopra Makassar 1883-1958” (Disertasi)
(Depok: Universitas Indonesia, 2003), 294–97.

Universitas Indonesia
121

Parepare juga cukup menentukan dalam upaya intensifikasi pertanian. Pada 1931
misalnya, konsultan pertanian Parepare berhasil dalam percobaannya untuk
mengendalikan wabah tikus yang seringkali mengakibatkan kegagalan panen.
Ketika itu, usaha pengendalian wabah dilakukan dengan menggunakan racun
tikus.50
Faktor terakhir ialah penggunaan pabrik penggilingan padi bertenaga
listrik. Hal ini berawal dari pendirian sebuah perusahaan (naamlooze
vennootschap) yang dikenal dengan Mattschappij tot Exploitatie van Plaatselijke
Bedrijven (selanjutnya disingkat MEPB). Pendirian MEPB diinisiasi oleh
pemerintah Selebes dan Daerah Bawahannya yang saat itu masih dijabat oleh
Gubernur J.L.L. Caron (memerintah 1929-1933). Perusahaan yang secara resmi
didirikan pada September 1930 ini,51 bergerak dalam bidang penyediaan tenaga
listrik dan es. Dengan berpusat di Makassar, MEPB memiliki delapan kantor
cabang yang tersebar di tempat utama di wilayah pemerintahan Celebes en
Onderhoorigheden. Di antaranya ialah Parepare, Majene, Palopo, Sengkang,
Watampone, Sinjai, Bantaeng dan Bau-Bau. Pada intinya, keberadaan MEPB
telah membawa dampak terhadap produksi beras di Parepare.
Hal tersebut tampak ketika MEPB secara resmi mulai beroperasi di
Parepare pada Juni 1931. Dalam sebuah sumber disebutkan bahwa pengoperasian
perusahaan itu disertai dengan beroperasinya sebuah mesin penggilingan padi
listrik pertama di Parepare pada tahun yang sama.52 Sampai Oktober 1932,
disebutkan pula bahwa sebanyak 6 mesin penggilingan padi listrik telah
beroperasi di Parepare.53 Sementara itu, sejak awal pengoperasiannya, MEPB
mengalami perkembangan yang cukup memuaskan. Sebagai gambaran, pada 1931
perusahaan itu hanya memasok sebesar 10.000 KWH dan bertambah secara
signifikan menjadi 200.000 KWH selama 1933. Secara umum, penggunaan listrik
MEPB lebih banyak ditujukan untuk menerangi kampung-kampung di daerah
pedalaman Sulawesi Selatan. Namun khususnya di Parepare, keberadaan dan

50
P van der Goot, “Over Levenswijze En Bestrijding Sawah-Ratten in Het Laagland van Java,”
Landbouw 23 (1951): 123–275.
51
Caron, Memorie van Overgave van Den Afgetreden Gouverneur van Celebes En
Onderhoorigheden, 100.
52
Het Nieuws van Den Dag Voor Nederlandsch-Indië, 10 Agustus 1933.
53
Soerabaijasch Handelsblad, 25 Oktober 1932.

Universitas Indonesia
122

perkembangan perusahaan itu berhubungan erat dengan peningkatan kebutuhan


listrik di pabrik-pabrik penggilingan padi. Bahkan, pada 1936, beberapa unit
mesin pembangkit listrik di Majene dan Balangnipa dialihkan ke Parepare guna
merespon permintaan tenaga listrik yang terus meningkat dari sekam padi. 54
Sekalipun Parepare telah berkedudukan sebagai pelabuhan utama ekspor
beras di Sulawesi Selatan, namun pertumbuhan ekspor beras sebetulnya belum
memperlihatkan suatu pencapaian yang gemilang sampai 1932. Setidaknya ada
dua hal yang menyebabkan kondisi tersebut. Pertama, kebijakan perdagangan
bebas. Faktor ini terutama yang menyebabkan Hindia Belanda telah mengimpor
beras asing secara efektif pada 1870-an.55 Perkembangan transportasi berupa
pengenalan kapal uap pada pertengahan abad ke-19 juga membuat biaya
pengangkutan komoditas semakin murah. Di Hindia Belanda, suplai beras impor
terutama berasal dari daratan Asia Tenggara. Alih-alih menurun, impor beras
asing tetap memperlihatkan tren peningkatan memasuki awal abad ke-20. Antara
1906 hingga 1908 misalnya, rata-rata tahunan untuk impor beras asing sebesar 9,9
56
% dari total nilai impor Hindia Belanda saat itu. Hingga dekade 1920, impor
beras asing tetap meningkat. Karena itu, kebijakan pasar bebas mengakibatkan
produk beras domestik sulit bersaing dari beras impor karena harganya yang
dijual lebih murah. Murahnya beras impor asing juga tidak lepas dari pengaruh
persaingan KPM dengan perusahaan pelayaran Cina di Hindia Belanda bagian
barat sehingga mendorong pihak KPM menurunkan biaya pengangkutannya.57
Kedua, masalah kualitas beras. Hal ini sudah sering dikeluhkan oleh para
konsumen di daerah seberang. Dalam kaitan itu, hasil produksi beras di Sulawesi
Selatan, termasuk Parepare, memiliki kualitas yang rendah karena tingkat patahan
yang tinggi dan warna yang tidak begitu cerah. Pada gilirannya, kondisi

54
J.L.M. Swaab, Memorie van Overgave van Den Afgetreden Gouverneur Celebes En
Onderhoorigheden, 1936, 80.
55
W M F Mansvelt, Changing Economy in Indonesia: : A Selection of Statistical Source Material
from the Early 19th Century up to 1940/ Volume 4 Rice Prices (The Hague: Nijhoff, 1978), 17;
Pierre van der Eng, Agricultural Growth in Indonesia : Productivity Change and Policy Impact
since 1880 (New York: St. Martin’s Press, 1996), 182,
http://search.ebscohost.com/login.aspx?direct=true&scope=site&db=nlebk&db=nlabk&AN=4915
74.
56
Hiroyoshi. Kano, Indonesian Exports, Peasant Agriculture and the World Economy, 1850-
2000 : Economic Structures in a Southeast Asian State (Singapore: NUS Press, 2008), 47.
57
Howard Dick, The Indonesian Interisland Shipping Industry : An Analysis of Competition and
Regulation. (Pasir Panjang, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1990), 7–8.

Universitas Indonesia
123

inferioritas itu membuat konsumen cenderung lebih memilih untuk mengonsumsi


beras impor yang berasal dari daratan Asia Tenggara (terutama Thailand, Burma
dan Indocina). Karena itu, beras di Parepare sulit untuk bersaing dengan beras
impor asing. Kedua hal itulah yang menjadi faktor penghambat perkembangan
perdagangan beras di Parepare saat itu.
Namun demikian, kondisi perberasan tersebut pada akhirnya mengalami
perubahan seiring depresi ekonomi global 1930-an. Bermula dari krisis di Wall
Street, pemerintah kemudian memutuskan untuk mengubah pandangan dan
sikapnya terkait masalah perberasan. Pasalnya, krisis ekonomi dibarengi dengan
hasil panen padi yang melimpah di daratan Asia Tenggara. Bersamaan dengan itu,
negara-negara pengimpor beras juga mulai menerapkan pembatasan impor beras
asing. Konsekuensinya, harga beras di pasar internasional jatuh mendahului harga
produk ekspor Hindia Belanda ketika itu. Dengan kondisi perdagangan yang
masih berlangsung di bawah pasar bebas (free trade), kondisi krusial itu sudah
tentu menjadi ancaman serius bagi hasil produksi beras domestik. Saat itu, daerah-
daerah penghasil surplus beras di Hindia Belanda ialah Jawa, Sulawesi Selatan,
Bali dan Lombok.58 Dijual dengan harga yang lebih tinggi, beras domestik
menjadi semakin sulit untuk bersaing dengan beras impor asing. Di samping itu,
jatuhnya harga beras Internasional juga berpotensi mengancam kemampuan petani
pribumi dalam hal pembayaran pajak.59 Kondisi yang serba mengancam itu pada
gilirannya mendorong pemerintah kolonial untuk melindungi pasar domestik
pertanian. Hal itu terlihat jelas ketika negara60 mulai menginggalkan kebijakan
laissez-faire tradisional pada 1931.61

58
van der Eng, Agricultural Growth in Indonesia : Productivity Change and Policy Impact since
1880, 185.
59
van der Eng, 183–84.
60
Istilah “negara” digunakan berdasarkan pengertian yang diuraikan oleh Robert Cribb.
Menurutnya, pembentukan Negara Kolonial merupakan sebuah proses perpisahan sebuah wilayah
koloni dari negara induknya. Dengan kata lain, negara kolonial menjadi “entitas” tersendiri yang
sama sekali berbeda dari negara induknya, baik secara konstitusional maupun administratif. Dalam
konteks negara kolonial Hindia Belanda, proses itu dapat dilacak hingga 1843, ketika jabatan
Gubernur Jenderal ditetapkan sebagai otoritas eksekutif tertinggi di koloni Hindia Belanda. Proses
pemisahan itu semakin dipercepat memasuki awal abad ke-20. Hal ini ditandai dengan pemisahan
kas Hindia Belanda dari kas Belanda pada 1903. Bahkan, pada 1922 Hindia Belanda memperoleh
status “rijksdeel” yang menandai kedudukan setara antara Belanda dan Hindia Belanda sendiri.
Selengkapnya lihat Robert Cribb, “Introduction; The Late Colonial State in Indonesia,” in The
Late Colonial State in Indonesia: Political and Economic Foundations of the Netherlands Indies
1880-1942, ed. Robert Cribb (Leiden: KITLV Press, 1994), 3–4.

Universitas Indonesia
124

Keputusan tersebut segera diikuti dengan pengesahan sebuah regulasi yang


menandai keterlibatan negara dalam hal perdagangan beras pada 1933. Regulasi
itu dikenal dengan Rijstinvoer Ordonantie. Aturan ini dimaksudkan untuk
mengurangi ketergantungan Hindia Belanda terhadap beras impor asing. Selain
itu, aturan itu juga ditujukan untuk menstabilkan harga beras domestik. Dengan
aturan tersebut, upaya pembatasan beras impor asing diwujudkan dengan
pengadaan sebuah izin khusus apabila hendak mengimpor beras dari luar Hindia
Belanda. Perizinan itu hanya dapat dikeluarkan oleh Direktur Pertanian,
Perindustrian dan Perdagangan. Satu hal yang menarik ialah aturan pembatasan
impor menghendaki agar nama pelabuhan beserta besaran pajak dicantumkan di
dalam lisensi.62 Dengan diterapkannya regulasi tersebut, bisa diutarakan bahwa
aktivitas perdagangan beras di Hindia Belanda tidak lagi berlangsung di bawah
pasar bebas. Hal itulah yang menandai awal keterlibatan negara secara langsung
dalam praktek perniagaan beras di pelabuhan Parepare.
Pertama-tama, kontrol negara terwujud melalui penetapan daerah-daerah
di Hindia Belanda yang termasuk sebagai daerah defisit beras. Adapun daerah
defisit beras yang ditetapkan sebagai tempat pembuangan surplus beras di
Sulawesi Selatan ialah Maluku, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur dan
Kalimantan Selatan.63 Upaya ini segera diikuti dengan pengadaan pertemuan
langsung dengan pemerintah kolonial setempat. Hal ini tampak pada 27 Juli 1933,
ketika A. Luytjens, Kepala bagian Ekonomi Pertanian, berkunjung ke Makassar.
Dalam kunjungan itu, Luytjens bermaksud mengadakan konferensi dengan L.J.J.
Caron, Gubernur Selebes dan Daerah Bawahannya (memerintah 1929-1933).
Tujuan utamanya ialah membahas persoalan regulasi pembatasan impor beras
asing. Di samping mengadakan konferensi, kunjungan Luytjens juga dimaksudkan
untuk mengamati langsung kondisi perberasan di Sulawesi Selatan, termasuk
Parepare.64

ini sem perkembangannya tidak terlepas dari proses pembentukan eHindia Belanda diartikan
sebagai
61
J. S Furnivall, Hindia Belanda : Studi Tentang Ekonomi Majemuk (Jakarta: Freedom Institute,
2009).
62
Lihat Staatsblad van Nederlandsch Indie 1933, No. 300.
63
Sidik Moeljono, Seperempat Abad Bergulat dengan Butir-butir Beras (Djakarta: Bulog, 1971),
2.
64
Pemberita Makassar, 1 Agustus 1933.

Universitas Indonesia
125

Negara juga turut memberi perhatian terhadap persoalan kualitas beras.


Langkah ini penting karena berhubungan dengan selera masyarakat di Sulawesi
Utara. Perlu diketahui, khususnya Manado, kebutuhan beras untuk masyarakat
setempat sudah sejak lama bergantung dari suplai beras impor asing, terutama
beras Saigon. Pada 1920-an misalnya, rata-rata impor beras di Manado mencapai
15.000 ton per tahun. Alih-alih mendatangkan beras dari daerah lain di Hindia
Belanda, masyarakat Manado cenderung memilih untuk mengimpor beras dari
luar Hindia Belanda (Siam). Hal ini bukan hanya karena faktor biaya
pengangkutan yang rendah, namun juga berkaitan dengan kualitas beras yang
minim di Sulawesi Selatan.65 Adapun faktor utama terkait rendahnya kualitas
beras bersumber dari kurang maksimalnya proses pengolahan padi di pabrik
penggilingan. Karena itu, upaya peningkatan kualitas beras banyak dicurahkan di
pabrik penggilingan padi. Langkah ini tampak jelas ketika seorang konsultan
industri di Departemen Pertanian, Insinyur Tan Sin Houw, diberi tugas untuk
menyelidiki secara langsung kondisi pabrik penggilingan. Ia berkunjung ke
Makassar dan Parepare pada 9 Agustus 1933. Dalam kunjungan itu, ia juga
memberi penerangan kepada para pemilik pabrik penggilingan padi. Agar upaya
pemberian informasi teknis dan pendampingan berjalan maksimal, konsultan itu
juga memutuskan untuk menetap selama tiga bulan lamanya pada akhir 1933.
Kunjungan sekali lagi diadakan oleh konsultan tersebut pada 1935. Kali ini,
lawatannya dimaksudkan untuk mengawasi penerapan saran-saran teknis yang
telah dikomunikasikan kepada para pemilik pabrik di masa penugasan
sebelumnya.66
Sebenarnya minimnya kualitas beras bukan hanya bersumber dari pabrik
penggilingan, namun juga berasal dari beras tumbuk.67 Kekurangan jenis beras ini

65
Pemberita Makassar, 22 Agustus 1925.
66
Bataviaasch Nieuwsblad, 9 Agustus 1933; 28 Desember 1933; 18 September 1933; 8 Agustus
1935.
67
Merujuk pada proses pengolahan padi di Sulawesi Selatan, ketika itu beras masih dapat
digolongkan ke dalam tiga jenis. Pertama, beras ludah (Bras Loedah). Beras yang dikategorikan
dalam jenis ini ialah beras yang telah melalui proses penumbukan sebanyak satu kali. Kedua, beras
tumbuk (Bras Toemboek). Jenis beras ini telah melewati proses penumbukan sebanyak dua kali.
Ketiga, beras putih (Witte Rijst). Beras ini merupakan beras yang diolah melalui pabrik
penggilingan padi. Di samping gabah, beras ludah dan beras tumbuk juga biasa digiling di pabrik
penggilingan padi. Hasil pengolahannya juga tetap dinamakan beras putih. Jenis beras inilah yang
lazim diperdagangkan, terutama perdagangan beras antar daerah di Sulawesi Selatan.

Universitas Indonesia
126

ialah memiliki tingkat patahan yang tinggi karena proses pengolahannya yang
melalui penumbukan sebanyak dua kali. Sebelum 1933, jenis beras inilah yang
biasanya diolah di pabrik penggilingan padi dan kemudian diekspor ke daerah-
daerah seberang. Menyadari hal tersebut, pada akhirnya pemerintah kolonial juga
mulai melarang beras tumbuk diolah di pabrik penggilingan, kecuali hanya untuk
dikonsumsi secara lokal.68 sejak saat itu, hanya gabah dan beras ludah yang
diizinkan untuk diolah di pabrik dan dijadikan beras ekspor di Parepare. dalam
perkembangannya, negara sekali lagi mengeluarkan sebuah regulas menyangkut
perbaikan kualitas beras pada 1939. Regulasi ini dikenal dengan “Peraturan
Gabah”. Tujuan utamanya ialah untuk memastikan setiap gabah yang hendak
diolah di pabrik harus dalam keadaan sekering mungkin. Regulasi ini pada
mulanya hanya diterapkan di Afdeeling Parepare dan Afdeeling Bone. Walaupun
demikian, dalam perkembangannya regulasi tersebut diterapkan pula di seluruh
Sulawesi Selatan.69
Selain pemetaan daerah defisit dan peningkatan kualitas beras, campur
tangan negara dalam perdagangan juga mengarah ke penetapan harga beras. Di
Sulawesi Selatan, langkah ini sebenarnya telah terlihat di masa sebelumnya,
terutama selama Perang Dunia I. Dalam menetapkan harga beras, Gubernur
Selebes dan Daerah Bawahannya berkonsultasi terlebih dahulu ke Departemen
Pertanian, Perindustrian dan Perdagangan. Sebagai contoh, harga pasaran yang
ditetapkan untuk beras putih pada November 1933 ialah sebesar f 3,50 per pikul.
Penetapan harga juga diterapkan untuk beras ludah yang dimulai pada 1934. Satu
hal yang menarik ialah upaya penetapan harga beras telah menjadi keuntungan
tersendiri bagi para petani. Dalam sebuah sumber dinyatakan bahwa, para petani
sering dicurangi karena manipulasi harga yang dilakukan oleh para pemilik padi,
terutama sebelum adanya penetapan harga.70
Kontrol negara lainnya ialah pengemasan komoditas beras. Sebelum
campur tangan negara, umumnya komoditas beras di Sulawesi Selatan dikemas
menggunakan karung yang terbuat dari daun nenas. Dalam istilah lokal, kemasan

68
M.D. Mey, Memorie va Overgave van de Onderafdeeling Pinrang, Afdeeling Parepare, 1935,
39.
69
C.H. Ter Laag, Memorie van Overgave van Den Resident van Celebes En Onderhoorigheden,
1941.
70
Pemberita Makassar, 27 November 1933; Soerabaijasch Handelsblad, 21 Juli 1934.

Universitas Indonesia
127

ini disebut balasse.71 Di pelabuhan Parepare, beras dalam balasse dimuat oleh
perahu untuk dikapalkan ke Wanua Laeng, terutama ketika angin muson timur
berhembus. Namun demikian, sejak 1933 pemerintah kolonial kemudian
memperkenalkan jenis pengemasan baru yang dikenal dengan dubbelzak (karung
ganda atau karung goni). Berbeda halnya beras dalam kemasan balasse yang
langsung dikapalkan ke Wanua Laeng setelah para pelaut menerima beras dari
pemilik pabrik penggilingan, beras dalam kemasan karung goni biasanya
disimpan terlebih dahulu di gudang pelabuhan. Pengangkutan beras dalam
kemasan karung goni umumnya dengan kapal uap milik KPM.72
Selain itu, negara juga turut campur tangan dalam persoalan pengangkutan
beras. Atas prakarsa Departemen Urusan Ekonomi, premi transportasi untuk kapal
KPM mulai diterapkan di pelabuhan-pelabuhan yang mengekspor beras di
Sulawesi Selatan, seperti Palima, Makassar dan Parepare. Sebagai gambaran, pada
1935 jumlah premi transportasi untuk komoditas beras ditentukan sebesar f 0,50
per 100 kilogram.73 Di samping premi transportasi, perusahaan KPM juga
memindahkan jadwal keberangkatan kapalnya di pelabuhan Makassar, yaitu dari
hari Jumat pagi ke Kamis sore untuk jalur 19 dan 20. Pemindahan jadwal itu
dimaksudkan agar kapal KPM dapat tiba di Parepare pada hari Jumat. Tentu saja
pemindahan tersebut membuat aktivitas bongkar-muat, terutama memuat
komoditas beras, di pelabuhan Parepare menjadi lebih lancar.74
Dengan berbagai kebijakan tersebut, tampak jelas pemerintah kolonial
bukan hanya memberi perhatian terhadap penetapan daerah pembuangan surplus,
namun juga menyangkut masalah kualitas, pengemasan, penetapan harga dan
bahkan pengangkutan. Karena itu, bisa disimpulkan bahwa kontrol negara telah
menyentuh perbaikan sistem perdagangan beras di pelabuhan Parepare. Dengan
kata lain, aktivitas perdagangan beras paling tidak telah berlangsung lebih efektif.
Salah satu indikator kuatnya ialah jumlah ekspor beras. Mengenai hal itu dapat
dilihat dari tabel berikut ini:

71
Nahdia Nur, “Perdagangan Beras Di Makassar Awal Abad XX,” Lembaran Sejarah 5, no. 1
(2003): 84.
72
Pemberita Makassar, 11 November 1933; G. J Schimmel, ‘De Rijstpolitiek in de Jaren 1933 Tot
1937’, Landbouw 13 (1937): 157.
73
Jaarverslag van de Handelsvereeniging Te Makassar over 1934, 15; Swaab, Memorie van
Overgave van Den Afgetreden Gouverneur Celebes En Onderhoorigheden, 188.
74
Pemberita Makassar, 13 Oktober 1933.

Universitas Indonesia
128

Grafik 4.2 Ekspor Beras di Parepare pada 1930-an


60.000
50.000 52.334

40.000
36.810
30.000 30.311
20.000
15.165 17.291
10.000
0
1930 1932 1934 1936* 1938

Sumber: diolah dari M.J. Allart, Memorie van Overgave van de Afdeeling Parepare, hlm. 7;
Handelsvereeniging/Exporteursvereeniging Makassar Jaarverslag over 1938, hlm. 28; J.L.M.
Swaab, Memorie van Overgave van Den Afgetreden Gouverneur Celebes En Onderhoorigheden,
1936, hlm. 190. Keterangan: *Jumlah ekspor untuk Januari hingga November

Grafik di atas menunjukkan perdagangan beras yang cenderung meningkat


selama dekade 1930. Pada 1930, misalnya, jumlah ekspor beras masih tercatat
sebesar 15.165 ton dan bertambah menjadi 17.291 ton pada dua tahun berikutnya.
Hal yang penting bahwa peningkatan yang lebih signifikan tampak jelas pada
tahun-tahun berikutnya seiring keterlibatan negara dalam perdagangan. Sebagai
gambaran, pada 1934 atau setahun semenjak kontrol negara, jumlah ekspor
meningkat lebih dua kali lipat dari jumlah ekspor pada 1932, yakni sebesar 36.810
ton. Perlu diketahui, peningkatan dengan jumlah sebesar itu belum pernah terjadi
pada dekade sebelumnya. Adapun penurunan jumlah ekspor pada 1936 lebih
kepada data yang diperoleh, di mana hanya memuat ekspor mulai dari Januari
hingga November. Terlepas dari itu, tren peningkatan tetap terjadi di tahun
berikutnya. Angka keluaran beras di Parepare telah mencapai 52.334 ton pada
1938, yang sebelumnya masih tercatat sebesar 37.132 ton pada 1937. Dengan
demikian, dari tren perdagangan tersebut, bisa ditarik kesimpulan bahwa
keterlibatan negara yang ditandai dengan jaminan ketersediaan pasar telah
membawa dampak positif terhadap jumlah beras yang diekspor di pelabuhan.
Satu fakta menarik bahwa perniagaan beras di bawah kontrol negara pada
akhirnya mewujudkan peranan Parepare sebagai pusat perdagangan beras di
kawasan Selat Makassar. Guna menjelaskan hal ini, pertama-tama penting untuk
memetakan pelabuhan mana saja yang bertindak sebagai pengekspor beras.
Kecuali pelabuhan-pelabuhan di Karesidenan Sulawesi dan Daerah Bawahannya,
hampir seluruh pelabuhan di perairan selat memposisikan beras sebagai

Universitas Indonesia
129

komoditas impor. Hal ini berarti bahwa Parepare dengan sendirinya berkedudukan
sebagai pusat perdagangan beras di selat. Akan tetapi, apabila pelabuhan-
pelabuhan di Bali dan Lombok untuk sementara diposisikan sebagai penyuplai
beras di kawasan selat, maka perlu dipaparkan pula mengenai tingkat ekspor
berasnya. Pada 1937, Bali telah mengekspor beras baik ke daerah Jawa maupun
daerah luar Jawa dengan jumlah 16.097 ton75 dan Lombok dengan ekspor
berasnya sebesar 24.395 ton.76 Sementara itu, Parepare mengekspor beras pada
tahun itu sebanyak 37.132 ton. Karena itu, terlihat bahwa pada tahun itu Parepare
sesungguhnya telah berperan sebagai pusat perniagaan beras utama di kawasan
Selat Makassar. Jika Howard Dick menuturkan bahwa pembatasan impor beras
yang menandai keterlibatan negara telah mendorong aktivitas perdagangan antar
pulau antara Jawa dan daerah luar Jawa pada dekade 1930,77 maka studi ini paling
tidak dapat membuat kesimpulan yang lebih jauh. Dalam hal ini, pembatasan
impor telah memicu gerak sejarah lain, yakni keberhasilan Parepare menjadi
pelabuhan tersibuk dalam perdagangan beras di kawasan Selat Makassar.
Pentingnya peranan Parepare dalam perniagaan beras bukan hanya
tercermin dari jumlah ekspor beras, namun juga dari jaringan perniagaannya yang
mencakup jaringan intra-regional (dalam daerah) dan inter-regional (antar
daerah). Adapun jaringan intra-regional meliputi daerah-daerah yang berada di
pantai barat Sulawesi, termasuk pulau-pulau di Selat Makassar. Dalam konteks
ini, beras yang diperdagangkan bukan hanya beras putih, tetapi juga sering dalam
bentuk padi dan gabah. Di Mandar, misalnya, setiap musim panen padi para
pelaut Mandar berlayar menuju daerah pantai barat Sulawesi, termasuk Parepare,
guna memuat padi dan gabah dan kemudian dibawa ke Mandar. Ketika tiba di
Mandar, pengolahan padi menjadi tugas penduduk perempuan setempat.

75
Jeroen Touwen, Extremes in The Archipelago: Trade and Economic Development in the Outer
Islands of Indonesia 1900-1941 (Leiden: KITLV Press, 2001), 386.
76
Alfons Van der Kraan, Lombok : Conquest, Colonization, and Underdevelopment, 1870-1940
(Singapore: Heinemann Educational Books, 1980), 265.
77
H.W. Dick, ‘Perdagangan Antar Pulau, Pengintegrasian Ekonomi dan Timbulnya Suatu
Perekonomian Nasional’, in Sejarah Ekonomi Indonesia, ed. Anne. Booth, Willian Joseph
O’Malley, and Anna. Weidemann (Jakarta: LP3ES, 1988), 399–434. Lihat pula Touwen, Extremes
in The Archipelago: Trade and Economic Development in the Outer Islands of Indonesia 1900-
1941, 293.

Universitas Indonesia
130

Gambar 4.2 Peta Jaringan Perdagangan Beras (intra-regional)


di pelabuhan Parepare
Sumber: hasil olahan dari koleksi www.leidenuniv.nl

Gambar 4.3 Peta Jaringan Perdagangan Beras (inter-regional)


di pelabuhan Parepare pada 1930-an
Sumber: hasil olahan dari koleksi www.leidenuniv.nl

Universitas Indonesia
131

Sementara itu, dalam konteks jaringan inter-regional, beras yang


diperniagakan umumnya ialah beras putih. Berdasarkan gambar di atas, Wanua
Laeng dalam jaringan perdagangan inter-regional ialah Kalimantan Timur dan
Kalimantan Selatan, Manado, Maluku, Timor dan, bahkan, Jawa, sebagaimana
tercermin dari gambar di atas. Dengan demikian, luasnya jaringan tersebut sekali
lagi membuktikan bahwa Parepare adalah pusat perniagaan beras utama di
kawasan Selat Makassar. Pertanyaannya, daerah mana yang paling banyak
menerima beras yang diekspor beras dari Parepare?
Grafik 4.3 Daerah Tujuan Ekspor Beras di Parepare pada 1938

Jumlah Ekspor = 52.334 ton

8% Kalimantan Timur dan Kalimantan


Selatan
6%
Maluku
34%

Manado

Timur, Jawa dan lainnya


45% 7%

Sulawesi Selatan

Sumber: Handelsvereeniging-Exporteursvereeniging Makassar Jaarverslag over 1938, hlm. 28

Grafik di atas menunjukkan bahwa Karesidenan Manado adalah daerah


tujuan utama untuk ekspor beras di pelabuhan Parepare. Dari 52.334 ton beras
yang diekspor pada 1938, sebanyak 45 % atau 23.478 ton beras diangkut ke
karesidenan tersebut. Adapun yang bertindak sebagai pintu masuk komoditas
beras di daerah ini ialah pelabuhan Donggala, Banggai, Toli-Toli, Gorontalo,
Palu, Leok, Inabonto, Luwuk, Tahuna, Tilamuta, Una-Una, Petta dan Manado.
Karena itu, tampak bahwa hampir seluruh pelabuhan di Karesidenan Manado,
baik di pantai barat maupun pantai utara Sulawesi, adalah bagian dari jaringan
perdagangan beras Parepare. Selanjutnya, posisi kedua ialah Kalimantan Timur
dan Kalimantan Selatan dengan jumlah 34 % dari total ekspor beras pada 1938
atau setara dengan 18.002 ton. Ada sebanyak 24 pelabuhan di karesidenan ini
yang menerima suplai beras dari Parepare. Namun, hanya 10 pelabuhan yang
biasanya menerima suntikan beras dalam jumlah besar, antara lain pelabuhan
Samarinda, Balikpapan, Kota Baru, Tarakan, Bulongan, Samalantakan, Tanjung

Universitas Indonesia
132

Redeb, Pasir, Sungai Meriam dan Sangkulirang. Posisi ketiga ialah Maluku.
Pelabuhan-pelabuhan yang lazim menjadi pintu masuk beras yang didatangkan
dari luar karesidenan ini ialah Ambon, Dobo, Neira dan Marauke serta 26
pelabuhan lainnya dalam jumlah yang lebih kecil. Timor, Jawa dan daerah lainnya
menduduki posisi terakhir dalam hal daerah tujuan ekspor beras. Khususnya
Timor, pelabuhan yang biasanya menerima suntikan beras impor, antara lain
Kupang, Ende dan Waingapu.78
Grafik 4.4 Ekspor Pelabuhan Parepare untuk Lima Komoditas pada
1932

Total Ekspor = 23.004 Ton

KemiriKapuk
3% 1%
Jagung
20%
Beras
Kopra
Kopra
1%
Jagung
Kemiri
Kapuk
Beras
75%

Sumber: M.J. Allart, Memorie van Overgave van de Afdeeling Parepare, hlm. 7
Peranan Parepare sebagai pusat perniagaan beras di kawasan Selat
Makassar tercermin pula dari perbandingan produk ekspornya. Grafik di atas
mengungkapkan posisi istimewa beras dibanding komoditas ekspor penting
lainnya. Dari data tersebut, komoditas beras adalah primadona ekspor di
pelabuhan, yakni dengan porsi 75 % (17.291 ton) dari total ekspor untuk lima
komoditas. Persentase itu jauh melampaui ekspor jagung di urutan kedua yang
hanya sebesar 20 % (4.535 ton). Sementara itu, komoditas lainnya hanya diekspor
dengan porsi yang lebih kecil, yakni secara berurut kemiri (3 %), kopra (1 %) dan
kapuk (1 %). Persentase porsi komoditas beras dalam perdagangan ekspor tentu
saja terus bertambah seiring kontrol negara sejak 1933. Dengan kondisi demikian,

78
Th J Odenkirchen, “Het Intergewestelijk Vervoer van Rijst,” Economisch Weekblad Voor
Nederlandsch-Indie (Batavia, June 1933), 2122.

Universitas Indonesia
133

tidaklah berlebihan untuk menyebut Parepare sebagai pelabuhan beras (Rijst


Haven).
Berkaitan dengan ekspor beras selama dekade 1930, terdapat sebuah
indikasi yang memperlihatkan kedudukan istimewa Parepare dalam konteks
perdagangan beras di Hindia Belanda. Dengan kata lain, tidak menutup
kemungkinan bahwa Parepare adalah salah satu pelabuhan tersibuk di Hindia
Belanda dengan spesialisasi beras. Keadaan ini akan tampak jelas ketika
membandingkan total ekspor antara Parepare dan pelabuhan-pelabuhan di Jawa.
Sebagai perbandingan ialah pelabuhan Indramayu yang terkenal sebagai salah satu
pelabuhan utama ekspor beras di Jawa. Pada 1938, pelabuhan ini mengekspor
beras dengan jumlah 24.532 ton,79 sementara Parepare sendiri mengekspor
sebanyak 52.334 ton pada tahun yang sama.80 Itu artinya bahwa volume ekspor
beras Parepare dua kali lebih banyak daripada volume ekspor beras Indramayu.
Namun, petunjuk tersebut masih memerlukan pembuktian lebih lanjut, terutama
perbandingan dengan pelabuhan ekspor beras penting lainnya di Jawa, seperti
Surabaya dan Batavia. Satu hal yang pasti bahwa peran pelabuhan Parepare dalam
perdagangan beras telah berhasil menarik perhatian pemerintah kolonial di
Batavia. Hal ini tampak dari pembangunan irigasi baru di daerah hinterland, yakni
Irigasi Sadang di Pinrang (lihat lampiran 6). Pembangunan sarana pengairan
tersebut merupakan satu dari dua proyek irigasi terbesar di daerah luar Jawa yang
digagas oleh pemerintah kolonial Belanda pada akhir dekade 1930. Selain itu,
irigasi baru tersebut diperkirakan dapat mengairi sawah sekitar 63.400 Ha.81
4.5. Jaringan Pelayaran
Pada dasarnya, jaringan pelayaran di Parepare pada dekade 1930 tidak
jauh berbeda dari dekade sebelumnya. Dengan kata lain, jaringan pelayaran terkait
erat dengan kebijakan pemerintah kolonial, di mana pelabuhan hanya dapat
disinggahi oleh kapal-kapal yang diizinkan untuk mengadakan pelayaran pantai
(kustvaart). Sejak pembaharuan kontrak yang ketiga pada 1930, KPM tetap

79
M R Fernando, “The Worst of Both Worlds: Commercial Rice Production in West Indramayu,
1885—1935,” Journal of Southeast Asian Studies 41, no. 3 (July 16, 2010): 439,
http://www.jstor.org/stable/20778896.
80
Handelsvereeniging/Exporteursvereeniging Makassar Jaarverslag over 1938, 28.
81
van der Eng, Agricultural Growth in Indonesia : Productivity Change and Policy Impact since
1880, 58.

Universitas Indonesia
134

menjadikan Parepare sebagai pelabuhan persinggahan untuk rute pelayarannya di


Selat Makassar.
Pada 1936, paling tidak terdapat empat jalur pelayaran KPM yang
menyinggahi pelabuhan Parepare. Pertama ialah jalur 13 yang menempuh trayek
Banjarmasin-Kalimantan Timur-Makassar. Dengan interval waktu pelayaran
sekali dalam seminggu, jalur ini menyinggahi pelabuhan-pelabuhan Banjarmasin,
Kota Baru, Pamukanbaai, Pasir, Balikpapan, Samarinda, Donggala dan Makassar.
Selanjutnya, dalam jalur kepulangannya, Kapal KPM menyinggahi pelabuhan
Makassar, Parepare, Donggala, Balikpapan, Samarinda, Pasir, Pamukanbaai, Kota
Baru dan sampai destinasi akhir jalur, yakni Banjarmasin. Berdasarkan penjelasan
jalur 13 yang merupakan jalur kontrak itu, tampak bahwa Parepare menjadi
pelabuhan singgah pada jalur kepulangan. Hal ini sudah tentu berkaitan dengan
muatan komoditas beras yang dimuat di Parepare untuk kemudian dikapalkan ke
Wanua Laeng, yakni Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Namun
demikian, berbeda dengan jalur 13 pada 1924, jalur 13 pada 1936 ini tidak lagi
menempatkan Parepare sebagai pelabuhan singgah yang fakultatif. Kedua ialah
jalur 17b. Jalur ini adalah jalur bukan kontrak dengan trayek yang lebih pendek,
yakni Makassar-Pantai Mandar-Pantai Barat Sulawesi. Dengan melayani
pelayaran sekali dalam seminggu, jalur ini menyinggahi pelabuhan Makassar,
Parepare, Majene, Pambauang, Karossa, Simpaga, Mamuju, Majene, Balanipa,
Campalagian, Polewali dan selanjutnya kembali ke Makassar dengan rute yang
sama.
Dua jalur terakhir ialah jalur 19 dan 20. Kedua jalur ini menyisir pantai
barat Sulawesi dengan trayek yang lebih panjang, yakni Makassar-Sulawesi
bagian barat-Sulawesi bagian utara-Manado-Sangir-Talaud-Ternate. Kedua jalur
itu melayani pelayaran dengan interval waktu sekali dalam sebulan.82 Satu hal
yang penting bahwa kedua jalur tersebut hanya menyinggahi pelabuhan Parepare
pada jalur keberangkatan. Keadaan itu jelas menunjukkan bahwa arti penting
Parepare disini adalah komoditas beras yang akan dibawa ke beberapa tempat di
Wanua Laeng. Untuk lebih jelasnya, aktivitas hilir mudik kapal dan perahu di

82
Lihat Dienstregeling Der Koninklijke Paketvaart Maatschappij Voor Het Jaar 1936.

Universitas Indonesia
135

Parepare selama dekade terakhir pemerintahan kolonial dapat dilihat dari tabel
berikut ini;
Tabel 4.3 Kunjungan Kapal Uap dan Perahu Layar di Pelabuhan
Parepare (1930-1939)
Tahun Perahu layar Kapal Uap
Jumlah Muatan (M3) Jumlah Muatan (M3)
1930 1.722 37.285 244 599.417
1931 1.649 40.903 213 481.877
1932 1.461 38.200 165 345.004
1933 1.406 40.692 172 433.443
1934 1.698 48.310 192 628.965
1935 1.610 47.846 192 516.587
1936 1.264 42.209 184 492.020
1937 1.578 53.672 172 509.620
1938 2.088 67.483 162 431.961
1939 2.196 68.073 154 458.986
Sumber: Statistiek van de Scheepvaart Nederlandsch-Indie, 1930-1939
Tabel di atas menunjukkan kunjungan kapal uap yang bersifat fluktuatif
selama dekade 1930. Berbeda dengan kapal uap, kunjungan perahu tampak
memperlihatkan kecenderungan yang meningkat setiap tahun, baik dalam hal
jumlah maupun volume, kecuali yang terjadi pada 1936. Yang agak mencolok
ialah peningkatan perahu selama tiga tahun terakhir (1937, 1938 dan 1939). Selain
faktor perdagangan beras, situasi itu juga berkaitan dengan peningkatan ekspor
ikan di pelabuhan saat itu. Di samping itu, tabel di atas juga menunjukkan bahwa
secara umum peran kapal uap dalam tonase jauh lebih besar dibandingkan perahu
layar pribumi. Pada 1930, misalnya, peranan kapal uap yakni sebanyak 94 % dari
total tonase keseluruhan. Meskipun demikian, sekalipun daya muatnya jauh lebih
rendah, namun frekuensi kunjungan perahu selalu lebih tinggi dibandingkan
frekuensi kunjungan kapal uap. Sebagai gambaran, pada 1939 kunjungan kapal
uap hanya mencapai 7 % dari jumlah kunjungan perahu layar.83 Pertanyaannya

83
Statistiek van de Scheepvaart Nederlandsch-Indie over Het Jaar 1939, 62.

Universitas Indonesia
136

kemudian, manakah yang lebih besar perannya antara perahu layar dan kapal uap
dalam konteks perdagangan beras di pelabuhan Parepare?
Sebetulnya cukup sulit untuk menemukan data mengenai kontribusi antara
perahu layar dan kapal uap dalam pengiriman komoditas beras di Parepare.
Namun demikian, dalam salah satu sumber yang diterbitkan pada 1929,
disebutkan bahwa biasanya perahu layar milik pribumi mengangkut sekitar 80 %
dari total ekspor beras Sulawesi Selatan. Sementara itu, selebihnya dikirim oleh
kapal uap milik KPM.84 Pentingnya peranan perahu dalam pengapalan komoditas
beras di Sulawesi Selatan tampak sejalan dengan peningkatan frekuensi
kunjungan perahu layar di pelabuhan Parepare. Situasi ini terlihat jelas terutama
ketika Parepare berperan sebagai pusat perniagaan beras di kawasan Selat
Makassar (dekade 1930). Adapun indikatornya ialah; pertama, alih-alih
memperlihatkan peningkatan seiring perkembangan perdagangan beras di
pelabuhan selama dekade 1930-an, hilir mudik kapal uap di Parepare justru
menunjukkan adanya fluktuasi, baik dalam hal jumlah maupun volume. Kedua,
adanya peningkatan aktivitas perahu layar secara drastis pada 1934 atau setahun
setelah penerapan regulasi pembatasan impor beras. Karena perdagangan beras
yang meningkat, tidak heran pula jika dampak krisis ekonomi dunia tidak begitu
signifikan dalam aktivitas pelayaran perahu85 di Parepare, meski sempat
mengalami stagnasi akibat krisis selama dua tahun (terutama pada 1930 dan
1931). Dengan kata lain, selama dekade 1930, ramainya aktivitas perdagangan
beras bukan hanya berdampak terhadap peningkatan ekspor beras, tetapi juga
menunjukkan andil perahu layar dalam konteks perdagangan beras di Parepare.
Selain beras, barang-barang produksi lokal seperti kemiri, sarung bugis
dan ikan asin juga penting dalam kegiatan pelayaran armada perahu. Aktivitas

84
Anonim, “Paketvaart Politiek,” Het Indische Volk 12, no. 32–33 (1929): 291.
85
Fenomena yang serupa tampak pula dalam kasus pelabuhan Banjarmasin. Menurut Endang
Susilowati, krisis ekonomi dunia menjadi momentum bagi kiprah armada perahu layar, yang
kedudukannya sedikit banyak telah dipengaruhi oleh perkembangan teknologi kapal uap. Karena
penurunan harga berbagai komoditas akibat krisis, umumnya para pedagang cenderung
menjadikan perahu layar sebagai andalan untuk perdagangan antar pulau. Pertimbangannya ialah
selain karena tawaran jasa pengangkutan yang lebih murah, para nahkoda perahu juga bersedia
menjamin keselamatan barang dagangan yang dimuatnya. Lihat Endang Susilowati, ‘Pasang Surut
Pelabuhan Rakyat Di Pelabuhan Banjarmasin, 1880-1990’ (Disertasi) (Depok: Universitas
Indonesia, 2004), 151-55. Lihat pula Howard Dick, “Prahu Shipping in Eastern Indonesia in The
Interwar Period,” Bulletin of Indonesian Economic Studies 23, no. 1 (1987): 111,
https://doi.org/10.1080/00074918712331335141.111

Universitas Indonesia
137

pelayaran ini terutama menghubungkan Parepare dan Surabaya. Misalnya, pada


1933 disebutkan bahwa seorang pedagang di Parepare menyerahkan sejumlah
kemiri ke pemilik perahu layar untuk dikirim ke Surabaya. Pedagang itu
menerima sebanyak f 5.000 dari pemilik atau nahkoda perahu. Tentu saja jumlah
itu sedikit lebih rendah dari nilai jual sesungguhnya karena telah dipotong dengan
ongkos muatan. Sistem ini memang lazim terjadi dalam pengangkutan perahu di
Sulawesi Selatan, di mana para pemilik atau nahkoda perahu perlu menyediakan
modal yang tidak sedikit untuk memperoleh muatan. Sebuah sistem yang sangat
terkait dengan adanya persaingan antara kapal uap milik KPM dan perahu layar
milik pribumi. Khususnya perahu layar, rute pelayaran dari Parepare ke Surabaya
berlangsung sibuk pada musim muson timur.86
Tabel 4.4 Kunjungan Perahu Layar dan Kapal Uap
di Lima Pelabuhan Timur Besar (Groote Oost) pada 1939
Pelabuhan Perahu Layar Kapal Uap
Jumlah Muatan (M3) Jumlah Muatan (M3)
Makassar 7.378 222.035 699 3.968.614
Parepare 2.196 68.073 154 458.986
Manado 698 10.503 197 1.555.579
Gorontalo 10 300 72 541.335
Ambon 1.161 25.976 110 539.983
Sumber: Statistiek van de Scheepvaart Nederlandsch-Indie 1939, hlm. 100-101
Satu hal yang penting ialah Parepare berhasil tampil sebagai salah satu
pelabuhan teramai di kawasan Timur Besar, khususnya pada dekade 1930. Jika
diamati lebih jauh, kondisi ini dapat dianggap sebagai pencapaian yang gemilang
mengingat Parepare hanya suatu pelabuhan kecil yang tidak diusahakan (kleine
niet-bedrijfshaven). Tabel di atas menunjukkan bahwa pada 1939 Parepare berada
di urutan kedua dengan jumlah kunjungan perahu layar terbanyak setelah
Makassar di urutan pertama. Dengan jumlah 2.196 perahu, Parepare melampaui
Manado (698 perahu) dan Ambon (1.161 perahu), yang notabene termasuk
pelabuhan kecil yang yang dikelola sebagai perusahaan (kleine bedrijfshaven).
Tingginya frekuensi kunjungan perahu mudah dipahami karena besarnya peran

86
J Turpijn, “Boegineesche Handelsprauwen,” Economisch Weekblad Voor Nederlandsch-Indie
(Batavia, July 1933), 120.

Universitas Indonesia
138

armada perahu dalam pengangkutan komoditas beras. Sementara itu, dalam hal
frekuensi kunjungan kapal uap, Parepare berada di urutan ketiga setelah Makassar
di urutan pertama dan Manado di urutan kedua. Berdasarkan tabel di atas,
diketahui pula bahwa Parepare masih lebih unggul dibandingkan Ambon dalam
hal jumlah kunjungan kapal uap. Pencapaian tersebut sudah tentu tidak terlepas
dari peran Parepare sebagai pusat perniagaan beras utama di kawasan Selat
Makassar. Dengan demikian, tampak jelas bahwa aktivitas perniagaan beras
selama dekade 1930 membawa dampak positif terhadap dinamika pelabuhan.
Pada akhirnya, menjelang Perang Dunia II, pemerintah kolonial Belanda
mengeluarkan suatu kebijakan terkait perdagangan beras. Kebijakan ini ditandai
dengan pembentukan sebuah lembaga yang bertugas membeli, menjual dan
mengadakan persediaan bahan makanan di Hindia Belanda. Lembaga yang
bersifat semi-pemerintah ini dikenal dengan Voedingsmiddelenfonds (selanjutnya
disingkat VMF) dan dibentuk pada 1939. Berada di bawah naungan Departemen
Urusan Ekonomi, VMF bekerjasama dengan Javasche Bank dan beberapa bank
swasta lainnya dalam melaksanakan tugasnya.87 Pada dasarnya, tujuan utama
VMF ialah memastikan tersedianya stok beras di setiap daerah, terutama selama
Perang Dunia II berlangsung.
Terlepas dari hal itu, adalah jelas bahwa pembentukan VMF pada
gilirannya membawa dampak terhadap aktivitas perdagangan beras yang
berlangsung di Parepare saat itu. Hal ini terutama tampak dari adanya monopoli
VMF atas perdagangan beras antarpulau sehingga pedagang lokal tergeser
posisinya oleh VMF. Di samping itu, VMF juga berwenang untuk menetapkan
harga minimum beras. Dalam kondisi demikian, VMF akan membeli beras milik
para pemilik pabrik penggilingan yang tidak laku di pasaran sesuai dengan harga
yang telah ditetapkan. Akibatnya, para pedagang beras di Parepare juga tidak
leluasa lagi memperoleh banyak keuntungan. Karena itu, tidak heran jika
perniagaan beras di Sulawesi Selatan pada 1941 hanya didominasi oleh
perusahaan yang memiliki kapital besar, seperti “Kongsi Tiga”.88

87
Moeljono, Seperempat Abad Bergulat dengan Butir-butir Beras, 5–6; van der Eng, Agricultural
Growth in Indonesia : Productivity Change and Policy Impact since 1880, 186.
88
Ter Laag, Memorie van Overgave van Den Resident van Celebes En Onderhoorigheden, 18.

Universitas Indonesia
139

Hal yang terpenting ialah terkait persediaan beras. Pada 1939, setiap
daerah yang masih butuh suplai beras dari daerah lain mulai mendirikan VMF
masing-masing guna menjamin ketersediaan stok beras, seperti di Ambon yang
ditangani Moluksche Handelsvennootschap dan Manado yang ditangani pedagang
beras setempat.89 Karena itu, pengiriman beras dari Parepare ke Wanua Laeng,
yang biasanya berlangsung setiap dua kali dalam sebulan (kapal KPM) atau saat
musim timur berlangsung (khusus perahu layar), juga tidak dapat lagi berlangsung
normal. Setelah kebijakan itu, aktivitas ekspor beras dari Parepare hanya
bergantung dari kondisi cukup atau tidaknya stok beras di Wanua Laeng. Dengan
demikian, pembentukan VMF pada dasarnya membawa pengaruh terhadap
ramainya aktivitas perdagangan beras sebagaimana yang telah berlangsung pada
tahun-tahun sebelumnya, meskipun perniagaan beras tidak sepenuhnya berhenti.

89
“Het Nieuws van Den Dag Voor Nederlandsch-Indië, 5 Agustus 1939,” n.d.

Universitas Indonesia
BAB V
DAMPAK PERDAGANGAN BAGI PERKEMBANGAN
KOTA PELABUHAN PAREPARE (1905-1939)

5.1. Pendahuluan
Pada Desember 2020 silam, publik sempat dihebohkan dengan sebuah
tindakan tidak terpuji yang dilakukan oleh salah seorang pejabat pemerintah kota
Parepare. Tindakan itu berupa teguran “kasar” ke salah seorang pedagang Parepare.
Akibat tindakan itu, kecaman dari berbagai pihak pun berdatangan yang kemudian
direspon oleh Walikota setempat dengan memutasi pejabat tersebut sebagai
sanksinya. Berita ini paling tidak memberi petunjuk terkait arti penting pedagang
sebagai salah satu kelas sosial di Parepare dewasa ini. Meskipun demikian, realitas
itu sebenarnya bukan suatu hal yang baru dan boleh dikatakan hanyalah cerminan
dari rangkaian sejarah pelabuhan Parepare selama periode kolonial. Dalam kaitan
itu, tidak diragukan lagi bahwa perkembangan pelabuhan pada gilirannya
mendorong terbentuknya kota pelabuhan. Bab ini membahas dampak perdagangan
terhadap dinamika kota pelabuhan mulai 1905 hingga 1939. Sistematika bab ini
terdiri dari tiga sub bab. Pembahasan dimulai dengan uraian terkait struktur
masyarakat kota. Sejauh mana perkembangan fasilitas kota menjadi sub bab
selanjutnya. Di samping itu, bagaimana pula peran pedagang dalam pembangunan
kota merupakan bahasan penting sekaligus menjadi bahasan penutup.
5.2. Struktur Masyarakat Kota Pelabuhan
Sebelum menguraikan lebih jauh, terlebih dahulu akan diperjelas mengenai
kota pelabuhan Parepare itu sendiri. Di era kolonial, kota pelabuhan Parepare yang
dimaksud ialah Distrik Soreang, yang luasnya mencapai 72 kilometer persegi.
Distrik ini merupakan bagian dari lanskap Mallusetasi (Onderafdeeling Parepare).
Selain menjadi tempat di mana pelabuhan berada, Soreang juga berfungsi sebagai
pusat pemerintahan administratif Afdeeling Parepare. Di samping itu, pusat
pertokoan Cina yang menandai kawasan perdagangan Parepare juga berlokasi di
Distrik Soreang. Dengan demikian, tampak bahwa kota pelabuhan Parepare
memiliki fungsi yang ganda, yakni pusat administrasi pemerintahan sekaligus pusat
perdagangan untuk kawasan Ajatappareng dan daerah sekitarnya.

140
Universitas Indonesia
141

Secara struktur masyarakat Parepare di era kolonial dapat dibagi ke dalam


tiga golongan sosial, yaitu masyarakat Pribumi, Timur Asing dan Eropa.
Sebagaimana halnya kota kolonial lain, golongan sosial itu dapat ditempatkan ke
dalam piramida, di mana penduduk Eropa menempati struktur teratas, kemudian
Timur Asing dan Pribumi di lapisan terakhir. Kategori penduduk pribumi disini
bukan hanya mencakup suku Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja, namun juga
mencakup suku-suku lain seperti Jawa, Banjar dan Minahasa. Sedangkan penduduk
Timur Asing ialah Tionghoa, Arab dan India. Berbeda dengan orang Arab dan
India, yang sebelum abad ke-20 telah bermukim di Parepare, orang Tionghoa
adalah penduduk Timur Asing yang kedatangannya baru mulai masif di awal abad
ke-20. Hal ini diketahui ketika pemerintah kolonial menetapkan sebuah lokasi
khusus yang diperuntukkan untuk permukiman orang Tionghoa dan Eropa pada
Maret 1905.1 Di Parepare, penduduk Tionghoa bukan saja berasal dari daerah lain
di Hindia Belanda, seperti Makassar dan Palu. Terdapat juga imigran yang datang
langsung dari Tiongkok ke Parepare. Mereka ini umumnya berasal dari Kanton,
Wong Thoeng dan Hin Hoa.2 Situasi ini sejalan dengan pendapat Yerry Wirawan
yang menyatakan bahwa kedatangan imigran asal Tiongkok di Makassar semakin
masif pada dua dekade awal abad ke-20.3 Sementara itu, penduduk Eropa ialah
orang Belanda yang kebanyakan berprofesi sebagai pegawai pemerintah
(ambtenar) dan prajurit militer. Dengan demikian, tampak bahwa Parepare adalah
kota dengan komposisi penduduk yang heterogen.
Secara umum, sebagian besar penduduk pribumi bermata pencaharian
sebagai petani. Selebihnya ialah nelayan yang bermukim di sepanjang pesisir
pantai, pedagang dan pegawai pemerintah. Profesi yang disebut terakhir adalah
kebanyakan melibatkan orang Minahasa dan Ambon yang direkrut sebagai pejabat
rendah pemerintah kolonial. Beberapa penduduk juga mengelola empang, yang
umumnya terdapat di bagian utara dan selatan kota.4 Sementara itu, sebagaimana

1
Koloniaal Verslag 1905, dalam Hoofdstuk C, 65.
2
Lihat Arsip Pemda Kotamadya Parepare, Volume I, No. Reg. 6. Arsip tentang data kematian warga
Tionghoa di Parepare pada 1944.
3
Yerry Wirawan, Sejarah Masyarakat Tionghoa Makassar Dari Abad Ke-17 Hingga Ke-20
(Jakarta: KPG, 2013), 127–28.
4
Arsip Barru (1920-1976), No. Reg 16. Arsip tentang Nama-nama orang jang mempoenjai Empang-
Empang dalam Landschap Maloesetasi.

Universitas Indonesia
142

lazimnya orang Tionghoa di Hindia Belanda, bidang perdagangan dan jasa


merupakan mata pencaharian yang melibatkan sebagian besar penduduk Tionghoa
Parepare. Di antara berbagai usaha yang digelutinya ialah toko, warung kopi, usaha
pencucian pakaian, studio foto, penjualan mobil dan onderdil kendaraan bermotor.
Meskipun demikian, berdasarkan data kematian pada 1940-an, diketahui pula
bahwa ada juga penduduk Tionghoa yang bekerja sebagai pemilik warung makan,
tukang masak, tukang emas, tukang sepeda, tukang potong babi, tukang reparasi
sepatu, berkebun dan, bahkan, buruh bangunan.5 Terdapat juga penduduk Tionghoa
yang memiliki empang, seperti Ong Tjang Sioe di Kampung Ujung.6 Selain
penduduk Tionghoa, umumnya penduduk Arab dan India juga bermata pencaharian
sebagai pedagang dan pengusaha. Salah satu di antara orang India yang memiliki
usaha penting di Parepare ialah Saleh. Ia mendirikan sebuah pompa bensin yang
terletak di Terminal Bus antar wilayah di Parepare. Adapun orang Eropa ialah rata-
rata berprofesi sebagai pegawai pemerintah kolonial Belanda.
Informasi mengenai penduduk Parepare sebelum abad ke-20 sebenarnya
cukup terbatas. Namun demikian, menurut perkiraan Brink, pada 1880-an
setidaknya telah terdapat 500 rumah yang tersebar di seluruh wilayah Parepare.7
Jika setiap rumah diperkirakan dihuni setidaknya empat orang, maka penduduk
Parepare saat itu telah mencapai sekitar 2.000 jiwa. Angka ini tentu saja tidak
berlebihan bagi suatu daerah pesisir yang berfungsi sebagai salah satu pusat
perniagaan di pantai barat Sulawesi.
Memasuki awal abad ke-20, keadaan penduduk secara perlahan mengalami
perkembangan. Pada 1920, misalnya, jumlah penduduk kota telah mencapai 3.109
jiwa. Adapun komposisinya ialah terdiri dari orang Eropa dengan jumlah 62 jiwa,
orang pribumi dengan jumlah 2.828 jiwa. Sementara itu, penduduk Timur Asing
berjumlah 219 jiwa, dengan komposisi penduduk ialah 95 jiwa untuk Tionghoa,
113 jiwa untuk Arab dan 11 jiwa untuk Timur Asing lainnya.8 Dari komposisi

5
Arsip Pemda Kotamadya Parepare, Volume I, No. Reg. 6. Arsip tentang data kematian warga
Tionghoa di Parepare pada 1944
6
Arsip Barru (1920-1976), No. Reg 16.
7
P.B. Standen ten van Brink, Zuid Celebes Bijdragen Tot De Krijgsgeschieen Militaire Geographie
van de Zuidelijke Aandtong van Het Eiland Celebes (Utrecht: Kemink & Zoon, 1884), 120.
8
Uitkoomsten Volkstelling, Uitkomsten Der in de Maand November 1920 Gehouden Volkstelling,
Deel II (Batavia: Drukkerijen Ruyorok & Co., 1922), 244.

Universitas Indonesia
143

tersebut, tampak bahwa orang Arab adalah penduduk mayoritas terbesar kedua
setelah penduduk pribumi. Besarnya jumlah orang Arab agaknya mudah dipahami
dari konteks Parepare sebelum abad ke-20, di mana pedagang Arab telah terlibat
dalam aktivitas perdagangan di pelabuhan. Dalam catatan B.F. Matthes, misalnya,
disebutkan bahwa ia tinggal selama beberapa hari di rumah Tuan Cambang
Lampoko, seorang pedagang Arab, saat mengunjungi Parepare pada 1856. Karena
itu, bisa disimpulkan bahwa sebelum 1870 telah terdapat sejumlah orang Arab yang
bermukim di kota pesisir ini.9 Sementara itu, ketika berkunjung ke Parepare pada
1880-an, Arthur Wichmann sempat mengamati aktivitas perdagangan di pelabuhan
ketika itu, di mana sebagian besar berada di tangan pedagang Arab.10 Mengakarnya
keberadaan orang Arab di Parepare tampak pula dari adanya sebuah tarian yang
dikenal oleh masyarakat setempat dengan “Tari Jeppeng”.11
Terlepas dari hal tersebut, tingkat pertumbuhan penduduk selama dua
dekade awal abad ke-20 relatif tidak terlalu besar. Dibanding keadaan penduduk
pada 1880-an, itu artinya pertumbuhan penduduk selama kurang lebih 30 tahun
ialah sebesar 1.109 jiwa atau sekitar 36 atau 37 jiwa untuk setiap tahunnya. Kondisi
ini jelas menunjukkan pertumbuhan penduduk yang tidak signifikan. Situasi ini
agaknya dapat dipahami dari kondisi perdagangan di pelabuhan yang memang
belum menunjukkan suatu perkembangan yang signifikan. Contoh paling baik
dapat dilihat dari perdagangan komoditas beras. Pada masa itu, ekspor beras masih
relatif terbatas, baik dalam hal jangkauan maupun jumlahnya. Memasuki dekade

9
Dalam kajiannya, van den Berg menyebutkan bahwa migrasi orang Arab dari Hadramaut ke
wilayah Kepulauan Nusantara semakin intens terjadi sejak perkembangan teknologi kapal uap pada
1870. Meski begitu, ia juga menuturkan bahwa sebelum abad ke-19, sejumlah orang Arab telah
menetap di beberapa pelabuhan-pelabuhan penting di Nusantara dan, bahkan, beberapa di antaranya
memiliki kedudukan politis yang cukup menonjol di daerah tempat mereka bermukim. Untuk hal
ini, lihat L. W. C van den Berg, Orang Arab Di Nusantara (Depok: Komunitas Bambu, 2010), 95-
96.
10
Arthur Wichmann, Bericht Uber Eine Im Jahre 1888-1889 Im Auftrage Der Niederlandischen
Geographischen Gesellschaft Ausgefuhrte Reise Nach Dem Indischen Archipel (Leiden: E.J. Brill,
1890), 30.
11
Tari Jeppeng merupakan salah satu bentuk akulturasi dari budaya Arab dan Bugis yang masih
dapat dijumpai di Parepare dewasa ini. Hal ini menjadi salah satu bukti yang menguatkan pendapat
Haneda Masashi. Menurutnya, kota pelabuhan adalah tempat pertukaran lintas budaya (cross-
cultural exchanges) antara masyarakat pendatang dan masyarakat setempat yang pada gilirannya
sering melahirkan bentuk peradaban baru. Selengkapnya lihat Haneda Masashi, ‘Introduction:
Framework and Methods of Comparative Studies on Asian Port Cities in the Seventeenth and
Eighteenth Centuries’, in Asian Port Cities 1600-1800: Local and Foreign Cultural Interactions,
ed. Haneda Masashi (Singapore: NUS Press in association with Kyoto University Press, 2009), 4.

Universitas Indonesia
144

1930, perubahan nyata mulai tampak dari komposisi penduduk. Untuk hal ini, dapat
dilihat dari tabel berikut ini;
Tabel 5.1 Keadaan Penduduk Kota Pelabuhan Parepare pada 1930
Pribumi Eropa Cina Timur Asing Total
Lainnya
5.599 125 385 164 6.273
Sumber: Volkstelling 1930, Volkstelling 1930, Deel V: Inheemsche Bevolking van Borneo,
Celebes en Kleine Soenda Eilanden en de Molukken, hlm. 130.

Tabel di atas menunjukkan adanya peningkatan penduduk Parepare pada


1930. Bahkan, hal itu memperlihatkan sebuah pertumbuhan yang signifikan, di
mana pertambahannya lebih dari 100 % dari jumlah penduduk pada 1920. Bila
hendak dirata-ratakan, antara 1920 hingga 1930, pertambahan penduduk tahunan
ialah sebanyak 10 % atau rata-rata sekitar 316 jiwa untuk setiap tahunnya. Jika
ditinjau dari ras, lonjakan drastis terjadi pada golongan Tionghoa, yang berjumlah
6 % dari total penduduk kota pada 1930. Jumlah itu terdiri dari 233 laki-laki dan
152 perempuan. Selama sepuluh tahun, terdapat peningkatan penduduk sebanyak
405 % atau lebih dari empat kali lipat dari keadaan penduduk Tionghoa pada 1920.
Itu artinya, rata-rata tahunan pertambahannya ialah sebesar 29 orang. Dengan
demikian, berbeda dengan keadaan penduduk pada 1920, orang Tionghoa menjadi
penduduk mayoritas terbesar kedua setelah penduduk pribumi pada 1930.
Sementara orang Timur Asing (Arab dan India) menunjukkan pertumbuhan yang
relatif stabil, orang Eropa telah meningkat lebih dari 100 % dengan komposisi 62
laki-laki dan 63 perempuan. Satu hal yang menarik ialah, dengan jumlah sebanyak
125 jiwa pada 1930, Parepare adalah kota dengan orang Eropa terbanyak kedua
setelah Makassar di wilayah pemerintahan Celebes en Onderhoorigheden.12
Secara umum, pertumbuhan penduduk di suatu wilayah sering dikaitkan
dengan tingkat kelahiran. Namun demikian, dalam konteks Parepare, faktor
urbanisasi juga perlu dipertimbangkan, khususnya pada 1930. Itu artinya fenomena
perpindahan penduduk ke Parepare dari daerah-daerah sekitarnya cukup intens
terjadi, terutama antara 1920 hingga 1930. Satu hal yang menarik bahwa, dalam
Volkstelling 1930, Parepare merupakan kota tertinggi di daerah luar Jawa yang para

12
Volkstelling 1930, Volkstelling 1930 (Deel IV: Europeanen in Nederlandsch-Indie) (Batavia:
Landsdrukkerij, 1933), 169–70.

Universitas Indonesia
145

imigrannya berasal dari wilayah sekitar kota itu berada, yakni sebesar 83, 2 % dari
total keseluruhan imigran.13 Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa pertumbuhan
penduduk kota terutama bersumber dari perpindahan masyarakat di kawasan
Ajatappareng dan daerah sekitarnya ke Parepare.
Realitas tersebut tentu saja akan sulit dipahami bagi Parepare, yang
notabene hanya salah satu kota pesisir yang berukuran kecil di pantai barat
Sulawesi, tanpa melacak lebih jauh dinamika pelabuhannya. Sebab, perkembangan
pelabuhan pada gilirannya bukan hanya terwujud dari peningkatan aktivitas
pelayaran dan perdagangan. Lebih dari pada itu, perkembangan pelabuhan telah
menciptakan berbagai macam kesempatan ekonomi. Bukan hanya pekerjaan
sebagai buruh kasar, tetapi juga pekerjaan yang membutuhkan keterampilan
tertentu di perusahaan-perusahaan yang perkembangannya tidak terlepas pula dari
eksistensi pelabuhan, seperti lowongan kerja di MEPB di Parepare yang
membutuhkan tenaga teknisi muda (lihat lampiran 7). Tidaklah mengherankan
apabila komposisi penduduk pribumi juga heterogen. Sebagaimana telah diutarakan
sebelumnya, penduduk pribumi pada 1930 bukan hanya terdiri dari orang Bugis,
tetapi juga orang Makassar, Mandar, Toraja, Minahasa, Jawa serta suku-suku
lainnya dalam jumlah yang lebih minim. Realitas itu sekali lagi menegaskan bahwa
kota pelabuhan identik dengan kota yang multietnik. Namun demikian, hal yang
terpenting ialah Parepare dengan segala harapan penghidupan yang ditawarkannya,
telah berhasil menarik kedatangan penduduk di daerah sekitarnya.
Salah satu kasus migrasi yang menarik ialah orang Toraja. Ditinjau dari
komposisi penduduk pada 1930, orang Toraja merupakan penduduk pribumi
terbanyak setelah orang Bugis. Jumlahnya mencapai 578 orang atau sekitar 10 %
dari total penduduk pribumi. Perpindahan penduduk Toraja ke Parepare mulai
berlangsung intens pada 1920-an. Terdapat dua faktor yang mendorong
perpindahan orang Toraja ke Parepare, di samping faktor kedekatan geografis.
Pertama, adanya perbaikan jaringan jalan pada 1920-an yang menghubungkan
Toraja ke kota-kota pesisir, seperti Parepare. Kedua, depresi ekonomi yang
berdampak terhadap harga pasaran kopi yang menurun. Hal ini penting bagi mereka

13
Volkstelling 1930, Volkstelling 1930 (Deel V: Inheemsche Bevolking van Borneo, Celebes En
Kleine Soenda Eilanden En de Molukken) (Batavia: Departement van Economische Zaken, 1936),
47.

Universitas Indonesia
146

yang hanya menggantungkan hidup dari hasil penjualan kopi. Dalam kondisi itu,
penduduk Toraja tidak dapat lagi berharap banyak dari kopi. Sementara itu, sudi
atau tidak, mereka tetap wajib membayar pajak kepala yang mulai diperkenalkan
pemerintah kolonial pada pertengahan 1920-an. Itulah sebabnya, gelombang
migrasi semakin intens berlangsung selama tahun-tahun depresi. Tentu saja faktor
penariknya ialah ketersediaan berbagai lapangan kerja di Parepare. Di kota
pelabuhan ini, orang Toraja umumnya bekerja sebagai buruh pabrik atau penjaga
toko-toko Cina. Menjelang akhir 1930-an, tidak sedikit pula dari mereka yang
pindah ke Parepare dengan maksud untuk mengenyam pendidikan.14
Dengan demikian, bisa ditarik kesimpulan bahwa besarnya pertumbuhan
penduduk yang terjadi antara 1920 hingga 1930 merupakan dampak langsung dari
aktivitas perdagangan di Parepare. Tentunya hal ini sedikit banyak dipengaruhi pula
oleh perdagangan beras. Dari daerah pedalaman, padi dan gabah didatangkan
dengan menggunakan berbagai jenis prahoto, seperti Ford, Daimont, Chevrolet,
Reo, Toyota dan Mercedes. Selanjutnya, proses pengolahannya dilakukan di pabrik
penggilingan padi yang mengandalkan tenaga buruh pabrik. Setelah menjadi beras,
tenaga buruh pelabuhan masih tetap menjadi tumpuan utama dalam proses
pemuatan komoditas beras ke kapal dan perahu. Dalam kaitan itu, gerobak15 yang
dapat menampung paling banyak 30 karung beras, menjadi alat utama yang
digunakan para buruh untuk memuat beras. Begitupun sebaliknya, aktivitas
bongkar barang-barang impor di pelabuhan mengandalkan tenaga buruh pelabuhan.
Untuk diketahui, sebelum Perang Dunia II, rata-rata upah yang diperoleh seorang
buruh pelabuhan ialah sebesar 63 sen per hari, sementara seorang mandor 89 sen
per hari.16

14
Edwin de Jong, ‘The Larger Torajan World: Migrant Networks and Organizations’, in Making a
Living between Crises and Ceremonies in Tana Toraja: The Practice of Everyday Life of a South
Sulawesi Highland Community in Indonesia, ed. Rosemarijn Hoefte and Henk Schulte Nordholt
(Leiden: Brill, 2013), 69–72.
15
Lihat lampiran 8
16
Allied Geographical Section Southwest Pacific Area, Special Report No. 80, Makassar (SW
Celebes), Dates 24 August 1945, 171.

Universitas Indonesia
147

Gambar 5.1 Tata Kota Pelabuhan Parepare pada masa kolonial

Sumber: Muhajir Muhajir and Muhammad Nur, ‘Tata Kota Parepare Periode Kolonial
Belanda’, Walennae: Jurnal Arkeologi Sulawesi Selatan Dan Tenggara, hlm. 68

Sepanjang periode kolonial, geografi etnis adalah hal yang paling menonjol
menyangkut pola permukiman penduduk. Sama halnya dengan kota kolonial
Makassar,17 permukiman diatur sedemikian rupa berdasarkan kelompok etnis.
Tentu saja penataan ini ditentukan oleh penguasa kota, yakni pemerintah kolonial
Belanda. Kajian arkeologis tentang tata kota kolonial Parepare yang dilakukan oleh
Muhajir dan Muhammad Nur cukup menarik untuk diuraikan lebih lanjut.
Menurutnya, format kota Parepare dapat dibagi ke dalam tiga bagian (lihat gambar
5.1). Pertama, zona inti kota (lingkaran oranye dalam gambar) yang mencakup area
pusat pemerintahan dan permukiman orang Eropa. Tangsi militer Belanda juga
terdapat di zona ini. Kedua, zona perdagangan (lingkaran biru) yang berada di
sebelah utara dari zona inti kota. Zona ini merupakan pusat perekonomian, di mana
kawasan pertokoan sekaligus permukiman orang Tionghoa dapat dijumpai.
Sementara itu, pasar, gudang penyimpanan barang dan pabrik-pabrik penggilingan
padi tersebar di pinggir pantai. Terakhir, zona permukiman penduduk (lingkaran
kuning). Zona ini sebagian besar berada di pinggiran kota, baik di bagian utara
maupun bagian selatan.18 Adapun permukiman itu antara lain Kampung Ujung,

17
Heather Sutherland, ‘Eastern Emporium and Company Town: Trade and Society in Eighteenth-
Century Makassar’, in Brides of the Sea : Port Cities of Asia from the 16th to the 20th Centuries
(Honolulu: New South Wales University Press, 1989), 111.
18
Muhajir Muhajir and Muhammad Nur, ‘Tata Kota Parepare Periode Kolonial Belanda’,
Walennae: Jurnal Arkeologi Sulawesi Selatan Dan Tenggara 17, no. 1 (2019): 65–68,
https://doi.org/10.24832/wln.v17i1.372.

Universitas Indonesia
148

Sabbang, Lakessi, Pisang, Bulu, La Berru, Labukkang dan Cappagalung. Selain itu,
di zona ini juga terdapat beberapa kampung berdasarkan etnis, seperti Kampung
Jawa, Arab dan Banjar.19 Meskipun cukup sulit menemukan lokasi pasti untuk
permukiman buruh pelabuhan, namun kemungkinan zona permukiman penduduk
juga menjadi tempat permukim para buruh pelabuhan. Satu hal yang penting ialah
adanya penataan kampung berdasarkan etnis tidak terlepas dari pertimbangan
keamanan bagi orang Eropa. Di Parepare, setiap kampung dipimpin oleh seorang
kepala kampung yang disebut matoa, kapitein atau wijkmeester. Dengan
mencermati tata kota tersebut, dapat dikatakan bahwa area pelabuhan
sesungguhnya mencakup ketiga zona itu, yang membentang dari utara ke selatan.
5.3 Perkembangan Fasilitas Kota Pelabuhan
Pada dasarnya, kegiatan perdagangan di Parepare bukan saja membawa
dampak terhadap dinamika pelabuhan, namun juga memberi pengaruh positif
terhadap kota pelabuhan itu sendiri. Dalam kaitan itu, sub bab ini akan
menunjukkan ramainya perniagaan yang berlangsung di pelabuhan sejalan dengan
muncul dan berkembangnya berbagai fasilitas yang tersedia di kota pelabuhan.
Salah satu di antaranya ialah pasar. Sebagai pusat perdagangan bagi masyarakat
Ajatappareng dan daerah sekitarnya, Parepare selalu ramai ketika hari pasar sedang
berlangsung. Di era kolonial, pasar masih diadakan selama dua kali dalam
seminggu, yakni hari Kamis dan Minggu. Ketika hari pasar berlangsung, penduduk
di daerah pedalaman berbondong-bondong membawa hasil produksi untuk dijual
atau dibarter dengan barang-barang kebutuhan sehari-hari, seperti sayuran dari
Lanroko. Barang dagang lain seperti ikan, hasil laut, umbi dan tepung topioka
dibawa oleh nelayan Mandar dari Ujung Lero. Hanya sedikit informasi yang
diperoleh mengenai pasar Parepare sejak renovasi yang dilakukan pada 1915.
Namun demikian, terdapat beberapa petunjuk yang mengindikasikan bahwa pasar
Parepare semakin ramai dikunjungi oleh masyarakat pada 1930-an. Ramainya
aktivitas jual-beli di pasar terutama tampak dari kondisi pasar itu sendiri, di mana
aktivitas jual beli bukan hanya berlangsung di dalam area pasar. Tidak sedikit pula
masyarakat yang menjual barang dagangannya dengan hanya dibentangkan di

19
Informasi mengenai kampung tersebut dimuat dalam catatan Andi Oddang, salah seorang
penduduk kota Parepare yang hidup di masa itu. Lihat Oddang, Memoar Brigjen Purnawirawan
Andi Oddang Untuk Merah Putih, 13–23.

Universitas Indonesia
149

sepanjang pinggir jalan sekitar pasar menggunakan pondok darurat berupa daun
nipah yang disanggah dengan empat tiang. Biasanya kegiatan pasar hanya
berlangsung sampai jam 12 siang.20 Dalam sumber lain, disebutkan bahwa ada
sekitar seribuan penduduk21 yang berkunjung ke Parepare setiap kali hari pasar
berlangsung, terutama pada 1930-an.22 Besarnya jumlah pengunjung itu tentunya
menimbulkan sebuah pertanyaan tersendiri, bagaimana hal itu bisa terjadi?
Satu-satunya penjelasan dari pertanyaan itu ialah keberadaan terminal mobil
di pusat kota atau sekitar pasar (sekarang menjadi Monumen Korban 40.000 Jiwa).
Terminal yang disebut “Kandang Oto” ini bisa dikatakan menjadi titik awal dan
akhir yang menghubungkan Parepare ke tiga tempat utama, yakni Majene ke arah
utara (sekitar 146 kilometer), Sengkang ke arah timur (sekitar 84 kilometer), dan
Makassar ke arah selatan (sekitar 158 kilometer). Pentingnya terminal ini berkaitan
dengan posisi Parepare yang cukup strategis dari sisi darat, yakni berada di
persimpangan jalur lalu lintas utama. Karena itu, hampir setiap hari terminal selalu
ramai dengan hilir mudik angkutan penumpang dan angkutan truk, apalagi ketika
hari pasar berlangsung. Pada 1930-an, sepeda23 dan bendi24 juga merupakan alat
transportasi penting bagi penduduk, khususnya untuk penggunaan dalam kota.
Kuda beban tetap menjadi alat transportasi untuk jarak jauh, seperti antara Parepare
dan daerah pedalaman, meskipun fungsinya sebagai alat pengangkutan komoditas
tidak lagi seramai sebelum penggunaan mobil. Adapun mobil telah menjadi pilihan
utama penduduk, baik dalam hal mobilitas barang maupun penumpang.
Tentu saja arti penting terminal tersebut tidak akan pernah terwujud tanpa
ditopang dengan perbaikan jaringan jalan, baik berupa pelebaran, pengerasan,
peninggian maupun pengaspalan jalan. Sebagaimana telah dikemukakan
sebelumnya, hingga akhir 1920-an jaringan jalan yang menghubungkan Parepare
dan daerah pedalamannya dapat dikatakan telah mapan berkat berbagai proyek
pelebaran, peninggian dan pengerasan jalan. Dengan kata lain, akses darat ke semua
daerah penyangga (termasuk dataran tinggi) telah dapat dicapai dengan

20
Oddang, Memoar Brigjen Purnawirawan Andi Oddang Untuk Merah Putih, 14.
21
Lihat lampiran 9
22
De Indische Courant, 7 Agustus 1937, 1.
23
Lihat lampiran 10
24
Lihat lampiran 11

Universitas Indonesia
150

menggunakan mobil. Pada awal 1930-an, perbaikan jaringan jalan di dalam kota
maupun luar kota tetap dilakukan, yang terutama ditujukan untuk pengaspalan
jalan-jalan utama. Di dalam kota misalnya, jalan utama dengan panjang 1,3
kilometer yang membentang dari selatan ke utara mulai diaspal pada 1930. Hingga
1933, pengaspalan jalan juga diupayakan di daerah luar kota (daerah penyangga),
meskipun masih dalam tahap uji coba. Pada 1930 misalnya, uji coba pengaspalan
dilakukan di jaringan jalan Parepare – Bangkae sepanjang 2,1 kilometer dengan
menggunakan aspal Buton.25 Pada tahun yang sama, ujicoba pengaspalan juga
dilakukan di Kemiri (jaringan jalan Parepare - Sengkang). Pada 1933, ujicoba
pengaspalan dilanjutkan sepanjang 47 meter di lokasi yang sama. Sayangnya,
keterbatasan dana kas daerah ‘memaksa’ beberapa proyek pengaspalan tidak dapat
dilanjutkan untuk sementara pada akhir 1933.26 Terlepas dari hal tersebut, berbagai
upaya perbaikan jaringan jalan paling tentunya merangsang jumlah kepemilikan
kendaraan bermotor.
Satu hal yang terpenting ialah peningkatan kendaraan bermotor telah
memungkinkan perluasan layanan pengangkutan mobil truk (Bel: vrachtauto, Bug:
prahoto). Kondisi ini memudahkan mobilitas barang dan penduduk dari dan ke
pelabuhan. Itulah sebabnya, menjelang akhir 1930-an, layanan angkutan mobil
yang menjadikan Parepare sebagai salah satu tujuannya semakin meningkat.
Sebagai gambaran, dalam memori serah terima jabatannya, W. J. Leyds
menyatakan bahwa trayek Majene - Parepare adalah trayek yang paling ramai untuk
pengangkutan mobil ke luar kota Majene pada akhir 1930-an.27 Menurut Hamid,
jaringan transportasi darat antara Majene dan Parepare merupakan pilihan alternatif
masyarakat Mandar untuk membawa komoditas ke Parepare. Selanjutnya
masyarakat Mandar biasanya membeli beras ataupun barang niaga lain di Parepare

25
Di masa kolonial, Buton terkenal sebagai salah satu daerah penghasil aspal. Beberapa kota-kota
besar, seperti Makassar, Batavia dan kota-kota di Jawa Timur menggunakan aspal yang diimpor dari
Buton. Bahkan, tingginya permintaan aspal Buton telah menjadikan Pelabuhan Pasarwajo (Buton)
sebagai pelabuhan ekspor aspal. Lihat La Ode Rabani, Kota-Kota Pantai Di Sulawesi Tenggara:
Perubahan Dan Kelangsungannya (Yogyakarta: Ombak, 2010), 88–89.
26
J. Allart, Memorie van Overgave van de Afdeeling Parepare, 1933, 2.
27
H Luhukay and E Tuwanakotta, Memori Asisten Residen W.J. Leyds Selama Bertugas Di Mandar
(Makassar: Yayasan Kaitupa, 2006), 71.

Universitas Indonesia
151

untuk dibawa ke Majene.28 Dengan demikian, pasar di Parepare adalah pusat


aktivitas penduduk sekaligus barometer perkembangan kota.
Selain pasar, kebutuhan sehari-hari penduduk juga dapat dipenuhi di
kawasan pertokoan Cina. Lokasinya tidak jauh dari pasar Parepare dengan
bentuknya yang memanjang dari selatan ke utara. Dalam buku panduan pegawai
mengenai informasi garnisun pemerintah kolonial di Jawa dan Luar Jawa yang
terbit pada 1926, disebutkan bahwa “…di toko-toko Cina anda bisa mendapatkan
segala kebutuhan yang diinginkan (kebutuhan hidup sehari-hari).”29 Tentu saja
ketersediaan barang-barang impor yang tidak diproduksi secara lokal tidak terlepas
dari kehadiran pelabuhan.
Perkembangan fasilitas kota juga tampak dalam bidang perbankan. Dalam
kajiannya mengenai kawasan Laut Mediterania, Braudel menyatakan bahwa
perbankan adalah salah satu aspek penting yang menandai tahap perkembangan
kota-kota pesisir di Laut Mediterania pada abad ke-16, setelah aktivitas komersial
dan industri.30 Dalam kasus Parepare, kehadiran jasa perbankan memang terkesan
lebih lambat dibandingkan kota-kota pelabuhan lainnya, seperti Makassar. Sampai
1923, Parepare belum memiliki fasilitas tersebut. Seiring permintaan yang
meningkat, Volksbank Celebes di Makassar, yang telah berdiri sejak 1920,
kemudian mengembangkan usahanya di beberapa tempat utama di Sulawesi
Selatan. Salah satu di antaranya ialah Parepare. Volksbank mendirikan cabang dan
beroperasi secara resmi di Parepare sejak September 1924.31 Di awal beroperasinya,
Volksbank Celebes di Parepare bukan hanya menggunakan tenaga orang Eropa
sebagai pegawai administrasi, namun juga membuka kesempatan kepada siapa saja,
termasuk penduduk pribumi, untuk mengisi posisi jabatan juru ketik ataupun
pembantu administrasi (lihat lampiran 12). Berbeda dengan Volksbank,
Volkscrediet Bank, yang menyediakan jasa perkreditan bagi rakyat, baru mulai
diadakan di Parepare pada 1927. Dalam konteks Sulawesi Selatan, perusahaan ini

28
A. R Hamid, “Jaringan Maritim Mandar: Studi Tentang Pelabuhan ‘Kembar’ Pambauwang Dan
Majene Di Selat Makassar1900−1980” (Disertasi) (Depok: Universitas Indonesia, 2019), 136.
29
Nederlandsch-Indische Officier, Gegevens Omtrent de Verschillende Garnizoenen Op Java En de
Buitengewesten (Bandoeng: NV. Boekhandel en Drukkerij Visser & Co., 1926), 118.
30
Fernand. Braudel, The Mediterranean and the Mediterranean World in the Age of Philip II. 1
(Sian Reynolds, Penerjemah) (New York: Harper & Row., 1972), 320.
31
Pemberita Makassar, 26 September 1924.

Universitas Indonesia
152

pada awalnya bersedia memberi pinjaman kepada masyarakat dengan jaminan


kelapa dan beras. Dalam perkembangannya, beras sebagai jaminan tidak dapat lagi
diteruskan pada 1920-an dengan alasan pinjaman yang diberikan selalu lebih tinggi
dibandingkan jaminannya. Namun demikian, pada akhir 1930-an Volkscrediet Bank
mulai menerima sawah sebagai jaminan pinjaman.32
Di samping fasilitas perbankan, fasilitas layanan kota lainnya ialah kantor
pos. Mulai 1917, kantor pos, telegraf dan telpon di Parepare telah dikategorikan ke
dalam kelas tiga, di samping Pompanua dan Palopo.33 Karena itu, dua tahun
kemudian, pengembangan layanan ini juga mulai dilakukan. Hal ini tampak dengan
dianggarkannya biaya sebesar f 35.900 untuk pendirian bangunan kantor pos yang
baru dan rumah tinggal untuk kepala kantor pos di Parepare berdasarkan besluit
Direktur Departemen Pekerjaan Umum tertanggal 17 April 1919 nomor 7791/A.34
Satu hal yang penting bahwa layanan pengiriman surat dan komunikasi ini bukan
hanya dimanfaatkan oleh penduduk di Ajatappareng, tetapi juga penduduk di
daerah sekitarnya.
Sebagai kota bandar, Parepare membutuhkan tempat penginapan. Fasilitas
penginapan penting karena bukan hanya diperuntukkan bagi para amtenar yang
sedang mengadakan perjalanan dinas, melainkan juga untuk kebutuhan para
pedagang, terutama yang berasal dari luar Parepare. Sebenarnya informasi
mengenai hal ini cukup terbatas. Namun demikian, dalam satu sumber disebutkan
bahwa pada 1924 sebuah fasilitas penginapan berupa hotel telah berdiri di Parepare.
Hotel itu bernama Hotel Islam.35 Sayang sekali, informasi mengenai pemilik dan
bangunan hotel itu tidak dapat dilacak lebih jauh. Jika merujuk dari nama hotel
tersebut, pemilik hotel kemungkinan merupakan milik pengusaha pribumi. Dalam
perkembangannya, pendirian hotel di Parepare baru tampak kembali pada akhir
1930-an. Hotel baru ini dikenal dengan Hotel Siswa. Lokasinya berada di kawasan
pertokoan Cina dan kemungkinan dimiliki oleh seorang pedagang Tionghoa.
Dengan bangunan yang terdiri dari tiga lantai, sepintas hotel itu merupakan salah

32
Soerabaijasch Handelsblad, 7 Juli 1938.
33
Pemberita Makassar, 22 Agustus 1917.
34
Verslag over de Burgerlijke Openbare Werken in Nederlandsch-Indie over Het Jaar 1921, 1922,
1923 En 1924 (Weltevreden: Landsdrukkerij, 1925), 52.
35
Pemberita Makassar, 11 September 1924.

Universitas Indonesia
153

satu bangunan yang paling mewah di jalan pusat pertokoan Cina (lihat lampiran
13).
Selain hotel, fasilitas penginapan lainnya ialah pesanggrahan. Sebagaimana
lazimnya di setiap ibukota afdeeling di Sulawesi Selatan ataupun di luar Sulawesi
Selatan, Parepare memiliki sebuah pesanggrahan yang setidaknya telah berdiri pada
1920-an. Bangunan pesanggrahan Parepare berada di tepi pantai yang menghadap
ke laut. Pesanggrahan ini terdiri dari empat kamar. Selain dapat disewakan untuk
kalangan umum, pesanggrahan terutama ditujukan sebagai tempat penginapan para
pegawai pemerintah kolonial yang sedang berkunjung ke Parepare. Pada 1926,
biaya sewa pesanggrahan ialah sebesar f 1 per hari.36 Menjelang akhir 1920-an, satu-
satunya pesanggrahan ini mulai sering dikeluhkan. Hal ini diutarakan oleh salah
seorang responden yang dimuat dalam Soerabaijasch Handelsblad. Menurutnya,
dengan fasilitas berupa empat kamar, setiap individu (pelancong atau pedagang)
seringkali tidak dapat menyewa pesanggrahan karena selalu ditempati oleh para
pegawai pemerintah kolonial yang melakukan perjalanan dinas. Keterbatasan
pesanggrahan saat itu tampak pula dari bangunannya yang terkesan sudah tua dan
tidak sedap dipandang. Itulah sebabnya, pada 1930 proyek pembangunan
pesanggrahan yang baru mulai dikerjakan. Lebih lanjut, responden itu menyarankan
agar pembangunan pesanggrahan yang baru hendaknya menyediakan delapan
kamar, karena “…harus siap untuk kemajuan. Parepare adalah pelabuhan yang
sibuk, pelabuhan ekspor beras, (dan) tempat yang terus berkembang.”37 Sayangnya
saran itu tidak dapat dipenuhi karena pesanggrahan baru yang diselesaikan pada
November 1930 ini, hanya memiliki enam kamar, sebagaimana rencana
pembangunan semula. Bangunan pesanggrahan baru itu tergolong modern,
dilengkapi dengan galeri depan. Selain terlihat lebih rapi, masing-masing kamar
juga telah dilengkapi dengan wastafel.38 Dengan bangunan pesanggrahan yang baru
itu, tarif sewanya juga bertambah. Adapun tarif satu kamar untuk per harinya ialah

36
Nederlandsch-Indische Officier, Gegevens Omtrent de Verschillende Garnizoenen Op Java En de
Buitengewesten, 118.
37
Soerabaijasch Handelsblad, 26 Juni 1929.
38
Soerabaijasch Handelsblad, 28 November 1930.

Universitas Indonesia
154

sebesar f 2,50 untuk amtenar dan f 3,50 untuk pengunjung yang bukan amtenar
(pelancong atau pedagang).39
Masyarakat pribumi juga turut andil dalam hal penyediaan fasilitas
penginapan. Mereka menyediakan fasilitas penginapan berupa rumah berpetak
yang disewakan. Salah satu di antaranya ialah milik Haji Gattung, seorang
pedagang kopi dan tekstil. Rumah pedagang ini berada di Kampung Sabbang dan
dibangun berpetak-petak. Selain ditinggali, beberapa petak lainnya juga
disewakan.40 Perlu diketahui, khususnya di Sulawesi Selatan, rumah sewa bagi
pusat-pusat perdagangan di daerah pesisir adalah persoalan penting. Hal ini
terutama menyangkut fasilitas penginapan untuk pedagang yang datang dari luar
daerah. Ketiadaan fasilitas rumah sewa inilah sehingga pada 1924 seorang
responden mengeluhkan kondisi perdagangan di Pambauang (Afdeeling Mandar)
yang belum memiliki rumah sewah sekalipun 4 pedagang Cina telah ikut berdagang
di daerah tersebut.41
Perkembangan infrastruktur kota juga tampak dalam bidang pendidikan.
Pada mulanya, perkembangan sekolah formal di Parepare dapat dikatakan masih
cukup terbatas. Kebutuhan pendidikan hanya terpenuhi melalui pendidikan dasar
dengan menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar. Sekolah pertama
di Parepare yang didirikan oleh pemerintah kolonial ialah Sekolah Pribumi atau
Sekolah Kelas Dua (Inlandsche School). Tidak diketahui secara pasti kapan sekolah
ini mulai didirikan. Namun, dalam memori serah terima jabatannya yang ditulis
pada 1908, H. N. A. Swart menuturkan bahwa, khususnya di daerah yang tidak
diperintah langsung, sekolah pribumi telah terdapat di Parepare, Palopo dan
Pompanua.42 Karena jumlah murid yang terus meningkat, sebuah sekolah pribumi
yang kedua dibangun di Parepare. Sekolah ini diresmikan pada 2 Juli 1917.43

39
Soerabaijasch Handelsblad, 3 Desember 1930.
40
H.A Mannaungi, Corat Coret Masa Revolusi Memoar: H.A. Mannaungi (Parepare: Yayasan
Makkarumpa, 2002), 14–15.
41
Lihat Pemberita Makassar, 28 November 1924.
42
H.N.A Swart, Memorie van Overgave van Het Gouvernement Celebes En Onderhoorigheden,
1908.
43
Pemberita Makassar, 6 September 1917.

Universitas Indonesia
155

Berbeda dengan Makassar yang telah memiliki Hollandsche Indlansche


School (selanjutnya disingkat HIS) sejak 1916,44 Parepare baru memiliki jenis
sekolah ini pada 1924. Berdasarkan besluit Direktur Pekerjaan Umum nomor
8455/A tertanggal 19 Maret 1924, biaya yang dianggarkan untuk mendirikan
bangunan sekolah itu sebesar f 20.000.45 HIS merupakan sekolah kelas satu
(pendidikan dasar) dengan menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa
pengantar. Pada dasarnya, sekolah ini terutama dibuka untuk anak-anak dari
golongan bangsawan, tokoh terkemuka, ambtenar dan para pedagang. HIS mulai
dibuka secara resmi pada Juli 1924. Di tahun awal, lebih dari 50 orang anak yang
terdaftar sebagai murid. Adapun komposisinya ialah kelas I lebih dari 40 anak,
kelas II sebanyak 7 orang dan kelas III sebanyak 2 orang.46 Mengingat Europesche
Lagere School (selanjutnya disingkat ELS) belum berdiri saat itu, untuk sementara
anak-anak Eropa juga ikut belajar di lembaga pendidikan tersebut. Satu hal yang
menarik ialah pembukaan HIS juga diikuti dengan pembukaan Middag Cursus
(Kursus Sore). Pendirian kursus ini diinisiasi oleh G. Ch. Schmidt, yang saat itu
menjabat sebagai kepala sekolah HIS Parepare. Kursus itu bertujuan untuk
mengajarkan bahasa Belanda yang terbuka untuk semua kalangan penduduk di
Parepare, baik anak-anak maupun dewasa. Pada Oktober 1924, jumlah penduduk
yang mengikuti kursus ini ialah sebanyak 10 orang. 47
Pada 1930-an, fasilitas sekolah di Parepare mengalami pertumbuhan pesat
seiring kebutuhan pendidikan yang semakin dirasakan. Satu hal yang penting ialah
layanan pendidikan bukan hanya dimanfaatkan oleh anak-anak di Parepare, namun
juga anak-anak yang berasal dari daerah sekitarnya. Karena itu, pembukaan sekolah
terus diadakan, baik yang diinisiasi oleh pemerintah kolonial, swasta maupun
organisasi keagamaan. Salah satu di antaranya ialah Sekolah Desa atau disebut
Volkschool. Lama pendidikan sekolah ini ialah tiga tahun dengan kurikulum yang
meliputi membaca dan berhitung. Sekolah ini secara resmi mulai berkegiatan pada
Juli 1932 dan dikhususkan untuk anak-anak pribumi biasa. Berdasarkan sumber,

44
Sarkawi B Husain, Sejarah Sekolah Makassar: Di Tengah Kolonialisme, Pertumbuhan Pers Dan
Pembentukan Elite Baru (Makassar: Penerbit Ininnawa, 2015), 67.
45
Verslag over de Burgerlijke Openbare Werken in Nederlandsch-Indie over de Jaren 1921, 1922,
1923 En 1924, 71.
46
Pemberita Makassar, 18 Oktober 1924.
47
Pemberita Makassar, 14 Oktober 1924.

Universitas Indonesia
156

disebutkan bahwa pembukaan sekolah tersebut karena jumlah murid yang semakin
bertambah dan Indlansche school tidak lagi mampu menampung kebutuhan
pendidikan bagi anak-anak pribumi. Di awal berdirinya, sekolah ini hanya
mengelola satu kelas dengan jumlah murid sebanyak 84 anak. Namun, hingga akhir
1930-an, Volkschool telah mengelola sebanyak tiga kelas. Sementara itu,
Vervolgschool, yakni sekolah lanjutan yang diperuntukkan untuk anak-anak lulusan
Volkschool, berjumlah sebanyak enam kelas. Sekolah lain yang didirikan oleh
pemerintah kolonial pada 1930-an ialah ELS. Sama dengan HIS, sekolah ini
merupakan sekolah dasar dengan menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa
pengantar. Namun, berbeda dengan HIS, ELS hanya diperuntukkan bagi anak-anak
Eropa, Mestizo (peranakan) dan anak-anak Timur Asing seperti Cina, Arab dan
India. Sampai akhir 1930-an, sekolah ini mengelola sebanyak tiga kelas.48
Adapun sekolah tingkat pendidikan dasar lain yang didirikan oleh swasta
ialah “Perguruan Umum”. Sekolah yang berada di Kampung Ujung ini berdiri atas
inisiasi dari H. Moch. Djafar, seorang pedagang tekstil di Parepare. Sekolah ini
mulai beroperasi pada Agustus 1937.49 Perkembangan organisasi keagamaan di
Sulawesi Selatan sudah tentu membawa dampak positif pula terhadap aspek
pendidikan di Parepare. Kondisi ini tampak dengan dimulainya pembangunan
sebuah sekolah Muhammadiyah50 di Kampung Lontangnge (Parepare) pada Juni
1937.51 Penduduk Tionghoa di Parepare sudah tentu turut mengusahakan sekolah
untuk pendidikan anak-anaknya. Sayangnya, hanya sedikit informasi yang
diketahui mengenai hal itu. Namun demikian, sebelum 1933, paling tidak sebuah
sekolah khusus anak-anak Tionghoa telah berdiri di Parepare. Pada 1933, sekolah
ini mulai dikelola oleh Kepala Kampung Cina (wijkmeester), yakni Ong Tjang Sioe

48
Mengenai perkembangan sekolah di ibukota Parepare lihat Allart, Memorie van Overgave van de
Afdeeling Parepare, 19–20; Oddang, Memoar Brigjen Purnawirawan Andi Oddang Untuk Merah
Putih, 26–27.
49
Politiek Verslag Celebes En Onderhoorigheden over Agustus 1937, 19.
50
Di Sulawesi Selatan, Muhammadiyah pertama kali didirikan di Makassar 27 April 1926. Pendirian
organisasi ini pada dasarnya tidak terlepas dari sosok Manshur Al-Yamany, salah seorang pedagang
Batik kelahiran Madura yang tinggal di Makassar. Pendirian Muhammadiyah Cabang Makassar
kemudian segera diikuti dengan pendirian cabang atau grup di daerah lain di Sulawesi Selatan,
termasuk Parepare.sebagaimana umum diketahui, Muhammadiyah mengembangkan amal-amal
usaha, seperti sekolah, Masjid dan Panti Asuhan. Mengenai perkembangan Muhammadiyah di
Sulawesi Selatan lihat Mustari Bosra, ‘Tuangguru, Anrongguru Dan Daengguru: Gerakan Islam Di
Sulawesi Selatan, 1914-1942’ (Disertasi) (Depok: Universitas Indonesia, 2003), 164–77.
51
Politiek Verslag Celebes En Onderhoorigheden over Juni 1937, 7.

Universitas Indonesia
157

bersama Jau A Heng.52 Dalam sumber lain, disebutkan bahwa sekolah ini bernama
Hua Chiao school. 53
Berdasarkan uraian perkembangan fasilitas pendidikan di atas, tampak
bahwa sarana pendidikan di Parepare selama periode kolonial Belanda relatif
terbatas. Keterbatasan ini bukanlah tercermin dari jumlahnya, melainkan dari
tingkat pendidikan yang pada dasarnya hanya dapat digolongkan sebagai
pendidikan dasar. Karena itu, bagi anak-anak pribumi yang tergolong mampu
secara ekonomi, seperti anak pedagang dan pengusaha, mereka hanya dapat
melanjutkan pendidikan lanjutan di daerah-daerah yang lebih maju, seperti
Makassar. Di Makassar, Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) menjadi salah
satu pilihan sekolah di taraf pendidikan lanjutan, di samping Kweekschool yang
merupakan sekolah lanjutan untuk pendidikan kejuruan.54 Bahkan, terdapat pula
beberapa anak yang mengambil pendidikan lanjutan atau pendidikan kejuruan ke
Pulau Jawa. Salah satu di antaranya ialah Andi Mannaungi. Ia merupakan anak dari
salah seorang pengusaha angkutan di Parepare. Ketika menyelesaikan pendidikan
HIS-nya, ia melanjutkan pendidikannya di Sekolah Pertanian di Sukabumi pada
1941.55
Layanan kesehatan adalah salah satu indikator penting dalam hal
perkembangan fasilitas kota. 1908 adalah tahun di mana sebuah rumah sakit
pertama di Parepare mulai dibangun.56 Rumah sakit ini merupakan rumah sakit
militer kelas 6. Layanan kesehatan itu bukan hanya untuk kepentingan para prajurit
militer dan amtenar, namun juga terbuka untuk semua kalangan penduduk. Pada
1908 misalnya, antara Agustus hingga Desember terdapat sebanyak 145 yang
datang berobat. Itu artinya rumah sakit rata-rata dikunjungi sebanyak 29 pasien
setiap bulan. Sebagian besar dari jumlah itu ialah orang Bugis. Saat itu, penyakit
yang paling umum diderita pasien ialah malaria, borok kaki, kudis, sifilis dan

52
Politiek Verslag Celebes over 1933, 23–24.
53
Politiek Verslag Celebes En Onderhoorigheden over Mei 1939, 11.
54
Menurut Sarkawi, untuk pertama kalinya sekolah menengah atau MULO didirikan di Makassar
pada 1914. Sedangkan, Kweekschool atau sekolah yang bertujuan untuk mencetak para guru telah
didirikan di Makassar sejak 1876. Lihat Husain, Sejarah Sekolah Makassar: Di Tengah
Kolonialisme, Pertumbuhan Pers Dan Pembentukan Elite Baru, 71–73.
55
Mannaungi, Corat Coret Masa Revolusi Memoar: H.A. Mannaungi, 34.
56
Koloniaal Verslag 1908, dalam Hoofdstuk D, 90.

Universitas Indonesia
158

penyakit mata.57 Khususnya malaria, sumber dari penyakit ini berasal dari kondisi
kota yang di sebelah utara kebanyakan masih berupa rawa dan empang. J.M.H.L de
Wilde de Ligny, asisten residen Parepare (memerintah 1924-1928), banyak
berperan dalam menekan angka penyakit malaria. Di masanya, ia mulai menimbun
rawa-rawa dan meninggikan empang-empang tersebut. Selain itu, ia juga banyak
memberi perhatian pada saluran-saluran air di dalam kota.58 Pada 1930, sebuah
bangunan yang difungsikan sebagai rumah sakit yang baru telah didirikan (lihat
lampiran 14). Rumah sakit ini berada di jalan poros yang mengarah ke Sengkang.59
Satu hal yang penting ialah fasilitas kesehatan di Parepare tidak hanya
dimanfaatkan oleh masyarakat kota, namun juga masyarakat yang bermukimdi
daerah sekitar Parepare. Pada 1938 misalnya, seorang penduduk Tionghoa yang
bermukim di Barru dinyatakan telah meninggal dunia setelah dirawat selama tiga
hari di rumah sakit Parepare.60
Fasilitas kota lainnya ialah bioskop. Fasilitas ini terutama menjadi hiburan
bagi masyarakat ketika itu. Sayang sekali, minim informasi yang diperoleh
mengenai awal mula bioskop di Parepare. Namun, menurut Oddang, bioskop yang
pertama belum memiliki suara sehingga dikenal dengan tontonan bisu. Bioskop ini
milik Ban Hong Liong, seorang pedagang Tionghoa dan berada di Kampung
Sabbang. Lebih lanjut, menurut Oddang, bioskop yang kemungkinan telah berdiri
pada 1930-an ini memiliki tiga kelas; kelas satu (Loge), kelas dua dan kelas tiga.
Seiring perkembangan teknologi, bioskop dengan menggunakan suara juga mulai
didirikan di Parepare. Bioskop ini terletak di Kampung Ujung dan berdiri atas
kongsi dari tiga pengusaha di Parepare, yakni Makkarumpa, Ambo Sanasa dan Ong
Hong Coan. Yang disebut terakhir, jelas merupakan pengusaha Tionghoa sementara
dua yang pertama ialah pengusaha Bugis. Hampir bersamaaan dengan berdirinya
bioskop itu, terdapat pula sebuah bioskop yang disebut “Bioskop Capitol” dan
berlokasi di Kampung Sabbang.61 Selain bioskop, sebenarnya terdapat pula

57
Vereeniging Tot Bevordering Der Geneeskundige Wetenschappen In Nederlandsch-Indie,
Geneeskundig Tijdschrift Voor Nederlandsch-Lndië. Deel L (Batavia: Javasche Boekhandel &
Drukkerij, 1910), 166.
58
H F Tillema, Zonder Tropen Geen Europa ! (’s-Gravenhage: Mouton & Co, 1926), 237.
59
Soerabaijasch Handelsblad, 28 November 1930.
60
Pemberita Makassar, 11 Oktober 1938.
61
Untuk informasi yang lebih lengkap, lihat Oddang, Memoar Brigjen Purnawirawan Andi Oddang
Untuk Merah Putih, 21–22.

Universitas Indonesia
159

beberapa fasilitas hiburan lainnya yang telah ada pada 1920-an di Parepare, seperti
lapangan tenis, bilyard dan bangunan kecil buat perkumpulan penduduk Eropa (een
kleine societeit).62
Dari berbagai uraian di atas, tampak jelas perkembangan infrastruktur kota
berlangsung sejalan dengan peningkatan aktivitas perdagangan di pelabuhan
Parepare. Hal ini ditandai dengan masifnya kemunculan dan pertambahan fasilitas
kota pada 1930-an, di mana dekade ini merupakan era kemajuan perdagangan di
pelabuhan, terutama peran Parepare sebagai pusat perniagaan beras di kawasan
Selat Makassar. Pada gilirannya, kondisi itu bukan hanya “memanjakan” penduduk
kota, namun juga telah menunjukkan bahwa Makassar bukanlah satu-satunya kota
kolonial yang menarik perpindahan penduduk di seluruh wilayah Sulawesi Selatan.
Sebab, Parepare juga memiliki daya tarik tersendiri sebagai sebuah kota kecil yang
menjanjikan, khususnya bagi masyarakat yang bermukim di daerah sekitarnya.
5.4. Peran Pedagang dalam Pembangunan Kota Pelabuhan
Sebelum membahas lebih jauh mengenai peran pedagang, terlebih dahulu
akan dipaparkan gambaran mengenai pendapatan mereka. Hal ini penting untuk
melihat seberapa besar kemampuan pedagang dalam pembangunan kota, baik
secara ekonomi maupun sosial. Aktivitas perdagangan pada dasarnya bukan hanya
telah menyediakan berbagai macam peluang ekonomi, tetapi juga membawa
dampak positif terhadap para pedagang. Dalam perdagangan beras misalnya, ketika
masa musim panen tiba, tidak sedikit pedagang yang datang langsung ke Pinrang
guna membeli hasil produksi padi para petani.63 Dari pedalaman, gabah dan beras
ludah dimuat dan dibawa menggunakan angkutan truk ke Parepare. Di kota pesisir
ini, terdapat beberapa pabrik penggilingan padi yang “selalu siap” mengolah gabah
dan beras ludah menjadi beras putih. Dengan pola seperti inilah, pedagang perantara
(middleman), baik pedagang bugis maupun Tionghoa, memperoleh keuntungannya.
Tentu saja keuntungan itu berupa hasil selisih antara pembelian dari para petani dan
penjualan ke para pemilik penggilingan. Meskipun demikian, di antara para
pedagang itu, tidak jarang juga memiliki pabrik penggilingan padi sendiri di
Parepare.

62
Nederlandsch-Indische Officier, Gegevens Omtrent de Verschillende Garnizoenen Op Java En de
Buitengewesten, 118.
63
M.D. Mey, Memorie va Overgave van de Onderafdeeling Pinrang, Afdeeling Parepare, 1935, 40.

Universitas Indonesia
160

Pertanyaannya, seberapa besar penghasilan para pedagang yang terlibat


dalam perdagangan beras di Parepare? Informasi yang dimuat dalam surat kabar
Pemberita Makassar cukup menarik untuk dipaparkan. Dalam tulisannya pada
1917, seorang responden menyebutkan bahwa para pelaut-pedagang yang datang
ke Parepare guna memuat beras biasanya memperoleh keuntungan sebanyak
ratusan gulden setiap bulan.64 Besarnya penghasilan itu tentu tidaklah berlebihan,
mengingat Kapal KPM baru membuka jalur pelayaran yang menghubungkan
Parepare dan Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan pada 1924. Itu berarti
pengangkutan beras ke daerah tersebut hanya mengandalkan perahu layar.
Khususnya dalam pelayaran pulang dari Kalimantan, para pelaut-pedagang (Bugis,
Makassar dan Mandar) umumnya memuat balok dan kayu sebagai muatan balik
untuk kemudian dijual di Parepare dan kota-kota pesisir lainnya di pantai barat
Sulawesi. Dengan jumlah pendapatan itu, tidak heran jika pada 1915 seorang
pedagang Parepare disebut telah meminjamkan uang sebesar 10.000 gulden ke
Blaset, salah seorang pegawai Eropa di Makassar.65
Informasi berikutnya datang dari Van Ginkel. Dalam pengamatannya yang
dilakukan pada 1924, ia menuturkan bahwa penghasilan pedagang perantara
pribumi di Parepare ialah berkisar f 480 hingga f 5.000 dalam setahun.66 Data ini
merujuk secara khusus pada 15 pedagang perantara pribumi yang dijumpai oleh
Ginkel saat itu. Meski begitu, taksiran tersebut bukan hanya bersumber dari
pedagang yang terlibat dalam perdagangan beras, tetapi juga perdagangan
komoditas lain, seperti kopra, kopi, tembakau, kacang, dan kulit hewan. Karena itu,
bisa dikatakan bahwa pedagang perantara dalam perdagangan beras tidak jarang
terlibat pula dalam perdagangan komoditas lain, misalnya, kopra. Sayangnya,
penulis tidak menemukan data penghasilan pedagang di Sulawesi Selatan pada
dekade 1930. Padahal, dengan data pendapatan selama periode tersebut atau juga
masa kegemilangan pelabuhan Parepare, setidaknya dapat mengungkap sejauh
mana pengaruh peningkatan perdagangan di Parepare terhadap pemasukan para
pedagang.

64
Pemberita Makassar, 30 Oktober 1917.
65
De Sumatra Post, 9 Desember 1915.
66
Fievez de Malines Van Ginkel, Verslag van Den Economischen Toestand Der Inlandsche
Bevolking 1924. Deel II (Weltevreden: Landsdrukkerij, 1926), 268–69.

Universitas Indonesia
161

Satu hal yang penting bahwa depresi ekonomi 1930-an sebetulnya tidak
banyak membawa pengaruh bagi kondisi perdagangan di pelabuhan Parepare.
Situasi ini terutama bersumber dari perdagangan beras yang berlangsung positif
selama dekade 1930 atau fase kegemilangan pelabuhan. J.A. Allart, Asisten
Residen Parepare, memang mengakui bahwa komoditas beras, kopra dan jagung,
yang notabene merupakan komoditas primer, mengalami penurunan harga pada
awal 1933 akibat krisis ekonomi. Sebagai gambaran, ketika itu harga beras hanya
sebesar f 2 – f 2,50 per pikul, sementara kopra dijual sebesar f 3 – f 3,50 per pikul.67
Namun, penurunan harga itu hanya bersifat sementara, khususnya harga komoditas
beras. Sebab, seiring pembatasan impor beras asing di Hindia Belanda yang mulai
berlaku pada pertengahan 1933, harga beras di Parepare perlahan mulai membaik.
Pada Agustus 1933, misalnya, beras telah dijual sebesar f 3,10 per pikul. Bisa
dikatakan bahwa sejak kontrol negara pada 1933, harga komoditas beras secara
perlahan terus membaik hingga akhir 1930-an. Pada Desember 1940, harga beras
di Parepare telah mencapai f 8,04 per 100 kilogram.68 Bukan hanya persoalan harga,
tetapi juga jumlah ekspor beras yang meningkat, sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya. Dengan demikian, bisa ditarik kesimpulan bahwa pengaruh depresi
ekonomi yang tidak menimbulkan gangguan serius terhadap kegiatan perdagangan
di pelabuhan Parepare ialah terutama bersumber dari perdagangan beras yang
berlangsung di bawah kontrol negara.
Petunjuk lain terkait kemakmuran para pedagang datang dari kesaksian
sezaman yang ditulis oleh Andi Oddang. Menurutnya, salah satu pedagang
Tionghoa yang terkenal pada 1930-an ialah Hong Long. Pedagang ini terlibat dalam
usaha dagang beras di Parepare. Ia tidak sekedar memiliki pabrik penggilingan padi.
Hong Long juga mempunyai gudang penyimpanan dan kantor perusahaan yang
berada di sekitar pelabuhan. Suatu ketika, kata Oddang, Hong Long beserta para
pembantunya melintas di jalan dengan membawa uang perak yang dibungkus
dalam beberapa pundi. Saat itu, Hong Long menantang Andi Oddang bersama
beberapa kawannya untuk memikul satu pundi sejauh satu meter. Jika mereka
berhasil, Hong Long akan memberi beberapa imbalan uang perak kepada Andi

67
Allart, Memorie van Overgave van de Afdeeling Parepare, 7.
68
Jaarverslag van de Handelsvereeniging/Exporteurs Vereeniging Makassar over 1940, 27.

Universitas Indonesia
162

Oddang dan kawan-kawannya. Rupanya tantangan tersebut tidak berhasil


dilakukan oleh mereka. Seperti kata Andi Oddang bahwa, “…ternyata memang
sangat berat uang perak dalam satu pundi itu.”69 Informasi lainnya ialah
sumbangan penduduk Tionghoa Parepare. Pada Oktober 1940, tiga penduduk
Tionghoa Makassar mengadakan perjalanan ke beberapa pusat perdagangan di
Sulawesi Selatan. Tujuan utamanya ialah mengumpulkan “oewang derma” sebagai
bentuk solidaritas mereka terhadap masyarakat Tiongkok. Dari 41 tempat yang
dikunjungi, ketiga penduduk Tionghoa itu berhasil mengumpulkan sumbangan
sebesar f 5.319. Hal yang menarik ialah jumlah sumbangan terbanyak bersumber
dari penduduk Tionghoa Parepare, yakni sebesar f 931,50. Jumlah ini lebih banyak
dibanding sumbangan penduduk Tionghoa di pusat perdagangan penting lainnya di
Sulawesi Selatan, seperti Watampone (f 867), Palopo (f 765) dan Bantaeng (f 455).70
Apa yang ingin ditekankan disini bahwa sumbangan terbesar di Parepare sudah
tentu berasal dari penduduk Tionghoa yang kebanyakan berprofesi sebagai
pedagang atau pengusaha.
Dari berbagai penjelasan di atas, tampak bahwa penghasilan para pedagang
di Parepare tidaklah sedikit, terutama pedagang pribumi dan Tionghoa. Keuntungan
itu pada gilirannya menjadi modal bagi pedagang yang telah memungkinkan
mereka untuk turut andil dalam hal pengembangan kota. Salah satu hal yang paling
menonjol mengenai peran pedagang ialah pembangunan Masjid Jami. Mesjid ini
yang berlokasi di depan Terminal Bus ini mulai dibangun pada 1930. Sebelum
pembangunan Masjid Jami, Parepare hanya memiliki dua masjid. Satu masjid
berada di Kampung Ujung dan satunya lagi terletak di Kampung Labakkang.
Dengan kondisi itu, kebutuhan akan fasilitas ibadah yang baru semakin dirasakan
seiring meningkatnya jumlah penduduk kota. Situasi inilah yang melatarbelakangi
pendirian Masjid Jami yang berada persis di pusat kota. Dengan ukurannya yang
lebih besar di antara masjid lainnya di Parepare, masjid ini juga disebut oleh
masyarakat setempat dengan "Masjid Raya". Satu hal yang penting, pembangunan
Masjid Jami tidak terlepas dari peran para pedagang. Hal ini diketahui dari susunan

69
Oddang, Memoar Brigjen Purnawirawan Andi Oddang Untuk Merah Putih, 16.
70
Pemberita Makassar, 22 Oktober 1940.

Universitas Indonesia
163

pengurus yang sekaligus bertindak sebagai panitia pembangunan masjid saat itu.
Adapun daftar panitia pembangunan masjid dapat dilihat dari tabel berikut ini:
Tabel 5.2 Daftar Panitia Pembangunan Masjid Jami di Parepare pada
1933
Nama Jabatan Nama Jabatan
Haji Nonci Ketua Haji M. Saleh Anggota
La Umma Wakil Ketua La Kandatjong Anggota
Haji M. Madani Sekretaris La Hamid Anggota
Abdul Hamid Wakil Sekretaris Hasan Daud Anggota
La Kuba Bendahara Haji Usman Anggota
La Giranna Wakil Bendahara Samah Anggota
La Bagenda Anggota La Badawi Anggota
M. Djafar Anggota Yunus Anggota
Sumber: Pemberita Makassar, 29 Juli 1933
Dari tabel di atas, bisa dikatakan bahwa sebagian besar panitia
pembangunan masjid adalah pedagang atau paling tidak memiliki usaha di
Parepare. Haji Nonci (ketua) sendiri merupakan salah seorang pemilik toko di pasar
Parepare. La Umma (wakil ketua) dan Abdul Hamid (wakil sekertaris) adalah dua
pedagang penting yang terlibat dalam perdagangan beras. Pada 9 Juni 1939,
keduanya bersama-sama mendirikan sebuah pabrik penggilingan padi di Parepare.
Pabrik ini dikenal dengan “Pabrik Sarimas”. Hal yang menarik ialah pabrik ini
merupakan pabrik penggilingan padi paling modern di Sulawesi Selatan ketika itu,
di mana mampu mengolah beras sebanyak 20 pikul per jam.71 Pedagang lainnya
ialah La Kuba (Bendahara), La Giranna (wakil bendahara) dan M. Djafar (anggota).
La Kuba dan La Giranna juga merupakan pedagang beras, sementara yang disebut
terakhir memiliki toko di pasar. Dengan demikian, tampak bahwa hampir semua
pengurus inti dari panitia pembangunan masjid adalah penduduk kota yang
berprofesi sebagai pedagang atau pengusaha.
Selain ajakan secara langsung ke penduduk kota, panitia pembangunan
masjid juga mengumumkan lewat surat kabar. Dalam Pemberita Makassar yang

71
Syafaat Rahman. Musyaqqat and Didik Pradjoko, ‘The Role of Parepare Port in Trading and
Shipping of Rice Commodities in South Sulawesi, 1930−1942’, Journal of Maritime Studies and
National Integration 4, no. 2 (2020): 121, https://doi.org/https://doi.org/10.14710/jmsni.v4i2.8211.

Universitas Indonesia
164

terbit pada 29 Juli 1933, misalnya, mereka mengumumkan perihal perkembangan


pembangunan masjid saat itu sekaligus mengajak “…Oemmat Islam di kota Pare2
choesoesnja dan Oemmat Islam Indonesia oemoemnja, soepaja kita sama2
mementingken hal ini (peduli pembangunan masjid).”72 Selama Juli 1933, jumlah
sumbangan yang berhasil terkumpul ialah sebesar f 850. Selain itu, panitia
pembangunan masjid juga menerima sumbangan dalam bentuk bahan bangunan. Di
antaranya yang berhasil dikumpulkan ialah tiang kayu besi sebanyak 117 potong,
batu merah sebanyak 25.000 biji, semen sebanyak 12 tong dan 15 bungkus serta
bahan bangunan lainnya, seperti batu kali dan kapur. Pembangunan masjid ini baru
selesai pada pertengahan dekade 1930. Kehadiran Masjid Jami sudah tentu
memiliki arti yang besar bagi penduduk kota. Sebab, selain sebagai tempat ibadah,
masjid itu juga menjadi pusat kegiatan keagaamaan, seperti pengajian dan perayaan
hari-hari besar Islam.
Peran lainnya ialah morfologi kota. Cara terbaik untuk menentukan
seberapa penting fungsi pelabuhan dalam pertumbuhan dan perkembangan suatu
kota dapat dilihat dari morfologinya. Kota Pelabuhan, menurut Rhoads Murphey,
mulai berkembang dari tepi laut atau sekitar pelabuhan dan umumnya terdiri dari
fasilitas docking kapal, gudang, kapal, toko, layanan untuk pelaut, perumahan dan
layanan mendasar untuk penduduk di sekitar pelabuhan.73 Apa yang ingin
ditekankan disini bahwa di balik morfologi Parepare yang menguatkan
kedudukannya sebagai kota pelabuhan, terdapat peran pedagang yang tidak sedikit
dan turut membentuk citra kota.
Lewat catatan hidupnya, Andi Mannaungi berupaya menerangkan
gambaran kota Parepare saat itu. Ia terutama mengakui bahwa pabrik penggilingan
padi banyak berjejer di pinggiran kota (tepi pantai). Kesaksian denah kota yang
dinarasikan oleh Andi Oddang juga menyatakan hal yang serupa, di mana pabrik
penggilingan padi, gudang penyimpanan dan perkantoran banyak dijumpai di
kawasan pelabuhan.74 Kedua kesaksian itu agaknya tidak berlebihan jika dilihat dari

72
Pemberita Makassar, 29 Juli 1933.
73
Rhoads Murphey, ‘On the Evolution of the Port City’, in Brides of The Sea: Port Cities of Asia
from the 16th-20th Centuries, ed. Frank Broeze ((Kensington: New South Wales University Press,
1989), 230.
74
Oddang, Memoar Brigjen Purnawirawan Andi Oddang Untuk Merah Putih, 16.

Universitas Indonesia
165

perkembangan pabrik penggilingan padi di Parepare. Pada 1931, misalnya,


sebanyak 11 pabrik penggilingan telah berdiri di kota ini. Seiring peningkatan
perdagangan beras, pabrik penggilingan padi terus bertambah. Pada 1939,
misalnya, terdapat 43 penggilingan padi yang beroperasi di wilayah pemerintahan
Celebes en Odenrhoorigehen.75 Dari jumlah itu, sebanyak 26 pabrik penggilingan
berada di kota Parepare, di mana 14 pabrik di antaranya dimiliki oleh penduduk
pribumi dan selebihnya ialah penduduk Tionghoa.76 Banyaknya jumlah pabrik
penggilingan tentu saja tidak terlepas dari keaktifan pedagang dalam perdagangan
beras di Parepare. Oleh sebab itu, banyaknya jumlah pabrik penggilingan dan
gudang penyimpanan beras sesungguhnya semakin memperteguh sematan Parepare
sebagai “negeri beras” atau “kota beras” di era kolonial.
Para pedagang juga berperan dalam aspek sosial. Dalam kaitan itu, perkara
kriminal berupa pembunuhan sangat jarang terjadi di Parepare ketika itu. Perkara
yang lumrah terjadi ialah hanya perjudian dan perselisihan-perselisihan kecil
lainnya.77 Padahal, dengan kondisi masyarakat yang heterogen, perkara yang
mengarah pada tindakan-tindakan kriminal ke penduduk asing, seperti pencurian
atau pembunuhan, sangat berpotensi terjadi. Apa yang ingin ditekankan disini
bahwa para pedagang setidaknya turut andil dari kondisi kehidupan sosial
masyarakat yang kondusif tersebut. Hal tersebut tampak dari berbagai perlombaan
yang diadakan di Parepare. Lomba yang sering diadakan ialah sepak bola, tenis,
perahu dan kuda. Dalam kaitan itu, para pedagang kerap bertindak sebagai donatur
utama. Bang Hong Liong dan Keng Hong, misalnya, merupakan dua pedagang
beras yang selalu menjadi donatur penting setiap kali suatu perlombaan diadakan.78
“Meskipun kecil, Parepare bagi saya merupakan kota yang sangat hidup”,
demikian kesan yang ditulis Andi Oddang.79
Dengan sumbangsih tersebut, secara tidak langsung turut mendukung
terjalinnya relasi sosial yang harmonis antara penduduk pribumi dan penduduk
asing, terutama Tionghoa. Ada dua indikator yang dapat membuktikan pernyataan

75
Indisch Verslag 1940, 316.
76
De Locomotief, 28 November 1939.
77
Oddang, Memoar Brigjen Purnawirawan Andi Oddang Untuk Merah Putih, 23.
78
Oddang, 35.
79
Oddang, 24.

Universitas Indonesia
166

tersebut. Pertama, kematian kepala kampung Tionghoa. Pada 7 Oktober 1938, Ong
Tjang Sioe yang menjabat sebagai kepala kampung Tionghoa di Parepare
diwartakan telah meninggal dunia. Hal yang menarik ialah ketika proses
penguburannya sehari kemudian. Berdasarkan keterangan sumber, proses
penguburannya “…mendapet perhatiannja orang banjak di Pare2 dan sekiternja,
dari roepa2 golongan dan deradjat.”80 Indikator kedua ialah semasa pengungsian
ketika tentara pendudukan Jepang masuk di Parepare pada 1942. Apabila masuknya
Jepang di Hindia Belanda diwarnai konflik rasial yang berlangsung di beberapa
tempat dan menjadikan penduduk Tionghoa sebagai sasaran utama,81 maka hal ini
menjadi pengecualian dalam kasus Parepare. Alih-alih mengadakan kekerasan
ataupun perampokan terhadap penduduk dan pedagang Tionghoa, masyarakat
pribumi justru ikut melindungi mereka ketika berada di lokasi pengungsian
(kampung-kampung pedalaman Parepare). Kalaupun ada barang yang dijarah, hal
itu hanya sisa-sisa barang di toko yang belum sempat diselamatkan para
pemiliknya. Menurut penuturan Andi Oddang, ketika itu masyarakat hanya
menjarah harta kekayaan milik orang Belanda.82 Karena itu, jelas bahwa dua
indikator tersebut setidaknya menunjukkan adanya suatu hubungan yang harmonis
antara penduduk pribumi dan Tionghoa di Parepare. Berdasarkan uraian di atas,
bisa ditarik kesimpulan bahwa pedagang merupakan kelas sosial yang memiliki
peran penting sejauh menyangkut dinamika kota pelabuhan Parepare, terutama
selama tiga dekade awal abad ke-20. Tentu saja peran itu bertolak dari keuntungan
para pedagang yang bersumber dari perkembangan positif perdagangan di
pelabuhan, terutama perdagangan beras. Bila ditelaah lebih jauh, sebenarnya arti
penting pedagang dalam pembangunan kota adalah suatu hal yang lumrah terjadi di
kota-kota pesisir. Di Kota Pariaman, misalnya, wajah kota tidak dapat dilepaskan
dari beberapa bangunan dan rumah di sekitar pasar yang dimiliki oleh Muhammad
Saleh, salah seorang pedagang sukses di dekade awal abad ke-20. Dengan kata lain,

80
Pemberita Makassar, 11 Oktober 1938.
81
Onghokham, Migrasi Cina, Kapitalisme Cina Dan Anti Cina (Depok: Komunitas Bambu, 2017),
6.
82
Oddang, Memoar Brigjen Purnawirawan Andi Oddang Untuk Merah Putih, 46.

Universitas Indonesia
167

pada masa itu Pariaman identik dengan kota Saleh.83 Namun demikian, berbeda
dengan Pariaman, Parepare tidak didominasi oleh sosok pedagang tertentu.

83
Mestika Zed, Saudagar Pariaman menerjang ombak membangun maskapai : riwayat Muhammad
Saleh Datuk Rangkayo Basa (1841-1921) (Jakarta: LP3ES, 2017), 306.

Universitas Indonesia
BAB VI
SIMPULAN

Setiap zaman selalu ditandai dengan komoditas tertentu yang dominan


dalam aktivitas pelayaran dan perdagangan di suatu kawasan. Sejarah Asia
Tenggara, misalnya, tidak dapat dilepaskan dari komoditas rempah-rempah pada
abad ke-15 hingga 17 atau periode yang disebut oleh Anthony Reid sebagai “era
kurun niaga”. Demikian pula halnya dengan pelabuhan Parepare. Jika pada paruh
kedua abad ke-19 perdagangan didominasi komoditas kopi, maka selama
dikontrol pemerintah kolonial Belanda (1905-1942) perdagangan erat kaitannya
dengan komoditas beras. Sepanjang periode kolonial, Parepare adalah pelabuhan
kecil yang tidak diusahakan. Meskipun demikian, perkembangannya sebagai rijst
haven menunjukkan arti penting Parepare di kawasan Selat Makassar.
Terkonsentrasinya pintu keluar beras di bagian tengah jazirah Sulawesi
Selatan ke Parepare pada 1926, adalah tonggak penting yang mengakselerasi
aktivitas perdagangan beras di pelabuhan. Puncaknya ialah berlangsung sepanjang
dekade 1930, di mana pelabuhan Parepare memainkan peran sebagai pusat
perniagaan beras di kawasan Selat. Pada gilirannya, peranan itu telah menggeser
posisi Makassar sebagai pelabuhan utama ekspor untuk komoditas beras di
Sulawesi Selatan. Realitas historis itu menjadi temuan penting studi ini. Bahwa
aktivitas pelayaran dan perdagangan di Sulawesi bagian selatan pada paruh
pertama abad ke-20 tidak selalu didominasi ramainya hilir mudik kapal dan
perahu di pelabuhan Makassar dengan komoditas kopranya. Sepanjang dekade
1930, Parepare justru mengalami perkembangan yang cukup signifikan dengan
komoditas primadonanya, yakni beras. Bisa dikatakan bahwa posisi Sulawesi
Selatan sebagai daerah surplus beras selama dekade 1930 tidak terlepas dari peran
Parepare sebagai pelabuhan utama ekspor. Dengan demikian, selama periode
tersebut, suplai beras dari Sulawesi Selatan ke daerah seberang bukanlah terutama
diekspor dari pelabuhan Makassar, sebagaimana umum diungkapkan dalam
historiografi sejauh ini, melainkan sebagian besar dikapalkan dari pelabuhan
Parepare.

168
Universitas Indonesia
169

Di samping itu, komoditas beras juga mewarnai kedudukan pelabuhan


Parepare dalam konteks fungsi perdagangan. Merujuk pada tipologi pelabuhan
yang diperkenalkan oleh Leong Sau Heng, Parepare dapat dikategorikan sebagai
collecting centre (pelabuhan pengumpul), yakni salah satu tipe pelabuhan yang
berperan sebagai penyuplai komoditas bagi entrepot (pelabuhan utama). Dalam
aturan itu, pengapalan barang-barang ekspor di Parepare yang berasal dari daerah
pedalaman (wanua ri laleng) atau pelabuhan pengumpan (feeder points)
umumnya diangkut ke Makassar atau entrepot lainnya, seperti Surabaya. Namun
demikian, aturan tipologi pelabuhan itu tampaknya tidak selalu hierarki. Dalam
studi ini, komoditas beras di Parepare justru dikapalkan langsung ke wanua laeng
dengan perahu layar dan kapal KPM. Hal ini sebenarnya telah nampak di awal
abad ke-20 dan semakin tampak jelas seiring peran Parepare dalam perdagangan
beras di Selat Makassar pada 1930-an. Berdasarkan kondisi tersebut, bisa
diutarakan bahwa Parepare tidak selamanya bertindak sebagai collecting centre.
Dengan kata lain, Parepare telah melampaui fungsinya dalam perdagangan (over-
collecting centre) yang disokong dengan kedudukannya sebagai pusat perniagaan
beras di kawasan selat, khususnya selama dekade 1930. Dari berbagai uraian yang
telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, ada beberapa poin yang menjadi
kesimpulan dalam penelitian ini.
Poin pertama, perkembangan pelabuhan Parepare sesungguhnya ditopang
oleh berbagai keadaan. Secara sederhana, hal ini dapat dibagi ke dalam faktor
internal dan faktor eksternal. Dalam hal faktor internal, letak dan kondisi
geografis pelabuhan adalah pendukung utama bagi perkembangan Parepare
sebagai pintu gerbang di pantai barat Sulawesi. Berada tidak jauh di sebelah utara
Makassar, Parepare diuntungkan dengan lokasinya yang berada di dalam Teluk
Parepare sehingga terkenal sebagai pelabuhan yang aman di semua musim.
Keberadaaan pelaut dan pedagang Sulawesi Selatan (Bugis, Makassar dan
Mandar) merupakan pendukung penting lainnya terkait perkembangan pelabuhan
Parepare. Selain keterlibatannya dalam aktivitas perdagangan dan pelayaran di
pelabuhan, hal itu juga tampak dari adanya pembuatan perahu di kawasan teluk,
seperti Kampung Ujung dan Ujung Lero. Sejak dikembangkan Kerajaan Bone
sebagai bandar niaga pada 1770-an, kegiatan niaga di pelabuhan bukan hanya

Universitas Indonesia
170

diramaikan oleh pedagang pribumi, tetapi juga pedagang asing. Parepare sendiri
baru berhasil tampil sebagai salah satu pusat perniagaan pribumi di pantai barat
Sulawesi pada paruh kedua abad ke-19. Kopi adalah komoditas ekspor yang
dominan saat itu. Kolaborasi antara letaknya yang strategis dan potensi ekonomi
di wanua ri laleng (daerah pedalaman), menyebabkan pelabuhan telah disinggahi
oleh kapal NISM sejak 1876.
Hal yang terpenting adalah Parepare merupakan pelabuhan yang
dikelilingi daerah agraris. Keadaan ini terlihat jelas dari sawah-sawah yang dapat
dijumpai di mana-mana di wanua ri laleng. Di antaranya ialah Sidenreng,
Rappang, Pinrang, Barru dan Enrekang. Kesemua daerah itu memiliki tanah yang
relatif cocok untuk budidaya padi. Keberadaan beberapa sungai yang alirannya
berpotensi menjadi sumber pengairan sawah turut menopang keberlangsungan
praktek budidaya padi di wanua ri laleng. Salah satu di antaranya ialah Sungai
Sadang, yang pada akhir 1930-an termasuk sebagai salah satu dari dua proyek
irigasi terbesar di daerah luar Jawa yang diwujudkan oleh pemerintah kolonial.
Yang menarik ialah musim panen padi di wanua ri laleng pada umumnya
berlangsung bersamaan dengan hembusan angin muson timur. Tidak heran
apabila Parepare menjadi salah satu pelabuhan di pantai barat Sulawesi Selatan
yang ramai dikunjungi perahu layar terutama guna mengangkut komoditas beras.
Dengan demikian, tampak jelas bahwa kondisi lingkungan menjadi penopang
utama perkembangan pelabuhan, termasuk peranan Parepare dalam perdagangan
beras selama tiga dekade awal abad ke-20.
Selain faktor internal, terdapat pula faktor eksternal yang menentukan
perkembangan pelabuhan. Dalam hal ini ialah kebijakan pemerintah kolonial
Belanda. Seperti halnya pelabuhan lain di Hindia Belanda, pengembangan
fasilitas pelabuhan juga diupayakan di Parepare. Pengembangan infrastruktur
pelabuhan, seperti dermaga, gudang penyimpanan, lampu mercusuar dan
perbaikan jaringan jalan adalah beberapa indikator penting menyangkut kebijakan
pemerintah kolonial. Pengembangan itu tentu saja berdampak terhadap aktivitas
bongkar-muat di pelabuhan. Namun demikian, pengembangan infrastruktur
tersebut pada hakikatnya tidak terlepas dari denyut perdagangan beras yang mulai
memperlihatkan peningkatan setelah intensifikasi pertanian yang dimulai pertama

Universitas Indonesia
171

kali pada 1914. Hal ini tampak dari penambahan beberapa gudang penyimpanan
dan dermaga milik pabrik penggilingan padi yang sejalan dengan peningkatan
aktivitas perdagangan beras di pelabuhan selama dekade 1930. Komoditas beras
juga menjadi salah satu pertimbangan utama terkait beberapa rencana
pengembangan jalur trem yang akan menghubungkan pelabuhan dan wanua ri
laleng, sekalipun tidak pernah berhasil diwujudkan. Lebih jauh, monopoli KPM
dalam hal pengangkutan barang dan manusia di perairan Hindia Belanda,
termasuk Selat Makassar, adalah faktor eksternal lainnya terkait perkembangan
pelabuhan, sebagaimana tercermin dari jalur pelayaran KPM dan beberapa gudang
milik KPM di Parepare.
Poin kedua, pasang-surut peran pelabuhan Parepare dalam perdagangan
beras di kawasan Selat Makassar dapat dibagi ke dalam dua bentuk, yakni faktor
penghambat dan faktor pendukung. Faktor penghambat ialah sawah tadah hujan,
kualitas beras dan kebijakan pasar bebas. Jumlah ekspor beras yang fluktuatif
selama tahun-tahun awal menjadi bukti kuat bahwa perdagangan cukup terhambat
dengan kondisi budi daya padi di wanua ri laleng yang sebagian besar masih
bergantung dengan sawah tadah hujan. Bahkan, perbedaan jumlah ekspor setiap
tahunnya tidak jarang cukup mencolok. Faktor penghambat lainnya adalah
kualitas beras yang rendah. Dalam kaitan ini, beras di Sulawesi Selatan umumnya
memiliki patahan yang tinggi dan warna yang kurang cerah. Hal inilah yang
membuat masyarakat di wanua laeng cenderung memilih untuk membeli beras
dengan kualitas yang lebih baik, seperti yang terjadi di masyarakat Manado.
Faktor terakhir ialah kebijakan pasar bebas. Seiring penerapan liberalisasi dalam
kegiatan pelayaran dan perdagangan di Hindia Belanda pada 1870-an, impor beras
yang didatangkan dari daratan Asia Tenggara semakin intens terjadi. Hal ini
membuat beras domestik mesti beras dengan beras impor asing. Sayangnya,
kebanyakan beras domestik masih berkualitas lebih rendah dibanding beras impor.
Pada dekade 1920, persaingan perusahaan-perusahaan perkapalan yang membuat
biaya pengangkutan menjadi lebih murah turut mempermudah aliran masuk beras
impor ke Hindia Belanda.

Universitas Indonesia
172

Selanjutnya ialah faktor-faktor pendukung peranan pelabuhan dalam


perdagangan beras. Pertama ialah intensifikasi pertanian di wanua ri laleng.
Sekalipun Parepare adalah pelabuhan yang ditopang dengan daerah agraris yang
subur, namun peranannya sebagai pusat ekspor utama untuk komoditas beras di
kawasan Selat Makassar tidak akan pernah terwujud tanpa adanya upaya yang
serius dalam hal pengembangan pertanian. Kondisi kemarau panjang atau
keterlambatan musim hujan adalah kendala utama yang cukup memengaruhi hasil
produksi padi di wanua ri laleng, yang sawahnya sebagian besar merupakan
sawah tadah hujan. Situasi demikian tentu saja memengaruhi ketersediaan beras
ekspor. Usaha intensifikasi pertanian yang pertama ditandai dengan pembangunan
sebuah irigasi baru di Nepo pada 1914 dan kemudian disusul berbagai proyek
perbaikan dan pengembangan irigasi baru di daerah lain yang termasuk jaringan
layanan pelabuhan. Penempatan seorang konsultan pertanian di Afdeeling
Parepare yang dimulai sejak 1921, adalah salah satu bukti penting dari upaya
intensifikasi pertanian. Keberadaannya terutama krusial dalam penggalakan budi
daya padi di kalangan masyarakat, seperti di Pinrang, Sidenreng, Rappang, Barru,
Enrekang dan Parepare sendiri. Kedua ialah pengembangan jaringan jalan.
Meskipun pengembangan jaringan jalan telah dimulai sejak dekade 1910, namun
jalan yang menghubungkan Parepare ke seluruh wanua ri laleng baru sepenuhnya
dapat diakses kendaraan bermotor pada 1928. Selain memperbaiki sarana
komunikasi dan lalu lintas barang dari dan ke pelabuhan, pengembangan jaringan
jalan juga membawa pengaruh terhadap perdagangan beras, di mana terjadi
peralihan sebagian hasil produksi beras di Wajo dan Soppeng sejak 1926.
Peralihan ini menjadi penanda berakhirnya kompetisi antara Parepare dan Palima
sekaligus tonggak penting bagi peranan Parepare dalam perdagangan beras di
kawasan Selat Makassar.
Ketiga ialah perkembangan teknologi. Hal ini berawal dari pendirian
MEPB di Parepare pada 1931 yang diikuti dengan penggunaan mesin
penggilingan padi bertenaga listrik. Dengan jumlah sebanyak 26 pabrik
penggilingan padi pada 1939, situasi ini berperan penting dalam hal persediaan
beras yang siap diekspor ke wanua laeng. Keempat ialah struktur ekonomi.
Peningkatan jumlah ekspor beras di pelabuhan tentu tidaklah sepenuhnya

Universitas Indonesia
173

bersumber dari ketersediaan beras ekspor, namun juga struktur ekonomi di wanua
laeng yang semakin lekat dengan pasar global. Keadaan ini menyebabkan
permintaan komoditas beras yang meningkat, terutama pada 1920-an dan 1930-
an. Terakhir ialah kontrol negara. Campur tangan pemerintah kolonial dalam
perdagangan menjadi faktor kunci di balik capaian gemilang pelabuhan Parepare
pada dekade 1930. Kontrol negara yang dimulai sejak 1933 ditandai dengan
adanya upaya pembatasan impor beras asing di Hindia Belanda. Dampak dari
kontrol negara bukan hanya sekedar menyentuh perbaikan sistem perdagangan
beras, namun juga mewujudkan peranan Parepare sebagai pusat perniagaan beras
di Selat Makassar. Selain tingginya jumlah ekspor beras, peranan itu juga
tercermin dari jaringan perdagangan beras di pelabuhan, yakni jaringan intra-
regional dan inter-regional. Adapun jaringan inter-regional meliputi beberapa
wanua laeng, seperti Manado, Maluku, Kalimantan Timur dan Kalimantan
Selatan, Timor dan Jawa. Luasnya jaringan perdagangan itu pada akhirnya
berhasil menghantarkan Parepare sebagai salah satu pelabuhan teramai di Groote
Oost pada akhir 1930-an. Pada masa itu, jika pelabuhan Makassar ramai dengan
perdagangan komoditas kopra, pelabuhan Parepare ramai dengan komoditas
khasnya, yakni beras.
Poin Terakhir ialah dampak perdagangan terhadap perkembangan kota
pelabuhan Parepare. Jika kota pelabuhan merupakan “hadiah langsung” dari
perkembangan pelabuhan, maka perdagangan beras adalah penggerak utama yang
mengakselerasi perkembangan kota pelabuhan Parepare di masa kolonial.
Komposisi penduduk kota adalah salah satu indikator yang paling menonjol.
Selain komposisinya yang heterogen, jumlah penduduk kota yang meningkat
signifikan pada 1930 tentunya berhubungan erat dengan kondisi perdagangan.
Geliat perekonomian di pelabuhan pada gilirannya memunculkan berbagai
kesempatan ekonomi. Ibarat “gula”, hal itulah yang menjadi faktor penarik
penduduk di daerah penyangga atau daerah lain untuk bermigrasi ke Parepare.
Bukan hanya pekerjaan buruh kasar yang tersedia, namun juga pekerjaan yang
membutuhkan keterampilan khusus. Yang disebut terakhir tentunya semakin
beragam seiring perkembangan fasilitas kota, yang notabene merupakan salah
satu dampak perdagangan di pelabuhan. Berbagai fasilitas kota tersebut antara lain

Universitas Indonesia
174

pasar, penginapan, perbankan, sekolah, rumah sakit dan fasilitas lainnya. Lebih
dari pada itu, pengaruh perdagangan, khususnya perdagangan beras, pada
dasarnya telah memunculkan arti penting para saudagar. Dengan keuntungan yang
diperoleh, kelompok sosial ini telah berperan besar dalam hal pengembangan
kota, seperti halnya tampak dari pendirian fasilitas ibadah, morfologi kota dan
kehidupan sosial yang harmonis di kalangan masyarakat.
Tiga poin kesimpulan dalam studi ini setidaknya menjadi bukti bahwa
komoditas beras merupakan motor penggerak sejarah pelabuhan Parepare pada
periode kolonial. Penulis menyadari bahwa cakupan studi ini tentunya masih jauh
dari kata “selesai”, terutama dalam hal perdagangan beras di Hindia Belanda
umumnya dan Selat Makassar khususnya. Dengan mengetengahkan spesialisasi
produk, beberapa uraian sebelumnya telah menunjukkan arti penting Parepare,
yang notabene merupakan pelabuhan kecil yang tidak diusahakan, dalam konteks
sejarah pelayaran dan perdagangan di Hindia Belanda. Namun demikian, realitas
historis tersebut membuka gerbang pertanyaan-pertanyaan baru terkait
perdagangan beras dari perspektif pelabuhan. Misalnya, sejauh mana keragaman
regional membawa pengaruh terhadap sejarah pelayaran perahu di kawasan Selat
Makassar. Lebih jauh, kemungkinan eksplorasi juga dapat dilakukan dengan
meneropong kedudukan beras dalam konteks wanua laeng, khususnya di
kawasan Timur Besar, yang seringkali dikatakan hanya sebagai pelengkap dari
jagung atau umbi-umbian selama periode kolonial. Padahal, grafik perdagangan
beras di Parepare yang cenderung meningkat selama dekade 1930 menjadi suatu
indikasi bahwa beras adalah salah satu bahan makanan pokok utama di daerah
seberang, misalnya, Manado. Tentu saja bahwa penelitian-penelitian berikutnya
terkait perdagangan maritim komoditas pangan akan semakin memperteguh
gagasan yang pernah diutarakan oleh Adrian B. Lapian, Nahkoda Sejarah Maritim
Asia Tenggara, yakni “Sejarah Nusantara Sejarah Bahari”.

Universitas Indonesia
DAFTAR ACUAN

Sumber Arsip
ANRI. Departement van Burgerlijke Openbare Werken: Seri Grote Bundel 1854-
1933 Jilid II, No. 12162.
ANRI. Arsip Financien, No. 739.
ANRI. Memorie van Overgave Serie 1E Reel 31.
ANRI. Memorie van Overgave Serie 1E Reel 32A.
ANRI. Memorie van Overgave Serie 1E Reel 33.
ANRI. Memorie van Overgave Serie 2E Reel 22.
ANRI. Memorie van Overgave Serie 2E Reel 23.
ANRI. Memorie van Overgave Serie 4E Reel 6.
ANRI. Memorie van Overgave Serie 4E Reel 10.
ANRI. Memorie van Overgave Serie 4E Reel 13.
Arsip Barru (1920-1976), No. Reg 16.
Arsip Pemda Kotamadya Parepare, Volume I, No. Reg. 6.
Buuren, J.A.M. Van. Irrigatie Rapport van Celebes, 1911. Den Haag: Nationaal
Archief Inventaris No. 1082.
Mantel, K. Nota van Toelichting Betreffende Het Landschap Soppengriadja,
1932. Den Haag: Nationaal Archief Inventaris No. 1139.
Veen, W.E.G. Memorie van Overgave van de Afdeeling Bone, 1935. Den Haag:
Nationaal Archief Inventaris No. 1127.
Haga, B J. Memorie van Overgave van de Residentie Molukken, 1937. Den Haag:
Nationaal Archief Inventaris No. 335.
Lafeber, A.C. Memorie van Overgave van de Onderafdeeling Makale, 1925. Den
Haag: Nationaal Archief Inventaris No. 294.
Logeman, F.H.W.J.R. Memorie van Overgave van de Residentie Menado, 1922.
Den Haag: Nationaal Archief Inventaris No. 30
Sumber Terbit
Allied Geographical Section Southwest Pacific Area, Special Report No. 80,
Makassar (SW Celebes), Dates 24 August 1945.
Bijblad op het Staatsblad Van Nederlandsch-Indië 1891 No. 4569
Brautigam, D.A.F. Nota Betreffende Het Zelfsbesturend Landschap Tanette.
Batavia: Albrecht & Co, 1914.

175
Universitas Indonesia
176

Department Der Burgerlijke Openbare Werken. Nederlandsch-Indische Havens,


Deel I. Batavia: Department Der Burgerlijke Openbare Werken, 1920
———. Verslag over de Burgerlijke Openbare Werken in Nederlandsch-Indie
over het Jaar 1909. Batavia: Landsdrukkerij, 1911.
———. Verslag over de Burgerlijke Openbare Werken in Nederlandsch-Indie
over het Jaar 1921, 1922, 1923 En 1924. Weltevreden: Landsdrukkerij,
1925.
Department of Public Works. Netherlands East Indian Harbours. Batavia:
Department of Public Works, 1920.
Dienstregeling der Koninklijke Paketvaart Maatschappij voor het jaar 1914
Dienstregeling der Koninklijke Paketvaart Maatschappij voor het jaar 1924
Dienstregeling der Koninklijke Paketvaart Maatschappij voor het jaar 1936
Graaf, S. De, and Stibbe, D.G. Encyclopædie Van Nederlandsch-Indië. ’s-
Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1918.
Gregory, F.A.A. Zeemans Gids Voor de Vaarwaters van Java Naar En Door Den
Molukschen Archipel En Terug. Amsterdam: G. Hulst van Keulen, 1853.
Indisch Verslag 1938
Indisch Verslag 1940
Jaarverslag. Jaarverslag van de Handelsvereeniging Makassar over 1930.
Makassar: Celebes-Drukkerij, 1931.
———. Jaarverslag van de Handelsvereeniging Makassar over 1932. Makassar:
———. Jaarverslag van de Handelsvereeniging Te Makassar over 1934.
Makassar: Makassar: N.V. Handelsdrukkerij en Kantoorhandel, 1935.
———. Jaarverslag van de Handelsvereeniging/Exporteursvereeniging
Makassar over 1938. Makassar: Makassar: N.V. Handelsdrukkerij en
Kantoorhandel, 1939.
———. Jaarverslag van de Handelsvereeniging/Exporteurs Vereeniging
Makassar over 1940. Makassar: Makassar: N.V. Handelsdrukkerij en
Kantoorhandel, 1941.
———. Verslag van de Kamer van Koophandel En Nijverheid Te Makassar over
Het Jaar 1911. Makassar: N.V. Handelsdrukkerij en Kantoorhandel, 1912.
Kartodirdjo, Sartono. Ikhtisar keadaan politik Hindia Belanda tahun 1839-1848.
Jakarta: Arsip Nasional RI, Penerbitan Sumber-sumber Sejarah No.5, 1973.
Koloniaal Verslag 1905
Koloniaal Verslag 1908
Koloniaal Verslag 1909

Universitas Indonesia
177

Koloniaal Verslag 1910


Koloniaal Verslag 1922
Koloniaal Verslag 1923
Koloniaal Verslag 1924
Koloniaal Verslag 1925
Koloniaal Verslag 1926
Luhukay, H, and E Tuwanakotta. Memori Asisten Residen W.J. Leyds Selama
Bertugas Di Mandar. Makassar: Yayasan Kaitupa, 2006.
Ministerie Van Marine Afdeeling Hydrographie. Zeemansgids Voor Den Oost-
Indischen Archipel. Deel IV. ’s-Gravenhage: Mouton & Co, 1919.
Nederlandsch-Indische Officier. Gegevens Omtrent de Verschillende Garnizoenen
Op Java En de Buitengewesten. Bandoeng: NV. Boekhandel en Drukkerij
Visser & Co., 1926.
Nobele, E. A. J. Memorie van Overgave Betreffende de Onderafdeeling Makale
van Den Aftredenden Gezaghebber Bij Het Binnenlandsch-Bestuur.
Weltevreden: Albrecht & Co, 1926.
Overeenkomsten Met Indlandsche Vorsten in Den Oost-Indischen Archipel,
Zitting 1888-1889.
Paerels, B.H. Agronomische Beschrijving van de Koffiecultuur in de Zuidelijke
Toradjalanden. Weltevreden: Landsdrukkerij, 1927.
Regeerings Almanak van Nederlandsch Indie 1906
Regeerings Almanak van Nederlandsch Indie 1907
Regeerings Almanak van Nederlandsch Indie 1908
Regeerings Almanak van Nederlandsch Indie 1924
Sailing Direction. Sailing Direction for Celebes, Southeast Borneo, Java and
Islands East of Java. Washington: Government Office United State, 1935.
Staatsblad van Nederlandsch Indie 1906 No. 297
Staatsblad van Nederlandsch Indie 1908 No. 332
Staatsblad van Nederlandsch Indie 1911 No. 522
Staatsblad van Nederlandsch Indie 1914 No. 546
Staatsblad van Nederlandsch Indie 1933, No. 300
Statistiek van de Scheepvaart Nederlandsch-Indie over het jaar 1915
Statistiek van de Scheepvaart Nederlandsch-Indie over het jaar 1916
Statistiek van de Scheepvaart Nederlandsch-Indie over het jaar 1919
Statistiek van de Scheepvaart Nederlandsch-Indie over het jaar 1935
Statistiek van de Scheepvaart Nederlandsch-Indie over het jaar 1939

Universitas Indonesia
178

Stibbe, David G. Encyclopædie Van Nederlandsch-Indië. ’s-Gravenhage:


Martinus Nijhoff, 1935.
Uitkoomsten Volkstelling. Uitkomsten Der in de Maand November 1920
Gehouden Volkstelling, Deel II. Batavia: Drukkerijen Ruyorok & Co., 1922.
Vereeniging Tot Bevordering Der Geneeskundige Wetenschappen In
Nederlandsch-Indie. Geneeskundig Tijdschrift Voor Nederlandsch-Lndië.
Deel L. Batavia: Javasche Boekhandel & Drukkerij, 1910.
Volkstelling 1930. Volkstelling 1930 (Deel IV: Europeanen in Nederlandsch-
Indie). Batavia: Landsdrukkerij, 1933.
———. Volkstelling 1930 (Deel V: Inheemsche Bevolking van Borneo, Celebes
En Kleine Soenda Eilanden En de Molukken). Batavia: Departement van
Economische Zaken, 1936.
Vuuren, L.Van. Het Gouvernement Celebes, Deel I. Weltevreden:
Encyclopaedisch Bureau, 1920.
Sumber yang belum diterbitkan
Asba, Abdul Rasyid. Ekspansi Dan Kontraksi Ekspor Kopra Makassar 1883-
1958. Disertasi Doktor di Pascarasarjana Ilmu Sejarah Universitas Indonesia.
(Tidak Diterbitkan, 2003).
Amir, Muhammad. ‘Konflik dan Relasi Kekuasaan di Ajatappareng, 1905-1942’
(Makalah dalam International Seminar on Conflict and Violence: Historical
Reconstructions and Cultural Resolutions, BPNB Sulawesi Selatan,
Makassar 27-29 Agustus 2019).
Bosra, Mustari. Tuangguru, Anrongguru Dan Daengguru: Gerakan Islam Di
Sulawesi Selatan, 1914-1942. Disertasi Doktor di Pascarasarjana Ilmu
Sejarah Universitas Indonesia. (Tidak Diterbitkan, 2003).
Hamid, A. R. Jaringan Maritim Mandar: Studi Tentang Pelabuhan ‘Kembar’
Pambauwang Dan Majene Di Selat Makassar1900−1980. Disertasi Doktor
di Pascarasarjana Ilmu Sejarah Universitas Indonesia. (Tidak Diterbitkan,
2019).
Hidayati, Hasna Fuadilla. Jaringan Pelayaran Dan Perdagangan Lombok, 1894-
1942. Tesis Magister di Pascarasarjana Ilmu Sejarah Universitas Gadjah
Mada. (Tidak Diterbitkan, 2018).
Ijzereef, Wilhelmus Theodorus. De Wind En de Bladeren: Hierarchie En
Autonomie InBone En Polombangkeng (Zuid-Sulawesi), 1850-1950.
Disertasi Doktor di Rijksuniversiteit Groningen. (Tidak Diterbitkan, 1994).
Indriyanto. Menjadi Pusat Pelayaran Dan Perdagangan Interregional:
Pelabuhan Surabaya 1900-1940. Disertasi Doktor di Pascarasarjana Ilmu
Sejarah Universitas Gadjah Mada. (Tidak Diterbitkan, 2015).
Karlina, A. Komunitas Tionghoa Di Parepare, 1906-1959. Skripsi Sarjana di
Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Hasanuddin. (Tidak Diterbitkan, 2015).

Universitas Indonesia
179

Lapian, Adrian B. ‘Kajian Sejarah Lokal dalam Perspektif Sejarah Maritim’


(Makalah dalam Sosialisasi Pedoman Penulisan Sejarah Lokal, Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata, Makassar 26-29 Mei 2009).
———. ‘Sejarah Nusantara Sejarah Bahari’ (Pidato Pengukuhan Guru Besar Luar
Biasa Fakultas Sastra Universitas Indonesia), 4 Maret 1992.
Mulya, A. A. Adi. Dampak Revolusi Hijau Di Sulawesi Selatan 1969-1998. Tesis
Magister di Pascarasarjana Ilmu Sejarah Universitas Indonesia. (Tidak
Diterbitkan, 2017).
Nur, Nahdia. Jejaring Perdagangan Dan Integrasi Ekonomi: Sejarah Ekonomi
Sulawesi Bagian Selatan 1902-1930-an. Disertasi Doktor di Pascarasarjana
Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada. (Tidak Diterbitkan, 2017).
Pradjoko, Didik. Kerajaan Larantuka Dan Politik Kolonia Belanda: Dianamika
Politik Lokal Di Kawasan Flores Timor, Kepulauan Solor Dan Timor Barat
1851-1915. Disertasi Doktor di Pascarasarjana Ilmu Sejarah Universitas
Indonesia. (Tidak Diterbitkan, 2015).
———. Pelayaran, Perdagangan Dan Perebutan Kekuatan Politik Dan Ekonomi
Di Nusa Tenggara Timur: Sejarah Kawasan Laut Sawu Pada Abad XVIII-
XIX. Tesis Magister di Pascarasarjana Ilmu Sejarah Universitas Indonesia.
(Tidak Diterbitkan, 2007).
Sunarti, Linda. Pembangunan Dan Perkembangan Pelabuhan Swettenham Di
Malaysia, 1900-1963. Tesis Magister di Pascarasarjana Ilmu Sejarah
Universitas Indonesia. (Tidak Diterbitkan, 2001).
Susilowati, Endang. Pasang Surut Pelabuhan Rakyat Di Pelabuhan Banjarmasin,
1880-1990. Disertasi Doktor di Pascarasarjana Ilmu Sejarah Universitas
Indonesia. (Tidak Diterbitkan, 2004).
Widodo, Sutejo Kuwat. Perkembangan Pelabuhan Pekalongan Menjadi
Pelabuhan Perikanan, 1900-1990. Disertasi Doktor di Pascarasarjana Ilmu
Sejarah Universitas Indonesia. (Tidak Diterbitkan, 2002).
Zuhdi, Susanto. Perkembangan Pelabuhan Dan Kota Cilacap, Jawa Tengah
1830-1940. Tesis Magister di Pascarasarjana Ilmu Sejarah Universitas
Indonesia. (Tidak Diterbitkan, 1991).
Surat Kabar dan Majalah
Bataviaasch Nieuwsblad tahun 1905, 1924, 1929, 1933, 1935, 1940
Berita Baroe tahun 1931
De Indische Courant tahun 1923, 1927, 1937
De Locomotief tahun 1909, 1925, 1926, 1939
De Locomotief : Samarangsch Handels- En Advertentie-Blad tahun 1894
De Sumatra Post tahun 1915

Universitas Indonesia
180

Deli Courant tahun 1926


Economisch Weeksblad voor Nederlandsch-Indie tahun 1933, 1935
Het Indische Volk tahun 1929
Het Nieuws van Den Dag Voor Nederlandsch-Indië tahun 1929, 1933, 1939
Indische Mercuur tahun 1925
Limburgsch Dagblad tahun 1947
Makassaarsch Handels-Blad tahun 1869
Pemberita Makassar tahun 1914, 1915, 1916, 1917, 1918, 1921, 1922, 1924,
1925, 1926, 1928, 1933, 1938, 1940
Soerabaijasch Handelsblad tahun 1905, 1907, 1929, 1930, 1932, 1933, 1934,
1937, 1938, 1940
Artikel atau Bab dalam Buku
Broeze, Frank. ‘Intorduction: Brides of the Sea’. In Brides of the Sea : Port Cities
of Asia from the 16th to the 20th Centuries, edited by Frank Broeze, 1–28.
Honolulu: University of Hawaii Press, 1989.
Cribb, Robert. ‘Introduction; The Late Colonial State in Indonesia’. In The Late
Colonial State in Indonesia: Political and Economic Foundations of the
Netherlands Indies 1880-1942, edited by Robert Cribb, 1–9. Leiden: KITLV
Press, 1994.
Dick, H.W. ‘Perdagangan Antar Pulau, Pengintegrasian Ekonomi dan Timbulnya
Suatu Perekonomian Nasional’. In Sejarah Ekonomi Indonesia, edited by
Anne. Booth, Willian Joseph O’Malley, and Anna. Weidemann, 399–434.
Jakarta: LP3ES, 1988.
Hamid, A. R. ‘Jaringan Pelayaran Mandar Di Jalur Rempah Nusantara, 1900-
1942’. In Rempah Nusantara Merajut Dunia, edited by Muslimin A.R.
Effendy and A. R Hamid, 279–94. Samarinda: Balai Pelestarian Cagar
Budaya Kalimantan Timur, 2020.
Heng, Leong Sau. ‘Collesting Centres, Feeder Points and Entrepots in the Malay
Peninsula 1000 B.C - A.D. 1400’. In The Southeast Asian Port and Polity:
Rise and Demise, edited by J. Kathirithamby- Wells and John Villiers, 17–
38. Singapore: Singapore University Press, 1990.
Henley, David. ‘Rizification Revisited Re-Examining the Rise of Rice in
Indonesia with Special Reference to Sulawesi’. In Histories of Foodcrop and
Livestock Farming in Southeast Asia: Smallholders and Stockbreeders,
edited by Peter Boomgaard and David Henley, 107–38. Leiden: KITLV
Press, 2004.
Henley, David, and Noldy Tuerah. ‘Krisis-Krisis Abad Ke-20 Dan Akibatnya Di
Sulawesi Utara’. In Dari Krisis Ke Krisis: Masyarakat Indonesia
Menghadapi Resesi Ekonomi Selama Abad Ke-20, 169–98. Yogyakarta:

Universitas Indonesia
181

Gadjah Mada University Press, 2016.


Jong, Edwin de. ‘The Larger Torajan World: Migrant Networks and
Organizations’. In Making a Living between Crises and Ceremonies in Tana
Toraja: The Practice of Everyday Life of a South Sulawesi Highland
Community in Indonesia, edited by Rosemarijn Hoefte and Henk Schulte
Nordholt, 67–114. Leiden: Brill, 2013.
Lapian, Adrian B. ‘Dunia Maritim Asia Tenggara’. In Sejarah Indonesia:
Penilaian Kembali Karya Utama Sejarah Asing, edited by Taufik Abdullah
and Edi Sedyawati, 17–40. Depok: Lembaga Penelitian Universitas
Indonesia, 1997.
Leirissa, R. Z. ‘Orang Bugis Dan Makassar Di Kota-Kota Pelabuhan Ambon Dan
Ternate Selama Abad Ke-19’. In Kuasa Dan Usaha Di Masyarakat Sulawesi
Selatan (Tim Penerjemah Ininnawa, Penerjemah)2, edited by Roger Tol,
Kees Van Dijk, and Greg Acciaioli, 299–316. Makassar: Ininnawa, 2019.
Liebner, Horst H. ‘Tradisi Kebaharian Di Sulawesi Selatan: Tinjauan Sejarah
Pelayaran Dan Perkapalan’. In Kontinuitas Dan Perubahan Dalam Sejarah
Sulawesi Selatan, edited by Dias Pradadimara and Muslimin A R Effendy,
59–126. Yogyakarta: Ombak, 2004.
Lindblad, J. T. ‘The Late Colonial State and Economic Expansion, 1900-1930s’.
In The Emergence of a National Economy : An Economic History of
Indonesia, 1800-2000, edited by Howard Dick, Vincent J.H Houben,
J.Thomas Lindblad, and Thee Kian Wie, 111–52. Crows Nest, N.S.W.: Allen
& Unwin, 2002.
Lindblad, J.Thomas. ‘The Outer Islands in the 19th Century: Contest for the
Periphery’. In The Emergence of a National Economy: An Economic History
of Indonesia, 1800–2000, edited by Howard Dick, Vincent J.H Houben,
J.Thomas Lindblad, and Thee Kian Wie, 82–110. Crows Nest, N.S.W.: Allen
& Unwin, 2002.
Masashi, Haneda. ‘Introduction: Framework and Methods of Comparative Studies
on Asian Port Cities in the Seventeenth and Eighteenth Centuries’. In Asian
Port Cities 1600-1800: Local and Foreign Cultural Interactions, edited by
Haneda Masashi, 1–10. Singapore: NUS Press in association with Kyoto
University Press, 2009.
Murphey, Rhoads. ‘On the Evolution of the Port City’. In Brides of The Sea: Port
Cities of Asia from the 16th-20th Centuries, edited by Frank Broeze, 223–46.
(Kensington: New South Wales University Press, 1989.
Pelras, Christian. ‘Sulawesi Selatan Sebelum Datangnya Islam Berdasarkan
Kesaksian Bangsa Asing’. In Citra Masyarakat Indonesia, edited by Marcel
Bonneff, 56–82. Jakarta: Sinar Harapan, 1983.
Pradadimara, Dias. ‘Satu Cerita Berbeda Tentang Krisis: Perubahan Dan
Transformasi Di Wilayah Pedesaan Sulawesi Selatan Pada Abad Ke-20’. In
Dari Krisis Ke Krisis: Masyarakat Indonesia Menghadapi Resesi Ekonomi

Universitas Indonesia
182

Selama Abad Ke-20, 199–219. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,


2016.
Prince, G.H.A. ‘Kebijakan Ekonomi Di Indonesia, 1900-1942’. In Sejarah
Ekonomi Modern Indonesia: Berbagai Tantangan Baru, edited by J. T
Lindblad, 226–56. Jakarta: LP3ES, 2000.
Supriyono, Agus. ‘Hubungan Antara Pelabuhan Dengan Daerah-Daerah
Hinterland: Studi Kasus Di Pelabuhan Semarang Pada Masa Kolonial
Belanda Abad XX’. In Arung Samudera: Persembahan Memperingati
Sembilan Windu A.B. Lapian, edited by Edi Sedyawati and Susanto Zuhdi,
21–40. Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia - Yayasan
Adikarya IKAPI, 2001.
Sutherland, Heather. ‘Eastern Emporium and Company Town: Trade and Society
in Eighteenth-Century Makassar’. In Brides of the Sea : Port Cities of Asia
from the 16th to the 20th Centuries, 97–128. Honolulu: New South Wales
University Press, 1989.
———. ‘On the Edge of Asia: Maritime Trade in East Indonesia, Early
Seventeenth to Mid-Twentieth Century’. In Commodities, Ports and Asian
Maritime Trade Since 1750, edited by Ulbe Bosma and Anthony Webster,
59–78. Houndmills: Palgrave Macmillan, 2015.
Widodo, Sutejo Kuwat. ‘Impor Ikan Di Jawa, 1900-1940: Suatu Ironi Dari
Sumber Kekayaan Laut’. In Arung Samudera: Persembahan Memperingati
Sembilan Windu A.B. Lapian, 243–72. Depok: Pusat Penelitian
Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitian Universitas Indonesia,
2001.
Artikel Jurnal
Andaya, Leonard Y. ‘The Bugis-Makassar Diasporas’. Journal of the Malayan
Branch of the Royal Asiatic Society 68, no. 1 (1995): 119–38.
Anonim. ‘Paketvaart Politiek’. Het Indische Volk 12, no. 32–33 (1929): 290–92.
Bakkers, J.A. ‘Het Leenvorstendom Boni’. Tijdschrift Voor Indische Taal-, Land
En Volkenkunde 15, no. 1 (1866): 1–208.
Blink, H. ‘Economische Ontwikkeling van Nederlandsch Oost-Indie Gedurende
de Laatste Eeuw’. Tijdschrift Voor Economische Geographie 5, no. 16
(1914): 193–320.
Dick, Howard. ‘Prahu Shipping in Eastern Indonesia in The Interwar Period’.
Bulletin of Indonesian Economic Studies 23, no. 1 (1987): 104–21.
https://doi.org/10.1080/00074918712331335141.
Dick, Howard. ‘Prahu Shipping in Eastern Indonesia Part I’. Bulletin of
Indonesian Economic Studies 11, no. 2 (1975): 69–107.
Eng, Pierre van der. ‘Market Responses to Climate Stress: Rice in Java in the
1930s’. Australian Economic History Review 50, no. 1 (2010): 62–79.

Universitas Indonesia
183

Fernando, M R. ‘The Worst of Both Worlds: Commercial Rice Production in


West Indramayu, 1885—1935’. Journal of Southeast Asian Studies 41, no. 3
(16 July 2010): 421–48.
Goot, P van der. ‘Over Levenswijze En Bestrijding Sawah-Ratten in Het Laagland
van Java’. Landbouw 23 (1951): 123–275.
Hoeks, B. M. ‘Oorzaken Der Stijging van de Vischproductie in Het Tempe-Meer
(Zuid-Celebes)’. Landbouw 17 (1941): 1–12.
Jackson, G. ‘The Significance of Unimportant Ports’. International Journal of
Maritime History 13 (2001): 1–18.
Ken, Wong Lin. ‘The Trade of Singapore, 1819-69’. Journal of the Malayan
Branch of the Royal Asiatic Society 33, no. 4 (192) (4 February 1960): 4–
315.
KITLV, Redactie. ‘Mededeelingen Betreffende de Landschappen Soreang, Batjoe
Kiki, Bodjo, Palanro En Nepo (Malloese Tasie)’. Bijdragen Tot de Taal-,
Land- En Volkenkunde / Journal of the Humanities and Social Sciences of
Southeast Asia 61, no. 1 (1908): 668–72.
https://doi.org/https://doi.org/10.1163/22134379-90001903.
Matthes, B. F. ‘Boegineesche En Makassaarsche Legenden’. Bijdragen Tot de
Taal-, Land- En Volkenkunde van Nederlandsch-Indië 34 (4 February 1885):
431–94.
Mattulada. “Bugis-Makassar: Manusia dan Kebudayaannya.” Berita Antropologi
6, no. 6 (1974): 1–77.
Muhajir, Muhajir, and Muhammad Nur. ‘Tata Kota Parepare Periode Kolonial
Belanda’. Walennae: Jurnal Arkeologi Sulawesi Selatan Dan Tenggara 17,
no. 1 (2019): 57–70. https://doi.org/10.24832/wln.v17i1.372.
Musyaqqat, Syafaat Rahman., and Didik Pradjoko. ‘The Role of Parepare Port in
Trading and Shipping of Rice Commodities in South Sulawesi, 1930−1942’.
Journal of Maritime Studies and National Integration 4, no. 2 (2020): 115–
26. https://doi.org/https://doi.org/10.14710/jmsni.v4i2.8211
Nur, Nahdia. ‘Perdagangan Beras Di Makassar Awal Abad XX’. Lembaran
Sejarah 5, no. 1 (2003): 83–94.
Schimmel, G. J. ‘De Rijstpolitiek in de Jaren 1933 Tot 1937’. Landbouw 13
(1937): 156–72.
Sutherland, Heather. ‘Trepang and Wangkang: The China Trade of Eighteenth-
Century Makassar c. 1720s-1840s’. Bijdragen Tot de Taal-, Land- En
Volkenkunde 156, no. 3 (2000): 451–72.
Vogel Hzn, H. de. ‘Mededeelingen Betreffende de Landschappen Soreang, Batjoe
Kiki, Bodjo, Palanro En Nepo (Malloese Tasie)’. Bijdragen Tot de Taal-,
Land- En Volkenkunde 61, no. 1 (1908): 668–72.
Vuuren, L. Van. ‘De Prauwvaart van Celebes’. Koloniale Studiën 1 (1917): 107–

Universitas Indonesia
184

16.
Witkamp, H. ‘Langs de Lariang-Rivier (West-Celebes)’. Tijdschrift van Het
Aardrijkskundig Genootschap 57 (1940): 581–600.
Yani, Ahmad. ‘Islamisasi Di Ajatappareng Abad XVI-XVII’. Pustaka Jurnal
Khazanah Keagamaan 8, no. 2 (2020): 191–210.
Yuwono, Harto. ‘Sea as A Location for Transaction: Buginese Pandeling in East
Borneo’. Journal of Maritime Studies and National Integration 1, no. 2
(2017): 95–105.
Zuhdi, Susanto. ‘Historiografi Maritim Indonesia Dalam Perspektif Teori,
Metodologi Dan Sumber Sejarah: Suatu Pemetaan Dan Arah
Perkembangan’. Jurnal Sejarah Indonesia 1, no. 1 (2018): 17–44.
Buku
Abendanon, E.C. Geologische En Geographische Doorkruisingen van Midden-
Celebes (1909-1910), Deel II. Leiden: E.J. Brill, 1915.
Ahmad, Taufik, and Syahrir Kila. Awal Kebangkitan & Keruntuhan Pelabuhan
Pallime Di Bone. Makassar: Pustaka Refleksi, 2016.
Alimuddin, M Ridwan. Orang Mandar Orang Laut. Yogyakarta: Ombak, 2013.
Amal, M Adnan. Kepulauan Rempah-Rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara
1250-1950. Jakarta: KPG, 2010.
Amir, Muhammad. Konfederasi Ajatappareng: Kajian Sejarah Persekutuan Antar
Kerajaan Di Sulawesi Selatan Abad Ke-16. Makassar: De La Macca, 2013.
Andaya, Leonard Y. Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Abad Ke-
17 (Nurhady Sirimorok, Penerjemah). Makassar: Ininnawa, 2004.
Berg, L. W. C van den. Orang Arab Di Nusantara. Depok: Komunitas Bambu,
2010.
Bigalke, Terance W. Sejarah Sosial Tana Toraja (M. Yuanda Zara, Trans.).
Yogyakarta: Ombak, 2016.
Braudel, Fernand. The Mediterranean and the Mediterranean World in the Age of
Philip II. 1 (Sian Reynolds, Penerjemah). New York: Harper & Row., 1972.
Brink, P.B. Standen ten van. Zuid Celebes Bijdragen Tot De Krijgsgeschieen
Militaire Geographie van de Zuidelijke Aandtong van Het Eiland Celebes.
Utrecht: Kemink & Zoon, 1884.
Campo, J.N.F.M. Engines of Empire : Steamshipping and State Formation in
Colonial Indonesia. Hilversum: Verloren, 2002.
Dick, Howard. Industri Pelayaran Indonesia: Kompetisi Dan Regulasi. Jakarta:
LP3ES, 1989.
Dick, Howard. The Indonesian Interisland Shipping Industry : An Analysis of
Competition and Regulation. Pasir Panjang, Singapore: Institute of Southeast

Universitas Indonesia
185

Asian Studies, 1990.


Dijk, C. v. The Netherlands Indies and the Great War 1914-1918. Leiden: KITLV
Press, 2007.
Druce, Stephen C. The Lands West of The Lakes: A History of the Ajatappareng
Kingdoms of South Sulawesi 1200 to 1600 CE. Leiden: KITLV Press, 2009.
Eng, Pierre van der. Agricultural Growth in Indonesia : Productivity Change and
Policy Impact since 1880. New York: St. Martin’s Press, 1996.
Furnivall, J. S. Hindia Belanda : Studi Tentang Ekonomi Majemuk. Jakarta:
Freedom Institute, 2009.
Geertz, Clifford. Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi Di Indonesia
(Gatot Triwira, Penerjemah). Depok: Komunitas Bambu, 2016.
Ginkel, Fievez de Malines Van. Verslag van Den Economischen Toestand Der
Inlandsche Bevolking 1924. Deel II. Weltevreden: Landsdrukkerij, 1926
Gooszen, Hans. A Demographic History of The Indonesia Archipelago 1880-
1942. Leiden: KITLV Press, 1999.
Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah (Nugroho Notosusanto, Trans.). Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia, 1985.
Hall, Kenneth R. A History of Early Southeast Asia : Maritime Trade and Societal
Development, 100-1500. Lanham, Md.: Rowman & Littlefield, 2011.
Hamid, A. R. Sejarah Dan Budaya Maritim Indonesia. Yogyakarta: Ombak,
2020.
Heersink, Christiaan. Dependence on Green Gold: A Socio-Economic History of
the Indonesian Coconut Island Selayar. Leiden: KITLV Press, 1999.
Henley, David. Fertility, Food and Fever : Population, Economy and
Environment in North and Central Sulawesi : 1600-1930. Leiden: KITLV
Press, 2005.
Horridge, Adrian. Perahu Layar Tradisional. Yogyakarta: Ombak, 2015.
Husain, Sarkawi B. Sejarah Sekolah Makassar: Di Tengah Kolonialisme,
Pertumbuhan Pers Dan Pembentukan Elite Baru. Makassar: Penerbit
Ininnawa, 2015.
Kano, Hiroyoshi. Indonesian Exports, Peasant Agriculture and the World
Economy, 1850-2000 : Economic Structures in a Southeast Asian State.
Singapore: NUS Press, 2008.
Kartodirdjo, Sartono. Pemikiran Dan Perkembangan Historiografi Indonesia.
Yogyakarta: Ombak, 2014.
Knaap, G. Shallow Waters, Rising Tide: Shipping and Trade in Java around 1775.
Leiden: KITLV Press, 1996.
Knaap, G, and Heather Sutherland. Monsoon Traders: Ship, Skippers and

Universitas Indonesia
186

Commodities in Eighteenth-Century Makassar. Leiden: KITLV Press, 2004.


Knapen, Han. Forests of Fortune? : The Environmental History of Southeast
Borneo, 1600-1880. Leiden: KITLV Press, 2001.
Kraan, Alfons Van der. Lombok : Conquest, Colonization, and
Underdevelopment, 1870-1940. Singapore: Heinemann Educational Books,
1980.
Lapian, Adrian B. Pelayaran Dan Perniagaan Nusantara Abad Ke-16 Dan 17.
Depok: Komunitas Bambu, 2008.
———. Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi
Abad XIX. Depok: Komunitas Bambu, 2009.
Latif, Abd. Para Penguasa Ajatappareng: Refleksi Sejarah Sosial Politik Orang
Bugis. Yogyakarta: Ombak, 2014.
Leur, J.C. Van. Indonesian Trade and Society: Essays in Asian and Economic
History. Bandung: Sumur Bandung, 1960.
Lulofs, C. De Voedselvoorziening van Nederlandsch-Indie. Jakarta:
Landsdrukkerij, 1918.
Macknight, C.C. The Voyage To Marege’: Pencari Teripang Dari Makassar Di
Australia Utara (Anwar Jimpe Rahman & Ihsan Natsir, Penerjemah).
Makassar: Ininnawa, 2017.
Makka, A. M. Parepare Lebih Indah Dari Monte Carlo. Parepare: Yayasan
Pembina Generasi Penerus Indonesia, 2006.
Mannaungi, H.A. Corat Coret Masa Revolusi Memoar: H.A. Mannaungi.
Parepare: Yayasan Makkarumpa, 2002.
Mansvelt, W M F. Changing Economy in Indonesia: : A Selection of Statistical
Source Material from the Early 19th Century up to 1940/ Volume 4 Rice
Prices. The Hague: Nijhoff, 1978.
Matthes, B. F. Beknopt Verslag van Een Verblijf in Die Binnenlanden van
Celebes, Naar Boegineesch Gesproken Wordt, Gedurende Zes Maanden, van
24 April Tot 24 October 1856. Makassar: W. Eekhout & Co., 1861.
Mattulada. Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar Dalam Sejarah. Yogyakarta:
Ombak, 2011.
Moeljono, Sidik. Seperempat Abad Bergulat dengan Butir-butir Beras. Djakarta:
Bulog, 1971.
Nadjamuddin, L, I. A Rore, I Ahmad, and Wilman Darsono. Satu Kota Empat
Zaman: Donggala Pada Masa Tradisional Hingga Terbentuknya Kabupaten.
Yogyakarta: Ombak, 2016.
Oddang, Andi. Memoar Brigjen Purnawirawan Andi Oddang Untuk Merah Putih.
Jakarta: Media Group Fajar, 2015.
Onghokham. Migrasi Cina, Kapitalisme Cina Dan Anti Cina. Depok: Komunitas

Universitas Indonesia
187

Bambu, 2017.
———. Runtuhnya Hindia Belanda. Jakarta: Gramedia, 1989.
Paeni, Mukhlis., Edward L Poelinggomang, and Ina. Mirawati. ‘Batara Gowa :
messianisme dalam gerakan sosial di Makassar’. Jakarta: Arsip Nasional,
Republik Indonesia kerjasama dengan Gadjah Mada University Press, 2002.
Parimartha, I Gde. Perdagangan Dan Politik Di Nusa Tenggara 1815-1915.
Jakarta: Penerbit Djambatan-KITLV, 2002.
Pelras, Christian. Manusia Bugis (A.R. Abu, Trans.). Jakarta: Nalar, 2006.
Poelinggomang, Edward L. Makassar Abad XIX: Studi Tentang Kebijakan
Perdagangan Maritim. Jakarta: KPG, 2016.
Poelinggomang, Edward L, Suriadi Mappangara, Suriadi Limbugau, Syahrul
Amar, and Sahajuddin. Sejarah Sulawesi Selatan (Jilid 1). Makassar:
Balitbangda Provinsi Sulawesi Selatan, 2004.
Poelinggomang, Edward L, Suriadi Mappangara, Suriadi Limbugau, Syahrul
Amar, and Sahajuddin. Sejarah Sulawesi Selatan (Jilid 2). Makassar:
Balitbangda - MSI Sulawesi Selatan, 2005.
Pradjoko, Didik, and Bambang Budi Utomo. Atlas Pelabuhan-Pelabuhan
Bersejarah Di Nusantara. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya,
Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
2013.
Rabani, La Ode. Kota-Kota Pantai Di Sulawesi Tenggara: Perubahan Dan
Kelangsungannya. Yogyakarta: Ombak, 2010.
Reid, Anthony. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid 1: Tanah di
Bawah Angin (Mochtar Pabottingi, penerjemah). Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1992.
Reid, Anthony. Sejarah Modern Awal Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES, 2004.
Resink, G J. Bukan 350 Tahun Dijajah. Depok: Komunitas Bambu, 2013.
Sarasin, Paul, and Fritz Sarasin. Reisen in Celebes, Aufgefuhrt in de Jaren 1893-
1896 Und 1902-1903 (Zweiter Band). Wiesbaden: C.W. Kreidel, 1905.
Sinaga, Rosmaida. Masa Kuasa Belanda Di Papua 1898-1962. Depok:
Komunitas Bambu, 2013.
Sulistyono, Singgih Tri. ‘The Java Sea Network: Patterns in the Development an
of Interregional Shipping and Trade in the Process of National Economic
Integration in Indonesia, 1870s-1970s’. Universiteit Leiden, 2003.
Tillema, H F. Zonder Tropen Geen Europa ! ’s-Gravenhage: Mouton & Co, 1926.
Touwen, Jeroen. Extremes in The Archipelago: Trade and Economic
Development in the Outer Islands of Indonesia 1900-1941. Leiden: KITLV
Press, 2001.

Universitas Indonesia
188

Vereeniging Tot Bevordering Der Geneeskundige Wetenschappen In


Nederlandsch-Indie. Geneeskundig Tijdschrift Voor Nederlandsch-Lndië.
Deel L. Batavia: Javasche Boekhandel & Drukkerij, 1910.
Wichmann, Arthur. Bericht Uber Eine Im Jahre 1888-1889 Im Auftrage Der
Niederlandischen Geographischen Gesellschaft Ausgefuhrte Reise Nach
Dem Indischen Archipel. Leiden: E.J. Brill, 1890.
Wirawan, Yerry. Sejarah Masyarakat Tionghoa Makassar Dari Abad Ke-17
Hingga Ke-20. Jakarta: KPG, 2013.
Wit, Augusta De. Natuur En Menschen In Indië. Edited by Maatschappij voor
Goede en Goedkoope Lectuur. Amsterdam, 1914.
Wolhoff, G.J, and Abdurrahim, eds. Sedjarah Goa. Makassar: Jajasan
Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, n.d.
Zanden, Jan Luiten van, and Daan Marks. Ekonomi Indonesia 1800-2010: Antara
Drama Dan Keajaiban Pertumbuhan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2012.
Zed, Mestika. Saudagar Pariaman menerjang ombak membangun maskapai :
riwayat Muhammad Saleh Datuk Rangkayo Basa (1841-1921). Jakarta:
LP3ES, 2017.
Zentgraaff, H. C. Van Eilanden in Opkomst. Soerabaiasch Handelsblad, 1929
Zuhdi, Susanto. Sejarah Buton Yang Terabaikan: Labu Rope Labu Wana. Jakarta:
Rajawali Press, 2010.
Sumber Internet

Anonim. ‘Parepare, Potensi Maritim Di Timur Indonesia’, 2020.


https://indomaritim.id/parepare-potensi-maritim-di-timur-indonesia/

Universitas Indonesia
LAMPIRAN

189
Universitas Indonesia
190

Lampiran 1. Sebuah Peta Belanda pada akhir abad ke-18 yang pertama kali
menyebut Parepare

Sumber: Druce, The Lands West of The Lakes, hlm. 322.

Universitas Indonesia
191

Lampiran 2. Penampakan sawah di daerah pedalaman Parepare (Suppa) pada 1910

Sumber: Abendanon, Geologische en Geographische Doorkruisingen van


Midden-Celebes (1909-1910), Deel II, hlm. 932.

Universitas Indonesia
192

Lampiran 3. Aktivitas Bongkar Petroleum di Pelabuhan Parepare pada 1939

Sumber: www.digitalcollections.universiteitleiden.nl.

Universitas Indonesia
193

Lampiran 4. Segerombolan kuda yang mengangkut rumput di Parepare pada 1939

Sumber: www.digitalcollections.universiteitleiden.nl.

Universitas Indonesia
194

Lampiran 5. Pemandangan Jalan Utama di Parepare antara 1930-1936

Sumber: www.collectie.wereldculturen.nl.

Universitas Indonesia
195

Lampiran 6. Pembangunan Bendungan Irigasi Sadang (Onderafdeeling Pinrang)


pada 1939

Sumber: www.collectie.wereldculturen.nl.

Universitas Indonesia
196

Lampiran 7. Iklan Lowongan Kerja di MEPB Parepare pada 1940

Sumber: Bataviaasch Nieuwsblad, 16 Januari 1940, hlm. 4.

Universitas Indonesia
197

Lampiran 8. Gerobak di Parepare antara 1905-1940

Sumber: www.collectie.wereldculturen.nl.

Universitas Indonesia
198

Lampiran 9. Aktvitas Perniagaaan di Pasar Parepare pada 1937

Sumber: De Indische Courant 7 Agustus 1937, hlm. 1.

Universitas Indonesia
199

Lampiran 10. Alat transportasi sepeda di Parepare antara 1930-1936

Sumber: www.collectie.wereldculturen.nl.

Universitas Indonesia
200

Lampiran 11. Alat transportasi bendi yang sedang melintas di depan Terminal
“Kandang Oto“ di Parepare antara 1930-1936

Sumber: www.collectie.wereldculturen.nl.

Universitas Indonesia
201

Lampiran 12. Iklan Lowongan Kerja Bank Rakyat (Volksbank) di Parepare pada
1924

Sumber: De Preanger Bode, 17 Juli 1924, hlm. 3.

Universitas Indonesia
202

Lampiran 13. Hotel di Jalan Pusat Pertokoan Utama

Sumber: Allied Geographical Section Southwest Pacific Area, Special Report No.
80, Makassar (SW Celebes), Dates 24 August 1945.
Keterangan: lihat tanda panah merah

Universitas Indonesia
203

Lampiran 14. Rumah Sakit (Ziekenhuis) di Parepare antara 1930-1940

Sumber: www.collectie.wereldculturen.nl.

Universitas Indonesia
INDEKS M
Majene, 1, 7, 16, 22, 24, 34, 35, 43, 56, 67, 70,
A 71, 73, 102, 109, 113, 121, 122, 135, 150, 151,
Ambon, 56, 63, 79, 80, 132, 138, 139, 142 152
Amurang, 56, 70, 78 Makassar, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 13, 14, 15,
Arab, 4, 40, 56, 58, 79, 141, 143, 144, 145, 149, 17, 19, 22, 24, 26, 28, 29, 30, 34, 35, 37, 39,
157 40, 42, 43, 45, 46, 47, 48, 50, 51, 52, 53, 54,
55, 56, 58, 60, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 69, 70,
71, 73, 75, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 91, 92,
B 93, 94, 95, 96, 97,99, 100, 102, 103, 105, 106,
Bacukiki, 49, 50, 62 107, 108, 109, 111, 112, 114, 115, 116, 118,
Banjarmasin, 52, 63, 70, 73, 74, 134, 137 119, 120, 121, 124, 125, 126, 127, 128, 129,
Bantaeng, 47, 67, 71, 119, 121, 163 131, 132, 133, 134, 135, 136, 138, 141, 142,
Barru, 3, 6, 9, 22, 24, 35, 36, 38, 42, 44, 71, 102, 145, 146, 147, 148, 150, 151, 152, 153, 155,
142, 143, 159, 171, 173 156, 157, 158, 159, 160, 161, 162, 163, 164,
Bojo, 33, 49, 62 165, 167, 169, 170, 172, 174, 175
Bone, 3, 6, 7, 12, 16, 24, 26, 47, 49, 51, 52, 53, Maluku, 4, 9, 23, 50, 56, 71, 77, 79, 80, 81, 84,
55, 64, 105, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 117, 124, 131, 132, 174
118, 120, 126, 170 Manado, 9, 23, 56, 63, 70, 76, 77, 78, 124, 131,
Buton, 4, 21, 30, 112, 151 132, 135, 138, 139, 172, 174, 175
Mandar, 4, 7, 16, 22, 29, 35, 38, 39, 46, 47, 48,
51, 56, 57, 71, 73, 88, 96, 109, 129, 135, 141,
C 146, 149, 151, 152, 155, 161, 170
Collecting centre, 20, 21, 64, 96, 170 Minahasa, 76, 77, 141, 142, 146

D P
Donggala, 57, 70, 76, 132, 134 Palembang, 52, 63, 177
Palima, 6, 7, 12, 16, 26, 67, 105, 109, 110, 111,
112, 113, 115, 116, 117, 118, 120, 127, 173
E Palopo, 42, 67, 112, 113, 121, 153, 155, 163
Ende, 84, 132 Pangkajene, 71, 102, 111, 113, 116, 119
Enrekang, 3, 4, 6, 9, 22, 24, 36, 38, 40, 41, 42, 43, Pontianak, 63
57, 58, 109, 171, 173 Portugis, 3, 49, 82
Entrepot, 6, 20, 21, 71, 96, 97, 105, 170
R
F Rappang, 2, 3, 6, 9, 22, 24, 36, 38, 39, 40, 41, 42,
Feeder point, 5, 20, 21, 44, 65, 170 43, 90, 91, 171, 173
Flores, 19, 29, 81, 82, 83, 84 Riau, 52

I S
Indramayu, 86, 133, 134 Samarinda, 70, 76, 132, 134
Inggris, 4, 7, 12, 53, 55, 58, 66 Sawitto, 2, 37, 50, 51, 91
Semarang, 11, 22, 63, 86
Sengkang, 34, 43, 112, 113, 114, 115, 116, 121,
J 150, 151, 159
Jawa, 4, 5, 6, 9, 11, 13, 19, 23, 29, 30, 49, 55, 60, Sidenreng, 2, 3, 4, 5, 6, 9, 16, 22, 24, 36, 39, 40,
61, 66, 72, 73, 75, 78, 79, 81, 83, 84, 85, 86, 42, 43, 48, 53, 54, 55, 57, 58, 59, 60, 61, 62,
87, 89, 110, 119, 123, 129, 131, 132, 133, 141, 91, 101, 102, 113, 116, 171, 173
145, 146, 149, 151, 152, 158, 171, 174 Singapura, 4, 12, 13, 18, 45, 55, 58, 68, 70, 71, 85
Johor, 52 Soppeng, 55, 59, 111, 113, 114, 116, 117, 118,
120, 173
Soreang, 34, 49, 51, 52, 62, 141

204

Universitas Indonesia
205

Surabaya, 6, 12, 13, 56, 57, 63, 71, 86, 134, 137,
170

T
Tarakan, 132
Timor, 9, 13, 23, 79, 81, 82, 83, 116, 131, 132,
174
Toli-Toli, 56, 70, 132
Toraja, 3, 4, 9, 22, 24, 36, 42, 43, 57, 58, 100,
109, 113, 141, 146, 147

U
Ujung Lero, 46, 47, 149, 170

V
VOC, 3, 50, 51, 52, 75, 79

W
Wajo, 51, 55, 59, 75, 111, 113, 114, 116, 117,
118, 120, 173

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai