TESIS
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Humaniora
NPM : 1706090723
Tanda Tangan :
HALAMAN PENGESAHAN
DEWAN PENGUJI
Ditetapkan di : Depok
Tanggal : 6 Agustus 2021
oleh
Dekan
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia
KATA PENGANTAR
belajar Sejarah Maritim melalui ceramah dan kegiatan perkuliahan beliau. Bukan
hanya itu, beliau juga sering menyarankan beberapa referensi penting yang tentunya
semakin memperluas cakrawala penulis mengenai dunia “Ilmu Sejarah”. Motivasi
agar segera menuntaskan penulisan tesis paling tidak menjadi dorongan berharga
bagi penulis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof.
Dr. Susanto Zuhdi, M. Hum, selaku penguji. Beliau bukan hanya memberikan
masukan dan saran-saran yang konstruktif dalam penulisan tesis ini. Dari beliau
juga penulis belajar banyak mengenai Metodologi Sejarah. Awal jatuh cinta dengan
Sejarah Maritim juga bermula ketika penulis membaca salah satu tulisan beliau
dalam buku Nasionalisme, Laut dan Sejarah (2014). Suatu waktu, dalam kegiatan
perkuliahan Pengantar Ilmu Sejarah (2018), beliau bertanya satu-persatu ke
mahasiswa di ruang kelas perihal topik tesis yang akan dikaji. Meskipun awalnya
sempat ragu dengan kemampuan diri sendiri, saya kemudian menyebutkan salah
satu topik, yakni perdagangan beras di pelabuhan Parepare. Alhamdulillah beliau
turut mendukung rencana topik tesis tersebut. Semenjak saat itulah penulis bertekad
mendalami kajian pelabuhan. Gagasan beliau mengenai “Tanah-Air” semakin
meyakinkan penulis terkait pentingnya posisi pelabuhan dalam Sejarah Indonesia.
Juga kepada Dr. Linda Sunarti M. Hum, selaku penguji, penulis ucapkan banyak
terima kasih atas segala kritik dan saran selama proses penyusunan tesis ini. Selain
itu, pemahaman penulis mengenai Metode Sejarah juga tidak terlepas dari petuah-
petuah mencerahkan dari beliau selama kegiatan perkuliahan. Ucapan terima kasih
pula untuk segenap tenaga pengajar di Departemen Ilmu Sejarah, seperti Mas
Maman, Mas Yudha, Mas Bondan, Mas Mohammad Iskandar, Mas Kasijanto, Prof.
Djoko dan Prof. Maswadi Rauf serta dosen-dosen lainnya yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu. Sekali lagi, terima kasih untuk ilmu dan pengetahuan yang
penulis peroleh selama belajar di Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Ucapan terima kasih penulis juga kepada Dr. Suriadi Mappangara, M. Hum,
dosen Ilmu Sejarah di Universitas Hasanuddin. Dari diskusi dengan beliau, penulis
memperoleh informasi dan pengetahuan berharga mengenai sejarah Sulawesi
Selatan, termasuk Parepare. Selanjutnya ialah Margriet Lappie, S.S, M.S (Almh).
vi
Awal perjumpaan dan perkenalan saya dengan beliau berlangsung dalam seminar
sejarah publik di Universitas Indonesia pada November 2019. Beliau memberi
wejangan-wejangan bermanfaat sekaligus meyakinkan penulis untuk secara serius
menggarap pelabuhan Parepare yang sejauh ini belum banyak mendapat perhatian
dalam Historiografi Sulawesi Selatan. Untuk itu, terima kasih Bu, semoga Tuhan
selalu memberi kelapangan di alam sana.
Penelitian ini tentunya banyak berhutang kepada beberapa lembaga
kearsipan. Pertama-tama, ucapan terima kasih ditujukan kepada para pegawai Arsip
Nasional Republik Indonesia (ANRI) yang dengan sabar melayani berbagai macam
permintaan penulis selama proses pencarian sumber. Terima kasih pula kepada para
pegawai Perpustakaan Nasional Republik Indonesia untuk segala kesabaran dan
keramahannya dalam melayani setiap permintaan penulis selama proses penelitian.
Ucapan terima kasih juga kepada para pegawai Dinas Perpustakaan dan Kearsipan
Provinsi Sulawesi Selatan (Makassar), khususnya Kak Iccang yang dengan tulus
meladeni permintaan arsip dari penulis.
Terima kasih kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia yang telah menanggung biaya studi penulis selama menempuh program
Magister. Berkat program Beasiswa Unggulan Tahun 2018, penulis sangat terbantu
dengan adanya program tersebut. Kepada Pak Yoseph, selaku koordinator Beasiswa
Unggulan, penulis ucapkan terima kasih untuk segala kebijaksanaannya.
Teristimewa kepada keluarga penulis, untuk Ayahanda, Drs. Ambo Tang
Rahman, M. Pd (Alm), semoga Allah SWT senantiasa mengampuni segala dosa
dan memberikan kelapangan di alam kuburnya. Untuk Ibunda tercinta, Dra.
Minatang, ribuan kata terima kasih tidak akan mampu membalas segala kasih dan
sayang yang dicurahkan kepada penulis. Hanya untaian doa yang senantiasa penulis
panjatkan. Kepada saudara-saudari penulis, Mujahid Zul Fadli AR, S. Pd,
Nurfadilah Fajri Rahman, S. Hum, Ahmad Nashiruddin MR, S. Pd, M. Ak dan
Tashdieq Ulil Amri Arhamzah, terima kasih untuk segala dukungan dan dorongan
positif, mulai dari sebelum perkuliahan hingga sampai pada tahap penulisan tesis
ini. Juga kepada kemanakan terkasih, Waiz Naufal Awaluddin dan Muthi Arsal
Furqan serta sepupu-sepupu, penulis haturkan terima kasih.
vii
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama
saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 6 Agustus 2021
Yang menyatakan
ABSTRAK
Universitas Indonesia
x
ABSTRACT
This study discusses the role of the port of Parepare in the rice trade in the Makassar
Strait area. So far, the Maritime Historiography of South Sulawesi tends to place
copra as the dominant historical driver during the first half of the 20th century. As
a result, the historical narrative of the Makassar port is still more striking than the
narratives of other ports in the vicinity. This study traces the history of shipping and
trade in South Sulawesi from a different side, namely rice commodities. By taking
the research temporal which covers 1905 to 1939, this research uses historical
methods and structural approaches. The sources used are colonial government
archives, newspapers, journals and magazines. Located on the west coast of
Sulawesi, Parepare is a port supported by several wanua ri laleng (hinterland), such
as Sidenreng, Rappang, Pinrang, Barru, Parepare, Enrekang and Toraja. Although
in the beginning there were various factors that were intertwined and also
influenced the dynamics of the rice trade, this did not become a barrier for Parepare,
who was supported by the famous fertile wanua ri laleng. This is reflected in rice
export activities with a trade network that includes intra-regional and inter-regional.
In the 1930s, rice commodities in Parepare were transported directly to several
wanua laeng (foreland), such as East and South Kalimantan, Manado, Maluku,
Timor and Java. The wide scope of trade embodies Parepare's role as the main rice
trading center in the Makassar Strait. With that role, this study found that the
collecting center (Parepare) does not always act as a supplier for entrepot
(Makassar). This finding also explains that Parepare has played a role beyond its
function in trading (over-collecting center). The colonial government's control of
the rice trade since 1933 was one of the important factors behind achieving this role
and, in fact, Parepare became one of the busiest ports in the Great East (Groote
Oost). In addition, the hectic trading activities in turn also had an impact on the
development of the Port City of Parepare during the colonial period, as reflected in
the community structure, city facilities and the role of traders in the development
of the city.
Keywords: port, rice trade, state control, Parepare, Southern Sulawesi, Makassar
Strait area
Universitas Indonesia
xi
DAFTAR ISI
Universitas Indonesia
xii
Universitas Indonesia
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Jumlah Areal Sawah di Daerah Penyangga Parepare pada 1936 ....... 42
Tabel 4.1 Kunjungan Kapal dan Perahu di Parepare dan Palima
pada Dekade 1920 ........................................................................... 118
Tabel 4.2 Ekspor Beras di Tiga Pelabuhan Ekspor Sulawesi Selatan
pada 1932 ......................................................................................... 120
Tabel 4.3 Kunjungan Kapal Uap dan Perahu Layar di Pelabuhan Parepare
(1930-1939) ..................................................................................... 135
Tabel 4.4 Kunjungan Perahu Layar dan Kapal Uap di Lima Pelabuhan
Timur Besar (Groote Oost) pada 1939 ............................................ 137
Tabel 5.1 Keadaan Penduduk Kota Pelabuhan Parepare pada 1930 ................ 144
Tabel 5.2 Daftar Panitia Pembangunan Masjid Jami di Parepare
pada 1933 ......................................................................................... 163
Universitas Indonesia
xiv
DAFTAR GRAFIK
Universitas Indonesia
xv
DAFTAR GAMBAR
Universitas Indonesia
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Sebuah Peta Belanda pada akhir abad ke-18 yang pertama kali
menyebut Parepare ...................................................................... 190
Lampiran 2. Penampakan sawah di daerah pedalaman Parepare (Suppa)
pada 1910 .................................................................................... 191
Lampiran 3. Aktivitas Bongkar Petroleum di Pelabuhan Parepare
pada 1939 .................................................................................... 192
Lampiran 4. Segerombolan kuda yang sedang mengangkut rumput
di Parepare pada 1939 ................................................................. 193
Lampiran 5. Pemandangan Jalan Utama di Parepare antara 1930-1936 .......... 194
Lampiran 6. Pembangunan Bendungan Irigasi Sadang
(Onderafdeeling Pinrang) pada 1939 .......................................... 195
Lampiran 7. Iklan Lowongan Kerja di MEPB Parepare pada 1940 ................ 196
Lampiran 8. Gerobak di Parepare antara 1905-1940 ....................................... 197
Lampiran 9. Aktivitas Perniagaan di Pasar Parepare pada 1937 ..................... 198
Lampiran 10. Alat transportasi sepeda di Parepare antara 1930-1936............. 199
Lampiran 11. Alat transportasi bendi yang sedang melintas di depan Terminal
“Kandang Oto” di Parepare antara 1930-1936 .......................... 200
Lampiran 12. Iklan Lowongan Kerja Bank Rakyat (Volksbank) di Parepare
pada 1924 ................................................................................. 201
Lampiran 13. Hotel di Jalan Pusat Pertokoan Utama ...................................... 202
Lampiran 14. Rumah Sakit (Ziekenhuis) di Parepare antara 1926-1940 ......... 203
Universitas Indonesia
xvii
SATUAN UKUR
1 depa = 1,7 meter
1 mil laut 1.852 meter
1 kaki 0,283 meter
1 paal 1.507 meter
1 yard 0,914 meter
VOLUME
1 pikul 61,76 kilogram
1 bau 7.096 meter persegi
Universitas Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
1
Anonim, “Parepare, Potensi Maritim Di Timur Indonesia,” 2020, https://indomaritim.id/parepare-
potensi-maritim-di-timur-indonesia/.
1
Universitas Indonesia
2
(lihat tanda panah merah di Gambar 1.1). Di samping jarak yang cukup dekat
dengan pelabuhan Makassar, Parepare juga memiliki keistimewaan lain dari
posisinya, yakni berada di Teluk Parepare. Di dalam teluk, pelabuhan Parepare
terbentang di sisi timur teluk. Tepat di muka pelabuhan, Parepare terlindungi oleh
sebuah tanjung (Tanjung Lero) di sisi barat teluk. Karena bentuknya yang
memanjang dari utara ke selatan, Tanjung Lero seakan-akan “memunggungi” laut
sehingga hembusan angin dan gelombang perairan selat tidak begitu kuat di
perairan teluk. Oleh sebab itu, pelabuhan Parepare terkenal pula sebagai
pelabuhan alam yang aman di semua musim.
2
Ajatappareng adalah sebuah persekutuan kerajaan-kerajaan Bugis yang dibentuk pada abad ke-
16. Terdapat lima kerajaan Bugis yang tergabung dalam persekutuan itu, di antaranya ialah
Kerajaan Suppa, Sidenreng, Sawitto, Alitta dan Rappang. Kelima kerajaan ini terletak di sebelah
barat danau (Aja Tappareng), yaitu Danau Tempe, Danau Sidenreng dan Danau Buaya. Karena
setiap kerajaan memiliki kedudukan yang sama dan memiliki hak otonom dalam mengatur
daerahnya sendiri, maka persekutuan ini sering pula disebut konfederasi. Oleh sebab itu, pada
dasarnya sebutan Ajatappareng merujuk pada istilah politik maupun geografis. Untuk hal ini lihat
Muhammad Amir, Konfederasi Ajatappareng: Kajian Sejarah Persekutuan Antar Kerajaan Di
Sulawesi Selatan Abad Ke-16 (Makassar: De La Macca, 2013).
Universitas Indonesia
3
3
B. F Matthes, Beknopt Verslag van Een Verblijf in Die Binnenlanden van Celebes, Naar
Boegineesch Gesproken Wordt, Gedurende Zes Maanden, van 24 April Tot 24 October 1856
(Makassar: W. Eekhout & Co., 1861), 7.
4
Christian Pelras, “Sulawesi Selatan Sebelum Datangnya Islam Berdasarkan Kesaksian Bangsa
Asing,” in Citra Masyarakat Indonesia, ed. Marcel Bonneff (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), 59–
60.
5
Sebagaimana umum diketahui, akhir dari perang Makassar pada 1669 berhasil memunculkan dua
penguasa atasan baru di Sulawesi Selatan, yakni VOC dan sekutunya, Arung Palakka. Namun
demikian, secara politik, arti penting Kerajaan Bone di Sulawesi Selatan semakin tampak jelas
ketika Arung Palakka dilantik sebagai Arumpone pada September 1672. Lihat Leonard Y. Andaya,
Universitas Indonesia
4
Parepare baru tampil sebagai salah satu bandar niaga pribumi terkemuka di
jazirah Sulawesi bagian selatan pada paruh kedua abad ke-19. Di bawah kuasa
Kerajaan Sidenreng, yang sejak 1812 memperoleh hak pengelolaan dari Inggris,
pelabuhan bukan hanya sekedar tempat persinggahan bagi para pelaut dan
pedagang di kawasan Selat Makassar. Parepare juga berkembang sebagai pusat
perniagaan utama bagi masyarakat Ajatappareng, di samping sebagai pintu keluar-
masuk untuk komoditas ekspor-impor di pantai barat Sulawesi. Salah satu faktor
yang mendorong perkembangan pelabuhan saat itu ialah kopi. Dengan kata lain,
kopi menjadi komoditas primadona ekspor6 dalam aktivitas pelayaran dan
perdagangan di Parepare. Ekspansi politik Sidenreng ke daerah dataran tinggi
(Enrekang dan Toraja) pada paruh kedua abad ke-19 adalah salah satu petunjuk
kuat bahwa kopi menjadi komposisi utama dalam perdagangan ekspor. Selain
pedagang pribumi, saat itu aktivitas perdagangan dan pelayaran di Parepare juga
diramaikan oleh para pedagang Arab. Indikator lain yang menunjukkan
pentingnya kegiatan perniagaan yang berlangsung di Parepare ketika itu ialah
tampak dari rute pelayaran Nederlandsch-Indische Stoomboot Maatschappij
(NISM).7 Perusahaaan pelayaran ini telah memasukkan Parepare sebagai salah
satu pelabuhan persinggahan dalam rute pelayarannya di perairan Hindia Belanda
sejak 1875.
Selain kapal uap, pelayaran dan perdagangan di Parepare juga diramaikan
oleh kunjungan perahu layar pribumi. Sebagaimana umum diketahui, dalam
konteks pelayaran di bagian timur Indonesia, suku Bugis terkenal sebagai suku
Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Abad Ke-17 (Nurhady Sirimorok, Penerjemah)
(Makassar: Ininnawa, 2004), 182.
6
Tampilnya kopi sebagai komoditas ekspor primadona di Parepare sebenarnya tidak terlepas dari
situasi perdagangan yang berlangsung di pelabuhan Makassar, di mana kopi mulai menjadi
komoditas ekspor penting sejak 1870-an. Untuk hal ini, lihat Heather Sutherland, “On the Edge of
Asia: Maritime Trade in East Indonesia, Early Seventeenth to Mid-Twentieth Century,” in
Commodities, Ports and Asian Maritime Trade Since 1750, ed. Ulbe Bosma and Anthony Webster
(Houndmills: Palgrave Macmillan, 2015), 59–78.
7
NISM adalah perusahaan pelayaran yang dibentuk pemerintah kolonial Belanda pada 1842.
Tujuannya ialah untuk melayani kepentingan pelayaran niaga dan penumpang di daerah pesisir,
termasuk kepentingan monopoli rempah di Maluku. Pendirian perusahaan pelayaran kapal api ini
juga bersamaan dengan kerjasama antara pemerintah kolonial dan Angkutan Laut Hindia Belanda
guna mengawal kapal dagang dari ancaman bajak laut dan pengangkutanpos untuk Jawa-
Singapura. Mengenai NISM, selengkapnya lihat Edward L Poelinggomang, Makassar Abad XIX:
Studi Tentang Kebijakan Perdagangan Maritim (Jakarta: KPG, 2016), 92–93.
Universitas Indonesia
5
8
Howard Dick, ‘Prahu Shipping in Eastern Indonesia Part I’, Bulletin of Indonesian Economic
Studies 11, no. 2 (1975), 72-73.
9
G J Resink, Bukan 350 Tahun Dijajah (Depok: Komunitas Bambu, 2013), 313.
10
Collecting Centre, Feeder Points dan Entrepot adalah tipologi pelabuhan dalam fungsi
perdagangan yang diperkenalkan oleh Leong Sau Heng. Lihat Leong Sau Heng, “Collesting
Centres, Feeder Points and Entrepots in the Malay Peninsula 1000 B.C - A.D. 1400,” in The
Southeast Asian Port and Polity: Rise and Demise, ed. J. Kathirithamby- Wells and John Villiers
(Singapore: Singapore University Press, 1990), 17–38.
Universitas Indonesia
6
11
H.W. Dick, “Perdagangan Antar Pulau, Pengintegrasian Ekonomi dan Timbulnya Suatu
Perekonomian Nasional,” in Sejarah Ekonomi Indonesia, ed. Anne. Booth, Willian Joseph
O’Malley, and Anna. Weidemann (Jakarta: LP3ES, 1988), 399–434.
Universitas Indonesia
7
(Groote Oost) dan, bahkan, Jawa. Karena luasnya cakupan perdagangan itu, tidak
heran jika menjelang berakhirnya kolonialisme Belanda, Parepare kemudian
berkembang sebagai salah satu pelabuhan tersibuk di Groote Oost.
Adanya realitas historis tersebut tentunya dimungkinkan oleh berbagai
faktor. Salah satu di antaranya ialah keadaan lingkungan wanua ri laleng yang
memang sebagian besar cocok untuk budidaya padi. Di samping itu, sebagai salah
satu bentuk aktivitas perekonomian, keberlangsungan perniagaan beras bukan
hanya bergantung pada penawaran, namun juga permintaan. Karena itu, aktivitas
ekspor beras di Parepare tidak terlepas pula dari struktur ekonomi di wanua laeng
yang pada gilirannya memunculkan adanya permintaan. Lebih jauh, faktor
migrasi orang Bugis ke berbagai wilayah di Kepulauan Nusantara yang telah
berlangsung sejak abad ke-17 juga perlu untuk dipertimbangkan. Dengan
demikian, terdapat berbagai situasi yang saling berkelindan dan tentunya turut
mempengaruhi dinamika perdagangan beras di pelabuhan Parepare.
Sayangnya, bagaimana tapak-tapak pelabuhan Parepare di masa silam
cukup sulit untuk dilacak dalam konteks Historiografi Maritim Sulawesi Selatan.
Dalam kaitan itu, meski kajian tentang pelabuhan-pelabuhan lain12 telah
bermunculan, namun bisa dikatakan bahwa “romantisme” pelabuhan Makassar
masih cukup mendominasi. Kecenderungan ini mudah dipahami dari posisi
Makassar yang telah berperan sebagai emporium internasional sejak abad ke-16.
Tidak mengherankan jika sejauh ini historiografi mengenai pelabuhan-pelabuhan
kecil di sekitarnya relatif terbatas. Padahal Gordon Jackson, sejarawan maritim
asal Inggris, telah mengingatkan bahwa perlu adanya sebuah pendekatan yang
berbeda dalam menganalisis signifikansi pelabuhan kecil. Salah satu di antara
tawarannya ialah memberi penekanan terhadap spesialisasi produk suatu
pelabuhan.13 Oleh sebab itu, kiranya menarik untuk ditelusuri lebih jauh terkait
12
Kecuali Makassar, sejauh ini terdapat tiga kajian historis yang mengulas pelabuhan di Sulawesi
Selatan, yakni pelabuhan Selayar, Palima dan Mandar. Untuk hal ini, lihat Christiaan Heersink,
Dependence on Green Gold: A Socio-Economic History of the Indonesian Coconut Island Selayar
(Leiden: KITLV Press, 1999); Taufik Ahmad and Syahrir Kila, Awal Kebangkitan & Keruntuhan
Pelabuhan Pallime Di Bone (Makassar: Pustaka Refleksi, 2016); A. R Hamid, “Jaringan Maritim
Mandar: Studi Tentang Pelabuhan ‘Kembar’ Pambauwang Dan Majene Di Selat
Makassar1900−1980” (Disertasi) (Depok: Universitas Indonesia, 2019).
13
G Jackson, “The Significance of Unimportant Ports,” International Journal of Maritime History
13 (2001): 4–7.
Universitas Indonesia
8
14
Untuk hal ini, lihat Heersink, Dependence on Green Gold: A Socio-Economic History of the
Indonesian Coconut Island Selayar; Abdul Rasyid Asba, “Ekspansi Dan Kontraksi Ekspor Kopra
Makassar 1883-1958” (Disertasi) (Depok: Universitas Indonesia, 2003).
15
Susanto Zuhdi, “Historiografi Maritim Indonesia Dalam Perspektif Teori, Metodologi Dan
Sumber Sejarah: Suatu Pemetaan Dan Arah Perkembangan,” Jurnal Sejarah Indonesia 1, no. 1
(2018): 19.
16
Adrian B Lapian, ‘“Kajian Sejarah Lokal Dalam Perspektif Sejarah Maritim” (Makalah Dalam
Sosialisasi Pedoman Penulisan Sejarah Lokal, Departemen Kebudayaan Dan Pariwisata, Makassar
26-29 Mei 2009)’.
Universitas Indonesia
9
Universitas Indonesia
10
Universitas Indonesia
11
17
Zuhdi, “Historiografi Maritim Indonesia Dalam Perspektif Teori, Metodologi Dan Sumber
Sejarah: Suatu Pemetaan Dan Arah Perkembangan,” 37.
18
Adrian B Lapian, Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX
(Depok: Komunitas Bambu, 2009).
19
Susanto Zuhdi, “Perkembangan Pelabuhan Dan Kota Cilacap, Jawa Tengah 1830-1940”
(Tesis) (Jakarta: Universitas Indonesia, 1991).
Universitas Indonesia
12
di pantai utara Jawa, seperti Cirebon dan Semarang. Dalam konteks itu, nilai
berharga pelabuhan Cilacap bersumber dari keanekaragaman komoditas yang
diekspor. Karena itu, Cilacap bukan hanya mampu menandingi Cirebon,
Pekalongan dan Tegal, tetapi juga memungkinkan pelabuhan tersebut bertahan
pada masa depresi ekonomi 1930-an. Upaya Susanto Zuhdi ini tentunya memberi
inspirasi. Dalam kaitan itu, studi ini berupaya mengemukakan perbandingan,
yakni antara pelabuhan Parepare dan pelabuhan Palima di Teluk Bone. Pada
gilirannya, perbandingan itu menampilkan adanya bentuk persaingan antara kedua
pelabuhan itu, terutama perebutan komoditas beras yang dihasilkan di bagian
tengah jazirah Sulawesi Selatan.
Selanjutnya ialah Linda Sunarti. Studinya membahas pembangunan dan
perkembangan pelabuhan Swettenham mulai 1900 hingga 1963.20 Pelabuhan yang
berada di bagian tengah pantai barat Semenanjung Melayu ini mulai dibuka oleh
pemerintah kolonial Inggris sejak 1901. Dari hasil penelitiannya, Linda Sunarti
menyimpulkan bahwa periode perkembangan pesat dalam sejarah pelabuhan
Swettenham berlangsung antara 1920 hingga 1945. Hal ini tidak terlepas dari
dampak positif perkembangan perekonomian di Negeri-negeri Melayu dengan
komoditas primadonanya, yakni karet dan biji timah. Keberadaan komoditas
itulah yang memungkinkan Swettenham tampil sebagai salah satu pelabuhan
utama di Semenanjung Melayu. Hal yang menarik ialah beras disebutkan menjadi
komoditas impor utama di Swettenham. Tingginya angka impor beras,
menurutnya, sangat berkaitan dengan kebijakan pemerintah kolonial yang
mengesampingkan penanaman padi. Karena itu, Negeri Melayu selalu disuntik
dengan beras impor asing dari Siam dan Burma. Temuan itu membantu penulis
untuk menganalisis struktur ekonomi daerah seberang yang mendorong
munculnya permintaan beras di pelabuhan Parepare.
Berikutnya ialah studi Indriyanto. Kajiannya membahas pelabuhan
Surabaya sebagai pusat pelayaran dan perdagangan interregional di bagian timur
Kepulauan Nusantara.21 Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa adanya sikap
20
Linda Sunarti, “Pembangunan Dan Perkembangan Pelabuhan Swettenham Di Malaysia, 1900-
1963” (Tesis) (Depok: Universitas Indonesia, 2001).
21
Indriyanto, “Menjadi Pusat Pelayaran Dan Perdagangan Interregional: Pelabuhan Surabaya
1900-1940” (Disertasi) (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2015).
Universitas Indonesia
13
22
Didik Pradjoko and Bambang Budi Utomo, Atlas Pelabuhan-Pelabuhan Bersejarah Di
Nusantara (Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013), 269.
Universitas Indonesia
14
23
Poelinggomang, Makassar Abad XIX: Studi Tentang Kebijakan Perdagangan Maritim.
24
Asba, “Ekspansi Dan Kontraksi Ekspor Kopra Makassar 1883-1958” (Disertasi).
25
Nahdia Nur, “Jejaring Perdagangan Dan Integrasi Ekonomi: Sejarah Ekonomi Sulawesi
Bagian Selatan 1902-1930-an” (Disertasi) (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2017).
26
Sutherland, “On the Edge of Asia: Maritime Trade in East Indonesia, Early Seventeenth to Mid-
Twentieth Century.”
Universitas Indonesia
15
27
Sutherland, 70–73.
Universitas Indonesia
16
Universitas Indonesia
17
32
Abd Latif, Para Penguasa Ajatappareng: Refleksi Sejarah Sosial Politik Orang Bugis
(Yogyakarta: Ombak, 2014).
33
Muhammad Amir, “Konflik Dan Relasi Kekuasaan Di Ajatappareng, 1905-1942” (Makalah
dalam International Seminar on Conflict and Violence: Historical Reconstructions and Cultural
Resolutions, BPNB Sulawesi Selatan, Makassar 27-29 Agustus 2019), 16.
34
Muhajir Muhajir and Muhammad Nur, “Tata Kota Parepare Periode Kolonial Belanda,”
Walennae: Jurnal Arkeologi Sulawesi Selatan Dan Tenggara 17, no. 1 (2019): 57–70,
https://doi.org/10.24832/wln.v17i1.372.
35
Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid 1: Tanah di Bawah Angin
(Mochtar Pabottingi, penerjemah) (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992), 28.
Universitas Indonesia
18
36
Sidik Moeljono, Seperempat Abad Bergulat dengan Butir-butir Beras (Djakarta: Bulog, 1971).
37
W M F Mansvelt, Changing Economy in Indonesia: : A Selection of Statistical Source Material
from the Early 19th Century up to 1940/ Volume 4 Rice Prices (The Hague: Nijhoff, 1978).
38
Pierre van der Eng, Agricultural Growth in Indonesia : Productivity Change and Policy Impact
since 1880 (New York: St. Martin’s Press, 1996),
http://search.ebscohost.com/login.aspx?direct=true&scope=site&db=nlebk&db=nlabk&AN=4915
74.
39
Jeroen Touwen, Extremes in The Archipelago: Trade and Economic Development in the Outer
Islands of Indonesia 1900-1941 (Leiden: KITLV Press, 2001).
40
Hiroyoshi. Kano, Indonesian Exports, Peasant Agriculture and the World Economy, 1850-
2000 : Economic Structures in a Southeast Asian State (Singapore: NUS Press, 2008).
41
Hasna Fuadilla Hidayati, “Jaringan Pelayaran Dan Perdagangan Lombok, 1894-1942” (Tesis)
(Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2018).
Universitas Indonesia
19
akan semakin terlihat jelas dalam konteks sejarah pelayaran dan perdagangan di
Hindia Belanda.
1.6 Kerangka Konseptual
Dalam pidato guru besarnya, Adrian B. Lapian menekankan pentingnya
memahami perairan Indonesia sebagai pemersatu yang menautkan ribuan pulau
yang terpisah-pisah. Karena itu, dalam rangka merekonstruksi sejarah maritim
Indonesia, ia menyarankan perlunya melihat wilayah perairan Indonesia sebagai
kesatuan yang terdiri dari berbagai macam satuan bahari (sea-systems),42
misalnya, Laut Jawa, Laut Flores, Laut Banda ataupun Selat Makassar. Dengan
menyorot beragam satuan maritim itu, pada gilirannya narasi sejarah dengan
deskripsi dan analisis yang lebih utuh dan mendalam akan sangat mungkin untuk
didapatkan.
Selat Makassar dalam kajian ini dipandang sebagai satu unit bahari yang
menautkan pantai timur Kalimantan dan pantai barat Sulawesi. Selat ini juga
menghubungkan dua kawasan laut utama, yaitu Laut Sulawesi di sebelah utara
dan Laut Jawa dan Laut Flores di sebelah selatan. Mengikuti gambaran Kenneth
R. Hall terkait jaringan perniagaan di Asia Tenggara pada abad ke-14 dan 15,43
Selat Makassar berada di antara jaringan perdagangan Laut Cina Selatan, Selat
Malaka dan Teluk Bengal di sebelah barat, jaringan perdagangan Laut Sulu di
sebelah utara, dan jaringan perdagangan Laut Jawa di sebelah selatan dan timur.
Pendekatan sea systems tidak selalu identik dengan sistem laut yang besar.
Itu artinya bahwa studi sejarah maritim Indonesia bisa dimulai dari kawasan laut
kecil,44 baik berupa teluk kecil maupun selat sempit. Karena dalam
perkembangannya, unit bahari itu dapat terhubung ke dalam suatu wilayah bahari
yang lebih besar, baik akibat pengaruh ekonomi dan politik maupun adanya
perkembangan teknologi perkapalan. Di samping itu, mengingat pantai di Pulau
Sulawesi umumnya memiliki lekuk-lekuk yang menjorok jauh ke dalam, Adrian
B. Lapian juga menyarankan agar analisis sejarah tidak hanya berhenti pada
42
Adrian B Lapian, ‘“Sejarah Nusantara Sejarah Bahari” (Pidato Pengukuhan Guru Besar Luar
Biasa Fakultas Sastra Universitas Indonesia), 4 Maret 1992, 6.
43
Kenneth R Hall, A History of Early Southeast Asia : Maritime Trade and Societal Development,
100-1500 (Lanham, Md.: Rowman & Littlefield, 2011).
44
Lapian, “Kajian Sejarah Lokal dalam Perspektif Sejarah Maritim” (Makalah dalam Sosialisasi
Pedoman Penulisan Sejarah Lokal, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Makassar 26-29 Mei
2009).
Universitas Indonesia
20
45
Lapian, “Sejarah Nusantara Sejarah Bahari” (Pidato Pengukuhan Guru Besar Luar Biasa
Fakultas Sastra Universitas Indonesia), 4 Maret 1992, 7.
46
Fernand. Braudel, The Mediterranean and the Mediterranean World in the Age of Philip II. 1
(Sian Reynolds, Penerjemah) (New York: Harper & Row., 1972), 277.
47
Lapian, Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX, 1.
48
Adrian B Lapian, “Dunia Maritim Asia Tenggara,” in Sejarah Indonesia: Penilaian Kembali
Karya Utama Sejarah Asing, ed. Taufik Abdullah and Edi Sedyawati (Depok: Lembaga Penelitian
Universitas Indonesia, 1997), 25.
49
Rhoads Murphey, “On the Evolution of the Port City,” in Brides of The Sea: Port Cities of Asia
from the 16th-20th Centuries, ed. Frank Broeze ((Kensington: New South Wales University Press,
1989), 230–32.
Universitas Indonesia
21
50
Heng, “Collesting Centres, Feeder Points and Entrepots in the Malay Peninsula 1000 B.C - A.D.
1400.”
51
Heng, 29.
52
Heng, 26.
53
Heng, 23.
54
Susanto Zuhdi, Sejarah Buton Yang Terabaikan: Labu Rope Labu Wana (Jakarta: Rajawali
Press, 2010), 64–65.
55
Heng, “Collesting Centres, Feeder Points and Entrepots in the Malay Peninsula 1000 B.C - A.D.
1400,” 23.
Universitas Indonesia
22
tidak seutuhnya berlaku dalam kasus pelabuhan Parepare. Sebab, komoditas beras
di Parepare justru diperdagangkan langsung ke daerah seberang. Bahkan, selama
dekade terakhir pemerintahan kolonial, Parepare berhasil tampil sebagai pintu
keluar utama untuk produk beras di Sulawesi Selatan. Dengan demikian, peranan
Parepare dalam konteks perdagangan beras telah melampaui kapasitasnya sebagai
pusat pengumpul (over-collecting centre).
Selanjutnya ialah “Wanua Ri Laleng”. Istilah ini berasal dari bahasa Bugis
yang terdiri dua suku kata, yaitu “wanua” yang berarti kampung atau negeri dan
“laleng” yang berarti pedalaman. Sementara itu, “ri” lebih sebagai kata
penghubung yang berarti di. Dalam masyarakat Bugis, menurut Mattulada, wanua
adalah suatu gabungan kampung dalam struktur asli yang dipimpin seorang kepala
wanua, yaitu Arung, Gallarang atau Karaeng.56 Dewasa ini, penyebutan wanua ri
laleng masih digunakan oleh masyarakat Bugis, terutama daerah pesisir, untuk
menyebut daerah pedalaman, baik yang berada di dataran rendah maupun dataran
tinggi. Dalam kaitannya dengan studi ini, daerah pedalaman adalah daerah-daerah
yang berada di sekitar pelabuhan, termasuk di dalamnya kota pelabuhan itu
sendiri dan kota-kota serta daerah-daerah pedalaman di luar kota pelabuhan yang
memiliki relasi ekonomi dengan pelabuhan.57 Daerah pedalaman sering pula
dipadankan dengan “daerah penyangga” atau “daerah hinterland”. Adapun daerah
pedalaman bagi pelabuhan Parepare meliputi bagian tengah dan bagian utara
jazirah Sulawesi Selatan, yaitu Parepare, Sidenreng, Rappang, Pinrang, Barru,
Enrekang dan Toraja. Selain penghasil komoditas ekspor, daerah penyangga turut
mempengaruhi aktivitas impor. Dengan kata lain, besar-kecilnya perdagangan
impor di pelabuhan Parepare ditentukan daya beli masyarakat di daerah
pedalaman.
Dalam konteks perdagangan di Sulawesi bagian selatan, menurut Hamid,
daerah pesisir juga tergolong sebagai daerah pedalaman yang menyokong peran
suatu pelabuhan. Pelabuhan Majene dan Pambauwang, misalnya, yang suplai
56
Mattulada, “Bugis-Makassar: Manusia Dan Kebudayaannya,” Berita Antropologi 6, no. 6
(1974): 29.
57
Agus Supriyono, “Hubungan Antara Pelabuhan Dengan Daerah-Daerah Hinterland: Studi Kasus
Di Pelabuhan Semarang Pada Masa Kolonial Belanda Abad XX,” in Arung Samudera:
Persembahan Memperingati Sembilan Windu A.B. Lapian, ed. Edi Sedyawati and Susanto Zuhdi
(Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia - Yayasan Adikarya IKAPI, 2001), 21.
Universitas Indonesia
23
58
Hamid, “Jaringan Maritim Mandar: Studi Tentang Pelabuhan ‘Kembar’ Pambauwang Dan
Majene Di Selat Makassar1900−1980” (Disertasi), 16.
59
Frank Broeze, “Intorduction: Brides of the Sea,” in Brides of the Sea : Port Cities of Asia from
the 16th to the 20th Centuries, ed. Frank Broeze (Honolulu: University of Hawaii Press, 1989), 11.
60
Zuhdi, “Perkembangan Pelabuhan Dan Kota Cilacap, Jawa Tengah 1830-1940” (Tesis), 3.
Universitas Indonesia
24
61
Braudel, The Mediterranean and the Mediterranean World in the Age of Philip II. 1 (Sian
Reynolds, Penerjemah), 23.
62
Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah (Nugroho Notosusanto, Trans.) (Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia, 1985).
Universitas Indonesia
25
Universitas Indonesia
26
63
Sartono Kartodirdjo, Pemikiran Dan Perkembangan Historiografi Indonesia (Yogyakarta:
Ombak, 2014), 92.
Universitas Indonesia
27
Universitas Indonesia
BAB II
TINJAUAN UMUM PELABUHAN PAREPARE
2.1 Pendahuluan
Sebagai penghubung matra laut dan darat, eksistensi pelabuhan Parepare
sudah barang tentu berkaitan dengan kondisi geografisnya. Pada prinsipnya, aspek
geografi mencakup berbagai hal mengenai situasi lingkungan, misalnya, laut,
teluk, tanjung, sungai, arus, iklim, pegunungan, pulau-pulau, dataran dan
sebagainya. Dalam kajian ini, aspek lingkungan ibarat “panggung” yang telah
memungkinkan berlangsungnya aktivitas pelayaran dan perdagangan di pelabuhan
Parepare, termasuk peran pelabuhan Parepare dalam perdagangan beras di
kawasan Selat Makassar. Fernand Braudel menegaskan bahwa sekalipun
pergerakannya bersifat lambat dan hampir tidak terlihat, namun keadaan geografi
adalah siklus yang berulang sehingga berguna dalam mengungkap relasi manusia
dan lingkungannya.1 Bab ini menguraikan tinjauan umum pelabuhan Parepare.
Pembahasan dimulai dengan menjelaskan letak dan kondisi geografis pelabuhan.
Berikutnya ialah uraian mengenai daerah penyangga. Di samping itu, bahasan
mengenai perkapalan menjadi sub bab selanjutnya. Adapun lintasan historis
pelabuhan Parepare hingga 1905 merupakan bahasan penutup dalam bab ini.
2.2 Letak dan Kondisi Geografis Pelabuhan Parepare
Secara umum Parepare dalam kajian ini merujuk pada tiga hal.
Diantaranya ialah afdeeling, onderafdeeling dan ibukota afdeeling, yakni tempat
di mana pelabuhan berada. Sebelum menguraikan kondisi lingkungan Parepare,
terlebih dahulu akan dipaparkan beberapa versi menyangkut asal usul kata
Parepare sendiri. Pertama, sebutan Parepare kerap dikaitkan dengan kondisinya
yang dahulu konon ditumbuhi banyak semak-belukar.2 Dalam bahasa Bugis,
semak-belukar disebut para’. Karena banyaknya para’ para’, orang bugis
kemudian lebih fasih menyebutnya dengan “parepare”. Kedua, ingatan kolektif
masyarakat. Versi ini menyebutkan bahwa suatu waktu raja Kerajaan Gowa-
1
Fernand. Braudel, The Mediterranean and the Mediterranean World in the Age of Philip II. 1
(Sian Reynolds, Penerjemah) (New York: Harper & Row., 1972), 23.
2
A. M. Makka, Parepare Lebih Indah Dari Monte Carlo (Parepare: Yayasan Pembina Generasi
Penerus Indonesia, 2006), 84.
28
Universitas Indonesia
29
3
B. F Matthes, ‘Boegineesche En Makassaarsche Legenden’, Bijdragen Tot de Taal-, Land- En
Volkenkunde van Nederlandsch-Indië 34 (1885): 478.
4
S. De Graaf dan Stibbe, D.G, Encyclopædie Van Nederlandsch-Indië (’s-Gravenhage: Martinus
Nijhoff, 1918), 646.
Universitas Indonesia
30
tengah kepulauan Nusantara, Selat Makassar sudah sejak lama berperan penting
sebagai “jalan raya” dalam aktivitas pelayaran dan perniagaan Asia Tenggara.
Selain sebagai bagian dari zona perdagangan Jaringan Laut Jawa yang muncul
sejak abad ke-2 dan 3 seperti yang digambarkan oleh Hall,5 penemuan keramik-
keramik asal Asia daratan di Sulawesi Selatan yang diperkirakan berasal dari abad
ke-13, sesungguhnya menjadi bukti dari posisi strategis Selat Makassar yang telah
memberi “kemudahan jalan masuk”6 terkait kontak dengan dunia luar. Hal yang
terpenting ialah Selat Makassar juga menjadi kawasan laut yang menautkan
pelabuhan Parepare dan pelabuhan-pelabuhan lain di pantai barat Sulawesi, pantai
timur Kalimantan, Nusa Tenggara di sebelah selatan dan pulau Mindanao dan
sekitarnya di sebelah utara.
Di kawasan selat, Parepare tepatnya berada di Teluk Parepare (lihat
Gambar 2.1). Teluk ini termasuk bagian dari pantai barat Sulawesi Selatan dan
posisinya sekitar 67 mil laut di sebelah utara pelabuhan Makassar. Bentuk teluk
memanjang dari selatan ke utara mengikuti bentuk Pulau Sulawesi, sementara
mulut teluk menghadap ke selatan. Teluk Parepare terbentuk karena adanya
Tanjung Lero yang memanjang ke arah selatan dan secara sepintas terlihat
“membelakangi” selat. Sementara itu, mulut teluk terbentuk oleh dua tanjung,
yakni Tanjung Lero di sebelah barat dan Tanjung Tonrangang di sebelah timur.
Dengan kondisi yang hampir sepenuhnya ditutupi oleh teluk, Parepare terkenal
sebagai pelabuhan alam yang aman di semua musim. “Kondisinya tertutup dan
senyaman danau besar”, demikian kesan Agusta De Wit ketika berkunjung ke
teluk pada 1910-an.7
5
Antara abad 1 hingga 5 M, ada lima jaringan perdagangan di Asia Tenggara, antara lain Jaringan
Laut Cina Selatan, Jaringan Laut Jawa, Jaringan Selat Malaka, Jaringan Laut Sulu dan Jaringan
Teluk Bengal. Untuk uraian yang lebih detail, lihat Kenneth R Hall, A History of Early Southeast
Asia : Maritime Trade and Societal Development, 100-1500 (Lanham, Md.: Rowman & Littlefield,
2011), 29–34.
6
Susanto Zuhdi, Sejarah Buton Yang Terabaikan: Labu Rope Labu Wana (Jakarta: Rajawali
Press, 2010), 68.
7
Augusta De Wit, Natuur en Menschen In Indië, ed. oleh Maatschappij voor Goede en Goedkoope
Lectuur (Amsterdam, 1914), 360.
Universitas Indonesia
31
8
Sailing Direction, Sailing Direction for Celebes, Southeast Borneo, Java and Islands East of
Java (Washington: Government Office United State, 1935), 462.
9
Penamaan teluk ini berdasarkan nama tempat utama di masing-masing perairan teluk, yakni
Parepare (Teluk Parepare) dan Suppa (Teluk Suppa). Namun demikian, dewasa ini kedua teluk
umunya hanya disebut sebagai Teluk Parepare.
10
Untuk uraian lebih detail, lihat David G Stibbe, Encyclopædie Van Nederlandsch-Indië (’s-
Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1935), 403; Ministerie Van Marine Afdeeling Hydrographie,
Zeemansgids voor den Oost-Indischen Archipel. Deel IV (’s-Gravenhage: Mouton & Co, 1919),
176–77.
Universitas Indonesia
32
Walaupun memiliki ukuran yang relatif kecil, Teluk Parepare sebagai satu
unit bahari tetap memperlihatkan unsur-unsur yang kompleks. Di perairan teluk
bagian dalam misalnya, beberapa pulau kecil bisa dijumpai, antara lain Pulau
Dapo, Karama dan Bokoang. Di teluk bagian dalam, terdapat dua sumur sebagai
tempat pengambilan air untuk mengisi bekal selama pelayaran ketika sedang
Universitas Indonesia
33
11
F.A.A Gregory, Zeemans Gids voor de vaarwaters van Java naar en door den Molukschen
Archipel en Terug (Amsterdam: G. Hulst van Keulen, 1853), 423.
12
Sailing Direction, Sailing Direction for Celebes, Southeast Borneo, Java and Islands East of
Java, 462.
13
Ministerie Van Marine Afdeeling Hydrographie, Zeemansgids voor den Oost-Indischen
Archipel. Deel IV, 177.
Universitas Indonesia
34
mencapai Kampung Lontange, di mana terdapat sebuah pasar yang ramai.14 Dari
kondisi tersebut, tampak jelas bahwa Parepare sebenarnya tidak didukung oleh
sungai-sungai yang menguntungkan di sekitarnya.15 Itulah sebabnya, Christian
Pelras menuturkan bahwa karakter geografis Sulawesi berbeda dengan
Kalimantan dan Sumatera, di mana hanya sedikit sungai-sungai yang dapat
dilayari hingga jauh ke pedalaman.16
Kawasan pesisir di sekitar pelabuhan Parepare atau di sisi timur teluk
sebagian besar berupa pantai yang landai. Kondisi ini tentu menjadi keuntungan
tersendiri terutama kemudahan bagi perahu-perahu yang hendak berlabuh, meski
pantai yang sedikit curam juga tampak di beberapa tempat. Di belakang
pelabuhan, daratan berupa dataran rendah menghampar ke arah timur hingga
kurang dari 1 mil sebelum mulai menancak menuju punggungan bukit. Selain
dataran sempit, topografi Parepare dikelilingi oleh bukit yang berbatu dan
bergelombang. Perbukitan di sana-sini ditumbuhi oleh semak belukar, rumput
kering dan terkadang berhutan.17 Jejeran bukit itu membentang di sebelah utara
(Sungai Agalatjange) melalui Gunung Lasakko di arah timur dan kemudian
berlanjut ke selatan menuju Sumpang Ala sebelum akhirnya mencapai Sungai
Sumpang Minangae yang mengalir ke barat menuju mulut Teluk Parepare.18
Kondisi dataran yang sempit dan dikelilingi oleh bukit tersebut secara tidak
langsung turut mempengaruhi perkembangan pelabuhan Parepare.
Parepare diuntungkan dengan letak yang strategis jika ditinjau dari sisi
darat. Di pantai barat, posisi Parepare terletak di titik persimpangan jalur, yakni ke
arah selatan menuju Makassar, ke arah timur menuju Sengkang dan ke arah utara
menuju menuju Majene. Selain membuat lokasi pelabuhan mudah dijangkau dari
berbagai arah, kondisi itu juga mempengaruhi pola pengangkutan yang
14
Stibbe, Encyclopædie Van Nederlandsch-Indië, 257–59; Arthur Wichmann, Bericht uber eine im
jahre 1888-1889 im auftrage der Niederlandischen Geographischen Gesellschaft Ausgefuhrte
Reise Nach Dem Indischen Archipel (Leiden: E.J. Brill, 1890), 34.
15
Ministerie Van Marine Afdeeling Hydrographie, Zeemansgids voor den Oost-Indischen
Archipel. Deel IV, 176–77.
16
Christian Pelras, Manusia Bugis (A.R. Abu, Trans.) (Jakarta: Nalar, 2006), 7.
17
Wichmann, Bericht uber eine im jahre 1888-1889 im auftrage der Niederlandischen
Geographischen Gesellschaft Ausgefuhrte Reise Nach Dem Indischen Archipel, 32.
18
Redactie KITLV, “Mededeelingen Betreffende de Landschappen Soreang, Batjoe Kiki, Bodjo,
Palanro En Nepo (Malloese Tasie),” Bijdragen Tot de Taal-, Land- En Volkenkunde / Journal of
the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia 61, no. 1 (1908): 669,
https://doi.org/https://doi.org/10.1163/22134379-90001903.
Universitas Indonesia
35
berlangsung di Parepare. Dengan kata lain, jalur darat adalah hal yang
fundamental sejauh menyangkut suplai dan distribusi barang-barang dari
pelabuhan ke daerah hinterland ataupun sebaliknya.
Sebagaimana halnya dengan pelabuhan lain, pelayaran di pelabuhan
Parepare juga ditentukan oleh faktor angin muson yang bertiup di perairan
Indonesia. Di Selat Makassar, angin muson barat mulai berhembus di awal
Desember dan melemah di akhir Maret. Sebaliknya, angin muson timur yang
membawa sedikit hujan bertiup di akhir Mei hingga akhir November, yakni bulan
di mana mulai timbulnya dasar muson barat.19 Ketika sedang bertiup, angin muson
timur (angin barubu) sering membawa banyak debu di Parepare. Hal yang
menarik ialah masa berhembusnya angin tersebut bersamaan dengan masa panen
padi di daerah hinterland. Tidak heran jika angin muson timur berlangsung,
Parepare menjadi salah satu pelabuhan di pantai barat Sulawesi Selatan yang
ramai dikunjungi oleh perahu. Pengaruh angin darat dan angin laut yang bertiup
sepanjang tahun juga menentukan pelayaran di selat. Jika angin darat mulai
berhembus jam lima sore hingga delapan pagi, maka angin laut bertiup mulai jam
sembilan hingga sebelas siang.20 Kedua angin itu penting terutama menyangkut
pelayaran pantai di selat.
Selain arah pelayaran, angin muson juga mempengaruhi perubahan musim
yang berlangsung, yakni musim hujan dan musim kemarau. Musim kemarau
umumnya mulai pada Juli. Agustus, September dan Oktober adalah bulan-bulan
terkering di Parepare. Sementara itu, musim hujan bermula pada November. Bagi
masyarakat di daerah hinterland Parepare, bermulanya bulan November menjadi
penanda bahwa aktivitas penanaman padi tidak akan lama lagi dilakukan. Barru,
misalnya, budidaya padi biasanya dimulai pada akhir Desember.21 Terlepas dari
itu, secara umum Parepare sebenarnya memiliki curah hujan yang relatif minim
setiap tahunnya. Sebagai contoh, antara 1909 hingga 1913 curah hujan secara
berturut-turut ialah 1.928 mm, 2.279 mm, 1.138 mm, 1.503 mm, dan 1.207 mm.
Selain cenderung fluktuatif, gambaran itu juga menunjukkan rendahnya curah
19
A. R Hamid, “Jaringan Maritim Mandar: Studi Tentang Pelabuhan ‘Kembar’ Pambauwang
dan Majene di Selat Makassar1900−1980” (Disertasi) (Depok: Universitas Indonesia, 2019), 55–
57.
20
Hamid, 58.
21
K Mantel, Nota van Toelichting betreffende het landschap Soppengriadja, 1932, 8.
Universitas Indonesia
36
hujan yang berlangsung di Parepare. Hal ini sangat dipengaruhi oleh dekatnya
Parepare dengan daerah perbukitan di sebelah timur sehingga awan yang
membawa hujan seringkali terhalang oleh perbukitan tersebut.22 Sementara itu,
Parepare memiliki suhu udara yang variatif, meskipun cenderung panas. Suhu
udara yang berhembus di pagi hari rata-rata antara 23°-25° C. Pada siang hari
suhu bisa mencapai 33° C dan mulai merendah pada sore hari, yakni antara 28°-
30° C.23
2.3 Daerah Penyangga
Suatu pelabuhan sudah tentu bergantung pada ketersediaan sumber daya di
daerah penyangganya. Perlu diketahui, pelabuhan Parepare berlokasi di daerah
yang dihuni mayoritas suku Bugis. Secara tradisional, Parepare adalah bagian dari
kawasan Ajatappareng. Adapun daerah penyangga Parepare ialah Sidenreng,
Rappang, Pinrang, Barru, Enrekang dan Toraja serta Parepare sendiri. Daerah-
daerah inilah yang menghasilkan berbagai jenis barang produksi lokal yang
dikapalkan melalui pelabuhan, termasuk beras. Selain itu, kegiatan impor di
pelabuhan bergantung pula dari daya beli masyarakat di daerah hinterland,
khususnya permintaan barang-barang yang tidak diproduksi secara lokal. Dengan
demikian, ramainya aktivitas pelayaran dan perniagaan di Parepare tidak terlepas
dari relasi ekonominya dengan daerah pedalaman.
Parepare adalah daerah penyangga utama sekaligus tempat di mana
pelabuhan berada. Parepare yang dimaksud disini ialah Onderafdeeling Parepare,
yang terdiri dari wilayah Suppa dan Mallusetasi dengan luas wilayahnya
mencapai 297 kilometer persegi.24 Secara umum, daerah ini sebagian besar
terletak di pantai barat Sulawesi Selatan. Keadaan dataran Suppa di bagian timur
berupa perbukitan dengan ketinggian rata-rata 200 meter yang diselingi oleh
lembah-lembah. Di bagian barat dan selatan Suppa membentang dataran rendah
22
E.C Abendanon, Geologische en Geographische Doorkruisingen van Midden-Celebes (1909-
1910), Deel II (Leiden: E.J. Brill, 1915), 949.
23
Vereeniging Tot Bevordering Der Geneeskundige Wetenschappen In Nederlandsch-Indie,
Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch-lndië. Deel L (Batavia: Javasche Boekhandel &
Drukkerij, 1910), 175–76.
24
Volkstelling 1930, Volkstelling 1930 (Deel V: Inheemsche Bevolking van Borneo, Celebes en
Kleine Soenda Eilanden en de Molukken) (Batavia: Departement van Economische Zaken, 1936),
155.
Universitas Indonesia
37
25
Stibbe, Encyclopædie Van Nederlandsch-Indië, 403.
26
Stibbe, 257.
Universitas Indonesia
38
Sawitto, Batulappa dan Kassa. Permukaan Pinrang dibentuk oleh dataran rendah
di bagian timur dan dataran tinggi, yakni pegunungan, di bagian timur laut hingga
ke bagian selatan. Pada dataran rendah sebagian besar berupa sawah yang luas dan
sangat subur. Selain sawah, rawa-rawa juga banyak ditemukan. Pinrang
dianugerahi beberapa sungai yang tidak hanya penting sebagai sumber pengairan
di sawah, namun juga berguna sebagai jalur komunikasi dan lalu lintas komoditas
dari daerah pedalaman ke daerah pesisir ataupun sebaliknya. Sungai-sungai itu
antara lain Sungai Galangkang, Sungai Bungi, Sungai Saddang dan Sungai
Kariango. Meskipun bidang pertanian menjadi mata pencaharian utama, namun
sebagian besar masyarakat lebih terkonsentrasi pada pertanian padi. Budi daya
padi tidak hanya dilakukan di sawah, namun juga di kebun dan ladang. Hasil
panen padi setiap tahunnya juga melimpah sehingga selalu tersedia sejumlah beras
yang dapat diekspor. Sawitto adalah wilayah penghasil utama padi di Pinrang.
Pada 1933 dan 1934, misalnya, wilayah ini mengekspor padi dalam bentuk ludah
sekitar 100.000 pikul. Selain ke Parepare, beras yang dihasilkan di Pinrang
sebagian kecil dibawa ke Mandar. Hasil produksi penting lainnya ialah jagung dan
kelapa. Terutama kelapa, penanamannya lebih terkonsentrasi di daerah pesisir
Pinrang. Mengingat sebagian daerah ini juga berlokasi di pegunungan, tanaman
yang dibudidayakan oleh masyarakat lebih variatif. Tanaman-tanaman itu antara
lain kapok, kopi, kemiri, katun, aren dan wijen serta buah-buahan seperti langsat,
durian dan pisang. Kecuali katun, aren, langsat dan durian yang ditanam untuk
dikonsumsi pribadi ataupun diperdagangkan secara lokal di pasar, semua hasil
tanaman yang telah disebutkan juga turut diekspor. Sementara itu, aktivitas
nelayan merupakan mata pencaharian penting bagi masyarakat yang bermukim di
kampung-kampung sekitar daerah pesisir, seperti Jampue, Baru, Langa,
Palameang, Amani, Salipolo, Paria, Maroneng dan Pajalele. Penangkapan ikan
oleh masyarakat tidak hanya dilakukan di laut, namun juga di rawa-rawa dan
sungai-sungai kecil. Masyarakat turut mengembangkan budi daya ikan di empang-
empang yang membentang di daerah pesisir. Pada 1935, luas empang di Pinrang
kira-kira mencapai 1.800 hektar. Ikan hasil tangkapan dijual di pasar, seperti Pasar
Kariango, Pinrang, Lasape dan Bungi. Selain itu, hasil tangkapan ikan laut juga
Universitas Indonesia
39
biasanya dikeringkan dan kemudian dijual ke daerah lain, seperti Enrekang dan
Rappang.27
Daerah hinterland lainnya yang berada di pantai barat Sulawesi Selatan
ialah Barru. Daerah ini terletak di sebelah selatan Parepare yang mencakup tiga
wilayah, yakni Soppengriaja, Barru dan Tanete. Dengan luas wilayah sebesar
1.063 kilometer persegi,28 permukaan Barru di bagian barat umumnya berupa
dataran rendah yang ditandai dengan sawah yang luas dan kebun. Di sepanjang
kawasan pantai, rawa-rawa dan hutan bakau banyak dijumpai serta empang. Di
bagian timur, topografi daerah berupa kawasan perbukitan dengan ketinggian rata-
rata 1.000 meter. Budi daya padi merupakan aktivitas pertanian utama
masyarakat. Padi ditanam baik di sawah maupun ladang. Hasil produksinya
seringkali melebihi kebutuhan penduduk. Kelebihan ini selain dibawa ke
Parepare, padi ataupun beras juga diekspor ke Mandar, Makassar dan pulau-pulau
di Kepulauan Spermonde.29 Hasil komoditas lain, seperti sirih, tembakau, gula
merah dan kopra, turut diperdagangkan ke kota-kota pesisir di sebelah utara dan
selatan sekalipun dalam jumlah yang sedikit.30 Masyarakat juga membudidayakan
tanaman lain, yaitu jagung, kelapa, katela, kacang ijo, kacang tanah, ubi,
tembakau, kemiri dan kapuk. Hal yang menarik bahwa selain bertani, terdapat
pula masyarakat Barru yang berprofesi sebagai pandai besi dan pembuatan sarung
bugis. Khususnya pembuat sarung, mereka kebanyakan bermukim di wilayah
pesisir, seperti Kampung Ajakang dan Takalasi.31 Beberapa pedagang juga
bermukim di kampung tersebut. Ketika pembuatan sarung telah selesai, para
pedagang itulah yang menjadi pembeli dan kemudian diekspor ke berbagai
daerah.
Sidenreng adalah daerah pedalaman penting lainnya bagi Parepare.
Permukaan Sidenreng, yang luas wilayahnya mencapai 1.450 kilometer persegi,
berupa dataran rendah yang terdiri dari sawah-sawah yang luas dan diselingi
27
Untuk uraian lebih jelas mengenai daerah Pinrang, lihat M.D Mey, Memorie va Overgave van
de Onderafdeeling Pinrang, Afdeeling Parepare, 11 Juni 1935.
28
Volkstelling 1930, Volkstelling 1930 (Deel V: Inheemsche Bevolking van Borneo, Celebes en
Kleine Soenda Eilanden en de Molukken), 155.
29
W.R Beeuwkes, Nota van Toelichting over Het Landschap Tanette, 1937, 8; K Mantel, Nota van
Toelichting Betreffende Het Landschap Soppengriadja, 6 Mei 1932, 9.
30
D.A.F Brautigam, Nota betreffende het zelfsbesturend landschap Tanette (Batavia: Albrecht &
Co, 1914), 457.
31
Mantel, Nota van Toelichting betreffende het landschap Soppengriadja, 7.
Universitas Indonesia
40
32
N.C Beudeker, Memorie van Overgave van de onderafdeeling Sidenreng-Rappang, Afdeeling
Parepare, 1938, 22.
33
Stibbe, Encyclopædie Van Nederlandsch-Indië, 395–98.
Universitas Indonesia
41
Rappang atau Salo Karaja (sungai besar). Sungai ini melintasi dataran Rappang
dari timur ke barat untuk selanjutnya terus mengalir melalui Pinrang dan
bermuara di Jampue (Selat Makassar). Sungai itu memiliki kedudukan yang
penting sebagai sumber irigasi bagi sawah-sawah di Rappang. Sungai-sungai kecil
lainnya kebanyakan mengalir ke Danau Sidenreng dan secara umum tidak begitu
penting untuk sumber irigasi.
Dengan kondisi geografis tersebut, pertanian adalah mata pencaharian
utama bagi masyarakat di Rappang. Hasil produksi padi yang melimpah setiap
tahunnya memungkinkan daerah ini menghasilkan surplus beras. Parepare adalah
tempat ekspor utama untuk beras yang dihasilkan di Rappang. Sementara itu,
pohon kelapa dapat ditemui di mana-mana. Hasil olahan kelapa berupa kopra
juga diekspor melalui Parepare dan menjadi salah satu pendapatan penting
masyarakat. Selain padi dan kelapa, masyarakat juga membudidayakan jagung,
kacang, wijen dan ubi. Perdagangan di Rappang terutama berlangsung di pasar
yang sibuk, seperti Pasar Baranti dan Pasar Rappang
Berikutnya ialah Enrekang. Daerah ini memiliki luas sekitar 2.000
kilometer persegi yang berbatasan dengan Pinrang di sebalah barat dan Rappang
di sebelah selatan.34 Enrekang pada dasarnya merupakan daerah hinterland
Parepare yang terletak di dataran tinggi. Permukaan Enrekang di bagian utara,
khususnya wilayah Duri dan Enrekang, terdiri dari pegunungan yang umumnya
curam dan berpotongan dengan jurang dan lembah-lembah yang dalam. Di bagian
selatan, terutama wilayah Maiwa, permukaannya sebagian besar berupa tanah
datar dan perbukitan yang lebih landai. Dengan kondisi itu, Maiwa adalah wilayah
penghasil padi utama, sekalipun praktek budidaya padi bisa ditemukan di mana-
mana di Enrekang. Hasil produksi padi hanya dapat memenuhi untuk konsumsi
secara lokal. Selain padi, jagung dan kopi juga dikembangkan oleh masyarakat.
Yang disebut terakhir merupakan komoditas ekspor utama Enrekang yang setiap
tahunnya menghasilkan sekitar 4000 sampai 5000 pikul. Bersama pinang, kopi
diekspor ke Parepare. Hasil produksi masyarakat lainnya ialah kentang, ketela,
tembakau, kelapa, kacang, kemiri dan gula merah.35 Perdagangan yang ramai
34
G.A Tideman, Militaire Memorie van Enrekang, Afdeeling Parepare, 1918, 1.
35
Tideman, 34–35.
Universitas Indonesia
42
36
Bundel Wijzingen en Aanvullingen van de Militaire Memorie van Enrekang, 1922, 9.
37
Terance W. Bigalke, Sejarah Sosial Tana Toraja (M. Yuanda Zara, Trans.) (Yogyakarta:
Ombak, 2016), 3.
38
B.H Paerels, Agronomische Beschrijving van de Koffiecultuur in de Zuidelijke Toradjalanden
(Weltevreden: Landsdrukkerij, 1927), 44–45.
39
Paerels, 65.
40
Bigalke, Sejarah Sosial Tana Toraja (M. Yuanda Zara, Trans.), 100.
41
A.C Lafeber, Memorie van Overgave van de Onderafdeeling Makale, 1925, 6.
Universitas Indonesia
43
42
J.L.M. Swaab, Memorie van Overgave van den afgetreden Gouverneur Celebes en
Onderhoorigheden, 1936, 189.
43
Pierre van der Eng, Agricultural Growth in Indonesia : Productivity Change and Policy Impact
since 1880 (New York: St. Martin’s Press, 1996), 185,
http://search.ebscohost.com/login.aspx?direct=true&scope=site&db=nlebk&db=nlabk&AN=4915
74.
Universitas Indonesia
44
ialah jalan poros Parepare ke Kampung Teteaji, terletak di sekitar Danau Tempe.
Jalan poros ini membentang ke arah timur dengan panjang 18 paal. Di
pertengahan jalan poros ini, terdapat pula sebuah jalan mengarah ke timur laut
yang terhubung dengan Enrekang dan lebih jauh ke Toraja. Jalan perdagangan
lainnya ialah jalan poros Parepare ke Alitta. Jalan yang membentang ke arah utara
ini memiliki panjang sekitar 16 paal.44 Sementara itu, khususnya ke arah selatan,
jalan yang menghubungkan Parepare dan Makassar ketika itu dikenal dengan
“jalan besar” (groote weg).45 Kuda beban (kuda pa’teke) dan tenaga pengangkut
(pabule’) adalah pilihan utama masyarakat di daerah pedalaman dalam hal moda
pengangkutan komoditas.
Beberapa muara sungai juga berfungsi sebagai pelabuhan kecil yang
menjadi feeder points bagi Parepare. Hal ini terutama dijumpai di daerah
penyangga yang berada di kawasan pesisir. Di Pinrang, misalnya, Jampue,
Maroneng, Paria dan Langa adalah pelabuhan-pelabuhan kecil penting yang
digunakan sebagai tempat pengiriman komoditas lokal. Adapun produk lokal yang
biasanya dimuat ialah kelapa, beras (dalam bentuk padi dan ludah) dan ikan laut.
Sayangnya, semua pelabuhan kecil itu cukup berbahaya dikunjungi selama angin
muson barat berhembus (Desember hingga Juni) dan hanya memiliki arti penting
saat angin muson timur berhembus.46 Feeder points lainnya dapat ditemukan di
Barru, yakni pelabuhan-pelabuhan kecil berupa muara sungai. Di antaranya ialah
Batuputih, Takalasi dan Lipukasi. Sama halnya dengan karakter sungai di
Pinrang, semua sungai itu hanya aman dikunjungi saat angin muson timur
berlangsung. Selain beras, Sarung Bugis dan gula merah diekspor melalui
pelabuhan tersebut.47 Dengan demikian, walaupun jalur sungai atau laut turut
berperan sebagai lalu lintas komoditas, namun artinya bagi Parepare tidak lebih
dominan dibandingkan jalur darat.
44
P.B. Standen ten van Brink, Zuid Celebes Bijdragen Tot De Krijgsgeschieen Militaire
Geographie van de Zuidelijke Aandtong van het eiland Celebes (Utrecht: Kemink & Zoon, 1884),
31–33.
45
Brink, 20.
46
Mey, Memorie van Overgave van de Onderafdeeling Pinrang, Afdeeling Parepare, 17.
47
Mantel, Nota van Toelichting betreffende het landschap Soppengriadja, 3.
Universitas Indonesia
45
48
Wong Lin Ken, “The Trade of Singapore, 1819-69,” Journal of the Malayan Branch of the
Royal Asiatic Society 33, no. 4 (192) (4 Februari 1960): 74, http://remote-
lib.ui.ac.id:2100/stable/41505501.
49
Vuuren, L Van, “De Prauwvaart van Celebes,” Koloniale Studiën 1 (1917): 109.
50
G Knaap dan Heather Sutherland, Monsoon Traders: Ship, skippers and commodities in
eighteenth-century Makassar (Leiden: KITLV Press, 2004), 47.
51
A. R Hamid, Sejarah dan Budaya Maritim Indonesia (Yogyakarta: Ombak, 2020), 99.
Universitas Indonesia
46
20.52 Ketika itu, pembuatan kapal terbatas pada pembuatan perahu berukuran kecil
dan sampan (lepa-lepa) di daerah pesisir. Tidak ada pembuatan perahu yang
berukuran besar. Sebelum dikontrol langsung oleh pemerintah kolonial Belanda
pada 1905, terdapat sebanyak 60 perahu dagang dan 120 lepa-lepa yang
beroperasi di pelabuhan Parepare.53 Sayang sekali, informasi yang penulis
temukan tidak menyebutkan perihal jenis perahu, pembuatan dan lokasinya.
Namun, dalam sumber lain yang terbit pada 1945, disebutkan bahwa tempat
pembuatan perahu di Parepare berada di Kampung Ujung.54 Di kampung ini,
sebagian besar masyarakat berprofesi sebagai nelayan. Tempat pembuatan perahu
lainnya ialah Ujung Lero, yang lokasinya tidak jauh dari pelabuhan. Di tempat ini,
pembuatan perahu terutama dilakukan oleh orang Mandar55 yang bermukim di
tempat tersebut. Hal ini diketahui dari salah seorang responden yang tulisannya
dimuat dalam Limburgsch Dagblad. Ketika berkunjung ke tempat itu pada 1947,
ia menyaksikan “… seorang sedang mengerjakan sebuah perahu, yang
lambungnya telah dipotong dari batang pohon yang berat, ada tali-temali besar
menjulang ke atas dan di kedua sisinya ada bambu yang besar.”56 Meskipun
responden tersebut tidak menyebut jenis perahu yang dibuat, namun penuturannya
jelas menunjukkan bahwa pembuatan perahu juga dilakukan di Ujung Lero.57
Adapun kayu berupa balok dan papan yang menjadi bahan baku pembuatan
perahu umumnya didatangkan dari Kalimantan yang dibawa para pelaut-pedagang
(Bugis, Makassar dan Mandar) ke Parepare.
52
H.A Mannaungi, Corat Coret Masa Revolusi Memoar: H.A. Mannaungi (Parepare: Yayasan
Makkarumpa, 2002), 14–15.
53
Soerabaijasch Handelsblad, 17 Juli 1905.
54
Lihat Allied Geographical Section Southwest Pacific Area, Special Report No. 80, Makassar
(SW Celebes), Dates 24 August 1945.
55
Menurut Andi Oddang, orang Mandar telah bermukim di Ujung Lero pada tahun 1930-an.
Dalam satu sumber, disebutkan bahwa pada 1947 Ujung Lero merupakan perkumpulan kampung
yang dihuni oleh orang Mandar dan Bugis. Selain berprofesi sebagai nelayan, orang Mandar dan
Bugis juga menanam jagung di wilayah tersebut. Kedatangan orang Mandar di Ujung Lero bukan
hanya sebagai upaya pengungsian mereka selama perang revolusi kemerdekaan berkecamuk di
Mandar, sebagaimana dinyatakan oleh Ridwan Alimuddin. Penulis menduga bahwa kedatangan
mereka untuk bermukim di wilayah itu pada 1930-an, juga tidak terlepas dari daya tarik
perdagangan, terutama beras, di pelabuhan Parepare. Lihat Andi Oddang, Memoar Brigjen
Purnawirawan Andi Oddang Untuk Merah Putih (Jakarta: Media Group Fajar, 2015), 15;
Limburgsch Dagblad, 23 Mei 1947; M Ridwan Alimuddin, Orang Mandar Orang Laut
(Yogyakarta: Ombak, 2013), 97.
56
Limburgsch Dagblad, 23 Mei 1947.
57
Dewasa ini, perahu sandeq Mandar mudah dijumpai di Ujung Lero. Lihat Adrian Horridge,
Perahu Layar Tradisional (Yogyakarta: Ombak, 2015), 49.
Universitas Indonesia
47
58
Statistiek van de Scheepvaart Nederlandsch-Indie over Het Jaar 1919, 164.
59
Statistiek van de Scheepvaart in Nederlandsch-Indie over Het Jaar 1934, 187.
Universitas Indonesia
48
60
Pelras, Manusia Bugis (A.R. Abu, Trans.), 4.
61
Ahmad Yani, “Islamisasi di Ajatappareng Abad XVI-XVII,” Pustaka Jurnal Khazanah
Keagamaan 8, no. 2 (2020): 195.
62
Horst H Liebner, “Tradisi Kebaharian di Sulawesi Selatan: Tinjauan Sejarah Pelayaran dan
Perkapalan,” in Kontinuitas dan Perubahan dalam Sejarah Sulawesi Selatan, ed. oleh Dias
Pradadimara dan Muslimin A R Effendy (Yogyakarta: Ombak, 2004), 95.
Universitas Indonesia
49
Makassar dan Mandar. Bahkan, pada 1930-an Parepare menjadi salah satu
pelabuhan yang paling ramai dikunjungi perahu layar setelah Makassar di
kawasan Groote Oost. Hal yang menarik bahwa ramainya hilir mudik perahu
tersebut karena daya tarik perdagangan beras di pelabuhan. Pasca krisis ekonomi
1930-an, menurut Ijzereef, sebagian pelaut Bugis Bone yang sebelumnya
beroperasi di kawasan Teluk Bone mengalihkan kegiatan pelayarannya ke
Parepare untuk turut terlibat dalam pengangkutan rutin ke Kalimantan dan Jawa.63
2.5 Lintasan Historis Pelabuhan Parepare Hingga 1905
Melacak tapak-tapak pelabuhan Parepare di masa silam tidak dapat
dilepaskan dari eksistensi Teluk Parepare sebagai kawasan niaga. Paling tidak
sejak abad ke-15, Kerajaan Suppa telah tampil sebagai salah satu kekuataan
maritim di pantai barat Sulawesi dan sekaligus kerajaan yang paling berpengaruh
di kawasan Ajatappareng.64 Selain berhasil memaksimalkan potensi pertanian di
wilayah kerajaan dan sekitarnya, kedudukan dominan Suppa juga bersumber dari
aktivitas perdagangan pelabuhan Suppa di Teluk Parepare. Dalam studi
arkeologisnya, Druce mengungkapkan bahwa indikasi penting dari kemajuan
Suppa saat itu ialah tampak dari penemuan keramik yang berasal dari abad ke-15
yang meningkat drastis mencapai 250 sampai 650 % dibanding temuan keramik
dari dua abad sebelumnya. Ia juga menuturkan bahwa peningkatan itu tidak hanya
terlihat di Suppa, namun juga di palili (kerajaan bawahan) Suppa, seperti
Bacukiki, Bojo dan Soreang.65 Semua palili ini berlokasi di kawasan pantai barat
Sulawesi. Palili yang disebut terakhir ialah daerah yang menjadi cikal bakal
pelabuhan Parepare di masa kemudian.
Signifikansi pelabuhan Suppa semakin meningkat dengan datangnya para
pedagang Melayu yang mengungsi pasca penaklukan Malaka oleh Portugis pada
1511. Kedatangan mereka tentu dengan harapan dapat memperoleh perlindungan
dari penguasa Suppa, di samping untuk berdagang dengan aman dan
63
Wilhelmus Theodorus. Ijzereef, “De Wind en de Bladeren: Hierarchie en Autonomie inBone en
Polombangkeng (Zuid-Sulawesi), 1850-1950” (Disertasi) (Groningen: Rijksuniversiteit
Groningen, 1994), 65.
64
Stephen C. Druce, The Lands West of The Lakes: A history of the Ajatappareng kingdoms of
South Sulawesi 1200 to 1600 CE (Leiden: KITLV Press, 2009), 217.
65
Druce, 215.
Universitas Indonesia
50
66
Leonard Y. Andaya, Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke-17 (Nurhady
Sirimorok, penerjemah) (Makassar: Ininnawa, 2004), 34–35.
67
Anthony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara (Jakarta: LP3ES, 2004), 154–55.
68
Pelras, Manusia Bugis (A.R. Abu, Trans.), 151.
69
Mattulada, Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar Dalam Sejarah (Yogyakarta: Ombak, 2011),
6–7.
70
G.J Wolhoff dan Abdurrahim, ed., Sedjarah Goa (Makassar: Jajasan Kebudayaan Sulawesi
Selatan dan Tenggara, n.d.), 24–25.
Universitas Indonesia
51
71
Edward L Poelinggomang, Makassar Abad XIX: Studi Tentang Kebijakan Perdagangan
Maritim (Jakarta: KPG, 2016), 30–31.
72
Sutherland menjelaskan secara detail beberapa kebijakan terkait biaya tol pelabuhan pasca
Makassar dikuasai oleh VOC. Untuk hal ini, lihat Knaap dan Sutherland, Monsoon Traders: Ship,
skippers and commodities in eighteenth-century Makassar, 22–25.
73
Knaap dan Sutherland, 27.
Universitas Indonesia
52
pasca penaklukan Wajo pada 1670, di mana Arung Palakka kemudian mencaplok
Sungai Cenrana, yang bermuara di Teluk Bone, sebagai bagian dari wilayah
Bone.74
Namun demikian, hal yang terpenting ialah hasrat itulah yang mendorong
Bone untuk memapankan posisinya di pantai barat Sulawesi Selatan dengan
mengembangkan sebuah bandar niaga baru pada 1770-an.75 Pelabuhan ini
kemudian dikenal sebagai pelabuhan Parepare. Lokasi pelabuhan masih berada di
kawasan teluk, yakni di sebelah selatan dari posisi Soreang (tempat niaga
sebelumnya).
Paling tidak terdapat dua hal yang mendasari pengembangan pelabuhan
Parepare saat itu. Pertama, faktor eksternal yaitu ramainya aktivitas perniagaan
maritim di Selat Makassar. Sebagaimana diketahui, pelayaran dan perniagaan di
abad ke-18 diramaikan oleh aktivitas penangkapan dan perdagangan teripang guna
memenuhi permintaan junk (Wangkang) dari Cina. Di Makassar, aktivitas
pencarian komoditas teripang membentuk sebuah jaringan perdagangan yang
disebut oleh Sutherland sebagai “jaringan perdagangan utara”.76 Selain ramainya
pelayaran di selat, Bone juga mengembangkan Parepare guna menjalin hubungan
yang lebih intens dengan bandar niaga lain di bagian barat Nusantara, seperti
Banjarmasin, Riau, Palembang dan Johor.77 Kedua, faktor internal yang
bersumber dari relasi yang kurang harmonis antara pihak kompeni dan pihak
Bone, yang sejak penaklukan Makassar (1667) keduanya tampil sebagai penguasa
atasan baru di jazirah Sulawesi Selatan. Kedudukan VOC sebagai “pelindung dan
perantara” (schutsheer en bemiddelaar), sebagaimana tercantum dalam perjanjian
Bungaya, nyatanya tidak tercermin sepenuhnya dari hubungan kompeni, baik
dengan Bone maupun kerajaan pribumi lainnya. Bagaimanapun kondisi internal
yang terjadi, yang terpenting ialah perdagangan kompeni tidak terganggu. Tidak
heran jika La Temasonge Datu Baringeng, raja Bone yang memerintah 1749-
74
Andaya, Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke-17 (Nurhady Sirimorok,
penerjemah), 176.
75
Poelinggomang, Makassar Abad XIX: Studi Tentang Kebijakan Perdagangan Maritim, 37.
76
Yang dimaksud dengan jaringan perdagangan utara adalah jaringan yang menghubungkan
Makassar dengan Amoy dan Kanton. Selengkapnya lihat Heather Sutherland, “Trepang and
wangkang: The China trade of eighteenth-century Makassar c. 1720s-1840s,” Bijdragen tot de
taal-, land- en volkenkunde 156, no. 3 (2000): 452.
77
Poelinggomang, Makassar Abad XIX: Studi Tentang Kebijakan Perdagangan Maritim, 37.
Universitas Indonesia
53
1775, adalah salah satu tokoh yang dikenal sangat membenci VOC. Ia juga
termasuk salah seorang yang menginisiasi gerakan Batara Gowa Amas Medina
pada 1760-an, yang tidak lain ditujukan untuk menghilangkan pengaruh
kekuasaan VOC di Sulawesi Selatan.78 Terlepas dari hal itu, pendirian Parepare
dapat pula dipandang sebagai upaya Bone mendirikan “pelabuhan tandingan”
dalam menyaingi VOC yang mengontrol pelabuhan Makassar. Hal ini tidak hanya
berdasarkan faktor geografis yang cukup dekat antar kedua pelabuhan itu, namun
juga tampak dari merosotnya pemasukan VOC atas penjualan budak dan beras
pasca pendirian Parepare. Kondisi ini tidak terlepas dari pendudukan Maros oleh
Bone pada 21 Mei 1777.79 Akibatnya berbagai hasil produksi dari Maros, terutama
beras, kemungkinan telah berhasil dikonsentrasikan ke Parepare saat itu. Kontrol
Bone atas pelabuhan Parepare sebenarnya tidaklah berlangsung lama.
Bermulanya pemerintahan sementara Inggris di Hindia Belanda pada 1811
dan di Makassar dan Daerah Taklukannya pada 1812 adalah tonggak baru dalam
perjalanan sejarah pelabuhan Parepare di masa berikutnya. Keterlibatan Bone
dalam konflik internal Kerajaan Gowa-Tallo berujung perang antara Inggri dan
Bone pada 1814. Alih-alih turut membantu penguasa pribumi, Kerajaan Sidenreng
justru memilih bersekutu dengan Inggris. Perang itu berakhir pada tahun yang
sama dengan kemenangan Inggris bersama sekutunya, Sidenreng. Berakhirnya
perang itu juga menyebabkan Parepare kemudian diserahkan hak pengelolaannya
oleh Inggris kepada Sidenreng sebagai imbalan atas bantuannya.80 Sejak saat itu,
kontrol atas pelabuhan Parepare praktis beralih ke Kerajaan Sidenreng, yang saat
itu dipimpin oleh La Wawo (memerintah 1779-1831). Ketika pemerintah kolonial
kembali berkuasa di Hindia Belanda pada 1816, pelabuhan Parepare masih
dikelola oleh kerajaan itu. Bahkan pada 1824, sebagaimana termaktub dalam
Pembaharuan Perjanjian Bungaya, status Parepare ditetapkan sebagai daerah yang
tidak langsung dikuasai oleh pemerintah Belanda dan pengelolaanya dipinjamkan
78
Mukhlis. Paeni, Edward L Poelinggomang, dan Ina. Mirawati, “Batara Gowa : messianisme
dalam gerakan sosial di Makassar” (Jakarta: Arsip Nasional, Republik Indonesia kerjasama dengan
Gadjah Mada University Press, 2002), 121–22,
http://books.google.com/books?id=vbbXAAAAMAAJ.
79
Poelinggomang, Makassar Abad XIX: Studi Tentang Kebijakan Perdagangan Maritim, 37.
80
Brink, Zuid Celebes Bijdragen Tot De Krijgsgeschieen Militaire Geographie van de Zuidelijke
Aandtong van het eiland Celebes, 76.
Universitas Indonesia
54
kepada Sidenreng.81 Selama berada di bawah kontrol kerajaan itu, kontrak politik
terkait status dan pengelolaan Parepare diadakan dengan pemerintah kolonial
Belanda terutama setiap kali pergantian raja Sidenreng terjadi, seperti yang
dilakukan pada 23 September 1854 dan 28 Oktober 1886.
Dalam pengelolaan Parepare, Sidenreng menugaskan seorang sabenara
(syahbandar) yang bertugas mengatur aktivitas pelayaran perdagangan di
pelabuhan. Ia pula yang memungut bea ekspor, impor dan cukai. Dalam
menjalankan tugasnya, syahbandar dibantu oleh seorang bawahan yang disebut
mata-mata.82 Sementara itu, hingga awal abad ke-20, fasilitas Parepare sebagai
pelabuhan pribumi masih sangat terbatas. Saat itu, Parepare belum memiliki
sebuah dermaga permanen,83 sehingga kapal uap yang berkunjung umumnya
melabuhkan sauhnya di perairan teluk sekitar satu mil laut sebelum mencapai
pelabuhan. Adapun bangunan yang berfungsi sebagai gudang pelabuhan ialah
rumah raja Sidenreng sendiri, yang merupakan bangunan terbesar di Parepare.84
Walaupun kegiatan niaga di Parepare dikatakan sebagai salah satu faktor
dari kemerosotan perdagangan Makassar di dekade awal abad ke-19,85 namun
pelabuhan Parepare sesungguhnya tidak banyak mengalami perkembangan
sepanjang paruh pertama abad ke-19. Hal ini terkait erat dengan konflik internal
yang terus berlangsung di Kerajaan Sidenreng. Kondisi itu berawal dari penetapan
La Pangoriseng oleh Belanda sebagai raja Sidenreng menggantikan kakeknya, La
Wawo, yang mangkat pada 1831. La Patongai, saudara tiri La Pangoriseng, yang
sebelumnya diamanahkan oleh La Wawo untuk menggantikan dirinya tidak
menerima penetapan itu, sehingga berujung timbulnya perang saudara.
Berdasarkan Lontarak Addituang Sidenreng, perang ini berlangsung kurang lebih
20 tahun yang dimenangkan oleh La Pangoriseng dengan memperoleh bantuan
81
Sartono Kartodirdjo, ‘Ikhtisar keadaan politik Hindia Belanda tahun 1839-1848 / Arsip Nasional
RI’ (Jakarta: Arsip Nasional RI, Penerbitan Sumber-sumber Sejarah No.5, 1973), 105.
82
Soerabaijasch Handelsblad, 18 July 1905.
83
Hal ini berdasarkan catatan perjalan dari salah seorang penumpang kapal KPM yang berkunjung
ke Parepare pada 1894. Untuk lebih jelasnya, lihat “De locomotief : Samarangsch handels- en
advertentie-blad,” 1 Agustus 1894.
84
Wichmann, Bericht uber eine im jahre 1888-1889 im auftrage der Niederlandischen
Geographischen Gesellschaft Ausgefuhrte Reise Nach Dem Indischen Archipel, 33.
85
Poelinggomang, Makassar Abad XIX: Studi Tentang Kebijakan Perdagangan Maritim, 81.
Universitas Indonesia
55
dari Belanda.86 Konflik itulah yang membuat Sidenreng tidak mampu fokus
sepenuhnya dalam mengembangkan pelabuhan Parepare selama paruh pertama
abad ke-19.
Parepare, pada akhirnya, menemukan momentum dalam mencapai tahap
perkembangan signifikan di paruh kedua abad ke-19. Hal ini bukan hanya terkait
konflik internal Sidenreng yang telah berakhir, namun juga menyangkut
kekalahan Bone dalam perang menghadapi Belanda (1859-1860). Perlu diketahui,
pasca kekalahan itu, pemerintah kolonial memblokir pusat-pusat perniagaan Bone
yang berkonsentrasi di Teluk Bone, seperti Pompanua, Bajoe dan pelabuhan
lainnya. Akibatnya pada 1860 sejumlah pedagang bugis Bone, Wajo dan Soppeng
kemudian mengalihkan aktivitas niaganya ke tempat niaga lain, terutama
pelabuhan Parepare di pantai barat Sulawesi Selatan.87 Perpindahan mereka ke
Parepare tentunya semakin meramaikan aktivitas niaga di Selat Makassar,
termasuk kontak niaga antara pantai barat Sulawesi Selatan dan pantai timur
Kalimantan.88 Selain itu, pada 1880-an sebuah sumber juga menyebutkan adanya
kontak niaga reguler yang terjalin antara Parepare dan Singapura, yakni sebuah
pelabuhan bebas yang dikembangkan oleh Inggris sejak 1819.89
Pada paruh kedua abad ke-19, arti penting perniagaan di Parepare juga
tampak dari perhatian pemerintah kolonial Belanda. Keadaan ini terlihat jelas
ketika pemerintah kolonial mulai memfokuskan perhatian terhadap aktivitas
pelayaran dan perniagaan di daerah luar Jawa sejak 1875.90 Pada 1876, misalnya,
pemerintah kolonial memberi subsidi pelayaran kepada NISM (Nederlandsch-
Indische Stoomboot Maatschappij), sebuah perusahaan pelayaran swasta yang
sejak 1863 bekerjasama dengan H.O Robinson untuk menjalankan pelayaran
86
Abd Latif, Para Penguasa Ajatappareng: Refleksi Sejarah Sosial Politik Orang Bugis
(Yogyakarta: Ombak, 2014), 159.
87
J.A Bakkers, “Het Leenvorstendom Boni,” Tijdschrift voor Indische Taal-, Land en
Volkenkunde 15, no. 1 (1866): 35–36; Brink, Zuid Celebes Bijdragen Tot De Krijgsgeschieen
Militaire Geographie van de Zuidelijke Aandtong van het eiland Celebes, 8.
88
Poelinggomang, Makassar Abad XIX: Studi Tentang Kebijakan Perdagangan Maritim, 140.
89
Brink, Zuid Celebes Bijdragen Tot De Krijgsgeschieen Militaire Geographie van de Zuidelijke
Aandtong van het eiland Celebes, 85.
90
Menurut Sulistyono, perhatian pemerintah kolonial sebenarnya bukan hanya menyangkut
kepentingan ekonomi semata, melainkan juga kepentingan politik. Lihat Singgih Tri Sulistyono,
“The Java Sea Network: Patterns in the Development an of Interregional Shipping and Trade in the
Process of National Economic Integration in Indonesia, 1870s-1970s” (Universiteit Leiden, 2003),
120.
Universitas Indonesia
56
niaga di Hindia Belanda. Dalam subsidi itu, jalur pelayaran NISM turut
memasukkan pelabuhan-pelabuhan di pantai timur Kalimantan, Parepare, Palu,
dan pelabuhan kecil lainnya di Nusa Tenggara serta Maluku.91 Potensi niaga
Parepare juga tetap memikat perusahaan pelayaran KPM (Koninklijke Pakeetvaart
Maatschappij), yang mulai beroperasi di Hindia Belanda pada 1891 dengan 29
armada kapalnya.92 Di awal kegiatannya, KPM memasukkan Parepare sebagai
pelabuhan persinggahan di jalur 9. Jalur ini mengadakan pelayaran sekali dalam
sebulan dengan rute; Surabaya, Makassar, Ambon, Banda, Kaili, Bacan, Ternate,
Gorontalo, Manado, Amurang, Kwandang, Toli-Toli, Teluk Palu, Parepare,
Makassar dan selanjutnya kembali ke Surabaya.93
Aktivitas pelayaran di Parepare bukan hanya diramaikan oleh pelaut Bugis
dan Makassar, namun juga pelaut Mandar.94 Selain itu, Parepare ramai dikunjungi
oleh perahu-perahu layar milik pribumi terutama ketika angin muson timur
berlangsung. Dengan memanfaatkan hembusan angin, para pelautlah yang
berperan penting menghubungkan Parepare dengan bandar niaga lain, apalagi di
masa sebelum adanya kapal uap.
Selama paruh kedua abad ke-19, perkembangan signifikan Parepare
berhasil menarik kedatangan para pedagang asing. Kelompok pedagang asing
yang dominan saat itu ialah pedagang Arab. Menurut Arthur Wichmann, yang
berkunjung ke Parepare pada 1880-an, perdagangan di pelabuhan sebagian besar
berada di tangan pedagang Arab.95 Salah satu faktor yang membuat dominannya
kelompok pedagang ini ialah adanya upaya pembatasan izin usaha untuk
pedagang Arab dan Timur Asing lainnya yang diterapkan oleh pemerintah
kolonial di Makassar sejak 1862.96 Faktor lainnya ialah perkembangan pelayaran
kapal uap antara Arab dan Timur Jauh pada 1870. Akibatnya ialah migrasi orang
91
Poelinggomang, Makassar Abad XIX: Studi Tentang Kebijakan Perdagangan Maritim, 95–96.
92
Howard Dick, Industri Pelayaran Indonesia: Kompetisi dan Regulasi (Jakarta: LP3ES, 1989),
13–14.
93
Lihat Bijblad Op Het Staatsblad Van Nederlandsch-Indië 1891 No. 4569.
94
Pada abad ke-20, pelabuhan Parepare adalah bagian penting dari jaringan maritim Mandar
dengan pusatnya di pelabuhan Pambauwang dan Majen. Lihat Hamid, “Jaringan Maritim
Mandar: Studi Tentang Pelabuhan ‘Kembar’ Pambauwang dan Majene di Selat
Makassar1900−1980” (Disertasi), 151–55.
95
Wichmann, Bericht uber eine im jahre 1888-1889 im auftrage der Niederlandischen
Geographischen Gesellschaft Ausgefuhrte Reise Nach Dem Indischen Archipel, 30.
96
Poelinggomang, Makassar Abad XIX: Studi Tentang Kebijakan Perdagangan Maritim, 157.
Universitas Indonesia
57
97
L. W. C van den Berg, Orang Arab di Nusantara (Depok: Komunitas Bambu, 2010), 95–96.
98
Heather Sutherland, “On the Edge of Asia: Maritime Trade in East Indonesia, Early Seventeenth
to Mid-Twentieth Century,” in Commodities, Ports and Asian Maritime Trade Since 1750, ed.
oleh Ulbe Bosma dan Anthony Webster (Houndmills: Palgrave Macmillan, 2015), 69–70.
99
Pelras, Manusia Bugis (A.R. Abu, Trans.), 326.
100
“De Locomotief : Semarangsch Handels- en Advertentie-blad,” 1 Agustus 1894.
101
L Nadjamuddin et al., Satu Kota Empat Zaman: Donggala Pada Masa Tradisional Hingga
Terbentuknya Kabupaten (Yogyakarta: Ombak, 2016), 27.
Universitas Indonesia
58
102
Paul Sarasin dan Fritz Sarasin, Reisen in Celebes, aufgefuhrt in de Jaren 1893-1896 und 1902-
1903 (Zweiter Band) (Wiesbaden: C.W. Kreidel, 1905), 174.
103
Bigalke, Sejarah Sosial Tana Toraja (M. Yuanda Zara, Trans.), 38–39.
Universitas Indonesia
59
104
Menurut Thomas Lindblad, ekspedisi militer tersebut merupakan bentuk ekspansi imperialis
Belanda yang cenderung menekankan pada motif ekonomi. Lihat J.Thomas Lindblad, “The Outer
Islands in the 19th century: contest for the periphery,” in The emergence of a national economy:
an economic history of Indonesia, 1800–2000, ed. oleh Howard Dick et al. (Crows Nest, N.S.W.:
Allen & Unwin, 2002), 99.
105
Koloniaal Verslag 1905, 65.
106
Bataviaasch Nieuwsblad, 4 January 1905.
Universitas Indonesia
BAB III
PELABUHAN PAREPARE DAN PERDAGANGAN BERAS (1905-1925)
3.1. Pendahuluan
Pendudukan Parepare oleh pemerintah kolonial Belanda pada Maret 1905
menjadi penanda bermulanya episode baru dalam sejarah pelabuhan Parepare.
Walaupun Kerajaan Sidenreng sempat mengadakan perlawanan terhadap pasukan
ekspedisi militer pada September 1905, namun hal itu sesungguhnya tidak berarti
banyak terhadap upaya penguasaan seluruh wilayah Sulawesi Selatan yang oleh
pemerintah kolonial Belanda dianggap telah berhasil pada 1906. Pendudukan
Parepare sendiri berarti bahwa statusnya bukan lagi pelabuhan independen,
melainkan sebagai pelabuhan wajib pajak (tolgebied). Oleh karena itu, tanpa
mengurangi arti politis atas penguasaan daerah-daerah luar Jawa, pengambilalihan
pelabuhan Parepare bersama pelabuhan-pelabuhan pribumi lainnya pada gilirannya
memuluskan proses integrasi ekonomi Sulawesi Selatan yang berpusat di pelabuhan
Makassar.1 Setidaknya kondisi itulah yang menentukan kedudukan dan peran
pelabuhan Parepare di kawasan Selat Makassar pada masa berikutnya. Bab ini
mengetengahkan dinamika pelabuhan Parepare dan perdagangan beras mulai 1905
hingga 1925. Pembahasan dimulai dengan organisasi pelabuhan. Bahasan ini diikuti
dengan uraian mengenai kegiatan perdagangan dan pelayaran di pelabuhan. Sub
bab selanjutnya ialah serdagangan beras. Sub bab ini mencakup pembahasan
tentang Wanua Laeng, struktur perdagangan, intensifikasi pertanian dan
perdagangan beras. Sementara itu, pengembangan infrastruktur pelabuhan
merupakan sub bab terakhir dalam bab ini.
3.2. Organisasi Pelabuhan
Sebagai sebuah struktur, suatu pelabuhan pada hakikatnya tercermin dari
keberadaan organisasi pelabuhannya. Arti penting organisasi bukan hanya
menyangkut persoalan manajemen pelabuhan, tetapi juga cukup menentukan
kedudukan dan peran suatu pelabuhan. Sebagaimana halnya di era sebelumnya,
selama era kolonial organisasi pelabuhan juga diadakan guna memperlancar
1
Nahdia Nur, “Jejaring Perdagangan Dan Integrasi Ekonomi: Sejarah Ekonomi Sulawesi Bagian
Selatan 1902-1930-an” (Disertasi) (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2017).
60
Universitas Indonesia
61
2
Singgih Tri Sulistyono, “The Java Sea Network: Patterns in the Development an of Interregional
Shipping and Trade in the Process of National Economic Integration in Indonesia, 1870s-1970s”
(Universiteit Leiden, 2003), 104–5.
3
Widodo menjelaskan secara rinci mengenai kebijakan pelabuhan di Hindia Belanda pada abad ke-
19, termasuk pembagian pelabuhan berdasarkan kategori tersebut. Untuk hal ini lihat Sutejo Kuwat
Widodo, “Perkembangan Pelabuhan Pekalongan Menjadi Pelabuhan Perikanan, 1900-1990”
(Disertasi) (Depok: Universitas Indonesia, 2002), 50–52.
4
Lihat Regeringsalmanak van Nederlandsch Indie 1907, 512–13.
5
Secara garis besar, pada awal abad ke-20, wilayah pemerintahan Sulawesi Selatan terbagi menjadi
dua kategori, yakni Wilayah Pemerintahan Langsung (Gouvernement Gebieden) dan Wilayah
Pemerintahan Swapraja (Zelfbestuurende Landschappen). Berbeda dengan Wilayah Pemerintahan
Langsung, di mana pemerintahan ditangani langsung oleh pejabat Belanda, Wilayah Pemerintahan
Universitas Indonesia
62
Swapraja merupakan daerah-daerah yang masih diperintah rajanya masing-masing dan diawasi oleh
pejabat Belanda. Untuk penjelasan lebih detail mengenai penataan wilayah pemerintahan di
Sulawesi Selatan selama periode kolonial Belanda, lihat Edward L Poelinggomang et al., Sejarah
Sulawesi Selatan (Jilid 2) (Makassar: Balitbangda - MSI Sulawesi Selatan, 2005), 36–37.
6
Lanskap Mallusetasi mulai dibentuk pada 1906 seiring upaya politik pasifikasi yang dilancarkan
pemerintah kolonial Belanda di Sulawesi Selatan. Lanskap ini merupakan hasil penggabungan dari
beberapa kerajaan lokal, yaitu Kerajaan Soreang, Bacukiki, Bojo, Nepo dan Palanro. Sebelumnya,
kerajaan tersebut adalah kerajaan-kerajaan bawahan dari Kerajaan Sidenreng. Lihat H. de Vogel
Hzn, “Mededeelingen Betreffende de Landschappen Soreang, Batjoe Kiki, Bodjo, Palanro en Nepo
(Malloese Tasie),” Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde 61, no. 1 (1908): 668–72. Lanskap
Mallusetasi dan lanskap Suppa, dulunya ialah wilayah kekuasaan Kerajaan Suppa, membentuk satu
wilayah pemerintah administratif yang disebut Onderafdeeling Parepare yang merupakan bagian
dari Afdeeling Parepare.
Universitas Indonesia
63
pengelolaan suatu pelabuhan, baik yang sifatnya teknis maupun non-teknis.7 Pada
gilirannya, pembentukan komisi tersebut membawa dampak positif dalam
pengelolaan pelabuhan karena telah memungkinkan keterlibatan secara langsung
dari berbagai macam pihak.
Namun demikian, hal terpenting ialah upaya pengelolaan pelabuhan secara
modern tersebut juga menggolongkan pelabuhan ke dalam tiga jenis, yakni
pelabuhan besar (grootere haven), pelabuhan menengah (midden haven) dan
pelabuhan kecil (kleinere haven). Dalam klasifikasi itu, pelabuhan yang termasuk
sebagai pelabuhan besar, antara lain Tanjung Priok, Surabaya, Semarang, Cilacap,
Belawan Deli, Emma Haven dan Makassar. Sementara itu, pelabuhan yang
termasuk sebagai pelabuhan menengah ialah Cirebon, Tegal, Pekalongan,
Probolinggo, Pasuruan, Banyuwangi, Banjarmasin, Pontianak, Bengkulu,
Palembang, Amboina (Ambon) dan Manado. Adapun pelabuhan lainnya yang
berjumlah lebih dari 500 dan tersebar di seluruh wilayah perairan Hindia Belanda
digolongkan sebagai pelabuhan kecil,8 tidak terkecuali pelabuhan Parepare di Selat
Makassar.
Setelah 1924, sebagian besar pelabuhan yang sebelumnya merupakan
pelabuhan menengah kemudian dialihkan ke dalam kategori pelabuhan kecil.
Sementara itu, pelabuhan kecil mulai dibagi menjadi dua kategori, yaitu pelabuhan
kecil yang dikelola sebagai perusahaan (kleine bedrijfshaven) dan pelabuhan kecil
yang tidak dikelola sebagai perusahaan (kleine niet-bedrijfshaven). Perbedaan
kedua jenis pelabuhan itu ialah segi pengelolaan keuangannya. Jika pelabuhan kecil
yang diusahakan berada di bawah kewenangan direksi pelabuhan (haven directie),
maka pelabuhan kecil yang tidak diusahakan berada di bawah naungan pemerintah
daerah.
Dalam konteks pembaharuan itu, Makassar tetap berkedudukan sebagai
salah satu pelabuhan besar di Hindia Belanda. Sementara itu, Manado adalah satu-
satunya pelabuhan di Pulau Sulawesi yang berstatus pelabuhan kecil yang
diusahakan. Karena itu, semua pelabuhan lainnya di Sulawesi dikategorikan
7
Widodo, “Perkembangan Pelabuhan Pekalongan Menjadi Pelabuhan Perikanan, 1900-1990”
(Disertasi), 52–56.
8
Nederlandsch-Indische Havens, Deel I (Batavia: Department Der Burgerlijke Openbare Werken,
1920), 11–12.
Universitas Indonesia
64
9
Netherlands East Indian Harbours (Batavia: Department of Public Works, 1920), 79.
10
Regeringsalmanak van Nederlandsch Indie 1906, 490.
11
Pemberita Makassar, 17 May 1915, 1.
Universitas Indonesia
65
50000 Kopra
40000
Kopi
30000
Jagung
20000
10000 Kemiri
0
1909 1910 1911
Sumber: Verlag van de Kamer van Koephandel en Nijverheid te Makassar over het jaar
1911
Universitas Indonesia
66
12
Abdul Rasyid Asba, ‘Ekspansi Dan Kontraksi Ekspor Kopra Makassar 1883-1958’ (Disertasi)
(Depok: Universitas Indonesia, 2003), 128.
13
Heather Sutherland, ‘On the Edge of Asia: Maritime Trade in East Indonesia, Early Seventeenth
to Mid-Twentieth Century’, in Commodities, Ports and Asian Maritime Trade Since 1750, ed. Ulbe
Bosma and Anthony Webster (Houndmills: Palgrave Macmillan, 2015), 70.
14
Nur, ‘Jejaring Perdagangan Dan Integrasi Ekonomi: Sejarah Ekonomi Sulawesi Bagian Selatan
1902-1930-an’ (Disertasi), 264–65.
15
‘Jaarverslag van de Handelsvereeniging/Exporteurs Vereeniging Makassar over 1940’ (n.d.).
Universitas Indonesia
67
Sumber: Verslag van de Kamer van Koophandel En Nijverheid Te Makassar over Het
Jaar 1911, hlm. 17.
16
Soerabaijasch Handelsblad, 4 Juni 1929, 13.
Universitas Indonesia
68
pada 1922 menurun menjadi f 295. Hal yang menarik ialah lonjakan pendapatan
pelabuhan terjadi pada tahun 1923, di mana hasil yang diperoleh sebesar f 3.162.
Peningkatan ini terutama bersumber dari cukai petroleum17 yang mencapai f
2.639.18
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, Parepare adalah pelabuhan
pribumi sebelum dikontrol langsung oleh pemerintah kolonial Belanda. Itu artinya
bahwa setiap pelayaran dari dan ke pelabuhan Parepare ditetapkan sebagai kegiatan
pelayaran scheepvaart (pelayaran internasional). Menurut Singgih Tri Sulistyono,
secara sederhana scheepvaart berarti kegiatan pelayaran yang melibatkan
pelabuhan yang berada di wilayah kekuasaan pemerintah kolonial dengan
pelabuhan asing (foreign ports), pelabuhan bebas (free ports), ataupun pelabuhan
yang berada di wilayah yang belum diperintah langsung oleh pemerintah kolonial
(inlandsche havens).19 Dengan demikian, hingga 1905, kegiatan pelayaran antara
pelabuhan Parepare dan pelabuhan lain yang berada di wilayah kekuasaan
pemerintah kolonial sampai pelabuhan Singapura (foreign ports) ialah bentuk
pelayaran internasional.
Ketika pemerintah kolonial menguasai Parepare pada 1905, kegiatan
pelayaran dan perdagangan di pelabuhan tidak dapat lagi disebut pelayaran
scheepvaart, melainkan hanya pelayaran kustvaart. Secara etimologi, kustvaart
berarti pelayaran pantai. Namun, dalam konteks Hindia Belanda, pelayaran
kustvaart bukan hanya dalam bentuk pelayaran antar pantai, melainkan juga
mencakup pelayaran antar pulau (interisland) dan dalam pulau (intra-islands).
Sementara itu, berdasarkan Staatsblaad 1850 nomor 42, kustvaart adalah kegiatan
pelayaran yang melibatkan dua pelabuhan di Hindia Belanda yang berada di
wilayah kekuasaan pemerintah kolonial.20 Karena itu, pelayaran di pelabuhan
Parepare dapat pula disebut pelayaran domestik. Berkaitan dengan itu, hanya kapal-
kapal tertentu yang dapat melakukan pelayaran kustvaart, yakni kapal milik
17
Lihat lampiran 3
18
Lihat Koloniaal Verslag 1910, dalam Bijlage BB, 7; Koloniaal Verslag 1922, dalam Bijlage W,
6; Koloniaal Verslag 1923, dalam Bijlage X, 6.
19
Sulistyono, ‘The Java Sea Network: Patterns in the Development an of Interregional Shipping
and Trade in the Process of National Economic Integration in Indonesia, 1870s-1970s’.
20
Sulistyono, 5.
Universitas Indonesia
69
Belanda, kapal Hindia Belanda, dan kapal milik pribumi.21 Lebih jauh, sejalan
dengan aturan pelayaran kustvaart, tidak ada lagi barang-barang ekspor yang boleh
dikapalkan secara langsung ke luar Hindia Belanda, kecuali melalui pelabuhan
Makassar, yakni satu-satunya pelabuhan di wilayah pemerintahan Celebes en
Onderhoorigheden yang dibuka untuk perdagangan impor dan ekspor umum.22
Begitupun juga barang-barang impor dari luar Hindia Belanda, tidak lagi
diperbolehkan untuk dibongkar secara langsung di pelabuhan-pelabuhan pribumi,
termasuk Parepare, tanpa terlebih dahulu melalui pelabuhan Makassar.
Sebelum menerangkan rute pelayaran KPM, terlebih dahulu akan dijelaskan
mengenai agen KPM di Parepare. Berdasarkan keterangan sumber, agen KPM di
Parepare baru tercatat pertama kali pada 1908. Tuan L. Rhemrev bertindak sebagai
agen perusahaan saat itu.23 Mengingat sejak 1891 Parepare telah disinggahi oleh
kapal KPM, itu artinya bahwa sebelum 1908 agen KPM yang tersedia kemungkinan
masih ikut berlayar dengan kapal. Hal ini memang lazim dijumpai di pelabuhan-
pelabuhan kecil yang minim fasilitas. Karena itu, tidak heran jika Howard Dick
menyatakan bahwa kapal KPM berfungsi pula sebagai pasar terapung (a floating
market).24 Perusahaan KPM sendiri baru mendirikan kantor cabang di Parepare
yang secara resmi mulai beroperasi pada 1924.25
Jalur pelayaran KPM paling tidak memberi gambaran penting mengenai
kegiatan pelayaran yang berlangsung di pelabuhan Parepare. Misalnya, pada 1914
atau setahun sebelum perjanjian kontrak kedua diperbaharui antara perusahaan dan
pemerintah kolonial, terdapat dua jalur pelayaran KPM yang menempatkan
Parepare sebagai pelabuhan singgah, yakni Jalur 9a dan 9b. Kedua jalur pelayaran
ini beroperasi sekali dalam sebulan dan merupakan jalur bukan kontrak (niet-
contractueel).26 Rute pelayaran KPM di Sulawesi, menurut Rasyid Asba, erat
21
Lihat Regeerings Almanak van Nederlandsch Indie 1907, 33.
22
Staatsblad van Nederlandsch Indie 1906 No. 297. Lihat pula Nur, ‘Jejaring Perdagangan Dan
Integrasi Ekonomi: Sejarah Ekonomi Sulawesi Bagian Selatan 1902-1930-an’ (Disertasi), 413.
23
Lihat Regeerings Almanak van Nederlandsch Indie 1908, 923.
24
Howard Dick, The Indonesian Interisland Shipping Industry : An Analysis of Competition and
Regulation. (Pasir Panjang, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1990), 12.
25
Lihat Regeerings Almanak van Nederlandsch Indie 1924, 862.
26
Lihat Dienstregeling Der Koninklijke Paketvaart Maatschappij Voor Het Jaar 1914, 27.
Universitas Indonesia
70
kaitannya dengan pengangkutan komoditas kopra, jagung, beras dan berbagai hasil
hutan, seperti rotan dan damar.27
Pada 1924, terdapat empat jalur pelayaran KPM yang menyinggahi
Parepare. Keempat jalur itu ialah jalur 13, 17a, 19 dan 20.28 Merujuk pada kontrak
KPM, keempat jalur tersebut merupakan hasil dari pembaharuan kontrak yang
ketiga (1915-1930).29 Selain itu, dari keempat jalur tersebut, hanya jalur 17a yang
merupakan bukan jalur kontrak. Jalur 17a melayani rute pendek yakni trayek pantai
barat Sulawesi. Jalur ini menyinggahi pelabuhan-pelabuhan Makassar, Parepare,
Polewali, Campalagian, Balangnipa, Majene dan selanjutnya kembali ke Makassar.
Tidak jauh berbeda dengan Jalur 17a, Jalur 19 dan 20 juga menyisir pantai barat
Sulawesi meski dengan trayek yang lebih panjang, yakni Makassar-Sulawesi
bagian barat-Sulawesi bagian utara-Manado- Sangir dan Talaud. Kedua jalur itu
melayani pelayaran sekali dalam sebulan.30
Satu hal yang menarik ialah jalur 13. Jalur ini mulai menyinggahi Parepare
sejak 1924 dan menghubungkan pantai barat Sulawesi, pantai timur dan selatan
Kalimantan serta Singapura. Dimasukkannya Parepare sebagai pelabuhan singgah
tidak terlepas dari adanya peningkatan permintaan komoditas beras di Kalimantan
Timur dan Kalimantan Selatan. Pada rute itu, Parepare adalah pelabuhan yang akan
disinggahi dalam jalur kepulangan meski bersifat fakultatif.31 Pada November 1924,
misalnya, rute kepulangan jalur tersebut ialah Makassar, Parepare, Donggala,
Samarinda, Balikpapan, Kota Baru, Stagen, Banjarmasin, Sampit dan terus ke
Singapura.32
27
Asba, ‘Ekspansi Dan Kontraksi Ekspor Kopra Makassar 1883-1958’ (Disertasi), 103.
28
Lihat Dienstregeling Der Koninklijke Paketvaart Maatschappij Voor Het Jaar 1924.
29
Penjelasan yang lengkap mengenai perjanjian kontrak antara perusahaan KPM dan pemerintah
kolonial terkait pelayaran dan pengangkutan di Hindia Belanda lihat Sulistyono, ‘The Java Sea
Network: Patterns in the Development an of Interregional Shipping and Trade in the Process of
National Economic Integration in Indonesia, 1870s-1970s’, 123–24.
30
Jalur 19 dan 20 menyinggahi pelabuhan-pelabuhan seperti Makassar, Parepare, Polewali, Majene,
Mamuju, Simpaga, Lariang, Donggala, Palu, Toli-Toli, Leok, Palehleh, Sumalata, Kwandang,
Labuan-broko, Bolang Mongondou, Amurang, Manado, Tagulandang, Siau, Taruna, Lirung, Beo,
Nanusam Peta, Taruan, Tamako, Siau, Tagulandang, Talise, Manado dan selanjutnya kembali ke
Makassar dengan jalur yang sama.
31
Dienstregeling Der Koninklijke Paketvaart Maatschappij Voor Het Jaar 1924, 25.
32
Pemberita Makassar 6 November 1924.
Universitas Indonesia
71
Selain kapal uap, perahu layar juga tidak kalah pentingnya dalam aktivitas
pelayaran dan perdagangan di pelabuhan Parepare. Keberadaan perahu layar telah
memungkinkan terjalinnya hubungan niaga antara Parepare dan bandar niaga
lainnya, termasuk bandar niaga yang tidak dilalui jalur pelayaran KPM. Pada
musim panen padi, misalnya, para pelaut Bugis, Makassar dan Mandar dengan
perahu dagangngya masing-masing mengunjungi daerah-daerah yang berada di
sepanjang pantai barat Sulawesi guna memuat padi, gabah atau beras. Adapun
daerah yang biasanya dikunjungi ialah Parepare, Pinrang, Barru dan Pangkajene.33
Dengan perahu dagangnya, merekalah yang berperan dalam mengapalkan
komoditas beras ke Wanua Laeng.
Dalam suatu sumber disebutkan bahwa selain beras, perahu-perahu dagang
yang berkunjung ke pelabuhan Parepare juga memuat kopra, kemiri, kopi, kulit
hewan dan komoditas niaga lainnya. Lebih lanjut, disebutkan pula bahwa
kebanyakan pedagang yang membeli berbagai komoditas tersebut ialah adalah
pedagang asal Parepare dan pedagang-pedagang dari luar Parepare.34 Selanjutnya,
berbagai komoditas niaga tersebut umumnya dibawa ke Makassar atau entrepot
lainnya, seperti Surabaya.
Informasi yang ditulis oleh Van Vuuren cukup berharga perihal aktivitas
pelayaran para pelaut-pedagang Mandar. Ia menuturkan bahwa, dengan titik
pemberangkatan Majene, pelaut Mandar mengadakan pelayaran ke Maluku setiap
Januari untuk menjual barang-barang niaga yang telah dibawa dari Singapura.
Dengan memanfaatkan hembusan angin muson barat, mereka menyinggahi
Parepare, Kepulauan Spermonde, Bantaeng dan Balangnipa sebelum menuju
Maluku.35 Dalam konteks ini, bagi pelaut-pedagang Mandar, Parepare adalah pasar
untuk menjual barang-barang impor, seperti kain katun, benang, korek api, pisau,
mesin jahit dan sebagainya, yang dibawa dari Singapura. Selain itu, Parepare juga
menjadi tempat persinggahan para pelaut Mandar setelah berlayar dari Maluku
untuk memuat padi dan kemudian dibawa ke Pambauwang.36
33
Hamid, “Jaringan Maritim Mandar: Studi Tentang Pelabuhan ‘Kembar’ Pambauwang Dan
Majene Di Selat Makassar1900−1980” (Disertasi), 102.
34
Pemberita Makassar, 30 Oktober 1917.
35
Vuuren, L Van, ‘De Prauwvaart van Celebes’, Koloniale Studiën 1 (1917): 110.
36
Hamid, “Jaringan Maritim Mandar: Studi Tentang Pelabuhan ‘Kembar’ Pambauwang Dan
Majene Di Selat Makassar1900−1980” (Disertasi), 113-114.
Universitas Indonesia
72
37
Han Knapen, Forests of Fortune? : The Environmental History of Southeast Borneo, 1600-1880
(Leiden: KITLV Press, 2001), 30.
38
J Thomas. Lindblad, Antara Dayak dan Belanda : Sejarah Ekonomi Kalimantan Timur dan
Kalimantan Selatan 1880-1942 (Ika Diyah Candra, penerjemah) (Malang: Lilin Persada Press,
2012), 178.
Universitas Indonesia
73
padi di ladang adalah karakteristik yang umum ditemukan di daerah luar Jawa
sehingga sedikit banyak telah mencegah produksi surplus beras dalam skala besar.39
Sementara itu, hambatan budi daya padi di sawah juga masih sering muncul
terutama ketika banjir. Tidaklah mengherankan apabila sawah, yang notabene
mampu menghasilkan padi dua kali lebih banyak dibanding ladang, tidak banyak
yang bisa diharapkan. Namun demikian, yang terpenting ialah faktor kualitas tanah
yang minim membuat budi daya padi tidak dapat berkembang baik. Akibatnya,
daerah ini tidak dapat memenuhi kebutuhan berasnya sendiri.40 Dengan demikian,
keadaan lingkungan merupakan salah satu faktor utama yang membuat Kalimantan
Timur dan Kalimantan Selatan selalu membutuhkan impor beras dari luar guna
memenuhi kebutuhan domestik.
Paling tidak sejak 1880-an, beras adalah komoditas utama impor di
Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, di samping dua komoditas utama impor
lainnya, yakni barang tekstil dan barang rumah tangga. Sebagian besar kebutuhan
beras diimpor dari luar Hindia Belanda dan dilengkapi dengan suplai beras
tambahan dari daerah lain di Hindia Belanda. Antara 1880 hingga 1900, impor
beras di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan sebetulnya cenderung
fluktuatif. Naik turunnya permintaan beras impor dari luar Hindia Belanda sangat
ditentukan keberhasilan panen lokal dan jumlah pasokan beras yang dikirim dari
Jawa.41 Selain itu, para pelaut Mandar juga telah rutin memasok beras, kelapa,
minyak kelapa, dan sarung Bugis ke tempat-tempat di pantai timur Kalimantan pada
akhir abad ke-19. Mereka memuat beras yang diperoleh dari Palu.42 Di pantai timur
Kalimantan, komoditas beras dijual atau dibarter dengan produk hasil hutan,
terutama kayu. Sementara itu, dalam kajiannya mengenai pelayaran rakyat di
pelabuhan Banjarmasin, Endang Sulistyowati menyatakan bahwa kegiatan
pelayaran perahu pribumi untuk jalur Banjarmasin - Makassar dari tahun ke tahun
mengalami peningkatan pada 1880-an. Dari Banjarmasin ke Makassar, perahu
39
Jeroen Touwen, Extremes in The Archipelago: Trade and Economic Development in the Outer
Islands of Indonesia 1900-1941 (Leiden: KITLV Press, 2001), 153.
40
Lindblad, Antara Dayak dan Belanda : Sejarah Ekonomi Kalimantan Timur dan Kalimantan
Selatan 1880-1942 (Ika Diyah Candra, penerjemah), 177–78.
41
Lindblad, 14.
42
A. R Hamid, “Jaringan Maritim Mandar: Studi Tentang Pelabuhan ‘Kembar’ Pambauwang dan
Majene di Selat Makassar1900−1980” (Disertasi) (Depok: Universitas Indonesia, 2019), 102.
Universitas Indonesia
74
biasanya memuat karet, kayu, kopra dan kelapa. Sementara itu, dalam pelayaran
pulang, perahu memuat beras, tepung dan gula.43
Memasuki awal abad ke-20, produksi padi lokal di Kalimantan Timur dan
Kalimantan Selatan sebenarnya memperlihatkan adanya peningkatan. Sebagai
gambaran, antara 1895-1904 rata-rata hasil produksi setiap tahun ialah 22.800 ton
dan meningkat menjadi hampir 29.000 ton pada 1905-1914.44 Sekalipun demikian,
hal itu tidak sejalan dengan kondisi ekonomi regional yang semakin lekat dengan
pasar dunia. Dalam satu sumber, disebutkan bahwa impor beras di Kalimantan
Timur dan Kalimantan Selatan pada 1917 mencapai 37.000 ton.45 Hingga dekade
1930-an, ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi semakin jelas yang
ditandai dengan perkembangan berbagai perusahaan yang dimiliki orang Eropa,
terutama di pantai timur Kalimantan, seperti batu bara, minyak, kopra, karet,
minyak kelapa, gambir dan kopi.46 Situasi itu pada gilirannya semakin
meningkatkan kebutuhan beras domestik karena jumlah kuli perusahaan yang terus
meningkat. Pada 1922, misalnya, jumlah tenaga kuli perusahaan di Kalimantan
Timur dan Kalimantan Selatan ialah sebanyak 19.200 jiwa. Tujuh tahun kemudian,
jumlahnya telah meningkat menjadi 36.300 jiwa.47 Sampai dekade 1930-an,
Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan adalah daerah yang tetap tercatat
sebagai daerah surplus impor beras di Hindia Belanda. Pada 1935, misalnya, daerah
ini membutuhkan suntikan beras impor dari luar sebanyak 30.000 ton.48
Dengan kondisi demikian, tampak bahwa struktur ekonomi yang bertumpu
pada aktivitas pertambangan dan perkebunan, juga menjadi faktor krusial sehingga
Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan selalu membutuhkan impor beras. Jika
ditilik lebih jauh, aktivitas impor beras di suatu wilayah yang diakibatkan oleh
struktur ekonomi yang bergantung pada pasar internasional adalah sebuah hal yang
umum terjadi di Asia Tenggara, khususnya selama paruh pertama abad ke-20. Salah
43
Endang Susilowati, “Pasang Surut Pelabuhan Rakyat di Pelabuhan Banjarmasin, 1880-1990”
(Disertasi) (Depok: Universitas Indonesia, 2004), 126–28.
44
Lindblad, Antara Dayak dan Belanda : Sejarah Ekonomi Kalimantan Timur dan Kalimantan
Selatan 1880-1942 (Ika Diyah Candra, penerjemah), 25.
45
C Lulofs, De Voedselvoorziening van Nederlandsch-Indie (Jakarta: Landsdrukkerij, 1918), 73.
46
Touwen, Extremes in The Archipelago: Trade and Economic Development in the Outer Islands
of Indonesia 1900-1941, 75.
47
Touwen, 390.
48
Indisch Verslag 1938., 62.
Universitas Indonesia
75
49
Linda Sunarti, “Pembangunan dan Perkembangan Pelabuhan Swettenham di Malaysia, 1900-
1963” (Tesis) (Depok: Universitas Indonesia, 2001), 60–61.
50
Mengenai kisah pengungsian penduduk Sulawesi Selatan pada masa itu, lihat Leonard Y. Andaya,
“The Bugis-Makassar Diasporas,” Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society 68,
no. 1 (1995): 121.
51
Lindblad, Antara Dayak dan Belanda : Sejarah Ekonomi Kalimantan Timur dan Kalimantan
Selatan 1880-1942 (Ika Diyah Candra, penerjemah), 10.
52
Edward L Poelinggomang et al., Sejarah Sulawesi Selatan (Jilid 1) (Makassar: Balitbangda
Provinsi Sulawesi Selatan, 2004), 155.
53
G Knaap dan Heather Sutherland, Monsoon Traders: Ship, skippers and commodities in
eighteenth-century Makassar (Leiden: KITLV Press, 2004), 14.
Universitas Indonesia
76
permukiman orang Bugis telah dapat ditemukan di Samarinda, Pulau Laut, Pegatan,
Bulngan, Kutai, Berau dan Gunung Tabur.54
Satu hal yang penting ialah keberadaan orang Bugis di Wanua Laeng ini
telah memudahkan terjalinnya aktivitas perdagangan, termasuk perdagangan beras,
antara pantai barat Sulawesi dan pantai timur Kalimantan. Tidak sedikir orang
Bugis yang bermigrasi ke Kalimantan Timur merupakan pedagang atau masyarakat
biasa yang memiliki relasi dengan komunitas bisnis di Sulawesi Selatan. Karena
jaringan inilah, eksploitasi ekonomi orang Bugis di wilayah itu dapat berjalan
secara rutin dan aman.55 Sementara itu, pada awal abad ke-20, aktivitas
perdagangan di wilayah ini sebagian besar berada di tangan para pedagang Cina.
3.4.1.2 Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah
Wanua Laeng berikutnya ialah Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah. Jika
Pulau Sulawesi sering digambarkan dengan bentuk yang terdiri dari empat lengan
semenanjung, maka dua lengan semenanjungnya (semenanjung utara dan
semenanjung timur) adalah daratan yang membentuk wilayah Sulawesi Utara dan
Sulawesi Tengah. Sejak 1904, kedua wilayah ini mulai digabungkan ke dalam satu
daerah pemerintahan administratif dengan nama Residentie Manado (untuk
selanjutnya kedua wilayah disebut Manado).56
Secara geografis, dengan luas wilayah sekitar 90.000 kilometer persegi,
Manado dicirikan dengan lebar daratan yang sempit dan garis pantai yang panjang.
Di ujung semenanjung utara, permukaan daratan sangat bergunung dan terdapat
beberapa gunung berapi aktif, seperti di Minahasa dan Sangir. Sungai-sungai pada
umumnya berukuran kecil dan bergradasi curam. Dataran penting tersebar di
berbagai tempat, antara lain dataran Minahasa, Mongondou, dan kawasan sekitar
Danau Limboto di Gorontalo. Di Sulawesi Tengah, dataran penting kebanyakan
berupa lembah, seperti Lembah Bongka di Semenanjung Luwuk, Lembah Sungai
La di Kolonedale, kawasan sekitar Danau Poso dan lembah-lembah kecil di
54
Harto Yuwono, “Sea as A Location for Transaction: Buginese Pandeling in East Borneo,” Journal
of Maritime Studies and National Integration 1, no. 2 (2017): 101.
55
Yuwono, 100.
56
Sebelum bergabung dengan Keresidenan Manado, wilayah Sulawesi Tengah yang meliputi
Donggala, Poso, Tolitoli dan Mamuju, termasuk ke dalam daerah pemerintahan Celebes en
Onderhoorigeheden. Selengkapnya lihat L Nadjamuddin et al., Satu Kota Empat Zaman: Donggala
Pada Masa Tradisional Hingga Terbentuknya Kabupaten (Yogyakarta: Ombak, 2016), 45–47.
Universitas Indonesia
77
pegunungan barat. Dengan kondisi lingkungan tersebut, sampai 1930 ciri pertanian
yang menonjol adalah sistem pertanian ladang. Sistem pertanian ini dilengkapi
sistem pengairan sederhana di dataran tinggi.57 Adapun penanaman padi di Manado
secara umum bukan hanya dilakukan di ladang, tetapi juga sawah, meski dengan
jumlah dan konsentrasi penanaman yang terbatas.
Sebetulnya budi daya padi bukanlah suatu hal yang asing bagi masyarakat
setempat. Paling tidak sejak awal abad ke-17, masyarakat Manado, terutama di
Minahasa, telah rutin menanam padi dan mengekspor beras ke Maluku. Ketika itu,
hasil produksi beras juga sering dibarter guna memperoleh barang-barang impor,
seperti tekstil asing dan senjata api.58 Selain beras, jagung juga menjadi tanaman
pangan dan makanan pokok bagi sebagian besar masyarakat di Manado. Di tempat
lain, seperti Sangir dan Talaud, tanaman pangan utama ialah umbi-umbian dan
pisang.
Perubahan mendasar mulai tampak dalam perdagangan Manado setelah
1870. Angin perubahan itu terlihat dari kedudukan dominan kopi dan cengkeh yang
mulai tergeser dengan tampilnya komoditas ekspor menggiurkan, seperti rotan,
damar dan kopra. Sejak saat itu, bisa diutarakan bahwa secara garis besar Manado
mengalami perubahan dari basis produksi subsistensi menjadi sistem yang lekat
dengan perdagangan global. Penetrasi pasar global secara perlahan mengikis aspek
ketahanan pangan dari petani subsisten. Selain berdampak terhadap peningkatan
volume impor Manado antara 1850 hingga 1900, hal itu juga mengakselerasi proses
monetisasi di kalangan masyarakat Manado. Hal yang penting ialah perubahan
tersebut membuat pengabaian terhadap tanaman pangan mulai terlihat. Kondisi ini
terbukti ketika pada akhir abad ke-19 tanaman pangan disebut mulai sering
terabaikan akibat banyak waktu yang diperlukan masyarakat saat mengumpulkan
damar dan rotan di hutan. Tidak heran jika impor beras dari luar juga meningkat
pesat, terutama setelah 1900.59
57
David Henley, Fertility, Food and Fever : Population, Economy and Environment in North and
Central Sulawesi : 1600-1930 (Leiden: KITLV Press, 2005), 13; 58–59.
58
David Henley, “Rizification revisited Re-examining the rise of rice in Indonesia with special
reference to Sulawesi,” in Histories of foodcrop and livestock farming in Southeast Asia:
Smallholders and Stockbreeders, ed. oleh Peter Boomgaard dan David Henley (Leiden: KITLV
Press, 2004), 125.
59
Henley, Fertility, Food and Fever : Population, Economy and Environment in North and Central
Sulawesi : 1600-1930, 356–57.
Universitas Indonesia
78
60
Asba, ‘Ekspansi Dan Kontraksi Ekspor Kopra Makassar 1883-1958’ (Disertasi), 41-2.
61
David Henley dan Noldy Tuerah, “Krisis-Krisis Abad ke-20 dan Akibatnya di Sulawesi Utara,”
in Dari Krisis Ke Krisis: Masyarakat Indonesia Menghadapi Resesi Ekonomi selama Abad ke-20
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2016), 170–73.
62
Soerabaijasch Handelsblad 17 Maret 1933, 5.
63
Lulofs, De Voedselvoorziening van Nederlandsch-Indie, 70.
Universitas Indonesia
79
64
L.J.J. Caron, Memorie van Overgave van den afgetreden Gouverneur van Celebes en
Onderhoorigheden, 1933, 265.
65
Rosmaida. Sinaga, Masa Kuasa Belanda di Papua 1898-1962 (Depok: Komunitas Bambu, 2013),
7.
66
Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid II: Jaringan Perdagangan
Global Asia Tenggara (R.Z. Leirissa & P. Soemitro, penerjemah) (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2015), 29–31.
Universitas Indonesia
80
kemudian pada abad ke-19.67 Para pendatang itu umumnya bermukim di kota utama
Maluku, seperti Ambon dan Ternate. Kehadiran mereka sudah tentu semakin
meningkatkan kebutuhan beras di Maluku.
Terlepas dari hal tersebut, tampak bahwa Maluku sudah sejak lama
mengimpor beras dari daerah luar guna memenuhi kebutuhan penduduk setempat.
Walaupun saat itu praktek budi daya padi dikembangkan di beberapa tempat,
seperti Moro, Bacan, Sahu dan Halmahera, namun lahan pertanian dan jumlah yang
dihasilkan terbilang minim sehingga belum mampu mencukupi kebutuhan pangan
setempat. Menurut taksiran Van Leur, pada abad ke-17 kebutuhan beras untuk
seluruh penduduk Maluku setiap tahunnya mencapai 8.800 ton.68 Perlu diketahui,
selain beras, sagu dan ikan adalah makanan pokok bagi masyarakat Maluku.69
Ketergantungan terhadap beras impor pada dasarnya tetap berlanjut di paruh
pertama abad ke-20. Hal ini terutama berkaitan dengan kehadiran kopra sebagai
produk ekspor yang dominan dalam aktivitas perdagangan, walaupun produk
ekspor Maluku juga beragam saat itu, seperti rempah-rempah, pertambangan, hutan
dan hasil produk laut. Sebagai gambaran, nilai ekspor kopra mencapai f 0,7 juta
pada 1914. Dalam perkembangannya, kopra telah berkedudukan sebagai komoditas
utama ekspor pada 1927, di mana saat itu total nilai ekspor Maluku mencapai f 6
juta.70 Tren ini tetap terlihat selama dekade 1930-an. Pada 1936, misalnya, sekitar
80 % dari total produk ekspor Maluku yang berjumlah 61.000 ton berasal dari
produk kopra
Pada gilirannya, keadaan tersebut membuat budi daya padi di masyarakat
Maluku tidak berkembang dengan baik sehingga kebutuhan beras tetap bergantung
dari suplai daerah lain, termasuk Sulawesi Selatan. Kecenderungan ini tampak jelas
dari barang-barang yang diimpor di Maluku selama periode akhir pemerintahan
kolonial. Sebagai contoh, impor beras Maluku tercatat sekitar 23.500 ton atau
67
R. Z Leirissa, “Orang Bugis dan Makassar di Kota-kota Pelabuhan Ambon dan Ternate selama
Abad ke-19,” in Kuasa dan Usaha di Masyarakat Sulawesi Selatan (Tim Penerjemah Ininnawa,
penerjemah)2, ed. oleh Roger Tol, Kees Van Dijk, dan Greg Acciaioli (Makassar: Ininnawa, 2019),
300.
68
J.C. Van Leur, Indonesian Trade and Society: Essays in Asian and Economic History (Bandung:
Sumur Bandung, 1960), 171–72.
69
M Adnan. Amal, Kepulauan Rempah-rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950
(Jakarta: KPG, 2010), 13–14.
70
Asba, ‘Ekspansi Dan Kontraksi Ekspor Kopra Makassar 1883-1958’ (Disertasi), 49-51.
Universitas Indonesia
81
sebanyak 63 % dari total tonase impor Maluku yang berjumlah 37.200 ton. Angka
ini jauh melebihi jumlah barang impor lain, seperti gula, tepung, barang-barang
rumah tangga dan barang lainnya. Gula, misalnya, yang hanya diimpor sebanyak
1.800 ton pada tahun yang sama.71 Sementara itu, integrasi perdagangan antar pulau
di Hindia Belanda juga merupakan salah satu faktor yang memudahkan masuknya
beras impor di Maluku. Di Maluku, perdagangan beras umumnya melibatkan
pedagang Cina dan Bugis.72 Beras yang didatangkan di Maluku bukan hanya
diangkut dengan perahu layar, namun juga kapal-kapal uap milik KPM. Sebelum
dekade 1930-an, kebutuhan beras Maluku banyak disuplai dari luar Hindia Belanda
(terutama Saigon dan Siam),73 di samping beras dari daerah lain di Hindia Belanda.
3.4.1.4 Timor dan Daerah Taklukannya
Timor dan Daerah Taklukannya merupakan bagian dari Nusa Tenggara,
yakni sebuah gugusan kepulauan di kawasan Indonesia bagian timur. Di era
kolonial, Nusa Tenggara disebut juga Kepulauan Sunda Kecil yang terdiri dari
berbagai pulau, antara lain Pulau Lombok, Bali, Sumbawa, Flores, Solor, Alor,
Sumba, Timor dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Khususnya Pulau Timor,
sebagian daerahnya (bagian timur) termasuk wilayah yang berada di bawah
kekuasaan Potugis sejak abad ke-18 hingga 1975, sementara sebagiannya lagi
(bagian barat) ialah wilayah yang dikontrol pemerintah kolonial Belanda.74 Secara
umum posisi Nusa Tenggara terletak di antara Laut Flores di sebelah utara, Laut
Timor di sebelah selatan, Selat Lombok di sebelah barat dan Kepulauan Maluku di
sebelah Timur.
Pada 1915, seiring perluasan wilayah koloni di daerah luar Jawa,
pemerintah kolonial Belanda melakukan penataan terhadap Pulau Timor dan pulau-
pulau sekitarnya ke dalam satu wilayah pemerintahan administratif tersendiri
dengan nama Keresidenan Timor dan Daerah Taklukannya (Timor en
Onderhoorigheden). Keresidenan ini terdiri dari lima afdeeling, yakni Afdeeling
71
Haga, 36.
72
Asba, “Ekspansi dan Kontraksi Ekspor Kopra Makassar 1883-1958” (Disertasi), 54.
73
Caron, Memorie van Overgave van den afgetreden Gouverneur van Celebes en
Onderhoorigheden, 265.
74
I Gde Parimartha, Perdagangan dan Politik di Nusa Tenggara 1815-1915 (Jakarta: Penerbit
Djambatan-KITLV, 2002), 29.
Universitas Indonesia
82
Timor Selatan, Timor Utara dan Tengah, Flores, Sumba dan Sumbawa.75
Keresidenan itu kira-kira mencakup wilayah Nusa Tenggara Timur dewasa ini
(selanjutnya disebut Nusa Tenggara bagian timur untuk membedakan dengan Nusa
Tenggara bagian barat).
Nusantara bagian timur sangat populer dengan hasil produk hutannya. Di
antaranya ialah kayu sapan, kayu kuning dan kayu manis yang banyak dihasilkan
di Sumba dan Flores serta kayu cendana, sarang burung, lilin di Sumba dan Timor.
Dengan berbagai komoditas itu, Nusa Tenggara bagian timur sudah sejak lama
bersentuhan dengan dunia luar. Didik Pradjoko menuturkan bahwa sejak 1511
kapal-kapal dagang Portugis telah rutin mengunjungi Pulau Timor untuk membeli
kayu cendana, di samping kunjungan para pedagang Nusantara dan Asia.76 Di abad
ke-18, perdagangan teripang yang meningkat di Makassar menjadikan wilayah ini
sebagai salah satu tempat untuk menjual atau menukar komoditas teripang yang
telah dikumpulkan, selain menjadi tempat persinggahan bagi para pelaut dan
pedagang Sulawesi Selatan yang hendak mencari teripang hingga ke pantai utara
Australia.77
Terlepas dari hal tersebut, secara umum topografi Nusa Tenggara bagian
timur memiliki perbedaan yang cukup menonjol dibandingkan Nusa Tenggara
bagian barat. Selain permukaan yang berbukit-bukit dan lembah yang curam, Nusa
Tenggara bagian timur umumnya memiliki kondisi tanah yang berbatu, kering dan
sedikit air. Akibatnya, dalam hal bercocok tanam, penduduk harus berpindah dari
satu tempat ke tempat lain. Satu bidang tanah garapan biasanya hanya diolah selama
tiga atau empat tahun. Wilayah ini juga tidak didukung dengan keberadaan sungai-
sungai besar yang alirannya dapat difungsikan sebagai sumber pengairan di sawah.
Kalaupun ada, sungainya hanya berupa sungai kecil dengan aliran air yang cukup
di saat musim hujan. Selain itu, curah hujan yang berlangsung juga lebih minim
75
Didik Pradjoko, “Kerajaan Larantuka dan Politik Kolonia Belanda: Dianamika Politik Lokal di
Kawasan Flores Timor, Kepulauan Solor dan Timor Barat 1851-1915” (Disertasi) (Depok:
Universitas Indonesia, 2015), 307–8.
76
Pradjoko, 124.
77
Heather Sutherland, “Trepang and wangkang: The China trade of eighteenth-century Makassar c.
1720s-1840s,” Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde 156, no. 3 (2000): 463; Didik Pradjoko,
“Pelayaran, Perdagangan dan Perebutan Kekuatan Politik dan Ekonomi di Nusa Tenggara Timur:
Sejarah Kawasan Laut Sawu pada Abad XVIII-XIX” (Tesis) (Depok: Universitas Indonesia, 2007),
102.
Universitas Indonesia
83
dibanding Nusa Tenggara bagian barat. Itulah sebabnya sistem pertanian yang
berkembang di masyarakat Nusa Tenggara bagian timur ialah sistem pertanian
ladang (swidden agriculture), bukannya sistem pertanian sawah sebagaimana
tampak Nusa Tenggara bagian barat.
Pada gilirannya, kondisi tersebut berdampak terhadap hasil produksi
pertanian. Jika Nusa Tenggara bagian barat umumnya menghasilkan beras, kapas,
kopi, tebu dan komoditas lainnya, maka Nusa Tenggara bagian timur kebanyakan
menghasilkan jagung, kelapa, kopi, umbi-umbian dan buah-buahan.78 Tidak heran
jika jagung dan umbi-umbian merupakan makanan pokok penduduk, sekalipun
terkadang dijumpai pula nasi yang terbuat dari campuran beras dan jagung
dijadikan sebagai makanan sehari-hari. Karena itu, kebutuhan beras di wilayah ini
sudah sejak lama bergantung dengan suplai beras dari daerah lain. Pelabuhan
Larantuka, misalnya, yang sejak 1879 disinggahi dua kali dalam sebulan oleh kapal
uap Belanda dan perahu layar dari Jawa atau Makassar dengan muatan beras dan
kopi guna memenuhi kebutuhan konsumsi yang sangat dibutuhkan penduduk
setempat saat itu.79
Di awal abad ke-20, secara umum Nusa Tenggara bagian timur masih
dianggap sebagai wilayah yang kurang subur, kering dan penduduk yang lebih
sedikit. Partisipasinya dalam pasar dunia juga lebih sedikit dibanding daerah-daerah
lain di luar Jawa. Dorongan pemerintah kolonial Belanda untuk mengembangkan
budi daya padi bagi masyarakat sesungguhnya baru mulai dilakukan seiring
penataan wilayah ini pada 1915. Hasilnya, menjelang Perang Dunia II, Sumbawa
menjadi daerah penghasil beras penting di Nusa Tenggara bagian timur, di samping
komoditas jagung, bawang dan kacang hijau serta hasil ternak (kuda, sapi dan
kambing).80 Walaupun telah terhitung sebagai daerah surplus ekspor beras sejak
1934,81 namun jumlah yang dihasilkan sebenarnya tidak begitu signifikan. Itulah
78
I Gde Parimartha telah menjelaskan secara detail mengenai kondisi lingkungan dan kehidupan
sosial ekonomi penduduk Nusa Tenggara. Selengkapnya lihat Parimartha, Perdagangan dan Politik
di Nusa Tenggara 1815-1915, 25–57.
79
Pradjoko, “Kerajaan Larantuka dan Politik Kolonia Belanda: Dianamika Politik Lokal di
Kawasan Flores Timor, Kepulauan Solor dan Timor Barat 1851-1915” (Disertasi), 224.
80
Touwen, Extremes in The Archipelago: Trade and Economic Development in the Outer Islands
of Indonesia 1900-1941, 94–95.
81
Dalam laporan kolonial, pada 1934 jumlah surplus beras yang dihasilkan di wilayah Timor en
Onderhoorigheden yakni sebanyak 600 ton. Lihat Indisch Verslag 1938, 62.
Universitas Indonesia
84
mengapa hingga akhir dekade 1930-an komoditas beras masih tetap tercatat dalam
perdagangan impor di Nusa Tenggara bagian timur. Sebagai gambaran, antara 1929
hingga 1933 beras yang diimpor setiap tahun rata-rata sebanyak 5,4 % dari total
nilai impor.82
82
Touwen, Extremes in The Archipelago: Trade and Economic Development in the Outer Islands
of Indonesia 1900-1941, 381.
83
Touwen, 95.
84
Clifford Geertz, Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia (Gatot Triwira,
penerjemah) (Depok: Komunitas Bambu, 2016), 49–50.
Universitas Indonesia
85
85
G Knaap, Shallow Waters, Rising Tide: Shipping and Trade in Java around 1775 (Leiden: KITLV
Press, 1996), 110–12.
86
W M F Mansvelt, Changing Economy in Indonesia: : A Selection of Statistical Source Material
from the Early 19th Century up to 1940/ Volume 4 Rice Prices (The Hague: Nijhoff, 1978), 17–18.
87
Pierre van der Eng, “Market Responses to Climate Stress: Rice in Java in the 1930s,” Australian
Economic History Review 50, no. 1 (2010): 66.
Universitas Indonesia
86
daerah tujuan utama ekspor beras. Pada 1912, misalnya, ekspor beras ke Belanda
sebanyak 32.731 ton dari total ekspor beras Jawa untuk luar negeri yang saat itu
berjumlah 45.407 ton beras. Beberapa pelabuhan penting sebagai pintu keluar untuk
ekspor beras, antara lain Indramayu, Tanjung Priok, Semarang, Pamanukan,
Banyuwangi dan Surabaya.88 Sebagai daerah pengimpor, Jawa menerima suplai
beras dari luar Hindia Belanda dan daerah luar Jawa. Jika impor beras dari luar
negeri umumnya berasal dari daerah daratan Asia Tenggara, maka impor beras dari
domestik utamanya berasal dari Bali dan Lombok serta daerah-daerah lain dengan
jumlah yang lebih minim, seperti Sulawesi Selatan. Beras yang diimpor dari luar
negeri cenderung disukai karena harga yang lebih murah dan tingkat pecahan yang
lebih sedikit dibanding beras hasil produksi domestik. Saat itu, impor beras
terutama ditujukan untuk memenuhi permintaan di kota-kota Jawa yang biasanya
dimasukkan melalui pelabuhan-pelabuhan utama, seperti Tanjung Priok, Semarang
dan Surabaya.89
Walaupun aktivitas impor beras di Jawa tetap berlangsung hingga dekade
1930-an, namun jumlahnya telah menurun drastis. Hal ini disebabkan oleh semakin
intensifnya penanamanan padi akibat depresi ekonomi yang mengguncang
perusahaan-perusahan perkebunan Eropa, di samping adanya kebijakan
pembatasan impor beras. Itulah sebabnya tren peningkatan ekspor beras Jawa ke
daerah luar Jawa tampak jelas pada dekade 1930-an. Pada 1929, misalnya, ekspor
beras daerah Jawa ke daerah luar Jawa masih tercatat sebanyak 30.135 ton dan
kemudian meningkat drastis pada 1937 dengan jumlah 197.143 ton.90
Satu hal yang menarik ialah kegagalan panen padi di beberapa tempat di
Jawa masih kerap terjadi hingga 1930-an. Situasi ini, pada gilirannya,
mengharuskan daerah yang mengalami gagal panen untuk mengimpor beras, baik
dari daerah lain di Jawa maupun daerah luar Jawa. Sebagai contoh, ketika
Bojonegoro, yang notabene merupakan daerah penyuplai beras untuk Kota
Surabaya, dilaporkan mengalami kekurangan hasil produksi padi karena kegagalan
88
H. Blink, “Economische ontwikkeling van nederlandsch oost-indie gedurende de laatste eeuw,”
Tijdschrift voor economische geographie 5, no. 16 (1914): 237–38.
89
van der Eng, “Market Responses to Climate Stress: Rice in Java in the 1930s,” 66.
90
Touwen, Extremes in The Archipelago: Trade and Economic Development in the Outer Islands
of Indonesia 1900-1941, 386.
Universitas Indonesia
87
panen pada 1937. Sementara itu, pada saat yang sama daerah produksi lainnya,
seperti Jember dan Lumajang tidak mengalami hal yang serupa. Namun, beras hasil
produksi Jember dan Lumajang memiliki kualitas yang baik. Karena itu, harganya
lebih mahal dibanding beras Bojonegoro. Dengan kondisi tersebut, sebagian besar
penduduk Kota Surabaya dikhawatirkan akan kesulitan membeli beras Jember dan
Lumajang saat itu. Untuk menghindari hal tersebut, pada akhirnya pemerintah
kolonial setempat memutuskan untuk mengimpor beras dari Cirebon, Banyumas
dan Parepare. Dalam sumber disebutkan bahwa ketiga daerah tersebut memiliki
beras dengan kualitas dan harga yang tidak jauh berbeda dari beras produksi
Bojonegoro.91
Perlu diketahui, sebagaimana diutarakan G.J. Schimmel, wakil kepala
Kantor Perdagangan di Hindia Belanda, bahwa beras dalam perdagangan adalah
barang konsumsi yang rentan dengan fluktuasi harga. Dalam hal ini, keadaan panen
padi yang melimpah di suatu daerah akan dapat menekan harga beras di pasaran.
Sebaliknya, apabila kekurangan beras karena kegagalan panen padi, maka harga
beras akan naik secara cepat.92 Sifat perdagangan beras ini sudah tentu berlaku di
Hindia Belanda secara umum dan Jawa khususnya. Keadaan inilah yang membuat
Jawa terkadang membutuhkan suplai beras dari daerah luar Jawa guna memenuhi
kekurangan beras di daerah tertentu. Dengan demikian, berbeda dari kasus Wanua
Laeng lainnya, pola impor beras yang berlaku di Jawa umumnya berlangsung dalam
keadaan darurat, terutama faktor kegagalan panen.
3.4.2 Struktur Perdagangan
Sebagai aktivitas perekonomian, perniagaan beras sudah tentu tidak terlepas
dari keberadaan struktur yang menentukan pola perdagangan. Struktur yang
dimaksud disini ialah aktor-aktor ekonomi yang terlibat langsung dalam rangkaian
proses perniagaan beras, mulai dari produksi hingga distribusi. Karena itu,
mengingat posisi Parepare berkedudukan sebagai pelabuhan ekspor beras, struktur
perdagangan beras yang berlaku di Parepare perlu diterangkan lebih lanjut.
91
Soerabaijasch Handelsblad 21 Oktober 1937, 5.
92
G. J Schimmel, “De Rijstpolitiek in de jaren 1933 tot 1937,” Landbouw 13 (1937): 158.
Universitas Indonesia
88
Petani
Pedagang Perantara
Eksportir
Pengangkutan
(Kapal Uap KPM/Perahu Layar)
Universitas Indonesia
89
93
G.H.A. Prince, “Kebijakan Ekonomi di Indonesia, 1900-1942,” in Sejarah Ekonomi Modern
Indonesia: Berbagai Tantangan Baru, ed. oleh J. T Lindblad (Jakarta: LP3ES, 2000), 235.
94
J. T Lindblad, “The late colonial state and economic expansion, 1900-1930s,” in The emergence
of a national economy : an economic history of Indonesia, 1800-2000, ed. oleh Howard Dick et al.
(Crows Nest, N.S.W.: Allen & Unwin, 2002), 117–18.
Universitas Indonesia
90
95
J.A.M. Van Buuren, Irrigatie Rapport van Celebes, 1911, 1.
96
Pierre van der Eng, Agricultural Growth in Indonesia : Productivity Change and Policy Impact
since 1880 (New York: St. Martin’s Press, 1996), 57,
http://search.ebscohost.com/login.aspx?direct=true&scope=site&db=nlebk&db=nlabk&AN=4915
74.
97
Van Buuren, Irrigatie Rapport van Celebes, 2–7.
98
Van Buuren, 317.
Universitas Indonesia
91
irigasi skala menengah di Nepo dengan memanfaatkan aliran Sungai Batu Putih.99
Pembangunan ini diperkirakan dapat mengairi secara teknis sekitar 6.000 bau
sawah, yang sebelumnya sebagian besar bergantung pada curah hujan.
Agar program intensifikasi pertanian dapat berjalan lebih maksimal,
pemerintah kolonial mulai menempatkan seorang konsultan pertanian di Afdeeling
Parepare pada 1921. Tujuannya ialah agar penduduk di Afdeeling Parepare dapat
memperoleh hasil panen padi yang memuaskan.100 Selain menggalakkan promosi
penanaman padi, konsultan itu juga berperan penting dalam program intensifikasi
pertanian di daerah pedalaman Parepare. Pada 1923 misalnya, konsultan pertanian
di Parepare membentuk sebuah tim guna mengadakan investigasi terkait kondisi
tanah di Pinrang. Sebanyak 68 sampel tanah di Pinrang berhasil dikumpulkan oleh
tim yang dipimpin langsung oleh konsultan tersebut. Sampel tanah yang telah
dikumpulkan itu kemudian diselidiki lebih lanjut di Weltevreden. Hasilnya ialah
tanah di Pinrang dikatakan sangat cocok untuk budi daya padi, baik secara kualitas
maupun bentuk permukaan tanah yang datar.101 Karakter ini turut disinggung dalam
sumber lain. Disebutkan bahwa tanah di Pinrang, Sidenreng dan Rappang adalah
tanah yang umumnya berjenis alluvial, regosol dan grumosol.102 Jenis tanah tersebut
sangat sesuai untuk budi daya pertanian. Dalam sumber lain disebutkan bahwa
tanah yang ada di Pinrang, Sidenreng dan Rappang adalah tanah yang umumnya
berjenis alluvial, regosol dan grumosol.103 Jenis tanah tersebut sangat sesuai untuk
budi daya pertanian.
Pengembangan irigasi berskala besar direncanakan lagi pada 1924. Saat itu,
terdapat dua rencana pembangunan irigasi baru di daerah pedalaman Parepare.
Salah satunya ialah irigasi yang memanfaatkan aliran Sungai Saddang.
Pembangunan irigasi ini berada di Sawitto (Pinrang) dan diperkirakan akan dapat
mengairi sawah sebanyak 30.000 bau. Satunya lagi ialah pembangunan irigasi Bulu
Timurung di Sidenreng. Sejak 1924, seorang insinyur telah ditunjuk guna
99
Th. A. L Heyting, Memorie van Overgave van den aftredende Gouverneur van Celebes en
Onderhoorigheden, 1915, 90.
100
Nahdia Nur, “Perdagangan Beras di Makassar Awal Abad XX,” Lembaran Sejarah 5, no. 1
(2003): 87.
101
Bataviaasch Nieuwsblad, 22 Oktober 1924, 1.
102
A. A. Adi Mulya, “Dampak Revolusi Hijau Di Sulawesi Selatan 1969-1998” (Tesis) (Depok:
Universitas Indonesia, 2017), 39.
103
Mulya, 39.
Universitas Indonesia
92
3000 3159
2000
1238
1000
0
1909 1910 1911
Ekspor Beras
Sumber: diolah dari Verslag van de Kamer van Koophandel en Nijverheid te Makassar
over het jaar 1911.
104
F Vorstman, Memorie van den Gouverneur van Selebes en Onderhoorigheden, 1924, 78.
Universitas Indonesia
93
misalnya, beras yang diekspor tercatat hanya sebesar 1.338 pikul atau setara dengan
83 ton.105 Karena itu, dengan kondisi sawah yang sebagian besar sawah tadah hujan,
tingkat votalitas yang tinggi masih membayangi budi daya pada ketika itu. Oleh
sebab itu, tampak bahwa sawah tadah hujan adalah faktor utama yang menghambat
perdagangan beras di pelabuhan Parepare.
Pada akhirnya, upaya intensifikasi pertanian di daerah pedalaman yang
pertama kali dilakukan pada 1914 mulai membawa pengaruh terhadap aktivitas
perdagangan beras di pelabuhan. Kondisi ini tampak jelas dari jumlah ekspor beras
yang terus meningkat setelah upaya tersebut. Pada 1915, misalnya, beras yang
dikapalkan di Parepare telah tercatat sebanyak 124 ton, meskipun perbedaannya
masih cukup mencolok dibanding ekspor beras pada 1911.106 Hal yang menarik
ialah lonjakan drastis ekspor beras terjadi pada 1916, yakni sebanyak 2.558 ton atau
telah meningkat sebanyak 2.434 ton dari jumlah ekspor tahun sebelumnya.107
Bahkan, antara Januari hingga September 1917, jumlah beras yang diekspor telah
mencapai sekitar 50.000 pikul atau setara dengan 3.000 ton.108 Sebab itu, jelas
bahwa selain kondisi musim yang berlangsung normal, peningkatan jumlah ekspor
beras pada tahun-tahun tersebut adalah dampak positif dari upaya intensifikasi
pertanian di daerah pedalaman.
Harga pasaran beras di Parepare pada dekade 1910 terbilang murah. Pada
1917, misalnya, beras nomor 1 dijual dengan kisaran harga f 7 – f 7,5 per pikul dan
beras nomor 2 dijual antara f 5 – f 6 per pikul.109 Pada 1918, kondisi perberasan
domestik di Hindia Belanda semakin mengkhawatirkan akibat langkanya110 barang
impor, termasuk beras. Akibatnya, harga beras semakin naik di pasaran. Pada tahun
105
De Indische Mercuur, 30 Januari 1920.
106
De Indische Mercuur, 30 Januari 1920.
107
Pemberita Makassar, 6 September 1917.
108
Pemberita Makassar, 30 Oktober 1917.
109
Pemberita Makassar, 6 September 1917.
110
Berlangsungnya Perang Dunia I (1914-1918) membuat sebagian besar aktivitas pelayaran dan
perdagangan di pelabuhan-pelabuhan Hindia Belanda mengalami hambatan karena terbatasnya
kapal-kapal yang beroperasi. Hal ini juga berakibat semakin langkanya barang-barang impor di
pasaran domestik, termasuk komoditas beras yang diimpor dari daratan Asia Tenggara. Untuk hal
ini, lihat Jan Luiten van Zanden dan Daan Marks, Ekonomi Indonesia 1800-2010: Antara Drama
dan Keajaiban Pertumbuhan (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2012), 198; C. v Dijk, The
Netherlands Indies and the Great War 1914-1918 (Leiden: KITLV Press, 2007), 527–29.
Universitas Indonesia
94
itu, harga beras di Batavia telah dijual sebesar f 12 per pikul,111 sementara beras di
Parepare masih dijual sebesar f 10 per pikul.112
Grafik 3.4 Ekspor Beras di Parepare pada Paruh Pertama
Dekade 1920
10000
9000
8000 9000
7000 7800
dalam ton
6000
5000
4000 4500 4300
3000
2000 2700
1000
0
1921 1922 1923 1924 1925
Ekspor Beras
111
Dijk, The Netherlands Indies and the Great War 1914-1918, 523.
112
Pemberita Makassar, 3 April 1918.
Universitas Indonesia
95
113
Jenis beras yang diolah sendiri disebut “Beras Tumbuk”. Penjelasan detail mengenai jenis beras
berdasarkan proses pengolahannya dapat dilihat di bab berikutnya.
114
Lihat Koloniaal Verslag 1926, dalam Hoofdstuk O, 185.
115
Bataviaasch Nieuwsblad, 22 April 1924.
116
H. C Zentgraaff, Van Eilanden in Opkomst (Soerabaiasch Handelsblad, 1929), 61.
Universitas Indonesia
96
tongkang boleh dikata ada saingan keras dari KPM.”117 Dengan demikian, bisa
dikatakan bahwa pengangkutan komoditas beras dari Parepare ke Wanua Laeng
kebanyakan ditangani oleh armada perahu. Situasi ini paling tidak berlangsung
sampai akhir 1910-an. Memasuki dekade 1920, struktur ekonomi yang semakin
lekat dengan perdagangan global membuat kebutuhan beras di Wanua Laeng juga
semakin meningkat. Itulah sebabnya, KPM mulai memberi perhatian terhadap
potensi niaga komoditas beras di Parepare. Hal ini tampak dari jalur 13 yang mulai
memasukkan Parepare sebagai pelabuhan singgah yang fakultatif pada 1924. Jalur
ini menyinggahi Parepare dalam rute kepulangannya guna memuat komoditas beras
untuk dikapalkan ke pantai timur dan selatan Kalimantan. Sebab itu, tampak jelas
arti penting komoditas beras dalam konteks kegiatan pelayaran di Parepare. Selain
itu, mengingat antara Parepare dan Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan baru
terkoneksi dengan kapal uap KPM sejak 1924, itu berarti bahwa pada masa
sebelumnya pengangkutan komoditas beras ke Wanua Laeng tersebut hanya
mengandalkan perahu layar milik pribumi. Dalam konteks itu, ketika tiba di
Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, komoditas beras dijual atau dibarter ke
penduduk atau pedagang setempat. Dalam pelayaran pulang, para pelaut-pedagang
sering memuat kayu dan balok sebagai muatan balik untuk kemudian dijual di
Parepare atau tempat lain di pantai barat Sulawesi.118
Sampai akhir 1920-an, komoditas beras di Parepare diperdagangkan ke
beberapa tempat. Di antaranya ialah Mandar, Sulawesi Tengah, Kalimantan Timur
dan Kalimantan Selatan, pulau-pulau di dekat Madura dan pulau-pulau di Selat
Makassar.119 Khususnya pulau-pulau di Selat Makassar, kebutuhan beras di daerah
tersebut terutama bersumber dari mata pencaharian masyarakat yang sebagian besar
berprofesi sebagai nelayan dan budi daya kelapa.120
Berdasarkan uraian mengenai perdagangan beras di atas, tampak jelas
bahwa aturan collecting centre bagi Parepare tidaklah berlaku secara ketat. Sebab,
sekalipun berbagai komoditas yang dimuat di pelabuhan umumnya diangkut ke
Makassar atau entrepot lainnya, komoditas beras sesungguhnya tidaklah demikian
117
Pemberita Makassar, 30 Oktober 1917.
118
Pemberita Makassar, 30 Oktober 1917.
119
Pemberita Makassar, 30 Oktober 1917’.
120
Vorstman, Memorie van den Gouverneur van Selebes en Onderhoorigheden.
Universitas Indonesia
97
121
Leong Sau Heng, “Collesting Centres, Feeder Points and Entrepots in the Malay Peninsula 1000
B.C - A.D. 1400,” in The Southeast Asian Port and Polity: Rise and Demise, ed. oleh J.
Kathirithamby- Wells dan John Villiers (Singapore: Singapore University Press, 1990), 17–38.
122
Arsip Financien, No 739.
Universitas Indonesia
98
1770-an. Akses jalan ke pelabuhan juga turut dikerjakan yang selesai pada 1907.
Sampai 1919, fasilitas dermaga pelabuhan Parepare paling tidak telah dilengkapi
dengan 2 mooring bouy.123
123
Ministerie Van Marine Afdeeling Hydrographie, Zeemansgids voor den Oost-Indischen Archipel.
Deel IV (’s-Gravenhage: Mouton & Co, 1919), 176.
124
Staatsblad van Nederlandsch Indie 1908 No. 332.
Universitas Indonesia
99
125
Arsip Financien, No 739, Surat tentang Begrooting van Kosten voor het bouwen van tijdelijke
bamboozen loodsen ten dienste van de recherche te Makasser.
126
Verslag over de Burgerlijke Openbare Werken in Nederlandsch-Indie over het jaar 1909
(Batavia: Landsdrukkerij, 1911), 46.
127
Adrian B Lapian, Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad Ke-16 dan 17 (Depok: Komunitas
Bambu, 2008), 102.
128
Th. A. L Heyting, Memorie van Overgave van Den Aftredende Gouverneur van Celebes En
Onderhoorigheden, 1915, 114; Pemberita Makassar 17 Mei 1915, 1; Pemberita Makassar, 6
Oktober 1914, 2.
Universitas Indonesia
100
129
Pemberita Makassar 17 Mei 1915, 1.
130
E. A. J Nobele, Memorie van overgave betreffende de onderafdeeling Makale van den
aftredenden Gezaghebber bij het Binnenlandsch-Bestuur (Weltevreden: Albrecht & Co, 1926), 102.
Universitas Indonesia
101
dari Pinrang ke Parepare dengan kuda beban sebesar f 1 dan f 0,50 untuk biaya
pengangkutan dengan kuli angkut.131 Dari jumlah itu, tampak bahwa ongkos
transportasi di Pinrang lebih rendah dibandingkan di Toraja. Perbedaan tersebut
kemungkinan ditentukan oleh kondisi dan tingkat kerumitan rute yang dilalui, di
mana Toraja berada di dataran tinggi dan Pinrang sendiri sebagian wilayahnya
berada di dataran rendah. Kedudukan kuda beban dan kuli angkut sebagai moda
transportasi utama bagi penduduk paling tidak bertahan hingga akhir dekade 1910-
an.
131
Soerabaijasch Handelsblad, 27 Juli 1907, 6.
Universitas Indonesia
102
yang menghubungkan Parepare dan Pinrang telah dapat dilalui dengan kendaraan
bermotor setahun sebelumnya. Pada masa itu, proyek perbaikan jalan di Afdeeling
Parepare dikerjakan oleh perusahaan Volharding. Sampai 1916, biaya yang telah
dikeluarkan untuk pengerjaan jalan-jalan tersebut ialah sebesar f 22.687. Adapun
pengerjaan jalan menggunakan layanan kerja wajib (heerendiensten).
Minimnya saldo kas daerah adalah salah satu hambatan utama perluasan
perbaikan jalan di Afdeeling Parepare. Heyting kemudian mengajukan permohonan
pinjaman dana ke Gubernur Jenderal di Batavia melalui suratnya tertanggal 25 Juni
1914 nomor 3516. Dalam permohonan itu, Heyting menganggarkan jumlah
pinjaman dalam rangka pembangunan jalan dan jembatan untuk Afdeeling Parepare
sebanyak f 150.000.132 Pada akhirnya, pengerjaan jalan dapat berlanjut berkat
permohonan tersebut. Pada 1917 misalnya, pengerasan jalan diperpanjang ke arah
yang lebih utara lagi hingga mencapai Majene dan mulai dapat dilalui dengan mobil
pada tahun yang sama.133 Untuk jalan poros Parepare-Makassar, yang telah dapat
dilalui dengan kendaraan bermotor sebelum 1915, perbaikan infrastruktur hanya
ditujukan pada pembangunan beberapa jembatan permanen. Hal ini guna
mengganti jembatan penyeberangan yang masih menggunakan rakit di Barru. Pada
1916, sebanyak 200.000 gulden dianggarkan untuk pembangunan jembatan
permanen tersebut.134
Berbeda dengan dekade 1910-an, perubahan signifikan terhadap jaringan
jalan mulai tampak pada awal dekade 1920-an. Perubahan ini tidak terlepas dari
upaya pengembangan jaringan jalan yang digagas selama pemerintahan F.C.
Vorstman, Gubernur Celebes en Onderhoorigheden (memerintah 1921-1924). Di
masanya, penyempurnaan jalan-jalan utama yang telah ada menjadi fokus
utamanya, di samping pembangunan jalan baru. Misalnya, peningkatan jalan utama
yang membentang di sepanjang pesisir barat, mulai dari Makassar melalui Parepare
hingga ke Majene (panjang 393,50 km). Peningkatan jalan utama juga dilakukan
untuk jalan poros Parepare-Sidenreng (75,75 km), yang melalui Pangkajene,
Tanrutedong, Bolamalimpong dan Gilirang.135 Dengan pengembangan jaringan
132
Heyting, Memorie van Overgave van den aftredende Gouverneur van Celebes en
Onderhoorigheden, 108–13.
133
Pemberita Makassar 6 September 1917.
134
Pemberita Makassar, 31 Maret 1916.
135
Vorstman, Memorie van den Gouverneur van Selebes en Onderhoorigheden, 206–7.
Universitas Indonesia
103
jalan itu, sebagaimana disebutkan dalam surat kabar yang terbit pada 1923,
“...semua jalan itu sudah cocok untuk mobil atau dibuat sesuai untuk lalu lintas
cepat (snel verkeer).”136
Upaya Vorstman tersebut sesungguhnya telah mengubah secara mendasar
praktek pengangkutan barang dari dan ke pelabuhan Parepare. Sejak saat itu,
dengan pertimbangan efisiensi, mobil penumpang (personenauto) dan mobil truk
(vrachtauto) secara perlahan mulai menjadi pilihan utama bagi masyarakat di
daerah pedalaman.137 Sementara itu, kuda pa’teke dan kuli angkut mulai kurang
diminati untuk pengangkutan jarak jauh, meskipun belum sepenuhnya tergantikan
dalam konteks pengangkutan komoditas dari dan ke pelabuhan. Dalam tahap
peralihan itu, selain sebagai alat pengangkut rumput untuk pakan hewan ternak
(lihat lampiran 4), kuda pa’teke lebih banyak dimanfaatkan untuk mengangkut
barang produksi lokal dari permukiman penduduk, berupa jalan setapak, menuju
pasar-pasar utama di daerah pedalaman. Dari tempat-tempat perdagangan tersebut,
barang produksi lokal, termasuk gabah dan beras, kemudian diangkut ke Parepare
menggunakan angkutan truk dan sejenisnya. Pola pengangkutan itulah yang terus
berlangsung hingga berakhirnya kolonialisme Belanda.
Jika dicermati lebih jauh, khususnya selama periode 1905 hingga 1925,
berbagai pengembangan jaringan jalan tersebut pada dasarnya terkait erat dengan
peningkatan hasil produksi pertanian di daerah pedalaman, terutama beras.
Peningkatan itu pada gilirannya memengaruhi aktivitas perdagangan beras di
pelabuhan. Kondisi ekonomi di Wanua Laeng yang semakin lekat dengan
perdagangan global juga membuat permintaan komoditas beras di Parepare
meningkat, terutama selama paruh pertama dekade 1920. Praktis, lalu lintas barang
ekspor-impor di pelabuhan juga semakin meningkat. Karena itu, pemerintah
kolonial sekali lagi mengadakan perbaikan infrastruktur pelabuhan. Hal ini terlihat
ketika dermaga kapal di pelabuhan mulai diperbaharui pada 1924. Pekerjaan ini
terutama dimaksudkan untuk mengganti dua tiang pancang yang menjadi pondasi
136
De Indische Courant, 11 Oktober 1923.
137
Sebenarnya Parepare telah terhubung dengan layanan mobil untuk jurusan Makassar-Parepare
sejak 1918. Namun demikian, saat itu layanan pengangkutan yang beroperasi masih terbatas dan
hanya diperuntukan bagi pengangkutan pos (beroperasi 4 kali dalam seminggu). Layanan
pengangkutan pos ini diadakan oleh J.H.R. Broeder yang memiliki sebuah perusahaan pengangkutan
di Makassar. Lihat Pemberita Makassar, 10 September 1918.
Universitas Indonesia
104
dermaga. Dengan biaya sebesar f 194.855, proyek renovasi dermaga baru selesai
dikerjakan pada Februari 1925.138 Oleh sebab itu, tampak jelas bahwa komoditas
beras menjadi salah satu pemicu utama pengembangan infrastruktur pelabuhan.
138
Lihat Arsip Burgerlijke Openbare Werken , No. 12162. Arsip tentang Laporan Resmi Pekerjaan
Pembangunan Tiang Dermaga di Pelabuhan Parepare.
Universitas Indonesia
BAB IV
MENJADI RIJST HAVEN DI KAWASAN SELAT MAKASSAR:
PELABUHAN PAREPARE DAN PERDAGANGAN BERAS (1926-1939)
4.1. Pendahuluan
Dalam konteks studi pelabuhan di Hindia Belanda, terdapat sebuah
pandangan yang beranggapan bahwa pelabuhan-pelabuhan kecil umumnya
mengalami fase kemunduran selama dekade terakhir pemerintahan kolonial
Belanda.1 Namun, pandangan itu tampaknya tidak berlaku bagi Parepare. Sebab,
aktivitas pelayaran dan perdagangan di pelabuhan justru memasuki fase yang
gemilang. Berawal dari terkonsentrasinya pintu keluar komoditas beras pada
1926, fase kegemilangan itu berhasil menghantarkan Parepare untuk tampil
sebagai pelabuhan beras (rijst haven) utama di kawasan Selat Makassar, terutama
pada 1930-an. Dalam laporannya, seorang ahli bumi asal Eropa sempat
menyinggung persoalan aktivitas pelayaran dan perdagangan komoditas beras di
Selat Makassar. Ketika menyeberangi perairan selat dari pantai timur Kalimantan
menuju pantai barat Sulawesi pada Oktober 1932, perahu yang ia tumpangi
berpapasan dengan rombongan perahu layar milik pribumi yang sedang berlayar
ke arah utara. Dengan begitu yakin, ia menulis bahwa “…beberapa perahu lain
melewati kami, seperti membawa muatan beras dari Parepare.”2 Penuturan ini
menyiratkan sebuah kesan bahwa saat itu pelabuhan Parepare telah dikenal
khalayak sebagai pusat perdagangan beras di kawasan Selat Makassar, alih-alih
menyebut Makassar yang notabene merupakan entrepot di wilayah timur
Nusantara. Pertanyaannya, bagaimana pencapaian itu bisa terjadi? Penjelasan dari
pertanyaan itu bermuara pada fokus bab ini yang mengetengahkan perkembangan
pelabuhan Parepare dan perdagangan beras (1926-1939). Pembahasan bab ini
dimulai dengan pengembangan fasilitas pelabuhan. Bab ini juga mengulik
persaingan antara pelabuhan Parepare di pantai barat dan pelabuhan Palima di
Teluk Bone. Selanjutnya ialah perdagangan di pelabuhan Parepare selama 1930-
1
Lihat misalnya Sutejo Kuwat Widodo, “Perkembangan Pelabuhan Pekalongan Menjadi
Pelabuhan Perikanan, 1900-1990” (Disertasi) (Depok: Universitas Indonesia, 2002), 5.
2
H Witkamp, “Langs de Lariang-Rivier (West-Celebes),” Tijdschrift van Het Aardrijkskundig
Genootschap 57 (1940): 582–83.
105
Universitas Indonesia
106
an, di mana dekade ini sarat kaitannya dengan kontrol negara dalam aktivitas
perniagaan beras serta jaringan pelayaran sebagai bahasan penutup.
4.2. Pengembangan Infastruktur Pelabuhan
Peningkatan aktivitas perdagangan secara umum dan perdagangan beras
secara khusus, adalah pendorong utama dalam pengembangan fasilitas pelabuhan
Parepare. Salah satu indikator utamanya ialah jumlah pendapatan bea dan cukai
ekspor-impor. Pada 1926, misalnya, jumlah pendapatan pelabuhan telah mencapai
f 39.915,3 yang dua tahun sebelumnya hanya tercatat sebesar f 16.456.4
Penghasilan sebesar itu mencatatkan Parepare sebagai pelabuhan dengan
pendapatan terbanyak kedua setelah Makassar di Celebes en Onderhoorigheden.
Jadi, jelas bahwa upaya perbaikan tiang dermaga pelabuhan yang selesai
dikerjakan pada 1925 tidak terlepas dari peningkatan aktivitas perdagangan,
termasuk komoditas beras. Hal yang menarik ialah perbaikan dermaga telah
memungkinkan Parepare dikunjungi kapal uap KPM yang memiliki bobot 3.000
ton, seperti kapal Van Waerwijck dan Van Imhoff .5
Walaupun perbaikan tiang dermaga pancang membawa dampak positif,
namun kondisi infrastruktur pelabuhan sebetulnya masih meninggalkan keluhan-
keluhan serius dari para pedagang. Salah satu keluhan yang menonjol
diungkapkan oleh salah seorang responden pada 1926. Dalam tulisannya, ia
menyatakan bahwa Parepare masih sulit dikunjungi pada malam hari.6 Kesulitan
ini bersumber dari ketiadaan pencahayaan pantai yang memungkinkan kapal dapat
melego jangkar dengan aman di dermaga pelabuhan. Munculnya keluhan itu
agaknya dapat dipahami dari keadaan perdagangan di Parepare yang mengalami
peningkatan saat itu, khususnya produk ekspor yang dihasilkan daerah pedalaman.
Sebagai gambaran, komoditas beras yang diekspor mencapai sekitar 160.000 pikul
pada 1925.7 Itu sebabnya, sebagai tanggapan atas keluhan itu, sebuah lampu
pencahayaan pantai juga mulai dipasang di Tanjung Lero pada 1927.8 Lampu ini
menjadi penanda pintu masuk area pelabuhan di malam hari.
3
Koloniaal Verslag 1926, dalam hoofdstuk S, 6.
4
Koloniaal Verslag 1924, dalam hoofdstuk U, 6.
5
De Locomotief, 11 Februari 1926.
6
De Locomotief, 11 Februari 1926.
7
Deli Courant, 28 Desember 1926.
8
De Indische Courant, 19 September 1927.
Universitas Indonesia
107
9
L.J.J. Caron, Memorie van Overgave van Den Afgetreden Gouverneur van Celebes En
Onderhoorigheden, 1933, 311.
Universitas Indonesia
108
sebagai pusat perniagaan beras pada tahun-tahun berikutnya. Itu sebabnya pula,
dalam laporan serah terima jabatannya yang ditulis pada 1933, L.J.J. Caron
mengungkapkan bahwa, “…ketika kebutuhan (dermaga) muncul dan pemangku
kepentingan (pedagang) bersedia membiayai pembangunan, tujuannya adalah
membangun lebih banyak dermaga (perahu). ”10
Pernyataan tersebut terbukti dari kondisi fasilitas dermaga di Parepare
menjelang Perang Dunia II. Pada masa itu, pelabuhan telah memiliki sembilan
dermaga. Satu di antaranya ialah dermaga kapal uap. Satu lagi ialah dermaga
pendaratan milik BPM. Selebihnya merupakan dermaga kayu yang dikhususkan
buat perahu layar. Pengembangan yang serupa juga tampak dari fasilitas
pelabuhan berupa gudang penyimpanan. Terdapat sembilan bangunan yang
difungsikan sebagai gudang pada akhir 1930-an. Adapun gudang-gudang itu
adalah tiga gudang milik KPM, dua gudang milik pedagang Cina, satu gudang
milik perusahaan pengaspalan milik Socony, satu gudang milik BPM dan
selebihnya merupakan gudang yang didirikan oleh pemerintah kolonial guna
menunjang aktivitas bongkar-muat di pelabuhan.11 Seluruh gudang itu tersebar di
sekitar pelabuhan.
Pada dasarnya, perdagangan komoditas beras merupakan faktor penting
yang mendorong berbagai pengadaan fasilitas pelabuhan tersebut. Salah satu
indikatornya ialah dermaga perahu. Dari tujuh dermaga perahu yang tersedia,
empat di antaranya merupakan dermaga pabrik penggilingan padi yang
dikhususkan untuk memuat komoditas beras. Adapun besaran masing-masing
dermaga itu ialah dua dermaga berukuran 90 kaki, satu dermaga berukuran 60
kaki x 20 kaki dan satunya lagi berukuran 55 kaki x 12 kaki.12
Selain itu, pengembangan jaringan jalan tetap menjadi fokus utama dalam
rangka menopang kegiatan pelayaran dan perdagangan. Meskipun jalan-jalan
sekunder masih berupa pengerasan, namun jalan-jalan utama13 di Parepare telah
10
Caron, 312.
11
Allied Geographical Section Southwest Pacific Area, Special Report No. 80, Makassar (SW
Celebes), Dates 24 August 1945, 25–26.
12
Allied Geographical Section Southwest Pacific Area, Special Report No. 80, Makassar (SW
Celebes), Dates 24 August 1945, 25.
13
Lihat lampiran 5
Universitas Indonesia
109
14
J. Allart, Memorie van Overgave van de Afdeeling Parepare, 1933, 2.
15
Het Nieuws van Den Dag Voor Nederlandsch-Indië, 24 Agustus 1929, 1.
16
Pemberita Makassar, 5 Mei 1926.
17
Soerabaijasch Handelsblad, 24 April 1929.
Universitas Indonesia
110
Ket :
Parepare
Sungai
Cenrana
Palima
18
Widodo, “Perkembangan Pelabuhan Pekalongan Menjadi Pelabuhan Perikanan, 1900-1990”
(Disertasi), 2–3.
19
Susanto Zuhdi, “Perkembangan Pelabuhan Dan Kota Cilacap, Jawa Tengah 1830-1940”
(Tesis) (Jakarta: Universitas Indonesia, 1991), 51.
Universitas Indonesia
111
20
Pada periode pemerintahan kolonial Belanda, selain Pallima sebagai gerbang ekspor-impor
utama di pantai timur Sulawesi Selatan, Afdeeling Bone sebenarnya masih memiliki beberapa
pelabuhan kecil lain yang berada di pantai timur Sulawesi Selatan, antara lain Patiro, Bajoe,
Jalang, Siwa, Doping, Peneki, Lamuru Kung, Barobbo dan Salangketo. Kecuali dua yang disebut
pertama, semua pelabuhan lainnya terletak di Wajo. Untuk lebih jelasnya, lihat M Van. Rhijn,
Memorie van Overgave van de Afdeeling Bone, 1931, 21.
21
Koloniaal Verslag over het jaar 1926, Hoofdstuk O, 185.
Universitas Indonesia
112
diekspor kembali. Dalam jumlah yang lebih sedikit, komoditas beras di Palima
juga diangkut langsung ke daerah-daerah yang berada di sekitar kawasan Teluk
Bone, seperti Malili, Palopo, Kendari, Kolaka, Buton, Muna dan bahkan
Kepulauan Selayar.22 Sementara itu, berbeda dengan Palima, komoditas beras di
Parepare dikapalkan langsung ke berbagai daerah tujuan. Produk ekspor lain di
Palima ialah jagung, kopra, tembakau, kapok dan gula aren.
Semenjak berada di bawah kontrol pemerintah Belanda, Palima secara
perlahan berkembang sebagai salah satu pelabuhan penting di kawasan Teluk
Bone. Keadaan ini tampak jelas dari aktivitas ekspor-impor. Sebagai gambaran,
pada 1911 nilai impor Palima tercatat sebesar f 730.662, sementara nilai impor
Malili, salah satu pelabuhan kecil di Teluk Bone yang produk ekspornya
bertumpu dari hasil hutan (damar dan rotan), hanya sebesar f 477.400. Adapun
nilai impor Parepare sendiri ialah sebesar f 709.039 pada tahun yang sama.23 Arti
penting Palima juga tercermin dari frekuensi kunjungan kapal. Pada 1916,
misalnya, Palima dikunjungi kapal uap sebanyak 52 dengan tonase 200.256 M3.
Pada tahun yang sama, sekalipun Parepare juga dikunjungi kapal uap sebanyak
52, namun jumlah tonasenya masih lebih rendah dibanding Palima, yakni 118.139
M3.24 Dengan demikian, tampak jelas keunggulan Palima dibandingkan Parepare.
Situasi ini setidaknya tetap bertahan hingga akhir dekade 1910.
Pada dasarnya, keunggulan Palima tersebut tidak terlepas dari upaya
perbaikan jaringan jalan yang menghubungkan pusat-pusat perdagangan utama di
daerah pedalaman Palima. Tempat-tempat itu ialah Cabenge, Sengkang,
Pompanua dan Watampone. Dari tempat itulah hasil produksi pertanian dibawa ke
Sungai Cenrana untuk kemudian dialirkan ke Palima. Terkait perbaikan jalan di
daerah-daerah tersebut, pemerintah kolonial telah banyak memberi perhatian sejak
berakhirnya ekspedisi militer Sulawesi Selatan pada 1905-1906. Di samping
perbaikan jaringan jalan, kemajuan Palima juga bersumber dari curahan perhatian
yang sejak awal telah ditunjukkan pihak KPM. Semenjak penggabungan
Makassar dan pelabuhan-pelabuhan kecil di sekitarnya ke dalam daerah tol pada 1
22
J.A. van Beukering, “De Rijstsituatie in Zuid-Celebes,” Economisch Weekblad Voor
Nederlandsch-Indie (Batavia, December 1935), 1264.
23
Verslag van de Kamer van Koophandel En Nijverheid Te Makassar over Het Jaar 1911.
24
Statistiek van de Scheepvaart Nederlandsch-Indie over Het Jaar 1916.
Universitas Indonesia
113
25
J.N.F.M. Campo, Engines of Empire : Steamshipping and State Formation in Colonial
Indonesia (Hilversum: Verloren, 2002), 145.
26
De Locomotief, 10 Maret 1925.
27
F Vorstman, Memorie van Den Gouverneur van Selebes En Onderhoorigheden, 1924, 207.
28
Kecuali dua jembatan penyeberangan tersebut, sampai 1924 masih terdapat tiga jembatan
penyeberangan di jalan-jalan utama, yakni Parepare-Majene, Gilringan-Palopo, Balangnipa-
Watampone. Lihat Vorstman, 208.
Universitas Indonesia
114
29
De Locomotief, 10 Maret 1925, 1.
30
Vorstman, Memorie van Den Gouverneur van Selebes En Onderhoorigheden, 212.
31
Pemberita Makassar, 5 Mei 1926, 1.
32
Rhijn, Memorie van Overgave van de Afdeeling Bone.
Universitas Indonesia
115
33
W.E.G. Veen, Memorie van Overgave van de Afdeeling Bone, 1935, 19.
34
L.Van Vuuren, Het Gouvernement Celebes, Deel I (Weltevreden: Encyclopaedisch Bureau,
1920), 463.
35
Pemberita Makassar, 5 Mei 1926, 1.
Universitas Indonesia
116
ini ditandai dengan dikeluarkannya sebuah konsesi pembangunan jalur trem yang
diberikan kepada Tuan E.W. van Baerle atas nama Naamlooze Vennootschap
(NV) “Mijnbouw- en Industrie-Syndicaat Timor”. Berdasarkan besluit Gubernur
tanggal 14 Mei 1909 No. 35, perusahaan swasta ini diberi prioritas membangun
jalur trem uap, yang dimulai dari Parepare hingga ke Padoepa.36 Sayangnya,
rencana tersebut tidak berhasil diwujudkan. Salah seorang responden menuturkan
bahwa konstruksi jalur trem tersebut sulit terlaksana mengingat tempat-tempat
yang dilalui tidak cukup datar atau landai sehingga biaya pembangunan yang
dibutuhkan tidaklah sedikit.37
Berikutnya ialah rencana pembangunan rel kereta api pada 1917. Ada dua
jalur dalam rencana pembangunan rel kereta tersebut. Pertama, jalur di sepanjang
daerah pesisir yang menghubungkan Takalar, Limbung, Makassar, Maros,
Pangkajene, Marang hingga Segeri. Kedua, jalur yang menghubungkan Parepare,
Alita, Sidenreng, Balamalimpong hingga ke selatan menuju Sengkang. Dengan
panjang 87 kilometer, Parepare direncanakan menjadi titik pemberhentian utama
dalam jalur tersebut.38 Tujuan jalur kedua ini ialah mengalihkan pembuangan
produk ekspor lokal dari Palima ke Parepare. Namun demikian, akibat resesi
ekonomi pada awal dekade 1920-an, hanya jalur pertama yang terealisasi.39 Isu
pembangunan jalur kereta api sekali lagi digulirkan pada 1928. Jalur kereta
direncanakan hendak menghubungkan Parepare dan kawasan sekitar Danau
Tempe. Namun, rencana yang diproyeksikan menelan biaya pembangunan sebesar
8 juta gulden ini juga tidak berhasil direalisasikan. Pertimbangan utamanya ialah
semakin maraknya layanan angkutan truk (dienst-vrachtauto) antara Parepare dan
Sengkang40, sehingga pembangunan ini akan sangat beresiko. Kendati berbagai
rencana tersebut tidak pernah terwujudkan, namun peningkatan jaringan jalan raya
menjadi berkah tersendiri bagi Parepare. Hal ini terlihat dalam pengangkutan
beras dari Wajo dan Soppeng ke Parepare yang semakin intens berlangsung.
36
Koloniaal Verslag 1909, dalam Hoofdstuk P, 296–97.
37
De Locomotief, 8 Juli 1909, 2.
38
Pemberita Makassar, 30 Juni 1917, 1.
39
Saat itu, pengaruh resesi ekonomi sangat berdampak terhadap pembangunan kereta api tersebut.
Bahkan, jalur pertama, yang secara resmi mulai beroperasi pada 1 Juli 1922, banyak mengalami
perubahan dari yang telah direncanakan sebelumnya. Perubahan ini tampak jelas dari rutenya yang
hanya mencakup Takalar hingga Makassar dengan panjang kira-kira mencapai 47 kilometer. Lihat
Pemberita Makassar, 1 Juli 1922, 1.
40
Pemberita Makassar, 17 April 1928
Universitas Indonesia
117
Dalam memori serah terima jabatan M.J. Allaart, Asisten Residen Parepare
(memerintah 1930-1933), ia menegaskan bahwa beras yang diekspor melalui
pelabuhan Parepare tidak sepenuhnya berasal dari Afdeeling Parepare, tetapi juga
Onderafdeeling Wajo dan Soppeng.41 Informasi dari Van Beukering cukup
membantu dalam melihat seberapa besar andil beras Wajo dan Soppeng terhadap
perdagangan beras di pelabuhan Parepare. Menurutnya, pada tahun panen
1934/1935, sebanyak 15.400 ton atau sekitar 48 % dari total beras yang diekspor
di Parepare ialah berasal dari Wajo dan Soppeng.42 Angka tersebut jelas
menunjukkan arti penting beras hasil produksi Wajo dan Soppeng bagi
perdagangan beras di Parepare.
Grafik 4.1 Perbandingan Ekspor Beras di Parepare dan Palima
pada Paruh Kedua Dekade 1920
18.000
15.527 15.165
16.000
14.000
12.000 10.000
10.000
Parepare
8.000
5.191 Palima
6.000 4.388
4.000 3.089
2.000
0
1926 1928 1930
Sumber: diolah dari H. C Zentgraaff, Van Eilanden in Opkomst, hlm. 83; J. Allart,
Memorie van Overgave van de Afdeeling Parepare, hlm. 7; M. Van Rhijn, Memorie van Overgave
van de Afdeeling Bone.
41
Allart, Memorie van Overgave van de Afdeeling Parepare, 6.
42
van Beukering, “De Rijstsituatie in Zuid-Celebes,” 1264.
43
Lihat Rhijn, Memorie van Overgave van de Afdeeling Bone; H. C Zentgraaff, Van Eilanden in
Opkomst (Soerabaiasch Handelsblad, 1929), 83.
Universitas Indonesia
118
44
Allart, Memorie van Overgave van de Afdeeling Parepare, 7; Rhijn, Memorie van Overgave van
de Afdeeling Bone.
45
Statistiek van de Scheepvaart Nederlandsch-Indie over Het Jaar 1915, 51–53.
Universitas Indonesia
119
46
Jaarverslag van de Handelsvereeniging Makassar over 1930, 26.
47
Jaarverslag van de Handelsvereeniging Makassar over 1932, 29.
48
Edward L Poelinggomang, Makassar Abad XIX: Studi Tentang Kebijakan Perdagangan Maritim
(Jakarta: KPG, 2016), 31.
Universitas Indonesia
120
49
Abdul Rasyid Asba, “Ekspansi Dan Kontraksi Ekspor Kopra Makassar 1883-1958” (Disertasi)
(Depok: Universitas Indonesia, 2003), 294–97.
Universitas Indonesia
121
Parepare juga cukup menentukan dalam upaya intensifikasi pertanian. Pada 1931
misalnya, konsultan pertanian Parepare berhasil dalam percobaannya untuk
mengendalikan wabah tikus yang seringkali mengakibatkan kegagalan panen.
Ketika itu, usaha pengendalian wabah dilakukan dengan menggunakan racun
tikus.50
Faktor terakhir ialah penggunaan pabrik penggilingan padi bertenaga
listrik. Hal ini berawal dari pendirian sebuah perusahaan (naamlooze
vennootschap) yang dikenal dengan Mattschappij tot Exploitatie van Plaatselijke
Bedrijven (selanjutnya disingkat MEPB). Pendirian MEPB diinisiasi oleh
pemerintah Selebes dan Daerah Bawahannya yang saat itu masih dijabat oleh
Gubernur J.L.L. Caron (memerintah 1929-1933). Perusahaan yang secara resmi
didirikan pada September 1930 ini,51 bergerak dalam bidang penyediaan tenaga
listrik dan es. Dengan berpusat di Makassar, MEPB memiliki delapan kantor
cabang yang tersebar di tempat utama di wilayah pemerintahan Celebes en
Onderhoorigheden. Di antaranya ialah Parepare, Majene, Palopo, Sengkang,
Watampone, Sinjai, Bantaeng dan Bau-Bau. Pada intinya, keberadaan MEPB
telah membawa dampak terhadap produksi beras di Parepare.
Hal tersebut tampak ketika MEPB secara resmi mulai beroperasi di
Parepare pada Juni 1931. Dalam sebuah sumber disebutkan bahwa pengoperasian
perusahaan itu disertai dengan beroperasinya sebuah mesin penggilingan padi
listrik pertama di Parepare pada tahun yang sama.52 Sampai Oktober 1932,
disebutkan pula bahwa sebanyak 6 mesin penggilingan padi listrik telah
beroperasi di Parepare.53 Sementara itu, sejak awal pengoperasiannya, MEPB
mengalami perkembangan yang cukup memuaskan. Sebagai gambaran, pada 1931
perusahaan itu hanya memasok sebesar 10.000 KWH dan bertambah secara
signifikan menjadi 200.000 KWH selama 1933. Secara umum, penggunaan listrik
MEPB lebih banyak ditujukan untuk menerangi kampung-kampung di daerah
pedalaman Sulawesi Selatan. Namun khususnya di Parepare, keberadaan dan
50
P van der Goot, “Over Levenswijze En Bestrijding Sawah-Ratten in Het Laagland van Java,”
Landbouw 23 (1951): 123–275.
51
Caron, Memorie van Overgave van Den Afgetreden Gouverneur van Celebes En
Onderhoorigheden, 100.
52
Het Nieuws van Den Dag Voor Nederlandsch-Indië, 10 Agustus 1933.
53
Soerabaijasch Handelsblad, 25 Oktober 1932.
Universitas Indonesia
122
54
J.L.M. Swaab, Memorie van Overgave van Den Afgetreden Gouverneur Celebes En
Onderhoorigheden, 1936, 80.
55
W M F Mansvelt, Changing Economy in Indonesia: : A Selection of Statistical Source Material
from the Early 19th Century up to 1940/ Volume 4 Rice Prices (The Hague: Nijhoff, 1978), 17;
Pierre van der Eng, Agricultural Growth in Indonesia : Productivity Change and Policy Impact
since 1880 (New York: St. Martin’s Press, 1996), 182,
http://search.ebscohost.com/login.aspx?direct=true&scope=site&db=nlebk&db=nlabk&AN=4915
74.
56
Hiroyoshi. Kano, Indonesian Exports, Peasant Agriculture and the World Economy, 1850-
2000 : Economic Structures in a Southeast Asian State (Singapore: NUS Press, 2008), 47.
57
Howard Dick, The Indonesian Interisland Shipping Industry : An Analysis of Competition and
Regulation. (Pasir Panjang, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1990), 7–8.
Universitas Indonesia
123
58
van der Eng, Agricultural Growth in Indonesia : Productivity Change and Policy Impact since
1880, 185.
59
van der Eng, 183–84.
60
Istilah “negara” digunakan berdasarkan pengertian yang diuraikan oleh Robert Cribb.
Menurutnya, pembentukan Negara Kolonial merupakan sebuah proses perpisahan sebuah wilayah
koloni dari negara induknya. Dengan kata lain, negara kolonial menjadi “entitas” tersendiri yang
sama sekali berbeda dari negara induknya, baik secara konstitusional maupun administratif. Dalam
konteks negara kolonial Hindia Belanda, proses itu dapat dilacak hingga 1843, ketika jabatan
Gubernur Jenderal ditetapkan sebagai otoritas eksekutif tertinggi di koloni Hindia Belanda. Proses
pemisahan itu semakin dipercepat memasuki awal abad ke-20. Hal ini ditandai dengan pemisahan
kas Hindia Belanda dari kas Belanda pada 1903. Bahkan, pada 1922 Hindia Belanda memperoleh
status “rijksdeel” yang menandai kedudukan setara antara Belanda dan Hindia Belanda sendiri.
Selengkapnya lihat Robert Cribb, “Introduction; The Late Colonial State in Indonesia,” in The
Late Colonial State in Indonesia: Political and Economic Foundations of the Netherlands Indies
1880-1942, ed. Robert Cribb (Leiden: KITLV Press, 1994), 3–4.
Universitas Indonesia
124
ini sem perkembangannya tidak terlepas dari proses pembentukan eHindia Belanda diartikan
sebagai
61
J. S Furnivall, Hindia Belanda : Studi Tentang Ekonomi Majemuk (Jakarta: Freedom Institute,
2009).
62
Lihat Staatsblad van Nederlandsch Indie 1933, No. 300.
63
Sidik Moeljono, Seperempat Abad Bergulat dengan Butir-butir Beras (Djakarta: Bulog, 1971),
2.
64
Pemberita Makassar, 1 Agustus 1933.
Universitas Indonesia
125
65
Pemberita Makassar, 22 Agustus 1925.
66
Bataviaasch Nieuwsblad, 9 Agustus 1933; 28 Desember 1933; 18 September 1933; 8 Agustus
1935.
67
Merujuk pada proses pengolahan padi di Sulawesi Selatan, ketika itu beras masih dapat
digolongkan ke dalam tiga jenis. Pertama, beras ludah (Bras Loedah). Beras yang dikategorikan
dalam jenis ini ialah beras yang telah melalui proses penumbukan sebanyak satu kali. Kedua, beras
tumbuk (Bras Toemboek). Jenis beras ini telah melewati proses penumbukan sebanyak dua kali.
Ketiga, beras putih (Witte Rijst). Beras ini merupakan beras yang diolah melalui pabrik
penggilingan padi. Di samping gabah, beras ludah dan beras tumbuk juga biasa digiling di pabrik
penggilingan padi. Hasil pengolahannya juga tetap dinamakan beras putih. Jenis beras inilah yang
lazim diperdagangkan, terutama perdagangan beras antar daerah di Sulawesi Selatan.
Universitas Indonesia
126
ialah memiliki tingkat patahan yang tinggi karena proses pengolahannya yang
melalui penumbukan sebanyak dua kali. Sebelum 1933, jenis beras inilah yang
biasanya diolah di pabrik penggilingan padi dan kemudian diekspor ke daerah-
daerah seberang. Menyadari hal tersebut, pada akhirnya pemerintah kolonial juga
mulai melarang beras tumbuk diolah di pabrik penggilingan, kecuali hanya untuk
dikonsumsi secara lokal.68 sejak saat itu, hanya gabah dan beras ludah yang
diizinkan untuk diolah di pabrik dan dijadikan beras ekspor di Parepare. dalam
perkembangannya, negara sekali lagi mengeluarkan sebuah regulas menyangkut
perbaikan kualitas beras pada 1939. Regulasi ini dikenal dengan “Peraturan
Gabah”. Tujuan utamanya ialah untuk memastikan setiap gabah yang hendak
diolah di pabrik harus dalam keadaan sekering mungkin. Regulasi ini pada
mulanya hanya diterapkan di Afdeeling Parepare dan Afdeeling Bone. Walaupun
demikian, dalam perkembangannya regulasi tersebut diterapkan pula di seluruh
Sulawesi Selatan.69
Selain pemetaan daerah defisit dan peningkatan kualitas beras, campur
tangan negara dalam perdagangan juga mengarah ke penetapan harga beras. Di
Sulawesi Selatan, langkah ini sebenarnya telah terlihat di masa sebelumnya,
terutama selama Perang Dunia I. Dalam menetapkan harga beras, Gubernur
Selebes dan Daerah Bawahannya berkonsultasi terlebih dahulu ke Departemen
Pertanian, Perindustrian dan Perdagangan. Sebagai contoh, harga pasaran yang
ditetapkan untuk beras putih pada November 1933 ialah sebesar f 3,50 per pikul.
Penetapan harga juga diterapkan untuk beras ludah yang dimulai pada 1934. Satu
hal yang menarik ialah upaya penetapan harga beras telah menjadi keuntungan
tersendiri bagi para petani. Dalam sebuah sumber dinyatakan bahwa, para petani
sering dicurangi karena manipulasi harga yang dilakukan oleh para pemilik padi,
terutama sebelum adanya penetapan harga.70
Kontrol negara lainnya ialah pengemasan komoditas beras. Sebelum
campur tangan negara, umumnya komoditas beras di Sulawesi Selatan dikemas
menggunakan karung yang terbuat dari daun nenas. Dalam istilah lokal, kemasan
68
M.D. Mey, Memorie va Overgave van de Onderafdeeling Pinrang, Afdeeling Parepare, 1935,
39.
69
C.H. Ter Laag, Memorie van Overgave van Den Resident van Celebes En Onderhoorigheden,
1941.
70
Pemberita Makassar, 27 November 1933; Soerabaijasch Handelsblad, 21 Juli 1934.
Universitas Indonesia
127
ini disebut balasse.71 Di pelabuhan Parepare, beras dalam balasse dimuat oleh
perahu untuk dikapalkan ke Wanua Laeng, terutama ketika angin muson timur
berhembus. Namun demikian, sejak 1933 pemerintah kolonial kemudian
memperkenalkan jenis pengemasan baru yang dikenal dengan dubbelzak (karung
ganda atau karung goni). Berbeda halnya beras dalam kemasan balasse yang
langsung dikapalkan ke Wanua Laeng setelah para pelaut menerima beras dari
pemilik pabrik penggilingan, beras dalam kemasan karung goni biasanya
disimpan terlebih dahulu di gudang pelabuhan. Pengangkutan beras dalam
kemasan karung goni umumnya dengan kapal uap milik KPM.72
Selain itu, negara juga turut campur tangan dalam persoalan pengangkutan
beras. Atas prakarsa Departemen Urusan Ekonomi, premi transportasi untuk kapal
KPM mulai diterapkan di pelabuhan-pelabuhan yang mengekspor beras di
Sulawesi Selatan, seperti Palima, Makassar dan Parepare. Sebagai gambaran, pada
1935 jumlah premi transportasi untuk komoditas beras ditentukan sebesar f 0,50
per 100 kilogram.73 Di samping premi transportasi, perusahaan KPM juga
memindahkan jadwal keberangkatan kapalnya di pelabuhan Makassar, yaitu dari
hari Jumat pagi ke Kamis sore untuk jalur 19 dan 20. Pemindahan jadwal itu
dimaksudkan agar kapal KPM dapat tiba di Parepare pada hari Jumat. Tentu saja
pemindahan tersebut membuat aktivitas bongkar-muat, terutama memuat
komoditas beras, di pelabuhan Parepare menjadi lebih lancar.74
Dengan berbagai kebijakan tersebut, tampak jelas pemerintah kolonial
bukan hanya memberi perhatian terhadap penetapan daerah pembuangan surplus,
namun juga menyangkut masalah kualitas, pengemasan, penetapan harga dan
bahkan pengangkutan. Karena itu, bisa disimpulkan bahwa kontrol negara telah
menyentuh perbaikan sistem perdagangan beras di pelabuhan Parepare. Dengan
kata lain, aktivitas perdagangan beras paling tidak telah berlangsung lebih efektif.
Salah satu indikator kuatnya ialah jumlah ekspor beras. Mengenai hal itu dapat
dilihat dari tabel berikut ini:
71
Nahdia Nur, “Perdagangan Beras Di Makassar Awal Abad XX,” Lembaran Sejarah 5, no. 1
(2003): 84.
72
Pemberita Makassar, 11 November 1933; G. J Schimmel, ‘De Rijstpolitiek in de Jaren 1933 Tot
1937’, Landbouw 13 (1937): 157.
73
Jaarverslag van de Handelsvereeniging Te Makassar over 1934, 15; Swaab, Memorie van
Overgave van Den Afgetreden Gouverneur Celebes En Onderhoorigheden, 188.
74
Pemberita Makassar, 13 Oktober 1933.
Universitas Indonesia
128
40.000
36.810
30.000 30.311
20.000
15.165 17.291
10.000
0
1930 1932 1934 1936* 1938
Sumber: diolah dari M.J. Allart, Memorie van Overgave van de Afdeeling Parepare, hlm. 7;
Handelsvereeniging/Exporteursvereeniging Makassar Jaarverslag over 1938, hlm. 28; J.L.M.
Swaab, Memorie van Overgave van Den Afgetreden Gouverneur Celebes En Onderhoorigheden,
1936, hlm. 190. Keterangan: *Jumlah ekspor untuk Januari hingga November
Universitas Indonesia
129
komoditas impor. Hal ini berarti bahwa Parepare dengan sendirinya berkedudukan
sebagai pusat perdagangan beras di selat. Akan tetapi, apabila pelabuhan-
pelabuhan di Bali dan Lombok untuk sementara diposisikan sebagai penyuplai
beras di kawasan selat, maka perlu dipaparkan pula mengenai tingkat ekspor
berasnya. Pada 1937, Bali telah mengekspor beras baik ke daerah Jawa maupun
daerah luar Jawa dengan jumlah 16.097 ton75 dan Lombok dengan ekspor
berasnya sebesar 24.395 ton.76 Sementara itu, Parepare mengekspor beras pada
tahun itu sebanyak 37.132 ton. Karena itu, terlihat bahwa pada tahun itu Parepare
sesungguhnya telah berperan sebagai pusat perniagaan beras utama di kawasan
Selat Makassar. Jika Howard Dick menuturkan bahwa pembatasan impor beras
yang menandai keterlibatan negara telah mendorong aktivitas perdagangan antar
pulau antara Jawa dan daerah luar Jawa pada dekade 1930,77 maka studi ini paling
tidak dapat membuat kesimpulan yang lebih jauh. Dalam hal ini, pembatasan
impor telah memicu gerak sejarah lain, yakni keberhasilan Parepare menjadi
pelabuhan tersibuk dalam perdagangan beras di kawasan Selat Makassar.
Pentingnya peranan Parepare dalam perniagaan beras bukan hanya
tercermin dari jumlah ekspor beras, namun juga dari jaringan perniagaannya yang
mencakup jaringan intra-regional (dalam daerah) dan inter-regional (antar
daerah). Adapun jaringan intra-regional meliputi daerah-daerah yang berada di
pantai barat Sulawesi, termasuk pulau-pulau di Selat Makassar. Dalam konteks
ini, beras yang diperdagangkan bukan hanya beras putih, tetapi juga sering dalam
bentuk padi dan gabah. Di Mandar, misalnya, setiap musim panen padi para
pelaut Mandar berlayar menuju daerah pantai barat Sulawesi, termasuk Parepare,
guna memuat padi dan gabah dan kemudian dibawa ke Mandar. Ketika tiba di
Mandar, pengolahan padi menjadi tugas penduduk perempuan setempat.
75
Jeroen Touwen, Extremes in The Archipelago: Trade and Economic Development in the Outer
Islands of Indonesia 1900-1941 (Leiden: KITLV Press, 2001), 386.
76
Alfons Van der Kraan, Lombok : Conquest, Colonization, and Underdevelopment, 1870-1940
(Singapore: Heinemann Educational Books, 1980), 265.
77
H.W. Dick, ‘Perdagangan Antar Pulau, Pengintegrasian Ekonomi dan Timbulnya Suatu
Perekonomian Nasional’, in Sejarah Ekonomi Indonesia, ed. Anne. Booth, Willian Joseph
O’Malley, and Anna. Weidemann (Jakarta: LP3ES, 1988), 399–434. Lihat pula Touwen, Extremes
in The Archipelago: Trade and Economic Development in the Outer Islands of Indonesia 1900-
1941, 293.
Universitas Indonesia
130
Universitas Indonesia
131
Manado
Sulawesi Selatan
Universitas Indonesia
132
Redeb, Pasir, Sungai Meriam dan Sangkulirang. Posisi ketiga ialah Maluku.
Pelabuhan-pelabuhan yang lazim menjadi pintu masuk beras yang didatangkan
dari luar karesidenan ini ialah Ambon, Dobo, Neira dan Marauke serta 26
pelabuhan lainnya dalam jumlah yang lebih kecil. Timor, Jawa dan daerah lainnya
menduduki posisi terakhir dalam hal daerah tujuan ekspor beras. Khususnya
Timor, pelabuhan yang biasanya menerima suntikan beras impor, antara lain
Kupang, Ende dan Waingapu.78
Grafik 4.4 Ekspor Pelabuhan Parepare untuk Lima Komoditas pada
1932
KemiriKapuk
3% 1%
Jagung
20%
Beras
Kopra
Kopra
1%
Jagung
Kemiri
Kapuk
Beras
75%
Sumber: M.J. Allart, Memorie van Overgave van de Afdeeling Parepare, hlm. 7
Peranan Parepare sebagai pusat perniagaan beras di kawasan Selat
Makassar tercermin pula dari perbandingan produk ekspornya. Grafik di atas
mengungkapkan posisi istimewa beras dibanding komoditas ekspor penting
lainnya. Dari data tersebut, komoditas beras adalah primadona ekspor di
pelabuhan, yakni dengan porsi 75 % (17.291 ton) dari total ekspor untuk lima
komoditas. Persentase itu jauh melampaui ekspor jagung di urutan kedua yang
hanya sebesar 20 % (4.535 ton). Sementara itu, komoditas lainnya hanya diekspor
dengan porsi yang lebih kecil, yakni secara berurut kemiri (3 %), kopra (1 %) dan
kapuk (1 %). Persentase porsi komoditas beras dalam perdagangan ekspor tentu
saja terus bertambah seiring kontrol negara sejak 1933. Dengan kondisi demikian,
78
Th J Odenkirchen, “Het Intergewestelijk Vervoer van Rijst,” Economisch Weekblad Voor
Nederlandsch-Indie (Batavia, June 1933), 2122.
Universitas Indonesia
133
79
M R Fernando, “The Worst of Both Worlds: Commercial Rice Production in West Indramayu,
1885—1935,” Journal of Southeast Asian Studies 41, no. 3 (July 16, 2010): 439,
http://www.jstor.org/stable/20778896.
80
Handelsvereeniging/Exporteursvereeniging Makassar Jaarverslag over 1938, 28.
81
van der Eng, Agricultural Growth in Indonesia : Productivity Change and Policy Impact since
1880, 58.
Universitas Indonesia
134
82
Lihat Dienstregeling Der Koninklijke Paketvaart Maatschappij Voor Het Jaar 1936.
Universitas Indonesia
135
Parepare selama dekade terakhir pemerintahan kolonial dapat dilihat dari tabel
berikut ini;
Tabel 4.3 Kunjungan Kapal Uap dan Perahu Layar di Pelabuhan
Parepare (1930-1939)
Tahun Perahu layar Kapal Uap
Jumlah Muatan (M3) Jumlah Muatan (M3)
1930 1.722 37.285 244 599.417
1931 1.649 40.903 213 481.877
1932 1.461 38.200 165 345.004
1933 1.406 40.692 172 433.443
1934 1.698 48.310 192 628.965
1935 1.610 47.846 192 516.587
1936 1.264 42.209 184 492.020
1937 1.578 53.672 172 509.620
1938 2.088 67.483 162 431.961
1939 2.196 68.073 154 458.986
Sumber: Statistiek van de Scheepvaart Nederlandsch-Indie, 1930-1939
Tabel di atas menunjukkan kunjungan kapal uap yang bersifat fluktuatif
selama dekade 1930. Berbeda dengan kapal uap, kunjungan perahu tampak
memperlihatkan kecenderungan yang meningkat setiap tahun, baik dalam hal
jumlah maupun volume, kecuali yang terjadi pada 1936. Yang agak mencolok
ialah peningkatan perahu selama tiga tahun terakhir (1937, 1938 dan 1939). Selain
faktor perdagangan beras, situasi itu juga berkaitan dengan peningkatan ekspor
ikan di pelabuhan saat itu. Di samping itu, tabel di atas juga menunjukkan bahwa
secara umum peran kapal uap dalam tonase jauh lebih besar dibandingkan perahu
layar pribumi. Pada 1930, misalnya, peranan kapal uap yakni sebanyak 94 % dari
total tonase keseluruhan. Meskipun demikian, sekalipun daya muatnya jauh lebih
rendah, namun frekuensi kunjungan perahu selalu lebih tinggi dibandingkan
frekuensi kunjungan kapal uap. Sebagai gambaran, pada 1939 kunjungan kapal
uap hanya mencapai 7 % dari jumlah kunjungan perahu layar.83 Pertanyaannya
83
Statistiek van de Scheepvaart Nederlandsch-Indie over Het Jaar 1939, 62.
Universitas Indonesia
136
kemudian, manakah yang lebih besar perannya antara perahu layar dan kapal uap
dalam konteks perdagangan beras di pelabuhan Parepare?
Sebetulnya cukup sulit untuk menemukan data mengenai kontribusi antara
perahu layar dan kapal uap dalam pengiriman komoditas beras di Parepare.
Namun demikian, dalam salah satu sumber yang diterbitkan pada 1929,
disebutkan bahwa biasanya perahu layar milik pribumi mengangkut sekitar 80 %
dari total ekspor beras Sulawesi Selatan. Sementara itu, selebihnya dikirim oleh
kapal uap milik KPM.84 Pentingnya peranan perahu dalam pengapalan komoditas
beras di Sulawesi Selatan tampak sejalan dengan peningkatan frekuensi
kunjungan perahu layar di pelabuhan Parepare. Situasi ini terlihat jelas terutama
ketika Parepare berperan sebagai pusat perniagaan beras di kawasan Selat
Makassar (dekade 1930). Adapun indikatornya ialah; pertama, alih-alih
memperlihatkan peningkatan seiring perkembangan perdagangan beras di
pelabuhan selama dekade 1930-an, hilir mudik kapal uap di Parepare justru
menunjukkan adanya fluktuasi, baik dalam hal jumlah maupun volume. Kedua,
adanya peningkatan aktivitas perahu layar secara drastis pada 1934 atau setahun
setelah penerapan regulasi pembatasan impor beras. Karena perdagangan beras
yang meningkat, tidak heran pula jika dampak krisis ekonomi dunia tidak begitu
signifikan dalam aktivitas pelayaran perahu85 di Parepare, meski sempat
mengalami stagnasi akibat krisis selama dua tahun (terutama pada 1930 dan
1931). Dengan kata lain, selama dekade 1930, ramainya aktivitas perdagangan
beras bukan hanya berdampak terhadap peningkatan ekspor beras, tetapi juga
menunjukkan andil perahu layar dalam konteks perdagangan beras di Parepare.
Selain beras, barang-barang produksi lokal seperti kemiri, sarung bugis
dan ikan asin juga penting dalam kegiatan pelayaran armada perahu. Aktivitas
84
Anonim, “Paketvaart Politiek,” Het Indische Volk 12, no. 32–33 (1929): 291.
85
Fenomena yang serupa tampak pula dalam kasus pelabuhan Banjarmasin. Menurut Endang
Susilowati, krisis ekonomi dunia menjadi momentum bagi kiprah armada perahu layar, yang
kedudukannya sedikit banyak telah dipengaruhi oleh perkembangan teknologi kapal uap. Karena
penurunan harga berbagai komoditas akibat krisis, umumnya para pedagang cenderung
menjadikan perahu layar sebagai andalan untuk perdagangan antar pulau. Pertimbangannya ialah
selain karena tawaran jasa pengangkutan yang lebih murah, para nahkoda perahu juga bersedia
menjamin keselamatan barang dagangan yang dimuatnya. Lihat Endang Susilowati, ‘Pasang Surut
Pelabuhan Rakyat Di Pelabuhan Banjarmasin, 1880-1990’ (Disertasi) (Depok: Universitas
Indonesia, 2004), 151-55. Lihat pula Howard Dick, “Prahu Shipping in Eastern Indonesia in The
Interwar Period,” Bulletin of Indonesian Economic Studies 23, no. 1 (1987): 111,
https://doi.org/10.1080/00074918712331335141.111
Universitas Indonesia
137
86
J Turpijn, “Boegineesche Handelsprauwen,” Economisch Weekblad Voor Nederlandsch-Indie
(Batavia, July 1933), 120.
Universitas Indonesia
138
armada perahu dalam pengangkutan komoditas beras. Sementara itu, dalam hal
frekuensi kunjungan kapal uap, Parepare berada di urutan ketiga setelah Makassar
di urutan pertama dan Manado di urutan kedua. Berdasarkan tabel di atas,
diketahui pula bahwa Parepare masih lebih unggul dibandingkan Ambon dalam
hal jumlah kunjungan kapal uap. Pencapaian tersebut sudah tentu tidak terlepas
dari peran Parepare sebagai pusat perniagaan beras utama di kawasan Selat
Makassar. Dengan demikian, tampak jelas bahwa aktivitas perniagaan beras
selama dekade 1930 membawa dampak positif terhadap dinamika pelabuhan.
Pada akhirnya, menjelang Perang Dunia II, pemerintah kolonial Belanda
mengeluarkan suatu kebijakan terkait perdagangan beras. Kebijakan ini ditandai
dengan pembentukan sebuah lembaga yang bertugas membeli, menjual dan
mengadakan persediaan bahan makanan di Hindia Belanda. Lembaga yang
bersifat semi-pemerintah ini dikenal dengan Voedingsmiddelenfonds (selanjutnya
disingkat VMF) dan dibentuk pada 1939. Berada di bawah naungan Departemen
Urusan Ekonomi, VMF bekerjasama dengan Javasche Bank dan beberapa bank
swasta lainnya dalam melaksanakan tugasnya.87 Pada dasarnya, tujuan utama
VMF ialah memastikan tersedianya stok beras di setiap daerah, terutama selama
Perang Dunia II berlangsung.
Terlepas dari hal itu, adalah jelas bahwa pembentukan VMF pada
gilirannya membawa dampak terhadap aktivitas perdagangan beras yang
berlangsung di Parepare saat itu. Hal ini terutama tampak dari adanya monopoli
VMF atas perdagangan beras antarpulau sehingga pedagang lokal tergeser
posisinya oleh VMF. Di samping itu, VMF juga berwenang untuk menetapkan
harga minimum beras. Dalam kondisi demikian, VMF akan membeli beras milik
para pemilik pabrik penggilingan yang tidak laku di pasaran sesuai dengan harga
yang telah ditetapkan. Akibatnya, para pedagang beras di Parepare juga tidak
leluasa lagi memperoleh banyak keuntungan. Karena itu, tidak heran jika
perniagaan beras di Sulawesi Selatan pada 1941 hanya didominasi oleh
perusahaan yang memiliki kapital besar, seperti “Kongsi Tiga”.88
87
Moeljono, Seperempat Abad Bergulat dengan Butir-butir Beras, 5–6; van der Eng, Agricultural
Growth in Indonesia : Productivity Change and Policy Impact since 1880, 186.
88
Ter Laag, Memorie van Overgave van Den Resident van Celebes En Onderhoorigheden, 18.
Universitas Indonesia
139
Hal yang terpenting ialah terkait persediaan beras. Pada 1939, setiap
daerah yang masih butuh suplai beras dari daerah lain mulai mendirikan VMF
masing-masing guna menjamin ketersediaan stok beras, seperti di Ambon yang
ditangani Moluksche Handelsvennootschap dan Manado yang ditangani pedagang
beras setempat.89 Karena itu, pengiriman beras dari Parepare ke Wanua Laeng,
yang biasanya berlangsung setiap dua kali dalam sebulan (kapal KPM) atau saat
musim timur berlangsung (khusus perahu layar), juga tidak dapat lagi berlangsung
normal. Setelah kebijakan itu, aktivitas ekspor beras dari Parepare hanya
bergantung dari kondisi cukup atau tidaknya stok beras di Wanua Laeng. Dengan
demikian, pembentukan VMF pada dasarnya membawa pengaruh terhadap
ramainya aktivitas perdagangan beras sebagaimana yang telah berlangsung pada
tahun-tahun sebelumnya, meskipun perniagaan beras tidak sepenuhnya berhenti.
89
“Het Nieuws van Den Dag Voor Nederlandsch-Indië, 5 Agustus 1939,” n.d.
Universitas Indonesia
BAB V
DAMPAK PERDAGANGAN BAGI PERKEMBANGAN
KOTA PELABUHAN PAREPARE (1905-1939)
5.1. Pendahuluan
Pada Desember 2020 silam, publik sempat dihebohkan dengan sebuah
tindakan tidak terpuji yang dilakukan oleh salah seorang pejabat pemerintah kota
Parepare. Tindakan itu berupa teguran “kasar” ke salah seorang pedagang Parepare.
Akibat tindakan itu, kecaman dari berbagai pihak pun berdatangan yang kemudian
direspon oleh Walikota setempat dengan memutasi pejabat tersebut sebagai
sanksinya. Berita ini paling tidak memberi petunjuk terkait arti penting pedagang
sebagai salah satu kelas sosial di Parepare dewasa ini. Meskipun demikian, realitas
itu sebenarnya bukan suatu hal yang baru dan boleh dikatakan hanyalah cerminan
dari rangkaian sejarah pelabuhan Parepare selama periode kolonial. Dalam kaitan
itu, tidak diragukan lagi bahwa perkembangan pelabuhan pada gilirannya
mendorong terbentuknya kota pelabuhan. Bab ini membahas dampak perdagangan
terhadap dinamika kota pelabuhan mulai 1905 hingga 1939. Sistematika bab ini
terdiri dari tiga sub bab. Pembahasan dimulai dengan uraian terkait struktur
masyarakat kota. Sejauh mana perkembangan fasilitas kota menjadi sub bab
selanjutnya. Di samping itu, bagaimana pula peran pedagang dalam pembangunan
kota merupakan bahasan penting sekaligus menjadi bahasan penutup.
5.2. Struktur Masyarakat Kota Pelabuhan
Sebelum menguraikan lebih jauh, terlebih dahulu akan diperjelas mengenai
kota pelabuhan Parepare itu sendiri. Di era kolonial, kota pelabuhan Parepare yang
dimaksud ialah Distrik Soreang, yang luasnya mencapai 72 kilometer persegi.
Distrik ini merupakan bagian dari lanskap Mallusetasi (Onderafdeeling Parepare).
Selain menjadi tempat di mana pelabuhan berada, Soreang juga berfungsi sebagai
pusat pemerintahan administratif Afdeeling Parepare. Di samping itu, pusat
pertokoan Cina yang menandai kawasan perdagangan Parepare juga berlokasi di
Distrik Soreang. Dengan demikian, tampak bahwa kota pelabuhan Parepare
memiliki fungsi yang ganda, yakni pusat administrasi pemerintahan sekaligus pusat
perdagangan untuk kawasan Ajatappareng dan daerah sekitarnya.
140
Universitas Indonesia
141
1
Koloniaal Verslag 1905, dalam Hoofdstuk C, 65.
2
Lihat Arsip Pemda Kotamadya Parepare, Volume I, No. Reg. 6. Arsip tentang data kematian warga
Tionghoa di Parepare pada 1944.
3
Yerry Wirawan, Sejarah Masyarakat Tionghoa Makassar Dari Abad Ke-17 Hingga Ke-20
(Jakarta: KPG, 2013), 127–28.
4
Arsip Barru (1920-1976), No. Reg 16. Arsip tentang Nama-nama orang jang mempoenjai Empang-
Empang dalam Landschap Maloesetasi.
Universitas Indonesia
142
5
Arsip Pemda Kotamadya Parepare, Volume I, No. Reg. 6. Arsip tentang data kematian warga
Tionghoa di Parepare pada 1944
6
Arsip Barru (1920-1976), No. Reg 16.
7
P.B. Standen ten van Brink, Zuid Celebes Bijdragen Tot De Krijgsgeschieen Militaire Geographie
van de Zuidelijke Aandtong van Het Eiland Celebes (Utrecht: Kemink & Zoon, 1884), 120.
8
Uitkoomsten Volkstelling, Uitkomsten Der in de Maand November 1920 Gehouden Volkstelling,
Deel II (Batavia: Drukkerijen Ruyorok & Co., 1922), 244.
Universitas Indonesia
143
tersebut, tampak bahwa orang Arab adalah penduduk mayoritas terbesar kedua
setelah penduduk pribumi. Besarnya jumlah orang Arab agaknya mudah dipahami
dari konteks Parepare sebelum abad ke-20, di mana pedagang Arab telah terlibat
dalam aktivitas perdagangan di pelabuhan. Dalam catatan B.F. Matthes, misalnya,
disebutkan bahwa ia tinggal selama beberapa hari di rumah Tuan Cambang
Lampoko, seorang pedagang Arab, saat mengunjungi Parepare pada 1856. Karena
itu, bisa disimpulkan bahwa sebelum 1870 telah terdapat sejumlah orang Arab yang
bermukim di kota pesisir ini.9 Sementara itu, ketika berkunjung ke Parepare pada
1880-an, Arthur Wichmann sempat mengamati aktivitas perdagangan di pelabuhan
ketika itu, di mana sebagian besar berada di tangan pedagang Arab.10 Mengakarnya
keberadaan orang Arab di Parepare tampak pula dari adanya sebuah tarian yang
dikenal oleh masyarakat setempat dengan “Tari Jeppeng”.11
Terlepas dari hal tersebut, tingkat pertumbuhan penduduk selama dua
dekade awal abad ke-20 relatif tidak terlalu besar. Dibanding keadaan penduduk
pada 1880-an, itu artinya pertumbuhan penduduk selama kurang lebih 30 tahun
ialah sebesar 1.109 jiwa atau sekitar 36 atau 37 jiwa untuk setiap tahunnya. Kondisi
ini jelas menunjukkan pertumbuhan penduduk yang tidak signifikan. Situasi ini
agaknya dapat dipahami dari kondisi perdagangan di pelabuhan yang memang
belum menunjukkan suatu perkembangan yang signifikan. Contoh paling baik
dapat dilihat dari perdagangan komoditas beras. Pada masa itu, ekspor beras masih
relatif terbatas, baik dalam hal jangkauan maupun jumlahnya. Memasuki dekade
9
Dalam kajiannya, van den Berg menyebutkan bahwa migrasi orang Arab dari Hadramaut ke
wilayah Kepulauan Nusantara semakin intens terjadi sejak perkembangan teknologi kapal uap pada
1870. Meski begitu, ia juga menuturkan bahwa sebelum abad ke-19, sejumlah orang Arab telah
menetap di beberapa pelabuhan-pelabuhan penting di Nusantara dan, bahkan, beberapa di antaranya
memiliki kedudukan politis yang cukup menonjol di daerah tempat mereka bermukim. Untuk hal
ini, lihat L. W. C van den Berg, Orang Arab Di Nusantara (Depok: Komunitas Bambu, 2010), 95-
96.
10
Arthur Wichmann, Bericht Uber Eine Im Jahre 1888-1889 Im Auftrage Der Niederlandischen
Geographischen Gesellschaft Ausgefuhrte Reise Nach Dem Indischen Archipel (Leiden: E.J. Brill,
1890), 30.
11
Tari Jeppeng merupakan salah satu bentuk akulturasi dari budaya Arab dan Bugis yang masih
dapat dijumpai di Parepare dewasa ini. Hal ini menjadi salah satu bukti yang menguatkan pendapat
Haneda Masashi. Menurutnya, kota pelabuhan adalah tempat pertukaran lintas budaya (cross-
cultural exchanges) antara masyarakat pendatang dan masyarakat setempat yang pada gilirannya
sering melahirkan bentuk peradaban baru. Selengkapnya lihat Haneda Masashi, ‘Introduction:
Framework and Methods of Comparative Studies on Asian Port Cities in the Seventeenth and
Eighteenth Centuries’, in Asian Port Cities 1600-1800: Local and Foreign Cultural Interactions,
ed. Haneda Masashi (Singapore: NUS Press in association with Kyoto University Press, 2009), 4.
Universitas Indonesia
144
1930, perubahan nyata mulai tampak dari komposisi penduduk. Untuk hal ini, dapat
dilihat dari tabel berikut ini;
Tabel 5.1 Keadaan Penduduk Kota Pelabuhan Parepare pada 1930
Pribumi Eropa Cina Timur Asing Total
Lainnya
5.599 125 385 164 6.273
Sumber: Volkstelling 1930, Volkstelling 1930, Deel V: Inheemsche Bevolking van Borneo,
Celebes en Kleine Soenda Eilanden en de Molukken, hlm. 130.
12
Volkstelling 1930, Volkstelling 1930 (Deel IV: Europeanen in Nederlandsch-Indie) (Batavia:
Landsdrukkerij, 1933), 169–70.
Universitas Indonesia
145
imigrannya berasal dari wilayah sekitar kota itu berada, yakni sebesar 83, 2 % dari
total keseluruhan imigran.13 Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa pertumbuhan
penduduk kota terutama bersumber dari perpindahan masyarakat di kawasan
Ajatappareng dan daerah sekitarnya ke Parepare.
Realitas tersebut tentu saja akan sulit dipahami bagi Parepare, yang
notabene hanya salah satu kota pesisir yang berukuran kecil di pantai barat
Sulawesi, tanpa melacak lebih jauh dinamika pelabuhannya. Sebab, perkembangan
pelabuhan pada gilirannya bukan hanya terwujud dari peningkatan aktivitas
pelayaran dan perdagangan. Lebih dari pada itu, perkembangan pelabuhan telah
menciptakan berbagai macam kesempatan ekonomi. Bukan hanya pekerjaan
sebagai buruh kasar, tetapi juga pekerjaan yang membutuhkan keterampilan
tertentu di perusahaan-perusahaan yang perkembangannya tidak terlepas pula dari
eksistensi pelabuhan, seperti lowongan kerja di MEPB di Parepare yang
membutuhkan tenaga teknisi muda (lihat lampiran 7). Tidaklah mengherankan
apabila komposisi penduduk pribumi juga heterogen. Sebagaimana telah diutarakan
sebelumnya, penduduk pribumi pada 1930 bukan hanya terdiri dari orang Bugis,
tetapi juga orang Makassar, Mandar, Toraja, Minahasa, Jawa serta suku-suku
lainnya dalam jumlah yang lebih minim. Realitas itu sekali lagi menegaskan bahwa
kota pelabuhan identik dengan kota yang multietnik. Namun demikian, hal yang
terpenting ialah Parepare dengan segala harapan penghidupan yang ditawarkannya,
telah berhasil menarik kedatangan penduduk di daerah sekitarnya.
Salah satu kasus migrasi yang menarik ialah orang Toraja. Ditinjau dari
komposisi penduduk pada 1930, orang Toraja merupakan penduduk pribumi
terbanyak setelah orang Bugis. Jumlahnya mencapai 578 orang atau sekitar 10 %
dari total penduduk pribumi. Perpindahan penduduk Toraja ke Parepare mulai
berlangsung intens pada 1920-an. Terdapat dua faktor yang mendorong
perpindahan orang Toraja ke Parepare, di samping faktor kedekatan geografis.
Pertama, adanya perbaikan jaringan jalan pada 1920-an yang menghubungkan
Toraja ke kota-kota pesisir, seperti Parepare. Kedua, depresi ekonomi yang
berdampak terhadap harga pasaran kopi yang menurun. Hal ini penting bagi mereka
13
Volkstelling 1930, Volkstelling 1930 (Deel V: Inheemsche Bevolking van Borneo, Celebes En
Kleine Soenda Eilanden En de Molukken) (Batavia: Departement van Economische Zaken, 1936),
47.
Universitas Indonesia
146
yang hanya menggantungkan hidup dari hasil penjualan kopi. Dalam kondisi itu,
penduduk Toraja tidak dapat lagi berharap banyak dari kopi. Sementara itu, sudi
atau tidak, mereka tetap wajib membayar pajak kepala yang mulai diperkenalkan
pemerintah kolonial pada pertengahan 1920-an. Itulah sebabnya, gelombang
migrasi semakin intens berlangsung selama tahun-tahun depresi. Tentu saja faktor
penariknya ialah ketersediaan berbagai lapangan kerja di Parepare. Di kota
pelabuhan ini, orang Toraja umumnya bekerja sebagai buruh pabrik atau penjaga
toko-toko Cina. Menjelang akhir 1930-an, tidak sedikit pula dari mereka yang
pindah ke Parepare dengan maksud untuk mengenyam pendidikan.14
Dengan demikian, bisa ditarik kesimpulan bahwa besarnya pertumbuhan
penduduk yang terjadi antara 1920 hingga 1930 merupakan dampak langsung dari
aktivitas perdagangan di Parepare. Tentunya hal ini sedikit banyak dipengaruhi pula
oleh perdagangan beras. Dari daerah pedalaman, padi dan gabah didatangkan
dengan menggunakan berbagai jenis prahoto, seperti Ford, Daimont, Chevrolet,
Reo, Toyota dan Mercedes. Selanjutnya, proses pengolahannya dilakukan di pabrik
penggilingan padi yang mengandalkan tenaga buruh pabrik. Setelah menjadi beras,
tenaga buruh pelabuhan masih tetap menjadi tumpuan utama dalam proses
pemuatan komoditas beras ke kapal dan perahu. Dalam kaitan itu, gerobak15 yang
dapat menampung paling banyak 30 karung beras, menjadi alat utama yang
digunakan para buruh untuk memuat beras. Begitupun sebaliknya, aktivitas
bongkar barang-barang impor di pelabuhan mengandalkan tenaga buruh pelabuhan.
Untuk diketahui, sebelum Perang Dunia II, rata-rata upah yang diperoleh seorang
buruh pelabuhan ialah sebesar 63 sen per hari, sementara seorang mandor 89 sen
per hari.16
14
Edwin de Jong, ‘The Larger Torajan World: Migrant Networks and Organizations’, in Making a
Living between Crises and Ceremonies in Tana Toraja: The Practice of Everyday Life of a South
Sulawesi Highland Community in Indonesia, ed. Rosemarijn Hoefte and Henk Schulte Nordholt
(Leiden: Brill, 2013), 69–72.
15
Lihat lampiran 8
16
Allied Geographical Section Southwest Pacific Area, Special Report No. 80, Makassar (SW
Celebes), Dates 24 August 1945, 171.
Universitas Indonesia
147
Sumber: Muhajir Muhajir and Muhammad Nur, ‘Tata Kota Parepare Periode Kolonial
Belanda’, Walennae: Jurnal Arkeologi Sulawesi Selatan Dan Tenggara, hlm. 68
Sepanjang periode kolonial, geografi etnis adalah hal yang paling menonjol
menyangkut pola permukiman penduduk. Sama halnya dengan kota kolonial
Makassar,17 permukiman diatur sedemikian rupa berdasarkan kelompok etnis.
Tentu saja penataan ini ditentukan oleh penguasa kota, yakni pemerintah kolonial
Belanda. Kajian arkeologis tentang tata kota kolonial Parepare yang dilakukan oleh
Muhajir dan Muhammad Nur cukup menarik untuk diuraikan lebih lanjut.
Menurutnya, format kota Parepare dapat dibagi ke dalam tiga bagian (lihat gambar
5.1). Pertama, zona inti kota (lingkaran oranye dalam gambar) yang mencakup area
pusat pemerintahan dan permukiman orang Eropa. Tangsi militer Belanda juga
terdapat di zona ini. Kedua, zona perdagangan (lingkaran biru) yang berada di
sebelah utara dari zona inti kota. Zona ini merupakan pusat perekonomian, di mana
kawasan pertokoan sekaligus permukiman orang Tionghoa dapat dijumpai.
Sementara itu, pasar, gudang penyimpanan barang dan pabrik-pabrik penggilingan
padi tersebar di pinggir pantai. Terakhir, zona permukiman penduduk (lingkaran
kuning). Zona ini sebagian besar berada di pinggiran kota, baik di bagian utara
maupun bagian selatan.18 Adapun permukiman itu antara lain Kampung Ujung,
17
Heather Sutherland, ‘Eastern Emporium and Company Town: Trade and Society in Eighteenth-
Century Makassar’, in Brides of the Sea : Port Cities of Asia from the 16th to the 20th Centuries
(Honolulu: New South Wales University Press, 1989), 111.
18
Muhajir Muhajir and Muhammad Nur, ‘Tata Kota Parepare Periode Kolonial Belanda’,
Walennae: Jurnal Arkeologi Sulawesi Selatan Dan Tenggara 17, no. 1 (2019): 65–68,
https://doi.org/10.24832/wln.v17i1.372.
Universitas Indonesia
148
Sabbang, Lakessi, Pisang, Bulu, La Berru, Labukkang dan Cappagalung. Selain itu,
di zona ini juga terdapat beberapa kampung berdasarkan etnis, seperti Kampung
Jawa, Arab dan Banjar.19 Meskipun cukup sulit menemukan lokasi pasti untuk
permukiman buruh pelabuhan, namun kemungkinan zona permukiman penduduk
juga menjadi tempat permukim para buruh pelabuhan. Satu hal yang penting ialah
adanya penataan kampung berdasarkan etnis tidak terlepas dari pertimbangan
keamanan bagi orang Eropa. Di Parepare, setiap kampung dipimpin oleh seorang
kepala kampung yang disebut matoa, kapitein atau wijkmeester. Dengan
mencermati tata kota tersebut, dapat dikatakan bahwa area pelabuhan
sesungguhnya mencakup ketiga zona itu, yang membentang dari utara ke selatan.
5.3 Perkembangan Fasilitas Kota Pelabuhan
Pada dasarnya, kegiatan perdagangan di Parepare bukan saja membawa
dampak terhadap dinamika pelabuhan, namun juga memberi pengaruh positif
terhadap kota pelabuhan itu sendiri. Dalam kaitan itu, sub bab ini akan
menunjukkan ramainya perniagaan yang berlangsung di pelabuhan sejalan dengan
muncul dan berkembangnya berbagai fasilitas yang tersedia di kota pelabuhan.
Salah satu di antaranya ialah pasar. Sebagai pusat perdagangan bagi masyarakat
Ajatappareng dan daerah sekitarnya, Parepare selalu ramai ketika hari pasar sedang
berlangsung. Di era kolonial, pasar masih diadakan selama dua kali dalam
seminggu, yakni hari Kamis dan Minggu. Ketika hari pasar berlangsung, penduduk
di daerah pedalaman berbondong-bondong membawa hasil produksi untuk dijual
atau dibarter dengan barang-barang kebutuhan sehari-hari, seperti sayuran dari
Lanroko. Barang dagang lain seperti ikan, hasil laut, umbi dan tepung topioka
dibawa oleh nelayan Mandar dari Ujung Lero. Hanya sedikit informasi yang
diperoleh mengenai pasar Parepare sejak renovasi yang dilakukan pada 1915.
Namun demikian, terdapat beberapa petunjuk yang mengindikasikan bahwa pasar
Parepare semakin ramai dikunjungi oleh masyarakat pada 1930-an. Ramainya
aktivitas jual-beli di pasar terutama tampak dari kondisi pasar itu sendiri, di mana
aktivitas jual beli bukan hanya berlangsung di dalam area pasar. Tidak sedikit pula
masyarakat yang menjual barang dagangannya dengan hanya dibentangkan di
19
Informasi mengenai kampung tersebut dimuat dalam catatan Andi Oddang, salah seorang
penduduk kota Parepare yang hidup di masa itu. Lihat Oddang, Memoar Brigjen Purnawirawan
Andi Oddang Untuk Merah Putih, 13–23.
Universitas Indonesia
149
sepanjang pinggir jalan sekitar pasar menggunakan pondok darurat berupa daun
nipah yang disanggah dengan empat tiang. Biasanya kegiatan pasar hanya
berlangsung sampai jam 12 siang.20 Dalam sumber lain, disebutkan bahwa ada
sekitar seribuan penduduk21 yang berkunjung ke Parepare setiap kali hari pasar
berlangsung, terutama pada 1930-an.22 Besarnya jumlah pengunjung itu tentunya
menimbulkan sebuah pertanyaan tersendiri, bagaimana hal itu bisa terjadi?
Satu-satunya penjelasan dari pertanyaan itu ialah keberadaan terminal mobil
di pusat kota atau sekitar pasar (sekarang menjadi Monumen Korban 40.000 Jiwa).
Terminal yang disebut “Kandang Oto” ini bisa dikatakan menjadi titik awal dan
akhir yang menghubungkan Parepare ke tiga tempat utama, yakni Majene ke arah
utara (sekitar 146 kilometer), Sengkang ke arah timur (sekitar 84 kilometer), dan
Makassar ke arah selatan (sekitar 158 kilometer). Pentingnya terminal ini berkaitan
dengan posisi Parepare yang cukup strategis dari sisi darat, yakni berada di
persimpangan jalur lalu lintas utama. Karena itu, hampir setiap hari terminal selalu
ramai dengan hilir mudik angkutan penumpang dan angkutan truk, apalagi ketika
hari pasar berlangsung. Pada 1930-an, sepeda23 dan bendi24 juga merupakan alat
transportasi penting bagi penduduk, khususnya untuk penggunaan dalam kota.
Kuda beban tetap menjadi alat transportasi untuk jarak jauh, seperti antara Parepare
dan daerah pedalaman, meskipun fungsinya sebagai alat pengangkutan komoditas
tidak lagi seramai sebelum penggunaan mobil. Adapun mobil telah menjadi pilihan
utama penduduk, baik dalam hal mobilitas barang maupun penumpang.
Tentu saja arti penting terminal tersebut tidak akan pernah terwujud tanpa
ditopang dengan perbaikan jaringan jalan, baik berupa pelebaran, pengerasan,
peninggian maupun pengaspalan jalan. Sebagaimana telah dikemukakan
sebelumnya, hingga akhir 1920-an jaringan jalan yang menghubungkan Parepare
dan daerah pedalamannya dapat dikatakan telah mapan berkat berbagai proyek
pelebaran, peninggian dan pengerasan jalan. Dengan kata lain, akses darat ke semua
daerah penyangga (termasuk dataran tinggi) telah dapat dicapai dengan
20
Oddang, Memoar Brigjen Purnawirawan Andi Oddang Untuk Merah Putih, 14.
21
Lihat lampiran 9
22
De Indische Courant, 7 Agustus 1937, 1.
23
Lihat lampiran 10
24
Lihat lampiran 11
Universitas Indonesia
150
menggunakan mobil. Pada awal 1930-an, perbaikan jaringan jalan di dalam kota
maupun luar kota tetap dilakukan, yang terutama ditujukan untuk pengaspalan
jalan-jalan utama. Di dalam kota misalnya, jalan utama dengan panjang 1,3
kilometer yang membentang dari selatan ke utara mulai diaspal pada 1930. Hingga
1933, pengaspalan jalan juga diupayakan di daerah luar kota (daerah penyangga),
meskipun masih dalam tahap uji coba. Pada 1930 misalnya, uji coba pengaspalan
dilakukan di jaringan jalan Parepare – Bangkae sepanjang 2,1 kilometer dengan
menggunakan aspal Buton.25 Pada tahun yang sama, ujicoba pengaspalan juga
dilakukan di Kemiri (jaringan jalan Parepare - Sengkang). Pada 1933, ujicoba
pengaspalan dilanjutkan sepanjang 47 meter di lokasi yang sama. Sayangnya,
keterbatasan dana kas daerah ‘memaksa’ beberapa proyek pengaspalan tidak dapat
dilanjutkan untuk sementara pada akhir 1933.26 Terlepas dari hal tersebut, berbagai
upaya perbaikan jaringan jalan paling tentunya merangsang jumlah kepemilikan
kendaraan bermotor.
Satu hal yang terpenting ialah peningkatan kendaraan bermotor telah
memungkinkan perluasan layanan pengangkutan mobil truk (Bel: vrachtauto, Bug:
prahoto). Kondisi ini memudahkan mobilitas barang dan penduduk dari dan ke
pelabuhan. Itulah sebabnya, menjelang akhir 1930-an, layanan angkutan mobil
yang menjadikan Parepare sebagai salah satu tujuannya semakin meningkat.
Sebagai gambaran, dalam memori serah terima jabatannya, W. J. Leyds
menyatakan bahwa trayek Majene - Parepare adalah trayek yang paling ramai untuk
pengangkutan mobil ke luar kota Majene pada akhir 1930-an.27 Menurut Hamid,
jaringan transportasi darat antara Majene dan Parepare merupakan pilihan alternatif
masyarakat Mandar untuk membawa komoditas ke Parepare. Selanjutnya
masyarakat Mandar biasanya membeli beras ataupun barang niaga lain di Parepare
25
Di masa kolonial, Buton terkenal sebagai salah satu daerah penghasil aspal. Beberapa kota-kota
besar, seperti Makassar, Batavia dan kota-kota di Jawa Timur menggunakan aspal yang diimpor dari
Buton. Bahkan, tingginya permintaan aspal Buton telah menjadikan Pelabuhan Pasarwajo (Buton)
sebagai pelabuhan ekspor aspal. Lihat La Ode Rabani, Kota-Kota Pantai Di Sulawesi Tenggara:
Perubahan Dan Kelangsungannya (Yogyakarta: Ombak, 2010), 88–89.
26
J. Allart, Memorie van Overgave van de Afdeeling Parepare, 1933, 2.
27
H Luhukay and E Tuwanakotta, Memori Asisten Residen W.J. Leyds Selama Bertugas Di Mandar
(Makassar: Yayasan Kaitupa, 2006), 71.
Universitas Indonesia
151
28
A. R Hamid, “Jaringan Maritim Mandar: Studi Tentang Pelabuhan ‘Kembar’ Pambauwang Dan
Majene Di Selat Makassar1900−1980” (Disertasi) (Depok: Universitas Indonesia, 2019), 136.
29
Nederlandsch-Indische Officier, Gegevens Omtrent de Verschillende Garnizoenen Op Java En de
Buitengewesten (Bandoeng: NV. Boekhandel en Drukkerij Visser & Co., 1926), 118.
30
Fernand. Braudel, The Mediterranean and the Mediterranean World in the Age of Philip II. 1
(Sian Reynolds, Penerjemah) (New York: Harper & Row., 1972), 320.
31
Pemberita Makassar, 26 September 1924.
Universitas Indonesia
152
32
Soerabaijasch Handelsblad, 7 Juli 1938.
33
Pemberita Makassar, 22 Agustus 1917.
34
Verslag over de Burgerlijke Openbare Werken in Nederlandsch-Indie over Het Jaar 1921, 1922,
1923 En 1924 (Weltevreden: Landsdrukkerij, 1925), 52.
35
Pemberita Makassar, 11 September 1924.
Universitas Indonesia
153
satu bangunan yang paling mewah di jalan pusat pertokoan Cina (lihat lampiran
13).
Selain hotel, fasilitas penginapan lainnya ialah pesanggrahan. Sebagaimana
lazimnya di setiap ibukota afdeeling di Sulawesi Selatan ataupun di luar Sulawesi
Selatan, Parepare memiliki sebuah pesanggrahan yang setidaknya telah berdiri pada
1920-an. Bangunan pesanggrahan Parepare berada di tepi pantai yang menghadap
ke laut. Pesanggrahan ini terdiri dari empat kamar. Selain dapat disewakan untuk
kalangan umum, pesanggrahan terutama ditujukan sebagai tempat penginapan para
pegawai pemerintah kolonial yang sedang berkunjung ke Parepare. Pada 1926,
biaya sewa pesanggrahan ialah sebesar f 1 per hari.36 Menjelang akhir 1920-an, satu-
satunya pesanggrahan ini mulai sering dikeluhkan. Hal ini diutarakan oleh salah
seorang responden yang dimuat dalam Soerabaijasch Handelsblad. Menurutnya,
dengan fasilitas berupa empat kamar, setiap individu (pelancong atau pedagang)
seringkali tidak dapat menyewa pesanggrahan karena selalu ditempati oleh para
pegawai pemerintah kolonial yang melakukan perjalanan dinas. Keterbatasan
pesanggrahan saat itu tampak pula dari bangunannya yang terkesan sudah tua dan
tidak sedap dipandang. Itulah sebabnya, pada 1930 proyek pembangunan
pesanggrahan yang baru mulai dikerjakan. Lebih lanjut, responden itu menyarankan
agar pembangunan pesanggrahan yang baru hendaknya menyediakan delapan
kamar, karena “…harus siap untuk kemajuan. Parepare adalah pelabuhan yang
sibuk, pelabuhan ekspor beras, (dan) tempat yang terus berkembang.”37 Sayangnya
saran itu tidak dapat dipenuhi karena pesanggrahan baru yang diselesaikan pada
November 1930 ini, hanya memiliki enam kamar, sebagaimana rencana
pembangunan semula. Bangunan pesanggrahan baru itu tergolong modern,
dilengkapi dengan galeri depan. Selain terlihat lebih rapi, masing-masing kamar
juga telah dilengkapi dengan wastafel.38 Dengan bangunan pesanggrahan yang baru
itu, tarif sewanya juga bertambah. Adapun tarif satu kamar untuk per harinya ialah
36
Nederlandsch-Indische Officier, Gegevens Omtrent de Verschillende Garnizoenen Op Java En de
Buitengewesten, 118.
37
Soerabaijasch Handelsblad, 26 Juni 1929.
38
Soerabaijasch Handelsblad, 28 November 1930.
Universitas Indonesia
154
sebesar f 2,50 untuk amtenar dan f 3,50 untuk pengunjung yang bukan amtenar
(pelancong atau pedagang).39
Masyarakat pribumi juga turut andil dalam hal penyediaan fasilitas
penginapan. Mereka menyediakan fasilitas penginapan berupa rumah berpetak
yang disewakan. Salah satu di antaranya ialah milik Haji Gattung, seorang
pedagang kopi dan tekstil. Rumah pedagang ini berada di Kampung Sabbang dan
dibangun berpetak-petak. Selain ditinggali, beberapa petak lainnya juga
disewakan.40 Perlu diketahui, khususnya di Sulawesi Selatan, rumah sewa bagi
pusat-pusat perdagangan di daerah pesisir adalah persoalan penting. Hal ini
terutama menyangkut fasilitas penginapan untuk pedagang yang datang dari luar
daerah. Ketiadaan fasilitas rumah sewa inilah sehingga pada 1924 seorang
responden mengeluhkan kondisi perdagangan di Pambauang (Afdeeling Mandar)
yang belum memiliki rumah sewah sekalipun 4 pedagang Cina telah ikut berdagang
di daerah tersebut.41
Perkembangan infrastruktur kota juga tampak dalam bidang pendidikan.
Pada mulanya, perkembangan sekolah formal di Parepare dapat dikatakan masih
cukup terbatas. Kebutuhan pendidikan hanya terpenuhi melalui pendidikan dasar
dengan menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar. Sekolah pertama
di Parepare yang didirikan oleh pemerintah kolonial ialah Sekolah Pribumi atau
Sekolah Kelas Dua (Inlandsche School). Tidak diketahui secara pasti kapan sekolah
ini mulai didirikan. Namun, dalam memori serah terima jabatannya yang ditulis
pada 1908, H. N. A. Swart menuturkan bahwa, khususnya di daerah yang tidak
diperintah langsung, sekolah pribumi telah terdapat di Parepare, Palopo dan
Pompanua.42 Karena jumlah murid yang terus meningkat, sebuah sekolah pribumi
yang kedua dibangun di Parepare. Sekolah ini diresmikan pada 2 Juli 1917.43
39
Soerabaijasch Handelsblad, 3 Desember 1930.
40
H.A Mannaungi, Corat Coret Masa Revolusi Memoar: H.A. Mannaungi (Parepare: Yayasan
Makkarumpa, 2002), 14–15.
41
Lihat Pemberita Makassar, 28 November 1924.
42
H.N.A Swart, Memorie van Overgave van Het Gouvernement Celebes En Onderhoorigheden,
1908.
43
Pemberita Makassar, 6 September 1917.
Universitas Indonesia
155
44
Sarkawi B Husain, Sejarah Sekolah Makassar: Di Tengah Kolonialisme, Pertumbuhan Pers Dan
Pembentukan Elite Baru (Makassar: Penerbit Ininnawa, 2015), 67.
45
Verslag over de Burgerlijke Openbare Werken in Nederlandsch-Indie over de Jaren 1921, 1922,
1923 En 1924, 71.
46
Pemberita Makassar, 18 Oktober 1924.
47
Pemberita Makassar, 14 Oktober 1924.
Universitas Indonesia
156
disebutkan bahwa pembukaan sekolah tersebut karena jumlah murid yang semakin
bertambah dan Indlansche school tidak lagi mampu menampung kebutuhan
pendidikan bagi anak-anak pribumi. Di awal berdirinya, sekolah ini hanya
mengelola satu kelas dengan jumlah murid sebanyak 84 anak. Namun, hingga akhir
1930-an, Volkschool telah mengelola sebanyak tiga kelas. Sementara itu,
Vervolgschool, yakni sekolah lanjutan yang diperuntukkan untuk anak-anak lulusan
Volkschool, berjumlah sebanyak enam kelas. Sekolah lain yang didirikan oleh
pemerintah kolonial pada 1930-an ialah ELS. Sama dengan HIS, sekolah ini
merupakan sekolah dasar dengan menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa
pengantar. Namun, berbeda dengan HIS, ELS hanya diperuntukkan bagi anak-anak
Eropa, Mestizo (peranakan) dan anak-anak Timur Asing seperti Cina, Arab dan
India. Sampai akhir 1930-an, sekolah ini mengelola sebanyak tiga kelas.48
Adapun sekolah tingkat pendidikan dasar lain yang didirikan oleh swasta
ialah “Perguruan Umum”. Sekolah yang berada di Kampung Ujung ini berdiri atas
inisiasi dari H. Moch. Djafar, seorang pedagang tekstil di Parepare. Sekolah ini
mulai beroperasi pada Agustus 1937.49 Perkembangan organisasi keagamaan di
Sulawesi Selatan sudah tentu membawa dampak positif pula terhadap aspek
pendidikan di Parepare. Kondisi ini tampak dengan dimulainya pembangunan
sebuah sekolah Muhammadiyah50 di Kampung Lontangnge (Parepare) pada Juni
1937.51 Penduduk Tionghoa di Parepare sudah tentu turut mengusahakan sekolah
untuk pendidikan anak-anaknya. Sayangnya, hanya sedikit informasi yang
diketahui mengenai hal itu. Namun demikian, sebelum 1933, paling tidak sebuah
sekolah khusus anak-anak Tionghoa telah berdiri di Parepare. Pada 1933, sekolah
ini mulai dikelola oleh Kepala Kampung Cina (wijkmeester), yakni Ong Tjang Sioe
48
Mengenai perkembangan sekolah di ibukota Parepare lihat Allart, Memorie van Overgave van de
Afdeeling Parepare, 19–20; Oddang, Memoar Brigjen Purnawirawan Andi Oddang Untuk Merah
Putih, 26–27.
49
Politiek Verslag Celebes En Onderhoorigheden over Agustus 1937, 19.
50
Di Sulawesi Selatan, Muhammadiyah pertama kali didirikan di Makassar 27 April 1926. Pendirian
organisasi ini pada dasarnya tidak terlepas dari sosok Manshur Al-Yamany, salah seorang pedagang
Batik kelahiran Madura yang tinggal di Makassar. Pendirian Muhammadiyah Cabang Makassar
kemudian segera diikuti dengan pendirian cabang atau grup di daerah lain di Sulawesi Selatan,
termasuk Parepare.sebagaimana umum diketahui, Muhammadiyah mengembangkan amal-amal
usaha, seperti sekolah, Masjid dan Panti Asuhan. Mengenai perkembangan Muhammadiyah di
Sulawesi Selatan lihat Mustari Bosra, ‘Tuangguru, Anrongguru Dan Daengguru: Gerakan Islam Di
Sulawesi Selatan, 1914-1942’ (Disertasi) (Depok: Universitas Indonesia, 2003), 164–77.
51
Politiek Verslag Celebes En Onderhoorigheden over Juni 1937, 7.
Universitas Indonesia
157
bersama Jau A Heng.52 Dalam sumber lain, disebutkan bahwa sekolah ini bernama
Hua Chiao school. 53
Berdasarkan uraian perkembangan fasilitas pendidikan di atas, tampak
bahwa sarana pendidikan di Parepare selama periode kolonial Belanda relatif
terbatas. Keterbatasan ini bukanlah tercermin dari jumlahnya, melainkan dari
tingkat pendidikan yang pada dasarnya hanya dapat digolongkan sebagai
pendidikan dasar. Karena itu, bagi anak-anak pribumi yang tergolong mampu
secara ekonomi, seperti anak pedagang dan pengusaha, mereka hanya dapat
melanjutkan pendidikan lanjutan di daerah-daerah yang lebih maju, seperti
Makassar. Di Makassar, Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) menjadi salah
satu pilihan sekolah di taraf pendidikan lanjutan, di samping Kweekschool yang
merupakan sekolah lanjutan untuk pendidikan kejuruan.54 Bahkan, terdapat pula
beberapa anak yang mengambil pendidikan lanjutan atau pendidikan kejuruan ke
Pulau Jawa. Salah satu di antaranya ialah Andi Mannaungi. Ia merupakan anak dari
salah seorang pengusaha angkutan di Parepare. Ketika menyelesaikan pendidikan
HIS-nya, ia melanjutkan pendidikannya di Sekolah Pertanian di Sukabumi pada
1941.55
Layanan kesehatan adalah salah satu indikator penting dalam hal
perkembangan fasilitas kota. 1908 adalah tahun di mana sebuah rumah sakit
pertama di Parepare mulai dibangun.56 Rumah sakit ini merupakan rumah sakit
militer kelas 6. Layanan kesehatan itu bukan hanya untuk kepentingan para prajurit
militer dan amtenar, namun juga terbuka untuk semua kalangan penduduk. Pada
1908 misalnya, antara Agustus hingga Desember terdapat sebanyak 145 yang
datang berobat. Itu artinya rumah sakit rata-rata dikunjungi sebanyak 29 pasien
setiap bulan. Sebagian besar dari jumlah itu ialah orang Bugis. Saat itu, penyakit
yang paling umum diderita pasien ialah malaria, borok kaki, kudis, sifilis dan
52
Politiek Verslag Celebes over 1933, 23–24.
53
Politiek Verslag Celebes En Onderhoorigheden over Mei 1939, 11.
54
Menurut Sarkawi, untuk pertama kalinya sekolah menengah atau MULO didirikan di Makassar
pada 1914. Sedangkan, Kweekschool atau sekolah yang bertujuan untuk mencetak para guru telah
didirikan di Makassar sejak 1876. Lihat Husain, Sejarah Sekolah Makassar: Di Tengah
Kolonialisme, Pertumbuhan Pers Dan Pembentukan Elite Baru, 71–73.
55
Mannaungi, Corat Coret Masa Revolusi Memoar: H.A. Mannaungi, 34.
56
Koloniaal Verslag 1908, dalam Hoofdstuk D, 90.
Universitas Indonesia
158
penyakit mata.57 Khususnya malaria, sumber dari penyakit ini berasal dari kondisi
kota yang di sebelah utara kebanyakan masih berupa rawa dan empang. J.M.H.L de
Wilde de Ligny, asisten residen Parepare (memerintah 1924-1928), banyak
berperan dalam menekan angka penyakit malaria. Di masanya, ia mulai menimbun
rawa-rawa dan meninggikan empang-empang tersebut. Selain itu, ia juga banyak
memberi perhatian pada saluran-saluran air di dalam kota.58 Pada 1930, sebuah
bangunan yang difungsikan sebagai rumah sakit yang baru telah didirikan (lihat
lampiran 14). Rumah sakit ini berada di jalan poros yang mengarah ke Sengkang.59
Satu hal yang penting ialah fasilitas kesehatan di Parepare tidak hanya
dimanfaatkan oleh masyarakat kota, namun juga masyarakat yang bermukimdi
daerah sekitar Parepare. Pada 1938 misalnya, seorang penduduk Tionghoa yang
bermukim di Barru dinyatakan telah meninggal dunia setelah dirawat selama tiga
hari di rumah sakit Parepare.60
Fasilitas kota lainnya ialah bioskop. Fasilitas ini terutama menjadi hiburan
bagi masyarakat ketika itu. Sayang sekali, minim informasi yang diperoleh
mengenai awal mula bioskop di Parepare. Namun, menurut Oddang, bioskop yang
pertama belum memiliki suara sehingga dikenal dengan tontonan bisu. Bioskop ini
milik Ban Hong Liong, seorang pedagang Tionghoa dan berada di Kampung
Sabbang. Lebih lanjut, menurut Oddang, bioskop yang kemungkinan telah berdiri
pada 1930-an ini memiliki tiga kelas; kelas satu (Loge), kelas dua dan kelas tiga.
Seiring perkembangan teknologi, bioskop dengan menggunakan suara juga mulai
didirikan di Parepare. Bioskop ini terletak di Kampung Ujung dan berdiri atas
kongsi dari tiga pengusaha di Parepare, yakni Makkarumpa, Ambo Sanasa dan Ong
Hong Coan. Yang disebut terakhir, jelas merupakan pengusaha Tionghoa sementara
dua yang pertama ialah pengusaha Bugis. Hampir bersamaaan dengan berdirinya
bioskop itu, terdapat pula sebuah bioskop yang disebut “Bioskop Capitol” dan
berlokasi di Kampung Sabbang.61 Selain bioskop, sebenarnya terdapat pula
57
Vereeniging Tot Bevordering Der Geneeskundige Wetenschappen In Nederlandsch-Indie,
Geneeskundig Tijdschrift Voor Nederlandsch-Lndië. Deel L (Batavia: Javasche Boekhandel &
Drukkerij, 1910), 166.
58
H F Tillema, Zonder Tropen Geen Europa ! (’s-Gravenhage: Mouton & Co, 1926), 237.
59
Soerabaijasch Handelsblad, 28 November 1930.
60
Pemberita Makassar, 11 Oktober 1938.
61
Untuk informasi yang lebih lengkap, lihat Oddang, Memoar Brigjen Purnawirawan Andi Oddang
Untuk Merah Putih, 21–22.
Universitas Indonesia
159
beberapa fasilitas hiburan lainnya yang telah ada pada 1920-an di Parepare, seperti
lapangan tenis, bilyard dan bangunan kecil buat perkumpulan penduduk Eropa (een
kleine societeit).62
Dari berbagai uraian di atas, tampak jelas perkembangan infrastruktur kota
berlangsung sejalan dengan peningkatan aktivitas perdagangan di pelabuhan
Parepare. Hal ini ditandai dengan masifnya kemunculan dan pertambahan fasilitas
kota pada 1930-an, di mana dekade ini merupakan era kemajuan perdagangan di
pelabuhan, terutama peran Parepare sebagai pusat perniagaan beras di kawasan
Selat Makassar. Pada gilirannya, kondisi itu bukan hanya “memanjakan” penduduk
kota, namun juga telah menunjukkan bahwa Makassar bukanlah satu-satunya kota
kolonial yang menarik perpindahan penduduk di seluruh wilayah Sulawesi Selatan.
Sebab, Parepare juga memiliki daya tarik tersendiri sebagai sebuah kota kecil yang
menjanjikan, khususnya bagi masyarakat yang bermukim di daerah sekitarnya.
5.4. Peran Pedagang dalam Pembangunan Kota Pelabuhan
Sebelum membahas lebih jauh mengenai peran pedagang, terlebih dahulu
akan dipaparkan gambaran mengenai pendapatan mereka. Hal ini penting untuk
melihat seberapa besar kemampuan pedagang dalam pembangunan kota, baik
secara ekonomi maupun sosial. Aktivitas perdagangan pada dasarnya bukan hanya
telah menyediakan berbagai macam peluang ekonomi, tetapi juga membawa
dampak positif terhadap para pedagang. Dalam perdagangan beras misalnya, ketika
masa musim panen tiba, tidak sedikit pedagang yang datang langsung ke Pinrang
guna membeli hasil produksi padi para petani.63 Dari pedalaman, gabah dan beras
ludah dimuat dan dibawa menggunakan angkutan truk ke Parepare. Di kota pesisir
ini, terdapat beberapa pabrik penggilingan padi yang “selalu siap” mengolah gabah
dan beras ludah menjadi beras putih. Dengan pola seperti inilah, pedagang perantara
(middleman), baik pedagang bugis maupun Tionghoa, memperoleh keuntungannya.
Tentu saja keuntungan itu berupa hasil selisih antara pembelian dari para petani dan
penjualan ke para pemilik penggilingan. Meskipun demikian, di antara para
pedagang itu, tidak jarang juga memiliki pabrik penggilingan padi sendiri di
Parepare.
62
Nederlandsch-Indische Officier, Gegevens Omtrent de Verschillende Garnizoenen Op Java En de
Buitengewesten, 118.
63
M.D. Mey, Memorie va Overgave van de Onderafdeeling Pinrang, Afdeeling Parepare, 1935, 40.
Universitas Indonesia
160
64
Pemberita Makassar, 30 Oktober 1917.
65
De Sumatra Post, 9 Desember 1915.
66
Fievez de Malines Van Ginkel, Verslag van Den Economischen Toestand Der Inlandsche
Bevolking 1924. Deel II (Weltevreden: Landsdrukkerij, 1926), 268–69.
Universitas Indonesia
161
Satu hal yang penting bahwa depresi ekonomi 1930-an sebetulnya tidak
banyak membawa pengaruh bagi kondisi perdagangan di pelabuhan Parepare.
Situasi ini terutama bersumber dari perdagangan beras yang berlangsung positif
selama dekade 1930 atau fase kegemilangan pelabuhan. J.A. Allart, Asisten
Residen Parepare, memang mengakui bahwa komoditas beras, kopra dan jagung,
yang notabene merupakan komoditas primer, mengalami penurunan harga pada
awal 1933 akibat krisis ekonomi. Sebagai gambaran, ketika itu harga beras hanya
sebesar f 2 – f 2,50 per pikul, sementara kopra dijual sebesar f 3 – f 3,50 per pikul.67
Namun, penurunan harga itu hanya bersifat sementara, khususnya harga komoditas
beras. Sebab, seiring pembatasan impor beras asing di Hindia Belanda yang mulai
berlaku pada pertengahan 1933, harga beras di Parepare perlahan mulai membaik.
Pada Agustus 1933, misalnya, beras telah dijual sebesar f 3,10 per pikul. Bisa
dikatakan bahwa sejak kontrol negara pada 1933, harga komoditas beras secara
perlahan terus membaik hingga akhir 1930-an. Pada Desember 1940, harga beras
di Parepare telah mencapai f 8,04 per 100 kilogram.68 Bukan hanya persoalan harga,
tetapi juga jumlah ekspor beras yang meningkat, sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya. Dengan demikian, bisa ditarik kesimpulan bahwa pengaruh depresi
ekonomi yang tidak menimbulkan gangguan serius terhadap kegiatan perdagangan
di pelabuhan Parepare ialah terutama bersumber dari perdagangan beras yang
berlangsung di bawah kontrol negara.
Petunjuk lain terkait kemakmuran para pedagang datang dari kesaksian
sezaman yang ditulis oleh Andi Oddang. Menurutnya, salah satu pedagang
Tionghoa yang terkenal pada 1930-an ialah Hong Long. Pedagang ini terlibat dalam
usaha dagang beras di Parepare. Ia tidak sekedar memiliki pabrik penggilingan padi.
Hong Long juga mempunyai gudang penyimpanan dan kantor perusahaan yang
berada di sekitar pelabuhan. Suatu ketika, kata Oddang, Hong Long beserta para
pembantunya melintas di jalan dengan membawa uang perak yang dibungkus
dalam beberapa pundi. Saat itu, Hong Long menantang Andi Oddang bersama
beberapa kawannya untuk memikul satu pundi sejauh satu meter. Jika mereka
berhasil, Hong Long akan memberi beberapa imbalan uang perak kepada Andi
67
Allart, Memorie van Overgave van de Afdeeling Parepare, 7.
68
Jaarverslag van de Handelsvereeniging/Exporteurs Vereeniging Makassar over 1940, 27.
Universitas Indonesia
162
69
Oddang, Memoar Brigjen Purnawirawan Andi Oddang Untuk Merah Putih, 16.
70
Pemberita Makassar, 22 Oktober 1940.
Universitas Indonesia
163
pengurus yang sekaligus bertindak sebagai panitia pembangunan masjid saat itu.
Adapun daftar panitia pembangunan masjid dapat dilihat dari tabel berikut ini:
Tabel 5.2 Daftar Panitia Pembangunan Masjid Jami di Parepare pada
1933
Nama Jabatan Nama Jabatan
Haji Nonci Ketua Haji M. Saleh Anggota
La Umma Wakil Ketua La Kandatjong Anggota
Haji M. Madani Sekretaris La Hamid Anggota
Abdul Hamid Wakil Sekretaris Hasan Daud Anggota
La Kuba Bendahara Haji Usman Anggota
La Giranna Wakil Bendahara Samah Anggota
La Bagenda Anggota La Badawi Anggota
M. Djafar Anggota Yunus Anggota
Sumber: Pemberita Makassar, 29 Juli 1933
Dari tabel di atas, bisa dikatakan bahwa sebagian besar panitia
pembangunan masjid adalah pedagang atau paling tidak memiliki usaha di
Parepare. Haji Nonci (ketua) sendiri merupakan salah seorang pemilik toko di pasar
Parepare. La Umma (wakil ketua) dan Abdul Hamid (wakil sekertaris) adalah dua
pedagang penting yang terlibat dalam perdagangan beras. Pada 9 Juni 1939,
keduanya bersama-sama mendirikan sebuah pabrik penggilingan padi di Parepare.
Pabrik ini dikenal dengan “Pabrik Sarimas”. Hal yang menarik ialah pabrik ini
merupakan pabrik penggilingan padi paling modern di Sulawesi Selatan ketika itu,
di mana mampu mengolah beras sebanyak 20 pikul per jam.71 Pedagang lainnya
ialah La Kuba (Bendahara), La Giranna (wakil bendahara) dan M. Djafar (anggota).
La Kuba dan La Giranna juga merupakan pedagang beras, sementara yang disebut
terakhir memiliki toko di pasar. Dengan demikian, tampak bahwa hampir semua
pengurus inti dari panitia pembangunan masjid adalah penduduk kota yang
berprofesi sebagai pedagang atau pengusaha.
Selain ajakan secara langsung ke penduduk kota, panitia pembangunan
masjid juga mengumumkan lewat surat kabar. Dalam Pemberita Makassar yang
71
Syafaat Rahman. Musyaqqat and Didik Pradjoko, ‘The Role of Parepare Port in Trading and
Shipping of Rice Commodities in South Sulawesi, 1930−1942’, Journal of Maritime Studies and
National Integration 4, no. 2 (2020): 121, https://doi.org/https://doi.org/10.14710/jmsni.v4i2.8211.
Universitas Indonesia
164
72
Pemberita Makassar, 29 Juli 1933.
73
Rhoads Murphey, ‘On the Evolution of the Port City’, in Brides of The Sea: Port Cities of Asia
from the 16th-20th Centuries, ed. Frank Broeze ((Kensington: New South Wales University Press,
1989), 230.
74
Oddang, Memoar Brigjen Purnawirawan Andi Oddang Untuk Merah Putih, 16.
Universitas Indonesia
165
75
Indisch Verslag 1940, 316.
76
De Locomotief, 28 November 1939.
77
Oddang, Memoar Brigjen Purnawirawan Andi Oddang Untuk Merah Putih, 23.
78
Oddang, 35.
79
Oddang, 24.
Universitas Indonesia
166
tersebut. Pertama, kematian kepala kampung Tionghoa. Pada 7 Oktober 1938, Ong
Tjang Sioe yang menjabat sebagai kepala kampung Tionghoa di Parepare
diwartakan telah meninggal dunia. Hal yang menarik ialah ketika proses
penguburannya sehari kemudian. Berdasarkan keterangan sumber, proses
penguburannya “…mendapet perhatiannja orang banjak di Pare2 dan sekiternja,
dari roepa2 golongan dan deradjat.”80 Indikator kedua ialah semasa pengungsian
ketika tentara pendudukan Jepang masuk di Parepare pada 1942. Apabila masuknya
Jepang di Hindia Belanda diwarnai konflik rasial yang berlangsung di beberapa
tempat dan menjadikan penduduk Tionghoa sebagai sasaran utama,81 maka hal ini
menjadi pengecualian dalam kasus Parepare. Alih-alih mengadakan kekerasan
ataupun perampokan terhadap penduduk dan pedagang Tionghoa, masyarakat
pribumi justru ikut melindungi mereka ketika berada di lokasi pengungsian
(kampung-kampung pedalaman Parepare). Kalaupun ada barang yang dijarah, hal
itu hanya sisa-sisa barang di toko yang belum sempat diselamatkan para
pemiliknya. Menurut penuturan Andi Oddang, ketika itu masyarakat hanya
menjarah harta kekayaan milik orang Belanda.82 Karena itu, jelas bahwa dua
indikator tersebut setidaknya menunjukkan adanya suatu hubungan yang harmonis
antara penduduk pribumi dan Tionghoa di Parepare. Berdasarkan uraian di atas,
bisa ditarik kesimpulan bahwa pedagang merupakan kelas sosial yang memiliki
peran penting sejauh menyangkut dinamika kota pelabuhan Parepare, terutama
selama tiga dekade awal abad ke-20. Tentu saja peran itu bertolak dari keuntungan
para pedagang yang bersumber dari perkembangan positif perdagangan di
pelabuhan, terutama perdagangan beras. Bila ditelaah lebih jauh, sebenarnya arti
penting pedagang dalam pembangunan kota adalah suatu hal yang lumrah terjadi di
kota-kota pesisir. Di Kota Pariaman, misalnya, wajah kota tidak dapat dilepaskan
dari beberapa bangunan dan rumah di sekitar pasar yang dimiliki oleh Muhammad
Saleh, salah seorang pedagang sukses di dekade awal abad ke-20. Dengan kata lain,
80
Pemberita Makassar, 11 Oktober 1938.
81
Onghokham, Migrasi Cina, Kapitalisme Cina Dan Anti Cina (Depok: Komunitas Bambu, 2017),
6.
82
Oddang, Memoar Brigjen Purnawirawan Andi Oddang Untuk Merah Putih, 46.
Universitas Indonesia
167
pada masa itu Pariaman identik dengan kota Saleh.83 Namun demikian, berbeda
dengan Pariaman, Parepare tidak didominasi oleh sosok pedagang tertentu.
83
Mestika Zed, Saudagar Pariaman menerjang ombak membangun maskapai : riwayat Muhammad
Saleh Datuk Rangkayo Basa (1841-1921) (Jakarta: LP3ES, 2017), 306.
Universitas Indonesia
BAB VI
SIMPULAN
168
Universitas Indonesia
169
Universitas Indonesia
170
diramaikan oleh pedagang pribumi, tetapi juga pedagang asing. Parepare sendiri
baru berhasil tampil sebagai salah satu pusat perniagaan pribumi di pantai barat
Sulawesi pada paruh kedua abad ke-19. Kopi adalah komoditas ekspor yang
dominan saat itu. Kolaborasi antara letaknya yang strategis dan potensi ekonomi
di wanua ri laleng (daerah pedalaman), menyebabkan pelabuhan telah disinggahi
oleh kapal NISM sejak 1876.
Hal yang terpenting adalah Parepare merupakan pelabuhan yang
dikelilingi daerah agraris. Keadaan ini terlihat jelas dari sawah-sawah yang dapat
dijumpai di mana-mana di wanua ri laleng. Di antaranya ialah Sidenreng,
Rappang, Pinrang, Barru dan Enrekang. Kesemua daerah itu memiliki tanah yang
relatif cocok untuk budidaya padi. Keberadaan beberapa sungai yang alirannya
berpotensi menjadi sumber pengairan sawah turut menopang keberlangsungan
praktek budidaya padi di wanua ri laleng. Salah satu di antaranya ialah Sungai
Sadang, yang pada akhir 1930-an termasuk sebagai salah satu dari dua proyek
irigasi terbesar di daerah luar Jawa yang diwujudkan oleh pemerintah kolonial.
Yang menarik ialah musim panen padi di wanua ri laleng pada umumnya
berlangsung bersamaan dengan hembusan angin muson timur. Tidak heran
apabila Parepare menjadi salah satu pelabuhan di pantai barat Sulawesi Selatan
yang ramai dikunjungi perahu layar terutama guna mengangkut komoditas beras.
Dengan demikian, tampak jelas bahwa kondisi lingkungan menjadi penopang
utama perkembangan pelabuhan, termasuk peranan Parepare dalam perdagangan
beras selama tiga dekade awal abad ke-20.
Selain faktor internal, terdapat pula faktor eksternal yang menentukan
perkembangan pelabuhan. Dalam hal ini ialah kebijakan pemerintah kolonial
Belanda. Seperti halnya pelabuhan lain di Hindia Belanda, pengembangan
fasilitas pelabuhan juga diupayakan di Parepare. Pengembangan infrastruktur
pelabuhan, seperti dermaga, gudang penyimpanan, lampu mercusuar dan
perbaikan jaringan jalan adalah beberapa indikator penting menyangkut kebijakan
pemerintah kolonial. Pengembangan itu tentu saja berdampak terhadap aktivitas
bongkar-muat di pelabuhan. Namun demikian, pengembangan infrastruktur
tersebut pada hakikatnya tidak terlepas dari denyut perdagangan beras yang mulai
memperlihatkan peningkatan setelah intensifikasi pertanian yang dimulai pertama
Universitas Indonesia
171
kali pada 1914. Hal ini tampak dari penambahan beberapa gudang penyimpanan
dan dermaga milik pabrik penggilingan padi yang sejalan dengan peningkatan
aktivitas perdagangan beras di pelabuhan selama dekade 1930. Komoditas beras
juga menjadi salah satu pertimbangan utama terkait beberapa rencana
pengembangan jalur trem yang akan menghubungkan pelabuhan dan wanua ri
laleng, sekalipun tidak pernah berhasil diwujudkan. Lebih jauh, monopoli KPM
dalam hal pengangkutan barang dan manusia di perairan Hindia Belanda,
termasuk Selat Makassar, adalah faktor eksternal lainnya terkait perkembangan
pelabuhan, sebagaimana tercermin dari jalur pelayaran KPM dan beberapa gudang
milik KPM di Parepare.
Poin kedua, pasang-surut peran pelabuhan Parepare dalam perdagangan
beras di kawasan Selat Makassar dapat dibagi ke dalam dua bentuk, yakni faktor
penghambat dan faktor pendukung. Faktor penghambat ialah sawah tadah hujan,
kualitas beras dan kebijakan pasar bebas. Jumlah ekspor beras yang fluktuatif
selama tahun-tahun awal menjadi bukti kuat bahwa perdagangan cukup terhambat
dengan kondisi budi daya padi di wanua ri laleng yang sebagian besar masih
bergantung dengan sawah tadah hujan. Bahkan, perbedaan jumlah ekspor setiap
tahunnya tidak jarang cukup mencolok. Faktor penghambat lainnya adalah
kualitas beras yang rendah. Dalam kaitan ini, beras di Sulawesi Selatan umumnya
memiliki patahan yang tinggi dan warna yang kurang cerah. Hal inilah yang
membuat masyarakat di wanua laeng cenderung memilih untuk membeli beras
dengan kualitas yang lebih baik, seperti yang terjadi di masyarakat Manado.
Faktor terakhir ialah kebijakan pasar bebas. Seiring penerapan liberalisasi dalam
kegiatan pelayaran dan perdagangan di Hindia Belanda pada 1870-an, impor beras
yang didatangkan dari daratan Asia Tenggara semakin intens terjadi. Hal ini
membuat beras domestik mesti beras dengan beras impor asing. Sayangnya,
kebanyakan beras domestik masih berkualitas lebih rendah dibanding beras impor.
Pada dekade 1920, persaingan perusahaan-perusahaan perkapalan yang membuat
biaya pengangkutan menjadi lebih murah turut mempermudah aliran masuk beras
impor ke Hindia Belanda.
Universitas Indonesia
172
Universitas Indonesia
173
bersumber dari ketersediaan beras ekspor, namun juga struktur ekonomi di wanua
laeng yang semakin lekat dengan pasar global. Keadaan ini menyebabkan
permintaan komoditas beras yang meningkat, terutama pada 1920-an dan 1930-
an. Terakhir ialah kontrol negara. Campur tangan pemerintah kolonial dalam
perdagangan menjadi faktor kunci di balik capaian gemilang pelabuhan Parepare
pada dekade 1930. Kontrol negara yang dimulai sejak 1933 ditandai dengan
adanya upaya pembatasan impor beras asing di Hindia Belanda. Dampak dari
kontrol negara bukan hanya sekedar menyentuh perbaikan sistem perdagangan
beras, namun juga mewujudkan peranan Parepare sebagai pusat perniagaan beras
di Selat Makassar. Selain tingginya jumlah ekspor beras, peranan itu juga
tercermin dari jaringan perdagangan beras di pelabuhan, yakni jaringan intra-
regional dan inter-regional. Adapun jaringan inter-regional meliputi beberapa
wanua laeng, seperti Manado, Maluku, Kalimantan Timur dan Kalimantan
Selatan, Timor dan Jawa. Luasnya jaringan perdagangan itu pada akhirnya
berhasil menghantarkan Parepare sebagai salah satu pelabuhan teramai di Groote
Oost pada akhir 1930-an. Pada masa itu, jika pelabuhan Makassar ramai dengan
perdagangan komoditas kopra, pelabuhan Parepare ramai dengan komoditas
khasnya, yakni beras.
Poin Terakhir ialah dampak perdagangan terhadap perkembangan kota
pelabuhan Parepare. Jika kota pelabuhan merupakan “hadiah langsung” dari
perkembangan pelabuhan, maka perdagangan beras adalah penggerak utama yang
mengakselerasi perkembangan kota pelabuhan Parepare di masa kolonial.
Komposisi penduduk kota adalah salah satu indikator yang paling menonjol.
Selain komposisinya yang heterogen, jumlah penduduk kota yang meningkat
signifikan pada 1930 tentunya berhubungan erat dengan kondisi perdagangan.
Geliat perekonomian di pelabuhan pada gilirannya memunculkan berbagai
kesempatan ekonomi. Ibarat “gula”, hal itulah yang menjadi faktor penarik
penduduk di daerah penyangga atau daerah lain untuk bermigrasi ke Parepare.
Bukan hanya pekerjaan buruh kasar yang tersedia, namun juga pekerjaan yang
membutuhkan keterampilan khusus. Yang disebut terakhir tentunya semakin
beragam seiring perkembangan fasilitas kota, yang notabene merupakan salah
satu dampak perdagangan di pelabuhan. Berbagai fasilitas kota tersebut antara lain
Universitas Indonesia
174
pasar, penginapan, perbankan, sekolah, rumah sakit dan fasilitas lainnya. Lebih
dari pada itu, pengaruh perdagangan, khususnya perdagangan beras, pada
dasarnya telah memunculkan arti penting para saudagar. Dengan keuntungan yang
diperoleh, kelompok sosial ini telah berperan besar dalam hal pengembangan
kota, seperti halnya tampak dari pendirian fasilitas ibadah, morfologi kota dan
kehidupan sosial yang harmonis di kalangan masyarakat.
Tiga poin kesimpulan dalam studi ini setidaknya menjadi bukti bahwa
komoditas beras merupakan motor penggerak sejarah pelabuhan Parepare pada
periode kolonial. Penulis menyadari bahwa cakupan studi ini tentunya masih jauh
dari kata “selesai”, terutama dalam hal perdagangan beras di Hindia Belanda
umumnya dan Selat Makassar khususnya. Dengan mengetengahkan spesialisasi
produk, beberapa uraian sebelumnya telah menunjukkan arti penting Parepare,
yang notabene merupakan pelabuhan kecil yang tidak diusahakan, dalam konteks
sejarah pelayaran dan perdagangan di Hindia Belanda. Namun demikian, realitas
historis tersebut membuka gerbang pertanyaan-pertanyaan baru terkait
perdagangan beras dari perspektif pelabuhan. Misalnya, sejauh mana keragaman
regional membawa pengaruh terhadap sejarah pelayaran perahu di kawasan Selat
Makassar. Lebih jauh, kemungkinan eksplorasi juga dapat dilakukan dengan
meneropong kedudukan beras dalam konteks wanua laeng, khususnya di
kawasan Timur Besar, yang seringkali dikatakan hanya sebagai pelengkap dari
jagung atau umbi-umbian selama periode kolonial. Padahal, grafik perdagangan
beras di Parepare yang cenderung meningkat selama dekade 1930 menjadi suatu
indikasi bahwa beras adalah salah satu bahan makanan pokok utama di daerah
seberang, misalnya, Manado. Tentu saja bahwa penelitian-penelitian berikutnya
terkait perdagangan maritim komoditas pangan akan semakin memperteguh
gagasan yang pernah diutarakan oleh Adrian B. Lapian, Nahkoda Sejarah Maritim
Asia Tenggara, yakni “Sejarah Nusantara Sejarah Bahari”.
Universitas Indonesia
DAFTAR ACUAN
Sumber Arsip
ANRI. Departement van Burgerlijke Openbare Werken: Seri Grote Bundel 1854-
1933 Jilid II, No. 12162.
ANRI. Arsip Financien, No. 739.
ANRI. Memorie van Overgave Serie 1E Reel 31.
ANRI. Memorie van Overgave Serie 1E Reel 32A.
ANRI. Memorie van Overgave Serie 1E Reel 33.
ANRI. Memorie van Overgave Serie 2E Reel 22.
ANRI. Memorie van Overgave Serie 2E Reel 23.
ANRI. Memorie van Overgave Serie 4E Reel 6.
ANRI. Memorie van Overgave Serie 4E Reel 10.
ANRI. Memorie van Overgave Serie 4E Reel 13.
Arsip Barru (1920-1976), No. Reg 16.
Arsip Pemda Kotamadya Parepare, Volume I, No. Reg. 6.
Buuren, J.A.M. Van. Irrigatie Rapport van Celebes, 1911. Den Haag: Nationaal
Archief Inventaris No. 1082.
Mantel, K. Nota van Toelichting Betreffende Het Landschap Soppengriadja,
1932. Den Haag: Nationaal Archief Inventaris No. 1139.
Veen, W.E.G. Memorie van Overgave van de Afdeeling Bone, 1935. Den Haag:
Nationaal Archief Inventaris No. 1127.
Haga, B J. Memorie van Overgave van de Residentie Molukken, 1937. Den Haag:
Nationaal Archief Inventaris No. 335.
Lafeber, A.C. Memorie van Overgave van de Onderafdeeling Makale, 1925. Den
Haag: Nationaal Archief Inventaris No. 294.
Logeman, F.H.W.J.R. Memorie van Overgave van de Residentie Menado, 1922.
Den Haag: Nationaal Archief Inventaris No. 30
Sumber Terbit
Allied Geographical Section Southwest Pacific Area, Special Report No. 80,
Makassar (SW Celebes), Dates 24 August 1945.
Bijblad op het Staatsblad Van Nederlandsch-Indië 1891 No. 4569
Brautigam, D.A.F. Nota Betreffende Het Zelfsbesturend Landschap Tanette.
Batavia: Albrecht & Co, 1914.
175
Universitas Indonesia
176
Universitas Indonesia
177
Universitas Indonesia
178
Universitas Indonesia
179
Universitas Indonesia
180
Universitas Indonesia
181
Universitas Indonesia
182
Universitas Indonesia
183
Universitas Indonesia
184
16.
Witkamp, H. ‘Langs de Lariang-Rivier (West-Celebes)’. Tijdschrift van Het
Aardrijkskundig Genootschap 57 (1940): 581–600.
Yani, Ahmad. ‘Islamisasi Di Ajatappareng Abad XVI-XVII’. Pustaka Jurnal
Khazanah Keagamaan 8, no. 2 (2020): 191–210.
Yuwono, Harto. ‘Sea as A Location for Transaction: Buginese Pandeling in East
Borneo’. Journal of Maritime Studies and National Integration 1, no. 2
(2017): 95–105.
Zuhdi, Susanto. ‘Historiografi Maritim Indonesia Dalam Perspektif Teori,
Metodologi Dan Sumber Sejarah: Suatu Pemetaan Dan Arah
Perkembangan’. Jurnal Sejarah Indonesia 1, no. 1 (2018): 17–44.
Buku
Abendanon, E.C. Geologische En Geographische Doorkruisingen van Midden-
Celebes (1909-1910), Deel II. Leiden: E.J. Brill, 1915.
Ahmad, Taufik, and Syahrir Kila. Awal Kebangkitan & Keruntuhan Pelabuhan
Pallime Di Bone. Makassar: Pustaka Refleksi, 2016.
Alimuddin, M Ridwan. Orang Mandar Orang Laut. Yogyakarta: Ombak, 2013.
Amal, M Adnan. Kepulauan Rempah-Rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara
1250-1950. Jakarta: KPG, 2010.
Amir, Muhammad. Konfederasi Ajatappareng: Kajian Sejarah Persekutuan Antar
Kerajaan Di Sulawesi Selatan Abad Ke-16. Makassar: De La Macca, 2013.
Andaya, Leonard Y. Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Abad Ke-
17 (Nurhady Sirimorok, Penerjemah). Makassar: Ininnawa, 2004.
Berg, L. W. C van den. Orang Arab Di Nusantara. Depok: Komunitas Bambu,
2010.
Bigalke, Terance W. Sejarah Sosial Tana Toraja (M. Yuanda Zara, Trans.).
Yogyakarta: Ombak, 2016.
Braudel, Fernand. The Mediterranean and the Mediterranean World in the Age of
Philip II. 1 (Sian Reynolds, Penerjemah). New York: Harper & Row., 1972.
Brink, P.B. Standen ten van. Zuid Celebes Bijdragen Tot De Krijgsgeschieen
Militaire Geographie van de Zuidelijke Aandtong van Het Eiland Celebes.
Utrecht: Kemink & Zoon, 1884.
Campo, J.N.F.M. Engines of Empire : Steamshipping and State Formation in
Colonial Indonesia. Hilversum: Verloren, 2002.
Dick, Howard. Industri Pelayaran Indonesia: Kompetisi Dan Regulasi. Jakarta:
LP3ES, 1989.
Dick, Howard. The Indonesian Interisland Shipping Industry : An Analysis of
Competition and Regulation. Pasir Panjang, Singapore: Institute of Southeast
Universitas Indonesia
185
Universitas Indonesia
186
Universitas Indonesia
187
Bambu, 2017.
———. Runtuhnya Hindia Belanda. Jakarta: Gramedia, 1989.
Paeni, Mukhlis., Edward L Poelinggomang, and Ina. Mirawati. ‘Batara Gowa :
messianisme dalam gerakan sosial di Makassar’. Jakarta: Arsip Nasional,
Republik Indonesia kerjasama dengan Gadjah Mada University Press, 2002.
Parimartha, I Gde. Perdagangan Dan Politik Di Nusa Tenggara 1815-1915.
Jakarta: Penerbit Djambatan-KITLV, 2002.
Pelras, Christian. Manusia Bugis (A.R. Abu, Trans.). Jakarta: Nalar, 2006.
Poelinggomang, Edward L. Makassar Abad XIX: Studi Tentang Kebijakan
Perdagangan Maritim. Jakarta: KPG, 2016.
Poelinggomang, Edward L, Suriadi Mappangara, Suriadi Limbugau, Syahrul
Amar, and Sahajuddin. Sejarah Sulawesi Selatan (Jilid 1). Makassar:
Balitbangda Provinsi Sulawesi Selatan, 2004.
Poelinggomang, Edward L, Suriadi Mappangara, Suriadi Limbugau, Syahrul
Amar, and Sahajuddin. Sejarah Sulawesi Selatan (Jilid 2). Makassar:
Balitbangda - MSI Sulawesi Selatan, 2005.
Pradjoko, Didik, and Bambang Budi Utomo. Atlas Pelabuhan-Pelabuhan
Bersejarah Di Nusantara. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya,
Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
2013.
Rabani, La Ode. Kota-Kota Pantai Di Sulawesi Tenggara: Perubahan Dan
Kelangsungannya. Yogyakarta: Ombak, 2010.
Reid, Anthony. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid 1: Tanah di
Bawah Angin (Mochtar Pabottingi, penerjemah). Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1992.
Reid, Anthony. Sejarah Modern Awal Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES, 2004.
Resink, G J. Bukan 350 Tahun Dijajah. Depok: Komunitas Bambu, 2013.
Sarasin, Paul, and Fritz Sarasin. Reisen in Celebes, Aufgefuhrt in de Jaren 1893-
1896 Und 1902-1903 (Zweiter Band). Wiesbaden: C.W. Kreidel, 1905.
Sinaga, Rosmaida. Masa Kuasa Belanda Di Papua 1898-1962. Depok:
Komunitas Bambu, 2013.
Sulistyono, Singgih Tri. ‘The Java Sea Network: Patterns in the Development an
of Interregional Shipping and Trade in the Process of National Economic
Integration in Indonesia, 1870s-1970s’. Universiteit Leiden, 2003.
Tillema, H F. Zonder Tropen Geen Europa ! ’s-Gravenhage: Mouton & Co, 1926.
Touwen, Jeroen. Extremes in The Archipelago: Trade and Economic
Development in the Outer Islands of Indonesia 1900-1941. Leiden: KITLV
Press, 2001.
Universitas Indonesia
188
Universitas Indonesia
LAMPIRAN
189
Universitas Indonesia
190
Lampiran 1. Sebuah Peta Belanda pada akhir abad ke-18 yang pertama kali
menyebut Parepare
Universitas Indonesia
191
Universitas Indonesia
192
Sumber: www.digitalcollections.universiteitleiden.nl.
Universitas Indonesia
193
Sumber: www.digitalcollections.universiteitleiden.nl.
Universitas Indonesia
194
Sumber: www.collectie.wereldculturen.nl.
Universitas Indonesia
195
Sumber: www.collectie.wereldculturen.nl.
Universitas Indonesia
196
Universitas Indonesia
197
Sumber: www.collectie.wereldculturen.nl.
Universitas Indonesia
198
Universitas Indonesia
199
Sumber: www.collectie.wereldculturen.nl.
Universitas Indonesia
200
Lampiran 11. Alat transportasi bendi yang sedang melintas di depan Terminal
“Kandang Oto“ di Parepare antara 1930-1936
Sumber: www.collectie.wereldculturen.nl.
Universitas Indonesia
201
Lampiran 12. Iklan Lowongan Kerja Bank Rakyat (Volksbank) di Parepare pada
1924
Universitas Indonesia
202
Sumber: Allied Geographical Section Southwest Pacific Area, Special Report No.
80, Makassar (SW Celebes), Dates 24 August 1945.
Keterangan: lihat tanda panah merah
Universitas Indonesia
203
Sumber: www.collectie.wereldculturen.nl.
Universitas Indonesia
INDEKS M
Majene, 1, 7, 16, 22, 24, 34, 35, 43, 56, 67, 70,
A 71, 73, 102, 109, 113, 121, 122, 135, 150, 151,
Ambon, 56, 63, 79, 80, 132, 138, 139, 142 152
Amurang, 56, 70, 78 Makassar, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 13, 14, 15,
Arab, 4, 40, 56, 58, 79, 141, 143, 144, 145, 149, 17, 19, 22, 24, 26, 28, 29, 30, 34, 35, 37, 39,
157 40, 42, 43, 45, 46, 47, 48, 50, 51, 52, 53, 54,
55, 56, 58, 60, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 69, 70,
71, 73, 75, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 91, 92,
B 93, 94, 95, 96, 97,99, 100, 102, 103, 105, 106,
Bacukiki, 49, 50, 62 107, 108, 109, 111, 112, 114, 115, 116, 118,
Banjarmasin, 52, 63, 70, 73, 74, 134, 137 119, 120, 121, 124, 125, 126, 127, 128, 129,
Bantaeng, 47, 67, 71, 119, 121, 163 131, 132, 133, 134, 135, 136, 138, 141, 142,
Barru, 3, 6, 9, 22, 24, 35, 36, 38, 42, 44, 71, 102, 145, 146, 147, 148, 150, 151, 152, 153, 155,
142, 143, 159, 171, 173 156, 157, 158, 159, 160, 161, 162, 163, 164,
Bojo, 33, 49, 62 165, 167, 169, 170, 172, 174, 175
Bone, 3, 6, 7, 12, 16, 24, 26, 47, 49, 51, 52, 53, Maluku, 4, 9, 23, 50, 56, 71, 77, 79, 80, 81, 84,
55, 64, 105, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 117, 124, 131, 132, 174
118, 120, 126, 170 Manado, 9, 23, 56, 63, 70, 76, 77, 78, 124, 131,
Buton, 4, 21, 30, 112, 151 132, 135, 138, 139, 172, 174, 175
Mandar, 4, 7, 16, 22, 29, 35, 38, 39, 46, 47, 48,
51, 56, 57, 71, 73, 88, 96, 109, 129, 135, 141,
C 146, 149, 151, 152, 155, 161, 170
Collecting centre, 20, 21, 64, 96, 170 Minahasa, 76, 77, 141, 142, 146
D P
Donggala, 57, 70, 76, 132, 134 Palembang, 52, 63, 177
Palima, 6, 7, 12, 16, 26, 67, 105, 109, 110, 111,
112, 113, 115, 116, 117, 118, 120, 127, 173
E Palopo, 42, 67, 112, 113, 121, 153, 155, 163
Ende, 84, 132 Pangkajene, 71, 102, 111, 113, 116, 119
Enrekang, 3, 4, 6, 9, 22, 24, 36, 38, 40, 41, 42, 43, Pontianak, 63
57, 58, 109, 171, 173 Portugis, 3, 49, 82
Entrepot, 6, 20, 21, 71, 96, 97, 105, 170
R
F Rappang, 2, 3, 6, 9, 22, 24, 36, 38, 39, 40, 41, 42,
Feeder point, 5, 20, 21, 44, 65, 170 43, 90, 91, 171, 173
Flores, 19, 29, 81, 82, 83, 84 Riau, 52
I S
Indramayu, 86, 133, 134 Samarinda, 70, 76, 132, 134
Inggris, 4, 7, 12, 53, 55, 58, 66 Sawitto, 2, 37, 50, 51, 91
Semarang, 11, 22, 63, 86
Sengkang, 34, 43, 112, 113, 114, 115, 116, 121,
J 150, 151, 159
Jawa, 4, 5, 6, 9, 11, 13, 19, 23, 29, 30, 49, 55, 60, Sidenreng, 2, 3, 4, 5, 6, 9, 16, 22, 24, 36, 39, 40,
61, 66, 72, 73, 75, 78, 79, 81, 83, 84, 85, 86, 42, 43, 48, 53, 54, 55, 57, 58, 59, 60, 61, 62,
87, 89, 110, 119, 123, 129, 131, 132, 133, 141, 91, 101, 102, 113, 116, 171, 173
145, 146, 149, 151, 152, 158, 171, 174 Singapura, 4, 12, 13, 18, 45, 55, 58, 68, 70, 71, 85
Johor, 52 Soppeng, 55, 59, 111, 113, 114, 116, 117, 118,
120, 173
Soreang, 34, 49, 51, 52, 62, 141
204
Universitas Indonesia
205
Surabaya, 6, 12, 13, 56, 57, 63, 71, 86, 134, 137,
170
T
Tarakan, 132
Timor, 9, 13, 23, 79, 81, 82, 83, 116, 131, 132,
174
Toli-Toli, 56, 70, 132
Toraja, 3, 4, 9, 22, 24, 36, 42, 43, 57, 58, 100,
109, 113, 141, 146, 147
U
Ujung Lero, 46, 47, 149, 170
V
VOC, 3, 50, 51, 52, 75, 79
W
Wajo, 51, 55, 59, 75, 111, 113, 114, 116, 117,
118, 120, 173
Universitas Indonesia